Ceritasilat Novel Online

Memanah Burung Rajawali 38

Memanah Burung Rajawali Karya Jin Yong Bagian 38


"Anda Tuli!" ia berseru. "Kiranya kau!"
Biasanya, kalau mereka berdua bertemu, mereka saling rangkul, akan tetapi sekarang, mereka tidak datang terlalu dekat, sama-sama menahan kuda mereka.
"Anda," menanya Kwee Ceng. "Kau mengepalai pasukan perang untuk menyerang negeri Song, bukankah?"
"Aku menerima titah ayahku, aku tidak merdeka," menyahut Tuli. "Aku minta kau suka memberi maaf kepadaku."
Kwee Ceng memandang ke pasukan musuh, yang entah berapa laksa jumlahnya.
"Kalau pasukan berkuda ini menyerbu, hari ini habislah jiwaku?" pikirnya. Lantas ia menghadapi pula pangeran Mongolia itu, untuk berkata: "Baiklah! Nah, kau ambillah jiwaku!"
Tuli terperanjat. Ia pun segera berpikir; "Dia sangat pandai mengatur tentaranya, aku bukan tandingannya. Lagi pula, kita ada bagaikan saudara kandung, mana dapat aku merusak persaudaraan kita?""
Oleh karena ini, ia menjadi ragu-ragu.
Oey Yong menyaksikan semua itu, ia lantas berpaling ke arah kota, tangan kanannya diulapkan.
Tentara di dalam kota melihat isyarat itu, dengan lantas mereka menyulut meriam. Maka bergemalah suara ledakannya, suara mana disusul sama sambutan tentara yang bersembunyi di belakang gunung timur, mereka itu bersorak-sorak dan bendera mereka digoyangkan pergi datang.
Tuli kaget hingga air mukanya berubah.
Ledakan meriam yang pertama disusul sama yang kedua dan ini disusul pula sambutan tentara yang bersembunyi di gunung sebelah barat.
"Celaka, aku terjebak!" pikir pangeran ini kaget. Tidak tempo lagi, ia menitahkan pasukan perangnya mundur sampai tigapuluh lie. Untuk ini, tentaranya itu cuma perlu membalik tubuh, lantas pasukan belakang menjadi pasukan depan dan pasukan depan sendirinya menjadi pasukan belakang.
Tuli tidak tahu berapa besarnya pasuka musuh, tetapi karena dia sudah jeri terlebih dulu terhadap Kwee Ceng, mundur adalah jalan yang paling aman untuknya.
Melihat mundurnya musuh, Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong dan terawa, dan si nona menyambutnya sambil tertawa juga.
"Engko Ceng, aku memberi selamat padamu untuk Khong Shia Kee ini!" si nona memuji.
"Khong Shia Kee" itu ialah akal muslihat mengosongkan kota guna menggertak musuh. Akal itu juga dapat dipakai untuk menjebak musuh masuk ke dalam kota, untuk sesampainya di dalam kota nanti dikepung.
Habis tertawa, Kwee Ceng mengasih lihat roman berduka.
"Tuli itu gagah dan ulet," ia berkata. "Sekarang ia mundur tetapi besoknya ia pasti bakal datang pula. Bagaimana kita melawannya.
Oey Yong menginsyafi itu, ia lantas berpikir.
"Aku mempunyai satu daya, hanya aku khawatir, lantaran kau ingat persaudaraanmu, kau tidak sudi turun tangan melakukannya," katanya kemudian.
"Kau menghendaki aku pergi membunuh dia secara diam-diam?" tanyanya.
"Dialah putra terkasih dari Jenghiz Khan," berkata si nona. "Dia juga beda daripada panglima-panglima perang lainnya, satu kali dia mati, mesti musuh mundur sendirinya!"
Kwee Ceng bertunduk, ia berdiam. Mereka pulang kedalam kota.
Semua tentara ditarik pulang, semua pintu kota ditutup rapat dan dijaga, meski begitu, untuk sesaat, kota nampaknya kacau.
Kapan An-bus-u mendapat laporan bagaimana dengan omong sedikit saja Kwee Ceng berdua dapat mengundurkan musuh, sendirinya dia pergi menemui muda-mudi itu untuk menghanturkan terima kasih. Kwee Ceng menggunai ketika itu untuk membicarakan soal pembelaan kota.
An-bu-su itu menjadi kecil hatinya dan lemas tubuhnya, apabila ia mendapat keterangan musuh bakal datang pula besok, dia sampai tidak dapat membuka suaranya, kemudian berulang-ulang dia memberi titahnya: "Siapkan joli, pulang!" Ia telah mengambil keputusan untuk kabur meninggalkan kota.
Kwee Ceng berduka, meski Oey Yong telah matangi sayur yang lezat, ia tidak bernafsu berdahar, apa pula kapan sang malam datang, selagi sang jagat gelap gulita, dari sana sini di dalam kota terdengar tangisan rakyat-rakyat yang ketakutan. Ia membayangi, besok siang tentulah tidak bakal ada tentara atau rakyat, semua bakal dibasmi tentara Mongolia yang ganas itu. Di depan matanya berkelebat peristiwa dahsyat, kejam dan menyedihkan di kota Samarkand.
"Yong-jie," katanya mendadak seraya tangan kirinya menggeprak meja. "Di jaman dahulu untuk negara orang dapat membunuh orangnya atau sanak sendiri, maka itu sekarang mana dapat pula aku memikirkan saudara angkat!"
Oey Yong menarik napas panjang.
"Memang urusan kita ini sulit sekali," katanya.
Kwee Ceng telah mengambil keputusan, maka ia lantas menyalin pakaian, setelah itu bersama Oey Yong ia menunggang kuda merahnya ke utara. Setelah mendekati kubu tentara Mongolia, mereka menunda kuda mereka di kaki gunung, lalu dengan berjalan kaki mereka menghampirkan musuh, guna mencari tendanya Tuli. Tidak sulit untuk mereka mencarinya.
Lebih dulu Kwee Ceng membekuk dua serdadu ronda, ia totok mereka, sesudah orang tidak berdaya, ia merampas seragamnya, untuk ia dan Oey Yong mengenakannya. Dengan begini, mereka dapat berjalan dengan merdeka. Ia mengerti bahasa Mongolia, ia juga mengerti segala aturan ketentaraan, dari itu, dengan cepat mereka tiba di kemah Tuli. Karena langit gelap, mereka dapat pergi ke belakang, di mana mereka menyembunyikan diri sambil mengintai.
Tuli masih belum beristirahat, dia bahkan berjalan mondar-mandir, romannya bergelisah. Lalu terdengar mulutnya mengucapkan: "Kwee Ceng, anda! Anda Kwee Ceng!"
Kwee Ceng terkejut, ia menyangka Tuli sudah mengetahu kedatangannya itu hingga ia mau menyahuti.
Oey Yong melihat gerakan kawannya, ia menutup mulut orang.
"Ah".!" pikir si anak muda, yang tersadar. Ia berduka. Kemudian di dalam hatinya ia mengatai ketololannya itu.
Oey Yong menghunus pisau belatinya sambil ia berbisik di kuping kekasihnya, "Lekas turun tangan! Seorang laki-laki mesti berkeputusan tetap, tidak boleh bersangsi!"
Berbareng dengan itu, di kejauhan terdengar suara laratnya kuda, lantas tertampak datangnya satu penunggang kuda ke kemah besar itu. Kwee Ceng tahu, itu urusan penting.
"Tunggu dulu," ia bisiki si nona. "Kita dengar dulu, kabar penting apa ini."
Penunggang kuda itu seorang pesuruh dengan seragam kuning. Dia lompat turun dari kudanya, untuk terus lari masuk ke dalam tenda, setelah memberi hormat kepada Tuli, dia berkata: "Tuan pangeran, ada titah dari Khan yang agung!"
"Apakah kata Khan yang agung?" Tuli tanya.
Bangsa Mongolia itu belum lama mempunyai bahasa tulisny, sudah begitu Jenghiz Khan tidak dapat membaca dan tidak dapat menulis, maka itu, kalau dia mengeluarkan titah, dia memberikannya secara lisan, supaya si pesuruh tidak lupa, ia menyuruh menghapalkannya dulu hingga orang ingat dan tidak melupakannya lagi. Pula titah itu disuarakan hingga mirip dengan nyanyian. Demikian utusan ini, sambil berlutut dan mendekam, dia membacakannya di luar kepala titah khannya yang agung itu.
Baru orang menyebut tiga baris kata-kata, Kwee Ceng sudah menjadi kaget sekali, sedang Tuli lantas mengeluarkan air mata.
Jenghiz Khan sudah berusia lanjut, selama yang belakangan ini,ia terganggu kesehatannya, setelah mendapat firasat yang dia tidak bakal dapat hidup lebih lama pula, ia mengeluarkan titah memanggil Tuli segera pulang untuk bertemu dengannya. Di penutup firman lisan itu, khan itu juga memberitahukan bahwa dia kangen dengan Kwee Ceng, dari itu dia memesan, kalau di Selatan itu putranya bertemu sama pemuda she Kwee itu, supaya si anak muda diajak bersama ke Utara guna mereka, khan dan yang agung dan si anak muda, mengambil selamat berpisah".
Mendengar samapi di situ, dengan pisau belatinya Kwee Ceng menggurat memecahkan tenda, ia berlompat masuk.
"Anda Tuli, aku akan pergi bersama kau!" katanya berseru.
Tuli kaget bukan main, akan tetapi setelah mengenali si anak muda, ai girang bukan buatan. Kedua lantas saling merangkul.
Si utusan mengenali Kwee Ceng, dia memberi hormat sambil terus berlutut dan mengangguk, terus dia berkata: "Kim Too Huma, Khan yang agung menitahkan supaya Huma yang mulia pergi ke Kemah Emas untuk menemuinya!"
Hati Kwee Ceng tercekat mendengar ia tetap dipanggil Kim Too Huma. Tentu sekali ia khawatir Oey Yong bercuriga. Maka ia lari molos di tenda, akan melihat kawannya itu, tangan siapa ia terus tarik seraya berkata: "Yong-jie, mari kita pergi bersama untuk nanti pulang bersama!"
Nona itu berdiam.
"Yong-jie, kau percaya aku atau tidak?" Kwee Ceng tanya.
Tiba-tiba nona itu tertawa dan kata: "Jikalau kau memikir untuk menjadi huma atau hu-hoe, akan aku potong kepalamu!"
"Hu-ma" atau menantu raja, huruf "ma"-nya berarti "kuda", karena itu Oey Yong menambahkan dan menyebut "hu-goe" untuk menggoda. Huruf "goe", itu berarti "kerbau"
Kwee Ceng mempertemukan si nona dengan Tuli, sedang Tuli sudah lantas memberi perintah untuk tentara bersiap sedia, untuk besok pagi mereka pulang ke Utara.
Kwee Ceng bersama Oey Yong pulang dulu, untuk mencari kuda dan burung mereka, tetapi besoknya pagi mereka kembali ke pasukan perang Mongolia itu, untuk turut berangkat bersama.
Tuli khawatir tidak keburu bertemu bersama ayahnya, ia memberi kekuasaan kepada wakilnya, untuk memegang pimpinan. Ia sendiri, bersama-sama Kwee Ceng dan Oey Yong berangkat lebih dulu dengan mengaburkan kuda mereka. Maka itu, belum sampai satu bulan, mereka telah tiba di Kemah Emasnya Jenghiz Khan.
Dari jauh-jauh Tuli telah melihat bendera di kemah ayahnya masih terpencar seperti biasa, hatinya menjadi sedikit nlega, meski begitu, hati itu toh berdebaran. Ia telah mengasih kudanya lari sekerasnya untuk sampai di kemah itu.
Kwee Ceng menahan kudanya, pikirannya bekerja keras. Ia ingat budinya khan yang agung itu, yang sudah menolong dan memelihara ia dan ibunya, sebaliknya juga, ia lantas ingat kematian yang menyedihkan dari ibunya itu. Jadinya khan itu berbareng menjadi tuan penolong dan musuh besar! Ia jadi menyayangi dan membenci! Bagaimana sekarang" Selama di Siangyang dan tengah jalan, ia ingin sekali menemui tuan penolong itu, tetapi sedetik ini".. Maka ia berdiam sambil tunduk.
Tidak lama terdengarlah suara terompet, lalu di muka markas terlihatlah munculnya dua baris serdadu pengiring. Setelah itu nampak Jenghiz Khan keluar dengan tubuhnya berkerebong baju bulu hitam, sebelah tangannya memegangi pundak Tuli. Ia masih dapat bertindak lebar, cuma tubuhnya sedikit gemetar.
Kwee Ceng maju ke depan untuk mendekam di tanah.
Matanya khan agung itu mengembang air.
"Bangun, bangun!" katanya. "Setiap hari aku memikirkan kau".!"
Kwee Ceng berbangkit. Ia melihat muka khan keriputan dan pipinya celong. Ia mau percaya orang benar tidak bakal dapat hidup lebih lama pula. Melihat demikian, panas hatinya reda sedikit.
Jenghiz Khan memegangi pundak Kwee Ceng dan pundak Tuli dengan kedua tangannya, ia pun mengawasi mereka dengan bergantian. Kemudian ia menarik napas oanjang, matanya memandang jauh ke depan, ke arah gurun yang besar dan luas. Ia terbengong.
Kwee Ceng dan Tuli tidak dapat menerka hati orang, keduanya berdiam.
Sesudah sekian lama berdiam, Jenghiz Khan menghela napas.
"Dulu hari itu mulanya aku bekerjasama dengan anda Jamukha," ia berkata, "Siapa tahu diakhirnya tidak dapat tidak, aku mesti membunuh saudara angkatku itu. Aku telah menjadi Khan yang maha agung, tetapi dia telah terbinasa di tanganku. Kapan lagi lewat beberapa hari, bagaimana nanti jadinya" Bukankah aku sama dengan dia, bersama pulang ke tanah yang kuning" Siapa berhasil, siapa runtuh, bukankah itu diakhirnya tidak ada perbedaannya"
Ia menepuk-nepuk pundaknya kedua anak muda.
"Maka itu kamu berdua, dari mulai hingga di akhirnya, kamu mesti hidup rukun bersama," ia berkata, "Sekali-kali janganlah kamu saling membunuh. Anda Jamukha telah mati, aku anggap urusannya telah selesai beres, akan tetapi setiap kali aku ingat dia, lantas sukar merapatkan mataku."
Kwee Ceng dan Tuli lantas membayangi kejadian di antara mereka di Siangyang yang baru saja lewat. Bukankah mereka bakal saling membunh" Maka itu mereka malu pada diri mereka sendiri.
Setelah berdiri sekian lama, Jenghiz Khan merasa kakinya lemas, hendak ia kembali ke dalam markas. Belum lagi ia mengajak putranya dan Kwee Ceng masuk ke dalam, di sana terlihat datangnya satu barisan kecil serdadu berkuda dengan yang menjadi kepala seorang dengan pakaian perang warna putih serta ikat pinggang emas. Dari dandannya sudah lantas ketahuan dialah orang bangsa Kim.
Melihat kepada musuh, semangat Jenghiz Khan terbangun.
Orang itu menghentikan barisannya masih jauh-jauh, dia sendiri lantas lompat turun dari kudanya, untuk menghampirkan pendekar Mongolia itu sambil berjalan kaki, tetapi dia tidak berani datang sampai dekat sekali, masih sedikit jauh dia sudah berlutut dan mendekam untuk memberikan hormatnya.
"Utusan negara Kim menghadap Khan yang agung!" demikian dilaporkan.
"Negeri Kim tidak sudi menakluk, dia mengirim utusan, untuk apakah itu?" menanya Jenghiz Khan gusar.
Sambil terus mendekam, utusan Kim itu berkata; "Negara kami yang rendah mengetahui bahwa kami telah berlaku kurang ajar terhadap Khan yang agung, bahwa dosa kami dosan tak terampunkan, karena itu sekarang hamba diutus untuk menghanturkan seribu butir mutiara dengan permohonan Khan yang agung tidak menggusuri pula dan sudi memberi ampun. Mutiara itu ialah mutiara pusaka negara kami, hamba mohon sudi apalah kiranya Khan yang agung menerimanya."
Habis berkata, utusan itu menurunkan bungkusan di punggungnya. Ia membuka itu, untuk mengasih keluar sebuah tetampan kumala, kemudian dari kantung sulamnya ia menuang keluar banyak sekali mutiara, di taruh di atas tetampan itu. Diakhirnya dengan kedua tangannya dia menghanturkan bingkisan itu.
Jenghiz Khan melirik. Ia mendapatkan mutiara-mutiara sebesar jari telunjuk mengitari sebuah yang sebesar jempol tangan. Mutiara itu, satu saja sudah besar harganya, apa pula sampai seribu butir. Semua itu pun terlihat berkilau-kilau.
Dulu-dulu kalau dia melihat mutiara ini, Jenghiz Khan pasti girang bukan main, tetapi sekarang, ia mengerutkan alis beberapa kali.
"Simpanlah!" ia kata kepada pengiringnya.
Si pengiring menyambut tetampan berharga besar itu.
Utusan Kim girang bukan main melihat bingkisannya diterima, ia lantas menghanturkan terima kasihnya. Ia kata bahwa rajanya serta rakyatnya sangat bersyukur dan akan mengingat baik-baik budinya khan yang agung ini, yang sekarang menerima baik permintaan mereka untuk akur dan bersahabat.
"Siapa bilang bersahabat?" kata Jenghiz Khan tiba-tiba.
"Sebentar lagi aku akan menggeraki angkatan perangku menghajar anjing Kim! Tangkap dia!"
Sejumlah serdadu pengiring lantas maju mencekuk utusan itu.
Tapi Jenghiz Khan menghela napas dan berkata: "Biarnya ada seribu mutiara tetapi itu sukar untuk memnikin aku hidup lebih lama satu hari lagi"." Ia menyambuti tetampan dari tangan pengiringnya, ia terus melemparkan itu berikut tetampannya, hingga semua mutiara terlempar dan berhamburan jauh.
Semua orang menjadi kaget dan heran, semuanya bungkam.
Dari banyak mutiara itu, kemudian banyak orang peperangan Mongolia yang memungutnya, masih banyak yang terpendam di rumput, maka beberapa ratus tahun kemudian, ada juga penggembala yang beruntung menemuinya.
Dengan tidak gembira, khan agung ini kembali ke markasnya. Di waktu sore, ia memerintahkan Kwee Ceng seorang diri menemani dia menunggang kuda, untuk pesiar di padang rumput sejauh beberapa puluh lie, sampai di tepi jurang.
Di sini Kwee Ceng lantas ingat halnya ia semasa kecilnya bertemu sama Kanglam Cit Koay, bagaimana diwaktu malam ia menghajar mampus Tong-sie Tan Hian Hong si Mayat Perunggu, bagaimana Ma Giok mengajari ia ilmu tenaga dalam. Mengenang semua itu, ia merasa bersyukur dan terharu. Tengah ia berpikir keras, kupingnya mendengar suara burung rajawali di tengah udara. Itulah burungnya yang terbang berputaran dia atas jurang. Rupanya kedua burungnya itu juga mengenali kampung halaman mereka.
Sekonyong-konyong Jenghiz Khan menurunkan busurnya dan segera memanah kedua burung itu.
Kwee Ceng kaget sekali, dengan gugup ia berseru: "Kha Khan, jangan panah!"
Meski tenaganya berkurang, Jenghiz Khan toh masih cukup kuat, tempo si anak muda berseru, anak panahnya sudah meleset. Maka anak muda ini mengeluh, ia menyesal bukan main. Ia hanya tahu, pendekar Mongolia ini pun satu jago panah. Ia berkhawatir sangat untuk burungnya itu.
Burung rajawali betina yang dipanah Jenghiz Khan. Burung itu melihat datangnya anak panah, dia berkelit dan menyampok dengan sayap kirinya hingga anak panah itu jatuh.
Rajawali yang jantan gusar sekali, dia berbunyi nyaring, dia terbang ke bawah, menyambar ke arah khan yang agung itu.
Kwee Ceng terkejut tetapi ia membentak: "Binatang, kau mau mampus?" Bentakan itu dibarengi sama menyambarnya cambuk.
Burung itu mengenali majikannya, dia batal menyerbu, dengan berbunyi beberapa kali, dia terbang ke atas, untuk bersama yang betina melayang jauh".
Parasnya Jenghiz Khan menjadi guram, dengan lesu ia melemparkan busurnya.
"Selama beberapa puluh tahun, baru hari ini yang pertama kali aku gagal memanah burung rajawali"." katanya. "Rupanya memang benar tiba saat dari kematianku"."
Kwee Ceng hendak menghibur tetapi ia tidak tahu harus membilang apa.
Khan yang agung ini menjepit perut kudanya, membikin binatang tunggangan itu kabur ke utara.
Kwee Ceng khawatir orang nanti mendapat celaka, ia lantas menyusul. Kuda merahnya lari keras sekali, sebentar saja ai sudah dapat menyandak dan mendahului.
Jenghiz Khan menahan kudanya, ia memandang ke empat penjuru.
"Anak Ceng," ia berkata, "Negara besar yang aku membangunnya, berjaman-jaman tidak ada bandingannya! Dari tengah-tengah negaraku ini sampai di daerah yang paling ujung di sekitarnya, di timur dan selatan, di barat dan utara, semuanya seperjalanan satu tahun lamanya!" Kau bilang, di antara pendekar-pendekar di jaman dulu hingga jaman sekarang ini, siapakah yang dapat melawan aku?"
Kwee Ceng berdiam sekian lama, baru ia menyahuti: "Di dalam halnya kegagahan, semenjak dulu hingga sekarang ini, tidak ada yang dapat menandinginya, hanyalah oleh karena keangkeran Khan seorang, maka di kolong langit ini entah telah bertumpuk berapa banyak tulang-belulang putih serta mengalirkan air matanya setahu berapa banyaknya anak-anak piatu dan janda?"
Sepasang alis Jenghiz Khan berdiri, cambuknya menyambar ke pundak si anak muda!
Kwee Ceng melihat itu, ia tidak takut, ia berdiam saja.
Cambuk itu berhenti di tengah udara.
"Apa kau bilang?" membentak pendekar Mongolia itu.
Kwee ceng berpikir: "Setelah hari ini dan selanjutnya, pasti aku dan khan tidak dapat bakal bertemu pula maka itu biarnya dia bakal gusar sekali, apa yang aku pikir mesti aku mengutarakannya!" Maka ia menyahuti dengan gagah: "Khan yang agung! kau telah memelihara aku dan mendidik aku, kau juga telah memaksakan kematian ibuku! Tapi itulah budi dan dendaman pribadi, tak usahlah itu dibicarakan! Sekarang aku hendak tanya kau dengan satu pertanyaan saja: 'Kalau seorang mati dan dia dikubur di dalam tanah, berapa luas dia dapat tanah kuburannya itu?"
Jenghiz Khan melengak, lalu ia mengayun bundaran dengan cambuknya.
"Itulah lebih kurang seluas ini," sahutnya.
"Benar," berkata Kwee Ceng. "Sekarang kau telah membinasakan demikian banyak orang, kau telah mengalirkan demikian banyak darah, kau juga telah merampas demikian banyak negara, diakhirnya, apakah gunanya semua itu?"
Khan yang agung itu, pendekar dari Mongolia, berdiam. Tidak dapat ia membuka mulutnya.
Kwee ceng berkata pula: "Pendekar jaman dahulu hingga jaman sekarang ini, mereka yang dikagumi orang jaman belakangan, mesti dia yang telah membuatnya rakyat berbahagia dan yang mencintai rakyatnya! Menurut pandanganku sendiri, siapa yang membunuh banyak orang, belum tentu dialah satu pendekar!"
Dengan "pendekar" itu Kwee Ceng maksudkan "enghiong"
"Apakah seumurku, aku belum pernah melakukan pekerjaan baik?" khan itu tanya.
"Pekerjaan baik itu pasti ada dan juga besar sekali," menjawab Kwee Ceng. "Kau telah menerjang ke Selatan dan menyerbu ke Utara, kau telah menumpuk mayat setinggi gunung, apakah itu yang dinamakan jasa atau dosa, itulah sukar dibilang?""
Kwee ceng jujur, maka apa yang ia pikir lantas ia mengutarakannya.
Jenghiz Khan berkepala besar, ia biasa merasa puas akan dirinya sendiri, sekarang di saat-saat dari hari akhirnya, ia mesti mendengar kata-kata tajam itu, ia tidak dapat kata-kata untuk membilang suatu apa, ia lantas segera membayangi segala perbuatannya yang dulu-dulu. Ia pun memandang kelilingan. Ia merasa seperti kehilangan sesuatu. Lewat lagi sesaat, mendadak ia berseru: "Oweh!" dan ia memuntahkan darah hidup!"
Kwee Ceng kaget. Ia lantas mengerti bahwa barusan ia telah berbicara terlalu tajam. Ia lantas mempepayang pendekar itu.
"Kha Khan, mari kita pulang untuk beristirahat," katanya. "Barusan aku telah salah omong, harap dimaafkan."
Tapi Jenghiz Khan tertawa, tawar tertawanya, parasnya pun menjadi kuning pias.
"Orang di kiri kananku," katanya, "Tidak seorang juga yang bernyali besar seperti kau, yang berani omong padaku secara begini jujur."
Ia lantas mengangkat alisnya, kelihatan jumawa. Ia kata nyaring: "Seumurku aku telah malang melintang di kolong langit ini, aku telah memukul musnah negara lain tak terhitung banyaknya, tetapi menurut kau, aku bukannya satu pendekar! Hm, sungguh kata-katanya seorang bocah!"
Ia mencambuk kudanya, ia melarikannya pulang.
0oooooo0 Malam itu Jenghiz Khan berpulang ke lain dunia di dalam Kemah Emasnya, maka menurut pesannya yang terakhir, Ogotai menggantikan dia menjadi khan yang maha agung. Di saat napas terakhirnya, beberapa kali ia menyebut-nyebut: "Pendekar"..Pendekar"." Rupanya ia terpengaruh sangat perkataannya Kwee Ceng.
Kwee Ceng dan Oey Yong menanti sampai upacara pemakaman selesai di itu hari juga mereka pulang ke Selatan. Di sepanjang jalan, hati mereka bukan main terharunya, sebab mereka melihat di antara rumput-rumput tebal tak sedikit tulang-belulang putih korban bencana perang. Mereka melamun, kapan akan datangnya jaman aman sentosan hingga rakyat dapat hidup aman dan berbahagia".
TAMAT Pendekar Jembel 15 Pendekar Riang Karya Khu Lung Raja Naga 7 Bintang 4

Cari Blog Ini