Ceritasilat Novel Online

Pendekar Jembel 2

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Bagian 2


Saking kuatnya tenaga tolakan kakinya itu, hampir saja Biausiang
terdorong jatuh.
Keruan Biau-siang menjadi gusar, dampratnya "Apakah
kalian sangka aku ini gampang dihina?"
"Sret", berbareng ia terus melolos pedang dan diacungkan
ke arah si tinggi.
"Eeh, keponakanku yang baik, janganlah kau menakutnakuti
kami dengan senjata ya?" kata yang tinggi itu dengan
cengar-cengir. "Siapa sudi menjadi keponakanmu?" semprot Biau-siang.
"Ah, barangkali kau belum tahu siapakah kami ini?" sela si
pendek dengan tertawa. "Biarlah kuberitahukan dulu. Aku she
Tju, bernama Hou-sin. Dan dia she Ki, bernama Djui.
Tentunya ayahmu pernah menyebutkan nama kami bukan?"
"Tidak tahu," sahut Biau-siang dengan ketus.
Sekilas Ki Djui tercengang, katanya, "Jika demikian, jadi
asal usul ayahmu sendiri pun selama ini tidak diberitahukan
padamu" Baiklah biar kukatakan. Kami dan ayahmu adalah
sama-sama jago bayangkara kerajaan pada 20-an tahun yang
lalu. Ayahmu kemudian meninggalkan tugasnya dan
mengasingkan diri di sini. Ketika kami bertiga masih bertugas,
hubungan kami adalah seperti saudara sekandung, sebab
itulah aku berani menyebut kau sebagai keponakanku. Tapi
jangan kau sangka kami sengaja mengolok-olok padamu."
"Ayahku yang punya hubungan baik dengan kalian, tapi aku
sendiri tidak kenal kalian," sahut Biau-siang dengan sikap
dingin. "Ayah tidak di rumah, darimana aku bisa mengetahui
kata-katamu itu benar atau tidak" Maaf aku tak bisa melayani
kalian. Bila perlu kalian boleh bicara sendiri saja dengan
ayah." Tadinya Ki Djui menyangka dengan memberitahukan siapa
diri mereka tentu Hong Biau-siang akan bersikap ramah, siapa
tahu dugaannya ternyata meleset. Dengan mendongkol ia
berkata lagi, "Baiklah, jika begitu boleh kau beritahukan saja
ayahmu dan Bun-sioksiokmu itu berada dimana sekarang?"
"Tidak tahu," sahut Biau-siang kaku. "Tahu juga takkan
kukatakan."
"Haha! Hendaklah kau maklum bahwa kedatangan kami
adalah hendak mengundang ayahmu kembali ke jabatannya
yang dulu," seru Tju Hou-sin dengan tertawa.
Tapi Biau-siang hanya mendengus, "Huh, aku tidak
kepingin!"
"Kau tidak kepingin, tapi ayahmu pasti kepingin!" ujar Tju
Hou-sin. Ia tidak menduga bahwa justru sesudah Hong Biau-siang
mengetahui siapa diri ayahnya itulah sehingga hatinya
menjadi kesal. Rasa kesal yang tak terlampiaskan itu kini
lantas dihempaskan atas diri kedua orang ini. Segera
pedangnya menuding dan mendamprat, "Ayahku kepingin
boleh kau bicara sendiri padanya. Jika kau cerewet lagi jangan
menyalahkan aku berlaku kasar padamu. Kalian mau lekas
enyah atau tidak?"
"Aha, memangnya keponakan hendak menguji kepandaian
pamannya?" Ki Djui mengolok-olok dengan tertawa. Mendadak
ia membentak dengan bengis. "Kini aku pun tidak perlu
sungkan-sungkan lagi!"
Berbareng pukulannya lantas dilontarkan, dengan tangan
kosong segera ia bermaksud merebut senjata si nona.
Tak terduga, biar pun kepandaian Hong Biau-siang bukan
tandingan mereka, tapi juga bukan kaum lemah. Ki Djui terlalu
memandang enteng lawannya dan mau merebut senjata
dengan tangan kosong, mendadak Hong Biau-Siang memutar
pedangnya, "sret", dengan cepat ia berbalik hendak menebas
pergelang-an tangan Ki Djui. Untung Ki Djui cukup cepat
menarik tangannya, kalau tidak tangannya tentu sudah
buntung. "Kurang ajar! Lepas pedangmu!" bentak Tju Hou-sin
dengan gusar. Berbareng ia pun menubruk maju, lalu
tangannya menampar dalam jurus 'Djiu-hun-pi-peh' atau
tangan mengebas alat musik.
Tentu saja Biau-siang kewalahan menghadapi kerubutan
dua jagoan, lengannya tertampar dan terasa panas pegal,
jarinya terasa kaku dan pedang lantas terlepas dari cekalan.
Pada saat itulah di tempat persembunyiannya, Kim Tiok-liu
mendorong Tjin Goan-ko dan berkata, "Hayo, lekas pergi
menolong si cantik!"
Tanpa kuasa lagi Goan-ko meloncat ke depan. Sekali sudah
memperlihatkan diri, tanpa tanggung-tanggung lagi ia lantas
melolos pedang dan menerjang maju. Tapi Kim Tiok-liu
ternyata tidak ikut keluar.
"Cakar alap-alap bangsat! Dua orang mengeroyok seorang
anak perempuan, huh, tidak tahu malu!" bentak Goan-ko.
Berbareng pedangnya bekerja dengan cepat, ia menusuk ke
kanan dan menyabet ke kiri, sekaligus ia serang Tju Hou-sin
dan Ki Djui berdua sehingga mereka terdesak mundur. Untung
kedatangan Goan-ko tepat pada waktunya, sehingga Biausiang
terhindar dari ancaman maut
"Heh, kiranya budak liar ini telah bergendak dengan
pemuda hidung belang dari Bu-tong-pay, pantas ayahnya
sendiri juga dikhianati!" ejek Tju Hou-sin.
Muka Hong Biau-siang menjadi merah padam saking
murkanya, dampratnya, "Ngaco-belo! Tjin-toako, hajar dia!"
Melihat munculnya Tjin Goan-ko, hati Biau-siang terkejut
dan bergirang pula. Walaupun gusar kepada Tju Hou-sin, tapi
legit juga terasa di dalam hati sehingga tanpa terasa ia telah
memanggil Goan-ko dengan 'Tjin-toako'.
Setelah mengetahui ilmu silat Tjin Goan-ko itu dari aliran
Bu-tong, maka Tju Hou-sin dan Ki Djui tidak berani sembrono
lagi, segera mereka pun melolos senjata untuk melawan
Goan-ko. Senjata Tju Hou-sin adalah sepasang Hou-rhau-kau (gaetan
berkepala harimau) yang dapat digunakan menggaet dan
merampas senjata lawan. Sedangkan senjata Ki Djui adalah
sebilah golok tebal, bobotnya berat, ilmu goloknya tidak boleh
dibuat main-main.
Ilmu pedang Goan-ko meskipun sangat bagus, tapi dia baru
pertama kali ini muncul di Kangouw, pula latihannya belum
cukup, sekuatnya ia melawan dua orang, setelah 30-40 jurus
lambat-laun ia sudah merasa payah pula.
Sementara itu Hong Biau-siang sudah cukup mengaso,
melihat Goan-ko terdesak, segera ia menjemput kembali
pedangnya dan maju membantu. Saat itu Ki Djui sedang
mengayun goloknya membacok Goan-ko sehingga iganya tak
terjaga, tanpa pikir lagi pedang Hong Biau-siang lantas
menusuk ke 'Ih-gi-hiat' di bawah iga lawan itu.
Untung Tju Hou-sin sempat menyampuk pedangnya
sehingga Ki Djui terhindar dari serangan Biau-siang itu. Tapi
sendirian Ki Djui menjadi kewalahan melawan Goan-ko, dalam
sekejap itu secara berantai Goan-ko menyerang tiga kali
secepat kilat, Ki Djui sempat menghindar dua serangan di
antaranya, tapi serangan ketiga sukar dielakkan lagi, lengan
kirinya kena digores oleh ujung pedang Goan-ko sehingga
berdarah, untung hanya luka ringan saja.
Sudah tentu Biau-siang juga bukan tandingan Tju Hou-sin,
ketika pedangnya tersampuk musuh dan terpuntir, hampir
saja pedangnya terlepas pula dari cekalan. Lekas Goan-ko
memutar balik pedangnya untuk melindungi Biau-siang,
dengan suatu tusukan ke arah Tju Hou-sin. Selagi Tju Hou-sin
terpaksa harus melayani serangan Goan-ko itu, sempatlah
Biau-siang menarik diri dan ganti melawan Ki Djui.
Karena terluka, Ki Djui menjadi kalap seperti kerbau gila,
Biau-siang diterjang dengan serangan gencar. Dengan susah
payah juga Biau-siang dapatlah menghindarkan seranganserangan
lawan berkat kegesitannya.
"Ki-loji, mengingat Hong-toako, boleh ampuni saja jiwa
putrinya itu," seru Tju Hou-sin.
Ki Djui mendengus, "Hm, budak ini malah membela orang
luar, demi bocah ini sampai sahabat lama ayahnya juga dia
berani melawan. Bila Hong-toako tahu kejadian ini, mustail
takkan mati kaku saking gusarnya. Betapapun juga aku harus
mem-lieri hajar adat kepada budak liar ini. Bocah itu telah
melukai lenganku, maka aku pun akan melukai juga
lengannya."
Karena kalah tenaga, Biau-siang terpaksa hanya
mengandalkan kegesitannya untuk main kelit sana dan loncat
sini untuk menghindari sambaran golok Ki Djui, jangankan
hendak balas menyerang, untuk menangkis saja ia sudah tak
sanggup. "Nona Hong, lekas kau lari!" seru Goan-ko.
Akan tetapi Biau-siang tetap bertahan, pikirnya meski aku
tidak mampu melawan si jangkung ini, sedikitnya aku dapat
mengurangi kekuatan musuh agar mereka tidak sempat
mengeroyok Tjin-siauhiap.
Mendadak Tjin Goan-ko mengerahkan segenap tenaganya
mendesak mundur Tju Hou-sin, lalu melompat ke arah Hong
Biau-siang untuk bergabung pula dengan si nona Dengan
demikian Goan-ko sempat menjaga keselamatan Biau-siang,
keadaan mereka menjadi rada kuat menghadapi kedua
lawannya. Namun karena Goan-ko harus melindungi Biau-siang
sehingga ia sendiri beberapa kali hampir kena dimakan senjata
musuh. Biau-siang juga tidak tinggal diam, dengan nekat ia
pun berusaha menangkis untuk melindungi Goan-ko, tapi
karena kedua muda-mudi itu kurang sempurna cara kerja
samanya sehingga seringkah memberi peluang malah bagi
musuh. Diam-diam Goan-ko menjadi gelisah, sementara itu ia
sudah mandi keringat, pikirnya "Mengapa Kim Tiok-liu hanya
berpeluk tangan menonton saja?"
Tapi ia baru saja berkenalan dengan Kim Tiok-liu sehingga
tidak enak untuk bersuara minta tolong padanya.
Mestinya senjata gaetan Tju Hou-sin itu sangat baik untuk
merampas senjata lawan sebangsa pedang atau golok,
soalnya ilmu pedang Lian-hoan-toat-beng-kiam-hoat yang
dimainkan Goan-ko itu adalah ilmu pedang Bu-tong-pay yang
amat lihai, maka sama sekali gaetan Tju Hou-sin tak bisa
berkutik. Akan tetapi berbeda dengan Hong Biau-siang, ia
dapat menghindari golok tebal Ki Djui, na-mun sukar
menghadapi sepasang gaetan Tju Hou-sin yang ber-ulangulang
hendak mengunci pedangnya.
Suatu ketika, lantara berebut hendak menangkis serangan
musuh, pedang Goan-ko dan pedang Biau-siang, dilontarkan
ke arah yang sama kesempatan ini segera digunakan dengan
baik oleh Tju Hou-sin, gaetannya lantas mengunci, seketika
pedang Hong Biau-siang terkacip. Lekas Goan-ko melangkah
maju me-ngadang di depan Biau-siang, dengan jurus 'TiatTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
sok-heng-kang' (gembok besi memotong sungai), pedangnya
lantas menebas pergelangan tangan Tju Hou-sin.
Mendadak Tju Hou-sin menggertak, "Lepas!"
Ketika kedua gaetannya ditarik, tahu-tahu pedang Biausiang
lagi-lagi terlepas dari cekalan dan mencelat ke udara.
Tanpa pikir lagi Goan-ko lantas menusuk pula sekuatnya.
Karena kekuatan kedua orang tidak berbeda banyak sehingga
Tju Hou-sin tetap tidak mampu membikin pedang Goan-ko
terlepas dari tangan.
Tapi Ki Djui juga tidak tinggal diam, dengan mengayun
goloknya ia membentak, "Anak jadah, kini kau pun rasakan
golokku!" Dan goloknya terus membacok ke atas kepala Tjin Goanko.
Saat itu baru saja Goan-ko sempat menarik kembali
pedangnya dari kacipan kedua gaetan Tju Hou-sin dan tidak
keburu menangkis, dalam pada itu sinar golok sudah
menyambar tiba. Seketika Tjin Goan-ko mengeluh matilah
aku. Sedangkan Hong Biau-siang saat itu berada beberapa
meter di sebelah sana dan baru menjemput kembali
pedangnya jangankan dia memang tidak mampu menolong,
sekali pun hendak menolong juga sudah kasip.
Tapi aneh bin ajaib, tampaknya beberapa senti lagi golok Ki
Djui itu diteruskan ke bawah dan kepala Goan-ko tentu akan
terbelah, namun mendadak Ki Djui seperti kena sihir saja
tahu-tahu ia berdiri mematung dan mata goloknya lantas
berhenti beberapa senti di atas kepala Goan-ko.
Betapa gesit ilmu pedang Goan-ko, sekilas itu ia pun
bertindak, tanpa pikir lagi pedangnya lantas menusuk. Jadi Ki
Djui tidak jadi membacok Goan-ko, sebaliknya pedang Goanko
yang menembus tubuhnya dari ulu hati sampai ke
punggung, jiwanya melayang seketika.
Setelah menarik kembali pedangnya barulah Goan-ko
merasa heran. Girang Hong Biau-siang tidak terkatakan, cepat
ia memburu maju.
Sebaliknya Tju Hou-sin sangat terkejut ketika melihat
kawannya mendadak terbunuh, hal yang sama sekali tak
terduga olehnya. Di bawah kerubutan Goan-ko dan Biau-siang
berdua kini ia menjadi kewalahan, berulang-ulang ia kena
ditusuk dua kali pada lengan kiri dan iganya, darah
bercucuran. Mendadak Tju Hou-sin berteriak keras sekali sambil
melemparkan senjatanya, Biau-siang berkelit, tempat luang itu
segera digunakan Tju Hou-sin untuk menerjang keluar dan
melarikan diri terbirit-birit.
Goan-ko sendiri baru tenang kembali membayangkan
ancaman maut yang hampir mencabut nyawanya tadi. la ingin
bicara dengan Hong Biau-siang, maka tidak berpikir untuk
mengejar Tju Hou-sin.
"Tjin-toako, hebat benar ilmu pedangmu!" puji Biau-siang
dengan tersenyum dan mendekati pemuda Ku.
Wajah Goan-ko menjadi merah, ia berseru, "Kim-toako!
Kim-toako! Silakan keluar, aku sangat berterima kasih
padamu!" Diam-diam Goan-ko mengetahui juga pasti dari tempat
persembunyiannya Kim Tiok-liu telah membantunya. Akan
tetapi mesti ia mengulangi seruannya tetap tidak terdengar
jawaban Kim Tiok-liu. Waktu ia menuju ke tempat tadi,
ternyata bayangan Kim Tiok-liu sudah tak nampak lagi, jelas
sudah pergi sedari tadi.
"Ai, pengemis aneh yang kosen ini benar-benar seperti
malaikat yang pergi datang tak menentu," gumam Goan-ko
dengan gegetun.
Sementara itu Biau-siang telah menyusul tiba, ia melengak


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bertanya, "Apakah kau datang bersama teman?"
"Benar, yaitu orang yang telah menolong aku dari
rumahmu itu, cuma sayang sekarang ia sudah pergi." sahut
Goan-ko. Mendengar Goan-ko menyinggung peristiwa kemarin
malam, muka Biau-siang menjadi merah. Katanya, "Ayahku
telah menjebak kau dengan Djian-tjhit-tjui, sebelumnya aku
sama sekali tak tahu. Aku benar-benar tidak bersekongkol
dengan ayah."
"Aku tahu kejadian itu tiada sangkut-pautnya dengan kau,"
ujar Goan-ko. "Kalau tidak, masakah aku datang kembali ke
sini." "Semula aku mengira kau datang kembali untuk menuntut
balas," kata Biau-siang.
"Aku dan Kim-toako telah mendengar pembicaraan kedua
cakar alap-alap kerajaan itu, aku kuatir kau mengalami apaapa,
maka sengaja menguntit mereka ke sini."
Malu dan girang sekali Biau-siang, pikirnya, "Kiranya kau
tidak marah padaku, bahkan malah memikirkan
keselamatanku."
Dengan wajah yang lebih merah kemudian dia berkata
pula, "Meski aku tidak bersekongkol dengan ayah, tapi ayah
telah menjebak kau, sungguh aku pun ikut menjadi malu."
"Urusan sudah berlalu buat apa disinggung lagi, aku toh
tidak mengalami sesuatu cidera apa pun," kata Goan-ko.
"Menurut ayah, orang yang minum Djian-tjhit-tjui
sedikitnya akan mabuk selama tujuh hari tujuh malam.
Darimanakah kau memperoleh obat pemunahnya?"
Seperti diketahui, kemarin Biau-siang coba mencari obat
pemunah Djian-tjhit-tjui di kamar rahasia ayahnya dan tidak
menemukan obat pemunah itu, hal ini membuatnya merasa
gelisah, sebab ia tidak tahu ayahnya menyimpan obat itu di
tempat lain atau telah dicuri orang.
Baru sekarang Goan-ko percaya penuh kepada omongan
Kim Tiok-liu yang ternyata tidak berdusta. Segera ia berkata,
"Sobat itu telah memberi minum padaku sebutir Pik-ling-tan
yang katanya terbuat dari teratai salju Thian-san."
Melihat air muka Goan-ko sedikit pun tidak menunjukkan
tanda-tanda sakit, barulah Biau-siang merasa lega, tapi
hatinya lantas berubah menjadi semacam perasaan gelisah
dan tidak tenteram. Sejenak kemudian baru ia berkata dengan
suara pelahan, "Aku ingin memohon sesuatu padamu, entah
kau dapat meluluskan atau tidak?"
"Silakan bicara," sahut Goan-ko.
"Meski engkau tidak marah padaku, tapi pasti sangat benci
pada ayahku," kata Biau-siang. "Ya, aku tahu, memang ayah
tidak pantas berbuat demikian kepadamu."
"Aku justru ingin minta penjelasan kepada nona, sebab
apakah ayahmu menipu aku agar minum Djian-tjhit-tjui itu?"
"Aku ingin bertanya padamu lebih dulu, Kang Hay-thian itu
orang baik atau orang jahat?"
Goan-ko melengak, katanya kemudian, "Kang-tayhiap termashur
karena budinya yang luhur dan dikagumi oleh setiap
orang Kangouw, masakah dia orang jahat?"
"Tapi ada orang menuduh dia sebagai pemberontak pihak
kerajaan, apakah tuduhan demikian tepat?"
"Kata-kata ini tentu datang dari ayahmu?" sahut Goan-kc
sambil mengerut kening. "Ayahmu pernah bekerja bagi
kerajaan, pantas dia mengemukakan kata-kata demikian. Tapi
seluruh rakyat jelata yang tidak sudi dijajah dan ditindas tentu
takkan membenarkan kata-kata demikian itu. Negeri kita
sekarang dikangkangi orang lain, raja dari kaum penjajah.
Mengapa kita tak boleh melawannya dan memberontak
padanya?" Walaupun Hong Biau-siang terhitung gadis gunung yang
hijau dan sedikit bersekolah, tapi dapat pula ia membedakan
mana yang benar dan salah. Setelah merenung sejenak,
akhirnya ia berkata pula, "Ya, betul juga. Cuma orang yang
mengatakan Kang-tayhiap adalah orang jahat bukanlah
ayahku, yaitu Bun-sioksiok. Ayah cuma mengikuti suaranya
itu." Goan-ko tidak kenal asal-usul Bun To-tjeng, katanya
dengan tertawa, "Entah apa maksud nona dengan
mengemukakan hal ini?"
"Bun-sioksiok mengatakan Kang-tayhiap adalah orang
jahat, dia bermusuhan dengan Kang-tayhiap, maka dia akan
mencarinya untuk bertanding dan menuntut balas sakit hati
lama. Tapi dia kuatir sukar memasuki rumah Kang-tayhiap,
maka ayahku dibujuk untuk membantunya, sehingga kau telah
dicekoki tiga cawan Djian-tjhit-tjui itu. Kemudian Bun Sengtiong
disuruh menyamar sebagai dirimu dengan memakai
bajumu, sekarang mereka tentu sudah berada di rumah Kangtayhiap
dengan menggunakan kartu undangan yang
diketemukan di dalam bajumu itu."
Baru sekarang Goan-ko paham duduknya perkara. "Ah,
kiranya demikian. Tapi betapapun Bun To-tjeng bermaksud
menuntut balas kepada Kang-tayhiap, aku berani memastikan
dia pasti akan gagal."
"Namun ayahku mengatakan ilmu silat Bun-sioksiok lihai
luar biasa dan adalah jago nomor satu di dunia ini."
"Jika ilmu silat Kang-tayhiap nomor satu di dunia, ini
memang diakui secara umum oleh setiap orang persilatan.
Sebaliknya tentang ilmu silat Bun-sioksiok-mu itu sudah
kusaksikan sendiri, memang harus diakui cukup lihai, tapi
paling-paling juga cuma setingkat dengan kawanku she Kim
itu, bila dibandingkan Kang-tayhiap, biarpun aku sendiri belum
pernah menyaksikan ilmu silat beliau, tapi aku yakin Bunsioksiokmu hanya akan mencari penyakit saja bilamana
berani bertanding dengan Kang-tayhiap."
"Bun-sioksiok mencari penyakit sendiri, hal ini aku tak ambil
pusing, tapi bagaimana dengan ayahku....."
Sampai di sini dapatlah Goan-ko memahami maksud si
nona, pikirnya, "Ayahmu pernah menjadi kaki tangan pihak
kerajaan, kalau sampai mengalami kesukaran juga adalah
akibat perbuatannya sendiri."
Sudah tentu ia tidak berani mengemukakan perasaannya
itu kepada Biau-siang, ia hanya bisa menghiburnya agar
jangan kuatir. Katanya, "Asalkan ayahmu tidak ikut tampil ke
muka, tentu juga Kang-tayhiap takkan membikin susah
padanya." "Ya, semoga demikian adanya," kata Biau-siang. "Cuma,
aku tetap mengharapkan bantuanmu."
"Bantuan apa" Asalkan tidak melanggar ajaran-ajaran
perguruanku, tentu aku akan meluluskan permintaanmu."
Kalau menuruti wataknya, dengan jawaban Goan-ko itu
tentu Biau-siang tidak mau memohon lebih lanjut. Tapi kini
demi untuk menolong ayahnya, terpaksa ia berkata pula
dengan kikuk, "Begini, setibanya kau di tempat Kang-tayhiap,
aku mohon engkau jangan.....jangan menggunakan namamu
yang asli."
"Sebab apa?" Goan-ko menjadi bingung. Sebagai seorang
pemuda yang tulus, seketika ia belum mengerti apa maksud
tujuan permohonan si nona.
"Ayahku ikut mereka ke tempat Kang-tayhiap, mereka saat
ini tentu sudah berada di sana," kata Biau-siang.
"O, pahamlah aku. Jika aku menggunakan namaku yang
asli tentu rahasia penyamaran Bun Seng-tiong itu akan
terbongkar dan mereka mungkin sekali akan ditangkap oleh
orang-orang di tempat Kang-tayhiap itu dan ayahmu
mungkin....."
"Ya, dengan sendirinya ayahku juga akan ikut terembet.
Sekalipun dia tidak sampai ikut ditangkap, sedikitnya juga
akan diusir dari sana. Hal ini tentu akan membuat beliau amat
malu." "Bun Seng-tiong telah memalsukan diriku, lalu aku mesti
menyaru sebagai siapa" Aku sudah tidak punya kartu
undangan, cara bagaimana bisa masuk ke sana?"
"Kau tidak perlu menyaru sebagai siapa-siapa, cukup
memakai suatu nama palsu saja. Bila kau perlihatkan sejurus
dua ilmu silat perguruanmu saja, masakah orang di sana tidak
mengenal ilmu Bu-tong-pay kalian" Hubungan Kang-tayhiap
dengan Bu-tong-pay kalian juga teramat baik, mustail akan
menolak kehadiranmu" Setiba di sana, harap kau mencari
ayahku secara diam-diam, kau tidak perlu bicara padanya, asal
ayah melihat kau, tentu akan sadar kedoknya terbongkar dan
beliau tentu akan kabur dengan sendirinya secara diam-diam.
Secara mudah kau akan dapat menolong ayahku, dan untuk
selanjutnya aku yakin ayah akan kembali ke jalan yang betul,
aku sendiri juga akan memberi nasihat padanya."
Setelah melirik Goan-ko sekejap, kemudian Biau-siang
melanjutkan pula, "Aku tidak tahu apakah yang kumohon ini
akan melanggar ajaran perguruanmu atau tidak. Jika kau
merasa tidak pantas untuk melaksanakannya, ya apa boleh
buat, aku pun tak dapat memaksa kau."
Diam-diam Goan-ko menimang-nimang apa yang akan
diperbuatnya toh demi menolong Hong Tju-tjiau dari jalan
yang sesat, hal ini tidak bertentangan dengan ajaran
perguruan. Maka akhirnya ia memanggut dan berkata,
"Baiklah, aku akan berbuat sebisanya bagi nona."
Biau-siang sangat girang, katanya, "Banyak terima kasih.
Eh, Tjin-siauhiap, kau pun perlu mengganti pakaian. Akan
kuberikan pakaian Bun Seng-tiohg kepadamu."
Baju Goan-ko sendiri memang telah dibelejeti oleh Bun
Seng-tiong, maka cepat ia berkata, "Baiklah, aku dapat
mencari sendiri ke kamar Bun Seng-tiong itu. Terpaksa aku
harus bertukar baju dengan dia."
Perawakan Goan-ko memang hampir sama dengan Bun
Seng-tiong, waktu ia keluar kembali sesudah memakai baju
Bun Seng-tiong, dilihatnya Biau-siang sedang termenung
seakan sedang memikirkan sesuatu yang serba susah. Melihat
Goan-ko keluar, segera ia menegur, "Apakah sekarang juga
kau akan..... akan berangkat?"
"Besok lusa adalah hari pesta Kang-tayhiap, terpaksa aku
harus segera berangkat," sahut Goan-ko. Tiba-tiba ia ingat
sesuatu dan menambahkan pula, "Dan nona sendiri rasanya
tidak enak juga tinggal sendirian di sini."
Biau-siang mengangguk, katanya sambil menuding mayat
Ki Djui yang masih menggeletak di sebelah sana, "Ya,
memangnya aku sedang memikirkan soal ini. Mereka berdua
mengaku sebagai sobat lama ayahku dengan kedudukan
sebagai anggota bayangkara kerajaan. Sekarang yang seorang
sudah terbunuh dan yang lain melarikan diri. Urusan ini
mungkin sekali akan mendatangkan bahaya di kemudian hari."
"Sebab itulah aku kira kau lebih baik menyingkir dari sini
untuk sementara. Apa kau mempunyai tempat persembunyian
yang lain?" tanya Goan-ko.
Biau-siang mengerling sekejap ke arah Goan-ko tanpa
menjawab, akhirnya ia hanya menggeleng saja.
"Jika tiada tempat sanak famili yang dapat ditumpangi!
boleh juga pergi ke kota untuk beberapa hari lamanya,
beberapa hari lagi ayahmu tentu sudah pulang."
Sungguh Biau-siang sangat kecewa. Semula dia berharap!
Goan-ko akan membawa serta dia, seumpama tidak leluasa
ikui ke rumah Kang Hay-thian, sedikitnya ia dapat menunggu
di Tong-peng-koan. Tapi Biau-siang tidak enak mengajukan
perj mohonannya itu, maka dengan hambar kemudian dia
berkataj "Tentang hal itu Tjin-siauhiap boleh jangan kualir,
aku dapaJ menjaga diriku sendiri."
Menurut jalan pikiran Goan-ko, dianggapnya Biau-siand
adalah seorang nona yang mahir ilmu silat dan tidak usah di-j
kualirkan bila bersembunyi untuk beberapa hari di kota y and
berdekatan, selain itu ia merasa rikuh juga dalam perjalanan
bersama seorang nona. Maka dengan pikiran rada bimbang ia
menjawab, "Baiklah semoga nona menjaga diri baik-baik."
Begitulah ia lantas mohon diri dan meninggalkan rumahi
keluarga Hong itu. Dilihatnya sang surya hampir di tengahtengah
langit, hari sudah dekat lohor, segera ia mempercepat
langkahnya menuju ke Tong-peng-koan.
Sampai di bawah gunung, tiba-tiba dilihatnya Kim Tiok-liu
berbaring di atas tanah rumput dan seperti sedang tidur.
"Hei, Kim-toako, engkau masih berada di sini?" teriak Goanko
kegirangan. "O, aku sudah kenyang tidur di sini. Cepat amat kedatang
arimu, kukira kau merasa berat berpisah dengan nonamu itu?"
"Ah, Kim-toako suka bergurau saja. Aku mencari pakaian
untuk pengganti sehingga rada membuang waktu."
"Nah, sekarang kau sudah jelas perkaranya?"
"Sudah jelas. Banyak terima kasih atas pertolongan Kirrn
toako," kata Goan-ko. Habis itu ia lantas menjura tiga kali
kepada Kim Tiok-liu. Tadinya ia menyangka Kim Tiok-liu cuma
seorang pengemis yang suka membual, baru sekarang ia tahu
orang adalah tuan penolongnya yang benar, ia menjadi
merasa malu sendiri.
Kim Tiok-liu mengulur tangannya seperti mau menariknya
bangun, tapi lantas tidak jadi, katannya dengan tertawa,
"Baiklah, penghormatanmu ini rasanya aku masih pantas
menerimanya."
"Kim-toako sekarang hendak kemana?" tanya Goan-ko
kemudian. "Kau sendiri hendak kemana?" balas Tiok-liu.
"Aku akan menghadiri pesta perkawinan putri Kang-tayhiap,"
sahut Goan-ko. "Kang-tayhiap siapa" Apakah Kang Hay-thian?"
"Benar," sahut Goan-ko. Diam-diam ia heran, sebab setiap
orang Kangouw tentu sudah tahu tiada Kang-tayhiap kedua
selain Kang Hay-thian, pertanyaan si jembel muda ini benarbenar
berlebihan, bahkan ia menyebutkan Kang Hay-thian
begitu saja. Maka terdengar Kim Tiok-liu berkata pula, "Eh, ternyata
Kang Hay-thian punya putri sebesar itu dan sudah mau
dikawinkan."
Diam-diam Goan-ko menertawakan Kim Tiok-liu, "Huh, usia
putri Kang-tayhiap itu mungkin lebih tua darimu, tapi lagakmu
saja sok anggap dirimu sebagai kaum angkatan tua."
Meski ia sudah tahu kepandaian Kim Tiok-liu tidak perlu
disangsikan lagi, tapi ia tetap menganggap Kim Tiok-liu suka
membual dengan menganggap orang lain sebagai kaum
muda. Maka dengan sengaja ia mengolok-olok, "Kim-toako,
jangan-jangan Kang-tayhiap itu juga terhitung angkatan muda
bagimu?"

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia bukan angkatan mudaku," sahut Kim Tiok-liu. "Tapi
uku pun tidak lebih muda dari dia. Ya, sebenarnya kami
berdua boleh dianggap satu tingkatan."
Diam-diam Goan-ko geleng-geleng kepala, pikirnya,
"Berbagai pemimpin persilatan di zaman ini paling cuma
berani anggap diri mereka sama tingkatan dengan Kangtayhiap,
tapi kau jembel semuda ini juga berani mengaku
sama tingkatan dengan beliau. Namun masih mendingan juga,
sekarang kau tidak berani anggap dirimu lebih tinggi
angkatannya daripada Kang-tayhiap, bualanmu ini terhitung
tidak keterlaluan."
Kim Tiok-liu ternyata tak acuh dan tidak ambil pusing apa
yang sedang direnungkan Goan-ko, tanyanya pula, "Sungguh
bagus sekali, jadi kau hendak pergi makan besar pada pesta
perkawinan putri Kang Hay-thian."
"Bagus bagaimana?" tanya Goan-ko tidak paham.
"Sudah berapa hari lamanya aku tidak makan enak,
kebetulan aku dapat ikut kau ke sana untuk gegares
sekenyangnya," kata Kim Tiok-Hu dengan tertawa "Aku ikut
kau ke sana biar pun kau cuma membawa satu bagian
sumbangan, rasanya mereka pun tidak enak untuk menolak
kehadiranku."
"Apakah Kim-toako kenal Kang-tayhiap?" tanya Goan-ko.
"Aku tahu dia tapi tak pernah bertemu."
"Sebenarnya Siaute merasa sangat senang dengan ikut
sertanya Kim-toako ke sana. Cuma keadaan Kim-toako seperti
ini rasanya rada.....rada-rada....."
"Rada-rada apa" Apakah kau anggap pakaianku terlalu
kumal, terlalu kotor" Kau merasa keberatan membawa
seorang teman pengemis yang berbau seperti aku" Apakah
Kang Hay-thian itu seorang yang suka pilih bulu?"
"O, tidak, bukan begitu maksudku," cepat Goan-ko
memberi penjelasan. "Kang-tayhiap paling suka berteman, hal
ini diketahui siapa pun juga di dunia ini. Dengan kepandaian
Kim-toako yang hebat ini masakah tiada harganya untuk
menjadi tamu Kang-tayhiap" Hanya kupikir untuk menghadiri
suatu pesta seperti pesta perkawinan, jika kita berdandan
sedikit rapi kan berarti suatu penghormatan kita kepada tuan
rumah dan juga menghargai diri kita sendiri. Begini saja, Kimtoako,
marilah kita beli satu setel baju di kota di depan sana
lalu Kim-toako memangkas rambut seperlunya, kukira sedikit
tempo yang terbuang
Ini takkan menjadi halangan bagi perjalanan kita."
"Hm, aku justru suka begini saja, kenapa mesti banyak
Itortingkah secara pura-pura?" sahut Kim Tiok-liu dengan
mendengus. Habis berkata bahkan ia terus mencomot
segenggam tanah terus diusap-usapkan ke mukanya sendiri
dan rambutnya diaduk-aduk pula sehingga lebih kusut. Lalu
jengeknya lagi, "Nah, aku justru akan pergi ke sana dalam
keadaan begini. Jika kau merasa aku akan membikin malu
dirimu, bolehlah kau bertingkat sendiri, aku tidak perlu ikut
padamu." Goan-ko menjadi geli melihat rupa orang, pikirnya,
"Dengan demikian kotor mukamu, bukankah kau justru
sengaja hen-duk menutupi mukamu yang asli agar tidak
dikenal orang lain?"
Kuatir Kim Tiok-liu menjadi marah, terpaksa Goan-ko
berkata, "Ya, baiklah, Kim-toako adalah orang kosen yang
suka kebebasan, sudah tentu tidak menghiraukan bentuk
lahiriah segala. Pandangan Siaute yang cupet tadi harap Kimtoako
suka memaafkan."
"Aku tidak peduli kau cupet atau panjang, yang kuinginkan
ialah makan kenyang," semprot Kim Tiok-liu. "Hehe, rasanya
hidungku sekarang juga sudah mendengus bau sedap arak
dan daging di rumah Kang Hay-thian itu. Hayolah, lekas
berangkat!"
Begitulah di tengah jalan Tjin Goan-ko hanya menguatirkan
dua hal, pertama soal waktunya mungkin sudah
terlambat, jika Bun To-tjeng sudah sampai di tempat tujuan
mungkin sudah mulai bertanding dengan Kang Hay-thian dan
Hong Tju-tjiau lentu ikut tersangkut, hal ini berarti
permohonan Hong Biau-siang agar ayahnya itu diselamatkan
menjadi gagal. Kedua ia kuatir setiba di tempat tujuan, orangorang
di sana tidak mengilukan kehadiran Kim Tiok-liu dan
besar kemungkinan akan menimbulkan keonaran mengingat
watak Kim Tiok-liu yang aneh ilu.
Besoknya lewat lohor mereka baru sampai di tempat
kediaman Kang Hay-thian. Ketika melihat Tjin Goan-ko datang
bersama seorang pengemis muda, petugas penyambut tamu
merasa heran dan sangsi. Kim Tiok-liu justru 'tidak tahu diri',
tanpa permisi segera ia hendak masuk ke dalam.
Tentu saja penjaga pintu lantas merintangi dia dan
menegur dengan tertawa, "Maaf, entah siapakah nama tuan
tamu yard terhormat" Apakah ada kartu undangan majikan
kami?" Mata Kim Tiok-liu lantas mendelik, jawabnya, "Kartu unJ
dangan apa segala" Aku bukan tamu undangan, yang
kuketahui adalah kaum pengemis di waktu minta-minta tidak
memerlukan kartu undangan apa segala."
"Ah, saudara ini suka bergurau saja," kata penjaga itu de-j
ngan menahan gusar. "Jika sekiranya tidak punya kartu
undangan, maka....."
"Maka mau apa?" sela Kim Tiok-liu.
Petugas penyambut tamu tadi adalah seorang murid Binsanpay yang lebih berpengalaman, tapi ia pun tidak dapat
meraba asal-usul Kim Tiok-liu itu kawan atau lawan, maka
dengan ramah ia menyela, "O, tidak apa-apa, hanya saja....."
"Hanya apa?" Kim Tiok-liu mendesak pula.
Sudah tentu penyambut tamu itu serba salah dan
mendongkol pula. Sebenarnya maksud ucapannya tadi
bilamana Kim Tiok-liu adalah pengemis benar-benar, maka
selayaknya ia harus menunggu di luar pintu untuk menanti
sedekah. Jika dia seorang yang punya asal-usul tertentu,
maka pantasnya dia mesti memperkenalkan diri.
Melihat keadaan bisa runyam, cepat Goan-ko tampil kc
muka, katanya, "Wanpwe adalah murid Bu-tong-pay dan Khuheng
ini adalah sobat baikku."
Mendengar seorang pemuda mengaku sebagai murid Butongpay, penyambut tamu itu tampak mengunjuk rasa sangsi
pula. Kim Tiok-liu menjadi aseran, omelnya, "Eh, kau ini
bagaimana" Jika boleh undanglah kami masuk ke dalam, jika
tidak, usir saja kami. Kenapa mesti rewel saja sejak tadi?"
Dengan menahan gusar, penyambut tamu itu tidak
menggubris Kim Tiok-liu, sebaliknya ia bertanya pada Tjin
Goan-ko, "Maaf, aku masih ingin minta penjelasan. N timpang
tanya siapa nama saudara yang terhormat ini dan siapakah
gurumu yang mulia?"
Goan-ko memberitahukan she Tjin, tapi memakai suatu
nama palsu. "Harap Tjin-heng sudi menunggu sebentar," kata
penyambut tamu itu. Lalu ia masuk ke dalam untuk melapor.
Tidak lama kemudian keluarlah seorang pemuda yang
gagah, setelah memberi salam hormat ia berkata, "Kiranya
Tjin-siauhiap dari Bu-tong-pay telah datang, maaf kalau
penyambutan kami kurang sempurna. Tadi seorang Tjinsuheng
dari Bu-tong-pay kalian juga sudah tiba lebih dulu,
namanya Goan-ko, entah pernah apa Tjin-suheng itu dengan
Tjin-siauhiap?"
Dasar Goan-ko tidak biasa berdusta, maka ia menjadi
gelagapan atas pertanyaan itu. Untung Kim Tiok-liu lantas
menyela, "Eh, agaknya kalian tidak tahu bahwa Tjin-siauhiap
ini paling takut kepada kakaknya yang bernama Goan-ko itu.
Kakaknya itu datang dengan membawa kartu undangan dan
atas perintah gurunya, sebaliknya Tjin-siauhiap ini datang di
luar tahu kakaknya itu. Maka kedatangannya ini juga tidak
berbarengan. Tapi kalau nanti kepergok kakaknya tentu
menjadi soal karena tempat tujuan sudah dicapai, asalkan
kalian sudi melayani saja tentu kakaknya tidak enak untuk
mengusir dia pulang, bukan?"
"O, kiranya demikian," kata pemuda gagah itu dengan
tertawa. "Guruku mempunyai hubungan sangat baik dengan
Bu-tong-pay kalian, tentu saja kedatangan Tjin-siauhiap kami
sambut dengan senang hati. Mari silakan masuk, Tjinsiauhiap."
Habis berkata segera ia mengulurkan tangan untuk
menjabat tangan Tjin Goan-ko.
Kiranya pemuda gagah itu adalah murid tertua Kang Haythian,
yaitu Yap Boh-hoa. Masuknya Yap Boh-hoa ke dalam
perguruan memang di belakang Ubun Hiong, tapi umurnya
lebih tua dari Ubun Hiong, namanya juga lebih termashur,
demi untuk menghormati dia, maka Ubun Hiong terima
mengalah menjadi Sute dan membiarkan Yap Boh-hoa
menjadi murid tertua dan sebagai pewaris Kang Hay-thian.
Namun Yap Boh-hoa tak mau terima maksud Ubun Hiong
itu. Kemudian Kang Hay-thian sendiri yang menetapkan, Yap
Boh-hoa tetap sebagai Toasuheng, tapi sebagai pewarisnya
adalah Ubun Hiong. Pilihan Kang Hay-thian ini berdasarkan
Yap Boh-hoa memiliki ilmu sakti ajaran keluarganya sendiri,
meski lihai kepandaiannya, tapi dalam hal ilmu silat dari
peguruan masih kalah murni daripada Ubun Hiong, sebab
itulah sebagai pewaris harus dipilih murid yang paling
sempurna meyakinkan ilmu silat dari perguruannya sendiri.
Apalagi masuknya Yap Boh-hoa juga lebih belakangan, yaitu
sesudah Ubun Hiong diangkat sebagai murid pewaris oleh
Kang Hay-thian.
Tatkala itu sudah tiga tahun pertempuran besar di Siaukimdjwan (Peristiwa ini ada dalam Kisah Pedang di Sungai Es
dan Geger Dunia Persilatan). Yap Boh-hoa ini pernah menjadi
panglima tempur dan namanya sangat termashur, kenalannya
juga banyak, maka sekali ini dia ditugaskan sebagai wakil
gurunya untuk menyambut tamu-tamu yang dipandang
terhormat. Dengan kedudukan Goan-ko, mestinya tidak perlu
disambut sendiri oleh Yap Boh-hoa, soalnya petugas
penyambut tadi menyangsikan diri Goan-ko dan Kim Tiok-liu,
maka Yap Boh-hoa lantas diberi laporan dan diminta keluar
sendiri. Dari percakapan tadi Yap Boh-hoa juga menyangsikan asalusul
Goan-ko dan Kim Tiok-liu, hal inipun dapat dirasakan oleh
Goan-ko. Maka di waktu berjabat tangan, Goan-ko lantas
mengeluarkan Lwekang dari perguruannya.
Maksud Yap Boh-hoa juga hendak menguji benar tidaknya
asal-usul Goan-ko, maka sekali berjabatan tangan segera ia
dapat mengetahui bahwa Lwekang yang dikeluarkan Goan-ko
itu memang dari aliran Bu-tong-pay. Ketika ia menambahkan
tenaganya sampai lima enam bagian barulah mulai nampak
Goan-ko mengerut kening, diam-diam Boh-hoa percaya penuh
bahwa an-ko memang benar adalah murid kesayangan Lui
Tjin-tju, iau tidak, rasanya tidak akan sanggup menerima
tekanan kekuatannya itu.
Maka katanya kemudian, "Silakan masuk Tjin-siauhiap. Dan
numpang tanya dari aliran mana lagi Kim-heng ini, siapakah
gurumu yang terhormat, sudikah memberitahu?"
"Apa" Kau panggil aku Kim-heng, sebutan ini rada-rada
kurang tepat," kata Kim Tiok-liu dengan bergelak tertawa.
"Entah dimana ketidak tepatannya?" tanya Boh-hoa. Goan-ko
juga kuatir Kim Tiok-liu mengoceh tak keruan, aka ia
mengedipinya. Namun Kim Tiok-liu telah menjawab, "O, aku hanya
seorang pengemis, mana boleh kau mengaku bersaudara
padaku" Sesungguhnya kedatanganku ini hanya ingin gegares
secara gratis saja. Kami adalah kaum pengemis turun
temurun, darimana bisa dihitung aliran apa segala" Soalnya
sobat she Tjin ini pernah kubantu menggebah dua ekor anjing
galak di tengah jalan, sebagai balas jasanya ia mau membawa
serta aku ke sini untuk makan besar. Nah, sudah kukatakan
apa yang sebenarnya, mau melayani pengemis seperti aku
atau tidak boleh terserah kepadamu."
Kata-kata Kim Tiok-liu yang angin-anginan itu membikin
muka Goan-ko sebentar merah sebentar pucat, terpaksa ia
menyela dengan tersenyum rikuh, "Sobat she Kim ini paling
suka berkelakar, dia.....dia....." Mestinya dia bermaksud
memperkenalkan Kim Tiok-liu, tapi dia sendiri juga belum tahu
asal-usul Kim Tiok-liu, maka setelah tergagap-gagap, akhirnya
ia tidak meneruskan lagi.
Sedangkan Yap Boh-hoa hanya menjawab dengan ramah,
"Ah, Kim-heng memang suka berkelakar saja."
Berbareng ia pun menjulurkan tangannya.
"Eh, jadi kau pun sudi berkenalan dengan aku?" ujar Kim
Tiok-liu sambil menggosok-gosok kedua tangannya sehingga
daki kotoran tangannya mengelotok dan memualkan murid Bin
san-pay yang menyaksikan di sebelahnya.
Biasanya Yap Boh-hoa suka kebersihan, tapi demi untuk
menguji tamunya terpaksa ia harus menahan perasaannya
dan menjabat tangan Kim Tiok-liu secara wajar, pikirnya, "Kau
berani mempermainkan aku, sebentar baru kau tahu rasa."
Begitulah pelahan-lahan Boh-hoa menambah tenaganya,
tapi dirasakan pihak lawan sama sekali tidak mengerahkan
tenaga tolakan, ketika ia menambahkan hampir segenap
kekuatannya, sikap Kim Tiok-liu masih tenang-tenang saja
sambil tersenyum seakan tidak merasakan Yap Boh-hoa
sedang menguji kepandaiannya.
Keruan Boh-hoa terperanjat, padahal dengan kekuatan
yang dikerahkan itu cukup untuk menghancurkan batu pilar,
mengapa pengemis muda itu sedikitpun tidak merasakan apaapa.
Maka tanpa pikir lagi ia lantas mengerahkan segenap
tenaganya, bahkan yang digunakan adalah tenaga pukulan
Tay-seng-pan-yak-kang yang ampuh dan khusus untuk
memutus urat nadi lawan, tapi lawan tetap tenang-tenang
saja. Sampai di sini, lekas Boh-hoa melepaskan tangannya dan
berkata, "Wah, ilmu silat Kawan Kim ini memang teramat
dalam dan sukar dijajaki, sungguh kagum!"
Tadi ia disemprot Kim Tiok-liu karena menyebut "Kimheng",
maka kini ia telah ganti panggilan 'Kawan'
sebagaimana lazimnya kenalan baru sesama orang Kangouw.
Tak terduga Kim Tiok-liu lantas mendelik lagi dan akan
menyemprotnya pula. Tapi mendadak si jembel muda ini
berganti sikap, dengan tertawa ia berkata, "Eh, jadi kau sudi
pula berkawan dengan pengemis berbau busuk semacamku
ini" Ai, sungguh aku sangat beruntung sekail Baiklah, jika kau


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah sudi, marilah kita berkawan, Eh, Kawan Yap, kau
jangan sungkan-sungkan padaku, ilmu silatmu juga tidak
jelek." "Masih diharapkan petunjuk dari Kawan Kim," sahut Bohhoa
dengan rendah hati.
"Haha, mestinya aku dapat memberi petunjuk padamu, tapi
gurumu Kang Hay-thian sudah cukup memberi petunjuk
padamu dan tidak perlu membikin repot lagi padaku," sahut
Kim Tiok-liu dengan tertawa.
Ucapan ini tidak hanya membikin kuatir Tjin Goan-ko,
terutama membikin orang-orang Kang Hay-thian menjadi
marah lantaran nama Kang Hay-thian telah disebut begitu saja
oleh Kim Tiok-liu tanpa suatu penghormatan apapun.
Namun Yap Boh-hoa tidak menjadi gusar, ia pikir jembel
muda ini tentu mempunyai asal-usul hebat, nanti kalau sudah
berada di dalam dan setelah Suhu diberi laporan, tentu asalusulnya
tidak sukar untuk diselidiki.
Dalam pada itu Kim Tiok-liu berbicara pula, "Kulihat kau ini
tentunya berguru sesudah memiliki kepandainan sendiri, betul
tidak?" "Betul," kata Boh-hoa.
"Tay-seng-pan-yak-tjiang yang kau latih itu mula-mula kurang
tepat, mungkin sekali sesudah kau ikut Kang Hay-thian
beberapa tahun baru lambat-laun kesesatanmu dapat
dibetulkan kembali," kata Tiok-liu pula. "Cuma keuletanmu
masih kurang, selanjutnya kau harus belajar lebih giat dasar
ilmu silat perguruan sendiri. Cuma kalau dibicarakan, hanya
beberapa tahun saja au ikut Kang Hay-thian sudah dapat
mencapai tingkatan sebagus ini, sungguh harus dipuji."
Kata-kata Kim Tiok-liu ini nadanya lebih mirip orang tua
emberi petuah kepada kaum muda. Akan tetapi bagi
pendegaran Yap Boh-hoa benar-benar mengejutkan dan
mengagum-n pula sebab apa yang dikatakan Kim Tiok-liu itu
memang angat tepat, bahkan juga serupa seperti apa yang
dikatakan ang Hay-thian kepada Boh-hoa belum lama
berselang. Diam-diam Boh-hoa tambah sangsi, darimana pengemis
uda ini mengetahui sebanyak ini" Bukan saja dapat
mengatakan dengan jitu tentang aku berguru setelah memiliki
kepandaian, bahkan mengetahui pula dimana penyakit
kelemahanku, padahal kalau tidak paham inti Lwekang dari
perguruan sendiri, mustail dapat mengetahui seluk-beluk itu
dengan begitu jelasi Sungguh aneh sekali.
Sementara itu Kim Tiok-liu berkata, "Kau sudi berkawan
dengan aku tentunya kau tidak keberatan memberi makan
gratis padaku bukan" Setelah makan kenyang nanti kita
bicarakan lagi ilmu silat."
"Kawan Kim sudi berkunjung kemari, sungguh kami merasa
mendapat kehormatan besar, Silakan masuk, silakan!" jawab
Yap Boh-hoa. Di antara tamu-tamu yang hadir itu banyak sekali tokohtokoh
ternama, Goan-ko adalah murid Bu-tong-pay yang
masih hijau, sudah tentu tiada yang memperhatikan dia,
berbeda dengan Kim Tiok-liu, walaupun tiada seorang tamu
pun yang kenal dia, tapi terhadap seorang pengemis kotor
yang aneh itu, mau tak mau orang lantas menaruh perhatian
dan merasa heran.
"Tjin-siauhiap, apakah engkau ingin bertemu dengan
kakakmu?" tanya Boh-hoa.
"O, Yap-heng tak perlu repot-repot, nanti Siaute akan
mencarinya sendiri," jawab Goan-ko.
"Dia takut kepada kakaknya, maka sesudah selesai
perjamuan baru dia berani menemuinya," timbrung Tiok-liu.
"Tapi kedua teman yang datang bersama kakaknya itu boleh
juga kutemui dulu."
"Baiklah, akan kuantarkan kau mencari mereka," kata Bohhoa.
Diam-diam ia heran mengapa pengemis ini mengetahui
'Tjin Goan-ko' itu datang bersama dua orang temannya"
Sungguh aneh kehadiran anak murid Bu-tong-pay kali ini. Dua
saudara datang sendiri-sendiri, bahkan masing-masing
membawa seorang teman yang berkepandaian tinggi yang
asal-usulnya tak jelas. Bahkan kepandaian jembel muda ini
lebih aneh daripada laki-laki yang ikut datang bersama 'Tjin
Goan-ko' tadi. Kiranya waktu Bun Seng-tiong, Bun To-tjeng dan Hong Tjutjiau
tiba tadi, juga Yap Boh-hoa yang menyambut kedatangan
mereka. Bun Seng-tiong membawa kartu undangan dan
memalsukan sebagai Tjin Goan-ko, sedangkan Bun To-tjeng
dan Hong Tju-tjiau mengaku sebagai temannya. Karena ada
kartu undangan, maka Yap Boh-hoa tidak menyangsikan diri
Bun Seng-tiong serta tidak perlu menguji kepandaiannya.
Sebaliknya terhadap Bun To-tjeng dan Hong-Tju-tjiau ia telah
mencobanya dengan cara seperti dia menguji Kim Tiok-liu,
Hong Tju-tjiau tiada sesuatu yang istimewa, tapi kekuatan Bun
To-tjeng membuat Boh-hoa terkejut.
Begitulah selagi Boh-hoa hendak mengantar Kim Tiok-liu
mencari Bun To-tjeng dan Hong Tju-tjiau, tiba-tiba datang Li
Kong-he dan berkata, "Toasuko, Suhu mencari kau agar
mewakilkan beliau menemani tamu. Djisuko dan Sutji sebentar
lagi akan keluar untuk menyuguhkan arak kepada para tamu."
"Baiklah, silakan engkau menggantikan aku melayani tamu
terhormat ini," sahut Boh-hoa.
"Ah, tak perlu membikin repot, kami toh tidak buru-buru
ingin menemui mereka," ujar Goan-ko. Maksud tujuan Goanko
hanya ingin Hong Tju-tjiau melihat kedatangannya, dengan
demikian Hong Tju-tjiau akan takut dan kabur dengan
sendirinya menurut rencana.
Perjamuan diadakan di tengah taman bunga, kedua
samping taman adalah serambi yang panjang. Karena tamu
yang datang teramat banyak, maka perjamuan diadakan
secara bergiliran, ada sebagian tamu yang belum sempat
mendapatkan meja perjamuan terpaksa duduk-duduk minum
teh di sepanjang serambi samping. Di tengah tamu-tamu
sebanyak itu, walaupun Goan-ko sudah mengawasi ke sana
kemari masih belum menemukan bayangan Hong Tju-tjiau
bertiga. Para tamu yang mengambil tempat duduk di meja
perjamuan sementara itu sudah penuh, yang masih lowong
beberapa tempat duduk adalah di meja tuan rumah. Menurut
adat kebiasaan, meja ini disediakan untuk orang tua dari
kedua mempelai serta tamu-tamu agung yang dianggap paling
akrab oleh kedua keluarga mempelai. Karena ayah-bunda
mempelai lelaki sudah lama wafat, sanak-kadang juga tidak
ada, sedangkan orang tua dari pihak keluarga mempelai
perempuan juga cuma Kang Hay-thian dan istrinya (Kang
Lam, ayah Kang Hay-thian, sudah wafat tahun yang lalu), Yap
Boh-hoa dan Keng Siu-hong sudah menikah, mereka berdua
juga ikut duduk di meja tuan rumah sebagai pengiring tamu.
Selain itu masih ada empat tempat duduk yang masih harus
diatur siapa yang layak mendudukinya.
Lebih dulu Kang Hay-thian mengundang Ketua Kay-pang
yaitu Tiong Tiang-thong serta It-yang-cu, tokoh Go-bi-pay.
Kedudukan Tiong Tiang-thong di antara para hadirin boleh
dikata paling tinggi. Hubungannya dengan keluarga Kang
boleh dikata sangat rapat, maka tiada seorang pun yang
keberatan jika Tiong Tiang-thong diundang oleh Kang Haythian
untuk duduk di meja terhormat itu.
It-yang-cu adalah murid Kim-kong Siangdjin (ketua Go-bipay
angkatan terdahulu) dari keluarga partikelir, adalah Sute
dari Eng-hun Tianglo, ketua Go-bi-pay yang sekarang. Selain
Tiong Tiang-thong boleh dikata terhitung paling tinggi
kedudukan atau menurut angkatannya, sebab itulah Kang
Hay-thian juga memandangnya sebagai tamu agung.
Setelah diisi oleh kedua tamu terhormat ini, kini masih
lowong empat tempat duduk yang entah harus diduduki oleh
tamu yang mana.
Selagi Kang Hay-thian merasa bingung, tiba-tiba istrinya,
Kok Tiong-lian berkata dengan tertawa, "Biasanya kau sangat
menyukai jago-jago dari angkatan muda, mengapa kau tidak
mengundang beberapa ksatria muda ke meja ini agar mereka
pun dapat bergaul dengan para angkatan tua."
"Benar juga," seru Hay-thian dengan tertawa. "Coba
undanglah Tong-siauhiap."
Pemuda she Tong yang disebut Kang Hay-thian ini adalah
putra Tong Keng-thian, ketua Thian-san-pay sekarang,
namanya Tong Ka-gwan. Sesungguhnya tingkatan Tong Kagwan
cukup tinggi dan dapat dikata setingkat dengan Kang
Hay-thian, cuma umurnya baru 30-an. Maka di antara tokohtokoh
yang sudah Icrmashur, dia masih dipandang sebagai
ksatria angkatan muda.
Kini tinggal tiga tempat duduk yang masih lowong. Setelah
berpikir sejenak kemudian Kang Hay-thian berkata, "Dari surat
Lui Tjin-tju, ketua Bu-tong-pay, yang kuterima, dia memuji
murid kesayangannya yang bernama Tjin Goan-ko untuk
berkenalan dengan aku. Kabarnya dia sudah datang, malahan
datang bersama dua orang teman. Maka boleh silakan mereka
bertiga saja duduk kemari."
Sebabnya Kang Hay-thian berpikir demikian adalah karena
dia sangat mengindahkan persahabatannya dengan Lui Tjintju
serta kesukaannya terhadap kaum angkatan muda. Selain
itu ada pula suatu sebab lain, yaitu dia mendapat laporan dari
Yap Boh-hoa bahwa seorang di antara teman yang datang
bersama 'Tjin Goan-ko' itu memiliki ilmu silat sangat tinggi,
tapi siapakah dia tiada dikenal. Lantaran itu Kang Hay-thian
sengaja mengundang mereka bertiga duduk satu meja
sekaligus agar bisa mengetahui siapa jago lihai yang tak
dikenal ini. Bahwasanya Kang Hay-thian tiba-tiba mengundangnya
duduk bersama satu meja hal ini pun sama sekali di luar
dugaan ?hin To-tjeng, keruan saja ia terkejut. Tapi setelah
dipikir lagi, dirinya toh sudah berada di sarang macan,
sekalipun hendak menghindar juga tidak bisa lagi. Pula
dengan duduk satu meja dengan tuan rumah akan berarti
lebih banyak kesempatan untuk menyerang secara mendadak
bilamana perlu. Maka tanpa ragu-ragu lagi segera ia
berbangkit dan mengucapkan kata-kata merendah diri ketika
Yap Boh-hoa datang mengundang mereka.
"Tjin-siauhiap bertiga disilakan duduk semeja dengan
Suhu," kata Yap Boh-hoa. "Eh, dimanakah Ong-siansing tadi?"
Bun To-tjeng dan Hong Tju-tjiau dalam pada itu telah
memakai she palsu, masing-masing mengaku she Hun dan she
Ong. Kalau Bun To-tjeng tidak memperlihatkan sesuatu perasaan
gugup karena dia memang sudah berpengalaman dan licin,
berlainan halnya dengan Bun Seng-tiong yang masih hijau,
seketika ia kelabakan, lebih-lebih ketika diketahui Hong Tjutjiau
telah menghilang.
Bun To-tjeng juga tidak tahu Hong Tju-tjiau mengeluyur
kemana. Tiba-tiba ia mendapat akal dan menjawab, "Ah, Ongsiansing
tiba-tiba merasa perutnya sakit, mungkin.....mungkin
dia.....hehe, sudahlah, kita tak usah menunggu dia."
Begitulah samar-samar ia hendak mengatakan bahwa Hong
Tju-tjiau perutnya sakit dan sedang pergi ke kakus.
"Tak apalah, silakan Hun-siansing berdua pindah dulu ke
sana," undang Boh-hoa.
Dengan ragu-ragu Bun Seng-tiong hendak menolak, tapi
Bun To-tjeng diam-diam memberi isyarat kepada putranya itu,
katanya, "Karena tuan rumah bermaksud baik, terpaksa kita
menurut saja."
Maka kedua orang itu lantas ikut Yap Boh-hoa untuk
menemui Kang Hay-thian.
"Tjin-siheng," sambut Kang Hay-thian. "Gurumu
mempunyai persahabatan berpuluh tahun dengan aku, engkau
adalah murid kesayangannya, tentu kupandang kau sebagai
anak muridku sendiri, maka hendaklah kau jangan sungkansungkan
lagi. Sungguh sangat kebetulan, kalian berdua yang
satu adalah jago muda dari Thian-san-pay, yang lain adalah
ksatria muda dari Bu-tong-pay, silakan kalian duduk
berdampingan agar bisa bergaul lebih akrab."
Begitulah ia lantas mengatur tempat duduk Bun Seng-tiong
di sebelah Tong Ka-gwan.
Kepandaian merias muka Bun To-tjeng memang sangat
pintar, setelah berpisah 20-an tahun Kang Hay-thian menjadi
pangling padanya. Dengan ramah Hay-thian menyambut pula,
"Hun-siansing datang dari jauh, maafkan aku tidak
menyambut secara wajar."
"Ah, akulah yang mesti minta maaf karena kedatanganku
yang lancang ini tanpa diundang," ujar Bun To-tjeng.
Sebelumnya Kang Hay-thian sudah dilapori oleh Yap
Bohhoa bahwa ilmu silat orang she Hun ini sangat tinggi.
Sebagai seorang guru besar ilmu silat merangkap tuan rumah,
untuk so-pan-santun Kang Hay-thian tidak enak untuk menguji
tamunya. Tapi dari ucapan Bun To-tjeng itu, mau tak mau ia
menjadi curiga.
Menurut dugaannya, jika dia datang bersama Tjin Goan-ko,
maka dia tentu mempunyai hubungan baik dengan Bu-tongpay.
Tapi selama bersahabat puluhan tahun dengan Lui Tjintju,
seingat Kang Hay-thian toh tidak pernah mendengar Lui
Tjin-tju membicarakan seorang kawan she Hun yang
berkepandaian setinggi ini, hal ini rada mengherankan.
Meski merasa sangsi, tapi sebagai seorang yang berhati
tulus, terutama terhadap seorang tamu yang baru dikenalnya,
sudah tentu Kang Hay-thian tak enak menanyakan asal-usul
orang. Ia tidak tahu bahwa tamu yang disangka baru pertama
kali kenal ini sesungguhnya adalah musuh yang pernah
bertarung dengan dirinya pada masa 20 tahun yang lampau.
Dalam pada itu ketua Kay-pang Tiong Tiang-thong sedang
saling mengalah dengan It-yang-cu dari Go-bi-pay dalam hal
tempat duduk utama. Kini Kang Hay-thian hendak
mengundang Bun To-tjeng ke tempat duduk mereka, tiba-tiba
Tiang-thong mendapat pikiran, "Kang Hay-thian tidak enak
menjajal tamunya, kenapa aku tidak mewakilkan dia untuk
mengujinya?"
Maka sambil tertawa segera Tiang-thong mengulur tangan
untuk menarik Bun To-tjeng dan berkata, "Hun-siansing
adalah tamu dari jauh, lebih tepat silakan Hun-siansing saja
yang duduk di tempat utama ini."
"Ah, mana aku berani melampaui hak kedua Lotjianpwe?"
cepat Bun To-tjeng menolak dengan mengangkat sebelah
tangannya.

Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmu andalan Tiong Tiang-thong adalah Kun-goan-it-ki-kang
yang maha lihai, tapi di tengah tarikan dan tolakan kedua
orang itu hanya baju Bun To-tjeng saja yang tampak bergerak
melambung seperti tertiup angin kencang. Sebaliknya jenggot
Tiong Tiang-thong yang memutih panjang itu pun tergetar
bergoyang. Nyata pertandingan Lwekang yang dikerahkan
kedua orang tadi boleh dikata sama kuatnya.
'Sam-siang-sin-kang' yang menjadi andalan Bun To-tjeng
itu berbeda dengan berbagai Lwekang dari kalangan
Tionggoan, maka Tiong Tiang-thong menjadi heran dan
terkejut karena tak dapat menjajaki asal-usul lawannya.
Dalam pada itu Bun To-tjeng sudah berduduk, katanya,
"Tempat duduk utama itu silakan Tiong-pangtju saja yang
menempatinya."
Sementara Li Kong-he datang memberitahukan Yap Bohhoa
bahwa Hong Tju-tjiau yang dicari itu tak bisa diketemukan
meski beberapa buah kakus telah didatangi.
Kiranya tadi waktu Hong Tju-tjiau mengetahui f jin Goan-ko
asli juga sudah datang, ia menjadi ketakutan dan lekas
mencari kesempatan untuk kabur, yaitu pada waktu Bun Totjeng
tengah mencurahkan perhatiannya ketika Yap Boh-hoa
datang mengundangnya duduk di meja tuan rumah, maka
menghilangnya Hong Tju-tjiau juga di luar tahu Bun To-tjeng.
Begitulah Yap Boh-hoa menyuruh Li Kong-he coba
mencarinya lebih lanjut, ia sendiri lantas melapor pada Kang
Hay-thian, "Suhu, Ong-siansing yang datang bersama Tjinsiauhiap
itu masih belum diketemukan."
"Wah, kawanku itu memang badannya kurang enak, kukira
tak perlu lagi menunggu dia," ujar Bun To-tjeng.
"Baiklah, bila perlu carilah tabib Han agar memeriksa tamu
kita itu," pesan Kang Hay-thian kepada Yap Boh-hoa.
Di sebelah sana It yang-cu dan Tiong Tiang-thing masih
terus sibuk saling mengalah menduduki tempat utama.
Sedangkan tempat duduk yang lain juga masih lowong satu
karena ke-tidak hadiran Hong Tju-tjiau. Yap Boh-hoa masih
berdiri di samping menunggu perintah sang guru siapa lagi
yang mesti diundang menduduki tempat terhormat itu.
Melihat kedua jago tua itu tetap menolak, dengan tertawa
Kang Hay-thian lantas berkata, "Sudahlah, kedua
Lotjianpwe tidak perlu saling mengalah lagi. Kukira lebih baik
ditentukan menurut umur saja. Tampaknya It-yang Totiang
agak lebih lanjut usianya daripada Tiong-pangtju, entah
dugaanku betul atau tidak?"
"Benar, dia lebih tua lima tahun daripadaku," kata Tiangthong
dengan tertawa. "Nah, sekarang kau Tosu tua ini tak
bisa omong lagi bukan" Hayo lekas duduk di sana, araknya
jangan sampai dingin."
"Ini mana boleh jadi," ujar It-yang-cu. "Kay-pang adalah
organisasi terbesar, menurut peraturan Bu-lim, yang
diutamakan adalah keluhuran dan kewibawaan. Tanpa
hadirnya Tay-pi Sian-su dari Siau-lim-si, dengan sendirinya
tempat duduk utama ini menjadi hakmu untuk
mendudukinya."
"Hahahaha, mana ada peraturan begitu," seru Tiang-thong
tertawa. "Jika menurut peraturan, pengemis tua atau muda
dari Kay-pang hanya pintar minta-minta saja, dimana pernah
ada pengemis menduduki tempat terhormat demikian?"
Di luar dugaan siapa pun juga, di tengah gelak tertawa
orang banyak karena ucapan Tiong Tiang-thong itu,
mendadak Kim Tiok-liu melompat ke depan dan mendekati
meja utama itu dengan lagak tuan besar, serunya dengan
tertawa. "Aha, aku lagi kebingungan tidak mendapat tempat
duduk, kiranya di sini masih ada tempat lowong. Pengemis
cilik paling mengutamakan makan minum besar, kalian boleh
tolak-menolak, tapi aku tidak sungkan-sungkan lagi."
Habis berkata tanpa rikuh ia terus duduk di tempat utama
itu. Ketika Kim Tiok-liu mendekat, diam-diam Boh-hoa sudah
membisiki sang guru bahwa jembel muda ini tidak boleh
dipandang rendah, menurut ujiannya tadi ilmu silat jembel ini
sukar dijajaki dan tak diketahui pula asal-usulnya.
Tindakan Kim Tiok-liu yang dianggap sembrono ini keruan
membikin geger para hadirin, termasuk It-yang-cu dan Tiong
Tiang-thong. Dengan gusar Tiang-thong lantas membentak,
"Darimana datangnya pengemis cilik seperti kau ini" Apakah
kau tahu siapa aku?"
Dengan cengar-cengir Kim Tiok-liu menjawab, "Siapakah
kau" Darimana aku bisa tahu" Tapi kudengar mereka
memanggil Pangtju padamu, entah kau Pangtju dari Pang
apa?" "Aku adalah Pangtju dari Kay-pang, setiap pengemis di dunia
ini ada di bawah perintahku," jawab Tiang-thong dengan
menahan gusar. "O, jika demikian kau tak dapat memerintah aku," ujar
Tiok-liu dengan tertawa. "Aku menjadi pengemis hanya
sebagai sambilan saja, aku adalah pengemis pocokan. Biar
kukatakan terus terang, aku malahan merangkap menjadi
pencuri dan pencopet. Di kala tidak berhasil mencopet barulah
aku minta-minta nasi segala Kelak saja bilamana aku sudah
bertekad menjadi pengemis penuh barulah aku akan
memohon pengemis tua seperti kau untuk menerima aku
sebagai anggota Eh, Kang-tayhiap, sebagai tuan rumah
tentunya kau tidak menolak pengemis cilik merangkap
menjadi pencopet untuk makan satu meja bersama kau
bukan" Nah, tuan rumahnya toh tidak mengusir aku, maka
siapa pun tidak ada hak buat mengusir aku lagi. Aku tak mau
sungkan-sungkan lagi dan ingin minum arak lebih dulu."
Sebenarnya Kang Hay-thian juga merasa pengemis cilik ini
rada-rada kurang ajar. Cuma dia paling suka kepada anak
muda yang berkepandaian tinggi, dari Yap Boh-hoa ia telah
dikisiki bahwa ilmu silat jembel muda ini 'dalamnya sukar
dijajaki', hal ini sangat mengherankan. Apalagi kini melihat
keberanian jembel muda yang luar biasa itu, semuanya ini
sangat menarik perhatiannya. Maka sekalipun para hadirin
sama gusar lantaran tingkah-laku Kim Tiok-liu yang kurang
ajar itu, sebaliknya Kang Hay-thian tenang-tenang saja atas
pertanyaan Kim Tiok-liu tadi ia memanggut dan berkata
"Baiklah, silakan saudara Kim minum sesukanya."
"Terima kasih," sahut Tiok-liu sambil mengangkat cawan
arak. "Memang arak harus diminum mumpung masih panas.
Silakan, silakan!"
Mendadak Tiong Tiang-thong tertawa sambil menepuk
pundak Kim Tiok-liu dan berseru, "Haha pengemis cilik seperti
kau ini benar-benar hebat. Tempat duduk ini aku saja tidak
berani menduduki, tapi pengemis cilik seperti kau ternyata
berani. Baiklah, hendaklah kau duduk yang kuat."
Maksud Tiang-thong hendak membikin malu Kim Tiok-liu,
maka tepukannya itu menggunakan setengah kekuatan Kungoanit-ki-kang. Melihat Tiong Tiang-thong mendadak menepuk pundak Kim
Tiok-liu, keruan Kang Hay-thian terkejut, ia cukup kenal
betapa lihainya Kun-goan-it-ki-kang, sekalipun jago kelas satu
juga sukar menahan tenaga pukulannya itu. Maka cepat Kang
Hay-thian juga menepuk pundak Kim Tiok-liu yang sebelah
dan berkata dengan tertawa "Aku paling suka kepada ksatria
muda yang suka berterus terang. Saudara Kim, kau benarbenar
mencocoki seleraku "
Tujuan tepukan Tiong Tiang-thong adalah hendak
menggetar hancur kursi yang diduduki Kim Tiok-liu agar
jembel muda itu jatuh terjungkal dan dibikin malu di depan
orang banyak. Dengan Kun-goan-it-ki-kang yang sudah mencapai tingkat
sempurna Tiong Tiang-thong sanggup memukul sepotong
tahu yang ditaruh di atas batu, batunya akan hancur lebur dan
tahu di atasnya itu takkan rusak sedikitpun. Jadi tujuannya
sekarang hanya membikin hancur kursi yang sedang diduduki
tanpa melukai Kim Tiok-liu, dengan demikian jembel muda itu
hanya akan dibikin malu saja.
Sebaliknya Kang Hay-thian tak tahu maksud tujuan Tiong
Tiang-thong itu. Ia kuatir dalam gusarnya ketua Kay-pang itu
akan melukai Kim Tiok-liu. Maka tepukannya menggunakan
ilmu 'Keh-but-thoan-kang' (menyalurkan tenaga melalui benda
lain), tujuannya hendak membantu Kim Tiok-liu menolak
tenaga tepukan Tiong Tiang-thong itu. Cuma dia menepuk
lebih lambat daripada Tiong Tiang-thong sehingga dia hanya
berharap dapat mengurangi kemungkinan luka si jembel
muda. Ketika tepukan Tiong Tiang-thong mengenai sasarannya,
tiba-tiba dirasakan pundak jembel muda itu empuk lunak
seakan-akan memukul di atas gumpalan kapas, sedangkan
jembel muda itu masih enak-enak duduk di tempatnya,
kursinya juga tidak remuk.
Keruan kejut Tiong Tiang-thong tak terhingga, selagi dia
hendak menambah tenaga, dalam pada itu tepukan Kang Haythian
juga sudah tiba. Seketika Tiong Tiang-thong berseru
kaget, badannya tergeliat dan terduduk kembali di atas
kursinya seakan kena didorong orang, kursinya ikut tergetar
goyang, untung tidak sampai terjungkal.
"Eh, pengemis tua, hendaklah kau pun duduk yang kuat, "
kata Kim Tiok-liu dengan tertawa.
Sudah tentu Kang Hay-thian mengetahui si jembel muda itu
telah memperalat tepukannya tadi untuk menggetar mundur
Tiong Tiang-thong. Semula Hay-thian hanya bermaksud
memunahkan tenaga tepukan Tiong Tiang-thong untuk
membantu si jembel muda, siapa tahu kekuatan si jembel
sendiri sudah cukup kuat untuk melawan Tiong Tiang-thong,
ditambah lagi tenaga tepukan Kang Hay-thian, dengan
sendirinya melebihi tenaga tepukan Tiong Tiang-thong.
Hal ini tidak membikin heran dan kejut Kang Hay-thiang,
yang membuatnya heran adalah Lwekang jembel muda itu
ternyata serupa dengan Lwekang Hay-thian sendiri, ketika
tenaga tepukan itu kena pundaknya, si jembel ternyata tidak
mengeluarkan tenaga perlawanan, sebaliknya Lwekang kedua
orang ternyata bisa terbaur menjadi satu.
Untuk bisa tercampur-baur Lwekang kedua orang itu harus
memenuhi dua syarat, pertama si jembel harus mengetahui
lebih dahulu bahwa Kang Hay-thian hanya bermaksud
membantunya dan bukan hendak menyerangnya. Kedua,
aliran Lwekang kedua harus sama-sama dari satu perguruan.
Padahal Lwekang Kang Hay-thian dipelajari dari Kim Si-ih yang
tiada cabang keduanya, sebab itulah Kang Hay-thian menjadi
terkejut dan terheran-heran.
Di lain pihak diam-diam Kim Tiok-liu juga merasa bersyukur
dan mengakui Kun-goan-it-ki-kang si pengemis tua benarbenar
sangat lihai, bila ketua Kay-pang itu menggunakan
segenap tenaganya, andaikan tidak terluka juga dirinya akan
dibikin malu di depan orang banyak. Untung Kang-suheng
membantu aku, demikian pikirnya.
Tiong Tiang-thong menjadi sangat kagum terhadap Kim
Tiok-liu, pikirnya, "Meski dia menggetar mundur aku dengan
meminjam tenaga Kang Hay-thian, tapi tubuhnya sendiri
sanggup menahan tepukanku tadi, Lwekangnya juga pasti luar
biasa. Maka dengan tertawa Tiong Tiang-thong lantas berkata,
"Kalau bicara tentang tingkatan, kau tidak pantas menempati
tempat duduk ini, tapi dengan usiamu semuda ini sudah
memiliki ilmu silat sedemikian hebat, di zaman ini mungkin
sukar dicari orang kedua. Maka tiada halangannya tempat
duduk utama ini diberikan padamu. Baiklah, aku pengemis tua
dapat mengalah padamu. Eh, kau ini she apa?"
Diam-diam Kim Tiok-liu menertawakan penilaian Tiong
Tiang-thong yang menganggap tingkatannya lebih muda dan
rendah, namun ia pun sudah menaruh kekaguman terhadap
ketua Kay-pang itu, maka sikapnya yang ugal-ugalan tadi juga
lantas berubah, dengan sungguh-sungguh ia menjawab, "Aku
she Kim bernama Tiok-liu."
"Ehm, namamu sungguh sangat bagus," ujar Tiang-thong
dengan tertawa. "Guru Kang-tayhiap, Kim-tayhiap, Kim Si-ih,
ketika baru muncul di Kangouw, beliau juga menyaru sebagai
kaum pengemis. Sekarang kau juga she Kim dan berkelana
sebagai kaum jembel. Sayang sekarang Kim-tayhiap tidak
diketahui jejaknya, apabila beliau mengetahui mempunyai
penganut seperti kau ini pasti beliau akan sangat senang, eh,
boleh jadi beliau akan menerima kau sebagai anakangkatnya."
"Tidak, aku tak ingin menjadi anak-angkat Kim-tayhiap,"
kata Kini Tiok-liu sambil menggeleng.
Ucapan ini membikin para tamu saling pandang dengan1
bingung, mereka anggap jembel cilik ini terlalu tidak tahu diri.
Hanya Kang Hay-thian saja yang berpikiran lain. Teringat
gurunya Kim Si-ih, sudah 21 tahun tak diketahui berada
dimana, jika beliau mempunyai anak, maka usia anaknya itu
boleh dikata sebaya dengan jembel cilik ini.
Seperti diketahui, Kim Si-ih dan Kang Hay-thian menikah
pada tahun yang sama (Dalam Kisah Pedang di Sungai Es).
Maka kalau Kim Si-ih punya anak, seharusnya umurnya sebaya
dengan putri Kang Hay-thian sendiri, yaitu Kang Hiau-hu.
Dalam pada itu Yap Boh-hoa lantas menyela, "Biar kuperkenalkan
kalian. Yang ini adalah Hun-siansing dan yang itu
adalah Tjin-siauhiap dari Bu-tong-pay. Eh, Tjin-siauhiap
mungkin kau belum tahu bahwa Kim-heng ini datang bersama
saudaramu."
Keruan Bun Seng-tiong terperanjat. "Darimana aku
mempunyai saudara?" demikian pikirnya.
Bun To-tjeng juga tahu gelagat tidak menguntungkan, ia
tidak tahu jembel muda itu akan main gila cara apa. Cuma ia
yakin jembel muda itu tentu tidak kenal asal-usulnya, maka
sebisanya ia berlaku waspada.
It-yang-cu adalah sahabat karib Lui Tjin-tju, ketika
mendengar keterangan Yap Boh-hoa tadi ia menjadi heran,
sebab ia hanya mengetahui Lui Tjin-tju cuma punya seorang
murid she Tjin, bahwasanya Tjin Goan-ko masih punya
saudara lagi selamanya tak pernah didengar olehnya.
Walaupun penyamaran Bun Seng-tiong cukup pandai sehingga
sekilas sukar dibedakan, tapi It-yang-cu pernah beberapa kali
melihat Tjin Goan-ko di atas Bu-tong-san, kini tanpa terasa ia
pandang beberapa kejap kepada Bun Seng-dong dan samarsamar
ia merasa ada sesuatu yang tidak beres pada diri
pemuda itu. Watak It-yang-cu justru berlawanan dengan Tiong Tiangthong.
Jika Tiong Tiang-thong paling suka ikut campur urusan


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetek-bengek, adalah It-yang-cu paling tidak suka ikut campur
urusan orang lain, cuma sekali timbul curiga, betapapun ia
juga ingin melihat bagaimana macamnya adik Tjin Goan-ko
itu. Tapi sebelum It-yang-cu membuka suara, tiba-tiba
terdengar pengatur acara berseru kedua pengantin baru telah
keluar menyuguh arak kepada para tamu. Terpaksa It-yang-cu
menahan maksudnya hendak bicara sambil menunggu saat
yang baik. Perkawinan Kang Hiau-hu dan Ubun Hiong ini dapat
berlangsung sesudah mengalami banyak peristiwa dan
rintangan. Wajah Hiau-hu yang cantik itu tampak rada malumalu
pula ketika muncul di tengah orang banyak. Waktu
sampai di meja utama ia menjadi melengak sejenak.
Menurut aturan, Hiau-hu harus menyuguh arak lebih dulu
kepada tamu yang menduduki tempat utama. Tak terduga
olehnya bahwa tamu agung yang duduk di situ ternyata
adalah seorang pengemis cilik. Di sampingnya adalah dua
Lotjianpwe yang kedudukannya sangat dnggi serta ada
hubungan rapat dengan ayahnya sendiri, yaitu Tiong Tiangthong
dan It-yang-cu. Keruan ia menjadi bingung harus
menyuguh arak lebih dulu kepada siapa"
Tiba-tiba ia mendapat akal sambil menyodorkan nampan
yang berisi cawan-cawan arak dan dengan suara lembut ia
berkata, "Silakan para tamu yang mulia sudi minum secawan."
Dengan cara demikian ia maksudkan sebagai
penghormatan yang sama kepada para tamu di situ dan
supaya masing-masing mengambil cawan arak sendiri. Para
tamu lantas berdiri, hanya Kang Hay-thian dan Kok Tiong-lian
sebagai orang tua masih tetap duduk di tempatnya.
Bun To-tjeng mendadak berkata, "Terima kasih!"
Berbareng pelahan ia menolak nampan arak yang
disodorkan Kang Hiau-hu itu. Tampaknya saja ia mendorong
pelahan, tapi sesungguhnya telah mengerahkan kekuatan
Sam-siang-sin-kang yang lihai, tujuannya hendak menggetar
luka Kang Hiau-feu, menyusul nona itu terus hendak dibekuk
untuk dijadikan barang sandera.
Mimpi pun Kang Hay-thian tidak menyangka akan
terjadinya peristiwa itu. Namun Kim Tiok-liu yang sebelumnya
sudah siap sedia. Sekejap itu juga sekonyong-konyong Kim
Tiok-liu juga mendorong pelahan nampan yang masih
dipegang Kang Hiau-hu itu, seketika cawan-cawan arak di atas
nampan itu sama berloncatan sehingga isinya berhamburan,
sampai-sampai Kang Hay-thian juga ikut terciprat. Dengan
demikian tenaga Sam-siang-sin-kang Bun To-tjeng yang lihai
itu dipunahkan oleh Kim Tiok-liu.
"Hahaha! Kedua mempelai bukan menyuguh arak
kepadamu saja, kenapa kau mendahului berterima kasih
segala" Aku kang duduk di tempat utama, aku sendiri malah
belum mencicipi pak suguhannya," demikian seru Kim Tiok-liu
sambil bergelak tertawa.
Kang Hiau-hu melongo kaget, ia tidak tahu bahwa
nyawanya tadi hampir saja melayang. Bahkan para tamu juga
tidak paham duduknya perkara, siapa pun tidak menduga
bahwa Bun jTo-tjeng itu sebenarnya mempunyai rencana keji
hendak membikin celaka putri jago nomor satu Kang Haythian.
Sebaliknya Kang Hay-thian sendiri cukup mengerti, cuma
bukan dia sendiri yang memunahkan Sam-siang-sing-kang Bun
[To-tjeng itu, maka sampai kini ia masih belum jelas siapakah
pun To-tjeng itu. Maka untuk sementara ia tetap tinggal diam
aja. Begitu pula Tiong Tiang-thong juga tidak enak ikut
campur urusan karena tuan rumah sendiri tidak mengambil
sesuatu tin-takan.
Dalam pada itu Bun To-tjeng menjadi gusar di samping
terkejut, dengan lagak seperti tidak terjadi apa-apa ia
membentak, "Pengemis cilik, kurang-ajar benar kau ini! Tuan
rumah su-Ika mengalah dan membiarkan kau duduk di tempat
utama itu, lantas kau berani berlagak sombong?"
Ia tahu bahwa rencananya sukar terlaksana pula, hendak
kabur juga tidak mudah, maka dia pura-pura bersikap garang
sekadar menutupi maksud tujuannya yang keji tadi.
Maka dengan tertawa Kim Tiok-liu menjawab, "Eh, jadi kau
tidak mau mengalah padaku" Jika demikian bolehlah kita
coba-coba mengukur tenaga. Jika aku kalah biar kau yang
duduk di tempat utama ini."
Bahwasanya ada tamu hendak berkelahi di tengah
perjamuan benar-benar sesuatu yang tidak pantas. Kok Tionglian
mengira kedua orang itu cuma saling mempertahankan
kehormatan masing-masing saja, maka dengan suara lirih ia
membisiki sang suami, "Hay-thian, kau memisah mereka saja.
Sama-sama tamu kita, buat apa saling bertengkar?"
"Berkenalan dengan menggunakan ilmu silat masingmasing
adalah kejadian yang biasa," kata Hay-thian dengan
tertawa. "Jika kedua tamu kita memang punya minat, boleh
juga kita menambah pengalaman pula. Anak Hu, tak perlu lagi
kau menyuguhkan arak."
Kang Hiau-hu baru saja bisa menenangkan diri, maka
setelah menaruh nampannya, ia lantas duduk di samping sang
ibu. Kok Tiong-lian sendiri masih belum tahu bahwa putrinya
tadi hampir saja kena serangan gelap, kini melihat Hiau-hu
rada pucat dan suaminya berkata demikian, maka tahulah dia
tentu ada sesuatu yang tidak beres.
Hay-thian tahu bahwa Kim Tiok-liu telah menyelamatkan
putrinya, dengan sendirinya ia pun tahu Bun To-tjeng tidak
bermaksud baik. Cuma ia tidak mau mengutarakan hal itu dan
sengaja hendak melihat dulu ilmu silat kedua orang. Ia pikir
sekali mereka bergebrak tentu akan mudah diketahui asal-usul
mereka dan bila si jembel muda tak sanggup menandingi
lawannya tentu pula dirinya akan membantunya.
Begitulah karena tuan rumahnya tidak mencegah
pertengkaran kedua tamunya, maka hadirin yang lain juga
senang melihat pertarungan ramai. Segera di tengah taman
diluangkan suatu kalangan, semua orang sama mengalihkan
pandangan kepada pertandingan kedua orang itu.
Bun To-tjeng benar-benar gemas terhadap si jembel muda,
kalau bisa sekali hantam ia ingin mampuskan dia. Tapi mau
tak mau ia harus berlagak tenang dan berkata, "Hm, kau
pengemis cilik ini punya kepandaian apa, kau ingin bertanding
cara bagaimana, apa mesti mati-matian atau cukup asal kena
tutuk saja."
"Hihi, terserah padamu," jawab Tiok-liu dengan mengikik
tawa. Bun To-tjeng menjadi gusar, bentaknya, "Baiklah, silakan
serang lebih dulu."
"Aku yang duduk di tempat utama dan paling terhormat,
maka seharusnya aku mengalah dga kali serangan padamu,"
sahut Tiok-liu dengan tertawa.
Tanpa bicara lagi, dengan murka Bun To-tjeng membelah
dengan sebelah telapak tangannya.
Tapi dengan sangat gesit Kim Tiok-liu berkelit ke samping.
"He, tidak kena!" serunya dengan tertawa mengejek.
Belum lenyap suaranya, tiba-tiba pukulan Bun To-tjeng
yang kedua sudah menyusul pula, yaitu suatu jurus Kim-nadjiuhoat yang amat lihai. Terdengar suara "bret" sekali,
sepotong lengan baju Kim Tiok-liu kena dirobek, namun Kim
Tiok-liu masih sempat menghindarkan diri.
Yang seorang menyerang dengan cepat dan ganas, yang
lain berkelit dengan indah dan gesit, tanpa terasa para hadirin
sama bersorak, tapi diam-diam juga berkuatir bagi si jembel
muda ini. Jika pada serangan kedua saja jembel muda itu
telah kena dirobek lengan bajunya, maka serangan ketiga
mungkin sukar mengelakkan diri pula.
Tiong Tiang-thong juga berbisik kepada Kang Hay-thian,
"Kulihat kepandaian mereka berdua mungkin tidak selisih jauh,
hanya teramat berbahaya bagi si pengemis cilik yang sengaja
mengalah tiga jurus serangan kepada lawannya."
Rupanya Tiong Tiang-thong berkesan baik dan timbul rasa
sukanya kepada Rim Tiok-liu, Kang Hay-thian hanya
tersenyum saja tanpa memberi komentar apa-apa atas ucapan
Tiong Tiang-thong itu.
Dalam pada itu terdengar Kini Tiok-liu sedang berkata
dengan tertawa, "Ya, memang pakaian kaum pengemis itu
harus robek-robek, banyak terima kasih atas bantuanmu!"
Sudah hampir kecundang, tapi mulutnya masih menerocos
seenaknya. Bun To-tjeng juga sangat terkejut karena dua kali
serangannya dapat dihindarkan Kim Tiok-liu. Maka dengan
murka lantas serangan ketiga dikeluarkan, pukulan mematikan
yang paling diandalkan, yaitu Sam-siang-sin-kang. Seketika
bayangan pukulan Bun To-tjeng seakan berlapis-lapis
datangnya, sekitar Kim Tiok-liu seakan tertutup semua oleh
serangan lawan. Angin kencang berjangkit sehingga debu
pasir ikut bertebaran.
Para tamu yang berdekatan sama menyingkir mundur kuatir
kalau kelilipan matanya oleh debu pasir itu, tetapi sedapat
mungkin mereka pun ingin mementang mata untuk
menyaksikan dengan cara bagaimana Kim Tiok-liu berusaha
menghindarkan serangan maut itu.
Di tengah kabut debu yang remang-remang dan tak jelas
itu tahu-tahu Kim Tiok-liu sudah mengelakkan serangan lihai
itu dan berdiri di bawah sebatang pohon, serunya sambil
tertawa, "Lihai amat! Sayang masih tetap tak bisa mengenai
diriku." Bagi tamu-tamu yang berilmu silat rada rendah sama sekali
tidak mengetahui cara bagaimana Kim Tiok-liu menghindarkan
serangan tadi, tapi di antara para hadirin itupun tidak sedikit
tokoh kelas satu. Segera ada orang berteriak, "Hah, yang
digunakan adalah Thian-lo-poh-hoat!"
"Eh, pengemis cilik ini pun mahir Thian-lo-poh-hoat, apakah
dia anak murid Djing-sia-pay?" teriak yang lain.
"Benar, yang dia gunakan adalah langkah ajaib Thian-lopohhoat," sambung yang lain lagi. "Tapi dia bukanlah orang
Djing-sia-pay!"
Orang yang bicara terakhir ini adalah jago Djing-sia-pay,
yaitu Siau Tji-wan. Kakeknya, Siau Hing-hong, adalah jago
Djing-sia-pay yang paling mahir Thian-lo-poh-hoat.
Thian-lo-poh-hoat memang berasal dari Djing-sia-pay,
cuma yang mahir menggunakan tidak terbatas orang Djingsiapay saja. Guru Kang Hay-thian, yaitu Kim Si-ih justru telah
mengambil sari Thian-lo-poh-hoat itu untuk digabungkan
dengan ilmu silat yang diperolehnya dari kitab pusaka
tinggalan Kiau Pak-beng, sehingga hasilnya jauh lebih bagus
daripada Thian-lo-poh-hoat aslinya.
Sekarang Kang Hay-thian menyaksikan Kim Tiok-liu mengeluarkan
Thian-lo-poh-hoat dari perguruannya sendiri,
sungguh kejut dan girangnya tak terhingga. Seketika ia pun
dapat menarik kesimpulan siapa sebenarnya Kim Tiok-liu.
Sesudah mengelakkan tiga kali serangan lawan, mendadak
Kim Tiok-liu berteriak, "Jika menerima tanpa memberi adalah
kurang hormat. Lihatlah seranganku!"
Mendadak tangan kanannya berputar setengah lingkaran,
flari tangan kiri lantas menutuk ke depan mengarah Hiat-to di
dada Bun To-tjeng. Cepat Bun To-ceng menangkis dan balas
penyerang, setelah saling gebrak satu kali, keduanya lantas
melangkah mundur.
Pada jari Kim Tiok-liu sudah terjepit secarik robekan kain.
katanya dengan tertawa, "Sekarang satu-satu, kau merobek
bajuku, aku pun merobek bajumu. Nah, boleh kita coba lagi!"
Kiranya Kim Tiok-liu tidak berhasil menutuk sasarannya,
namun dengan cepat sekali jarinya berhasil mengait robek
baju Bun To-tjeng.
Melihat telapak tangan Kim Tiok-liu yang berputar tadi
gayanya mirip Tay-seng-pan-yak-tjiang, diam-diam Yap Bohhoa
merasa sangsi, ia coba bertanya pada Kang Hay-thian,
"Apakah yang dimainkannya tadi adalah Tay-seng-pan-yaktjiang"
Gayanya tampaknya rada mirip dengan cara kita. Ilmu
tutukan-nya tadi agaknya aku pun pernah melihat Suhu
memainkannya."
"Ya, itu adalah Keng-sin-tji-hoat (Ilmu tutukan pengejut
malaikat) yang belum pernah kau pelajari," kata Kang Haythian.
"Keng-sin-tji-hoat si jembel muda ini ternyata lebih
pandai daripadaku, cuma sayang masih kurang latihan, kalau
tidak, orang she Hun itu tentu sudah terjungkal."
Mendengar gurunya mengatakan ilmu tutukan si jembel itu
lebih hebat, kejut Yap Boh-hoa benar-benar luar biasa. Belum
sempat ia bertanya lebih lanjut, di sebelah sana Kim Tiok-liu
dan Bun To-tjeng sudah mulai bergebrak lagi.
Setelah saling gebrak lagi, masing-masing sudah tidak
berani sembrono lagi. Meski Bun To-tjeng cukup kuat
menahan serangan Tay-seng-pan-yak-tjiang, namun tenaga
getaran waktu menangkis tadi membuat dadanya sesak,
bahkan cara menutuk Kim Tiok-liu tadi membuatnya lebih
terkejut. Sebagai seorang ahli segera ia mengetahui
pengetahuan lawannya sangat luas dan macam-macam,
selanjutnya entah jurus serangan aneh apalagi yang hendak
dikeluarkan. Sebaliknya sesudah bergebrak tadi, Kim Tiok-liu juga
merasa napasnya kurang lancar. Pikirnya, "Pantas ayah
mengatakan Sam-siang-sin-kang keluarga Bun terhitung suatu
ilmu terpuji di dunia persilatan. Tampaknya tenaga orang ini
masih lebih tinggi setingkat daripada aku."
Kini setelah bergebrak lagi, Kim Tiok-liu lantas
menggunakan akal, selalu ia mengeluarkan jurus serangan
baru yang aneh. Karena sukar menangkap kemana arah
serangan lawannya, terpaksa Bun To-tjeng berlaku lebih hatihati,
ia bertahan dengan rapat dan tidak berani sembarangan
balas menyerang.
Cukup lama juga pertarungan kedua orang itu dan masih
tetap sukar ditentukan menang atau kalah. Sedangkan daun
pohon di samping mereka sampai rontok dan hampir gundul
terkena angin pukulan kedua orang.
Sambil memegangi cawan arak dan mengikuti pertandingan
itu, diam-diam Kang Hay-thian merenung, "Selama 20 tahun
ini kiranya Suhu sudah menciptakan pula berbagai jurus
serangan baru yang aneh. Ilmu memang satu angkatan lebih
maju dan lebih tinggi daripada angkatan yang lain, sesuatu
ilmu harus dikembangkan dan diciptakan yang baru daripada
ajaran angkatan tua. Tapi selama 20 tahun ini apa yang
kuciptakan terlalu sedikit bila dibandingkan dengan Suhu.
Sungguh aku harus merasa malu."


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat sang suami termenung-menung, Kok Tiong-lian
lantas bertanya, "Aneh benar kepandaian jembel muda ini,
cuma sayang masih kurang latihan agar lebih matang lagi.
Mengapa engkau diam saja, apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku sedang berpikir, selama ini kawan-kawan Bu-lim selalu
menyanjung puji padaku, aku disanjung sebagai jago nomor
satu di dunia ini, maka aku ingin tahu apakah aku dirasuki
oleh sebutan kosong itu sehingga tanpa terasa aku pun
menganggap sebutan itu memang pantas bagiku?"
Sementara itu pertarungan kedua orang sudah mencapai
ratusan jurus, Bun To-tjeng masih tetap tak bisa menang, ia
menjadi gelisah. Ia dapat melihat tenaga Kim Tiok-liu kurang
kuat dibandingkan dirinya, maka pada suatu saat ia sengaja
memancing serangan Kim Tiok-liu untuk diajak adu tenaga.
Kim Tiok-liu juga tidak kalah cerdik, ia menggunakan akal
orang untuk mengakali orang itu sendiri. Mendadak ia
melangkah maju dan menghantam. Pada saat itulah Bun Totjeng
lantas membentak, "Kena!"
Berbareng tangannya lantas memotong ke bawah.
Tak terduga Kim Tiok-liu ternyata segesit belut, di tengah
jalan serangannya lantas ditarik kembali sambil menggeser ke
samping, sahurnya dengan tertawa, "Apanya yang kena"
Kaulah yang kena kugerayangi!"
Di tengah suara gelak-tawanya, ketika ia membuka
tangannya, terdengarlah suara gemerincing nyaring, macammacam
uang tembaga dan uang perak berhamburan jatuh di
atas tanah. Hanya tertinggal sebuah botol porselen kecil yang
masih terpegang di tangannya. Lalu katanya pula dengan
tertawa, "Siok toan-ko (koyok sambung tulang) keluaran Bubengto adalah obat yang sukar dicari, ini mesti kusimpan
baik-baik."
Kiranya pukulan Kim Tiok-liu tadi adalah serangan purapura
saja, yang benar adalah sebelah tangannya ketika
mendekat dan menggeser ke samping ia terus menggerayangi
saku lawan sehingga isi kantong Bun To-tjeng kena dikuras
habis olehnya. Walaupun serangannya tidak mengenai Bun To-tjeng, tapi
berhasil mencopet barangnya, hal ini terang Bun To-tjeng
yang kecundang. Keruan Bun To-tjeng sangat gusar tapi mati
kutu, wajahnya sampai berubah merah padam tak bisa bicara
lagi, sebaliknya para hadirin tertawa terbahak-bahak.
Sampai di sini Tiong Tiang-thong juga heran, diam-diam ia
tanya Kang Hay-thian, "Kang-tayhiap, cara pengemis cilik itu
mencopet sungguh sangat indah, jangan-jangan dia adalah
murid si copet sakti Ki Hiau-hong?"
Seperti diketahui (Dalam Kisah Pedang di Sungai Es), pada
30-an tahun yang lampau Ki Hiau-hong termashur sebagai
copet sakti yang tiada bandingannya. Sifatnya sangat jenaka
dan suka bercanda dengan sesama kawan Bu-lim, sering ia
mencuri kitab-kitab pusaka atau mencopet obat mujarab atau
senjata tunggal mereka. Tiong Tiang-thong sendiri dahulu
juga pernah mengalaminya, sebab itulah ia kenal cara
pencopetan Ki Hiau-hong.
Maka Kang Hay-thian menjawab, "Ilmu copetnya ini
memang benar ajaran Ki Hiau-hong, tapi dia pasti bukan
muridnya. Ilmu silat Ki Hiau-hong sekali-kali tidak sehebat
jembel muda ini."
"Jika demikian, jangan-jangan kau sudah mengetahui asalusul
perguruannya?" tanya Tiang-thong
"Benar, aku sudah tahu," sahut Hay-thian. "Cuma, saat ini
masih tidak boleh kukatakan. Sebentar nanti bila aku sudah
bertanya padanya, bila dugaanku tidak melesset, biarlah aku
akan mengundang kalian untuk minum beberapa cawan arak
gembira lagi."
"Arak yang kau suguhkan sekarang ini bukankah juga arak
gembira?" ujar Tiong Tiang-thong dengan teratwa.
"Ya, tapi hal ini lebih luar biasa lagi, jauh lebih
menggembirakan daripada peristiwa perkawinan putriku ini,"
kata Hay-thian.
"Betulkah begitu" Jika demikian aku menjadi ingin
pertandingan ini lekas berakhir agar guci wasiat ini bisa lekas
kau pecahkan," kata Tiang-thong. Ketika dilihatnya Kang Haythian
lantas termenung seperti sedang mengingat sesuatu,
maka ia pun tidak enak untuk bertanya lebih jauh.
Kiranya disebabkan oleh ilmu mencopet Kim Tiok-liu itulah
hingga menimbulkan kenangan Kang Hay-thian terhadap Ki
Hiau-hong, bahkan menimbulkan rasa rindunya pula kepada
sang guru, yaitu Kim Si-ih.
Ki Hiau-hong pernah mengangkat saudara dengan Kang
Lam, ayah Hay-thian, juga terhitung sahabat paling karib
gurunya, yaitu Kim Si-ih. Pada 20 tahun yang lalu, waktu Kim
Si-ih dan Kok Tji-hoa mengasingkan diri keluar lautan bebas,
tidak lama kemudian jejak Ki Hiau-hong juga menghilang. Ada
orang mengatakan copet sakti itu telah mengembara ke negeri
Thian-tiok (kini India) dan ada orang berceritera dia pergi
mencari Kim Si-ih. Mana yang benar, tiada seorang pun yang
tahu dengan pasti. Yang jelas, seperti halnya Kim Si-ih, sejak
itu jejak Ki Hiau-hong juga tak diketahui lagi. Lantaran
menghilangnya seorang copet sakti yang suka membikin onar,
maka sejak hu dunia persilatan menjadi sepi juga.
Diam-diam Kang Hay-thian berpikir, "Tampaknya jembel
muda itu memang Suteku, hal ini tidak perlu disangsikan lagi.
Dia mahir ilmu mencopet Ki-pepek, agaknya paman Ki juga
tinggal satu tempat bersama Suhu. Cuma entah beliau masih
hidup tidak" Bila paman Ki masih hidup maka umurnya
sekarang juga sudah hampir 80 tahun. Usia ayahku lebih
muda beberapa tahun daripada paman Ki. tapi ayah sudah
meninggal dunia lebih dulu. Bila ayah dapat hidup sampai hari
ini dan mendapat kabar tentang kawan baiknya itu, entah
betapa akan girangnya beliau."
Kemudian Hay-thian berpikir pula, "Tahun ini tepat ulang
tahun Suhu yang ke-60, ilmu silat beliau tiada bandingannya,
tentu badan beliau tetap sehat walafiat. Sungguh cepat sekali
lewatnya sang waktu, sudah 20-an tahun aku tidak
mendengar petuah beliau."
Sebagaimana diketahui, Kang Hay-thian hanya putra
seorang kacung pada keluarga pembesar negeri, berhasilnya
dia menjadi seorang pendekar besar adalah berkat didikan
Kim Si-ih, maka Kang Hay-thian senantiasa terkenang kepada
gurunya yang berbudi itu. Kini melihat Kim Tiok-liu dengan
sendirinya teringat pula kepada gurunya itu.
Selagi Hay-thian termenung, terdengar Tiang-thong
berseru, "Bagus! Jurus ilmu pedang itu kau melihatnya tidak,
Kang-tayhiap?"
Waktu Hay-thian memandang ke depan, dilihatnya Bun Totjeng
sedang terdesak mundur, tapi Kim Tiok-liu tetap
bertangan kosong tanpa memegang pedang segala.
Yap Boh-hoa yang berdiri di samping gurunya menjadi
heran mendengar seruan Tiong Tiang-thong tadi, ia tanya,
"Tiong-pangtju, kau bilang dia memainkan ilmu pedang?"
"Ya, aku ingin minta keterangan gurumu, yang dimainkan
pengemis cilik itu seperti ilmu pedang Thian-san-pay," sahut
Tiang-thong. Kang hay-thian manggut-manggut, katanya, "Memang
benar, yang dia mainkan sekarang adalah jurus Si-mi-kiamhoat
dari Thian-san-pay. Jurus yang tadi, aku tidak
memperhatikan."
Kiranya jari Kim Tiok-liu digunakan sebagai pedang dan
memainkan gaya ilmu pedang perguruannya. Ilmu pedang
ajaran Kim Si-ih disarikan dari ilmu pedang Thian-san-pay,
hanya saja caranya menggunakan jari sebagai ujung pedang
serta gerak perubahannya adalah tambahan dan ciptaan Kim
Si-ih sendiri. Maka murid Kang Hay-thian belum pernah
mendapat ajaran ilmu setinggi ini, maka dari itu Yap Boh-hoa
tidak kenal permainan silat Kim Tiok-liu.
Dalam pada itu It-yang-cu juga sudah dapat mengenali
Thian-san-kiam-hoat yang dimainkan Kim Tiok-liu, padahal jalgo
muda Thian-san-pay, yaitu Tong Ka-gwan justru berdiri di
sebelahnya, segera ia menoleh dan bertanya padanya, "Tongsiauhiap,
apakah orang ini adalah anak murid Thian-san-pay
kalian?" Tong Ka-gwan tampak kebingungan dan menjawab,
"Bukan. Entah darimana dia dapat belajar Si-mi-kiam-hoat,
tampaknya sama, tapi berbeda banyak pula."
Tiba-tiba It-yang-cu merasakan sesuatu yang tidak beres,
ia melengak dan bertanya, "He, kemanakah Tjin-siauhiap dari
Bu-tong-pay tadi?"
Tadi tempat duduk Bun Seng-tiong diatur di sebelah Tong
Ka-gwan, kemudian sesudah Bun To-tjeng bertanding dengan
Kim Tiok-liu, Ka-gwan dan Bun Seng-tiong berdiri berdekatan
untuk menyaksikan berlangsungnya pertarungan itu.
Baru sekarang juga Tong Ka-gwan mengetahui
menghilangnya 'Tjin Goan-ko' di sebelahnya, sahutnya, "Ya,
aneh, barusan saja aku masih bicara dengan dia. Kemanakah
perginya?"
Belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara ribut di
serambi depan sana.
Kiranya Bun Seng-tiong yang mengikuti kejadian-kejadian
di tengah pesta itu, ia menjadi semakin ketakutan. Pikirnya,
"Ra-isanya peristiwa ini lebih banyak bahayanya daripada
selamat-inya. Ayah tidak berhasil menyergap anak Kang Haythian,
tentu sebentar rahasianya akan diketahui musuh. Hongpepek
sudah kabur lebih dulu, buat apa lagi aku tinggal di
sini?" Rupanya dia hanya memikirkan keselamatannya sendiri
sehingga ayahnya juga tak terpikirkan lagi. Maka di tengah
perhatian orang banyak sedang dipusatkan ke gelanggang
pertandingan, diam-diam ia lantas mengeluyur pergi.
Tapi untuk keluar dari taman itu harus melalui suatu
serambi yang panjang. Tatkala itu Tjin Goan-ko juga sedang
memperhatikan pertandingan di ujung serambi. Ketika Bun
Seng-tiong lewat di situ secara kebetulan kena dipergoki
olehnya. Tanpa ayal lagi, segera Goan-ko melompat maju dan mengadang
di depan Bun Seng-tiong sambil berkata dengan
dingin, "Bun-heng, sudah waktunya kita harus bertukar baju
lagi." Keruan Bun Seng-tiong terkejut. Tapi ia pun cukup cerdik,
segera ia mendorong ke depan dan berkata, "Loji (adik
kedua), kau ribut apa di sini" Diam-diam kau berani ikut ke
sini, untuk ini belum lagi aku mengomeli kau."
Dorongan Bun Seng-tiong itu menggunakan Sam-siang-sinkang.
Cuma latihannya belum matang, sudah tentu tak dapat
dibandingkan Sam-siang-sin-kang ayahnya. Namun demikian
tenaganya juga sudah cukup untuk membikin hancurnya batu.
"Kau mengoceh apa?" bentak Goan-ko sembari mengelak
ke samping, berbareng jarinya lantas menutuk ke siku lawan.
Lekas Bun Seng-tiong menurunkan tangannya ke bawah,
menyusul dengan cepat tangannya menolak ke depan lagi.
Rupanya kepandaian kedua orang ini masih sama kuatnya,
Bun Seng-tiong tidak dapat melukai Tjin Goan-ko dengan
Sam-siang-sin-kang, sebaliknya Goan-ko juga tidak mampu
membekuk Seng-tiong.
Pertarungan mereka itu dengan sendirinya membikin kaget
tamu-tamu yang lain. Waktu Yap Boh-hoa membawa masuk
Goan-ko tadi, ada beberapa tamu di antaranya mendengar
pembicaraan mereka, maka sekarang mereka pun menyangka
kedua saudara yang wajahnya memang rada mirip itu telah
bertengkar sendiri.
Segera ada seorang tamu berkata dengan tertawa, "He,
kalian berdua saudara mengapa membikin ribut di sini" Kangtayhiap mengadakan pesta, adikmu ikut meramaikan
perayaan ini, mengapa sebagai kakak kau menyalahkan dia?"
Ia tidak tahu duduknya perkara dan menyangka kedua
saudara itu sedang bertengkar sendiri.
Dan baru saja Goan-ko hendak mengatakan apa yang
terjadi sebenarnya, tiba-tiba para penonton di sebelah sana
menjadi gempar, kiranya Kim Tiok-liu berhasil menyobek baju
Bun To-tjeng, tapi ia pun kena dipukul satu kali oleh lawannya
itu. Sebagai seorang tokoh kelas wahid sudah tentu Bun Totjeng
merasa malu karena bajunya dirobek orang, tapi Kim
Tiok-liu kena dipukul olehnya, hal ini membuat para penonton
ikut kuatir baginya.
Tjin Goan-ko terkejut juga, betapa licin Bun Seng-tiong,
selagi Goan-ko tertegun segera ia menerobos lewat. Orangorang
di serambi situ sedang memperhatikan kejadian di
tengah kalangan pertandingan sehingga sungkan ikut
mengurus pertengkaran di antara 'kedua bersaudara' itu.
Sebenarnya kalau mau Goan-ko masih sempat
membongkar kedok Bun Seng-tiong dan orang-orang Kang
Hay-thian tentu tidak akan membiarkan Seng-tiong kabur
begitu saja. Tapi lantaran Goan-ko tidak tahu asal-usul Bun
To-tjeng yang sebenarnya, sehingga dia tidak tabu segala tipu
muslihat yang diatur ayah dan anak she Bun itu. Disangkanya
sengketa To-tjeng dan Kang Hay-thian hanya percekcokan
biasa orang Kangouw, maka hari ini sengaja datang hendak
mengukur tenaga dengan Kang Hay-thian, adapun Kim Tiokliu
tahu-tahu tampil ke depan bertanding dengan Bun Totjeng,
hal ini sama sekali di luar dugaan Goan-ko. Sebab itulah
ia pun tidak ingin membikin susah Bun Seng-tiong dan
membiarkan dia kabur begitu saja.
Waktu ia berpaling lagi memperhatikan pertandingan di
tengah kalangan, dilihatnya Kim Tiok-liu sedang menggunakan
potongan kain baju yang dirobeknya dari lawan untuk mengerudung
pula ke atas kepala Bun To-tjeng sambil tertawa dan
mengolok-olok, "Pengemis cilik berhasil mencopet sebagian
baju robek ini dan sebagai persennya kena digebuk satu kali,
kukira ini masih setimpal juga."
Kiranya Kim Tiok-liu memang sengaja hendak memancing
kemarahan Bun To-tjeng, maka dengan menempuh bahaya ia
terus menubruk maju dengan kecepatan luar biasa, ia jambret
baju lawannya, la menaksir dengan langkah ajaib Thian-lopohhoat dirinya tentu sempat menghindarkan serangan
lawan, andaikan kena dipukul juga takkan terlalu berat.
Hasilnya memang sesuai dengan perhitungannya.
Maka legalah had Goan-ko melihat Kim Tiok-liu tidak
sampai terluka.
Sebabnya Kim Tiok-liu sengaja memancing kemarahan Bun
To-tjeng, bukanlah dia sengaja hendak menggodanya, soalnya
pertandingan di antara jago kelas wahid, bila salah satu pihak


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi gopoh, dalam hal pengetahuan macam-macam ilmu
silat Kim Tiok-liu lebih luas daripada Bun To-tjeng, ia hanya
kalah ulet, kalah kuat. Sebab itulah meski dia sudah
mengeluarkan macam-macam serangan aneh, setelah sekian
lamanya masih tetap tak bisa menang. Untuk mencapai
kemenangan hanya dengan memancing amarah Bun To-tjeng.
Ternyata Bun To-tjeng masuk perangkap, ia merasa
kepandaiannya boleh dikata setanding dengan Kang Haythian,
sekarang di depan orang banyak bajunya kena dirobek
oleh seorang jembel cilik, keruan ia menjadi malu dan murka.
Begitulah dengan berjingkrak murka Bun To-tjeng
menggertak keras, kedua tangannya menghantam turun
sehingga kain baju yang dikerudungkan Kim Tiok-liu ke atas
kepalanya tadi hancur menjadi potongan kecil-kecil.
Memang tujuan Kim Tiok-liu justru ingin membikin murka
lawannya, sekali Bun To-tjeng menyerang secara kalap,
kesempatan ini segera digunakan olehnya dengan baik.
Segera Kim Tiok-liu mengeluarkan langkah Thian-lo-poh-hoat
yang indah, secepat kilat ia menggeser kian kemari, terkadang
memukul dengan telapak tangan, lain saat menutuk dengan
jari, selalu ia mencari lubang kelemahan Bun To-tjeng. Maka
hanya sekejap saja Bun-To-tjeng berulang-ulang mengalami
serangan berbahaya
Terkesiap juga Bun To-tjeng, lekas ia menenangkan diri
dan melayani serangan musuh dengan cermat. Namun sudah
terlambat, sekali Kim Tiok-liu berhasil menduduki tempat
penyerang segera ia melancarkan serangan lebih gencar
sehingga sama sekali Bun To-tjeng tidak sempat balas
menyerang, terpaksa ia harus menjaga diri serapat mungkin.
Suara gempar para penonton tadi sudah tenang kembali
dan asyik mengikuti pertarungan sengit itu. It-yang-cu
mendekati Yap Boh-hoa dan berkata "Tadi aku melihat 'Tjin
Goan-ko' pergi, adiknya masih berada di serambi sana
tampaknya kedua saudara itu seperti bertengkar sesuatu.
Coba kau undang adiknya kemari, aku ingin bertanya sesuatu
padanya." Sekilas tadi Yap Boh-hoa juga melihat kehebohan yang
terjadi di serambi sana cuma dia sedang memperhatikan
pertarungan sengit antara Kim Tiok-liu dan Bun To-tjeng,
sehingga tidak sempat mengurusnya sekarang keadaan sudah
mereda, setelah mendengar ucapan It-yang-cu itu segera ia
pergi mencari Tjin Goan-ko.
Bun To-tjeng sendiri lagi melayani serangan Kim Tiok-liu
dengan segenap tenaganya sehingga dia sama sekali tidak
ambil pusing terhadap segala kejadian di sekitarnya. Tentang
pertengkaran putranya dengan Tjin Goan-ko juga tidak
diketahui olehnya. Tapi kini setelah Yap Boh-hoa membawa
datang Goan-ko dan berlalu di depannya biarpun dia tidak
mau ambil pusing terhadap kejadian di sekitarnya, mau tak
mau sekarang ia melihat juga diri Goan-ko.
Keruan kejut To-tjeng tak terkatakan, diam-diam ia
mengeluh bisa celaka. Dengan datangnya Goan-ko tentu
kedoknya akan terbongkar. Memangnya ia sedang dicecar
oleh Kim Tiok-liu, sekarang sedikit terpencar lagi perhatiannya
keruan ia tambah kelabakan sehingga menangkis saja menjadi
kacau. Terdengarlah "biang" satu kali, ia kena dihantam
dengan keras oleh Kim Tiok-liu dan terhuyung-huyung mundur
beberapa tindak. Kim Tiok-liu menggunakan tenaga sekuatnya
sekalipun tidak sampai terluka dalam juga Bun To-tjeng
menjadi kesakitan dan matanya berkunang-kunang.
"Kau sudah tahu belum asal-usul jembel muda itu, dan
dapatkah kau memperkirakan asal-usul orang she Hun itu?"
demikian Tiong Tiang-thong saat itu sedang bertanya pada
Kang Hay-thian.
Pada saat itu pula Bun To-tjeng kena dihantam mundur,
maka Tiong Tiang-thong lantas berseru girang, "Aha, si jembel
cilik itu sudah menang!"
"Hab, pukulan dibayar pukulan, aku pun belum bisa
dianggap menang. Marilah maju lagi!" seru Kim Tiok-iiu sambil
tertawa. Segera ia menubruk maju lagi dan bermaksud menambahi
satu pukulan dahsyat untuk merobohkan Bun To-tjeng, tibatiba
terdengar seruan Kang Hay-thian, "Sute, biarkan dia pergi
saja!" Kata-kata Kang Hay-thian itu seketika membikin para
hadirin melongo heran, Tiong Tiang-thong menjadi girang,
katanya, "Eh, kiranya dia adalah putra Kim-tayhiap. AL,
pengemis tua benar-benar sudah pikun. Dia bernama Kim
Tiok-liu, dari namanya ini kenapa sejak tadi aku tidak teringat
kepada beliau?"
Di sebelah sana, sambil menahan sakit Bun To-tjeng masih
pasang kuda-kuda dan siap menghadapi serangan lain,
dengan tersenyum Kang Hay-thian berkata padanya, "Bunsiansing
bolehlah sudahi saja pertandingan ini. Selama 20
tahun tidak bertemu, terimalah ucapan selamat dariku atas
berhasilnya Sam-siang-sin-kang yang kau yakinkan itu.
Apakah pamanmu baik-baik saja?"
Wajah Bun To-tjeng pucat pasi dan lesu seperti kematian
orang tua, jawabnya, "Orang she Kang, kau tidak perlu
membual. Aku tidak mampu menandingi Sutemu, dengan
sendirinya lebih-lebih bukan tandinganmu. Sekarang mau
bunuh mau sembelih boleh silakan sesukamu."
"Ai, kenalan lama sudi berkunjung ke rumahku, masakah
aku tega membikin susah kepada tamuku?" sahut Kang Haythian.
"Jika kau suka, marilah minum tiga cawan lagi. Tapi
kalau kau ingin pergi, ya, tidak nanti aku merintangi kau."
Sebagai seorang pendekar besar, ucapan Kang Hay-thian
adalah laksana emas. Tapi Bun To-tjeng menilai jiwa ksatria
dengan jiwa manusia rendah, dia masih belum yakin akan
ucapan Kang Hay-thian dan ragu-ragu, karena itu seketika ia
masih tidak berani angkat kaki.
Goan-ko kuatir Kang Hay-thian belum tahu duduknya
perkara, segera ia berseru, "Kang-tayhiap, orang ini sengaja
datang ke sini untuk mencari perkara. Bocah yang baru saja
kabur tadi adalah putranya. Dia telah mencuri kartu
undanganku dan memalsukan diriku ke sini."
"Ya, sudahlah. Toh aku pun tidak menderita kerugian apaapa,
malahan aku harus berterima kasih padanya, karena
perbuatannya ini Suteku ikut terbawa kemari," demikian sahut
Kang Hay-thian.
Maka Goan-ko tidak berani bicara lagi. Sebaliknya Tiong
Tiang-thong lantas menimbrung, "Masakah begitu enak
membiarkan dia pergi begitu saja?"
Ucapan Tiong Tiang-thong ini tepat mengenai perasaan
Bun To-tjeng yang ragu-ragu itu, maka kembali ia merasa
tegang lagi. Namun Kang Hay-thian tertawa, katanya, "Pada 20 tahun
yang lampau guruku pernah melepaskan Bun Ting-bik di
puncak Bin-san, peristiwa itu cukup diketahui oleh kawankawan
Bu-lim. Aku orang she Kang adalah orang bodoh dan
tidak dapat mewariskan pelajaran apa-apa dari guruku, cuma
dalam hal cara hidup sebagai manusia seperti guruku itu,
sedapat mungkin aku ingin meniru beliau. Jika dahulu guruku
dapat mengampuni Bun Ting-bik, kenapa sekarang aku tidak
melepaskan pula keponakannya ini" Apa lagi kedatangan Bunsiansing
hari ini adalah untuk menghadiri pestaku, rasanya
tidaklah layak bila aku membikin susah tamuku sendiri pada
hari yang bahagia ini?"
Setelah merandek sejenak, lalu Hay-thian melanjutkan,
"Ilmu silat Bun-siansing dilatih dengan susah payah, kelak
tentu dapat menjadi maha guru dari suatu aliran tersendiri.
Tujuan guruku melepaskan pamanmu dahulu justru ingin
mempertahankan! aliran ilmu silat kalian itu. Aku masih ingat
nasihat guruku yanf diberikan kepada pamanmu yang antara
lain diharapkan pamaiM mu dapat kembali ke jalan yang benar
dan jangan sampai ter? sesat lebih jauh. Sekarang aku pun
ingin menasihati kau dengan kata-kata yang sama itu. Semoga
kau jangan menyia-nyiakan harapan kami. Nah, silakan pergi
saja." Ucapan Kang Hay-thian yang simpatik dan setulus hati itu
benar-benar membikin para hadirin ikut terharu, setiap orang
s* ma memuji keluhuran budi Kang Hay-thian.
Tapi Bun To-tjeng ternyata berpikir lain dan tetap tidak
sadar. Dia terjungkal di depan orang banyak, betapapun ia
merasa malu dan dendam. Pikirnya, "Kang Hay-thian purapura
bersikap luhur budi di depan orang banyak, tujuannya
kan ingin memupuk nama baiknya sebagai seorang pendekar
budiman. Dia, tidak turun tangan sendiri, sebaliknya
membiarkan Sutenya mengalahkan aku, hinaan ini betapa pun
harus kutuntut balas."
Meski dalam hatinya penuh kebencian dan dendam, tapi air
mukanya tidak berubah, segera Bun To-tjeng memberi hormat
kepada Kang Hay-thian dan berkata, "Bilamana kelak aku ada
kemajuan tentu akan datang lagi mengucapkan terima kasih
kepada Kang-tayhiap di sini."
Habis itu ia lantas melangkah pergi. Ia telah mendengar
cerita Tjin Goan-ko tadi tentang kaburnya sang putra, maka
ia: tidak perlu kuatir apa-apa lagi.
Sebaliknya diam-diam Goan-ko merasa kuatir, dengan kepergian
Bun To-tjeng tentu mereka akan bergabung lagi
dengan Hong Tju-tjiau, entah mereka akan membikin susah
lagi kepada Hong Biau-siang atau tidak. Akan tetapi
perasaannya disembunyikan di dalam hati sendiri dan tidak
berani diutarakan kepada orang lain.
Baru saja Kim Tiok-liu hendak memberi hormat kepada;
sang Suheng, mendadak Hay-thian berkata, "Nanti dulu. Anak
Hu, kemarilah kalian berdua mempelai, kalian harus
mengucapkan terima kasih dulu atas pertolongan Susiokmu
tadi." Hiau-hu melengak. seketika ia masih belum paham
duduknya perkara.
Dengan tertawa Hay-thian berkata pula, "Tadi waktu kau
menyuguhkan arak, diam-diam Susiok telah menolong kau,
bila tidak mungkin kau sudah terluka parah oleh serangan Bun
To-tjeng."
Kang Hiau-hu dan Ubun Hiong menjadi terkejut dan sadar
apa yang telah terjadi tadi. Lekas mereka menghaturkan
terima kasih kepada Kim Tiok-liu.
"Ah, usia kita sebaya, buat apa mesti banyak adat," ujar
Tiok-liu dengan tertawa.
"Perguruan kita hanya bicara tentang angkatan dan tidak
menurutkan umur. Kenapa kau main sungkan dengan kaum
muda?" kata Kang Hay-thian.
Mestinya Kim Tiok-liu hendak membungkuk badan sebakgai
balas hormat kepada Ubun Hiong berdua, tapi ia kena diTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tahan dengan pelahan oleh tangan Kang Hay-thian sehingga
se-Mikitpun tak bisa bergerak. Terpaksa ia duduk tegak di
tempatnya dan menerima sembah hormat kedua mempelai.
Diam-diam tam Tiok-liu amat kagum, pikirnya, "Kang Haythian
benar-benar tidak malu menjadi Suhengku. Untuk bisa
mencapai ting-rtcatan kepandaiannya mungkin aku harus
berlatih sepuluh tahun lagi."
Walaupun sudah menjadi pengantin, tapi Kang Hiau-hu
masih tetap kekanak-kanakan, sesudah menjura dan
berbangkit, felu ia berkata sambil tertawa, "Susiok cilik,
ayahku bilang ilmu iSilat perguruan kita, kau lebih hebat
daripada beliau. Untuk se-jmjutnya engkau harus banyak
memberi petunjuk kepada kami lho."
"Nah, kau dengar tidak, tidaklah enak menerima
penghormatan orang bukan?" ujar Hay-thian menyahut pula
dengan tertawa, "Eh, anak Hu, kau pun terlalu tidak tahu
aturan, panggil Susiok saja mengapa mesti pakai embel-embel
'cilik' segala?"
Biasanya Kang Hay-thian tidak suka bercanda, rupanya hari
ini ia terlalu gembira sehingga dengan sendirinya ikut
berkelakar. Para tamu serentak juga bergelak tertawa.
Baru sekarang Goan-ko mengetahui asal-usul dan siapa
sebenarnya Kim Tiok-liu itu. Pikirnya, "Pantas dia bilang
guruku masih lebih muda satu angkatan daripada dia, kiranya
memang benar."
Maklumlah bahwa tingkatan Kim Si-ih dalam dunia
persilatan memang amat tinggi. Guru Kim Si-ih, yaitu Tokliong
Tjuntjia masih lebih tua satu angkatan daripada Lu Sinio,
ketua Bin-san-pay pada dua angkatan yang dahulu, jadi
Tok-Liong Tjuntjia sama tingkatannya dengan Tok-pik Sin-ni,
Nikoh sakti bertangan satu yang merupakan cikal-bakal Binsanpay (tokoh-tokoh tersebut dapat diketemukan dalam
cerita Tiga Dara Pendekar).
Cuma perguruan Kim Si-ih itu tiada hubungan kekeluargaan
dengan aliran persilatan di Tionggoan, maka biasanya Si-ih
tidak suka bicara tentang tingkatan dengan berbagai tokoh
Bu-lim itu. Pula lantaran istri Si-ih, yaitu Kok Tji-hoa, adalah
murid Lu Si-nio, dia mestinya sama tingkatan dengan Lu Si-nio
dan Tong Hiau-lan dari Thian-san, tapi selama itu ia
menganggap dirinya lebih muda satu angkatan seperti
istrinya. Jadi kalau diurutkan benar-benar, paling-paling ketua
Thian-san-pay sekarang, yaitu Tong Keng-thian, juga cuma
sama tingkatannya dengan Kim Tiok-liu. Padahal Peng-tjoan
Thian-li, istri Keng-thian adalah angkatan tua yang lebih tinggi
satu tingkat daripada Lui Tjin-tju, dengan sendirinya Kim Tiokliu
terhitung lebih tua dua angkatan daripada murid Lui Tjintju,
yaitu Tjin Goan-ko.
Begitulah di tengah gelak tawa orang banyak, Tiong Tiangthong
ternyata masih penasaran, katanya, "Kang-tayhiap,
sesungguhnya kau terlalu baik hati. Keparat Bun To-tjeng itu
hendak membikin susah putrimu, tapi kau malah melepaskan
dia. Sayang baru sekarang aku mengetahui hal itu, bila tahu
sejak tadi betapapun aku yang tidak mau mengampuni dia.
Paling sedikit akan kutiru gurumu terhadap Bun Ting-bik
dahulu, yaitu memunahkan ilmu silatnya."
"Sudahlah, hanya percekcokan pribadi saja, toh dia belum
sempat mengapa-apakan putriku," ujar Hay-thian. la tidak
tahu bahwa munculnya Bun To-tjeng ini adalah undangan
pihak ke-rajaan dan tidak melulu hendak menuntut balas soal
pribadi saja. Kemudian Kang Hay-thian berkata pula, "Hari ini aku benarbenar
dilimpahi kegembiraan, tentang sedikit keonaran tadi
tak perlu dipikir lagi. Sute, aku ingin bertanya padamu, apakah


Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

u baik-baik saja?" "Baik," sahut Kim Tiok-liu. "Beliau menyuruh
aku menyampaikan sepucuk surat dan sesuatu benda
kepadamu."
Sudah ada 20 tahun Kang Hay-thian tidak melihat tulisan
tangan gurunya, segera ia menjura dan kemudian membuka
surat dan barang kiriman sang guru. Benda itu kiranya adalah
sebuah Pek-giok-tji-goan (cincin kemala putih).
Begitu cincin itu dipegang lantas tangan terasa dingin. Seera
Kang Hay-thian tahu gelang itu terbuat dari kemala kristal
yang hanya terdapat di dasar laut.
Di antara benda-benda peninggalan Kiau Pak-beng yang
iperoleh Kim Si-ih dahulu ada sepasang kemala, satu busur
degan tiga batang panah kemala dan baju kemala pusaka.
Baju usaka itu oleh Kim Si-ih telah diwariskan kepada Kang
Hay-ian, sedangkan busur dan panah kemala masih disimpan
Kim i-ih sendiri. K wali tas cincin kemala ini terang serupa
dengan baju kemala pusaka yang diwariskan kepada Kang
Hay-thian itu. Lalu Kim Tiok-liu berkata, "Ayah telah
mengubah ketiga ah kemala itu menjadi tiga bentuk cincin,
aku disuruh mem-rikan sebuah kepada engkau sebagai tanda
Pedang Darah Bunga Iblis 5 Amarah Pedang Bunga Iblis Karya Gu Long Legenda Kematian 6

Cari Blog Ini