Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pengejar Nyawa 24

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung Bagian 24


"Mungkin... mungkin Toa-suci sudah menggebah mundur orang-orang pendatang itu.
"Lalu kenapa dia tidak segera membuka pintu?"
Lam Pin melongo, keringat sudah membasahi ujung hidungnya.
Oh Thi-hoa tidak sabar lagi, katanya: "Aku yakin Thiam-ji dan lain-lain pasti sedang menghadapi sesuatu, kalau tidak masakah sekian lamanya mereka tidak bersuara, terutama Thiam-ji menyuruh dia tutup mulut biasanya paling sukar."
Cay Tok-hing batuk-batuk dua kali, timbrungnya: "Mungkin mereka masih belum tiba disini."
Tiba-tiba Coh Liu-hiang berkata: "Sekarang juga kita mundur kembali, dari sebelah luar menyusul ke Bo dhi-am memerlukan berapa lama?"
"Wah harus putar satu lingkaran besar."
"Berapa besar kita harus memutar?"
"Benar sekali, Ginkang orang yang paling tinggi sedikitnya memerlukan tiga empat jam."
"Wah berat juga, bagaimana baiknya?" ujar Oh Thi-hoa membanting kaki, "Bikin orang gugup setengah gila, ulat busuk, memangnya kaupun tak bisa mencari akal."
Coh Liu-hiang berpikir, tiba-tiba dia bertanya pula: "Kalau Toa sucimu melulusi permintaan orang dan sebelum mengantarnya, masuk ke Sin cui kiong, sebelumnya memberi mereka minum air teh yang dicampur obat bius, supaya mereka tidak tahu jalan menuju kedalam Sin cui kiong?"
"Ya, memang begitu."
"Thiam-ji dan lain-lain sudah tahu akan hal ini, maka meski mereka tahu air teh itu mengandung obat bius, dengan suka hati mereka meminumnya juga."
"Benar, setelah mereka tahu dengan minum air teh bius itu mereka bakal sampai di Sin cui kiong, maka terpaksa mereka harus meminumnya juga." Ujar Oh Thi-hoa.
"Setelah mereka minum terus jatuh pingsan, sudah tentu takkan bisa bicara lagi, maka selama ini kita tidak mendengar suara percakapan mereka."
Oh Thi-hoa tepuk tangan: "Ya, masuk akal."
"Tapi sebelum Toa-sucimu itu membawa mereka ke lorong yang menembus ke Sin Cui kiong ini, Bo dhi am keburu didatangi musuh, mungkin orang-orang itu meluruk datang lantaran Thiam-ji dan lain-lain, maka mereka minta Toa-suci menyerahkan mereka kepadanya."
"Toa suci pasti takkan menyerahkan." tukas Lam Pin tegas. "Mereka sudah berada di Bo-dhi am, itu berarti tamu-tamu Toa-suci, bagaimana juga Toa-suci tidak akan menyerahkan mereka kepada orang."
"Maka orang-orang itu harus berunding dan tawar-menawar dengan Toa-suci, sebelum pembicaraan gagal total, merekapun tidak akan sembarangan turun tangan terhadap murid-murid Sin cui kiong."
"Masuk akal juga, tapi kenapa mereka sekarang tak membicarakan lebih lanjut."
"Mungkin karena mereka memberi batas waktu tertentu kepada Toa sucimu untuk mempertimbangkan syarat yang mereka ajukan, lalu memberi jawaban."
"Kalau begitu berarti keadaannya sedang kepepet dan berbahaya."
"Sudah tentu, kalau orang yang meluruk datang itu bukan tandingannya, merekapun tidak perlu tawar menawar."
"Kalau begitu kenapa tidak lekas dia buka pintu rahasia di bawah ini, supaya kita keluar membantunya?"
"Dia sendiri tengah menghadapi musuh-musuh tangguh, memangnya dia berani sembarangan memperlihatkan pintu rahasia yang menembus ke Sin cui kiong?" kata Coh Liu-hiang menghela napas.
Lam Pin mengawasi Coh Liu-hiang, sorot matanya amat kagum dan penuh simpatik. Walau dia tak bicara apapun tapi kalau seorang gadis mekar mengawasi lelaki dengan sorot pandangan seperti itu, sesungguhnya jauh lebih menyenangkan daripada dia mengutarakan isi hatinya dengan kata-kata yang panjang lebar.
Mengucek-ngucek hidung, Coh Liu-hiang tertawa getir, ujarnya: "Ini hanya rekaanku belaka bagaimana sesungguhnya belum tentu seperti apa yang ku utarakan, siapapun sukar berkeputusan."
Lam Pin segera berkata dengan lembutnya: "Tapi aku berani pastikan bahwa rekaanmu terang tidak salah, karena kecuali adanya kejadian seperti itu, hakekatnya tak mungkin ada peristiwa lain terjadi di atas."
"Tapi aku justru mengharap rekaanmu salah sama sekali, timbrung Oh Thi-hoa! Kalau tidak Thiam-ji dan lain-lain sedang pingsan tak sadarkan diri, Toa-sucimu tak berani membuka pintu lagi, kitapun tak bisa menyusul kesana tepat pada waktunya... bukankah keadaan seperti ini bakal membuat mereka celaka?"
Mengingat keadaan mereka memang amat berbahaya, semua hanya mencak-mencak kebingungan seperti semut didalam kuali panas. Tapi kecuali gugup dan mencak-mencak mereka tak putus akal tak bisa berbuat apa-apa.
Tiba-tiba Lam Pin berkata dengan tertawa: "Sebetulnya kalian tidak perlu gugup, bahwa Toa-suci memiliki ilmu silat paling tinggi diantara para saudara kita, meski dia sudah cacat indranya, ilmu silatnya malah lebih hebat, aku yakin dia pasti bisa pukul mundur orang-orang itu."
Oh Thi-hoa geleng-geleng, katanya; "Kalau dia yakin dapat mengalahkan orang-orang itu, sejak tadi pasti dia sudah gebah mereka lari, buat apa ditunggu sampai sekarang?"
"Tapi... tapi Suhuku sering bilang, ilmu silat Toa suci terang takkan lebih asor dari sepuluh tokoh-tokoh silat terkosen didalam Bulim pada jaman ini, memangnya kepandaian silat orang-orang itu lebih tinggi dari dia?"
Oh Thi-hoa tertawa, ujarnya: "Tokoh yang berani mencari gara-gara terhadap Maling romantis sudah tentu dia punya kepandaian yang diandalkan."
"Maling romantis sendiri masa tidak bisa mengira-ngira siapa kiranya mereka itu?" tanya Cay Tok-hing.
"Umpama aku bisa mengira-ngira siapa mereka sebenarnya, apa pula untungnya bagi kita dalam keadaan seperti ini?" Sebetulnya diapun sudah mengira orang-orang itu pasti tokoh-tokoh silat undangan Liu Bu-bi, apa yang dia rancang ini bukan saja dapat memutus jalan mundur Coh Liu-hiang, malah Thiam-ji dan lain-lain bisa ditawannya sebagai sandra, sekaligus untuk mengancam Coh Liu-hiang bilamana dia bisa meloloskan diri dari Sin cui kiong, supaya tak bisa membocorkan rahasia pribadinya.
Coh Liu-hiang yakin semua ini adalah tipu daya Liu Bu-bi yang memang sudah dirancangnya dengan matang. Maka sahutnya menghela napas: "Sekarang aku hanya mengharap semoga Toa-sucimu sudah menginsyafi bahwa ilmu silatnya sendiri sekali-kali bukan tandingan orang-orang yang meluruk datang itu."
"Kenapa demikian?" Lam Pin mengerut kening.
"Karena bila dia sudah kepepet dan tiada jalan lain, terpaksa membuka pintu rahasia ini."
"Benar." Cay Tok-hing tepuk tangan. "Inilah yang dinamakan dari pada mati kepepet terpaksa mencari jalan mundur untuk hidup."
"Kalau orang lain disaat menghadapi jalan buntu, mungkin bisa berbuat demikian tapi Toa-suci lebih baik mati betapapun dia takkan melakukan hal itu lagi."
"Kenapa?" Cay Tok-hing mengerut kening juga.
"Karena secara tidak sengaja Toa suci pernah membocorkan jalan rahasia untuk musuh ke Sin cui kiong, maka dia menerima ganjarannya yang berat itu. Memangnya sekarang dia bakal melakukan kesalahan yag menjadikan dia tanpa daksa.?"
Agaknya titik harapan yang amat minim inipun tumbang dan terputus pula, keruan semua orang sama putus asa dan gelisah setengah mati.
Tiba-tiba dengan mata beringas Oh Thi-hoa memburu maju, dengan tangannya dia ketok gelang besi di atas dinding itu dengan sekeras-kerasnya, dinding sekelilingnya sampai mendengung menimbulkan gema suara yang keras sampai kuping mereka terasa pekak.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Lam Pin kebingungan.
"Inilah yang dinamakan daripada mati kepepet terpaksa mencari jalan mundur untuk hidup."
"Betul." teriak Cay Tok-hing, "bila orang-orang itu mendengar suara ini, maka mereka pun tahu dimana kira-kira pintu rahasia yang menembus ke Sin cui kiong, jikalau mereka sudah tahu dimana letak pintu rahasia untuk masuk ke Sin cui kiong, Toa-sucimu tak perlu lagi merahasiakan serta mempertahankannya mati-matian, jikalau dia tidak punya kekuatiran apa-apa, mungkin segera membuka pintu rahasia ini."
Oh Thi-hoa tertawa geli, katanya: "Aku ini orang goblok, terpaksa menyimpulkan akal yang goblok pula."
Coh Liu-hiang ikut berseri girang katanya: "Dikala orang-orang pintar sudah kehabisan akal, maka akal yang disimpulkan orang goblok pasti amat berguna sekali." baru saja kata-katanya habis diucapkan, selarik sinar terang segera menyorot dari atas.
Cahaya di ruang sembahyang sebetulnya tak begitu terang, sinar matahari teraling oleh rimbunan pepohonan yang tumbuh disekitar kuil kecil ini seolah-olah sejak mula sinar matahari memang tak sampai menyorot ke dalam kuil kecil ini, sehingga suasana dan hawa didalam ruangan pemujaan ini terasa dingin dan seram.
Bersambung ke jilid 44
Jilid 44 Kain gordyn menutupi altar pemujaan sehingga tak diketahui patung pemujaan apa yang disembah didalam biara bobrok ini, keadaan di sini serba luntur dan rusak. Seorang nikoh tua berbadan kurus kering berjubah hijau dengan mata cekung alis lentik bersimpuh di atas kasuran, meski sedang berduduk namun dapat dibayangkan berapa tinggi perawakan badannya.
Kulit mukanya yang kuning kuyu sudah tak kelihatan membungkus daging, dua tulang pelipisnya menonjol keluar, sehingga raut mukanya kelihatan lebih tua, tapi lebih kaku dingin dan kejam pula.
Di hadapan dan kanan kirinya masih terdapat kasuran bundar, dua kasur bundaran di sebelah kirinya juga duduk bersila dua gadis remaja, kepalanya tertunduk dalam di depan dari padanya, agaknya tengah tertidur pulas. Kedua orang ini adalah Li Ang-siu dan Song Thiam-ji.
Kasuran di sebelah kanan masing-masing duduk seorang laki-laki dan seorang perempuan tapi terang bukan Li Giok-ham suami istri, yang laki bermuka pucat seperti mengenakan kedok muka tapi pakaian hijau di depan dada dan sekujur badannya berlepotan darah, seakan malah terluka berat juga. Dia kertak gigi, mata terpejam rapat seakan-akan sedang menahan kesakitan yang amat menyiksa badannya, malah dudukpun hampir tak kuat lagi.
Yang perempuan mengenakan cadar, yang kelihatan hanya sepasang matanya, namun sepasang matanya mengandung rasa ketakutan, gusar dan penasaran.
Didalam ruangan sembahyang ini sebetulnya terdengar suara bentrokan senjata keras, suaranya kedengaran bergema dari bawah tanah tapi saat itu tiba-tiba semuanya mendadak sirap dan sunyi. Kasur bundar di bawah tempat duduk Nikoh jubah hijau pelan-pelan tergeser ke samping, dari bawah kasur tampak sebuah lobang yang membesar, tak lama kemudian beruntun beberapa bayangan orang menerobos keluar selincah kelinci.
Dua orang yang mendahului menerobos keluar bukan lain adalah Oh Thi-hoa dan Coh Liu-hiang.
Melihat kedua orang ini, perempuan berkedok seketika menampilkan sorot kegirangan, sebaliknya sepasang mata Nikoh jubah hijau seketika memancarkan cahaya berkilat yang lebih tajam dari kilauan sebilah golok tajam. Dimana tangan bajunya terkembang, nampak sinar hitam berkelebatan membawa deru angin tajam langsung menggulung ke arah Coh Liu-hiang.
Hanya kebutan angin pukulan lengan bajunya yang mendampar dasyat saja sudah bukan olah-olah perbawanya, apalagi ditengah deru angin keras itu diselingi senjata rahasia pihak Sin cui-kiong yang dibubuhi racun jahat mematikan.
Sementara itu, tiba-tiba Oh Thi-hoa pun merasa segulung angin dingin menyambuk ke mukanya teramat cepat dan mendadak sekali kejadian berlangsung sehingga tahu-tahu dia merasa napas sesak. Saking terperanjat sigap sekali badannya mengkeret, berbareng kaki menutul bumi badannya bersalto ditengah udara, "Blang" badannya menumbuk daun jendela dan terlempar keluar, terasa alas sepatunya rada tergetar, dengan kecepatan gerak refleknya yang tangkas itu, ternyata masih tak luput dari bokongan orang, untunglah sejak kembali dari padang pasir sampai sekarang belum lagi mengganti sepatunya yang dipakainya tetap sepatu tinggi dan tebal pemberian Ki Ping-yan yang terbuat dari kulit kerbau.
Meski kekuatan sambitan senjata itu amat pesat dan besar, namun tak bisa menembus kulit kerbau di alas kakinya. Kalau tidak umpama dia tidak mampus, kakinya itu terang bakal cacat seumur hidup.
Belum lagi badannya menyentuh bumi, keringat dingin sudah gemerobyos. Di luar jendela tumbuh pohon raksasa yang rindang dengan daun-daunnya yang rapat, baru saja dia berniat melejit naik ke atas pohon, siapa tahu pada saat itu pula tiba-tiba "Sret" sebuah suara samberan lirih. Dimana kilat berkelebat, tahu-tahu sebilah pedang laksana lidah ular yang terjulur keluar menusuk ke arah dirinya dari celah-celah dedaunan pohon yang rapat itu, betapa cepat keji dan hebat serangan ini, agaknya tak lebih berbahaya dari serangan senjata gelap tokoh jubah hijau tadi.
Tusukan pedang ini jauh tak terduga pula olehnya, hawa murni yang dia kerahkan kebetulan sudah berakhir, badan masih terapung ditengah udara, umpama dia memiliki kepandaian setinggi gunung juga takkan bisa meluputkan diri dari tusukan pedang ini.
Baru saja tersembur keluar air liur getir dari mulut Oh Thi-hoa, dia sudah siap pasrah nasib untuk menerima tusukan pedang ini, tiba-tiba dilihatnya segulung benda hitam melesat terbang dari dalam jendela menyongsong ke arah samberan sinar kilat. Maka terdengar pula suara "Cres"
sinar pedang tembus segulungan hitam yang ternyata bukan lain adalah sebuah kasur tempat duduk, tapi Oh Thi-hoa sendiri belum sempat melihat benda apa yang telah menolong jiwanya, begitu kakinya menyentuh tanah, sigap sekali badannya melejit masuk pula ke dalam jendela.
Dilihatnya Coh Liu-hiang tetap berdiri di tempatnya, seolah-olah tak pernah bergerak, dan deru angin tajam dari serangan senjata rahasia tadi, entah cara bagaimana dia meluputkan diri.
Di sebelah sana dilihatnya Lam Pin pun sudah melompat keluar dan sedang menarik tangan Nikoh setengah baya itu entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang terang dia sedang menjelaskan duduk persoalan dan mintakan ampun bagi Coh Liu-hiang.
Oh Thi-hoa menyeka keringat dingin di atas jidatnya, katanya: "Ulat busuk, agaknya aku berhutang jiwa lagi terhadapmu."
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Yang menolong jiwamu kali ini bukan aku."
"Siapa?" tanya Oh Thi-hoa tertegun. Mulut bertanya sementara badannya sudah berputar, baru sekarang dia lihat perempuan berkedok itu kini sudah berdiri, kasur tempat duduk di bawahnya sudah tiada lagi.
Memegangi hidungnya, Oh Thi-hoa berkata: "Nona menolong jiwaku, aku malah berterima kasih kepada orang lain, sungguh tidak enak rasanya, tapi nona harap tidak berkecil hati, meski aku ini bodoh, tapi masih bisa membedakan baik buruk, kelak nona ingin aku melakukan apa saja, ingin aku terjun ke lautan api tidak akan kutolak."
Bersinar terang biji mata perempuan berkedok ini, agaknya hendak mengatakan sesuatu, tapi waktu itu Lam Pin sudah berdiri, katanya: "Toa suciku ingin menanyakan asal-usul kalian, apa pula hubungan dengan istana kami..." dia berdiri membelakangi Nikoh jubah hijau itu, tiba-tiba dia kedip-kedipkan matanya kepada Coh Liu-hiang, lalu menyambung: "Aku tahu kalian pasti punya hubungan erat dengan pihak kami, kalau tidak Suhu pasti takkan suruh kalian kemari lebih baik kalian berterus terang kepada Toa suci."
Sebetulnya tak perlu dia main kedip-kedip mata, Coh Liu-hiang sudah paham akan juntrungannya, meski dia membawa mereka kemari, namun hatinya masih ketakutan setengah mati. Sudah tentu Coh Liu-hiang tidak tega membikin orang memikul tanggung jawab ini, maka katanya dengan suara berat: "Duduk persoalannya sulit kujelaskan dalam waktu singkat, setelah nona bertemu dengan gurumu tentu akan mendapat penjelasan secukupnya, sekarang lebih penting kita selesaikan dulu persoalan disini."
"Benar." sela Oh Thi-hoa: "Aku hanya ingin tahu siapa yang bertindak begitu rendah main bokong secara menggelap" Bagaimanapun aku harus beri hajaran kepadanya."
Walau sorot Nikoh tua berkilat-kilat, tapi matanya hampir memutih, seolah-olah sekeping es batu yang mengambang di atas air beku, sementara kulit mukanya laksana air danau yang membeku mati, dingin menampilkan ketenangan yang aneh pula.
Tak tahan Oh Thi-hoa akan mengucek-ngucek hidung pula, katanya getir: "Kau, apakah Taysu benar-benar tak bisa bicara?"
Nikoh jubah hijau manggut-manggut.
Oh Thi-hoa melengong, tanyanya pula: "Terang kau mendengar ucapanku, kenapa mengakui tidak mendengar suaraku?"
"Toa suciku memang tidak bisa mendengar!" Lam Pin mewakili beri penjelasan.
"Kalau tidak mendengar, bagaimana dia bisa manggut kepala?"
Sekilas Lam Pin berpaling ke arah Nikoh jubah hijau, mulutnya sudah terbuka namun batal bicara.
"Kuminta lekaslah kalian jelaskan, tak usah main teka-teki, hampir saja aku dibikin gila saking gelisah."
Agaknya rekaan Coh Liu-hiang tidak meleset, Li Giok-ham suami istri tak berada di sini, orang-orang di luar mungkin memang undangan mereka yang disuruh menghadapi Li Ang-siu dan Song Thiam-ji.
Tapi siapakah sebenarnya orang-orang itu" Dilihat dari serangan pedang yang keji dan telengas itu, betapa tinggi ilmu pedang mereka agaknya tidak lebih asor dibanding Ui Loh ce. Dari mana pula Liu Bu-bi bisa mengundang tokoh-tokoh silat tinggi sebanyak itu"
Dan lagi, siapa pula lelaki dan perempuan berkedok itu" Kenapa sikap mereka begitu misterius" Sungguh hati Oh Thi-hoa dirundung berbagai pertanyaan yang tidak terjawab, justru dia harus menghadapi seorang bisu, apalagi Li Ang-siu dan Song Thiam-ji agaknya sama tak sadarkan diri. Siapapun yang menghadapi keadaan seperti ini, malah lucu kalau tidak dibikin gila.
Pada saat itulah tiba-tiba di luar jendela terdengar sebuah suara berkata dengan bengis:
"Persoalan ini hakikatnya tiada sangkut pautnya dengan kalian, serangan pedang tadipun hanya sebagai peringatan belaka, tiada maksud kami hendak melukai orang, asal kalian serahkan murid murtad perguruan kami, kami segera mengundurkan diri, masing-masing tak salah menyalahi, tapi kalau kalian pasti ingin mencampuri urusan ini, mungkin kalian akan mati tanpa ada liang kubur untuk mengebumikan kalian."
Dari nada pembicaraan ini, terang mereka bukan bertujuan menawan Song Thiam-ji dan Li Ang-siu.
Berkerut alis Oh Thi-hoa, katanya: "Sebetulnya siapakah kalian" Siapa pula murid murtad kalian?"
Belum lagi mendengar penyahutan dari luar, laki-laki berkedok yang terluka itu mendadak melonjak bangun, dengan langkah meronta segera ia menerjang keluar, baru saja Oh Thi-hoa tertegun, tiba-tiba didengarnya ting. Nikoh jubah hijau dan perempuan berkedok itu tahu-tahu sudah menghadang di depannya, perempuan berkedok berkata dengan suara bergetar: "Kami sudah mencapai tempat ini, segala kejadian terpaksa pasrah akan tanggung jawab Taysu, kalau sekarang kau menerjang keluar, bukankah bakal menyia-nyiakan maksud baik beliau orang tua?"
Berkedip kedip mata Nikoh jubah hijau menatap lelaki berkedok, pelan-pelan kepalanya manggut-manggut, seiring dengan setiap patah kata perempuan berkedok, maka terdengar suara lirih yang cukup nyaring berbunyi dari bawah kaki Nikoh jubah hijau.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa melihat kaki orang, ternyat terikat oleh sesuatu rantai panjang yang lembut, sementara ujung rantai yang lain menjuntai masuk kebawah altar pemujaan yang tertutup kain gordyn itu. Setiap patah kata perempuan berkedok diiringi gerakan pelan dari rantai lembut ini yang bergetar diatas batu hijau, maka terdengarlah suara ting ting yang lirih dan nyaring.
Baru sekarang Oh Thi-hoa mengerti kenapa orang bisu bisa mendengarkan orang bicara!
Sebetulnya tak tertahan dia hendak menerjang kesana untuk melihat siapa sebetulnya orang yang sembunyi di belakang kain gordyn itu" Kenapa main sembunyi-sembunyi" Tapi belum niatnya terlaksana, lekas Coh Liu-hiang sudah mencegahnya dengan lirikan ujung mata.
Terdengar suara di luar jendela itu berkata dingin: "Seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab, seorang laki-laki sejati kenapa harus lari kemari minta perlindungan dari kaum hawa, terhitung orang gagah macam apa kau" Boleh dikata kita para saudarapun merasa tersapu bersih oleh sikap picikmu ini."
Bergetar badan laki-laki berkedok itu, tiba-tiba dia menyelinap dari samping Nikoh jubah hijau dan perempuan berkedok itu, betapa cepat gerakan badannya, sungguh diluar dugaan Oh Thi-hoa.
Kala itu Nikoh jubah hijau tidak menghalanginya lagi, tampak jubah panjangnya yang kebesaran itu melambai tertiup angin, lengan baju di sebelah kiri malah seperti melambai kosong.
Terang dengan gampang laki-laki berkedok itu akan menerjang keluar pintu, di luar angin menghembus dedaunan pohon, jelas bila dia selangkah keluar dari pintu Bo dhi-am, entah berapa sinar pedang yang serempak akan menyerang kepadanya.
Tapi pada saat itulah tiba-tiba sosok bayangan orang kembali berkelebat tahu-tahu mencegat di depannya. Orang ini bergerak belakangan tapi tiba lebih dulu, gerak badannya ternyata jauh lebih cepat dan tangkas tak usah disangsikan lagi, dia bukan lain adalah si Maling romantis Coh Liu-hiang yang memiliki ilmu Ginkang tiada tandingannya di seluruh kolong langit ini.
Laki-laki berkedok itu membentak bengis: "Soal ini tiada sangkut pautnya dengan kau, minggir!"
Coh Liu-hiang tersenyum, sahutnya: "Urusanmu adalah urusanku, kenapa tiada sangkut pautnya dengan diriku?"
Bergetar badan laki-laki berkedok, suaranya serak gemetar: "Kau... siapa kau" Aku tak mengenalmu."
Coh Liu-hiang menghela napas, ujarnya: "Umpama benar kau tidak kenal aku, tapi aku tetap mengenalimu."
Tiba-tiba lelaki berkedok balikkan telapak tangannya menebas tenggorokan Coh Liu-hiang.
Tapi bukan saja Coh Liu-hiang tak menangkis, diapun tak berusaha berkelit, betul juga ternyata tebasan tangan lelaki berkedok berhenti ditengah jalan dengan tajam Coh Liu-hiang menatapnya, katanya setelah menarik napas panjang: "Ang-heng aku tahu kau tinggi hati dan angkuh, biasanya tak sudi minta bantuan orang, tapi dalam keadaan seperti ini kenapa kau harus menyembunyikan diri, kalau begitu kau terlalu tidak pandang aku ini sebagai sahabat baikmu lagi."
Tiba-tiba lelaki berkedok berpaling muka, pundaknya bergetar turun naik, terang hatinya sedang haru dan bergolak, perempuan berkedok segera maju menghampiri, menarik tangannya, matanya sudah berlinang airmata.
Oh Thi-hoa terlongong sekian lamanya baru bersuara tergagap: "Ang-heng, nona Ki... ah! Aku memang patut mampus begitu picik mataku tak mengenal kalian."
Perempuan berkedok itu memang Ki Bu-yong adanya, katanya pilu: "Aku tak bisa melindunginya baik-baik, malah kemari minta... minta bantuan orang, sungguh aku tiada muka untuk bertemu lagi dengan kalian, tapi... tapi..."
Oh Thi-hoa berjingkrak, katanya keras: "Akulah yang patut mampus, kalau Ang-heng tak dibikin cacat oleh aku kurcaki sipicik ini, memangnya sekarang dia bisa dihina orang" Apalagi, apalagi hari ini nona Ki menolong jiwaku lagi, aku... aku..."
Mendadak dia menerjang keluar, serunya kalap: "Siapa yang mencari kesulitan Setitik merah, hayolah buat perhitungan dulu dengan aku Oh Thi-hoa." ditengah gemboran gusarnya tahu-tahu dua larik sinar hijau menukik turun menyerang dari celah-celah lebatnya dedaunan.
Tatkala itu Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing baru mencelat keluar dari lobang di bawah tanah itu, dari kiri kanan langsung kedua orang ini melesat keluar jendela, terdengar suara Cay Toh-hing gelak-gelak sambil memaki: "Kunyuk dari mana sebanyak ini, pandai main bokong dan jahat."
Terdengar pula suara Ui Loh-ce berat dan serius: "Ilmu pedang orang-orang ini ganas dan telengas, merupakan aliran tersendiri, kalian harus hati-hati."
Setitik merah segera merenggut kedok dimukanya terus dibuang, maka tampaklah raut mukanya yang pucat dan rada kurus, tapi pandangan matanya masih tetap dingin menusuk serta keras lagi, katanya membanting kaki: "Inilah urusanku, kenapa kalian harus campur tangan?"
"Siao Oh merasa amat menyesal terhadap kau, kalau kau tak beri peluang dia untuk melampiaskan kemauan hatinya, mungkin dia dapat gila dibuatnya."
Setitik merah kertak gigi, katanya: "Tapi betapapun kalian tak akan bisa menyelesaikan persoalan ini."
"Kenapa?"
Agaknya Setitik merah semakin gelisah dan tak sabar lagi, katanya: "Kau tak usah banyak tanya, kalau kau memang temanku, lekas bawa mereka menyingkir."
"Adanya hubungan erat kita selama ini, masih ada persoalan apa pula yang tak dapat kau utarakan kepadaku?"
Setitik merah ulapkan tangan, katanya mendesak: "Lekas pergi! Lekas pergi! Kalau tidak menghindar, jangan salahkan aku bila aku melabrakmu."
Ki Bu-yong segera menyela: "Sebetulnya dia memang punya kesulitan yang bisa diterangkan..."
Coh Liu-hiang menukas ucapannya, tanyanya: "Kau melihat pohon yang tumbuh diluar itu tidak?"
Ki Bu-yong melenggong, agaknya dia belum mengerti kenapa mendadak menanyakan hal ini, tapi akhirnya dia manggut-manggut. "Ya, aku sudah melihatnya!"
"Sebatang pohon tumbuh dari dalam bumi, demikian juga manusia tumbuh untuk hidup berkembang, berbuah dan turun temurun, tapi sekarang dia bikin gundul dan terbabat roboh oleh gerakan pedang orang itu, bukankah sayang sekali perjuangan hidupnya?"
Ki Bu Yong melenggong lagi, dengan nanar dia awasi hawa pedang yang bergulung-gulung diluar jendela, tidak tahu apa yang harus dia katakan, karena dia masih belum tahu apa yang dimaksud oleh Coh Liu-hiang bicara meminjam arti kiasan itu.
Maka Coh Liu-hiang lantas melanjutkan: "Perduli jiwa manusia atau jiwa pohon, jikalau belum lagi dia tumbuh dewasa dan berbuah lantas dibunuh dan dirobohkan, betapapun merupakan suatu tragedi yang mengenaskan, tapi dapatkah kau bilang bahwa itu kesalahan dari pedang-pedang itu?"
"Ini... aku sendiripun tidak tahu." Ki Bu-yong tergagap.
Dengan tatapan tajam Coh Liu-hiang mengawasinya, katanya lagi dengan suara lebih lantang:
"Pedang itu sendiri tidak salah, yang salah adalah tangan yang memegangi golok itu."
"Kau... kau sudah tahu urusannya?" tanya Ki Bu-yong gelagapan.
Coh Liu-hiang menghela napas, dari dalam kantong bajunya dikeluarkan medali tembaga itu, di atas medali tembaga ini terukir tiga belas pedang yang lencir panjang, mengelilingi sebuah tangan. Melihat tembaga ini seketika berubah air muka Setitik merah, bentaknya beringas:
"Darimana kau dapatkan itu?"
Coh Liu-hiang tidak langsung jawab pertanyaannya, katanya setelah menghela napas panjang:
"Tangan ini mungkin tangan yang paling misterius di seluruh jagat, tangan yang paling ganas dan jahat, tapi juga sebuah tangan yang paling punya kekuasaan, karena bukan saja secara diam-diam dia memegang mati hidup jiwa manusia yang tak terhitung jumlahnya, dan lagi bisa bikin orang mati tanpa ujung pangkal, sampai orang itu ajal dia masih tidak tahu bahwa di dunia ini terdapat sebuah tangan yang tersembunyi." ditatapnya Setitik merah dengan tajam, sambungnya:
"Dalam dunia ini hanya ada sebuah tangan seperti ini, paling sedikit satu dua orang akan hidup ketakutan, hidup didalam dunia nan gelap, jikalau tangan ini ditumpas dan dilenyapkan, semua orang akan hidup bebas, aman dan tentram, benar tidak?"
Dengan kencang Setitik merah kertak gigi, ujung bibirnya kelihatan mengejang, katanya sesenggukan: "Kau ingin menumpas dia?"
Sekarang ganti sikap Coh Liu-hiang yang bengis: "Kalau kau tidak ingin menumpasnya, maka dia yang akan menumpas kau."
Napas Setitik merah tersengal-sengal, mendadak seperti kesurupan dan menjadi gila dia bergelak tawa: "Aku tahu dia pasti seorang yang amat menakutkan, tapi betapapun orang yang menakutkan aku sudah sering melihatnya."
Tiba-tiba Setitik merah hentikan tawanya, katanya: "Aku tahu terhadap siapapun kau tidak merasa gentar, tidak pernah takut, tapi dia..." sepasang biji matanya tiba-tiba menjadi legam pandangannya seperti semakin dalam, kelihatannya seperti jurang yang tidak kelihatan dasarnya, diliputi ketakutan yang tak terhingga, derita yang tak berujung pangkal.
"Sampai detik ini, masakah kau tidak sudi membantu aku?"
Gemetar bibir Setitik merah, katanya: "Kau jangan lupa, sejak kecil aku diasuh dan dibesarkan olehnya, ilmu silatku juga hasil didikannya, meski dia hendak membunuh aku, aku tidak akan menjual jiwanya."
Sebentar Coh Liu-hiang menerawang, katanya menghela napas: "Itulah kesetiaanmu, aku tidak akan memaksamu, aku hanya tanya kau, hari ini dia sendiri datang tidak?"
Mengawasi sinar pedang di luar jendela, Setitik merah diam sebentar, katanya pelan: "Kalau hari ini dia datang, tentu di luar akan ada pertempuran lagi."
"Kenapa?" tanya Coh Liu-hiang.
"Tiada orang yang akan mampu melawan ilmu pedangnya."
"Dapatkah bial dia dibanding dengan Sia In-jin?"
"Ilmu pedang Sia In-jin dalam pandangan beliau tak lebih hanya permainan jurus sulaman belaka."
"Jarum sulam?" Coh Liu-hiang menegas.
"Jarum sulam hanya peranti menyulam kembang, jikalau untuk menjahit pakaian dia akan putus."
"Bagaimana maksud ucapanmu ini?"
"Ilmu pedang Sia In-jin hanya elok dipandang ilmu pedangnya sebaliknya amat fatal dalam praktek!"
Teringat betapa ganas dan aneh ilmu pedang Setitik merah. Tak urung Coh Liu-hiang tertawa getir, katanya: "Benar ilmu pedang yang elok dipandang belum tentu membunuh orang, ilmu pedang peranti membunuh belum tentu enak dipandang."
"Ya, memangnya begitu kenyataannya."
"Mendengar tutur katamu ini, aku jadi kepingin bertemu sama dia."
"Lebih baik kalau kau tak bertemu dengan dia."
"Hari ini berapa orang mereka yang datang?"
"Enam orang." Ki Bu-yong yang menjawab sambil gigit bibir, "Semula delapan orang, tapi satu diantaranya kami gasak di luar kota Kilam. Seorang lagi entah mengapa mendadak mengundurkan diri."
"Jadi sejak di kota Kilam mereka sudah menguntit jejak kalian?"
Sekilas Ki Bu-yong melirik kepada Setitik merah katanya: "Dia... sebetulnya dia tak percaya bila orang-orang itu benar-benar akan turun tangan keji terhadapnya, setelah dia terluka berat...
jikalau dia tak terluka parah, kamipun tidak akan lari kemari." menghela napas, lalu menyambung:
"Karena Suhu dulu pernah bilang kepadaku, kelak bila aku menghadapi mara bahaya apapun boleh pergi ke tempat ini minta perlindungan disini, waktu itu memang dia amat baik terhadapku, lama kelamaan matanya merah dan berkaca-kaca, agaknya terkenang akan budi kasih Ciok-koan-im mengasuh dan memeliharanya sampai dewasa, lupa akan dendam sakit hatinya terhadap guru yang lalim itu.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang sadar bahwa gadis yang semula kaku dingin dan keras hati ini, dalam jangka satu bulan lebih ini sudah berubah jadi lembut dan welas asih, berubah jadi perempuan yang perasa dan tahu duka dan cita. Maklumlah hanya kekuatan "cinta" saja yang kuasa berubah sifatnya sedemikian cepat dan banyak, diam-diam diapun bersyukur dan ikut bergirang bagi Setitik merah.
Karena diapun tahu, cepat atau lambat Setitik merah pasti akan dibikin luluh dan berubah pula oleh kekuatan "cinta" itu pula, pemuda sebatang kara yang dingin kaku ini laksana sebatang pohon yang tumbuh menyendiri di puncak ngarai di pinggir jurang, sesungguhnya amat memerlukan buaian kasih mesra untuk melebur hatinya yang beku.
Sekilas itu, tiba-tiba dilihatnya pula Nikoh jubah hijau juga berubah roman mukanya setelah mendengar ucapan Ki Bu-yong, rona matanya yang kelabu mendadak seperti menyala oleh bara yang berkobar.
Mengawasi medali tembaga di tangannya, berkata Ki Bu-yong: "Satu diantara delapan orang itu mendadak menghilang, apakah kau..."
"Aku sih tak membunuhnya, tapi dia memang benar hendak membunuh aku malah." ujar Coh Liu-hiang tertawa.
"Sepanjang jalan ini kami bentrok tujuh kali dengan mereka." demikian tutur Ki Bu-yong lebih lanjut. "Menurut apa yang kuketahui, orang yang menghilang itu merupakan orang yang paling rendah ilmu silatnya, cara bagaimana mereka mengutusnya untuk menghadapi kau?"
"Karena waktu itu mereka belum tahu lawan yang harus dibunuh adalah Coh Liu-hiang, sudah tentu kekuatan utama harus tetap bertahan untuk menghadapi kalian, maka tugas membunuh itu diserahkan kepada yang berkepandaian paling rendah." Tiba-tiba Coh Liu-hiang menambahkan:
"Kalau demikian enam orang yang tersisa ini, apakah kepandaiannya lebih tinggi dari dia?"
"Tujuh kali kami bentrok dengan mereka walau setiap kali dapat lolos dari mara bahaya tapi juga secara untung-untungan belaka, pernah dua kali aku sendiri sudah merasa takkan selamat lagi nyawa kami."
Coh Liu-hiang melirik ke arah jendela, katanya mengerut kening: "Kalau demikian Siao Oh bertiga satu melawan dua, mungkin..."
Sekonyong-konyong terdengar suara rantai memukul lantai sehingga mengeluarkan suara samar tak putus-putus. Muka Nikoh jubah hijau merah padam, dengan melotot gusar menatap ke arah kain gordyn ditempat pemujaan, rantai yang mengikat kakinya juga bergerak-gerak pergi datang.
Lam Pin tampak gelisah dan kebingungan, agaknya dia kehabisan akal dan tak tahu apa yang harus dia lakukan.
Tatkala itu sinar pedang di luar jendela memang masih berkembang dengan lincah dan deras, tapi deru angin sambaran golok yang cepat merayap selulup timbul ke kanan kiri serta sinar tongkat selincah naga menari itu berkilau, kedua belah pihak kelihatannya masih berkutat sama bertahan dengan kuat alias tanding.
Coh Liu-hiang melambaikan tangan ke arah Lam Pin tanyanya dengan lirih: "Kenapa Toa sucimu marah-marah?"
Lam Pin melirik kepada Ki Bu-yong, katanya: "Nona itu agaknya tadi bilang Toa suci tak mampu melindungi orang-orang yang berada di sini, maka Toa suciku amat mendelu dan pedih, maka dia hendak terjang keluar melabrak orang-orang itu, tapi..."
Tiba-tiba tampak Nikoh jubah hijau membanting kaki dua kali, cepat sekali putar badan dan melesat keluar, tapi baru saja sampai diambang pintu, rantai halus yang mengikat kakinya sudah tertarik kencang, selangkahpun tak bisa maju lagi.
Lam Pin menghela napas, katanya: "Tapi selamanya dia takkan bisa keluar."
Tampak muka Nikoh jubah hijau benar-benar sudah merah-merah padam, ototnya sampai merongkol keluar, agaknya dia sudah kerahkan tenaganya, tapi Coh Liu-hiang pernah menghadapi sekali pukulan tangannya, sudah tentu dia tahu betapa hebat dan dahsyat Lwekang Nikoh jubah hijau ini.
Tapi meski dia sudah kerahkan seluruh kekuatannya, rantai halus itu tetap tak kuasa dia putuskan, mengawasi rantai yang tertarik kencang itu Lam Pin menghela napas, ujarnya:
"Khabarnya rantai ini terbuat dari besi murni yang dingin didasar lautan, meski golok pusaka yang dapat mengiris besi seperti memotong tahupun jangan harap bisa membacoknya putus, apalagi kekuatan manusia biasa?"
Tampak semakin tarik rantai itu seperti mulur semakin kencang, altar pemujaan itupun sudah mulai bergetar, lapat-lapat seperti terdengar suara helaan napas yang lirih dari balik kain gordyn itu, agaknya di bawah altar pemujaan itu juga ada seseorang yang menarik kencang rantai itu.
Berkilat sorot mata Coh Liu-hiang, tanyanya pula: "Ujung rantai yang lain terikat dimana?"
Lam Pin tertunduk, sahutnya: "Kau sendiri sudah melihatnya, kenapa kau tanya aku?"
"Apakah ujung rantai yang lain juga terikat di kaki orang, tapi dia menyembunyikan diri dibalik gordyn di bawah altar itu tidak mau unjuk diri, dengan menarik dan menggerakkan rantai dia saling memberi berita dengan Toa-sucimu?"
"Kalau tidak ada kerja sama ini masakah Toa-suci bisa mendengar pembicaraan orang lain?"
"Tapi siapakah orang itu" Kenapa dia melarang Toa-sucimu keluar" Kenapa pula selalu sembunyi di bawah altar tidak mau dilihat orang?"
Lam Pin termenung sebentar, katanya: "Ini sebuah rahasia, kami sendiripun belum pernah melihatnya."
Tiba-tiba terdengar "blang" altar yang sudah keropos itu tak kuat menahan tekanan tenaga dalam yang hebat, sehingga bergetar roboh dan runtuh berkeping-keping, ditengah tengah pecahan kayu yang beterbangan sesosok bayangan orang dengan mengeluarkan pekik panjang yang melengking menyedihkan menerjang keluar, namun kain gordyn panjang dan lebar itu kebetulan membungkus seluruh badan sampai kaki tangan dan kepalapun terbungkus didalamnya, tiada satupun yang sempat melihat bentuk dan raut mukanya.
Coh Liu-hiang menghampiri dan menepuk pundak Setitik merah, katanya: "Ang-siu dan Thiam-ji kuserahkan kepadamu." bahwasanya dia tidak memberi kesempatan Setitik merah menolak permintaannya, tahu-tahu badannya sudah berkelebat keluar.
Tampak selarik sinar mencorong terang laksana seuntai rantai perak tahu-tahu melesat keluar dari rimbunnya daun-daun pohon, secepat kilat menusuk ke arah orang aneh yang menerjang keluar dari altar pemujaan. Dari kepala sampai kaki seluruh badan terselubung didalam kain longgar besar itu, hakikatnya apapun tak terlihat, siapapun pasti mengira dia takkan mungkin bisa meluputkan diri dari tusukan ini.
Tak nyana begitu sinar pedang menusuk tiba, badannya tiba-tiba berkelebat selicin belut tahu-tahu badannya menyelinap lewat dari depan laki-laki pembunuh berseragam hitam itu, maka rantai yang terikat kedua kaki mereka kebentur menjirat badan pembunuh gelap ini.
Terdengar "Cres" belum sempat pembunuh ini menjerit, tahu-tahu badannya sudah terjerat putus menjadi dua potong, darah segera beterbangan, tahu-tahu rantai itu sudah tertarik kesana pula, serempak Nikoh jubah hijau dengan orang aneh itu menubruk ke arah seorang pembunuh gelap yang lain. Cara mereka membunuh orang sungguh aneh dan tak pernah terjadi didalam dunia Kang-ouw, apalagi badan mereka amat aneh, garang dan keji sampai Coh Liu-hiang sendiripun angkat pundak dan tersirap kaget.
Di sebelah sana ada enam tujuh orang pembunuh gelap yang sedang bergebrak melawan Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing ditengah-tengah gerombolan dedaunan. Daun-daun pohon dan semak-semak yang tebal sama beterbangan tersambar pedang, puluhan batang pohon tua yang rimbun daunnya sudah tercukur gundul tinggal dahan-dahan pohon saja yang besar. Selintas pandang mirip seorang kakek tua yang tiba-tiba dilucuti pakaiannya, sehingga seluruh badannya yang telanjang serta keriput kulit badannya terpampang di hadapan orang banyak, gemetar kedinginan dihembus angin dingin.
Pedang yang menjadi gaman para pembunuh gelap itu mirip dengan pedang yang dipakai Setitik merah, panjang luncir dan tipis bobotnya jauh lebih enteng dari pedang panjang umumnya.
Sudah tentu permainan pedang merekapun ganas, culas dan keji seperti permainan Setitik merah, juga sekali-kali tak pakai variasi atau kembangan yang indah, sekali serang jiwa orang selalu diincarnya, dan lagi pengalaman tempur orang-orang ini sudah teramat luas, agaknya merekapun melihat Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing merupakan tokoh-tokoh silat yang tak boleh dipandang ringan oleh mereka itu, mereka tak bergebrak secara berhadapan melawan Oh Thi-hoa bertiga, begitu jurus pertama pedang menusuk, lekas sekali badan mereka sudah berkelebat menyelinap ke belakang pohon, tahu-tahu tusukan pedang orang kedua sudah menyelonong datang dari arah lain.
Rangsekan sinar pedang mereka sambung menyambung dan tergabung dengan rapi dan rapat, begitu cepat gerak-gerik mereka sampai Oh Thi-hoa menjadi bingung dan tak bisa membedakan siapa sebenarnya yang melancarkan tusukan pedang terhadap dirinya, dengan tiga lawan enam, mereka kira asal dirinya menghadapi dua diantaranya sudah lebih dari berkecukupan. Tak nyana dengan melawan permainan musuh yang aneh, gesit dan tangkas itu, bersatu sekaligus mereka masing-masing harus menghadapi enam orang, karena seperti roda berputar ke enam orang ini terus berputar dan merangsak bergantian sehingga kekuatan Oh Thi-hoa bertiga susah dipusatkan!
Agaknya Oh Thi-hoa sudah naik pitam dan gerakkan kekuatan dan boyong kepandaian, tapi meski golok tunggal di tangannya mempunyai perbawa untuk menaklukan naga membekuk harimau, namun menyentuh ujung pakaian lawannya tak mampu.
Sekilas saja Coh Liu-hiang menerawang pertempuran ini, lekas sekali dia tahu bahwa apa yang dilakukan Ki Bu-yong bukannya tak beralasan, pembunuh-pembunuh gelap ini memang algojo-algojo yang sudah tergembleng kuat dan terlatih dengan baik, kalau pertempuran begini berlangsung terus, Oh Thi-hoa bertiga akhirnya yang akan kehabisan tenaga, bukan mustahil mereka akan cidera lebih dulu.
Tapi saat mana Nikoh jubah Hijau dan orang aneh itu sudah melesat kesana, dan orang menyapu datang dan mengapit dua dari dua jurusan kearah tengah, rantai ditengah kaki mereka panjang dua tombak lebih, agaknya Oh Thi-hoa, Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing serta para pembunuh gelap itu hendak dijaring dan dijirat bersama sehingga terpotong mati menjadi dua. Kini rantai panjang dan lembut ini kiranya sudah menjadi semacam alat senjata yang paling aneh dan paling berhasil didalam pertempuran sengit.
Dalam waktu dekat Oh Thi-hoa bertiga agaknya masih bingung dan tak tahu cara bagaimana untuk menghadapi senjata yang luar biasa ini, terpaksa mereka main mundur, salah seorang diantara pembunuh gelap itu tiba-tiba ada yang membalikkan pedang membacok ke arah rantai,
"Creng" lelatu api berpijar, pedang ditangan pembunuh gelap itu sendiri malah yang tergetar lepas dari cekalannya, sementara rantai besi itu masih tertarik kencang tak bergeming. Saking kejut pembunuh gelap ini hendak melompat mundur, tapi sudah terlambat, Tampak dimana bayangan orang berkelebat, terdengar "Krak" disusul darah muncrat kemana-mana, tahu-tahu badan pembunuh gelap yang satu ini sudah putus menjadi dua potong.
Kini rantai itu masih ketarik panjang, cuma sekarang kedudukan Nikoh jubah hijau dengan orang aneh itu sudah pindah tempat. Sudah tentu kawanan pembunuh gelap itu amat kaget dan terkesiap, beramai mereka mundur, tapi Oh Thi-hoa bertiga sendan menunggu mereka di sebelah belakang. Serempak lima batang pedang berkembang lagi, terbagi lima jurusan serentak mereka melesat mundur ke belakang pohon. Tampak bayangan orang berkelebat pula, satu diantaranya tahu-tahu sudah terjirat rantai di dahan pohon.
Hanya dalam sekejap mata, kedua orang serba aneh ini sudah menjirat mampus tiga orang, disadari oleh Coh Liu-hiang pada ketiga kali serangan ini, orang aneh itu lebih dulu memberikan inisiatif penyerangan, gerak badannya agaknya lebih cepat dari Nikoh jubah hijau, sungguh mati Coh Liu-hiang ingin sekali melihat dan tahu siapa sebenarnya orang aneh yang terselubung didalam kain gordyn ini, sayang kain gordyn itu terlalu lebar sehingga ujung kakinyapun tertutup sama sekali.
Bahwasanya apapun dia tak melihat, tapi seolah olah punya panca indra setajam kelelawar, hakekatnya dia tak perlu menggunakan mata, namun toh dia bisa melihat dengan jelas, Coh Liu-hiang tahu hanya seorang buta yang memiliki panca indra setajam ini.
Seorang picak bekerja sama dengan seorang yang bisu tuli, namun dapat mengembangkan permainan yang punya perbawa begitu menakutkan, kecuali merasa kasihan diam-diam Coh Liu-hiang pun merasa kagum.
Tapi lantaran apa si picak ini berani melibat dan dilihat orang" Apa pula hubungan sebenarnya orang aneh ini dengan Nikoh jubah hijau" Lantaran apa pula Induk air Im Ki sampai membelenggu kedua orang ini di atas seuntai rantai yang sama"
Kini pembunuh gelap itu tinggal lima orang, agaknya kelima orang ini sudah kapok, mereka hanya berputar kian kemari di bawah dahan pohon. Tapi merekapun tak berani mengundurkan diri.
Agaknya "tangan" itu masih memegangi cemeti, jikalau sebelum menunaikan tugas mereka berani mengundurkan diri, siksaan kejam bakal menimpa diri mereka.
Entah berapa banyak jiwa manusia yang terbunuh oleh pedang mereka, tapi nasib jiwa mereka sendiri, mungkin jauh lebih mengerikan dari pada para korban yang mereka bunuh.
Coh Liu-hiang menghela napas, cepat sekali badannya melenting kesana, dilihatnya seorang pembunuh gelap kebetulan sedang menerjang keluar dari bawah sinar golok Oh Thi-hoa, Nikoh jubah hijau dan orang aneh itu mendadak berkelebat keluar juga dari balik dua pohon di sebelahnya, rantai yang mematikan itu tahu-tahu sudah menghadang jalan hidup dan memutus harapannya untuk melarikan diri.
Pembunuh gelap ini meraung kalap laksana singa mengamuk, pedang panjangnya laksana ular beracun menusuk keluar, tapi kaki orang aneh itu melesat, tahu-tahu sudah meluncur keluar dari bayangan sinar pedang orang, cepat sekali rantai besi itu sudah menjirat badannya.
Terang dalam kejap lain leher orang ini lantas akan terjirat putus, tapi pada saat itu juga sekonyong-konyong Coh Liu-hiang melayang datang menangkap rantai besi itu, katanya:
"Merekapun manusia yang harus dikasihani, berilah ampun kepadanya!"
Dengan mata yang kelabu Nikoh jubah hijau melotot ke arah Coh Liu-hiang, agaknya teramat gusar dan kaget rantai itu sudah terpegang kencang oleh Coh Liu-hiang, sudah tentu diapun tak mendengar apa yang diucapkan Coh Liu-hiang.
Sementara pembunuh gelap itu meski menggunakan kedok muka, tapi dari pandangan matanya, juga memancarkan rasa kaget, ketakutan dan curiga, memang tak terpikir dalam benaknya, kenapa Coh Liu-hiang menolong jiwanya"
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Kau tak usah kuatir, aku takkan memerasmu untuk mengatakan sesuatu, karena aku tahu sampai mati kau takkan mau buka mulut, sekarang aku hanya ingin membuat transaksi dengan kalian."
Dengan pandangan waspada pembunuh gelap yang satu ini menyapukan pandangannya ke sebelah ke seluruhnya, tatkala itu Oh Thi-hoa bertiga pun sudah menghentikan pertempuran, empat orang pembunuh yang lain meski masih bergerak tapi gerakan mereka sudah mengendor, sorot mata mereka sama tertuju kepad Coh Liu-hiang, akhirnya dia ada orang yang bertanya:
"Transaksi apa?"
"Asal kalian berani pergi, kali ini kuberi kesempatan kepada kalian, tiada syarat apapun yang harus kalian taati."
Para pembunuh gelap itu sama melongo dan menjublek di tempatnya. Transaksi ini sungguh terlalu murah dan menguntungkan mereka, sesaat mereka jadi bingung entah apa yang harus mereka putuskan.
Kata Coh Liu-hiang pula: "Mungkin kalian menyangka tiada transaksi semurah ini dalam dunia, benar tidak" Bahwasanya kali ini kalian sedikitpun tak pernah mengambil keuntungan apa-apa, benar tidak?" lalu ditepuknya pundak pembunuh gelap yang ditolongnya dari jiratan rantai itu, katanya tersenyum: "Aku sudah berjanji dengan kalian, silahkan kalian berlalu tak usah kuatir apa-apa."
Sekian lamanya pembunuh gelap yang satu ini terlongong, tiba-tiba dia melejit naik, lolos dari jiratan rantai terus berlari sipat kuping.
Coh Liu-hiang berkata pula: "Seseorang asal dia masih hidup, kelak pasti masih ada kesempatan, orang mati selamanya takkan bisa menyelesaikan urusan lain." Seolah-olah dia sedang mengigau seorang diri, tapi setelah mendengar ucapannya ini, pembunuh gelap yang lain seperti tiba-tiba ambil putusan, serempak mereka melesat terbang mengikutu langkah temannya yang lari tadi.
"Ulat busuk." Oh Thi-hoa seketika berjingkrak marah-marah, "Memangnya kau ingin menjadi Hwesio" Tapi Hwesio takkan sembarangan berwelas asih secara membabi buta secara mentah-mentah kau bebaskan para durjana pembunuh itu."
"Orang-orang ini bukan terhitung pembunuh, mereka hanya boleh dianggap sebagai boneka."
"Boneka apa?" tanya Oh Thi-hoa mengerut kening.
"Benar, boneka, setiap badan mereka seolah-olah terjirat oleh seutas tali, ujung tali yang lain terbelenggu di "tangan" yang satu itu, umpama kau bunuh mereka semuanyapun tiada gunanya, lekas sekali tangan itu sudah akan mencari tiga belah boneka yang lain sebagai alat untuk membunuh orang, malah kali ini kau hanya membunuh tiga belas bonekanya, bukan mustahil lain kali dia malah mencari dua puluh enam yang lain."
Oh Thi-hoa kucek-kucek hidung, katanya: "Tapi... umpama begitu saja kau lepaskan mereka, yang terang bukan laku seorang dagang yang bonafide."
"Agaknya kau belum paham akan teori dagang, orang-orang yang diutamakan adalah mengulur benang panjang untuk mengail ikan besar."
Bersinar mata Oh Thi-hoa, katanya: "O, aku paham sekarang, kau lepaskan mereka, maksudmu supaya mereka membawa kau menemukan si "tangan" itu, tapi dimana benangmu?"
"Hidungmu kan lebih tajam dari congorku, memangnya kau tak bisa mengendusnya?"
Oh Thi-hoa pejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam, terasa didalam hembusan angin lalu sayup-sayup terendus semacam bebauan wangi yang khas seperti harumnya bau parfum.
Itulah bebauan khas milik si Maling romantis setiap habis melakukan operasinya.
Oh Thi-hoa tertawa geli, ujarnya: "Ternyata sekali tangan kau ulat busuk ini menepuk di pundak orang, kau sudah tinggalkan bau busuk itu ke badan orang itu."
"Benar sekarang menjadi giliran tugasmu menjadi anjing ajag untuk menguntit bebauan itu dari jarak tertentu, akhirnya kau akan berhasil menyandak ikan kakap yang kita harapkan itu."
Belum habis Coh Liu-hiang bicara, tiba-tiba terdengar suara rantai-rantai berbunyi. Nikoh jubah hijau dan orang aneh itu laksana terbang sudah melesat kesana, bukan saja Coh Liu-hiang tak berusaha merintangi, sorot matanya malah menampilkan rasa senang, katanya dengan serius:
"Kau tinggal di sini bersama Ui Lo-siansing. Cay locianpwe untuk melindungi mereka, aku..."
"Tak bisa." kontan Oh Thi-hoa menukas dengan mencak-mencak: "Bagaimana juga kali ini aku mesti menyusul kesana." belum habis ucapannya dia sudah berlari lebih dulu.
Terpaksa Coh Liu-hiang bersoja kepada Ui Loh-ce dan Cay Tok-hing, lalu menuding pintu Bo dhi am pula katanya: "Urusan disini kuserahkan kepada Cianpwe berdua untuk bantu membereskannya, masih ada Yong ji, bila dia datang..."
"Legakan saja hatimu" tukas Cay Tok hing "Kalau nona Soh datang, akan ku beritahu kepadanya." Setelah Coh Liu-hiang berlalu, dia menghela napas, katanya kepada Ui Loh ce dengan tertawa getir: "Kalau demikian kami berdua tua bangka ini jadi ringan tugasnya."
Ui Loh ce menghela napas juga, ujarnya: "Tak salah, seorang laki-laki kalau dipunggungnya memikul beban sudah merupakan tugas berat, apalagi beban yang dipikulnya ada tiga banyaknya."
Cay Tok hing malah tertawa geli, katanya: "Dalam pandangan tua bangka seperti aku, memangnya itu memang tugas berat, tapi didalam pandangan anak-anak muda jaman sekarang mungkin kemauanpun kau tak akan sempat mengenyamnya."
Tidak berselang lama Coh Liu-hiang sudah berhasil menyandak Oh Thi-hoa, dilihatnya Oh Thi-hoa dari kejauhan mengikuti jejak Nikoh jubah hijau dengan orang aneh itu, agaknya hatinya rada bingung dan tak tentram, begitu melihat Coh Liu-hiang menyusul tiba-tiba dia berkata: "Agaknya selanjutnya kita harus memelihara seekor anjing."
"Kenapa?"
"Kalau sekarang kita memelihara anjing pasti takkan keliru arah mengejar jejak orang."
Mengawasi bayangan kedua orang di depan itu, Coh Liu-hiang menjawab: "Mereka pasti takkan salah menentukan arah."


Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Belum tentu, sekarang aku sudah tidak mengendus bau busukan itu, mereka..."
"Salah hidungmu sendiri yang tak manjur lagi."
"Walau hidungku tidak sebanding anjing, tapi masih lebih kuat dari hidungmu."
"Menurut pandanganku, hidungmu dengan hidung anjing tiada bedanya lagi."
"Kalau hidungku ini hidung anjing, kalau hidungku tidak bisa mengendus bau busukmu itu, memangnya mereka bisa mengendusnya malah?"
"Mata dan kupingmu apa teramat tajam?"
"Hmm!" Oh Thi-hoa mendengus saja.
"Tahukah kau kenapa bisa begitu?"
"Mungkin karena kau termasuk hidung kelinci."
"Kau tidak usah iri, soalnya hidungku jarang kugunakan, maka yang kuasa sengaja memberikan keistimewaan kepadaku."
Bersinar mata Oh Thi-hoa, katanya: "Maksudmu, lantaran mata dan kuping mereka tak berguna lagi, maka daya penciuman hidungnya teramat tajam?"
"Akhirnya kau menjadi pintar, sungguh tidak gampang bisa maju begini pesat."
"Justru karena otakku bebal, maka Thian pun memberkahi suatu kelebihan yang lain."
"O, Kau memiliki kelebihan apa" Aku sih belum pernah melihatnya?"
"Jikalau bisa melihatnya, celaka dua belas bagi diriku."
"Kau tak usah takabur, menurut pendapatku, kelebihan itu belum tentu..." tiba-tiba suaranya terputus, roman mukanyapun berubah hebat.
Sekonyong-konyong dari dalam hutan di sebelah depan terdengar pekik dan jeritan jiwa yang meregang ajal. Jeritan yang mengerikan, bila diperhatikan beruntun terdiri dari pekikan lima orang yang hampir bersamaan, meski kelima orang menjerit dalam waktu yang berlainan, namun jarak satu sama lain teramat dekat, maka kedengarannya seperti pekik panjang berantai yang sambung-menyambung, malah kedengarannya pendek sekali terus hilang, jelas baru saja jeritan mereka keluar dari mulut, jiwa melayang napaspun putus.
Nikoh jubah hijau dan orang aneh itu sudah melesat laksana panah menubruk masuk ke dalam hutan.
Tampak kelima pembunuh gelap itu sudah terkapar bergelimpangan, darah segar masih mengalir dari tenggorokan masing-masing.
Bersambung ke jilid 45
Jilid 45 TAMAT Seorang berpakaian hitam bertubuh kurus tinggi sedang membungkuk mengawasi cipratan darah dari leher mereka, sorot matanya menampilkan rasa puas, seolah-olah sedang menikmati sebuah karya yang amat mencocoki seleranya.
Orang ini mengenakan jubah hitam yang longgar dan panjang menyentuh tanah, mukanya mengenakan kedok dari ukiran kayu cendana, hanya kelihatan sepasang biji matanya yang berwarna kelabu seperti mata ikan yang sudah mati.
Kedok mukanya itu terang buatan seorang ahli, roman mukanya baik seperti hidup, ujung mulutnya malah mengulum senyuman, seakan-akan setiap batang bulu alisnya bisa dihitung dengan jelas, tapi warnanya yang merah itu bersemu ungu, didalam ungu bersemu hijau lagi, dihiasi sepasang mata kelabu yang kaku dingin lagi, kelihatannya amat seram, mengiriskan dan serba misterius.
Tangannya mencekal sebatang pedang lencir panjang, ujung pedangnya masih berlepotan darah. Kelima pembunuh gelap itu mempunyai ilmu pedang yang tidak lemah, Ginkang mereka pun cukup tinggi, tapi didalam sekilas saja semuanya sudah ajal di bawah kekejian pedang orang kurus tinggi ini. Betapa kejam hati orang ini, kecepatan ilmu pedangnya sungguh amat seram dan mengejutkan!
Mata Nikoh jubah hijau yang buram mengunjukkan kemarahan besar, cepat sekali dengan orang aneh itu mereka meluncur dari kanan kiri terus berputar ke arah yang berlawanan untuk menjerat badan orang. Laki-laki jubah hitam itu seakan-akan tak merasakan, sampaipun kelopak matanya tak terangkat.
Nikoh baju hijau dan orang aneh itu, secepat kilat sudah berputar ke belakang laki-laki kurus tinggi, rantai sudah menyentuh dan menjerat dadanya, begitu kedua orang ini sudah kembali kedudukan semula, maka badannya bakal terjerat putus menjadi dua potong. Siapa tahu, tepat disaat bayangan kedua orang ini sejajar dalam satu garis dengan dirinya, laki-laki kurus jubah panjang itu tahu-tahu sedikit membungkuk laksana ular sanca keluar dari liang, pedangnya memagut ke belakang dari bawah ketiak. "Crep" tahu-tahu ujung pedangnya sudah amblas ke dalam kain gordyn yang longgar itu. Waktu pedang tercabut keluar, darah segera menyembur keluar dengan deras.
Bahwasanya laki-laki kurus jubah hitam tak usah berpaling ke belakang, seakan-akan dia sudah perhitungkan dan penuh keyakinan tusukan pedangnya pasti takkan meleset.
Sebetulnya tusukan pedangnya ini tiada sesuatu yang menakjubkan, tapi gerakannya memang terlalu cepat, waktunyapun diperhitungkan dengan tepat, sasaran yang diincarpun amat tepat dan telak di luar dugaan lawan.
Kelihatan seolah-olah bukan pedang itu yang menusuk ke arah badan orang, lebih mirip kalau dikatakan orangnya sendiri yang menyodorkan diri untuk ditusuk dan aneh serta menakjubkan sekali, bahwa tusukan pedang ini tak boleh terpaut sedikitpun, kalau terlambat seper-sepuluh detik, bukan saja sasarannya tidak kena. Dia sudah perhitungkan dengan tepat disaat kedua orang bertemu dalam satu garis lingkaran yang sama, merupakan pertahanan mereka yang terlemah, karena melihat usaha mereka bakal berhasil, hatinya menjadi girang, dengan sendirinya kewaspadaannya menjadi kendor.
Apalagi gabungan kerja kedua orang ini harus dijalin dengan seutas rantai, boleh dikata laksana dwi tunggal, perduli ditujukan kepada siapa tusukan pedang ini, seorang yang lain akan sempat memberi pertolongan. Tapi disaat badan kedua orang kebetulan bertemu dalam satu garis lingkaran yang sama, Nikoh jubah hijau teraling-aling di belakang orang aneh, sudah tentu orang tidak melihat tusukan pedang laki-laki kurus jubah hitam. Disitulah letak terlemah dari penjagaan mereka, tapi bukan soal mudah untuk menemukan titik kelemahan ini, apalagi kejadian berlangsung teramat cepat, untuk memegang kesempatan yang tepat dan persis dalam waktu sesingkat itu, sungguh lebih sukar lagi dilaksanakan.
Tampak begitu kain gordyn itu bergetar, orang didalamnya lantas tersungkur roboh.
Nikoh jubah hijau sudah menerjang maju, merasakan gejala yang ganjil, tiba-tiba dia berpaling, roman mukanya yang kaku dingin laksana disamber petir, mata, hidung kelima inderanya seakan-akan mengkeret seperti orang kalap, tiba-tiba dia menubruk ke atas badan orang yang tertutup kain gordyn, agaknya dia sudah melupakan pedang lawan sudah mengancam satu kaki di depan mukanya.
Pelan-pelan laki-laki kurus jubah hitam membalik badan, sorot matanya menampilkan rasa hina, katanya dingin: "Perasaan hatimu begini lemah, bahwasanya tidak setimpal mempelajari silat, biarlah aku sempurnakan kalian berdua."
Sudah tentu Nikoh jubah hijau tidak tahu apa yang dia katakan, pedang panjang itupun pelan-pelan bergerak menusuk ke tenggorokannya.
"Tahan!" sekonyong-konyong seseorang membentak lantang.
Ternyata laki-laki kurus jubah hitam menghentikan tusukannya, tanpa berpaling, suaranya kedengaran tawar: "Maling Romantis?"
Coh Liu-hiang tidak segera menubruk maju karena dia tahu pedang ditangan orang sembarang waktu mungkin menghabisi jiwa Nikoh jubah hijau, betapapun cepat gerakan badannya, takkan sempat maju menubruk menolongnya.
Badannya meluncur turun dan berhenti kira-kira setombak jauhnya, sorot matanya tajam, katanya sambil mengawasi tangan yang memegang pedang: "Cayhe memang Coh Liu-hiang!"
Laki-laki kurus jubah hitam mengeluarkan tawa kering yang menusuk telinga, katanya: "Bagus sekali, memang aku sudah tahu cepat atau lambat kau dan aku pasti akan bertemu muka."
"Tuan adalah "tangan" itu?" tanya Coh Liu-hiang.
"Tangan?" laki-laki jubah hitam melengak tapi cepat sekali dia sudah mengerti, katanya menyeringai dingin: "Benar, aku adalah tangan yang satu itu, mati hidup jiwa kebanyakan orang yang berada di dunia ini, kebanyakan terbelenggu di tanganku."
Dengan lirikan ujung matanya Coh Liu-hiang mencegah Oh Thi-hoa, maksudnya supaya orang tidak ceroboh.
Tapi Oh Thi-hoa tidak tahan sabar, bentaknya: "Tapi mati hidupnya sekarang, tergenggam dalam tangan kami."
"O" Apa ya?" jengek laki-laki jubah hitam. Sorot matanya yang dingin mengandung penghinaan.
Oh Thi-hoa murka, dampratnya: "Kau tak percaya aku bisa menjagalmu?"
Dari kepala sampai ke kaki, laki-laki kurus jubah hitam mengawasinya dengan memicingkan mata, jengeknya: "Kalian berdua saja?"
"Memangnya kau kira tidak cukup?" damprat Oh Thi-hoa pula.
"Kalian hendak satu lawan satu" Atau kalian maju bersama?"
Sekilas Oh Thi-hoa melirik kepada Coh Liu-hiang, serunya bengis: "Menghadapi kau durjana ini, memangnya perlu menepati aturan Kang-ouw segala?"
Tiba-tiba laki-laki jubah hitam menghela napas panjang, ujarnya: "Sayang... sayang..."
"Sayang?" Oh Thi-hoa mendelik.
"Kalau dalam keadaan biasa, kalian boleh makan kenyang dulu tiga hari, menghimpun semangat, mengumpulkan tenaga sehingga kondisi badan segar bugar, lalu memilih dua macam senjata yang cocok selera baru bergebrak dengan aku, mungkin masih kuat melawan lima ratus jurus, tapi hari ini..."
"Hari ini kenapa?" bentak Oh Thi-hoa pula.
"Hari ini sorot mata kalian guram, langkah kaki mengambang, jelas kalian sudah kehabisan setengah tenaga, dan lagi kurang tidur, perut kosong lagi, sepuluh tingkat kepandaian silat kalian, kini paling hanya tinggal empat tingkat belaka." lalu di geleng-geleng kepalanya, sambungnya menghela napas: "Dalam keadaan serba kritis seperti ini, kalian hendak bergebrak dengan aku, sungguh merupakan tindakan yang kurang pintar."
Tiba-tiba Oh Thi-hoa bergelak tawa, serunya: "Kau hendak menggertak kami" Kau kira kami takut?"
"Memang kalian tidak takut, tapi aku merasa kecewa malah."
"Kecewa?"
Laki-laki jubah hitam menatap pedang di tangannya, katanya kalem: "Sepuluh tahun yang lalu, aku bertamasya keluar perbatasan, di sana aku pernah bertemu dengan Bu-bing kiam khek, di pinggir Thiam ji di puncak Tiang pek-san dia melawanku bertanding selama dua hari dua malam."
biji matanya yang kelabu memancarkan cahaya terang seperti nyala api, lalu melanjutkan:
"Pertempuran kali ini sungguh menyenangkan dan memuaskan hati, selama hidup takkan pernah kulupakan, sayang sekali sejak pertempuran kali itu, sampai sekarang aku tak pernah kebentur lagi dengan lawan tangguh yang benar-benar mencocoki seleraku."
"Kalau demikian, memangnya kau ini sudah tiada tandingan dikolong langit?"
Laki-laki kurus jubah hitam tak hiraukan ocehan Oh Thi-hoa, katanya menyambung: "Kiansu
"ahli pedang" tiada tandingannya betapa sunyi perasaan hatinya, mungkin sukar membayangkannya, selama sepuluh tahun ini, setiap waktu setiap saat tiada pernah aku berhenti usaha untuk mencari seorang lawan tangguh..." sorot matanya lalu menatap Coh Liu-hiang, sambungnya: "Sampai akhirnya aku dengar orang bilang tentang dirimu."
Coh Liu-hiang tertawa baru sekarang dia membuka mulut: "Kalau begitu tuan memang ada maksud mencari aku sebagai lawanmu?"
"Sudah lama aku mendengar kisah petualanganmu, semula aku kira hanya orang-orang Kangouw saja yang suka usil mulut mengagulkan dirimu setinggi langit, tapi hari ini kulihat kau, baru aku tahu ternyata memang sejak kau dilahirkan sudah belajar silat."
"Ah, terlalu memuji." Coh Liu-hiang merendah.
"Pertama kali aku melihatmu, lantas kudapati kepintaran, ketenanganmu jarang ada orang dapat menandingi, bisa bertempur dengan orang seperti kau memang merupakan kejadian yang menggemparkan, sayang sekali sekarang..."
"Sekarang kenapa?" tanya Coh Liu-hiang tetap kalem dan tersenyum.
"Mengandalkan kondisimu sekarang, jikalau satu lawan satu, mungkin kau masih kuat menyambut dua ratus seranganku tapi kalau ketambahan dia, didalam seratus jurus aku pasti dapat menamatkan riwayatmu."
Oh Thi-hoa berjingkrak gusar seperti kebakaran jenggot, raungnya: "Aku seorang diri juga bisa tamatkan jiwamu."
"Ilmu silatmu, di kalangan Kangouw boleh terhitung kelas satu, tapi hari ini semangat dan tenaga kalian sudah luluh, dengan gabungan dua orang bukan saja tidak akan bermanfaat kerja-sama kalian, malah masing-masing harus menguatirkan keselamatan dan saling tolong-menolong, tanpa mengambil keuntungan yang setimpal, lebih celaka lagi..."
"Apapun yang kau katakan," tukas Oh Thi-hoa tertawa lebar "hari ini aku hendak melabrakmu bersama, andai lidahmu pecah saking banyak ngoceh, jangan harap kami bisa kau tipu mentah-mentah."
Laki-laki kurus jubah hitam kembali menghela napas, katanya: "Ribuan laksa emas dapat diperoleh, panglima gagah sukar dicari, Coh Liu-hiang, Coh Liu-hiang dengan cara begini saja aku membunuhmu, sungguh terlalu merendahkan derajatmu, sayang, sayang!"
"Kalau demikian, apakah tuan tidak bisa tidak membunuhku?"
"Kalau orang seperti macammu hidup di dunia fana ini, aku sendiripun takkan bisa tidur nyenyak dan makan dengan tentram..." tiba-tiba matanya memancarkan nafsu membunuh, katanya dingin: "Tapi kalau hari ini kalian kuat melawan seratus lima puluh jurus, aku tak akan membunuhmu." dimana hembusan angin berlalu, tiba-tiba pedang di tangannya sudah bergerak!
Nafsu membunuh sebetulnya hanya terlontar dari sorot matanya, tapi begitu gerakan pedangnya dimulai alam semesta sekonyong-konyong seperti diliputi hawa kematian.
"Kalau dapat melawan seratus lima puluh jurus, aku tak akan membunuhmu." mendengar ucapan orang ini Oh Thi-hoa sudah hampir bergelak tawa. Sungguh tak pernah terpikir dalam benaknya, dalam dunia ini ada manusia secongkak dan seangkuh ini.
Tapi sekarang tawanya tak bisa terdengar. Entah kenapa tahu-tahu tanpa disadarinya dia sudah tersedot seperti disihir saja sama kekuatan hawa kematian ini, terasa tak dapat terkendali lagi sanubarinya mengucurkan keringat dingin.
Hawa pedang Swe It hang memang sangat tajam dan hebat, namun toh belum bisa membuat hatinya kaget, soalnya hawa pedang Swe It hang itu merupakan suatu yang mati, hanya bisa mengetuk kalbu saja, tak bisa melukai badan lawan, sebaliknya laki-laki kurus jubah hitam ini sudah bisa melebur nafsu membunuh dengan hawa pedang terbayang menjadi satu, lebih hebat lagi karena hawa membunuh itu ternyata hidup.
Meski pedangnya belum bergerak, tapi hawa membunuh ini sudah mulai merangsang, bergerak menerjang dan memasuki setiap lobang indra. Terasa oleh Oh Thi-hoa hawa membunuh ini telah memasuki ke dalam matanya, menerjang masuk ke dalam telinga, menyusup ke hidung, meresap ke dalam lengan bajunya.. semua badan seakan-akan sudah telanjang bulat, terkepung oleh hawa membunuh ini, belum lagi bergebrak dirinya sudah terdesak di bawah angin, apalagi dia sudah tidak tahu cara bagaimana dia harus turun tangan.
Ujung pedang laki-laki kurus jubah hitam terjungkit ke bawah, bukan saja gaya menyerang juga bukan sikap membela diri, semua badannya dari atas sampai ke bawah dapat dikata merupakan lobang besar yang merupakan sasaran empuk untuk diserang. Tapi karena terlalu banyak sasaran yang harus diserangnya, maka Oh Thi-hoa lebih kebingungan dan tak tahu cara bagaimana dia harus mulai turun tangan, karena dia sendiri tidak bisa meraba bagaimana perubahan gerakan pedang laki-laki kurus jubah hitam selanjutnya.
Tiba-tiba Coh Liu-hiang juga menghela napas, ujarnya: "Sayang... sayang..."
Laki-laki kurus jubah hitam menatapnya dengan pandangan dingin.
"Tuan juga membikin aku amat kecewa." ujarnya tertawa.
Akhirnya laki-laki kurus jubah hitam tidak tahan bertanya juga: "Kecewa?"
"Kukira betapa tinggi ilmu pedang tuan yang sebenarnya, melihat gaya kuda-kudamu ini, boleh dikata gerakan tuan banyak menunjukkan lobang kelemahan yang fatal sekali akibatnya, terlalu lucu dan menggelikan."
"Kalau demikian, kenapa tidak segera kau turun tangan?"
"Terus terang Cayhe rada tidak tega untuk turun tangan."
"Mungkin karena jurus permulaanku ini terlalu banyak mengunjukkan titik kelemahan, maka kau jadi tidak tahu cara bagaimana kau harus turun tangan bukan?" ujar laki-laki kurus dengan nada sinis, "jikalau kau satu lawan satu dengan aku, masih bisa kau mengandal Ginkangmu yang tinggi untuk menjajal dan menyelami jalan permainan ilmu pedangku, tapi sekarang kau harus berusaha melindungi temanmu, soalnya sejurus kau gagal, pedangku pasti sudah tembus menghujam tenggorokannya."
Sudah tentu Coh Liu-hiang sendiripun tahu akan keadaan gawat dan kepepet ini, soalnya dia lihat sikap Oh Thi-hoa rada kurang normal seperti kehilangan semangat, maka dia mencari akal berusaha menenangkan hatinya. Dia tahu omongan kadang kala bisa membuat seseorang menjadi tentram dalam ketegangan.
Pandangan laki-laki kurus jubah hitam laksana kilat, katanya dengan tertawa dingin: "Maksud hatimu akupun sudah tahu, kalau dalam keadaan biasa, mungkin diapun takkan sampai begini, tetapi sekarangpun hatinya bingung, tenaganya loyo, semangat dan kondisi badannya sama-sama lemah, kalau tidak mau dikatakan hampir lumpuh, maka hawa pedangku bisa menyusup ke dalam badannya, sekarang badaniahnya memang tak kelihatan terluka, tapi semangatnya sudah terkekang dan tersedot oleh kekuatan hawa pedangku, tak ubahnya seperti mayat hidup."
Memang kedua mata Oh Thi-hoa mendelong memandang lempeng ke depan, keringat gemerobyos membasahi kepala, golok di tangannya itu seakan-akan menjadi ribuan kati beratnya, walau ia sudah kerahkan semua kekuatannya namun ujung goloknyapun tak kuasa diangkatnya.
Oh Thi-hoa yang sudah gemblengan di medan laga kenapa bisa berubah begitu mengenaskan" Sekonyong-konyong Coh Liu-hiang diresapi pikiran aneh, seakan-akan yang dihadapinya sekarang bukannya seorang manusia, sebatang pedang, tapi adalah segulung hawa membunuh yang aneh dan gaib.
Gumpalan hawa membunuh ini hasil dari persatuan bentuk manusia aneh dan sebatang pedang iblis, orang dan pedang laksana dwi tunggal dapat dikata sudah menjadi begitu kuat ampuh dan tak terpecahkan, tak terkalahkan. Orang ini sudah menjadi setan pedang sementara pedang itu sudah merupakan sukma dari manusia.
Diam-diam Coh Liu-hiang menghela napas, dia tahu dengan kondisi badannya sekarang menghadapi pedang iblis ditangan orang, bukan saja merupakan sikap yang pintar, malah merupakan malapetaka.
Dikala seseorang sedang kelaparan, keletihan, bukan saja kulit dagingnya takkan kuat, semangatnyapun akan lumpuh, bayangkan momok sudah timbul dalam benaknya, demikian juga ancaman dari luar akan segera menyusup ke dalam. Pertempuran melawan Induk air dalam air itu boleh dikata sudah menguras habis seluruh semangat dan kekuatan lahir batinnya, sekarang memang sesungguhnya dia sudah tak mampu lagi memecahkan gumpalan hawa membunuh ini.
Biji mata lelaki kurus jubah hitam yang kelabu kaku mati itu tiba-tiba menyorotkan sinar hijau seperti bara yang mulai menyala, umpama Coh Liu-hiang adalah besi baja, lama kelamaan diapun akan mencair luluh.
Satu-satunya harapan, semoga Nikoh jubah hijau itu tiba-tiba bangkit kemarahannya dan berkobar dendamnya, maka dengan gencetan dua orang dari dua posisi yang berlawanan, mungkin dia masih mempunyai harapan, apa boleh buat Nikoh jubah hijau, kelihatannya sudah lumpuh dan tak bersemangat lagi karena kematian teman hidupnya itu, dia mendekam di atas mayat teman hidupnya itu, tenaga untuk berdiri pun tak kuat lagi.
Sekonyong-konyong sinar pedang menjulang ke atas, berputar satu lingkaran. Berkata lelaki kurus jubah hitam: "Sungguh tak nyana kalian jauh lebih tak becus dari apa yang kubayangkan semula, agaknya hanya sedikit angkat tangan saja aku sudah bisa membunuh jiwamu."
Coh Liu-hiang menatap ujung pedang ditangan lawan, baru saja dia siap melejit ke atas, tapi sekonyong-konyong pedang lelaki kurus jubah hitam tiba-tiba menjadi tabir cahaya yang menyilaukan memutus segala jalan mundurnya. Ujung pedang menderu membelah angin, melengking tajam laksana suitan.
Sebetulnya Coh Liu-hiang cukup mampu untuk memecahkan gerakan pedang ini, apa boleh buat saat ini dia sudah kehabisan tenaga, kekuatan tidak memadai dengan keinginan hatinya.
Pada saat yang kritis itulah sekonyong-konyong seseorang menghardik keras: "Berhenti!"
begitu hardikan ini kumandang, lengking pedangpun berhenti, gerakan pedang laksana siluman ular itupun tiba-tiba tak bergeming lagi, dari kejauhan ujung pedang menuding atau mengancam di depan muka Coh Liu-hiang.
Laki-laki kurus jubah hitam berkata dingin: "Aku hanya ingin tahu siapa gerangan yang berani menyuruh aku berhenti, tiada maksudku yang lain, tentunya kau tahu pedangku ini setiap saat dapat mencabut nyawamu menuruti keinginan hatiku."
Seakan-akan Coh Liu-hiang tak mendengar ucapannya, mata orang hanya mengawasi ke belakangnya, berkata: "Kau tidak melihatku, karena begitu kau bergerak, aku akan mencabut jiwamu." suara ini nyaring merdu dan lembut, namun membawa daya ancaman dan hawa membunuh yang tajam dan kuat, sehingga orang yang di ancamnya mau tak mau percaya akan ucapannya.
Laki-laki kurus jubah hitam menatap Coh Liu-hiang, dilihatnya Coh Liu-hiang menampilkan rasa kaget, heran serta kesenangan, katanya tersenyum: "Lebih baik kau percaya apa yang dikatakannya, aku berani tanggung dia pasti tidak sedang berkelakar."
"Jikalau aku tidak percaya?" laki-laki jubah hitam menyeringai dingin.
"Kalau kau melihat apa yang dipegang tangannya, tidak bisa tidak kau akan percaya."
Sorot mata laki-laki kurus jubah hitam yang menyala tadi kembali menjadi kelabu, katanya sepatah demi sepatah: "Perduli apapun yang berada di tangannya, aku tetap bisa membunuhmu sembarang waktu."
"Kenapa tidak kau lihat dulu apa sebenarnya yang berada di tangannya?" debat Coh Liu-hiang dengan sikap tenang dan kalem.
Harus dimaklumi, tatkala itu seluruh kekuatan hawa pedang dari pengerahan tenaga murninya sudah terpusatkan di batang pedangnya, asal dia berpaling kepala itu berarti pemusatan kekuatan dan konsentrasinya terganggu, maka Coh Liu-hiang akan memperoleh kesempatan yang paling baik. Tak nyana lelaki kurus jubah hitam ini seperti dapat meraba pikirannya, katanya dingin: "Kau ingin aku berpaling kukira tak begitu gampang."
"Jadi kau tidak mau berpaling?"
"Sekarang seluruh badanmu sudah terjaring didalam hawa pedangku, umpama kura-kura di gentong, ikan dalam jala, jikalau aku tidak mau berpaling maka kaupun takkan punya kesempatan untuk memperpanjang hidup, andaikata dua puluh tujuh batang Bau hi li ho ting di tangannya serempak menancap di badanku, tusukan pedangku tetap dapat menamatkan jiwamu."
Coh Liu-hiang tertawa, ujarnya: "Ternyata kau sudah menebak apa yang berada di tangannya."
"Jikalau dia tak memegangi Bau hi li hoa ting, memangnya dia berani mengancam begitu rupa terhadapku?"
Tiba-tiba Coh Liu-hiang tertawa riang, katanya: "Tapi jikalau tangannya kosong, dia hanya menggertakmu saja, apa kau tak terlalu penasaran ditipu mentah-mentah?"
Berubah rona muka lelaki jubah hitam, katanya: "Apakah tangannya kosong, tanpa berpaling akupun sudah tahu."
"O" Jadi belakang kepalamu juga tumbuh mata?"
Bengis sorot mata lelaki jubah hitam sentaknya: "Tusukan pedangku akan dapat menjajal apakah tangannya itu benar-benar kosong."
"Jikalau tangannya benar-benar pegang Bau hi li hoa ting, tusukanmu ini bukankah membawa malapetaka bagi dirimu pula" Dua puluh tujuh batang Li-ho-ting sekaligus menyerang dari belakang, kau yakin dapat meluputkan diri?"
"Bisa gugur bersama Maling romantis kukira merupakan transaksi dagang yang cukup adil juga."
"Bagus sekali." ujar Coh Liu-hiang tersenyum: "Kalau begitu silahkan kau turun tangan!
Mungkin tusukanmu belum tentu dapat menamatkan jiwaku, bukankah terlalu besar derita kerugianmu?"
Kembali berubah roman muka laki-laki jubah hitam, katanya: "Kalau aku tak ingin turun tangan?"
"Kalau kau tak turun tangan, mungkin dia pun takkan turun tangan, jikalau kau ingin menyingkir, silahkan berlalu tiada orang yang akan menarik dan menahanmu."
Jelalatan sorot mata lelaki jubah hitam, katanya kurang percaya: "Darimana aku tahu kalau dia..."
"Asal kau pergi, aku berani tanggung dia pasti tidak akan turun tangan."
"Dengan apa kau bertanggung jawab" Kenapa aku harus percaya akan obrolanmu?"
"Kalau kau tidak percaya hanya turun tanganlah keputusannya, jikalau kau tak ingin turun tangan, terpaksa harus percaya kepada ku, memangnya masih ada peluang bagimu untuk tawar-menawar?"
Dengan tatapan tajam, laki-laki jubah hitam mengawasi Coh Liu-hiang lama sekali, tiba-tiba dia tertawa besar, katanya: "Kalau Maling romantis sampai tidak kupercayai, manusia siapa lagi yang dapat kupercaya dalam dunia ini, baik, hari ini kita selesaikan urusan sampai di sini saja, kelak masih banyak kesempatan."
"Kelak bila kau berhadapan dengan aku lagi, lebih baik kau berdaya memasang mata di belakang kepalamu."
"Kuharap kau baik-baik menjaga kesehatan, kumpulkan semangat dan tenagamu, didalam jangka tiga bulan, semoga jarang sakit atau terluka, kalau tidak kau akan terlalu mengecewakan aku." mulut bicara kakinyapun melangkah lebar, sejak langkah pertama tidak pernah dia berpaling, tampak jubah hitamnya melambai, dia sudah menghilang dari pandangan mata.
Baru saja orang berlalu, Soh Yong-yong yang semula berdiri di belakangnya segera meloso jatuh dengan lemas, roman mukanya sudah pucat pias tak kelihatan warna darah, keringat dingin gemerobyos, membasahi semua badannya. Tangannya kosong melompong, mana ada Bau hi li hoa ting segala.
Tesipu-sipu Coh Liu-hiang memburu maju memapahnya berdiri, katanya lembut: "Tepat sekali kedatanganmu sungguh baik sekali!"
Bibir Soh Yong-yong masih gemetar, suaranyapun tak mampu dia katakan.
"Sebetulnya kau tidak perlu begini takut."
Soh Yong-yong gigit bibirnya sebentar, katanya: "Apapun tidak kutakuti, aku hanya takut bila dia berpaling ke belakang."
"Karena asal kau sudah kemari, kau bawa tidak Bau hi li hoa ting bukan menjadi soal lagi, persoalan sama saja."
"Kenapa begitu?" tanya Soh Yong-yong.
"Tadi dia bukan sedang membual, umpama kata tanganmu benar membawa Bau hi li hoa ting, asal dia berani turun tangan, dia tetap bisa membunuhku lebih dulu, waktu itu aku memang sudah terbelenggu didalam lingkungan hawa pedangnya, tapi akupun yakin dia takkan berani turun tangan, juga takkan berani berpaling ke belakang, karena orang macam dia pasti pandang jiwanya terlalu tinggi, sekali kali dia takkan berani mempertaruhkan jiwanya untuk menghadapi teka-teki ini."
"Tapi kenapa dia tidak berani berpaling?"
"Dia tidak berani berpaling lantaran takut kalau dirinya tertipu, orang macam dia kalau tahu dirinya tertipu orang lain, mungkin bisa gila saking dongkol dan marah."
"Kalau mau dia berpaling dulu baru turun tangan kan belum terlambat?"
"Kalau dia berpaling ke belakang, maka dia takkan bisa turun tangan lagi."
"Kenapa?"
"Jikalau kau benar-benar membawa Bau hi li hoa ting, begitu berpaling, kau akan punya kesempatan membuat tamat riwayatnya."
"Tapi aku..."
"Tapi tanganmu kosong, bila dia berpaling tahu bahwa dirinya ditipu mentah-mentah, ingin memusatkan kekuatan hawa pedangnya lagi sesulit memanjat langit."
"Kenapa begitu?" tanya Soh Yong-yong tak mengerti.
"Dia tahu aku sudah laksana api yang hampir kehabisan minyak, yakin dirinya pasti akan menang, maka dia kuasa menekanku dengan perbawa hawa pedangnya, tapi bila dia tahu dirinya ditipu, perbawa hawa pedangnya akan menjadi lumpuh, maka perbawaku malah akan balas menekan dia, tatkala itu siapa menang siapa asor sukar diramalkan, orang macam dia masakah mau bertanding dengan orang bila dia tidak yakin akan menang" Maka sudah kuperhitungkan dia pasti rela tinggal pergi saja, berpalingpun tidak sudi."
Sampai di sini Coh Liu-hiang tersenyum: "Tokoh kelas wahid bertanding umpama dua pasukan besar sedang berhadapan, sikap dan perbawa sekali-kali tidak boleh kelelap oleh kekuatan lawan, meski persenjataan pihak sendiri kalah kuat bila perbawa dan semangat tempur kita lebih berkobar, lawan besarpun akan dapat kita tundukkan. Agaknya dia mengerti juga akan teori ini, maka tahu situasi yang menyudutkan dirinya serba tidak menguntungkan, maka dia rela tinggal pergi saja."
Soh Yong-yong tertawa manis, katanya memuji: "Justru karena kau maling romantis juga paham akan teori strategis perang ini, maka setiap kali kau dengan keadaan yang lemah dapat mengalahkan yang kuat, dari bahaya menjadi selamat dan ketiban rejeki."
"Terlalu dipuji, terlalu dipuji, tapi kalau kau tidak menyusul tiba tepat pada saatnya, akupun belum sempat berdoa untuk keselamatanku sendiri."
"Tapi kau memang terlalu tabah, melihat sikapmu yang tenang dan adem-ayem tadi sampai akupun hampir merasa aku memang memegangi Bau hi li hoa ting."
"Kelihatannya aku memang tenang, tabah dan adem-ayem, sebetulnya hatikupun tegang setengah mati, memang dengan semangat dan kondisi badanku hari ini bertempur sama dia sedikitpun aku tidak punya keyakinan dapat mengalahkan dia."
Soh Yong-yong menatapnya lekat-lekat, sorot matanya mengandung kekuatiran dan duka, katanya: "Dalam keadaanmu yang normal seperti biasa, berapa persen keyakinanmu dapat melawan dia?"
Coh Liu-hiang berdiam sebentar, katanya tersenyum: "Waktu aku bergebrak dengan Ciok-koan-im, sedikitpun aku tak punya keyakinan akan diriku, tapi aku tetap masih berhasil mengalahkan dia."
Tatkala itu Nikoh jubah hijau perlahan merangkak berdiri dari atas mayat yang terselubung kain gordyn, Coh Liu-hiang selalu memperhatikan gerak-gerik orang, cuma dia cukup tahu perempuan disaat sedih pilu tentu tak suka diganggu orang lain, maka dia diam saja tak mengajaknya bicara, supaya orang bisa tenang melampiaskan duka citanya melalui sesenggukkan tangisnya! Bila perempuan sedang menangis sesambatan, ada orang mendekati dan menghiburnya, maka dia tak akan habis-habis menangis sampai dia sendiri kecapaian.
Nikoh jubah hijau sudah menghentikan tangisnya, kulit mukanya yang pucat tepos kehitaman rada bengkak, pelan-pelan dia membalik badan menghadapi Coh Liu-hiang, tiba-tiba berkata, katanya: "Aku ingin memohon sesuatu kepadamu."
Coh Liu-hiang melengak kaget, tapi segera dia menjawab: "Silahkan berkata."
"Aku tahu kalian tentu amat keheranan, tak tahu siapa sebenarnya si dia itu" Kenapa menyembunyikan diri tak mau dilihat orang?"
"Setiap orang punya rahasianya sendiri-sendiri, siapapun tiada hak mencampurinya." Nikoh jubah hijau manggut-manggut, katanya pelan-pelan: "Sekarang aku hanya mohon kepadamu, selamanya jangan kau selidiki rahasia ini, selamanya jangan kau singkap kain gordyn ini, selamanya jangan sampai ada orang lain yang melihatnya."
Tanpa pikir Coh Liu-hiang menjawab: "Cayhe boleh berjanji diantara teman-temanku pasti tidak ada seorangpun yang suka mengorek-ngorek rahasia orang lain."
Nikoh jubah hijau menarik napas panjang yang melegakan hati, kepalanya mendongak mengawasi angkasa raya, lama id terlongong, akhirnya berkata pula dengan kalem: "Kau adalah Kuncu, maka aku berani berpesan kepadamu, setelah aku wafat, harap kau segera perabukan jenasah kami, lalu taburkan abu kami berdua ke dalam aliran sungai yang mengalir ke dalam Sin cui kiong itu." ujung mulutnya mengulum senyum, katanya menyambung: "Dengan demikian dimasa hidup kami tak bisa kembali ke Sin cui kiong, setelah wafat akhirnya dapat kembali ke haribaannya pula." air muka yang semula kaku bengkak, diliputi penderitaan, kini dihiasi senyum mekar, senyuman yang kelihatan aneh, penuh arti tapi juga mengiriskan.
Coh Liu-hiang sampai bergidik melihat roman muka orang, katanya: "Taysu apa kau..."
Nikoh jubah hijau ulapkan tangannya menukas omongannya: "Aku dengan kau sebelum ini masih asing dan tidak saling kenal, bertemu pertama kali lantas aku berpesan kepadamu, karena aku percaya kau adalah lelaki sejati, selama hidupku memang takkan bisa membalas baktimu tapi setelah ajal dialam baka aku pasti akan berdoa dan memberkati kau sehat panjang umur."
Kalau orang lain yang mengucapkan janji ini, mungkin hanya omong kosong belaka, tapi diucapkan dari mulut orang yang sudah sengsara hidup dan menjelang ajal ini, ternyata membawa kekuatan misterius yang meresap ke sanubari, sehingga orang yang mendengar betul-betul merasakan dirinya sedang mengadakan transaksi dengan sebuah sukma.
Coh Liu-hiang tidak bicara lagi, karena dia tahu tekad dan keputusannya siapapun tidak bisa mengubahnya lagi. Maka dilihatnya Nikoh jubah hijau merangkap kedua telapak tangan di depan dada, badan setengah membungkuk membacakan mantram dan dia lalu pelan-pelan membalik badan.
Coh Liu-hiang tidak melihat orang melakukan gerakan apa-apa, tahu-tahu badannya sudah roboh. Roboh menindih mayat yang tersembunyi didalam kain gordyn itu.
Coh Liu-hiang menghirup napas panjang, segera dia menjura dalam.
Sebaliknya air mata Soh Yong-yong berlinang, katanya sambil mengulap mata: "Agaknya Taysu inipun seorang romantis."
Tiba-tiba terdengar Oh Thi-hoa menarik napas panjang, teriaknya tertahan: "Eh! Kapan kau datang" Mana dia?" kau yang dimaksud sudah tentu adalah Soh Yong-yong, sedang dia sudah tentu adalah lelaki kurus jubah hitam.
"Kau tidak melihatnya?" tanya Soh Yong-yong keheranan.
"Aku.. aku..." Oh Thi-hoa gelagapan. Keringat gemerobyos di atas kepalanya, suaranya sember: "Apakah yang telah terjadi" Kenapa aku tiba-tiba bermimpi?"
Coh Liu-hiang berkata pelan-pelan: "Lantaran kau sedang mimpi, maka aku tidak berani mengusik kau, sekarang setelah siuman dari mimpi, dapatlah kau lupakan segala impianmu itu."
Maklumlah sukma Oh Thi-hoa tadi sudah terbelenggu atau tersedot oleh kekuatan hawa pedang lelaki kurus jubah hitam itu, berarti raganya sudah kosong melompong tinggal badan kasarnya saja, sisanyapun tidak banyak lagi, jikalau sampai terganggu, begitu hawa murninya sontak berontak dan nyeleweng, kemungkinan darahnya bakal putar balik sehingga Cay-hwe-jip-mo. Jikalau dia tidak melupakan peristiwa ini, kelak bila bertanding dengan orang, tentu dirinya kehilangan keyakinan akan dirinya sendiri, bagi seorang persilatan bila kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri, sisanyapun takkan banyak lagi. Betapapun Oh Thi-hoa juga tahu akan hal ini, serta merta keringat dingin gemerobyos lagi membasahi seluruh badan.
Lama Coh Liu-hiang menatap lekat-lekat, kemudian baru bersuara dengan lembut: "Sekarang kau sudah lupa semuanya?"
Lama juga Oh Thi-hoa menepekur, tiba-tiba dia bergelak tawa dengan mendongak, sahutnya:
"Aku sudah lupa."
Dengan dahan-dahan pohon dan dedaunannya Coh Liu-hiang menutupi kedua jenasah itu lalu menyulut api membakarnya.
Semua rahasia segera akan ikut lenyap menjadi abu.
Oh Thi-hoa terus mengawasi jenasah yang tertutup rapat oleh kain gordyn itu, tak tahan mulutnya mengoceh lagi: "Siapakah sebenarnya orang ini" Apakah dia sumoay Taysu ini"
Ataukah kekasihnya" Lantaran roman mukanya dirusak, maka dia menyembunyikan diri malu dilihat orang?"
Soh Yong-yong seperti mau mengatakan sesuatu, namun dia urung bicara. Tadi waktu mau berlalu sedikit meningkap ujung kain gordyn, seakan-akan dia sudah melihat tangan orang itu.
Tapi kelihatannya bukan tangan manusia, tapi lebih serupa dengan cakar binatang, karena jari-jarinya penuh ditumbuhi bulu lebat dengan kuku-kuku jari yang runcing panjang.
Memangnya binatang sakti yang dicinta oleh Nikoh jubah hijau ini" Antara cinta dan dosa, ada kalanya memang hanya terpaut satu garis saja.
Tapi bukan saja Soh Yong-yong tak berani mengatakan, malah berpikir atau membayangkanpun tak berani lagi. Apalagi bukan mustahil di atas tangan orang bisa tumbuh bulu.
Api mulai menyala dan berkobar semakin besar. Rahasia itu sudah lenyap ditelan kobaran api, selamanya lenyap dari alam semesta ini.
Namun dalah hati Soh Yong-yong akan tenggelam sebuah teka-teki.
Setitik merah dan Ki Bu-yong sudah pergi lagi entah kemana. Tiada orang yang bisa menahan mereka, karena mereka memang lahir dan tumbuh didalam pengasingan, maka merekapun harus hidup sebatang kara. Hanya kehidupan menyendiri yang paling mereka gemari.
Yang menghibur dan melegakan hati Coh Liu-hiang adalah bahwa kedua orang yang semula sebatang kara dan tumbuh didalam kesunyian ini akhirnya bisa hidup terangkap menjadi satu.
Cay Tok-hing berkukuh ingin mengantar keberangkatan mereka, karena selama hidup Cay Tok-hing diapun selalu sebatang kara, hanya dia saja yang betul-betul dapat menyelami jiwa orang sebatangkara adakalanya juga dilembari oleh hari yang panas dan membara akan kehidupan.
Bagaimana dengan Ui Loh-ce" Dia bertekad akan menemukan jenasah Hiong-niocu di sepanjang aliran sungai itu, persahabatan mereka takkan luntur meski mengalami bencana besar dan tergembleng dalam penderitaan hidup, sampai mati takkan berubah.
Abu jenasah Nikoh jubah hijau berdua diserahkan kepada Ui Loh-ce, karena Coh Liu-hiang tahu diapun seorang yang dapat dipercaya, siapapun bila bisa bersahabat dengan teman seperti Ui Loh-ce sungguh merupakan satu hal yang menguntungkan.
Song Thiam-ji selalu merengut dan bersungut-sungut, mulut mengomel panjang pendek karena jatuh semaput sehingga dia tak bisa mengikuti keramaian ini, maka selama ini hanya murung dan masgul.
Soh Yong-yong lantas menghiburnya: "Walau kau kehilangan kesempatan melihat banyak keramaian ini, tapi banyak urusan lebih beruntung bila kau tak mengetahui atau melihatnya malah."
Di sebelahnya Li Ang siu sebaliknya sedang menjelaskan pengalamannya dalam perjalanan ke sini: "Ditengah jalan racun dalam badan Liu Bu-bi mendadak kumat dia tak kuat berjalan, maka Li Giok-ham menemani dia, sekarang mereka menginap dirumah seorang tukang kayu di bawah gunung."
Sudah tentu Coh Liu-hiang tahu bahwa Liu Bu-bi hakekatnya bukan sedang sakit, tapi lantaran takut, dia tahu bila rahasia dirinya terbongkar masakah dia berani berhadapan dengan Coh Liu-hiang.
Li Ang siu kesima, katanya merinding: "Maksudmu bahwa Liu Bu-bi hakekatnya tak pernah keracunan, dia memancingmu masuk ke dalam Sin cui kiong, tujuannya untuk menuntut balas bagi kematian Ciok koan im?"
"Ya, begitulah menurut rekaanku."
"Kalau demikian dia pasti takkan berani menetap dirumah tukang kayu itu, buat apa kita menyusul kesana untuk mendatangi tempat kosong?"
"Bukan kita saja yang tertipu olehnya, Li Giok-ham sendiripun ditipunya mentah-mentah, betapapun aku akan menemukan dia."
Cepat sekali mereka sudah tiba ke tempat tujuan, tampak di bawah bukit dalam sebidang hutan yang rindang terdapat sebuah gubuk, seorang tukang pencari kayu yang berusia tak muda lagi, namun otot badannya kelihatan merongkol, dengan kekar, badan bagian atas telanjang sedang membelah kayu bakar di depan halaman rumahnya. Walau orang ini tak pernah belajar silat tapi setiap kali kampaknya terayun selalu membawa gaya ayunan yang indah, sebatang bongkol kayu yang besar sekalipun dibelahnya dengan sekali bacokan kampaknya.
Melihat orang selincahnya mengerjakan kampaknya, diam diam Coh Liu-hiang merasa kagum dan simpatik. "Walau berhasil melatih ilmu silat sampai tingkat tertinggi sehingga tiada tandingannya dikolong langit, apa pula gunanya dan masakah patut dibanggakan, tokoh nomor satu yang ahli menggunakan senjata kampaknya memangnya mampu dibandingkan seorang tukang kayu yang rajin bekerja?"
Li Ang-siu maju mendekati, sapanya dengan tertawa: "Harap tanya Toako ini, apakah kedua teman kami itu masih berada didalam?"
Roman muka tukang kayu ini tak menampilkan perasaan apa-apa, malah melirikpun tidak kepadanya, dia hanya manggut-manggut sambil mengayunkan kampaknya, sebongkah kayu besar dibelahnya lagi hanya sekali ayunan kampak.
Setelah mengucapkan terima kasin Li Ang-siu lantas memberi kedipan mata kepada Coh Liu-hiang, lalu mereka langsung menuju ke pintu, belum lagi mereka memasuki pintu, Li Giok-ham sudah kelihatan didalam.
Gubuk kayu ini serba sederhana, kalau tidak mau dikatakan serba kekurangan, didalam hanya ada sebuah meja persegi, seorang diri Li Giok-ham sedang duduk menyanding meja sambil minum arak, air mukanya pucat kekuningan agaknya kurang tidur, secangkir demi secangkir tak putus-putusnya dia tenggak habis araknya. Cahaya dalam rumah agak guram meski siang hari bolong, suasana dalam rumah seperti ditengah malam terang bulan.
Setelah mereka melangkah masuk, Li Giok-ham hanya sekilas angkat kepala, segera sibuk lagi dengan araknya seolah-olah mereka selama ini tak kenal. Coh Liu-hiang langsung duduk dihadapannya, lama sekali baru dia bertanya: "Mana Li-hujin?"
Cukup lama baru Li Giok-ham mengerti maksud pertanyaannya, tiba-tiba dia tertawa, katanya berbisik: "Dia sedang tidur, jangan kalian ribut sehingga dia bangun."
Baru sekarang Coh Liu-hiang sempat perhatikan di atas dipan memang tidur celentang seseorang, cuma seluruh badannya tertutup kemul, sampai mukanyapun tak kelihatan.
Begitu melangkah masuk Oh Thi-hoa tidak tahan lagi lantas menyambar botol arak.
Tak kira sekali raih Li Giok-ham lantas merebutnya kembali, katanya: "Araknya tinggal sedikit, aku sendiri hendak minum, kenapa tidak kau beli sendiri?"
Oh Thi-hoa melongo, hampir dia tidak percaya akan pendengaran dan pandangannya sendiri bahwa putra hartawan besar seperti Li Giok-ham yang dulu royal dan suka berfoya-foya kini duduk di depannya, sebaliknya sikap Li Giok-ham acuh tak acuh seperti tiada orang lain di sekelilingnya, menuang sendiri, minum sendiri, perduli orang lain anggap dirinya macam manusia apa, sedikitpun dia tidak ambil perhatian.
Sesaat kemudian Coh Liu-hiang baru buka suara lagi: "Sungguh harus disesalkan, sampai sekarang kami baru sempat pulang, dan lagi tidak berhasil mendapatkan obat pemunah racun untuk mengobati istrimu."
"O?" pendek dan dingin sekali Li Giok-ham.
Coh Liu-hiang menambahkan dengan suara kereng: "Soalnya istrimu sebetulnya tak pernah keracunan, Induk air sendiri yang beritahu akan hal ini kepadaku."
Dia kira Li Giok-ham pasti tercengang kalau tidak terkejut mendengar keterangannya, siapa tahu sedikitpun Li Giok-ham tak memberi reaksi apa-apa, sesaat kemudian baru dia tertawa, katanya: "Dia sedang sakit, Baik sekali kalau begitu, baik sekali..."
Tiba-tiba terlihat oleh Coh Liu-hiang mimik tawa orang aneh dan ganjil, dikata tertawa adalah lebih tepat kalau dikatakan sedang menangis, dalam waktu dekat sukar dia meraba apa sebetulnya yang dimaksud dengan ucapan Li Giok-ham, entah harus menegurnya, turun tangan secara kekerasan bila perlu" Atau peristiwa itu disudahi begini saja, selanjutnya tak perlu disinggung lagi.
Memang Coh Liu-hiang berjiwa besar, lapang dada dan luhur budi, bila dia menerima kebaikan orang, meski hanya setetes air pasti akan dibalasnya, tapi belum pernah dia menaruh dendam kepada seseorang apalagi ganjalan hatinya sudah hilang tak luka tak dirugikan, perguruan Ciok-koan-im boleh dikata sudah putus turunan, buat apa dia harus menindas seorang perempuan lemah lagi setelah dipikir bolak-balik akhirnya dia bangkit berdiri, katanya: "Tugas Cayhe sudah berakhir sekarang juga aku mohon diri, selanjutnya," belum habis dia berkata, tiba-tiba Li Ang-siu berkata keras: "Tidak bisa, betapapun aku ingin tanya biar jelas apa sebenarnya hubungan mereka..." mulut bicara kakipun memburu masuk, langsung dia singkap kemul yang menutupi orang tidur itu, seketika ucapannya terputus seperti lehenya tiba-tiba dicekik orang, dengan menjublek dia awasi orang yang rebah di atas dipan.
Liu Bu-bi memang sedang rebah di atas dipan tapi roman mukanya pucat menguning seperti kertas emas, kedua matanya terpejam, daging dikulit mukanya sudah kering dan tak kelihatan lagi bekas-bekasnya yang ketinggalan hanya kulit pembungkus tulang.
Perempuan cantik rupawan bak bidadari ini kini sudah berubah sama dengan tengkorak, terang tinggal raganya saja yang sudah tak bersukma lagi, tampak beberapa ekor semut diantara lobang hidung dan telinganya merayap keluar masuk.
"Waaahhh!" tak tertahan akhirnya Li Ang-siu menjerit ngeri sambil berlari keluar menutup muka, Soh Yong-yong dan lain-lain lekas berpaling muka tak tega mengawasi lebih lama, Oh Thi-hoa terbelalak, katanya mendesis: "Dia... dia sudah mati."
Li Giok-ham geleng-geleng kepala, katanya tertawa lirih: "Dia tak mati, cuma tidurnya amat nyenyak, jangan kalian ribut di sini nanti membuatnya bangun."
Betapapun ceroboh dan bodoh Oh Thi-hoa sudah maklum bahwa Li Giok-ham sipintar ini terlalu keblinger dalam permainan asmaranya, kejadian sudah berlarut sedemikian jauh, tapi dia tetap menolak mengakui bahwa istrinya tercinta sudah wafat, maklumlah lantaran dia tidak kuat mengalami pukulan batin dan penderitaan ini.
Mengawasi senyuman ganjil muka orang, tak terasa air mata Oh Thi-hoa bercucuran.
Sinar lentera amat guram, maklumlah warung arak ini memang merupakan sebuah bangunan kotor sederhana.
Perut mereka sudah keroncongan, tapi setelah mengalami peristiwa yang memilukan ini, siapa yang ada selera menangsel perut"
Biji mata Li Ang-siu masih merah bendul, mulutnya menggumam sendiri: "Tak kukira dia mencari jalan pendek, sungguh aku tidak mengira..."
"Mungkin dia bukan bunuh diri." timbrung Soh Yong-yong. "Tapi memang benar keracunan dan tidak tertolong lagi."
"Tapi aku yakin induk air takkan membual, karena dia toh sudah bertekad untuk gugur, buat apa pula dia ngapusi orang lagi?" demikian debat Li Ang-siu.
"Mungkin karena Liu Bu-bi sendiri selama ini mengira dirinya memang keracunan, maka hatinya selalu tertekan dan was-was, serba curiga dan takut akan bayangan sendiri, maka sugesti itu memang ada kalanya bisa membunuh diri sendiri." demikian Soh Yong-yong coba menganalisa dengan pendapatnya.
Li Ang-siu menghela napas ujarnya: "Dibilang bagaimanapun, Liu Bu-bi tak pernah ngapusi kita..."
Song Thiam-ji menyeletuk: "Coba kalian pikir, apakah Li Giok-ham akan terus menunggunya di sana mengira dia akan bangun" Dia... dia sungguh kasihan." tak tertahan airmata meleleh membasahi pipi.
Soh Yong-yong berkata lembut: "Betapapun mendalamnya derita dan kepedihan setelah berselang lama, lambat laun akan terlupakan juga, kalau tidak, mungkin manusia yang hidup dalam dunia akan tinggal separo saja."
Apa yang dikatakan ini memang benar, betapapun besar kepedihan dan mendalam duka cita seseorang, setelah kejadian lama berselang, kesan-kesan itu akan semakin luntur dan terlupakan sama sekali. "LUPA" memang salah satu syarat kehidupan bagi manusia umumnya.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa tepuk pundak Coh Liu-hiang dengan keras, katanya: "Tugasmu sudah selesai, kaupun berhasil mengalahkan Sin cui kiong-cu yang tiada tandingannya diseluruh kolong langit, memangnya ada persoalan apa pula yang tidak bisa meriangkan kalbumu" Kenapa duduk bersungut-sungut saja, arakpun tak mau minum?"
Coh Liu-hiang hanya tertawa getir, tidak bersuara.
"Aku tahu kau merasa salah karena menduga Liu Bu-bi yang tidak-tidak, maka hatinya merasa menyesal dan bersedih, tapi, hal ini tak bisa menyalahkan kau, apapun yang telah terjadi, kematiannya toh bukan lantaran kau."
Soh Yong-yong menghela napas, katanya: "Bagaimana juga perjalanan kita kali ini terhitung dengan lancar dan sukses besar, yang harus dibuat sayang hanyalah kepergian Hek-toaci
"Mutiara Hitam" sungguh tak kukira dia membawa adat sendiri yang kaku dan eksentrik, tanpa pamit dia tinggal pergi."
Coh Liu-hiang menarik napas panjang, dia angkat cangkir terus diteguknya secangkir arak penuh.
Oh Thi-hoa segera tertawa lebar, katanya: "Bagaimana juga urusan yang tak menyenangkan akhirnya berlalu, sekarang kita harus pikirkan urusan-urusan yang menyenangkan, melakukan apa-apa yang menggembirakan, aku..." kata-katanya tiba-tiba putus seperti mulutnya tiba-tiba tersumbat, matanyapun mendelong lurus.
Seorang gadis berpakaian hijau dengan langkah gemulai mendatangi sambil membawa nampan dari kayu, tubuhnya langsing tindak tanduknya luwes, meski tak terlalu jelek, tapi juga tak amat cantik cuma roman mukanya selalu dialasi sikap yang galak dan suci tak boleh dilanggar,
"Blang" poci arak di atas nampan dengan keras dia banting di depan Oh Thi-hoa, tanpa melirik segera dia berpaling, maka melangkah kembali, tetap dengan langkah lenggang gemulai.
Melihat kelakuan Oh Thi-hoa yang lucu seperti kehilangan semangat tak bertahan Coh Liu-hiang tertawa geli, katanya: Apa kau ingin kembali menetap ditempat ini ?"
Oh Thi-hoa kucek-kucek hidung, lama dia menjublek, tiba-tiba dilihatnya sepasang biji mata yang membundar besar sedang menatapnya tanpa berkedip dibalik pintu sana.
Tiba-tiba Oh Thi-hoa bergelak tawa dengan menengadah, serunya: "sekali kesalahan telah terjadi, orang harus bertanggung jawab, jika kau dengan cara yang sama dapat menipuku dua kali, itu berarti kesalahanku sendiri, coba kau pikir memangnya aku bakal kena tipu sekali lagi ?"
TAMAT

Pendekar Pengejar Nyawa Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak Berandalan 6 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Dendam Iblis Seribu Wajah 12

Cari Blog Ini