Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 14
"Mungkin lantaran hatimu terlalu kosong dan kau terlalu kehausan, maka tak henti-hentinya kau mencari dan mencari terus tak pernah berhenti, ingin kau mencari laki-laki untuk mengisi kekosongan dan menghilangkan rasa hausmu itu, tapi selamanya kau takkan pernah mendapatkannya."
Mendadak Ciok koan im tertawa pula, katanya lembut "Mungkin laki-laki yang sedang kucari dan hendak kucari bukan lain adalah kau!"
"Sekarang mungkin kau masih merasa bahwa aku rada berbeda dengan laki-laki lain, tapi setelah aku dapat kau kuasai dan kau tundukkan, maka keadaanku takkan berbeda dengan mereka."
Ciok koan im tertawa manis dan berkata hangat "Masa terhadap dirimu sendiri kau tidak punya keyakinan?"
"Bukan aku tidak punya keyakinan, cuma aku tidak mau menyerempet bahaya ini."
Coh Liu hiang menggosok-gosok hidungnya katanya tertawa "mungkin aku merasa tiada perempuan dalam dunia ini yakin patut membuatku harus menyerempet bahaya demi dirinya."
"Bagaimana kalau Soh Yong yong?" tanya Ciok koan im.
Serasa tenggelam hati Coh Liu hiang, tapi lahirnya tetap bersikap wajar, katanya dengan tertawa tawar "Dalam pandanganku, mereka bukan perempuan, mereka tidak lebih sebagai sahabat baikku saja. Dan untuk sahabat karibnya sendiri, sering laki-laki suka menyerempet bahaya."
Sirna senyum manis yang menghias muka Ciok koan im, katanya dingin "Tapi kau tidak tahu, laki-laki yang menolak kehendakku apakah akibatnya?"
"Kecuali aku, masakah ada laki-laki lain yang pernah menolak kau?"
"Ada satu, beberapa tahun yang lalu pernah ada satu, sorot matanya menampilkan senyuman sadis, katanya menambahkan "Tahukah kau dengan cara apa aku menghukumnya?"
"Kau membunuhnya?"
"Membunuhnya" Masakah begitu gampang, aku menelanjanginya lalu kujemur diteriknya matahari, biar sinar surya yang panas itu membakar kulit mukanya, membuat picak sepasang matanya, lalu kusuruh dia menyurung gilingan seperti keledai, selamanya tak pernah kuberi kesempatan istirahat kepadanya....." sampai d isini dia terkekeh-kekeh, lalu menyambung
"Tahukah kau akhirnya dia berubah menjadi apa?"
Maka terbayang dalam benak Coh Liu hiang akan keadaan Ciok Tho, katanya menghela napas "Aku tahu."
"Apa kaupun ingin berubah menjadi seperti itu?"
"Aku hanya tahu bahwa akhirnya dia tidak mati, belakangan malah dia berhasil meloloskan diri, akupun tahu mesti ia sekarang amat menderita dan sengsara hidupnya, tapi keadaannya akan jauh lebih baik dari pada budak-budak yang menyapu pasir itu."
Berubah rona muka Ciok koan im, katanya kertak gigi "Tapi kau... selamanya jangan harap bisa lari dari sini!."
Aku masih tahu, terhadapku kau belum sampai putus asa, tentulah tidak akan menyiksaku demikian rupa.
Mendadak Ciok koan im meraih bantal terus ditimpukkan sekuatnya ke arah Coh Liu hiang, bentaknya "Enyah! Disaat aku belum berniat membunuhmu, lekas enyah dari sini."
Coh Liu hiang tersenyum sambil menjura, sahutnya "Aku patuh akan perintahmu." dengan tetap tersenyum dia melangkah keluar, didengarnya napas Ciok koan im di belakang sana masih ngos-ngosan.
Selangkah demi selangkah Coh Liu hiang kembali ke kamar asalnya. Maling romantis yang Gingkangnya nomor satu di seluruh kolong langit, kini setiap langkah kakinya, seolah-olah harus mengerahkan seluruh kekuatan dirinya.
Dua orang gadis lain mengintil di belakang, jarak mereka cukup jauh, agaknya seperti kuatir bila mereka rada dekat, akan datang bencana menimpa dirinya.
Tiba-tiba Coh Liu hiang menghentikan langkahnya, katanya berpaling "Aku tak mampu berjalan lagi, sukakah nona memayangku kembali?"
Gadis itu mendelik, semprotnya "Tuh sudah hampir sampai tinggal menikung didepan sana, jarak cuma dua langkah memangnya kau tidak bisa jalan?"
"Masakah nona begitu tega, memangnya kau ingin aku merangkak balik kesana?"
Gadis yang lain segera menyela "Toa siauya kumohon kepadamu, jangan kau mencari kesulitan bagi kami, sudah dua jiwa berkorban secara konyol lantaran kau, seorang terkutung tangannya demi kau, masih kau belum puas?"
"Tapi sekarang.... aku hanya minta nona suka memayang aku.... kalau tidak, terpaksa aku mendeprok di sini saja."
Kedua gadis itu membanting kaki, keluhnya. "Kau ini memang bintang Iblis, perempuan yang berhadapan dengan kau pasti sebal atau celaka."
Ki Ping yan melihat kedua gadis ini memayang Coh Liu hiang masuk, keadaan Coh Liu hiang sudah kempas-kempis kehabisan tenaga, sungguh geli dongkol dan gemes pula hatinya.
Tak tertahan dia mengolok dingin "Agaknya kau amat membuang tenaga bagi Ciok hujin itu."
Coh Liu hiang menghela napas, ujarnya "Tak nyana daya pikiran dan rekaanmu begini subur, cuma sayang apa yang kau bayangkan salah sama sekali..." belum habis dia bicara kedua sikutnya tiba-tiba disodokkan kedua samping, tapi mengeluarkan jeritan kedua gadis yang memayang itu seketika roboh terkulai.
Coh Liu hiang menghela naps pula, katanya "Sungguh harus dimaafkan, bukan Cayhe ingin membalas kebaikan dengan perbuatan tercela, tapi demi melarikan diri, ya tiada jalan lain."
Setitik merah dan Ki Ping yan sama melotot saking terkejut. "Kau...." teriak Ki Ping yan tertahan "Dari mana kau mendapatkan tenagamu?"
"Agaknya seperti sejak pembawaan." sahut Coh Liu hiang tertawa.
"Tapi... tapi bau wangi yang memabukkan itu...."
"Kau kira akupun seperti kalian berdua terbius dan mampus oleh bau wangi kembang candu itu?"
Ki Ping yan melengak, katanya tertawa meringis "Benar, tentunya kau memang pura-pura kalau tidak masakah kau bisa jatuh semaput lebih dulu dari kami, kau siuman lebih akhir dari kami pula" Tapi sebelum Ciok koan im belum kembali, kenapa tidak lekas kau melarikan diri?"
"Waktu itu aku masih ingin bertemu dan berhadapan sama dia, mulutnya berkata sewajarnya, tapi Ki Ping yan cukup tahu, bahwa waktu itu dia tidak mau tinggal pergi, karena dia kuatir setelah dirinya tidak lari seorang diri, jiwa mereka berdua yang bakal celaka.
Berkata pula Coh Liu hiang "Sekarang aku sudah bikin Ciok koan im itu marah-marah hampir gila dalam satu atau setengah jam takkan keluar ke sini, kalau kita hendak pergi, sekaranglah saatnya yang paling baik."
"Tapi kami masih belum punya tenaga, mungkin tak kuat berjalan jauh."
Coh Liu hiang tidak segera menjawab, dia lucuti kain ikat pinggang dua gadis itu lalu berkata dengan suara berat "Terlebih dulu kau gendong Ang heng di punggungmu, diikat kencang dengan kain ini lalu ku gendong kau, tenaga untuk berdiri saja tentunya kau masih kuat bukan?"
Itulah sebuah rumah yang dibangun dari sebuah batu, sejalur sumber angin tengah mengarah keluar melalui sumber air diatas dinding batu, dua orang gadis yang telanjang, sedang mandi di bawah pancuran air sumber ini.
Wajah mereka tidak terhitung cantik tapi badan yang kekar dan montok berisi dengan dua bukit halus yang kenyal dan menjulang masih asli mengandung daya tarik yang membangkitkan napsu birahi setiap laki-laki, mereka sedang senda gurau sambil bermain air dengan cekikikan.
Sekonyong-konyong, tiga orang menerjang keluar bersama, ketiga orang ini ternyata bertumpuk, seperti karung-karung yang distapel tinggi, keadaan mereka mirip benar dengan orang sedang main akrobatik.
Keruan kedua gadis seketika kaget melongo dan terbelalak matanya, suara cekikikan mereka seketika sirap, salah satu diantaranya lekas berjongkok dengan kedua tangan berusaha menutupi dadanya, seorang yang lain tersipu-sipu meraih pakaian.
Coh Liu hiang berkata dengan tersenyum "Nona-nona tak usah kuatir, kami bertiga meski laki-laki sejati tapi kami bukan laki-laki bangor atau hidung belang, mata kamipun tidak sembarang melihat, dimana jarinya menjentik, gadis itu seketika merasa setengah badannya linu kemeng seperti tersetrom aliran listrik, pakaian yang sudah berhasil diraihnya seketika jatuh pula.
Saking malu sampai kuping gadis inipun merah mengangah seperti kepiting direbus, suaranya gemetar "Laki-laki sejati kenapa.... kenapa melarang orang pakai baju?"
"Karena Cayhe cukup tahu, bila seseorang bertelanjang, tentunya dia tidak akan berani berbohong."
"Dan lagi tentu tak enak dan malu untuk turun tangan," timbrung Ki Ping yan.
Gadis itu gertak gigi, terpaksa diapun berjongkok dan menutupi dada dengan menyilangkan kedua tangannya.
Coh Liu hiang mendongak melihat cuaca katanya "Sekarang aku cuma ingin bertanya kepada nona, dimana Ciok Hujin mengurung Soh Yong yong, Li Ang siu dan Song Thian ji?"
Gadis itu melengak, tanyanya "Tiga orang" Laki-laki atau perempuan?"
Gadis itu menggigit bibir, sahutnya "hujin selamanya belum pernah menyembunyikan orang perempuan." seorang gadis yang lain menambahkan "Di sini seluruhnya adalah lima enam puluh saudara-saudara, tapi tiada seorangpun yang she Soh."
Coh Liu hiang mengerut alis, ujarnya berpaling ke belakang. "Menurut pengelihatanmu apakah mereka bicara sejujurnya?"
"Didalam keadaan seperti mereka perempuan tanggung takkan berani bohong lagi."
"Kalau demikian jadi mereka benar-benar memang tidak berada disini." sekilas dia melirik kedua gadis itu katanya dengan menghela napas "Sedikitnya setiap hari ada sepuluh manusia yang mati kekeringan ditengah gurun pasir, nona-nona malahan enak-enak mandi disini.... ai.!"
Seiring dengan helaan napasnya yang terakhir, kembali jarinya menyentik dua kali, seketika kedua gadis telanjang ini lemas tidak bisa berkutik.
Serambi panjang ini sunyi senyap, tiada terdengar sesuatu suara, tak kelihatan ada bayangan manusia. Dengan suara prihatin Ki Ping yan bertanya "Apa kau tahu jalan untuk keluar":
"Waktu mereka menggotongku masuk kemari, sudah kuingat-ingat betul."
* Bersambung ke Jilid 24 *
Jilid 24 "Kalau Yong ji tidak berada di sini, kenapa tidak lekas kau menyingkir dari tempat ini" Gadis-gadis ini semua berkepandaian silat yang tidak lemah, jikalau kau kebentur beberapa gadis yang berpakaian, mungkin kesulitan harus kau atasi."
"Aku memang ingin mencari seseorang," tiba-tiba Setitik merah menimbrung.
"Siapa?" tanya Ki Ping yan mengerut alis.
Coh Liu hiang malah tersenyum ujarnya "Apakah nona Ki itu?"
Agaknya Setitik merah menghela napas, katanya "Aku hanya merasa tidak boleh meninggalkan dia ditempat ini."
"Tapi apa kau kira dia sudi pergi bersama kita?" tanya Ki Ping yan.
"Mungkin tidak mau." sahut Setitik merah sesaat kemudian.
"Kalau kau tahu dia takkan pergi bersama kita, untuk apa pula kau hendak mencari dia?"
desak Ki Ping yan.
Kata Setitik merah dengan nada berat "Tapi aku malah tahu, paling tidak dia takkan merintangi maksud kita.
Sekonyong-konyong terdengar seorang menjengek dingin "mengandalkan apa kau yakin benar bahwa aku tidak akan merintangi kau" Kalau hanya mengandalkan keadaan kalian bertiga sekarang, jikalau mampu melarikan diri, mungkin tempat ini telah lama menjadi puing-puing.
Oh Thi hoa tidak rebah di atas gundukan pasir, napasnya sengal-sengal, mungkin sekarang dada orang yang akan dapat mengenali bahwa inilah Oh Thi hoa, mungkin dia sendiripun takkan bisa mengenali dirinya sendiri.
Dia sedang merasakan siksaan lapar, letih, haus dan kotor, tenggorokannya sudah mulai terbakar, begitu panas kering rasanya sampai hampir saja dia gila dibuatnya, seakan-akan badannya hampir meledak karena gerah.
Pipop kongcu rebah tak jauh disampingnya, keadaan putri raja ini jauh lebih mengenaskan pakaian mahal model terakhir yang dikenakannya ini sekarang sudah dedel dowel tak karuan pahanya yang putih malah tampak tergores luka berdarah yang dikotori lumpur. Terik mata hari pelan-pelan menggeremet ke arah barat, namun suhu panasnya masih merangsang badan, menyoroti muka mereka, tidak jauh di depan sana adalah sebuah tempat berteduh yang sejuk, tapi mereka sudah tidak punya tenaga untuk merayap kesana.
Sekuat tenaga Oh Thi hoa coba membuka kedua matanya, mulutnya menggumam "Selama hidup sampai setua ini, mungkin kita takkan punya harapan untuk menemukan si Ulat busuk itu.
Pipop kongcu menimbrung "Sebetulnya kita tidak boleh menempuh perjalanan lewat jurusan ini."
Tiba-tiba terpancar sorot kemarahan dari mata Oh Thi hoa, katanya keras dan serak "Tidak salah memang kita tidak seharusnya lewat jalan ini, tapi memangnya kau harus menyalahkan kepadaku" Bukankah kau sendiri yang mengunggulkan diri di padang pasir kau jauh lebih berguna dari aku" Kenapa sekarang kau mirip aku, seperti anjing kelaparan rebah di sampingku tak bisa berbuat apa-apa."
Bercucuran air mata Pipop kongcu, katanya sesenggukan serak "Memangnya sebetulnya aku tidak ikut kau kemari, bikin susah kau saja, kalau tidak sekantong air itu cukup kau minum seorang diri, paling tidak masih bisa bertahan beberapa waktu lebih lama lagi."
Sesaat Oh Thi hoa terlongong, akhirnya menghela napas panjang katanya getir "Aku ini memang keparat, soal begituan mana boleh salahkan kau" Aku ini laki-laki besar seorang gadis saja aku tidak mampu melindunginya, memangnya masih punya muka muring-muring kepadamu dalam keadaan seperti ini."
Pipop kongcu tiba-tiba menubruk ke atas badannya, tangisnya pecah semakin keras, katanya mewek-mewek "Tak bisa salahkan kau, akulah yang salah.... sekarang aku cuma ingin mati lebih baik kalau bisa segera mati!"
Pelan-pelan Oh Thi hoa mengelus rambutnya, mulut menggumam pula "Seumpama kita tidak ingin mampus, mungkin kitapun takkan bisa bertahan hidup."
Selayang pandang, pasir kuning terbentang luas tak berujung pangkal, seluruh kolong langit dan luas ini, seolah-olah tinggal mereka berdua manusia yang sedang meronta melawan maut di dunia serba kuning kering ini. Pelan-pelan Pipop kongcu angkat kepalanya, ujung mulutnya mengulum senyum getir, katanya pula "Ternyata aku bakal mampus bersama kau, mungkin siapapun takkan pernah menduganya?"
Oh Thi hoa tiba-tiba tertawa besar, katanya "Bisa mati bersama kau, memang suatu hal yang patut dibuat girang kau... kau sebenarnya seorang gadis rupawan yang cantik molek, kau kau....
tiba-tiba tenggorokannya seperti tersumbat sesuatu, suara tawanya yang serakpun seketika kelelap dengan pandangan napas seperti melamun, dia pandang biji matanya, katanya serak "Tapi umpama harus mampus kita harus mati dalam suasana gembira bukan?"
Agaknya badan Pipop kongcu rada gemetar suaranyapun rada ngeri "Kau...kau ingin aku...."
Sorot mata Oh Thi hoa dari biji matanya beralih ke pahanya yang terbuka, paha yang terluka dan kotor ini, masih tetap kelihatan halus panjang elok dan berisi Kala menjing di tenggorokan Oh Thi hoa naik turun menelan ludah, sorot matanya semakin membara, seolah-olah saking panas hampir saja menyela, jari-jari tangannya pelan-pelan bergerak beralih ke arah pinggangnya dengan rabaan gemetar, katanya sepatah demi sepatah. "Aku ingin kau....aku ingin benar-benar ingin kau, kecuali kau, aku tidak tahu apa pula yang kuinginkan."
Pipop kongcu hanya bergemetaran terus tak henti-hentinya, kulit mukanya yang pucat pias tadi, kini merah membara, diulurkannya tangannya, ditariknya kain bajunya yang sobek untuk menutupi pahanya. Tapi kain yang sudah dedel-dowel itu mana bisa menutupi sesuatu, malah gerak-geriknya ini menambah daya tarik, seperti gaya memikat, bukan saja memikat orang lain, sekaligus memikat diri sendiri. Terasa olehnya jantungnya serasa hampir melonjak keluar dari rongga dadanya.
Manusia, memang binatang aneh yang lain dari binatang umumnya. Nafsu birahi manusia, sering terjadi dan merangsang jiwa disaat bukan waktunya, begitulah waktu keadaan jasmani dan kondisi badan manusia dalam keadaan keletihan nafsu birahinya malah mendadak bisa merangsang lebih besar keinginannya.
Akhirnya dengan kencang Oh Thi hoa memeluknya, dibawa bayangan kematian, nafsu birahinya mendadak berkobar laksana bara yang menyala, maka dia tak kuat lagi menahan dan kendalikan diri sendiri, Pipop kongcu pejamkan mata, seolah-olah dia sudah pasrah nasib dan memang siap menerima segala akibatnya. Suka ria dan kenikmatan menjelang ajal bukankah setiap manusia yang hampir mampuspun suka menghalalkannya?"
Pasir begitu empuk dan lembut, tapi juga terasa panas menyengat kulit. Oh Thi hoa membalik badan menindih di atas badannya, kesedihan, kepiluan, derita dan keputus-asaan mereka, seolah-olah sudah tersapu bersih dan berkobar menjadi abu ditengah-tengah gelora nafsu birahi yang sudah memuncak ini.
Tapi pada saat itulah, Oh Thi hoa menjerit kesakitan melompat bangun, dengan kedua tangannya dia pegangi dan tutup anunya itu dengan rasa kaget dan mendelik kepada Pipop kongcu, suaranya serak "Kau....kenapa kau... kenapa begini" Memangnya kau tidak mau?"
Bercucuran air mata Pipop kongcu, katanya perlahan "Aku... aku mau, sebelum ajal ini aku sudah bertekad memberikan apa saja kepadamu, tapi tidak bisa tidak aku harus memberi satu hal kepadamu."
"Hal apa?"
Pipop kongcu pejamkan matanya, katanya "Baa badanku sudah tidak suci lagi, sudah kuserahkan kepada orang lain."
Terkepal kencang jari-jari Oh Thi hoa, serunya "Siapa?"
"Dia!" sahut Pipop kongcu tegas. Siapakah itu dia yang dimaksudkan Pipop kongcu, memangnya Oh Thi hoa tidak tahu" Seperti tiba-tiba diguyur segayung air dingin di atas kepalanya, seketika Oh Thi hoa berdiri menjublek tak bergerak.
Pipop kongcu tertawa pilu, katanya "Aku pun ingin merasakan punyamu, sungguh aku pun tak kuasa kendalikan diriku lagi, cuma ingin aku melakukan segalanya, mati didalam pelukanmu, tapi.... entah kenapa, aku tidak bisa mengelabuhi soal ini kepada kau."
Mendadak Oh Thi hoa mencelat berjingkrak, mulutnya menjerit "jangan katakan lagi.... jangan katakan lagi...." seperti orang gila dia tendang pasir kian kemari, setiap kali tendangan kakinya, mulai membarengi memaki Ulat busuk. Pasir beterbangan memenuhi udara, seluruh badannya sudah terkurung oleh debu yang bergulung-gulung menguning itu.
Berkata Pipop kongcu dengan suara sayu " Apa sekarang kau amat membencinya?"
"Hm.." OH Thi hoa hanya menggeram.
"Seumpama kau amat membencinya, akupun tidak bisa salahkan kau, ada kalanya aku sendiripun membencinya.... perduli siapapun bila berada bersama dia, kemenangan dan bangga selalu hak miliknya, isi hati dan alam pikiran siapapun, cukup sekilas matanya memandang matamu, dia sudah bisa tahu dengan jelas, sebaliknya bagaimana jalan pikirannya, selamanya tiada orang lain yang bisa menyelaminya."
Mendadak Oh Thi hoa menghentikan katanya mengawasinya "kau kira bila kami berada bersama dia selalu dipihak yang rugi?"
"Em..!" Pipop kongcu bersuara dalam tenggorokan.
"Tapi dengan senang hati dan sukarela kami berada bersama dia, hakekatnya dia tidak pernah paksa kita, kau tahu?"
"Em..!" tertunduk kepala Pipop kongcu.
Mendadak Oh Thi hoa tertawa besar, katanya "Bicara pulang pergi, kami berdua boleh terhitung punya penyakit sama yang harus saling menaruh belas kasihan, mesti sama-sama membencinya, tapi tak sama-sama menyukainya pula."
Pipop kongcu menghela napas, katanya "Adakalanya aku sendiri jadi kebingungan dan tidak tahu lantaran apa."
"Karena Ulat busuk memang pantas disukai oleh siapa saja, benar tidak?"
Sesaat Pipop kongcu menepekur akhirnya dia pun tertawa berseri, katanya "Memang kau tidak malu dan tidak dirugikan menjadi sahabat baiknya..." mendadak ia hentikan kata-katanya dengan mendelong ia awasi Oh Thi hoa sorot matanya lama kelamaan berubah kaget takut dan seram, meski mulut sudah terbuka, tapi tidak mampu mengeluarkan suara.
Oh Thi hoa tertawa, katanya "Kau lihat apa" Memangnya kepalaku mendadak berubah jadi dua?" segera ia ulur tangannya untuk meraba kepalanya, seketika mulutnya pun melongo matapun terbelalak, sorot matanyapun diliputi rasa kejut dan ketakutan dengan melotot diawasi kedua tangannya, mulutpun terbuka tidak bisa bersuara.
Ternyata kedua telapak tangannya sudah berlepotan darah segar. Darah ternyata membasahi seluruh kepalanya.
Tapi batok kepala Oh Thi hoa tidak terluka tidak pecah, tidak terasa sakit, lalu darimana datangnya darah" Lekas Oh Thi hoa menengadah, udara nan gelap diliputi debu kuning itu dilihatnya dua titik bayangan hitam sedang terbang melayang berputar-putar, malah semakin melayang semakin rendah, agaknya sebentar lagi bakal terjatuh.
Darah tak perlu disangsikan lagi pasti jatuh dari badan dua ekor elang yang sedang berputar-putar diangkasa itu. Terang bahwa elang ini sudah terluka, jikalau perasaan Oh Thi hoa tidak beku karena derita yang dialami sekarang ini, sejak tadi seharusnya dia sudah tahu dan merasakan.
Heran Pipop kongcu dibuatnya, katanya "Darimana datangnya elang tadi" Kenapa pula bisa terluka Memangnya tak jauh dari sini ada orang?" pada kata-kata terakhir, rasa herannya berubah jadi gembira asal ada orang kemari, maka mereka punya setitik harapan untuk hidup.
Tapi raut muka Oh Thi hoa sebaliknya makin kaku prihatin tiba-tiba dia teringat elang-elang yang menggondol barang mestika yang dibawa oleh para Piausu-piausu yang gila dan akhirnya roboh mati karena keletihan itu.
Elang-elang di padang pasir ini, terang sekali adalah budak-budak Ciok koan im. Maka terdengarlah suara "Bluk, bagai meteor jatuh, seekor elang tiba-tiba meluncur jatuh tak jauh di depannya. Lekas Oh Thi hoa memburu maju dan menjemputnya, bulu-bulu lembut bagian perut elang yang putih itu sudah berlepotan darah, perutnya pun sudah terbelah, itulah luka-luka bekas tusukan pedang. Agaknya diwaktu elang ini menubruk hendak menyerang kepada seseorang, maka dia terluka oleh tebasan pedang orang itu.
Oh Thi hoa mengerut kening mulutnya menggumam "Ilmu pedang yang cepat sekali."
Kembali terbetik sinar harapan pada sorot mata Pipop kongcu katanya "Apakah dia yang bakal datang?"
"Bukan, jikalau dia yang turun tangan ke dua elang ini pasti tak bisa terbang begini jauh, apa lagi, meski hanya seekor binatang diapun tidak akan membunuhnya."
Waktu itulah elang yang lainnya itupun melayang jatuh, luka-luka yang membuat ajalnyapun sama tebasan pedang yang membelah perutnya.
"Jadi, mungkin tidak salah seorang teman kalian yang lain itu?" tanya Pipop kongcu pula.
"Oh Thi hoa geleng-geleng kepala, sahutnya "juga bukan, Ki Ping yan selamanya tidak pernah menggunakan pedang!" mendadak dia tertawa sendiri, katanya "Bagaimana juga, kedatangan kedua ekor elang ini tepat pada waktunya."
Belum lagi Pipop kongcu menyadari makna dari ucapannya, tahu-tahu dilihatnya Oh Thi hoa menyodorkan seekor elang kepadanya, katanya "Makan sekenyangmu!"
"Makan elang mentah?" teriak Pipop kongcu terkejut. "Mana bisa dimakan mentah-mentah begini?"
Oh Thi hoa mendelik "Jikalau kau tidak ingin mati, kan harus memakannya, betapa banyak kau bisa makan, gareslah sekuatmu, lebih banyak lebih baik, tahu tidak?"
Bagi orang-orang yang suka gegares berbagai makanan daging binatang bersayap, aging elang adalah daging yang paling besar dan liar, seumpama kau godok sampai masakpun belum tentu dapat kau kunyah sampai lembut, apalagi digares secara mentah-mentah.
Dengan kerahkan sisa tenaganya Pipop kongcu mengiris secuil daging terus dijejalkan ke dalam mulut seperti dia menelan pil obat yang pahit, dengan mengerut kening dia mengunyah sekuat-kuatnya, beberapa kali sudah hampir tak tahan hendak memuntahkannya.
Oh Thi hoa segera memberi tahu kepadanya "Dengan cara makanmu ini selamanya kau tidak akan bisa memulihkan tenagamu. Tirulah cara makan seperti aku, coba lihat...." dia mengiris segumpal daging elang yang masih berlepotan darah dijejalkan ke mulut dan terus ditelannya bulat-bulat.
Jangan toh melihat melirikpun Pipop kongcu merasa jijik "Aku... aku tidak bisa makan dengan cara itu, aku tak bisa makan... tiada selera."
Walaupun daging elang kasar dan liat, meski darah elang amis dan memualkan, tapi bagi seorang yang sudah kekeringan menjelang ajal, sungguh jauh lebih berharga, nikmat dan menyegarkan dari segala makanan lezat atau obat-obatan penguat badan. Setelah habis melahap seekor elang yang cukup besar itu, lambat laun muka Oh Thi hoa sudah mulai merah, dengan demikian pula Pipop kongcu sudah kuasa menghela napas pelan.
Pada saat itulah didalam keheningan padang pasir yang lelap ini, sekonyong-konyong terdengar jeritan menyayat hati dari gundukan pasir dibalik sana.
Sedikit berubah muka Oh Thi hoa, katanya dengan suara berat "Kau tunggu aku di sini biar kutengok kesana."
"Tidak aku juga mau ikut kesana."
"Baiklah, marilah ...... agaknya kecuali Ulat busuk itu, tiada orang lain yang kuasa mengurusi dirimu ... tapi kau harus berhati-hati.
Dibalik gundukan pasir sebelah sana tampak sinar golok berkelebat, cahaya pedang seliweran saling sambar. Darah segar sudah berceceran diatas pasir kuning, beberapa mayat orang sudah malang melintang tak bergerak, tapi masih ada puluhan laki-laki seragam hitam yang sedang mengepung dan mengeroyok dua orang yang sedang melawan mati-matian.
Akan tetapi dua orang yang terkepung itu memiliki kepandaian silat yang jauh lebih tinggi, permainan ilmu golok lawannya cukup hebat dan ganas, lebih menakutkan lagi, karena orang ini menampilkan napsu membunuh yang begitu tebal, agaknya mereka sudah kerasukan setan, ingin rasanya memecah hancur badan kedua musuhnya ini menjadi berkeping-keping."
Bahwa para laki-laki serangan hitam yang mengepung itu sudah beringas dan nekad untuk mengadu jiwa, namun kedua musuh mereka pun masih teramat lihai, sinar pedang laksana bianglala memanjang menggubat dan menabas pergi datang seperti menari-nari di udara merangsak kian kemari, jelas sekali ilmu pedang hebat ini adalah ajaran murni dari golongan Hoa san pai yang terkenal dan disegani di daerah pedalaman.
Cuma sayang tenaga mereka kelihatannya sudah mulai terkuras dan lemah, sebaliknya jumlah lawan-lawan mengeroyoknya terlalu banyak, kalau pertempuran dilanjutkan terus seperti ini, umpama tidak sampai terbacok mampus merekapun akan mati keletihan.
Pipop kongcu dan Oh Thi hoa sembunyi dibalik pasir, tiba menjerit kaget "Kau lihat itu...
bukankah dia itu tukang kuda kalian?"
Sudah tentu Oh Thi hoa juga melihat bahwa salah satu dari kedua orang yang terkepung ditengah, bukan lain adalah Ciok Tho, tampak gerak-geriknya mulai lamban dan serangannya pun rada kaku.
Seorang yang lainnya sebaliknya memainkan pedang yang lincah enteng dan jelas dia bukan lain adalah tokoh tersembunyi ahli pedang Ong Tiong yang jejaknya serba misterius, orang mengejar jejak Ciok Tho lantas ikut menghilang. Sementara laki-laki seragam hitam yang mengeroyok mereka itu, jelas adalah anak buah Ciok koan im.
Sekian lama Oh Thi hoa perhatikan dengan seksama, akhirnya dia tidak sabar lagi, katanya
"Kali ini, kau harus dengar kata-kataku dan tunggu aku di sini."
Pipop kongcu menggigit bibir, sahutnya "Tapi kalau ada orang lari kemari, aku tidak akan berpeluk tangan saja lho?"
Oh Thi hoa manggut-manggut dengan tertawa, mendadak dia menghardik bagai geledek, badannya meluncur terbang menubruk ke tengah gelanggang.
Laki-laki seragam itu sudah bertempur setengah harian dengan semangat menyala dan berani mati, tidak sedikit diantara mereka yang sudah terluka dan menemui ajalnya sesudah sekian lamanya baru mereka pelan-pelan mendesak kedua musuhnya di bawah angin, jelas sebentar lagi merasa bakal berhasil membacok hancur dua orang yang sudah mereka kejar-kejar beberapa hari lamanya ini.
Siapa tahu, pada saat-saat yang hampir menentukan ini mendadak terdengar bentakan laksana guntur menggelegar, seorang seperti terjun dari tengah udara laksana panglima langit, tahu-tahu menggencet batok kepala seorang laki-laki, berbareng sebelah kakinya menendang, sehingga laki-laki kekar itu terpental terbang tiga tombak, kembali kepalanya menjotos, dia pukul rontok seluruh gigi yang depan seorang laki-laki yang lain. Sementara batok kepala laki-laki yang pertama yang diserangnya tadi sudah gepeng.
Dalam bergebrak menggerakkan tangan mengayunkan kaki ini, sekaligus dia sudah merobohkan tiga orang. Begini gagah perwira dan perkasa, sungguh menciutkan nyali dan menggetarkan sukma. Sudah tentu para laki-laki seragam hitam yang sedang bernapsu hendak merajang kedua musuhnya ini kaget dan tersiak mundur berpencar.
Di sebelah sana Ciok Tho dan Ong Tiong berdua seketika bergetar kaget dan terbangkit semangat mereka, dua bilah pedang bersilang ke depan, dimana sinar golok berkelebat, dua laki-laki seketika roboh dengan kepala kutung.
Oh Thi hoa segera membentak memperingatkan "Orang she Oh tidak suka membunuh yang tidak berdosa, asal kalian mau meletakkan golok aku pasti tidak akan melukai kalian."
Tak nyana semua laki-laki itu seperti sudah gila, dengan mata membara, mereka menubruk maju pula dengan kalap serta menyerang membabi buta.
Pedang ditangan Ong Tiongpun dikembangkan, bentaknya "Orang-orang ini sudah hilang kesadarannya, semua tidak terkontrol dan tidak bisa ditundukkan, kecuali membunuhnya seluruhnya."
Oh Thi hoa menghela napas, dilihatnya dua batang golok bagai angin puyuh membela datang, biji mata kedua laki-laki ini sudah merah, keadaan mereka tak ubahnya seperti dua ekor anjing yang benar-benar sudah gila. Sedikit memiringkan badan, badan Oh Thi hoa tiba-tiba berkelebat lewat diantara sela-sela samberan sinar golok, berbareng sikut kiri menyodok keluar, sekaligus tangan kanan menyanggah ke atas, entah bagaimana golok ditangan laki-laki sebelah kanan tahu-tahu sudah terampas olehnya "krak" disusul suara suatu benda keras pecah retak, ternyata seluruh tulang-tulang iga laki-laki sebelah kiri remuk disodok oleh sikutnya. Tapi setelah terpental mundur beberapa langkah, mendadak dia menerjang maju pula dengan menggempur kalap "Buat apa kau senekat ini?" ujar Oh Thi hoa menghela napas. Belum sehabis kata-katanya dua orang susul menyusul sudah roboh terkapar mandi darah.
Dari kejauhan Pipop kongcu menonton pertempuran sengit yang seram ini, tampak semua laki-laki seragam hitam itu tubruk sana terjang sini, yang satu roboh yang lain menggantikan, sambung menyambung maju menerjang, meski tahu bahwa mereka hanya mengantar kematian, namun sedikitpun mereka tidak gentar, ternyata tiada satupun yang melarikan diri. Tak tahan diapun menghela napas, ujarnya "Kalau dalam negeri kita punya pahlawan-pahlawan segagah dan seberani ini, masakah kita sampai menderita begini mengenaskan seperti ini." Memang tanpa disadarinya bahwa semua laki-laki ini sudah rela menjual jiwanya untuk kepentingan Ciok koan im, bahwasanya mereka tidak ubahnya seperti mayat-mayat hidup yang tinggal menunggu ajal belaka.
Pertempuran berdarah sesengit itu akhirnya berakhir juga, pasir kuning jadi merah oleh banjirnya darah, mayat bergelimpangan dimana-mana.
Kedua tangan Ciok Tho memegangi pedang napasnya tersengal-sengal, namun kulit mukanya masih tetap kaku seperti batu-batu keramik yang kasar itu, Ong Tiong segera maju menghampiri menjura kepada Oh Thi hoa, katanya setelah menarik napas "Budi besarmu ini tak berani aku mengucapkan terima kasih yang berkelebihan. Tanpa bantuan Tayhiap, hari ini kami bersaudara terang akan mampus disini tanpa ada liang kubur."
Oh Thi hoa memandangnya, lalu memandang Ciok Tho pula, tanyanya heran. "Kalian bersaudara?"
"Meski bukan sedarah daging, persaudaraan kita laksana kakak adik kandung sendiri," sahut Ong Tiong.
Oh Thi hoa heran bertanya pula "Kalau demikian jadi kalian sudah lama berkenalan?" Ong Tiong menghela napas katanya "Cayhe menjelajah dunia, tujuannya adalah untuk mencarinya, kalau dihitung-hitung..... sudah hampir dua puluh tahun."
Dengan tajam Oh Thi hoa awasi pedang di tangannya itu, tiba-tiba berkata pula dengan tertawa "Selama dua puluh tahun ini jarang kulihat ilmu pedang Hoa san pai kalian yang betul-betul murni di kalangan Kang Ouw, jurus Kiong hong koan jit yang tuan lancarkan tadi sungguh dapat menggetarkan dunia dan dapat menjagoi Bulim!"
Sedikit berubah air muka Ong Tiong katanya sambil unjuk tawa dipaksakan "Oh Thay hiap terlalu memuji!"
Dengan mata berkilat Oh Thi hoa menatapnya "Menurut apa yang Cayhe ketahui, meski pada pihak Hoa san kalian jaya dahulu, yang betul-betul bisa melancarkan jurus King hong boan jit sebaik tadi, dan tidak lebih hanya beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari, sebaliknya diantara tokoh-tokoh kosen ahli pedang dari pihak Hoa san pai kalau terang tiada seorang yang bernama Ong Tiong. Sekarang tentunya tuan sudi memberi tahu nama asli tuan yang sebenarnya?"
Ong Tiong gelagapan katanya "Cayhe tidak lebih hanya seorang keroco saja dikalangan Kang ouw, buat apa tuan...?"
Oh Thi hoa segera menukas dengan tertawa besar "Sampai detik ini, masalah tuan masih tidak mau menerangkan asal usulmu sendiri terhadapku" Ketahuilah nama seseorang meski dapat mengelabuhi orang lain, tapi permainan ilmu pedangnya takkan bisa mengelabuhi pandangan seorang ahli."
Lama Ong Tiong berdiam diri, akhirnya menarik napas panjang, katanya tertawa getir "Jiwa Cayhe berkat pertolongan Tayhiap, sebetulnya aku pun tidak berani memperkenalkan diri dengan nama palsu, sebentar dia merandek lalu melanjutkan "Bicara terus terang. Cayhe she Liu bernama Yan hwi."
"Liu Yan hwi!" Oh Thi hoa menjerit tertahan!" jadi kaulah murid penutup dari Hoa san pai Ciangbun yang terakhir dulu, di luar Hoa san chit kiam, Sie liong siau kiam khek yang paling ternama dan paling disegani itu?"
Liu Yan hwi tertawa rawan, katany "Sang waktu menyiksa orang, anak muda yang gagah berani dulu sekarang sudah menjadi kakek tua yang berjenggot memutih."
Berkilat dan jelalatan biji mata Oh Thi hoa, sekilas ia mengerling kepada Ciok Tho, tanyanya
"Kalau tuan ternyat aadalah Liu Tayhiap, dia...?"
Agaknya Liu Yan hwi sudah ambil keputusan dan bertekad, katanay sepatah demi sekata "Dia adalah Toa suhengku Hongbu Ko."
"Jadi dia inilah tetua dari Hoa san chit kiam?" seru Oh Thi hoa tersirap darahnya. "Jiwa kependekaran tersebar luas disegani di seluruh dunia kaum Bulim di seluruh jagat sama segan dan menghormatinya sebagai Jinggi kiam khek" Pendekar pedang bijaksana dan setia kawan?"
"Ya, memang dialah adanya." Ong Tiong membenarkan.
Kembali Oh Thi melirik kepada Ciok Tho, Tampak sorot matanya kosong hambar menatap lempang ke depan nan jauh di sana, keadaannya tetap seperti semula seolah-olah apapun ia tidak mendengar dan tidak melihat pendekar pedang yang gagah dan disegani pada masa jayanya dulu, bagaimana pula terjadinya sampai berubah demikian rupa" Tak terasa Oh Thi hoa merasa kasihan dan prihatin, tak tahan ia berkata "Sebetulnya bermusuhan apa adanya antara Ciok koan im dengan Hongbu Tayhiap" Tega hati dia menyiksanya sampai demikian rupa?"
"Seluk beluk persoalan ini amat panjang dan berbelit-belit" ujar Liu Yan hwi. "Bukan saja Hongbu Toako dibikin cacad demikian rupa seluruh Hoa san pai kitapun hancur luluh di... ditangan iblis laknat itu."
"Sekarang terhitung dan sudah berhasil menemukan dia apa pula yang kau inginkan?" tanya Oh Thi hoa sesaat kemudian.
Liu Yan Hwi tertunduk, sahutnya tergagap "Aku...aku..." suaranya tersendat didalam tenggorokan, air mata sudah berkaca-kaca di kelopak matanya.
Mendadak Oh Thi hoa genggam tangannya, katanya keras "Masakah tidak ingin menuntut balas?"
"Menuntut balas.... menuntut balas...." dengan terlongong Liu Yan hwi kemak kemik "Entah berapa kali sudah mulutnya mengulangi kedua katanya ini, air mata akhirnya menetes membasahi pipinya, mendadak dia kipatkan tangan Oh Thi hoa dengan keras, katanya dengan suara serak
"Tahukan kau kenapa Hengbu Toako ku rela merendah diri menjadi kawan binatang?"
"Akupun sudah melihatnya, tentu dia punya suatu derita dan pengalaman yang tak sudi diketahui orang lain."
"Dia menyembunyikan nama mengasingkan diri, terima dihina dan hidup menderita, lantaran dia tidak mau menuntut balas."
Oh Thi hoa melengak, tanyanya "Kenapa?"
"Karena dia cukup jelas hanya mengandalkan tenaga dan kemampuan kita segelintir manusia ini, tak bedanya seperti telur membentur batu dia tidak rela aliran Hoa san pai kita putus turunan begini saja, diapun takkan tega para anak murid Hoa san pai satu persatu menjadi korban kekejaman musuh."
Pipop kongcu segera maju mendebat, timbrungnya tiba-tiba "Apakah anak murid Hoa san pay kalian ada juga yang masih hidup?"
"Yang ketinggalan hidup tidak banyak jumlahnya." sahut Liu Yan hwi.
"O, jadi masih ada beberapa gelintir yang masih hidup, kukira malah sudah mampus seluruhnya." jengek Pipop kongcu.
"Kau..." berubah air muka Liu Yan hwi. Namun Pipop kongcu tidak beri kesempatan dia bicara, katanya dingin lebih lanjut "Dulu Hoa san chit kiam malang melintang di Kang ouw, betapa besar ketenaran nama kalian, setiap menyinggung nama Hoa san pai siapa yang takkan mundur dan mengalah, sampaipun rakyat kerdil di negeri asing seperti aku inipun sudah lama kagum dan merasa iri akan kejayaan Hoa san pay masa dulu, tapi sekarang..." dia geleng-geleng kepala, lalu meneruskan menghela napas "Tapi sekarang boleh dikata tidak seorangpun kaum Bulim yang masih ingat nama Hoa san pai, sudah lupa bahwa di Bulim pernah bercokol dengan angkernya sebuah Hoa san pai, seumpama anak murid Hoa san pai masih tetap hidup sebanyak mungkin, apa pula bedanya kalau mereka sudah mampus seluruhnya?"
Seperti kepalanya dikemplang dengan godam, Liu Yan hwi tersurut mundur selangkah dengan mata beringas kulit mukanya gemetar, keringat membasahi seluruh kepalanya.
Berkata pula Pipop kongcu "Seorang laki-laki sejati sebagai kesatria, dari pada hidup memeluk bangkai lebih baik gugur sebagai pahlawan, coba katakan benar tidak?"
Liu Yan hwi banting kaki, katanya sember "Liu Yan hwi kau kira takut mati, tapi mati harus mati dengan berharga, jikalau hanya mengorbankan jiwa secara konyol..."
"Kau sendiri beranggapan bahwa bukan tandingan Ciok koan im?" tukas Pipop kongcu.
"Dalam kolong langit ini, orang-orang yang benar-benar dapat melawannya sampai setanding mungkin tidak banyak jumlahnya."
"Asal kau bisa ajak kami menemukan Ciok koan im, kami tidak segan-segan berkorban demi kalian, tapi kalau toh kalian... kalian tidak berani, ya apa boleh buat." demikian olok-olok Pipop kongcu secara halus sambil membakar hatinya.
Berubah rona muka Liu Yan hwi, mendadak ia kertak gigi terus ia putar badan memburu ke arah Hongbu Ko, dia berlutut di hadapan orang sambil menarik tangan orang. Tampak dengan air mata bercucuran pilu, jari-jarinya tak henti-hentinya mencoret-coret di telapak tangan Hong bu Ko, sesaat kemudian Hong bu Ko seperti gusar, mendadak kakinya melayang ia tendang Liu Yan hwi terguling-guling. Tapi Liu Yan hwei segera bangkit dan mendadak ke depan kakinya pula, tampak sekujur badan Hongbu Ko gemetar seperti orang bergidik kedinginan, dua titik air mata meleleh keluar dari sepasang matanya yang kosong hampa itu. Sekian lamanya pula, baru terlihat Liu Yan hwei melompat bangun, katanya serak "Apa benar kalian suka menemani kami bersaudara pergi mencari Ciok koan im?"
"Sudah tentu benar!" Oh Thi hoa memberi janjinya dengan tegas.
"Meski kita pergi dan takkan kembali dengan hidup, kalian tidak gentar?" tanya Liu Yan hwi menegas.
"Memang kau kira aku orang she Oh ini laki-laki yang takut mati?" seru Oh Thi hoa dengan lantang.
Liu Yan hwi menarik napas sedalam-dalamnya, katanya bersemangat "Baik, kalau demikian marilah kalian ikut kami."
Puncak-puncak batu seperti berlomba menjulang ke angkasa, barisan batu ini laksana tak berujung pangkal ditengah-tengah gurun pasir nan indah. Sampai di sini kaki tangan Hongbu Ko seolah-olah mulai dingin dan gemetar.
Oh Thi hoa layangkan pandangan sekelilingnya, katanya takjub "Suatu daerah yang amat berbahaya, mungkinkah kita sudah tiba diambang pintu akherat.
"Bukan diambang pintu neraka, di sini juga sudah termasuk akherat." ujar Liu Yang hwi,
"Diantara hutan hutan batu ini, terdapat sebuah lembah yang letaknya amat tersembunyi disanalah Ciok koan im bersemayam, disanalah Hongbu Toako mengalami derita dan siksaan yang kejam yang tak mungkin bisa dialami oleh manusia siapapun.
Memancarkan cahaya berkilat biji mata Oh Thi hoa, jari-jarinya terkepal kencang, katanya lantang "Kini tibalah saatnya dia menuntut balas, marilah kita terjang ke dalam!"
"Tapi diantara sela-sela puncak batu itu, jalan berbelit-belit dan berliku-liku, setiap langkah mengandung banyak perubahan yang berbeda-beda dan tak bisa diteliti, jikalau begini saja kita menerjang masuk secara membabi buta, mungkin selamanya takkan bisa masuk ke lembah sesat itu sampai jiwa kita ajal, demikian kata Liu Yan hwi.
Pipop kongcu jadi gelisah, katanya "Lalu .... lalu bagaimana?"
"Terpaksa harus tunggu sampai hari menjadi gelap, bila arah angin sudah berubah!"
Tak tahan bertanya pula Pipop kongcu "Kenapa harus menunggu sampai malam disaat arah angin berubah?"
"Bahwa mata kuping Hong bu Toako sudah cacat, maka belakangan Ciok koan im memandangnya sebagai mayat hidup layaknya sedikitpun tidak menjaga dirinya dan membiarkan gerak-geriknya, siapa tahu setelah dia biasa keluar masuk selat yang membingungkan ini mengandalkan panca inderanya yang ke enam, segala gerak perubahan dari jalanan yang menyesatkan didalam hutan batu ini sudah dia hapalkan dengan baik sekali."
"Oleh karena itu maka dia berhasil menggeremet keluar?" tanya Pipop kongcu.
"Ya, begitulah." sahut Liu Yan hwi.
"Lalu, apa pula hubungannya dengan perubahan angin itu?"
"Bagi seorang tuna-netra yang tuli dan bisa lagi, untuk menemukan arah langkahnya bukan suatu hal yang ringan, tapi dia perlu mendapat bantuan berbagai unsur yang punya ikatan erat dengan kondisi badannya, sudah tentu perubahan angin adalah satu diantara sekian unsur-unsur yang menentukan itu."
"Aku paham sekarang, ujar Pipop kongcu.
"Jadi malam dimana dia berhasil melarikan diri itu, arah anginnya berbeda dengan sekarang kuatir bekerjanya panca indra ke enamnya rada meleset, kemungkinan besar bisa salah menentukan arah, betul?"
"Betul, asal selangkah kau salah menggerakkan kakimu didalam selat yang membingungkan itu, maka saat itu pula ajalmu bakal ditentukan oleh langkah-langkahmu selanjutnya.
Oh Thi hoa mendongak melihat cuaca, katanya gelisah "Sampai kapan kita harus menunggu baru angin setan ini berubah arah?"
"Di tengah-tengah gurun pasir, sering terjadi hembusan arah angin disiang hari dan malam hari berbeda."
"Kalau dia justru tidak mau berubah bagai mana?" Oh Thi hoa rada sangsi.
"Kalau tidak berubah terpaksa kita harus menunggu dia berubah."
Untunglah nasib mereka cukup baik, menjelang malam arah angin tiba-tiba berubah dari arah semula yang menuju ke tenggara tiba-tiba berubah ke arah barat laut maka hawa dingin segera bergulung-gulung menerjang tiba ke arah barat laut.
Dengan ujung pedang sebagai tongkat menutul pasir Hongbu Ko berjalan di depan membuka jalan. Setiap langkahnya amat berhati-hati dan lambat, seolah-olah kuatir sekali kakinya salah langkah, selamanya bakal kejeblos ke dalam neraka yang tak tertolong lagi jiwanya. Tapi kejap lain, mereka toh beriring sudah memasuki hutan-hutan batu itu.
Malam gelap gulita tiada rembulan tiada bintang, jagat raya sedemikian gelapnya seperti didalam peti mati, sampai kelima jari sendiripun tidak kelihatan. Hampir dikata apapun tak terlihat oleh ketajaman mata Oh Thi hoa yang sudah terlatih ini, hatinya berdetak tegang sampai serasa sesak napasnya. Tapi dia cukup tahu, semakin gelap, malah semakin menguntungkan bagi Hongbu Ko, karena didalam keadaan yang gelap ini, orang yang punya mata malah jauh lebih tidak leluasa dari seorang picak.
Langkah Hongbu Ko teramat lambat, setiap langkahnya menghabiskan beberapa lamanya, tapi dia terus maju tak berhenti, gerak-geriknya laksana seekor kucing yang sedang merunduk mangsanya, boleh dikata hampir tak pernah mengeluarkan sedikitpun suara bahwasanya kala itu angin badai membawa damparan pasir bersuit-suit amat ributnya, umpama langkah-langkah mereka bersuarapun takkan bisa terdengar orang lain. Tapi kalau ada orang mendatangi mengeluarkan suara berisik umpamanya, mereka tidak akan tahu.
Cuma Hongbu Ko satu-satunya, dia tidak perlu mendengar namun dia dapat merasakan. Dan pada itulah, seolah-olah dia mendapat suatu firasat jelek, suatu perubahan yang menimbulkan kewaspadaannya. Sigap sekali tiba-tiba dia membalik badannya terus mendekam menempel dinding batu, dalam keadaan dan saat seperti ini, terpaksa orang-orang lain sama meniru perbuatannya, serempak merekapun mendekam menempel dinding batu, bersiaga dengan tegang.
Dengan kencang Oh Thi hoa genggam golok berpunggung besar yang berhasil dia rampas dari satu musuh tadi, diam-diam dia menggeremet baju ke depan Hongbu Ko, dia pepetkan badannya ke dinding batu pula, dengan tegang dan sabar dia menunggu segala perubahan dengan menahan napas. Malam nan gulita ini diliputi ketegangan dan napsu membunuh yang mulai memuncak.
Seperti seekor serigala buas dan kelaparan yang sedang menunggu mangsanya muncul untuk diterkam dilalapnya. Sesaat kemudian, betul juga dari balik celah-celah batu di sebelah samping depan sana, sayup-sayup didengarkannya dengus napas orang, saking tegang telapak tangan yang menggenggam erat gagah golok sampai berkeringat.
Dengus napas itu semakin jelas dan semakin dekat.
Laksana kilat menyambar golok Oh Thi hoa berayun membacok, boleh dikata dia sudah kerahkan setaker tenaganya untuk melancarkan bacokannya ini, bukan saja cepat serangan inipun ganas, mungkin jarang orang yang bisa terhindar dari bacokan yang hebat ini. Apa lagi ditengah malam buta rata. Memangnya dia sengaja hendak membelah batok kepala orang menjadi dua.
Tapi mimpipun dia tidak menduga, memang selamanya dia tidak akan mengira, bahwa orang yang dia serang ini adalah Coh Liu hiang.
Sebetulnya belum tentu Coh Liu hiang bisa sampai ditempat itu. Untunglah pada detik-detik berbahaya itu mereka tidak sampai kepergok oleh Ciok koan im, juga tidak sampai konangan murid-murid Ciok koan im tapi cuma bersua dengan Ki Bu yong.
"....hanya mengandalkan tenaga kalian bertiga begini saja, sudah lantas hendak lolos dari sini?" kata-kata ini ternyata diucapkan oleh Ki Bu yong. Seluruh badannya serba putih laksana salju. Tangannya yang kutung digendong dengan kain sutra berwarna putih pula, demikian pula kepala sampai mukanya dikerudungi kain putih juga, sehingga orang hanya bisa melihat potongan badannya yang semampai dan ramping, takkan terbayang pula akan keburukan wajahnya yang menggiriskan itu.
Coh Liu hiang, Ki Ping yan dan Setitik merah bertiga sama membelalakkan mata mengawasinya siapapun tiada yang berani bertingkah dan bicara lagi, siapapun tiada yang tahu apa yang hendak orang lakukan. Asal dia berteriak memanggil saudara-saudaranya, mereka bertiga takkan mungkin bisa lolos lagi. Di luar dugaan Ki Bu yong hanya berdiri diam mengawasi mereka tanpa bersuara.
"Apa yang kukatakan, kau sudah dengar?" mendadak Setitik merah berkata.
"Huh! Ki Bu yong bersuara dari hidung.
"Kau ikut pergi tidak?" tanya setitik merah pula.
Ki Bu yong tertawa dingin, ejeknya "Kau sudah tahu bahwa kalian tidak akan mampu lari sendiri, kau ingin aku ikut menunjuk jalan?"
Sekian lama Setitik merah menatapnya lekat-lekat, mendadak dia terloroh-loroh dengan mendongak. Seorang laki-laki yang selama bertahun-tahun yang tak pernah kelihatan senyum tawanya, ternyata tiba-tiba bisa tertawa besar sebetulnya suatu kejadian yang amat mengejutkan orang, cuma sayang loroh tawanya itu bukan saatnya yang tepat. Jikalau gelak tawanya sampai mengejutkan Ciok koan im, maka tiga jiwa manusia bakal menjadi imbalan loroh tawanya ini.
Ki Ping yan gusar, semprotnya "Apa kau hendak menyatakan isi hatimu kepadanya dengan kematianmu" Tapi kamu tidak perlu demikian, perduli apapun yang dia pikirkan demi kita, perduli bagaimana pandangannya tentang kita aku tak perlu ambil dihati."
Segera Setitik merah menghentikan tawanya katanya tegas "Baik, kalian boleh pergi! Aku tinggal di sini." menggunakan sisa tenaganya yang sudah lemah itu, ia meronta dan mendorong ke depan sekuatnya, membebaskan diri dari lipatan kain pinggang itu terus menggelundung jatuh dari punggung Ki Ping yan.
"Kau.... kenapa kau berbuat demikian?" Coh Liu hiang kaget dan haru.
"Tanpa aku bebanmu lebih ringan, harapanpun lebih besar." sahut Setitik merah.
Coh Liu hiang membanting kaki, katanya "Tapi mana mungkin aku meninggalkan kau di sini demikian saja?"
Selama hidup belum pernah aku anggap jiwa itu berharga, sembarang waktu aku sudah siap untuk mati, ujar Setitik merah tawar. Sampai di sini dia tidak banyak berkata lagi, tapi sikapnya itu tegas dan tandas, seolah-olah dia mau berkata kepada Ki Bu yong "Sekali kali tidak bakal karena ingin hidup lantas aku menipu kan, jikalau kau berpikiran secepat ini bukan saja terlalu memandang rendah aku, juga memandang rendah dirimu sendiri."
Kain kerudung dibagian depan mata dan hidung Ki Bu yong kelihatannya basah. Gadis berhati kaku dan dingin seperti dia, memangnya juga bisa menangis dan mengalirkan air mata tiba-tiba dia merogoh keluar sebuah botol kecil terus dilempar ke arah Coh Liu hiang katanya serak sambil berpaling muka "Inilah obat pemunahnya, lekas kalian pergi."
Coh Liu hiang malah menghela napas, ujarnya "Baru sekarang nona suruh kami berlalu, sudah terlambat."
"Kenapa terlambat?" tanya Ki Bu yong tak mengerti.
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Watak Ang heng aku cukup menyelaminya, kalau dia sudah mengatakan tinggal di sini, jelas takkan mau pergi, kalau dia tidak mau pergi, masakah kami berdua harus pergi begitu saja?"
"Dia... apa lagi yang dia inginkan?"
Coh Liu hiang mengelus hidung, katanya "Dia sudah menyatakan hatinya, kalau nona sudi mempercayai dia, marilah kau ikut kami, jikalau dia sudah tahu bila nona sedikitpun tidak menaruh curiga pula kepada kami, tentu diapun mau pergi.!"
"Aku.... aku tak bisa pergi." bukan saja suaranya gemetar, badannyapun bergidik merinding.
"Apa pula yang patut nona kenang dan berarti di sini?" tanya Coh Liu hiang.
Ki Bu yong tidak menjawab, agaknya dia sudah tak mampu bicara lagi.
Pada saat itulah mendadak terdengar seorang membentak "Kalian berempat, satupun jangan harap bisa lolos!"
Seorang gadis berpakaian serba ungu entah kapan ternyata sudah berdiri serambi sana sedang mengawasi mereka dengan mata melotot. Betapapun tabah ketenangan Coh Liu hiang dan Ki Ping yan, tak urung berubah air mata mereka.
"Sumoay, kau...." Ki Bu yong pun berteriak kaget.
"Siapa sudi menjadi Sumoaymu, tukas gadis itu, kau budak tak tahu malu ini, biasanya kau pura-pura jadi gadis suci, siapa tahu begitu melihat laki-laki lantas sinting dan lupa diri, memangnya kau lupa bagaimana sikap guru kita kepadamu?"
Ki Bu yong malah tenang dan sabar, katanya tawar "Tapi kaupun jangan lupa, Suhu sekarang tak di sini."
Gadis baju ungu itu semakin naik pitam semprotnya "Memangnya kenapa kalau Suhu tidak ada, kau kira dengan kekuatan kita puluhan bersaudara tidak mampu membereskan kalian berempat?" dimana tangannya menekan sebuah tombol dinding, maka terdengarlah suara bel yang berbunyi nyaring.
Coh Liu hiang tahu begitu suara bel berbunyi, semua anak murid Ciok koan im, akan segera meluruh datang seluruhnya, kepandaian silat gadis-gadis itu semuanya tidak lemah, apalagi terang sekali mereka masing-masing mendapat ajaran ilmu tunggal Ciok koan im yang berlainan satu dengan yang lain, jadi pembawaan ajaran mereka berlainan dan berbeda, dengan hanya kekuatan mereka berempat, sekaligus harus menghadapi setiap banyak musuh, sungguh dia rada sangsi bisa menang. Apalagi Ki Ping yan dan Setitik merah tak mampu mengerahkan tenaga, jangan kata berkelahi mengerahkan senjatapun tak mampu.
Baru sekarang Ki Ping yan sadar untuk menelan obat pemunah itu, tanyanya berbisik "Berapa lama khasiat obat ini baru bekerja?"
"Paling lama satu jam, kalau cepat setengah jam sudah menunjukkan hasilnya." demikian sahut Ki Bu yong.
Ki Ping yan menghela napas dan geleng-geleng kepala, sebentar lagi bala bantuan musuh bakal berdatangan, umpama tenaganya bisa pulih dalam setengah jam, juga takkan berarti lagi.
Diapun berikan sisa sebutir obat itu kepada Setitik merah. Setitik merah tidak menolak, cuma harus disayangkan meski kedua tokoh silat lihay setingkat mereka pada jaman ini, meski sudah menelan obat pemunah, paling-paling hanya menunggu waktu pasrah nasib digorok lehernya oleh orang lain.
Suara bel terus berbunyi Gadis baju ungu segera membentak beringas "Kalau sekarang kalian terima menyerah dan mau diborgol, mungkin jiwa kalian dapat diampuni, kalau tidak..."
Ki Ping yan mencibir bibir dan mengancam "Sepatah kata lagi kau bicara, kubunuh kau lebih dulu."
Membesi hijau muka gadis baju ungu ini, tapi dia benar-benar tak berani banyak bertingkah kali ini.
Mendadak Ki Ping yan berkata "Coh Liu hiang hari ini kau tetap tak mau membunuh orang?"
Coh Liu hiang geleng-geleng kepala, sahutnya tersenyum "Kalau aku mau bunuh orang sejak lama sudah kulakukan, kenapa harus diperpanjang sampai hari ini."
"Tapi jikalau hari ini kau tidak membunuh orang, jiwamu sendiri yang akan dibunuh orang."
"Umpama benar hari ini aku harus membunuh orang, akhirnya akupun bakal terbunuh juga disini." Bahwa Coh Liu hiang sudah mengeluarkan kata-kata yang menandakan dia patah semangat, maka dapatlah dibayangkan betapa genting situasi didepan mata ini Ki Ping yan cukup tahu, bahwasanya satu persen harapan untuk menang mereka tidak akan bisa memperolehnya.
Mendadak Setitik merah berkata "Akulah yang membuat kau celaka!" kata-katanya memang dia tujukan kepada orang tertentu, tapi siapapun yang mendengar sama tahu kepada siapa dia bicara.
Sesaat lamanya, akhirnya Ki Ping yan berkata "Tak enggan-enggannya kau berani mengorbankan jiwamu, memangnya aku tidak berkorban?"
"Baik sekali." ujar setitik merah keduanya tidak banyak bicara lagi sampaipun saling pandangpun mereka tidak pernah, tapi dengan cara demikianlah seolah-olah mereka sedang pasrahkan jiwa sendiri kepada temannya.
Betapa banyak Coh Liu hiang pernah melihat dan menghadapi persahabatan laki-laki dan perempuan, atau hubungan asmara muda-mudi yang beraneka ragamnya, tapi belum pernah terpikir dalam benaknya, bahwa dalam jagat ini ada juga dua orang seperti mereka ini.
Ikatan persahabatan yang aneh seperti ini maka terjalin dalam suasana yang dingin dan tegang ini, tapi didalam situasi yang diliputi bahaya dan jiwa bakal melayang sewaktu-waktu, kelihatannya cukup menusuk hati dan besar sekali reaksinya, jauh lebih mengetuk sanubari orang lain.
Mendadak dua gadis berlari-lari mendatangi dari ujung serambi panjang sana. Ternyata keduanya sama-sama telanjang bulat, malah badan mereka masih basah oleh butiran-butiran air, terang keduanya adalah gadis-gadis yang sedang mandi tadi. Terang tadi mereka sudah tertutuk Hiat tonya oleh Coh Liu hiang, kenapa sekarang bisa lari secepat itu laksana mengejar angin.
Sudah tentu gadis baju ungu itu kaget dan keheranan pula, ia bertanya "Meski panggilan bel peringatan amat genting, tapi kalian toh harus berpakaian dulu!"
Belum habis kata-katanya kedua gadis telanjang ini sudah lari ke depan Coh Liu hiang, menghadapi badan gadis remaja yang padat dan montok semampai ini tiga laki-laki jadi kebingungan sendiri dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tak nyana begitu tiba dari dekat kedua gadis ini tanpa bersuara lantas tersungkur roboh, seolah-olah ada sebuah tangan besar yang tak kelihatan, mendadak memapak mereka dengan sekali pukulan yang mematikan.
Sudah tentu perubahan ini bukan saja membuat gadis ungu kaget dan berubah roman mukanya, Coh Liu hiang bertigapun melongo, kelihatannya dari kaki sampai kepala keadaan mereka tetap utuh tak kurang satu apapun.
Segera Ki Bu yong melangkah maju membalik badan mereka, bagian depan merekapun tetap utuh tak kelihatan luka-luka atau ada noda darah, cuma kulit muka mereka sama-sama berubah hitam semu ungu, sejalur dara segar mengalir keluar dari ujung mulut mereka.
Waktu leher mereka diperiksa, sampai bekas-bekas jalur merah yang melingkari leher mereka.
Tiba-tiba Ki Bu yong bergidik sambil menyurut mundur, teriaknya tertahan "Apa mungkin mereka mati tercekik lehernya?"
"Agaknya memang begitulah kejadiannya." ujar Coh Liu hiang menghela napas.
"Kalau sudah dicekik mati, bagaimana masih bisa lari kemari": tanya Ki Ping yan.
"Cara cekikan dan tenaga yang digunakan orang itu secara pas-pasan saja, mungkin memang sudah diperhitungkan, sengaja membuatnya berlari sampai di sini baru putus napasnya, demikian Coh Liu hiang menerangkan, seperti tiba-tiba ingat apa-apa sembari bicara segera ia berjongkok, dibukanya jari-jari seorang gadis itu tergenggam kencang dari sela-sela jari itu ditariknya secarik kertas warna hijau pupus.
"Siapa yang mencekik mati mereka?" tanya Ki Bu yong, "Kenapa mereka dibiarkan lari kemari?"
Mata Coh Liu hiang menatap tulisan didalam kertas itu kulit daging muka seperti berkerut kejang, sesaat kemudian, baru dia menghela napas panjang, katanya "Itulah karena orang itu ingin mengantar mayat mereka kepadaku."
"Mengantar mayat kepadamu?" teriak Ki Bu yong. "Kau...kau..."
Dengan tertawa getir Coh Liu hiang angsurkan kertas hijau itu kepadanya. Tampak kertas itu tertulis:
Disampaikan kepada Maling Romantis.
Persembahan hormat Burung Kenari.
Walau tidak melihat apa yang tertulis didalam kertas itu, tapi gadis baju ungu sudah merinding dan berdiri bulu kuduknya saking seram dan ketakutan, badannya basah oleh keringat dingin, mendadak dia putar tubuh dan berlari lintang-pukang seperti dikejar setan, mulutpun berkaok-kaok kalap "Tolong!.. Tolong..!" tiba-tiba jeritannya terhenti begitu saja, disusul badannya tergertak keras berhenti sebentar lalu terhuyung mundur dan mundur terus.
Kembali Coh Liu hiang dan lain-lain menjadi tegang dan berkeringat, tampak kaki orang selangkah demi selangkah sempoyongan mundur dengan teratur, terus mundur sampai di hadapan Coh Liu hiang lagi, sejak permulaan tidak pernah berpaling muka.
Terasa dingin telapak tangan Ki Bu yong tak tahan dia menjerit dengan suara sember "Kau..."
baru sepatah kata tiba-tiba dilihatnya gadis baju ungu roboh terlentang. Tampak selebar mukanya berlepotan darah, dan tepat ditengah mata di atas hidungnya, menancap sebatang pedang kecil yang diukir dari batu pualam hijau pula, di atas batang pedang mini inipun melekat secarik kertas Dimana tertulis juga kata-kata:
Dipersembahkan kepada maling romantis Persembahan hormat Burung Kenari Semua beradu pandang, tiada seorangpun yang buka suara. Pualam sedemikian tipis adalah gelas dan gampang putus, sebaliknya tulang hidung cukup keras, tapi si Burung Kenari ternyata mampu menyerang orang dengan pedang pualam ini tepat mengenai tulang hidungnya sampai menemui ajalnya, betapa mengejutkan kekuatan timpukan ini.
Coh Liu hiang segera berseru lantang "Berulang kali saudara memberi hadiah, kenapa tidak sudi muncul?" mulut berkata seenteng kecapung badannya tiba-tiba sudah melayang ke depan sana.
Ki Bu yong dan lain-lainnya di belakangnya, waktu mereka memutar ke serambi panjang lainnya, berdiri di sana tanpa bergerak, seperti orang pikun yang kaget dan ketakutan.
Dimulai dari ujung kakinya setiap dua langkah menggeletak sesosok mayat seorang gadis, serambi panjang yang puluhan tombak ini ternyata berderet mayat-mayat ini yang bergelimpangan. Puluhan mayat itu berderet seperti ditata rapi, seolah hendak berpameran, betapa seram dan menakutkan pemandangan yang mengerikan ini, siapapun yang melihatnya pasti berdiri bulu kuduk dan merinding.
Bagaimana juga Ki Bu yong adalah kaum hawa, mayat-mayat gadis yang meninggal inipun semula adalah teman-temannya, terasa olehnya kedua kaki menjadi lemas lunglai, tahu-tahu dia meloso jatuh dan pingsan.
Tak tahan lagi hampir saja Ki Ping yan pun hendak muntah-muntah, meskipun wataknya keras berdarah dingin, tapi selama hidupnya tak pernah dilihatnya mayat-mayat orang demikian banyak.
Sampaipun Setitik merah yang selamanya tidak pernah memberi ampun jiwa musuh-musuhnya yang diincarnya, tak terasa diapun berdiri menjablek.
Entah berapa lama kemudian pelan-pelan baru Coh Liu hiang sadar dari lamunannya, katanya menarik napas panjang "Telengas benar burung kenari itu."
Ki Ping yan pun menggumam sendiri "Dia tahu kau tak mau membunuh orang, maka dia wakili kau membereskan mereka cuma... yang dia bunuh terlalu banyak."
"Jelas cara kematian gadis-gadis itu satu sama lain berbeda-beda, ada yang lehernya terdapat bekas-bekas jalur merah, terang tercekik mati, ada yang badannya hancur terbacok oleh golok, ada pula yang batok kepalanya lemas lunglai, menjurus ke arah yang tak mungkin terjadi bagi seorang hidup ternyata tulang lehernya remuk dipeluntir, ada pula yang menyemburkan darah dari mulutnya, terang dipukul dari serangan berat, ada pula yang dipotong lidahnya, ada pula yang dikorek biji matanya.
Agaknya membunuh orang menjadikan suatu kenikmatan baik si Burung kenari sebagai karya seni yang menyenangkan, ternyata sekaligus dia gunakan berbagai cara yang berbeda-beda untuk membunuh para gadis-gadis ini. Pada setiap mayat gadis-gadis ini semua diberikan secarik kertas yang bunyinya satu sama lain tak beda.
Dihaturkan Kepada Maling Romantis, Persembahan hormat, Burung kenari.
"Burung kenari, burung kenari...." Ki Ping yan menggumam lagi, "Siapa nyana iblis laknat pembunuh manusia yang kejam ini menggunakan nama yang begitu molek."
Coh Liu hiang menghela napas, ujarnya "Coba kau perhatikan setiap muka mereka."
Ki Ping yan gelengkan kepala, sahutnya, "Aku tidak suka mengawasi perempuan, yang hidup saja tidak suka, apa lagi yang sudah mati."
"Tapi kalau ini kau lihat dengan seksama maka akan kau temukan walau cara kematian mereka berbeda, tapi ada pula titik persamaannya diantara korban-korban ini."
Tak tertahankan Ki Ping yan benar melirikkan matanya, seketika berubah air mukanya teriaknya "Benar-benar mayat gadis ini semuanya sudah tidak punya bulu alis."
"Sebetulnya mereka punya alis, cuma kini sudah dicukur pelintas seluruhnya.
Begidik seram Ki Ping yan yang dibuatnya katanya "Masakah sebelum dia membunuh korban-korban ini, satu persatu dia cukuri dulu alis mereka?"
"Mungkin disinilah pertanda khas bagi si burung kenari setiap kali dia membunuh orang agaknya bukan saja membunuh orang sebagai hobynya, sekaligus diapun ingin banyak orang tahu, bahwa korban-korban ini adalah karyanya."
"Tapi kali ini dia bunuh gadis-gadis ini lantaran kau, jelek-jelek sudah memberi bantuan kepadamu, benar tidak?"
"Em..!" Coh Liu hiang mengerut alis.
"Kenapa dia mau membantu kesulitanmu" Kau kenal dia?"
"Tidak kenal!"
"Tentunya tak mungkin dia kemari membunuh orang tanpa sebab, setelah membunuh orang lantas tinggal pergi?"
"Sudah tentu dalam kejadian tentu ada sebab-sebabnya."
"Sebab apa?"
* Bersambung Ke Jilid 25 *
Jilid 25 "Sampai detik ini, boleh dikata aku sendiri belum bisa meraba tujuannya tapi aku percaya peduli tujuannya baik atau tidak, tak mungkin dia pergi begitu saja dengan korban-korbannya ini."
"Kau kira... tak lama lagi dia bakal muncul?"
"Bukan mustahil setiap detik setiap saat dia sedang menunggu kedatanganku, cuma kita tidak melihatnya saja."
"Merinding bulu kuduk Ki Ping-yan, tak tahan dia menghela napas untuk menghilangkan rasa seram hatinya, ujarnya "Manusia seperti itu aku malah mengharap semoga jangan sampai melihatnya," mendadak dia tertawa geli sendiri. "Tapi bagaimana juga sekarang seluruh murid-murid Ciok koan-im sudah ajal, kita boleh keluar dengan berlenggang." selamanya diapun tidak pernah membayangkan, bahaya besar dari tebasan golok yang mematikan sedang menunggu di luar.
Penunjuk jalannya adalah Ki Bu-yong. Bukan lantaran dia kuatir Coh Liu-hiang bertiga bakal tersesat didalam lembah membingungkan ini, dia cuma ingin selekasnya meninggalkan tempat yang diliputi baunya darah. Dengan pandangan mendelong hampa dia beranjak pelan-pelan sekujur badannya seolah-olah sudah membeku, maklumlah seluruh kawan-kawannya sudah ajal seluruhnya cuma dia seorang saja yang masih ketinggalan hidup.
Mungkin karena bukan kematian teman-temannya itu dia bersedih, sebaliknya merasa menyesal dan terketuk sanubarinya karena jiwanya sendiri masih hidup, seolah-olah dia dibayangi perasaan, seharusnya dirinya pun sudah mampus ditempat ini. Yan mengintil di belakangnya adalah Setitik merah, Ki Ping-yan, Coh Liu-hiang berjalan paling belakang, bahwa mereka bisa keluar sampai di sini, sungguh patut dibuat girang. Tapi entah kenapa, perhatian hati mereka tetap tertekan, amat prihatin.
Pad saat itulah, tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat langsung membacok ke batok kepala Ki Bu-yong. Sedikitpun Ki Bu-yong seperti tidak menyadari ancaman maut ini, bukan saja tidak berkelit, langkahnya tetap beranjak ke depan. Saking kagetnya tanpa berpikir panjang Setitik merah segera menubruk maju sekali raih ia menariknya sekuat tenaganya.
Betapa cepat dan gerakan refleks dari reaksi Setitik merah, jelas sudah dapat menjagoi di seluruh Tionggoan, tapi betapa cepatnya pula bacokan golok itu sungguh tak bisa digambarkan dengan kata-kata apapun. Akhirnya Setitik merah terlambat bertindak. Terpaksa ia tarik Ki Buyong jatuh ke tanah, dirinya, terus menubruk ke atas badannya, dengan badan sendiri melindungi badan Ki Bu-yong secara refleks pula sebelah tangannya memapak ke arah datangnya bacokan golok.
Maka terdengar "Cras!", darah seperti anak panah muncrat kemana-mana. Kontan lengan kiri terbacok putus.
Saking kejutnya Ki Ping-yan dan Coh Liu-hiang serempak menerjang maju. Tampak tajam golok laksana kilat berkilauan menyambar, kembali menyerang kearah mereka. Hebat sekali gerakan Coh Liu-hiang, sedikit melegot dan berkelebat, tahu-tahu dia sudah menyusup ke dalam lingkaran sinar golok lawan, sekali sanggah dan puntir lengan orang dia berusaha merebut golok musuh. Betapa cepat dan hebat jurus rangsakannya, sungguh amat lincah, tepat, sungguh sudah mencapai puncak kesempurnaan latihan ilmu silatnya.
Ki Ping-yan menegakkan telapak tangan bagai golok, tahu-tahu sudah mengancam tenggorokan orang terus dibabat. Dengan kerja sama Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan, rapatnya tiada setitik lobang sejurus serempak dari dua tokoh silat hebat ini, mungkin tiada seorang tokoh betapa lihaynya dalam kolong langit ini yang mampu menghindari diri.
Sekali bacokannya berhasil melukai orang, baru saja dia lontarkan serangan susulannya, mendadak terasa sampukan angin menerjang dari sebelah muka, tahu-tahu seseorang menyelinap ke dalam pelukan dadanya, betapa hebat dan berbahayanya serangan orang ini, betul-betul jarang dia temukan selama hidup. Di kolong langit ini, siapa pula yang mampu menundukkan Oh Thi-hoa dalam satu gebrakan saja"
Berkelebat pikiran Oh Thi-hoa, teriaknya tertahan "Ulat busuk!"
Teriakan "Ulat busuknya ini, sudah tentu bikin Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan amat kaget,
"kelontang" golok ditangan Coh Liu-hiang jatuh di atas tanah. Tebasan tapak tangan Ki Ping-yan juga segera ditariknya balik mentah-mentah, bergetar suaranya "Sian oh, kaukah?"
"Siapa lagi kecuali aku si pembawa sebal ini." sahut Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang dan Ki Ping-yan banting-banting kaki, berbareng mereka lepas tangan Oh Thi-hoa segera berdiri dengan menghela napas lega "Jago mampus, Ulat busuk, hebat benar kalian, tapi jika aku tidak kehabisan tenaga sampai hampir mati, kalianpun jangan harap bisa berhasil begini cepat."
Coh Liu-hiang sama Ki Ping-yan merasa tertekan perasaannya, mereka tetap bungkam.
"Kalian tak sampai membunuh aku, seharusnya berterima kasih kepada Thian-te atau langit dan bumi, kenapa malah...." mendadak diapun merasakan suasana yang prihatin, baru sekarang pula ia teringat akan tebasan goloknya tadi, maka seri tawanya menjadi kaku dan meringis, batuk-batuk dua kali dengan tergagap dia bertanya "Barusan.... barusan..... barusan.... mulutnya menerocos "barusan" seperti tambur yang dipukul bertalu-talu.
"Barusan kau benar-benar sudah membuat celaka." sahut Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa memencet hidungnya, tanyanya lirih "Siapa yang terluka?"
Belum Oh Thi-hoa menjawab, percikan api berkelebat, Liu Yan-hwi sudah menyalakan obor, tanpa dijelaskan oleh Coh Liu-hiang Oh Thi-hoapun sudah melihat siapakah yang terluka.
Tampak dibawah genangan darah yang beketes-ketes seorang gadis serba putih duduk ditangah dengan pandangan mendelong seperti patung tak bergerak, badannya belepotan darah tapi yang terluka bukan dia.
Seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang bertubuh jangkung, berkulit legam, sekeras baja dan sedingin es, pelan-pelan sedang merangkak bangun dari genangan darah, luka-luka pada lengan kirinya masih mengucurkan darah, tapi kulit mukanya yang pucat dingin tidak menunjukkan perasaan hatinya, badannya tetap tegak selempang tombak, agaknya umpama kedua kakinya yang terbacok putus, diapun takkan roboh.
Mengawasi orang ini, tak tahu Oh Thi-hoa apa yang harus dia katakan" Setitik merahpun balas mengawasi dia, mendadak tersenyum dan memuji "Hmm golok bagus!" jikalau dia mengomel dan mencaci kaki, betapapun kotor dan kasar caci makinya, Oh Thi-hoa akan merasa lega hatinya, tapi pujian ini seketika membuat selebar muka Oh Thi-hoa merah padam.
Berkata Setitik merah pelan-pelan "Kau tak perlu sedih, kejadian ini tak bisa salahkan kau, kalau aku adalah kau, sama juga akan membacok kutung lenganmu." Karena dia tak salahkan Oh Thi-hoa, Oh Thi-hoa semakin merasa sedih dan mendelu, sudah tentu kesalahan bukan terletak pada Oh Thi-hoa, tapi sekarang Oh Thi-hoa justru merasa bahwa dirinya teramat berdosa.
Tiba-tiba Ki Ping-yan mendekati serta menepuk pundaknya, katanya "Tahukan kau siapa dia?"
"Aku hanya tau dia seorang laki-laki sejati, orang gagah, seorang ksatria yang jarang ditemukan dalam jagat ini." sahut Oh Thi-hoa menghela napas.
"Dia inilah Setitik merah, Ki Ping-yan memperkenalkan.
"Setitik merah dari Tionggoan?" OH Thi-hoa menegas dengan kesima.
"Ya!"
Seketika Oh Thi-hoa membanting kaki, serunya "Aku patut mati! patut mati!" mengapa kutungan tangan yang menggeletak di atas pasir, serasa ingin menangis tergerung-gerung karena tangan yang kutung ini bukan tangan sembarangan, pedang tercepat nomor satu di seluruh Tionggoan, dan tangan inilah yang menegakkan ketenaran itu." Berapa banyak pula tangan-tangan seperti ada di dunia ini" Namun tangan ini sekarang sudah tertebas kutung olehnya, apa pula yang dapat menggantinya" Dengan apa pula ia dapat menebus kesalahannya ini" Mendadak Oh Thi-hoa jemput golok di atas pasir itu, sekali ayun dia terus membacok ke lengannya sendiri.
Untung Ki Ping-yan cukup sebat menarik lengannya, katanya "Tak perlu kau berbuat demikian."
"Lepas tanganmu, kau tak perlu ikut campur." bentak Oh Thi-hoa sember.
"Tahukah kau bukankah kau berhutang sebuah lengan kepadanya, akupun berhutang sebelah kaki juga, tapi tidak perlu tergesa-gesa menebus hutang kita itu sekarang juga, kelak bila dia memerlukan baru kita bayar hutang ini, bukan kita lebih baik?"
Coh Liu-hiang manggut-manggut, ujarnya "Piutang ini, semoga kalian bisa menebusnya dengan segera."
Setitik merah tiba-tiba menyeletuk "Ini bukan hutang, kalianpun tak perlu bayar." lalu dijemputnya tangan kutungnya itu, sesaat lamanya dia awasi, mendadak tertawa, katanya "Yang terang tangan ini sudah berlalu banyak membunuh jiwa manusia, biarlah dia istirahat juga baik habis katanya, badannya pun tiba-tiba tersungkur jatuh.
Pipop kongcu kembali berkumpul dengan Coh Liu-hiang, sementara Ki Ping-yan bersua pula dengan Ciok tho, sudah tentu pertemuan yang cukup menggembirakan, sudah tentu mereka saling menceritakan pengalaman selama ini sejak berpisah.
Waktu itu mereka sudah meninggalkan lembah sesat yang membingungkan itu, Ki Bu-yong duduk disamping setitik merah yang masih pingsan kehabisan tenaga dan terlalu banyak mengeluarkan darah, dengan mendelong dia awasi terus muka orang, seperti baru pertama kali ini dia pernah melihatnya.
Sudah lama Oh Thi-hoa tidak membuka mulut, baru sekarang tak tertahankan dia menyeletuk lebih dulu "Burung kenari, siapakah dia sebetulnya" Sungguh kejam dan culas."
Berkata Pipop kongcu "Dia suka membunuh orang, kenapa tidak sekalian dia bunuh Ciok koan-im pula?"
"Mungkin kebetulan dia tidak bertemu dengan Ciok koan-im." timbrung Ki Ping-yan. "Atau mungkin sengaja dia tinggalkan Ciok koan-im supaya dibunuh oleh Coh Liu-hiang."
"Bagaimana pula Ciok koan-im bisa kebetulan tak ada di sarangnya?" tanya Pipop kongcu.
Ki Ping-yan melirik kepada Ki Bu-yong katanya "Menurut apa yang dikatakan nona Ki ini, bahwasanya Ciok koan-im memang jarang berada di sini, terutama belakangan ini, kehadirannya di sini lebih jarang dari tidak kehadirannya."
Berkerut alis Pipop kongcu, tanyanya "Lalu biasanya ia sering berada dimana?"
Sudah tentu tiada orang yang bisa menjawab pertanyaan ini.
"Kenapa kau tidak bicara?" tanya Pipop Kongcu pula. Kali ini kata-katanya ditujukan kepada Coh Liu-hiang, baru sekarang semua orang melihat, Coh Liu-hiang sedang duduk bersimpuh dengan memejamkan mata, seperti paderi tua yang sedang semedi, entah apa pula yang sedang dia pikirkan" Maka terdengar mulutnya komat-kamit, seperti paderi yang sedang membaca mantra
"Hoa san chit kiam.... Ui san si keh... Hongbu Ko.... Ciok koan-im." Semua orang heran dan tak mengerti apa yang sedang dikatakan" tapi tampak rona wajahnya lambat laun memancarkan cahaya terang.
Tak tahan Pipop kongcu mendorongnya pelan-pelan, katanya "Kau tau dimana Ciok koan-im?"
Akhirnya Coh Liu-hiang membuka mata, sinar terang mencorong dari biji matanya, katanya tertawa. "Ciok koan-im" siapa itu Ciok koan-im?"
Pipop kongcu tertegun, katanya tertawa geli "Apa sih yang kau pikirkan, sampai kau jadi linglung begini, sampai nama Ciok koan-im pun kau lupakan?"
"Ada Ciok koan-im berarti tiada Ciok koan-im, tiada Ciok koan-im berarti ada Ciok koan-im pula...., selamanya belum pernah kuingat cara bagaimana aku harus melupakannya?"
Kaget dan geli Pipop kongcu, tanyanya pula "Apa-apaan ucapanmu ini" Aku tidak paham."
"Memangnya kau tidak akan tahu, inilah rahasia alam!."
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala ujarnya "Rahasia Thian tak boleh dibocorkan, tidak bisa kukatakan, tak bisa kukatakan!"
"Apa kau ini sedang mengigau" Mendadak aku ingin jadi Hwesio."
"Memangnya mendadak aku teringat pada seorang Hwesio."
"Siapa?" tanya Pipop Kongcu.
Coh Liu-hiang mandah tersenyum tanpa menjawab.
Pipop Kongcu lantas melirik kepada Oh Thi-hoa, katanya tertawa "Omonganmu memang tidak salah, ada kalanya orang ini memang amat menyebalkan."
"Dimana sekarang Ki loh ci sing berada?" mendadak Coh Liu-hiang menyeletuk.
"Sebenarnya sudah kuberikan kepadanya, tapi dia kembalikan kepadaku lagi!" kata Oh Thi-hoa.
"Jikalau kau benar-benar sudah tahu rahasia Ki Loh ci sing ini, apa pula yang hendak kau lakukan?" tanya Coh Liu-hiang.
"Kalau aku sudah berjanji kepada permaisuri sudah tentu aku akan memberikan kepadanya."
"Baik sekali, mari sekarang juga kita mencarinya," ujar Coh Liu-hiang.
"Tapi... tapi bagaimana dengan Ciok koan-im?" ujar Coh Liu-hiang tersenyum.
Saking marah serasa hampir meledak perut Pipop kongcu, namun tak tahan dia tertawa geli katanya menggigit bibir "Kau ini sebenarnya sedang bertingkah apa?"
"Kau ikut saja, nanti kau akan paham!"
Liu Yang hwi batuk-batuk kering, lalu berkata "Kami bersaudara sudah puluhan tahun tak penah kembali ke Hoa san, sekarang kalau Coh heng hendak menyelesaikan urusan lain, kami berdua ingin.... ingin minta diri saja."
Sikap Coh Liu-hiang mendadak berubah serius katanya "Sekarang kalian masih belum boleh pergi."
"Apakah Coh heng ada petunjuk apa?" tanya Liu Yan-hwi.
Lama juga Coh Liu-hiang menepekur tiba-tiba tertawa lalu berkata "Kalian ikut saja nanti kalianpun akan paham."
Liu Yan-hwi ragu-ragu sebentar, katanya "Cayhepun hanya mohon sesuatu hal kepada Coh heng."
"Liu heng ada permintaan apa?"
"Cayhe sendiri sih tidak menjadi soal, tapi ada beberapa urusan yang mana Hong bu Toako sekali-kali tidak mau mengatakan, sampai disinggungpun tidak boleh....."
"Tapi bila aku menyakan hal-hal itu kalian tidak bisa untuk membeberkannya bukan?"
"Ya, begitulah oleh karena itu Cayhe hanya minta Coh heng."
"Kau minta supaya jangan menanyakan hal-hal itu bukan?"
Liu Yan-hwi tertunduk diam sebentar, sahutnya "Jikalau Coh heng suka menerima permintaan ini Cayhe berdua sungguh amat berterima kasih."
"Adakah aku pernah menanyakan apa-apa?"
"Apapun belum sempat ditanyakan."
"Kalau sekarang tidak kutanyakan, kelak masakah aku bakal bertanya?"
"Liu Yan-hwi termenung sahutnya kemudian "Benar kalau sekarang Coh heng tidak bertanya, kelak tentunya juga takkan bertanya."
"Baiklah kalau kau sudah paham!"
"Tapi persoalan ini," tiba-tiba Liu Yan-hwi berkata pula "Coh heng seharusnya bertanya kenapa pula kau tidak mau bertanya?"
"Karena apa yang perlu kutanyakan sudah kuketahui."
Pipop tak tahan lagi, segera ia menyeletuk "Apa yang harus kau tanyakan" Apa pula yang sudah kau ketahui" Minta ampun sukalah kau tidak berteka-teki?"
Belum Coh Liu-hiang menjawab, tiba-tiba terdengar suara kelentingan unta dari kejauhan.
Suara kelentingan yang terputus-putus di bawa angin ke pekarangannya begitu dingin menawankan hati, begitu lengang. Tapi dalam pendengaran Coh Liu-hiang dan lain, justeru terasa begitu merdu mengasyikkan sekali dari pada suara musik apapun yang pernah mereka dengar dalam dunia ini.
Seketika berkobar semangat Oh Thi-hoa, Liu Yan-hwi dan lain-lain, sampaipun Pipop kongcu jadi lupa mengajukan pertanyaannya lagi yang belum terjawab. Dengan memejamkan mata dia tengah tumplek perhatian untuk mendengarkan suara kelentingan itu, ujung mulutnya mengulum senyum maniak, matanya bergairah "Tahukah kau suara apa itu?"
Oh Thi-hoa tetawa ujarnya "Dalam padang pasir ini, seumpama aku ini seorang desa yang belum pernah melihat kota, tapi suara seperti itu sekali dengar aku lantas tahu..... itulah kelentingan, benar tidak?"
Pipop kongcu malah geleng kepalanya, ujarnya "Itu bukan suara kelentingan unta."
"Bukan kelentingan unta" Lalu suara apa?" tanya Oh Thi-hoa tertegun.
"Dalam pendengaran kupingku suara itu hampir mirip dengan tetesan air yang dituang ke dalam cangkir suara daging yang dipanggang di atas api unggun....."
Apa yang diuraikan Pipop kongcu memang tak salah, di padang pasir, suara yang sumbang ini, ada kalanya justru melambangkan air jernih, makanan lezat dan kehangatan, karena penggembala padang pasir, kebanyakan bersifat royal, suka menerima tamu dan terbuka tangan, meskipun kemah mereka buciok atau sederhana, tapi di sana diliputi kehangatan yang simpatik terhadap sesama teman nan jauh di rantau. Mereka selamanya tidak pernah menolak kedatangan seorang pelancong yang kelaparan, tidak segan-segan menolong kafilah yang kesasar atau menemui kesulitan.
Agaknya kali ini dugaan Pipop kongcu salah dan meleset, waktu mereka memburu ke arah datangnya suara, kafilah yang terdiri dari rombongan besar unta itu sudah berhenti, semua ada puluhan unta yang melingkar jadi sebuah bundaran besar, beberapa orang diantara mereka sudah mulai kerja mendirikan kemah.
Begitu banyak orang dan unta namun suasana bening lelap, tiada satupun pekerja-pekerja itu yang ribut bersuara, tak terdengar pula gelak tawa riang gembira beberapa laki-laki yang bertugas jaga dibagian luar kalangan malah sudah melihat kedatangan rombongan lain, merekapun tidak menunjukkan sikap gembira atau hendak menyambut kedatangan mereka, tidak bersikap tegang bermusuhan siap pasang panah, melolos golok atau sikap yang bermusuhan.
Masih jauh Ki Ping-yan lantas menghentikan langkahnya, katanya dengan suara berat
"Menurut hematku, lebih baik kita tak usah kesana."
"Kenapa?" tanya Pipop kongcu.
"Melihat gelagatnya rombongan ini terang bukan rombongan kafilah biasa."
"Benar Oh Thi-hoa ikut memberikan suara. Mereka lebih mirip sepasukan tentara yang berdisiplin keras, apakah mereka ini pasukan ronda dari anak buah pembesar pemberontak dari negeri Kui je!"
"Mereka bukan orang Kui je!" kata Pipop kongcu tegas.
"Kau berani memastikan?" tanya Oh Thi-hoa.
Pipop kongcu tertawa sahutnya "Di padang pasir yang berbeda-beda sedikitnya ada puluhan kelompok, dalam pandangan kalian mungkin orang-orang ini lumayan, tapi sekilas pandang saja aku lantas dapat melihat adanya perbedaan dari mereka."
"Menurut pendapatmu?" Coh Liu-hiang menimbrung. "Mereka orang-orang apa?"
"Umpamakan saja mereka adalah kawan rampok, kitapun tak perlu gentar terhadap diri mereka bukan?" ujar Pipop kongcu."
"Benar" ujar Oh Thi-hoa, paling kita hanya ingin beli beberapa kantong air dan beberapa unta saja kepada mereka, jikalau mereka tidak aturan dan tidak mau jual, boleh kita merebutnya saja."
Ki Ping-yan menjengek dingin "Enak saja kau bicara."
"Memangnya gampang dilaksanakan, apa sukarnya?"
"Kau tidak melihat gaya mereka memegang golok" Langkah kakinya" Kau tidak melihat dalam sekejap mata saja, mereka sudah berhasil mendirikan kemah-kemah itu" Dimana-mana membagi diri untuk berjaga dengan teratur segala serba beres dan berdisiplin, unta atau kuda tiada yang brengsek."
"Aku kan tidak buta, kenapa tidak melihatnya." sahut Oh Thi-hoa tertawa.
"Kalau kau sudah melihatnya seharusnya kau tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah berpengalaman di medan laga serdadu pilihan yang sudah tergembleng matang, memangnya kau samakan mereka rombongan perampok yang kasar-kasar dan rendahan itu"
Pihak kita hanya ada delapan orang, malah tiga orang diantaranya sudah cacat, paling dua orang diantara kami harus membagi diri untuk melindungi mereka...." Dengan mata melotot dia awasi Oh Thi-hoa lalu menyambung "Maka yang benar-benar bisa turun tangan dipihak kita hitung-hitung hanya tiga orang saja dengan tiga kekuatan orang hendak merebut unta didalam rombongan serdadu yang sudah gemblengan dalam pengalaman tempur di medan laga, coba katakan, apa kau yakin benar pasti berhasil?"
Oh Thi-hoa mengelus hidung, sahutnya "Memang tak begitu besar paling tidak lima enam puluh persen aku yakin!"
"Dengan hanya keyakinan lima enam puluh persen kau lantas ingin menyerempet bahaya?"
sentak Ki Ping-yan mendelik.
"Hanya dengan keyakinan sepuluh prosenpun aku sudah pernah mencoba melakukan sesuatu, kenyataan orang tiada yang berhasil memenggal kepalaku ini" ujar Oh Thi-hoa tertawa-tawa.
"Itu karena nasibmu baik," Jengek Ki Ping-yan, "Tapi sekarang bukan saatnya kita mencoba-coba mempertaruhkan nasib itu."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya "Tidak salah, kekuatan pihak kita sudah teramat lemah, apa yang harus kita kerjakan masih banyak lagi, sekali-kali jangan sampai terjadi diantara kita yang jatuh menjadi korban pula. Oleh karena itu kalau hal ini ada sedikit bahayanya, kita tak usah melakukannya."
Ki Ping-yan masih muring-muring "Kalau dalam keadaan biasa, umpama kau hendak mengadu kepalamu dengan batu pasti tanda orang perduli tapi sekarang jiwamu amat besar gunanya, kalau hanya karena beberapa ekor unta dan beberapa kantong arak kau lantas hendak adu jiwa, umpama kau sendiri mereka tak menjadi soal, aku malah merasa eman-eman."
"Apa lagi umpama kita berhasil dengan tujuan mereka pasti akan selalu mengejar dan menguntit jejak kita." Coh Liu-hiang menambahkan "Musuh kita sudah cukup banyak, kalau ketambahan rombongan orang-orang ini mempersulit kita, wah, sukar dibayangkan lagi."
"Jadi menurut pikiran kalian, bagaimana juga rombongan orang-orang ini sekali-kali tidak boleh diganggu, begitu?" tanya Oh Thi-hoa dengan kecut.
"Ya, begitulah," sahut Ki Ping-yan.
Berputar biji mata Oh Thi-hoa "Tapi jikalau mereka yang mencari gara-gara kepada kita, bagaimana?"
Memang pada ujung mata Coh Liu-hiang sudah melihat lima enam orang diantara rombongan itu sudah berlari-lari menuju ke arah mereka, dalam hati diam-diam ia menarik napas, namun lahirnya dia masih tersenyum-senyum, katanya tandas "Umpama benar mereka hendak cari perkara kepada kita, kita pun harus mengalah saja."
Yang mendatang ada lima orang, masing-masing mengenakan mantel lebar dan tebal untuk menahan angin, kepala mereka digubat kain panjang warna biru, kulit mereka kelihatan hitam legam bersinar karena biasa ditengah teriknya matahari, sehingga kelihatannya begitu kasar sekasar pasir di bawah kaki mereka, namun mata mereka, justru berkilat tajam laksana mata elang, tulang-tulang pipi mereka menonjol keluar jari-jari menggenggam erat gagang golok masing-masing, begitu teguh dan tenang tak tergoyahkan sekokoh batu.
Pakaian yang mereka pakai serba besar longgar gedubrahan, tapi gerak-gerik mereka amat cekatan, dengan mendelong Coh Liu-hiang dan lain-lain mengawasi mereka, kejap lain mereka sudah tiba di hadapan mereka.
Orang yang terdepan adalah laki-laki cambang bauk yang lebat warna kehijauan, biji matanya yang berkilat terang, memancarkan warna kehijauan seperti mata dracula satu persatu dia menyapu pandang ke muka mereka akhirnya berhenti pada tatapan muka Coh Liu-hiang.
Umpama ada ratusan orang yang mengenakan pakaian seragam yang sama, dia tidak perlu memandang dua kali dengan tepat dia akan tahu siapa yang jadi pimpinan diantara mereka.
Coh Liu-hiang menyambut kedatangan mereka dengan tersenyum, mulutnya merocos panjang lebar, apa yang dia ucapkan adalah basa-basi yang sering digunakan kaum kafilah yang sering bertemu ditengah jalan, ucapan-ucapan menyapa dan saling tanya keselamatan satu sama lain sudah ia pelajari dengan giat dai cukup yakin bahasa latihannya sudah cukup baik dan kini tibalah saatnya untuk dia praktekkan.
Tak nyana orang dihadapannya ini seperti tidak paham apa yang dia ucapkan, sekian saat orang melotot pula kepadanya, tiba-tiba berkata "Kalian darimana" Hendak kemana?" Sontoloyo, orang justru fasih menggunakan bahasa orang-orang Han.
Coh Liu-hiang hanya meringis kecut, katanya "Cayhe beramai datang dari Thio keh gou, semula kami bermaksud dagang ke sini, tak nyana tak tahu jalan tak faham bahasa dan adat istiadat di sini, bukan saja unta dan tunggangan hilang, malah diantara kami ada yang terluka, oleh karena itu...." sampai di sini dia menyadari bahwa yang dikatakan amat meragukan, jelas sukar dipercaya oleh orang lain.
Mereka berdelapan, ada laki ada perempuan, ada yang buruk ada yang ganteng, tapi bagi siapapun yang melihatnya, tiada satupun yang akan mau percaya bahwa mereka adalah kafilah yang berdagang ditengah gurun pasir.
Coh Liu hiang menghela napas katanya pula "Bicara terus terang, Cayhe beramai adalah kaum persilatan dari Tionggoan, kedatangan kami kemari adalah untuk mencari tiga orang teman kami yang hilang, siapa tahu terjadi banyak peristiwa yang di luar dugaan barusan kami kebentur pula kejadian yang menyulitkan." kali ini dia bicara sejujurnya, tak nyana laki-laki itu masih mengawasinya dengan sikap dingin, sepatah kata omongannya masih tidak mau percaya.
Sorot matanya yang tajam kembali menyapu satu persatu muka mereka, lalu berkata dengan kereng. "Persoalan sulit apa yang barusan kalian hadapi?"
Cukup panjang untuk menjelaskan, dan lagi terang tiada sangkut pautnya dengan kalian.... "
sahut Coh Liu-hiang.
"Dari mana kau tahu bila tiada sangkut pautnya dengan aku" Ribuan li malang melintang ditengah apdang pasir ini, apapun yang terjadi, kapan saja dan siapa saja, bukan mustahil ada hubungannya dengan kami!"
"Oh.... entah kalian ini siapa" Dari...."
Laki-laki jambang bauk segera membentak "Sekarang aku sedang tanya kepadamu, bukan bertanya kepadaku."
Coh Liu-hiang tahu bahwa laki-laki sulit dilayani, tak tahan jari-jarinya mengelus-elus hidung inilah penyakitnya. Oh Thi-hoa sampai ketularan olehnya.
Si jambang bauk hijau tiba-tiba menuding Setitik merah dan Ki Bu-yong sentaknya bengis
"Belum lama kedua orang ini terluka, siapa yang melukai mereka?"
Oh Thi-hoa tak tahan lagi, katanya keras "Tangannya tertebas kutung oleh aku yang kurang hati-hati."
Jambang bauk hijau menyeringai "Matamu masih genap dan normal, cara bagaimana bisa tidak hati-hati memotong lengannya" Anak-anak umur 3 tahunpun takkan mau percaya kepada ucapanmu."
Oh Thi-hoa naik pitam, semprotnya! "Perduli kau percaya tidak" Asal apa yang kukatakan adalah sejujurnya, terserah kau tidak mau percaya."
"Jawaban kalian sendiri satu sama lain tidak cocok dan simpang siur, masakah kita harus percaya begitu saja?" mendadak si jambang bauk menggelap tangan, bentaknya "Hayo geledah badan mereka! setelah bentakan serempak empat orang laki-laki di belakangnya segera menubruk maju bersama.
Muka Oh Thi-hoa sudah menghijau saking gusar, serunya terloroh-loroh menggeledah "Kau hendak menggeledah badanku" Hehe selama hidup belum pernah ada orang berani menggeledah badanku mesti dia orang tuaku sendiri!"
Tiba-tiba Coh Liu-hiang menggenggam jarinya dengan keras, katanya tersenyum "Kejadian apapun pasti akan terjadi untuk pertama kali."
"Kau mandah dilakukan semena-mena?" seru Oh Thi-hoa dengan suara serak.
Coh Liu-hiang hanya tertawa-tawa siapapun tak bicara lagi. Mengikuti pandangan matanya baru sekarang Oh Thi-hoa melihat disaat mereka bicara itulah, puluhan laki-laki sudah mengepung mereka.
Mendadak Oh Thi-hoapun unjuk tawa lebar katanya "Jikalau Coh Liu-hiang bisa tahan sabar pula?"
Ki Ping-yan ikut tertawa, katanya "Si bocah akhirnya tumbuh dewasa juga, sungguh suatu hal yang harus dibuat girang."
Berbareng mereka bertiga menepuk-nepuk pakaian, lalu membentang kedua tangan, katanya bersamaan dengan tertawa "Silahkan kalian menggeledah!" lalu Coh Liu-hiang menambahkan
"Cayhe bukan saja tidak membawa apa-apa, malah dikata kantong kosong, setelah kalian menggeledah aku, tentu bikin kecewa saja."
Tak nyana ke empat laki-laki yang maju mendekat tadi berdiri diam di tempatnya, tangan si jambang baukpun masih terangkat tinggi, selama ini belum diturunkan. Baru saja Coh Liu-hiang merasa heran, si jambang bauk mendadak berkata "Apa benar kantong tuan kosong" Masakah sebutir mutiarapun tiada?"
Mendengar pertanyaan ini, seketika bersinar biji mata Coh Liu-hiang. Demikian pula Oh Thi-hoa segera turunkan kedua tangannya serta mendengar orang menyinggung mutiara hitam segala, seketika teringat olehnya bahwa Ki loh ci sing masih berada dalam kantong bajunya, katanya keras "Sebetulnya kalian mau menggeledah tidak" Memangnya apa maksud kalian?"
Si jambang bauk tiba-tiba tergelak tawa, serunya "Umpama nyali Siaujin tinggi langin, juga tidak berani bertingkah di hadapan Maling Romantis!"
Oh Thi-hoa tertegun, katanya "Kau kenal dia" Apa benar ketenarannya begitu besar?"
Si jambang bauk tidak menjawab, langsung dia menjura rendah kepada Coh Liu-hiang, katanya "Tidak tahu tidak berdosa, semoga Maling Romantis suka memaafkan keteledoran Siaujin!"
Lekas Coh Liu-hiang memapaknya bangun, tanyanya "Jadi kau ini apanya Mutiara hitam?"
"Jikalau Siau-ongya bisa melihat Maling Romantis sehat wal-afiat sampai di sini, entah betapa girang hatinya." demikian kata si jambang bauk.
Tahu bahwa mereka bukan lain adalah anak buah Mutiara hitam yang dicarinya ubek-ubek tak ketemu, tak nyana bersua disini tanpa banyak membuang tenaga, keruan girangnya bukan main.
Terdengar jambang bauk menghela napas, katanya lebih lanjut "Sayang meski maling romantis sudah sampai disini. Siau-ongya justru sudah ke pedalaman pula..."
"Ke pedalaman" Maksudmu dia ke Tionggoan" Kapan ia berangkat" tanya Coh Liu-hiang kaget.
"Kuatir maling romantis menghadapi bahaya, maka beberapa hari yang lalu Siau ongya lantas menuju ke Tionggoan untuk menyiari kabar kalian."
Tak urung terunjuk rasa heran, curiga pada rona muka Coh Liu-hiang, katanya "Dia kuatir aku menghadapi bahaya" Dia pergi mencari tahu kabar diriku?"
"Siau-ongya menemukan kuda mutiaranya itu pulang sendiri dengan kosong tanpa penunggangnya, maka ia menduga Maling Romantis pasti menghadapi bahaya, tanpa membuang waktu lagi, segera ia menyusul kesana dengan tergesa-gesa." Mendadak si jambang bauk tertawa lucu penuh arti, katanya pula "Rasa prihatin Siau-ongya kepada Maling romantis memangnya tuan masih belum memahaminya?"
Coh Liu-hiang menjublek di tempatnya, maka dia tidak begitu perhatikan ucapan ini, setelah menepekur sekian lamanya, akhirnya dia menarik napas katanya tertawa getir "Kuda itu memang pintar sekali, orang biasa mana mampu mengendalikan dia aku sudah kira dia pasti menerjang keluar dari kandang lari ke tempat asal majikannya.
Tak tahan Oh Thi-hoa menyeletuk "Kami banyak orang mencari ubek-ubekan tanpa menemkan jejaknya, masakah seekor kuda malah berhasil menemukan dia lebih dulu?"
"Dipadang pasir ini, siapa yang tidak tahu bila si mutiara hitam yang jempolan itu adalah milik Siau-ongya kita, siapapun yang melihatnya, tentu akan dibawa pulang dikembalikan kepada Siau-ongya." lalu dia tertawa bangga, katanya pula "Penjahat di padang pasir sejauh ribuan li itu, siapa pula yang berani mengincar kuda tunggangan pribadi Siau ong kita" Sampaipun Ciok koan-im yang serba misterius seperti tokoh didalam dongeng itupun tidak berani sembarangan mencari gara-gara kepada kita."
Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Menyinggung Ciok koan-im, seketika berubah roman muka semua orang.
"Mungkin kalian tidak tahu," ujar si jambang bauk, "kecuali kita anak buah Lo ongya yang lama ini, orang-orang yang rela dan bersedia berkorban demi Siau-ongya entah berapa banyaknya meskipun Ciok koan-im setinggi langit, bila dia berani mengganggu dan berbuat salah terhadap Siau-ongya, selanjutnya apapun yang dia lakukan disini, mungkin dia akan selalu menghadapi kesukaran."
Coh Liu-hiang menghela napas ujarnya "Agaknya nama besar "Raja Gurun Pasir" memang bukan kosong dan gertakan belaka."
Oh Thi-hoa tiba-tiba menyeletuk "Kalau demikian bila kita menunggu si mutiara itu kemari bukankah sudah sejak lama bertemu dengan Siauw ongya kalian?"
"Jikalau kalian benar-benar datang menunggu si mutiara itu Siau-ongya tentu takkan segugup itu, ia tahu maling romantis amat sayang pada kuda tunggangannya itu, maka ia berkesimpulan bila Maling Romantis tak menghadapi bahaya, sekali-kali tidak akan membiarkan dia pulang sendirian."
Oh Thi-hoa pelototi Ki Ping-yan katanya "Itulah yang dinamakan keblinger oleh kepintaran sendiri, ingin untung malah buntung, dari sini dapatlah disimpulkan ada kalanya orang gede tidak akan unggul dari anak kecil dalam melakukan kerjaan yang sama."
Ki Ping-yan, tidak menunjukkan perubahan mimik mukanya cuma dengan dingin dia menatap si jambang bauk, katanya "Dari nada perkataanmu ini, agaknya Siau-ongya kalian amat prihatin dan menguatirkan sekali keselamatan Maling Romantis?"
Kembali si jambang bauk mengunjuk senyuman lucu yang aneh tadi, katanya "Ya, memang luar biasa keprihatinannya."
Seruling Samber Nyawa 4 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Sepasang Pedang Iblis 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama