Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 17
kalau tak jadi baik tentu jadi buruk.
Tiba-tiba air menyurut ke bawah sampai beberapa meter. Terdengar air itu mengalir ke
sebuah saluran. Dan beberapa saat, airpun kering semua dan seketika tampaklah sebuah
pintu batu terbuka lebar. Empat orang imam menghunus pedang, menerobos masuk.
Salah seorang yang berada di muka, segera berseru, "Hai, kalian berdua harap turun!"
Cong To melayang turun dan tertawa, "Menyurutkan air dan membuka pintu, apakah
tak takut kalau pengemis tua akan menerobos keluar?"
Wajah imam itu mengerut serius, "Kepala biara kami mengundang kalian bertemu di
paseban besar," " ia terus berputar diri dan melangkah keluar.
Perubahan yang tak disangka-sangka itu sungguh mengejutkan Cong To. Dengan
pandang tak mengerti, ia berpaling ke arah Han Ping lalu mengikuti rombongan imam itu
keluar. Di luar penjara air itu ternyata merupakan sebuah titian yang kecil dan melanda rubuh
ke atas. Penerangan bersinar dari atas.
Diam-diam Han Ping menghitung. Titian itu berjumlah 128 buah. Menilik itu jelas kalau
penjara air itu dibangun dengan megah dan kokoh.
Ketika tiba di belakang paseban, Han Ping menghela napas longgar untuk menghirup
udara segar. Keempat imam itu berjalan perlahan tetapi tak pernah berpaling ke belakang. Setelah
mengitari sebuah padang bunga, tibalah mereka dipintu paseban. Imam itu mengangkat
kedua tangannya ke atas dan berseru nyaring, "Tawanan penjara air sudah datang!"
Cong To tertawa keras, "Imam hidung kerbau, mulutmu besar sekali. Sedang gurumu,
Thian Hian totiang itupun tak berani menyebut begitu kepada pengemis tua ini!" " ia cepat
melangkah ke atas batu titian.
Imam itu hendak mencegah dengan hadangkan tangannya tetapi cepat lengannya
dicengkeram Han Ping lalu didorong mundur. Pemuda itu terus melangkah mengikuti Cong
To. Ketika mengangkat muka memandang ke muka, Han Ping terkesiap. Kiranya di tengah
ruang paseban besar itu, sudah menyambut Thian Hian totiang. Tetapi saat itu dia tak
mengenakan topeng muka. Wajahnya bundar seperti bulan purnama. Jenggot menjulai
sampai ke dada. Dengan jubah pertapaan yang berkibar-kibar, sepintas pandang dia
menyerupai dewa yang turun ke bumi".
Di belakang tampak berdiri pengemis kecil murid Pengemis sakti Cong To dan si Tangan
kilat Ca Giok! Di sebelah kanan tampak kedua nona Ting. Ting Ling berpakaian hitam, Ting Hong
tetap berpakaian putih. Wajah keduanya tetap secantik seperti biasa.
Pengemis kecil cepat lari dan berseru, "Suhu"." " tetapi Pengemis-sakti menolakkan
tangannya seraya berkata, "Jangan meributi pengemis tua dulu. Akulah yang hendak
menanyakan bagaimana engkau ini!"
Ca Giok segera memberi hormat dan berkata dengan tertawa, "Kami mendengar Cong
locianpwe mendapat kesukaran dalam penjara air maka sengaja datang hendak
menolong"."
Cong To gelengkan kepala, tukasnya, "Apakah begitu sederhana sekali" Jangan
membuat lemah hatiku!"
Ca Giok tersenyum lari menghampiri dan terus mencekal tangan Han Ping, serunya,
"Saudara Ji tetap gagah seperti biasa. Mengapa tersiar berita kalau saudara sudah
meninggal?"
Han Ping melirik ke arah Thian Hian totiang. Tampak wajah imam yang semula
berwibawa itu, berubah terkejut. Han Ping tersenyum hambar, sahutnya, "Aku memang
manusia dari dua dunia. Sudah tentu kabar burung itu hilang kenyataannya!"
Ting Hong tertawa, "Ci, bukanlah telah kukatakan bahwa dia tak mungkin bisa mati!
Lihatlah, bukankah dia tak kurang suatu apa!"
Thian Hian menatap Han Ping dan bertanya, dengan nada dingin, "Apakah engkau
benar-benar orang yang malam itu bertempur dengan aku?"
Han Ping tertawa, "Kita telah bertempur sampai 100 jurus. Aku engkau lukai dengan
tenaga dalam daya mental. Lalu engkau tutuk jalan darah maut Sin-hong-hiat tubuhku."
Thian Hian mengangguk, "Aku selalu bertanggung jawab apa yang kulakukan. Tak
perlu engkau ungkit peristiwa itu lagi!"
"Tetapi aku masih belum mempunyai rencana untuk menuntut balas kepadamu," kata
Han Ping. Thian Hian mendengus dingin, "Sekalipun engkau mempunyai rencana itu, kiranya
sukar juga untuk melaksanakannya!"
Han Ping tertawa hambar, "Tetapi ada suat hal yang benar-benar aku tak tahan"."
bicara sampai disitu wajahnya serentak berubah bengis katanya, "Apakah luka beracun
pamanku Kim itu sudah baik?"
"Sekali aku sudah berjanji hendak menyembuhkannya, biarkan menderita luka yang
lebih hebat dari itu, tetap dapat menyembuhkan"." tiba-tiba ia berhenti karena merasa
jawaban seperti dikarenakan rasa takut kepada pemuda itu. Serentak ia lantangkan
suaranya, "Setelah kututuk jalan darah maut tubuhmu, mengapa engkau masih hidup dan
dapat datang ke biara sini!"
Mendengar pamannya Kim Loji sudah sembuh, legahlah hati Han Ping. Ia tersenyum
menyahut, "Hal itu harus kuhaturkan terima kasih atas tendangan yang locianpwe berikan
kepadaku saat itu. Tendanganmu itu telah membuka jalan darah bagian Yim dan Tok
dalam tubuhku. Sekali tenaga murni melancar, jalan darah maut yang engkau tutuk itupun
dapat terbuka sendiri!"
"Benarkah itu?" seru Thian Hian heran.
"Jika tendanganmu itu tak tepat mengenai jalan darah bagian Yim dan Tok, tentu saat
ini aku sudah menjadi tumpukan tengkorak!"
Thian Hian menghela napas ringan lalu berpaling memberi pesan kepada seorang imam
kecil supaya mengundang Kim Loji keluar.
Setelah imam kecil itu pergi, Thian Hian berpaling ke arah Pengemis sakti Cong To,
serunya dingin, "Kedatangan saudara Cong kemari dan melukai beberapa orang di sini,
entah dengan cara bagaimana saudara Cong hendak mempertanggung jawabkan?"
Pengemis sakti tertawa, "Tetamu harus menurut kehendak tuan rumah. Silahkan
toheng mengatakan, pengemis tua tentu akan menurut saja!"
Mata Thian Hian berkilat ke arah pengemis kecil, ujarnya, "Untuk sementara kita catat
saja rekening itu. Kelak kita perhitungkan lagi"."
"Aneh!" seru Cong To, "tak pernah selamanya saudara begitu sungkan terhadap
orang"."
"Benar, memang bicara kami tak pernah menumpuk hutang orang sampai lama. Tetapi
terhadap engkau si pengemis tua, akan kuberi pengecualian,"
Cong To memandang ke arah puncak wuwungan paseban tertawa, "Hal itu sungguh
mengejutkan pengemis tua."
Ting Hong tak kuat menahan luapan hatinya lagi. Cepat ia lari menghampiri Han Ping,
"Apakah engkau tak melihat kami berdua?"
"Melihat"."
"Kalau melihat mengapa tak menegur?"
Merah muka Han Ping. Tersipu sipu ia memberi hormat dan berseru, "Nona berdua"."
Tiba-tiba Ting Hong menutup hidungnya dengan ujung lengan baju, serunya, "Sudah
berapa lama engkau tak ganti pakaian?"
"Kira-kira sudah satu bulan!" sahut Han Ping. memang selama terkurung dalam penjara
air hampir satu bulan itu, pakaiannyapun sudah menjamur, baunya apek sekali.
Mendengar adiknya bicara yang tak genah, buru-buru Ting Ling berseru, "Hai, budak
liar, sudah berumur 16 17 tahun masih tak tahu adat. Hm, apakah tak mau ditertawai
orang, hayo, lekas kembali ke sini!"
Malulah Ting Hong karena dimaki tacinya di depan orang banyak itu. Ia tundukkan
kepala dan mundur ke tempat Ting Ling lagi.
Menatap Han Ping, berkatalah Thian Hian, "Benar-benar aku tak mengerti, kalian
makan apa saja selama dalam penjara air itu" Spakah sebelumnya kalian memang sudah
membawa bekal makanan?"
Mendengar pertanyaan itu, perut Han Ping serentak menguak dan huak".Ia muntah air
masam. Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, "Adalah engkau sendiri yang menyediakan
makanan lezat itu! Masakan engkau sendiri tak tahu?"
Thian Hian tahu bahwa pengemis itu memang tak pernah bohong. Mau tak mau ia
terbeliak, serunya, "Apakah yang kami sediakan di situ?"
"Engkau merencanakan untuk membikin kami berdua lemas lalu menawan, bukan?"
tanya Cong To. Setiap orang yang terjeblos dalam penjara air itu memang harus menderita kelaparan
selama 10 sampai 15 hari," jawab Thian Hian.
"Sayang kehendak Tuhan itu tak seperti yang dikehendaki manusia. Ternyata engkau
tak mampu membikin kami kelaparan"."
"Engkau kan bukan manusia baja, bukan" Kalau lapar sampai 15 hari, tentu kalian tak
dapat bergerak lagi!"
Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, "Perhitunganmu kali ini meleset, imam hidung
kerbau! Engkau tentu tak pernah menduga bahwa dalam penjara air itu terdapat sarang
ular air. Tuhan selalu murah. Kawanan ular air itu cukup memberi makan pengemis tua
sampai sebulan lamanya!"
Thian Hian tertegun, serunya, "Penjara air itu luar biasa dinginnya. Sekalipun kalian
membawa bahan api, tetap tak dapat menahan haw a dingin di situ. Apakah engkau
makan mentah mentah saja ular itu?"
"Pengemis tua mempunyai 28 resep makan ular. Untuk makan ular mentah, pengemis
tua mempunyai 12 macam resep. Tentulah engkau imam hidung kerbau tak pernah
mengetahui"."
Huak". kembali Han Ping muntah lagi. Mendengar ucapan Cong To tadi, seketika
perutnya seperti dipelintir pelintir. Ia merasa perutnya tentu masih ada sisa daging ular.
Tetapi ketika dimuntahkan ternyata hanya air saja.
Cong To tetap tertawa bebas dan menuturkan tentang pengalamannya makan ular
mentah dalam penjara air. Dia benar-benar seorang ahli bicara. Dalam penuturannya itu,
ia memberi nama yang berlain- lainan pada 12 resep makan ular mentah itu. Setiap nama,
sedap sekali didengarnya.
Makin Cong To bicara dengan riang gembira, makin Han Ping muntah-muntah dengan
hebat. Yang kedengaran seolah-olah tertawa Cong To sahut menyahut dengan muntah
Han Ping. Melihat itu Ting Hong tak kuat menahan perasaannya lagi. Segera ia berseru nyaring,
"Pengemis tua, sudahlah, jangan terus menerus bicara tentang makan daging ular
mentah, bising telingaku mendengarnya!"
Ting Lng terkejut. Ia hendak mencegah tetapi sudah tak keburu. Diam-diam ia memaki
adiknya itu, "Hm, budak yang tak tahu tingginya langit. Siapakah Cong To itu, mengapa
engkau benani memanggil dengan sebutan "Pengemis tua?"."
Siapa tahu, ternyata Cong To tak marah melainkan tersenyum dan diam.
Thian Hian totiang berpalmg ke arah Ting Hong, serunya, "Budak perempuan, nyalimu
sungguh besar sekali! Mau engkau menjadi murid per guruanku?"
Sekalian orang terkejut dan memandang Ting Hong, menunggu apa jawab dara itu.
Mereka anggap tawaran Thian Hian totiang itu benar-benar suatu hal yang tak terdugaduga.
Tetapi Ting Hong termangu saja. Wajahnya tegang tetapi tak berkata suatu apa.
Kata Thian Hian pula, "Apakah engkau takut ayahmu Raja Setan itu tak setuju" Hm,
jika dia berani tak setuju, Lembah Raja setan tentu akan kubumi-hanguskan!"
"Bangunan Lembah kami terbuat dari batu karang semua, tak mempan dibakar api
yang bagaimanapun besarnya"."
"Kalau api tak mempan akan kubongkar tanahnya supaya sebuah bangunanpun tak sisa
lagi"."
"Persiapan lembah kami ketat sekali. Belum kalian mencapai ke tengah lembah, tentu
sudah dipergoki"."
"Dipergoki lalu akan diapakan?"
"Obat penyesat jiwa dari Lembah Raja setan termahsyur di seluruh dunia. Siapa yang
berani masuk ke dalam lembah tentu tak dapat keluar lagi"."
Cepat Thian Hian mengerat kata-kata Ting Hong, "Aku tak punya waktu adu lidah
dengan engkau! Pendek kata, engkau suka tidak menjadi murid perguruanku?"
Sejenak merenung, Ting Hong menyahut, "Walaupun hati suka, tetapi aku harus minta
izin dulu kepada ayah."
"Kuterima engkau menjadi murid dan kuberikan ilmu pelajaran kepadamu. Apakah
sangkut pautnya dengan ayahmu?"
Ting Ling berpaling ke arah adiknya dan berbisik, "Adik Hong, engkau terimalah saja!
Nanti aku yang mengatakan kepada ayah, Karena ayah tentu takkan melarang!"
Ting Hong tahu bahwa tacinya itu amat cerdas dan tepat sekali memperhitungkan
segala kemungkinan. Ia tak akan sangsi lagi dan tersenyum-senyum berpaling ke arah
Thian Hian, serunya, "lt kiong, Dua Lembah dan Tiga Marga, sama-sama terkenal di dunia
persilatan. Kepandaianmu berimbang dengan ayahku. Ilmu apa lagi yang hendak
kauberikan kepadaku?"
Ting Hong seorang dara yang polos hati dan suka bicara terus terang. Apa yang dipikir
dalam hati, tentu segera diucapkan.
Thian Hian tertegun, "Kepandaian dan pengetahuan ayahmu, masakan dapat
disejajarkan dengan aku. Berbicara tentang ilmu silat saja, mana dia dipersamakan dengan
diriku"."
Tiba-tiba Cong To menyelutuk, "Ilmu silat dari Lembah Raja setan mana bisa
dibandingkan dengan ilmu pedang dari imam hidung kerbau Thian Hian" Sudahlah, baik
engkau mengangkat guru kepadanya. Jika ayahmu si Raja Setan tahu, dia tentu girang
setengah mati. Masakan dia akan mempersalahkan engkau!"
Thian Hian mengelus-elus jenggotnya seraya tertawa, "Entah apakah saudara Cong
percaya pada kata kataku atau tidak. Dalam waktu tiga tahun akan kugembleng dia
menjadi pendekar wanita kelas satu dan dapat diadu dengan beberapa tokoh kelas satu
dalam dunia persilatan. Saudara Cong sendiri, dalam tiga tahun belum tentu mampu
mengalahkannya!"
Cong To tertawa, "Dalam hal itu, pengemis tua hanya percaya setengah bagian saja!"
Thian Hian berseru heran, "Mau percaya, harus percaya penuh. Kalau tak percaya,
cobalah buktikan saja nanti tiga tahun kemudian. Masakan percaya hanya separuh
bagian"."
Berhenti sejenak, imam itu melanjutkan ucapannya pula, "Saudara Cong tentu merasa
bahwa ilmu silat dan ilmu pedangku terpaut tak berapa banyak dengan engkau. Maka
engkau hanya mau percaya setengah-setengah saja!"
"Dalam hal ilmu silat dan ilmu pedang memang pengemis tua merasa harus tahu diri"."
"Bukan terbatas pada saja, pun dalam ilmu Meringankan tubuh, ilmu pedang dan
pelajaran tenaga sakti Hian-bun-kong-gi, di dunia rasanya tiada terdapat keduanya lagi!"
Diam-diam Han Ping membatin, "Hm, imam ini luar biasa congkaknya. Masakan memuji
kepandaiannya sendiri setinggi langit!"
Cong To hanya ganda tertawa, "Dalam waktu tiga tahun engkau mampu menjadi budak
setan itu seorang pendekar wanita kelas satu, pengemis tua memang percaya. Bahkan
pengemis tua pun yakin, jika engkau sungguh-sungguh hati mendidiknya, dalam waktu 10
tahun dia tentu menjadi pendekar wanita yang amat cemerlang"."
Thian Hian tertawa dan memuji akan ketajaman pandangan pengemis Cong To. Cong
To mengucap beberapa kata merendah.
Mendengar percakapan kedua tokoh itu, Ting Hong berpaling ke arah tacinya lalu
berpaling kepada Thian Hian totiang lagi, serunya, "Engkau hanya menerima aku seorang,
apakah taciku tak dapat engkau terima sekali?"
Thian Hian sejenak memandang Ting Ling, ujarnya, "Kalau soal kecerdasan dan bakat,
engkau kalah jauh dengan tacimu. Tetapi sayang, aku hanya dapat menerima seorang
murid saja!"
Ting Ling tertawa, "Bahwa kwan-cu (kepala biara) mau menerima adikku sebagai
murid, aku sudah sangat berterima kasih sekali"."
Tiba-tiba terdengar derap langkah kaki orang mendatangi dan muncullah si imam kecil
membawa Kim Loji.
"Paman, apakah lukamu sudah sembuh?" teriak Han Ping seraya lari menyongsong.
"Baik," kata Kim Loji tertawa, "dimana saja engkau selama sebulan ini?"
Han Ping tertawa, "Aku berada dalam penjara air selama 25 hari. Tetapi karena paman
sudah sembuh, sedikit penderitaan itu tak kuanggap apa-apa."
Entah girang entah karena teringat sesuatu, maka dua butir airmata menitik turun dari
kelopak Kim Loji. Ia tertawa, "Nak, hanya membuat sengsara engkau saja!" " ia maju
menghampiri. Lebih dulu memberi hormat kepada Cong To kemudian kepada Thian Hian
totiang, ujarnya, "Terima kasih atas budi pertolongan kwancu yang telah menyembuhkan
lukaku." Tiba-tiba tampak Thian Hian totiang gembira, serunya sambil mengurut jenggot,
"Berpuluh tahun ini. orang yang minta pertolongan rnenyembuhkan lukanya padaku dan
dapat keluar dengan tak kurang suatu dari biara Hian-bu-kwan ini, baru engkau seorang!"
Kembali Kim Loji menghaturkan terima kasih yang tak terhingga.
Han Ping berpaling dan bertanya kepada Pengemis sakti, "Cong locianpwe, apakah
masih ada urusan lain lagi?"
Sahut Cong To, "Selama hidup, jarang aku bicara dengan imam hidung kerbau sampai
begini lama. Baik, mari kita pergi."
Ting Hong hendak membuka mulut tetapi didahului Thian Hian totiang, "Jangan buruburu
dulu, pengemis tua. Kita masih belum selesai bicara!"
"Soal apa lagi?" tanya Cong To.
"Kata-katamu tadi bertentangan sendiri dan belum engkau jelaskan," kata Thian Hian.
"Sebulan yang lalu, engkau mengatakan bahwa perempuan itu dalam tiga tahun tentu
dapat mengalahkan pengemis tua. Pengemis tuapun percaya penuh. Tetapi saat ini
bukanlah seperti saat itu. Pengemis tua tak dapat dibandingkan dengan keadaannya
sebulan yang lalu!"
Thian Hian merenung sejenak. Tiba-tiba ia berseru marah, "Engkau ngoceh sesukamu
sendiri saja. Selama sebulan ini engkau berada di biara sini. Masakan engkau mendapat
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rezeki lain yang luar biasa!"
Cong To tertawa, "Hal ini maaf, pengemis tua tak dapat memberitahukan. Jika tak
percaya, nanti 3 tahun lagi kita boleh dicoba. Pada saat itu mungkin engkau imam hidung
kerbaupun tak dapat menandingi pengemis tua ini!"
Dua puluh lima hari bersama Han Ping sama-sama meyakinkan ilmu dalam kitab Tatmoih-kin-keng, Cong To telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali.
Thian Hian totiang tahu bahwa Pengemis sakti Cong To itu selalu bicara terus terang.
Hitam bilang hitam, Putih bilang putih. Sekali pengemis itu menolak memberitahukan,
percuma saja untuk mendesaknya.
"Kalian telah masuk ke Hian-bu-kiong tanpa izin, terpaksa aku tak dapat mengantar
keluar. Kecuali kalian mau menghadap dan memberi hormat kepada patung cousu pendiri
biara ini, untuk mengaku menjadi murid secara simbolis"."
"Ah, pengemis tua ini sudah biasa hidup bebas. Sukar kiranya kalau harus ganti cara
hidup terikat oleh peraturan biara"."
"Memang sudah kuduga engkau tentu tak mau," tukas Thian Hian totiang, "di luar
paseban itu terdapat tujuh lapis pintu yang dijaga oleh barisan pedang. Kalian dengan
cara bagaimana tadi masuk kemari, silahkan dengan cara itu kalian keluar!"
Mendengar ucapan kepala Hian-bu-kiong itu, seketika berubahlah wajah Han Ping.
Melihat sikap Han Ping, Cong To kuatir kalau pemuda itu akan mengeluarkan kata-kata
yang keras. Buru-buru ia mendahului, "Tujuh buan barisan pedang tentu bukan olah-olah
hebatnya. Entah pengemis tua mampu menerobosnya atau tidak tetapi yang jelas tentu
sukar menghindari korban-korban yang menderita luka."
Thian Hian tertawa, "Harap kalian bermurah hati sedikit sajalah. Nah, silahkan!"
Cong To menyadari bahwa kata-kata Thian Hian itu memang merupakan kenyataan
dari aturan biara Hian-bu-kwan. Sekali-kali bukan karena sengaja hendak membikin susah.
Maka iapun segera memberi hormat dan minta diri. Sekali melesat, pengemis tua itu sudah
berada di luar paseban,
Ca Giokpun juga ikut memberi hormat dan pamitan.
"Silahkan kalian tinggalkan tempat ini," sahut Thian Hian totiang tertawa.
Ting Ling mencekal tangan Ting Hong dan mengucapkan kata-kata selamat berpisah
dengan menghiburnya, "Adikku, tenangkanlah hatimu belajar ilmu kepandaian di sini.
Nanti beberapa waktu lagi, aku tentu datang ke mari menjenguknya!"
"Luka cici masih belum sembuh sama sekali. Harap baik-baik menjaga diri dalam
perjalanan. Maaf, aku tak dapat mendampingi cici," kata Ting Hong.
"Tak apalah," Ting Ling tertawa, "dari sini aku terus langsung pulang ke lembah."
Ting Hong memandang ke arah Thian Hian totiang lalu minta izin untuk mengantarkan
tacinya. "Hanya boleh sampai di luar paseban ini," kata Thian Hian.
"Terima kasih suhu," kata Ting Hong seraya menggandeng tangan tacinya berjalan
keluar. Pengemis kecil dan Kim Loji mengikuti di belakang kedua nona itu. Sedang Han Ping
berjalan paling belakang.
Tiba di luar paseban besar, pengemis kecil dan Ca Giok cepat menyusul Cong To. Ting
Ling dan Ting Hong masih saling bercekalan tangan seperti berat untuk berpisah.
Dengan menghela napas, Han Ping berjalan di sisi kedua nona itu.
Tiba-tiba Ting Hong berseru memanggilnya, "Ji siangkong"."
"Nona hendak pesan apa?" Han Ping berhenti.
Ting Hong tertawa rawan, "Engkau begitu sungkan kepada kami. Beberapa bulan tak
bertemu, kita seperti orang yang belum kenal."
"Nona berdua telah memperlakukan diriku amat baik sekali. Sudah tentu takkan
kulupakan seumur hidup," sahut Han Ping.
"Kuharap nanti beberapa waktu kemudian, engkau bersama taci Ling suka datang
menjenguk aku kemari," kata Ting Hong.
Han Ping merenung sejenak, ujarnya, "Orang luar tak diizinkan masuk ke dalam Hianbukiong sini. Jika aku datang menjengukmu, tentu tak lepas dari rintangan para imam
disini"."
"Jika engkau sungguh mau datang, sudah tentu akan kusambutmu di luar pintu biara,"
Ting Hong tertawa.
"Masih banyak beban yang harus kutunaikan. Sekalipun aku meluluskan permintaan
nona untuk menjenguk kemari tetapi tak dapat ditentukan entah kapan"."
"Tak peduli pada tanggal, bulan dan tahun berapa, asal engkau benar-benar mau
kemari, aku tentu tetap akan menunggumu," sahut Ting Hong.
Ting Ling menghela napas, serunya tertawa, "Adik Hong, Ji siangkong mempunyai
banyak urusan yang penting. Mengapa engkau hendak menyulitkan dirinya"."
Ting Hong tertegun, sahutnya, "Ah, cici benar"."
Kata Ting Ling lebih lanjut, "Thian Hian totiang merupakan seorang tokoh yang jarang
terdapat dalam dunia persilatan dewasa ini. Dia mau menerima engkau menjadi murid,
sudah suatu keberuntungan yang tak terduga-duga. Engkau harus belajar dengan
sepenuh hatimu agar supaya jangan sampai mengecewakan harapan gurumu."
Tiba-tiba Han Ping menyelutuk, "Setahun lagi, jika Ji Han Ping masih hidup, tentu akan
datang kemari menyambangi nona," ia memberi hormat terus melangkah keluar.
Juga Ting Ling segera lepaskan cekalan tangan adiknya dan berseru dengan tertawa,
"Adikku, lekaslah engkau kembali masuk ke dalam paseban!"
Ting Hong mengangguk lalu berjalan perlahan-lahan ke dalam paseban.
Ting Ling cepatkan langkah menyusul kawan-kawannya. Menikung ujung paseban,
ternyata Pengemis sakti Cong To menunggunya.
"Harap nona berjalan di tengah, Cong locianpwe yang mempelopori di muka dan aku di
belakang," kata Han Ping.
Ting Ling menurut.
Cong To berpaling memberi pesan, "Dalam menembus barisan pedang, hindarilah
supaya jangan sampai melukai orang."
Cepat mereka tiba di pintu pertama yang dijaga oleh 8 imam pertengahan umur.
Mereka menghadang di tengah jalan dengan menghunus pedang.
Cong To acungkan tangan kiri dan berseru nyaring, "Hati-hatilah, pengemis tua hendak
menerobos!"- ia menutup kata-katanya dengan gerakan sebuah hantaman.
Ke 8 imam itu tiba-tiba menyisih ke samping.
Gerakan mereka teratur dan amat rapi. Pada saat itu juga, Cong To melesat ke ambang
pintu lalu rentangkan kedua tangan ke kanan dan kiri dalam jurus Hun-hoa-hud-liu atau
Membagi bunga menyiak pohon liu.
Pedang ke 8 imam itupun serempak berhamburan untuk menutup jalan. Tetapi pukulan
Cong To itu bukan kepalang dahsyatnya. Baru pedang mereka bergerak, orangnyapun
sudah terpental rnundur. Oleh karena tubuh ke 8 imam itu terdorong ke belakang sampai
dua langkah, pedang merekapun tak berdaya lagi untuk menutup jalan. Cong To cepatcepat
melangkah keluar dari pintu itu.
Ca Giok yang mengikuti di belakang Cong To, diam-diam pun sudah siap sedia. Teiapi
di luar dugaan ke 8 imam itu tak mau mengganggu rombongan di belakang Cong To lagi.
Dengan begitu Ca Giok, Kim Loji, Ting Ling dan Han Ping dapat melalui pintu pertama itu
dengan aman. Selanjutnya dalam melewati enam lapis pintu dan menerobos 6 buah barisan pedang,
keadaannyapun hampir sama. Barisan pedang pada setiap pintu itu tentu menghadang
Cong To. Tetapi setelah Cong To dapat menghalau mereka, merekapun segera menyisih
mundur dan tak mau merintangi rombongan yang ikut di belakang pengemis sakti itu.
Cara yang begitu mudah dalam melalui enam lapis pintu, menimbulkan keraguan
Pengemis sakti Cong To. Diam-diam ia berpikir, "Imam hidung kerbau itu walaupun
mengandung maksud untuk membiarkan kita keluar, tetapi tak mungkin dengan cara yang
semudah itu"."
Dalam pada menimang nimang itu, Cong Topun tiba di pintu terakhir. Ialah pintu besar
dari biara Hian-bu-kiong. Setelah melalui pintu besar itu, mereka benar-benar sudah keluar
dari lingkungan biara.
Memandang ke muka, Cong To melihat berpuluh imam menghunus pedang tengah
berkerumun menjaga pintu. Begitu melihat kehadiran Cong To dan rombongannya,
mereka segera pencarkan diri dalam sebuah barisan pedang. Formasi barisan pedang itu,
tak banyak bedanya dengan barisan-barisan pedang yang menjaga pada setiap pintu.
Tetapi ketika Han Ping condongkan tubuh ke samping untuk melihat keadaan di sebelah
muka, ia menjerit tertahan.
Ternyata ia terkejut karena melihat dua orang imam tua yang rambut dan jenggotnya
sudah putih, duduk bersila di tengah barisan pedang. Di muka kedua imam tua itu masingmasing
terletak sehelai panji merah dan sebatang pedang panjang.
Bisik Han Ping, "Cong locianpwe, apakah di antara kedua imam tua yang duduk di
tengah barisan pedang itu terdapat salah seorang yang tempo hari menjerumuskan kita ke
dalam penjara air?"
Cong To tertawa, "Bermula kukira imam hidung kerbau itu sungguh-sungguh
bermaksud hendak membebaskan kita. Tetapi ternyata dia telah tumpahkan seluruh
kekuatan biara pada barisan pedang di pintu terakhir. Jelas keenam lapis pintu yang kita
lampaui tadi, bukan karena mereka bersikap sungkan kepada kita. Melainkan karena
imam-imam anggota barisan pedang itu, termasuk murid-murid yang kepandaiannya
tergolong kelas 3 atau 4. Jika berani menempur kita, mereka kuatir akan mendapat malu!"
"Jadi menurut pandangan locianpwe, apabila kita mampu melintasi barisan pedang
terakhir ini, barulah kita dianggap betul-betul memiliki kepandaian yang berarti?" tanya
Han Ping. "Thian Hian si imam hidung kerbau itu, sekalipun tak mengandung maksud untuk
merintangi kita keluar dari biara ini, tetapi paling tidak dia tentu hendak suruh kita
merasakan sedikit hidangan pahit"
Kata Han Ping dengan nada gelisah, "Jika mereka sudah mengerahkan kekuatan dan
kita tak boleh melukai orang, tentulah kita akan menderita kerugian. Apalagi pamanku Kim
dan nona Ting masih belum sembuh benar"."
Cong To tiba-tiba berpaling, ujarnya, "Yang paling menguatirkan adalah kedua imam
tua berambut putih yang duduk bersila di dalam barisan itu. Pada malam kita terpikat ke
dalam penjara air. Pengemis tua telah merasakan sebuah pukulannya. Walaupun belum
sepenuh tenaga, tetapi tenaga pukulannya tak di bawah pengemis tua. Seorang saja
sudah cukup menyulitkan apalagi tambah seorang lagi. Kali ini kita betul-betul berhadapan
dengan musuh berat. Lebih baik kita berunding dulu!"
Mendengar keterangan pengemis tua, Ca Giok, Kim Loji dan Ting Ling anggap
persoalannya tentu serius. Tokoh semacam Cong To, biasanya tak pernah sembarangan
memuji kepandaian musuh. Perhatian mereka tertumpah seluruhnya kepada kedua imam
itu. Ting Ling seorang nona yang teliti sekali. Melihat pedang kedua imam itu berbentuk
istimewa, seketika timbullah kecurigaannya. Diam-diam ia menimang, "Biasanya orang
yang menggunakan pedang itu tentu unggul dalam ilmu meringankan tubuh. Tetapi
pedang kedua imam itu kecuali panjangnya luar biasa, pun lebih berat dari pedang biasa.
Entah apa maksudnya."
Ting Ling memang cermat sekali. Sebelum ia dapat meneropong rahasia sesuatu hal
yang dicurigai, tak mau ia sembarangan bicara.
Han Pingpun memandang barisan pedang itu dengan seksama. Diam-diam ia terkejut.
Tampak semua imam yang membentuk barisan pedang itu meramkan mata dan
tundukkan kepala.
Cara memusatkan perhatian dan semangat itu, benar-benar suatu persiapan dari ilmu
barisan pedang yang bermutu tinggi.
Diam-diam Han Ping menghitung. Kecuali kedua imam tua itu, barisan pedang terdiri
dari 36 orang imam. Sesuai dengan jumlah ke 36 daya alam. Tetapi dengan ditambah 2
orang imam tua, agaknya sudah tak sesuai lagi.
"Cong locianpwe, aku mendapat akal, entah sesuai digunakan atau tidak?" tiba-tiba Han
Ping berseru. "Bagaimana?" tanya Cong To.
"Biarlah aku seorang diri yang menggempur barisan mereka. Jika dapat menembus, ya
sudah. Tetapi jika gagal, locianpwe dan saudara-saudara tentu dapat mengamati gerak
perubahan dari barisan dan menemukan daya untuk memecahkannya!"
Cong To merenung. Sesaat kemudian ia berkata, "Cara itu memang tepat. Tetapi
barisan pedang itu merupakan pengerahan tenaga kekuatan Hian-bu-kiong. Kecuali setiap
anggotanya tentu berkepandaian tinggi, pun barisan itu tentu mempunyai gerak
perubahan yang hebat. Lebih baik aku si pengemis tua saja yang mencobanya!"
"Locianpwe luas pengalaman. Jika locianpwe yang berada di luar dan memperhatikan
perubahan mereka, tentulah berhasil. Tetapi kalau locianpwe yang menyerbu dan kami
yang tinggal di luar, tentu kurang waspada!"
"Biarlah kutemani saudara Ji menyerbu barisan itu," seru Ca Giok sambil mengangkat
dada. Cong To tertawa, "Marga Ca memang termahsyur dalam ilmu barisan yang aneh-aneh.
Tentulah engkau sudah mempunyai pegangan untuk menghadapi barisan pedang itu."
"Sedikit-sedikit memang telah kuketahui rahasia barisan itu. Tetapi karena ditambah
dengan dua orang imam tua, kukuatir barisan itu mempunyai lain perubahan lagi"." Ca
Giok tertawa. "Kedua imam tua itu?" tanya Cong To.
Ca Giok mengiakan.
Tiba-tiba Ting Ling menyeletuk, "Aku mempunyai pendapat. Entah benar atau tidak?"
"Uh, dunia persilatan siapakah yang tak kenal pada nona Ting. Silahkanlah," kata Ca
Giok. Han Pingpun ikut memuji, "Nona Ting selalu dapat membuat penilaian yang tepat,
aku"."
Ting Ling tersenyum, "Sudahlah, jangan kelewat menyanjung".tahukah kalian apa
sebab kedua imam tua itu duduk bersila seperti patung?"
"Entahlah!" Han Ping gelengkan kepala.
"Kedua imam tua itu orang cacad! Kalau tidak sebelah kaki tentu kedua belah kaki
mereka buntung semua!" kata Ting Ling.
Mendengar itu Cong To, Ca Giok bahkan si pengemis kecil yang licin, terbeliak kaget.
"Bagaimana engkau tahu?" tanya Cong To.
"Aku memang sudah curiga mengapa mereka berdua duduk bersila tak bergerak. Kalau
mereka berdua yang memegang pimpinan barisan, tak perlu duduk begitu dan tentu
berdiri di tempat tertentu memberi aba-aba. Dua helai panji merah dan dua batang
pedang yang istimewa panjangnya, memang aneh sekali. Jika Thian Hian locianpwe
menaruh kepercayaan kepada kedua imam tua itu akan mampu menghalangi perjalanan
kita, tentulah beliau tak perlu lagi menyertakan barisan pedang untuk memperkuat kedua
imam itu"."
Cong To mengangguk, "Dunia persilatan memuji budak perempuan yang besar dari
Lembah Raja Setan itu, cerdas dan cermat. Rupanya memang benar. Tetapi dengan
sedikit ulasan itu, kiranya masih belum cukup untuk menarik kesimpulan bahwa kedua
imam tua itu cacad kakinya!"
"Locianpwe benar." Ting Ling tertawa, "karena curiga kepada kedua imam tua itu,
maka diam-diam kuperhatikan gerak geriknya. Tadi tiba-tiba angin berhembus agak keras
dan jubah kedua imam tua itu tersingkap naik"."
"Cukup! Cukup!" Cong To menghela napas, "hampir separuh umur pengemis tua
gentayangan di dunia persilatan tetapi tetap tak mampu memikirkan hal-hal yang sekecil
itu." Juga Ca Giok ikut memuji. Berkatalah Ting Ling sambil merendah diri, "Siapapun juga,
asal mau memperhatikan tentu dapat. Soal itu sesungguhnya amat sederhana sekali"."
Tiba-tiba kedua imam tua itu membuka mata dan berkilat-kilat memandang ke arah
Ting Ling. Rupanya mereka menangkap pembicaraan nona itu.
Melihat itu Ting Ling malah sengaja lantangkan suaranya, "Karena tak dapat bergerak
dengan leluasa maka kedua imam tua itu sengaja membuat pedang yang istimewa
panjang dan berat. Kedua helai panji merah itu tentulah untuk memberi aba-aba pada
barisan. Han Ping membenarkan pendapat nona itu. Karena ketika pada malam itu ia bersama
Cong To dijebak dalam penjara air, pun imam tua yang menjebaknya itupun
menggunakan lentera merah.
Berkata Ting Ling, "Saudara Ca, ilmu silat Peh-poh-sin-kun dari keluarga Ca, yang
mampu melakukan serangan dari jarak jauh maupun dekat, ditambah pula dengan
pengetahuan saudara Ca tentu ilmu barisan Pat-kwa-kiu-kiong, kiranya tepat kalau
saudara yang maju menggempur lebih dulu!"
Ca Giok tidak menyahut. Tetapi diam-diam ia mengeluh mengapa nona itu hendak
menganjurkan ia yang menjadi pelopor. Apakah ia harus maju seorang diri"
Melihat perubahan muka Ca Giok, Ting Ling tertawa, "Dengan Ca saupohcu yang
mendampingi Ji siangkong, kiranya tentu dapat menghadapi barisan mereka. Karena ilmu
silat sakti didampingi dengan pengetahuan tentang gerak perubahan barisan. Tetapi
perhitungan itupun ada kalanya meleset juga. Lalu bagaimana pendapat Cong locianpwe
andaikata ia sampai gagal?"
"Sudahlah, engkau toh sudah mengaturnya dengan cermat. Tak perlu memberi muka
lagi pada pengemis tua ini," Cong To tertawa.
"Tetapi aku hanya rnemberi usul saja. Hak memutuskan tetap pada locianpwe," Ting
Ling tertawa juga.
"Engkau boleh merencanakan dengan teliti, jauh lebih luas dari pemikiran pengemis
tua. Terserahlah saja padamu!"
Han Ping berpaling dan mengajak Ca Giok segera menyerbu.
"Apakah kalian tak membawa senjata?" tanya Ting Ling.
"Sayang tak seorangpun dari kita yang membekal senjata" sahut Ca Giok.
"Tak apalah, kita nanti dapat merebut senjata salah seorang imam," kata Han Ping
seraya melangkah ke arah barisan. Ca Giok terpaksa mengikuti.
Selekas tiba di muka barisan, secepat kilat Han Ping terus menyerbu. Ternyata
walaupun sedang pejamkan mata, tetapi anggota barisan itu memiliki reaksi yang tajam
sekali. Begitu Han Ping menerjang, barisan pun segera bergerak. Empat batang pedang
segera menyongsong Han Ping dari empat jurusan.
Sekonyong-konyong Han Ping menarik diri. Tubuhnya ditekuk ke belakang sehingga
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hampir rebah telentang ke tanah. Itulah jurus Thiat-poan-kio yang sederhana. Tetapi
karena Han Ping bergerak dengan luar biasa cepatnya, jurus itu lain juga gerakannya.
Selekas keempat pedang menusuk angin, dengan gerak secepat kilat, Han Ping
sambarkan kedua tangannya untuk merebut pedang dua orang imam.
Tetapi saat itu barisan sudah bergerak. Imam-imam itu mulai berlincahan melalu lintas.
Kiblatan pedang merekapun tampak seperti pagar yang rapat.
Pada saat tangan Han Ping menjamah jubah kedua imam, empat batang pedang telah
menusuknya dari samping.
Gerak saling mengisi dan saling mem bantu dari barisan itu, memaksa Han Ping harus
menyelamatkan diri lebih dulu. Cepat ia menarik kedua tangannya lalu menggeliat ke
samping. Tetapi baru kaki berdiri tegak, kembali 4 pedang sudah menusuknya lagi. Sampai
empat lima kali ia harus berpindah tempat karena serangan pedang.
Diam-diam Han Ping menimang. Tiap kali ia selalu bergerak pindah ke sebelah kiri dan
setiap kali itu pula dirinya tentu diserang oleh 4 pedang.
Diperhatikan juga bahwa ia telah terdesak ke tengah barisan. Jaraknya dengan kedua
imam tua itu hanya satu setengah meteran.
Ca Giok masih berhenti di luar barisan. Rupanya ia hanya mengawasi gerak perubahan
barisan itu dan tengah mempelajarinya.
Tetapi Ting Ling gelisah. Ia tahu bahwa beberapa kejap lagi Han Ping tentu akan
bertempur dengan kedua imam tua itu. Maka cepat ia mendorong Ca Giok supaya lekas
masuk ke dalam barisan.
Mendengar seruan si nona, terpaksa Ca Giok bertindak. Dengan menggembor keras
lebih dulu ia lepaskan sebuah hantaman Peh-poh-sin-kun lalu baru menerjang.
Menerima pukulan Ca Giok. Salah satu bagian barisan kacau. Ca Giok cepat gunakan
kesempatan itu untuk loncat ke dalam barisan. Begitu berada dalam barisan, ia segera
merasakan hebatnya tekanan lawan. Pedang berkiblatan menyerang dari empat penjuru.
Untung, sekalipun ilmu silat Ca Giok tak setinggi Han Ping, tetapi ia tahu akan rahasia
perubahan barisan. Dalam menghadapi serangan barisan. Ia dapat bertahan dengan
tenang. Imam-imam anggota barisan itu sudah terlatih dengan sempurna. Sekalipun Ca Giok
tahu akan perubahan barisan, tetapi ia tetap tak mampu menghadapi tekanan yang
dahsyat dari serangan mereka. Berturut-turut ia terdesak ke tengah barisan.
Terdesaknya Ca Giok ke tengah barisan, menyebabkan tekanan pada Han Ping agak
kendor. Ketika Han Ping sempat berpaling, dilihatnya Ca Giok pontang panting setengah
mati. Rupanya pemuda Ca itu kewalahan. Melihat itu, Han Pingpun segera lontarkan dua
buah hantaman seraya menerjang.
Peristiwa-peristiwa aneh yang merupakan rezeki luar biasa bagi Han Ping selama
beberapa bulan ini, menyebabkan ilmu silatnya maju luar biasa pesatnya. Dua buah
pukulan yang dilepaskannya itu, laksana damparan gelombang laut dahsyatnya. Barisan
pedang yang ketat, tersiak mundur. Dua imam yang berada paling muka mencelat ke
belakang dan pedangnyapun terlepas.
Han Ping sendiri juga terkejut. Ia tak nyana kalau tenaga dalamnya sekarang berubah
begitu dahsyat.
Ca Giok menggunakan kesempatan untuk cepat memungut pedang yang jatuh itu. Lalu
lemparkan yang sebatang kepada Han Ping. "Saudara Ji, terimalah!"
Pada saat Han Ping menyambuti pedang, Ca Giokpun sudah loncat ke samping nya.
Tetapi barisan pedang yang kacau itupun sudah menyusun diri pula. Kedua imam yang
kehilangan pedangnya tadi, cepat mundur ke belakang. Serangan pedang kembali
melancar deras.
Dengan mencekal pedang, semangat Ca Giok pun bertambah besar. Berkatalah ia
dengan tertawa kepada Han Ping, "Saudara Ji, marilah kita sambut pedang mereka untuk
menguji sampai dimana tenaga kawanan imam itu. Kemudian baru kita cari akal untuk
membobol barisan"."
Tring, tring". Ia sudah mendahulul menangkis dua batang pedang yang
menyerangnya. "Aku tak paham akan barisan itu. Cara membobolkannya, harap saudara Ca yang
memberi petunjuk"." " pedang diobat-abitkan ke kanan kiri untuk menghalau tiga pedang
lawan. Kini kedua pemuda itu tak mau menghindar lagi. Bahu membahu, mereka mulai
menangkis serangan lawan.
Pada saat itu jelas dapat diketahui bagaimana tingkat kepandaian kedua pemuda itu.
Han Ping tegak laksana sebuah karang. Gerakan pedangnya mantap dan keras. Setiap
imam yang beradu pedang dengannya, kalau tidak pedang imam itu tersiak ke samping
tentulah orang dengan pedangnya terpental mundur.
Tetapi Ca Giok dalam menghadapi serangan para imam itu kuda-kuda kakinya tak
tenang. Jika punggungnya tak saling bertekanan dengan punggung Han Ping, tentulah ia
sudah tak kuat bertahan lagi.
Saat itu kedua imam tua yang duduk bersila tadi, sudah mulai membuka mata untuk
melihat gerakan barisannya. Rupanya mereka gelisah juga melihat barisannya macet.
Salah seorang segera mengambil panji merah lalu digoyang-goyangkan dua kali,
Sekonyong konyong barisan berhenti serempak. Dan terdengarlah imam tua yang
satunya, batuk-batuk berkata, "Sungguh hebat sekali kalian dapat bertahan dalam barisan
ini sampai sekian lama. Sekarang apabila kalian mampu melintasi penjagaan kami berdua
saudara seperguruan ini. Kami segera akan membukakan pintu biara untuk mengantar
para tetamu keluar."
Barisan itupun membubarkan diri. Ke 36 imam segera tegak berjajar-jajar di samping
kedua imam tua.
Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, "Kukira kalian berdua imam hidung kerbau
hendak pinjam kewibawaan barisan untuk merintangi pengemis tua"."
Imam tua yang duduk di sebelah kiri tertawa dingin, "Hanya dengan kekuatan kami
berdua saudara seperguruan saja, dikuatirkan kalian tak mampu melintasi!"
Han Ping memperhatikan kedua imam tua itu. Umur mereka jauh lebih tua dari Thian
Hian totiang. Diam-diam ia meragu jangan-jangan kedua imam itu kedudukan
angkatannya lebih tinggi dari Thian Hian!
"Jika benar, tentulah kepandaian kedua imam tua itu hebat sekali. Tentu lebih tinggi
dari Thian Hian totiang. Menilik gelagat, tak mudah untuk melintasi rintangan yang
terakhir ini." Diam-diam Han Ping menimang.
Tiba-tiba terdengar Ting Ling melengking, "Entah bagaimanakah kedudukan lo-cianpwe
dengan Thian Hian totiang!"
Rupanya nona itu juga mengandung kecurigaan seperti pikiran Han Ping. Ia duga
kedua imam tua itu tentulah imam golongan angkatan yang lebih tinggi dari Thian Hian.
Tetapi begitu mendengar disebutnya nama Thian Hian totiang, kedua imam tua itu
berubah tegang wajahnya. Dengan sikap menghormat, menyahut, "Thian Hian totiang
adalah guru kami!"
Ting Ling terbalik lalu tertawa, "Suheng berdua. apakah baik-baik saja?"
Imam tua yang duduk di sebelah kiri tertawa dingin, serunya mendamprat, "Gadis yang
masih begitu muda belia, mengapa mengucap kata-kata begitu tak tahu aturan."
Sahut Ting Ling dengan serius juga, "Adikku sekarang menjadi murid dari Thian Hian
totiang. Jika menurut urut-urutan, apakah tak pantas kalau kupanggil kalian dengan
sebutan "suheng" itu?"
Kedua imam tua itu terkesiap, "Benarkah itu?"
Apakah engkau tak dapat menghitung jumlah rombongan kami ini?" sahut Ting Ling.
Kedua imam tua itu saling berpandangan satu sama lain, lalu berkata, "Kalau begitu,
silahkan sumoay lewat!" " tanpa berganti tempat duduk, tiba-tiba kedua imam tua itu
menyisih ke samping.
Begitu pula ke 36 imam anggota barisan itu, sama turunkan pedangnya dan memberi
hormat kepada Ting Ling seraya menyebut bibi guru.
Sudah tentu Ting Ling risih sekali. Umur mereka rata-rata 20 tahun lebih tua dari
dirinya. Walaupun banyak pengalaman tetapi tak urung, Ting Ling merah juga wajahnya.
Sejenak tertegun baru ia membalas hormat kepada mereka lalu berpaling ke arah kedua
imam tua, serunya, "Siapakah nama gelaran kalian?"
"Aku Hoan In," sahut yang duduk di sebelah kiri.
"Aku Goay Jiu," sahut yang kanan.
Ting Ling kerutkan dahi. "Hoan In" artinya membayar budi. Goay Jiu artinya dendam
tajam. Benar-benar suatu gelaran yang aneh. Ia tertawa, "O, kiranya Hoan In dan Goay
Jiu berdua suheng. Aku hendak mengajukan permohonan entah kedua suheng suka
meluluskan atau tidak?"
"Silahkan bilang!" seru Hoan In.
"Apa yang kami dapat melakukan, tentu meluluskan," sahut Goay Jiu.
Ting Ling tersenyum, "Aku hendak mohon supaya suheng berdua suka memberi jalan
kepada rombonganku ini."
"lni"." Hoan In kerutkan alis.
"Eh, engkau ini bagaimana," tukas Goay Jiu, sumoay kita baru pertama kali
mengajukan permintaan kepada kita, sekalipun harus menerima dampratan suhu, kitapun
tak boleh membikin kecewa hati sumoay."
Hoan In tertawa gelak-gelak, "Engkau benar, suto".,!"- ia memberi isyarat dengan
tangan kepada anggota barisan, "lekas antarkan paman gurumu keluar biara."
Ke 36 imam anggota barisan mengiakan dengan sikap menghormat.
Ting Ling memberi hormat kepada kawanan imam itu lalu menghaturkan terima kasih
kepada kedua imam tua dan terus berjalan keluar biara.
Cong To tertawa gelak-gelak, "Berpuluh " puluh tahun mengembara di dunia persilatan,
baru pertama kali ini pengemis tua mengalami peristiwa yang seaneh ini!"
"Aku sendiri juga belum pernah"." Ting Ling tersenyum.
"Meskipun umurnya sudah begitu tua, tetapi kedua imam itu masih seperti kanakkanak,"
kata Han Ping. "Kurasa mereka agak linglung"." kata Ca Giok.
Tiba-tiba Ting Ling menghela napas, "Ah, sekarang aku mengerti!"
"Mengerti apa?" tanya Cong To.
"Cong locianpwe luas pengalaman. Daya berpikir tentu jauh lebih hebat dari aku.
Tahukah locianpwe apa sebab kedua imam itu mau melepaskan kita keluar?"
"Kalau pengemis tua mengetahui, tentu tak perlu bertanya kepadamu. Hm, budak
perempuan, jangan banyak tingkah!"
Ting Ling sengaja menghela napas panjang, "Perasaan hati orang, tak dapat dikatakan
habis dalam sepatah kata. Perutku amat lapar, mana bisa bercerita" Nanti saja kita
lanjutkan bicara lagi!"
Mendengar kata-kata itu, seketika Cong To dan Han Ping seperti diingatkan. Perut
mereka seperti berontak.
"Huh, engkau mengili perutku!" Cong To bersungut.
Ting Ling mengemasi rambutnya yang kusut. Lalu mengeluarkan sebungkus dendeng
sapi, serunya "Ah, sayang dendeng ini hanya sedikit, cuma cukup untuk seorang saja"." "
ia menjiwir sekerat lalu dimasukkan ke dalam mulut terus dikunyahnya dengan
mengeluarkan suara keras.
Cong To batuk-batuk kecil, serunya, "Budak setan, kelak apabila sudah menyelesaikan
pelajarannya pada Thian Hian, adikmu itu jauh lebih sakti dari engkau!"
Sambil memakan dendeng, berkatalah Ting Ling seenaknya, "Benar! Memang nasibku
yang sial. Tiada orang yang menaruh kasihan kepadaku. Uh, apa daya?"
Kata Cong To, "Pengemis tua ingat akan sejurus ilmu pukulan. Ilmu pukulan itu
merupakan salah sebuah dari 9 jurus ilmu simpanan perguruan Kim-pay-bun. Paling cocok
untuk anak perempuan dan mudah pula dipelajari. Tak perlu menggunakan banyak
waktu"."
Sambil mengeluarkan sekerat dendeng, Ting Ling tertawa, "Jika locianpwe mau
mengajarkan ilmu itu kepadaku, tentu akan kuberi locianpwe sepotong dendeng ini."
Cong To tertawa, "Jika tak kepingin makan, tak nanti pengemis tua sudi mengajarkan
kepadamu!" " menyambar dendeng sapi, terus dimasukkan ke dalam mulut.
Han Ping berpaling, memandang sejenak pada dendeng yang masih berada di tangan
Ting Ling, lalu cepat-cepat berpaling muka lagi.
Habis makan, Cong To berseru, "Budak setan, sepotong dendeng ditukar dengan
sejurus ilmu pukulan. Pengemis tua benar-benar rugi besar!"
"Jika engkau meluluskan untuk mengajar sejurus lagi, tentu akan kuberi dua iris lagi!"
"Bagus! Akan kuajarkan sejurus lagi!" seru Cong To.
Ting Ling mengambil dua iris dendeng lalu diberikan kepada Cong To.
Ca Giok hanya menghela napas, serunya, "Sayang aku lupa membekal dendeng
kering." Memeriksa dua potong dendeng itu, berserulah Cong To, "Budak setan kecil, dua iris
dendeng ini terpaut tak berapa besar dengan sepotong dendeng yang tadi! Orang
mengatakan engkau pintar menyiasati, rasanya memang benar."
"Locianpwe sendiri yang menghendaki, apa peduliku!" Ting Ling tertawa.
Sekali telan habislah dua iris dendeng itu. Dikata iris kiranya kurang tepat. Lebih sesuai
kalau dikatakan butir, karena dendeng itu tidak dipotong berlapis melainkan digelindingi
bundar seperti buah kelengkeng.
"Akan kuberimu ajaran sejurus lagi entah berapa butir dendeng engkau mau
memberikan?"
"Sepuluh butir, masih ada sisa 15 butir. . ."
"Jadi!" teriak Cong To, "lekas serahkan padaku"."
Setelah menghitung 10 butir dan diserahkan kepada Cong To, sisanya lalu diberikan
kepada Han Ping, "Harap Ji siangkong suka menerimanya!"
Menyambuti dendeng, berkatalah Han Ping, "Nona sendiri masih lapar, bagaimana
suruh aku makan?"
Ting Ling tertawa mengikik, "Ah, mana aku lapar" Aku memang sengaja hendak
membohongi Cong locianpwe supaya suka memberi pelajaran ilmu silat kepadaku."
Cong To tertawa keras, "Huh, apakah engkau kira pengemis tua ini kena engkau tipu?"
"Adakah locianpwe bermaksud hendak memberi gemblengan padaku?" tanya Ting Ling.
"Bukan begitu," sahut Cong To, "memang pengemis sungguh-sungguh hendak makan
dendeng. Walaupun hanya makan 13 butir dendeng dan harus kutukar dengan 3 jurus
ilmu pukulan. Rugi sekalipun tetapi aku tak berhutang apa-apa padamu. Kelak di dunia
persilatan, tak ada orang yang mengejek pengemis tua!"
Tiba-tiba tergeraklah hati Han Ping, serunya, "Nona Ting, karena makan 15 butir
dendeng, aku pun hendak memberimu 5 jurus ilmu silat!"
tiba-tiba wajah Ting Ling berubah rawan, ia menghela napas, "Ah, terima kasih atas
kebaikanmu. Tetapi rasanya percuma saja aku mendapat ilmu pelajaran silat dari kalian
berdua." Han Ping heran, "Mengapa engkau senang menerima pelajaran silat dari Cong
locianpwe, tetapi keberatan menerima pelajaran dari aku ."
"Apakah engkau lupa bahwa luka dalam tubuhku masih belum sembuh sama sekali"
Dalam waktu beberapa hari ini, sesungguhnya kurasakan terjadi suatu perubahan dalam
tubuhku. Tetapi selalu kutahan supaya adikku tak tahu. Setelah sampai di jalan besar, kita
akan segera berpisah. Aku harus lekas-lekas pulang ke Lembah. Jika terlalu lama
berkeliaran di luar, mungkin aku tak sempat pulang dalam keadaan bernyawa."
Han Ping merenung lalu berkata, "Aku telah berjanji untuk mengobati luka nona sampai
sembuh. Selama hal itu belum terlaksana janjiku tetap berlaku. Jika nona suka percaya
kepadaku sukalah nona pertangguhkan dulu jangan pulang ke Lembah agar aku dapat
kesempatan untuk mengusahakan sekuat tenaga."
Ting Ling tertawa, "Sudah kelewat lama aku dan adikku pergi dari rumah. Banyak sekali
hal-hal yang perlu kulaporkan kepada ayah. Jika sampai mati di luaran, bukankah dendam
itu akan kubawa mati?"
Han Ping tertegun. Diam-diam ia merenung, "Untuk mengobati lukanya, harus minta
pertolongan kepada si dara baju ungu itu. Aku sudah sekali tebalkan muka minta
kepadanya untuk menyembuhkan paman Kim. Apakah aku harus minta sekali lagi
kepadanya".Ah, tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Selama lukanya belum sembuh aku
tak dapat ingkar janji"."
Tiba-tiba Cong To tertawa keras, "Budak kecil apakah engkau sungguh hendak
mengobati luka budak setan itu?"
Sekonyong-konyong Han Ping seperti disadarkan, "Goblok! Wanita cantik baju Hijau
yang melukai Ting Ling itu, adalah adik seperguruan dari Pengemis sakti ini. Sama
seperguruan, tentu pengemis tua ini dapat juga menyembuhkan!"
"Sekali seorang laki-laki berkata, tak boleh dijilat kembali! Aku sudah berjanji kepada
nona Ting, betapapun juga, aku harus berusaha menyembuhkan lukanya!"
Tiba-tiba Ca Giok menyelutuk, "Nona Ting, selama tempo hari kita bersama-sama
seperjalanan, mengapa aku tak mengetahui sama sekali kalau engkau menderita luka
dalam?" "Kalau engkau tahu, kemungkinan kita tak akan selamat seperti saat ini!" sahut Ting
Ling. "Ah, nona masih mencurigai diriku"."
"Dunia persilatan penuh jerat dan bahaya. Kepada siapapun aku tak dapat percaya
penuh!" "Benar!" seru Cong To, "pengemis tuapun tak percaya kalau kalian ke Hian-bu-kiong itu
karena hendak membantu pengemis kecil menolong diriku!"
Kemudian Cong To berpaling kepada muridnya, "Hm, mengapa engkau membisu saja?"
"Di tengah perjalanan ke Hian-bu-kiong, murid berjumpa dengan Ca saupohcu dan
kedua nona Ting"."
"Mengapa engkau tahu aku terkurung dalam Hian-bu-kiong?" bentak Cong To.
Pengemis kecil itu terbeliak dan menyahut tersendat-sendat.
"Murid".murid"."
Jilid 22 Bagian 39 Sebuah mayat. "Hm, makin lama engkau makin tak keruan. Masakan bicara saja tak jelas," damprat
Pengemis sakti Cong To kepada muridnya.
"Kudengar dari Sin-ciu-it-kun Ih Thian Heng yang mengatakan bahwa suhu telah
terjebak dalam biara Hian-bu-kiong," sahut pengemis kecil itu.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ih Thian Heng".?" Han Ping mengulang.
"Ih Thian Heng mengatakan kepadaku agar menyampaikan kepada suhu. Jika suhu
menghendaki tenaganya, ia tentu akan membantu dengan senang hati," kata pengemis
kecil itu pula.
Cong To tertawa dingin, "Sungguh kebaikan yang berselimut kepalsuan! Jika tak
mengetahui"."
"Pada waktu kita terkurung dalam penjara air, jika tak atas persetujuan Thian Hian
totiang, mungkin kita takkan bertemu muka lagi dengan engkau. Bagaimana Ih Thian
Heng hendak membanggakan diri mampu menolong!" kata Han Ping.
Kim Loji cepat menyelutuk, "Ping Ji, janganlah memandang rendah pada Ih Thian
Heng. Sekali dia menyatakan hendak membantu tentu akan dibuktikan benar-benar"."
Cong Topun ikut memberi komentar, "Meskipun Thian Hian totiang memiliki ilmu
pedang yang hebat, tetapi kalau hendak bermusuhan dengan Ih Thian Heng, tetap bukan
tandingannya! Pengemis tuapun percaya dia tentu mampu menolong kita dari penjara air
itu!" Sekalipun dalam hati tak setuju dengan pernyataan kedua orang itu, tetapi Han Ping
tak mau mendebatnya.
Pengemis kecil berpaling memandang Han Ping, hendak bicara tetapi tak jadi.
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To berpaling ke arah Ca Giok dan bertanya apakah
pemuda itu sudah bertemu dengan ayahnya.
"Sudah," sahut Ca Giok, "Jika ayah tak lekas datang ke Kim-leng, kemungkinan aku dan
kedua nona Ting itu masih terkurung dalam gedung marga Nyo!"
"Atas bantuan Ca pohcu untuk menolong kami, kami berdua saudara merasa berterima
kasih sekali"."
Ca Giok tertawa, "Ah, tak perlulah nona harus begitu serius. Bukankah antara kedua
marga kita mempunyai hubungan yang baik" Sudah layak kalau kita saling tolong
menolong!"
Berkata pula Ting Ling, "Jika Nyo Bun Giau tak mau melepas, dikuatirkan ayahmu tak
dapat menolong kita dari gedungnya. Mengenai hal ini"."
Ca Giok memaki tertawa, "Dalam ilmu perang dikatakan, tanpa berperang tetapi dapat
menundukkan lawan, itulah siasat yang paling jempol. Hanya dengan menggunakan
sepatah dua patah saja, ayah telah dapat menundukkan Nyo Bun Giau sehingga kita dapat
bebas tak kurang suatu apa. Bukankah hal itu lebih hebat daripada harus bertempur matimatian?"
Ting Ling baIas tertawa juga, "Tetapi jika kurenungkan, kiranya tak mungkin urusan itu
dapat selesai begitu sederhana. Oleh karenanya timbullah kecurigaanku"."
"Eh, dalam hal apakah nona menaruh kecurigaan?" tukas Ca Giok.
"Pada saat kita tinggalkan gedung orang she Nyo itu, kita hanya bertemu muka satu
kali saja dengan ayahmu. Setelah itu Nyo Bun Giau terus mengantar kita keluar. Sedang
ayahmu masih tinggal di dalam. Pun pada waktu bertemu muka, saudara Ca hampir tak
bicara sama sekali dengan ayah saudara. Bukankah tidak begitu kebiasaannya" Kurasa
tentu ada sebabnya."
Ca Giok tertawa, "Ah, aku sampai lupa memberitahukan nona. Paman nona Ting
locianpwe, bersama aku telah dipenjara di tengah taman bunga gedung Nyo"."
Ting Ling terkesiap, "Apakah pamanku yang ketiga?"
Ca Giok mengiakan.
"Mengapa aku tak melihatnya?"
Ca Giok tertawa, "Ah, nona terlalu tegang dan terburu buru bertanya sehingga karena
mulutku hanya satu, sukar untuk menerangkan."
Diam-diam Ting Ling mendamprat pemuda itu namun ia tetap tertawa, ujarnya, "Kalau
begitu harap saudara menjelaskan dengan perlahan!"
Ca Giok batuk-batuk lalu berkata, "Di dalam jaring besi pada kebun bunga di samping
empang, terdapat tahanan 3 orang. Selain aku dan paman nona, masih ada seorang lagi
yang kalau kusebut namanya tentu akan membuat saudara-saudara di sini tak mau
percaya!" Cong To mendengus, serunya, "Di hadapan seorang pengemis tua engkau masih berani
jual tingkah. Hm, sungguh sudah bosan hidup rupanya, engkau ini!"
Ca Giok berpaling ke arah pengemis sakti itu, tertawa, "Ayah pernah pesan kepadaku.
Apabila berjumpa dengan Cong locianpwe harus mengindahkan segala nasehatnya. Jika
tak mendapat perintah ayah tentu akupun takkan menemani mereka menempuh bahaya
datang ke Hian-bu-kiong.
Pengemis sakti Cong To tahu kalau kata-kata anak muda itu memang sejujurnya. Maka
iapun tak mau mendampratnya lagi.
Beberapa saat kemudian kembali Ca Giok berkata, "Dan masih ada seorang lagi yakni
tokoh Lembah Seribu racun Leng Kong Siau"."
"Ho, Sungguh besar sekali nyali Nyo Bun Giau!" Cong To tertawa, "masakan dia berani
mencari perkara dengan Lembah setan dan Lembah Seribu racun masih ditambah pula
dengan marga Ca!"
Rupanya Ting Ling ingin tahu tentang diri pamannya Ting Yan San. Kuatir kalau
pengemis sakti mengalihkan pembicaraan, buru-buru ia menyelutuk, "Kemanakah perginya
pamanku ketiga dan Leng Kong Siau" Mengapa ketika meninggalkan gedung Nyo Bun
Giau, yang kulihat hanya ayah saudara sendiri?"
"Dalam hal itu," kata Ca Giok, "Walaupun tak jelas tetapi menurut dugaan paman nona
dan Leng Kong Siau itu tentu sudah di"." " tiba-tiba ia hentikan kata-kata dan batukbatuk.
Cong To tertawa dingin. "Huh, penyakit lama angot lagi!"
Ca Giok batuk-batuk. Setelah meludah ia menyambung pembicaraannya, "Dalam
beberapa hari ini aku merasa masuk angin sehingga tak dapat bicara lancar. Ting
locianpwe dan Leng Kong Siau sudah tak kelihatan sebelum kita tinggalkan gedung Nyo
Bun Giau. Entah kemana perginya mereka itu!"
Cong To tertawa dingin, menyelutuk, "Sekalipun engkau tak mengatakan, pengemis tua
juga dapat menduga. Beberapa orang itu memang sama busuknya. Pada satu saat mereka
dapat bertempur mati-matian tetapi pada saat melihat keuntungan, mereka mau
melempar permusuhan lama. Mereka gemar main siasat menyiasati. Ting Losam dan Leng
Loji tak menghiraukan rasa malu karena ditangkap Nyo Bun Giau. Ca Cu Jingpun tak mau
menarik panjang persoalan putranya ditahan itu. Mereka bersatu tujuan lalu bersekutu.
Masakan persekutuan semacam itu akan bertujuan baik" Hm, sejak saat ini dunia
persilatan pasti akan mengalami perubahan besar!"
Ting Ling tersenyum, ujarnya, "Bagus! Sekaligus locianpwe telah memaki habis-habisan
pada Lembah Raja setan kami, lembah Seribu racun, marga Ca dan marga Nyo"."
"Siapa yang ingin kumaki tentu kumaki sampai puas! Masakan engkau budak
perempuan masih merasa kurang terima?" sahut Cong To.
Ting Ling tertawa, "Ah, sudah tentu terima! Tetapi setelah locianpwe hamburkan
makiannya, apakah locianpwe sudah dapat mengetahui perubahan apa yang akan terjadi
dalam dunia persilatan itu?"
Sengaja nona itu hendak membuat Pengemis sakti nanti mengagumi kecerdikannya
maka ia mengajukan pertanyaan begitu untuk mengetes kepandaian pengemis sakti itu.
Cang To terkesiap, ujarnya, "Kalau soal itu pengemis tuapun sudah dapat menduga,
bukankah bakal menjadi dewa?"
"Tak perlu dewa, manusia biasapun dapat menduganya!" sahut Ting Ling.
Cong To kerutkan alis, "Dalam setengah hari saja bersama dengan engkau, pengemis
tua akan mempunyai kesan bahwa kemahsyuran kedua gadis dari Lembah Raja setan itu
memang tak bernama kosong. Kalau engkau sudah dapat menduga, pengemis tua ingin
sekali mendengar petunjukmu!"
Dengan ucapan itu jelas Pengemis sakti menaruh rasa kagum akan kecerdasan nona
itu. Ca Giok berpaling ke arah Ting Ling lalu tertawa, "Nona Ting memang termahsyur
cerdas. Tentu memiliki pandangan yang lebih tajam dari lain orang. Aku pun ingin sekali
mendengarkan!"
Dari wajah pemuda yang tampak cerah itu, persoalan Itu. Paling tidak, sedikitnya ia
pasti sudah mengerti.
Ting Ling sejenak keluarkan biji matanya lalu tertawa, "Menilik cahaya muka saudara
Ca yang berseri-seri, tentulah saudara sudah mengetahui rahasia soal itu"."
Ca Giok gelengkan kepala dan menyangkal kalau sudah tahu.
Ting ling tertawa, "Marga Ca dan marga Nyo sekalipun tak mempunyai hubungan tetapi
kedua pihak tak mempunyai dendam juga. Marga Ca sebaliknya mempunyai persahabatan
erat dengan Lembah Raja setan"."
Ca Giok membenarkan.
"Oleh karena itu apabila ayah saudara mempunyai rencana tentu akan dirundingkan
dengan ayahku. Kebalikannya marga Ca mempunyai dendam permusuhan kepada lembah
Seribu racun. Keduanya seperti api dengan air."
Diam-diam Ca Giok terkejut. Namun ia tinggal diam saja dan membiarkan nona itu
melanjutkan bicaranya.
Ting Ling tiba-tiba berubah kerut wajahnya dan berseru dengan nada dingin, "Dengan
terus menerus saudara mengikuti perjalanan kami berdua taci beradik tentulah sudah
mempunyai rencana tertentu!"
Ca Giok hendak membuka mulut tetapi tak jadi. Ia mengangkat muka memandang
awan yang tengah berarak di langit.
Melihat itu diam-diam Ting Ling gelisah, keluhnya dalam hati, "Celaka, dia tak mau
buka mulut. Bagaimana aku dapat mencari kelemahannya" Ah, kali ini aku bakal mendapat
malu karena tadi berani buka mulut besar"."
Sekalipun hati cemas, namun sikap nona itu tetap tenang. Ujarnya pula, "Ayah saudara
dan Nyo Bun Giau diam-diam telah merancang suatu rencana dan suruh paman serta Leng
Kong siau untuk menempuh bahaya lebih dulu"." " ia melirik Ca Giok. Didapatinya wajah
pemuda itu agak berubah. Buru-buru ia melanjutkan kata katanya lagi, "Ayah saudara dan
Nyo Bun Giau seperti nelayan yang menunggu hasil jaringnya. Hebat memang rencana itu
tetapi sayang kurang sempurna. Sekali salah hitung, seluruh rencana akan gagal total!"
Ca Giok terkesiap, serunya, "Masa merencanakan"." " tiba-tiba ia merasa kelepasan
omong dan tutup mulut lagi.
Ting Ling tersenyum, "Kumaksudkan, tidak seharusnya Nyo Bun Giau melepas kami
berdua taci beradik bersama saudara Ca. Hal itu mungkin dia tak memikir sampai di situ."
Pancingan yang dipasang Ting Ling itu, benar-benar membuat Ca Giok tak tahan lagi,
serunya, "Untung rugi mempunyai hubungan. Masakan dia berani mencelakai ayahku!"
"Ah, saudara Ca hanya memperhitungkan untung rugi pada satu saat. Tetapi kurang
memikirkan yang jauh," kata Ting Ling. "Ayah saudara dan pamanku serta Leng Kong siau
itu, bukanlah tokoh-tokoh biasa. Tak mungkin tergerak hati karena hanya melihat
keuntungan kecil saja. Bahwa Nyo Bun Giau mampu memberi perintah kepada mereka
tentulah dengan pikatan janji yang hebat. Jelas orang she Nyo itu tentu tak mau membagi
rata rejeki besar kepada mereka berempat. Jalan satu-satunya ialah, lebih dulu memakai
tenaga ayah saudara dan pamanku, setelah berhasil baru akan turun tangan untuk
melenyapkan kedua orang itu"."
Ca Giok terbeliak, "Penilaian nona tak salah!"
"Bukannya tak salah saja tetapi pasti tak salah lagi!" kata Ting Ling, "demi
menyelamatkan ayah, saudara Ca harus cepat-cepat mempersiapkan rencana"." " ia
menghela napas perlahan, lalu melanjutkan, "Sebenarnya ayah saudara, pamanku dan
Leng Kong siau itu mempunyai pengalaman yang luas. Belum tentu Nyo Bun Giau dapat
mencelakai mereka. Tetapi mengingat yang seorang mempunyai tujuan dan yang lain
tidak menyangka suatu apa. Hati dan pikiran mereka sudah terbuai oleh janji-janji muluk
yang amat memikat sehingga kehilangan pertimbangan yang sadar. Dan lagi semua
rencana adalah Nyo Bun Giau yang merancang sehingga ayah saudara dan pamanku itu
tak ubah seperti orang buta yang naik kuda buta. Segala-galanya menurut perintah Nyo
Bun Giau saja!"
Makin pucatlah wajah Ca Giok mendengar uraian Ting Ling yang tajam dan tepat itu.
"Nona telah menyadarkan pikiranku. Aku harus cepat-cepat memberitahukan hal itu
kepada ayah."
"Ah, Nyo Bun Giau tentu membawa mereka ke makam tua itu"." seru Kim Loji yang
lalu menuturkan tentang pengalaman selama berada dalam makam tua mencari pusaka
bersama Nyo Bun Giau sehingga sebelah lenganku ini kutung.
"Kutungnya sebelah lenganku ini adalah karena dicelakai Nyo Bun Giau. Jika aku tak
cepat-cepat menyesuaikan diri sehingga dapat bertemu dengan Han Ping, mungkin saat ini
aku sudah menjadi mayat penunggu makam itu!" katanya.
Ca Giok makin gelisah. Ditatapnya Ting Ling, "Ayahku dan paman nona sama-sama
berada dalam bahaya. Dalam hal ini nona tentu takkan berpeluk tangan mengawasi saja!"
Pengemis sakti Cong To tertawa gelak-gelak, serunya, "Bagus! Biarlah mereka saling
bunuh membunuh dulu, pengemis tua akan menjadi nelayan yang menunggu sang ikan
masuk jaring!"
"Sarung pedang Pemutus Asmara itu sudah jatuh di tangan Ih Thian Heng.
Kemungkinan dia tentu sudah bergerak juga."
Pengemis sakti Cong To makin keras tertawanya, "Itu yang paling bagus! Ditambah
dengan Ih Thian Heng, pertunjukan tentu akan lebih ramai lagi!"
Tiba-tiba Han Ping berpaling dan bertanya kepada Ca Giok, "Saudara Ca apakah
ayahmu benar-benar pergi ke makam tua itu?"
Ca Giok mengangguk perlahan, "Waktunya amat mendesak sekali sehingga ayah hanya
gunakan tanda rahasia marga Ca memberitahukan kepergiannya bersama Nyo Bun Giau
mencari pusaka. Tentulah mereka menuju ke makam tua itu!"
"Harta permata dalam makam itu tak ternilai banyaknya. Orang yang temaha tentu lupa
daratan!" kata Han Ping.
"Engkau sudah menyaksikan harta karun itu, mengapa engkau tak lupa daratan?" tegur
Pengemis sakti Cong To.
Han Ping tersenyum, "Harta permata memang setiap orang tentu ngiler. Tetapi benda
itu hanyalah benda lahiriah. Ada takkan menambah apa-apa, tak ada pun takkan
mengurangi apa-apa. Apalagi setiap benda tentu mempunyai pemilik, masakan kita dapat
mengambil semau kita sendiri"."
Ting Ling tersenyum, "Nyo Bun Giau gemar sekali mengumpulkan ratna mutu manikam.
Gedung marga Nyo di Kim-leng itu berisi kekayaan yang menyamai dengan kas negara.
Harta pusaka dalam makam tua itu makin banyak. Jiwa pamanku dan ayah saudara Ca
makin terancam!"
Ca Giok menatap Han Ping, "Karena saudara Ji sudah pernah ke sana, maukah saudara
memberi petunjuk letak tempat itu?"
Han Ping kerutkan dahi, "Makam itu penuh dengan alat rahasia. Sekalipun saudara Ca
dapat mencapai makam itu tetapi sungguh berbahaya kalau masuk"."
Cong To tertawa, "Sekalipun pengemis tua tak ingin mencari harta karun tetapi
kepingin juga kesana untuk melihat pertunjukan!" tiba-tiba ia berhenti tertawa lalu
menghela napas perlahan, katanya pula, "Siau-lim-si sudah mengetahui tentang
munculnya pedang Pemutus Asmara di dunia persilatan. Mereka telah mengutus tokohtokoh
yang berilmu tinggi untuk menyelidiki pedang itu. Berpuluh-puluh tahun berselang,
dunia persilatan mengatakan bahwa pedang Pemutus Asmara itu selalu membawa
kesialan. Barang siapa yang membawa pedang itu, betapapun saktinya, tetap takkan
terhindar dari kematian. Rupanya cerita dalam dunia persilatan itu memang benar. Hanya
beberapa bulan saja pedang itu muncul lagi, telah menimbulkan kekacauan dalam dunia
persilatan."
Han Ping tertawa, "Ah, kalau siang-siang kuserahkan kembali pedang itu kepada Hui In
taysu, mungkin tak sampai menimbulkan huru hara begini."
"Sesungguhnya tujuan Siau-lim-si mengejar pedang itu, bukanlah pedangnya tetapi
sarung pedang itu. Dengan demikian bukankah tujuan mereka juga hendak menyelidiki
tentang harta pusaka itu" Oleh karena sarung pedang itu sudah jatuh ke tangan Ih Thian
Heng, engkaupun harus lekas-lekas menuju ke makam tua mencari Goan Thong taysu dan
memberitahukan hal itu," kata Kim Loji.
Beberapa jenak Han Ping merenung. Katanya sesaat kemudian, "Biarlah
kupertimbangkan dulu hal itu"."
Sekalipun ia tak setuju akan usul pamannya Kim Loji tetapi ia tak mau menolak
mentah-mentah sehingga membuat malu pamannya.
Tiba-tiba wajah Kim Loji berubah, "Ping Ji, sebelum Hui Gong meninggal, apakah ia
memberi pesan apa kepadamu?"
Han Ping tertawa rawan, "Tidak, sekalipun beliau telah memberi pelajaran silat
kepadaku tetapi kita tak mempunyai ikatan sebagai guru dan murid"."
"Huh, peagemis tua tak mengerti kata-katamu itu," Cong To menyelutuk, "tata
peraturan murid dan guru, mana boleh hendak dilanggar! Karena dia memberimu
pelajaran ilmu silat"."
"Ah, locianpwe tentu tak tahu," buru-buru Han Ping meuukas, "beliau mengajarkan ilmu
kepandaian serta menyerahkan pedang pusaka itu kepadaku, adalah karena kalah
bertaruh."
Cong To mendesah lalu menatap Ting Ling, "Pengemis tua sungguh tak jelas mengapa
kalian menuju ke gedung marga Nyo dan bagaimana bisa berjumpa dengan Thian Hian
totiang" Selama ini, tiada seorangpun yang diizinkan masuk ke dalam biara Hian-bu-kiong
tetapi mengapa kalian dapat mengikat persahabatan dengan Thian Hian imam hidung
kerbau itu?"
Melihat wajah Han Ping tampak merah, Cong To kuatir anak itu akan naik darah. Maka
buru-buru ia alihkan pembicaraan dengan Ting Ling.
Sejenak memandang Han Ping, tertawalah nona itu lalu menjawab pertanyaan Cong
To, "Soal itu panjang sekali ceritanya"."
"Tak perlu panjang lebar, cukup jawaban yang singkat jelas saja!" kata Cong To
Ting Ling tampak merenung beberapa saat, baru berkata, "Dalam perjalanan pulang
bersama adikku, di tengah jalan kami telah tertawan oleh Nyo Bun Giau lalu dibawa ke
Kim leng. Tetapi setengah bulan kemudian kamipun dilepas lagi"."
Han Ping menyelutuk, "Perlu apa Nyo Bun Giau membawa kalian ke gedungnya"
Bukankah dia seperti hendak mencari penyakit?"
"Karena ia menduga kalau kami berdua sudah tahu akan rahasianya. Padahal dialah
yang banyak cerita sendiri"." " berhenti sejenak ia melanjutkan pula, "Tanpa tahu
kesalahan apa, kami berdua dijebloskan dalam penjara air"."
"Hai, gedung marga Nyo juga punya penjara air?" seru Han Ping.
"It kiong dan It koh ketiga gedung besar itu masing-masing mempunyai penjara air!"
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh, mengapa hanya It kiong dan It-koh saja" Apakah Lembah Seribu racun itu tak
punya penjara air?" Han Ping heran.
"Yang tak punya penjara air adalah Lembah Raja setan. Sebagai gantinya kami
mempunyai penjara api. Tak kalah hebatnya dengan penjara air jauh lebih ngeri!"
Han Ping menghela napas.
"Setelah dilepas dari gedung marga Nyo, maksudku terus hendak pulang ke Lembah
Raja setan. Tetapi adikku berkeras hendak datang kemari dan kemudian berjumpa dengan
murid pilihan dari Cong locianpwe"."
Cong To tertawa gelak-gelak, "Ah, jangan kelewat menyanjung. Sebut saja si pengemis
kecil!" "Pengemis kecil memberitahu dua buah hal penting. Pertama, Cong locianpwe terjebak
dalam Hian-bu-kiong dan kedua, Ji siangkong meninggal di tangan Thian Hian totiang."
"Aneh," Cong To kerutkan dahi, "Mengapa rahasia Hian-bu-kiong dapat tersiar keluar!"
Sejenak Ting Ling memandang Han Ping lalu menghela napas perlahan, sambungnya
lagi, "Mendengar berita itu, adik berkeras menuju ke Hian-bu-kiong untuk membantu
pengemis kecil menolong Cong locianpwe"."
Cong To tertawa, "Benarkah begitu" Uh, mungkin ada lain tujuan lagi!"
Ting Ling tertawa rawan, "Entah bagaimana tetapi adikku mempunyai naluri lain. Ia
percaya Ji siangkong tentu belum meninggal. Ia hendak meminta keterangan pada Thian
Hian totiang"."
"Dan apakah engkau juga membantu pengemis kecil untuk menolong pengemis tua
ini?" tanya Cong To kepada Ca Giok.
"Memang pertama untuk membantu menolong Cong locianpwe dan kedua untuk
membuktikan benar tidaknya berita tentang saudara Ji!"
Tiba-tiba Pengemis sakti menengadahkan kepala tertawa terbahak-bahak. Lalu berseru,
"Betapalah berbahayanya Hian-bu-kiong itu. Apakah dengan kepandaian yang kalian miliki
itu, kalian berani mencabut kumis harimau" Ho, sungguh besar nian nyalimu! Kalau
pengemis kecil itu nekad menempuh bahaya itu masih ada alasannya. Tetapi kalau kalian
juga rela mempertaruhkan jiwa hanya karena hendak menolong pengemis tua ini,
pengemis tua sungguh sukar percaya!"
"Apakah yang harus diacuhkan! Kalau seorang sudah tak menghiraukan jiwanya,
apakah yang harus ditakuti lagi?" Ting Ling melengking.
Cong To tertegun kaget, serunya, "kata-kata itu memang benar"."
Ca Giok tersenyum, "Adakah berita kematian saudara Ji itu yang mendorong langkah
nona berdua"."
Ting Ling tertawa hambar, "Ya atau tidak, bukan urusanmu. Lebih baik jangan usil
mulut, agar jangan menelantarkan keselamatan jiwa ayahmu"
Tiba-tiba Cong To tertawa keras lagi, "Lalu kalau kalian bertemu dengan Thian Hian
totiang yang menderita luka parah. Karena kalian menolongnya, imam hidung kerbau itu
lantas hendak membalas budi dan segera akan mengajak kalian ke dalam Hian bu-kiong
walaupun dia harus melanggar pantangan!"
Ting Ling tertawa, "Ah, locianpwe seperti melihat sendiri peristiwa itu sehingga dapat
menebak dengan jitu"."
Kemudian nona itu berpaling ke arah Ca Giok dan berkata, "Memang dalam perjalanan
kami tertiga telah berjumpa dengan Thian Hian totiang. Walaupun belum pernah kenal
tetapi kami dapat menduga dari pakaiannya. Dia sedang menderita luka parah dan tak
ingat diri. Jika saat itu kami bunuh, tentu mudah sekali"."
"Membunuh orang yang sudah tak bersadar bukanlah laku seorang perwira!" seru Han
Pin . "Dalam dunia persilatan jika semua orang seperti engkau, tentulah dunia persilatan
takkan terdapat kejahatan lagi!"
"Lalu mengapa kalian tak membunuhnya?" tanya Cong To pula.
"Kami berjumlah 4 orang. Dalam menghadapi soal Thian Hian totiang, ada 3 suara yang
senada. Murid locianpwe menghendaki untuk membawanya ke Hian-bu-kiong. Tetapi
saudara Ca Giok menghendaki bunuh saja dulu baru nanti berusaha menolong Cong
locianpwe. Adikku tidak setuju semua dan menghendaki untuk menolong dan mengobati
lukanya"."
Ca Giok hendak bicara tetapi tak jadi.
Ting Ling tertawa dan melanjutkan ceritanya, "Eh, mengapa tak jadi bicara" Sekalipun
tak bilang, tetapi aku sudah dapat menduga apa yang hendak engkau katakan. Hm,
selama aku masih di sini, lebih baik engkau jangan jual mulut tajam!"
Sebenarnya tadi Ca Giok hendak berkata bahwa tindakan Ting Hong untuk menolong
Thian Hian totiang itu tak lain hanya untuk mencari keterangan tentang diri Han Ping.
Nona itu sama sekali tak tulus hendak menyelamatkan jiwa Thian Hian totiang. Tetapi
pada lain saat. Ca Giok merasa kata-kata itu tak perlu, maka ia tak jadi mengucapkan.
"Setelah berdebat beberapa saat. akhirnya kami menyetujui usul adikku untuk
menolong luka Thian Hian totiang. Peristiwa selanjutnya kurasa Cong locianpwe tentu
sudah tahu sendiri tak perlu kuceritakan," kata Ting Ling lebih lanjut.
Dalam pada bercakap-cakap itu tak terasa mereka sudah berjalan 7-8 li jauhnya dan
tiba di sebuah persimpangan jalan.
Ting Ling segera memberi hormat kepada Cong To, "Harap locianpwe menjaga diri
baik-baik, sampai disini terpaksa aku harus minta diri!"
Sebelum Pengemis sakti menjawab, Han Ping sudah mendahului, "Nona Ting hendak
kemana?" "Pulang ke Lembah Raja setan"."
"Paman nona masih terancam bahaya masakan nona tak mau mempedulikan?"
"Kepandaianku terbatas. Pergipun tiada guna. Sudah ada beberapa saudara yang pergi,
rasanya sudah cukup!"
"Tetapi lukamu masih belum sembuh sama sekali. Bagaimana engkau hendak berjalan
seorang diri?" seru Han Ping.
"Sekalipun lukaku berat tetapi dalam satu dua bulan ini belum mati. Mati di rumah jauh
lebih baik daripada mati di luaran. Kelak apabila engkau ada waktu menjenguk adikku di
Hian-bu-kiong, tentu takkan menyia-nyiakan harapan hatinya selama ini kepadamu"."
Ting Ling tertawa rawan lalu ayunkan langkah.
"Nona masih menderita luka, mana boleh pergi seorang diri"." cepat Han Ping loncat
menghadangnya. Ting Ling tertawa, "Kalau engkau tak memperbolehkan aku pergi lalu bagaimana
maksudmu?"
Han Ping tertegun, "Akan kuusahakan obat untuk menyembuhkan luka nona!"
Ting Ling menutupi mulut dengan lengan bajunya, tertawa, "Bukankah engkau hendak
menuju ke makam tua itu" Mana engkau mempunyai waktu untuk cari obat?"
Sahut Han Ping, "Meskipun luka nona itu parah tetapi dalam sebulan ini tentu takkan
berbahaya. Sehabis ke makam tua dan merebut kotak pedang Pemutus Asmara, tentu
akan kucurahkan seluruh tenaga dan pikiranku untuk mengusahakan obat buat nona."
Thian Hian si imam hidung kerbau itu, merupakan ahli mengobati luka yang paling
jempol dewasa ini. Baiklah kita kesana untuk minta dia mengobati lukamu!" tiba-tiba
Pengemis sakti Cong To menyelutuk.
Ting Ling gelengkan kepala tertawa, "Aku terkena pukulan tenaga Sam-yang-gi-kang.
Hawa murni dalam perut membeku menjadi luka. Budak perempuan dari Lam hay-bun itu
(dara baju ungu) pada waktu mengobati aku, telah menduga bahwa aku tentu takkan
dapat beristirahat menurut pesannya. Dengan tusuk jarum ia menghalau luka beku dalam
perutku ke dalam dada. Karena tak dapat minum obat dan beristirahat seperti yang
dipesannya, luka dalam itu berubah menjadi penyakit menongkol. Terus terang,
sesungguhnya aku sudah tak mampu bertempur dengan orang lagi. Thian Hian totiangpun
sudah mengetahui kalau aku menderita luka dan telah memeriksanya. Dia mengatakan
aku masih dapat hidup selama tiga bulan. Dalam masa tiga bulan itu, aku harus
bergembira. Kalau tidak, masa hidup tiga bulan itu akan berkurang separuh. Atas
perhatian saudara-saudara, Ting Ling menghaturkan banyak terima kasih"."
"Kalau begitu Thian Hian si imam hidung kerbau itu sudah tak berdaya lagi?" Cong To
menegas. "Dia mengatakan sendiri kepadaku supaya aku lekas pulang saja ke Lembah Raja setan
agar dapat meninggal di rumah," sahut Ting Ling.
Cong To menghela napas, "Ho, maka dia hanya mau menerima adikmu menjadi murid
dan bukan engkau!"
"Bukan semata-mata karena itu," sahut Ting Ling, "hati budi adikku lebih baik dan lebih
wajar. Kepada orang selalu bersikap sungguh-sungguh, tidak suka berpura-pura. Dan lagi
adikku tidak memiliki landasan yang kokoh dari tenaga dalam keluargaku. Maka mudah
dirubah. Aku hanya dapat hidup beberapa bulan saja, percuma dia hendak mengambil
murid!" Han Ping mengangkat kepala memandang ke langit. Ujarnya dengan sedih, "Jika tidak
karena mengobati lukaku, tentulah nona takkan kenal dengan dara baju ungu itu. Dengan
begitu, akulah yang menjadi gara-gara penyebab penderitaan nona saat ini, jika tak
mampu mengobati luka nona, kecuali menjadi manusia yang tak dapat dipercaya akupun
menyia-nyiakan budi pertolongan nona kepadaku"."
Karena tak menduga pemuda itu ternyata amat memperhatikan dirinya, hati Ting Ling
merekah bahagia. Ia tertawa lembut, "Ah, mana boleh menyalahkan engkau. Yang salah
adalah diriku sendiri karena banyak dosa. Tetapi ucapanmu tadi, cukup membuat hatiku
puas"."
Kemudian nona itu memandang Cong To, tertawa kemalu-maluan, "Ah, harap saudarasaudara
jangan menertawakan diriku tak punya malu. Aku seorang yang sudah tak berapa
lama lagi hidup dalam dunia, tentulah tak terhindar dari mengucapkan kata-kata yang tak
genah" Cong To tertawa, "Dunia persilatan mengatakan bahwa kedua nona dari Lembah Raja
setan itu, berhati dingin dan ganas. Membunuh orang sambil tertawa. Tetapi apa yang
kusaksikan hari ini, benar-benar tak sesuai dengan kabar-kabar itu"."
Tiba-tiba terdengar derap kuda lari mendatangi. Dan dari jauh terdengar penunggang
kuda itu berseru, "Suhu, engkau berada di sini" Ah, aku sampai susah payah mencarimu
kemana-mana!"
Ketika Cong To berpaling, dilihatnya penunggang kuda itu Ho Heng Ciu. Pemuda itu
tetap mengenakan pakaian indah. Wajah menampil kerut girang-girang kejut. Tetapi
kudanya yang berlari amat pesat itu, sudah mandi keringat.
Cong To kerutkan dahi menegur, "Mau apa engkau kemari?"
Ho Heng Ciu loncat dari kudanya, "Kalau hari ini murid tetap tak dapat menemukan
suhu, tentulah"." tiba-tiba Ho Heng Ciu hentikan kata-katanya lalu beralih memandang
Han Ping tercengang heran, "Hai, engkau belum mati?"
Han Ping tertawa hambar, "Apa" Engkau mengharap aku lekas mati?"
Ca Giok tertawa dingin, mendamprat Ho Heng Ciu, "Penyakitmu memang sudah
mendarah daging! Perlu apa engkau berkaok-kaok macam begitu?"
Serentak teringat Heng Ciu bahwa ketika di Bik-lo-san ia pernah bertemu dengan
beberapa orang itu. Jika tak mempunyai lencana Kim-pay untuk menekan Cong To supaya
membubarkan kedua anak muda itu, tentulah jiwanya sudah melayang.
Ho Heng Ciu tergetar nyalinya. Buru-buru ia berpaling dan memberi hormat kepada
Cong To, "Murid menerima amanat dari Kim-pay untuk mencari suhu. Untuk itu murid
diberi waktu yang terbatas. Hari ini adalah hari yang terakhir dari batas waktunya. Jika tak
dapat menemukan suhu, murid tentu mendapat hukuman sendiri!"
"Mau perlu apa mencariku!"
"Paman dan bibi berjanji untuk bertemu pada"."
Wajah Cong To seketika berubah, tukasnya, "Pulanglah engkau! Kecuali paman gurumu
sudah meluluskan untuk mengembalikan Kim-pay itu, pengemis tua tak mau bertemu
muka dengan bibi gurumu!"
Ho Heng Ciu tertawa dingin lalu berkata., "Amanat Kim-pay merupakan kekuasaan
tertinggi dari partai Kim-pay-bun. Apakah suhu hendak menentang?"
Ting Ling menyelutuk, "Amanat Kim-pay dapat memaksa Cong locianpwe. Tetapi
apakah mampu memaksa kita!"
Ho Heng Ciu tertegun. Cepat ia loncat ke atas kuda dan sekali keprak kuda itu loncat
dua tombak jauhnya. Heng Ciu menghentikan kudanya lalu berpaling dan berseru lantang,
"Paman guru memerintahkan murid supaya menyampaikan amanat Kim-pay kepada suhu.
Dalam waktu 10 hari suhu supaya datang ke desa Bik-lo-san-cung. Jika tak memenuhi,
berarti menghina pada sucou!"
Tanpa menunggu penyahutan Cong To, pemuda itu terus larikan kudanya sekencang
angin. Sejenak Ca Giok memandang Cong To, katanya, "Saudara Ji, lain kali kalau bertemu
dengan pemuda itu, selesaikan saja jangan kasih ampun lagi!"
Diam-diam Ca Giok melirik bagaimana perubahan air muka Cong To. Tetapi ternyata
pengemis itu seolah olah tak mendengarkan. Dia tampak tegak termangu-mangu seperti
tengah merenung suatu hal yang penting"."
Han Ping menghela napas perlahan, ujarnya, "Ah, manusia hidup ini memang tak dapat
lepas dari kesukaran. Seorang tokoh macam Cong locianpwe juga mempunyai persoalan
yang sukar diputuskannya. Ah, karena nasib seseorang itu berbeda maka kesulitannyapun
berlain-lain."
Ting Ling mengajak Cong To untuk melanjutkan perjalanan lagi. Pengemis sakti
mengiakan lalu melangkah paling depan, diikuti Han Ping bertiga. Karena masing-masing
mempunyai persoalan sendiri-sendiri, maka mereka berjalan tanpa bicara.
Empat lima li jauhnya, Cong To tiba-tiba berhenti dan berpaling, "Pergilah kalian ke
makam tua itu lebih dulu. Pengemis tua hendak menyelesaikan suatu urusan pribadi.
Setelah itu tentu akan cepat-cepat menyusul ke sana!"
"Apakah locianpwe hendak menjumpai sumoay locianpwe?" tanya Han Ping.
Cong To gelengkan kepala. Belum ia membuka mulut, tiba-tiba terdengar seruan
Omitohud dari gerumbul pohon di tepi jalan dan menghadang rombongan Cong To.
Seorang padri jubah kuning yang rupanya menjadi pemimpin rombongan, segera
memberi hormat dan bertanya, "Adakah di antara saudara-saudara yang bernama depan
Ji?" Han Ping agak terkesiap lalu melangkah maju, "Akulah orang she Ji itu. Apakah para
suhu ini dari Siau-lim-si?"
"Benar," padri jubah kuning itu mengiakan, "kami memang dari Siau-lim-si. Bukankah
nama anda ini Han Ping?"
Mata Han Ping berkilat-kilat menyapu kawanan padri itu. Ia merasa tak kenal semua.
Dengan tenang ia mengangguk kepala, "Akulah Ji Han Ping itu. Maaf kalau sampai
membuat para suhu berusaha payah mencariku."
Padri jubah kuning itu agak terkesiap. Rupanya ia tak menduga bahwa Han Ping akan
memberi keterangan begitu terus terang.
"Ji sicu seorang tangkas, kami benar-benar kagum. Tetapi entah bagaimana kehendak
anda?" seru padri jubah kuning.
"Hal itu terserah kepada kalian semua. Dari tempat yaag begitu jauh, apakah maksud
suhu-suhu sekalian mencari diriku ini?" jawab Han Ping.
Padri itu tertawa kecil, "Jika anda berani mengunjukkan diri mengapa tak berani
mengakui soal itu?"
"Soal apa?" Han Ping makin heran.
Rupanya padri jubah kuning itu memiliki kesabaran yang besar. Sahutnya tenangtenang,
"Ji sicu telah mengambil sebuah pusaka dari gereja Siau-lim-si. Entah apakah sicu
hendak menyerahkan pedang itu kepada kami atau hendak ikut kami menghadap ketua
kami!" "Benda apakah yang telah kuambil itu?"
Masih wajah padri itu tetap tenang, "Adakah saudara sungguh tak tahu atau hanya
pura-pura tak tahu?" tegurnya.
"Sudah tentu tak tahu sungguh-sungguh!" sahut Han Ping.
Tiba-tiba padri itu melengking nyaring, "Pedang Pemutus Asmara!"
Han Ping tertawa dingin, "Pedang Pemutus Asmara adalah pedang milikku! Entah
apakah hubungannya dengan gereja saudara?"
Marahlah paderi itu, "Terang kalau milik almarhum Hui Gong siansu dari gereja kami,
mengapa engkau berani mengaku sebagai milikmu" Apakah engkau bendak mengelabui?"
Han Ping tertawa, "Benar, memang semula pedang Pemutus Asnrara adalah milik Hui
Gong taysu. Tetapi karena kalah bertaruh, dia memberikan pedang itu kepadaku. Hanya
seorang dari gereja Siau-lim-si yang dapat meminta kembali pedang itu!"
"Siapa?"
"Hui Gong taysu!" Han Ping tertawa nyaring.
Sesaat padri jubah kuning itu tak dapat menyelami kata-kata Han Ping. Maka tanpa
banyak pikir ia segera berkata "Sayang, Hui Gong taysu sudah beberapa waktu ini
mukswa!" "Pedang itu diberikan oleh Hui Gong taysu karena kalah bertaruh dengan aku. Kecuali
Hui Gong taysu hidup kembali, tiada seorangpun yang berhak memintanya kembali!"
"Kalau begitu jelas saudara hendak membikin sulit gereja kami!" seru padri itu marah.
Melihat suasana makin panas, berserulah Kim Loji kepada Han Ping, "Ping Ji, jangan
cari perkara dengan orang. Lebih baik engkau tuturkan kejadian yang sebenarnya kepada
mereka!" Han Ping berpaling memandang paman gurunya seraya geleng-geleng kepala. Lalu
berkata kepada padri jubah kuning dengan nada tandas, "Harap taysu suka
menyampaikan pada ketua gereja. Bahwa pedang pusaka Pemutus Asmara itu kini sudah
menjadi milikku. Jika hendak mengambilnya, lebih dulu harus melangkahi"."
Padri jubah kuning gentakkan tongkatnya ke tanah, "Aku telah mendapat perintah. Jika
saudara tak mau menyerahkan pedang itu, engkau harus ikut kami menghadap ketua
gereja. Bila ada persoalan, silahkan saudara mengutarakan di hadapan ketua kami!"
Han Ping ganda tertawa dingin, "Karena tak merasa mengambil, apa tidak lucu kalau
harus menghadap ketua Siau-lim-si?" balas Han Ping
"Jika saudara membangkang, apa boleh buat kami terpaksa menggunakan kekerasan."
kata padri itu.
Han Ping maju tiga langkah, serunya, " Kalau taysu sekalian hendak menggunakan
kekerasan silahkanlah"
Melihat Han Ping hanya bertangan kosong, terpaksa padri jubah kuning itupun letakkan
tongkatnya ke tanah.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari arah belakang terdengar orang menyebut Omitohud. Seorang padri jubah biru
muda tampil menghampiri padri baju kuning itu, bisiknya "Harap paman guru bersabar
dulu. Murid ingin memberi penjelasan"
"Baik," kata padri jubah kuning.
"Dalam perintah ketua, apabila bertemu dengan pemuda itu memang tak terdapat
perintah supaya menyeret pemuda itu ke hadapan ketua, "Maksud murid, lebih baik kita
mengadakan perjanjian untuk bertemu lagi dengan dia"."
Padri jubah kuning merenung beberapa jenak, lalu berkata kepada Han Ping, "Saudara
memang seorang perwira dan tak takut menanggung akibat. Sungguh berjodoh karena
aku beruntung melaksanakan perintah untuk mencari dan menemukan saudara. Kita
tetapkan saja kapan dan dimana akan bertemu lagi. Nanti akan kulaporkan kepada ketua
kami. Pada saat itu ketua kami , pasti akan datang untuk meminta kembali pedang itu!"
Han Ping kerutkan dahi. Merenung beberapa saat lalu menjawab, "Baiklah, 10 hari
kemudian, kita bertemu di makam tua itu!"
"Saudara telah berjanji sendiri, aku pun segera akan pulang melapor!" kata padri jubah
kuning seraya memungut tongkatnya lalu mengajak rombongannya pergi.
Sambil memandang rombongan padri Siau-lim-si yang pergi, Cong To tertawa, "Aha,
tambah lagi dengan padri Siau-lim-si. Pertunjukan di makam tua itu tentu akan lebih
ramai!" Ting Ling tersenyum, "Cong locianpwe tak perlu lagi mencari adik seperguruan cianpwe
itu"."
"Apa?" Cong To terkejut.
"Ho Heng Ciu menipumu!"
"Hm, jangan ngoceh tak keruan engkau, anak perempuan setan!" damprat Cong To.
Ting Ling tetawa, "Selama ini memang locianpwe memandang hina pada orang-orang
Lembah Raja Setan. Lebih-lebih terhadap kami berdua taci adik. Kebalikannya, sudah
sejak lama aku mengagumi sepak terjang ksatria dari locianpwe. Maka apabiIa ada yang
kuketahui tentu akan kuberitahu kepadamu. Jika Ho Heng Ciu sungguh sungguh hendak
minta locianpwe dalam 10 hari ini datang ke desa Bik-lo-san-cung, tak mungkin ia akan
memberitahukan jejak kita ini kepada rombongan padri Siau-lim-si. Kalau perhitunganku
tak salah, adik seperguruan locianpwe Itu tentu berada di sekeliling tenpat ini. Oleh karena
itu maka Ho Heng Ciu terburu-buru pergi hendak memberitahukan kepada bibi gurunya
itu. Tetapi diam-diam pemuda itu kuatir kita akan mempercepat perjalanan sehingga tak
sempat menyusul. Oleh karena itu sengaja ia memberitahu kepada rombongan padri SiauLim-si agar dapat menghambat perjalanan kita. Kalau tak percaya, locianpwe boleh
menunggu disini beberapa waktu. Dalam waktu sejam, Ho Heng Ciu pasti datang
membawa kawan-kawannya!"
"Tetapi bagaimana nona dapat mengatakan kalau kedatangan para padri Siau-lim-si itu
karena diberitahu Ho Heng Ciu?" tanya Han Ping.
Ting Ling tertawa, "Silahkan Ji siangkong meneliti keadaan di sekeliling sini. Tentulah
engkau akan setuju atas pendapatku. Hutan ini dekat dengan jalan besar. Jika rombongan
padri tadi datang dari arah depan, sekalipun masih jauh tentu dapat kita lihat. Dan kalau
mereka sebelumnya sudah bersembunyi dalam hutan ini, juga tak mungkin. Apalagi sekali
buka mulut, padri baju kuning tadi terus menanyakan orang she Ji. Dari beberapa
kesimpulan itu saja, jelas tentulah Ho Heng Ciu yang memberitahu kepada mereka.
Dengan begitu barulah rombongan padri itu mengambil jalan kecil dan muncul tanpa
sepengetahuan kita!"
"Hebat!" puji Ca Giok, "dugaanmu itu memang tepat!"
Ting Ling tertawa dan berpaling kepada Cong To, "Cong locianpwe, jika ingin bertemu
dengan mereka, silahkan tunggu di sini beberapa saat. Tetapi kalau tak mau menemui
mereka, lebih baik kita lekas lanjutkan perjalanan lagi!"
Han Ping menghela napas, "Ah, nona menduga jitu sekali. Tuh, mereka sudah
muncul"."
Ketika sekalian berpaling, tampak dari arah timur 4 penunggang kuda mencongklang
pesat. Dalam kepulan debu tebal di belakang kuda itu, samar-samar beberapa sosok tubuh
lari mengejar. Ternyata orang itu jauh lebih cepat dari kuda dan lari ke arah tempat
rombongan Han Ping.
Cong To menghela napas, "Budak perempuan setan, engkau benar-benar cerdik sekali.
Hari ini pengemis tua mengaku kalah!"
"Bah, locianpwe kelewat memuji," Ting Ling tertawa.
Pada saat itu kedua sosok tubuh yang lari mendatangi itu sudah tiba pada jarak tiga
empat tombak di muka Cong To dkk. Ternyata kedua orang itu adalah tokoh yang pernah
menggetarkan dunia persilatan pada 10 tahun yang lalu yakni si Bongkok dan si Pendek.
Keduanya hentikan lari dan memandang tajam kepada Han Ping. Wajah mereka
menampil rasa kejut.
Melihat dirinya dipandang begitu rupa, Han Ping menegur, "Kalian melihat apa!"
Belum sempat kedua tokoh itu membuka mulut, keempat penunggang kudapun sudah
tiba. Yang pertama adalah Ong Kwan Tiong, pemilik dari gedung Bik-lo-san-cung. Kedua,
adalah Ho Heng Ciu. Sedang dua ekor kuda yang lain, dinaiki oleh dua lelaki baju hitam
dengan membawa senjata.
Juga Ong Kwan Tiong memandang tajam kepada Han Ping. Beberapa saat kemudian
baru berkata, "Ah, kiranya saudara masih hidup!"
Han Ping mau marah tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa ketika kedua nona Ting bertemu
padanya, pun juga mengatakan begitu.
"Terima kasih, aku masih segar bugar," sahut pemuda itu.
Ong Kwan Tiong tiba-tiba menghela napas perlahan. Ia memandang Cong To dan Ting
Ling lalu berkata, "Hendak kemanakah saudara-saudara ini?"
"Adakah engkau perlu mengurus hal itu?" balas Cong To.
"Aku ingin bicara empat mata dengan saudara Ji. Adakah saudara-saudara tak
keberatan?"
Han Ping tertawa, "Jangankan hanya bicara, berkelahi beberapa jurus, pun tak
mengapa!" Ong Kwan Tiong tertawa nyaring, "Ah, saudara Ji memang gagah dan sakti, aku amat
kagum. Tetapi aku tak mengandung maksud begitu."
Ia terus mencongklangkan kudanya lari ke muka. Han Pingpun cepat loncat menyusul.
Tak berapa lama mereka sudah terpisah berpuluh tombak dari tempat rombongan Cong
To. Sekonyong-konyong Ong Kwan Tiong loncat dari kudanya, melambung dan
berjumpalitan di udara lalu melayang menyerbu Han Ping.
Pemuda itu terkejut. Buru-buru ia hentikan larinya dan siap menghadapi. Tetapi ketika
hampir dekat kepada Han Ping, Ong Kwan Tiong tegakkan diri dan melayang turun dua
meter di hadapan Han Ping.
"Menurut kabar dalam dunia persilatan, saudara Ji sudah binasa di tangan Thian Hian
totiang. Entah adakah berita itu benar atau tidak?" Ong Kwan Tiong mulai buka mulut.
Han Ping tertawa, "Memang berita itu tak salah. Tetapi kenyataannya, hanya separuh
bagian yang benar!"
"Maaf, aku tak mengerti kata-katamu itu!"
Sahut Han Ping, "Jika aku benar sudah mati di tangan Thian Hian totiang, tentu saat ini
tak berada di sini bicara denganmu. Memang peristiwa itu telah terjadi, hanya saja aku tak
sampai binasa di tangan Thian Hian totiang!"
"Apakah hanya pingsan karena menerima pukulannya," Ong Kwan Tiong menegas.
"Boleh juga dikatakan begitulah."
Berkata Ong Kwan Tiong dengan nada serius, "Pada saat berita kematianmu itu sampai
di Bik-lo-san-cung, sumoayku tak percaya. Ia mengatakan bahwa saudara tak bernasib
begitu malang!"
"Apa yang engkau maksud dara baju ungu itu?"
"Benar," sahut Ong Kwan Tiong, "bagaimana pandangan saudara tentang
perangainya?"
Han Ping tertegun, serunya, "Ini". aku sukar menilainya."
Ong Kwan Tiong menghela napas, "Tetapi saudara tak berketentuan muncul perginya.
Berita kematian saudara itu tersebar luas. Sumoayku itu tetap tak percaya maka diamdiam
kusuruh orang untuk menyelidiki dan akhirnya berhasil menemukan jenazah
saudara!" "Aku masih segar bugar mengapa kalian menemukan jenazahku?" seru Han Ping.
Ong Kwan Tiong menghela napas, "Dalam semak belukar diketemukan sesosok mayat
yang sudah busuk. Umur dan pakaiannya mirip dengan engkau. Dan yang penting, mayat
itu tepat berada di tempat engkau diberitakan telah mati"."
"Aneh!" kata Han Ping.
Ong Kwan Tiong menengadah memandang gumpalan awan yang menebar di langit.
Dengan nada penuh kekesalan ia berkata, "Ah, kalau saat itu aku mau mempertimbangkan
lebih teliti, mungkin tak sampai terjadi kekilafan begini. Sungguh harus disesalkan
mengapa saat itu pikiranku agak kacau sehingga keliru menganggap mayat itu adalah
saudara"."
Han Ping tertawa, "Kita tak saling berhubungan, tentu tak terikat suatu perasaan batin.
Andaikata mayat itu benar diriku, kiranya saudara Ong tak usah harus bersedih hati."
"Benar." sahut Ong Kwan Tiong, "asal saja tidak dikarenakan sumoayku, tak nanti
kukerahkan seluruh jago-jago Bik-lo-san-cung untuk menyelidiki jejak saudara!"
"Mengapa sumoay saudara itu?" Han Ping heran.
"Setelah mendapat laporan, segera kuperintahkan supaya mayat itu segera diangkut
pulang agar dapat dikenali. Apakah saudara Ji atau bukan. Ah, ternyata wajah mayat itu
sudah rusak sama sekali sehingga sukar dikenali lagi. Dan lagi tubuhnyapun mulai
menyiarkan bau busuk"."
"Ah, mengapakah saudara Ong begitu menaruh perhatian besar kepadaku?" makin
heranlah Han Ping dibuatnya.
"Entah siapa yang telah memberitahukan kepada sumoay tentang mayat yang dibawa
pulang itu. Sumoay segera masuk ke dalam kamar mayat Itu"."
"Oh"." Han Ping mendesus dan tundukkan kepala.
"Sumoayku memiliki kecantikan yang sukar dicari kedua dalam dunia. Hal itu saudara Ji
tentu sudah menyaksikan sendiri. Maka tak perlu kujelaskan lagi. Tetapi tentang kabar
kecerdasannya, saudara Ji tentu belum mengetahui. Bukan karena terlalu menyanjungnya,
tetapi memang dia memiliki kecerdasan yang luar biasa. Adalah karena menyadari kedua
keistimewaan itu, cantik dan pintar, maka perangainyapun angkuh dan tinggi hati. Segala
tindakannya tentu tak sama dengan orang biasa"." berkata sampai di sini, tiba-tiba wajah
Ong Kwan Tiong berubah rawan. Dua titik airmata menetes turun dari sudut matanya.
"Saudara Ong, mengapa engkau?" Han Ping terkejut.
Ong Kwan Tiong mengusap airmatanya lalu tertawa memanjang. Nadanya mirip
dengan ringkikan naga, melengking jauh tinggi menyusup ke angkasa.
Han Ping makin kaget. Jelas tertawa itu merupakan suatu hamburan dari rasa duka
yang ditumpahkan keluar".
Diam-diam Han Ping menduga tentu telah terjadi sesuatu yang tak diharapkan pada diri
dara baju ungu itu. Hal itu dapat ditilik dari sikap dan cara Ong Kwan Tiong membawakan
ceritanya. Setelah berhenti tertawa, berkatalah Ong Kwan Tiong pula, "Setelah melihat mayat itu
bertanyalah sumoayku, "Apakah itu mayat Ji Han Ping?"
"Apakah jawab saudara Ong?" seru Han Ping dengan tegang.
Jawab Ong Kwan Tiong, "Ia telah mencapai latihan yang sempurna untuk
mengendalikan diri. Walaupun hatinya remuk redam, tetapi ia masih tampak tetap tenang
seperti tak terjadi apa-apa. Dan aku yang tak berpikir panjang akan akibatnya, menyahut
sekenanya saja, "kiranya tak salah lagi. Ah, tak kuduga sama sekali bahwa beberapa patah
keteranganku kepadanya itu, merupakan suatu kesalahan besar yang menimbulkan
dendam penyesalan dalam hidupku"."
Karena sesaat tak dapat menangkap apa maksud ucapan Ong Kwan Tiong itu, maka
Han Ping hanya geleng-geleng kepala dan berkata, "Apa sebabnya menjadi kesalahan dan
penyesalan besar bagi saudara Ong".?"
"Pada saat itu sumoay mengulang tanya lagi. Seharusnya aku menyadari tetapi ah, saat
itu aku tetap linglung". tiba-tiba Ong Kwan Tiong berhenti berkata lalu menampar
mukanya sendiri sampai beberapa kali. Tamparan itu telah membuat pipi begap dan mulut
berlumuran darah.
"Ah, mengapa saudara Ong bertindak begitu hendak menghukum diri sendiri" Sekalipun
engkau keliru menganggap mayat itu, kiranya bukan menjadi soal yang penting".!" seru
Han Ping. Memang pertanyaan sumoayku itu tidak salah. Demikianpun jawabanku itu juga tak
keliru. Tetapi sesungguhnya dalam hati aku tak yakin. Tetapi entah bagaimana waktu itu
aku sembarangan membuka mulut saja. Ketika melihat wajahnya agak berubah, aku
sudah merasa tentu ada sesuatu yang tak wajar. Tetapi saat itu ia tetap tertawa dan
berkata, "Mati biarlah mati. Orang itu tiada sangkut pautnya dengan perguruan Lam-haybun
kita. Lekas perintah orang untuk menanamnya. Perlu apa harus dilihat bolak balik"."
Berkata Han Ping, "Benar, memang aku mati atau tidak, tak ada hubungan apa-apa
dengan partai saudara. Ucapannya memang benar!"
Kata Ong Kwan Tiong, "Pada saat mengucap kata-kata itu, sikapnya tenang sekali
sehingga aku sukar dapat meraba hatinya Dan setelah berkata ia terus berputar tubuh
pergi. Suatu hal yang makin membuat orang sukar menduga. Kala itu aku masih geli dan
menganggap diriku pintar karena telah menyuruh orang untuk membawa pulang
mayatmu. Ah, tak kira kalau diam-diam ia sudah mempunyai rencana tertentu"."
Han Ping makin tak mengerti, ujarnya, "Sesungguhnya persoalan ini bagaimana" Makin
mendengar aku makin bingung!"
Ong Kwan Tiong menghela napas panjang, ujarnya, "Sumoayku adalah mustikanya
manusia. Pribadi dan perbuatannya memang jarang orang yang dapat menduga."
Tiba-tiba Han Ping berbalik tubuh, berseru, "Bolak balik pembicaraan saudara itu hanya
urusan partai Lam-hay-bun semua. Maaf, aku tak ingin mendengarkan lagi"." ia terus
melesat tiga tombak jauhnya.
"Ia telah menaruh Kumala Dingin mustika partai Lam-hay-bun"." baru Ong Kwan Tiong
berseru begitu, Han Ping sudah gelengkan kepala menukas, "Mustika perguruan Lam-haybun,
tiada sangkut pautnya dengan aku!"
Dengan beberapa kali loncatan, pemuda itu sudah tiba kembali di tempat Pengemis
sakti Cong To, katanya, "Mari kita lekas pergi!" Dan iapun terus mendahului berjalan.
Si Bungkuk dan si Pendek karena belum menerima perintah Ong Kwan Tiong, saat itu
tampak bingung dan tak tahu bagaimana harus bertindak. Keduanya hanya melongo saja
mengawasi rombongan Cong To pergi.
Rombongan Cong To itu terdiri dari jago-jago yang memiliki ilmu silat tinggi. Ketika Ong
Kwan Tiong tersadar dan memberi perintah supaya mengejar Han Ping yang sudah lenyap
dari pandangan.
Memang Cong To dan rombongannya berjalan pesat sekali. Kira-kira sepuluh tombak
jauhnya, kepala Ting Ling sudah basah kuyup dengan keringat. Dengan terengah-engah
nona itu berkata, "Silahkan kalian berjalan dulu, aku sudah tak kuat berlari lagi!"
Cong To tertawa gelak-gelak dan mengatakan sedia memanggul nona itu.
"Tidak!" Ting Ling menolak, "aku hendak pulang ke Lembah Raja setan. Kita tak sama
arah jalan!"
Tetapi pengemis itu nekad. Ia tak peduli penolakan si nona, lalu disambarnya dan
dipanggulnya, "Memang keringat pengemis tua bau busuk maka orang tentu tak sudi!"
Dipanggul dan dibawa berjalan oleh Pengemis sakti Cong To, Ting Ling tertawa,
"Bukankah selama ini locianpwe memandang rendah pada orang Lembah Raja setan"
Mengapa hari ini locianpwe begitu memperhatikan diriku?"
Cong To tertawa, "Budak setan besar, ternyata tidak sejahat yang dikabarkan orang"."
"Ah. locianpwe kelewat menyanjung saja. Dengan mendapat pujian begitu rupa dari
locianpwe, matipun aku puas!"
"Budak setan, jangan terus menerus memasak "gulai", pengemis tua tak mau makan!"
Ting Ling tertawa, "Sayang aku tak dapat hidup lama. Jika tak menderita luka maut,
aku tentu senang sekali menjadi murid locianpwe dan masuk ke dalam perguruan Kimpaybun!" "Tidak bisa," sahut Cong To, "sekalipun engkau ingin masuk, tetapi belum tentu
pengemis tua mau menerima."
Ting Ling tertawa, "Locianpwe sudah meluluskan hendak memberi pelajaran silat
kepadaku. Sekalipun tak terikat nama guru dan murid tetapi dalam kenyataannya memang
mempunyai tali hubungan begitu!"
Dalam pada bercakap-cakap itu mereka sudah mencapai 10 li lagi. Kim Loji yang
lukanya baru sembuh dan lengannya yang kutungpun masih belum sembuh sama sekali,
tampak tak kuat lagi. Kepalanya basah kuyup dengan keringat.
Setelah berpaling ke belakang dan tak tampak Ong Kwan Tiong dengan rombongannya,
barulah Han Ping lambatkan jalannya dan mengajak kawan-kawannya berhenti.
Sambil memandang ke sekeliling, Cong To berkata, "Terus sedikit, kita beristirahat di
bawah pohon besar itu!"
Setelah duduk di bawah pohon itu Kim Lojipun segera pejamkan mata mengambil
pernapasan. Ca Giok dan pengemis kecil pun tampak agak terengah. Hanya Han Ping dan
Pengemis sakti Cong To yang wajahnya tetap biasa.
Tiba-tiba Ting Ling berpaling memandang Han Ping, katanya tertawa, "Apakah yang
dibicarakan lelaki berpakaian indah tadi dengan engkau" Mengapa engkau terus tinggalkan
mereka begitu saja!"
"Dia terus menerus menceritakan urusan perguruannya Lam hay bun"."
"Belum tentu begitu," Ting Ling tertawa, apakah tak menyinggung diri dara baju ungu
itu?" "Ya, mengatakan juga," sahut Han Ping, "entah mengapa orang tahu tempat aku
menderita luka dari Thian Hian totiang lalu meletakkan sesosok mayat disitu. Mayat itu
diberi pakaian yang mirip dengan pakaianku. Mereka menganggap mayat itu adalah
mayatku!" "Ih, aneh juga," Ting Ling mendesis, "perlu apa mereka mencari mayatmu?"
"Entahlah."
"Lalu dimanakah mayat itu sekarang?"
"Rupanya seperti sudah ditanam". tiba-tiba Han Ping teringat tadi ketika ia hendak
pergi, Ong Kwan Tiong telah berseru nyaring mengenai mustika perguruan Lam-hay
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bun". tetapi karena ia terus melesat pergi ia tak tahu bagaimana kelanjutan kata-kata
orang Lam-hay-bun itu.
Saat itu barulah ia menyadari bahwa ucapan Ong Kwan Tiong tadi mengandung hal
yang amat penting. Seketika teganglah hatinya dan tanpa disadari mulut Han Ping
meluncur seruan, "Tusuk Kundai Kumala dingin"."
"Apakah Tusuk Kundai Kumala dingin".?"
Han Ping gelengkan kepala, "Tusuk Kundai Kumala dingin adalah pusaka perguruan
Lam-hay-bun"."
"Ih, rupanya pikiranmu agak kacau! Kutanya apakah hubungan Tusuk Kundai Kumala
dingin dengan dirimu?"
Han Ping menengadah memandang ke langit dan merenung sampai lama. Kemudian ia
mengatakan tak tahu hal itu.
Betapapun cerdasnya Ting Ling tetapi terhadap soal Tusuk Kundai Kumala dingin yang
tiada kepala dan ekornya itu, ia tak dapat menyelaminya. Maka berulang-ulang ia
mengulang kata-kata, "Tusuk Kundai Kumala dingin, Tusuk Kundai Kumala dingin, pusaka
perguruan Lam-hay-bun"."
"Harap saudara-saudara tunggu dulu di sini, aku hendak meminta keterangan
kepadanya lagi!" tiba-tiba Han Ping berkata seraya terus loncat tiga tombak jauhnya.
"Tak usah kesanalah!" seru Ting Ling.
"Mengapa?" Han Ping berpaling.
"Mereka sudah jauh. Daripada menyusul mereka lebih baik engkau tunggu sebentar
akan kupecahkan soal itu. Mungkin dapat menerka apa maksudnya."
Karena sudah tahu kecerdasan Ting Ling menganalisa sesuatu, terpaksa mau juga Han
Ping kembali. Sambil membereskan rambutnya yang kusut, nona itu berkata seorang diri, "Tusuk
Kundai Kumala dingin. Dari namanya dapat diketahui maksudnya. Bentuknya tentulah
menyerupai perhiasan tusuk kundai yang sering dipakai kaum wanita."
Ca Giok tertawa, "Tentulah sebuah tusuk kundai dari kumala!"
Angin musim rontok meniup. Hutanpun makin sunyi ketika matahari mulai condong ke
Pendekar Sakti Suling Pualam 16 Kisah Pedang Di Sungai Es Pengemis Berbisa Karya Liang Ie Shen Pendekar Kembar 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama