Ceritasilat Novel Online

Pendekar Jembel 18

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 18


cekatan sehingga Biau-siang tertolong.
Biau-siang menjadi murka setelah tahu siapa lawannya itu,
dampratnya, "Bangsat, kau sudah membikin susah ayahku,
sekarang kau mau membikin celaka padaku?"
"Huh, kata-katamu itu harus diputar balik," jengek
Auwyang Kian. "Memang ayahmu anak buah Sat-taydjin dan
diberi tugas bersamaku, tapi di tengah jalan dia berkhianat
sehingga aku berbalik dibikin susah, aku justru mau mencari
ayahmu untuk membikin perhitungan. Sekarang kalian masuk
jaring sendiri ke sini, maka ikut aku saja ke kotaraja, asalkan
kalian mengaku dimana pasukan pemberontak Tiok Siang-hu
itu bersembunyi, maka jiwa ayahmu mungkin dapat aku
ampuni." "Persetan!" bentak Biau-siang sambil menusuk dengan
pedangnya. "Hahaha, genduk ingusan macam kau masakah sesuai
untuk bergebrak dengan aku?" sem Auwyang Kian dengan
berge-lak tertawa. Sekali jarinya menyentik, "creng", kontan
pedang Biau-siang terpental ke samping. Tapi Goan-ko dan
Ang-ing segera menjulurkan pedang untuk mencegah
serangan Auwyang Kian lebih jauh, hanya beberapa jurus saja
Auwyang Kian sudah dipaksa mundur. Nyata ilmu pedang Su
Ang-ing sekarang sudah jauh lebih maju pula setelah
mendapat gemblengan Kim Tiok-liu akhir-akhir ini.
Tadi karena bermaksud menangkap Hong Biau-siang, maka
Auwyang Kian belum mengeluarkan kepandaiannya yang
sejati. Sekarang setelah terdesak, diam-diam ia mengerahkan
tenaga dan mengadakan persiapan serangan balasan. "Hm,
kalian bertiga jangan harap bisa lolos dari tanganku!" ejeknya
sembari mulai memukulkan sebelah tangannya dengan
membawa angin yang panas membakar. Inilah 'Lui-sin-tjiang'
(pukulan geledek) keluarga Auwyang Kian yang lihai, cuma
pemakaiannya sangat merusak tenaga murni, maka bila tidak
terpaksa jarang digunakan.
Begitulah hanya sekejap saja Ang-ing bertiga sudah mandi
keringat, kepala pusing dan pandangan terasa kabur. Lwekang
Ang-ing lebih tinggi, maka lebih mendingan, sebaliknya Biausiang
paling lemah, keruan ia menjadi payah dan megapmegap
saking panasnya.
"Kau mengaso sebentar, entji Siang!" sem Ang-ing, segera
ia mengeluarkan cambuknya, dengan pedang di tangan kanan
dan cambuk di tangan kiri, ia menerjang maju untuk
menghadapi gempuran Auwyang Kian yang hebat.
"Hm, budak hina, kau membantu orang luar dan
membinasakan kakak kandung sendiri, sekarang kau berani
main gila lagi padaku, hari ini aku harus menuntut balas bagi
Su Pek-to," damprat Auwyang Kian. Setelah lawannya
menyingkir satu, ia mengira akan lebih gampang mendapat
kemenangan, terjangan Su Ang-ing itu dianggap sebagai
perbuatan kalap belaka.
Tak diduganya bahwa permainan kombinasi pedang dan
cambuk adalah kepandaian Su An-ing yang hebat, cambuknya
bahkan lebih hidup daripada pedangnya. Dahulu waktu dia
pertama kali bertemu dengan Kim Tiok-liu juga pernah
menggunakan cambuknya untuk menempur pemuda itu
dengan sama kuatnya.
Sambaran cambuk yang lincah bagaikan ular itu, sedikit
Auwyang Kian meleng, "sret" punggung tangannya termakan,
walaupun bukan tempat berbahaya, tapi juga kesakitan.
Auwyang Kian menjadi gusar, ia menubruk maju. Tapi
pedang Ang-ing lantas memapaknya dengan gerakan tiga kali,
di atas menusuk leher, tengah mengancam Hiat-to di dada
dan bawah mengincar perut. Dimana pedangnya mengarah
adalah tempat-tempat yang mematikan.
Menghadapi serangan yang memungkinkan mati itu, Auwyang
Kian terkejut, ia tidak berani terlalu mendesak lagi,
terpaksa mundur kembali. Dalam pada itu dengan cepat Goanko
juga menyerang dari samping.
Meski kepandaian Goan-ko lebih rendah, tapi ilmu pedang
Bu-tong-pay juga termasuk satu di antara ilmu pedang kelas
satu di dunia persilatan. Sekarang ia pun menyerang dengan
mati-matian, mau tak mau Auwyang Kian harus membagi
perhatiannya. Terpaksa ia harus menggunakan Lui-sin-tjing
berturut-turut, pukulan beruntun itu dapat mendesak mundur
Goan-ko. Terbakar oleh hawa yang sangat panas itu,
sekuatnya Goan-ko bertahan.
Setelah beberapa puluh jurus lewat masih belum bisa
mengalahkan lawan-lawannya, Auwyang Kian menjadi gelisah
juga. Padahal dia sudah banyak kehilangan tenaga dalam
setelah pertarungan sengitnya dengan Tiong Tiang-thong di
Tji-lay-san tempo hari, untuk mana sedikitnya dia harus
berlatih tiga tahun baru bisa pulih. Sekarang dia banyak
membuang tenaga pula dengan pukulan-pukulan Lui-sin-tjing
yang dahsyat, tentu waktu untuk memulihkan tenaga yang
terbuang itu akan bertambah lama. Ia tidak tahu bahwa di
pihak Ang-ing dan Goan-ko sebenarnya jauh lebih gelisah
daripada dia. Di bawah damparan hawa panas itu kedua
muda-mudi itu sudah sangat payah dan cuma bertahan
sekuatnya saja.
Di sebelah sana Kim Tiok-liu juga berada dalam keadaan
payah, hanya kedudukannya jauh lebih baik daripada Ang-ing
berdua. Kedua lawannya mendesak semakin kencang, hanya
berkat Hian-tiat-pokiam saja Tiok-liu masih dapat bertahan
sebisanya. Namun mau tak mau perhatiannya menjadi terbagi
pula setelah mendengar keadaan Ang-ing di sebelah sana
yang sama juga payah itu.
Memangnya Tiok-liu sudah terdesak di bawah keroyokan
kedua lawannya, sekarang pikirannya kacau pula, tentu saja
lebih susah melayani serangan-serangan musuh.
"Haha, bocah she Kim, lebih baik kau menyerah kalah saja,
menjura saja tiga kali padaku dan taruh pedangmu itu, lalu
bolehlah kau pergi," kata laki-laki itu dengan tertawa. Rupanya
ia pun melihat Hian-tiat-pokiam adalah benda pusaka yung
sukar dicari. "Kentut!" damprat Tiok-liu, pedangnya diangkat tinggi ke
atas terus membacok bagai golok.
Laki-laki itu terkejut, tadinya ia menyangka keadaan Kim
Tiok-Liu sudah payah, tapi nyatanya masih mampu
menggunakan serangan ganas itu. Cepat ia menggunakan
gerakan yang enteng untuk mematahkan serangan Kim TiokLiu itu, namun demikian dia tergetar mundur juga.
Rupanya saking gelisah dan gusar, Tiok-liu mengerahkan
tenaga murninya, serangan yang dahsyat ini hanya gertakan
belaka. Dengan gabungan kedua suami istri itu, dua-tiga
gebrakan kemudian dapatlah mereka menjajaki tenaga Kim
Tiok-Liu ternyata mulai kendur. Legalah hati laki-laki itu,
kembali ia mengejek lagi dengan tertawa, "Sungguh bandel
kau ini, masakah kau mampu lolos dari telapak tangan kami"
Percuma kau bertempur lagi, lebih baik kau menyerah saja.
Mengingat kau memang cukup gagah juga, bolehlah syarat
menjura kubebaskan, tak perlu kau lakukan."
Kim Tiok-Liu jadi teringat kepada ajaran ayahnya bahwa
menghadapi musuh jangan sekali-kali naik pitam, tapi harus
tenang dan sabar, maka sebisanya ia menahan amarahnya,
jawabnya, "Hm, kalau mampu ambil saja sekalian nyawaku ini,
tapi menyuruh aku menyerah dan meletakkan senjata, hm,
jangan harap."
Baru saja Kim Tiok-Liu hendak mengeluarkan jurus-jurus
serangan paling berbahaya, bila perlu gugur bersama musuh
daripada menyerah kalah atau tertawan. Pada saat itulah tibatiba
terdengar suara heran seorang kedengarannya seperti
suara perempuan. Agaknya suami istri itu pun mendengar,
wajah mereka menampilkan rasa terkejut heran.
Waktu Tiok-liu melirik, dilihatnya dari sebelah pepohonan
sana muncul seorang perempuan muda, tampaknya usianya
belum ada 20-an. Seorang anak perempuan muncul di puncak
Hoa-san di tengah malam, dengan sendirinya pasti bukan
anak keluarga biasa.
Baru saja Kim Tiok-Liu melihat kemunculannya, dalam
sekejap anak dara itupun sudah mendekat, betapa cepat dan
gesitnya sungguh luar biasa, keruan Tiok-liu terkejut, pikirnya,
"Entah bagaimana ilmu silat anak dara ini, yang jelas Ginkangnya
ini sudah dapat menyamai aku. Gerakannya sama
sekali berbeda dengan Ginkang jago-jago silat Tionggoan,
mungkin sekali dia adalah sekaum dengan Hu-siang-tjhit-tju."
Namun dia sudah tak menghiraukan mati-hidup sendiri lagi,
maka biarpun musuh bertambah lagi satu orang juga bukan
soal baginya. Tiba-tiba anak dara itu menjemput beberapa potong batu
kecil terus disambitkan ke arah kalangan pertempuran Tiok-liu
bertiga. Batu-batu itu tidak cuma diarahkan pada Kim Tiok-liu,
tapi juga menyerang suami-isteri itu sekaligus, maka
terdengarlah suara "trmg-tring-tring" nyaring, batu-batu itu
tersampuk oleh pedang mereka, tapi tidak hancur.
Tiok-liu dan kedua lawannya sama-sama merasa tangan
masing-masing kesemutan, walaupun tidak apa-apa, tapi
sudah cukup merasa terkejut. Maklum, ilmu silat mereka
sudah dapat dinilai sebagai tokoh kelas satu, tapi sebiji batu
kecil yang di-timpukkan anak dara itu dapat membuat tangan
mereka kesemutan, kepandaian ini sungguh di luar dugaan
mereka. Malahan Tiok-liu semakin bingung, tadi disangkanya
si anak dara adalah orang sekaum Hu-siang-tjhit-tju, tapi
nyatanya dia menimpuk mereka bertiga tanpa pilih bulu. Jadi
anak dara itu sebenarnya kawan atau lawan, inilah yang
membingungkan Kim Tiok-liu.
Agaknya kedua suami-istri itupun terkejut, berbareng
mereka membentak, "Siapa kau" Genduk ingusan macam kau
juga berani ikut campur urusan orang?"
Gadis itu mengikik-tawa tanpa menjawab, tapi lebih dulu ia
bertanya kepada Kim Tiok-liu, "Yang kau pakai ini tentunya
Hian-tiat-pokiam, jadi kau inilah Kim Tiok-liu, Kim-siauhiap?"
Melihat sikap orang yang tidak bermaksud jahat itu, dengan
ramah Tiok-liu menjawab, "Benar, akulah Kim Tiok-liu. Adakah
nona hendak memberi petunjuk apa-apa."
Baru sekarang gadis itu menoleh dan bicara kepada kedua
suami-istri itu, "Kau tidak kenal padaku, tapi aku tahu kalian.
Kalian orang Hu-siang-pay bukan?"
"Kalau benar mau apa?" sahut si wanita dengan ketus.
"Kabarnya di antara Hu-siang-tjhit-tju hanya terdapat
sepasang suami-istri, yang laki bernama Tjiok Wi dan istrinya
bernama Siang Djing, tentunya kalian berdua ini."
Laki-laki itu memang benar Tjiok Wi adanya. Ia menjadi
kaget dan ragu-ragu, sahutnya kemudian, "Usiamu semuda ini
juga tahu akan asal-usul kami?"
Sebaliknya istrinya yang bernama Siang Djing ternyata I
masih ketus, bentaknya, "Hm, apa maksudmu sengaja
menjajaki I asal-usul kami" Lekas bicara!"
"Apakah Boh Tjong-tiu tidak ikut bersama rombongan
kalian?" tanya si nona.
"Siapa itu Boh Tjong-tiu" Tak kukenal!" sahut wanita itu.
Sebaliknya suaminya terkejut, katanya, "Yang kau maksudkan
apakah keturunan keluarga Boh dari Hu-siang-to?"
"Benar, dia adalah keturunan lurus Boh Djong-long,
pemimpin Hu-siang-pay angkatan kedua," sahut si nona.
Agaknya Tjiok Wi sama sekali tidak menduga akan hal
demikian, katanya, "Jadi orang keluarga Boh juga ada yang
datang ke Tionggoan sini?"
"Baiklah jika ternyata dia tidak serombongan dengan
kalian," ujar si nona. "Sebenarnya aku pun sudah menduga
dia pasti takkan berada bersama kalian, pertanyaanku tadi
sesungguhnya tidak perlu."
"Apa maksudmu sebenarnya?" tanya pula Siang Djing
dengan ketus. "Hu-siang-to meski jauh terpencil di luar lautan, tapi cikalbakalnya
adalah pendekar berasal dari Tionggoan sini, anak
murid Hu-siang-pay harus memahami ajaran cikal-bakalnya,
mana boleh memusuhi kaum ksatria Tionggoan malah."
"Hm, apakah kau bermaksud mengajar kami?" jengek pula
Siang Djing. "Tidak," sahut si nona. "Aku hanya berpikir kalau Boh
Tjong-tiu datang ke sini, tentu dia akan selalu ingat kepada
ajaran leluhurnya dan takkan memusuhi Kim-tayhiap dan
putranya."
Girang sekali Kim Tiok-liu, segera ia menyela, "Terkaan-mu
memang tepat, nona. Boh Tjong-tiu memang bukan sekomplotan
dengan mereka. Jika kau ingin tahu kabarnya aku akan
menceritakan padamu."
Sebaliknya Siang Djing menjadi gusar, katanya pula, "Aku
tidak ambil pusing siapa itu orang she Boh, yang jelas kau
menyalahkan kami. Aku menjadi ingin bertanya padamu
berdasarkan apa kau berani mengajar kami?"
"Bila tindak-tanduk kalian sesuai dengan ajaran leluhur,
kenapa kalian mesti sirik atas pertanyaan orang lain?" sahut si
gadis. "Kau bicara tentang leluhur dan cikal-bakal segala, apakah
kau anak murid Hu-siang-pay?" semprot Siang Djing. "Hm,
sekalipun kau adalah sesama perguruan, hanya genduk
ingusan seperti kau juga tidak punya hak buat mengajar kami.
Coba mainkan dulu beberapa jurus, bila kau mampu
mengalahkan aku barulah nanti bicara lagi."
Sebenarnya Siang Djing juga sudah menyangsikan si nona
adalah orang sealiran dengan mereka cuma dia tidak terima
diolok-olok, maka sengaja mau menjajalnya.
"Baiklah, silakan Siang-sutji mulai!" sahut si gadis setelah
mematahkan sebatang ranting pohon.
"Kau mau melawan aku dengan menggunakan ranting kayu
itu?" tanya Siang Djing.
"Istilah melawan tak berani kugunakan, Siaumoay hanya
ingin berlatih dengan Siang-sutji," kata si gadis.
"Hm, kalau benar kau mahir memainkan ilmu pedang
perguruan sendiri dan mampu melayani sepuluh jurus, nanti
barulah kau panggil lagi Sutji padaku," jengek Siang Djing
sambil terus menusuk dengan pedangnya.
Pelahan-lahan gadis itu mengangkat ranting kayu dan menyampuk.
Gayanya memang benar ilmu pedang Hu-siang-pay,
jelas pedang Siang Djing membentur ranting kayu lawan, tapi
aneh, pedang yang tajam itu ternyata tidak mampu menabas
putus ranting kayu itu, bahkan kena ditarik ke samping
Tanpa terasa Kim Tiok-liu berseru memuji, pikirnya "Husiang

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kiam-hoat nona ini tampaknya lebih tinggi daripada Boh
Tjong-tiu. Ternyata ilmu pedang mereka memang amat bagus.
Rasanya aku pun tidak sanggup melawan nona ini."
Tentu saja Siang Djing juga sangat terkejut, ia tidak berani
memandang enteng lawannya lagi, ia memutar pedangnya
dengan kencang, ia pikir pedangnya masakah akan dikalahkan
oleh sebatang kayu saja sekalipun ilmu pedang lawan
memang lebih tinggi.
Dalam pada itu Kim Tiok-liu juga tidak tinggal diam di
pinggir, ia sedang menghitung, "Jurus pertama, kedua,
ketiga.....keenam.....haha, sudah jurus kedelapan!"
Sebelum mulai bergebrak tadi Siang Djing sesumbar akan
mengalahkan si gadis dalam sepuluh jurus, agar dia tidak
mungkir janji, maka Tiok-liu sengaja menghitungkan berapa
kali mereka sudah bergebrak.
Sampai pada jurus kedelapan itulah, tiba-tiba terlihat si
gadis memutar tubuh dengan cepat, laksana belut gesitnya
mendadak ranting kayunya menyelonong ke tengah lingkaran
pedang Siang Djing, terdengar suara "cret", pedang Siang
Djing terlepas. Rupanya urat nadi tangan Siang Djing tepat
terhiruk oleh kayu si gadis.
"Ilmu pedangmu ternyata belum terlatih sempurna,
hendaklah kau jangan pamer lagi supaya tidak membikin malu
perguruan," ejek nona itu.
Ketika nona itu memutar tubuh tadi ujung bajunya sedikit
tersingkap sehingga kelihatan sulaman seekor ikan terbang
pada bajunya itu, hal ini dapat dilihat oleh Kim Tiok-liu dan
Tjiok Wi. Tjiok Wi terkejut dan berseru, "Nona, kau pernah ada
hubungan apa dengan Lim-totju dari Hui-hi-to (pulau ikan
terbangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
"Beliau adalah ayahku," sahut si gadis, "Namun beliau
sekarang sudah bukan Totju (kepala pulau) lagi. Apakah kau
ingin menemui beliau?"
"O, kiranya kau adalah puteri Lim-supek, maafkan kami
yang kurang hormat," kata Tjiok Wi pula.
Di sebelah sana Siang Djing telah jemput kembali
pedangnya, katanya dengan lesu, "Hayolah berangkat,
masakah kau benar-benar mau ikut dia menemui Lim-supek
segala?" "Kim-siauhiap, tadi kau menyatakan hendak menceritakan
diri Boh Tjong-tiu kepadaku?" tanya si nona tanpa
menghiraukan kepergian Tjiok Wi dan isterinya.
"Benar, tunggu sebentar," kata Tiok-liu. Baru saja ia
hendak pergi membantu Su Ang-ing, dilihatnya Auwyang Kian
juga telah ngacir, sebelum sampai Tiok-liu menyeberangi
jembatan, Auwyang Kian sudah menghilang di balik karang
gunung sana. Rupanya Auwyang Kian sudah terlalu banyak
mengorbankan tenaga murni karena berulang kali
menggunakan Lui-sin-rjiang, keadaannya juga sudah payah.
Ketika melihat kedua kawannya lari, tentu saja ia pun lekaslekas
angkat langkah seribu.
Si gadis tadi ikut ke seberang sana dan menemui Ang-ing
bertiga. Baru sekarang Tiok-liu sempat mengucapkan terima
kasih padanya dan memuji kehebatan ilmu pedang si nona.
Dengan muka merah si nona menjawab, "Ah, Kim-siauhiap
terlalu memuji saja, aku justru merasa malu karena perbuatan
orang-orang seperguruanku itu. Bicara tentang ilmu pedang,
aku harus kagum padamu. Ilmu pedang ciptaanmu yang
mencakup gaya pedang kami itu sungguh hebat sekali."
"Ah, nona benar-benar rendah hati," sahut Tiok-liu. "Entah
mengapa nona bisa datang ke sini dan darimana pula tahu
akan asal-usulku?"
"Orang yang paling dipuja ayahku adalah ayahmu," kata si
nona. "Tentang Hu-siang-tju pernah merecoki ayahmu juga
sudah diketahui ayahku. Tapi kami tidak tahu apakah Boh
Tjong-tiu termasuk di antara mereka bertujuh atau tidak,
maka aku sengaja datang kemari untuk mencarinya menurut
petunjuk seorang sahabat ayah."
Berturut-turut Ang-ing bertiga juga lantas memperkenalkan
diri kepada nona itu, lalu Kim Tiok-liu balas bertanya nama si
nona. "Aku she Lim, bernama Bu-siang," tutur si nona. "Asalnya
kami tinggal di Hu-siang-to dan sudah beberapa keturunan
menetap di sana. Boh Tjong-tiu adalah kakak misanku."
"O, kiranya demikian," sela Ang-ing. "Bilakah kalian datang
ke Tionggoan, apakah belum ada hubungan kabar dengan Boh
Tjong-tiu."
"Sudah ada sepuluh tahun kami pulang ke Tionggoan sini,"
sahut Lim Bu-siang. "Sewaktu kecil kami tinggal bersama
keluarga Boh, ibuku adalah bibi (saudara ayah) Tjong-tiu. Ilmu
pedang kami adalah ajaran ibuku, tapi usia Tjong-tiu lebih tua
sepuluh tahun dariku. Waktu kami pindah kemari aku baru
berumur belasan, sebaliknya Tjong-tiu sudah dewasa. Maka
kalau sekarang kami bertemu mungkin juga dia sudah
pangling padaku."
"Apakah Boh Tjong-tiu tidak tahu kalau segenap
keluargamu sudah pintah kemari?" tanya Tiok-liu.
"Begini soalnya," tutur Bu-siang. "Semula kami tinggal
bersama keluarga Boh, kemudian lantaran ayah benci
terhadap tingkah-laku orang Aino (Orang Jepang sekarang),
beliau bersama serombongan nelayan menyingkir ke suatu
pulau kecil dan mulai membuka tanah pertanian baru dan
hidup bebas merdeka. Ayah memberi nama pulau itu sebagai
Hui-hi-to (pulau ikan terbang), tapi sayang kehidupan yang
aman sentosa itupun tidak berjalan lama. Kalau tadinya pulau
karang itu tidak diperhatikan orang, setelah berkembang
dengan pesat lantas mulai diincar orang."
"Apakah diincar kawanan bajak?" tanya Tiok-liu.
"Bukan bajak, tapi jauh lebih ganas daripada kawanan
bajak, orang Aino yang telah merebut Hui-hi-to," tutur Busiang.
"Padahal sudah tidak sedikit ayah memeras keringat
untuk kemajuan pulau kecil itu, tapi akhirnya terpaksa
meninggalkan pulau itu, karena serangan armada orang Aino
dengan perlengkapan yang lebih kuat."
"Tak bisa menetap lagi di Hui-hi-to, dengan sendirinya pula
kami tidak dapat kembali ke Hu-siang-to yang juga sudah
diduduki oleh orang Aino," tutur Bu-siang lebih lanjut. Waktu
itu Boh Tjong-tiu sedang mencari orang-orang
seperguruannya di berbagai pulau kecil sehingga tidak
diketahui berada dimana saat itu, akhirnya sekeluarga kami
lantas pulang ke tanah air sini. Selama sepuluh tahun kami
tinggal di suatu perkampungan nelayan dan tiada orang yang
tahu asal-usul kami kecuali seorang sahabat baik ayah."
"Siapakah sahabat ayahmu itu?" tanya Tiok-liu.
"Satu-satunya sahabat ayah setelah kami pindah kemari,
namanya Utti Keng," sahut Bu-siang.
"O, kiranya Utti Keng. Aku pernah bertemu dia, asalnya dia
adalah begal besar di daerah Kwan-gwa. Sekarang dia telah
menggabungkan diri dan menjadi salah seorang pemimpin
pasukan pergerakan di Siau-kim-djwan."
"Benar, ketika pulang ke sini, jalan yang kami ambil adalah
melalui Korea dan daerah Kwan-gwa kemudian masuk ke
Tionggoan. Waktu itu Utti Keng masih melakukan
pekerjaannya sebagai begal, tapi di samping itu juga melawan
pihak kerajaan dan melabrak orang-orang Aino yang
menyusup ke Kwan-gwa melalui Korea. Ayah pernah
membantu Utti Keng. Sesudah berpisah hampir sepuluh tahun,
akhir-akhir ini kami baru berjumpa lagi dengan dia."
"O, jadi orang yang kau maksudkan memberi petunjuk
padamu agar mencari Boh Tjong-tiu ke Hoa-san sini adalah
Utti Keng bukan?" tanya Tiok-liu.
"Benar, meski dia tidak kenal Tjong-tiu, tapi dia pernah
bertarung dengan orang-orang Hu-siang-tjhit-tju. Berita
tentang Hu-siang-tjhit-tju juga dia yang menyampaikan
kepada ayahku. Pada suatu malam yang gelap tiba-tiba Utti
Keng dan istrinya datang ke rumah kami. Semula kukira
kawanan penjahat yang menyatroni rumahku, malahan aku
menyerang mereka dengan segenggam kacang, sudah tentu
seranganku dengan gampang dapat dibereskan oleh Ki Sengin,
istri Utti Keng yang berjuluk Djian-djiu-kwan-im (Si dewi
Kwan-im bertangan seribu) itu. Sebelum aku menyerang lebih
lanjut, ayah sudah keburu keluar dan berseru mencegah,
sebab lantas dikenalnya pendatang itu adalah sahabatnya.
Dengan girang ayah lantas menyambut kedatangan Utti Keng
itu. Rupanya Utti Keng memang telah lama mencari ayah dan
kedatangannya itupun bermaksud mencari tahu asal-usul
beberapa orang yang pernah dijumpainya, lalu Utti Keng
menceritakan apa yang pernah dialaminya....."
Pada suatu hari yang cerah, Utti Keng dan istrinya sedang
melarikan kuda mereka di jalanan Hopak utara dalam
tugasnya menghubungi pemimpin Thian-Ii-hwe di kota Poting
atas perintah Siau Tji-wan, pimpinan pasukan pemberontak di
Siau-kim-djwan.
Di tengah jalan tiba-tiba mereka mendengar suara kelenengan
kuda yang ramai dari belakang. Waktu menoleh,
tertampak debu mengepul, satu rombongan penunggang kuda
sedang menyusul ke arah mereka. Ada laki ada perempuan,
ada yang tua ada yang muda, seluruhnya berjumlah tujuh
orang. Sebagai seorang bekas benggolan begal, Utti Keng mahir
menilai kuda bagus. Melihat datangnya rombongan
penunggang kuda itu, ia pun terkejut, katanya kepada sang
istri, "Ketujuh ekor kuda mereka ini adalah kuda-kuda bagus
yang sukar dicari. Orang-orang ini tentu bukan orang
sembarangan."
"Bisa jadi mereka adalah pengusaha sejenis dengan kau,
agaknya kita akan menjadi sasaran mereka," ujar Ki Seng-in
dengan tertawa.
"Jika betul demikian, sungguh aku akan menyambut
mereka dengan gembira, bukan mustahil malahan aku akan
menggabungkan diri dengan mereka," sahut Utti Keng sambil
bergelak. Tengah bicara, jarak rombongan penunggang kuda itu
sudah makin mendekat. Utti Keng mengira mereka akan
melampaui ke depan, maka ia menyingkirkan kuda ke pinggir
untuk memberi jalan.
Tak terduga orang-orang itu lantas memperlambat lari kuda
mereka dan selalu mempertahankan jarak belasan meter di
belakang Utti Keng berdua. Utti Keng menjadi curiga apakah
orang-orang itu memang datang buat merecokinya. Ia
memberi isyarat kepada sang istri, lalu sengaja melarikan
kudanya kemudian melambatkan, dicepatkan dan dilambatkan
lagi. Ternyata orang-orang itupun selalu mengikutinya baik
cepat maupun lambat.
Dalam hati Utti Keng merasa geli, pikirnya, "Jika benar
mereka adalah kawanan begal, maka mereka benar-benar sial
dangkalan, aku justru adalah kakek moyang kaum begal.
Kebetulan aku dapat menukar kuda bagus mereka itu."
Jadi Utti Keng justru berharap rombongan itu lekas
melakukan aksinya, sampai di suatu tempat sepi, dia dan
istrinya mendadak menghentikan kuda untuk menunggu apa
yang akan terjadi. Ternyata orang-orang itu lantas berpencar
dan mengambil posisi mengepung terhadap mereka berdua.
"Haha, kalian salah mata, sobat!" seru Utti Keng dengan
tertawa. Maksudnya mengejek lawan-lawannya telah salah
taksir akan sasarannya.
Tertampak seorang laki-laki berjenggot panjang agaknya
merupakan pemimpin rombongan itu menjawab, "Salah mata
apa" Kau Utti Keng bukan?"
Utti Keng berbalik terkejut, baru sekarang dilihatnya pada
badan kuda-kuda mereka itu ada tanda cap bakar yang
merupakan simbol milik kerajaan.
Dahulu Utti Keng pernah membobol penjara kerajaan dan
membikin rusuh pesta ulang tahun Sat Hok-ting di kotaraja,
boleh dikata sudah kenyang bertempur dengan jago-jago dan
perwira kerajaan, sebab itulah ia cukup kenal cap bakar kuda
milik kerajaan.
Maka sambil bergelak Utti Keng berkata pula "Hahaha
agaknya aku sendiri yang salah mata. Aku salah sangka kalian
sebagai sobat kalangan hitam, tak tahunya kalian adalah anak
cucu cakar alap-alap."
Terdengar seorang perempuan di antaranya berkata, "Wiko,
apa yang dia maksudkan?" Rupanya ia tidak paham arti
anak cucu cakar alap-alap yang dikatakan Utti Keng
Laki-laki yang dipanggil engkoh Wi lantas menjawab, "Aku
pun tidak tahu artinya tapi dapat diduga pasti bukan kata-kata
baik." Seorang kawannya lantas menyambung, "Hm, dia
mengatakan kita adalah anjing kerajaan."
Kiranya setibanya Hu-siang-tjhit-tju di Tionggoan, mereka
tidak sempat bergaul dengan kaum pendekar ksatria dan lebih
dulu sudah diketahui oleh anak buah Sat Hok-ting sehingga
tanpa sadar mereka kena diseret ke pihaknya. Lama-lama
mereka menyadari juga kesalahan mereka, tapi dua orang
yang menjadi pemimpin rombongan mereka sudah telanjur
kemaruk pangkat dan kehidupan mewah, maka masih tetap
rela diperalat oleh Sat Hok-ting dan kawan-kawannya juga
ikut-ikutan belaka. Cuma terdapat suatu pendirian yang sama
di antara mereka, yaitu mereka anggap sebagai orang-orang
kosen yang diangkat Sat Hok-ting dan tidak sudi dianggap
sebagai anjing alap-alap kerajaan.
Maka perempuan tadi menjadi gusar atas olok-olok Utti
Keng, serunya, "Kurangajar! Tjong-susiok, tunggu apa lagi,
berilah hajaran setimpal padanya!"
Dengan gelak tertawa Utti Keng berkata pula, "Kenapa kau
tidak terima" Apakah kalian bukan anjing belaka" Hayolah
lekas maju jika mau maju, golokku ini memang biasa dipakai
menyembelih anjing, apakah tiga ekor atau lima ekor, kalau
tujuh ekor maju sekaligus akan lebih baik lagi supaya aku bisa
menghemat tenaga."
Keruan orang-orang itu menjadi gusar, serentak beberapa
orang di antaranya lantas melolos senjata, namun laki-laki
berjenggot tadi mencegah mereka, katanya, "Utti Keng, kau
terlalu memandang enteng orang lain, apakah kau berani
bertaruh dengan aku?"
"Bertaruh apa?" tanya Utti Keng.
"Kabarnya ilmu silatmu sangat tinggi dan sudah biasa
malang melintang dimana-mana," kata laki-laki berjenggot.


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maka sekarang aku sengaja menantang kau, marilah kita
coba bertaruh kalah atau menang dengan senjata."
"Bagus, silakan maju semua atau satu lawan satu," sahut
Utti Keng. "Kalian cuma suami-istri berdua, pihak kami ada tujuh
orang, ada lelaki dan juga wanita," ujar laki-laki itu. "Sekalikali
kami tidak akan main kerebut, biarlah yang lelaki
menghadapi lelaki, yang perempuan lawan perempuan, satu
lawan satu untuk menentukan kalah dan menang."
"Baik, baik sekali dan aku yang belajar kenal dengan kepandaianmu,"
kata Utti Keng.
"Dan siapa lagi yang sudi memberi petunjuk padaku?"
sambung Ki Seng-in dengan suara lembut.
Serentak ada dua wanita yang melangkah maju, tapi lakilaki
berjenggot itu lantas berseru, "Anak He, biar Siangsutjimu
yang maju."
Perempuan yang lebih muda mengiakan sambil mundur
kembali. Siang-sutji yang dimaksudkan adalah Siang djing,
yaitu perempuan yang merasa diolok-olok Utti Keng tadi.
"Nah, sekarang boleh kita dua lawan dua bertaruh pihak
mana yang akan menang," kata laki-laki berjenggot. "Kalau
kau kalah, kau harus....."
"Segera aku membunuh diri!" sela Utti Keng nyata ia yakin
dirinya pasti takkan kalah.
Laki-laki berjenggot itu tertawa, katanya, "Tak perlu sampai
begitu. Jika kau kalah, cukup kau ikut kami ke kotaraja saja,
malahan aku dapat menjamin keselamatan jiwamu."
"Hahaha, tadi masih menyangkal sebagai anjing pemburu,
tapi sekarang tertampaklah belangnya," seru Utti Keng. "Baik,
jika kau mampu mengalahkan aku, akan kuturuti
keinginanmu, tapi bagaimana jika kau yang kalah?"
"Aku pun terserah padamu, apa yang hendak kau lakukan,"
sahut orang itu.
"Aku sih tidak menghendaki jiwamu, cukup mengambil
kudamu saja," kata Utti Keng.
"Bagus, laki-laki sejati harus bisa pegang janji, beginilah
cara bertaruh kita ini dan tidak boleh menyesal," kata orang
itu. "Dan sebagai seorang istri, aku hanya menurut pada suami,
maka cara bertaruh kita juga sama," kata Ki Seng-in kepada
Siang Djing. "Apakah kau rela mengorbankan kudamu?"
"Sesukamu, yang pasti aku takkan kalah," sahut Siang
Djing dengan gusar. "Nah, silakan maju!"
"Baik, lihat saja nanti!" kata Ki Seng-in sambil mengayun
cambuknya. Berturut-turut Siang Djing lantas menyerang tiga
kali, kedua pihak sama-sama tidak kena, dalam hal kecepatan
Ki Seng-in lebih unggul sedikit.
"Mereka sudah bertarung, maka kita pun boleh mulai," kata
Utti Keng. "Baik," sahut laki-laki berjenggot, tapi tidak lantas melolos
pedangnya. "Kenapa tak mengeluarkan senjatamu?" bentak Utti Keng
sambil bersiap siaga.
"Kenapa buru-buru amat?" ujar lawannya dengan tertawa.
Mendadak pedangnya melesat keluar dari sarungnya terus
menyambar ke depan.
Gerakan ini benar-benar di luar dugaan Utti Keng, ia
terkejut juga ketika pandangannya silau oleh sinar pedang
musuh. Cepat ia mengangkat goloknya buat menangkis tapi
sekaligus laki-laki berjenggot itu sudah memberondong
beberapa serangan kilat sehingga Utti Keng rada kelabakan
melayaninya. Laki-laki berjenggot itu adalah Susiok atau paman guru
keenam kawannya dia pun berkepandaian paling tinggi di
antara Hu-siang-tjhit-tju. Sekali dia sempat mencecar lawan,
serangan-serangannya menjadi bertambah ganas.
Namun Utti Keng adalah jago kawakan, betapapun
gawatnya, dia tetap tenang-tenang saja, maka dalam sekejap
saja biarpun laki-laki itu sudah menyerang berapa puluh kali,
tetap Utti Keng tidak memberi kelonggaran padanya ia pun
dapat balas menyerang pula dengan sama tangkasnya
Kedua orang sama-sama kejut dan kagum atas kepandaian
masing-masing. Selamanya Utti Keng belum pernah
menemukan lawan sehebat laki-laki berjenggot itu. Ilmu
pedangnya berlainan dengan ilmu pedang Tionggoan
umumnya kalau dia terus bertahan saja akhirnya pasti akan
kecundang, demikian pikir Utti Keng.
Tapi setelah 50-an jurus, lambat-laun Utti Keng dapat
mematahkan setiap serangan musuh dan mengatasinya,
mendadak ia membentak, "Sekarang ganti kau lihat
permainan golokku!" Serentak ia melancarkan serangan
balasan secara kilat sehingga yang tertampak hanya sinar
golok belaka yang gulung-gemulung disertai suara mendering
beradunya kedua senjata.
Mau tak mau laki-laki berjenggot itu terdesak mundur juga
oleh serangan Utti Keng yang membadai itu. Sekarang dia
terkejut akan Lwekang Utti Keng yang kuat itu, bila
pertarungan berlangsung lama mungkin aku sendiri yang
kecundang, demikian pikirnya.
Di sebelah sana Ki Seng-in juga sedang bertempur dengan
sengit. Ki Seng-in berjuluk 'Si Dewi Kwan-im bertangan
seribu', cambuknya lihai, senjata rahasianya juga hebat.
Begitu mulai dia sudah mendahului melancarkan serangan
secara berantai hingga lawannya berulang-ulang terdesak
mundur. Nyonya muda lawannya itu tinggi hati dan mengira
kepandaiannya pasti cukup untuk menjagoi dunia persilatan di
Tionggoan, terutama di kalangan tokoh-tokoh wanitanya. Tak
terduga begitu ketemu Ki Seng-in saja ia sudah tak bisa
unggul, bahkan terdesak mundur terus. Baru sekarang ia
terkesiap dan sadar pandangannya yang picik. Tapi ilmu
pedang Hu-siang-pay juga ada bagian-bagian yang lihai,
ketika ada kesempatan balas menyerang. Ki Seng-in menjadi
ragu-ragu terhadap gerak pedang lawan yang tak tentu
arahnya itu, terpaksa ia harus mengelak dan bertahan.
Sekilas Seng-in melihat sang suami berada di atas angin,
tapi tampaknya juga sukar mengalahkan lawannya dengan
begitu saja pikirnya "Tampaknya Toako pasti tak akan kalah.
Sedikitnya aku pun harus mempertahankan taruhannya
betapapun aku lidak boleh dijatuhkan oleh perempuan busuk
ini." Dalam pada itu nyonya muda yang bernama Siang Djing itu
sudah mulai kekurangan tenaga namun dia masih terus
melancarkan serangan yang aneh. Menghadapi tipu-tipu
serangan yang lain daripada yang lain ini terkadang Ki Seng-in
rada bingung. "Hm, kita toh bukan berkelahi secara anak kecil, sudah
jelas kau tidak mampu melawan ilmu pedangku, kenapa kau
tidak mengaku kalah saja?" seru Siang Djing.
"Darimana kau tahu kalau aku tak bisa melawan kau?"
sahut Ki Seng-in. "Hm, jangan omong besar, dalam tiga jurus
saja akan kubikin pedangmu terlepas dari cekalan."
"Baik lihat saja pedang siapa yang terlepas nanti," jengek
Siang Djing dengan gusar. "Sret", pedangnya lantas menusuk
kedepan. Tapi mendadak Ki Seng-in juga mengayun tangannya,
pedang pendek di tangan kirinya sekonyong-konyong
dilemparkan ke arah lawan.
Siang Djing mengira Ki Seng-in terpaksa melemparkan
pedang karena terdesak serangannya yang lihai itu, dengan
senang ia berseru, "Nah, siapa yang melepaskan pedang
sekarang" Kau mau mengaku kalah atau tidak!" Belum habis
ucapannya, tahu-tahu pedang lawan menyambar tiba.
Sebagai ahli silat, begitu melihat datangnya pedang segera
Siang Djing sadar dugaannya tadi meleset, pedang lawan
ternyata menyambar tiba sebagai senjata rahasia yang lihai.
Ia pikir asalkan kusampuk jatuh pedangmu ini, masakah kau
bisa mungkir lagi akan kekalahanmu"
Maka sekuatnya Siang Djing memutar pedangnya untuk
menyampuk tak terduga pedang Ki Seng-in yang meluncur
tiba itu mendadak membelok ke samping. Ujung pedang Siang
Djing hanya sempat menyentuh pelahan pedang Ki Seng-in itu
sehingga membuatnya melayang tinggi ke atas malah. Jadi
sam-pukannya tidak kena, tapi Siang Djing juga tidak sampai
terserang, ia merasa senang dan berseru, "Nah, apa katamu
lagi" O, aduh....."
Suara girang Siang Djing itu mendadak berubah menjadi
suara kejut kesakitan. Rupanya pada detik itulah mendadak
tangannya merasa sakit terkena sebuah Bwe-hoa-tjiam
(jarum) yang disambitkan Ki Seng-in bersama saatnya ketika
ia melemparkan pedangnya.
Sudah tentu Siang Djing tidak menduga bahwa di kala
melemparkan pedangnya tadi sekaligus Ki Seng-in
menggunakan pula senjata rahasia lain, karena itulah dia
lantas termakan, pedang pun terlepas dari cekalan.
Si orang berjenggot itu dapat melihat kedudukan temannya
yang terdesak itu, cepat ia melancarkan serangan kilat dan
menusuk tenggorokan Utti Keng, betapa gesitnya Utti Keng
ternyata tidak keburu menangkis serangan maut ini.
Akan tetapi pada saat yang menentukan itu, mendadak Utti
Keng membentak, secepat kilat goloknya juga lantas
membacok tanpa menghiraukan lehernya yang terancam, jelas
ia bertekad mati bersama musuh.
Kedua orang sama-sama cepatnya, jiwa masing-masing
sama terancam. Kalau tusukan laki-laki berjenggot itu
diteruskan pasti dapat menembus leher Utti Keng tapi dia
sendiri juga akan terbacok kepalanya. Rupanya laki-laki
berjenggot ini rada takut mati, menghadapi keadaan demikian
dengan sendirinya ia terus melangkah mundur dan menarik
kembali pedangnya untuk menangkis.
Dalam keadaan menarik senjata dan menangkis itu dengan
sendirinya tenaga laki-laki berjenggot itu menjadi kendur,
sebaliknya Utti Keng tetap membacok dengan nekat. Maka
terdengarlah suara "trang" yang keras, pedang laki-laki
berjenggot terpental lepas dari cekalan, untung dia keburu
melompat mundur sehingga tidak terluka.
"Hahaha, apa katamu sekarang?" seru Utti Keng dengan
tertawa. "Maaf, akan kuambil hadiahnya!" sekali cemplak
segera ia melarikan kuda laki-laki berjenggot itu.
"Ilmu pedangku toh tidak kalah daripadamu tentunya kau
cukup jelas," seru laki-laki itu.
"Ilmu pedang tidak kalah, tapi orangnya jelas sudah kalah,
memangnya kau bisa mungkir?" bentak Utti Keng.
"Toako, tak perlu omong kosong dengan dia, marilah kita
pergi!" seru Ki Seng-in kepada sang suami. Waktu itu ia pun
sudah merampas kuda Siang Djing.
Siang Djing lebih-lebih penasaran dengan kekalahannya,
dampratnya, "Hm, pakai senjata rahasia segala, terhitung lakilaki
sejati macam apa?"
"Siapa bilang tidak boleh memakai senjata rahasia?" sahut
Ki Seng-in sambil melarikan kudanya, "Sudahlah, kita kan
kaum wanita, janganlah berlagak sebagai laki-laki."
Sebagai bekas begal besar, kepandaian penunggang kuda
Utti Keng dengan sendirinya sangat mahir. Ketika seorang
kawan laki-laki berjenggot tadi mencegatnya dari depan,
tanpa gugup sedikitpun Utti Keng mendadak menarik tali
kendali kudanya sambil menggertak sekerasnya, kuda
tunggangannya terus melompat setinggi-tingginya sehingga
melangkahi pencegatnya. Saking kagetnya lekas orang itu
menjatuhkan diri ke bawah kuda. Ketika kawan-kawannya
yang lain juga ikut mengudak lagi dengan kuda masingmasing,
namun Ki Seng-in menghamburkan senjata rahasia
yang lihai, yang diarah bukan orangnya, tapi kudanya
sehingga binatang tunggangan itu meringkik riuh dan roboh,
maka mati kutulah mereka dan tak bisa mengejar lagi.
Begitulah Utti Keng menceritakan pengalamannya. Hui-hitotju
terkejut akan munculnya Hu-siang-tjhit-tju di Tionggoan,
tapi juga bersyukur karena sobatnya tidak mengalami cidera
apa-apa, ia pun gegetun bahwa Hu-siang-tjhit-tju ternyata
bisa diperalat oleh pihak kerajaan.
"Entah di antara ketujuh orang itu terdapat tidak Boh-toako?"
tiba-tiba Bu-siang berkata.
Ayahnya merenung sejenak, katanya kemudian, "Dari
uraian Utti-toako tadi, kukira empat orang di antaranya sudah
dapat diterka."
"Yang berjenggot itu tentunya Tjong-susiok dari Toan-sahto
bukan?" ujar Bu-siang.
"Benar, orang ini pernah datang ke Hui-hi-to, bicara
tentang tingkatan, dia terhitung angkatan yang sama dengan
aku. Namanya Tjong Sin-liong. Suami Siang Djing bernama
Tiok Wi, mereka pernah ikut bertempur melawan gerombolan
orang Aino, maka di kalangan Hu-siang-pay terkenal sebagai
pendekar suami-istri. Sebaliknya nama Tjong Sin-liong di luar
lautan tidak begitu harum, bisa jadi dia yang kemaruk
kedudukan sehingga enam orang kawannya ikut terseret ke
jalan sesat, sebab keenam orang itu terhitung angkatan yang
lebih muda daripada dia."
"Ayah mengatakan dapat menerka empat orang di
antaranya, lalu siapa lagi yang seorang?" tanya Bu-siang.
"Yaitu anak perempuan yang disuruh mundur oleh Tjong
Sin-liong waktu mau maju menandingi Utti-toaso," tutur Limtotju.
"Aku menduga dia adalah temanmu sewaktu masih
kanak-kanak, Lian Djay-hong."
Lian Djay-hong adalah anak nelayan di Hui-hi-to, usianya
lebih tua dua tahun daripada Bu-siang. Dia pernah belajar ilmu
silat dua tahun dari Lim-totju, tapi setelah Hui-hi-to diduduki
orang Aino, putus pula hubungan mereka, kabarnya Lian Djayhong
kemudian diterima sebagai murid istri Tjong Sin-liong.
"Jika betul anak perempuan itu adalah Lian-tjitji, bila
bertemu tentu dia akan menurut kata-kataku," kata Bu-siang.
"Hanya Boh-toako entah termasuk di antara ketiga orang yang
lain atau tidak?"
Ia coba meminta penjelasan kepada Utti Keng tentang
muka dan perawakan ketiga orang lainnya, namun sukar
disimpulkan sebagai Boh Tjong-tiu atau bukan, sebab
sesungguhnya mereka pun sudah belasan tahun berpisah.
Akhirnya Utti Keng memberi saran bilamana Lim-totju dan
Bu-siang ingin tahu lebih jelas, dari anak buah Kay-pang, Utti
Keng mendapat kabar bahwa Hu-siang-tjhit-tju juga pernah
merecoki Kang Hay-thian, tapi di rumah Kang Hay-thian berbalik


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepergok Kim Si-ih yang baru pulang dari tempat
tirakatnya. Dalam pertarungan yang tak terduga itu Hu-siangtjhittju dihajar dan lari tunggang langgang oleh Kim Si-ih.
Menurut penyelidikan pihak Kay-pang katanya yang
menghubungkan Hu-siang-tjhit-tju kepada Sat Hok-ting adalah
Auwyang Kian. Sekarang Auwyang Kian sudah lari pulang ke
kandangnya di lereng Hoa-san, maka kalau ingin menyelidiki
Hu-siang-tjhit-tju lebih lanjut, Utti Keng mengusulkan datang
saja ke Hoa-san. Demikianlah Lim Bu-siang menceritakan
sebab musabab kedatangannya ke Hoa-san ini. Cuma ayahnya
tidak ingin bertemu dengan Tjong Sin-liong, maka Bu-siang
hanya datang sendirian.
Lalu Kim Tiok-liu bertanya tentang Utti Keng dan isterinya
berada di mana sekarang.
Menurut cerita Bu-siang mereka telah berangkat ke Tayliangsan untuk mencari Lim To-kan dan Li Kong-he.
"Aneh, untuk apakah Utti Keng mencari kedua murid
keponakanku itu?" ujar Tiok-liu.
"Sungguh celaka Tjong Sin-liong itu, dia rela diperalat pihak
kerajaan, bukan saja membikin rusuh di rumah Suhengmu,
bahkan bersama kawan-kawannya dia mengobrak-abrik
markas Thian-li-hwe di kota P?ting."
Tiok-liu terkejut, "Markas Thian-li-hwe telah dihancurkan
mereka, bilakah terjadinya hal itu" Bagaimana dengan Thiotjongtotju
sekarang?"
"Hal itu terjadi sebulan yang lalu, setelah mengacaukan
markas Thian-li-hwe barulah Hu-siang-tjhit-tju bertemu dan
bertempur dengar. Utti Keng," tutur Bu-siang. "Ketika Utti
Keng sampai di P?ting, dia masih sempat mendengarkan
pesan terakhir Thio-tjongtotju yang dilukai oleh Tjong Sinliong
itu. Thio-tjongtotju itu memberi pesan agar Utti Keng
mencari Lim To-kan yang merupakan putera ketua Thian-lihwe
sebelum Thio Su-liong, untuk menggantikan
kedudukannya. Sebab hulah Utti Keng harus cepat berangkat
ke Sedjiang untuk mencari kedua murid keponakanmu."
Sementara itu pagi sudah tiba, dengan wajah merah tibatiba
Bu-siang berkata pula, "Kim-siauhiap, sudah kuceritakan
padamu apa yang aku tahu. Tentang Boh-piauko....."
Tiok-liu paham apa maksud si nona, segera ia pun
menceritakan pengalamannya tentang Boh Tjong-tiu.
Bu-siang sangat girang mengetahui Boh Tjong-tiu
berangkat ke kotanya, terutama setelah mengetahui bahwa
Boh Tjong-tiu tidak termasuk komplotan Tjong Sin-liong.
Dengan mengucapkan terima kasih lalu ia mohon diri.
Seperginya Bu-siang, dengan tertawa Su Ang-ing berkata,
"Melihat gelagatnya, tampaknya anak dara ini telah jatuh hati
kepada sang Piauko."
Begitulah mereka lantas kembali ke kuil dan bebenah
seperlunya, lalu meninggalkan Hoa-san yang indah permai itu
dan menuju ke Tay-liang-san.
Setiba di tempat tujuan, benar juga Utti Keng dan istrinya
sudah berada di sana, dengan gembira mereka saling
mengutarakan perasaan rindu masing-masing selama berpisah
ini. Tiok-liu mengucapkan selamat kemenangan Utti Keng atas
Hu-siang-tjhit-tju. Tentu saja Utti Keng heran darimana Kim
Tiok-liu mendapat kabar itu, maka berceritalah Tiok-liu
tentang Lim Bu-siang yang sedang mencari Boh Tjong-tiu itu.
Mereka sama-sama bergembira karena dunia persilatan
sekarang banyak muncul pula tokoh muda, terutama mereka
ikut bergirang karena Lim To-kan dicalonkan sebagai ketua
Thian-li-hwe yang baru.
Setiba di ruangan dalam, Tiok Siang-hu sudah menantikan
mereka. Lebih dulu Tiok-liu melaporkan keadaan Le Lam-sing
dan Kongsun Yan yang sudah lepas dari bahaya itu. Tiok
Siang-hu sangat senang, terutama setelah mengetahui Thianmokau dan Ang-eng-hwe telah bergabung dengan ikut
mengadakan perlawanan terhadap kerajaan Boandjing.
Kemudian Kim Tiok-liu menyampaikan pula berita rahasia
yang diterima dari Hong Tju-tjiau itu, Tiok Siang-hu terkejut
karena tidak menduga akan tipu muslihat Sat Hok-ting yang
bermaksud mengadu-domba kepala-kepala suku bangsa di
daerah Djinghay dengan pasukan pergerakan yang
dipimpinnya. "Utusan Sat Hok-ting saat ini sudah berangkat dari kotaraja,
maka kita juga harus lekas mengirim orang ke Djinghay,"
kata Tiok-liu. "Jika Tiok-pepek tidak keberatan, Siautit siap
menerima tugas ini."
"Lama Putih di Djinghay punya hubungan baik dengan
ayahmu, Ginkangmu juga sangat bagus, dirimu benar-benar
pilihan yang paling tepat, cuma sebaiknya kau pun dikawani
lagi satu orang," kata Tiok Siang-hu setelah berpikir sejenak.
Ia memandang Su Ang-ing sekejap, lalu menyambung pula,
"Mestinya nona Su pantas pergi bersama kau, cuma kepalakepala
suku di sana mempunyai kebiasaan yang memandang
rendah kaum wanita."
"Masakah begitu?" omel Ki Seng-in penasaran.
"Memang begitulah adat-istiadat mereka, kita
berkepentingan, terpaksa menuruti mereka," kata Tiok Sianghu.
Jelas maksudnya urusan yang akan dikirim terpaksa kaum
lelaki semua. "Aku pergi bersama kau, Tiok-liu," tiba-tiba Utti Keng
berseru. "Hahaha, Utti Keng sudi berangkat bersama Tiok-liu, inilah
pilihan paling bagus," seru Tiok Siang-hu sambil tertawa.
Setelah mengambil keputusan, Tiok Siang-hu lantas
menulis sepucuk surat dan diserahkan kepada Utti Keng,
pesannya, "Kelima kelompok suku bangsa di Djinghay
dikepalai oleh suku ltjam. Kalian bertindak sebagai utusan
menemui Sultan Itjam. Tak usah peduli apakah dia sudah
terbujuk oleh kerajaan Boan-djing atau belum, yang penting
jelaskan untung-ruginya. Asalkan dia mau bekerja bagi kita,
maka keempat kelompok suku yang lain menjadi mudah
diatasi." Namun Utti Keng menyerahkan surat itu kepada Tiok-liu
karena merasa perangainya tidak cocok untuk menjadi utusan
penting itu, ia meminta Tiok-liu saja yang memikul tugas itu,
ia sendiri terima menjadi pengiring saja.
Karena tak bisa menolak, terpaksa Tiok-liu menerimanya,
lalu Tiok Siang-hu mengeluarkan sebuah mainan semangka
kemala dan sebatang Djingsom berumur ribuan tahun sebagai
hadiah untuk Sultan Itjam yang terkenal serakah itu.
Besoknya Utti Keng lantas berangkat bersama Kim Tiok-liu,
sedang istrinya Ki Seng-in, berangkat ke Poting bersama Lim
To-kan dan Li Kong-he dan istri masing-masing untuk
menyelesaikan urusan Thian-li-hwe.
Pada waktu mengantar keberangkatan Utti Keng dan Kim
Tiok-liu, tiba-tiba Tiok Siang-hu teringat sesuatu lagi, ia
memberi pesan agar Kim Tiok-liu menemui Tjongtat Wan-tjin,
pemimpin Lama putih yang dipuja oleh kelompok suku Itjam.
Tjongtat Wan-tjin juga kenal Kim Si-ih, maka tidaklah sukar
untuk minta bantuan pengaruhnya.
Perjalanan dari Tay-liang-san ke padang rumput di daerah
Djinghay harus menyusuri hutan belukar yang berbahaya.
Untunglah sepanjang jalan tak terjadi apa-apa, akhirnya Kim
Tiok-liu berdua tiba di Djinghay dengan selamat, mereka
diterima dengan baik oleh Sultan Itjam.
Sultan itu sangat senang menerima hadiah berharga itu,
tapi ia menjadi termenung ragu-ragu setelah membaca surat
Tiok Siang-hu, segera Kim Tiok-liu menguraikan untung
ruginya bila dia mesti memihak. Namun Sultan itu masih raguragu
dan menyatakan akan berunding dulu dengan kelompokkelompok
suku yang lain.
Kim Tiok-liu tidak berani mendesak lebih jauh, terpaksa ia
menunggu dulu dan kembali ke tempat penginapan tamu
agung yang disediakan. Besoknya Tiok-liu berkunjung kepada
Lama Besar Tjongtat Wan-tjin. Mengetahui bahwa Kim Tiok-liu
adalah putera Kim Si-ih, Lama Besar itu sangat senang dan
menyambutnya dengan hormat karena merasa berhutang budi
kepa-di Kim Si-ih yang pernah membantu mengatasi
kerusuhan dalam agamanya di masa lampau.
Kemudian Kim Tiok-liu mengemukakan maksud
kedatangannya akan meminta bantuan pengaruh Lama Besar
itu terhadap sang Sultan. Untuk sejenak Tjongtat Wan-tjin
berpikir, lalu berkata, "Sudah tentu aku akan memberi
bantuan padamu sedapat mungkin, tapi hendaklah kalian
mengetahui bahwa utusan kerajaan Boan telah datang tiga
hari lebih dulu."
Alangkah kejut dan kecewanya Kim Tiok-liu mendengar
keterangan itu, terutama setelah diketahui bahwa utusan
Boan-djing itu diberi tempat tinggal di dalam istana Sultan
sendiri, sebaliknya Tiok-liu berdua hanya diberi tempat tinggal
di tempat penampungan tamu, di sini sudah jelas kepala suku
itu lebih condong terhadap utusan kerajaan.
"Aku perlu mengingatkan sesuatu lagi padamu bahwa
kedatangan utusan kerajaan Boandjing itu telah bertekad
harus terlaksana tugas mereka, dengan bertempat tinggal di
dalam istana, mereka dapat merangkul pula orang-orang
kepercayaan kepala suku, maka kalian harus waspada
terhadap tipu muslihat mereka yang mungkin bisa membikin
celaka kalian," demikian Lama Besar itu mengingatkan.
Kim Tiok-liu mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati
Tjongtat Wan-tjin. Setiba kembali di pondokan, benar juga,
malamnya seorang dayang istana telah diutus sang Sultan
untuk mengantarkan daharan dan minuman keras, katanya
sebagai tanda penghormatan kepada tamunya.
Sudah tentu Kim Tiok-liu curiga, diam-diam ia membisiki
Utti Keng dan memberikan sebutir Pik-ling-tan yang paling
mustajab anti racun, lalu katanya, "Banyak terima kasih pada
maksud baik Ongya. Utti-toako, untuk menerima anugerah
Ong-ya ini, marilah kita minum bersama."
Begitulah sekaligus mereka masing-masing minum tiga
cawan arak itu, keruan dayang istana itu sangat senang dan
yakin sejenak lagi kedua korbannya pasti akan roboh. Tak
terduga Utti Keng lantas bergelak tertawa dan berseru,
"Bagus, sungguh arak bagus!" Mendadak ia menggabruk
meja, kontan ujung meja itu sempal sebagian, keruan dayang
itu melonjak kaget.
"Kau sudah mabuk Utti-toako," kata Tiok-liu.
"Tidak, tidak mabuk Arak bagus ini telah memberi
semangat padaku sehingga aku ingin coba-coba tenagaku,"
sahut Utti Keng sambil berjingkrak tak keruan sebagaimana
lagak orang mabuk. "Eh, paduka tuan inipun pantas disuguhi
tiga cawan. Marilah minum."
Padahal arak itu memang telah ditaruh racun yang bisa
menghancurkan isi perut, keruan dayang itu ketakutan dan
menjawab dengan gelagapan, "Ti.....tidak, aku tidak.....tidak
dapat minum arak."
"Kau tidak dapat atau tidak berani minum?" bentak Utti
Keng tetap mabuk. "Kau sengaja meracuni kami bukan" Arak
ini tentu beracun."
"Ti.....tidak, arak ini bukan arak beracun," sahut dayang itu
ketakutan. "Kalau tidak beracun, kenapa engkau tidak mau minum?"
ujar Tiok-liu. "Tapi kami juga tidak memaksa, arak ini akan
kami suguhkan kembali kepada Ongya saja."
"Tidak, dia tidak bicara sejujurnya, dia harus minum dulu
arak ini!" seru Utti Keng sambil mencengkeraman dada
dayang itu dan berlagak akan mencekokinya.
Begitulah tindakan Utti Keng membikin dayang itu
ketakutan setengah mati. Maklum, arak beracun yang dia
antar itu bukan atas perintah Sultan, jika benar Kim Tiok-liu
menyuguh kembali arak itu kepada Sultan, maka
perbuatannya di luar perintah itu pasti akan terbongkar. Ia
pun terkejut sekali melihat Utti Keng dan Kim Tiok-liu tidak
terganggu apa-apa meski sudah banyak menenggak arak
beracun antarannya itu, sebagai orang yang memuji malaikat,
dia percaya Kim Tiok-liu berdua pasti dilindungi malaikat dan
karena itu Tuhan pasti berada di pihak mereka yang benar ini.
Lantaran kejut dan takut, akhirnya dayang itu mengaku
terus terang, "Ya, benar, memang arak ini beracun. Tapi
bukan urusan hamba, sebab hamba cuma disuruh oleh utusan
kerajaan Boandjing."
"Baik, karena kau telah mengaku, maka jiwamu dapat
diampuni," kata Utti Keng. "Dimana utusan kerajaan itu
tinggal" Coba gambarkan tempatnya."
Terpaksa dayang itu melukiskan tempat tinggal utusan
kerajaan Boandjing itu di tengah taman istana Sultan. Habis
itu Utti Keng menutuk Hiat-to penidur dayang itu, katanya,
"Marilah kita bekuk utusan itu dan mengumumkan kejadian
ini, lalu membinasakan dia."
"Jangan, kalau Sultan sudah condong ke sana, biarpun
membunuh utusan itu juga tak berguna," ujar Tiok-liu.
"Tetapi dengan terbunuhnya utusan itu, bukankah berarti
membikin buntu pula peluang bagi Sultan untuk mengekor
kepada kerajaan Boan?" kata Utti Keng.
Karena kedua orang tidak sepaham, setelah berpikir
sejenak, Tiok-liu berkata, "Marilah kita bertindak menurut
keadaan saja. Bawa dayang ini kepada Tjongtat Wan-tjin dan
minta petunjuknya atas kejadian ini. Aku akan menyusup ke
istana untuk menyelidiki gerak-gerik utusan kerajaan musuh,
bila perlu barulah akan kuseret keluar mereka dan
membeberkan kejadian ini."
Utti Keng setuju, segera ia menyadarkan dayang yang dia
tutuk tadi dan memerintahkan dayang itu membawanya ke
biara Lama Besar. Dalam keadaan terancam dan takut akan
kelihaian Utti Keng, dayang itu menurut saja segala perintah
Utti Keng, segera ia membawa Utti Keng ke biara Lama Besar
yang terletak di lingkungan istana.
Seperginya Utti Keng, kira-kira lewat tengah malam, Kim
Tiok-liu lantas berganti pakaian malam dan menyusup ke
istana Sultan. Sesuai dengan lukisan dayang itu, dengan
gampang dapatlah ia menemukan tempat tinggal utusan
kerajaan Boan. Terlihat kamarnya masih terang benderang,
pada tabir jendela terbayang tiga sosok tubuh. Seorang
berdandan sebagai pembesar Boan, yang seorang lagi
berjenggot. Ginkang Kim Tiok-liu sudah sangat tinggi, boleh dikata
menginjak salju tidak meninggalkan bekas. Dengan enteng
sekali ia melintasi sebuah gunung-gunungan dan baru saja


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak mendekati jendela untuk mendengarkan. Tiba-tiba
seorang di dalam membentak, "Siapa itu di luar?" Dengan
cepat ia berbangkit dan membuka daun jendela.
Tiok-liu terkejut dan mengakui kelihaian orang, tapi ia pun
cerdik, dilihatnya di atas pohon samping gunung-gunungan itu
ada sebuah sarang burung, ketika orang di dalam bersuara,
berbareng ia menggunakan tenaga jari sakti menyentik sarang
burung itu dari jauh. Seketika sarang burung itu tergoncang,
seekor burung berkaok-kaok kaget dan terbang untuk
kemudian hinggap kembali di sarangnya.
Orang berjenggot itu mendengus, "Kurang ajar! Burung
keparat! Bikin kaget saja!"
"Ah, kau pun terlalu curiga, mana ada orang berani datang
kemari malam-malam begini?" ujar orang berdandan sebagai
pembesar Boan itu.
"Betapapun kita harus waspada, soalnya pihak lawan
adalah jago-jago yang lihai, bukan mustahil mereka akan
datang merecoki kita," kata si jenggot panjang.
"Apa kau maksudkan kedua utusan dari Tay-liang-san itu"
Ya, aku memangnya ingin bertanya padamu kedua orang
macam apakah mereka itu" Masakah dengan kepandaian
Tjong-ya mesti gentar kepada mereka?" kata si pembesar.
Mendengar disebutnya "Tjong-ya", baru sekarang Tiok-liu
sadar bahwa si jenggot panjang itu kiranya adalah Tjong Sinliong,
kepala Hu-siang-tjhit-tju yang pernah bergebrak dengan
Utti Keng. "Kau jangan meremehkan mereka," demikian terdengar
Tjong Sin-liong sedang berkata. "Mereka adalah putera Kim Sii!
i dan yang seorang lagi adalah Utti Keng, itu bandit besar
yang menjadi buronan pemerintah kalian."
"Hah, kiranya mereka!" terdengar si pembesar tadi berseru
kaget. "Pantas Tjong-ya bertindak dengan sangat prihatin.
Tapi rasanya tipu daya kita toh takkan meleset, betapapun
mereka takkan menduga kita bisa memperalat dayang istana
untuk mengantar arak berbisa kepada mereka."
Di dalam hati Kim Tiok-liu merasa bersyukur bahwa
sebelumnya Tjongtat Wan-tjin telah memperingatkan mereka,
kalau tidak tentu sudah binasa diracun oleh musuh yang telah
mengetahui lebih dulu akan kedatangannya.
Belum lenyap pikirannya, tiba-tiba terdengar Tjong Sinliong
membentak lagi, "Siapa itu berani mengintip ke sini?"
Tiok-liu terkejut karena mengira jejaknya konangan musuh,
tapi tiba-tiba terdengar suara angin berkesiur, beberapa sosok
bayangan manusia muncul di atas wuwungan. Terdengar
seorang di antaranya membentak, "Keluar sini, Tjong Sinliong!"
Menyusul orang-orang itu lantas melompat ke bawah,
kepalanya ternyata sudah dikenalnya, yaitu Boh Tjong-tiu.
Di samping Boh Tjong-tiu masih ada tiga orang lagi, dua di
antaranya juga sudah dikenal Kim Tiok-liu, yaitu Tjiok Wi dan
Siang Djing yang pernah bertempur di puncak Hoa-san tempo
hari, seorang lagi adalah perempuan muda berumur 20-an.
Menurut dugaan Tiok-liu mungkin gadis inilah Lian Djay-hong
yang pernah disebut oleh Lim Bu-siang itu.
Melihat munculnya ketiga murid keponakan bersama
seorang asing, bahkan orang yang tak dikenal ini bersikap
ketus padanya, Tjong Sin-liong menjadi heran dan terperanjat,
tanyanya, "Siapakah bocah ini?"
"Aku Boh Tjong-tiu, ahli-waris lurus Hu-siang-pay, meski
tinggi angkatanmu dalam perguruan kita juga mesti tunduk
kepada perintahku," sahut Boh Tjong-tiu.
Sekilas pandang Tjong Sin-liong melihat Tjiok Wi bertiga
mengangguk seperti menguatkan apa yang dikatakan Boh
Tjong-tiu. "Hu-siang-pay sudah lama terpecah menjadi tiga cabang
jabatan ahli-warismu ini adalah angkatan sendiri, aku tidak di
bawah perintahmu," sahut Tjong Sin-liong dengan gusar.
Tjiok Wi lantas mencela, "Tjong-susiok, daripada terpecahbelah
ada lebih baik bersatu kembali. Sudah waktunya Husiangpay kita harus dipersatukan demi perkembangan
selanjutnya yang lebih jaya."
"Hm, jadi kalian telah mengakui dia sebagai Tjiangbundjin?"
jengek Sin-liong. "Baik Tjiangbundjin baru, ada apa
dengan kedatanganmu ini?"
"Pertama, tidaklah pantas kau kemaruk kedudukan, aku
melarang kau menyaru sebagai utusan kerajaan Boandjing
untuk menipu orang di sini," kata Boh Tjong-tiu.
"Ngaco-belo! Siapa bilang aku menyaru sebagai utusan kerajaan"
Aku justru mendapat tugas penting dari kerajaan,
tindakanku ini demi kejayaan perguruan kita Kau paham apa
hingga berani mengajari aku?" jawab Sin-liong dengan gusar.
Boh Tjong-tiu tidak menggubris ocehannya dan
melanjutkan, "Kedua, segala kitab pelajaran ilmu pukulan atau
ilmu pedang tidak boleh dimiliki orang secara pribadi. Bagian
yang berada padamu juga harus diserahkan kembali padaku!"
"Haha, kelihatan belangnya, kiranya kau ingin
mengangkangi kitab-kitab pusaka perguruan?" ejek Tjong Sinliong.
"Hm, Tjong Sin-liong, ucapanmu itu hanya mengukur diri
orang dengan diri sendiri," sahut Tjong-tiu. "Tapi aku pun
tidak ambil pusing, aku cuma bertanya kau mau menurut atau
tidak?" "Kalau tidak menurut mau apa?" jawab Tjong Sin-liong.
"Terpaksa aku membikin pembersihan demi kesucian
perguruan," kata Boh Tjong-tiu.
Kim Tiok-liu sangat girang menyaksikan itu, dengan
tindakan Boh Tjong-tiu itu, maka tidak perlu dirinya ikut
campur dan sementara juga tidak perlu memperlihatkan diri.
Agaknya Tjong Sin-liong menjadi murka bentaknya,
"Terlalu kurangajar kau ini. Bagus, majulah jika kau mau
membikin pembersihan perguruan. Dan kalian bagaimana
Tjiok Wi dan Siang Djing?"
"Kami hanya membela kebenaran," sahut Tjiok Wi dan isterinya.
"Apa yang dikatakan Boh-suheng memang benar."
Kiranya di antara Hu-siang-tjhit-tju akhirnya terjadi selisih
paham, sebagian sadar akan kekeliruan mereka telah diperalat
oleh kerajaan lalim itu, sebagian lagi masih mau mengekor
kepada Tjong Sin-liong.
Setiba Boh Tjong-tiu di kotaraja, lebih dulu ia menemukan
Lian Djay-hong yang dapat diinsyafkan olehnya. Tjiok Wi dan
Siang Djing memangnya tidak sepaham dengan Tjong Sinliong,
maka mereka bertekad mendukung Tjong-tiu sebagai
ketua Hu-siang-pay dan ikut ke Djinghay untuk menyusul Sinliong.
Begitulah Tjong Sin-liong bertambah murka karena Tjiok Wi
dan istrinya memihak Boh Tjong-tiu, dengusnya, "Baik, boleh
kalian berdua maju sekalian supaya aku bisa menghemat
tenaga. Dan bagaimana pula dengan kau, Djay-hong?"
Lian Djay-hong adalah murid istri Sing-liong yang sudah
meninggal, maka nona itu dapat dianggap sebagai muridnya.
Di luar dugaan Lian Djay-hong menjawab, "Sebagai
seorang perempuan aku hanya patuh pada ajaran. Di rumah
ikut ayah, setelah menikah ikut suami."
"Apakah maksudmu, apa kau sudah gila?" teriak Tjong Sinliong.
"Kami sudah bertunangan, Djay-hong adalah bakal istriku,"
sela Tjong-tiu.
"Sukdng, mengingat kebaikan Suhu, asalkan kau mau
menyerahkan kitab pusaka leluhur kita, maka aku pasti akan
memohonkan kelonggaran kepada Boh-toako," kata Djayhong.
Kim Tiok-liu terkejut mendengar Lian Djay-hong telah
bertunangan dengan Boh Tjong-tiu, lalu bagaimana dengan
nasib Lim Bu-siang yang dari tutur-katanya tempo hari jelas
telah jatuh cinta juga kepada Boh Tjong-tiu.
Suara bentakan mengejutkan Kim Tiok-liu dari lamunannya
terlihat Tjong Sin-liong sedang menusukkan pedangnya ke
arah Boh Tjong-tiu. Ketika Tjong-tiu menekan kipasnya, "Crit",
pedang Tjong Sin-liong tertangkis ke samping, tapi kipas
Tjong-tiu juga tertusuk suatu lubang kecil.
Keduanya sama-sama terkesiap dan tahu telah menemukan
lawan berat Bicara tentang kekuatan adalah Tjong Sin-liong
lebih ulet, tapi tentang ilmu pedang adalah Tjong-tiu lebih
bagus. Dia memainkan kipasnya sebagai pedang pendek,
dalam sekejap saja sudah mengancam berbagai Hiat-to lawan,
tetapi pedang Tjong Sin-liong juga tidak kalah lihainya.
Kim Tiok-liu sampai menahan napas menyaksikan
pertarungan sengit itu, ia pun tidak berani memastikan siapa
yang lebih unggul akhirnya nanti.
Dalam pada itu kawanan pengawal istana Sultan sudah
sama berdatangan karena suara pertempuran itu.
"Kami dari Hu-siang-pay sedang membikin pembersihan
perguruan sendiri dan tiada sangkut-paut dengan orang luar,"
seru Tjiok Wi. "Jangan percaya ocehannya, lekas maju membekuk
kawanan perusuh ini!" teriak si pembesar utusan Boan.
"Orang ini bukan utusan resmi, dia cuma pesuruh Sat Hokting,
seluk-beluknya akan kujelaskan kepada Ongya kalian
nanti, sekarang hendaklah kalian tinggal diam dulu," seru
Tjong-tiu. Kawanan pengawal itu tidak paham peraturan Kangouw,
juga tidak percaya kepada omongan Boh Tjong-tiu, maka
beramai-ramai mereka mengepung dari empat penjuru.
Mendadak Kim Tiok-liu menggertak dan melompat keluar dari
tempat persembunyiannya, berbareng Hian-tiat-pokiam lantas
bekerja, hanya sekejap saja sebuah gunung-gunungan ditabas
hingga hancur, lalu bentaknya, "Siapapun tidak boleh bergerak
Apakah utusan Boan ini resmi atau tidak, yang pasti akan
kubekuk untuk diadukan ke hadapan Ongya kalian karena dia
mengadakan komplotan pembunuhan terhadap tamu-tamu
Ongya kalian."
Melihat kelihaian Kim Tiok-liu, serentak kawanan pengawal
itu menjadi kuncup nyalinya, sehingga tidak berani bergerak
lagi. Utusan Boan itupun ketakutan, ia pikir paling selamat
melarikan diri saja. Segera ia menyusup di antara kawanan
pengawal itu terus berlari ke arah istana Sultan.
"Keparat! Hendak lari kemana?" mendadak seorang
membentak, sekali cengkeram utusan Boan itu kena dibekuk.
Kiranya pendatang ini adalah Utti Keng, di belakangnya ikut
lagi dua orang, yaitu Tjongtat Wan-tjin serta dayang yang
mengantar arak beracun tadi.
"Tepat sekali kedatangan Utti-toako," seru Tiok-liu girang.
"Lihatlah, orang itu ialah Boh Tjong-tiu, dia sedang
membersihkan perguruannya, kita tak perlu ikut campur.
Sebentar lagi kita temui Ongya."
Di sebelah sana pertarungan Tjong Sin-liong dan Boh
Tjong-tiu masih berlangsung dengan seru, mendadak Tjongtiu
membentak sambil melancarkan serangan-serangan kilat.
Tiok-liu merasa heran menyaksikan jurus serangan itu, kiranya
kipas Boh Tjong-tiu yang dimainkan sebagai pedang itu
mengeluarkan jurus serangan mirip Si-mi-kiam-hoat dan Tuihongkiam-hoat. Setelah berpikir, paham juga Kim Tiok-liu,
kiranya Boh Tjong-tiu juga telah berhasil menyelami Thiansankiam-hoat yang hebat itu serta diciptakannya jurus ilmu
pedang baru. Diam-diam Tiok-liu mengakui kecerdasan orang
yang tidak di bawahnya itu.
Hanya beberapa jurus Tjong Sin-liong sudah kelihatan
kewalahan, mendadak Boh Tjong-tiu membentak lagi, "Kena!"
Gagang kipasnya lantas mengetok, dengan tepat tulang
pundak Tjong Sin-liong terpukul remuk sehingga tak bisa
berkutik. Setelah digeledah dan merampas Kiam-boh (kitab ilmu
pedang), Tjong-tiu berkata pula, "Mengingat kau adalah suami
Suhu Djay-hong, jiwamu dapat diampuni. Nah, enyah!"
Tulang pundak telah remuk, ilmu silat tak bisa digunakan
lagi, Sin-liong tak berani bersuara pula dan mengeluyur pergi.
Kemudian Tjongtat Wan-tjin memerintahkan kawanan
pengawal kembali ke posnya masing-masing, ia sendiri
bersama Utti Keng dan lain-lain lantas menggiring utusan
Boan serta dayang pengantar arak itu untuk menemui Sultan.
Sebagai Lama Besar, sudah tentu Tjongtat Wan-tjin sangat
disegani kepala suku itu, terkejut juga Sultan itu ketika
menerima laporan dari Tjongtat Wan-tjin tentang apa yang
terjadi, apalagi dari jauh ia sendiripun menyaksikan betapa
lihainya Kim Tiok-liu menghancurkan gunung-gunungan
dengan pedangnya.
"Katakan terus terang kepada Ongya!" bentak Tjongtat
Wan-tjin sambil mendorong dayang pesakitan itu ke depan.
Dengan ketakutan terpaksa dayang itu mengaku segala apa
yang telah dilakukannya.
Dengan ketakutan utusan Boan itu masih menyangkal, "Aku
adalah utusan kerajaan yang terhormat, kalian jangan
sembarangan memfitnah orang baik."
Mendadak Boh Tjong-tiu tampil ke muka, serunya, "Orang
ini bukan utusan kerajaan, dia cuma utusan pribadi Sal Hokting
saja. Sat Hok-ting sekarang sudah dipenjarakan oleh
pemerintah kerajaan Boan. Ini, lihatlah bukti ini!" berbareng ia
menyodorkan sehelai maklumat yang dibawanya dari kotaraja.
Kiranya waktu itu Sat Hok-ting memang telah dipecat dan
dipenjarakan oleh Kaisar Boan, soalnya dia berkomplot dengan
seorang Pangeran dan main kekuasaan serta melakukan
korupsi. Akhirnya dia dijatuhkan oleh dua Panglima besar yang
memegang kekuasaan militer, terpaksa Kaisar memecat Sat
Hok-ting dan memasukkannya ke penjara.
Perubahan yang tak terduga ini seketika menghilangkan
rasa keraguan kepala suku Itjam itu, ia lebih-lebih percaya lagi
setelah Kim Tiok-liu memperkenalkan Boh Tjong-tiu. Segera
utusan Sat Hok-ting itu dihukum rangket, lalu diusir pergi.
Begitulah Kim Tiok-liu telah sukses dengan tugasnya,
kelompok-kelompok suku bangsa di Djinghay itu mengadakan
persekutuan dengan pasukan pergerakan Tiok Siang-hu, lalu
mereka mohon diri dan keluar istana dimana Lian Djay Hong
dan lain-lain sedang menunggu.
Ketika Kim Tiok-liu memberitahukan pertemuannya dengan
Lim Bu-siang di Hoa-san, Lian Djay-hong dan Boh Tjong-tiu
sangat girang karena mendapat kabar dan alamat nona itu.
Namun dari sikapnya, sedikitpun Tjong-tiu tidak kelihatan
perasaan mesra. Rupanya dia memang tidak tahu bahwa
diam-diam Lim Bu-siang mencintainya.
Kim Tiok-liu gegetun di dalam hati, terpikir olehnya dalam
soal perjodohan memang tidak setiap orang terkabul menurut
cita-cita. Ia tidak bicara lagi dan lantas berpisah dengan
mereka. Setiba Tiok-liu dan Utti Keng di Tay-liang-san, ternyata
ayahnya, yaitu Kim Si-ih, beserta Le Lam-sing dan Kongsun


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yan juga sudah berada di situ. Dengan girang Kim Tiok-liu
lantas memberi hormat kepada ayahnya, lalu memberikan
laporan kepada Tiok Siang-hu.
Siang-hu sangat senang dan memberi pujian, lalu katanya,
"Aku pun ingin menyampaikan kabar girang kepadamu, tapi
lebih baik ayahmu sendiri saja yang memberitahukan
padamu." Kiranya Kim Si-ih telah mengambil keputusan pada tanggal
15 bulan berikutnya akan melangsungkan perkawinan Kim
Tiok-liu dan Su Ang-ing, bahkan pada hari yang sama Kongsun
Hong juga akan mengawinkan putrinya dengan Le Lam-sing.
Wajah Tiok-liu merah jengah mendengar berita itu, namun
dalam hati tak terlukiskan senangnya.
Meski Tay-liang-san terpencil di daerah barat-laut, tapi putera
Kim Si-ih kawin, sudah tentu tidak sedikit mendapat
kunjungan tamu-tamu, terutama tokoh-tokoh persilatan
terkemuka. Di tengah perayaan itu, tiba-tiba pelayan melaporkan
seorang nona Lim yang mengaku sobat Kim Tiok-liu juga
datang memberi selamat. Kiranya yang datang ialah Lim Busiang.
"Piauko tidak diketemukan di kotaraja, maka aku sengaja
ke sini untuk memberi selamat padamu sekalian mencari
kabar padamu," kata Bu-siang.
Dengan perasaan tak enak Kim Tiok-liu menjawab, "Aku
sudah bertemu Piaukomu, dia menyatakan akan mencari ke
rumahmu." Ia hanya berkata demikian karena tidak ingin
memberitahukan hal yang bisa membikin sedih Lim Bu-siang.
Begitulah meski perasaan Kim Tiok-liu rada tertekan
merasakan nasib Lim Bu-siang yang malang itu, namun pesta,
yang riang gembira itu membikin suasana menjadi lebih
semarak. TAMAT Istana Pulau Es 22 Kesatria Berandalan Karya Ma Seng Kong Elang Pemburu 1

Cari Blog Ini