Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Mas 15

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Bagian 15


"Kau benar. Aku masih punyakan dua guru lainnya," Sin Tjie jawab dengan jujur.
"Ehm! Siangkong telah gabung kepandaiannya tiga guru, pantas kau jadi liehay begini!"
memuji nona itu. "Siangkong, malam ini aku datang mengunjungi kau, maksudku yang
utama adalah untuk minta berguru kepadamu..."
Sin Tjie benar-benar heran.
"Aku tidak mengerti, kauwtjoe," sahutnya. "Aku mohon kauwtjoe memberi penjelasan
kepadaku."
Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Wan Siangkong," katanya, "apabila kau tidak cela siauwmoay punya bakat tolol, aku
minta sukalah kau terima aku sebagai muridmu."
Sin Tjie tertawa bergelak-gelak.
"Ho Kauwtjoe ada ketua dari satu perkumpulan besar, kepandaian kauwtjoe sudah sangat
liehay, cara bagaimana kau boleh berguyon denganku?" tanyanya.
"Jikalau kau tidak ajarkan aku ilmu menotok jalan darah," kata kepala agama itu, "habis
apa itu beberapa puluh orangku yang sekarang sedang rebah tidak berdaya mesti
diantapkan saja jiwa mereka melayang?"
Baru sekarang kauwtjoe ini omong dengan jelas.
"Asal kau antarkan pulang sahabatku itu dan kau suka berjanji untuk selama-lamanya
tidak mengganggu pula pada pihakku, tentu sekali aku suka menolong mereka," sahut Sin
Tjie, yang pun omong terus-terang.
"Ini jadinya berarti, kau tak sudi terima semacam murid sebagai aku ini?" tegaskan Ho Tiat
Tjhioe. "Pelajaranku masih belum sempurna," jawab Sin Tjie dengan merendah. "Sebenarnya aku
masih hendak mencari guru pula, maka bagaimana aku berani menerima murid" Kauwtjoe,
mari kita omong dengan terbuka, mari kita menghabiskan urusan kita dengan baik, kita
lupakan yang sudah lewat. Kau akur bukan?"
Kauwtjoe itu tertawa.
"Aku nanti antarkan sahabatmu itu, kau nanti tolongi orang-orangku!" katanya. "Urusan di
belakang hari, kita nanti lihat saja!"
Menampak orang tetap tak sudi berdamai, Sin Tjie mendongkol juga.
"Kamu dari Ngo Tok Kauw boleh malang-melintang di Selatan, tetapi aku orang-orang
gagah dari tujuh propinsi, mustahil kami jeri terhadapmu!" demikian pikir ia.
Karena memikir demikian, pemuda ini cuma angkat kedua tangannya, ia tidak bilang suatu
apa. Ho Tiat Tjhioe berbangkit sambil tertawa manis.
"Aha, Wan Toa-bengtjoe kami gusar!" katanya. Lantas ia pun angkat kedua tangannya,
untuk liam-djim, memberi hormat. Masih ia tertawa hihi-hihi ketika ia menambahkan: "Baik,
baik, di sini aku menghaturkan maafku."
Sin Tjie membalas hormat, tapi hatinya tetap tak senang. Ia sangat tak setuju tindaktanduk
lawan itu. "Besok aku nanti antarkan sahabatmu she Hee itu," kata Tiat Tjhioe kemudian, "setelah itu
aku nanti undang kau, tuan, untuk kau tolongi orang-orangku."
"Aku beri janjiku," Sin Tjie bilang.
Tiat Tjhioe menjura, lalu ia membaliki tubuh. Ia tidak mau loncat naik keatas genteng, ia
menindak ke pintu depan, maka Sin Tjie mesti antar dia, untuk mana ia perintah
kacungnya nyalakan lilin dan membukai pintu.
Wan Djie mengikuti di belakang mereka itu.
"Wanita ini sangat licin," pikirnya, "mungkin dia sembunyikan orang-orangnya diluar
rumah, ia pancing Wan Siangkong untuk kemudian dibokong, Nanti aku periksa dulu!"
Karena memikir begini, ia antap orang jalan terus, ia kasi dirinya ketinggalan, lantas ia
sembat tempuling Ngo-bietjie, dengan bawa itu ia loncat naik keatas genteng, akan
hampirkan tembok diujung mana ia sembunyikan diri, untuk memasang mata keluar.
Dimuka pintu ada sebuah joli, tukang gotongnya empat orang, mereka ini sedang berdiri
menantikan di muka joli. Kecuali mereka itu, tidak ada orang lain pula.
Dengan kelincahannya, dengan ati-ati, Wan Djie keluar dari tempat sembunyinya, akan
dengan diam-diam hampirkan joli dari arah belakang, setelah datang dekat, ia pegang
ujung gotongan, untuk angkat dengan pelahan-lahan. Ia merasai angkatan yang enteng
sekali, itu artinya tidak ada orang lain di dalam joli, maka hatinya menjadi lega. Benar
ketika ia hendak undurkan diri, pintu depan telah dipentang, kacung membawa obor yang
terang sekaili. Sin Tjie bertindak mengantar tetamunya yang istimewa itu.
Mendadak saja nona Tjiauw mendapat satu pikiran.
"Dia tidak sudi berdamai, ini berarti, di belakang hari, kesulitan masih banyak sekali,"
demikian pikirnya. "Kenapa aku tidak mau kuntit dia, untuk ketahui di mana dia
bersarang" Dengan ketahui tempat sembunyinya, apabila kemudian dia datang
mengganggu pula, Wan Siangkong bisa satroni dia, untuk serbu padanya."
Setelah berpikir begini, tanpa bersangsi pula, Wan Djie batalkan niatnya undurkan diri,
sebaliknja, ia nyelusup ke kolong joli, dengan berpegang kedua tangan dan kedua kaki
dicantel, ia bergelayutan di kolong joli itu. Secara begini ia bertindak, untuk balas budinya
Sin Tjie. Joli memakai tenda yang tebal, malam itu pun gelap, tidak ada orang yang lihat sepakterjangnya
nona Tjiauw ini. Keempat tukang joli pun sedang mengawasi pemimpinnya,
untuk disambut.
Sambil tertawa manis, Ho Tiat Tjhioe masuk kedalam jolinya, atas mana empat tukang
gotongnya segera panggul joli itu, buat dibawa pergi. Yang luar biasa adalah mereka ini
menggotong sambil berlari-lari, umpama kata laksana terbang.
(Bersambung bab ke 21)
Heran Wan Djie karena orang gotong joli secara demikian rupa, dari heran, hatinya lantas
kebat-kebit, ia berkuatir juga sedikit. Ia tidak menduga bahwa keempat tukang gotong itu
adalah orang yang bertenaga besar dan berkepandaian silat. Pun dengan menangkel di
kolong joli, ia merasakan hawa yang sangat dingin. Itu waktu ada di musim dingin, ada
salju yang nempel di joli, sekarang salju itu jatuh ke mukanya, disebabkan hawa panas
pada mukanya itu, salju lumer menjadi air. Tidaik berani ia susut mukanya, ia kuatir
dengan geraki tangannya, ia akan menerbitkan goncangan hingga orang bisa timbul
kecurigaannya. Perjalanan Baru dilakukan kira setengah jam, mendadak Wan Djie dengar suara bentakan
keras, menyusul mana, joli dihentikan dengan tiba-tiba. Tentu saja keempat tukang joli dan
nona di dalamnya dengar bentakan itu.
Segera menyusul bentakan lain, suaranya seorang lelaki: "Kacung she Ho yang hina-dina,
lekas kau keluar untuk terima binasa!"
"Aneh!" pikir Wan Djie. "Aku rasa kenali suara ini....Siapa dia?"
Habis itu, menyusul bentakan lain lagi: "Kamu kaum Ngo Tok Kauw malang-melintang di
dunia, siapa tahu kamu toh ketemu harimu ini!"
" Itulah Bin Tjoe Hoa!" ingat si nona Tjiauw. "Ya, suara yang pertama ada suara
soehengnya, Tong Hian Toodjin..."
Segera terdengar tindakan kaki berisik disekitar joli, rupanya ada sejumlah orang yang
datang mengurung.
Joli segera dikasi turun, keempat tukang gotongnya lantas hunus senjata.
Wan Djie singkap ujung tenda, untuk mengintai,
Di arah timur terlihat lima orang, semua memakai jubah suci, tangan mereka menyekal
pedang. Yang berada di depan nampaknya ada Tong Hian Toodjin.
"Di arah barat, utara dan selatan, tentu ada kawan-kawan mereka..." pikir pula nona
Tjiauw. "Rombongan Boe Tong Pay ini rupanya berniat mencari balas untuk guru mereka."
Selagi ia memikir demikian, Wan Djie rasai joli bergoyang.
Itulah gerakan disebabkan Ho Tiat Tjhioe telah berloncat keluar dari jolinya itu.
"Bukankah Tjoei In si imam telah mampus?" demikian bentakannya pemimpin Ngo Tok
Kauw ini. "Sungguh besar nyali kamu semua" Apakah kamu mau?"
"Kasi tahu kami, sebenarnya dimana adanya guru kami, Oey Bok Too-tiang?" Tong Hian
tanya "Lekas bicara, supaya kau bisa bebas dari siksaan!"
Ho Tiat Tjhioe tertawa terbahak-bahak.
"Guru kamu bukannya bocah cilik umur tiga tahun," katanya, "Gurumu hilang, kenapa
kamu menanyakannya kepadaku" Apa memangnya gurumu itu diserahkan dibawah
penilikanku" Baiklah, kita sama-sama kaum Rimba Persilatan, aku nanti bantu kamu
mencari dia! Kasihan kalau sampai dia terlantar diluaran, tidak ada yang urus!..."
"Hai, suaranya orang ini benar-benar halus dan merdu..." pikir Wan Djie. "Dia omong keras
tetapi manis didengarnya... Tadinya aku sangka dia bicara sama Wan Siangkong dengan
lagu-suara dibikin-bikin, untuk menarik hati orang..."
Lalu terdengar suara penuh kemurkaan dari Tong Hian Toodjin.
"Kamu kaum Ngo Tok Kauw telah malang-melintang dimana-mana!" demikian suaranya
imam ini. "Sekarang kami hendak bikin kamu insyaf, perbuatan jahat mesti terima
pembalasan jahat juga!"
Tong Hian geraki pedangnya, tubuhnya juga, agaknya ia hendak lantas menyerang.
Masih Ho Tiat Tjhioe tertawa manis.
"Boe Tong Pay kesohor sebagai partai jantan," katanya, "tapi buktinya kamu tidak pernah
secara terang-terangan mencari aku! Begitulah sekarang, selagi orang aku banyak yang
terluka, diam-diam bagaikan hantu-hantu, kamu sembunyi di sini untuk memegat aku!.....
Ha-ha-ha-ha!"
Beraneka warna suara tertawanya ketua Ngo Tok Kauw ini, lalu sebelum berhenti suara
tertawanya itu, diarah barat utara terdengar satu suara jeritan hebat: "Aduh!"
Nyatalah nona ini sudah lantas mendahului turun-tangan, karena mana, ia menambah
membangkitkan hawa-amarah musuh-musuhnya, maka tidak ampun lagi, orang lantas
maju, untuk terjang padanya.
Pertempuran sudah lantas terjadi, Ho Tiat Tjhioe berlima segera kena dikurung. Sebab kali
ini orang-orang Boe Tong Pay telah kumpul dalam jumlah besar, berikut semua
anggautanya yang liehay.
Keempat tukang gotong telah terluka dan rubuh saling susul saking hebatnya kepungan,
walaupun pertempuran berjalan belum seberapa lama.
Wan Djie mengintai terus, hingga ia bisa saksikan cara berkelahinya orang-orang Boe
Tong Pay itu. Ilmu silat pedang mereka benar-benar liehay. Ia tetap berdiam di kolong joli,
tak mau ia lantas keluar. Kalau ia muncul, ia kuatir ia nanti disangka ada orangnya Ngo
Tok Kauw. Berkilau-kilaulah kira-kira duapuluh batang pedang yang lagi kurung Ho Tiat Tjhioe, siapa
benar-benar liehay. Dia benar tidak bisa lantas pecahkan kurungan, akan tetapi dia bisa
berkelahi dengan baik.
Satu imam muda sangat bernapsu, dia lompat maju kepada si nona, untuk menyerang
dengan hebat, tetapi pedangnya ditangkis dengan gaetan, gaetan mana terus mampir di
pundaknya. Maka tidak ampun lagi, ia menjerit dan rubuh pingsan, hingga ia perlu
digotong keluar kawan-kawannya.
Kembali lewat beberapa puluh jurus, setelah ini Barulah kelihatan Ho Tiat Tjhioe kena
terdesak. Bin Tjioe Hoa merangsak hebat, sampai mendadak pedangnya menyambar batang
lehernya ketua Ngo Tok Kauw itu. Tiat Tjhioe berkelit, menyusul mana, dua pedang lain
membarengi menikam dia. Maka sibuklah dia dengan tangkisannya.
Tiba-tiba Wan Djie dengar suara nyaring pelahan, lalu serupa barang jatuh menggelinding
ke kolong joli, kearah dia. Dia jumput itu, ialah sebuah anting-anting.
Menampak ini, Wan Djie girang berbareng kuatir. Ia girang karena ia percaya, kali ini Ho
Tiat Tjhioe tidak bakal lolos dari kebinasaan, apabila dia mati, itu artinya Sin Tjie jadi
bebas dari gangguan nona liehay ini. Tapi ia berkuatir andai-kata Tiat Tjhioe terbinasa,
nanti nasibnya Tjeng Tjeng tak ketahuan. Ada kemungkinan sisa orang-orang Ngo Tok
Kauw tidak sudi menyerahkannya.
Masih Ho Tiat Tjhioe melakukan perlawanan. Selang lagi dua-puluh jurus, Barulah ia lelah
benar-benar, rambutnya terlepas dan kusut, nampaknya tidak lagi ia mampu membalas
menyerang. Tong Hian Toodjin rupanya bisa lihat nyata keadaannya lawan, sampai di situ, ia
perdengarkan seruannya, maka beberapa puluh pedang segera perkeras kurungan
mereka. "Dimana adanya guru kami?" Tong Hian tanya. "Dia masih hidup atau sudah meninggal
dunia" Lekas bilang!"
Ho Tiat Tjhioe kempit gaetan emasnya, ia pakai tangannya untuk singkap rambutnya yang
riap-riapan, setelah itu, mendadak ia tertawa, gaetannya berkelebat, maka di pihak lawan,
satu imam telah terluka pula!
Hal ini membikin semua imam jadi gusar sekali, kembali mereka menyerang, secara hebat.
Dalam saat sangat terancam dari Ho Tiat Tjhioe itu, dari kejauhan terdengar suara suitan
istimewa, mendengar mana, ketua Ngo Tok Kauw itu tertawa pula.
"Dengar, itulah orang-orangku datang!" ia berseru. "Baik kamu lekas menyingkir, atau
kamu nanti dapat susah!...."
Wan Djie dengar ancaman yang berupa nasihat itu.
"Jikalau ini bukannya saat mati atau hidup," pikirnya "mendengar suaranya ini, yang
begini halus, orang pasti mengira ia sedang pasang omong dengan kekasihnya..."
Ia kagumi suara orang yang merdu itu.
Tong Hian tidak gubris nasihat itu.
"Baik bereskan dulu ini kacung hina!" katanya kepada kawan-kawannya.
Serangan diperkeras dengan kesudahan Tiat Tjhioe mendapat dua luka enteng pada
kakinya. Meski begitu, ia masih melawan dengan tampangnya bersenyum-senyum.
"Jangan kau tertawa saja!" seru satu imam muda, yang hatinya tak tega kalau nona begini
cantik-manis mesti terbinasa di ujungnya puluhan pedang yang tajam. "Kau menyerah
atau tidak?"
"Eh, tootiang, apa katamu?" tanja Tiat Tjhioe, menegasi. Masih ia tertawa.
Ditanya begitu, imam muda itu tercengang, selagi ia hendak menjawab, mendadak ada
sinar berkelebat.
"Awas!" seru Bin Tjoe Hoa. Sia-sia saja pemberian ingat ini, gaetan emas dari Ho Tiat
Tjhioe telah mampir ditubuh si imam.
Selagi kepungan diperkeras, Tong Hian pecah delapan orangnya, akan sambut balabantuannya
pemimpin Ngo Tok Kauw itu. Maka tak jauh dari mereka, segera terdengar
suara beradunya pelbagai alat-senjata, suatu tanda, pihak Boe Tong Pay sudah mulai
bentrok sama bala-bantuannya Tiat Tjhioe.
Kembali Tong Hian memecah orangnya, guna bantu delapan kawannya itu.
Tiat Tjhioe dapat juga bernapas sedikit karena dipecahnya kekuatan yang mengepung dia,
akan tetapi kendati demikian, ia tidak sanggup toblos kurungan, untuk persatukan diri
dengan kawan-kawannya itu.
Selagi orang bertempur seru, mendadak terdengar suaranya satu imam: "Bagus, bagus!
Tiang Pek Sam Eng, tiga dorna penjual negara, kamu juga datang?"
"Habis bagaimana?" jawab satu suara kasar dan bengis. "Kau tahu kami liehay, lekas
kamu pergi semua!"
Heran Tjiauw Wan Djie mendengar suara si imam, yang menyebut Tiang Pek Sam Eng,
ialah tiga jago dari Tiang Pek San. Mereka bertiga adalah yang mengadu-biru dalam hal
membikin celaka ayahnya, mereka sudah ditawan Sin Tjie, oleh ayahnya mereka telah
dikirim pada kantor negeri di Lamkhia, maka heran, kenapa mereka itu sekarang datang
kemari. "Apa mungkin mereka itu buron dari penjara" Atau apa mereka sudah sogok pembesar
negeri, untuk kebebasan mereka?" pikir si nona, yang menduga-duga.
Selama itu, desakan Ngo Tok Kauw menjadi hebat, segera ternyata, pihak Boe Tong Pay
kena terdesak. Maka tidak ayal lagi, Tong Hian Toodjin beri tanda untuk pihaknya mundur.
Dalam hal ini, mereka ini bisa bekerja dengan sempurna, mereka dapat mundur dengan
teratur. Ho Tiat Tjhioe tampak orang mundur dengan rapih, ia cegah pihaknya mengejar, sembari
tertawa, ia ejek musuh-musuhnya itu, katanya: "Jikalau ada waktu yang senggang, lain kali
kamu boleh datang pula untuk main-main lagi! Siauwmoay tak dapat antar padamu!..."
Ia menggunakan kata-kata "siauwmoay," - adik yang rendah.
Pihak Boe Tong Pay tidak perdulikan ejekan itu. Mereka muncul dengan mendadak,
mundurnya pun secara cepat sekali. Maka dilain saat, kesunyian datang kembali, tak lagi
ada suara bentrokan senjata, cuma ada siurannya angin malam yang membawa datangnya
sang salju. Wan Djie mengintai pula, ia lihat beberapa puluh orang, yang berkumpul bergundukKang
Zusi - http://cerita-silat.co.cc/
gundukan. Seorang perempuan tua, yang dandan sebagai pengemis, kata: "Pandai sekali mereka itu
serep-serepi kabar! Mereka tahu orang-orang kita sedang terluka, mereka datang
membokong!"
"Syukur bibi telah dapat lekas mengumpul bala-bantuan," berkata Ho Tiat Tjhioe. "Lebih
syukur keempat loopeh Keluarga Oen dan Tiang Pek Sam Eng pun kumpul bersama, coba
tidak, rada sulit untuk memukul mundur mereka itu."
Seorang tua, yang kumis-jenggotnya putih, menanya: "Apakah pihak Boe Tong Pay itu
berserikat sama Hoa San Pay?"
Seorang lain, yang suaranya kasar, menyahuti: "Kim Liong Pang berkonco sama si
binatang she Wan! Kami bertiga saudara telah gunai akal merenggangkan, untuk
membunuh orang sambil meminjam golok, maka orang she Wan itu pasti bakal hajar pihak
Boe Tong Pay!"
Si orang tua lantas tertawa besar.
"Bagus! Biar mereka saling bunuh!" katanya.
Mendengar pembicaraan itu, Wan Djie di kolong joli mengeluarkan keringat dingin.
"Hm, jadi tiga jahanam inilah yang telah bunuh ayahku!" katanya di dalam hati.
Sampai di situ, terdengarlah suaranya Ho Tiat Tjhioe: "Sekarang mari kita pergi ke istana!
Tak usah duduk joli lagi...."
Maka pergilah rombongan orang itu. Yang jalan di depan ada Ho Tiat Tjhioe bersama Tiang
Pek Sam Eng dan empat orang tua.
Tjiauw Wan Djie tunggu sampai orang sudah melalui beberapa puluh tindak, Baru ia keluar
dari kolong joli, kapan ia telah melihat ke sekitarnya, ia terperanjat sendirinya. Nyata ia
telah berada diluar Kota Terlarang. Ia pun bisa lihat rombongan Ho Tiat Tjhioe memasuki
istana.

Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak berani Nona Tjiauw berdiam lebih lama di tempat sunyi itu, dengan berlari-lari, ia
berangkat pulang, langsung ke gang Tjeng-tiauw-tjoe. Ia segera ketemui Sin Tjie, akan
tuturkan pengalamannya barusan.
Sin Tjie awasi nona ini sekian lama, akhirnya ia tunjuki jempolnya.
"Nona Tjiauw, besar nyalimu, dan kau cerdik sekali!" ia memuji.
Merah mukanya si nona, ia tidak bilang suatu apa, hanya ia beri hormatnya.
Tidak berani Sin Tjie ulur kedua tangannya, akan angkat bangun si nona, ia malah
bertindak ke pinggir, untuk tidak terima pemberian hormat itu. Tapi ia mengerti maksud
Nona Tjiauw, maka ia kata: "Tentang sakit hati ayahmu, nona, kau letaki itu dibahuku,
tetapi dengan menjalankan ini kehormatan besar, nona seperti tidak memandang mata
kepadaku...." Kemudian setelah berpikir sedetik, ia tambahkan : "Tak dapat kita berayal
lagi, sekarang juga aku mesti pergi ke istana!"
"Entah bagaimana duduknya, kawanan jahanam itu bisa masuk dalam istana kaisar." kata
Wan Djie. "Istana ada terjaga kuat sekali, aku rasa kurang tepat untuk kau memasukinya,
Wan Siangkong...."
"Jangan kuatir, tidak ada halangannya," Sin Tjie bilang. "Aku mempunyai suatu barang
berharga. Sebenarnya aku sudah mesti gunai itu sedari siang-siang, siapa tahu setibanya
di kota raja ini, kejadian-kejadian saling-susul sampai aku tidak punya tempo senggang
lagi..." Ia rogo sakunya, akan tarik keluar sesampul surat.
Itulah suratnya To Djie Koen, pangeran Kioe Ong dari Boan-tjioe, yang dialamatkan
kepada Soe-lee Thaykam Tjio Hoa Soen didalam istana, yang tadinja dibawa oleh Ang
Seng Hay tapi tak sempat Seng Hay menyerahkannya. Ia percaya, surat itu bakal ada
faedahnya, maka Sin Tjie simpan itu. Sekarang surat ini hendak digunakan.
"Bagus!" menyatakan si nona. "Aku akan turut kau, Wan Siangkong. Aku nanti menyamar
sebagai kacungmu."
Sin Tjie tahu orang hendak membalas sakit hati dengan tangan sendiri, itu artinya
kebaktian, tak suka ia merintanginya.
"Baiklah," ia manggut.
Wan Djie lantas masuk ke dalam, untuk bersihkan tubuh dan tukar pakaiannya.
Memangnya pakaiannya sudah kotor sebab tadi ia keluar-masuk di kolong joli. Ia dandan
pantas sekali sebagai seorang kacung.
"Sekarang tak dapat aku panggil kau Nona Tjiauw!" kata Sin Tjie sambil tertawa.
"Panggil saja aku Wan-djie," kata si nona, yang pun tertawa." Mungkin lain orang sangka
aku pwee-djie atau wan-djie...."
Namanya si nona memang bersuara sama dengan "wan-djie" -"mangkok". Dan "pwee-djie"
artinya "cawan."
Sin Tjie bersenyum.
Selagi dua orang ini hendak keluar, mendadak Gouw Peng dan Lo Lip Djie datang masuk,
agaknya mereka kesusu. Mereka bawa warta bahwa penjagaan di kantor ada keras sekali,
hingga mereka mesti tunggu sampai datang giliran tukar orang, Baru mereka bisa
lemparkan tubuhnya Sian Tiat Seng.
"Bagus?" kata Sin Tjie sambil manggut.
"Wan Siangkong, soe-moay, apa aku boleh turut kamu?" kemudian tanya Lip Djie setelah
ia dapat tahu kemana dua orang ini hendak pergi.
Wan Djie awasi Sin Tjie, tak berani ia lancang mengajak.
Anak muda kita berpikir: "Memasuki istana ada tindakan berbahaya, penjagaan di sana
kuat, di sana pun terdapat banyak orang liehay, untuk lindungi Wan Djie, aku repot,
bagaimana lagi aku bisa ajak lain orang?"
Selagi Sin Tjie berpikir, Gouw Peng tarik ujung bajunya Lip Djie, sambil mengedipi, ia
bilang: "Lo Soetee, luka tanganmu Baru sembuh, kesehatanmu belum kembali seluruhnya,
maka biarlah Wan Siangkong ajak soemoay saja...."
Mendengar itu, Sin Tjie lalu berpikir:
"Agaknya Gouw Peng ingin mengantapkan aku berada berdua dengan Wan Djie. Ketika
kemarin malam aku pergi kepada Tjoei In Toodjin, aku pun berdua saja sama Nona Tjiauw,
mungkin itu menyebabkan timbulnya kecurigaan mereka. Aku boleh tak usah kuatir, akan
tetapi menyingkirkan curiga ada terlebih baik lagi ."
Maka itu, ia lantas jawab Lip Djie: "Lo Toako suka turut, itu berarti tambahan pembantu
untuk aku. Nah, pergilah kau lekas salin pakaian!"
Lip Djie jadi sangat girang, ia lari ke dalam, untuk mengenakan dandanan sebagai kacung.
Gouw Peng turut masuk.
"Lo Soetee, kali ini kau berlaku tolol!" katanya sambil tertawa.
"Apa soeheng bilang?" Lip Djie heran, ia sampai tercengang.
"Wan Siangkong telah melepas budi sangat besar terhadap Kim Liong Pang kita," kata
Gouw Peng, "dan terhadap dia, agaknya soe-moay ada menaruh hati..."
"Jadi kau maksudkan biar soemoay berjodoh dengan Wan Siangkong?" Lip Djie tegaskan.
"Roh soehoe didunia baka pasti sangat girang," kata pula Gouw Peng. "Kau hendak turut
mereka, apa perlunya?"
Lip Djie sadar.
"Soeheng benar!" katanya, "Ya, aku tak jadi pergi."
"Tapi sekarang, kalau kau batal pergi, kau bakal mendatangkan kecurigaan," Gouw Peng
bilang. "Kau boleh pergi, asal kau bisa lihat selatan. Tidak ada urusan yang terlebih baik
daripada terangkapnya jodoh mereka!"
Lip Djie manggut, walaupun hatinya tak keruan rasa.
Sebenarnja sudah sejak beberapa tahun lip Djie menaruh hati pada Wan Djie, hanya
sebegitu lama belum berani dia mengutarakannya, si nona elok dan manis, suka ia tertawa
atau bersenyum, tetapi dalam semua tindakannya, ia bersungguh-sungguh, terutama
selama ada urusan ayahnya, nona ini repot sekali, sikapnya keren. Sementara itu, Lip Djie
pun dibikin bersangsi dengan tangannya, yang kutung sebelah, dia malu sendirinya,
sampai omong pun ia tidak berani omong banyak sama si nona. Maka itu, mendengar
perkataan Gouw Peng, dia jadi putus asa. Tapi ia bisa berpikir, "Wan Siangkong gagah,
dengan soemoay dia sembabat sekali, dengan soemoay bisa pernahkan diri untuk hari
kemudiannya, mesti aku bergirang untuknya!"
Karena ini, ia keluar dengan hati tetap dan tenang.
Dari dalam peti besi, Sin Tjie keluarkan banyak rupa barang permata, ia membuat satu
bungkusan besar, ia minta Lip Djie yang bawa, lalu bersama-sama Wan Djie, ia berangkat
ke istana. Dimuka pintu istana ia ucapkan tanda rahasia pada serdadu pengawal, kapan
pengawal tahu, orang ada tetamunya Tjo Thaykam, ia menyambut dengan sangat hormat,
ia pimpin tetamunya kedalam, setelah mana, ia undurkan diri, sebab di sini ada satu
thaykam muda yang gantikan ia antar Sin Tjie kedalam.
Sampai tiga kali Sin Tjie dapatkan pergantian tiga thaykam, selama itu ia perhatikan
jalanan atau bagian-bagian perdalaman istana yang ia lewati. Paling belakang ia diajak ke
taman, dimana ada jalanan yang banyak tikungannya, terus sampai disebuah kamar yang
kecil tapi indah perlengkapannya. Di sini ia dipersilakan duduk dan disuguhkan teh wangi.
Kira-kira dua jam Sin Tjie sudah duduk menantikan, Tjo Thaykam masih belum juga
muncul. Selama itu, orang kebiri yang temani dia juga tidak omong suatu apa kecuali ia
mengundang minum teh. Adalah selang lagi sekian lama, Baru datang satu orang kebiri
lain, umurnya kira-kira tiga-puluh tahun. Ia ini majukan beberapa pertanyaan, dalam katakata
rahasia Sin Tjie menyahuti menurut pengajaran Ang Seng Hay. Habis itu, thaykam
manggut-manggut, lantas ia masuk pula kedalam.
Selang tidak lama, thaykam itu balik lagi bersama satu orang kebiri yang usianya tinggi,
tubuhnya gemuk, mukanya putih.
Sin Tjie lantas menduga kepada Tjo Hoa Soen apabila ia lihat orang itu berpakaian mewah
dan roman agung-agungan. Inilah orang kedua yang paling berpengaruh di dalam keraton
disampingnya kaisar.
"Inilah Tjo Kong-kong!" kata thaykam yang tadi
Sin Tjie, bersama-sama Lip Djie dan Wan Djie, tekuk lutut untuk memberi hormat. Pemuda
ini sedang membawa lelakon, ia mesti bawa sikap wajar.
"Jangan pakai banyak adat-peradatan!" kata Tjo Thaykam sambil tertawa. "Silakan duduk.
Apakah Kioe Ong-ya banyak baik?"
"Ong-ya ada baik," sahut Sin Tjie. "Ong-ya titahkan siauwdjin menanyakan kewarasan
kong-kong."
Ketawa orang kebiri yang usianya tinggi itu.
"Beberapa potong tulang tua dari aku masih mendapat perhatiannya Ong-ya!" katanya
sambil tertawa, tandanya ia puas sekali. "Ang Lauwko, kau datang dari tempat demikian
jauh, entah kau bawa pesan apa dari Ong-ya?"
"Ong-ya hendak tanya kong-kong kalau-kalau kong-kong sudah mengatur sempurna
rencana," kata Sin Tjie, yang pakai namanya Ang Seng Hay.
"Junjungan kami bertabeat keras dan kukuh," jawab thaykam itu. "Beberapa kali telah aku
kemukakan usul kepadanya tetapi ia bilang, meminjam angkatan perang untuk menindas
pemberontak adalah pekerjaan yang banyak bahayanya kelak di belakang hari. Baginda
cuma mengharapkan kedua negara bebaskan diri dari bahaya perang. Baginda bilang,
kalau nanti kerajaan Beng sudah dapat tindas huru-hara, dia akan menghaturkan terima
kasih pada Kioe Ong-ya."
Sebenarnya Sin Tjie tidak tahu jelas hubungan diantara Kioe Ong-ya dari Boantjioe itu
serta ini Thaykam Tjo Hoa Soen. Ang Seng Hay juga tidak tahu betul, sebab kedudukan
Seng Hay rendah sekali, tetapi setelah ia bicara sama orang kebiri ini, ia me-raba-raba,
maka itu, goncanglah hatinya. Jadi orang bersekongkol dan raja hendak dijerumuskan,
untuk pinjam angkatan perang Boan, guna dipakai menindas huru-hara didalam negeri.
Terang sudah, Kioe Ong-ya itu, atau bangsa Boan, mengandung maksud tidak baik
terhadap Tiong-goan, untuk itu, Tjo Thaykam yang dipakai sebagai pekakas. Itulah urusan
penting sekali, yang bisa mencelakai negara.
Sin Tjie tabah, ia bisa berpikir, akan tetapi karena urusan demi kian besar, wajahnya
berubah juga sedikit...!
Tjo Thaykam lihat air muka orang, akan tetapi ia menyangka lain. Ia menduga Ang Seng
Hay tidak puas karena ia belum bekerja sempurna. Maka lekas-lekas ia kata: "Saudara
Ang, jangan sibuk! Satu jalan tidak memberi hasil, masih ada lain jalan lagi!"
"Ya, ya, kong-kong," Sin Tjie bersandiwara. "Kong-kong cerdik, inilah ongya ketahui,
ongya sangat mengaguminya."
Atas pujian itu, Tjo Thaykam tidak bilang suatu apa, ia cuma tertawa.
Kemudian Sin Tjie bertkata: "Ongya menitahkan siauwdjin membawa bingkisan yang tidak
berharga, harap kongkong suka terima." Ia lantas menunjuk ke bebokongnya Lip Djie,
maka Wan Djie lantas turunkan bungkusan di belakang saudara seperguruan itu, untuk
diletaki di atas meja untuk segera dibuka juga.
Matanja Tjo Hoa Soen bersinar, lantas ia berdiri diam. Ia biasa hidup di dalam keraton, ia
pernah lihat banyak permata mulia, akan tetapi apa yang sekarang ia tampak di depan
matanya, membikin ia kagum, karena ini terutama ada untuk ia sendiri. Serenceng dari
seratus butir mutiara saja, yang besar, harganya sudah bukan main besarnya, belum batu
pualam dan lainnya, yang banyak sekali. Yang aneh adalah singa-singaan dari batu
hoeitjoei serta sebuah bola dari batu mirah merah.
Lantas orang kebiri ini periksa satu demi satu permata itu, ia seperti tidak hendak
melepaskannya. Ia ingin kasi presen pada Sin Tjie tapi ia sangsi akan memberikan yang
mana, ia angkat yang satu, ia tukar dengan yang lainnya.
"Baik aku beri hadiah uang saja," akhirnya ia bilang.
"Kenapa ongya menghadiahkan begini banyak barang?" katanya, berpura-pura.
Sin Tjie pandai berpikir, tahu ia bagaimana harus mainkan peranan.
"Ongya juga tahu Baginda bijaksana dan urusan pinjam tentera ada sulit," katanya, "akan
tetapi ongya percaya betul pada kongkong dan mengharap kong-kong berdaya sebisabisanya."
Bukan kepalang puasnya orang kebiri ini, ia tertawa girang.
"Pergi kamu beristirahat di luar," kemudian ia kata pada Lip Djie dan Wan Djie.
Sin Tjie manggut, maka kedua kacung itu menurut ketika ada thaykam muda yang ajak
mereka keluar. Tjo Hoa Soen sendiri yang menutup pintu, setelah itu, ia cekal tangannya pemuda kita.
"Apakah kau tahu apa syaratnya untuk Ongya kerahkan angkatan perangnya?" ia tanya
dengan pelahan.
"Aku hendak korek rahasia dari mulutnya, aku mesti buka rahasia padanya," pikir Sin Tjie.
"Kenapa aku tidak hendak ngaco-belo?"
Maka ia lantas jawab: "Kong-kong ada orang sendiri, tidak ada halangannya untuk aku beri
tahu, tetapi urusan ada sangat besar, maka urusan ini kecuali Ongya, cuma kongkong dan
aku yang mengetahuinya."
Kedua matanya thaykam itu bersinar.
Sin Tjie maju mendekati, ia kata dengan pelahan: "Aku pikir, walaupun Kioe Ongya
hargakan aku, dia tetap ada orang asing, maka itu, biar bagaimana, aku mengharap
bantuan kongkong juga, supaya kemudian aku bisa angkat kehormatan leluhurku..."
Tjo Hoa Soen bisa menduga hati orang.
"Tentu dia inginkan pangkat," pikirnya. Maka ia tertawa, ia kata: "Saudara Ang, kau
percayakan saja urusanmu kepadaku!"
Sin Tjie pikir, main sandiwara tidak boleh kepalang tanggung, maka terus ia berlutut,
untuk haturkan terima kasihnya.
Melihat orang punya kelakuan itu, Tjo Hoa Soen pun pikir: "Ini orang sangat lincah, dia ada
orang kepercayaan Kioe Ongya, aku mesti dapatkan dia sebagai orangku sendiri.
Maka ia lantas tanya: "Ang Lauwtee, kau ada asal mana?"
Asal Kwie-tang," sahut Sin Tjie.
"Jikalau nanti kita sudah berhasil, bagaimana jikalau aku angkat kau menjadi tjongpeng
dari Kwietang?" tanya dia.
"Kongkong ada baik sekali," kata Sin Tjie, yang kembali haturkan terima kasihnya.
"Terhadap kongkong, tak dapat aku sembunyikan apa-apa. Pikirannya Kioe Ongya
adalah..." Ia berhenti, akan celingukan kekanan-kiri, Baru ia melanjuti, dengan pelahan
sekali: "Aku harap kongkong bisa pegang rahasia, jikalau tidak, jiwaku tidak bakal
tertanggung pula..."
"Kau jangan takut, aku jamin padamu," kata thaykam itu.
Sin Tjie unjuk roman berhati lega, tetapi ketika ia bicara lagi, ia tetap bicara dengan sangat
pelahan. Ia kata: "Setelah angkatan perang Boan memasuki kota perbatasan, pasti sekali
kaum pemberontak akan dapat ditindas. Syarat dari Kioe Ongya adalah supaya sri baginda
kerajaan Beng hadiahkan dia semua daerah di Hoopak dan Shoatang kearah utaranya,
tapal batas negara adalah sungai Hong Hoo, agar selanjutnya kedua negara jadi negaranegara
persaudaraan."
Pemuda kita sudah karang cerita akan tetapi Tjo Hoa Soen percaya, tidak ia sangsi sedikit
juga, sebab kesatu ia terima suratnya To Djie Koen, kedua ia telah dibekali banyak barang
permata. Ia tahu, bangsa Boan memangnya liehay.
Sekian lama orang kebiri ini berpikir, lalu ia manggut-manggut.
"Sekarang ini keamanan sedang sangat terganggu," katanya kemudian. "Turut kabar pagi
ini, kota Tong-kwan sudah dipukul pecah pemberontak Lie Giam dan Peng-pou Siangsie
Soen Toan Teng telah binasa berkorban, dengan kebinasaannya menteri perang itu,
kerajaan Beng mempunyai panglima perang siapa lagi" Memang, kalau tidak sekarang
Kioe Ongya bergerak, kota Pakkhia ini tentulah bakal diserbu pemberontak."
Diam-diam Sin Tjie bergirang mendengar Tongkwan sudah jatuh dan Soen Toan Teng,
kepala perang kesohor itu, telah terbinasa. Untuk sembunyikan wajahnya, yang
bercahaya, ia lekas-lekas tunduk.
"Sebentar malam aku nanti majukan pula usulku kepada Sri Baginda," berkata Tjo
Thaykam, "jikalau dia tetap berkukuh, maka untuk kebaikan negara aku nanti...."
Goncang hatinya Sin Tjie mendengar perkataannya orang kebiri ini.
"Seharusnya kongkong menggunai segala daya dahulu Barulah kongkong turun tangan,"
ia kata, Tapi keraslah sudah pikirannya Tjo Thaykam.
"Hum! Jikalau Sri Baginda tetap tidak berdaya menindas pemberontakan, terpaksa mesti
diangkat satu raja baru!" kata dia. "Kerajaan Beng boleh musna, negara boleh terjatuh ke
tangan lain orang, tidak apa, tetapi mustahil kita mesti antari jiwa karenanya?"
"Sebenarnya kongkong mempunyai daya apa?" Sin Tjie tanya. "Tetap hatiku apabila aku
bisa dapat mengetahui..."
"Sungai Hong Hoo menjadi tapal batas negara ada terlebih baik daripada kerajaan terjatuh
ke dalam tangan pemberontak," kata thaykam itu, "Apabila dia tetap berkeras, apa
mungkin..."
Tilbaa saja orang kebiri ini merandak. Ia dapat ingat: "Meskipun orang ini ada orang
kepercayaannya Kioe Ongya, aku toh Baru pertama kali ini bertemu padanya, apa boleh
aku beber seluruh rahasia terhadapnya?"
Dengan tiba-tiba, ia tertawa.
"Ang Lauwtee," katanya, melanjuti, "dalam tempo tiga hari, aku nanti berikan kabar baik
pada Kioe Ongya! Kau tunggu saja di sini..."
Thaykam ini lantas menepuk tangan, lantas muncul empat thaykam muda, mereka
benahkan barang-barang permata, setelah mana dengan iringi thaykam tua itu, mereka
kembali kedalam.
Dilain pihak, empat thaykam kecil lainnya lantas pimpin Sin Tjie serta dua kacungnya ke
sebuah kamar disebelah kiri dimana mereka lantas disuguhkan barang-barang santapan
sore yang terpilih, karena cuaca pun sudah lantas mulai gelap.
Kemudian lagi, setelah memberi selamat malam, keempat thaykam kecil itu undurkan, diri.
"Tjo Thaykam ini sedang mengatur suatu rencana besar," Sin Tjie beritahu kedua
kawannya. "Urusan hebat sekali, sebab ini mengenai keselamatan negara. Kamu berdua
tunggu di sini, aku hendak mencari rahasia sekalian untuk cari tahu apa Nona Hee ditahan
didalam istana atau bukan..."
" Aku turut kau, Wan Siangkong," Wan Djie meminta.
"Jangan, kau tunggu disini bersama Lo Toako," Sin Tjie bilang. "Ada kemungkinan Tjo
Thaykam kurang percaya atau hatinya tak tenteram hingga ia bisa kirim orang akan
melihat kita."
"Aku kira cukup aku berdiam sendiri di sini," menyatakan Lo Lip Djie. "Ada baiknya untuk
siangkong dapat tambahan satu tenaga."
Sin Tjie lihat Wan Djie sangat bernapsu, ia merasa berat untuk menampik lebih jauh, maka
ia manggut. Setelah itu keduanya pergi ke kamar sebelah dimana berdiam empat thaykam muda yang
tadi. Sebelum mereka tahu apa-apa, Sin Tjie sudah totok yang dua hingga mereka jadi
seperti gagu. Dua yang lain kaget, sampai mereka lompat turun dari pembaringan mereka,


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka mengawasi dengan buka mata lebar-lebar.
Wan Djie keluarkan tempuling ngo-bie-tjie yang tajam-mengkilap, ia ancam itu di dada
kedua thaykam ini.
"Asal kamu buka mulut, aku nanti kirim kamu menghadap Goei Tiong Hian." kata nona ini,
suaranya pelahan tetapi berpengaruh. Ujung senjata itu mengenai baju sampai terus
nempel dikulit dada.
Sin Tjie bersenyum. Tak ia sangka, dalam keadaan seperti itu, si nona masih bisa guyon.
Goei Tiong Hian adalah thaykam jahat di jaman Kaisar Hie Tjong dan telah terbunuh mati.
Lantas Sin Tjie buka bajunya kedua thaykam itu, untuk ia pakai berdua Wan Djie.
Untuk ia salin pakaian Wan Djie tiup lilin, hingga kamar jadi gelap.
Sin Tjie totok thaykam yang satunya lagi, sedang yang keempat, ia cekal nadinya, lantas ia
tuntun keluar. "Jangan bicara!" ia ancam. "Kau bawa kami kepada Tjo Kongkong."
Thaykam itu tidak berdaya, ia rasai separuh tubuhnya kaku, terpaksa ia tutup mulut, akan
antar orang ke kamar thaykam kepala.
Mereka jalan lama juga, beberapa kali mereka nikung, Baru mereka sampai di depan
sebuah lauwteng besar.
"Tjo Kong-kong tinggal disana," thaykam ini kasi tahu.
Sin Tjie tidak tunggu orang bicara lebih jauh, segera ia menotok untuk bikin orang kebiri
itu tak dapat berkutik, kemudian ia angkat tubuhnya thaykam itu, untuk diletaki di tempat
lebat dengan pepohonan bunga. Kemudian bersama Wan Djie, dengan berindap-indap, ia
maju ke lauwteng sekali.
Di tingkat kedua kelihatan api terang-terang.
Selagi Sin Tjie hendak tarik tangan Wan Djie, untuk diajak lompat naik ke atas lauwteng, ia
dengar suara tindakan kaki di belakang mereka, lantas ia dengar suara orang menanya:
"Apakah Tjo Kong-kong ada di atas lauwteng?"
"Aku pun Baru sampai. Mungkin kong-kong ada di atas," ia jawab, seraya menoleh ke
belakang, akan lihat lima orang lagi mendatangi, seorang yang jalan di depan menenteng
sebuah lentera merah. Lima orang itu dandan sebagai orang-orang kebiri. Orang yang tadi
menanya sedang mendumal. Mereka jalan dengan pelahan.
Sin Tjie dan Wan Djie tunduk, supaya orang tak lihat muka mereka.
Di waktu melewati pintu, mukanya lima orang itu terkena sinar api berbalik dari daun pintu
yang dicat mengkilap. Sin Tjie yang awas dapat lihat muka mereka, ia terkejut. Lekas ia
tarik ujung bajunya Wan Djie, untuk ayalkan tindakan.
"Itulah Tiang Pek Sam Eng," kemudian Sin Tjie bisiki kawannya setelah lima orang itu
mendaki tangga lauwteng.
Nona Tjiauw kaget.
"Orang-orang jahat yang membunuh ayahku?" Tanya dia. "Jadi mereka sudah jadi
thaykam?" "Sama sebagai kita, melainkan lagi menyamar," Sin Tjie bilang. "Mari kita naik!"
Wan Djie ikuti kawannya ini.
Di lauwteng pertama ada thaykam yang menjaga tetapi mereka tidak merintangi, hingga
Sin Tjie berdua pun dapat lewat dengan merdeka.
Di lauwteng kedua, dua thaykam pengantar ajak Tiang Pek Sam Eng masuk dalam sebuah
kamar. Sin Tjie ajak Wan Djie berhenti di luar sebuah pintu kamar itu, hingga mereka dengar
orang kebiri yang bawa lentera kata: "Silakan tunggu di sini, Tjo Kong-kong akan
lantas...." Selanjutnya, suara mereka tidak terdengar nyata. Habis itu, kedua thaykam itu
turun dari lauwteng.
Lantas Sin Tjie tarik tangan Nona Tjiauw, untuk diajak masuk ke dalam kamar itu, ialah
sebuah kamar tulis, karena disitu, sekitar tembok ada digantungi gambar-gambar dan
pigura-pigura tulisan. Tiang Pek Sam Eng duduk di tengah ruangan. Diaorang ini lihat
masuknya dua thaykam tetapi diaorang tidak menaruh perhatian.
Sin Tjie dan Wan Djie sengaja jalan kedepan tiga jago dari Tiang Pek San itu, Baru
sekarang mereka angkat kepala, akan awasi kedua orang kebiri ini.
Wan Djie, sambil tertawa dingin, lantas menegur: "Soe Siok-hoe, Lie Siok-hoe, ayahku
undang kamu bertiga bersantap!..."
Tiga orang itu kaget apabila mereka kenali nona Tjiauw, malah Lie Kong mencelat
berjingkrak. "Bukan...bukankah ayahmu telah meninggal dunia?" tanyanya.
"Benar! Makanya ayah undang siok-hoe bertiga bersantap!" sahut Wan Djie.
Soe Peng Boen kerutkan alis, dengan mendadak saja ia cabut goloknya hingga
menerbitkan suara "Sret!"
Tetapi Sin Tjie berlaku sangat gesit, begitu ia lompat, kedua tangannya telah cekuk
masing-masing batang lehernya Peng Boen serta saudaranya, sedang kakinya mendupak
bebokong dari Lie Kong, di betulan jalan darah hong-bwee-hiat.
Soe Peng Kong mencoba memutar tubuh, ia jotos dadanya pemuda kita.
Sin Tjie tidak perdulikan jotosan, ia hanya lebih perlukan rangkap kedua tangannya
dengan kaget, hingga kepalanya dua saudara Soe saling bentur dengan keras, hingga
sekejab saja, keduanya tak sadar akan dirinya. Tubuhnya Lie Kong pun rubuh.
Wan Djie sangat kagum. Sebelum ia melihat tegas, Tiang Pek Sam Eng sudah kena dibikin
tidak berdaya. Ia lantas keluarkan senjatanya, untuk tikam dadanya Soe Peng Kong.
Sin Tjie lekas tahan tangan orang.
"Lekas sembunyi, ada orang!" katanya berbisik.
Benar-benar di tangga terdengar tindakan kaki.
Dengan sebat Sin Tjie tengteng dua-dua Peng Boen dan Peng Kong, untuk letaki tubuhnya
di belakang para-para buku, kemudian ia pondong tubuhnya Lie Kong, untuk bersama
Wan Djie pun sembunyi di belakang para-para itu.
Segera setelah itu, muncullah beberapa orang.
"Silakan tuan-tuan menanti di sini," kata satu orang. "Tjo Kongkong akan segera keluar."
"Kau banyak cape!" terdengar satu suara wanita, satu suara yang merdu.
Dua-dua Sin Tjie dan Wan Djie kenali suaranya Ho Tiat Tjhioe, pemimpin dari Ngo Tok
Kauw. Berdua mereka saling memegang tangan dengan keras, tandanya mereka samasama
kenali orang she Ho itu.
Sebentar lagi datang pula beberapa orang, mereka ini lantas bicara sama pihak Ho Tiat
Tjhioe. Kembali Sin Tjie terkejut.
"Kiranya empat jago tua Keluarga Oen dari Tjio Liang Pay dari Kietjioe pun datang
kemari...." pikirnya. "Rupanya merekalah itu empat orang tua yang tadi malam Wan Djie
lihat membantu pihak Ho Tiat Tjhioe, pantas Tong Hian beramai tak sanggup lawan
mereka. Apa perlunya mereka datang kemari?"
Baru habis mereka itu bicara, untuk belajar kenal juga, lantas terdengar datangnya Tjo Hoa
Soen bersama beberapa orang lainnya lagi - orang-orang kang-ouw, sebagaimana Sin Tjie
ketahui ketika ia dengar Tjo Thaykam perkenalkan mereka dengan rombongannya Ho Tiat
Tjhioe dan empat jago dari Tjio Liang Pay, di antaranya ada Lu Djie Sianseng.
"Dengan anggauta keluarganya tidak lengkap," pikir Sin Tjie, "Keluarga Oen tidak lagi bisa
berkelahi dengan gunai Ngo Heng Tin. Akan tetapi di sini ada rombongannya Ho Tiat
Tjhioe, seorang diri tidaklah sanggup aku melayani mereka...."
"Eh, mana Tiang Pek Sam Eng?" tiba-tiba pertanyaan Tjo Hoa Soen.
"Tuan Soe bertiga sudah datang," sahut satu thaykam, "entah mereka pergi kemana...."
"Coba cari," Tjo Thaykam menitah.
Sin Tjie lantas totok tiga jago dari Tiang Pek San, maka umpama kata mereka sadar, tak
dapat mereka buka mulut mereka.
Beberapa thaykam, yang diperintah cari Tiang Pek Sam Eng, balik dengan sia-sia, katanya
tak dapat mereka cari tiga orang itu.
"Sudahlah, tak usah kita tunggui mereka," kata Tjo Thaykam. "Mereka sendiri yang siasiakan
ketika baik ini, tak dapat mereka sesalkan kita."
Lantas terdengar suara berisik dari digesernya kursi-kursi, tandanya orang mulai duduk
berkumpul. Tjo Hoa Soen batuk-batuk dua kali, seperti ia hendak legakan tenggorokannya.
Sin Tjie pasang kuping. Ia menduga orang hendak bicarakan urusan rahasia.
"Pemberontak Lie Giam sudah pukul pecah kota Tong-kwan, Peng-pou Siang-sie Soen
Toan Teng telah binasa di medan perang," demikian Tjo Thaykam mulai bicara.
Beberapa suara terdengar sebagai gerutuan, rupanya ada orang-orang yang kaget
mendengar berita perang itu.
"Maka itu," Tjo Thaykam melanjuti, "jikalau kita tidak lekas bertindak, nanti keburu
pemberontak merangsak ke Pakkhia ini. Aku telah pikir, apabila tetap Sri Baginda tidak
sudi pinjam bantuan tentara asing, guna tindas huru-hara, baiklah kita angkat satu raja
lain untuk melindungi Kerajaan Beng..."
"Jikalau begitu, Seng ongya yang harus diangkat!" kata Ho Tiat Tjhioe sambil tertawa.
"Betul!" Tjo Thaykam membenarkan. "Maka itu aku hendak andali bantuan tuan-tuan untuk
tunjang raja yang baru. Mengenai ini, aku yang akan bertanggung jawab, akan tetapi
hasilnya, kita beramai yang icipi bersama-sama!"
Nyata semua hadirin setuju sama pikirannya orang kebiri itu, maka tanpa ambil tempo lagi,
mereka itu lantas rencanakan pembagian tugas.
"Lagi satu jam," kata kemudian Tjo Thaykam dengan titah-titahnya, "aku minta keempat
loosianseng dari Keluarga Oen nanti bawa saudara-saudara yang boleh dipercaya untuk
pergi ke keraton, akan sembunyi di sekitar kamar raja, untuk cegah orang luar memasuki
keraton. Aku minta Hoo Kauw-tjoe beramai sembunyi di luar kamar tulis. Nanti Seng Ong
sendiri yang menghadap raja, untuk beri nasihatnya yang terakhir."
"Tjioe Taytjiangkoen berkuasa atas tentara," tanya Lu Djie Sianseng; "dia setia kepada
raja; perlu atau tidak untuk lebih dulu singkirkan dia?"
Tjo Hoa Soen tertawa.
"Tjioe Taytjiangkoen itu bersama Hok Siangsie," katanya; "dengan sedikit tipu-dayaku,
sudah aku singkirkan! Ho Kauw-tjoe, cobalah kau berikan penuturanmu...."
Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Siang-siang telah diketahui baik-baik oleh Tjo Kongkong, apabila Seng Ong hendak
ditunjang menaiki singgasana kerajaan, Tjioe Taytjiangkoen dan Hok Siang-sie adalah
rintangan-rintangan paling besar," berkata dia; "maka itu siauw-moay telah diberi tugas
untuk melumpuhkan mereka. Begitulah selama beberapa hari, siauw-moay sudah perintah
orang pergi curi uang negara yang menjadi tanggung-jawab mereka itu. Tentu saja itu
adalah kejadian yang paling tidak disukai sri baginda. Kabarnya tadi sri baginda sudah
keluarkan perintah memecat dan menangkap kedua menteri itu, untuk perkaranya
diperiksa lebih jauh."
Orang banyak itu tertawa riuh, luar biasa kegirangan mereka.
Untuk Sin Tjie, Baru sekarang ia ketahui sepak-terjangnya si bocah-bocah serba merah,
jadi mereka itu mencuri bukan karena kemaruk uang, pada itu ada rahasia di belakang
layer. Itulah daya busuk untuk mencelakai Negara. Tidak heran kalau kaisar Tjong Tjeng
kena dikelabui, sebab tindak-tanduk pengkhianat ada licin sekali.
"Nah, sekarang silakan tuan-tuan pergi beristirahat," kemudian kata Tjo Thaykam,
"sebentar lagi aku nanti mengundang berkumpul pula."
Lu Djie Sianseng bersama empat jago Keluarga Oen dan lainnya lantas berbangkit, untuk
undurkan diri. Ho Tiat Tjhioe jalan paling belakang.
"Heran, kenapa Tiang Pek Sam Eng tidak hadir!" kata dia sesampainya di pintu.
"Mungkinkah mereka pergi ke istana untuk membocorkan rahasia?"
"Ho Kauw-tjoe pandai berpikir," kata Tjo Thaykam. "Tapi mereka itu ada orang-orang
kepercayaan Kioe Oengya, malah paling belakang ini mereka sudah mendirikan jasa besar
sekali, untuk mereka berkhianat terhadap Kioe Ongya, rasanya tak mungkin...."
"Apakah jasa besarnya mereka itu?" Tiat Tjhioe Tanya.
"Mereka telah berhasil mencuri pisau-pusaka dari seorang she Bin dari Boe Tong Pay,"
sahut Tjo Hoa Soen, "dengan gunai pisau-pusaka itu, mereka sudah pergi bunuh Tjiauw
Kong Lee, ketua dari Kim Liong Pang. Karena ini pastilah kaum Rimba Persilatan di
Kanglam bakal saling bunuh sendirinya, hingga kalau di belakang hari kita menyingkir ke
Kanglam, keselamatan kita jadi terlebih terjamin..."
Wan Djie telah percaya sembilan bahagian bahwa pembunuh ayahnya mesti ada Tiang Pek
Sam Eng, maka sekarang, kepercayaannya itu jadi terpenuhi seluruhnya.
Sin Tjie kuatir nona ini nanti tak dapat kendalikan diri, dengan lancang ia ulur tangannya,
akan bekap mulutnya si nona. Pemuda ini kuatir beradanya mereka di dalam kamar itu
nanti diketahui Ho Tiat Tjhioe, sebab ketua Ngo Tok Kauw ini ada sangat liehay, asal orang
berkerisik sedikit saja, mungkin dia curiga.
Terdengarlah tawanya Ho Tiat Tjhioe.
"Kongkong sangat cerdik," memuji pemimpin Ngo Tok Kauw itu kepada thaykam.
"Kongkong berdiam di dalam keraton tetapi mengenai sepak-terjang kaum kang-ouw,
kongkong ketahuinya dengan jelas."
Tjo Hoa Soen tertawa puas.
"Tentang segala apa di dalam istana, aku ketahui banyak sekali," katanya. "Di dalam
istana, tidak ada satu orang yang tidak kemaruk sama harta dan pangkat, maka siapakah
yang bicara tentang pri-kemanusiaan dan kehormatan" Lain adalah sahabat-sahabat kaum
kang-ouw! Mereka ini, satu dibilang satu, dua dibilang dua. Begitulah dalam usahaku yang
besar ini, aku tidak berdamai sama menteri yang mana juga, aku hanya justru berurusan
sama kamu semua, untuk mohon bantuan kamu...."
Begitulah mereka keluar sambil bicara.
Tegang sekali perasaannya Sin Tjie. Urusan ada sangat penting. Ia tidak cuma
menghadapi urusan golongan kang-ouw saja, sekarang ia menghadapi ancaman untuk
Negara. Apa ia mesti perbuat" Dalam sesaat itu, tak dapat ia lantas memikir daya yang
sempurna. Wan Djie lihat orang sedang berpikir keras.
"Apa mesti diperbuat terhadap tiga jahanam ini?" tanyanya. "Ingin aku segera
membinasakan mereka!"
Nona ini bicara pelahan sekali.
"Baiklah," sahut Sin Tjie. "Tapi jangan keja mereka keluarkan darah, nanti kita kepergok."
Ia angkat kepalanya Soe Peng Kong, akan tunjuki kedua pilingannya.
"Apakah kau mengerti tipu-pukulan Tjiong kouw tjee-beng?" tanyanya.
"Tjiong kouw tjee beng" berarti "Lonceng dan tambur berbunyi dengan berbareng".
Tjiauw Wan Djie manggut.
Meski demikian, Sin Tjie toh petakan cara menyerangnya.
"Ya, begitu," katanya pula, setelah si nona beraksi.
Wan Djie lakukan serangannya hingga ia perdengarkan juga sedikit suara, dengan begitu,
tanpa bersuara lagi, binasalah orang she Soe itu. Maka sehabis itu, dengan tipu-pukulan
yang serupa, Wan Djie bikin tamat lelakon hidupnya Soe Peng Boen dan Lie Kong.
Puas hatinya nona ini karena telah berhasil mencari balas dengan tangannya sendiri,
dengan tiba-tiba saja ia terharu, sehingga tanpa likat lagi, ia mendekam di pundaknya Sin
Tjie untuk menangis dengan menahan suara.
"Sekarang mari kita lekas keluar," Sin Tjie mengajak. "Mari kita lihat kemana perginya Ho
Tiat Tjhioe."
Wan Djie angkat kepalanya, dan tangannya juga, dari pundaknya si pemuda, untuk susuti
air matanya, lalu tanpa bilang suatu apa, ia ikut pemuda itu keluar dari kamar tulis itu.
Masih mereka dapat lihat Tjo Thaykam dan ketua Ngo Tok Kauw lagi menikung di sebuah
pengkolan yang bercabang dua dimana keduanya berpisah, sedang dua thaykam muda,
yang membawa lentera, jalan terus di muka Ho Tiat Tjhioe beramai, menuju ke barat.
Sin Tjie berdua Wan Djie terus mengikuti dari kejauhan. Mereka masih tetap dandan
sebagai orang kebiri, hati mereka tenang, sebab mereka tidak kuatir nanti ada yang
pergoki, tak takut mereka ada yang kenali andaikata mereka berpapasan dengan lain-lain
orang kebiri. Ho Tiat Tjhioe jalan terus melewati beberapa pekarangan, sampai ia masuk dalam sebuah
rumah. Dengan berani Sin Tjie ajak Wan Djie turut masuk ke dalam rumah itu. Begitu lekas mereka
menindak di pintu, mereka segera dengar cacian nyaring dari Tjeng Tjeng, yang keluar
dari sebuah kamar sebelah timur. Nona itu asyik mencuci-maki Ngo Tok Kauw dan Ho Tiat
Tjhioe. Tanpa sangsi lagi, Sin Tjie memburu ke kamar timur itu, langsung ia nerobos masuk,
hingga ia tampak dua thaykam muda sedang layani Tjeng Tjeng masak obat, nona itu
sendiri sedang rebah di pembaringan.
Dengan totokannya yang liehay, Sin Tjie bikin kedua thaykam muda mati daya.
Segera Tjeng Tjeng kenali pemuda itu.
"Engko!" dia memanggil.
Sin Tjie menghampirkan ke pembaringan.
"Bagaimana dengan lukamu?" ia tanya.
"Tidak seberapa," sahut si nona. "Oh, kau pun datang?" tanyanya, kapan ia lihat Wan Djie
di belakang si anak muda.
Nona Tjiauw manggut.
"Apakah lukamu tidak berbahaya, nona Hee?" ia Tanya.
"Hum!" bersuara Tjeng Tjeng, yang tidak menjawab. Tapi pada Sin Tjie, ia bilang: "Engko,
kalau sebentar Ho Tiat Tjhioe datang, kau hajar padanya!"
Sin Tjie sendiri memikir lain.
"Mereka itu sedang bekerja, untuk sementara baik aku sembunyi dulu...." Maka ia lekas
kata pada si nona: "Adik Tjeng, sekarang tak dapat aku turun tangan terhadapnya. Baik
kau pancing dia supaya dia jelaskan apa perlunya dia culik kau dan membawanya ke
istana." "Apa, istana?" Tjeng Tjeng tanya.
"Oh, jadinya kau masih belum tahu kau sekarang berada di dalam istana?" Sin Tjie balik
tanya. Justru itu ada terdengar suara tindakan kaki di luar, karena di situ tidak ada tempat
sembunyi, Sin Tjie sambar kedua thaykam, untuk dibleseki ke dalam lemari, ia sendiri,
dengan tarik tangannya Wan Djie, segera nyelusup masuk ke kolong pembaringan.
Selagi Tjeng Tjeng melengak, Ho Tiat Tjhioe kelihatan bertindak masuk, wajahnya ramai
dengan senyuman. Di belakangnya ada si uwah jelek.
"Banyak baik, Hee Kongtjoe?" tanya dia sambil tertawa. "Eh, mana orang-orang yang
layani kau" Pasti mereka malas!"


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku yang suruh mereka pergi!" jawab Tjeng Tjeng. "Siapa kesudian dirawati mereka?"
Tiat Tjhioe tak ambil mumat senggapan itu, ia masih tertawa.
"Adat bocah!" katanya, sambil ia bertindak menghampirkan obat. "Eh, obat sudah
matang!" Ia ambil sepotong kain kecil yang putih meletak seperti salju, ia pakai itu untuk alaskan
cangkir perak, lalu ia tuangkan obatnya ke dalam cangkir itu. Habis itu, ia singkirkan
saringan itu. "Inilah obat paling manjur untuk luka-luka," kata dia sambil tertawa pula. "Jangan kau
kuatir, umpama obat ini dicampuri racun, cangkirnya bakal berubah menjadi hitam."
Tjeng Tjeng awasi pemimpin Ngo Tok Kauw ini, hatinya bekerja keras. Ia girang pertama
kali melihat Sin Tjie, menyusul itu hatinya adem karena Wan Djie ada bersama si anak
muda, apapula kapan ia tampak Sin Tjie tarik tangan si nona, untuk diajak masuk ke
bawah pembaringan. Sekarang ia hadapi Ho Tiat Tjhioe, ia dapat alasan untuk udal
kemendongkolannya.
"Kamu main muslihat, apa kamu kira aku tidak tahu?" demikian katanya.
"Muslihat apa sih?" tanya Tiat Tjhioe sambil terus tertawa.
"Kamu permainkan aku!" kata Tjeng Tjeng. "Kamu sedang perhina aku yang bersengsara
karena tidak punya ayah dan ibu! Kau tidak punya liangsim, setan...."
Sin Tjie dengar itu.
"Dia caci siapa itu?" ia menduga-duga.
Wan Djie sebaliknya masgul. Ia merasa, Tjeng Tjeng sedang menyindir terhadapnya.
Karena masgul, ia sampai menggigil sendirinya.
Sin Tjie rasai gerakan tubuh si nona, tiba-tiba ia mengerti maksudnya Tjeng Tjeng. Karena
ini, ia jadi menyesal untuk Nona Tjiauw. Ia pun tak dapat bicara, untuk menghibur. Maka
dengan pelahan-lahan, ia tepuk-tepuk pundak si nona.
"Ah, jangan kau bawa adat!" kata Tiat Tjhioe sambil tertawa. Ia masih tak tahu hatinya
Tjeng Tjeng. "Sebentar lagi aku akan antar kau pulang."
"Siapa kesudian kau yang antarkan?" Tjeng Tjeng membentak. "Apa kau kira aku sendiri
tak kenali jalanan?"
Tiat Tjhioe terus tertawa.
"Eh, bocah she Hee!" campur bicara Ho Ang Yo, dengan suaranya yang bengis, dengan
romannya yang menyeramkan. "Kau telah terjatuh ke dalam tangan kami, apakah kau kira
Ho Ang Yo bisa antap kau pulang secara baik-baik" Di mana adanya ayahmu" Di mana
adanya itu perempuan hina yang melahirkanmu?"
Meluap kemurkaannya Tjeng Tjeng karena orang perhina ibunya, ia sambar cawan obat di
atas meja kecil, dengan itu ia sambit wanita jelek itu.
Ho Ang Yo berkelit, maka cawan itu, berikut obatnya, mengenai tembok, cawannya hancur,
obatnya berhamburan. Masih ada sedikit air obat, yang muncrat ke mukanya ini uwah,
hingga ia jadi gusar.
"Anak celaka, kau tak inginkan lagi jiwamu?" ia membentak.
Sin Tjie di kolong pembaringan dengar semua pembicaraan itu, iapun bisa lihat gerakgeriknya
Ho Ang Yo, maka ia sudah pikir, asal wanita itu lompat kepada Tjeng Tjeng, ia
hendak membarengi hajar kaki orang.
Sebelum si wanita tua lompat, satu bajangan putih telah berkelebat mendahulukan ia,
maka kesudahannya, Ho Tiat Tjhioe ada di antara ia dan pembaringan.
"Bibi," katanya nona ini, "aku telah janjikan si orang she Wan akan antarkan dia ini pulang,
tak dapat aku membikin hilang kepercayaan kita."
Ho Ang Yo tertawa dingin.
"Untuk apakah itu?" tanyanya.
"Banyak orang kita telah ditotok dia, tanpa dia datang sendiri, mereka tak dapat ditolong,"
Tiat Tjhioe terangkan.
Ang Yo berpikir.
"Baik!" katanya. "Kita tidak dapat bikin dia mampus, tapi kita mesti kasi dia merasai
kesengsaraan! He, bocah she Hee, kau lihat aku, aku cantik atau tidak?"
Tjeng Tjeng perdengarkan suara kaget, di matanya, roman wanita ini jadi semakin jelek,
sedang muka itu dibawa semakin dekat kepadanya, hingga ia bergidik.
"Bibi, buat apa takut-takuti dia?" kata Tiat Tjhioe.
Suaranya pemimpin ini menyatakan hatinya tidak puas.
"Hm!" bersuara si jelek itu. "Ya, bocah ini cakap sekali, kau hendak lindungi dia!..."
"Apa kau bilang?"
Mendadak Ho Tiat Tjhioe jadi gusar.
"Apakah kau sangka aku tak tahu hatinya satu pemudi?" Ho Ang Yo baliki. "Aku juga
pernah muda! Kau lihat, inilah aku di masa dahulu!"
Ia merogo ke dalam sakunya di mana segera terdengar suara berkeresekan, entah barang
apa itu yang dia rogo. Dua-dua Tiat Tjhioe dan Tjeng Tjeng kaget, keduanya berkuatir.
"Kamu merasa aneh, bukankah?" kata Ho Ang Yo sambil tertawa, tertawa meringis. "Hahaha! Ha-ha-ha! Aku pun dulu pernah cantik!"
Ia rogo keluar tangannya, ia lemparkan segulung kain kecil, yang ternyata ada gambar
sulaman, gambar mana lantas terbeber sendirinya di atas lantai.
Dari kolong pembaringan, Sin Tjie bisa lihat sulaman itu, yang berpetakan satu nona umur
kurang lebih dua-puluh tahun, kedua pipinya merah-dadu, tetapi dia dandan sebagai
seorang suku-bangsa Ie, dan kepalanya pun digubat dengan pelangi, romannya sangat
cantik, potongan mukanya mirip sama potongan mukanya si uwah jelek yang
menyeramkan ini.
Segera terdengar pula suaranya Ho Ang Yo. "Kenapa sekarang aku jadi begini jelek"
Kenapa" Kenapa?" tanyanya berulang-ulang. "Itulah disebabkan ayahmu yang tidak
punyakan pri-kemanusiaan!"
"Ah......" Tjeng Tjeng bersuara tertahan. "Ada hubungan apa di antara ayahku dengan kau"
Ayah ada seorang baik, tidak nanti dia perlakukan orang secara tak selayaknya....."
Ho Ang Yo jadi sangat gusar.
"Hai, hantu cilik, ketika itu kau masih belum terlahir!" serunya. "Kau tahu apa" Jikalau dia
punya perasaan pri-kemanusiaan, tidak nanti dia berlaku tak pantas kepadaku! Bagaimana
bisa aku jadi begini" Bagaimana kemudian bisa terlahir kau, hantu cilik?"
"Makin lama kau bicara, kau makin aneh!" kata Tjeng Tjeng. "Kamu kaum Ngo Tok Kauw
berada di Inlam, ayah dan ibuku menikah di Tjiatkang - terpisahnya tempat ada ribuan lie,
maka, ada apa hubungannya dengan kau?"
Ho Ang Yo jadi semakin gusar, hingga ia ayun tangannya ke arah mukanya Tjeng Tjeng.
Dengan tangan kanannya, Ho Tiat Tjhioe mencegah.
"Jangan gusar, bibi." Kata nona ini. "Bicaralah dengan sabar." Ang Yo menjadi sengit.
"Ayah kandungmu mati mendongkol karena Kim Tjoa Long-koen!" serunya. "Kau
sekarang lindungi dia ini! Apakah kau tidak malu?"
"Siapakah yang lindungi dia?" seru Ho Tiat Tjhioe, yang pun menjadi murka. "Jikalau kau
bikin celaka dia ini, itu artinya mencelakai juga jiwanya empat-puluh orang anggauta kita!
Kau tahu tidak" Aku pandang kau sebagai orang dari tingkatan lebih tua, karena aku
memandang kau, aku mengalah, jikalau kau langgar aturan kita, bisa aku tak memberi
keringanan kepadamu!"
Melihat orang tonjolkan diri sebagai pemimpin, Ho Ang Yo jadi sangat mendongkol, akan
tetapi ia toh kuncup, maka juga ia jatuhkan diri di kursi dengan roman lesu sekali, dengan
kedua tangannya, ia pegangi kepalanya. Lama ia berdiam secara demikian, ketika
kemudian ia bicara pula, ia bisa berlaku tenang.
"Ibumu?" tanyanya kepada Tjeng Tjeng. "Ibumu pasti eilok dan manis luar biasa maka
juga ia bisa bikin tergila-gila pada ayahmu, bukankah?" Ia lantas menghela napas.
"Beberapa kali aku telah bermimpi, dalam impian aku telah lihat ibumu, akan tetapi
mengenai roman mukanya, aku tidak dapat melihat jelas, cuma samar-samar..... Benarbenar
ingin aku melihat dia...."
"Ibu telah menutup mata," Tjeng Tjeng kasi tahu.
"Apa, mati?" Ho Ang Yo terkejut.
"Ya," Tjeng Tjeng pastikan.
Lantas suaranya si uwah jelek jadi sedih, tetapi tajam.
"Aku telah desak dia untuk kasi tahu dimana adanya ibumu, biar bagaimana, tak mau dia
menyebutkannya," katanya pula. "Kiranya ibumu itu sudah menutup mata. Baik, baik, sakit
hatiku ini tak bakal terbalas untuk selama-lamanya..... Sekarang aku bebaskan kau,
binatang, tetapi mesti ada harinya yang kau bakal terjatuh pula ke dalam tanganku!
Bukankah ibumu itu mirip dengan kau?"
Oleh karena orang berlaku kasar begitu, Tjeng Tjeng balikkan tubuh, untuk madap ke
dalam. Tak mau ia meladeninya.
Ho Ang Yo lantas berpaling kepada pemimpinnya.
"Kauw-tjoe," katanya, "si orang she Wan itu mesti terlebih dahulu tolong orang-orang kita,
Baru bocah ini boleh dilepas pulang!"
"Itulah pasti!" Ho Tiat Tjhioe jawab.
Ho Ang Yo lantas membungkuk, hingga dua-dua Sin Tjie dan Wan Djie jadi kaget sekali,
tapi sukur dia tidak mendapat lihat, dia cuma gunai jeriji tangannya akan mencoret
beberapa huruf di atas lantai.
Sin Tjie lihat orang menulis enam buah huruf yang artinya: "Bisa kawa-kawa yang
bekerjanya selang tiga tahun kemudian."
Heran pemuda ini.
"Apakah artinya ini?" tanya ia kepada dirinya sendiri, berulang-ulang. Kemudian: "Ah, aku
mengerti sekarang!" Dan ia bergidik sendirinya. "Sebelum dia merdekakan Tjeng Tjeng,
dia hendak racuni dulu dengan bisa kawa-kawa yang bekerjanya nanti sesudah lewat tiga
tahun, tentu itu waktu, tidak ada obat untuk punahkan bisa itu, secara begitu, ia jadi telah
bisa balas sakit hatinya. Ha, inilah hebat! Kenapa dia begini telengas" Sukur aku dapat
tahu, jikalau tidak...."
Tanpa merasa, pemuda ini keluarkan keringat dingin.
Habis itu, Ho Ang Yo bertindak keluar, selagi melangkah di pintu, rupanya dia bersangsi,
maka ia membaliki tubuh.
"Apakah kau benar-benar dengar perkataanku?" dia tegasi Ho Tiat Tjhioe.
"Tentu," sahut pemimpin itu. "Cuma...tak dapat kita hilangi kepercayaan kita terhadap
orang lain...."
Suaranya Ho Ang Yo menunjuki kemurkaan ketika ia bilang: "Aku tahu, kau jatuh hati
terhadapnya! Teranglah kau tidak kandung niatan akan membalaskan sakit hatinya
ayahmu yang telah menutup mata!...."
Dia lantas kembali, untuk jatuhkan diri di kursi, mungkin untuk tenangkan diri, mungkin
guna pikirkan daya-upaya lain akan bikin celaka Tjeng Tjeng.
Maka itu, kamar jadi sunyi sekali.
Sin Tjie berdua Wan Djie menahan napas. Memang sejak tadi, mereka tidak berani berkutik
sama sekali. Dalam kesunyian itu, mendadak Tjeng Tjeng berseru: "Kamu tidak mau keluar, kamu
hendak tunggu apa?" Ia pun tumbuk pembaringan.
Sin Tjie kaget, ia menyangka jelek, hampir ia munculkan diri, sukur Wan Djie tarik dia.
Lalu terdengar suaranya Ho Tiat Tjhioe, dengan pelahan: "Sekarang kau boleh tenangi diri
dan tidur, sebentar setelah terang tanah, aku nanti antar kau pulang...."
Tjeng Tjeng bersuara "Hm!" seraya kembali tumbuki pembaringan, hingga debu di kayu
pembaringan itu meluruk ke kepala, ke leher dan tubuhnya dua orang yang lagi mendekam
sembunyi. Hampir Sin Tjie berbangkis, baiknya ia bisa cepat bernapas dengan beraturan.
Sebenarnya Tjeng Tjeng habis sabar, di dalam hatinya, ia kata: "Ho Tiat Tjhioe dan Ho Ang
Yo bukan tandingan kau, kenapa kau masih sembunyi saja" Sebenarnya apa yang kamu
berdua pikir?"
Ia jadi pikirkan Sin Tjie dan Wan Djie. Ia tidak tahu, Sin Tjie mempunyai pikiran lain.
Tanggung jawab pemuda ini sekarang ditambah sama soal keselamatannya negara.
Kalau Tjeng Tjeng habis sabar, Ho Ang Yo adalah mendongkol sangat.
"Kau ada kauwtjoe!" katanya pada Tiat Tjhioe, "semua urusan Ngo Tok Kauw berada
dalam kekuasaanmu, malah dengan gaetan emas Kim-kauw diwariskan kepadamu, kau
berhak untuk menghukum mati atau menghidupkan orang! Namun walaupun demikian,
ingin aku bicara padamu! Memang partai kita tidak melarang soal mengendalikan napsubirahi,
akan tetapi pengalamanku, apakah pengalamanku tidak cukup hebat untuk
menyadarkan kepadamu?"
Ditegur begitu macam, Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Bibi menemui lelaki yang tidak ingat budi," katanya, "lantas bibi samakan, semua lelaki di
kolong langit tidak berbudi juga...."
"Pasti ada orang-orang lelaki yang baik hatinya," sahut Ho Ang Yo. "Tetapi kau tengoklah
ini puteranya Kim Tjoa Long-koen! Lihat, dia beroman sangat mirip dengan ayahnya, tidak
ada bedanya, maka siapa bisa bilang tabeatnya juga tidak akan sama dengan tabeat
ayahnya?" "Jadinya ayahnya sama cakapnya dengan puteranya ini?" kata Ho Tiat Tjhioe, "Pantaslah
bibi jadi demikian jatuh hati terhadap ayahnya itu!"
Sampai sebegitu jauh, Sin Tjie dapat perasaan Ho Tiat Tjhioe pun ketarik hati terhadap
Tjeng Tjeng. Ia anggap ini ada lucu, sebab sebagai seorang kosen dan cerdik, kenapa
pemimpin Ngo Tok Kauw ini tidak dapat bedakan kelaminnya Nona Hee itu.
"Kau kukuh, kau tetap tak sadar akan dirimu," kata Ho Ang Yo kemudian sambil menghela
napas. "Aku nanti tuturkan hal-ichwalku kepadamu, agar selanjutnya, kebaikan atau
kecelakaan, semua terserah kepadamu sendiri...."
"Memang aku paling gemar dengar kau dongeng, bibi," kata Tiat Tjhioe, "sekarang kau
hendak bercerita di depan ini anak muda, apakah itu tidak ada halangannya untuk
rahasiamu itu?"
"Aku sengaja hendak bercerita supaya dia tahu perbuatan busuk dari ayahnya, supaya
kalau kemudian dia mati, dia akan mati puas!" si uwah jelek bilang.
Tjeng Tjeng berteriak bahna gusar.
"Kau karang cerita yang bukan-bukan!" dia berseru. "Ayahku ada satu enghiong terbesar,
satu laki-laki sejati, mana sudi dia berbuat demikian busuk" Tidak, aku tidak sudi dengar,
aku tidak sudi dengar!"
Ho Tiat Tjhioe tertawa, agaknya ia girang sekali.
"Nah, kau dengar, bibi," katanya. "Dia tidak suka dengar ceritamu. Bagaimana?"
"Aku hendak bercerita untukmu," sahut sang bibi. "Dia suka dengar atau tidak, masa
bodoh!" Tjeng Tjeng tutupi kepalanya dengan selimut, akan tetapi kemudian, ia kalah dengan
perasaannya ingin tahu, ia singkap juga sedikit ujung selimutnya, untuk mendengari Ho
Ang Yo tuturkan lelakonnya dengan Kim Tjoa Long-koen.
"Inilah kejadian pada dua-puluh tahun dulu," demikian si uwah jelek dengan
penuturannya. "Ketika itu, usiaku berimbang dengan usiamu sekarang. Dan ayahmu, dia
Baru saja menggantikan memangku kedudukan sebagai kauwtjoe baru. Dia telah angkat
aku menjadi tjhungtjoe, ketua, dari dusun Ban Biauw San-tjhung, tugasku adalah menjaga
kita-punya guha ular. Pada suatu hari selagi senggang, aku pergi ke bukit belakang, untuk
berburu burung, untuk dibuat main....."
"Aneh, bibi," Tiat Tjhioe memotong. "Kau menjadi tjhungtjoe tapi toh kau sempat
menangkap burung...."
"Hum," bersuara sang bibi. "Seperti aku telah bilang, ketika itu usiaku masih muda, aku
mirip dengan bocah saja. Aku berhasil menangkap dua ekor burung ikan-ikanan, bukan
main girangku. Dalam perjalanan pulang, aku lewat di guha ular kita. Tiba-tiba saja aku
dengar suara 'ser! ser!' yang datangnya dari arah pepohonan. Aku tahu itulah suara ular,
mestinya ada ular yang minggat, maka aku lantas susul. Benar-benar aku dapati seekor
ular belang. Aku heran! Biasanya semua ular kita jinak, maka tak mengerti aku, kenapa ini
seekor bolehnya buron. Aku tidak lantas menangkap, diam-diam aku menguntit. Ular itu
menggeleser ke belakang pepohonan lebat, ia menghampirkan ke arah satu orang. Kapan
aku lihat orang itu, aku terkejut."
"Kenapa, bibi?" Tiat Tjhioe tanya.
Ho Ang Yo kertak giginya.
"Itulah si manusia celaka!" katanya. "Dia ada satu hantu bagiku!"
"Bibi maksudkan Kim Tjoa Long-koen?" sang kauwtjoe tegaskan.
"Pada ketika itu, aku belum tahu siapa dia," sahut sang bibi. "Aku cuma lihat dia bermuka
putih dan cakap, tubuhnya tinggi. Dia sedang pegangi sebatang hio wangi, yang ada
apinya. Jadinya ular itu dapat cium bau wnagi itu dan dia pergi menghampirkannya. Anak
muda itu lihat aku, ia pandang aku sambil bersenyum."
Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Ketika itu bibi ada eilok sekali, dia lihat bibi, pasti dia jadi tersengsam!...."
"Foei!" sang bibi berludah. "Aku sedang cerita dari hal benar, siapa guyon-guyon
denganmu?" Ia terus melanjuti: "Aku lihat dia seorang asing, aku kuatir dia nanti dipagut
ular itu, maka aku lantas teriaki padanya: "Hai, awas! Ular itu berbisa, jangan kau ganggu
dia! Nanti aku tangkap."
"Mendengar aku, orang itu tertawa. Dari bebokongnya, dia kasi turun sebuah peti kayu. Di
ujung peti kayu itu dicangcang seekor kodok, kodok itu berloncatan tetapi tidak dapat
loloskan diri. Tentu saja, menampak kodok itu, ular kita hendak menerkamnya, untuk
dimakannya. Dengan merayap pelahan, dia dekati peti kayu itu, kemudian ia ulur
kepalanya, untuk santok sang kodok. Tiba-tiba saja orang itu tarik tali yang melekat pada
peti, dan peti itu lantas terbalik tutupnya. Ular itu mencoba berhenti merayap tapi sekarang
sudah kasep. Orang muda itu ulur tangannya yang kiri, dua jarinya terus menjepit leher
ular, Dia sangat sebat dan jitu tangkapannya. Aku lihat, gerakan tangannya itu beda dari
gerakan tangan kita. Begitu lekas dijepit, ular belang itu lantas diam saja, agaknya dia jadi
jinak sekali. Aku tahu, pemuda itu seorang ahli, aku tidak berkuatir lagi untuknya.
"Aneh, aneh!" tertawa Ho Tiat Tjhioe. "Bibi Baru pernah lihat orang itu, lantas saja bibi
sangat memperhatikan dia!"
"Hai, jangan kau potong ceritanya!" Tjeng Tjeng nyeletuk, sedang tadi katanya tak suka ia
mendengari cerita. "Kau dengari saja!"
Tiat Tjhioe kembali tertawa.
"Tadi kau sendiri yang bilang tak sudi mendengari?" dia baliki.
"Sekarang aku jadi suka mendengarnya!" Nona Hee akui. "Toh boleh, bukan?"
Untuk kesekian lamanya, Tiat Tjhioe tertawa.
"Baiklah, aku tidak akan memotong-motong lagi!" katanya.
Ho Ang Yo deliki kauwtjoe yang jail itu.
"Itu waktu aku mulai curiga," dia menyambungi. "Aku pikir-pikir, siapa dia" Kenapa dia
bernyali demikian besar, berani datang ke tempat kita untuk menangkap ular berbisa"


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mustahil dia tidak pernah dengar nama Ngo Tok Kauw" Aku terus awasi dia. Setelah itu
tangan kanannya mengeluarkan sebatang besi kecil, mirip ruyung, ujung besi itu ia
sodorkan ke muka ular. San ular lantas saja menyamber, akan santok ujung besi itu.
Aku mengawasi dengan teliti. Aku pun datang lebih dekat. Nyata ruyung itu kosong
dalamnya, kapan bisa ular keluar, bisa itu mengalir masuk ke dalam bungbung besi itu.
Sekarang Baru aku mengerti! Hm! Nyata dia datang untuk curi bisa ular! Pantas selama
beberapa hari ini, beberapa ularku sungkan dahar, tubuhnya kurus dan menjadi malasmalasan!
Lantas aku teriaki dia, "Hai, lepas ular itu!" Berbareng dengan itu, aku keluarkan
suitanku peranti menakluki ular, aku terus tiup. Rupanya dia tidak sangka, suitanku ada
punya suara yang luar biasa, dia menoleh karenanya. Justru itu, si belang lepaskan
catolannya pada pipa dan berbalik santok dia! Dia lekas-lekas lemparkan ular itu, dia
hendak buka peti kayunya, mungkin untuk ambil obat pemunah bisa. Aku tidak kasi ketika
padanya, aku berlompat dan serang mukanya. Di luar dugaan, liehay ilmu silatnya, Cuma
dengan satu kali tangkis, ia bikin aku terpelanting jatuh...."
"Pasti sekali, mana kau bisa jadi tandingannya!" Tjeng Tjeng bilang.
Ho Ang Yo mendelik.
"Walaupun aku tidak bisa menangi dia, aku toh bisa libat padanya!" katanya dengan
sengit. "Aku ganggu dia hingga dia tak punyakan kesempatan akan keluarkan obatnya.
Aku tunggu sampai dia rubuhkan aku yang ketiga kali, lantas bisa ular bekerja, tanpa
ampun, dia rubuh dengan pingsan. Selagi aku hampirkan dia, tiba-tiba aku merasa tak
tega, aku anggap sayang sekali kalau dia, dalam usianya begitu muda, binasa secara
demikian kecewa. Ia pun ada punya ilmu silat yang bagus sekali...."
"Maka itu bibi lantas tolongi dia!" kata Ho Tiat Tjhioe. "Bibi bawa dia pulang secara diamdiam,
disembunyikan, dia diobati, setelah dia sembuh, lantas bibi menyintai dia...."
Ho Ang Yo menghela napas.
"Tidak tunggu sampai ia sembuh, aku sudah menyintai dia," bibi ini aku. "Tatkala itu aku
maish berusia muda, semua soeheng dan soetee perlakukan aku baik sekali, entah
kenapa, tidak ada satu di antara mereka yang memperoleh perhatianku, dan dia itu, di luar
kekuasaanku, dia bikin aku jatuh hati. Selang tiga hari, dia telah mulai sembuh dari
lukanya, Barulah itu waktu aku tanya dia, apa perlunya dia datang ke wilayah kami. Dia
jwab, karena aku telah tolong jiwanya, apa juga dia suka kasi tahu aku. Dia bilang dia
orang she Hee, dia ada punya dendaman yang hebat, benar ilmu silatnya sudah sempurna,
akan tetapi musuhnya tangguh dan besar jumlahnya, ia jadi sangsi akan berhasil dengan
pembalasannya. Maka itu, ketika ia dengar kabar Ngo Tok Kauw ada utamakan bisa ular, ia
sengaja datang ke Inlam untuk mendapatkan bisa itu...."
Mendengar sampai di sini, Sin Tjie dan Tjeng Tjeng Barulah mengerti apa hubungannya
Kim Tjoa Long-koen dengan Ngo Tok Kauw.
Ho Ang Yo lanjuti penuturannya: "Setelah berselang sekian lama bekerja dengan diamdiam
dia bilang, dia mulai mengerti dalam hal mengerjakan bisa, maka itu dia lantas
datangi guha ular kita, untuk mencuri bisa. Dia kata dia hendak bikin semacam senjata
rahasia guna nanti dipakai menghadapi musuh-musuhnya. Lewat lagi dua hari, sesudah
merasa segar, dia menghaturkan terima kasih padaku, dia pamitan, untuk pulang. Berat
bagiku untuk membiarkan dia pergi. Begitulah aku berikan dia dua botol bisa ular. Untuk
balas budiku, dia lantas bikin ini gambarku, sebagai tanda peringatan. Aku telah tanya dia,
apa lagi kesukarannya dalam hal mencari balasnya itu, apa dia membutuhkan aku, untuk
membantu. Sambil tertawa dia bilang, ilmu kepandaianku masih jauh dari sempurna,
bahwa aku tak dapat membantu dia. Aku lantas minta supaya dia kembali sehabisnya dia
mencari balas. Dia manggut, dia berikan janjinya. Aku tanya dia, kapan kiranya dia bakal
kembali, dia menjawab bahwa dia tak dapat menentukannya. Dia bilang juga, untuk
mewujudkan pembalasannya itu, dia masih membutuhkan serupa senjata tajam. Katanya
di Ngo Bie San ada sebuah pedang pusaka, maka lebih dahulu dia mau pergi ke gunung
itu, akan coba curi pedang itu. Dia sangsi apa benar-benar ada pedang yang dimaksudkan
itu. Umpama ada, dia bilang, masih belum bisa dipastikan ia bakal dapat curi itu atau
tidak." Mendengar sampai di situ, Sin Tjie kata dalam hatinya: "Kim Tjoa Long-koen sungguh
norek! Untuk mencari balas, dia tidak perdulikan apa juga, tanpa pikir panjang, dia lakukan
apa jua!...."
Kembali Ho Ang Yo menghela napas ketika ia melanjuti pula: "Pada waktu itu, aku benarbenar
telah sangat tersesat, disebabkan aku amat tergila-gila terhadapnya. Keinginanku
satu-satunya adalah supaya ia suka tinggal lebih lama pula sama aku, Aku ada bagaikan
gila, sampai apa juga, aku tak takuti, sampaipun hal yang aku tahu tak dapat aku lakukan,
aku berani melakukannya. Aku merasa, untuk dia, semakin berbahayanya urusan, semakin
itu menyenangkan hatiku. Hingga pun aku berpikir, rela aku mati, asal untuk dia. Ya,
benar-benar waktu itu, aku seperti dipengaruhi iblis. Begitulah aku beritahukan dia bahwa
aku tahu hal sebatang pedang mustika, yang tajam luar biasa, yang bisa dipakai
membabat kutung senjata lainnya macam apa juga. Dia girang tidak kepalang mendengar
hal pedang itu, sampai dia berjingkrakan. Lantas saja dia tanya aku, dimana adanya
pedang itu. Tanpa pikir lagi, aku kasi dia tahu bahwa pedang itu adalah pedang Pek-hiat
Kim-tjoa-kiam kepunyaan Ngo Tok Kauw!"
Terkejut Sin Tjie akan dengar kata-kata terakhir ini, hingga tanpa merasa ia raba
pedangnya. "Jadi inilah pedang mustika Ngo Tok Kauw itu?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Masih Ho Ang Yo meneruskan penuturannya: "Aku telah beritahu dia, pedang itu ada satu
di antara tiga mustika Ngo Tok Kauw, bahwa disimpannya di dalam Tok-liong-tong, guha
Naga Beracun di Leng Tjoa San, gunung Ular Sakti, di distrik Tay-lie, bahwa guha itu
dijaga oleh delapan-belas murid Ngo Tok Kauw. Dia lantas saja desak aku, dia minta aku
antar padanya, untuk dia curi pedang itu. Dia bilang, dia hendak pakai pedang itu untuk
satu kali saja, sehabis dia berhasil menuntut balas, dia nanti kasi kembali. Ia sangat
mendesak aku, sampai hatiku jadi lemah. Begitulah telah terjadi, aku curi leng-pay dari
koko. Dengan bawa itu, aku ajak dia pergi ke Leng Tjoa San. Karena adanya lengpay dan
yang antar pun aku sendiri, penjaga-penjaga guha ijinkan kita masuk ke dalam guha."
"Bibi," tanya Tiat Tjhioe, "apa mungkin kau berani memasuki guha itu dengan berpakai
pakaian?" "Meski juga nyaliku besar, aturan kita itu tak berani aku langgar," jawab Ho Ang Yo. "Aku
telah buka semua pakaianku, dengan telanjang bulat, sambil separuh merayap, aku masuk
ke dalam guha. Dia turut masuk dengan menelad contohku. Pedang dan dua mustika
lainnya ditaruh di atas naga-nagaan batu. Dia pandai berlompat tinggi, dengan gampang
dia bisa naik ke atas naga-nagaan. Begitulah dia ambil pedang mustika itu. Aku tidak
sangka, dia kandung hati yang kurang lurus, kecuali pedang Pek-hiat Kim Tjoa Kiam,
sekalian dia ambil dua mustika lainnya, ialah dua-puluh empat batang bor ular emas Kimtjoatjoei serta peta bumi kita."
(Bersambung bab ke 22)Si uwah jelek berhenti sebentar, untuk menghela napas, guna
entengi hatinya.
"Begitu aku dapat tahu dia ambil tiga-tiganya mustika, segera aku merasakan firasat
jelek," dia melanjuti selang sesaat. "Maka aku lantas desak dia supaya dia tinggalkan Kimtjoatjoei dan peta bumi itu...."
"Peta apakah itu?" Tjeng Tjeng memotong. "Ayahku cuma berniat keras mencari balas,
mustahil dia kehendaki juga peta bumi kamu?"
"Aku sendiri tidak tahu, peta itu ada peta apa," sahut Ho Ang Yo. "Apa yang kami tahu itu
adalah mustika yang telah diwariskan sejak beberapa puluh turunan. Hm! Dia benar-benar
kandung maksud tidak baik! Dia tidak perdulikan permintaanku, dia cuma awasi aku
sambil tertawa. Sudah disebutkan, adalah aturan Ngo Tok Kauw kita, siapa memasuki
guha Tok-liong-tong, kita dilarang mengenakan pakaian meski cuma selembar, maka
bisalah dimengerti keadaan kita berdua pada waktu itu. Demikian aku, tanpa aku sadar,
aku telah lantas serahkan diri kepada dia. Sejak itu, aku tidak tanyakan suatu apa lagi
terhadapnya. Secara demikian, kita telah curi ketiga mustika. Dia sudah bilang padaku, setelah selesai
mencari balas, dia bakal kembali, untuk kembalikan tiga mustika itu. Setelah dia pergi,
setiap hari aku harap-harap kembalinya, tetapi, sampai dua tahun, dari dia tidak ada kabarceritanya.
Baru belakangan aku dengar cerita antara kaum kang-ouw bahwa di Kanglam
telah muncul satu pendekar luar biasa yang bersenjatakan sebatang pedang aneh serta
bor emas, karena mana, dia dijuluki Kim Tjoa Long-koen, Pendekar Ular Emas. Aku
percaya betul, pendekar itu mesti dianya. Aku terus pikiri dia, aku menduga-duga,
sudahkah dia menuntut balas atau belum. Lewat lagi sekian lama, kauwtjoe bercuriga, dia
lantas periksa guha Tok-liong-tong, dengan kesudahannya pecahlah rahasia pencurian
ketiga mustika. Atas itu, kauwtjoe wajibkan aku menghukum diriku sendiri. Dan sebagai
kesudahan beginilah jadinya rupaku....."
"Kenapa kau jadi begini?" Tjeng Tjeng tegasi.
Ho Ang Yo ada sangat murka, tak sudi ia menjawabnya.
Tapi Ho Tiat Tjhioe, dengan pelahan dia kata kepada ahliwarisnya Kim Tjoa Long-koen:
"Ketika itu yang menjadi kauw-tjoe ada ayahku, Ayah sangat berduka yang adiknya sendiri
melakukan pelanggaran hebat itu, saking malu dan berduka, ia dapat sakit, terus dia
menutup mata. Bibi telah jalankan aturan agama kita, ia hukum diri dengan masuk ke
dalam guha ular, hingga ribuan ular gigiti dia. Begitulah, rusaknya muka bibi."
Tjeng Tjeng menggigil, dia jeri sendirinya, akan tetapi berbareng, terhadap si uwah dia
tidak lagi membenci seperti tadinya.
"Setelah bibi obati diri dan sembuh," Ho Tiat Tjhioe terangkan lebih jauh, "ia lantas bikin
perjalanan sebagai pengemis. Adalah aturan perkumpulan kita, siapa lakukan pelanggaran
hebat, dia mesti hidup sebagai pengemis lamanya tiga-puluh tahun, selama mana dia
dilarang mencuri uang baik satu boen atau mencuri nasi satu butir, malah dia dilarang
juga menerima tunjangan dari sesama kaum Rimba Persilatan."
Ho Ang Yo perdengarkan suara di hidung.
"Mulanya masih saja aku ingat dia, maka itu sembari mengemis di sepanjang jalan, aku
susul dia di Kanglam," cerita terus uwah ini. "Begitu lekas aku memasuki wilayah
Tjiatkang, aku lantas dengar kabar hal dia sudah bunuh orang di Kie-tjioe, untuk
pembalasannya. Ingin aku menemui dia, maka aku cari padanya. Tapi ia tidak punyakan
tempat kediaman yang tentu maka adalah sulit untuk cari ketemu padanya. Ketika
akhirnya aku bertemu juga dengannya di Kim-hoa, waktu itu dia telah kena ditawan orang.
Beberapa kali aku mencoba menolongi dia, selalu aku tidak berhasil. Musuh-musuhnya
telah jaga dia kuat sekali hingga tak bisa aku turun tangan. Dia telah dibawa ke Utara. Aku
merasa sangat heran, aku tidak tahu, kenapa dia ditangkap dan dibawa pergi. Baru
kemudian aku dengar kabar, orang hendak paksa dia supaya dia serahkan peta yang
dicurinya. Nyata peta itu ada peta lukisan dari suatu tempat simpan harta besar. Pada satu
wkatu, bisa juga aku dapatkan ketika akan bicara sama dia. Dia kasi tahu aku bahwa orang
telah bikin putus semua urat-uratnya, hingga ia jadi seorang yang bercacat. Menurut dia,
semua pengantarnya ada orang-orang liehay, maka sendirian saja, tidak nanti aku bisa
tolongi dia. Dia bilang, dia punya cuma satu harapan untuk bisa hidup terus. Ialah kapan ia
bisa pancing musuh-musuhnya pergi ke puncak gunung Hoa San. Dan itu waktu, dia
sedang memancingnya."
"Bibi," tanya Ho Tiat Tjhioe, "kejadian selanjutnya lebih-lebih aku tidak tahu. Apa maksud
sebenarnya memancing musuh ke gunung Hoa San itu?"
"Dia bilang di kolong langit ini cuma satu orang yang bisa tolong dia," sahut Ho Ang Yo.
"Orang itu ada Pat-tjhioe Sian Wan Bok Djin Tjeng si Lutung Sakti Tangan Delapan dari
Hoa San Pay."
Gegetun Sin Tjie akan dengari penuturan orang itu, sampai ia tak tahu, berhubung sama
sepak-terjangnya Kim Tjoa Long-koen itu, ia mesti membencinya atau mengasihaninya. Di
lain sebelah, ia jadi sangat ketarik akan dengar disebut-sebutnya nama gurunya.
Juga Tjeng Tjeng sangat ketarik mendengar namanya Bok Djin Tjeng, gurunya pemuda
pujaannya itu. Demikian semua orang pasang kuping mendengari Ho Ang Yo mulai pula dengan
perlanjutan penuturannya: "Aku tanya dia, siapa itu Bok Djin Tjeng. Dia bilang, orang she
Bok itu ada ahli pedang yang di kolong langit ini tidak ada tandingannya. Menurut dia,
sebenarnya dia tidak kenal Bok Djin Tjeng, dia belum pernah menemuinya juga, dia
melainkan dengar, orang she Bok itu ada satu orang jujur dan pembela keadilan, Dia
percaya, asal Bok Djin Tjeng dapat tahu bagaimana dia telah dipersakiti, pendekar itu pasti
akan suka tolongi dia. Katanya Ngo Heng Tin dari lima persaudaraan Oen ada sangat
liehay, sudah begitu, mereka dibantu oleh imam-imam dari Ngo Bie Pay, maka kecuali Bok
Djin Tjeng, lain orang tak dapat mengalahkan mereka. Maka itu dia suruh aku lekas-lekas
pergi ke Hoa San, akan cari Bok Tayhiap, untuk minta bantuan. Ia anjurkan aku untuk
memohon sambil menangis, supaya Bok Tayhiap suka menolong. Aku telah terima baik
permintaannya itu, aku malah sudah lantas ambil putusan, umpama kata Bok Tayhiap
tidak sudi meluluskan, akan membantu, aku hendak bunuh diri di depannya. Aku telah
berkeputusan akan tolongi dia. Karena penjagaan kuat sekali, tidak berani aku bicara lama
dengannya. Ketika aku hendak berlalu, aku rangkul dia. Dengan tiba-tiba aku dapat cium
bau harum pada dadanya, bau dari wewangian orang perempuan, maka aku merogo ke
dalam sakunya, hingga aku tarik keluar satu kantong sulam hiang-ho-pauw dalam mana
ada termuat segumpal rambut wanita serta sebuah tusuk konde emas yang mungil.
Tubuhku sampai menggigil saking ku gusar. Aku tanya, siapa yang berikan itu kepadanya,
dia tidak mau memberitahukan. Aku telah ancam dia, apabila dia tetap tidak mau beritahu,
aku tidak mau cari Bok Tay-hiap, tapi dia tetap tutup mulutnya. Dia telah perlihatkan
sikapnya yang angkuh. Dan, lihat, lihat! Sikapnya bocah ini juga sama angkuhnya dengan
dia!" Dan si uwah jelek ini tuding Tjeng Tjeng. Ia bicara dengan suara keras, akan tetapi pada itu
ada tercampur irama kedukaan hebat. Habis itu, ia melanjuti: "Tadinya aku hendak desak
dia, untuk paksa dia memberitahukannya, apamau orang Tjio Liang Pay yang menjaga dia
telah keburu balik, dengan terpaksa, aku tinggalkan dia. Bukan main masgulnya hatiku.
Aku telah menderita untuk dia, siapa tahu, dia justru siasiakan aku dan punyakan lain
kekasih. Ketika kemudian dia telah sampai di Hoa San, aku tidak pergi cari Bok Tayhiap.
Dengan bisaku sendiri, aku telah racuni dua imam yang jagai dia. Rupanya pihak Oen tidak
menyangka bahwa diam-diam ada orang mencoba tolongi orang tawanannya itu.
Begitulah, selagi mereka beralpa, aku bawa dia lari, aku sembunyikan dia di dalam sebuah
guha. Ketika keluarga Oen mendapat tahu dia terhilang, mereka jadi heran dan sibuk,
mereka mencari ubak-ubakan tanpa hasil, hingga kesudahannya mereka saling curigai
orang sendiri, sampai mereka berselisih. Di akhirnya, mereka memencar diri, untuk
geledah seluruh gunung Hoa San. Kesudahannya, mereka membangkitkan amarahnya
Bok Tay-hiap, hingga Tay-hiap telah gunai akal, membikin mereka ketakutan sendiri dan
lantas lari kabur. Pada malam itu, aku desak dia untuk beritahu aku she dan namanya
kekasihnya itu. Dia tetap menolak, mungkin dia insaf, satu kali aku mendapat tahu, aku
bisa pergi cari kekasihnya itu, untuk dibunuh. Dia sendiri sudah tidak punya guna, tidak
nanti bisa susul aku, dia kuatir nanti tak dapat dia melindungi kekasihnya itu. Karena dia
terus tutup mulut, aku jadi sangat murka, beruntun selama tiga hari, setiap pagi aku
rangket dia dengan rotan, begitupun setiap tengah-hari dan sore...."
"Hai, perempuan jahat!" teriak Tjeng Tjeng. "Bagaimana kau tega menyiksa ayahku!..."
"Dia yang berbuat, dia mesti terima bagiannya!" kata Ho Ang Yo dengan sengit. "Makin
lama aku hajar dia, makin aku sengit, akan tetapi dia, dia tertawai aku, dia tertawa makin
besar. Dia bilang, sejak mulanya dia tidak menyukai aku, bahwa kekasihnya ada cantik
sekali, manis dan lemah-lembut, orangnya jelita, lebih memang seratus kali daripada aku!
Setiap patah kata dia ucapkan, setiap rotan aku berikan, tetapi setiap kali aku rangket dia,
setiap kali juga dia banggai kekasihnya itu, si perempuan hina! Aku telah hajar dia sampai
akhirnya tidak ada tubuhnya yang utuh, akan tetapi terus-terusan ia tertawa, terus saja ia
masih puji dan banggai kekasihnya itu.... Sampai di hari ketiga, selagi dia jadi sangat
lemah, aku sendiri pun jadi sangat lelah, lelah karena terlalu mendongkol, sebab habis
tenaga. Kemudian aku pergi keluar, untuk cari bebuahan. Ketika aku pulang, dia tunggu
aku di mulut guha, dia larang aku masuk. Dia mengancam, satu tindak berani aku
melangkah, dia akan tikam aku. Aku tidak berani sembarang masuk. Aku kasi tahu
padanya, asal dia beritahukan aku she, nama dan alamat kekasihnya, aku suka maafkan
dia untuk tak berbudinya, tetapi dia tertawai aku, dia tertawa terbahak-bahak. Dia bilang,
dia cintai kekasihnya melebihi jiwanya sendiri! Secara demikian, kami bentrok. Aku ada
punya bebuahan untuk dimakan, dia sendiri, dia mesti menahan lapar. Aku dapat tahu,
Bok Tay-hiap telah pergi turun gunung, mungkin dalam satu-dua tahun, dia tidak akan
kembali, maka itu, tidak nanti ada orang yang tolongi dia...."
"Secara demikian, bibi, kau bikin dia mati kelaparan?" tanya Ho Tiat Tjhioe.
"Hm, tidak secara demikian gampang aku membikin dia mati!" sahut sang bibi. "Lagi
beberapa hari, setelah dia habis tenaganya, aku masuk ke dalam guha, aku bikin patah
kedua kakinya..."
Tjeng Tjeng menjerit, dalam sakitnya, dia berlompat untuk bangun, akan serang uwah itu.
Ho Tiat Tjhioe tekan pundak orang, akan bikin anaknya Kim Tjoa Long-koen tak dapat
bangun. "Kau dengari sampai bibi berceritera habis," katanya.
"Puncak Hoa San ada sangat tinggi dan berbahaya, dengan kedua kakinya patah, tidak
nanti dia bisa turun gunung lagi," demikian Ho Ang Yo meneruskan ceritanya. "Begitulah
aku pergi turun gunung, akan cari kekasihnya itu. Adalah keputusanku, apabila aku
berhasil mendapatkan kekasih itu, aku bakal bikin rusak mukanya hingga jadi jauh terlebih
jelek daripada mukaku, setelah itu, aku nanti gusur dia ke Hoa San, untuk dipertemukan
dengannya, aku ingin lihat, dia masih memuji-muji dan membanggai atau tidak! Setengah
tahun sudah aku mencari, tidak pernah aku peroleh endusan. Aku niat kembali ke Hoa
San, untuk tengok dia, aku kuatir, mungkin Bok Djin Tjeng sudah pulang ke gunungnya,
mungkin Bok Tay-hiap dapat menemukan dia dan menolongnya. Aku telah saksikan
sendiri liehaynya Bok Tay-hiap ketika ia usir keluarga Oen, maka apabila Bok Tay-hiap
nanti bantu dia, bisa celaka aku. Maka aku segera balik ke gua gunung. Di luar
sangkaanku, aku tidak dapat ketemukan dia di dalam guha, aku cari dia di puncak, tidak
juga aku menemukannya. Entah dia telah ditolongi Bok Tay-hiap atau oleh orang lain.
Seterusnya, selama dua-puluh tahun, tidak pernah aku dengar pula tentang dia, percuma
saja aku cari dia di segala penjuru, hingga tak tahu aku manusia tidak punya liangsim itu
sudah mati atau masih hidup...."
Mendengar sampai di sini, tahulah sekarang Sin Tjie sebabnya kenapa Kim Tjoa Longkoen
keram diri di dalam guhanya yang istimewa itu, terang dia menyingkir dari orang Ngo
Tok Kauw ini yang dia tidak sanggup lawan karena dia sudah tidak berdaya lagi, dia lebih
suka terbinasa daripada mesti minta bantuannya lain orang.
Selagi pemuda ini berpikir, tiba-tiba ia dengar bentakannya Ho Ang Yo.


Pedang Ular Mas Karya Yin Yong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak sangka dia justru tinggalkan kau sebagai keturunan celaka!" demikian uwah
itu, yang tuding Tjeng Tjeng, suaranya sangat bengis. "Mana ibumu" Aku tahu shenya she
Oen tapi aku tidak tahu dia tinggal di mana! Hayo bilang, dimana adanya ibumu sekarang.
Jika tidak, aku nanti korek biji matamu!"
Diancam begitu, Tjeng Tjeng justru tertawa besar.
"Kau jahat! Jahat!" jawabnya. "Benar apa yang ayahku bilang, ibuku ada jauh terlebih baik
daripada kau, bukan cuma seratus kali, hanya seribu kali, selaksa kali!"
Tak kepalang murkanya Ho Ang Yo hingga ia ulur kedua tangannya, untuk dengan sepuluh
jarinya cakar muka orang!
Tjeng Tjeng tarik kepalanya, sedang Ho Tiat Tjhioe tahan tangan bibinya itu.
"Kau mesti bikin dia kasi tahu tempat kediaman ibunya, Baru aku suka kasi ampun
padanya!" dia menjerit terhadap pemimpin dari Ngo Tok Kauw.
"Sabar, bibi," kata ketua itu. "Bukankah kamis edang punya urusan besar" Kenapa untuk
urusan pribadi kau ingin ciptakanonar" Bukankah urusan dengan Boe Tong Pay juga
disebabkan gara-garamu?"
"Hm, itu disebabkan Oey Bok Toodjin ngaco-belo sendiri!" kata si uwah jelek. "Kenapa dia
sebut-sebut bahwa dia kenal Kim Tjoa Long-koen" Kenapa dia bikin aku dapat dengar
ocehannya itu" Tentu saja karena ocehannya itu aku paksa dia mesti sebutkan tempat
sembunyinya itu manusia tak berbudi!"
"Kau telah kurung dia begitu lama, dia tetap tidak hendak memberitahukannya," kata pula
Ho Tiat Tjhioe, "Mungkin dengan sebenar-benarnya dia tidak tahu orang punya alamat.
Sama sekali tidak ada faedahnya untuk kau menambah musuh...."
Diam-diam Sin Tjie manggut-manggut.
"Jadi inilah sebabnya bentrokan Ngo Tok Kauw dengan Boe Tong Pay," pikir dia. "Menurut
dia ini, jadinya Oey Bok Toodjin masih belum terbinasa, dia cuma masih ditahan."
Ho Ang Yo sengit ditegur kauwtjoenya itu. Maka dia kata pada pemimpinnya ini: "Binatang
she Wan itu sudah kangkangi pedang Kim Tjoa Kiam kita, dengan Kim-tjoa-tjoei dia
binasakan anjing kita, dia pun masih simpan peta kita - tiga-tiga pusaka kita berada di
dalam tangannya! Kau sebagai kauwtjoe, kenapa kau tidak hendak berdaya untuk dapat
pulang itu semua?"
Ho Tiat Tjhioe tertawa.
"Cukup, bibi!" kata dia. "Aku ketahui semua itu! Sekarang silakan kau keluar dulu, untuk
beristirahat...."
Masih si bibi penasaran.
"Aku telah bilang semua!" katanya. "Kau suka turut rencanaku atau tidak, kau suka tolong
lampiaskan kemendongkolanku atau tidak, semua terserah pada kau!"
Kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw lawan tertawa pada bibinya itu, ia tidak mengiakan atau
menampik. "Mari keluar, aku hendak bicara denganmu!" kata Ho Ang Yo.
"Bukankah di sini sama saja?" tanya si nona kauwtjoe.
"Tidak! Mari kita keluar!" Ang Yo desak.
Kalah juga Tiat Tjhioe, ia suka keluar.
Sin Tjie lihat dua orang itu berlalu, ia tunggu sampai rasanya orang sudah pergi jauh,
lantas ia merayap keluar dari kolong pembaringan.
"Adik Tjeng, mari kita pergi!" katanya.
Tjeng Tjeng tidak lantas menjawab, hanya dengan muka perongosan ia awasi Wan Djie,
rambut siapa kusut, muka siapa berlepotan debu.
"Hm!" katanya. "Untuk apa kamu berdua bersembunyi?"
Wan Djie tercengang, mukanya merah, sampai ia diam saja.
"Lekas bangun," Sin Tjie bilang, tanpa menjawab pertanyaan itu. "Mereka itu kandung
maksud tidak baik, mereka sedang memikir daya untuk celakai kau...."
"Lebih baik lagi jikalau mereka bikin aku mati! Aku tidak mau pergi!"
"Apa juga adanya urusan, di rumah nanti kita damaikan," Sin Tjie membujuk. "Di waktu
begini apa kau masih hendak mensiasiakan ketika" Kau hendak mengacau?"
"Aku justru hendak mengacau!"
Sibuk juga Sin Tjie. Ia ingat orang punya adat berandalan. Ia tahu, asal mereka berayalan,
sulit untuk mereka keluar dari istana itu. Di lain pihak urusan raja ada penting sekali.
"Adik Tjeng, kau kenapa?" ia tanya. Ia ulur tangannya, dengan niat tarik pemudi itu.
Tjeng Tjeng sedang sengit, ia sambuti tangan orang, untuk dibawa ke mulutnya, untuk
digigit! Sin Tjie tidak menyangka, hampir saja tangannya itu kena tergigit, baiknya ia dapat
kesempatan untuk tarik pulang. Ia tapinya heran.
"Kau angot?" tanya dia.
"Habis?"
Tjeng Tjeng singkap selimut, untuk tungkrap kepalanya.
Sin Tjie mendongkol berbareng bingung, hingga ia banting-banting kaki.
"Wan Siangkong," kata Wan Djie, "kau tunggu bersama Nona Hee, aku hendak keluar
sebentar."
"Kau hendak pergi kemana?"
Wan Djie tidak menjawab, ia tolak daun jendela, untuk loncat keluar.
Sin Tjie duduk di tepi pembaringan, ia masgul.
Tjeng Tjeng membalik tubuh, akan madap kedalam.
Pemuda kita kuatir sekali Ho Tiat Tjhioe nanti kembali.
Tiba-tiba ada terdengar suara tindakan di arah pintu, tidak tempo lagi, Sin Tjie enjot
tubuhnya, akan loncat naik ke penglari di mana ia lintangkan tubuhnya.
Itulah Ho Kauwtjoe, yang telah balik. Dia ini palang pintu, lantas dengan tindakan pelahan,
dia dekati Tjeng Tjeng.
Sin Tjie siapkan dua batang bor, asal kauwtjoe itu turun tangan, ia hendak menyerang.
"Hee siangkong," katanya dengan pelahan, sambil ia awasi tubuh orang. "Aku hendak
bicara sama kau..."
Tjeng Tjeng berpaling.
"Bibiku sangat menyintai ayahmu, coba bilang, adalah dia seorang rendah?" tanya Tiat
Tjhioe. Ditanya begitu, Tjeng Tjeng menjadi heran. Inilah pertanyaan yang ia tidak sangka. Maka ia
tercengang. "Itu berarti cinta yang sangat, bagaimana bisa dibilang rendah?" ia jawab. Lantas ia
menambahkan dengan suara tinggi: "Siapa tidak berpribudi, dia Barulah rendah!"
Tiat Tjhioe heran. Tak tahu ia, kata yang belakangan ini ditujukan kepada Sin Tjie. Tapi ia
girang. "Ayahmu itu tidak berjodo dengan bibiku, dia tak dapat dipersalahkan," kata kauwtjoe ini.
"Dia pun rela mati daripada menyebutkan tempat kediaman ibumu, dia tetap
melindunginya, sebenarnya dia ada seorang yang menyinta sangat, dia setia."
"Sayang jarang ada orang semacam ayah!" bilang Tjeng Tjeng.
"Umpama ada seorang semacam dia, yang tidak hiraukan jiwa sendiri untuk lindungi kau
bisakah kau ingat dia untuk selamanya?" Ho Tiat Tjhioe tanya pula.
"Aku tidak punyakan itu macam rejeki!"
"Dulu tak mengerti aku mengapa bibi demikian tergila-gila terhadap seorang lelaki," kata
pula Tiat Tjhioe. "Aku....aku.....ya, sudahlah, aku tidak ingin kau bilang apa-apa lagi....
Sukur jikalau kau ingat aku, tidak ingat juga tidak apa...."
Ia balik tubuhnya, untuk pergi keluar pula.
Tjeng Tjeng berbangkit, akan duduk dengan bengong. Tidak mengerti ia sikapnya
kauwtjoe dari Ngo Tok Kauw itu.
Sin Tjie melayang turun.
"Nona tolol, dia menyintai kau!" katanya sambil tertawa.
"Apa?" tanya Tjeng Tjeng dengan heran.
Sin Tjie tertawa.
"Dia menyangka kau lelaki!" katanya.
Perkataan pemuda ini membikin sang pemudi insaf. Pantas selama tertawan, sikapnya Ho
Tiat Tjhioe terhadapnya ada baik, malah manis-budi. Untuk sementara ia telah melupakan
dandanan penyamarannya itu. Maka akhirnya, ia tertawa sendirinya. Itulah lucu!
"Bagaimana sekarang?" ia tanya.
"Kau menikah dengan Ngo Tok Hoedjin itu!" Sin Tjie bergurau. ("Ngo Tok Hoedjin" berarti
"Nyonya dari Ngo Tok Kauw".)
Di saat Tjeng Tjeng hendak berkata pula, daun jendela terpentang dengan tiba-tiba dan
Tjiauw Wan Djie lompat masuk, di belakangnya turut Lo Lip Djie, yang bertangan satu.
Melihat nona itu, kembali air mukanya Nona Hee guram, lenyap senyumannya yang manis.
"Wan Siangkong," berkata Wan Djie dengan sikapnya sungguh-sungguh tetapi tenang.
"Aku bersukur sangat yang kau telah berikan bantuanmu yang besar hingga berhasil aku
mencari balas, maka sekarang ingin aku memberitahukan bahwa besok pagi aku berniat
pulang ke Kimleng. Di masa hidupnya ayah, ia ada sangat kagumi kau, sedang Lo Soeko
ini sangat berterima kasih kepadamu yang sudah ajarkan dia ilmu silat golok bertangan
satu, hingga kau mirip dengan gurunya...."
Sin Tjie awasi nona itu, kata-kata siapa membuat ia heran.
"Sekarang, siangkong," kata Wan Djie meneruskan, "kami berdua hendak memohon
sesuatu kepadamu...."
"Jangan kesusu," berkata pemuda kita, walaupun ia belum mengerti maksud orang. "Mari
kita berlalu dulu dari istana ini, Baru kita bicara."
"Tidak, Wan Siangkong," Nona Tjiauw mendesak. "Aku Cuma mau minta supaya kau
menjadi wakil kami, supaya kau ijinkan perjodoanku dengan Lo Soeko ini!"
Dua-dua Tjeng Tjeng dan Sin Tjie terperanjat mendengar perkataan nona itu, bukan
terperanjat karena kaget tetapi saking heran.
Malah Lo Lip Djie sendiri tidak menjadi kecuali.
"Soe...soemoay!" kata ini kakak seperguruan, "Apakah kau bilang?"
"Apakah kau tidak suka aku?" Wan Djie tanya sambil ia awasi soeheng itu.
Lip Djie kembali tercengang.
"Aku....aku....." katanya, tergandat.
Mendadak saja, Tjeng Tjeng menjadi sangat gembira.
"Bagus!" seru dia. "Aku kasi selamat pada kamu berdua!"
Sin Tjie cerdik, segera ia insaf maksudnya Nona Tjiauw. Ialah Wan Djie hendak buktikan,
dia tidak ada punya hubungan apa-apa sama ia, bahwa pergaulan dan persahabatan
mereka berdua ada putih-bersih, maka itu tanpa likat lagi, nona ini kemukakan
perjodoannya dengan Lo Lip Djie. Dengan cara ini, Wan Djie hendak singkirkan kecurigaan
dan cemburunya Tjeng Tjeng, untuk sekalian juga membalas budinya. Maka itu, tak
kepalang bersukurnya ia kepada nona yang cerdas ini.
Tjeng Tjeng juga cerdik, ia bisa menduga hatinya Nona Tjiauw, walaupun ia memberi
selamat, ia jengah sendirinya. Tapi ia polos, ia jujur, malah lantas ia jabat tangan Wan Djie.
"Adik, aku berlaku tidak pantas terhadapmu," katanya, mengakui. "Aku minta kau tidak
berkecil hati."
"Mana bisa aku berkecil hati terhadapmu, enci," Wan Djie kata.
Meski ia mengucapkan demikian, puteri almarhum Tjiauw Kong Lee toh melinangkan air
mata. Ia bersedih karena orang telah curigai ia, hingga sebagai satu nona, ia bertindak di
luar garis. Sebenarnya tidak tepat ia yang meminta perkenan dari Sin Tjie untuk
perjodoannya dengan Lip Djie. Tetapi keadaan memaksa, ia terpaksa tebali muka.
Tjeng Tjeng insaf kekeliruannya, ia turut berduka, hingga ia pun ikut menangis.
Ketenteraman mereka berempat segera terganggu oleh suara tindakannya tujuh atau
delapan orang, yang lagi mendatangi ke arah mereka.
Sin Tjie segera geraki tangannya, selaku tanda.
Sebat luar biasa, Lip Djie lompat ke jendela, untuk menolak daunnya.
Berbareng dengan itu, di pintu terdengar suara membentak dari Ho Tiat Tjhioe:
"Sebenarnya siapa menjadi kauw-tjoe?"
Lalu terdengar suara Ho Ang Yo: "Kenapa kau tidak mau bertindak menuruti aturan kita"
Baiklah kita bersembahyang kepada Tjouwsoe, untuk angkat satu kauwtjoe baru!"
Segera terdengar suara seorang laki: "Binatang itu ada musuh besar dari Ngo Tok Kauw,
kenapa Kauwtjoe terus-terusan hendak melindungi dia?"
Terdengarlah suara tertawa dari Ho Tiat Tjhioe, yang kata: "Aku larang kamu masuk ke
dalam kamar ini! Siapa berani maju?"
Kauwtjoe ini tertawa tetapi dia menantang, suaranya keren.
"Mari kita bereskan dulu itu binatang!" kata seorang lelaki lain.
"Urusan kita, kita boleh bereskan belakangan!"
Suara tindakan kaki berat dan sebat terdengar maju ke arah pintu, menyusul itu
terdengarlah satu jeritan hebat, disusul sama suara terbantingnya satu tubuh ke lantai.
Rupanya orang itu telah jadi korbannya Ho Tiat Tjhioe.
Sin Tjie lantas beri tanda pula kepada tiga kawannya.
Lo Lip Djie lompati jendela, disusul oleh Wan Djie, di belakang siapa, Tjeng Tjeng pun
menyusul. Itu waktu, di muka pintu terdengar bentrokan pelbagai senjata. Teranglah, perang saudara
telah terjadi di dalam Ngo Tok Kauw - Ho Tiat Tjhioe telah tempur saudara-saudaranya
separtai. Setelah sedikit lama, Sin Tjie dengar dupakan pada pintu kamar, hingga daun pintu
menjeblak, tubuh seorang nerobos masuk.
Sin Tjie lantas saja lompat ke jendela, untuk angkat kaki.
Orang yang Baru masuk itu lihat satu bebokong berkelebat dan lenyap, hingga tak sempat
ia untuk mengenalinya bebokong siapa.
"Lekas, lekas!" dia berteriak-teriak. "Binatang itu kabur!"
Ho Tiat Tjhioe terkejut, juga kawan-kawannya, hingga pertempuran berhenti seketika,
semuanya lantas memburu ke dalam kamar, hingga mereka lihat kamar kosong dari
manusia dan daun jendela menjeblak terpentang.
Tanpa ayal lagi, Ho Tiat Tjhioe lompat ke luar jendela, Ia bermata tajam, masih ia dapat
lihat satu bajangan nyelusup masuk ke tempat banyak pepohonan, segera ia menyusul.
Tapi menyusul dengan kandung maksud sendiri-diri. Dia kira bajangan itu ada dari Tjeng
Tjeng, ingin dia lindungi "pemuda" itu, untuk cegah ia terjatuh ke dalam tangan kawankawannya.
Bajangan di depan itu berlari-lari teurs, dia putari beberapa pekarangan, akhirnya dia
melenyapkan diri di tembok merah dari keraton.
Sin Tjie sengaja menyingkir paling belakang, ia pun ambil jurusan lain daripada yang
diambil Tjeng Tjeng bertiga. Ia lihat bagaimana Ho Tiat Tjhioe terus susul padanya, ia
sengaja lari untuk segera lenyap dari pandangan mata kauwtjoe itu. Adalah setelah
menduga Tjeng Tjeng bertiga sudah keluar jauh dari istana, Baru ia lenyapkan diri di
belakang tembok keraton tadi.
Selagi menghampirkan sebuah pintu, Sin Tjie lantas mencium bau harum berkesiur-siur
halus. Ia tolak daun pintu, untuk sembunyikan diri di lain sebelah dari pintu itu, sembari
sembunyi ia mengawasi ke sekitarnya. Kapan ia telah melihat nyata, ia jadi jengah
sendirinya, kupingnya ia rasai panas tak keruan-ruan....
Kisah Sepasang Rajawali 31 Elang Terbang Di Dataran Luas Karya Tjan Id Jodoh Rajawali 22

Cari Blog Ini