Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 4
lawannya, dia sudah ambil keputusan untuk beradu nyawa.
Yu Yong sangat girang melihat perubahan itu, pukulan demi pukulan
dilontarkan bertubi-tubi, sambil menyerang dia mendesak maju terus.
Sementara nona berbaju hijau itu semakin terdesak, bukan saja dia harus
mundur berulang kali, keadaannya sangat mengenaskan.
Diam-diam Cau-ji amat gelisah, coba kalau tidak berada dalam keadaan bugil,
mungkin dia sudah tampil ke depan untuk melakukan pembelaan.
Tiba-tiba matanya terbentur dengan sebuah batu yang berada di sisinya, satu
ingatan melintas hebat, buru-buru dia gunakan ilmu menghisap untuk
menyedot batu itu dari sisi sungai.
Dalam pada itu nona berbaju hijau itu sudah roboh terkapar di tanah,
sementara Yu Yong sambil tertawa seram sedang menubruk ke depan berusaha
menindihi badannya, melihat itu Cau-ji segera menyentilkan batu itu ke
arahnya. Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri bergema memecahkan keheningan, tahu-tahu
jalan darah tay-yang-hiat di jidat kanan Yu Yong sudah termakan sambitan
hingga hancur berantakan, tentu saja selembar jiwanya ikut melayang.
Padahal waktu itu si nona berbaju hijau itu sudah bersiap-siap bunuh diri,
perubahan yang sama sekali tak terduga itu disambut amat gembira, serunya
lantang: "Cianpwe darimana yang telah menolong diriku?"
Cau-ji gelagapan, dia tak mengira nona itu akan mengajukan pertanyaan
begini, dalam gugupnya dia segera menyahut: "Aku adalah Bwe Si-jin!"
Tampaknya nona berbaju hijau itu tidak mengira kalau orang yang
menyelamatkan jiwanya tak lain adalah Bwe si-jin yang sudah lenyap sejak
sepuluh tahun berselang, rasa terkejut bercampur girang segera menyelimuti
perasaan hatinya.
Perlu diketahui, meskipun Bwe Si-jin sudah banyak bermain perempuan
namun selama ini tak seorang pun di antara mereka yang menuduhnya cabul
dan setan hidung belang, sebaliknya orang selalu memuji dan menyanjungnya
sebagai seorang pendekar sejati.
Tentu saja hal ini disebabkan kemampuannya bermain cinta memang sangat
hebat dan tiada keduanya di kolong langit.
Sejak masih muda dulu, tampaknya nona berbaju hijau itu sudah menaruh
kesan yang sangat baik terhadap Bwe Si-jin, hanya sayang selama ini belum ada
kesempatan untuk saling berjumpa.
Tak disangka justru pada malam yang naas ini dia diselamatkan oleh lelaki
pujaan hatinya, bisa dibayangkan betapa terharu, gembira dan berbunganya
perasaan hatinya.
Dengan suara agak gemetar iapun berseru: "Siaumoay Siang Ci-ing sudah
lama mengagumi nama tay-hiap, terima kasih banyak atas pertolongan anda."
"Sudah menjadi kewajiban setiap pendekar yang berkelana dalam dunia
persilatan untuk saling membantu serta menegakkan kebenaran," seru Cau-ji
dengan suara lantang, "jadi nona tak perlu memasukkan hal ini ke dalam hati,
sekarang hari sudah malam, silahkan nona pulang untuk beristirahat."
Biarpun Siang Ci-ing merasa agak kecewa dengan perkataan itu. namun
sahutnya juga: "Siaumoay tinggal di jalan raya timur kota Lokyang, jika
kebetulan Bwe-tayhiap sedang melewati kota kami, jangan lupa mampir di
pesanggrahan Liong-ingl"
"Hahaha ... pasti, pasti, ada waktu luang aku pasti akan mampir."
Siang Ci-ing tahu kalau Bwe Si-jin adalah orang yang pegang janji, maka
setelah mengucapkan terima kasih, dia pun berlalu dari situ.
Memandang bayangan tubuh yang menjauh, diam-diam Cau-ji mulai berpikir
"Kira-kira tindakanku ini betul atau tidak?"
Rupanya terlintas satu ingatan dalam benak Cau-ji, dia ingin melakukan
banyak perbuatan baik dalam dunia persilatan atas nama Bwe Si-jin, dengan
berbuat begitu, pertama bisa merahasiakan identitas sendiri, ke dua dia pun
berusaha menghilangkan perasaan salah paham si raja hewan atas tingkah laku
paman Bwe. Cau-ji tahu Siang Ci-ing adalah murid kesayangan ketua Go-bi-pay saat ini
Teng-in Suthay, juga merupakan pemilik toko perhiasan Liong-ing-hong yang
tersohor dalam dunia persilatan, dengan melakukan tindakan terpuji itu, sedikit
banyak nama baik Bwe Si-jin ikut terehabilitasi.
Menanti bayangan tubuh nona itu sudah lenyap dari pandangan mata, Cau-ji
segera melucuti pakaian Yu Yong dan ia kenakan, kemudian menyembunyikan
jenazah itu ke balik batu besar.
Tak lama kemudian tibalah Cau-ji di dalam kota, bau harum daging dan
bakpao segera membuat bocah itu harus menelan air liur, ketika dia mencoba
merogoh ke dalam saku, segera ditemukan beberapa lembar uang kertas serta
beberapa keping uang perak.
Tidak membuang waktu lagi dia menuju ke depan rumah makan dan serunya
kepada lelaki penjual bakpao itu: "Paman, aku mau beli berapa biji bakpao."
Dengan berbekal beberapa biji bakpao dan setelah bertanya arah jalan, maka
berangkatlah Cau-ji menuju ke pesanggrahan Hay-thian-it-si, dia ingin cepatcepat
pulang ke rumah, selain bisa membuat lega orang rumah, dia pun ingin
menjelaskan masalah Bwe Si-jin.
Sementara itu Bwe Si-jin yang meninggalkan si raja hewan dan Cau-ji dalam
keadaan gusar segera menuruni bukit Wu-san dan langsung menuju ke sebuah
rumah penginapan.
Mula-mula dia mencukur habis rambut panjang serta cambangnya, kemudian
setelah mandi dengan air panas hingga seluruh tubuhnya bersih, dia pun duduk
termenung sambil berpikir langkah selanjutnya.
Dia putuskan akan mendukung Cau-ji menjadi ketua Jit-seng-kau dan
menggiring perguruannya itu menuju ke jalan yang benar, dengan sepak terjang
yang bersih dan lurus, dia percaya kesalah pahamannya dengan Oh-loko suatu
hari nanti pasti dapat dijernihkan.
Untuk mencegah gangguan yang datang dari anggota Jit-seng-kau serta si raja
hewan, dia putuskan untuk menyaru dan menyembunyikan identitas
sebenarnya. Dia pun mengambil keputusan untuk berkunjung dulu ke pesanggrahan Haythianit-si, kecuali bisa menyelidiki tindakan apa yang akan diambil Ong Samkongcu
terhadapnya, yang lebih penting lagi dia ingin mengintip bagaimana
keadaan Go Hoa-ti, kekasih hatinya.
Setelah mengambil keputusan, dia pun menggunakan uang yang sudah
disiapkan si raja hewan di dalam baju barunya untuk membeli seekor kuda, dua
stel pakaian baru serta bahan untuk menyaru muka.
Di tengah cuaca dingin yang menusuk tulang serta hembusan angin yang
kencang, akhirnya tibalah Bwe Si-jin di kota karesidenan Thio-gi.
Selesai bersantap, senja itu dia tinggalkan rumah penginapan dan mengikuti
arah jalan yang pernah didengar dari Cau-ji, berangkatlah dia menuju ke
pesanggrahan Hay-thian-it-si.
Balik pada Cau-ji, hari itu, tak lama setelah naik ke bukit, tiba-tiba dari
kejauhan sana dia saksikan ada sesosok bayangan manusia sedang bergerak
dengan kecepatan tinggi.
Setelah diamati secara diam-diam, akhirnya ia ketahui bahwa orang yang
berada di depan sana tak lain adalah Bwe Si-jin, dalam girangnya pemuda
itupun mulai berpikir: "Aneh, kenapa paman Bwe tidak merasa kalau dirinya
sedang aku ikuti" Masa dia tidak merasakan kehadiranku?"
Rupanya tenaga dalam yang dimiliki Cau-ji waktu itu sudah jauh
meninggalkan kemampuan Bwe Si-jin, selain itu deruan angin utara yang
kencang juga membuat suara langkah bocah itu terendam, yang lebih parah lagi
Bwe Si-jin sedang berada dalam kondisi murung dan perang batin, dengan
sendirinya konsentrasinya terpecah.
Waktu itu Bwe Si-jin kuatir Go Hoa-ti belum pulang, dia pun kuatir jejaknya
ketahuan orang banyak, bila sampai terjadi hal begini, apa yang akan
dilakukannya saat itu"
Akhirnya tibalah Bwe Si-jin di depan pesanggrahan
Hay-thian-it-si, ia menghentikan langkahnya di tempat kejauhan lalu mulai
mengawasi gedurg itu penuh keraguan.
Sementara dia masih bimbang, nenoadak terasa ada segulung angin tajam
berhembus lewat dari sisi tubuhnya, baru saja dia akan menghindar, tahu-tahu
jalan darahnya sudah ditotok orang, hal ini membuat hatinya terkesiap.
Belum hilang rasa kaget itu, terdengar Cau-ji sudah berbisik: "Maaf paman,
aku adalah Cau-ji!"
"Cau-ji, sungguh kamu?" tegur Bwe Si-jin terkejut bercampur girang, dia tak
menyangka pemuda yang berperawakan tinggi besar itu tak lain adalah Cau-ji si
bocah cilik. "Betul paman, sstt! Jangan berisik, urusan tentang Cau-ji dibicarakan lain
waktu saja, ayo kita masuk!"
"Tapi... bagaimana dengan Oh-loko...."
"Cau-ji percaya Oh-loko hanya salah paham saja terhadapmu, dan lagi dia
pun berada di sini sekarang, lebih baik kita menyelinap ke pesanggrahan Ti-wan
lebih dahulu."
"Baik Cau-ji, sekarang bebaskan totokan jalan darahku."
"Paman, kau harus berjanji tak boleh kabur."
"Tentu saja tidak, paman ingin buru-buru bertemu dengan adik Ti!"
"Baiklah!"
Setelah membebaskan jalan darah Bwe Si-jin, berangkatlah Cau-ji berdua
menuju ke sisi kiri halaman, kemudian menyelinap ke belakang ruang utama.
Mereka saksikan Ong Sam-kongcu dan dua belas tusuk konde emas sedang
menemani si raja hewan berbincang-bincang di situ, hampir semuanya hadir
termasuk bocah-bocah kecil, anehnya hanya Go Hoa-ti seorang yang tidak
nampak batang hidungnya.
Bwe Si-jin segera merasakan hatinya seakan tenggelam.
Cau-ji melirik sekejap ke arah pesanggrahan Ti-wan di kejauhan sana, melihat
cahaya lampu memancar keluar dari tempat itu, dengan hati girang segera
bisiknya: "Paman, kelihatannya di pesanggrahan Ti-wan ada orang."
Dengan perasaan harap-harap cemas, berangkatlah kedua orang itu menuju
ke pesanggrahan Ti-wan.
Tak lama kemudian Bwe Si-jin dapat melihat Go Hoa-ti sedang duduk
termenung di ruang tengah, kontan badannya gemetar keras sementara air mata
berlinang membasahi pipinya.
Cau-ji melirik ke arahnya sekejap sambil menuding ke arah ruang dalam,
maksudnya minta Bwe Si-jin segera masuk ke dalam, sementara dia sendiri
berjaga-jaga di luar pintu.
Setelah gagal menemukan Bwe Si-jin dan Cau-ji, dengan perasaan kalut dan
bingung Go Hoa-ti pulang kembali ke pesanggrahan Hay-thian-it-si.
Dia baru merasa lega setelah mengetahui Cau-ji gara-gara bencana malah
mendapat keberuntungan dan sedang belajar ilmu.
Dia pun ambil keputusan untuk tetap tinggal di pesanggrahan Ti-wan sambil
menunggu nasib.
Siapa sangka tiga hari berselang tiba-tiba si raja hewan muncul lagi di situ,
waktu itu dengan penuh kegusaran raja hewan mewartakan akan munculnya
kembali Bwe Si-jin, bahkan mengungkap pula masalah asusila yang telah
diperbuat anggota Jit-seng-kau selama ini.
Go Hoa-ti serasa hatinya terpukul setelah mendengar kabar berita itu hingga
badannya gemetar keras.
Si Ciu-ing yang menyaksikan hal itu segera menegur dengan perasaan kuatir:
"Cici Ti, ada apa kau?"
"Ooh, tidak apa-apa ... hanya secara tiba-tiba badanku terasa kurang sehat
Ong Sam-kongcu tahu perampuan itu pasti terpukul hatinya gara-gara berita
miring mengenai Bwe Si-jin, sementara dia pun tak ingin orang lain mengetahui
hubungan khususnya dengan lelaki itu sehingga memperlihatkan reaksi
semacam itu. Maka buru-buru dia berseru dengan lembut: "Adik Ti, lebih baik kau baliklah
dulu ke kamar untuk beristirahat."
Sekembali ke pesanggrahan Ti-wan, Go Hoa-ti segera melampiaskan rasa
sedihnya dengan menangis tersedu.
Dia gembira karena akhirnya mendapat tahu kabar berita tentang Bwe Si-jin,
tapi dia pun sedih mengapa engkoh Jinnya terlibat dalam tindak asusila
perkumpulan Jit-seng-kau"
Selama tiga hari terakhir hampir boleh dibilang dia tak pernah keluar dari
kamarnya barang selangkah pun.
Waktu itu, dia sedang mengenang kembali peristiwa yang telah menimpa
dirinya selama ini, dia pun percaya walaupun Bwe Si-jin adalah anggota Jitsengkau, namun dia bukan manusia busuk, dia percaya kekasihnya dikurung
lantaran membangkang perintah sucinya, Su Kiau-kiau.
Dia pun yakin Bwe Si-jin bukan lelaki maniak yang gemar bermain seks dan
melakukan tindak asusila seperti apa yang dituduhkan si raja hewan.
Berpikir sampai di situ tak tahan lagi ia bergumam: 'Engkoh Jin, adik Ti
percaya kau bukan orang jahat, tahukah kau betapa menderita dan tersiksanya
perasaan hatiku karena gagal menemukan jejakmu?"
Mendengar sampai di sini, Bwe Si-jin tak bisa menahan diri lagi, dia segera
menerjang masuk ke dalam ruangan sambil teriaknya: "Adik Ti!"
Go Hoa-ti tertegun, tapi sesaat kemudian dengan tubuh gemetar karena
terkejut bercampur gembira serunya: "Engkoh Jin, betulkah kau?"
"Benar," sahut Bwe Si-jin sembari menghapus penyaruannya, "aku benarbenar
adalah Bwe Si-jin yang telah bertindak kejam kepadamu."
Dengan air mata bercucuran Go Hoa-ti segera menubruk ke dalam
pelukannya, serunya lirih: "Engkoh Jin, aku tahu kau tidak bersalah, selama ini
kau justru telah dicelakai orang...."
Bwe Si-jin seperti mau mengucapkan sesuatu lagi, tapi Go Hoa-ti telah
menciumnya, mencium dengan penuh napsu.
Kedua orang itupun saling berpelukan, saling berciuman dengan penuh
kehangatan dan napsu.
Cau-ji bersembunyi di belakang pintu, dengan perasaan keheranan dia
saksikan kedua orang itu saling berciuman.
Tampaknya kedua orang itu sudah lupa diri, sambil berciuman pelan-pelan
mereka bergeser menuju ke kamar.
Dengan perasaan keheranan dan ingin tahu diam-diam Cau-ji ikut masuk ke
dalam ruangan dan mengintip dari luar pintu kamar.
la saksikan kedua orang itu saling melucuti pakaian masing-masing hingga
bugil, lalu tubuh Go Hoa h yang lemas tak bertenaga berada dalam keadaan
telanjang bulat digendong Bwe Si-jin menuju ke atas ranjang,
Tak lama kemudian Bwe Si-jin mulai menindih badan Go Hoa-ti dan mereka
berdua pun mulai menggiatkan tubuh masing-masing, sebentar naik turun
sebentar lagi berputar ke kiri kanan, gerakan tubuh mereka sangat cepat, penuh
tenaga dan penuh bemapsu ....
Ketika masih berada dalam gua tempo hari, beberapa kali Cau-ji pernah
mengamati barang milik paman Bwenya yang "panjang, panjang sekali"
bergelantungan di antara kedua pahanya, waktu itu dia sudah merasa kagum
sekali dengan "barang" milik pamannya itu.
Dan kini, dia merasa semakin kagum lagi setelah melihat "barang" milik
pamannya berdiri begitu tegak, kencang dan mengeras bagai sebuah tongkat
besi, ia merasa "benda" tersebut begitu gagah, begitu perkasa dan luar biasa
hebatnya. Ternyata bibinya juga tak kalah gagah dan beraninya, bukan saja bibinya
berani memberikan perlawanan, suatu ketika bahkan berani memberikan
serangan balasan.
Tak selang berapa saat kemudian, Go Hoa-ti dari posisi "tamu berubah jadi
tuan rumah", kali ini dia yang menindih tubuh paman Bwenya, bahkan mulai
menggerakkan badannya dengan penuh tenaga ....
Cau-ji merasakan hatinya berdebar keras, apalagi setelah menyaksikan
sepasang payudara bibinya yang menggeletar mengikuti gerakan tubuhnya yang
semakin menggila.
"Oooh rupanya" begitu pekiknya di dalam hati, "jadi gerak gerik yang
dilakukan si nona terhadapku dalam gua tempo hari melambangkan perbuatan
ini... jadi mereka sedang melakukan hubungan badan ...."
Semakin membayangkan perasaan hatinya semakin bertambah kalut, tak
lama kemudian ia merasa tubuhnya kesemutan, sadarlah bocah itu, gara-gara
perhatiannya terpecah, jalan darahnya sudah ditotok orang, dia ingin bersuara
tapi jalan darah gagunya ikut tertotok.
Terasa badannya jadi ringan, tahu-tahu dia sudah ditarik masuk ke dalam
ruangan. Terdengar seseorang membentak nyaring: "Besar amat nyalimu, berani betul
mengintip di sini, rasain hukuman dari nonamu!"
Cau-ji tahu jalan darahnya telah ditotok oleh Ong Bu-jin, melihat gadis itu
membawanya masuk ke dalam kamar, ia jadi panik, sayang jalan darah gagunya
tertotok sehingga tak sanggup menghalangi kepergian nona itu.
Tiba-tiba terdengar gadis itu menjerit sedih: "Ibu, kau...."
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyusul kemudian sambil menutupi wajahnya dan menangis dia lari keluar
dari dalam kamar.
Sewaktu lewat di hadnpan Cau-ji, dengan perasaan mendongkol dia hajar
dada pemuda itu sembari mengumpat: "Mampus kamu!"
Dalam pada itu Bwe Si-jin telah menyusul keluar, melihat pukulan tersebut
teriaknya dengan perasaan terkejut: "Tahan!"
Bukannya menarik kembali serangannya, sambil menggertak gigi Ong Bu-jin
malah menambahi pukulannya dengan satu bagian tenaga.
"Blaaammmm!" diiringi suara benturan keras tubuh Cau-ji mencelat keluar
dan roboh tak sadarkan diri, sementara Ong Bu-jin sendiri menjerit kesakitan
sambil muntah darah segar.
Buru-buru Bwe Si-jin menyambar tubuhnya, namun gadis tersebut sudah
roboh tak sadarkan diri
Kegaduhan tersebut segera memancing perhatian orang, terdengar Ong Samkongcu
sambil membentak gusar berlarian mendekat.
Waktu itu Go Hoa-ti sudah mengenakan kembali pakaiannya, sambil keluar
dari kamar serunya cemas; "Engkoh Jin, cepat berpakaian dulu."
Sembari berkata dia ganti membopong tubuh Owi Bu-jin.
Tak lama kemudian Ong Sam-kongcu, raja hewan serta dua belas tusuk konde
emas telah berdatangan di tempat itu.
Ong Sam-kongcu melirik sekejap pemuda yang tergeletak di lantai, ketika
melihat Ong Bu-jin pingsan dalam pelukan Go Hoa-ti, buru-buru tegurnya
dengan perasaan cemas: "Adik Ti, apa yang terjadi dengan anak Jin?"
Belum sempat Go Hoa-ti menjawab, Bwe Si-jin sudah muncul dari balik pintu
sambil menyapa: "Ong-heng, apa kabar?" bayangan berkelebat, tahu-tahu Bwe
Si-jin sudah muncul di hadapan orang banyak.
Betapa gusarnya si raja hewan setelah melihat kemunculan orang itu,
hardiknya: "Hei, orang she Bwe, berani amat kau datang kemari?" sambil
menghardik dia siap melancarkan serangan.
"Jangan terburu napsu cianpwe," buru-buru Ong Sam-kongcu mencegah, "ada
baiknya kita selidiki dulu masalah ini hingga jelas."
Sambil mendengus dingin raja hewan mundur kembali ke posisi semula.
"Ong-heng," seru Bwe Si-jin kemudian, "mari kita periksa dulu keadaan luka
Cau-ji dan Jin-ji!" sambil berkata dia menuding pemuda yang tergeletak di lantai.
"Apa" Dia adalah Cau-ji?" serentak semua orang menjerit kaget.
Si Ciu-Ing segera menghampiri Cau-ji dan mengamati wajahnya sekejap, tapi
ia segera menggeleng sambil bangkit berdiri.
"Orang she Bwe, permainan busuk apa lagi yang sedang kau rencanakan?"
hardik raja hewan gusar.
Bwe Si-jin melirik Cau-ji sekejap, melihat kelopak mata kirinya sedang
bergerak, ia pun segera berteriak keras: "Cau-ji, bila kau tidak segera bangun,
pamanmu bakal mati konyol."
Mendengar itu Cau-ji segera melompat bangun, sambil berlutut di hadapan
Ong Sam-kongcu serunya gemetar: "Ayah, maafkan Cau-ji, lain kali Cau-ji tidak
berani lagi!"
Ditinjau dari perawakan tubuhnya, suaranya serta raut mukanya, jelas
pemuda ini bukan Cau-ji, mengapa orang itu mengaku diri sebagai anak Cau"
Tiba-tiba Bwe Si-jin teringat akan sesuatu, katanya kemudian sambil tertawa:
"Cau-ji, lepaskan dulu topeng kulit manusia yang kau kenakan!"
"Baik!" sahut Cau-ji sambil melepaskan topengnya
"Angkat wajahmu ..." bentak Ong Sam-kongcu.
Begitu Cau-ji mengangkat wajahnya, Si Ciu-ing segera berteriak keras: "Anak
Cau ... kau memang anak Cau!" sambil berkata dia segera ikut berlutut di
sampingnya. "Adik Ing, apa-apaan kau .. ?" tegur Ong Sam-kongcu.
"Kongcu," ujar Si Ciu-ing dengan air mata berlinang, "anak salah berarti
ibunya ikut salah mendidik, aku siap menerima hukuman."
"Adik Ing, persoalan ini tak ada sangkut pautnya dengan kau."
Dalam pada itu Go Hoa-ti sambil membopong tubuh Jin-ji ikut berlutut pula
sambil berkata: "ln-)in, semua peristiwa yang terjadi hari ini bermula dari
persoalanku, kejadian ini tak ada sangkut pautnya dengan Cau-ji"
Buru-buru Ong Sam-kongcu berkelit ke samping, sahutnya: "Enso, cepat
bangun, lebih baik persoalan ini tak usah dibicarakan dulu, yang penting kita
periksa dulu keadaan luka yang diderita Jin-ji."
"Terima kasih saudara Ong!" Bwe Si-jin menjura dalam-dalam, lalu
membangunkan Go Hoa-ti.
Ong Sam-kongcu segera melototi Cau-ji sekejap bentaknya: "Anak kurang ajar,
ayo cepat bangun "
Raja hewan sama sekali tidak mengetahui hubungan antara Bwe Si-jin dengan
Go Hoa-ti, tampaknya dia dibuat kebingungan oleh kejadian yang baru saja
berlangsung. Melihat Cau-ji sudah bangkit berdiri, dia pun segera bertanya: "Cau-ji,
sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Waktu itu Ong Sam-kongcu sekalian sudah balik ke ruang tengah hingga di
depan pesanggrahan Ti-wan tinggal mereka berdua, Cau-ji segera menjawab
lirih: "Yaya, tadi enci Jin menotok jalan darahku kemudian menghajarku, tapi
akibatnya dia yang berubah jadi begitu."
"Anak Cau, kenapa Jin-ji berbuat begitu kepadamu?"
"Aku...."
Melihat bocah itu ragu-ragu untuk menjawab, si raja hewan sebetulnya ingin
mendesak lebih jauh, saat itulah tiba-tiba terdengar Ong Sam-kongcu berbisik
dengan ilmu coan-im-jit-pit "Cianpwe, Bwe Si-jin adalah kekasih Go Hoa-ti, Jin-ji
adalah putri mereka!"
"Haha...." raja hewan segera menjerit kaget.
Cau-ji mengira kakek itu tidak senang hati, baru saja dia akan membeberkan
semua kejadian yang dialaminya tadi, terdengar raja hewan menukas dengan
suara lirih: "Tak usah banyak bicara lagi, yaya sudah tahu sekarang."
"Yaya, kau benar-benar sudah tahu?" Cau-ji keheranan.
Raja hewan manggut-manggut.
"Sekarang kita tak usah membicarakan persoalan ini lagi, Jin-ji bisa terluka
pasti karena kena getaran pelindung badanmu, ayo kita selamatkan dulu cicimu
itu." "Yaya, Cau-ji benar-benar bisa menolong enci Jin?" sambil berjalan Cau-ji
bertanya. Raja hewan mengangguk tanpa menjawab.
Padahal dia sendiripun tidak yakin akan hal itu.
Ketika mereka berdua masuk ke dalam ruangan, terdengar Si Ciu-ing sedang
berkata sambil terisak: "Maafkan aku enci Ti!"
Rupanya Ong Sam-kongcu dan Bwe Si-jin secara bergantian telah memeriksa
denyut nadi anak Jin, tapi hasilnya sama saja, napasnya lemah dan peredaran
darahnya tersumbat.
Sambil berusaha mengendalikan rasa sedih di hatinya, Go Hoa-ti berkata:
"Enci Ing tak usah sedih, selama Jin-ji masih bernapas, berarti masih ada
peluang untuk menyembuhkan."
Ketika melihat Cau-ji muncul dalam ruangan, Ong Sam-kongcu segera
menghardik dengan suara berat "Cau-ji, kemari, ayo berlutut di hadapan paman
Bwe." "Saudara Ong, kau tak usah menyiksa Cau-ji lagi," cegah Bwe SHin.
Dengan serius Ong Sam-kongcu menggeleng, kepada putranya kembali ia
berkata: "Cau-ji, mulai hari ini kau dan anak Jin adalah suami istri, mengerti?"
Cau-ji merasa seperti mengerti, seperti juga tidak, tapi ia tak berani
membantah perintah bapaknya, maka sambil mengangguk ujarnya: "Ayah, Cau ji
masih belum mengerti, tapi Cau-ji akan mentaati perintah ayah."
Maka sesuai dengan petunjuk Ong Sam-kongcu, Cau-ji pun segera
menjalankan penghormatan besar di hadapan Bwe Si-jin serta Go Hoa-ti.
Mendadak terdengar Bwe Si-jin berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha ...
saudara Ong, ada tidak mertua yang menghantar menantunya masuk kamar
pengantin?"
Jangankan Ong Sam-kongcu tidak paham, orang yang hadir di situ pun tak
ada yang mengerti maksud perkataan itu.
Sambil membopong Jin-ji dari atas meja, kembali Bwe Si-jin berseru:
"Pengantin lelaki, ayo ikuti mertuamu masuk kamar."
Habis berkata sambil tertawa terbahak-bahak dia berjalan menuju
pesanggrahan Ti-wan.
Dengan kepala tertunduk dan tanpa mengucapkan sepatah kata pun Cau-ji
mengintil di belakangnya.
Semua orang yang hadir dalam ruangan cuma bisa saling berpandangan, tak
seorangpun yang tahu apa gerangan yang terjadi.
Sementara itu dari dalam kamar pesanggrahan Ti-wan terdengar Bwe Si-jin
berseru lagi: "Pengantin pria, ayo cepatan sedikit, jangan malu-malu."
Ketika Cau-ji masuk ke dalam kamar, ia saksikan Bwe Si-jin telah melucuti
pakaian yang dikenakan Jin-ji hingga tinggal kutangnya yang berwarna biru,
tampak gadis itu berbaring tenang di atas ranjang.
Melihat keadaan tersebut, Cau-ji segera terbayang kembali adegan syurnya
dengan Su Gi-gi tempo hari, berubah hebat paras mukanya bahkan badannya
ikut gemetar keras.
Bwe Si-jin melirik pemuda itu sekejap, kemudian katanya lagi: "Cau-ji, masih
ingat ilmu Kui-goan-sinkang yang pernah paman ajarkan kepadamu?"
Cau-ji mengangguk.
"Kalau begitu coba berlatihlah satu kali di hadapan paman."
Cau-ji segera duduk bersila dan mulai mengatur pernapasan, tak lama
kemudian tampak sebuah lapisan cahaya kuning menyelimuti seluruh
tubuhnya. Bwe Si-jin tertegun setelah menyaksikan kejadian itu, pikirnya: "Tak aneh
kalau Jin-ji terluka parah meski jalan darahnya tertotok, kelihatannya dia
mengalami kemajuan yang luar biasa pesatnya dalam beberapa hari terakhir...."
Bwe Si-jin berpikir sejenak, kemudian dia keluar dari kamar dan kembali
dengan membawa dua batang pohon yang panjangnya berapa depa.
Terdengar Bwe Si-jin berkata lagi: "Cau-ji, coba perhatikan dua batang ranting
pohon ini, nanti gunakanlah ranting itu untuk menotok jalan darah Pek-hwehiat
dan Tan-tiam di tubuh Jin-ji.
"Anak Cau, asal kau salurkan tenaga dalammu ke jalan darah Pek-hwe-hiat di
tubuh Jin-ji. lalu menggunakan Kui-goan-sinkang mengalirkan kembali tenaga
Jin-ji yang ada di Tan-tiam balik ke tubuhmu, maka dua belas putaran
kemudian dia akan segar kembali"
Mendengar itu Cau-ji segera menghembuskan napas lega.
la terima ranting pohon itu, duduk di tepi ranjang, menutul jalan darah Pekhwehiat dan Tan-tiam di tubuh Jin-ji, kemudian mulai menyalurkan hawa
murninya. "Cau-ji, dorong secara perlahan-lahan, yang penting harus beraturan dan
tidak putus," perintah Bwe Si-jin.
Cau-ji manggut-manggut, dia mulai mengerahkan tenaga dalamnya ke dalam
lengan kiri. Dengan cepat ia temukan jalan darah Pek hwe-hiat di tubuh enci Jinnya
seperti tersumbat oleh sesuatu, apa mau dikata pamannya berpesan agar dia
tidak terburu napsu, maka sambil menahan sabar pelan-pelan ia dorong tenaga
dalamnya ke tubuh gadis itu.
Dua jam telah berlalu tanpa terasa, di bawah pengawasan Ong Sam-kongcu
sekalian akhirnya Cau ji dapat menyalurkan tenaga murninya ke dalam tubuh
gadis itu. Ong Bu-jin yang selama ini jatuh pingsan akhirnya dapat menghembuskan
napas panjang dan membuka matanya kembali.
Semua orang menyambut keberhasilan ini dengan riang gembira.
"Anak Jin, jangan bicara dulu," bisik Si Ciu-ing lembut.
"Bibi, mana adik Cau?" tanya Ong Bu-jin lirih.
"Coba lihat sendiri, siapa yang telah selamatkan jiwamu?"
Jin-ji menoleh ke samping, melihat adik Cau nya sedang mengobati lukanya,
dengan lemah bisiknya lagi: "Adik Cau, cici telah bersalah kepadamu..."
Belum habis berkata, napasnya sudah tersengal-sengal.
Cau-ji jadi gugup, ia segera membuang ranting pohon itu, memeluknya dan
mencium bibirnya sembari menyalurkan tenaga dalam.
Siapa sangka lantaran kelewat emosi, tenaga dalamnya sama sekali tak
tersalurkan keluar, dalam gugup bercampur panik Cau-ji segera menarik lepas
kutang yang dikenakan gadis itu.
Sepasang payudaranya yang putih dan montok segera muncul di hadapan
orang banyak, suasana pun jadi gaduh.
"Cau-ji, kau..."hardik Ong Sam-kongcu.
Tapi sebelum ia lanjutkan bentakannya, dengan wajah serius Bwe Si-jin telah
menimpali: "Jangan emosi dulu Ong-heng, tadi Jin-ji kelewat banyak bicara ditambah lagi
emosinya labil, sekarang keadaannya sangat berbahaya."
"Aku rasa tindakan yang akan dilakukan Cau-ji saat ini adalah menggunakan
ilmu pengobatan Im-yang-ho-hap-tok-ki-liau-hoat (perpaduan positip dan
negatip), sistim pengobatan ini sangat berbahaya, salah-salah bisa mencabut
nyawa Jin-ji. jadi aku harap semua orang mau bertindak sebagai pelindung"
Bicara sampai di situ ia segera maju mendekat dengan wajah serius.
Ong Sam-kongcu segera berpaling ke arah Si Ciu-ing, katanya serius: "Adik
Ing, keluarga Ong mempunyai tiga belas orang putra, tapi Bwe-heng dan adik Ti
cuma memiliki Jin-ji seorang, kau mesti membantunya dengan bersungguhsungguh."
Habis berkata bersama si raja hewan segera keluar dari ruangan.
Dengan air mata berlinang dan tangan gemetar Si Ciu-ing serta Go Hoa-ti
segera membantu Cau-ji dan Jin-ji melucuti semua pakaian yang mereka
kenakan Go Hoa-ti mengambil sebuah bantal dan diletakkan di bawah pinggul Jin-ji,
lalu pelan-pelan dia pentang lebar sepasang pahanya membiarkan "lubang singa"
dengan bulu hitamnya yang masih sedikit itu terbentang lebar.
"Enci Ti, kali ini Jin-ji harus menderita," bisik Si Ciu-ing lirih.
"Kita tak perlu merisaukan persoalan ini," tukas Go Hoa-ti serius, "bagaimana
pun mereka sudah menjadi suami istri, siapa tahu selewatnya kejadian ini
hubungan mereka malah bertambah mesra."
Dengan penuh rasa terima kasih Si Ciu-ing mengangguk, katanya kemudian:
"Cau-ji, ayo naik!"
Tadi Cau-ji mengambil keputusan untuk menggunakan cara tersebut, karena
secara tiba-tiba teringat olehnya kalau tenaga dalam yang dimilikinya bertambah
pesat setelah Su Gi-gi "kencing" di atas barang miliknya.
Oleh sebab itu dia putuskan untuk mencoba dengan cara yang sama.
Dalam waktu singkat Cau-ji sudah menindih di atas badan Jin-ji, karena
punya hasrat ke situ. otomatis si "ular berbulu"nya dengan cepat
menggelembung besar dan tegak lurus, tak lama kemudian barangnya jadi
tegang sekali dan mencapai kepanjangan delapan inci dan besar satu inci.
Go Hoa-ti tidak menyangka Cau-ji yang masih berusia tiga belas tahun
ternyata memiliki "barang" yang besarnya sudah mencapai setengah dari milik
Bwe Si jin, bila barang itu berkembang terus mengikuti perkembangan
tubuhnya, entah akhirnya bisa mencapai berapa besar"
Dua belas tusuk konde emas yang menyaksikan adegan itu ikut berdebar
debar hatinya, mereka pun sangat kagum dengan ukuran barang milik Cau-ji
yang luar biasa itu.
"Waah, besar amat barangnya," demikian mereka berpikir, "milik bapaknya
saja tidak segede itu, di kemudian hari entah berapa banyak gadis yang bakal
keranjingan dengan barang miliknya"
Go Hoa-ti cukup berpengalaman dengan sosis ukuran "king size", jadi dia pun
tahu bagaimana harus menghadapinya, dengan suara lirih bisiknya: "Cici
sekalian, tolong dibantu melumuri barang milik Cau-ji dengan air liur, agar
sewaktu masuk nanti barangnya lebih licin!"
Sembari berkata, dia pun menggunakan air liur sendiri membasahi sekitar
lubang surga milik Jin-ji dengan sangat berhati-hati.
Ketika barang ukuran "king size" milik Cau-ji sudah basah dilumuri air liur, Si
Ciu-ing pun memberi perintah: "Ayo dimulai Cau-ji, tapi harus perlahan"
Cau-ji menurut, pelan-pelan dia masukkan barangnya ke dalam lubang surga
milik gadis itu.
Ketika dilihatnya tangan Jin-ji mulai gemetar keras seperti menahan rasa
sakit, kembali Si Ciu-ing berbisik: "Perlahan ... perlahan lagi, yang halus, yang
pelan ... nah, sekarang masukkan sedikit demi sedikit... yaa ... jangan
dipaksakan, perlahan saja ...."
Sembari menciumi bibir Jin-ji, pelan-pelan Cau-ji masukkan barang miliknya
ke dalam lubang surga milik Jin-ji, karena mesti berhati-hati maka tak lama
kemudian dia sudah bermandikan keringat.
Tapi untung semuanya berjalan lancar, tak selang berapa saat kemudian
seluruh barang milik Cau-ji yang berukuran besar itu sudah terbenam di dalam
liang surga gadis itu.
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat semuanya berjalan lancar, para orang dewasa pun menghembuskan
napas lega Pendidikan yang diberikan sang ibu memang luar biasa sekali!
Cau-ji sendiripun merasa lega, dia menarik napas dan bermaksud "kencing",
tapi dia pun tak tahu bagai mana caranya melakukan hal tersebut, kalau harus
"kencing", apa yang mesti dilakukan"
Karena kuatir kembali dia ciumi gadis itu bertubi-tubi.
Melihat putranya panik, Si Ciu-ing segera mengerti apa yang telah terjadi,
maka dia pun berbisik: "Cau ji agar berhasil kencing, kau mesti mulai
menggoyangkan badanmu!"
Tiba-tiba Cau-ji terbayang kembali dengan gerakan aneh yang dilakukan Su
Gi-gi sebelum akhimya bisa "kencing", dalam girangnya dia pun mulai
menggoyangkan badannya....
Saking kerasnya goyangan itu, Jin-ji kontan kesakitan setengah mati, bukan
saja badannya gemetar keras, peluh dingin jatuh bercucuran membasahi
wajahnya. "Cau-ji, cepat berhenti!" bentak Si Ciu-ing, sambil berkata dia segera
memegang pinggul bocah itu dan menahannya.
"Ibu, kenapa Cau-ji mesti berhenti?" tanya pemuda itu keheranan.
"Cau-ji, kau tak boleh ngawur, coba lihat, Jin-ji jadi sangat tersiksa, kalau
mau bergoyang, kau mesti bergoyang secara lembut dan perlahan, ayo sekarang
di mulai... ikuti petunjukku ...."
Melihat gadis itu pucat pias sambil melelehkan air mata, Cau-ji tahu, nona itu
pasti kesakitan, bisiknya ke mudian: "Cici, aku...."
Setelah berhenti sejenak, rasa sakit yang dialami Jin-ji sudah banyak
berkurang, dia segera pejamkan matanya dan menjawab malu: "Adik Cau, aku
tidak apa-apa...."
Begitulah, di bawah bimbingan Si Ciu-ing yang memberi komando, Cau-ji
mulai naik turunkan badannya dengan penuh kelembutan....
Percikan darah perawan mulai meleleh keluar dan membasahi seprei
pembaringan. Tak lama kemudian napas Jin-ji mulai tersengal-sengkal, badannya juga
mulai ikut bergoyang mengikuti gerakan tubuh pemuda itu.
Si Ciu-ing tahu, kedua orang bocah itu sudah mendekati puncak kenikmatan,
maka kembali perintahnya: "Cau-ji, percepat gerakanmu, yaa... makin cepat...
makin cepat lagi
Waktu itu Cau-ji sudah merasakan barang miliknya makin geli dan gatal,
semakin cepat gerakan dilakukan, ia merasa barang miliknya semakin enak dan
nikmat sekali, maka dia pun percepat gerak naik turunnya.
Jin-ji jauh lebih matang dari saudara lainnya, dia tentu saja tahu apa yang
sedang mereka lakukan sekarang di hadapan orang banyak, sekalipun mereka
adalah orang tua sendiri, tak urung rasa malu tetap menyelimuti perasaan
hatinya, maka walaupun sudah terangsang hebat ia berusaha untuk
menahannya. Go Hoa-ti cukup berpengalaman dalam masalah ini, tentu saja dia pun
mengerti jalan pikiran putrinya, diam-diam ia totok jalan darah tertawa di tubuh
gadis itu kemudian memberi tanda kepada rekan-rekannya.
Tak lama kemudian terdengarlah suara tertawa serta rintihan dari Jin-ji yang
membuat suasana semakin terangsang....
Cau-ji mengira cicinya sangat senang dengan gerak cepatnya, maka dia pun
mempercepat gerakan tubuhnya.
Setengah perminuman teh kemudian tampak bulu kuduk Jin-ji pada bangun
berdiri, tubuhnya mulai gemetar keras.
Berubah hebat paras muka Go Hoa-ti, buru-buru dia tepuk bebas jalan darah
tertawanya. Cau-ji tidak tahu adanya perubahan itu, dia masih melanjutkan genjotan
badannya.... "Cau-ji, sudah keluar belum?" tanya Si Ciu-ing tiba-tiba.
"Ibu, Cau Ji tak bisa kencing, bagaimana ini?"
Si Ciu-ing termenung berpikir sejenak, dia tahu bila Cau-ji dibiarkan
menerjang terus lama kelamaan Jin-ji bakal mati, maka diapun berkata "Cau-ji,
cepat dikencingkan, asal kau sudah kencing, Jin ji pasti akan sehat kembali."
"Ya betul, asal dia tidur sejenak maka semuanya akan beres."
"Cau-ji, jangan salahkan ibu." Tiba-tiba Si Ciu-ing berbisik dengan air mata
berlinang, tiba-tiba secepat kilat dia totok jalan darah Ciok-cing hiat di tubuh
Ciau Ji, jalan darah ini mengendalikan saluran cairan mani di tubuh kaum
lelaki. "Jangan!" pekik Go Hoa-ti sambil mencengkram pergelangan tangannya.
Pek Lan-hoa ikut bergerak, secepat kilat ia totok jalan darah kaku di
tubuhnya. "Enci Ing, kau tak boleh berbuat begitu," seru Goa Hoa-ti dengan air mata
berlinang. "Enci Ti, kau sudah mendengar perintah dari engkoh Huan bukan," kata Si
Ciu-ing tegas, "kita masih punya dua belas orang anak lelaki."
Sambil berkata ia tepuk jalan darah Ciok-cing hiat di tubuh bocah itu.
Cau-ji segera mendengus tertahan, badannya gemetar keras, cairan mani
segera menyembur keluar berulang kali, dengan lemas tubuhnya segera
tergeletak di atas badan Jin-ji.
"Cau-ji!" seru Si Ciu-ing sedih, dia segera membopong tubuh putranya.
"Enci Ing, kami terlalu banyak berhutang kepada kalian," keluh Go Hoa-ti
sembari memeluknya.
"Maaf cici Ti, aku harus pergi duluan," kata Si Ciu-ing, dengan langkah
sempoyongan dia segera menerjang keluar dari ruangan.
"Cau-ji...." kembali pekiknya keras.
Pekikan keras yang menyayat hati itu kontan membelah keheningan fajar yang
baru menyingsing.
Ong Sam-kongcu yang mendengar teriakan itu tersentak kaget, paras
mukanya pucat pias bagai mayat, untuk sesaat dia tertegun dan tak mampu
berbuat apa-apa.
Sebelas orang tusuk konde lainnya ikut melelehkan air mata, melihat cairan
mani masih saja menyembur keluar dari barang milik Cau-ji, mereka serentak
berlarian mengikuti di belakangnya.
Tak sampai setengah jam kemudian, berita duka ini sudah menyebar ke
seluruh pesanggrahan, semua orang tenggelam dalam kesedihan yang luar biasa.
Benarkah Cau-ji, si pendekar muda kita tewas karena cairan maninya
menyembur keluar terus menerus"
Jika Cau-ji tewas dalam usia muda, siapa yang akan meneruskan kariernya,"
Siapa pula yang akan menjayakan nama besar pesanggrahan Hay-thian-it-si"
Untuk mengetahui kisah selanjutnya dari pendekar muda kita Ong Bu-cau,
nantikan cerita selanjutnya dalam sambungan Pendekar Naga Emas Jilid 2
TAMAT Jilid 01 Cersil XX rate (Bacaan Orang Dewasa)
Bila masih dibawah Umur masuk sarung ajja, hihi
Karya : Yen To (Gan To)
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http:// http://dewikz.byethost22.com/
PENDEKAR NAGA MAS
Jilid 2 Bab I. Tenaga sakti menggetarkan jagad.
Pesanggrahan Hay-thian-it-si (samudra dan langit satu pandangan) adalah
tempat tinggal Ong Sam-kongcu, Lelaki paling ganteng di jagad saat itu.
Suasana pesanggrahan yang selalu diliputi kegembiraan, suasana yang
biasanya dipenuhi bocah yang bercanda sambil bermain kejar-kejaran, hari ini
justru diliputi awan mendung yang gelap.
Semua orang merasa sedih, semua orang merasa berduka.
Bahkan si Raja hewan Oh It-siau yang sudah terhitung kelas 'kakek' pun tak
dapat menahan rasa pedihnya, ia berdiri di depan pintu dengan air mata
bercucuran. Semua orang merasa sedih karena seorang bocah yang baru berusia tiga belas
tahun, Ong Bu-cau tak mampu mengendalikan semburan air maninya setelah
melakukan hubungan badan untuk pertama kalinya.
Sebagaimana diketahui, setelah jalan darah kaku di tubuh Cau-ji ditotok oleh
ibunya, semburan air mani pun segera menyembur keluar dengan derasnya
membasahi seluruh liang senggama Jin-ji (Baca jilid 1)
Semenjak diurut oleh Cau-ji, sebetulnya Jin-ji sudah merasakan badannya
sangat enteng bagaikan melayang di udara.
Maka begitu liang senggamanya disembur berulang kali oleh cairan mani yang
panas, gadis itu segera menggigil keras dan diiringi jeritan nikmat dia pun
mencapai orgasme.
Waktu itu kebetulan Cau-ji sedang berbaring di samping tubuhnya, dalam
keadaan masih bernapsu, gadis itupun segera mencium bibir Cau-ji dengan
bernapsu kuat. Ciuman itu akhirnya berhasil menarik nyawa Cau-ji keluar dari pintu neraka.
Sebetulnya kesadaran Cau-ji waktu itu sudah mulai menghilang, semburan
mani yang bertubi-tubi membuat badannya mengejang keras, lambat-laun dia
menjadi lemas dan nyaris tak bertenaga.
Maka ketika bibir Jin-ji yang panas mencium bibirnya, bocah itu tersentak
kaget. Dia segera merasakan lidah mungil gadis itu seolah-oleh sebiji buah yang
berlapis madu, selain manis juga amat segar, tak tahan lagi dia pun menghisap
ujung lidah itu dengan kuat.
Perlu diketahui, air mani Cau-ji yang menyembur keluar berulang kali itu
sebenarnya mengandung inti kekuatan pil naga sakti yang pernah ditelannya,
oleh sebab itu hawa murni yang kuat itu langsung menerjang ke dalam Tan-tian
Jin-ji. Begitu Cau-ji mulai menghisap ujung lidahnya, maka hawa murni yang
semula mengalir keluar dengan derasnya ke dalam tubuh Jin-ji, seketika
terhisap kembali ke atas, menembus semua hambatan di tubuh si nona dan
balik kembali ke tubuh Cau-ji.
Begitu hawa Im bertemu dengan hawa Yang, kehidupan pun berjalan kembali
dengan normal. Dua orang itu saling berpelukan kencang, tubuh mereka tak bergerak lagi.
Ketika Go Hoa-ti melihat tubuh Cau-ji sudah tidak bergetar lagi, dia tahu
semburan mani bocah itu sudah berhenti, maka setelah menutup tubuh mereka
berdua dengan selimut, dia pun berjalan keluar meninggalkan ruangan.
Dalam waktu singkat Cau-ji dan Jin-ji sudah tertidur dengan nyenyaknya.
Mendekati tengah hari, mendadak dari dalam ruangan berkumandang suara
letupan yang sangat aneh.
Cau-ji segera terbangun dari tidurnya, baru saja dia ingin memeriksa suara
aneh apa yang berbunyi dari bagian bawah tubuh enci Jin, tiba-tiba
berkumandang lagi suara letupan yang keras.
Menyusul suara letupan itu, dia lihat tubuh enci Jin gemetar sangat keras.
Segera dia melompat bangun dan berguling ke bawah ranjang.
Tampak tubuh Ong Bu-jin gemetar sangat keras, suara aneh itu ternyata
berasal dari bagian dalam nona itu, satu kejadian yang membuatnya tertegun.
Kenapa bisa muncul kejadian seperti ini"
Ong Bu-jin sendiri pun ketakutan setengah mati, semula dia menyangka
suara itu berasal dari kentutnya, tapi setelah diamati lagi, ternyata dugaannya
keliru, suara itu bukan suara kentut, malahan badannya seperti kemasukan
udara yang besar, bagai balon yang dipompa, badannya membengkak makin
besar. Beberapa saat kemudian suara aneh itu baru berhenti.
Tiba-tiba Cau-ji merasa enci Jin seperti tumbuh lebih tinggi, yang lebih aneh
lagi adalah bagian dadanya, mendadak dia merasa sepasang payudara gadis itu
seolah tumbuh makin besar dan montok, ia lihat ada dua gumpalan daging
besar dengan puting susu berwarna merah terbentang di hadapannya.
Terdorong rasa ingin tahu yang luar biasa, bocah itu segera meraba dan
meremasnya ....
Haah, ternyata empuk, halus dan enak sekali untuk dipegang dan diraba.
Makin diraba Cau-ji merasa makin nikmat, maka dengan kedua belah
tangannya ia mulai meremas payudara nona itu.
Lama kelamaan Ong Bu-jin merasa kegelian, makin diremas ia merasa
semakin geli, akhirnya dengan wajah bersemu merah bisiknya, "Adik Cau,
jangan begitu!"
"Enci Jin, kenapa kau punya dua gumpal daging besar?"
Tentu saja Ong Bu-jin kebingungan untuk menjawab, serunya kemudian,
"Aku sendiri juga tidak tahu!"
"Enci Jin, jangan-jangan karena pergumulan kita semalam, kau kena
kuhantam hingga terluka dan membengkak besar, biar aku tanyakan kepada
ibu!" Ong Bu-jin menjadi malu bercampur terkejut, Segera dia bangkit untuk
menarik tangannya.
"Aduh!" tiba-tiba gadis itu menjerit keras, ia merasa tubuh bagian bawahnya
selain sakit juga amat pedih.
Cepat Cau-ji menyingkap selimutnya dan memeriksa bagian bawah gadis itu,
ia lihat ceceran darah membasahi seprei.
Dalam terkejut bercampur paniknya ia segera menjerit keras, "Ayah! Ibu!
Kalian cepat kemari! Enci Jin dia...."
Tapi dia tak bisa melanjutkan perkataannya lagi karena mulutnya keburu
dibungkam oleh tangan Ong Bu-jin.
"Adik Cau," bisiknya lirih, "kau jangan sok panik begitu, ayo cepat
bersembunyi di sini, masa kau ingin bertemu orang dalam keadaan bugil?"
Baru saja Cau-ji akan bersembunyi di balik selimut, tiba-tiba terdengar Si Ciuing
berseru kaget, "Ooh Thian! Cau-ji, ternyata kau belum mati! Aku ... uuh ...
uhhh ... uuuh...."
Saking kaget bercampur girangnya ia segera menangis tersedu-sedu.
Semua orang dewasa yang berdatangan pun serentak menjerit kaget setelah
menyaksikan Cau-ji duduk di ranjang dalam keadaan segar bugar.
"Ooh, Thian!"
Dua puluh empat orang pasukan bocah yang mendadak melihat engkoh Cau
tumbuh menjadi dewasa pun ikut menjerit kaget.
Dengan penuh rasa gembira si Raja hewan menyeka air matanya, melihat Jinji
masih bersembunyi di balik selimut, ia segera mengerti apa yang terjadi, segera
teriaknya, "Sobat-sobat kecil, mari kita pergi bersantap!"
"Aaah, nanti saja! Kami masih ingin bercakap-cakap dengan engkoh Cau!"
tampik mereka. "Siau-jiang, ayo makan dulu," seru Pek Lan-hoa cepat, "selesai berpakaian
engkoh Cau pasti akan menyusul kalian untuk makan bersama, setuju?"
"Setuju!"
Raja hewan yang ditarik dan didorong kawanan pasukan bocah itu menjadi
kegirangan setengah mati, kini ia bisa tertawa terbahak-bahak.
Pek Lan-hoa balik ke kamarnya dan mengambil satu stel pakaian putih milik
Ong Sam-kongcu.
"Aaah, benar!" tiba-tiba Cau-ji berteriak keras, "tadi telah terjadi satu peristiwa
yang sangat aneh, enci Jin, dia...."
"Jangan cerewet!" teriak Ong Bu-cau tersipu-sipu.
Seakan mendapat perintah kaisar, Cau-ji segera tutup mulutnya rapat-rapat.
Meski begitu tangannya tetap membuat gerakan melengkung di depan dada
sendiri sembari menjulurkan lidahnya.
"Adik Cau, apa yang kau lakukan?" jerit Ong Bu-jin.
Kembali Cau-ji menjulurkan lidahnya, ia melompat turun dari ranjang dan
segera mengenakan baju berwarna putih itu.
Ketika semua orang melihat ketajaman pendengaran Ong Bu-jin yang sangat
hebat, diam-diam semua tertegun dibuatnya.
Sementara itu Cau-ji sudah berseru dengan gembira, "Ooh, sangat menarik,
enci Jin, cepat berpakaian!"
"Cau-ji, mari kita pergi makan dulu!" ajak Ong Sam-kongcu, sambil berkata
dia menjura kepada Bwe Si-jin dan mempersilakan tamunya berjalan lebih dulu.
Menanti ketiga orang itu keluar dari kamar, Go Hoa-ti baru mengambilkan
pakaian untuk Jin-ji, ujarnya sambil tertawa, "Jin-ji, semua orang sudah pergi,
cepat bangun dan berpakaian!"
Terbayang kembali sepasang payudaranya yang berubah menjadi bulat besar,
Ong Bu-jin merasa malu sekali, bisiknya lirih, "Ibu, tolong ambilkan pakaian,
akan kukenakan di dalam selimut!"
"Aaai, apa sih yang kau jadikan malu?"
Siapa tahu baru saja pakaian itu dikenakan setengah jalan, Ong Bu-jin
kembali berseru cemas, "Ibu, tolong pinjam pakaian milikmu!"
Sambil berkata ia lepaskan kembali pakaiannya yang kelewat sempit.
Semua orang yang berada di situ menjadi tertegun dan saling berpandangan
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan keheranan, hanya Go Hoa-ti seorang yang segera mengerti apa yang
terjadi, sambil tersenyum ia mengambil satu stel pakaian miliknya dan diantar
ke balik selimut.
Tak selang berapa saat kemudian selimut sudah disingkap, Ong Bu-jin dengan
wajah tersipu-sipu turun dari pembaringan.
"Woouw, cantiknya!" para bocah perempuan itu menjerit tertahan.
Go Hoa-ti pun sangat gembira, sambil menyisir rambutnya yang kusut ia
bertanya, "Jin-ji, kenapa secara tiba-tiba kau bisa tumbuh tinggi, malah jauh
lebih tinggi dari ibu!"
Ong Bu-jin merasa girang bercampur malu, dengan suara lirih bagai suara
nyamuk bisiknya, "Ibu, aku sendiri pun tidak tahu, aku hanya tahu selesai
'begituan' dengan adik Cau, mendadak tubuhku tumbuh jadi besar dan dewasa."
Waktu itu Si Ciu-ing boleh dibilang 'mertua memandang menantu, makin
dipandang semakin jitu', sambil membantu membetulkan letak pakaian gadis
itu, tanyanya pula, "Jin-ji, anak Cau tidak nakal padamu bukan?"
"Tidak," sahut Ong Bu-jin malu, "cuma badanku sekarang terasa canggung,
kurang nyaman!"
"Kalau bagian 'itu' yang sakit sih kau tak perlu kuatir, sebentar juga bakal
sembuh," bisik Si Ciu-ing sambil menarik tangannya, "ayo, kita makan bersama."
"Enci Ing, kelihatannya kau akan semakin menyayangi anak Jin," seru Go
Hoa-ti menggoda, "waah, kelihatannya aku mesti gigit jari."
Gelak tertawa pun bergema memenuhi ruangan.
"Kalau tidak sayang menantu sendiri, lantas harus sayang siapa?" sahut Si
Ciu-ing sambil tertawa pula.
Ong Bu-jin sama sekali tidak tahu kalau dia mempunyai ayah lain,
perkiraannya semula, adik Cau berbuat 'begituan' bersamanya tak lain karena
hendak menyembuhkan luka yang sedang diderita, tak heran kalau dia menjadi
tertegun setelah mendengar perkataan itu.
Memangnya satu ayah lain ibu boleh menikah"
Go Hoa-ti bukan orang bodoh, ia segera dapat menangkap jalan pikiran
putrinya, sambil tersenyum ujarnya, "Jin-ji, mari kita bersantap dulu, selesai
bersantap tentu ada banyak cerita menarik yang akan kau dengar!"
Ketika seorang gadis berbaju putih bak bidadari yang turun dari kahyangan
berjalan masuk ke ruang utama, beberapa orang lelaki dewasa yang ada di situ
pun serentak memuji, "Ooh, cantiknya!"
Oleh karena itu secara diam-diam Cau-ji telah mengabarkan bahwa Ong Bujin
telah tumbuh setinggi dirinya kepada para bocah lelaki, tak heran begitu
melihat gadis itu melangkah masuk ke dalam ruangan, tempik-sorak segera
bergema gegap gempita.
Bwe Si-jin yang melihat putri kesayangannya tumbuh begitu cantik dan
anggun pun ikut merasa gembira, ia tertawa tiada hentinya.
Ong Bu-jin duduk satu meja dengan kawanan gadis lainnya, dia menjadi malu
sampai tak bisa bicara ketika rekan-rekannya sembari meraba dadanya yang
menonjol besar, bertanya ini itu tiada habisnya.
Melihat itu, sambil menarik wajah Cau-ji segera menegur, "Eei, jangan berisik,
biar enci Jin bersantap dulu!"
Kawanan gadis itu tak berani ribut lagi, serentak mereka pun mulai
bersantap. Sejak melakukan perjalanan jauh selama beberapa hari, Cau-ji belum pernah
makan enak, sekarang setelah berhadapan dengan aneka hidangan lezat,
ditambah lagi ia sangat riang, tak heran semua makanan yang tersedia
disikatnya hingga ludes.
Ketika Cau-ji melihat di hadapan seorang adiknya masih tertinggal sepotong
paha ayam, dia segera menggapai tangan kanannya dan ... "Weess!", tahu-tahu
paha ayam itu sudah terhisap dan terbang kedalam genggamannya.
Tentu saja kawanan bocah itu belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu Likhongsip-oh (menghisap benda dari udara), kontan semua orang terperana
dibuatnya. Melihat Cau-ji sengaja memamerkan ilmunya, Bwe Si-jin segera menggerakkan
telapak tangan kanannya ke atas, separoh ayam panggang yang berada di
hadapannya dicomotnya, kemudian hardiknya, "Terima potongan ayam ini!"
Ketika pergelangan tangan kanannya diputar sambil berayun, piring berisi
ayam itu kontan berputar di angkasa lalu terbang melayang ke arah Cau-ji.
Separoh potong ayam panggang itu seakan tumbuh sayap, dengan satu
gerakan cepat langsung meluncur ke tangan bocah itu.
Sementara piring tadi dengan membawa desingan angin tajam langsung
meluncur keluar ruangan.
Melihat itu para bocah segera menjerit kaget, "Aduuuh, piring itu bisa pecah!"
Cau-ji sama sekali tidak menggubris, dia masih asyik menggigit ayam
panggang itu. Mendadak terdengar bocah-bocah itu berteriak lagi, "Haah, piring itu terbang
kembali!" Benar saja, setelah berputar satu lingkaran kecil di luar ruangan, bukan saja
piring itu terbang kembali ke dalam ruangan bahkan dengan kecepatan yang
lebih tinggi meluncur ke arah Bwe Si-jin.
Dengan wajah serius Bwe Si-jin menghimpun tenaga dalamnya ke tangan
kanan, secepat kilat ia mencengkeram ke muka dan menerima piring itu.
Tempik-sorak disertai tepuk tangan meriah kembali bergema gegap gempita.
Lamat-lamat Bwe Si-jin merasa ujung jarinya kesemutan dan sakit, tak tahan
ia menghela napas panjang.
Sementara itu si Raja hewan telah mengambil sebuah guci arak seberat lima
kati, bentaknya, "Cau-ji, biar Yaya mentraktirmu minum arak!"
Selesai berkata telapak tangan kanannya menahan dasar gunci, lalu
didorongnya ke depan.
Selapis panah arak segera menyembur ke udara dan menerjang ke hadapan
Cau-ji. Dengan tenang Cau-ji menolak telapak tangan kanannya ke arah panah arak
itu, tampiknya, "Yaya, maaf, ayah melarang Cau-ji minum arak!"
Sambil bicara sekali lagi telapak tangan kanannya menekan, semburan arak
itupun meluncur balik ke dalam guci.
Selagi mengerahkan tenaga ternyata masih mampu bicara, melihat
kemampuan tenaga dalam yang begitu hebat, sampai Ong Sam-kongcu sendiri
pun terkagum-kagum dibuatnya.
"Cau-ji," serunya kemudian, "hari ini merupakan hari bersejarah bagimu,
minumlah!"
Sekali lagi panah arak menyembur ke depan.
Kali ini Cau-ji menarik napas sambil menghisap, panah arak pun bagaikan
ikan paus yang menelan air samudra langsung meluncur masuk ke dalam
mulutnya. Waktu itu Bwe Si-jin masih menekan dasar guci dengan telapak tangannya,
tiba-tiba panah arak lebih melebar satu kali lipat dan menyembur ke arah Cau-ji
semakin kencang.
Melihat datangnya semburan ini, Cau-ji segera teringat tindakan pamannya
dulu, dimana dengan menyemburkan darah dari kelelawar menyerang dua
bagian tubuhnya sekaligus.
Maka dengan gerakan cepat telapak tangan kirinya mengambil sebuah
mangkuk kosong, lalu dengan teknik menghisap dia hirup separoh bagian
semburan arak itu, sementara jari tangan kanannya ditusukkan ke tengah
mangkuk dan menghisapnya ke dalam mulut.
Menyaksikan demonstrasi ilmu silat tingkat tinggi semacam ini, tak kuasa lagi
Ong Sam-kongcu beserta para wanita lainnya bangkit berdiri untuk
menyaksikan dengan lebih teliti.
Selang beberapa saat kemudian tiba-tiba panah arak itu terputus di tengah
jalan. Rupanya seluruh isi guci arak itu telah terhisap habis.
Tak kuasa lagi semua orang menghela napas panjang, tempik-sorak dan tepuk
tangan pun kembali berkumandang gegap gempita.
Dengan keheranan Ong Bu-jiang segera bertanya, "Engkoh Cau, kemana
larinya semua arak itu?"
"Tentu saja masuk kemari!" sahut Cau-ji sambil menepuk perut sendiri.
"Tidak mungkin, kenapa perutmu tidak membesar seperti guci arak itu?"
Cau-ji tertawa tergelak.
"Hahaha, adik Jiang, kau paling suka minum kuah, kenapa perutmu pun
tidak membuncit seperti kuali?"
Habis berkata kembali ia tertawa tergelak.
"Engkoh Cau, kau bicara ngawur!" merah jengah wajah Jiang-ji.
"Ooh, sejak kapan kau belajar mengucapkan 'bicara ngawur?" Engkoh Cau tak
pernah membohongi kalian, bagaimana kalau kutumpahkan keluar semua isi
perutku?" "Tidak usah, tidak usah, bau!" seru para bocah sambil menutup hidung
sendiri. Rupanya suatu hari Lo-ong tumpah-tumpah setelah mabuk berat, bau
muntahan yang menyengat sempat membuat para bocah itu pusing tujuh
keliling. "Baik, baiklah," kata Cau-ji kemudian, "kalau memang kalian takut bau, biar
kuteteskan keluar saja, adik Jiang, cepat ambil guci arak tadi."
Baru saja A-jiang mengambil guci arak itu, segulung semburan arak telah
meluncur keluar dari ujung jari tangan kiri Cau-ji.
Bau harum semerbak pun memancar ke seluruh ruangan, kembali teriakan
memuji bergema di angkasa.
Cau-ji tersenyum, ketika lima jari tangannya dipentangkan, kembali terlihat
ada lima semburan arak memancar masuk ke dalam guci itu.
Bwe Si-jin tidak menyangka kalau ilmu sakti Kui-goan-sin-kang milik Cau-ji
sudah terlatih hingga mencapai tingkatan Thian-jin-hap-it (langit manusia
bersatu padu), dalam suasana penuh kekaguman, mereka pun mulai
membicarakan rencana bagaimana harus menghadapi perkumpulan Jit-sengkau.
Sesaat kemudian Cau-ji telah menjilati kelima ujung jarinya sambil berseru,
"Ehmmm, harumnya!"
Raja hewan mengambil guci arak itu dan menimang-nimang sebentar, tibatiba
serunya sambil tertawa, "He, Cau-ji, kau sudah korupsi satu kati arak!"
Merah padam wajah Cau-ji, untuk sesaat dia tak mampu berkata-kata.
Bwe Si-jin kontan tertawa terbahak-bahak, katanya, "Hahaha, Cau-ji, coba
kau ceritakan pengalamanmu sejak perpisahan kita di dekat air terjun tempo
hari!" Mendengar itu Cau-ji segera teringat kembali akan sumpah dirinya pada Su
Gi-gi. Mendadak paras mukanya berubah hebat.
Dengan wajah serius Bwe Si-jin segera berkata, "Cau-ji, kami tahu kau pasti
telah bertemu dengan suatu peristiwa yang menyulitkan, itulah sebabnya kami
ingin sekali membantumu menyelesaikan kesulitan itu, coba ceritakan
pengalamanmu!"
Setelah termenung dan berpikir sejenak akhirnya Cau-ji pun menceritakan
kisahnya bagaimana ia bertarung melawan naga sakti, bagaimana ia berhasil
mendapatkan bola merah, kabur ke dalam gua, memukul hancur beberapa
orang musuh dan melarikan diri dari tempat itu.
Ketika selesai mendengar penuturan itu, si Raja hewan yang pertama-tama
bersorak gembira, serunya, "Terima kasih langit, terima kasih bumi, akhirnya
naga sakti berusia seribu tahun itu mati juga, tampaknya danau itu sekarang
telah berubah menjadi bukit karang!"
Sebaliknya Bwe Si-jin berkata dengan suara dalam setelah termenung sesaat,
"Cau-ji, gadis yang mayatnya kau hancurkan itu bisa jadi adalah putri
kesayangan Su Kiau-kiau, Kaucu perkumpulan Jit-seng-kau, itulah sebabnya
semua orang memanggilnya sebagai tuan putri!"
"Cau-ji, tampaknya gadis itu tahu kalau bola merah itu merupakan mestika
yang sangat langka, Lwe-wan dari naga sakti berusia seribu tahun, dia berusaha
untuk menghabiskan sendiri benda itu, jelas tujuannya ingin menjadi jago
nomor wahid di kolong langit, siapa tahu dia pun berencana hendak
membunuhmu!"
"Mana mungkin" Aku toh pernah menyelamatkan jiwanya!"
"Cau-ji, pikiranmu kelewat sederhana, hati manusia siapa tahu, kelicikan dan
kebusukan hati dimiliki setiap orang, apalagi Su Kiau-kiau sudah lama
berencana melestarikan kembali perkumpulan Jit-seng-kau, putrinya pasti
berusaha mendukung rencana ibunya bukan?"
Dengan mulut membungkam Cau-ji manggut-manggut.
"Aaaai, benda mestika hanya diperoleh mereka yang berjodoh, siapa suruh
budak itu kelewat tamak, coba kalau dia hanya makan sedikit saja, belum tentu
nasibnya akan berakhir secara tragis."
"Cau-ji, untung kau telah berhasil melatih ilmu Kui-goan-sin-kang, kalau
tidak, mungkin waktu itupun kau bakal tewas secara mengenaskan, malah
menurut analisa, bisa jadi kau akan mati bersama gadis itu."
Ketika membayangkan kembali kegilaan serta kekalapan yang telah dilakukan
gadis itu, Cau-ji segera berseru, "Paman, ada benarnya juga perkataanmu itu,
kau tahu, dia selalu bertindak gila terhadapku, bahkan tingkah lakunya sangat
aneh, dia paksa aku mengencingi badannya berulang kali, hampir saja aku mati
lantaran kecapaian."
Mendengar perkataan itu, para orang dewasa tahu pikiran Cau-ji sudah
terbuka, mereka pun menghembuskan napas lega, sementara dalam hati
kecilnya merasa kagum bercampur terima kasih pada Bwe Si-jin.
Raja hewan segera maju ke depan menggenggam sepasang tangan Bwe Si-jin,
ujarnya terharu, "Lote, tak nyana kau berjiwa besar dan bersedia mewariskan
ilmu Kui-goan-sin-kang, kepandaian paling hebat perkumpulan Jit-seng-kau
kepada Cau-ji, kalau dulu Loko salah menilaimu, harap sudi dimaafkan!"
Bwe Si-jin tidak menyangka kalau kesalah pahaman ini dapat diselesaikan
sedemikian mudahnya, dengan girang ia balas menggenggam tangan Raja
hewan. "Engkoh tua, terima kasih atas pemahamanmu! Terima kasih banyak!"
serunya terharu.
Ong Sam-kongcu yang selama ini hanya membungkam segera menimpali,
"Sebenarnya perkumpulan Jit-seng-kau termasuk sebuah perkumpulan kaum
lurus, sayangnya Kaucu yang menduduki jabatannya sekarang sudah
mengambil jalan sesat, akibatnya perkumpulan ini dianggap orang sebagai
perkumpulan sesat."
"Saudara Bwe, asal kau bersedia membawa perkumpulan Jit-seng-kau
kembali ke jalan yang benar, Siaute bersedia mendukungmu!"
"Betul, Lote," kata si Raja hewan pula, "tulangku belum terlampau tua untuk
digerakkan, ayo, berjuanglah, kami semua akan mendukungmu!"
Tak terkira rasa girang Bwe Si-jin setelah mendengar dukungan itu, katanya,
"Terus terang, sebenarnya saat ini aku sudah mengantongi jawabannya, di
kolong langit saat ini mungkin hanya Cau-ji seorang yang sanggup
mengendalikan keempat iblis wanita itu, aku ingin mendukung Cau-ji menjadi
ketua Jit-seng-kau!"
Jeritan kaget seruan tertahan segera bergema di seluruh ruangan.
"Saudara Bwe," Segera Ong Sam-kongcu menyela, "Cau-ji masih kecil dan tak
tahu urusan."
"Ong-heng," tukas Bwe Si-jin, "Cau-ji toh bakal tumbuh dewasa, biar mereka
kaum muda saja yang berjuang memberantas kejahatan, sementara kita yang
tua sudah waktunya pensiun dan menikmati sisa hidup dengan tenang."
Bicara sampai di situ, ia melirik sekejap ke arah Go Hoa-ti.
Dengan penuh kegembiraan Go Hoa-ti balas melirik ke arah suaminya.
Raja hewan ikut berteriak pula, "Lote, kebesaran jiwamu sungguh membuat
hatiku kagum."
"Hahaha, engkoh tua, bagaimanapun sawah yang subur harus diwariskan
kepada orang sendiri, bukan begitu?"
Dengan penuh pengertian Raja hewan balas tertawa.
Cau-ji sama sekali tak menyangka kalau dirinya bakal mendapat kesempatan
untuk menjadi ketua perkumpulan Jit-seng-kau, tak tahan lagi dengan
semangat yang berkobar serunya, "Ayah, apakah Cau-ji boleh menjadi Kaucu
perkumpulan Jit-seng-kau?"
Ong Sam-kongcu tidak menyangka kalau dirinya yang mempunyai watak
lemah tak bersemangat ternyata memiliki keturunan yang berhati keras seperti
baja dan berilmu silat tangguh, kontan dia menyahut, "Tentu saja boleh!"
Ucapan selamat pun segera mengalir datang dari semua orang yang hadir.
Terlebih dua belas tusuk konde emas, mereka amat kegirangan sampai tak
mampu berkata-kata.
Mereka sebenarnya termasuk macan betina yang suka melakukan perjalanan
dalam dunia persilatan, sekalipun sekarang sudah terbiasa hidup tenang,
namun begitu muncul kesempatan, sifat aslinya langsung saja muncul.
Ong Sam-kongcu memperhatikan para bini dan anak-anaknya sekejap, lalu
serunya kepada kawanan bocah itu, "Kalian dengarkan baik-baik, bila Cau-ji
benar-benar menjadi seorang Kaucu. paling tidak kalian harus bisa menjadi
seorang Tongcu atau Huhoat, jangan tak punya semangat begitu!"
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kami pasti akan berusaha!" serentak para bocah berteriak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, sekarang kalian boleh pergi beristirahat, bila
ada waktu senggang pasti akan kuajarkan ilmu silat yang lebih tangguh."
"Baik!"
Baru saja Cau-ji akan ikut meninggalkan ruangan, Si Ciu-ing sudah
menariknya ke dalam kamar dan memberi pelajaran 'ilmu ranjang' yang jauh
lebih halus dan lembut, dia berulang kali berpesan agar bocah itu jangan kasar
bila ingin menyetubuhi Jin-ji, selain itu diajarkan pula teknik pemanasan yang
hebat. Di pihak lain Pek Lan-hoa sekalian juga mengajak Ong Bu-jin kembali ke
kamarnya untuk berbincang-bincang, selain menurunkan teknik melayani sang
suami di atas ranjang, mereka pun sekaligus memberitahu asal-usulnya.
Sedang Ong Sam-kongcu menarik tangan Raja hewan dan diajaknya minum
arak. "Engkoh Jin," bisik Go Hoa-ti kemudian, "kita sudah terlalu banyak berhutang
budi pada mereka!"
"Adik Ti," sahut Bwe Si-jin setengah berbisik, "kalau begitu mari kita bikin
beberapa orang anak lagi, asal bisa dikawinkan dengan mereka, bukankah
hutang budi kita bisa terbayarkan?"
Go Hoa-ti merasa hatinya berdebar, serunya cepat, "Aku sudah berusia
setengah abad, masa subur untuk melahirkan sudah lewat, mana mungkin bisa
melahirkan lagi?"
"Sstt, omong kosong, tahun ini usiamu baru enam belas tahu, siapa bilang
sudah lewat masa melahirkan" Untuk perkataan ngawurmu itu kau mesti
didenda!" Sambil berkata ia meraba pipi kanan bininya. Go Hoa-ti segera
mengegos ke samping dan cepat berlari menuju ke gedung Ti-wan.
Baru saja perempuan itu masuk ke dalam kamar, Bwe Si-jin telah memeluk
tubuhnya erat-erat.
Kontan saja Go Hoa-ti merasa jantungnya berdebar keras, tubuhnya yang
lemas segera bersandar dalam pelukan lelaki itu, bisiknya lirih, "Engkoh Jin,
masakah di siang hari bolong ...."
Sambil menciumi bibir, pipi dan leher perempuan itu, sahut Bwe Si-jin, "Aaah,
peduli amat mau di siang hari bolong atau di tengah malam buta, semalam
permainan kita sudah terganggu di tengah jalan, kali ini aku mesti menusuk
liangmu lebih keras lagi!"
Sambil berkata ia mulai melepas pakaian yang dikenakan perempuan itu satu
per satu. Go Hoa-ti membalik tubuhnya dan membantu Bwe Si-jin melepas celananya,
katanya lagi, "Semalam kita memang terlalu gegabah, sama sekali tak kusangka
Jin-ji dan Cau-ji bisa masuk ke dalam kamar di saat kita masih berasyikmasyuk."
Bwe Si-jin tertawa lirih, sambil membelai tubuh perempuan itu, meremas
sepasang payudaranya dan meraba bulu-bulu hutan bakau di bagian antara
paha, ia berbisik lagi, "Adik Ti, semalam apakah Jin-ji sangat menderita?"
"Ehmm, jangan dilihat Cau-ji masih kecil, dia memiliki 'barang' yang luar
biasa besarnya, apakah tidak kau perhatikan cara jalan Jin-ji hari ini"
Kelihatannya dia menderita luka yang cukup parah ...."
"Hahaha, sejak awal aku sudah tahu kalau 'barang' Cau-ji memang luar biasa
besarnya, keadaan Jin-ji saat ini persis seperti keadaanmu sewaktu pertama kali
aku tiduri...."
"Aaah, kau.... kau memang jahat!"
Sambil berkata ia segera melepaskan diri dari pelukan lelaki itu dan
menyelinap masuk ke dalam kamar.
Dalam waktu singkat dua buah tubuh yang sama sekali bugil berlarian dalam
ruang kamar, bermain petak umpet.
Mendadak Go Hoa-ti menjerit kaget, "Aduuuh!"
Rupanya 'tombak panjang' milik Bwe Si-jin telah menusuk masuk melalui
belakang pantatnya, dengan jurus Han-cing-gan-ciong (melihat tombak dengan
pandangan mesra). "Creeet!", ujung tombak langsung menghujam masuk ke
dalam liang surga milik Go Hoa-ti.
Sudah jelas jeritan sakit itu bukan kesakitan sungguhan, tapi jeritan
merangsang yang sangat menggoda. Sebab bila dia tidak sengaja menunggingkan
pantatnya ke belakang sambil mementang sepasang kakinya, bagaimana
mungkin tombak panjang itu bisa menusuk masuk ke dalam liangnya"
Sepasang tangan Bwe Si-jin segera memeluk pinggang perempuan itu dengan
kencang, kemudian dia mulai melancarkan serangkaian tusukan dengan gencar.
"Plook Ploook!", serangkai bunyi aneh bergema tiada hentinya.
Perlahan-lahan Go Hoa-ti menggerakkan tubuhnya ke depan, dengan
sepasang tangan berpegangan di pinggir ranjang, pinggulnya dipentang semakin
lebar mengambil gaya kaki dipentangkan dan pantat ditonjolkan ke belakang, ia
mulai menggoyang pinggulnya sebentar ke kiri dan kanan, sebentar lagi ke atas
dan ke bawah, mengimbangi gerakan tusukan lawan yang semakin gencar.
"Plook, ploook", suara cairan yang saling menggencet bergema makin nyaring.
Go Hoa-ti dapat merasakan ujung 'tombak panjang' milik engkoh Jin sudah
menancap hingga mencapai ke dasar liangnya, tak tahan lagi dia mulai merintih,
"Aduuuh ... ooooh ... adduuuh ... aaaah ... tusuk yang dalam ... aduh ... engkoh
Jin ... aduh sayang ... terus... masukkan terus...."
Bwe Si-jin menggenjot badannya makin cepat, sepasang tangannya sangat
repot, sebentar meremas puting susu, sebentar meremas payudara, terkadang
tangannya merantau hingga ke bawah, menekan 'biji kacang ijo" di bagian bawah
Go Hoa-ti yang dilindungi hutan bakau lebat, tak terkirakan kenikmatan yang
dirasakannya. Lama kelamaan napsu birahinya makin berkobar, dia pun menggenjot
badannya makin kuat dan cepat. "Oooh ... oooh ... aduuuh ... aduh nikmatnya
...lebih keras lagi ... ya ... lebih keras lagi ... aduuh ... aduh ... terasa hingga ke
dasarku... mati aku...."
"Hahaha, adik Ti, jangan mati dulu ... ayo goyang lebih keras lagi, mari kita
bertarung lebih hebat... ya ... lebih kencang ... aduuuh ... aduuh ... aku.... aku
tak tahan"
Bagaikan air panas yang menyembur keluar dari lubang termos, "Crocoot!",
tembakan pun dilepaskan dari ujung tombak Bwe Si-jin.
Lama kemudian baru ia mencabut keluar tombaknya dari dalam liang gua.
Waktu itu dari bagian bawah Go Hoa-ti pun sudah meleleh keluar cairan
kental yang mengalir melalui kakinya dan membasahi permukaan lantai.
"Ooh, adik Ti, kau sungguh hebat!" puji Bwe si-jin sambil tertawa.
Go Hoa-ti mengambil selembar handuk dan membantunya membersihkan
ujung tombak dari cairan kental, lalu membersihkan pula tubuh bagian
bawahnya, kemudian setelah mengerling sekejap, katanya, "Engkoh Jin,
kelihatannya kebiasaanmu mencicipi tahu milik orang lain masih belum bisa
hilang." Bwe Si-jin tertawa lebar, ia bimbing perempuan itu naik ke atas pembaringan,
kemudian menaikkan sepasang kakinya di atas bahu sendiri, kemudian ujarnya
sambil tertawa, "Adik Ti, tahukah kau, aku sudah belasan tahun tak pernah
mencicipi tahu!"
Sambil berkata tombak panjangnya kembali digenjotkan ke muka.
"Creeeep!", ujung tombak kembali menghujam masuk ke dalam liang surga.
"Aduuh mak ...." sekali lagi tubuh Go Hoa-ti gemetar keras.
Tadi dia bisa menggunakan pinggulnya sebagai pelindung badan hingga
mengurangi daya tusukan yang dihasilkan oleh 'tombak panjang' itu, tapi
sekarang boleh dibilang ia berada dalam keadaan terbuka lebar, sepasang
kakinya terpentang lebar membuat liang surganya sama sekali tak ada
perlindungan. Kini seluruh tubuh bagian bawahnya berada dalam keadaan terbuka, dia
hanya bisa pasrah dengan membiarkan Bwe Si-jin melakukan 'pembantaian'
secara besar-besaran.
Dalam keadaan begini dia hanya bisa berpegangan di sisi pembaringan sambil
'mengertak gigi' menahan datangnya 'gempuran dahsyat' yang bertubi-tubi.
Dalam waktu singkat Bwe Si-jin sudah melancarkan beratus kali gempuran
berantai, gempuran yang satu lebih hebat dari gempuran sebelumnya,
perempuan itupun mulai merintih, mulai mengaduh, merintih kenikmatan....
Kali ini serangan yang dilancarkan Bwe Si-jin tidak tanggung-tanggung lagi,
dia langsung mengeluarkan jurus Hwe-sian-ciong-hoat (ilmu tombak berputar),
setiap kali ujung tombaknya menusuk ke dalam liang sorga, ujung tombaknya
selalu menempel di dasar liang sambil menggesek dan berputar.
Go Hoa-ti tak kuasa menahan diri lagi, rintihannya makin keras, jeritannya
makin membangkitkan napsu, akhirnya dia pun mulai merinding.
Bwe Si-jin si panglima perang yang sangat berpengalaman dalam medan laga,
si jago tangguh dalam memetik bunga segera mengerti kalau jurus serangan
yang digunakan sudah mendatangkan hasil, maka dia pun mempergencar
serangannya lagi
"Plook, plok", suara gesekan cairan bergema makin keras, begitu kerasnya
hingga menggantikan suara rintihan dan jeritan Go Hoa-ti yang membetot
sukma. "Engkoh Jin ... aku ... aduh ... aduh ... aduh enaknya ... oohh ... ooh ... lebih
keras lagi... aduh enaknya ... oaaah ... aaaah ... aku hampir... aku hampir mati"
"Hahaha, adik Ti, bukankah kau ingin mati" Hahaha.."
Jangan dilihat Bwe Si-jin hanya tertawa tergelak, padahal dia pun merasakan
kenikmatan yang luar biasa.
Bagaimanapun pertarungan jarak dekat semacam ini merupakan pertarungan
badan yang sangat melelahkan.
Empat lima puluh tusukan kemudian akhirnya Go Hoa-ti mengibarkan
bendera putih tanda menyerah, tampak tubuhnya gemetar keras, mulutnya
merintih sambil ternganga lebar.
Bwe Si-jin masih melanjutkan genjotannya sebanyak puluhan kali lagi.
Go Hoa-ti mulai gelisah, jeritnya, "Engkoh Jin ... berhenti ... aku ... aku sudah
tak tahan ... aduh ... aku tak tahan... mati aku...."
Kelihatannya ia mulai sesak napas, udara yang masuk lebih sedikit dari udara
keluar, malah sepasang matanya sudah mulai membalik.
Bwe Si-jin menghembuskan napas panjang, dia mengambil selembar handuk
dan dijejalkan ke bagian bawah tubuhnya, lalu sambil membaringkan
perempuan itu di atas ranjang, ujarnya sambil tertawa, "Adik Ti, beristirahatlah
dulu!" Go Hoa-ti membuka matanya dan menghela napas.
"Benar-benar sangat nikmat, engkoh Jin, bagaimana ... bagaimana kalau
kuhisapkan milikmu!"
Tak terkirakan rasa girang Bwe Si-jin mendengar tawaran itu, segera dia
melompat naik ke atas pembaringan dan berbaring dengan kepala menghadap ke
kaki dan membiarkan tombaknya persis tergantung di atas mulut perempuan
itu. Benar saja, Go Hoa-ti segera membuka mulutnya dan mulai menghisap
'tombak panjang' itu dengan nikmat.
Bwe Si-jin merasakan benda miliknya kaku dan kesemutan, makin dihisap ia
merasa makin nikmat hingga tak terasa dia ikut menggenjotkan badannya naik
turun. Saking besar dan panjangnya tombak itu, hampir saja ujung tombak
menembus tenggorokan Go Hoa-ti, cepat perempuan itu memegang kedua butir
'telur burung puyuh' yang bergelantungan di hadapannya dan mulai
meremasnya. Begitu telurnya mulai diremas, Bwe Si-jin tidak banyak tingkah lagi.
Kembali dia mengambil handuk dan dengan halus mulai menyeka liang surga
milik perempuan itu.
Begitu menggosok beberapa kali, tak lama kemudian handuk itu sudah basah
kuyup. Pada saat itulah tiba-tiba ia merasa pinggangnya linu, Bwe si-jin tahu dia
segera akan mencapai puncaknya, segera dia mencabut keluar tombaknya dari
mulut perempuan itu.
Tapi Go Hoa-ti segera menggelengkan kepalanya, bahkan dia menghisap ujung
tombak itu makin kencang dan cepat.
"Adik Ti, jangan, entar mengotori mulutmu," segera dia berteriak.
Go Hoa-ti tak sanggup menjawab, dia hanya menggelengkan kepalanya
berulang kali. Dalam keadaan begini Bwe Si-jin hanya bisa tertawa getir, setelah menggenjot
badannya makin kencang, akhirnya dia pun mulai memuntahkan pelurunya.
"Gluguk", semburan itu langsung ditelan Go Hoa-ti.
Dia menghisap terus tombak yang mulai melemas itu hingga Bwe Si-jin benarbenar
terbaring lemas, kemudian baru melepaskan genggamannya.
"Oooh ... aku benar-benar kenikmatan!" keluh Bwe Si-jin lemas, sambil
berkata ia mulai membalikkan badannya.
Go Hoa-ti masih menempel ketat tubuhnya, ia berbisik, "Engkoh Jin, aku
hampir saja putus napas, lain kali jangan kau gunakan jurus itu."
"Hahaha, bukankah kau ingin mati?"
"Kau ... kau sudah merasakan kenikmatan, sekarang masih jahat padaku!"
Sambil berkata ia memukul dadanya dengan mesra.
0oo0 Bulan purnama bersinar terang di angkasa.
Di kolam Ti-sim dalam perkampungan Hay-thian-it-si terlihat Cau-ji dengan
bertelanjang dada sedang bermain kejar-kejaran dengan Ong Bu-jin yang hanya
mengenakan pakaian dalam.
Dalam setengah bulan terakhir, kedua orang ini tak pernah berpisah barang
sebentar pun, hubungan cinta mereka pun kian hari kian berkembang mesra.
Malam itu, menggunakan kesempatan di saat kebanyakan orang sedang
berbincang-bincang di ruang utama, mereka berdua menyelinap ke kolam untuk
bermain air. Kepandaian berenang yang dimiliki kedua orang ini tidak selisih jauh, tapi
tenaga dalam yang dimiliki Cau-ji jauh melebihinya.
Waktu itu, ketika melihat potongan tubuh enci Jin bertambah montok dan
indah, Cau-ji merasa tak tahan lagi, dia bayangkan betapa nikmatnya jika dapat
memeluk tubuh yang bahenol itu.
Berpikir begitu, sepasang kakinya segera menjejak ke tanah dan tubuhnya
langsung menubruk ke depan.
Ong Bu-jin tidak menyangka bakal dipeluk pinggangnya, baru ia akan
meronta, keadaan sudah terlambat.
Hari ini dia memang mengenakan pakaian dalam berwarna putih, bahan kain
yang tipis membuat sepasang payudara si nona kelihatan sangat mencolok,
apalagi setelah basah oleh air.
Khususnya sepasang putingnya yang sebesar kacang goreng, merah di antara
warna hitam membuat benda itu kelihatan sangat mencolok.
Sepasang tangan Cau-ji merangkulnya dari belakang punggung, lalu setelah
meraba sepasang payudaranya yang montok, dengan penuh rasa ingin tahu dia
mulai meraba puting susu yang merah mengeras itu dan memilirnya berulang
kali. Ong Bu-jin merinding, rabaan itu nyaris membuatnya sesak napas, segera dia
meluncur keluar ke permukaan air.
Begitu muncul dan menghembuskan napas panjang, segera tegurnya kepada
Cau-ji yang masih meremas payudaranya, "Adik Cau, lagi apa kau ini?"
"Hahaha, enci Jin, kedua butir kacang ini enak benar kalau dibuat mainan!"
Seraya berkata kembali dia memuntir sepasang puting susu itu berulang kali.
Kontan saja Ong Bu-jin merasa sakit bercampur geli, segera teriaknya, "Aduuh
... apanya yang enak dibuat mainan, kau sendiri toh punya, kenapa tidak kau
mainkan milikmu sendiri?"
"Aaah, ogah aah, punyaku kecil, punyamu jauh lebih besar, dan lagi lebih
enakan memegang milikmu."
"Kau ... kau memang jahat, baik ... sekarang berbaliklah, aku juga mau
memegang milikmu."
"Baik."
Cau-ji segera membalikkan badannya sambil memeluk Ong Bu-ji dengan erat,
bahkan dia mulai mencium bibirnya yang menantang dan melumatnya.
Ong Bu-jin tidak menyangka kalau Cau-ji begitu nakal, tak mampu
mengendalikan rasa kejut bercampur girangnya, ia segera menjejakkan kaki di
dalam air dan balas mencium pemuda itu dengan penuh napsu.
Di bawah cahaya rembulan, di antara riak air kolam yang bening, kedua orang
itu tenggelam dalam ciuman yang paling hangat.
Tanpa terasa, entah sedari kapan, tahu-tahu pakaian dalam yang dikenakan
Ong Bu-jin telah terlepas dari tubuhnya dan mengapung menjauh dari situ.
Dengan tangan kirinya mendayung di air, perlahan-lahan kedua orang itu
berenang menuju ke tepi kolam, lalu sekali menekan permukaan tanah, Cau-ji
berdua yang telanjang telah melompat naik ke atas daratan.
"Adik Cau, mau apa kau?" bisik Ong Bu-jin.
"Enci Jin, aku... aku ingin...."
Dia tidak tahu bagaimana harus mengemukakan hasratnya, maka dengan
tergagap ia tak sanggup meneruskan kata-katanya, tidak begitu dengan
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tangannya, dengan sigap dia mulai melepas celana daiam yang dikenakan gadis
itu. "Jangan di sini!" segera Ong Bu-jin menekan tangannya, "malu dong kalau
ketahuan orang!"
"Ba... bagaimana kalau di bawah pohon saja?"
"Di situ" Baiklah."
Mereka berdua celingukan sekejap mengawasi sekeliling tempat itu, setelah
yakin tak ada orang, dengan cepat mereka berlari menuju ke bawah pohon.
Dengan satu gerakan cepat Cau-ji melepas celana dalam yang dikenakan Ong
Bu-jin, lalu ketika siap melepaskan juga celana dalam miliknya, mendadak
tampak Siau-jiang muncul dari ruang utama sambil berteriak, "Engkoh Cau!
Enci Jin!"
Pendengaran Cau-ji saat ini amat sensitip, meski rada tak senang karena
pertarungannya bakal dibatalkan, namun melihat wajah Siau-jiang yang begitu
tegang, segera dia menegur dengan ilmu Coan-im-ji-bit (menyampaikan suara
secara rahasia), "Siau-jiang, apa yang terjadi?"
Tak terlukiskan rasa kaget Siau-jiang ketika mendengar suara namun tak
nampak manusianya, dengan kebingungan dia celingukan ke sana kemari.
"Adik Cau," Ong Bu-jin segera berbisik, "keluarlah dulu, coba lihat apa yang
terjadi, jangan kau buat Siau-jiang ketakutan!"
"Sialan, dia memang mengacau suasana saja!" gerutu Cau-ji tak senang.
Tapi ia bangkit juga sambil melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Begitu bertemu Cau-ji, Siau-jiang segera berseru, "Engkoh Cau, di luar sana
datang dua orang, mereka sedang bertarung melawan Oh-yaya dan paman Bwe!"
"Sungguh" Kenapa kau tidak ikut menonton?" tanya Cau-ji cemas.
"Ibu bilang kedua orang itu galak sekali, mereka melarang kita keluar!"
"Baik, sekarang pulanglah dulu, sebentar biar kuhajar kedua orang itu!"
Selesai berkata dia melayang balik ke tempat persembunyiannya.
Siau-jiang masih berdiri celingukan di situ, dia tahu engkoh Cau dan enci Jin
berada di situ, tapi kenapa hanya engkoh Cau seorang yang muncul" Kemana
perginya enci Jin" Sedang apa dia di situ"
Ong Bu-jin tahu, adik Jiang memang seorang setan cilik yang besar rasa ingin
tahunya, sejak awal dia sudah menyembunyikan diri di belakang pohon.
Begitu melihat Cau-ji muncul kembali, segera bisiknya, "Adik Cau, adik Jiang
belum pergi!"
Cau-ji berpaling, melihat Siau-jiang masih celingukan macam maling siap
mencuri ayam, ia menjadi jengkel bercampur geli, segera serunya lagi dengan
ilmu menyampaikan suara, "Adik Jiang, kenapa kau belum pergi dari situ?"
Siau-jiang menjulurkan lidahnya berulang kali, segera dia balik kembali ke
ruang utama. Cau-ji tahu, sekembalinya ke ruang utama, Siau-jiang pasti akan
menceritakan keadaan mereka di situ, maka katanya sambil tertawa, "Enci Jin,
tunggulah sebentar, biar kuambilkan pakaianmu."
"Tidak apa-apa, barusan apa yang dikatakan adik Jiang?"
"Dia bilang, di luar sana kedatangan dua orang yang sangat galak, mereka
sedang berkelahi melawan Oh-yaya dan ayahmu."
"Sungguh" Kalau begitu cepatlah kau menyusul ke situ, aku segera akan
menyusul."
Segera Cau-ji balik ke tepi kolam, setelah mengambil pakaian dalam milik Ong
Bu-jin, segera dia mengenakan kembali pakaiannya dan berlari menuju ke pintu
gerbang. Belum tiba di depan pintu, ia sudah mendengar suara bentakan nyaring serta
deru angin pukulan bergema dari luar pintu, perasaannya kontan bergolak
keras, ia mempercepat larinya menuju keluar.
Terdengar Si Ciu-ing berbisik sambil menggapai ke arahnya, "Cau-ji, ilmu silat
yang dimiliki kedua orang itu sangat lihai, cepat bantu Oh-yaya!"
Cau-ji manggut-manggut, ia saksikan seorang kakek kurus kering bak kulit
pembungkus tulang dengan jenggot berwarna putih, jubah warna hitam dan
bersenjatakan sebuah toya berkepala ular sedang bertarung sengit melawan Raja
hewan. Waktu itu Raja hewan dengan mengandalkan tongkat bambunya sedang
melepaskan serangkaian serangan gencar, segulung bayangan hijau disertai deru
angin kencang dan gemuruhnya guntur menekan kakek itu habis-habisan.
Jurus serangan yang digunakan kakek kurus itu sangat aneh, setiap gerak
serangannya selalu ganas dan telengas, jangan dilihat senjata andalannya cuma
sebuah tongkat berkepala ular, tapi begitu berada di tangannya ternyata
memiliki daya penghancur yang mengerikan.
Angin serangan yang begitu kencang dan kuat menyelimuti daerah seputar
satu meter lebih, di balik angin yang menderu disertai pula kilatan halilintar dan
gemuruhnya suara guntur.
Pertarungan berlangsung semakin sengit, jurus serangan yang digunakan
kedua orang itu semakin aneh, angin toya pun makin lama makin bertambah
kuat, jelas mereka berdua telah saling bertarung dengan mengerahkan tenaga
dalam tingkat tinggi.
Cau-ji mencoba berpaling ke arah lain, lebih kurang dua belas meter dari
arena pertarungan pertama, Bwe Si-jin sedang bertarung melawan seorang
kakek berambut putih bagai tembaga, bersanggul tinggi dan mengenakan jubah
panjang yang sederhana.
Mereka berdua pun sedang terlibat pertarungan yang amat sengit, bukan saja
pasir beterbangan di udara, bahkan batu kerikil pun ikut mencelat ke empat
penjuru. "Roboh kau!" mendadak terdengar bentakan nyaring bergema memecah
keheningan. Tiba-tiba dari ujung toya berkepala ular milik kakek kurus kering itu
menyembur keluar segumpal asap merah, asap itu langsung meluncur ke wajah
Raja hewan. Di luar dugaan Raja hewan sama sekali tidak roboh, tapi tubuhnya mundur
sejauh tiga meter lebih dari posisi semula.
Kakek ceking itu tertawa seram, sambil mengobat-abitkan toyanya dia
menyusul ke muka.
Semburan asap merah itu seketika menyelimuti seluruh tubuh Raja hewan
dan memaksanya harus berkelit ke sana kemari.
Menyaksikan kejadian itu Ong Sam-kongcu segera memberi tanda, serentak
semua orang mengundurkan diri ke dalam halaman.
"Ayah, apakah asap merah itu beracun?" bisik Cau-ji kemudian.
"Cau-ji," ujar Ong Sam-kongcu dengan serius, "kedua orang ini tak lain adalah
Tian-tiong-siang-sat (sepasang malaikat bengis dari In-lam), asap merah itu
mengandung racun yang sangat jahat, bila menempel di kulit maka kulit kita
akan segera membusuk hingga menyebabkan kematian!"
"Hmmm! Masa menggunakan benda beracun macam begitu untuk bertarung
melawan orang, betul-betul tidak adil, ayah, tampaknya Oh-yaya mulai tak
sanggup menahan diri, bagaimana kalau Cau-ji menggantikan posisinya?"
"Baiklah, gunakan saja ilmu pukulan Pun-lui-ciang-hoat (ilmu pukulan guntur
menggelegar) untuk menghadapinya, ayah ingin lihat, kau butuh berapa jurus
untuk merobohkan dirinya?"
Sementara itu Si Ciu-ing telah berpesan dengan rasa kuatir, "Cau-ji, kau
harus berhati-hati!"
Melihat kekuatiran istrinya, sambil tertawa Ong Sam-kongcu berkata, "Kau
tak perlu kuatir, anak Cau pernah menelan pil mestika Tay-huan-wan, selain itu
pernah pula makan empedu naga sakti, boleh dibilang dia tidak mempan
menghadapi serangan racun macam apapun, dia tak perlu kuatir menghadapi
asap merah itu."
"Baiklah kalau begitu."
Dalam pada itu Raja hewan sudah tercecar sangat hebat, napasnya sudah
tersengal-sengal macam napas kerbau, dalam keadaan seperti ini dia hanya bisa
memutar toyanya untuk melindungi badan.
Melihat serangannya berhasil mencecar lawan, kakek ceking itu melancarkan
serangannya makin gencar, toya di tangan kanan, serangan tangan kosong di
tangan kiri, dia mencecar lawannya semakin dahsyat.
"Setan tua, jangan sombong kau!" bentak Cau-ji gusar.
Tubuhnya secepat kilat meluncur masuk ke dalam arena, telapak tangan
kanannya diayunkan ke muka dan sebuah serangan telah dilontarkan tanpa
menimbulkan suara.
"Cau-ji kelewat kolot," kata Ong Sam-kongcu sambil menggeleng kepalanya
berulang kali, "menghadapi manusia macam beginipun dia masih menggunakan
sopan santun, memberi peringatan lebih dulu sebelum melancarkan serangan."
"Itulah tingkah laku seorang lelaki sejati!" sambung Si Ciu-ing kegirangan.
Dalam pada itu si kakek ceking itu tergetar hatinya setelah mendengar
bentakan itu, gerak serangannya agak terhenti sejenak, tapi begitu tahu
penyerangnya hanya seorang bocah kemarin sore, tak tahan ia pun mendengus
menghina. Walaupun dia melihat Cau-ji mengayunkan tangannya, tapi karena tidak
melihat datangnya angin serangan, dia sangka bocah itu hanya berlagak
menyerang untuk membohonginya, maka bukan saja dia tidak peduli atas
datangnya ancaman, malahan dengan toyanya dia mencecar Raja hewan makin
hebat. Siapa tahu pada saat itulah ia merasa seluruh tubuhnya terbungkus oleh satu
kekuatan yang maha dahsyat, diikuti sebuah tenaga yang sangat kuat
menghimpit tubuhnya.
Padahal waktu itu tubuhnya sudah telanjur menubruk ke depan, ingin
menghindar tak sempat lagi, dalam gugupnya sambil mengertak gigi ia
melancarkan sebuah bacokan maut dengan toyanya.
Pertarungan antara dua jago tangguh, lengah sedikit bisa mendatangkan
bencana. Tahu-tahu terdengar kakek ceking itu menjerit kesakitan, tubuh berikut
toyanya sudah terhajar oleh angin pukulan yang dilancarkan Cau-ji.
Baru saja lengannya terpapas kutung hingga mencelat ke angkasa, tahu-tahu
"Blaaaam!", tubuhnya sudah terhajar oleh serangan kedua Cau-ji hingga hancur
berkeping-keping.
Tenaga pukulannya bukan saja dahsyat bagai tindihan bukit, bahkan cepat
bagaikan sambaran kilat, Ong Sam-kongcu sekalian benar-benar terbelalak
matanya setelah menyaksikan kehebatan itu.
Kakek yang sedang bertarung melawan Bwe Si-jin pun sempat menyaksikan
kematian si kakek ceking yang mengenaskan, tak tahan ia berseru tertahan,
"Aaah! Ilmu pukulan penghancur mayat!"
Begitu ia tertegun, seketika itu juga posisinya tercecar hebat dan dipaksa Bwe
Si-jin berada di bawah angin.
Berhasil membunuh kakek berbaju hitam, kembali Cau-ji membentak, "Kau
rasakan juga kehebatanku!"
Tubuh berikut pukulannya langsung menubruk ke depan menghantam
pinggang kiri lawan.
Setelah melihat nasib tragis yang dialami rekannya, kakek itu tak berani
bertindak gegabah, begitu mendengar teriakan Cau-ji, tergopoh-gopoh dia
menghindarkan diri ke samping.
Begitu kakinya mencapai tanah, dengan jurus Thay-san-ciang-bong (gunung
Thay-san ambruk), tanpa menimbulkan suara melepaskan sebuah gempuran
dahsyat ke muka.
Belum lagi berdiri tegak, serangan yang dilancarkan Cau-ji sudah membacok
tiba, terpaksa sekali lagi kakek itu berkelit dengan gugup.
"Hati-hati!" bentak Cau-ji.
Sepasang tangannya diayunkan bersama, dengan jurus It-goan-hu-si (tenaga
murni pulih kembali), Siang-liong-si-cu (sepasang naga mempermainkan
mutiara), Sam-kang-su-hay (tiga sungai empat samudra), Ngo-gak-ki-bong (lima
bukit ambruk bersama) secara beruntun dia lancarkan serangkaian serangan
secara bertubi-tubi.
Kakek itu segera merasakan datangnya deru angin puyuh yang menyapu tiba,
sekalipun tidak disertai suara yang menakutkan, namun hawa murni yang
mengalir membawa kekuatan menghimpit yang sangat menggidikkan hati.
Sadarlah kakek itu, bila dia menghadapi kurang hati-hati sedikit saja, bisa
jadi nyawanya akan melayang.
Oleh sebab itu setiap kali tangan Cau-ji yang diayunkan ke muka
menghembuskan tenaga ancaman, segera dia kerahkan segenap kekuatannya
untuk mengegos ke samping.
Keadaannya saat ini mirip dengan seekor kucing yang sedang
mempermainkan seekor tikus, mirip juga dengan seekor monyet yang sedang
mempertunjukkan tarian topeng monyet.
Bwe Si-jin yang sudah mundur ke sisi arena tak mampu mengendalikan rasa
gelinya, ia segera tertawa terbahak-bahak, ejeknya, *Ho tua, kemana kaburnya
kegagahanmu?"
Sementara itu Cau-ji yang melancarkan serangan hebat pun menyempatkan
diri bertanya sambil tertawa, "Paman, dia termasuk orang baik atau orang
jahat?" "Hahaha, sekalipun dia dari marga Ho, sayangnya bukan saja tidak termasuk
orang baik, bahkan boleh dibilang dia adalah seorang manusia busuk yang
'tumbuh onak di kepalanya dan melelehkan nanah di dasar kakinya',
menghadapi manusia seperti ini kau tak usah sungkan lagi."
"Baiklah, he, orang she Ho, bersiaplah untuk mampus!"
Bicara sampai di situ dia segera menghimpun tenaga dalamnya dan langsung
dibacokkan ke tubuh kakek itu.
Setelah bertarung sekian lama, kakek itu sudah mulai kehabisan tenaga, tak
sempat lagi menghindar dari ancaman yang tiba, segera dia menghimpun tenaga
dalamnya untuk menyongsong datangnya ancaman itu dengan keras melawan
keras. "Aduuuh.....!"
Jeritan ngeri bergema memecah keheningan, segumpal hancuran daging dan
darah segera berhamburan di angkasa.
Tampak seluruh tubuh kakek itu, dari kepala hingga kakinya sudah terbacok
hancur oleh serangan Cau-ji, di bawah cahaya rembulan tampak suatu
pemandangan yang sangat menggidikkan hati.
Tiga orang wanita yang ikut menyaksikan kejadian itu menjadi mual, hampir
saja mereka muntah-muntah.
Bukan hanya ketiga orang wanita itu, Ong Sam-kongcu, Bwe Si-jin serta Raja
Hewan yang menyaksikan pun ikut bergidik.
Sembari bertepuk tangan ujar Cau-ji kemudian, "Segalanya sudah beres, Loong
terpaksa harus bekerja keras membersihkan lantai."
Setelah masuk kembali ke ruang utama, ia disambut sorak-sorai oleh segenap
bocah. Ong Bu-jin pun menyambutnya dengan mata berbinar, coba kalau di situ tak
banyak orang, dia pasti sudah menubruk ke muka, memeluk pemuda itu dan
menciumnya dengan hangat.
Setelah semua orang mengambil tempat duduk, Bwe Si-jin baru berkata
sambil tersenyum, "Perlu kalian ketahui, kedua orang gembong iblis yang
barusan datang menyatroni itu adalah dua orang Tongcu perkumpulan Jit-sengkau,
yang satu adalah Tongcu dari ruang naga hijau, sedang yang lain adalah
Tongcu dari ruang harimau putih."
"Kalau dianalisa dari perkataan mereka berdua tadi, kelihatannya Su Kiaukiau
sudah memutuskan untuk muncul secara terbuka dalam dunia persilatan,
itulah sebabnya mereka mengutus kedua orang itu untuk datang membujuk
Ong-heng agar bersedia bergabung dengan perkumpulan mereka."
Semua orang hanya manggut-manggut tanpa berkata.
Setelah memandang Cau-ji sekejap, kembali Bwe Si-jin berkata, "Cau-ji,
ditinjau dari teriakan lawan yang bisa menyebut ilmu pukulan penghancur
mayatmu, apakah sebelum kejadian hari ini, kau pernah menggunakan cara
yang sama untuk menghabisi nyawa para pengejar itu?"
"Betul! Hanya saja waktu itu aku hanya ingin kabur secepatnya sehingga
sama sekali tidak sengaja."
"Hahaha, aku bukan bermaksud menyalahkan dirimu, kenyataan memang
cara inilah yang paling jitu untuk menakut-nakuti mereka, cuma sekarang
urusannya jadi sedikit repot, dengan kematian kedua orang ini maka setiap saat
pasti ada anggota Jit-seng-kau yang bakal mencari jejak mereka hingga ke sini."
Mendengar perkataan ini, semua orang menjadi tertegun.
Tiba-tiba Cauii berkata, "Paman, bukankah kau pandai menyaru muka, selain
itu juga banyak tahu tentang rahasia mereka, bagaimana jika kita berdua
menyamar menjadi kedua orang kakek itu?"
Sekali lagi semua orang tertegun.
"Jangan!" cegah Si Ciu-ing kuatir, "terlalu berbahaya!"
Sebaliknya Ong Sam-kongcu malah tertawa terbahak-bahak, serunya,
"Hahaha, aku setuju sekali!"
"Tapi Jit-seng-kau bukan perkumpulan kecil, jangan dianggap mainan."
"Hahaha, sekarang kungfu yang dimiliki Cau-ji sangat tangguh, tidak setiap
Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang dapat mengganggunya, apalagi ada saudara Bwe yang melindungi, aku
sama sekali tak kuatir. Dulu, Yaya pernah memimpin para jago untuk
membasmi Jit-seng-kau, bila hari ini Cau-ji pun dapat membasmi Jit-seng-kau
sekali lagi, jelas prestasi ini merupakan prestasi yang luar biasa."
"Enso, kau tak perlu kuatir," janji Bwe Si-jin pula dengan suara nyaring,
"setelah berhasil menyusup ke dalam markas besar Jit-seng-kau, aku dan Cau-ji
hanya akan membasmi Su Kiau-kiau beserta ketiga orang Sumoaynya, aku rasa
tak ada yang perlu dikuatirkan."
Mendengar perkataan ini, meski dalam hati menyadari persoalan tak bakal
begitu sederhana, namun Si Ciu-ing merasa rikuh untuk membantah, akhirnya
dia hanya berpesan, "Cau-ji, kau harus menuruti perkataan paman Bwe, jangan
sembrono!"
"Aku tahu, ibu!"
Melihat semua orang sudah tak ada usul lain, Bwe Si-jin segera berkata
sambil tertawa tergelak, "Hahaha, silakan kalian lanjutkan mengobrol, aku harus
mengambil kembali tongkat kepala ular itu, karena alat itu sangat penting bagi
penyaruanku nanti."
Habis berkata ia tertawa terbahak-bahak dan beranjak pergi.
Raja hewan pun berpesan kepada Cau-ji, "Cau-ji, mulai besok akan kuajarkan
ilmu pukulan Tui-hong-ciang-hoat dari Ho Ho-wan kepadamu, dengan
menguasai ilmu pukulan andalannya, penyamaranmu akan semakin sempurna."
"Yaya, siapa sih Ho-ho-wan (gemar bermain) itu?" Ong Sam-kongcu tertawa
terbahak-bahak. "Hahaha, Cau-ji, dialah gembong iblis yang baru saja kau hajar
hingga hancur lebur badannya, orang she Ho itu punya tangan kiri merah dan
tangan kanan berwarna hitam, karenanya disebut Ho Ho-wan."
"Ooh, rupanya dia, heran, kenapa mencari nama pun yang aneh-aneh, wah,
sekarang dia benar-benar bisa bermain terus di neraka."
"Saudara tua Ho Ho-wan mempunyai nama yang lebih menarik lagi," lanjut si
Raja hewan, "dia bernama Ho Ho-cia (gemar makan)."
"Ho Ho-cia, Ho Ho-wan! Aaah, tahu aku sekarang, waktu masih kecil dulu
mereka berdua pasti kurang makan kurang permainan hingga diberi nama Ho
Ho-cia dan Ho Ho-wan, bukan begitu?"
Semua orang tertawa terbahak-bahak. Waktu itu kebetulan Bwe Si-jin muncul
kembali sambil membawa tongkat berkepala ular, menyaksikan semua orang
tertawa geli, ia menjadi heran, tegurnya, "He, apa yang sedang kalian
tertawakan?"
"Engkoh Jin," ujar Go Hoa-ti, "selanjutnya kau adalah Ho Ho-cia sedang Cau-ji
menjadi Ho Ho-wan, jangan lupa untuk makan enak dan bermain terus sampai
puas." Mendengar itu Bwe Si-jin pun tertawa terbahak-bahak.
Tujuh hari kemudian, di saat senja menjelang tiba, di sebuah jalan raya yang
terletak sepuluh li di luar kota kuno Tiang-sah, muncul dua orang kakek tua,
mereka tak lain adalah Cau-ji serta Bwe si-jin yang menyamar menjadi sepasang
malaikat bengis dari In-lam.
Selama dua hari berdiam di perkampungan Hay-thian-it-si, bukan saja Cau-ji
telah mempelajari ilmu menyaru muka serta ilmu pukulan Tui-hong-ciang-hoat,
bahkan dia pun menguasai semua seluk-beluk organisasi Jit-seng-kau selama
belasan tahun terakhir termasuk semua peraturannya.
Khususnya tentang ilmu silat yang dimiliki Su Kiau-kiau beserta ketiga orang
Sumoaynya, ciri khas mereka serta tabiatnya, boleh dibilang ia sudah hapal di
luar kepala. Tiba-tiba terdengar Cau-ji berbisik dengan ilmu menyampaikan suaranya,
"Paman, di dalam hutan di depan sana kelihatannya ada lima orang sedang
menyembunyikan diri, benar tidak?"
Bwe si-jin segera pasang telinga, namun kecuali terdengar suara burung yang
berkicau serta hembusan angin malam yang menggoyang ranting pohon, dia
sama sekali tak mendengar suara apapun. Kontan saja pertanyaan itu
membuatnya tertegun.
Benar saja, baru mereka berdua melanjutkan kembali perjalanannya sejauh
beberapa li, tiba-tiba dari balik hutan melompat keluar lima sosok bayangan
manusia. Begitu muncul, serentak kelima orang itu membentak nyaring, "Setan tua,
berhenti!"
Sekarang Bwe si-jin baru benar-benar merasa kagum dengan kehebatan ilmu
silat yang dimiliki Cau-ji.
Dengan santai mereka berdua segera menghentikan langkahnya, kemudian
ditatapnya kelima orang lelaki bertubuh kekar dan beralis tebal itu sekejap.
Terdengar lelaki yang berdiri paling tengah menghardik, "Jalan ini aku yang
menggali, pepohonan di sini aku pula yang menanam, bila kalian dua orang
setan tua ingin hidup selamat, cepat serahkan uang!"
"Ooh, para pendekar, aku si tua ini tidak membawa uang banyak, kalian ...."
Bwe si-jin segera berlagak gugup dan ketakutan.
"Tutup mulut, tampaknya kau si setan tua sudah bosan hidup, kalau tahu
diri, cepat serahkan semua perbekalan kalian, hmm! Jangan paksa Toaya turun
tangan, jangan salahkan jika kucabut nyawa anjingmu."
Cau-ji pun berlagak terkejut bercampur gugup, teriaknya pula, "Ohh, jangan,
jangan dirampas uang kami. Kalian bertubuh kekar dan punya ilmu tinggi,
kenapa tidak bekerja secara baik-baik saja mencari uang halal, buat apa kalian
melakukan usaha dagang tanpa modal semacam ini."
"Sialan, tutup bacotmu setan tua," lelaki yang lain segera membentak nyaring,
"kau tahu, bukan pekerjaan gampang untuk mendapatkan Ciaji (ramalan)
'semua senang' (semacam permainan lotre), sekarang baru saja kami berlima
mendapatnya, maka untuk menutup ongkos yang tinggi ketika membeli ciaji itu,
kami ingin minta sokongan dari kalian."
Selesai berkata, dengan langkah lebar ia segera berjalan mendekat.
Tiba-tiba Bwe si-jin berteriak keras, "Benarkah begitu" Nomor berapa"
Dapatkah aku si orang tua ikut 'menanam bunga'?"
Lelaki itu kelihatan agak tertegun, kemudian tertawa tergelak.
"Hahaha, maknya! Ternyata kau si setan tua pun ikutan main 'semua senang',
maknya! Mana ada makan gratis di siang hari bolong, ingin tidak membayar
uang lewat" Jangan mimpi."
Habis berkata dia langsung menubruk ke depan.
Kembali Bwe si-jin memutar tongkat kepala ularnya seakan tak bertenaga,
dengan napas ngos-ngosan serunya, "Ingin uang gratis" Huuh, serahkan
nyawamu." Dengan gampang lelaki itu mengegos ke samping menghindarkan diri dari
pukulan itu, kemudian sambil menghajar dada Bwe si-jin serunya dingin, "Setan
tua, jangan salahkan kalau aku bertindak keji!"
"Blaaaam!", pukulan tangan kanannya segera bersarang telak di dada lawan.
Baru saja lelaki itu siap tertawa tergelak, mendadak ia saksikan sesuatu yang
aneh, ternyata telapak tangannya yang menempel di dada lawan sama sekali tak
sanggup ditarik balik, tangan itu seolah menempel jadi satu dengan tubuh
lawan. Dalam terkejutnya segera dia kerahkan segenap tenaganya untuk meronta.
Siapa tahu, bagaimanapun dia meronta, usahanya selalu gagal, akhirnya dia
pun berteriak keras, "He, setan tua, ilmu hitam apa yang kau gunakan?"
"Hahaha, dasar homo! Masakah dengan dada kerempeng pun langsung
bernapsu, benar-benar lelaki kepala babi."
Ketika keempat orang lelaki itu menyaksikan rekannya dikendalikan orang,
serentak mereka membentak gusar dan menerjang maju.
Bwe si-jin segera menggetarkan tenaga dalamnya keluar, lelaki yang berada
paling depan seketika menjerit kesakitan, tubuhnya mundur sempoyongan dan
langsung menerjang keempat orang rekannya hingga jatuh bergelimpangan di
tanah. Dengan sekali sodokan, Bwe si-jin segera menotok roboh kelima orang itu,
kemudian katanya sambil tertawa, "Bukankah kalian senang bermain 'semua
senang'" Baiklah, biar Lohu ajarkan kepada kalian bagaimana caranya menjadi
kura-kura."
Sambil berkata tongkatnya disentakkan berulang kali, "Plak, plaak", segera
muncullah belasan kerat tulang punggung di tubuh orang-orang itu.
Tongkat Bwe si-jin sama sekali tak berhenti bergerak, diiringi jeritan ngeri
kelima orang itu, belasan kerat tulang iga yang menonjol keluar itu segera
mengucurkan darah segar, keadaannya sangat mengerikan.
Setelah membersihkan ujung tongkatnya di punggung seorang lelaki, kembali
Bwe Si-jin berkata, "Kali ini aku ampuni kalian, tapi kalau sampai ketemu lagi di
kemudian hari, akan kusuruh kalian rasakan keadaan yang lebih mengerikan."
Selesai berkata ia langsung berlalu sambil tertawa terbahak-bahak.
Cau-ji pun sangat puas dengan kejadian itu, sambil tertawa gembira dia ikut
berlalu. Kelima orang itu tertotok jalan darahnya hingga tak mampu bergerak, biarpun
punggungnya penuh dengan cucuran darah, namun mereka hanya bisa
berbaring di tanah sambil merintih.
Melihat kelima orang begundal itu diberi pelajaran yang setimpal, kebanyakan
penduduk yang lewat di situ merasa ikut gembira.
Tak lama kemudian sampailah Cau-ji berdua di kota Tiang-sah. Kota besar
yang seharusnya ramai orang berlalu-lalang ternyata kini nampak amat sepi,
sekalipun semua toko dibuka lebar-lebar, namun hanya satu dua orang yang
kelihatan di jalanan.
Menyaksikan hal ini Cau-ji pun berseru keheranan.
Kelihatannya Bwe Si-jin sudah pernah menyaksikan keadaan seperti ini, ia
segera menjelaskan, "Lote, dalam satu dua hari mendatang kelihatannya 'semua
senang' akan segera dibuka, kini semua orang sedang sibuk membahas nomor
yang bakal keluar, bahkan banyak yang pergi ke orang pintar untuk mencari
Ciaji, mana mungkin mereka berminat makan minum?"
"Sebetulnya 'semua senang' itu permainan macam apa" Apa pula yang
dimaksud mencari Ciaji?"
"Hahaha, ayo kita cari rumah makan dulu untuk mengisi perut, selesai
bersantap akan kujelaskan kepadamu."
Mereka pun masuk ke dalam rumah makan dengan merek Ka-siang-lau.
Naik ke atas loteng, tanpa menunggu pelayanan dari sang pelayan mereka
langsung mencari meja dekat jendela.
Seorang pelayan segera muncul dengan kemalas-malasan, membersihkan
meja lalu bertanya mau pesan apa.
Dengan hati mendongkol Cau-ji segera menegur, "He, pelayan, kau sedang
sakit?" Pelayan itu melotot sekejap, tapi kuatir menyalahi tamunya, maka dia hanya
mendengus. "Lote, tak usah gubris orang itu," kata Bwe Si-jin cepat, "kelihatannya dia
sudah kelewat banyak membahas ramalan nomor hingga kena penyakit napas."
"Kau ...."teriak pelayan itu jengkel.
Bwe Si-jin tertawa ewa, tiba-tiba sambil menuding kepala ular di ujung
Pendekar Pemetik Harpa 30 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Duri Bunga Ju 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama