Ceritasilat Novel Online

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala 4

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 4


Tiba-tiba dari samping kereta terdengar suara orange tertawa perlahan "Tolong tanya,
apakah kereta ini juga menuju ke Lokyang ?"
Hari Ping terperanjat. Didapati yang bertanya itu seorang pengemis tua yang berambut
gimbal dan wajah kotor. Pakaiannya putih, bersepatu rumput dan menggendong sebuah
buli-buli arak dipunggungnya.
Tetapi ada sesuatu yang aneh. Walaupun mukanya mesum dan rambutnya tak keruan,
pengemis tua itu memiliki sebaris gigi yang kecil-kecil dan bersih. Suatu hal yang berbeda
dengan keadaan seorang pengemis tua.
Han Ping kerutkan kening ....
Jilid 5 Tokoh tokoh sakti berdatangan ke Lokyang
Bagian 9 Naga-harimau-ular.
"Benar, keretaku ini memang hendak menuju ke Lokyang," akhirnya Han Ping
menyahut. Pengemis tua itu tertawa, "Apakah kereta ini milikmu sendiri?"
"Ah, begitulah," sahut Han Ping, "dengan mengandalkan hasil kereta ini aku akan
membiayai keluargaku lima jiwa!"
"Ah, kalau begitu sungguh kebetulan," kata pengemis tua, "aku pengemis tua ini
hendak meminjam keretamu untuk menghadiri upacara kematian besar-besaran di
Lokyang. Entah apakah engkau setuju?"
Han Ping menggeleng, "Sayang, keretaku ini sudah disewa oleh lain penumpang."
Pengemis tua itu tiba-tiba tertawa gelak-gelak.
"Para paderi yang mengembara, mencari makan di empat penjuru. Dan aku bangsa
pengemis makan paderi itu. Orang yang mengembara hanya mengandalkan pada kenalan
dan sahabat. Seperti aku, pengemis yang mencari makan dengan jalan meminta-minta,
selalu mengandalkan kemurahan hati para tuan-tuan yang bermurah hati untuk
memberikan sisa makanannya. Jika setiap orang pelit seperti engkau, aku si pengemis
tentu dulu-dulu sudah mati kelaparan. Tak mungkin aku dapat hidup sampai detik ini.
Biarlah aku minta izin kepada tuan penumpangmu itu. Aku takkan duduk dalam gerbong
kereta melainkan sudah cukup berterima kasih kalau diberi tempat di sebelahmu yang
masih kosong itu. Apalagi aku hanya seorang diri, kiranya tentu takkan mengganggumu
"." Habis berkata pengemis itu terus menyingkap tenda kereta.
"Nanti dulu, sabarlah. Penumpangku ini kaum putri," buru-buru Han Ping mencegah.
Pengemis tua itu tersenyum. Tahu-tahu kakinya memanjat roda dan terus menyelinap
duduk di sebelah Han Ping.
"Uh, mengemudikan kereta juga suatu mata pencaharian. Sudah tentu engkau hanya
memandang ongkos. Tetapi sekalipun aku si pengemis tua ini tak punya uang sepeser
pun, tak nanti akan membikin engkau kecewa. Dahulu ketika mengembara di Pakkhia, aku
telah menemukan sebutir kelereng mutiara air. Berpuluh tahun kubawa benda itu kemanamana.
Sekalipun kelaparan, aku tetap tak mau menukarkan benda itu dengan nasi. Tetapi
hari ini terpaksalah. Apa boleh buat, harus kulepaskan "."
Dalam pada berkata-kata itu si pengemis tua mengeluarkan dari dalam saku bajunya
sebutir mutiara sebesar buah kelengkeng. Ditimpa sinar matahari, mutiara itu berkilaukilauan.
Benda itu cepat disusupkan ke tangan Han Ping lalu dia sandarkan kepalanya
pada sandaran dan tidur mendengkur.
Han Ping hendak mendorongnya. Tetapi pengemis itu mendengkur keras sekali
sehingga Han Ping kewalahan dan membiarkannya.
Setengah hari kemudian, tibalah kereta itu di luar kota Lokyang. Sebuah kota yang
bertembok tinggi dan megah. Hanya sekejap Han Ping menengadahkan mata memandang
keadaan tembok kota itu. Ketika berpaling lagi, astaga ". pengemis tua itu sudah lenyap!
Kejut Han Ping bukan kepalang. Pikirnya, "Ah, ilmu ginkang pengemis tua tadi bukan
main hebatnya. Mengapa tak kudengar sama sekali gerakannya waktu pergi!"
Dan mutiara itu masih terletak di ujung tempat duduknya.
Tiba-tiba dari dalam gerbong kereta, Ting Ling berseru, "Lekas masuk ke dalam kota
dan carilah rumah penginapan. Nanti kuberitahukan sejelasnya tentang diri pengemis tua
itu!" Sambil ayunkan cambuk, tangan kiri Han Ping mengambil mutiara dan menyusupkan ke
dalam tenda kereta. Sebuah lengan halus menyambutinya. Entah siapa, Ting Ling atau
sidara Ting Hong.
Lokyang itu sebuah bekas kota kerajaan kuno. Suasananya lain dengan desa dan kota
kecil yang dilalui sepanjang perjalanan tadi. Di kedua tepi jalan besar penuh berjajar
gedung-gedung besar yang bertingkat. Jalan penuh dengan orang berjalan sehingga
kereta Han Ping tak leluasa jalannya.
Akhirnya berhasillah ia mencari sebuah rumah penginapan. Ketika memandang papan
nama rumah penginapan itu, ia terkesiap. Rumah penginapan itu memakai merk Bangsengkhek-cau atau Hotel Megah Ria.
Selintas ia teringat akan peristiwa semalam ketika bertempur dengan si Bungkuk.
Bukankah kemunculan si kakek pendek yang membawa sehelai panji burung cenderawasih
putih itu, menyuruh si Bungkuk datang ke hotel Megah Ria di kota Lokyang situ"
"Apakah paman hendak menginap disini?" tiba-tiba jongos hotel lari menghampiri dan
menegurnya, "Masih ada sebuah ruangan kosong. Selama dua hari ini banyak sekali
tetamu yang menginap disini. Jika paman hendak "."
Han Ping terkejut mendapat penyambutan itu. Belum ia menyahut, tiba-tiba terdengar
derap kuda menghampiri dan suara orang berseru dengan nada parau, "Hai, apakah masih
ada kamar kosong?"
Jongos itu berputar tubuh ke arah pendatang itu. Tetapi belum ia membuka mulut, Han
Ping sudah mendahului, "Ya, kami akan pakai kamar itu!"
Ternyata yang muncul itu dua orang penunggang kuda. Yang seorang, seorang lelaki
berwajah hitam seperti pantat kuali dan pipinya terdapat bekas luka bacokan. Sedang
kawannya seorang lelaki bertubuh kate. Si Hitam itulah yang tadi dijumpai dalam
perjalanan. Tiba-tiba si Hitam itu tertawa nyaring "Bagus, bagus, kebetulan sekali. Jongos, lekas
mandikan kuda kami ini dan kasih makan yang kenyang "."
Jongos ketakutan melihat sikap orang berwajah hitam itu. Dengan meringis, ia
meratap, "Maaf, tuan. Kamar yang kosong hanya tinggal sebuah dan tuan yang berkereta
ini sudah memesannya!"
Si Hitam deliki mata. Ketika hendak mendamprat, tiba-tiba si Kate mencegahnya,
"Kalau sudah dipesan lain orang, tak boleh kita merebut. Mari cari lain hotel!"
Habis berkata si Katepun menarik lengan si Hitam. Keduanya loncat ke atas kuda
masing-masing dan mencongklang pergi.
Setelah kedua orang itu jauh, barulah jongos hotel itu berpaling kepada Han Ping dan
menyesalinya, "Jika engkau tak mau tinggal disini, akupun tak memaksa. Tetapi mengapa
tak mau lekas-lekas menjawab sehingga hampir mencelakai aku. Menilik usiamu sudah
cukup tua dan sering berpergian tentulah tahu tata cara. Mengapa sama sekali engkau tak
dapat melihat gelagat"."
Han Ping tertawa lalu loncat turun dari keretanya, "Penumpangku ini kaum putri.
Apakah kamarmu itu bersih?"
"Dalam kota Lokyang sini terdapat tak kurang dari 100an rumah penginapan. Hotel
Megah Ria ini adalah yang nomor satu. Entah apakah peruntunganmu besar atau kami
yang sial. Mengapa begitu keluar aku melihat keretamu berhenti disini."
Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya dan matanya mendelik, mulut melongo karena
melihat tenda kereta tersingkap dan turunlah dua orang gadis yang cantik jelita ".
Setelah sadar, buru-buru jongos itu menghampiri kedua gadis itu dan mengantarkannya
masuk. Hotel Megah Ria itu sebuah hotel yang besar. Luas tanahnya sampai beberapa bahu.
Kamarnya beratus-ratus buah. Para tetamu terkesiap dan memandang kedua nona itu
dengan terpesona.
Sesungguhnya sewaktu dalam gerbong kereta dari lubang tenda, Ting Ling telah
memperhatikan keadaan tetamu-tetamu itu. Setelah tak melihat orang yang mengenalnya
barulah ia turun dari kereta. Dengan gaya dan sikap seperti gadis yang lemah gemulai.
Mereka berjalan bergandengan tangan sambil tundukkun kepala seperti gadis pingitan
yang bersikap malu-malu. Sekalian tetamu makin terlongong-longong.
Setelah melintasi dua buah ruangan besar, jongos itu berpaling kepada kedua gadis,
"Jnilah ruangan yang paling bagus dari hotel kami. Selain tenang pun hiasannya mewah
sekali "."
Ia membuka pintu dan melangkah masuk. Memang Han Ping dapatkan ruangan itu
tenang, bersih dan mewah. Temboknya terbuat dari batu marmer hijau, merupakan
sebuah villa tersendiri. Di ruangan tetamu dihias dengan beberapa pot bunga seruni yang
tengah mekar dan menyiarkan hawa yang harum. Di kanan kiri ruangan besar terdapat
sebuah dua buah ruangan kecil.
"Jika masih ada yang kurang, nona boleh minta apa lagi," kata jongos itu.
Ting Ling puas dengan keadaan tempat itu. Ia memberinya sekeping emas, "Titip dulu,
besok kita perhitungkan lagi."
Melihat keping emas yang ditaksir tak kurang dari dua tail itu, sikap sijongos makin
menghormat, "Apakah nona hendak pesan hidangan?"
"Nanti saja kalau periu, tentu kupanggilmu," sahut Ting Ling.
Jongos segera minta diri. Ketika berpaling ke arah Han Ping, wajah tawanya berganti
kerut gelap. Menunjuk pada ruang kecil di samping, ia berkata, "Engkau tidur di ruangan
itulah"."
Tiba-tiba kata-katanya terputus oleh munculnya seorang lelaki berpakaian hitam yang
tanpa bilang apa-apa terus hendak menerobos masuk ke dalam ruangan besar.
Cepat-cepat si jongos hadangkan lengannya mencegah, "Tuan, kamar ini sudah
ditempati tetamu kaum putri "."
Orang itu tertawa hina, "Sekalipun ratu, aku fak takut. Jangankan hanya perempuan
biasa, Enyah!"
Ia ulurkan lengan kiri dan menjeritlah si jongos ketika tubuhnya terpelanting sampai
beberapa langkah. Buk ". ia jatuh menyusur lantai. Tetapi keping emas masih
digenggamnya. Melihat keberandalan itu, Han Ping melangkah menghadang di muka pintu, bentaknya,
"Siang hari bolong mengapa saudara main berandalan. Kamar ini dihuni tetamu putri,
mengapa saudara hendak masuk?"
Sejenak orang berpakaian hitam itu memandang Han Ping. Tiba-tiba ia maju selangkah
dan menampar dada Han Ping. Gerakannya cepat dan keras sekali.
Han Ping menyambar dengan tangan kiri. Ia gunakan ilmu Kin-na-liong-jiu atau ilmu
tangan kosong merebut senjata musuh. Cret, siku lengan orang itu tercengkeram, sekali
diayun ke muka dan didorong ke belakang, orang itu terlempar delapan langkah jauhnya
dan jatuh terduduk di lantai ".
Payah juga keadaannya. Sampai beberapa saat baru ia dapat berdiri. Melirik kepada
Han Ping, orang itu perdengarkan tertawa hina lalu melangkah keluar.
Sijongospun bangun. Buru-buru ia menghampiri Han Ping dan tertawa cengar cengir,
"Ah, maaf, maaf, aku punya mata tetapi tak dapat melihat gunung Thaysan. Sungguh tak
kuketahui bahwa paman seorang berilmu!"
"Ah, jangan kelewat memuji. Aku ingin mendapat keterangan tentang seseorang, entah
apakah engkau dapat membantuku?" Han Ping tersenyum tawar.
"Setiap tetamu hotel sini tentu aku tahu semua. Siapakah yang engkau tanyakan itu?"
"Seorang tua bertubuh kekar tetapi bungkuk dan seorang tua bertubuh kurus pendek,
apakah mereka tinggal disini?" kata Han Ping.
Sejenak jongos itu merenung. lalu berkata, "Kedua orang itu tak pernah kulihat tinggal
di hotel sini. Memang pada hari-hari terakhir ini banyak sekali orang-orang persilatan yang
berkunjung ke kota sini. Semua hotel dan rumah penginapan penuh. Sekalipun mereka
royal mengeluarkan uang tetapi mereka termasuk orang-orang yang sukar dilayani. Salah
sedikit saja tentu turun tangan main tempeleng. Semalam aku tak tidur karena harus
melayani mereka sehingga tadi pagi aku bangun kesiangan. Kemungkinan kedua orang itu
datangnya pagi tadi dan aku tak melihatnya. Tetapi jangan kuatirlah. Nanti akan kucari
mereka dan kuberimu keterangan."
Sambil berkata, jongos itu terus pergi.
Tiba-tiba tangan Han Ping ditarik orang masuk ke dalam ruangan. Ternyata yang
menarik itu adalah si dara Ting Hong.
Tampak Ting Ling duduk di sebuah kursi sambil bertopang dagu. Entah sedang memikir
apa. Begitu melihat Han Ping masuk, kedengaran nona itu menghela napas.
"Ah, hari ini kita bertiga hampir saja kehilangan jiwa. Sungguh tak nyana, Pengemis
sakti Cong To yang sudah lama menghilang dari dunia persilatan, juga muncul di Lokyang
sini. Melihat naga-naganya, Lokyang bakal menjadi arena pertempuran dahsyat!"
"Apa" Pengemis tua yang bonceng di kereta itu Pengemis sakti Cong To yang
termahsyur itu?" Han Ping terkejut.
Tiba-tiba ia teringat akan pesan mendiang Hui Gong, "Dikalangan tokoh-tokoh
persilatan, hanya Pengemis sakti Cong To yang bermusuhan juga dengan musuhmu itu.
Dia tak sudi berhubungan."
Melihat sikap Han Ping ketika mendengar soal Pengemis sakti Cong To, Ting Ling
tersenyum, "Eh, engkau kenal padanya?"
Han Ping menggeleng, "Tidak, hanya suhu pernah mengatakan tentang orang itu."
"Kalau begitu suhumu tentu bersahabat baik dengan Pengemis sakti Cong To?"
"Juga tidak. Suhupun hanya mendengar cerita orang saja!"
"Menilik kepandaian ilmu silatmu, suhumu tentulah seorang tokoh termahsyur. Apakah
engkau tak keberatan untuk memberitahukan nama gurumu?"
"Ah, suhu sudah meninggal. Maaf, tak perlu kuberitahukan."
Sejenak Ting Ling kerutkan kening. Pada lain saat ia tertawa , "Baiklah, kalau engkau
keberatan, kami berduapun takkan mendesak "."
Kata-kata Ting Ling itu terputus oleh deburan daun pintu yang keras. Mengira kalau
jongos sudah mendapat keterangan tentang diri si Bungkuk, buru-buru Han Ping keluar
membuka pintu. Tetapi yang tegak di luar pintu ternyata bukan jongos hotel, melainkan seorang
pemuda dengan empat orang pengiring. Pemuda itu berusia 24an tahun, cakap dan
gagah. Sedang salah seorang pengiringnya ternyata orang yang dilempar Han Ping tadi.
Pemuda yang mengenakan baju biru itu menatap Han Ping tajam-tajam lalu memberi
hormat seraya bertanya, "Tolong tanya, apakah saudara datang dari gunung Hun-bongsan?"
"Aku hanya seorang sais, bukan dari Hun-bong-san."
Pemuda itu tersenyum, "Lembah Raja setan di gunung Hun bong termahsyur dengan
pembuatan kedok muka. Tolong saudara sampaikan pada kedua nona di dalam ruangan
bahwa Ca Giok dari Ca-ke-poh di Ik-tang hendak mohon bertemu."
Diam-diam Han Ping terkejut. Selama dalam perjalanan ia tak berjumpa dengan
siapapun. Mengapa pemuda itu tahu akan kedatangannya di hotel situ"
Dipandangnya pemuda itu dengan lekat. Seorang pemuda yang cakap, sikap dan nada
ucapannya halus dan sopan. Kecuali dari sinar matanya yang berkilat-kilat tajam, tidaklah
tampak lain-lain ciri istimewa pada pemuda itu.
Han Ping tampak gelisah. Jika ia menyangkal, jelas pemuda itu sudah yakin bahwa
kedua nona itu berada di kamar situ. Tetapi kalau ia meluluskan permintaannya, ia tak
berani mengambil keputusan sendiri karena kuatir kedua nona itu akan marah.
Untunglah pada saat ia termangu-mangu dalam keraguan, sidara Ting Hong muncul
dan menyambut pemuda itu dengan tegur tertawa.
"Taci sedang ganti pakaian, tak sempat menyambut. Mari, silahkan masuk," kata Ting
Hong. Pemuda itu mengucap terima kasih. Ia suruh keempat pengiringnya kembali lalu ikut
sidara masuk. "Sungguh luar biasa sekali!" seru Ting Ling ketika menyambut pemuda itu. "Jarang
sekali saudara berkunjung ke Tionggoan. Tentulah urusan ini penting sekali. Entah apakah
saudara sudi memberitahukan hal itu?"
Ternyata pemuda itu Ca Giok, putra dari marga Ca yang memiliki Ca-ke-poh atau
gedung keluarga Ca di Hopak. Ca-ke-poh menduduki tempat sejajar dengan Lembah Raja
setan, Lembah Seribu racun dalam kemahsyuran di dunia persilatan.
Ca Giok tertawa, "Nona benar. Memang kedatanganku ke Lokyang ini mempunyai
kepentingan. Mengingat antara marga Ca-ke-poh dan Lembah Raja setan mempunyai
hubungan baik, maka aku memberanikan diri untuk bertamu di tempat nona sini."
"Ah, saudara Ca terlalu sungkan. Silahkan mengatakan saja. Asal kami mampu, tentu
takkan menolak," kata Ting Ling.
Sejenak pemuda cakap dan gagah itu tertawa lalu berkata, "Terima kasih. Maksudku
hendak mempersatukan kekuatan Lembah Raja setan dengan Ca-ke-poh dalam
menghadapi peristiwa ini. Apabila berhasil, kita bagi rata "."
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, "Sewaktu datang, setitikpun tak
kubayangkan bahwa peristiwa ini akan menjadi begini besar. Baik golongan Hitam maupun
Putih telah mengutus tokoh-tokohnya yang penting untuk ikut serta dalam hal ini. Menilik
gelagatnya, kota Lokyang akan timbul prahara besar. Karena tak menyangka hal itu, maka
aku hanya membawa sedikit pengiring. Kekuatan itu tak cukup untuk menghadapi
peristiwa yang akan timbul nanti. Maka kuberanikan diri untuk mengutarakan maksudku
tadi. Tetapi apabila nona berdua keberatan, akupun tak berani memaksa."
Ting Hong merenung sejenak lalu berkata, "Saudara Ca berpandangan luas. Entah
apakah selama dalam perjalanan ini pernah bertemu dengan Pengemis sakti Cong To?"
Seketika berobahlah wajah Ca Giok, serunya menegas, "Apa" Pengemis tua itu juga
datang?" Ting Ling tertawa, "Aku dan adik Hong melihatnya sendiri. Tak mungkin salah!"
Ca Giok berdiam sejenak. Katanya perlahan-lahan "Kepandaian dan pribadi pengemis
tua itu, tentulah nona berdua sudah mengetahui. Jika dia benar-benar datang ?"
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya, tertawa dingin dan ayunkan tangannya. Seutas
benang perak yang lembut seperti rambut, segera meluncur keluar dari ruangan itu. Dan
menyusul tubuhnya melayang ke jendela ".
Ting Ling terkejut. Nona yang biasa berotak cerdas itu tak dapat menduga apa maksud
Ca Giok. Kepandaian Tangan geledek Ca Giok memang sakti. Dan kemahsyuran nama marga Cake

Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

poh sudah tersebar di seluruh dunia persilatan. Jika tiada sesuatu tak mungkin Ca Giok
akan bertindak demikian.
Begitu tiba di belakang jendela, Ca Giok ulurkan tangan menyambar keluar, tertawa
dingin lalu masuk ke dalam ruangan lagi. Dari jauh samar-samar terdengar suara orang
tertawa mendengus ".
Ting Ling terperanjat. Ca Giok mencekal seekor ular kuning emas sepanjang setengah
meter. Kepala ular itu dipijitnya hancur, darah bercucuran menyiarkan bau. yang anyir.
Sedang tubuh ular itu masih bergeliatan kian kemari.
Kedua taci beradik itu sejak kecil dibesarkan di lembah pegunungan. Tahulah mereka
bahwa ular kuning emas itu seekor ular yang amat berbisa sekali.
"Saudara Ca, cepat lepaskan! Ular itu berbisa sekali!" teriak Ting Hong.
Ca Giok memandang ular itu, tertawa, "Orang Lembah Seribu racun memang licik
sekali. Sebelumnya mereka telah menyediakan ular-ular berbisa. Pada waktu hendak
kutangkap orang itu menyongsong songsongkan ular berbisa ini. Ha, ha, binatang begini
kecil, mampu berbuat apa terhadapku!"
"Ai, saudara benar-benar tak kecewa digelari orang sebagai Tangan geledek. Tangan
saudara Ca benar-benar secepat kilat menyambar. Ah, aku sangat kagum." Ting Ling
tertawa memuji.
Wajah Ca Giok tampak tenang kembali. Ular itu dilemparkan keluar jendela.
"Jelas sudah, dewasa ini kota Lokyang penuh bertebaran maut. Bahwa orang Lembah
Seribu racun berani bergerak di siang hari, tentulah mereka sudah mempunyai persiapan
yang cukup tangguh!" kata jago muda dari marga Ca itu. "Terpaksa aku hendak minta diri
dulu untuk melihat keadaan di luar. Hanya kumohon sukalah kedua nona
mempertimbangkan usulku tadi. Nanti malam, aku berkunjung kemari lagi."
"Maaf, saudara Ca, kami tak dapat mengantar. Sampai jam 10 malam nanti, tetap
kutunggu kedatangan saudara," kata Ting Ling.
Setelah memberi hormat, Ca Giok segera tinggalkan ruangan itu.
Selama itu, Han Ping berdiri di pinggir pintu. Setelah Ca Giok pergi, barulah ia berkata
kepada kedua nona itu, "Pemuda itu hebat sekali. Tangannya cepat seperti kilat. Rasanya
tak kalah dengan si Bungkuk!"
Ting Ling suruh Ting Hong menutup pintu lalu mempersilahkan Han Ping masuk. Tibatiba
nona itu loncat ke tepi jendela dan melongok keluar. Kemudian ia menutup jendela itu
lalu berkata bisik-bisik, "Saat ini, kita berada dalam daerah berbahaya. Orang-orang
Lembah Seribu racun luar biasa licinnya. Ibarat liang semutpun mereka mampu memasuki.
Sekali tak hati-hati, jiwa tentu melayang "."
Tiba-tiba tirai pintu tersingkap dan masuklah Ting Hong diiringi seorang jongos. Jongos
itu bukan jongos yang menyambut tadi. Memakai kopiah dan tundukkan kepala sambil
membawa sepenampan teh. Setelah menuangkan teh ke dalam tiga buah cawan, jongos
itupun pergi. Sejenak Ting Hong memandang ke arah tacinya lalu mengikuti jongos itu.
Dengan matanya yang tajam, "Ting Ling mengamati warna teh dalam cawan itu. Ia
tersenyum menyeringai tetapi tak berkata apa-apa. Setelah Ting Hong masuk lagi, barulah
Ting Ling bertanya "Pintu sudah engkau tutup rapat?"
Ting Hong mengangguk.
Ting Ling mengangsurkan cawan teh kepada Han Ping, "Cobalah periksa teh ini, apakah
ada yang mencurigakan?"
Han Ping memeriksa. Teh itu jernih kehijau-hijauan, baunya harum sekali. Seperti teh
wangi yang kebanyakan.
"Eh, apakah ada sesuatu yang tak wajar pada teh ini?" tanyanya heran.
Ting Ling menghela napas perlahan . "Ah, kelicikan muslihat dunia persilatan, jika
diceritakan tentu membuat nyali orang rontok. Sekalipun memiliki kepandaian sakti, suatu
ketikapun masih lengah. Mungkin engkau menganggap kami berdua ini terlalu bercuriga
kepada orang sehingga tampaknya gerak-gerik kami memang aneh. Tetapi sesungguhnya
jika tak bertindak begitu, tentu mudah terkena siasat gelap orang. Misalnya seperti teh
wangi dalam cawan ini. Memang baunya harum dan warnanya jernih seperti teh wangi
yang kebanyakan. Sukar diketahui dimana ketidak wajarannya. Tetapi sebenarnya teh itu
sudah dicampuri racun"."
Han Ping terbelalak, "Kalau begitu, jongos tadi juga "."
"Jongos itu jika bukan orang Lembah Seribu racun, tentulah orang yang disuruh
mereka. Tetapi mengapa pihak Lembah Seribu racun itu hendak mencelakai kita, benarbenar
aku tak mengerti "." kata Ting Ling lalu merenung.
Sejenak kemudian ia berkata pula, "Tetapi baiklah. Biarlah siasat mereka kita gunakan
untuk menyiasati mereka. Kita lihat saja mereka akan berbuat apa terhadap kita."
Ia mengambil ketiga cawan teh itu lalu dibawa masuk. Teh dituang ke bawah ranjang
lalu ia keluar lagi. Diserahkannya cawan yang sudah kosong itu kepada Ting Hong dan
Han Ping. "Kita pura-pura minum cawan teh beracun ini. Aku dan adik Hong akan menggeletak di
samping meja ini dan engkau berbaring di belakang pintu sana "." katanya kepada Han
Ping. "Jika tak berani masuk ke dalam sarang harimau, tentu takkan mendapat anak
harimau. Jika tak terpaksa sekali, harap jangan turun tangan. Tunggu perintahku dulu "."
Waktu mengatakan kata-kata "perintah", Ting Ling sungkan sendiri. Dipandangnya Han
Ping dengan tersenyum.
Walaupun setengahnya masih belum percaya penuh, tetapi Han Ping melakukan juga.
Ia rebah di belakang pintu. Sedang Ting Hong selalu percaya penuh terhadap tacinya.
Tanpa ragu-ragu lagi ia terus menggeletak di atas kursi.
Setelah melihat kedua orang itu rebahkan diri di tempat yang ditunjuk, Ting ling lalu
pindahkan letak cawan teh masing-masing. Setelah itu iapun rebahkan kepalanya di atas
meja. Lebih kurang seperempat jam kemudian, tiba-tiba terdengar pintu diketuk orang.
Hampir saja Han Ping hendak bangun tetapi dicegah dengan isyarat tangan oleh Ting Ling.
Karena pintu tak dibuka, tak berapa lama ketukan pintu itupun lenyap dan suasanapun
sunyi kembali. Bahkan sampai malam tiba dan lewat makan malam, tetap belum tampak
sesuatu yang mencurigakan lagi.
Han Ping tak sabar. Dipandangnya Ting Ling dengan pandang kesangsian. Tetapi nona
itu hanya mengangguk kepala dan tersenyum, sebagai isyarat supaya pemuda itu suka
bersabar beberapa waktu lagi.
Tiba-tiba terdengar suara musik yang halus. Suara itu berasal dari tempat yang jauh
dan mengalun masuk ke dalam kamar. Dan ketika musik yang menyerupai bunyi seruling
itu berhenti, terdengarlah suara mendesis-desis. Dan ketika Han Ping membukai mata,
hampir saja ia melonjak bangun.
Dari belakang daun jendela, menyusup masuk dua ekor ular plonteng (kulitnya
berkembang garis-garis), sebesar cawan teh. Ketika kedua ular itu mengangkat kepalanya,
panjang tubuhnya tak kurang dari setengah meter.
Han Ping segera bersiap. Pada saat ia hendak menghantam ular itu, tiba-tiba dilihatnya
kedua nona itu masih enak-enak tidur. Seolah-olah tak mengacuhkan kemunculan ular itu.
Han Ping malu sendiri. Jika kedua gadis itu tak takut, masakan dia seorang anak lelaki
begitu ketakutan setengah mati. Ia batalkan niatnya hendak menghantam ular. Diam-diam
ia memperhatikan saja gerak-gerik binatang itu.
Kedua ular itu merayap ke samping Ting Ling. Salah seekor mengangkat kepala dan
memagut sinona. Tetapi Ting Ling sudah siap. Secepat kilat ia menyambar kepala ular itu
dan menjejak ular yang lainnya.
Seorang yang memiliki kepandaian silat memang mudah menangkap ular. Tetapi hal itu
diperlukan keberanian yang mantap. Karena sekali sambarannya luput, ular itu tentu akan
menggigitnya. Diam-diam Han Ping memuji kecerdikan dan ketangkasan Ting Ling.
Ular yang terjejak oleh ujung kaki sinona, terhempas ke lantai dan mati seketika.
Sedang ular yang dipijit kepalanya itu masih berusaha untuk melilit tangan sinona. Tetapi
sekali tangan Ting Ling menyurut dan menjulur, remuklah tulang ular itu.
Dengan cepat, Ting Ling menaruh kedua bangkai ular itu di bawah jendela. Setelah itu
ia duduk di kursinya lagi. kepalanya dibaringkan di meja seperti orang yang pingsan.
Malampun tiba. Keadaan di luar ruangan sunyi senyap. Han Ping dan Ting Hong hampir
tak sabar lagi. Tetapi Ting Ling tenang-tenang saja. Berulang kali nona itu memberi isyarat
supaya mereka bersabar.
Lewat beberapa waktu kemudian, tiba-tiba terdengar suara halus di luar jendela dan
tirai jendelapun bergetaran. Kemudian sesosok bayangan melesat masuk.
Han Ping menutupi mukanya dengan lengan ba ju tetapi ia masih dapat melirik ke
sekeliling. Dilihatnya seorang lelaki kate, mukanya berkerudung kain hitam, melangkah
perlahan-lahan ke dalam ruangan, Sikapnya tenang seperti masuk ke dalam kamarnya
sendiri. Begitu tiba di dekat kedua nona, tiba-tiba ia berbalik tubuh dan secepat kilat kedua
tangannya menutuk Ting Ling dan Ting Hong.
Saat itu barulah Han Ping menyadari. Cara orang kate itu melangkah dengan perlahan
ternyata memang mempunyai maksud. Dia berhati-hati sekali memilih posisi mendekati
tempat kedua nona. Kemudian secara tak terduga-duga dan secepat kilat turun tangan.
Tindakan orang kate itu memang tepat sekali. Ting Ling dan Ting Hong tak sempat lagi
menangkis. Mereka kena tertutuk.
Kemudian orang aneh itu membuka kerudung mukanya dan tertawa perlahan, "Hm,
silahkan kalian mengerahkan segala macam muslihat. Tetapi jangan harap mampu
mengelabui aku!"
Han Pingpun tak dapat berbuat apa-apa kecuali tergetar hatinya. Diam-diam ia menilai
kepandaian orang kate itu tak kalah dengan si Bungkuk serta Tangan geledek Ca Giok.
"Ah, apakah dunia persilatan penuh dengan orang-orang yang berilmu sakti begitu?"
diam-diam timbul rasa rendah diri dalam hati Han Ping.
Belum sempat ia berbuat apa-apa, tiba-tiba orang aneh bermuka panjang itu menyulut
api. Seketika ruangan terang benderang.
Keheranan Han Ping makin memuncak. Masakan seorang penjahat berani berbuat
sedemikian ugal-ugalan.
Orang aneh itu memandang kedua bangkai ular dan cawan teh di meja. Ia tersenyum,
"Kedua budak perempuan ini memang lihay. Jika terlambat sedikit saja, kemungkinan
akupun termakan siasat mereka!"
Saat itu pengerahan tenaga dalam Han Ping sudah memuncak. Pada saat ia hendak
loncat menerjang, tiba-tiba orang aneh itu berputar tubuh dan memandangnya sambil
tertawa dingin "Bangun! Kedua majikanmu sudah kututuk jalan darahnya. Mengapa
engkau masih pura-pura pingsan?"
Han Ping terkejut. Perlahan-lahan ia kendorkan pengerahan tenaga dalamnya. Lalu
bangun. Orang aneh itu memandang Han Ping dari kaki sampai ke ujung kepala. Tegurnya,
"Engkau juga dari gunung Hun-bong-san?"
"Aku sais kuda dan kedua nona itu menyewa keretaku ." kata Han Ping dengan sikap
pura-pura ketakutan.
"Angkatlah kedua nona itu ke ranjang di dalam kamar!" seru orang aneh itu.
Han Ping tertegun. Ia gelisah karena harus memondong gadis remaja.
"Mengapa tak lekas-lekas mengerjakan perintahku" Apakah engkau sudah bosan
hidup?" dengus orang itu.
Diam-diam Han Ping menimang. Orang aneh itu dekat sekali dengan kedua nona. Jika
ia bertindak tetapi tak dapat sekali pukul merubuhkan orang itu, berbahayalah
keselamatan jiwa kedua nona itu.
Dengan pertimbangan itu terpaksa ia menurut. Diangkatnya Ting Hong ke dalam ruang
dan dibaringkan di tempat tidur. Orang aneh itu mengikuti di belakangnya dengan
menyulut lilin.
Setelah merebahkan sidara, timbullah pikiran untuk mengangkat Ting Ling lagi. Ia
hendak melihat apakah yang akan dilakukan orang itu terhadap kedua nona. Maka tanpa
diperintah, ia terus memondong Ting Ling ke dalam kamar.
Sambil mengacungkan lilin, orang aneh itu memandang kedua nona dan tertawa dingin,
"Untuk sementara biarlah kalian tidur nyenyak!"
Habis berkata ia melangkah perlahan-lahan keluar. Ketika melalui Han Ping, sekonyongkonyong
orang itu berbalik diri dan menutuk jalan darah di dada Han Ping.
Saat itu sebenarnya Han Ping sedang menimang, apakah ia harus bertindak saat itu.
Belum mengambil keputusan, ia sudah didahului orang itu. Karena jaraknya dekat dan tak
menduga, Han Ping tak dapat menghindar atau menangkis lagi. Ia jatuh terkulai ke lantai.
Tetapi ia memiliki tenaga dalam yang tinggi. Sekalipun tertutuk, tetap belum pingsan.
Diam-diam pemuda itu menimang, "Orang ini kepandaiannya tinggi. Belum tahu aku dapat
mengalahkannya atau tidak. Apalagi jalan darahku tertutuk lebih dulu. Jika dia tahu
keadaanku, tentu akan menurunkan tangan ganas "."
Dengan perhitungan itu, buru-buru ia menutup pernapasan dan pura-pura pingsan.
"Huh, budak hina, lwekangmu hebat juga. Hampir aku kena engkau kelabui,"dengus
orang itu seraya ayunkan kakinya ke tubuh Han Ping. Pemuda itu mencelat dan
membentur dinding, bluk"
Karena harus pura-pura pingsan, terpaksa ia menutup pernapasan. Dan kerena
menutup pernapasan itu dia tak dapat mengerahkan tenaga dalam. Diam-diam ia
mengeluh kesakitan. Tetapi pengorbanan itu berhasil menghilangkan kecurigaan orang itu.
Habis menendang, orang itupun meniup padam lilin lalu melangkah keluar.
Ruangan gelap gulita. Tetapi Han Ping tak mau gegabah bergerak. Setelah lama tiada
mendengar suara apa-apa lagi, barulah ia membuka mata. Dan setelah mendapat
kepastian orang itu sudah pergi, barulah ia berani menyalurkan pernapasan lagi.
Dadanya yang tertutuk itu terasa sakit sekali, darah tak dapat menyalur. Baru hendak
melakukan semedhi, tiba-tiba terdengar pintu didebur dan masuklah dua orang lelaki
dengan membawa api.
"Kabarnya kedua budak perempuan dari Lembah Raja setan itu cantik sekali. Sekarang
kita dapat melihatnya dengan jelas," kata salah seorang dengan tertawa perlahan.
Kawannya yang di belakang menyambut, "Kudengar kedua putra pemimpin kitapun
menaruh hati kepada kedua budak perempuan itu. Sudah pernah mengutus orang untuk
meminang tetapi ditolak."
Orang di sebelah depan yang memegang korek itu menyulut lilin di meja dan menyuluhi
kedua nona yang terbaring di ranjang.
"Ai, benar-benar sepasang juwita yang cantik seperti bidadari. Tak heran kalau kedua
putra pemimpin kita tergila-gila," katanya tertawa.
Tiba-tiba orang yang di belakang itu meniup padam lilin dan berbisik, "Besar sekali
nyalimu. Siapa tahu kemungkinan pemimpin kedua kita berada di luar ruangan. Mengapa
engkau berani nyalakan lilin" Apakah engkau tak sayang jiwamu?"
Tahulah Han Ping dari pembicaraan itu bahwa kedua orang tak dikenal itu disuruh
untuk mengawasi keadaan kedua nona.
"Ah, kalau mereka disuruh jaga disini celakalah, aku tentu tak dapat melakukan
penyaluran darah," diam-diam Han Ping mengeluh.
Orang yang berdiri di belakang itu tertawa, "Kalau engkau suka melihat orang, silahkan
masuk. Aku tetap menjaga di luar saja. Tetapi, awas, jangan berbuat yang tidak patut,
jiwamu bisa amblas!"
Kawannya yang di muka tertawa, "Jangan kuatir, bung. Aku tentu dapat menjaga diri!"
Tetapi kalau melihat gerak-gerikmu, benar-benar aku curiga," kata kawannya di
belakang seraya mencabut golok dan duduk di pinggir ranjang. Ternyata dia tak mau
keluar dan hendak menilik tingkah laku kawannya.
Pada waktu kedua orang itu masuk, Han Ping tak sempat merebahkan diri. Untung ia
cepat mendapat akal. Buru-buru ia bersandar pada tembok dan kepalanya mengulai.
Kedua orang itu hanya mencurahkan perhatian kepada kedua nona. Mereka tak melihat
bahwa Han Ping berada disitu juga. Sekalipun lolos dari perhatian, tetapi Han Ping tetap
setengah mati karena tak dapat bergerak.
Dalam keheningan itu, terlintaslah ia akan ajaran mendiang Hui Gong siansu. Mulai ia
mencari dalam kitab Tat-mo-ih-kin-keng tentu pelajaran membuka jalandarah.
Ia pusatkan seluruh perhatian untuk mengingat semua isi kitab itu. Memang sukar
sekali untuk menelaah tulisan dalam kitab itu. Ia coba merangkainya dengan pelajaran
lisan dari Hui Gong mengenai penggunaan secara praktek dari ilmu dalam kilab sakti itu.
Akhirnya ia memperoleh kemajuan besar dalam menyelami inti sari kitab itu.
"Apakah nona berdua sudah tidur?" sekonyong-konyong di luar ruangan terdengar
orang berseru. Han Ping terkejut. jelas yang berseru itu adalah Ca Giok, sipemuda tampan yang
gagah. Seketika pikirannya terganggu dan kacaulah pemusatannya tadi.
Kedua orang itupun terperanjat sekali. cepat mereka menghunus senjata dan
berjingkat-jingkat menghampiri ke belakang pintu sebuah kamar di luar. Sedang kawannya
bersembunyi di belakang pintu kamar kedua. keduanya siap mengacungkan golok. Begitu
Ca Giok masuk, tentu segera ditabasnya.
Untunglah sebelum timbul gangguan itu, Han Ping sudah berhasil menemukan ilmu
pelajaran tentang membuka jalan darah. Ketika kedua orang itu berada di luar, diapun
lantas kerahkan tenaga dalam untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk itu.
Rupanya Ca Giok cerdik sekali. Ia seperti mendapat firasat bahwa di dalam kamar
kedua nona itu seperti terjadi sesuatu. Pemuda itu tidak jadi masuk dan terus pergi.
Beberapa saat kemudian, Han Ping coba menjulurkan kaki dan tangannya. Ah, ternyata
dapat digerakkan. Jalan darahnya yang tertutuk itu sudah berhasil dilancarkan kembali.
Ketika ia hendak bangun menolong kedua nona, tiba-tiba pintu terbuka.
Orang yang berada di balik pintu, rupanya sudah berpengalaman. Dia tak mau cepatcepat
turun tangan. Golok tetap diacungkan ke atas, siap ditabaskan.
Saat itu Han Ping sudah membiasakan diri dalam ruangan yang gelap. Ia dapat melihat
keadaan dalam ruangan situ. Dilihatnya orang yang di belakang pintu itu, turunkan
goloknya dan mengambil keluar dua batang piau yang ujungnya runcing dan berwarna
biru gelap. Pada saat ia hendak menimpukkan piau itu, tiba-tiba segulung api melayang ke dalam
ruangan. Seketika itu ruangan terang benderang.
Orang yang sembunyi di balik pintu terkejut sekali. Pada saat ia hendak memadamkan
api itu, sesosok bayangan melesat masuk dan secepat kilat melayang ke sudut ruangan.
"Ho, kukira yang berada dalam ruangan ini makhluk ganas yang berkepala tiga
bertangan enam. Kiranya hanya kawanan cinjil beracun. Kalau tahu begitu, tak perlu aku


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuang banyak tenaga begini "." terdengar suara pendatang itu tertawa nyaring.
Han Ping tak asing lagi. "Yang bicara itu adalah Tangan geledek Ca Giok. Ia mendapat
akal. Buru-buru ia mengulai kepala dan bersandar ke tembok lagi.
Ca Giok melangkah tenang-tenang ke dalam ruangan dalam. Setitikpun ia tak
menghiraukan bahaya yang akan diterima dari orang yang bersembunyi di balik pintu.
Orang itu memberi isyarat mata kepada kawannya yang bersembunyi dipintu kedua.
Kemudian ia loncat menyerang Ca Giok.
Ca Giok tetap tenang-tenang saja. Sama sekali ia tak mengacuhkan serangan itu.
Bahkan ia berpaling memandang ke arah pintu kedua.
Pada saat golok hampir mengenai kepalanya, barulah ia mencondong ke kanan lalu
tangan kiri secepat kilat mencengkeram siku lengan kanan penyerang itu.
Tring ". golok terlepas jatuh. Dan sebelum orang itu sempat menjerit, Ca Giok sudah
menyusuli sebuah tendangan ke perut orang. Orang itu rubuh. Mulut, hidung, mata dan
telinganya mengeluarkan darah. nyawanya melayang ".
Han Ping sempat melirik apa yang terjadi saat itu. Melihat keganasan Ca Giok
membunuh orang, diam-diam ia merasa ngeri. Seorang pemuda cakap yang tampaknya
halus pekerti seperti seorang sasterawan ternyata buas dan ganas. Demikian pikirnya.
Ca Giok melintangkan mayat orang itu ke muka sebagai perisai, lalu loncat menyerbu
ke dalam pintu kedua.
Rupanya orang itupun tergetar menyaksikan kematian kawannya. Begitu Ca Giok tiba di
ambang pintu, baru dia taburkan kedua piau beracun itu.
Ca Giok tampaknya tak mengacuhkan. Tetapi sesungguhnya diam-diam dia sudah siap.
Begitu piau melayang, Ca Giokpun serempak menyongsongkan mayat orang tadi dan
tangan kanannya balas menghantam.
Bluk!, terdengar orang itu terkapar rubuh. Dadanya termakan pukulan lwekang Pehpohsin-kun atau Pukulan sakti seratus langkah dari keluarga Ca.
Ca Giok menyulut korek dan melangkah masuk. Lepaskan perisai mayat, ia melangkah
ke meja dan menyalakan lilin. Ruangan terang benderang. Lebih dulu ia mengangkat
kedua mayat itu ke sudut ruang kemudian menghampiri ke tempat tidur kedua nona.
Setelah memeriksa, ia gelengkan kepala. Terpaksa ia mengurut bagian jalan darah mereka
yang tertusuk lalu menamparnya perlahan-lahan. Kedua nona itu menguak napas lalu
duduk. Ca Giok mundur dan berdiri di samping ranjang.
Ting Ling berkeliaran memandang keadaan ruangan lalu turun dari pembaringan.
Sambil mengemasi rambutnya, ia tertawa, "Karena ketololan, Kami berdua saudara
termakan serangan gelap musuh. Terima kasih atas pertolongan saudara Ca," ia memberi
hormat kepada pemuda itu.
Ca Giok tertawa, "Ketiga manusia beracun dari Lembah Seribu racun itu, yang kesatu
dan kedua jarang muncul keluar, yang rnencelakai nona berdua tentulah Manusia beracun
nomor tiga yakni Leng Kong Ih!"
"Waktu mencelakai kami, dia mengenakan kerudung muka sehingga tak tampak
wajahnya. Sungguh memalukan sekali, walaupun ditutuk jalan darah kami tetapi kami tak
sempat mengetahui Manusia beracun yang nomor berapakah yang rnencelakai kami itu?"
Ting Ling tersenyum.
Ting Hong yang sudah sadar, tak tertarik dengan pembicaraan itu. Diam-diam ia melirik
ke arah Han Ping yang rebah bersandar pada tembok.
Diam-diam Ting Lingpun menaruh perhatian atas keselamatan pemuda itu. Ia heran
mengapa Han Ping begitu mudah ditutuk jalan darahnya. Padahal menilik kepandaiannya,
walaupun pemuda itu tak dapat mengalahkan beberapa tokoh tua dari Lembah Seribu
racun, tetapi paling tidak dia tentu dapat menempur mereka sampai 100an jurus.
Walaupun tak menang tetapi masih dapat membela diri. Apalagi orang dari Lembah Seribu
racun itu lebih dulu menutuk jalan darah kedua nona sehingga tentulah Han Ping
mempunyai kesempatan untuk berjaga-jaga.
Memang sinona baju hitam Ting Ling itu cermat sekali. Secepat ditolong Ca Giok, ia
sudah memperhatikan keadaan dalam ruangan situ. Ternyata tiada bekas-bekas terjadinya
suatu pertempuran.
"Ah, mengingat tokoh Manusia beracun dari Lembah Seribu racun itu tubuhnya
mengandung racun, kemungkinan pemuda itu tentu lebih dahulu termakan senjata
beracun mereka," akhirnya nona itu menarik kesimpulan.
Ting Ling cepat berpikir dan cepat pula bertindak. Dengan tenang ia menghampiri ke
tempat Han Ping. Sebelumnya lebih dahulu ia berpaling kepada Ca Giok dan berkata,
"Orang Lembah Seribu racun itu memang ganas benar. Sekalipun terhadap seorang sais
yang tak tahu apa-apa, merekapun tak mau memberi kelonggaran."
Habis berkata ia lalu lekatkan tangannya ke dada Han Ping. Maksudnya untuk
memeriksa denyut jantung pemuda itu. Tetapi di luar dugaan begitu tangannya
menyentuh dada, Han Ping segera menguak, menggeliat dan berbangkit.
Ting Ling terkesiap. Tetapi cepat nona itu menyadari bahwa pemuda itu sebenarnya
hanya berpura-pura pingsan. Ia kerutkan dahi, bersenyum memandang Han Ping lalu
berputar tubuh.
Oleh karena teraling oleh tubuh sinona, Ca Giok tak dapat melihat jelas apa yang telah
terjadi. Ia mengira kalau nona itu memang dapat membuka jalan darah Han Ping dengan
cepat. "Aha, ilmu kepandaian dari Lembah Raja setan benar-benar luar biasa. Cara nona
membuka jalan darah orang itu dalam waktu yang singkat, benar-benar sangat
mengagumkan sekali," Ca Giok tertawa memuji.
Memang Ca Giok sudah tahu bahwa Han Ping tentulah bukan sais biasa. Tetapi ia tetap
menduga salah. Karena pada sangkanya, Han Ping tentulah salah seorang anak buah
Lembah Raja setan yang menyaru jadi sais.
"Ah, saudara Ca kelewat menyanjung," Ting Ling tertawa hambar, "Siapakah orang
persilatan yang tak mengetahui kebesaran nama dari It-kiong, Ji-kok dan Sam-tay-poh.
Bagaimanapun juga, kepandaian kami berdua tetap kalah jauh dengan saudara Ca!"
"Ai, nona kelewat merendah diri," sahut Ca Giok, "dalam 13 propinsi daerah KanglamKangpak, siapakah yang tak kenal akan nama besar dari kedua bersaudara gunung Hunbong?"
Karena melihat Han Ping tak kurang suatu apa, legalah perasaan Ting Hong. Dara itu
segera menukas pembicaraan Ca Giok, "Menurut tata susila dunia persilatan, kami harus
membalas budi pertolongan saudara Ca. Harap saudara Ca segera mengatakan, asal kami
mampu tentu akan melakukan perintah saudara dengan sepenuh tenaga.
Ca Giok memandang sejenak kepada Han Ping, Ia hendak mengucap sesuatu tetapi tak
jadi. Ting Ling yang cerdas segera dapat mengetahui maksud Ca Giok, serunya, "Sais itu
sebenarnya penyaruan dari seorang murid Lembah kami. Harap saudara Ca jangan raguragu,
silahkan mengatakan!"
Ca Giok tersenyum, "Maaf, aku hendak mohon tanya tentang keputusan usulku
semalam itu. Adakah nona bersedia kerjasama dengan pihakku?"
"Pihak Lembah Seribu racun sudah jelas memusuhi kami. Dalam keadaan seperti ini,
memang tiada lain pilihan lagi. Kalau saudara Ca sungguh bermaksud begitu, kami tentu
akan menyambut dengan gembira," sahut Ting Ling.
"Sudah tentu tawaran itu dengan itikad yang tulus. Berapakah anak buah yang nona
bawa?" Ting Ling tersenyum, "Terus terang sudah 3 bulan kami pergi dari Lembah Raja setan.
Dan tiga hari yang lalu, aku mendapat surat dari ayah supaya ke Lokyang membantu
pamanku mengurus suatu pekerjaan penting. Sayang dalam surat yang dibawa oleh
seorang anak buah kami itu, ayah tak menceritakan sifat pekerjaan penting itu. Kamipun
bergegas menuju ke kota ini tetapi tampaknya paman belum datang. Mungkin di tengah
perjalanan mempunyai lain urusan. Tetapi kupercaya paman tentu tak berani melalaikan
tugas. Kalau tidak hari ini tentu besok pagi dia pasti datang."
Nona itu memang cerdik. Ia kenal akan pribadi Ca Giok yang berotak cerdas dan
cermat. Jika memberi tahu dengan terus terang, tentu takkan dipercaya maka ia
merangkai sebuah cerita lain yang dapat diterima.
Rupanya Ca Giok percaya.
"Kemungkinan Ting locianpwe sudah datang tetapi karena sedang menyelidiki urusan
itu maka tak sempat menemui nona."
"Mudah-mudahan begitulah agar aku jangan kehilangan pimpinan," kata Ting Ling.
Ca Giok merenung. Sesaat kemudian ia tertawa, "Memang hal itu aku sendiripun
kehilangan paham. Jangankah nona yang tak diberitahukan oleh ayah nona, sedang aku
sendiri yang hendak ikut menyelidiki urusan itu, pun masih bingung!"
Mendengar itu, sidara Ting Hong tak dapat menahan diri dan bertanyalah ia, "Menilik
tokoh-tokoh semacam Manusia beracun dan Pengemis sakti Cong To juga muncul sendiri
di kota ini, urusan itu tentulah suatu peristiwa besar!"
Ca Giok tertawa "Malah bukan terbatas hanya Pengemis sakti Cong To dan Manusia
beracun saja, bahkan semua tokoh-tokoh ternama dalam dunia persilatan berbondongbondong
datang kemari. Pendek kata, setiap orang persilatan yang mendengar berita,
tentu akan ikut datang kemari."
"Hm, seorang anak perempuan yang sudah dewasa, mengapa bicara masih tak
menurut atur an!" Ting Ling mendamprat adiknya Ia memberi isyarat mata kepada Ting
Hong dan pura-pura marah.
Ca Giok tersenyum, "Ah, janganlah nona memarahi adik nona. Memang jika aku
menjadi adik nona, pun tentu akan menanyakan juga peristiwa itu. Apalagi peristiwa itu
sudah menjadi rahasia umum. Entah apakah ayah nona pernah menceritakan tentang diri
tokoh It Ki dari Laut Selatan yang mengacau pertempuran para tokoh-tokoh persilatan di
gunung Heng-san?"
"Ka1au tak salah memang ayah pernah bercerita tentang hal itu. Tetapi mempunyai
hubungan apakah hal itu dengan peristiwa di Lokyang ini?"
"Dunia persiatan walaupun terbagi menjadi beberapa partai persilatan dan masingmasing
mempunyai ilmu pelajaran dan gaya keindahan sendiri-sendiri, tetapi dalam
golongan Putih, partai Siau-lim-si yang dianggap orang paling terkemuka sendiri. Partai
Siau-lim-si memiliki 72 macam ilmu kepandaian istimewa. Tetapi selama itu belum pernah
terdapat tokoh Siau-lim-si yang mampu menguasai ke 72 ilmu kepandaian itu.
Duaratus tahun yang lalu, paderi Hwat Seng taysu yang dianggap sebagai bintang
cemerlang gereja Siau-lim-si, pun hanya mampu menguasai 49 macam ilmu kepandaian
saja. Dan itu pun sudah dianggap sebagai satu-satunya murid Tat mo sucou yang paling
istimewa "."
"Benar, memang ayah sering menceritakan tentang paderi sakti itu?" Ting Ling tertawa,
"tetapi pada jaman ini Siau-lim-si muncul lagi seorang paderi Hui Gong yang luar biasa.
Enam puluh tahun yang lalu pada waktu ia masih mondar mandir di dunia persilatan,
tokoh-tokoh dunia Rimba Hijau (penyamun) sama pontang panting menyembunyikan diri.
Tetapi aneh sekali, paderi hebat itu tak lama kemudian melenyapkan diri dan tak ketahuan
alas rimbanya. Pernahkah saudara Ca dengar peristiwa itu?"
Mendapat pertanyaan itu, Ca Giok hanya tersenyum. Ujarnya "Pengetahuan nona
ternyata luas sekali. Ya, memang ayahku pernah bercerita. Tetapi karena kemunculan
paderi sakti di dunia persilatan itu hanya singkat sekali waktunya, walaupun
kemahsyurannya berkumandang memenuhi seluruh penjuru dunia persilatan, tetapi
sayang tak banyak meninggalkan kesan-kesan peristiwa yang dilakukan. Maka saat ini
hanya sedikit sekali orang yang tahu tentang diri paderi luar biasa itu. Masih kalah dengan
Hwat Seng taysu yang namanya tetap harum sampai dua ratusan tahun lamany a "."
"Ah, jika Hui Gong taysu mempunyai kesempatan 10 tahun berkelana saja, mungkin
kemahsyuran namanya tak kalah dengan Hwat Seng taysu. Sayang paderi sakti itu telah
?" karena tak sabar mendengar mendiang Hui Gong dipandang rendah, Han Ping cepat
menyelutuk. Sejenak Ca Giok memandang ke arah anak muda itu lalu bertanya pada Ting Ling
apakah Han Ping itu juga anak murid ayah Ting Ling.
Nona yang cerdik itu cepat menangkap kata-kata Ca Giok. Pemuda itu dengan halus
mendamprat Han Ping. Bahwa sebagai seorang murid biasa, tak patut turut campur bicara
dengan orang yang tingkatnya lebih atas.
Sejenak merenung. Ting Ling memberi jawaban, "Ah, saudara Ca memang tajam sekali.
Benar, memang dia adalah murid ayah yang paling disayang. Sebenarnya menurut
tingkatan, kami berdua harus rnenyebutnya sebagai suheng."
Mendengar Han Ping seorang murid kesayangan dari pemimpin Lembah Raja setan,
buru-buru Ca Giok memberi hormat, "Maaf, aku telah berlaku kurang hormat kepada
saudara!" Sebenarnya mengkal sekali Han Ping kepada Ting Ling. Tetapi karena keadaan
mendesak, terpaksa ia menahan diri. Namun wajahnya tetap mengunjuk kurang senang
sehingga ia tak balas memberi hormat kepada Ca Giok dan hanya rnengucap beberapa
patah kata yang bernada dingin "Saudara Ca hanya mendengar dari sumber berita dunia
persilatan saja sehingga tak mengetahui pribadi Hui Gong taysu yang sesungguhnya.
Ketahuilah, sejak sepeninggal Tat Mo cousu, hanya paderi Hui Gong yang dianggap
sebagai penggantinya. Paderi itu benar-benar memiliki bakat yang luar biasa. Harap
jangan sernbarangan meremehkannya!"
Mendengar kata-kata kasar dari Han Ping, meluaplah kemarahan Ca Giok. Tetapi
sebagai seorang yang penuh toleransi, walaupun marah, wajahnya tetap tak berobah.
"Mohon tanya nama saudara yang mulia?" katanya dengan tertawa hambar.
"Ah, namaku yang rendah adalah Ih jin," sahut Han Ping.
Tiba-tiba Ca Giok melangkah maju dua tindak dan menjabat tangan Han Ping, "Ah,
sungguh beruntung sekali dapat berkenalan dengan saudara."
Tampaknya Ca Giok menjabat dengan akrab. Tetapi sesungguhnya dia kerahkan tenaga
untuk menguji orang.
Han Ping sudah siap ketika orang melangkah ke hadapannya. Dia kerahkan lwekang
untuk menyambut. Kedua jago muda itu mengadu kesaktian tenaga dalam masingmasing.
Dan berobahlah wajah Ca Giok seketika.
"Lembah Raja setan bersahabat dengan Ca-ke-poh. Selanjutnya harap saudara Ih jin
suka sering-sering memberi pelajaran," kata jago muda dari Ca-ke-poh itu dengan
tersenyum seraya menarik tangannya dan mundur dua langkah.
"Hebat benar kepandaian orang ini. Mungkin lebih tinggi dari aku. Ah, kemahsyuran
nama Lembah Raja setan benar-benar bukan nama kosong," pikirnya.
Tiba-tiba terlintas lain pemikiran dalam benaknya. Jika benar sakti, mengapa tadi Han
Ping begitu mudah dapat ditutuk oleh orang Lembah Seribu racun" Apakah kepandaian
dari tokoh Manusia beracun itu lebih unggul dari Han Ping"
Ia terlongong-longong karena tak dapat memecahkan keanehan itu.
Kedua nona itu banyak pengalamannya. Cepat mereka dapat mengetahui bahwa dalam
adu tenaga dalam tadi, Ca Gioklah yang menderita kerugian.
Ting Hong tersenyum, "Tentang tokoh It Ki dari Laut Selatan yang mengacau
pertemuan para tokoh-tokoh persilatan di gunung Heng-san agaknya mempunyai
hubungan dengan kemunculan para tokoh-tokoh persilatan di kota Lokyang saat ini.
Maukah saudara Ca memberitahukan kepada kami?"
Ca Giok menghela napas perlahan.
"Pertemuan para tokoh-tokoh di gunung Heng-san pada 10 tahun yang lalu benarbenar
merupakan peristiwa besar dalam dunia persilatan. Selain dihadiri oleh tokoh-tokoh
dari pihak It-kiong, Ji-kok dan Sam-poh, pun Ksatria tunggal dari Sin-ciu yakni Ih Thian
heng juga datang. Para pemimpin dan tokoh terkemuka dalam golongan Hitam dan Putih,
sama datang sendiri menghadiri. Karena tujuan pertemuan yang diselenggarakan oleh Ih
Thian heng itu tak lain adalah untuk meredakan dendam permusuhan yang terjadi dalam
golongan Hitam dan Putih. Juga pimpinan partai Siau-lim-si dan Bu-tong-pay datang
menghadiri. Memang dalam hal itu nama Ih Thian heng mempunyai pengaruh besar akan
berhasilnya pertemuan besar itu. Tetapi yang penting, tujuan pertemuan itu benar-benar
akan merobah suasana dunia persilatan yang selalu kacau karena adanya pertentangan
antara golongan Hitam dan Putih yang tak berkeputusan itu "."
Ca Giok berhenti sejenak lalu melanjutkan.
"Keputusan pertemuan itu amat penting sekali bagi dunia persilatan. Jika kedua
golongan itu tak dapat didamaikan, tiada lain jalan kecuali akan terjadi suatu pertemuan
yang menentukan siapakah yang lebih berhak menancapkan kaki dalam dunia persilatan.
Pada saat pertemuan berjalan belum lama, tiba-tiba muncullah seorang tua bertubuh
kurus dan rambutnya putih bersama seorang dara kecil. Ia mengatakan datang dari Laut
Selatan. Di hadapan beratus-ratus tokoh persilatan, kakek itu berani memberi penilaian
rendah terhadap ilmu kepandaian silat dari tionggoan. Bermula para hadirin mengira kakek
itu seorang sinting. Mengingat kedudukan masing-masing sebagai ketua partai atau tokohtokoh
yang ternama, hadirin itu tak mau meladeni si kakek. Tetapi setelah mendengar
kata-kata lebih lanjut dari kakek berambut putih itu, seketika heninglah suasana
pertemuan. Dalam penilaiannya terhadap ilmu silat dunia Tionggoan, kakek itu telah
memberi tanggapan yang tajam dan tandas sekali.
Beberapa saat kemudian kakek itu mengeluarkan sebuah kitab bersampul kuning.
Diacungkannya kitab itu ke atas lalu tertawa, "Dalam kitab ini, terdapat pelajaran untuk
memecahkan semua ilmu silat dalam dunia persilatan Tionggoan. Begitu pula terdapat
pelajaran lwekang Bu-siang-lwekang-sim-hwat dari perguruan Laut Selatan. Barang siapa
yang hadir disini mampu menerima 10 jurus seranganku, akan kuhaturkan kitab ini
kepadanya. "Telah kuterangkan bahwa yang hadir dalam pertemuan besar itu kebanyakan adalah
tokoh-tokoh sakti pada masa itu "."
Berkata sampai disitu, tiba-tiba Ca Giok mendengar suara dengusan tertahan dan suara
itu seperti masuk ke dalam ruang. Sedemikian halus suara itu sehingga sukar didengar.
Ca Giok berhenti bercerita lalu mengangkat salah sebuah mayat. Ting Lingpun cepat
meniup padam lilin. Ruangan gelap seketika.
Han Ping dan Ting Hong serempak menyelinap ke sudut ruangan. Ketika berbentur
tubuh, Ting Hong terkejut. Didapatinya tubuh Han Ping agak gemetar.
"Adakah dia terluka waktu mengadu lwekang dengan Ca Giok tadi?" diam-diam dara itu
cemas. Buru-buru dara itu mencekal tangan Han Ping. Didapatinya tangan pemuda itu agak
dingin. Ting Hong makin terkejut. Hampir ia menjerit.
Memang selain tubuh gemetar, tangan Han Pingpun terasa dingin. Untunglah dara itu
banyak pengalaman. Dia masih dapat menguasai keterkejutannya.
Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Diletakkan tangan pemuda yang masih dicekalnya itu ke
tangan Ting Ling. Juga Ting Ling tak kurang kejutnya. Buru-buru ia mengisar ke samping


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda itu. Han Ping terkejut karena tangannya dilekat Ting Hong ke tangan Ting Ling. Buru-buru
ia menarik tangannya dan menyelinap ke samping Ca Giok.
Beberapa saat kemudian, keempat anak muda itu sudah dapat melihat keadaan dalam
ruangan yang gelap itu.
Ting Ling kemalu-maluan karena Han Ping lolos ke samping Ca Giok. Namun nona itu
tetap tenang. "Menilik gerakannya masih begitu gesit, rupanya dia tak menderita luka apa-apa. Dan
tadi jelas dalam adu lwekang dengan Ca Giok, dia lebih unggul. Kalau memang terluka
tentu tak dapat bertahan lama. Ah, mungkin karena lain sebab."
Tiba-tiba di luar jendela terdengar suara orang tertawa dingin, "Mengingat
perikemanusiaan, aku tak mau bertindak ganas. Lekas nyalakan lilin dan bukakan pintu
untukku. Asal kalian tak melukai orang suruhanku itu, dengan memandang muka si Setan
tua, aku takkan mengganggu kalian berdua budak perempuan. Tetapi jika kalian berani
menggunakan siasat kepadaku, hm, jangan salahkan aku seorang kejam!"
Jago-jago muda yang berada dalam ruangan itu, memiliki indera pendengaran yang
tajam. Mereka benar-benar heran mengapa mereka sama sekali tak mendengar
kedatangan orang di luar jendela itu.
Sekonyong-konyong Ca Giok ayunkan tangan kanan. Sebuah jarum perak sehalus
rambut, meluncur keluar jendela.
Senjata rahasia yang lembut itu sama sekali tak mengeluarkan suara. Apalagi pada
malam hari yang gelap. Tentu sukar dihindari. Memang senjata gelap jarum Sengat tawon
dari keluarga Ca termahsyur di seluruh dunia. Sebagai putra keluarga Ca, sudah tentu Ca
Giok mahir dalam ilmu timpukan jarum itu. Sekaligus ia mampu menimpukkan sampai 20
batang jarum. Pula ia dapat menimpukkan dengan berturut-turut.
Saat itu karena tangan kiri mencekal mayat, ia hanya sebelah tangan untuk menimpuk.
Tetapi secepat taburan pertama dilepaskan, Ia sudah merogoh lagi segenggam jarum.
Tetapi di luar jendela tetap sunyi senyap. Beberapa saat kemudian terdengar orang tadi
berseru sinis, "Kukira kalian berdua dapat membuka jalan darah sendiri, kiranya ditolong
orang lain. Jarum Sengat tawon keluarga Ca memang hebat sekali tetapi mana mampu
melukai diriku"."
Tiba-tiba suara orang itu berhenti. Terdengar angin mendesus perlahan dan rupanya
orang itu sudah pergi dengan mendadak.
Saat itu Ting Ling, Ting Hong dan Han Ping sama berdiri merapat pada tembok. Sedang
Ca Giok melindungi dirinya dengan perisai mayat dan tegak di tengah ruangan. Keempat
jago muda itu siap menghadapi segala kemungkinan.
Kira-kira sepeminum teh lamanya di luar jendela tetap tak terdengar suara apa-apa.
Karena tak sabar lagi, Han Ping melesat ke muka jendela dan merapat pada tembok.
Ketika ia hendak ulurkan tangan membuka daun jendela, tiba-tiba Ca Giok berseru
mencegahnya, "Saudara Ih, dunia persilatan penuh tipu muslihat, awas, jaga serangan
mendadak dari musuh!"
Sejenak Ca Giok berhenti lalu sengaja berseru lagi dengan nyaring, "Ca Giok dari Ca-kepoh
berada disini. Siapakah kojin yang berada di luar jendela itu" Harap niemberitahukan
narnanya!"
Sesungguhnya Ca Giok sudah menduga bahwa yang berada di luar itu tentu tokohtokoh
Manusia beracun dari Lembah Seribu racun. Tetapi pemimpin yang nomor berapa,
Ca Giok tak dapat meuduga. Maka sengaja ia bertanya demikian. Ia memperhitungkan
ketiga Manusia racun dari Lembah Seribu racun itu adalah tokoh-tokoh ternama. Mereka
tentu malu kalau tak mau memegang kelaziman dunia persilatan dan tentu menjawab.
Tetapi ternyata perhitungan jago muda itu melesat. di luar tetap tiada penyahutan
suatu apa. Melihat itu Han Ping tak dapat menahan diri. Setelah memandang kepada ketiga
kawannya, sekonyong-konyong ia mendorong daun jendela. Sambil melindungi dada
dengan tangan kiri, ia melayang keluar.
Ah, ternyata di luar tiada terdapat apa-apa. Hening lelap di empat penjuru.
Karena menguatirkan keselamatan Han Ping kedua nona itupun menyusul loncat keluar,
begitu pula Ca Giok. Setelah melepaskan perisai mayat, ia loncat menyusul. Begitu berada
di luar, ia terus loncat lagi ke atas rumah dan memandang ke sekeliling penjuru.
"Aneh, tak mungkin si tua beracun itu ketakutan melarikan diri "." kata Ting Hong.
Tiba-tiba Ca Giok bertepuk tangan tiga kali. Dari empat penjuru berloncatan keluar tiga
lelaki bersenjata golok. Mereka memberi hormat kepada Ca Giok.
Tetapi Ca Giok tak sempat bicara kepada mereka. Ia melayang turun keluar halaman
lalu loncat lagi ke atas rumah sambil membawa sesosok tubuh orang dan melayang turun
ke dalam ruangan tengah. Ketiga lelaki tadi cepat mengikuti.
Diam-diam Han Ping memuji kesaktian Ca Giok.
"Apakah masih dapat ditolong?" tanya Ting Ling.
Ca Giok tertawa hambar, "Aku menghantam mati dua anak buah mereka. Dia
membunuh seorang anak buahku. Dua ditukar satu, masih untung."
Ia menyerahkan mayat itu kepada salah seorang dari ketiga lelaki tadi, ujarnya,
"Kemanakah larinya pembunuh itu?"
Karena tubuh mayat itu masih hangat, Ca Giok menduga kematian anak buahnya itu
tentu belum berapa lama.
Salah seorang dari ketiga anak buahnya itu menyahut, "Pembunuh itu gesit sekali.
Mengenakan jubah panjang, kepala dan mukanya memakai kain selubung hitam dan
bertubuh pendek sekali ".
"Kutanyakan kemanakah larinya!" tukas Ca Giok.
"Karena Sau Poh-cu pesan kami tak boleh bergerak sebelum mendapat perintah maka
kamipun tak berani gegabah mengejarnya. Bermula orang itu mendekam di luar jendela
tetapi entah apa sebabnya mendadak loncat ke atas rumah dan melarikan diri."
Anak buah Ca-ke-poh menyebut Ca Giok dengan panggilan Sau Poh-cu atau tuan
muda. Dan memanggil ayahnya Ca Giok dengan sebutan Poh-cu atau pemimpin marga Cakepoh. Anak buah yang berdiri di sebelah kanan, menjawab, "Geiakan orang itu sepesat angin.
Kalau tak salah lihat, dia menuju ke arah barat laut!"
Ca Giok tertawa seram. Belum mengucap apa-apa, ketiga anak buah itu ketakutan
setengah mati dan tersipu-sipu berlutut, "Memang kami tak berguna sehingga melalaikan
perintah sau-poh-cu. Kami bersedia menerima hukuman!"
Han Ping terkejut melihat kewibawaan Ca Giok terhadap anak buahnya. Tetapi bagi
Ting Ling dan Ting Hong, hal itu tak mengherankan. Memang lima golongan yang
termahsyur di dunia persilatan yakni It-kiong, Ji-kok dan Sam-poh itu mempunyai
peraturan yang keras sekali. Setiap anak buahnya yang melakukan kesalahan tentu
dihukum mati. Rupanya Ca Giok memang sengaja hendak memamerkan kewibawaan Ca-ke-poh di
hadapan Han Ping dan kedua nona itu.
"Hm, walaupun kalian bertiga memiliki enam buah mata tetapi tak mampu melihat arah
lolosnya pembunuh itu. Menurut peraturan, kalian harus dihukum mati. Tetapi mengingat
saat ini tenaga kalian masih dibutuhkan, maka untuk sementara kalian hanya menerima
hukuman potong sebuah jari tangan. Kelak akan dipertimbangkan lagi dengan jasa-jasa
yang kalian lakukan!"
Bagaikan menerima titah dari raja, ketiga lelaki itu ulurkan tangan kiri dan masingmasing
lalu memapas sebuah jarinya sendiri.
Karena baru pertama kali itu menyaksikan cara hukuman yang begitu kejam, Han Ping
merasa ngeri juga. Tidak demikian dengan kedua nona. Mereka hanya ganda tertawa saja.
Setelah hukuman dilaksanakan, Ca Giok berpaling ke arah kedua nona dan Han Ping,
serunya, "Ah, sungguh memalukan sekali orang-orangku itu. Terpaksa kuberi hukuman!"
Setelah itu ia berpaling kepada anak buahnya, "Lekas bawa kedua mayat musuh dan
kawanmu ke hutan dan kuburlah mereka. Setelah itu kalian tunggu kedatanganku di hotel.
Percuma kalian berada disini!"
Dengan laku hormat sekali ketiga lelaki itu menghaturkan terima kasih atas kemurahan
hati tuan muda mereka. Mereka lalu mengerjakan perintah.
Setelah ketiga orang itu pergi, Ca Giok berkata pula kepada Ting Ling bertiga,
"Sebenarnya hendak kututurkan peristiwa dalam kota Lokyang ini kepada nona bertiga.
Agar nona bertiga mengetahui dan dapat memberi rencana tindakan yang akan kita
lakukan. Tetapi ternyata muncul gangguan tadi. Menurut hematku, pendatang gelap itu
tentulah salah satu dari ketiga tokoh Manusia racun dari Lembah Seribu racun. Tetapi
anehnya, mengapa dia mendadak ngacir pergi" Tentulah dia melihat seseorang yang
penting. Kemungkinan orang yang sedang dicari oleh sekalian tokoh-tokoh ke Lokyang itu
sendiri! Harap nona bertiga suka ikut mengejar pembunuh itu. Lain waktu, tentu akan
kuceritakan lagi sejelasnya. Walaupun berjumpa dengan Manusia racun tetapi kita
berempat tentu dapat menghadapinya!"
"Baiklah," kata Ting Ling seraya mendahului loncat ke atas rumah. Ting Hong, Han Ping
dan Ca Giok segera menyusul. Di atas wuwungan rumah mereka memandang ke seluruh
penjuru tetapi tak melihat sesuatu.
"Kita menuju ke barat laut," kata Ting Ling.
"Ah, kemungkinan anak buahku itu salah. Lebih baik kita kembali saja," ujar Ca Giok.
"Tetapi lebih baik kita coba dulu," kata Ting Ling.
Sejak berada di atas wuwungan, Han Ping memandang cermat keempat penjuru. Tibatiba
di sebelah muka beberapa tombak jauhnya, sesosok tubuh melambung ke atas
sampai dua tombak tingginya lalu meluncur ke arah timur laut dan lenyap dalam
kegelapan malam.
Han Ping terkejut "Huh, hebat sekali orang iiu. Dunia persilatan benar-benar penuh
dengan orang-orang berilmu."
"Ketiga Manusia racun itu sakti sekali. Kemungkinan kita tak dapat mengejar mereka.
Lebih baik kita mengerjakan lain urusan yang penting ialah mencari "."
"Ada orang datang, lekas sembunyikan diri," tiba-tiba Han Ping menukas seraya
mendekam dan sembunyi di balik wuwungan rumah.
Jika kedua nona itu cepat mengikuti tindakan Han Ping, adalah Ca Giok yang agak
kurang percaya. Masakan Han Ping lebih tajam matanya dari dirinya. Diam-diam ia
memperhatikan sekeliling penjuru. Ia terkejut ketika melihat dua sosok tubuh meluncur
cepat dan pada lain kejap sudah berada di atas rumah sebelah muka, lalu loncat turun.
Diam-diam Ca Giok malu dalam hati karena kalah tajam dengan Han Ping. Ia mengajak
Han Ping mengejar dan minta kedua nona itu untuk menjaga di belakang.
Ca Giok meloncat ke udara, berjumpalitan dengan gaya yang indah dan melayang turun
ke bawah. Diam-diam Han Ping memuji ilmu kepandaian pemuda itu. Iapun menyusul
dengan gaya lain. Tubuhnya dalam posisi rebah melambung ke udara, bergeliatan dan
berputar-putar melalui sebuah rumah lalu melayang turun.
Melihat kedua pemuda itu mengunjuk kepandaian masing-masing, Ting Hong memberi
penilaian, "Ilmu kepandaian Ca Giok memang hebat tetapi gayanya hanya biasa. Tetapi
gerakan Han Ping itu benar-benar jarang terdapat. Entah dari perguruan manakah ilmu
ginkangnya itu!"
"Memang menurut wawasanku selama ini, ilmu kepandaian pemuda itu sukar diukur
tingkatnya. Misalnya ketika bertempur dengan si Bungkuk, bermula permainannya kacau
tetapi makin lama malah makin mantap, hebat dan gagah. Seolah-olah dia memiliki
sumber tenaga dalam yang tak pernah habis "." kata Ting Ling.
"Adik Hong, kulihat selama ini engkau menaruh hati pada pemuda itu tetapi dia tak
membalas perhatianmu. Dalam hal ini engkau harus lebih berhati-hati agar jangan kecewa
sendiri." Muka dara itu merah, bantahnya, "Taci biasanya keras dan angkuh. Selamanya taci tak
mau dirugikan orang, tetapi mengapa "."
Sesungguhnya dara Ting Hong hendak bertanya mengapa tacinya mandah saja
ditampar pipinya oleh Han Ping. Tetapi Ting Hong sungkan bertanya dan hentikan katakatanya.
Ting Ling tertawa, "Nyalimu sekarang bertambah besar sehingga berani adu mulut
dengan aku. Aku hanya memberi nasehat tetapi jika engkau tak mau mendengar, kelak
segala akibat harus engkau pikul sendiri."
"Ah, masakan aku berani menentang taci. Hanya kulihat Han Ping itu seorang pemuda
baik. Sekalipun kepandaiannya sukar diukur, tetapi hatinya baik sekali. Tidak seperti
pemuda yang berhati culas."
Ting Ling cibirkan bibir, ucapnya, "Aku tak mengatakan dia pemuda licin tetapi kulihat
hatimu memang sudah limbung!"
Kembali p"ipi dara itu memerah. Ditatapnya Ting Ling, "Sesungguhnya ada sesuatu
yang kukandung dalam hati. Entah apakah layak hal itu kutanyakan pada taci."
"Ah, bukankah kita ini saudara sekandung" Silahkan engkau hendak bertanya apa
kepadaku!"
Ting Hong berhati baik. Ia selalu mendengar kata dan taat kepada tacinya.
Ting Hong merenung sebentar lalu susupkan kepalanya ke dada tacinya, "Jika pemuda
itu keras kepala dan tak mau berhubungan dengan kita, bagaimanakah daya taci untuk
menghadapinya?"
Ting Ling terkesiap. Ia menengadah memandang cakrawala, ujarnya, "Hanya ada dua
garis, sahabat atau musuh. Jika tak mau berhubungan dengan kita, tiada lain jalan kecuali
harus menghancurkannya!"
Tersirap darah Ting Hong mendengar kata-kata tacinya itu. Tetapi ia pura-pura
mengulas senyum, katanya, "Cara itu memang baik agar jangan dimanfaatkan orang lain!"
"Adik Hong, apakah kata-katamu itu benar-benar keluar dari sanubarimu?" Ting Ling
tersenyum lirih dan sebelum Ting Hong menjawab, Ting Ling sudah loncat ke atas
wuwungan. Ting Hong tahu bahwa tacinya itu cerdas. Setiap memperhitungkan sesuatu tentu
tepat. Dara itu tak mau berbantah. Percuma saja dan lebih banyak bahayanya dari pada
gunanya. Sekilas dara itu mendapat pikiran. Diam-diam ia memutuskan siasat, "Aku takkan
membicarakan hal itu lagi kepadanya. Biarlah taci tak dapat meraba keadaan kemudian
diam-diam aku akan berusaha untuk memberi kisikan kepada pemuda itu supaya waspada
"." Setelah menenangkan pikiran, Ting Hong segera menyusul tacinya.
Dilihatnya Han Ping bersembunyi di balik sebatang pohon dan tengah memandang ke
arah rumah di sebelah muka. Sementara Ca Giok bersembunyi di belakang jambangan
bunga, memandang ke arah rumah itu juga.
Ternyata rumah itu juga merupakan sebuah bangunan yang terpisah sendiri,
menyerupai sebuah paviliun dari hotel Megah Ria. Selain dikelilingi pohon-pohon, pun
penuh dihias dengan jambangan bunga seruni.
Kamar samping dari gedung paviliun itu, masih terang dengan penerangan lilin. Dari
kaca jendela tampak bayangan dari kedua sosok tubuh tadi. Bayangan itu jelas
menunjukkan perawakan mereka. Si Bungkuk dan si Kate yang tempo hari bertempur
dengan Han Ping itu.
Ting Ling yang melihat kedua orang itu, diam-diam terkejut, "Kedua orang itu kalau tak
salah adalah tokoh-tokoh Bungkuk dan Kate yang termahsyur dalam dunia persilatan.
Tetapi mereka sudah 10an tahun tak pernah keluar. Apakah mereka juga akan ikut dalam
ramai-ramai di Lokyang ini?"
Tampak kedua orang Kate dan Bungkuk itu menjura lalu berdiri tegak seperti menerima
titah. Sayang karena jendela tertutup rapat, Ting Ling dan kawan-kawannya tak dapat
mendengar apa yang dibicarakan mereka itu.
Tiba-tiba penerangan dalam rumah itu padam dan lenyaplah bayangan kedua orang
Bungkuk dan Kate itu.
Terdengar pintu terbuka, empat lelaki bersarung pedang, keluar dari gedung itu.
Kemudian kedua orang Bungkuk dan Kate itupun keluar.
Han Ping dan Ca Giok yang bersembunyi secara terpisah, memasang telinga.
Kedengaran si Bungkuk tertawa, "Rupanya kota ini penuh dengan tokoh-tokoh persilatan
yang mencari kita. Kalau bertempur secara terang, kita tak takut. Tetapi yang dikuatirkan
adalah tipu muslihat gelap. Nona majikan kita walaupun pandai, tetapi sebagai seorang
gadis, tentu tak leluasa untuk menghadapi mereka. Sedang Nenek Ih sudah lanjut usianya
dan kurang leluasa memintanya turun tangan. Dengan begitu tugas menghadapi
lingkungan berbahaya ini, tentu jatuh dibahu kita berdua. Walaupun orang itu mengaku
sebagai murid dari majikan kita yang tua dan rnembuktikan pula dengan beberapa
permainan ilmu istimewa partai kita, tetapi tak bolehlah kita percaya penuh. Kepergianmu
ini memang untuk menilik apakah benar tempat yang ditinggali itu sesuai dengan
keterangannya, sebuah gedung yang mewah dan tenang. Tetapi disamping itu, yang
penting engkau harus dapat menyelidiki tentang kebenaran dirinya "."
Rupanya siorangtua Kate tak sabar lagi mendengarkan ocehan si Bungkuk, cepat ia
menukas "Bungkuk, maukah engkau jangan ngaco belo seperti itu!"
Tiba-tiba orang Kate itu mengendapkan tubuh dan pada lain saat melambung sampai 23 tombak tingginya. Pada saat kakinya menginjak atap rumah, ternyata jauhnya sudah
beberapa tombak. Dan sekali loncat lagi, ia sudah tak kelihatan bayangannya.
Menyaksikan kepandaian orang kate itu, Han Ping, Ca Giok dan kedua saudara Ting
terkejut. Setelah melihat si Bungkuk pergi, tiba-tiba si Bungkuk mengacungkan tangannya.
Keempat lelaki tadi serempak mencabut pedang dan loncat berpencaran ke samping.
Masing-masing terpisah 4-3 langkah.
Setelah itu si Bungkuk tertawa dingin dan berseru, "Tengah malam tuan-tuan
berkunjung kemari, aku Au Bungkuk merasa berterima kasih. Jika terdapat penyambutan
yang kurang layak, harap dimaafkan!"
Han Ping menyadari bahwa dirinya telah diketahui orang. Baru ia hendak menyahut,
tiba-tiba di atas puncak pohon yang dibuat tempat bersembunyi itu, menghambur suara
tertawa sinis, "Ah, terima kasih. Sudah lebih dari 10 tahun saudara Bungkuk tak pernah
muncul di dunia persilatan. Kukira saudara sudah pindah ke dunia baka atau bersembunyi
mengasingkan diri di daerah pegunungan sepi. Sama sekali tak terduga bahwa kedua
locianpwe Bungkuk dan Kate mau juga merendahkan diri berhamba pada lam-hay (Laut
Selatan)" Benar aku ikut berduka atas kejatuhan nama kalian berdua!"
Diejek sedemikian rupa, si Bungkuk hanya ganda tertawa. Nadanya sedingin es di kutub
sehingga membuat orang menggigil ".
Lama sekali si Bungkuk menghambur tertawanya yang luar biasa itu, baru ia berkata,
"Amboi, tak kukira kalau engkau. Bagus, bagus, sudah lama kita tak berjumpa. Maka


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam perjumpaan ini baiklah kita manfaatkan untuk menyelesaikan hutang piutaug kita.
Besok menjelang tengah malam, aku Au Thocu (Bungkuk) akan menunggu kedatanganmu
dimakam kuburan lima li di luar kota sebelah utara. Jangan mengecewakan undanganku
ini!" Orang yang bersembunyi di atas pohon itu tertawa hina lalu melayang turun di hadapan
si Bungkuk. Han Ping terkejut. Orang yang muncul itu juga bertubuh kate. Tetapi mukanya
berkerudung kain hitam. Ya, ya, tak salah lagi. Han Ping ingat orang itulah yang menutuk
jalan darah kedua nona Ting.
Orang pendek itu perlahan-lahan membuka kain kerudungnya. Setelah sejenak
memandang ke sekeliling penjuru, ia berkata, "Walaupun sudah berpisah 10 tahun tetapi
saudara Bungkuk masih dapat mengenal suaranya. Sungguh hebat!"
"Jangan kata engkau masih dapat bicara, sekali sudah menjadi abu, tetapi aku tentu
masih dapat mengenalimu!" sahut si Bungkuk.
Orang pendek itu tertawa hambar, "Malam ini banyak sekali tetamu-tetamu. Di sekitar
tempat tinggal nona majikan saudara ini, tak kurang 10 tokoh persilatan yang menunggu."
Tiba-tiba dari balik serambi rumah sebelah utara terdengar suara orang tertawa
meloroh. Nadanya penuh ejek.
"Makhluk tua beracun, jangan main gertak. Kalau si Au Bungkuk sudah menantangmu,
besok malam aku si pengemis tua tentu menyaksikan!" seru orang itu terus lenyap dalam
kesunyian malam.
Sahut orang pendek itu, "Hm, pengemis tua, jangan jual kegarangan. Andaikata aku
Leng Kong siau tak makan yang ini, tentu akan melayanimu!"
"Saudara Leng, tak perlu menghambur kemarahan. Saudara Cong sudah pergi, nah,
sampai ketemu besok malam "." tukas si Bungkuk seraya memberi hormat, "Sudah 10
tahun aku si Au Bungkuk tak menginjak tionggoan. Atas kunjungan saudara sekalian pada
malam ini menghaturkan terima kasih. Sayang pada malam begini, tak leluasa kuganggu
tuanku untuk menyambut keluar. Dengan ini aku menghaturkan maaf kepada tuan-tuan
sekalian."
Habis berkata, si Bungkuk terus masuk ke dalam ruangan.
Keempat pengawalnya tadi bergerak sambil membolang balingkan pedangnya. Mereka
mengatur diri dalam bentuk barisan segi empat, menjaga pintu gedung.
Setelah melihat daun pintu gedung itu tertutup rapat, siorangtua pendek yang dipanggil
Leng Kong siau itu tertawa dingin lalu berputar diri dan melangkah perlahan-lahan ke arah
pohon. "Awas, saudara Ih "." baru Ca Giok berseru kepada Han Ping, sekonyong-konyong
Leng Kong siau loncat menerkam Han Ping. Gerakannya laksana kilat dan arahnya tepat
sekali Setelah dalam dua hari menyaksikan betapa kotor dan licik orang-orang persilatan, Han
Pingpun sudah bersiap-siap. Sekalipun Ca Giok tak memberi peringatan, iapun mengetahui
juga serangan sipendek Leng Kong siau itu.
Begitu tangan kiri Leng Kong siau hampir mengenai tubuhnya, tiba-tiba ia mengisar ke
samping mengitari batang pohon. Selekas itu terus memukul dengan jurus, Naga sakti
keluar dari awan.
Sekalipun mengetahui setelah mendapat saluran ilmu lwekang dari Hui Gong siansu,
sekarang tenaganya bertambah sakti. Namun Han Ping belum mengetahui sampai dimana
kesaktian yang dicapainya itu. Dan oleh karena mengetahui bahwa orang pendek itu salah
seorang dari ketiga Manusia racun yang termahsyur, mau tak mau ia agak berdebar juga.
Pukulannya itu dilancarkan dengan tenaga sepenuhnya.
Semula memang Leng Kong siau tak memandang mata kepada Han Ping. Ia yakin
bahwa cengkeramannya tentu akan berhasil. Jago-jago silat yang ternama, jarang sekali
mampu menghindari cengkeramannya. Apalagi dianggapnya Han Ping hanya seorang
murid kerucuk dari lembah Raja setan.
Pada saat ia ulurkan tangan, tiba-tiba ia teringat akan gerakan orang itu ( Han Ping )
ketika melambung ke atas rumah. Buru-buru ia tambahi tenaganya.
Tetapi akhirnya cengkeramannya itu tetap luput juga. Diam-diam ia terkejut lalu
kerahkan seluruh semangatnya. Ia hendak menghantam lawan dengan pukulan Biat-gongciang
atau pukulan Membelah angkasa supaya binasa.
Tetapi sebelum sempat bertindak, angin pukulan Han Ping sudah melandanya.
Leng Kong siau seorang yang sudah kenyang makan asam garam dunia persilatan.
Begitu melihat pukulan orang sedemikian dahsyatnya, buru-buru ia menangkis dengan
lwekang yang telah dikerahkan ke lengan kanannya.
Terdengar letupan keras dan hamburan debu seperti dilanda angin prahara.
Karena pukulan Han Ping datangnya cepat sekali maka Leng Kong siau dalam
gugupnya, hanya dapat melancarkan setengah bagian dari pengerahan lwekangnya.
Akibatnya ia tersurut mundur tiga langkah dan terlongong-longong ".
Han Ping sendiripun juga tertegun. Ia tak menyangka bahwa pukulannya dapat
menyurutkan seorang tokoh kenamaan seperti Leng Kong siau, salah seorang dari Manusia
racun Lembah Seribu racun!
Karena kuatir akan keselamatan Han Ping, maka pada saat kedua orang itu adu
pukulan, Ca Giokpun loncat menghampiri.
Tetapi Leng Kong siau memang sakti. Mendengar desis sambaran angin, ia tahu bahwa
salah seorang kawan dari pemuda lawannya itu tentu datang membantu. Tanpa berpaling
kepala, ia ayunkan tangannya memukul ke belakang.
Walaupun tanpa melihat tetapi pukulan Leng Kong siau itu tepat sekali mengarah Ca
Giok. Tangan geledek Ca Giok, jago muda dari Ca-ke-poh juga banyak sekali pengalamannya.
Sewaktu melambung di udara, dia sudah bersedia. Begitu Leng Kong siau menampar ke
belakang, ia tamparkan kedua tangannya ke bawah. Dengan meminjam tamparan itu,
tubuhnya melambung tinggi ke atas. Wut ". angin pukulan Leng Kong siau tadi melanda
di bawah kakinya.
Karena pukulannya luput, Leng Kong siau menghindar ke kiri. Pada saat ia bergerak
menghindar, Ca Giokpun melayang turun ke tanah. Melihat Han Ping mampu adu pukulan
dengan Leng Kong siau, nyali Ca Giok bertambah besar.
"Jika kita berdua maju menghadapinya, walaupun belum tentu menang terhadap
Manusia beracun itu, tetapipun tak mungkin kalah," pikirnya.
Seketika ia tertawa nyaring, serunya, "Sudah lama nian aku mendengar kemahsyuran
nama Leng locianpwe, sayang selama ini belum mempunyai kesempatan untuk
menghadap. Maka perjumpaan malam ini, benar-benar suatu rezeki besar bagiku."
Sepasang mata Leng Kong siau yang tajam, berkilat-kilat memandang Ca Giok.
Kemudian tertawa sinis, "Kudengar Ca Cu-jing mempunyai seorang putra yang sakti
seperti naga. Apakah eng kau ini putranya" Siapakah namamu?"
"Ah, sungguh kelewat tinggi locianpwe memuji. Aku yang rendah ini bernama Ca Giok.
Harap locianpwe jangan percaya desas desus yang tersiar di dunia persilatan itu "." baru
jago muda dari Ca-ke-poh memberi jawaban sampai di situ, tiba-tiba dari arah gedung
terdengar suara seorang gadis mendamprat halus.
"Hai, siapakah yang tengah malam buta berani ramai-ramai mengganggu orang tidur
itu" Jika masih terus ribut-ribut membikin gaduh dan mengganggu tidurku, jangan
persalahkan aku berlaku kejam. Akan kubuat kalian mati tanpa terkubur."
Suara gadis itu garang sekali. Seolah-olah menganggap tokoh-tokoh yang berada di
luar itu sebagai cacing belaka ....
Jilid 6 : Villa misterius yang penuh jebakan
Bagian 10 Bayang-bayang maut.
Leng Kong Siau tertawa hina. Seketika meluaplah kemarahannya. Tetapi pada lain saat
ia tertegun. Dua musuh dari Lembah Raja setan dan Ca-ke-poh sudah cukup berat. Jika
tambah seorang lagi tentu payah.
Akhirnya ia menahan kemarahan dan loncat keatas rumah seraya tertawa : "Seluruh
tokoh-tokoh persilatan sudah berdatangan ke Lokyang untuk mengepung kalian dari Laut
Selatan. Aku tak berani melancangi mereka maka untuk sementara kuberimu hidup
beberapa hari. Nah, sampai lain kali !"
Sekali loncat jago pendek dari Lembah Seribu racun itu loncat menghilang dalam
kegelapan. Berkata Ca Giok dengan bisik-bisik kepada Han Ping, "Tokoh-tokoh Lembah Seribu
racun rata-rata sakti dan licin. Walaupun malam ini mereka mundur dengan membawa
kekalahan tetapi kita tak perlu mengejar.
Demikian kedua jago muda itu segera loncat turun. Kedua nona Ting menyambut
kedatangan mereka dengan senyum berseri.
Ca Giok menyulut lilin, katanya dengan tertawa : "Saudara Ih benar-benar sakti,
mampu menghadapi salah seorang tokoh Lembah Seribu racun. Jarang sekali orang
persilatan yang mampu bertahan terhadap pukulan Manusia racun itu. Kali ini benar-benar
mataku terbuka lebar !"
"Ah, saudara Ca kelewat memuji. Siapakah yang tak kenal akan kemahsyuran saudara
?" Han Ping merendah.
Mendengar itu diam-diam si dara Ting Hong terkejut dan berseru kepada Han Ping :
"Suheng habis mengadu pukulan dengan si Tua beracun. Apakah saat ini merasakan
sesuatu yang kurang wajar pada tubuh suheng ?"
"Apa ?" Han Ping terkejut juga.
"Sekujur tubuh ketiga tokoh tua dari Lembah Seribu racun itu berlumuran racun.
Dikuatirkan dia memiliki ilmu pukulan yang mengandung ratiun. Cobalah engkau
melakukan pernapasan agar jangan sampai terkena tipu mereka !"
Han Ping menurut. Setelah melakukan pernapasan ia menyatakan tak kurang suatu
apa. "Kalau begitu aku dan taci baru lega", kata Ting Hong.
Ting Ling melirik adiknya dan tertawa : "Cerita saudara Ca tentang tokoh It Ki dari Laut
Selatan mengacau pertemuan di gunung Heng-san tadi, benar-benar menarik perhatian
kami. Sayang dikacau tua bangka beracun itu. Entah apakah saudara Ca masih
mempunyai selera untuk melanjutkan cerita itu lagi " Kami gembira sekali
mendengarkannya !"
Ca Giok tersenyum, ucapannya : "Ketika Manusia racun tadi pergi dan mengucapkan
beberapa patah kata untuk menutupi rasa malunya, bukankah nona berdua dan saudara
Ih mendengar juga ?"
"Yang disebut majikan kecil oleh si Bungkuk tadi jika bukan anak murid dari It Ki,
tentulah mempunyai hubungan yang rapat dengan tokoh dari Laut Selatan itu. Bahkan
kemungkiran adalah anaknya. Soal itu sudah jelas", kata Ting Ling, "tetapi yang
kuherankan, mengapa hampir seluruh tokoh persilatan dan bahkan tokoh-tokoh yang
jarang muncul, semua berbondong-bondong datang ke Lokyang. Apakah tujuan mereka
benar seperti yang dikatakan Leng Kong Siau itu ialah hendak menyerang orang-orang
dari Laut Selatan ?"
"Nona Ting Ling benar cerdas sekali", puji Ca Giok, "tetapi janganlah nona percaya
akan kata-kata orang tua beracun itu. Kata-kata itu hanya untuk menutupi rasa malunya.
Bagaimana mungkin terjadi perserikatan itu " Yang datang ke Lokyang, pada umumnya
adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Sebelumnya mereka tak pernah mengadakan
pertemuan, bagaimana mungkin mereka bersekutu. Taruh kata mereka mengadakan
pertemuan, pun juga akan terbentur pada pemilihan pimpinan. Kecuali Ih Thian heng yang
bergelar Ksatria tunggal dari Sin-ciu itu datang sendiri, berkat kedudukan dan
kemahsyuran namanya, mungkin pertemuan itu baru berhasil . . . ."
"Hai !" tiba-tiba Ting Hong menjerit dan serentak loncat ke tempat Han Ping : "Suheng,
apakah engkau merasa tak enak badan ?"
"Tidak apa-apa", sahut Han Ping dengan nada gemetar karena tergetar hatinya.
Ca Giok kerutkan dahi, serunya : "Manusia racun itu memang berlumuran racun ganas.
Jika saudara !h merasakan sesuatu yang kurang wajar, harap bilang terus terang".
Han Ping menghaturkan terima kasih tetapi ia mengatakan tak kurang suatu apa.
Atas permintaan Ting Ling, Ca Giokpun melanjutkan ceritanya lagi.
"Sesungguhnya kedatangan para tokoh persilatan itu hanya secara kebetulan saja dan
sebelumnya tidak saling berjanji. Terus terang, mereka masing-masing mempunyai tujuan
untuk mencari untung sendiri-sendiri . . . ."
"Hai, apakah orang-orang Laut Selatan itu membawa benda permata yang berharga ?"
tanya Ting Hong.
"Kalau hanya benda permata yang betapapun berharganya, tak mungkin Manusiamanusia
racun dari Lembah Seribu Racun akan datang sendiri. Bahkan aku sendiripun
takkan jauh-jauh datang kemari", kata Ca Giok.
"Kalau begitu mereka tentu membawa pusaka dunia persilatan yang tak ternilai
harganya. Karena pusaka-pusaka begitulah yang dapat menarik para tokoh-tokoh
persilatan itu datang ke Tionggoan", kata Han Ping.
"Saudara Ih benar", jawab Ca Giok "dalam dunia persilatan memang terdapat beberapa
partai yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kepandaian istimewa. Tetapi yang
paling banyak dan luar biasa adalah dari partai Siau-lim-si. Sayang, tunas yang berbakat
sukar dicari. Walaupun partai Siau-lim-si memiliki 72 macam ilmu pusaka, tetapi sampai
sekian ratus tahun, tiada seorang murid Siau-lim-si yang mampu menguasai ke 72 macam
kepandaian sakti itu. Ilmu kepandaian itu tiada batasnya tetapi umur manusia terbatas.
Mungkin sampai matipun tak dapat memahami ke 72 macam ilmu kesaktian dari Siau-limsi
itu. Ilmu silat terbagi menjadi dua dasar, luar dan dalam. Ahli tenaga dalam
mementingkan latihan hawa murni dalam tubuh. Sedang ahli tenaga luar, menitikberatkan
pada latihan kekuatan.
Sesungguhnya diantara kedua dasar itu, sukar ditarik garis pemisah yang tajam. Setiap
partai masing-masing mempunyai cara sendiri untuk memberi pelajaran pada anak
muridnya. Dan karena itu. masing-masing partai mempunyai kelebihan sendiri-sendiri.
Seluruh partai persilatan menganggap Siau-lim-si merupakan sumber ilmu kesaktian
yang paling lama dan paling banyak. Pelajaran yang diberikan oleh partai Siau-lim-si itu
menurut cara yang berdasar pondamen yang kuat. Ilmu silatnya lebih mantap dan kaya
dengan perobahan yang sukar diduga orang. Kesemua pelajaran ilmu silat sakti itu
tercantum dalam sebuah buku yang disebut Tat-mo-ih-kin-keng. Beratus-ratus tahun
lamanya kitab pusaka dari Siau-lim-si itu menjadi incaran kaum persilatan. Banyak nian
jago silat yang coba-coba hendak mengambil kitab itu tetapi selama ini belum pernah
seorangpun yang berhasil. Karena tempat simpanan kitab itu dirahasiakan. Hanya
beberapa paderi tua yang mengetahui tempatnya. Ada suatu keistimewaan pula dalam
gereja Siau-lim-si. Masing-masing murid, karena jumlahnya yang terlampau banyak,
mempunyai tingkat kepandaian sendiri-sendiri. Tergantung dari hasil latihan mereka.
Memang kalau satu lawan satu, nona berdua dan saudara Ih tentu dapat mengalahkan
mereka. Tetapi apabila paderi-paderi Siau-lim-si itu bersatu dalam sebuah barisan, jangan
harap kita mampu lolos dari kepungan mereka.
Entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh persilatan yang harus membayar dengan jiwa
dalam usaha mereka hendak mencuri kitab pusaka Tat-mo-ih-kin-keng itu . . . ."
Baru Ca Giok bercerita sampai disitu, tiba-tiba di luar jendela terdengar orang tertawa :
"Hebat, sungguh hebat ! Meskipun masih muda tetapi pengalaman sau pohcu luas sekali.
Aku benar-benar iri kepada Ca Cu Jing yang beruntung mempunyai putra seperti engkau !"
Ca Giok serentak berbangkit dan memberi hormat ke arah jendela : "Ah, locianpwe
akhirnya datang juga. Sudah lama kutunggu".
Ting Ling dan Ting Hong tampak agak berobah wajahnya. Setelah memandang Han
Ping, merekapun menghampiri ke jendela.
Jendela terbuka, lampu menyala dan di dalam ruangan muncul seorang imam bertubuh
tinggi kurus. Tangan mencekal kebut pertapaan, punggung menyanggul pedang.
Diam-diam Han Ping tergetar hatinya. Imam itu bukan lain adalah orang yang mencari
kedua saudara Ting di padang rumput, yakni paman ketiga mereka yang bernama Ting
Yan San bergelar Soh-hun-ih-su atau Imam Pencabut nyawa.
Mata Ting Yan San yang berkilat-kilat memandang kedua nona, lalu beralih pada Ca
Giok dan terakhir tertuju kepada Han Ping.
Pemuda itu menyadari berhadapan dengan seorang manusia ganas. Diam-diam ia
bersiap-siap. Melihat kerut wajah pamannya tak senang, teganglah kedua nona itu. Tetapi mereka
tak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan Ting Ling yang biasanya cerdas, pun
kehilangan paham.
Kedua nona itu cukup kenal perangai pamannya yang sukar diraba dan gemar
membunuh. Asal tak menyenangkan matanya, tentu dilenyapkan. Dan yang menyulitkan
kedua nona itu ialah mereka tahu Han Pingpun berwatak keras kepala. Tak gampang
ditundukkan. Pada saat Ca Giok dan kedua nona itu tersipu-sipu menyongsong dan memberi hormat
kepada Ting Yan San, Han Ping hanya tegak berdiam diri saja.
Ting Hong yang gelisah segera menarik ujung baju tacinya. Tetapi Ting Ling tak
memberi reaksi apa-apa. Sesungguhnya Ting Ling juga tak kurang gelisahnya tetapi ia
benar-benar tak tahu bagaimana harus bertindak. Untung Ca Giok tak mengetahui
ketegangan itu.
Sekonyong-konyong si Pencabut nyawa tertawa mengekeh. Nadanya seseram burung
hantu mengukuk di tengah malam.
Ting Ling dan Ting Hong berdebar keras. Mengira kalau pamannya hendak turun
tangan, kedua nona itu serempak berseru : "Paman !"
Sepasang alis panjang menegak dari Ting Yan San mengerut. Ia melirik kedua nona itu
lalu tiba-tiba berpaling kepada Ca Giok : "Apakah dari Ca-ke-poh hanya engkau seorang ?"
Ca Giok menjura, sahutnya "Karena ada urusan, ayah tak dapat datang dan suruh aku
bersama beberapa murid kemari untuk menambah pengalaman !"
Ting Yan San tersenyum : "Di kalangan Rimba Hijau (kaum penyamun) daerah
Kangpak, sering terdengar berita tentang jejakmu. Benar-benar tak nyana seorang muda
yang berumur 23an tahun temyata sudah termahsyur di dunia persilatan !"
"Ah, locianpwe kelewat memuji. Aku masih hijau. Adalah karena melaksanakan perintah
ayah maka aku datang kemari. Harap locianpwe suka memberi petunjuk ."
"Peristiwa ini besar sekali artinya. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang jarang muncul,
saat ini sama berada di Lokyang. Apalagi mereka dijaga oleh si Bungkuk dan si Kate.
Kepandaian kedua orang tua itu, yang satu memiliki tenaga dalam lunak dan yang satu
ahli tenaga dalam keras. Jika satu lawan satu, memang masih dapat diperhitungkan


Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemungkinan menang. Tetapi kalau kedua orang itu bersatu, tenaga dalam lunak dan
keras saling bantu membantu, hebatnya bukan kepalang. Untuk memperoleh benda
pusaka itu, tidak semudah seperti yang dibayangkan orang. Dan andaikata berhasil, pun
masih harus menjaga kemungkinan akan timbulnya perebutan di antara sesama kaum
persilatan dunia tionggoan sendiri. Masing-masing tentu tak mau mengalah. Barang siapa
yang memperoleh kitab pusaka itu, tentu akan menjadi bulan-bulan sasaran sekalian
orang !" Kata Ca Giok : "Terima kasih atas petunjuk locianpwe yang berharga. Apabila locianpwe
hendak memberi perintah, aku bersedia melakukan. Lembah Raja setan dan Ca-ke-poh
mempunyai hubungan yang erat. Mohon locianpwe suka memberi rencana apa yang harus
kulaksanakan !"
"Hm, pintar benar pemuda itu merangkai kata-kata yang sedap didengar telinga. Pantas
kalau dalam usia semuda itu ia dapat menjagoi dunia persilatan. Dikuatirkan paman akan
terjebak dalam jerat yang halus", diam-diam Ting Ling membatin.
Pencabut nyawa Ting Yan San tertawa meloroh : "Heh, heh, sudah beberapa malam ini
kupikirkan hal Itu dan akhirnya kutemukan suatu rencana. Tetapi . . . .", ia berhenti dan
tiba-tiba wajahnya mengerut serius kemudian tertawa sinis, "tetapi akibatnya tidak kecil.
Baiklah untuk sementara ini tak kukatakan dulu".
"Rase tua yang licik", diam-diam Han Ping mendamprat dalam hati. Karena bicara
sekian lama, ternyata tak ada hasilnya.
Ca Giok tersenyum : "Akupun telah mempersiapkan rencana, tetapi entah sesuai atau
tidak." "Apa " Engkau juga punya rencana merebut kitab itu " Bolehkah kudengar rencanamu
itu !" tiba-tiba Ting Yan San merah mukanya. Kalau tadi ia mengatakan tak mau bilang
bagaimana rencananya, mengapa ia minta orang suruh mengatakan rencananya "
"Jika locianpwe ingin mengetahui, sudah tentu aku tak berani menyembunyikan. Tetapi
jika kukatakan, dikuatirkan akan bocor terdengar orang lain."
Habis berkata ia menghampiri meja dan menulis diatas meja dengan air teh. Begitu
membaca, si Pencabut nyawa Ting Yan San tertawa gelak-gelak "Hebat, hebat, walaupun
masih muda tetapi engkau sungguh cerdik. Apa yang engkau katakan itu, hampir sama
dengan pikiranku."
Ting Ling mencuri lirik ke arah meja. Dilihatnya tulisan air teh itu berbunyi :
"Mengadu domba dan menarik keuntungan dari air keruh."
Nona itu tertawa : "Rencana yang hebat tetapi hanya mudah ditulis di atas kertas !"
Ca Giok terkesiap, ujarnya tertawa : "Ai, memang lama nian kudengar kecerdasan nona
yang cemerlang. Bolehkah kuminta petunjuk nona ?"
"Huh, apakah engkau benar-benar mempunyai lain rencana yang lebih baik", Ting Yan
San kerutkan dahi.
"Aku sendiri tak punya rencana apa-apa. Tetapi kuberani pastikan rencana saudara Ca
itu tentu sukar dilaksanakan", sahut Ting Ling.
"Sebabnya ?" tanya Ca Giok.
"Bukankah sau pohcu mengatakan bahwa yang berkumpul di Lokyang ini adalah
benggolan-benggolan dunia persilatan. Apakah mereka juga tak punya rencana juga "
Untuk mengadu domba mereka, masakan begitu mudah ?"
"Benar, benar," Ca Giok mengiakan.
Ting Ling tersenyum, lanjutnya : "Rencana sau pohcu kebetulan akan terlaksana malam
nanti. Bukankah sau pohcu mendengar juga tentang tantangan si Bungkuk kepada si
Manusia racun Leng Kong Siau " Tetapi rencana sau pohcu itu baru berhasil apabila benarbenar
kedua pihak telah mengikat dendam permusuhan yang hebat. Kalau pertentangan
mereka itu hanya berlandaskan merebut kitab pusaka itu, rencana sau pohcu tetap sukar
berhasil. Benar kesempatan itu dapat kita kembangkan menjadi suatu tindakan untuk
bantu menghancurkan pihak yang kuat. Tetapi yang kita hadapi adalah gembonggembong
yang mahir dalam pengalaman, bukan anak kemarin sore. Mereka tentu cepat
mencium bau dan akibatnya kita sendiri yang runyam !"
"Hebat, sungguh hebat buah pikiran nona. Tak kecewa orang mengagumi
kecerdikanmu, nona Ting", Ca Giok memberi pujian terhadap analisa Ting Ling yang tajam
dan tepat. Ting Ling tertawa hambar : "Ah, saudara Ca terlalu sungkan. Sekalipun aku dapat
menunjukkan kelemahan dari rencana itu tetapi aku tak mampu melahirkan lain rencana
yang lebih bagus dari itu. Harap sau pohcu maafkan"
"Ah, jangankan aku memang sudah tak punya siasat lain, sekalipun punya, juga tak
berani gegabah menonjolkan ketololanku".
Ting Yan San menyeringai : "Hal ini memang harus dipikir secermat-cermatnya, tak
perlu terburu-buru. Besok kita bicarakan lagi".
Kata-kata bernada mempersilahkan tetamu pergi itu cepat dapat ditanggapi Ca Giok. Ia
berbangkit dan tertawa : "Hari sudah larut malam, tak enak aku mengganggu disini. Besok
pagi kita bertemu lagi", katanya seraya memberi hormat kepada Ting Yan San lalu
melangkah keluar.
Ting Yan San tertawa meloroh : "Selamat tidur. Maaf, aku tak mengantar sau pohcu' .
Sekali lagi pemuda itu memberi hormat lalu keluar. Setelah pemuda itu pergi, tiba-tiba
wajah Ting Yan San mengerut gelap dan memandang Han Ping : "Siapakah engkau !"
katanya seraya maju menghampiri.
Melihat itu cepat Ting Ling maju ke muka Han Ping seraya berseru : "Paman . . ."
"Enyah !" bentak Ting Yan San murka, "kalian berdua budak perempuan memang
bernyali besar !"
"Harap paman jangan marah dulu. Dengarkanlah aku hendak memberi penjelasan",
seru Ting Ling.
Ting Yan San tertawa sinis. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan menghantam.
Sebenarnya Han Ping sudah tak tahan. Tetapi karena Ting Ling melindungi di mukanya,
terpaksa ia bersabar. Tetapi karena Ting Yan San menghantam, dia tak mau bersabar lagi.
Tetapi ketika ia hendak menangkis, tiba-tiba Ting Hong loncat menerjang pukulan yang
diarahkan kepada Han Ping itu seraya berseru : "Paman !"
Pukulan Ting Yan San itu dilancarkan dengan dahsyat. Ia menghendaki sekali pukul,
dapat membinasakan pemuda itu. Setitikpun ia tak menyangka bahwa anak
kemenakannya akan nekad menyongsong pukulan itu. Karena sudah terlanjur dilontarkan,
tak mungkin ia menariknya kembali.
Namun betapapun halnya, karena ia tak sampai hati memukul anak kemenakannya
yang disayangi itu, sedapat mungkin ia berusaha untuk mengempiskan perut, menyedot
kembali tenaga dalam yang menghambur pada pukulannya itu.
Ting Hong menjerit tetapi serempak dengan itu Ting Yan San rasakan suatu tenaga
dalam melancar balik kepadanya. Ia terkejut. Dengan geram tenaga dalam yang hendak
disedot tadi, dilancarkan kembali.
Karena posisi si dara Ting Hong berada di tengah-tengah antara Han Ping dan Ting Yan
San, maka Ting Honglah yang menjadi sasaran tenaga dalam Ting Yan San itu. Dan kali
ini, benar-benar Ting Yan San tak dapat menarik kembali.
Suatu keajaiban timbul. Tenaga pukulan Ting Yan San telah terhapus oleh aliran tenaga
dalam yang tak tampak.
"Paman . . . ." teriak Ting Hong dengan nada meratap lalu berlutut memberi hormat.
Melihat dua kali menerima pukulannya, dara itu tak kurang suatu apa, kejut Ting Yan
San bukan alang kepalang. Dia termangu-mangu lalu bertanya : "Hai, budak perempuan,
apakah engkau tak terluka ?"
"Ah, bukankah paman telah berlaku murah kepadaku tadi ?" dara itu balas bertanya.
Ting Yan San kerutkan alis dan berputar ke arah Ting Ling. Buru-buru nona itu memberi
keterangan : "Tadi aku dan adik Hong telah ditutuk jalan darahku oleh Manusia racun dari
Lembah Seribu racun. Untunglah saudara Ji ini menolong. Setelah menghalau pergi
Manusia racun itu, dia lalu membuka jalan darah kami".
"Apa " Masakan dia mampu menandingi kesaktian si Tua beracun itu !" teriak Ting Yan
San. "Masakan aku berani membohongi paman. Saudara Ji itu memang yang menolong kami
berdua," Ting Ling memberi penegasan.
Dan si dara Tingpun menambahi : "Jika tiada saudara Ji itu, tentulah paman takkan
berjumpa lagi dengan Hong dan taci !"
Mendengar kesungguhan kedua kemenakannya itu, Ting Yan San hampir percaya.
Namun dia mendenguskan hidung dan memandang Han Ping sampai beberapa saat.
Ujarnya : "Bukalah kedok mukamu !"
Han Ping tertawa dingin. Tanpa menjawab, ia melangkah keluar. Secepat kilat Ting Yan
San mencengkeram bahu pemuda itu : "Mau pergi " Hm, mungkin tak semudah itu !"
Han Ping agak miringkan tubuh kesamping, tangan kiri menebas lengan kanan Ting Yan
San dengan jurus Thui-jong-pit-gwat (Mendorong jendela menutup bulan), seraya berseru
: "Belum tentulah. . . .!"
Melihat serangan yang cepat dan tepat mengarah sasaran yang berbahaya itu, diamdiam
Ting Yan San terperanjat. Cepat pula ia menyurutkan tangan kanannya sehingga
tebasan Han Ping tak berhasil.
"Paman !" teriak Ting Ling. Tetapi saat itu Ting Yan San sudah kebutkan hudtimnya
menyerang lawan.
Jarak dekat dan kebutan dahsyat. Namun Han Pingpun tak mau unjuk kelemahan.
Sembari kedua kakinya masih tetap terpancang ditempat semula, separoh tubuhnya
menelentang ke belakang. Dan secepat tamparan kebut lewat di atas kepalanya, ia segera
luruskan tinjunya kanan menghantam dada Ting Yan San.
"Hm," dengus si Pencabut Njawa Ting Yan San seraya menangkis dengan tangan kiri.
Walaupun tak percaya kalau anak muda itu sanggup menandingi salah seorang Manusia
racun dari Lembah Seribu racun seperti yang dituturkan Ting Ling tadi. Namun diam-diam
iapun tak berani memandang rendah. Ia gunakan tiga perempat bagian tenaga dalam
untuk menangkis pukulan Han Ping.
Begitu kedua pukulan beradu, seketika itu juga Ting Yan San rasakan tangannya
kesemutan dan tubuhnya bergetar hampir tak kuat berdiri. Bukan kepalang kejut Pencabut
nyawa itu. Menggunakan kesempatan lawan tertegun, Han Ping loncat ke luar jendela. Melihat
gerakan orang itu sedemikian pesat seperti tak menderita luka, kejut si Pencabut nyawa
makin membesar. Ia berpaling memandang Ting Ling dan Ting Hong. Ting Hong hanya
termangu memandang ke luar jendela dan mendengus dingin.
Sementara Ting Ling menghela napas perlahan, ujarnya : "Paman telah mendesak
orang itu pergi. Ibarat telah melepaskan harimau. Jika pihak lain dapat menggunakannya,
bukan saja kita akan kehilangan tenaga yang kuat, tetapi kita bakal tambah musuh yang
berat !" Sebenarnya Ting Yan San hendak memaki kedua gadis itu tetapi didahului kata-kata
Ting Ling yang tajam itu, kemarahannyapun berkurang. Sesaat ia tak dapat bicara apaapa.
Ting Hongpun menambahi ucapan tacinya : "Tindakan paman mengusirnya itu, selain
menghapus jerih payah taci selama ini, juga akan berakibat besar dalam usaha kita untuk
merebut kitab pusaka itu . . . ."
Disesali oleh kedua kemenakannya itu, Ting Yan San kerutkan dahi dan mendengus :
"Bagaimana kalian kenal padanya " Mengapa dia menolong kalian ?"
Ting Hong terkesiap tetapi Ting Ling hanya tersenyum simpul, ucapnya : "Betapapun
besar nyali kami berdua, tetapi kami tetap tak berani melanggar pantangan lembah kita.
Orang itu selain berkepandaian tinggi, pun memiliki pedang Pemutus Asmara yang
termahsyur di dunia persilatan."
"Apa ?" Ting Yan San terbeliak, "Pedang Pemutus Asmara " Hm, mengapa siang-siang
kalian tak mau memberitahukan kepadaku. . . ." lapun memandang ke luar jendela.
"Nanti dulu, paman," buru-buru Ting Ling berseru, "Jangankan sekarang dia sudah
pergi, taruh kata dapat paman kejar, belum tentu paman mampu mengalahkannya. Harus
diperoleh dengan kecerdikan akal, bukan dengan kekerasan !"
Teringat bagaimana hasil pertempurannya dengan Han Ping tadi, ragulah hati si
Pencabut nyawa. Ia bertanya kepada Ting Ling : "Benarkah kesaktian pamanmu ini tak
mampu mengalahkannya ?"
"Menurut apa yang kusaksikan, kemungkinan tipis paman dapat mengalahkan orang
itu. Dan bahayanya jika sekali pukul gagal, berarti akan mengejutkan si ular. Lebih baik
untuk sementara ini biarkan dia pergi. Untunglah soal pedang Pemutus Asmara itu hanya
kami berdua yang mengetahui. Karena lain orang tiada yang tahu, tak perlulah kiranya kita
buru-buru mengejarnya. Dengan siasat yang sempurna, perlahan-lahan kita tentu berhasil
mendapatkannya.
Memang dalam Lembah Raja setan, Ting Ling terkenal sebagai nona yang pandai
menyusun siasat. Setiap kali Lembah Raja setan menghadapi persoalan besar, tentulah
Ting Ling ikut campur. Dan setiap pendapat nona itu tentu dianggap tepat. Bukan
melainkan semua anak murid Lembah Raja setan mengindahkan, bahkan tokoh ketiga dari
Lembah Raja setan yakni Ting Yan San itu, pun menaruh kepercayaan kepadanya. Nafsu
amarah yang menyala di dada si Pencabut nyawa itu, hilang lenyap bagaikan awan
terhembus angin ketika mendengar kata Ting Ling.
Jika dalam ruang rumah penginapan itu terjadi percakapan antara Ting Yan San dan
kedua kemenakannya, adalah Han Ping setelah loncat ke luar jendela terus lari menuju ke
barat. Dia marah sekali sehingga lari pesat dan tak berapa lama sudah berada di luar kota.
Malam makin dingin. Dihembus oleh angin dingin itu, kemarahan Han Pingpun mereda.
Tiba-tiba ia teringat bahwa sarung pedang pemberian Hui Gong taysu masih ditangan Kim
lokoay. Jika ia memanjakan diri dalam nafsu kemarahan, bukankah ia termakan siasat
kedua nona Ting itu " Bukankah ia tak kenal dengan Kim lokoay itu " Bagaimanakah ia
hendak mencarinya !
Memikirkan hal itu diam-diam ia menyesal. Tetapi ia seorang yang keras kepala. Ia
segan kembali ke rumah penginapan untuk bertanya kepada kedua nona Ting. Tetapi
iapun tak rela kalau sarung pedang itu sarnpai jatuh ke tangan orang. Beberapa saat ia
kehilangan paham. Tak tahu bagaimana harus bertindak. Akhirnya ia berjalan tanpa arah.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang menegur perlahan : "Malam begini
larut, mengapa saudara Ih masih berjalan-jalan di tempat yang begini sunyi ?"
Han Ping terkejut. Sambil bersiap ia berpaling ke belakang. Beberapa langkah di
sebelah muka, tegak seorang pemuda gagah. Ah, kiranya si Tangan geledek Ca Giok.
Memang pada putra dari Ca-ke-poh itu, Han Ping mengaku bernama Ih jin.
"Ah, apakah saudara Ca belum pulang ke rumah penginapan ?" Han Ping tersipu-sipu
menjawab. Agak merah wajah jago muda dari Ca-ke-poh itu. Ia tertawa : "Malam indah dan
tenang, mata sukar dibawa tidur. Terpaksa kukeluar mencari angin. Dan kebetulan
berjumpa dengan saudara Ih. Baru saja kita berpisah di hotel, tahu-tahu saat ini sudah
berjumpa di luar kota. Hidup manusia itu memang aneh . . . . "
Ca Giok menutup kata-katanya dengan tertawa lebar dan menghampiri maju.
Setelah menyaksikan kekejaman orang-orang Lembah Seribu racun dan Lembah Raja
setan, diam-diam Han Ping mempunyai rasa tak suka kepada mereka. Begitu pula
terhadap apa yang disebut Sam-poh diantaranya ialah marga Ca-ke-poh itu.
Tetapi karena kurang pengalaman, maka tak senang itu cepat terunjuk pada kerut
wajahnya. Segera ia berseru dengan nada dingin.
Pendekar Cacad 19 Hikmah Pedang Hijau Karya Gu Long Lencana Pembunuh Naga 17

Cari Blog Ini