Ceritasilat Novel Online

Pendekar Remaja 2

Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


33 hidup sebagai seorang hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng kuno di luar tembok kota Tiang-an di sebelah barat.
Kwee An hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun. Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga anggrek. Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat bunga anggrek di waktu terang bulan!
Dalam usia sembilan tahun, Goat Lan telah kelihatan bahwa kelak ia akan menjadi seorang gadis yang amat manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan amat dimanja oleh kedua orang tuanya, maka ia menjadi nakal sekali. Semenjak kecil ia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya bahkan ia telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya, sungguhpun permainannya baru merupakan ilmu silat kembangan belaka. Akan tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal ilmu gin-kang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun ia telah dapat melompat tinggi dan seringkali ia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang pohon-pohon tinggi!
Yang mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga seringkali kedua orang tuanya saling pandang heran karena baik Kwee An maupun Ma Hoa kurang suka mempelajari ilmu menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu sastera"
"Agaknya ia mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!" pernah Kwee An berkata secara berkelakar kepada isterinya.
"Tak mungkin!" bantah Ma Hoa. "Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya, karena mendiang ayahku memang suka sekali akan kesusastraan."
Memang anak itu amat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno dan sajak-sajak baru, dan selain itu ia pun amat suka melukis. Maka tidak heran apabila Goat Lan suka sekali pergi ke Kelenteng Ban-hok-tong mengunjungi pek-hunya, oleh karena Kwee Tiong memang
semenjak menjadi hwesio, kesukaannya tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan
memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan. Dari Kwee Tiong ia mendapat
tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali ia datang ke kuil itu, selalu pek-hunya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya sajak-sajak baru yang amat indah.
Kwee An maklum bahwa kakaknya yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk
menghibur hati Kwee Tiong, ia membiarkan saja anaknya sering mengunjungi pekhunya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di kelenteng itu.
Dahulu Kelenteng Ban-hok-tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan terlantar. Akan tetapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi hwesio. Ketika Tong Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan kepada Kwee Tiong, maka Ban-hok-tong telah mempunyai penghuni yang amat banyak.
Tidak kurang dari dua puluh lima orang hwesio tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
34 Kwee Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang amat setia. Setelah menjadi ketua kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhunya menjadi Tiong Yu Hwesio itu, kini diubah lagi menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An, Thian Tiong Hosiang memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan dibawah bimbingannya,
perkembangan Agama Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.
Semua hwesio yang berada di kelenteng itu, tua muda, amat suka dan sayang kepada Goat Lan yang mungil dan cerdik, dan diantara mereka ini, banyak terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kesusastraan tinggi, maka di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju saja. Selain kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dalam hal permainan catur, dan seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang mengajarkan main catur sekarang bahkan merasa amat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru berusia sernbilan tahun ini!
Pada suatu hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong.
Ketika ia seorang diri memasuki halaman kelenteng, ia disambut oleh seorang hwesio pembersih halaman yang segera berkata,
"Kwee-siocia, baik sekali kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di kelenteng kita, dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!"
Goat Lan memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya,
"Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?"
"Entahlah, mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat tinggal merekag keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki kelenteng, mereka terus saja bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka tak pernah berhenti lagi. Aneh, aneh! Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan mengganggu mereka karena betapapun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati."
"Aku mau nonton mereka bertanding catur!" kata Goat Lan.
"Akan tetapi Siocia..."
"Ah, Pekhu takkan marah kepadaku!" Goat Lan memotong. "Lagi pula, aku pun tidak hendak mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?"
Sambil berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru saja tiba di luar ruangan itu, ia telah mencium bau arak yang amat wangi dan suara parau seorang berkata,
"Tianglo, kudamu terjebak! Ha, ha, ha, ha!" Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam sebuah permainan.
"Hm, jangan bergirang-girang dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti seorang perajuritmu pun lumayan juga!" Terdengar suara lain yang tinggi kecil.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
35 Goat Lan tak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang duduk bersila menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, benar seperti penuturan Thian Seng Hwesio tadi.
Orang pertama adalah seorang kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa digunakan oleh para hwesio untuk mencari dan mengumpulkan daun-daun obat, dan selain keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.
Orang ke dua juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh tahun. Sambil menghadapi papan caturnya, tiada hentinya tosu ini minum arak dari sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan tetapi cugi arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas. Dari sinilah tersiarnya bau arak wangi tadi.
Melihat bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu Pendek ini. Akan tetapi ia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli ketika mendengar hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat kecil dan tinggi.
"Im-yang Giok-cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita penyakit dalam perutmu."
Tosu itu tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau.
"Sin-kong Tianglo, kau boleh memberi nasihat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi kalau kau memberi nasihat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!" Kembali ia tertawa.
"Aku tahu bahwa kau berjuluk Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi betapapun juga, kau hanyalah seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Agaknya kau tidak menghendaki usia panjang."
Mendengar percakapan dan melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu telah mempengaruhi mereka sehingga mereka menjadi panas!
"Sin-kong Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tidak butuh pertolongan dan nasihatmu. Lebih baik kaucurahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat, rajamu terancam bahaya maut, Ha, ha, ha!" Sambil berkata demikian, ia menggerakkan biji caturnya dan memang benar, kedudukan raja dari barisan catur hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.
Mereka kembali memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan, sehingga keadaan menjadi sunyi dan bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali mengapa bunyi pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
36 Memang kedudukan raja hitam dari hwesio itu amat terdesak dan terancam sehingga hwesio itu menatap papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi ia juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur. Nampaknya kedua orang itu sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini telah mendekat dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.
"Gerakkan benteng melindungi raja!" tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar. Melihat betapa raja hitam terdesak, tak terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak-gerak dan sungguhpun ia tidak tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan, akan tetapi oleh karena ia telah kehabisan jalan, ia lalu menggerakkan tangannya dan menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat Lan.
Tosu itu tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian sambil tertawa bergelak ia lalu makan benteng itu dengan kudanya.
"Benteng telah kurampas! Ha, ha, ha, kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha, ha, ha!"
Tosu kate itu tertawa senang.
Akan tetapi suara ketawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, "Berhasil jebakan memancing kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan raja musuh!"
Bukan main girangnya hati hwesio itu. Tadinya memang ia tidak mengerti apakah
kebaikannya memajukan benteng yang hanya diberikan dengan cuma-cuma kepada kuda lawan, tak tahunya bahwa dengan gerakannya memancing itu, kuda lawan meninggalkan depan raja sehingga kedudukan raja merah menjadi terbuka, memungkinkan menterinya untuk menyerang!
"Bagus, bagus!" katanya girang sambil mengajukan menterinya yang kini seakan-akan menodong dada raja lawan dengan pedang. "Rajamu sekarang terjepit, Im-yang Giok-cu.
Bagus!" Wajah tosu yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba menjadi masam dan dengan mulut cemberut ia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat!
Sampai beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya kepandaian bermain catur kedua kakek ini masih amat rendah sehingga tiap kali raja mereka terancam bahaya, mereka menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana!
"Ha, Im-yang Giok-cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-yang Sin-na (nama ilmu-silat) kepadaku?" hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
37 Tosu itu tidak menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, memutar otak mencari jalan keluar bagi rajanya.
"Menteri setia bergerak melindungi raja, kalau perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!"
tiba-tiba Goat Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu! Anak ini merasa tak sabar sekali mengapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur sehingga serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya!
Bercahayalah wajah tosu kecil itu. "Ha, ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha, ha, ha! Hayo, Tianglo, kalau berani, kita bersama korbankan menteri!" Ia lalu menggeser menterinya ke kiri dan melindungi raja merah daripada ancaman menteri hitam.
Hwesio itu menjadi penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian ia memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.
"Memang zaman sekarang ini zaman buruk! Anak-anak saja sudah kehilangan kesetiaannya, suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!"
Goat Lan adalah seorang anak yang berotak cerdik dan ia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan hwesio itu sungguhpun hanya menyindir, namun Goat Lan dapat menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap tidak setia karena baru saja membantu hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu! Ia lalu menggunakan pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab sindiran ini, kemudian ia berkata dengan suara nyaring, seakan-akan membaca kitab dan tidak ditujukan kepada siapapun juga.
"Membantu yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!"
Ini adalah ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang pernah membaca kitab-kitab peninggalan para pujangga zaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil, kedua orang kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.
"Otak yang baik!" Si Hwesio memuji. "Sayang agak lancang!" Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan kini ia membelakangi Goat Lan!
"Benar-benar pandai!" Si Tosu juga memuji. "Sayang ia perempuan!" Dan tosu ini pun tanpa menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.
Melihat gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimanakah orang dapat pindah duduknya tanpa menggerakkan tangan dan kaki" Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda yang dapat menggelinding dengan sendirinya. Akan tetapi, anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang menggunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan bersila dapat pindah tempat.
Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah. Kini ia duduk di belakang hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
38 kedua kakinya menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan mengerahkan gin-kangnya, maka tiba-tiba tubuhnya yang kecil itu mencelat naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya menjadi seperti tadi dan ia dapat melihat papan catur itu seperti tadi!
"Ah, tidak jelek!" kata hwesio gemuk itu.
"Bagus!" Si Tosu juga memuji.
"Inilah murid yang pantas untukku!" kata pula hwesio itu.
"Tidak! Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!"
Kini kedua orang kakek itu saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Kalau tadi mereka panas karena permainan catur, kini mereka menjadi panas karena hendak memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan diam saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu.
"Im-yang Giok-cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, ia berhak mendapatkan murid ini."
"Boleh, boleh! Sekarang giliranmu, hayo kauteruskan!"
Sin Kong Tianglo lalu menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu mendapat petunjuk dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan! Memang anak ini ahli main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang kakek itu merasa tegang karena seringkali raja mereka terkurung, akan tetapi juga seringkali mendesak lawan sehingga seakan-akan merekalah yang bertanding, bukan biji-biji catur.
Betapapun juga, yang menjadi pengatur adalah Goat lan yang benar-benar tidak berat sebelah, maka setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan pertandingan itu masih sama kuatnya!
Mereka bertiga, hwesio, tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun sehingga mereka tidak melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang menonton pula pertandingan catur aneh itu! Tak seorang pun diantara mereka berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua orang kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah akan menjadi marah.
Akan tetapi Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhlr pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal hanyalah si raja merah dan si raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
39 Thian Tiong Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu Kate itu melompat berdiri dan berkata,
"Sin Kong Tianglo, kau harus mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini."
Hwesio gemuk itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu berkata, "Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji bahwa siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?"
"Akan tetapi dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!" seru Si Tosu.
Hwesio itu tersenyum. "Apakah kita hanya dapat bermain catur dan tidak memiliki ilmu kepandaian lain" Kita belum mencoba kepandaian yang lain untuk menentukan kemenangan."
"Ho, ho! Kau mau mengajak main-main" Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!" kata tosu itu sambil melangkah keluar, membawa guci araknya.
"Aku ingin merasakan kelihaianmu!" kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa keranjang obat dan pisaunya.
Sementara itu, ketika mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan Goat Lan sambil berkata,
"Goat Lan kau telah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang Suhu!"
"Tidak, Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!"
"Eh, anak nakal!" kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang kakek yang lihai ini memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid. "Kau harus pulang, biar aku sendiri mengantarmu!"
Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap!
Thian Tiong Hosiang yang merasa khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan
menimbulkan keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam kota pada malam hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para hwesio yang berada di situ, "Cari dia dan antarkan pulang ke kota!" Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua orang kakek itu.
Karena malam amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu amat luas dengan kebun bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan obor. Akan tetapi dicari-cari kemanapun juga, tidak nampak bayangan Goat Lan!
Ketika para pencari yang memegang obor itu tiba di halaman tengah, mereka rnelihat betapa dua orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik dan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
40 berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di situ menjadi terang sekali.
Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal tadi!
Thian Tiong Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah berkali-kali berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu, akan tetapi kedua orang kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya. Thian Tiong Hosiang menjadi bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biarpun ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi ia maklum bahwa kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apabila dibandingkan dengan kedua orang kakek itu. Apalagi ketika ia mendengar dari para hwesio bahwa Goat Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya bertambah, maka ia lalu keluar dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-an, mencari adiknya, Kwee An atau ayah Goat Lan!
Sementara itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri ketika hendak dipaksa pulang oleh pekhunya, sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat bersembunyi di balik batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar kelenteng itu, kemudian ketika banyak hwesio mencarinya, ia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng. Dengan bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat pula pertempuran antara kedua orang kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai daripada pertandingan catur tadi!
Sebetulnya, siapakah kedua orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama mereka"
Tidak heran bahwa Thian Tiong Hosiang merasa terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah nama-nama tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw.
Sin Kong Tianglo, hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang terkenal sekali dari Pegunungan Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, ia juga terkenal dengan kepandaiannya sebagai ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat). Biarpun tempat pertapaannya di Pegunungan Go-bisan, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun-daun dan akar-akar obat yang kemudian dipergunakan untuk menolong orang-orang yang menderita sakit. Ke mana saja ia pergi, tentu ia akan mempergunakan ilmunya untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli
pengobatan lebih terkenal daripada namanya sebagai seorang ahli silat.
Tosu yang pendek kecil itu, Im-yang Giok-cu, tidak kalah ternamanya. Ia seorang tokoh besar dari Pegunungan Kunlun dan ilmu kepandaiannya sudah amat dikenal. Tokoh besar ini pun jarang menampakkan diri di dunia ramai dan biarpun ia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka merantau ke mana-mana namun ia jarang sekali memperkenalkan diri.
Oleh karena itu, munculnya dua orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian Tiong Hosiang. Sebetulnya, bukan sengaja kedua orang tokoh besar ini mengadakan pertemuan di Tiang-an. Telah lama sekali Sin Kong Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang pendekar terbesar di masa itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, ia merasa gembira dan ingin sekali mencoba kepandaian Pendekar Bodoh. Dulu pernah ia Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
41 berhadapan dengan Bu Pun Su dan setelah mengadakan pibu, (adu kepandaian) sampai seratus jurus lebih, akhirnya ia tidak tahan menghadapi Bu Pun Su dan berjanji hendak mencoba kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian. Sayang bahwa setelah ia melatih diri dan menciptakan ilmu silat yang hebat, ia mendengar bahwa Bu Pun Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya beralih kepada Pendekar Bodoh yang menjadi murid Bu Pun Su.
Karena Keinginan hati inilah, maka Sin Kong Tianglo meninggalkan daerah Go-bi-san yang luas itu dan turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh berada di kota Tiang-an, maka ia lalu menuju ke kota itu. Di tengah jalan, ketika ia melalui sebuah dusun, ia mendengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan suara yang keras dan parau. Ia merasa heran sekali oleh karena di sekitar tempat itu tidak terdapat orang, dari manakah datangnya suara nyanyian yang hebat ini. Ia melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan ketakutan dan ketika ia menghampiri mereka dan bertanya, seorang di antara penduduk kampung itu menjawab dengan muka pucat.
"Apakah Losuhu tidak mendengar suara nyanyian yang hebat itu?"
"Pinceng mendengar. Siapakah gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?"
"Yang bernyanyi adalah seorang iblis!"
Tentu saja Sin Kong Tianglo menjadi heran mendengar ini dan ia minta penjelasan lebih lanjut. Ternyata bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di atas jembatan kampung dan memenuhi jembatan kecil itu. Kakek ini minum arak terus-menerus sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang membuat anak telinga serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan diri sambil bernyanyi-nyanyi di atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas menjadi terhalang. Orang-orang telah membujuknya, bahkan berusaha menggusurnya dari jembatan itu!
Sin Kong Tianglo menjadi tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja, melihat seorang kakek kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci di tangan kanan dan bernyanyi-nyanyi. Akan tetapi, wajahnya berubah girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal orang ini sebagai seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-yang Giok-cu! Maka ia lalu menegur dan kakek kate itu ketika melihat Sin Kong Tianglo, lalu melompat berdiri dan berkata,
"Ha, ha! Sungguh untungku baik sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau datang! Eh, Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?"
Demikianlah, keduanya lalu bercakap-cakap sambil meninggalkan dusun itu dan Im-yang Giok-cu mendengar bahwa hwesio itu hendak mencari Pendekar Bodoh untuk diajak pibu, ia pun menyatakan keinginannya bertemu dengan pendekar muda yang namanya telah
menggemparkan dunia persilatan itu!
Akan tetapi, karena sudah merasa amat kangen kepada permainan catur, mereka lalu menunda perjalanan dan ketika melihat Kelenteng Ban-hok-tong, mereka masuk ke dalam dan minta pinjam papan catur, terus saja bertanding catur!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
42 Goat Lan yang bersembunyi di atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka senang sekali. Memang ia pun amat suka akan ilmu silat sungguhpun kesukaannya akan ilmu silat tidak sebesar kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur!
Keadaan di bawah amat terang karena belasan orang hwesio dengan obor bernyala di tangan, berdiri berkelompok menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir pergi, terganti cahaya terang bagaikan siang, sungguhpun kalau orang melihat ke atas, langit hitam ketam tak berbintang sedikit pun.
Menurut pandangan Goat Lan yang menonton di atas genteng, kedua kakek itu melakukan pertandingan dengan cara yang amat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan sedang
bertempur atau bersilat, akan tetapi seperti dua orang pelawak yang sedang menari-nari dengan lucunya! Im-yang Giok-cu menari dengan guci araknya di tangan kanan yang digerakkan lambat dan perlahan seperti orang menyerang, sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan pisau pemotong daun di tangan kanan sedangkan tangan kirinya
memegang keranjang obat, seakan-akan ia sedang menggunakan pisaunya untuk mencari daun-daun obat!
Akan tetapi, sesungguhnya kedua orang kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang menari atau melawak! Oleh karena, biarpun mereka itu bergerak dengan amat lambat seakan-akan bukan sedang bertempur, namun obor yang dipegang tinggi-tinggi oleh para hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan tertiup angin besar, padahal pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali, tanda bahwa tidak ada angin! Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng, tentu ia akan merasakan pula apa yang dirasai oleh para hwesio itu, yaitu angin sambaran dari kedua orang itu sampai mendatangkan hawa dingin pada muka mereka!
Lama juga kedua orang itu bertempur berputar-putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan dilawan gerakan. Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling merobohkan, hanya mengadu kepandaian saja dan oleh karena keduanya maklum akan kelihaian masing-masing, maka tanpa dijanjikan terlebih dahulu, mereka membatasi gerakan mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk kemudian dipecahkan oleh yang lain. Dengan demikian, mereka hanya saling serang dengan angin pukulan saja dan siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan, berarti kalah tinggi kepandaiannya. Telah lima puluh jurus lebih kedua orang kakek itu mengeluarkan kepandaian, akan tetapi keduanya sama pandai dan sama tangguhnya. Im-yang Giok-cu terkenal dengan ilmu silatnya Im-yang Kim-na-hwat yang mendasarkan permainannya kepada gerak berlawanan dari Im dan Yang, sehingga tenaga serangannya merupakan perpaduan dari tenaga kasar dan lemas dan lweekangnya telah mencapai puncak yang amat tinggi. Sebaliknya, semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga melatih diri sehingga tidak saja tenaga twee-kangnya tidak berada di sebelah bawah tingkat Im-yang Giok-cu, akan tetapi ilmu silatnya juga telah maju amat hebatnya. Ilmu silatnya berbeda dengan ilmu silat cabang persilatan Go-bi-pai dan bahkan ia telah menciptakan berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain.
Pada saat itu, Goat Lan yang sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena kelambatan gerakan kedua orang kakek itu, tiba-tiba mendengar suara ayahnya dari sebelah belakang,
"Goat Lan, kau sedang berbuat apakah?"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
43 Ia cepat menengok ke belakang dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa ayah dan ibunya juga sudah berdiri di atas genteng, tak jauh di belakangnya! Agaknya ayah ibunya telah semenjak tadi berdiri di situ.
Memang benar, sesungguhnya Kwee An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu, diam-diam memperhatikan jalannya pertempuran dan juga melihat kearah anak mereka dengan hati geli. Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian Tiong Hosiang datang memberi tahu bahwa Goat Lan telah menimbulkan keributan di antara dua orang kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua kakek itu hendak mengambil murid anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan Goat Lan. Mereka merasa gelisah kalau-kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi oleh kedua orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika dengan berlari cepat sekali sehingga Thian Tiong Hosiang tertinggal jauh mereka menuju ke Ban-hok-tong, mereka melihat Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas genteng dengan muka kelihatan jemu dan bosan! Kedua suami isteri ini menjadi lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang kakek yang masih saling serang itu.
Bukan main terkejut hati Kwee An dan Ma Hoa melihat gerakan-gerakan mereka itu.
"Kepandaian mereka benar-benar hebat!" kata Kwee An kepada isterinya.
Ma Hoa mengangguk dan menarik napas panjang. "Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan nama kosong belaka."
Goat Lan bangun berdiri dan menghampiri ayah ibunya. Mendengar ucapan ayah ibunya yang memuji kepandaian dua orang kakek itu, ia berkata mencela,
"Apanya sih yang hebat" Kepandaian mereka bahkan lebih jelek daripada permainan catur mereka!"
Kwee An dan Ma Hoa sudah mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu ketika bermain catur, maka mereka tersenyum geli.
"Anak bodoh, ilmu silat yang kaulihat amat lambat itu adalah ilmu silat yang jarang terdapat di dunia ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh besar itu!"
Kwee An memegang lengan tangan anaknya lalu melompat turun ke bawah bagaikan seekor burung alap-alap menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga melompat turun dengan indah dan cepatnya.
Baik Im-yang Giok-cu maupun Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat berkelebatnya dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti bertempur dan memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan mereka.
Kwee An dan Ma Hoa menjura kepada mereka dan Kwee An berkata,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
44 "Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua suami isteri yang bodoh telah mendengar bahwa anak kami telah mengganggu Ji-wi, maka sengaja datang menghaturkan maaf!"
"Aha, pantas saja anak ini demikian baik, tidak tahunya ayah-ibunya lihai dan memiliki kepandaian tinggi!" kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum.
Tiba-tiba Im-yang Giok-cu teringat akan sesuatu dan bertanya,
"Apakah kau yang bernama Pendekar Bodoh?" Pertanyaan ini ia tujukan kepada Kwee An sambil memandang tajam.
Kwee An tersenyum dan diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal sehingga tokoh besar ini pun sampai mengenalnya pula.
"Bukan, Locianpwe. Pendekar Bodoh adalah adik iparku dan kini ia tinggal di Propinsi An-hui. Siauwte bernama Kwee An dan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari Kim-san-pai."
Tosu kate itu mengangguk-angguk, "Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia masih hidup. Bagus, kau sebagai murid Kim-san-pai, kepandaianmu tidak mengecewakan!"
Diam-diam Im-yang Giok-cu terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An tadi, agaknya kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Eng Yang Cu. Tentu saja ia tidak tahu bahwa setelah menerima pelajaran silat dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima gemblengan-gemblengan ilmu silat tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga dari mendiang Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apabila dibandingkan, memang ilmu kepandaiannya sudah lebih tinggi dari mendiang suhunya itu!
"Sayang sekali bahwa Pendekar Bodoh tidak tinggal di sini lagi," kata pula Sin Kong Tianglo sambil menarik napas panjang. "Biarlah kususul dia ke An-hui, akan tetapi, melihat bakat anakmu yang amat baik, kuharap kau berdua suami isteri rela memberikan anakmu untuk menjadi muridku."
"Nanti dulu, Tianglo!" kata Im-yang Giok-cu. "Aku pun berhak menjadi guru anak ini, karena pertandingan tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!"
"Eh, eh, kalau begitu mari kita lanjutkan pertandingan tadi," mengajak Sin Kong Tianglo yang tak mau kalah.
"Ji-wi Locianpwe!" tiba-tiba terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali melihat betapa anaknya diperebutkan oleh dua orang kakek itu. "Anakku tidak akan menjadi murid siapapun juga, maka tidak seharusnya Ji-wi memperebutkannya!"
Kedua orang kakek itu tercengang mendengar ucapan ini dan mereka memandang kepada Ma Hoa dengan heran. "Ah, kau benar-benar seorang Ibu yang tidak sayang kepada anak!
Anakmu akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, mengapa kau ribut-ribut menolaknya"
Ketahuilah, andaikata kau hendak mencarikan guru bagi anakmu itu, biarpun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!" jawab Im-yang Giok-cu dengan penasaran. Memang Si Kate ini adatnya agak keras.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
45 Kwee An merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak mempergunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang kakek yang hendak mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu, isterinya telah mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan berkata halus,
"Harap Ji-wi sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, amat berat untuk berpisah dengan anak kami yang hanya satu-satunya ini."
Akan tetapi Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu tidak mempedulikannya, bahkan hwesio itu lalu bertanya kepada Ma Hoa.
"Kalau kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?"
Karena merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan menjawab,
"Kami sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!"
Tiba-tiba kedua orang kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.
"Im-yang Giok-cu, lihatlah! Kalau ibunya demikian bersemangat, apalagi anaknya! Anak itu sungguh bernasib baik mempunyai seorang ibu seperti ini!" kata hwesio itu.
Kemudian Im-yang Giok-cu memandang kepada Ma Hoa dan berkata dengan muka sungguh-sungguh, "Nyonya muda, kau harus sadar bahwa zaman ini adalah zaman yang buruk.
Kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik ini" Apakah kaukira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang lebih baik daripada kami kepada anakmu ini?"
Melihat suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengah, akan tetapi ia didahului oleh isterinya yang berkata marah, "Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang lain.
Tentang ilmu kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi" Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!"
Ucapan ini merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali!
Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.
"Bagus, bagus!" kata Im-yang Giok-cu. "Tianglo, kita telah bertemu dengan orang-orang yang bersemangat! Mari coba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!"
"Nanti dulu," kata hwesio itu, "tantangan orang muda sekali-kali tak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik diatur begini saja!" Sambil berkata demikian ia memandang kepada Kwee An dan Mai Hoa. "Kalian berdua main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, kalau kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga, kalian harus merelakan anakmu menjadi muridku!"
"Eh, bukan! Menjadi muridku!" kata tosu itu.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
46 Kembali mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.
"Kalau begini, takkan ada habisnya," kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata,
"Baiklah diatur begini, Im-yang Giok-cu. Kalau kita berdua kalah oleh orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih rendah dan tidak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua menjadi guru anak ini! Bagaimana?"
"Baik sekali!" kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa.
"Nah, kalian boleh maju, hendak kami lihat sampai di mana kepandaianmu hingga berani menolak kami sebagai guru-guru anakmu!"
Kedua orang kakek itu lalu bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanyalah isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka"
Ma Hoa memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, memang kedua orang kakek ini memandang rendah kepada mereka, ke dua, kalau anak tunggal mereka harus menjadi murid orang, terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai di mana kelihaian orang itu. Maka berbareng dengan isterinya, ia pun lalu maju menyerang Sin Kong Tianglo, sedangkan Ma Hoa dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu sepasang bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar ibu jari tangannya!
Begitu sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena terkejut dan heran. Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan amat cepatnya menggerakkan sepasang bambu runcingnya, yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah yang berbahaya.
Juga Sin Kong Tianglo yang diserang oleh Kwee An yang menggunakan ilmu silat warisan Hek Moko, menjadi terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan pukulan ke arah lambung, sedangkan tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari terbuka mencengkeram pundak!
Keduanya cepat mengelak dan mengebutkan lengan baju untuk menolak dan membikin
terpental tangan kedua suami isteri itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang ditangkis hanya miring kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan tidak terpengaruh oleh tangkisan ujung baju Im-yang Giok-cu.
"Hebat sekali!" seru Im-yang Giok-cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi digantungkan di punggung, dan kini ia lalu menyerang dengan guci araknya ke arah kepala Ma Hoa!
"Lihai juga!" Sin Kong Tianglo juga berseru memuji dan kakek ini lalu melanjutkan kata-katanya. "Orang muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
47 Kwee An tidak ragu-ragu lagi dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu pedang Oei-kang-kiam yang bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam yang disebut baja kuning, karena itulah diberi nama Oei-kang-kiam (Pedang Baja Kuning). Pedang ini adalah pemberian puteri kepala suku bangsa Haimi yang bernama Meilani dan yang jatuh cinta kepadanya sebelum ia menikah dengan Ma Hoa (bacaPendekar Bodoh ). Kemudian ia menyerang lagi yang disambut oleh Sin Kong Tianglo dengan pisau dan keranjang obatnya.
Pertempuran berjalan berat sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa kedua orang kakek itu sama sekali tidak menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena memang mereka hanya bermaksud menguji kepandaian suami isteri itu. Akan tetapi setelah bertempur beberapa puluh jurus lamanya, makin heranlah mereka berdua. Sin Kong Tianglo mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang dari Kwee An benar-benar luar biasa dan tingkat kepandaian orang muda ini tidak kalah oleh tingkat kepandaian Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai. Juga ilmu pedang Kwee An biarpun sebagian menunjukkan pelajaran Kim-san-pai, namun
tercampur dengan ilmu pedang lain yang aneh dan dahsyat! Memang, Kwee An telah
mencampuradukkan ilmu pedangnya dengan pelajaran-pelajaran yang ia terima dari Nelayan Cengeng dan Hek Moko.
Yang lebih-lebih merasa heran adalah Im-yang Giok-cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerangnya dengan sepasang bambu kuning ia telah merasa heran dan terkejut, karena senjata macam ini setahunya hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar dari timur, yakni Hok Peng Taisu. Akan tetapi ia masih meragukan dugaannya ini dan melayani nyonya muda itu dengan guci araknya.
Tidak disangkanya, permainan bambu kuning yang di kedua tangan nyonya muda ini
demikian hebatnya sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya terkurung oleh ujung-ujung bambu kuning yang agaknya berubah menjadi puluhan batang banyaknya itu!
"Tahan dulu!" Im-yang Giok-cu berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong Tianglo.
Biarpun baru bertempur puluhan jurus, baik Kwee An maupun Ma Hoa maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi daripada tingkat mereka. Buktinya, selama itu mereka tak pernah membalas, dan hanya menangkis dan mengelak saja, dan pertahanan mereka begitu kuat biarpun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan Kwee An dan bambu kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi benteng baja yang kuat! Maka mendengar seruan Im-yang Giok-cu, mereka pun menahan senjata masing-masing.
Para hwesio dan juga Thian Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ, merasa kagum dan tidak ada yang mengeluarkan suara.
"Toanio, apakah kau murid Hok Peng Taisu?"
Ma Hoa menjura dan menjawab, "Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhuku."
Im-yang Giok-cu tiba-tiba tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar. "Ha, ha, ha, inilah yang disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu! Ketahuilah, bahwa aku adalah Sute (Adik Seperguruan) dari Suhumu!"
Ma Hoa terkejut sekali, karena memang suhunya tak pernah mau menuturkan riwayatnya sehingga ia belum pernah tahu bahwa suhunya itu mempunyai seorang sute, bahkan
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
48 sebenarnya Hok Peng Taisu mempunyai pula seorang suheng (kakak seperguruan). Ia percaya penuh kepada orang tua ini karena tak mungkin orang berilmu tinggi seperti dia itu mau mendusta. Namun, Im-yang Giok-cu tersenyum dan melanjutkan, "Tentu kau kurang percaya kalau belum dibuktikan. Memang ilmu bambu kuning itu adalah ciptaan suhengku sendiri sehingga aku tidak dapat memainkannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa dasar-dasar ilmu silat bambu runcing itu adalah ilmu silat Im-yang Kun-hwat dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa aku adalah Susiok (Paman Gurumu) sendiri!"
Ma Hoa sebetulnya sudah percaya, akan tetapi mendengar ucapan ini, ia mau mencobanya juga. Masa dalam sepuluh jurus ia akan dikalahkan" Ia lalu berkata,
"Maafkan kelancangan teecu (murid)!" lalu ia maju menyerang dengan bambu kuningnya.
Im-yang Giok-cu menggunakan gucinya menangkis dan tangan kirinya menyerang dengan cengkeraman ke arah pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat sekali sehingga Ma Hoa menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih terlampau gesit untuk dapat dikalahkan dalam segebrakan saja. Ia cepat menarik kembali tangannya yang dicengkeram dan melanjutkan serangannya dengan jurus kedua. Kini Im-yang Giok-cu membalas setiap serangan dan gerakannya yang lambat itu sebetulnya tak dapat dikata lambat.
Memang aneh, kalau tangan kanannya menangkis dengan lambat, tangan kirinya menyusul cepat sekali melakukan serangan, seakan-akan bahkan mendahului gerakan tangan kanan, dan demikian sebaliknya sehingga Ma Hoa menjadi bingung. Tepat pada jurus ke sepuluh, ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan bambu kuning di tangan kanan pada leher kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan bambu kuning itu pada jalan darah hong-hut-hiat di dada, tiba-tiba Im-yang Giok-cu miringkan kepala dan secepat kilat menggigit bambu kuning yang tadinya menyerang leher itu, sedangkan ketika bambu kuning yang kedua menotok dadanya, ia cepat menggunakan ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga ketika bambu itu menotok jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi keras bagaikan batu karang dan sebelum ia hilang kagetnya, tangan kiri kakek itu telah menangkap bambunya! Dengan bambu kuning di tangan kiri terpegang, maka berarti ia telah kalah!
Ma Hoa melepaskan kedua senjatanya lalu berlutut dan menyebut, "Susiok!"
Im-yang Giok-cu melepaskan kedua bambu kuning itu dan tertawa bergelak.
"Aduh, sungguh berbahaya! Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau takkan mengakui aku sebagai Paman Gurumu! Tidak mengecewakan kau menjadi murid Suhengku, sayang bahwa kau agaknya baru belajar belum lama dari Suhengku!" Memang kata-kata ini benar karena sesungguhnya, Ma Hoa hanya belajar silat kepada Hok Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja (bacaPendekar Bodoh ).
Kwee An juga memberi hormat dengan menjura kepada susiok dari isterinya itu.
"Dengarlah, Kwee An dan kau juga, eh, siapa pula namamu?" tanya kakek itu kepada Ma Hoa.
"Teecu bernama Ma Hoa."
"Hemm, bagus, dengarlah. Kalau kalian memang sayang kepada anakmu yang berbakat baik itu biarlah dia kalian serahkan kepada kami untuk dididik selama empat atau lima tahun.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
49 Kami akan membawanya ke Bukit Long-ki-san yang tak berapa jauh letaknya dari sini.
Kawanku ini, Sin Kong Tianglo, adalah seorang tokoh besar dari Go-bi-san dan
kepandaiannya tak boleh disebut lebih rendah daripada kepandaianku, sungguhpun tak mudah baginya untuk mengalahkan aku. Kalau kalian rela melepas anakmu, maka itu berarti bahwa nasib anakmu memang baik. Akan tetapi, kalau kalian tidak membolehkannya, setelah kini aku mengetahui bahwa kau adalah murid Suhengku, tentu saja aku takkan memaksa."
Sebenarnya Ma Hoa merasa berat sekali harus berpisah dari puterinya, akan tetapi karena ia maklum bahwa apabila puterinya menjadi murid kedua orang tua itu kelak akan menjadi seorang yang tinggi kepandaiannya, ia menjadi ragu-ragu untuk menolaknya. Ia memandang kepada suaminya dengan mata mengandung penyerahan.
"Ji-wi Locianpwe," kata Kwee An dengan hormat, "teecu berdua tentu saja merasa amat berbahagia apabila anak teecu menerima pelajaran dari Ji-wi. Akan tetapi oleh karena teecu hanya mempunyai seorang anak maka perkenankanlah teecu berdua sewaktu-waktu datang menengok anak kami itu."
"Boleh, boleh..." kata Im-yang Giok-cu sambil tertawa, "tentu saja hal itu tidak ada halangannya."
"Goat Lan, kau tentu suka menjadi murid kedua Locianpwe ini, bukan?" tanya Ma Hoa kepada anaknya. "Mereka jauh lebih tinggi kepandaiannya daripada ayah bundamu sendiri, dan ketahuilah bahwa Locianpwe ini adalah Susiok-kongmu sendiri."
Semenjak tadi, Goat Lan telah mendengarkan percakapan orang-orang tua dengan amat teliti, maka sebagai seorang anak yang cerdik sekali ia maklum bahwa tidak ada guru-guru yang lebih sempurna baginya daripada kedua kakek yang aneh dan yang bodoh kepandaian caturnya itu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Teecu merasa suka sekali menjadi murid Ji-wi Suhu (Guru Berdua)."
Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo saling pandang dan tertawa bergelak dengan hati puas, akan tetapi Goat Lan lalu berdiri dan memeluk ibunya.
"Ibu, kalau kau lama sekali tidak datang mengunjungi tempatku, aku akan minggat dari tempat tinggal Suhu dan pulang sendiri!"
Semua orang tertawa mendengar ucapan yang nakal ini.
"Jangan khawatir, Goat Lan. Kami juga tidak akan merasa senang kalau terlalu lama tidak bertemu dengan kau," kata Kwee An.


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua orang kakek itu lalu mengajak Goat Lan pergi dari situ, tidak mau ditahan-tahan lagi.
Karena maklum bahwa mereka adalah orang-orang berwatak aneh, maka Kwee An dan Ma Hoa juga tidak berani memaksa dan menahannya. Setelah memeluk ayah ibunya dengan mesra, dan mendengar bisikan ibunya, "Goat Lan, jangan menangis dan jangan nakal!" Goat Lan lalu dituntun oleh kedua suhunya di kanan kiri dan sekali kedua kakek itu berkelebat, maka anak perempuan itu telah dibawa lompat dan lenyap dari situ!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
50 Kwee An-dan Ma Hoa saling pandang. Terharulah hati Kwee An melihat betapa kedua mata isterinya yang tercinta itu menjadi basah, maka ia lalu mengajak isterinya pulang dan menghiburnya.
*** Kita tinggalkan dulu Goat Lan yang sedang dibawa oleh kedua orang suhunya untuk berlatih silat di atas puncak Bukit Liong-ki-san, sebuah bukit yang puncaknya nampak di sebelah selatan kota Tiang-an. Dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Lili atau Sie Hong Li puteri dari Pendekar Bodoh yang ikut merantau bersama suhunya, yaitu Sinkai Lo Sian si Pengemis Sakti itu.
Karena setiap kali ditanya tentang orang tuanya, Lili tak pernah mau mengaku lambat-laun Lo Sian tidak mau bertanya lagi dan ia pun telah merasa suka sekali kepada muridnya yang jenaka ini. Ia merasa hidupnya berubah menjadi penuh kegembiraan setelah ia mendapatkan murid ini dan ia membawa Lili ke tempat-tempat yang indah dan kota-kota yang besar sambil memberi latihan silat kepada muridnya. Lili juga terhibur dan merasa suka suhunya yang ramah tamah dan tidak galak. Di dekat suhunya ia merasa seakan-akan dekat dengan engkongnya (kakeknya), Yousuf atau Yo Se Fu. Kadang-kadang memang amat rindu kepada ayah bundanya dan kepada kakeknya, akan tetapi anak yang memiliki kekerasan hati luar biasa ini dapat menekan perasaannya dan sama sekali tak pernah memperlihatkan kelemahan hati dan kerinduannya.
Lo Sian membawa muridnya merantau ke barat. Pada suatu hari mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang belum pernah dimasuki Lo Sian. Hutan itu besar sekali, penuh dengan pohon-pohon yang ratusan tahun usianya.
"Mari kita mempercepat perjalanan kita," ajaknya kepada Lili yang sebentar-sebentar berhenti untuk memetik kembang. Ia tertawa geli dan juga kagum melihat Lili memetik setangkai kembang mawar yang ditancapkan di atas telinga kanan, bunga itu berwarna putih sehingga pantas sekali dengan bajunya yang merah. "Hayo kita berlari cepat, Lili. Hari telah mulai gelap dan sebentar lagi malam akan tiba. Kalau kita kemalamam di hutan ini, tentu terpaksa kita harus tidur di atas pohon!"
"Tidak apa, Suhu," jawab Lili sambil tertawa. "Teecu takkan jatuh lagi."
Suhunya tertawa. Muridnya ini memang luar biasa tabahnya. Beberapa hari yang lalu ketika mereka kemalaman dalam sebuah hutan dan tidur di atas cabang pohon besar di dalam tidurnya Lili bermimpi dan ngelindur sehingga terpelanting jatuh dari atas pohon! Akan tetapi, anak ini benar-benar memiliki ketenangan dan hati yang berani sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, ia telah sadar dan dapat mempergunakan gin-kangnya yang sudah baik sekali itu untuk mengatur keseimbangan tubuh dan dapat melompat turun dengan baik. Kalau ia tidak tenang dan berlaku cepat, setidaknya tentu akan menderita tulang patah!
Akan tetapi, Lili tidak menjadi pucat atau ketakutan sedikit pun, bahkan tertawa-tawa ketika suhunya melompat ke bawah dan bertanya kepadanya.
"Suhu, aku bermimpi berkelahi dengan monyet di atas pohon dan aku tergelincir jatuh!"
katanya sambit tertawa!
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
51 Kini mereka mempergunakan kepandaian berlari cepat dan dalam kepandaian ini, Lili benar-benar memiliki kecepatan yang mengagumkan. Sebelum menjadi murid Lo Sian, gadis cilik ini memang telah memiliki gin-kang luar biasa berkat latihan ayah bundanya. Oleh karena ia telah memiliki dasar-dasar untuk pelajaran ilmu silat tinggi, maka dengan mudah Lo Sian menambah pengetahuan dan kepandaian muridnya itu yang dapat menangkap dan
mempelajari serta melatih dengan lancar dan mudah sekali.
Ketika mereka hampir keluar dari hutan, tiba-tiba Lo Sian menahan larinya dan memandang ke kiri, Lili juga menahan tindakannya dan ikut memandang karena wajah suhunya
memperlihatkan keheranan. Memang aneh, di tempat yang sunyi itu tersembunyi di balik pohon-pohon besar, kelihatan sebuah bangunan kelenteng yang mentereng dan bersih sekali.
Lantainya mengkilap dan temboknya terkapur putih bersih. Benar-benar mengherankan sekali.
"Eh, Suhu. Rumah siapakah begini indah di dalam hutan ini?"
"Sstt, aku pun sedang heran memikirnya. Mari kita menyelidiki, aku ingin sekali tahu."
Lo Sian dengan diikuti oleh Lili lalu menyelinap di antara pohon-pohon itu dan mendekati bangunan yang besar dan indah tadi. Karena di bagian depan nampak kosong dan sunyi, mereka lalu mengitari rumah itu dan akhirnya tiba di sebelah belakang. Lo Sian mengajak Lili mendekati kelenteng itu dan tiba-tiba mereka mendengar suara anak kecil tertawa-tawa penuh ejekan. Lo Sian dan Lili menghampiri dan bersembunyi di balik daun-daun pohon.
Alangkah terkejut dan heran hati mereka ketika melihat dua orang anak laki-laki di ruang belakang yang berlantai mengkilap itu. Seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan Lili nampak terikat tangannya di belakang dan bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang kurus dan perutnya yang gembung. Melihat wajahnya yang pucat dan perutnya yang gembung itu dapat diduga bahwa dia adalah seorang anak miskin yang seringkali menderita kelaparan dan agaknya perutnya yang gendut itu penuh dengan cacing! Di depan anak kecil yang terikat tangannya itu berdiri seorang hwesio kecil-kecil yang berkepala gundul licin.
Hwesio kecil ini memegang sebatang pisau belati dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menuding ke arah anak yang terikat itu. Suara ketawa tadi adalah suara ketawa dari si hwesio itu.
"Ha, ha, ha! Hendak kulihat kebenaran kata-kata Suhu," terdengar hwesio kecil itu berkata.
"Kalau orang kurus perutnya gendut, itu berarti bahwa perutnya penuh cacing! Aku tidak percaya keterangan Suhu ini karena biasanya cacing berada di dalam tanah, mana bisa berada di dalam perutmu" Kau datang mencuri makanan dan sudah sepatutnya mendapat sedikit hukuman. Aku tidak akan membinasakanmu, hanya akan membuktikan kebenaran ucapan Suhu. Kalau betul di dalam perutmu terdapat banyak cacing, alangkah lucunya...! Ha, ha, biarlah aku menolongmu dan hanya melenyapkan cacing-cacing dari dalam perutmu. Aku adalah ahli bedah yang pandai!"
Sambil berkata demikian, hwesio kecil itu menunjuk-nunjuk perut yang gendut dari anak yang terikat kedua tangannya itu. Sungguh mengagumkan sekali anak kecil yang terikat itu tidak menjadi ketakutan mendengar ini, bahkan lalu tertawa!
"Kau hwesio gila, seperti gurumu! Memang kau dan gurumu orang-orang gila yang pura-pura menjadi hwesio. Aku memang hendak mencuri makanan karena perutku lapar. Sekarang Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
52 kau telah menangkapku, mau bunuh mau sembelih, atau mau membedah perutku, terserah.
Aku tidak takut!"
"Bagus, maling hina-dina! Sekarang juga aku akan mengeluarkan cacing dari perutmu yang buncit ini!" Hwesio kecit itu melangkah maju dan dengan tangan kirinya meraba-raba perut anak kecil yang terikat tangannya, seakan-akan hendak memilih tempat yang tepat untuk dibelek!
"Suhu?" dengan mata terbelalak Lili menoleh kepada suhunya dan menunjuk ke arah kedua anak itu, "hwesio gila itu hendak membunuhnya!"
Lo Sian juga merasa terkejut sekali melihat kelakuan hwesio itu dan diam-diam ia mengagumi anak miskin itu, maka ia mengambil keputusan hendak menolongnya. Pohon di belakang mana mereka bersembunyi mempunyai banyak buah-buah kecil dan cukup keras. Ia memetik sebutir buah yang tergantung paling rendah dan pada saat hwesio kecil itu hendak mulai dengan perbuatannya yang keji, Lo Sian menggerakkan tangannya. Buah kecil itu meluncur cepat sekali dan dengan cepat menghantam ke arah pergelangan hwesio kecil yang memegang pisau!
Akan tetapi, ternyata hwesio yang masih kecil dan usianya sebaya dengan anak miskin itu, amat lihai dan agaknya dapat mendengar suara sambaran buah itu. Ia menarik tangannya dan buah itu kini menyambar ke arah pisau yang dipegangnya!
"Trang...!" Pisau itu jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan hwesio kecil itu melompat mundur dengan cepat dan kaget.
Pada saat itu, Lo Sian dan Lili melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke dalam ruang itu. Hwesio kecil yang berhati kejam itu ketika melihat dua orang muncul dari balik pohon, segera membungkuk dan memungut pisaunya tadi. Ia melihat kepada Lo Sian dan dengan berani sekali, ia menyambut kedatangan Lo Sian dengan serangan pisaunya!
Si Pengemis Sakti terkejut juga melihat betapa serangan ini cukup hebat dan berbahaya, maka ia lalu miringkan tubuhnya dan mengulur tangan hendak merampas pisau itu. Namun, alangkah herannya ketika hwesio kecil itu dapat mengelak pula!
Sementara itu, Lili segera menghampiri anak terikat tangannya dan segera membuka ikatan tangan. Anak itu memandang kepadanya dengah mata mengandung rasa terima kasih akan tetapi mereka berdua lalu berpaling menonton pertempuran antara Lo Sian dan hwesio kecil tadi. Sebetulnya tak tepat disebut pertempuran, oleh karena Lo Sian sebetulnya hanya ingin mencoba sampai di mana kelihaian anak ini dan sengaja tidak membalas. Ia memperhatikan gerakan hwesio itu dan diam-diam ia merasa terkejut sekali ketika mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh hwesio kecil itu. Ia cepat mengulur tangan dan dengan gerakan kilat berhasil menotok pundak hwesio itu yang segera roboh dengan lemas. Ternyata bahwa Lo Sian telah menotok jalan darahnya yang membuatnya menjadi lemas dan tak berdaya, sungguhpun totokan itu tidak mendatangkan rasa sakit.
"Hayo kita cepat pergi dari sini!" kata Lo Sian kepada Lili dan anak itu. Karena maklum bahwa anak miskin itu tak dapat berlari cepat, Lo Sian lalu memegang tangannya dan sebentar kemudian anak itu merasa terheran-heran karena kedua kakinya tidak menginjak tanah dan Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
53 tubuhnya melayang-layang ditarik oleh pengemis aneh yang menolongnya. Lili merasa heran sekali melihat betapa suhunya berlari seakan-akan takut pada sesuatu, akan tetapi melihat kesungguhan wajah suhunya, ia tidak banyak bertanya dan mengikuti suhunya dengan cepat.
Setelah senja berganti malam dan keadaan menjadi gelap, mereka tiba di luar dusun yang berdekatan dengan hutan itu, dan barulah Lo Sian menghentikan larinya. Akan tetapi pengemis sakti itu masih nampak gelisah dan berkata,
"Kita bermalam di sini saja." Lalu ia mengajak Lili dan anak miskin itu duduk di tempat yang jauh dari jalan kecil menuju ke kampung, bersembunyi di balik gerombolan pohon.
"Mengapa kita tidak mencari tempat penginapan di dusun, Suhu?"
Suhunya menggelengkan kepala. "Terlalu berbahaya."
"Suhu, mengapa Suhu melarikan diri" Apakah yang ditakutkan" Hwesio kecil itu sudah kalah dan mengapa kita harus berlari-lari ketakutan?" tanya Lili dengan suara mengandung penuh penasaran.
"Kau tidak tahu, Lili. Hwesio kecil itu melihat dari gerakan ilmu silatnya, tentu seorang pelayan atau murid dari seorang tua yang amat jahat dan lihai. Kalau betul dugaanku, maka berbahayalah apabila kita bertemu dengan dia!"
"Siapakah orang jahat itu, Suhu?"
Lo Sian menghela napas. "Dia itu adalah Ban Sai Cinjin, seorang pertapa yang amat sakti dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi juga amat jahat dan kejam. Aku sama sekali tidak kuat menghadapinya. Kepandaiannya amat tinggi dan ilmu silatnya luar biasa sekali. Pernah aku melihat ia menghajar lima orang kang-ouw yang gagah, dan karena itu ketika aku melihat gerakan hwesio kecil tadi, aku dapat menduga bahwa kepandaian hwesio kecil itu tentu datang dari Ban Sai Cinjin!"
"Akan tetapi, Suhu..." Tiba-tiba Lo Sian menggunakan tangannya untuk menutup mulut muridnya.
"Ssshhh..." bisiknya. Lili menjadi heran, dan anak miskin itu pun diam tak berani berkutik sedikit pun.
Tak lama kemudian terlihat bayangan orang dalam gelap yang bergerak cepat sekali.
Bayangan itu setelah dekat ternyata adalah bayangan seorang tua yang gemuk sekali, agak pendek dan gerakan kedua kakinya ketika berlari di atas jalan kecil menuju ke dusun itu benar-benar hebat! Liti melihat betapa kedua kaki orang tua gemuk pendek itu seakan-akan tidak menginjak tanah akan tetapi jelas sekali kelihatan betapa tanah yang dilalui oleh orang itu melesak ke dalam karena injakan kakinya ketika berlari!
Ketika orang yang berlari itu berkelebat di dekat tempat mereka bersembunyi, Lili mendengar suara yang parau dari orang itu berkata-kata seorang diri bagaikan sedang berdoa,
"Siauw-koai (Setan Kecil), Lo-koai (Setan Besar), semua harus tunduk kepadaku!" Ucapan ini terdengar berkali-kali, makin lama makin perlahan sehingga akhirnya lenyap bersama Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
54 bayangan orang gemuk yang luar biasa itu! Ternyata bahwa ia lari menghilang ke dalam dusun di depan.
Barulah Lo Sian bergerak dan menghela napas ketika orang itu telah pergi dan lenyap.
"Hebat...!" bisiknya.
"Suhu, dia itukah orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin?"
Gurunya mengangguk di dalam gelap. "Sekarang dia sedang mencari kita di dusun itu dan kalau kita tadi bermalam di sana, tentu kita semua akan tewas di dalam tangannya yang kejam."
"Akan tetapi, Suhu. Ia kelihatan bukan seperti seorang hwesio. Kepalanya biarpun botak, akan tetapi tidak gundul dan pakaiannya mewah sekali!"
"Memang aneh. Dulu ia gundul dan berpakaian seperti hwesio. Heran benar, sekarang ia agaknya telah meniadi orang biasa dan bajunya yang dari bulu itu benar-benar menandakan bahwa ia seorang kaya raya! Aneh!"
Kalau Lili dan Lo Sian dapat melihat keadaan orang yang lewat tadi dengan jelas, adalah anak miskin itu hanya melihat bayangannya yang berkelebat saja.
"Memang Ban Sai Cinjin seorang kaya!" katanya. "Kaya raya, kejam, dan gila!"
Setelah mendengar suara ini, barulah Lo Sian agaknya teringat bahwa ada orang lain di situ.
Ia memandang kepada anak miskin itu dan bertanya, "Anak yang malang, siapakah kau dan coba ceritakan pula keadaan Ban Sai Cinjin yang kauketahui."
Anak itu lalu menceritakan bahwa ia bernama Thio Kam Seng, yatim piatu semenjak kecil karena ayah bundanya meninggal dunia karena sakit dan kelaparan. Semenjak usia enam tahun ia hidup seorang diri sebagai seorang pengemis, merantau dari kota ke kota dan dari dusun ke dusun. Akhirnya ia sampai di dusun Tong-sim-bun di depan itu dan telah setahun lebih ia tinggal di dusun itu dan hidup sebagai seorang pengemis. Ia mengetahui tentang Ban Sai Cinjin yang dikatakan sebagai seorang hartawan besar, mempunyai banyak rumah dan toko di dusun itu, bahkan telah mendirikan sebuah kelenteng besar di dalam hutan sebagai tempat pertapaannya! Watak dari Ban Sai Cinjin yang kejam dan aneh itu memang telah terkenal, akan tetapi oleh karena orang tua ini amat kaya, dan pula tinggi kepandaiannya, tak seorang pun berani mencelanya.
"Aku mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hidup mewah di dalam kelentengnya, bahkan sering mendatangkan penyanyi-penyanyi dari kota dan sering pula memesan masakan-masakan mewah, dan karena aku merasa amat lapar, aku mencoba untuk mencuri makanan di
kelenteng itu. Sungguh celaka aku terlihat oleh hwesio kecil yang kejam itu dan hampir saja celaka kalau tidak mendapat pertolongan In-kong (Tuan Penolong)."
Lo Sian si Pengemis Sakti tidak mengira sama sekali bahwa Ban Sai Cinjin adalah guru dari orang yang menculik Lili! Memang, sesungguhnya Ban Sai Cinjin ini adalah pertapa sakti yang pernah memberi pelajaran silat kepada Bouw Hun Ti atau penclilik Lili itu. Kepandaian Ban Sai Cinjin memang hebat sekali dan setelah merasai kesenangan dunia, pertapa ini sekarang menjadi seorang yang mengumbar nafsunya. Ia dapat mengumpulkan harta
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
55 kekayaan dan menjadi seorang hartawan besar, hidup mewah dan suka mengganggu anak bini orang. Akan tetapi, untuk menutupi mata umum, ia mendirikan sebuah kelenteng besar di mana katanya digunakan sebagai tempat "menebus dosa" dan bersamadhi. Padahal
sesungguhnya tempat ini merupakan tempat persembunyiannya di mana ia menghiburi diri dengan cara yang amat tidak mengenal malu. Di tempat ini dapat berlaku leluasa jauh dari mata orang dusun atau orang kota.
Ban Sai Cinjin amat terkenal akan kelihaiannya dalam hal gin-kang dan lwee-kang juga senjatanya amat ditakuti orang. Senjata ini memang istimewa, karena merupakan huncwe (pipa tembakau) yang panjang dan terbuat daripada logam yang keras diselaput emas! Pada waktu-waktu biasa, ia mempergunakan huncwenya ini sebagai pipa biasa yang diisi dengan tembakau-tembakau yang paling mahal dan enak, juga kantong tembakaunya yang tergantung pada gagang huncwe ini terisi penuh dengan tembakau yang kekuning-kuningan bagaikan benang emas. Akan tetapi pada saat ia menghadapi musuh, kantong itu berganti dengan sebuah kantong lain yang berisikan tembakau luar biasa sekali yang berwarna hitam. Dan apabila ia mengambil tembakau ini dan dinyalakan di dalam pipanya, maka akan tercium bau yang amat tidak enak dan keras sekali. Asap tembakau ini saja sudah cukup membuat lawannya menjadi pening dan pikirannya kacau karena sesungguhnya asap ini mengandung semacam racun yang berbahaya dan melemahkan semangat. Apalagi kalau ia sudah mainkan senjata istimewa ini yang terputar cepat dan dari mulut pipa itu menyemburkan bunga api karena tembakau yang masih terbakar itu tertiup angin, bukan main berbahayanya. Oleh karena ini pula, Ban Sai Cinjin mendapat julukan Si Huncwe Maut!
Lo Sian yang berhati budiman itu menjadi tergerak hatinya ketika mendengar penuturan anak miskin itu. Ia memandang kepada Thio Kam Seng yang kurus dan pucat, dan biarpun ia maklum bahwa anak ini tidak memiliki cukup bakat dan kecerdikan untuk ahli silat, namun ia tadi telah menyaksikan sendirl bahwa anak ini cukup tabah dan berjiwa gagah. Tadi telah disaksikannya betapa anak ini menghadapi maut di ujung pisau hwesio kecil itu dengan berani.
"Kam Seng, apakah kau suka ikut padaku dan belajar silat agar kelak jangan sampai kau terhina orang?"
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambit menangis! Saking girang dan terharunya, ia sampai tak dapat mengeluarkan sepatah pun kata, hanya berkata terputus-putus,
"Suhu..., Suhu..."
Setelah bersembunyi di situ pada malam hari itu, keesokan harinya pagi-pagi sekali Lo Sian mengajak kedua orang muridnya untuk melanjutkan perjalanan. Ia menggandeng tangan Kam Seng agar perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.
Beberapa hari lewat tak terasa dan mereka telah memasuki Propinsi Sensi. Ketika mereka lewat kota Tai-goan, Lo Sian sengaja mampir di kota yang besar dan ramai itu. Kota Tai-goan terkenal dengan araknya yang terbuat daripada buah leci, dan karena Lo Sian adalah seorang yang suka sekali minum arak, maka sampai beberapa hari ia tidak mau tinggalkan kota itu dan memuaskan dirinya dengan minuman yang enak ini.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
56 Pada suatu hari, ketika ia dan kedua orang muridnya keluar dari sebuah rumah makan di mana ia telah menghabiskan banyak cawan arak, ia mendengar orang berseru keras dan tiba-tiba orang itu menyerangnya dengan pukulan hebat ke arah dadanya.
Lo Sian cepat mengelak dan alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerangnya ini bukan lain adalah orang brewok yang menculik Lili dulu! Memang orang ini bukan lain adalah Bouw Hun Ti yang berusaha mencari gurunya dan karena ia melakukan perjalanan berkuda dengan cepat, maka ia telah sampai di tempat itu lebih dulu dan kini ia hendak kembali ke timur setelah mendengar bahwa suhunya kini tinggal di dusun Tong-sim-bun.
Kebetulan sekali di kota Tai-goan ini ia bertemu dengan Lo Sian, pengemis yang merampas Lili dari padanya itu! Tak menanti lagi ia segera mengirim pukulan maut yang baiknya masih dapat dikelit oleh Lo Sian.
Lo Sian maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka ia segera mencabut pedangnya yang selalu disembunylkan di dalam bajunya. Bouw Hun Ti tertawa bergelak melihat ini dan segera mencabut goloknya.
"Jembel hina dina! Hari ini kau pasti akan mampus di ujung golokku!" serunya keras sambil menyerang. Lo Sian menangkis dan mereka lalu bertempur hebat di depan rumah makan itu.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran ini tidak ada yang berani ikut campur, bahkan mereka lari cerai-berai karena takut melihat dua orang itu mainkan senjata tajam demikian hebatnya.
Sementara itu, ketika Lili melihat bahwa yang menyerang suhunya adalah penculik brewok yang dibencinya, seketika menjadi pucat karena kaget sekali. Akan tetapi anak ini memang hebat sekali keberaniannya. Ia tidak melarikan diri, bahkan lalu mengumpulkan batu-batu kecil dan mulai menyambit ke arah bagian tubuh yang berbahaya dari Bouw Hun Ti.
Sungguhpun sambitan batu yang dilepas oleh Lili ini apabila ditujukan kepada orang biasa akan merupakan serangan yang arnat berbahaya, akan tetapi terhadap Bouw Hun Ti sama sekali tidak ada artinya. Tidak saja semua batu itu terlempar ketika terpukul oleh sinar goloknya, biarpun andaikata mengenai tubuhnya pun takkan terasa olehnya!
Kam Seng yang melihat suhunya bertempur melawan seorang laki-laki brewok yang
berwajah galak menyeramkan, dan melihat betapa Lili menyambit dengan batu, tidak mau tinggal diam dan ia pun mulai menyambit pula! Akan tetapi, ia segera menghentikan bantuannya ini karena pandangan matanya telah menjadi kabur dan silau, ketika kedua orang yang bertempur itu kini telah lenyap terbungkus oleh sinar senjata. Kam Seng tidak dapat membedakan lagi mana gurunya dan mana lawan gurunya! Akan tetapi, Lili yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi dan sepasang matanya yang bening sudah terlatih baik semenjak kecil oleh ayah ibunya, masih dapat melihat gerakan suhunya dan gerakan musuh itu, maka masih saja ia melanjutkan penyambitannya, kini lebih hati-hati dan membidik dengan baik. Sungguhpun serangan Lili ini tidak berarti baginya, namun cukup membikin gemas hati Bouw Hun Ti.
"Setan kecil, aku bikin mampus kau lebih dulu!" serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat menyambar Lili dan goloknya membacok ke arah kepala anak kecil itu!
Lili memiliki ketenangan ayahnya dan kegesitan ibunya. Melihat menyambarnva sinar golok ke arah kepalanya, ia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dan bergulingan menjauhkan diri. Akan tetapi, Bouw Hun Ti yang merasa penasaran terus mengejarnya Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
57 setelah menangkis serangan Lo Sian yang menyerangnya dari samping dalam usahanya menolong muridnya.
Lili bergulingan terus dan tiba-tiba ia merasai bahwa tubuhnya berguling ke atas pangkuan seorang yang duduk di bawah pohon dekat situ. Ia memandang dan ternyata bahwa ia telah berada di atas pangkuan seorang pengemis yang tinggi kurus dan berbaju penuh tambalan dan buruk sekali.
Melihat betapa anak itu berada di atas pangkuan seorang pengemis, Bouw Hun Ti
melanjutkan serangannya, akan tetapi tiba-tiba ia berseru keras dan goloknya terpental hampir terlepas dari pegangan ketika golok itu telah mendekati tubuh Lili. Ternyata bahwa pengemis jembel itu telah mengangkat tongkatnya dan menangkis gotok itu!
"Hmm, manusia kejam! Apakah kau masih mau menjual lagak di depan Mo-kai Nyo Tiang Le?"
Bouw Hun Ti makin terkejut karena ia sudah mendengar nama Pengemis Setan ini yang amat lihai! Tadi ketika menghadapi Lo Sian, biarpun ia yakin akan bisa mendapat kemenangan, akan tetapi kepandaian Lo Sian sudah cukup kuat sehingga ia tidak mungkin menjatuhkannya dalam waktu pendek. Apalagi sekarang ditambah dengan seorang pengemis aneh yang dari tangkisan tongkatnya tadi saja sudah menunjukkan bahwa kepandaiannya amat tinggi!
Bagaimana sebatang tongkat bambu dapat menangkis goloknya yang terkenal tajam dan yang digerakkan dengan tenaga luar biasa" Bouw Hun Ti menjadi gentar juga dan dengan marah sekali ia lalu melarikan diri! Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan gurunya untuk minta pertolongan dan bantuan.
Lo Sian yang baru mengenal pengemis itu, segera menghampiri dan berseru girang. "Suheng!
Kau di sini?"
"Sute, dari mana kau mendapatkan anak ini?" tanya Mo-kai Nyo Tiang Le tanpa menjawab pertanyaan adik seperguruannya.
Mendengar pertanyaan ini, barulah Lo Sian teringat kepada Bouw Hun Ti yang telah melarikan diri. Ia menghela napas dan berkata,
"Sayang sekali Suheng. Orang yang dapat menjawab pertanyaanmu itu telah melarikan diri.
Aku sendiri tidak tahu siapa sebetulnya anak ini." Ia lalu menuturkan pengalamannya ketika merampas Lili dari tangan Bouw Hun Ti, lalu menuturkan pula tentang pengalamannya menolong Thio Kam Seng.
Si Pengemis Setan itu tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Lo Sian. Ia memandang kepada Lili yang kini telah berdiri, lalu berkata kepadanya, "Hemm, anak nakal! Kau tidak mau menceritakan siapa ayah ibumu" Ha, ha, tak perlu kau menceritakannya lagi! Aku sudah tahu, siapa ayahmu! Dia adalah seorang maling, seorang tukang colong ayam! Karena itulah maka kau malu untuk mengaku! Ha, ha, ha!"
Bukan main marahnya hati Lili mendengar ucapan ini. Gadis cilik ini berdiri tegak kepalanya dikedikkan, dadanya diangkat dan pandang matanya bersinar-sinar seakan-akan mengeluarkan cahaya api. Kalau ada orang yang telah mengenal ibunya, dan melihat Lili bersikap seperti itu, Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
58 tentu akan mengatakan bahwa anak perempuan ini persis sekali seperti ibunya kalau sedang marah.
"Kau... kau berani menghina ayahku" Kalau Ayah mendengar hal ini, biarpun kau berada di ujung dunia, Ayah pasti akan mematahkan batang lehermu! Ayah adalah seorang gagah perkasa tanpa tandingan! Orang macam kau, biar ada seratus pun akan dipatahkan batang lehernya dengan mudah!" Lili benar-benar marah sekali mendengar ayahnya disebut tukang colong ayam!
Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. Agaknya ia geli sekali sehingga sambil tertawa ia meraba-raba perutnya. "Ha, ha, ha! Pandai sekali kau menutupi keadaan ayahmu!
Ha, ha, ayahmu hanya seorang maling kecil. Memang ia bisa mematahkan batang leher, akan tetapi hanya batang leher ayam. Tentu saja ia kuat mematahkan batang leher seratus ekor ayam yang dicurinya! Ha, ha, ha!"
"Orang tua kurang ajar!" Lili semakin marah sehingga ia membanting-banting kakinya yang kecil. Ia lupa bahwa suhunya tadi menyebut suheng kepada jembel ini. Jangankan baru supeknya yang baru dikenal sekarang, biarpun siapa juga tidak boleh menghina ayahnya!
"Hati-hatilah kau! Beritahukan siapa namamu agar dapat kuberitahukan kepada Ayah. Kau pasti akan dipukul mati! Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa Ayah..." tiba-tiba Lili terhenti karena ia teringat bahwa ia tidak ingin memberitahukan nama orang tuanya, bahkan ia belum pernah mengaku kepada suhunya. "... bahwa ayahmu hanyalah seorang tukang colong ayam...!" Pengemis tua itu melanjutkan kata-katanya yang terhenti sambil tertawa bergelak.
"Bukan!" Lili menggigit bibirnya dengan gemas. "Nah, biarlah aku mengaku! Ayahku adalah Sie Cin Hai yang berjuluk Pendekar Bodoh! Ibuku adalah Kwee Lin yang terkenal gagah perkasa! Siapakah tidak kenal kepada ayah-ibuku yang menjadi murid terkasih dari Sukong Bu Pun Su?" Sambil berkata demikian, Lili memandang dengan tajam kepada pengemis itu dan juga kepada gurunya. Ia merasa bangga dan girang sekali ketika melihat betapa pengemis itu yang tadinya sedang tertawa, kini membuka mulutnya dengan melongo sedangkan suhunya sendiri pun memandangnya dengan mata terbelalak heran!
Lo Sian lalu mengelus-elus kepala Lili dan berkata, "Ah, anak baik, mengapa tidak dulu-dulu kaukatakan kepadaku" Kalau aku tahu, tentu kau sudah kuantarkan kepada orang tuamu! Aku tahu siapa adanya ayah-ibumu itu dan ketahuilah bahwa Suhumu dan Supekmu ini masih orang-orang segolongan dengan ayahmu!"
"Akan tetapi, mengapa Supek tadi menghina ayahku" Mengapa ayahku disebut tukang colong ayam?"
Nyo Tiang Le tertawa bergelak dan Lo Sian juga tersenyum. "Lili, Supekmu tadi hanya bergurau. Ketika ia mengatakan bahwa ayahmu seorang maling ayam, ia tidak tahu bahwa ayahmu adalah Sie Tai-hiap! Kalau ia tidak mempergunakan akal ini, apakah kau akan suka menyebutkan nama ayahmu?"
Lili memang cerdik. Ia tahu bahwa ia telah kena diakali, maka sambil tersenyum ia berkata kepada Nyo Tiang Le, "Supek telah menipuku! Akan tetapi, kalau Supek telah tidak menarik kembali ucapannya tadi, aku selamanya akan benci kepada Supek!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
59 Mo-kai Nyo Tiang Le makin keras suara ketawanya. "Ha-ha-ha! Siapa bilang bahwa
Pendekar Bodoh pencuri ayam mengatakan demikian di depanku, orang itu akan kuhajar mulutnya dengan seratus kali pukulan tongkatku! Tidak, anak manis, ayahmu bukan pencuri ayam akan tetapi dia adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa!"
Berserilah wajah Lili mendengar pujian terhadap ayahnya ini.
"Suheng, kalau begitu, aku hendak mengantar pulang anak ini kepada Sie Tai-hiap di Shaning."
Nyo Tiang Le menggelengkan kepalanya. "Berbahaya sekali, Sute! Kau tentu sudah dapat menduga siapa adanya orang brewok tadi?"
Lo Sian menggelengkan kepalanya. "Sungguhpun ilmu silatnya lihai sekali dan gerakan goloknya mengingatkan aku akan kepandaian golok dari Ban Sai Cinjin, akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu siapa adanya orang itu."
"Dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin, seorang peranakan Turki yang dulu memimpin barisan Turki ke pedalaman dan menimbulkan banyak kerusakan!"
Lo Sian mengangguk karena ia memang membantu tentara kerajaan menghadapi perwira yang amat tangguh itu.
"Nah, orang tadi adalah putera dari Balutin itulah! Namanya Bouw Hun Ti dan ia amat lihai, apalagi setelah mendapat latihan dari Ban Sai Cinjin. Entah mengapa ia menculik anak Pendekar Bodoh ini akan tetapi sudah jelas bahwa kalau ia melihat kau mengantar anak ini pulang, tentu ia akan turun tangan dan hal ini berbahaya sekali."
Lo Sian menundukkan kepalanya karena ia maklum bahwa kepandaian Bouw Hun Ti masih lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri sehingga ia tidak dapat melindungi keselamatan Lili dengan baik.
"Habis, bagaimana baiknya, Suheng?"
"Aku sedang dalam perjalanan menuju ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin di puncak Beng-san. Biarlah kubawa kedua anak ini bersamaku ke sana. Kaupergilah seorang diri mencari Pendekar Bodoh dan memberi tahu bahwa puterinya telah selamat bersama dengan aku. Kam Seng ini nasibnya buruk dan patut ditolong, sedangkan aku dahulu pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su, maka sekarang sudah selayaknyalah kalau aku membalas dan menolong cucu muridnya ini! Nona kecil, kau tentu mau ikut dengan aku, bukan?"
Lili memandang kepada suhunya dan berkata, "Suhu, teecu memang tidak mau pulang.
Teecu baru mau pulang kalau Ayah dan Ibu menyusul teecu! Akan tetapi, kalau selamanya teecu harus ikut Supek, teecu tidak suka."
"Mengapa begitu, Lili?" tanya Lo Sian sambil tersenyum.
"Supek seorang pengemis!"
"Huss!" kata Lo Sian mencela. "Aku pun seorang pengemis!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
60 "Benar, akan tetapi Suhu berbeda dengan Supek. Suhu pengemis bersih, akan tetapi Supek..."
"Hussh, Lili!" Menegur suhunya.
Akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa geli dan berkata,
"Biarlah, Sute. Sudah sewajarnya kalau seorang anak perempuan suka akan kebersihan dan keindahan. He, Lili anak nakal, kaulihatlah baik-baik, apakah aku masih nampak kotor dan menjijikkan?" Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya kedua tangan Pengemis Setan itu bergerak dan tahu-tahu jubah luarnya yang butut itu telah terlepas dan Lili juga Thio Kam Seng, anak piatu itu memandang dengan mata terbelalak heran. Setelah jubah butut kotor penuh tambalan itu terlepas, kini pengemis tua itu nampak bersih dan gagah sekali, tubuhnya tertutup oleh pakaian warna putih bersih dari sutera halus, sebatang pedang tergantung di pinggang kirinya! Sikap pengemis tua itu pun berubah sama sekali, wajahnya yang tadi tertawa-tawa bagaikan orang gila itu menjadi sungguh-sungguh dan nampak keren sekali!
"Bagaimana, apakah kau masih merasa jijik untuk ikut Supekmu?" tanya Nyo Tiang Le dengan suara keren.
Lili merasa heran dan tertegun sehingga ia memandang dengan mata tak berkedip, lalu menggelengkan kepalanya. Pengemis tua yang aneh itu lalu mengenakan kembali pakaian bututnya dan wajahnya kembali berseri-seri. Barulah Lili merasa lega, karena sesungguhnya hatinya enak dan senang menghadapi pengemis tua yang berpakaian butut dan yang tertawa-tawa ramah ini daripada menghadapinya dalam pakaian gagah dan sikap keren tadi!
"Mengapa pakaian bersih dan indah ditutupi oleh pakaian yang demikian kotor dan buruk?"
kini ia berani membuka mulut bertanya.
Nyo Tiang Le tertawa bergelak, seperti tadi sebelum memperlihatkan pakaiannya yang dipakai di sebelah dalam.
"Ha-ha-ha, anak baik! Banyak sekali orang yang di luarnya mengenakan pakaian-pakaian indah dan mahal, memakai kebesaran dan tanda pangkat, akan tetapi coba bukalah pakaian yang indah-indah itu, kau akan melihat sesuatu yang kotor, bagaikan sebutir buah yang kulitnya merah kekuningan dan nampak segar akan tetapi kalau dikupas kulitnya akan terlihat isinya busuk! Bagiku, aku lebih suka yang sebaliknya, darl luar nampak kotor akan tetapi di sebelah dalam bersih! Ha-ha-ha!"
Lili tidak percuma menjadi puteri Pendekar Bodoh, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan yang terkenal ahli dalam hal filsafat hidup dan hafal akan semua ujar-ujar kuno.
Telah seringkali ayahnya memberi pelajaran budi pekerti kepadanya dan seringkali pula ia mendengar ayahnya mengucapkan ujar-ujar kuno mengenai filsafat hidup. Kini, mendengar ucapan Nyo Tiang Le, anak yang berotak tajam ini dapat menangkap maksudnya maka ia lalu membantah,
"Supek, betapapun juga aku lebih suka lagi kalau yang bersih itu tidak hanya dalamnya saja, akan tetapi luar dalam! Sungguhpun isinya sama bersih dan sama enak, kalau disuruh memilih, aku lebih suka buah yang kulitnya menarik dan bersih daripada yang kulitnya kotor!"
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
61 Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. "Benar benar! Kau memang seorang
perempuan, sudah seharusnya tahu merghargai keindahan, luar maupun dalam!"
Demikianlah, setelah memesan kepada Lili dan Kam Seng agar supaya taat kepada supek mereka, dan memberi janji kepada Lili bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali, Lo Sian lalu meninggalkan mereka menuju ke timur untuk mencari Pendekar Bodoh di Shaning mengabarkan tentang keadaan Lili kepada pendekar besar itu.
Nyo Tiang Le juga segera membawa kedua anak itu melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Beng-san. Pengemis Setan ini sungguhpun menjadi suheng dari Lo Sian, akan tetapi apabila dibandingkan dengan Pengemis Sakti itu, kepandaiannya jauh lebih tinggi, juga usianya berbeda jauh sekali Lo Sian baru berusia tiga puluh lima tahun, akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le usianya sudah lima puluh tahun lebih. Bahkan kepandaian Lo Sian sebagian besar terlatih oleh Nyo Tiang Le dan suhu mereka hanya memberi pelajaran-pelajaran dasar saja kepada Sin-kai Lo Sian. Kepandaian Nyo Tiang Le ini hanya sedikit lebih rendah daripada tingkat kepandaian empat besar di timur, barat, selatan, dan utara, yakni Hok Peng Taisu guru Ma Hoa, Pok Pok Sianjin di Beng-san yang sekarang menjadi guru dari Sie Hong Beng putera Pendekar Bodoh, mendiang Bu Pun Su, guru dari Cin Hai si Pendekar Bodoh dan isterinya, dan Swi Kiat Siansu, tokoh di utara yang terkenal dengan senjatanva kipas maut itu! Kepada empat orang tokoh besar ini, Nyo Tiang Le telah kenal baik, bahkan ia pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su yang terkenal paling lihai diantara para tokoh besar itu.
Mo-kai Nyo Tiang Le suka sekali melihat Lili dan karena ia tidak mempunyai murid, maka melihat murid sutenya ini tergeraklah hatinya. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu pedangnya kepada Lili yang ia tahu memiliki bakat yang baik sekali. Ia memang sedang menuju ke Beng-san untuk bertemu dengan Pok Pok Sianjin, seorang di antara tokoh-tokoh besar dunia persilatan masih hidup.
Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang bernasib malang itu, benar-benar telah mendapat karunia besar dan agaknya nasibnya telah mulai bersinar terang ketika ia bertemu dengan Lo Sian, karena tak disangka-sangkanya bahwa ia akan terjatuh ke dalam tangan orang-orang luar biasa sehingga ia dapat menjadi murid seorang gagah seperti Lo Sian, bahkan kini ia ikut melakukan perjalanan dengan Nyo Tiang Le dan ikut pula mendapat latihan ilmu silat tinggi.
*** Mari sekarang kita mengikuti perjalanan Cin Hai dan Lin Lin yang meninggalkan rumah mereka di Shaning untuk pergi mencari puteri mereka yang lenyap terculik orang.
Semenjak Kong Hwat Lojin atau Nelayan Cengeng yang menjadi guru dan ayah angkat Ma Hoa meninggal dunia dua tahun yang lalu, belum pernah Pendekar Bodoh dan isterinya mengunjungi Tiang-an. Maka setelah mereka tiba di perbatasan kota Tiang-an, mereka berhenti sebentar dan memandang tembok kota, itu dengan pikiran penuh kenangan masa lampau. Bagi Lin Lin, kota ini adalah kota kelahirannya dan bagi Cin Hai, kota ini pun merupakan kota di mana ia telah mengalami banyak sekali penderitaan hidup di waktu ia masih kecil.
Mereka memasuki kota dan mengunjungi rumah Kwee An. Rumah ini adalah rumah tua, gedung besar dan kuno yang dulu menjadi tempat tinggal mendiang Kwee In Liang, yaitu Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
62 ayah Kwee An dan Kwee Lin. Kedatangan mereka mendapat sambutan yang hangat sekali dari Kwee An dan Ma Hoa. Ma Hoa merangkul Lin Lin dan sampai lama mereka saling peluk dan mencium dengan hati girang sekali.
"Enci Ma Hoa, kau makin gemuk dan makin cantik saja!" Lin Lin berkata sambil
memandang kepada so-so (kakak iparnya) itu. Karena sudah biasa semenjak belum menikah dulu, Lin Lin tidak menyebut so-so kepada iparnya ini, akan tetapi masih menyebut enci.
"Lin Lin, kaulah yang makin cantik, akan tetapi mengapakah kau kelihatan agak pucat"
Terlalu lelahkah kau dalam perjalananmu ke sini?"
Cin Hai dan Kwee An yang saling berpegang tangan dengan girang itu juga mengucapkan kata-kata ramah tamah.
"Ah, kami mendapat kesusahan," kata Lin Lin sambil menghela napas lalu menggigit bibirnya untuk menahan jangan sampai meruntuhkan air mata. "Lili telah terculik orang!"
Pucatlah wajah Ma Hoa dan Kwee An mendengar berita hebat ini.
"Apa...?"" Ma Hoa melompat bangun dan memegang lengan tangan Lin Lin. "Siapa
orangnya yang demikian berani mampus melakukan hal itu" Lin Lin, beritahukan siapa orangnya, akan kuhancurkan kepalanya!" Ma Hoa benar-benar marah sekali mendengar berita ini dan sepasang matanya berkilat. Kwee An juga marah sekali dan kedua tangannya dikepal, akan tetapi ia lebih tenang dan sabar daripada isterinya. Ia memegang tangan adiknya dan berkata,
"Ah, bagaimana bisa terjadi hal itu" Lin Lin, marilah kita semua masuk ke dalam dan ceritakanlah hal itu sejelasnya."
Suara yang lemah lembut dan sikap mencinta dari kakaknya ini lebih tajam menyentuh perasaan Lin Lin daripada sikap Ma Hoa yang menunjukkan pembelaannya dengan marah.
Tak terasa lagi Lin Lin meramkan mata menahan keluarnya air mata yang tetap saja menembus celah-celah bulu matanya dan mengalir turun ke atas pipinya. Sambil
menyandarkan kepalanya di pundak Kwee An, Lin Lin menangis dan menurut saja ditarik oleh Kwee An menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Cin Hai dan Ma Hoa.
Setelah mereka duduk di atas kursi dan Lin Lin telah dapat menekan perasaan gelisah dan sedihnya, maka berceritalah Lin Lin dan Cin Hai tentang penculikan terhadap Lili, dan juga tentang terbunuhnya Yousuf. Mendengar bahwa Yousuf terbunuh pula dalam keadaan yang amat mengerikan dan menyedihkan, yaitu dipenggal kepalanya, Ma Hoa menjerit dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia berdiri dan dengah tangan terkepal ia berkata keras,
"Lin Lin, kita harus mencari jahanam itu sampai dapat! Hatiku belum puas kalau belum menusuk mata jahanam itu dengan senjataku!"
Juga Kwee An merasa marah dan sedih sekali mendengar berita ini. Ketika mendengar dari Cin Hai bahwa menurut orang yang melihatnya, pembunuh Yousuf itu adalah seorang Turki, Kwee An berkata,
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
63 "Tak salah lagi, tentu pembunuhnya adalah utusan Pangeran Muda dari Turki yang semenjak dahulu memusuhi Yo-pek-hu!"
"Kami pun menduga demikian," kata Cin Hai. "Oleh karena itu, kami hendak menyusul ke barat, hendak mencari keterangan dan menyelidiki ke Kansu di mana banyak terdapat orang-orang Turki baik pengikut Pangeran Muda maupun pengikut Pangeran Tua."
"Betul sekali," kata Kwee An mengangguk-anggukkan kepalanya. "Di sana banyak terdapat kawan-kawan baik dari Yo-pek-hu, kurasa dari mereka kau akan bisa mendapatkan
keterangan."
"Aku ingin sekali ikut pergi," tiba-tiba Ma Hoa berkata, "aku ingin mendapat bagianku menghajar penculik Lili!"
Kwee An memandang kepada isterinya, lalu dengan tersenyum ia berkata,
"Dalam keadaanmu sekarang ini lebih baik jangan melakukan perjalanan sejauh itu."
Ma Hoa membalas pandangan suaminya dan tiba-tiba mukanya berubah merah, Lin Lin mengerti akan maksud ucapan itu, maka ia merangkul Ma Hoa sambil berkata, "Enci yang baik! Sudah berapa bulankah?"
Makin merahlah muka Ma Hoa dan dengan suara perlahan ia berkata, "Dua..."
Cin Hai sama sekali tidak mengerti apakah maksud pembicaraan antara isterinya dan Ma Hoa, maka ia memandang kepada mereka dengan sinar mata bodoh. Melihat wajah dan pandangan mata bodoh dari Cin Hai ini, tak tertahan pula Ma Hoa dan Lin Lin tertawa geli, bahkan Kwee An juga tersenyum, teringat akan peristiwa dulu-dulu tentang Cin Hai yang dalam beberapa hal memang agak bodoh. Pandang mata seperti itulah yang membuat ia mendapat julukan Pendekar Bodoh!
"Eh, eh, kalian mengapakah?" Cin Hai tildak merasa aneh melihat isterinya tertawa-tawa, karena memang demikianlah sifat Lin Lin. Dalam keadaan bersedih ia dapat tertawa gembira, sebaliknya dalam kegembiraan tiba-tiba murung!
"Jangan tanya-tanya, ini urusan wanita. Laki-laki tahu apa!" kata Lin Lin.
Akhirnya dapat juga Cin Hai menduga bahwa yang dimaksudkan tentu keadaan Ma Hoa dalam mengandung dua bulan. Akan tetapi karena merasa jengah dan malu, ia diam saja.
Dua pasang suami isteri itu lalu bercakap-cakap melepaskan rindu.
"Eh, sampai lupa aku! Mana si cantik Goat Lan" Mengapa semenjak tadi aku tidak
melihatnya?" kata Lin Lin.
"Ah, dia telah dibawa oleh dua orang kakek yang kalian tentu sudah kenal namanya."
"Dibawa" Apa maksudmu" Siapakah mereka?" tanya Cin Hai.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
64 "Goat Lan telah diambil murid oleh Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo dan dibawa ke Liong-ki-san untuk dilatih ilmu silat."
Cin Hai dan Lin Lin merasa girang mendengar ini dan keduanya lalu memberi selamat. Ma Hoa menceritakan peristiwa tentang kedatangan kedua orang kakek gagah itu di Kuil Ban-hok-tong.
"Enci Hoa," kata Lin Lin yang teringat akan sesuatu, "aku telah mengadakan pembicaraan dengan suamiku tentang anakmu itu. Kau tentu dapat menduga maksud kami, yaitu tentang anakmu dan anak kami Hong Beng."
Wajah Ma Hoa berseri. "Ah, bagaimana dengan puteramu yang elok itu?"
Lin Lin lalu menceritakan bahwa Hong Beng telah diantarkan ke Pok Pok Sianjin untuk menerima latihan ilmu silat.
"Kiranya tidak ada jodoh yang lebih tepat bagi Hong Beng selain anakmu yang cantik itu.
Bagaimana kalau kita resmikan pertunangan itu sekarang?"
Kwee An tertawa. "Kedua anak itu baru berusia sepuluh tahun, bagaimana harus diresmikan pertunangan mereka?"
"Maksudku, pertunangan ini disahkan antara kita, orang-orang tua mereka. Kau tentu menerima pinanganku, bukan?" menegaskan Lin Lin.
"Lin Lin, kau masih saja tidak sabar seperti dulu!" kata Ma Hoa tertawa. "Dulu pernah kita bicarakan hal ini dan sudah saling setuju. Tentu saja, kami setuju sekali dan menerima pinanganmu dengan kedua tangan terbuka. Memang selain putera kalian siapa lagi yang patut menjadi mantu kami?"
Demikianlah, diantara tawa dan sendau gurau, mereka meresmikan pertunangan Hong Beng dan Goat Lan. Dengan amat mudahnya Lin Lin telah lupa kesedihannya kehilangan Lili. Cin Hai yang pendiam tak dapat melupakan nasib puterinya, akan tetapi tidak tega untuk mengingatkan isterinya tentang hal yang tidak menyenangkan ini, maka ia diam saja.
Setelah mengunjungi Kwee Tiong atau Thian Tiong Hosiang, ketua Kuil Ban-hok-tong, kakak tertua dari Lin Lin yang kini menjadi hwesio alim itu, Lin Lin dan Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya ke barat. Mereka hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An. Ma Hoa dan suaminya mengantar mereka sampai di luar batas kota dan mereka lalu berpisah.
Cin Hai dan Lin Lin melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat dan setelah berpisah dari Ma Hoa, kembali perhatian Lin Lin seluruhnya tercurah kepada puterinya dan kegelisahanya timbul kembali. Perjalanan mereka amat jauh, dan beberapa pekan kemudian setelah melaksanakan perjalanan cepat sekali, barulah mereka tiba di Kansu dan menuju ke kota Lancouw. Di sepanjang perjalanan mereka teringat akan segala pengalaman mereka yang penuh bahaya pada sepuluh tahun lebih yang lampau ketika mereka dengan kawan-kawan lain mengunjungi propinsi ini.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
65 Cin Hai dan Lin Lin lalu masuk ke perkampungan orang Turki di mana dulu Yousuf tinggal.
Orang-orang Turki yang tinggal di situ ternyata masih ingat kepada mereka, karena ketika mereka masuk ke kampung itu, mereka disambut dengan girang sekali oleh para kawan dari Yousuf itu. Cin Hai segera dihujani pertanyaan tentang keadaan Yousuf.
Ketika mendengar bahwa bekas pemimpin mereka itu telah tewas dengan keadaan amat menyedihkan, dipenggal kepalanya oleh seorang Turki lain yang brewok, maka sedihlah hati mereka.
"Bouw Hun Ti!" seru seorang di antara mereka yang sudah lanjut usianya. "Tentu Bouw Hun Ti si anjing pengkhianat yang melakukan hal itu."
Cin Hai dan Lin Lin segera mendesak orang tua itu. "Sahabat," kata Cin Hai, "sesungguhnya kami datang dari tempat yang amat jauh, tak lain maksud kami hanya hendak menemui saudara-saudara dan minta pertolongan untuk menduga siapa adanya bangsat yang telah membunuh Yo Se Fu dan yang telah menculik puteri kami itu. Tadi kami mendengar
disebutnya nama Bouw Hun Ti, siapakah gerangan dia itu dan mengapa kalian mengira bahwa dia yang melakukan perbuatan itu?"
Orang Turki tua itu baru saja datang dari Turki dan ia tahu akan keadaan Bouw Hun Ti, maka ia lalu menceritakan sejelasnya kepada Cin Hai dan Lin Lin. Ketika mendengar bahwa Bouw Hun Ti diutus oleh Pangeran Muda untuk membawa Yousuf dengan paksa ke Turki dan bahwa Bouw Hun Ti adalah putera dari Balutin dan terkenal jahat dan kejam dan
berkepandaian tinggi, Cin Hai dan Lin Lin tidak ragu-ragu lagi bahwa memang dialah orang yang dicari-carinya. Mereka lalu mengambil keputusan untuk menanti di Lancouw,
menghadang perjalanan Bouw Hun Ti yang tentu akan pulang ke Turki membawa Lili yang diculiknya, karena menurut keterangan orang-orang Turki itu, Bouw Hun Ti sampai saat itu belum kembali dari timur.
Akan tetapi, setelah menanti dua pekan belum juga kelihatan penculik dan pembunuh itu datang, Cin Hai dan Lin Lin menjadi kecewa dan gelisah sekali. Betapapun lambat musuh itu melakukan lperjalanan, tak mungkin akan makan waktu selama itu. Akhirnya Cin Hai dan Lin Lin mengambil keputusan untuk kembali ke timur, mencari musuh yang membawa lari puteri mereka itu. Kepada orang-orang Turki yang berada di situ mereka minta tolong agar supaya mengamat-amati, jika melihat Bouw Hun Ti dan seorang anak perempuan, supaya berusaha merampas anak perempuan itu. Orang-orang Turki itu maklum bahwa Lin Lin adalah anak angkat Yousuf, sehingga dengan demikian anak perempuan yang diculik oleh Bouw Hun Ti itu adalah cucu dari Yousuf, maka tentu saja mereka bersedia untuk membantu suani isteri itu dan menolong Lili. Mereka maklum bahwa di antara mereka tidak seorang pun dapat melawan Bouw Hun Ti yang lihai, akan tetapi dengan akal dan tipu, mereka merasa yakin akan dapat menculik kembali anak itu dari tangan Bouw Hun Ti dan mengantarkannya kepada suami isteri itu.
Maka berangkatlah Cin Hai dan Lin Lin kembali ke timur. Sungguhpun mereka merasa kecewa dan gelisah, akan tetapi ada juga sedikit kegirangan karena telah mengetahui nama dan keadaan musuh besar mereka. Kini mereka kembali ke timur tidak melalui jalan yang mereka lalui ketika mereka menuju ke Lancouw, yakni jalan sebelah selatan, akan tetapi mereka melalui jalan sebelah timur, di sepanjang perbatasan Mongolia dalam. Mereka mengambil keputusan hendak mampir di tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menengok Hong Beng yang belajar ilmu silat di situ.
Pendekar Remaja > karya Kho Ping Hoo > published by ceritasilat
66 *** Mo-kai Nyo Tiang Le bersama dua orang anak-anak murid sutenya, yakni Lili dan Kam Seng, tiba di Gunung Beng-san. Dengan perlahan Nyo Tiang Le mengajak dua orang anak-anak itu mendaki bukit yang indah sambil menikmati pemandangan alam yang benar-benar mengagumkan. Kam Seng kini setelah jatuh ke tangan orang-orang yang dapat ia percaya, timbul kembali sifat-sifat aslinya, yaitu pemberani, bersemangat, dan jenaka. Lili merasa suka kepada kawan ini dan ketika mendaki bukit yang indah itu, Lili dan Kam Seng mendahului supek mereka, karena Pengemis Setan ini sebentar-sebentar berhenti untuk menikmati keindahan pemandangan alam. Lili dan Kam Seng sudah diberi tahu oleh supek ini bahwa tuiuan mereka adalah puncak bukit di sebelah utara itu. Maka mereka tidak sabar menanti supek mereka yang dapat berdiri diam bagaikan patung sampai lama sekali untuk menikmati tamasya alam.
"Supek benar-benar aneh," kata Kam Seng sambil tertawa dan napas tersengal karena ia harus mengikuti Lili yang lebih gesit dan cepat gerakannya itu, "apakah keindahan pohon-pohon dan rumput di bawah gunung?"
Lili hanya tersenyum dan berkata, "Hayo cepat kita naik. Itu di atas banyak kembang merah yang indah!" ia lalu melompat ke depan dengan cepat bagaikan seekor anak kijang. Tentu saja Kam Seng tak dapat menyusulnya, dan anak yang sudah terengah-engah karena telah mendaki bukit itu mencoba untuk mempercepat langkahnya sambil bersungut-sungut,
"Supek aneh, Lili juga aneh. Kembang macam itu saja, apa sih indahnya?" Memang, Kam Seng yang semenjak kecilnya selalu menderita lahir batin, perasaannya menjadi acuh tak acuh, tak dapat merasai atau menikmati sesuatu yang sedap dipandang. Matanya telah terlalu banyak melihat hal-hal yang menimbulkan sedih dan putus harapan, bahkan dulu ketika ia menderita kelaparan dan kesengsaraan, segala sesuatu yang betapa indah pun nampak buruk dan menjemukan.
Karena Lili berhenti dan mengagumi bunga-bunga yang tumbuh di tepi jalan kecil itu, maka Kam Seng dapat menyusulnya juga. Lili meraba bunga itu, dan nampaknya girang bukan main. Kedua pipinya bersinar kemerahan, matanya berseri gembira. Ia memetik beberapa tangkai bunga yang terindah, diikat menjadi satu dan dibawanya dengan hati-hati dan penuh kesayangan.
Pada saat itu dari sebuah lereng bukit berlari turun seorang anak laki-laki yang gesit sekali gerakannya. Anak ini berwajah tampan dan gagah sekali. Sepasang alisnya hitam tebal, nampak jelas kulit mukanya yang putih kemerahan. Rambutnya juga tebal dan hitam, diikat di atas kepala dengan sehelai pita kuning. Tubuhnya tegap sehingga nampaknya sudah hampir dewasa, sungguhpun usianya sebenarnya baru sebelas tahun kurang. Matanya lebar dan bersinar terang, membayangkan bahwa ia mempunyai watak yang jujur.


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Sadis 20 Bara Naga Karya Yin Yong Pendekar Super Sakti 6

Cari Blog Ini