Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 14

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


Karena merasa lelah sekali, ia masuk ke dalam gua kecil itu dan beristirahat. Semalam penuh ia beristirahat di dalam gua itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari kekasihnya.
Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi, kalau tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tidak
terbatas. Kalau belum dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.
Ketika tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba terdengar orang
mengeluarkan seruan kaget, "Ya Tuhan Yang Agung!" seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek berkepala botak. Secepat kilat kakek botak ini lalu menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak menimpa tanah, ia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu dibelokkan tenaga luncurannya ke kiri, kemudian diteruskan ke atas hingga tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga luncuran yang keras itu.
Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, jauh berkurang dan telah patah tenaga luncurannya, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah gua yang berada tak jauh dari tempat itu.
Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi oleh karena kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika ia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi! Maka kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Ia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan kembali jalan pernapasannya, kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersamadhi, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
Tak lama kemudian, dari luar gua masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk bersamadhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan kedua matanya dan
mengeluarkan suara, "Ah, ah, uh, uh..." lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang kakek gagu!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
415 Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu. "A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi ia terjatuh dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka semenjak sekarang, ia menjadi sumoimu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya."
A Tok yang gagu itu lalu terkekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian ia kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya lalu bergerak-gerak dan dikembangkan ke kanan-kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara, "ah, ah, uh, uh" seperti tadi.
"Hm, burung besar" Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!" Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang, dan benar saja, ia melihat seekor burung merak yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.
Ketika melihat kakek yang berdiri di depan gua itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat, kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.
"Ha, ha, burung merak yang lihai!" kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya. Dari tangan itu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali ke atas. Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka ia hanya memekik-mekik keras sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu. Sedangkan kakek itu lalu mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret, kemudian ia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.
"Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!" Ia lalu menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak Sakti! Sin-kong-ciak menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka ia cepat mengelak, akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa hingga ketika merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak biarpun tidak merasa sakit, akan tetapi ia terkejut sekali hingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.
Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah gua yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi. Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika melihat bahwa di atas dua buah batu besar, ia melihat dua orang kakek sedang duduk bersamadhi. Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu
membuka mata dan turun dari atas batu.
"Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman," katanya halus.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
416 "Teecu... berada di manakah... dan siapakah Locianpwe?"
"Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu dari kehancuran. Kaumakanlah daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu." Sambil berkata demikian, kakek botak itu memberikan lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi ia suruh A Tok mencari. Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi oleh karena memang ia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, ia lalu makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek botak itu dan berkata,
"Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Mohon tanya bagaimana nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?" Sambil berkata
demikian Ma Hoa memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.
"Seorang kawanmu?" kakek itu berkata, "aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari atas."
"Ah... kalau begitu, biarlah teecu mencarinya," kata Ma Hoa sambil berdiri.
"Nanti dulu, Nak. Sebetulnya siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh"
Mengapa pula kau dan kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?"
Biarpun hatinya ingin sekali lekas keluar dari gua itu untuk mencari Kwee An, namun karena ia telah tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat
pengalamannya, betapa ia dan kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce.
Kakek botak itu mengangguk-angguk dan berkata,
"Pantas saja kau dan kawanmu kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar
namanya ketika aku masih muda dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi menghadapi mereka!"
Ma Hoa terkejut mendengar ini karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil dia sebagai muridnya! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Lo-cianpwe, bukan teecu tidak tahu terima kasih, akan tetapi tentang belajar silat ini lebih baik ditunda setelah teecu dapat mencari kawanku yang jatuh itu."
"Hm, tidak boleh! Kau berjodoh untuk menjadi murid dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku sendiri, biar orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia mati, tak mungkin dia bisa menjadi muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tidak ada lagi orang lain jatuh dari atas. Maka menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena kalau dia memiliki ginkang yang tinggi, di waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang banyak tumbuh di samping tebing itu."
Mendengar ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak membohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa selama mempelajari ilmu silat tiga bulan saja, ia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce!
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
417 Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua orang yang hampir saja menewaskannya itu.
Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,
"Suhu, teecu Ma Hoa menurut perintah dan petunjuk Suhu!"
Kakek botak itu tertawa bergelak karena girangnya. "Bagus, bagus! Ketahuilah, aku bernama Hok Peng Taisu, dan kakek gagu ini adalah suhengmu bernama A Tok!" Ma Hoa lalu
menjura kepada suhengnya yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan membalas pemberian hormat itu sambil berseru "Ah-ah-uh-uh" dan tangannya bergerak-gerak.
"Tempat ini kurang baik untuk belajar silat," kata Hok Peng Taisu, "mari kau ikut aku ke Hong-lun-san!"
Ma Hoa menurut dan kedua guru dan murid itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah bukit lain yang nampak puncaknya dari situ. Ma Hoa mengerahkan
ilmunya berlari cepat, akan tetapi biarpun suhunya hanya berjalan perlahan saja kelihatannya, namun ia selalu tertinggal di belakang! Maka ia merasa girang sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa suhunya yang baru ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Setelah tiba di Hong-lun-san, Ma Hoa menjadi kagum melihat bahwa di puncak bukit ini terdapat pondok suhunya dan pemandangan di situ tidak kalah indahnya dengan tempat tinggal Yousuf. Semenjak saat itu, ia mendapat latihan IImu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari suhunya, Hok Peng Taisu. Ilmu silat ini dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu kuning yang runcing. Sepasang bambu runcing ini pendek saja hingga
merupakan siangkiam atau sepasang pedang yang aneh karena terbuat dari bambu biasa dan tidak tajam, ujungnya runcing. Biarpun hanya sepasang bambu runcing kering, akan tetapi senjata ini hebatnya tidak kalah dengan senjata-senjata lain yang terbuat dari besi atau baja.
Hok Peng Taisu telah menggunakan waktu bertahun-tahun untuk mencipta ilmu silat ini hingga di waktu mencipta, ia telah memasukkan segala kemungkinan menghadapi senjata lawan yang bagaimanapun.
Kemudian ia telah merantau puluhan tahun di waktu mudanya tanpa dapat menemukan
tandingan yang dapat merobohkan ilmu silatnya ini. Setelah ia mengundurkan diri dan bertapa, ia bahkan memperdalam lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan cita-cita untuk menurunkannya pada seorang murid yang berbakat dan baik. Dan pilihannya jatuh kepada Ma Hoa secara tak terduga dan kebetulan sekali. Ma Hoa sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu pedangnya Hai-liong Kiamsut lihai sekali, dan oleh karena ginkangnya sudah cukup tinggi maka kini ia dapat mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak banyak susah lagi.
Setelah mempelajari ilmu silat yang aneh itu selama tiga bulan, maka ia telah dapat mainkan dua batang bambu runcing itu dengan sempurna dan hanya tinggal melatih dan
mematangkannya saja. Oleh karena maklum bahwa muridnya ini amat menguatirkan keadaan Kwee An, Hok Peng Taisu tidak menahannya ketika Ma Hoa menyatakan keinginannya untuk turun gunung dan mencari kekasihnya. Kakek ini hanya memesan agar Ma Hoa berhati-hati dan jangan lupa untuk sewaktu-waktu mengunjunginya.
Ma Hoa langsung menuju ke bukit tempat tinggal Yousuf oleh karena ia merasa pasti bahwa kalau Kwee An tertolong dari bahaya maut dan masih hidup, tentu pemuda itu akan kembali ke tempat tinggal orang Turki itu. Akan tetapi, alangkah kecewanya dan cemas hatinya ketika Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
418 tiba di tempat itu ia melihat rumah Yousuf telah menjadi tumpukan puing dan keadaan di situ sunyi sekali. Dengan cepat Ma Hoa lalu turun dari bukit, dan menemui penduduk dusun yang kini telah berangsur-angsur kembali lagi ke rumah masing-masing dan gadis itu mendapat keterangan tentang adanya penyerbuan rombongan orang Turki yang hendak menangkap Yousuf. Seperti juga Cin Hai, ia merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan dan sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Ketika ia mencari keterangan tentang Kwee An dan Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya, oleh karena memang Kwee An tak pernah datang ke tempat itu, sedangkan ketika Cin Hai datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.
Bukan main bingung hati Ma Hoa, karena tidak saja ia tidak tahu akan nasib Kwee An, bahkan kini ia tidak tahu pula bagaimana keadaan kawan-kawan lain dan di mana mereka sekarang berada. Maka ia lalu meninggalkan tempat itu dan setelah memeriksa tempat di mana ia dan Kwee An terjatuh dari tebing, ia lalu turun gunung dan mengambil keputusan hendak mencari Kwee An di sekitar gunung ini.
Setelah bermalam di dalam gua, pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh terasa panas sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat yang hebat juga. Ia menderita sakit dan agaknya keadaan gua yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah mendatangkan demam
kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam gua itu dan selama tiga hari panas tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena panasnya. Keadaannya berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga ia tidak dapat makan sesuatu.
Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya mengurang dan ia dapat menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut gua. Ia melihat tetumbuhan kecil di mulut gua itu dan oleh karena ia merasa lapar sekali, ia mengambil daun-daun muda dan memakannya!
Demikianlah, ia hidup dengan sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam gua itu, hanya makan akar-akar pohon dan daun-daun yang berada di dekat gua. Setelah tubuhnya menjadi kuat kembali, barulah ia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar pohon dan menginjak batu-batu karang yang menonjol, berdaya keluar dari tempat tahanan alam ini!
Setelah ia dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan keadaan lereng gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar dan tanpa ia sadari ia telah tiba di bagian utara gunung itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Ia juga tidak ingat lagi bahwa ia telah berada di gua itu selama tiga bulan lebih!
Kwee An lalu memasuki sebuah hutan yang terdekat dan mencari buah-buah yang banyak tumbuh dari pohon-pohon besar di situ, dan makanlah ia sepuas dan sekenyangnya.
Akan tetapi, baru saja ia turun dari pohon, tiba-tiba dari hutan muncul serombongan orang yang segera datang mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini berpakaian aneh, setengah pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh den wajah mereka bagus dan tiada banyak bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa Mongol. Mereka ini adalah sekelompok sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa Mongol. Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han dan Mongol dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan. Kwee An merasa terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis yang bagus dan panjang dan dilingkarkan ke atas.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
419 Akan tetapi mereka semua mencukur habis jenggot mereka, bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot, hanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis pula!
Rombongan orang berkumis melintang ini mengepung Kwee An sambil mengajaknya
bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.
"Apakah yang kalian kehendaki" Aku tidak mengerti," kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan mengangkat pundak. Betapapun juga, ia melihat sikap mereka bukan seperti orang-orang liar yang hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.
Tiba-tiba seorang di antara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis yang hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han campuran yang kaku.
"Siapakah kau dan darimana kau datang?"
Kwee An merasa girang sekali. Ia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab, "Sukur sekali kau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku datang ke sini bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan siapakah kalian ini?"
Dengan sukar sekali kakek ini menjawab. "Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami dan sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan orang Han, maka kami merasa heran sekali dapat bertemu dengan kau di sini."
"Mengapa kalian mengurungku?" tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.
"Kau harus ikut kami menghadap kepada pemimpin kami di dalam hutan."
Biarpun tidak merasa keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee An tidak senang juga karena ia seakan-akan hendak dipaksa dan dijadikan tawanan pula, apa perlunya ia harus menghadap pimpinan mereka" Adapun orang-orang yang mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan ia adalah seorang yang lucu. Ia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan kepada hidungnya hingga diam-diam Kwee An merasa heran dan beberapa kali ia menggunakan ujung lengan baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan hidungnya, ia tidak tahu bahwa para pemuda berkumis panjang itu
memandangnya dengan tertawa-tawa karena geli melihat ia tidak berkumis sama sekali!
Bagi mereka, melihat seorang pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau tak berkumis atau kera tak berbulu! Seorang di antara mereka, yang berwajah tampan dan mempunyai kumis kecil panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima belas tahun, bahkan maju mendekatinya dan sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An, ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya. Semua orang tertawa mendengar ucapan pemuda tanggung ini dan biarpun tidak mengerti bahasa mereka, namun Kwee An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
420 "Tidak, aku tidak mau pergi menghadap pemimpinmu!" kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.
Orang tua itu melangkah mundur dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya memberi tahu kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tidak mau
menghadap kepala mereka. Tiba-tiba sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan ketika tangan mereka bergerak, mereka semua telah mencabut golok kecil dengan tangan kiri dan melepaskan sebuah cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap mereka mengancam sekali.
"Eh, eh, apakah kalian hendak memaksaku?" tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah mencabut keluar sebatang cambuk panjang berwarna merah dan sebuah golok kecil yang tajam sekali.
Kakek itu mengangguk. "Kalau kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan memaksamu. Setiap orang yang lewat di sini, harus menghadap kepada pemimpin kami oleh karena daerah ini menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau mencoba untuk melawan, anak muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan kami!"
Tiba-tiba, anak muda belasan tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An sambil memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali, menyambar-nyambar di atas dengan ganasnya hingga diam-diam Kwee An menjadi terkejut dan juga kagum. Tak mudah menggerakkan cambuk seperti itu kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat merupakan senjata yang berbahaya!
"Siapakah anak ini dan apa kehendaknya?" tanya Kwee An kepada kakek itu. Orang tua itu berkata dengan suara dingin. "Dia adalah putera pemimpin kami yang merasa tidak puas melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia
menantang kau untuk mengadu cambuk!"
"Mengadu cambuk" Apa artinya itu?"
"Ini adalah semacam adu kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang
mengadu kepandaian memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh dipergunakan untuk menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu digunakan untuk mencoba membabat putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya dapat
putus berarti kalah. Apabila keduanya dapat menjaga hingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa yang terbanyak mendapat luka cambukan, ia kalah."
Kwee An mengangguk-angguk dan ia memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum. Sikapnya memang gagah sekali, tubuhnya kuat, sepasang matanya menyinarkan keberanian besar, sedangkan kedua tengan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.
"Aku terima tantangannya," kata Kwee An dengan wajah berseri karena ia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian anak muda yang tampan itu. Ketika kakek itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah lagi. Kalau tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan bergembira, karena Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
421 mereka memang menghargai kegagahan dan melihat bahwa Kwee An berani melawan
pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu, mereka merasa kagum! Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan memberi tempat yang cukup luas untuk kedua orang yang hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjarnan sebatang cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.
Sebetulnya Kwee An tidak gentar untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong, akan tetapi oleh karena ia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua senjata itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja. Tentu saja sikapnya ini menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, cara memegang kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya. Menurut teori mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan memutuskan cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk bersilat.
Pemuda tanggung itu tiba-tiba berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya hendak mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda dan memandang tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba
berbunyi keras dan berkelebat menyambar ke arah lehernya. Kwee An mengelak cepat sambil merendahkan tubuhnya, akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar lehernya adalah bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang itu tiba-tiba dapat bergerak ke arah dadanya. Inilah tenaga lweekang yang dapat menggerakkan cambuk itu pada ujungnya seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga dan cepat ia mengelak lagi dengan lompatan cepat ke samping.
Ia terlepas dari pada serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa heran, melihat cara Kwee An mempertahankan diri. Memang, mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari serangan dan biasanya apabila diserang, mereka menggunakan golok di tangan kiri untuk menangkis dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Hingga ilmu cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan dan ketepatan menangkis dengan golok.
Gerakan Kwee An yang cepat itu membuat mereka terherah-heran, akan tetapi ketika pemuda itu menyerang terus bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil
memperdengarkan suara keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan ginkangnya berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua orang menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak melihat lagi tubuh Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan. Bahkan kakek tua itu pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.
Tiba-tiba pemuda tanggung itu menghentikan serangannya dan dengan muka merah karena penasaran dan marah, ia bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang.
Kakek itu lalu berkata dari tempat duduknya, "Ia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan cara bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh, sedangkan permainan ini sama sekali bukan berkelahi, hanya mengadu kepandaian.
Sekarang kaupilih, hendak berkelahi mengadu jiwa atau hendak bertanding mengadu
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
422 kepandaian" Kalau hendak bertanding, kau harus membalas dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!"
Kwee An terkejut. Tanpa disengaja ia telah melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia lalu berkata, "Baiklah, aku akan membalas dengan serangan cambuk. Aku akan merampas cambuk dari tangannya!"
Ketika kakek itu memberitahukan hal ini kepada pemuda itu, ia lalu tersenyum senang dan mulai menyerang lagi. Kini Kwee An tidak mau mempergunakan ginkangnya lagi, dan ketika cambuk lawan menyambar, ia pun lalu menggerakkan cambuk di tangannya dan
menggerakkan tenaga lweekangnya hingga cambuknya lalu membelit cambuk lawan. Ketika ia berseru keras dan membetot, tak tertahan lagi pemuda tanggung itu berteriak kaget dan terlepaslah cambuk itu dari tangannya.
"Nah, aku menang, karena cambuknya telah dapat kurampas!" kata Kwee An kepada kakek itu yang duduk memandang cara tadi dengan mata terbelalak heran. Juga semua orang, termasuk pemuda tanggung itu, merasa heran sekali. Bagaimana cambuk dapat dipakai untuk merampas senjata demikian mudahnya" Akan tetapi, pemuda itu melangkah maju dan
kembali mengeluarkan kata-kata keras dengan muka penasaran. Setelah ia habis berkata-kata, terdengar semua orang yang duduk mengelilingi mereka itu tertawa bergelak.
"Ada apa lagi?" tanya Kwee An kepada kakek yang menjadi juru bahasa itu. Kakek itu pun tersenyum geli mendengar kata-kata anak muda tadi. "Ia bilang bahwa laki-laki tanpa kumis memang seperti seorang perempuan yang berhati lemah. Ia menganggap kau tidak tahan melihat darah seperti seorang perempuan, dan karena kau tidak berkumis, maka tentu saja kau berhati curang dan mempergunakan ilmu sihir yang jahat untuk mengalahkannya. Ia tidak merasa kalah karena selain cambuknya tidak putus oleh golokmu, ia pun tidak mendapat luka satu pun dari cambukmu, ia menantangmu bertanding secara laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!"
Merahlah muka Kwee An mendengar ini. Ia lalu melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada pemuda tadi, dan setelah berseru keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya yang disabetkan ke arah pinggang pemuda itu! Pemuda itu berseru gembira dan mengangkat golok, dengan membabat keras dan cepat sekali dengan maksud memutuskan cambuk Kwee An
yang berarti bahwa ia akan memperoleh kemenangan! Kwee An terkejut juga melihat gerakan golok itu oleh karena ternyata ketika menangkis pemuda tanggung itu mempergunakan gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu! Ia maklum bahwa sabetan golok itu berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya, maka ia menggerakkan tangannya dan cambuk memutar kembali lalu menyerampang kedua kaki pemuda itu dengan gerakan cepat oleh karena ia mengira bahwa pemuda itu tentu tidak memiliki ilmu ginkang hingga lemah pada pergerakan kaki dan kegesitannya. Akan tetapi ia kecele karena dengan cepat, pemuda itu melompat ke atas dan dari atas cambuknya menyambar ke arah kepala Kwee An! Kembali Kwee An
terkejut. Gerakan melompat tadi adalah gerakan ilmu silat bernama Ikan Melompati Ombak!
Maka ia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi dan menerjang dengan cambuknya yang diputar cepat sekali mengurung tubuh itu! Pemuda tanggung itu makin gembira nampaknya dan melawan dengan hebat dan ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu kepandaian bermain cambuk dari pemuda ini benar-benar lihai! Kini para penonton bersorak dengan gembira sekali, karena mereka kini menyaksikan pertandingan main cambuk yang benar-benar hebat dan ramai!
Bahkan kakek tadi mengeluarkan sebuah huncwe (pipa tembakau) yang pendek, lalu
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
423 mengepulkan asap dari huncwenya dan ia duduk menonton dengan asyiknya seakan-akan yang sedang berlangsung di depannya adalah pertunjukan yang amat indah menarik!
Betapapun pandai permainan cambuk anak muda itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee An tidak perlu menggunakan goloknya, karena cambuknya cukup digunakan untuk menangkis, sedangkan tiap kali pemuda itu menyabet cambuknya, dengan mengerahkan lweekangnya, Kwee An dapat membuat cambuknya menjadi lemas, licin kuat hingga ketika beradu dengan mata golok, cambuknya hanya terpental saja dan tak dapat diputuskan! Ia mulai mengirim cambukan dan mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja. Bukan main
herannya semua penonton ketika melihat betapa tiap kali Kwee An mengayun cambuk, selalu ujung cambuknya mengenai punggung lawannya! Juga pemuda tanggung itu merasa heran dan penasaran karena tidak ia sangka sama sekali bahwa pemuda asing tanpa kumis ini ternyata seorang jago cambuk yang luar biasa! Ia adalah seorang jago yang nomor satu di antara para pemuda dan telah lama dikagumi, tak nyana bahwa sekarang ia menjadi korban cambuk seorang pemuda tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas! Maka ia menjadi marah dan penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walaupun bajunya di bagian punggung telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An! Memang Kwee An tidak
bermaksud melukai pemuda itu hingga tiap kali cambuknya mengenai sasaran, ia selalu menyimpan tenaga dan tidak membuat kulit lawan menjadi terluka, hanya merobek-robek bajunya saja.
Tadinya Kwee An bermaksud agar supaya pemuda itu menginsafi kelemahannya dan suka mengaku kalah, akan tetapi setelah melihat betapa pemuda itu bahkan mendesak makin nekad, ia menjadi penasaran juga. Ia mulai menambah tenaga pada ujung cambuknya dan pecahlah kulit punggung pemuda itu terkena ujung cambuk. Darah mengalir membasahi bajunya yang sudah sobek. Alangkah heran hati Kwee An ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah itu, seakan-akan menyaksikan peristiwa yang menggembirakan dan yang menambahkan keindahan pada pertandingan itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan yang membuat kulit punggung lawannya penuh dengan darah karena kulit itu terpukul pecah. Sungguhpun Kwee An tidak bermaksud melukainya terlalu dalam, namun seharusnya cambukan-cambukan itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, bukan
menyerah, bahkan pemuda itu menjadi makin nekad dan menyerang makin hebat!
Kwee An menjadi kewalahan juga. Melihat dari sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para penonton yang menjadi gembira, ia maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini tentu mengambil keputusan hendak melawan sampai darahnya habis atau sampai tidak kuat lagi, sedangkan para penonton makin merasa gembira saja. Ketika ia mengerling dan memandang ke arah kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun sedang menonton sambil mengepul-ngepulkan asap huncwenya, seakan-akan menikmati pemandangan yang menyenangkan hati!
Maka Kwee An lalu mendapat akal. Ia mulai mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat warisan Hek Mo-ko. Tubuhnya berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak
mengelilingi pemuda itu yang menjadi pening dan kabur matanya. Tiba-tiba, tanpa terlihat orang lain, Kwee An mengulurkan jari tangan dan dengan tepat sekali menotok jalan darah thian-hu-hiat hingga pemuda itu roboh dengan lemas tanpa dapat bergerak lagi!
Melihat pemuda itu roboh dengan lemas semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu telah lelah dan terlalu banyak mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan semua orang lalu menolongnya! Kwee An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi ketika ia mengangkat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
424 pundak pemuda itu, ia menekan dengan jarinya hingga totokannya tadi dapat dilenyapkan, hingga kesehatan pemuda itu pulih kembali. Pemuda itu hanya memandang dengan heran dan kagum, lalu tiba-tiba ia berdiri, memeluk leher Kwee An dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari persahabatan dan kekaguman, hingga tadinya Kwee An merasa heran sekali. Akan tetapi setelah ia mendapat keterangan dari kakek itu, ia merasa lega dan senang. Semua orang tiada habisnya memuji dan mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An mendapat julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak" Pemuda tanggung itu adalah putera pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak muda di situ, sekarang Kwee An dapat mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali pun!
Kini semua orang bukan memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An untuk menemui pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya, maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu. Kedatangan mereka disambut oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua orang laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang melintang dan dipilin ke atas, membuat mereka nampak gagah dan keren! Akan tetapi yang membuatnya benar-benar tidak mengerti adalah bahwa anak-anak muda yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis macam itu! Ketika melihat seorang anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee An tidak terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan tetapi ketika ia mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu! Hanya kakek juru bahasa tadi saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia berkata, "Semua kumis yang kami pakai adalah kumis tulen, kumis yahg tumbuh dengan sewajarnya dari kulit!"
"Tapi... tapi anak kecil itu... usianya baru sebelas tahun!" kata Kwee An dengan heran sekali.
Kakek itu tertawa. "Mengapa tidak" Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak laki-laki yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan upacara tumbuh kumis, yaitu dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa dan di atas bibirnya lalu digosok dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti yang kaulihat pada anak tadi."
Baru mengerti Kwee An setelah mendengar penuturan ini. Pantas semua orang memelihara kumis. Yang lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul.
Mereka ini rata-rata berkulit halus putih dan biarpun potongan muka hampir sama dengan orang-orang Han, namun mata mereka lebar-lebar dan bagus. Akan tetapi ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang kecil dan berderet rapi itu berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee An mengeluh menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi hitam!
Ia dibawa menghadap pada seorang Haimi yang bertubuh tinggi besar dan yang mempunyai kumis indah dan panjang sekali. Matanya lebar berpengaruh, usianya belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun. Ketika melihat Kwee An, ia lalu turun dari tempat duduknya dan menyambutnya dengan ramah,
"Sahabat, kunjungan seorang Han merupakan kehormatan besar sekali bagi kami!"
Bukan main dan herannya hati Kwee An mendengar betapa pemimpin Haimi ini dapat bicara bahasa Han dengan amat baiknya! Ia lalu menjura dan berkata girang,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
425 "Akulah yang mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan orang-orang gagah bangsa Haimi, dan girang sekali hatiku karena ternyata bahwa selain kakek itu kau pun pandai berbahasa Han!"
Tempat di mana Kwee An disambut oleh kepala suku bangsa Haimi itu adalah sebuah
pondok yang cukup besar terbuat dari pada kayu-kayu hutan. Pada saat itu, dari ruang dalam muncul seorang wanita muda dan ketika Kwee An memandang, ia menjadi kagum. Dara ini cantik sekali, terutama sepasang matanya yang lebar dan indah. Dengan gerakan lemah lembut dan tanpa sungkan-sungkan lagi, dara muda itu mengambil tempat duduk di dekat pemimpin itu dan memandang Kwee An dengan sinar mata kagum, memandang dengan
langsung tanpa malu-malu seperti biasa kelakuan gadis-gadis bangsanya sendiri! Oleh karena dipandang secara demikian itu, Kwee Anlah yang merasa malu dan sungkan!
"Ini adalah puteriku yang bernama Meilani," kata pemimpin itu kepada Kwee An dan gadis itu tersenyum kepadanya. Kembali datang rasa kecewa dalam hati pemuda itu ketika melihat betapa senyum manis dikacau oleh cahaya gigi yang hitam berkilau itu. Mengapa orang merusak gigi yang bagus itu"
Pemuda yang tadi dikalahkan oleh Kwee An, lalu menghampiri ayahnya dan menuturkan tentang pertandingan tadi kepada ayahnya dengan menggerak-gerakkan tangannya. Ia memandang kepada Kwee An dengan kagum dan agaknya ia memuji-muji kepandaian Kwee An karena Kwee An melihat betapa pemimpin itu memandangnya dengan mata terbelalak, sedangkan Meilani bahkan lalu berdiri dari tempat duduknya dan menghampirinya sambil memandangnya penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, seperti seorang memeriksa dan menaksir-naksir benda yang indah menarik! Kwee An tidak berani bergerak ketika didekati oleh dara ini dan ketika gadis ini mendekatinya ia mencium keharuman yang ganjil, seperti bau bunga mawar!
Ketika Kwee An mengerling ternyata ruang yang luas itu telah penuh orang-orang, laki-laki dan wanita, serta kanak-kanak yang kesemuanya memandangnya dengan kagum! Dikelilingi oleh sekian banyak laki-laki berkumis sedangkan ia sendiri tidak, dan sekian banyak wanita-wanita cantik yang bergigi hitam, ia merasa seakan-akan ia berada di dunia lain!
"Anak muda, ketahuilah bahwa aku adalah Sanoko, pemimpin rombongan bangsaku yang terdiri dari dua ratus jiwa lebih. Meilani adalah puteriku dan pemuda yang kaukalahkan tadi adalah puteraku. Kau siapakah dan di mana kau mempelajari ilmu cambuk yang hebat hingga telah mengalahkan puteraku?" pertanyaan ini diajukan dengan mata memandang kagum.
"Aku bernama Kwee An, tentang ilmu cambuk itu, sesungguhnya aku belum pernah
mempelajarinya. Hanya sedikit ilmu silat bangsaku pernah kupelajari hingga aku dapat mempertahankan diri terhadap serangan cambuk puteramu."
Tiba-tiba gadis yang bernama Meilani itu lalu bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya merdu dan nyaring. Ayahnya tertawa bergelak, lalu bertanya kepada Kwee An, "Kwee-taihiap, apakah kau juga pandai bermain golok?" Mendengar bahwa kepala suku bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebut taihiap (pendekar besar), Kwee An merasa sungkan juga, maka sambil merendah ia menjawab,
"Aku pernah mempelajari sedikit ilmu pedang, akan tetapi sayang sekali pedangku itu telah hilang di jalan."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
426 Ketika Sanoko menterjemahkan ucapan Kwee An kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis itu berlari masuk ke dalam rumah dan keluar pula sambil membawa sebatang pedang yang terbungkus kain kuning. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Kwee An yang ketika menerima dan melihat pedang itu, menjadi terkejut sekali karena pedang itu bukan pedang sembarangan, akan tetapi sebuah pedang mustika yang ringan sekali dan tajam serta mengeluarkan cahaya kekuningan! Meilani lalu bicara kepada ayahnya yang menjelaskan pada Kwee An,
"Anakku Meilani dulu pernah menemukan golok dan pedang ini di dalam sebuah gua dan oleh karena kami tidak pernah mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit ilmu golok, maka pedang ini tidak ada yang dapat menggunakannya. Maka karena anakku juga pernah belajar main golok, ia sekarang minta supaya kau suka melawannya dengan pedang ini dan apabila kau dapat mengalahkannya, maka pedang ini dihadiahkan kepadamu!"
Bukan main girang hati Kwee An, oleh karena ia maklum bahwa ini benar-benar pedang yang ampuh dan tajam. Pada tempat dekat gagang ini melihat ukiran dua huruf "Oei Kang"
yang berarti "Baja Kuning". Akan tetapi, pada saat itu ia tidak sempat memperhatikan keadaan Oei-kang-kiam itu terlebih teliti lagi oleh karena ia merasa kaget mendengar bahwa dara cantik bergigi hitam itu mengajaknya pibu! Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu pun pandai ilmu golok. Ketika ia melihat golok itu, ia maklum pula bahwa golok itu pun terbuat daripada logam yang sama dengan pedangnya, karena mengeluarkan cahaya kekuningan.
Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Kwee An tidak menolak ditantang pibu, maka ia segera menjawab,
"Baik, hanya kuharap saja Nona Meilani akan berlaku murah hati kepadaku."
Setelah mendengar jawaban pemuda itu, Meilani lalu bertindak keluar dari pondok, diikuti oleh ayahnya dan adiknya. Kwee An juga keluar dari situ membawa pedang Oei-kang-kiam, dan semua orang lalu keluar pula dengan wajah berseri gembira, seakan-akan mereka hendak menghadiri pesta perayaan yang menarik hati.
Setelah berada di halaman pondok yang luas, Meilani lalu melompat dengan gerakan ringan dan lincah sambil membawa goloknya. Gadis ini lalu mempererat ikat pinggangnya, mengikat pula dua kuncir rambutnya lalu diselipkan di dalam baju di belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah dan cantik, ia berdiri menanti Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum manis menghias bibirnya.
Ketika melihat gerakan gadis yang melompat tadi, Kwee An merasa kagum juga karena Meilani ternyata memiliki gerakan yang gesit. Maka ia menjadi gembira juga dan sambil memegang pedang Oei-kang-kiam di tangan kanan, ia lalu membuat gerakan Naga Sakti Menembus Awan, melompat ke hadapan gadis itu. Ia telah melompat cepat dari tempat yang jauhnya kira-kira lima tombak, maka gerakannya ini disambut dengan tampik sorak oleh semua penonton yang secara cepat sekali mengelilingi tempat adu silat itu!
Melihat bahwa pemuda ini telah melompat di depannya, Meilani berseru nyaring yang maksudnya memberitahu bahwa ia hendak mulai menyerang. Ia menggerakkan goloknya, diputar-putar di atas kepala seperti gerakan orang Haimi bermain cambuk, kemudian tubuhnya menerjang dengan sebuah lompatan cepat dan golok itu menyambar ke arah leher Kwee An! Seperti juga pedang Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
427 tetapi ringan sekali hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya. Kwee An hendak mencoba pedangnya, maka ia lalu mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara nyaring dan ketika dua batang senjata itu beradu, dari pedang dan golok yang terbuat dari logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau. Meilani berseru kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam, hampir saja senjata itu terlepas dari pegangannya!
"Hebat sekali tenagamu!" katanya dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Kwee An, akan tetapi yang membuat para pendengarnya, terutama Sanoko, menjadi kagum, karena ia tahu bahwa puterinya itu telah diberi latihan tenaga dalam yang cukup tinggi maka dengan sekali tangkis saja membuat puterinya memuji, tentu pemuda tanpa kumis itu benar-benar lihai!
Meilani lalu memutar-mutar goloknya dan memainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di tangannya berubah menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung bagaikan gelombang menderu mengancam diri Kwee An, akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Hai-liong-koamsut yang dulu ia pelajari dari Nelayan Cengeng. Melihat betapa pemuda itu berkelebat cepat sekali seakan-akan menerobos di antara sinar goloknya dan kadang-kadang lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi terkejut sekali. Sedangkan semua penonton menjadi melongo keheranan melihat kehebatan ilmu sitat Kwee An dan pertandingan yang seru itu membuat mereka menahan napas dan lupa untuk bersorak. Sanoko juga merasa kagum sekali karena puterinya yang tadinya menggerakkan golok hendak mengurung, kini bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee An. Saking tegangnya, ia sampai berdiri dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh perhatian. Gerakan pedang Kwee An benar-benar merupakan seekor naga laut yang mengamuk hingga diam-diam ia mengakui bahwa belum pernah ia menyaksikan ilmu silat sedemikian lihainya.
Kwee An yang merasa gembira karena mendapatkan pedang yang baik sekali,
mendemonstrasikan ilmu pedangnya tanpa bermaksud melukai lawannya, hanya
mengurungnya dengan pedang saja. Kalau ia mau, dengan mudah saja ia dapat menjatuhkan Meilani, akan tetapi mana hatinya tega untuk melukai gadis cantik yang tidak bermaksud buruk terhadap dirinya itu. Dikurung oleh sinar pedang Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan pandangan matanya kabur. Tiba-tiba ia berseru keras dan segera tubuhnya melompat tinggi dan jauh. Ketika ia turun, ia berdiri memandang dengan wajah kemerah-merahan, kemudian setelah memandang dengan kagum kepada pemuda itu ia lalu melemparkan goloknya kepada Kwee An yang disambut dengan baik oleh tangan kiri Kwee An! Melihat hal ini, semua orang bersorak riang dan bahkan ada beberapa orang yang menghampiri Kwee An, memeluk dan menciumi pipinya hingga pemuda itu merasa geli
sekali karena merasa betapa kumis-kumis mereka itu seakan-akan mengitik-itiknya. Kakek yang dapat berbahasa Han itu pun menghampirinya dan menjura sambil berkata, "Kionghi, kionghi, (selamat, selamat)...!" Kwee An hanya menyangka bahwa kakek itu memberi selamat atas kemenangannya, maka alangkah terkejutnya ketika Sanoko datang
menghampirinya, memeluknya sambil berkata dengan suara yang penuh keharuan.
"Kwee An, puteriku telah memilih jodohnya dan aku merasa girang sekali mendapat seorang mantu seperti engkau!"
"Apa..." Apa maksudmu...?" Ia bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak heran.
"Meilani telah memberikan goloknya dan kau telah menerimanya dengan baik, masih
bertanya apa lagi" Harap kau berlaku seperti seorang laki-laki sejati dan jangan berpura-pura atau malu-malu. Upacara pernikahan dilakukan besok pagi dan sementara itu, kau boleh Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
428 mengadakan persiapan dan dibantu oleh pamanku ini!" kata Sanoko sambil menunjuk kepada kakek penghisap huncwe yang ternyata adalah pamannya sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dengan tindakan kaki gagah.
Kwee An berdiri bagaikan sebuah patung dan ketika kakek itu menariknya menuju ke sebuah pondok tak berjauhan dari tempat itu, Kwee An segera bertanya, "Lopek, apakah maksudnya ini semua?"
"Barangkali kau tidak tahu, anak muda. Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa apabila seorang gadis memberikan goloknya pada seorang pemuda dan pemberian itu diterimanya, maka itu berarti bahwa mereka telah mengikat diri menjadi jodoh masing-masing. Tadi Meilani telah memberikan goloknya kepadamu dan kau telah menerimanya, maka berarti bahwa kau adalah jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan bahagia oleh karena Meilani adalah gadis tercantik di antara bangsa kami dan telah banyak pemuda yang merindukannya.
Selain berkepandaian tinggi dan menjadi puteri kepala kami, dia juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kaulihatkah betapa cantik jelitanya dia?" Pucatlah wajah Kwee An mendengar ini. "Tapi" tapi" bukan maksudku untuk menerimanya sebagai" sebagai"
jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu. Ia melemparkan goloknya kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tangan. Lopek tolonglah aku karena aku sungguh-sungguh tak dapat menerima perjodohan ini!"
Wajah kakek itu berubah tak senang. "Mengapa begitu" Apakah dia kurang cantik" Anak muda, ingatlah bahwa di seluruh daerah ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang gadis seperti Meilani. Dia telah memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tidak patut karena tidak berkumis, semata-mata karena ia kagum melihat kelihaian ilmu pedangmu. Sanoko juga telah menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak. Penolakanmu ini akan berarti
penghinaan kepada kami seluruh suku bangsa Haimi dan tentu kau akan dikeroyok dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa penolakanmu ini hanya terdengar olehku yang masih dapat berpikir panjang, kalau terdengar oleh orang lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan dibunuh!"
Bukan main terkejut hati Kwee An mendengar ini. Ia segera berdiri dan sambil menyerahkan kembali golok Meilani kepada kakek itu, ia lalu berkata, "Lopek, kau kembalikan golok ini dan sampaikan salam serta hormatku kepada Sanoko, serta penyesalan dan maafku kepada Meilani, karena kalau memang demikian halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan timbul hal-hal yang tidak diinginkan."
Akan tetapi begitu menerima kembali golok baja kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri dengan sikap mengancam. "Tidak bisa, anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini hanya akan membuat Meilani malu sekali dan pasti ia akan membunuh diri, sesuai dengan adat kami. Dan karena ini, sebagai paman kakek gadis itu, aku takkan membiarkan kau pergi! Kau baru bisa meninggalkan tempat ini setelah melewati mayatku!"
"Jangan, Lopek, biarkan aku pergi!" kata Kwee An dengan gugup akan tetapi, kakek itu lalu menyerangnya dengan golok di tangan! Penyerangannya hebat sekali, jauh lebih lihai daripada gerakan golok Meilani, hingga Kwee An terpaksa mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Mo-ko. Dan sekali tubuhnya berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu telah terampas olehnya!
"Kau benar-benar lihai, nah, kaubunuhlah dulu aku sebelum pergi dari sini!"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
429 Lemaslah tubuh Kwee An. Ia merasa bingung sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu membunuh diri karena ia tinggal pergi, ia merasa tidak tega sekali. Maka ia lalu memandang kakek itu dengan mata mengandung permintaan tolong.
"Kakek, aku... tidak dapat melukaimu. Kalian telah berlaku amat baik kepadaku, begitu ramah tamah, bagaimana aku sampai hati mendatangkan malapetaka" Akan tetapi,
perkawinan itu sungguh-sungguh tak mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku telah mempunyai seorang tunangan. Aku tidak bisa kawin dengan gadis lain."
Mendengar ini, kakek itu berpikir keras. "Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi seorang pemuda untuk mempunyai dua orang isteri, sungguhpun hal itu jarang sekali terjadi.
Aku maklum akan penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang yang baik budi. Baiknya diatur begini saja, yang terpenting bagi seorang gadis kami ialah upacara pernikahan. Apabila upacara itu telah dilangsungkan, kau tidak berhalangan untuk meninggalkan isterimu walaupun tidak menjadi isteri dalam arti sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau itu benar-benar kau kehendaki dan Meilani hanya akan merasa malu dan membunuh diri. Dengan demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan tidak menghina Meilani."
"Akan tetapi, Lopek, tentu Meilani akan memandang aku sebagai seorang laki-laki berhati rendah dan seakan-akan menipunya kalau setelah melakukan upacara pernikahan aku lalu pergi meninggalkannya!" Kwee An membantah.
"Jangan kuatir, sebelum upacara dilangsungkan malam ini juga aku akan memberitahukan kepadanya bahwa kau menjalankan upacara hanya untuk melindungi mukanya dari perasaan rendah dan malu, dan bahwa kau tidak mungkin menjadi suaminya karena kau telah
mempunyai calon istri lain."
Kwee An memegang tangan kakek itu dengan pernyataan terima kasihnya karena ia anggap itu adalah cara terbaik. Malam itu, lima orang gadis yang berwajah manis-manis dan bergigi hitam mengkilap, menyerbu masuk ke kamarnya di pondok kakek itu. Sambil tertawa-tawa dan bicara tidak karuan karena tidak dimengerti oleh Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri Kwee An. Ada yang memegang tangannya dan menarik-nariknya, ada yang memegang
kepalanya, dan ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di bawah hidungnya. Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan ia lalu memberontak dan melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!
"Eh, eh, kalian pergilah! Keluar dari kamar ini! Apakah kalian gila dan hendak
menggangguku?" katanya dengan keras dan mata terbelalak. Akan tetapi oleh karena kelima orang gadis itu tidak mengerti ucapannya, mereka hanya tertawa saja dan menghampirinya kembali! Kwee An lari ke sana ke mari di dalam kamarnya, akan tetapi dikejar-kejar oleh para gadis itu sambil tertawa-tawa! Karena merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan tak lama kemudian, datanglah kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk melihat apakah yang terjadi di situ. Melihat betapa Kwee An telah melompat ke atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut sambil memandang lima orang gadis yang mengurungnya dengan mata terbelalak bagaikan seekor tikus melihat lima ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu tertawa bergelak! Girang sekali hati Kwee An melihat kedatangan kakek itu dan ia lalu melompat turun dan lari ke belakang tubuh kakek tadi.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
430 "Lopek, tolonglah aku. Mereka ini apakah tiba-tiba menjadi gila?"
"Ini termasuk upacara perayaan pernikahan yang akan dilangsungkan besok. Mereka datang untuk menggodamu dan untuk menggosok hidungmu dengan obat penumbuh kumis!"
"Apa?" Kwee An berseru sambil menutupi hidungnya dengan tangan kanan, seakan merasa ngeri sekali bahwa hidungnya tadi telah terkena obat itu dan tumbuh kumis! "Aku tidak mau...
aku tidak mau, Lopek. Usirlah mereka keluar!" Sedangkan di dalam hatinya, Kwee An berkata, "Alangkah akan kagetnya Ma Hoa kalau ia kelak melihat aku berkumis panjang menjungat ke atas!"
Kakek itu lalu mengucapkan perkataan kepada para gadis itu yang lalu pergi sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi ketika mereka memandang Kwee An, mereka merasa kecewa sekali! Kwee An menghela napas panjang karena lega hatinya melihat gadis-gadis itu sudah pergi.
"Bagaimana Lopek, apakah kau memberi tahu dan berterus terang kepada Meilani?"
Kakek itu mengangguk dengan muka sedih.
"Dan marahkah dia kepadaku?"
"Tidak, tidak marah. Hanya kecewa dan berduka. Kau... kau memang kejam."
"Eh, mengapa kau berkata demikian, Lopek" Pernikahan ini terjadi karena salah sangka dan bukan terjadi atas kehendakku. Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan hanya untuk menolong dia."
Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali menghela napas. "Alangkah baiknya kalau kau benar-benar menjadi suami Meilani dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaianmu lihai sekali dan kau dapat kami harapkan untuk membantu kami mengusir para pengganggu kami, keparat-keparat Mongol itu!"
Tergerak hati Kwee An melihat wajah kakek yang telah keriputan itu nampak sedih sekali.
"Lopek, untuk membantu kalian, tak perlu aku harus menjadi keluarga saja. Kalau memang terdapat kesulitan dan aku bisa membantu, pasti aku akan membantu sekuat tenaga.
Katakanlah, apakah yang telah terjadi dan apa pula yang diperbuat oleh orang-orang Mongol kepada bangsamu?"
Setelah menghela napas berulang-ulang kakek itu bercerita, "Bangsa kami, yaitu suku bangsa Haimi, adalah yang besar dan memiliki kebudayaan tinggi. Akan tetapi, oleh karena kami merupakan bangsa perantau dan tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka inilah yang merupakan kelemahan kami. Selama beberapa tahun ini, kami selalu mendapat pukulan dan gangguan dari bangsa Mongol yang memperluas daerah kekuasaan mereka. Banyak anggota keluarga kami dibinasakan, wanita diculik, dan harta benda kami dirampas! Hinaan-hinaan ini terpaksa kami terima dengan cucuran air mata dan dengan helaan napas, karena kami tidak berdaya.
Makin banyak kami melakukan perlawanan, makin banyak jatuh korban di pihak kami
hingga makin lama makin kecillah jumlah keluarga kami, oleh karena pihak Mongol memang jauh lebih kuat daripada kami. Telah lama kami mengimpikan datangnya bintang penolong, Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
431 dan setelah kini kau datang, maka besarlah harapanku dan harapan Sanoko bahwa kaulah orangnya yang dapat menolong kami membalas dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir mereka kalau berani datang mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku yang buruk... kau bahkan mengecewakan kami, menghancurkan hati puteri kami yang
bernasib malang..."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, dari kedua mata kakek itu mengalirlah beberapa butir air mata! Kwee An merasa terharu sekali dan ia segera memegang lengan kakek itu.
"Lopek, jangan kau kuatir. Aku bersumpah bahwa aku akan mengusir dan menghajar orang-orang Mongol yang berani mengganggu kalian. Tunjukkan di mana mereka berada, akan kudatangi dan kuhajar mereka!" kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat hingga kakek itu dapat tersenyum lagi.
"Hal itu mudah, nanti kalau upacara perkawinan sudah dilanjutkan akan kutunjukkan padamu di mana keparat-keparat itu berada."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakek itu telah memberi sesetel pakaian Haimi yang indah kepada Kwee An, lengkap dengan ikat kepala yang lebar. "Pakailah ini, hanya untuk memenuhi syarat upacara adat."
Agar jangan melukai perasaan kakek itu dan semua orang, terpaksa Kwee An lalu
mengenakan pakaian itu.
"Ah, kau memang gagah sekali. Kalau kau membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi pemuda yang paling tampan di antara kami dan kau akan menjadi suami yang cocok sekali bagi Meilani! Sayang... sayang..." kata kakek itu sambil memandang dengan kagum.
Kemudian sambil menabuh kendang dan tambur, serombongan anak gadis "mengambil"
pengantin laki-laki dan diiringkan menuju ke pondok pengantin perempuan. Ketika kedua mempelai dipertemukan, Kwee An melihat betapa wajah "isterinya" itu basah dengan air mata dan diam-diam ia lalu menghela napas panjang dan terkenanglah ia kepada Ma Hoa. Ah, alangkah baiknya kalau yang menjadi mempelai wanita itu Ma Hoa.
Seorang pendeta Haimi membaca doa-doa dalam bahasa Haimi, akan tetapi dari cara-cara ia membaca doa, tahulah Kwee An bahwa upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha yang telah berubah, disesuaikan dengan kepercayaan nenek moyang mereka.
Kwee An harus mengakui kecantikan Meilani yang benar-benar jelita itu, hanya kalau mengingat gigi yang dihitamkan itu, ia merasa sayang sekali. Pada saat upacara dilakukan, tiba-tiba seorang pemuda Haimi datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan sesuatu kepada Sanoko. Mendengar laporan ini, ributlah orang-orang yang berada di situ. Bahkan Meilani lalu membuka penutup mukanya dan segera mengambil goloknya yang telah dikembalikan oleh Kwee An.
"Apakah yang telah terjadi?" Kwee An bertanya kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan mengatur orang-orangnya yang telah berkumpul dengan senjata di tangan.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
432 "Seorang Perwira Mongol yang kosen dan yang sering mengganggu kami telah datang
dengan seorang kawannya. Dia telah menculik dua orang gadis dan membunuh tiga orang pemuda kami!"


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keparat!" Kwee An memaki sambil mencabut Oei-kang-kiam "Hayo tunjukkan di mana ia berada!"
"Kami hendak mengeroyoknya, karena kepandaiannya tinggi sekali!" kata Sanoko dengan ragu-ragu.
"Jangan kuatir, biar aku yang menghadapinya!" Maka semua orang lalu mengiringkan pemuda itu, berlari keluar dari hutan.
Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat yang dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis yang diculik itu telah tertolong oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua orang jahat itu sedang bertempur melawan seorang gadis yang gagah perkasa. Hampir saja Kwee An
menjerit karena girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang pengacau yang dimaksudkan itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Sedangkan gadis berambut riap-riapan yang cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu runcing dengan hebatnya melawan kedua orang kosen itu, bukan lain ialah Ma Hoa sendiri!!
"Hoa-moi...!" Kwee An berseru dan ia segera menerjang maju pedangnya.
Ketika Ma Hoa memandang, ia terbelalak heran melihat kekasihnya berada di tempat itu dan mengenakan pakaian yang aneh itu.
"Koko mari kita gempur bangsat-bangsat ini dan membalas dendam!" katanya sambil
mengerjakan kedua batang bambu runcingnya dengan hebat dan luar biasa. Biarpun merasa heran sekali melihat betapa kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh secara lihai itu, namun Kwee An tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio yang bersenjata sebatang pedang pula karena kewalahan menghadapi Ma Hoa dengan tangan kosong saja.
Melihat munculnya Kwee An, Ke Ce menjadi jerih karena ia maklum bahwa setelah kini gadis itu memiliki ilmu silat yang demikian lihainya, maka ditambah dengan bantuan Kwee An yang juga lihai sekali, tak mungkin pihaknya akan memperoleh kemenangan. Apalagi ia melihat bahwa serombongan besar orang-orang Haimi dengan golok mereka di tangan juga ikut datang pula. Orang Mongol yang licik ini lalu berseru keras dan segera melompat pergi dengan maksud melarikan diri. Akan tetapi, Ma Hoa tentu saja tidak mau melepaskannya.
Sambil berseru nyaring, dara itu lalu melompat ke atas sebuah batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar turun dengan kedua bambu runcing di tangan, bagaikan seekor burung rajawali menyambar korbannya. Ke Ce menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba dari atas terdengar bentakan Ma Hoa yang halus tapi nyaring,
"Bangsat keji hendak lari ke mana?"
Ke Ce menengok ke belakang dan mempercepat larinya oleh karena tadi ia telah merasa betapa lihai sepasang bambu runcing di tangan gadis ini hingga ia merasa percuma saja untuk melawan terus. Ia hendak mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melarikan diri, akan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
433 tetapi Ma Hoa mengejar sambil berlompatan hingga sebentar saja ia sudah melompati kepala Ke Ce dan berdiri menghadang di depan pemuda Mongol itu!
"Kalau mau lari, hanya boleh lari ke neraka untuk menerima hukuman!" kata lagi Ma Hoa sambil mengirim tusukan dengan bambu runcingnya, yang kiri ke arah lawan, sedangkan yang kanan ke arah jalan darah di dada! Ke Ce terkejut sekali melihat betapa ginkang gadis ini sudah sedemikian sempurnanya dan terlebih kaget lagi ketika ia menghadapi serangan berbahaya itu. Ia membuang diri ke kiri, bergulingan di atas tanah sampai beberapa kaki jauhnya lalu melompat berdiri dan cepat menggerakkan kedua tangannya hendak mengirim pukulan Angin Topan yang hebat! Akan tetapi Ma Hoa sudah siap menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat ia dan Kwee An terjungkal ke dalam jurang itu, maka sambil berseru keras ia melompat ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya bergerak. Bambu runcing di tangan kanannya lalu meluncur melebihi anak panah terlepas dari busur cepatnya dan sebelum Ke Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di tangan kirinya meluncur menyusul bambu pertama! Cep, cep! Kedua bambu runcing itu menancap di tubuh Ke Ce, sebatang di tengah dada dan sebatang lagi di lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuh pada saat itu juga!
Terdengar sorak sorai riuh rendah dari orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh besar mereka itu binasa! Ma Hoa segera menghampiri tubuh Ke Ce, mencabut keluar dua bambu runcingnya dan membersihkan ujung bambu itu pada pakaian lawannya. Kemudian ia
menghampiri rombongan orang Haimi yang menyambutnya dengan berlutut. Ma Hoa
mendekati Meilani dan mengangkat bangun gadis yang cantik itu, akan tetapi ketika ia bertanya, gadis itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis itu hanya menunjuk ke arah Kwee An dan Ma Hoa menengok.
Ternyata bahwa Kwee An sedang bertempur hebat melawan Bo Lang Hwesio. Kepandaian Bo Lang Hwesio benar-benar lihai, karena biarpun Kwee An telah mengeluarkan Ilmu Pedang Hai-liong-kiamsut, namun hwesio itu dapat menahan serangannya dengan baik dan bahkan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya! Kwee An lalu mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Mo-ko, dan sambil mainkan ilmu silat ini dengan tangan kiri, barulah ia dapat mengimbangi desakan Bo Lang Hwesio. Namun, dalam lweekang ia masih kalah setingkat hingga tiap kali pedang mereka bertemu, Kwee An merasa betapa tangannya gemetar! Untungnya ia memegang pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau ia memegang pedang biasa tentu pedangnya akan dapat dipatahkan oleh pedang Bo Lang Hwesio yang selain merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi itu.
Melihat ini, Ma Hoa berseru, "An-ko, jangan kuatir, aku membantumu!" Tubuh gadis ini berkelebat dan segera kedua batang bambu runcingnya menyerang dengan hebat sekali. Bo Lang Hwesio harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, karena baru menghadapi Kwee An seorang saja biarpun ia tidak akan kalah akan tetapi sudah amat sukar merobohkan anak muda itu, kini ditambah dengan permainan bambu runcing Ma Hoa dalam gerakan Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa, ia menjadi sibuk sekali!
Dengan perlahan akan tetapi tentu, Ma Hoa dan Kwee An mendesak hwesio itu hingga keringat dingin mulai mengucur keluar dari jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa gembira sekali oleh karena ia mendapat kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma Hoa amat lihai.
Sedangkan Bo Lang Hwesio amat gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai ini. Dia pun amat heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena ia teringat bahwa yang Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
434 memiliki limu Silat Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti yang bernama Hok Peng Taisu! Mengapa tiba-tiba gadis ini dapat memiliki ilmu kepandaian ini"
Ketika Ma Hoa mendesak makin hebat, akhirnya ujung bambu di tangan kirinya berhasil menusuk pundak Bo Lang Hwesio yang berteriak kesakitan oleh karena biarpun ia memiliki lweekang yang membuat kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja ujung bambu yang tajam itu telah melukainya. Sambil berseru hebat ia memutar pedangnya dan ketika kedua lawannya mengelak, ia lalu melompat ke belakang dengan cepat dan kabur dari tempat itu. Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi Kwee An mencegahnya dan berkata,
"Yang mencelakai kita dulu adalah Ke Ce. Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!"
Ma Hoa dan Kwee An berdiri saling pandang dan sekarang setelah musuh pergi, mereka saling pandang dengan perasaan terharu sekali. Tak terasa lagi dari mata mereka mengalir air mata karena girang dan terharu, seakan-akan melihat kekasihnya baru bangkit dari lubang kuburan! Bagaikan ditarik oleh tenaga mujijat, keduanya saling rangkul sambil berbisik,
"Koko..."
"Moi-moi... serasa dalam mimpi dapat berjumpa dengan kau lagi..."
"Koko..." kata Ma Hoa setelah melepaskan diri dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah tapi bibir tersenyum, "kau... kelihatan lucu sekali! Dari mana kauperoleh pakaian seperti itu?"
"Untung saja kau tidak melihat aku berkumis seperti mereka itu!" kata Kwee An sambil menahan ketawanya. Ma Hoa heran mendengar ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari menghampiri mereka, dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh karena ia tidak tahu bahwa Ma Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda ini. Hati Meilani terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh mati dan terlampau bangga karena betapapun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil mengusir musuh itu adalah "suaminya".
"Engko An, siapakah gadis manis ini?"
"Dia adalah isterinya, lihiap!" kata Sanoko, "dan aku adalah pemimpin suku bangsa Haimi, juga menjadi ayah mertua Kwee An!"
Bukan main terkejut hati Ma Hoa mendengar keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada Kwee An dengan wajah pucat. Kwee An memegang tangan Ma Hoa dan berkata,
"Tenanglah, Moi-moi, hal ini memerlukan penjelasan!" Kemudian ia berkata kepada Sanoko dengan suara tegas,
"Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah mendengar keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah bahwa Nona ini adalah tunanganku yang kuceritakan itu!"
Karena di situ terdapat banyak orang orang Haimi, biarpun mereka tidak mengerti
percakapan mereka, namun Kwee An merasa tidak enak karena kalau sampai terjadi salah paham, maka Ma Hoa tentu akan marah sekali dan Meilani akan tersinggung, maka ia lalu memberi isyarat kepada Sanoko dan kakek penghisap huncwe untuk ikut bicara di tempat Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
435 yang agak jauh dari mereka. Meilani hanya memandang dengan heran dan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak berani ikut bicara mencampuri pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa Han yang tidak dimengertinya.
"Lopek, sekarang harap kau suka ceritakan hal ini terus terang kepada tunanganku, agar tidak sampai terjadi salah paham," kata Kwee An kepada kakek itu setelah mereka berada jauh dari rombongan itu.
"Lihiap, kata-kata Kwee-taihiap ini memang benar. Biarpun ia terpaksa menjalankan upacara pernikahan dengan Meilani, akan tetapi itu hanya untuk menjaga kehormatan puteri kami itu saja, dan Kwee-taihiap tadinya juga berkeras menolak, akan tetapi akhirnya menyetujui untuk melakukan upacara pernikahan berdasarkan menolong gadis itu." Maka dengan panjang lebar kakek itu lalu menuturkan bagaimana telah terjadi kesalahpahaman ketika Kwee An
menerima golok dari Meilani, dan betapa kalau pemuda itu tidak memenuhi kebiasaan adat mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri karena malu. Ma Hoa mendengarkan semua ini dengan terharu. Tadinya ia marah sekali, akan tetapi setelah tahu akan duduknya perkara, ia merasa kasihan sekali kepada Meilani.
"An-ko, kalau kau memang suka kepada gadis itu, kawinlah dengan dia dan jangan
kaupikirkan aku lagi!"
"Eh, eh, Moi-moi, mengapa kau berkata demikian" Selain dengan kau aku tidak mau kawin dengan wanita lain! Setelah mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga merasa cemburu kepadaku?"
"Bukan cemburu, akan tetapi aku merasa kasihan sekali kepada Meilani!" Kemudian Ma Hoa lalu bertindak menghampiri Meilani dan memeluknya. Biarpun Meilani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi oleh karena ia sudah mendengar dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa menjadi suaminya karena telah bertunangan dengan seorang gadis Han, maka ia dapat juga menduga. Ketika melihat hubungan antara Ma Hoa dengan Kwee An, ia dapat menduga pula bahwa gadis inilah tentu yang menjadi tunangan Kwee An dan ia tidak hanya kagum akan kelihaian Ma Hoa, akan tetapi juga kagum melihat kecantikannya, hingga ia merasa bahwa memang gadis itu lebih cocok menjadi calon isteri Kwee An. Ketika Ma Hoa memeluknya, ia hanya dapat mengalirkan air mata saja.
Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa oleh karena ternyata bahwa "gadis saingan" puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan lebih membunuh bangsanya! Maka ketika kedua orang muda itu berpamit, ia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih. Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur. Sedangkan semua orang Haimi ketika melihat Kwee An meninggalkan "isterinya"
yang baru saja menikah dengannya, merasa tidak puas, akan tetapi mereka tidak berani banyak bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.
Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan ketika mendengar dari Ma Hoa bahwa gadis itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali. Sebaliknya, ketika Kwee An
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
436 menceritakan betapa ia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam gua dalam keadaan menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.
"Koko," katanya di tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku membikin hitam gigiku."
Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sesungguhnya aku merasa ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"
Ma Hoa tertawa. "Kalau kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"
"Betapapun juga, mereka adalah orang-orang baik. Bangsa Haimi itu dan nasib mereka buruk sekali. Moi-moi, biarlah kita jangan bicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah, ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"
"Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya.
Sebelum bertemu dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di Kansu pemandangannya amat indah dan disana terdapat gua-gua kuno yang
terkenal. Kalau hendak mendengar tentang Lin-lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?"
Bagi Kwee An, jangankan harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biarpun harus ke neraka sekalipun, kalau bersama Ma Hoa, ia akan pergi dengan senang hati.
"Dugaanmu ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula," katanya.
Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia. Dalam menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia. Siapa yang pernah melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta, dan mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu, yang terasa hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu! Pendeknya, Ma Hoa dan Kwee An melakukan perjalanan dengan hati penuh
kebahagiaan dan kegembiraan. Apalagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang belum pernah mereka kunjungi hingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.
Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
437 Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera memandang wajah kekasihnya yang tiba-tiba berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat. Sepasang mata gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur dengan terbelalak penuh keheranan dan nampaknya terkejut sekali bagaikan melihat setan di tengah hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan dua orang yang bertempur itu tiba-tiba ia pun memandang dengan mulut celangap.
Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan,
"Koko... apakah kau juga melihat apa yang kulihat?"
Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran". heran".. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar dia ?"
Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa oleh karena ternyata bahwa "gadis saingan" puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan lebih membunuh bangsanya! Maka ketika kedua orang muda itu berpamit, ia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih. Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur. Sedangkan semua orang Haimi ketika melihat Kwee An meninggalkan "isterinya"
yang baru saja menikah dengannya, merasa tidak puas, akan tetapi mereka tidak berani banyak bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.
Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan ketika mendengar dari Ma Hoa bahwa gadis itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali. Sebaliknya, ketika Kwee An
menceritakan betapa ia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam gua dalam keadaan menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.
"Koko," katanya di tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku membikin hitam gigiku."
Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sesungguhnya aku merasa ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"
Ma Hoa tertawa. "Kalau kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"
"Betapapun juga, mereka adalah orang-orang baik. Bangsa Haimi itu dan nasib mereka buruk sekali. Moi-moi, biarlah kita jangan bicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah, ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"
"Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya.
Sebelum bertemu dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
438 bahwa di Kansu pemandangannya amat indah dan disana terdapat gua-gua kuno yang
terkenal. Kalau hendak mendengar tentang Lin-lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?"
Bagi Kwee An, jangankan harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biarpun harus ke neraka sekalipun, kalau bersama Ma Hoa, ia akan pergi dengan senang hati.
"Dugaanmu ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula," katanya.
Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia. Dalam menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia. Siapa yang pernah melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta, dan mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu, yang terasa hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu! Pendeknya, Ma Hoa dan Kwee An melakukan perjalanan dengan hati penuh
kebahagiaan dan kegembiraan. Apalagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang belum pernah mereka kunjungi hingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.
Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.
Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera memandang wajah kekasihnya yang tiba-tiba berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat. Sepasang mata gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur dengan terbelalak penuh keheranan dan nampaknya terkejut sekali bagaikan melihat setan di tengah hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan dua orang yang bertempur itu tiba-tiba ia pun memandang dengan mulut celangap.
Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan,
"Koko... apakah kau juga melihat apa yang kulihat?"
Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran". heran".. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar dia ?"
"Siapa lagi " Biarpun lupa akan wajah dan bentuk badannya, aku takkan melupakan gerakan dan ilmu silatnya. Dia benar-benar Enci Im Giok!"
"Mari kita membantunya!?" kata Kwee An, akan tetapi Ma Hoa menjawab,
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
439 "Jangan dulu! Enci Im Giok paling tidak suka dibantu apabila keadaannya tidak terdesak.
Lihat, dia sedang mendesak lawannya, dan dua orang pendeta yang menonton itu. Mereka entah kawan atau lawan. Baiknya kita menonton sambil bersembunyi, melihat gelagat."
Keduanya lalu mengintai dari balik pohon. Ternyata bahwa yang bertempur itu adalah seorang nenek tua yang mengerikan. Tubuhnya bongkok karena punggungnya tinggi dan di situ terdapat daging yang menonjol, merupakan punggung onta, rambutnya digelung dan diikat dengan saputangan bersulam yang kecil. Telinganya memakai anting-anting yang besar melingkar. Nenek itu sedang bertempur dengan tangan kosong menghadapi seorang dara jelita berpakaian merah yang memegang pedang. Nona ini cantik sekali dan sekali pandang saja orang yang telah pernah melihatnya tak akan ragu-ragu lagi bahwa dia ini bukan lain ialah Ang I Niocu! Kalau gerakan Ang I Niocu indah menarik dan gesit sekali hingga nampaknya seperti tengah menari dengan pedangnya, gerakan nenek itu tidak kalah hebatnya. Tubuh nenek itu berlompatan ke atas sambil menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman tangan yang jari-jarinya ditekuk bagaikan cakar burung garuda! Di dekat tempat pertempuran itu, dua orang kakek berdiri menonton dengan tertarik. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi besar, berjubah hitam panjang dan kepalanya ditutup dengan sebuah sorban. Kakek ke dua adalah seorang tosu yang mukanya penuh cambang bauk.
Pada saat itu, Ang I Niocu sedang mendesak hebat dengan ilmu pedangnya. Kalau gerakan nenek itu boleh diumpamakan sebagai seekor garuda yang ganas menyambar-nyambar
korbannya, Ang I Niocu merupakan seekor burung merah yang indah dan luar biasa gesitnya.
Nenek itu ternyata selain memiliki ginkang yang tinggi dan sempurna, juga memiliki tenaga dalam yang hebat karena selain serangan mencengkeram yang mirip dengan Ilmu Silat Eng-jiauw-kang dari ahli silat Tiongkok Selatan, juga kadang-kadang ia mengirim pukulan-pukulan yang anginnya saja membuat rambut Ang I Niocu berkibar dan awut-awutan! Akan tetapi, pedang Ang I Niocu amat lihainya, sinar pedangnya dapat mendesak terus hingga nenek itu terpaksa berkelahi sambil mundur. Ketika nenek itu mundur dan melompat ke atas sebuah batu karang, Ang I Niocu membabat dengan pedangnya ke arah kaki lawannya dengan gerakan Bidadari Menyebar Bunga hingga hampir saja kaki nenek itu terbabat. Akan tetapi, dengan cepat sekali nenek itu melompat ke atas sambil mengeluarkan teriakan keras, dan ketika tubuhnya masih berada di atas, tiba-tiba kedua tangannya digerakkan dan
berhamburanlah hancuran batu menyerang ke arah Ang I Niocu! Ternyata bahwa ketika nenek itu meloncat ke atas batu karang, kedua tangannya mencengkeram batu karang hingga hancur di dalam kedua tangannya dan kini ia menggunakan hancuran batu karang itu untuk menyerang Ang I Niocu! Hancuran batu karang yang menjadi kerikil kecil-kecil ini tidak boleh dipandang ringan, oleh karena tenaga lemparannya yang disertai tenaga khikang ini membuat batu-batu kecil itu dapat menembus kulit dan daging, dan setiap potongan kecil merupakan sebuah senjata rahasia yang lihai!
Akan tetapi Ang I Niocu yang berkepandaian tinggi tidak gentar menghadapi serangan hebat ini. Dengan tenang ia lalu memutar pedangnya hingga tubuhnya seakan-akan terlindung oleh dinding baja dan semua potongan batu kecil itu dapat terpukul jatuh. Kembali mereka bertempur seru, masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaian yang paling tinggi. Biarpun Ang I Niocu selalu mendesak, namun agaknya tidak mudah menjatuhkan nenek yang lihai itu.
Sebelum kita maju lebih lanjut dengan cerita ini, sebaliknya kita mengikuti dulu pengalaman Ang I Niocu semenjak ia berada di Pulau Kim-san-to, oleh karena pembaca tentu merasa heran bagaimana Ang I Niocu bisa muncul di sini sedangkan dulu ia berada di Pulau Kim-Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
440 san-to ketika pulau itu terbakar dan meledak" Baiklah kita mundur sejenak agar selanjutnya cerita ini dapat diikuti dengan lancar.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu mendahului Cin Hai untuk pergi ke Pulau Kim-san-to mencari Lin Lin. Dengan nekat Gadis Baju Merah itu naik ke atas puncak untuk mencari Lin Lin, akan tetapi bukan Lin Lin yang ia jumpai, bahkan ia melihat pemandangan yang amat mengerikan, yaitu seluruh danau di bukit itu terbakar merupakan neraka yang dahsyat. Ia melihat bayangan Vayami bagaikan sedang meiambai-lambai
memanggilnya dari tengah lautan api itu, maka dengan hati ngeri sekali Ang I Niocu mencari-cari Lin Lin, berlari ke sana ke mari dan suaranya sampai serak karena terus-menerus ia memanggil,
"Lin Lin". Lin Lin".! Di mana kau?""
Ketika ia sedang berlari menubruk sana menubruk sini memanggil-manggil Lin Lin seperti orang gila, tiba-tiba sebuah letusan hebat terdengar dan daya tenaga raksasa yang keluar dari ledakan itu membuat tubuh Ang I Niocu terlempar ke atas udara. Biarpun semangat Ang I Niocu seakan-akan terbang keluar dari tubuhnya karena kehebatan ledakan itu, namun ia masih sempat berteriak lagi memanggil, "Lin Lin". Lin Lin". Hai-ji". " Kemudian pingsan selagi tubuhhya masih melayang di udara! Memang mati atau hidup seseorang berada sepenuhnya dalam kekuasaan dan tangan Yang Maha kuasa. Kalau Tuhan menghendaki,
seorang yang telah berada di mulut harimau masih akan dapat tertolong dan hidup, sedangkan seorang segar bugar dapat tiba-tiba mati. Hal ini harus diakui oleh semua orang karena banyak terjadi bukti-bukti akan kekuasaan yang besar ini. Tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi dalam tangan Tuhan!
Demikianpun dengan nasib Ang I Niocu. Agaknya Tuhan belum menghendaki dia terbebas dari hidup di dunia, maka tubuhnya terlempar ke udara tanpa terluka. Hal ini memang tidak begitu aneh oleh karena dapat diketahui sebab-sebabnya. Kalau sekiranya Ang I Niocu tidak berada terlalu dekat dengan bukit yang meledak itu, seperti halnya para tentara Turki dan tentara kerajaan yang terbasmi habis seluruhnya, tentu Dara Baju Merah itupun akan tewas juga, termakan oleh api dan minyak panas. Akan tetapi ketika ledakan terjadi, tubuh Ang I Niocu berada dekat sekali hingga sebelum api dapat membakar tubuhnya, hawa ledakan yang luar biasa kerasnya itu telah membuat tubuhnya terlempar ke udara! Karena hebatnya tekanan ledakan itu, pakaiannya yang merah sampai terobek ke sana ke mari dan potongannya terlempar lalu melayang-layang terbawa angin yang didatangkan oleh ledakan hingga sepotong dari pakaian ini kemudian ditemukan oleh Cin Hai di atas laut.
Biarpun pada saat ia terlempar ke udara, Ang I Niocu terhindar dari bahaya api yang mengamuk, akan tetapi ia masih belum terlepas dari bahaya maut sama sekali, oleh karena ia telah menjadi pingsan dan kalau ia jatuh kembali, maka tubuhnya tentu akan hancur dan dimakan api! Namun, memang Tuhan belum menghendaki kematiannya maka kembali Yang Maha Kuasa memperlihatkan kekuasaanNya lagi.
Di antara semua mahluk hidup yang berada di atas Pulau Kim-san-to ketika ledakan terjadi, selain Ang I Niocu yang selamat, masih ada lagi yang lain, yaitu Sin-kim-tiauw atau rajawali sakti berbulu emas. Kebetulan sekali pada waktu ledakan terjadi, burung rajawali ini sedang terbang tinggi di atas pulau karena ia merasa terkejut melihat sekian banyak orang sedang berperang di atas pulaunya yang biasanya sunyi dan tenteram itu. Ia terbang berputar-putar di atas sambil berteriak-teriak marah, karena perasaannya memberitahukannya bahwa orang-Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
441 orang yang demikian banyaknya itu bukanlah orang baik-baik. Ia hendak mengamuk dan menyerang, akan tetapi tidak berani dan merasa takut menghadapi sekian banyaknya orang, maka kini ia hanya terbang tinggi sambil memekik-mekik marah.
Ketika terjadi ledakan, Sin-kim- tiauw terkejut sekali dan sambil menyambar-nyambar ke bawah dengan marah, ia menjadi bingung dan takut melihat api berkobar hebat membakar pulaunya. Kemudian, tiba-tiba ia melihat tubuh seorang yang berpakaian merah melayang ke udara dengan kecepatan luar biasa. Tadinya burung itu merasa terkejut dan takut, oleh karena belum pernah ia melihat orang yang dapat terbang! Tentu ilmu kepandaiannya lihai sekali, pikirnya. Maka ia hanya terbang mengelilingi dan tidak berani menyerang, sungguhpun ia merasa marah sekali. Akan tetapi, ketika Ang I Niocu menjadi pingsan dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuh itu mulai melayang lagi jatuh ke bawah, Sin-kim-tiauw lalu menyambar dan mencengkeramnya. Perlu diketahui bahwa Sin-kim-tiauw bukanlah burung liar sembarangan saja, akan tetapi adalah burung peliharaan yang telah dilatih oleh Bu Pun Su dan adik seperguruannya Han Le, hingga burung ini telah dapat membawa apa saja dalam cengkeramannya tanpa melukai. Maka ketika ia mencengkeram tubuh Ang I Niocu yang pingsan, ia tidak melukai tubuh itu, hanya membawanya terbang menuju ke timur dengan cepat sambil berteriak-teriak girang seperti biasa kalau ia menang berkelahi!
Burung rajawali yang besar itu membawa tubuh Ang I Niocu terus ke timur lalu membelok ka arah tenggara, dan selama itu Ang I Niocu masih saja pingsan tak sadarkan diri karena ledakan hebat itu benar-benar telah mengguncang jantungnya sedangkan perasaan kuatir dan takut membuat semangatnva seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya.
Burung rajawali itu terbang terus dan setelah berputar-putar tinggi di atas pulau yang banyak terdapat di permukaan Laut Tiongkok, lalu menyambar turun ke atas sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon hijau. Ketika ia telah terbang rendah di alas pulau itu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit keras dan Sin-kim-tiauw segera terbang ke arah suara suitan itu.
"Eh, Kim-tiauw, siapakah yang kau bawa itu?" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan seorang laki-laki keluar dari sebuah gua memandang kepada Kim-tiauw yang terbang rendah itu. "Lepaskan dia!" teriaknya dan Sin-kim-tiauw dengan taat lalu melepaskan tubuh Ang I Niocu dari cengkeraman kakinya. Tubuh Dara Baju Merah itu melayang ke bawah dan
dengan gerakan cepat, laki-laki itu lalu menyambut tubuhnya. Merahlah muka laki-laki itu melihat betapa Ang I Niocu hampir tak berpakaian lagi karena pakaiannya yang merah telah robek di sana-sini oleh hawa ledakan tadi! Cepat-cepat laki-laki itu menanggalkan mantelnya menyelimuti tubuh yang segera dibawanya masuk ke dalam gua dan diletakkannya di atas tanah yang bertilamkan rumput-rumput kering. Dengan hati-hati laki-laki itu lalu memeriksa nadi pergelangan tangan Ang I Niocu lalu ia menarik napas lega. Dari sudut gua ia mengambil bungkusan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kulit buah labu yang telah dikeringkan dan yang digunakan sebagai tempat air. Ternyata bahwa isinya bukanlah air biasa, akan tetapi sari buah-buahan yang mengandung khasiat menguatkan tubuh dan mendatangkan ketenangan pada hati. Dengari hati- hati, ia lalu membuka bibir dan mulut Ang I Niocu dengan tangan kanan dan menuangkan sedikit isi tempat air itu ke dalam mulut gadis itu. Kemudian, setelah menyimpan tempat air ke dalam bungkusannya kembali, ia lalu berdiri memandang wajah dara itu dengan penuh perhatian lalu menarik napas panjang dan keluar dari gua.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
442 Burung rajawali melihat kedatangannya, lalu berjalan menghampiri sambil mengeluarkan keluhan panjang.
"Sin-kim-tiauw, dari manakah kau datang dan siapakah gadis itu" Aku mendengar suara ledakan keras dari arah Pulau Kim-san-to dan melihat api berkobar-kobar. Heran sekali, apakah yang telah terjadi?"
Kim-tiauw itu mengeluarkan keluhan keras dan aneh, lalu mengembangkan sayapnya dan memukul-mukul tanah, seakan-akan hendak menceritakan peristiwa hebat yang menimpa pulaunya, akan tetapi tentu saja laki-laki itu tidak mengerti sama sekali, hanya dia dapat menyangka bahwa tentu telah terjadi hal yang aneh sekali, karena tidak biasa Sin-kim-tiauw berlaku seaneh ini.
Siapakah laki-laki yang tinggal seorang diri di sebuah pulau kecil yang asing dan tiada berkawan ini" Ia adalah seorang laki-laki yang berwajah cukup tampan, berkening lebar dan sinar matanya tajam berkilat. Tubuhnya tegap dan sedang, dan usianya paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya terbuat dari pada bahan kasar berwarna biru dan sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Orang ini sebetulnya adalah seorang pendekar silat yang mengasingkan diri, seorang berilmu tinggi yang patah hati oleh karena kecewa melihat keadaan dunia yang penuh kepalsuan. Dulu ia tinggal di atas Pulau Kim-san-to, ikut belajar silat kepada suhunya yang bukan lain ialah Han Le atau sute dari Bu Pun Su! Mereka tinggal bertiga dengan seorang sutenya, karena Han Le mempunyai dua orang murid, yaitu laki-laki ini yang bernama Lie Kong Sian, dan seorang pemuda bernama Song Kun. Baik Lie Kong Sian maupun Song Kun, keduanya adalah anak-anak yatim piatu yang menjadi korban
keganasan tentara Mongol. Ayah bunda mereka telah tewas ketika tentara Mongol menyerbu dusun-dusun dan mereka berdua mendapat pertolongan dari Han Le yang lalu membawa mereka ke atas Pulau Kim-san-to dan mengangkat mereka menjadi murid.
Biarpun Lie Kong Sian mempunyai bakat baik sekali hingga ia dapat mewarisi kepandaian suhunya, namun ia masih kalah apabila dibandingkan dengan Song Kun yang memiliki bakat.
Luar biasa sekali. Bahkan Han Le sendiri pernah berkata kepada Lie Kong Sian yang dipercaya penuh dan disayangi seperti anak sendiri, "Muridku, kau lihat saja, Song Kun kelak akan memiliki ilmu kepandaian yang jarang mendapat tandingan oleh karena anak itu memiliki tulang dan bakat yang luar biasa. Dalam hal ilmu silat, bakat mempunyai pengaruh hebat sekali oleh karena biarpun ilmu silat yang dipelajarinya sama dengan yang kaupelajari, akan tetapi bakatnya dapat membuat ilmu silatnya menjadi lebih lihai dan hebat, karena mendapat tambahan sendiri oleh bakatnya yang baik. Akan tetapi ia masih amat muda, muridku, dan apabila aku telah tidak ada lagi di dunia ini, kaulah yang harus menjadi wakilku untuk menuntunnya ke arah jalan benar."
Bertahun-tahun kedua orang murid ini digembleng oleh Han Le di atas Pulau Kim-san-to, kemudian Han Le mengajak, kedua orang muridnya itu berkelana untuk mencari pengalaman di dunia ramai. Dan hal inilah yang kemudian membuat Song Kun berubah. Kelihatanlah watak aselinya ketika pemuda ini melihat benda-benda berharga dan hal- hal yang terjadi di dunia ramai. Ia mulai menjadi sesat dan pengaruh-pengaruh buruk menguasai hatinya. Sebuah di antara wataknya yang buruk ialah kesukaannya akan wanita cantik.
Baik Han Le maupun Lie Kong Sian mengetahui hal ini, maka setelah berkelana selama dua tahun, Han Le lalu mengajak Song Kun kembali ke Pulau Kim-san-to dan menyuruh Lie Kong Sian mengembara seorang diri untuk meluaskan pengalaman dan menjalankan
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
443 pekerjaan sebagai seorang pendekar yang harus menolong sesama hidup yang menderita kesukaran.
Diam-diam Song Kun merasa mendongkol sekali kepada suhunya, akan tetapi ia tidak berani menyatakan dengan terus terang, bahkan ia lalu dengan cerdiknya merubah sikap menjadi penurut dan berbakti sekali. Ia melayani suhunya dengan amat baiknya, bahkan ketika Bu Pun Su datang berkunjung ke pulau itu, ia dapat pula menipu kakek jembel ini hingga Bu Pun Su juga salah sangka dan memuji murid adik seperguruannya ini, lalu menurunkan semacam kepandaian ilmu silat kepada Song Kun. Di atas pulau itu, selain Song Kun dan gurunya, telah ada tiga ekor binatang sakti yang dulu dipelihara oleh Bu Pun Su, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas dan Harimau Bertanduk. Ketika dulu Bu Pun Su bertapa di pulau itu, ia memelihara ketiga ekor binatang ini dan kemudian meninggalkannya kepada Han Le yang tetap berdiam di pulau itu.
Selama Lie Kong sian pergi merantau, Song Kun dapat menipu suhunya dan membujuk
hingga Han Le lalu memberi pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Dan pada suatu hari, tanpa memberi tahu kepada suhunya, Song Kun minggat dari pulau itu! Han Le terkejut sekali dan mulailah ia merasa sedih dan jatuh sakit berat di atas pulau itu.
Kebetulan sekali Lie Kong Sian datang ke Pulau Kim-san-to untuk mengunjungi suhunya dan sutenya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat suhunya dalam keadaan sakit berat. Cepat-cepat ia menolong dan merawatnya, akan tetapi terlambat. Agaknya memang sudah menjadi takdir Han Le untuk meninggalkan dunia ini di pulau itu! Sebelum ia menutup mata, ia meninggalkan pesan kepada Lie Kong Sian.
"Muridku, kalau aku telah mati, kuburkanlah mayatku dalam gua ini, dan juga pedangku ini harus ikut di tanam pula, kemudian kau pergilah mencari sutemu Song Kun. Selidikilah keadaannya karena aku kuatir sekali kalau-kalau ia mencemarkan namaku dengan perbuatan rendah. Akan tetapi, kau berhati-hatilah menghadapinya, Kong Sian, karena ilmu silatnya hampir sempurna. Kalau kau perlu bantuan, kau carilah supekmu Bu Pun Su untuk membantu menangkapnya. Selain supekmu Bu Pun Su, kukira tidak ada orang lain yang akan dapat melawannya!"
Tak lama kemudian, setelah Lie Kong Sian memenuhi pesanan suhunya yang telah
meninggal, yaitu mengubur jenezah suhunya berikut pedangnya di dalam gua yang penuh pasir itu, lalu ia meninggalkan Pulau Kim-san-to. Ketiga ekor binatang sakti masih berdiam di pulau itu dengan sedih dan kesunyian.
Lie Kong Sian berhasil bertemu dengan sutenya, akan tetapi, biarpun ia melihat bahwa sutenya ini menyimpang dari perjalanan hidup yang benar, ia tidak tega untuk minta pertolongan Bu Pun Su. Semenjak kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat bersama sutenya ini hingga ia pandang Song Kun seperti adik sendiri yang amat ia kasihi, maka ketika ia melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi nasihat. Akan tetapi, benar sebagaimana dugaan suhunya, adiknya itu tidak mau menurut bahkan menantangnya hingga mereka lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang sama, akan tetapi Song Kun memiliki
kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya Lie Kong Sian dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.
Hal ini amat mendukakan hati Lie Kong Sian. Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega melihat adiknya terhukum, kalau didiamkan saja bagaimana. Maka dalam kebimbangan dan Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
444 keraguannya, ia lalu kembali ke Pulau Kim-san- to dan menangis di depan kuburan suhunya, mengakui akan kelemahannya. Kemudian ia lalu mengasingkan diri, bertapa di sebuah pulau kosong tak jauh dari Kim-san-to, sebuah pulau kecil yang disebut Pulau Pek-le-to. Seringkali Merak Sakti terbang ke pulau itu untuk mengunjunginya, dan juga beberapa kali Lie Kong Sian mendayung perahu kecil mengunjungi pulau di mana suhunya dimakamkan itu.
Demikianlah selama beberapa tahun bertapa di Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut penghidupan tenteram, sampai pada hari itu ia dikejutkan oleh ledakan yang datang dari arah Pulau Kim-san- to. Kemudian datang Sin-kim-tiauw yang membawa tubuh Ang I Niocu yang pingsan, maka tentu saja ia menjadi heran, akan tetapi kepada siapa ia harus bertanya" Setelah menepuk-nepuk punggung rajawali itu, Kong Sian kembali ke dalam gua.
Seperti tadi, ia berdiri memandang Ang I Niocu dan kembali ia merasa jantungnya berdebar aneh. Ia menjadi terkejut sekali oleh karena belum pernah selama hidupnya ia mendapat perasaan seperti ini, sungguhpun telah banyak ia jumpai wanita-wanita cantik selama ia merantau. Ia maklum pengaruh apa yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat ia segera membuang muka dan tidak mau memandang lagi. Akan tetapi oleh karena hatinya masih saja berdebar, ia lalu pergi ke sudut gua di mana terdapat sebuah batu besar yang ia tilami jerami kering di atasnya, lalu duduk dan bersamadhi untuk menenteramkan hatinya yang terguncang!
Tak lama kemudian, Kong Sian berhasil menekan perasaan hatinya yang bergelora itu, maka ia lalu turun dari atas batu dan menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya betapa wajah dara itu merah sekali dan pernapasannya sesak. Ia mengulurkan tangan meraba jidat gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa gadis itu terserang demam hebat. Maka cepat ia keluar dari gua dan mencari daun obat yang banyak tumbuh di atas pulau Pek-le-to, lalu memeras daun itu dan meminumkan airnya pada Ang I Niocu, kemudian dengan saputangan yang dibasahi air ia lalu mengompres kepala Ang I Niocu.
Kekagetan dan ketakutan yang menyerang Ang I Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa ledakan yang dahsyat itu, membuat gadis itu pingsan dan menderita sakit demam hebat selama tiga hari. Dan selama itu, dengan setia dan hati penuh iba Kong Sian menjaga di sampingnya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Akan tetapi selama tiga hari itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang biasa berhati teguh dan beriman baja itu harus pergi duduk untuk bersamadhi dan mengatur pernapasannya menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!
Pada hari ke empatnya, tubuh Ang I Niocu sudah mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan tetapi tubuhnya ternyata lemah sekali. Karena pergerakan yang gelisah itu, beberapa kali mantel yang menutupi tubuhnya terbuka dan dengan cepat dan sopan, Kong Sian lalu menutupkannya kembali. Kemudian ia lalu mengurut jalan darah gadis itu hingga Ang I Niocu merasa mendingan dan tidak begitu gelisah lagi, akan tetapi gadis itu masih belum membuka matanya. Sambil bergerak perlahan dengan mata tertutup ia berbisik.
"Lin Lin". Hai-ji"." Kemudian sambil mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan pada bibirnya ia berbisik lagi, "Air". air"."
Ketika Kong Sian meraba jidatnya, maka ternyata panasnya telah naik lagi. Kong Sian merasa kuatir sekali dan segera mengambil air yang telah dimatangkannya, lalu dengan sebuah sendok yang terbuat dari kayu, ia menyuapi air matang ke dalam mulut Ang I Niocu Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
445 yang menelannya dengan lahap sekali. Kong Sian lalu mengambil bubur gandum yang tadi di masaknya, lalu dengan perlahan ia menyuapkan bubur ini sesendok demi sesendok ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa membuka mata.
Setelah diberi makan bubur, gadis itu lalu tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong Sian tetap menjaga dengan perasaan penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah rasa cinta yang amat besar dan mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga puluh lima tahun ini.
Memang tadinya Kong Sian mengambil keputusan untuk tidak kawin selama hidupnya dan tinggal di pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat, dan ilmu pengobatan.
Akan tetapi semenjak pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam keadaan yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan ia merasa betapa hidup ini baginya menjadi berubah sama sekali. Sering kali ia duduk di dekat Ang I Niocu dan membayangkan betapa akan hancur hatinya dan kosong hidupnya apabila gadis ini meninggal dunia karena sakitnya.
Setelah dirawat dengan amat teliti dan telaten oleh Kong Sian selama dua hari dua malam dalam keadaan setengah sadar dan belum pernah selama itu Ang I Niocu membuka matanya, maka lenyaplah demam yang menyerangnya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan biarpun tubuhnya masih agak lemah, akan tetapi ia tidak gelisah lagi. Pada hari ke tujuh semenjak ia tiba di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua matanya bagaikan baru bangun dari alam mimpi yang dahsyat. Ia bangun sambil tersentak kaget dan begitu membuka mata, ia lalu bangun duduk sambil memanggil nyaring.
"Lin Lin". Hai-ji".. " dan cahaya kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang cantik.
Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia sedang duduk diatas setumpuk rumput kering di dalam sebuah gua dan melihat seorang laki-laki cakap duduk di dekatnya sambil memandangnya dengan kagum sekali karena setelah kini Ang I Niocu membuka matanya Kong Sian merasa seakan-akan ia melihat seorang bidadari yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!
Ang I Niocu meloncat ke atas karena kagetnya dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya, hingga Kong Sian juga buru-buru melompat ke belakang dan memutar tubuhnya
membelakangi gadis itu.
"Nona, pakailah mantel itu baik-baik, baru kita bicara!" katanya perlahan dan halus.
Sementara itu Ang I Niocu terkejut bukan main melihat betapa pakaiannya telah robek tidak karuan hingga ia hampir telanjang! Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia lalu menyambar mantel itu kembali dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu dengan ikat pinggangnya yang berwarna kuning emas. Setelah selesai, maka dengan mata bernyala ia lalu menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.
"Bangsat kurang ajar! Kau berani menghinaku?" serunya.
Mendengar sambaran angin pukulan, Kong Sian merasa terkejut sekali dan cepat ia mengelak sambil berkata,
"Eh, Nona, sabar dulu... aku... aku "."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
446 Biarpun merasa tubuhnya masih lemah, akan tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu tetap menyerang dengan hebat sambil mengeluarkan ilmu silatnya Kong-ciak Sian. Kong Sian merasa terkejut sekali oleh karena tentu saja ia mengenal ilmu silat dari suhunya ini, maka dengan heran ia lalu melayani Ang I Niocu dengan baik. Makin kagumlah ia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata lihai sekali dan biarpun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan lweekang gadis ini menyatakan bahwa ia menghadapi seorang pendekar wanita yang tak boleh dibuat gegabah. Ia pikir bahwa gerakan-gerakan ini membahayakan kesehatan gadis yang baru saja sembuh itu, maka dengan cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu dengan totokan- totokan luar biasa dan karena Ang I Niocu belum cepat gerakannya disebabkan tubuhnya yang masih lemah, pula oleh karena ilmu kepandaian silat Kong Sian memang masih lebih tinggi, maka sebentar saja pemuda itu berhasil menotok pundak Ang I Niocu yang segera mengeluh dan roboh dengan lemas!
Kong Sian segera mengangkat tubuh Ang I Niocu dan membawanya keluar gua di mana ia menaruh tubuh gadis itu di bawah sebatang pohon dan angin gunung yang sejuk membuat Ang I Niocu merasa nyaman sekali.
"Nona, banyak sekali hal yang perlu kita bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan bicaraku. Pertama-tama yang perlu kauketahui ialah kau sama sekali keliru menyangka padaku. Aku bukanlah orang jahat dan sama sekali aku tidak mempunyai maksud buruk terhadapmu. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang mengasingkan diri di pulau ini dan tujuh hari yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke mari sambil mencengkeram tubuhmu yang telah pingsan! Kemudian kau jatuh sakit tidak sadarkan diri sampai tujuh hari dan aku merawatmu di dalam gua itu!"
Mendengar ucapan ini, lenyaplah sinar marah dari mata Ang I Niocu danKong Sian lalu mengulur tangan memulihkan totokannya pada pundak gadis itu sambil berkata, "Biarlah, kalau kau tetap tidak percaya kepadaku, kauseranglah aku lagi, aku tak hendak membalas untuk menyatakan bahwa kata-kataku tadi benar belaka!"
Setelah sadar dari totokan, Ang I Niocu memandang dengan mata bengong dan ia tidak berkutik dari tempat duduk. Tubuhnya masih merasa lemah dan ia menyandarkan diri pada pohon itu.
"Benar-benar masih hidupkah aku?" tanyanya perlahan setengah berbisik, karena sekarang ia teringat betapa ia telah dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi.
Kong Sian tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak bersungguh-sungguh itu berubahlah setelah ia tersenyum. Sekarang ia tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira.
"Tentu saja kau masih hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini" Kau berada di Pulau Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya."
"Bagaimana seekor rajawali dapat membawaku ke sini?" Di mana burung itu?" tanya Ang I Niocu yang masih merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya kepada cerita yang aneh itu.
Lie Kong Sian lalu berdiri dan bersuit keras. Dari atas lalu terdengar suara balasan dari seekor burung dan tiba-tiba nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar turun dengan cepatnya. Setelah tiba dekat, ternyata yang melayang turun itu adalah seekor burung rajawali Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
447 besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada burung rajawali yang dulu menyambar-nyambarnya di atas perahu ketika ia masih mencari Pulau Kim-san-to di atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Akan tetapi rajawali ini lebih besar dan bulunya indah sekali. Sin-kim-tiauw terbang rendah lalu turun di depan Kong Sian, memandang kepada Ang I Niocu dengan sepasang matanya yang tajam sinarnya.
"Nah, inilah Sin-kim-tiauw yang membawamu ke sini. Sekarang akulah yang minta keterangan kepadamu bagaimana kau bisa terbawa oleh burung sakti ini."
"Aku". aku berada di Pulau Kim- san-to dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku terlempar ke udara oleh ledakan itu kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi. Agaknya ketika tubuhku melayang di udara dalam keadaan pingsan, burung sakti ini menyambar diriku dan membawanya ke sini. Kalau begitu, dia adalah penolong jiwaku!" Setelah berkata demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia berlutut di depan burung itu!
Kim-tiauw itu adalah seekor burung yang luar biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, ia agaknya tahu dan dengan keluhan panjang ia lalu menundukkan kepalanya dan membelai kepala Ang I Niocu dengan lehernya yang berbulu tebal. Kemudian, sambil memekik girang burung itu lalu terbang ke atas dan berputaran di udara seakan-akan merasa girang sekali bahwa ada orang yang berterima kasih dan berlutut padanya!
"Kau katakan tadi bahwa aku jatuh sakit dan tidak ingat diri sampai tujuh hari di sini?" tanya Ang I Niocu sambil menghadapi Kong Sian kembali. Mereka masih duduk di atas rumput, berhadapan.
Kong Sian mengangguk. "Ya, kau pingsan tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas sekali.
Kau terserang demam hebat dan tiap hari mengigau dalam keadaan tidak ingat orang.
Kemudian kau dapat bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas sekali dan sama sekali tidak membuka matamu. Aku telah merasa kuatir sekali dan sudah hampir habis harapanku untuk dapat melihat kau hidup lagi."
Ketika Kong Sian sedang bercerita, Ang I Niocu memandang dengan penuh keheranan.
Duduk berhadapan dengan Kong Sian dan mendengar suara orang ini bercerita tentang keadaannya, ia merasa seakan-akan ia telah menjadi kenalan lama, apa lagi ketika ia dapat menangkap nada suara yang penuh getaran karena terharu pada saat pemuda itu menceritakan kegelisahannya melihat dia sakit!
"Kalau begitu, selama tujuh hari aku menderita sakit" akan tetapi sungguh heran"
bagaimana aku masih dapat hidup".?"
Kong Sian merasa segan dan malu untuk menceritakan betapa ia merawat gadis ini selama sakit, maka ia hanya menjawab, "Thian itu adil dan selalu melindungi orang-orang baik, maka Thian telah melindungimu dari keadaan yang membahayakan jiwamu itu."
Ang I Niocu menggeleng kepalanya. "Betapapun juga, kalau dalam keadaan sakit aku tidak diberi obat dan selama tujuh hari tidak makan apa-apa, tidak mungkin aku akan dapat hidup!
Siapakah yang merawatku dan siapa yang memberi makan padaku?"
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
448 Merahlah wajah Kong Sian mendengar ini. Sikapnya menjadi canggung sekali dan suaranya menjadi gagap ketika ia menjawab, "Memang" aku telah" aku yang memberi obat padamu dan" dan melihat kau begitu lemah dan gelisah". aku memberi bubur gandum kepadamu."
Sinar terima kasih yang amat mendalam terbayang pada mata Ang I Niocu ketika mendengar ini, karena biarpun pemuda itu tidak menceritakannya, ia sudah dapat menduganya. Sikap ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa pemuda itu telah merawatnya, membuat
pandangannya terhadap pemuda itu semakin tinggi dan kagum sekali. Sikap ini menunjukkan betapa tinggi pribadi orang ini. Akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu teringat akan sesuatu dan sinar kemarahan tercampur keraguan membayang kembali pada wajahnya yang menjadi
makin memerah. "Dan... keadaan pakaianku ini"!" Ia lalu melompat berdiri lagi, kedua tangannya terkepal,
"katakanlah terus terang, apa yang terjadi dengan pakaianku" Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan mantel" Mantel siapakah ini?" Pertanyaan ini diucapkan dengan ketus dan marah oleh karena ia merasa bercuriga.
Kong Sian menarik napas panjang. "Nona, kalau saja bukan kau yang bersikap seperti ini dan menyangka yang bukan-bukan terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan menjadi marah sekali! Kaukira aku Lie Kong Sian ini orang macam apakah" Nona, kau boleh maki padaku, bahkan kau boleh menyerangku, akan tetapi janganlah sekali-kali kau menyangka aku berlaku rendah dan biadab terhadap dirimu! Ketika Sin-kim-tiauw datang membawamu ke sini, pakaianmu sudah robek semua dan tidak keruan macamnya, maka lalu aku menyelimutimu dengan mantelku. Nah, itulah keadaan yang sebenarnya!"
Sambil berkata demikian, teringatlah Kong Sian akan hal itu hingga ia menundukkan kepala dengan kemalu-maluan.
Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu ia akan melihat betapa Ang I Niocu menjadi merah sekali mukanya dan betapa kedua mata gadis itu mencucurkan air mata! Tiba-tiba Ang I Niocu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu sambil berkata dengan suara penuh keharuan, "In-kong (Tuan Penolong), maafkanlah aku yang kasar dan yang telah menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong jiwaku, telah merawatku selama tujuh hari, memberi obat, menyuapkan makan akan tetapi aku yang tertolong bahkan telah menuduhmu yang bukan-bukan! Maafkanlah aku ".." Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak saja ia merasa terharu, akan tetapi ia juga teringat akan semua peristiwa dan ia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin Hai!
Lie Kong Sian berkata dengan halus, "Duduklah, Nona, dan legalah hatiku karena sekarang kau telah percaya kepadaku."
Ang I Niocu bangun dan duduk kembali sambil menyusut air matanya dengan ujung
mantelnya. Ia kini merasa amat jengah dan malu hingga ia tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu.
"Yang amat mengherankan," katanya kemudian, "mengapa tubuhku tidak terluka sedangkan aku dicengkeram dan dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang begitu besar dan ganas."
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
449 "Tak usah kau merasa heran, Nona. Sin-kim-tiauw bukanlah burung rajawali biasa. Ia sudah terlatih baik sekali oleh Supekku yang sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun Su saja yang dapat melatihnya."
Ang I Niocu mengangkat kepalanya dan memandang tajam. "Apa" Jadi kau adalah murid keponakan dari Suhu Bu Pun Su?"
Kong Sian juga memandang heran. "Benar, mendiang Suhuku yang bernama Han Le adalah sute dari Supek Bu Pun Su. Nona, ketika kau menyerangku di dalam gua tadi kau telah mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?"
Dengan girang sekali Ang I Niocu berkata, "Kalau begitu, kau masih terhitung suhengku (kakak seperguruan) karena aku pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun Su! Biarpun sesungguhnya Suhu Bu Pun Su masih menjadi susiok couwku sendiri karena mendiang
ayahku adalah murid keponakannya. Akan tetapi akhir-akhir ini aku mendapat latihan Kongciak-sinna dan Pek-in -hoat- sut dari Suhu Bu Pun Su hingga aku boleh juga menyebutnya Suhu!"
Bukan main girang rasa hati Kong Sian "Ah, ah, dunia ini memang tidak berapa luas! Siapa tahu bahwa aku telah menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh-sungguh aku merasa girang sekali mendengar ini. Akan tetapi, siapakah mendiang Ayahmu?"
"Ayahku adalah Kiang Liat," jawab Ang I Niocu dengan singkat oleh karena ia merasa malu membicarakan ayahnya yang mati karena gila!
Kong Sian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku pernah mendengar dari Suhu tentang ayahmu itu yang berjuluk Jian-jiu-sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu). Ketika merantau, aku pernah mendengar nama besar dari seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang I Niocu, apakah kau sendiri orang itu?"
Ang I Niocu mengangguk. "Memang itu nama julukanku yang kosong tak berisi. Namaku adalah Kiang Im Giok, seorang yatim piatu yang hidup sunyi dan penuh penderitaan."
"Sumoi, kata-katamu ini benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa bosan sekali di dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian."
Keduanya berdiam sampai lama, dan tenggelam dalam lamunan masing-masing. Kemudian Kong Sian minta kepada Ang I Niocu untuk menceritakan pengalamannya ia sampai dapat berada di Pulau Kim-san-to. Dengan panjang lebar Ang I Niocu lalu menceritakan semua pengalamannya dan menyebut nama-nama Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Nelayan
Cengeng dan juga nama Yousuf dan lain- lain. Setelah selesai bercerita, Kong Sian lalu menepuk kepalanya sendiri sambil berkata,
"Ah, memang aku yang percuma dihidupkan di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa yang besar dan demikian banyaknya serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan tetapi yang kukerjakan hanyalah duduk melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau Kim-san-to telah kutinggalkan bertahun-tahun hingga sekarang lenyap dimakan api! Ah, arwah Suhu tentu marah melihat sikapku ini. Memang aku seorang yang berjiwa lemah!" Ia menghela napas berulang-ulang dan merasa kecewa terhadap diri sendiri.
Pendekar Bodoh > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
450 "Suheng, kau adalah seorang gagah dan mulia dan melihat gerakanmu ketika kau menotok roboh padaku tadi, aku yakin bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kausia-siakan diri di tempat ini" Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan melakukan darma bakti sebagai seorang yang berkepandaian" Kalau kau mengasingkan diri di tempat ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari kepandaian sampai bertahun-tahun?"
Seperti biasa Ang I Niocu selalu merasa bahwa ia lebih berpengalaman dan lebih "berakal"
daripada orang lain, maka di dalam ucapannya ini terkandung nasihat-nasihat, teguran dan penyesalan, seperti biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau guru menasehati murid.
Memang, selama ia menjelajah di dunia kang-ouw, yang disegani oleh Ang I Niocu dan yang membuat ia tunduk hanyalah Bu Pun Su seorang, sedangkan kepada lain-lain orang ia bersikap "lebih tinggi".
Kong Sian tersenyum mendengar ucapannya ini. "Sumoi, memang demikianlah dipandang sepintas lalu. Akan tetapi, selama kau malang melintang di dunia ramai, apakah yang kau dapat" Hanya permusuhan, kejahatan, dan perkelahian mengadu jiwa, bunuh-membunuh sesama manusia. Aku sudah bosan menghadapi semua itu. Di sini aku mendapat ketenteraman jiwa dan tidak terpengaruh oleh kejahatan-kejahatan manusia yang terjadi di dunia ramai.
Memang, sewaktu-waktu aku tentu keluar, dari sini untuk meninjau dunia ramai hingga tidak terputus hubunganku dengan manusia umumnya, akan tetapi, tempat ini telah kupilih untuk menjadi tempat tinggalku yang tetap di mana aku dapat hidup dengan tenteram dan aman sentausa!"
Ucapan ini membuat Ang I Niocu tertegun. Terutama kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh suhengnya ini berkesan di dalam hatinya. Apakah yang ia dapat selama ini" Hanya kesedihan, kekecewaan, dan permusuhan belaka. Demikianlah, kedua orang itu lalu bercakap-cakap dengan asyiknya, menceritakan pengalaman masing-masing. Ketika mendengar tentang Cin Hai yang menjadi murid Bu Pun Su dan yang amat dipuji kepandaiannya oleh Ang I Niocu, Lie Kong Sian merasa kagum sekali.
"Ah, ingin sekali aku bertemu dengan dia itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa seorang pemuda yang masih demikian muda sudah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian pokok dari Supek Bu Pun Su. Suhu dulu pernah menyatakan bahwa ilmu pengertian pokok segala gerakan ilmu silat adalah kepandaian tunggal Supek yang membuat ia menjadi seorang yang tiada lawannya dalam dunia persilatan. Dan ia sudah mampu mencipta sendiri ilmu
Pukulan Naga Sakti 25 Rahasia Peti Wasiat Karya Gan K L Pendekar Pemetik Harpa 7

Cari Blog Ini