Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pengejar Nyawa 16

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 16


Oh Thi-hoa kertak gigi, bentaknya bengis: "Seorang laki-laki berani berbuat berani tanggung jawab ! Ada kalanya sesuatu jelas memang tak mungkin kita capai, namun kita tetap berusaha akan mencapainya juga."
Maklumlah istilah "Bu Hiap" atau pendekar silat selalu mempunyai arti yang berlainan satu sama lain, namun arti daripada masing-masing dari kedua kata-kata itu sendiri jauh sekali bedanya. Untuk menempuh ke jalan Bu atau silat bukan persoalan yang sukar, cukup asal kaki tangan bertenaga, bisa main berapa jurus Kung Fu, bolehlah dianggap Bu. Tapi Hiap atau pendekar itu sendiri amat sulit pula pelaksanaannya, didalam praktek sepak terjang seseorang di dalam kehidupan Kang-ouw, memang enteng kedengarannya dan gampang diucapkan kata
"berani berbuat, berani bertanggung jawab", namun kalau tidak dilandasi keteguhan hati, keberanian yang luar biasa serta jiwa yang luhur dan bajik, seseorang.
Bersambung ke jilid 27
JILID 27 Tidak mungkin bisa mendapatkan gelar atau julukan "Pendekar" yang amat berat pula arti dan kenyataannya.
Karena seorang kalau hanya malang melintang dan bersimaharaja dengan begal kepandaian silatnya saja, membunuh orang semena-mena, tak ubahnya perbuatannya itu menyerupai binatang liar, hukum rimba selalu menjadikan penengah nuraninya, memang dia setimpal dianggap sebagai "pendekar" "
Ki Ping yan mendadak berkata: "Tadi sebetulnya ada dua kali kesempatan kau dapat merenggut jiwaku, kenapa kau tidak turun tangan ?"
Ciok-koan-im tertawa tawar, ujarnya, "Hampir dua puluh tahun aku tidak pernah bergebrak dengan seseorang yang benar-benar berani melawan aku, masakah begitu gampang aku harus membunuhmu ?"
Tanpa berjanji Oh Thi-hoa dan Ki Ping-yan sama menghela napas, batinnya: "Kenapa sampai sekarang Coh Liu-hiang belum kembali " Jikalau dia datang membantu, dengan kekuatan kita bertiga, walaupun ilmu silat Ciok-koan-im nomor satu di seluruh kolong langit, tiada bandingannya sepanjang jaman, dia pasti dapat kita kalahkan." kalau Ki Ping-yan hanya membatin dalam hati, Oh Thi-hoa justru tidak sabar lagi, Katanya setelah menarik napas panjang: "Sayang Coh Liu-hiang tidak disini, kalau tidak... "
"Memang harus disayangkan sudah lama kudengar kepandaian silat Coh Liu-hiang, biasanya jarang terlihat kebolehannya yang menonjol, tapi musuh yang dia hadapi semakin tangguh, maka diapun bisa lebih mengembangkan perbawa kepandaiannya, sayang sekali aku justru tidak bisa menjajal kepandaiannya, memang harus disayangkan, suatu yang harus kusesalkan seumur hidup
!" "Kau tidak perlu menyesal." Oh Thi-hoa mengolok, "Cepat atau lambat dia pasti akan membuat perhitungan kepada kau."
"Mungkin sudah tiada kesempatan lagi, kalianpun tak perlu menunggunya." Kata Coik-koan-im kalem.
OH Thi-hoa terloroh-loroh: "Kau kira kepergiannya kali ini tidak akan kembali pula" Kau kira hanya mengandal Go Kiok-kan bocah ingusan itu, lantas dapat membunuhnya ?"
"Ya, dalam dunia ini yang betul-betul dapat membunuh Coh Liu-hiang si Maling romantis, mungkin juga cuma Go Kok kan saja. Karena dia juga sedemikian mendalamnya menyelidiki seluk beluk luar dalam Coh Lui-hiang dari kepalanya sampai ke ujung kakinya, dalam dunia ini tiada orang kedua yang jauh lebih paham akan kepandaian silat Coh Liu-hiang dan kelemahannya... "
tertawa tawar, lalu meneruskan:
"Coba pikir, bilamana aku punya anggapan Coh Liu-hiang si Maling romantis masih ada harapan pulang dengan masih hidup, buat apa dan kenapa aku harus membuang buang waktu di sini bercengkerama dengan kalian?"
Oh Thi-hoa menyeka keringat di atas jidatnya, mendadak tertawa besar, serunya: "Dalam dunia ini tiada seorangpun yang betul betul bisa memahami Coh Liu-hiang, jangan kata luar dalamnya, kulitnya sajapun jangan harap kau mengerti, sampaipun aku yang sejak kecil bersahabat selama dua tiga puluh tahun sama dia, tidak mampu memahami dirinya, apa lagi Go Kiok-kan!"
Ciok-koan-im mencibir, katanya sinis:
"Sudah tentu kau tidak akan bisa memahami dia, karena kau tiada dendam, permusuhan dengan dia, hakikatnya kau tidak perlu memahaminya: "bila kau terlalu memahami dari jiwa karakter lahir batin seseorang, kan malah tidak akan bisa bersahabat dengan dia. Dan lagi, perlu kuberi tahu kepada kau, orang yang paling memahamimu dalam dunia ini, jelas bukan sahabat atau istrimu, tapi pasti adalah musuh besarmu, karena hanya musuhmu yang benar-benar mau menyelidiki dengan segala susah payah untuk titik kelemahanmu."
Meski tangan Oh Thi-hoa sedang kerepotan menyeka keringat, tapi air keringat seolah-olah sengaja main-main dengan dia selamanya takkan habis-habis dia seka, keringat yang gemerobyos sudah menghanyutkan noda-noda darah diujung mulutnya yang meleleh keluar tadi. Tanyanya dengan suara serak dan sangsi:
"Memangnya orang she go itu punya dendam permusuhan apa dengan Coh Liu-hiang ?"
Ternyata Ciok-koan-im tidak hiraukan pertanyaannya lagi, pelan-pelan dia putar badan lalu melangkah ke depan Kui-je-ong, dengan kedua tangannya dia angkat cangkir arak di atas meja, senyuman mekar yang terkulum di wajahnya, begitu rupawan dan mempesonakan dengan suaranya yang paling halus, lembut mulutnya berkata: "Kuperingatkan supaya secangkir arak ini lekas diminum, supaya lekas bertemu dengan banyak sahabat di neraka. Bin Hong-wa, Ang Hak-han dan Ang Tek san sedang menunggumu di sana, tentu kau tidak akan kesepian."
Tabir malam di padang pasir terasa teramat panjang, namun datangnya terlalu pagi. Waktu itu kira-kira baru jam enam sore, namun kabut sudah mulai mendatang dan tabir malampun sudah membikin jagat raya serasa gelap pekat, didalam keremangan malam yang samar-samar ini, asap ungu yang tebal itu kelihatannya menjadi begitu menyolok laksana merah darah.
Rona muka Coh Liu-hiang sudah berubah tapi kejap lain mendadak dia tertawa besar, serunya: "Kepandaian usang dipakai lagi, bukankah ini kurang cerdik, di pesisir Toa-bing ouw tempo dulu, dengan cara ini kau berhasil meloloskan diri, memangnya kali ini kau hendak lolos pula dengan cara yang sama" Kau kira aku tak punya cara untuk menghadapi permainanmu ini ?"
Ditengah tawanya tiba-tiba badan Coh Liu-hiang melambung tinggi mengikuti asap tebal yang mengepul naik menjulang ke angkasa. Bahwasanya Coh Liu-hiang memang sudah berhasil mendapatkan cara untuk mengatasi atau memecahkan cara melarikan diri dengan menghilang meminjam asap tebal sesuai ajaran Jinsut seperti ini, asal meleset terbang lebih tinggi dari tabir asap yang berkembang dan bergulung gulung di udara, perduli ke jurusan lawan melarikan diri, jangan harap bisa mengelabuhi sepasang matanya.
Walau cepat sekali asap tebal ini berkembang, tapi dalam waktu singkat itu, melebarpun tidak begitu luas, begitu badan Coh Liu-hiang melayang ke atas, tampak tiga tombak di luar gulungan asap tebal itu, pasir kuning terbentang kosong, ternyata bayangan Go Kiok kan tidak dilihatnya sama sekali, malah ditengah asap yang tebal itu mendadak kedengaran gelak tawanya yang pongah.
Sebaliknya tenaga Coh Liu-hiang seolah-olah seketika itu juga sirna dan badan menjadi lemas, badannya yang melambung terbang ke angkasa seperti burung itu, seberat batu besar yang jatuh dari angkasa terus anjlok dan terbanting keras di atas pasir.
Terdengar Go Kiok-kan terloroh-loroh:
"Kepandaian usang dilancarkan lagi memang kurang cerdik, tapi aku yakin otakku ini tidak sampai sedemikian goblok, apalagi di hadapan Coh Liu-hiang si Maling romantis yang serba pintar ini, masakah aku bakal menggunakan cara yang sama untuk kedua kalinya?"
Hembusan angin malam di padang pasir amat santer, meski asap ini amat tebal, tapi sekejap saja sudah tersapu bersih oleh deru angin yang menghembus kencang, samar-samar kabur semakin menipis, dan melihat sesosok bayangan berdiri diantara keremangan malam, dia bukan lain adalah Go Kiok-kan.
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Benar, soalnya asap tebalmu tempo dulu tidak beracun, kali ini aku tidak berjaga-jaga. Sungguh tidak pernah terpikir olehku bahwa kau bagai mencampurkan obat bius yang dapat melemaskan tulang dan menyedot sukma itu di dalam asap tebalmu ini.
"Sudah tentu kau tidak akan menduganya." ujar Go Kiok-kan tertawa senang, "Karena setiap orang menghadapi sesuatu yang sudah amat dipahaminya, pasti tidak akan bersikap berwaspada seperti dulu, nah disitulah letak kelemahan watak manusia..." sampai di sini dia tertawa geli, katanya lebih lanjut: "Setiap orang mempunyai titik kelemahannya sendiri, dan kelemahanmu ialah keyakinanmu terhadap dirimu sendiri terlalu tebal, hatimupun terlalu lemah.
Oleh karena faktor-faktor inilah maka berulang kali terjungkal di tanganku. Hari ini bila kau mau menusuk ulu hatiku atau menggorok leher ini, hari ini aku tidak akan dan tidak mungkin merangkak keluar dari liang kubur dan hidup kembali."
Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Akupun tahu akan kelemahan ini, yakni aku terlalu serius dan terlalu berat menilaimu! Oleh karena itu meski aku tahu dalam dunia ini ada manusia rendah dan lemah yang hina dina, demi menyelamatkan jiwa sendiri tidak segan-segan dia pura-pura menemui ajalnya di bawah tusukan belatinya sendiri, tapi mimpipun tak pernah terpikir olehku, seorang beribadat yang romantis hidup bebas disegani seperti Biau-ceng Bu Hoa yang punya kepandaian silat sedemikian tingginya, ternyata juga sudi melakukan serendah ini.
Go Kiok-kan mandah tertawa, katanya: "Aku tahu hatimu amat mendelu sedih, karena Coh Liu-hiang si Maling romantis yang malang melintang tiada tandingan di kolong langit, hari ini kena diingusi dan kecundang habis-habisan, demi membalas kebaikanmu dulu kepadaku, hari ini akan kuberi kesempatan kepadamu untuk mengundal memakimu sesuka hatimu, berapa banyak kata-kata makian di dalam perbendaharaan hatimu boleh kau limpahkan sesukamu untuk melampiaskan kemendongkolanmu, perduli apapun makian kepadaku, sebelum selesai cacimu, aku pasti tidak akan turun tangan."
Sembari bicara, pelan-pelan dia tanggalkan topinya, dengan gerakan yang amat hati-hati mencopot rambut palsunya, lalu dengan kedua tangannya pelan-pelan kembali dia mengelotok selapis kedok muka yang amat tipis dan berwarna kuning.
Maka Biau keng si padri saleh Bu Hoa yang gagah cakap dan berwajah halus putih itu kembali terpampang di hadapan Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiang hanya mengawasinya diam dan tenang-tenang saja, sepatah katapun tak bersuara lagi.
Bu Hoa tertawa pongah, katanya: "Agaknya kepandaian memalsu diri Cahye meski tidak lebih unggul dari Coh Liu-hiang si Maling romantis yang serba pandai merobah bentuk badan dan mukanya, namun cukup baik dan patut dipuji juga, yang terang aku sudah berhasil mengelabuimu bukan?"
"Masih terlalu jauh kepandaianmu yang satu ini!" kata Coh Liu-hiang tawar.
"Kalau masih ketinggalan jauh, masakah bisa mengelabui sepasang matamu?"
"Bahwasanya kau tidak pernah mengelabui aku, waktu pertama kali berhadapan dengan kau aku sudah tahu dan merasakan bahwa Go Kiok-kan adalah samaran orang lain, cuma dalam waktu selama ini tidak pernah terpikir olehku bahwa kaulah yang membawa gara-gara ini."
Bu Hoa menghela napas, ujarnya: "Semula kukira selamanya kau tidak akan pernah curiga kepadaku, karena aku betul-betul sudah berjerih payah dan memeras keringat dalam usahaku ini.
Setitik merah ku undang datang tujuanku supaya kau mengira Mutiara hitamlah yang menjadi biang keladi dalam peristiwa ini dengan tindakan ini bukan saja supaya kau betindak keliwat hati-hati dan selalu was-was tidak berani sembarangan bertindak lagi, sekaligus dapat mengelabui kau sehingga persoalan kau kira semakin rumit dan berliku-liku, tanpa sadar kau akan tersesat ke jalan samping dan selamanya takkan berhasil kau ketahui seluk beluk persoalannya."
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Caramu ini memang pintar, sebetulnya memang aku sudah tersesat ke jalan buntu dan hampir saja tak bisa berpaling, untunglah lekas sekali kau menyadari bahwa Ciok Tho ternyata adalah salah satu dari Hoa san chit-kiam dulu, dari sini pula baru aku sadar dan terpikir bahwa Ciok-koan-im ternyata bukan lain adalah nona Li dari Ui san-si keh (Keluarga besar dari Ui san).
Mendengar uraian Coh Liu-hiang ini, seketika muka Bu Hoa membeku kaku, senyum tawanya yang manis welas asih seketika sirna tak membekas lagi.
Dulu Hoa-san-kiam-pay dan Ui-san-si-keh bertempur mati matian sampai kedua belah pihak jatuh korban yang tak terhitung baynyaknya, pihat Ui San-si-keh hanya tinggal nona Li saja yang berhasil melarikan diri, beruntung lolos dari malapetaka, namun nona Li merasa tidak bisa bercokol hidup lagi di Tiong-goan, maka dia melarikan diri keluar lautan dan akhirnya tiba di Hu siang.
Disana bertemu dengan Thian-long-cap si long yang jatuh cinta kepadanya, disana mereka hidup bersuami istri selama beberapa tahun, malah melahirkan dua orang putra. Namun tatkala secara diam-diam dia berhasil meyakinkan ilmu silat mujijat yang tiada taranya, lantas dia tinggalkan suami, meninggalkan anak, minggat dan pulang kembali ke Tiong goan, beruntun dia berhasil membunuh Hoa-san-chit-kiam dan berhasil menuntut balas sakit hati Ui-san-si keh.
"Sejak itu nona Li tiba-tiba menghilangkan jejaknya secara misterius, tiada seorangpun dalam kalangan Kang-ouw yang tahu kemana jejaknya. Tak lama kemudian meski di dalam Bulim muncul gembong iblis perempuan Ciok-koan-im yang berkepandaian tinggi tiada bandingannya serta bersepak terjang aneh serta serba misterius, tapi siapapun tiada yang mengira bahwa gembong iblis yang jahat dan laknat seperti Ciok-koan-im itu ternyata bukan lain adalah nona Li dari keluarga besar Ui-san satu-satunya yang masih hidup."
"Latar belakang yang terahasia ini sebetulnya takkan ada orang yang bisa membongkarnya, dan sayang sekali nona itu justru meninggalkan hidup jiwa salah satu dari Hoa san-chit-kiam itu...
sampai disini Coh Liu-hiang, tertawa tawar lalu melanjutkan:
"Ini kemungkinan dia terlalu takabur dan merasa dirinya terlalu ampuh, betapapun derita siksa yang pernah dia alami, tidak dia pandang tidak sudi berlutut dan menyerah kepada nona Li itu, sebaliknya bila nona Li itu sudah jatuh hati kepada seseorang, bagaimanapun dan apapun yang akan terjadi dia harus mencapai dan melaksanakan keinginannya, maka selama ini dia tidak pernah membunuhnya, tak pernah pula terpikir olehnya, orang yang sudah tidak menyerupai manusia itu bakal dapat melarikan diri"
Rona muka Bu Hoa kini seperti dilapisi tabir dingin katanya ketus dingin: "Teruskan!"
"Tapi hanya sumber ini saja, masih tidak mungkin membongkar rahasia Ciok-koan-im, dan harus disayangkan pula pada dua puluh tahun kemudian, dalam dunia ini justru muncul manusia bawel dan rewel macam Coh Liu-hiang yang suka mencampuri urusan orang lain. Kebetulan Coh Liu-hiang cukup intim dan bersahabat baik serta amat mencocoki dengan kedua putra putranya nona Li itu yang sudah menanjak dewasa, lebih celaka lagi dari teman karib mereka akhirnya berubah jadi musuh yang berlawanan muka dan tujuan. Maling romantis yang suka petingkah itu kembali menggali peristiwa besar di Bulim masa silam yang sudah dilupakan orang. Sudah tentu hal ini sekali kali tidak akan pernah terpikir atau diduga oleh nona Li alias Ciok-koan-im itu."
"Lanjutkan." desak Bu hoa pula dengan kaku dan ketus.
"Walau Coh Liu-hiang sudah tahu kisah kehidupan Thian Hong-cap-si-long ayah beranak namun tidak pernah terbayang olehnya bahwa mereka bisa mungkin punya sangkut paut yang begitu erat dengan Ciok-koan-im.
Kedua persoalan ini hakikatnya satu sama lain tidak boleh dibicarakan secara bergandengan.
Sampai pada waktu salah satu murid Hoa-san-pay yang sudah lama lenyap atau mengasingkan diri tiba-tiba muncul, dari mulut murid Hoa-san-pay ini baru diketahui rahasia Coik-koan-im yang sebenarnya, maka kedua persoalan ini mau tidak mau harus dibereskan bersama"
Dengan tajam dia pandang Bu hoa lekat-lekat, lalu berkata pula dengan tersenyum:
"Kalau kedua persoalan ini harus digandeng dan punya ikatan yang erat, persoalan apa pula yang tidak akan dapat kupikirkan dan takkan jelas seluruhnya ?"
Sejenak Bu Hoa menepekur, lalu katanya kalem: "Benar, kalau kau sudah tahu Ciok-koan-im sebetulnya adalah ibuku, maka dengan sendiri bisa kau bayangkan pula, setelah kekalahannya secara mengenaskan di Tionggoan, sudah tentu Bu Hoa malu bercokol di sana, maka terpaksa sia mundur keluar perbatasan, di sini dia dapat bersandar kepada kekuatan ibunya: Bahwa ambisi Bu Hoa selama di Tionggoan sudah kau bikin tercerai berai dan gagal total, maka terpaksa dia harus menarik diri untuk bekerja lagi mulai dari permulaan di padang pasir ini." biji mata Bu Hoa tiba-tiba menyorotkan sinar terang, ujung mulutnya mengulum senyum lagi, katanya: "Tapi cara bagaimana Bu Hoa bisa tahu bila Ciok-koan-im adalah ibu kandungnya" Bukan mustahil Bu Hoa sendiripun tidak tahu menahu akan hal ini, tentunya Coh Liu-hiang sendiripun kebingungan dan tak habis mengerti bukan ?"
Tak kira tanpa banyak berpikir, Coh Liu-hiang segera menjawab: "Itulah lantaran ada hubungan erat dengan Jun-hujin Chiu Ling -siok !"
"Chiu Ling-siok ?" Bu Hoa mengerut kening.
"Apa pula sangkut pautnya dengan persoalan ini ?"
"Ciok-koan-im tidak akan mau terima bila didalam dunia ini ada perempuan yang berparas lebih cantik melebihi dirinya, maka karena jelusnya itu dia merusak wajah Chiu Ling siok, sehingga Chiu Ling-siok merana dalam hidupnya, menderita siksaan batin selama hidup"
"Tak nyana Jim pangcu justru jatuh hati dan mencintainya setulus hatinya, bukan lantaran rusaknya wajahnya yang cantik itu cintanya berubah, malah dia mempersuntingnya sebagai istrinya.
Orang yang hendak dirusak dan disingkirkan oleh Ciok-koan-im, Jim-pangcu justru menolongnya, sudah tentu hal inipun tidak bisa diterima oleh Ciok-koan-im, sudah tentu dia pantang membiarkan orang-orang yang dirasakan mengganggu dan menghalangi keinginannya."
Sungguh tak nyana Thian-hong-cap-si-liong ternyata bertindak satu langkah lebih cepat dari dia, sang suami itu sudah menemui Jim-pangcu lebih dulu, setelah dia tahu bahwa suaminya atau Thian hong cap-si-long menitipkan putranya kedua-duanya, segera dia batalkan niatnya untuk membunuh Jim-Jip, karena dia sudah dapat satu akal yang jauh lebih baik daripada membunuhnya, tapi bukan saja dia tetap menginginkan kematiannya, malah dia akan memberantas sampai keakar akarnya."
Sampai di sini kembali Coh Liu-haing menghela napas, lalu meneruskan pula:
"Perempuan lain tentu tidak akan sabar menunggu sedemikian lamanya, tapi demi menjatuhkan seseorang, tidak sayang dia menghabiskan wektu puluhan tahun, setelah kedua putra-putranya itu sudah tumbuh dewasa, baru dia pergi mencari dan menemui mereka."
Tak urung Bu Hoa ikut menghela napas panjang pula, katanya: "Semua hal ini, cara bagaimana kau bisa memikirkan dan menduganya ?"
"Coba kau pikir jikalau bukan dia yang memberi kepada Lamkiong Ling, bahwa Jim Jip hakekatnya bukan orang yang berbudi luhur, malah tua bangka ini tak lain tak bukan adalah musuh bebuyutan pembunuh ayahnya. Kalau tidak masakah Lamkion Ling tega bertindak sekejam itu kepada Jim Jip gurunya yang mengasuh dan mendidiknya sejak kecil seperti anak kandungnya sendiri?"
"Waktu kau masuk perguruan Siau Lim pay, boleh dikata sudah tahu urusan, tapi waktu itu Lamkiong Ling masih merupakan bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa, seumpama sejak dilahirkan dia bawa bakat dan kecerdikan yang luar biasa, tapi karena diasuh dan dibesarkan oleh Jim Jip, sedikit banyak dalam jiwanya sudah kelunturan watak kesatria dan pribadinya yang luhur dan bajik, memangnya mungkin dia tak segan-segan melakukan perbuatan rendah yang dicela itu
" Untuk hal ini sejak mula aku sudah merasa heran dan tak habis mengerti bahwa si belakang persoalan justru terselip seluk beluk yang rumit ini."
"Jadi sekarang kau sudah paham keseluruhannya, ya " jengek Bu Hoa.
"Sekarang sudah tentu kupahami seluruhnya, lantaran dia menceritakan riwayat hidup kalian, barulah mereka sadar dan mengetahui bahwa kalian sebetulnya adalah saudara sepupu, oleh karena itu pula rasa dendam dan ingin membalas sakit hati kematian ayah kalian dalam sanubari masing-masing terhadap orang-orang yang menanam budi besar kepada kalian. Kalian melakukan perbuatan itu, bukan saja punya ambisi hendak merajai Bulim, tujuan yang utama adalah hendak menuntut balas."
Bu Hoa menarik napas, katanya: "Kau betul maha cerdik dan selalu pintar, cuma sayang kau terlampau dan kelewatan pandai." "Pujianmu ini entah sudah berapa kali perbah kudengar dari mulutmu."
"Tapi kali ini, mungkin adalah penghabisan dan yang terakhir kali."
Bercahaya biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Sekarang aku terkena obat biusmu, tenaga untuk melawanpun tiada lagi, memangnya kau sudi turun tangan terhadap seseorang yang sudah mati kutu dan tidak mampu melawan lagi?"
"Sebetulnya aku boleh tidak tega membunuhmu, tapi dari sepak terjangmu selama ini aku berhasil mempelajari dan menyadari sesuatu."
"Sesuatu apa?"
Patah demi patah kata Bu Hoa menjelaskan dengan tandas: "Yaitu jiwa seseorang apalagi dia seorang laki-laki, sekali-kali tidak boleh lemah hati, kalau sebaliknya dia bakal mampus ditangan orang lain! Dan lantaran kelemahan hatimu pula, maka hari ini kau bakal terbunuh oleh kedua tanganku ini."
Lama Coh Liu-hiang berdiam diri, lalu katanya rawan: "Bu Hoa, Bu Hoa, sungguh salah dan keliru benar pandanganku selama ini."
"Sreng" terdengar golok terlolos dari sarungnya, ternyata Bu Hoa sudah menenteng senjata siap memenggal kepalanya. Begitu tajam dan mengkilap golok di tangannya itu. Dengan nanar Bu Hoa pandang goloknya sebentar serta katanya: "Tentunya kau masih ingat akan jurus Ni-hun it-to-jan itu bukan?"
"Masakah aku bakal melupakan kejadian yang bersejarah itu?" Coh Liu-hiang balas mengolok dengan sinis.
"Kalau aku membunuh orang dengan jurus itu, pasti tidak akan membawa derita dan siksaan bagi si korban, malahan kau tidak akan merasa bahwa tajam golokku ini sudah memenggal kepalamu, aku boleh memberi garansi, dalam dunia ini pasti takkan ada cara kematian yang begitu menyenangkan dari pada tebasan golok ini..." dia menghela napas pula, katanya: "Inilah dharma baktiku yang terakhir yang bisa kulakukan demi sahabat baikku seperti kau ini, bolehlah kau anggap sebagai pembalasan budiku kepada kebaikanmu terhadapku selama ini."
Maka batang golok yang tajam dan berkilauan itu pelan-pelan terayun, mendadak bergerak bagaikan kilat menyambar turun membacok kepala Coh Liu-hiang.
Dalam lembah sunyi yang mengandung kesesatan itu sudah tiada ketinggalan seorangpun hidup, sampaipun laki-laki yang terima diperbudak seperti mayat hidup dan kerjanya cuma menyapu pasir selama hayatnya itu pun tiada satupun yang ketinggalan hidup, di Burung Kenari ternyata tidak memberi ampun juga kepada mereka.
Kini mayat-mayat yang malang melintang terkapar dimana-mana itu satu persatu sudah ditutupi dengan kain panjang, yang tak sedikit jumlahnya didalam gedung sarang Ciok-koan-im ini, tapi hawa dalam lembah masih diliputi bau amis yang memualkan.
Hanya Ciok-koan-im seorang saja yang berada didalam kamar tidurnya yang serba rahasia itu, suasana tetap hangat dan romantis di bawah sinar api yang remang-remang tampak betapa cantik jelita serta memabukkan dan merangsang birahi setiap laki-laki normal yang melihatnya.
Kini Ciok-koan-im sudah kembali di dalam kamar pribadinya, agaknya tetap begitu tenang rupawan dan tentram, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu atau dilihatnya perobahan di sekelilingnya tiada suatu peristiwa betapapun besarnya yang dapat membuatnya kaget dan berobah.
Di pojok tembok sana tergantung kain gordyn yang menjuntai turun, bila kain gordin ini ditarik ke samping maka terlihatlah sebingkai kaca atau cermin yang besar dan jernih kemilau, sedemikian besar dan mahalnya cermin bundar ini karena sekeliling bundarannya dihiasi batu-batu jambrud dan mutiara, dipelihara dan dijaga sedemikian berharganya laksana benda mestika yang tiada taranya.
Seandainya batu-batu jambrud dan mutiara itu berbanding dengan sebuah kota, kemegahan dan kebagusan dari pada cermin itu sendiri seolah-olah mengandung kekuatan iblis yang misterius.
Siapapun yang berhadapan di depan cemin ini tak tertahan lagi pasti akan tekuk lutut dan menyembah kepadanya. Seolah-olah kena daya sihir.
Kini Ciok-koan-im sedang berdiri dan bersolek di depan cermin besar ini, entah berapa lama sudah dia bergaya di depan cemin ini, dengan mendelong dan kesima dia mengawasi bayangan diri sendiri di dalam kaca. Rona wajahnya yang pucat lambat laun mulai bersemu merah laksana buah yang mulai masak, mungil sekali.
Lalu pelan-pelan satu persatu dia mulai menanggalkan pakaian yang melekat di atas badannya, maka sekujur badannya yang putih halus, montok berisi dengan telanjang bulat terpampang didalam cermin besar itu keseluruhannya.
Cahaya api kelap-kelip menyoroti badannya, kulit badannya selicin sutra mengkilap dan halus, kedua bukit montok nan kenyal laksana batu jade, dengan bangga tegak menonjol di dalam hangat nan kering ditengah padang pasir ini, kedua pahanya yang tinggi membundar rata lekuk-lekuk badannya nan semampai dan gemulai laksana hembusan angin musim semi di Kanglam.
Ciok-koan-im berdiri tegak lurus laksana tonggak, dengan mendelong mengawasi bayangan bentuk badan sendiri di dalam kaca, sorot matanya itu, begitu bergairah dan menunjukkan nafsu birahi yang menyala, berkobar lebih memuncak dari seorang laki-laki yang ketagihan sex, sampaipun letak-letak yang sangat tersembunyipun tidak terlepas dari pandangan dan jamahan jari-jarinya.
Entah berapa lamanya, akhirnya dia menarik napas dengan puas, katanya seorang diri:
"Seorang perempuan sebaya aku ini masih bisa mempertahankan kecantikan badannya sedemikian rupa, kecuali aku, mungkin tiada orang keduanya dalam dunia ini."
Ciok-koan-im didalam kacapun ikut tersenyum, agaknya seperti berkata: "Ya, takkan ada orang kedua dalam dunia ini."
Pelan-pelan Ciok-koan-im melangkah mundur lalu duduk di sebuah kursi besar dan nyaman yang berada tepat di depan kaca itu, agaknya memang badannya rada letih, namun sikapnya kelihatannya begitu riang gembira. Dengan puas dia menarik napas, katanya: "Aku amat penat!
Tahukah kau, hari ini berapa banyak urusan yang sudah kubereskan?"
Bayangan Ciok-koan-im di dalam cerminpun menjadi ikut girang, seperti berkata: "Urusan apapun yang kau kerjakan tentu beres dan tak perlu disangsikan lagi."
Ciok-koan-im tertawa, katanya pula: "Kui-je-ong itu ternyata tidak ceroboh dan bodoh seperti yang kukira semula, tapi aku tetap membunuhnya juga, sekaligus akupun bunuh putrinya yang menganggap dirinya teramat cantik, racun di dalam cangkir arak itu, sekarang tentunya sudah mulai bekerja."
"Soal Ki Ping-yan dan Oh Thi-hoa itu, sebetulnya aku tidak ingin selekas itu membunuh mereka siapa nyana, malah berebutan meneguk dulu arak di dalam cangkir yang kuberi racun itu."
Kembali ia menghela napas, katanya lebih lanjut: "Aku memang tahu orang macam Oh Thi-hoa, lebih baik membunuh diri daripada disiksa atau terbunuh orang lain. Tapi tak pernah terpikir olehku bahwa Ki Ping-yan bakal bertindak seperti itu pula, sungguh suatu hal yang harus dibuat sayang, ya toh?"
Bayangan di dalam cermin itu juga ikut menghela napas, seolah-olah ikut merasa sayang dan gegetun.
Setelah berdiam diri beberapa kejap, Ciok-koan-im tertawa riang pula, katanya: "Tapi bagaimana juga rencana terhitung Sudah terlaksana dengan baik, tua bangka yang suka mengagulkan diri itu membunuh An Tek-san, hal ini memang mencocoki seleraku, memangnya cepat atau lambat aku sendiripun melenyapkan mereka semua."
Bayangan dalam cermin kembali ikut tersenyum, seolah-olah diapun berkata: "Tidak salah, perduli siapa saja yang mampus, tidak akan menjadi ganjalan hatimu, hakikatnya tiada satu orangpun dalam dunia ini yang benar-benar menarik perhatianmu, termasuk putri-putri dan suami sendiri."
Ciok-koan-im cekikikan geli, ujarnya: "Mereka membunuh semua orang yang menghuni lembahku ini, disangkanya aku bakal bersedih dan marah, di luar tahu mereka bahwa aku memang sedang memikirkan untuk mengganti suasana yang lain, pergi ke negeri Kui je untuk menikmati jadi seorang permaisuri yang disanjung puji, kalau orang-orang ini tidak mampus, mungkin kelak bakal menjadi beban diriku, sekarang mereka sudah ajal seluruhnya, untuk ini aku terus berterima kasih kepada mereka."
Bayangan dalam cermin juga sedang tertawa besar, seperti berkata: "Seharusnya memang mereka sudah tahu, terhadap siapa dan mengenai persoalan apa, kau tidak akan pernah sayang dan berkesan dalam sanubarimu."
"Cuma kau, isi hatiku, hanya kau yang tahu, hanya kau yang memarahiku, dikala aku berduka, hanya kau yang menemani aku ikut sedih, bila aku riang gembira, hanya kau pula yang mengiringi kegembiraanku juga."
Senyuman muka berubah sedemikian mekar, manis dan hangat, sepasang jari-jari tangannya yang runcing-runcing dan indah, lambat-lambat mulai bergerak, mencomot, mencubit, meremas dan menggosok setiap jengkal kulit-kulit dagingnya, sorot matanya yang semula dingin beku, kini mulai berubah menjadi panas membara dan begitu bergairah, Laksana mengigau dalam mimpi mulutnya mendesis: "Dalam dunia ini hanya kau satu-satunya yang dapat menghibur dan membuatku senang, gembira dan puas, semua laki-laki itu ....... seluruh laki-laki itu sudah memualkan seleraku."
Bayangan dalam cermin itu juga mulai menggeliat dan meraba-raba badan sendiri dengan nafsu.
Ciok-koan-im mengawasi tangan si "dia" bergerak pelan-pelan mengelus di atas kedua puncak dadanya, pelan-pelan turun ke perut, ke paha lalu mendatangi hutan roban dan menyusup ke lembah basah, bergerak pelan-pelan, terlihat olehnya jari-jari tangan itu bergerak semakin cepat merangsang, napasnya menjadi tersengal-sengal.
Kini kedua sorot matanya sudah membara laksana terbakar, kerongkongannya mengeluarkan rintihan kenikmatan yang tiada taranya, seperti ketagihan, badannya yang montok semampai itupun mulai gemetar, menggeliat dan bergelinjang, meliuk-liuk. Terdengar mulutnya merintih penuh kenikmatan, "Kau sungguh baik, baik sekali ...... tiada laki-laki di dunia ini yang sebanding kau, selamanya tak ada orang yang menandingi kau ...."
Pada saat itulah di luar teras diambang pintu, terdengar helaan napas orang yang amat lirih.
Helaan napas lirih, namun didalam keheningan kedengarannya laksana bunyi cemeti, yang meledak ditengah udara, seolah-olah melecut di atas badan Ciok-koan-im, yang telanjang bulat itu, rona muka Ciok-koan-im yang merah membara itu seketika seperti membeku kering, rintihan bergetar nadipun seketika sirap, sepasang paha yang tertekuk dan bertimpah itupun pelan-pelan mulai mengendur dan terpentang lebar.
Akan tetapi badannya masih duduk setengah rebah di atas kursi menghadap ke arah cermin, nafsu birahinya yang sudah berkobar dan memuncak seketika berobah menjadi amarah yang tak terkendali lagi laksana kobaran api yang tak bisa dipadamkan lagi. Kedua jari-jari tangannya terkepal kencang dan terangkat tinggi, setelah amarah yang memuncak ini mulai mereda dan kembali tenang baru dia menghela napas dan katanya: "Orang yang berada di luar apakah Coh Liu-hiang?"
Orang yang berada di luar kerai menghela napas pula, sahutnya: "Ya, memang Cayhe adanya!"
Ciok-koan-im tertawa tawar, ujarnya: "Kalau kau sudah datang, kenapa tidak masuk kemari?"
Ternyata Coh Liu-hiang menurut, pelan-pelan dia muncul di pintu dan terus beranjak ke dalam.
Dengan kesima tajam dia pandang bayangan Ciok-koan-im di dalam cermin, berselang lama juga, baru Coh Liu-hiang membuka kesunyian dengan menghela napas: "Aku tahu selama hidupmu kau sedang menganggap dan mencari, ingin menemukan seseorang yang benar-benar dapat kamu cintai, dapat memuaskan seleramu, sebetulnya aku ikut mengharapkan semoga kau lekas mendapatkan, tapi baru sekarang aku sadar, bahwa selamanya kau tidak akan pernah mendapatkan lagi."
"O" Kenapa begitu?" tanya Ciok-koan-im.
"Karena kau jatuh cinta pada dirimu sendiri, hanya dirimu sendiri yang kau cintai, maka terhadap siapapun tidak pernah kau menaruh perhatian, sampaipun suami dan anak-anakmu."
Ciok-koan-im mendadak berjingkrak bangun dari kursinya serta berteriak marah: "Kau...
kenapa kau mencuri lihat rahasia pribadiku?"
Walau sedang marah dan mencak-mencak namun tindak tanduknya tetap gemulai dan indah, perempuan yang selamanya halus lembut kini ternyata berubah menjadi perempuan jalang yang galak dan buas, tak ubahnya seperti seekor binatang liar. Sepasang matanya yang indah itu, menyorotkan sinar kebencian yang meluap-luap. Coh Liu-hiang ditatapnya sedemikian rupa, seolah-olah hendak ditelannya bulat-bulat. Tanpa sadar Coh Liu-hiang bersitegang leher dibuatnya, dengan waspada dan siaga selangkah demi selangkah dia menyurut mundur.
Tak kira tiba-tiba Ciok-koan-im menghentikan langkahnya, kembali senyuman manis mulai menghias wajahnya nan cantik melebihi bidadari dengan pandangan sayu dia awasi Coh Liu-hiang. Katanya lembut: "Kau harus memaafkan kepanikanku barusan, bukan sengaja aku hendak berlaku sekasar tadi, tentunya kau cukup tahu, jikalau rahasia pribadiku sampai diketahui orang lain, bukan mustahil dari rasa malu menjadi marah dan penasaran, benar tidak?"
Lama juga Coh Liu-hiang menjublek, sahutnya tertawa getir: "Aku sendiri bukan sengaja hendak mencuri dengar dan mengintip rahasiamu, semoga kaupun suka memaafkan kesalahanku ini."
Ciok-koan-im tersenyum ujarnya; "Kau berani berkata demikian, aku sungguh amat girang, soalnya..." Kembali dia menyurut mundur dan duduk ke kursi kebesarannya, katanya lebih lanjut:
"Tak perlu dipersoalkan, apakah aku yang akan membunuh kau, atau kau yang ingin membunuhku, adalah pantas kalau diantara kami masing-masing meninggalkan kesan yang mendalam. Seumpama disaat ajalmu tiba tidak kuharapkan kau anggap aku ini sebagai perempuan galak yang buruk dan jelek, oleh karena itu, andaikata kau hendak membunuh aku, paling tidak sukalah kau duduk-duduk dulu mengobrol dengan aku!" mendadak dia berubah menjadi tuan rumah, perempuan yang genit centil dan serba halus dan pakai tata krama lagi.
Menghadapi permintaan tuan rumah yang sedemikian cantik dan lemah lembut ini, siapapun takkan sampai hati menolaknya.
Terpaksa Coh Liu-hiang menempati sebuah Kursi dan duduk dengan kaki terpentang, katanya:
"Adakah kau mempunyai pertanyaan apa-apa yang hendak aku ajukan kepadaku?"
"Benar, sudah tentu aku punya omongan yang perlu kutanyakan kepada kau, tapi sebagai Maling romantis, sebagai laki-laki sejati yang patuh adat dan sopan terhadap kaum hawa, maka kau beri kesempatan lebih dulu, kepadaku untuk mengajukan pertanyaan." Dia berhenti untuk menghiasi senyuman pula pada wajahnya, lalu menyambung: "Kalau begitu baiklah aku mulai bertanya, adakah kau sudah bertemu dengan Bu Hoa?"
"Sudah bertemu," sahut Coh Liu-hiang, sikapnya terlalu baik kepadaku, begitu besar keyakinannya dan berkukuh untuk membalas busi, kebaikanku dulu."
Agaknya Ciok-koan-im melengak heran dan tak mengerti, teriaknya kaget: "Apa, membalas budimu" Cara bagaimana kita hendak membalas budi kebaikanmu?"
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya kalem: "Dia hendak menggunakan jurus Hi bun-it to-jan, sekali bacok memenggal batok kepalaku."
Ciok-koan-im tertawa cekikikan, katanya: "Cara membalas budi kebaikan seperti itu sungguh baik dan teristimewa sekali, lucu dan menarik pula."
"Ya, memang lucu dan menarik Cuma harus disayangkan karena batok kepalaku ini hanya satu, tidak lebih, terpaksa dengan lemah lembut aku tampik maksud baiknya."
Ciok-koan-im menghela napas, katanya: "Kalau begitu, bukankah membuatnya amat kecewa?"
"Hujin sendiri, memang kau tidak ikut kecewa?" Kerlingan mata Ciok-koan-im berputar-putar diatas badan Coh Liu-hiang, katanya tertawa: "Aku sih tidak begitu kecewa, tapi rada merasa heran saja."
"Heran" Apa yang kau buat heran?"
Ciok-koan-im menuding sebuah botol yang terletak diatas meja kecil tinggi yang berada di pinggir cermin berwarna hijau pupus, katanya kalem: "Sudahkah kau melihat botol itu kusimpan obat bius yang tak berwarna, tak berbau, obat bius ini mempunyai namanya sendiri yang enak didengar Gan-ji-bi atau kerlingan mata genit, karena untuk membius pingsan seseorang, semudah gadis-gadis jelita yang mengerling matanya, lebih nikmat lagi karena bisa bikin orang merasa dirinya seperti terbang ke awang-awang, sedikit tenagapun takkan kuasa kau kerahkan.
Coh Liu-hiang bertanya: "apakah Bu Hoa menggunakan obat bius semacam ini untuk menghadapi Cayhe?"
"Benar obat bius ini biasanya selalu menunjukkan khasiatnya yang luar biasa, namun kenapa tidak berguna untuk menghadapi kau?"
Coh Liu-hiang mengorek-ngorek lobang hidungnya, katanya dengan tersenyum: "Selama hidup, entah berapa kali Cayhe pernah ditipu mentah-mentah, tapi selama itu juga tidak pernah aku kepecundang oleh segala macam obat bius yang lihaypun".
Agaknya Ciok-koan-im heran dan tertarik, katanya: "Kenapa begitu?"
"Apakah Hujin pernah memperhatikan Cayhe sering menggosok-gosok hidung!"
"Bila kau menggosok-gosok hidung tampangmu kelihatan menarik sekali, aku percaya banyak gadis-gadis remaja yang kepincut dan jatuh hati melihat gerak-gerikmu ini, tapi apa pula hubungannya menggosok hidung ini, dengan obat bius itu?"
"Karena kalau aku sering dan harus menggosok-gosok hidung bukan lantaran ingin pamer, dan hendak memelet gadis, adalah karena hidungku ini sejak lama terserang penyakit, penyakit yang luar biasa dan tak mungkin diobati, sampai tabib sakti yang kenamaan di Kanglam Kim-ciam toh-wi Yap Thian cu, juga berkata bahwa penyakit hidungku ini sudah tak bisa disembuhkan dengan macam obat apapun,"
Sampai disini Coh Liu-hiang menghela napas, lalu katanya lebih lanjut: "Seseorang bilamana pernapasannya terganggu, setiap hari pasti akan merasa pening dan mata berkunang-kunang, boleh dikata jauh lebih menderita dari terjangkit penyakit kronis apapun, oleh karena itu Cayhe lantas bersumpah untuk meyakinkan semacam Lwekang yang istimewa, ajaran Lwekang yang lain dari pada yang lain, Lwekang semacam ini tiada manfaat lain yang khusus, tapi bagi orang yang mempelajarinya sampai matang, pori-pori kulit di badannya bisa dipakai untuk bernapas. Lama kelamaan menjadi kebiasaan, maka hidungku ini menjadi benda yang tak berguna yang tercantel di mukaku sebagai hiasan belaka, tapi karena kupandang orang tanpa hidung tentu jelek mukanya, maka hidung ini tidak kucopot."
Baru sekarang Ciok-koan-im benar-benar takjub, sekian lama dia duduk terlongong, akhirnya tertawa getir: "Kalau hidungmu itu hiasan tidak berguna diatas mukamu, sudah tentu tiada sesuatu obat bius yang betapappun lihay dan kerasnya dapat membikin kau roboh pingsan, kulit dan pori-pori badanmu bisa kau gunakan untuk bernapas, hakikatnya tidak perlu ganti napas segala, sudah tentu Ginkangmu jauh lebih hebat dari orang lain, tak heran sering orang bilang hati dan perasaan seorang picak jauh lebih peka dari orang lain, agaknya ada kalanya sesuatu hal dalam dunia ini, memang betul-betul lantaran kecelakaan lantas ketiban rejeki nomplok."
"Sekarang aku sudah memberi tahu rahasia diriku yang orang lain tidak mungkin tahu kepada Hujin, Hujin masih ada pertanyaan apa lagi?"
"Lalu bagaimana dengan Bu Hoa" Apa kau gunakan juga cara yang dia praktekkan atas dirimu untuk membalas kebaikannya?" tanpa menunggu jawaban Coh Liu-hiang, kembali dia tertawa dan menambahkan pula: "Sudah tentu tidak akan bertindak demikian, kaum persilatan dalam Kangouw sama tahu sepasang tangan si Maling Romantis, selamanya tidak pernah berlepotan darah, benar tidak?"
Sikap Coh Liu-hiang mendadak berubah serius katanya: "Ya, memang begitulah. Jiwa manusia atas karunia Thian Yang Maha Esa, siapapun tiada hak untuk merenggut jiwa orang lain, sudah tentu Bu Hoa tidak akan mati di tanganku, dia sekarang berada di suatu tempat yang tak jauh dari sini, apa Hujin ingin menjenguknya?"
Ciok-koan-im menatap hidung Coh Liu-hiang katanya: "Jikalau aku ingin melihatnya tentunya ada syaratnya bukan?"
"Sebetulnya sih tiada syarat istimewa apa-apa, cuma Cayhe ingin bertemu dengan beberapa orang saja."
"Apakah Oh Thi-hoa, Ki Ping-yan, dan Kui je-ong ayah beranak?"
"Benar, masih ada lagi Liu Yan hwi, Ki Bu yong dan setitik merah."
"Nasib setitik merah dan Ki Bu-yong memang sedang mujur, waktu aku tiba disana mereka sudah berlalu, malah meninggalkan sepucuk surat untuk kau. Walau aku tidak pantas membuka surat orang lain, tapi apa boleh buat tak terkendali aku untuk tidak membacanya."
Coh Liu-hiang menahan sabar, katanya: "Setelah kau baca tentunya lantas kau sobek?"
"Tapi apa yang tertulis dalam surat itu, masih segar kuingat dalam benakku!" dia tertawa menggiurkan, surat itu terang adalah tulisan Ki Bu-yong, katanya: "Walaupun mereka sudah cacat, namun mereka tidak ingin minta perlindungan kalian, kelak masih banyak waktu, mereka malah mengharap bisa melindungi dirimu."
Coh Liu-hiang tahu tentulah ucapan Ki Ping-yan yang sedang muring-muring itu amat mengetuk sanubari mereka, tak tertahan dia menghela napas, namun tak tahan untuk tidak tersenyum, katanya: Kedua orang ini memang dibekali watak yang keras dan sama-sama kukuh, sama-sama angkuh dan sombong pula.
Bahwa mereka dapat rukun bersama, memang merupakan pasangan setimpal, harus dipuji dan dibuat girang, tentunya Hujin ikut bergirang bagi keberuntungan dan nasib mujut nona Ki itu."
"Soal Liu Yan-hwie bersaudara yang kau katakan, hakikatnya aku tidak pernah melihat mereka, tentunya diapun sudah pergi."
Coh Liu-hiang menghela napas lega, tanyanya: "Lalu bagaimana dengan Oh Thi-hoa dan lain-lain ?"
"Mereka sih masih berada di suatu tempat tak jauh dari sini, cuma sekarang mungkin sudah rada terlambat bila kau susul mereka kesana."
Tersirap darah Coh Liu-hiang, teriaknya tersekat: "Mereka... apakah mereka... !"
tenggorokannya seperti mendadak kejang sampai tidak dapat bersuara lagi.
"Biasanya aku tidak suka menggunakan obat racun karena aku masih punya banyak cara untuk membunuh orang, jauh lebih mudah dan cepat dari menggunakan racun, maka bicara soal menggunakan racun, terus terang aku bukan tandingan Chiu Ling Siok " jikalau kau datang setindak lebih cepat, mungkin masih bisa menolong mereka, tapi sekarang... sekarang siapapun takkan dapat menolongnya."
Sepertinya bercerita atau mendongeng saja mulutnya menerocos tanpa perdulikan perasaan Coh Liu Hiang, jantung orang, terasa ditusuk sembilu, benaknya seperti digerogoti lalu dibanting berkeping keping, serasa pecah Coh Liu hiang, darah panas seketika memuncak ke atas kepalanya.
Tapi dia cukup tahu, di hadapan seorang musuh tangguh seperti Ciok Koan-im, sekali kali tidak boleh terburu nafsu dan emosi, sekali naik pitam, kematian bakal lebih cepat terpaksa sedapat mungkin dia tekan dan menahan gejolak hatinya. Sungguh bukan soal mudah dapat mengendalikan perasaan hati, jarinya terkepal kencang, kuku jarinya malah sudah menusuk amblas ke dalam daging kulitnya, seluruh gigi dalam mulutnya serasa hampir remuk gemeretak.
Satu hal harus diakui, bahwa hal ini merupakan kekalahan Coh Liu-hiang yang paling besar dan paling mengenaskan selama hidupnya, merupakan pukulan yang teramat berat untuk diterima!. Seumpama sekarang dirinya berhasil membunuh Ciok Koan-im, takkan mungkin dua hindarkan lagi selama hidup ini bakal menyesal dan gegetun sepanjang masa. Apalagi sekarang, hakikatnya dia tidak punya pegangan dan tidak yakin dengan bekal kepandaian dan perbendaharaan silatnya belum tentu dia bisa mengalahkan Ciok-Koan-im atau merobohkannya.
Sinar lilin masih tetap redup dan hangat. Dibawah penerangan sinar api seperti ini, meski dia seorang perempuan biasa, apa lagi dalam keadaan polos tanpa selarik benang menutupi badannya yang montok menggiurkan dengan gaya dan sikap merangsang lagi, kelelaki-lakian siapa yang tidak akan bangkit dan menggelora mengkili kili hati, apalagi keayuan dan kecantikan Ciok-koan-im melebihi bidadari dan diakui sebagai perempuan tercantik di seluruh jagat, ratu duniapun takkan bisa menandinginya, dengan berani dan meliuk-liuk badan dia bergaya di hadapan Coh Liu-hiang seperti ratu kecantikan sedang memperagakan keindahan badannya juri yang bakal menilai dirinya, kuatir sang juri tidak bisa memberi penilaian tinggi, maka dia terus bergerak berganti gaya dengan gerakan gemulai.
Tapi sorot mata Coh Liu-hiang mendelong lempang ke depan, seolah-olah apapun tidak terlihat olehnya.
Mungkin keletihan atau putus asa dan kecewa, akhirnya Coik-koan-im menghela napas, katanya: "Aku tahu kau tentu ingin menuntut balas bagi kematian mereka, teman-teman baikmu, tapi kuperingatkan kepada kau lebih baik batalkan saja niatmu itu, karena meski ilmu silatmu amat tinggi, tetap dalam seratus jurus aku mampu mengalahkan kau, merenggut jiwamu kau percaya tidak ?" "aku percaya!" sahut Coh Liu-hiang mengangguk.
"Tapi aku sekarang belum ingin membunuhmu, asal kau tidak memaksa aku, selamanya mungkin aku tidak akan tega membunuhmu, sekarang, boleh dikata aku sudah kehilangan apa-apa, termasuk tiada seorangpun yang berada di dekatku, asal kau suka, bukan saja sembarang waktu aku bisa menjunjungmu menjabat kedudukan kerajaan di negeri Kui-je, malah boleh juga kubiarkan kau... " jari-jari tangannya kembali bergerak pelan-pelan mengelus kedua bukit montok di depan dadanya, dengan gerakan tanpa suara mewakilkan pernyataan sanubarinya, memang suatu pernyataan yang jauh lebih termakan oleh lawannya dari pada bujuk rayu dan ajakan-ajakan manis dengan mulut.
Paras cantik, gengsi dan pamor serta kedudukan tinggi, kekuasaan tak terbatas serta kekayaan harta benda... perduli satu diantaranya cukup merupakan daya tarik yang tak terlawan oleh laki-laki siapapun, apalagi ke empatnya ditumplek jadi satu.
"Jikalau kau mau terima saranku, hidupmu bakal senang dan foya-foya sepanjang umur, kalau kau menolak, kematianlah yang mengakhiri kehidupanmu. memangnya sukar kau memilih satu diantaranya, atau kau sendiri belum bisa berketetapan hati?"
Tiba tiba Coh Liu-hiang tersenyum lebarnya: "Sebetulnya memang aku ingin menerima anjuranmu, cuma sayang sekali kau benar-benar terlalu tua bagi aku, andai kata kau memang pandai dan sudah berpengalaman menjual lagak, dan bergaya cabul di depanku, tapi bila kau teringat bahwa putra putramu sudah sebaya dan mungkin malah lebih tua dari aku, seleraku seketika menjadi dingin dan mual rasanya."
Bagi seorang perempuan yang mampu mempertahankan kecantikannya atau perempuan yang mati-matian ingin merenggut kembali masa remajanya, umpama kata menggunakan caci maki yang paling kotor dan rangkaian kata kata yang paling rendah di seluruh dunia ini takkan terasa menusuk dan melukai sanubari orang yang bersangkutan seperti apa yang terucapkan oleh Coh Liu-hiang. Kata kata ini laksana martil besar yang telak sekali menghujam diborok kaki Cioh-koan-im yang paling pital.
Memang dia giat berusaha untuk mempertahankan kecantikan dan kemudaannya, senyuman manis yang menggiurkan seketika tersapu bersih tak berbekas lagi, seluruh badan bergetar dan keringat gemrobyos membasahi badan, suaranya mulai serak, dan menakutkan:
"Kau memaksa kau untuk membunuhmu ?"
"Benar, aku lebih rela mati, betapapun aku tidak sudi tidur seranjang dengan nenek tua seperti musang berbulu merak yang suka mempersolek diri, masih mending kalau kau memakai pakaian, lebih enak dipandang mata, dengan telanjang sebulat ini sungguh membuat aku mual dan ingin muntah muntah rasanya."
Kuatir tidak bisa memancing kemarahan Ciok-koan-im, maka kata demi katanya semakin kotor dan rendah, karena dia sadar hanya membakar kemarahan Ciok-koan-im serta membikinnya mencak-mencak gila baru kemungkinan dia bisa mencari kesempatan untuk mengalahkannya.
Ternyata tujuan dan usahanya tak sia-sia. Saking marah selebar muka sampai dada Ciok-koan-im merah padam meski dia sadar bahwa kata-kata Coh Liu-hiang memang sengaja hendak memancing kemarahannya tapi tak kuasa dia mengendalikan perasaan hatinya yang sudah memuncak ini.
Waktu Coh Kiu-hiang mengucapkan kata katanya yang terakhir, dia masih duduk gemetar dikursi kebesarannya, tapi begitu suaranya lenyap, tahu-tahu badannya sudah berjingkrak dari atas kursi terus menubruk maju secepat kilat, beruntun dia sudah menyerang tujuh jurus, Setiap manusia hanya dibekali tangan oleh yang Maha Esa, tapi didalam sekejap mata ini, Ciok Koan-im justru seperti kelebihan tumbuh lima tangan lain, ke tujuh jurus serangan ini ternyata dilancarkan dalam waktu yang bersamaan. Dalam sekejap ini. Tenggorokan, kedua biji mata, dada lambung dan kemaluannya seolah-olah sudah terkurung didalam getaran angin pukulannya yang dahsyat.
Selama hidup dan mengembara di Kang ouw entah berapa kali Coh Liu-hiang sudah pernah menghadapi tokoh-tokoh silat tingkat tinggi dari Bu-lim yang mampu bergerak begitu cepat dalam menyerang, ada orang yang mampu meraih cangkir yang mendadak jatuh dari atas meja sebelum cangkir itu menyentuh tanah akan pecah dan berantakan, air teh yang berada didalam cangkir setetespun tiada yang tumpah. Ada pula orang yang mampu menjepit seekor lalat yang sedang terbang hanya dengan sepasang sumpitnya, dengan duri ikan seorangpun bisa memantek ekor kecapung di atas dinding.
Tapi gerakan hebat dan cepat dari orang-orang itu bila dibandingkan dengan rangsangan kilat Ciok-koan-im sekarang boleh dikata jauh ketinggalan dan terlalu lambat seperti nenek tua yang sedang menyulam, sungguh tak habis terpikir dalam benak Coh Liu-hiang, seseorang manusia didalam waktu sesingkat ini, dapat menyerang tujuh jurus dalam waktu yang hampir bersamaan, sungguh tak terpikir pula olehnya tokoh dimana dalam kolong langit ini yang mampu melawan atau menghindarkan diri dari ke tujuh jurus serangan telak dan hebat ini. Hakikatnya tiada satupun dari ke tujuh jurus serangan ini yang kosong atau merupakan gerakan belaka.
Berputar biji mata Coh Liu-hiang, untung untungan dia nekad tidak berkelit berusaha untk menghindar diri, mendadak dia membentak keras "Berhenti!"
Jurus serangan yang begitu ganas, culas, cepat dan dahsyat. begitu dilontarkan, bahwa sanya tidak mungkin bisa dihentikan ditengah jalan apa lagi ditarik balik menjadi urung, tapi Coh Liu-hiang sudah memperhitungkan dengan tepat Ciok-koan-im pasti dapat kendalikan gerak gerik sendiri dan membatalkan serangannya, malah dapat menarik diri membatalkan serangan. Benar juga dalam jangka waktu seper-seratus detik sebelum serangannya mengenai serangannya Ciok-koan-im masih kuasa menarik diri dan menghentikan serangannya.
Tujuh jurus serangan kilat dan dahsyat laksana hujan badai ini, ternyata dalam waktu sesingkat itu secara aneh dan menakjubkan sirna begitu saja, sikap Ciok-koan-im seolah-olah tidak pernah turun tangan berdiri dengan sebelah tangan terjulur ke depan dengan jari-jari terkembang dengan nanar dia pandang Coh Liu-hiang, katanya: "Kau masih ada omongan apa "
Memangnya kau sudah berubah haluan ?"
Baju bagian pungung Coh Liu-hiang sudah basah kuyup dan lengket dengan kulit dagingnya pertarungan kali ini sungguh terlalu besar dan tak nyana, jikalau Ciok-koan-im tidak perduli dan tak mau mendengar kata-katanya lagi, itu berarti dia harus menyerahkan jiwanya secara konyol.
Sekarang walau secara beruntung dia menang dalam gebrakan selintas ini, namun jantungnya serasa sudah hampir melonjak keluar dari rongga dadanya. namun demikian, seperti juga dengan seorang penjudi kaliber besar yang sudah pembawaan dan berbakat umpama kata hatinya amat tenang, namun lahirnya tetap tenang dan wajar. Malah dia balas mengawasi Ciok-koan-im dengan tertawa tawa tawar: "Umpama kau ingin turun tangan, juga harus mengenakan pakaian lebih dulu!
Tahukah kau, tampang dan keadaanmu seperti ini, tak ubah seperti kepiting yang matang direbus, seluruh badanmu merah menganga."
Andaikata Ciok-koan-im benar-benar menuruti katanya mau mengenakan pakaiannyapun sudah terlambat lagi. Hakikatnya sebelum ucapan Coh Liu-hiang sendiri berakhir, serangan kilat indah dilancarkan.
Seluruh kaum persilatan di Kang ouw sama tahu betapa cepat dan mengejutkan cara Coh Liu-hiang menyerang musuhnya, kalau tidak takjub tentu ciut nyali orang yang pernah mendengar ketenarannya. Sampaipun setitik merah Tionggoan waktu bergebrak sama dia, setiap orang menyerang tujuh jurus Coh Liu-hiang sebaliknya bisa balas menyerang sepuluh jurus.
Tapi sekarang meski dia berhasil menempatkan diri dalam inisiatif menyerang lebih dulu, namun baru tiga jurus saja, Ciok-koan-im baru mulai turun tangan pula, dikala dia menyerang sepuluh jurus.
Terdengar Ciok-koan-im mengejek dingin: "Tak heran orang sering bilang kau ini licik dan banyak akalnya, dari perbuatanmu hari ini memang terbukti omongan orang lain memang tidak salah dan sesuai dengan karaktermu, tapi jangan kau tekebur, aku bisa menipu aku sekali, jangan harap kau bisa mengelabui aku untuk kedua kalinya."
Pada akhir kata-kata Ciok-koan-im, seluruh tempat-tempat mematikan di sekujur badan Coh Liu-hiang sudah terkendalikan didalam genggaman tangan lawan, setelah dia menyerang pula sepuluh jurus. Coh-Liu-hiang hanya mampu membalas tujuh jurus. Lambat laun serangan lawan semakin gencar, justru serangan balasan Coh Liu-hiang semakin berkurang. Baru sekarang dia benar-benar insaf dan mau percaya, bahwa ilmu silat Ciok-koan-im memang tiada bandingannya oleh siapapun dikolong langit ini.
Segala aliran, perguruan atua ilmu silat dari tokoh besar dan maha guru di seluruh jagat ini sedikit atau banyak Coh Liu-hiang pasti mengenal dan tahu seluk beluknya, tapi kepandaian silat yang dimainkan Ciok-koan-im sekarang ini, hakekatnya dari perbendaharaannya yang begitu luas, rasanya belum pernah ada atau belum pernah dilihatnya di seluruh maya pada ini.
Siapapun yang melancarkan tipu-tipu serangan dengan jurus apapun dalam dunia ini, Coh Liu-hiang pasti dapat menyelami seluk beluk dan asal usul kepandaian silat orang itu, sudah tentu gerak variasi dan perubahannya pun cukup dipahaminya pula, tapi melihat penyerangan Ciok-koan-im, sedikitpun dia tidak berhasil menyelaminya.
* bersambung jilid 28*
Jilid 28 Tokoh-tokoh silat maha lihai dan tinggi pada jaman ini menurut apa yang diketahui Coh Liu-hiang kira-kira ada empat, lima orang. Ada orang bilang Ciangbun-jin Siao lim pay sekte selatan: Thian-hong Taysu, adalah maha guru silat nomor satu di seluruh Bulim, namun ada pula yang bilang bahwa Lui-ting Sianjiu dari Kun-lun Congcu membekal kepandaian silat yang tiada taranya di seluruh dunia, ada juga orang yang mengatakan bahwa pendekar kelana Hiat-in jin yang serba misterius itu memiliki kepandaian ilmu pedang yang jauh lebih kuat dari tokoh pedang yang manapun, sudah tentu ada pula yang mengatakan bahwa Hiat ih-jin dapat malang melintang di dunia persilatan lantaran dia sendiri belum pernah bentrok atau kepergok oleh Coh Liu-hiang.
Tapi Coh Liu-hiang percaya dan yakin para tokoh-tokoh silat yang diagulkan mempunyai kepandaian serba nomor satu di dunia ini. Jikalau bergebrak melawan Ciok koan-im tanggung tiada satupun yang kuasa bertahan sebanyak tiga ratus jurus.
Coh Liu-hiang juga tahu lima puluh jurus lagi, dirinya pasti bakal ajal.
Tatkala itu permainan Ciok-koan-im sudah mulai lambat, gerak geriknya seperti orang sedang menari dengan lembut dan mempesonakan. Kalau orang lain yang bergerak selambat dia ini, Coh Liu-hiang pasti dapat mengetahui sasaran mana pada badannya yang diincar oleh Ciok-koan-im, maka dengan gampang dan sepele dia bisa berkelit menghindarkan diri. Akan tetapi walau serangan Ciok-koan-im dilancarkan dengan amat lambat, namun tak bisa diselami dan dijajagi kemana arah serangannya yang sebenarnya, ternyata semakin lambat gerak serangannya namun sasaran dan tipunya semakin ganas dan telengas, semakin lambat semakin menakutkan.
Karena pada setiap jurus serangannya, selalu dilandasi sembilan dari sepuluh bagian kekuatannya, malah ditengah jalan sembarang waktu dapat diubah dan diganti dengan variasi apa saja, sebaliknya sisa satu bagian kekuatannya itupun cukup berlebihan untuk menamatkan jiwa seseorang yang diincarnya.
Begitu Ciok-koan-im melancarkan satu serangan, boleh dikata Coh Liu-hiang sudah tidak akan mampu berkelit lagi, karena begitu dia melawan atau berkelit, tenaga yang dia kerahkanpun sudah ludes, begitu Ciok-Koan-im merubah tipu serangannya jelas dia takkan bisa mengegos diri lagi.
Cara pertempuran yang berat sebelah seperti ini, sudah tentu amat fatal bagi Coh Liu-hiang, seumpama orang bisu yang makan obat pahit, meski kepahitan mulut tidak bisa mengeluh, mimpipun Coh Liu-hiang tidak pernah membayangkan hari ini dirinya bakal begitu runyam.
"Coh Liu-hiang," Ciok koan-im tertawa dingin, "Apa kau masih mampu melawan?"
"Tidak bisa lagi." sahut Coh Liu-hiang sejujurnya.
"Coba kau pikir, siapa pula orangnya yang mampu menolongmu sekarang?" tanya Ciok koan-im.
"Tiada seorangpun," sahut Coh Liu-hiang.
Sekarang kapan saja Ciok koan-im bisa merenggut jiwa Coh Liu-hiang dengan mudahnya, umpama kata tujuh tokoh Ciang bunjin dari tujuh aliran pedang terbesar pada jaman ini diundang kemari, merekapun takkan mampu menolong dirinya.
Andai kata dalam waktu sesingkat mungkin ada orang mampu mengumpulkan tokoh-tokoh silat dari seluruh jagat ini didalam lembah ini dan memecah hancurkan badan Ciok koan-im, tapi Ciok koan-im tetap bisa membunuh Coh Liu-hiang lebih dulu, jiwa Coh Liu-hiang tidak akan tertolong.
Sudah tentu tokoh semacam Coh Liu-hiang mempunyai banyak musuh didalam segala tingkat dan berbagai aliran, meski banyak diantara sekian banyak musuh musuhnya amat membenci Coh Liu-hiang sampai ke tulang sumsumnya, namun mereka tak berani berbuat apa-apa, paling hanya mencaci maki di belakang orang: "Kelak Coh Liu-hiang pasti mampus di tangan perempuan, jenasahnya kelak bakal ditemukan melintang di atas pinggang perempuan yang telanjang bulat".
Jikalau orang yang mencaci dan mengutuknya itu berada di sini, tentu mereka tertawa terpingkal-pingkal sampai mulutnya itu menganga tak terkatup lagi.
Tampak badan Ciok koan-im yang begitu montok dan padat berisi bertelanjang, didalam kejap ini bertambah cantik, molek dan menggiurkan, bayangan yang berada didalam kaca memancarkan cahaya. Kembali wajahnya menampilkan senyuman mekar yang mempesonakan, katanya: "Apa kau sudah tahu" Setiap membunuh musuh yang tangguh dan lihai, aku lantas merasa jiwaku jauh lebih muda, cuma membunuh kau, hatiku rada merasa sayang". habis ucapan ini diapun melontarkan pukulan telapak tangannya yang terakhir.
Dia sudah melihat keadaan, Coh Liu-hiang yang payah dan takkan mungkin melawan lagi. Tak nyana badan Coh Liu-hiang tiba-tiba mengkeret, berbareng tangannya berbalik balas menyerang.
Tapi pikulannya bukan menyerang kepada Ciok koan-im, namun yang diarahnya adalah cermin besar itu. Jikalau pukulannya ini dia tujukan kepada Ciok koan-im, terang takkan mungkin mengenai sasarannya, tapi cermin ini sebaliknya diam tegak di tempatnya. Maka terdengarlah
"Krempyang!" cermin itu semuanya telah hancur berantakan terkena pukulannya. Dengan sendirinya bayangan Ciok koan-im didalam cermin pun ikut hancur lebur.
Jikalau terhadap orang lain, tindakan Coh Liu-hiang memukul hancur cermin ini tentu tiada manfaatnya apa-apa tapi lain bagi Ciok koan-im yang terlalu cantik rupawan ini, dia pun terlalu kuat dan tangguh, sejak beberapa tahun belakangan ini, dia sudah menunjang jiwa raga dan semangat hidupnya pada cermin satu-satunya ini, karena dia sudah jatuh cinta kepada jiwa raga sendiri. Tapi tidak dia pikirkan sama sekali bahwa bayangan dirinya yang kosong di dalam cermin yang dia cintai ini, bahwasanya mempunyai darah daging pula. Seolah-olah orang di dalam cermin dan jiwa raganya sudah merupakan dwi-tunggal yang tak boleh terpisah, kental antara tulen dan khayal, sampai dia sendiripun tak bisa membedakan lagi.
Begitu cermin itu pecah dengan suaranya yang keras, maka orang didalam kaca itu seketika terpukul pula, demikian pula Ciok koan-im yang berada di luar cermin juga seperti kena dipukul sekeras-kerasnya, seketika badannya tergetar keras dan berdiri menjublek.
Pertempuran tokoh-tokoh kelas wahid mana boleh sekilas saja lena, apalagi melongo seperti Ciok koan-im, didalam waktu yang teramat singkat ini, beruntun Coh Liu-hiang sudah menutuk lima Hiat to besar di badannya. Ciok koan-im yang tiada bandingannya, pelan-pelan akhirnya roboh.
Sampai dia sudah rebah tak berkutik masih belum berani percaya akan kenyataan ini, sungguh tak habis terpikir dalam benaknya cara bagaimana Coh Liu-hiang bisa dan dapat memikirkan cara selicik ini untuk merobohkan dirinya. Dengan mata terbelalak kaget dia pandang Coh Liu-hiang dengan pandangan curiga dan penuh tanda tanya.
Sebaliknya Coh Liu-hiang menarik napas panjang sepuas-puasnya dengan memejamkan mata. Lama juga dia berhasil menekan perasaan dan menenteramkan jantungnya yang berdebar-debar keras seperti damparan ombak samudra, ingin dia menyeka keringat di atas mukanya, tapi seluruh pakaian dan kedua tangannya sendiripun basah kuyup seperti kehujanan.
Ciok koan-im mendelik, katanya serak: "Kau... kau merobohkan aku?"
Akhirnya Coh Liu-hiang tertawa lebar, katanya: "Tidak salah, aku mengalahkan kau, memang sering aku bisa memukul jatuh lawan yang sebenarnya lebih tangguh dan lebih lihai dari kepandaian sendiri, ada kalanya aku sendiripun heran serta tak percaya akan kenyataan ini."
Sorot mata Ciok koan-im menampilkan siksa derita yang luar biasa, seperti masih ingin mengatakan apa-apa, bibirnya sudah bergerak beberapa kali, namun sepatah katapun tak kuasa dia ucapkan.
Coh Liu-hiang menghembuskan napas panjang dari mulut, katanya: "Kau sudah membunuh teman-temanku yang paling baik, sungguh ingin aku membunuhmu untuk menuntut balas kematian mereka, tapi aku pantang berbuat demikian, sekarang terpaksa aku hanya..." suaranya tiba-tiba terputus, bulu roma dan bulu kuduknya seketika merinding berdiri.
Ternyata hanya di dalam sekejap ini, badan montok Ciok koan-im yang padat berisi dan menggiurkan ini secara aneh seperti disulap layaknya sudah berubah mengering layu dan menyusut berkeriput seperti kayu keropos yang kekeringan, darah daging badannya seolah-olah secara tiba-tiba sudah tersedot hilang, tinggal kulit pembungkus tulang belaka. Badan elok dari perempuan tercantik di seluruh jagat ini, di dalam waktu sesingkat ini mendadak berubah jadi sesosok mayat kering kerontang yang begitu mengerikan, siapapun yang melihatnya pasti akan bergidik seram.
Tiada seorangpun yang mampu membunuh Ciok koan-im, dia sendiri yang membunuh dirinya sendiri.
Cuaca nan gelap sudah mulai remang-remang, sang fajar sebentar lagi akan menyingsing, namun hawa pagi terasa semakin dingin menyusup ke tulang sumsum.
Betapa pilu sedih sanubari Coh Liu-hiang, mendelu lagi, tak henti-hentinya dia bertanya kepada dirinya sendiri: "Apa aku sudah menang" Apa benar aku menang?"
Garis pemisah antara perempuan cantik dengan mayat kering kulit pembungkus tulang cukup dekat dan hanya terpaut satu garis itu saja, memangnya berapa pula bedanya antara menang dan kalah" Walau dia sudah berhasil merobohkan Ciok koan-im yang tiada tandingannya, meski mendapat kabar Soa Yong-yong yang selamat dan sehat walafiat, tapi di sini dia harus kehilangan Oh Thi-hoa dan Ki Ping yan, apakah penyesalan dan kepiluan hatinya dapat ditambal dan diobati"
Terang tidak mungkin.
Boleh dikata Coh Liu-hiang hampir tak ingat lagi kapan dirinya pernah mengucurkan air mata.
Kini air matanya sudah berderai membasahi pipi dan menambah basah pakaiannya yang kuyup kena keringatnya tadi, tapi dia harus menyeka kering air matanya, karena dia harus tetap bertahan hidup.
Bertahan hidup bukan saja merupakan hak seseorang, juga merupakan kewajiban dari orang itu sendiri, tiada orang yang punya hak untuk membunuh orang lain, juga tiada hak yang memberi kewajiban kepada orang untuk membunuh dirinya sendiri.
Dengan membusungkan dada dengan langkah berat, Coh Liu-hiang beranjak keluar, di depan sana ada sebuah lekukan gunung, di sana Bu Hoa rebah tertutuk Hiat-tonya, dia sembunyikan di suatu tempat didalam lekuk gunung itu, apapun yang akan terjadi Bu Hoa harus dia bawa pulang ke Tionggoan, biar dia menerima hukuman undang-undang yang setimpal, inipun merupakan kewajibannya orang yang membunuh orang dia harus dihukum mati juga, siapapun takkan dapat meluputkan dirinya dari undang-undang atau hukuman negara ini.
Akan tetapi siapapun takkan bisa membawa pergi Bu Hoa, sebatang panah panjang, ternyata sudah menembus tenggorokan dan mematikan riwayatnya, darah membasahi dadanya dimana terdapat secarik kertas putih kehijau-hijauan yang bertuliskan beberapa huruf berbunyi: "Coh Liu-hiang si Maling romantis pantang membunuh orang, terpaksa Burung Kenari mewakilinya."
Kembali Coh Liu-hiang tertegun dibuatnya, bahwasanya orang semacam apakah sebenarnya si Burung Kenari itu" Apakah perbuatannya ini baik atau punya tujuan jahat" Apa pula sebetulnya yang menjadi tujuan segala tindak tanduknya yang serba tersembunyi ini.


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itu pula terdengar deru angin kencang melesat ke arahnya, sebatang anak panah memecah angin terbang datang. Lekas Coh Liu-hiang menggeser kaki dan memiringkan badan dengan kedua jari tangan kanannya dia jepit anak panah itu, tampak ujung panah yang runcing sudah putus, jadi si pembidik panah ini terang tidak bermaksud bermusuhan atau hendak mengarah jiwa Coh Liu-hiang. Tapi di pangkal panah dimana ada bulu burungnya terikat seutas benang lembut yang panjang, entah berapa panjangnya sampai tak kelihatan pangkalnya, apakah si Burung Kenari yang serba misterius itu sedang menunggu Coh Liu-hiang di balik ujung benang panjang di sebelah sana"
Perduli permainan apa yang sedang dilakukan tokoh misterius yang serba menakutkan ini Coh Liu-hiang sudah berkeputusan akan memburu kesana melihat keadaan, tanpa banyak berpikir dan tidak ayal lagi, badannya segera melesat berlari-lari menyusuri benang panjang ini. Pada ujung benang yang lain ternyata memang ada orang sedang menunggu malah bukan hanya seorang saja, tapi sekaligus empat orang, begitu melihat Coh Liu-hiang muncul seketika empat orang ini berjingkrak dan bersorak girang menyambutnya.
Sebaliknya begitu melihat ke empat orang ini Coh Liu-hiang terkesiap kaget dan melongo keheranan, mulut tak kuasa bicara.
Karena ke empat orang ini bukan lain adalah Kui-je ong ayah beranak dan Oh Thi hoa serta Ki Ping yan. Apakah ini dalam impian. Tapi Oh Thi hoa sudah meremas pundaknya, sampai tulang pundaknya terasa sakit sekali.
Coh Liu-hiang tertawa pahit, ujarnya: "Ini bukan mimpi, orang yang sedang mimpi tidak akan merasa sakit, tapi jikalau pengalaman ini bukan mimpi, masakah orang yang sudah mampus bisa hidup kembali?"
Oh Thi hoa bergelak tawa, katanya: "Belakangan ini akherat dan neraka sudah penuh sesak, Giam Lo-ong "raja akherat" sendiripun sampai kewalahan menampung kami, terpaksa sukma kami yang gentayangan ini digebah balik ke dunia fana ini."
"O, tak heran belakangan ini banyak orang yang sudah mampus tiba-tiba hidup kembali." Coh Liu-hiang ikut tertawa lebar.
Sebaliknya sikap Ki Ping yan seperti rada tegang, katanya: "Darimana kau tahu peristiwa kami keracunan" Masakah kau sudah bertemu dengan Ciok-koan-im?"
"Ehm! Ya!" Coh Liu-hiang mengiakan sambil manggut-manggut.
Oh Thi hoa, Ki Ping yan, Kui-je-ong dan Pipop kongcu sama-sama melongo, sekian lama mereka menjublek, akhirnya sama-sama menarik napas lega pula. Oh Thi-hoa pula yang membuka suara lebih dulu dengan mengedip-ngedipkan mata: "Tapi tentunya bukan kau yang membunuhnya bukan?"
"Masakah kau belum pernah dengar, ada kalanya seseorang menyembunyikan obat beracun di sela-sela giginya, dikala perlu kapsul obatnya dia gigit sampai pecah dan kadar racun segera tertelan ke dalam perut dan..."
"Maksudmu bahwa dia bunuh diri?" tukas Oh Thi-hoa. "Kenapa dia harus bunuh diri" Karena kau kalahkan?"
"Karena kecuali mati, tiada jalan lain yang baik untuk dia tempuh."
Oh Thi-hoa menatapnya dengan pandangan mendelik, biji matanya seperti hampir mencopot keluar, seolah-olah baru hari ini dia pernah melihat orang seperti Coh Liu-hiang ini.
Lekas Pipop-kongku mengulangi pertanyaan Oh Thi hoa tadi: "Apa kau sudah mengalahkan dia?"
Coh Liu-hiang tersenyum ewa, katanya "Tentu kalian amat heran, benar tidak?"
Hakikatnya bukan saja mereka serba keheranan boleh dikata merekapun tidak mau percaya.
Akhirnya Oh Thi hoa menarik napas panjang, katanya geleng-geleng kepala: "Konyol! Konyol!
Orang she Ki, coba katakan, apa kalian ada muka untuk berdiri di hadapan orang banyak, dan bagaimana kita harus hidup selanjutnya" Kami berdua bergabung masih bukan tandingan Ciok-koan-im, bocah ini seorang diri malah dengan gampang dapat merobohkan si centil itu."
"Gampang katamu?" ujar Coh Liu-hiang menyengir. "Kau kira aku amat gampang mengalahkan dia" Biar kujelaskan sejujurnya, aku bergebrak dua ratus jurus lebih, bahwasanya tiada satu seranganku yang membuatnya terdesak atau merupakan ancaman bagi dirinya."
"Jadi kau hanya terima dicecar saja olehnya, bagaimana pula kau bisa mengalahkannya?"
Belum Coh Liu-hiang menjawab, Pipop-kongcu tertawa cekikikan, katanya: "Sudah tentu dia mempunyai akal yang baik, sejak mula aku sudah tahu bahwa dia tentu punya cara untuk mengalahkannya. Bagi pertempuran tokoh-tokoh silat kelas wahid bukan saja mengutamakan tenaga atau kekuatan serta tinggi rendahnya bekal kepandaian orang-orang itu, dia haru menggunakan otaknya pula, jadi sekaligus mengadu kecerdikan, walau ilmu silatnya bukan tandingan Ciok-koan-im, tapi jikalau mengadu kecerdikan dan akal muslihat siapa pula dalam dunia ini yang bisa mengungkuli dia?" sembari bicara dia maju menghampiri, akhirnya tak tertahan dia menarik tangan Coh Liu-hiang, seolah-olah selanjutnya berat untuk berpisah.
Kui-je-ong segera batuk-batuk dengan suara berat, katanya unjuk tawa berseri: "Keberhasilan Kui-ong kali ini sungguh berkat bantuan berharga para Congcu sekalian, entah sudikah kalian bertiga bertamu dan tamasya dulu ke negri Kui-je kami...?"
Dengan tawa riang Pipop-kongcu segera menimbrung: "Sudah tentu kalian harus kesana siapapun diantara kalian yang tidak mau pergi, aku tidak akan tinggal diam!"
Ki Ping yan dan Oh Thi hoa tidak buka suara, mereka berpaling kearah Coh Liu-hiang.
Tak tahan Coh Liu-hiang pun batuk sebentar, katanya tertawa: "Cayhe bertiga sudah tentu ingin benar bertamasya di negeri tuan, cuma...."
Berubah rona muka Pipop-kongcu, katanya dengan tertawa dipaksakan: "Cuma apa?"
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala dengan menunduk, katanya: "Cuma tugas lain yang cukup penting sedang menunggu kami pula untuk segera diselesaikan, terpaksa kali ini kami mengabaikan maksud baik Ong ya!"
Pipop-kongcu segera lepaskan pegangan tangannya, mukanya pucat pias dan jari-jari tangannya pun gemetar, selangkah demi selangkah dia menyurut mundur, matanya sebaliknya menatap Coh Liu-hiang lekat-lekat, suaranya pun gemetar: "Kau tidak mau" Kau benar-benar tidak mau bertandang ke negeriku?"
Coh Liu-hiang menjawab dengan senyuman meringis. Lekas Kui-je-ong maju menarik tangan putrinya, katanya menghela napas: "Congsu bertiga ternyata tak sudi memberi muka kepada kami, sungguh Pun-ong amat kecewa sekali, tapi aku maklum bahwa kalian tentu punya urusan penting lainnya, kami pun tidak berani memaksa."
Pipop-kongcu tertunduk, mulutnya seperti mengigau: "Benar, kami tidak boleh memaksa mereka, sebetulnya aku sudah harus tahu sejak mula bahwa mereka tidak akan sudi ke negeriku."
Mendadak ia angkat kepala pula, kini mimik mukanya berubah berseri tawa pula, katanya:
"Aku tidak akan salahkan kalian, karena aku sendiri toh tidak akan ikut kalian, bahwasanya kita ini terdiri dari manusia dua lapisan dunia yang berlainan, dapat kumpul bersama secara kebetulan, aku... aku sudah amat senang."
Fajar sudah menyingsing, angin menghembus sepoi-sepoi namun dinginnya laksana tajam golok mengiris kulit. Coh Liu-hiang, Ki Ping yan dan Oh Thi hoa bertiga berdiri kaku ditengah-tengah hembusan angin dingin ini, entah berapa lama sudah mereka mematung ditempat itu.
Akhirnya Oh Thi hoa pula yang tidak tahan sabar menarik napas dalam, mulutpun menggumam: "Dia sudah pergi, ternyata tidak menangis, sungguh suatu di luar dugaan. Tabah pula hatinya, belum pernah aku memuji atau mengagumi perempuan yang manapun, sekarang aku betul-betul tunduk dan harus memujinya!"
"Apa yang dia ucapkan memang tidak salah." ujar Coh Liu-hiang. "Antara aku sama dia hakikatnya terdiri dari manusia dua lapisan dunia yang berlainan, meski dipaksa gaul bersama, akhirnya malah akan menambah penderitaan masing-masing pihak, lebih baik sekarang berpisah begini saja, ya, terhitung sebagai kenangan manis pada masa yang akan datang!"
Oh Thi hoa tertawa getir pula, katanya: "Bagaimana juga, bukan saja dia itu cantik, lincah dan mungil, otaknyapun cerdik pandai, gadis seperti ini kenapa belum pernah kebentur sama aku?"
Ki Ping-yan tiba-tiba menjengek: "Umpama kau pernah menemuinya, tentu dia sudah lari terbirit-birit oleh bau arak dari mulutmu yang apek itu."
Oh Thi-hoa terloroh-loroh geli, sedapat mungkin Coh Liu-hiang pun tertawa tawa dibuat-buat, segera ia alihkan pokok pembicaraan: "Ciok-koan-im bilang kalian sama minum araknya beracun, tentunya omongannya bukan bualan belaka."
Ki Ping-yan segera menutur dengan suara tawar: "Sian Oh merebut cangkir arak itu, terus ditenggaknya separo, sisanya yang separo diberikan kepada aku, akupun segera meminumnya habis. Karena setelah berada dalam posisi kita waktu itu, kecuali mampus sungguh tiada jalan lain yang lebih baik untuk kami tempuh."
Oh Thi-hoa tertawa geli, ujarnya mengolok: "Semula aku kira dia amat tinggi menilai jiwanya sendiri, siapa tahu dia..." tenggorokannya seperti tersumbat, kata-kata selanjutnya tak kuasa ia lanjutkan, matanyapun basah dan berkaca-kaca, dengan kuat telapak tangannya menepuk pundak Ki Ping-yan, mulutnya menggumam: "Pendek kata, aku tak sia-sia mengikat persahabatan sama kau, waktu itu meski Oh Thi-hoa sudah bertekat hendak membunuh aku, belum tentu hendak membunuhmu."
"Tapi cara bagaimana kalian akhirnya tidak sampai mampus?" tanya Coh Liu-hiang.
"Disaat jiwaku hampir melayang itulah, sekonyong-konyong terasa ada seseorang menjejalkan sebutir obat ke dalam mulutku, lalu berbisik pula di pinggir telingaku: "Ingat! Bukan saja Burung Kenari bisa membunuh orang, diapun bisa menolong orang!"
"Jadi dia yang menolong kalian?" ujar Coh Liu-hiang terbelalak. "Apa kalian ada melihat orang macam apakah dia itu?"
"Waktu itu kami sudah dalam keadaan tele-tele, jiwa hampir melayang, apapun tidak melihatnya." sahut Oh Thi-hoa.
Coh Liu-hiang berpaling kepada Ki Ping-yan. Ki Ping-yan segera geleng-geleng kepala, sesaat menepekur, akhirnya Coh Liu-hiang berkata: "Tokoh macam apakah sebenarnya si Burung Kenari itu" Kenapa dia berbuat demikian" Apakah dia sengaja hendak menanam budi kepadaku"
Ataukah..."
Oh Thi-hoa tertawa, katanya: "Mungkin dia cuma punya seorang anak gadis yang ingin dijodohkan kepadamu, atau mungkin pula dia sendiri adalah "gadis ayu", entah sejak kapan sudah jatuh hati dan terpincut oleh ketampananmu..." tanpa menunggu Coh Liu-hiang bicara, segera dia menambahkan, "Tapi bagaimanapun yang terang kita harus mencarinya sampai ketemu bukan?"
Coh Liu-hiang menengadah mengawasi segumpal awan terbang, katanya: "Kita tidak perlu susah-susah pergi mencarinya karena aku yakin satu ketika pasti dia akan mencari kita."
Kini hari sudah magrib.
Dalam sebuah kota yang ramai, jalan-jalan raya penuh sesak berjubel-jubel manusia dari segala macam lapisan, laki-laki, perempuan, tua muda, ada yang memapah orang tua, ada yang membopong anak-anak.
Semua orang kebanyakan riang gembira, karena setelah bekerja seharian dengan tekun dan berat, kinilah kesempatan mereka menghibur diri dengan mengenakan pakaian baru, sepatu yang baru. Dalam kantong mereka sedikit atau banyak pasti terisi uang dari hasil jerih payah mereka yang mereka tabung dan dari sisa ongkos-ongkos kehidupan yang mereka tabung inilah sekarang mereka menikmati kehidupan sore hari nan cerah dan riang.
Namun ada pula sementara lapisan masyarakat yang tidak mengenal derita hidup dan bebas kehidupan berat, sudah tentu mereka-mereka inipun tidak tahu mencari kesenangan serta meluangkan waktu untuk menghibur diri melepaskan otak dan ketegangan kerja selama bekerja sehari penuh, oleh karena itu selamanya mereka selalu bersikap masa bodoh dan kurang semangat serta tak punya gairah kehidupan.
Seorang petani tanpa bercocok tanam di sawah ladang, namun menginginkan panen sebanyak-banyaknya selamanya dia tidak akan memperoleh kegembiraan hidup.
Sepanjang jalan raya ini, berderet-deret berbagai macam toko dan warung, ada yang menjual kelontong, ada toko besi, ada yang jual daun teh, ada yang jual kain, konveksi, ada pula yang jual pupur, semua toko-toko itu sama menjajakan barang-barang pilihan mereka yang paling baik kwalitetnya di depan tokonya untuk memancing para pembeli.
Pemilik toko sama mengawasi orang-orang yang sedang berlalu lalang di depan tokonya, sorot pandangannya seolah-olah seperti orang-orang yang lewat itu mengawasi barang-barang yang dijajakan itu, kalau orang-orang jalan itu sama ketarik oleh barang-barang itu, sebaliknya pemilik-pemilik toko itu sama ketarik pada uang di dalam kantung mereka. Orang-orang itu jadi sama pandang, sama tersenyum kebanyakan orang sama kenal satu sama lain. Tapi diantara sekian banyak orang yang berjublek-jublek itu hanya ada dua orang yang segalanya serba asing di sini.
Mereka bukan lain adalah Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang. Mereka tidak tahu apakah nama kota yang mereka kunjungi ini, mereka tidak mencari tahu, juga tak ambil perhatian, karena perhatian mereka bukan pada kota ini.
Perhatian mereka tertuju kepada orang-orang yang berjublek-jublek itu. Dari padang pasir nan terbentang luas tak berujung pangkal serta serba kekeringan itu, mereka kembali dan tiba di kota ini melihat suasana hangat, ramai serta damai dan serta rukun, diantara manusia-manusia baik dan bajik ini, sungguh jauh dan mengetuk sanubari mereka dan membuat hati riang dan lapang pula dadanya.
Keramaian dalam kota yang ramai ini, tempat yang teramai ditempat kesibukan orang-orang di sepanjang jalan raya, ini adalah rumah makan yang paling besar, megah dan mewah ini. Maka mereka memilih tempat ini untuk berpijak sementara, sekedar tangsel perut sambil melepaskan otot-otot. Mereka memilih tempat duduk yang dekat jendela, dari loteng jendela ini mereka bisa mengawasi orang-orang yang hilir mudik di bawah, mengawasi senyuman mekar, riang dan gembira orang-orang itu, mengendus deru napas mereka pula. Begitulah mereka duduk termenung dengan pandangan mendelong, entah berapa lama mereka tak segan-segan mengawasi terus, makanan sudah memenuhi meja, namun tiada satupun yang diusik, botol-botol tak terhitung banyaknya, tapi seluruhnya kosong melompong.
Siapakah burung kenari" Laki-laki atau perempuan" Apa pula tujuannya dibalik perbuatannya yang misterius itu" Kenapa pula setiap korbannya selalu dicukuri alisnya"
Kenapa pula Soh Yong-yong bertiga selama ini" Bagaimana pula keadaan Hek-tin-cu atau Mutiara hitam" Ternyata bahwa mutiara hitam adalah seorang perempuan, bagaimana pula sikap si Maling romantis selanjutnya"
Pengalaman Maling romantis di padang pasir sudah berakhir dengan terbunuhnya Ciok-koan-im. Dapatkah Coh Liu-hiang si Maling romantis membongkar rahasia Sin-cui-kiong" Keraton yang khusus hanya dihuni kaum perempuan. Cara bagaimana Bu Hoa memelet salah satu murid-murid didik Sin cui-kiong sampai bunting dan akhirnya bunuh diri"
Kemana Setitik merah yang minggat tanpa pamit dengan Ki Bu-yong" Apakah mereka akhirnya menikah dan jadi suami istri"
Apakah Coh Liu-hiang bisa mengalahkan Cuibo atau induk air ketua Sin-cui kiang seperti mengalahkan Ciok-koan-im"
Bacalah serial kelanjutan Rahasia Ciok-koan-im ini dengan temannya yang lebih baru, realistis dan serba tegang dan menggelikan!
Tokoh-tokoh pedang bakal bermunculan, gembong silat bakal unjuk diri dari tempat pengasingannya, apa tujuannya" Apakah Coh Liu-hiang harus melawan dan mengalahkan mereka juga"
Kulit muka Oh Thi-hoa sekarang sudah berubah legam karena teriknya matahari padang pasir beberapa waktu yang lalu, setelah beberapa botol arak masuk ke dalam perut, kulit mukanya menjadi merah menyala kegelap-gelapan, katanya menghela napas: "Baru sekarang aku sadar, orang-orang awam seperti mereka inilah baru betul-betul amat menarik, kalau setiap hari kau selalu bergaul dengan mereka mungkin kau tidak akan merasa ketarik, akan tetapi bila kau sudah berkayun langkah bertamasya di padang pasir yang terik itu, maka kau akan benar-benar sadar tiada sesuatu apapun di dalam dunia ini yang menarik hatimu kecuali manusia!"
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Dan di situ pulalah letak perangaimu yang menarik, seseorang yang punya rasa simpatik terhadap sesama manusia pastilah dia itu bukan seorang durjana, seorang busuk tentu tidak akan punya jalan pikiran seperti kau ini."
"Terima kasih akan pujianmu, aku hanya mengharap jago mampus itupun bisa mendengar pujianmu ini." Menyinggung Ki Ping yan alias jago mampus, gelak tawa Oh Thi-hoa menjadi sumbang dan mimik mukanya jadi kecut, beruntun dia tenggak tiga cangkir arak, lalu menggebrak meja, katanya gegetun: "Sungguh aku tak habis mengerti, kenapa jago mampus tidak mau seperjalanan dengan kita, kenapa dia harus pulang?"
"Jikalau kau tahu di rumah ada orang yang sedang menunggu kau, pasti kaupun tergesa-gesa akan pulang!"
Lama Oh Thi-hoa tidak bicara, beruntun dia habiskan lagi tiga cangkir baru dia menghela napas pula, ujarnya: "Benar, bagaimanapun seorang laki-laki bila tahu di rumah ada orang yang sedang menunggu dirinya pulang, sedang merindukan dirinya, sungguh suatu hal yang amat menyenangkan!"
Tapi yang penting adalah dalam hatimu benar-benar merindukan seseorang yang patut kau perhatikan, kalau tidak umpama rumahnya itu merupakan suatu tempat terindah di seluruh jagat ini, andaikata kau menggusurnya pulang dengan cambuk, diapun tidak akan sudi pulang.
Oh Thi-hoa mengedip-ngedipkan matanya, katanya tertawa: "Aku tahu, kau sedang merindukan Yong-ji dan lain-lain bukan?" tanpa menunggu Coh Liu-hiang segera ia menambahkan pula: "Bahwasanya umpama kata mereka sudah pulang, hakekatnya kau tidak perlu menguatirkan mereka, cukup mengandal tenaga mereka bertiga, tujuh propinsi selatan dan enam puluh tiga propinsi di utara memangnya siapa berani mengusik seujung rambut mereka?"
Coh Liu-hiang mandah tertawa getir, Oh Thi-hoa pun tidak banyak bicara lagi, karena pada saat mana mereka lihat ada seorang muda berpakaian serba hijau sedang melangkah menghampiri mereka.
Pemuda ini sebetulnya duduk di meja sebelah, tak jauh dari tempat duduk mereka, bukan saja berparas cakap tampan, kelihatannya tindak tanduknya lemah lembut dan gagah, pakaiannya meski tidak terlalu mewah, namun potongannya cukup cocok dengan perawakan badannya, bahkan kainnyapun terbuat dari sutra yang mahal, kelihatannya anak dari keluarga hartawan yang punya pendidikan keras dan tahu adat.
Orang seperti dia kemanapun dia berada, pastilah menarik perhatian orang banyak, apalagi di sebelahnya diiringi istrinya yang cantik molek.
Sebetulnya sejak tadi Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang sudah memperhatikan sepasang suami istri ini, diwaktu mereka minum arak, kedua suami istri ini juga sedang minum, selain cara minum mereka benar-benar mengejutkan orang banyak, ternyata kekuatan minum suami istripun cukup banyak. Dikala sang suami minum arak, sang istri ternyata dapat mengiringinya dengan baik.
Sejak tadi Coh Liu-hiang sudah merasa ketarik dan kagum.
Sekarang pemuda ini meninggalkan sang istri datang menghampiri, sungguh Oh Thi-hoa tidak mengerti apa maksud orang, pemuda jubah hitam itu sudah tiba dihadapannya, merangkap kedua tangan dan menyapa dengan tersenyum: "Sebetulnya Siaute tidak berani mengganggu selera minum arak tuan-tuan berdua, tapi melihat kalian sedemikian besar takaran minumnya sungguh tak tahan lagi untuk mohon berkenalan, semoga kalian tidak salahkan keteledoran ini".
Bagi tukang judi, umpama celana satu-satunya yang dia pakaipun akhirnya kalah dalam pertaruhan, dia masih senang dipuji orang bahwa dia pintar berjudi, pandai bertaruh. Demikian juga orang yang suka minum arak, tiada yang tiada disanjung puji sebagai orang yang punya takaran besar. Apalagi takaran minum pemuda ini sendiripun tidak sedikit, pujian seperti ini keluar dari mulutnya, sudah tentu membuat hati orang yang dipujinya kegirangan setengah mati.
Oh Thi-hoa sudah berdiri menyambut, katanya tertawa: "Empat penjuru lautan semua adalah saudara, kau sudi kemari, itu berarti kau pandang kami, kalau kami masih salahkan kau, kukira kami ini sudah gila!"
Pemuda itu tersenyum, katanya pula: "Jikalau Siaute tidak melihat bahwa kalian adalah kaum pendekar yang berjiwa besar, lapang dan luhur, juga sekali kali tidak berani mengganggu di sini."
Oh Thi-hoa mendadak menarik muka, katanya sungguh-sungguh: "Sebetulnya kau memang tidak pantas kemari."
Baru saja pemuda itu tertegun, Oh Thi-hoa sudah menyambung: "Jikalau kau kemari ingin ajak kami minum arak, biarlah minta kami saja yang kesana, kenapa kau tinggalkan binimu seorang diri menunggu di meja sana, paling tidak kau harus dihukum tiga cangkir lebih dulu."
Pemuda itu terpingkal-pingkal dengan tepuk tangan, serunya: "Kalau kalian sudi pindah ke meja sana, umpama Siaute dihukum minum tiga puluh cangkir juga tidak menjadi soal."
Setelah tiga cangkir arak masuk ke perut, Oh Thi-hoa sudah begitu akrab dan saling membahasakan saudara tua dan muda.
Untuk Coh Liu-hiang tidak begitu mudah dia lantas bisa bersahabat dengan orang begitu akrab dalam waktu sesingkat ini, namun bukan berarti bahwa dia berwatak aneh dan berjiwa sempit serta suka menyendiri, apalagi kedua pemuda suami istri ini begitu ramah-tamah dan simpatik, siapapun takkan sungkan-sungkan lagi untuk berkenalan lebih dekat dengan mereka.
Bukan saja pemuda ini baik tutur kata dan sopan santun, takaran araknya pun luar biasa, pintar basa-basi lagi, demikian pula istrinya, berparas cantik dan lemah lembut, cuma diantara tengah alisnya, lapat-lapat seperti mengandung kegetiran hati yang merisaukan sanubarinya, rona mukanyapun pucat dan putih sekali, seperti orang yang baru sembuh dari penyakit yang cukup berat.
Akan tetapi sikap dan keadaan sakit yang molek ini, cukup menggiurkan dan menawan hati juga. Sepuluh diantara sebelas orang ada di dalam ruang makan di atas loteng ini, rata-rata sering melirik mata ke arahnya dengan melotot.
Setiap matanya mengerling, pandangan mata laki-laki yang duduk tersebar di sekelilingnya sama terkesima, jikalau ada orang yang tidak melirik atau memandang kepadanya, tentulah orang itu sudah mabuk dan tidak sadar diri.
Ternyata pemuda jubah hijau ini tidak hiraukan bagaimana pandangan orang lain terhadap istrinya, bukan saja dia tidak marah, malah seperti merasa senang dan bangga. Yang aneh, suami istri muda ini kelihatannya lemah lembut dan sopan santun, malah boleh dikata lembut tak kuat menahan hembusan angin, namun sepasang matanya justru berkilat terang sebening air danau.
Coh Liu-hiang maklum hanya seseorang yang membekal Lwekang tinggi saja yang mungkin mempunyai sorot mata setajam itu, jelas bahwa suami istri muda ini adalah kaum persilatan yang punya kepandaian tidak rendah pula.
Akan tetapi pada setiap gerak-gerik dan percakapan mereka, sedikitpun tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai orang yang pandai bermain silat dan sudah berpengalaman di kalangan Kangouw, dari sudut manapun tetap bukan kaum persilatan. Mau tidak mau Coh Liu-hiang jadi ketarik juga kepada kedua orang ini.
Terhadap istri orang lain sudah tentu tidak enak dan sungkan dia mengawasinya dengan seksama, tapi disaat suaminya sedang menghaturkan arak dan ajak Thi-hoa adu minum, istrinya itu sedang menunduk dan batuk-batuk kecil. Kebetulan sinar api menyorot dari sebelah samping dan menyinari selembar mukanya. Sorot mata Coh Liu-hiang berlawanan arah sama-sama tertuju ke wajah orang.
Sungguh seraut wajah yang serba sempurna tanpa cacat sedikitpun, bentuk liku pada setiap kulit mukanya kentara amat jelas dan lengkap, seolah-olah lebih sempurna dari ukiran sebuah patung dewi pualam yang indah itu. Tapi berkat ketelitian Coh Liu-hiang serta ketajaman matanya, lapat-lapat dia merasakan raut muka yang sempurna ini tetap masih kekurangan sesuatu yang kurang wajar pada diri seorang perempuan cantik.
Dari sudut tempat duduk Coh Liu-hiang sekarang, kebetulan tepat sekali dapat memandang kedua alis dari samping yang tersorot sinar api, ternyata perempuan secantik ini tanpa mempunyai alis, jadi alis lentik di atas matanya itu adalah hasil karya seorang ahli dengan goresan potlot hitam yang sedemikian miripnya dan sukar dibedakan kalau tidak diperhatikan.
Serasa hampir berhenti napas Coh Liu-hiang. "Burung Kenari?" Apakah nyonya muda dihadapannya ini adalah si Burung Kenari"
Seketika terbayang oleh Coh Liu-hiang mayat-mayat gadis di dalam lembah sesat ditengah padang pasir itu, kematian setiap gadis itu sedemikian mengerikan, kedua alis setiap korbannya tiada satupun yang ketinggalan, semua dicukur kelimis... "Apakah lantaran dia sendiri tidak mempunyai alis, maka setiap kali dia membunuh seorang perempuan, alis korbannya lantas dicukuri lebih dulu?"
Hanya sekilas Coh Liu-hiang mengawasi lantas melengos, kebetulan pemuda jubah hijau dengan tertawa angkat cangkir kepadanya. Coh Liu-hiang angkat juga cangkirnya ajak orang minum bersama, katanya tertawa: "Sudah sekian banyak arak tertelan ke dalam perut, namun siapakah she dan nama besar saudara belum lagi sempat kami tanyakan?"
Oh Thi-hoa gelak-gelak, serunya: "Ya, ya, aku hanya repot minum dan minum saja sampai melupakan hal ini, sungguh harus dihukum tiga cangkir."
Setelah Oh Thi-hoa tenggak habis tiga cangkir, baru pemuda baju hijau memperkenalkan dirinya dengan tertawa: "Siaute Li-Giok-nam.
Belum habis kata-katanya, istrinya yang cantik itupun angkat cawan dan menyela: "Kenapa kalian tidak tanya siapa aku" Apakah setiap perempuan setelah dia menikah lantas tak pantas ditanyakan namanya?"
Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang katanya tertawa: "Agaknya kami harus dihukum minum tiga cangkir lagi."
Li Giok-han segera memperkenalkan dengan tertawa: "Istriku bernama Liu Bu-bi. Bu-bi artinya
"tanpa alis", jangan kalian sangka dia ini lemah tak tahan dihembus angin, sebetulnya bukan saja wataknya menyerupai laki-laki, kalau berkelahi, diapun tidak akan bisa dikalahkan oleh laki-laki."
"O!" Oh Thi-hoa bersuara heran dengan tertawa: "Tak nyana istrimu ini kiranya srikandi yang perwira dari kaum hawa!"
Liu Bu-bi tersenyum manis katanya: "Sebetulnya sampai namakupun mirip dengan laki-laki, cuma diwaktu kecil aku kena penyakit keras, meski tidak mati, namun alisku rontok seluruhnya...
alisku sekarang adalah lukisan palsu belaka, masakah kalian tidak bisa membedakan?"
Semula Coh Liu-hiang mengira orang pasti menyembunyikan kekurangan dirinya ini, tak nyana bahwa sekarang dia mengaku terus terang malah, sudah tentu Coh Liu-hiang merasa sangat diluar dugaan.
Terdengar Li Giok-han menimbrung: "Sekarang giliran Siaute mohon tahu siapakah nama besar kalian berdua?"
"Aku she Oh bernama Thi-hoa, dia..."
Baru saja Coh Liu-hiang belum berkeputusan apakah dia haru membiarkan orang memperkenalkan dirinya, tepat pada saat itulah sekonyong-konyong ada orang menerobos maju dekat mereka, sambil berseru keras menuding Coh Liu-hiang: "Apakah semua hadirin sudah melihat jelas, tuan ini adalah Coh Liu-hiang yang terkenal dikolong langit, hari ini sungguh kalian beruntung, dapat melihat muka asli Maling romantis yang sesungguhnya, adalah pantas kalau kalian berdiri menghaturkan secangkir arak kepadanya!"
Tenggorokan ini agaknya amat lebar, dan suaranya sekeras tukang jual obat di pinggir jalan yang sering menjajakan dagangannya, sudah tentu dengan suara teriakannya ini seluruh tamu-tamu yang hadir di dalam loteng ini sama terkejut, meski diantara mereka hakekatnya tidak tahu siapa dan orang macam apa sebenarnya Coh Liu-hiang si Maling romantis, tapi bagi orang yang pernah kelana dan menempuh perjalanan jarak jauh, pasti pernah mendengar ketenaran Coh Liu-hiang, seketika berobah roman muka mereka.
Tampak orang ini berbaju biru bercelana abu-abu. Kedua kakinya diikat dengan kain panjang warna hitam, sedang baju di depan dadanya tersingkap lebar, pelipis sebelah kiri ditempel obat koyo, terang sekali dia ini seorang bajingan atau buaya darat setempat, setelah berkaok-kaok tanpa banyak tingkah lagi segera dia putar badan dan hendak pergi. Coh Liu-hiang masih bisa berlaku tenang, sebaliknya Oh Thi-hoa tidak sabar lagi, sekali raih dia cengkeram pundak orang, katanya dengan tertawa berseri: "Siapa sahabat ini" Cara bagaimana kau bisa kenal Coh Liu-hiang?"
Orang itu berusaha meronta melepaskan diri namun sedikit Oh Thi-hoa kerahkan tenaga, keringat dingin seketika berketes-ketes membasahi jidatnya, katanya sambil meringis: "Aku yang kecil ini hanya penjual obat saja, masakah kenal Coh Liu-hiang tokoh kosen yang tenar di Kangouw, soalnya ada orang memberi sepuluh tail perak kepadaku, suruh aku berkaok-kaok di sini, begitulah kejadiannya dan titik."
Oh Thi-hoa tahu apa yang dikatakan ini memang benar, karena dengan kepandaian orang serendah ini, untuk kenal siapakah Coh Liu-hiang yang sebenarnya tidak akan mungkin terjadi.
Sebaliknya Coh Liu-hiang mengerut kening katanya, "Siapakah yang memberi kau sepuluh tail perak" dan menyuruhmu kemari?"
Laki-laki itu unjuk tawa getir, katanya meringis kesakitan: "Orang itu bilang adalah teman baik Coh Liu-hiang, Sianjin sendiripun tak melihat roman mukanya."
"Memangnya kau ini picak?" damprat Oh Thi-hoa dengan melotot.
"Orang itu menyeret Sianjin ke tempat yang gelap, membelakangi sinar lagi, Sianjin hanya melihat orang itu membawa sebuah kurungan, di dalam kurungan kalau tak salah ada seekor burung kenari."
"Burung Kenari?" tak tertahan Oh Thi-hoa berteriak kaget. Segera dia berpaling kearah Coh Liu-hiang tak memberikan reaksi apa-apa, cuma tertawa-tawa katanya: "Benar, memang orang itu adalah temanku, agaknya dia sengaja hendak menggoda aku, kau beleh pergilah!"
Terpaksa Oh Thi-hoa lepaskan tangannya, selicin belut laki-laki itu segera berlari sipat kuping turun ke bawah loteng.
Agaknya Li Giok-han pun terkesima, baru sekarang dia menarik napas panjang, katanya sambil menepuk tangan: "Bi-ji, kau sudah dengar bukan" Coh Liu-hiang si Maling romantis yang paling kau kagumi, sekarang sedang duduk di hadapanmu, tidak lekas kau haturkan secangkir arak kepadanya?"
Liu Bu-bi tertawa, katanya: "Sudah tentu aku ingin menghaturkan secangkir arak, namun sekarang Coh Liu-hiang takkan bisa minum lagi."
"Tidak bisa minum lagi" Kenapa?" Liu Giok-han menegur.
"Jikalau kau ditatap sedemikian rupa oleh sekian banyak pasang mata, apa kau masih bisa tenang minum arak?" bisa-bisa dia tersenyum manis kepada Coh Liu-hiang, katanya pula: "Oleh karena itu Coh-siangsing kau tidak perlu menemani kami minum lagi, jikalau kau ingin pergi, kami sekali kali tidak akan menahan dan menyalahkan kau."
Coh Liu-hiang menarik napas panjang, katanya dengan tertawa getir: "Cayhe sebetulnya tak ingin pergi, tapi sekarang.... terpaksa Cayhe mohon diri saja."
Begitu tiba di bawah loteng, dengan keras Oh Thi-hoa lantas menepuk pundak Coh Liu-hiang, katanya: "Ulat busuk, bukankah banyak sekali perempuan-perempuan yang pernah kau lihat, tapi perempuan seperti Liu Bu-bi ini, kukira kau belum pernah melihatnya bukan" Dia cantik rupawan, hal ini tak perlu diragukan lagi, malah... malah gagah dan periang, genit dan supel, begitu prihatin lagi, tahu bahwa kau tidak akan tahan lama duduk di sana segera dia membujukmu untuk segera mengundurkan diri, apalagi terhadap suaminya tentu lebih besar perhatiannya."
"Tidak salah, dalam hal ini memang harus dihargai."
"Dihargai" Memangnya cukup dihargai saja, perempuan seperti dia berani kukatakan pasti tak ada yang keduanya dimuka bumi ini."
"O!" "Ada kalanya perempuan itu mempunyai banyak manfaat, tapi perempuan tetap perempuan, setiap perempuan sedikit atau banyak pasti mempunyai kekurangannya, ada yang suka cerewet, ada yang bertingkah, ada pula yang bersikap dingin kaku dan kasar lagi, namun ada pula yang cabul dan murah menjual cinta, ada yang melarang suaminya minum arak, sebaliknya dia sendiri suka minum cuka."
"Kalau toh setiap perempuan mempunyai kekurangannya sendiri, memangnya dia itu bukan perempuan?"
"Justru disitulah letak keistimewaannya seluruh manfaat dan kebaikan dari rupa-rupa perempuan, dia memiliki seluruhnya, tapi kekurangan setiap perempuan, tiada satupun yang ada padanya, demikian pula sifat baik dan watak laki-laki yang patut dihargaipun dia miliki, namun justru dia seratus persen adalah perempuan, kalau masih ada perempuan kedua seperti dia, meski harus mampus mempertaruhkan jiwa, aku akan mati-matian berusaha mengawinkannya."
Baru pertama kali ini kau melihatnya, sudah begitu jelas kau mengenal dirinya?"
Oh Thi-hoa membusungkan dada, katanya lebih keras:" Jangan kau kira hanya kau saja yang pandai menilai, dan menyelami jiwa perempuan, aku orang she Oh belum tentu lebih asor dari kau."
"Masakah tak terpikir olehmu, bukan mustahil bila dia itu Burung Kenari itu?"
Hampir saja Oh Thi-hoa menghindar kaget, serunya melotot: "Burung Kenari" Apa kau hari ini tak enak badan" Jikalau benar dia Burung Kenari, lalu siapa pula yang membawa kurungan burung itu"... Jikalau dia benar Burung Kenari, biar kupenggal kepalaku ini."
Coh Liu-hiang tertawa-tawa saja tak banyak bicara lagi, karena dia sendiri mulai curiga juga akan dugaan dan pemikirannya, sesaat lamanya baru mulutnya menggumam: "Hari ini sudah dijamu makan minum oleh mereka, besok kita harus berdaya undang mereka menjamunya kembali".
Oh Thi-hoa tepuk tangan serunya: "Setengah harian kau ngobrol, baru kata-katamu ini yang patut dipuji."
Memang mereka sudah berencana untuk menginap di kota ini semalam, maka sejak datang tadi mereka sudah mencari penginapan dan minta dua kamar yang paling bersih.
Sinar rembulan menyinari pohon flamboyan di depan jendela, pada pertengahan musim semi ini, entah dari mana datangnya hembusan angin yang membawa bau harum seolah-olah membuat orang kantuk dan tenggelam dalam buaian mimpi.
Tapi Oh Thi-hoa masih duduk di kamar Coh Liu-hiang. Coh Liu-hiangpun tidak mendesaknya untuk kembali ke kamarnya sendiri untuk tidur, karena Coh Liu-hiang cukup tahu orang paling takut akan kesunyian. Apalagi di dalam waktu yang sudah larut malam dengan bulan purnama lagi, memang tidak bisa tidak seseorang duduk melamun seorang diri tanpa ditemani sahabatnya, memandang rembulan bundar di tengah cakrawala. Coh Liu-hiang berkata lirih: "Bau kembang demikian harum, musim rontok mungkin sudah berselang tanpa kita sadari.
Oh Thi-hoa menarik napas katanya: "Entah berapa banyak persoalan pula yang tanpa kita sadari sudah berlalu demikian saja, apalagi musim rontok..."
Pada saat itulah, terdengar suara orang banyak yang ribut-ribut, disusul terdengar seorang berseru lantang: "Apakah Coh Liu-hiang tinggal di sini" Yau Tiang-hoa sengaja berkunjung kemari."
Coh Liu-hiang mengerut kening, katanya: "Celaka, ternyata Burung Kenari suruh orang berkaok-kaok di atas loteng itu, maksudnya hendak mencari kesukaran bagi kita."
Baru saja kata-katanya berakhir, di taman kembang di luar kamarnya sudah penuh sesak berjublek banyak orang. Ada yang menenteng lampion, ada pula yang memanggul seguci arak, ada yang sudah setengah sinting karena hampir mabuk, ada yang rasa kantuknya belum hilang, seolah-olah baru saja diseret orang dari tempat tidurnya.
Yang berjalan terdepan adalah seorang laki-laki yang panjang kaki, panjang tangan, badannya kurus hitam, dua tiga langkah saja orangnya sudah tiba di pinggir jendela, biji matanya berjelalatan, segera dia rangkap tangan menjura dan berkata: "Siapakah yang bernama Coh Liu-hiang" Cayhe Yau Tiang-hoa, semula murid Siau lim pay dari golongan preman, sekarang membuka Piau-kiok kecil-kecilan di sini, sudah lama kami dengar ketenaran nama besar Coh Liu-hiang si Maling romantis, kau Coh Liu-hiang sudah sudi mampir ke kota kecil ini, jikalau kami tidak diberi kesempatan untuk menyambut selayaknya sebagai tuan rumah, berarti memandang rendah kami sekalian.
Orang ini bicara cepat dan gugup menyerocos dengan ludah berhamburan, waktu menyebut Siau Lim pay mukanya unjuk takabur dan bangga.
Menghadapi orang-orang awam yang suka mengagulkan diri ini, sungguh Oh Thi-hoa seperti kehabisan akal, baru saja dia ingin menyeret keluar menyingkir ke tempat lain, tak nyana Coh Liu-hiang sudah menepuk pundaknya sambil tertawa, katanya: "Agaknya tidak kecil gengsi dan mukamu, begitu besar penghargaan mereka sampai meluruk begini banyak kemari."
Keruan mendelong biji mata Oh Thi-hoa, tapi orang-orang banyak di luar jendela itu sudah beramai-ramai menjura dan bersoja kepadanya, untuk menyangkalpun sudah tak sempat lagi.
Didengarnya orang-orang di luar itu berebut menyanjung puji kepadanya.
"Sudah lama kagum akan kebesaran nama Coh Liu-hiang! Hari ini beruntung dapat berhadapan dengan Maling Romantis, sungguh amat menggirangkan!"
Waktu Oh Thi-hoa melirik dilihatnya Coh Liu-hiang sudah menyingkir kesamping jendela, sungguh gemasnya bukan main, namun sekilas biji matanya berputar, tiba-tiba dia bergelak tawa ujarnya: "Benar, Cayhe memang Coh Liu-hiang, tapi Coh Liu-hiang tak lebih hanya maling kecil belaka, masakah aku berani bikin repot para saudara sekalian untuk menjenguk kemari?" sembari bicara sengaja dia melerok kepada Coh Liu-hiang, tak nyana Coh Liu-hiang masih berseri geli sambil menggendong tangan di tempatnya, sedikitpun tak marah oleh banyolannya.
Yau Tiang-hoa sebaliknya tertegun, sesaat kemudian lalu berkata dengan mengerut kening:
"Coh Liu-hiang terlalu merendahkan diri, kaum persilatan yang tak tahu Maling romantis mencuri punya si lalim untuk bantu si miskin, berjiwa besar, bajik dan setia kawan, suka menegakkan keadilan lagi, siapa pula yang berani mengatakan Maling kecil atau perampok atas diri Coh Liu-hiang?"
Oh Thi-hoa terbahak-bahak: "Di hadapanku kalian tidak akan berani berkata demikian, di belakangku bukan mustahil bukan saja memakiku sebagai rampok atau maling, mungkin mencaciku sebagai kurcaci dan apa saja yang lebih rendah!"
Kembali Yau Tiang-hoa tertegun, katanya tertawa kering: "Coh Liu-hiang ternyata begini humor dan suka berkelakar, sungguh lucu dan menyenangkan" seperti kuatir Coh Liu-hiang mengeluarkan kata-kata yang tidak enak didengar kuping, lekas dia menambahkan "Biarlah Cayhe perkenalkan beberapa kawan yang ikut datang ini... tuan ini adalah Mao Kian kong, orang menyebutnya Sinkun-bu-tek-toa-piau-khek atau Piausu besar bertangan sakti tanpa tandingan, dia ini Tio Toa hay... Beruntun dia memperkenalkan puluhan nama orang, kalau bukan Sin kun atau kepala sakti tentu Sin to atau golok sakti, kalau bukan Bu tek atau tiada tandingan tentu Tin wi atau menggoncangkan kota.
Mengawasi tampang orang-orang ini, mendengar lagi nama gelaran mereka satu persatu, sungguh serasa hampir saja gigi Oh Thi-hoa protol saking geli, tak tahan dia berkata tertawa:
"Kalian datang berbondong-bondong entah ada petunjuk apa kepadaku."
Tio Toa-hay segera tampil ke depan, katanya: "Cayhe beramai bukan saja amat kagum bahwa Ginkang Maling romantis tiada bandingan dimuka bumi ini, takaran minumannyapun tiada bandingannya di seluruh kolong langit, kali ini kita punya kesempatan sama, kita beramai ingin sekedar menyuguh arak beberapa cawan kepadamu."
"Salah, salah, kalian salah semua, Gingkang ku Coh Liu-hiang ini meski secepat lari kuda, sekencang harimau, tapi takaran minumku paling hanya setanding saja dengan si Ulat busuk, orang yang benar-benar punya takaran minum tiada bandingannya nih berada disini."
Kemana jarinya menuding, pandangan semua orang yang diluar jendela serempak tertuju kearah Coh Liu-hiang, untuk menyingkirpun tak dapat lagi, maka Oh Thi-hoa bergelak tawa, katany: "Nah inilah Oh Thi-hoa, Oh Tayhiap, dia benar-benar tokoh besar didalam bidang minum arak, seorang gagah, seorang enghiong, kalau kalian tidak lekas haturkan beberapa cawan lebih banyak kepadanya kelak pasti kalian akan menyesal dan kecewa karena kehilangan kesempatan baik ini."
Belum habis kata-katanya, entah berapa banyak jumlah orang-orang itu sudah beramai-ramai memburu masuk lewat jendela atau dari pintu, lima diantara sepuluh orang sudah memburu ke arah Coh Liu-hiang dan berdekatan untuk bersalaman dengannya.
Baru sekarang Oh Thi-hoa terhitung membalas dendam, tanpa menunggu orang menghatur arak kepadanya, lebih dulu dia rebut cawan ditenggaknya habis tiga cawan besar. Lalu katanya tertawa besar: "Sebenarnya bukan saja aku Coh Liu-hiang takaran minumku tak sebanding Oh Tayhiap ini, ilmu silatkupun bukan tandingannya, pada suatu hari aku mengajaknya bertanding, dalam lima puluh jurus saja aku sudah kena dibantingnya, kepala keluar kecap... coba kalian lihat, kepalaku di sini pelang, untung dia kenal kasihan kepada teman sendiri, kalau tidak mungkin pelang di kepalaku ini lebih besar tiga kali lipat."
Mata semua orang terbelalak dan berpaling ke arah Coh Liu-hiang, beramai-ramai mereka bertanya: "Apa benar Oh Tayhiap kau?"
Ribut sekali sampai kuping Coh Liu-hiang serasa pekak oleh pertanyaan yang bertubi-tubi, tiada satupun pertanyaan mereka yang jelas terdengar olehnya, terpaksa dia hanya menyengir saja sambil mengelus hidung, dalam hati gemas dan gegetun setengah mati, ingin rasanya sumbat mulut Oh Thi-hoa dengan rumput kering.
Pada saat itulah "Wut" sebuah benda hitam legam dan berat tiba-tiba melesat terbang lewat jendela dari luar pekarangan masuk ke dalam kamar, begitu keras daya luncuran benda ini sampai angin menderu dan jendelapun sampai bergetar bersuara. Keruan orang-orang yang berada didalam kamar sama kaget dan menjerit menyingkir sejauh mungkin. "Blang" serasa bergetar seluruh kamar itu, benda berat itu tepat jatuh di atas meja, piring mangkok dan cangkir serta guci yang berada di atas meja besar itu sama tersapu jatuh seluruhnya, waktu semua orang menegasi ternyata itulah sebagai hiasan ditengah taman kembang sana.
Gentong ikan mas ini sedikitnya berat tiga lima ratusan kati, tapi orang dapat mengangkat dan dilemparkan ke dalam kamar dari jarak yang begini jauh, malah tepat sekali jatuh di atas meja, malah air di dalam gentong tiada setetespun yang tercecer keluar, maka dapatlah diukur berapa besar dan hebat kekuatan tenaga orang yang melemparnya masuk, sungguh mengejutkan, serempak semua hadirin sama berpaling keluar jendela.
Bintang-bintang kelap-kelip menghias cakrawala, sinar rembulan sebening air telaga, pepohonan dari tanaman didalam pekarangan seolah-olah baru saja tersiram dan tercuci bersih dan menjadi segar, dan di bawah pohon flamboyan di sana itu tahu-tahu tampak dua sosok bayangan orang.
Entah kapan dan dari mana datangnya kedua bayangan orang ini, mereka sama mengenakan jubah panjang warna hitam, kepala dan mukanya berkerudung oleh kedok hitam pula.
Bersambung ke Jilid 29
JILID 29 Kedok yang terpakai dari kedua orang ini berlainan coraknya. Yang bertubuh pendek mengenakan kedok muka orang yang sedang tertawa lebar dengan mulut terpentang, sementara kedok muka orang yang tinggi sedang mewek-mewek seperti hendak menangis, jadi kedua kedok berlawanan ini, satu tertawa yang lain menangis jelas sekali perbedaan dan warnanya, hijau dan putih. Kalau dilihat siang hari tentu amat lucu dan menertawakan, tapi pada malam sunyi di tengah bulan purnama ini kelihatan justru rada seram dan mengiriskan.
Hembusan angin malam yang kencang menggetar bunyinya jubah panjang yang dipakai kedua orang ini, hembusan angin dingin itupun menghembus masuk ke dalam kamar, seketika Yau Tiang-hoa dan lain-lain sama bergidik dan merinding, suaranya tergagap: "Ke... kedua sahabat itu apakah juga teman baik Coh Liu-hiang?"
"Bukan" sahut Oh Thi-hoa tegas sambil geleng kepala.
"Lalu siapakah kedua orang itu?" Tanya Yau Tiang-hoa pula dengan mengkirik.
Terpentang lebar mulut Oh Thi-hoa tertawa lebar, sahutnya: "Kenapa kau tanya aku malah, kau ini murid Siau lim pay yang diagungkan itu, sebagai tuan rumah di sini lagi, jikalau di dalam kota kedatangan orang2 yang tak dikenal asal usulnya, masakah kau tidak tahu?"
Karena diumpak, Yau Tiang-hoa segera membusungkan dada, segera ia tampil ke depan dengan unjuk sikap gagah sebagai murid Siau lim pay, tak nyana begitu dia angkat kepala, empat biji mata di luar jendela itu sedingin es setajam pisau sedang menatap kepada dirinya.
Orang berkedok muka tertawa itu segera tertawa cekikikan, katanya kalem: "Tak nyana di sini ada murid Siau lim pay, maaf, kurang hormat, kurang hormat." Sembari bicara segera ia membungkuk badan menjemput dua buah batu bata yang masing-masing dijepit diantara kedua jarinya, waktu ucapannya sampai pada kata "kurang hormat" kedua batu bata itu tiba2 sama rontok berhamburan memenuhi tanah, ternyata hanya sedikit mengerahkan tenaga jarinya saja kedua batu bata itu sudah dijepit hancur berkeping-keping.
Begitu demonstrasi kekuatan jari-jari si orang berkedok tertawa diperlihatkan, jangan kata Yau Tiang-hoa sudah pucat pias saking kaget dan ketakutan. Sampaipun Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa ikut terkejut dan kagum.
Orang berkedok tangis itu segera menjengek dingin: "Sudah lama kudengar pukulan dari Siau-liem-pay tiada bandingan di seluruh kolong langit, sudikah sahabat ini keluar memberi beberapa jurus?" suara itu seperti meringkik tangis mirip benar dengan suara seorang banci.
Napas Yan Tiau-hoa tersengal tanpa sebab, sahutnya tergagap: "Aku... Cayhe... tak sempat bicara lagi tiba-tiba badannya roboh menindih Tio Toa-hay. Ternyata kedua lututnya lemas dan tak kuat berdiri lagi, sekilas Mao kian-kong melirik kepada Oh Thi-hoa, mendadak dia membesarkan nyali berkata dengan keras: "Kawan di luar itu aliran dari mana" Memangnya kau tidak tahu siapa yang tinggal di sini?"
"Siapa dia?" tanya orang berkedok tangis dingin.
Sebaliknya, orang berkedok tawa itu berkakakan: "Paling hanya kaum keroco yang suka main gertak dan suka mulut besar belaka."
Merah muka Mao kian-kong, katanya: "Mulut sahabat ini sukalah bicara sedikit bersih, tahukah kau Oh Thi-hoa, Coh Liu-hiang Maling romantis yang menggetar dunia persilatan sama berada disini."
Orang berkedok tangis itu berkata: "Memangnya hari ini kami hendak mencari Oh Tay-hiap dan Coh Liu-hiang, siapapun dia asal teman baik kedua orang ini, terhitung menjadi tujuan kita pula, bagi mereka yang tidak bersangkut paut dengan kedua orang ini, lekas menyingkir ke samping." sembari bicara telapak tangannya mengelus batang pohon, begitu habis kata-katanya, daun-daun plamboyan di pucuk pohon tiba-tiba sederas hujan sama runtuh berjatuhan.
Maka orang-orang yang berkerumun didalam rumah itu seperti digiring dengan cambuk beramai-ramai lari ke samping menjauhi Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang. Tinggal mereka berdua yang tetap berdiri ditengah ruangan.
Mao Kian-kong segera unjuk tawa dipaksakan katanya: "Kami memangnya tiada hubungan apa-apa dengan Coh Liu-hiang, malah kenalpun belum pernah, benar tidak?"
Orang-orang lain segera unjuk tawa dipaksakan juga dan menanggapi: "Hakekatnya memang tidak kenal... siapakah sih Coh Liu-hiang itu?"
Orang berkedok tangis menjengek lebih dingin: "Betul-betul kawanan kunyuk kurcaci."
Orang berkedok tawa berkata: "Kalau demikian kalian dua orang silahkan keluar."
Oh Thi-hoa tiba-tiba maju ke depan Mao Kian-kong, katanya cengar-cengir: "Mao-toa piausu, persahabatan kami selama beberapa tahun ini kenapa kau tak ikut membantu kesulitanku?"
Memutih bibir Mao Kian-kong matanyapun mendelik ketakutan, katanya gemetar: "Kau... siapa kau hakekatnya aku tidak kenal kau, mana boleh kau memfitnah orang."
Oh Thi-hoa terpingkal-pingkal katanya: "Kalau kau tidak kenal aku, baiklah silahkan kau minum secawan arak ini, pelan-pelan dia angkat secawan arak tinggi-tinggi terus dituang pelan-pelan diatas kepala Mao Kian-kong, saking kaget dan ketakutan setengah mati Mao Kian-kong sudah berdiri kaku mematung, menyingkirpun tidak berani.
Oh Thi-hoa gelak-gelak sambil membuang cawannya, katanya: "Agaknya perlu kau mengganti nama dengan sebutan kunyuk bedebah." ditengah gelak tawanya tiba-tiba badannya sudah melesat keluar jendela.
Dua bayangan orang di luar itupun serempak berkelebat terbang jauh ke belakang, tahu-tahu hinggap di atas pagar tembok terus berkelebat sekali gali lenyap ditelan kegelapan di luar sana, betapa tinggi dan hebat kepandaian ginkangnya sungguh amat mengejutkan.
Akan tetapi ilmu ginkang Oh Thi-hoa apalagi Coh Liu-hiang dibandingkan siapapun takkan lebih asor, namun melihat lawan begitu tinggi dan amat lihai, sedikitpun mereka tidak berani takabur. Mereka terbang melesat jajar berendeng adu pundak, dari kejauhan menguntit kedua bayangan itu, dalam waktu dekat sengaja mereka tidak berani mengejar terlalu dekat, sekilas Oh Thi-hoa melirik pada Coh Liu-hiang, katanya tertawa getir: "Agaknya musuhmu yang lihay lihay tak sedikit jumlahnya."
"Memangnya kedua orang di depan itu bukan musuhmu ?"
Oh Thi-hoa melengak katanya: "Hakekatnya melihatpun aku belum pernah orang macam apa sebenarnya kedua orang ini"
"Aku juga belum pernah melihat mereka."
"Coba kau pikir-pikir kedua orang ini pasti mencari kau, musuh musuhku tiada satupun yang membekal kepandaian setinggi mereka, hanya satu saja Kui-ong "Raja Setan" Han Bui tapi tiga tahun yang lalu iapun sudah menjadi setan asli."
"Aku sendiripun tak habis pikir kapan pernah musuh setangguh mereka ini."
Masakan dari gerak gerik dan langkah ilmu silat mereka kau tidak bisa membedakan siapa mereka" Tidak banyak tokoh-tokoh selihay mereka ini dalam kalangan Kang ouw!"
"Pukulan tangan kedua orang ini sama dilandasi kekuatan lunak, seperti Kim si hiang ciang
"Pukulan Kapas Benang Emas" dari aliran Kam-cong. Akan tetapi yang benar-benar dapat meyakinkan Kim-si-hian-siang sampai tingkat setaraf itu, selama tiga puluhan tahun mendatang ini tidak lain hanya Put sian khek seorang saja."
"Tapi Put sian-khek hanya punya sebuah tangan, mana mungkin menjadi dua orang?"
"Aku tahu mereka jelas tak mungkin Put-sian-khek adanya oleh karena itu aku tak habis pikir siapakah gerangan kedua orang ini?"
"Perduli siapa kedua orang ini, gelagatnya malam ini kita harus bertanding adu jiwa, semula kukira sepulang ke kampung halaman boleh kita mengecap hidup tenteram dan damai siapa nyana baru ditengah jalan sudah kebentur kesulitan begini, tahu begini, aku lebih suka ikut Pipop-kongcu kembali ke negeri Kui-je hidup disanjung dan berkelebihan di sana."
Mulut mereka bicara, namun gerak gerik mereka tidak menjadi kendor karenanya, gerakan kedua orang di depanpun tidak menjadi lambat, betapa kuat pernapasan mereka, kiranya tidak lebih asor dari mereka.
Jalan yang mereka tempuh semakin belukar naik turun tidak menentu, masuk hutan melompati jurang, akhirnya mereka tiba pada suatu tempat dimana banyak terdapat kunang-kunang sedang beterbangan dimalam hari, kiranya tanpa disadari mereka telah tiba di tanah pekuburan.
Oh Thi-hoa mengerut kening, katanya:
"Kembali tiba di tanah pekuburan, kenapa setiap kali ada orang yang menantang berkelahi sama aku, selalu mencari tanah pekuburan sebagai gelanggang pertumpahan?"
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Jikalau ingin ajak kau minum arak, sudah tentu akan bawa kau ke rumah makan, tapi sekarang dia merenggut jiwamu, sudah tentu membawamu ke tanah pekuburan supaya lebih gampang membereskan mayatnya."
Kebetulan hembusan angin malam yang rada santer menghembus datang dari depan kunang-kunang sama serabutan menyampok muka mereka. Di sini bulan purnama seraya memancarkan cahayanya yang redup. Cahaya yang redup remang-remang menyinari tanah pekuburan yang serba seram, sunyi dan semak belukar seperti ini, dari kejauhan sering terdengar lolong serigala lagi, suaranya yang melengking tinggi dan tajam laksana pekik setan yang penasaran, namun rasanya lebih jelek dan lebih seram kedengarannya dari setan nangis, lama kelamaan Oh Thi-hoa merasa kulit mukanya kaku kejang tak bisa tertawa lagi.
Kedua orang seragam hitam itu sementara mana sudah berhenti ditengah tengah tanah pekuburan ini, dengan dingin mereka mengawasi kedatangan Coh Liu-hiang berdua.
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa memperlambat langkahnya, langkah demi langkah dengan kewaspadaan mereka maju mendekat. Tampak di depan kuburan-kuburan yang berjajar dan bersusun susun itu sudah ditata empat peti mati kecil, di atas peti mati kecil ini dilambari tikar dari rumput, orang berkedok muka tangis ulur tangannya menuding peti-peti mati di depannya dan berkata: "Silahkan !"
Oh Thi-hoa mengelus-elus hidung katanya tertawa:
"Jikalau peti mati ini dipersiapkan untuk aku, rasanya terlalu kecil."
Orang berkedok muka tertawa terkekeh kekeh, katanya: "Jikalau badanmu dipotong menjadi dua, bukankah tepat dan pas ?"
Meniru suara tawa orang, Oh Thi-hoapun terkekeh kekeh, ujarnya: "Potongan badanmu kira kira sebanding dengan aku untuk memasukkan badanmu peti inipun pas dan tepat."
Orang berkedok muka tangis itu ternyata menuding pula ke arah peti mati yang lain: "Silahkan
!" Oh Thi-hoa tertawa riang, serunya: "Tak heran usaha toko peti mati belakangan ini cukup laris, kiranya ada orang menggunakan peti mati sebagai tempat duduk!"
Melihat Coh Liu-hiang sudah duduk, terpaksa diapun duduk ke tempat yang ditunjuk.
Empat orang masing-masing menduduki empat peti mati, satu sama lain berhadapan, duduk ditengah tanah pekuburan.
Coh Liu-hiang tersenyum ewa, katanya: "Entah siapakah nama besar kalian berdua "
Sebetulnya apakah tujuan kalian memancing kami kemari " Apakah sebelum kami pernah bermusuhan ?" beruntun dia ajukan tiga pertanyaan, namun satupun tidak dijawab.
Orang berkedok muka tangis mendadak malah mengulap tangan memberi tanda dan memberi perintah, "Siapkan hidangan !"
Oh Thi-hoa melengak, katanya tertawa geli: "Jadi kalian undang kami hendak menjamu makam minum di sini ?"
Orang berkedok muka tangis itu berkata: "Cuma harus disayangkan ditempat seperti ini tiada hidangan lezat apa-apa yang patut kusuguhkan kepada kalian." baru habis kata katanya, dari balik kuburan bersusun di belakang sana muncul dua orang, kedua orang inipun mengenakan jubah panjang warna hitam, mukanyapun mengenakan kedok yang serba aneh dan lucu. Kedua orang ini mendatangi sambil menggotong sebuah peti mati.
Namun peti mati yang ini jauh lebih besar, kedua orang baju hitam itu terus maju dan menggotong peti mati besar ini ditengah tengah antara mereka berempat, setelah meletakkan di tanah, berputar kedua orang ini membungkuk memberi hormat terus mengundurkan diri ke tempat datangnya semula. Seolah-olah mereka memang keluar masuk dari dalam kuburan.
Orang berkedok muka tertawa kembali ulurkan tangannya sambil berkata: "Mari silahkan."
"Silahkan " silahkan apa?" tanya Oh Thi-hoa heran. "Silahkan makan !" orang kedok muka tangis pula yang menjawab.
Sekilas Oh Thi-hoa tertegun, tiba-tiba ia tertawa keras: "Apa kalian hendak undang aku kemari menggasak makanan orang mati ?"
Dingin suara orang berkedok tangis itu: "Setiba ditempat ini makan apa kalau tidak makan mayat orang ?"
Oh Thi-hoa melenggong serunya terloloh-loloh: "Ha, ha, aneh, lucu dan menyenangkan, sungguh amat menyenangkan !"
Suara tawanya tiba-tiba terputus, dilihatnya orang berkedok muka tangis sudah ulurkan tangannya ke dalam peti mati, "peletak jari jarinya seperti memutus semacam entah barang apa.
Diwaktu tangan orang ditarik keluar tahu-tahu jari-jarinya sudah memegangi sebuah pangkal lengan tangan yang berlepotan darah, sedikit menyingkap kedok mukanya ke atas "kres" dengan lahap dia gerogoti lengan berdarah daging mentah itu, serunya tertawa senang: "Silahkan, silahkan, silahkan orang ini mampus belum lama, dagingnya masih segar dan lezat." sembari tertawa dan bicara, mulutnya kecap-kecap dengan nikmatnya, darah segar mengalir keluar dari ujung mulutnya dan membasahi dagunya.
sungguh kaget dan mual Oh Thi-hoa dibuatnya, teriaknya gusar: "Sebetulnya kalian..." tak nyana baru beberapa patah serunya, dilihatnya Coh Liu-hiang juga ulurkan tangan masuk ke dalam peti mati. "pletak" tahu-tahu diapun menjemput sembarang lengan tangan yang berlepotan darah pula. Disusul "kres" dengan lahapnya diapun gigit daging lengan tangan itu, seperti menggerogoti paha ayam. Darah segarpun mengalir dari ujung mulut berketes-ketes jatuh ke tanah.
Merinding dan berdiri bulu roma Oh Thi-hoa melihat adegan seram dan serba kejam ini, seperti manusia purba yang masih hidup secara primitif saja gegares daging manusia yang mentah, keruan dia berjingkrak gusar, bentaknya: "Coh Liu-hiang sejak kapan kaupun belajar makan daging manusia yang mentah begitu?"
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Daging manusia ini memang segar dan lezat rasanya luar biasa nikmatnya, mari kau boleh mencicipi sekerat saja."
Kaget dan gusar bukan kepalang Oh Thi-hoa dibuatnya, disaat dia kehabisan akal tak tahu apa yang dia harus lakukan, kedua orang berkedok itu mendadak terbahak-bahak, orang berkedok muka tertawa cekikikan geli, ujarnya: "Memang sejak mula aku sudah tahu kami takkan bisa mengelabui mata Coh Liu-hiang si Maling romantis!"
Ditengah gelak tawa mereka, tiba-tiba di empat penjuru muncul puluhan lampu lampion yang terang benderang, sehingga tanah pekuburan ini diterangi seperti siang hari, baru sekarang Oh Thi-hoa yang berdiri melongo melihat jelas, bahwa lengan tangan yang berlepotan darah itu adalah sekerat tebu yang dibuat sedemikian rupa lalu dilumuri kuah kental yang terbuat dari gula merah, didalam kegelapan tanah pekuburan yang serba seram ini, dibawah pancaran sinar bulan yang redup remang-remang, walau berhasil mengelabui pandangan Oh Thi-hoa, toh tak berhasil menipu Coh Liu-hiang.
Mulut Oh Thi-hoa melongo dan melelet lidah, sekuatnya dia menggosok-gosok hidung, katanya: "Ini... sebetulnya apa sih yang sedang kalian lakukan?"
Orang berkedok muka tertawa segera menanggalkan kedok mukanya sambil tertawa: "Siaute memang punya pikiran yang muluk-muluk dan rada brutal, semoga Oh-heng suka memaafkannya!" orang ini masih muda belia, beralis tebal bermata tajam bening, ternyata bukan lain adalah kenalan barunya Li Giok-ham. Sudah tentu orang yang mengenakan kedok muka tangis itu bukan lain adalah Liu Bu-bi.
Kembali Oh Thi-hoa berjingkrak, serunya tertawa besar: "Ha..ha.. sungguh menyenangkan, selama hidupku belum pernah kutemui kejadian yang menyenangkan seperti ini, kalian berdua memang pandai mengada-ada!"
Liu Bu-bi tersenyum lebar, katanya: "Aku tahu kalian pasti akan dibikin repot oleh kawanan tamu yang tak diundang itu sampai tak bisa meloloskan diri, maka terpaksa kami mencari akal seperti ini sekaligus untuk menyenangkan hari dan menghibur lara!"
"Bagus, bicara kalian ini memang tiada bandingannya di kolong langit. Kecuali kau, mungkin sukar dicari orang kedua yang bisa menemukan cara sebagus ini." Oh Thi-hoa memujinya.
Li Giok-ham tertawa ujarnya: "Tapi betapapun cermat dan teliti cara kerjanya toh tetap tak berhasil mengelabui ketajaman mata Coh-heng."


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memangnya matanya tumbuh berlipat ganda tajamnya, tapi aku tidak jelus dan pingin punya mata seperti dia, karena keadaan itu bakal mempersempit diri dan tak bisa seriang seperti aku ini."
Di dalam peti mati itu bukan saja terdapat tebu istimewa, ada pula jeruk, manggis semangka dan mangga. Sudah tentu hidangan buah-buahan yang segar-segar ini merupakan hidangan baru yang amat mencocoki selera mereka setelah perut biasanya dijejal daging dan arak melulu.
Apalagi meski buah buahan ini bukan makanan yang mahal, tetapi di tanah pekuburan seperti ini pada musim rontok pula sudah tentu rasanya jauh lebih menyenangkan daripada hidangan tapak biruang atau lidah burung, dari sini dapatlah dinilai, bukan saja tuan rumah amat prihatin dan pintar meladeni tamunya, jelas sekali orangnyapun tak segan-segan mengeduk kantong untuk menyediakan makanan yang tidak mungkin bisa didapatkan tidak pada musimnya.
Angkat cawan araknya, Oh Thi-hoa tertawa, katanya: "Selama hidupku meski tidak sedikit perbuatan brutalku, tapi duduk di atas peti mati di tanah pekuburan, minum arak benar-benar merupakan kejadian pertama kali segede ini usiaku."
Segera Li Giok-ham bertanya: "Apakah Oh-heng merasa kurang senang?"
"Kurang senang" Malahan aku merasa amat riang dibanding dengan tempat ini, kamar-kamar di hotel itu boleh dikata lebih sumpek dan gerah daripada berada di dalam peti mati sekecil ini.
Dibanding kalian suami istri, kawanan Piauwsu yang menyebalkan itu, seperti rombongan mayat hidup melulu."
Liu Bu-bi tertawa geli katanya: "Walau waktu itu aku mengenakan kedok orang menangis, namun mendengarkan merubah nama julukan si kepala gundul itu, hampir saja aku tertawa geli."
Peristiwa Burung Kenari 1 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Pukulan Naga Sakti 13

Cari Blog Ini