Ceritasilat Novel Online

Pendekar Wanita Penyebar Bunga 3

Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Bagian 3


besar, tapi sesudah mencapai usia pertengahan, ia mencuci
tangan dan berusaha seperti seorang rakyat baik-baik.
Belakangan ia menjadi terkenal sebagai yang paling kaya di
daerah itu. Demikianlah cerita orang yang belum dapat
dipasti-pastikan benar tidaknya.
Bu Cin Tong adalah seorang yang tangannya terbuka dan
suka bergaul. Seluruh tahun, tidak hentinya kawan-kawan
dalam kalangan Kangouw datang berkunjung untuk meminta
bantuan ini atau itu, yang sedapat mungkin selalu
diluluskannya. Itulah sebabnya kenapa ia sudah dijuluki nama
si Naga Emas Kecil, dalam artian bahwa seekor naga selalu
menyemburkan hujan untuk menolong ummat manusia.
Si pemuda baju putih, yang juga sudah pernah mendengar
nama Bu Cin Tong, lantas saja berkata: "Jika itu benar surat
undangan Bu Cin Tong, apa mungkin ada permainan gila?"
"Ada hal yang tidak di mengerti oleh saudara," Hoan Eng
menerangkan. "Bu Cin Tong tentu saja tak mungkin main gila.
Akan tetapi, selalu terdapat kemungkinan, bahwa orang lain,
dengan menggunakan nama Bu Cin Tong, yang mengirim
surat undangan ini. Maka itu, untuk berjaga-jaga, aku sudah
membukanya dengan timpukan belati. Jika orang mau main
gila, dalam kotak ia tentu akan menyembunyikan senjata
rahasia, yang begitu kotaknya terbuka, akan menyambar.
Sesudah mendapat kenyataan, bahwa kotak itu tidak terisi
senjata rahasia, barulah aku berani mengatakan, undangan itu
adalah tulen."
Mendengar keterangan itu, si pemuda jadi merasa sangat
kagum akan hati-hatinya Hoan Eng.
"Masih ada satu hal yang menyurigakan," kata pula Hoan
Eng. 139 "Apa?" tanya pemuda itu.
"Dari sini ke Bu keekhung masih ada seratus delapan puluh
lie," Hoan Eng menerangkan. "Dalam undangannya, ia minta
kita menghadiri perjamuan pada malam ini. Cara bagaimana ia
mengetahui kita mempunyai dua ekor kuda bagus" Lauwtee,
kudamu, seekor kuda mustika, sehari berlari seribu lie, masih
belum mengherankan. Tapi bagi kuda biasa, sehari seratus
delapan puluh lie adalah tugas yang hampir tak mungkin
dilakukan."
Si pemuda baju putih tertawa. "Jika surat undangan itu tak
palsu, apakah mungkin tanpa sebab Siauwkimliong ingin
mencelakakan kita?" katanya sembari tertawa. "Hoan Toako,
berhati-hati memang baik sekali, tapi janganlah keterlaluan
seperti kau. Hayolah, kita berangkat."
Walaupun kuda yang dibeli binatang semba-rangan, larinya
cepat dan ulet sekali. Sesudah lari sehari, sebelum matahari
menyelam ke barat, mereka sudah berada di depan Bu
keekhung. Dalam jarak tiga lie dari gedung Bu Cin Tong, Hoan Eng
dan si pemuda sudah turun dari kudanya dan meneruskan
perjalanan sambil menuntun tunggangan masing-masing.
Itulah peraturan Kangouw untuk mengunjukkan hormat
kepada tuan rumah.
Sepanjang jalan mereka bertemu dengan banyak sekali
orang yang semua berjalan menuntun tunggangannya, Hoan
Eng menjadi heran. Dilihat tanda-tandanya, Bu Cin Tong akan
mengadakan pesta besar. Di antara orang-orang itu terdapat
juga: si saudagar dengan siapa mereka pernah bertemu di
atas puncak Thaysan, orang yang dipanggil "Goan Jim", si
140 toosu dan kedua pengemis yang pernah cekcok dengan
pelayan hotel. Si pemuda menggerendeng.
"Sst!" bentak Hoan Eng dengan suara perlahan.
"Bersikaplah secara tenang!"
Si baju putih melirik, dari paras mukanya seperti juga ia
mau mengatakan, masakan soal begitu saja ia tidak mengerti"
Orang-orang itu pun terus berjalan tanpa menengok ke
jurusan Bu keekhung.
Begitu tiba di Bu keekhung, Hoan Eng dan si pemuda
disambut beberapa penyambut yang lantas mengantar mereka
ke taman bunga yang sangat luas, di mana sudah diatur
beberapa puluh meja perjamuan.
Di tengah-tengah taman tersebut terdapat lapangan untuk
berlatih silat dan di kedua sisi lapangan itu berdiri rak-rak
senjata. Hoan Eng dan si pemuda diantar ke sebuah meja
yang letaknya di sebelah timur. Mereka tak mengenal tamutamu
lain yang sedang kasak-kusuk saling menanya, karena
apa Bu Cin Tong mengadakan perjamuan besar. Media
mereka terpisah jauh dari meja tuan rumah dan rupanya
mereka dianggap sebagai tamu biasa saja yang boleh di
tempatkan di sembarang tempat.
Duduk belum lama, perjamuan segera dimulai. Seorang tua
yang jenggotnya bercabang tiga dan berusia kurang lebih
enam puluh tahun berbangkit dan berkata sambil memberi
hormat kepada hadirin: "Terlebih dulu aku hanturkan terima
kasih kepada saudara-saudara yang sudah memberi muka
kepada aku si tua. Dalam mengirimkan Enghiong tiap (surat
undangan untuk orang gagah) kali ini, kecuali Goan Ham
Tiangloo yang tidak bisa datang lantaran mempunyai urusan
141 penting lain, Liu Teng Am Suhu yang sedang sakit dan Han
Kang Tootiang yang belum kembali dari Ouwlam, yang lainnya
semua sudah sudi datang berkunjung. Dengan demikian,
pertemuan kita ini dapat dikatakan pertemuan besar para
orang gagah di lima propinsi Utara. Sebagai pernyataan terima
kasih kepada Saudara-saudara, terlebih dulu aku minta kalian
mengeringkan tiga cawan arak."
Hoan Eng terkejut. Mengirim Enghiong-tiap bukannya
urusan kecil. Bu Cin Tong yang sudah berusia lanjut, sudah
lama mengundurkan diri dari segala urusan Kangouw.
Apakah sekarang ia mempunyai maksud tertentu yang
sangat besar"
Sesudah semua tamunya minum tiga cawan arak. Bu Cin
Tong segera meneruskan pidatonya dengan suara nyaring:
"Saudara-saudara yang hadir di sini adalah sahabat-sahabat
kekal. Dengan tak malu-malu aku mengakui, bahwa di waktu
muda, aku pernah berusaha tanpa modal. Pada waktu
belakangan ini, dengan merasa sangat menyesal, aku
mendengar di antara jago-jago banyak yang bertengkar. Inilah
satu kejadian yang tidak baik. Menurut pendapatku, tanpa
kepala seekor ular tak dapat berjalan. Itulah sebabnya
mengapa aku sudah mengundang para orang gagah datang
ke sini dengan tujuan untuk mengangkat 'Toaliong-tauw1
(pemimpin) yang perintahnya harus ditaati oleh kita bera-mai.
Jika ini dapat tercapai, pertama, kita boleh tidak usah
bertengkar lagi, kedua, kita boleh tidak usah takut lagi kepada
tentara negeri dan ketiga, kita dapat melindungi daerah
sendiri, jika ada serangan dari luar. Sebagaimana Saudarasaudara
mengetahui, ancaman negeri Watzu belum dapat
disingkirkan, sedang di sebelah utara timur, suku Liecin juga
katanya sudah bersiap-siap untuk menggerayang ke wilayah
142 Tionggoan. Sekianlah adanya usulku yang aku harap suka
dipertimbangkan oleh Saudara-saudara sekalian."
Tujuh delapan bagian dari para tamu adalah orang-orang
Lioklim (Rimba Hijau, perampok), yang lainnya terdiri dari
jago-jago Rimba Persilatan yang berusaha secara jujur dan
beberapa orang kepala polisi.
Pidato tuan rumah telah mendapat macam-macam
sambutan. Ada yang berteriak menyatakan persetujuannya,
ada yang bisik-bisik dengan kawan-kawannya dan ada pula
yang tidak mengeluarkan suara. Bu Cin Tong menyapu semua
tamunya dengan matanya dan kemudian mengetok meja,
sehingga suara ribut lantas berhenti.
"Saudara-saudara," ia meneruskan pidatonya. "Walaupun
kita sudah mengadakan perserikatan dan mempunyai
pemimpin, akan tetapi, sesudah masuk dalam perserikatan,
sahabat-sahabat dari jalanan putih (bukan perampok) dapat
meneruskan usahanya sendiri dengan leluasa dan mereka
hanya diminta jangan menyusahkan kawan-kawan kalangan
Lioklim, seperti air sumur jangan mengganggu air sungai. Jika
muncul urusan, semua pihak harus berdamai dengan
pemimpin kita yang akan menjaga agar tidak ada pihak yang
dirugikan."
Mendengar keterangan itu, beberapa kepala polisi yang
kenamaan lantas saja merasa setuju. Dengan adanya
peraturan begitu, jika di belakang hari terjadi perampokan dan
pembesar atasan memperintah mereka untuk mengambil
pulang barang-barang rampokan itu, mereka jadi tak usah
turun tangan sendiri dengan mati-matian. Harus diketahui,
bahwa biarpun kepala-kepala polisi itu harus mempunyai ilmu
silat sangat tinggi, akan tetapi, biar bagaimana pun juga,
mereka harus mempunyai hubungan dengan pentolanpentolan
kalangan 143 RimbaHijau, supaya, jika kejepit, mereka masih bisa
meminta pertolongan dari pentolan-pentolan itu. Dengan
demikian, usul Bu Cin Tong untuk mengangkat Toaliongtauw
yang akan mengurus segala sengketa, pada hake-katnya
sangat menguntungkan kepala-kepala polisi itu. Maka itu,
mereka lantas saja mengangkat tangan dan memberi
persetujuan. "Bu Lookhungcu!" seru seorang. "Kalau begitu, biarlah
kedudukan Toaliongtauw diduduki Lookhungcu sendiri."
Bu Cin Tong tertawa seraya berkata: "Sudah dua puluh
tahun, aku si tua menutup pintu dan menyimpan golok. Mana
aku mempunyai napsu lagi untuk tampil ke muka" Sekarang
ini aku hendak mengusulkan seorang yang rasanya cukup
cakap untuk menduduki kursi Toaliongtauw. Pit Lauwtee!
Harap kau suka bangun untuk berkenalan dengan para orang
gagah." Begitu mendengar perkataan Bu Cin Tong, semua orang
segera mengulurkan leher untuk melihat, siapa adanya orang
itu yang dipujikan tuan rumah.
Di lain saat, seorang pemuda yang duduk di samping tuan
rumah, berdiri. Ia berbadan tinggi besar, alisnya tebal,
matanya besar, berewoknya pendek dan kaku, sedang usianya
belum cukup tiga puluh tahun. Dengan matanya yang tajam,
ia menyapu para hadirin. Banyak orang merasa terkejut dan
heran, oleh karena mereka tidak mengetahui, siapa adanya
pemuda itu. Antara mereka, adalah Hoan Eng yang paling
besar rasa kagetnya, lantaran, dilihat dari potongan badan
dan gerak-geriknya, pemuda itu bukan lain daripada si
penjahat bertopeng! "Saudara-saudara," demikian Bu Cin
Tong berkata pula. "Meskipun belum cukup dua tahun Pit
Lauwtee menerjunkan diri ke dalam kalangan Lioklim,
144 namanya sudah cukup menggetarkan dan sudah melakukan
beberapa pekerjaan yang mengejutkan. Dengan seorang diri,
ia pernah merubuhkan Lokho
Samliong (Tiga naga dari Lokho), tanpa berkawan ia
pernah menggulingkan Han Khung Jiehouw (Han dan Khung,
dua macan), dengan sebelah tangan ia pernah menyambut
dua belas golok terbang Cong-piauwtauw (pemimpin) Cinwie
Piauwkiok dan ia juga pernah merampas emas intan raja
muda Sengcinong yang berharga dua puluh laksa tahil perak.
Akan tetapi, dalam melakukan pekerjaannya, Pit Lauwtee
selalu sungkan memperlihatkan mukanya dan di kalangan
pembesar negeri, ia hanya dikenal sebagai si perampok
bertopeng!"
Keterangan Bu Cin Tong disambut dengan suara kaget dan
heran oleh para hadirin. Dalam Rimba Persilatan, si penjahat
bertopeng sudah sangat tersohor, tapi hanya berapa gelintir
orang saja yang pernah melihat mukanya.
"Saudara-saudara," Bu Cin Tong melanjutkan
keterangannya. "Paling belakang, Pit Lauwtee kembali sudah
melakukan dua pekerjaan yang benar-benar hebat. Pertama,
ia sudah merampas uang negara yang besarnya tiga puluh
laksa, sehingga Koan Kie, si manusia busuk dari Rimba
Persilatan yang sudah kaya raya, jadi kerupukan!"
Hoan Eng berdebar hatinya. Mendengar adik angkatnya
dinamakan manusia busuk yang kaya raya, mukanya menjadi
panas lantaran malu.
Sesudah berdiam beberapa saat, Bu Cin Tong berkata pula.
"Pekerjaannya yang kedua adalah pekerjaan yang terlebih
hebat lagi. Sebagaimana kalian mengetahui, Ie Kiam adalah
tihang negara yang putih bersih. Sungguh menyedihkan,
145 beliau sudah dibunuh mati oleh kaizar bebodoran, sehingga
semua orang gagah di kolong langit jadi mendidi darahnya.
Belum lama berselang, Pit Lauwtee sudah mengaduk di
ibukota dan dengan beruntun sudah membinasakan tujuh
Wiesu (pengawal) istana kaizar. Meskipun tidak berhasil
menolong Ie Kiam, ia sudah dapat merampas kepala menteri
berjasa itu, sehingga beliau dapat dikubur dengan anggau-ta
badan lengkap. Menurut pendapatku, pekerjaan itu saja sudah
cukup berharga untuk kita mengangkat ia sebagai
Toaliongtauw."
Hoan Eng melirik dan melihat si pemuda baju putih
berobah paras mukanya, sedang tangan kanannya menyekal
gagang pedang. "Hiantee (adik), jangan terburu napsu," ia berbisik.
"Dengarkan dulu apa yang dikatakannya."
Baik juga, waktu itu semua orang sedang bersorak sorai,
sehingga tidak ada yang memperhatikan mereka. Si pemuda
melepaskan tangannya, tapi kedua matanya masih terus
mengawasi orang she Pit itu tanpa berkesip. Sifat kebocahan
yang biasanya terdapat dalam sikapnya, mendadak lenyap.
Melihat laga-lagu pemuda itu, Hoan Eng jadi merasa heran
sekali. Si baju putih agaknya sangat bernapsu untuk
mengambil pulang kepala Ie Kiam. Tujuan mencari si penjahat
bertopeng kelihatannya adalah untuk mencari tahu maksud
pencurian kepala itu. Ada hubungan apakah antara si baju
putih dan Ie Kiam" Pertanyaan itu tak dapat dijawab Hoan
Eng. Sementara itu, Bu Cin Tong sudah berkata pula: "Meskipun
Pit Lauwtee belum lama menerjunkan diri ke dalam kalangan


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rimba Hijau, akan tetapi, ia bukan seorang yang tidak
mempunyai asal usul besar. Aku merasa, saudara-saudara
146 yang hadir di sini tentunya sudah pernah mendengar nama
ayahnya." "Siapa" Siapa?" demikian terdengar teriakan dari segala
peloksok. "Tiga puluh tahun berselang, ayahnya adalah seorang yang
kenamaan dalam dunia Kangouw," kata Bu Cin Tong.
"Cianpwee itu bukan lain daripada Cinsamkay (Menggetarkan
tiga benua) Pit To Hoan!" Sekarang ia mewarisi kedudukan
ayahnya sebagai Pang-cu dari Kaypang (partai pengemis) di
Utara barat dan ia pun menjadi adik angkat Ciu San Bin,
Kimtoo Siauwceecu di luar kota Ganbunkwan. Namanya
adalah Pit Kheng Thian!"
Mendengar itu, biji mata si baju putih bergerak dua kali dan
paras mukanya luar biasa.
Hoan Eng jadi tambah bersangsi. "Kau kenal ia?" tanyanya.
Pemuda itu yang sedang memusatkan perhatiannya kepada
Pit Kheng Thian, menyahut secara menyimpang: "Hm! Kalau
begitu, dia putera Cinsamkay" Kenapa dia tidak menjadi
paderi" Kenapa dia kesudian menjadi Toaliongtauw?"
Harus diketahui, bahwa menurut peraturan keluarga Pit To
Hoan, setiap anak lelaki yang sudah dewasa harus menjadi
pengemis untuk sepuluh tahun lamanya, kemudian menjadi
hweeshio untuk sepuluh tahun lagi dan sesudah itu, baru ia
dapat memelihara rambut, menikah dan berusaha seperti
orang biasa. Jika Pit Kheng Thian mentaati peraturan keluarga
itu, dalam usianya kira-kira belum cukup tiga puluh tahun,
semestinya ia tengah menjalankan tugas sebagai paderi.
147 Hoan Eng merasa sangat heran. Si baju putih yang belum
mengenal seluk-beluk kalangan Kangouw, agaknya banyak
mengetahui asal usul banyak orang ternama.
Meskipun Pit To Hoan sudah meninggal dunia lama
berselang, namanya masih cemerlang. Baru saja Bu Cin Tong
memperkenalkan jagonya itu, seluruh ruangan lantas saja
menjadi ramai dengan suara orang yang masing-masing
berunding dengan kawan-kawannya. Semua orang gagah
yang berada di situ sangat mengagumi Cinsamkay, akan tetapi
terhadap puteranya yang baru saja dia tahun tampil ke muka,
mereka belum merasa ta'luk, meskipun pemuda itu pernah
melakukan beberapa pekerjaan yang menggemparkan.
"Orang-orang Lioklim yang masing-masing menganggap
dirinya jagoan, tak gampang-gampang mau bertekuk lutut,"
pikir Hoan Eng. "Dilihat begini, Pit Kheng Thian rasanya harus
lebih dulu membuktikan kepandaiannya."
Pit Kheng Thian menyapu semua orang itu dengan matanya
yang angkar bagaikan mata harimau. "Sebagaimana saudarasaudara
mengetahui, waktu ini dunia sudah mulai kalut,"
katanya dengan suara nyaring. "Dikatakan orang, dalam
jaman begitu, enghiong hidup menderita, yang hidup mewah
kebanyakan adalah manusia-manusia rendah. Jika kita
sekarang mengharapkan tangan kaizar untuk membereskan
negara, adalah seperti mengharapkan embun tengah hari.
Maka itu, usul Bu Lookhungcu untuk mengangkat seorang
pemimpin Rimba Hijau adalah usul yang harus diselesaikan
secara lekas. Akan tetapi, penunjukan supaya aku menjadi
Toaliongtauw benar-benar merupakan kejadian yang dapat
ditertawakan orang. Bukankah di tempat ini terdapat banyak
sekali orang yang lebih tepat?"
148 Baru habis ia mengucapkan perkataannya, di seluruh taman
lantas saja terdengar teriakan banyak orang berlomba-lomba
mengutarakan pendapatnya.
"Kenapa Pit Lauwtee berlaku begitu sungkan?" kata Bu Cin
Tong. "Sedari dulu, enghiong muncul daripada kalangan orangorang
muda," seru seorang lain. "Kedudukan Toaliongtauw
memang pantas di tempati Pit Ceecu."
"Siapa lagi yang berani merampas uang Yamunsu?" tanya
seorang. "Apakah orang lain berani mengacau di ibukota" Benar
sekali perkataan Bu Lookhungcu, bahwa dua pekerjaan itu
saja sudah mencukupi syarat untuk menjadi pemimpin kita."
"Kedudukan Toaliongtauw bukan usia pentingnya!" teriak
seorang yang duduk pada meja sebelah belakang.
"Meskipun ia gagah, pengalamannya dalam Rimba Hijau
masih agak kurang!"
"Siapa merasa tak puas, boleh main-main sedikit dengan
aku!" teriak orang lain yang rupanya menjadi penunjang Pit
Kheng Thian. Tiba-tiba, dari antara orang banyak meloncat keluar
seorang, yang lantas saja berkata sembari tertawa ha-ha hi-hi:
"Siapa yang berhak menjadi Toaliongtauw, bagiku bukan soal
penting. Tapi siauwtee adalah seorang pedagang. Sebelum
rela menjadi pegawai toko, siauwtee harus mengetahui dulu
berapa besar modal sang majikan."
149 Hoan Eng mengawasi. Orang itu ternyata adalah si
saudagar, dengan siapa ia pernah bertemu di atas gunung
Thaysan. Baru selesai si saudagar berbicara, seorang lain sudah
meloncat keluar. "Harta orang tidak boleh sembarang
dipertunjukkan di depan orang banyak," kata orang itu.
"Orang yang bermodal besar, mana mau membeber hartanya
di hadapanmu" Aku si pengemis hanya mempunyai dua
tangkhie (uang tembaga), yang hanya cukup untuk membeli
phia bakar atau bubur dingin. Maukah kau menengok hartaku
itu?" Orang ini ternyata adalah salah seorang pengemis yang
kemarin membikin ribut di rumah penginapan. Jawabannya
yang diucapkan secara lucu, sudah membikin semua orang
tertawa bergelak-gelak.
"Baiklah!" kata si saudagar dengan suara mendongkol.
"Tapi, apakah dua tangkhie itu cukup untuk melayani tamu?"
Sehabis berkata begitu, ia segera mengeluarkan senjatanya.
Senjata itu berwarna kuning dengan sinar berkilauan.
Banyak orang terkejut, karena senjata tersebut adalah sebuah
shuiphoa (alat hitung Tionghoa) yang dibuat dari emas murni!
"Ah! Kenapa dia tampil ke muka?" kata seorang yang
duduk berdekatan dengan Hoan Eng.
"Siapa?" tanya si baju putih.
"Siauwko (saudara kecil), kau masih berusia sangat muda,
tidak mengherankan jika kau tidak mengenal ia," kata orang
itu. "Seperti Bu Khungcu, ia pernah menjadi perampok.
Sesudah melakukan beberapa pekerjaan besar, tiba-tiba ia
cuci tangan dan lalu berusaha. Merampok, dia pandai,
150 berdagang, dia lebih pandai lagi. Belum cukup sepuluh tahun,
hartanya sudah hitung ratusan laksa. Tiekoan dan Tiehu
semua mempunyai hubungan yang sangat baik dengan ia.
Yang tahu ia pernah menjadi perampok hanya beberapa orang
dan sekarang, semua orang menyebut ia Cian Pek Ban (si
Kaya raya dengan harta ratusan laksa). Jika Siauwko mau
tahu namanya, ia adalah Cian Thong Hay."
"Sungguh heran," seorang lain menyeletuk. "Dia begitu
kaya, tetapi tak mau duduk diam di rumah. Guna apa rewelrewel
di sini?" Si baju putih melirik kepada Hoan Eng dan bersenyum
simpul. Diam-diam Hoan Eng merasa jengah, oleh karena, dengan
segala pengalamannya, ia masih tidak dapat mengenali
seorang seperti Cian Thong Hay.
"Siapakah pengemis itu?" tanya lagi si pemuda.
"Dia adalah Hupang-cu (wakil pemimpin) Partai pengemis,
namanya Pit Yan Kiong," jawab orang tadi. "a adalah
keponakan jauh Pit To Hoan."
"Nama orang itu menarik sekali," kata si baju putih sembari
bersenyum. Tak ingin miskin (put yan kiong), benar-benar
menjadi miskin."
Senjata si pengemis adalah sebatang tongkat bambu yang
agaknya biasa digunakan untuk menggebah anjing, jika ia
sedang mengemis. Senjata kedua lawan itu berbeda bagaikan
langit dan bumi, yang satu mewah luar biasa, yang lain
memperlihatkan kemiskinan yang sangat. Begitu berhadapan,
tanpa bicara lagi, mereka lantas saja bertempur.
151 Dengan senjatanya yang aneh, Cian Thong Hay mempunyai
pukulan-pukulan yang aneh pula dan shuiphoa itu terutama
digunakan untuk merebut senjata musuh. Di lain pihak,
tongkat Pit Yan Kiong licin luar biasa dan selalu melejit setiap
kali akan "dikunci" senjata lawan.
Sesudah lewat kurang lebih tiga puluh jurus, Cian Thong
Hay mendadak menghantam ke depan sehingga biji-biji
shuiphoa-nya mengeluarkan suara kerotakan.
"Ha! Berapa besar jumlah duit baumu?" Pit Yan Kiong
mengejek. Dengan sekali memukul dan sekali menarik, Cian Thong
Hay coba merebut tongkat si pengemis. Mendadak dengan
suara "krok", Pit Yan Kiong menyemburkan riaknya. Cian
Thong Hay sekarang bukan Cian Thong Hay dulu, waktu
masih berkelana dalam dunia Kangouw dan tak takut akan
segala kotoran. Kuatir badannya ke-sambar riak, buru-buru ia
menarik pulang senjatanya dan berkelit ke samping. Pit Yan
Kiong menyabet dan dengan bunyi "trangl", shuiphoa itu kena
terpukul. Si saudagar membalik tangannya untuk merebut
senjata musuh, tapi si pengemis kembali menyemburkan
riaknya, sehingga ia terpaksa berkelit lagi.
Sesudah memperhatikan jalan pertempuran si baju putih
dan Hoan Eng mengetahui, bahwa dalam ilmu silat, si
saudagar lebih unggul, tapi dalam tenaga, ia kalah dari
lawannya. Selama kurang lebih tiga puluh jurus, Pit Yan Kiong
mempertahankan diri dengan mengandalkan riaknya, sehingga
Cian Thong Hay semakin lama jadi semakin gusar.
152 Sesudah lewat beberapa jurus lagi, ketika Pit Yan Kiong
menghantam dengan tongkatnya, Cian Thong Hay mendadak
menggetarkan shuiphoa-nya dan entah dengan gerakan apa,
dua biji alat hitung itu tiba-tiba menyambar. Berbareng
dengan itu, si pengemis mengeluarkan teriakan kesakitan dan
jatuh berlutut di atas tanah. Ternyata jalan darah di kedua
lututnya telah disambar biji-biji shuiphoa itu.
"Kau menyerah?" tanya Cian Thong Hay sembari tertawa.
Ia maju setindak sambil mengangkat sebelah kakinya sebagai
akan menendang dan kemudian niat memungut dua biji
shuiphoa itu yang terbuat dari emas murni.
Mendadak Pit Yan Kiong loncat bangun, tangan kirinya
memungut dua biji emas itu, sedang tangan kanannya
menyekal tongkat, dan dengan terpincang-pincang, ia kembali
ke mejanya. "Ha-ha-ha!" ia tertawa terbahak-bahak. "Dalam
dunia ini banyak sekali orang yang berlutut dihada-pan uang.
Dengan memandang muka emas, aku sudah berlutut
dihadapanmu."
Baru saja ia berkata begitu, dari antara meja-meja
perjamuan sekonyong-konyong meloncat keluar seorang toosu
(imam) yang mengenakan juba pertapaan kuning.
Dengan gerakan gesit, lebih gesit daripada Pit Yan Kiong, ia
meloncat ke dalam gelanggang.
"Hoan Toako, lihatlah!" bisik si baju putih. "Dia adalah
toosu bau itu, yang kemarin menginap di hotel."
Cian Thong Hay agak terkejut, ia melintangkan senjatanya
di depan dada dan berkata: "Ah! Apakah Hian Eng Tootiang
juga mau turut serta dalam keramaian?"
153 Disebutkannya nama itu sudah mengejutkan banyak orang.
Hian Eng Toojin adalah kepala kuil Siangceng koan di propinsi
Shoatang. Menurut kata orang, ia mempunyai silat yang luar biasa
tingginya dan sampai sebegitu jauh, ia belum pernah
berkelana dalam dunia Kangouw, sehingga tampilnya ke
dalam gelanggang pertempuran, sudah mengherankan sangat
banyak orang. Hian Eng Toojin mendongak dan tertawa besar.
"Kedatangan pin-too di sini adalah untuk minta sedekah,"
katanya dengan suara tawar. "Di antara begini banyak orang,
Lauwko-lah yang terhitung paling beruang. Maka itu, sudah
sepantasnya jika aku memohon sedikit derma dari kau."
"Bagus! Bagus!" kata Cian Thong Hay. "Apakah Tootiang
perlu uang perak?"
"Lauwko adalah seorang gagah yang tangannya terbuka,"
sahut Hian Eng. "Aku tak perlu uang perak, yang kubutuhkan
adalah emas. Lauwko pun tak usah berabe pulang untuk
mengambil emas. Biji-biji emas dari shuiphoa itu sudah
mencukupi keperluanku."
Cian Thong Hay mendongkol bukan main, ia senyum tawar
seraya berkata: "Jika begitu, biarlah Tootiang mengambil
sendiri." Ia mengebas dengan senjatanya yang lantas saja
mengeluarkan suara kerotakan.
"Baiklah," kata Hian Eng. "Kau tak sekaker, aku pun tak
usah berlaku sungkan." Berbareng dengan perkataannya, ia
mengeluarkan hudtim (kebutan yang biasa dimiliki orang
pertapaan) dan lalu mengebut.
154 Cian Thong Hay pa-paki senjata itu dengan shuiphoa-nya
untuk "dikunci" dan dibetot. Akan tetapi hudtim adalah benda
lemas dan dengan sekali meng-gentak, Hian Eng sudah
meloloskankan senjatanya dari ikatan. Cian Thong Hay
membalik tangannya dan menggulung hudtim itu di tihang
shuiphoa. "Bagus! Kasi!" seru si imam sembari membetot.
Cian Thong Hay merasakan tangannya kesemutan dan tiga
biji shuiphoa sudah direbut si imam.
Ia terkejut bukan main, tak berani ia menyerang lagi secara
sembarangan. Sambil menyekal senjatanya erat-erat, ia
bersilat dengan taktik membela diri, sehingga untuk
sementara waktu, Hian Eng tidak dapat berbuat banyak.
Sesudah lewat beberapa gebrakan lagi, hati Cian Thong
Hay mulai tentaram pula. Tiba-tiba Hian Eng tertawa dan


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata dengan suara mengejek: "Kau sudah kehilangan
beberapa biji emas, apa kau tidak merasa sakit hati?"
Sehabis mengejek, ia membalikkan senjatanya dan dengan
kecepatan kilat, lalu menotok alis Cian Thong Hay dengan
gagang hudtim. Buru-buru Cian Thong Hay manggut dengan
gerakan Honghong
Tiamtauw (Burung Hong manggut) dan berbareng
menghantam dengan shuiphoa-nya. Tapi tak dinyana, totokan
itu hanya gertakan untuk memancing serangan si saudagar.
Begitu lekas shuiphoa itu menyambar, Hian Eng mengebut
dan dua biji emas kembali terpental keluar dari dalam alat
hitung itu. Dengan sekali menjambret, dan biji emas itu sudah
berada dalam tangannya.
155 Sampai di situ, Cian Thong Hay sebenarnya ingin segera
mengakhiri pertandingan itu, tapi ia terus didesak oleh Hian
Eng, sehingga tak dapat meloloskan diri. Dalam tempo
sekejap, belasan biji shuiphoa kembali kena direbut.
Sembari mencecer lawannya, Hian Eng terus menghitung:
"Satu, dua, tiga, empat, lima..." Tidak lama kemudian, empat
puluh sembilan biji sudah dikantongi si imam. Sebuah
shuiphoa mempunyai tiga belas tihang yang masing-masing
terisi tujuh bijinya.
Sesudah dua biji direbut Pit Yan Kiong, dalam shuiphoa itu
ketinggalan delapan puluh sembilan biji dan dari jumlah itu
sudah hilang pula empat puluh sembilan biji.
Cian Thong Hay merasakan dadanya sesak.
"Baiklah! Sekarang aku mau mengadu jiwa!" ia berteriak.
Sekonyong-konyong sambil mengerahkan tenaga
dalamnya, ia menggoyangkan senjatanya dan... loh! Empat
puluh biji itu terbang berbareng dan menyambar Hian Eng dari
berbagai jurusan. Itulah ilmu melepaskan senjata rahasia yang
sangat istimewa, yang dinamakan Boanthian Hoaie Saykim
khie (Di selebar langit turun hujan bunga, menyebar uang
emas). Melihat itu, semua penonton jadi merasa kagum.
Tapi Hian Eng Toojin bersikap tenang sekali. Ia tertawa
besar seraya berkata: "Cian Toaya sungguh royal dan aku pun
tidak usah sungkan-sungkan lagi." Sebaliknya dari berkelit, ia
mengebas kalang kabut dengan kedua tangan jubahnya yang
sangat panjang dan dalam tempo sekejap, seantero biji
shuiphoa itu sudah masuk ke dalam tangan jubahnya!
156 Muka Cian Thong Hay menjadi pucat bagaikan mayat. Ia
berdiri terpaku di tengah gelanggang sambil menyekal
shuiphoa-nya yang sudah kosong.
Tampik sorak bergemuruh terdengar di seluruh taman.
Hian Eng membungkuk sembari bersenyum, tapi sebelum ia
sempat membuka suara, di antara sorak sorai, mendadak
terdengar suara orang yang menyeramkan: "Guna apa berlaku
begitu kejam" Aku sungguh tak tega melihatnya!" Suara itu
tidak begitu keras, tapi sangat menusuk kuping dan sudah
menindih sorakan ramai itu.
Hian Eng Toojin terkejut dan di lain saat, seorang tinggi
besar sudah loncat masuk ke dalam gelanggang dengan
melompati kepala sekian banyak tamu.
"Cian Lauwtee!" kata orang itu. "Jangan pergi dulu. Aku
akan mengambil pulang biji emasmu!"
Orang itu juga berdandan seperti saudagar dan begitu
melihat, Hoan Eng terkesiap lantaran orang itu bukan lain
daripada Yang Cong Hay. Si baju putih juga kaget dan
tangannya merasa gagang pedangnya.
"Yang Toako," kata Bu Cin Tong dengan suara manis. "Kau
juga datang" Hian Eng Tootiang adalah kawan kita!"
Pada jaman itu, Yang Cong Hay adalah salah satu dari
empat ahli pedang utama di seluruh Tiongkok. Nama besarnya
sudah menggetarkan Rimba Persilatan, tapi karena ia hanya
berkelana di daerah Sucoan, Hunlam dan Kwiciu, maka di
antara orang-orang gagah di wilayah Tionggoan, banyak sekali
yang belum pernah bertemu muka dengan ia. Begitu she-nya
disebutkan Bu Cin Tong, semua orang jadi terperanjat.
157 "Kawan apa?" kata Yang Cong Hay dengan suara tawar.
"Cian Lauwtee adalah seorang saudagar jujur. Tujuanku hanya
untuk mengambil pulang modalnya!" Berbareng dengan
perkataannya itu, ia menghunus pedang.
Mendengar perkataan yang tidak segan-segan itu, Hian
Eng, lantas saja naik darahnya. Tanpa mengucapkan sepatah
kata, ia mengebut dan coba menggulung gagang pedang Yang
Cong Hay dengan hudtim-nya. Pukulan itu yang diberi nama
Ouwliong jiauw-cu (Naga hitam melibat tihang) adalah salah
satu pukulan paling berbahaya dari Thiankong Hudtim khiu
(ilmu bersilat dengan kebutan) yang mempunyai tiga puluh
enam jalan. Dengan sekali membalik tangan, ia membuat
suatu gerakan yang sangat sukar ditebak arahnya. Hian Eng
sangsi, ia tidak tahu, apakah musuh akan menikam ke sebelah
kiri atau ke sebelah kanan. Di saat ia bersangsi, pedang Yang
Cong Hay mendadak berkelebat bagaikan kilat cepatnya dan
dengan bunyi "bret!", tangan jubah si imam ditembusi pedang
dan biji-biji shuiphoa yang tersimpan di dalamnya lantas saja
jatuh berarakan di atas tanah!
Hian Eng gusar bukan main. Dengan gerakan Poanliong
jiauwpo (Naga bertindak), ia loncat ke samping kanan Yang
Cong Hay sembari mengiram serangan.
"Hidung kerbau!" kata Yang Cong Hay sembari tertawa
dingin. "Apa kau masih mau berku-kuh mengangkangi segala
harta rampasan?" Berbareng dengan itu, ia menikam tulang
pundak Hian Eng yang lantas mengegos sembari memapaki
pedang itu dengan hudtim-nya. Tapi gerakan pedang Yang
Cong Hay sangat aneh dan tidak dapat diduga terlebih dulu.
Di tengah jalan, pedang tersebut mendadak berobah arahnya
dan dengan bunyi "bret" untuk kedua kalinya, tangan juba kiri
Hian Eng telah dirobek, dan biji-biji shuiphoa yang tersimpan
di situ tentu saja jatuh berantakan.
158 Kejadian itu sudah membikin semua orang terkesiap. Dalam
mata mereka, Hian Eng Toojin adalah seorang ahli silat kelas
utama yang jarang ada tandingannya. Tapi siapa nyana,
dalam dua gebrakan saja, kedua tangan jubahnya sudah
dirobek semua. Hian Eng jadi mata gelap.
Dengan kedua kaki menginjak kedudukan Ngoheng Patkwa,
ia menyerang dengan hudtim-nya secara mati-matian.
Sebenarnya, meskipun kepandaian Hian Eng masih kalah
setingkat dari Yang Cong Hay, akan tetapi bedanya tidak
begitu besar. Tadi, lantaran kedua tangan jubahnya penuh biji
shuiphoa, ia tidak dapat bergerak dengan leluasa, sehingga
Yang Cong Hay dapat menarik banyak keuntungan. Sekarang,
sesudah semua biji emas itu jatuh berarakan, gerakannya
menjadi terlebih gesit, ia dapat membela diri dan balas
menyerang. Sesudah lewat beberapa jurus, Yang Cong Hay mendadak
berseru: "Kenal", dan pedangnya menyambar. Hian Eng loncat
dengan perasaan heran. Pukulan itu bukan pukulan luar biasa
dan gampang sekali dipunahkan. Ia tidak mengerti, kenapa
lawannya berteriak: "Kena!" Sekonyong-konyong suatu sinar
emas berkelebat di depan matanya. Ternyata, dengan gerakan
yang indah sekali, dengan ujung pedangnya, Yang Cong Hay
sudah menyontek sebuah biji shuiphoa yang lantas terbang ke
arah Cian Thong Hay. Ia ini lantas saja menyambuti dan
memasukkan biji emas itu ke dalam alat hitungnya.
Sorakan riuh kembali menggetarkan seluruh taman.
Dengan sikap bangga, Yang Cong Hay terus mencecer Hian
Eng dengan pukulan-pukulan hebat dan setiap kali imam itu
loncat minggir, ia menyontek sebuah biji shuiphoa yang
159 segera disambuti si saudagar she Cian. Dalam tempo sekejap,
delapan puluh sembilan biji shuiphoa yang tadi berhamburan
di atas tanah, sudah kembali ke dalam shuiphoa Cian Thong
Hay. Dengan paras muka pucat bagaikan kertas, Hian Eng
menarik pulang hudtim-nya dan menghampiri Pit Kheng
Thian. "Pintoo tak mempunyai kemampuan, sehingga Ceecu
menjadi hilang muka," katanya sembari membungkuk.
"Sekarang aku meminta diri dan mohon Ceecu sudi
memaafkan."
Bu Cin Tong dan Pit Kheng Thian coba mencegah, tapi
orang pertapaan itu sudah berlalu dengan tindakan lebar.
Perkataan Hian Eng menggenggam permintaan supaya Pit
Kheng Thian turun tangan untuk menolong mukanya. Semua
mata sekarang ditujukan kepada pemuda itu untuk melihat
gerakannya. Yang Cong Hay sama sekali tidak memperduli-kan. Sambil
menyentil pedangnya, ia berpaling kepada Cian Thong Hay
seraya berkata: "Hian-tee, apakah modalmu sudah dapat
diambil pulang semuanya?"
Tiba-tiba Pit Yan Kiong tertawa terbahak-bahak. Ia muncul
dari antara orang banyak dan berkata: "Orang kaya mengeduk
kantong sama mustahilnya seperti naik ke langit. Baiklah! Oleh
karena Yang Toaya sudah tampil ke muka, maka aku si
pengemis tak dapat berbuat lain daripada muntahkan kembali
makanan yang sudah berada di dalam muiut." Sehabis berkata
begitu, ia menyentil dengan jerijinya dan dua buah biji
shuiphoa lantas saja melesat di tengah udara. Ilmu Cian
Thong Hay lebih tinggi daripada si pengemis dan ia sungkan
menyia-nyiakan kesempatan untuk memperlihatkan
kepandaiannya. Ia mengangkat shuiphoa-nya untuk
160 menyambuti dan dua biji itu jatuh tepat sekali di tihang yang
masih belum lengkap isinya.
Dengan sekali menekuk tihang itu, isi shuiphoa tersebut
sudah penuh kembali seperti sediakala.
"Toaya yang kaya-raya," kata Pit Yan Kiong. "Sekarang
modalmu sudah kembali semua. Apakah masih membutuhkan
bunganya?"
Dengan berkata begitu, si pengemis ingin Yang Cong Hay
lantas berlalu dari tempat itu.
Tapi Yang Cong Hay tetap tidak berkisar dari tempatnya di
tengah gelanggang. Ia kembali menyentil pedangnya dan
berkata dengan suara tawar: "Benar! Orang dagang
selamanya mengharapkan bunga untuk uangnya."
Pernyataan itu sudah mengejutkan semua orang. "Apa ia
mau merebut kedudukan Toaliongtauw?" tanya Bu Cin Tong di
dalam hatinya. "lmu silatnya cukup tinggi, hanya sepak
terjangnya tidak begitu bagus. Jika ia menjadi pemimpin
kalangan Lioklim di lima propinsi Utara, kita bakal jadi
berabe." Orang yang berpendapat sama dengan Bu Cin Tong
berjumlah besar, maka sorakan yang terdengar hanya keluar
dari beberapa gelintir orang yang mungkin juga konco Yang
Cong Hay. Sementara itu, dengan tindakan perlahan, Pit Kheng Thian
berjalan masuk ke dalam gelanggang. Begitu berhadapan
dengan Yang Cong Hay, ia mengawasi dengan kedua matanya
yang tajam bagaikan pedang.
161 "Toaliongtauw," kata Yang Cong Hay dengan suara dingin.
"Pengajaran apakah yang kau mau berikan kepadaku?"
Pit Kheng Thian mendongak dan terbahak-bahak. "Aku
adalah seorang houwpwee (orang yang tingkatannya rendah)
dengan kepandaian yang sangat cetek," katanya. "Mana
berani aku memikul tugas sebagai Toaliongtauw" Saudaraku
ini adalah seorang pengemis yang sangat miskin dan tidak
mempunyai uang untuk membayar bunga. Maka itu, apa boleh
buat, aku saja yang tolong membayarnya."
"Bagus! Bagus!" kata Yang Cong Hay. "Kalau begitu, aku
pun boleh tidak usah sungkan-sungkan lagi." Berbareng
dengan perkataannya, ia menikam jalan darah Hiankie hiat, di
bawah tenggorokan Pit Kheng Thian.
Dengan cepat, Pit Kheng Thian menangkis pedang musuh
dengan toyanya yang sebesar mangkok. Tanpa me-robah
kuda-kuda, tangkisan itu ia susul dengan pukulan Bu Siong
pahhouw (Bu Siong pukul harimau), yaitu membabat lutut
musuh. "Sungguh cepat!" seru Yang Cong Hay, sembari
menyampok dengan pedangnya. Berbareng dengan suara
bentrokan senjata, Pit Kheng Thian terhuyung ke depan
beberapa tindak, sedang Yang Cong Hay mundur ke belakang
dengan sempoyongan.
Ternyata, dalam sampokannya, Yang Cong Hay telah
menggunakan tenaga Imjiu (tenaga "lembek") dan dengan
meminjam tenaga Yangkong (tenaga "keras") dari Pit Kheng
Tian, ia niat merubuhkan lawannya itu.
Jika tenaga antara kedua orang itu tidak berbeda seberapa,
tujuan Yang Cong Hay pasti akan terwujud. Akan tetapi, Pit
Kheng Thian mempunyai "tenaga malaikat", pe-ngasi Tuhan.
162 Pukulan Bu Siong pahhouw itu luar biasa hebatnya dan
biarpun Yang Cong Hay berhasil menyampok toya Pit Kheng
Thian, ia sendiri telah dibikin terpental dan sempoyongan ke
belakang beberapa tindak. Di lain pihak, begitu lekas toyanya
kebentrok dengan ujung pedang, Pit Kheng Thian mengetahui
adanya bahaya. Buru-buru ia menyontek dengan toyanya,
miringkan badannya dan meloncat beberapa tindak ke depan
dengan agak sempoyongan. Demikianlah, yang satu mundur,
yang lain maju, masing-masing tidak mempunyai kesempatan
untuk membarengi dengan serangan membalas. Maka itu,
dalam gebrakan tersebut, mereka dapat dikatakan seri.
Sesudah kedua belah pihak memperbaiki kedudukan
masing-masing, mereka lalu mulai bertempur pula dengan
hebatnya. Pedang Yang Cong Hay menyelam timbul di tengah udara
bagaikan naga yang sedang memain di lautan, sedang toya Pit
Kheng Thian ber-kelebat-kelebat, seakan-akan burung Hong
tengah berterbangan. Semua orang gagah yang menyaksikan
pertempuran itu jadi terpesona. Mereka merasa kagum sekali
melihat seorang muda yang usianya belum cukup tiga puluh
tahun, sudah dapat menandingi kiamkek kenamaan.
Dengan cepat lima puluh jurus sudah lewat dan belum ada
yang keteter.

Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba, berbareng dengan suatu siulan panjang, Yang
Cong Hay merubah cara bersilatnya. Sinar pedangnya
berkelebat-kelebat bagaikan kilat menyambar dan sebatang
pedang itu, bahna cepatnya bergerak-gerak, kelihatan seperti
ratusan pedang yang menyambar-nyambar di sekitar badan
Pit Kheng Thian, seakan-akan turunnya rontokan bunga ditiup
angin. Dikurung secara begitu, perlahan-lahan Pit
Kheng Thian jatuh di bawah angin.
163 Cian Thong Hay kelihatan girang sekali, ia menyentil-nyentil
biji shuiphoa-nya sembari berkata seorang diri: "Bunganya
pasti akan segera dibayar!"
Pit Yan Kiong yang berdiri di pinggir gelanggang lantas saja
tertawa ha-ha hi-hi. "Memang juga bunganya akan lantas
dibayar," katanya. "Tapi belum tentu, pihak mana akan
membayarnya!"
Cian Thong Hay melirik dengan paras gusar. "Toaya yang
kaya raya!" kata Pit Yan Kiong sembari tertawa. "Jangan
gusar." Ia menyelesap dan lalu menghilang di antara orang
banyak. Sekonyong-konyong jalan pertempuran kembali berubah.
Untuk melayani pedang musuh, Pit Kheng Thian sudah
merubah cara bersilatnya. Jika tadi ia bersilat dengan tenaga
Yangkong yang agresif, adalah sekarang toyanya berputarputar
di sekitar badannya, dalam gerakan membela diri dan
sama sekali tidak mengandung serangan pembalasan. Akan
tetapi, ahli-ahli yang ilmunya tinggi, mengetahui, bahwa
sekarang Pit Kheng Thian sedang bersilat dengan tenaga Imjiu
dan gerakan toyanya merupakan gerakan lingkaran atau
setengah lingkaran, sehingga toya yang keras dan lempang itu
seolah-olah joanpian, atau pecut lemas.
Dalam pelajaran ilmu silat, terdapat kata-kata seperti
berikut: "Tombak takut kepada lingkaran, pecut mengenai
kelurusan." Tombak dan toya adalah senjata yang
kegunaannya sama. Jika seorang dapat menggunakan tombak
atau toya seperti pecut dan membuat gerakan-gerakan
melingkar, maka lawannya harus berlaku hati-hati.
Demikianlah, begitu lekas Pit Kheng Thian merubah cara
bersilatnya, pedang Yang Cong Hay lantas saja dapat ditindih
164 dan gerak-gerakannya tidak begitu cepat lagi. Akan tetapi,
dalam gerakannya yang lebih perlahan itu, Yang Cong Hay
kelihatan menggunakan lebih banyak tenaga, seperti juga
berat pedangnya bertambah seribu kati.
"Hm! Yang Toacongkoan sekarang menggunakan Iweekang
yang sangat tinggi," geren-deng si baju putih. "Aku mau lihat,
bagaimana ia melayani ilmu toya itu."
Baru habis perkataan itu diucapkan, suatu bentrokan
senjata yang sangat nyaring memecahkan kesunyian taman
itu. Di antara lelatu api, toya Pit Kheng
Thian kelihatan terbang di tengah udara, sehingga semua
orang mengeluarkan seruan kaget. Dalam detik yang sama,
Yang Cong Hay agaknya seperti orang kesima, ia terpaku dan
tidak bergerak untuk menyerang. Gesit sungguh gerakan Pit
Kheng Thian. Di saat itu juga, badannya melesat dan
tangannya menyambuti toyanya yang sedang melayang turun
kembali. Dan sebelum kedua kakinya hinggap di atas tanah, ia
memutar toyanya dan laksana seekor elang, ia menghantam
kepala Yang Cong Hay.
Dalam pertempuran antara kedua jago itu, Pit Kheng Thian
menang tenaga, sedang Yang Cong Hay lebih unggul dalam
Iweekang dan pengalaman. Ia mahir sekali dalam ilmu
meminjam tenaga musuh untuk menjatuhkan musuh.
Barusan, selagi Pit Kheng Thian menghantam dengan toyanya,
ia membarengi menyerang dengan pedangnya dengan
menggunakan sembilan bagian tenaganya. (Dalam
pertandingan antara jago-jago kelas utama, seseorang tidak
boleh menggunakan tenaganya 100 persen untuk menjaga
serangan membalas yang mendadak. Digunakannya sembilan
bagian tenaga adalah ukuran yang paling tinggi). Dalam
perhitungannya, pukulan tersebut pasti akan dapat
mematahkan toya Pit Kheng Thian. Tapi ia tidak mengetahui,
165 bahwa toya itu adalah senjata mustika, warisan dari leluhur
keluarga Pit. Toya itu dikenal sebagai Hang-liong pang (Toya
menaklukkan naga), dibuat dari pohon Hang-liong su yang
tumbuh di atas gunung Lamthian san. Walaupun dibuat dari
kayu, toya itu lebih keras dan ulet daripada emas maupun
besi. Dulu dalam pertempuran antara Thio Tan Hong dan Pit
To Hoan, pedang mustika Tan Hong masih belum dapat
mengutungkan Hangliong pang itu.l) Maka itu, dapat di
mengerti jika pedang Yang Cong Hay, yang hanya lebih baik
sedikit dari pedang biasa, tidak dapat berbuat banyak
terhadap toya mustika tersebut. Dalam bentrokan itu, berkat
tenaga dalamnya, Yang Cong Hay berhasil melontarkan toya
Pit Kheng Thian, akan tetapi, berbareng dengan itu,
pedangnya juga somplak dan tangannya terbeset sehingga
mengeluarkan darah.
Sabetan toya Pit Kheng Thian yang di kirim selagi tubuhnya
masih berada di tengah udara, sudah mengejutkan semua
orang. Dengan cepat, Yang Cong Hay mengerahkan tenaga
dalamnya dan memapaki toya itu. Semua orang menduga,
bentrokan senjata kali ini, akan sepuluh kali lebih hebat
daripada bentrokan yang pertama. Tapi di luar dugaan,
bentrokan antara kedua senjata itu sama sekali tidak
mengeluarkan suara dan lebih mengherankan lagi, toya itu
seperti juga menempel di ujung pedang, sedang tubuh Pit
Kheng Thian masih terus berada di tengah udara. Yang Cong
Hay membentak keras dan maju tiga tindak, sambil
menggentak pedangnya.
Tapi... toya itu terus menempel di ujung pedang dan tubuh
Pit Kheng Thian tetap menggelantung di tengah udara! Semua
orang terkesiap, sedang mereka yang ilmunya belum seberapa
tinggi, tidak mengetahui apakah artinya semua itu.
Si baju putih, Bu Cin Tong dan beberapa jago lain yang
ilmunya tinggi, tentu saja mengerti, bahwa kedua lawan itu
166 sedang mengadu tenaga dalam. Barusan, waktu mema-paki
toya lawannya, Yang Cong Hay telah menggunakan Liankin
dan Pengkin dengan berbareng (tenaga untuk menempel dan
tenaga untuk melontarkan), semacam ilmu Iweekang yang
sangat tinggi. Di lain pihak, walaupun Iweekang-nya masih
kalah setingkat, sabetan Pit Kheng Thian, yang dilakukan dari
atas ke bawah, sudah menambah tenaganya, sedikitnya
separoh lebih. Ditambah lagi dengan berat badannya, tenaga
toya itu (yang menindih ke bawah) tidak kurang dari seribu
kati! Maka itu, meskipun Yang Cong Hay sudah berhasil
memunahkan tenaga yang menyabet, ia masih merasakan
beratnya tenaga yang menindih itu. Liankin-nya sudah berhasil
menempel senjata musuh, tapi dengan Pengkin-nya, ia gagal
untuk melontarkan lawannya.
Sembari jalan mengitari gelanggang, Yang Cong Hay
menggoyang-goyangkan pedangnya dalam usaha untuk
melontarkan lawannya yang menempel bagaikan lintah.
Tapi sebegitu jauh ia belum berhasil dan dalam sekejap
saja badan kedua orang itu sudah basah dengan keringat.
Bu Cin Tong mengeluh di dalam hatinya.
Jika keadaan itu dipertahankan dalam tempo yang agak
lama, ia mengetahui, Pit Kheng Thian bisa celaka. Keadaan Pit
Kheng Thian agak lemah, oleh karena ia belum dapat menarik
pulang tenaga pukulannya dan tidak bisa mengerahkan tenaga
lagi, sebab badannya masih berada di tengah udara.
Sambil mengerutkan alisnya, Bu Cin Tong berjalan masuk
ke dalam gelanggang. Ia menyoja seraya berkata: "Jika dua
harimau berkelahi terus menerus, salah satu mesti celaka.
Yang Toako dan Pit Hiantee sekarang kalian boleh berhenti
saja." 167 Tapi mereka tidak menyahut, agaknya karena sedang
memusatkan seluruh semangat dan menggunakan semua
tenaga mereka. "Yang Toako," kata pula Bu Cin Tong. "Kau adalah seorang
kiamkek yang sudah mendapat nama besar. Pit Hiantee
adalah enghiong yang tingkatannya terlebih rendah. Yang
Toako! Kau biasanya berkelana di daerah Selatan barat dan
jika kau mempunyai niatan untuk berusaha di wilayah Utara,
kedudukan Toaliongtauw dapat kita rundingkan terlebih jauh."
Bu Cin Tong sudah berkata begitu lantaran ia belum
mengetahui Yang Cong Hay sudah menjabat pangkat
Toacongkoan di dalam istana kaizar. Ia menduga, orang she
Yang itu benar-benar mau merebut kedudukan Toaliongtauw
dari tangan Pit Kheng Thian.
Dibujuk dengan kata-kata manis, sedikitpun Yang Cong Hay
tidak menggubris. Sesudah berada di atas angin, tentu saja ia
sungkan melepaskan korbannya. Ia berjalan semakin cepat
mengitar gelanggang, sehingga Pit Kheng Thian seperti juga
sebuah perahu kolek yang sedang ditiup angin. Bu Cin Tong
tidak berdaya, ia ingin menolong, tapi kepandaiannya tidak
mencukupi. Selagi semua orang mengawasi dengan hati berdebardebar
dan sedang Bu Cin Tong berada dalam kebingungan
hebat, mendadak saja terdengar suara seseorang yang sangat
nyaring: "Kalian tidak tahu diri! Yang Toacongkoan mana
memandang sebelah mata segala kedudukan Toaliongtauw!"
Hampir berbareng dengan suara itu, sekuntum bunga emas
melesat di tengah udara, yang dengan menerbitkan bunyi
"cring!", menghantam ujung pedang Yang Cong Hay!
168 Senjata rahasia itu yang dilepaskan dengan tenaga yang
tepat sekali, sudah memukul miring ujung pedang itu dan di
lain saat, sesudah memutar badan satu kali, Pit Kheng Thian
hinggap di atas bumi.
Kejadian itu disusul dengan loncat masuknya seorang
pemuda baju putih, ke dalam gelanggang. Tak usah dikatakan
lagi, bunga emas itu adalah miliknya.
Semua orang, tak terkecuali Bu Lookhungcu sendiri, merasa
sangat kaget. Mereka tak nyana, bahwa seorang yang usianya
masih begitu muda, sudah mempunyai tenaga dalam yang
sedemikian tinggi.
Perlu diterangkan, bahwa untuk timpu-kannya itu, si
baju putih telah menggunakan tenaga Kiauwkin (tenaga
yang dikeluarkan secara tepat, pada saat yang tepat pula).
Selagi Iweekang Yang Cong Hay beradu dengan Iweekang Pit
Kheng Thian, ia menghantam di tengah-tengah yang kosong
di antara kedua tenaga yang besar itu. Dalam pelajaran ilmu
silat, pukulan itu dinamakan Sieniu pociankin (dengan tenaga
empat tahil menjatuhkan tenaga ribuan kati). Itulah
sebabnya, kenapa dengan sekali menghantam saja, si baju
putih sudah berhasil.
Mengetahui itu, Pit Kheng Thian jadi merasa kagum sekali.
Dengan tindakan tenang, si baju putih berjalan mendekati
Yang Cong Hay. Ia menyapu semua orang dengan sepasang
matanya yang bersinar bening dan kemudian mengawasi Yang
Cong Hay. "Yang Toacongkoan," katanya. "Kau mengabdi
kepada Hongsiang (Kaizar), kurasa kau masih sangat
kekurangan tempo. Mana kau mempunyai tempo untuk
menjadi Toaliongtauw dari kaum Rimba Hijau. Bukankah
begitu?" 169 Baru habis si pemuda mengucapkan perkataannya, seluruh
taman lantas menjadi gempar. Harus diketahui, bahwa belum
cukup sebulan Yang Cong Hay memegang jabatan
Toacongkoan. Ia menerima jabatan tersebut sebelum Kie Tin
merebut pulang takhta kerajaan. Ketika itu, Kie Tin masih
dikurung di dalam istana Lamkiong dan belum diketahui,
apakah usahanya akan berhasil. Oleh karena itu,
pengangkatan Yang Cong Hay sangat dirahasiakan dan hanya
diketahui oleh beberapa orang. Tak usah dikatakan lagi,
orang-orang kalangan Kangouw tak ada satu pun yang
mengetahui kejadian tersebut.
Begitu lekas si baju putih membuka rahasia, orang yang
paling dulu mengajukan pertanyaan adalah Bu Cin Tong.
"Yang Toako, benarkah itu?" tanyanya.
Sementara itu, semua orang gagah lantas saja berlombalomba
menyatakan pendapat. Ada yang merasa sangsi, ada
yang gusar, ada yang lantas mengejek... sehingga seluruh
taman menjadi ramai sekali.
"Kamu di sini mengangkat Liongtauw, siapa yang paling
kuat, dia yang menjadi jago," sahut Yang Cong Hay. dengan
suara angkuh. "Apa yang aku sendiri kerjakan, ada sangkut
paut apa dengan kamu semua?"
Paras muka Bu Cin Tong lantas saja berubah. Ia
mendongak dan tertawa terbahak-bahak. "Air sumur tidak
mengganggu air kali," katanya. "Orang gunung tak berani
melayani orang mulia. Yang Toacongkoan! Maafkan aku yang
tidak bisa melayani kau lagi!"
Yang Cong Hay melirik, ia melihat semua orang sudah
menyekal gagang senjata dan semua mata mengawasi ia
dengan sorot gusar. Meskipun Bu Cin Tong tidak berani
terang-terangan memberontak terhadap kaizar, akan tetapi ia
170 mengetahui, bahwa berbagai ceecu itu adalah orang-orang
yang tak takut mati dan bisa berbuat segala apa. Walaupun
ilmu silatnya sangat tinggi, tak urung ia gentar juga. Ia
masukkan pedangnya ke dalam sarung dan tertawa tengal
untuk menutupi goncangan hatinya.
"Baiklah," katanya kepada Cian Thong Hay. "Sekarang baru
aku tahu, kedudukan Toaliongtauw bukan direbut dengan
kepandaian. Orang tak bermodal juga dapat berdagang besar.
Guna apa kita berdiam lama- lama lagi di sini" Saudagar tulen
lebih baik berlalu!"
"Apa artinya saudagar tulen?" kata Pit Yan Kiong dengan
suara tawar. "Saudagar tulen tentu dimaksudkan manusia
yang bisa mengurut-urut lutut Hongtee (kaizar) supaya bisa
lekas-lekas naik pangkat."
"Jangan sombong kau!" bentak seorang. "Kau sama sekali
belum dapat menjatuhkan Pit Ceecu. Kalau mau, boleh
menjajal-jajal lagi!"
Suara cacian menjadi semakin ramai, sehingga tanpa
menengok pula, sembari menuntun tangan Cian Thong Hay,


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang Cong Hay buru-buru berlalu bersama beberapa
konconya. Sekarang baru orang mengetahui, bahwa si kaya
raya Cian Thong Hay sudah bersekutu dengan Toacongkoan
itu, dengan niatan menjadi orang berpangkat.
Baru saja Bu Lookhungcu ingin membuka mulut, si baju
putih mendadak menghunus sebatang pedang pendek yang
sinarnya berkilauan.
Bu Cin Tong terkejut.
"Apa bocah yang masih bau susu itu juga ingin merebut
kedudukan Toaliongtauw?" tanyanya di dalam hati.
171 Sementara itu, sembari menuding Pit Kheng Thian dengan
pedangnya, si baju putih berkata: "Bahwa kau menjadi
Liongtauw, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan aku.
Tapi benda yang kau curi sebelum menjadi Liongtauw, harus
dipulangkan kepadaku!"
Bu Cin Tong heran bukan main. Sepanjang
pengetahuannya, harta yang berharga kurang dari selaksa
tahil perak, sedikitpun tidak menarik hati Pit Kheng Thian. Di
samping itu, pekerjaannya tak dapat dikatakan "mencuri", tapi
"merampok" terang-terangan. Mendengar perkataan si baju
putih, Bu Cin Tong menduga, ia sedang minta kembali
sejumlah uang yang telah dirampas Pit Kheng Thian. Maka itu,
lantas saja ia menyahut: "Gampang, urusan ini gampang
diselesaikan. Aku yang bertanggung jawab, aku akan
membayar pulang seanteronya."
Pemuda itu tertawa dingin seraya berkata: "a berhutang
sebuah kepala manusia. Apakah kau bisa membayarnya?"
Bu Cin Tong terkesiap. Ia mengawasi si baju putih dengan
mata melotot. "Apakah kepala itu milik keluargamu?" tanya Pit Kheng
Thian. Mata pemuda itu segera menjadi merah, seperti orang yang
hampir mengucurkan air mata. "Kau mau mengembalikan atau
tidak?" ia membentak.
"Tapi sekarang sukar sekali, walaupun aku ingin
mengembalikannya," jawab Pit Kheng Thian.
Paras muka si baju putih lantas saja berubah pucat. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, tiba-tiba ia menikam. Pit Kheng
172 Thian loncat mundur sambil menangkis dengan toyanya, tapi
pemuda itu, yang gerakannya cepat luar biasa, dalam sekejap
saja sudah mengirimkan sembilan tikaman, sehingga Pit
Kheng Thian lantas saja kena didesak.
Serangan-serangan si baju putih menyambar-nyambar
bagaikan kilat dan jika dinilai dari kiamhoat-nya,
kepandaiannya malah masih lebih tinggi daripada Yang Cong
Hay. "Saudara kecil, janganlah terburu napsu," kata Bu Cin Tong
dengan suara membujuk. "Jika kau mempunyai ganjelan apaapa,
cobalah tuturkan kepada kami secara terang. Jika Pit
Ceecu sudah kesalahan tangan, aku akan minta ia
mengadakan sebuah meja perjamuan untuk meminta maaf."
Dengan berkata begitu, Bu Cin Tong menduga, Pit Kheng
Thian telah membinasakan seorang yang mempunyai
hubungan erat dengan si baju putih dan ia ini sekarang datang
untuk membalas sakit hati. Dalam dunia Kangouw kejadian itu
adalah kejadian lumrah dan Bu Cin Tong berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak.
Tapi pemuda itu tidak menjawab dan terus menyerang
semakin hebat. Sesudah lewat beberapa jurus lagi, Pit Kheng
Thian segera bersilat dengan ilmu Kimliong hiesui (Naga emas
memain di air). Dengan kesiuran angin yang menderu-deru,
Hangliong pang-nya berkelebat-kelebat di sekitar badan si
baju putih yang pedang pendeknya lantas saja dapat ditindih.
"Apakah sekarang kau masih menganggap aku sebagai
bangsa tikus?" tanya Pit Kheng Thian sembari tertawa.
"Kabur sesudah mencuri bukan perbuatan seorang gagah!"
bentak pemuda itu. "Kau mau mengembalikan atau tidak?"
173 Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Kepala saja tiada
gunanya," katanya. "Aku bersedia untuk mengembalikan
seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku sudah
kerjakan secara sempurna."
"Benarkah?" tanya si baju putih sembari menarik pulang
pedangnya. "Dengan mempertaruhkan jiwa, aku sudah mencuri kepala
orang," sahut Pit Kheng Thian dengan suara sungguhsungguh.
"Mustahil dalam soal ini aku bisa berbicara mainmain?"
Kedua mata pemuda itu kembali menjadi merah. "Kalau
begitu," katanya dengan suara perlahan. "Kau adalah Injinku
(tuan penolong). Kita tak usah bertempur lagi."
Oleh karena tak mengetahui bagaimana persoalannya,
semua orang yang berada di taman itu, terhitung juga Bu Cin
Tong, menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh karena pemuda
itu adalah orang yang baru dikenal, Bu Cin Tong merasa tidak
enak untuk menanya terlebih jauh.
Mengingat bahwa urusan Toaliongtauw belum dapat
diselesaikan, sedang cuaca sudah mulai gelap, Bu Lookhungcu
lantas saja berkata: "Pit Ceecu adalah seorang yang
berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan
saudara-saudara sudah menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia
diangkat menjadi Toaliong-tauw, apakah ada saudara yang
merasa tidak puas?"
Semua orang lantas saja memberi persetujuannya dan
selagi Pit Kheng Thian coba menolak, Bu Cin Tong sudah
mendului: 174 "Sedang para ceecu sudah menyetujui, aku rasa Hiantee
tak perlu berlaku sungkan lagi."
"Tahan!" sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil
menghunus pedang. "Masih ada satu urusan yang aku ingin ke
mukakan." Bu Cin Tong mengerutkan alisnya, ia kuatir jika kemudian
akan muncul urusan yang tidak enak.
"Toaliongtauw," kata si baju putih. "Aku masih mempunyai
suatu perhitungan yang harus diselesaikan dengan kau."
Pit Kheng Thian melotot, akan kemudian tertawa besar.
"Saudara kecil," katanya "Kau benar-benar rewel! Sakit hati
ada asal mulanya, hutang piutang ada tuan uangnya, pedang
pendeknya lantas saja dapat ditindih.
"Apakah sekarang kau masih menganggap aku sebagai
bangsa tikus?" tanya Pit Kheng Thian sembari tertawa.
"Kabur sesudah mencuri bukan perbuatan seorang gagah!"
bentak pemuda itu. "Kau mau mengembalikan atau tidak?"
Pit Kheng Thian tertawa terbahak-bahak. "Kepala saja tiada
gunanya," katanya. "Aku bersedia untuk mengembalikan
seluruh jenazah. Apa yang kau mau kerjakan, aku sudah
kerjakan secara sempurna."
"Benarkah?" tanya si baju putih sembari menarik pulang
pedangnya. "Dengan mempertaruhkan jiwa, aku sudah mencuri kepala
orang," sahut Pit Kheng Thian dengan suara sungguhsungguh.
"Mustahil dalam soal ini aku bisa berbicara mainmain?"
175 Kedua mata pemuda itu kembali menjadi merah. "Kalau
begitu," katanya dengan suara perlahan. "Kau adalah Injin-ku
(tuan penolong). Kita tak usah bertempur lagi."
Oleh karena tak mengetahui bagaimana persoalannya,
semua orang yang berada di taman itu, terhitung juga Bu Cin
Tong, menjadi heran tak kepalang. Tapi oleh karena pemuda
itu adalah orang yang baru dikenal, Bu Cin Tong merasa tidak
enak untuk menanya terlebih jauh.
Mengingat bahwa urusan Toaliongtauw belum dapat
diselesaikan, sedang cuaca sudah mulai gelap, Bu Lookhungcu
lantas saja berkata: "Pit Ceecu adalah seorang yang
berpengetahuan luas dan berkepandaian tinggi. Barusan
saudara-saudara sudah menyaksikan sendiri buktinya. Jika ia
diangkat menjadi Toaliongtauw, apakah ada saudara yang
merasa tidak puas?"
Semua orang lantas saja memberi persetujuannya dan
selagi Pit Kheng Thian coba menolak, Bu Cin Tong sudah
mendului: "Sedang para ceecu sudah menyetujui, aku rasa Hiantee
tak perlu berlaku sungkan lagi."
"Tahan!" sekonyong-konyong si baju putih berseru sambil
menghunus pedang. "Masih ada satu urusan yang aku ingin
ke mukakan."
Bu Cin Tong mengerutkan alisnya, ia kuatir jika kemudian
akan muncul urusan yang tidak enak.
"Toaliongtauw," kata si baju putih. "Aku masih mempunyai
suatu perhitungan yang harus diselesaikan dengan kau."
176 Pit Kheng Thian melotot, akan kemudian tertawa besar.
"Saudara kecil," katanya "Kau benar-benar rewel! Sakit hati
ada asal mulanya, hutang piutang ada tuan uangnya. Sedang
tuan uang berada di sini, guna apa kau yang mewakili bicara?"
Bu Cin Tong kaget. Dari perkataannya, Pit Kheng Thian
ternyata sudah mengetahui
perhitungan apa yang hendak diselesaikan dan sudah
mengundang orang yang berkepen-tingan langsung tampil ke
muka. Di lain saat, seorang laki-laki yang berbadan kasar loncat
masuk ke dalam gelanggang.
Orang itu mempunyai brewok yang kaku seperti kawat dan
kedua matanya bersinar terang sekali. Orang yang mengenal
ia segera berseru: "Ah! Itulah Soanhoahu Hoan Eng!"
Hoan Eng nmerang-kap kedua tangannya untuk memberi
hormat dan berkata dengan suara nyaring: "Pit Ceecu! Kau
barangkali masih ingat pertemuan kita di sebelah selatan
gunung Thaysan.
Sekarang beruntung kita dapat bertemu muka pula.
Sudikah kau membayar pulang uang itu yang berjumlah tiga
puluh laksa tahil?"
Begitu Hoan Eng habis bicara, seluruh taman lantas saja
ramai. "Kenapa Soanhoahu Hoan Eng melindungi uang pembesar
negeri?" tanya seorang.
"Sungguh luar biasa!" kata yang lain.
177 Hoan Eng adalah turunan ahli silat yang ternama dan
dalam kalangan Kangouw, ia terkenal sebagai seorang jujur
dan dihormati. Begitu lekas persoalan itu muncul, semua
orang segera merasakan sukarnya memecahkan soal itu.
Dilihat dari sudut persahabatan dengan Hoan Eng, uang itu
harus dikembalikan. Akan tetapi, menurut peraturan Lioklim,
uang pembesar negeri yang sudah dirampas, tak boleh
dipulangkan dengan begitu saja. Di samping itu, Yamunsu
Koan Kie dikenal sebagai seorang busuk dalam Rimba
Persilatan yang sangat serakah akan segala kemewahan. Maka
itu, jika Pit Kheng Thian mengembalikan uang tersebut, ia
tidak berlaku adil dan mengecewakan harapan kalangan
Lioklim. Semua mata mengawasi jago muda itu tanpa berkesip,
sedang paras muka Hoan Eng sebentar merah dan sebentar
pucat. Melihat Pit Kheng Thian belum juga menjawab, dengan
suara terputus-putus Hoan Eng berkata pula: "Urusan ini...
sebenarnya agak memalukan. Akan tetapi... dengan
sesungguhnya siauwtee telah didesak keadaan. Aku
sebenarnya ingin minta pertolongan Thio... Thio..."
Mendadak perkataan itu diputuskan dengan suara
tertawanya Pit Kheng Thian. "Aku tahu," katanya. "Aku tahu
pembesar anjing itu adalah keponakan Thio Hong Hu. Tapi
andaikata urusan ini diberitahukan Thio Hong Hu, belum tentu
Thio Hong Hu sudi mengakui dia sebagai keponakan. Selain
itu, aku mempunyai serupa adat. Sekali bekerja, aku tidak
akan meladeni segala permintaan dikembalikan hasil
pekerjaan itu, biarpun yang datang mendamaikan adalah
pentolan Bulim yang paling jempol. Meski orang menggunakan
gunung Thaysan untuk menindih aku, aku toh tak akan
menyerah!"
Yang dimaksudkan Hoan Eng sebenarnya adalah Thio Tan
Hong, tapi sudah salah ditafsirkan oleh Pit Kheng Thian. Hoan
178 Eng menjadi semakin jengah, sedang si pemuda baju putih
kembali meraba gagang pedangnya.
Sekonyong-konyong Pit Kheng Thian tertawa terbahakbahak.
"Tapi," katanya. "Mengingat kau sudah dapat
menyambut tiga hantaman toyaku, urusan ini masih dapat
didamaikan."
"Kalau begitu, aku menyerahkannya kepada pertimbangan
Ceecu," kata Hoan Eng dengan hati sedikit lega.
Pit Kheng Thian menepuk kedua tangannya sembari
berteriak: "Bawa kemari!" Semua orang yang sedang
mengawasi Pit Kheng Thian sudah tidak memperhatikan Pit
Yan Kiong yang entah dari mana datangnya, sudah muncul
sembari menggusur seorang yang mengenakan pakaian
pembesar negeri.
"Pengadilan bersidang!" katanya sembari tertawa. "Inilah
Yamunsu Toalooya (tuan besar)!"
Hoan Eng terperanjat. Orang itu bukan lain daripada
saudara angkatnya, Koan Kie! Muka Koan Kie pucat bagaikan
mayat, badannya gemetar, matanya, yang bersorot ketakutan,
sebentar mengawasi Pit Kheng Thian, sebentar melirik Hoan
Eng, gerak-geriknya tak beda dengan seorang peran-taian
yang sudah dijatuhi hukuman mati.
"Hoan Toako!" kata Pit Kheng Thian sembari tertawa. "Aku
sudah mengundang saudara angkatmu datang kemari dari
kantor Yamunsu. Apakah perbuatanku ini tidak cukup
menghormat terhadap sahabat?"
Hoan Eng kaget berbareng gusar. Ia kaget lantaran Pit
Kheng Thian sudah berhasil menawan Koan Kie yang berada
di tempat begitu jauh, harus diingat, bahwa ilmu silat Koan Kie
179 bukan ilmu sem-barangan, sedang kantor Yamunsu biasanya
mempunyai penjagaan yang sangat kuat. Penculikan itu
sungguh bukan pekerjaan gampang. Berbareng dengan itu, ia
merasa gusar oleh karena Pit Kheng Thian sedikit pun tidak
"memberi muka" kepadanya. Sebaliknya dari mengembalikan
uang itu, ia sudah menggusur saudara angkatnya dihadapan


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang banyak. "Koan Tayjin!" kata Pit Kheng Thian. "Dalam beberapa hari
ini aku sudah berlaku kurang pantas terhadapmu!"
Melihat dirinya sukar terlolos dari bahaya, Koan Kie jadi
berbalik tenang. "Aku adalah pembesar kerajaan," katanya
dengan suara keras. "Aku boleh mati, tapi sungkan menerima
hinaan. Mau dibunuh, kau boleh bunuh. Guna apa banyak
rewel! Hoan Toako! Aku hanya ingin meninggalkan suatu
pesan kepadamu.
Tolong kau memberitahukan hal ini kepada Thio Siepek."
Demikianlah, dalam menghadapi bahaya maut, ia
menggunakan nama Thio Hong Hu untuk coba menggertak Pit
Kheng Thian. Ia tidak mengetahui, bahwa orang tua itu sudah
meninggal dunia bersama-sama dengan empat pahlawan
istana. Sebenarnya Hoan Eng sendiri tidak dapat menghargakan
sepak terjang Koan Kie. Akan tetapi, mengingat persaudaraan
yang sudah turun menurun, hatinya merasa pilu dan tanpa
merasa, ia mengucurkan air mata. Selagi ia hendak bicara,
mendadak terdengar suara tertawa Pit Kheng Thian.
"Hm! Pembesar kerajaan apa?" kata Pit Kheng Thian.
"Agaknya kau belum mengetahui, bahwa kau sedang dicari
majikanmu! Jika sekarang aku melepaskan kau dan kau tak
mampu mengembalikan tiga puluh laksa tahil perak itu,
180 bukankah seluruh keluargamu akan dihukum mati" Ha! Jika
hanya kau seorang yang mampus, sedikit pun tak usah dibuat
menyesal! Akan tetapi, kematianmu itu akan menyeret juga
anak isterimu. Inilah yang dinamakan "budi" kerajaan!"
Khoan Kie terkesiap. Perkataan Pit Kheng Thian bukan
gertak sambal belaka. Memang benar, kalau ia tidak bisa
mengadakan uang itu, seluruh rumah tangganya akan
menghadapi bahaya termus-na. Mengingat begitu, mukanya
lantas saja berubah pucat. Tanpa merasa, ia berkata dengan
suara perlahan: "Aku mohon belas kasihan Ceecu."
Pit Kheng Thian melirik Hoan Eng dan berkata pula sembari
tertawa: "Tiga tahun kau menjabat pangkat Yamunsu. Berapa
banyak harta sudah dikeduk olehmu?"
"Ti... dak... tidak banyak," jawabnya dengan tergugu. Sama
sekali ia tak nyana, Pit Kheng Thian akan mengajukan
pertanyaan itu. "
Pit Kheng Thian kembali tertawa besar. "Menurut
pengetahuanku, seluruhnya kau sudah mengeduk lima belas
laksa enam ribu empat ratus tahil perak," katanya. "Jumlah ini
belum terhitung gedung besar yang kau bangunkan di
kampung kelahiranmu. Benar tidak?"
Lagi-lagi Koan Kie terkejut. Ia sama sekali tidak pernah
mengimpi, bahwa Pit Kheng Thian bisa mengetahui
kekayaannya secara begitu terang. Ia tak dapat berbuat lain
daripada menyahut: "Benar!"
Pit Kheng Thian bersenyum mendengar pengakuan itu.
"Sekarang," katanya pula. "Dengan memandang muka Hoan
Toako, aku sudah mengirimkan uang itu ke kota raja. Kau tak
mempunyai sangkutan apa-apa lagi!"
181 Itulah suatu pernyataan yang tidak diduga-duga. Koan Kie
terpaku, ia berdiri bengong seperti tak percaya kupingnya
sendiri. Mendadak paras muka Pit Kheng Thian kembali berubah
menyeramkan. "Akan tetapi," katanya. "Harta yang tidak halal
itu, kau tak dapat menggunakan sesuka hatimu. Dari tiga
puluh laksa tahil perak, aku hanya menyerahkan separoh,
sedang kekurangan yang separoh lagi aku sudah tutup dengan
uangmu sendiri. Untukmu, aku tinggalkan gedung besar itu
dan enam ribu empat ratus tahil perak. Jumlah ini, kurasa
sudah cukup untuk digunakan sampai di hari tuamu. Selain
itu, kau sudah dipecat dari pangkatmu dan kurasa, mulai dari
sekarang kau tak dapat menjadi pembesar negeri lagi.
Tindakanku itu sebenar-benarnya adalah untuk menolong
dirimu. Apakah kau merasa puas?"
Perkataannya diucapkan kepada Koan Kie, tapi
maksudnya yang benar adalah menanya Hoan Eng.
Mendengar itu, Hoan Eng merasa kagum dan ta'luk terhadap
kebijaksanaan Toaliongtauw itu. Beberapa kali ia pernah
membujuk Koan Kie supaya berhenti menjadi pembesar
negeri, tapi nasehatnya itu tak pernah diladeni sang adik. Tak
dinyana dengan menggunakan caranya sendiri, Pit Kheng
Thian sudah berhasil membikin Koan Kie tak bisa memegang
pangkat lagi untuk seumur hidupnya. Tindakan itu sedalamdalamnya
memang merupakan "pertolongan". Perampasan
sebagian besar hartanya itu, tentu saja dirasakan sakit oleh
Koan Kie, tapi dalam keadaan sekarang, ia sudah merasa
girang, bahwa jiwanya selamat.
Maka itu, sambil memanggut-manggutkan kepalanya ia
berkata: "Puas, aku puas!"
"Koan Tayjin," kata Pit Kheng Thian sembari tertawa.
"Sekarang kau boleh berlalu. Seragam pembesar yang kau
182 pakai itu, rasanya sudah tidak begitu cocok lagi. Maka,
sekeluarnya dari sini, kurasa baik kau menukar pakaian. Yan
Kiong! Tolong antarkan Koan Tayjin keluar dari sini."
Koan Kie yang sudah lama menjadi pembesar negeri hingga
kebiasaan seorang pembesar sudah melekat dalam dirinya,
tanpa merasa segera menjawab:
"Baiklah. Terima kasih atas budi Baginda! Eh, salah!
Terima kasih atas budi Ceecu!"
Kesalahan berbicara itu tentu saja disambut dengan
tertawa ramai oleh segenap hadirin.
"Aku juga ingin mengantarkan Jietee," kata Hoan Eng.
Pit Kheng Thian melirik dan berkata sembari bersenyum:
"Loohoan, harap kemudian kau kembali lagi. Aku menunggu di
sini." Hoan Eng kaget karena kata-kata itu menggenggam
maksud yang dalam. Ia mendongak dan tertawa terbahakbahak.
"Tentu saja aku akan kembali," katanya. "Pit Ceecu!
Kau tak usah kuatir!"
Setibanya di pintu luar, Hoan Eng menyekal Koan Kie dan
berkata dengan mata basah: "Hiantee, sekali ini, dalam
penderitaan kau menemui kebahagiaan. Mulai sekarang,
tuntutlah penghidupan sebagai orang baik."
Mendengar itu dan mengingat bantuan Hoan Eng, Koan Kie
jadi terharu. "Nasehat toako, siauwtee akan perhatikan,"
jawabnya dengan suara perlahan.
Sementara itu, sambil tertawa ha-ha hi-hi, Pit Yan Kiong
berkata: "Harap Tayjin menukar pakaian." Ia mengangsurkan
183 sebuah bungkusan yang terisi pakaian rakyat biasa. Sebagai
seorang yang sudah dipecat dari pangkatnya, Koan Kie tak
boleh memakai lagi seragam pembesar. Maka itu, walaupun ia
merasa sangat jengah, hatinya berterima kasih terhadap Pit
Kheng Thian yang sudah mengatur segala sesuatu dengan
begitu sempurna.
Waktu Hoan Eng kembali kemeja perjamuan, Pit Kheng
Thian sudah menduduki kursi Toaliongtauw secara resmi. Di
situ juga ia segera membereskan beberapa sengketa,
antaranya soal pencurian topi mutiara oleh seorang perampok
besar yang bernama Louw Put Sia. Raja muda itu telah
menugaskan seorang kepala polisi untuk mengambil pulang
barangnya. Kepala polisi itu minta pertolongan Pit Kheng
Thian yang lantas saja mengambil tindakan dan memulangkan
barang berharga itu. Beberapa urusan lain juga sudah
diputuskan secara adil oleh Toaliongtauw itu, sehingga semua
orang jadi merasa puas.
Malam itu, Hoan Eng dan si baju putih menginap dalam
gedung Bu Cin Tong. Seantero malam, Hoan Eng gulak-gulik
di atas pembaringan tanpa bisa pulas karena diganggu ruparupa
pikiran. Ada beberapa hal yang ia benar-benar tak dapat
pecahkan. Sebagai contoh, kenapa si baju putih rela melalui
perjalanan ribuan lie untuk mengambil kembali kepala Ie
Kiam" Kenapa pemuda itu menutupi asal-usulnya begitu
rapat" Sikap Pit Kheng Thian juga sangat meragukan. Ia
seperti mengenal si baju putih, tapi pura-pura tidak
mengenalnya. Dengan meminjam nama Bu Khungcu, Kheng
Thian sudah mengundang mereka datang kesitu. Apakah
maksudnya"
Besoknya, pagi sekali Pit Kheng Thian sudah memerintah
orang mengundang ia. Setibanya di taman, ia melihat Pit
184 Kheng Thian, si baju putih, Bu Cin Tong dan beberapa tetua
dari Rimba Persilatan, sudah menunggu di situ.
"Aku sengaja mengundang beberapa saudara datang ke
sini untuk menjadi saksi," kata Pit Kheng Thian. "Siauwko ini
telah minta sebuah kepala orang yang memang benar sudah
dicuri olehku. Akan tetapi, sekarang tak dapat aku
mengembalikannya. Sebagai gantinya, aku ingin menyerahkan
sebuah peti mati yang berisi jenazah lengkap. Kalau Siauwko
ini masih juga merasa tidak puas, aku pun tak dapat berbuat
lain." Selain Hoan Eng dan Bu Cin Tong, semua orang tidak
mengerti apa yang dimaksudkan oleh Pit Kheng Thian.
Dengan diikuti oleh semua orang, Kheng Thian segera
menuju ke bagian belakang taman dengan melalui jalan kecil
yang berliku-liku. Di situ, di suatu sudut taman, berdiri sebuah
bangunan kecil berwarna abu-abu. Dari jendelanya yang
terbuka, lapat-lapat kelihatan mengepulkan asap hio. Semua
orang menjadi kaget. Pit Kheng Thian menolak pintu dan
berkata dengan suara terharu: "Lihatlah! Bukankah aku sudah
mengurusnya baik-baik?"
Di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati
yang dibuat dari tembaga, sedang di depan peti itu dipasang
meja sembahyang dengan hiolouw dan beberapa batang hio
yang asapnya naik keudara dengan perlahan. Di atas meja itu
terdapat sebuah papan dengan tulisan: "Kokpo Taysin Ie
Kiam" (Menteri besar Ie Kiam). Di samping meja itu kelihatan
berdiri seorang Thaykam (orang kebiri dalam istana kaizar) tua
yang rambutnya sudah putih semua. Ia agak terkejut melihat
masuknya begitu banyak orang dan ketika melihat paras si
baju putih, ia mengeluarkan seruan tertahan.
185 Dengan sikap menghormat, Pit Kheng Thian menghampiri
peti tembaga itu, yang tutupnya lantas saja diangkat dengan
kedua tangannya yang kuat. Dalam peti itu ternyata terdapat
peti mati lain yang dibuat dari kristal. Di dalam peti kristal itu
berbaring jenazah seorang tua yang mengenakan pakaian
kebesaran seorang pembesar tertinggi. Jenazah itu agaknya
dipakaikan obat sehingga tidak bisa rusak. Jenazah itu bukan
lain daripada jenazah Ie Kiam, seorang menteri besar yang
sudah menolong kerajaan Beng dari kemusnahan, tapi,
kemudian sudah dibinasakan oleh kaizar kejam yang sudah
ditolongnya itu!
Paras muka si baju putih berubah pucat bagaikan kertas. Ia
meloncat dan menubruk peti mati itu. "Thia thia (ayah)!
Sungguh jelek nasibmu !" ia menangis dengan menyayatkan
hati. Sekarang semua orang mengetahui, bahwa pemuda itu
adalah putera Ie Kiam. Berbareng dengan itu, beberapa
pertanyaan muncul di dalam hati beberapa orang. Ie Kiam
adalah seorang menteri besar, tapi kenapa puteranya
berkelana di kalangan Kangouw. Siapakah guru pemuda itu
yang ternyata mempunyai kepandaian yang sangat tinggi.
Sebagai orang yang sudah menolong negara, Ie Kiam
dihormati oleh segenap rakyat.
Kecuali Pit Kheng Thian, semua orang lantas saja menekuk
lutut dan memberi hormat di hadapan jenazah Ie Kiam.
Sesudah kenyang menangis, si baju putih mengangkat
kepalanya dan matanya mendadak melihat sebuah syair yang
artinya kira-kira seperti berikut:
Menghadapi iaksaan serangan, 'ku turun gunung,
Lautan api, 'ku tak per-duiikan,
186 Badan hancur, 'ku tak takut,
Asai nama bersih dalam dunia!
Syair yang digantung pada tembok itu, adalah syair
mendiang ayahnya yang digubah berdasarkan syair
Engsekhwee (Syair debu batu), untuk memperlihatkan isi
hatinya. Ia heran dan tak mengetahui, dari mana Pit Kheng
Thian mendapat syair tersebut.
Mendadak, di antara sesenggukan, si baju putih tertawa
berkaka-kan bagaikan orang edan. "Badan hancur, 'ku tak
takut, asal nama bersih dalam dunia!" ia berteriak. "Oh,
ayahku! Kebinasaanmu akan tercatat ribuan tahun. Tapi
sungguh, kau sudah binasa secara cuma-cuma!"
Sesudah tertawa, ia mengulun, dan dalam tangisnya, ia
tertawa pula. Laganya seperti orang berotak miring, suatu
tanda dari kedukaan yang melewati batas!
Pit Kheng Thian tidak berlutut dan juga tidak menangis. Ia
menyalakan hio yang lalu ditancapkan di hiolouw sambil
manggutkan kepalanya. Kedua matanya terus mengawasi si
baju putih. Mendadak ia berkata: "Co Kongkong, dari mana Ie
Kiam mempunyai anak lelaki?"
Thaykam itu mengawasi si baju putih, bibirnya bergerak,
tapi ia tak lantas bicara.
Sekonyong-konyong putera Ie Kiam ini meloncat bangun
dengan wajah gusar. "Kau sudah mengurus jenazah ayahku,
budi itu selama hidupku tak dapat kulupakan," katanya. "Tapi,
apa kau katakan barusan" Di kolong langit, di manakah
pernah terjadi, seorang anak mengakui ayah terhadap orang
yang bukan ayahnya?"
187 Semua orang yang menyaksikan kesedihan si baju putih, di
dalam hati menyalahkan Pit Kheng Thian yang, sebaliknya dari
membujuk, sudah mengeluarkan kata-kata yang menyinggung
perasaan. Thaykam tua itu mengangkat kepalanya dan berkata
dengan suara perlahan: "Tak salah. Ayahnya adalah Ie
Tayjin." Barusan, oleh karena seantero perhatiannya ditujukan
kepada jenazah Ie Kiam, si baju putih tidak memperhatikan
Thaykam tua itu. Begitu dua pasang mata mereka berbentrok,


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu kelihatan terkejut, mulutnya terbuka, tapi lantas
tertutup lagi. Hoan Eng melihat itu semua, tapi Pit Kheng
Thian, yang berdiri membelakangi si baju putih, sudah tidak
melihat perubahan paras muka pemuda itu. Pit Kheng Thian
kaget berbareng heran dan ia lantas saja berkata: "e-heng,
harap kau sudi memaafkan perkataanku yang tidak pada
tempatnya. Bolehkah aku mentanyakan, di mana Ie-heng
ingin menempatkan jenazah mendiang ayahmu?"
Pemuda itu yang dapat dikatakan belum mengerti urusan,
tak dapat menjawab pertanyaan Pit Kheng Thian.
"Menurut keterangan Co Kongkong, semasa hidupnya,
mendiang ayahmu senang sekali kepada kota Hangciu," kata
pula Pit Kheng Thian. "Sebelum meninggal dunia, beliau telah
meninggalkan pesan, supaya jenazahnya dikubur di Hangciu,
di kaki gunung berdekatan dengan kuburan Gak Hui. Jika Ieheng
dapat mempercayai diriku, aku bersedia untuk mengurus
penguburan beliau di Hangciu, sesuai dengan pesannya itu."
Mendengar perkataan itu, si baju putih lantas saja menekuk
lutut dan memanggil: "nkong (tuan penolong)."
188 Kheng Thian buru-buru menyekal lengan pemuda itu seraya
berkata: "Bukan terhadap aku, tapi terhadap Kongkong yang
kau harus menghaturkan terima kasih."
Si baju putih mengawasi Thaykam tua itu dan di dalam
matanya terdapat sorot kesangsian.
"Co Kongkong adalah Thaykam isana yang bertugas
mengajar ilmu surat kepada Thaycu (putera mahkota),"
Kheng Thian menerangkan. "a sudah berdiam di istana
kurang lebih empat puluh tahun. Dulu, saban kali kaizar ingin
memberi tugas atau hadiah kepada menteri besarnya, orang
yang diperintah menyampaikannya kebanyakan adalah Co
Kongkong. Apakah ia belum pernah datang di rumahmu?"
Si baju putih tergugu. Lewat beberapa saat, baru ia
menjawab: "Tak heran, jika aku rasanya mengenal ia.
Mungkin sekali, kita sudah pernah bertemu sekali dua kali."
"Co Kongkong adalah seorang yang sangat mengagumi
ayahmu," Pit Kheng Thian meneruskan penuturannya. "Tanpa
memperdulikan keselamatan dirinya sendiri, ia telah memohon
kepada kaizar bebodoran itu supaya ia diijinkan mengurus
jenazah mendiang ayahmu. Sementara itu, aku sendiri sudah
beruntung dapat mencuri kepala Ie Tayjin. Kaizar itu yang
mengetahui adanya pergolakan di antara rakyat, sudah
mengalah sedikit untuk menenteramkan hati orang-orang
yang sedang gusar. Katanya:
Mengingat Ie Kiam adalah Goanloo (menteri tua) dari dua
kaizar, maka ijin itu diberikan. Demikianlah, Co Kongkong
berhasil membawa keluar jenazah mendiang ayahmu.
Sesudah itu, baru kepala Ie Tayjin dapat dipersatukan
dengan tubuhnya dan kita semua sudah berbuat begitu hanya
189 untuk mengunjukkan rasa cinta kita kepada Ie Tayjin. Co
Kongkong pun sudah mengambil putusan untuk tidak kembali
lagi ke istana."
Sedang Pit Kheng Thian berceritera, air mata si baju putih
mengucur deras sekali. Diam-diam ia merasa menyesal,
bahwa ia sudah mencurigai dan berlaku kasar terhadap
orang gagah itu. Oleh karena Pit Kheng Thian sungkan
menerima pemberian hormat besar (berlutut), ia hanya dapat
menghaturkan terima kasihnya berulang-ulang. (Belakangan,
Pit Kheng Thian benar-benar sudah memerintahkan orang
mengantarkan peti mati Ie Kiam ke kota Hangciu di mana peti
itu dikubur sesuai dengan pesan orang tua itu.)
"Kesetiaan Ie Tayjin memang pantas dicatat dalam kitab
sejarah," kata pula Pit Kheng Thian. "Akan tetapi, menurut
pendapatku, ia bukan seorang yang berpengetahuan tinggi
dan lebih-lebih bukan seorang gagah (hokiat)!"
Muka si baju putih lantas saja berubah merah, sedang
hatinya mendongkol sekali.
Hoan Eng yang juga merasa Pit Kheng Thian sudah
keterlepasan bicara, buru-buru berkata: "Pit Toaliongtauw,
apa artinya perkataanmu itu?"
Pit Kheng Thian tertawa besar dan berkata: "Sungguh
sayang! Ia hanya seorang menteri setia. Jika ia benar-benar
seorang enghiong atau hokiat, tak nanti ia mau binasa secara
cuma-cuma!"
Sesudah berkata begitu, ia menghela napas berulangulang.
"Jika Ie Tayjin sudah menyelami sejarah sampai di
dasar-dasarnya, ia tentu mengetahui, bahwa dunia ini adalah
dunia (milik) penghuni dunia," katanya pula. "Dunia ini bukan
milik pribadi suatu keluarga tertentu. Dulu, waktu Cinsiehong
190 berlaku sewenang-wenang, Hang Ie telah bangkit dan
merubuhkan kaizar bebodoran itu. Orang yang semacam
itulah, baru boleh dinamakan enghiong atau hokiat sejati!"
Hoan Eng terkesiap. Perkataan Pit Kheng Thian hebat
bukan main. Dalam kata-kata itu bersembunyi suatu maksud
yang sangat besar, yaitu maksud untuk merebut Tiongkok dari
tangan kaizar Beng!
"Hm!" kata si baju putih dengan suara tawar. "Kalau begitu,
kau ingin menjadi kaizar" Orang yang ingin menjadi raja, juga
belum tentu benar-benar seorang enghiong sejati."
Sekarang adalah giliran Pit Kheng Thian yang berubah
paras mukanya. "Ada orang yang mempunyai kesempatan
untuk menjadi hongtee (kaizar), tapi sungkan menggunakan
kesempatan itu," si baju putih berkata pula. "Orang begitu
baru boleh disebut seorang gagah tulen."
"Itulah Thio Tayhiap, Thio Tan Hong!" Hoan Eng
menyeletuk tanpa merasa.
Paras muka Pit Kheng Thian lantas saja berubah pucat.
Melihat ketegangan itu, Bu Cin Tong buru-buru menyelak.
"Dulu adalah lain dari pada sekarang," katanya. "Thio Tan
Hong memang benar seorang gagah. Akan tetapi, di ini waktu,
belum tentu ia sudi membantu kerajaan Beng."
Mata si baju putih kesap kesip, seperti juga ia sedang
berpikir. Tiba-tiba, Pit Kheng Thian berteriak dengan suara
gusar: "Enghiong apakah Thio Tan Hong itu" Menurut aku,
dia adalah anak yang tidak berbakti. Aku kata, dia adalah
hiapkek (pendekar) palsu yang licik!"
Di jaman itu, nama Thio Tan Hong kesohor di seluruh
negeri dan dihormati semua orang. Maka itu, cacian Pit Kheng
191 Thian ini sudah membikin setiap orang jadi kesima. Muka si
baju putih merah padam, bahna gusarnya. "Manusia macam
apakah kau ini, hingga berani mencaci Thio Tayhiap!" ia
membentak. Bagaikan kilat, ia menghunus pedangnya yang
lalu ditikamkan ke mulut Pit Kheng Thian.
Harus diketahui, bahwa sesudah melihat ilmu silat si baju
putih yang sedemikian tinggi dan mengetahui pemuda itu
adalah putera Ie Kiam, Pit Kheng Thian sudah sengaja
mengeluarkan kata-kata yang membakar, supaya si baju putih
mau bekerja sama dengan ia dalam usaha merebut takhta
kerajaan. Dan ia sama sekali tidak menduga, jika pemuda itu
akan mendadak menikam. Jarak antara mereka sangat dekat
dan ia tak keburu berkelit lagi!
"Bagus!" seru Pit Kheng Thian, sembari membuka
mulutnya. Hoan Eng mengeluarkan teriakan tertahan dan dalam detik
yang sama, tangan Bu Cin Tong menyambar untuk menangkis
pedang itu. Di saat itu, badan si baju putih sedikit condong ke
depan. Bu Cin Tong, yang berdiri di sampingnya, sebenarnya
ingin memukul lengannya untuk menangkis tikaman itu, tapi
oleh karena, ketika itu, badan si baju putih condong ke depan,
maka pukulan Bu Cin Tong menyambar ke arah kepalanya.
Mereka bertiga berdiri berderet, dan lantaran itu, meskipun
mau, yang lainnya sudah tidak keburu menolong lagi. Di lain
detik, Pit Kheng Thian menyemburkan darah dari mulutnya
dan memaki: "Apakah kau sudah lupa akan sakit hati ayahmu"
Pedangmu sebenarnya harus digunakan untuk menikam kaizar
anjing itu, bukannya berbalik menyerang aku. Mana ada
aturan begitu?"
Ternyata, begitu ditikam, Pit Kheng Thian sudah papaki
dengan mulutnya dan menggigit pedang itu. Si baju putih
192 yang tidak mempunyai niatan jahat, tidak menyertakan tenaga
dalamnya pada serangan itu. Tapi, oleh karena pedang itu
masuk ke dalam mulut, mau tak mau, mulut Pit Kheng Thian
terluka juga. Si baju putih buru-buru menarik pulang
senjatanya dan di detik itu, tangan Bu Cin Tong menyambar.
"Ayal" Pit Kheng Thian berteriak, sehabis mencaci. Semua
mata dengan serentak mengawasi kepala si baju putih!
Topi pemuda itu ternyata sudah jatuh di lantai, sedang ikat
kepalanya juga sudah terlepas dan terlihatlah rambut yang
hitam jengat! Barusan, meskipun sedapat mungkin Bu Cin
Tong menarik pulang pukulannya, tapi sambaran angin
pukulannya sudah cukup untuk menggulingkan topi si baju
putih. Semua orang yang tadinya hanya memperhatikan Pit
Kheng Thian yang terluka, baru menjadi sadar sesudah
mendengar teriakan Toaliongtauw itu. Sekarang mereka baru
mengetahui, bahwa si baju putih adalah seorang gadis jelita!
Semua orang jadi kesima, mereka berdiri terpaku, tanpa
dapat mengeluarkan sepatah kata.
"Sin Cu! Sin Cu!" mendadak terdengar suara Co Thaykam.
"Benar-benar kau adanya! Kau berhutang budi besar dengan
Pit Ceecu. Tak boleh kau menyerang ia!"
"Sesudah bengong untuk berapa saat, si nona menyontek
topinya dengan pedangnya dan lalu dipakai lagi di kepalanya.
Ia merangkap kedua tangannya dan berkata dengan suara
perlahan: "Pit Ceecu, budimu yang besar tak akan kulupakan.
Jika di hari kemudian, kau memerlukan tenagaku, biarpun
mesti berenang di air atau masuk di api, tak akan aku menolak
segala perintahmu.
Hanya jika kau mencaci Thio Tayhiap. janganlah kau
menyesalkan aku sebagai tidak mengenal budi." Sehabis
193 berkata begitu, ia masukkan pedangnya ke dalam sarung dan
lalu berjalan keluar dengan tindakan cepat.
"Ie-heng! Tahan dulu!" seru Kheng Thian. Ia masih
menggunakan perkataan "heng" (saudara lelaki) lantaran
belum dapat mengubah panggilan itu.
Tapi si nona tak meladeni teriakan itu. Setibanya di luar, ia
bersiul panjang dan nyaring. Kuda putihnya yang memang
berada dalam taman tersebut lantas menghampiri dan dengan
sekali meloncat, ia sudah berada di atas punggung binatang
itu. Sungguh jempol kuda itu! Sekali ditepuk, ia melompati
tembok yang tingginya setombak lebih. Di lain saat, di luar
tembok terdengar derap kaki kuda yang semakin lama jadi
semakin jauh. * * * "Si baju putih" adalah puteri tunggal mendiang Ie Kiam dan
diberi nama Sin Cu. Co Thaykam pernah memberitahukan Pit
Kheng Thian, bahwa Ie Kiam tidak mempunyai putera, dan
itulah sebabnya, kenapa tadi ia sudah memperlihatkan
perasaan sangsi. Dulu, di gedung Ie Kiam, In Lui pernah
bertemu dengan Sin Cu yang cantik dan cerdas sekali otaknya,
sehingga pendekar wanita itu sangat sayang kepada nona
cilik itu. Belakangan, sesudah menikah dengan Thio Tan Hong,
In Lui mengambil Sin Cu sebagai muridnya yang lalu diajak
tinggal bersama-sama di dekat telaga Thayouw. Dalam tempo
beberapa tahun saja, di bawah pimpinan suami isteri yang
gagah itu, dari seorang gadis lemah, Ie Sin Cu sudah berubah
menjadi jago wanita yang ilmu silatnya tinggi. Mereka bukan
saja sudah menurunkan kiamhoat Hian Kie Itsu yang luar
biasa, tapi In Lui pun sudah mengajar ilmu menimpuk senjata
rahasia yang sangat liehay dan dikenal sebagai Huihoa tahhiat
(bunga terbang menghantam jalan darah) kepadanya.
Sesudah keluar dari rumah perguruan, berkat senjata
194 rahasianya itu, Sin Cu sudah mendapat julukan sebagai
Sanhoa Liehiap (Pendekar Wanita
Penyebar Bunga). Sesudah berlatih hampir sepuluh tahun,
dapat dikatakan Ie Sin Cu sudah mencapai puncak pelajaran
silat yang sangat tinggi. Oleh karena ia sendiri hanya
berkelana di kalangan Kangouw selama dua tiga tahun, lalu
menyingkir dan hidup bersembunyi di daerah Thayouw, In Lui
menginginkan supaya muridnya itu bukan saja mewarisi ilmu
silatnya, tapi juga meneruskan pekerjaannya sebagai seorang
pendekar wanita.
Dalam beberapa tahun itu, di samping meyakinkan ilmu
silat, Ie Sin Cu juga sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat Tan
Hong suami isteri. Ketika itu, Thio Tan Hong dan In Lui
berusia kira-kira tiga puluh tahun, sedang Sin Cu baru saja
belasan tahun. Dengan adanya perbedaan usia yang begitu
besar, perhubungan antara mereka bukan hanya merupakan
perhubungan antara guru dan murid, tapi juga seperti antara
orang tua dan anak sendiri. Maka itu, demi mendengar
gurunya dicaci, Sin Cu tak dapat menguasai diri lagi, biarpun
yang mencaci itu adalah tuan penolongnya.
Dalam sekejap mata, ia sudah terpisah belasan lie dari Bu
keekhung. Hatinya yang mendongkol dengan perlahan sudah
menjadi tenang pula. Ia memikirkan perbuatannya tadi dan
berulang-ulang menanya dirinya sendiri: "Apakah aku benar"
Apakah aku keliru?"
Dengan hati pepat, ia menjalankan kudanya. Ia ingat akan
Pit Kheng Thian yang kasar dan gagah, dengan keangkeran
seorang enghiong. Akan tetapi, dengan segala kega-gahannya
itu, sama sekali ia tidak merasa takluk. Sebab apa ia tidak
merasa takluk, ia sendiri tidak mengerti. Mengenai
serangannya tadi, ia pun tidak tahu, apakah itu benar atau
salah. Apakah sakit hati ayahnya harus dibalas" Jika harus
195 dibalas, bagaimana membalasnya" Pertanyaan-pertanyaan itu
sangat mengusutkan pikiran si nona.
Harus diingat, bahwa waktu itu, Ie Sin Cu baru saja berusia
enam belas tahun. Dalam usia sebegitu, orang lain mungkin
belum tahu, apa artinya penderitaan. Tapi oleh karena ia
pernah mengalam beberapa kejadian yang menggoncangkan
hati, maka ia sudah lebih dewasa daripada nona-nona lain
sepan-tarannya. Saat itu, tujuan satu-satunya adalah buruburu
pulang ke rumah gurunya, untuk menye-sapkan
kepalanya di pangkuan sang Subo (ibu guru, In Lui) dan


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian minta petunjuk Suhu-nya.
Tiba-tiba, tunggangannya yang biasa berlari bagaikan
angin, entah kenapa, jadi semakin lambat larinya. Sin Cu
menepuk-nepuk punggung hewan itu dan berkata dengan
suara halus: "Kudaku, hayolah lari lebih cepat."
Kuda itu berbenger dua kali, mulutnya mengeluarkan busa
putih dan berjalan semakin perlahan. Si nona merasa heran,
belum pernah ia mengalami peristiwa seperti itu. Kuda putih
itu sebenarnya adalah tunggangan Thio Tan Hong yang
dinamakan Ciauwya Saycu (si singa yang menerangi malam),
seekor kuda mustika yang jarang terdapat dalam dunia. Dalam
sehari dia bisa berlari seribu lie, sehingga di waktu
menungganginya, Sin Cu sering-sering merasa larinya terlalu
cepat. Dengan perasaan heran, si nona loncat turun. Ia
melihat kuda itu seperti sedang sakit dan mulutnya terus
mengeluarkan busa. Ia menjadi bingung karena tidak
mengerti penyakit kuda.
Dengan perasaan menyayang, ia memeluk leher hewan itu
dan berkata dengan suara halus: "Hayolah, kita jalan lagi
beberapa lie. Sebentar, di kota sebelah depan, aku akan
memberikan kau makan kenyang-kenyang dan kemudian
mengundang thabib untuk mengobati pe-nyakitmu."
196 Kuda itu seperti juga mengerti apa yang dikatakan
majikannya. Tiba-tiba ia berbenger keras dan mengangkatangkat
kedua kaki depannya. Begitu si nona loncat ke
punggungnya, lantas saja ia kabur bagaikan terbang. Tapi
sebelum berlari berapa jauh, tindakannya kembali berubah
perlahan, seperti sedang lelah dan dari mulutnya keluar lebih
banyak busa. Selagi Ie Sin Cu akan loncat turun, mendadak di
sebelah belakangnya terdengar tindakan kaki kuda.
"Ie Kouwnio (nona Ie)!" teriak seseorang. "Kudamu tak
dapat berjalan lagi. Mari kita bercakap-cakap sebentar."
Si nona menengok dan melihat, orang yang mendatangi
itu bukan lain daripada Pit Kheng Thian.
"Mau membicarakan apa lagi?" tanya Sin Cu uring-uringan.
"Barusan aku sudah memaki Thio Tan Hong sehingga kau
menjadi gusar," kata Pit Kheng Thian. "Kau tahu kenapa aku
mencaci ia?"
Ie Sin Cu lantas saja naik darahnya. "Aku tak mau
mendengarkan segala alasanmu!" ia membentak sambil
meraba gagang pedangnya. Sesudah membentak, ia merasa
agak menyesal dan lalu berkata pula: "Kau sudah mengurus
jenazah ayahku, budi itu bukan main besarnya dan aku
merasa berterima kasih tak habisnya. Tapi sebagaimana sudah
kukatakan tadi, kau tak boleh menyebut-nyebut pula nama
Thio Tayhiap1."
"Ah! Sungguh heran!" kata Kheng Thian. "Ada hubungan
apakah antara Thio Tan Hong dan kau?"
"Tak usah tahu!" Sin Cu membentak pula. "Pit
Toaliongtauw1. Biarlah kita masing-masing mengambil jalan
197 sendiri. Mengenai budimu, di belakang hari aku pasti akan
membalasnya."
"Baiklah!" kata Pit Kheng Thian sembari tertawa besar.
"Kau sungkan mendengarkan, aku pun tak perlu bicara. Tapi
aku mempunyai sebuah cerita istimewa. Apakah kau suka
mendengarnya?"
Sin Cu yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan,
lantas saja merasa ketarik. "Baiklah! Kalau ceritanya bagus,
aku suka mendengarkan," jawabnya sembari bersenyum.
"Dahulu, dahulu kala," Kheng Thian mulai menutur. "Di
negara ini hidup seorang hweeshio (paderi) yang mempunyai
ilmu luar biasa tingginya. Ia bukan saja pandai ilmu silat, tapi
juga mahir dalam ilmu perang. Paderi itu mempunyai tiga
murid. Murid pertamanya adalah seorang pengemis, murid
yang kedua adalah seorang penyelundup garam, sedang si
murid ketiga adalah seorang yang pernah menjadi paderi dan
juga pernah menjadi pengemis.
Belakangan, murid pertama dan murid kedua itu menjadi
raja dan kaizar, keturunan mereka hidup dalam kemewahan
dan kemuliaan. Hanya murid ketiga itu yang paling bangpak.
Guna kedua saudara seperguruannya, ia sudah bertempur
mati-matian di sepanjang Sungai Besar dan belakangan ia
sudah mengorbankan jiwanya dalam peperangan, tanpa
diketahui di mana mayatnya. Keturunannya hidup terombangambing
dalam dunia Kangouw, menjadi pengemis, menjadi
hweeshio dan selalu berada dalam ketakutan, sebab
sembarang waktu bisa dibekuk oleh kaki tangan kaizar.
"Akan tetapi, sebelum binasa dalam peperangan, murid
ketiga itu pernah melakukan suatu pekerjaan penting
bersama-sama gurunya. Ia tak kepingin menjadi raja atau
198 kaizar dan selalu mengawani sang guru berkelana ke berbagai
tempat. Sesudah menjelajah ke gunung dan ketempat-tempat
berbahaya yang penting artinya bagi ketentaraan, guru dan
murid itu lalu membuat sebuah peta bumi yang lengkap dan
sempurna, di mana tercantum petunjuk-petunjuk untuk
menggunakan tentara dan peperangan. Siapa juga yang dapat
mengantongi peta itu, dialah yang mempunyai harapan untuk
menjadi raja atau kaizar. Balakangan, sesudah murid ketiga
dan murid kedua binasa dalam peperangan di Sungai Besar,
peta bumi tersebut lenyap tak ketahuan ke mana atau oleh
siapa disembunyikannya.
"Akhir-akhirnya, murid pertamalah, yaitu si pengemis, yang
berhasil mempersatukan negara dan naik ke atas takhta. Tapi
hatinya masih selalu berkuatir dan ia meninggalkan pesan
dalam surat wasiatnya, supaya kaizar-kaizar anak cucunya
terus berusaha untuk membasmi turunan kedua keluarga itu
dan berusaha pula untuk merebut peta bumi itu.
Menurut pantas, peta bumi tersebut adalah milik bersama
dua keluarga, keturunan murid kedua dan ketiga, apa pula jika
diingat, bahwa murid ketiga ini telah mengeluarkan tenaga
terlebih banyak, seharusnya keturunan murid ketigalah yang
lebih berhak atas peta itu. Kira-kira seratus tahun kemudian,
peta bumi tersebut muncul pula, dan berada dalam tangan
keturunan murid kedua. Tak diduga-duga, orang itu sudah
menyerahkan peta tersebut kepada musuh, sehingga anak
cucu musuh itu bisa terus menerus bercokol di atas takhta.
Coba katakan: pantas atau tidak?"
Ie Sin Cu tertawa dingin. "Hm!" ia meng-gerendeng.
"Bicara ke barat, bicara ke timur, akhirnya yang kau bicarakan
adalah Tayhiap Thio Tan Hong juga! Kejadian itu adalah
kejadian yang sudah lama sekali, si hweeshio tua adalah
199 Pheng Eng Giok, si pengemis adalah Cu Goan Ciang, si
penyelundup garam Thio Su Seng, sedang murid ketiga, yang
pernah menjadi hweeshio dan pengemis, mungkin adalah
leluhurmu yang bernama Pit Leng Hie. Pit Toaliongtauw1.
Guna apa kau menyebut-nyebut hutang yang sudah begitu
lama?" 2) "Biarpun orang memuji Thio Tan Hong setinggi langit, aku
tetap menganggap perbuatannya tidak adil," kata Pit Kheng
Thian. Ie Sin Cu jadi mendongkol. "Apakah kau tak tahu, bahwa
waktu itu negara Watzu sedang menyerang?" tanyanya
dengan suara aseran. "Apakah percekcokan antara bangsa
sendiri lebih penting daripada menolak musuh yang datang
dari luar!"
"Peta itu adalah milik bersama keluarga Thio dan keluarga
Pit," kata Kheng Thian. "Malah, menurut pantas, keluarga Pit
mempunyai hak yang lebih besar. Dan Thio Tan Hong! Tanpa
berunding dulu dengan pihak kami, sudah menyerahkan peta
tersebut kepada kaizar!"
"Tidak!" bantah Sin Cu. "a menyerahkan itu kepada
ayahku." Biji mata Kheng Thian berputar dan tanpa menggubris
bantahan si nona, ia berkata pula: "Itulah kesalahannya yang
pertama. Menolak bahaya dari luar memang benar urusan
penting. Tapi, biar bagaimana pun juga, sedikitnya ia harus
minta persetujuan keluargaku."
Si nona tertawa dingin seraya berkata: "Ah! Kalau begitu
kau datang ke sini untuk mengadu lidah!"
200 Pemuda itu masih tetap tidak meladeni dan terus
melanjutkan bicaranya: "Selain itu, menurut pantas, peta
tersebut harus ada salinannya (copy), atau, sesudah tentara
Watzu dipukul mundur, peta aselinya harus diambil pulang.
Biar bagaimana pun juga, Thio Tan Hong pasti menyimpan
salinannya. Sebelum ayahku menutup mata, ia pernah minta
pertolongan beberapa saudara Partai Pengemis untuk minta
peta itu dari Thio Tan Hong, tapi dia kata, tidak ada. Dengan
demikian, sedikit pun ia tidak memperdulikan persahabatan
lama antara kedua keluarga kami. Apakah ini bukan perbuatan
tidak adil yang kedua?"
Ie Sin Cu tertawa dingin. "Thio Tayhiap tak ingin menjadi
raja." katanya. "Guna apa ia menyimpan salinan peta itu atau
memintanya pulang dari tangan ayahku" Kalau ia kata tidak
ada, tentu tidak ada. Apakah kau berani menyangsikan
kejujurannya?"
Kheng Thian lagi-lagi tertawa besar. "Kalau kau membela ia
secara begitu, sudahlah, aku pun tak perlu bicara lagi."
katanya. "Hayo! Hayo katakan apa yang kau mau katakan!" kata si
nona sambil melotot.
Kheng Thian bersenyum dan berkata: "Andaikata benar ia
tidak menyimpan salinannya." katanya. "Tapi, orang sekolong
langit mengetahui, bahwa Thio Tan Hong adalah manusia
cerdas luar biasa, yang sekali membaca tak dapat melupakan
lagi apa yang dibacanya. Apakah ia tak bisa menolong
membuatkan salinan peta itu tanpa melihat contoh?"
Mendengar gurunya dipuji, si nona jadi merasa senang dan
hawa amarahnya mulai reda. Ia senyum dan tidak berkata
apa-apa. 201 "Sungguh celaka, kalau benar-benar ia tidak
menyembunyikan peta tersebut," kata pula Kheng Thian. "Aku
sudah menyelidiki dengan terliti dan mendapat kepastian
bahwa peta itu tidak berada dalam rumahmu. Maka itu,
kesimpulan satu-satunya adalah peta bumi yang sangat
penting itu sekarang sudah berada dalam istana kaizar."
Paras si nona lantas berubah dan ia mengeluarkan seruan
tertahan. Kheng Thian tertawa seraya berkata: "Apakah kau
heran" Apakah kau belum insyaf, bahwa kaizar yang tak
mengenal budi itu, dapat melakukan segala rupa perbuatan
busuk" Dia sudah membunuh ayahmu, sudah menggeledah
rumahmu, apakah kau mengira ia sudi melepaskan peta bumi
itu?" Tapi, yang di saat itu dipikirkan si nona, bukannya hal ini.
Sesudah mendengar keterangan Pit Kheng Thian, ia
mengetahui, pemuda itu sudah memeriksa rumahnya untuk
mencari peta tersebut.
Sebelum Pit Kheng Thian datang, rumahnya mungkin sudah
lebih dulu digeledah oleh kaki tangan kaizar dan segala apa
yang berharga sudah dirampas. Kumpulan syair ayahnya
mungkin tak dipandang sebelah mata oleh orang-orang kaizar
itu dan sudah dibuang-buang dengan begitu saja, sehingga
belakangan dapat dikete-mukan oieh pemuda itu. Sebelum Pit
Kheng Thian mengemukakan soal peta bumi itu, ia
menganggap sepak terjang pemuda itu, yakni mengacau di
ibu kota dan belakangan mencuri kepala ayahnya, adalah
semata-mata untuk kepentingan ayahnya. Tapi sesudah
mendengar keterangan pemuda itu, ia mengetahui, bahwa Pit
Kheng Thian sebenar-benarnya mempunyai tujuan yang lebih
penting untuk dirinya sendiri, yaitu merebut kembali peta
tersebut. Ie Sin Cu adalah seorang gadis yang polos dan
bersih. Tadi, meskipun hatinya mendongkol mendengar cacian
terhadap gurunya, sedalam-dalamnya ia merasa sangat
202 berterima kasih kepada pemuda itu. Tapi sesudah mengetahui
maksud Pit Kheng Thian sesungguhnya, rasa terima kasih itu
jadi banyak berkurang. Dan sebagai orang yang polos,
perasaan kecewanya lantas saja terlukis pada wajahnya.
Sesudah Kheng Thian selesai berbicara, ia menyoja seraya
berkata: "Jika Pit-ya tidak mau bicara apa-apa lagi, aku ingin
segera berlalu." Mukanya tenang, suaranya manis, tapi
sikapnya dingin luar biasa. Sebagai seorang cerdas, Kheng
Thian tentu saja merasakan ketawaran itu. Ia mengeluh di
dalam hatinya dan merasa putus asa.
Sin Cu mengusap-usap punggung kudanya yang lalu
dituntun pergi.
"Kembali!" mendadak terdengar teriakan Pit Kheng Thian.
"Ada apa lagi?" tanya si nona sembari memutar badan.
"Kau melupakan satu hal," kata Pit Kheng Thian, Ie Sin Cu
berdiam sejenak dan kemudian berkata: "Hm! Benar! Lekas
pulangkan kumpulan syair ayahku."
Pit Kheng Thian tertawa berkakakan. "Benar-benar anak
berbakti!" katanya. "Kecuali syair Engsekhwee yang ditempel
di samping peti mati ayahmu, yang lain semuanya berada di
sini." Ie Sin Cu segera menyambut kumpulan syair itu dan
menghaturkan terima kasih dengan suara tawar.
"Kau menyintai ayahmu dan mewarisi pelajarannya, itu
semua memang merupakan kewajiban dalam menjalankan
kebaktian," kata Pit Kheng Thian sembari mengawasi si nona.
"Hanya sayang, kau masih belum merupakan anak yang
benar-benar berbakti!"
203 "Kenapa begitu?" tanya Ie Sin Cu.
"Ayahmu mati dengan penuh penasaran, seluruh rakyat,
tak ada satu pun yang tidak gusar," kata Pit Kheng Thian.
"Tapi kenapa kau sendiri justru masih tenang-tenang saja?"
"Apa katamu?" bentak si nona, matanya melotot.
"Siapa yang membunuh ayahmu?" Pit Kheng Thian balas
menanya. "Kenapa kau tak mau membalas sakit hati"
Sekarang orang-orang gagah di lima propinsi Utara sudah
berserikat, kenapa kau sungkan berdiam di sini untuk
bersama-sama mengerjakan usaha besar?"
"Hm!" si nona mengeluarkan suara di hidung. "Kalau begitu


Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau ingin menahan aku untuk menjungjung kau sebagai
Toaliongtauw."
Kheng Thian mengerutkan alisnya dan ia berkata pula
dengan suara kecewa: "Rakyat di seluruh negeri sedang
bergolak. Apakah kau mengira aku bertindak untuk
kepentinganku pribadi?"
"Dari dulu sampai sekarang, orang yang ingin menjadi
kaizar selalu menyanyikan lagu begitu," kata si nona.
Harpa Iblis Jari Sakti 30 Manusia Yang Bisa Menghilang Pendekar 4 Alis Karya Khu Lung Golok Halilintar 8

Cari Blog Ini