Ceritasilat Novel Online

Pedang Darah Bunga Iblis 8

Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H Bagian 8


"Kalau orang yang dipenjarakan itu benar2 adalah Bundaku, hm,
darah para pendeta Siau lim si akan mengalir dan menyirami
seluruh puncak Siau sit hong."
Ucapan yang mengandung nafsu membunuh yang besar ini
membuat si maling tua dan Siang Siau hun bergidik seram.
26. SUMA BING TERTAWAN DIDALAM KUIL SIAU LIM SI.
"Buyung kau akan menimbulkan banjir darah ditempat suci
yang agung itu?" "Bila perlu akan kulakukan!" "Buyung, jangan
kau bersimaha raja dan membunuh tanpa
dosa" "Tanpa dosa, biarlah kenyataan membuktikan apakah
benar para pendeta Siau lim itu benar2 tidak berdosa" "Mari
berangkat, kita bisa saling bantu membantu!" "Jangan, wanpwe
ingin berangkat sendiri! Kebaikan
Cianpwe yang luhur ini, selamanya takkan kulupakan!" " lalu ia
berpaling kearah Siang Siau hun dan berkata lagi: "Adik Hun,
maafkan aku, jagalah dirimu baik2, selamat bertemu!"
Alis si maling tua berkerut, serunya lantang: "Buyung!! itu hanya
satu rekaan saja, jangan kau terlalu gagabah, orang yang
dipenjarakan itu mungkin bukan ibumu"
"Baik, Wanpwe terima nasehat ini!" suara sahutan Suma Bing ini
kedengaran sudah sangat jauh sekali.
Akhirnya tak tertahan lagi air mata Siang Siau hun meleleh deras
membasahi pipi.
"E, nona elok, buat apa kau merengek2 dan sesenggukkan.
memang begitulah tabiatnya, bukan dia memandang rendah
hubungan kita bersama. Mari kita juga berangkat mengikuti
dibelakangnya!"
Siang Siau hun manggut2, bersama si maling bintang mereka
ber-lari2 kencang mengejar dibelakang Suma Bing.
Secepat terbang Suma Bing menempuh perjalanannya menuju ke
Siau lim si, siang dan malam hampir belum pernah berhenti. Besar
harapannya bahwa wanita yang terkurung digua puncak Siau sit
hong itu adalah ibunya San hoa li Ong Fang lan. Ter-bayang2
olehnya akan wajah ibunya yang belum pernah dilihatnya. Lantas
terbayang juga calon istrinya Phoa Kin sian gadis nan ayu rupawan
bak bidadari, dia sudah mengandung, sekuntum bunga bahagia
mekar pada wajahnya, yang selama ini sayu dan redup, agaknya
dia sudah melupakan akan segala pengalamannya yang pahit getir
selama ini. Hari itu, didepan puncak Siau sit hong muncul seorang pemuda
ganteng, bertubuh tegap gagah berwajah dingin membeku penuh
kecongkakan. Dia, bukan lain adalah Sia sin kedua Suma Bing.
Menyusuri jalanan gunung yang ber-liku2 Suma Bing tengah
menempuh perjalanannya menuju kegereja Siau lim si. Tidak lama
kemudian pintu biara yang agung itu sudah samar2 terlihat dari
kejauhan. Serta merta berdetak hati Suma Bing, ketegangan mulai
melingkupi benaknya.
Tiba2 terdengar sabda Budha yang keras menggetarkan telinga,
muncullah dua pendeta berjubah abu2 tangan mereka membekal
tongkat Hong pian jan dan menghadang ditengah jalan.
Tanpa disadari Suma Bing menghentikan langkahnya. Salah
seorang pendeta itu, sebelah tangannya dirangkap
didepan dada memberi sapa hormat lalu bertanya: "Sicu ini orang
kosen darimanakah?"
"Aku yang rendah Suma Bing!" Mendadak berubah airmuka
kedua pendeta itu, kata
pendeta yang bicara tadi: "Sia sin kedua yang dikabarkan di Bulim
itu adalah Sicu adanya?"
Suma Bing mengiakan sambil manggut2. "Ada pengajaran
apakah tuan datang ke biara kita?" "Ada urusan penting, aku
ingin berjumpa dengan Ciang bun
Hong tiang!" Lagi2 kedua pendeta itu tergetar, kata yang lain:
"Sicu ingin bertemu dengan Hong tiang?" Suma Bing menganggukkan
kepala, "Benar!" sahutnya
tidak sabaran. "Silakan Sicu sebutkan maksud kedatanganmu, jadi
ada alasan siau ceng melapor pada ci khek (pendeta penerima
tamu)?" "Yang ingin kutemui hanyalah Ciang bun Hong tiang kalian,
tentang maksud kedatanganku, nanti setelah ketemu Hong tiang
kalian baru kukatakan"
"Ini merupakan peraturan biara kita, adalah Ci khek yang
menyambut tamu, apakah itu urusan kecil atau besar, baru
dilaporkan kepada pengawas atau Hong tiang"
"Peraturan biara kalian terlalu melit," jengek Suma Bing, "Silahkan
kalian berdua lapor, katakan Suma Bing ingin ketemu Hong tiang
kalian." Rona wajah kedua pendeta itu berobah tak menentu, salah
seorang segera berkata: "Kalau Sicu tidak menerangkan maksud
kedatanganmu, maaf Siau ceng tak bisa melapor, silakan turun
gunung saja!"
Membeku wajah Suma Bing, desisnya: "Aku yang rendah minta
bertemu secara hormat, terhitung aku segan dan menghormati
partai kalian, ini sudah sangat sungkan sekali. Kalau kalian benar
berkukuh ingin aku menyebut maksud kedatanganku, maaf..."
"Bagaimana?" "Maka terpaksa aku yang rendah langsung
mencari sendiri
Ciangbun kalian." Kedua pendeta itu mundur ketakutan sambil
melintangkan Hong pian jan... "Apa kalian mau berkelahi?" ejek Suma Bing
menghina. Salah seorang pendeta itu berseru gusar: "Tempat suci
yang agung, tidak boleh membuat kerusuhan disini, harap Sicu
suka berpikir panjang!"
"Bagus benar tempat suci yang diagungkan!" " dengus Suma
Bing sambil melangkah maju hendak menerjang.
"Sicu tidak mendengar nasehat, terpaksa Siau ceng turun
tangan!" Dua batang Hong pian jan berseliweran bagai bayangan gunung
membawa deru angin badai yang menungkrup kearah Suma
Bing... "Enyah kalian!" ~ begitu kedua tangan Suma Bing bergerak aneh
sekali tahu2 kedua Hong pian jan yang menyambar2 tadi sudah
dicekal di kedua tangannya. Keruan kaget kedua
pendeta jubah abu2 itu bukan kepalang, serasa semangatnya
terbang keawang2, sekuat tenaga mereka menarik berbareng,
namun sedikitpun tidak bergeming. Mendadak sejalur hawa panas
yang kuat menerjang kearah nereka melalui tongkat panjang
mereka sendiri, seketika kedua pendeta itu merasa tergetar
cekalan tangannya kontan terlepas badan mereka tersurung
sempoyongan delapan kaki jauhnya.
Suma Bing lontarkan kedua Hong pian jan itu ketanah seketika
kedua tongkat panjang itu amblas separohnya kedalam tanah, lalu
secepat terbang ia berlari keatas
"Siapa itu bernyali besar berani menerjang masuk biara, melukai
orang." Begitu bentakan bagai geledek ini berhenti, lantas muncul seorang
pendeta tua tinggi kekar bagai sebuah menara melayang tiba
ditengah jalan, kebetulan tiba menghadang dihadapan Suma Bing.
Setelah itu beruntun muncul lagi delapan pendeta pertengahan
umur yang bertubuh kekar dan gagah perkasa.
Menghadapi situasi yang tidak menguntungkan ini mau tak mau
Suma Bing harus berpikir: Sebelum duduk perkara sebenarnya
dapat kuketahui, ada lebih baik aku tidak melukai orang, langsung
saja menerjang ke biara besar, rintangan2 ini sangat menyebalkan.
Karena pikirannya ini segera ia kembangkan gerak kelit dari
pelajaran Bu siang sin hoat, begitu berkelebat mengitari barisan
para pendeta itu terus langsung berlari kepintu besar
pesanggrahan gunung didepan sana.
Para pendeta itu hanya merasa pandangan mereka kabur lantas
tahu2 kehilangan bayangan musuhnya. Keruan kejut mereka bukan
buatan, waktu mereka berpaling kebelakang dilihatnya musuh
sudah melesat tiba diluar pintu pesanggrahan, serentak mereka
membentak be-ramai2 terus menguber dengan kencang.
Para pendeta dalam pintu pesanggrahan agaknya sudah
mendengar ribut2 ini dan sudah siap siaga, beberapa puluh
pendeta segera memberondong keluar mencegat dipintu besar
itu... Akan tetapi bagai bayangan iblis tahu2 Suma Bing sudah
berkelebat melewati puluhan pendeta ini dan dalam sekejap mata
sudah tiba diluar pintu biara. Cara gerak tubuh itu benar2 belum
pernah ada dalam dunia persilatan.
"Sicu harap berhenti!" Seorang pendeta tua yang kurus tinggi
berdiri tegap tengah
pintu biara, matanya berkilat2 menatap wajah Suma Bing. Gesit
sekali Suma Bing menghentikan tubuhnya, dingin ia
menatap orang, tanyanya: "Siapakah Toa suhu ini?" "Pinceng Liau
Seng pengawas kelenteng ini, siapakah Sicu
ini?" "Aku yang rendah bernama Suma Bing!" "Untuk apa kau
menerjang kemari melukai orang?" "Aku yang rendah ada urusan
penting mohon bertemu
dengan Ciangbun Hong tiang kalian, murid kalian merintangi tidak
kenal aturan..."
"Perbuatan Sicu ini agaknya memandang rendah partai kita!"
Disemprot terang2an, bergolak amarah Suma Bing, desisnya
geram: "Aku yang rendah merasa sudah berlaku sangat sungkan
sekali!" Berobah air muka Liau Seng si pengnwas kelenteng, sorot matanya
semakin tajam me-nyala2, lebih kentara akan kesempurnaan
latihan kepandaiannya.
Para pendeta yang mengejar tiba melihat pendeta pengawas sudah
keluar menguasai keributan ini, beramai2 mereka menyingkir
kesamping dan mundur teratur.
"Ada urusan apa Sicu hendak bertemu dengan Hong tiang kita?"
"Setelah ketemu Hong tiang kalian belum terlambat kujelaskan."
"Katakan kepada Pinceng juga sama saja!" "Apa Taysu berani
bertanggung jawab?" "Mungkin!" Berobah serius wajah Suma
Bing, suaranya rendah berat:
"Aku harus tahu siapakah perempuan yang kalian kurung di gua
belakang puncak ini?"
Wajah Liau Seng berobah kaku menegang dan mundur dua
tindak, tanyanya: "Darimana juntrungan ucapan Sicu ini?"
"Orang beribadat pantang berbohong, Toa suhu kau mengaku
tidak?" "Apa maksud Sicu sebenarnya?" "Tidak apa2, hanya ingin
kutahu orang yang terkurung itu
siapa!" "Ini..." "Taysu tidak berani menjawab?" Liau Seng
bungkam, Suma Bing tertawa dingin, katanya
lagi: "Kalau Taysu tidak berani menyawab terpaksa aku minta
petunjuk Hong tiang kalian saja!" " belum habis ucapannya
tahu2 bayangannya sudah menghilang.
Bergidik seram Liau Seng Taysu, mengandal kesempurnaan
latihannya ternyata tidak mampu melihat orang menggunakan
gerak tubuh apa menghilang dari pandangannya, ini hampir
menyerupai ilmu sesat. Maka sebat luar biasa ia membalik berlari
masuk biara... Setelah melewati Wi to tiam, didepan pekarangan Tay hiong po
tiam jauh2 sudah terdengar suara bentakan dan makian. Kiranya
pendeta penyambut tamu dan beberapa pendeta yang sedang
berdinas jaga sudah mengepung Suma Bing ditengah pekarangan
itu. Liau Seng Taysu langsung berlari masuk kebelakang...
Terdengar Liau Ngo Taysu pendeta penyambut tamu
tengah membentak gusar: "Sicu menerjang tiba dan membuat
huru-hara dibiara kita, agaknya memandang rendah kepandaian
kaum Siau lim kita?"
"Taysu tidak mau pergi melapor, apa aku harus menerjang
langsung menuju kekamar Hong tiang?"
"Kalau Sicu masih sedemikian kurang ajar dan tak mengenal
aturan, terpaksa Pinceng turun tangan!"
"Mengandal kepandaianmu masih bukan tandinganku!" Kata2
yang terang2an menghina ini membuat Liau Ngo
Taysu dan keenam pendeta dinas itu naik pitam dan berobah air
mukanya. "Silahkan Sicu merasakan kelihayan ilmu silat dari Siau lim!"
Serempak dengan habis suaranya pukulannya sudah
merangsang tiba. Dalam gusarnya Liau Ngo Taysu kerahkan
setaker tenaganya menggunakan ajaran tunggal Siau lim yang
terampuh yaitu pukulan Cui pi ciang, betapa keras dan hebat
pukulan ini benar2 dapat menghancur luluhkan batu yang betapa
keraspun. Meskipun mulut Suma Bing berkata temberang, namun didalam
hati dia tidak berani memandang enteng kelihayan para pendeta
Siau lim yang sudah bersejarah tua ini, Kiu yang
sin kangpun tak ayal segera dikerahkan sampai sepuluh bagian
tenaganya... Cui pi ciang dan Kiu yang sin kang sama2 adalah berkekuatan
tenaga keras bersifat panas.
Suara menggelegar menggetarkan bumi dan bangunan kelenteng
sekitarnya. Kontan Liau Ngo Taysu terpental jauh setombak lebih
sambil menghamburkan darah segar. Keenam pendeta dinas itu
juga tidak luput terpelanting keterjang angin badai yang
mengembang keempat penjuru.
"Liau Ngo Sute, mundurlah!" Alis putih Liau Seng Taysu
berkerut dalam, berdiri tenang
dan garang diundakan depan Tayhiong po tiam. Liau Seng Taysu
bersabda memberi hormat terus
mengundurkan diri bersama keenam pendeta berdinas itu.
Se-konyong2 suara kelintingan bergema, delapan belas
pendeta bertubuh kekar berwajah garang bengis berbaris keluar
dari kiri kanan pintu samping Toa tian, masing2 terbagi sembilan
terus berbaris jajar dikedua samping.
Diam2 Suma Bing membatin: ini pasti cap pek lohan (delapan
belas Lohan) yang kenamaan dari Siau lim itu...
Belum hilang pikirannya, menyusul berjalan keluar seorang
pendeta tua beralis putih juga terus berdiri berhadapan dengan
Liau Seng Taysu.
Peraturan Siau lim si sangat keras, meskipun terjadi urusan
penting betapa besar pun para muridnya tidak diperbolehkan
sembarangan bergerak.
Selanjutnya seorang pendeta tua yang mengenakan kasa terbuat
dari saten berwajah bersih agung per-lahan2 keluar dari ruangan
besar itu, dibelakangnya tidak kurang duapuluh pendeta tua muda
mengikutinya. Segera Liau Seng dan pendeta yang baru datang itu membungkuk
bersabda lalu berseru lantang: "Menghadap Ciangbun yang mulia!"
"Para sute tidak perlu peradatan!" Kiranya pendeta tua yang
berkasa saten bersulam itu
bukan lain adalah Ciangbun Hong tiang Siau lim si Liau Sian


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Taysu adanya. Segera Suma Bing angkat tangan memberi hormat: "Yang mulia
apakah Ciangbun Hong tiang?"
Sikap yang dingin dan nada yang menghina ini membuat para
pendeta Siau lim yang hadir membelalak gusar.
Ciangbun Liau Sian Taysu bersabda Buddha lalu berkata:
"Memang Pinceng Liau Sian adanya, kedatangan Sicu ini aku
sudah mendapat laporan dari pengawas kelenteng..."
Tidak sabaran lagi segera Suma Bing menandaskan: "Lalu
bagaimana keputusan Ciangbun Taysu?"
"Darimana Sicu mengetahui bahwa dibelakang puncak Siau sit
hong ada terkurung seorang perempuan?"
"Ini aku tidak dapat memberi jawaban, hanya ingin kutegaskan
apakah benar ada hal itu?"
"Ya, memang ada!" Berdetak keras jantung Suma Bing,
ujarnya penuh haru:
"Kalau ada aku yang rendah mohon perkenankan untuk bertemu!"
"Apa hubungan Sicu dengan perempuan yang terkurung itu?"
"Ini..." sesaat lamanya Suma Bing tidak mampu memberi jawaban
positif. Tak mungkin dia mengatakan bahwa perempuan itu adalah
ibunya, bagaimana kalau bukan" Tiba2 terpikir sesuatu olehnya
terus sahutnya: "Aku yang rendah
harus membuktikan apakah perempuan itu adalah orang yang
kupikirkan!"
Berobah serius wajah Liau Sian, katanya sungguh2: "Kalau begitu,
hakikatnya Sicu belum tahu siapakah perempuan yang terkurung
itu?" "Boleh dikata demikian!" "Bukankah permohonan Sicu itu
membuat keributan tanpa
aturan?" Wajah Suma Bing mengelam hitam: "Yang mulia sebagai
ketua, kata2mu penuh pertanggungan jawab, ini bukan membuat
keributan tanpa aturan!"
Keruan merah jengah wajah Liau Sian Taysu, tanyanya; "Siapakah
orang yang Sicu pikirkan itu?"
Benak Suma Bing bekerja keras: ada lebih baik tidak kukatakan,
kalau membungkah asal-usul sendiri, dan orang yang dikurung itu
sebaliknya bukan ibunya, hal ini akan membawa rintangan banyak
dalam pengejarannya kepada musuh2nya, maka segera ia
menyahut: "Hal ini susah kuterangkan, aku hanya ingin bertemu
sekali saja dengan orang itu kalau bukan orang yang kupikirkan,
segera aku minta maaf dan pergi dari sini!"
"Kita juga ada kesukaran tak dapat melulusi permohonan Sicu."
Suma Bing berusaha menahan gusar, tanyanya: "Kalau begitu
harap tanya siapakah perempuan yang dikurung itu?"
"Urusan ini menyangkut kepentingan dan rahasia partai kita, maka
tak dapat kujelaskan!"
Meluap amarah Suma Bing susah ditekan lagi, dengusnya dingin:
"Secara hormat aku mohon bertemu, kalau Ciangbunjin tidak bisa
melulusi, maka jangan salahkan aku..."
"Sicu hendak berbuat apa?" desak Liau Sian dengan nada berat
matanyapun menyorong garang me-nyala2.
"Aku akan membuktikan sendiri!" Semua pendeta yang hadir
membelalak gusar dan
mematung bagai arca tembaga, otot dijidat mereka merongkol
keluar menahan gusar, tapi dihadapan Ketua mereka sebelum
menerima perintah mereka tak berani bergerak.
Suasana semakin meruncing tegang penuh mengandung nafsu
pembunuhan. Agaknya kepandaian dan latihan batin Liau Sian sudah sempurna,
air mukanya masih kelihatan sabar welas asih, suaranya datar:
"Mungkin Sicu takkan mampu bergerak sesuka hatimu!"
"Belum tentu!" bentak Suma Bing murka terus memutar tubuh
hendak... Sebelum kakinya bertindak, delapan belas Lo Han yang berdiri
disamping kanan kiri itu mendadak secepat kilat menggeser
kedudukan, tahu2 Suma Bing sudah terkepung.
Suma Bing mendengus hina keras, ejeknya: "Kalian takkan
mampu merintangi aku."
Kelebat tubuhnya seringan asap tanpa bayangan laksana setan
mengambang tahu2 sudah berada diluar kurungan. Kesempatan
untuk berpikir bagi delapan belas Lo Han belum ada tahu2 sudah
kehilangan musuhnya.
"Bu siang sin hoat!" tercetus seruan dari mulut Liau Sian,
wajahnyapun berobah.
Seruan Liau Sian Taysu ini menggegerkan seluruh hadirin. Suma
Bing sendiri juga melengak heran, hanya sekali lihat saja lantas
ketua Siau lim si ini dapat menyebutkan asal usul gerak tubuhnya
itu. Agaknya Ketua Siau lim Liau Sian Taysu sangat terpengaruh oleh
perasaannya, suaranya gemetar: "Dimana pengawas kelenteng?"
"Tecu disini!" sahut Liau Seng sambil merangkap tangan.
"Harap pengawas kelenteng perintahkan seluruh penghuni
kelenteng bersiap siaga!" "Tecu terima perintah!" "Dimana
pelaksana hukum?" Seorang pendeta tinggi tegap tampil kedepan:
"Tecu disini!" "Silahkan Ngo tianglo keluar!" "Tecu terima perintah!"
Seketika suara lonceng bergema membumbung keangkasa,
membawa ketegangan yang meruncing bagi biara kuil yang agung
ini. Bayangan manusia berkeliaran diluar dalam Siau lim si yang besar
itu sudah penuh terjaga ketat seumpama jaring2 si laba2
B a r u s e k a r a n g S uma B i n g m e n g i n s a f i a k a n s i t u a s i
y a n g me n e g a n g k a n i n i , h a t i n y a b e r d e t a k k e r a s ,
n a g a 2 n y a S i a u l im s i me n g e r a h k a n s e l u r u h
k e k u a t a n n y a u n t u k me n g h a d a p i d i r i n y a . K e a d a a n
b e r o b a h memb u r u k s e d emi k i a n c e p a t s e t e l a h
d i r i n y a me l a n c a r k a n p e l a j a r a n B u s i a n g s i n h o a t ,
aPeplaan mdaun nmgakntianp. .la.n gkah Liau Sian menuruni undak2, para
pendeta pelindung dibelakangnya juga tidak ketinggalan maju
mengikuti. "Suma sicu harap suka sebutkan perguruanmu?" "Ciangbunjin
sudah tahu tapi sengaja bertanya?" balas
tanya Suma Bing dongkol.
"Yang Pinceng maksudkan adalah asal-usul Bu siang sin hoat itu?"
"Ini, maaf, tak perlu kusebutkan!" "Apa hubungan Sicu dengan
Bu siang sin li?" Suma Bing membatin; mungkin Bu siang sin li
ada pertikaian apa dengan pihak Siau lim si. Bu siang sin li adalah
tokoh yang menggetarkan Bulim pada ratusan tahun yang lalu
peristiwa ini susah dijelaskan, maka ia menggeleng serta katanya:
"Tiada sangkut paut apa2!"
"Lalu darimana Sicu mempelajari Bu siang sin hoat itu?" "Sukar
kujelaskan!" Pada saat itulah mendadak terdengar tembang
panjang: "Para Tianglo sudah tiba!" Lima orang pendeta tua beralis putih
panjang mengenakan
kasa merah perlahan2 keluar dari Toa tian Segera Liau Sian maju
dua langkah sedikit membungkuk
dan berseru: "Menyusahkan para Tianglo ikut hadir disini!" Serentak
kelima Tianglo bersabda Baddha sambil
membungkuk tubuh, seorang yang terdepan segera berkata:
"Kami beramai tidak berani terima hormat besar Ciangbunjin, tecu
sekalian menghadap pada Ciangbunjin!"
"Tidak berani, para Tianglo silahkan, tidak perlu banyak
peradatan!"
Sambil pejamkan mata kelima Tianglo itu memasuki gelanggang,
seorang yang terdepan tiba2 membuka matanya, dua sorot kilat
yang tajam menatap tajam wajah Suma Bing tanpa berkedip.
Tanpa mengenal gentar atau takut, Suma Bing juga pandang
lawannya lekat2.
Siau lim ngo lo sudah berusia hampir seabad selamanya tidak
gampang2 keluar setengah langkah dari Tianglo wan. Sekarang
kelima Tianglo ini keluar bersama, membuktikan betapa penting
urusan ini. Tapi Suma Bing sendiri sampai pada detik itu masih
bersikap dingin seakan tanpa ambil perhatian, sedikitpun dia tidak
tahu apa yang bakal terjadi. Ketegangan temakin meruncing.
Mendadak tanpa membuka suara Tianglo terdepan itu memutar
kedua tangannya terus disodokkan kedepan. Kekuatan pukulan yang
dilancarkan mendadak ini laksana geledek menyambar, hebat
perbawanya. Betapapun tinggi Lwekang Suma Bing rasa2 takkan
mampu balas menyerang atau bertahan, terpaksa tubuhnya
berkelebat menyingkir. Tanpa disadari ia gunakan pelajaran Bu
siang sin hoat. Setelah lancarkan pukulannya segera Tianglo itu tarik
ulang serangannya, suaranya datar berat: "Benar adalah Bu siang
sin hoat" Pada saat itulah keempat Tianglo lainnya mendadak membuka
mata, menatap tajam kearah Suma Bing.
Kedatangan Suma Bing adalah hendak menyelidiki jejak ibunya,
tak terduga begitu ia gerakkan ilmu Bu Siang sin hoat pokok
persoalannya menjadi perhatian malah. Keruan hatinya gugup dan
dongkol dan menggelikan juga.
Tianglo yang terdepan itu berkata lagi: "Lolap tertua dari para
Tianglo ini, bergelar Hi Bu, ada beberapa pertanyaan, harap Sicu
suka menjawab secara terus terang"
"Harus kulihat dulu pertanyaan apa itu?" sahut Suma Bing
dongkol. Wajah tua Hi Bu Taysu yang penuh keriput diliputi suatu rona
yang sukar ditebak, akhirnya berkata pelan: "Sicu murid dari
perguruan mana?"
"Sia sin Kho Jiang adalah mendiang guruku!"
"Tidak benar!"
"Apakah ucapan Taysu ini tidak terlalu dogmatis (sembarangan
memastikan)?"
"Lalu ilmu Bu siang sin hoat Sicu tadi darimana sicu pelajari?"
"Itu rahasia pribadiku mana bisa kuterangkan!!" Kelima Tianglo
dan Ciangbun Hong tiang bersama
mengunjuk rasa gusar yang tak tertahankan lagi. Kini berobah
bengis dan serius suara Hi Bu Taysu:
"Kenyataan tidak bisa didebat lagi, lebih baik Sicu bicara terusterang
saja?" Waktu meninggalkan Lembah kematian Suma Bing sudah
bersumpah untuk tidak membeber keadaan lembah itu kepada
orang luar, sudah tentu dia tidak akan melanggar sumpahnya
sendiri. Kalau dia mau menuturkan secara terus terang,
perkembangan urusan ini mungkin berobah tidak sedemikian
menegangkan urat syaraf.
"Kalau tidak kukatakan?" "Pasti Sicu sudah maklum akan
akibatnya!" "Akibat apa, aku tidak mengerti?" "Selamanya kau
tidak akan meninggalkan Siau sit hong
lagi!" Suma Bing malah tertawa gelak2, serunya: "Toa suhu,
sebelum tujuanku terlaksana, memang aku tiada niat hendak
turun dari Siau sit hong ini!"
Betapapun sabar dan tinggi latihan batin Hi Bu Taysu tak kuat lagi
menahan rangsangan amarahnya, bentaknya bengis: "Apa
tujuanmu?"
"Ingin kulihat orang yang kalian kurung dibelakang puncak itu."
"Hm, kalau kau bermaksud menculik orang di Siau lim si, jangan
kau harap!"
Suma Bing mendengus hidung keras sekali, ejeknya: "Sekarang
terlalu pagi untuk mempersoalkan hal ini, kalau nanti aku dapat
membuktikan orang yang kalian kurung itu adalah benar orang
yang hendak kucari, hm, waktu itu..."
"Bagaimana?" "Akan terjadi banjir darah di Siau sit hong ini!"
Ancaman yang mengandung kekejaman banjir darah ini,
membuat semua pendeta yang hadir berobah air mukanya,
dimana2 terdengar geraman marah.
"Siapakah yang Sicu cari?" "Aku tidak akan memberitahu
kepada kau!" "Benar2 Sicu tidak mau menerangkan?" "Yang
perlu kukatakan sudah dikatakan, ucapanku sampai
disini, titik!" Hi Bu Taysu membalik tubuh menghadap Liau Sian
dan bertanya: "Mohon Ciangbunjin suka mengambil keputusan?"
"Ringkus dia!" Perintah Liau Sian ini menimbulkan kebencian
Suma Bing, timbul nafsunya membunuh serunya keras: "Cianbunjin, aku tidak
bertanggung jawab akan segala akibatnya!"
Setelah saling berpandangan sebentar, kelima Tianglo maju
per-lahan2, mengambil kedudukan Ngo heng (lima unsur) .
Ngo lo turun tangan bersama menghadapi seorang pemuda
berusia belum cukup dua puluh tahun. Bagi pihak Siau lim ini
belum pernah terjadi dalam sejarah selama beratus tahun.
Bersama itu lebih menandaskan lagi bahwa pihak Siau lim sudah
bertekad bulat hendak meringkus Suma Bing hidup- hidup.
Berkata Hi Bu Taysu lagi: "Apakah Sicu tidak perlu berpikir lagi?"
Sinar mata Suma Bing mengunjuk kecongkakan, jengeknya:
"Adalah kalian yang harus berpikir panjang!"
"Buddha selamanya welas asih adalah Sicu sendiri yang mencari
derita!" "Hwesio tua, turun tanganlah, tidak perlu pura2 baik hati!" Hi
Bu Taysu bersabda suaranya melengking tinggi, lalu
dorongkan sebelah tangannya. Suma Bing juga angkat belah
tangannya memapak maju...
Hampir dalam waktu yang sama, empat Tianglo lainnya juga
masing2 lancarkan sebuah pukulan, rangsangan angin pukulan
melanda tiba dari sudut yang berlainan merobohkan sebuah bukit
kecil. Tercekat hati Suma Bing, cepat2 kedua tangannya ditarik pulang,
sebat sekali ia berkelebat menghilang keluar kepungan, cara
kelitnya ini cepatnya luar biasa sampai susah diikuti oleh
pandangan mata biasa.
Betapa sempurna sudah kepandaian kelima Tianglo ini, begitu
serangan dilancarkan lantas kehilangan sasarannya, sigap sekali
mereka tarik kembali pukulan dan tenaga masing- masing, terus
melompat mundur tiga tindak.
Suma Bing ada diluar kalangan setombak jauhnya, katanya dingin:
"Dalam gebrak pertama ini aku mengalah sebagai tanda hormatku
kepada kalian."
Gerak tubuh yang menjagoi seluruh dunia persilatan ini membuat
hati para pendeta dingin dan beku, mereka kagum dan gentar.
Bahwa dengan gabungan lima Tianglo menyerang seorang muda
tanpa hasil dihadapan para anak muridnya, membuat para Tianglo
malu dan gusar.
Mendadak Hi Bu Taysu membentak gusar, tubuhnya melenting
menubruk maju lagi, kedua jari2 tangannya bagai cakar garuda,
aneh dan hebat luar biasa mencengkram kearah dada Suma Bing.
Cengkraman ini merupakan salah satu kepandaian tunggal dari
Siau lim si yang dinamakan Tay eng jiau lat, kekuatan cengkraman
ini dapat meremukkan batu menjadi bubuk.
Suma Bing berkelit terus memutar kebelakang Hi Bu Taysu sambil
membalas dengan sebuah pukulan.


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hi Bu Taysu insaf akan keampuhan inti sari Bu siang Sin hoat,
begitu cengkramannya mengenai tempat kosong, tubuhnya segera
berputar, licin bagai belut tubuhnya menggeser kesamping dua
tombak, terpaut serambut hampir saja terkena pukulan musuh.
Pada saat Hi Bu Taysu menyingkir kesamping inilah empat Tianglo
lainnya lancarkan pula masing2 sebuah pukulan.
Timbul sifat ugal2an Suma Bing, tanpa berkelit atau menyingkir,
seluruh tenaga dikerahkan kedua lengannya terus didorong
kedepan menyambut secara keras.
Dentuman hebat bagai gugur gunung membuat genteng dan debu
berhamburan memenuhi sekitar lapangan. Empat Tianglo terdesak
mundur selangkah lebar, darah bergolak dalam rongga dada
mereka. Suma Bing sendiri juga terpental delapan kaki wajahnya
pucat tanpa darah.
Bahwa Suma Bing kuat menahan gabungan serangan empat
Tianglo tanpa roboh, membuat semua hadirin membelalak kesima,
heran dan kagum.
Agaknya Ngo lo masih belum menyudahi begitu saja, tanpa ayal
mereka terus berkelebat berganti kedudukan, lagi2 Suma Bing
dikepung diantara mereka.
Ketegangan mulai melingkupi sanubari setiap hadirin sehingga
rasanya susah bernapas. Dalam hal Lwekang, sudah
tentu Suma Bing bukan tandingan Ngo tianglo. Tapi Bu siang sin
hoat merupakan ilmu ringan tubuh yang tiada taranya begitu
dikembangkan benar2 bagai bayangan malaikat yang susah
dipandang mata. Dengan sendirinya menghadapi ilmu mujijat ini,
Ngo tianglo juga insaf takkan ada pegangan bisa menang.
Alis panjang Hi Bu Taysu berdiri tegak, mulutnya membentak berat,
dilancarkan jurus Jiang hay poh liong (lautan teduh mengekang
naga). Bersamaan dengan itu empat Tianglo lainnya juga lancarkan
masing2 satu jurus yang berlainan, mereka bekerja sama sangat
rapi dan teratur, sedemikian rapat mereka mengurung sampai tidak
kelihatan sedikitpun lobang kelemahannya.
Mengandal ilmunya yang aneh dan ajaib, Suma Bing berputar dan
bermain lincah diantara kepungan dan samberan pukulan2 kelima
musuhnya, setiap ada lowongan pasti balas menyerang tanpa
sungkan. Setiap kali ia balas menyerang pasti garis penjagaan
kelima Tianglo itu goyah.
Pertempuran ini berjalan semakin sengit saling pukul dan hantam,
bayangan merekapun bergerak semakin cepat hingga susah
dibedakan lagi bentuk orangnya, hawa pukulan juga semakin deras
mengekang sekitar gelanggang pertempuran laksana angin lesus.
Dalam sekejap mata saja limapuluh jurus dengan cepat sudah
dicapai. Kalau Ngo lo semakin mengunjuk kelemahannya, maklum
tenaga mereka, sudah semakin keropos dimakan usia, adalah Suma
Bing sebaliknya bertempur semakin gagah bersemangat.
Inilah pertempuran seru yang belum pernah terjadi dan belum
pernah ada didunia persilatan. Pertempuran sengit ini membuat
semua penonton terbelalak kesima dan berdenyutan jantungnya
diliputi ketegangan.
Sebuah bentakan nyaring menggetarkan seluruh gelanggang.
'Blang' diselingi suara pekik kesakitan, salah seorang tianglo tahu2
terhuyung keluar dari kurungan, mulutnya menyemprot darah
segar. Keempat Tianglo lainnya menggeram murka, serangan
membadai semakin dipergencar, membuat ciut nyali setiap
penonton. Seratus jurus kemudian seorang Tianglo terpental keluar lagi dari
kalangan pertempuran. Gerak tubuh Suma Bing sangat aneh dan
dapat lenyap dari pandangan mata saking cepat berkelebat, selalu
mengelak yang berat membokong yang lemah, gesit sekali selulup
timbul diantara angin pukulan musuh selicin belut.
27. ADA BAYANGAN TIADA BENTUKNYA.
Dua ratus jurus kemudian, serbuan ketiga Tianglo itu sudah
berobah dari deras menjadi lemah. Adalah sebaliknya Suma Bing
semakin gagah, selincah naga segarang harimau, setiap gerak
tangannya menjadi serangan ampuh yang melemahkan pertahanan
ketiga musuhnya, sampai akhirnya ketiga musuhnya terdesak
kerepotan dan terancam jiwanya. Agaknya tidak sampai tiga puluh
jurus lagi pasti ketiga Tianglo ini susah terhindar dari ancaman
elmaut. Wajah Liau Sian semakin membesi kehijau2an, hatinya bergejolak
semakin tak tenang, demikian juga semua anak murid Siau lim si
semua terkesima dengan hati kebat-kebit. Kekuatan gabungan
lima Tianglo ternyata masih bukan tandingan anak muda ini,
mereka insaf dari seluruh penghuni kelenteng Suci yang
diagungkan itu agaknya susah dicari tokoh kosen yang dapat
menandingi kelihayan musuh muda ini.
Tiga hari yang lalu Rasul penembus dada juga pernah membikin
geger Siau lim si Liau Khong kepala ruang Lo han tong dan dua
muridnya gugur ditembusi dadanya.
Kedatangannya sebebas berjalan dijalan raya tanpa seorangpun
dari anak murid Siau lim si yang mampu merintangi. Sekarang si
sesat kedua Suma Bing lagi2 memporak porandakan kepungan
kelima Tianglo yang berkepandaian paling tinggi dari mereka.
Naga2nya nama kebesaran Siau lim si yang diagungkan dan sudah
bersejarah ratusan tahun ini akan runtuh dan dihapus dari catatan
sejarah. Tiba2 Ciangbun Hong tiang melangkah maju memasuki
gelanggang... Para anak murid Siau lim si dan para pelindung kelenteng melihat
Ciangbunjin turun tangan sendiri, beramai2 merekapun merubung
maju sehingga dalam gelanggang semakin meruncing tegang,
suasana yang mencekam hati ini membuat orang susah bernapas.
Sungguh sangat kebetulan pada saat itulah mendadak lonceng
gereja berdentang keras memekakkan telinga, lalu disusul sebuah
suara seorang petugas jaga berseru keras "Hudco telah tiba!"
Seketika semua anak murid Siau lim si mengunjuk rasa hormat dan
hidmat, be-ramai2 mereka mundur kedua belah samping dan
berdiri dengan rapi, ketiga Tianglo yang tengah bertempur juga
segera melompat keluar gelanggang menghentikan pertempuran,
berjejer bersama Ciangbun Hong tiang mereka menghadap ke Toa
tian (ruang besar),
Diam2 Suma Bing juga terkejut, entah tokoh macam apakah orang
yang disebut Hudco itu.
Tengah ia berpikir itu, tampak olehnya seorang pendeta tua kurus
kering agak bungkuk mengenakan jubah orang beribadat, muncul
dari dalam ruang sembahyang. jalannya pelan dan lemah,
sedemikian lemah gerak kakinya itu seumpama dihembus angin
juga pasti bisa roboh.
Masa pendeta tua bagai mayat hidup inikah yang disebui Hudco.
Demikian batin Suma Bing.
Segera Ciangbun Hongtiang tampil kedepan tiga langkah kedua
dengkul ditekuk sambil berseru: "Ciangbun Tecu Liau Sian
menghadap Hudco!"
"Kau sebagai pejabat Ciangbun, Lolap tidak berani terima,
silahkan!"
Kelihatannya pendeta tua kurus kering bagai Mumi ini tinggal kulit
pembungkus tulang, tapi suaranya sedemikian keras mendengung
memekakkan telinga, tampak hanya sedikit menggerakkan
tangannya saja, tubuh Liau Sian yang setengah membungkuk itu
terangkat bangkit dan mundur ketempat asalnya lagi.
Sekarang giliran kelima Tianglo yang menyembah hormat sambil
berseru: "Harap Supek terima hormat kami!"
Maka beramai2 para anak murid dari semua tingkatan beruntun
bersabda Buddha lalu berlutut dan mengunjuk hormat.
Diam2 tercekat hati Suma Bing, bahwa usia kelima Tianglo sudah
hampir seabad, adalah si pendeta tua ini kiranya seangkatan lebih
tinggi dari mereka, lebih tinggi dua tingkat dari Ciangbun Hong
tiang mereka, bukankah usianya ini sudah lebih dari seabad!
Suasana sekelilingnya sedemikian hening nyenyap penuh
mengandung keagungan.
Pelan2 si pendeta tua itu melangkah maju mendekat... Dimana
pandangan Suma Bing melihat, tanpa terasa
merinding dan menyedot hawa dingin. Ternyata cara berjalan
pendeta tua ini, kakinya mengambang tiga senti tanpa menyentuh
tanah, terang ilmu ringan tubuh yang dikembangkan ini adalah
Leng hi poh yang paling dibanggakan dan paling sukar dipelajari itu.
Kira2 terpaut dua tombak dihadapan Suma Bing baru pendeta itu
menghentikan langkahnya, kelopak mata yang meram itu juga
mendadak terbuka lebar, hanya sekali berkelebat saja lantas
meram lagi. Meski hanya sekali kedipan saja, ini cukup membuat
seluruh tubuh Suma Bing tergetar.
Mendadak pendeta tua merangkap kedua tangan didepan dada,
sambil menengadah mulutnya menggumam: "Tecu Hui Kong
melanggar pantangan dan sumpah selama enam puluh tahun,
semoga para Cousu suka memberi ampun akan pelanggaran yang
terpaksa ini!" " Habis ucapannya kedua matanya dipentang lebar
lagi, dua sinar kehijauan dari matanya menatap setajam ujung
pisau kemuka Suma Bing. Agak lama kemudian baru dia membuka
kata lagi: "Asal Siau sicu bicara secara terus terang, dapatlah!
dosa2mu dihapus."
"Tidak mungkin," sahut Suma Bing tegas. "Kalau begitu terpaksa
Lolap benar2 melanggar
pantangan?" "Silahkan!" Kedengaran suara Hui Kong melengking
tinggi bersabda
Buddha, sebelah tangannya yang kurus kering bagaikan batang
kayu itu diangkat mencengkram kearah Suma Bing dari kejauhan...
Melihat gaya serangan orang ini, terkesiap hati Suma Bing, cepat2
kedua tangan diayun, siapa tahu baru saja tangannya bergerak
tenaga dalam ternyata susah dihimpun dan dikerahkan, keruan
kagetnya tak terhingga, maka terlihat cengkraman musuh ditarik
kembali, seketika suatu daya sedot yang kuat sekali membuat
dirinya tanpa kuasa terseret kehadapan orang.
Beruntun jari2 Hui Kong menjentik lalu katanya: "Untuk sementara
waktu Lwekang Siau sicu kututup, setelah semua urusan beres
baru boleh kupulihkan lagi, kuharap kau tahu
diri!" " habis berkata ia memutar tubuh dan dalam sekejap mata
bayangannya sudah menghilang didalam ruang Toa tian.
Timbul rasa kejang dan linu kesakitan dalam tubuh Suma Bing,
dalam keadaan yang sudah terlambat ini meskipun mata melotot
dan gigi gemeretak gusar, apalagi yang dapat diperbuatnya.
Dalam pada itu para Tianglo juga segera tinggal pergi.
Terdengar Ciangbun Hong tiang berseru lantang: "Semua
bubar dan harus selalu waspada, selain pengawas kelenteng dan
para murid petugas, semua kembali ketempat masing2."
Be-ramai2 para pendeta bersabda dan memberi hormat terus
mengundurkan diri tanpa bersuara. Tinggal empat pendeta
petugas dan Liau Seng Taysu, berdiri tegak dibelakang Ciangbun
Hong tiang Liau Sian Taysu.
Liau Sian maju beberapa langkah, suaranya berat berkata:
"Sekarang sicu boleh memberitahukan maksud kedatanganmu
sebenarnya dan asal-usulmu bukan?"
"Tidak!!" sahut Suma Bing beringas. "Suco kami pernah
berkata, kalau kau mau bicara, urusan
ini habis sampai disini saja, malah Lwekangmu dapat dipulihkan
lagi." "Aku yang rendah tidak sudi menerima budi kalian ini" Berobah
wajah Liau Sian, katanya sambil berpaling kearah
Liau Seng Taysu: "Sementara waktu Sicu ini kuserahkan kepada
Sute, antarkan dia masuk ke Ceng Sim sek (ruang perenungan),
setelah dia mau buka mulut baru kita rundingkan lagi."
Liau Seng Taysu mengiakan, bersama keempat murid petugas
mereka membungkuk mengantar kepergian Ciangbun Hong tiang.
Dua murid petugas itu lantas menggiring Suma Bing keruang
samping sebelah sana.
Apa y ang dinamak an Ceng s im sek t erny at a adalah
sebuah rumah batu yang rapat dipagar i jeruj i bes i .
Agakny a di s ini lah tempat perant i menghukum para
mur id Siau l im s i yang berdosa at au melanggar
aturan. Demik ian juga Suma Bing t er kurung dalam
CHuein Kgo nsgi msi psaedkri itnuai . m enggunakan ilmu totok yang tertinggi dan
terampuh menutup hawa murninya, sehingga lumpuhlah tenaganya
tak ubahnya seperti orang biasa. Sungguh susah dibayangkan
sampai dimanakah taraf kesempurnaan ilmu dan Lwekang Hui
Kong. Didengar dari sabda renungannya tadi, naga2nya ia sudah
selama enam puluh tahun baru keluar untuk pertama kali ini.
Benar2 tak tersangka sebelum tujuan utamanya dapat terlaksana,
malah dirinya harus tersangkut dalam lingkaran yang menyebalkan
ini. "Siapakah wanita yang terkurung di gua dibelakang puncak Siau
sit hong itu" Apakah ibunya San hoa li Ong Fang lan" Atau
perempuan lain yang berdosa besar yang memang setimpal
menerima hukumannya itu" Selama satu hari satu malam, dalam
perasaan Suma Bing se-akan2 sudah dua tahun lamanya. Laksana
seekor singa yang baru saja dimasukkan dalam kerangkengan,
selama satu hari satu malam itu sekejappun belum pernah matanya
dipejamkan, rasa gusar, benci dan dendam selalu merangsang
benaknya, sedetikpun belum pernah meninggalkan pikirannya.
"Kalau aku tidak mati, kalau aku bisa keluar, hm..." demikian
gumamnya penuh penasaran, dengusan hidung terakhir itu tidak
sukar dibayangkan itulah mewakili pelimpahan hatinya yang penuh
gelora dendam! Sudah berulangkali Liau Seng Taysu datang membujuk, setiap kali
selalu mengundurkan diri tanpa hasil.
Pada tengah malam hari kedua, cuaca sangat gelap, angin
pegunungan menghembus kencang. Tanpa mengeluarkan suara
pintu jeruji besi rumah batu itu terbuka lalu tertutup lagi dengan
cepat, sebuah bayangan pendek tambun tapi selincah
kucing enteng sekali melayang masuk kedalam rumah batu
dimana Suma Bing berada. "Siapa itu?"
"Sssst! Buyung jangan keras2, inilah aku si maling tua!" Suma
Bing merasa kejut dan heran. Ternyata si maling
bintang Si Ban cwan juga telah menyusul tiba sampai Siau lim si,
entah menggunakan cara apa dia dapat lolos dari penjagaan yang
sedemikian ketatnya, malah dapat membuka pintu jeruji besi itu
lagi" "Buyung mari keluar!" "Keluar?" "Eh, apa kau ingin cukur
gundul menjadi Hwesio, selama
hidup ini tinggal dalam kurungan di Siau lim si ini?" "Seorang laki2
berani datang secara terang juga harus
pergi secara terang2an pula," begitulah semprot Suma Bing
uringan2, "Mana aku Suma Bing mau pergi secara sembunyi
begitu?" Si maling tua mendengus ejek, katanya: "Buyung, apa kau
mengharap para pendeta Siau lim ini beriring mengantarmu
keluar. Kenyataan kau sudah menjadi orang hukuman, masih
berlagak apa segala. Siau lim si tidak akan pindah tempat, apa
kelak kau tidak dapat datang lagi" Dengan menyerempet bahaya
si maling tua ini mencuri kunci dari tubuh Liau Seng Taysu untuk
menyambut kau keluar kurungan, perbuatanku ini baru pantas
disebut manusia rendah?"


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hampir saja Suma Bing tidak kuat menahan rasa gelinya ujarnya:
"Baiklah aku pasti akan datang lagi!"
"Buyung, ingat kata2ku, jangan kau main kukuh dan keras
kepala. Kalau sampai konangan, berarti kau menyulut sumbu
bencana, menyesalpun tak berguna."
"Apakah luar dalam kelenteng ini tidak ada penjagaan?"
"Sudah tentu ada!"
"Lalu Cianpwe..." "Hehehehe, julukan si maling bintang
merampok rembulan
masakah nama kosong belaka." "Tapi aku tertutuk oleh Hui Kong
Taysu hingga Lwekang ku
lenyap..." "Paling perlu kita keluar dulu, urusan belakang!" Tanpa
banyak cakap lagi si maling bintang Si Ban cwan menjinjing tubuh
Suma Bing dan dikempitnya dibawah ketiaknya, secara diam2
laksana setan keluar dari Siau lim si tanpa diketahui oleh
seorangpun jua. Sebuah bayangan langsing tahu2 muncul dari
kegelapan sebelah depan sana.
"Locianpwe, bagaimana?" tanya bayangan itu. "Mencuri ayam
menggerayangi anjing adalah modal si
maling tua yang paling diandalkan, pasti takkan salah, mari
pergi?" Bayangan langsing yang sembunyi diluar kelenteng itu bukan lain
adalah Siang Siau hun.
"Engkoh Bing!" seru Siang Siau hun riang gembira. Mendadak
terdengar sebuah bentakan keras dan berat: "Sicu darimanakah itu
yang berkunjung kebiara kami?" " disusul enam bayangan besar
beruntun muncul dan tepat mencegat ditengah jalan mereka.
"Lari!" tiba2 si maling bintang membentak keras, tubuhnyapun
sudah melejit kedepan dengan kecepatan anak panah, dalam
sekejap saja sepuluh tombak sudah dilampauinya.
"Sicu, berhenti!" sebuah bayangan hitam lainnya lagi2 muncul dan
meluncur turun dihadapan si maling tua Si Ban cwan. Itulah
seorang pendeta tua yang membekal sebuah tongkat besi
panjang. Kedua matanya ber-kilat2 memancarkan sinar yang
menakutkan dikegelapan malam.
Disebelah belakang sana, Siang Siau hun juga sudah terkepung
oleh keenam pendeta tadi tanpa mampu meloloskan diri.
Si maling bintang tertawa dingin, tubuhnya mencelat miring
kesamping. Dibarengi sebuah bentakan keras, si pendeta tua itu
berkelebat lagi dan tahu2 sudah mencegat didepan si maling tua.
Wut langsung ia sapukan tongkat senjatanya Dari cara ia mencelat
datang mencegat dan serangannya ini dapatlah dipastikan bahwa
Lwekang si pendeta tua ini bukan olah2 hebatnya.
Karena mengempit Suma Bing gerak gerik si maling tua kurang
leluasa, tak dapat dia melayani serangan orang dengan serangan,
terpaksa ia berkelit mundur delapan kaki jauhnya.
Mendadak Suma Bing meronta serta berteriak : "Cianpwe
lepaskan aku, lekas kau pergi!"
"Buyung tak mungkin terjadi legakan hatimu, mereka takkan
melukai serambutmu."
Pendeta tua itu melintangkan tongkatnya serta berkata: "Oh,
kiranya adalah Siao Sicu yang kenamaan itu. Maaf Pinceng berlaku
kurang hormat, silahkan kembali kedalam kuil untuk berdamai!"
"Pendeta tua apa gelaranmu?" acuh tak acuh si maling tua Si Ban
cwan bertanya "Pinceng Liau Cin!" "Baik kuturuti kemauanmu, kembalilah!" "
Benar juga segera si maling bintang Si Ban cwan membalik tubuh menuju
kearah pintu besar kelenteng agung itu...
Saat mana Siang Siau hun masih terkepung oleh enam murid Siau
lim si keadaannya sudah terdesak dibawah angin rambutnya
sudah awut2an keringat membanjir keluar.
"Berhenti!" segera Liau Cin berseru kearah enam muridnya
Keenam pendeta tegap gagah itu segera mematuhi perintahnya
berloncatan mundur,
Sambil membenarkan letak sanggul kepalanya Siang Siau hun
mengikuti dibelakang maling bintang Si Ban cwan, menuju kearah
kelenteng. Saat mana diluar pintu besar kelenteng itu sudah terpasang
beberapa buah tengloleng besar hingga sekitarnya terang
benderang seperti disiang hari bolong. Tampak Liau Sian
Ciangbunjin Siau lim si sudah menanti ditengah pintu.
Dibelakangnya beruntun berdiri kelima Tianglo dan pengawas
kelenteng Liau Seng dan Liau Ngo si petugas penyambut tamu dan
masih banyak lagi para murid yang bertugas jaga. Tidak
ketinggalan juga kedelapan belas Lohan juga berjajar dikedua
belah samping, suasana sangat tegang sunyi.
Setelah meletakkan Suma Bing diatas tanah, ter-sipu2 maling
bintang Si Ban cwan angkat tangan memberi hormat kearah Liau
Sian serta sapanya: "Silahkan Ciangbunjin!"
Liau Sian bersabda sambil merangkap tangan, serunya: "Malam2
Lo sicu menyelundup kedalam kelenteng malah hendak membawa
lari orang hukuman"
Tak tertahan lagi Suma Bing membentak gusar: "Tutup mulutmu.
Tuan sebagai ketua dari satu aliran besar cara bicaramu harus
kenal aturan dan bertanggung jawab. Memang aku sedikit lalai dan
kena teringkus oleh kalian, kusesalkan kepandaianku yang tidak
becus. Bagaimana bisa kau anggap aku sebagai orang hukuman
kalian untuk merendahkan derajat harga diriku?"
Setelah tertawa dingin si maling bintang Si Ban cwan ikut
menimbrung: "Partai kalian mengurung Suma Bing, malah
memunahkan ilmu silatnya lagi, dengan alasan apa kalian berani
berlaku se-wenang2?"
Sahut Liau Sian dengan nada berat: "Suma Sicu membikin onar,
melukai anak murid kami dan yang lebih penting asal usulnya
sangat mencurigakan!"
"Dalam hal apa dia mencurigakan?" "Gerak tubuh yang
dipertontonkan itu, menyangkut suatu
peristiwa penting dalam partai kami pada seabad yang lalu!"
Keterangan ini bukan saja membuat Si Ban cwan dan Siang
Siau hun tercengang heran, juga Suma Bing tidak kurang pula
kejutnya. Agaknya prasangkanya benar, soal ini menyangkut pada
Bu siang sin hoat yang dikembangkannya itu, tapi sebab yang
utama bagaimana tak dapat dia menyimpulkannya.
Karena sudah bersumpah pada Giok li Lo Ci untuk tidak
membocorkan keadaan dalam Lembah kematian, maka
pengalamannya dalam Bu kong san yang membawa berkah itu
selain dia seorang tak ada lain orang mengetahui secara jelas.
Sekilas si maling bintang Si Ban cwan melirik kearah Suma Bing,
lalu berpaling lagi kearah Liau Sian serta bertanya: "Dapatkah
kiranya Ciangbunjin menerangkan sebab musabab dari peristiwa
lama itu?"
"Peristiwa itu menyangkut rahasia partai kita. Maaf tak dapat kami
memenuhi permintaanmu itu,"
"Aku maling tua masih ada satu pertanyaan, harap suka memberi
penjelasan?"
"Silahkan Sicu katakan!" "Sia sin Kho Jiang satu diantara Bu lim
su ih itu adakah
permusuhan dengan partai kalian?" "Tidak!" "Kalau toh Lam sia
tiada permusuhan dengan partai kalian.
Ketahuilah Suma Bing adalah murid Lam sia malah pengalamannya
dalam dunia Kangouw belum cukup setahun,
bagaimana bisa, dikatakan dia tersangkut paut dengan peristiwa
lama partai kalian?"
"Maksud tujuan dan asal usul Suma Sicu ini sangat mencurigakan
tidak bisa tidak partai kami harus membikin terang urusan ini!"
"Kalau urusan ini belum jelas, mana boleh kalian menahan dan
mengurungnya secara se-mena2?"
"Justru tujuan kita adalah membikin terang urusan ini!"
"Tujuan Suma Bing mendatangi Siau sit hong ini terutama
hanya ingin membuktikan perempuan yang kalian kurung
dibelakang puncak itu, adalah orang yang tengah dicarinya.
Beginilah penjelasannya!"
"Ya, memang mungkin perempuan itu adalah orang yang tengah
dicari oleh Suma sicu itu!"
"Siapakah dia?" tanya Suma Bing terharu. "Hati Sicu sendiri
pasti sudah tahu!" Darah Suma Bing bergolak terasa dadanya
hampir meledak,
sinar matanya memancarkan kebencian yang menyala2 buas,
jikalau Lwekangnya tidak tertutup, mungkin segera ia turun
tangan melabrak musuh ini, maka sambil kertak gigi suaranya
mendesis: "Perhitungan ini aku Suma Bing harus menebusnya
berlipat ganda!"
Tanpa menghiraukan sikap Suma Bing itu, Liau Sian berpaling
kearah si maling bintang: "Omitohud, dosa, dosa... Silahkan Lo
sicu dan Li sicu (maksudnya Siang Siau hun) ini segera turun
gunung!" "Tidak bisa!" hampir bersamaan maling tua dan Siang Siau hun
berseru. Jawaban ketus dan kasar ini membuat semua anak murid Siau lim
si yang hadir merasa gusar, dengan penuh
kemarahan mereka melotot kearah maling tua dan Siang Siau
hun. Kata Liau Sian Taysu kepada Liau Seng Taysu: "Harap Sute
menggusur tawanan!"
Liau Seng si pengawas kelenteng segera mengiakan lantas
menghampiri kearah Suma Bing dengan langkah lebar!
'Sreng.' Siang Siau hun mencabut keluar pedangnya. Si maling
bintang juga bergegas menghadang didepan
Suma Bing. Ketegangan semakin meruncing se-akan2 dalam
kesenyapan sebelum hujan badai bakal mendatang. Pada saat
itulah mendadak terdengar sebuah suara tawa
aneh yang mendirikan bulu roma orang mendengung ditengah
udara. Berobah hebat air muka para jagoan dari Siau lim si, serta merta
Liau Seng juga menghentikan langkahnya.
Sebuah bayangan hitam bagai setan seenteng burung hinggap
memasuki gelanggang. Kiranya itulah seorang aneh yang
berpakaian serba hitam sampai kulit dan wajahnya juga berwarna
hitam, hanya sepasang bola matanya banyak putih daripada
hitamnya. Se-konyong2 diantara barisan anak murid Siau lim si sana
terdengar sebuah seruan kaget: "Racun diracun!"
Tentang Racun diracun pernah mengalahkan Pak tok Tangbun Lu
baru terbatas beberapa orang saja yang mengetahui. Tapi dia
berani menggunakan julukan Racun diracun malang melintang
didunia persilatan, sehingga membuat Tangbun Lu yang selama ini
sudah merajai dalam dunia Racun akhirnya toh mandah sembunyi
diri, maka dapatlah dibayangkan betapa berbisanya manusia
beracun ini. Kehadiran Racun diracun di Siau lim si ini benar2 diluar dugaan
Suma Bing. Demikian juga para pendeta Siau lim si tidak kalah besar kejut
dan takutnya, entah apa maksud tujuan manusia paling beracun
ini muncul disini"
"Apakah Sicu ini yang disebut Racun diracun oleh kaum
persilatan?" tanya Liau Sian penuh kewaspadaan.
Racun diracun mengiakan, suaranya dingin menusuk telinga
membuat orang merinding karenanya.
"Ada urusan apa Sicu berkunjung kemari?" "Sudah tentu, kalau
tiada urusan penting tidak bakal aku
sudi berkunjung." "Pinceng minta penjelasan?" "Bukankah
pertanyaan Ciangbunjin ini sangat berkelebihan.
Karena urusan Sia sin kedua Suma Bing inilah aku datang!"
Berobah pucat wajah Liau Sian, para pendeta lainnya juga
sontak unjuk rasa gusar dan gentar. "Sicu khusus datang untuk
Suma Bing?" "Sedikitpun tidak salah!" "Harap sicu menerangkan
secara jelas?" Racun diracun ter-loroh2, lalu serunya: "Urusan ini
sangat gampang, kubawa dia turun gunung!" Liau Cin Taysu tidak kuat
menahan sabar lagi, sambil
menggerakkan senjata tongkatnya ia membentak: "Sicu anggap
Siau lim tiada orang kosen?"
Racun diracun tertawa ejek: "Aku tidak peduli kesimpulan apa
yang Taysu pikirkan!" kejut dan heran merangsang benak Suma
Bing. Ternyata Racun diracun datang hendak menolong
dirinya. Sepak terjangnya selama ini sudah tentu bukan terjadi
secara kebetulan saja. Tapi, mengapa dia berbuat demikian"
Liau Sian ulapkan tangan mencegah perbuatan Liau Cin
selanjutnya, suaranya terdengar sangat berat: "Mengandal alasan
apa Sicu berani membawa orang pergi?"
Tidak kalah garangnya Racun diracun balas bertanya: "Lalu
mengandal apa pula partai kalian mengurung dan menghukum
orang lain?"
"Sebab dia berkeliaran dalam kelenteng melukai orang, dan juga
karena dia tersangkut dalam peristiwa yang sudah ter- katung2
selama seabad!"
"Peristiwa apa yang ter-katung2 itu?" tanya Racun diracun sambil
tertawa sinis. "Peristiwa itu merupakan rahasia partai kita, harap maaf Pinceng
tidak bisa memberi keterangan!"
"Itulah bagus sekali, urusanku juga sangat penting dan terahasia
maka hendak kubawa dia pergi, maaf aku juga tidak bisa
menerangkan panjang lebar!"
Wajah Liau Sian mengelam dalam, matanya memancarkan cahaya
terang tajam, agaknya ketua Siau lim si yang diagungkan ini
benar2 sudah marah besar, perlahan dan berat dia maju tiga
langkah, suaranya bengis: "Apa Sicu berani berbuat se-mena2?"
"Sungguh menggelikan, ini mana boleh dianggap se- mena2. Kalian
meng-ada2 menimpahkan dosa untuk mengurung orang, apa ini
bukan se-mena2?"
Saking murka badan Liau Sian Taysu sampai gemetar, serunya
gusar: "Aku sangsi keinginan Sicu itu takkan dapat terkabul!"
"Belum tentu!"
Memangnya sifat Liau Cin Taysu paling kasar dan berangasan, tak
kuat lagi dia menahan gejolak amarahnya, sambil menggerung
keras tongkatnya diangkat menggunakan jurus Thay san ap ting
mengemplang kearah Racun diracun, karena gusar dan bertenaga
besar maka perbawa serangan ini bukan olah2 hebatnya angin
menderu2 bagai geledek menyambar.
Menghadapi serangan tongkat yang hebat ini Racun diracun
tenang2 saja tanpa beringser dari tempatnya, tidak menyingkir
malah diangkat sebelah tangannya untuk menyampok kearah
datangnya samberan tongkat...
'Blang' dimana terdengar suara keras ini, kontan Liau Cin Taysu
sempoyongan satu tombak lebih wajahnya pucat pias. Tongkatnya
bengkok terlepas dari tangannya.
Gebrak pertama keras lawan keras benar2 menggetarkan sanubari
seluruh hadirin.
Maklum Liau Cin Taysu setingkat dengan Ciangbun Hong tiang,


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lwekangnya boleh dikata sudah sangat tinggi dan paling
dibanggakan diantara seangkatannya, tidak kira hanya satu
gebrak saja sudah dibikin keok oleh musuh.
Betapa tinggi kepandaian Racun diracun ini benar2 mengejutkan.
Hening sejenak lantas terdengar bentakan2 gusar bagai geledek,
tampak Liau Seng dan Liau Ngo melompat maju berbareng.
Racun diracun angkat sebelah tangannya, serunya lantang: "Nanti
dulu!" Liau Seng Taysu pengawas kelenteng dan Liau Ngo penyambut
tamu segera menghentikan langkahnya.
Dengan sorot mata tajam Racun diracun menatap kearah Liau
Sian, katanya: "Ciangbunjin, kalau tuan tidak suka
melihat terjadi banjir darah ditempat suci yang agung ini, lebih
baik kalian jangan banyak tingkah!"
"Urusan ini sangat penting dan besar artinya, partai kita rela
berkorban untuk menghadapi meski harus terjadi banjir darah."
"Tapi sekarang belum saatnya menimbulkan banjir darah!"
"Apa maksud ucapan Sicu ini?" Racun diracun menunjuk
kearah Suma Bing dan berkata:
"Kita nantikan setelah kawan ini sudah membuktikan siapakah
perempuan yang kalian kurung dibelakang puncak itu baru dapat
dipastikan apakah ada harganya kalian harus mengeluarkan darah
sebagai imbalannya."
Ucapan Racun diracun ini malah menambah ketekadan Liau Sian
Taysu untuk meringkus Suma Bing kembali, setelah bersabda lalu
dia berseru: "Demi gengsi dan peristiwa lama itu, Suma Bing harus
tetap tinggal dalam kelenteng kami, harap Ngo lo maju meringkus
bocah itu!"
Kelima Tianglo mengiakan berbareng lalu bersama-sama
melangkah maju...
Dalam waktu yang bersamaan Liau Seng Taysu dan Liau Ngo
Taysu mendesak maju lagi kearah Racun diracun.
Jidat Siang Siau hun basah oleh keringat saking tegang pedang
panjangnya juga telah dilolos pula bersiap siaga. Sedang si maling
bintang Si Ban cwan menggeser kedudukan mendekati Suma Bing
dan berdiri disampingnya.
Mendadak Racun diracun membentak keras: "Liau Sian Hwesio,
apa kau paksa aku untuk menggunakan Racunku?"
Bentakan serta ancaman yang serius ini seketika membuat para
pendeta yang hadir giris dan merinding bulu romanya. Serta merta
kelima Tianglo yang mendesak maju itu juga lantas menghentikan
tindakannya. Mereka maklum betapa
kejam dan hebatnya ancaman Racun diracun ini. Sebab racun
takkan dapat ditahan meski dengan kepandaian atau Lwekang
yang tinggi. Dengan sorot matanya yang dingin Racun diracun menyapu
pandang keseluruh gelanggang lalu berkata lagi: "Aku masih
menghargai dan mengingat bahwa partai kalian adalah golongan
dan aliran lurus yang mengutamakan kebenaran dan keadilan,
maka tidak tega aku turun tangan kejam. Tapi jikalau kalian
memaksa, demi terlaksana maksudku aku tidak akan mengenal
kasihan menggunakan segala kekejianku. Aku percaya kalian pasti
tahu betapa besar dan jelek akibatnya" Perlu kuperingatkan sekali
lagi, dalam jangka tiga tindak pasti jiwa kalian bisa melayang,
kalau ada diantara kalian tidak percaya boleh silahkan keluar
mencoba!" Ciangbun Taysu Liau Sian berseru dongkol: "Sicu ini ada
hubungan apa dengan Suma Bing?"
"Hubungan kami sangat kental!" Se-konyong2, terdengar
tembang parita yang mengalun
panjang dan menyusup tinggi diudara dari dalam ruang dalam.
Tembang parita dari keagamaan Buddha ini benar2 mengandung
kekuatan atau perbawa yang tiada taranya, semua pendeta yang
hadir berbareng bersabda sekali sambil merangkap tangan dan
menundukkan kepala beramai2 mereka menyingkir kesamping.
Sekarang ditengah gelanggang ketinggalan Racun diracun, Suma
Bing, si maling bintang Si Ban cwan dan Siang Siau hun empat
orang. Menggunakan peluang ini Racun diracun berpaling kearah Si Ban
cwan dan berkata: "Tuan lekas bawa Suma Bing secepatnya
tinggalkan tempat ini, biar aku yang melayani mereka."
Alis putih si maling bintang Si Ban cwan berkerut dalam,
sahutnya: "Saat ini sudah terlambat untuk pergi!"
"Kenapa?" "Suara tembang parita tadi dinamakan Thian in sian
jiang (irama langit), orang yang bertembang tadi Lwekangnya sudah
mencapai kesempurnaannya, pasti orang itu bukan lain adalah Hui
Kong Taysu yang diagungkan sebagai Buddha hidup oleh kaum
Siau lim si. Tua bangka ini usianya sudah hampir satu setengah
abad..." "Masa kita harus mandah saja ditangkap dan diringkus?" seru
Siang Siau hun gugup.
"Belum tentu mereka mampu!" jengek Racun diracun. Baru
saja ucapannya selesai, tampak seorang pendeta tua
kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang sudah muncul
diambang pintu. Maka semua pendeta, segera memberi hormat
sambil menundukkan kepala.
Dalam hati Suma Bing berkata "Akan datang satu hari aku harus
tempur pendeta tua ini!"
Tanpa sadar Racun diracun mundur satu langkah lebar.
Terdengar Suma Bing berbisik kepada si maling bintang:
"Cianpwe, tiga bulan yang lalu Rasul penembus dada pernah
menerjang masuk ke Siau lim si dan membunuh Liau Khong
kepala Lohan tong dan kedua muridnya. Kedatangannya itu
sedemikian gampang dan berhasil dengan gemilang, mengapa
pendeta tua ini..."
"Waktu itu dia tidak muncul!" Dalam pada itu sepasang mata
Hui Kong Taysu tengah
menatap wajah Racun diracun lalu katanya: "Sicu ini menggunakan
ilmu make up yang dinamakan Hian goan tay hoa ih sek untuk
merobah bentuk wajah agaknya kau sealiran dengan Pek kut
Hujin?" Tiba2 tubuh Racun diracun tergetar, baru pertama kali ini
kedoknya dibongkar terang2an dihadapan orang banyak,
sejenak ia tertegun, lalu sahutnya: "Benar, memang harus
kuakui!" Mendengar nama Pek kut Hujin di-sebut2 berobah air muka semua
hadirin. Karena Pek kut Hujin adalah momok wanita paling ditakuti
yang sudah malang melintang pada seabad yang lalu. Siapa saja
bagi kaum persilatan yang mendengar akan namanya pasti
merinding ketakutan. Sungguh tidak nyana bahwa Racun diracun
ini kiranya sealiran juga dengan momok wanita nomor satu pada
jaman yang silam itu.
28. RELA BERKORBAN DEMI JIWA KEKASIH
Lebih2 kejut dan heran Suma Bing bukan kepalang, semua
sepak terjang dan tindak tanduk Racun diracun selama ini dan
munculnya Pek kut hujin ber-turut2 itu benar2 membuat dia tidak
habis mengerti. Sekarang boleh dikata sudah separuh dapat
diketahui, dan sebagian lagi yang belum jelas baginya adalah
mengapa Racun diracun dan Pek kut hujin selalu muncul secara
tepat pada saat2 dirinya, menghadapi mara bahaya" Ada latar
belakang apakah dibalik semua kejadian itu"
Terdengar Hui Kong Taysu bersalut lalu berkata: "Ditempat yang
agung dan sunyi ini jangan kalian berbuat dosa dan melanggar
peraturan2 ditempat ini, maka silahkan Sicu segera turun gunung
saja!" "Jadi Locianpwe tetap berkukuh hendak menahan Suma Bing?"
desak Racun diracun.
"Benar, dia tidak boleh pergi!" "Kalau begitu terpaksa wanpwe
tak dapat menyetujui
keinginanmu itu!"
Sekilas sorot mata Hui Kong Taysu memancarkan cahaya terang
dingin, tapi sedetik itu lantas menghilang lagi, katanya: "Sekali lagi
Lolap tekankan, kuharap Sicu sekalian segera turun gunung."
Sedikitpun Racun diracun tidak mau mengalah, serunya: "Agaknya
perlu juga kuulangi pernyataanku tadi. Tidak!"
"Apa Sicu hendak memaksa Lolap melanggar pantangan?"
"Terserah!" "Yang sicu andalkan tidak lebih hanya kelihayan
racunmu saja. Masih ada kesempatan untuk menginsafi otakmu yang sesat
itu, jangan kau menyesal sesudah kasep!"
"Nasehat Taysu ini tidak berguna bagi aku!" Entah bagaimana
Hui Kong Taysu bergerak, tiba2 tubuhnya
melayang maju berhadapan dengan Racun diracun, suaranya
berat: "Sicu tetap mengukuhi pendirianmu?"
"Kalau kalian tetap hendak menahan Suma Bing terpaksa aku
harus berjuang sampai titik darah penghabisan!"
"Sicu tidak menyesal?" "Yang harus menyesal mungkin adalah
Lo siansu sendiri!" "Untuk melindungi nama baik tempat agung
dan suci ini terpaksa Lolap melanggar sumpah dan pantangan!" Lengan
jubahnya yang gondrong dan besar itu tiba2
dikebutkan membawa kesiur angin yang membadai sehingga
seketika itu Racun diracun kena terdesak mundur delapan kaki
jauhnya, darah bergolak dalam rongga dadanya.
"Lo siansu, terpaksa aku menggunakan racun!!" "Siancay!
Siancay! Agaknya Sicu sudah tersesat terlalu
dalam, silahkan kau unjukkan kemampuanmu!"
Pada saat itulah sekonyong2 segulung hembusan angin dingin
menderu2 sehingga api obor berkelap-kelip hampir terhembus
padam, semua hadirin gemetar dan merinding kedinginan oleh
hembusan angin yang terasa menyusup sampai ke-tulang2.
Mendadak Hui Kong Taysu mundur dua langkah terus berpaling
kearah sebuah pohon terpaut lima tombak sebelah sana dan
berseru lantang: "Tokoh kosen darimanakah yang berkunjung ke
biara kami, mengapa tidak segera unjukkan diri?"
Maka sorot pandangan semua hadirin ikut menatap kearah pohon
besar itu, namun apapun tidak terlihat oleh mereka.
Terdengar sebuah suara meringkik dingin menjawab: "Taysu, kau
mengandal ilmu Sian thian sin kang dan tidak takut menghadapi
racun. Tapi kau jangan lupa beberapa ratus jiwa para pendeta
dalam biara Siau lim si ini, mereka tidak akan kuat bertahan
menghadapi racun berbisa. Apa kau sudah membayangkan
akibatnya?"
Terdengar suaranya tapi tak terlihat orangnya, hal ini benar2
membuat semua pendeta yang hadir merinding dan gentar,
apalagi ucapan dingin yang mengandung ancaman serius itu
lebih2 menakutkan sanubari mereka.
Orang yang bicara ini sudah tentu membela kepentingan Racun
diracun, didengar dari nada ucapannya jelas bahwa dia juga
seorang wanita. Siapakah dia" Sekaligus dia dapat menyebut dasar
dari ilmu andalan Hui Kong Taysu maka sudah tentu orang itu juga
seorang tokoh kosen yang luar biasa lihay kepandaiannya.
Agaknya Hui Kong Taysu terpengaruh juga akan ancaman itu,
tanyanya gemetar: "Tokoh kosen darimanakah Sicu ini?"
"Ada bayangan tiada bentuk. Kukira Taysu pasti tahu siapakah aku
ini!" "Sungguh tidak duga Li sicu ternyata masih sehat waalfiat!!"
"Jadi anggapan Taysu bahwa aku sudah harus mati?"
"Omitohud! Apakah maksud kunjungan Li sicu ini?" "Ketahuilah
bahwa Suma Bing tiada sangkut-pautnya
dengan peristiwa yang terbengkalai pada ratusan tahun yang lalu
itu, partai kalian tidak seharusnya mengurungnya lagi."
Jantung Suma Bing berdetak keras, matanya dengan tajam
mengawasi kearah rimba lebat yang gelap kelam itu, hatinya
ber-tanya2, namun sekian lama ia masih bingung dan tidak tahu
siapakah orang yang bicara itu.
Demikian juga semua pendeta Siau lim si termasuk Ciangbunjin
mereka berobah pucat dan kaget.
Sejenak Hui Kong Taysu merandek, lalu membuka suara lagi:
"Apakah Lolap dapat percaya ucapan Li sicu ini?"
"Taysu, terserah kau mau percaya, apa kau ingin melihat anak
muridmu menemui ajalnya secara mengenaskan?"
"Li sicu juga hendak turun tangan?" "Jikalau terpaksa apa boleh
buat?" "Jadi Li sicu memandang rendah Siau lim kita?" "Tidak
berani, latihan ilmu Taysu sudah mencapai taraf
kesempurnaan, tingkat kedudukan Taysu juga tertinggi. Maksudku
hanya untuk meredakan gelombang angkara murka yang bakal
terjadi!" "Lalu bagaimana kalau Suma Bing tersangkut-paut dengan
peristiwa ratusan tahun itu?"
"Aku bertanggung jawab untuk membekuk dan menyerahkan
kepada Siau lim si!"
"Kuharap ucapan Li sicu ini dapat dipercaya penuh?"
"Taysu salah seorang tokoh Buddhis yang sudah sempurna,
apakah pertanyaan Taysu ini tidak berkelebihan?"
"Kalau begitu, Li sicu silahkan!" sejenak Hui Kong Taysu
memandang kearah Liau Kian terus berkelebat masuk kedalam
biara. Maka segera Liau Sian ulapkan tangan sambil berseru "Kembali"
Dalam sekejap saja para pendeta Siau lim itu sudah menghilang
didalam biara suasana dalam rimba kembali diliputi kesunyian dan
kegelapan. Dari dalam rimba sana terdengar pula suara yang misterius tadi:
"Suma Bing, wanita yang terkurung dibelakarg puncak Siau sit
hong itu bukan orang yang tengah kau cari, kembalilah jangan
me-nyia2kan tenagamu."
Suma Bing merasa heran dan aneh, orang sedemikian jelas akan
maksud kedatangannya. Maksud kedatangannya ke Siau lim si ini
adalah hendak mencari ibundanya, dan hal itu selain si maling
bintang dan Siang Siau hun berdua tiada orang ketiga yang
mengetahui, darimana tokoh misterius itu dapat mengetahui.
Tengah berpikir2 itu mulutnya berkata gemetar: "Harap
Locianpwe suka memperkenalkan diri!"
Suasana dalam rimba sunyi senyap tanpa terlihat gerak apa2
terang bahwa tokoh misterius itu pasti sudah pergi jauh. Siapakah
dia" Beratus pertanyaan mengganjal dalam benak Suma Bing.
Segera Racun diracun menghampiri kearah Suma Bing seraya
berkata: "Biar kubebaskan jalan darahmu yang tertutup itu!" "
tanpa menanti reaksi Suma Bing, beruntun jarinya menyentik dari
kejauhan. Seketika Suma Bing rasakan seluruh tubuhnya tergetar
sekali lantas ia merasa hawa murni dalam tubuhnya sudah
berjalan normal kembali dan tenaganya
sudah pulih seperti semula. Dengan perasaan terharu segera ia
memberi hormat kepada Racun diracun serta katanya: "Tuan, aku
Suma Bing terlalu banyak berhutang budi kepadamu."
"Tidak perlu dipersoalkan tentang utang piutang apa segala..."
"Mengapa tuan selalu berbuat baik kepada aku yang rendah ini?"
"Kelak kau akan tahu sendiri." "Kalau tidak tuan jelaskan
sungguh hatiku kurang


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentram?" "Kurasa tidak perlu dan belum tiba saatnya." "Sudah
berulangkali tuan mengatakan kepada orang bahwa
hubungan kita sangat kental dan erat sekali. Apakah itu benar?"
"Segala sesuatu terjadi tanpa dapat diduga sebelumnya, tiada
yang sempurna dan abadi, kadangkala benar, tapi kadang kala
juga salah, buat apa kau harus menanyakan sebab musabab ini?"
Suma Bing meng-geleng2 dengan hampa dan lesu, sungguh dia
tidak mengerti maksud juntrungan ucapan orang!
Tiba2 Racun diracun merogoh keluar sebuah kotak kecil panjang
dan berkata: "Suma Bing apa kau masih ingat janji kita waktu
mau berpisah tempo hari?"
"Sudah tentu masih ingat!" sahut Suma Bing kesima.
"Kalau begitu ambillah." "Tuan apa kau tidak
mengajukan syaratnya?" "Sudah kukatakan tanpa
syarat!" Suma Bing menyambut dengan tangan gemetar. Pedang darah.
Merupakan salah sebuah benda berharga dalam kalangan
persilatan, semua kaum persilatan pasti ingin merebutnya meski
harus mengorbankan jiwanya sendiri. Tapi sekarang Racun diracun
menyerahkan kepadanya tanpa syarat. Hampir2 dia tidak percaya
akan kenyataan ini. Namun menghadapi bukti yang nyata ini mau
tak mau dia harus percaya.
Mendadak Siang Siau hun menatap tajam kearah Racun diracun,
katanya: "Kupandang muka engkoh Bing, perhitungan kita kelak
kita selesaikan lagi!"
Racun diracun mendengus dingin, sahutnya: "Sewaktu2
kunantikan." habis ucapannya bayangannya juga lantas
menghilang dikegelapan malam.
Suma Bing menghela napas panjang, ujarnya: "Sepak terjang
Racun diracun susah diraba sebelumnya!"
"Buyung." seru si maling bintang Si Ban cwan sambil
menggerak2an kepalanya yang sudah penuh ubanan: "Semua
pengalamanmu ini bukan terjadi secara kebetulan tentu jadi latar
belakang yang ganjil. Apakah bakal membawa berkah atau
bencana bagi kau susah disangka!"
"Benar, memang wanpwe juga merasa begitu! Eh, apakah
Cianpwe dapat meraba siapakah tokoh lihay yang sembunyi dalam
rimba tadi?"
"Tentang ini... dia pernah mengatakan 'ada bayangan tanpa
bentuk', tapi setahuku belum pernah kudengar ada seseorang
yang menggunakan simbol empat kata itu sebagai julukannya.
Dari nada percakapan Hui Kong Taysu dengan dia, sedikitnya,
tokoh misterius ini berkedudukan tinggi..."
"Mungkin tidak, berhubungan erat dengan Racun diracun?"
"Kemungkinan itu sangat besar!"
"Darimana dia bisa tahu maksud kedatangan wanpwe meluruk ke
Siau lim ini?"
"Teka-teki ini susah ditebak. Kecuali kita dapat membuka
kedoknya!"
"Dia mengatakan orang yang terkurung dibelakang puncak itu
bukan ibuku, dapatkah keterangannya dipercaya?"
"Dapat dipercaya, tapi kelak kau perlu membuktikannya sendiri."
"Benar, aku harus membuktikan." "Mari kita segera turun
gunung!" "Wanpwe ingin..." "Kau ingin apa?" "Aku ingin
sekarang juga membuktikan bahwa orang yang
dikurung dibelakang puncak itu siapakah sebenarnya?" Ter-sipu2
si maling bintang Si Ban cwan menggoyangkan
tangan: "Jangan!" "Kenapa?" "Pertama; saat ini kau masih bukan
tandingan Hui Kong
Taysu, kedua; Orang dalam rimba itu sudah memberitahu
kepadamu bahwa orang yang dikurung dibelakang puncak itu bukan
ibumu, kalau kau berkukuh hendak kesana membuktikan itu berarti
kau tidak mempercayai ucapannya itu, juga berarti kau menyia2kan
kebaikan orang. Dan yang terpenting sekarang kau sudah
memperoleh Pedang darah, kau harus tahu apa yang harus kau
lakukan..."
Tergerak hati Suma Bing, maka sahutnya: "Baiklah, mari kita
pergi." Ditengah kegelapan malam, tiga bayangan manusia sekencang
angin berlarian turun dari puncak Siong san.
Pada terang tanah mereka bertiga sudah jauh meninggalkan Siong
san, dalam sebuah kota kecil mereka istirahat sebentar dan
menangsal perut terus melanjutkan perjalanan lagi. Ditengah
perjalanan itu mendadak Suma Bing ingat sesuatu lantas bertanya
kepada si maling bintang: "Cianpwe, aku ada sebuah pertanyaan?"
"Coba kau katakan!" "Apakah yang disebut 'Bu lim sam coat te'
itu?" Bu lim sam coat te adalah tiga tempat bertuah yang
mematikan bagi kaum persilatan. "Oh, konon kabarnya adalah
lembah kematian, Te po
(perkampungan bumi) dan Kui tha (menara setan). Bagaimana
keadaan dan letak ketiga tempat ini mungkin tiada seorangpun
yang jelas dan dapat memberi keterangan."
"Mengapa?" "Bagi kaum persilatan yang mendatangi ketiga
tempat keramat itu, pasti takkan dapat hidup kembali. Lembah kematian
adalah tempat dimana kau terjungkal jatuh oleh pukulan Si tiau
khek itu. Dimanakah letak Te po itu tiada, seorangpun yang tahu.
Sedang Kui tha terletak ditengah Hek cui ouw (danau air hitam)
diperbatasan Kui ciu dan Su cwan!"
"Wanpwe berharap ada kesempatan untuk berkenalan dengan
tempat2 kramat itu."
"Ah, anak muda berdarah panas, lebih baik kau jangan
mempunyai ingatan2 yang berbahaya itu."
Suma Bing tidak bersuara lagi, namun dalam hati ia tengah
berpikir; Lembah kematian adalah tempat bersemayam Bu siang
sin li, dirinya sudah pernah pergi kesana, dan sekarang juga dia
tengah menempuh perjalanan hendak menuju ketempat.
Pengalamannya yang aneh dilembah kematian itu belum pernah
dia beberkan kepada orang lain. Tentang
Perkampungan bumi dan Menara setan diharap pada suatu ketika
dia dapat pesiar ketempat yang menakutkan itu.
Tengah mereka mengayun langkah itu, mendadak wajah Siang
Siau hun berubah pucat ketakutan dan segera menghentikan
langkahnya, kedua matanya terbelalak lebar, serunya gemetar
sambil menunjuk keatas sebuah pohon: "Engkoh Bing apakah itu?"
Suma Bing dan si maling tua menghentikan kakinya, mereka
memandang menurut arah yang ditunjuk oleh Siang Siau hun.
Maka terlihat dipinggir jalan sebelah depan sana diatas pohon
berjajar bergantungan empat mayat manusia, keempat mayat itu
bergoyang gontai dihembus angin lalu, keadaan yang seram ini
benar2 membuat merinding dan takut orang yang melihat.
Suma Bing mendengus ejek terus melesat menubruk kearah
keempat mayat gantung itu,
"Engkoh Bing." teriak Siang Siau hun, "Apa yang hendak kau
lakukan?" "Ha, itulah Si tiau khek!" seru si maling bintang bagai tersadar dari
lamunannya, tidak mau ketinggalan segera dia juga menubruk
maju. Memang dugaan si maling bintang tidak salah, keempat orang
gantung ini memang bukan lain adalah Si tiau khek jagoan kelas
istimewa dari Bwe hwa hwe.
Agaknya Si tiau khek memang menanti kedatangan Suma Bing.
Berbareng keempat setan gantung itu perdengarkan tawa
melengking yang menggiriskan bulu roma terus melayang turun
keatas tanah. Melihat musuh2 besarnya ini mata Suma Bing merah membara,
wajahnya membeku diliputi nafsu membunuh yang tebal.
Terdengar Heng si khek pentolan dari Si tiau khek membuka suara
nadanya dingin: "Suma Bing, agaknya usiamu panjang sampai
sekarang kau masih hidup."
"Kalau aku sudah mati lalu siapa yang akan menyempurnakan
kalian?" desis Suma Bing dengan geram.
"Bedebah!" maki Bau bong khek. "Biar hari ini kita sobek
badanmu menjadi delapan bagian. Akan kulihat apakah kau masih
bisa hidup kembali?"
"Agaknya kau ingin mati lebih dulu, baiklah aku mulai dari kau!"
'Blum' dengan kecepatan yang susah dibayangkan pukulan Suma
Bing dengan telak menghantam Bau bong khek sehingga terpental
terbang beberapa tombak jauhnya.
Kiranya Suma Bing telah lancarkan Bu siang sin hoat mendesak
maju kehadapan Bau bong khek dan kontan memberinya sebuah
pukulan telak. Memang Bu siang sin hoat bukan olah2 hebat dan
menakjupkan, sebelum Bau bong khek melihat tegas bayangan
musuh tahu2 terasa dada dihantam sebuah godam besar hingga
jungkir balik. Segera Heng si khek membentak gusar dan memberi aba2 kepada
saudara2nya: "Awas gerak-gerik bocah ini sangat aneh, mari kita
maju berbareng."
Serempak sambil berteriak menggeledek ketiga setan gantung
lainnya ini lancarkan pukulan2 dahsyat. Suma Bing insaf bahwa
salah seorang dari keempat musuhnya ini saja Lwekangnya lebih
tinggi dari dirinya, mana ia berani menyambuti serangan musuh
secara keras, sekali berkelebat bagai setan gentayangan tubuhnya
lenyap ditengah2 damparan dan pusaran angin pukulan
musuh2nya. Boleh dikata baru kali ini Si tiau khek melihat ilmu kepandaian
yang menakjupkan ini, saking kaget dan gentar keringat dingin
membanjir keluar. Sungguh mereka tidak habis
mengerti dalam jangka pendek selama tiga bulan ini entah
darimana bocah ingusan ini dapat mempelajari ilmu sesat yang
mandraguna sakti dan hebat ini.
'Blang.' untuk kedua kalinya tubuh Suma Bing berkelebat maju
dan menyerang, kali ini sasarannya adalah punggung Heng si
khek, kontan tubuhnya terhuyung beberapa langkah sambil
menyemburkan darah segar.
Dalam pada itu, meskipun Bau bong khek kena terpukul terbang,
namun lukanya tidak terlalu berat, sekali melejit bangun segera ia
tiba dalam kalangan pertempuran lagi.
Sementara Suma Bing masih tenang2 berdiri ditempatnya semula,
se-olah2 belum pernah berkisar atau bergerak.
Sambil menyeka noda darah diujung bibirnya, tersipu2 Heng si
khek mengisiki ketiga saudaranya. Maka dilain saat keempat setan
gantung ini sudah berpencar lagi terus mendesak kearah Suma
Bing. Heng si khek dan Hui bing khek yang sudah cacat buah
tangannya masing2 lancarkan sebuah pukulan tengah. Belum lagi
angin pukulannya mengenai sasarannya bayangan musuh lagi2
sudah menghilang dari pandangan mata.
Bertepatan dengan itu Bau bong khek dan Teh cian khek juga
sudah ayun tangan masing2 beruntun lancarkan serangan
membadai dari dua pinggiran.
Begitu Suma Bing berkelit dari hantaman tengah kebetulan
menyongsong kearah damparan angin pukulan yang kokoh kuat
bagai dinding ini, keruan tubuhnya tergetar jumpalitan delapan
kaki jauhnya, tanpa kuasa mulutnya menguak seperti hendak
muntah. Mendapat peluang ini, secepat kilat Heng si khek dan Hui
bing khek segera menubruk maju sambil menendang dan
menghantam dengan serangan dahsyat yang mematikan.
Untung gerak gerik Suma Bing masih sangat sebat, tersipu2 ia
berkelit kesamping. Bahwasanya Bu siang sin hoat memang sangat
lihay dan aneh, tapi kebentur musuh2 lihai yang tenaga dalamnya
terlalu tinggi, malah empat orang bergabung dan bersatu padu
bekerja sama secara rapi lagi. Dua menyerang dan dua lainnya
menjaga diri, serangan kilat dengan cara bokongan yang
mengandal kegesitan tubuhnya itu akhirnya toh kena diatasi oleh
penjagaan musuh yang rapat. Seperti yang diberitahukan Giok Li
Lo Ci kepadanya, bahwa ilmu Bu siang sin hoat cukup kelebihan
untuk menjaga diri, namun kurang memadai untuk menyerang
musuh. Kalau yang dihadapi Suma Bing bukan tokoh lihay sebangsa Si
tiau khek ini, atau secara satu lawan satu seumpama lawan dua
orang juga keadaannya akan lebih menguntungkan.
Jikalau Si tiau khek selalu melancarkan serangan tindakan mereka
ini akan sia2, sedikitpun mereka takkan dapat menyentuh seujung
rambut Suma Bing. Sebaliknya, kalau Suma Bing turun tangan juga
tidak membawa untung bagi dirinya sendiri kekuatan gabungan Si
tiau khek, mungkin tiada seorang tokoh lihay dari kalangan
persilatan yang kuat menandingi.
Se-konyong2 Heng si khek berteriak menggeledek: "Serang!"
Tiga gelombang angin pukulan yang dingin membeku bergulung2
menerpa kearah Suma Bing dengan dahsyatnya. Seperti
yang sudah2 dengan mudah Suma Bing berkelebat pindah tempat
menghindar... Bertepatan dengan itu terdengar sebuah seruan kaget dan
ketakutan. Tahu2 Siang Siau hun sudah kena diringkus oleh Heng
si khek, sebuah tangannya mencengkram pergelangan tangan,
sedang tangan yang lain menekan jalan darah Thian to hiat
dibatok kepalanya.
Tindakan musuh yang licik dan kejam ini benar2 diluar dugaan
Suma Bing, sungguh tidak nyana bahwa Heng si khek bisa
mengalihkan sasarannya ketubuh Siang Siau hun, sampai2 si
maling tua yang berada tak jauh disampingnya juga tak kuasa
mencegah lagi. Dada Suma Bing hampir meledak menahan gusar, bentaknya
bengis: "Heng si khek berani kau menyentuh seujung rambutnya
saja, kuhancur leburkan tubuh kalian."
Heng s i k he k menge k eh t awa s e r am, sahut ny a .
"Buy ung , t ak b e rg una k au umb a r anc aman,
p o k ok ny a j iwa no na k e c i l i ni t e r l e t ak d iuj ung j a r i k u,
b e r ani k au b e r g e r ak , l i hat l ah d i a mat i l eb i h d ul u! "
Dalam pada itu, Bau bong khek, Hui bing khek dan Teh cin khek
sudah beruntun berdiri dibelakang Heng si khek, punggung beradu
punggung, masing2 menjaga satu jurusan. Betapapun aneh dan
lihay gerak tubuh Suma Bing, takkan mungkin dapat melancarkan
serangannya lagi.
Wajah Siang Siau hun kelihatan hijau membesi, alisnya berdiri
tegak, sedikitpun dia tak kuasa berkutik lagi.
Keadaan Suma Bing serba runyam, mata melotot gigi gemeratak
menahan gusar, ingin rasanya ia mengkeremus habis2an empat
setan gantung ini.
Sebaliknya Heng si khek sangat puas dan bangga, ujarnya:
"Suma Bing, sekarang mari kita tawar menawar jual beli ini!"
"Jual beli apa, coba katakan!" "Kau sendiri yang menggantikan
kedudukan nona ayu ini,
bagaimana?" Sungguh gusar Suma Bing tak terperikan, namun
karena Siang Siau hun sudah cidera karena dirinya, maka sambil kertak
gigi ia menegasi: "Cara bagaimana menukarnya?"
"Kau ikut kita pergi, maka kita lepaskan nona ayu ini."
"Boleh!" "Tapi kita harus menotok jalan darahmu dulu." Tanpa


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa Suma Bing menghela napas dalam dan
merinding tubuhnya. Mati hidupnya adalah soal kecil, setelah dirinya
kena tertotok jalan darahnya bila Si tiau khek ingkar janji tidak
melepaskan Siang Siau hun, bukankah pengorbanannya akan sia2
dan hampa. Apalagi kekejaman Si tiau khek melebihi binatang buas,
mungkin si maling tuapun tidak akan luput dari kekejaman mereka.
Karena pikirannya ini segera ia bertanya: "Kalau aku sudah
tertotok, apa kalian berani bersumpah pasti melepaskan nona
Siang dan Si cianpwe?"
Tersipu2 si maling bintang Si Ban cwan menggoyang tangan dan
berkata: "Buyung, jangan kau seret aku kedalam pertikaian ini,
maaf aku orang tua harus pergi dulu!" habis ucapannya segera
tubuhnya yang bundar cebol itu melenting tinggi menghilang
didalam rimba. Tindakan si maling tua ini benar2 diluar dugaan Suma Bing, keruan
hatinya tambah dongkol, namun setelah dipikirkan lantas dia
paham maksud kepergian si maling tua ini. Jikalau dia tidak lekas2
menyingkir kalau terlambat mungkin takkan dapat tinggal pergi
secara masih bernyawa. Sebab hakikatnya keadaannya sekarang
dipihak yang terdesak dan tak mungkin lagi dirinya berani bermain
garang dan main kekerasan terhadap Si tiau khek. Kalau si maling
tua sudah mengundurkan diri, pasti dia dapat mencari akal dan
mencari bantuan untuk menolong dirinya.
Terdengar Heng si khek mendesak lagi: "Buyung, kau sudah ambil
kepastian belum?"
"Kau harus melepaskan dia dulu!" "Kalau kau tidak percaya
kepadaku, apa aku harus percaya
kepadamu?"
"Engkoh Bing," teriak Siang Siau hun, suaranya serak dan
menyedihkan, "Kau pergilah, asal kau selalu ingat untuk menuntut
balas bagiku, aku sudah cukup puas!"
Hati Suma Bing bagai di-iris2 pisau, bagaimana bisa dia
mengorbankan seorang gadis muda belia yang mencintai dirinya,
maka sambil menggeleng kepala dia berkata: "Tidak!"
"Engkoh Bing, apa kau ingin mati bersama Siau moay?" Dada
Suma Bing hampir meledak, kedua matanya melotot
bagai menyemburkan api tindakan Si tiau khek meringkus Siang
Siau hun sebagai sandera untuk menukar dirinya, membuat dia
patah semangat dan pasrah nasib.
"Baik, kau lepaskan dia." "Tapi, kita harus totok dulu jalan
darahmu!" "Kau lepaskan dulu, segera aku ikut kalian
berangkat." "Kalau kau berontak ditengah jalan?" "Sungguh
menggelikan, ucapan seorang laki2 bagai kuda
berlari kencang yang susah dikejar, mati hidup seseorang
tergantung ditangan Tuhan."
Setelah ragu2 dan bimbang akhirnya, Heng si khek berkata juga:
"Keparat, kali ini boleh aku percaya, tapi perlu kuberitahu, kalau
kau sampai ingkar janji, nona ayumu ini juga tidak bakal dapat
terbang jauh." " Habis berkata begitu, juga ia lepas tangan
mendorong tubuh Siang Siau hun kedepan.
Bergegas Siang siau hun memburu kehadapan Suma Bing,
ratapnya: "Engkoh Bing, mari kita pergi, biar perhitungan ini kita
tagih kelak"
"Tidak!" sahut Suma Bing dingin acuh tak acuh. "Apa, terhadap
iblis, dan setan kejam demikian kau juga
percaya?" "Adik Hun, kau lekas pergi saja" "Kau... kau hendak ikut
mereka pergi?" "Apa boleh buat, ucapan seorang laki2 harus
ditepati!" "Apa kau tahu apa akibatnya?" "Paling banyak mati!"
Tergetar tubuh Siang Siau hun wajahnya juga lantas pucat
pasi, sambil membanting kaki ia berkata gemes: "Kecuali aku
sudah mati, selama ini aku tidak akan berpisah dengan kau!"
"Adik Hun, kau..." Suma Bing benar2 terharu dibuatnya,
terbayang dalam
otaknya kejadian dalam biara bobrok itu, waktu dirinya keracunan
bisa Pek jit kui oleh Tangbun Yu putra Racun utara, dia bersumpah
hendak menyertainya kealam baka, keadaan saat itu persis benar
dengan sikapnya ini.
"Adik Hun, jangan kau membuat aku serba salah?" "Aku sudah
berkeputusan untuk berbuat begitu." "Adik Hun, untuk
menepati janji seorang gagah, aku harus
ikut mereka menuju ke Bwe Hwa hwe..." "Aku juga ikut serta."
"Tidak mungkin!" Terdengar Heng si khek menyeringai iblis.
"Suma Bing
apakah ucapanmu masuk hitungan?" "Sudah tentu" "Kalau begitu,
silahkan kau totok sendiri jalan darahmu,
Lohu berjanji tidak akan melukai seujung rambut nona ayu ini."
"Permintaanmu ini tidak dapat kuturuti!" "Ha, kau
ingkar janji dan menjilat ludahmu sendiri?"
"Aku hanya melulusi untuk ikut kalian tapi tidak berjanji untuk
menutuk jalan darahku!"
"Tindakanmu ini cerdik juga, kalau mau ikut segeralah berangkat,
keraguanmu akan menentukan keselamatan nona ayu ini!"
"Setelah sampai pada tempat tujuan, aku hendak pergi atau lari
adalah urusanku, tapi selama dalam perjalanan, jangan kuatir aku
tidak akan meninggalkan kalian."
Empat setan gantung itu saling berpandangan lalu mengeluh,
lantas terdengar Heng si khek angkat bicara: "Buyung, kita
mempercayaimu sekali ini, adalah kau sendiri yang mengatakan
selama dalam perjalanan tidak akan merat, jikalau ditengah jalan
ada orang mencegat dan turut campur urusan ini, apakah kau
masih tetap dapat menepati janjimu?"
"Sudah tentu!" Diam2 dalam benak Suma Bing sudah
mempunyai perhitungannya sendiri. Menggunakan kesempatan ini dia berharap
dapat membongkar kedok Ketua Bwe hwa hwe, mengapa lawan selalu
mengejar2 jiwanya. Mengandal kelihayan ilmu gerak tubuhnya
yang baru itu dia percaya tidak gampang2 dirinya bakal dapat
dikekang oleh musuh.
"Adik Hun, harap kau dengar kataku sekali ini, lekaslah pergi,
percayalah kepadaku, tidak lama lagi pasti kita dapat bertemu
lagi!" "Tidak!" Sikap kaku dan ketus Siang Siau hun ini, membuat
Suma Bing serba runyam. Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah
gelak tawa orang yang keras memekakkan telinga. Suara tawa ini
sedemikian mendadak dan mengejutkan sehingga semua orang
yang hadir tercekat dan tergetar perasaannya.
Baru saja suara gelak tawa itu lenyap lantas terlihat seorang tua
aneh yang berjenggot panjang menjulai sampai keperutnya,
mengenakan jubah panjang yang bersulam Pat kwa didepan
dadanya, kepalanya dibungkus kain saten, tangannya membekal
sebuah kipas yang di-goyang2kan.
Kalau Suma Bing dan Siang Siau hun ter-heran2. Sebaliknya
kehadiran orang tua aneh ini malah membuat empat setan gantung
yang biasa berlaku garang dan telengas itu kuncup nyali dan
gemetar tubuhnya.
Terpaut kira2 lima tombak orang tua aneh ini menghentikan
langkahnya, kipas ditangannya terus di- goyang2kan, sikapnya acuh
tak acuh bagai seorang nabi yang tengah menikmati panorama
alam yang indah permai.
S e g e r a H e n g s i k h e k m a j u m e n y a p a :
" O r a n g t u a k o s e n d a r i m a n a k a h k a u i n i " "
"Hahahaha, aku si orang tua yang kenamaan saja kalian tidak
tahu, masih berani berlagak sebagai tokoh dunia persilatan apa
segala!" "Apakah kau orang tua adalah Kong kun Lojin?" "Tidak salah,
agaknya pengalamanmu luas juga!" Serta merta keempat
setan gantung itu menyurut mundur
satu langkah. Demikian juga Suma Bing dan Siang Siau hun
terbeliak kaget dibuatnya, mimpipun mereka tidak menyangka bahwa si
orang tua aneh dihadapan mereka ini ternyata adalah Kong kun
Lojin yang dipandang sebagai malaikat penyelamat bagi aliran
putih dan dipandang sebagai Giam lo ong oleh golongan hitam.
+=============================+
Tiraik asih Websi te http:// kangz usi.co m/ Benarkah orang tua aneh ini adalah Kong Kun Lojin" Apakah
kedatangannya ini hendak menolong Suma Bing"
Ada latar belakang apakah dibalik tugas Si tiau khek yang hendak
meringkus Suma Bing ke Bwe Hwa Hwe"
Siapakah Ketua Bwe Hwa Hwe yang sebenarnya" untuk
pertanyaan ini silahkan Baca Jilid ke 8
-oo0dw0oo- Jilid 8 29. LOH CU GI JEBUL ADALAH SESEPUH BWE HWA HWE.
Konon bahwa Kang-kun Lodjin ini sudah wafat pada enam
puluhan tahun yang lalu, apa mungkin berita itu adalah kabar
angin belaka"
Untuk apakah Cianpwe aneh dari kaum persilatan ini muncul
secara mendadak disini"
Sekian lama Kang kun Lojin menatap Suma Bing, lalu katanya:
"Buyung, apa kau ini yang diberi julukan Sia-sin kedua Suma Bing
murid Sia sin Kho Jiang?"
Sejenak Suma Bing melengak, lantas ter-sipu2 memberi hormat
dan menyahut: "Memang itulah wanpwe, entah Locianpwe ada
pengajaran apa?"
Kang kun Lojin me-ngelus2 jenggotnya yang panjang memutih,
seraya berkata dengan nada berat: "Buyung, apa kau tahu tentang
perjanjianku dengan Lam sia dulu kala itu?"
Suma Bing tertegun, sahutnya: "Hal itu wanpwe tidak tahu!"
Mengelam wajah Kang kun Lojin, serunya: "Apa benar Sia sin Kho
Jiang sudah meninggal dunia?"
"Itulah benar!" "Hm, janjinya seperti kentut tidak dapat
dipercaya, manusia
rendah sampah persilatan!" Mendengar orang memaki dan
menghina gurunya, sontak
berkobar hawa amarah Suma Bing, semprotnya dengan angkuh:
"Mengapa Locianpwe sedemikian menghina dan memaki guruku?"
"Buyung, coba katakan apa benar suhumu tidak memberitahukan
kepada kau tentang janji dan sumpahnya kepadaku?"
"Tidak, tapi..." "Tapi apa?" "Asal Locianpwe suka memberitahu
tentang janji dan
sumpahnya itu, biar wanpwe yang mewakili menyelesaikannya!"
"Apa kau mampu melakukannya?" "Pasti dapat, hutang guru
muridnyalah yang bayar!" "Ketahuilah utang piutang ini tidak
mudah dilunasi!" "Sebenarnya tentang piutang apakah?"
"Hutang jiwa!" Tanpa kuasa Suma Bing berjingkrak kaget.
Bagaimana mungkin gurunya berhutang jiwa kepada Kang kun Lojin. Semasa
hidup gurunya pernah berkata bahwa orang tua aneh ini selain
ilmunya tinggi sifatnya kejam dan berpandangan sempit, juga
senang turut campur urusan orang lain. Tidak pernah gurunya
memberitahukan tentang hal2 lainnya. Malah pernah dikatakan
bahwa orang tua aneh ini sudah meninggal
dunia pada empatpuluh tahun yang lalu. Lantas bagaimana
penjelasannya tentang hutang jiwa yang dikatakannya ini"
Karena tidak mengerti segera ia bertanya : "Locianpwe sukalah
kau memberi penjelasan sekadarnya?"
Kata Kong kun Lojin serius: "Limapuluh tahun yang lalu, terbawa
oleh sifat2 jahat dan sesatnya gurumu telah membunuh keluarga
muridku sebanyak tiga jiwa. Akhirnya ia menginsafi kesalahannya
dan berjanji kepadaku setelah urusan pribadinya dapat diselesaikan
semua dia hendak menghadap kehadapanku untuk membunuh diri
menebus dosa2nya dulu!"
Keruan tergetar perasaan Suma Bing tercetus seruannya: "Apa
benar terjadi hal itu?"
"Hm, buyung, apa kau sangka aku seorang pembual" Kalau dia
tidak memberi pesan kepadamu, bukankah dia seorang rendah
yang menjilat ludahnya sendiri, tuduhan Lohu ini tidak salah
bukan?" Semangat Suma Bing serasa terbang, tanpa kuasa tubuhnya
terhuyung tiga langkah, lalu sambil kertak gigi ia berseru tegas:
"Hutang jiwa ini biarlah wanpwe yang akan bayar!"
Pucat wajah Siang Siau hun, teriaknya kaget: "Engkoh Bing,
kau..." Se-konyong2 Kong kun Lojin berputar menghadapi Si tiau khek
dan berkata: "Kalian boleh segera pergi dari sini."
Si tiau khek gentar menghadapi kebesaran nama Kong kun Lojin,
hati mereka kebat-kebit, namun dalam hati mereka berat untuk
tinggal pergi begitu saja, segera Heng si khek tampil kedepan
sambil unjuk hormat dan berkata: "Wanpwe berempat tengah
menjalani tugas untuk menggusur Suma Bing..."
Kong kun Lojin maju beberapa tindak sambil menggoyangkan
kipasnya, tukasnya: "Selamanya aku orang tua hanya berkata
sekali!" "Wanpwe berempat terpaksa dan..." "Keparat, apa kalian
minta aku orang tua mengantar kalian
dengan kipasku ini?" Keruan Si tiau khek ketakutan, setelah saling
berpandangan, akhirnya mereka tinggal pergi tanpa bersuara lagi.
Sementara itu Suma Bing menjadi gugup, serunya: "Cianpwe,
harap kau suka memberi kelonggaran supaya aku pergi menepati
sebuah janji!"
"Janji apa?" "Aku sudah berjanji dengan Si tiau khek untuk ikut
mereka menuju kemarkas besar Bwe hwa hwe!" "Apa kau ada pegangan
dapat kembali dengan masih
bernyawa?" "Ini... mungkin bisa." "Jikalau kau mengalami
bencana, lalu bagaimana kau
hendak membayar piutang suhumu dulu itu?" "Wanpwe
bersumpah pasti kembali!" "Buyung, ada berapa banyak jiwamu,
agaknya kau memang sudah bosan hidup." Mendengar nada ucapan terakhir
ini agak ganjil, Suma Bing
menjadi naik pitam, bentaknya dengan aseran: "Siapakah tuan ini
sebenarnya?"
Maka terlihat Kong kun Lojin meraup jenggotnya dan
menanggalkan ikat kepalanya, kipasnya juga lantas dilempit sambil
tertawa ter-kekeh2: "Buyung, siapa aku?"
Suma Bing tidak kuat lagi menahan rasa geli dan meng- garuk2


Pedang Darah Bunga Iblis Terror Bwe Hwa Hwe Karya G K H di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepalanya yang tidak gatal. Ternyata yang berdiri dihadapannya
ini bukan lain adalah si maling bintang.
Siang Siau hun sendiri juga tidak kuat menahan gelinya, dan
tertawa ter-pingkal2 sampai perutnya terasa mulas.
"Cianpwe bagaimana kau bisa merubah menjadi wajah Kong kun
Lojin?" "Hehehe, Kong kun Lojin sudah meninggal dunia pada enam puluh
tahun yang lalu, dalam Bu lim yang masih mengenal wajah aslinya
kukira tiada berapa orang saja, karena terpaksa baru aku
mendapat akal yang licik ini."
"Locianpwe." seru Siang Siau hun masih memegangi perutnya,
"Agaknya kau sering bermain samaran ini, kalau tidak darimana
secepat itu kau mendapatkan perlengkapan itu."
"Budak ayu, tak perlu kau mengocok aku. Semua perlengkapan ini
kupinjam dari patung pemujaan Cukat siansing didalam biara tak
jauh didepan sana, tentang jenggot panjang ini" Hahaha, kupinjam
dari Ui Tiong itu salah satu dari Ong hou ciang jendral perang yang
termashur pada jaman Sam Kok!"
Lagi2 Siang Siau hun ter-pingkal2 tak hentinya, Suma Bing juga
merasa lega dan bersyukur.
Kata si maling bintang Si Ban cwan: "Mari kita melanjutkan
perjalanan."
Wajah Suma Bing berobah sungguh2, sahutnya: "Tidak!" "Ha,
tidak! Apa maksudmu?" "Aku seorang laki2, mana bisa aku
ingkar janji terhadap Si
tiau khek?" Seketika lenyap seri tawa Siang Siau hun kini
wajahnya berganti penuh kesedihan.
Si maling bintang menjadi gugup, teriaknya: "Buyung Bwe hwa hwe
takkan puas sebelum merenggut jiwamu. Kepandaian Si tiau khek
mungkin masih lebih unggul dari Bu lim su ih. Toh mereka mandah
terima perintah orang lain. Maka kepergianmu ini, mana bisa kau
kembali dengan masih tetap bernyawa. Apa kau tidak berpikir
bahwa kau sendiri memikul tugas berat penuntutan balas dendam
kesumat keluarga dan suhumu, lalu kenapa kau memandang
jiwamu sedemikian murah..."
Suma Bing tertawa getir, sahutnya: "Tapi wanpwe tidak mungkin
mengingkari janji."
"Apa kau benar2 harus pergi?" "Ya, mungkin disana aku dapat
memecahkan tabir rahasia
Bwe hwa hwe mengapa selalu mengejar2 jiwa wanpwe!" "Sudah
tentu dapat kau bongkar rahasia itu, tapi kau juga
harus mengorbankan jiwamu sendiri sebagai imbalannya!" "Itu
belum tentu!" "Engkoh Bing." suara Siang Siau hun gemetar, "Apa
kau benar2 hendak masuk kedalam jebakan musuh?" "Adik Hun,
maafkanlah kesukaranku ini, kuharap kelak
dapat bertemu lagi!" "Tidak, kau tidak boleh pergi. Engkoh Bing,
aku tak bisa hidup tanpa kau..." Airmata Siang Siau hun akhirnya mengalir
dengan deras membasahi kedua pipinya. Si maling bintang juga menahan
keperihan hatinya,
ujarnya: "Buyung, menuntut balas, mencari ibumu, dan mencuci
bersih nama perguruan, apa kau masih ingat akan semua tugas
itu?" Sejenak Suma Bing tertegun mendelong, lalu sahutnya dengan
penuh tekad: "Cianpwe, tidak bisa tidak aku harus memenuhi
kepercayaan orang!"
"Hm, kepercayaan" Kalau kau dapat memenuhi kepercayaan orang,
apa kau sudah membayangkan akan akibatnya?"
Tiba2 Siang Siau hun menubruk maju memeluk Suma Bing
kencang2, serunya: "Engkoh Bing, berjanjilah kau tidak akan
pergi!" Kulit wajah Suma Bing ber-kerut2 sebentar, secepat kilat sebuah
jarinya menutuk jalan darah Hek tiam hiat lalu per- lahan2
membaringkannya diatas tanah, lalu katanya kepada si maling
bintang: "Cianpwe, setelah aku pergi harap bebaskanlah jalan
darahnya, maaf aku minta diri!" habis berkata tubuhnya berkelebat
menghilang. Saking gusar dan dongkol si maling bintang mem-banting2 kaki
dan melotot matanya, mulutnya mengoceh tak karuan.
"Sesat, sesat! Sifat2 sesat dari Kho Lo sia semua sudah
diturunkan kepada bocah tak genah ini..."
Dalam pada itu, belum Suma Bing mencapai jarak tiga li, benar
juga jauh2 terlihat Si tiau khek tengah berlarian balik, agaknya
mereka sudah merasa kena dikibuli bahwa Kong kun Lojin itu
sebenarnya adalah palsu. Segera ia menghentikan langkah.
Berbareng Si tiau khek mengeluarkan suara kaget dan heran,
Heng si khek tertua dari mereka segera menyeringai seram,
katanya: "Suma Bing, hampir saja kita berempat kena dikibuli,
hehehe, pintar juga si maling tua itu bermain sandiwara."
Suma Bing menjengek dingin, sahutnya: "Aku Suma Bing
selamanya menepati apa yang pernah kuucapkan, mari berangkat
bawa aku menuju ke Bwe hwa hwe!"
Ucapan Suma Bing ini agaknya diluar dugaan Si tiau khek,
sejenak mereka melengak, lalu Heng si khek membuka kata:
"Gagah benar, mari ikut!"
Lima bayangan manusia dengan kecepatan bagai angin lesus
berlarian menuju kedepan sana.
Begitulah selama sehari semalam mereka berlarian melalui alas
pegunungan dan jalan2 sempit yang jarang dilalui manusia. Pada
hari ketiga pagi2 benar tibalah mereka didepan sebuah lembah
yang sempit. Baru saja mereka menancapkan kaki, harum
kembang bunga Bwe sepoi2 dibawa angin merangsang hidung.
Setelah ber-putar2 dalam lembah sempit itu sampailah mereka
didepan sebuah rimba pohon Bwe, sedemikian lebat dan luasnya
hutan pohon Bwe ini agaknya ber-lapis2 tanpa ujung pangkalnya.
Diam2 Suma Bing membatin: Serasi benar nama Bwe hwa hwe
dengan tempat ini, apakah mungkin markas besar Bwe hwa hwe
berada didalam lembah hutan pohon Bwe ini"
Tengah Suma Bing ber-pikir2 ini terdengar Heng si khek berkata:
"Sudah sampai."
"Apa markas besar Bwe hwa hwe dibangun dalam lembah sempit
ini?" "Tidak salah, diujung hutan pohon Bwe inilah!" Si tiau khek
berempat membuka jalan didepan, terus
memasuki hutan pohon Bwe itu, sejenak Suma Bing ragu2.
Akhirnya dia mengikuti juga sambil membusung dada dan
memasang mata dengan waspada. Justru yang mengherankan
kalau tempat ini adalah letak markas besar Bwe hwa hwe
mengapa tidak kelihatan bayangan manusia, suasana dalam hutan
ini sedemikian sunyi senyap menyeramkan.
Tidak lama kemudian setelah belak belok beberapa kali mendadak
Suma Bing kehilangan bayangan Si tiau khek, mereka menghilang
begitu saja tanpa keruan paran.
Keruan Suma Bing menjadi gugup dan terkejut, sebat sekali ia
kembangkan ilmu gerak tubuhnya selulup timbul diantara
lebat2nya pohon2 bunga Bwe, namun sekian lama dia berkeliaran
sampai keringat membanjir keluar, sekelilingnya masih gelap
pekat, hutan bunga Bwe ini agaknya tak berujung pangkal. Saking
gugup segera dia melompat keatas sebuah pohon, dimana
matanya lepas memandang empat penjuru angin adalah pohon
bunga Bwe melulu, sampai bayangan lembah sempit darimana tadi
dia masukpun sudah menghilang entah dimana.
Kiranya itulah sebuah barisan! Baru sekarang Suma Bing
tersadar bahwa dirinya telah
terjebak masuk jaringan musuh yang aneh ini, kalau tidak
mengenal inti perubahan barisan ini, seumpama berlarian ubek2an
sampai mati juga akan sia2 belaka.
Saking kewalahan akhirnya dia turun kembali dan duduk dibawah
sebuah pohon tenang2 dia berpikir mencari akal untuk meloloskan
diri dari kurungan barisan ini.
Tapi sedikitpun dia tidak kenal akan aturan barisan ini, pikir punya
pikir, otaknya semakin bebal, sungguh dia tidak habis mengerti
mengapa Si tiau khek memancingnya dan mengurung dirinya
kedalam barisan ini"
Kalau toh tempat ini sudah termasuk kekuasaan Bwe hwa hwe itu
berarti dirinya sudah menepati janjinya, mau datang atau pergi
sudah terserah kepada kehendaknya sendiri, akan tetapi dirinya tak
mungkin dapat meloloskan diri. Sang waktu berjalan dengan
cepatnya. Bagai binatang jalan yang terkurung dalam
kerangkengan, demikian juga keadaan Suma Bing, kakinya terus
melangkah tanpa arah tujuan yang menentu.
Se-konyong2 tidak jauh didepannya sana berkelebatan muncul
beberapa bayangan manusia, yang terdepan adalah seorang
pemuda berwajah culas, sekali pandang Suma Bing
lantas mengenalinya, itulah Ketua Bwe hwa hwe Chiu Thong
adanya, dibelakangnya mengikuti Si tiau khek dan pelindungnya Ma
Siok ceng. Sontak berkobar hawa amarah Suma Bing, sambil mendengus
dingin, segera ia menubruk maju.
Sebat sekali Si tiau khek berpencar dari dua jurusan masing2
Pendekar Panji Sakti 18 Pukulan Si Kuda Binal Karya Gu Long Pendekar Bayangan Setan 14

Cari Blog Ini