Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pengejar Nyawa 18

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 18


Kedua orang ini basah kuyup dan kotor berlepotan lumpur, gerak geriknya pun amat lambat dan lemah seperti kehabisan tenaga, jelas dalam sehari semalam ini mereka menempuh perjalanan dengan cepat tak mengenal lelah.
Sekian lama Coh Liu-hiang tatap mereka dengan nanar, akhirnya diapun menghela napas ujarnya: "Tidak salah, memang kalian pulang tepat pada waktunya."
Dengan mengangkat lentera di atas kepala Liu Bu-bi melotot ke arah orang serba hitam itu, katanya: "Ingin kami tahu siapakah orang ini sebetulnya, kenapa bersusah payah berusaha membunuh Coh Liu-hiang?"
"Hanya sayang sekali ini selamanya kami takkan tahu dengan tujuan apa dia kemari."
"Kenapa?"
"Karena orang yang sudah mati masakah bisa bicara?"
Sesaat lamanya Liu Bu-bi terlongong, katanya kemudian: "Ya, memang aku tidak boleh terburu napsu membunuhnya, tapi mendadak melihat seseorang menenteng pedang berdiri di depan pembaringan Coh-heng, di luar tahuku pula bahwa penyakit Coh-heng sudah sembuh, karena gugupku, tanpa pikir panjang aku terus turun tangan tanpa ingat untuk mengompas keterangannya."
Li Giok-ham mengerut kening, katanya gegetun: "Memangnya aku sudah tahu watakmu yang sembrono ini, suatu ketika pasti akan bikin kapiran orang."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Untuk ini mana boleh salahkan dia, toh dia bermaksud baik juga."
Liu Bu-bi malah berkata sejujurnya. "Tapi kejadian ini memang harus salahkan aku semoga Coh-siansing."
"Jiwaku sudah tertolong, hatiku sudah amat berterima kasih, sungguh tiada maksud lain dalam benakku, kalau persoalan ini diperpanjang, hatiku jadi tidak enak dan membuat aku malu sendiri."
Li Giok-ham akhirnyapun tertawa lebar, katanya: "Tak kira penyakit Coh-heng bisa sembuh begini cepat, dari sini dapatlah dibuktikan orang baik tentu mendapatkan berkah dari Thian."
"sungguh harus disesalkan, tanpa kusadari aku tertidur nyenyak sehari lamanya, ternyata penyakitku sembuh sendiri, kalian malah susah payah harus kayun langkah menempuh perjalanan jauh dengan badan kotor dan tenaga habis, sungguh aku amat terima kasih dan hutang budi."
Tiba-tiba Liu Bu-bi berjongkok menanggalkan kain kedok orang hitam itu, lalu katanya gemas:
"Coh-heng apa kau kenal siapa dia?"
Dibawah penerangan api lentera, tampak roman muka orang ini pucat kehijauan, terlintas pula perasaan ketakutan disaat jiwanya belum ajal, tapi dari biji mata dan bentuk alisnya itu dapatlah diperkirakan bahwa semasa hidup orang ini tentu teramat kejam dan telengas.
"Bukan saja aku tidak kenal orang ini, malah melihatpun belum pernah."
Li Giok-ham mengerut kening pula, katanya: "Kalau demikian, kenapa dia hendak membokong Coh-heng" Memangnya ada seseorang yang berdiri di belakang layar?"
Coh Liu-hiang tidak segera menjawab, dari bantalnya tadi dia mencabut pedang panjang itu, di bawah penerangan lentera dia amat-amati dengan seksama, lalu menghela napas panjang, katanya: "Pedang ini memang mirip gaman yang peranti membunuh orang."
"Tidak salah." ujar Li Giok-ham. "Pedang ini tiga dim lebih panjang dari pedang umumnya yang sering dipakai oleh tokoh-tokoh pedang di Kangouw, namun jauh lebih tipis dan sempit. Malah dua mili lebih sempit dari Soat-coa-kiam milik orang Hay-lam-kiam-pay, orang yang mempergunakan pedang seperti ini ilmu pedangnya tentu mirip dengan ilmu pedang dari Hay-lam-kiam pay, mengutamakan kelincahan yang culas dan keji."
"Pengetahuan Li-heng amat luas, memang tidak malu sebagai putra seorang ahli pedang."
Coh Liu-hiang memuji.
Agaknya Li Giok-ham hendak merendah diri, tapi Coh Liu-hiang sudah keburu menambahkan:
"Orang yang menggunakan pedang ini aku memang tidak kenal, tapi pedang seperti ini pernah aku melihatnya sekali."
"O, Dimana?" tanya Li Giok-ham.
"Entah pernah Li-heng mendengar nama Setitik merah dari Tionggoan?"
"Apakah Coh-heng maksudkan adalah pembunuh bayaran yang hanya mengenal uang tanpa kenal buruannya dengan julukan "Membunuh orang tanpa melihat darah", setitik merah di bawah pedangnya itu?"
"Benar, dia itulah!"
Waktu ayah memberi komentar dan penilaian kepada tokoh-tokoh ahli pedang pada jaman ini, pernah juga menyinggung nama orang ini, katanya ilmu pedangnya merupakan aliran tersendiri yang membuka jalannya tersendiri. Sebetulnya kehebatan pedangnya boleh dijajarkan untuk bertanding dengan Hiat-in-jin Sia Tayhiap, namun sayang gerak dan tipu pedangnya mengutamakan kelicikan dan nyeleweng, sepak terjangnyapun terlalu lalim, maka tanpa sadari ilmu pedangnyapun menjurus ke jalan sesat. Sejak dulu kala, sesat takkan mengalahkan lurus, oleh karena itu bakatnya terlalu tinggi, betapapun ia rajin dan tekun belajar, kepandaiannya tetap tidak dapat mencapai puncak tinggi yang gemilang."
"Dari uraian ini saja sudah cukup menandakan kebesaran Li-locianpwe sebagai tokoh pedang nomor satu di seluruh jagat. Pada jaman ini, setiap orang yang mempelajari ilmu pedang harus mengukir petuah ini didalam kalbu masing-masing, selama hidupnya pasti tidak akan sia-sia."
Berkata pula Li Giok-ham: "Kalau hati jujur, ilmu pedangpun lurus, hati jahat ilmu pedang menjadi sesat! Hal ini memang merupakan teori yang tak terbantahkan sejak dulu kala."
Mendadak Liu Bu-bi menyela: "Pedang pembunuh ini apakah mirip dengan milik Setitik merah dari Tionggoan itu?"
"Kecuali gagang pedangnya yang rada berbeda, selebihnya panjang pendek dan lebarnya pun tak berbeda."
Mengerling biji mata Liu Bu-bi, katanya: "Kalau demikian pembunuh ini bukan mustahil adalah utusan Setitik merah."
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Sama sekali tidak mungkin!"
"Jadi maksud Coh-heng..." Liu Bu-bi berkata ragu-ragu lalu menggigit bibir.
"Maksudku yaitu bahwa pembunuh ini sendiri hakekatnya tiada permusuhan dengan aku, kalau tidak mau kukatakan belum pernah mengenalku, bahwa dia berusaha membunuh aku lantaran dia diutus atau dibeli orang lain."
Liu Bu-bi menerawang sebentar, katanya kemudian: "Tidak salah, kalau pedang yang dipakai pembunuh itu mirip milik Setitik merah dari Tionggoan, tentunya salah seorang saudara seperguruannya, sudah tentu diapun mempunyai usaha yang sama, yaitu membunuh orang untuk mengejar bayaran yang tinggi."
Li Giok-ham mengerut kening, katanya: "Apa benar didalam kalangan Kangouw ada begitu banyak orang yang usahanya terima bayaran untuk membunuh orang?"
"Menurut gelagatnya memang demikianlah." ujar Coh Liu-hiang. Tiba-tiba menggeledah badan si orang hitam, namun kantong baju kosong tidak membawa apa-apa. Memang orang-orang yang hidupnya mengejar untuk mencabut nyawa orang lain sekali-kali pantang membawa apa-apa yang mungkin bisa membuka identitas atau asal-usul orang itu sendiri, apalagi barang barang yang dibawanya itu bakal merupakan beban pula bagi dirinya.
Akhirnya Coh Liu-hiang menemukan dua macam barang di dalam lipatan baju dalamnya yaitu selembar chek yang berjumlah amat besar dan sebuah medali tembaga yang bentuk dan warnanya amat aneh.
Chek adalah pembayaran paling umum yang berlaku pada jaman itu, chek yang terpercaya pula, dimanapun chek ini diuangkan bisa segera diterima dengan cepat. Coh Liu-hiang menghela napas, katanya: "Dua puluh ribu tahil perak, tidak heran kalau begitu getol semangatnya hendak menghabisi jiwaku. Untuk dua puluh ribu tahil perak ini kemungkinan saja aku sendiri mau membunuh diriku sendiri, sungguh tak pernah terpikir olehku bahwa jiwaku ternyata berharga begitu tinggi."
Li Giok-ham geleng-geleng kepala, ujarnya: "Bahwa orang itu berani merogoh kantong mengeluarkan dua puluh ribu tahil untuk menamatkan jiwa Coh-heng, pastilah dia mempunyai dendam kesumat yang mendalam dengan Coh-heng."
Kembali Liu Bu-bi menimbrung: "Aku sudah dapat perkirakan siapa kiranya orang yang berani merogoh kantong untuk membayar sedemikian mahalnya."
"O, Siapa?"
"Chek dengan nilai uang sebesar itu, bank-bank dimanapun juga tidak akan sembarang mau mempergunakan, maka pada buku administrasi didalam bank itu pasti ada dicatat dengan jelas siapa pemakainya, asal kita pergi ke bank dan periksa kepada siapa pembayaran uang sebesar ini diberikan, bukankah kita bisa mengetahui siapa orang itu?"
"Kukira cara ini belum tentu bisa berhasil." Coh Liu-hiang menanggapi.
Terbelalak mata Liu Bu-bi, tanyanya: "Kenapa" Memangnya Coh-heng sudah tahu siapa kiranya gerangan orang itu?"
Coh Liu-hiang menjelaskan kesangsiannya: "Kalau aku hendak membeli seseorang untuk membunuh orang, sekali-kali tidak akan kugunakan chek pembayaran atas namaku, oleh karena itu meski kita mengobrak abrik di kantor bank, bukan saja tidak berguna, malah mungkin kita bisa terpancing ke jurusan sesat, yang kita temukan adalah orang-orang yang tiada sangkut pautnya dengan peristiwa ini, tak ada hubungan dengan kita."
"Ya." akhirnya Liu Bu-bi bisa menerima penjelasan ini, "Analisa ini memang masuk diakal."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Namun paling tidak sekarang aku sudah berhasil mengetahui suatu hal."
"Coh-heng sudah tahu hal apa?" tanya Liu Bu-bi.
"Paling tidak sekarang aku sudah tahu bahwa orang itu pasti seorang hartawan, karena hanya untuk mencabut jiwa orang-orang itu bisa merogoh kantong sekali jreng dua puluh ribu tahil, kukira jumlahnya terbatas dalam dunia ini."
Sudah sejak tadi Li Giok-ham menepekur, kini dia membuka suara: "Lalu apa pula maksudnya dengan medali perunggu ini?"
Tampak medali perunggu bagian mukanya terukir garis-garis liku-liku seperti kembang di bagian tengahnya terukir tiga belas batang pedang yang membundar jajar, bentuk pedang itu satu sama lain mirip, mirip pula dengan pedang pembunuh yang sudah ajal ini, sebaliknya bagian medali perunggu kebalikannya ada terukir satu huruf delapan."
Berkata Li Giok-ham dengan mengerut kening: "Apa pula makna dari tiga belas pedang ini?"
sudah sejak tadi dia memikirkannya tanpa dapat memecahkan artinya.
Mendadak bercahaya sorot mata Liu Bu-bi, katanya bertepuk tangan: "Maknanya kira-kira sudah kuketahui."
"Kau paham apa maksudnya?" tanya Coh Liu-hiang.
Kata Li Giok-ham sambil berpikir-pikir: "Tiga belas pedang, apakah tiga belas orang?"
"Benar, ketiga belas orang ini tentunya punya usaha yang sama yaitu sebagai pembunuh bayaran, tangan ditengah-tengah bundaran pedang itu merupakan simbol dari pemimpin dari mereka, orang ini termasuk orang yang ke delapan di dalam kelompok mereka, maka kebalikan medali ini terukir huruf 8", lalu dia unjuk tawa kepada Coh Liu-hiang katanya lebih lanjut:
"Sementara Setitik merah dari Tionggoan kemungkinan adalah jagoan nomor satu dari kelompok tiga belas orang itu."
"Agaknya memang seperti dugaan kalian." ujar Coh Liu-hiang.
"Tapi yang amat menakutkan tentunya tangan itu, meski dia tidak pernah unjuk diri namun secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi dia kendalikan gerombolan rahasia ini tiga belas orang itu diperalat untuk mengusahakan bayaran tinggi untuk setiap jiwa yang harus mereka bunuh."
Berkata Li Giok-ham dengan tersirap kaget: "Di dalam kalangan Kangouw ternyata ada gerombolan yang mengobyekkan diri sebagai pembunuh bayaran, sungguh suatu hal yang amat menakutkan."
"Ya, kemungkinan merupakan suatu tragedi bagi kaum persilatan yang amat mengerikan dan menakutkan selama ratusan tahun mendatang ini." kata Liu Bu-bi pula.
Mulut Coh Liu-hiang tidak bicara, namun hatinya amat mendelu, pikirnya: "Tak heran Setitik merah selalu seperti tertekan oleh berbagai kesulitan dan beban berat, ternyata lantaran dia sudah terjeblos di dalam gerombolan rahasia ini dan tidak mungkin melepas diri. Oleh sebab itu setelah dia berkeputusan untuk tidak melanjutkan usahanya sebagai pembunuh bayaran, segera dia minggat ke tempat jauh di luar perbatasan, lari ke tengah gurun pasir. Karena dia tahu tangan ditengah kelompok pedang itu pasti tidak akan berpeluk tangan memberi kebebasan kepadanya."
Siapapun dia asal sudah terjeblos masuk ke dalam gerombolan ini kecuali mati, mungkin selama hidup jangan harap kau bisa membebaskan diri dari segala kesulitan. Baru sekarang pula disadari oleh Coh Liu-hiang kenapa sorot pandangan mata Setitik merah selalu membeku dingin, rawan dan gelisah. Sungguh Coh Liu-hiang amat menyesal kenapa sebelum ini dirinya tidak pernah memikirkan ke arah sana.
Terdengar Liu Bu-bi berkata dengan tertawa: "Tapi gerombolan ini sekarang tidak begitu menakutkan lagi."
"Kenapa?" tanya Li Giok-ham.
"Karena tidak berapa lama lagi, tangan itu pasti akan terbelenggu oleh borgol."
Li Giok-ham berpikir sebentar, cepat sekali dia sudah maklum akan kata-kata istrinya. katanya tertawa: "Tidak salah kalau sekarang mereka berani menepuk lalat di atas kepala Coh Liu-hiang si Maling romantis, tentunya Coh-heng tidak akan berpeluk tangan membiarkan mereka bukan?"
"Apalagi, kalau toh cara kerja gerombolan ini begitu rahasia dan terkoordinir dengan baik oleh si tangan itu didalam menekan setiap kontrak jual beli, maka cukup asal Coh-heng berhasil mencari tahu siapakah si "tangan" itu, maka tak sulit untuk mencari tahu siapa pula orang yang berani membayar dua puluh ribu tahil perak untuk membunuh jiwamu."
Coh Liu-hiang tiba-tiba tertawa, ujarnya: "Aku sih tak perlu tergesa-gesa mencari dia."
Meski Liu Bu-bi selalu dapat mengendalikan perasaan hatinya, namun sekarang rona mukanya menampilkan rasa heran dan kejut serta tak mengerti tanyanya: "Kenapa?"
"Orang seperti dia sampai pun melaksanakan pembunuhan kepada seseorang yang diincarpun tak berani turun tangan sendiri, kalau aku melihat tampangnya malah bikin naik pitam saja. Sekarang yang menjadi hasratku yang terbesar adalah menyambangi tokoh pedang nomor satu pada jaman ini, bukanlah hal ini jauh lebih menyenangkan dari pada mencari perkara dengan orang-orang kerdil yang kerjanya membadut untuk mengelabui pandangan orang lain?" Dengan tajam dia tatap muka Liu Bu-bi, lalu menambahkan dengan kalem, "Dan lagi cepat atau lambat toh dia pasti akan mencariku, kenapa aku harus susah-susah mencari dia malah?"
Liu Bu-bi segera unjuk tawa manis katanya: "Dan, yang paling penting mungkin Coh-heng kuatir nona Soh dan lain-lain teramat gelisah menunggu kedatanganmu?"
Mereka berhadapan dengan sama-sama berseri tawa, Li Giok-ham sebaliknya berubah air mukanya, teriaknya tersendat: "Mana Oh-heng, Kemana Oh-heng?"
Agaknya baru sekarang dia sadar bahwa Oh Thi-hoa selama ini tidak berada didalam kamar ini, ternyata Coh Liu-hiang tidak menjadi gugup, setelah orang menanyakan, baru dia menjawab dengan tawar. "Tadi agaknya dia melihat jejak musuh yang mencurigakan, tanpa pikir panjang lantas keluar mengudak."
Liu Bu-bi tersirap kaget dan pucat mukanya, katanya: "Oh-heng hanya bisa menggerakkan sebelah tangannya, mana boleh begitu gegabah mengejar musuh?"
"Kukira tidak menjadi soal." ujar Coh Liu-hiang kalem.
"Tidak menjadi soal?" sela Liu Bu-bi. "Masa Coh-heng tidak kuatir dia terbokong atau terperangkap oleh kekejian musuh?"
"Aku yakin dia tidak akan mengalami sesuatu apa-apa yang merugikan dirinya."
"Darimana kau bisa tahu?"
"Karena tujuan orang hanya ingin mencabut jiwaku bukan mengincar nyawanya, tapi paling hanya ingin memancing keluar, sehingga lebih leluasa untuk membunuh aku."
"Tapi... tapi kenapa sampai sekarang dia belum kunjung pulang?"
"Kalau tidak sedang mencuri arak, pasti dia tersesat jalan."
"Coh-heng agaknya amat yakin dan begini tabah."
"Bukan hatiku tabah dan yakin benar, soalnya aku sudah mendengar suaranya."
Jarang orang bisa tahu sebelumnya kapan akan turun hujan, hal ini tidak perlu dibuat heran, karena betapapun orang yang benar-benar tahu akan ilmu perbintangan seperti Cu-kat Ling pada jaman Sam Kok dulu tidak banyak jumlahnya. Dan lebih aneh pula, jarang pula orang mengetahui kapan hujan itu akan mereda. Hujan seolah-olah berhenti di luar kesadaran orang-orang yang tidak pernah memperhatikannya.
Ditengah malam nan sunyi sepi itu, betul-betul juga kedengaran suara Oh Thi-hoa berkata kumandang ditengah malam nan gelap: "Nah benar yang ini."
Lalu terdengar pula suara serak tua lain berkata: "Kali ini tidak salah lagi."
"Pasti benar." sahut Oh Thi-hoa yakin. Habis kata-katanya bayangan Oh Thi-hoa sudah berkelebat masuk ke pekarangan, seperti seekor kucing yang menerobos masuk kamar setelah ekornya terinjak orang. Dilain kejap maka terdengar pula seruannya: "O, Jadi sudah kembali?"
habis berseru, matanya melotot pula, katanya: "Ulat busuk, kenapa kau mendadak kau sudah merangkak bangun?"
Belum Coh Liu-hiang menjawab, sebuah suara serak tua di luar bertanya: "Apakah Coh Liu-hiang Maling romantis tidak apa-apa?"
Coh Liu-hiang memegang hidungnya, sahutnya "Terima kasih akan perhatian tuan, kenapa di luar", silahkan masuk!"
Orang di luar itu menjawab: "Sebetulnya Losiu amat ingin bertemu dengan Maling romantis, tapi akhirnya kupikir, sekarang lebih baik aku tidak bertemu saja."
"Kenapa?"
"Sekarang bila aku berhadapan dengan kau, paling tidak harus menyembah tujuh delapan belas kali kepadamu, tapi tua bangka setua aku ini harus berlutut menghadap orang lain, tentunya kurang leluasa, terpaksa biar lain kesempatan saja akan kucari jalan lain untuk membalas budi kebaikanmu, lalu adu minum pula dengan kau sepuas-puasnya." Bicara pada kata-kata terakhir, suaranya sudah semakin jauh, kira-kira puluhan tombak.
Coh Liu-hiang melengak heran, katanya: "Siapakah orang itu" Kapan aku pernah menanam budi kepadanya?"
"Tehadap dia pribadi kau sih tak memberi kebaikan apa-apa, tapi buat Kaypang." sahut Oh Thi-hoa.
"O, jadi dia anggota murid Kaypang?"
"Bukan murid, malah Tianglo dihitung tingkat kedudukannya, agaknya Jin Jip yang menjadi pangcu Kaypang yang terdahulu itupun setingkat lebih rendah."
Berputar biji mata Coh Liu-hiang, katanya kesima: "O, Apakah yang kau maksud adalah Ban-li-tok-hing, Cay locianpwe?"
"Tidak salah."
"Cara bagaimana kau bisa berkenalan dengan cianpwe aneh ini?"
"Memangnya kau baru setimpal berkenalan dengan para Cianpwe-cianpwe aneh itu, masakah aku tidak boleh kenal satu dua?" setelah tergelak tawa, segera menambahkan: "Jikalau kau iri hati, biar aku beritahu sekalian kepada mu, malam ini akupun ada bertemu dengan seseorang, seseorang yang ingin benar kau temui."
"Siapa?"
"Burung Kenari." agaknya Oh Thi-hoa masih ingin bicara, siapa tahu Coh Liu-hiang mendadak menjejalkan sesuatu barang ke dalam mulutnya, hendak dimuntahkanpun tidak bisa, keruan dia gelagapan, serunya: "Ini... apakah ini?"
Coh Liu-hiang tersenyum katanya: "Itulah obat penawar yang dibawa pulang oleh Li-heng suami istri dengan susah payah dari tempat jauh, nah lebih baik lekas kau rebahkan diri dan tidurlah dengan nyenyak saja."
Fajar tahu-tahu sudah menyingsing tanpa terasa oleh siapapun. Karena semua orang hendak menempuh perjalanan, begitu terang tanah mereka lantas berangkat, karena kedua belah pihak sama-sama harus tidur, maka Coh Liu-hiang berdua tidak bisa naik dalam satu kereta dengan Li Giok-ham suami istri.
Tapi bagaimana mungkin Oh Thi-hoa bisa pulas" Begitu kereta mulai jalan, dia lantas mendelik kepada Coh Liu-hiang, tanyanya: "Kenapa kau tak beri kesempatan aku bicara"
Sebetulnya ada persoalan apa yang ingin kau sembunyikan di hadapan mereka?"
"Aku harus mengelabui siapa?"
"Kau kira mereka tidak dapat meraba maksudmu?" Mereka sengaja tidak mau naik sekereta dengan kita, maksudnya supaya kau bisa bicara kasak-kusuk dengan aku."
"Darimana kau tahu bila kebalikannya justru mereka sendiri yang ingin kasak-kusuk di belakang kita?"
"Memangnya mereka punya persoalan apa harus kasak-kusuk di belakang kita?"
"Memangnya tiada persoalan apa-apa yang harus dibicarakan, cuma mereka sedang mereka-reka berapa sih yang sudah kuketahui?"
"Apanya yang sudah kau ketahui?"
"Tahu akan muslihat yang mereka perankan secara diam-diam."
Hampir saja Oh Thi-hoa berjingkrak, serunya gusar: "Mereka pandang kau sebagai sahabat baik, bukan saja mentraktir kau makan minum, malah mengundangmu pergi ke rumahnya, ada orang hendak mencelakai jiwamu, mereka membunuhnya, sekarang kau malah menuduh mereka sedang merencanakan tipu muslihat hendak menjebak kau, kutanya kau, apa sih yang mereka incar akan dirimu" Apa yang diinginkan dari kau?"
"Tiada apa-apa yang diinginkan dari aku, kecuali jiwaku saja."
Oh Thi-hoa melotot sekian lamanya, tiba-tiba dia tertawa besar, katanya geleng-geleng kepala:
"Kulihat otakmu belakangan ini rada sinting, asal orang menatapmu lebih lama, kau lantas mengira orang punya maksud apa-apa terhadap kau."
"Kalau begitu sekarang kutanya kau, jikalau Yong-cui-san-ceng kenapa mereka sendiri keluar bertamasya sejauh ini" Lalu kebetulan bertemu dengan kita, apakah benar di dunia ini ada kejadian yang begitu kebetulan?"
"Umpama kata mereka memang sengaja keluar hendak mencari kau, toh juga maksud baik mereka."
"Kalau bermaksud baik, kenapa tidak dijelaskan?"
Oh Thi-hoa mulai mempermainkan hidungnya, katanya mengerut kening: "Jadi kau mengira bahwa Yong-ji bertiga kena diculik mereka?"
Coh Liu-hiang manggut-manggut, katanya: "Masih ada, aku mendadak jatuh sakit, tiada orang lain yang tahu, kenapa pembunuh bisa mendadak datang?"
"Mungkin secara diam-diam mereka memang sudah menyelidiki keadaan kita, bukan mustahil pula pelayan hotel yang memberi kisikan kepada mereka." debat Oh Thi-hoa.
"Ya, memang ada kemungkinan, namun, begitu mereka pulang, baru saja tiba di pekarangan, lantas membunuh pembunuh itu, dan lagi di pekarangan rada terang oleh cahaya lentera dari kamar lain, sebaliknya kamarku gelap gulita, jikalau mereka sebelumnya memang sudah tahu bila pembunuh itu berada didalam kamarku, hakekatnya bayangan orang pun tidak terlihat."
Alis Oh Thi-hoa bertaut semakin kencang, katanya: "Jikalau pembunuh itu dibayar mereka, kenapa mereka harus membunuhnya?"
"Sudah tentu untuk menutup mulutnya."
"Tapi orang yang memancing keluar adalah Burung Kenari, apakah Burung Kenari sekomplotan dengan mereka?"
"Tentunya kau sudah tahu bahwa Burung Kenari hanyalah nama samaran orang lain belaka."
"Ya, aku sudah tahu."
"Nah masakah kau tidak tahu bukan mustahil mereka itulah yang menyamar dengan nama Burung Kenari?"
Oh Thi-hoa melongo, katanya kemudian: "Sepak terjang Burung Kenari walau serba misterius, tapi terhadap kita dia tidak bermaksud jahat, jikalau kau mau bilang Liu Bu-bi berusaha mencelakai kau, kukira mereka pasti bukan satu komplotan."
"Kenapa tidak mungkin" Dulu sudah kukatakan, Burung Kenari berbuat demikian itu memang dia sengaja hendak menanam budi kepadaku, supaya aku membalas budi baiknya."
"Kalau dia hendak mencelakakan kau, apa pula yang dia tuntut dari kau untuk membalas kebaikannya?"
"Kau melihat Burung kenari tapi tidak segera turun tangan melabraknya bukan?"
"Sudah tentu aku takkan membunuhnya."
"Nah disitulah titik balik persoalannya, apa yang dilakukan Burung Kenari dulu akan diri kita, adalah supaya kita selanjutnya tidak akan membunuhnya... umpama kau, aku sudah yakin bahwa Liu Bu-bi adalah alias Burung Kenari, andaikata aku tahu dia hendak mencelakai aku, karena dia pernah menanam budi kepadaku maka sebelum dia berusaha mencelakai aku, siang-siang dia sudah membuka jalan mundurnya sendiri."
"Kenapa kau harus curiga bahwa Liu Bu-bi pasti Burung Kenari adanya?"
"Dalam seluk-beluk persoalan ini tentu saja banyak sebab-sebabnya."
Mendadak Oh Thi-hoa meninggikan suaranya: "Tapi orang yang menggunakan Bau-hi-li-hoating paling tidak bukan mereka."
"Kenapa bukan mereka?"
"Karena waktu itu, jelas mereka berada di dalam kamar tidurnya."
"Apa kau melihat mereka dengan mata kepala sendiri?"
Oh Thi-hoa melengak pula, "Meski tidak melihat dengan jelas kita toh mendengar percakapan mereka."
"Kau tidak mendengar percakapan mereka hanya mendengar suara rintihan, suara jeritan kesakitan dibarengi gerakan meronta bukan?"
"Ya." "Setiap orang dikala sedang merintih dan menjerit-jerit kesakitan, suaranya bisa berubah lantaran rasa kesakitan itu, oleh karena itu umpama kau mendengar suara mereka rada ganjil, rada berlainan, kaupun takkan ambil perhatian, benar tidak?"
Kembali Oh Thi-hoa melongo dibuatnya, katanya: "Apakah waktu itu mereka sudah tak berada didalam rumah, jadi suara itu suara orang lain yang bersandiwara?"
"Memangnya tidak mungkin?"
Coh Liu-hiang menarik napas panjang, mulutnya terkancing.
"Karena sejak mula kau selalu beranggapan bahwa mereka berada di dalam kamarnya maka tidak pernah kau bayangkan suara yang kau dengar itu adalah suara orang lain, kesalahan ini bisa saja dialami siapa saja tanpa disadari."
"Bukan saja Liu Bu-bi pintar, malah tindak tanduk dalam langkah-langkah rencananya teramat teliti dan cermat", kata Coh Liu-hiang lebih jauh. "Tentunya dia tahu untuk mencelakai jiwaku bukan persoalan gampang, oleh karena itu setiap kali sebelum dia turun tangan, pasti sebelumnya sudah mencari jalan mundurnya, supaya kita tidak pernah curiga kepada mereka."
Dengan gemas dan jengkel Oh Thi-hoa kucek-kucek hidungnya, gumannya: "Tapi aku masih kurang mengerti juga susah percaya."
"Bahwasanya aku sendiripun tidak paham seluruhnya, cuma gambaran persoalannya kira-kira sudah dapat kubayangkan."
"Coba kau beri penjelasan lebih terperinci!"
"Untuk suatu sebab, entah sebab apa Li Giok-ham suami istri bertekad mencari dan menemukan aku tapi waktu mereka menemukan kapalku, aku sudah tak berada di sana waktu mereka mengundurkan diri kebetulan Yong ji dan lain-lain pulang."
"Cara bagaimana mereka bisa kesampok dengan Yong-ji dan lain-lain?"
"Yong-ji bertiga hendak mencari aku, sudah tentu mereka harus pulang dulu, orang seperti mereka setiap berjalan di jalanan sudah tentu amat menarik perhatian orang banyak, benar tidak?"
"Em! Lalu?"
"Keluarga Li merupakan golongan persilatan yang punya wibawa dan besar kekuasaannya di daerah Kanglam, sudah tentu kaki tangan dan mata-mata mereka tersebar diberbagai pelosok, sudah tentu dengan gampang mereka mencari tahu hubungan dengan Yong-ji begitu, setelah mengetahui jejak mereka, sudah tentu segera meluruk datang."
"Em! Lalu?"
"Orang seperti Liu Bu-bi, sudah tentu gampang sekali mengikat persahabatan dengan Yong-ji beramai Yong-ji sendiri mungkin tak banyak kata, tapi Thiam-ji seperti kau, seorang yang jujur polos dan spontan."
"Hm! Kau ini mengagulkan aku, atau sedang mengejek aku?"
Coh Liu-hiang tidak perhatikan kata-katanya, katanya lebih lanjut: "Untuk mengorek keterangan diriku dari mulut Thiam-ji, bagi Liu Bu-bi tentunya bukan soal yang sulit."
"Mungkin dia beranggapan kau masih tinggal di padang pasir, maka diapun meluruk ke gurun pasir mencarimu."
"Dia hanya punya sedikit sumber berita ini, lalu menyusul ke padang pasir adu untung."
"Tapi kenapa Yong-ji bertiga ikut ikut mereka, kenapa malah menetap di Yong-cui-san-cheng?"
"Mungkin mereka diapusi, atau mungkin pula diculik setelah diingusi, atau mungkin,"
Sampai di sini dia tidak meneruskan kata-katanya, rona mukanya menampilkan rasa kuatir yang tak terhingga.
"Apa kau mau bilang bahwa Yong-ji bertiga hakekatnya tidak berada di Yong cui-san-ceng, malah bukan mustahil sudah dicelakai oleh Liu Bu-bi dan suaminya?"
"Sudah tentu ada kemungkinan ini, untungnya Liu Bu-bi bukan seorang culas yang doyan membunuh orang, yang dia hadapi hanya aku seorang, dan lagi bila dia hendak menanam budi dulu kepadaku, untuk mencari jalan mundurnya, kukira belum sampai hati membunuh mereka."
Lama Oh Thi-hoa menepekur, katanya mendadak: "Tapi diperhitungkan dari waktunya begitu dia tiba di padang pasir lantas menemukan tempat itu?"
"Ya, memang begitu."
Sebagai seorang putra hartawan besar dari kaum persilatan di Kanglam, bagaimana Li Giok-ham bisa begitu apal mengenai seluk-beluk di padang pasir, apalagi tempat tinggal Ciok-koan-im adalah sedemikian tersembunyi, cara bagaimana mereka begitu cepat dan leluasa menemukan tempat itu?"
"Sekarang masih ada dua pertanyaan yang belum mampu kujawab dan kupecahkan, satu diantaranya adalah soal yang kau ajukan ini."
"Lalu persoalan yang satunya lagi apa?"
"Sungguh aku tidak habis mengerti kenapa kedua suami istri itu begitu getol menginginkan jiwaku."
Oh Thi-hoa mengerut kening dan tenggelam dalam pemikiran, katanya kemudian: "Sekarang, terang mereka sudah tahu bahwa kau sudah mulai curiga terhadap mereka, tentunya merekapun sudah tahu semalam kau hanya pura-pura sakit saja, bukankah kedudukan mu sekarang tidak lebih berbahaya?"
Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya: "Tapi kalau aku belum membongkar kedok mereka, sudah tentu merekapun tidak akan membongkar kecurigaanku, sekarang mereka sudah tahu bila aku curiga terhadap mereka, maka sepanjang jalan ini, selanjutnya mereka tidak akan berani sembarang bertindak atau bertindak lagi."
"Apa mereka akan menunggu sesudah kau tiba di Yong-cui-san-ceng baru akan turun tangan?"
"Agaknya hanya jalan inilah yang harus mereka tempuh."
"Kalau hal ini benar, pasti mereka sudah mempersiapkan berbagai macam cara untuk berusaha menghadapi kau dengan wibawa dan kekuasaan keluarga Li di kalangan Kangouw, tentunya rencana kerjanya kali ini amat sempurna."
"Ya, akupun maklum akan hal ini."
"Kalau kau sudah tahu, kau tetap hendak antar kematian kesana?"
"Urusan sudah terlanjur sejauh ini, apa bisa aku tidak kesana?"
"Ya, sudah tentu kau tidak bisa berpeluk tangan membiarkan Yong-ji bertiga berada dibelenggu mereka, akan tetapi..."
Coh Liu-hiang tiba-tiba tertawa, tukasnya: "Kau pun tidak perlu kuatir, meski perjalanan kita kali ini amat berbahaya, paling sedikit tidak akan menghadapi bokongan seperti Bau-shi-li-ting lagi."
"Dari mana kau bisa tahu?"
"Dengan wibawa dan ketenaran keluarga Li di Bulim, kalau mereka hendak membokong dan mencelakai jiwaku, pasti dilakukan ditempat lain, memperalat orang lain untuk mempertaruhkan jiwanya. Setiba di Yong cui sanceng, semua cara rendah dan kotor itu, masakah mereka berani melakukan" Memang mereka berani mempertaruhkan ketenaran nama baik dan gengsi Yong ci san cheng hanya untuk melakukan perbuatan yang jahat ini?"
"Benar, mereka tidak mempergunakan senjata rahasia pribadinya, namun menggunakan Bau hi-li hoa-ting, umpama kuatir membikin kotor dan merendahkan derajat Yong cui-san-cheng, jikalau kau mampus oleh Bau hi-li hoa-ting itu, orang lain takkan tahu bahwa kematianmu lantaran perbuatan jahat anak murid keluarga Li"
"Nah, jadi sekarang kau sudah paham?"
"Tak heran sekali gagal orang itu lantas membuang alat senjata rahasia yang amat berharga itu, kiranya memang dia takut bila kau mengetahui kalau alat itu berada ditangan mereka."
Bersambung ke jilid 32
JILID 32 "Sebetulnya sejak mula kau sudah tahu akan hal ini, kecuali anak murid dari keluarga Li. Siapa pula yang dapat memperoleh alat senjata rahasia yang amat berharga ini?"
"Kecuali anak murid hartawan besar yang paling kaya di seluruh bilangan Kanglam ini, siapa pula yang mampu sekali jreng membayar dua puluh ribu tail perak bagi seorang pembunuh untuk jiwamu?"
"Harus disayangkan, tidak berhasil mencuri ayam, mereka malah kehilangan segenggam beras."
Oh Thi-hoa tertawa besar, katanya: "Tapi kalau aku tentu memilih dua puluh ribu tail perak itu."
Mereka tertawa riang saling berpandangan, seolah-olah sudah merupakan situasi dan keadaan bahaya yang selalu mengintai mereka, terlupakan pula oleh mereka bila jiwa mereka mampus di Yong-cui-san-cheng, uang perak dan alat rahasia itu, bakal terjatuh kembali ketangan orang.
Hakekatnya didalam benak kedua orang ini selamanya tidak pernah terpikir soal mara bahaya segala.
Gunung itu dinamakan Hou-kiu atau harimau mendekam, semula dinamakan Hay yong san, letaknya di luar kota Soh-ciu sejak jaman dahulu kala, banyak maha raja pada dinasti kerajaan yang terdahulu sama dimakamkan di sini. Gunung ini tidak begitu tinggi, namun penuh dilembari catatan sejarah, dan dongeng-dongeng indah yang tersebar luas di kalangan rakyat jelata. Sejak lama sekali gunung ini sudah menjadikan tempat pesiar bagi para pelancongan.
Ternyata tanpa kurang suatu apa, dengan selamat Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sampai di Ko-soh. Mereka tidak mengitari tembok kota namun terus menerobos masuk begitu saja dan melewatinya. Li Giok-ham dan Liu Bu-bi masih bersikap wajar bicara dan kelakar, siapapun takkan tahu bahwa hati kedua belah pihak ada mengandung ganjalan-ganjelan serba rumit.
APakah Coh Liu-hiang keliru perhitungan" Setiba di kota yang terkenal karena keindahan alamnya ini, mau tidak mau akan timbul perasaan hangat dan nyaman dalam sanubari setiap pengunjung, siapa pula yang punya pikiran hendak membunuh orang"
Sepanjang jalan-jalan raya yang lebar dan bersih itu, dimana mana seolah-olah dipenuhi oleh kemolekan gadis-gadis rupawan, rambut mereka yang panjang dikepang bergoyang gontai tertiup angin, setiap kali beradu pandang selalu mereka melontarkan senyuman manis dan mekar.
Mata Oh Thi-hoa sampai mendelong kesima, mendadak dia tertawa lebar, katanya: "Adakah kalian pernah menyadari akan sesuatu hal yang lucu " Orang di sini ternyata semuanya sama tidak suka pakai sepatu"
Tampak sekian banyak orang-orang yang hilir mudik dijalan raya yang ramai ini memang jarang ada orang yang bersepatu, malah ada yang bertelanjang kaki, kebanyakan mengenakan sandal rumput, tiada yang bersepatu dengan hak tinggi, terutama kaum wanitanya, langkah mereka jadi begitu halus gemulai membuat hati orang seperti dikili-kili.
Kembali Oh Thi-hoa tertawa, katanya: "Tahukah kalian kenapa mereka sama tidak suka pakai sepatu" Sebabnya akupun sudah bisa menjawab."
Li Giok Ham bertanya: "Kenapa?" "Karena kaki-kaki mereka terutama kaum wanitanya tumbuh jauh lebih baik dari kaki-kaki orang daerah lain, kalau kaki yang baik itu tidak dipertontonkan kepada orang, bukankah menyia-nyiakan karunia Thian?"
Memang kaki gadis kota Soh-ciu ini bukan saja bagus, malah sejak lahir mereka seperti memang sudah diberikan perbawaan. Terutama di luar kota, sering kita bisa lihat banyak sekali gadis-gadis yang membawa keranjang berisi kembang kenanga, dengan langkah enteng dan lincah mereka mengejar kereta-kereta yang berlalu lalang, melompat naik turun dengan gesit dan ringan, terdengar pula suara kata katanya yang menggunakan bahasa daerah, semerdu itu suara mereka, siapa yang tega untuk tidak membelinya beberapa kuntum"
Tujuh Li di luar kota, itulah Hoa-kiu-san. Tapi baru saja keluar pintu kota, dari kejauhan sudah tampak tanah pegunungan yang memanjang berwarna hijau permai dan megah, laksana seekor harimau yang sedang mendekam siap menerkam mangsanya, sikapnya garang dan galak, kepala terangkat ekor bergoyang dengan angkernya.
Waktu melewati kota Ko-soh mereka jalan kaki, setiba di luar kota kembali mereka naik ke atas kereta. Oh Thi-hoa membuka tutup jendela, mengawasi para gadis -adis desa yang lincah dan juga serta ayu-ayu tak tahan dia berkata kepada Coh Liu-hiang: "Badan dara-dara ayu ini sungguh amat ringan dan cekatan sungguh calon-calon berbakat untuk belajar silat, jikalau mereka meyakinkan ilmu Ginkangnya ku tanggung mereka pasti tidak akan lebih rendah dari kau."
"Memang sejak kecil mereka sudah biasa melakukan. Seolah-olah sudah dilatihnya dengan matang, entah berapa kali mereka lompat naik turun kereta setiap harinya, sudah tentu cara ini jauh lebih sederhana dan leluasa dari latihan Ginkang."
Tengah dia bicara, tahu-tahu seorang nona kecil yang mengenakan baju hijau dengan sepatu rumput, rambutnya terkuncir besar mengkilat, lompat naik ke atas kereta di tangannya memegang kelompok-kelompok kembang kenanga yang dibuat membundar seperti bola katanya dengan seri tawa manis: "Kembang kenanga yang harum semerbak, Kongcu ya silahkan membeli beberapa kuntum."
Mengawasi tangan kecil mungil dan jari yang runcing-runcing itu Oh Thi-hoa tak tahan tertawa lebar, katanya: "Apakah kembangnya yang harum" Atau tanganmu yang harum?" Merah muka nona kecil ini, katanya dengan bibir cemberut, "Sudah tentu kembangnya yang harum, tidak percaya silahkan Kongcu-ya menciumnya.
Dengan bergelak tawa Oh Thi-hoa segera ulur tangan hendak menerima kembang itu, tak nyana Coh Liu-hiang merebutnya lebih dulu, katanya tertawa, "Kembang harum dan baik pasti banyak durinya, apakah kembang ini ada durinya" Jangan nanti menusuk hidungku lho."
Nona kecil itu cekikikan, katanya: "Kongcu-ya ini pintar berkelakar, mana ada kembang kenanga yang berduri di dunia ini?"
"Kalau demikian, baiklah aku beli beberapa kuntum, ujar Coh Liu-hiang. "Cuma sayang meski kembang ini indah, tiada orang yang mau memakainya, apa boleh buat, beberapa kuntum kembang ini kuhadiahkan kepada nona saja." mendadak bola kembang itu diangsurkan ke depan muka nona kecil itu.
Seketika berubah rona muka nona kecil ini, tahu-tahu badannya melejit ke atas terus bersalto sekali dan melompat jauh setombak lebih.
Oh Thi-hoa mengerut alis, katanya mengomel: "Nah, coba lihat, kau hidung belang ini bikin nona kecil itu ketakutan sedemikian rupa."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Jikalau aku tidak bikin dia kaget ketakutan pergi, maka ia pasti akan merenggut jiwaku."
"Apa katamu?" teriak Oh Thi-hoa tersirap.
Coh Liu-hiang tidak menjawab, pelan-pelan dia mengelopak demi kelopak bola kembang kenanga itu, akhirnya tepat ditengah tengah bundaran kelompok kembang itu, tampak menongol keluar sepuluhan batang ujung jarum hitam kecil yang mengkilap.
"Jarum beracun?" teriak Oh Thi-hoa.
"Kalau aku tidak merebutnya segera, cukup asal jari-jari kecilnya itu melempar bola kembang ini, apakah jiwamu dan jiwaku masih bisa hidup sampai sekarang?"
Lama Oh Thi-hoa terkesima dengan mulut melongo, setelah menyeka keringat tak tahan dia bertanya: "Kali ini cara bagaimana kau bisa tahu akan muslihat musuh?"
"Nona-nona kecil itu sejak kecil sudah biasa menjual kembang dijalan raya ini, dari sini dapatlah dibayangkan bahwa mereka adalah anak-anak orang golongan miskin, siang hari menjual kembang, malam hari harus membantu menyelesaikan pekerjaan rumah, mana mereka bisa mempunyai tangan sehalus dan seputih seperti jari-jarinya yang runcing terpelihara begitu baik?"
Oh Thi-hoa masih melongo sekian lamanya pula, katanya tertawa getir: "Sepasang mata telingamu ini memang terlalu luar biasa."
"Masih ada nona-nona kecil ini dilahirkan di sini dan dibesarkan di sini pula, lalu darimana mereka bisa bicara dengan logat kota yang begitu fasih, begitu dengar dia bicara, aku lantas tahu akan keganjilan ini."
"Agaknya kabar yang tersiar di kalangan Kang-ouw memang tidak salah. Sesuai dengan julukannya sebagai Maling romantis, Coh Liu-hiang memang seorang cerdik pandai, lalu dia menambahkan dengan suara pelan: "Menurut kau apakah nona cilik ini adalah utusan yang diperalat oleh mereka suami istri?"
Coh Liu-hiang membungkus jarum-jarum hitam itu dengan sebuah sapu tangan, katanya:
"Setiba ditempat ini, masakah mungkin ada orang lain, kalau kali ini berhasil, bukan saja mereka bisa mungkir pura-pura tak tahu, kalau tidak berhasilpun tidak menjadi soal."
"Agaknya tempat yang harus kita tuju hari ini bukan Hu-kiu "Harimau mendekam" tapi adalah Hu-hiat "sarang harimau".
"Kalau tidak masuk ke sarang harimau, masakah kau bisa mengambil anak harimau?"
"Bukan harimau jantan lho, tapi harimau betina."
Setiba di depan pintu gunung tepat di Hui-kiu, semua orang turun dari kereta, sikap Li Giok-ham suami istri tetap wajar dan bicara seperti biasa, bersenda gurau pula, seolah-olah tiada pernah terjadi apa-apa sepanjang jalan ini.
Apakah nona kecil itu tiada sangkut pautnya dengan mereka" Apakah rekaan Coh Liu-hiang kali ini meleset"
Di depan pintu gunung, ada terdapat sebuah pasar kecil, sungai kecil berliku-liku melalui pasar kecil yang ramai ini, ditempat dermaga yang tepat terletak di pusat pasar itu berhenti beberapa perahu pesiar, dari dalam perahu-perahu pesiar itu terdengar suara cekikikan tawa genit beberapa orang perempuan.
Setelah memasuki pintu pesanggrahan besar, di sini banyak kaum gelandangan dan kuli-kuli serta berbagai macam kaum jembel, begitu melihat ada tamu-tamu datang lantas merubung maju minta sedekah, ada pula yang dari kejauhan sudah menjura dan unjuk tawa berseri menyapa: "Li-kongcu sudah pulang" Hujin baik-baik saja?"
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa sekilas bertemu pandang hari mereka membatin: "Entah dalam rombongan pengemis ini adakah anggota Kaypang?"
Tatkala itu mereka sudah tiba di Jian jin-sek "batu ribuan orang" yang terkenal itu. Tampak sebidang batu besar yang dapat diduduki ribuan orang, selepas mata memandang, bukan saja tidak kelihatan ujungnya, sampaipun sebatang rumputpun tidak kelihatan, diujung utara batu datar ini malah terdapat sebuah panggung batu.
Terdengar Liu Bu-bi sedang berkisah: "Menurut tradisi sejak jaman dulu, kabarnya watu Go-ong membangun kuburan di sini menggunakan ribuan tukang batu, setelah kuburan selesai dibangun, kuatir tukang-tukang batu itu membocorkan alat-alat rahasia yang terpendam didalam kuburan ini. Go-ong perintahkan mengubur hidup-hidup ribuan tukang batu itu di bawah batu besar ini, oleh karena itu maka tempat ini dinamakan Jian jin-sek."
"Peristiwa kejam pada jaman dulu itu, ternyata diceritakan dengan nada riang dan lincah dari mulut Liu Bu-bi, seolah-olah cerita itu sendiri sedikitpun tidak berbau darah.
Tak tahan Oh Thi-hoa bertanya: "Apa pula gunanya panggung batu itu?"
"Itulah tempat berkotbah bagi padri agung sejak jaman dinasti Tong yang dipimpin oleh Liang-pin."


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langkah kaki Liu Bu-bi selincah dan semerdu suaranya, angin pegunungan menghembus dari belakang batu, rambutnya tertiup melambai lambai, pakaiannya pun dihembus menari-nari, sehingga sekilas pandang dirinya laksana bidadari yang turun dari kahyangan.
Oh Thi-hoa terlalu asyik mendengarkan, memandangnya terpesona pula, dalam hati dia membatin dengan gegetun: "Secantik bidadari ini, apa benar dia sebagai seorang pembunuh yang kejam?"
Tak lama kemudian merekapun tiba di Kiam-ti "telaga pedang". Di sini tampak pepehonan tumbuh subur menghijau dan permai. Sebuah jembatan kayu laksana pelangi menjulang naik terus melintang ke seberang sebelah sana, air telaga jernih dan bening kehijauan terasa rada dingin, titik-titik buih berkembang di permukaan air."
Berdiri di pinggir empang terasa oleh Coh Liu-hiang bau harum nan dingin merangsang hidung, ditengah bayang-bayang warna kehijauan nan bening di dalam air empang seolah-olah mengandung hawa membunuh yang tebal.
Coh Liu-hiang tersenyum, katanya: "Pujangga terkenal dinasti Tong Liu Siu gim, menilai air di sini sebagai sumber air nomor lima di seluruh jagat, di luar tahunya bahwa air di sini pun besar manfaatnya buat merendam pedang, banyak tokoh-tokoh pedang masa lalu suka mencuci dan merendam pedangnya di sini, kini tempat inipun sudah diberi nama lain oleh jago pedang nomor satu di seluruh jagat Li-locianpwe, memang nama Kiam-ti amat serasi dan sesuai pula dengan situasi dan keadaannya."
"Khabarnya nama inipun mempunyai asal-usulnya sendiri." sela Liu Bu-bi.
"O" Bagaimana ceritanya?" tanya Coh Liu-hiang.
"Khabarnya kuburan yang dibuat Go-ong itu tepat berada di telaga kecil ini, waktu beliau meninggal, tiga puluh batang pedang mestika ikut masuk liang kubur, sampai Ho yang-kiam yang turun temurun sebagai penegak negara itupun termasuk diantaranya, oleh karena itu tempat ini dinamakan juga Kiam-ti."
Coh Liu-hiang tersenyum ujarnya: "Jikalau aku bisa terkubur disini, berdampingan bersama kejayaan Go-ong dulu, kiranya tidak sia-sia perjalanku sejauh ini kemari!"
Tidak berubah sikap dan mimik Liu Bu-bi, katanya tertawa berseri: "Coh-heng sudah tahu bahwa air telaga di sini sebagai sumber air nomor lima di dunia, tahukah bahwa sumber air nomor tiga di dunia inipun berada di sini?"
Setelah mengelilingi Kiam-ti, di depan rada jauh sedikit mereka telah menemukan sebuah sumur batu yang besar sekali, permukaan sumur lebar beberapa tombak, di pinggir sumur dibangun sebuah gardu yang dikelilingi pagar kayu yang berlika-liku segi enam.
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Tentunya inilah Lou-ih-teh-kin sumber air nomor tiga di dunia itu, dulu Li locianpwe ada mengundang tokoh-tokoh pedang terkenal di seluruh jagat di sini menikmati air teh dan mencuci pedang serta menilai ilmu pedang masing-masing. Sikap terjang dan kebesaran wibawa para Cianpwe yang terdahulu, sungguh merupakan cambuk dan tauladan bagi generasi muda seperti kita."
Sekonyong-konyong terdengar seseorang menghela napas panjang katanya: "Namun harus disayangkan gunung dan air tetap abadi, para manusianya justru sudah tak lengkap lagi."
Waktu itu magrib sudah menjelang, tabir malam mualai mendatang, cahaya matahari menguning guram sudah mulai terbenam, bayangan harimau mendekam di puncak menara nan tinggi, seekor elang sedang terbang berputar sehingga pemandangan alam nan permai itu terasa menjadi tawar dan dingin.
Demikian pula helaan napas yang rawan dan mendelu itu, terasa amat patah semangat dan serba gegetun.
Tampak segulung asap tengah bergulung keluar dan mengepul baik ke udara dari gardu enam persegi itu. Gardu gunung nan dingin dan sepi, tampak duduk seorang kakek tua beruban dengan pakaian orang suci dan bersanggul kepala seperti kaum sastrawan. Seorang diri duduk didalam gardu menikmati minuman tehnya. Kesunyian yang mencekam dirinya agaknya mirip benar dengan elang yang sedang berputar-putar di puncak menara di atas gunung sana.
Bercahaya biji mata Coh Liu-hiang, katanya: "Apakah Lo siansing dulu juga salah satu orang yang hadir didalam pertemuan besar menikmati teh dan menilai ilmu pedang di sini itu?"
Orang tua beruban kembali menghela napas ujarnya: "Benar, cuma harus disayangkan para sahabat itu banyak yang sudah wafat, ketinggalan Losiu yang selalu kejangkitan penyakit, masih gelandangan di dunia fana ini, bila ingin mencari orang untuk menemani Losiu menikmati teh dan menilai ilmu pedang disinipun tak terlaksana lagi."
Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa beradu pandang, seketika berdiri bulu roma mereka, hati pun mencelos dingin. Tokoh-tokoh pedang yang dulu pernah ikut menjajal pedang di sini tiada satupun yang tak mempunyai kepandaian pedang yang tiada taranya, jika sampai sekarang belum meninggal tentunya ilmu pedangnya sudah sempurna dan tak ada bandingannya.
Apakah kakek tua ini kebetulan hari ini iseng mengunjungi tempat lama yang penuh kenangan pahit getir, atau sengaja diundang kemari untuk menunggu didalam gardu itu" besar kemungkinan bukan secara kebetulan, memangnya siapa yang sedang dia tunggu"
Oh Thi-hoa segera tampil bertanya: "Entah siapakah nama mulia Lo-siansing?"
Kakek tua tak berpaling, namun pelan-pelan dia menjawab: "Losiu Swe Ie-hang."
Terkesiap darah Coh Liu-hiang serunya: "Apakah Jay sing ih-su Swe-locianpwe yang dulu pernah membacok putus nyawa Kwe-thian-sing dan terkenal dengan julukan It-kiam-tang-sam-san, "pedang tunggal menggertakan tiga gunung" itu?"
Mendadak kakek tua itu berdiri, menengadah tertawa panjang daun-daun pohon dimusim rontok disekeliling gardu seketika bergetar rontok berhamburan seperti kembang salju melayang layang jatuh. Sehabis tertawa panjang berkata dengan lantang: "Coh Liu-hiang memang luar biasa, Losiu baru saja menyeduh teh baru, kenapa tuan tidak kemari sama-sama menikmati teh wangi ini?"
Tanpa berpaling namun dia sudah tahu bahwa yang datang ternyata adalah Coh Liu-hiang jelas bahwa sejak lama dia sudah mendapat kabar dari Li Giok-ham dan menunggu kedatangan Coh Liu-hiang ditempat ini.
Waktu Coh Liu-hiang dan Oh Thi-hoa berpaling, Li Giok-ham suami istri entah sejak kapan sudah menghilang secara diam-diam, tanpa diketahui kemana perginya.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas namun dia unjuk senyum, katanya: "Menikmati minuman teh boleh kuiringi, jikalau hendak jajal pedang, Cayhe terus terang...."
Swe It-hang mendadak berpaling dengan mata mendelik, serunya bengis: "Terus terang kenapa" Meski usia Losiu sudah lanjut, namun pedang masih belum loyo!" maka terdengar
"Sreng" seperti pekik naga mengalun diangkasa, tahu-tahu kakek tua ini sudah mencekal sebatang pedang panjang warna putih sebening air. Coh Liu-hiang yang berdiri beberapa tombak jauhnya masih merasakan hawa pedang yang dingin mengiris kulitnya.
"Pedang bagus!" tak tertahan Oh Thi-hoa berseru memuji.
"Sudah tentu pedang bagus" ujar Swe It-hang bangga dan angkuh, sorot matanya lebih tajam dari cahaya pedangnya, katanya melotot kepada Coh Liu-hiang: "Sudah tigapuluh tahun pedang Losiu ini tidak pernah meninggalkan sarungnya, hari ini demi kau dia melihat dunia pula, boleh kau merasa bangga karenanya."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Pedang ternama keluar dari sarungnya, selamanya pantang kembali dengan kosong. Apakah hari ini Cianpwe sudah bertekad hendak memenggal kepala Cayhe?"
Beringas muka Swe It-hang, serunya lantang: "Angkatan pendekar sebagai kaum persilatan memangnya harus berani ajal di bawah pedang, memangnya kau takut mati?"
Sesaat berdiam diri, akhirnya Coh Liu-hiang berkata: "Kalau Cianpwe berkukuh hendak memberi pengajaran, Cayhe terpaksa harus melayani tapi semoga Cianpwe suka memberi penjelasan tentang satu soal, dengan kewibawaan dan gengsi Cianpwe tentunya tidak akan menyembunyikan persoalan ini."
"Soal urusan apa?" tanya Swe It-hang.
"Selamanya Cayhe tidak bermusuhan, tiada sakit hati dengan Cianpwe, sebaliknya Cianpwe berkukuh hendak menamatkan jiwa Cayhe, apakah mendapat pesan atau diperintah orang lain?"
Bertaut alis tebal Swe It-hang, sahutnya: "Memang tidak salah, tapi jikalau lawanku bukan Coh Liu-hiang si Maling romantis, Losiu pun tidak sudah turun tangan."
Coh Liu-hiang tertawa tawar, katanya: "Kalau Cayhe bertanya lebih lanjut dari siapa Cianpwe mendapat perintah ini, tentunya Cianpwe malu mengatakannya, tapi meski Cianpwe tak mau menerangkan, Cayhe pun sudah dapat meraba tujuh delapan puluh prosen."
"Bagus sekali, kalau begitu hayolah keluarkan senjatamu!"
"Baiklah," sahut Coh Liu-hiang belum lagi suaranya lenyap, tiba-tiba badannya melambung tinggi ke angkasa, melejit ke arah sepucuk pohon yang tinggi dan besar disamping sana, sekali raih dengan ringan dia memetik setangkai dahan pohon.
Swe It-hang dijuluki Jay-sing "memetik bintang" betapa tinggi ilmu Ginkangnya dapatlah dibayangkan dari nama gelarnya ini, tapi melihat gaya lompatan Coh Liu-hiang ini seketika berubah hebat rona mukanya.
Tampak dengan ringan tanpa mengeluarkan suara Coh Liu-hiang sudah jumpalitan balik menancapkan kakinya ditempat semula, dahan pohon itu dia kutungi sepanjang lima kaki di ujung dahan pohon itu masih terdapat tiga lima lembar daun pupus dengan melintangkan dahan di depan dada segera ia memberi gaya penghormatan kepada angkatan yang lebih tua, katanya:
"Silahkan Cianpwe."
Bertaut alis Swe It-hang, tanyanya: "Itukah senjatamu?"
"Ya" Swe Ih-hang gusar, dampratnya: "Anak muda terlalu pongah dan takabur, umpama Li Koan-hu sendiripun tak berani bersikap kurang ajar seperti kau ini terhadap Lohu."
"Sedikitpun Cayhe tidak takabur dan memandang rendah segala."
"Memangnya apa maksudmu?"
"Asal dipakainya dengan betul, segala benda di dalam mayapada nan luas ini, semua adalah alat senjata yang dapat melukai orang, tergantung siapa pemakai dan cara bagaimana menggunakannya, umpama senjata sakti mandraguna peninggalan jaman kono, kalau si pemakainya tidak becus juga tidak akan bisa melukai orang. Cianpwe seorang kosen, mengapa tidak paham akan pengertian ini?" kata-katanya diucapkan secara wajar, enteng dan tawar namun maknanya betul-betul mengandung sindiran pedas yang menusuk perasaan.
Diam-diam Oh Thi-hoa bersorak geli dalam hari, dia tahu inilah salah satu strategi perang Coh Liu-hiang didalam menghadapi musuhnya, jikalau musuh terlalu tangguh, maka Coh Liu-hiang pasti menumpas kewibawaan dan menekan ketabahan hatinya lebih dulu.
Apalagi pedang ditangan Swe It-hang itu, terang adalah senjata sakti yang dapat mengiris besi seperti mengiris sayur, jikalau Coh Liu-hiang menggunakan senjata tajam yang terbuat dari logam melawannya, terang takkan kuat melawan ketajaman pedang lawan.
Kini dia menggunakan dahan pohon yang lemas untuk melawan musuh, yang diambilnya adalah cara lemas mengatasi kekerasan umpama tidak dapat merenggut keuntungan paling tidak dirinyapun tidak terlalu besar.
Baru sekarang Oh Thi-hoa betul-betul menyadari kecerdikan Coh Liu-hiang didalam menghadapi musuh, memang jarang dan tidak mungkin ditandingi orang lalu, hampir tak tahan dia ingin membujuk kepada Swe It-hang: "Kenapa kau begitu getol ingin bertanding dengan Ulat busuk" Jay sing ih-su julukanmu ini tidak gampang kau peroleh, kenapa kau harus mempertaruhkan gengsi dan nama baikmu yang bakal runtuh ini?"
Asap yang mengepul dari wedang teh didalam gardu sudah menguap hilang ditelan angin pegunungan.
Swe It-hang tidak banyak bicara lagi, selangkah demi selangkah dia berjalan keluar, langkah kakinya mantap dan amat pelan, hanya dua langkah kakinya beranjak Oh Thi-hoa sudah dibikin kaget dan melongo.
Oh Thi-hoa sendiri sering berkelahi dan suka melabrak musuhnya mati-matian, sejak kecil sampai setua ini wataknya belum pernah berubah, selama hidupnya setiap kali bertarung dengan lawan, hampir dikata dianggapnya seperti dirinya makan nasi dan minum air seperti layaknya kehidupan manusia umumnya.
Selama sepuluh tahun belakangan ini, boleh dikata musuh macam apapun pernah dihadapinya, sudah bukan mustahil bila diantara sekian banyak musuh-musuhnya terdapat pula tokoh-tokoh ahli pedang yang kenamaan.
Diantara tokoh-tokoh pedang itu termasuk ahli pedangnya ad pula yang enteng dan cepat laksana kilat menyambar, ada pula yang amat ganas dan keji. Tapi peduli siapapun setelah gaya pedang dan jurus serangannya dilancarkan baru menjadikan ancaman yang fatal bagi musuhnya.
Tapi Swe It-hang yang dilihatnya sekarang bukan saja pedang panjangnya belum bergerak menyerang, sampaipun badaniahnya seolah sudah diasah menjadi senjata golok, seluruh badannya dari ujung kaki sampai atas kepala lapat-lapat mengeluarkan hawa membunuh yang bisa mengecilkan nyali musuhnya.
Sebagai orang di luar kalangan yang tiada sangkut paut dengan pertempuran adu jiwa ini Oh Thi hoa sudah merasakan ancaman berat ini, apalagi Coh Liu-hiang yang berhadapan secara langsung. Siapa akan menduga kakek tua sebagai sastrawan yang alim dan welas asih dengan gelaran si suci memetik bintang ini, didalam waktu sesingkat ini bisa berubah begitu kejam dan menakutkan.
Hembusan angin pegunungan yang menderu keras membuat pakaian sucinya yang longgar itu melambai-lambai, berbunyi nyaring, langkah kakinya tak berhenti terus melangkah ke depan tapi orang lain justru tidak merasakan bahwa badannya sedang bergerak.
Soalnya dia sudah himpun seluruh semangat, kekuatan dan jiwanya ke dalam segulung hawa pedang yang merupakan tumpuhan ilmu pedangnya, orang lalu cuma merasakan hawa pedangnya seperti menyesakkan napas sehingga seolah-olah sudah melupakan kehadiran badan kasarnya.
Badaniahnya sudah menyatu dengan hawa pedang dan bersatu padu, memenuhi mayapada diantara bumi dan langit, oleh karena itu disaat dia bergerak, seperti tak bergerak, waktu tak bergerak seolah-olah sedang bergerak.
Akhirnya Oh Thi-hoa betul-betul menemukan kebesaran pambek seorang Cianpwe kosen ahli pedang ini, betul-betul tak terjangkau oleh nalar dan pemikiran siapapun. Semula dia berniat membujuk dan menasehati Swe It-hang sekarang mau tidak mau hatinya gundah dan menguatirkan keselamatan Coh Liu-hiang malah.
Dia sendiri tidak habis mengerti dengan cara bagaimana baru dia bisa menggempur dan memecahkan perpaduan hawa pedang yang kokoh itu.
Hembusan angin gunung cukup deras, tapi seluruh mayapada dan isinya seolah-olah sudah membeku jadi satu.
Terasa oleh Oh Thi hoa keringat dingin sebesar kacang setetes demi setetes mengalir keluar, seluruh penghuni jagat dalam sekejap ini seolah-olah berhenti bergerak dan mati rasa sampai sang waktu seolah-olahpun berhenti. Terasa seolah-olah ada sepasang tangan yang tidak kelihatan, sedang mencekik lehernya. Napasnya hampir sesak dan berhenti sama sekali.
Sukar dia membayangkan betapa tersiksa keadaan Coh Liu-hiang pada saat itu, tapi pada saat itu mendadak Coh Liu-hiang melejit tinggi ke tengah angkasa laksana burung bangau raksasa melambung tinggi. Siapapun takkan menyangka di bawah tekanan tenaga musuh yang begitu hebat, dia masih kuasa melambung ke angkasa, siapapun takkan menduga kekuatan dan daya luncur lompatannya itu ternyata begitu cepat laksana samberan anak panah.
Sekokoh batu gunung Swe It-hang berdiri di tempatnya tak tergoyahkan, cuma pedang di tangannya itu sesenti demi sesenti terangkat naik, pedangnya itu seolah-olah diganduli bobot laksaan kati, kelihatannya begitu berat dan lamban sekali.
Tapi dengan jelah Oh Thi-hoa masih bisa mengikuti gerak pedang orang ternyata dia telah mengikuti gerak-gerik badan Coh Liu-hiang selincah naga menari diangkasa, namun ujung pedang orang selalu mengincar badan Coh Liu-hiang dalam jarak dua dim saja. peduli kemanapun Coh Liu-hiang meluncur turun, terang takkan lolos dari ancaman tusukan pedang lawan.
Tapi akhirnya Coh Liu-hiang meluncur turun dan tancap kaki di tanah. Waktu melesat tinggi tadi badannya meluncur laksana anak panah, begitu tiba di atas langit, bergerak seperti kecapung menunggang bola api, berputar dan menari-nari, perubahannya tak terhitung banyaknya, dan tak mungkin ditiru serta tak bisa ditandingi.
Pedang Swe It-hang sudah siap bergerak menyerang. Pada saat itulah dahan pohon ditangan Coh Liu-hiang mendadak bergeming bergerak membundar, beberapa daun di ujung dahan itu, mendadak meninggalkan dahannya dan meluncur ke arah muka Swe It-hang.
Swe It-hang bersuit panjang, pedang berubah menjadi tabir cahaya yang rapat dan seperti gugusan gunung membundar.
Tampak oleh Oh Thi-hoa cahaya pedang orang sudah menelan Coh Liu-hiang bulat-bulat, beberapa lembar daun itu, sudah tertekan hancur lebur oleh kekuatan hawa peang yang tajam dan dahsyat itu, lenyap tanpa bekas.
Akan tetapi begitu cahaya pedang kuncup, pedang ditangan Swe It-hang tahu-tahu sudah menjuntai turun lunglai, rona mukanya kaku tidak menunjukkan mimik perasaan, seluruh kulit badannya seolah-olah didalam sekejap itu sudah membeku dan dingin.
Kalau dia diibaratkan sebuah golok, maka dia sekarang sudah berubah sebagai golok kayu, berubah tak bersinar, dan kelam, ketajaman dan kewibawaan hawa pedangnya pun sudah sirna tak berbekas lagi.
Waktu dia melirik ke arah Coh Liu-hiang, tampak orang sudah meluncur turun dan hinggap satu tombak di hadapan Swe It-hang, dahan pohon di tangannya sudah gundul dan terbeset kulit pohonnya karena ketajaman hawa pedang itu.
Bukan saja Oh Thi-hoa tidak tahu orang bagaimana Coh Liu-hiang lolos dan menyelamatkan diri dari kepungan cahaya pedang musuh yang dilandasi hawa pedangnya, diapun tak tahu bagaimana kesudahan dari akhir pertempuran kedua orang ini, entah siapa menang dan pihak mana kalah.
Entah berapa lama akhirnya Coh Liu-hiang membungkuk badan katanya: "Ilmu pedang Cianpwe tiada taranya, selama hidup belum pernah melihatnya."
Dengan hambar Swe It-hang mengawasinya, mulutnya menggumam: "Bagus, bagus, bagus sekali..." beruntun dia berkata tiga kali, pedang saktinya itu tiba-tiba berubah jadi selarik bianglala yang melesat terbang ke tengah udara laksana kilat menyambar d icuaca menjelang gelap ini, terus meluncur ke arah Kiam-ti. Sesaat kemudian, terdengar "Plung". Maka sejak ini Kiam-ti ketambahan sebatang pedang tajam luar biasa yang sakti.
Dengan hampa Swe It-hang melepas pedangnya ke tempat nan jauh di sana, seluruh badannya seolah sudah luluh, jiwa dan sukmanya seolah-olah sudah ikut pedangnya itu kecemplung ke telaga pedang.
Tak urung terunjuk rasa prihatin dan mendelu pada muka Coh Liu-hiang katanya menghela napas: "Cayhe mengambil keuntungan meski untung berhasil lolos dari pedang Cianpwe, tapi aku sendiri belum bisa menang, buat apa Cianpwe..."
"Kau tak usah bilang lagi."
Coh Liu-hiang mengiakan dengan tunduk kepala.
Lama Swe It-hang menatapnya pula lekat-lekat, tanpa bicara sepatah katapun tiba-tiba dia putar badan terus melangkah lebar turun gunung.
Coh Liu-hiang geleng-geleng kepala, ujarnya menghela napas: "Memang tidak malu orang ini diagulkan sebagai Enghiong, cuma harus disayangkan, orang seperti ini semakin lama semakin jarang di Kang-ouw."
Tanya Oh Thi-hoa: "Ucapannya terakhir, Apakah maksudnya" Apa kau benar-benar paham?"
"Dia memberitahu kepadaku, demi membalas budi kebaikan Li Koan-hu, umpama dia harus mempertaruhkan jiwa raga sendiripun tak menjadi soal, oleh karena itu meski dia tak tahu kenapa Li Koan-hu ingin membunuh aku, tidak bisa tidak dia turun tangan."
"Kalau demikian jadi dia mendapat pesan Li Koan-hu mencegatmu di sini?"
"Tentu saja demikian."
"Tapi kenapa Li Koan-hu hendak membunuh kau?"
"Seorang tua demi anak dan menantunya, urusan apapun bisa saja dia lakukan."
"Tadi cara bagaimana kau mengalahkan dia" Bukan saja aku tidak melihat jelas, kupikirpun takkan terpecahkan."
"Ilmu pedang orang ini memang sudah mencapai taraf yang tiada taranya, boleh dikata dia sudah membuat pedang yang berwujud itu menjadi abstrak "tidak berwujud" seluruh tubuhku sudah terkurung, hampir bernapaspun tak bisa lagi."
"Aku yang berada di luar kalangan saja serasa sesak, apalagi kau?"
"Kalau aku tidak cari akal untuk menjebol keluar dari kurungan hawa pedangnya lebih dulu, pasti pasrah dan menyerah untuk dipenggal kepalaku saja oleh karena itu aku terpaksa harus menyerempet bahaya, disaat dua ganti napas, mendadak aku melejit ke atas" Dengan tertawa getir ia melanjutkan: "Tentunya kau sudah tahu, menghadapi tokoh kosen seperti Swe It-hang, bukan saja sedang menghadapi bahaya, bila sekali seranganmu gagal berarti kau mengantar jiwamu!"
"Memangnya gerakan menyerang dengan cara terapung di udara ini, hanya bisa dilancarkan bila yang kuat menyerang yang lemah, karena sekali kau gagal, berarti kau kejeblos ke jalan buntu, maka waktu aku melihat kau menggunakan jurus seranganmu ini hampir saja mencolot keluar."
"Begitu badanku terapung ditengah udara, maka lebih jelas aku melihat pusat dari kekuatan hawa murninya yang kokoh dan tak tergoyahkan, oleh karena itu terlebih dulu aku gunakan daun-daun dari dahan pohon di tanganku untuk memancing gerakannya sehingga pemusatan hawa pedangnya itu buyar."
"Teorimu ini aku tak bisa menerimanya."
"Soalnya waktu itu dia sudah kembangkan seluruh kekuatan dan kemahirannya dalam mengendalikan hawa pedang itu, umpama air gentong yang luber atau anak panah yang sudah dipentang busurnya tinggal membidikkan saja cukup tersentuh sedikit saja, maka anak panah itu harus dilepaskan."
"Em, ya, perumpamaan ini memang tepat."
"Nah, itulah teori yang kupakai."
"Teori apa" Aku masih belum paham."
"Dengan kekuatan tenaga dalam, aku sambitkan daun pohon itu, hawa pedangnya sudah penuh sesak, begitu tersentuh oleh sesuatu benda dari luar, seketika menimbulkan reaksi yang hebat luar biasa. Celaka adalah begitu hawa pedang itu bekerja, tak mungkin dikendalikan lagi, bukan saja beberapa daun pohon itu hancur lebur seluruhnya, umpama badan seseorang pun pasti luluh tak berbekas lagi."
"Begitu lihaynya."
"Tapi begitu hawa pedang itu bergolak dan bekerja maka tampaklah titik lobang kelemahannya."
"Kenapa?"
"Karena seluruh tumpuan kekuatannya terpusatkan pada titik itu, dengan sendirinya lantas menunjukkan kekosongannya maka aku tak sia-siakan kesempatan ini, dengan ujung dahan pohon di tanganku itu aku berhasil sedikit menutul kepalanya." sampai di sini Coh Liu-hiang tertawa panjang, katanya pula kemudian: "Namun demikian aku, toh terkena juga oleh tutulan tenaga hawa pedang yang dahsyat itu, sehingga terpental jauh beberapa tombak."
Oh Thi hoa menyela keringat katanya tertawa lebar: "Akan tetapi, apapun yang terjadi kenyataan sejurus kau dapat mengalahkan dia."
"Sejurus ini amat enteng dan gampang dikatakan, bahwasanya amat sukar dilaksanakan, apalagi walau ujung dahan kayu itu berhasil menutul kepalanya sekali-kali takkan mampu melukai dia, maka sebetulnya dia tidak perlu mengaku kalah."
"Kalau demikian, bila waktu itu dia tidak kalah dan melabrakmu lebih lanjut, bukankah jiwamu bakal amblas?"
"Itupun belum tentu."
"Kenapa belum tentu?"
"karena tindakanku itu sudah membikin hawa pedangnya pecah tercerai berai, kalau dia berusaha memusatkan hawa pedangnya lagi dalam waktu sesingkat itu, akupun tidak akan memberi kesempatan kepadanya, maka dia merangsek lebih lanjut, kita masing-masing harus berkelahi mengandal kematangan permainan jurus silat masing-masing."
"Darimana kau tahu bila permainan jurus tipu-tipu silatnya tidak ungkulan melawan kau?"
"Kalau membicarakan kehebatan jurus tipu-tipu silat yang terlihai, dalam kolong langit ini, mungkin tiada seorangpun yang bisa menandingi Ciok-koan-im.
Oh Thi-hoa kedip-kedip mata, tanyanya tiba-tiba: "Jikalau Swe It-hang melawan Ciok-koan-im bagaimana?"
"Ciok-koan-im pasti akan menang."
"Berdasar apa kau berani berkata demikian?"
"Karena Swe It-hang sendiri belum bisa mengendalikan hawa pedangnya itu sedemikian rupa dan senyawa dengan raganya, dapat dimainkan sesuka hatinya, diapun belum mampu melebur hawa pedangnya itu ke dalam permainan jurus tipu-tipu ilmu pedangnya."
"Kalau dia berhasil melebur hawa pedang itu ke dalam jurus tipu perubahan ilmu pedangnya?"
"Maka kepandaiannya takkan menemui tandingan dikolong langit."
"Aku mengharap dalam dunia ini ada seseorang seperti itu, supaya kaupun merasakan pahit getirnya, selamanya kau selalu menang perang, jikalau kalah sekali, mungkin kepandaian silatmu baru bisa mencapai taraf yang tiada taranya."
Sebetulnya Oh Thi-hoa berkelakar dengan ucapan ini, tak nyana Coh Liu-hiang justru menanggapi dengan serius: "Ya, memang begitulah, disitulah letak teori ilmu silat yang paling mendalam, harus disayangkan selama hidup ini aku paling gemar menyerempet bahaya, setiap kali berhadapan dengan musuh tangguh, tanpa kusadari secara reflek aku menggunakan jurus permainan yang menyerempet bahaya pula. bila aku kalah maka jiwaku tanggung mampus, oleh karena itu walau aku tahu akan kelemahanku ini, namun tetap aku main untung-untungan menyerempet bahaya untuk menempuh kemenangan."
Oh Thi-hoa malah melongo, katanya: "Sebetulnya tujuanmu bukan melulu ingin menang dan lagi bila kau tidak menggunakan cara yang menyerempet bahaya, jelas kaupun bakal mampus karena bila kau tidak membunuh atau melukai musuh, sebaliknya musuh bakal menamatkan riwayatmu."
"Maka cepat atau lambat, akan datang suatu hari, aku pasti akan mampus ditangan orang lain."
"Tapi kaupun tidak perlu kuatir, orang yang dapat membunuh kau, kukira sampai detik ini belum lagi lahir!"
Kabut semakin tebal sehingga tabir malam terasa semakin kelam.
Disongsong datangnya gulita ini mereka naik ke puncak gunung, melewati Yam yang-sung.
Hau-cu-beng, Toan-liau-nam. Kam-kain-swan. Sik-kiam-sek. Jin-sian-ting dan Sian-jin-tong.
Tapi mereka tidak menemukan jalan yang langsung menembus ke Yong-ciu-san-cheng.
Hampir saja Oh Thi-hoa sudah curiga bahwa Yong-cui-san-cheng apa benar terletak di Hou-kin-san ini. Kata Oh Thi-hoa dengan mengerut kening: "Apa kau sendiripun belum pernah berkunjung ke Yong cui san-cheng?"
"Belum, aku cuma dengar bahwa Yong cui san-cheng terletak dalam pelukan gunung jauh dari Tay ouw, pulau pasir yang indah permai dengan layar berkembang, asap mengepul ditengah rumpun bambu, merupakan tempat yang panoramanya terindah di seluruh gunung ini."
Waktu Oh Thi-hoa hendak bersuara lagi, tiba-tiba dilihatnya dikejauhan sana terangkat tinggi sebuah lampion perak, bergoyang-goyang terhembus angin, seolah terletak pada suatu puncak gunung yang tinggi.
"Permainan apa pula itu?" ujar Oh Thi-hoa mengerut kening.
"Apapun yang akan terjadi di sana kita harus menengok kesana." ajak Coh Liu-hiang.
Cepat sekali mereka kembangkan Ginkang melesat ke atas puncak, setelah dekat dilihatnya sebuah menara raksasa, bercokol tinggi dengan angkernya ditengah hembusan angin gunung yang deras, menara ini tujuh tingkat setiap tingkatnya terdapat genteng wuwungan yang miring menjulur keluar.
Lampion merah itu tergantung di bawah payon genteng, yang paling tinggi, namun suasana sepi lenggang, hanya pohon menara yang bergoyang gontai mengeluarkan suara-suara melengking yang bersahutan, tiada tampak bayangan seorangpun di sini.
Siapakah yang menggantung lampion itu di atas sana, apa tujuannya"
Cahaya lampion laksana darah, di bawah penerangan cahaya merah darah ini, tampak pada dinding menara, di bawahnya bertuliskan sebaris huruf-huruf tapi karena tulisan berada di puncak tertinggi, sehingga tidak begitu jelas dan tak terbaca dari bawah.
"Matamu lebih jeli dari mataku, apa kau sudah melihat jelas apa yang tertulis di atas itu?"
Agaknya Coh Liu-hiang seperti memikirkan sesuatu, dia cuma geleng kepala.
"Biar kutengok ke atas sana." kata Oh Thi-hoa. Baru saja dia hendak melompat, tahu-tahu Coh Liu-hiang sudah menariknya.
"Aku tahu pasti mereka sedang mengatur tipu daya di sini, tapi kalau kita tidak kesana hati terasa mendelu."
"Biar aku yang naik" kata Coh Liu-hiang. Tanpa menunggu jawaban Oh Thi-hoa badannya sudah melambung ke atas, dia sendiripun tahu bukan mustahil di atas sana ada perangkap keji yang menunggu dirinya, maka gerak-geriknya teramat hati-hati dan waspada.
Sebentar saja tampak badannya seenteng burung walet sudah mencapai tingkat ke enam, akhirnya dia sudah melihat jelas tulisan di dinding itu yaitu berbunyi: "Coh Liu-hiang mampus di sini." selintas pandang dia sudah membaca tulisan ini, mesti hati amat kaget namun sedikitpun dia tidak menjadi gugup, tanpa banyak membuang waktu langsung badannya meluncur turun ke bawah.
Siapa nyana pada saat itu pula sekonyong-konyong dari puncak menara terkembang sebuah jawa raksasa.
Selama ini Oh Thi-hoa menengadah mengawasi gerak-gerik Coh Liu-hiang, dengan jelas dilihatnya sinar kemilau dari benang-benang jala itu, seolah-olah terbuat dari kawat-kawat lemas yang halus, meski bobotnya enteng tapi daya luncurnya ternyata amat pesat.
Disaat Coh Liu-hiang hampir terbungkus dan terjerat oleh jala besar ini, tak terasa Oh Thi-hoa menjerit memperingatkan: "Awas!"
Ditengah peringatan Oh Thi-hoa itu, badan Coh Liu-hiang sudah melorot turun dengan lebih cepat, sehingga jala yang terkembang itu seolah-olah ketinggalan diatas kepalanya, keruan Oh Thi-hoa menghela napas lega.
Tak nyana dari tingkat kelima menara batu ini, sekonyong-konyong laksana kilat menyambar keluar sebatang sinar perak yang kemilau pula, agaknya seperti tombak arit yang melengkung, senjata yang jarang terlihat dan dipakai oleh kaum persilatan. ujung tombak menggantol kedua lutut Coh Liu-hiang.
Sudah tentu bukan kepalang kaget Coh Liu-hiang, namun dia tetap tenang, sigap sekali sebelah tangannya menepuk pinggiran wuwungan tingkat kelima, cepat sekali badannya sudah bersalto mundur ke bawah. Namun demikian setelah dia terhindar dari gantolan musuh, badannya berarti masuk perangkap jala lebar itu, seketika seperti ikan besar yang terjaring seluruh badannya bergelimang didalam jala, terus melayang turun dengan berputar-putar ditengah-tengah udara.
Tapi tombak gantolan itu cepat sekali terulur keluar pula dan menggantol jala sehingga jala tak sampai jatuh ke bawah, dengan sendirinya Coh Liu-hiang tergantung ditengah udara dengan tanpa bisa bergerak didalam jala meski dia sudah kerahkan seluruh kekuatannya, makin lama benang-benang jala itu malah mengencang dan menjirat kulit dagingnya.
Selama berdampingan berjuang dan malang melintang, entah berapa lama Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang mengalami pertempuran antara mati dan hidup, namun selamanya belum pernah mereka menghadapi alat senjata serba aneh, perangkap serba licik dan licin seperti ini.
Reaksinya boleh dikata sudah amat cepat, namun perubahan yang dihadapinya justru lebih cepat lagi, hakikatnya Oh Thi-hoa sendiri tidak sempat mengawasi cara bagaimana Coh Liu-hiang bisa terjaring ke dalam jala musuh. Tampak sinar perak kemilau bergoyang, tahu tahu Coh Liu-hiang sudah tergantung ditengah udara.
Sekali merogoh tangan Oh-Thi-hoa lolos pisau pendek didalam slop sepatunya, tahu-tahu badannya sudah melejit tinggi, sinar pisaunya laksana bianglala terbang mengirim kearah jala besar itu.
Namun didengarnya Coh Liu-hiang membentak kepadanya: "Lekas mundur kedua orang ini tak boleh dilawan..." ditengah bentakannya ini, dari puncak menara tahu-tahu meluncur sesosok bayangan seperti burung raksasa.
Malam remang-remang sehingga tak terlihat jelas bentuk mukanya, yang terang orang ini berperawakan tinggi besar, solah-olah seorang didalam dongeng pada jaman purba dulu.
Terasa pandangan Oh Thi-hoa tiba-tiba menjadi gelap, seolah-olah menara raksasa ini tiba-tiba runtuh menindih ke atas kepalanya, ke arah manapun dia berkelit menghindarkan dirinya tetap terkurung didalam bayangan hitam ini.
Kalau kaum keroco yang menghadapi situasi segawat ini, saking takutnya mungkin sudah pikirkan keselamatan diri sendiri dan berusaha lari, jelas dia takkan lari dari tindihan bayangan raksasa laksana gugur gunung ini.
Betapapun nyali Oh Thi-hoa memang berlipat ganda lebih besar dari orang lain, bukan saja dia tidak lekas melorot turun berusaha menyelamatkan diri, dengan mengacungkan pisau di tangannya, dia malah menerjang naik memapak ke arah bayangan raksasa ini. Cara tempur dan serangan yang ingin mengadu jiwa dengan musuh seperti ini, biasanya dipandang perbuatan memalukan bagi seorang tokoh kosen, namun ada kalanya dapat merubah situasi memutar keadaan merebut inisiatif penyerangan lebih dulu. Soalnya lawan sudah yakin bila dirinya pasti menang, sudah tentu dia takkan sudai melayani cara tempur yang nekad ini, akan tetapi bagi siapapun untuk merubah gerakan jurus permainan silatnya didalam waktu sesingkat itu, jelas bukan urusan yang mudah dilakukan atau boleh dikata tidak mungkin.
Diluar tahunya bayangan besar dari makhluk raksasa ini ternyata bergerak sedemikian lincah dan gesit sekali, mendadak bayangannya berputar, ditengah udara badannya melayang menyingkir lima kaki jauhnya.
Tepat pada saat itu pula, tombak gantolan mendadak ditarik mundur, sudah tentu Coh Liu-hiang yang tergantung ditengah udara dalam jala besar itu seketika melayang jatuh.
Coh Liu-hiang melayang jatuh sementara Oh Thi-hoa menerjang naik, keruan kedua-duanya saling terjang dengan kerasnya, untuk pisaunya dapat dia geser ke samping sehingga tidak melukai Coh Liu-hiang, berpaling seluruh hawa murni yang dia kerahkan, seketika dia buyarkan, dia rela dirinya keterjang sampai luka-luka, betapapun dia tidak mau membuat luka Coh Liu-hiang.
"Blang" seperti meteor jatuh badan Coh Liu-hiang menumbuk Oh Thi-hoa dengan dahsyatnya.
Karena tenaga dan hawa murninya tiba-tiba kuncup, keterjang begitu keras lagi, seketika terasa kepalanya berat, matanya berkunang-kunang, tanpa kuasa Oh Thi-hoa jatuh semaput.
Lapat-lapat masih terasa olehnya badan Coh Liu-hiang menindih di atas badannya.
Belum lagi musuh bergerak atau menyerang, tahu-tahu pihak sendiri telah dipukul roboh dan tak bisa berkutik lagi.
Sesaat kemudian terdengarlah seseorang tertawa terpingkal-pingkal, serunya: "Banyak orang bilang betapa hebat dan lihainya kedua orang ini, ternyata hanya begini saja." suara orang ini kedengarannya melengking tajam dan cepat sekali, seperti suara anak kecil yang lagi menanjak dewasa, tapi setiap patah katanya dapat didengar sampai ketempat jauh, betapa kuat Lwekangnya, kiranya sudah terlatih beberapa puluh tahun.
Seorang lain segera menjawab: "Memangnya di kalangan Kangouw banyak kaum keroco yang suka mengagulkan diri, tapi kedua orang ini terhitung lumayan juga."
Suara orang ini justru seperti genta yang ditalu, dan lagi amat perlahan dan lamban, dia bilang sepatah kata, orang lain sudah berkata tiga empat kata.
Kuping Oh Thi-hoa terasa pekak waktu dia membuka mata, maka dilihatnya dua orang tinggi pendek berdiri di depannya.
Umpama orang pendek ini berjinjit paling hanya seperut orang di sebelahnya, badannya kurus kering seperti genteng, kepalanya menggunakan topi rumput yang besar sebesar roda kereta.
Seolah-olah mirip benar dengan jamur payung, seluruh badannya yang kurus itu terselubung oleh bayangan topinya, bahwasanya sukar terlihat raut mukanya.
Orang yang tinggi ini biji matanya seperti kelintingan tembaga, pinggangnya kira-kira dua pelukan orang dewasa, rambut panjang awut-awutan, sebagian di sebelah belakang dikuncir jadi dua, selintas pandang mirip benar dengan patung penjaga pintu kelenteng pemujaan.
Pakaian yang dikenakan kedua orang ini amat mewah kalau tidak mau dikatakan terlalu perlente, jelas tukang jahitpun seorang ahli yang sudah kenamaan, tapi pakaian perlente ini dipakai oleh orang-orang dengan perawakan seperti mereka, kelihatannya tidak keruan.
Yang pendek mengenakan jubah sutra yang baru berwarna menyala, namun dimana-mana berlepotan minyak, terang kancing pertama, namun dimasukkan ke dalam kancing ketiga.
Orang gede di sebelahnya juga mengenakan jubah panjang warna merah dengan celana panjang warna biru, sayang ukuran jubahnya ini paling tidak kurang tiga angka, karena panjangnya kurang dua kaki, dengan badan sebesar itu mengenakan pakaian ketat dan kependekan seolah-olah pakaiannya hasil curian saja.
Kedua orang yang aneh dan lucu ini, kenyataan memiliki kepandaian silat sedemikian tinggi.
Oh Thi-hoa hampir tidak percaya akan pandangan matanya sendiri, tanyanya: "Siapakah namamu" Kenapa..."
Belum habis pertanyaannya si pendek itu sudah berteriak: "Masakah aku ini tidak kau kenal?"
"Memangnya Oh Thi-hoa Oh Tayhiap seperti aku ini kenal orang macam kalian ini?"
Si pendek menghela napas gumannya: "Tak nyana setelah malang melintang sekian tahun di Kang-ouw, bocah keparat ini sia-sia hidup setua ini, masakah aku orang tua inipun tidak dikenalnya" sembari bicara topi rumput di atas kepalanya ditanggalkan, katanya menambahkan:
"Coba kau lihat biar jelas, siapa aku ini?"
Tampak oleh Oh Thi-hoa kepala orang ini gundul pelontos tanpa seutas rambutpun dan lagi kepalanya ini satu lipat lebih besar dari kepala orang biasa. Dengan badan yang kurus punya kepala sebesar itu, seperti sumpit yang diatasnya menusuk sebuah bakpao, sayang keadaan Oh Thi-hoa masih lemas dan linu bergerakpun tidak bisa, kalau tidak melihat tampangnya ini tentu tak tahan dia terpingkal-pingkal geli.
Berkata pula si pendek: "Sampai sekarang kau masih belum tahu siapa aku ini?"
"Aku hanya tahu bahwa kau ini adalah si gundul botak saja, memangnya apanya yang perlu dibuat heran?"
Si pendek pun tidak marah, malah tertawa berseri, katanya: "Kalau gundul lantas tiada apa-apanya?"
"Tidak ada apa-apanya" sudah tentu tidak punya rambut."
"Tiada rambut berarti Bu-hoat, benar tidak?"
Selamanya belum pernah Oh Thi-hoa berhadapan dengan orang secerewet ini, malas rasanya meladeni bicara orang.
Si pendek kembali mengenakan topi rumput besarnya ke atas kepalanya, katanya sambil mendongak: "Dimana langit kenapa langit tidak kelihatan?" dengan menggunakan topi rumput sebesar itu mesti kepalanya mendongak, langit memang tidak dilihatnya. Tak tertahan Oh Thi-hoa tertawa, tapi sekilas otaknya berpikir kulit daging mukanya seketika kaku dan mengejang secara mendadak.
Si pendek tertawa riang, ujarnya: "Kini tentu kau sudah tahu siapa aku orang tua ini bukan?"
"Kau..." suara Oh Thi-hoa serak tersendat. "Apakah kau ini Bo-hoat Bo-thian To Kau-ang?"
Bo hoat Bo-thian berarti tidak kenal aturan tidak mengenal Thian, To Kau-ang adalah aki jagal anjing.
Si pendek berjingkrak sambil tepuk tangan serunya: "Kau bocah ini ternyata pengetahuan juga, boleh dididik, boleh dipelihara!" lalu dia julurkan tangannya menuding si raksasa itu, katanya: "Kau tahu siapa dia?"
Oh Thi-hoa menghela napas, katanya getir: "To Kau-ang dan To Hi-po selamanya seperti bandulan tidak pernah meninggalkan timbangan, tidak ketinggalan bandulan, masakah aku tidak tahu?"
"Benar, dia inilah istriku tercinta Thian-lote-hong To Hi-po adanya. Aku orang tua ini meski Bo hoat-bo thian, tapi begitu masuk kedalam Thian-lo-te-hong jangan harap bisa membalikkan badan lagi." Thian-lo te hong berarti pencakar langit jalan bumi.
Mahluk raksasa sebesar ini ternyata adalah seorang perempuan, hal ini sudah amat luar biasa, lebih menggelikan lagi bahwa perempuan ini ternyata adalah istri manusia kurus kerempeng yang kering ini, siapapun terpingkal-pingkal dan pecah perutnya.
Tapi Oh Thi-hoa tidak bisa tertawa lagi, karena dia cukup tahu meski kedua orang ini jenaka dan suka humor, namun selama seratus tahun mendatang ini dalam kalangan Bulim mereka adalah salah satu dari empat pasangan suami istri yang berkepandaian amat tinggi.
Bukan saja kedua orang ini menggunakan senjata yang jarang dipakai oleh kaum persilatan umumnya, ilmu silat merekapun luar biasa aneh dan lihai, sepak terjangnya sudah dirubah itu tangannya. Selamanya tiada orang yang tahu asal-usul perguruan kedua orang ini. Selamanya tiada orang yang tahu kapan mereka muncul, ada kalanya kedua orang ini laksana datangnya hujan badai, mendadak lenyap begitu saja, selama dua tiga puluh tahun belakangan ini sudah tak terdengar pula kabar berita mereka, maka tiada orang yang tahu kemana mereka pergi dan dimana mereka berada.
Tapi setiap kaum persilatan sama tahu satu hal, yaitu: Lebih baik kau berdoa terhadap Thian Yang Maha Kuasa, jangan sekali kali kau berbuat salah terhadap kedua suami-istri ini, siapapun jikalau berdosa terhadap kedua orang ini, maka selama hidupnya jangan harap bisa mengecap hari-hari dengan tentram dan sentosa.
Tampak To Kau-ang masih tertawa cengar-cengir, begitu lebar tawanya dan terpingkal-pingkal sampai napasnya memburu tersengal-sengal, tapi sekilas Toh Hi Po melirik kepadanya, seketika dia hentikan tawanya dan tidak berani meringis lagi
* BERSAMBUNG JILID 33 *
JILID 33 Lebih baik kalau dia tidak melerok, sekilas melerok dan marah, seluruh pakaian ketat yang membungkus badannya seolah-olah melembung hampir meledak, tapi Oh Thi-hoa terheran heran dan tak habis mengerti, kenapa perempuan segede ini mengenakan pakaian ketat sekecil itu.
Memangnya diluar tahunya dan tak pernah terpikir oleh Oh Thi-hoa, umumnya perempuan yang kakinya besar suka mengenakan sepatu kecil, demikian pula perempuan yang tambun suka mengenakan pakaian ketat dan kecil bila seorang perempuan tinggi menikah dengan suami kate atau cebol, maka ingin rasanya dia menggergaji saja kedua kakinya menjadi pendek supaya sejajar dengan suaminya, namun kalau kaki dipotong menjadi cacat terpaksa pakaiannya saja yang dipotong dua kaki lebih pendek dari ukuran semestinya, dalam batin akan terasa nyaman dan tentram.
Mendadak Oh Thi-hoa tertawa dingin, katanya: "Banyak orang bilang betapa lihaynya To Kau-ang suami istri, ternyata juga cuma begini saja."
"Aku orang tua tanganpun belum lagi digerakkan, tahu tahu kau sudah rebah tak berkutik, masakan kau masih belum terima ?" olok To Kau-ang.
Oh Thi-hoa berkata beringas: "Jikalau kau berani bertanding secara terang terangan melawan aku, dapat kau mengalahkan sejurus setengah tipu, sudah tentu aku akan tunduk dan menyerah tanpa pamrih, tapi kau menggunakan tipu daya selicik ini, terhitung perbuatan Enghiong macam apa ?"
To Kau-ang tertawa besar, katanya: "Ucapanmu ini terlalu ngelantur, siapapun yang bergebrak bila sepihak dapat merobohkan pihak yang lain, perduli cara apapun yang dia gunakan merupakan kepandaian yang harus dipuji jikalau aku orang tua dapat sekali kentut lalu dapat bikin bau mampus sesak napas, sudah sepantasnya kau tunduk lahir bathin kepadaku."
Saking dongkol oleh olok-olok orang yang brutal ini Oh Thi-hoa sampai tak bisa bicara lagi.
Mendadak disadarinya, bukan saja saat mana seluruh badannya linu kemeng, Coh Liu-hiang yang menindih di atas badannyapun tak bergerak sama sekali, sampai napaspun sudah berhenti.
Saking kagetnya, tak terasa Oh Thi-hoa berteriak melengking: "Lo... Lo coh, kenapa kau tidak bersuara " Masakah kau."
"Kembali kau bicara ngelantur pula." ejek To Kau-ang setelah terlorok lorok. "Memangnya tadi kau tak melihat disaat aku mengulurkan tombakku tadi, sekaligus sudah masuk dua Hiat-tonya."
dengan tertawa dia maju menghampiri sambil menambahkan: "Mungkin turun tanganku tadi terlalu berat dan cepat, sehingga kau tidak melihatnya dengan jelas, sekarang..."
Belum kata katanya berakhir, baru saja dia tiba di hadapan Coh Liu-hiang, sekonyong konyong sepasang tangan COh Liu-hiang secepatnya menjulur keluar dari dalam jala.
Sudah tentu mimpipun To Kau-ang si jagal anjing ini tidak akan pernah menyangka, saking kagetnya, tahu tahu kedua kakinya sudah terpegang oleh Coh Liu-hiang, sekali sentak kontan badan si jagal anjing yang kurus tinggi seperti genter ini rebah tak berkutik lagi.
Taoh Hi-po si nenek nelayan ini keruan menggerung gusar seperti singa mengamuk, menubruk maju. "Berdiri ditempatmu!" terdengar Coh Liu-hiang membentak. "Kalau tidak lakimu takkan hidup lebih lama lagi."
Benar juga Toh Hi-po tak berani melangkah setapak lagi, sorot matanya menampilkan rasa prihatin dan kuatir akan keselamatan suaminya yang cebol kate ini.
Tadi si Jagal anjing sudah mengumpat caci.
"Anak jadah menggunakan cara demikian terhitung orang gagah macam apa kau?"
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Dua orang bergebrak, asal dapat merobohkan lawannya, peduli cara apa yang digunakan... tadi kau sendiri berkata demikian, memangnya secepat itu kau sudah lupa ?"
Si Jagal anjing melengak, tak tahan Oh Thi-hoa terbahak bahak, serunya: "Bagus, bagus sekali, itulah yang dinamakan mengangkat batu mengepruk kaki sendiri, kau kentut dan kau sendiri yang bau."
Tak nyana si jagal anjing malah terpingkal-pingkel juga, katanya: "Baik, baik, baik Coh Liu-hiang ternyata memang cukup pintar, tak heran banyak orang sama takut kepada kau."
"Ah, mana berani!" sahut Coh Liu-hiang. "Tapi ada satu hal yang belum ku mengerti, tadi terang aku sudah menutuk Hiat-tomu sudah kuperhitungkan didalam satu jam, jangan kata bergerak kentutpun tidak bisa, cara bagaimana mendadak sekarang kau sudah bisa bergerak ?"
Coh Liu-hiang tersenyum, ujarnya: "Di saat kau menutuk Hiat-toku, badanku sudah meluncur jatuh."
"Bukan saja kontan melayang jatuh, malah kau menumpuk bocah she Oh itu, mana ada kesempatan mengerahkan hawa murni membebaskan tutukan?"
"Cayhe memangnya belum mencapai taraf kepandaian untuk mengerahkan hawa murni membuka tutukan Hiat-to sendiri, tuan terlalu mengagungkan diriku."
"Memangnya cara apa yang kau gunakan ?"
"Siapa saja disaat Hiat-tonya tertutuk, pasti masih ada kesempatan meski hanya seper-seratus detik bergerak benar tidak ?"
"Benar, karena meski Hiat-tonya sudah tertutuk, namun dalam badan masih ada sisa tenaga murni yang masih mengalir, tapi kesempatan itupun amat singkat dan hanya bergerak sedikit saja."
"Tapi bergerak sedikit saja sudah cukup dan besar sekali manfaatnya."
Bersinar biji mata si Jagal anjing, teriaknya: "O, aku paham sekarang, waktu itu begitu kau merasa Khi-hiat-nay-hiat tertutuk segera kau gerakan sedikit badanmu, sehingga bocah she Oh itu menubruk badanmu sekaligus membobol kedua Hiat-to yang tertutuk itu."
"Ya begitulah kejadiannya." Kejut dan girang bukan main Oh Thi-hoa serunya tertawa lebar:
"Kau tua bangka ini ternyata punya otak yang pintar juga, patut dibimbing, pantas dididik dikebun binatang!"
Si jagal anjing menghela napas, ujarnya: "Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang kau memang setan cerdik, tak nyana tua bangka seusia enam tujuh puluh tahun seperti aku ini, hari ini terjungkal ditangan bocah cilik yang masih bau pupuk bawang."
Nenek nelayan segera melotot kepada Coh Liu-hiang, suaranya sember: "Sekarang apa pula yang kau inginkan?"
Tatkala itu Oh Thi-hoa sudah merangkak bangun dari tindihan badan Coh Liu-hiang, serta sedang sibuk membuka jala besar yang membungkus badan Coh Liu-hiang, Nenek nelayan hanya mendelong mengawasi saja tanpa memperlihatkan reaksi apa-apa."
Coh Liu-hiang mencelat bangun katanya perlahan: "Apa kalian punya permusuhan dengan Cayhe?"
"Tiada!" sahut nenek nelayan.
"Kalau kalian tidak bermusuhan dengan Cayhe, kenapa kalian bersikap begini terhadap Cayhe?"
Sesaat berdiam diri, akhirnya nenek nelayan berkata menghela napas: "Kami suami istri selamanya membedakan tegas dendam kebencian dan budi kebaikan, bahwasanya kamipun tiada niat melukai kau, cuma..."
"Cuma dulu kalian pernah mendapat budi kebaikan Li Koan hu maka kalian hendak membekuk aku diantar ke Yong-cui-san-cheng, benar tidak?"
Belum nenek nelayan bicara, Jagal anjing sudah terbahak-bahak, serunya: "Benar, aku orang tua sebetulnya hendak membekuk kau untuk dihaturkan kepada orang sebagai pembalasan budi kebaikannya dulu, oleh karena itu jikalau sekarang kau hendak membunuh aku adalah suatu hal yang jamak dan pantas."
Coh Liu-hiang tertawa, katanya: "Jikalau aku tidak ingin bunuh kau?"
"Lebih baik kau bunuh aku saja, aku ini berjiwa sempit berpandangan cupat, hari ini aku kecundang oleh kau, umpama kau lepas aku pulang, kelak bukan mustahil masih belum kapok dan ingin mencari perkara dan membuat kesulitan kepada kau."
Berubah air muka nenek nelayan serunya: "Kau... kau bujuk orang membunuhmu malah?"
"Memangnya kenapa, yang terang aku sudah bosan jadi seorang laki-laki, cepat mati cepat menitis, pada titisan yang akan datang aku pasti akan jadi perempuan dan kawin sama kau pula, supaya kaupun mengecap rasanya jadi seorang suami, barulah terhitung seri dan setanding antara kita berdua."
Saking marah, hijau membesi rona muka nenek nelayan, suaranya sumbang: "Berani kau bicara begitu terhadapku?"


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seorang laki-laki jikalau benar-benar sudah menghadapi kematian, kenapa pula dia tidak berani bicara?"
Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya: "Jikalau Coh Liu-hiang membebaskan kau?"
"Kenapa dia harus membebaskan aku?" teriak jagal anjing.
"Kenapa dia tidak boleh membebaskan kau?"
"Perbuatanku patut dicela dan memalukan, merugikan dia lagi, jikalau dia masih mau membebaskan aku, maka dia seorang gila."
"Dia bukan orang gila, sebaliknya adalah seorang Kuncu atau sosiawan, dengan ukuran jiwa seorang rendah kau menilai dirinya, maka kau kira dia bakal membunuh kau."
Jagal anjing melengak, katanya: "Jikalau benar dia tidak membunuh aku sungguh celaka tiga belas."
Jagal anjing dan nenek nelayan sudah pergi, lampion merah masih bertengger di puncak menara, kabut tebal sudah menyelubungi seluruh pelosok puncak bukit, cahaya lampion merah yang terbungkus kabut tebal kelihatannya seperti darah yang muncrat beterbangan.
Ksatria Negeri Salju 5 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Kesatria Berandalan 1

Cari Blog Ini