Ceritasilat Novel Online

Peristiwa Merah Salju 13

Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long Bagian 13


rasa haru dan kegirangan. "Lekas kalian kemari dan lihatlah, inilah Siau-li si pisau terbang, Siau-li
Tham-hoa sendiri yang memberikan kepadaku."
Waktu itu pertama kali Ban be tongcu melihat pisau ini, di atas pisau ada diukir dua huruf "Jinjin"
artinya cinta kasih.
"Huruf Jin ini adalah ukiran Siau-li Tham-hoa sendiri menggunakan pisaunya yang lain, katanya
dia bisa hidup sampai sekarang, karena selama ini dia sudah meresapi arti sejati dari huruf 'Jin' ini,
maka huruf ini dia hendak hadiahkan kepadaku."
Waktu itu Pek Thian-ih memang pernah mendapat kebaikan Siau-li Tham-hoa, sudah tentu dia
bukan laki-laki yang tidak tahu kebaikan.
"Dia malah berjanji kepadaku, jika putraku yang kedua lahir, boleh diantar ke tempatnya
tetirah, dia malah menambahkan, kalau ada orang bisa mempelajari kepandaian pisau terbangnya,
maka orang itu pasti adalah putraku."
Sayang sekali belum cinta dan harapannya terlaksana, dia sudah keburu ajal, kalau dia sudah
lupa akan pemberian huruf "Jin" dari Siau-li Tham-hoa. Tapi Ban be tongcu justru tidak lupa,
kejadian masa lalu ini masih segar dalam ingatannya.
Cuaca sudah mulai gelap. Ban be tongcu mengawasi warna kertas jendela yang putih, pelanpelan
menjadi buram dan gelap, dia harus bisa tidur nyenyak meski hanya sejenak.
Sejak turun gunung dia tidak berhenti di kampung-kampung yang dia lewati, langsung menuju
ke tempat ini. Karena selama hidupnya belum pernah dia menemukan penginapan sekotor, gelap
dan bobrok seperti ini.
Jangan kata tamu, pelayan pun tiada di penginapan ini, pemiliknya adalah seorang laki-laki tua
setengah tuli bermata lamur lagi, setua itu usianya masih berusaha di tempat yang miskin ini,
maklumlah karena tiada tempat lain untuknya berteduh. Berhadapan dengan orang tua ini, mau
tidak mau Ban be tongcu memikirkan diri sendiri. "Dan aku" Apakah aku seperti dia, tiada tempat
lain untukku berteduh?" Tangannya terkepal, dia tertawa dingin kepada diri sendiri.
Tatkala itu dari jendela yang sudah rusak terhembus angin, tercium bau bawang goreng yang
dimasak dengan bakmi, agaknya lebih lezat dan nikmat daripada daging sapi yang baru saja
dipanggang di atas api.
Sekujur badannya lemas-lunglai, jari tangannya pun rada gemetar, lapar, sungguh suatu derita
yang susah ditahan. Di tengah jalan tadi, dia pikir hendak mampir di warung bakmi, namun
teringat tidak membawa uang sepeser pun. Sebagai majikan besar, biasanya Ban be tongcu tidak
pernah membawa uang tunai meski pergi kemana pun juga. Maka sampai detik ini, sebutir nasi
pun belum masuk ke perutnya.
Pelan-pelan dia merangkak bangun dengan gerakan pelan, baru sekarang dia menyadari akan
kelemahan dirinya. Lapar membuat dia tak tahan lagi. Setelah mendorong pintu, dia menyusuri
serambi panjang di pekarangan kecil, akhirnya dia menemukan dapur.
Laki-laki tua pemilik penginapan setengah tuli bermata lamur tengah meletakkan sebuah
mangkuk besar berisi bakmi kuah. Di bawah sinar pelita yang guram, kuah bakmi kelihatan seperti
air lumpur, bagian atasnya masih kelihatan beberapa lembar daun menguning yang terapung. Tapi
bagi pandangan Ban be tongcu yang sudah kelaparan ini, sudah merupakan hidangan malam yang
paling enak. Dengan membusungkan dada dia menghampiri seraya berkata, "Kau boleh masak
semangkuk lagi."
Sampai detik ini, setiap kali bicara, suaranya masih membawa nada memerintah, sayangnya
sekarang tiada orang yang sudi menganggap perkataannya sebagai perintah. Balas menatapnya,
kakek tua lekas sekali menggeleng kepala.
Ban be tongcu mengerut kening, tanyanya, "Kau tidak mendengar?"
Waktu tertawa si kakek memperlihatkan gigi kuningnya yang sudah ompong, katanya, "Aku
bukan orang tuli, masakah tidak mendengar, cuma setelah aku makan, boleh nanti kubikinkan
semangkuk lagi untuk kau, tapi kau harus keluar uang dulu supaya kubelikan bakmi."
Seketika Ban be tongcu menarik muka, katanya, "Apa-apaan sikapmu ini" Caramu menghadapi
tamu, mana bisa kau berdagang?"
Kakek tua tertawa pula, ujarnya, "Memangnya aku tidak ada usaha dagang"
"Lalu untuk apa kau buka penginapanmu ini?"
"Tiada maksud apa-apa, aku hanya menunggu ajal di sini, hanya orang yang ingin lekas mati
baru sudi berdiam di tempat ini."
Tanpa peduli kepada Ban be tongcu lagi, mendadak dia terbungkuk batuk-batuk, terus berludah
beberapa kali ke dalam mangkuk bakminya, gumamnya, "Aku tahu kau pun gelandangan yang tak
mampu membayar, tidak jadi soal kau tidur di kamarmu itu dua tiga hari secara gratis, tapi
semangkuk bakmi ini aku sendiri hendak memakannya, kecuali kau berani makan ludahku juga."
Sudah tentu Ban be tongcu tertegun. Jari-jarinya terkepal, hampir tak tahan sekali genjot dia
pukul remuk batok kepala si kakek tua kurangajar ini. Tapi dia menahan sabar. Agaknya untuk
marah pun sekarang dia sudah enggan, namun terasa mulutnya getir dan kecut, entah harus
tertawa atau menangis" Masakah Ban be tongcu yang sudah merajai jagat hampir setengah abad,
hanya demi semangkuk bakmi kuah seperti air pencomberan rela membunuh seorang kakek tua
renta di dapurnya yang bobrok dan kotor ini Sungguh dia merasa geli. Tak tahan akhirnya dia
tertawa, namun tawa pilu yang lebih dari menangis.
Angin menghembus, beberapa daun kering bergulung melayang jatuh. "Bukankah keadaanku
mirip daun kering itu" Sedang bergelimang di tengah tanah becek?" Dengan menunduk Ban be
tongcu melangkah ke arah pekarangan, bulan sabit memancarkan cahayanya yang redup,
bayangan tubuhnya terseret memanjang, waktu dia mendorong pintu, sinar bulan ikut menyorot
masuk, menyoroti badan seseorang.
Bagai dedemit seorang berdiri tegak di tempat gelap, waktu pintu terbuka, cahaya rembulan
yang redup kebetulan menyinari pakaian yang dipakainya, seperangkat rok warna merah pendek
bagian atasnya, dikombinasikan gaun panjang berlempit rapat warna merah dadu dengan sabuk
sutra hitam. Tiba-tiba napas Ban be tongcu seperti terputus. Dia kenal baik pakaian ini, waktu pertama kali
Sim Sam-nio menemui dirinya, pakaian inilah yang dipakainya. Pada malam itu juga dialah yang
menelanjangi pakaian ini dari atas badannya, malam itu juga dia menggagahi gadis perawan ini.
Dimana dan kapan, untuk selamanya dia tidak akan lupa adegan mesra malam itu, orang
bercucuran air mata, sorot matanya mengunjuk rasa minta dikasihani, dia pun takkan melupakan
seperangkat pakaian ini, walau pakaian ini sudah beberapa tahun tak pernah dipakainya lagi.
Sekarang kenapa dia justru memakainya lagi" Bagaimana bisa mendadak muncul di sini"
Mungkinkah dia belum mati"
Tak tahan Ban be tongcu berseru lirih, "Sam-nio, kaukah?"
Tiada jawaban, tiada suara. Hanya deru angin yang menghembus masuk dari luar, maka
melambailah pakaiannya itu seperti bidadari yang turun dari kahyangan. Tapi bayangan tubuhnya
seperti tidak berbentuk lagi, tiada jasad tak bermuka, tidak berdarah daging, hanya pakaian saja
yang kosong melompong, mungkin hanya sukmanya saja, peduli mati atau hidup, sukmanya yang
gentayangan tetap mengejar laki-laki yang tidak kenal budi dan meninggalkan dirinya di saat
sekarat menjelang ajal. Hanya untuk menyelamatkan jiwa sendiri.
Menghijau pucat muka Ban be tongcu, katanya tawar, "Sam-nio, aku tahu perbuatanku
memang berdosa terhadap kau, peduli kau masih hidup atau sudah menjadi setan, selanjutnya
aku tak akan meninggalkan kau lagi."
Sambil bicara kakinya pelan-pelan beranjak maju, habis bicara mendadak dia bergerak secepat
kilat, sekali raih dia cengkeram lengan orang.
Sayang sekali yang ditangkap bukan orangnya, bukan sukma gentayangan, tapi adalah manusia
rumput yang mengenakan pakaiannya Seketika berubah muka Ban be tongcu, baru saja hendak
membalik badan namun belum sempat dia bergerak, ujung sebatang pedang tahu-tahu sudah
mengancam punggungnya, ujung pedang yang tajam dan dingin sudah tembus pakaian dan
menyentuh kulitnya.
Seorang melangkah keluar dari balik pintu sambil bersenandung, "Langit bergoncang, bumi
bergetar, Kwan tang ban be tong. Kuda bagai naga. Manusia bagai baja."
"Siapa kau?" bentak Ban be tongcu dengan suara kereng
Jawab orang itu, "Aku manusia, seperti dirimu, manusia yang punya darah daging, jadi bukan
setan, namun bukan baja, maka kalau aku jadi kau sekarang aku pasti berdiri diam, bergerak pun
tidak." Suaranya runcing dan aneh kedengarannya, jelas dia menggunakan suara palsu. Dengan
dingin dia melanjutkan, "Tentunya kau tidak ingin melihat pedang di tanganku ini amblas dan
tembus dadamu." Sedikit dia kerahkan tenaga, ujung pedang yang tajam sudah menusuk ke
dalam kulit dagingnya.
Tapi Ban be tongcu malah menghela napas lega, karena itu pedang bukan golok, karena orang
yang mengancam dirinya ini bukan Pho Ang-soat. Umpama benar yang datang adalah Pho Angsoat,
orang tak akan mengubah suaranya.
Orang itu berkata pula, "Lebih baik kalau pikiranmu tidak melantur karena selamanya kau
takkan bisa tahu siapa aku sebenar nya."
"Darimana kau tahu siapa aku?"
"Sejak lama aku sudah mengenalmu, cuma selamanya tidak pernah terpikir, Ban be tongcu dari
Kwan tang yang diagulkan seperti kuda bagai naga dan manusia bagai baja ini, ternyata tahu
mawas diri bahwa perbuatannya amat tercela. Jika Sim Sam-nio belum meninggal, hatinya pasti
riang mendengar ucapanmu."
"Kau... kau pun kenal Sim Sam-nio?"
"Banyak urusan yang kuketahui, maka terhadap persoalan apa pun lebih baik kau jangan
mengelabui aku. "
"Pakaian ini kau dapatkan dari buntalannya?" tanya Ban be tongcu Orang itu mandah tertawa
dingin, tawa dingin dan diam saja adalah pertanda mengakui.
Mendadak serasa ditusuk sembilu hulu hati Ban be tongcu, tak pernah terpikir olehnya Sim
Sam-nio bakal menyimpan pakaiannya yang penuh kenangan pahit dan nikmat ini. Memangnya dia
pun menyekap rasa senang, nikmat dan sakit malam itu di dalam sanubarinya" Dengan mengertak
gigi Ban be tongcu tiba-tiba tertawa dingin, "Memalsu malaikat bermain setan, memangnya
permainan yang berhasil. Tapi tidak pantas kau menggunakan pakaian ini. Karena secara tidak
langsung kau sudah memberitahu kepadaku bahwa kaulah orang yang membunuh Sim Sam-nio."
Suaranya mengandung dendam. Katanya lebih lanjut, "Bukan saja membunuh jiwanya, kau pun
merampas buntalannya...."
Orang itu segera menukas ucapannya, jengeknya dingin, "Masakah kau tidak pernah
membunuh orang" Caraku memang kejam. Tapi dibanding kau paling tidak lebih baik, yang terang
aku belum pernah membunuh saudara angkat seperjuangan, juga tidak menggunakan harta
pening-galan saudaraku yang terbunuh itu untuk mendirikan Ban be tong di Kwan tang."
Seketika berubah air muka Ban be tongcu, hanya beberapa gelintir orang Kangouw saja yang
sampai sekarang tahu akan rahasia ini. Sampai pun Pho Ang-soat sendiri belum tahu, bahwa uang
dan modal untuk membangun Ban be tong memang benar hasil rampasan dari peninggalan
keluarga Pek Thian-ih. Lalu bagaimana orang ini bisa tahu?"
Sekonyong-konyong terasa oleh Ban be tongcu arus hawa dingin setajam golok merembes naik
dari telapak kakinya, katanya dengan suara serak, "Kau siapa sebetulnya!?"
"Tadi sudah kukatakan, aku ini adalah orang yang serba tahu, tentunya kau tahu bahwa aku
bukan menggertak kau."
"Kalau kau serba tahu, apa pula yang kau inginkan?"
"Apa pun tak kuinginkan, cuma semua harta yang berhasil kau rebut dari tangan orang lain
harus kau serahkan kepadaku."
"Kalau kau mau, boleh kau ambil, sayang sekali Ban be tong yang dulu terkenal serba subur
dengan kuda dan rumput, kini sudah menjadi tumpukan puing belaka."
"Tentunya kau tahu yang kuinginkan bukan tanah puing-puing itu, yaitu harta mestika yang
secara diam-diam kau sembunyikan. "
"Harta mestika" Harta mestika apa?"
"Dulu Sin to tong menggetarkan Bu-lim, malang melintang di seluruh jagat, ketenaran
kekuasaannya jauh mengungguli Kim ci pang yang dipimpin Siangkoan Kim-hong. Setelah
Siangkoang Kim-hong wafat dia meninggalkan harta-karun yang tak ternilai banyaknya, apa lagi
Sin to tong."
"Sayangnya aku bukan anggota Sin-to-tong."
"Sudah tentu kau bukan, kau tidak lebih adalah seorang pembunuh durjana yang menghabisi
seluruh jiwa keluarga pemilik Sin to tong, kau suruh orang banyak membantu kejahatan,
membunuh Pek Thian-ih, namun seorang diri kau caplok seluruh harta bendanya, harus dikasihani
orang-orang yang menjadi korban di luar Bwe hoa am, sungguh mereka mati dengan penasaran...
penasaran."
Kaki tangan Ban be tongcu menjadi dingin dan lemas, tiba-tiba disadarinya bahwa apa yang
diketahui oleh orang ini memang terlalu banyak. Terdengar suara orang semakin bengis, "Para
yatim piatu semua korban itu, sampai sekarang ada yang hidup sengsara, kedinginan, kelaparan
tak punya rumah tak bisa berpakaian. Sekarang aku justru mewakilkan mereka membuat
perhitungan terhadap kau."
Ban be tongcu tiba-tiba tertawa dingin, jengeknya, "Tapi darimana kau bisa tahu siapa saja
orang-orang yang menjadi korban di luar Bwe hoa am?"
Orang itu tidak menjawab, cuma pedang di tangannya terasa sedikit gemetar.
Sepatah demi sepatah Ban be tongcu menyambung, "Kecuali aku, hanya seorang lagi yang
tahu di dunia ini, siapa saja orang-orang yang ikut berkorban malam itu, hanya seorang...
sungguh tak terpikir olehku bahwa orang-orang ini bakal membocorkan rahasia ini kepada orang
ketiga." Suaranya mendesis dingin dan kejam, diliputi dendam dan amarah. Katanya lebih lanjut,
"Dan kaulah orang ketiga yang mengetahui rahasia ini, siapa kau sebenarnya?"
Orang itu tertawa dingin.
"Siapa kau?" desak Ban be tongcu lebih lanjut.
Terpaksa orang itu menjawab dengan tertawa dingin, "Untuk selamanya kau takkan tahu siapa
aku sebenarnya."
"Kalau begitu kau selamanya jangan harap bisa tahu dimana letak harta-karun itu."
Agaknya orang itu tertegun.
"Apa lagi," demikian Ban be tongcu bermuslihat, "umpama tidak kau katakan, aku sudah tahu
siapa kau sebenarnya, jika kau benar membunuhku, tiga hari setelah aku mati, akan ada
seseorang yang akan membocorkan rahasia keluargamu, supaya seluruh kaum persilatan di kolong
langit tahu... sudah tentu keturunan keluarga Pek juga akan mengetahuinya."
Agak bergetar pedang di tangan orang itu, katanya dingin, "Jika kau mampus, siapa lagi yang
bisa membocorkan rahasia ini?" Betapa pun usianya masih terlalu muda, betapa pun licik dan
licinnya, dia bukan tandingan Ban be tongcu si rase tua ini. Ucapannya bukan saja menunjukkan
kelemahannya sendiri, sekaligus dia sudah mengakui bahwa dirinya memang benar adalah yang
sudah diperkirakan Ban be tongcu.
Seketika bersinar biji mata Ban be tongcu, katanya dingin, "Di saat aku masih hidup, memang
tak ada orang yang membocorkan rahasia ini."
Tak tahan orang itu bertanya pula, "Kalau kau mampus malah ada?"
"Benar."
"Kau... jadi kau meninggalkan sepucuk surat di tangan seseorang" Jika kau mati, dia akan
membuka dan membeber isi surat itu kepada umum?"
Suara Ban be tongcu tawar, "Agaknya kau memang cerdik, terpikir juga cara yang baik ini."
"Ya, gampang saja untuk menggunakan cara ini, tapi aku tidak percaya. Karena tiada seorang
pun di dunia ini yang kau percayai, mungkinkah kau menyerahkan surat rahasia itu kepadaku?"
Mendadak Ban be tongcu tertawa, katanya, "Apa kau ingin tahu siapa orang yang kutitipi surat"
Setelah kau membunuh aku, baru sekalian kau akan membunuhnya?"
Terkancing mulut orang itu.
Ban be tongcu mendapat angin, katanya tertawa tawar, "Cara yang kau gunakan ini memang
bagus, hanya sayangnya tiga puluh tahun yang lalu aku pun pernah menggunakannya."
Lama orang itu membungkam, tiba-tiba dia tertawa, ujarnya, "Apa kau beranggapan aku akan
membebaskan kau begini saja?"
"Sudah tentu tidak, tapi tiada ruginya kita bertransaksi dagang."
"Transaksi dagang apa?"
"Kau temani aku membunuh Pho Ang-soat, kubawa kau mencari harta-karun itu, kau tetap
merahasiakan keburukanku, aku pun tak menyinggung tentang dirimu. Harta-karun yang
kusembunyikan itu, lebih dari cukup untuk dibagi dan kita gunakan seumur hidup, coba katakan
bukankah transaksi dagang ini cukup adil?"
Orang itu diam saja, otaknya diperas, agaknya hatinya sudah terpikat akan tawaran ini.
"Apalagi kau pun harus tahu, leluhurmu adalah satu-satunya orang yang sama-sama
merahasiakan kejadian itu, karena aku mempercayainya, dia pun percaya kepadaku, maka kita
berhasil melakukan urusan besar yang menggetarkan dunia, bukankah kesempatan kita sekarang
jauh lebih baik dari dulu?"
Orang itu mulai bimbang, katanya pelan-pelan, "Aku boleh menerima, cuma kau harus temani
aku mengambil harta-karun itu baru kutemani kau membunuh Pho Ang-soat."
"Begitupun boleh."
"Masih ada, di waktu kita mengambil harta-karun itu, aku harus menotok kedua Hiat-to di
kedua lenganmu."
"Apakah kau takut aku turun tangan mencelakai jiwamu?"
"Aku hanya tanya kau mau terima tidak syaratku?"
Ban be tongcu tertawa lebar, ujarnya, "Boleh juga, kalau aku sudah mempercayai leluhurmu,
sudah tentu aku percaya juga terhadapmu."
Akhirnya orang itu menghela napas lega, katanya, "Aku hanya menotok Jian-kin-hiat di kedua
pundak kanan kirimu, supaya kau tidak bisa turun tangan." Lalu dia melangkah setindak,
menggunakan kedua jari tangannya yang semula menggenggam gagang pedang, menotok ke
pundak kanan Ban be tongcu. Untuk ini terpaksa dia harus menurunkan dulu pedang di tangan
kanannya, kalau tidak, kedua jarinya takkan bisa menotok pundak Ban be tongcu. Akan tetapi
kejadian hanya berlangsung sekejap saja, begitu pedang di tangan kanan diturunkan, berbareng
tangan kiri sekaligus menotok pula, dia yakin kecepatan gerakannya takkan kalah cepat dari orang
lain. Tapi dia tetap kurang cepat. Di dalam waktu sekejap itu, mendadak Ban be tongcu mendak dan
miringkan badan, berbareng sikut kanannya telak sekali menyodok lambung orang, disusul
kepalannya terayun balik ke belakang, menghajar muka orang.
Kontan orang itu mendengar suara keras dari bunyi tulang patah, itulah tulang iganya yang
tersodok remuk, berbareng badannya mencelat naik dan terbang jauh, sekonyong-konyong terasa
pandangan matanya gelap, di tengah kegelapan dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip.
Namun dia tahu dirinya sekali-kali tidak boleh jatuh semaput, latihan berat secara tekun selama
lima belas tahun, bukan saja dia pandai memukul orang, dia pun sudah kebal dihajar orang.
Begitu badannya terbanting di tanah, sekuatnya dia menggigit bibir, rasa sakit beruntung masih
kuat mempertahankan kesadarannya. Sigap sekali dia terus menggelinding di tanah.
Waktu Ban be tongcu memburu maju, dilihatnya orang mengayun tangan, disusul sinar pisau
berkelebat. Sinar senjata bagai kilat menyambar, itula pisau terbang. Pisau terbang Siau-li
selamanya tak pernah luput, kewibawaan dan kebesaran nama pisau terbang Siau-li, sampai
sekarang tetap membikin setiap insan persilatan mengkirik bila mendengarnya. Walau yang
menyambar ini bukan pisau terbang milik Siau-li, namun cukup membikin sukma Ban be tongcu


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serasa terbang dari raganya. Bukan saja dia tidak berani mengulur tangan menyambut, gerakgeriknya
berkelit lantaran terlalu ketakutan menjadi lambat. Cepat sekali sinar pisau lantas lenyap,
tahu-tahu pisau sudah menancap di pundaknya.
Itupun sebilah pisau terbang. Tapi di atas langit maupun di bawah bumi, sejak zaman dulu,
jelas tak pernah ada pisau terbang milik siapa pun yang kuasa menandingi pisau terbang Siau-li,
umpama bintang-bintang di angkasa raya yang memancarkan cahayanya yang terang, betapa pun
cemerlangnya takkan kuasa menandingi benderangnya sinar bulan purnama.
Jika pisau terbang yang menyambar ini benar adalah milik Siau-li, sepuluh kali lebih cepat pun
gerakan berkelit Ban be tongcu takkan bisa meluputkan diri dari sambarannya.
Karena bukan saja pisau terbang Siau-li merupakan pisau terbang mandra-guna, sekaligus
pisau terbangnya merupakan perlambang kesaktian, kejahatan, suatu kekuatan yang tiada
taranya. Tiada orang yang mampu meluputkan diri dari serangan Siau-li, karena kedua orang yang
berhadapan itu sendiri sudah menentukan apakah dia mampu meluputkan diri dari sambarannya.
Hal ini ibarat setiap orang sudah sama-sama mengetahui, bencana alam siapa pun takkan kuasa
menghindarinya.
Begitu pisau berkelebat, orang itupun sudah menggelundung keluar ke pekarangan, begitu
membalik badan, setangkas kera badannya lantas mencelat tinggi. Ban be tongcu hanya melihat
sesosok bayangan hitam berkelebat, tahu-tahu sudah lenyap ditelan kegelapan. Dengan
mengertak gigi, dia cabut pisau di pundaknya seraya mengejar keluar. Dia percaya orang ini
takkan bisa lari jauh, siapa pun yang terkena dua kali pukulannya, pasti takkan bisa lari jauh.
BAB 43. KETURUNAN KELUARGA PERSILATAN
Malam berlarut, bulan sabit bercokol dengan cahayanya yang redup dingin, menyoroti mukanya
yang pucat, menyoroti goloknya yang hitam.
Pho Ang-soat berdiri diam di bawah sinar rembulan, di depannya adalah hutan belantara,
demikian pula di belakangnya adalah hutan belukar. Seorang diri dia hadapi alam semesta yang
tak berujung pangkal gelapnya, seolah-olah dia sudah tiada di dunia ini. Dunia seakan-akan sudah
melupakan dirinya. Badan lelah, kantong kosong, perut kelaparan, badan kedinginan lagi. Tiada
tempat untuknya berpijak, karena walau dia punya rumah, tapi dia tak boleh pulang.
Dengan kedua tangannya sendiri dia mengubur pujaan hatinya, ingin dia menuntut balas,
sayang siapa pembunuhnya dia belum mengetahuinya. Yang dia tahu salah seorang musuhnya
adalah Be Khong-cun, tapi dia pun tidak tahu kemana dia harus mencarinya"
Yap Kay menganggapnya sebagai teman, tapi bukan saja dia menolak, malah lari menyingkir.
Akan tetapi kecuali Yap Kay, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang memandang dirinya
sebagai kawan, umpama dia mampus di tengah jalan, mungkin takkan ada orang mengurus
jenazahnya. Dunia sebesar ini, seolah-olah tiada tempat lagi untuk dirinya berpijak. Hidupnya
seolah sudah berlebihan, tapi dia justru harus mempertahankan hidup. Lalu apa pula yang harus
dia kerjakan bila bertahan hidup" Kemana dia harus pergi" Kemana pula dia harus menuju" Dia
tidak tahu. Sampai pun malam ini dia harus kemana dia pun tidak tahu, sampai pun sebuah hotel yang
paling rendah dan murah serta bobrok pun dia tidak berani masuk ke sana, karena sepeser uang
pun dia tidak memiliki. Apakah dia harus hidup terlunta-lunta sepanjang hari dan malam
menunggu hari terang tanah" Lalu apa pula yang harus dia kerjakan setelah hari menjadi siang"
Tangan Pho Ang-soat tetap menggenggam golok, sanubarinya terasa hambar dan kosong. Dulu
paling dia masih bisa merindukan seseorang, meski rindu merupakan suatu tekanan batin yang
menyiksa jiwa, tapi sedikitnya ada seorang yang patut dia kenang. Tapi sekarang ....
Sekarang apa pula yang dia miliki" Hanya kekosongan belaka, sampai pun dendam kesumat
yang sudah mendarah daging dalam sanubarinya, kini sudah terasa terpencil, seolah-olah
khayalan belaka. Dan itulah yang paling menakutkan.
Dengan mengertak gigi, sedapat mungkin dia mengendalikan diri, meski tiada orang lain di sini,
dia tetap mempertahankan supaya air matanya tidak meleleh.
Pada saat itulah sekonyong-konyong dilihatnya sesosok bayangan orang berlari kencang keluar
hutan belantara nan gelap sana. Seorang serba hitam yang mukanya berlepotan darah. Laksana
dikejar setan jahat layaknya sampai pun orang berdiri di depannya pun sudah tak terlihat lagi,
hampir saja dia menumbuk badan Pho Ang-soat. Begitu dia berhadapan dengan Pho Ang-soat,
untuk berpaling pun sudah terlambat. Raut mukanya yang sudah terpukul hancur berubah dari
bentuknya semula, mendadak berubah lebih mengerikan karena dibayangi rasa ketakutan yang
tak terperikan.
Pho Ang-soat malah tidak merasa heran, siapa pun takkan menyangka di dalam hutan selebat
ini di tengah malam lagi, masih ada dirinya yang menjublek di sini. Dia memandang laki-laki baju
serba hitam ini. Sebaliknya laki-laki baju serba hitam ini menyurut mundur beberapa langkah,
serunya tiba-tiba, "Kaukah Pho Ang-soat?"
Pho Ang-soat melengak, sungguh di luar dugaan, tanyanya, "Siapa kau" Dimana kau kenal
diriku?" Laki-laki baju hitam tidak menjawab pertanyaannya, dia malah menuding hutan belantara di
belakangnya, katanya dengan suara sumbang, "Be Khong-cun berada di belakang, kau... lekas kau
pergi membunuhnya."
Bagai tali busur yang tertarik kencang, setiap jengkal otot daging Pho Ang-soat seketika
mengencang keras. Dia sudah biasa menderita dalam kehidupan, sampai telapak kakinya sudah
tebal, tetap dia tidak menemukan musuh besarnya, kini orang asing yang muncul mendadak ini
menunjukkan jejak orang kepadanya, sungguh dia tidak percaya, tidak berani percaya.
Agaknya laki-laki baju hitam bisa meraba pikirannya, segera dia menambahkan, "Selamanya
aku tidak kenal kau, kenapa aku harus menipu kau" Paling tidak kau harus menengoknya ke sana,
bagimu toh tiada ruginya."
Pho Ang-soat tidak banyak bertanya lagi. Peduli siapa laki-laki baju hitam ini, orang memang
tiada alasan membual terhadap dirinya, apalagi tiada ruginya umpama orang memang membual.
Bahwa seseorang memang sudah tidak memiliki apa-apa lagi, apa pula yang dia takutkan"
Pelan-pelan Pho Ang-soat membalik badan, kejap lain bayangannya sudah lenyap ditelan
gelapnya hutan lebat.
Sungguh tak pernah terbayang oleh laki-laki baju hitam bahwa pemuda cacad yang kurus dan
pucat ini ternyata memiliki gerakan badan seringan dan secepat itu. Matanya memancarkan sorot
kuatir, mendadak dia berseru sekeras-kerasnya, "Bukan saja Be Khong-cun musuhmu, dia pun
musuhku, jangan kau percaya akan obrolannya."
Sebenarnya setiap langkah kerja dan tindak-tanduknya, dia amat hati-hati dan cermat, agaknya
dia takut bila Pho Ang-soat mendengar adu domba Be Khong-cun, Pho Ang-soat akan kembali
mengudak dirinya. Sungguh tak pernah terpikir olehnya bahwa ucapannya ini justru merupakan
suatu kesalahan fatal yang mengancam jiwanya kelak.
Belum lenyap kumandang suaranya, tiba-tiba bayangan Pho Ang-soat muncul kembali di
hadapannya, mukanya yang pucat menampilkan rona menakutkan, matanya melotot, katanya
tandas, "Katakan Be Khong-cun pernah apamu?" Kedua biji matanya yang sudah mengantuk dan
dingin, kini kembali cermelang setajam golok.
Tanpa kuasa laki-laki baju hitam menyurut mundur oleh tatapan tajam ini, sahutnya,
"Kukatakan dia... dia orang adala... musuhku."
Pho Ang-soat menatap lekat-lekat, sekujur badannya seakan-akan kaku menjadi seonggok
kayu. "Setiap kali orang mengucapkan "orang', lidahnya seakan-akan menjadi kaku, sehingga
kedengarannya menjadi "olang". Teringat cerita Sim Sam-nio yang seperti guntur di siang hari
bolong menggelegar di pinggir telinganya. Mukanya yang pucat seketika bersemu merah terus
terbakar seperti bara yang menyala. Sekujur badannya bergetar hebat. Hanya tangan yang
mencekal golok masih mantap dan tenang. Seluruh kekuatannya sudah dia kerahkan di tangannya
yang satu ini. Tangan putih, golok nan hitam.
Laki-laki baju hitam mengawasinya dengan kaget, katanya, "Kau... masa kau tidak percaya
ucapanku?"
Seolah-olah tidak mendengar pertanyaannya, pelan-pelan Pho Ang-soat memutar badan terus
berlutut ke arah timur. Laki-laki baju hitam terlongong, sungguh dia tidak habis mengerti
menghadapi tingkah-laku aneh dari pemuda cacad ini, entah apa yang sedang dilakukan"
Muka pucat yang tertimpa cahaya rembulan redup kelihatan mulai tenang dan mantap,
matanya berlinang air mata, mulutnya menggumam, "Akhirnya kutemukan musuhku, di dalam
baka bolehlah kau istirahat dengan tenteram."
Sudah tentu laki-laki baju hitam tidak tahu apa arti ucapannya namun nalarnya merasakan
adanya bahaya yang mengancam jiwa, tanpa kuasa dia menyurut mundur, dia siap tinggal pergi.
Tapi Pho Ang-soat tahu-tahu sudah mengadang di depannya pula, katanya dingin, "Mana
pisaumu?" Laki-laki baju hitam melengak, tanyanya, "Pisau apa?"
"Pisau terbang."
Seketika terbayang rasa ketakutan yang tak terperikan pada sorot mata laki-laki baju hitam,
teriaknya, "Aku mana punya pisau terbang segala?"
"Seharusnya sekali tabas kutamatkan riwayatmu, namun ada omongan yang perlu kutanyakan
kepadamu." Suaranya menjadi serak, namun semakin bengis, "Jawablah, kenapa kau melakukan
perbuatan terkutuk itu" Kenapa kau membunuh Cui long" Siapa kau sebenarnya?"
"Kau... apa yang kau katakan bahwasanya aku tidak tahu, aku toh tidak kenal kau."
Pho Ang-soat menggerung gusar seperti banteng ketaton, sekujur badannya bergetar, namun
tangan yang memegang golok tetap tenang dan kekar. Sekonyong-konyong sinar golok
berkelebat, golok tahu-tahu sudah keluar dari sarungnya.
Sinar golok terayun bagai kilat menyambar, tahu-tahu laki-laki baju hitam sudah menjatuhkan
diri menggelundung dua tombak jauhnya. Begitu sinar golok berkelebat dia mendahului
menjatuhkan diri seolah-olah dia sudah lama mempersiapkan diri dan berjaga-jaga menghadapi
tabasan golok, malah banyak cara sudah menjadi keahliannya untuk menghindarkan diri dari
rangsekan golok musuh. Memangnya serangan golok ini bukan olah-olah hebatnya, ganas dan
dahsyat, tiada orang mampu melawannya. Tapi laki-laki baju hitam kenyataannya kuasa menolong
jiwanya dari renggutan tabasannya yang ganas. Demi menghindari tebasan golok ini, dia pasti
sudah lama mempersiapkan diri.
Waktu dia mencelat dan memutar badan, serentak tangannya pun terayun. Terpaksa dia
menyambitkan pisau terbangnya juga. "Ting", kembang api berpijar, dua sinar kilat bentrok, pisau
terbang itu seketika tertabas kutung dan jatuh di tanah. Laki-laki baju hitam menggelinding pula
ke lereng gunung, mendadak terasa lambungnya kesakitan setengah mati, tempat dimana tadi
kena disodok sikut Be Khong-cun, rasanya seperti tertusuk bor yang dipalu. Untuk menghirup
napas dan mengerahkan tenaga lagi rasanya susah, tiba-tiba hawa murninya seperti macet.
Kembali sinar golok berkelebat, ujung golok yang runcing dan dingin tahu-tahu sudah
mengancam tenggorokannya. Tebasan golok yang begitu dahsyat dan tak terlawankan mendadak
berhenti, kiranya tangannya yang kekar memegang golok secara mentah-mentah berhasil
mengendalikan seluruh kekuatan tebasan goloknya. Tajam golok hanya mengiris luka di
tenggorokan laki-laki baju hitam, sejalur luka mengucurkan darah segar.
Dengan murka Pho Ang-soat mendelik, tanyanya beringin "Pertanyaanku, kau jawab tidak?"
Akhirnya laki-laki baju hitam menghela napas, katanya, "Baik aku bicara dengan kau aku tidak
bermusuhan, yang kubenci hanya Be Khong cun, aku membunuh perempuan itu, lantaran dia
anak jadah Be Khong-cun!"
Kembali bergetar dan mengejang sekujur badan Pho Ang-soat mendadak dia menggerung,
bentaknya, "Kau bohong."
"Aku tidak bohong, tapi hanya beberapa gelintir orang saja yang tahu akan hal ini...."
Napas Pho Ang-soat tersengal-sengal, semakin hebat gemetar badannya.
Laki-laki baju hitam menyambung, "Dengan Be Hong-ling dia bukan terlahir satu kandungan,
ibunya sebenarnya adalah istri seorang pemetik obat-obatan di Kwantiong. waktu ikut suaminya
ke gunung mencari obat obatan, dia diperkosa oleh Be Khong-cun, maka seluruh pedagang obat
obatan membenci Be Khong-cun sampai ke tulang sumsum, suatu ketika mereka kerahkan tiga
ratus orang menjebak Be Khong-cun di Tiang pek san untuk menuntut balas, di dalam
pertempuran besar itu, Pek-tayhiap Pek cianpwe pun hadir."
Peristiwa besar pertempuran di Tiang pek-san dulu memang amat terkenal di kalangan Bu-lim,
waktu kecil Pho Ang-soat pernah mendengai cerita ini dari ibunya, apakah obrolan laki-laki baju
hitam ini dapat dipercaya" Terasa oleh Pho Ang-soat sekujur badannya panas membara seperti
hampir meledak.
Mengawasinya, laki-laki baju hitam berkata pula, "Secara diam-diam Cui long terus memberi
kabar kepada Ban be tongcu, hal ini tentu kau pun sudah tahu, dia menjual Sim Sam-nio,
demikian pula nasib Hoa Boan-thian berada di tangannya, sejak mula setia kepada Ban be tongcu,
lantaran dia sudah tahu bahwa Be Khong-cun adalah ayahnya, sebelum ajal ibunya membocorkan
rahasia ini kepadanya."
Sampai di sini dia menghela napas, lalu melanjutkan ceritanya, "Darah lebih kental dari air,
untuk hal ini siapa pun tiada yang menyalahkan dia, karena itu aku hendak menuntut balas
kepada Be Khong-cun."
Keringat dingin bercucuran membasahi seluruh kepala dan muka Pho Ang-soat.
"Kau pun musuh besar Be Khong-cun, memangnya untuk menuntut balas kematian putrinya
kau hendak membunuh aku?" tanya laki-laki baju hitam.
"Aku tetap tidak percaya," suara Pho Ang-soat tegas serak, "tiada orang yang merelakan
putrinya berada di tempat Siau Piat-li"
"Memang tiada orang yang mungkin melakukan perbuatan terkutuk ini, cuma kau harus ingat,
bahwasanya Be Khong-cun bukan manusia" mendadak laki-laki baju hitam mengertak gigi,
serunya serak, "Hakikatnya dia memang binatang, binatang liar."
Kepalanya basah oleh keringat dingin, sekujur badan gemetar, seolah-olah badannya runtuh
dan hancur. Siapa nyana bahwa pujaan hati yang selalu dirindukan ternyata adalah putri musuh
besarnya. Dia tidak berani percaya, namun tidak bisa tidak harus percaya. Mendadak terasa
olehnya, kedua ujung mulutnya mulai gemetar dan mengejang, penyakit iblis yang menakutkan itu
seolah-olah hendak merangsang lagi, seketika mencelos hatinya.
Terpancar rasa senang dan puas pada sorot mata laki-laki baju hitam, katanya dingin,
"Omonganku sudah kuucapkan, jika kau tetap ingin membunuhku, silakan turun tangan."
Pho Ang-soat mengertak gigi, tidak bicara. Dia tidak berani buka suara, dia harus mengerahkan
seluruh tenaga dan kekuatan semangatnya untuk memusatkan konsentrasinya melawan dan
bertahan terhadap serangan penyakit iblis.
Semakin terang pancaran sinar mata laki-laki baju hitam, dia sudah merasakan tekanan golok
yang mengancam lehernya mulai mengendor dan melemah. Namun golok masih berada di
tangannya, tangan menakutkan, golok elmaut. Sekonyong-konyong dengan mengerahkan setaker
kekuatan, laki-laki baju hitam menggelinding pergi, lolos dari ancaman ujung golok, kaki tangan
bekerja, bagai binatang liar yang ketakutan menerobos turun ke samping gunung terus lari sipatkuping
ke dalam hutan, di dalam kesibukannya sempat juga dia sambitkan sebatang pisaunya.
Tapi dia tidak berani berpaling apakah sambitan pisaunya berhasil, harapan satu-satunya
sekarang adalah lari semakin jauh meninggalkan golok maut yang menakutkan, semakin jauh
semakin selamat. Bahwa dia sudah banyak bicara serta melakukan semua perbuatannya itu hanya
demi mempertahankan hidup. Ada kalanya, demi mempertahankan hidup seseorang bisa saja
melakukan perbuatan yang tidak patut dia lakukan.
Sudah tentu tidak pernah terpikir olehnya, sambitan pisaunya di dalam kerepotan melarikan diri
ini, ternyata telak mengenai dada Pho Ang-oat.
Darah merembes keluar dan mengalir melalui batang pisau yang dingin tajam, pelan-pelan Pho
Ang-soat terjungkal roboh. Roboh di tanah lembab yang dingin.
Bulan sabit yang redup cahayanya yang kini sudah bersembunyi di balik hutan sana. Alam
menjadi gelap, orang yang sudah roboh, apakah masih kuasa berdiri lagi"
Siapakah laki-laki baju hitam ini" Kenapa begitu banyak urusan yang dia ketahui" Apa yang dia
uraikan benar atau bualan belaka"
Banyak orang yang sukses pernah roboh beberapa kali, tapi mereka toh berdiri lagi. Malah
bukan sekali dua saja, mungkin puluhan kali mereka roboh, akan tetapi puluhan kali pula mereka
berdiri. Mereka tidak takut dipukul roboh, karena mereka tahu, asal kau masih punya kekuatan, masih
punya keberanian untuk berdiri, tidak jadi soal roboh berulang kali"
Pelan-pelan Pho Ang-soat merangkak bangun dan berdiri. Pisau masih menancap di dadanya.
Darah masih mengalir, tapi penyakit iblis keparat itu seolah-olah ikut merembes keluar bersama
darah segarnya yang mengalir keluar. Rasa sakit yang luar biasa, kiranya malah membuatnya
sadar dan jernih pikiran.
Tapi jernih pikiran membuatnya merasa letih, lemah dan kelaparan. Terutama lapar, sungguh
tak pernah terbayang dalam benaknya bahwa lapar kiranya merupakan siksaan yang sukar
ditahan. Laki-laki baju hitam sudah lari turun gunung tak kelihatan lagi. Pho Ang-soat tidak
mengejarnya, dia tahu kondisi badannya sekarang, takkan mampu berbuat apa-apa. Seluruh
kekuatannya yang terpendam sudah dia kuras habis seluruhnya.
Di semak-semak rumput di lereng bukit sana ada sinar kuning emas berkilauan, itulah mainan
Kim-ji-gi yang terbuat dari emas murni. Itulah barang milik laki-laki baju hitam waktu dia tergopoh
gopoh lari ke lorong, di saat dia menimpukkan pisaunya ke belakang, jatuh dari kantong di
dadanya tanpa dia sadari.
Dengan cermat Pho Ang-soat mengamati sinar mas kemilau itu, pelan-pelan dia menghampiri,
dia menjemputnya. Kalau tiga bulan yang lalu dia lebih rela dirinya mati kelaparan, betapa pun tak
sudi menjemput barang milik orang lain yang jatuh, malah melirik pun dia tak sudi.
Tapi selama tiga bulan ini, tidak sedikit pengalaman yang sudah dia pelajari, tidak sedikit pula
perubahan pada dirinya. Dia harus mengerti, untuk sukses kau harus mempertaruhkan segala
milikmu. Dan yang terpenting, dia harus bertahan hidup.
Sekarang dia tak rela mati, apalagi mati secara sengsara dalam keadaan serba runyam begini.
Asal dia punya tenaga untuk berdiri, punya kekuatan untuk hidup, umpama sekarang dia terpaksa
harus mencuri atau merebut dan merampas milik orang lain pun bisa juga dia lakukan.
Setelah keluar dari hutan lebat, di bawah kaki gunung di luar hutan, terdapat sebuah
penginapan bobrok yang kotor, tadi pernah dia lewat sini. Sekarang dia tidak ragu-ragu lagi,
dengan kecepatan yang mampu dia lakukan segera memburu masuk, pisau di dadanya sampai tak
dia urus lagi, dia tidak berani mencabutnya, darah jangan sampai bercucuran lagi, semakin banyak
darahnya terkuras, kondisi badannya akan semakin lemah.
Di dalam penginapan masih ada sinar lentera. Ada api tapi tiada orang, sunyi-senyap tak
terdengar suara apa pun Pintu besar terpentang lebar. Mungkin pemilik penginapan yang tua
renta itu sudah tak punya tenaga menutup pintu" Atau hakikatnya dia memang enggan dan tiada
alasan untuk menutup pintu penginapannya"
Dari depan sampai pekarangan belakang semuanya kosong melompong, sinar lampu menyorot
dari bilik paling belakang. Melihat cerobong asap di wuwungan bilik kecil ini, tahulah dia bahwa di
sanalah letak dapur. Bukankah dapur melambangkan kehangatan hidup, di sana ada makanan
yang masih panas mengepulkan asap sedap"
Lekas sekali Pho Ang-soat melangkah ke sana, tapi di dapur ini dia tidak menemukan makanan
dan kekuatan yang dia dambakan. Yang dia hadapi hanyalah kematian.
Api tungku sudah padam, api lentera yang kehabisan minyak pun hampir padam. Seorang
kakek tua renta yang sudah ubanan rebah telentang, lehernya dihiasi sejalur warna hitam
pertanda darah yang mengering, sepasang sumpit masih kencang tergenggam di tangannya,


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun badannya sudah kaku dingin.
Tidak jauh dari mayat orang tua, menggeletak kantong uang yang sudah robek, namun kosong.
Jelas di saat orang tua ini makan bakmi, tiba-tiba lehernya digenjot orang dan jiwanya melayang
seketika. Sumpit masih berada di tangannya, menandakan bahwa bakmi yang dia makan belum
habis. Lalu siapakah yang menghabiskan sisa bakmi di dalam mangkuk"
Sisa uang yang jelas tak seberapa dari kantong uang itu, terang diambil juga oleh si pembunuh.
Tapi masakah setelah dia membunuh orang, sisa bakmi yang belum habis itupun dia gares
sekalian" Muka kurus kaku dan dingin orang tua ini menampilkan rasa ketakutan, tidak percaya. Sampai
mati dia pun tidak percaya, bahwa di dunia ini ada manusia yang rela membunuh jiwanya yang
sudah tua, manusia yang sudah setengah tuli setengah buta, hanya karena semangkuk bakmi dan
beberapa keping uang tembaganya, apalagi sisa bakmi itu sudah bercampur dengan ludahnya.
Sungguh dia mati penasaran, mati pun takkan meram.
Sanubari Pho Ang-soat pun marah dan tertusuk, karena dia sedang bertanya terhadap diri
sendiri, di dunia ini boleh dikata sudah jarang ada orang yang lebih mendalam memahami lapar
serta kesengsaraan seorang rudin dan miskin. Dia tidak bisa menjawab, mungkinkah dirinya bakal
membunuh orang demi memperebutkan semangkuk bakmi dan beberapa peser uang. Bila seorang
tidak menemui jalan buntu, pasti takkan melakukan perbuatan yang jahat dan tercela ini.
Siapa pembunuh kejam dan telengas ini" Apakah dia benar-benar sudah menghadapi jalan
buntu" Tiba-tiba Pho Ang-soat teringat akan apa yang diucapkan laki-laki baju hitam, mendadak
teringat olehnya Be Khong-cun. Benar, pasti Be Khong-cun adanya.
Pasti dia sudah melihat kedatangan Pho Ang-soat, maka dia melarikan diri. Tapi dia sungguh
terlalu lapar, dia harus menangsal sesuatu makanan, makan apa pun meski setengah mangkuk
bakmi, bagaimana pula perasaannya" Terbayang akan kehidupannya dulu yang jaya dan serba
kemewahan, betapa rasa setengah mangkuk bakmi yang dia telan itu"
Terkepal kencang jari-jari tangan Pho Ang-soat, tiba-tiba dia merasa muak dan hampir tumpahtumpah.
Dia penasaran, benci dan marah, namun di dalam sanubarinya yang paling dalam juga
amat tersiksa, pilu dan duka lara. Majikan Ban be tong yang malang melintang di Kwan tang,
tokoh besar yang pernah menggetarkan dunia dan berkuasa di tanah perdikan padang rumput
yang tiada duanya sampai hati membunuh seorang tua renta miskin karena merebut semangkuk
bakmi dan beberapa peser uangnya. Setelah menghabiskan sisa setengah mangkuk bakmi yang
tawar dan kotor itu, apakah dia tidak merasa muak"
Ban be tongcu memang ingin muntah-muntah. Tapi sekuat tenaga dia menelannya kembali,
sedapat mungkin dia bertahan jangan sampai dirinya muntah-muntah. Kuah bakmi seperti air
pencomberan itu, ludah yang tercampur di dalam bakmi, gigi kuning yang ompong dari kakek tua,
serta pandangan matanya yang menghina serta ejekannya... semua itu cukup membuatnya muak
dan ingin muntah-muntah.
Tapi peduli makanan apa pun, sama saja akan membangkitkan tenaga dan kekuatan di dalam
tubuh manusia. Jika dia tumpahkan keluar bakmi kotor yang berada di dalam perutnya, tak
ubahnya dia memuntahkan tenaga dan kekuatannya pula, justru sekarang dia amat perlu adanya
tenaga, meski hanya setitik tenaga pun bolehlah. Karena setiap titik kekuatannya perlu dia
manfaatkan, seperti pula sewaktu dirinya melarikan diri di pegunungan Tiang-pek-san masa lalu
itu. Waktu itu dia malah pernah minum air kencing sendiri. Tapi keadaan serta situasi sekarang
jauh lebih berbahaya dari waktu itu, karena musuh yang dia hadapi sekarang ratusan kali lebih
hebat, lebih bahaya dan kejam, lebih menakutkan.
Dengan mata kepalanya sendiri dia pernah menyaksikan gerakan golok Pho Ang-soat yang
dahsyat tiada tokoh di dunia ini yang mampu menandingi atau melawan ilmu goloknya. Seolaholah
dia melihat kembali tokoh yang membuat dirinya tak kuasa mengangkat diri di hadapan
umum dulu. Seakan-akan kembali dia melihat golok di tangannya, bila sinar golok berkelebat,
darah segar muncrat lebih segar dan menyolok dari ceceran darah yang berkembang di luar Bwe
hoa am dulu. Orang yang benar-benar dia takuti mungkin bukan Pho Ang-soat, tapi tokoh yang satu itu.
Seakan-akan dari golok di tangan Pho Ang-soat, dia melihat semangat serta kekuatan orang itu
yang menakutkan. Peduli dia sudah mati atau hidup, dirinya takkan berani berhadapan dengan
tokoh ini, apalagi menghadapi goloknya yang sakti, golok elmaut.
Justru karena dia tahu bahwa tokoh itu sedang menunggu kedatangannya di neraka, maka dia
takut mati. Oleh karena itu dia harus melarikan diri, harus bertahan hidup. Tapi berapa lama pula
dia bisa hidup"
Malam semakin kelam, hembusan angin malam di musim rontok terasa semakin dingin. Tak
lama lagi daun-daun pohon akan rontok seluruhnya, di waktu maghrib, angin badai yang
menghembus ke arah barat laut terasa semakin kencang, pada suatu pagi yang dingin, bila kau
membuka jendela, maka terbentanglah alam semesta nan ditaburi kembang-kembang salju yang
sudah membeku keras.
Seorang laki-laki tua yang berpakaian tipis, kantong kosong lagi, terang dia takkan bisa
bertahan hidup lama lagi di tengah tanah bersalju yang dingin ini.
Be Khong-cun menggenggam kencang jarinya, dengan kencang dia genggam beberapa keping
uang tembaga, itulah uang rampasannya dari kantong uang si kakek tua renta itu, uang sebanyak
ini mungkin masih boleh untuk membeli dua mangkuk bakmi yang paling murah. Bagaimana
selanjutnya" Dengan bekal kepandaiannya, mestinya tidak sukar untuk masuk ke rumah hartawan,
merampok atau mencuri harta mereka, malah dia yakin masih kuasa mencegat dan merampok
kereta kawalan. Bukannya dulu dia tidak pernah melakukan kejahatan-kejahatan seperti itu, tapi
sekarang dia tak berani melakukannya.
Bukan karena dia sudah muak akan kehidupan ini, tapi lantaran dia takut meninggalkan jejak
dan menunjukkan kedoknya sendiri, sehingga Pho Ang-soat dengan mudah menemukan dirinya.
Kepalanya terangkat mengawasi pohon-pohon yang mulai gundul, kini tinggal satu tempat satu
tujuan saja yang bisa dia tuju, hanya sebuah jalan terbentang untuk dia susuri. Semula dia tidak
ingin menempuh ke jalan ini, tapi sekarang tiada pilihan lain, terpaksa dia harus ke sana.
Di bawah ranjang yang terletak di belakang almari, masih tersimpan setengah karung gandum,
dan sebuah peti besi yang sudah berkarat. Di dalam peti ini terdapat secarik saputangan yang
tersulam indah, di dalamnya dibuntal setumpuk uang perak, di antaranya terdapat pula badik yang
terbuat dari baja, masih ada pula korek api yang dibuat bagus sekali.
Kecuali tiga benda yang rada menyolok, selebihnya adalah barang-barang kecil yang campuraduk,
jelas semua barang-barang itu adalah barang-barang yang peninggalan para pelancong
yang biasa menginap di penginapan ini, orang tua renta itu agaknya masih menyimpannya baikbaik,
mungkin menunggu tamu yang kehilangan balik mengambilnya. Memangnya dia seorang
yang jujur dan bajik, meski dia tahu bahwa pemilik barang-barang itu takkan mungkin putar balik
mengambilnya pula.
Saputangan bersulam yang membuntal tumpukan uang itu adalah peninggalan seorang nyonya
muda. Suatu malam secara diam-diam dia datang dengan menunggang sebuah kereta bobrok,
bertemu dengan seorang pemuda yang sudah menunggunya tiga hari di sini, tengah malam
secara diam-diam dia pergi pula tanpa pamit.
Waktu pemuda itu bangun, tidak menemukan barang apa pun yang dia tinggalkan, seorang diri
dia berdiri termangu-mangu setengah harian di pekarangan dengan bercucuran air mata, lalu
dengan membusung dada dia melangkah pergi.
Mungkinkah nyonya muda itu dipaksa untuk menikah dengan keluarga berada, namun secara
diam-diam dia mengadakan pertemuan di hotel dengan pujaan hatinya" Apakah pemuda itu kelak
akan bangkit, melupakan kehidupannya yang pahit getir ini"
Kakek tua itu tidak tahu sama sekali, dia pun tidak ingin tahu, dia hanya mengharap pemuda ini
jangan seperti dirinya, seumur hidup hanya hidup dalam kemelaratan.
Badik dan korek api ditinggalkan seorang laik-laki gede yang mengenakan pakaian berjalan
malam, waktu tengah malam dia datang minta kamar, badannya dilumuri darah, agaknya luka
parah. Menjelang fajar, tiba-tiba dia dikejutkan oleh caci-maki dan suara gaduh yang diselingi
benturan senjata beradu, dari kamar belakang terus berhantam keluar pekarangan. Kakek tua
tetap mendekap guling, tidur di kamarnya, setelah suasana di luar sepi, baru dia berpakaian
membuka pintu melangkah keluar.
Di pekarangan luar ada beberapa genangan darah, di dalam kamar di bawah bantal masih
ketinggalan badik dan korek api ini, namun laki-laki baju hitam yang terluka itu sudah tidak
kelihatan lagi.
Setelah pergi, orang-orang itu tak pernah kembali lagi, bahwa kakek tua ini masih menyimpan
baik-baik semua barang-barang peninggalan para tamunya, tak lain hanya untuk dibuat kenangan
dalam kehidupannya yang sengsara dan serba getir ini.
Uang perak dan korek api tetap ditinggalkan di tempat semula, dengan sedikit gandum dia bikin
bubur ala kadarnya serta dimakan dengan lahapnya. Lalu di kamar yang tadi ditempati Be Khongcun,
dia cuci muka dengan air dingin, dia siap tidur memulihkan tenaga dan kesehatannya.
Kamar itu gelap dan lembab, hawanya apek, ranjang dingin dan keras, tapi bagi Pho Ang-soat
sudah lebih dari cukup. Dalam sebuah kehidupan manusia tiada sesuatu persoalan yang mutlak,
tergantung cara bagaimana kau berpikir serta menanganinya.
Tak bergerak tanpa bersuara dia rebah di dalam kegelapan, ingin tidur, namun tidak
mengantuk dan tidak bisa pulas. Terlalu banyak yang harus dia pikir, muka Be Khong-cun yang
selalu serius dan kereng, muka laki-laki baju hitam yang berlepotan darah, wajah Yap Kay yang
selalu dihiasi senyuman... muka-muka orang seakan melayang-melayang di hadapan matanya di
malam gelap, akhirnya berubah menjadi seorang, seraut muka yang cantik, mata yang jeli,
dengan sorot mata yang sedih dan membawa perasaan menghibur tengah mengawasinya tanpa
berkedip. Peduli orang macam apa dia sebelum ini, peduli dia putri Be Khong-cun, yang terang dia mati
lantaran aku. Serasa disayat-sayat sanubari Pho Ang-soat, dia tahu selama hidupnya takkan
menemukan seorang gadis yang benar-benar menaruh cinta sedemikian dalam dan murni. Seolaholah
sudah menjadi kodrat akan nasibnya yang harus hidup sebatangkara dan terlunta-lunta.
Tapi pada saat itulah, dia mendadak mendengar suara orang, suara yang lembut dan lebih
hangat dari sutra, "Kapan kau datang kemari?"
Seseorang mendorong pintu pelan-pelan, melangkah masuk, seolah-olah sukma gentayangan di
tengah kegelapan. Walau Pho Ang-soat tidak melihat orangnya, namun dia kenal betul suaranya.
Selama hayat masih di kandung badan, dia takkan melupakan suara ini.
Di kota perbatasan di padang rumput yang sepi, di dalam gang sempit nan gelap, di dalam
kamar kecil yang hangat. Orang selalu menunggunya di sana, masih segar dalam ingatannya
seakan-akan dia mengucapkan, "Kapan kau datang kemari?", "Aku ingin kau berubah jadi laki-laki
sejati...." Terbayang olehnya tangan orang menuntunnya, supaya dirinya berubah jadi laki-laki
jantan. "...karena banyak persoalan yang hanya bisa dikerjakan oleh laki-laki sejati...." tak pernah
terlupakan olehnya tubuh montok halus menggiurkan itu, takkan terlupakan detik-detik memuncak
nikmat di surga dunia.
Cui long. Apakah Cui long" Apakah perempuan itu adalah Cui long" Mendadak Pho Ang-soat
mencelat bangun, bayangan orang di dalam gelap itu tahu-tahu sudah mendekap dan
memeluknya. Tubuhnya masih montok, kenyal dan hangat lembut, deru napasnya masih
membawa deru dan bau wangi yang tak terlupakan sepanjang masa. Di pinggir telinganya orang
berbisik, "Bukankah kau tidak menyangka aku bakal datang?"
Sampai tenggorokan Pho Ang-soat seakan-akan dicekik, sampai sesak napasnya. "Aku tahu
belakangan ini hidupmu amat menderita, tapi jangan kau menjadi putus asa karenanya, kau pasti
bisa menemukan Be Khong-cun, kalau kau pesimis dan putus asa, kita semua akan merasa
kecewa." Tangan Pho Ang-soat gemetar, pelan-pelan dia merogoh kantong bajunya. Mendadak sinar api
terpercik. Kamar yang semula gelap tiba-tiba memancar terang, ternyata dia menyalakan api
dengan korek itu. Maka dia melihat orang di depannya, cewek yang pertama kali dia gauli,
sehingga pertama kali dia jadi laki-laki sejati. Perempuan ini pula yang merubah jalan hidupnya,
perempuan yang membuatnya sulit melupakan dia, sayang sekali dia bukan Cui long, dia adalah
Sim Sam-nio. Sinar api berkelap kelip, muka Pho Ang-soat semakin pucat, tak tertahan dia menjerit tertahan,
"Kau?"
Muka Sim Sam-nio pun pucat, putih tak berdarah, kelihatannya begitu menakutkan, entah
karena luka-lukanya sehingga dia kehilangan banyak darah atau karena dia tidak menduga akan
adanya sinar api" Lekas dia gerakan badan setengah miring, dengan lengan bajunya dia
sembunyikan mukanya, tapi cepat sekali dia berpaling, mengunjuk tawa kepada Pho Ang-soat,
katanya tersenyum, "Ya, aku. Kau tidak menduga bukan?"
Dengan rasa kejut Pho Ang-soat mengawasinya, lama kemudian baru dia manggut-manggut.
"Kau kira Cui long?" tanya Sim Sam-nio.
Pho Ang-soat diam saja, dia tidak tahu cara bagaimana harus menjawab, malah mengawasi
orang pun tak berani lagi.
Sepasang mata Sim Sam-nio yang jeli menatapnya lekat-lekat, katanya pelan-pelan, "Aku tahu
dia sudah meninggal, aku juga tahu kematiannya merupakan pukulan berat bagi lahir batinmu,
aku datang kemari karena aku mengharap kau tidak terlalu sedih akan kematiannya." Dengan
menggigit bibir dia ragu-ragu, seolah-olah dia mengerahkan tenaga baru berani melanjutkan,
"Karena yang harus kau cintai seharusnya aku, bukan dia." Tegak lurus badan Pho Ang-soat
seperti tonggak yang tertanam di tanah, mukanya pun semakin pucat.
Setelah menghela napas, Sim Sam-nio berkata pula, "Aku tahu selama ini kau selalu mengira
dia adalah aku, kau tidak tahu bahwa di dunia ini masih ada seorang seperti diriku ini, maka
kau...." "Kau salah," tukas Pho Ang-soat tiba-tiba dengan tegas.
"Aku salah?"
Terangkat kepala Pho Ang-soat, mengawasinya, sorot matanya menampilkan mimik yang aneh,
katanya kalem, "Walau aku tidak tahu siapa kau, namun sejak permulaan aku sudah tahu dia
bukan kau."
Sim Sam-nio menjublek. Kali ini yang kaget malah dia sendiri, malah jauh lebih kaget dari Pho
Ang-soat tadi waktu melihat kehadirannya. Lama sekali baru dia bersuara, "Kau tahu" Darimana
kau bisa tahu" Apakah dia yang memberitahu kepadamu?"
"Dia tidak memberitahu, aku pun tidak bertanya, tapi aku sendiri bisa merasakannya...." dia
tidak menjelaskan lebih lanjut, karena dia tahu hal ini tidak perlu diperbincangkan lagi.
Sepasang muda-mudi yang sedang dimabuk cinta asmara, pasti dihubungkan oleh sesuatu
perasaan sensitif yang aneh dan tak mungkin dilukiskan dengan kata-kata, perasaan yang terjalin
dari hati ke hati antara kedua muda-mudi ini jelas tak mungkin dirasakan dan dimengerti oleh
orang ketiga. Sim Sam-nio adalah perempuan yang sudah cukup matang dan tahu urusan, pengertian ini
sudah tentu sudah amat dia pahami sejak lama. Serta-merta timbul juga dalam benaknya jalinan
perasaan aneh itu, entah mengapa perasaan ini seolah-olah membuat dia amat segar dan
nyaman, lama sekali baru dia paksakan manggut-manggut, katanya lirih, "Ternyata cintamu
memang tidak salah alamat."
"Memangnya aku tidak salah," ujar Pho Ang-soat. Sikapnya tiba-tiba berubah tegas dan kereng,
mantap lagi, katanya lebih pelan, "Aku mencintainya, karena dia adalah dia, dan orang seperti dia
itulah yang kucintai, jelas dan pasti tiada alasan lainnya."
Sekarang Sim Sam-nio benar-benar mengerti, umpama orang memang sudah tahu bahwa
dirinya adalah perempuan pertama yang dia gauli, tapi dia tetap mencintai Cui long.
Cinta asmara memangnya tidak kenal syarat, cinta yang murni selamanya tidak kenal
penyesalan. Tiba-tiba teringat akan Be Khong-cun, namun dia sendiri tidak tahu apakah dirinya
jatuh hati terhadapnya" Apakah cintanya tidak salah alamat"
"Mana Yap Kay?" tanya Pho Ang-soat tiba-tiba.
"Dia... dia tidak kemari," sahut Sim Sam-nio.
"Kau kemari memberitahu hal ini padaku, apa dia menyuruhmu?"
"Aku kemari memberitahu kepadamu, karena aku merasa kau punya hak untuk tahu hal ini."
Lama Pho Ang-soat menepekur, katanya kemudian, "Tapi aku mengharap hal ini bisa kulupakan
untuk selamanya."
Sim Sam-nio tertawa dipaksakan, ujarnya, "Sekarang aku sudah melupakannya."
"Baik sekali, bagus...." ujar Pho Ang-soat, mereka saling pandang, seperti layaknya sahabat
karib yang beradu pandang setelah lama tidak berjumpa.
Pada saat itulah koerek api di tangan Pho Ang-soat tiba-tiba padam. Kamar kecil ini kembali
menjadi gelap. Walau dalam kegelapan yang sama, dua orang yang sama pula sedang
berhadapan, namun jalan pikiran dan hati mereka sudah jauh berlainan. Waktu dulu, Pho Ang-soat
hanya terbayang akan halusnya badan yang panas, bibir yang merangsang, sekujur badannya
seketika ikut terangsang. Sekarang meski orang berdiri di hadapannya, namun nafsu birahinya
untuk menyentuh badan orang pun sudah tiada lagi.
Mereka tidak bicara, memang tiada bahan persoalan yang harus mereka bicarakan lagi. Tak
lama kemudian Sim Sam-nio mendengar langkah Pho Ang-soat yang aneh itu, pelan-pelan
beranjak ke arah pintu dan semakin jauh, akhirnya tak terdengar lagi.
"Aku tidak salah mencintainya, memang dialah yang kucintai, jelas dan pasti, tiada alasan
lainnya." Dengan termenung Yap Kay mendengarkan cerita Sim Sam-nio sampai habis, namun
dalam benaknya dia masih mengulang berkali-kali ucapan beberapa patah kata itu. Seolah-olah
banyak pula kesan di dalam sanubarinya, namun dia tidak tahu entah manis atau getir dan kecut"
Ting Hun-pin mengawasinya, katanya tertawa, "Apa yang dia ucapkan, sudah beberapa kali
pernah kuutarakan. Pernah kukatakan, hanya kaulah yang kucintai, peduli kau orang macam apa,
aku tetap mencintaimu."
Dalam sorot mata Yap Kay yang paling dalam seolah membayangkan rasa derita dan risau yang
sukar dijajaki orang, kepala terangkat, dengan mcndelong dia memandang ke ufuk timur yang
mulai memancarkan cahaya keemasan, tiba-tiba dia bertanya, "Kau tidak menyesal?"
"Pasti tidak."
Yap Kay tertawa, tawanya seperti dipaksakan, katanya, "Bila kelak aku melakukan sesuatu yang
merugikan kau, kau pun tidak menyesal?"
Sikap Ting Hun-pin berubah tegas dan tandas, mirip benar dengan sikap dan keteguhan hati
Pho Ang-soat tadi. Katanya dengan tersenyum, "Kenapa aku harus menyesal" Aku mencintaimu
lantaran aku suka rela, bukan saja tiada alasan lain, juga tiada orang lain yang memaksaku untuk
mencintaimu."
Senyum tawanya mekar dan cerah laksana cuaca pagi disongsong sinar fajar nan cemerlang,
diliputi dan dilandasi harapan nan tak berujung pangkal.
Mengawasi gadis mekar ini, terbayang oleh Sim Sam-nio akan sikap Pho Ang-soat, mendadak
terasa olehnya bahwa mereka baru manusia yang benar-benar bahagia. Karena mereka berani
bercinta, mencintai dengan murni dan setulus hati. Tak tahan akhirnya dia menghela napas,
katanya, "Mungkin kali ini aku tidak pantas menemuinya untuk penghabisan kali."
"Tapi tiada salahnya juga setelah kau menemuinya," ujar Yap Kay.
"Kenapa tidak salah?" tanya Sim Sam-nio tidak mengerti.
"Karena adanya pertemuan kalian kali ini, membuat kita semua sama-sama mengerti akan satu
hal." "Hal apa?" kembali Sim Sam-nio menegas.
"Dia mencintai Cui long, cintanya memang tidak salah, karena dia mencintainya setulus hati."


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu dengan tersenyum dia menyambung, "Hal ini sudah kita pahami, cinta yang murni selamanya
takkan salah."
Cinta selamanya takkan pernah salah. Oleh karena itu bila kau sudah jatuh hati terhadap
seseorang, silakan kau mencintainya, jangan lantaran sesuatu hal kau menyesal dan mundur. Asal
kau mencintainya secara murni dan tulus, kau pasti tidak salah mencintai kekasihmu.
Tapi bagaimana dengan benci" Apakah benci selamanya tidak mengenal salah"
Berdiri di ambang pintu Pho Ang-soat menghadap keluar, mengawasi orang-orang yang masuk
ke dalam warung nasi kecil ini, lalu mengawasi orang-orang yang keluar pula dari dalam setelah
kenyang mengisi perut. Mendadak dia merasa dirinya jauh lebih kurus, letih dan jompo dari setiap
orang yang dilihatnya. Sampai sekarang baru dia insyaf pengejaran tanpa tujuan dan gelandangan
tanpa arah seperti dirinya, sungguh kehidupan yang amat menakutkan. Kehidupan seperti ini
membuat dia selalu letih, rasa letih yang hampir mendekati putus asa. Tapi setiap malam tidak
pernah dia tidur nyenyak.
Sepuluh tahil uang perak yang terbungkus di dalam saputangan bersulam itu sudah dia pakai
habis, dia tidak tahu milik siapa sebenarnya uang itu, tapi dia tidak peduli. Kini hanya satu niatnya
untuk mengetahui milik siapa sebenarnya mainan golekan dari emas murni yang dia temukan di
semak-semak rumput tempo hari. Sayang sekali mainan golekan emas ini terbikin begini halus,
terang bikinan seorang ahli, tiada tanda istimewa atau ciri-ciri khas di atasnya, tapi sekarang dia
memerlukan uang untuk ongkos hidup, terpaksa dia harus menggadaikannya, dengan uang gadai
ini dia akan mencari pemilikinya. Kalau tidak menemukan golekan emas ini, entah bagaimana dia
harus mempertahankan hidup.
Tapi dia bertekad untuk membunuh pemilik golekan emas ini, sungguh merupakan ironi, namun
banyak kejadian semacam ini sering terjadi di dunia ini dan itulah warna-warni kehidupan
manusia. Ada kalanya kehidupan manusia justru merupakan sindiran yang paling tajam.
Mendadak Pho Ang-soat ingin minum arak, sedapat mungkin dia mengendalikan diri, tiba-tiba
dilihatnya seorang yang terlalu menyolok melangkah masuk dari luar. Pakaian orang ini teramat
perlente, sikap dan tindak-tanduknya diliputi keyakinan akan diri sendiri, kelihatan dia amat puas
dan senang akan segala miliknya, dia pun punya pegangan teguh akan masa depannya kelak.
Perawakan orang muda ini memang gagah, mukanya ganteng, sikapnya angker, dibanding Pho
Ang-soat sekarang yang berdiri di ambang pintu, sungguh merupakan perbandingan yang amat
menyolok sekali. Mungkin lantaran ini, maka tiba-tiba timbul rasa mual dan benci dalam sanubari
Pho Ang-soat terhadap pemuda yang satu ini.
Sorot mata si pemuda yang bercahaya menyapu pandang sekelilingnya, tiba-tiba melangkah
menghampiri ke arahnya, lalu duduk di kursi di hadapannya, walau mukanya dihiasi senyuman
manis, namun sikapnya terang berpura-pura dan bermuka-muka belaka, lagaknya amat sombong,
katanya memperkenalkan diri, "Cayhe Lamkiong Ceng."
Pho Ang-soat sudah enggan mempedulikan orang, maka dia anggap tak pernah melihat orang
ini, tidak tahu akan kehadirannya, anggap tidak mendengar ocehannya. Nama Lamkiong Ceng
hakikatnya tidak membawa manfaat apa-apa bagi dirinya, umpama dia tahu Lamkiong Ceng
adalah putra sulung keluarga besar persilatan Lamkiong yang kenamaan pun sikapnya takkan
berubah. Meski keluarga besar persilatan Lamkiong yang kenamaan amat menggetarkan nyali setiap
insan persilatan, tapi bagi dirinya sedikit pun tidak membawa keuntungan.
Sudah tentu sikap Pho Ang-soat amat di luar dugaan Lamkiong Ceng, dengan nanar dia
mengawasi muka Pho Ang-soat yang pucat memutih bening, mendadak dia merogoh sebuah
golekan emas dari kantong bajunya, katanya, "Apakah tuan yang barusan menyuruh pelayan pergi
menukarkan mainan ini dengan uang?"
Terpaksa Pho Ang-soat manggut-manggut.
Mendadak Lamkiong Ceng tertawa dingin, katanya, "Sungguh kejadian yang aneh."
"Kejadian aneh?" tak tertahan Pho Ang-soat tertarik.
"Karena aku tahu pemilik golekan emas ini bukan tuan."
Tiba-tiba terangkat kepala Pho Ang-soat, menatapnya lekat-lekat, "Kau tahu" Cara bagaimana
kau bisa tahu?"
Lamkiong Ceng menarik muka, katanya kereng, "Karena golekan ini adalah milikku yang
kuberikan kepada seorang kawan, kedatanganku ini justru ingin bertanya padamu, cara
bagaimana golekanku ini bisa terjatuh ke tanganmu?"
Jantung Pho Ang-soat mulai berdetak cepat, sedapat mungkin dia menekan perasaannya,
katanya, "Katamu golekan emas ini adalah milikmu, apakah kau berani memastikan?"
"Sudah tentu bisa."
"Kau yakin benar?"
"Golekan ini dibikin oleh ahli emas kenamaan dari toko Kiu-sia yang bernama Lo Thong, secara
kebetulan pelayan di sini justru membawa golekan ini ke toko pusat Kiu-sia untuk menjualnya, dan
lebih kebetulan lagi aku berada di sana"
Toko Kiu-sia memang adalah salah satu usaha besar dari modal kekayaan keluarga Lamkiong
yang kaya raya. Lamkiong Ceng pergi ke sana kebetulan hendak mengambil uang untuk foya-foya.
Sungguh kejadian yang benar-benar amat kebetulan, namun di dunia ini justru sering terjadi
peristiwa-peristiwa kebetulan seperti ini, maka di dalam kehidupan manusia sepanjang masa
sering terjadi adegan tragis atau suatu peristiwa besar yang menggembirakan.
Dengan menarik muka, tiba-tiba Pho Ang-soat balas tertawa dingin, katanya, "Umpama benar
golekan ini semula memang milikmu, sekarang tidak pantas kau kemari bertanya kepadaku."
"Kenapa?"
"Karena kau sudah memberikan benda ini kepada orang lain."
"Tapi dia jelas takkan menyerahkan benda ini kepadamu, tak mungkin pula menjual kepadamu,
oleh karena itulah aku keheranan."
"Jadi kau kira aku mencuri atau merampasnya?"
Lamkiong Ceng menyeringai dingin, ejeknya, "Siapa pun bila ingin mencuri dan merampas
barangnya, kukira takkan mudah terlaksana."
"Cara bagaimana pula kau berani memastikan bahwa dia takkan memberikan kepadaku?"
Muka Lamkiong Ceng semakin kaku, sekilas bimbang, akhirnya berkata kalem, "Karena ini
merupakan emas kawin adik perempuanku."
"Apa benar?"
"Masakah hal ini boleh dibuat main-main" Apalagi soal ini sudah banyak diketahui oleh kaum
persilatan."
"Kau punya berapa adik perempuan?"*
"Hanya satu saja." Diam-diam sudah disadarinya pertanyaan pemuda pucat dan kurus ini
semakin aneh. Dan dia menjawab pertanyaan orang karena dia mulai tertarik, ingin dia
membuktikan apa tujuan Pho Ang-soat sebenarnya. Tapi Pho Ang-soat lantas menghentikan
pertanyaan nya. Memang dia tidak perlu bertanya lagi. Kalau kaum persilatan banyak yang
mengetahui akan pernikahan ini, cukup luas sumber penyelidikannya untuk mengetahui asal-usul
misterius laki-laki baju hitam.
"Pertanyaanmu sudah habis?" tanya Lamkiong Ceng.
Lama Pho Ang-soat mengawasi sepasang tangannya yang putih, dikeluarkan dari lengan
bajunya yang terpelihara dengan baik, pada jari telunjuknya mengenakan sebentuk cincin batu
Giok dari dinasti Han yang besar dan berwarna bintik-bintik kembang... semua ini tiba-tiba
menimbulkan pula rasa mualnya terhadap pemuda tengik ini.
Lamkiong Ceng pun tengah menatapnya, katanya dingin, "Apakah kau tidak akan bicara lagi?"
"Masih ada sepatah kata."
"Silakan berkata."
"Kunasehati kepadamu, lebih baik kau carikan calon suami adikmu yang lain saja."
"Kenapa?"
"Karena laki-laki yang bakal menjadi suami adik perempuanmu itu tak berumur panjang."
Pelan-pelan dia angkat tangannya, diletakkan di atas meja, tangannya masih kencang memegangi
golok. Mata Lamkiong Ceng yang semula mendelik seketika kuncup dan menyipit gemetar, jeritnya
tertahan, "Kau?"
"Ya, aku."
"Pernah kudengar tentang dirimu, beberapa bulan ini sering aku mendengar orang banyak
menyinggung kau," kata Lamkiong Ceng sengit. "Kabarnya kau mirip penyakit menular, kemana
pun kau berada, di sana akan kedatangan bencana."
"Dan apa lagi?"
"Konon bukan saja kau menghancurkan Ban be tong, kau pun merobohkan tokoh-tokoh silat
kenamaan yang punya kedudukan dan nama besar, tentunya ilmu silatmu baik juga."
"Kau tidak terima dan ingin mencobanya?"
Lamkiong Ceng tiba-tiba tertawa, katanya dingin, "Kau ingin aku tunduk kepadamu" Kenapa
kau tidak mampus saja?"
Pho Ang-soat diam dan dingin menatapnya, setelah orang habis mengoceh dan menghentikan
tawanya, baru pelan-pelan dia mengeluarkan suaranya, "Cabut pedangmu."
Pedang panjang berukuran tiga kaki tujuh dim diberi gantolan mas tersoreng di pinggangnya,
sarungnya yang terbuat dari kulit ikan cucut bintik-bintik amat elok dan dihiasi tujuh batu zamrud
yang berkilauan. Jari-jari Lamkiong Ceng sudah memegang gagang pedangnya, ototnya
merongkol dan punggung kulit tangannya sudah memutih kencang. Katanya tertawa dingin,
"Kabarnya golokmu hanya bisa dilihat orang sebelum jiwanya ajal, pedangku justru tidak sama,
tiada ruginya kuperlihatkan dulu kepadamu." Sekonyong-konyongnya badannya mencelat
melambung ke tengah udara, sekaligus pedangnya pun sudah terlolos keluar. Sinar pedangnya
yang kemilau membawa bunyi nyaring seperti pekikan naga, menukik turun dari tengah udara,
"Ting", tahu-tahu mangkuk di depan Pho Ang-soat sudah terbelah dua, disusul suara "Brak",
sebuah kursi kayu yang kokoh dan kuat pun ikut terbelah hancur berkeping-keping.
Pho Ang-soat mengawasi mangkuk yang terbelah dan kursi hancur berantakan di sampingnya,
jangan kata bergerak kaget, bergeming sedikit dari tempatnya pun tidak. Tapi dari samping
seorang terdengar berseru memuji, "Pedang bagus. Ilmu pedang hebat."
Tangkas dan ringan Lamkiong Ceng hinggap turun, pelan-pelan dia mengelus tajam
pedangnya, ujung matanya menyapu pandang ke arah Pho Ang-soat, katanya tersenyum bangga,
"Bagaimana?"
Tawar sikap Pho Ang-soat katanya, "Ilmu pedang peranti pembelah kayu yang kau mainkan ini
dulu aku memang pernah dengar dari orang lain."
Berubah air muka Lamkiong Ceng, bentaknya bengis, "Bukan saja bisa membelah kayu,
pedangku inipun bisa membelah badanmu." Tangkas sekali tangannya bergerak menyendal,
pedangnya seketika bergetar dan berputar memetakan bintik-bintik sinar puluhan batang pedang
panjang. Sekonyong-konyong sinar pedang yang bergulung-gulung itu berubah laksana bianglala
melesat di tengah angkasa, bagaikan kilat menabas lengan Tho Ang-soat yang memegang golok.
Pho Ang-soat tidak mencabut goloknya. Sampai sedemikian jauh dia masih tetap tidak
bergerak, cuma matanya tanpa berkedip mengikuti berkelebatnya sinar pedang lawan. Di saat
tajam pedang sudah mengiris bolong lengan bajunya, lengannya tiba-tiba tertekan ke bawah,
mendadak dia membalik tangan, tahu-tahu sarung pedangnya yang tajam itu sudah mengetuk
keras di pergelangan tangan Lamkiong Ceng yang memegangi pedang. Gerakannya ini
kelihatannya tidak menunjukkan keistimewaan apa-apa, yang terang dia cukup tepat
memperhitungkan waktunya, di saat jurus permainan lawan sudah dilancarkan, baru dia
mendadak turun tangan. Tapi jika orang itu tidak memiliki semangat baja dan urat syaraf kawat,
masakah dia mampu bersabar dan setabah itu baru turun tangan setelah pedang lawan melubangi
lengan bajunya.
Seketika Lamkiong Ceng merasakan pergelangan sakit selanjutnya baru dia menyadari bahwa
pedang panjangnya tiba-tiba tak tercekal lagi serta mencelat terbang menancap di dinding di
depan sana. Pho Ang-soat tetap duduk di tempatnya, bukan saja goloknya belum keluar, orangnya pun tidak
bergerak. Lamkiong Ceng mengertak gigi, tiba-tiba dia membanting kaki, seringan burung walet tiba-tiba
badannya melambung ke atas mencelat melewati kepala Pho Ang-soat, sekali raih ia tarik
pedangnya yang menancap di dinding, berbareng kaki kanan menjejak tembok. Meminjam tenaga
jejakan ini, badannya berjumpalitan balik ke belakang dengan gaya menyedot dada jumpalitan di
tengah mega, sinar pedangnya bagai kan perak langsung menusuk ke tenggorokan Pho Ang-soat.
Dari samping kembali terdengar suara pujian. Bahwa pemuda ini tadi kena diselomoti, jelas
karena dia terlalu memandang rendah musuhnya terlalu takabur dan lena. Bahwasanya permainan
pedangnya cukup lincah dan cekatan, bukan saja gerak badannya indah dan lincah, perubahan
gerai badannya pun rumit dan penuh variasi, laksana naga bermain di angkasa membuat
penonton kagum. Hakikatnya tiada hadirin yang melihat cara bagaimana Pho Ang-soat bergerak
atau turun tangan. Jelas mereka tiada satu pun yang melihat.
"Pletak", tahu-tahu pedangnya sudah menusuk kursi, namun Pho Ang-soat yang duduk di atas
kursi entah bagaimana tahu-tahu sudah hilang. Dalam detik-detik yang gawat itu, dengan
kesehatan gerakannya, kembali dia meluputkan diri dari tusukan pedang orang.
Jelas sekali Lamkiong Ceng sendiri menyaksikan pedangnya sudah menusuk Pho Ang-soat,
sekonyong-konyong badan orang sudah berkelebat lenyap. Sampai pun sisa waktu dan tenaganya
untuk merubah gerak serangannya pun tiada lagi, terpaksa dengan mendelong dia mengawasi
pedangnya sendiri menusuk kursi. Baru dia merasakan kesakitan.
Rasa sakit yang luar biasa, seperti dua buah martil besar sekaligus menghantam ke
lambungnya. Belum lagi badannya terbanting roboh tahu-tahu sudah terpukul lagi sampai
mencelat terbang menumbuk tembok. Sekuatnya dia menghirup napas, baru pelan-pelan
badannya melorot jatuh menggelondot dinding, namun kakinya sudah tak kuat lagi menyanggah
badannya. Pho Ang-soat tengah mengawasi dingin, katanya, "Kau menyerah tidak?"
Napas Lamkiong Ceng tersengal-sengal, mendadak dia membentak, "Pergilah mampus!" Di
tengah bentakannya, tahu-tahu dia menubruk maju lagi, terdengar angin pedangnya menderu
seperti bambu pecah, dari muka dia beruntun menusuk empat kali, lalu berbalik menusuk pula tiga
kali. Tujuh tusukan pedang berantai ini, walau tidak secepat dan sedahsyat serangannya semula,
namun jauh lebih telengas dan keji, setiap tusukan pedangnya merupakan serangan yang
mematikan. Badan Pho Ang-soat berkelebatan seperti bergoyang-gontai, dalam waktu sesingkat itu dengan
mudah dia sudah berkelit dari serangan tujuh tusukan pedang. Walaupun dia seorang timpang,
tapi gerak langkah kakinya seolah-olah mega mengambang air mengalir, lincah dan enteng serta
wajar. Orang yang belum pernah melihat gayanya berjalan, takkan percaya bahwa pemuda
setangkas kera ini ternyata berkaki timpang.
Tapi dia tahu diri, justru kakinya sebagai seorang cacad, maka sekarang dia bisa bergerak tiga
kali lebih cepat dari orang-orang normal lainnya. Untuk jerih payah ini, latihannya pun tiga kali
lipat lebih berat, gemblengannya tiga lipat lebih banyak dari orang biasa. Demi kakinya yang
timpang ini, entah berapa banyak keringat dan darah yang harus dia cucurkan" Bukan saja orang
lain takkan bisa mengetahui, sampai membayangkan pun takkan pernah dipikirkan.
Setelah melancarkan tujuh kali tusukan pedangnya, baru saja Lamkiong Ceng hendak merubah
jurus serangannya, namun belum sempat gerakannya tersambung mendadak dilihatnya sebatang
golok sudah mengancam di depan matanya. Golok tetap tersarung, sarungnya hitam gelap. Waktu
Lamkiong Ceng melihat jelas sarung golok itu, sarung golok itu tahu-tahu sudah menghantam
dadanya. Mendadak terasa pandangannya menjadi gelap, bintang berkunang-kunang di depan
mata. Setelah pandangannya kembali terang, baru dia menyadari dirinya tengah mendeprok di
lantai, dadanya sakit dan panas seperti dibakar oleh seterika, sampai bernapas pun rasanya berat.
Pho Ang-soat berdiri di depannya, menatapnya dengan dingin, katanya, "Sekarang kau mau
menyerah?"
Mulut Lamkiong Ceng sudah terpentang, namun dia tidak bisa bersuara. Mungkin memang
sudah menjadi ciri dan pembawaannya bagi anak keturunan keluarga besar persilatan yang selalu
bersifat congkak, tinggi hati dan tidak mau tunduk, dikalahkan orang lain. Sekuat tenaga dia
meronta hendak bangun, dengan membusungkan dada dia melotot kepada Pho Ang-soat. Darah
segar masih bercucuran dari mulutnya, mendadak dengan sisa tenaganya dia membentak keras,
"Pergilah kau mampus."
"Aku belum mampus, kau masih memegang pedang, kau masih bisa membunuhku," ejek Pho
Ang-soat menyeringai sadis.
Dengan mengertak gigi Lamkiong Ceng mengayun pedangnya, tapi begitu tangannya
terangkat, dadanya seketika sakit luar biasa seperti tulang dan paru-parunya pecah. Meski
pedangnya menusuk ke depan, masakah mampu membunuh orang lagi. Bahwasanya Pho Angsoat
tidak perlu berkelit atau menangkis, baru saja ujung pedangnya menusuk tiba di depan dada
ujungnya tiba-tiba menukik turun.
Suara pujian di samping tadi kini berganti menjadi helaan napas. Bagi seorang pemuda yang
sombong, helaan napas simpatik seperti ini sungguh jauh lebih menusuk perasaannya daripada
penghinaan dengan olok-olok yang gamblang.
Badan Lamkiong Ceng tiba-tiba mulai gemetar, mendadak dia berseru keras, "Kalau kau begini
membenciku, kenapa tidak kau bunuh aku saja"
"Aku membencimu?" tanya Pho Ang-soat tidak mengerti.
"Aku memang tiada bermusuhan dan dendam terhadapmu, tapi aku tahu kau amat
membenciku, karena kau sendiri sudah menyadari selama hidupmu kau takkan bisa menandingi
aku," tiba-tiba sorot matanya memancarkan senyum tawa yang sadis dan keji.
Pedangnya sudah tak mampu melukai Pho Ang-soat, tapi dia menyadari kata-kata kotor yang
tajam ada kalanya jauh lebih tajam dari pedang untuk melukai hati orang. Dengan suara keras dia
menyambung, "Kau membenci aku, lantaran aku ini adalah laki-laki sejati yang normal, dan kau
tidak lebih adalah manusia cacad yang harus dikasihani, anak haram yang malu melihat matahari.
Jika Pek Thian-ih masih hidup, dia pasti takkan mengakui kau sebagai anaknya, bahwasanya untuk
menuntut balas sakit hatinya pun kau tidak setimpal."
Muka Pho Ang-soat yang pucat tiba-tiba berubah merah padam, badannya bergetar mulai
gemetar. Kembali terunjuk senyum sinis puas di muka Lamkiong Ceng, katanya dingin, "Oleh karena itu,
dengan cara apa pun kau menghina dan menyiksaku pun tak berguna, karena selamanya aku
lebih kuat dari kau, selamanya takkan tunduk atau menyerah kepadamu."
Otot punggung tangan Pho Ang-soat merongkol keluar, jarj-jarinya kencang memegang gagang
golok, katanya kalem, "Selamanya kau tidak tunduk kepadaku?"
"Mati pun aku takkan tunduk."
"Apa benar?"
"Sudah tentu benar."
Tiba-tiba Pho Ang-soat menghela napas, katanya dengan menatapnya, "Tidak pantas kau
mengeluarkan perkataanmu...." Helaan napasnya kedengarannya jauh lebih sadis dari jengekan
dingin Lamkiong Ceng, di tengah helaan napasnya yang aneh itu, goloknya tiba-tiba berkelebat
keluar dari sarungnya. Sinar golok hanya berkelebat sekali saja
Lamkiong Ceng hanya merasa angin dingin menyembar lewat di pipi kirinya, lantas sebuah
benda melorot jatuh di atas pundaknya. Tanpa sadar serta merta dia menangkap benda jatuh ini,
mendadak didapatinya pundak dan telapak tangannya sudah berlepotan darah. Waktu dia


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuka telapak tangannya, baru dia melihat tegas benda dingin yang berlepotan darah di
telapak tangannya ternyata adalah sebuah kuping. Kupingnya sendiri.
Kejap lain baru dia merasa tempat dimana kupingnya berada terasa panas sakit luar biasa.
Badannya seketika berubah dingin kaku, kedua kakinya menjadi lemas dan "Bluk", kembali dia
melorot jatuh berduduk. Tangan dimana dia memegangi kupingnya yang putus terasa sakit seperti
digigit ratusan ular berbisa, keringat dingin bercucuran membasahi sekujur badan, muka yang
cakap ganteng dan amat angkuh itu, kini kelihatan seperti muka mayat hidup.
Berkata Pho Ang-soat dingin, "Aku belum mati, tanganku masih memegang golok, dan kau?"
Mengawasi kupingnya yang putus, gigi Lamkiong Ceng gemeratak, sepatah kata pun tak kuasa
diucapkan. "Sampai mati kau tetap tidak tunduk kepadaku?"
Sepasang mata Lamkiong Ceng yang diliputi ketakutan tiba-tiba berkaca-kaca, suaranya
gemetar, "Aku... aku...."
"Kau mau tunduk tidak?"
Mendadak Lamkiong Ceng mengerahkan sisa tenaganya berteriak, "Aku tunduk kepadamu, aku
menyerah kalah...." Waktu dia berteriak, tak tertahan air matanya bercucuran.
Selamanya dia beranggapan dirinya seorang pemuda gagah yang tidak mengenal takut dan
tidak mau menyerah atau tunduk kepada orang lain, tapi sekarang tiba-tiba hatinya dirasuk rasa
ketakutan yang hebat bagai air bah yang tak terbendung lagi, dalam sekejap seluruh keberanian
dan nyalinya tersapu bersih, hanyut tanpa bekas. Ternyata dia sudah tak kuasa mengendalikan
dirinya lagi. Kembali muka Pho Ang-soat berubah pucat bening, tanpa mempedulikan dia lagi, pelan-pelan
dia membalik badan, pelan-pelan beranjak keluar. Gaya jalannya aneh dan lambat, tapi sekarang
tiada orang yang berani memandangnya sebagai pemuda timpang yang menggelikan.
BAB 44. SEPASANG JAGOAN KELUARGA TING
Deru angin di musim rontok laksana pisau tajamnya menyampuk muka. Pelan-pelan Pho Angsoat
beranjak ke jalan raya, hembusan angin kencang membuat dadanya terasa dingin.
Bahwasanya dia bukan laki laki cacad, selamanya dia tidak mau melukai orang lain, namun dia pun
tidak mau dilukai. Tapi di dunia ini justru ada sementara orang sejak dilahirkan sudah dibawai
bekal bahwa dirinya adalah seorang kuat, sejak dilahirkan sudah diberi hak untuk melukai dan
menyakiti orang lain, sebaliknya orang lain tak kuasa melukai seujung rambutnya saja.
Mungkin mereka bukan manusia yang benar-benar jahat, namun rasa keunggulan yang
menghayati sanubari sementara manusia yang memang berwatak angkuh, itu amat jahat dan
keterlaluan, maka dia perlu disingkirkan dan diberantas.
Menghadapi orang yang berwatak demikian hanya ada satu cara, mungkin yaitu memotong
kupingnya, supaya dia mengerti, jika kau menyakiti hati orang, orang lain pun bisa saja menyakiti
kau. Pho Ang-soat sudah menyadari benar, bukan saja caranya ini tepat dan cocok, malah amat
bermanfaat dan pasti berhasil.
Tan-ciangkui yang berkuasa di toko Kiu-sia baru saja duduk dan mengambil cangkir teh,
sekujur badannya seketika basah kuyup ketumpahan air teh. Tangannya gemetar, jantung pun
berdegup keras, sungguh tak pernah terbayang dalam benaknya putra sulung majikannya pun
bakal menangis tergerung-gerung begitu mengenaskan, sekarang terpaksa dia harus pura-pura
tidak tahu menahu akan peristiwa ini.
Pada saat itu juga mendadak dilihatnya pemuda bermuka pucat yang timpang itu sedang
mendatangi dari seberang jalan sana, cangkir teh di tangannya seketika jatuh hancur di atas
lantai. Pelan-pelan Pho Ang-soat melangkah masuk ke toko antik ini, dengan dingin dia mengawasi
Ciangkui yang duduk gemetar, katanya, "Kaukah yang berkuasa di toko ini?"
Tan-ciangkui manggut-manggut.
"Akulah yang menyuruh orang menggadaikan golekan emas itu kemari, mana uangku?"
Tan-ciangkui tergopoh-gopoh, katanya dengan mengunjuk tawa, "Uang ada, ada... semua di
sini, silakan Kongcu ambil seperlunya." Seluruh uang kas di dalam toko dia keluarkan seluruhnya,
seolah-olah Pho Ang-soat adalah perampok yang hendak menguras seluruh uangnya.
Tiba-tiba Pho Ang-soat merasa geli dalam hati. Sudah tentu dia tidak tertawa, malah menarik
muka dan berkata, "Apa benar Lamkiong Ceng hanya punya seorang adik perempuan"'
"Ya, hanya seorang saja."
"Dengan siapa dia sudah dipertunangkan?"
"Dengan... dengan Ting-siauya dari keluarga Ting, bernama... bernama Ting Ling-tiong."
Seketika berubah hebat rona muka Pho Ang-soat.
Tan-ciangkui justru lebih terkejut, tidak tersangka olehnya setelah mendengar nama orang ini,
air muka Pho Ang-soat berubah sedemikian menakutkan. Kebetulan sinar surya yang condong ke
barat menyoroti mukanya yang pucat kelihatannya kulit mukanya bening dan tembus sinar.
Arak beracun di Ho han ceng, pedang beracun Ong Toa-ang, pisau terbang yang beruntun
menamatkan dua jiwa tidak berdosa... dan orang yang berada di luar Bwe hoa am malam itu.
Apakah semua orang sudah lengkap"
Sekonyong-konyong segala persoalan mendadak menjadi terang dan muncul di benaknya
setelah dia mendengar nama orang itu. Hatinya seolah-olah menjadi terang dan bersih laksana
kaca tembus cahaya.
Bahwasanya tiada suatu rahasia yang bisa selamanya mengelabui mata manusia, segala rahasia
sekarang seolah-olah sudah tiba saatnya harus dibongkar dan ditelanjangi.
Pho Ang-soat mendadak tergelak-gelak, di tengah gelak tawanya dia beranjak keluar, tinggal
Tan-ciangkui yang keheranan dan melongo duduk di tempatnya. Sungguh belum pernah
terbayang di dalam benaknya bahwa gelak tawa manusia pun kedengarannya begitu menakutkan.
Perkampungan yang besar tenggelam di kesunyian malam nan pekat, tampak beberapa sinar
api yang terpancar di antara aling-aling pepohonan. Hembusan angin membawa bau wangi, bulan
sudah hampir bulat.
Ban be tongcu mendekam di wuwungan rumah, di tengah malam nan gelap, di bawah
hembusan angin malam nan dingin di atas wuwungan, membuat darah dalam dadanya mendidih.
Seolah-olah dia kembali pada masa mudanya di malam pembunuhan besar itu.
Di saat sehening dan sepekat ini, menerjang masuk ke rumah keluarga yang masih asing bagi
dirinya, sembarang waktu goloknya terayun siap membunuh siapa saja, namun sembarang waktu
dia pun siaga untuk diringkus dan dihajar orang lain. Kehidupan yang serba tegang dan selalu
menusuk perasaan, sudah hampir dia lupakan sama sekali.
Tapi malam ini dia tidak perlu kuatir jejaknya ketahuan oleh ronda malam, karena di sini
merupakan salah satu keluarga besar persilatan yang amat kenamaan di Bu-lim, sejarah tiga
keluarga besar persilatan sudah bertahan sejak ratusan tahun yang lalu turun menurun, terus
bertahan dan tetap jaya. Sembarang maling, rampok dan orang-orang pejalan malam takkan
berani sembarangan terobosan di sini, di sini hakikatnya tidak perlu ada penjaga malam dan pakai
ronda segala. Lama kelamaan sinar api semakin jarang, dari kejauhan terdengar suara kentongan ketiga baru
saja lewat. Penghuni perkampungan besar ini tentunya tidur nyenyak, menurut adat dan tata
tertib keluarga di sini, dilarang orang malas dan suka tidur serta bangun terlambat, sudah tentu
mereka harus tidur pagi-pagi.
Mata Ban be tongcu sejeli mata burung hantu, memperhitungkan tempat untuk lompatan
kakinya berpijak, barulah dia melompat ke sana. Walau tidak takut jejaknya ketahuan, tapi dia
tetap harus hati-hati.
Pengalaman bertahun-tahun dalam kelananya menghadapi berbagai mara bahaya,
membuatnya jadi seorang yang teliti, sabar dan selalu waspada akan bahaya yang mengintai.
Setelah dia melampaui beberapa pucuk wuwungan rumah, mendadak dia melihat sebuah
pekarangan yang istimewa, pekarangan yang lain daripada yang lain. Pekarangan ini bersih,
nyaman dan serba artistik. Di balik kertas jendela yang putih bersih masih kelihatan cahaya lampu,
anehnya tak tampak sepucuk pohon dan tanaman apa pun di dalam pekarangan ini, namun pasir
kuning terbentang luas di sini. Di tengah-tengah padang pasir menguning ini ditanami pohonpohon
kaktus yang hidup subur.
Berbagai macam pohon, besar kecil, beraneka ragamnya, seluruhnya penuh ditumbuhi duri-duri
runcing, ditimpa sinar rembulan yang redup dingin, kelihatan begitu seram dan mendirikan bulu
roma. Seketika bersinar mata Ban be tongcu, dia tahu di sinilah tempat tujuan yang hendak dicarinya.
Orang yang hendak ditemui, kiranya masih belum mati. Tiada terdengar suara di dalam rumah,
sinar lampu guram dan remang-remang. Pelan-pelan Ban be tongcu menghembuskan napas,
mendadak dia mengeluarkan suara yang aneh sekali, seperti lolong serigala kelaparan di hutan
belantara. Lampu di dalam rumah seketika padam, pintu yang semula tertutup rapat sebaliknya terbuka
secara tiba-tiba. Disusul sebuah suara yang serak dan rendah bersuara di tengah kegelapan,
"Siapa di situ?"
Kembali Ban be tongcu menghembuskan napas, sahutnya, "Teman lama dari Bwe hoa."
Suara di dalam gelap itu seketika diam, lama sekali baru suara itu berkata pula dingin, "Aku
tahu cepat atau lambat kau pasti akan kemari."
Pelan-pelan pintu tertutup rapat pula, namun lampu tetap tidak dinyalakan. Dalam rumah gelap
gulita, tiada orang yang bisa melihat pemilik rumah yang suka menanam pohon kaktus dan tidak
suka menanam pohon dan kembang lainnya, beraut muka dan berperawakan macam apa.
Suaranya serak dan rendah, sehingga dia laki-laki atau perempuan pun sukar dibedakan, tua atau
muda pun tidak bisa ditentukan.
Di tengah kegelapan malam terdengar suara bisik-bisik Ban be tongcu dengan orang itu.
Terdengar Ban be tongcu sedang bertanya, "Apa kau berpendapat aku tidak pantas kemari?"
"Sudah tentu kau tidak patut kemari, kita sudah mengikat perjanjian, peristiwa di Bwe hoa am
telah berselang, selanjutnya kita putus hubungan, selanjutnya aku tidak mengenalmu lagi."
"Masih segar dalam ingatanku "
"Kau pun pernah berjanji, selanjutnya peduli terjadi peristiwa apa pun, kau tidak akan menarik
diriku ke dalam kancah pertikaian itu pula."
Mendadak Ban be tongcu tertawa dingin, jengeknya, "Bukan aku yang menjilat ludah
mengingkari janji."
"Bukan kau" Memangnya aku?" tanya orang itu.
"Kenapa kau suruh orang pergi membunuhku?"
"Aku suruh siapa membunuh kau?"
"Hatimu sendiri mengerti, kenapa harus bertanya kepadaku?" Lama orang itu berdiam diri,
akhirnya berkata dengan pelan-pelan, "Jadi kau sudah melihat Losam?"
"Ternyata memang Losam, sejak lama kudengar di antara tiga saudara laki keluarga Ting,
losam adalah putra yang paling cerdik dan pandai bekerja sungguh tak nyana di samping kau
ajarkan seluruh ilmu silatmu, dia pun pandai menggunakan pisau terbang."
"Pisau terbang" Pisau terbang apa?"
"Di luar Bwe hoa am dulu, kau membawa kabur dua barang milik Pek Thian-ih, satu di
antaranya adalah pisau terbang pemberian Siau-li, kau kira aku tidak tahu?"
Orang itu diam saja, seolah-olah sedang mengertak gigi.
"Siau-li si pisau terbang memang menggetarkan dunia, tapi orang yang benar-benar pernah
melihatnya tidak banyak, kecuali kau, tiada orang yang bisa meniru buatan yang sedemikian
miripnya."
Orang itu berkata, "Sayang sekali aku sendiri pun tidak tahu bila dia sudah meyakinkan
kepandaian pisau terbang Siau-li."
"Untung peryakinannya belum lihai, maka beruntunglah aku tidak sampai mampus dan kuasa
sampai di sini dengan masih hidup."
Kembali orang itu berdiam diri, sesaat kemudian mendadak bicara dengan gemas, "Aku sudah
tahu bahwa Ban be tong sudah hancur luluh, kabarnya seorang pemuda bernama Pho Ang-soat
yang melakukannya Apakah dia keturunan Pek Thian-ih dari rahim perempuan sundal itu?"
"Tidak salah."
"Mengandal tenaganya seorang mampu meruntuhkan Ban be tong?"
"Bila goloknya bekerja, kepandaiannya takkan kalah tinggi dibanding Pek Thian-ih di masa
mudanya dulu."
"Darimana dia bisa meyakinkan ilmu goloknya itu" Apakah Pek Thian-ih secara diam-diam
menurunkan Sin to sim hoatnya itu kepada perempuan sundal itu?"
"Cinta Pek Thian-ih terhadap Pek-hong Kongcu memangnya tulus dan murni."
Mendadak terdengar suara gemeratak dari beradunya gigi di tengah gelap, kedengarannya
seperti golok tumpul yang sedang diasah, siapa pun yang mendengar pasti mengkirik seram.
Naga-naganya orang itu memang mempunyai permusuhan mendalam yang tak terleraikan dengan
Pek Thian-ih. Kata Be Khong-cun, "Tapi jika tidak dibantu Yap Kay secara diam-diam, belum tentu Pho Angsoat
bisa berhasil."
"Yap Kay" Apa pula hubungan orang ini dengan keluarga Pek?"
"Asal-usul orang ini kurang terang, gerak-gerik dan jejaknya selalu tersembunyi, semula aku
sendiri pun kena dikelabui, kukira dia hanya seorang kelana yang kebetulan lewat di daerahku
belaka." "Bahwa kau pun kena dikelabui, agaknya orang ini memang lihai."
"Usianya memang masih muda, namun otaknya encer, ilmu silatnya sukar dijajaki, jauh lebih
sukar dilayani dibanding Pho Ang-soat."
"Menurut pendapatmu bagaimana kalau dia dibanding dengan Losam?"
"Ting-samkongcu memang pemuda yang serba pintar, sayang...."
"Sayang bagaimana?"
"Sayang sekali orang yang terlalu pintar biasanya tidak berumur panjang."
"Kau membunuhnya?" teriak orang itu.
"Beruntung bahwa dia tidak sampai membunuhku, hatiku sudah cukup puas, mana aku bisa
membunuhnya."
"Lalu siapa yang membunuhnya?"
"Pho Ang-soat."
"Darimana kau tahu" Apakah menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri?"
Be Khong-cun ragu-ragu, akhirnya dia mengiakan.
Berubah beringas suara orang itu, serunya, "Kau saksikan dia terbunuh tanpa berusaha
menolongnya?"
"Seharusnya aku menolong dia, sayang sekali aku sendiri terluka, jiwaku sendiri sukar
kulindungi."
"Siapa yang melukai kau?"
"Pisau terbangnya itu."
Tertutup mulut orang itu.
"Apa pun yang sudah terjadi, sekarang aku sudah berada di sini, maka kau pun takkan terluput
dari tanggung jawab ini."
"Memangnya apa yang kau inginkan?"
"Sembilan belas tahun yang lalu, kaulah yang bekerja sama dengan aku merencanakan
pembunuhan di luar Bwe hoa am itu, pasti tiada orang di Kangouw yang pernah menduganya.
Umpama Pho Ang-soat memiliki kepandaian setinggi langit, dia pasti takkan bisa menemukan
tempat ini."
"Maka kau berkeputusan menyembunyikan diri di tempatku ini?"
"Terpaksa aku bertindak demikian, kelak bila ada kesempatan, baru kita memberantas rumput
sampai ke akar-akarnya, kita bunuh Pho Ang-soat.'
"Walau di antara kita tiada punya hubungan tapi urusan sudah telanjur sedemikian jauh, sudah
tentu aku tidak bisa mengusirmu pergi."
Tiba-tiba Be Khong-cun tertawa, "Tentunya kau takkan membunuhku untuk menutup mulut,
sebagai orang cerdik tentunya kau tahu, jika tanpa persiapan, masakah aku berani kemari."
"Boleh kau legakan hatimu, cuma selama beberapa tahun belakangan ini, boleh dikata aku
sudah meninggalkan persoalan duniawi, umpama di sini terjadi pembunuhan, orang luar takkan
ada yang tahu."
"Kalau demikian, aku memang boleh lega."
"Yap Kay yang kau singgung tadi, aku sih pernah mendengar namanya."
"Oh, memangnya?"
"Walau Pho Ang-soat tak bisa menemukan tempat persembunyianmu, tapi Yap Kay cepat atau
lambat pasti akan kemari."
"Kenapa?"
"Karena sekarang dia sudah boleh dianggap bakal menantu keluarga Ting kita."
"Jangan sekali-kali kau kabulkan," teriak Be Khong-cun kaget.
"Kenapa tidak boleh kukabulkan" Jika dia sudah menjadi menantu keluarga Ting kita, bukankah
aku bisa tidur nyenyak, apalagi putri keluarga Ting tak mau menikah kecuali dengan pemuda
pilihan yang satu ini. Semula aku masih pikir-pikir, sekarang aku malah ingin lekas merestui
pernikahan ini."
Tiba-tiba Be Khong-cun tertawa dingin, jengeknya, "Kau ingin merestui pernikahan mereka?"
Tiba-tiba orang itu terbungkam lagi, maka dalam gelap terdengarlah langkah kakinya, "Blang",
pintu dia dorong dan beranjak keluar.
Agaknya Be Khong-cun tertawa senang, dengan tersenyum dia menggumam seorang diri, "Yap
Kay, Yap Kay, lebih baik kalau kau tidak kemari, kalau tidak, aku berani tanggung kau akan
menyesal."
Sinar bintang yang redup menyorot masuk ke dalam kamar, samar-samar dilihatnya di atas
meja ada sepoci arak. Dia meraihnya serta mencicipinya seteguk, katanya dengan tetap
tersenyum, "Memang arak bagus, di kala seorang menghadapi kesunyian, memang harus
minum...." Dia tidak mengutarakan ucapannya, tawanya tiba-tiba menjadi kaku, kontan dia roboh
tersungkur. Malam sedingin es. Dengan memeluk lutut Yap Kay duduk di undakan batu yang dingin,
mendongak mengawasi rembulan yang sudah mencapai ketinggian di pucuk pohon, hatinya
seolah-olah ikut dingin, kalau rembulan semakin membulat, manusia justru akan berpisah.
Kenapa di antara sesama manusia banyak yang saling memperalat, saling mencelakai dan
membunuh, kenapa mereka lebih banyak berpisah" Kalau toh akhirnya berpisah, kenapa mereka
harus berkumpul"
Tiba-tiba teringat olehnya Siau Piat-li, terbayang akan peristiwa yang pernah dialaminya di kota
perbatasan itu, teringat akan Nikoh tua penghuni Bwe hoa am yang kesunyian dan sebatangkara,
terbayang pula akan pusara di lereng gunung itu....
Sekarang boleh dikata dia sudah menjadi jelas akan segala liku-liku persoalan ini, namun masih
ada satu hal yang masih belum dimengerti olehnya, dan hal ini pula yang sampai sekarang masih
belum bisa diselesaikan. Mungkin persoalan ini memang tidak mungkin dibereskan, karena apa
pun yang harus dia lakukan, bukan mustahil dirinya harus melukai hati orang lain, mungkin pula
akan melukai hatinya sendiri.
Berpisah meski mendelu, berkumpul bukankah juga banyak membawa kerisauan" Angin dingin
sepoi-sepoi, didengarnya langkah kaki di belakangnya, sekaligus didengarnya pula suara merdu
senyaring kelintingan. Tiba-tiba dia berpaling, katanya, "Kebetulan kau datang, aku memang ingin
mencarimu."


Peristiwa Merah Salju Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan mengerutkan mulut, Ting Hun-pin bertanya, "Kenapa tidak kau mencariku?"
"Karena tadi aku belum berkeputusan, apa aku harus memberitahu persoalan ini kepadamu."
"Ada urusan apa?"
"Sebetulnya hal ini tidak akan kuberitahu kepadamu, tapi aku tidak ingin membohongi kau,
selama ini kau terlalu baik pula kepadaku." Sikapnya serius, suaranya pun tawar dingin. Biasanya
sikap Yap Kay tidak pernah demikian.
Ting Hun-pin sendiri tidak bisa tertawa lagi, seakan-akan dia sudah mendapat firasat bahwa
persoalan yang hendak dibicarakan kepadanya bukan urusan baik, "Peduli persoalan apa pun yang
hendak kau bicarakan, aku tidak suka mendengar."
"Tapi kau harus mendengarnya, karena sebelum hari terang tanah aku harus segera
berangkat."
"Kau hendak pergi" Kenapa tidak sejak tadi kau beritahukan padaku?"
"Karena untuk kali ini kau tidak boleh ikut aku."
"Kau... seorang diri hendak kemana?"
"Bukan seorang diri aku pergi."
"Apakah kau hendak pergi bersama Sim Sam-nio?"
"Benar."
"Kenapa?"
"Karena aku menyukainya, selama ini aku amat menyukai dia, kau tidak lebih masih seorang
anak-anak, tapi dia adalah perempuan jelita yang paling kupuja, demi dia aku boleh membuang
segala milikku."
Dengan kaget Ting Hun-pin menatapnya, seperti belum pernah dia melihat orang ini, katanya
gemetar, "Dia... apakah dia benar-benar mau ikut kau pergi?"
Yap Kay tertawa, katanya tawar, "Sudah tentu dia mau, bukankah kau pernah bilang aku ini
laki-laki yang menyenangkan?"
Pucat muka Ting Hun-pin, namun kedua biji matanya membara, seperti orang mendadak
menampar mukanya dengan keras. Selangkah demi selangkah dia menyurutkan mundur, air mata
berderai bercucuran mendadak dia putar tubuh terus menerjang keluar, dengan kencang dia lari
ke sana terus menerjang bobol pintu kamar Sim Sam-nio.
Yap Kay tidak merintangi, karena dia tahu Sim Sam-nio akan memberikan jawaban yang sama
seperti apa yang barusan dia katakan. Untuk ini Sim Sam-nio sudah menjanjikan diri. Tapi tiba-tiba
didengarnya suara jeritan di kamar Sim Sam-nio, jeritan mendadak seperti berhadapan dengan
setan. Bukan jeritan Sim Sam-nio tapi jeritan Ting Hun-pin. Lampu masih menyala di dalam kamar.
Sinar lampu yang redup tepat menyinari muka Sim Sam-nio yang pucat kaku, mimik mukanya
sedemikian tenang dan wajar. Tapi napasnya berhenti, jiwanya pun sudah melayang.
Sebatang pisau tepat amblas di dadanya, darah membasahi seluruh pakaiannya. Tapi dia mati
dengan tenang, karena kejadian ini sudah dia pikirkan secara masak baru dia berkeputusan.
Kecuali mati, dia tiada punya cara lain untuk membebaskan diri dari dosa yang lebih besar.
Di bawah lampu tertindih secarik kertas dimana ada beberapa baris huruf yang berbunyi, "Nona
Ting adalah gadis yang baik, aku tahu dia amat mencintaimu, aku pun seorang perempuan, oleh
karena itu meski aku sudah berjanji kepadamu, namun aku tidak tega membantu kau menipu dia.
Terutama aku takkan tega mengawasi kalian membunuh Be Khong-cun "
Itulah pesan terakhir Sim Sam-nio. Dia percaya Yap Kay pasti paham apa yang dia maksud, tapi
Ting Hun-pin justru tidak mengerti. Dia membalik badan, melotot kepada Yap Kay, tanyanya
dengan air mata bercucuran, "Ternyata kau membohongi aku, kenapa kau hendak membohongi
aku" Kenapa kau ingin aku bersedih?"
Muka Yap Kay yang selalu cerah terunjuk rasa sedih dan pilu, akhirnya dia menghela napas,
sahutnya, "Karena cepat atau lambat kau pasti akan bersedih."
"Kenapa?" teriak Ting Hun-pin.
Yap Kay tidak mau menjawab lagi, dia siap tinggal pergi.
Namun Ting Hun-pin menarik lengan bajunya, katanya, "Kau sudah berjanji kepadaku
menemani aku pulang, sekarang sudah dekat rumahku, kenapa mendadak merubah haluan?"
"Karena tiba-tiba aku membencimu," dengan keras Yap Kay kipatkan tangannya, tanpa
berpaling beranjak keluar. Dia tidak berani berpaling, karena takut Ting Hun-pin melihat matanya
yang berkaca-kaca.
Sepucuk pohon di luar pekarangan menyendiri dengan daun-daunnya yang mulai gundul. Di
bawah pohon berdiri satu orang, seorang yang sebatangkara, seraut mukanya mirip mayat hidup.
Pho Ang-soat. Agaknya sudah lama datang, sudah mendengar banyak percakapan, dengan nanar dia
mengawasi Yap Kay, dalam sorot matanya yang dingin dan dalam, agaknya membayangkan rasa
duka dan simpatik.
Yap Kay berteriak kaget, "Kau... kau pun datang?"
"Aku memang harus datang, kaulah yang tidak harus kemari."
Yap Kay mendadak tertawa, tawa yang rawan, "Aku tidak harus datang" Apa benar aku tidak
boleh kemari."
"Bukan saja kau tidak usah kemari, tidak pantas kau bersikap begitu kasar terhadapnya."
"Oh, kenapa?"
"Karena persoalan ini hakikatnya tiada sangkut-pautnya dengan kau, keluarga Ting tiada
permusuhan dengan kau, aku kemari mencari kau, hanya ingin membujukmu supaya
membawanya pergi ke tempat jauh, selamanya jangan kau mencampuri persoalan ini."
Muka Yap Kay memutih, katanya tertawa getir, "Dalam dua hari ini agaknya banyak persoalan
yang sudah kau pahami."
"Aku sudah tahu seluruhnya."
"Kau yakin benar?"
"Aku sudah pernah bertemu Ting Ling-ka."
Yap Kay tidak bertanya lebih lanjut, seakan-akan beranggapan jawaban ini sudah cukup
menjelaskan segalanya
Pho Ang-soat sebaliknya bertanya, "Bukankah yang kau ketahui cukup banyak pula?"
Yap Kay manggut-manggut.
"Darimana kau bisa mengetahuinya?"
Yap Kay sengaja tidak menjawab, katanya menghela napas, "Aku heran kenapa Ting Ling-ka
berani menempuh bahaya menemui kau."
"Aku hanya heran kenapa kau selalu melibatkan diri di dalam persoalan rumit ini."
Tiba-tiba terdengar seorang menjawab dengan tertawa dingin, "Karena dia sejak dilahirkan
dibekali kesukaan mencari kesukaran, sekarang kesukaran pun sedang melibatkan dirinya."
Suara kumandang dari balik wuwungan rumah hanya kedengaran suaranya tak kelihatan
orangnya. Setelah suaranya berhenti baru kelihatan sebutir kacang dilontarkan tinggi-tinggi di
balik wuwungan rumah sana, lalu melayang jatuh pula. Disusul sepasang tangan terulur keluar
membuang kulit kacang.
"Lok Siau-ka," Yap Kay berteriak kaget.
Kisah Si Rase Terbang 11 Panji Wulung Karya Opa Pendekar Satu Jurus 3

Cari Blog Ini