Ceritasilat Novel Online

Panji Wulung 13

Panji Wulung Karya Opa Bagian 13


keras. Dekat pintu lemari, keringat di jidatnya sudah mengetel
turun. Perasaannya semakin tegang, jantungnya berdebar
semakin keras. Akhirnya ia sudah berjalan dekat sekali dengan lemari
batu itu. Masih tetap tidak kelihatan gerakan dari anak
panah itu. Pandangan mata Touw Liong tertuju kepada
sepotong kertas lain yang berada di situ. Ia lalu menyeka
keringatnya yang sudah hampir membasahi sekujur
badannya. Setelah menghela nafas panjang, lalu berkata
kepada diri sendiri,
"Demikian hati-hati Hek-hong Locianpwe melindungi
benda pusakanya!"
Di atas kertas itu terdapat dua baris tulisan yang
berbunyi : "Barang siapa yang menurut kehendakku akan mendapat
bahagia, yang melawan aku akan mendapat celaka."
"Berdirilah tenang-tenang, jangan bergerak selama 12
jam, nanti kuhadiahkan kepadamu sejilid kitab pedang."
Touw Liong mengerutkan alisnya setelah membaca
tulisan tersebut.
Suruh seorang berdiri tegak selama 12 jam tanpa
bergerak" Benar-benar merupakan suatu hal yang sangat
mustahil. Sebab manusia yang terdiri dari darah dan
daging, urat-urat dan tulang-tulangnya memerlukan gerakan
tertentu, tidak mungkin disuruh berdiri tegak bagaikan
patung selama 12 jam. Lagi pula, seorang manusia juga
tidak mungkin berdiri terus satu hari satu malam lamanya
tanpa makan tanpa minum, tanpa buang air kecil dan
membuang air besar, tanpa tidur tanpa beristirahat. Kecuali
orang itu sudah setengah dewa, yang bisa bersemedi
berhari-hari tanpa tidur tanpa makan dan tanpa minum.
Benar-benar suatu persoalan yang sangat sulit. Lama
Touw Liong berdiri terpaku tanpa dapat bergerak.
Jikalau menilik kekuatan dan kepandaiannya pada waktu
itu, sudah tentu, bisa saja ia menggunakan ilmu batinnya
Liang-gie-sin-hoat untuk menjaga kondisi tubuhnya, juga
boleh menggunakan kekuatan tenaga dalamnya untuk
membantu gerakkan jalan darahnya, sementara mengenai
soal makan dan minum, itu hanya tergantung kepada
keuletannya sendiri.
Akhirnya Touw Liong telah mengambil keputusan
hendak berdiri tegak 12 jan seperti apa yang diinginkan oleh
Hek-hong Lojin dalam tulisannya.
Selagi ia hendak menggunakan ilmu batinnya Liang-giesinhoat untuk memperbaiki keadaan tubuhnya, anak-anak
panah dalam lemari tadi perlahan-lahan telah masuk lagi ke
dalam, akhirnya hanya tinggal lubang-lubang kecil bagaikan
sarang tawon di situ.
Touw Liong menggelengkan kepala, lalu memejamkan
matanya mulai melakukan usahanya untuk memenuhi
keinginan Hek-hong Lojin.
Satu jam telah berlalu ....
Dua jam lewat lagi tanpa dirasa ....
Matahari sudah mendoyong ke barat, ini berarti Touw
Liong berdiri tegak seperti itu sudah lima jam lamanya!
Perlahan-lahan ia membuka matanya, memandang keadaan
di sekitarnya. Di dalam gua itu tidak banyak terjadi
perubahan. Yang beda hanya letak pintu kedua lemari batu
tadi. Entah sejak kapan kedua pintu lemari tersebut
menutup kembali.
Touw Liong tidak berani menduga masih akan terjadi
perubahan apa lagi, setelah memperhatikan keadaan di
sekitarnya sejenak, lalu melanjutkan usahanya untuk
berdiri. Sebelum ia melanjutkan usahanya itu, terjadi suatu
kejadian yang sangat aneh, hingga keringat dingin
mengucur membasahi sekujur tubuhnya.
Kiranya, di atas dinding tepat di atas kepala Touw Liong
berdiri, entah sejak kapan, tahu-tahu ada 12 batang ujung
anak panah emas, yang ditujukan ke kepalanya.
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong, hampir saja
tidak sanggup lagi ia meneruskan usahanya.
Perubahan yang terjadi secara tiba-tiba itu, semakin
membuat Touw Liong tidak berani menggeserkan kakinya
sedikitpun juga. Ia buru-buru menenangkan pikirannya,
seluruh perhatiannya lantas dipusatkan kepada ilmu
batinnya. Masih untung kekuatan tenaga dalamnya sudah terlatih
benar, sehingga setelah melakukan pernafasan sejenak,
lantas dapat menenangkan pikirannya. Sebetulnya menurut
kebiasaan kalau ia sedang bersemedi, sebaiknya memang
duduk bersila tetapi karena Hek-hong Lojin mengharuskan
ia terus berdiri, maka terpaksa dilakukannya juga.
Ketika malam tiba, ia masih tetap berdiri dalam sikap
seperti semula dan setelah malam berganti dengan pagi hari,
kini sudah mulai hari kedua pagi-pagi, ketika pada
waktunya sudah penuh 12 jam Touw Liong benar-benar
sudah melakukan suatu perbuatan yang belum pernah
terjadi dalam sejarah persilatan.
Ketika ia membuka mata, pintu kedua lemari batu itu
sudah terbuka lagi, di lemari yang berada di hadapannya,
kini tampak sejilid kitab yang dibungkus dengan kulit
kambing yang sangat rapi, dalam lemari batu di belakang
dirinya tergeletak pedang Hok-mo-kiam.
Dalam lemari batu di hadapannya, di depan kitab kecil
itu, tampak sepotong kertas dengan tulisan yang berbunyi:
"Menjuralah di tempatmu 9 kali, akan kuhadiahkan
kepadamu sejilid kitab ilmu pedang Hok-mo-kiam."
Ketika Touw Liong angkat kepala, 12 batang anak panah
emas yang ditujukan ke atas kepalanya tadi, entah sejak
kapan sudah lenyap.
Touw Liong menurut pesan dalam tulisan itu, ia berlutut
dan dengan laku yang sangat hormat sekali menjurah 9 kali.
Setelah menjura ia bangkit lagi, dan pintu lemari besi itu
kembali menutup.
Belum lenyap semua perasaan bingungnya, di belakang
dirinya tiba-tiba terdengar suara bergeraknya pesawat!
Mana kala Touw Liong berpaling, lemari batu di belakang
dirinya itu ternyata sedang bergerak sendiri, seolah-olah
didorong oleh kekuatan tenaga manusia, perlahan-lahan
menggeser ke samping, lalu tampak di dalamnya sebuah
kotak batu. Setelah batu itu menggeser, di atas meja batu itu duduk
seorang tua berjubah sutera warna putih, orang tua itu
kumis dan alisnya semua sudah putih, jelas sudah mati,
namun wajahnya masih begitu segar, seolah-olah masih
hidup. Sepasang mata orang tua itu dipejamkan, duduk dalam
keadaan bersila, di tangannya menggenggam sejilid kitab
kecil yang bentuknya serupa dengan kitab yang tadi berada
di dalam lemari batu di hadapannya.
Touw Liong terperanjat, diperiksanya dengan teliti,
orang tua itu ternyata tidak bergerak dan tidak bersuara,
kiranya adalah jenasah orang tua yang telah di balsem.
Tak usah dikata, orang tua itu pasti adalah Hek-hong
Lojin sendiri yang hidup pada 200 tahun berselang.
Touw Liong lalu membalikkan diri, dan berlutut serta
menjura 9 kali di hadapan orang tua itu.
Selesai menjalankan peradatan, baru diketahuinya, di
atas meja batu itu kiranya ada sepotong kertas yang ditulis
dengan kata-kata sebagai berikut:
"Kitab di dalam lemari itu adalah tiruan, yang berada di
tanganku ini adalah yang asli."
Dengan sangat hati-hati dan sikap menghormat sekali ia
berjalan menghampiri dan mengambil kitab di tangannya,
lalu mundur beberapa langkah dan menjura 9 kali.
Selesai menjura, terdengar pula suara pesawat bergerak,
pintu batu itu menutup lagi, dan jenasah orang tua tadi juga
lantas hilang amblas ke dalamnya!
Touw Liong mengambil pedang Hok-mo-kiam ditaruh di
atas punggungnya, sedang kitab ilmu pedangnya
dimasukkan ke dalam sakunya.
Kalau ia mengingat pengalamannya yang gaib selama
satu hari satu malam yang sangat mendebarkan jantung itu,
ia masih berdebaran sendiri.
Oleh karena semua jalan sudah tertutup, Touw Liong
tidak bisa lagi keluar dari dalam gua melalui jalan semula ia
datang. Satu-satunya jalan keluar hanya mencari tanah
lapang yang terdapat banyak pohon cemara itu.
Touw Liong berjalan berputaran di tanah yang penuh
pohon cemara, akhirnya di suatu tempat ia menemukan
sebuah gua kecil. Gua itu lebarnay hanya cukup dimasuki
seorang saja. Mengikuti jalan yang menurun ke bawah di lorong gua
kecil itu, tangannya masih membawa obor, ia berjalan turun
belum sampai 100 langkah, di belakang dirinya tiba-tiba
terdengar suara ledakan. Ketika Touw Liong berpaling,
mulut gua bekas tadi ia berjalan, tanpa sebab kini telah
runtuh, batu-batu kecil pada berserakan turun ke bawah.
Ia terpaksa berjalan turun terus sehingga kini 1000
tingkat undakan, tibalah di tempat yang akhir.
Di situ, ternyata terhalang oleh dinding batu, dia lantas
berseru: "Habislah!"
Ia sedang berpikir kali ini mungkin benar-benar akan
tertimbun hidup-hidup di dalam gua.
Di belakang dirinya, tangga batu setinggi lima tombak itu
masih tetap utuh, tidak rubuh.
Dengan lain perkataannya ia telah terkurung hiduphidup
di dalam gua yang tidak lebih dari lima tombak
luasnya itu. Kini api obor di tangannya sudah padam dan
menherankan ialah, di dalam gua itu sedikitpun tidak
engap, sebaliknya malah ia merasakan ada hawa dan aliran
angin masuk, yang seolah-olah mengipasi tubuhnya.
Hati Touw Liong tergerak, ia coba pasang telinga, di situ
ia mendengar suara menderunya angin gunung.
Setelah mendengar menderunya angin gunung harapan
hidup timbul lagi, ia mengerahkan kekuatan tenaganya di
kedua tangan, untuk mendorong dinding batu di
hadapannya. Dinding batu yang tebal dan berat itu telah terdorong
terbang olehnya, sehingga dalam kegelapan itu jalan lorong
dalam gua itu dalam waktu sekejab mata menjadi terang
benderang, saat itu juga mulai tampak langit yang biru.
Touw Liong buru-buru berjalan maju, orangnya berada
di mulut gua, di bawahnya ternyata merupakan suatu
jurang yang dalamnya ratusan tombak, di bawah sekali
tampak sungai yang mengalirkan airnya dengan amat deras.
Dinding batu yang menghalangi perjalanannya tadi telah
melayang turun dan terjatuh ke dalam sungai, hingga
menimbulkan gumpalan air ombak tinggi sekali.
Kini Touw Liong arahkan matanya ke bagian atas
kepala. Di atasnya, tampak tebing-tebing yang tinggi
hampir menutupi langit, apapun tidak tertampak lagi
kecuali awan-awan di langit.
Di bawah kakinya adalah jurang yang dalam.
Keadaannya sangat terjal dan berbahaya. Touw Liong
yang menyaksikan itu agak bergidik, ia tidak tahu, apakah
ia memiliki kepandaian untuk turun dari tempat setinggi itu.
Touw Liong mencoba merambat turun dari dinding
dengan mengerahkan ilmunya meringankan tubuh, dengan
susah payah, akhirnya tibalah di tepi sungai.
Ia berdiri di tepi sungai sambil memandang air sungai
yang bergolak, lama ia dalam keadaan demikian sambil
menarik nafas. Ketika ia angkat kepala memandang
puncak gunung yang pernah diinjaknya, puncak itu kini
tampak diliputi oleh awan.
Touw Liong berjalan turun mengikuti aliran air berjalan
kira-kira 10 pal, telah melalui sebuah bukit kecil, dengan
mengikuti anak sungai berjalanlah ia ke utara. Selagi
berjalan enak-enak, tiba-tiba terdengar suara sambaran anak
panah, kemudian disusul oleh suara siulan tajam yang
menusuk telinga.
Touw Liong terkejut, ia lompat dan memotes sebatang
ranting pohon cemara, ia lompat dan berdiri di atas pohon,
matanya menuju ke arah jauh. Tampak olehnya di gunung
bagian dalam muncul serombongan orang.
Diantara orang yang berjalan itu, terdapat kaum wanita,
pria, tua dan muda komplit seluruhnya, jumlahnya kira-kira
tujuh-delapan orang, sebagian besar pernah dilihatnya oleh
Touw Liong sedang yang lainnya masih asing, rombongan
orang itu ternyata dikepalai oleh Kim Yan.
Kim Yan berjalan perlahan-lahan, 6 orang yang
mengikuti di belakangnya, ada orang yang dikenal oleh
Touw Liong, mereka adalah si imam kurus Ngo-yang, Busim
Hwesio dari gereja Siao-lim-sie, yang lain adalah Pekbie
Hwesio dari partai Ngo-bie. Tiga orang yang lainnya,
yang satu adalah seorang anak laki tanggung berusia kirakira
16 tahun, seorang lagi adalah orang tua berusia kirakira
70 tahun yang rambut dan kumisnya putih semua,
wajahnya seperti kuningan, tetapi penuh bekas tanda golok.
Orang yang paling belakang adalah seorang wanita
berwajah setengah umur.
Kim Yan menghentikan langkahnya, dengan
memandang Touw Liong, ia memberi hormat dengan
wajah berseri-seri, kemudian berkata,
"Suheng kemarin belum naik gunung, sehingga kami
harus menunggu satu malam lamanya."
Hati Touw Liong merasa pedih, hingga hampir saja
mengucurkan air mata, dengan hati pilu ia memandang
Kim Yan, dari mulutnya mengeluarkan perkataan yang
sangat perlahan,
"Sumoy, suhengmu kini telah melihat kau lagi!"
Banyak kata-kata yang tersimpan dalam mulutnya tidak
dapat dikeluarkan seluruhnya, banyak perasaan yang
terkandung dalam hatinya selama itu, hanya dapat
dikeluarkan dalam ucapannya yang singkat tadi.


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sehabis mengucapkan demikian, dengan perasaan gemas
ia mengalihkan pandangan matanya kepada Pek-bie
Hwesio, ia msih ingat malam itu bersama Thian-sim tojin,
telah memotong rotan yang digunakan untuk mendaki
gunung hingga ia sendiri hampir terbinasa, oleh karena
mengingat itu, hawa amarahnya meluap, ia ingin
membinasakan padri itu dengan segera.
Selagi hendak bertindak, Kim Yan sudah berkata lagi
kepadanya sambil tertawa,
"Suheng, mari! Kuperkenalkan kau dengan beberapa
tokoh kuat!"
Ia mengawasi si imam kurus, Bu-sim dan Pek-bie bertiga,
kemudian berkata pula,
"Tiga orang ini semuanya pernah kau lihat, dan tiga itu
...." Tangan Kim Yan menunjuk kepada orang tua yang
menunjukkan sikap marah seraya berkata,
"Tuan ini adalah ketua golongan Swat-san Hwan-hiouw
Cianpwe." Touw Liong begitu mendengar bahwa orang tua itu
adalah ketua golongan Swat-san-pay, segera teringat kepada
musuhnya yang telah membunuh ibunya, yang pernah
dibinasakan olehnya, maka ia mengerti,pantas saja Hwanhiouw
kini unjuk sikap marah.
Touw Liong adalah seorang pendekar kenamaan yang
berjiwa besar, kini orang yang menjadi musuh ibunya ilah
orang yang bernama Kow Cin Seng sudah mati, sakit
hatinya sudah terbalas, dan ia sendiri dengan Hwan-hiouw
tidak ada ganjalan sakit hati apa-apa, sebaliknya ia malah
merasa karena membunuh sute orang tua itu, dalam hati
merasa sedikit tidak enak, maka ia lalu menganggukkan
kepala seraya berkata,
"Locianpwe, sudah lama kukagumi namamu!"
Hwan-hiouw hanya mengeluarkan suara dari hidung,
sikapnya masih tetap dingin seperti semula.
Kim Yan berkata lagi sambil menunjuk wanita setengah
umur, "Nyonya ini adalah Lie Sam-kow dari perkampungan
Hui-liong-chung ...."
Nyonya itu juga menyambut dingin atas perkenalan itu.
Touw Liong teringat kepada adik perempuan ketiga Lie
Hui Hong, Lie Cay Go yang diberi nama oleh orang-orang
rimba persilatan dengan julukan Hantu Terbang.
Touw Liong menganggukkan kepala kepada nyonya itu.
Kim Yan memperkenalkan lagi kepada Touw Liong
sambil menunjuk anak laki-laki tanggung seraya berkata,
"Saudara ini adalah ....."
Anak laki tanggung itu maju selangkah, menjura pada
Touw Liong, kemudian berkata dengan sikap yang sangat
hormat, "Atas bimbingan Touw tayhiap, boanpwe, Ca Thian Lok
di sini mengucapkan banyak-banyak terima kasih."
Dengan tiba-tiba Touw Liong teringat dari seseorang, ia
buru-buru bimbing anak laki-laki itu dan bertanya
kepadanya, "Apakah Ca pocu ada baik?"
Kiranya anak laki-laki itu adalah anak laki-laki
kesayangan pocu dari Ca-kee-po di daerah perbatasan
antara propinsi Tu-coan dan See-khang.
Keluarga Ca di benteng Ca-kee-po hampir semuanya
memiliki kepandaian ilmu silat, mereka merupakan satu
kelompok tersendiri, tidak termasuk golongan manapun
dalam rimba persilatan, dan kini telah mengutus pocu muda
itu masuk menjadi anggota golongan Hek-hong, di sini
menrupakan suatu bukti, bahwa Panji Wulung Wanita itu
kini benar-benar namanya sudah menggemparkan rimba
persilatan. Ca Thian Lok masih tetap dengan sikapnya yang sangat
hormat sekali menjawab pertanyaan Touw Liong,
"Terima kasih atas perhatian Touw tayhiap, dengan
lindungan Tuhan Yang Maha Esa, ayah kini masih dalam
keadaan sehat walafiat!"
Kim Yan kemudian membalikkan badan dan berkata
pula kepada Touw Liong,
"Suheng silahkan! Kauwcu sedang menantikan
kedatanganmu!"
"Suheng tidak ingin pergi ke sana menemui dia!"
menjawab Touw Liong sambil menggelengkan kepala.
Sikap Kim Yan mendadak berubah dingin kaku.
"Apakah kau tidak takut racun Hek-hong-im-kang yang
berada di dalam tubuhmu nanti akan bekerja?"
Touw Liong menggelengkan kepala dan berkata sambil
tertawa, "Suhengmu sudah mengerti caranya mengusir racun itu
dari tubuh, sebaliknya, aku hendak bawa kau meninggalkan
gunung Hek-hong-san untuk membersihkan racun dalam
tubuhmu." Kim Yan mendongakkan kepala dan tertawa nyaring,
sikapnya itu jauh berbeda daripada yang sudah-sudah.
Touw Liong yang menyaksikan perubahan sikap Kim
Yan, mengerutkan alisnya, menggelengkan kepala dan
menghela nafas berulang-ulang.
Kim Yan telah puas tertawa, berkata pula,
"Kau rupanya masih rindu dengan kedudukan ketua
golongan Kiu-hwa, untuk apa aku ikut kau pulang?"
"Kau tidak pulang, untuk apa pula berada di sini?" balas
Touw Liong bertanya.
"Untuk apa" Kedudukan Hek-hong Giok-li di hadapan
Kauwcu, merupakan satu-satunya pewaris yang akan
meneruskan kedudukan Kauwcu di kemudian hari,"
berkata Kim Yan sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Antara golongan baik dan golongan sesat ada
perbedaan jauh sekali, kupikir kau adalah seorang keluaran
dari golongan baik, bagaimana bisa menggabungkan diri
dengan mereka?" bertanya Touw Liong cemas.
Enam orang yang mengikuti Kim Yan ketika mendengar
ucapan Touw Liong itu, wajah mereka berubah semua,
ketua golongan Swat-san Hwan-hiouw maju selangkah dan
berkata kepada Kim Yan,
"Orang she Touw ini kalau memang masih tetap kukuh
dengan pendiriannya sendiri, tidak perlu nona berlaku
merendah terhadapnya. Aku si orang tua denan
memberanikan diri hendak minta ijin untuk menuntut balas
terhadap kematian suteku. Kuharap supaya nona suka
mengabulkan permintaanku ini."
Selagi Kim Yan hendak menjawab, nyonya setengah
umur Lie Cay Go sudah maju selangkah ke depan dan
berkata, "Tunggu dulu! Harap Hwan Ciangbunjin sabar dulu
sebentar! Urusan harus ada urutannya yang mana harus
lebih dahulu dan yang mana mesti belakangan.
Permusuhan pertama orang she Touw ini adalah terhadap
kami orang-orang dari perkampungan Hui-liong-chung.
Kepala saudaraku yang kedua Lie Hui Pek ...."
Karena tidak dapat mengendalikan hawa amarahnya,
nyonya itu tidak melanjutkan ucapannya, sebaliknya
tertawa dengan suaranya yang sangat aneh.
Kim Yan menganggukkan kepala ke arah Lie Sam-kow
dan berkata kepadanya,
"Baiklah! Harap Nyonya Lie yang maju lebih dahulu!"
Lie Sam-kow unjuk hormat kepada Kim Yan. Begitu
keluar dari rombongannya, ia telah menghunus pedang
panjangnya, lalu berkata sambil menunjukkan pedangnya
kepada Touw Liong.
"Orang she Touw, kau masih menunggu apa lagi" Lekas
keluarkan senjatamu, nyonyamu tidak akan membunuh
orang yang tak bersenjata."
Hwan-hiouw dengan perasaan tidak senang undurkan
diri ke belakang Kim Yan. Touw Liong lalu maju
selangkah, memberi hormat kepada Lie Sam-kow seraya
berkata, "Sam-kow sudah salah paham! Saudaramu bukan
binasa di tanganku."
"Apa kau masih hendak menutupi perbuatanmu"
Seorang laki-laki seharusnya berani berbuat berani
bertanggung jawab. Batu giok Khun-ngo-giok yang
didapatkan oleh saudaraku itu sudah menjadi pedang
Khun-ngo-kiam, siapapun tahu bahwa kau orang she Touw
pernah menggunakan pedang itu ...."
Ia lalu melirik kepada pedang Hok-mo-kiam di atas
punggung Touw Liong.
Touw Liong memberitahukan kepadanya,
"Pedang ini bukanlah pedang Khun-ngo-kiam.
Saudaramu juga bukan aku yang membunuh!"
"Kalau begitu, siapa yang membunuh?" bertanya Lie
Sam-kow dengan suara bengis.
"Sekarang ini aku masih belum tahu, hanya .... aku
sudah berjanji kepada saudara Hui Hong, dalam waktu tiga
tahun, aku pasti akan membikin terang peristiwa ini,"
menjawab Touw Liong sambil menggelengkan kepala.
Bab 51 "Kau jangan mimpi! Apa kau yakin masih bisa hidup
tiga tahun lagi?" berkata Lie Sam-kow sambil tertawa
dingin. "Manusia hidup atau mati sudah digariskan oleh Tuhan.
Selama aku masih hidup, sudah tentu aku akan
menyumbangkan tenagaku sedapat mungkin untuk
menyelidiki urusan ini."
"Tampaknya kau terlalu serius. Kau sebetulnya mau
mengeluarkan senjatamu atau tidak?" bertanya Lie Samkow
dengan suara marah.
Oleh karena diperlakukan kasar berulang-ulang oleh
nyonya itu, bagaimanapun sabarnya Touw Liong juga tidak
bisa mengalah lagi. Lantas timbul perasaan marahnya.
Katanya sambil tertawa hambar,
"Untuk bertanding dengan Sam-kow, aku masih belum
pikir untuk menggunakan pedang yang sekarang ada di atas
punggungku ini!"
"Kau hendak bertanding dengan siapa baru mau
mengeluarkan senjatamu?" bertanya Lie Sam-kow marah.
Touw Liong diam, sejenak ia mengerutkan alisnya,
kemudian berkata sambil menggelengkan kepala,
"Jikalau aku merasa perlu untuk menggunakan, barulah
aku menghunus senjataku ini."
Jawaban itu agak terpaksa, ia sendiri sebetulnya
bermaksud baik, tak disangka telah membangkitkan amarah
nyonya itu. Tetapi ucapan yang sudah dikeluarkan, mana
dapat ditarik kembali. Tampaknya ucapan Touw Liong
tadi tambah membangkitkan amarah Lie Sam-kow.
Lie Sam-kow semakin marah. Ia tertawa dingin
berulang-ulang, kemudian berkata,
"Kalau demikian katamu, kau sesungguhnya terlalu
tidak pandang mata kepadaku si orang she Lie! Baiklah!
Kita boleh mulai sekarang."
Touw Liong telah terdesak sehingga tidak dapat mundur
lagi, terpaksa memberi hormat seraya berkata,
"Sam-kow, silahkan!"
Ia berdiri dengan sikap seenaknya, sedangkan Lie Samkow
lalu menggerakkan pedang di tangannya. Saat itu
pedang tersebut menghembuskan angin hebat, begitu
bergerak, nyonya itu sudah membuka dengan serangannya
yang sangat ganas ditujukan ke depan dada Touw Liong.
Baik gerak tipunya maupun kekuatan tenaganya
semuanya merupakan kepandaian dari golongan kelas
tinggi, tetapi perempuan itu kini bertemu lawan berat
seperti Touw Liong, sehingga dengan mudah serangan yang
sangat ganas itu dapat dielakkan oleh Touw Liong.
Dengan sangat marah sekali Lie Sam-kow membentak
secara kalap, "Bocah, bagus sekali perbuatanmu! Kau sesungguhnya
juga terlalu menghina diriku. Coba sekarang sambut
seranganku lagi!"
Belum habis ucapannya, serangan pedangnya sudah
sampai. Serangannya itu kali ini demikian hebat, bahkan
menggunakan gerak tipunya yang luar biasa anehnya.
Ujung pedang tampak menggetar, hingga menjadi gerakan
beberapa puluh, setiap ujungnya mengancam tubuh Touw
Liong. Touw Liong terpaksa lompat mundur sejauh 7 kaki
untuk membebaskan diri dari ancaman pedang, sementara
mulutnya berseru,
"Sudah dua jurus! Aku si orang she Touw seharusnya
memberikan kesempatan kepadamu tiga jurus ...."
Belum habis ucapannya, pedang panjang di tangan Lie
Sam-kow dengan tiba-tiba telah melesat lagi ke arahnya.
Touw Liong sungguh tidak nyana Lie Sam-kow bisa
menggunakan pedangnya untuk menyambit dirinya, hingga
untuk sesaat ia agak gugup. Tetapi sebagai seorang tokoh
kenamaan, secepat kilat sudah harus dapat menyelesaikan
dua soal: Kesatu, untuk menjaga nama baiknya sendiri. Dalam
jurus ketiga ini seharusnya ia mengalah tetapi sambitan
nyonya itu demikian hebat dan ganas. Bila ia diam saja,
sudah tentu berbahaya bagi dirinya. Satu-satunya cara ialah
bertindak dengan menempuh bahaya besar, dengan
kepandaian ilmu silatnya yang tertinggi, hendak
menyambut pedang yang disambitkan ke arahnya.
Kedua, memukul jatuh pedang itu dengan menggunakan
ilmunya Thay-it Sin-jiauw, tetapi dengan demikian, nanti
akan menjadi buah tertawaan orang lain.
Dalam waktu yang sangat singkat, akhirnya Touw Liong
menetapkan suatu keputusan untuk mengambil tindakan
dengan menanggung resiko untuk mengalah dulu dalam
jurus ketiga ini.
Ia sengaja berlaku tenang, bahkan masih bisa tertawa
terbahak-bahak, tetapi diam-diam dia sudah mengerahkan
ilmu batinnya: Liang-gie-sin-hoat. Dalam waktu singkat,
kedua ilmunya dikerahkan di tangan kanan, lima jari
tangannya dipentang hendak menyambar pedang yang
disambitkan oleh Lie Sam-kow.


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tindakannya itu sangat berbahaya sekali, sebab saat itu
ujung pedang sudah tiba di depan dada Touw Liong
terpisah sekira tidak lebih dari lima dim saja.
Lie Sam-kow adalah seorang tokoh rimba persilatan
kenamaan. Ia tahu benar bahwa ilmu Thian-seng-jiauw
Touw Liong sudah terkenal di dalam rimba persilatan,
sudah tentu ia tidak mau membiarkan pedang panjangnya
tertangkap oleh anak muda itu, maka lalu menggerakkan
tangannya dan menarik kembali hingga pedang itu
bukannya maju sebaliknya malah mundur terbang kembali
ke dalam tangan pemiliknya.
Kiranya, gagang pedang Lie Sam-kow telah diikat
dengan sutas benang yang terbuat dari sutra alam. Ujung
yang lain berada di tangan Lie Sam-kow, maka ia dapat
menggunakan untuk menyambit atau ditarik kembali
dengan mudah. Lie Sam-kow mempunyai julukan sebagai Iblis Malam,
sudah tentu merupakan orang yang sangat kejam dan
ganas. Di waktu ia menyambitkan pedangnya tadi,
orangnya juga lompat maju, hendak menyerbu Touw
Liong. Sebelum orangnya sampai, kakinya sudah keluar lebih
dahulu. Tangannya menarik kembali pedang panjang,
sedang kakinya menyapu kepada Touw Liong.
Oleh karena kekuatan tenaga Touw Liong dipusatkan ke
atas jari tangannya, maka ia tidak menduga Lie Sam-kow
akan menyapu bagian bawahnya. Hampir saja ia terkena
tendangan. Ia terkejut bukan main hingga keringat dingin
mengucur keluar.
Masih untung kepandaian ilmu silatnya sudah mencapai
taraf yang tak ada taranya, terhadap gerakan dari golongan
sesat yang agak curang ini, ia tidak terlalu pandang mata,
maka secepat kilat kakinya menjejak, dan tubuhnya melesat
setinggi 4 kaki, dengan demikian ia telah berhasil
mengelakkan serangan Lie Sam-kow.
Lie Sam-kow berkaok nyaring. Pedang panjang di
tangannya dilontarkan ke atas dan berkata sambil tertawa
dingin. "Kulihat apakah kau si bocah masih bisa loloskan diri
dari seranganku ini?"
Memang benar. Touw Liong yang badannya berada di
tengah udara, selagi badannya itu melesat ke atas, pedang
Lie Sam-kow sudah terlepas dari tangannya, dan ujung
pedang waktu itu sudah mengancam telapakan kaki Touw
Liong. Untung serangan jurus ketiga itu sudah lalu, maka Touw
Liong kini dapat melakukan serangan pembalasan dengan
tangan kanannya dibalikkan, mengeluarkan serangan dari
jari tangan hingga tangan kanan Lie Sam-kow yang
menggenggam pedang, merasa kesemutan dan pedang yang
dilontarkan ke atas tadi terus meluncur ke pinggir.
Dengan gerakannya itu, Touw Liong telah berhasil
memukul Lie Sam-kow sehingga terpental mundur lima
langkah. Nyonya itu tampak sangat marah sekali.
Matanya terbuka lebar, nafasnya memburu.
Touw Liong dengan sikapnya yang sangat gagah berdiri
tegak di tanah. Kembali ia memberi hormat kepada Lie
Sam-kow seraya berkata,
"Aku sesungguhnya agak kurang sopan, oleh karena
kesalahan tangan, hingga membuat terbang pedangmu.
Harap Sam-kow tidak berkecil hati."
Saat itu barulah Kim Yan menggapaikan tangannya. Lie
Sam-kow dengan sikap murung dan lesu, balik kembali ke
belakang Kim Yan tanpa berkata apa-apa.
Selagi Kim Yan hendak membuka suara, ketua golongan
Swat-san-pay Hwan-hiouw sudah lompat maju dan berkata
kepada Kim Yan,
"Aku si orang tua tidak mengukur kekuatan tenaga
sendiri, ingin menyambuti serangannya tiga jurus saja."
Kim Yan menganggukkan kepala menerima baik
permintaannya. Hwan-hiouw berdiri tegak sambil membusungkan dada.
Dua tangannya melakukan gerakan menyedot ke tengah
udara, sedang mulutnya berkata,
"Orang she Touw, sekarang tidak perlu banyak bicara,
sambutilah tiga kali seranganku."
Touw Liong menerima baik tantangan itu, katanya,
"Hari ini aku bisa belajar kenal dengan kepandaian ilmu
serangan jari tanpa bayangan dari golongan Swat-san, juga
tidak percuma perjalananku ini."
Hwan-hiouw tidak berkata apa-apa lagi. Kedua
tangannya melakukan suatu gerakan, membuat lingkaran di
tengah udara, kemudian dengan tiba-tiba sepuluh jari
tangannya melakukan gerakan menyentil, setelah itu
mulutnya memperingatkan kepada Touw Liong,
"Bocah, sambutlah seranganku yang pertama!"
Suara hembusan angin menderu-deru. Bayangan jari
tangan Touw Liong yang bergerak, mengeluarkan dua
macam ilmu yang sangat ampuh, melindungi sekujur
tubuhnya sehingga seperti terhalang oleh selapis dinding
yang tidak kelihatan. Dengan mengikuti arah sambaran
serangan tangan lawannya, ia menggerakkan badannya
untuk mundur lima langkah. Sambaran angin yang
meluncur keluar dari jari tangan Hwan Hiouw melalui
sampingnya, dan Touw Liong mengeluarkan nafsu
perlahan, "Jurus pertama!"
Hwan Hiouw tampaknya sangat marah. Bekas luka-luka
golok di mukanya tampak merah. sepuluh jari tangan
tangannya dirangkapkan lagi. Orangnya lompat maju lima
langkah untuk menyerang depan dada Touw Liong.
Touw Liong buru-buru mengerahkan kekuatan ke bagian
depan dada untuk menyambut serangan lawannya.
Sesaat ia merasakan dadanya seperti digempur oleh
semacam kekuatan tenaga yang sangat hebat.
"Jurus kedua!" serunya sekali lagi.
Ia tahu bahwa serangan ketiga Hwan Hiouw pasti akan
dilontarkan dengan tenaga sepenuhnya. Serangan itu pasti
sangat hebat sekali.
Di luarnya Touw Liong tidak menunjukkan sikap takut.
Ia bersikap seperti sedang siap untuk menyambut serangan
Hwan Hiouw, tetapi diam-diam ia sudah mengambil
keputusan hendak memberi sedikit pelajaran kepada orang
she Hwan itu. Benar saja. Hwan Hiouw yang sudah banyak
pengalaman, dalam jurus kesatu dan kedua tadi ia tidak
menggunakan tenaga sepenuhnya, sedangkan pada jurus
ketiga ini ia telah menggunakan tenaga sepenuhnya
melancarkan serangan dari jarak jauh.
Serangan yang keluar dari sepuluh jari tangan orang she
Hwan itu dilancarkan berbagai jurus tetapi tujuannya satu,
ialah depan dada Touw Liong. Dengan demikian kekuatan
jari tangan yang datang dari berbagai jurusan akhirnya
berkumpul menjadi satu untuk menuju ke sasarannya. Ini
merupakan suatu pukulan dari gabungan 10 jari. Apabila
serangan itu mengenai sasarannya, sekalipun batu juga akan
menjadi hancur lebur.
Touw Liong melihat lawannya telah turun tangan,
secepat kilat badannya memutar, dan melompat sejauh lima
kaki. Diam-diam ia sudah melancarkan dua macam ilmunya
yang sangat ampuh. Disamping menyambut serangan jari
tangan Hwan Hiouw tadi. Ketika ia memutar tubuh, dia
telah menggunakan kesempatan mana untuk menyedot
tenaga Hwan Hiouw, hingga tubuh Hwan Hiouw bagaikan
layangan yang putus talinya, tertarik oleh kekuatan tenaga
dalam Touw Liong, dan Hwan Hiouw yang sedikitpung
tidak menduga akan mendapat perlakuan demikian, tidak
sanggup lagi mempertahankan kedudukannya, dengan
terhuyung-huyung terjatuh sejauh tujuh-delapan langkah.
Hal ini merupakan suatu perbuatan yang sangat
memalukan sekali.
Masih untung saat itu Kim Yan sudah keburu
mengangkat tangannya, mengeluarkan kekuatan tenaga
untuk menyanggah dirinya, barulah berhasil menahan jatuh
badannya lebih jauh. Jikalau tidak demikian, barangkali ia
akan bergulingan di tanah.
Hwan Hiouw yang mendapat malu besar telah berubah
marah, hingga wajahnya merah membara. Sambil
menuding Touw Liong, ia membentak dengan suara keras,
"Bocah! Keluarkan senjatamu. Aku si orang tua hendak
belajar kenal dengan kepandaian ilmu pedangmu!"
Belum lagi Touw Liong menjawab, Kim Yan sudah
menggerakkan tangannya, mencegah Hwan Hiouw.
Katanya, "Hwan cianpwe, tunggu dulu! Baiklah aku yang
menghadapi sendiri!"
Pengalaman hebat Touw Liong dalam gua Hek-hongtong
baru saja berhasil dilalui. Tetapi belum lama ia keluar
dari gua Hek-hong-tong, sudah berjumpa dengan Hek-hong
Giok-lie Kim Yan, yang sedang memimpin 6 orang kuatnya
untuk menyambut kedatangannya.
Dalam pertempuran tadi, pihak golongan Hek-hong telah
terpukul mundur dua orang kuatnya. Lie Sam-kow dan
ketua Swat-san-pay dengan beruntun mendapat malu besar,
hingga terpaksa mundur ke rombongannya. Kini Kim Yan
sudah maju sendiri. Ia berdiri di hadapan Touw Liong
dengan tidak menunjukkan sikap seperti dahulu, ia berkata,
"Suheng, kau sungguh hebat!"
Ucapannya itu sangat singkat, tetapi mengandung
permusuhan, hingga bagi Touw Liong dirasakan tidak enak
sekali. Ia terpaksa menjawab sambil tertawa kecil,
"Sumoy, kau harus mengerti, bukanlah suhengmu yang
coba berlaku kurang ajar di sini. Sebetulnya adalah mereka
sendiri yang bertindak keterlaluan."
"Tidak perlu banyak bicara. Sepatah kata saja sudah
cukup. Kauwcu sudah menjanjikan aku akan menurunkan
seluruh kepandaiannya dan kedudukannya, untuk
memimpin rimba persilatan. Suheng akan membantu
diriku, ataukah menentang" Seorang laki-laki kalau
bertindak harus tepat, jawablah sepatah kata saja!" berkata
Kim Yan yang tidak menghiraukan bujukan Touw Liong.
Touw Liong dan Kim Yan merupakan saudara
seperguruan yang sejak masih kanak-kanak hidup bersamasama
selama 10 tahun lebih. Hubungan mereka sudah
seperti saudara sendiri. Selama 10 tahun lebih itu, Touw
Liong belum pernah satu kali saja memperlakukan kasar
terhadap adik seperguruannya itu.
Tetapi keadaan sekarang sudah berlainan. Setelah Kim
Yan terkena serangan ilmu beracun Hek-hong-im-kang,
pikirannya menjadi berubah. Touw Liong bermaksud
hendak menolong Kim Yan, tetapi ia tahu apabila
diutarakan maksudnya itu, berarti cuma-cuma saja, bahkan
mungkin akan menyakiti hatinya. Tetapi ia juga tidak
boleh menolak kewajibannya, ia tidak menghiraukan itu
semua, terpaksa menggertak gigi, dan air mata yang
seharusnya mengalir keluar dari kelopak matanya, terpaksa
ditelan kembali. Sambil menahan mengucurnya air mata ia
berkata, "Sumoy, seorang yang menyadari sendiri bahwa dirinya
sudah tersesat, saat ini kalau kau mau, waktunya masih
belum terlambat. Kau tahu bahwa antara golongan baik
dan golongan sesat itu merupakan dua golongan yang
bertentangan satu sama lain, oleh karenanya, maka
suhengmu agak berat untuk membantu kau."
Touw Liong tidak tega memandang sumoynya. Ia tahu
bahwa sumoynya itu pasti akan marah sekali, dan
kemarahannya itu akan membawa akibat entah bagaimana
nanti. Tetapi urusan di dalam dunia ini kadang-kadang ada
beberapa hal yang di luar dugaan manusia. Apa yang
diduga oleh Touw Liong tadi ternyata tidak terbukti.
Begitu Touw Liong habis bicara, Kim Yan malah
mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
Setelah tertawa puas, dengan tiba-tiba ia menghentikan
tertawanya, wajahnya tampak dingin, dan kata-kata
selanjutnya yang keluar dari mulutnya bagaikan anak panah
yang menancap di ulu hati Touw Liong. Katanya,
"Atas perintah Kauwcu, apabila Hek-hong Kim-liong
berani menentang kehendak Kauwcu, maka aku ada hak
untuk menangkap kau guna diserahkan kepada Kauwcu
...." Ucapan yang terakhir itu sengaja diperpanjang.
Selanjutnya ia berkata lagi dengan alis berdiri,
"Seandainya aku tidak bisa membawa kau ke depam
Kauwcu dalam keadaan hidup, juga hendak menyerahkan
kepalamu untuk memenuhi tugasku."
Begitu mendengar ucapan itu, 6 orang yang berada di
belakang Kim Yan segera bergerak semua. Dalam waktu
sekejab saja, 6 orang itu masing-masing sudah mengambil
tempat sendiri-sendiri untuk mengurung Touw Liong di
tengah-tengah. Sedangkan anak laki tanggung Ca Thian Lok yang tadi
berlaku sangat hormat kepada Touw Liong, waktu itu juga
menunjukkan sikapnya yang masih kekanak-kanakan,
dengan pedangnya ia hendak menusuk ketiak kiri Touw
Liong. Berbagai senjata, di antaranya ada golok, pedang, kaitan,
tongkat, dan lain-lainnya telah ditujukan kepada Touw
Liong dari pelbagai jurusan.
Siapa saja, di antara enam orang itu, sudah terhitung
tokoh kuat dalam rimba persilatan. Teristimewa Pek-bie
Hwesio atau padri alis putih. Senjata rotan kuno yang
sudah tua umurnya itu yang digenggam dalam tangannya,
yang mengandung maksud permusuhan paling dalam.
Kim Yan perlahan-lahan menarik dirinya, keluar dari
kalangan. Ia sengaja membakar hati Lie Sam-kow dan ketua
golongan Swat-san-pay, tetapi sudah terkalahkan oleh
Touw Liong lebih dulu. Selanjutnya kalau masih ingin


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tancap kaki di rimba persilatan, inilah merupakan suatu
kesempatan yang baik bagi diri mereka untuk menebus
kekalahan tadi.
Maka dua orang itu merasa seperti dibakar, masingmasing
menggigiti bibir.
Hwan Hiouw menggerakkan jari tangannya. Dari situ
keluat hembusan angin dingin.
Lie Sam-kow juga sudah mulai menghunus pedangnya.
Sambil menggertak gigi Hwan Hiouw berkata lebih
dahulu, "Bocah she Touw, kami semua sudah mengeluarkan
senjata, mengapa kau masih bersikap sombong, tidak mau
mengeluarkan senjatamu?"
Mata Touw Liong menyapu ke wajah orang-orang di
sekitarnya, lalu tertuju kepada wajah Ca Thian Lok yang
masih kekanak-kanakan, kemudian menggeleng-gelengkan
kepala, dan berkata kepada diri sendiri, "Apakah aku tega
menurunkan tangan kejam terhadap anak ini" Apalagi ....
antara kita tidak ada permusuhan apa-apa."
Kembali ia mengeleng-gelengkan kepala dan berkata lagi
kepada diri sendiri sambil menghela nafas, "Begitu pedang
Hok-mo-kiam ini kugunakan untuk menghadapi kawanan
iblis itu, mereka tidak mungkin lolos dari tanganku. Tetapi
bocah ini .... aku seharusnya tidak boleh bertindak sama
dengan yang lainnya. Biarlah aku melindunginya jangan
sampai ia terluka oleh pedangku."
Touw Liong mengerti bahwa pada saat seperti itu ucapan
apa saja tidak ada artinya bagi mereka. Maka ia lalu
menghunus pedangnya yang berkilauan.
Si imam kurus ketika menampak pedang itu hatinya
tergerak. Saat itu laluberkata dengan sikap menghina,
"Dahulu di kalangan kang-ouw orang pada memuji kau
sebagai seorang laki-laki jantan, tetapi hari ini aku melihat
senjata di tanganmu kiranya adalah senjata milik Thian-sim
totiang dari partai Cheng-sia-pay. Kalau demikian, kau
ternyata bukan seorang jagoan yang tulen! Kiranya seorang
...." Ngo-yang masih belum mau mengatakan ucapan yang
tidak sopan, maka lalu berhenti. Tetapi Hwan Hiouw telah
menyambungnya dengan suara dingin.
"Hanya seorang yang mendapat nama kosong belaka."
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, tidak menggubris
ucapan mereka. Dengan menggerakkna pedang Hok-mokiam
di tangannya, ia berkata,
"Aku orang she Touw berkat kasih sayang para
locianpwe rimba persilatan, di dunia kang-ouw mendapat
sedikit nama. Tentang namaku ini kosong atau berisi,
semuanya tergantung dari penilaian sahabat-sahabat rimba
persilatan. Jikalau kau kira pedang di tanganku ini adalah
pedang milik Thian-sim totiang, itulah sama sekali tidak
benar. Meskipun pedang ini bentuknya mirip dengan
pedang yang berada di tangan Thian-sim, tetapi pedang ini
adalah pedang Hok-mo-kiam yang jantan."
"Dan pedang yang lain itu?" bertanya si imam kurus
Ngo-yang. "Pedang itu juga pedang Hok-mo-kiam, tetapi adalah
pedang Hok-mo-kiam dari jenis betina."
Ketika mendengar ucapan itu Kim Yan lalu berkata,
"Ya, benar! Kauwcu memang pernah kata bahwa di
dalam perguruannya ada sebilah pedang Hok-mo-kiam
yang jantan. Kabarnya ditanam di dalam gunung ini.
Kauwcu pernah mencarinya beberapa puluh tahun
lamanya, tetapi hingga saat ini belum pernah berhasil
menemukan."
"Benar. Pedang ini kudapatkan dari sebuah gua rahasia
di dalam gunung ini," berkata Touw Liong sambil
menganggukkan kepala.
"Di mana letak gua itu?" tanya Kim Yan.
"Gua itu letaknya di atas puncak gunung itu," jawab
Touw Liong sambil menunjuk ke puncak gunung yang
diliputi oleh awan.
"Puncak gunung itu bentuknya sangat aneh, siapapun
tidak dapat naik ke atasnya," berkata Kim Yan sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Meskipun tidak bisa naik, tetapi bisa dicapai melalui
sebuah jalan rahasia."
"Jalan rahasia?" tanya Kim Yan heran.
"Di mana letaknya jalan rahasia itu?"
"Dia tahu," jawab Touw Liong sambil menunjuk dengan
pedangnya kepada Pek-bie Hwesio yang saat itu wajahnya
sudah menjadi pucat.
"Kau tahu?" bertanya Kim Yan kepada Pek-bie dengan
sikap dingin. Pek-bie cuma menjawab, "Lolap ...." dengan muka pucat
dan suara gelagapan sambil mengeleng-gelengkan
kepalanya, tidak bisa meneruskan lagi.
Touw Liong mendongakkan kepala dan tertawa
terbahak-bahak, kemudian berkata,
"Bagaimana kau mengatakan tidak tahu" Kemarin
malam sebelum aku masuk ke jalan rahasia itu, bukankah
sudah kau hadiahkan dengan dua butir batu?"
Pek-bie segera sadar. Katanya sambil menganggukkan
kepala, "Lolap tahu! Lolap mengerti! ...."
"Mari kau ajak aku melihat!" berkata Kim Yan dengan
suara bengis. "Lolap menurut," menjawab Pek-bie sambil memberi
hormat dengan merangkapkan kedua tangannya.
Kemudian ia menarik senjata rotan kunonya, setelah itu
ia berjalan lebih dahulu menuju ke tempat di mana terdapat
danau. Kim Yan lalu memberi perintah kepada Hwan Hiouw,
"Siaolie akan pergi ke sana untuk mengurus sedikit
urusan. Urusan di sini semuanya kuserahkan kepada Hwan
Cianpwe yang menyelesaikan."
Hwan Hiouw menerima baik. Sambil memberi hormat,
mengawasi Kim Yan hingga menghilang ke balik rimba
lebat. Sewaktu Kim Yan berlalu, ia sedikitpun tidak
memperdulikan sikap Touw Liong. Sikapnya waktu itu
seolah-olah tidak pernah ada hubungan ikatan saudara
seperguruan dengan pemuda itu, hingga Touw Liong yang
menyaksikan perubahan sikap saudara seperguruannya ini,
diam-diam menghela nafas panjang dan berkata kepada diri
sendiri, "Sumoyku kini rela bekerja untuk Hek-hong Kauwcu.
Semua itu disebabkan karena sifatnya yang semula sudah
dikaburkan oleh racun Hek-hong-im-kang Panji Wulung
Wanita. Baiklah kulihat saja bagaimana perkembangan
selanjutnya."
Kemudian ia berkata kepada Hwan Hiouw dan lainlainnya,
"Tuan-tuan adalah tokoh-tokoh kenamaan di rimba
persilatan, di antaranya bahkan merupakan ketua dari
partai besar, tetapi dengan cara bagaimana tuan-tuan jadi
rela menyediakan tenaga bagi seorang iblis wanita yang
hendak menjagoi rimba persilatan" Apakah tuan-tuan tidak
takut akan menjadi buah tertawaan sahabat-sahabat rimba
persilatan?"
"Jangan banyak bicara. Siapakah yang membunuh
suteku?" balas bertanya Hwan Hiouw sambil tertawa
masam. "Sutemu betul akulah yang membunuhnya. Tetapi kau
jangan lupa bahwa sutemu Kow Cin Seng denganku ada
permusuhan besar, karena ia dahulu telah membinasakan
ibuku," menjawab Touw Liong dengan suara gusar.
Ngo-yang lalu bertanya,
"Kematian suhu, ialah mati di bawah serangan
tanganmu Thian-seng-jiauw, dan susiokku telah terluka
parah hingga sekarang masih belum sembuh. Apakah
semua itu juga bukan gara-gara perbuatanmu?"
Bab 52 TOUW LIONG lekas membantah tuduhan itu, katanya,
"Suhumu terluka di bawah serangan Thay-it Sin-jiauw
yang dilakukan oleh Panji Wulung Wanita, bukan mati.
Sementara tentang diri San-hong Tojin ... dia sama juga
dengan Kow Cin Seng, yang menjadi salah seorang musuh
besarku karena ia dahulu telah membunuh ayahku. Kalau
aku belum sampai binasakan kepadanya, itu masih
terhitung enak baginya."
Sementara itu Lie Sam-kow juga membentak sambil
menuding dengan pedang,
"Orang she Touw, kau jangan coba putar lidah. Hari ini
meskipun kau mencoba memungkiri semua perbuatanmu,
tetapi siapa yang mau percaya" Sebaiknya lekas serahkan
nyawamu!" Bu-sim Hwesio dari gereja Siao-lim yang sejak tadi terus
tidak bersuara, saat itu juga membuka mulut,
"Hwan-heng, kita mau tunggu apa lagi" Lima orang
bersatu hati, kita bisa bereskan bocah ini. Mari!"
JILID 20 Lie Sam-kow adalah orang yang pertama-tama sekali
menyatakan setuju atas usul itu. Sedangkan Ngo-yang tojin
hanya menganggukkan kepala. Begitulah lima orang telah
maju berbareng, mengurung Touw Liong di tengah-tengah.
Hwan Hiouw pentang sepuluh jari tangannya
membentuk satu lingkaran, dengan kesepuluh jari itu
menyerang jalan darah di depan dada Touw Liong.
Lie Sam-kow juga telah menggerakkan pedangnya, maju
menyerbu pemuda itu.
Imam kurus Ngo-yang tojin dengan ilmu pedang yang
mempunyai banyak perubahan gerak yang aneh juga sudah
bergerak menikam.
Pek-bie Hwesio dengan tongkat di tangan, sudah
menggempur batok kepala Touw Liong!
Hanya Ca Thian Lok seorang yang masih kekanakkanakan
yang paling bersimpatik kepada Touw Liong,
dalam hati sebetulnya tidak setuju dengan cara bertempur
main keroyok semacam itu, namun dengan apa boleh buat
juga telah mengikuti yang lain-lain, menyodokkan
pedangnya dengan gerakan pura-pura menyerang.
Touw Liong melihat lima orang itu. Empat di antaranya
telah menggunakan serangan ganas, maka buru-buru
menggunakan ilmunya Liang-gi-sin-kang yang sudah
disiapkan sejak tadi. Pedang panjangnya digerakkan. Pada
serangan itu ada terkandung ilmu pedang Tay-lo-kim-kongkiamhoat. Dua jenis ilmu dikerahkan kepada satu ujung
pedang, sudah barang tentu kekuatannya jadi berlipat
ganda. Sesaat lalu terdengar suara beradunya senjata tajam.
Kecuali pedang yang masih dipegang oleh Ca Thian Lok,
senjata-senjata kawannya yang lain sudah terbang ke
angkasa! Kalau cuma begitu saja masih belum berarti apa-apa.
Lima orang lawannya itu telah terpental oleh gempuran
ilmu Liang-gie-sin-kang. Masing-masing terpental mundur
tiga langkah, hanya Ca Thian Lok yang memang tiada
maksud sungguh-sungguh untuk menyerang Touw Liong,
sudah mundur lebih dahulu sejauh tujuh-delapan langkah.
Kecuali ia, tiga lawan yang lainnya, semuanya terpental
dalam keadaan terluka parah.
Keadaan Hwan Hiouw lebih-lebih menggenaskan.
Sebab oleh menggunakan serangan dengan jari tangan yang
dianggap sangat ampuh, serangan itu menggunakan
kekuatan tenaga dalam sangat banyak, maka akibat
gempuran Touw Liong tadi juga mendapat luka yang paling
parah, maka saat itu selain sudah mundur sejauh tiga
langkah, juga sudah mengeluarkan banyak darah dari
mulutnya. Ca Thian Lok berdiri kesima mengawasi Touw Liong,
lama tidak bisa membuka suara.
Touw Liong mengawasi lima orang itu sejenak,
kemudian berkata,
"Aku orang she Touw tidak mau berbuat keterlaluan.
Siapa yang benar siapa yang salah, di kemudian hari pasti
diketahui orang. Sekarang terserah kepada tuan-tuan
sekalian! Permusuhanku dengan Bu-sim taysu selewatnya
hari ini, masih perlu akan kuperhitungkan lagi."
Setelah mengucap demikian, dengan langkah lebar ia
berlalu meninggalkan lawan-lawannya.
Lima orang itu pada berdiri melongo dengan hati
kuncup. Siapapun tidak ada yang berani mengeluarkan
suara untuk menahan berlalunya Touw Liong. Siapapun
tidak ada yang berani mengambil tindakan.
Mereka benar-benar sudah tunduk kepada Touw Liong
maka membiarkan anak muda itu berlalu tanpa mendapat
rintangan. Touw Liong yang berada dalam gua selama satu hari
satu malam dalam keadaan berdiri, ternyata tidak sia-sia,
sebab setelah keluar dari gua itu, kekuatan tenaga dalamnya
telah mendapat kemajuan sangat pesat, apalagi ia sudah
memusatkan dua jenis ilmunya yang sangat ampuh ke
ujung pedangnya. Tidaklah heran kalau kekuatan
tenaganya itu bertambah demikian hebat, seolah-olah
malaikat dari kahyangan, hingga semua lawannya sudah
ditundukkan tanpa bisa bergerak sedikitpun.
Setelah Touw Liong berlalu, keadaan di situ tampak
kacau balau. Lima orang tadi cuma bisa menggerutu
sambil mengeleng-gelengkan kepala. Lima pasang mata
cuma bisa mengawasi berlalunya Touw Liong tanpa
berdaya. Pemuda itu juga menghilang ke dalam rimba di
mana tadi Kim Yan telah menghilang.
Danau tempat di mana Touw Liong hampir menemukan
bencana, tapi kemudian ternyata merupakan jalan rahasia
untuk mencapai gua rahasia, kini keadaannya telah kering
sehingga tampak dasarnya. Air mancur yang mengalir
turun dari atas tebing tinggi tampak mengalirkan airnya
sangat lambat. Di tepi danau, di atas pohon Yangliu, keadaannya masih
sama. Di situ terikat dengan seutas rotan kuno, di
bawahnya sepotong masih tergantung bergoyang-goyang.


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Touw Liong tahu, pada waktu belum lama berselang, ada
orang yang turun ke dalam danau dengan menggunakan
oyot rotan itu.
Tak usah dikata lagi, bahwa orang yang turun ke dalam
danau itu, pasti Kim Yan. Mungkin juga bersama dengan
Pek-bie hwesio.
Ia juga mengerti bahwa terjunnya Kim Yan ke dalam
danau itu, maksud dan tujuannya ialah untuk mencari gua
Hek-hong-tong. Kalau mengingat bahwa jalan menuju ke gua Hek-hongtong
itu sudah terhalang, Touw Liong merasa sangat
menyesal. Ia menyesal sudah menerangkan adanya gua itu,
sehingga menimbulkan keinginan Kim Yan dengan
menempuh bahaya besar.
Oleh karenanya, maka ia diam-diam khawatirkan
keselamatan adik seperguruannya itu, terutama kalau ia
ingat pesawat-pesawat rahasia dengan ancaman anak panah
yang berada di dalam gua.
Dengan tiba-tiba ia berteriak sendiri,
"Celaka! Aku harus menolong dia!"
Ketika ia mengambil keputusan itu, dan selagi hendak
turun melalu oyot rotan itu, di atas kepalanya tiba-tiba
terdengar suara nyaring. Gerujukan air dari tempat setinggi
sepuluh tombak lebih telah mengalir turun dengan
kerasnya. Dalam waktu yang sangat singkat, air itu sudah
memenuhi setengah danau, hingga dinding-dinding danau
itu sudah terendam setinggi lima kaki lebih.
Menyaksikan terjadinya perubahan tiba-tiba itu, Touw
Liong pucat seketika. Ia yang masih mengingat tali
persaudaraannya dengan Kim Yan, tanpa disadari
mulutnya sudah berteriak-teriak memanggil nama
sumoynya itu. Namun panggilannya itu hanya menimbulkan echo yang
menggema di tempat yang sunyi itu, sedangkan air terus
mengalir turun perlahan-lahan hendak memenuhi danau
itu. Air mata membasahi matanya. Ia sedih memikirkan
sumoynya yang dianggapnya pasti mendapat kecelakaan di
dalam gua. "Siapakah yang membuka pancuran air itu?"
demikianlah suatu pertanyaan yang terlintas di dalam
otaknya. Dengan suatu gerakan, Touw Liong sudah melayang ke
atas tebing. Di atas tebing itu ia mulai pasang mata. Di
tempat yang jauh, di bagian mengalirnya air itu, tampak
sesosok bayangan orang yang lari bagaikan terbang.
Touw Liong segera mengeluarkan suara untuk
menegurnya, "Bangsat, aku semula hendak membiarkan hidup
beberapa hari untuk menunggu engkoku yang akan
membunuh kau, dengan tangannya sendiri. Tak kusangka
kau .... Hem! Hemm! Hari ini barangkali sudah tiba
waktumu untuk mati!"
Orang yang lari bagaikan terbang itu adalah seorang
imam berwajah merah berkumis pendek. Ia mengenakan
jubah warna ungu.
Imam itu sekalipun dibakar menjadi abu, Touw Liong
juga masih dapat mengenali bahwa ia adalah Thian-sim
tojin, pengkhianat partai Cheng-sia-pay. Thian-sim dengan
perasaan girang lari sambil menundukkan kepala, tidak
memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ketika ditegur,
segera mengangkat kepala. Begitu melihat bahwa orang
yang menegurnya itu adalah musuh bebuyutannya, bukan
kepalang terkejutnya, hingga saat itu semangatnya seperti
terbang. Ia lalu memperlambat langkahnya, hampir saja
tidak sanggup mengangkat kaki lagi.
Thian-sim dalam keadaan bengong, dengan wajah pucat
pasi mengawasi Touw Liong.
Touw Liong bertanya kepadanya dengan suara keras,
"Di mana sumoyku?"
"Di bawah. Ia sedang turun mencari barang pusaka,"
menjawab Thian-sim sambil menunjuk ke danau.
Touw Liong kembali menunjuk air yang mengalir dari
atas tebing, dan bertanya lagi kepadanya,
"Kaukah, yang membuka bendungan air itu?"
"Ya .... benar aku yang membuka ...." menjawab Thiansim
dengan suara gugup.
Tetapi kemudian ia menambahkan keterangannya,
"Tetapi itu bukanlah atas kemauanku sendiri, aku hanya
berbuat menurut perintah saja."
"Siapa yang memerintahkanmu?"
Sebelum Thian-sim menjawab, suara yang
kedengarannya sangat dingin kembali terdengar dari atas
pohon cemara, "Aku yang memerintahkannya!"
Suara itu sudah tidak asing lagi bagi telinga Touw Liong!
Ketika ia mendongak ke atas, di atas pohon setinggi kirakira
8 tombak itu, tampak berdiri seorang perempuan aneh
mengenakan kerudung muka. Ia berdiri dengan satu kaki di
atas pohon, tangannya memegang sebatang tongkat,
sepasang matanya ditunjukkan ke bawah mengawasi Touw
Liong dengan sikap marah.
Dalam hati Touw Liong agak terkejut. Sambil
mendongakkan kepala ia bertanya kepada perempuan itu
yang bukan lain daripada Panji Wulung Wanita adanya.
"Mengapa kau buka bendungan air itu dan merendam
sumoyku?" Panji Wulung Wanita dengan suatu gerakan yang manis
melayang turun ke hadapan Touw Liong, kemudian berkata
kepadanya dengan nada suara dingin.
"Di atas dirinya aku telah menggunakan pikiran dan
tenaga yang tidak sedikit. Bagaimana aku harus
membinasakan kepadanya dengan merendamnya di dalam
danau" Aku hanya mengurung ia dalam gua untuk
sementara, supaya ia yang masuk ke dalam gua Hek-hongtong
nanti membocorkan rahasia, dan setelah aku
menyelesaikan semua urusan penting yang sedang
kuhadapi, barulah akan mengajak ia bersama-sama masuk
ke dalam gua untuk mencari barang pusaka."
"Apakah kau tidak takut dengan membuka bendungan
air itu bisa merendam ia sehingga ia tidak bisa keluar dari
dalam danau?"
"Tentang ini kau jangan kuatir, dia tidak akan mati oleh
karena terendam air, sebab hari ini pagi-pagi sekali aku
sudah pernah turun ke bawah untuk melihat gua itu, di
atasnya masih ada sebuah tempat kosong. Asal aku
mengendalikan sedikit mengalirnya air dari atas, dengan
merendam sebagian kecil saja, ia tidak akan terendam oleh
air. Touw Liong pikir bahwa keterangan itu memang ada
benarnya, maka perasaan khawatirnya hilang sebagian.
Sementara Panji Wulung Wanita sudah mengajukan
pertanyaan dengan sikap dingin,
"Sekarang aku hendak tanyakan kepadamu dalam dua
soal: Kesatu, kau sebetulnya mau mengikuti kehendakku
atau tidak" Kedua, kabarnya kau pernah masuk ke dalam
gua Hek-hong-tong. Berapa banyak benda pusaka di dalam
gua yang sudah kau ambil?"
Touw Liong tertawa terbahak-bahak, kemudian baru
menjawab, "Aku si orang she Touw adalah seorang laki-laki sejati,
bagaimana aku harus minta perlindungan dari seorang
wanita" Apalagi dengan tujuan yang tidak suci. Orangorang
yang kau terima menjadi anak buahmu, jikalau bukan
kaum pengkhianat dari partai-partai besar, ialah orangorang
yang sudah mendapat nama tidak baik dalam rimba
persilatan. Apakah dengan perbuatanmu ini kau tidak takut
mengotori nama baik Cowsumu, Hek-hong Lojin?"
"Hek-hong Lojin?" demikian Panji Wulung Wanita
mengulangi ucapan itu yang kemudian terbenam dalam
pikirannya sendiri. Setelah itu ia bertanya pula,
"Apakah sucowku itu adalah Hek-hong Lojin?"
Touw Liong mengangguk.
Panji Wulung Wanita itu bertanya pula,
"Bagaimana kau tahu?"
"Di dalam gua Hek-hong-tong, aku telah membaca
tulisan surat yang ditinggalkan oleh Cowsumu."
Panji Wulung Wanita agaknya terkejut mendengar
jawaban itu, katanya,
"Anak busuk, kau masih belum menjawab pertanyaanku
yang kedua tadi."
Touw Liong yang tidak biasa membohong, mendengar
ucapan itu lalu menjawab dengan suara lantang,
"Sebilah pedang Hok-mo-kiam yang jantan."
Panji Wulung Wanita lalu mengulurkan tangannya
seraya berkata,
"Perlihatkan kepadaku!"
Touw Liong menggeleng-gelengkan kepala dan berkata,
"Tidak bisa! Pedang ini adalah pemberian Hek-hong
Lojin Kie-liong si orang tua belum meninggalkan pesan
padaku supaya pedang ini diserahkan kepada murid
golongannya, bahkan sebaliknya, ia suruh aku dengan
pedang ini harus melakukan perbuatan baik, membasmi
kawanan penjahat di dalam rimba persilatan, mencegah
anak murid golongan Hek-hong melakukan kejahatan di
dunia Kang-ouw."
Panji Wulung Wanita semakin marah mendengar
jawaban demikian. Dengan nada suara dingin ia
membentak, "Bocah, kau jangan terlalu takabur! Ucapanmu ini
tampaknya hebat sekali, tetapi kau mengucapkan perkataan
itu apakah tidak merasa malu terhadap aku si orang tua"
Hari ini, apabila kau tidak menunjukkan surat peninggalan
Cowsu kepadaku, aku tidak akan membiarkan kau keluar
dari sini dalam keadaan hidup."
Touw Liong juga lantas marah diperlakukan demikian.
Katanya dengan suara gusar,
"Mati! Mati! Entah sudah berapa kali kau kata aku
harus mati" Tetapi kau lihat, sampai hari ini apakah aku si
orang she Touw benar-benar seperti katamu tadi, sudah
mati?" Panji Wulung Wanita memperdengarkan suara tertawa
dinginnya yang sangat tajam. Katanya dengan bangga,
"Di atas gunung Hek-hong-san ini hanya akulah yang
berkuasa. Barang siapa yang naik ke atas gunung Hekhongsan, tidak peduli siapa orangnya kalau aku
menghendaki ia mati, maka ia harus mati. Kau terhitung
apa" Kau hanya salah seorang murid dalam golonganku.
Kalau aku menghendaki kematianmu, bukankah itu sangat
mudah sekali?"
Touw Liong yang mendengarkan ucapan itu alisnya
berdiri. Selagi hendak balas memaki, dari atas kepalanya
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa, kemudian disusul
oleh kata-katanya,
"Ha ha! Nenek-nenek, sungguh sombong kau!"
Touw Liong mendongakkan kepala. Di ujung atas
sebuah pohon kuno yang lain, tampak berdiri seorang imam
tua yang usianya sudah lanjut, tetapi sikapnya agung,
sedang Panji Wulung Wanita yang mendengar ucapan itu
tampak sangat marah, hingga rambutnya yang putih pada
berdiri. Katanya sambil tertawa,
"Imam tua, hari itu masih kuampuni jiwamu tidak
kubunuh mati. Tetapi hari ini kau telah datang sendiri
untuk mengantarkan jiwa. Mau tak mau aku harus
mengiringi kehendakmu."
Imam tua itu mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata, "Baik! Baik! Pikiran kita hari ini serupa. Aku juga
justru hendak mengiringi kehendakmu."
Tanpa banyak bicara lagi Panji Wulung Wanita melesat
tinggi ke atas pohon. Orangnya belum sampai, tongkatnya
sudah bergerak lebih dahulu untuk menyerang pohon
dimana ada berdiri imam tua tadi.
Sungguh aneh. Begitu tongkat Panji Wulung Wanita
digerakkan, imam tua tadi lalu melakukan suatu gerakan
jumpalitan, dari atas pohon melayang turun ke bawah, terus
meluncur ke dalam danau!
Selama tubuhnya meluncur turun, imam tua itu
mulutnya terus berteriak-teriak,
"Celaka! Tolong! Hari ini benar-benar aku harus
mampus!" Panji Wulung Wanita segera menjawab dengan suara
nyaring, "Lebih cepat kau mati, lebih cepat menitis lagi itu ada
lebih baik. Seorang tua bangka seperti kau ini, tidak perlu
berdiam lama-lama di dalam dunia ini, yang berarti hanya
mencelakakan diri orang lain saja."
Touw Liong yang menyaksikan caranya imam itu
meluncur turun seperti tidak dibuat-buat, seolah-olah benarbenar
telah terkena serangan Hek-hong-im-kang Panji
Wulung Wanita itu. Maka ia anggap bahwa kalau imam
tua itu terjatuh ke dalam danau pasti akan segera melayang
jiwanya. Touw Liong yang berhati baik, sudah tentu tidak tega
menyaksikan kematian imam yang tidak berdosa itu,
apalagi imam tua itu tampaknya orang dari golongan baikbaik.
Tergerak hati Touw Liong. Badannya melakukan gerak
setengah memutar, lalu melayang ke tepi danau,
mengulurkan tangannya untuk menyambar imam yang
meluncur turun itu.
Jubah imam tua itu telah tersambar olehnya dan imam
itu berputaran di sekitar Touw Liong, kemudian karena
jubah bagian bawahnya yang kesambar oleh tangan Touw
Liong robek sepotong, hingga tubuh imam itu meluncur
terus bagaikan anak panah, seolah-olah terlempar dari
tangan Touw Liong sejauh tujuh-delapan tombak, dan
secara kebetulan sekali meluncur ke tengah-tengah danau.
Imam tua itu lalu berseru sambil mendelikkan matanya,
"Bocah she Touw, apakah kau sengaja berbuat begitu


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

supaya aku si imam tua ini lekas mati" Mengapa kau tidak
menyambitkan aku ke arah lain, sebaliknya malah kau
lemparkan aku ke tengah-tengah danau" Tidak tahukah
kau kalau aku si imam tua ini tidak bisa berenang" Biar aku
meminum sepuas-puasnya air danau?"
Touw Liong dalam hati merasa menyesal, tetapi imam
tua itu dengan tiba-tiba melayang ke pohon Yangliu.
Satu kaki menginjak potongan ranting pohon Yangliu di
tengah-tengah danau, dengan menggunakan kekuatan
tenaga di kakinya, badannya melesat sejauh 10 tombak
lebih. Touw Liong yang menyaksikan perbuatan imam tua itu,
tanpa dirasa telah menarik nafas lega, dan menyeka
keringat dingin yang telah membasahi sekujur tubuhnya.
Saat itu, satu bayangan lain hampir menyerempet tubuh
Touw Liong, melesat untuk mengejar imam tua itu.
Bayangan itu adalah bayangan Panji Wulung Wanita
yang hendak mengejar imam tua tadi. Panji Wulung
Wanita dengan suaranya yang nyaring berkata,
"Imam tua, jikalau kau tidak meninggalkan barangmu,
lihat saja! Nanti, bila sudah kucandak kau, lihat saja aku
tembusi tidak ulu hatimu sehingga menjadi berlubang!"
Touw Liong merasa heran. Entah barang apa yang
dimaksudkan oleh Panji Wulung Wanita itu. Maka ia lalu
tujukan matanya kepada diri imam tua itu.
Begitu melihat, bukan kepalang terkejutnya Touw Liong,
sebab benda yang dimaksudkan oleh Panji Wulung Wanita
tadi, dan yang kini berada di tangan imam tua itu, ternyata
adalah sebilah pedang panjang yang berkilauan!
Ia buru-buru meraba pedang di atas punggungnya.
Ternyata pedang itu sudah tidak ada! Kiranya, selagi
mengitari tubuhnya imam tua tadi sudah menjambret dan
membawa kabur pedang pusakanya itu.
Sesaat ia menjadi cemas, maka setelah mengeluarkan
siulan nyaring, ia sudah bergerak hendak mengejar.
Tetapi ketika matanya tertuju ke tengah danau, diamdiam
ia mengeluh, sebab musuh besarnya Thian-sim tojin
tadi ternyata sudah kabur entah kemana.
Touw Liong lalu mengerahkan kekuatan tenaganya naik
ke atas tebing. Dengan sekali gerak ia sudah berada di
bagian atas di mana air tadi mengalir turun. Dengan kedua
tangannya ia lalu melintangkan lagi batu besar ke tengah
sungai. Oleh karena air yang di atas telah terbendung, air
yang mengalir turun juga jadi berhenti, dengan demikian
danau itu sudah tentu tidak akan meluap terus.
Setelah membendung air terjun itu, Touw Liong tidak
membuang waktu lagi terus lari mengejar si imam tua. Tapi
waktu itu Panji Wulung Wanita sudah lebih dulu mengejar
sampai sejauh dua puluh pal lebih. Touw Liong kini telah
kehilangan sebilah pedang, tetapi sebaliknya telah berhasil
menolong jiwa adik seperguruannya yang jadi tidak akan
terendam lagi oleh air terjun.
Pedang pusaka itu baginya boleh dikata tidak berarti
besar, tetapi ia masih kuatirkan juga barang penting itu
akan terjatuh di tangan Panji Wulung Wanita, sebab jikalau
telah terjadi hal demikian, itu berarti macan bertambah
sayap, entah berapa banyak ancaman lagi bagi rimba
persilatan di kemudian hari.
Tetapi pedang itu kini terjatuh ke tangan imam tua tadi.
Apakah tidak akan membahayakan rimba persilatan" Hal
ini juga masih belum diketahui.
Dari golongan mana imam tua itu" Mengapa belum
pernah terdengar ada orang menyebutkan bahwa dalam
rimba persilatan ada seorang imam yang berkepandaian
sedemikian tinggi"
Touw Liong sambil lari, otaknya terus dikerjakan
memikirkan diri imam tua itu. Ia coba mengingat-ingat
beberapa tokoh tingkatan tua yang berdandan demikian,
siapakah kiranya.
Semula ia coba mencari-cari dari tujuh pahlawan
Butong-pay, usahanya itu telah mengejutkan kepadanya,
sebab dalam ingatannya di antara tujuh pahlawan Butong
itu, Hian-kie-cu yang justru wajahnya dan dandanannya
mirip dengan imam itu. Yang lebih jelas memberi petunjuk
kepadanya ialah cara-caranya yang suka bersenda-gurau
dan mempermainkan orang. Dengan adanya pendapat itu,
Touw Liong lalu berteriak sendiri, dan mengejar lebih
cepat. Dengan munculnya Hian-ki-cu, kini baginya bukan
hanya persoalan sebilah pedang Hok-mo-kiam itu saja,
sebab di samping pedang, masih ada persoalan kematian
suhunya sendiri, yang diduga binasa di tangan Hian-kie-cu.
Dengan susah payah Touw Liong mencoba memikirkan,
tetapi bagaimanapun juga ia tidak bisa menemukan
jawabannya, apa sebab Hian-kie-cu perlu turun tangan
membunuh suhunya Kiu-hoa Lojin"
Pikiran lain membuat pusing kepala Touw Liong, sebab
seorang yang sudah mati beberapa puluh tahun yang lalu,
mungkinkah bisa kembali hidup"
Benarkah Hian-kie-cu adalah seorang yang sangat
misterius itu"
Touw Liong hanya pusatkan perhatiannya dalam
usahanya mengejar imam tua itu. Ia sendiri juga tidak tahu
harus mengejar ke mana. Tetapi ia mempunyai suatu
tujuan, ialah Hian-kie-cu sesudah muncul untuk kedua
kalinya ini, pasti akan mendaki gunung Butong-san untuk
melihat-lihat anak muridnya. Dengan lain perkataan, asal
Touw Liong mengejar ke gunung Bu-tong, rasanya tidak
sulit baginya untuk mendapatkan keterangan.
Sepanjang jalan, Touw Liong teringat kepada soal lain.
Diam-diam ia bertanya kepada diri sendiri, "Sejak pertama
kali aku melihat Panji Wulung Wanita, hingga hari ini, ia
selalu mengenakan kerudung di mukanya, belum pernah
unjukkan wajah aslinya. Apa sebabnya"
Touw Liong tidak dapat mengetahui sebab-sebabnya.
Seandai ada juga sebabnya, satu-satunya sebab hanya di
wajah Panji Wulung Wanita itu tentunya ada memiliki
cacad yang buruk, hingga tidak boleh diperlihatkan kepada
umum. Sudah beberapa ratus pal Touw Liong lari. Hingga
matahari doyong ke barat, masih belum tampak bayangan
dua orang tadi.
Terpaksa ia mencari rumah makan untuk tangsal perut.
Setelah dahar kenyang, barulah melanjutkan usahanya
untuk mengejar.
Malam telah tiba.
Di sebelah timur tampak sinar rembulan. Touw Liong
dengan mengikuti sungai Lo-sui, tibalah di kota Soat-sankoan.
Selagi berdiri memandang keadaan di sekitarnya, dari
arah jauh tiba-tiba tampak dua penunggang kuda sedang
melarikan binatang tunggangannya kearahnya.
Dalam hati Touw Liong bertanya-tanya kepada diri
sendiri, "Siapakah orang itu" Ada urusan penting apa
begini malam melakukan perjalanan tergesa-gesa"
Sepasang kuda yang dilarikan kencang itu, dalam waktu
sekejab mata telah tiba di dekatnya. Setelah berada agak
dekat, Touw Liong sangat girang sekali. Dengan segera ia
menyongsong sambil berseru girang,
"Engko!"
Orang yang naik kuda itu ternyata adalah Kang Kie.
Penunggang kuda yang lain sudah tentu adalah Lo Yu In.
Kang Kie segera menghentikan kudanya dan lompat
turun. Dua saudara itu saling berpelukan, air mata
mengalir turun, lama tidak bisa berkata apa-apa.
Tidak heran, sebab dua saudara sekandung itu, sejak
masih kanak-kanak sudah mengalami nasib buruk. Mereka
berpencar 10 tahun lebih lamanya. Meskipun pernah
berkumpul beberapa hari di atas gunung Bu-san, tetapi
akhirnya mereka terpaksa berpisah lagi, karena masingmasing
harus melakukan tugasnya sendiri-sendiri.
Kemudian, Touw Liong telah mengalami kejadian gaib dan
bahaya, kalau ingin menemukan kepada Kang Kie, ia
hampir selalu menangis.
Kang Kie juga mempunyai perasaan serupa, pun telah
mengalami banyak kejadian besar. Maka begitu melihat
Touw Liong, lantas mengalirkan air mata karena terlalu
girang. Lo Yu In lalu menghampiri mereka dan dengan suara
perlahan memanggil Touw Liong,
"Adik Liong."
Touw Liong seolah-olah sadar dari mimpinya. Ia buruburu
menyeka air matanya dan memberi hormat kepada Lo
Yu In. Setelah itu, barulah masing-masing menceritakan
pengalamannya sendiri-sendiri.
Kiranya hari itu Kang Kie bersama Lo Yu In setelah
berpisah dengan Touw Liong, langsung menuju ke gunung
Ngo-bie, untuk menyelidiki siapa-siapa yang dahulu turut
campur tangan dalam peristiwa pengeroyokan ayah bunda
Kang Kie dan Touw Liong.
Sungguh kebetulan sekali orang yang menyambut
mereka berdua justru Pek-bie Hwesio, juga adalah orang
yang sedang mereka cari. Sayangnya, Kang Kie yang sudah
berhadapan dengan musuh besarnya, tapi ia sedikitpun
masih belum tahu.
Sebaliknya, Pek-bie Hwesio tiada satu menitpun pernah
melenyapkan pikirannya untuk tidak menyingkirkan jiwa
mereka. Kang Kie diterima oleh Pek-bie Hwesio secara sopan, di
atas gunung Ngo-bie ia berdiam satu hari. Di hari kedua,
Pek-bie Hwesio mengajak mereka ke puncak gunung Ngobie,
katanya untuk menikmati pemandangan alam. Siapa
tahu selagi mereka menikmati keadaan di sekitarnya, dalam
waktu kesempatan dengan secara curang Pek-bie
mendorong Kang Kie dan Lo Yu In dari atas puncak
gunung yang sangat tinggi.
Kejadian itu, justru dilihat oleh suheng Pek-bie Hwesio,
dan Pek-bie Hwesio yang takut suhengnya nanti akan
melaporkan kepada ketuanya, maka ia juga ingin
membunuh mati sekalian suhengnya sendiri supaya dapat
menutupi rahasia kejahatannya.
Dua orang saudara seperguruan itu kemudian bertempur
sengit. Pek-bie Hwesio menyerang suhengnya dengan
senjata rotan kunonya. Selagi hendak menurunkan tangan
kejam, kebetulan seorang suheng yang lain, ialah Kim-tan
taysu keburu datang dan berhasil menolong suhengnya.
Begitulah Pek-bie lalu diusir dari atas gunung Ngo-bie.
Setelah Pek-bie Hweshio berlalu dari gunung Ngo-bie,
segera dia menggabungkan diri dengan Panji Wulung
Wanita. Sementara Kang Kie dan Lo Yu Im berdua ketika
didorong oleh Pek-bie dari atas puncak gunung, telah
terjatuh ke dalam gua Kiu-lao-tong. Di situ mereka telah
menemukan kejadian gaib. Mereka telah ditolong oleh
seorang tingkatan tua golongan Ngo-bie yang
mengasingkan diri di tempat itu, bahkan menurunkan
kepada Kang Kie semacam ilmu Sian-kang. Kang Kie
setelah berhasil mempelajari ilmu Sian-kang itu, lalu
digunakan untuk mempelajari ilmu batin Liang-gie-sin-hoat
yang diberitahukan oleh Touw Liong. Begitulah sampai
berhasil mempelajari ilmu batin yang sangat tinggi itu.
Kang Kie telah menceritakan pengalamannya kepada
Touw Liong dengan singkat. Mengingat bagaimana
ganasnya Pek-bie Hweshio, diam-diam Touw Liong
bersyukur atas lolosnya Kang Kie dari tangan kejam padri
ganas itu. Kang Kie memberitahukan kepada Touw Liong
kehendak hatinya yang ingin naik ke gunung Hek-hong-san
untuk mencari Pek-bie Hweshio.
Touw Liong menghela nafas, lalu menceritakan
pengalamannya sendiri dengan singkat. Kang Kie diamdiam
juga merasa bersyukur bahwa adiknya itu telah lolos
dari ancaman bahaya.
Bab 53 KANG KIE bertanya,
"Adik, sekarang kau hendak ke mana?"
"Hendak ke gunung Bu-tong, mencari Hian-kie-cu untuk
minta pedang dan menanyakan kepadanya apa sebabnya ia
membunuh suhu."
"Sayang musuh besarku yang membunuh suhu, Ngo-gak
Lokoay masih tidak ada kabar beritanya sedikitpun juga!"
berkata Kang Kie sambil menghelas nafas.
"Ngo-gak Lokoay sudah kumusnahkan ilmu
kepandaiannya ketika kita mengadakan pertempuran di
gunung Tay-swat-san, sekarang berada di gunung Swat-san
sedang merawat luka-lukanya. Cepat atau lambat suheng
boleh pergi mencarinya untuk membuat perhitungan."
"O, ya! Hampir saja aku menelantarkan urusan yang
besar!" kata Kang Kie seolah-olah baru ingat suatu hal.
Lalu dari dalam sakunya mengeluarkan sebuah sampul
surat, diberikan kepada Touw Liong seraya katanya pula,
"Sewaktu berada di gunung Bu-san aku sudah pikir hendak
memberikan surat ini padamu, tapi waktu itu aku pikir
nanti akan mengganggu usahamu yang sedang mengejar
jejak musuh, jadi tidak kuberikan. Akan tetapi pelajaran di
gunung Ngo-bie sesungguhnya terlalu berbahaya, sehingga
membuka pikiranku untuk harus memberikan surat ini
padamu. Sebab apabila aku menemukan nasib buruk, mati
bagiku merupakan urusan kecil, tapi bila surat ini tidak bisa
kusampaikan kepadamu, bukankah akan membuat
penyesalan seumur hidup?"
Touw Liong menerima surat yang diberikan kepadanya.
Di atas sampul itu terdapat tulisan yang berbunyi:
DITINGGALKAN UNTUK
MURID GENERASI KE-EMPAT
Touw Liong membuka sampulnya. Di dalamnya ada
berisi lima helai kertas. Dapatlah diduga, bahwa urusan
yang ditulis dalam surat itu sesungguhnya terlalu banyak,
sudah tentu tak dapat dibaca dengan teliti dalam waktu
singkat. Ia lalu membalik-balik selembar demi selembar,


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada akhirnya di bagian belakang terbaca tulisan sebagai
berikut : dari Hui-thian Giok-liong
Liu Kiam Hong Adapun Hui-thian Giok-liong Liu Kiam Hong itu,
adalah salah seorang pendekar pedang kenamaan yang
pada seratus tahun berselang namanya pernah
menggemparkan dunia persilatan. Hati Touw Liong jadi
tergerak. Maka segera berkata kepada Kang Kie dengan
suara perlahan,
"Engko, aku pikir hendak mencari suatu tempat untuk
beristirahat dulu. Engko berdua sekarang ini juga tidak
perlu pergi ke gunung Ngo-bie lagi, aku juga tidak usah
tergesa-gesa pergi ke Bu-tong."
Kang Kie tahu bahwa adiknya itu hendak membaca
dengan teliti surat yang diberikannya tadi, maka ia lalu
menunjuk kepada sebuah bukit seraya berkata,
"Bukit itu adalah bukit Heng-phoa-san. Di atas bukit
ada sebuah kelenteng. Pengurus kelenteng itu adalah
sahabat lama engkomu. Mari pergi ke sana saja untuk
beristirahat barang sebentar."
Touw Liong menerima baik usul itu. Ketiganya lalu
memutar diri dan terus berjalan menuju ke bukit Hengphoasan. Dalam waktu yang sangat singkat, mereka sudah tiba di
kelenteng yang dimaksud. Seorang imam yang jenggotnya
panjang, telah menyambut mereka masuk ke dalam
kelenteng dan mempersilahkan mereka minum serta
menyediakan kamar bagi mereka.
Kang Kie mengawani imam itu mengobrol di ruangan
tengah, sedang Touw Liong berada di dalam kamar seorang
diri untuk membaca surat yang ditinggalkan oleh jago
pedang kenamaan Liu tayhiap atau Liu Kiam Hiong.
Surat itu ditulis dalam lima lembar kertas, tetapi apa
yang ditulisnya, hampir seluruhnya merupakan riwayat
hidup Panji Wulung.
Kiranya, dahulu sewaktu Liu Kiam Hiong pulang ke
gunung Oey-san untuk mengasingkan diri, di gunung itu ia
mempelajari ilmu golongan Budha beberapa puluh tahun
lamanya, hingga menjadi seorang padri yang beribadat
tinggi. Puncak Thian-tu-hong merupakan puncak tertinggi di
daerah gunung Oey-san. Tempat itu jarang didatangi oleh
manusia. Pada suatu waktu ketika Liu Kiam Hiong
malamnya bersembahyang, tiba-tiba terdengar suara
perempuan menangis yang datangnya dari arah puncak
gunung itu. Suara tangisan itu telah menarik perhatiannya.
Ia merasa sangat heran, sehingga lama hatinya tergoda, ia
lalu keluar gua. Ketika pandangan matanya ditujukan ke
bagian gunung itu, di tengah-tengah puncak gunung, di
bawah sinar rembulan purnama, tampak seorang wanita
setengah umur sedang menggendong seorang bayi yang
usianya kira-kira baru dua minggu, sedang menangis
dengan sangat sedihnya.
Liu Kiam Hiong waktu itu sudah menjadi seorang padri
beribadat tinggi yang sudah mengasingkan diri dari
duniawi, sudah tentu tidak ingin mencampuri urusan
keduniawian. Ketika menyaksikan pemandangan itu hanya
memuji nama Budha berulang-ulang, tidak turun pergi
memeriksa lebih jauh. Lambat-lambat ia memutar diri dan
berjalan masuk ke guanya sendiri.
Baru saja kakinya melangkah ke pintu gua, di tempat tadi
terdengar pula suara keluhan yang memilukan hati. Hati
Liu Kiam Hiong kini tergerak, ia membalikkan badan untuk
keluar lagi. Ketika ia melongok ke bawah, mulutnya
kembali menyebut kebesaran nama Budha.
Di tempat di mana wanita setengah umur tadi berada,
ternyata sudah kosong! Karena wanita itu sedang lompat
turun, terjunkan diri ke bawah jurang yang pada waktu itu
diliputi oleh awan. Lama sekali tidak terdengar suara apaapa
lagi, maka Liu Kiam Hiong menganggap pasti bahwa
wanita itu tentunya sudah terjun ke dalam jurang untuk
membunuh diri. Memikirkan nasib orok dalam gendongannya, Liu Kiam
Hiong lalu turun ke bawah untuk mencari. Tak lama
kemudian ia dapat menemukan anak orok itu. Di tanah di
dekat tubuh orok itu, terdapat sepotong kertas yang ditulis
dengan darah. Liu Kiam Hiong memondong anak orok itu dan
memungut surat yang ditulis dengan darah. Tulisan itu
dengan ringkas menyebutkan bahwa anak itu bernama Kee
Hong Kie. Ayahnya bernama Kee In Hok, adalah seorang
pendekar yang waktu itu namanya sangat kesohor di daerah
selatan. Pada suatu waktu, Kee In Hok membawa istri dan
anaknya pergi pesiar ke tempat-tempat kenamaan di seluruh
negeri. Ketika ia tiba di puncak gunung Heng-san, telah
menemukan sebagian kitab Thay-it Cin-keng. Kitab itu
meskipun setengahnya saja, tetapi masih terdiri dari 6 jilid.
Ketika ia menemukan kitab pusaka itu, sangat girang sekali.
Tetapi tidak diduga-duga olehnya, lantaran penemuannya
itu, akhirnya telah disusul oleh bencana.
Waktu itu, enam jago pedang kenamaan sudah datang
bersama. Mereka meminta kepada Kee In Hok enam jilid
kitab Thay-it Cin-keng yang didapatkan olehnya tadi.
Sudah tentu permintaan enam jago pedang itu ditolak
olehnya. Dengan demikian, terjadilah suatu pertempuran
hebat dan Kee In Hok akhirnya mati dibawah tangan enam
jago pedang tersebut.
Istri Kee In Hok ialah wanita setengah umur itu.
Mendengar bahwa Liu Kiam Hiong mengasingkan diri di
puncak gunung Thian-tu-hong, maksudnya menggendong
anaknya yang masih orok itu mendekati gunung Oey-san
ialah untuk minta kepada Liu Kiam Hiong supaya suka
merawat orok. Tapi ketika tiba di tengah-tengah puncak
gunung Thian-tu-hong, karena menampak perjalanan ke
atas puncak gunung itu sangat sukar, ia sudah tidak dapat
naik lagi. Oleh karena itu maka ia menangis tersedu-sedan.
Pada akhirnya ia menulis surat dengan darahnya sendiri.
Di atas kertas bertulisan darah itu juga ditulisnya nama
enam orang yang menjadi musuh besar anak itu.
Kemudian terjunkan diri ke dalam jurang untuk membunuh
diri. Kee Hong Kie selanjutnya dirawat oleh Liu Kiam Hiong
dan berdiam di puncak gunung Thian-hu-tong delapan belas
tahun lamanya. Setelah belajar kepandaian ilmu yang
jarang terdapat di dalam rimba persilatan, suatu waktu Liu
Kiam Hiong lalu memerintahkan Kee Hong Kie turun
gunung untuk membereskan permusuhan terhadap
ayahnya. Hari ketiga ketika untuk pertama kali turun gunung, di
atas jalan In-hong, Kee Hong Kie telah berjumpa dengan
seorang gadis cantik bagaikan bidadari.
Entah apa sebabnya, tatkala melihat gadis itu ia begitu
tertarik dan tanpa disadari sudah mengikuti jejak gadis
cantik itu hingga sampai di gunung Bu-san.
Di sepanjang jalan, gadis itu sama sekali tidak
menghiraukan Kee Hong Kie, melihat saja pun tidak.
Begitu naik ke gunung Bu-san, gadis itu masuk ke sebuah
biara. Tetapi Kee Hong Kie masih penasaran dan terus
membuntuti, masuk juga ke biara tersebut.
Dengan alasan ingin mempelajari pelajaran agama
Budha, Kee Hong Kie lalu minta kepada pengurus biara itu
supaya ia diperbolehkan berdiam di situ.
Sudah tentu permintaannya itu ditolak oleh pengurus
biara. Kee Hong Kie tidak berdaya. Ia keluar dari biara
dan mendirikan sebuah gubuk yang terpisah kira-kira 3 pal
dari biara tersebut.
Di waktu siang hari ia membaca kitab dan melatih ilmu
silatnya, di malam hari ia berkeliaran di sekitar biara itu,
dengan pengharapan dapat melihat gadis yang
dirindukannya itu.
Satu hari. Dua hari lewat.
Satu bulan. Tiga bulan ....
Tanpa dirasa setengah tahun telah berlalu. Selama
waktu setengah tahun itu, Kee Hong Kie hanya melihat tiga
kali saja gadis yang dirindukannya itu. Bahkan dilihatnya
dari tempat yang jauh sekali! Ketika ia hendak pergi
menghampiri untuk melihat dari dekat, gadis itu terkejut
dan menghilang ke dalam biara.
Oleh karena Kee Hong Kie adalah seorang laki-laki yang
pernah ditolak oleh pengurus biara, akhirnya ia tidak berani
berlaku gegabah, hingga juga tidak berani menerjang masuk
dengan kekerasan ke dalam biara.
Pada satu malam, ketika kentongan baru berbunyi tiga
kali, Kee Hong Kie mondar-mandir di bawah sinar
rembulan purnama sambil menarik nafas panjang pendek.
Tiba-tiba tampak berkelebatnya bayangan orang yang
muncul dari dalam biara. Seorang gadis cantik bagaikan
bidadari keluar dari biara dan berjalan ke arahnya.
Kee Hong Kie terperanjat bukan main. Ia berdiri terpaku
di tempatnya. Sementara itu si gadis cantik sudah berjalan
ke hadapannya. Dengan sikapnya yang lemah lembut
menjura kepadanya. Pertanyaan pertama yang diajukan
oleh gadis itu ialah menanyakan tentang golongan atau
murid dari siapa.
Pertanyaan itu benar-benar menyulitkan Kee Hong Kie.
Sebab, Liu Kiam Hiong adalah seorang pendekar kenamaan
yang sudah mengasingkan diri tidak mau mencampuri
urusan dunia lagi, yang sama sekali tidak suka anak
muridnya menyebut namanya di kalangan Kangouw.
Maka pada wktu menyuruh Kee Hong Kie turun gunung
saja, guru itu malah pesan wanti-wanti melarang Kee Hong
Kie membawa-bawa nama gurunya. Oleh karenanya maka
ketika gadis cantik itu menanyakan Kee Hong Kie murid
dari golongan mana, untuk sesaat Kee Hong Kie tidak bisa
menjawab Gadis cantik itu menghela nafas, lalu membalikkan
badan dan hendak pergi lagi, sementara mulutnya berkata.
"Aku kiranya sudah salah melihat orang. Kulihat kau
selama setengah tahun ini telah tergila-gila kepadaku, maka
aku merasa sangat kasihan. Oleh karenanya, aku perlukan
datang sendiri untuk menanyakan kepadamu. Tak
kusangka, pertanyaanku yang pertama ternyata sudah
menyulitkan dirimu. Sudahlah, kita barangkali memang
tidak berjodoh, terpaksa masing-masing harus berjalan di
atas jalannya sendiri-sendiri!"
Kee Hong Kie yang mendengar ucapan itu benar-benar
sangat cemas. Dari mulutnya baru saja mengeluarkan
perkataan "nona", badannya sudah bergerak ke hadapan
gadis itu untuk menghalangi, kemudian menjura dan
berkata kepadanya,
"Aku yang rendah bernama Kee Hong Kie, murid Huithian
Giok-liong Liu tayhiap ...."
Nama Hui-thian Giok-liong sudah hampir dikenal oleh
seluruh orang. Maka, ketika mendengar bahwa pemuda
Kee Hong Kie di hadapannya ini adalah muridnya jago
pedang kenamaan itu, gadis cantik itu bukan kepalang
terkejutnya, hampir saja ia menjerit.
Lama sekali ia mengawasi Kee Hong Kie dengan
sepasang matanya yang bening dan lembut.
Ia benar-benar terkejut, tetapi di dalam keterkejutannya
itu juga mengandung perasaan girang yang tidak sedikit.
Lama sekali, gadis itu membuka lagi mulutnya sambil
memberi hormat ia memperkenalkan namanya sendiri,
"Nio Giok Leng."
Kee Hong Kie girang sekali. Ia buru-buru memanggil
nama gadis itu, sikapnya sangat mesra. Sebaliknya malah
Nio Giok Leng yang bersikap terbuka. Ia memberi isyarat
kepada Kee Hong Kie supaya lantas duduk di bawah
sebuah pohon cemara yang ditunjuknya.
Malam itu merupakan malam yang sangat bahagia bagi
kedua insan itu. Usaha Kee Hong Kie setengah tahun
lamanya untuk dapat berkenalan dengan gadis yang
dirindukan itu ternyata tidak selamanya tersia-sia, akhirnya
ia dapat berkenalan juga dengan gadis cantik bagaikan
bidadari yang bernama Nio Giok Leng itu.
Hari kedua ....
Hari ketiga ....
Hampir setiap malam mereka mengadakan pertemuan
dan duduk bersama-sama sambil mengobrol di bawah
pohon cemara. Satu bulan telah berlalu, dan hubungan mereka semakin
erat. Pada suatu hari, Kee Hong Kie memberanikan diri
melamar Nio Giok Leng.
Nio Giok Leng yang dilamar secara resmi oleh Kee
Hong Kie, sepasang matanya segera mengalirkan air mata.
Katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala,
"Dalam hidupku ini tidak ingin kawin, juga tidak bisa
kawin." Kee Hong Kie heran mendengar jawaban itu. Tanyanya
dengan cemas, "Kenapa?"
Nio Giok Leng tidak menjawab, hanya dengan kedua
tangannya menutup mukanya, menangis dengan amat
sedihnya. Kee Hong Kie semakin cemas. Ia tidak mengerti sebab
musabab timbulnya kelakuan aneh dari kekasihnya itu.
Ditanya berulang-ulang Nio Giok Leng tetap membisu.
Akhirnya, dengan kedua tangan diletakkan di atas bahu Nio
Giok Leng, Kee Hong Kie bertanya dengan suara lemah
lembut, "Adik Leng, katakanlah! Berapa besar kesulitan yang
menghalangi maksudmu itu" Katakanlah terus terang.
Urusanmu juga akan menjadi urusanku. Asal aku mampu
melakukan, sekalipun terjun kelautan api, aku juga
bersedia."


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nio Giok Leng berhenti menangis. Tanyanya,
"Apakah itu benar?"
Kee Hong Kie dengan tangan menunjuk ke atas langit
mengatakan sumpahnya,
"Tuhan Yang Maha Esa! Asal hari ini aku Kee Hong
Kie mengatakan perkataan yang tidak sesuai dengan hatiku,
Tuhan tidak akan melindungi aku lagi."
Nio Giok Leng buru-buru mengulurkan tangannya yang
halus menutup mulut kekasihnya, melarang kepadanya
meneruskan sumpahnya.
Bersamaan dengan itu, ia lantas menjatuhkan kepalanya
ke dalam pelukan si pemuda dan menangis lagi dengan
amat sedihnya. Ia menangis demikian sedih. Kee Hong Kie
memeluknya, membiarkan dia menangis sepuas-puasnya.
Lama sekali, ia baru berhenti menangis dan
menceritakan riwayat hidupnya sebagai berikut :
Ayah Nio Giok Leng adalah seorang penjahat besar yang
berkepandaian sangat tinggi, yang biasa melakukan
kejahatan seorang diri.
Hingga pada suatu waktu, ketika ia melakukan kejahatan
di kota Lam Ciang, di samping mencuri harta benda
keluarga Ong Pek Boan, ia juga sudah menghabisi seluruh
keluarga Ong itu yang semuanya berjumlah 7 jiwa sehingga
merupakan peristiwa berdarah yang sangat mengejutkan
kota itu. Peristiwa kejam itu telah membangkitkan amarah dan
menarik perhatian 6 tokoh rimba persilatan yang waktu itu
kebetulan lewat di kota Lam Ciang. Mereka lalu turun
tangan dan berhasil membinasakan Nio Giok Leng.
Kejadian itu merupakan suatu kejadian yang terjadi pada
5 tahun berselang. Waktu itu, Nio Giok Leng baru berusia
14 tahun. Ibunya telah membawanya ke daerah Cek-sui,
masuk menjadi anggota Hek-hong-kauw, mengharap
dengan pengaruh Kauwcu Hek-hong-kauw, di kemudian
hari dapat membalas dendam kematian suaminya.
Nio Giok Leng sendiri pernah bersumpah di hadapan
jenasah ayahnya, bahwa selama hidupnya itu apabila tidak
dapat membalas sakit hati ayahnya, ia tidak akan mau
menikah. Kali ini Nio Giok Leng atas perintah Kauwcunya pergi
ke gunung Bu-san untuk mencari Ceng-gwat Suthay di biara
Cui-hong-am untuk menyulam 12 buah panji hitam yang
dinamakan Panji Wulung, untuk digunakan dalam
keperluan pembukaan partai Hek-hong-kaw.
Nio Giok Leng yang kini sudah jatuh cinta benar-benar
kepada Kee Hong Kie, lebih mengerti bahwa Kee Hong Kie
adalah berasal dari golongan baik-baik, sedang ia sendiri
adalah anak perempuan penjahat besar. Lagi pula kini
berlindung di bawah perkumpulan Hek-hong-kaw yang
namanya kurang baik, maka ia tahu benar bahwa
perkawinan mereka tidaklah mungkin dapat terjadi.
Lagi pula, sebelum usahanya menuntut balas dendam
sakit hati ayahnya itu berhasil, tidak mungkin ia dapat
menikah, sedangkan Kee Hong Kie sendiri rasanya juga
tidak mungkin mau turun tangan membantu dirinya
membunuh enam orang yang dikenal sebagai pendekar
kenamaan dalam rimba persilatan. Oleh karenanya, maka
ketika pertama dilamar oleh Kee Hong Kie, ia lalu
menangis dengan sedih sekali.
Akan tetapi, dalam dunia ini kadang-kadang hal-hal yang
sangat aneh, yang diduga tak mungkin akan terjadi, kadangkadang
bisa saja menjadi mungkin. Entah disebabkan
karena Kee Hong Kie terlalu mencintai Nio Giok Leng
ataukah ia sudah khilaf atau bagaimana saat itu ia lantas
menerima baik permintaan kekasihnya untuk melakukan
apa yang dikehendaki oleh sang kekasih!
Nio Giok Leng yang merasa berhutang budi, harus
dibalas dengan semestinya, maka ia juga menerima baik
lamaran pemuda itu.
Dalam pikiran Kee Hong Kie waktu itu, kali ini turun
gunung, maksudnya ialah hendak menuntut balas dendam
sakit hati kematian ayahnya, sedangkan enam orang musuh
besarnya itu, pada saat ini juga merupakan 6 orang dari
partai golongan baik-baik yang namanya terkenal. Oleh
karenanya, maka ia anggap membunuh 6 orang juga
merupakan suatu pembunuhan. Membunuh 12 jiwa juga
serupa saja, sama-sama membunuh!
Nio Giok Leng memberikan 12 buah panji hitam
kepadanya. Di samping itu juga memberikan kepadanya
sebilah pisau belati pusaka yang hanya 7 dim pendeknya,
juga diajari nyanyian Panji Wulung.
Bulan purnama Kee Hong Kie turun gunung. Ketika
kembali, ia membawa dua kepala manusia dalam keadaan
seperti masih hidup. Dua kepala manusia itu adalah kepala
dua orang yang menjadi musuh besarnya Nio Giok Leng.
Apa sebab kepala manusia itu masih dalam keadaan
seperti masih hidup" Bukan lain karena pisau pusaka yang
diberikan oleh Nio Giok Leng itu adalah sebilah pisau
pusak yang luar biasa. Siapa saja yang dipenggal kepalanya
dengan pisau itu, akan terlihat seperti masih hidup.
Ketika menerima dua kepala manusia itu, Nio Giok
Leng kelihatan sangat terharu. Hari itu juga ia lalu
mengadakan upacara sembahyangan pada arwah ayahnya,
setelah itu ia menyerahkan dirinya kepada Kee Hong Kie.
Satu tahun sudah berlalu, bukan saja semua musuhmusuh
Nio Giok Leng sudah dibinasakan oleh Kee Hong
Kie, tetapi musuh-musuh Kee Hong Kie sendiri juga
semuanya sudah terbunuh. Peristiwa itu, pada masa itu
merupakan suatu peristiwa besar yang belum pernah ada di
dalam sejarah rimba persilatan. Selama 100 tahun,
peristiwa itu masih merupakan suatu teka-teki besar yang
belum terpecahkan. Semua orang rimba persilatan juga
tidak tahu siapakah orangnya yang menamakan diri Panji
Wulung itu. Setahun lagi telah berlalu. Nio Giok Leng juga sudah
menyelesaikan pekerjaan sulamannya 124 buah Panji kecil
berwarna hitam yang dinamakan Panji Wulung itu. Waktu
itu ia juga sudah mengandung.
Liu Kiam Hong sudah mendengar juga kabar bahwa
dalam rimba persilatan telah kehilangan 12 tokoh
kenamaan yang mati secara misterius. Ia sebetulnya tidak
mau lagi mencampuri urusan duniawi, tetapi terpaksa turun
gunung juga untuk mencari muridnya ialah Kee Hong Kie.
Setelah diketemukannya, segera dimusnahkan kepandaian
ilmu silat muridnya itu dan dibawa kembali ke gunung Oeysan.
Kemudian setelah itu menghukum sang murid untuk
duduk menghadap tembok seumur hidup.
Nio Giok Leng yang berada di atas gunung Bu-san,
ketika ditinggal pergi suaminya, telah melahirkan seorang
anak laki-laki yang diberi nama Kee Tin, tapi ia sedikitpun
tidak merasa sedih sebab ia mengerti keadaan sendiri. Ia
juga mengerti bahwa untuk selanjutnya, ia tidak akan dapat
bertemu lagi dengan suaminya.
Ada dua soal yang melegakan hatinya,
Pertama ialah dendam sakit hati ayahnya sudah terbalas!
Dan kedua, ia sendiri sudah mempunyai anak.
Ia sebetulnya sudah berpikir bahwa dalam hidupnya ini,
selamanya tidak akan meninggalkan gunung Bu-san dan
ingin hidup mengasingkan diri di tempat itu, membesarkan
anaknya, mengharap supaya sang anak menjadi orang baikbaik.
Akan tetapi, berputarnya roda penghidupan tiada
seorang pun yang dapat mengendalikan. Sewaktu anak
laki-laki itu sudah berusia 2 tahun, Kauwcu dari
perkumpulan Hek-hong-kaw telah mengutus orang untuk
minta Nio Giok Leng menyerahkan 124 buah panji yang
dibutuhkan. Oleh karena Nio Giok Leng sudah
memberikan 12 buah kepada Kee Hong Kie, maka tidak
sanggup memenuhi permintaan itu. Hal itu telah
menimbulkan kemarahan Kauw-cu Hek-hong-kaw, lantas
mengirim utusan lagi untuk menangkap Nio Giok Leng dan
dibawa kembali ke gunung Hek-hong-san. Begitulah Nio
Giok Leng kemudian dipenjarakan di sana.
Kejadian tersebut juga telah dapat didengar oleh Liu
Kiam Hiong. Jago pedang kenamaan itu lalu pergi ke
gunung Hek-hong-san untuk mencari Kauwcu Hek-hongkow
guna merundingkan soal itu. Waktu itu yang menjadi
Kauwcu Hek-hong-kow adalah cucu murid Hek-hong
Lojin. Kauwcu itu sikapnya terlalu sombong, sedikitpun
tidak pandang mata kepada Liu Kiam Hiong. Oleh
karenanya, hingga menimbulkan amarah Liu Kiam Hiong
dan terjadilah suatu pertempuran, yang berakhir dengan
menyerahnya Kauwcu Hek-hong-kow. Kemudian Liu
Kiam Hiong minta supaya ia segera membebaskan Nio
Giok Leng dan membubarkan perkumpulan Hek-hong-kow.
Perkumpulan Hek-hong-kow itu akhirnya bubar. Tapi
Nio Giok Leng yang tidak tega mengkhianati kauwcunya,
tetap berdiam di gunung Hek-hong-san untuk merawat Hekhong
Kauwcu yang pada waktu itu sudah berusia lanjut.
Beberapa tahun kemudian, Kauwcu Hek-hong-kow
menutup mata hingga Nio Giok Leng melanjutkan
kedudukan dan tugasnya.
Ketika anak Nio Giok Leng sudah berusia 4 tahun, Liu
Kiam Hiong datang lagi ke gunung Hek-hong-san untuk
membawa pergi anak itu.
Sejak perpisahan dengan anaknya, adat Nio Giok Leng
banyak berubah. Ia menutup kediamannya di gunung Hekhongsan dan bersumpah selamanya tidak akan
meninggalkan tempat kediamannya itu.
Ketika ia sudah setengah umur, Liu Kiam Hiong pernah
datang sekali untuk menengok. Di situ telah mengetahui
bahwa adat wanita itu telah berubah menjadi sangat aneh.
Oleh karenanya, maka ia mencarikan seorang anak piatu
perempuan, kemudian diantarkan ke gunung Hek-hong-san
untuk mengawasi dan merawat wanita yang bernasib
malang itu. Tak lama kemudian, Liu Kiam Hiong juga menutup
mata. Kee Hong Kie waktu itu sudah mencukur rambutnya
dan menjadi padri beribadat tinggi. Ia telah melanjutkan
cita-cita Liu Kiam Hiong. Sedangkan Kee Tin, ialah
anaknya sendiri diam-diam juga sudah berhasil
mendapatkan warisan berupa seluruh kepandaian Liu Kiam
Hiong. Tetapi sampai sebegitu jauh, antara mereka ayah
dan anak ini, meskipun setiap hari berada di satu tempat
dan berhadap-hadapan, tetapi mereka belum tahu kalau ada
hubungan antara ayah dan anak.
Pada waktu itu, Kee Hong Kie telah menguasai
kelenteng Tay-seng-sie di gunung Oey-san. Kee Tin yang
berada di dalam kelenteng itu hampir tidak mempunyai
pekerjaan apa-apa. Karena ia tidak masuk golongan
Budha, maka di waktu pagi tidak melakukan kebiasaan
membaca kitab dan di waktu malam juga tidak bersujud
kehadapan Budha.
Sifat anak itu jauh berbeda dengan ayahnya. Hampir
setiap hari ia pergi keluyuran ke bawah gunung. Jikalau
tidak minum arak sampai mabuk, tentunya pergi mencari
setori dengan penduduk di bawah gunung Oey-san.
Hampir setiap hari tidak terlepas dari makanan daging, juga
tidak bisa membuang kebiasaan minum arak. Hampir
semua padri yang berada di kelenteng itu takut kepadanya.
Kee Hong Kie dalam keadaan marah, lantas mengusir
anaknya sendiri itu turun gunung.
Selanjutnya Kee Tin sudah tidak ada orang yang
mengendalikan lagi. Ia mulai berkelana ke dunia Kangouw.
Dalam perjalanan itulah ia berjumpa dengan Kim-tho
yang mempunyai julukan Pelajar Jari Sembilan, dan
bertemu lagi dengan seorang tokoh kuat yang mempunyai
julukan Sam-kang Sam-yang. Tiga orang inilah akhirnya
yang mendirikan golongan pengemis.
Kee Hong Kie di masa tuanya, meskipun sudah menjadi
seorang padri beribadat tinggi, tetapi toh masih belum dapat
melupakan bahwa ia dahulu pernah mempunyai seorang
anak. Maka ia lalu menyuruh orang untuk pergi mencari.
Akhirnya, dari surat-surat peninggalan suhunya, barulah ia
tahu bahwa padri seperti orang gila yang setiap hari tidak
terlepas dari daging dan arak " waktu itu Kee Tin juga
sudah menjadi padri " adalah anaknya sendiri, maka
akhirnya telah mencari padri gila itu dan disuruh kembali.
Ketika ia menutup mata, kedudukan dan kepandaiannya
juga telah diturunkan kepada anaknya itu.
Tetapi Kee Tin yang sudah biasa hidup menurut
kesukaan hatinya sendiri, tidak mau dikekang oleh
peraturan dalam kelenteng, yakni setiap pagi hari dan
malam harus membaca kitab dan bersembahyang. Ia telah
menyerahkan kedudukannya itu kepada sutenya. Diamdiam
ia berlalu meninggalkan kelenteng Tay-seng-sie,
kembali melakukan hidupnya yang seperti orang
gelandangan. Sementara Nio Giok Leng yang berada di gunung Hekhongsan, benar-benar mematuhi sumpahnya sendiri,
selama hidupnya belum pernah meninggalkan gunung itu.
Tetapi di masa tua, sifatnya semakin aneh, seolah-olah
sudah hilang sifat kemanusiaannya. Seluruh
kepandaiannya diturunkan kepada anak piatu perempuan
yang merawat dirinya. Juga diberitahukan kepadanya,
bahwa dialah yang pada beberapa puluh tahun berselang
pernah membunuh 12 pendekar kenamaan di rimba
persilatan, dan dia pulalah yang waktu itu menamakan diri
sebagai Panji Wulung.
Kemudian ia juga meninggalkan dua belas buah panji
kecil yang lain kepada anak perempuan itu.
Sepuluh tahun berlalu. Anak perempuan piatu tadi
perlahan-lahan juga telah mangkat dewasa, bahkan kini
tampak semakin cantik. Tetapi justru kecantikannya itulah
yang telah membawa sial dirinya. Sebab, Nio Giok Leng
yang sudah berubah adatnya, takut anak piatu itu akan
berubah cita-citanya dan diam-diam meninggalkannya,
pada suatu hari selagi anak piatu itu tidur pulas, telah
mengerahkan kekuatan tenaga dalam ke telapak tangannya


Panji Wulung Karya Opa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" hingga telapak tangan itu berubah bagaikan bara " lalu
ditekannkan ke kedua pipi anak piatu tadi. Sepasang pipi
yang tadinya halus putih kini telah menjadi hangus hingga
anak perempuan itu juga jadi buruk wajahnya. Anak
perempuan piatu inilah yang kemudian menjadi Panji
Wulung Wanita. Selanjutnya, anak perempuan piatu itu yang kemudian
menamakan diri Panji Wulung Wanita " telah menjadi
sangat buruk sekali wajahnya. Oleh karenanya, sejak hari
ia meninggalkan gunung Hek-hong-san, setiap hari harus
mengenakan kerudung kain hitam di mukanya, orang lain
belum pernah melihat wajah aslinya. Tak lama kemudian,
suhunya, ialah Nio Giok Leng juga menutup mata.
Panji Wulung Wanita kini telah mewarisi seluruh
kepandaian Nio Giok Leng, bahkan dari sucouwnya, ialah
Kaucu perkumpulan Hek-hong-kow, juga mendapatkan tiga
jilid kitab Thay-it Cin-keng. Kitab itu dipelajarinya dengan
tekun selama beberapa puluh tahun, akhirnya menjadi
semacam ilmu Hek-hong-im-kang dari golongan Hek-hong.
Itulah yang kemudian menjadi ilmu terganas dalam rimba
persilatan. Justru karena sudah berhasil mempelajari ilmu Hekhongim-kang itu, maka timbullah ambisinya untuk
membangun kembali perkumpulan Hek-hong-kow.
Sehabis membaca surat yang ditulis dalam lima lembar
kertas itu, waktunya sudah larut malam. Touw Liong
mengangkat kepala mengawasi rembulan di langit,
kemudian membuka pintu dan berjalan ke pekarangan. Di
situ ia menghela nafas panjang dan berkata kepada dirinya
sendiri, "Kalau demikian halnya, Panji Wulung Wanita itu
masih menjadi susiokku. Menurut peraturan dan tata tertib,
aku tidak boleh duduk diam tidak memperdulikan sepak
terjangnya, hingga ia mengacau rimba persilatan."
Teringat kepada diri Panji Wulung Wanita itu, tubuh
Touw Liong gemetaran. Pikirnya, "Menurut tingkat, dia
adalah susiokku, seharusnya aku berlaku merendah dan
menghormat kepadanya tetapi menurut keadaan dan
kenyataan sekarang ini, dia adalah musuh besarku,
bagaimana aku harus berbuat?"
Pikiran Touw Liong kini teringat kembali kepada pedang
Hok-mo-kiam. Ia juga teringat bahwa pedang itu besar
hubungannya dengan nasib rimba persilatan di kemudian
hari. Pedang itu bagaimanapun juga tidak boleh terjatuh ke
tangan Panji Wulung Wanita. Oleh karena timbulnya
pikiran demikian, ia segera pergi mencari Kang Kie,
menceritakan maksud hatinya, yang mana ia sendiri hendak
mengambil tindakan tegas, untuk merintangi Panji Wulung
Wanita supaya jangan berhasil merebut pedang itu.
Kang Kie sangat setuju. Keduanya mereka berunding
sebentar. Kang Kie anggap bahwa melakukan perjalanan
ke gunung Bu-san tidak ada faedahnya, sebab Hian-kie-cu
setelah merampas pedang pusaka itu, belum tentu kembali
ke gunung Bu-tong.
Tetapi Touw Liong beranggapan sebaliknya. Katanya,
"Panji Wulung Wanita belum tentu dapat mengejar
Hian-kie-cu. Apabila ia tidak berhasil mengejarnya, ada
kemungkinan pergi ke gunung Bu-tong untuk minta orang."
Kang Kie berpikir sejenak, akhirnya dapat menyetujui
pikiran Touw Liong, maka tiga orang tersebut pada malam
itu juga lantas berangkat ke gunung Bu-tong.
Di hari kedua, mereka tiba di sungai Lo-sui. Touw
Liong memandang ombak air sungai yang bergumpalan,
katanya, "Kalau diingat pada permulaan berdirinya Sam Kok atau
tiga negara, Cukat Liang menuju ke barat untuk
menghancurkan musuh-musuhnya. Ketika melalui sungai
yang arusnya besar ini, pernah mengeluarkan kata-kata
yang kemudian menjadi termasyhur pada generasi-generasi
berikutnya. Dan sekarang, kita berdua saudara sejak masih
kanak-kanak sudah mengalami nasib buruk. Kini
berhadapan dengan sungai yang arusnya hebat ini, Siaote
mempunyai suatu hasrat. Entah ...."
Ia mengawasi Kang Kie.
Kang Kie lalu bertanya,
"Hiante ada mempunyai hasrat apa?"
Touw Liong menunjuk rumput-rumput yang banyak
terdapat di tepi sungai seraya berkata,
"Aku pikir setelah berhasil menuntut balas sakit hati
ayah bundaku, akan mendirikan sebuah rumah di atas
tanah rerumputan yang subur ini."
Kang Kie mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,
"Hiante ada mempunyai hasrat seperti itu, sudah tentu
Hati Budha Tangan Berbisa 5 Amanat Marga Karya Khu Lung Pukulan Si Kuda Binal 4

Cari Blog Ini