Ceritasilat Novel Online

Pendekar Naga Mas 6

Pendekar Naga Mas Karya Yen To Bagian 6


Menyaksikan betapa dahsyatnya angin serangan lawan, Hwesio tua itu
membentak nyaring, dengan ilmu laba-laba andalannya dia mencecar lawannya
habis-habisan. Tak lama kemudian Im Jit-koh sudah terdesak di bawah angin.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, seorang kakek berjubah hitam telah
melepaskan sebuah pukulan dari samping dan membebaskan Im Jit-koh dari
ancaman maut. Setelah berhasil berdiri tegak, Hwesio tua itu membentak gusar, tangan
kanannya perlahan diangkat ke udara, jari tangannya bagaikan cakar burung
elang tiba-tiba membesar satu kali lipat.
Menyaksikan perubahan itu, kakek berbaju hitam itupun segera menghimpun
segenap tenaga dalam yang dimilikinya ke tangan kanan, tampaknya dia pun
sudah siap menyambut serangan itu dengan keras lawan keras.
Senyuman dingin mulai menghiasi wajah si Hwesio yang hitam pekat, di
bawah cahaya obor, wajahnya nampak jauh lebih menyeramkan, selangkah demi
selangkah dia maju mendekat.
Kakek berbaju hitam itu terkesiap, tanpa sadar dia bergerak mundur ke
belakang. Cau-ji yang menyaksikan kejadian ini segera membentak nyaring, tubuhnya
langsung menyelinap masuk di antara kedua orang itu.
Saat itulah ia mendengar Bwe Si-jin berbisik, "Hadapi dia dengan ilmu jari!"
Maka begitu tubuhnya berdiri tegak, ia segera totok telapak tangan Hwesio itu
dengan sodokan jari.
"Dasar manusia tak tahu diri," pikir Hwesio tua itu segera, "memangnya kau
anggap ilmu pukulan Jui-sim-ciang (pukulan penghancur hati) bisa dipecahkan
oleh sodokan jari tanganmu?"
Sebuah serangan maut langsung dilontarkan ke depan.
Sungguh dahsyat ilmu pukulan Jui-sim-ciang ini, bukan saja disertai tenaga
serangan yang dahsyat bahkan mengandung pula sari racun yang sangat
mematikan. Sekalipun seseorang dapat menahan serangan maut itu dengan tenaga
dalamnya, biasanya sulit untuk mencegah sari racun menyusup masuk ke
dalam tubuh lawan, oleh sebab itu sudah beratus orang yang tewas di ujung
tangannya. Dalam perjalanannya kali ini Lu Cong-khi memang khusus mengundangnya
untuk membantu pihaknya, maka ketika menyaksikan orang yang telah
membunuh 'tauke'nya berani menangkis serangannya, dia pun menggunakan
seluruh kekuatan yang dimiliki untuk membacok lawan.
Sayang dia salah menduga, dia tak tahu kalau Cau-ji tak mempan racun,
tahu-tahu telapak tangannya terasa sakit sekali, ketika diperiksa ternyata
telapak tangan andalannya sudah muncul sebuah lubang kecil.
Kenyataan ini kontan saja membuat hatinya terkesiap, ia merasa ada
segulung hawa panas menyusup ke dalam tubuhnya dan langsung menyerang
ke jantungnya. Bukan saja dalam waktu singkat seluruh tenaga dalamnya punah, bahkan
jalan darah Pit-ji-hiat yang selama ini dipakai untuk mencegah racun menyerang
ke tubuhnya ikut tergetar hingga terbuka.
Tak ampun racun jahat yang terhimpun dalam tubuhnya segera mengalir
balik dan langsung menyerang ke jantung sendiri, senjata makan tuan.
Menyadari gelagat yang tidak menguntungkan, Hwesio itu segera berpekik
nyaring, tangan kirinya langsung dihantamkan ke atas ubun-ubun sendiri.
Di tengah percikan darah segar, robohlah pendeta itu dalam keadaan tak
bernyawa. Kebetulan waktu itu Bwe Si-jin sedang memukul mundur seseorang, melihat
kejadian itu dia segera berteriak keras, "Jangan mendekati jenazahnya, sangat
beracun!" Dengan satu pukulan dahsyat dia lempar jenazah Hwesio itu ke dalam liang.
Kini tersisa tiga puluhan jago dari Kim-liong-pang, melihat jagoan yang paling
diandalkan perkumpulan mereka pun tewas secara mengenaskan, mereka tak
berani berkutik lagi, kontan semua orang membubarkan diri dan melarikan diri
terbirit-birit.
Im Jit-koh segera berseru kepada anak buahnya, "Lepaskan mereka semua,
biar mereka sampaikan berita ini kepada semua orang hingga tak ada lagi yang
mengantar kematian di sini."
Melihat kedua orang dayangnya selamat, Cau-ji pun melemparkan sekulum
senyuman kepada mereka, kemudian bersama Bwe Si-jin kembali ke ruang
utama. Baru saja Siau-si dan Siau-bun akan membantu rekan-rekannya
membersihkan arena, Im Jit-koh telah menghampiri mereka sambil berbisik,
"Lebih baik kalian temani Tongcu!"
Mendengar itu, dengan wajah bersemu merah kedua orang gadis itu kembali
ke ruang tengah.
Melihat mimik muka kedua orang gadis itu, Bwe Si-jin sengaja menggeliat
sambil bergumam, "Wah, setelah bertarung setengah harian, sudah waktunya
bagiku untuk kembali beristirahat."
Sambil berkata ia segera balik kembali ke kamarnya.
Kini dalam kamar, tinggal Cau-ji bersama kedua orang gadisnya.
Sesaat kemudian pintu kamar kembali dibuka orang, tampak Siau-si dengan
membawa dua stel pakaian berjalan di depan dan Siau-bun dengan membawa
kotak makan mengintil di belakangnya.
Cau-ji jadi keheranan melihat sikap kedua orang itu, tegurnya, "Siau-si, Siaubun,
apa yang kalian lakukan?"
Sambil meletakkan pakaian di atas bangku, sahut Siau-si sambil menghela
napas, "Tongcu, barusan budak keringatan, maka ingin minta sedikit air panas
untuk membersihkan badan."
Sedang Siau-bun telah mengeluarkan sejumlah hidangan dan dua macam
kuah dari kotak makannya, dengan lembut serunya, "Tongcu, hidangan ini kami
siapkan untukmu."
"Wah, cepat amat cara kerja kalian, hanya sebentar saja sudah kalian siapkan
dua macam hidangan." Siau-bun tertawa.
"Mana mungkin kami bekerja secepat itu, tadi aku telah berpesan kepada koki
untuk membuatkan."
Cau-ji menyumpit sepotong hati babi, setelah dicicipinya dia berseru, "Ehm,
sedap rasanya, hanya sayang tak ada arak!"
Siau-si tersenyum, dari bawah ranjang dia mengeluarkan seguci arak,
serunya, "Tongcu, budak dengar kau paling suka dengan arak Tan-nian-pakkan,
maka sengaja kubeli beberapa guci untukmu."
"Hahaha, kalian memang perhatian, sudah beli berapa guci?"
"Enam guci."
"Bagus sekali, kalau begitu hadiahkan dua guci untuk Toako."
"Tongcu tak usah kuatir, budak telah menyiapkan pula enam guci di kolong
ranjangnya."
Pada saat itulah tiba-tiba pintu diketuk orang.
Ketika Siau-bun membuka pintu, ternyata yang muncul adalah Bwe Si-jin,
segera serunya, "Tongcu, silakan masuk!"
"Hahaha, jangan terburu-buru mengusir Lohu, tak akan Lohu jadi perusak
suasana, haha ... terima kasih untuk arak kalian."
Selesai berkata dia benar-benar pergi dari situ.
Setelah mengunci pintu kamar kembali, Siau-bun pun bertanya keheranan,
"Aneh, darimana Tongcu bisa tahu kalau di kolong ranjang tersedia arak?"
Cau-ji tahu pamannya memang selalu teliti, sebelum tidur dia sudah terbiasa
melakukan pemeriksa di seluruh tempat itu sehingga tak heran kalau dia bias
menemukan arak itu.
Maka sambil tertawa katanya, "Jangan heran dengan orang itu, sejak lahir dia
memang setan arak, biar di ratusan li ada orang minum arak, dia pasti dapat
mengendusnya."
"Aaah, Tongcu pandai bergurau!" seru Siau-bun manja.
"Tongcu, mari budak berdua melayanimu membersihkan badan," bisik Siau-si
pula. "Soal ini...."
Alasan keraguan Cau-ji adalah pertama, karena dia tahu kedua orang gadis
ini adalah putri kesayangan keluarga Suto yang tersohor sehingga dia segan
menyuruh mereka melakukan perbuatan semacam itu.
Kedua, dia kuatir rahasia penyamarannya ketahuan.
Padahal memang alasan kedua itulah yang menjadi sasaran kedua orang gadis
itu. "Jangan-jangan Tongcu menganggap budak ini bodoh sehingga enggan kami
layani?" rayu Siau-si sedih.
Dalam paniknya muncul satu akal dalam benak Cau-ji, segera katanya,
"Bukan begitu, bukan begitu, aku kuatir tak bisa mengekang napsu setelah
kalian mandikan, padahal bagian 'anu' kalian berdua masih terluka setelah aku
rusak selaput perawannya semalam, kalau sampai aku masuki lagi, kan berabe!"
Berkilat sepasang mata Siau-si berdua setelah mendengar perkataan itu,
mereka merasakan satu kemesraan yang aneh muncul dalam hatinya.
Dengan suara rendah Siau-si pun berbisik, "Tongcu, kami toh bukan gadis
lemah, kalau memang ingin, ayolah, budak pasti akan melayani kemauan
Tongcu!" Diam-diam Cau-ji mengeluh, tapi di luar, katanya sambil tertawa, "Baiklah,
kalau memang kalian mencari penyakit sendiri, jangan salahkan Lohu."
Dengan tangan gemetar Siau-bun mulai membantu Cau-ji melepas
pakaiannya. Waktu itu Siau-si sudah masuk ke kamar mandi duluan, ia masuk
mempersiapkan semua keperluan mandi.
Begitu masuk ke kamar mandi, Cau-ji saksikan di atas sebuah rak kayu
sepanjang dua meter dengan lebar satu setengah meter telah dilengkapi sebuah
bak mandi. Tak tahan ia berseru memuji, "Wouw, semua perlengkapan mandi ini sangat
indah dan lengkap."
"Silakan Tongcu!" bisik Siau-si lagi lembut. "Wah, kelihatannya Lohu seperti
seekor babi yang mau disembelih orang ...."
Siau-bun tertawa cekikikan, sambil menyelinap ke samping bak mandi,
serunya, "Tongcu, jangan bicara dengan kata sejelek itu, mari biar budak pijit
badanmu, agar semua otot yang kaku jadi kendor kembali."
Melihat gadis itu hanya mengenakan pakaian dalam, Cau-ji kembali
menggelengkan kepalanya.
"Siau-bun, melihat tubuhmu yang molek saja Lohu sudah merasa tegang,
mana mungkin bisa rileks?"
"Aaah, lagi-lagi Tongcu menggoda aku." Ketika Siau-bun tak kuasa menahan
rasa gelinya dan tertawa cekikikan, kelihatan sepasang buah dadanya ikut
bergetar keras.
Kontan Cau-ji merasa mulutnya yang kering dan tombaknya secara otomatis
berdiri tegak. "Siau-bun, tolong jangan tertawa lagi ...." pintanya sambil tertawa.
Kembali Siau-bun tertawa cekikikan, dia mengambil handuk basah dan mulai
menggosok sekujur badan anak muda itu.
Siau-si segera melepas pakaiannya dan ikut menggosok badannya dari sisi
lain. Cau-ji segera merasakan kenikmatan yang luar biasa, ia pun memejamkan
mata dan membiarkan mereka menggosok dan mengurut tubuhnya.
Setelah badannya digosok berulang kali, akhirnya ia merasa ada sebuah
badan yang hangat menduduki di atas pangkuannya, disusul kemudian ada
sepasang tangan mulai mengurut tulang punggungnya.
Pijatan yang begitu lembut dan nikmat membuat Cau-ji tanpa terasa segera
tertidur pulas.
Rupanya secara diam-diam Siau-si telah menotok jalan darah tidurnya.
Ketika melihat Cau-ji sudah tertidur, dia pun mengambil sebuah handuk
basah, dicelupkan sebentar ke dalam air hangat kemudian perlahan-lahan mulai
menggosok raut mukanya.
Selang beberapa saat kemudian jenggot putih di wajah Cau-ji sudah berhasil
dilepas, kemudian obat pemoles wajah pun hilang satu per satu sebelum
akhirnya muncullah raut muka aslinya.
"Ya ampun!" pekik dua orang gadis itu serentak.
Menyaksikan raut muka yang begitu muda, tampan dan menawan hati,
jantung kedua orang gadis itu berdebar keras, tak tahan tubuh mereka gemetar
keras. Dengan air mata berlinang Siau-bun segera memeluk kencang tubuh Siau-si,
serunya kegirangan, "Cici, tak disangka ternyata dia...."
"Benar, adikku." sahut Siau-si sambil mengangguk, "sungguh beruntung nasib
kita ...!"
"Cici, bagaimana kalau dia marah setelah mengetahui kita hilangkan penyaru
mukanya?" "Tak usah kuatir adikku, dia bukan orang yang tak pakai aturan, cepat bantu
mandikan dirinya."
Setengah jam kemudian Cau-ji baru mendusin dari tidurnya, ia jumpai dirinya
sudah berbaring di atas ranjang, cepat dia melompat bangun.
Pemuda itu jadi keheranan ketika melihat Siau-si dan Siau-bun berlutut di
hadapannya. "He, apa-apaan kalian berdua?" tegurnya setelah tertegun sesaat.
"Kongcu," ujar Siau-si sambil mendongakkan kepalanya, "ketika
membersihkan wajahmu tadi, karena kurang hati-hati budak telah mencuci
bersih obat penyaru mukamu, maka ..."
Mendengar perkataan itu Cau-ji segera meraba wajah sendiri, benar saja,
jenggot putihnya telah lenyap, maka setelah tertegun sejenak katanya sambil
tertawa, "Kalian berdua memang setan pintar, ayo cepat bangun!"
"Kongcu tidak marah kepada kami?" seru Siau-bun terkejut bercampur girang.
"Hmm, kalian bernyali besar, siapa bilang aku tidak marah," sahut Cau-ji
pura-pura marah.
Siau-bun kembali tertegun.
Siau-si tahu kalau pemuda itu hanya pura-pura marah, serunya cepat,
"Budak bersedia menerima hukuman."
"Bagus, bagaimana dengan kau, Siau-bun?"
"Budak pun siap menerima hukuman."
"Bagus, bagus sekali, aku harus mengakui kehebatan kalian, baiklah, sebagai
hukumannya kalian harus segera menanggalkan semua pakaian yang kalian
kenakan, bagaimana?"
Bergetar perasaan hati Siau-si berdua, tentu saja mereka malu untuk
menyanggupi. "Hmm, memangnya aku harus turun tangan sendiri?" kembali Cau-ji berseru.
Kedua orang gadis itu tak berani membangkang, cepat mereka bangkit berdiri
dan menanggalkan seluruh pakaian yang dikenakan.
"Hmm, siapa berani terlambat akan kuberi hukuman tambahan."
Kedua orang gadis itu tertawa cekikikan, hampir pada saat yang bersamaan
mereka berdua telah melepaskan celana dalamnya.
"Tongcu," seru Siau-bun kemudian sambil tertawa cekikikan, "kami samasama
cepatnya."
Cau-ji melirik sekejap, ia jumpai Siau-si telah meletakkan celana dalamnya ke
lantai sementara Siau-bun masih memegangnya, sambil tertawa ia segera
berseru, "Tidak bisa, Siau-bun kau mesti dihukum."
"Tidak adil...." protes Siau-bun cepat.
"Siapa bilang tidak adil, coba lihat ... itu!" Cau-ji menuding celana dalam yang
masih dalam genggamannya.
Dengan keheranan Siau-si ikut berpaling, tapi dia segera tertawa cekikikan.
"Baiklah, aku siap menunggu hukuman," kata Siau-bun kemudian.
"Bagus, sekarang tuang secawan arak, lalu kau mesti melolohkan ke mulutku
dengan bibirmu!"
"Tapi ... arak itu keras, bagaimana kalau aku sampai mabuk" Tongcu,
bagaimana kalau ditukar yang lain?"
"Tidak bisa, kalau kau membangkang, hukuman akan berganda."
"Baik, baik."
Sambil berkata ia benar-benar memenuhi cawannya dengan arak.
Dengan cepat Siau-bun meneguk arak itu, kemudian menempelkan bibirnya
di atas bibir Cau-ji dan melolohnya sedikit demi sedikit.
"Aaah, nanti dulu," kembali Cau-ji protes, "aku tak mau kalau kau berwajah
murung, kalau memang ikhlas mestinya tampil dengan wajah gembira."
Siau-bun merasakan mulutnya panas dan pedas, serasa ada hawa panas
menyelimuti tubuhnya, saking gelisahnya, sisa arak segera mengalir masuk ke
dalam tenggorokannya.
"Aaaah, panas ... pedas ...." teriaknya megap-megap, "apa enaknya arak keras
seperti ini?"


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cau-ji kembali berseru, "Siau-si, kau mulai hitung, kalau dalam setengah jam
Siau-bun belum menyelesaikan tugasnya, dia harus diganjar hukuman lain."
"Mana ada peraturan seperti itu?"
"Peraturan rumah tangga ini berlaku mulai sekarang."
Melihat wajah gadis itu semakin bekernyit, Cau-ji semakin kegirangan,
kembali godanya, "Siau-bun, kalau kulihat tampangmu itu, kelihatannya kau
ingin minum dua poci lebih banyak."
"Aaah, tidak, arak itu pedas, mana tahan...."
"Baik, kalau memang begitu biar aku minum sendiri."
Sambil berkata Cau-ji segera menggerakkan tangan kanannya, guci arak yang
berada beberapa meter di hadapannya langsung melayang ke arahnya.
Selama hidup belum pernah Siau-si berdua menyaksikan kehebatan ilmu silat
seperti ini, mereka berdiri melongo.
Sambil tertawa Cau-ji menghisap arak itu, kemudian selesai meneguknya ia
bangkit berdiri dan berjalan menuju ke depan Siau-bun.
Dengan ketakutan Siau-bun mundur beberapa langkah, teriaknya, "Kongcu,
biar budak mencobanya.."
Cepat dia meneguk secawan
"Nah, ada kemajuan sekarang," seru Cau-ji kemudian sambil tertawa,
"baiklah, kuanggap kau lulus ujian, sekarang kau loloh arak itu ke mulutku."
Dengan tersipu-sipu Siau-bun menempelkan bibirnya di atas bibir Cau-ji dan
meloloh arak itu ke mulutnya.
Begitulah, entah sudah berapa tegukan arak yang berpindah dari bibir Siaubun
ke mulut Cau-ji.
Kini paras muka Siau-bun telah berubah jadi merah padam, dia kelihatan
agak mabuk. Siau-si kuatir adiknya mabuk, diam-diam ia membantunya meneguk satu
cawan arak. Kelihatannya Cau-ji sudah menduga akan hal itu, diam-diam ia sentilkan
jarinya ke jalan darah Tiau-huan-hiat di kaki kanan gadis itu, kontan si nona
menjerit kesakitan dan menyemburkan keluar arak dalam mulutnya.
"Cici, kenapa kau?" Siau-bun segera bertanya. Lekas Siau-si membalikkan
badan dan terbatuk-batuk.
Akhirnya Cau-ji mengambil sisa arak yang ada di teko dan meneguknya
hingga habis, kemudian katanya, "Orang bilang ada tiga Hwesio tak punya air
untuk diminum, kalau kita bertiga malah minum arak sampai mabuk."
Habis berkata ia tertawa tergelak.
Bab IV. Dua bersaudara menikmati surga dunia.
"Huuh, mana ada tiga orang Hwesio di sini?" seru Siau-bun cepat.
Cau-ji mengelus kepalanya, lalu mengawasi ujung tombaknya yang berdiri,
setelah itu katanya lagi, "Aaah, betul, aku salah bicara, seharusnya satu Hwesio
ditambah dua nikoh."
Berhadapan dengan dua gadis bugil yang bertubuh indah, lama kelamaan
Cau-ji tak sanggup mengendalikan napsunya lagi, tombak besarnya mulai
berdiri kaku dan mencari sasaran.
Keadaan yang dialami kedua orang gadis itupun tidak jauh berbeda, napsu
birahi mereka sudah mulai memuncak.
Sejak mereka tahu orang yang disangkanya adalah seorang iblis tua ternyata
adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, mereka mulai terangsang
perasaannya. Apalagi sekarang dipengaruhi arak yang membuat seluruh tubuhnya hangat,
napsu birahinya makin berkobar.
Ketika Cau-ji dengan tombak besarnya mulai mengejar mereka, dua orang itu
segera pura-pura berlari sambil menghindar, padahal pantatnya sengaja
ditunggingkan ke belakang, memberi kesempatan kepada tombak lawan untuk
menusuk masuk. Cau-ji tahu taktik mereka, maka berulang kali dia tubruk mereka dari
belakang, menusukkan tombaknya ke lubang surga mereka, tapi setelah
beberapa kali genjotan dia melepaskan kembali korbannya dan berpindah ke
lubang surga milik gadis yang lain.
Akhirnya Siau-bun menyerah kalah.
Dia tak sanggup lagi menahan rangsangan birahi yang memuncak, mendadak
sambil membalikkan badan ia berjongkok, memeluk pinggul pemuda itu eraterat
dan mulai menghisap tombak milik Cau-ji dengan penuh napsu.
Cau-ji menjerit keras, baru saja dia ingin makan tahu, bibirnya lagi-lagi
disumbat oleh Siau-si.
Dia merasakan sekujur badannya amat panas, tangan kanannya mulai
meremas sepasang payudara Siau-si sementara tangan kirinya membelai rambut
Siau-bun dan meraba belakang telinganya.
Ciuman mesra Siau-si membuat gadis itu terengah-engah, sampai napasnya
jadi sesak ia baru melepaskan rangkulannya, kemudian sambil mengerling genit
dia menuju ke depan bangku 'seluruh keluarga bahagia'.
"Siau-bun, ayo, kita pindah ke bangku!" bisik Cau-ji kemudian.
Dengan berat hati Siau-bun melepaskan hisapan-nya atas tombak panjang
yang kasar, keras, berkilat lagi, kemudian setelah menciumi batang tombak itu
dia berjalan menuju ke depan kursi.
Cau-ji segera melompat naik dan duduk di bangku bagian tengah, sementara
sepasang kakinya dipentang ke kiri dan kanan, dia awasi kedua orang gadis itu
tanpa bicara, akan dilihat apa yang hendak diperbuat mereka berdua.
Dipandang secara begitu, lama kelamaan mereka berdua jadi malu sendiri,
tanpa terasa mereka berusaha menutupi lubang surga sendiri.
Tapi bisakah mereka menyembunyikan bagian yang paling rahasia itu"
Dengan mengamati secara seksama, Cau-ji segera menemukan kalau bulu
yang dimiliki Siau-bun ternyata lebih tebal dan lebat ketimbang bulu Siau-si
yang lebih tipis, selain itu bagian 'surga'nya tidak semontok milik Siau-si.
Hanya saja 'lubang gua' milik Siau-si tampak berada sedikit lebih tinggi,
menurut pelajaran seks yang diterima dari paman Bwe, diketahui kalau lubang
jenis ini biasanya lebih gampang dimasuki, tanpa ganjalan bantal pun bisa
langsung dimasuki.
Cuma ada orang bilang, "Konon orang yang berbulu bawah tebal biasanya
lebih getol berbuat 'begitu', tak aneh jika penampilan Siau-bun lebih hot, lebih
berani dan lebih terbuka".
Suasana dalam ruangan pada malam ini jauh berbeda dengan suasana,
semalam, meskipun kedua orang gadis itu telah disetubuhi Cau-ji, namun
perasaan mereka berdua sangat berbeda.
Semalam mereka disetubuhi dengan perasaan sedih bercampur gusar.
Sementara pada malam ini mereka justru merasa malu, mereka tak berani
sembarangan bergerak.
Lama kemudian Cau-ji baru bergumam sambil menghela napas, "Aaaai, kalau
mesti membandingkan mana yang lebih indah antara salju dan bunga Bwe,
sulitnya setengah mati."
Kedua orang gadis itu tertunduk malu. Sikap tersipu kedua orang gadis ini
membuat Cau-ji makin terangsang, tiba-tiba serunya, "Siau-si, Siau-bun,
sewaktu minum arak tadi kalian telah melanggar peraturan, mengaku tidak?"
Siau-si berdua tidak bodoh, tentu saja mereka tahu kalau ucapan itu
merupakan salah satu tehnik untuk membangkitkan napsu, serentak mereka
mengangguk sambil tersenyum, "Mengaku, budak bersedia menerima hukuman!"
"Hahaha, bagus, bagus sekali, aku dengar Siau-si yang mengusulkan untuk
menghilangkan penyaruan di wajahku, benarkah begitu?"
"Ehmm."
"Bagus, kalau begitu kuhukum dirimu sebagai pentolan dari kejahatan ini,
ayo, kau yang naik duluan!"
Siau-si segera melompat naik ke atas pangkuan Cau-ji, sepasang kakinya
dikaitkan di belakang sandaran bangku dan serunya, "Kongcu, aku protes, masa
aku dianggap pentolan penyamun?"
"Baik. baik, biar kusebut kau sebagai mak comblang yang cakep, setuju?"
Siau-si merasa makin terangsang, tiba-tiba badannya ditekan ke bawah kuatkuat,
lubang surganya langsung menelan tombak itu hingga tinggal separuh.
Tak terlukiskan rasa girang Cau-ji, dia tak menyangka gadis itu sudah mulai
pintar memasukkan tombaknya ke liang miliknya, katanya kemudian, "Boleh
tahu berapa usia kalian berdua?"
"Cici amat merahasiakan soal ini!" teriak Siau-bun cepat.
Siau-si tertawa cekikikan, dia menekan badannya lebih ke bawah sehingga
tombak itu nyaris membuat lubangnya terasa sesak.
Tapi ketika dia melirik ke bawah dan menjumpai tombak itu masih ada
beberapa senti tertinggal di luar, hatinya tercekat, dia tak menyangka Cau-ji
memiliki senjata yang begitu panjang dan besar.
"Siau-si," bisik Cau-ji dengan lembut, "ayo sebutkan berapa umurmu, kalau
tidak ... hehehe ... jika barangku sampai ngeloyor masuk sendiri hingga ke
dasarnya, kau bisa tak tahan ...."
Siau-bun yang mendengar ancaman itu kontan berteriak, "Cici, jangan takut
dengan ancamannya."
"Kau dengar Kongcu?" Siau-si tertawa.
"Bagus, kelihatannya Siau-bun anggap lebih mampu, ayo, kalau punya nyali,
naik kemari."
"Naik ya naik. siapa takut?"
Sambil tertawa Siau-si pindah ke bangku samping, memberi kesempatan
kepada Siau-bun untuk menaiki pemuda itu.
Dengan cepat Siau-bun merentangkan pahanya dan menekan badannya ke
bawah, tombak besar itu langsung menghujam masuk ke dalam lubangnya.
"Aaauh!"
Rupanya sejak tadi gadis ini sudah dibakar napsu birahi yang berkobar, dia
merasa lubangnya gatal sekali dan ingin digesek dengan tombak pemuda itu, tak
heran begitu mendapat kesempatan, ia langsung menelan tombak lawan hingga
ke dasarnya. Dengan cepat dan lancar ia telah menyelesaikan tugasnya, memasukkan
tombak ke dalam lubang.
Tapi sekarang dasar lubangnya mulai ditekan ujung tombak lawan, tekanan
yang membuatnya sakit dan kaku.
Bukan hanya kaku, malah gatalnya setengah mati.
"Ayo, katanya siapa takut" Kenapa hanya berdiam saja?" ejek Cau-ji sambil
tertawa. Disindir begitu, Siau-bun segera menggoyangkan pantatnya dan
menggeseknya kuat-kuat.
Baru beberapa kali putaran dia mulai mendengus tertahan.
Cau-ji memeluk pinggulnya dengan kuat, ia bantu nona itu dan mendorong
badannya naik turun. "Plook... ploook "Oooh... uuuh.."
Aneh, setelah melewati lima puluhan kali genjotan, gadis itu sudah tidak
berkerut kening lagi, malahan dengan wajah berseri dia mulai menggenjot
sendiri badannya, sebentar naik turun, sebentar menggeseknya ke kiri kanan.
Melihat Siau-bun mulai menikmati permainan itu, Cau-ji segera meremas
payudaranya, lalu membelai badannya sambil berbisik, "Siau-bun, berapa
umurmu?" "Aku...."
"Ooh, kau sudah capai" Sana, beristirahatlah"
"Aaah, jangan, tidak, tahun ini aku berusia enam belas tahun."
Cau-ji tak kuasa menahan gelinya, ia tertawa terbahak-bahak.
Biarpun Siau-bun sadar dirinya sedang dikerjai, namun gesekan liangnya
dengan tombak itu makin mendatangkan kenikmatan yang luar biasa, tentu saja
dia tak mau banyak membantah, dia kuatir liangnya diusir keluar dari
perbatasan. Mau tak mau Siau-si harus mengakui kecerdasan serta kecepatan reaksi
pemuda itu, sepasang matanya kontan berkilat, sambil mengawasinya dengan
wajah termangu dia mulai mengkhayalkan impian indah.
Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba ia tersadar dari lamunannya setelah
mendengar rintihan nikmat dari adiknya.
Tampak tubuh Siau-bun gemetar keras, sambil menggeliat bagaikan seekor
ular, ia merintih tiada hentinya,
"Ooh, Kongcu ... aduh ... Kongcu ... aduh ... aduh enaknya... aku ... aku tak
tahan ... aduh ..."
Menggunakan kesempatan ini Cau-ji segera melancarkan serangan secara
bertubi-tubi, sepasang tangannya memeluk pinggul gadis itu kuat-kuat, kemudian
mendorong tubuhnya secara bertubi-tubi.
Akhirnya Siau-bun menjerit keras, "Aduuh nikmatnya!"
Tubuhnya lemas dan lunglai.
"Siau-si, antar dia beristirahat di ranjang," ucap Cau-ji sambil tertawa.
Siau-si segera membopong tubuh Siau-bun, terlihat ada gumpalan cairan
berwarna putih keabu-abuan bercampur dengan warna merah darah meleleh
keluar dari bagian bawah tubuhnya.
Cairan itu meleleh dari depan bangku hingga depan pembaringan, lekas Siausi
mengambil celana dalam milik Siau-bun dan menyumbatnya ke atas lubang
surganya. Dia menyelimuti tubuh Siau-bun, kemudian dari almari mengeluarkan sehelai
handuk dan diletakkan di atas bangku dengan wajah tersipu.
Ketika semua persiapan telah selesai, kembali ia telan tombak panjang itu
dengan liangnya.
"Kongcu," keluhnya dengan lirih, "kau benar-benar bintang penakluk bagi
budak berdua."
Dengan lemah lembut Cau-ji membelai sepasang buah dadanya, lalu sahutnya
sambil tertawa, "Kau jangan bicara begitu, tak ada bintang penakluk di sini,
yang ada cuma bintang penolong, bukan begitu enci Suto?"
Begitu mendengar nama 'Suto' disinggung, Siau-si kontan terkejut setengah
mati, dengan mata melotot karena kaget, tangan kanannya segera diangkat ke
udara. Kembali Cau-ji tertawa, katanya, "Enci Si, memangnya Siaute berniat
memusuhimu?"
Siau-bun yang sedang beristirahat di atas ranjang sambil memejamkan mata
pun ikut merasa tegang setelah mendengar sebutan Suto tadi. tanpa sadar dia
ikut melompat turun dari ranjang dan bertari ke depan bangku.
"Kongcu," tanyanya dengan suara gemetar, "darimana kau tahu asal-usul
kami?" "Enci Bun, Siaute dari marga Ong bernama Bu-cau, tahun ini berusia tiga
belas tahun. Ayahku Ong It-huan, orang memanggilnya Ong Sam-kongcu dari
kota Kim-leng, sedang ibuku Si Ciu-ing bergelar Li-cukat, mereka berdiam di
perkampungan Hay-thian-it-si!"
"Ooh, thian!" jerit Siau-si kaget, dia segera melompat ke depan bangku.
Tampak kedua orang gadis itu berlutut di lantai dan berkata dengan suara
gemetar, "Kongcu, kau harus membantu budak berdua membalaskan dendam
sakit hati atas terbunuhnya beratus anggota keluarga Suto, biar budak jadi
kerbau atau kuda pun kami rela."
Ternyata Suto Si dan Suto Bun pernah berencana pergi mencari Ong Samkongcu
dan minta kepadanya untuk membalaskan dendam, tapi setelah
mengetahui ia telah hidup mengasingkan diri di Hay-thian-it-si, terpaksa niat itu
diurungkan. Tentu saja mereka jadi amat terkejut bercampur girang setelah mengetahui
bahwa kekasih hatinya ternyata putra Ong Sam-kongcu, tak heran jika mereka
langsung mengemukakan keinginannya.
Cau-ji segera melompat turun dari ranjang, membangunkan kedua orang
gadis itu dan ujarnya sambil tertawa, "Enci Si, Enci Bun, kalian tak usah kuatir,
mulai sekarang kalian adalah nyonya muda keluarga Ong, tentu saja Siaute
akan membantu kalian."
Mendengar pemuda itu bukan saja berjanji akan membalaskan dendam,
bahkan berniat memboyong mereka pulang ke rumah, kontan saja kedua orang
gadis itu menjerit gembira.
"Kongcu!"
Mereka langsung menubruk ke dalam pelukannya sambil melelehkan air
mata. "Hei, setan cengeng, sana, minum segelas air dingin dan jangan menangis
lagi," seru Cau-ji sambil tertawa, "enci Si, ayo, kita lanjutkan pertempuran ...."
Baru saja Cau-ji duduk di atas bangku, tombak panjangnya langsung sudah
tertelan hingga lenyap, hanya kali ini Suto Si menggerakkan badannya dengan
wajah berseri dan senyuman di kulum.
Dengan penuh kasih sayang Cau-ji membelai sepasang payudara Siau-bun,
sambil mempermainkan buah dadanya, secara ringkas dia pun menceritakan
keadaan keluarganya.
Terakhir sambil tertawa tambahnya, "Bagaimana" Kalian kuatir tidak dengan
kawanan pengacau cilik itu?"
"Kuatir" Apa yang mesti dikuatirkan, kami pun termasuk pengacau," seru
Siau-bun sambil tertawa.
"Aaah, benar, kalau komplotan yang sama berbaur, memang tak mungkin


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling gontok... cuma...."
Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia mengambil keputusan untuk
menceritakan soal perkawinannya dengan Jin-ji kepada mereka berdua, bahkan
dia pun menerangkan jika mereka telah melakukan hubungan intim.
Siau-si segera berkata, "Adik Cau, enci berdua tak akan mempersoalkan
tentang urutan dan nama, asal kami diberi sedikit waktu, percayalah hubungan
kami pasti akan sangat akrab."
Cau-ji menghembuskan napas lega.
"Aaaah, lagi-lagi satu halangan berhasil dilampaui ...." gumamnya.
"Adik Cau," ujar Siau-bun kemudian dengan keheranan, "rasanya cici sudah
bersikap sangat hati-hati dalam merahasiakan identitas kami, darimana kau
mengetahui asal-usul kami berdua?"
Cau-ji mencium Suto Si, lalu jawabnya sambil tertawa, "Semalam ketika
Siaute membantu enci Si melancarkan peredaran jalan darah, kujumpai ilmu
yang dipelajari cici adalah Bu-siang-sin-kang, dari situlah aku baru menduga
kalian berasal dari keluarga Suto!"
"Adik Cau!" puji Siau-si.kagum, "tak kusangka, selain hebat dalam ilmu silat,
luas pula dalam pengetahuan, cici benar-benar merasa takluk kepadamu."
"Hahaha, cici tak perlu kelewat memuji aku, oleh karena Siau-lim-pay pernah
menghadiahkan simhoat dari Bu-siang-sin-kang kepada ayahku, maka siaute
pun jadi tahu satu dua. Tentang keluarga Suto yang bisa ilmu Bu-siang-sinkang,
sebetulnya rahasia ini kuketahui dari paman Bwe!"
"Oooh, rupanya begitu, adik Cau, siapa sih nama besar paman Bwe...."
Cau-ji tahu Bwe Si-jin pernah terlibat dalam pembantaian keluarga Suto di
masa lalu, gara-gara perbuatannya itu sehingga namanya jadi tersohor, itu pula
sebabnya dia tak ingin membuka rahasia orang begitu saja.
Dengan wajah serius ujarnya, "Enci Si, enci Bun, sebelum kujawab
pertanyaan itu, terlebih dulu aku ingin bertanya, bukankah di antara kelompok
orang baik selalu terdapat orang jahat dan di antara kelompok orang jahat selalu
terdapat orang baik?"
Melihat keseriusan Cau-ji ketika mengajukan pertanyaan itu, dua bersaudara
Suto pun segera mengangguk dengan wajah bersungguh-sungguh.
Setelah menarik napas panjang, Cau-ji melanjutkan, "Paman Bwe tak lain
adalah Bwe Si-jin, orang yang dulu ikut dalam pembantaian di perkampungan
kalian dan sekarang sedang menyaru sebagai Ho Ho-cia."
Bicara sampai di situ dia pun menghela napas panjang.
Dengan perasaan di luar dugaan kedua orang gadis itu berseru tertahan.
Maka secara ringkas Cau-ji pun menceritakan bagaimana Bwe Si-jin disekap
Su Kiau-kiau karena enggan berkomplot dengan mereka, lalu bagaimana secara
tak sengaja bertemu dengannya ....
Ketika selesai mendengar penuturan itu, kedua orang gadis itu mengucurkan
air mata sedih bercampur girang, mereka pun sempat bersorak kaget bercampur
gembira ketika tahu orang yang menghancurkan mayat putri mereka ternyata
adalah anak muda itu.
Terdengar Siau-bun berkata lirih, "Cici, kelihatannya kita memang tak bisa
menyalahkan Bwe-thayhiap."
"Benar," sahut Siau-si serius, "ternyata dia pun merupakan salah satu
korban." Habis berkata dia pun berseru, "Oooh, adik Cau!" Dia segera menggerakkan
tubuhnya lagi, menggenjot dengan penuh semangat.
Ketika urusan jadi terang, ketika duduknya persoalan jadi jelas, perasaan
ragu di hati mereka pun segera tersapu bersih, saat ini kedua orang gadis itu
hanya merasakan kegembiraan serta kelegaan hati, tak heran gadis itupun
mempersembahkan tubuhnya dengan penuh keikhlasan.
Siau-bun sendiri pun merasa lega, maka dia segera menciumi pemuda itu
dengan penuh kehangatan dan kemesraan.
Cium punya cium, pada akhirnya ujung lidah pun ikut menerobos keluar dan
menyusup ke dalam bibir sang kekasih.
Di situ lidahnya mulai mengembara, mencilat, menghisap, menggulung....
Cau-ji merasakan satu keanehan dengan permainan ini, dia seakan baru
merasakan satu permainan baru, maka perang lidah pun berlangsung ketat.
Sebentar mereka berciuman hangat, sebentar melepaskan diri untuk tarik
napas, kemudian perang lidah kembali dilanjutkan.
Tak lama kemudian pertarungan satu melawan dua mencapai puncaknya,
mendadak tampak Siau-si bergidik sambil menjerit keras.
Tampaknya si nona yang mencangkul tanah tanpa bersuara itu sudah mulai
'panen raya'. Dengan lembut Cau-ji mendorong tubuh Siau-bun, kemudian menciumi Siausi,
ilmu yang baru saja dipelajari langsung dipraktekkan dengan Siau-si,
lidahnya mulai menyusup masuk ke dalam bibir gadis itu.
Dengusan napas Siau-si bertambah cepat, tubuhnya semakin gemetar, perang
lidah membuat genjotan badannya semakin cepat....
Akhirnya dia tak kuasa menahan diri lagi, gadis itu mencapai orgasme.
Tubuhnya kontan lemas bagaikan kapas, seluruh badannya ambruk di atas
badan Cau-ji. Waktu itu sebentarnya Cau-ji sedang mendekati puncak kenikmatan, dia jadi
gelisah ketika melihat Siau-si sudah keok duluan, segera serunya, "Enci Bun,
bagaimana kalau kau gantinya enci Si" Tanggung nih!"
"Kalau dipaksakan sih masih bisa," jawab Siau-bun tersipu-sipu, "Cuma,
bagaimana jika berganti tempat?"
"Baiklah, kalau bisa tempat yang tak perlu membutuhkan banyak waktu,"
seru Cau-ji kegirangan.
Siau-bun melompat turun dari bangku, membopong cicinya ke atas ranjang,
membersihkan tubuh bagian bawahnya, kemudian baru membaringkannya di
atas pembaringan.
"Adik Cau, cici minta maaf karena tak bisa memuaskanmu," bisik Siau-si
dengan rasa menyesal.
"Lain kali kau mesti lebih bersemangat," seru Cau-ji sambil menarik tubuh
Siau-bun. Siau-bun yang dipeluk tertawa cekikikan, sambil menggeliat bisiknya, "Adik
Cau, jangan begitu, cici takut geli."
"Lalu aku mesti meraba bagian yang mana" Kalau tanganku tak memegang
sesuatu, rasanya aneh ...."
"Kalau begitu pegang yang dua ini saja...."
Cau-ji girang setengah mati, pikirnya, "Hahaha, bagus juga idenya."
Sepasang tangannya segera meremas buah dada gadis itu, sementara
tombaknya diarahkan ke lubang surga milik gadis itu dan langsung ditusukkan
ke dalam. "Aduuuh tiba-tiba Siau-bun menjerit kesakitan sambil melompat bangun.
"Kenapa enci Bun?"
"Ya, ada apa?" seru Siau-si pula.
Sambil menuding ke arah pantatnya dan berkerut kening sahut Siau-bun,
"Dia salah tusuk!"
"Mana mungkin bisa salah tusuk" Aku sudah mengarahkan secara tepat ke
lubang kecil itu."
Siau-si segera mengerti apa yang terjadi, buru-buru serunya sambil tertawa,
"Hahaha, adik Cau, seharusnya kau tusuk 'jalan air" yang berada di depan,
kalau 'jalan kering' di belakang yang kau tusuk, tentu saja adik Bun kesakitan,
kau salah masuk lubang!"
Lalu sambil berpaling ke arah adiknya, ia menambahkan, "Apa keluar darah?"
"Keluar darah sih tidak, cuma sakitnya itu! Adik Cau, coba biar cici yang
menuntunmu masuk ke liang yang benar!"
Sambil berkata sekali lagi dia membungkukkan badan dan sambil memegangi
tombak lawan, dia menggiringnya menuju ke dalam liang sendiri.
Begitu ujung tombak sudah menempel di depan lubang kecilnya, dia pun
menghentakkan badannya ke belakang, "Duusss ...!" ujung tombak langsung
tertelan separuh bagian.
"Nah, sekarang kau bisa mulai menggerakkan badanmu," kata Siau-bun
kemudian sambil berpegangan di sisi pembaringan.
Kali ini Cau-ji menggenjot tubuhnya dengan sangat berhati-hati, badannya
naik turun secara beraturan, ketika dilihatnya tidak terjadi kesalahan teknis
lagi, dengan perasaan lega dia pun memperkuat dan mempercepat genjotan
badannya, tidak lupa sepasang tangannya mulai meremas-remas buah dada
lawan. Melihat hubungan sudah berjalan lancar, dengan perasaan lega Siau-si pun
menikmati permainan itu dengan asyik.
Makin menggenjotkan badannya, Cau-ji merasakan kenikmatan yang luar
biasa.... Tadi Siau-bun sudah satu kali mencapai puncak kenikmatan, sekarang
setelah sepasang buah dadanya diremas dan dipermainkan Cau-ji, apalagi
genjotan bagian bawahnya pun begitu pas dan enak, baru tiga puluhan genjotan
dia sudah mulai merintih kenikmatan..
Cau-ji tahu gadis itu lagi-lagi sudah mendekati saat puncaknya, dia jadi
sangat gelisah, tak sempat lagi mengurusi remasan pada buah dada si nona, dia
menggenjotkan badannya makin cepat dan gencar. "Aduuh... aduuhh.."
Cau-ji melihat si nona mulai gemetar keras, kakinya nyaris sudah tak mampu
berdiri tegak, dengan gelisah segera teriaknya, "Enci Bun, tahan sedikit, ... aku
... aku masih tanggung nih.."
"Aduuuh ... aduuuh ... adik Cau ... aku ... aku sudah tak tahan ... aduh ... aku
tak tahan ... aku ... mati aku ..."
Bicara sampai di situ, seluruh tubuhnya sudah terkulai lemas di depan
ranjang. Ketika Siau-si melihat Cau-ji masih memegangi tombaknya dengan wajah
murung, dia jadi tak tega sendiri, buru-buru teriaknya setelah menarik napas
panjang, "Adik Cau, cepat berganti ke tempatku lagi."
"Tapi cici Si, baru saja kau ..."
"Tidak apa-apa, ayo, cepat naik!"
Sambil berkata dia menyingkap selimutnya sambil merentangkan kakinya
lebar-lebar. Dengan wajah merah padam Cau-ji segera melompat naik ke atas ranjang,
serunya, "Maafkan aku enci Si, terima kasih atas pelayananmu."
Dia langsung mengarahkan tombaknya ke dalam lubang kecil itu dan
menghujamkan dalam-dalam.
Tiga puluhan genjotan kemudian, di saat Siau-si mulai merintih dan hampir
saja tak tahan, Cau-ji pun mulai gemetar keras, seluruh badannya mulai
menegang kencang.
Akhirnya sambil menghembuskan napas panjang, tombaknya menyemburkan
tembakannya secara berantai, dan ia sendiri tertelungkup lemas di atas tubuh
Siau-si. Siau-si sendiri pun sekali lagi mencapai puncak kenikmatan ketika liangnya
kena disembur oleh tembakan panas lawan.
Dalam keadaan lemas tapi puas, ketiga orang itu malas untuk makan maupun
mandi, mereka berjajar di atas ranjang dan segera terlelap tidur.
0oo0 Mereka bertiga tidur hampir delapan jam lamanya sebelum akhirnya
mendusin kembali.
Siau-si yang mendusin duluan, dia jadi merasa malu ketika menjumpai
dirinya ternyata tidur dengan bersandar di tubuh Cau-ji.
Tapi ketika menengok ke arah lain, ia jumpai keadaan adiknya lebih
memalukan lagi.
Rupanya gadis itu tidur sambil memeluk punggung Cau-ji, sementara tangan
kanannya ternyata masih memegangi 'barang' milik Cau-ji yang terkulai lemas.
Diam-diam Siau-si mendekati adiknya, kemudian mencubitnya perlahan.
Siau-bun sudah berlatih silat sejak kecil, begitu ia merasa dicubit, dengan
gerakan refleks dia pun menggenggam tangannya kuat-kuat.
Padahal waktu itu dia masih memegangi 'barang' milik Cau-ji, begitu digencet,
kontan saja Cau-ji menjerit kesakitan dan segera mendusin dari tidurnya.
Siau-bun tidak menyangka kalau dirinya tertidur sambil memegangi 'barang'
milik Cau-ji, begitu sadar akan perbuatannya itu, kontan saja dengan wajah
tersipu dan dia melengos ke arah lain.
Cau-ji tersenyum geli, untuk menghilangkan suasana yang serba rikuh itu
segera katanya, "Aaaai, tak tahu sudah berapa lama kita tertidur, ayo, kita
bersihkan badan."
Sambil berkata ia melompat turun dan ranjang dan menuju ke kamar mandi.
Sambil menuang air panas, Siau-si bertanya, "Adik Cau, apakah kau perlu
menyaru muka lagi" Perlu tidak kita undang Bwe-tayhiap?"
"Aaah, benar, hampir saja aku melupakan hal ini, kalau begitu tolong cici
mengundangnya kemari."
Siau-bun berjalan masuk dengan kepala tertunduk, sambil menggosok
punggung Cau-ji dengan handuk basah, bisiknya, "Maafkan aku adik Cau, cici
tidak sengaja."
Cau-ji membalikkan badan menciumnya, sahutnya sambil tertawa, "Enci Bun,
aku yang salah, kalau bukan gara-gara aku sehingga kau kecapaian, tak
mungkin kau berbuat begitu."
"Adik Cau, cici sangat menyesal karena tak bisa memuaskan dirimu," kata
Siau-bun jengah.
"Hahaha, tidak masalah, lain kali aku pasti akan belajar mengendalikan diri."
"Adik Cau, kalau ingin bermain lagi, kita mesti mencari tambahan satu dua
orang untuk membantu," bisik Siau-si dengan wajah berseru merah, "kalau
cuma kami berdua, rasanya tak sanggup memuaskanmu!"
"Hahaha, tak akan seserius itu, bukankah semalam aku masih bisa
mengendalikan diri" Baiklah, ayo kita cepat mandi, jangan biarkan paman Bwe
menunggu terlalu lama."
Dua orang gadis itu tahu, sedikit banyak Cau-ji masih menaruh perasaan
segan terhadap mertuanya, segera mereka membersihkan badan dan segera
berpakaian. Tiba-tiba Siau-bun berbisik, "Cici, sebentar tolong ambilkan celana dalam
untukku!" Sambil berkata ia memperhatikan sekejap celana dalam sendiri yang sangat
kotor. "Tidak mengenakan celana dalam juga tidak apa-apa," kata Cau-ji sambil
tertawa, "bukankah kau masih mengenakan baju dalam yang ditutup dengan
gaun luar" Tak bakal ketahuan orang."
"Tapi... rasanya aneh."
"Benar juga perkataan adik Cau, tidak memakai celana dalam pun tak
masalah, siapa tahu setelah keluar dari kamar nanti kita harus melaksanakan
tugas lain, memangnya kau hendak bersembunyi terus di sini?"
Ketika merasa perkataan itu masuk akal juga, lekas Siau-bun mengenakan
bajunya tanpa celana dalam.
Menanti kedua orang gadis itu keluar dari kamar, Cau-ji duduk seorang diri
sambil menikmati sisa hidangan yang masih ada.
Tak lama kemudian pintu diketuk orang, Cau-ji tahu pasti kedua orang gadis
itu yang datang, benar saja Siau-si dengan senyum di kulum telah berdiri di
depan pintu kamar.
Begitu pintu kamar ditutup kembali, Siau-si segera menjatuhkan diri ke dalam
pelukan Cau-ji, katanya dengan manja, "Adik Cau, untung saja seharian ini tak
ada urusan lain, adik Bun sedang memerintahkan dapur untuk menyiapkan
beberapa macam hidangan."
"Seharian" Jadi sekarang sudah malam hari?"
"Ehmm, sekarang sudah mendekati jam 8 malam, paman Bwe, Jit-koh, Siaucun
serta Ji-giok sedang berada di dalam kamar, aku merasa kurang enak untuk
mengganggu kesenangan mereka...."
"Hahaha, tidak masalah, kalau begitu kita bersantap dulu. Cici, tolong pesan
kepada orang, jika melihat paman Bwe keluar dari kamar, suruh dia datang
mencariku."
"Baik, akan kusuruh Siau-cui memperhatikan!"
Saat itu kembali pintu kamar diketuk orang.
Ketika membuka pintu, ternyata Siau-bun yang datang, maka tanyanya,
"Adikku, apakah pihak dapur sudah menyiapkan hidangan?"
"Belum," Siau-bun menggeleng, "adik Cau, di rumah makan ada belasan orang
selesai bersantap berteriak-teriak ingin bertemu dengan Jit-koh!"
Belum sempat Cau-ji bertanya, Siau-si sudah bertanya duluan, "Adik Bun,
siapa mereka?"
"Menurut orang yang diutus Ciangkwe untuk melakukan penguntitan, konon
mereka memiliki ilmu silat yang sangat tangguh, diketuai dua bersaudara Siang
dari Liong-ing-hong dari kota Lokyang."
Agak berubah paras muka Siau-si setelah mendengar perkataan itu,
gumamnya, "Kenapa mereka datang kemari?"
Dua bersaudara Siang bukan cuma memiliki kepandaian silat yang tangguh,
bahkan mereka adalah orang-orang kalangan lurus," ujar Siau-bun dengan


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah serius, "bukan cuma hartanya banyak, pengaruh mereka pun sangat
besar." "Hari ini mereka sengaja membawa orang datang kemari, menunggu semua
tamu sudah bubar, mereka baru menyampaikan pernyataan untuk bertemu
dengan Jit-koh, tampaknya kedatangan mereka mempunyai niat dan tujuan
tertentu."
Siau-si manggut-manggut membenarkan. Mendengar nama Liong-ing-hong,
lalu mendengar pula nama dua bersaudara Siang, perasaan Cau-ji tergerak, dia
lantas teringat gadis dari marga Siang yang pernah ditolongnya ketika berada di
tepi sungai bawah bukit Wu-san.
Melihat kedua orang gadis itu berdiri dengan wajah tegang, dia pun bertanya,
"Enci Bun, apakah kau tahu siapa nama nona Siang itu?"
"Dia bernama Siang Ci-ing!"
"Ah, tidak salah lagi, memang dia," Cau-ji berseru tertahan, "baiklah, ayo kita
pergi menjumpainya!"
"Tapi Cau-ji, kau belum menyaru muka," cegah Siau-si cemas.
Cau-ji agak tertegun, tapi setelah berpikir sebentar ia segera mendapat ide,
ujarnya sambil tertawa, "Enci Si, bisa pinjam obat penyaru muka?"
"Adik Cau, tanpa bantuan paman Bwe, apa kau tidak kuatir ketahuan?"
"Jangan kuatir, orang bilang palsu itu benar, benar itu palsu, aku bisa
beralasan sedang menyaru muka."
Kedua orang nona itu segera memahami maksudnya, buru-buru Siau-si pergi
meminjam alat penyaru muka
"Adik Cau, kau memang amat cerdas," puji Siau-bun sambil menghela napas,
"di kemudian hari kau pasti akan menjadi seorang Bu-lim Bengcu!"
"Sayang aku tak berminat menjadi Bu-lim Bengcu, aku hanya ingin menemani
kalian hidup tenang di pesanggrahan Hay-thian-it-si, apa gunanya mencari
nama besar" Tapi omong-omong, aku harus tampil sebagai siapa nanti?"
"Lebih baik tampil sebagai wakil Congkoan saja, selama ini Jit-koh selalu
menyerahkan urusan kepada Congkoannya."
"Baik, kalau begitu aku akan tampil sebagai wakil Congkoan rumah makan
Jit-seng-lau, kalian berdua boleh menemani Siaute, agar nyaliku bertambah
besar?" "Baik, wakil Congkoan!"
Pintu kamar kembali terbuka, Siau-si muncul dengan membawa sebuah kotak
bahan untuk menyaru muka, kemudian dengan cepat nona itu memoleskan
beberapa bahan itu di wajahnya.
Ketika selesai mengubah wajah Cau-ji, ujarnya sambil tertawa, "Adik Cau,
agar tampil lebih keren, lebih baik kita muncul sebentar lagi."
"Cici, sekarang adik Cau adalah wakil Congkoan,"
Siau-bun menimpali.
"Aaah, cocok sekali, tapi siapa namanya?"
"Kita pakai nama Yu Si-bun saja!!"
"Baiklah, sekarang sudah hampir waktunya, adik Cau, mau keluar sekarang?"
"Tentu saja, harap cici berdua menemani aku," sahut Cau-ji sambil merangkul
kedua orang nona itu.
Setelah membuka pintu kamar, kedua nona itupun mengikut di belakang
Cau-ji menuju ke halaman depan.
Sebelum masuk ke dalam ruang rumah makan, Siau-si segera menghampiri
sang Ciangkwe, seorang lelaki setengah umur yang bertubuh kurus dan
membisikkan sesuatu.
Tauke rumah makan itu adalah salah satu anggota Jit-seng-kau, ketika
mendengar Ho-tongcu dengan merubah wajah tampil sendiri, ia jadi sangat
kegirangan, lekas dia melangkah ke depan menyambut kedatangan Cau-ji.
"Menjumpai wakil Congkoan!" ia segera menyapa, sesuai dengan pesan Siausi.
"Mana tamunya?" tanya Cau-ji dengan lagak jumawa.
"Ada di atas loteng, silakan!"
Tiba-tiba terdengar seseorang mendengus dingin dari atas loteng, "Hmmm,
gede amat lagaknya!"
Cau-ji hanya tertawa hambar, dia segera naik ke atas loteng.
Tampak ada sebelas orang pemuda berwajah bersih dan berusia dua puluh
tahunan duduk berjajar di atas loteng.
Seorang gadis cantik bak bidadari, Siang Ci-ing duduk bersanding dengan
seorang pemuda berwajah tampan.
Cau-ji menduga pemuda itu pastilah Siang Ci-liong, kakak nona Siang.
Kedua belas orang muda-mudi ini bukan saja berwajah tampan, sorot
matanya tajam bercahaya, jelas kepandaian silat yang mereka miliki cukup
tangguh, tak heran mereka berani datang mencari gara-gara.
Setelah menyapu sekejap sekeliling arena, Cau-ji segera menjura sambil
menyapa, "Cayhe Yu Si-bun, kebetulan menjabat wakil Congkoan rumah makan
ini, maaf bila kalian harus menunggu lama."
Ketika semua orang menyaksikan pemuda tampan ini ternyata adalah wakil
Congkoan dari rumah makan Jit-seng-lau, tak kuasa lagi mereka berdiri
tertegun. Khususnya setelah menyaksikan Suto bersaudara yang berdiri bak bidadari
dari kahyangan, perasaan mereka makin tercengang.
Siang Ci-liong segera bangkit berdiri dan menyahut seraya menjura, "Cayhe
Siang Ci-liong, dengan adikku Siang Ci-ing...."
Secara beruntun dia pun memperkenalkan kesepuluh orang pemuda lainnya
satu per satu. Menggunakan kesempatan itu Siau-si berbisik kepada Cau-ji dengan ilmu
menyampaikan suara, "Adik Cau, mereka adalah Lokyang Capji Eng (dua belas
orang gagah dari Lokyang)!"
Maka begitu mereka selesai memperkenalkan diri, Cau-ji segera berkata, "Ooh,
rupanya Lokyang Capji Eng yang sudah tersohor di kolong langit, selamat
berjumpa."
Lokyang Capji Eng tidak menyangka kalau pihak lawan mengetahui identitas
mereka, sekali lagi semua orang berdiri tertegun.
Cau-ji tidak menggubris keheranan orang, kembali ujarnya kepada Ciangkwe,
"Kita kedatangan tamu agung, cepat siapkan hidangan dan arak."
"Baik!"
"Hucongkoan tak usah sungkan," buru buru Siang Ci-liong menukas, "kami
semua selesai bersantap, lebih baik kita langsung pada pokok persoalan, hari ini
kami berdua belas datang kemari karena ada yang perlu dirundingkan."
"Katakan saja saudara Siang."
Siang Ci-liong termenung sejenak, tiba-tiba tanyanya, "Hucongkoan, apakah
Im-congkoan ada?"
Cau-ji tahu, orang kuatir kalau dia tak bisa mengambil keputusan, maka
sahutnya sambil tertawa, "Saudara Siang, Congkoan kami sedang ada tamu
terhormat, jadi semua kekuasaan telah diserahkan kepada Siaute."
Lokyang Capji Eng yang sudah terbiasa tinggi hati kontan menarik muka
sehabis mendengar perkataan itu, pemuda perlente yang duduk di paling ujung
kontan saja mendengus dingin.
"Hmmm! Besar amat lagak Jit-seng-lau!"
Dari logat suaranya, Cau-ji segera mengenali sebagai orang yang
menjengeknya ketika akan naik ke loteng tadi, maka dia pun menanggapi secara
ketus. "Betul, aku mau datang kemari, sebetulnya aku sudah cukup memberi muka
kepada kalian."
Serentak Loyang Capji Eng melompat bangun, dengan mata melotot mereka
mengawasi lawan.
Cau-ji sama sekali tak acuh, kembali ujarnya, "Kalau ingin gebuk-gebukan,
boleh saja, aku pasti akan menemani, tapi utarakan dulu apa maksud
kedatangan kalian."
Selesai berkata ia segera tertawa terbahak-bahak.
Pemuda she Li itu mendengus dingin, dia menggebrak meja, sebuah cawan
arak segera mencelat setinggi satu meter lalu ketika tangan kanannya
dikebaskan ke depan, cawan itu langsung meluncur ke hadapan lawan.
Cau-ji sama sekali tidak melirik, ketika cawan itu berada beberapa langkah di
hadapannya, mendadak ia meniup perlahan.
Peristiwa aneh pun segera terjadi.
Cawan arak yang sedang meluncur datang itu seakan terbentur di atas
sebuah dinding tak berwujud, setelah terbang ke samping kanan, cawan itu
berputar satu lingkaran dan melayang balik ke posisi semula.
Sekali lagi Lokyang Capji Eng menjerit tertahan.
Dengan langkah santai Cau-ji menuju ke bangku utama, setelah duduk ia pun
berseru, "Silakan duduk!"
Bagaikan ayam jago yang kalah bertarung, Lokyang Capji Eng duduk kembali
ke posisinya dengan wajah lesu dan lemas.
Tampaknya Siang Ci-liong cukup berpengalaman, katanya, "Hucongkoan,
hebat benar ilmu memindah bendamu itu!"
"Aah, mana, saudara Siang kelewat memuji, sekarang sampaikan tujuan
kalian." "Baik, kalau begitu aku langsung pada pokok persoalan, aku minta kalian
batalkan perlombaan kuda yang bakal diadakan besok pagi."
Selesai bicara ia segera menatap tajam Cau-ji.
Tampaknya Cau-ji tidak menyangka tujuan kedatangan mereka adalah
lantaran persoalan ini, mau tak mau dia tertegun juga.
"Kenapa?" tanyanya setelah termenung beberapa saat.
"Sejak judi 'semua senang' merajalela dalam masyarakat, kehidupan
penduduk jadi kacau dan berantakan, banyak pertikaian dan perselisihan
terjadi, banyak keluarga tercerai-berai, maksiat terjadi dimana mana."
"Menurut analisa kami berdua belas, tempat ini merupakan bandar paling
besar di seluruh negeri, karena itu jika kalian bersedia menghentikan usaha ini,
tindakan itu tentu akan diikuti Bandar-bandar lain."
"Demi keamanan dunia persilatan dan kesejahteraan umat manusia, kami
berharap kerja samanya."
Sebenarnya Cau-ji sangat setuju dengan usul itu, kalau bisa dia pun akan
meneriakkan tanda setuju.
Tapi demi melenyapkan Jit-seng-kau dari muka bumi, mau tak mau terpaksa
ia harus tega. "Atas dasar apa kalian minta kami melepaskan tambang emas ini?" tanyanya
kemudian. "Manusia she Yu, tampaknya kau tak tahu diri," bentakan nyaring segera
berkumandang, diikuti seorang pemuda perlente menerjang maju ke depan.
Segera Siang Ci-liong mencegahnya, ujarnya lagi kepada Cau-ji, "Hucongkoan,
terus terang aku katakan, kini sembilan partai besar telah memutuskan untuk
bekerja sama dengan pihak pemerintah untuk membasmi semua perjudian dari
muka bumi. "Aku lihat Hucongkoan bukan termasuk orang jahat, bila kau bersedia
menghentikan usaha di sini, bukan saja aku bersedia memberi pesangon yang
memadai kepada seluruh pekerja di sini, bahkan bila Hucongkoan bersedia,
kami pun siap menampung kau dengan gaji yang menggiurkan."
"Gaji yang menggiurkan" Berapa itu?"
"Seratus tahil perak setiap bulan."
Cau-ji segera tertawa dingin, ejeknya, "Saudara Siang, sebelum masuk kemari,
apakah kau sempat membaca laporan keuangan 'semua senang' yang kami
tempelkan di depan pintu masuk?"
"Ya, sudah!"
"Tahukah saudara Siang, berapa banyak hadiah yang bisa diraih esok pagi?"
"Soal ini...."
"Hahaha, dalam periode penarikan kali ini, kami sudah menerima pasangan
sebesar tiga puluh dua juta tahil perak lebih, sesuai dengan peraturan yang
berlaku, pihak kami berhak atas sepuluh persen komisi, itu berarti senilai tiga
juta dua ratus ribu tahil perak.
"Sementara Cayhe yang menjabat sebagai wakil Congkoan, sesuai dengan
perjanjian akan mendapat keuntungan sebesar sepuluh persen dari laba bersih,
atau dengan perkataan lain aku mendapat tiga ratus dua puluh ribu tahil perak,
bila sebulan diadakan tiga periode penarikan berarti jatahku senilai hampir satu
juta tahil perak. Bayangkan sendiri saudara Siang, sanggupkah kau memberi
gaji lebih dari nilai itu?" Habis berkata ia tertawa dingin.
Siang Ci-ing yang selama ini hanya membungkam mendadak bangkit berdiri,
hardiknya, "Orang she Yu, pernahkah kau bayangkan sembilan ratus enam
puluh ribu tahil perak yang kau peroleh itu berasal dari berapa banyak
penderitaan dan lelehan air mata?"
"Hahaha, aku toh tidak pernah memaksa mereka untuk ikut memasang
'semua senang', perjudian yang kami selenggarakan pun merupakan perjudian
resmi yang tidak menggunakan akal-akalan, menang kalah tergantung rezeki
masing-masing, jadi kalau kalah, jangan salahkan siapa pun." Selesai berkata
kembali ia tertawa tergelak.
"Kau ... kau tak tahu malu!" Mendengar umpatan itu, kontan Cau-ji
menghentikan gelak tertawanya, sambil menarik muka dia menegur, "Nona, kau
mengatakan aku tak tahu malu" Bandingkan dengan Yu Yong, siapa yang lebih
tak tahu malu?"
Mendadak paras muka Siang Ci-ing berubah hebat, jeritnya, "Kau...."
Untuk sesaat nona itu hanya bisa mengawasi Cau-ji dengan mata mendelik,
tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
Cau-ji tahu, si nona pasti amat terkejut, maka tangan kanannya segera
menggapai ke arah teko arak yang berada beberapa meter jauhnya di hadapan
Siang ci-liong, kemudian menghisap isinya dari jarak jauh dan meneguknya
sampai habis. Demonstrasi ilmu menghisap benda dari udara ini seketika membuat
terperangah Lokyang Capji Eng.
"Jadi kau kenal Yu Yong?" kembali Siang Ci-ing bertanya dengan suara
gemetar. "Tidak, tidak kenal," Cau-ji segera menggeleng, "aku hanya pernah mendengar
ada seorang nona telah menyebut nama seorang tua bangka yang tak tahu diri
itu ketika berada di tepi sungai dekat bukit Wu-san."
Sekali lagi sekujur badan Siang Ci-ing gemetar keras, tapi sinar matanya
berbinar, serunya girang, "Jadi kau ... kau adalah ..."
"Aku dari marga Yu, bernama Si-bun!" tukas Cau-ji tenang.
Tampaknya Siang Ci-ing sama sekali tidak menyangka kalau pemuda yang
berada di hadapannya tak lain adalah Giok-long-kun Bwe Si-jin yang pernah
menyelamatkan jiwanya, melihat pemuda itu enggan menyebut nama aslinya di
hadapan umum, diam-diam ia menjadi girang.
Sebab Bwe Si-jin dianggapnya telah menutupi kejadian aib yang pernah
menimpa dirinya.
Nona itupun berpendapat, kehadiran Bwe Si-jin sebagai wakil Congkoan di
tempat itu pasti mempunyai maksud tertentu, dengan kebesaran namanya
sebagai seorang pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, bisa
jadi tujuan kedatangannya di situ adalah untuk membasmi Jit-seng-kau"
Dia memang sudah mendengar kisah terbabatnya perkumpulan naga emas
semalam, karena berita besar itu sudah tersebar sampai dimana-mana, Siang Ciing
berpendapat, kejadian itu pasti melibatkan Bwe Si-jin.
Karena itulah nona itu merasa sangat kegirangan.
Cau-ji sendiri meski tidak paham apa sebabnya secara tiba-tiba gadis itu
kegirangan, tapi ia bisa meraba kalau hal mana tentu ada kaitannya dengan
nama besar Bwe Si-jin, maka dia pun tidak bicara lebih jauh.
Siang Ci-liong sendiri pernah mengetahui tentang kisah amoral Yu Yong
terhadap adiknya, maka setelah mendengar pembicaraan itu dia pun segera
mengerti kalau antara Yu Si-bun dengan Bwe Si-jin pasti punya keterkaitan yang
besar, maka dia pun segera terjerumus dalam pemikiran.
Ditinjau dari demonstrasi ilmu yang barusan diperlihatkan Yu Si-bun, jangan
kan dirinya berada dalam wilayah lawan, sekalipun mereka berdua belas
menggabungkan diri pun, belum tentu sanggup melawan ketangguhan lawan.
Setelah berpikir, akhirnya dia memutuskan untuk pulang dulu ke rumah,
kemudian baru merundingkan kembali persoalan ini.
Sambil bangkit berdiri ujarnya lantang, "Malam sudah kelam, apa yang ingin
kusampaikan pun telah kuutarakan, semoga wakil Congkoan mau
mempertimbangkan kembali usul ini, maaf, kami akan mohon diri terlebih dulu."
"Dengan senang hati akan kutunggu kehadiran kalian dalam perlombaan
kuda besok," sahut Cau-ji lantang.
Lokyang Capji Eng segera menjura memberi hormat, lalu berlalu dari situ.
Menanti Lokyang Capji Eng sudah berlalu, terlihat bayangan manusia
berkelebat, tahu-tahu Bwe Si-jin dan Im Jit-koh sudah muncul di ruang tengah
sambil mengawasinya.
Cau-ji sengaja menirukan suara serak Ho Ho-wan dan ujarnya sambil tertawa
dingin. "Hehehe, bocah-bocah ingusan itu benar-benar tak tahu diri, baru punya
sedikit kepandaian sudah ingin bergaya di sini, benar-benar tak tahu diri."
Dengan sikap hormat Im Jit-koh segera menyahut, "Untung Tongcu bersedia


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tampil, kalau tidak, mungkin kami bakal kerepotan."
"Apakah kau sudah mendengar semua perkataan mereka tadi?"
"Sudah, bila keinginan mereka terkabul, tampaknya hari kiamat bagi kaum
bandar judi sudah makin dekat."
"Berarti kita pun akan memungut rezeki di balik bencana," sambung Bwe Sijin
sambil tertawa tergelak.
Mendengar perkataan itu Im Jit-koh termenung sambil berpikir sejenak,
kemudian seolah memahami sesuatu katanya, "Hebat, hebat, Tongcu memang
sangat hebat, begitu para bandar judi itu menghentikan usahanya, usaha Kita di
sini pasti akan bertambah makmur."
Bwe Si-jin menggelengkan kepala berulang kali, tukasnya, "Kau keliru besar,
jika semua pecandu semua senang' meluruk datang kemari, yang pasti kota
Tiang-sah akan tenggelam, hahaha"
Merah padam wajah Im Jit-koh lantaran jengah, bisiknya lirih, "Harap Tongcu
sudi menjelaskan."
"Hahaha, ketua perkumpulan ada niat untuk membangun kembali kejayaan
partai, mereka bisa menggunakan kesempatan ini untuk menyusup ke dalam
para bandar itu dan menghasut mereka agar saling gontok, asal mereka lenyap
semua, bukankah rezeki kita bakal semakin lancar?"
"Usul yang hebat, hamba segera akan mengirim merpati pos untuk
menyampaikan ide Tongcu ini ke markas besar," teriak Im Jit-koh cepat.
"Hahaha, posisi Lohu saat ini sudah mentok dan tak mungkin bisa naik lebih
tinggi lagi. Jit-koh, kenapa usul ini tidak kau sampaikan atas nama pribadimu"
Hahaha, Lote, ayo kita pergi minum."
Dengan penuh rasa terima kasih Im Jit-koh mengantar Bwe Si-jin berempat
kembali ke kamar Cau-ji, lalu segera dia minta diri untuk mengirim berita itu.
Setelah mengunci pintu kamar, dua bersaudara Suto baru menuju ke
hadapan Bwe Si-jin, berlutut di hadapannya dan berkata, "Bwe-tayhiap, Suto Si
dan Suto Bun memberi hormat kepadamu."
Mula-mula Bwe Si-jin agak tertegun, kemudian sambil tertawa tergelak
katanya, "Nona, cepat bangkit. Cau-ji, kau si bocah sialan benar-benar 'bertemu
cewek lupa setia-kawan', rupanya kau telah berkhianat kepadaku."
Merah jengah wajah Cau-ji, cepat katanya, "Paman, Cau-ji rasa lebih leluasa
bagi kita jika semuanya sudah berterus terang."
"Hahaha, tak heran begitu kalian masuk ke dalam kamar, seharian tak
menongolkan kepala, ternyata kalian sedang berterus terang ...."
Merah jengah wajah Cau-ji bertiga, mereka tak berani membantah lagi, kuatir
semakin mendapat malu.
Ternyata Bwe Si-jin tidak melanjutkan ejekannya, sambil tertawa katanya lagi,
"Ayo duduk, paman hanya bergurau, bagaimanapun kau telah menyelesaikan
kesalahan paham nona Suto terhadap Lohu. jelas hal ini merupakan satu pahala
besar." "Paman baru berusia tiga puluh tahunan, kok membahasakan diri sendiri
dengan sebutan Lohu?" sindir Siau-si
Bwe Si-jin tertawa tergelak, untuk sesaat dia tak sanggup menanggapi ucapan
itu. "Paman," kata Cau-ji kemudian sambil tertawa, "tahukah kau apa sebabnya
tadi Siang Ci-ing nampak salah tingkah?"
"Darimana aku tahu" Jangan-jangan kau punya permainan busuk lain?"
Secara ringkas Cau-ji segera menceritakan pengalamannya ketika menolong
Siang Ci-ing sambil meninggalkan nama Bwe Si-jin, kemudian ia tergelak.
Dua bersaudara Suto pun ikut tertawa mendengar cerita itu.
Senyuman yang semula menghiasi Bwe Si-jin mendadak lenyap tak berbekas,
tiba-tiba sambil menarik muka bentaknya, "Cau-ji, kau bikin masalah ...."
Belum pernah Cau-ji menyaksikan pamannya begitu gusar, dengan perasaan
kaget ia segera menjatuhkan diri berlutut.
Melihat pemuda itu berlutut, cepat Suto bersaudara ikut berlutut.
Melihat ketiga orang itu berlutut di lantai, hawa amarah Bwe Si-jin sedikit
mereda, serunya, "Kalian cepat bangkit!"
"Harap paman memberi pengajaran," kata Cau-ji sambil menggeleng.
"Baik, kalian bangkit berdiri lebih dulu."
Saat itulah terdengar pintu kamar diketuk orang.
Cepat mereka bertiga bangkit berdiri, ketika Siau-bun membukakan pintu,
tampak Siau-cun berenam dengan membawa hidangan dan dua guci arak telah
berdiri menanti di muka pintu.
Sambil menata hidangan di atas meja, kembali Siau-cun berkata, "Tongcu
berdua, Congkoan menitahkan budak sekalian untuk menghidangkan makanan
ini, harap jangan ditertawakan."
"Bagus, rupanya Jit-koh memang pintar mengambil hati orang, tahu kalau
Lohu suka minum arak, dia menghadiahkan dua guci arak lagi untukku,
sampaikan rasa terima kasihku kepadanya."
Enam orang gadis itu menyahut dan segera mengundurkan diri.
Segera Cau-ji menuang dua cawan arak, satu dipersembahkan kepada Bwe Sijin
sambil katanya, "Paman, Cau-ji minta maaf kepadamu, harap kau bersedia
mengeringkan isi cawan ini."
Bwe Si-jin meneguk habis isi cawan itu, kemudian serunya, "Cau-ji, dengan
melakukan perbuatan semacam itu, kau menyuruh aku bagaimana
mempertanggung jawabkan diri kepada ibu mertuamu?"
"Paman, waktu itu Cau-ji hanya menganggap nona Siang baik orangnya, maka
timbul ingatanku untuk mencarikan pasangan untukmu."
Bwe Si-jin tertawa getir, ujarnya, "Gara-gara ingin menemukan jejakku, adik
Ti sudah belasan tahun berkelana dalam dunia persilatan, ketahuilah Cau-ji,
sepuluh tahun itu jangka waktu yang amat berharga bagi seorang wanita."
Kemudian setelah menghela napas, lanjutnya, "Dia sudah banyak menderita,
masa aku tega mencari istri baru lagi" Cau-ji, makanya lain kali jangan kau
ulang kesalahan yang sama."
"Baik, baik...."
"Cau-ji, urusan ini kau yang menimbulkan, maka kau mesti bertanggung
jawab." "Maksud paman...."
"Hahaha, paman boleh saja mengganggu beruang, boleh saja mengusik
harimau, tapi aku tak berani mengusik Siang bersaudara."
"Tapi... bukankah ilmu silat yang mereka miliki tak seberapa hebat?"
"Hahaha, dalam pandangan jago silat tingkat tinggi, mungkin saja ilmu silat
yang mereka miliki tak seberapa, tapi jangan lupa, seekor harimau susah
menghadapi kerubutan beribu ekor monyet."
"Apalagi Siang Ci-ing adalah murid kesayangan Teng-in Suthay, Ciangbunjin
Go-bi-pay. Bila dia melaporkan aku sambil menangis, bisa jadi jago sembilan
partai besar akan datang menyatroni paman."
Cau-ji tertegun, untuk sesaat dia berdiri termangu.
Belum pernah Bwe Si-jin menyaksikan mimik muka Cau-ji seperti ini, diamdiam
ia kegirangan, lanjutnya, "Cau-ji, mungkin kau belum tahu kalau dua
bersaudara Siang punya pengaruh besar dalam pemerintahan."
"Turun temurun mereka adalah pedagang barang antik serta benda perhiasan
yang mahal harganya, bukan saja dianggap sebagai saudagar jujur, harga
mereka pun sangat cengli, karena itu banyak keluarga pembesar tinggi, bahkan
para selir raja dan tuan putri pun sering mengundang mereka masuk istana.
"Selain itu, Lokyang Capji Eng terkenal juga sebagai orang yang suka
mencampuri urusan orang, jika Siang Ci-ing sampai mengundang mereka untuk
mencari paman, kau harus tampil untuk menjelaskan persoalan ini kepada
mereka." Cau-ji jadi kaget setengah mati, dia tak menyangka gara-gara usil mulut bisa
jadi dirinya akan menjadi musuh umat persilatan dan buronan kerajaan.
Baginya urusan mati hidup adalah urusan kecil, tapi kalau sampai menodai
nama keluarga, itu baru masalah besar.
Lantas apa daya sekarang"
"Paman," tiba-tiba Siau-si berkata, "apakah Siau-si boleh mengajukan usul?"
"Hahaha, istri membantu suami memang merupakan kejadian lumrah, coba
katakan apa idemu?"
"Asal adik Cau meminang Siang Ci-ing menjadi istrinya, bukankah dunia jadi
aman kembali?"
Tak tahan Cau-ji menjerit kaget.
Bwe Si-jin agak tertegun, tapi ia segera tertawa terbahak-bahak.
Tampaknya Siau-bun pun sangat setuju dengan usul ini, sambil tertawa dia
hanya mengawasi Cau-ji tanpa bicara.
Menggunakan kesempatan di saat Bwe Si-jin masih tertawa tergelak, Cau-ji
buru-buru berbisik, "Enci Si, kita tak boleh menempuh jalan ini, Siang Ci-ing
mencintai paman Bwe, lagi pula belum tentu paman akan setuju."
"Cau-ji, dimanapun pasti terdapat jalan, kenapa cara ini tak bisa digunakan?"
dengan ilmu menyampaikan suaranya Siau-bun berbisik, "seperti contohnya
semalam, bukankah kau pun sempat salah masuk, tapi begitu digiring dengan
tangan, kau pun bisa pindah dari jalan kering menuju ke jalan air?"
Lalu dengan wajah bersemu merah karena jengah, lanjutnya, "Adik Cau, kau
urusi saja masalahmu dengan paman, sementara Siang Ci-ing serahkan kepada
kami berdua untuk menyelesaikan"
"Tapi soal ini... soal ini...."
Sambil menghentikan tertawanya, kata Bwe Si-jin, "Cau-ji, banyaklah
mendengar nasehat bini, tak bakalan salah jalan."
"Paman, Cau-ji benar-benar tak tahu apa yang mesti kulakukan sekarang?"
kata Cau-ji sambil bermuram durja.
"Jodoh itu di tangan Thian, siapa pun tak bisa memaksakan diri, paman tidak
keberatan bila kau mempunyai seorang bini muda lagi, cuma kau mesti
menghadapi persoalan ini dengan nama sendiri, lagi pula pihak lawan pun harus
rela mengikutimu."
"Paman, mulai sekarang Cau-ji tak berani mencatut namamu lagi."
"Hahaha, memangnya kau anggap nama Bwe Si-jin boleh digunakan
sembarangan" Ayo, ayo. kita segera bersantap sambil minum arak."
Tapi mana Cau-ji punya selera untuk bersantap" Sekalipun tak punya selera,
setiap kali Bwe Si-jin mengajaknya minum arak, mau tak mau dia harus
meneguk habis isi cawannya.
Dengan cara minum semacam ini, Siau-si berdua mulai menguatirkan
keadaannya, tidak mustahil pemuda itu segera akan mabuk berat.
Akhirnya Cau-ji belum lagi mabuk, kedua orang gadis itu sudah keburu
limbung duluan.
Sambil tertawa terbahak-bahak Bwe Si-jin pun meninggalkan ruangan.
Sepeninggal Bwe Si-jin, dengan wajah mabuk Siau-si segera menjatuhkan diri
ke dalam pelukan Cau-ji sambil berbisik, "Adik ... adik Cau ... tak usah kuatir...
biar... biar langit ambruk pun ... cici... cici pasti... akan mendukungmu...."
Siau-bun ikut memeluk tengkuk Cau-ji, dengan mulut penuh berbau arak
katanya pula, "Adik Cau ... keluarga Ong adalah keluarga terhormat... mana bisa
dibandingkan dengan keluarga Siang yang berbau rongsok"
Ucapan itu bagai sambaran guntur di siang hari bolong, seketika membuat
Cau-ji tersadar kembali, katanya lantang. "Benar, sewaktu aku Ong Bu-cau
menolongnya, aku toh tidak berniat jahat kepada gadis itu."
"Benar," sambung Siau-bun sambil tertawa, "apalagi kau pun berbuat begitu
demi keselamatannya, bila kedua belah pihak sampai terjadi pertarungan,
memangnya mereka sanggup melawan kekuatan para jago di halaman
belakang?"
Menganggap jalan pikirannya sudah benar, tak kuasa lagi Cau-ji tertawa
tergelak. "Ah, adik Cau ...." kembali terdengar Siau-si berkata, "kau ... asal kau
bersikeras mengaku bernama Yu Si-bun ... dan ... dan mengatakan kalau Bwe
Si-jin sudah ... sudah mati ... Siang Ci-ing pasti tak dapat berbuat apa-apa...."
"Hahaha, hebat, jurus hebat, cici Si, biar dalam keadaan mabuk, ternyata
jalan pikiranmu justru amat cemerlang."
"Aku ... aku tidak mabuk ... omong kosong, mana ... mana mungkin aku bisa
mabuk...."
"Baiklah, kau memang tidak mabuk, ayo, coba ikuti gerakanku."
Sambil berkata pemuda itu berjongkok kemudian melompat bangun.
"Hahaha, itu sih gampang."
Sambil berkata nona itu ikut berjongkok lalu melompat bangun, siap tahu
begitu melompat, badannya mundur sempoyongan, nyaris badannya
terjerembab. "Hahaha, enci Bun, coba kau lihat, hebat benar lompatan enci Si."
Siapa tahu begitu berpaling, pemuda itu saksikan Siau-bun sudah tertidur di
atas meja. Siau-si kembali tertawa cekikikan, serunya, "Coba lihat, ternyata adik Bun
sudah mabuk."
Sembari berkata ia berjalan menghampiri dan siap membokongnya naik ke
atas ranjang. Segera Cau-ji mencegah. "Enci Si, biar aku saja yang membopong!"
"Omong kosong, kau ... kau takut aku terjatuh ... baik, akan kubopong dia ...."
Sambil berkata ia benar-benar membopongnya. Jangan dilihat Siau-si sudah
mabuk, ternyata dia sanggup membopong Siau-bun naik ke pembaringan.
Melihat itu Cau-ji tertawa tergelak, baru saja dia menghembuskan napas lega,
dilihatnya Siau-si pun ternyata sudah terlelap tidur.
0oo0 Bab V. Menangkap perempuan cabul.
Langit masih gelap, awan hitam masih menyelimuti angkasa, namun sebagian
besar penduduk kota Tiang-sah sudah berbondong-bondong mendatangi luar
kota, tempat diselenggarakannya pertandingan lomba kuda.
Hari ini adalah hari pembukaan lotere 'semua senang'.
Ketika sembilan ekor kuda balap mencapai garis finish, kuda pertama yang
masuk garis finish duluan itulah nomor undian yang bakal keluar, karena itu
sejak fajar belum menyingsing, semua orang sudah mendatangi arena lomba
untuk memberi semangat kepada kuda lomba jagoannya.
Cau-ji dan Bwe Si-jin didampingi Im Jit-koh ikut hadir di arena balap kuda.
"Mari kita menuju ke panggung kehormatan!" bisik Im Jit-koh kemudian.
"Kau pergilah sendiri," sahut Bwe Si-jin sambil tertawa, "kami berdua akan
mencari tempat duduk lain, sekalian berjaga-jaga bila terjadi sesuatu yang tak
diinginkan."
"Tapi semua jago tangguh partai sudah tersebar di seputar sini dan
melakukan penjagaan ketat...."
"Pergilah seorang diri!" sambil berkata Bwe Si-jin segera berbaur dengan para
penonton lainnya.
Ketika Bwe Si-jin sambil menggendong tangan membaurkan diri dalam
keramaian penonton, tiba-tiba terdengar Cau-ji berbisik dengan ilmu
menyampaikan suara, "Paman. Lokyang Capji Eng berada di tribun sebelah kiri!"
Ketika berpaling, Bwe Si-jin segera menyaksikan Lokyang Capji Eng berada di
tribun sebelah tengah, maka sahutnya sambil tertawa, "Cau-ji, ayo, kita sapa
mereka!" Mula-mula Cau-ji agak tertegun, tapi ia segera mengerti maksud pamannya
dan beijalan mendekati arah mereka.
Bwe Si-jin sengaja memperlambat langkahnya, membuat jarak mereka berdua
selisih makin jauh.
Setelah berada lima enam langkah di hadapan Siang Ci-liong, dengan ilmu
menyampaikan suaranya Cau-ji segera menyapa, "Saudara Siang, awal sekali
kehadiranmu!"
Sambil berkata dia menggapai ke arah mereka.
Seakan terkejut bercampur girang Siang Ci-liong membisikkan sesuatu ke sisi
telinga adiknya, lalu dia bangkit berdiri dan celingukan kian kemari, tak lama ia
menemukan Cau-ji.
Dengan cepat ia menuding tempat kosong di sampingnya seraya menggapai.
Cau-ji mengerti maksudnya, dia manggut-manggut dan berjalan mendekat.
Dengan sikap penuh persahabatan Lokyang Capji Eng berdiri dan menyapa
Cau-ji. Cau-ji tahu sudah pasti Siang Ci-ing telah menceritakan pengalamannya
kepada mereka sehingga terjadi perubahan sikap dari orang-orang itu. Maka
serunya sambil tertawa tergelak, "Hahaha, silakan duduk!"
Habis berkata, ia duduk di sisi kiri Siang Ci-liong.
Terdengar Siang Ci-liong berkata sambil tertawa, "Sungguh tak kusangka
perlombaan balap kuda yang diselenggarakan di tempat ini sangat besar, megah
dan ramai."
Pada saat itulah di atas sebuah panggung setinggi dua meter yang berada di
tengah arena telah muncul seorang lelaki berbaju perlente, dia sedang menjura
ke semua penonton yang berada di empat penjuru.
Tepuk tangan gegap gempita pun segera bergema memecah keheningan.
Selesai tepuk tangan, dengan lantang lelaki perlente itu berkata, "Aku Coh Tat
sebagai panitia penyelenggara pesta balap kuda mengucapkan selamat datang
kepada hadirin semua.
"Sesuai dengan peraturan, bila ada sahabat yang ingin ikut serta dalam balap


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuda hari ini silakan mengambil nomor undian, tapi aku perlu terangkan
terlebih dulu, bila dalam perlombaan nanti terjadi kecelakaan atau satu
peristiwa yang tak diinginkan, pihak kami tak ikut bertanggung jawab."
Di tengah sorak sorai yang nyaring, ada dua puluhan orang lelaki kekar
dengan gerakan tubuh yang gesit telah berlarian menuju ke arah panggung.
Di bawah dukungan Cau-ji dan Siang bersaudara, kesepuluh orang pemuda
tampan itupun ikut berlarian menuju ke tengah panggung.
Lelaki berbaju perlente yang berada di atas panggung tinggi itu nampak
terkesiap setelah menyaksikan gerakan tubuh kesepuluh orang ini.
Para jago tangguh dari Jit-seng-kau yang membaurkan diri di antara para
penonton pun segera meningkatkan kewaspadaan.
Begitu kesepuluh orang itu tiba di atas panggung, lelaki berbaju perlente itu
segera memuji, "Hebat sekali kepandaianmu sobat!"
Setelah berhenti sejenak, dengan suara lantang orang itu berkata lebih jauh
kepada ketiga puluh lima orang yang sudah berada di panggung,
"Sobat sekalian, ketiga orang nona itu membawa tiga puluh lima lembar
lintingan kertas berisikan angka, sobat yang berhasil mendapatkan angka satu
sampai angka sembilan, berarti dialah yang akan menjadi joki pada hari ini."
Tak lama kemudian ketiga orang nona itu sudah memperlihatkan sebuah
kotak kosong kepada para hadirin, lalu memasukkan ketiga puluh lima lintingan
kertas itu ke dalam kotak, selesai mengocoknya mereka pun menghampiri orangorang
itu. Menanti ketiga puluh lima orang itu selesai mengambil gulungan kertas,
terdengar Coh Tat berkata sambil tertawa, "Sekarang, silakan teman yang tidak
mendapat angka untuk kembali ke bangkunya, terima kasih."
Dari sepuluh orang yang naik panggung, ada tujuh anggota Lokyang Capji Eng
yang balik. Melihat itu Cau-ji segera berseru sambil tertawa, "Saudara Siang, kelihatannya
juara pertama dalam lomba kuda hari ini akan dihasilkan oleh salah satu di
antara ketiga orang Toako itu."
"Ahh, mana, mana," sahut Siang Ci-liong sambil tertawa, "walaupun ilmu
menunggang kuda yang dimiliki ketiga orang itu cukup tangguh, namun mereka
tidak kenal lapangan ini, kudanya pun tidak begitu akrab, belum tentu harapan
itu bisa kesampaian."
Sementara pembicaraan masih berlangsung, terdengar suara ringkikan kuda
yang ramai berkumandang memecah keheningan, tampak dua puluh tujuh
orang lelaki kekar dengan menunggang dua puluh tujuh ekor kuda bergerak
lewat di depan panggung kehormatan.
"Wouw, rupanya kuda jempolan dari Mongolia yang digunakan," seru Siang Ciliong
terperanjat. Cau-ji sama sekali tak paham soal kuda, tapi melihat mimik kesembilan orang
itu, dia tahu kuda-kuda itu pasti tak ternilai harganya.
Terdengar Coh Tat berseru lagi dengan nyaring, "Di dalam kotak itu berisikan
dua puluh tujuh angka, silakan anda antn mengambil nomor sesuai dengan
angka undian yang anda ambil tadi dan memilih kuda sesuai dengan angka yang
diperoleh dari kotak itu."
Seorang lelaki mendapat angkat delapan, maka kuda yang ditunggangi lelaki
bernomor delapan segera mendekati mimbar.
Tak lama kemudian sembilan ekor kuda sudah siap bertanding.
"Silakan mengenakan mantel bernomor!" seru Coh Tat lagi.
Tak lama kemudian semua peserta sudah mengenakan mantel bertuliskan
angka. Maka sambil tertawa Coh Tat berseru kembali, "Silakan teman-teman
membawa kuda masing-masing menuju ke jalur perlombaan."
Akhirnya diiringi suara gembreng yang keras, kesembilan ekor kuda lomba
itupun meluncur ke depan.
Teriakan penonton, sorak sorai yang gegap gempita pun berkumandang
memecah keheningan.
Tiba-tiba terdengar Bwe Si-jin berbisik kepada Cau-ji dengan ilmu
menyampaikan suaranya, "Cau-ji, coba tebak, mungkin tidak angka enam yang
paman berikan kepada pelayan rumah makan itu keluar sebagai pemenang?"
Mendengar bisikan itu tanpa terasa Cau-ji membayangkan kembali peristiwa
itu, akhirnya tanpa sadar ia manggut-manggut sambil tertawa.
Siang Ci-ing yang selama ini secara diam-diam mencuri pandang ke arahnya
jadi keheranan setelah melihat anak muda itu mendadak tertawa, tegurnya
keheranan, "Saudara Yu, kenapa tiba-tiba tertawa?"
Cau-ji segera sadar akan kekilafannya, buru-buru sahutnya sambil tertawa,
"Nona, membayangkan sikap kalian yang semula bermusuhan tapi sekarang
malah bersahabat, aku jadi teringat dengan sandiwara panggung, oleh sebab itu
aku menjadi geli maka tertawa."
Merah jengah wajah Siang Ci-ing, tanyanya mendadak, "Saudara Yu, apakah
sore ini ada waktu?"
"Tentu saja ada, aku memang banyak waktu menganggur, ada sesuatu nona?"
Tiba-tiba dengan ilmu menyampaikan suaranya Siang Ci-ing berbisik, "Sore ini
Lokyang Capji Eng akan mengadakan perjamuan penghormatan di rumah
makan Ke-siong-lau, semoga saudara Yu sudi memberi muka dan bersedia
menghadirinya."
Undangan ini membuat Cau-ji tertegun sesaat.
Namun kemudian sambil menatap wajahnya yang cantik, dia tersenyum dan
manggut-manggut.
Siang Ci-ing tertawa, dia mengalihkan kembali pandangan matanya ke tengah
arena perlombaan.
Siang Ci-liong yang selama ini hanya membungkam, tiba-tiba berkata,
"Ternyata saudara Yo cukup hebat, baru sepuluh putaran, ia sudah berhasil
melampaui saudara Lim setengah badan kuda!"
Ketika Cau-ji melongok ke arena, terlihatlah kesembilan ekor kuda itu
berlarian saling mengejar dalam jarak tak jauh, khususnya ketiga saudara
Lokyang Capji Eng, boleh dibilang mereka selalu berada di depan keenam
penunggang kuda lainnya.
Akhirnya enam perputaran kemudian kuda nomor enam dan kuda nomor
tujuh hampir sejajar.
Tapi pada perputaran terakhir, kuda nomor enam berhasil masuk garis finish
duluan. Suara gembreng pun kembali dipukul keras-keras, kuda nomor enam
dinyatakan sebagai pemenang.
Cau-ji yang mengetahui hal ini ikut bersorak gembira.
Para penonton mulai bubar, kecuali mereka yang pasang angka enam, boleh
dibilang sebagian besar pulang dengan wajah murung dan lesu.
Kembali Coh Tat mengumumkan dengan suara nyaring, "Terima kasih atas
kehadiran teman-teman semua, sobat nomor enam akan memperoleh hadiah
sebesar seratus tahil emas murni, sementara delapan orang penunggang lainnya
masing-masing mendapat hadiah sepuluh tahil emas, silakan naik ke panggung!"
Dalam waktu singkat semua penunggang kuda itu sudah mendapatkan
sebuah kotak kayu, ketika kotak dibuka, benar saja, isinya adalah uang emas
murni. Sambil menghela napas Siang Ci-liong pun berkata, "Saudara Yu, ternyata
kalian memang pandai sekali berdagang, tak heran total transaksi yang berhasil
kalian raih kian hari kian bertambah makmur."
"Hahaha, semua ini berkat rezeki dari kalian semua," sahut Cau-ji sambil
tertawa. Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Saudara Siang, aku masih
ada urusan lain, maaf kalau terpaksa harus mohon diri lebih dulu."
"Saudara Yu jangan lupa dengan perjamuan tengah hari nanti!"
"Hahaha, aku pasti akan datang."
0oo0 Belum lagi tiba di pintu gerbang rumah makan Jit-seng-lau, Cau-ji sudah
mendengar suara petasan renteng yang berbunyi memekakkan telinga.
Seorang pemuda berteriak dengan penuh gembira, "Terima kasih, terima
kasih!" Dia segera mempercepat langkahnya untuk mendekat, ternyata pemuda itu
adalah sang pelayan rumah makan Ke-siang-lau yang sedang dikerumuni orang
banyak. Sementara dia masih tertawa geli menyaksikan adegan itu, terendus bau
harum di samping tubuhnya, ternyata Siau-si dan Siau-bun telah muncul di
hadapannya. "Adik Cau," terdengar Siau-bun menegur dengan ilmu menyampaikan suara,
"kenapa kau tidak membangunkan kami berdua?"
"Hahaha. kalian tidur sambil mendengkur, Siaute mana berani
membangunkan."
"Kau...."
Cau-ji tidak menggubris, tapi segera bertanya kepada orang yang berada di
sampingnya, "Saudara cilik itu menang berapa?"
"Dia pasang satu tahil perak dan berhasil menangkan seribu lima ratus tahil
perak, coba lihat tampangnya begitu gembira, konon minggu depan dia akan
menikahi kekasihnya...."
Mendengar itu Cau-ji tertawa terbahak-bahak.
Tampaknya pelayan itu segera mengenali suaranya, ia segera berpaling ke
arah Cau-ji, tapi melihat wajahnya terasa asing, kembali ia tertegun.
Saat itulah Bwe Si-jin dengan wajah tersenyum muncul di depan pintu.
Berkilat sepasang mata pelayan itu, segera teriaknya kegirangan, "Loya, terima
kasih, terima kasih!"
Kembali suara mercon renteng bergema memecah keheningan.
"He, pelayan, memangnya kau ingin meledakkan tubuh Lohu?" seru Bwe Si-jin
sambil tertawa.
"Hahaha, tidak berani, tidak berani, terima kasih kepada Loya karena
memberitahukan angka enam kepadaku hingga aku menang besar ... he,
kemana perginya tongkatmu?"
Pura-pura bermuram durja sahut Bwe Si-jin, "Sudah kugadaikan, Lohu
pasang angka satu, akhirnya kalah besar."
"Aaaai, sayang, padahal kau suruh aku memasang angka enam, kenapa kau
sendiri malah pasang angka satu?"
"Itulah kalau kebanyakan minum sampai mabuk, padahal aku berniat pasang
nomor enam, tapi tanganku jadi lemas hingga angka satu yang kutulis, sialan...."
Cau-ji yang menyaksikan sandiwara itu kontan saja tertawa tergelak.
Ternyata dengan wajah serius pelayan itu berkata, "Tak usah sedih Loya, biar
hamba yang tebus tongkatmu, berapa banyak yang kau gadaikan?"
"Soal ini...." Bwe Si-jin pura-pura termenung.
Cau-ji segera mengerti maksud pamannya, dengan ilmu menyampaikan suara
segera bisiknya, "Paman, kerjai dia, bilang saja digadaikan lima ratus tahil
perak." Bwe Si-jin kembali berlagak menggeleng, katanya murung, "Tidak mungkin,
kau tak mampu membayarnya." *
Dalam sangkaan pelayan itu, paling tongkat itu hanya digadaikan satu tahil
perak, sambil tepuk dada serunya lantang, "Loya, kau telah membantu aku
menangkan undian, kalau aku tak mau membantumu, berarti aku bukan
manusia." "Baiklah, aku telah gadaikan tongkat itu dengan lima ratus tahil perak."
Teriakan kaget bergema dari empat penjuru
Pelayan itu sendiri nampak tertegun dan berdiri melongo.
Diam-diam Bwe Si-jin tertawa geli, tapi di luar katanya cepat, "Sudahlah, biar
Lohu usaha cara lain untuk menebus tongkat itu."
"Loya, tunggu sebentar, biar aku hitung dulu sisa uangku," mendadak pelayan
itu berteriak. Dengan ilmu menyampaikan suaranya Cau-ji segera berkata, "Paman, minggu
depan pelayan itu mau kawin, mungkin dia sedang menghitung berapa beaya
perkawinan yang dibutuhkan, hahaha ...."
Bwe Si-jin segera tertawa, ditengoknya wajah pelayan itu sambil tersenyum.
Selang beberapa saat kemudian terdengar pelayan itu berkata, "Loya, terus
terang saja hamba akan menggunakan uang itu untuk membayar hutang lama
serta beaya perkawinan minggu depan, kira-kira hamba butuh seribu tahil
perak, bagaimana kalau hamba menghadiahkan empat ratus lima puluh tahil
perak untuk menyokong Loya menebus tongkat itu, sementara kekurangannya
yang lima puluh tahil terpaksa harus Loya usahakan sendiri?"
Bwe Si-jin segera tertawa tergelak.
"Hahaha, ternyata kau memang seorang pemuda yang tak lupa budi, Lohu
hanya menggoda kau saja. Masa orang tua seusiaku juga ikut pasang lotere
buntutan?"
Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya, "Kita bisa bertemu berarti
kita memang berjodoh, saudara cilik, pada hari pernikahanmu nanti kau
berencana mengundang berapa meja?"
"Mungkin... mungkin tiga meja!"
"Hahaha, bagus, pada hari perkawinanmu nanti Lohu akan membuka tiga
puluh meja untuk merayakan hari kebahagiaanmu itu, undang saja semua
sahabat dan sanak keluargamu, soal beaya biar Lohu yang bayar."
Pelayan itu terperangah, saking kagetnya dia sampai berdiri dengan mata
terbelalak dan mulut melongo.
Dari sakunya Bwe Si-jin mengambil dua lembar uang kertas bernominal
seratus tahil perak, sambil diserahkan kepada Ciangkwe rumah makan, serunya
lagi, "He, Ciangkwe, ini uang mukanya, sampai waktunya tolong siapkan tiga
puluh meja perjamuan dengan hidangan terbagus."
Tepuk tangan dan sorak memuji berkumandang dari kerumunan orang
banyak. "Loya, mana boleh begitu?" teriak pelayan itu gelisah.
"Hahaha, saudara cilik, kau jujur dan tak lupa budi, lagi pula kita bisa
bertemu berarti ada jodoh, sampai waktunya jangan lupa mengundang Lohu
minum beberapa cawan arak. Sekarang aku agak lelah, mau beristirahat dulu."
Pelayan itu segera berlutut dan menyembah berulang kali.
0oo0 Tengah hari telah menjelang tiba.
Cau-ji telah didandani dua bersaudara Suto, kini dia mengenakan baju
berwarna biru, dengan langkah yang tenang berjalan masuk ke rumah makan
Ke-siang-lau. Ciangkwe rumah makan itu segera merasakan matanya jadi silau, serunya
diam-diam, "Tampan amat wajah pemuda ini!"
la maju menyongsong sambil bertanya, "Tolong tanya apakah Kongcu
bermarga Yu?"
"Benar, aku datang memenuhi undangan," sahut Cau-ji sambil tertawa.
"Kalau begitu silakan ikut hamba!"
Setelah menyeberangi kebun belakang, Cau-ji diajak masuk ke dalam sebuah
paviliun kecil.
Terlihat Siang Ci-liong telah menyambut di depan pintu dengan senyum di
kulum. Lekas dia maju mendekat seraya menjura, "Maaf bila saudara Siang harus
menunggu lama."
"Ah, mana, saudara Yu datang tepat waktu, silakan masuk."
Cau-ji mengikuti Siang Ci-liong memasuki sebuah ruangan yang cukup lebar,
terlihat sebelas orang dari Lokyang Capji Eng sedang duduk menemani seorang
pendeta tua berusia delapan puluh tahunan.
Setelah memberi hormat kepada semua orang, terdengar Siang Ci-liong
berkata dengan hormat, "Susiokco, saudara Yu adalah Yu Si-bun, Yu-tayhiap
yang pemah menyelamatkan adik Ing dari cengkeraman iblis Yu Yong!"
Sejak Cau-ji memasuki ruangan, pendeta tua itu mengawasi terus gerakgeriknya,
maka begitu mendengar ucapan itu ia segera bertanya, "Omitohud,
apakah saat ini sicu bekerja di rumah makan Jit-seng-lau?"
Cau-ji dapat merasakan betapa tajamnya sorot mata pendeta tua itu, dia
sadar orang ini pasti punya asal-usul yang luar biasa, hanya sayang dia tak bisa
mengingat siapa gerangan dirinya.
Buru-buru sahutnya, "Benar, cuma ada satu hal perlu Boanpwe jelaskan,
orang yang tempo hari menyelamatkan nona Siang adalah saudara angkat
Boanpwe, karena itu Boanpwe tak ingin menerima pahalanya."
Agak berubah paras muka Siang Ci-ing.
Sementara Siang Ci-liong segera bertanya, "Saudara Yu, tahukah kau saat ini
Bwe-tayhiap berada di mana?"
"Menurut apa yang Siaute ketahui, Bwe-toako telah menikah dengan Kim-leng
Lihiap Go Hoa-ti, saat ini besar kemungkinan sudah hidup mengasingkan diri di
luar perbatasan."
Tampak perasaan kecewa melintas di wajah Siang Ci-ing.
"Siausicu," terdengar pendeta tua itu berkata lagi, "Lolap lihat kau berwajah
jujur dan lurus, kenapa mau bekerja di rumah makan Jit-seng-lau?"
Diam-diam Cau-ji terkesiap, tapi sambil tertawa hambar sahutnya, "Cianpwe,


Pendekar Naga Mas Karya Yen To di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Boanpwe hanya mendapat perintah dari ayahku untuk bekerja di sini, hingga
sekarang belum kurasakan ada sesuatu yang aneh."
"Saudara Yu, boleh tahu siapakah ayahmu?" sela Siang Ci-liong.
"Maaf saudara Siang, ayahku tak suka hidup dalam kancah dunia persilatan
yang serba kalut, oleh sebab itu beliau telah berpesan agar tidak sembarangan
menyebutkan nama dan asal-usulnya. Boleh tahu gelar Thaysu?"
"Susiokco berasal dari Siau-lim, beliau bernama It-ci Thaysu!"
Dari ayahnya, Ong Sam-kongcu, Cau-ji pernah mendengar kalau ada seorang
pendeta saleh dari Siau-lim-pay yang ikut serta dalam operasi pemberantasan
perkumpulan Jit-seng-kau di masa silam.
Menurut ayahnya, It-ci Thaysu menderita luka parah dalam penyerbuan itu
dan sudah puluhan tahun tak pernah muncul lagi, kemungkinan besar telah
meninggal dunia, tak disangka hari ini ternyata pendeta ini muncul kembali
dalam keadaan segar bugar.
Segera Cau-ji menjatuhkan diri berlutut dan menyembah tiga kali di depan
pendeta itu. Sebenarnya kedatangan It-ci Thaysu kali ini adalah lantaran dia mendengar
Jit-seng-kau bangkit kembali dari liang kubur, bahkan membuka lotere 'semua
senang' di rumah makan Jit-seng-lau, oleh sebab itu dia pun bergabung dengan
Lokyang Capji Eng dan meluruk ke situ.
Sejak mendengar perkataan Cau-ji tadi, sebetulnya It-ci Thaysu sudah merasa
tak suka hati, dia terlebih tak menyangka kalau pemuda itu bakal memberi
hormat di hadapannya.
Sambil mendengus dingin ujung bajunya segera dikebaskan ke depan, niatnya
mencegah Cau-ji menyembah lebih jauh.
Siapa tahu kebutan yang menggunakan enam bagian tenaga Bu-siang-sinkang
itu bukan saja tak berhasil menghalangi Cau-ji melanjutkan niatnya,
bahkan begitu terbentur Im-yang-khi-kang yang dihasilkan anak muda itu
seketika terpental balik.
Dalam kagetnya paras muka pendeta tua itu berubah hebat.
Segera dia kebaskan tangannya berulang kali sebelum berhasil memunahkan
tenaga pentalan itu.
Semua yang hadir dalam ruangan rata-rata berilmu tinggi, tentu saja mereka
pun dapat menyaksikan peristiwa itu, kontan paras muka setiap orang berubah
hebat. "Hati-hati!" terdengar It-ci Thaysu membentak nyaring.
Sambil tetap duduk bersila, tiba-tiba badannya melambung ke udara.
Seketika itu juga Cau-ji merasakan ada segulung kekuatan tanpa wujud yang
mengelilingi seluruh tubuhnya.
Dalam keadaan begini lekas ia duduk bersila sambil merentangkan sepasang
tangannya ke depan, dengan cepat tangan mereka saling menempel satu dengan
lainnya. Kini kedua orang itu duduk saling berhadapan sambil beradu tenaga dalam.
Cau-ji dapat merasakan ada dua gulung tenaga tekanan yang sangat kuat
memancar keluar dari tangan pendeta itu, makin lama daya tekanan itu terasa
makin berat, memaksanya mau tak mau harus mengerahkan pula tenaga
dalamnya untuk melawan.
Makin lama It-ci Thaysu makin gugup dan kaget.
Kini dia sudah menghimpun seluruh kekuatannya, namun semua usaha itu
tak menghabiskan apa-apa, bahkan setiap kali dia menambah kekuatannya,
tenaga itu segera terpental balik.
Dia tahu pemuda itu memang sengaja mengalah, maka dia semakin
mempergencar serangannya, sebab dia tak yakin pemuda itu sanggup
menghadapi tenaga Bu-siang-sin-kang yang telah dilatihnya hampir enam puluh
tahun, menurut dugaannya, anak muda itu tentu mengandalkan ilmu sesat
untuk membendung serangannya itu.
Maka dia menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya dan menyerang
lebih dahsyat. Semua jago yang hadir dalam ruangan sudah tak tahan menghadapi aliran
hawa murni yang menekan dada mereka, tak selang lama kemudian mereka
sudah menonton jalannya pertarungan dari luar jendela.
Entah berapa lama sudah lewat, mendadak terdengar pendeta itu mendengus
tertahan, tubuhnya gemetar keras.
Melihat itu orang-orang yang berada di luar ruangan berbondong-bondong
meluruk masuk ke dalam,.
Dengan gerakan cepat Cau-ji mendorong sepasang telapak tangannya,
menggunakan kesempatan di saat tubuh It-ci Thaysu agak terjengkang ke
belakang, dengan cepat tangannya menghantam di atas dadanya, sementara
peluh mulai membasahi jidatnya.
Siang Ci-liong segera menghalangi rekan-rekannya menyerbu masuk, tegurnya
dengan suara dalam, "Orang she Yu, mau apa kau?"
Cau-ji membesut keringatnya sambil tertawa ewa, dia segera duduk di
belakang punggung pendeta itu, menarik napas panjang dan menempelkan
tangannya di atas jalan darah Beng-bun-hiat sembari menyalurkan tenaga
dalam. Dia sudah punya pengalaman ketika mengobati luka Siau-si sehingga tidak
sulit untuk menyalurkan tenaga dalamnya ke tubuh It-ci Thaysu.
Rupanya pertarungannya yang amat seru melawan Cau-ji membuat luka
dalam It-ci Thaysu yang pernah dideritanya dulu kambuh kembali, tapi dia
enggan menyerah kalah, akibatnya keselamatan jiwanya pun terancam.
Untung saja Cau-ji segera menyadari akan hal itu dan cepat menarik kembali
tenaga dalamnya.
Dengan kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Cau-ji, tidak sulit baginya
untuk mengobati luka dalam pendeta itu.
Setengah jam kemudian ia selesai menyalurkan tenaga dalamnya, dengan
ilmu menyampaikan suara pemuda itupun berbisik, "Cianpwe, silakan atur
napas beberapa putaran lagi, maafkan Boanpwe tak bisa menemani terlalu
lama." Habis berkata dia menghembuskan napas panjang dan bangkit berdiri.
Baru beberapa langkah ia meninggalkan ruangan, Siang Ci-liong dengan
penuh rasa kuatir telah bertanya, "Saudara Yu, bagaimana kondisi Susiokco?"
"Tak masalah, hanya membuat lukanya kambuh."
"Saudara Yu, maafkan kesembronoan Siaute tadi."
"Aaah, urusan sepele, tak perlu dikuatirkan, selamat tinggal!"
Dengan termangu Siang Ci-ing mengawasi pemuda itu berlalu dari situ,
pikirannya terasa sangat kalut.
0oo0 Sekembalinya ke dalam kamar, baru saja Cau-ji mengambil tempat duduk,
dua bersaudara Suto telah masuk ke dalam ruangan.
Sambil tertawa Cau-ji berseru, "Cici, kebetulan kedatangan kalian, tolong
bantu Siaute agar lebih santai."
Habis berkata ia bangkit berdiri dan mulai melepas pakaian.
Segera Siau-bun membantu melepas pakaiannya.
"Cau-te," katanya merdu, "bukankah hari ini kau pergi memenuhi undangan
cewek cakep" Kenapa badanmu jadi begini lusuh?"
"Ya, benar," sambung Siau-si keheranan, "bukan saja tidak terendus bau arak,
bahkan mimik muka pun nampak lesu, memangnya kau sudah bertarung
melawan Lokyang Capji Eng?"
Dengan badan telanjang Cau-ji berjalan menuju ke kamar mandi, lalu sambil
menceburkan diri ke dalam bak rendam, katanya sambil menghembuskan napas
lega, "Cici, satu harian tadi Siaute telah bertarung melawan It-ci Thaysu dari
Siau-lim-pay."
Secara ringkas ia menceritakan pengalamannya.
Dalam pada itu Siau-si berdua telah melepaskan semua pakaian mereka,
dengan tubuh telanjang bulat mereka mengurut dan memijat sekujur badan
Cau-ji. Tak terlukiskan rasa nyaman yang dirasakan Cau-ji, katanya tiba-tiba sambil
tertawa, "enci Si, enci Bun, kelihatannya aku akan merepotkan kalian berdua
lagi." "Adik Cau," bisik Siau-si malu-malu, "kau toh sudah kecapaian, masa masih
ingin begituan?"
"Enci Si, sejak Siaute menghisap sari empedu naga sakti berusia seribu tahun,
tenaga dalamku makin hari semakin bertambah, bagi Siaute tak ada istilah capai
untuk berbuat begituan."
"Tapi aku sangat menguatirkan keselamatan It-ci Cianpwe sehingga seluruh
badanku tegang, kini sudah santai maka aku butuh pelepasan yang nikmat."
"Adik Cau, cici kuatir tak bisa memuaskan napsu-mu yang luar biasa," kata
Siau-si sangsi.
"Tidak masalah, Siaute bisa mengendalikan waktu untuk 'setoran'!"
"Kalau masih butuh pengendalian, berarti kau tak bisa mencapai tujuan akhir
pelepasan yang santai, adik Cau, bagaimana kalau cici undang Siau-man, Siauting
dan Siau-hong untuk membantu?"
"Aku setuju sekali," seru Siau-si sambil bertepuk tangan, "kami rasa, hanya
berdua saja tak mungkin bisa membuatmu puas, adik Cau, bagaimana menurut
pendapatmu?"
"Hahaha, kalau memang diusulkan begitu, tentu saja Siaute tidak menolak."
"Adik Cau, sebenarnya rencana ini sangat sempurna," kata Siau-bun lagi, "kau
bisa menggunakan kesempatan ini untuk sekalian memboyong mereka pulang
ke Hay-thian-it-si."
"Baiklah, sekarang cepat panggil mereka."
Siau-bun segera mengenakan kembali pakaiannya dan lekas berlari keluar.
"He, cici Bun, ternyata kau tidak memakai celana dalam!"
Siau-bun tahu Cau-ji sedang menggoda dia, maka sambil menyeringai, cepat
ia kabur dari situ.
"Cici," ujar Cau-ji kemudian, "aku benar-benar lelaki paling hokki, bukan saja
mendapat cewek cakep, bahkan amat pandai mengambil hati lelaki."
"Adik Cau, justru cici yang merasa paling beruntung," kata Siau-si cepat,
"kalau bukan bantuanmu, mana mungkin jalan darah Jin-meh dan Tok-meh di
tubuhku bisa tembus" Bahkan mendapat kesempatan untuk masuk ke Haythianit-si." "Hahaha, cici kelewat sungkan. Jangan kuatir, setelah tiba di rumah, Siaute
akan minta tolong ibu untuk mengajarkan ilmu ranjang yang lebih hebat
sehingga setiap kali mau begituan, tak perlu lagi mendatangkan pasangan dalam
jumlah banyak, merepotkan!"
Siau-si hanya menunduk dengan jantung berdebar keras.
Saat itulah Siau-bun telah muncul kembali sambil membawa tiga orang gadis
muda, begitu melangkah masuk ke dalam kamar mandi terdengar dia berteriak
sambil tertawa, "Tongcu, Siau-man sedang tak enak badan, karena itu budak
mengundang Siau-tho."
Sambil berkata, dengan cepat dia melepas semua pakaiannya.
Ketiga orang gadis itu selesai memberi hormat segera melepas semua
Suling Emas Dan Naga Siluman 29 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Durjana Dan Ksatria 11

Cari Blog Ini