Ceritasilat Novel Online

Panji Sakti 3

Panji Sakti Karya Khu Lung Bagian 3


"Nah, cobalah terka, aku datang dari mana!" Cing Ji menatapnya
dalam-dalam. "Jangan tidak mau menerka!"
"Engkau sama sekali tidak datang dari mana, melainkan tinggal
di sekitar sini. Ya, kan?"
Cing Ji tertawa gembira sambil bertepuk-tepuk tangan, ia
tampak girang sekali.
"Betul! Terkaanmu tidak meleset, aku memang tinggal di dalam
goa yang tak jauh dari sini."
Siau Liong tersenyum lagi, lalu turun dari punggung kudanya.
Sepasang mata Cing Ji berbinar-binar. Kenapa" Ternyata ia melihat
Siau Liong membawa pedang.
110 "Siau Liong ko! Aku tak menyangka engkau bisa bu kang."
"Cuma mengerti sedikit!" Sahut Siau Liong sambil tersenyum
hambar. "Oh?" Cing Ji duduk di atas sebuah batu. "Siau Liong ko,
duduklah!"
Siau Liong mengangguk, lalu duduk di sebuah batu di hadapan
Cing Ji, kemudian menatapnya seraya tertawa-tawa.
"Cing Ji, kita mau mengobrol apa?"
"Mengobrol"..." Cing Ji berpikir, berselang sesaat barulah
melanjutkan ucapannya sambil tersenyum. "Mengenai dirimu."
"Apa?" Siau Liong tertegun. "Mengenai diriku?"
"Ya." Cing Ji mengangguk. "Engkau tinggal di mana, mau apa
menuju selatan, di rumah masih ada siapa, kakek, nenek dan ayah
bundamu menyayangimu tidak" Bu kangmu belajar dari mana......"
Dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan itu, kening Siau Liong
tampak berkerut-kerut, lalu menggelengkan kepala.
"Cing Ji, jangan membicarakan itu!"
"Kenapa?" Cing Ji menatapnya heran. "Tidak baik ya
membicarakan itu?"
Mendadak wajah Siau Liong berubah dingin.
"Memang tidak baik, jadi jangan membicarakan itu!"
Cing Ji tertegun ketika melihat wajah Siau Liong yang berubah
dingin mendadak, lama sekali barulah membuka mulut.
"Engkau tidak suka berbicara tentang keluarga?"
"Tidak salah," sahut Siau Liong dingin. "Aku tidak suka orang lain
membicarakan keluargaku, termasuk jati diriku."
"Siau Liong ko," ujar Cing Ji lembut. "Kalau engkau tidak suka ya
sudahlah! Mari kita membicarakan yang lain saja!"
"Tapi".. apa yang harus kita bicarakan?"
"Apa saja, yang penting tidak menyangkut keluargamu maupun
dirimu." "Cing Ji, bagaimana kalau membicarakan tentang dirimu" Tapi
kalau engkau anggap tidak baik, jangan membicarakannya!"
"Emmmh!" Cing Ji menatapnya. "Siau Liong ko, aku lihat engkau
bukan orang jahat. Sesungguhnya memang tidak apa-apa
membicarakan tentang diri saya, tapi"..."
"Kenapa?"
"Yaya (kakek) melarangku membicarakan tentang kami pada
orang lain, maka"..."
111 "Cing Ji, kalau begitu janganlah engkau membicarakan tentang
itu! Lebih baik kita membicarakan yang lain saja?"
"Siau Liong ko!" Cing Ji tertawa gembira. "Engkau sungguh
baik!" Sungguh baik" Apanya yang baik" Lagi pula mereka harus
membicarakan apa" Usia mereka baru belasan, maka mereka
melihat apa, langsung membicarakan itu.
Sang surya sudah mulai tenggelam di ufuk barat, membuat hari
tampak mulai gelap. Cing Ji berjalan di depan menuju suatu tempat,
Siau Liong mengikutinya dari belakang.
Tak lama mereka pun sampai di suatu tempat yang amat indah,
itu sebuah tebing bukit. Di tebing itu terdapat air terjun, tumbuh
pula bunga liar yang masih mekar segar. Tak jauh dari situ terdapat
sebuah telaga, yang airnya begitu tenang sehingga mirip sebuah
cermin besar. Sepasang mata Siau Liong menyapu ke sekeliling tempat itu,
kemudian wajahnya tampak penuh keheranan.
"Engkau bilang, kakekmu tinggal di sini, tapi kok tidak ada
rumah di sini?"
Cing Ji tersenyum, dan menunjuk ke sebuah pohon beringin
yang amat besar.
"Di belakang pohon beringin itu terdapat sebuah goa, aku dan
kakekku tinggal di dalam goa itu." katanya.
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut.
"Siau Liong ko, mari ikut aku!" ajak Cing Ji sambil berjalan ke
pohon beringin itu.
Siau Liong mengikutinya. Tidak salah, di belakang pohon
beringin itu terdapat sebuah goa.
"Siau Liong ko, tunggu di sini sebentar!" ujar Cing Ji
merendahkan suaranya dan melanjutkan, "Aku akan ke dalam
memberitahukan pada yaya, dan menyalakan lampu."
Siau Liong mengangguk. Ia berdiri di luar goa, sedangkan Cing Ji
telah memasuki goa itu sambil berseru.
"Yaya, Cing Ji sudah pulang!"
"Cing Ji!" Terdengar suara sahutan yang serak. "Engkau ke mana
tadi, kok begitu lama baru pulang" Di luar hari sudah gelap?"
112 "Emmh! Cing Ji tadi main di luar, ingin menangkap beberapa
ekor kelinci untuk yaya, tapi".. tiada seekor pun dapat Cing Ji
tangkap." "Oh?" Terdengar suara tawa. "Tapi engkau justru telah bertemu
seseorang, bahkan telah membawa orang itu kemari, Ya, kan?"
"Hi hi!" Cing Ji tertawa merdu. "Yaya sudah tahu?"
"Ha ha! Gadis bodoh, walau mataku buta, tapi telingaku belum
tuli." "Yaya......"
"Engkau dan orang itu bersama seekor kuda berjalan di luar goa,
aku telah mendengar itu."
"Tajam sekali pendengaran yaya." Cing Ji tertawa, lalu
menyalakan lampu tempel.
Siau Liong yang berdiri di luar, segera memandang ke dalam,
namun tidak bisa melihat jelas, karena lampu tempel itu tidak
bersinar terang.
"Cing Ji!" Terdengar suara serak di dalam goa. "Orang yang di
luar itu bernama siapa dan berapa usianya?"
"Namanya Siau Liong, usianya sekitar lima belas."
"Oh! Dia kerja apa dan baikkah orangnya?"
"Dia pemuda terpelajar, bisa sedikit bu kang, orangnya sangat
baik. Kalau tidak, bagaimana mungkin Cing Ji mengajaknya ke
mari?" Hening sejenak, kemudian terdengar lagi suara yang serak itu.
"Cing Ji, kenapa dia berada di hutan ini" Bertanyakah engkau
padanya?" "Sudah. Dia ada urusan menuju selatan, kebetulan melewati
hutan ini."
"Dia cuma seorang diri?"
"Ya. Dia cuma seorang diri bersama seekor kuda."
"Ngmmm!"
"Yaya, bolehkah Cing Ji menyuruhnya masuk?"
"Baiklah. Suruh dia masuk! Ingat, kudanya juga harus dibawa
masuk dan tutup pintu goa!"
"Ya."
Cing Ji mengangguk, lalu berlari ke luar dengan wajah berseri.
Gadis itu gembira sekali karena kakeknya mengizinkannya menyuruh
Siau Liong masuk. Siapa Cing Ji dan kakeknya itu" Kenapa mereka
berdua tinggal di goa tersebut.
113 Sementara Siau Liong berdiri di tempat dengan wajah penuh
keheranan. Ternyata ia sedang memikirkan tentang ini.
Siau Liong mengikuti Cing Ji ke dalam goa sambil menuntun
kudanya. Setelah menambat kudanya, barulah ia menghadap kakek
Cing Ji untuk memberi hormat.
Kakek Cing Ji itu sudah tua, kurus dan buta sepasang matanya.
Begitu Siau Liong memberi hormat, kakek Cing Ji pun tertawa gelak.
"Anak muda, jangan banyak peradapan, silakan duduk!"
"Terima kasih, lo jin keh." ucap Siau Liong, kemudian duduk di
hadapan orang tua buta itu.
"Cing Ji, cepatlah engkau masak! Sudah waktunya makan
malam," ujar orang tua buta pada cucunya.
"Ya," sahut Cing Ji dan berkata pada Siau Liong, "Siau Liong ko,
temanilah kakekku! Aku mau memasak dulu."
Siau Liong tersenyum sambil mengangguk. Cing Ji juga
tersenyum, lalu melangkah ke dalam.
Meskipun buta, orang itu tahu bagaimana sikap Cing Ji terhadap
Siau Liong. Ia mendadak menarik nafas panjang, dan sekaligus
bergumam seakan memberitahukan pada Siau Liong.
"Ini tidak mengherankan, selama ini Cing Ji memang sangat
kesepian."
Siau Liong duduk diam, sama sekali tidak menyambung
gumaman orang tua buta itu.
"Anak muda, engkau marga apa?" tanya orang tua buta itu
mendadak. "Lo jin keh," jawab Siau Liong hormat. "Boan pwe marga Hek,
bernama Siau Liong."
"Engkau tinggal di daerah utara?"
"Ya."
"Di kota apa?"
"Ciok Lau di San Si."
Mendengar itu, hati orang tua buta itu tergerak.
"Kota Ciok Lau atau...... Ciok Lau San Cung?"
Pertanyaan ini membuatnya teringat sesuatu.
"Di dalam kota Ciok Lau," jawabnya cepat.
"Masih ada siapa dalam keluargamu" Apakah kedua orang tuamu
sehat-sehat saja?"
114 "Siau Liong tidak punya siapa-siapa lagi," jawab Siau Liong agak
salah tingkah. "Kedua orang tua Siau Liong telah meninggal."
Begitu menyinggung kedua orangnya, hatinya pun langsung
berduka dan sepasang matanya bersimbah air.
Orang tua buta itu sangat peka. Dari nada suara Siau Liong, ia
sudah tahu kematian kedua orang tua Siau Liong tidak begitu wajar.
Ia menarik nafas panjang seakan bersimpati pada Siau Liong.
"Oh ya, engkau punya saudara?"
"Tidak punya, boan pwe anak tunggal." Orang tua buta itu
tampak memikirkan sesuatu, lama sekali barulah ia bertanya.
"Engkau menuju selatan kan?"
"Ya."
"Mau apa engkau ke selatan?"
"Mencari orang."
"Orang itu teman ayahmu?"
"Betul, lo jin keh."
Orang tua buta itu diam sejenak, kelihatannya sedang
memikirkan sesuatu.
"Pernahkah engkau belajar bu kang?" tanyanya kemudian.
"Ya, lo jin keh. Boan pwe pernah belajar sedikit bu kang untuk
menjaga diri."
"Siapa yang mengajarmu?"
"Ayah boan pwe."
"Ayahmu orang bu lim?"
"Bukan, kedua orang tua boan pwe memang bisa bu kang,
namun tidak pernah berkecimpung dalam bu lim."
"Oh?" Hati orang tua buta tergerak. "Ibumu juga bisa bu kang?"
"Ayah dan ibu adalah suheng moi seperguruan."
"Perguruan mana?"
"Maaf, lo jin keh! Boan pwe tidak tahu, karena kedua orang tua
boan pwe tidak pernah menyinggung soal perguruan."
Mendadak wajah orang tua buta itu berubah, bahkan menegur
Siau Liong dengan rada tidak senang. .
"Anak muda! Engkau menghina lo ciau yang buta ini?"
Ditegur demikian, Siau Liong jadi tertegun. "Boan pwe tidak
berani." "Kalau tidak berani, kenapa engkau berdusta?" tanya orang tua
buta dengan wajah dingin.
115 "Lo jin keh, boan pwe tidak berdusta, kedua orang tua boan pwe
memang tidak pernah menyinggung soal perguruan mereka, maka
boan pwe sama sekali tidak tahu," jawab Siau Liong nyaring.
"Anak muda!" Orang tua buta itu tertawa. "Engkau telah salah
menduga maksud lo ciau, bukan ini yang lo ciau maksudkan."
"Oh?" Siau Liong heran. "Maksud lo jin keh?"
"Engkau berdusta tentang kedua orang tuamu tidak pernah
berkecimpung dalam bu lim." Orang tua buta memberitahukan.
Siau Liong tertegun, ia memandang orang tua buta itu.
"Apakah lo jin keh menganggap boan pwe tidak berkata
sejujurnya?"
Orang tua buta itu tertawa hambar.
"Anak muda, lo ciau bertanya, bagaimana kedua orang tuamu
mati?" "Ini"..." Siau Liong tergagap. Ia tidak menyangka orang tua
buta itu akan bertanya tentang kematian kedua orang tuanya.
Orang tua buta tertawa dingin.
"Anak muda, sepasang mata lo ciau memang telah buta, namun
telinga lo ciau belum tuli. Dari tadi lo ciau sudah mendengar nada
suaramu. Ketika mengatakan kedua orang tuamu meninggal, nada
suaramu agak bergemetar. Maka lo ciau berkesimpulan,
kemungkinan besar kedua orang tuamu mati dibunuh orang. Ya,
kan?" "Lo jin keh!" Siau Liong terkejut bukan main.
"Nak!" Nada suara orang tua buta berubah lembut. "Lo ciau
mengerti kenapa engkau berdusta. Mungkin engkau punya suatu
kesulitan, mungkin juga musuh-musuhmu itu sangat lihay. Ya, kan?"
"Lo jin keh!" Siau Liong menundukkan kepala.
"Lo ciau pun tahu, engkau berdusta tentang margamu." Orang
tua buta tersenyum lembut.
Saat ini, Siau Liong pun tahu bahwa orang tua buta itu bukan
orang biasa, maka ia tidak berani berdusta lagi.
"Lo jin keh!" Siau Liong menarik nafas panjang. "Dugaan lo jin
keh memang benar, boan pwe punya dendam berdarah. Oleh karena
itu".. boan pwe mohon maaf karena telah berdusta tadi."
"Nak." Orang tua buta tersenyum lembut lagi. "Lo ciau adalah
orang tua yang berpengertian, engkau telah mengakuinya, tentunya
lo ciau juga tidak akan mempersalahkanmu lagi. Bahkan".. tidak
akan menanyakan tentang riwayat hidupmu."
116 "Terima kasih, lo jin keh!" ucap Siau Liong setulus hati.
Orang tua buta itu tidak bertanya apa-apa lagi, namun
mendadak wajahnya berubah serius sambil memikirkan sesuatu.


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lama sekali, akhirnya Siau Liong berbatuk beberapa kali. Akan
tetapi, orang tua buta itu tetap diam.
Berselang beberapa saat kemudian, wajah orang tua buta itu
tampak lembut. "Nak, engkau jangan bertanya apa pun! Kemarilah!"
Siau Liong terheran-heran.
"Ada apa, lo jin keh?" tanyanya.
"Nak." Orang tua buta itu tampak penuh kasih sayang. "Engkau
ke mari dulu! Lo ciau ingin merabamu."
"Lo jin keh ingin meraba boan pwe?" Siau Liong bertambah
heran. Bagian ke 16: Meraba Tulang
"Ya." Orang tua buta itu mengangguk.
"Kenapa lo jin keh ingin merabaku?" Siau Liong bingung.
"Lo ciau ingin menyuruhmu melaksanakan sesuatu, namun tidak
tahu engkau mampu atau tidak. Maka lo ciau harus merabamu dulu,
agar tahu jelas mampukah engkau melaksanakannya?"
"Lo jin keh!" tanya Siau Liong heran. "Hanya dengan meraba, lo
jin keh bisa tahu?"
"Tidak salah. Lo ciau ahli dalam hal meraba tulang, maka hanya
dengan meraba lo ciau sudah tahu dirimu mampu atau tidak."
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Ternyata
begitu"..."
Orang tua buta itu tersenyum.
"Lo jin keh menghendaki boan pwe melaksanakan sesuatu,
apakah sulit sekali melaksanakannya?" Siau Liong bertanya.
"Dibilang sulit ya tidak, dibilang tidak justru sulit sekali," jawab
orang tua buta sambil mengerutkan kening.
"Lo jin keh, sebetulnya urusan apa itu" Bolehkah lo jin keh
memberitahukan boan pwe?"
Orang tua buta menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak bisa. Sebelum lo ciau meraba tulangmu dan memastikan
mampu tidaknya dirimu, lo ciau tidak bisa memberitahukan tentang
urusan itu."
117 Usai orang tua buta berkata, pada waktu bersamaan terdengar
suara langkah yang ringan.
Ternyata Cing Ji memunculkan diri, dan mendekati Siau Liong
dengan mata berbinar-binar.
"Siau Liong ko," ujarnya berseri. "Cepatlah mendekati yaya biar
diraba tulangmu!"
"Cing Ji"..."
Ucapan Siau Liong terputus, karena Cing Ji telah menarik Siau
Liong ke hadapan orang tua buta itu.
Orang tua buta itu menjulurkan sepasang tangannya, lalu
memegang badan Siau Liong dengan wajah serius. Setelah itu,
mulailah orang tua buta itu meraba-raba badan Siau Liong.
Cing Ji memandang dengan penuh perhatian, bahkan tampak
tegang sambil memperhatikan air muka kakeknya.
Kening orang tua buta itu berkerut, hatinya pun berdebar.
Kenapa begitu" Seandainya bertanya padanya, gadis itu pun tidak
tahu sebab musababnya.
Namun dalam benaknya merasakan sesuatu, juga mengandung
suatu harapan. Ia berkesan baik pada Siau Liong, maka berharap
orang tua buta itu jangan terus mengerutkan kening. Untung orang
tua buta itu hanya dua kali mengerutkan kening, diam-diam gadis itu
pun menarik nafas lega.
Berselang sesaat, orang tua buta itu menarik sepasang
tangannya dengan wajah cerah.
"Tuhan mengasihimu, akhirnya lo ciau menemukan orang yang
cocok, dan dapat terkabul apa yang lo ciau inginkan itu." gumam
orang tua buta itu, lalu tertawa gelak.
Ketika melihat orang tua buta itu tertawa, wajah Cing Ji pun
ceria dan ikut tertawa pula dengan nyaring. Kemudian gadis itu
menarik Siau Liong dan berjingkrak saking girangnya.
"Siau Liong, engkau telah terpilih! Cing Ji turut gembira!"
Cing Ji begitu gembira, sebaliknya Siau Liong malah tampak
bodoh terbengong-bengong.
"Ini apa gerangannya" Kenapa aku terpilih?" tanya Siau Liong.
Pada waktu bersamaan, ia pun teringat sesuatu. Mungkinkah ia
terpilih untuk melaksanakan sesuatu itu"
"Huaha ha ha!" Orang tua itu masih tertawa gelak.
118 "Lo jin keh, apakah boan pwe terpilih untuk melaksanakan
sesuatu itu" Apakah lo jin keh memastikan boan pwe mampu
melaksanakannya?" Siau Liong menatap orang tua buta itu.
"Betul." Orang tua buta mengangguk. "Nak, lo ciau telah
memilihmu dan memutuskan untuk menyerahkan urusan itu
padamu." "Lo jin keh".." ujar Siau Liong terputus.
"Cing Ji," ujar orang tua buta pada cucunya. "Cepat buka pintu
ruang rahasia, kemudian pasang hio!"
"Ya, yaya." Cing Ji mendekati tembok batu, lalu menekan sebuah
tombol di tembok batu itu.
Kraaak! Pintu rahasia di tembok batu itu terbuka.
Cing Ji melangkah masuk dan tak seberapa lama kemudian,
ruang rahasia itu pun tampak terang.
"Yaya!" seru Cing Ji dari dalam ruang rahasia itu. "Cing Ji sudah
pasang hio, yaya bawa Siau Liong ko ke mari!"
Orang tua buta itu bangkit berdiri, lalu menaruh tangannya di
atas bahu Siau Liong.
"Nak, mari kita ke dalam!" katanya.
Walau merasa heran dalam hati, Siau Liong sama sekali tidak
berani bertanya apa pun. Ia mengikuti orang tua buta itu memasuki
ruang rahasia sambil menengok ke sana ke mari.
Di dalam ruang rahasia itu terdapat sebuah meja batu dan
sebuah tempat pasang hio di atas meja batu itu. Di tembok di
belakang meja batu itu tergantung sebuah gambar dewa, tampak
pula tiga batang hio menyala, dan mengepulkan asap di dalam
tempatnya. "Nak," ujar orang tua berwibawa tapi lembut. "Cepatlah engkau
berlutut tiga kali dan bersujud sembilan kali!"
Siau Liong melongo saking merasa heran. Cing Ji segera berkata
mendesaknya. "Siau Liong ko, cepat lakukan!" Nada suaranya penuh
mengandung harapan tapi gugup karena Siau Liong belum
melakukan penghormatan itu.
Siau Liong merasa ragu, namun kemudian menurut juga. Usai
melakukan penghormatan, ia pun menarik nafas dalam-dalam.
"Siau Liong ko!" Wajah Cing Ji berseri. "Setelah bersujud di
hadapan causu (kakek guru) engkau pun harus bersujud pada yaya!"
119 Siau Liong tertegun. Ketika ia baru mau membuka mulut, justru
orang tua buta telah menegur Cing Ji.
"Cing Ji, jangan banyak mulut! Pergilah melihat nasi sudah
matang belum, kemudian tunggu di luar saja!"
"Ya." Cing Ji mengangguk, lalu segera meninggalkan ruang
rahasia itu. Hening seketika di dalam ruang rahasia tersebut. Siau Liong
merasa heran, tapi ia tidak berani bertanya.
"Nak!" Orang tua buta tersenyum lembut. "Kenapa engkau tidak
bicara?" "Lo jin keh, boan pwe tidak tahu harus bicara apa?"
"Nak, bukankah banyak pertanyaan di dalam benakmu" Kenapa
engkau tidak mencetuskannya?"
"Memang banyak pertanyaan di dalam benak boan pwe, tapi
tidak tahu boleh bertanya atau tidak. Maka".. boan pwe terpaksa
diam." Orang tua buta tertawa-tawa, lalu manggutmanggut.
"Nak, inilah kelebihanmu. Walau merasa heran kamu masih
dapat mengendalikan diri untuk tidak bertanya."
"Lo jin keh terlampau memuji, membuat boan pwe jadi malu
hati." "Mau merendah diri itu memang baik sekali." Orang tua buta
manggut-manggut dan menambahkan, "Sesungguhnya, tidaklah
begitu gampang untuk merendah diri."
"Lo jin keh"..." Wajah Siau Liong tampak kemerah-merahan.
"Nak, tahukah engkau kenapa lo ciau berbuat demikian?" tanya
orang tua buta mendadak.
"Boan pwe sangat bodoh, mohon lo jin keh memberi petunjuk!"
"Nak." Wajah orang tua buta berubah serius. "Kalau dijelaskan,
ini merupakan keberuntunganmu."
"Lo jin keh, boan pwe sama sekali tidak mengerti, boan pwe
mohon penjelasan!"
"Baiklah." Orang tua buta manggut-manggut. "Lo ciau memang
harus menjelaskannya."
"Terima kasih, lo jin keh!"
"Nak, engkau bisa memperoleh keberuntungan ini, karena
memiliki bakat dan tulang yang istimewa, bahkan juga berhati bajik
dan berbudi luhur. Namun masih terdapat sedikit kekurangan"..."
Orang tua buta diam, berselang sesaat barulah dilanjutkan. "Nak,
120 engkau harus ingat. Mengenai cinta, engkau harus berhati-hati.
Kalau tidak berhati-hati, akan menimbulkan suatu badai dalam cinta
itu"..."
Orang tua buta menggeleng-gelengkan kepala, kemudian
menarik nafas panjang dengan mulut membungkam.
Walau orang tua buta tidak melanjutkan, namun Siau Liong
sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan orang tua buta itu
selanjutnya. Justru hatinya pun tersentak dan ujarnya dengan
hormat, "Boan pwe pasti ingat akan nasihat lo jin keh yang sangat
berharga itu."
"Nak, tahukah engkau siapa causu yang digambar itu?" tanya
orang tua buta mendadak.
"Boan pwe tidak tahu."
"Kedua orang tuamu adalah orang bu lim maka engkau pun pasti
pernah mendengar mengenai orang-orang bu lim dari kedua orang
tuamu." "Walau boan pwe pernah dengar, tetapi masih tidak begitu
tahu." "Nak!" Wajah orang tua buta tampak serius. "Pernahkah engkau
dengar dalam bu lim terdapat sebuah Jit Goat Seng Sim Ki (Panji
Hati Suci Matahari Bulan)?"
Ketika mendengar itu, wajah Siau Liong tampak terperanjat.
"Boan pwe pernah dengar. Apakah gambar itu adalah"..."
"Nak, dugaanmu itu tidak salah, gambar itu memang causu Jit
Goat Seng Sim Ki."
"Hah" Kalau begitu, lo jin keh adalah"..."
"Lo ciau adalah generasi keempat pemegang panji itu." Orang
tua buta memberitahukan.
"Oh?" Siau Liong tampak menghormat sekali. "Ternyata lo jin
keh adalah Kian Kun Ie Siu yang menggetarkan bu lim masa itu!
Mohon maaf, boan pwe tidak mengetahuinya, sehingga berlaku
kurang hormat tadi!"
"Ha ha ha!" Orang tua buta itu tertawa terbahak-bahak. "Lo ciau
memang Kian Kun Ie Siu (Orang aneh) itu."
"Lo jin keh"..."
"Nak, kini engkau sudah tahu niat lo ciau dalam hati?"
Tentunya Siau Liong tahu, Kian Kun Ie Siu memilihnya sebagai
generasi kelima pemegang panji itu.
121 Panji Hati Suci Matahari Bulan berkembang, bu lim di kolong
langit bergabung menjadi satu. Bisa menjadi generasi penerusnya,
memang merupakan kejadian yang amat luar biasa.
Itu merupakan keberuntungan Siau Liong, maka ia harus merasa
girang sekali. Akan tetapi, sungguh di luar dugaan, sebab Siau Liong
tampak hambar. "Boan pwe tahu niat to jin keh, maka boan pwe merasa bangga."
Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening, karena nada suara Siau
Liong begitu hambar, tentunya membuat orang tua buta itu tidak
habis berpikir.
"Nak, kenapa engkau tidak tertarik dan sama sekali tidak merasa
girang?" tanya Kian Kun Ie Siu heran.
"Lo jin keh......" Siau Liong menarik nafas panjang. "Panji Hati
Suci Matahari Bulan berkembang, bu lim di kolong langit bergabung
menjadi satu. Bisa menjadi generasi penerus pemegang panji itu,
memang sangat menggembirakan. Namun"..."
"Kenapa?"
"Lo jin keh, bolehkah boan pwe mengajukan beberapa
pertanyaan?" tanya Siau Liong mendadak.
Kian Kun Ie Siu manggut-manggut.
"Boleh. Engkau mau bertanya apa, tanyalah!"
"Maaf, lo jin keh! Boan pwe pun ingin mohon agar lo jin keh
mengabulkan satu permintaan."
"Permintaan apa?"
"Apa yang boan pwe tanyakan, boan pwe harap agar lo jin keh
jangan gusar atau tidak mau menjawab. Inilah pertanyaan boan
pwe......"
Kian Kun Ie Siu berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Baiklah, lo ciau mengabulkan."
"Terima kasih, lo jin keh!" ucap Siau Liong dan melanjutkan,
"Mulai saat ini, lo jin keh berniat mengajar boan pwe bu kang tingkat
tinggi?" "Betul."
"Apakah lo jin keh ingin mewariskan boan pwe Hu Ki Sin Kang
Sam Cauw (Tiga jurus sakti pelindungi panji) itu?"
"Tidak salah." Kian Kun Ie Siu mengangguk serius. "Karena lo
ciau telah mengambil keputusan untuk menerimamu sebagai murid
generasi penerus pemegang panji itu, maka harus pula mewariskan
122 tiga jurus sakti pelindungi panji tersebut padamu. Kalau tidak,
bagaimana mungkin engkau mampu melindungi panji itu?"
"Lo jin keh, bolehkah boan pwe mengajukan satu pertanyaan
lagi?" "Tentu boleh." Kian Kun Ie Siu tertawa. "Tanyalah!"
"Betulkah tiga jurus sakti itu tiada lawannya di kolong langit ini?"
Ternyata ini yang ditanyakan Siau Liong.
Pertanyaan ini membuat air muka Kian Kun Ie Siu berubah,
kening pun berkerut-kerut.
"Engkau kurang yakin akan kesaktian tiga jurus itu?"
"Apakah lo jin keh telah melupakan permintaan boan pwe tadi?"
Kian Kun Ie Siu tertegun, namun tersenyum seraya berkata
dengan lembut memberi penjelasan pada Siau Liong.
"Nak, tiga jurus sakti pelindung panji memang sakti sekali. Tiada
lawan di kolong langit bukan omong kosong."
"Lo jin keh, tiada lawan di kolong langit dimaksudkan satu lawan
satu?" tanya Siau Liong mendadak.
"Itu tergantung pada kepandaian pihak lawan. Kalau cuma
merupakan orang berkepandaian kelas satu dalam bu lim, walau


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berjumlah belasan orang, itu pun bukan lawan tiga jurus sakti."
"Bagaimana kalau menghadapi bu lim ko ciu tingkat tinggi?"
"Walau berjumlah dua tiga orang, tentu tidak akan kalah."
"Seandainya ditambah beberapa orang lagi?"
"Apa?" Kian Kun Ie Siu tertegun. "Ditambah, beberapa orang
lagi?" "Ya." Siau Liong mengangguk. "Misalnya menghadapi Siang
Hiong Sam Koay?"
Kian Kun Ie Siu tampak terkejut.
"Nak, apakah itu mungkin" Para siluman tua itu......"
"Itu mungkin. Lo jin keh, kini boan pwe harus berterus terang
mengenai musuh-musuh boan pwe."
"Nak!" Orang tua buta itu tersentak. "Musuh-musuhmu itu
adalah Thai Nia Siang Hiong Sam Koay?"
Kian Kun Ie Siu menggeleng-gelengkan kepala. Berselang sesaat
ia melanjutkan dengan kening berkerut-kerut.
"Itu tidak mungkin. Bukankah mereka telah dipukul jatuh ke
dalam jurang Ok Hun Nia oleh Pek tayhiap" Kalau tidak salah,
mereka berlima telah mati bukan?"
123 "Tapi Siang Hiong justru tidak mati. Belum lama ini, mereka
berdua telah muncul di bu lim. Dua puluh hari yang lalu, ada orang
melihat mereka berada di Si Hai Ciu Lau, Ling Ni."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu tampak kurang percaya. "Siapa yang
melihat mereka?"
"Bun Fang, saudara tertua Thai Hang Ngo Sat."
"Bun Fang yang memberitahukan padamu?"
"Boan pwe tidak kenal mereka, bagaimana mungkin mereka
memberitahukan pada boan pwe?"
"Kalau begitu"..."
"Tanpa sengaja Ouw Yang Seng Tek, Kay Pang tiang lo
menanyakan tentang itu pada Bun Fang."
"Ooooh!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Kay Pang tiang to
itu Si Tongkat Sakti?"
"Betul."
"Engkau kenal pengemis tua itu?"
Siau Liong tidak mau menutur tentang apa yang terjadi di rumah
penginapan itu, hanya menjawab sekenanya.
"Boan pwe tidak kenal. Pada waktu itu kebetulan kami berada di
rumah penginapan yang sama, dan tanpa sengaja boan pwe
mendengar pembicaraan mereka."
"Kalau begitu......" Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening. "Kalau
Siang Hiong tidak mati, mungkin begitu juga Sam Koay."
"Itu memang mungkin."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir beberapa saat
lamanya. "Kalau begitu, musuh-musuhmu itu adalah Siang Hiong
Sam Koay?"
"Sementara ini, boan pwe belum begitu jelas, namun boan pwe
yakin pasti ada kaitannya dengan mereka."
"Oooh!" Kian Kun Ie Siu tertawa gelak dan telah menduga
sesuatu. "Nak, aku sudah memahami keinginan hatimu."
"Lo jin keh!" Siau Liong menundukkan kepala.
"Karena khawatir tiga jurus sakti pelindung panji itu tidak
mampu melawan Siang Hiong Sam Koay, maka engkau pun jadi
ragu?" "Boan pwe memang ragu." Siau Liong mengangguk. "Boan pwe
mohon agar lo jin keh memberi maaf!"
124 "Ha ha ha!" Orang tua buta tertawa. "Engkau ragu memang
wajar, sebab musuh-musuhmu itu memang telah tersohor puluhan
tahun yang lampau."
"Justru karena itu"..." Siau Liong menari nafas panjang. "Boan
pwe memikul dendam berdarah, bahkan sewaktu-waktu boan pwe
akan terbunuh, itu merupakan urusan kecil. Namun Panji Hati Suci
Matahari Bulan adalah benda mustika dalam bu lim. Kalau boan pwe
tidak mampu menjaga panji itu dan terjatuh ke tangan golonga
hitam, bukankah"..."
Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. Apa yang dikatakan Siau
Liong memang benar, kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi,
bagaimana mungkin mampu menjaga panji itu" Kian Kun Ie Si
mengerutkan kening sambil berpikir.
Bagian ke 17: Asal Usul
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu kemudian. "Engkau mau ke Lam Hai,
mungkinkah ingin mencari Ca Hong To (Pulau Pelangi) yang
merupakan dongeng dalam bu lim itu?"
Kini Siau Liong telah mengetahui tentang diri orang tua buta itu,
maka ia pun tidak berani berdusta lagi.
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Kalau tidak mempelajari bu kang
tingkat tinggi Pulau Pelangi itu, bagaimana mungkin mampu
melawan Siang Hiong Sam Koay dan Pat Tay Hiong Jin" Itu berarti
boan pwe tidak bisa membalas dendam berdarah itu."
"Ngmm!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut. "Engkau tahu
Pulau Pelangi itu berada di Lam Hai bagian mana?"
"Boan pwe tidak tahu."
"Engkau percaya di Lam-Hai terdapat Pulau Pelangi?"
"Boan pwe percaya."
"Nak"..," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir sejenak. "Lo ciau
punya usul, engkau bersedia mendengarnya?"
"Lo jin keh!" Siau Liong tersenyum. "Beritahukanlah tentang usul
lo jin keh itu!"
"Lo ciau usul agar engkau tidak usah ke Pulau Pelangi itu."
"Lho?" Siau Liong tertegun. "Kenapa?"
Kian Kun Ie Siu tersenyum lembut, namun wajahnya tampak
serius sekali. 125 "Lo ciau akan menunjukkan sebuah jalan untukmu, inilah usul lo
ciau." "Oh?" Siau Liong heran. "Jalan apa?"
"Pergi menemui seseorang."
"Menemui seseorang?" Sepasang mata Siau Liong berbinar.
"Boan pwe mohon petunjuk!"
"Nak, orang itu Pendekar Aneh Rimba Persilatan yang memiliki
bu kang tingkat tinggi."
"Benarkah orang itu memiliki bu kang tinggi?" tanya Siau Liong
agak ragu. "Tayhiap itu memang memiliki bu kang yang luar biasa tinggi."
Kian Kun Ie Siu memberitahukan. "Dia boleh dikatakan bu lim te it
(Nomor satu rimba persilatan)."
"Kalau begitu, berarti tiada tanding di kolong langit?"
"Tidak salah." Kian Kun Ie Siu mengangguk. "Bu lim ko ciu
(Orang berkepandaian tinggi rimba persilatan), tiada seorang pun
yang melawannya dalam tiga jurus."
"Oh! Kalau begitu, dia pasti tersohor dalam bu lim?"
"Benar. Namun tayhiap itu tidak mau cari nama di rimba
persilatan. Dia hidup tenang bersama isterinya tercinta." Kian Kun Ie
Siu memberitahukan. "Asal engkau pergi menemui tayhiap itu dan
belajar bu kangnya, maka engkau pun akan mampu melawan Siang
Hiong Sam Koay seorang diri."
"O, ya?" Siau Liong tampak gembira sekali. "Lo jin keh, boan
pwe harus ke mana menemui tayhiap itu?"
"Lo ciau pasti beritahukan, tapi"..."
"Kenapa?"
"Terlebih dahulu engkau harus tinggal di sini tiga bulan."
"Itu".. kenapa, lo jin keh?"
"Lo ciau akan mewariskan kepadamu tiga jurus sakti pelindung
panji, sekaligus mengangkatmu sebagai generasi kelima pemegang
panji itu."
"Lo jin keh"..."
"Engkau mengabulkan?"
"Apakah ini merupakan syarat, lo jin keh?"
"Boleh dibilang ya, boleh juga dibilang tidak."
"Maksud lo jin keh?"
Kian Kun Ie Siu menarik nafas ringan, setelah itu ia berkata,
126 "Usia lo ciau sudah tujuh puluhan. Karena mengidap semacam
penyakit aneh, maka sepasang mata lo ciau jadi buta. Oleh karena
itu, tiga jurus sakti pelindung panji harus ada pewarisnya. Engkau
berbakat dan berhati bajik, maka engkaulah pewarisnya."
"Lo jin keh"..."
"Nak, engkau harus memiliki dasar lwee kang perguruan lo ciau,
setelah itu barulah engkau pergi menemui tayhiap itu." Kian Kun Ie
Siu menjelaskan. "Tentunya tidak sulit lagi bagimu untuk
mempelajari bu kangnya. Seandainya tayhiap itu menolak, tapi
begitu melihat Jit Goat Seng Sim Ki ini, dia pasti menerimamu.
Engkau mengerti, Nak?"
"Boan pwe mengerti." Siau Liong mengangguk hormat. "Terima
kasih atas kebaikan lo jin keh, boan pwe turut perintah."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu. "Kalau begitu, kenapa engkau masih
belum bersujud mengangkat lo ciau sebagai guru?"
"Itu pasti, tapi"..."
"Apa yang engkau ragukan lagi, Nak?"
"Mohon maaf, lo jin keh! Boan pwe ingin tahu siapa tayhiap itu?"
Wajah Kian Kun Ie Siu berubah.
"Engkau tidak mempercayai omongan lo ciau?" tanyanya.
"Boan pwe percaya, namun ingin tahu siapa tayhiap itu."
"Oh?" Kening Kian Kun Ie Siu berkerut. "Seandainya lo ciau tidak
memberitahukan dulu, engkau pun tidak mau mengangkat lo ciau
sebagai guru?"
"Walau boan pwe harus ke Lam Hai mencari Pulau Pelangi itu,
tetap akan mengangkat lo jin keh sebagai guru dan bersedia
menjaga panji itu."
"Ngmm!" Kian Kun Ie Siu manggut-manggut, wajahnya pun
berubah lembut lagi. "Baiklah lo ciau beritahukan."
"Terima kasih, lo jin keh!"
"Nak, pendekar rimba persilatan itu pernah bertarung dengan
Siang Hiong Sam Koay seorang diri belasan tahun yang lalu, dia
adalah Pek tayhiap."
Mendengar itu, Siau Liong merasa dirinya seperti tersambar
geledek di siang hari bolong. Sekujur badannya bergemetar dan air
mata pun mengucur.
Sudah lama Kian Kun Ie Siu menetap di dalam goa, maka tidak
tahu apa yang telah terjadi dalam rimba persilatan.
127 "Lo jin keh!" Siau Liong menghapus air matanya. "Lo jin keh
kenal Pek tayhiap?"
"Kenal." Kian Kun Ie Siu mengangguk. "Lo ciau dan Pek tayhiap
pernah bertemu beberapa kali, hubungan kami pun sangat baik."
Mendengar itu, Siau Liong berduka sekali sehingga air matanya
mengucur lagi, namun berusaha menahan isak tangisnya.
Cing Ji yang berdiri di luar, mendengar juga isak tangis Siau
Liong. Gadis itu mengira Siau Liong dimarahi kakeknya.
Segeralah ia menerjang ke dalam ruang rahasia itu, dan melihat
wajah Siau Liong yang pucat pias seperti kertas.
Kian Kun Ie Siu tidak melihat bagaimana wajah Siau Liong,
namun mendengar isak tangisnya yang memilukan.
Ketika menyaksikan wajah Siau Liong yang pucat pias itu, Cing Ji
terkejut bukan main.
"Siau Liong ko, kenapa engkau"..?" tanyanya cemas dan penuh
perhatian. Siau Liong tidak menyahut. Tak lama ke mudian, hatinya sudah
tenang kembali, dan memandang Cing Ji seraya berkata,
"Cing Ji, terima kasih atas perhatianmu! Aku"... aku tidak apaapa."
Begitu mendengar jawaban Siau Liong, Cin Ji pun menarik nafas
lega, namun wajahnya penu diliputi keheranan.
"Kenapa Siau Liong ko?"
"Adik Cing, aku tidak bisa menahan rasa duka di dalam hati"..,"
ujar Siau Liong dan kemudia mengarah pada Kian Kun Ie Siu. "Lo jin
keh maafkan sikap boan pwe barusan!"
"Nak, lo ciau tidak menyalahkanmu." Kian Kun Ie Siu tersenyum
lembut. "Terima kasih, lo jin keh!" ucap Siau Lion dan melanjutkan, "Kini
tidak perlu ke Ciok La San Cung lagi."
"Kenapa?" Kian Kun Ie Siu tertegun. "Maksudmu?"
"Percuma boan pwe ke sana."
"Nak." Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening "Apakah engkau
telah ke sana?"
"Boan pwe justru datang dari sana."
"Pek tayhiap menolakmu, Nak?"
"Tidak."
"Kalau begitu, engkau tidak bertemu Pek tayhiap?"
"Lo jin keh, Ciok Lau San Cung itu sudah tiada penghuninya."
128 "Apa"!" Kening Kian Kun Ie Siu berkerut-kerut. "Kok Ciok Lau
San Cung tiada penghuninya?"
"Pek tayhiap dan isterinya telah meninggal, seluruh penghuni
perkampungan itu pun telah mati."
"Haah"..?" Kian Kun Ie Siu terkejut bukan main. "Apakah Pek
tayhiap dan isterinya dibunuh oleh para iblis itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Itu bagaimana mungkin" Iblis mana yang memiliki bu kang
yang lebih tinggi dari Pek tayhiap?"
Siau Liong mulai menangis sedih lagi.
"Lo jin keh, meskipun Pek tayhiap memiliki bu kang yang luar
biasa tinggi, bagaimana mampu melawan Mo, Tok, Koay, Hiong
(Iblis, Racun, Siluman, Buas) yang bergabung itu?"
"Hah" Apa?" Sekujur badan orang tua itu tergetar saking
terkejutnya. "Apakah Pat Tay Hiong Jin yang turun tangan jahat
terhadap Pek tayhiap dan isterinya?"
"Mereka berdelapan atau bukan, boan pwe tidak berani
memastikan. Tapi boan pwe menduga mereka berdelapan itu."
"Apakah tiada seorang pun yang dapat lobos dari perkampungan
itu?" tanya Kian Kun Ie Siu mendadak.
"Ada seseorang yang lolos."
"Siapa orang itu?" tanya Kian Kun Ie Siu cepat.
"Lo jin keh".." jawab Siau Liong sedih. "Orang itu boan pwe."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu tertegun, tapi kemudian wajahnya tampak
berseri. "Nak, kalau begitu engkau adalah"..."
"Lo jin keh, sesungguhnya boan pwe marga Pek, bernama Giok
Liong." Siau Liong memberitahukan secara jujur.
"Hah"..?" Kian Kun Ie Siu memeluknya erat-erat. "Nak"..."
"Lo jin keh"..." Air mata Siau Liong berderai.
"Nak, sungguhkah engkau tidak tahu siapa-siapa pembunuh itu?"
tanya Kian Kun Ie Siu.
"Lo jin keh," jawab Siau Liong sedih. "Ketika itu tengah malam,
seseorang menotok jalan tidur boan pwe, lalu membawa boan pwe
pergi ke suatu tempat yang rahasia, maka boan pwe tidak tahu jelas
siapa pembunuh-pembunuh itu."
"Oh!" Kian Kun Ie Siu berpikir sejenak. "Tahukah engkau siapa
yang membawamu pergi?"
"Boan pwe tidak tahu. Ketika boan pwe mendusin, saat itu sudah


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hari kedua. Lagi pula boan pwe baru sadar diri bahwa boan pwe
129 berada di dalam sebuah goa." Siau Liong menjelaskan. "Di sini boan
pwe terdapat secarik kertas yang berisi beberapa baris tulisan
berupa suatu pesan, bahwa setelah boan pwe mendusin dan tiada
orang ke mari menjemput, maka tidak boleh pulang ke Ciok Lau San
Cung, harus segera berangkat ke Lam Hai mencari Cai Hiong To
untuk mempelajari bu cang tingkat tinggi di pulau itu demi
membalas dendam berdarah itu."
"Oh?" Kian Kun Ie Siu mengerutkan kening. "Siapa orang itu?"
"Boan tidak tahu." Siau Liong melanjutkan, "Setelah boan pwe
mendusin, boan pwe pun terus menunggu, namun tiada seorang
pun yang datang menjemput boan pwe. Malam harinya, boan pwe
memberanikan diri pulang ke Ciok Lau San Cung, namun
perkampungan itu sepi sekali. Di mana-mana terdapat noda darah,
bahkan tampak pula beberapa makam baru, yakni makam kedua
orang tua boan pwe. Betapa sedihnya boan pwe, tapi masih
menyadari bahaya yang mengancam boan pwe, maka boan pwe
segera kabur. Kemudian boan pwe menempuh jalan siang dan
malam berangkat ke Lam Hai."
"Nak, kalau engkau tidak menemukan Pulau Pelangi, sulitlah
bagimu untuk menuntut balas."
"Benar, lo jin keh."
"Nak," ujar Kian Kun Ie Siu setelah berpikir. "Mulai malam ini, lo
ciau akan mengajarmu lwee kang sekaligus mewariskan tiga jurus
sakti pelindung panji. Tiga bulan kemudian, engkau boleh berangkat
ke Lam Hai. Bagaimana, Nak?"
"Boan pwe turut perintah," ucap Siau Liong. Ia lalu bersujud di
hadapan Kian Kun Ie Siu. "Teecu (murid) memberi hormat pada
Suhu!" Bagian ke 18: Ekspedisi Yang Wie
Di sebelah utara Kota Teng Hong, terdapat sebuah bangunan
yang amat megah, yakni Gedung Yang Wie Piau Kok (Ekspedisi Yang
Wie) yang amat terkenal.
Dalam lima tahun ini, semua pengiriman ekspedisi itu tidak
pernah diganggu penjahat yang mana pun. Maka nama ekspedisi
tersebut terus melambung tinggi. Hal itu membuat pengelola
ekspedisi lain menjadi iri. Namun mereka sama sekali tidak berani
macam-macam terhadap ekspedisi Yang Wie.
130 Terkenalnya Ekspedisi Yang Wie juga karena pemimpinnya
tergolong bu lim ko ciu. Para anak buahnya tiada satu pun yang
berkepandaian rendah, rata-rata memiliki kepandaian kelas tinggi.
Oleh karena itu, para penjahat yang mana pun tidak berani
mengganggu ekspedisi tersebut.
Walau demikian, ekspedisi Yang Wie tidak melupakan satu hal,
yakni mengirim upeti kepada para penyamun. Justru karena itu, para
penjahat yang mana pun sangat menghormati ekspedisi itu.
Di halaman belakang gedung ekspedisi Yang Wie terdapat
sebuah bangunan kecil. Bangunan itu merupakan tempat terlarang.
Jika malam sudah larut semua jendela bangunan kecil itu tertutup
rapat. Suasana di sekitarnya pun tampak gelap gulita.
Akan tetapi, malam ini tampak berbeda. Biasanya tiada seorang
pun berada di dalam bangunan kecil itu, namun saat ini tampak dua
orang duduk berhadapan. Yang seorang mengenakan baju kuning
emas, yang seorang lagi mengenakan baju putih perak. Masingmasing
mengenakan kain penutup wajah yang warnanya sama
dengan bajunya.
Kedua orang itu duduk diam dengan mulut membungkam.
Berselang beberapa saat kemudian, orang berbaju kuning emas
membuka mulut. "Engkau sudah mengutus orang untuk menyelidiki?" tanyanya
dengan suara rendah.
"Sudah." Orang berbaju putih perak mengangguk.
"Bagaimana hasilnya?" tanya orang berbaju kuning emas.
"Sudah menyelidiki semua itu?"
"Tidak semua," jawab orang berbaju putih perak. "Cuma
sebagian saja."
"Kalau begitu, beritahukanlah yang sebagian itu!"
"Ya." Orang berbaju putih perak mengangguk. "Itu adalah bu lim
tiap (Kartu rimba persilatan) yang disebarkan Partai Kay Pang."
"Oh?" Orang berbaju kuning emas tampak berpikir keras. "Kalau
begitu, urusan itu sangat mengherankan."
"Kenapa mengherankan?"
"Demi mencari seseorang bernama Hek Siau Liong, pihak Kay
Pang telah menyebarkan bu lim tiap minta bantuan pada partai
besar lainnya. Nah, bukankah urusan kecil dibesar-besarkan"
Tentunya merupakan urusan yang luar biasa."
Orang berbaju putih perak manggut-manggut.
131 "Itu memang luar biasa."
Orang berbaju kuning emas tertawa-tawa.
"Maka sungguh mengherankan," ujar orang berbaju kuning
emas. "Urusan itu pasti mengandung sesuatu yang sulit dimengerti
orang lain."
"Oh?"
"Tahukah engkau bagaimana peraturan bu lim tiap itu?"
"Shia coh tahu tentang itu."
Orang berbaju perak menyebut dirinya shia coh (aku tingkat
rendah), itu berarti orang berbaju kuning emas berkedudukan lebih
tinggi. Jadi siapa kedua orang itu"
"Kalau begitu, aku bertanya, kenapa hanya mencari Hek Siau
Liong harus menyebarkan bu lim tiap?"
Orang berbaju putih perak berpikir sejenak, kemudian
mengangguk. "Aku mengerti, tentunya berkaitan dengan diri Hek
Siau Liong."
"Tidak salah. Itu pertanda asal-usul Hek Siau Liong sangat luar
biasa," ujar orang berbaju kuning emas. "Kalau tidak, bagaimana
mungkin pihak Kay Pang akan menyebarkan bu lim tiap."
"Betul." Orang berbaju putih perak mengangguk.
"Tentunya".." tambah orang berbaju kuning emas. "Tidak
mungkin urusan kecil dibesarkan begitu, lagi pula partai besar
lainnya pasti akan bertindak kalau pihak Kay Pang berani main-main
dengan bu lim tiap."
"Kalau begitu......" Orang berbaju putih perak tampak berpikir
sejenak. "Sang coh (atasan) menganggap asal-usul Hek Siau Liong
itu......"
Ternyata orang berbaju kuning emas itu atasan orang berbaju
putih perak. Orang berbaju kuning emas tidak menyahut, sebaliknya
malah bertanya.
"Sungguhkah Hek Siau Liong telah dibunuh?"
"Apakah sang coh bercuriga akan laporan Toan Beng Thong?"
Orang berbaju kuning emas menggelengkan kepala.
"Itu tidak perlu bercuriga, lagi pula Toan Beng Thong tidak akan
berani memberi laporan palsu."
"Ya." Orang berbaju putih perak manggut-manggut. "Sang coh
benar." "Engkau mau menyuruh mereka untuk menyelidiki asal-usul Hek
Siau Liong?" tanya orang berbaju kuning emas.
132 "Sudah diselidiki"..."
"Oh?" Orang berbaju kuning emas mengarah padanya.
"Bagaimana hasilnya?"
"Tiada hasilnya." Orang berbaju putih perak menggelengkan
kepala. "Bahkan orang-orang partai besar pun tidak mengetahui
asal-usulnya."
Orang berbaju kuning emas tampak tercengang.
"Itu.....," ujarnya bergumam. "Sungguh mengherankan!"
"Ya, memang sungguh mengherankan."
"Oh ya." Orang berbaju kuning emas teringat sesuatu.
"Mengenai asal-usul marga pemuda Se dan orang-orangnya itu,
sudah diselidiki?"
"Tentang itu, shia coh sudah mengutus beberapa orang pergi ke
Lam Hai untuk menyelidikinya."
"Ngm!" Orang berbaju kuning emas manggut-manggut. "Kirakira
kapan mereka pulang?"
"Paling cepat pun harus dua puluh hari, kita baru bisa menerima
kabar beritanya."
Orang berbaju kuning emas manggut-manggut lagi, kemudian
mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana dengan mayat Hek Siau Liong?"
"Toan Beng Thong telah melapor, mayat itu telah dikubur."
"Tahu jelaskah tempat itu?"
"Pinggir kota Pin Hong, tapi tidak begitu jelas tempat
penguburannya."
"Orang Pin Hong sana tahu?"
"Justru orang sana yang melakukannya."
"Oooh!" Orang berbaju kuning emas manggutmanggut.
"Sang coh menanyakan tentang itu, apakah berniat pergi
menyelidikinya?" tanya orang berbaju putih perak.
"Betul." Orang berbaju kuning emas mengangguk. "Mengenai
asal-usul Hek Siau Liong, aku telah menduga dalam hati, maka perlu
memeriksa mayatnya."
"Oh?" Orang berbaju putih perak agak tercengang.
"Kalau memperoleh bukti yang sesuai dengan dugaanku, kita
pun akan memperoleh suatu kebanggaan pula."
"Bagaimana dugaan sang coh mengenai asal-usul Hek Siau
Liong?" tanya orang berbaju putih perak mendadak.
133 "Sekarang engkau jangan bertanya dulu!" Orang berbaju kuning
emas tertawa ringan. "Sebelum ada bukti, aku tidak akan
memberitahukan."
"Ya." Orang berbaju putih perak mengangguk.
"Oh ya!" Orang berbaju kuning emas mengalihkan pembicaraan.
"Apakah Tancu (pemimpin aula) keenam, ketujuh dan kedelapan
melaporkan sesuatu?"
"Tidak."
"Tancu keempat dan kelima?"
"Mereka berdua sudah tiba di daerah Ciat Tang, namun belum
menemukan apa-apa."
"Bagaimana daerah lain?" tanya orang berbaju kuning emas
serius. "Belum ada laporan apa-apa?"
"Memang sudah ada laporan dari dua daerah, tapi ternyata telah
salah mencari orang." Orang berbaju putih perak memberitahukan.
"Oh" Jadi bagaimana urusan itu?" tanya orang berbaju kuning
emas sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Sudah dibereskan." Orang berbaju putih perak tertawa
terkekeh. "Shia coh tidak melepaskan satu pun."
"Oh?" Orang berbaju kuning emas juga tertawa.
"Boleh membunuh seratus, tapi tidak boleh melepaskan satu
pun," ujar orang berbaju kuning emas.
"Memang harus begitu." Orang berbaju kuning emas manggutmanggut
sambil tertawa gelak. "Pantas Taytie (Maha raja) menaruh
harapan padamu."
Orang berbaju putih perak tersenyum.
"Dan masih mendapat dukungan dari sang coh," sambungnya.
"Wuaah!" Orang berbaju kuning emas lagi. "Engkau semakin
pandai omong, bahkan juga mulai menepuk pantat."
"Terima kasih atas pujian sang coh!" ucap orang berbaju putih
perak sambil tertawa. "Shia coh"..."
Mendadak pada waktu bersamaan, terdengar suara yang dingin
dari atap bangunan itu.
"Kim Gin Siang Tie (Sepasang raja emas perak), cepatlah kalian
berdua menyambut Taytie Giok Cih (Surat perintah dari maha raja)!"
Ternyata kedua orang itu sepasang raja emas perak. Orang
berbaju kuning emas adalah Kim Tie (Raja emas), sedangkan orang
berbaju putih perak adalah Gin Tie (Raja perak).
134 Kalau begitu, siapa pula Taytie (Maha raja) itu" Yang jelas maha
raja itu adalah kepala pimpinan mereka.
Setelah mendengar suara itu, Kim Gin Siang Tie segera bangkit
berdiri, lalu menjura hormat.
"Mohon masuk!" ucap mereka berdua serentak.
Serrrt! Berkelebat sosok bayangan ke dalam bangunan itu. Sosok
bayangan itu adalah seorang yang kurus kecil, mukanya ditutupi
dengan kain hitam, mengenakan baju yang pinggirannya berwarna
kuning emas, bagian depan terdapat sebuah gambar macan tutul.
Siapa orang itu dan apa kedudukannya" Dia salah seorang dari
empat pengawal Taytie, Liong, Houw, Sai, Pa (Naga, Harimau,
Singa, Macan tutul).
Begitu kaki menginjak lantai, Pa Si (Pengawal macan) pun
segera mengeluarkan segulung kertas.
"Kalian berdua terimalah Giok Cih ini!" ujar orang itu.
"Ya," sahut Kim Gin Siang Tie sambil memberi hormat. Kemudian
Kim Tie maju menerima surat perintah itu dan mengucap, "Silakan
duduk!" Pengawal itu menggelengkan kepala.
"Tidak usah." sahutnya. "Aku harus segera pulang untuk
melapor." Kim Gin Siang Tie berdiri menghormat, sedangkan pengawal itu
memandang mereka berdua sambil berkata.
"Memerintahkan aku untuk bertanya pada kalian, apakah sudah
ada kabar berita tentang anjing kecil itu?"
"Harap lapor kepada Taytie!" jawab Gin Tie. "Kalau sudah ada
kabar berita, kami berdua pasti segera pulang ke markas untuk
melapor." "Ngm!" Pengawal itu manggut-manggut. "Itu sungguh
mengherankan. Sudah hampir tiga bulan, kenapa masih belum ada
kabar berita tentang anjing kecil itu" Apakah anjing kecil itu telah
lenyap ditelan bumi?"
Kim Gin Siang Tie diam saja.
"Taytie sangat tidak puas akan urusan itu, menganggap para
bawahan tidak becus melaksanakan suatu tugas. Oleh karena itu,
beliau memerintahku untuk memperingatkan kalian. Kalau tidak
melaksanakan tugas itu dengan baik, maka kalian pasti dihukum
berat." 135 "Mohon lapor pada Taytie, kami telah berusaha keras untuk
menyelidiki masalah itu, bahkan kami pun mulai bercuriga dan akan
mengutus beberapa orang untuk mengadakan pemeriksaan. Kalau
kami melalaikan tugas itu, kami bersedia dihukum berat."
"Bagus." Pengawal itu manggut-manggut. "Oh ya! Mengenai
partai besar lain yang mencari Hek Siau Liong, menurut Taytie harus
diselidiki juga. Mungkin dia membantu anjing kecil itu, maka kalian
berdua harus menaruh perhatian mengenai urusan tersebut!"
Padahal Gin Tie ingin memberitahukan, bahwa Hek Siau Liong
telah dibunuh oleh orang-orang bawahannya, namun ia tidak berani
sembarangan mencetuskannya.
"Taytie sudah mengetahui urusan itu?" tanya Kim Tie.
"Bukan cuma itu, bahkan juga mengetahui tentang kejadian


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pinggir kota Pin Hong itu!"
"Oh?" Kim Gin Siang Tie terkejut bukan main.
"Tapi"..," tambah pengawal itu, "Taytie menganggap
kemungkinan besar anak itu bukan Hek Siau Liong."
"Mengapa?" Gin Tie heran. "Apakah ada Hek Siau Liong palsu?"
"Itu sulit dikatakan, namun Taytie sangat cerdas dan mampu
menduga sesuatu dengan tepat."
"Apakah Taytie juga mengetahui bahwa partai besar lain sedang
berusaha mencari Hek Siau Liong?" tanya Kim Tie.
"Ng!" Pengawal itu mengangguk.
"Juga mengetahui apa sebabnya partai besar lain berusaha
mencari Hek Siau Liong?" tanya Gin Tie lagi.
"Walau Taytie mengetahui partai Kay Pang yang menyebarkan
bu lim tiap, tapi tidak mengetahui jelas sebab musababnya, hanya
yakin itu merupakan urusan yang luar biasa sekali. Taytie sudah
memberi petunjuk dan mengatur sesuatu. Setelah kalian berdua
membaca surat perintah itu, tentu akan mengetahuinya."
"Taytie masih ada petunjuk lain?" tanya Kim Tie.
"Ada. Yaitu mengenai pemuda marga Se dan orang-orangnya.
Taytie memerintah kalian berdua serta para anak buah kalian, untuk
sementara ini jangan mencari gara-gara dengan mereka."
"Itu kenapa?" tanya Gin Tie heran.
"Taytie telah mencurigakan sesuatu, namun karena belum
mendapat bukti, maka beliau tidak memberitahukan."
Kim gin Siang Tie diam tak menyahut.
136 "Baiklah. Laksanakan tugas kalian dengan baik dan berhati-hati,
aku harus segera pulang untuk melapor!" ujar pengawal dengan
suara dalam sambil memandang mereka.
Usai berkata begitu, pengawal itu pun berkelebat pergi, begitu
cepat bagaikan kilat. Dapat dibayangkan betapa tingginya ginkang
pengawal tersebut.
Bagian ke 19: Menggali Mayat
Dua hari kemudian, ketika larut malam, di pinggir kota Pin Hong
muncul lima sosok bayangan yang berlari cepat seperti terbang.
Namun kemudian muncul lagi sosok bayangan lain mengikuti
mereka dari belakang dengan hati-hati sekali. Sosok bayangan
tersebut ternyata seorang padri berusia empat puluh lebih.
Siapa kelima sosok bayangan itu, tidak lain adalah Kim Gan
Siang Tie bersama tiga orang berpakaian hitam yang mengenakan
kain hitam penutup muka pula.
Berselang beberapa saat kemudian, tiga orang berbaju hitam itu
berhenti di bawah sebuah pohon.
Padri yang menguntit mereka pun segera bersembunyi di
belakang pohon lain yang agak jauh dari situ, kemudian pasang
kuping untuk mencuri pembicaraan mereka.
"Tidak salah di tempat ini?" tanya Kim Tie dingin.
"Ya, memang di rimba ini," sahut salah seorang berbaju hitam
dengan hormat. "Mayat itu dikuburkan di mana?" tanya Kim Tie lagi.
"Di belakang pohon ini," jawab orang berbaju hitam itu.
"Baiklah." Kim Tie manggut-manggut. "Cepat kalian bertiga ke
sana, gali mayat itu!"
"Ya." Orang berbaju hitam itu mengangguk hormat, lalu
mengajak kedua temannya ke belakang pohon itu. Ternyata kedua
temannya itu membawa pacul.
Tak lama mereka bertiga sudah sampai di tempat yang dituju,
dan segeralah mereka menggali tempat tersebut. Berselang
beberapa saat kemudian, mereka berhenti menggali dan saling
memandang. "Eeeh" Heran"..!"
"Kenapa heran?" tanya temannya.
137 "Belum kelihatan mayat itu," sahut orang berbaju hitam
berbadan jangkung.
"Iya." Temannya menggaruk-garuk kepala. "Padahal sudah
sekian dalam kita menggali, tapi kok belum menemukan mayat itu"
Sungguh mengherankan!"
Ketiga orang itu memang tidak mengubur mayat tersebut, tapi
ketika itu mereka bertiga melihat dengan kepala mata sendiri, mayat
tersebut dikuburkan di tempat ini.
Akan tetapi, mereka telah menggali sedalam lima meteran,
masih belum menemukan mayat tersebut, itu membuat mereka
bertiga terheranheran dan tidak habis berpikir.
Kemana mayat itu"
Mungkinkah mayat itu telah berubah menjadi mayat hidup,
sehingga bangkit dari kubur" Itu bagaimana mungkin" Tidak masuk
akal! "Bagaimana?" tanya Kim Tie dari jauh. "Sudah kalian keluarkan
mayat itu?"
Ketiga orang berbaju hitam itu tidak menyahut. Salah seorang
yang berbadan jangkung memandang kedua temannya seraya
bertanya dengan suara rendah.
"Bagaimana baiknya?"
"Apa boleh buat! Jawab saja yang sesungguhnya!" sahut
temannya yang berbadan pendek.
"Tapi"..," sambung temannya yang agak gemuk badannya.
"Belum tentu dipercaya."
"Kalau begitu, kita harus bagaimana?" tanya orang berbaju
hitam jangkung.
"Hei!" Terdengar suara bentakan Kim Tie. "Bagaimana kalian
bertiga, kok tidak menjawab" Sudah kalian keluarkan belum mayat
itu?" "Sebentar lagi!" sahut yang berbadan gemuk.
"Kenapa begitu lama?" tegur Gin Tie. "Menggali sosok mayat
saja harus membuang begitu banyak waktu!"
"Kami......"
Ucapan orang berbaju hitam pendek terputus, sebab ia melihat
sosok bayangan berkelebat ke hadapan mereka. Sosok bayangan itu
ternyata Gin Tie.
Ketika melihat ketiga orang itu berhenti menggali, timbullah
kecurigaan Gin Tie.
138 "Apa gerangan yang telah terjadi?" tanyanya dingin.
"Terjadi".. hal yang amat ganjil," jawab orang berbaju hitam
gemuk. "Oh?" Gin Tie tertawa dingin. "Mayat itu hilang kan?"
"Benar." Orang berbaju hitam gemuk mengangguk. "Mayat itu
memang telah hilang entah ke mana?"
"Kok bisa hilang?" Gin Tie menatap mereka bertiga.
"Ini".. ini"..." Orang berbaju hitam gemuk tergagap. "En"..
entahlah."
"Kau tidak mengerti kan?" sambung Gin Tie dingin.
"Ya. Urusan ini memang sangat mengherankan," jawab orang
berbaju hitam gemuk sambil menundukkan kepala.
"Hmm!" dengus Gin Tie dingin. "Mayat yang telah dikubur bisa
hilang, itu sungguh di luar dugaan!"
"Aku".. aku tidak bohong......"
"Tidak bohong?" bentak Gin Tie gusar. "Keng Tay Cun, engkau
sungguh berani sekali!"
Nama yang disebutkan tadi, sungguh mengejutkan padri yang
bersembunyi di belakang pohon.. Ternyata orang berbaju hitam
gemuk itu orang berilmu tinggi dalam rimba persilatan. Lalu siapa
pula yang lainnya" Pikir padri itu. Siapa kedua orang yang
mengenakan baju kuning emas dan baju putih perak itu" Keng Tay
Cun berkepandaian tinggi, namun kenapa begitu hormat dan tunduk
pada kedua orang itu"
Sementara orang berbaju hitam gemuk itu sudah menggigil
sekujur badannya, Gin Tie memanggil namanya, itu pertanda"...
"Ampun"..!" mohonnya dengan suara bergemetar. "Tie Kun
(Raja baju perak) ampunilah hamba"..!"
"Hmm!" dengus Gin Tie dingin. "Mayat itu ke mana sekarang?"
"Hamba memang mengubur mayat itu di sini, tapi entah kenapa
mayat itu"..." Mendadak orang berbaju hitam gemuk itu menjerit
menyayat hati. "Aaaakh"..!"
Ia terpental beberapa meter dengan mulut memuntahkan darah
segar, sepasang matanya mendelik-delik kemudian terkulai tak
bergerak lagi. Orang berbaju hitam gemuk itu telah mati. Ternyata
tadi sebelum ia menyelesaikan ucapannya, Gin Tie telah turun
tangan terhadapnya.
139 Menyaksikan itu, padri yang bersembunyi di belakang pohon
terkejut bukan main. Sungguh dahsyat pukulan orang berbaju putih
perak itu! Tenaga dalamnya telah mencapai tingkat tinggi.
Mendadak Kim Tie berkelebat ke sisi Gin Tie. Sementara Gin Tie
terus menerus menatap orang berbaju hitam jangkung.
"Cepat katakan! Apa gerangan yang telah terjadi?" tanya Gin Tie
dingin. "Hamba tidak berani bohong, Hek Siau Liong memang"..."
"Hei!" bentak Gin Tie. "Sungguh berani engkau menyebut nama
itu!" "Ampun!" tersentak orang berbaju hitam jangkung itu. "Lain kali
hamba"..."
Gin Tie tertawa dingin, itu membuat orang berbaju hitam
jangkung semakin terkejut dan sekujur badannya mulai menggigil
seperti kedinginan.
"Masih ada lain kali, Kauw Cing Lun?" bentak Gin Tie
mengguntur. Padri berusia pertengahan yang bersembunyi di belakang pohon,
hatinya tergetar keras. Bukan karena nama Kauw Cing Lun,
melainkan karena nama Hek Siau Liong.
Hek Siau Liong adalah orang yang sedang dicari partai besar
dalam bu lim termasuk padri tersebut.
Sungguh tak terduga, karena kebetulan melihat lima sosok
bayangan berlari cepat seperti terbang menuju rimba itu, maka padri
itu pun menguntit mereka. Ternyata kelima orang itu ke rimba
tersebut untuk menggali mayat Hek Siau Liong"...
Betapa terperanjatnya padri itu mengetahui hal tersebut. Siapa
yang membunuh Hek Siau Liong" Bagaimana mereka tahu" Dan"..
ternyata mayat Hek Siau Liong telah hilang.
Untuk apa mereka menggali mayat Hek Siau Liong" Bahkan
mayat tersebut malah telah hilang. Kemana mayat itu" Apakah"..
ada orang lain memindahkannya" Kalau tidak, mungkinkah mayat itu
telah berubah menjadi mayat hidup"
Padri berusia pertengahan itu terus berpikir, tapi mendadak ia
dikejutkan oleh jeritan yang menyayat hati.
"Aaaakh"..!" Orang berbaju hitam jangkung terpental ke sisi
mayat Keng Tay Cun, dan mati seketika dengan mulut mengalirkan
darah segar. 140 Kini tinggal orang berbaju hitam pendek, yang sukmanya telah
hilang entah ke mana ketika menyaksikan kematian kedua temannya
itu, sekujur badannya terus menggigil.
"Kenapa engkau?" tanya Gin Tie dingin. "Hamba......" Suara
orang berbaju hitam pendek bergemetar. "Hamba"..."
"Ketakutan ya?" tanya Gin Tie. Namun sungguh mengherankan,
karena suaranya berubah agak lembut.
"Hamba"..."
"Pin Ngo (Baju hitam kelima), mulai saat ini engkau menjadi Pin
It (Baju hitam kesatu), mengerti engkau?"
"Te".. terima kasih Tie Kun!" ucap orang berbaju hitam pendek
sambil memberi hormat. "Hamba sangat berterima kasih atas
kebaikan Tie Kun!"
"Tahukah engkau apa sebabnya, kedudukanmu bisa diangkat
saat ini?" tanya Gin Tie sambil menatapnya.
"Hamba".. hamba"..."
"Engkau tidak tahu?" Gin Tie tertawa ringan.
"Hamba memang tidak tahu, mohon Tie Kun memberi
penjelasan!" Orang berbaju hitam pendek menundukkan kepala.
"Apakah engkau masih ingat akan ucapanmu tadi?"
"Hamba tidak ingat."
"Bukankah tadi engkau mengucapkan, apa boleh buat! Jawab
saja yang sesungguhnya! Engkau ingat sekarang?"
"Hamba sudah ingat."
"Karena engkau mengucapkan itu, maka telah menyelamatkan
nyawamu sendiri, dan mengangkat kedudukan. Engkau sudah
mengerti sekarang?"
"Hamba".. hamba telah mengerti."
"Nah, jawablah yang sesungguhnya!"
"Tapi sebelumnya, hamba mohon ampun. Kalau Tie Kun bersedia
mengampuni hamba, barulah hamba berani memberitahukan hal
yang sesungguhnya."
Gin Tie berpikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Baiklah. Aku bersedia mengampunimu."
"Terima kasih Tie Kun!" ucap orang berbaju hitam pendek lalu
menarik nafas. "Sesungguhnya Keng Tay Cun dan Kauw Cing Lun
mati secara penasaran."
"Oh?" Gin Tie tertawa dingin. "Engkau membela mereka?"
141 "Hamba tidak membela mereka, melainkan berkata
sesungguhnya," ujar orang berbaju hitam pendek.
"Berkata sesungguhnya?" Gin Tie menatap orang berbaju hitam
pendek itu. "Kalau begitu, mayat itu ke mana?"
"Bocah itu memang telah terpukul dan tertusuk pedang anak
buah hamba......"
"Itu tidak perlu kau jelaskan!" potong Gin Tie. "Aku cuma
bertanya di mana mayat bocah itu?"
"Mayat itu memang dikubur di sini, mengenai"..."
"Kalian yang mengubur mayat itu?" tanya Kim Tie mendadak.
"Walau bukan kami yang menguburnya, tapi kami juga berada di
tempat ini menyaksikan mayat bocah itu dikuburkan di sini, setelah
itu barulah kami pergi."
"Semua anak buah kalian juga ikut pergi?" tanya Kim Tie.
"Ya." Orang berbaju hitam pendek mengangguk. "Kami semua
pergi bersama."
Kim Tie tampak berpikir keras, lama sekali barulah membuka
mulut bertanya pada orang berbaju hitam pendek itu.
"Ketika itu, kalian melihat ada orang lain melewati rimba ini?"
"Tidak melihat siapa pun."
"Engkau berkata sesungguhnya, sama sekali tidak berdusta?"
Kim Tie menatapnya.
"Hamba sama sekali tidak berdusta," jawab orang berbaju hitam
pendek sambil memberi hormat.
"Ngmm!" Kim Tie manggut-manggut. "Mengenai kematian kedua
orang itu, bagaimana menurut pandanganmu?"
"Itu"..." Orang baju hitam pendek ragu menjawabnya.
"Jawab saja! Aku tidak akan menghukummu," ujar Kim Tie
sungguh-sungguh.
"Mohon maaf, menurut hamba, kematian mereka berdua
sungguh penasaran dan tak berharga sama sekali."


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Tie tertawa.
"Tak berharga memang benar," ujarnya, "Namun belum tentu
penasaran."
"Oh?"
"Mayat itu telah hilang, seharusnya mereka memberitahukan
secara jujur," lanjut Kim Tie. "Tidak pantas berunding secara diamdiam
untuk berdusta, itu pertanda mereka tidak setia terhadap kami.
142 Orang yang tidak setia, tentunya harus dihukum mati. Mengerti,
engkau?" "Hamba".. hamba mengerti." Orang berbaju hitam pendek
mengangguk dengan badan menggigil. Untung pada waktu itu ia
mengucapkan begitu, kalau tidak, nyawanya pasti sudah melayang.
"Mereka berdua memang tidak mati penasaran."
"Baiklah. Di sini sudah tiada urusanmu lagi. Engkau boleh
mengambil tanda pengenal mereka, lalu pulang dan suruh anak
buahmu ke mari untuk mengubur mayat mereka berdua itu," ujar
Kim Tie sambil mengibaskan tangannya.
"Hamba turut perintah." Orang berbaju hitam memberi hormat,
lalu segera mendekati dua sosok mayat itu untuk mengambil tanda
pengenal mereka. Setelah itu, barulah ia pergi sambil menarik nafas
lega. Bagian ke 20: Orang Tua Gunung Salju
Setelah orang berbaju hitam pendek itu pergi, di rimba itu masih
berdiri dua orang, yakni Kim Gan Siang Tie. Ternyata mereka berdua
belum meninggalkan tempat itu.
"Mengenai urusan ini, bagaimana menurut pendapatmu?" tanya
Kim Tie. "Shia coh hanya menduga"..."
"Menduga apa?"
"Cuma ada satu kemungkinan."
"Kemungkinan apa?"
"Dibawa pergi oleh orang lain."
"Oh?" Kim Tie tertawa. "Untuk apa orang tersebut membawa
pergi mayat itu?"
"Ini merupakan persoalan yang sulit dipecahkan," jawab Gin Tie.
"Akan tetapi......"
"Kenapa?"
"Mungkin bocah itu bernasib mujur. Walau sudah terpukul dan
tertusuk pedang namun dia tidak mati."
"Ng!" Kim Tie manggut-manggut. "Itu memang masuk akal,
kemudian diketahui orang, maka dia ditolong."
"Maksud sang coh setelah Keng Tay Cun dan teman-temannya
pergi, orang itu pun keluar dari tempat persembunyian, lalu
menggali sekaligus membawa pergi bocah itu?"
143 "Benar." Kim Tie mengangguk. "Orang itu tahu bocah tersebut
belum putus nyawanya, maka menolongnya. Kalau tidak, untuk apa
membawa pergi sosok mayat?"
"Kini mayat itu telah hilang, tidak bisa diselidiki asal-usulnya lagi.
Bagaimana sang coh?"
"Engkau ingin bertanya padaku tentang apa yang kucurigakan
itu?" Gin Tie tersenyum sambil menatapnya.
"Ya." Gin Tie mengangguk.
"Tahukah engkau, siapa yang sedang kita kejar itu?" tanya Kim
Tie mendadak. "Sang coh bercuriga bahwa dia adalah anjing kecil itu?" Gin Tie
tersentak. "Ng!" Kim Tie mengangguk. "Seharusnya engkau sudah
menduga ke situ. Dalam tiga bulan ini, anjing kecil itu tiada jejak dan
kabar beritanya, apakah dia bisa menyusup ke dalam bumi?"
Semakin mendengar, padri yang bersembunyi di belakang pohon
itu pun semakin mengerti, bahwa mereka berdua itu Kim Gan Siang
Tie namun tidak jelas mereka berdua itu raja apa"
Selain itu, padri tersebut pun tidak tahu siapa yang mereka
maksud anjing kecil itu.
"Kalau begitu, kini kita harus bagaimana?" tanya Gin Tie.
"Kita cuma menduga-duga saja," jawab Kim Tie. "Betul atau
tidak kita belum bisa memastikannya, maka sebaiknya kita pulang
dulu untuk berunding. Ayoh, mari kita pulang!"
Tampak dua sosok bayangan berkelebat pergi, begitu cepat
bagaikan kilat. Sehingga sungguh mengejutkan padri yang
bersembunyi di belakang pohon.
"Sungguh tinggi ginkang mereka".." gumamnya, lalu berdiri
lurus. Namun mendadak ia mendengar suara yang amat kecil
mendengung di dalam telinganya.
"Hweshio kecil! Kau tidak usah bersembunyi lagi! Orang-orang
yang mau mengubur kedua mayat itu telah datang! Tiga li dari sini
menuju selatan, di sana terdapat sebuah vihara, lo hu (aku orang
tua) menunggumu di sana."
"Sicu ko jin (orang berkepandaian tinggi) dari mana?" tanya
padri berusia pertengahan itu. Ia juga menggunakan ilmu
menyampai suara.
"Lo hu bukan orang tinggi, melainkan orang pendek. Hweshio
kecil, kalau engkau tidak berani ke vihara itu ya sudahlah!"
144 "Kalau begitu, sicu jalan duluan, aku pasti segera menyusul ke
sana." "Baiklah. Tapi engkau harus cepat menyusul ke sana! Kalau lo hu
tunggu lama, engkau akan tahu rasa."
Tak lama tampak sosok bayangan berkelebat bagaikan segulung
asap menuju selatan.
Bukan main terkejutnya padri itu. Sepasang matanya terbelalak
ketika menyaksikan ginkang yang begitu tinggi.
Siapa padri itu" Ternyata murid kepala ciangbun jin Gobi pay
Seng Khong Taysu, yang dipanggil Goan Siu hweshio. Dia diutus
untuk mencari Hek Siau Liong.
Ketika menyaksikan ginkang yang begitu luar biasa, dia terkejut
sekali. Namun dia murid kepala ciangbun jin Gobi pay, tentu tidak
mau mempermalukan gurunya. Ia segera mengembangkan
ginkangnya menuju vihara tersebut.
Dalam waktu sekejap perjalanan padri itu sudah mencapai tiga li.
Di sisi sebuah pohon rindang, terdapat sebuah vihara yang sudah
tua. Tampak seorang tua renta duduk di dekat pintu vihara itu.
Orang itu berusia delapan puluhan, rambut dan jenggotnya sudah
memutih semua. Orang tua renta itu duduk bersila dengan mata terpejam, persis
padri tua sedang bersemedi.
Goan Siu hweshio berdiri tak jauh, dari tempat itu, sepasang
matanya menatap orang tua renta itu dengan penuh perhatian.
"Mungkinkah orang tua itu?" tanya Goan Siu hweshio dalam hati,
ia tampak ragu.
Mendadak orang tua renta itu membuka matanya, mengarah
pada Goan Siu hweshio dengan menyorot tajam.
"Hweshio kecil, engkau sudah sampai di sini tapi kenapa berdiri
begitu jauh" Merasa takut ya?" tegur orang tua renta itu.
"Lo sicu (orang tua), kalau Siau ceng (aku padri kecil) takut,
tentunya tidak akan ke mari," sahut Goan Siu hweshio.
Orang tua renta itu tersenyum lembut.
"Kalau tidak takut, duduklah di sini untuk mengobrol!" ujarnya.
Goan Siu hweshio ragu sejenak, kemudian mendekati orang tua
renta itu, lalu duduk bersila sekaligus merapatkan sepasang telapak
tangannya di dada.
"Lo sicu, mohon tanya ada petunjuk apa?" tanya Goan Siu
hweshio. 145 Orang tua renta itu tidak segera menjawab, melainkan
tersenyum sambil balik bertanya.
"Hweshio kecil, siapa namamu?"
"Siau ceng bernama Goan Siu."
"Engkau murid Siauw Lim atau murid Gobi?"
"Siau ceng murid Gobi. Mohon tanya siapa lo sicu?"
"Wuah!" Orang tua renta tertawa. "Lo hu sudah lupa nama
sendiri, engkau tidak perlu bertanya!"
"Lo sicu"..."
"Hweshio kecil, lo hu ingin bertanya, sudikah engkau
menjawab?" Orang tua renta menatapnya tajam.
"Lo sicu mau bertanya apa?"
"Dengar-dengar para partai besar sedang berusaha mencari Hek
Siau Liong. Benarkah itu?"
Goan Siu hweshio mengangguk.
"Benar."
"Mengapa kalian berusaha mencarinya?"
"Itu karena partai Kay Pang menyebarkan bu lim tiap pada
berbagai partai besar lainnya untuk mohon bantuan mencari Hek
Siau Liong. Itu disebabkan apa, Siau ceng tidak mengetahuinya."
Orang tua renta itu tampak tertegun, kemudian sepasang
matanya menyorot tajam dan dingin.
"Apa"! Engkau bilang pihak Kay Pang yang menyebarkan bu lim
tiap?" "Betul." Goan Siu hweshio mengangguk, dan merasa terkejut
akan sorotan yang tajam dan dingin itu.
Mendadak orang tua renta itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Pengemis cilik Sang sungguh ceroboh, harus dipukul
pantatnya!"
Goan Siu hweshio tersentak, sebab yang dimaksudkan pengemis
cilik Sang adalah Kay Pang Pangcu (Ketua Kay Pang) masa kini.
Usianya sudah lima puluhan, tapi orang tua renta ini menyebutnya
pengemis cilik dan menambahkan harus dipukul pantatnya. Orang
tua renta berani mengatakan begitu, sebetulnya siapa orang tua
renta itu" Goan Siu hweshio tidak habis berpikir.
"Hweshio kecil, sungguhkah engkau tidak tahu sebab
musababnya?" tanya orang tua renta itu lagi.
"Siau ceng sungguh tidak tahu."
"Benarkah?"
146 "Siau ceng adalah pengikut Budha, bagaimana mungkin Siau
ceng berani berdusta?"
"Oh" Ha ha ha!" Orang tua renta tertawa gelak. "Berapa banyak
hweshio yang berdusta, diam-diam makan daging dan main
perempuan."
"Omitohud! Semoga Sang Budha mengampuni lo sicu." ucap
Goan Siu hweshio sambil merapatan sepasang tangannya di dada.
"Jangan menyebut Omitohud kalau hati tidak bersih!" ujar orang
tua renta dan tertawa gelak lagi, kemudian menambahkan, "Kalau
Seng Khong tahu engkau berani berkata demikian pada lo hu
kepalamu yang gundul itu pasti diketok."
"Lo sicu"..." Goan Siu hweshio terbelalak.
"Sudahlah hweshio kecil, engkau tidak tahu sebab musabab itu
tidak apa-apa, lo hu percaya engkau tidak bohong," ujar orang tua
renta itu. "Kini Hek Siau Liong itu telah mati, kalian tidak perlu
mencarinya lagi."
"Apa yang dikatakan lo sicu memang benar. Tapi menurut Siau
ceng, urusan itu perlu diselidiki."
"Mengapa?"
"Lo sicu, tentunya lo sicu mendengar pembicaraan orang yang
berbaju kuning emas dan putih perak itu, kan?"
"Tidak salah. Engkau pun sudah dengar. Nah, bagaimana
menurut pendapatmu, hweshio kecil?"
"Menurut Siau ceng memang masuk akal dia telah ditolong
orang." "Benar, hweshio kecil." Orang tua renta mangut-manggut. "Kalau
begitu, kenapa tadi engkau bilang masalah itu harus diselidiki?"
"Karena"..." Goan Siu hweshio menatapnya. "Lo sicu, itu adalah
urusan Kay Pang."
"Lo hu paham." Orang tua renta manggut-manggut. "Maksudmu
lo hu jangan turut campur kan?"
"Siau ceng tidak bermaksud begitu, itu memang urusan Kay
Pang." "Tidak salah." Orang tua renta tersenyum. "Itu memang urusan
pengemis kecil Sang, tapi asal lo hu berkata padanya, dia pasti tidak
berani membantah. Tapi".. lo hu masih ada urusan lain, tidak bisa
pergi menemuinya"..."
"Lo sicu......" Goan Siu hweshio tercengang.
147 "Hweshio kecil, bersediakah engkau mewakili lo hu
menyampaikan pesan pada pengemis kecil itu?"
"Maksud lo sicu?"
"Suruh dia segera memberitahukan pada partai besar lainnya,
tidak usah mencari Hek Siau Liong lagi!"
"Lo sicu"..."
"Engkau tidak mau membantu lo hu?"
"Siau ceng mau membantu, tapi".. bagaimana mungkin Sang
Pangcu akan menuruti pesan ini?"
"Oooh!" Orang tua renta tersenyum. "Kalau cuma pesan dengan
mulut, tentunya pengemis kecil itu tidak mau menurut. Tapi lo hu
akan memberimu suatu barang, serahkan padanya! Setelah dia
melihat barang tersebut, dia pasti menurut."
Hati Goan Siu hweshio tergerak.
"Itu barang kepercayaan lo sicu?"
"Hweshio kecil," ujar orang tua renta sambil tertawa. "Jangan
banyak bertanya! Setelah engkau bertemu pengemis kecil itu, dia
akan memberitahukan padamu siapa lo hu."
"Oooh!" Goan Siu hweshio manggut-manggut.
Orang tua renta mengeluarkan sebuah kantong kecil yang
terbuat dari semacam kain warna merah, lalu diberikan pada Goan
Siu hweshio dengan wajah serius.
"Simpan baik-baik barang ini, jangan sampai hilang!" pesannya,
"Dan juga engkau tidak boleh melihat isinya!"
"Ya." Goan Siu hweshio mengangguk sambil menerima barang
tersebut. "Siau ceng tidak berani melanggar pesan lo sicu."
"Bagus." Wajah orang tua renta berseri. "Lo hu minta
bantuanmu, tentunya tidak secara cuma-cuma."
"Maksud lo sicu?"
"Kini lo hu akan mengajarmu tiga jurus tangan kosong, tapi
cuma mengajar satu kali saja. Engkau bisa ingat berapa bagian, itu
adalah urusanmu."
"Lo sicu"..."
"Hweshio kecil, lihat baik-baik!" ujar orang tua renta sambil
menggerak-gerakkan sepasang tangannya.
Goan Siu hweshio melihat dengan penuh perhatian, jurus tangan
kosong itu tampak sederhana, namun justru sangat aneh.
Berselang beberapa saat kemudian, orang tua renta itu
menghentikan gerakannya.
148 "Hweshio kecil, engkau sudah ingat?" tanyanya sambil
menatapnya tajam.
Goan Siu hweshio merapatkan sepasang telapak tangannya di
dada. "Siau ceng sungguh bodoh, cuma ingat enam bagian." jawabnya


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan hormat. "Ha ha ha!" Orang tua renta tertawa gelak. "Engkau bisa ingat
enam bagian, itu sudah bagus. Bahkan engkau pun harus merasa
puas, karena kalau engkau bertemu salah seorang Cit Khi (Tujuh
Orang Aneh) atau Pat Hiong (Delapan Orang Buas) itu, engkau tidak
akan kalah melawan salah seorang itu dengan tiga jurus tangan
kosong yang baru kau pelajari itu."
Goan Siu hweshio merasa girang sekali, namun wajahnya
tampak ragu. Menyaksikan itu, orang tua renta tertawa gelak.
"Engkau tidak percaya, hweshio kecil?" tanyanya.
Seketika juga wajah Goan Siu hweshio kemerah-merahan. Ia
tidak menyahut melainkan cuma merapatkan sepasang telapak
tangannya di dada.
"Engkau tidak percaya tidak apa-apa. Tapi kelak engkau akan
tahu bagaimana keampuhan tiga jurus tangan kosong itu."
"Lo sicu......"
"Baiklah. Lo hu masih ada urusan lain, kita berpisah di sini saja,"
ujar orang tua renta, lalu mendadak berkelebat pergi dalam keadaan
duduk bersila. Betapa terkejutnya Goan Siu hweshio, sebab gurunya belum
mampu berbuat begitu. Maka dapat dibayangkan betapa tingginya
kepandaian orang tua renta itu. Siapa sebenarnya orang tua renta
tersebut" Goan Siu hweshio sama sekali tidak dapat menerkanya.
Setengah bulan telah berlalu, namun para murid partai besar
masih terus mencari jejak Hek Siau Liong. Tentunya para murid
partai besar itu telah mengetahui tentang Hek Siau Liong yang
ditolong oleh seseorang.
Mengapa para murid partai besar masih terus mencari Hek Siau
Liong" Apakah Goan Siu hweshio tidak pergi menemui Kay Pang
Pangcu menyerahkan barang orang tua renta dan menyampaikan
pesannya itu"
149 Padahal sesungguhnya, Goan Siu hweshio telah melaksanakan
itu dengan baik, sedangkan Kay Pang Pangcu pun sudah tahu siapa
orang tua renta itu.
Orang tua renta itu, ternyata Swat San Lo Jin (Orang tua
Gunung Swat San) yang pernah menggetarkan bu lim enam puluhan
tahun yang lalu.
Kalau begitu, Kay Pang Pangcu telah mengabaikan pesan Swat
San Lo Jin tidak memberi kabar pada partai besar lainnya agar
berhenti mencari Hek Siau Liong" Kay Pang Pangcu Sang Hun Hun
begitu berani tidak menurut pada pesan Swat San Lo Jin, sungguh
besar nyalinya. Apakah dia tidak takut akan membuat gusar bu lim
lo cianpwe (orang tua tingkat tinggi rimba persilatan) itu"
Tentunya Kay Pang Pangcu itu tidak berani. Akan tetapi dalam
hal tersebut, terdapat suatu sebab. Kalau tidak, bagaimana mungkin
Kay Pang Pangcu berani mengabaikan amanat bu lim lo cianpwe itu"
Kenapa Kay Pang Pangcu Sang Hun Hun begitu berani" Siapa
pun tidak mengetahuinya. termasuk Swat San Lo Jin sendiri kecuali
para Ciangbun Jin partai besar itu. Kalau begitu, asal-usul Hek Siau
Liong memang luar biasa sekali.
Bagian ke 21: Banjir Darah Di Rumah Mahan Empat
Lautan Hek Siau Liong menghilang mendadak, itu sungguh
mencemaskan Se Pit Han yang baru dikenal itu.
Demi Hek Siau Liong, Se Pit Han pun telah bersumpah dalam
hati, harus dapat mencarinya. Kalau tidak, ia pun tidak segan-segan
membunuh agar darah membanjiri kang ouw.
Kenapa Se Pit Han bersumpah begitu" Karena kemungkinan
besar Hek Siau Liong adalah putra tunggal bibinya berarti mereka
berdua adalah kakak beradik misan, juga termasuk teman baik pula.
Hek Siau Liong yang begitu tampan, berhati bajik dan berbudi
luhur, itu semua telah terukir dalam benak Se Pit Han bahkan
bayangan Hek Siau Liong sering muncul di pelupuk matanya,
membuatnya tidak enak makan dan tidak nyenyak tidur"...
Kalau Se Khi tidak sering menasehati sekaligus menghiburnya,
ketika Hek Siau Liong kehilangan jejak, mungkin Se Pit Han sudah
mulai membunuh, terutama di rumah makan Empat Lautan di kota
150 Ling Ni. Sebab anggapan Se Pit Han, biang keladinya adalah Toan
Beng Thong, pemilik rumah makan tersebut.
Sejak Hek Siau Liong menghilang, sejak itu pula wajah Se Pit
Han tidak pernah senyum, selalu bermuram durja dan menunggu
kabar berita Hek Siau Liong dengan tidak tenang. Oleh karena itu,
badan Se Pit Han kian hari kian bertambah kurus, itu sungguh
mencemaskan Se Khi.
Lewat setengah bulan kemudian, sudah ada kabar berita tentang
Hek Siau Liong. Ia nyaris mati terbunuh di pinggir kota Pin Hong,
untung tertolong oleh seseorang yang berkepandaian tinggi. Namun
karena tidak tahu siapa orang yang berkepandaian tinggi itu, maka
juga tidak bisa tahu Hek Siau Liong berada di mana.
Siapa yang menyampaikan kabar berita tersebut pada Se Pit
Han" Ternyata Se Khi.
Setelah memperoleh kabar berita itu, Se Pit Han pun tampak
agak tenang. Wajah pun tidak begitu murung lagi, bahkan kadangkadang
berseri pula. Dengan adanya kabar berita tersebut, Se Pit Han pun terus
menginap di rumah penginapan Ko Lung di dalam kota Siang Yang
untuk menunggu kabar berita selanjutnya.
Tak terasa sudah lewat setengah bulan lagi. Dalam waktu
setengah bulan itu, tiada kabar berita Hek Siau Liong sama sekali.
Itu membuat Se Pit Han mulai cemas, wajahnya pun mulai murung
dan tidak pernah senyum lagi. Sedangkan air muka Se Khi pun
bertambah serius, keningnya sering berkerut-kerut seakan tercekam
suatu perasaan.
Bagaimana dengan Pat Kiam dan Siang Wie yang selalu
mengikuti Se Pit Han"
Mereka pun tampak cemas dengan wajah murung, tidak pernah
senyum lagi dan kening pun sering berkerut seperti kening Se Khi.
Nah! Apa yang akan terjadi selanjutnya....."
Mendadak".. bu lim telah dikejutkan oleh suatu kejadian yang
sangat menggemparkan. Kejadian apa yang telah mengejutkan
seluruh bu lim.
Ternyata telah terjadi banjir darah di rumah makan Empat
Lautan di kota Ling Ni. Para pelayan dan lainnya terbunuh semua di
halaman belakang rumah makan tersebut, tiada seorang pun yang
dapat meloloskan diri.
151 Siapa pembunuh itu, tiada seorang pun yang tahu. Akan tetapi,
ditembok halaman belakang rumah makan itu terdapat sebaris
tulisan dengan darah berbunyi demikian.
Ini sebagian kecil pembalasan demi nyawa Hek Siau Liong.
Di sisi tulisan itu terdapat sebuah gambar bunga mawar yang
juga dilukis dengan darah.
Siapa yang melihat, pasti menduga itu tulisan si pembunuh yang
memakai lambang bunga mawar.
Dalam rimba persilatan, siapa yang menggunakan bunga mawar
sebagai lambang" Kebanyakan telah tidak ingat lagi. Bagi yang
masih ingat, mereka pun tidak berani mengatakannya, apa lagi
memperbincangkannya.
Kabar berita tentang kejadian itu, juga telah sampai di telinga
Kay Pang Pangcu dan para ciang bun jin partai besar lainnya.
Mereka mengerti apa yang telah terjadi, bahkan juga tahu siapa
pemilik lambang tersebut. Namun mereka hanya menggelenggelengkan
kepala dan menarik nafas panjang, sama sekali tidak mau
membicarakannya, juga melarang para murid mereka membicarakan
masalah lambang bunga mawar tersebut, yang membicarakan pasti
dihukum berat. Semalam sebelum kejadian banjir darah itu, Se Pit Han justru
telah menghilang entah ke mana.
Betapa terkejutnya Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie. Mereka
sangat gugup dan panik, berpencar berusaha mencari Se Pit Han.
Akan tetapi, tiada jejak Se Pit Han sama sekali.
Setelah kejadian banjir darah di rumah makan Empat Lautan,
mereka pun mengerti dan langsung berangkat ke Kota Ling Ni. Salah
seorang Pat Kiam tetap tinggal di penginapan di kota Siang Yang
sebagai penghubung.
Begitu sampai di kota Ling Ni, mereka pun mulai mencari Se Pit
Han, namun tiada jejaknya sama sekali, mungkin sudah
meninggalkan Kota Ling Ni.
Bagaimana mereka bisa tahu" Sesungguhnya Se Pit Han tidak
menginap di dalam kota itu. Malam itu terjadi banjir darah di rumah
makan Empat Lautan, malam itu juga Se Pit Han meninggalkan kota
tersebut. Maka mereka berselisih jalan dengan Se Pit Han.
Se Khi, Cit Kiam dan Siang Wie tiba di Kota Ling Ni sudah hari
keempat setelah kejadian banjir darah tersebut. Maka mereka pun
menduga tidak mungkin Se Pit Han masih berada di dalam kota itu,
152 namun tetap berharap bisa bertemu Se Pit Han. Oleh karena itu
mereka masih berusaha mencarinya.
Benarkah Se Pit Han telah meninggalkan Kota Ling Ni" Se Khi
menduga benar, tapi ternyata tidak.
Se Pit Han masih tetap berada di dalam Kota Ling Ni, tujuannya
mengawasi rumah makan Empat Lautan itu. Siapa yang akan ke
sana dan siapa pula yang menggantikan Toan Beng Thong.
Dalam hatinya telah memutuskan, siapa yang ke sana dan siapa
yang menggantikan Toan Beng Thong, harus dibunuh pula, itu agar
orang yang di latar belakang memunculkan diri.
Semua ini, tentunya di luar dugaan Se Khi, bagaimana mungkin
ia akan menduga Se Pit Han mengambil keputusan demikian"
Se Khi dan lainnya tidak menemukan Se Pit Han di Kota Ling Ni,
maka mereka menerka Se Pit Han telah kembali ke kota Siang Yang.
Oleh karena itu, Se Khi mengajak Cit Kiam dan Siang Wie kembali ke
Kota Siang Yang.
Akan tetapi, Se Pit Han justru tidak kembali ke kota itu.
Sebetulnya Se Pit Han pergi ke mana" Persoalan ini membuat Se
Khi, Pat Kiam dan Siang Wie tidak habis berpikir dan cemas.
Mereka tahu jelas Se Pit Han memiliki kepandaian tinggi, namun
baru pertama kali berkelana, tentunya belum berpengalaman dalam
rimba persilatan. Karena itu, Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie sangat
mencemaskannya.
Banyak kelicikan dalam rimba persilatan, serangan gelap sulit
dijaga, itu yang dikuatirkan Se Khi.
Karena gugup dan panik, membuat Se Khi selalu salah tingkah.
Bagaimana dengan Pat Kiam dan Siang Wie" Mata mereka pun telah
merah lantaran sering mengucurkan air mata. Wajah mereka
murung dan sering menarik nafas panjang.
Se Kiam Hong memang berotak cerdas. Walau gugup ia masih
bisa berlaku tenang. Ketika mereka duduk di dalam kamar rumah
penginapan Ko Lung di Kota Siang Yang, Se Kiam Hong memandang
Se Khi seraya berkata.
"Se lo (se tua), urusan sudah menjadi begini, percuma kita terus
menerus tercekam rasa gugup dan panik. Kini kita harus bagaimana,
lo jin keh harus mengambil keputusan. Tidak bisa terus menerus
begini." 153 Se Khi menatapnya. Kiam Hong mengatakan begitu, tentunya
telah memikirkan sesuatu. Kalau tidak, ia tidak akan sembarangan
membuka mulut. "Kiam Hong, yang paling cerdik di antara Pat Kiam adalah
engkau. Menurut pendapatmu kita harus bagaimana?" tanya Se Khi.
Kiam Hong tersenyum.
"Terimakasih atas pujian lo jin keh!" ujar Kiam Hong dan
melanjutkan, "Menurut Kiam Hong, harus ada salah satu di antara
kita pulang untuk melapor pada Kiong cu dan hujin. Mengenai jejak
Siau Kiong cu kita harus berpencar untuk mencarinya. Partai Kay
Pang punya murid yang tak terhitung banyaknya. Kita harus minta
bantuan kepada Kay Pang. Bagaimana menurut lo jin keh?"
Se Khi manggut-manggut, kemudian mengarah pada Huai Hong.
"Engkau punya pendapat lain?" tanya Se Khi.
Huai Hong berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepala.
"Huai Hong tidak punya pendapat lain. Apa yang dikatakan Kiam
Hong, itu merupakan petunjuk bagi kita semua." katanya.
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut.
Maka lo ngo (saudara kelima) yaitu Yang Hong di suruh pulang
ke Lam Hai, sedangkan Se Khi, Pat Kiam dan Siang Wie berjumlah
sepuluh orang dibagi menjadi dua regu. Mereka berpencar mencari
Se Pit Han, bahkan juga minta bantuan pada partai Kay Pang.
Kiam Hong dan lo sam (saudara ketiga) yaitu Ih Hong menjadi
satu regu. Ketika mau berangkat, mendadak Kiam Hong berkata
pada Giok Cing, salah seorang dari Siang Wie.
"Cici (Kakak perempuan) Cing, di pinggir kota terdapat sebuah
vihara tua, harap cici dan Ling moi menyusul kami di sana! Siaute
akan menunggu kalian di vihara itu."
Heran" Kenapa Kiam Hong memanggil Giong Cing cici" Apakah
Giong Cing adalah anak perempuan" Kalau bukan, kenapa Kiam
Hong memanggilnya cici"
"Baiklah. Aku dan Ling moi pasti segera menyusul ke sana,"
sahut Giok Cing sambil tersenyum.
Lima li sebelah utara Kota Siang Yang terdapat sebuah vihara
tua. Tampak dua orang berdiri di depan vihara itu. Pada pinggang
mereka bergantung sebilah pedang. Mereka berdua adalah Ih Hong
dan Kiam Hong. 154 "Pat te, (Adik kedelapan), kenapa kita datang di tempat ini?"
tanya Ih Hong heran.
"Menunggu orang," jawab Kiam Hong singkat.
"Oh?" Ih Hong bertambah heran. "Menunggu siapa?"
Kiam Hong tersenyum, dan memandang Ih Hong seraya berkata.
"Sam Ko (kakak ketiga) jangan bertanya. Setelah mereka
datang, sam ko akan mengetahuinya."
Ih Hong manggut-manggut. Ia tidak banyak bertanya lagi,
karena tahu sifat Kiam Hong. Ia tidak mau memberitahukan,
percuma Ih Hong bertanya lagi, tetap tidak akan dijawab.
Berselang beberapa saat kemudian, muncullah Giok Cing dan
Giong Ling, sepasang pengawal.
"Pat te," Giong Cing menatapnya. "Ada suatu penting?"
"Cici Cing dan Ling Moi sudah memikirkan tempat yang akan
dituju?" "Belum." Giong Cing menggelengkan kepala. "Menurut pat te
kami harus menuju ke mana?"
"Cici Cing dan Ling Moi sudi mendengar petunjuk Siau te?" tanya
Kiam Hong sambil tersenyum.
"Bagaimana petunjukmu itu?" Giok Cing menatapnya.
"Menurut Siaute alangkah baiknya Cici Cing dan Ling Moi
berangkat bersama kami."
"Berangkat bersama kalian bisa menemukan Siau kiong cu?"
tanya Giok Ling.
"Siaute tidak berani mengatakan pasti, namun".." Kiam Hong


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersenyum. "Mungkin bisa menemukan Siau kiong cu."
"Oh?" Giok Cing tercengang. "Pat te telah menduga Siau kiong
cu berada di mana?"
"Ya." Kiam Hong mengangguk.
"Di mana?" tanya Giok Cing cepat.
"Di Kota Ling Ni."
"Apa"!" Giok Cing dan Giok Ling tertegun, kemudian Giok Cing
bertanya dengan mata terbelalak. "Pat te menduga Siau kiong cu
masih berada di kota Ling Ni?"
"Ya." Kiam Hong mengangguk. "Kalau dugaan Siaute tidak
meleset, Siau kong cu pasti bersembunyi di tempat rahasia di Kota
Ling Ni, belum meninggalkan kota itu."
"Oh?" Giok Cing termangu, kemudian bertanya, "Berdasarkan
alasan apa pat te menduga begitu?"
155 "Tentunya Siaute punya alasan yang kuat." Kiam Hong serius.
"Tapi alangkah baiknya cici Cing jangan bertanya."
"Eh?" Giok Cing menarik nafas. "Maksud Pat te rahasia tidak
boleh dibocorkan?"
"Maaf cici Cing, memang begitu," sahut Kiam Hong. "Bagaimana
cici Cing mau berangkat bersama kami?"
Giok Cing tidak segera menjawab, melainkan memandang Giok
Ling seraya bertanya, "Bagaimana menurutmu, Ling Moi?"
"Kiam Hong sangat cerdik, maka Siau moi menurut saja," jawab
Giok Ling sambil tersenyum.
"Kalau begitu".." Giok Cing mengarah pada Kiam Hong.
"Baiklah, kami ikut kalian."
"Tapi".." Kiam Hong tersenyum.
"Lho?" Giok Cing bingung. "Ada apa lagi?"
"Sebelumnya Siaute harus menegaskan. Setelah kita sampai di
kota Ling Ni, cici Cing dan Ling moi harus menurut apa yang Siaute
atur. Lagi pula kita pun harus merubah wajah dan dandanan."
"Pat te boleh berlega hati, kami pasti menurut apa yang Pat te
atur itu," ujar Giok Cing dan menambahkan. "Asal bisa menemukan
Siau kiong cu, itu yang terpenting."
"Kalau begitu, mari kita berangkat!" ujar Kiam Hong. "Setelah
mendekat Kota Ling Ni, barulah kita merubah wajah".."
Berita kejadian banjir darah di rumah makan Empat Lautan di
Kota Ling Ni tersebut sungguh cepat tersiar sampai ke segala
pelosok bu lim sekaligus menggemparkan pula.
Itu sudah pasti, sebab orang-orang yang terbunuh itu, delapan
di antaranya merupakan bu lim ko ciu masa kini. Mereka adalah
Toan Beng Thong, Thai Hang Ngo Sat, Bun Fang lima bersaudara,
Cioh Bin Thai Sueh Teng Eng Cong dan Thian Ciang Khay San Yu
Ceng Yong. Terbunuhnya delapan orang tersebut, memang sangat
mengejutkan kang ouw.
Bagian ke 22: Vihara Tay Siang Kok
Berita tentang banjir darah di rumah makan Empat Lautan itu,
juga masuk ke telinga Swat San Lo Jin. Orang tua renta itu berada di
vihara Tay Siang Kok di Kota Kay Hong.
156 Betapa terkejutnya Swat San Lo Jin ketika mendengar berita itu.
Yang mengejutkan bukan terbunuhnya orang-orang hek to tersebut,
melainkan lambang bunga mawar itu.
Lambang bunga mawar itu membuatnya teringat akan seorang
aneh seratusan tahun yang lampau, yakni Mei Kuei Ling Cu (Pemilik
lambang Mawar Maut) itu. Lambang mawar maut sudah seratusan
tahun tidak pernah muncul dalam kang ouw, tentunya pemiliknya
telah meninggal.
Akan tetapi, kini mendadak muncul lagi dalam kang ouw. Itu
dapat dipastikan adalah pewarisnya.
Partai Kay Pang berani menyebarkan bu lim tiap pada berbagai
partai besar lainnya untuk minta bantuan mencari Hek Siau Liong,
itu tentunya berkaitan dengan pemilik lambang mawar maut
tersebut. Lalu apa hubungan Mei Kuei Ling Cu dengan Hek Siau Liong"
Untuk mengetahui hal tersebut, harus bertanya pada Hek Siau Liong
pula. Mau bertanya pada Hek Siau Liong, memang tidak sulit, karena
Hek Siau Liong berada di ruang belakang vihara Tay Siang Kok ini. Ia
sedang bersemadi melatih lwee kang yang diajarkan Swat San Lo
Jin. Ternyata orang yang menolong Hek Siau Liong, tidak lain adalah
Swat San Lo Jin. Orang tua renta itu membawa Hek Siau Liong ke
vihara Tay Siang Kok yang sepi itu untuk diobati lukanya.
Setengah bulan kemudian, luka Hek Siau Liong telah sembuh,
lalu mengangkat Swat San Lo Jin menjadi gurunya.
Siapa yang menyampaikan berita tentang banjir darah di rumah
makan Empat Lautan kepada Swat San Lo Jin" Ternyata Hui Keh
Taysu, ketua Vihara Tay Siang Kok itu.
Setelah mendengar berita tersebut, Swat San Lo Jin segera ke
ruang belakang menemui Hek Siau Liong.
"Liong Ji (Nak Liong), ada hubungan apa engkau dengan Mei
Kuei Ling Cu ?" tanyanya.
"Suhu!" Hek Siau Liong tampak tertegun. "Siapa Mei Kuei Ling
Cu?" "Eh?" Swat San Lo Jin bingung. "Sungguhkah engkau tidak tahu
siapa Mei Kuei Ling Cu?"
"Suhu, Liong Ji tidak berani bohong, Liong Ji sungguh tidak tahu,
lagi pula tidak pernah dengar."
157 Swat San Lo Jin menatapnya dalam-dalam. Orang tua renta itu
tahu Hek Siau Liong tidak berdusta.
"Kalau begitu, itu sungguh mengherankan," gumamnya sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Suhu." Hek Siau Liong terbelalak. "Apa yang mengherankan"
Bolehkah Suhu memberitahukan pada Liong Ji?"
Swat San Lo Jin tampak berpikir, lama sekali barulah membuka
mulut memberitahukan.
"Liong Ji, Mei Kuei Ling Cu itu menganggapmu telah terbunuh,
maka dia membunuh semua orang hek to di rumah makan Empat
Lautan. Bahkan juga meninggalkan sebaris tulisan di tembok
halaman belakang rumah makan itu."
"Suhu, bagaimana bunyi tulisan itu?"
"Tulisan itu berbunyi demikian. Ini sebagian kecil pembalasan
demi nyawa Hek Siau Liong."
"Oh?" Hek Siau Liong mengerutkan alisnya. "Suhu tahu siapa
pemilik rumah makan itu?"
"Siapa pemilik sesungguhnya, Suhu tidak tahu. Namun Suhu
tahu siapa penanggung jawabnya, yakni Toan Beng Thong."
"Oh?"
"Liong Ji!" Swat San Lo Jin menatapnya. "Engkau kenal Toan
Beng Thong?"
"Suhu!" Hek Siau Liong menggelengkan kepala. "Liong Ji tidak
kenal, lagi pula dia tidak punya dendam apa pun dengan Liong Ji."
"Kalau begitu, bagaimana dengan Thai Hang Ngo Sat, Cioh Bin
Thai Sueh Teng Eng Cong dan Thiat Ciang Khay San Yu Ceng Yong,
engkau kenal mereka?"
Hek Siau Liong menggelengkan kepala lagi.
"Liong Ji sama sekali tidak kenal mereka."
"Oh?" Swat San Lo Jin bertambah bingung.
"Guru, sebetulnya siapa Mei Kuei Ling Cu itu" Kenapa Suhu
masih belum memberitahukan pada Liong Ji."
"Liong Ji".." Swat San Lo Jin menggelengkan kepala. "Siapa Mei
Kuei Ling Cu itu, suhu pun tidak tahu."
"Dia sangat misteri, tapi bu kangnya sangat tinggi sekali kan?"
tanya Hek Siau Liong dengan mata berbinar-binar.
"Benar," Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Mei Kuei Ling Cu
adalah pendekar aneh seratusan tahun yang lampau, tiada seorang
pun yang mampu menandinginya. Namun sudah hampir seratusan
158 tahun tidak pernah muncul dalam rimba persilatan, yang muncul kini
tentu pewarisnya."
"Oh!" Hek Siau Liong tampak tercenung.
Ia terus berpikir. Semakin berpikir ia malah semakin tidak
mengerti. Siapa Mei Kuei Ling Cu itu" Kenapa membunuh orangorang
hek to di rumah makan Empat Lautan" Padahal ia tiada
hubungan apa-apa dengan mereka...
"Itu sungguh mengherankan!" gumamnya.
"Liong Ji" Swat San Lo Jin tersenyum. Ternyata orang tua renta
itu sudah mempunyai akal untuk mengungkap teka-teki tersebut.
"Engkau tidak perlu memikirkan itu, suhu sudah punya akal untuk
memecahkan teka teki itu. Tidak lewat lima hari, suhu pasti sudah
tahu semuanya."
Usai berkata begitu, Swat San Lo Jin meninggalkan ruang
belakang tersebut, lalu pergi melalui pintu belakang.
Empat hari kemudian ketika hari mulai gelap, Hui Koh Taysu,
ketua vihara Tay Siang Kok melangkah ke ruang belakang bersama
dua orang yang berusia cukup lanjut.
Siapa kedua orang itu, ternyata Se Khi dan Sang Han Hun, ketua
partai pengemis.
Setelah menjura memberi hormat pada Swat San Lo Jin, barulah
Se Khi dan Kay Pang Pancu itu duduk. Begitu duduk, Se Khi pun
terus menatap Hek Siau Liong yang duduk di sisi Swat San Lo Jin.
Air muka Hek Siau Liong tampak biasa, seakan tidak kenal Se Khi
sama sekali. Berselang sesaat, Se Khi mulai membuka mulut.
"Kong Cu marga apa, dan bernama siapa?"
"Boan pwe marga Hek, bernama Siau Liong," jawab Hek Siau
Liong hormat. Kening Se Khi berkerut, kemudian menatap Hek Siau Liong
dengan sorotan tajam dan dingin.
"Sungguhkah Kong cu bernama. Hek Siau Liong?"
Hek Siau Liong tertegun, kemudian sepasang alisnya tampak
berkerut. "Lo cian pwe," ujarnya. "Nama adalah pemberian orang tua,
bagaimana mungkin boan pwe sembarangan memberitahukan?"
"Kalau begitu, Kong cu sungguh Hek Siau Liong!" Se Khi tertawa
dingin. "Maka tidak seharusnya tidak mengenal lo hu."
159 "Lo ciang pwe!" sahut Hek Siau Liong nyaring. "Perkataan lo cian
pwe tidak masuk akal."
"Kenapa tidak masuk akal?"
"Boan pwe ingin bertanya, apakah orang yang bernama Hek Siau
Liong harus kenal lo cian pwe?"
Se Khi tertegun, kemudian wajahnya berubah lembut.
"Kalau begitu, engkau memang bernama Hek Siau Liong, bukan
menyamar!" ujar Se Khi bernada lembut pula.
"Lo cian Pwe," Hek Siau Liong tersenyum getir. "Karena boan
pwe bernama Hek Siau Liong, maka nyaris mati di pinggir kota Pin
Hong. Kalau tidak ditolong Guru yang berbudi, kini tubuh pasti sudah
busuk. Seandainya boan pwe bukan bernama Hek Siau Liong,
kenapa harus memakai nama Hek Siau Liong untuk cari mati?"
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut.
"Siapa sebetulnya Hek Siau Liong yang kenal lo cian pwe itu?"
tanya Hek Siau Liong mendadak. "Apakah wajah, usia dan tinggi
badannya seperti boan pwe?"
Pertanyaan ini membuat Se Khi menatapnya dengan penuh
perhatian, kemudian sepasang matanya terbelalak lebar.
"Sungguh mirip sekali. Sulit membedakannya."
"Oh?" Tiba-tiba Hek Siau Liong teringat sesuatu. "Lo cian pwe, di
belakang telinga kiri boan pwe terdapat sebuah tanda merah,
apakah Hek Siau Liong itu juga punya tanda ini?"
"Itu".." Se Khi menggelengkan kepala. "Lo hu tidak
memperhatikannya, maka tidak tahu?"
"Ha ha ha!" Swat San Lo Jin tertawa terbahak-bahak. "Kini telah
jelas segalanya. Hek Siau Liong ini bukan Hek Siau Liong itu. Nama
mereka sama, namun boleh dikatakan saudara."
Se Khi diam saja.
Swat San Lo Jin menatapnya, kemudian ujarnya perlahan
"Lo ciau berusia lebih tua darimu, maka lo ciau akan
memanggilmu lo heng te saja. Bagaimana" Boleh kan?"
"Tentu boleh." Se Khi tertawa. "Lo koko adalah bu lim cian pwe,
mau memanggil Siau te sebagai lo heng te, itu sungguh membuat
Siaute merasa bangga sekali."
"Jangan sungkan, lo heng te!" Swat San Lo Jin tertawa gelak.
"Oh ya, lo koko ingin mohon petunjuk, itu boleh kan?"
"Mengenai apa?" tanya Se Khi heran.
"Lo heng te berasal dari mana?" Swat San Lo Jin menatapnya.
160 "Lam Hai," jawab Se Khi jujur.
"Oh?" Sepasang mata Swat San Lo Jin bersinar aneh. "Lo heng
te bersama".."
"Bersama Siau kiong cu datang di Tiong Goan ini," sambung Se
Khi cepat. "Kalau begitu, lo heng te adalah".." Swat San Lo Jin
mengatakan sesuatu, namun keburu dipotong oleh Se Khi agar tidak
dilanjutkan. "Siaute cuma ikut Siau kong cu jalan-jalan saja."
Sebetulnya Swat San Lo Jin ingin mengatakan Se Khi pewaris
lambang maut itu, tapi langsung dipotong oleh Se Khi, maka ia lalu
mengalihkan pembicaraan.
"Apakah Siau kong cu adalah teman baik Siau kiong cu?"
Se Khi mengangguk. "Siau kong cu mengenalnya di Tiong Goan,
namun asal-usul Hek Siau Liong masih merupakan teka teki.
Menurut dugaan Siaute, Hek Siau Liong punya hubungan erat
dengan kiong cu. Oleh karena itu, Hek Siau Liong bukan nama
aslinya." Swat San Lo Jin tercengang. "Kalau begitu, dia bukan marga
Hek!" "Benar." Se Khi manggut-manggut.
"Kalau dia bukan marga Hek, lalu marga apa?" tanya Swat San
Lo Jin. Se Khi menatap Swat San Lo Jin. "Tahukah Lo koko kalau di San
si terdapat Ciok Lau San Cung?"
Begitu mendengar nama perkampungan tersebut, Swat San Lo
Jin pun tampak tersentak dengan mata terbelalak.
"Mendadak lo heng te menyinggung Ciok Lau San Cung. Apakah
Hek Siau Liong putra kesayangan Pek Lo Te suami istri yang
bernama Pek Giok Ling?"
"Itu memang mungkin." Se Khi manggut-manggut. "Namun
untuk sementara ini, Siaute masih tidak berani memastikannya."
"Lawan kata pek adalah hek".." gumam Swat San Lo Jin. "Nama
kecil Siau Liong, demi menghindari para musuh, maka memakai
nama Hek Siau Liong. Mungkinkah begitu" Tidak salah! Pasti begitu!"
"Apakah Lo Koko kenal dengan Pek tay hiap suami istri?" tanya
Se Khi mendadak.
"Bukan cuma kenal, bahkan kami sangat akrab." Swat San Lo Jin
memberitahukan.
161 "Tentang kejadian Ciok Lau San Cung, sudahkah lo koko,


Panji Sakti Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahuinya?" tanya Se Khi lagi.
"Tahu." Swat San Lo Jin mengangguk, kemudian menarik nafas
panjang. "Dua puluh tahun yang lampau, lo koko berkenalan dengan
Pek lo te. Sejak itu kami pun jadi teman baik bagaikan saudara.
Setiap tiga tahun pada musim dingin, mereka suami istri pasti
mengunjungi lo koko di Swat San. Dalam dua puluh tahun itu,
mereka suami istri tidak pernah melupakan jadwal waktu tersebut.
Akan tetapi hingga musim semi tahun ini, mereka suami istri tidak
datang mengunjungi lo koko. Oleh karena itu, lo koko yang turun
gunung".."
Berkata sampai di sini, Swat San Lo Jin menarik napas panjang,
kemudian melanjutkan dengan wajah murung.
Begitu sampai di Ciok Lau San Cung, barulah lo koko tahu kalau
perkampungan itu telah musnah, Pek Mang Ciu dan istrinya
terbunuh. Maka lo koko mengambil keputusan terjun ke kang ouw
lagi untuk menyelidiki siapa pembunuh-pembunuh itu. Lo koko ingin
membalas dendam berdarah Pek lo te dan istrinya." Swat San Lo Jin
menggeleng-gelengkan kepala. "Justru itu, secara tidak sengaja
telah menolong Hek Siau Liong ini."
"Bagaimana hasil penyelidikan lo koko" Apakah sudah tahu jelas
siapa pembunuh-pembunuh itu?"
"Sudah hampir sebulan lo koko menyelidiki".." Swat San Lo Jin
tersenyum getir. "Namun belum ada hasilnya, hanya kebetulan
menolong Hek Siau Liong ini?"
Se Khi juga menggeleng-gelengkan kepala.
"Sayang sekali! lo koko telah melepaskan kedua barang bukti
itu!" seru Swat San Lo Jin.
"Barang bukti apa?" tanya Se Khi heran.
"Itu".." Swat San Lo Jin memberitahukan tentang kedua orang
berbaju kuning emas dan putih perak, lalu menambahkan, "Kedua
orang itu pasti punya hubungan erat dengan pembunuh".."
"Benar." Se Khi manggut-manggut. "Tidak lama lagi, kita pasti
bisa tahu siapa kedua orang itu?"
"Tidak salah." Se Khi mengangguk. "Pangcu Sang Han Hun telah
mengutus murid-murid handal untuk menyelidiki orang berbaju
hitam pendek itu."
Swat San Lo Jin mengerutkan kening, kemudian menggelenggelengkan
kepala. 162 "Lo heng te, itu memang cara yang baik, namun harapannya
tipis sekali, akhirnya pasti sia-sia." katanya.
Se Khi tertegun, tapi kemudian tersenyum karena tahu maksud
Swat San Lo Jin. "Maksud lo koko karena tidak tahu nama dan rupa
orang berbaju hitam pendek itu, sehingga sulit menyelidikinya?"
"Ya." Swat San Lo Jin mengangguk. "Kalau berhadapan dengan
orang baju hitam pendek itu, belum tentu akan tahu bahwa dia
adalah orang yang sedang diselidiki?"
"Apa yang dikatakan lo koko memang benar, tapi Siaute telah
mengatur itu." Se Khi tersenyum. "Asal orang itu masih berada di
Kota Pin Hong, tentu tidak sulit menyelidikinya."
"Ngmm!" Swat San Lo Jin manggut-manggut.
"Oh ya!" Se Khi menatapnya. "Kelak kalau lo koko bertemu
orang berbaju kuning dan orang berbaju putih perak, Siaute mohon
agar lo koko jangan melukai mereka, harap lo koko maklum!"
"Lho, kenapa?" Swat San Lo Jin heran.
"Sebab Siau kiong cu telah memutuskan, kalau Hek Siau Liong
adalah Pek Giok Ling, maka harus dia yang turun tangan membalas
dendam berdarah itu." Se Khi memberitahukan.
"Oooh!" Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Ternyata begitu!
Baiklah. Kalau lo koko bertemu kedua orang itu, lo koko pasti ingat
pesanmu itu."
"Terimakasih, lo koko!" ucap Se Khi.
"Lo heng te!" Swat San Lo Jin menatapnya. "Ada hubungan apa
Pek Tay hiap suami istri dengan kiong cu kalian, bolehkah lo hengte
memberitahukan?"
"Pek hujin adalah adik kandung kiong cu."
"Oooh!" Swat San Lo Jin manggut-manggut. "Ternyata begitu,
pantas".."
"Lo koko, kini sudah tahu jelas mengenai Hek Siau Liong, maka
Siaute tidak akan mengganggu lagi." Se Khi bangkit berdiri. "Maaf, lo
koko! Kami mau mohon diri!"
"Selamat jalan lo heng te!" Swat San Lo Jin tersenyum.
Se Khi dan Sang Han Hun pangcu segera meninggalkan vihara
Tay Siang Kok. Kini telah jelas mengenai Hek Siau Liong yang ditolong Swat San
Lo Jin, ternyata ia Hek Siau Liong asli, marga Hek dan bukan nama
kecil. Lalu berada di mana Pek Giok Liong alias Hek Siau Liong itu"
163 Mendadak"..
Kang ouw telah digemparkan lagi oleh suatu kabar berita, yakni
terjadi lagi banjir darah kedua di rumah makan Empat Lautan di Kota
Ling Ni. Kali ini yang terbunuh hanya belasan orang, namun semuanya
orang-orang hek to yang berkepandaian tinggi.
Akan tetapi, salah seorang yang terbunuh itu justru sangat
mengejutkan bu lim, karena orang tersebut adalah Thian Kang Kiam,
ciang bun susiok partai Kun Lun.
Mengapa ciang bun susiok Kun Lun Pay juga terbunuh di rumah
makan Empat Lautan itu" Tiada seorang pun yang mengetahuinya,
cuma di duga terbunuh oleh orang hek to yang di rumah makan
Empat Lautan itu, sebab Thian Kang Kiam In Yong Seng, ciangbun
susiok Kun Lun Pay itu juga berusaha mencari Hek Siau Liong.
Di tembok halaman belakang rumah makan itu, terdapat pula
sebaris tulisan yang ditulis dengan darah.
Ini tetap sebagian kecil pembalasan demi nyawa Hek Siau Liong
Bunyinya seperti tempo hari, hanya ditambah kata 'Tetap' dan di
sisi tulisan itu terdapat gambar sekuntum bunga mawar yang dilukis
dengan darah. Berita itu tersebar sampai ke para ciangbun jin partai besar
lainnya. Betapa terkejutnya para ciangbun jin itu.
Mengapa Mei Kuei Ling Cu itu mengadakan pembunuhan lagi di
rumah makan Empat Lautan" Siapa Mei Kuei Ling Cu itu" Siapa pula
orang yang dilatar belakang rumah makan Empat Lautan tersebut"
Satu hal yang membingungkan, sekaligus membuat para
ciangbun jin partai besar lainnya tidak habis berpikir, yakni
terbunuhnya tetua partai Kun Lun, Thian Kang Kiam In Yong Seng.
Kenapa tetua partai itu terbunuh juga di rumah makan Empat
Lautan" Apakah dia telah bergabung dengan pihak Si Hai Ciu Lau
(Rumah makan Empat Lautan)" Itu merupakan teka teki yang sulit
diungkapkan. Bagaimana mengenai partai Kun Lun" Tentunya telah menjadi
gempar, Li Thian Hwa, ciang-bun jin Kun Lun Pay segera turun
gunung dengan membawa Si Tay Huhoat (Empat pelindung)
mengunjungi partai Kay Pang, sekaligus bermohon pada tetua partai
itu agar membawanya pergi menemui Mei Kuei Ling Cu.
Sesungguhnya Se Pit Han sama sekali tidak kenal Thian Kang
Kiam In Yong Seng, maka tentu juga tidak tahu salah seorang di
Cinta Bernoda Darah 16 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Pendekar Panji Sakti 11

Cari Blog Ini