Naga Kemala Putih Karya Gu Long Bagian 3
Peh-cun. Sebenarnya dia bergerak sangat lambat, ia berniat
melancarkan serangan baru dua hari setelah lewat Peh-cun. Dalam
pikirannya, sekalipun ada yang menyampaikan berita sehingga
penjagaan diperketat, tetapi jika musuh sudah melakukan penjagaan
terus-menerus selama dua hari dua malam dan tidak ada serangan
datang, orang akan beranggapan bahwa berita itu salah. Dengan
sendirinya penjagaan akan kendor kembali dan keadaan seperti ini
adalah kesempatan terbaik baginya untuk menyerang.
Tapi sekarang ia memutuskan untuk mengubah rencana
penyerangannya. Tiba-tiba saja ia merasakan datangnya satu
tekanan yang besar, yaitu lenyapnya Tio Bu-ki dan masih ditambah
munculnya Gi Pek-bin. Itulah sebabnya ia memerintahkan Tong Koat
untuk mengirim perintah penyerbuan, agar ketiga pasukan yang
telah disiapkan selama ini melancarkan serangan besar.
Ooo)))(((ooo Hubungan yang dilakukan penuh napsu dan penuh luapan
cinta membuat Sangkoan Lian letih sekali. Ia segera jatuh tertidur,
tidur sangat nyenyak dan semua kewaspadaannya lenyap. Tidurnya
yang begitu nyenyak membuat Cing-cing mengawasinya berapa
kejap. Dia memang datang dengan tugas, dia khusus melayani
Sangkoan Lian atas perintah Tong Koat, dia pun ditugasi untuk
mengawasi semua gerak-gerik orang itu, termasuk igauannya
sewaktu tidur. Dia turun dari ranjang dan memungut pakaiannya dari
lantai, juga pakaian Sangkoan Jin. Kemudian dengan hati-hati sekali
dia memeriksa saku baju itu. Dikeluarkannya secarik kain hitam, dia
tahu kain itu dipakai untuk menutup wajah. Sebentar kemudian dia
juga mengeluarkan sebuah kantung kain yang sangat kecil. Kantung
itu boleh dibilang terjahit rapi dan menjadi satu dengan pakaian
dalamnya, dulu ia tak pernah melihat benda ini, tak disangka hari ini
dia menemukannya.
Ketika kantung itu dibuka, tampak isinya adalah selembar
kertas yang sangat tipis. Di atas kertas itu tak ada tulisan apa-apa,
yang tampak hanya sebuah lipatan berbentuk hati kecil. Tentu saja
Cing-cing tak tahu apa gunanya lipatan kertas itu, tapi dia yakin
benda ini pasti sangat penting. Mengapa Sangkoan Jin harus
menyimpannya di dalam kantung kecil yang dijahit pada pakaian
dalamnya" Buru-buru ia memasukkan kembali kertas itu ke dalam
kantung lalu dikembalikan pada asalnya, setelah itu dia baru menuju
ke depan cermin dan mulai berdandan. Selesai berdandan ia tak
kuasa untuk tidak balik lagi ke tepi ranjang dan mengawasi wajah
Sangkoan Jin dengan termangu.
Mendadak ia menjatuhkan diri ke dada Sangkoan Jin dengan
penuh nafsu, lalu dibelainya wajah orang itu dengan penuh kasih
sayang. Sangkoan Jin masih tertidur lelap, biarpun matanya masih
terpejam namun tangan kanannya telah bergerak menggenggam
tangan kecil Cing-cing yang sedang membelai wajahnya.
Gerakan itu sebenarnya sangat biasa, tetapi sekarang
membuat Cing-cing terharu, perasaannya bergejolak keras. Ia tidak
bisa membantah bahwa Sangkoan Jin adalah orang yang bisa
mendatangkan kegembiraan baginya. Dulu, ia sudah sering
melakukan tugas semacam ini, tapi tak sekali pun merasakan
kegembiraan dan kebahagiaan seperti saat bersama Sangkoan Jin
sekarang. Tampaknya Sangkoan Jin dapat merasakan tubuh Cing-cing
yang gemetar keras, mendadak ia membuka sedikit matanya dan
menepuk tangannya sambil menegur, "Ada apa denganmu?"
Cing-cing segera sadar akan kesalahannya, buru-buru ia
menarik kembali badannya, berdiri dan menyahut, "Ah tidak apaapa,
aku harus pergi!"
Sangkoan Jin seperti tidak merasakan ada yang tak biasa, ia
hanya mengiakan lirih. Tiap kali Cing-cing datang berkunjung, ia
selalu pergi sebelum fajar menyingsing, kali ini pun tak jauh
berbeda. Itu sebabnya ia kembali tidur nyenyak.
Sekali lagi Cing-cing mengawasi wajah Sangkoan Jin,
kemudian baru pergi meninggalkan tempat itu. Sepeninggal dari
kamar tidur Sangkoan Jin, dia berjalan sangat lambat karena tempat
yang ditujunya sekarang adalah tempat di mana
Tong Ou dan Tong Koat sedang menunggu. Sambil berjalan
tiada hentinya ia berpikir, haruskah dia laporkan semua yang telah
dilihatnya tadi kepada Tong Ou sekalian" Haruskah dia melaporkan
lipatan kertas yang ia temukan di balik pakaian dalam itu"
Ketika menemukan kain hitam penutup wajah itu
sesungguhnya dia sudah tahu apa yang terjadi. Semalam ia sudah
mendatangi kamar Sangkoan Jin sebelumnya, tapi ia tak
menemukannya di kamar. Belum sempat ia mengambil keputusan
haruskah melaporkan semua kejadian tersebut kepada Tong Ou,
dirinya telah sampai di depan pintu.
Sekarang ia tak bisa berpikir lagi sebab sudah tak ada waktu
untuk bersangsi lagi. Ketika tiba di depan pintu, pasti ada orang
yang akan muncul dari dalam kamar. Dalam keadaan begini, jika dia
ragu dan tidak mengetuk pintu, orang yang ada di dalam kamar
pasti akan curiga. Maka tanpa menghentikan langkahnya dia menuju
ke kamar dan segera mengetuk pintu.
"Masuk!" terdengar Tong Koat berseru.
Cing-cing mendorong pintu berjalan masuk, pertentangan
batin masih berkecamuk dalam hatinya. Terlepas apa pun keputusan
yang bakal diambil, dia tak pernah menghentikan langkahnya, ia
tahu begitu masuk ke dalam kamar, Tong Ou pasti akan mengajukan
banyak pertanyaan.
Bab 9. Wajah Asli Gi Pek-bin
Kabut tebal menyelimuti bumi di fajar yang baru
menyingsing. Begitu tebal kabut yang melayang di atas permukaan
itu, mem?buat segala sesuatu yang berjarak lima kaki sudah tak
terlihat jelas. Tidak mudah melakukan perjalanan dalam cuaca
seperti ini dan pasti akan banyak makan tenaga serta sangat
berbahaya. Apalagi berjalan di bukit yang curam.
Tapi Gi Pek-bin tak sependapat, dia justeru merasa jauh
lebih ringan dan aman melakukan perjalanan dalam cuaca seperti
ini. Ia memang berniat meninggalkan wilayah kekuasaan Benteng
Keluarga Tong secara diam-diam dan penuh rahasia, semakin sedikit
orang yang melihatnya semakin baik bagi dirinya. Apalagi dengan
mengandalkan kungfu yang dimilikinya, berjalan dalam suasana
begini merupakan perjalanan yang paling aman.
Dengan santai dia menelusuri jalanan bukit dan menuruni
tebing perbukitan, sampai-sampai dia tak peduli langkah kakinya
meninggalkan suara yang jelas. Dia malah sama sekali tak tahu
kalau ada delapan buah mata sedang mengawasi gerak-geriknya
lima kaki jauhnya dari tempat ia berada.
Delapan mata milik empat orang yang semuanya
mengenakan pakaian ketat berwarna hitam dan siap melancarkan
serangan maut. Hampir setiap malam hingga pagi, mereka berempat
selalu berjaga-jaga di situ dengan penuh kewaspadaan. Selama lima
tahun belum pernah mereka berempat mangkir satu hari pun.
Mereka adalah pasukan inti Keluarga Tong, usianya rata-rata
di atas Tong Ou. Mereka sudah banyak mendirikan jasa sejak masih
menjadi bawahan ayah Tong Ou, oleh karena itu mereka tidak perlu
mendengar perintah dari Tong Ou, semua perintah langsung
diperoleh dari Lo-cocong.
Selama lima tahun terakhir, secara sukarela mereka
mengajukan diri untuk berjaga di situ, karena pada saat itu, keempat
penjaga yang bertugas di situ mati dibunuh orang dan tak ada
seorang pun yang mau ditugaskan di tempat itu.
Tempat itu merupakan jalan gunung yang amat penting, tiap
orang yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong harus melalui
jalan tersebut. Inilah jurus ampuh yang diusulkan ayah Tong Ou
untuk menjaga keamanan bentengnya. Tempat ini tak perlu dijaga di
siang hari, tapi perlu diwaspadai dari tengah malam hingga
menjelang fajar, karena orang-orang yang meninggalkan Benteng
Keluarga Tong di tengah malam, akan tiba di situ pagi harinya.
Kecuali petugas yang mengemban tugas penting atau tugas
rahasia, biasanya hanya orang-orang yang ingin kabur secara diamdiam
yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah malam
buta. Siapa saja yang ingin meninggalkan Benteng Keluarga Tong di
tengah malam buta" Kalau bukan pengkhianat, tentulah para agen
rahasia atau mata-mata yang menyamar sebagai pedagang untuk
mencari berita di situ.
Dan orang semacam itu pantas dilenyapkan untuk selamalamanya
dari Benteng Keluarga Tong.
Oleh karena itulah harus ada jago tangguh yang bertugas
menjaga di jalan ini. Bila ada orang meninggalkan Benteng Keluarga
Tong secara diam-diam atau orang yang patut dicurigai, pihak
benteng akan melepaskan mercon berwarna merah. Bila para
penjaga melihat mercon merah dilepaskan, itulah tanda bahwa
mereka harus meningkatkan kewas?padaan. Semalam Tong Koat
telah melepaskan sebuah mercon dengan cahaya merah.
Begitu melihat pancaran mercon merah itu, keempat jago
tangguh itu segera meningkatkan kewaspadaannya dan bersiap-siap
melakukan penghadangan. Keempat orang ini adalah anak yatim
piatu yang dibawa ayah Tong Ou dari daerah Sucoan dan sejak kecil
sudah belajar silat di bawah bimbingan ayah Tong Ou. Mereka diberi
nama Tong Hong, Tong Bwee, Tong Bian dan Tong Sang.
Usia Tong Hong paling tua, senjata yang digunakannya
adalah sebilah pedang. Senjata rahasianya Hong-ko (Buah Waru),
yaitu buah waru yang bentuknya bulat dan berduri, bila menghajar
tubuh orang maka durinya akan menancap tembus hingga ke tulang.
Sebaliknya bila ditangkis dengan senjata, buah itu akan meledak dan
menyemburkan cairan beracun.
Senjata Tong Bwee adalah sebilah golok bweehoa-to, di atas
golok ini terdapat lima buah gelang baja yang apabila ditekan kuatkuat
kelima gelang itu akan melesat ke empat penjuru. Dari balik
tiap gelang akan menyembur keluar lima buah senjata rahasia
beracun yang berbentuk bunga bwee, keampuhannya luar biasa.
Senjata andalan Tong Bian adalah sepasang telapak tangan
kosong, tapi dia juga secara khusus membuat sepasang sarung
tangan yang terbuat dari kapas. Jika berhadapan dengan orang
biasa, dia bertarung dengan mengandalkan tangan kosong, tapi bila
berhadapan dengan musuh tangguh, dia akan mengenakan sarung
tangan kapasnya, di balik setiap jari sarungnya tersembunyi jarum
beracun yang amat berbahaya. Dengan menggunakan tenaga
dalamnya ia bisa memancarkan jarum itu untuk melukai lawannya.
Senjata yang digunakan Tong Sang adalah tongkat Longgeepang
(Tongkat Gigi Srigala) tapi di balik tiap giginya disisipkan jarum
beracun. Orang yang tak berpengalaman, bukan saja akan terluka
oleh gigi senjatanya, tetapi juga terhajar jarum beracun rahasia itu.
Sudah lima tahun Tong Hong berempat bertugas di situ, entah
sudah berapa banyak orang yang tewas di tangan mereka.
Pengeta?huan mereka tentang daerah ini sudah amat dalam,
mereka pun sudah terbiasa untuk mengamati sasarannya dari jarak
sepuluh kaki jauhnya.
Tak heran kalau kemunculan Gi Pek-bin sudah sejak awal
segera mereka ketahui. Dengan cepat mereka berempat serentak
bersembunyi di kedua belah sisi jalan, Tong Hong dan Tong Bian
bersembunyi di sebelah kiri sementara Tong Bwee dan Tong Sang
bersembunyi di sebelah kanan.
Tong Hong dan Tong Bwee berada di depan sedang Tong
Bian dan Tong Sang berada di belakangnya. Dalam pada itu Gi Pekbin
masih mengikuti jalan setapak dengan santai, sama sekali dia tak
menyangka kalau dari balik belukar ada empat pasang mata sedang
mengawasi gerak-geriknya. Menanti sampai Gi Pek-bin sudah berada
satu kaki melewati tempat persembunyian Tong Hong berdua, saat
itulah Tong Bian dan Tong Sang melompat keluar secara tiba-tiba.
Dengan sangat terkcjult Gi Pck-bin bcrbalik ke belakang dan
terus maju, tapi dengan cepat dia menghentikan gerakan tubuhnya,
karena ternyata Tong Hong berdua sudah muncul pula dari balik
persem?bunyian, menghadang jalan mundurnya. Tanpa banyak
bicara dia mencabut keluar goloknya, lalu tanpa mengucapkan
sepatah kata pun melancarkan serangan kilat ke sisi kiri jalan.
Dia memang sengaja menyerang ke sebelah kiri karena
dilihatnya Tong Sang hanya bersenjata sebuah tongkat Longgeepang,
sementara Tong Bian hanya bertangan kosong. Begitu tiba di
sisi Tong Bian, golok lemasnya langsung diayunkan menyambar
pinggang lawan. Tong Bian tidak melayani serangan itu, dia
mengegos ke samping lalu mundur dua langkah.
Tepat di saat Tong Bian bergerak mundur, Tong Sang
mendesak dua langkah ke depan, senjata Longgee-pangnya
bergerak dari kiri menuju ke kanan menghadang jalan pergi Gi Pekbin.
Menghadapi ancaman tersebut, buru-buru Gi Pek-bin melompat
mundur. Tong Hong masih belum bergerak, dia hanya berjaga-jaga
tepat di tengah jalan.
Memang beginilah perjanjian mereka, bila keadaan tidak
mendesak mereka tak akan main kerubut, bila musuh menggunakan
golok maka yang memakai senjata golok yang bertugas
menghadapi. Ooo)))(((ooo Setiap orang yang menguasai ilmu silat, hampir semuanya
memiliki keyakinan yang besar atas kemampuan kungfu sendiri.
Tentu saja Tong Bwee tidak terkecuali, malah ia memberikan sebuah
nama yang istimewa bagi ilmu golok andalannya.
Tong Bwee memang tidak suka alat musik, tapi ia memberi
nama ilmu goloknya mirip dengan sebuah lagu kenamaan, hanya
saja lantaran di balik golok bweehoa-to nya tersimpan senjata
rahasia beracun maka ia sebut ilmunya adalah Bwee-hoa-sam-ping
(Tiga Petikan Bunga Bwee).
Bacokan golok yang dilancarkan Tong Bwee tadi tak lain
adalah jurus kedua dari Bwee-hoa-sam-ping yang disebut Bwee-kayjitok (Bunga Bwee Mekar Kedua Kalinya), mata golok membabat
pinggang Gi Pek-bin dengan sangat cepat. Jika musuh belum
terpengaruh akan disusul dengan bacokan kedua yang jauh lebih
cepat, sebelum sambaran pertama selesai.
Gi Pek-bin memiliki ilmu menyamarkan wajah nomor wahid
di kolong langit, itu bukan berarti ilmu goloknya lemah. Ketika
melihat datangnya ancaman itu, dengan cepat dia menggeser golok
lemasnya ke bawah, lalu dengan kecepatan tinggi membendung
datangnya serangan gelombang pertama. Tong Bwee mencabut
mundur goloknya dengan segera, kembali dia membabat pinggang
lawan. Gi Pek-bin tertawa dingin, dengan gerakan yang sama-sekali
tak berubah, sekali lagi ia membendung bacokan itu.
"Tranggg!" percikan bunga api memancar ke empat penjuru,
kedua belah pihak sama-sama mundur satu langkah.
Biarpun baru bentrok satu gebrakan, siapa menang siapa
kalah segera sudah ketahuan. Tong Bwee mengerti, dia masih kalah
cepat dari musuhnya, maka untuk kedua kalinya kembali ia
menyerang dengan jurus "Dat-soat-Sim-bwee" (Menginjak Salju
Mencari Bunga Bwee).
Menginjak salju adalah satu perbuatan yang memerlukan
perhitungan matang, bila menginjakkan kaki terlalu berat, bisa jadi
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaki akan terperosok. Sebaliknya bila diinjak terlalu ringan, kita bisa
tergelincir dan jatuh terpelanting, maka kapan harus memakai
tenaga dan kapan tidak merupakan kunci keberhasilan melangkah.
Setengah jurus pertama dari Tong Bwee adalah Dat-soat
atau Menginjak Salju, itu berarti gerak serangan goloknya harus
digunakan dengan tenaga yang tepat dan ringan. Bukan saja setiap
saat harus mengintai kelemahan musuh, begitu ada kesempatan
bacokannya harus mematikan. Sedangkan setengah jurus terakhir
adalah Mencari Bunga Bwee atau Sim-bwee, bunga bwee sama
artinya dengan senjata rahasia, itu berarti begitu ada peluang maka
dia akan merobohkan musuh dengan jarum beracunnya.
Jurus serangan dari Tong Bwee ini sangat hebat dan belum
pernah gagal. Sayang kali ini dia tak berhasil mewujudkan
impiannya. Walaupun ia telah berupaya mengurung musuhnya
dengan ketat, namun golok lemas dari Gi Pek-bin seolah-olah telah
menyelubungi sekujur badannya hingga tak setitik kelemahan pun
yang tampak. Dalam keadaan begini, mau tak mau Tong Bwee harus
menggunakan senjata rahasianya.
Ia menyalurkan tenaga dalamnya dan dua buah gelang di
atas goloknya segera terbang, disusul dengan semburan senjata
rahasia beracun bweehoa-ciam ikut menyembur ke seluruh angkasa.
Dalam perkiraannya, dengan serangan yang begitu dekat dan rapat,
akan sulit bagi musuhnya untuk meloloskan diri.
Siapa tahu, entah sejak kapan, tahu-tahu dalam genggaman
Gi Pek-bin telah bertambah dengan sebuah kain karung goni.
Dengan sekali ayunan tangan kirinya yang cepat, seluruh jarum
beracun yang menyembur itu tiba-tiba telah tergulung ke dalam
karungnya. Sadar keadaan tidak menguntungkan, Tong Hong segera
memben?tak nyaring sambil mengayunkan tangan kirinya. Sebutir
senjata rahasia hong-ko (buah waru) melesat ke udara, langsung
mengancam dada kanan Gi Pek-bin.
Dia memang sengaja menyerang dada kanan Gi Pek-bin,
sebab dia tahu tangan kiri lawannya mencekal karung goni,
sementara tangan kanannya memegang golok. Orang dalam
keadaan seperti ini, tanpa sadar ia akan menggunakan goloknya
untuk menghadang kedatangan serangan senjata rahasia itu. Inilah
yang ditunggu-tunggu Tong Hong, sebab bila senjata rahasianya
ditangkis, benda itu segera akan meledak dan menyemburkan cairan
beracun. Ternyata perhitungan Tong Hong sangat tepat, Gi Pek-bin
menggunakan goloknya untuk menangkis datangnya serangan
senjata rahasia itu. Melihat ujung golok musuh segera akan
membentur senjata rahasianya, tanpa sadar Tong Hong berempat
kegirangan, bahkan sekulum senyuman girang sempat terlintas di
wajah Tong Bwee.
Begitu melihat senyuman itu, Gi Pek-bin segera sadar bahwa
keadaan tidak menguntungkan baginya, buru-buru dia getarkan
goloknya ke samping lalu ditariknya dengan mendadak. Setelah itu
sambil mengerahkan hawa murninya ia membuat satu gerakan
setengah busur, dia memaksa senjata rahasia itu memperlambat
gerak luncurnya dan kemudian rontok ke tanah.
Pada saat itulah Gi Pek-bin mengayunkan karung goninya
dan menyambar senjata rahasia hong-ko itu. Paras Tong Bwee dan
Tong Hong berubah hebat, sementara Tong Bian dan Tong Siang
yang berdiri di belakang Gi Pek-bin segera sadar kalau serangan
saudaranya gagal total. Dengan segera mereka menerjang ke depan
sambil mengancam.
Tong Bian secara beruntun melepaskan empat buah pukulan
berantai, angin serangan yang menderu-deru memekakkan telinga
dan perbawanya benar-benar luar biasa. Sementara Tong Siang
dengan senjata tongkat gigi srigalanya membacok tengkuk lawan.
Pedang Tong Hong dan golok Tong Bwee tidak tinggal diam,
mereka ikut meluruk ke depan sambil menyerang tubuh Gi Pek-bin.
Dalam keadaan begini mereka berempat sudah tidak peduli dengan
aturan dunia persilatan, yang terpikir hanya bagaimana merobohkan
musuh secepat mungkin. Bila satu orang tak sanggup maka dua
orang akan maju, bila dua orang tak sanggup, mereka berempat
akan maju bersama.
Bisa dibayangkan betapa dahsyat dan gencarnya serangan
keempat orang itu. Dalam keadaan seperti ini, Gi Pek-bin hanya
mampu menangkis sambil mempertahankan diri.
Lebih kurang seminuman teh kemudian, tiba-tiba Gi Pek-bin
membentak nyaring, "Berhenti!"
Keempat orang jago itu segera menghentikan serangan, tapi
mereka tetap mengawasi Gi Pek-bin dengan penuh kewaspadaan.
Gi Pek-bin sadar, kemampuannya belum sanggup untuk
mengalahkan mereka berempat, maka sambil menurunkan goloknya
dia menegur ke arah Tong Hong, "Sebenarnya apa maumu?"
"Kami minta kau segera balik ke Benteng Keluarga Tong!"
"Kenapa?"
"Tidak ada apa-apa, kami hanya ditugaskan untuk menahan
siapa saja yang meninggalkan Benteng Keluarga Tong di tengah
malam buta dan membawanya balik ke markas."
"Untuk diinterogasi?"
"Kalau soal itu sih tergantung tingkat kerjasamamu!" Tong
Hong tertawa. Gi Pek-bin tidak bicara lagi, dia selipkan kembali goloknya di
pinggang lalu sambil memberi tanda dengan tangan kirinya dia
bergegas meninggalkan tempat itu. Tong Hong berempat segera
menyingkir ke samping memberi jalan, tapi begitu Gi Pek-bin berlalu,
mereka berempat pun segera mengintil dari belakang.
Ooo)))(((ooo Ketika Gi Pek-bin digelandang balik ke Benteng Keluarga T(
>ng, waktu itu Cing-cing sedang membuka pintu sambil berjalan
masuk ke dalam ruangan.
Begitu melihat kemunculan perempuan itu, Tong Koat
segera menegur, "Kau berhasil menemukan sesuatu?"
"Tidak!" Cing-cing menggeleng.
"Apakah kemampuan Sangkoan Jin memang hebat?" sela
Tong Hoa tiba-tiba.
"Yaa, dia kuat sekali, tak beda dengan anak muda..."
Sekulum senyuman sesat segera tersungging di ujung bibir
Tong Hoa dan Tong Koat, sebaliknya paras muka Tong Ou sama
sekali tak berubah.
"Kalau begitu pergilah beristirahat," perintah Tong Koat
sambil mengulapkan tangannya, "bila menemukan sesuatu segera
lapor kemari."
Cing-cing mengiakan sambil berlalu. Dia berjalan sangat
lamban, ketika membuka pintu ia nampak agak sangsi sejenak tapi
kemudian berlalu tanpa berpaling lagi. Dia memang tak tega
mengkhianati Sangkoan Jin, sebab ia sadar bila apa yang ia temukan
dilaporkan kepada Tong Koat, Sangkoan Jin bakal mengalami nasib
yang mengerikan. Bagi ia sendiri, ini sama artinya dengan
kehilangan kesempatan untuk bertemu, bergaul dan menikmati
kegembiraan bersama Sangkoan Jin.
Bagaimanapun dia masih merasa berat untuk kehilangan
kenikmatan hidup seperti ini, maka ia terpaksa harus membohongi
Tong Koat. Tapi ada satu hal yang dia tak ketahui, ia tidak tahu
kalau Gi Pek-bin telah tertangkap dan sedang digelandang ke
markas. Seandainya Gi Pek-bin sampai buka suara dan mengakui
semua tujuan kedatangannya ke Benteng Keluarga Tong, maka
Cing-cing pun akan terancam hukuman mati karena kebohongannya.
Tentu saja semua itu baru akan terjadi bila Gi Pek-bin mengambil
keputusan yang salah sewaktu bertemu dengan Tong Ou nanti.
Ooo)))(((ooo Cing-cing memang tidak mengetahui rahasia ini, namun
Tong Ou sekalian sedang merasa amat gembira karena orang yang
berada di hadapan mereka sekarang tak lain adalah Gi Pek-bin yang
berhasil digelandang balik.
Paras muka Gi Pek-bin sangat hambar nyaris tanpa
perasaan, sikap hambar semacam ini segera menimbulkan
kecurigaan Tong Ou, jangan-jangan wajah yang berada di
hadapannya kini juga wajah palsu" Tapi ia merasa persoalan itu
tidak penting, yang paling penting saat ini adalah mencari tahu apa
maksud dan tujuan kedatangannya ke Benteng Keluarga Tong.
Belum sempat Tong Ou buka suara, Gi Pek-bin sudah bicara
lebih duluan, ujarnya, "Tentunya kalian ingin tahu kenapa aku
datang ke Benteng Keluarga Tong bukan?"
"Pintar amat orang ini," batin Tong Ou, "kelihatannya aku
tak perlu membuang banyak waktu untuk menanyainya, hanya saja
yang menjadi masalah sekarang adalah jujurkah setiap
jawabannya?"
Melihat orang-orang itu mengangguk, Gi Pek-bin bicara lebih
lanjut, "Bila kujawab kedatanganku hanya untuk berniaga, tentunya
kalian tak bakal percaya bukan?"
Tentu saja! Semua orang kembali manggut-manggut.
"Lantas apa yang kalian harapkan" Kalian berharap apa yang
sedang kulakukan di sini?" kembali Gi Pek-bin bertanya.
"Lihay amat orang ini," pikir Tong Ou. Dia tidak menjawab,
sinar matanya dialihkan ke wajah Tong Koat.
Begitu bertemu dengan sinar mata toakonya, Tong Koat
segera mengerti maksud Tong Ou, maka ujarnya, "Tentu saja kami
berharap kedatanganmu benar-benar untuk berniaga, tapi kau tidak
bukan?" "Tepat sekali!"
"Jadi kau datang mencari seseorang?"
"Benar!"
"Siapa?"
"Sangkoan Jin!"
Seketika suasana berubah jadi serius dan berat. Memang
inilah jawaban yang diharapkan Tong Ou sekalian, tapi mereka tak
menyangka diutarakan secepat itu dari mulut Gi Pek-bin, kenyataan
ini mengagetkan mereka. Tong Koat mulai merangkum semua
keterangan yang telah diperolehnya hingga kini. Kalau memang
kedatangan Gi Pek-bin untuk mencari Sangkoan Jin, kenapa tidak
berusaha untuk berbohong" Kenapa Cihg-cing bisa tak mengetahui
persoalan ini" Apakah karena kelihayan Sangkoan Jin
menyembunyikan semua jalan pikiran dan tingkah-lakunya" Atau
justru Cing-cing yang telah mengelabuhi mereka" Kalau benar
perempuan itu berbohong, kenapa ia mesti membohongi mereka"
Tong Koat tidak berpikir lebih lanjut, karena Tong Ou telah
menegur lebih dulu, "Kenapa kau datang mencarinya?"
"Karena ada urusan."
"Urusan apa?"
"Urusan pribadi."
"Urusan pribadi?"
"Benar!"
"Aku rasa belum tentu begitu," tukas Tong Koat tiba-tiba,
"menurut hasil penyelidikanku, sejak datang kemari kau tak pernah
berbicara sepatahkata pun dengan Sangkoan Jin."
"Tanpa bicara pun kami dapat berhubungan."
"Ooh, tentu saja bisa," Tong Koat mengangguk, "tapi
biasanya, hubungan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi!"
"Benar, memang itulah rahasia kami. Masa kalian ingin tahu
rahasia itu"
"Benar, kami ingin tahu,"kata Tong Ou. "Kalau aku tak ingin
bicara?" "Terserah," kata Tong Koat, "cuma aku perlu
memperingatkan lebih dulu, kami dari Keluarga Tong memiliki
sejumlah obat beracun yang dapat membuat orang lemas, kegatalan
dan kehilangan kekuatan."
Gi Pek-bin hanya mengawasi Tong Koat tanpa bicara,
tampaknya ia sedang memikirkan sesuatu, namun pada wajahnya
sama sekali tak nampak ada perubahan. Kini Tong Ou sudah yakin,
Gi Pek-bin pasti telah mengenakan selembar kulit manusia untuk
menutupi wajah aslinya. Seperti apakah wajah aslinya" Tong Ou
tidak ingin tahu, yang ingin diketahui olehnya saat ini hanya tujuan
sebenarnya atas keda?tangannya mencari Sangkoan Jin.
Lama sekali Gi Pek-bin mengawasi wajah Tong Koat tanpa
berkedip, sepeminuman teh kemudian barulah ia membuka suara,
katanya, "Padahal... bicara terus-terang pun tak masalah, aku hanya
merasa bersalah kepada Sangkoan Jin."
"Merasa bersalah kepada seseorang" Itu sih cuma
perasaan!" jengek Tong Koat sambil tertawa dingin, "kalau sampai
kena dicekoki racun hingga sekujur badan kesemutan dan gatalgatal,
itu baru siksaan yang sesungguhnya. Apalagi kalau sampai
nyawa berada di ujung tanduk, salah kepada orang jadi masalah
yang sama sekali tak berarti!"
Ancaman itu jelas disampaikan untuk menakut-nakutinya,
tapi tak seorang pun dapat melihat apakah Gi Pek-bin berhasil
dibikin ketakutan atau tidak. Wajahnya tetap dingin, hambar dan
tidak menunjukkan perubahan sedikit pun.
"Manusia punya nama, pohon punya bayangan, aku
memang tahu senjata rahasia beracun dari Benteng Keluarga Tong
merupakan kepandaian nomor wahid di kolong langit," kata Gi Pekbin
kemudian. Tong Koat mendengus.
"Hmm, kalau sudah tahu, aku pun tak usah menjabarkan
lebih jauh..."
"Ya, aku bukan hanya pernah mendengar, aku bahkan
pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri."
"Oh ya?"
Paras muka Gi Pek-bin berkerut kencang, mungkin dia
sedang tertawa. Lalu dia mengulurkan tangannya ke belakang
tengkuk, kemudian menariknya kuat-kuat, selembar kulit manusia
segera terlepas dari wajahnya. Tong Ou, Tong Koat maupun Tong
Hoa segera berseru tertahan, mereka kaget sekali, mereka menatap
wajah asli Gi Pek-bin dengan mata melotot dan mulut melongo.
Wajah yang tampil di hadapan mereka sekarang adalah
selembar wajah penuh bekas luka bakar, nyaris tak ada daging yang
tersisa di situ. Semuanya bergumpal menjadi kulit yang penuh
kerutan. Begitu buruk dan jeleknya muka itu, tak heran kalau
membuat siapa saja yang melihatnya jadi terperanjat.
Tapi bukan wajah jelek itu yang membuat mereka
terperanjat, walaupun muka itu penuh bekas luka bakar, penuh
kerutan dan parutan yang memuakkan, namun dalam sekilas
pandang saja mereka segera mengenali orang itu. Dia adalah Tong
Sip-jit. Ya, dia adalah Tong Sip-jit dari Benteng Keluarga Tong yang
dikabarkan telah tewas secara mengenaskan. Tewas dalam sebuah
kebakaran hebat yang terjadi pada tujuh tahun berselang.
Dalam kebakaran dahsyat itu, entah pihak Tayhong po
berhasil menyuap siapa, nyatanya mereka berhasil mendapat tahu
bahwa orang-orang benteng Tayhong-po yang berhasil disuap
Benteng Keluarga Tong sedang berpesta-pora malam itu. Arak yang
dihidangkan mereka campuri obat pemabuk, kemudian melepaskan
api untuk membakar semua yang ada di situ...
Walapun tujuh tahun telah berlalu, namun luka yang sangat
mendalam ini masih membekas dalam hati setiap tokoh, setiap
pentolan Benteng Keluarga Tong. Dalam peristiwa itu pihak Keluarga
Tong telah kehilangan tigapuluh delapan orang. Bahkan hingga kini
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka masih belum tahu, dengan cara apa pihak Tayhong-po bisa
tahu kalau mereka sedang berpesta-pora malam itu. Mereka juga
tidak tahu siapa yang berhasil disuap benteng Tayhong-po dan
membocorkan rahasia itu.
Dan sekarang, Tong Sip-jit yang dikira sudah tewas pada
tujuh tahun berselang ternyata muncul kembali dalam keadaan
hidup, bagaimana mungkin Tong Ou tidak terbelalak dibuatnya"
Lama sekali Tong Koat mengawasi wajah orang itu,
kemudian dengan nada setengah percaya ia menegur, "Tong Sipjit?"
Orang itu mengangguk.
"Kau belum mati?" kembali tegurnya.
Mana ada orang mati bisa berdiri di situ" Tentu saja
mustahil. Tapi kemunculan Tong Sip-jit sama sekali di luar dugaan,
sedemikian di luar dugaannya sehingga Tong Koat sekalian tak
berani mempercayai dengan begitu saja. Akan tetapi, kenyataan
tetap kenyataan.
Tong Ou tidak berkata apa-apa, dia menghampiri Tong Sipjit
lalu mulai meraba seluruh muka yang penuh keriput itu. Ternyata
kerutan itu asli, kulit wajah asli, bukan topeng kulit manusia. Setiap
guratan, setiap kerutan, semuanya asli.
Dari perubahan mimik muka Tong Ou, Tong Hoa segera
tahu kalau orang yang berada di hadapannya memang Tong Sip-jit
yang sesungguhnya, maka tak tahan ia bertanya, "Sebenarnya apa
yang telah terjadi?"
Dengan pedih Tong Sip-jit tertawa dingin, "Panjang
ceritanya..."
Dia mulai mengisahkan pengalaman hebat yang dialaminya
tujuh tahun berselang itu. Karena minum arak yang telah dicampuri
obat pemabuk, begitu kebakaran terjadi dia tersentak hingga jatuh
tak sadarkan diri. Sebelum j atuh pingsan, ia sempat melihat
keadaan rekan-rekannya yang hampir serupa, sama sekali tak
mampu berkutik. Ia sadar bahwa rekan-rekan yang lain pun
mengalami nasib yang sama.
Ketika ia sadar kembali dari pingsannya, ia mengira dirinya
telah berada dalam neraka. Tapi begitu membuka mata, ia
mendapatkan bahwa di sekelilingnya ada bangku yang terbuat dari
bambu, jendela bambu dan pintu bambu. Baru ia sadar, dirinya
masih hidup di alam nyata.
Kemudian dia pun mulai merasakan kulit wajahnya yang
sakit sekali, sedemikian sakitnya sampai ia merintih kesakitan. Tibatiba
dia mendengar pintu bambu didorong orang dan tampak
seorang nenek berjalan menghampirinya.
Sebelum nenek itu berjalan mendekat, ia sudah jatuh tak
sadarkan diri kembali saking kesakitannya. Seingatnya, ia kadang
pingsan kadang sadar berkali-kali. Setiap sadar kembali dia akan
merintih penuh penderitaan, tiap kali dia merintih pasti ada orang
yang muncul di ruangan itu untuk menje?nguknya. Anehnya, orang
yang muncul ke dalam ruangan itu selalu orang yang berbeda, dari
si bongkok sampai si bisulan, dari pemuda ganteng sampai nenek
peyot, dari gadis cantik yang menawan bagai bidadari hingga kakek
tua yang penuh keriput.
Ia tidak ingat jelas sudah berapa kali dirinya jatuh pingsan,
dia pun tak tahu sudah berapa banyak orang yang dijumpainya.
Tatkala kesadarannya benar-benar telah pulih kembali, orang yang
dijumpai adalah seorang lelaki setengah umur.
Ketika melihat ia sadar kembali, sambil tersenyum pria
setengah umur itu berkata, "Jangan kuatir, kondisimu saat ini sudah
tidak berbeda dengan orang waras lainnya!"
Ia tahu lelaki setengah umur inilah yang telah menolong dia,
atau paling tidak, keluarga orang inilah yang telah menyelamatkan
jiwanya. Ingin sekali ia bangkit berdiri untuk menyatakan rasa terima
kasihnya, sayang tak sedikit pun tenaga dimilikinya. Biarpun
mulutnya terbuka, namun tak sepotong suara yang keluar.
Lelaki setengah umur itu segera menahan bahunya agar dia
tidak bangkit, kemudian meneruskan, "Kau perlu beristirahat tiga
hari lagi sebelum punya tenaga untuk berbicara. Sekarang
berbaringlah dulu untuk istirahat, dalam tiga hari ini kau tetap akan
sadar sepenuhnya, namun badanmu belum dapat bergerak. Ya,
memang akan terasa sedikit menyiksa!"
Habis berkata, lelaki setengah umur itu pun berlalu dari situ.
Tiga hari berikut, kecuali sedang tertidur, benar saja ia sadar seratus
persen. Ia dapat melihat, mendengar dan merasakan segala
sesuatu, namun tak sedikit pun tenaga bisa digunakan. Ia sempat
menjumpai seorang gadis yang cantik jelita bak bidadari dari
kahyangan datang merawatnya, menyuapi bubur untuknya.
Ia pun melihat ada seorang lelaki setengah umur yang
berdandan pelayan datang menggantikan pakaiannya dan
membersihkan seluruh tubuhnya dengan kain basah. Ia berjumpa
dengan setiap orang yang pernah dijumpainya sewaktu masih
setengah sadar tempo hari. Anehnya orang-orang itu selalu muncul
seorang diri, tidak pernah mereka muncul berduaan. Bahkan
munculnya juga selalu bergiliran.
Pada pagi hari ketiga, ketika ia membuka matanya kembali,
sadarlah dia bahwa selembar nyawanya berhasil diselamatkan dari
pintu neraka. Ia dapat merasakan seluruh kekuatan tubuhnya telah
pulih kembali dan ia mencoba bangkit untuk memeriksa tangan dan
kakinya. Seketika perasaan heran menyelimuti hatinya. Aneh,
kenapa tak setitik luka pun yang dijumpai baik di lengan maupun di
kakinya" Ia mencoba untuk meraba wajahnya sendiri, sebab sesaat
sebelum pingsan sewaktu terjadi kebakaran itu, yang sempat
dirasakannya adalah wajah yang terbakar kobaran api. Begitu
meraba, dia amat terperanjat, ternyata tangannya tidak menyentuh
kulit yang tebal dan kasar, melainkan selembar kulit muka yang
halus sekali. Ia duduk terkesima dan menjerit tertahan saking kaget
dan ngeri?nya. Saat itulah pintu kembali terbuka, lelaki setengah umur yang
dijumpai tiga hari berselang muncul kembali sambil menghibur, "Kau
tak usah takut, biarpun wajahmu terluka bakar, namun setelah
bertemu dengan aku, Jian-jiu-sin-ih (Tabib Sakti Bertangan Seribu),
kulit wajahmu yang terbakar itu pasti akan sembuh seperti sedia
kala. Tentu saja setelah kulit yang baru tumbuh kembali, akan ada
bekas-bekas kerutan yang membuat permukaan kulitmu tidak rata.
Memang sedikit jelek, tapi apa salahnya" Bukankah selembar
nyawamu jauh lebih penting daripada tampang yang jelek?"
Tong Sip-jit segera melompat turun dari pembaringan dan
menjatuhkan diri berlutut serta menyembah berulangkali sambil
berseru, "Terima kasih atas pertolongan ini..."
"Bagus, bagus sekali." Tabib Sakti Bertangan Seribu
tersenyum sambil manggut-manggut, kemudian tak berbicara apaapa
lagi. "Bolehkah aku tahu nama In-jin (tuan penolong)?" kembali
Tong Sip-jit bertanya.
"Tabib Sakti Bertangan Seribu Yo Si-heng!"
"Ooh, rupanya Yo-injin!" seru Tong Sip-jit, sementara dalam
hatinya ia berpikir, "Aneh benar, ilmu tabib yang dimiliki Tabib Sakti
Bertangan Seribu ini sangat tinggi, kenapa aku tidak pernah
mendengar nama besar-nya"
"Kenapa?" tegur tabib sakti tiba-tiba, "kau heran bukan"
Mengapa sebelumnya tak pernah mendengar nama julukanku ini?"
"Tidak berani, tidak berani..."
"Bangun dan duduk kembali di ranjangmu," kembali Yo Siheng
berkata sambil tertawa, "sekarang kondisi tubuhmu belum
pulih kembali, masih butuh banyak istirahat!"
Setelah mengucapkan terima kasih, Tong Sip-jit kembali ke
atas pembaringannya.
Setelah termenung sesaat dan menatap wajah Tong Sip-jit
berapa saat, Yo Si-heng baru berkata lagi, "Selama ini aku hidup
mengasingkan diri, jauh dari keramaian dunia, jauh dari nama dan
keuntungan pribadi. Aku selalu berusaha menyelamatkan mereka
yang nyaris terbunuh di tangan musuh besarnya. Tahukah kau
kenapa aku berbuat begini?"
Tong Sip-jit tidak menjawab, dia hanya mengawasi tabib
sakti itu sambil menggeleng.
"Karena ayahku telah memilihkan nama yang sangat baik
untukku, yakni 'Si-heng'. Tinggalkan segala kebencian di dalam
dunia. Ketika aku berhasil menyelamatkan orang dari kematian,
tahukah kau apa yang tersisa dalam hati dan pikiran orang-orang
itu" Dalam hati mereka pasti timbul 'si-heng', sisa-sisa kebencian.
Mereka pasti ingin mencari musuh besarnya dan berusaha membalas
dendam..."
Tong Sip-jit tidak berkata apa-apa, rasa heran makin
mencekam hatinya.
"Aneh, mana ada orang yang bertujuan menyisakan rasa
kebencian di saat selamatkan orang lain?" demikian ia berpikir.
Menyaksikan perubahan mimik muka Tong Sip-jit, sambil
tertawa Yo Si -heng kembali berkata, "Kau jangan salah mengartikan
maksudku, bukankah sudah kukatakan: Tinggalkan sisa kebencian di
dunia ini?"
Tong Sip-jit manggut-manggut.
Kembali Yo Si-heng berkata, "Setelah kuselamatkan dirimu
dari amukan api di gedung Tayhong-tong, tentu saja kau masih
menaruh perasaan dendam terhadap orang-orang Tayhong-tong
bukan?" Sekali lagi Tong Sip-jit mengangguk.
"Kau tahu apa artinya tinggalkan segala kebencian di alam
dunia?" desak Yo Si-heng lebih jauh sambil tertawa.
"Tidak terlalu jelas, karena aku memang tak banyak
membaca buku."
"Kalau begitu kujelaskan sekarang, aku meminta kau untuk
meninggalkan semua kebencianmu di alam dunia ini saja. Lepaskan
niatmu untuk membalas dendam."
Kali ini Tong Sip-jit bukan tercengang, tetapi amat
terperanjat, dia masih agak bingung oleh perkataan Yo Si-heng.
"Setiap kali berhasil menyelamatkan seseorang," kembali Yo
Si-heng berkata, "kecuali kuselamatkan nyawanya, aku pun akan
berusaha menyelamatkan jiwanya. Aku ingin menghilangkan semua
benci dan dendam yang berkecamuk dalam perasaannya."
Kata-kata terakhir Yo Si-heng ini diucapkan amat lambat,
sepatah demi sepatah. Kemudian dia menambahkan, "Termasuk
juga dirimu!"
Sekarang Tong Sip-jit baru memahami maksud orang itu.
Rupanya selain menyelamatkan nyawanya, Yo Si-heng juga ingin
memusnahkan segala perasaan benci, sakit hati dan dendamnya
terhadap pihak Tayhong-tong.
Tapi mungkinkah" Orang-orang Tayhong-tong telah
membakarnya hingga begitu rupa, membuat tubuhnya menderita,
membuat wajahnya jelek. Bisakah dia menghilangkan semua rasa
benci dan dendamnya"
Dalam pada itu Yo Si-heng masih mengawasi terus wajahnya
tanpa berkedip, agaknya ia dapat memahami apa yang sedang
dipikirkannya. Belum sempat Tong Sip-jit mengucapkan sesuatu, si
Tabib Sakti sudah melanjutkan, "Jika aku tidak menolongmu
sekarang kau sudah mati, mungkinkah masih ada rasa benci dan
dendam di hatimu" Sebab itu kau seharusnya menganggap dirimu
sebagai seorang bayi yang baru lahir, mulai belajar segala
sesuatunya dari awal. Apalagi jika kau hidup di tengah gunung yang
berkawan pepohonan dan mega, tidak ada tempat bagi dendam atau
benci di tempat ini. Maka cobalah belajar menjadi seorang manusia
baru, manusia baru yang tak punya rasa benci, sakit hati serta
dendam kesumat!"
Dengan mata terbelalak lebar Tong Sip-jit mengawasi orang
aneh itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang mesti dikatakannya.
Selesai mengucapkan pesannya, Yo Si-heng segera bangkit
berdiri dan tambahnya kepada Tong Sip-jit, "Coba kau
pertimbangkan baik-baik kata-kataku itu."
Lalu ia pergi meninggalkan tempat itu. Tong Sip-jit berdiri
terbelalak sampai setengah harian lamanya sebelum pulih kembali
kesadarannya. Sesudah sadar ia buru-buru lari ke pintu bambu,
membukanya dan melongok ke luar. Namun di luar sana tak nampak
sesosok bayangan manusia pun, yang terlihat hanya pohon bambu
yang berjajar rapi. Di antara goyangan daun bambu yang gemulai
tampak sebuah jalan kecil yang meliuk-liuk menembus kaki langit.
Tong Sip-jit ragu sesaat sebelum akhirnya dia menelusuri
jalan kecil itu. Tapi baru dua langkah, seorang gadis telah muncul
menyong?song kedatangannya. Tong Sip-jit mengenali gadis itu
sebagai nona cantik yang merawat dirinya.
Buru-buru dia maju menghampiri. Belum lagi kata terima
kasih meluncur keluar, nona cantik itu dengan wajah cemberut telah
menukas lebih dulu, "Kembalilah ke kamarmu dan pertimbangkan
kembali nasehat tadi!"
Habis berkata dia membalikkan badan dan berlalu. Sekali
lagi Tong Sip-jit berdiri terbelalak dengan wajah bingung, dia tak
tahu apa yang harus diperbuat. Yo Si-heng memintanya untuk
mempertimbangkan, jelas yang dia maksud adalah melupakan
semua dendam dan sakit hati. Tapi apa pula yang diminta si nona ini
sekarang" Apakah dia pun memintanya untuk mempertimbangkan
agar melupakan semua dendam dan sakit hatinya"
Mengapa mereka semua mendesaknya agar
mempertimbangkan kembali masalah tersebut" Padahal semuanya
sudah jelas, apa lagi yang perlu dipertimbangkan" Masalah dendam
dan sakit hati adalah masalah besar, mungkinkah dihapus dengan
begitu saja" Setelah berdiri termangu berapa saat lamanya, kembali
Tong Sip jit melanjutkan perjalanannya ke depan. Baru berapa
langkah, lagi-lagi muncul seorang nenek berambut putih yang
menghadang jalannya.
Kejadian aneh kembali berlangsung. Sementara dia
menyongsong kedatangan si nenek dengan berbagai pertanyaan,
seperti halnya dengan gadis cantik itu, si nenek pun berkata
kepadanya dengan wajah tanpa perasaan, "Baliklah ke kamarmu dan
pertimbangkan dulu masak-masak sebelum pergi dari sini."
Kali ini Tong Sip-jit termangu lebih lama lagi. Dia betul-betul
dibikin kebingungan, dia tak tahu permainan apa yang sebenarnya
yang sedang dipersiapkan Tabib Sakti Bertangan Seribu ini. Ia
memutuskan untuk tidak berjalan lebih jauh dan balik ke dalam
kamarnya. Sekembalinya ke ruangan, dia duduk termenung di jendela
sambil mengawasi hembusan angin yang menggoyang ranting
bambu. Pikirnya, "Bila kondisi badanku betul-betul sudah sehat,
benarkah aku mesti melupakan semua dendam dan sakit hati"
Perlukah aku datang ke Tayhong-tong untuk membuat
perhitungan?"
Hari makin larut malam, dia masih duduk mematung di
depan jendela sambil masih memikirkan persoalan yang sama.
Ketika seorang pembantu setengah umur datang menghantar
hidangan malam, orang itu sama sekali tidak menyapanya. Setelah
meletakkan hidangan di meja, ia berlalu begitu saja. Selesai
bersantap, dia merasa sangat lelah maka tak lama kemudian sudah
jatuh tidur sangat nyenyak.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, si Tabib Sakti Bertangan
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seribu telah muncul di kamarnya dan menegurnya sambil tertawa,
"Apakah kau sudah mulai memikirkan masalah balas dendam?"
Tong Sip-jit membenarkan.
"Bagus sekali," kata si tabib, "daripada duduk melamun
sementara lukamu butuh waktu berapa bulan lagi untuk sembuh
sepenuhnya, lebih baik kau belajar sedikit kepandaian dariku."
Tawaran ini tentu saja disambut Tong Sip-jit dengan suka
cita. Dia mengira Yo Si-heng akan mengajarkan ilmu ketabiban
kepadanya. Di luar dugaannya, ternyata yang diajarkan adalah ilmu
merubah wajah. "Kau tidak menyangka bukan?" kata Yo Si-heng kemudian
setelah melihat Sip jit tercengang. "Selama ini kau pasti tak habis
mengerti mengapa dengan ilmu ketabibanku yang begitu hebat, tak
seorang pun di dunia persilatan yang mengenal aku" Ha ha ha...
sebenarnya hal ini bukan hal yang aneh, aku tidak dikenal orang
karena aku mengandalkan ilmu merubah wajah. Tiap kali
menyelamatkan jiwa seseorang, aku selalu tampil berbeda, wajah
dan penampilan yang berbeda. Selain itu semua harus menjanjikan
satu hal padaku, yaitu tidak akan membuka rahasiaku dalam dunia
persilatan. Tidak terkecuali kau! Tentunya kau tidak keberatan
bukan?" Tong Sip-jit tak punya alasan untuk menampik permintaan
itu. Sejak itu dia mempelajari ilmu menyaru wajah dari Yo Si-heng.
Kadang dia berjalan menelusuri jalan setapak untuk menghirup
udara segar, tapi setiap kali tak pernah bisa melampaui tiga ratus
langkah. Setiap kali mendekati tempat itu ia pasti akan bertemu
seseorang, entah seorang gadis atau nenek dan pertanyaan yang
diajukan tak pernah berbeda: 'Apakah pikiranmu sudah terbuka"'
Setiap kali mendapat pertanyaan itu, ia selalu kembali
berbalik ke dalam rumah karena pikirannya memang belum terbuka.
Tetap saja tidak ada alasan baginya untuk memaafkan perbuatan
biadab orang-orang Tayhong-tong itu. Hari berlalu tanpa terasa,
sudah seratus hari lebih ia berdiam di daerah perbukitan itu. Tibatiba
saja, pada suatu hari, pikirannya benar-benar terbuka.
Yang membuat jalan pikirannya terbuka bukanlah urusan
balas dendam atau sakit hati. Dia sadar bahwa andaikan dirinya
masih berada di Tayhong-tong, mungkinkah baginya untuk lolos dari
situ dengan selamat"
Maka ketika ia berjalan santai sepanjang jalan setapak dan
bertemu dengan gadis yang bertanya kepadanya, "Apakah pikiranmu
sudah terbuka?" dia pun segera menjawab, "Ya, pikiranku sudah
terbuka!" Untuk pertama kalinya ia menyaksikan sekulum senyuman
manis menghiasi ujung bibir gadis itu, sebuah senyum yang sangat
indah. Ketika gadis itu memberi tanda padanya agar ia segera balik
ke dalam rumah, dengan sangat penurut dia berjalan balik. Tidak
seperti biasanya, kali ini si nona mengikuti di belakangnya. Sampai
ke kamar, si nona kembali bertanya, "Pernahkah kau merasa heran
atas semua kejadian di sini?"
"Tentu saja," jawab Tong Sip-jit, "kenapa kau selalu
menghalangi perjalananku setiap kali aku tiba di jalan setapak itu?"
"Hanya masalah itu saja?" si nona balik bertanya sambil
tertawa. "Memangnya masih ada yang lain?" Tong Sip-jit balik
bertanya. "Tentu saja masih ada."
"Oh ya?" Tong Sip-jit mencoba untuk mengingat. Tapi
kembali dia menggeleng, "Tak terpikir olehku masalah apa lagi yang
aneh di tempat ini..."
"Benar-benar tak terpikir" Kau tidak merasa bahwa orang
yang kau jumpai selama ini kecuali Yo sianseng, tidak ada orang lain
yang pernah menjengukmu" Benarkah kau tidak merasa aneh?"
"Ah benar, benar, benar sekali!" seakan baru sadar Tong
Sip-jit berseru. "Hal ini memang aneh sekali. Seperti si nenek,
misalnya, dia hanya pernah mengunjungi aku satu kali yaitu ketika
aku setengah sadar. Setelah itu dia tidak pernah menampilkan diri
lagi, kenapa bisa begitu?"
"Tidak ada apa-apa. Tiap kali kami datang menjengukmu,
kau tak pernah merasakan kehadiran kami."
Jawaban ini langsung membuat sekujur badan Tong Sip-jit
merinding. Ilmu silat yang dia miliki cukup tangguh, kenapa sewaktu
tertidur dia sama sekali tidak sadar akan kehadiran orang lain"
Apalagi dari nada bicara gadis itu, tampaknya mereka sering datang
menje?nguk. Kejadian seperti ini jelas merupakan sesuatu yang
sangat menakutkan!
"Kau merasa takut?" Pertanyaan si nona ini terdengar
menyeramkan meski disampaikan dengan nada yang lembut dan
halus. Tak bisa ditahan, sekali lagi Tong Sip-jit merasakan bulu
kuduknya pada tegak. Melihat wajahnya itu, si nona tak kuasa lagi
menahan diri. Ia mendongakkan kepalanya dan tertawa tergelak,
suaranya keras, nyaring dan penuh tenaga, sama sekali tidak mirip
suara seorang nona, bahkan jauh lebih mirip suara kasar seorang
lelaki. "Sama sekali tidak ada yang aneh atau menakutkan,"
kembali si nona berkata setelah tergelak berapa saat. "Semua
memang tidak kau rasakan, tapi sebenarnya semua kau saksikan
jelas-jelas!"
Tong Sip-jit menjadi tertegun. Apa maksud kata-kata nona
itu" Tapi tak lama kemudian ia segera menyadari yang
dimaksudkan, ia sadar dan berteriak keras-keras, "Aku tahu, satu
saat pikiranmu pasti akan terbuka," kata si nona sambil menarik
sesuatu dari belakang kepalanya. Selembar kulit manusia segera
terlepas dari wajahnya. Kini yang muncul di hadapan Tong Sip-jit
adalah seorang nenek tua.
Ketika si nenek kembali melakukan hal yang sama, melepas
selembar kulit manusia dari wajahnya,ia berubah menjadi seorang
pelayan setengah umur. Ketika selembar lagi kulit manusia
dikelupas, barulah tampil wajah Yo Si-heng yang sebenarnya.
Dengan sendirinya timbul rasa hormat Tong Sip-jit terhadap
Yo Si-heng, sebab ketika ia menyaru sebagai seorang nona, orang
itu pernah merawat dan mengurus seluruh keperluan sehari-harinya,
terlebih ketika ia sedang dalam keadaan tak sadar. Selain rasa
hormat, dia pun merasa amat kagum, sebab tidak setiap orang bisa
mengenakan tiga lembar topeng kulit manusia sekaligus tanpa
ketahuan ada celanya.
Namun di luar semua itu, dia pun merasa amat bersyukur
karena mendapat kesempatan untuk mempelajari ilmu maha sakti
ini. Setelah menatap Tong Sip-jit sejenak, ujar Yo Si-heng, "Aku
sangat gembira karena kau bisa berpikir lebih terbuka, memahami
bahwa balas dendam tak ada gunanya. Dengan saling membenci,
kapan urusan baru bisa selesai" Andaikan kau bisa membalas sakit
hatimu, apakah orang lain tidak bisa mencarimu untuk membalas"
Saling balas bisa berlangsung turun temurun tak ada habisnya,
daripada urusan berlarut-larut sampai entah berapa keturunan,
kenapa tidak diputus saja mata rantainya sekarang?"
Tong Sip-jit tidak mengucap apa pun, dia hanya
mendengarkan nasehat itu dengan seksama.
Kembali Yo Si-heng berkata, "Kini pikiranmu sudah terbuka,
aku merasa bersyukur berbareng gembira!"
Ia meletakkan semua kulit manusia yang dilepas dari
wajahnya tadi ke atas meja, lalu dari sakunya mengeluarkan lagi
setumpuk kulit manusia yang jumlahnya puluhan. Kemudian sambil
mendorong semua itu ke hadapan Tong Sip-jit, ia berkata lebih jauh,
"Kuserahkan semua ini padamu, pelajarilah pelan-pelan, asal teliti
dan rajin belajar, tak akan sulit bagimu untuk menguasai semua
rahasianya. Aku menguasai duapuluh tujuh macam ilmu dan kau
adalah orang ke tigapuluh tujuh yang kutolong, setelah ini aku tak
bakal lagi turun gunung untuk menolong orang. Aku juga tak akan
menurunkan ilmuku kepada siapa pun lagi."
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan, "Setelah keluar
dari tempat ini, kuharap kau bisa membuang jauh-jauh ingatan
untuk membenci umat manusia. Jauhkan dirimu dari segala
pertikaian dunia. Bila semuanya aman dan damai, bukankah
semuanya akan hidup tenteram?"
Setelah menghela napas panjang, ia bangkit berdiri dan
keluar meninggalkan kamar itu. Tong Sip-jit segera mengejar keluar
tapi bayangan tubuhnya saja sudah tidak dapat ditemukan lagi.
Karena penasaran, kembali Tong Sip-jit mencoba menelusuri keliling
bukit itu. Bukan saja ia tak berhasil menemukan bayangan tubuh Yo
Si-heng, bahkan bangunan rumah lain pun tak dijumpainya. Suasana
di sekitar perbukitan itu hening dan sepi, kecuali hembusan angin
semilir tidak ada apa-apa lagi. Tong Sip-jit merasa bahwa hidupnya
selama berapa hari ini seperti mimpi saja.
Sekarang ia sudah terjaga dari alam mimpi, namun tuan
penolong dalam impiannya itu tak diketahui lagi ke mana perginya.
Ia seakan lenyap begitu saja bagai segumpal asap. Yang lebih
mengharukan Tong Sip-jit adalah kenyataan bahwa ia sudah
terlanjur merasa dekat sekali pada Yo Si-heng. Setelah mencari-cari
sampai sepuluh hari lamanya tanpa hasil, akhirnya Tong Sip-jit
memutuskan untuk turun gunung dan pergi ke tempat terjadinya
kebakaran dahulu hari.
Setiba di situ dia hanya menjumpai reruntuhan bangunan
yang telah hitam hangus dan berantakan tak karuan, di sinilah
berpuluh orang saudaranya kehilangan nyawa. Lama sekali Tong
Sip-jit berdiri termenung sambil mengingat kembali wajah dan suara
rekan-rekannya. Walaupun ia sudah berusaha keras melupakan
kejadian itu, dendam masih tetap membekas di hatinya. Ia tidak bisa
menghapus seluruh dendamnya.
Maka dia lalu menyamar sebagai seorang lelaki setengah
umur yang mengaku bernama Gi Pek-bin untuk sekali lagi menyusup
ke Tayhong-tong. Kali ini ia tidak melaporkan perbuatannya ke pihak
Benteng Keluarga Tong karena dia menganggap dengan begitu akan
jauh lebih aman baginya, di samping lebih mudah baginya untuk
mempersiapkan tugas melancarkan pukulan telak nanti.
Setelah berusaha hampir lima tahun, akhirnya dia berhasil
mendekati tokoh utama Tayhong-tong, ia ditugasi mengikuti
Sangkoan Jin. Kembali satu tahun lewat, akhirnya ia memperoleh
kepercayaan dari Sangkoan Jin untuk ikut dalam banyak gerakan
rahasia serta perencanaan besar. Dia sudah menjadi orang
kepercayaan Sangkoan Jin.
Di suatu malam yang sepi dan gelap, Sangkoan Jin
mengundangnya ke kamar rahasia untuk berunding. Sangkoan Jin
dengan menggunakan berbagai cara masih berusaha menyelidiki
kesetiaannya. Akhirnya Sangkoan Jin menyampaikan bahwa dia
punya rencana untuk berkhianat dan bertanya kepadanya apakah
bersedia ikut bersamanya.
Tentu saja Tong Sip-jit tidak menolak tawaran tersebut.
Pertama karena dia memang sebenarnya bekerja untuk Keluarga
Tong, dan kedua, bila tidak ikut, bukankah dia segera akan dibantai"
Bukan saja Sangkoan Jin membeberkan seluruh rencananya,
bahkan ia pun memintanya untuk tetap tinggal di Tayhong-tong agar
setelah ia menyeberang ke pihak Keluarga Tong, ia masih bisa
mengi?rim berita-berita tentang perkembangan di markas Tayhongtong.
Selain itu Sangkoan Jin juga berjanji, bila saatnya telah tiba,
dia pasti akan mengajaknya untuk menyeberang ke Benteng
Keluarga Tong. Begitulah, selama ini dengan identitas sebagai Gi Pek-bin, ia
bolak-balik antara Benteng Keluarga Tong dan Tayhong-tong. Sudah
banyak berita dari Tayhong-tong yang dibawa masuk dan
disampaikan kepada Sangkoan Jin.
Ooo)))(((ooo Selesai mendengarkan pengalaman Tong Sip-jit, Tong Koat
lalu mengajukan pertanyaan dengan nada curiga, "Kalau memang
selama ini kau mengirim banyak berita kepada Sangkoan Jin, kenapa
selama ini tak sepatah kata pun pernah kau sampaikan kepadaku?"
Ternyata jawaban dari Tong Sip-jit sangat diplomatis,
"Seringkah tidak banyak bicara justru jauh lebih baik ketimbang
banyak bicara."
"Begitu hebatkah kesepakatan kalian berdua?"
"Sebetulnya tidak juga, misalnya kedatanganku kali ini,
karena tak ada berita baru yang perlu kusampaikan maka aku hanya
menyapa sekedarnya di kedai. Memang cara-cara seperti ini sudah
kami sepakati sejak awal."
"Apakah kedatanganmu kali ini adalah kali pertama?" tanya
Tong Koat. "Tidak! Sudah berulang kali. Hanya kali ini jejakku berhasil
kalian kuntit dengan ketat."
"Lalu kenapa kau melepaskan merpati pos untuk mengirim
berita?" kembali Tong Koat bertanya.
"Tentu saja aku harus berbuat begitu! Jangan lupa bahwa
aku adalah anggota Tayhong-tong yang sedang menyusup untuk
mencari berita, tentu saja aku harus mengirim balik berita yang
kuperoleh di sini."
"Berapa ekor merpati pos yang kau lepas?"
"Tiga ekor."
"Semuanya diikat dengan kertas yang sama?"
"Ya."
"Apa maksud lipatan berbentuk hati yang ada dalam ikatan
kaki merpati-merpati itu?"
"Masa kau tidak mengerti?" mendadak Tong Sip-jit balik
bertanya. Tong Koat melengak, ditatapnya orang itu seketika,
kemudian baru menggeleng. "Kalau aku tahu artinya, buat apa mesti
ditanyakan lagi kepadamu?" serunya.
"Itu berarti punya niat tapi tak ada tenaga, pasti selalu gagal
menemukan apa pun."
Jawaban Tong Sip-jit ini amat tepat karena kertas dengan
lipatan hati memang tidak bisa diartikan apa-apa. Rupanya Tong
Koat percaya dengan penjelasan itu, sekali lagi dia melirik ke arah
kakaknya. Tong Ou pelan-pelan berjalan menghampiri Tong Sip-jit,
kemudian tanyanya, "Mengapa selama ini kau tidak langsung
menghubungi kami" Bukankah akan jauh lebih leluasa?"
"Aku kuatir ada mata-mata yang menyusup di sini, jika
penyamaranku sampai bocor, bukankah aku mesti mengalami sekali
lagi peristiwa yang terjadi tujuh tahun berselang?"
Alasan ini pun sangat tepat dan akurat.
Kembali Tong Ou bertanya, "Kalau memang begitu,
mengapa kau buka rahasia penyamaranmu sekarang?"
"Kalau aku tidak buka kartu saat ini, mungkin kalian tak
akan memberi kesempatan bicara lagi kepadaku!"
Waktu itu Tong Ou berdiri, sementara Tong Sip-jit duduk.
Sewaktu pembicaraan berlangsung, Tong Ou mengawasi terus
sekitar tengkuk Tong Sip-jit, khususnya ketika orang itu sedang
menjawab perta?nyaannya.
Saat itulah mendadak ia tertawa mengejek, "Kau kira kami
akan percaya begitu saja dengan semua perka?taanmu?"
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku toh sudah bicara sejujurnya, kenapa kalian tidak
percaya?" Tong Ou tidak menanggapi ucapan tersebut, ia berpaling ke
arah Tong Koat dan Tong Hoa, "Kalian percaya pada ucapannya?"
"Percaya!" sahut Tong Koat berdua serentak.
"Kalau begitu dugaan kalian keliru besar!" sambil berkata,
tiba-tiba Tong Ou melancarkan serangan kilat ke tubuh Tong Sip-jit.
Begitu mendengar kata-kata Tong Ou, paras Tong Sip-jit
berubah hebat. Baru saja ia akan melompat dari bangkunya, tangan
Tong Ou secepat sambaran kilat telah disodokkan ke pinggangnya.
Tong Sip-jit merasakan pinggangnya kesemutan dan kaku, seluruh
kekuatan badannya lenyap tak berbekas. Sebenarnya Tong Sip-jit
sedang bersiap melompat bangun untuk melarikan diri, sayang
pinggangnya sudah tersodok serangan Tong Ou sehingga kaku tak
mampu bergerak. Dia pun lalu menggunakan tangannya untuk
menyerang. Baru saja ia menggerakkan tangan kanannya, secepat kilat
Tong Ou sudah melepaskan berapa serangan untuk menotok berapa
jalan darahnya. Tanpa ampun lagi Tong Sip-jit diam tak mampu
berkutik. Saat itu tangan kanan Tong Sip-jit yang sedang dipentang
seperti cakar garuda terhenti di tengah jalan maka nampak lucu
sekali. Sayang dalam keadaan seperti ini tak seorang pun ingin
tertawa. Biarpun badannya tidak bisa bergerak, jalan darah bisu Tong
Sip-jit tidak tertotok, maka dengan penuh amarah ia berteriak, "Hei!
Kalian ini mau apa?"
"Tidak apa-apa, kami hanya ingin tahu wajahmu yang
sebenarnya," jawab Tong Ou dengan tenang.
"Aku sudah bilang, akulah Tong Sip-jit, masa kalian tidak
percaya?" "Jangankan percaya penuh, sedikit pun tidak!"
"Kenapa?"
"Sebab dalam ceritamu tadi, kau banyak melakukan
kesalahan."
"Oh ya?"
"Kau bilang, sewaktu Yo Si-heng menyamar menjadi nenek
tua, gadis cantik maupun pelayan setengah umur, kau tidak mampu
mengenalinya sama sekali. Ini membuktikan bahwa ilmu menyalin
muka yang kau pelajari benar-benar hebat..."
Tong Sip-jit tidak berkata apa-apa, dia hanya mengawasi
Tong Ou tanpa berkedip.
"Ketika datang kemari, wajahmu kaku tanpa perubahan
ekspresi dan ternyata kau mengenakan topeng kulit manusia.
Topeng semacam ini terlalu kasar dan jauh dari sempurna, sama
sekali ti dak mirip ajaran seorang jago sehebat Yo Si-heng."
"Lalu kenapa?"
"Artinya topeng yang kau kenakan sekarang bukanlah
topeng kulit manusia yang sesungguhnya!" Begitu selesai berkata,
Tong Ou menyambar ke tengkuk Tong Sip-jit lalu menariknya kuatkuat.
Betul juga, selembar kulit manusia segera terlepas dari
wajah Tong Sip-jit. Menyaksikan semua ini, Tong Koat dan Tong Hoa
jadi terlongong-longong seperti orang tolol. Yang membuat mereka
kaget bukan hanya tindakan Tong Ou yang luar biasa itu, mereka
pun dibuat tercengang karena di balik topeng kulit manusia yang
berwajah Tong Sip-jit ternyata terdapat lagi wajah Tong Sip-jit yang
lain. Hanya bedanya wajah Tong Sip-jit yang tampil sekarang ini
halus, mulus dan sama sekali tidak terlihat bekas luka bakar yang
menjijikkan. Kejadian ini membuat Tong Ou turut tertegun. Agak
lama kemu?dian baru sekali lagi ia memeriksa tengkuk Tong Sip-jit.
Ia baru berhenti setelah yakin bahwa wajah yang tampil di
hadapannya adalah wajah yang asli.
"Benar-benar kau sangat hebat!" puji Tong Sip-jit kemudian.
"Tidak terlalu hebat. Aku cuma punya mata yang tajam dan
kemampuan perhitungan yang jauh melebihi orang lain..."
"Bagaimana mungkin kau bisa mengetahui samaranku"
Bukankah kau sudah meraba wajahku tadi?"
"Sewaktu meraba wajahmu aku tidak terlalu menaruh
perhatian, tapi setelah mendengarkan ceritamu aku mulai berpikir.
Sebagai murid Yo Si-heng yang hebat, tak mungkin penyamaranmu
begitu kasar dan penuh cacat. Maka aku mulai memperhatikan
tengkukmu dan kutemukan bahwa ketika kau bicara, dagu dan
tenggorokanmu sama sekali tidak bergerak, beda sekali dengan
orang biasa, jadi aku menyimpulkan masih ada selembar topeng lagi
yang kau kenakan!"
Setelah tertawa lebar dan berhenti sejenak, ia
menambahkan, "Ternyata dugaanku tidak salah!"
"Tapi... bagaimanapun aku tetap Tong Sip-jit!" bisiknya lirih.
"Jelas beda sekali! Tong Sip-jit yang wajahnya terbakar
hingga rusak tentu beda sekali dengan Tong Sip-jit yang wajahnya
sama sekali tak pernah terbakar."
"Seberapa besar?"
"Sedemikian besar hingga aku bisa memecahkan rahasia
yang menyelimuti peristiwa tujuh tahun berselang!"
Berubah hebat paras Tong Sip-jit begitu mendengar katakata
ini. Kembali Tong Ou berkata sambil tertawa, "Hingga kini kami
masih belum bisa mengungkap siapa yang membocorkan rahasia
tujuh tahun yang lalu itu, tapi dengan kemunculanmu, ditambah lagi
wajahmu yang sama sekali bersih tanpa bekas luka bakar, bukankah
semua jawaban muncul dengan sendirinya, jelas dan gamblang?"
Wajah Tong Sip-jit berubah hebat, tapi ia tetap
membungkam. Sesudah tertawa bangga, kembali Tong Ou melanjutkan,
"Sungguh tidak dinyana, dari tubuhmu seorang, aku berhasil
membongkar dua kasus yang amat misterius. Yang pertama tidak
begitu mengherankan, tapi kasus yang kedua inilah yang kuanggap
peristiwa luar biasa!"
Dalam keadaan seperti ini Tong Sip-jit hanya bisa tertawa
getir, dia memang sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kembali
Tong Ou melancarkan beberapa tepukan ke tubuh Tong Sip-jit,
semua jalan darah yang semula tertotok telah dibebaskan kembali.
"Nah, apa maumu sekarang?" tanya Tong Ou kemudian,
"akan kau selesaikan sendiri dirimu atau kami yang harus
melakukannya untukmu?"
Tong Sip-jit memandang Tong Ou sekejap lalu tertawa
pedih. Semua rahasianya sudah terbongkar, ia sadar bahwa ia tidak
mungkin hidup lagi. Mendadak ia menggertak sesuatu di balik
giginya dan tak lama kemudian terlihat darah segar meleleh keluar
dari ujung bibirnya lalu mulutnya berubah jadi hitam pekat.
Perlahan-lahan tubuhnya roboh terjungkal ke tanah.
Tong Ou segera memerintah orang untuk menyeret keluar
mayat Tong Sip-jit dan menguburkannya. Ia berpesan wanti-wanti
agar semuanya dilakukan sangat hati-hati, jangan sampai Sangkoan
Jin tahu. Sesudah itu berkata kepada Tong Koat dan Tong Hoa,
"Sungguh tak disangka kita memperoleh hasil yang luar biasa!"
"Ya, semuanya bagaikan orang bermain catur, setiap
perubahan sukar diramalkan sebelumnya," sahut Tong Koat.
"Aku kuatir bakal terjadi perubahan lain," kata Tong Hoa.
"Perubahan apa?"
"Seandainya Tong Sip-jit benar-benar orang kepercayaan
Sangkoan Jin dan Sangkoan Jin belum tahu kalau dia menghadapi
kejadian di luar dugaan, padahal dia sedang menggunakan
kesempatan ini untuk membuat kita percaya bahwa dia dan
Sangkoan Jin satu komplotan, bukankah kita malah termakan oleh
siasat adu dombanya?"
"Ehm, masuk di akal juga kata-kata itu," Tong Ou manggutmanggut,
"lalu menurutmu apa yang harus kita lakukan?"
"Soal ini memang agak susah diputuskan," kata Tong Koat
pula, "aku rasa ada baiknya kita menunggu dulu sampai hasil
penyerbuan kita ke markas Tayhong-tong ketahuan hasilnya, baru
kita mengambil keputusan jika menemui hal-hal yang
mencurigakan."
"Aku usulkan lebih baik segera kita laksanakan rencana Naga
Kemala Putih!" ucap Tong Hoa.
"Kenapa?"
"Sebab pertama, jika Sangkoan Jin benar-benar seorang
pengkhianat, kita bisa menggunakan rencana Naga Kemala Putih
untuk menyingkirkannya."
"Kalau dia bukan pengkhianat?"
"Kalau bukan, kita gunakan rencana kedua. Kita bisa
melenyapkan dia setelah habis memperalatnya, kita bunuh saja dia
daripada meninggalkan bibit bencana di kemudian hari."
"Jika kita benar-benar bertindak seperti itu, siapa lagi orang
persilatan yang mau dan bersedia bekerja untuk kita Keluarga Tong"
Orang akan menuduh kita tidak bisa dipercaya, habis manis sepah
dibuang!" "Tidak mungkin orang lain punya pandangan begitu
terhadap kita. Sebab orang yang membunuh Sangkoan Jin bukan
kita!" "Eeh, masuk akal," Tong Ou manggut-manggut, "Kalau
begitu kita putuskan begitu saja, kau segera laksanakan rencana itu
dan tak usah ikut memikirkan hal lain!"
"Baik," Tong Hoa mengangguk.
Tong Ou segera berpaling ke arah Tong Koat dan bertanya,
"Apakah kau punya usul atau pendapat lain?"
"Tidak ada."
"Kalau begitu mari kita undang Sangkoan Jin untuk sarapan
bersama, sekalian kita lihat bagaimana pandangannya terhadap
keputusan yang kita ambil dalam perubahan rencana penyerbuan ke
markas Tayhong-tong."
"Aku percaya ini pasti akan menjadi menarik sekali."
"Kalau permainan yang begini asyik pun tidak menarik,
permainan apa lagi yang menarik hati?"
Kedua orang itu mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak.
Bab 10. Sedih Terharu memang suatu perasaan yang aneh dan menarik.
Ada orang yang terharu karena menyaksikan keindahan musim semi,
ada orang terharu mengawasi daun berguguran di musim gugur.
Bahkan ada orang terharu melihat air hujan turun rintik-rintik.
Perasaan terharu seperti ini belum pernah singgah dalam
kehi?dupan Bu-ki, sepanjang hidupnya ia tak pernah merasa
terharu, apalagi sedih hati.
Ketika menikah dengan Hong-nio dan dia harus segera pergi
meninggalkannya, ketika berpisah, dia sama sekali tidak merasa
terharu atau duka, sebaliknya dia merasa begitu ringan, begitu
lepas. Ini bukan karena rasa cinta terhadap istrinya terlalu tipis, dia
menganggap semua kejadian itu hanya bagian dari perjalanan hidup
seseorang, jadi tak berguna untuk terharu, apalagi sedih.
Ketika ayahnya terbunuh, dia pun tidak merasa sedih, yang
ada hanya sakit hati. Semua pekerjaan atau peristiwa pasti ada
pertama kalinya, begitu juga soal sedih dan terharu, Tio Bu-ki pun
tak bisa menghindar dari hal ini
Dihadapkan dengan mayat bergelimpangan di mana-mana,
menyaksikan dinding benteng yang hancur berantakan, melihat
ceceran darah kering yang menodai setiap sudut ruangan, mau tak
mau Tio Bu-ki harus merasa terharu, merasa amat sedih, sebab
mayat yang bergelimpangan di mana-mana itu tak lain adalah mayat
saudara-saudaranya, anggota Tayhong-tong.
Siapa yang tidak sedih menyaksikan rumahnya, markasnya,
negerinya, hancur berantakan karena perbuatan musuh besarnya"
Mungkin ada manusia yang tak mudah sedih, seorang pertapa yang
telah meninggalkan urusan duniawi.
Sayang Tio Bu-ki bukan pertapa, bukan pendeta. Boanliongkok
adalah rumahnya, negerinya, semua yang ada di situ adalah
sahabatnya, saudaranya. Ya. Siapa yang tidak terharu" Siapa yang
tidak duka menyaksikan semua itu"
Ooo)))(((ooo Bulan lima tanggal empat, besok adalah hari Peh-cun, saat
menikmati bakcang. Sayang saudara-saudara dari lembah Boanliongkok
tak sempat lagi mencicipi lezatnya hidangan itu.
Melangkah masuk ke dalam benteng, rasa sedih Tio Bu-ki
bertam?bah tebal dan berat. Ia dapat menyaksikan rumput hijau di
depan rumah telah berubah menjadi merah darah, daun-daun
bambu yang tergantung di sisi rumah, daun yang telah disiapkan
untuk membuat bakcang, kini ternoda pula oleh percikan darah.
Tio Bu-ki nyaris tak bisa menahan diri untuk muntah, tapi ia
berusaha mengendalikan diri. Dia memaksa isi perutnya yang sudah
hampir keluar dari tenggorokan untuk ditelan kembali. Ia tak
sanggup lagi menyaksikan pemandangan menyedihkan yang
terbentang di depan matanya. Sambil memutar badan ia lari
secepat-cepatnya, lari meninggalkan tempat itu. Dia berlari, lari
terus hingga napasnya tersengal-sengal, hingga napasnya sesak dan
hampir tak mampu bernapas.
Sambil berpegangan pada sebuah pohon besar, ia berdiri
dengan napas tersengal-sengal, isi perutnya terasa bergolak makin
keras. Kali ini ia tak sanggup lagi menahan diri, seluruh isi perutnya
tumpah keluar. Kemudian dia berlari lagi, lari di bawah sinar matahari senja
yang berwarna merah, semerah darah yang berceceran di seluruh
permukaan bumi.
Rasa sedih yang luar biasa berubah menjadi sakit hati dan
marah. Dia ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya, namun tak
sepatah pun suara yang keluar.
"Tong Ou, wahai Tong Ou.... mengapa kau membohongiku"
Mengapa kau bilang penyerbuan baru dilakukan di hari Peh-cun?"
Hawa amarah yang menggelora dalam dadanya membuat
dia hampir tak bisa mengendalikan diri, dia ingin sekali kembali ke
Benteng Keluarga Tong, mencari Tong Ou dan membuat
perhitungan berdarah dengannya. Tapi ia tidak berbuat begitu, dia
tahu tindakan gegabah semacam ini bisa berakhir fatal. Dia mencoba
menenangkan diri, mencoba berpikir lebih jernih.
Akhirnya setelah termenung beberapa waktu lamanya, ia
berjalan kembali ke lembah Boanliong-kok, masuk ke rumah dan
mengambil pacul serta sekop.
Di bawah sinar rembulan ia mulai menggali liang kubur di
atas bukit, satu paculan demi satu paculan...
Entah berapa lama waktu sudah berjalan, entah seberapa
dalam dia sudah menggali, seluruh tubuhnya telah basah kuyup,
sepasang tangannya mulai linu dan sakit, otot-ototnya terasa
mengejang keras. Tapi ia tidak memperdulikan itu semua, ia seakan
tak tahu waktu, tak tahu lelah, galian demi galian dikerjakan terus
tanpa henti. Kemudian sesosok demi sesosok semua mayat itu
diturunkan ke dalam liang, lalu dia menimbunnya dengan tanah
hingga rata. Ketika semua pekerjaan telah selesai, baru ia memotong
sebatang pohon, menjadikannya selembar papan dan dengan
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggunakan sebilah pisau diukirnya beberapa huruf sebagai nisan:
"Di sinilah saudara-saudaraku dari Tayhong-tong
beristirahat."
Setelah lama mengamati kuburan itu, dia baru membalikkan
badan, melompat naik ke atas kuda dan melarikannya kencangkencang
meninggalkan tempat itu.
Tio Bu-ki tak ingin beristirahat, yang berkecamuk dalam
benaknya kini hanya bagaimana caranya tiba di markas besar
Tayhong-po secepat mungkin.
Dia boleh saja melupakan lelah, namun kuda ada saatnya
untuk lelah juga. Mau tak mau Tio Bu-ki harus beristirahat mengikuti
kuda tunggangannya, ketika sang kuda minum, dia ikut minum,
ketika sang kuda merumput, dia juga menangsal perut dengan
rangsum keringnya.
Tengah hari kedua, akhirnya dengan wajah penuh debu
tibalah dia di markas besar Tayhong-po.
Untuk kedua kalinya perasaan sedih harus bergolak kembali
dalam dadanya. Pemandangan menyedihkan yang serupa sekali lagi
terpampang di depan matanya. Mengawasi semua ini dia hanya bisa
duduk terpaku di atas pelana, sama sekali tak bergerak.
Lama kemudian ia baru melompat turun dari kudanya, tanpa
sadar tangannya meraih cangkul dan sekop yang ada di atas pelana.
Dia tak mengira bahwa alat yang dibawa tanpa sengaja itu
sekarang harus digunakan lagi untuk membereskan kejadian yang
sama. Dia tak mengira kehadirannya kali ini hanya menjadi tukang
kubur, khusus untuk mengubur mayat saudara-saudaranya.
Tak terasa pikirannya mulai melayang ke Benteng
Siangkoan, benteng tempat tinggal Sangkoan Jin.
Apakah keadaan di sana juga tidak berbeda dengan
pemandangan di sini"
Tong Ou berkata akan menyerang satu di antara ketiga
tempat itu, nyatanya sekarang dia telah menyerang ketiga tempat
itu sekaligus. "Hebat betul bangsat ini," Tio Bu-ki mulai berpikir dengan
kepala lebih dingin, "Entah apa lagi langkah berikut Tong Ou"
Sebelum melaksanakan pertarungan melawanku, mungkinkah dia
akan menyerang markas-markas lain Tayhong-tong?"
Sambil masih berpikir, dia sudah masuk pintu gerbang
benteng Tayhong-po. Setelah mengambil cangkul dan sekop dia
kembali mulai menggali untuk mempersiapkan liang kubur bersama.
Sambil menggali, dia mulai berpikir, apa yang harus
dilakukan selanjutnya" Menuju ke benteng Siangkoan atau langsung
pulang ke rumahnya"
Membayangkan rumahnya sendiri, rasa sedih dan pedih
segera berkecamuk dalam hatinya.
Selesai mengubur mayat rekan-rekannya, ia menuju ke
gudang arak, mengambil satu guci dan meneguknya dengan lahap.
Habis satu guci, dia membuka guci yang lain dan meneguk
lagi dengan lahap, dia menenggak terus arak dalam guci hingga
kelopak matanya terasa berat, tak mampu dipentang lagi dan
akhirnya roboh tertidur.
Hidangan lezat, arak wangi, perjamuan pesta yang
diselenggarakan dalam Benteng Keluarga Tong malam itu sangat
meriah dan penuh kegembiraan.
Di sekeliling meja hanya duduk empat orang: Tong Ou, Tong
Koat, Lo-cocong dan Sangkoan Jin.
Wajah keempat orang itu penuh dengan senyum, mereka
saling memberi selamat, saling mengangkat cawan dan menenggak
habis isinya. Tentu saja ada alasan kuat bagi mereka untuk bergembira.
Sebab sekarang adalah malam tanggal empat bulan lima, merpati
pos pertama telah kembali dari lembah Boanliong-kok membawa
kabar gembira. Dengan pandangan mata yang sangat teliti Tong Ou
memperhatikan senyuman yang menghiasi wajah Sangkoan Jin. Dia
berharap bisa membedakan senyuman itu adalah senyum
kegembiraan yang benar-benar muncul dari lubuk hatinya atau
senyum kegembiraan yang dibuat-buat.
Sayang ia tak berhasil menemukan perbedaan itu. Dengan
sendirinya dia pun tak yakin apakah Tong Sip-jit memang satu
komplotan dengan Sangkoan Jin, atau dia memang sengaja
memfitnah menjelang kematiannya.
Sangkoan Jin sendiri meski belum tahu kalau Tong Sip-jit
telah mati, tetapi dia mempertaruhkan rasa percaya dirinya yang
besar dan bakat serta kemampuannya bersandiwara. Dia percaya
semua orang yang hadir tertipu oleh senyumannya, mengira dia
benar-benar merasa sangat gembira.
Padahal di hati kecilnya yang paling dalam ia merasa amat
sedih, amat sakit hati.
Latihannya selama bertahun-tahun, pergaulannya yang
panjang dengan berbagai jenis manusia membuat dia mahir
bersandiwara. Dia bisa menampilkan sisi yang berbeda, antara
tampilan wajah dengan apa yang sedang dipikirkannya.
Maka ketika merpati pos kedua datang memberitakan
tentang hancurnya markas besar Tayhong-tong, Sangkoan Jin justru
tertawa makin keras, tertawa makin gembira. Dia seolah-olah sudah
menjadi bagian dari Benteng Keluarga Tong, ikut bergembira karena
keberhasilannya menghancurkan Tayhong-tong.
Bukan cuma tertawa gembira, dia bahkan bisa menjilat
pantat dengan berkata kepada Tong Ou.
"Tong toa-kongcu memang hebat mengatur strategi perang,
bisa memilih saat menjelang Pehcun untuk melan carkan
serangannya. Mana mungkin orang-orang Tayhong-tong bisa
menduga sampai ke situ" Ha ha ha ha... aku percaya berita gembira
tentang runtuhnya benteng Siangkoan segera akan kita terima!"
Tong Ou tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha ha... Siangkoan-sianseng kelewat memuji.
Padahal dalam satu hal aku merasa bersalah kepadamu."
"Mengenai apa?"
"Bukankah aku sempat berunding denganmu tentang akan
melancarkan serangan pada hari Peh-cun?"
"Ah, itu bukanlah langkah yang keliru, aku percaya Tong
toa-kongcu punya pandangan yang jauh ke depan. Siapa tahu bila
penyerangan dilakukan besok, kerugian pihak kita akan lebih
banyak!" "Ya, aku pun berpendapat begitu, maka serangan
kulancarkan lebih awal. Maaf kalau tidak kurundingkan dahulu
dengan Siangkoan-sianseng!"
"Kau terlalu memujiku, dalam hal semacam ini aku justru
harus banyak mendengar petunjuk dan perintahmu."
Kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap,
kemudian mendongakkan kepala dan tertawa tergelak-gelak.
Di hati kecilnya Tong Ou merasa amat bangga, merasa
sangat puas dengan apa yang telah dilakukannya. Setelah
menenggak satu cawan arak, ia kembali melanjutkan, "Bila berita
tentang runtuhnya Benteng Siangkoan tiba nanti, tahukah
Siangkoan-sianseng, apa yang akan kulakukan?"
"Apakah itu?"
"Akan kuhadiahkan Benteng Siangkoan untukmu!"
"Aaah" Sungguh?"
"Tentu saja sungguh-sungguh!"
"Mengapa?" Sangkoan Jin kelihatan sedikit keras, bukan
merasa gembira tetapi karena luapan amarah, "Aku baru keluar dari
tempat itu, mengapa sekarang harus balik lagi ke sana?"
"Siangkoan-sianseng jangan salah paham, kedudukanmu di
Benteng Siangkoan-po pada masa Tayhong-tong sudah pasti amat
berbeda Siangkoan-po di masa Keluarga Tong yang berkuasa..."
Sangkoan Jin tidak bertanya apa-apa lagi, dia hanya
mengawasi wajah Tong Ou tanpa berkedip, menunggu ia
menyelesaikan perkataannya.
"Aku menitikberatkan pertarungan di Benteng Siangkoan-po,
karena itu aku mohon Siangkoan-sianseng mau ke sana untuk
memegang komando sambil mengatur semua persiapan dan strategi
dalam menghadapi pertarungan akbar ini!"
Sangkoan Jin tertawa, tertawa begitu riang, begitu gembira.
Sambil mengangkat cawan katanya kepada Tong Ou, "Mari aku
menghaturkan secawan arak untukmu! Sejak bergabung dengan
Benteng Keluarga Tong, hari seperti inilah yang selalu aku nantikan,
aku memang berharap bisa langsung terlibat dalam kegiatan
pembasmian Tayhong-tong!"
"Mengapa kau begitu membenci Tayhong-tong?" sela Lococong
tiba-tiba, "Sejak bergabung dengan kami aku belum pernah
menanyakan hal ini padamu."
"Mengapa?" Sangkoan Jin mendengus keras-keras,
"Bayangkan saja, ketika membangun Tayhong-tong, jasa siapakah
yang paling besar" Kau tahu itu?"
Sorot matanya dialihkan ke wajah Tong Koat. "Tentu saja
jasa Siangkoan-sianseng!" jawab Tong Koat cepat. "Betul," ujar
Sangkoan Jin lebih jauh, "tapi kenyataannya, kenapa kedudukanku
hanya seimbang dengan posisi Tio Kian dan Sugong Siau-hong"
Dalam berbagai pertempuran besar maupun kecil, hanya aku dan
para tongcu yang melakukannya, sementara Tio Kian dan Sugong
Siau-hong hanya duduk-duduk di benteng menjaga keamanan. Atas
dasar apa mereka justru duduk berimbang denganku?"
"Ya, itu tidak adil namanya!" seru Tong Koat menimpali.
"Sudah terlalu lama aku harus menahan diri, menerima semua
ketidakadilan ini!" semakin berbicara Sangkoan Jin semakin
bersemangat dan nada suaranya makin keras.
Kembali seorang pengawal masuk membawa selembar
kertas yang dibawa pulang merpati pos, surat itu lalu diserahkan
kepada Tong Ou. Selesai membaca surat itu Tong Ou,
menyerahkannya kepada Lo-cocong.
Sambil tertawa Lo-cocong membaca isi surat itu, kemudian
ia menyerahkan surat tadi ke tangan Sangkoan Jin sembari berkata,
"Kuucapkan selamat untukmu, akhirnya apa yang kau impikan
terwujud juga!"
Sangkoan Jin ikut tertawa, ia tidak membaca isi surat
tersebut karena sudah menduga kalau isinya hanya pemberitahuan
bahwa Benteng Siangkoan-po telah jatuh. Dia tertawa dengan penuh
kegembiraan, namun di hati kecilnya ia amat menderita, amat
tersiksa, merasa teramat sedih.
Dari sekian banyak orang yang berada dalam Benteng
Keluarga Tong, hanya satu orang yang secara terang-terangan
mengutarakan perasaan sedihnya atas berita gembira itu. Dia tak
lain adalah Wi Hong-nio.
Ooo)))(((ooo Tong Hoa adalah orang yang mendapat perintah untuk
melaksanakan rencana Naga Kemala Putih. Langkah pertama yang
harus dijalankan dalam rencana besar itu adalah memperoleh
kepercayaan Wi Hong-nio.
Oleh karena itu sejak sore hari dia sudah berada bersama Wi
Hong-nio dan tentu saja menemaninya juga makan malam.
Berita tentang keberhasilan mereka menghancurkan semua
benteng pertahanan Tayhong-tong tersiar keluar setelah
disampaikan ke tangan Lo-cocong. Hampir semua anggota Benteng
Keluarga Tong mendengar dan mengetahui kabar itu.
Sewaktu berada di dapur itulah Siau-tiap mendengar kabar
berita itu, tak heran kalau dia pun menyampaikan kabar itu sewaktu
menghidangkan makan malam.
Tong Hoa yang mendengar berita itu tentu merasa gembira
sekali, namun ketika dilihatnya paras muka Wi Hong-nio
menampakkan perasaan sedih yang mendalam, dia serta merta ikut
menampilkan perasaan sedih dan duka juga.
"Kau seharusnya gembira mendengar berita ini," tegur Wi
Hong-nio tanpa sadar.
"Aku tahu."
"Lalu, kenapa kau ikut bermuram durja?"
"Karena melihat wajahmu, aku dapat merasakan pula
perasaan hatimu."
Wi Hong-nio jadi sangat terharu setelah mendengar
perkataan itu, untuk sesaat dia tak tahu apa yang harus
diucapkannya. "Hei, kenapa kau?" kembali Tong Hoa menegur.
Setelah termenung beberapa saat barulah Wi Hong-nio
menyahut, "Ternyata kau seorang yang sangat baik..."
Tong Hoa tersenyum. "Aku memang orang baik, bahkan aku
punya kabar yang lebih baik lagi untukmu..."
"Apakah itu?"
"Mengajakmu pergi meninggalkan tempat ini!"
"Sungguh?"
"Sungguh!"
"Kau tidak takut menyerempet bahaya?"
"Apa pun tidak kutakuti!"
Wi Hong-nio benar-benar terharu, ditatapnya wajah Tong
Hoa sesaat dengan penuh arti.
"Malam ini juga akan kuajak kau pergi meninggalkan tempat
ini," ujar Tong Hoa lagi sambil tersenyum.
"Malam ini juga" Apa tidak terlalu tergesa-gesa?"
"Tidak, tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Sebab aku telah mempersiapkan rencana ini seharian
penuh." "Oh ya?"
"Sejak tadi malam sampai sekarang, aku terus menerus
memikirkan persoalanmu. Kupikir, untuk menyatakan kedalaman
cintaku kepadamu, aku mesti melakukan sesuatu dan kuambil satu
keputusan yang cepat."
Saking terharunya hampir saja air mata jatuh bercucuran
membasahi wajah Wi Hong-nio.
Melihat sikap gadis itu, Tong Hoa sadar kalau perkataannya
telah membuat perempuan itu terharu. Dia semakin sadar, dengan
watak Wi Hong-nio seperti itu, tidak sulit baginya untuk
melaksanakan rencana Naga Kemala Putih.
Maka katanya lebih jauh, "Oleh sebab itu telah kuputuskan
untuk membawamu kabur dari sini. Kau mesti tahu, membawamu
kabur dari sini adalah kesalahan dengan dosa yang amat besar
bagiku." "Aku mengerti."
"Seandainya usaha kita untuk kabur mengalami kegagalan,
itu artinya aku harus menghadapi kematian."
"Aku mengerti, seandainya mereka tidak membunuhku, aku
pasti akan mengingatmu sepanjang hidupku."
"Sebaliknya jika usaha kita melarikan diri berhasil, selama
hidup pun aku akan hidup dalam penderitaan, karena orang-orang
Keluarga Tong akan mencap diriku sebagai pengkhianat, sebagai
buronan yang wajib ditangkap dan dibunuh."
"Kau sudah berpikir sampai ke sana?"
"Sudah. Seluruh anggota Keluarga Tong dari atas hingga ke
bawah hampir semuanya tahu bahwa aku tergila-gila kepadamu. Jika
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau pergi dari sini, mana mungkin aku tidak tahu?"
"Jadi kau lelap akan mengajakku pergi dari sini?"
"Benar!"
"Tapi aku tidak bisa menjamin di kemudian hari akan tetap
bersikap baik kepadamu."
"Aku tahu. Aku memang orang yang gampang puas bila
diberi sedikit kebaikan. Selama aku diberi kesempatan untuk selalu
bisa melihat wajahmu, aku tidak mengharapkan yang lain."
Kini perasaan terharu sudah lenyap dari hati Wi Hong-nio,
sebagai gantinya ia merasa kasihan, iba pada pemuda itu.
Tiba-tiba dari hati kecilnya muncul pula perasaan sedih,
bukan sedih karena kehancuran Tayhong-tong, tapi sedih karena
mendadak ia teringat pada Tio Bu-ki. Perasaannya saat itu tepat
sama seperti perasaan Tong Hoa, asal bisa bersama Bu-ki setiap
saat, dia pun tidak mempunyai permintaan lainnya.
Tapi, banyak kejadian di dunia ini memang sukar terpenuhi
sesuai dengan kehendak hati. Jangankan selalu bisa bersama, mau
bertemu saja susahnya setengah mati!
Melihat perasaan pedih yang menyelimuti wajah Wi Hongnio,
tanpa terasa Tong Hoa menegur lagi, "Kau kenapa?"
Wi Hong-nio tertawa getir, jawabnya terus terang, "Tiba-tiba
saja aku teringat pada Bu-ki!"
Tong Hoa tak berkata apa-apa, namun dalam hati kecilnya
timbul rasa hormat yang tinggi kepada perempuan ini. Diam-diam
muncul perasaan sedih dan menyesal yang tak terhingga karena dia
harus menipu seorang wanita polos yang baik hati dan berbudi luhur
seperti ini. Namun perasaan menyesal itu hanya melintas sekilas,
dengan cepat ia tampil kembali dengan wajah dinginnya, wajah kaku
ciri khas orang-orang Keluarga Tong.
"Huss, jangan sembarangan bicara!" serunya, "Cepat
bersantap dan istirahat secukupnya, karena malam nanti kita akan
berangkat,"
"Berangkat jam berapa?"
"Lewat tengah malam."
"Kenapa harus waktu itu?"
"Karena saat itu adalah waktu orang tertidur nyenyak, waktu
orang merasa paling mengantuk. Selewatnya orang akan merasa
segar kembali dan dengan sendirinya kewaspadaan mereka pun
meningkat kembali."
"Apakah orang-orang Benteng Keluarga Tong selalu seperti
itu?" "Benar."
Maka Wi Hong-nio segera menghabiskan nasinya dengan
lahap, malah dia makan agak banyak karena dia tahu ia harus
makan cukup kenyang agar ia mendapatkan kondisi tubuh yang
segar dan tenaga yang kuat untuk melarikan diri.
Selesai bersantap, sebelum meninggalkan tempat itu Tong
Hoa berpesan lagi, "Tengah malam nanti aku akan datang
membangunkanmu."
"Baik."
Bab 11. Melarikan Diri
Tengah malam. Awan gelap menyelimuti sepenuh angkasa,
tampaknya hujan deras akan turun setiap saat. Tong Hoa
mengenakan pakaian ketat berwarna hitam dengan sebilah pedang
tersoren di punggungnya. Dia membawakan satu perangkat baju
hitam juga untuk Wi Hong-nio agar dikenakannya. Dengan
berpakaian seperti itu akan lebih mudah untuk menyelinap keluar
dari tempat itu.
Wi Hong-nio menurut dan mengenakan baju hitam itu,
kemudian dia pun menyandang sebilah pedang di punggungnya.
"Bukankah kau tidak mengerti ilmu silat?" tegur Tong Hoa
ketika melihat dandanannya itu.
"Dulu memang tidak bisa, tapi belakangan aku mulai belajar
sedikit ilmu pedang."
Mendengar jawaban tersebut, tanpa terasa Tong Hoa
berpikir, "Belajar golok butuh lima tahun, belajar pedang butuh
sepuluh tahun, kalau baru belajar sebentar sudah berani memanggul
pedang, apa tidak merasa sedikit tak tahu diri?"
Tentu saja ingatan tersebut tidak sampai diutarakan keluar,
hanya ucapnya, "Tapi membawa pedang akan sangat melelahkan..."
"Tidak apa-apa," sahut Wi Hong-nio, "dengan membawa
pedang, aku merasa sedikit lebih tenang dan aman."
Kembali Tong Hoa berpikir, "Ah... sudahlah, toh yang
disebut melarikan diri hanya sandiwara belaka, mau berjalan lebih
lambat juga tidak jadi masalah..."
Maka dia tidak membujuk lebih jauh, hanya pesannya,
"Andaikata nanti terjadi sesuatu, cepatlah menyingkir ke samping
dan jangan mengeluarkan suara."
"Aku tahu."
"Baik, mari kita segera berangkat."
Mereka berjalan sangat lambat, berjalan sangat hati-hati,
setiap kali tiba di sebuah tikungan jalan, Tong Hoa selalu menyelinap
maju lebih dulu untuk mengintai apakah ada penjaga yang berjaga
di situ. Tingkah lakunya sangat sungguh-sungguh, seolah-olah dia
memang sedang melarikan diri.
Setelah meninggalkan jantung wilayah Keluarga Tong...
kebun tempat tinggal, mereka berdua bergerak menuju ke kebun
luas di luar tempat tinggal. Tempat itu merupakan hutan yang luas,
di hutan itu pula Tio Bu-ki nyaris menemui ajalnya andaikata tidak
diselamatkan orang-orang Bilek-tong tempo hari.
Wi Hong-nio tidak tahu akan hal ini, juga dia tidak tahu
bahwa di balik hutan itu penuh dengan penjaga dan jebakan.
Jangankan berilmu cetek, biarpun memiliki ilmu silat yang lebih
hebat pun jangan harap bisa melewati tempat itu dengan mudah.
Dia hanya merasa hutan itu menyeramkan, mendatangkan
perasaan bergidik, apalagi di tengah malam buta dengan angin yang
berhembus kencang, suasana terasa lebih mengerikan dan
mencekam perasaan.
Saat ini Wi Hong-nio merasakan satu-satunya perasaan
aman datang dari genggaman tangan Tong Hoa, genggaman yang
hangat dan kencang.
Sepanjang perjalanan Tong Hoa selalu mengajaknya
menelusuri jalan yang gelap sambil menggandeng tangannya.
Tangan Tong Hoa bukannya menjadi dingin dan kaku lantaran
tegang, sebaliknya justru terasa hangat yang luar biasa, kehangatan
yang membuat Wi Hong-nio memperoleh kembali rasa percaya
dirinya. Mereka berjalan dengan menyusur di sepanjang tepi
pepohonan. Kurang lebih tigapuluh kaki kemudian, ketika mereka
baru saja meninggalkan sisi sebatang pohon, mendadak dari atas
pohon meloncat turun dua sosok manusia berbaju hitam.
"Siapa di situ?" hardik orang berbaju hitam itu lantang.
Buru-buru Tong Hoa menarik tangan Wi Hong-nio agar
menempel tubuhnya lebih dekat, lalu sambil memeluk bahu kiri
perempuan itu sahutnya, "Aku, Tong Hoa!"
"Sudah larut malam, mau apa kalian kemari?"
"Malam ini sangat indah dan tenang, bukankah saat paling
tepat untuk berjalan santai sambil berbincang-bincang?" sahut Tong
Hoa sambil menggerakkan tangan kanannya yang mendadak
dihantamkan ke dada kanan orang itu.
Bersamaan dengan dilepaskannya pukulan, dia dorong tubuh
Wi Hong-nio ke samping sambil bentaknya nyaring, "Menyingkir!"
Dengan cepat pukulan itu meluncur ke depan dan
menghajar dada orang itu dengan telak. Tanpa sempat menjerit
kesakitan, orang itu memuntahkan darah segar kemudian roboh
terkapar ke belakang.
Melihat itu, orang berbaju hitam yang ada di sebelah kiri
segera menggetarkan pedangnya, langsung menusuk tubuh Tong
Hoa. Meminjam sisa tenaga pantulan dari pukulan yang dilepaskan
tadi Tong Hoa mundur selangkah, tusukan pedang yang datang dari
sisi kiri pun mengenai tempat kosong.
Begitu mundur Tong Hoa segera menjejakkan sepasang
kakinya dan melambung ke udara, dia terkam orang berpedang itu
sambil melepaskan sebuah pukulan lagi, langsung dihantamkan ke
dada kiri orangku.
Orang itu segera menggeser tubuhnya dua langkah ke
kanan, sesudah lolos dari serangan, pedangnya secepat kilat
membentuk garis lingkaran kecil untuk mengurung serangan Tong
Hoa, lalu dengan mengubah babatan jadi tusukan, dia mengancam
kening. Dengan gesit Tong Hoa menghindar ke samping, berkelit
dari tusukan itu. Tapi gerak serangan itu mendadak berubah dari
tusukan menjadi bacokan, "wesss" langsung membabat baju bagian
kiri yang dia kenakan.
Tong Hoa mendengus dingin, di saat pedang lawan
membabat ujung bajunya, secepat kilat telapak tangan kanannya
membabat keluar, "ploook!" sebuah bacokan telak menghajar dada
kiri orang itu.
Tak ampun lelaki berbaju hitam itu muntah darah segar
dan... "blaaam!" tubuhnya roboh terkapar ke belakang.
Buru-buru Wi Hong-nio memburu ke depan sambil menegur
penuh rasa kuatir, "Kau terluka?"
Tong Hoa tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya segera
berseru, "Ayo cepat, kita segera tinggalkan tempat ini!"
Ia menarik tangan perempuan itu dan kabur dengan
menelusuri tepi pepohonan yang lebat.
Setelah tiba di ujung hutan, Tong Hoa baru menghentikan
larinya sambil menarik napas panjang.
"Kau terluka?" kembali Wi Hong-nio bertanya dengan nada
kuatir. Saat itulah Tong Hoa baru menundukkan kepalanya untuk
memeriksa. Wi Hong-nio turut mendekat sambil memeriksa, tapi ia
segera menjerit kaget.
Ternyata baju sebelah kiri Tong Hoa telah basah oleh noda
darah, bahkan darah masih mengalir keluar dengan derasnya, jelas
luka yang dideritanya tidak ringan.
"Ah, tidak apa-apa, kau tak perlu kuatir," sahut Tong Hoa
kemudian sambil tertawa.
"Tidak apa-apa?" seru Wi Hong-nio, "Begitu banyak darah
yang mengalir keluar, mana mungkin tidak apa-apa?"
"Tidak sakit, sama sekali tidak sakit, paling hanya sedikit
luka lecet," ujar Tong Hoa lagi sambil berusaha menekan mulut
lukanya yang berdarah.
Tentu saja dia tidak merasa sakit karena segala sesuatunya
hanya pura-pura, semuanya palsu, termasuk darah yang berceceran
pun bukan darah asli. Satu-satunya yang benar dan asli hanya
pakaiannya yang robek karena sambaran pedang tadi.
Sudah barang tentu Wi Hong-nio tidak tahu rahasia di balik
sandiwara itu, dia beranggapan semua kejadian tadi sungguhsungguh,
maka dengan nada sangat cemas kembali ia berseru,
"Bagaimana sekarang" Ayoh kita cari tempat untuk merawat dulu
lukamu itu!"
Tong Hoa merobek bajunya yang tersayat itu kemudian
dililitkan ke atas lengannya yang terluka, setelah membuat ikatan,
dia baru menjawab, "Tidak apa-apa, yang penting kita harus segera
pergi meninggalkan tempat ini!"
"Benar tidak apa-apa?"
"Benar!" sahut Tong Hoa, setelah berhenti sejenak
tambahnya, "andaikata lukaku amat parah, bagaimana dengan kau?"
"Kita pun tak usah pergi meninggalkan tempat ini, kita rawat
dulu lukamu baru kemudian membuat rencana lain."
Mendengar jawaban tersebut Tong Hoa tertawa, tertawa
penuh kepuasan. Dia merasa telah berhasil memancing rasa simpati
Wi Hong-nio terhadap dirinya.
"Ai... sejujurnya aku pun merasa kasihan menipu perempuan
polos seperti ini," demikian Tong Hoa berpikir sambil menghela
napas. Tapi dalam hati kecilnya, "Apa mau dikata, ia justru jatuh ke
tangan kami orang-orang Keluarga Tong!"
Walau berpikir begitu, di luarnya kembali ia bertanya,
"Seandainya kita balik dan ketahuan?"
"Lemparkan saja semua tanggung jawab kepadaku!" jawab
Wi Hong-nio tanpa berpikir panjang.
"Kau anggap orang-orang Keluarga Tong percaya pada
pengakuanmu?" seru Tong Hoa tertawa.
Seketika itu juga Wi Hong-nio bungkam. Sebab dia hanya
tahu berpikir menuruti suara hati sendiri, tentu saja dia tak bisa
membayangkan apa yang dipikirkan orang lain.
Menyaksikan hal ini, Tong Hoa kembali berkata, "Sudah,
jangan bodoh, aku sudah berjanji akan membawamu pergi, apa pun
yang terjadi aku akan tetap berusaha hingga berhasil, mari kita
segera lanjutkan perjalanan kita!"
Habis berkata, dia menarik tangan perempuan itu dan
melanjutkan kembali perjalanannya.
Tiba di ujung hutan tampaklah pintu gerbang Benteng
Keluarga Tong terpampang di depan mata, saat itu pintu dalam
keadaan tertutup rapat, dua orang penjaga sedang berjaga di depan
benteng. Dengan suara lirih Tong Hoa berbisik, "Waktu aku
meledakkan Peklek-tong dengan bahan peledak nanti, harap kau
bersembunyi agak jauh. Begitu meledak, kau segera lari
menghampiri aku karena waktu itu aku akan membukakan pintu
untukmu. Ingat! Segala sesuatunya harus dilakukan dengan cepat!"
Wi Hong-nio manggut-manggut tanda mengerti, maka
dengan berlagak amat tegang perlahan-lahan Tong Hoa berjalan
mendekati pintu gerbang.
Melihat ada orang berjalan mendekat, dua orang penjaga
pintu itu segera menghardik, "Siapa di situ?"
"Aku, Tong Hoa!"
Sambil menjawab Tong Hoa mempercepat langkahnya
menerobos lewat dari pintu.
Tampaknya kedua orang penjaga itu seperti ingin
menanyakan sesuatu, baru saja mereka membuka mulutnya, obat
peledak di tangan Tong Hoa sudah dilemparkan ke depan.
"Blaaam!" ledakan keras menggelegar di angkasa, debu dan
pasir segera memenuhi pandangan, membuat Wi Hong-nio tak bisa
melihat apa-apa.
Biar begitu, dia menuruti pesan Tong Hoa tadi, begitu pintu
gerbang terbuka, dia segera berlari menerobos pintu gerbang.
Di tengah gulungan asap yang tebal, dalam waktu singkat ia
sudah tiba di depan pintu gerbang, ia melihat Tong Hoa sedang
menggapai ke arahnya. Mempercepat larinya, ia lari ke samping
Tong Hoa untuk kemudian bersama-sama kabur keluar dari pintu
benteng. Menanti Tong Hoa menutup kembali pintu gerbang benteng,
dengan napas tersengal, barulah ia berkata lagi kepada Wi Hong-nio,
"Kembali kita berhasil meloloskan diri dari satu pos rintangan!"
Sebetulnya Wi Hong-nio mengira setelah berhasil kabur dari
pintu kota, berarti mereka sudah selamat. Tetapi begitu mendengar
Tong Hoa berkata kalau mereka kembali lolos dari satu pos penting,
Naga Kemala Putih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
artinya masih ada rintangan berikut yang mesti dilewati, tak kuasa
lagi ia bertanya, "Jadi kita belum aman?"
"Kita baru aman setelah melewati sebuah rintangan lagi!"
"Apakah lebih gampang untuk melewati rintangan itu?"
"Lebih gampang" Lebih susah malah!"
Bagai diguyur sebaskom air dingin di kepalanya, untuk
sesaat Wi Hong-nio berdiri tertegun. Baginya, pengalaman yang baru
saja ia alami sudah sangat menyeramkan, seperti mengalami mimpi
buruk. Ketika mendengar harus menghadapi rintangan lain yang
lebih berat, jantungnya berdetak keras, ototnya pada mengejang
lantaran tegang.
Dengan susah payah baru saja ia berhasil kabur dari pintu
benteng dan sebentar lagi harus bersiap menghadapi ancaman baru,
tak heran jika ia merasa amat gugup.
Menyaksikan perubahan wajah perempuan itu, Tong Hoa
segera menghibur, "Kau tak perlu gugup, siapa tahu rintangan
berikut dapat kita lewati dengan lebih mudah."
"Kenapa?" tanya Wi Hong-nio keheranan.
"Sampai di tempat ini, boleh dibilang aku hapal sekali
dengan keadaan dan lingkungannya. Tapi pada rintangan berikut
kita mesti menghadapi empat orang, untunglah keempat orang
penjaga itu sahabat karibku, siapa tahu dengan bujuk rayu dan
sedikit berbohong, mereka mau percaya alasanku dan membiarkan
kita lewat tanpa susah payah!"
"Kau yakin kita akan bertemu dengan mereka berempat?"
"Sangat yakin!"
"Kenapa" Memangnya tak ada jalan lain kecuali jalan itu?"
"Tidak ada, untuk meninggalkan Benteng Keluarga Tong,
siapa pun harus melewati jalan ini. Kecuali jalan ini, tempat ini
dikelilingi tebing curam dan jurang yang sangat dalam."
Tak terasa kembali Wi Hong-nio memperlihatkan perasaan
waswas dan kuatirnya yang sangat mendalam.
Buru-buru Tong Hoa menghibur, "Kau tak perlu kuatir,
kelihatannya perubahan cuaca yang akan terjadi hari ini akan
menguntungkan kita!"
"Apa hubungannya dengan perubahan cuaca?"
"Besar sekali," Tong Hoa menerangkan, "keempat orang itu
bukan atas kemauan sendiri berjaga di jalan tembus itu, mereka
sedang menjalankan perintah."
"Menjalankan perintah" Perintah siapa?"
"Tentu saja perintah dari Keluarga Tong. Menurut peraturan
yang berlaku di sini, bila mereka menemukan ada orang yang patut
dicurigai meninggalkan benteng, maka mereka segera akan
melepaskan kembang api sebagai tanda bahaya, warna kembang api
balasan yang dilepas dari dalam benteng merupakan jawaban yang
harus mereka lakukan, warna tertentu pertanda orang itu hanya
cukup dihalau dan warna lain menandakan orang itu harus dibunuh!"
"Kungfu mereka sangat tangguh?"
"Tangguh sekali!"
"Kau sanggup mengalahkan mereka?"
"Tidak!"
"Kalau begitu lebih baik kita balik saja, buat apa mesti
menyerempet bahaya?"
"Tidak, kita harus mencoba untuk mengadu untung."
"Mengadu untung?"
"Benar, cuaca hari ini amat jelek, tidak cocok untuk
melepaskan kembang api. Bahkan kalau mereka paksakan untuk
meluncurkan kembang api pun belum tentu bunga apinya terlihat
dari dalam benteng dan selama pihak Keluarga Tong tidak melihat
ada tanda kembang api, berarti besar kesempatan kita untuk
berhasil!"
"Sungguh?"
"Sungguh! Coba lihat," Tong Hoa segera merentangkan
telapak tangannya, "Coba lihat, apa yang ada di telapak tanganku
ini?" Wi Hong-nio bukan hanya dapat menyaksikan, dia malah ikut
merasakan. Air hujan. Ternyata hujan mulai turun.
Dalam keadaan demikian, sebodoh apa pun Wi Hong-nio
juga mengerti apa yang akan terjadi. Begitu hujan turun, apalagi
hujan lebat, mustahillah kembang api bisa meledak di udara. Jelas
saat ini merupakan kesempatan yang sangat baik bagi mereka.
Tiba-tiba ia saksikan wajah murung dan sedih menyelimuti
wajah Tong Hoa.
Melihat itu Wi Hong-nio segera menegur, "Ada apa lagi"
Kenapa kau mendadak sedih dan murung" Bukankah kesempatan
telah tiba?"
"Aku kuatir, kalau hujan turun semakin deras, kita mau
berteduh di mana?"
Tak kuasa lagi Wi Hong-nio tertawa cekikikan. "Apa perlunya
berteduh dari air hujan" Bukankah melarikan diri jauh lebih
penting?" "Tidak, berteduh dari hujan lebih penting!"
"Kenapa" Biar kehujanan pun belum tentu kita akan jatuh
sakit." "Aku bukannya takut sakit."
"Lalu apa yang kau takuti?"
Pukulan Naga Sakti 22 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Kitab Pusaka 17
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama