Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen Bagian 6
persilatan dewasa ini, hanya ada seorang yang mahir tentang alat-alat rahasia itu. Sayang
orang itu jauh sekali tempatnya ..."
"Bukankah yang sau pohcu maksudkan itu si Penghitung sakti Nyo Bun giau, ketua
marga Nyo-ke-poh di Kimleng itu ?" Ting Ling menyelutuk tawa.
Ca Giok mengiakan : "Benar, kecuali orang itu, sukar kucari lagi orang yang mahir
tentang soal alat-alat rahasia !"
"Memang siapakah orang yang tak kenal akan kepandaian Nyo Bun giau tentang ilmu
itu " Tetapi apakah kita harus pergi ke Kimleng mengundangnya " Kalau begitu, tak usah
engkau katakan lagi !"
Ca Giok tertawa : "Jangan terburu nafsu, nona Ting. Aku belum bicara habis, untuk
memasang segala macam perkakas rahasia itu, lebih dulu tentu direncanakan dalam
bentuk gambar. Jika kita dapat memperoleh rencana gambar itu, mudahlah untuk
menghancurkannya !"
Ting Hong tertawa mengejek : "Jangankan kita tak tahu dimana letak rencana gambar
itu. Andaikata tahu bahwa misalnya gambar itu ditaruh di atas tingkat kedua dari gedung
itu, kalau kita tak mampu melintas kesana, tetap percuma saja. Kurasa cara yang engkau
sarankan itu juga tak dapat dilaksanakan !"
"Aku hanya mengemukakan cara-cara menghancurkan barisan musuh dan tak
menyinggung tentang dapat atau tidaknya cara itu dijalankan", bantah Ca Giok membela
diri. "Apakah tiada lain cara lagi kecuali harus memperoleh rencana gambar itu ?" tukas Han
Ping. "Masih ada sebuah cara lagi", sahut Ca Giok, "tetapi pun harus mencari pusat
penggerak alat-alat rahasia itu. Asal kita rusakkan pusat penggeraknya, seluruh alat-alat
rahasia tentu akan macet !"
"Ha, cara itu boleh kita coba", Han Ping menyambut gembira, "Tetapi entah dimanakah
letak pusat penggerak itu ?"
"Menurut dugaanku, kemungkinan besar pusat penggerak alat-alat rahasia itu tentu
berada di atas tingkat kedua itu !" kata Ca Giok.
"Cobalah saudara hitung, berapa jauh jaraknya dari sini ke tingkat kedua itu." kata Han
Ping. Ca Giok mengatakan kalau di antara empat tombak lebih sedikit.
"Eh, apakah engkau hendak gunakan ilmu ginkang Teng-ping-tok-cui (naik alang-alang
melintasi air) melayang kesana ?" tanya Ting Ling.
"Kecuali dengan ilmu itu, apakah masih ada lain macam ilmu lagi ?" sahut Han Ping.
"Tetapi menilik gugurnya daun-daun pohon bunga tadi, di dekat alat-alat rahasia itu
tentu terdapat orang yang menggerakkannya. Sekalipun engkau memiliki ilmu sakti lari di
atas rumput, rasanya sukar juga untuk menghindari bahaya. Lebih baik kita mundur dulu
dan merundingkan rencana yang lebih sempurna. Mungkin kita dapat menemukan rencana
yang tepat dan besok malam kita serbu lagi !" kata Ting Ling.
"Tetapi kalau mundur, bukankah kita akan ditertawai mereka " Harap saudara
membantu dari belakang sini, aku hendak mencobanya !" kata Han Ping.
Tiba-tiba pengemis muda yang terlongong-longong di samping tadi, maju selangkah
dan berkata : "Aku akan menemanimu !"
Han Ping merenung sejenak lalu mengiakan : "Baiklah . . ."
"Hai, mana bisa !" Ting Hong cepat menyelutuk, "Hati orang sukar diduga. Jangan
sampai engkau dicelakai orang secara menggelap. Lebih baik aku saja yang menemanimu
!" "Aku seorang lelaki, mana mau mencelakai orang secara pengecut. Budak setan,
jangan mengukur baju orang dengan bajumu sendiri !" damprat si pengemis muda.
"Cis, pengemis busuk yang pura-pura suci, siapakah yang engkau maki sebagai budak
setan itu ?" teriak Ting Hong.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.
Nadanya nyaring memecah angkasa.
"Apakah jelek orang meminta nasi itu " Rasanya lebih utama dari pada raja setan, putri
setan yang berlumuran kejahatan !" seru orang itu. Dan pada lain saat sesosok tubuh
melayang di belakang si pengemis muda.
Sekalian orang terkejut. Ternyata pendatang itu bukan lain adalah Pengemis sakti Cong
To. Heng Ciu buru-buru maju memberi hormat : "Suhu . . . ."
"Sudahlah, saat ini masih kurang 3 hari dari waktu perjanjian. Harap menunggu," seru
Cong To. "Ah, murid tak berani lancang," sahut Heng Ciu.
Cong To memandang kepada si pengemis muda. Tiba-tiba wajah pengemis sakti itu
memberingas, tegurnya : "Siapakah yang memukulmu ?"
"Harap suhu jangan marah. Murid dan sute tadi bergurau," buru-buru Heng Ciu
menerangkan. Cong To menengadah ke langit dan tertawa keras.
"Bagus, bagus, engkau memukul dengan bagus sekali. Ha, ha, memukul bagus sekali . .
. ." serunya dengan penuh hamburan nada kemarahan yang tertahan. Tetapi nada tertawa
itu makin lama makin rawan, makin menyayat hati.
Pengemis muda menghela napas panjang, ujarnya : "Harap suhu jangan murka.
Memang sudah selayaknya suheng memukul sampai dua kali kepadaku tadi."
Cong To hentikan tertawanya. Sepasang matanya berkilat-kilat memandang Heng Ciu :
"Sudah 10 tahun aku tak melihatmu. Tentulah sekarang kepandaianmu jauh lebih maju !"
Walaupun dipandang sedemikian rupa oleh gurunya, tetapi tangannya Heng Ciu tak
gentar bahkan mengunjuk sikap yang angkuh. Ia balas tertawa dingin : "Ah, harap jangan
kelewat memuji. Mungkin masih kalah tinggi dengan sute."
"Baiklah, kalian berdua cobalah menguji kepandaian, agar dapat kulihat siapa yang
lebih tinggi" kata Cong To.
"Waktu tiga hari itu, sebentar saja sudah akan tiba. Mengapa suhu masih mempunyai
selera untuk bermain mata," kata Heng Ciu seraya mengeluarkan sebuah lencana emas
sebesar genggam tangan dan diacungkan ke atas.
Melihat lencana itu, serentak Cong To berlutut ke tanah. Si pengemis mudapun ikut
berlutut juga. Sekalian orang terkejut. buru-buru mereka memandang ke arah lencana yang dipegang
Heng Ciu. Sikap Heng Ciu makin congkak. Dengan tertawa sinis ia berseru : "Peraturan perguruan
Kim-pay-bun, apakah kalian masih ingat ?"
Cong To menghela napas.
"Murid telah menerima budi Kim Pay sucou yang besar. Mana berani menghina
perguruan sendiri dan melupakan budi itu," serunya.
"Asal kalian masih ingat, cukuplah . . . ." kata Heng Ciu.
Tiba-tiba Ca Giok menyelutuk : "Dalam kata maupun tindak, harap saudara Ho suka
mengingat bahwa lencana emas itu hanya dapat mengikat anak murid Kim-pay-bun.
Tetapi lain orang tak percaya apa-apa !"
Rupanya Ca Giok kuatir, pemuda Ho itu akan menggunakan kesempatan itu untuk
memerintahkan Pengemis sakti Cong To menindak dirinya selaku balas dendam. Jika hal
itu terjadi, ia tentu celaka.
Heng Ciu tertawa gelak-gelak : "Anak murid Kim-pay-bun patuh sekali kepada perintah
Kim-pay ini. Setiap yang diperintahkan tentu akan dikerjakan sampai selesai . . . ."
Tiba-tiba serangkum angin menghembus. Tahu-tahu Ting Ling menyelonong hendak
merebut lencana emas di tangan Heng Ciu.
Kiranya nona itu juga mengandung pikiran yang sama seperti Ca Giok. Dia kuatir Heng
Ciu akan memerintahkan Cong To dan pengemis kecil itu untuk mencelakai dirinya. Maka
ia nekad hendak merebut lencana itu. Andaikata tak berhasil, pun sekurang-kurangnya,
dapat mendesak Heng Ciu agar tak sempat memberi perintah semacam itu lagi.
Heng Ciu terkejut, ia tak menduga akan diserang begitu rupa. Dalam gugupnya ia
turunkan tangan kanan yang mencekal lencana itu ke bawah untuk menghindari sambaran
Ting Ling. Tetapi Ting Ling bergerak cepat sekali. Walaupun Heng Ciu tepat bertindak
menyelamatkan lencana, tetapi tak urung siku lengannya tersambar ujung jari si nona.
Sakitnya bukan alang kepalang dan lencanapun hampir saja terlepas jatuh.
Luput menyambar, Ting Ling susuli pula dengan gerakan tangan kiri dan tendangan
kaki kanan. Ia mengarah dua buah jalan darah di tubuh Heng Ciu.
Heng Ciu mendengus dan menyurut mundur tiga langkah untuk menghindar.
Pada saat Ting Ling bergerak tadi, diam-diam Ca Giokpun sudah siap. Begitu Heng Ciu
mundur ke tepi padang rumput, cepat ia berteriak dan lepaskan sebuah hantaman.
Pukulan itu dilancarkan dengan perhitungan waktu yang tepat sekali. Jika Heng Ciu
mundur mundur lagi, tentu akan terjeblus dalam perkakas rahasia orang Lam-hay-bun.
Tetapi kalau berani menangkis, karena tak sempat mengerahkan tenaga dalam, tentu
celaka. Kalau tidak mati pasti akan terluka berat. Apalagi nanti Ting Ling, tentu akan
menyusuli dengan serangan berikutnya.
Pada saat maut hendak merenggut jiwa Heng Ciu, tiba-tiba Cong To menggeram dan
lepaskan pukulan untuk menggempur pukulan Ca Giok.
Pukulan Peh-poh-sin-kun yang dilepas Ca Giok itu, dilambari dengan sembilan bagian
tenaganya. Ia memang hendak melukai Heng Ciu syukur dapat menghancurkannya. Tetapi
karena dilanda dari samping oleh pukulan Cong To, Ca Giok terdorong ke muka. Dengan
demikian pukulannyapun mencong ke atas.
Melihat itu Ting Ling cepat lancarkan tiga kali serangan kepada Heng Ciu. Tetapi saat
itu Heng Ciu sudah longgar dan dapat menangkis serangan si nona. Sambil goyangkan
Lencana emas, berserulah pemuda itu : "Cong To, murid angkatan ke 12 dari Kim-paybun,
bersiaplah menerima perintah . . . ."
Mendengar itu, Ting Ling melengking dan menyerang dengan jurus Bunga mengebut
pohon. Sambil menangkis dengan tangan kiri, Heng Ciu berteriak kepada Pengemis sakti Cong
To : "Lekas bertindak untuk melindungi Lencana emas dan cepat menghan . . . ."
Baru Ia berseru demikian, Ting Lingpun juga menyerangnya lagi sekaligus dua buah
jurus. Tangan kiri menusuk mata, tangan kanan menghantam dada.
"Cong To murid angkatan ke 12 dari Kim-pay-bun, dengan hikmat menerima perintah !"
Cong To berseru dan serempak loncat ke tengah Heng Ciu dan Ting Ling. Hanya perlahan
saja ia mendorong Ting Ling.
Melihat itu timbullah keinginan si nona untuk menjajal kesaktian Pengemis sakti yang
termahsyur itu. Setelah mengerahkan tenaga, ia balas mendorong dengan kedua
tanganrja. Ketika dua buah tenaga saling berbentur, segera Ting Ling rasakan sesuatu yang tak
wajar. Sekalipun gerakan Pengemis sakti itu perlahan saja tampaknya, tetapi ternyata
memancarkan tenaga yang hebat sekali. Ia rasakan jantungnya berdetak keras. Buru-buru
ia loncat mundur. Karena Cong To memang tak niat mencelakainya, pula karena nona itu
cepat dapat menyadari bahaya, dapatlah ia terhindar dari akibat yang lebih hebat.
Heng Ciu tertawa dingin, serunya : "Murid perguruan Kim-pay-bun, paling taat pada
perintah lencana. Jika pemegang lencana dihina orang, sudah tentu murid Kim-pay-bun
tak boleh tinggal diam. Kuberimu waktu dalam 3 jurus, harus menghancurkan orang yang
berani merebut lencana tadi, sebagai hukuman dari tindakan mereka yang lancang !"
Seketika berobahlah wajah Cong To mendengar perintah itu. Ia berpaling kepada Heng
Ciu. Tetapi sebelum sempat bicara, Heng Ciu sudah mendahului mengayunkan Lencana
emas ke atas kepala dan berseru dengan marah : "Dalam 3 jurus jika tak mampu
membunuh orang itu, akan menerima hukuman menurut peraturan Kim-pay-bun".
Kata-kata itu diucapkan dengan serius dan bengis. Dan anehnya, seorang tokoh
termahsyur seperti Pengemis sakti Cong To hanya tundukkan kepala menerima perintah
itu dengan menghela napas.
"Murid angkatan ke 12 dari Kim-pay-bun, dengan hikmat akan melaksanakan perintah
Kim-pay !" seru pengemis sakti terus mengangkat tangan kanan dan menghantam ke arah
Ting Ling. Pukulan itu dilancarkan dengan tenaga penuh sehingga menimbulkan deru angin yang
menderu-deru hebat, mirip dengan ombak samudra dilanda angin prahara.
Han Ping terkejut dan cepat melindungi di muka Ting Ling, serunya : "Harap locianpwe
suka memberi kemurahan !"- Ia menangkis dengan tangan kanan.
Sekalian orang terkejut melihat kedahsyatan pukulan Cong To. Bahkan Ting Hong
menjerit dan memejamkan mata.
Tetapi dara itu dikejutkan oleh suara Han Ping yang tertawa nyaring dan berseru
memuji kedahsyatan tenaga Cong To. Buru-buru ia membuka mata. Ah, ternyata pemuda
itu tak kurang suatu apa. Dara itu menghela napas longgar.
"Cici apakah dia tak kurang suatu apa dalam menangkis pukulan pengemis itu ?"
tanyanya. Ting Ling menghela napas perlahan, sahutnya : "Kulihat tenaga dalamnya hanya
terpaut sedikit di bawah Cong To . . . ."
Yang paling terkejut melihat peristiwa itu adalah Heng Ciu. Diam-diam ia memutuskan :
"Menilik usianya, pemuda itu masih muda tetapi sudah memiliki tenaga dalam yang
sedemikian hebatnya. Jika beberapa tahun lagi, dia tentu jauh lebih berbahaya dari
sekarang. Ah, lebih baik kusuruh Cong To untuk melenyapkannya agar jangan
menimbulkan bahaya dikemudian hari . . . ."
Segera ia mengacungkan lencana emas dan berseru : "Bunuh juga orang yang berani
melindungi perampas lencana itu !"
Cong To makin terkesiap. Ia sayang kepada Han Ping tetapi takut melanggar perintah
Kim-pay. Ia menghela napas. Tetapi akhirnya perlahan-lahan ia mengangkat tangan kanan
dan didorongkan ke muka dengan tenaga penuh.
Sekalipun dalam benturan tadi, Han Ping rasakan darahnya bergolak keras, tetapi ia
seorang pemuda yang berdarah panas berkepala keras. Tak mau ia unjuk kelemahan di
hadapan sekian banyak orang. Ia paksakan diri mengerahkan tenaga dalam untuk
menenangkan darahnya yang bergolak. Beberapa jenak kemudian ia dorongkan kedua
tangannya untuk menyambut serangan Cong To.
Pukulan Cong To itu tampaknya biasa saja. Tetapi sesungguhnya pukulan kedua Itu
jauh lebih keras dari pukulan yang pertama tadi. Ketika saling berbentur Han Ping tersurut
mundur dua langkah. . . .
Pengemis sakti Cong To kerutkan alis dan berseru nyaring : "Terimalah pukulan
pengemis tua yang ketiga. Jika engkau tak mati, biarlah aku yang menerima hukuman
perguruan !"
Ia menutup kata-katanya dengan lontaran pukulan. Pukulan itu dilambari dengan
seluruh tenaganya. Kedahsyatannya tak terperikan. Anginnya sampai menyambar pakaian
Ca Giok dan kedua nona Ting.
Han Ping benar-benar keras kepala. Ia tak mau menghindar dan menangkis dengan
kedua tangan didorongkan ke muka.
Desss . . tubuh Han Ping terlempar ke udara dan melayang jatuh beberapa meter
jauhnya. Pengemis sakti Cong To menghela napas panjang, serunya : "Sudahlah, sudahlah.
Pengemis tua rela menerima hukunan perguruan. Tetapi juga kagum setulus hati !"
Perlahan-lahan pengemis sakti itu berputar tubuh dan memberi hormat ke arah Kimpay
: "Murid ke 12 dari Kim pay-bun, menyerahkan diri menerima hukuman !"
Heng Ciu mendengus dingin. Lencana disimpan kembali dan ia lari tinggalkan tempat
itu. Pengemis sakti Cong To dan pengemis kecil segera lari mengikutinya. Tak lama
mereka pun lenyap.
Setelah mereka pergi, barulah Ca Giok dan kedua nona itu segera menghampiri Han
Ping. Han Ping tegak seperti patung. Wajahnya pucat seperti kertas. Ting Hong mengucurkan
airmata. Ketika ia menjamah pemuda itu, tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang
berseru mencegahnya : "Jangan !"
Ketiga orang itu berpaling ke belakang. Tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar
dan berwajah gagah berwibawa, tegak pada jarak lima langkah jauhnya.
Bahwa kedatangan orang itu sedikitpun tak mengeluarkan suara, benar-benar membuat
Ca Giok dan kedua nona itu tercengang-cengang.
Lelaki pendatang itu ternyata mengenakan pakaian kim-ih atau baju bersulam yakni
pakaian seragam dari penjaga gedung bertingkat itu.
Lelaki itu melangkah ke samping Han Ping, memandangnya beberapa jenak lalu berkata
dengan nada dingin kepada Ca Giok dan kedua nona : "Dia menderita luka dalam yang
parah. Sekalipun dapat disembuhkan tetapi paling tidak harus memakan waktu beberapa
hari. Demi memandang keadaannya, malam ini akan kuberi kelonggaran. Lekas kalian
tinggalkan tempat ini !"
Ting Ling tertawa dingin. Ia menepuk punggung Han Ping. Pemuda itu menguak dan
muntahkan segumpal darah segar ....
Ca Giokpun cepat menutuk jalan darah di perut Han Ping, lalu memanggulnya : "Kita
angkat kaki dari sini !" - terus melangkah pergl.
Kedua nona itupun segera mengikuti mengawal di belakang.
Baru beberapa langkah jauhnya, terdengar pengawal gedung tadi berteriak : "Berhenti
!" Sambil membenam jarinya ke dalam bubuk Bi-hun-hun, Ting Ling berpaling : "Mengapa
" Apakah engkau menyesal ?"
Pengawal gedung itu melesat ke tempat ketiga muda mudi itu, tegurnya : "Apakah dia
terkena racun sengatan tawon ?"
Sejenak merenung, Ca Giok menyahut : "Benar, tetapi apa bahayanya seekor tawon
saja " Apakah dapat membahayakan jiwa ?"
Sahut pengawal gedung itu dengan dingin : "Untunglah dia yang terkena, andaikata
engkau, hm, mungkin racun tawon itu sudah bekerja . . . ."
Ia mengeluarkan sebuah kantong dan mengambil botol batu kumala putih. Dituangnya
dua butir pil berwarna hitam lalu : "Dua butir pil ini, khusus untuk mengobati segala
macam racun. Sebelum engkau obati, berilah dia minum pil ini."
Ting Hong menyambuti pil itu : "Bagaimana jika pil ini bukan obat pemunah racun . . .
." "Jika tak percaya, jangan diberikan kepadanya !" teriak pengawal itu dengan murka lalu
berputar tubuh dan melangkah pergi.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kuatir Ting Hong akan menyelutuk lagi, buru-buru Ca Giok mendahului : "Memang
dalam dunia persilatan terdapat tata susila yang melarang orang mencelakai orang yang
sudah terluka. Harap nona jangan curiga lagi," - ia terus lanjutkan langkah.
Ting Ling pun suruh adiknya menyimpan pil itu baik-baik.
Pengawal gedung itu ternyata memegang janji. Kira-kira dua tiga tombak jauhnya,
terdengar suara suitan berbunyi nyaring. Hutan pohon bunga yang penuh dengan
penjaga-penjaga itu, tiada seorangpun yang bergerak merintangi perjalanan mereka.
Setelah keluar dari tempat itu, mereka berhenti di dalam sebuah lembah. Tempat itu
kira-kira tiga li jauhnya.
Han Ping dibaringkan di tanah dan mulailah Ca Giok mengurut-urut tubuh pemuda itu.
Setelah dapat duduk, Han Ping menghela napas : "Pukulan pengemis tua itu telah melukai
organ dalam tubuhku. Lukanya cukup parah, mungkin tak dapat sembuh dalam waktu
yang singkat. Kalian . . . ."
Ia berhenti sejenak lalu : "Jika saudara Ca dan nona berdua mempunyai lain urusan
yang penting,silahkan. Tak perlu mengurusi diriku," habis berkata Han Ping menggeliat
bangun dan hendak pergi.
Ting Hong buru-buru mencegahnya : "Lukamu begitu berat, hendak kemana engkau ?"
Han Ping deliki mata dan menyahut dingin : "Apa pedulimu " Minggirlah !" - Ia
menyiak. Ting Hong tahu pemuda itu tinggi lwekangnya. Buru-buru ia kerahkan tenaga dalam
untuk menangkis.
Ternyata dalam keadaan terluka saat itu tenaga dalam Han Ping masih belum kembali.
Tenaga dorongan itu hanya tenaga luar, sedang tenaga tangkisan Ting Hong
menggunakan tenaga dalam. Seketika tubuh pemuda itu bergetar dan terdampar ke
belakang sampai tiga langkah dan jatuh terduduk. Huak . . . beberapa kali ia muntah
darah .... Plak . . . . Ting Ling menampar pipi adiknya dan mendamprat : "Budak hina, mengapa
engkau menggunakan kekuatan sungguh-sungguh !"- Ting Ling terus melesat ke samping
Han Ping dan berjongkok.
Ting Hong menangis : "Ah, aku lupa kalau dia sedang menderita luka dalam ..."- dara
itupun cepat menghampiri ke samping Han Ping dan bertanya dengan tergugu : "Apakah
engkau terluka ?"
Han Ping menggeliat bangun. Sambil mengusap mulutnya yang berdarah ia tertawa :
"Aku tak menyalahkan engkau !"- Ia terus berputar tubuh dan melangkah ke muka.
Ting Ling terkesiap : "Harap berhenti dulu, saudara Ji. Dengarkanlah aku hendak bicara
sedikit !"
"Saudara terluka berat. Jika memang mau pergi, lebih baiklah kalau menyalurkan darah
dulu", seru Ca Giok.
Han Ping berpaling : "Rasanya tak perlu, aku masih kuat bertahan. Apakah yang
saudara berdua hendak mengatakan kepadaku ?"
Ting Ling menghela napas : "Adalah karena hendak melindungi aku maka engkau
terluka oleh pukulan pengemis tua itu. Dengan pergi begitu saja, bagaimanakah perasaan
hatiku ?" Hari Ping tertawa hambar : "Harap nona tak usah pikirkan hal itu. Memang demikianlah
watak hidupku. Jika belum mati, kelak kita pasti akan berjumpa lagi. Tak perlu saudara
memikirkan diriku dan menelantarkan urusan penting !"
Kata Ca Giok : "Baru beberapa hari berkenalan, rasanya hubungan kita sudah seperti
sahabat lama. Tak peduli bagaimana pandangan saudara kepada diriku, tetapi aku
mengagumi sekali pribadi saudara. Sekalipun karena perangai saudara tak suka menerima
pertolongan orang, tetapi dalam keadaan terluka berat saudara hendak pergi itu, benarbenar
membuat hatiku tak enak sekali . . . ."
Tiba-tiba dari tempat gelap tak jauh di sebelah samping mereka, terdengar orang
menyelutuk : "Aha, benar-benar tak menyangka kalau Ca Cu jing mempunyai seorang
putra yang begitu baik hati. Sungguh membuat aku si orang tua kepingin sekali !"
Ca Giok kenal siapa orang itu. Ia tertawa murka : "Apakah itu bukan Leng locianpwe !"
Terdengar suara tertawa macam tambur pecah. "Benar, ternyata engkau kenal
suaraku." sesaat muncullah seorang lelaki kate yang berwajah panjang tirus. Sepasang
matanya berkilat-kilat tajam. Ia menghampiri Han Ping dan ketiga pemuda kawannya.
ltulah Leng Kong-siau, salah seorang tokoh dari ketiga Manusia racun Lembah Seribu
racun ! Ting Ling cepat melesat ke muka Han Ping, dan memberi hormat "Paman Leng, Ling ji
menghaturkan hormat !"'
Leng Kong-siau batuk-batuk dua kali, tertawa : "Ah, kelewat menjunjung. Bilakah
engkau begitu menaruh hormat kepada pamanmu Leng ini ?"
Ting Ling tertawa : "Dalam dunia persilatan, Siapakah yang tak tahu akan persahabatan
antara Lembah Raja setan dengan Lembah Seribu racun ?"
Wajah Leng Kong-siau berobah gelap. Dengan tertawa dingin Ia menyahut : "Setiap
orang mengatakan bahwa cerdas sekali, banyak akal kaya muslihat. Rasanya hal itu
memang benar. Asal terhadap paman Leng ini, jangan engkau terlalu banyak memberi
bubuk obat !"
Ting Ling tertawa : "Dalam wilayah Kanglam sampai ke Kangpak, siapakah yang tak
...." Leng Kong-siau menukas dengan tertawa gelak-gelak : "Percuma engkau merangkai
pujian setinggi langit, karena pamanmu Leng ini tetap takkan terkecoh. Nama Tiga
manusia beracun, masakan hanya gelar kosong doang " Minggirlah !"
Dengan matanya yang tajam dapatlah Ca Giok menerka bahwa Leng-Kong-siau hendak
menindak Han Ping. Diam-diam pemuda itu menimang : "Kepandaian manusia tua
beracun ini, tiada yang menandingi. Jika dia benar-benar hendak membunuh Han Ping,
pemuda itu tentu takkan lolos. Pemuda itu memang aneh tabiatnya. Sebentar bersikap
angkuh, sebentar bersikap perwira. Wataknya sukar diduga, sukarlah kupakai tenaganya.
Lebih baik kubiarkan si tua beracun itu mengakhiri jiwanya. Biarlah kedua budak
perempuan itu menubruk bayangan kosong".
Dengan pertimbangan itu, ia sengaja membisiki Han Ping supaya pemuda itu
menyalurkan tenaga dalam : "Kemungkinan akan terjadi pertempuran dahsyat", ujarnya.
Sekalipun hanya dengan bisik-bisik tetapi telinga Leng Kong-siau yang tajam tetap
dapat menangkap pembicaraan itu.
Belum Han Ping menyahut, tiba-tiba Ting Ling tertawa mengikik : "Sungguhpun paman
Leng sudah kenal dengan kami berdua taci beradik, tetapi kami benar-benar belum
mengetahui kedudukan paman dalam Lembah Seribu racun. Entah jatuh pada urutan
nomor berapakah paman Leng ini ?"
Pertanyaan itu membuat Leng Kong-siau tertegun heran. Ia benar-benar tak tahu apa
yang dimaksud si nona dengan mengajukan pertanyaan semacam itu, tanyanya : "Perlu
apa engkau tanyakan hal itu ?"
Ting Ling tertawa : "Tiada seorangpun dari Lembah Seribu racun yang tidak beracun.
Tiada seorangpun dari Lembah Raja setan yang tidak seperti setan. Jika paman Leng
berani menjawab pertanyaanku, kutanggung paman tentu menyadari gelagat dan
tinggalkan tempat ini."
Leng Kong siau merenung sejenak, tertawa : "Benarkah begitu " Aku ingin coba-coba.
Dengarlah, aku termasuk dalam urutan nomor dua. Benarkah engkau mempunyai akal
setan yang hebat ?"
"Ih, kiranya paman kedua Leng," Ting Ling tertawa.
"Ah, ah, jangan menyanjung !"
"Entah berapakah usia paman tahun ini ?" tanya si nona pula.
Leng Kong siau kerutkan alis dan membentak marah : "Budak setan, siapa sudi
meladeni bicara seperti itu ! Lekas menyingkir, jangan sampai membakar kemarahanku.
Hm, apa engkau tak sayang batok kepalamu akan kupisahkan dari lehermu !"
Namun Ting Ling tetap ganda tertawa : "Seluruh orang persilatan tahu bahwa lembah
Seribu racun itu mahir dalam ilmu meramu racun. Tetapi sedikit sekali orang yang tahu
bagaimana riwayat asal usul kepandaian kaum Lembah Raja setan itu !".
Mendengar Itu tanpa disadar, tertariklah hati Leng Kong-siau. Dan bertanyalah ia
serentak : "Umurku sekarang 64 tahun. Dilahirkan pada bulan 7 tanggal 3, biar engkau
tahu semualah dan jangan bertanya-tanya lagi !"
"Ai, hari lahir paman hanya terpaut lebih dulu dua hari dari hari jadi Lembah Seribu
racun. Rupanya hawa setan tidak berat tetapi juga tidak ringan. . . ."
Sudah tentu Leng Kong-siau segera menyadari bahwa dirinya hendak dipermainkan
nona itu yang mengoceh tak keruan. Rupanya nona itu tentu hendak main siasat mengulur
waktu. Sambil melangkah maju ia membentak : "Jangan ngoceh tak keruan seperti setan !
Awas, berani mempermainkan aku, tentu kubunuhmu dulu !"
Ting Lingpun tahu bahwa cara bermain siasat mengulur waktu seperti itu tentu tak
dapat mengelabui Leng Kong siau. Tetapi betapapun ia harus melanjutkan siasat mengulur
waktu itu beberapa saat lagi.
Dengan tenang ia tertawa : "Jangan marah, paman Leng. Malam ini hendak
kupersembahkan kepadamu cara memanggil arwah !"
"Jangan ngaco belo ! Siapa sudi percaya di dunia benar-benar terdapat kepandaian
semacam itu !" bentak Leng Kong-siau.
Melihat siasatnya tak mempan, guguplah Ting Ling. Ia tampil selangkah ke muka Leng
Kong-siau, serunya : "Jika paman kedua Leng tak percaya hal itu, jangan marah kalau aku
berlaku kurang hormat !"
Leng Kong-siau ayunkan tangan kiri, lepaskan hantaman ke arah Ting Ling. Untunglah
Ting Ling sudah siap. Ia selalu memperhatikan setiap gerak gerik orang. Tahu bahwa
hantaman itu dilambari tenaga dalam yang hebat, ia tak berani menangkis melainkan
mundur dua langkah.
"Karena paman Leng menekan sekali, terpaksa aku berlaku kurang hormat, "serunya
seraya ayunkan tangan kanan ke udara untuk menarik perhatian Leng Kong siau. Dan
serempak dengan itu tangan kiri merogoh obat bubuk dari bajunya.
Sekonyong-konyong terdengar suara suitan panjang memecah angkasa. Dan pada lain
kejap, sesosok bayangan melesat tiba. Tepat pada saat tangan Ting Ling diturunkan,
orang itupun sudah tiba di hadapan Leng Kong siau. Berpakaian serba hitam, wajahnya
contrang contreng mirip setan. Tegak di hadapan Leng Kong-siau tanpa berkata.
Kemunculan orang itu tak saja membuat Leng Kong-siau terkejut, pun Ting Ling juga
tersirap kaget. Tetapi nona itu cepat dapat mengembalikan ketenangannya.
"Tak peduli pendatang ini kawan atau Iawan, yang penting apabila perlu, aku harus
mengajak Ca Giok dan adik Hong untuk mengenyahkan Leng Kong-siau," diam-diam ia
memutuskan dalam hati.
Setelah menentukan rencana, Ia tertawa dingin : "Dalam dunia yang begini luas, segala
keanehan tentu dapat terjadi. Paman Leng sekarang tentu percaya omonganku tadi.
Leng Kong siau menengadahkan kepala dan tertawa gelak-gelak, serunya : "Dalam
sepanjang hidupku, pernah melihat segala macam manusia. Tetapi tak pernah melihat
bangsa setan siluman. Bahwa kali ini dapat berhadapan muka, benar-benar suatu
pengalaman yang menyenangkan sekali !"
la menutup kata-katanya dengan hantamkan tangan kanannya ke dada orang aneh itu.
Ting Ling tahu kelihaian tokoh Lembah Seribu racun itu. Ia cemas orang aneh itu akan
binasa di bawah tangan Leng Kong-siau. Cepat ia hendak membantu. Tetapi orang aneh
itu mendahului dengan memutar tubuh menghindar beberapa langkah dan secepat kilat
tangannya mencengkeram bahu Leng Kong-siau.
Ting Ling tertegun menyaksikan gerakan orang yang amat cepat sekali. Terpaksa ia
tunda tindakannya memberi bantuan.
Leng Kong-siau miringkan tubuh ke samping seraya balas menyambar pergelangan
tangan orang aneh itu . . . .
Jilid 8 Lencana Emas Perguruan Kim Pay Bun
Bagian 14 Lencana emas. Gerakan orang aneh itu memang aneh. Perobahannyapun sukar diduga. Pada saat Leng
Kong siau balas mencengkeram, orang aneh itupun sudah merobah cengkeramannya
menjadi gerak menebas.
Setelah dapat menghindari cengkeraman, jari orang aneh itu cepat menutuk ke bahu
Leng Kong siau.
Diam-diam Leng Kong siau terperanjat. Ia menengok ke belakang dan mundur tiga
langkah, bentaknya : "Menyembunyikan muka menyaru seperti setan, bukanlah tingkah
seorang jantan. Jika tak mau mengunjuk diri, jangan salahkan aku, Leng loji ini akan
menurunkan tangan ganas !"
Tetapi orang aneh itu tak menggubris. Tegak di samping, ia berdiam diri. Dalam
kegelapan malam, benar-benar menyerupai setan jejadian.
Leng Kong siau makin marah, bentaknya : "Benarkah engkau ini setan" Masakan aku
takut !"- majukan langkah, ia menabur orang itu dengan serangan gencar. Tiga buah
pukulan dan dua kali tendang, dihamburkan.
Leng Kong siau adalah tokoh yang sudah lama termahsyur di dunia persilatan.
Serangan yang berlambar kemarahan itu, dilancarkan dengan dahsyat dan cepat. Dan
yang diarah adalah jalan darah lawan.
Tetapi orang aneh itu tampaknya tak terkejut. Tubuhnya bergeliatan ke kanan kiri. Tiga
pukulan dua tendangan dari Leng Kong siau itu, dapat dihindarkan semua !
Ca Giok yang menyaksikan pertempuran itu, mendapat kesan bahwa kepandaian orang
aneh itu tidak di bawah Leng Kong siau. Paling tidak berimbang. Tentu dapat melayani
Leng Kong siau sampai 100an jurus. Diam-diam pemuda licin itu menimang. Jika ia
bersama kedua nona Ting, menempur Leng Kong siau, tidaklah sukar untuk mengalahkan.
Cepat pemuda itu menetapkan rencana. Ia harus memanfaatkan situasi malam itu
untuk melenyapkan Leng Kong siau . . . .
Ca Giok seorang pemuda yang kuat menahan perasaannya. Sekalipun hatinya penuh
nafsu pembunuhan tetapi sikapnya tetap tenang sekali. Ia membisiki Han Ping supaya
berhati-hati menjaga diri. Setelah itu ia maju dua langkah ke samping kedua tokoh yang
sedang bertempur itu. Diam-diam kerahkan tenaga dalam, siap untuk dilancarkan setiap
saat. Namun untuk menghapus kecurigaan, ia tetap mengulum senyum seperti tak terjadi
apa-apa. Matanya memandang kian kemari sehingga orang tak mengetahui keadaannya.
Tiga kali serangannya dapat digagalkan si orang aneh, Leng Kong siau tetap belum
mengetahui dari aliran partai persilatan manakah orang aneh itu. Diam-diam ia terkejut :
"Kepandaian orang ini memang hebat. Sekalipun bukan tandinganku, tetapi sukar juga
untuk mengalahkannya dalam waktu singkat. Kedua budak perempuan dari Lembah Raja
setan itu walaupun tak seberapa lihai, tetapi mereka mahir menggunakan tipu siasat. Dan
ilmu pukulan Peh-poh-sin-kun dari marga Ca, termahsyur sekali. Jika mereka bersatu
menggempur aku, sungguh berat sekali . . . ."
Dengan perhitungan itu, segera Leng Kong siau mundur beberapa langkah dan tertawa
gelak-gelak. "Masakan aku mempunyai waktu untuk main-main dengan kalian anak-anak muda ini !"
berputar tubuh, ia terus melangkah pergi.
Ca Giok memberi hormat dan tertawa nyaring : "Bagaimana " Apakah locianpwe begitu
saja hendak pergi ?"
Leng Kong siau berhenti dan berpaling. Belum sempat ia membuka mulut, Ting Ling
sudah mendahului tertawa : "Aku ingin menghaturkan selamat jalan kepada paman Leng .
. . ." Kerja sama rangkaian kata-kata yang diucapkan Ting Ling dan Ca Giok itu, membuat
Leng Kong siau maju mundur serba salah. Sebagai seorang tokoh tua dalam dunia
persilatan, kedudukannya cukup tinggi. Jika malam itu sampai diejek oleh anak-anak saja,
benar-benar ia akan kehilangan muka. Bila hal itu sampai tersiar di luaran bukan saja akan
merugikan nama Tiga manusia racun, pun tentu menjadi buah tertawaan orang.
Terlintasnya renungan itu, cepat membakar lagi api kemarahannya. Ia tertawa dingin
lalu berseru sinis "Apakah kalian suka mengantar aku ?"
Dalam pada berkata-kata itu, diam-diam Leng Kong siau kerahkan tenaga dalam, siap
dilancarkan setiap saat.
Ca Giok berpaling ke arah orang aneh itu. Dilihatnya orang itu berdiri diam. Diam-diam
pemuda itu memperhitungkan : "Jika orang itu tak ikut turun tangan, sekalipun aku dan
kedua nona itu bersatu, mungkin masih sukar mengalahkan si Tua beracun itu.
Segera ia tersenyum, ujarnya : "Locianpwe adalah sahabat ayahku. Seharusnya aku
mengantar locianpwe. Tetapi sayang, aku masih mempunyai lain urusan penting dan
terpaksa tak dapat menghormat perjalanan locianpwe".
Karena mengetahui orang aneh itu tampaknya takkan menyerang Leng Kong siau,
buru-buru Ca Giok beralih nada. Ia setengahnya meminta agar Leng Kong siau segera
pergi saja. Agar jangan menimbulkan kesulitan yang tak diinginkan.
"Bagus, bagus !" Leng Kong siau tertawa gelak-gelak, "kalau ketemu ayahmu,
sampaikan salamku - ia berputar tubuh dan melangkah perlahan-lahan, lenyap dalam
kegelapan malam.
Setelah Leng Kong siau pergi, barulah Ting Ling memandang ke arah orang aneh yang
mukanya bercontrengan itu. Ia memberi hormat : "Atas bantuan saudara, kami taci
beradik menghaturkan terima kasih . . . ."
Tiba-tiba orang aneh itu loncat dua tombak jauhnya. Begitu menginjak tanah terus
ayunkan tubuh lagi loncat ke dalam kegelapan.
Kedatangan orang itu secara tak terduga-duga, kepergiannyapun mendadak. Tanpa
mengucap sepatah kata, tanpa menghiraukan terima kasih Ting Ling, ia terus
melenyapkan diri. Sampaipun Ting Ling yang biasanya cerdas, saat itu benar-benar tak
dapat mengetahui arah menghilangnya orang itu . . . .
"Cici, mengapa dia lenyap ?" tanya Ting Hong.
Ting Ling tersadar dari keterlongongannya. Dia gelagapan : "Apa ?"- ketika memandang
ke empat penjuru, ternyata Han Pingpun tak tampak lagi.
Kiranya ketika Ca Giok dan kedua nona itu tengah menumpahkan perhatiannya kepada
Leng Kong siau dan si orang aneh, diam-diam Han Ping telah menyelinap pergi.
Ca Giok menghela napas, ujarnya "Orang itu memang angkuh wataknya. Tak mau
menerima budi orang. Karena dia memang hendak menyingkiri kita, sekalipun kita
mencarinya, pun akan sama saja sikapnya !"
Ting Ling merenung sejenak : "Sau pohcu benar, jika dia tak mau bersama kita,
percumalah kalau kita mencarinya !"
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tetapi cici, dia sedang terluka parah", Ting Hong berseru cemas. Tetapi cepat Ting
Ling mengejapkan matanya kepadanya : "Tak apalah. Kalau dia tak mau bersama kita,
habis, apa daya kita ?"
Ting Hong selalu mengindahkan tacinya. Mendengar kata-kata Ting Ling begitu, iapun
tak berani membantah lagi.
Ca Giok memberi hormat dan menyatakan hendak minta diri. Setelah pemuda itu pergi,
Ting Ling segera mengajak adiknya lari melanjutkan perjalanan. Kira-kira belasan tombak
jauhnya, mereka berhenti.
"Apakah engkau sungguh-sungguh hendak mencarinya"'' tanya Ting Ling kepada
adiknya. "Tetapi sekarang kemanakah hendak mencarinya, ah . . . ." Ting Hong menghela
napas. Ting Ling membelai-belai rambut adiknya dan menghiburnya dengan tertawa : "Adikku,
janganlah engkau marah kepadaku. Bilakah taci pernah mencelakaimu dan
membohongimu " Tadi terpaksa kutampar mukamu, pun juga demi kepentinganmu.
Apakah engkau masih marah ?"
Ting Hong tertawa rawan : "Ah, masakan aku berani kepada taci . . . ."
Ting Ling menghela napas : "Banyak orang mengatakan bahwa aku, seorang taci yang
julig. Kerap kali membohongimu. Maka memang tak dapat dipersalahkan jika engkau
menaruh kekuatiran kepadaku. Padahal kita ini saudara sekandung. Bahwa sebagai taci
aku tak dapat merawatmu, masakan aku masih tegah untuk menipumu. Memang ada
kalanya kumaki dan bahkan di hadapan orang kutampar mukamu, tetapi kesemuanya itu
demi kebaikanmu, Biarlah tacimu ini yang dianggap galak dan engkau lebih lemah lembut .
. . ." Bicara sampai disitu, Ting Ling mengucurkan beberapa butir airmata. Tubuhnya agak
getar seperti orang yang menahan kesedihan.
Belum pernah Ting Hong mendapatkan tacinya yang keras itu menangis di hadapannya
seperti saat itu, buru-buru ia memegang tangan Ting Ling : "Cici jangan banyak pikiran.
Tak nanti aku mengandung hati dendam kepadamu . . . ."
Dara itu benar-benar tak tahu apa sebab tacinya tiba-tiba menangis itu. Setelah
menangis beberapa saat, Ting Ling mengusap airmatanya dan tertawa : "Asalkan engkau
sudah tahu bagaimana perasaanku menyayang kepadamu, sekalipun aku menderita
sedikit, tetapi hatiku girang"
"Ah, memang kutahu kalau cici sayang kepadaku", Ting Hongpun tertawa. Tetapi diamdiam
dara itu masih ingat bagaimana Ting Ling telah memaki dan menamparnya di
hadapan Han Ping.
"Hm, bukan engkau tetapi akulah yang menderita . . . ." dengus Ting Hong dalam hati.
Ting Ling menghela napas, serunya : "Budak tolol, apakah engkau benar-benar tak
mengerti ?"
Ting Hong gelengkan kepala : "Aku . . . . aku memang tak begitu mengerti maksud
cici". Ting Ling tertawa rawan : "Sudahlah, jangan memikir lagi. Kelak kalau engkau
berjumpa dengan Ji Han Ping, tentu mengerti sendiri !"
"Ci, aku semakin tak mengerti !"
"Memang orang limbung paling beruntung. Jika engkau sepandai tacimu, mungkin
engkau akan menderita"'. Ting ling mencekal tangan adiknya diajak ke lereng gunung
yang agak gelap, "Lekas sembunyi, Han Ping segera akan keluar !"
Sekalipun tak mengerti maksudnya, karena percaya kepada tacinya, Ting Hong terus
bersembunyi di belakang tacinya.
Tak berapa lama, dari arah kegelapan muncul sesosok tubuh orang yang berjalan
perlahan-lahan menuju ke utara.
Ketika mengawasi dengan seksama, Ting Hong tersirap kaget. Orang itu memang Han
Ping. "Cici, mengapa engkau tahu dia belum pergi " Mari kita mengejarnya !" bisiknya.
"Jangan keburu bergirang dulu. Jika dia mengetahui kita, dia tentu akan menghindari
lagi !" kata Ting Ling.
"Lalu bagaimana " Apakah kita biarkan saja dia berlalu ?" tanya Ting Hong.
Ting Ling tertawa : "Apa yang hendak engkau kejar " Budak perempuan yang sudah
berumur 17 an tahun, mengapa engkau tak malu mengucap begitu ?"
Merahlah muka Ting Hong, bantahnya : "Dia telah menolong jiwamu, masakan engkau
sampai hati tak menghiraukannya ?"
Ting Ling tertawa : "Siapa bilang tak menghiraukan " Kita ikuti saja dari kejauhan dan
lihat saja hendak kemana dia itu".
"Benar, nanti apabila dia sudah rubuh, baru kita tolong," seru Ting Hong dengan
tertawa dan terus mendahului ayunkan langkah.
Setelah diam-diam meninggalkan Ca Giok dan kedua nona Ting, Han Ping
menyembunyikan diri dalam kegelapan. Ia tahu kalau terluka parah, jika berjalan tentu
mudah ketahuan.
Kedua nona itu tahu pula bahwa Han Ping lebih sakti dari mereka. Alat pendengaran
pemuda itu tajam sekali. Mereka tak berani mengikuti secara dekat.
Tetapi persangkaan itu salah. Karena saat itu Han Ping benar-benar terluka parah
sekali. Akibat dari hantaman si Pengemis sakti Cong To tenaga murninya telah
berhamburan tetapi untunglah kesadaran pikirannya masih cukup terang. Ia berjalan
terhuyung-huyung kian kemari seperti orang mabuk. Ia tak mengetahui bahwa di
belakangnya diikuti kedua nona Ting.
Setelah melintasi sebuah puncak bukit, tibalah ia di sebuah kuil gunung. Saat itu
lukanya semakin berat, Darahnya makin panas, kedua kakinya serasa tak dapat
digerakkan lagi. Akhirnya ia harus menyerah dan beristirahat. Dengan langkah sarat ia
paksakan diri masuk ke dalam kuil itu, jika tak dapat menyembuhkan lukanya, biarlah ia
mati disitu. Karena pikirannya mulai limbung maka apa yang dikandung dalam hati itu tanpa
disadari, diucapkan dengan mulutnya, Untung kata-kata itu tak terdengar oleh kedua nona
yang mengikuti dari jauh. Sekalipun begitu ketika melihat Han Ping masuk ke dalam kuil,
kedua nona itu segera pesatkan langkahnya untuk menyusul, cepat sekali Ting Hong
loncat ke belakang Han Ping. Ketika ia ulurkan tangan hendak menyambar tangan Han
Ping, tiba-tiba ia ditarik orang.
Ting Hong tak mau berpaling karena tahu yang mencegah itu tentulah tacinya sendiri.
Ia mundur dua langkah dan miringkan kepala memandang tacinya : "Cici . . . ."
Ting Ling gelengkan kepala memberi isyarat supaya Ting Hong jangan bicara.
Kemudian menarik adiknya ke samping di tempat gelap.
Pendengaran Han Ping sudah tak tajam lagi. Ia tak dapat mendengar gerak gerik kedua
nona yang mengikuti di belakang. Dengan mendekap dada ia melangkah terhuyunghuyung
ke dalam biara.
Kuil itu, sebuah kuil tua yang sudah rusak. Penuh ditumbuhi rumput tinggi. Di waktu
malam keadaannya makin menyeramkan.
Dengan kerahkan sisa tenaganya, Han Ping lari ke dalam ruang kuil. Huak . . . . ia
muntah darah dan rubuh tak sadarkan diri.
Dia rubuh di depan meja sembahyangan. Darahnya menyembur ke arah arca yang
rusak. Dan ketika rubuh, tubuhnya menghantam meja terus terkapar ke belakang meja
itu. Entah berapa lama ia dalam keadaan pingsan, tetapi ketika membuka mata, ia rasakan
mukanya tersiram air dingin. Berulang kali ruang kuil itu terpancar oleh pancaran kilat dan
deru dari guruh di angkasa.
Kiranya malam itu hujan turun dengan lebat. Karena atap kuil banyak yang tiris, airpun
masuk ke dalam dan mencurah ke muka Han Ping. Kini pikiran pemuda itupun sadar lagi.
Setelah mendapat penyaluran tenaga murni dari mendiang Hui Gong taysu,
sesungguhnya tenaga murni Han Ping itu mempunyai dasar yang kokoh sekali. Adalah
karena setelah terluka tak mempunyai kesempatan untuk beristirahat, maka lukanya
makin berat. Kini setelah beristirahat, karena pingsan tadi, darahnya yang bergolak itupun
mulai tenang dan kesadaran pikirannya bertambah. Ia menggeliat duduk.
Suasana kuil yang sunyi dan seram, membangkitkan kenangan Han Ping. Ia teringat
akan kematian kedua orangtuanya, gurunya yang merawatnya sampai dewasa dan paderi
Hui Gong yang telah menurunkan ilmu kesaktian. Kepada merekalah Han Ping merasa
berhutang budi. Dan kepada merekalah ia telah dibebani hutang darah yang harus
diimpaskan semua . . . .
Tiba pada kesimpulan lamunan itu, tersiraplah hatinya seketika. Diam-diam ia
menimang : "Ji Han Ping, Ji Han Ping ! Bagimu sendiri, mati itu memang tak penting.
Tetapi bagaimana dengan dendam sakit hati orangtuamu " Dan bagaimana pula janjimu di
hadapan Hui Gong taysu tempo hari " Walaupun beliau tak mengucapkan dengan jelas,
tetapi engkau tentu sudah mengetahui apa yang dimaksudkannya Betapa besarlah
harapan dari orang tua dan Hui Gng taysu yang diletakkan pada bahumu ! Mengapa
engkau begitu pengecut hendak menghindari tanggung jawab dengan jalan mati secara
sia-sia begini . . . ."
Mengenangkan hal itu, seketika lenyaplah keputus-asaan Han Ping. Gelora hidup
menyala pula dalam hatinya !
Ia menenangkan hati dan mulailah ia memikirkan daya untuk hidup. Berkat pikirannya
yang cerdas, dengan cepat ia teringat akan ajaran Hui Gong taysu tentang Tat-mo-ih-kinkeng.
Mulailah ia mengingat dan menghafalkan apa yang diajarkan Hui Gong taysu.
Tat-mo-ih-kin-keng merupakan sebuah kitab pusaka tentang ilmu silat sakti. Selain luas
isinya, pun sastra yang digunakan, amatlah dalam sekali artinya.
Setalah merenung keras, barulah Han Ping teringat akan bagian pelajaran untuk
mengobati sendiri luka yang dideritanya. Tetapi pengobatan itu memerlukan waktu tiga
hari dan harus dijaga oleh tokoh-tokoh sakti. Karena kalau sewaktu melakukan
pengobatan itu diganggu musuh, tentu akan celakalah.
Kuil itu rasanya tepat sekali. Sunyi dan seram. Hanya sayang tak ada yang jaga. Karena
sekali melakukan pengerahan tenaga untuk mengobati itu, tiga hari tiga malam sukarlah
pengerahan itu dihentikan. Sekali ada seorang musuh muncul, tak mungkin lagi ia
melawan. Sejenak Han Ping bersangsi. Tetapi hasrat untuk hidup lebih menyala keras. Dan ia
merasa tak banyak mempunyai musuh. Tanpa banyak pikir lagi, Han Ping segera duduk
bersila dan mulailah ia menyalurkan tenaga dalam menurut ajaran Hui Gong taysu.
Seketika ia rasakan tenaga murni mulai mengumpul dan hawa hangat mulai merangsang
ke dada lalu mengalir ke arah tangan dan kakinya. Pada lain saat, hati, perasaan dan
semangat serta pikiran Han Ping manunggal satu, menjelang kehampaan . . . .
Setelah sekali berhasil menjalankan peredaran darah, semangatnya makin segar. Pada
saat hendak menjalankan penyaluran yang kedua kalinya untuk mengenyahkan darah
bercampur racun yang mengeram dalam dada, tiba-tiba ia mendengar suara orang
berkata setengah meratap.
Jika suheng tak mau mengingat budi suhu yang telah mengajar kepandaian kepada
suheng, sukalah suheng memandang mukaku seorang adik seperguruan yang telah
melayani dan mempunyai ikatan batin sebagai saudara seperguruan dengan suheng.
Mohon suheng suka membebaskan suhu dari hukuman. Aku bersedia untuk menggantikan
suhu menerima hukuman perguruan kita !" demikian kata-kata orang itu.
Darah Han Ping tersirap seketika. Ia kenal suara orang itu. Karena tak tahan, ia
membuka mata dan memandang keluar. Tampak pengemis sakti Cong To sedang berlutut
di hadapan meja sembahyangan Sedang di sampingnya berlutut si pengemis kecil sambil
mengacungkan sebatang obor. Pemuda berpakaian bagus, Ho Heng Ciu tampak berdiri di
hadapan mereka sambil tangan kanannya mengangkat lencana emas dari perguruan Kimpaybun. Wajahnya memberingas, memancar sinar pembunuhan.
Terhadap ratapan si pengemis kecil, tampaknya Heng Ciu tak mengacuhkan.
Dipandangnya Cong To lekat-lekat dan tertawalah ia dengan dingin, serunya : "Suhu telah
melepas budi padaku selama 10 tahun lebih. Hatiku berterima kasih tak terhingga . . . ."
Cong To menghela napas : "Yang lalu biarlah berlalu. Lebih baik jangan diungkit lagi !"
Heng Ciu tertawa keras, ucapnya : "Pada permulaan masuk dalam perguruan, memang
suhu memperlakukan aku dengan baik. Tetapi sejak menerima sute, mulailah suhu pilih
kasih dan mengabaikan diriku. Banyak sekali ilmu kepandaian perguruan Kim-pay-bun
yang istimewa, secara diam-diam telah diberikan kepada sute. Hal itu benar-benar tak
dapat kuderita lagi. . . ."
Tiba-tiba Pengemis sakti Cong To mengangkat kepala. Matanya berkilat-kilat
memandang ke muka Heng Ciu dan tertawa dingin.
Heng Ciu menggigil. Buru-buru ia mengangkat lencana emas makin tinggi dan makin
nyaringlah ia berteriak : "Peraturan yang telah dicanangkan oleh pendiri perguruan Kimpaybun mengatakan. Orang yang memegang Kim-pay ini, bagaikan wakil pribadi dari
kakek guru pendiri perguruan. Tak peduli tinggi atau rendah, semua murid harus tunduk
pada perintah . . . ."
Tiba-tiba kilat memancar menerangi seluruh ruang sehingga obor yang dipegang
pengemis kecil itu suram seketika dan terkeratlah kata-kata Heng Ciu tadi.
Mendadak si pengemis kecil menengadahkan muka dan tertawa gelak-gelak. Nadanya
melengking tinggi, menusuk anak telinga.
"Mengapa engkau tertawa !" bentak Heng Ciu marah.
Pengemis kecil itu berhenti tertawa dan menyahut perlahan-lahan : "Suheng
mengatakan bahwa suhu diam-diam telah mengajarkan padaku ilmu kepandaian istimewa.
Apakah suheng menyaksikan sendiri atau hanya dugaan saja" Ketahuilah, hormat bakti
kepada guru merupakan peraturan yang diutamakan kaum persilatan. Bagaimana kita
dapat sembarangan menghina suhu. Aku, pengemis kecil belum pernah bohong seumur
hidup. Memang benar ada beberapa ilmu kepandaian yang suheng belum mempelajari.
Tetapi ketika suhu mengadiarkan kepadaku, kala itu suheng sudah meninggalkan
perguruan. Jika sepatah saja pengemis kecil bohong, biarlah Tuhan mengutukku !"
Tiba-tiba kilat memancar lagi. Halilintar memecah bumi. Heng Ciu terkejut. Ia
memandang ke arah wuwungan kuil.
Cong To menghela napas perlahan, serunya : "Apa yang hendak kau jatuhkan kepada
si pengemis tua, silahkan segera menyatakan. Aku sudah tua, tak begitu menghiraukan
lagi soal mati atau hidup."
Heng Ciu tertawa dingin : "Rupanya suhu ingin sekali segera mati agar impas
segalanya, bukan ?"- ia menengadah tertawa nyaring lalu : "tetapi, tidak semudah yang
suhu inginkan . . . ."
"Lalu bagaimana maksudmu ?" Cong To menggeram.
"Urusan suhu belum selesai, jika mati, sungguh mengecewakan sekali", kata Heng Ciu.
Cong To tertawa tawar : "Benar, pamanmu guru masih selalu ingat akan kitab pusaka
dari perguruan Lam-hay-bun. Ingin sebelum pengemis tua dan kecil mati, supaya
mengambil kitab pusaka itu dulu. Setelah menyerahkan kitab pada kalian barulah kalian
menghukum mati. Benar atau tidak ?"
"Menilik kepandaianmu, dewasa ini tiada tandingannya lagi dalam dunia persilatan. Jika
mengambil secara diam-diam gagal, dapatlah merebutnya secara terang-terangan !" Heng
Ciu tertawa. "Nama dan kewibawaan suhu, setiap orang persilatan amat mengindahkan. Jika suheng
benar-benar tak mau membebaskan suhu, lebih baik segera menyempurnakannya saja
agar jangan sampai menodai namanya !" kata si pengemis muda.
Sahut Heng Ciu dingin : "Aku sedang bicara dengan suhu. Mengapa engkau berani
sambung mulut" Kuberimu hukuman 20 kali menampar mulut !"
Pengemis kecil itu memandang sejenak ke arah Cong To. Obor dipindah ke tangan kiri
dan mulailah ia ayunkan tangan kanan untuk menampar mukanya sendri. Tar, tar, tar, tar.
. . . hingga 20 kali baru berhenti.
Rupanya pengemis kecil itu menampar mukanya sendiri dengan sungguh-sungguh.
Kedua belah pipinya merah begap dan mulut mengucur darah.
Ho Heng Ciu tersenyum : "Peraturan perguruan Kim-pay-bun amat keras sekali.
Terutama terhadap guru dan angkatan tua harus hormat dan taat. Tetapi engkau berani
banyak usil mulut. Jika tak mengingat sebagai saudara seperguruan malam ini tentu akan
kujatuhkan hukuman potong kedua belah tanganmu . . . ."
Cong To tertawa nyaring : "Sudahlah, tak perlu membikin susah sutemu. Pengemis tua
sudah tak sabar menunggu lagi. Jika engkau tak lekas menurunkan amanat Kim-pay untuk
menjatuhkan putusan terhadap pengemis tua, aku segera akan menghantam ubun-ubun
kepalaku sendiri sampai binasa di hadapan Kim-pay sebagai bakti terima kasihku terhadap
kakek guru !"
Ucapan itu mempunyai pengaruh besar sekali. Heng-ciu tertegun. Diam-diam pemuda
itu menimang "Ah, jika dia benar-benar bunuh diri, sekalipun sebuah duri dalam daging
sudah lenyap, tetapi kitab pusaka Lam-hay-bun itu tentu sukar diperoleh. Tujuan susiok
(paman guru) adalah untuk mendapat kitab pusaka itu. Jika aku tak dapat
mempersembahkan kitab itu, dikuatirkan ia akan marah !"
"Kali ini tindakan murid kepada suhu, adalah atas perintah susiok. Kiranya suhu tentu
sudah memaklumi", katanya dengan tersenyum.
Cong To menghela napas dan tundukkan kepala tak menyahut.
"Susiok telah menyerahkan benda lambang kekuasaan tertinggi dari Kim-pay-bun
kepadaku. Beliau menegaskan, asal suhu dapat menyerahkan kitab pusaka Lam-hay-bun
itu kepadaku, beliau bersedia untuk bertemu muka lagi dengan suhu."
"Benarkah itu ?" mata Cong To berkilat-kilat.
"Bagaimana murid berani membohongi suhu ?" sahut Heng Ciu.
Tiba-tiba Cong To menghela napas pula, ujarnya : "Pengemis tua akan berusaha sekuat
tenaga. Tetapi orang-orang Lam-Hay-bun itu tinggi-tinggi kepandaiannya. Akan
berhasilkah usahaku, sukar untuk diramalkan".
"Murid tahu betul bahwa kepandaian suhu sangat tinggi. Jika memang mau berusaha
sungguh-sungguh, tentu tiada kesukarannya", kata Heng Ciu.
Tiba-tiba wajab Cong To berobah bersungguh, katanya serius : "Tiga hari lagi,
undanglah dia ke kuil ini. Jika pada waktu itu pengemis tua tak mampu menyerahkan kitab
Lam-hay-bun, aku akan menebus dosa di hadapan Kim-pay . . . ."
"Beliau mau menerima undangan itu atau tidak, murid belum tahu. Tetapi murid pasti
akan menyampaikan pesan suhu itu kepada beliau", kata Heng Ciu.
"Jika dia tak datang, andaikata aku berhasil merebut kitab Lam-hay-bun, juga takkan
kuserahkan kepadamu. Asal kuusir sutemu sebelum aku mati dihadapan Kim-pay, dia
tentu bebas dari peraturan Kim-pay-bun !" kata Cong To.
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gentarlah hati Heng Ciu mendengar ucapan itu. Pikirnya : "Setan tua ini benar-benar
berwibawa sekali. Setiap orang persilatan jeri kepadanya. Satu-satunya yang paling
ditakuti hanyalah terhadap susiok saja. Jika beliau tak datang, pengemis tua ini tentu tak
mau menyerahkan kitab itu kepadaku. Dan kalau dia mengeluarkan pengemis kecil dari
perguruan dan menyuruhnya membawa kitab itu pergi, selain susiok akan menubruk
angin, pun akan menimbulkan bahaya di kemudian hari"
Cepat ia mengambil kesimpulan dan tersenyum : "Kalau suhu benar-benar ingin
berjumpa susiok, murid akan berusaha keras untuk membujuk agar beliau suka datang
kemari . . . ."
Ia berhenti sejenak lalu berkata pula : "Dalam usaha untuk mengambil kitab pusaka itu,
suhu tentu akan menghadapi pertempuran seru. Maka kali ini murid dapat membebaskan
hukuman kepada suhu. Tiga hari menjelang tengah malam kita bertemu lagi disini !"
Cong To berbangkit dan memberi hormat ke arah Kim-pay, katanya : "Tiga hari lagi
pengemis tua akan menunggu kedatangan kalian disini !"
Sekali bahunya menggeliat, ia meluncur keluar dan lenyap.
Pengemis kecilpun berdiri : "Terima kasih atas budi suheng sehingga pengemis kecil
masih memiliki sepasang tangan !"
Obor dilemparkan keluar, ruangan gelap dan kedua saudara seperguruan itupun loncat
keluar dari ruang kuil.
Saat itu hujan sudah berhenti. Tetapi cakrawala masih diliputi awan tebal. cuaca gelap.
Sejak mengikuti peristiwa itu, Han Ping menahan napas. Dia menyadari bahwa saat itu
tenaga murninya masih belum pulih. Jangankan tokoh persilatan, bahkan seorang biasa
saja dapat memukulnya mati. Setelah memastikan bahwa Cong To, Heng Ciu dan
pengemis kecil itu sudah pergi barulah ia berani membuka napas dan melanjutkan
pengobatan dengan penyaluran tenaga murni.
Tetapi pikirannya tak tentram. Ia masih mempunyai kesan terhadap persoalan
Pengemis sakti Cong To dengan muridnya si pemuda baju biru itu. Ia menaruh perindahan
kepada Pengemis sakti maka tanpa disadari perhatiannyapun menumpah kepada Cong To.
Lama sekali baru ia dapat menindas dan mengosongkan pikirannya. Kala itu haripun
sudah terang tanah. Ia memperoleh pengalaman baru dalam hal penyembuhan dengan
penyaluran tenaga dalam. Ia berhasil menyatukan pikiran, mengerahkan tenaga murni ke
seluruh tubuh dan menghampakan keakuan . . . .
Ilmu ajaran tenaga dalam dari Hui Gong taysu, berasal dari aliran perguruan agama.
Padri sakti itu telah menyalurkan seluruh tenaga murni ke tubuh Han Ping sehingga ia
sendiri kehabisan tenaga murni itu dan meninggal. Sekalipun Han Ping belum dapat
mengembangkan tenaga murni setaraf dengan Hui Gong, tetapi sekurang-kurangnya ia
telah mencapai 5-6 bagian. Suatu tingkat yang belum mampu untuk menggerakkan
tenaga murni menurut sekehendak hati, namun sudah cukup untuk menyerapkannya ke
dalam urat-urat nadi tubuhnya.
Ketika ia melakukan penyaluran tenaga dalam untuk yang kedua kalinya, saat itu sudah
tengah hari. Telinganya terngiang oleh lengking tertawa yang tak henti-hentinya. Ia
terkejut dan membuka mata. Ah, ternyata kedua nona Ting tengah duduk di tengah ruang
dan bercakap-cakap dengan riang tertawa.
"Adikku, sekarang sudah menjelang tengah hari, kita harus mengisi perut", kata Ting
Ling. "Benar, memang perutku sudah lapar !" Ting Ling mengambil bakul yang terletak di
samping dan ditaruhkan di hadapan mereka. Ternyata bakul itu berisi kue bakpau.
"Perut kosong, bakpaupun enak juga," katanya sambil melahap kue itu.
"Ci, arak dan sayuran itu tentu sudah dingin. Biarlah kutambahi kayu bakar untuk
memanasinya," kata Ting Hong.
"Bagus, patung-patung arca penunggu kuil ini entah sudah berapa puluh tahun tiada
orang yang menyembahjangi. Baiklah, kita akan melakukan hajat baik. Arak dan sayuran
itu kita hidangkan dulu kepada malaikat penunggu disini baru kita makan", kata Ting Ling.
Ting Hong tertawa dan berbangkit sedang Ting Lingpun segera mengeluarkan isi bakul.
Ternyata mereka sudah mempersiapkan bekal yang lengkap.
Sehari semalam tak makan, walaupun berkat tenaga dalam yang tinggi Siu-lam dapat
tahan lapar, tetapi karena hidungnya terbaur bau arak yang wangi dan masakan yang
sedap, berontaklah isi perutnya merintih-rintih . . . .
Tak berapa lama muncullah Ting Hong dengan membawa kayu bakar. Kedua nona itu
membuat api di ujung ruang. Memanasi arak dan masak sayur. Ternyata Ting Ling pandai
masak. Han Ping hampir tak tahan mencium bau masakan yang lezat. Hampir saja ia
hendak memanggil kedua nona itu untuk minta hidangan. Tetapi setiap kali mulut hendak
berteriak, ia dapat menelannya kembali. Ia tahu bahwa kedua nona itu memang sengaja
hendak memperolok-olok dengan bau masakan lezat. Walaupun lapar sekali, ia tetap tak
mau minta makan. Dengan sekuat tenaga ia tahan rasa lapar dan pejamkan mata
menyalurkan tenaga dalam.
Pada waktu untuk yang ketiga kalinya ia menyalurkan peredaran darah, saat itu hari
sudah menjelang petang. Ketika membuka mata, tampak kedua nona itu tegak di samping
sambil mengulum senyum tawa.
Ting Ling berjongkok perlahan-lahan, ujarnya : "Sehari semalam tak makan, apakah
tidak lapar " Makanlah, mumpung arak dan sayurnya masih hangat !"
Han Ping menundukkan kepala. Ia terkesiap. Di hadapannya terhidang beberapa
pinggan masakan lezat.
"Eh, kalian tahu aku berada disini ?" tanyanya sesaat kemudian.
"Mengapa tidak " Sekalipun engkau bersembunyi di ujung langit, kami tetap dapat
mencarimu !" Ting Hong tertawa.
Ting Ling menarik adiknya supaya ikut berjongkok, kemudian berkata kepada Han Ping
: "Ih, jangan angkuh-angkuhlah. Sama sekali engkau tak tahu hidangan yang kami
sediakan di hadapanmu. Jika kami bermaksud jahat, sekalipun engkau mempunyai nyawa
rangkap sepuluh lembar, pun tak mungkin engkau dapat menjaga . . . ."
Nona itu menghela napas, katanya pula : "Engkau memang gegabah sekali. Masakan di
tempat yang begini sunyi engkau berani melakukan persemedian tanpa penjagaan suatu
apa. Jangankan orang jahat, sedang apabila muncul binatang buas kemari, katakan
misalnya ular berbisa, bukankah jiwamu terancam bahaya maut " Memang kutahu engkau
berani mati. Tetapi mati dalam mulut harimau atau ular berbisa, adalah suatu kematian
yang mengecewakan. Mengecewakan harapan orang tua dan budi suhumu yang telah
menggemblengmu dengan jerih payah !"
Kata-kata itu diucapkan Ting Ling dengan lemah lembut dan bersungguh-sungguh.
Diam-diam Han Ping malu hati dan merasa bersyukur. Akhirnya ia menghela napas : "Ah,
terima kasih atas nasehat nona . . ."
Ting Hong menyelutuk tertawa : "Kalau sekarang sih tak mengapa. Ada ciciku yang
menjagamu, engkau boleh menyalurkan tenaga dalam mengobati lukamu !"
"Ah, bagaimana aku berani menyuruh . . . ."
"Sudahlah, lekas makan dan yang penting segera mengobati luka."
Han Ping menurut, setelah makan, ia mulai bersemedhi pula menyalurkan tenaga
dalam. Cepat sekali tiga hari telah berlalu. Di bawah penjagaan dan rawatan kedua nona itu,
dapatlah Han Ping menjalankan pengobatan dengan tenaga dalam, Ia merasa
semangatnya segar kembali.
Pada petang itu ketika terjaga dari persemedhian, Han Ping benar-benar rasakan
tenaga murninya sudah mulai mengokoh, urat-urat nadinya lancar.
"Sebelum tengah malam, lukaku tentu sembuh sama sekali. Tak tahu bagaimana aku
harus menghaturkan terima kasih atas kebaikan nona berdua . . . ."
Ting Ling tertawa : "Sudahlah, jangan mengatakan soal kebaikan. Kita hanya
membantu merawatmu sekedarnya. Jangan banyak memikir yang bukan-bukan . . . ."
"Hai, celaka !" tiba-tiba Ting Hong menjerit.
"Mengapa ?" Han Pingpun terkejut. Ting Ling pun menegur adiknya.
Ting Hong mengeluarkan obat pemberian dari penjaga gedung bertingkat tempo hari :
"Aku lupa untuk menyuruhkan minum obat penawar ini !"
Han Ping geleng-geleng kepala tertawa : "Ah, tak perlu minumlah. Aku sudah hampir
sembuh !" "Dunia persilatan penuh dengan akal muslihat yang tak diduga. Tetapi obat itu
kemungkinan memang bermanfaat juga", kata Ting Ling, "mungkin karena tertindas oleh
tenaga dalam, racun dalam tubuhmu itu tak dapat bekerja. Tetapi jika dalam tubuh masih
mengandung racun juga suatu bahaya. Lebih baik minum sajalah !"
Diambilnya obat itu dari Ting Hong lalu dituang sebutir dan dibaunya dan dijilatnya :
"Minumlah, jangan kuatir !"
Han Ping terpaksa menurut. Tetapi begitu masuk ke dalam perut, ia rasakan sesuatu
yang tak wajar : "Siapakah yang memberikan pil itu kepadamu. . . ."- ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena saat itu tubuhnya panas seperti dibakar sehingga sukar
untuk mengerahkan tenaga dalamnya.
"Ci, bagaimana ini ?" Ting Hong gugup.
Ting Ling sendiripun kaget. Tetapi ia tetap tenang. Dirabanya kening Han Ping. Diamdiam
nona itu menimang dalam hati : "Jika pil tadi beracun, setelah obat itu mereda
khasiatnya, dia tentu marah kepada kami berdua. Dengan tenaga dalamnya yang tinggi,
tentu ia dapat menekan lukanya itu dan pada saat-saat masih dapat bernapas, ia tentu
akan menyerang kami berdua. Sekalipun kami berdua tak bermaksud hendak
mencelakainya, tetapi karena urusan berbalik begini, dia tentu akan membunuh kami.
Baiklah aku berjaga-jaga menghadapi kemungkinan itu".
Ting Ling seorang nona yang licin dan kaya dengan tipu muslihat. Sekalipun terhadap
pemuda yang dicintainya, dalam detik-detik terakhir ia tetap memperhitungkan laba rugi.
Dan terkilaslah cita-cita membunuh apabila keadaan perlu diam-diam ia kerahkan tenaga
dalam. Begitu Han Ping hendak bergerak, akan ia dahului lebih dulu menghancurkannya.
Ternyata setelah tubuhnya membara, keringat deras mulai membasahi sekujur badan
Han Ping, Ia pejamkan mata dan mulailah terlintas rasa kecurigaannya terhadap kedua
nona itu. Keringat Han Ping menyiarkan bau busuk tetapi Ting Ling malah lega perasaannya, ia
membisiki adiknya : "Racun dalam tubuhnya telah dikeluarkan oleh daya obat tadi.
Sediakan saja air untuk membasuh muka".
Dugaan Ting Ling memang benar. Tak sampai sepeminum teh, Han Ping membuka
mata dan menegur Ting Hong : "Siapa yang memberi obat itu kepadamu. Hendak
kutamparnya !"
"Eh, mengapa engkau hendak memukul orang yang bermaksud baik menolongmu
?"Ting Ling tertawa.
"Dia memberi racun kepadaku !"
Ting Ling tertawa : "Salahmu terlalu kesusu meminum hingga obat itu bekerja serentak.
Tetapi ada baiknya juga. Karena keras, racun dalam tubuhmu cepat didesak keluar melalui
keringat. Sekarang lukamu baru sembuh benar-benar. Lekas menyalurkan napas lagi,
malam ini mungkin terjadi sesuatu".
Teringat serentak Han Ping akan Heng Ciu yang malam itu hendak mengundang paman
gurunya ke kuil untuk berjumpa dengan Pengemis sakti Cong To. Jika kedua belah pihak
terjadi perselisihan paham tentu akan timbul pertempuran.
"Kuharap nona berdua suka bersembunyi di luar. Siapa tahu dalam kuil ini akan terjadi
pertempuran dahsyat. Kalian berada disini tiada banyak bermanfaat padaku tetapi
sebaliknya membahayakan kalian".
Ting Ling tertawa : "Kamipun sudah tahu. Lekas salurkan peredaran tenaga dalammu,
siapa tahu engkau akan ikut campur dalam pertempuran itu".
"Aku sudah menguji kepandaian Pengemis sakti Cong To. Memang lihai sekali. Ho Heng
Ciupun tak menang dengan pengemis kecil itu. Meskipun belum pernah mengetahui
kesaktian paman guru pemuda itu, tetapi tentulah seorang tokoh hebat juga. Andaikata
mereka melihat aku disini sedang mengobati luka, mereka tentu takkan berbuat apa-apa.
Tetapi kalau nona berdua juga berada disini, tentulah lain keadaannya. Jika terbit
perkelahian, saat ini kita bukan tandingan mereka !"
Sejenak Ting Ling merenung : "Memang beralasan juga", katanya, jika kami berdua
disini tentu akan menimbulkan kecurigaan mereka. Tetapi, pun kalau tinggalkan engkau
seorang diri, juga berbahaya. Jika ketahuan mereka tentu takkan membiarkan saja !"
Han Ping tertawa. Ia menerangkan bahwa mereka tentu menduga bahwa ia datang ke
kuil situ tanpa sengaja karena hendak merawat luka.
Ting Ling menghela napas : "Mencuri lihat pelajaran dari lain partai, merupakan
pantangan besar. Kecuali mereka tak mengetahui dirimu, engkau tentu selamat. Tetapi
sekali mereka tahu, jangan harap mau memberi ampun. Sekalipun tidak dibunuh tentu
akan dicungkil biji matamu atau dipotong lidahmu, kedua tanganmu dan yang paling
ringan dipapas dua buah jari tanganmu. Meskipun perguruan Kim-pay-bun tidak tergolong
partai besar, tetapi juga seorang partai persilatan. Sudah tentu mereka menjalankan juga
peraturan dunia persilatan dalam hal memberi hukuman. Kiranya yang paling selamat, kita
segera angkat kaki dari sini sebelum mereka datang".
"Tidak", Han Ping menolak, "pengalamanku yang terakhir kali, menyangkut kepentingan
dunia persilatan, menang atau kalah. Jika menggunakan kekerasan, tentu akan sia-sia
saja". "Bagaimana kalau kupakai sebilah papan untuk menggotohgmu. Engkau dapat
menyalurkan tenaga dalam sembari memberi petunjuk jalan. Kami yang memanggul
papan itu". Ting Hong tertawa.
Han Ping gelengkan kepala : "Tidak, pada saat menyalurkan hawa murni tubuh, tak
boleh berguncang. Sebaiknya kalian tinggalkan tempat, jangan mengurus aku lagi !"
Memandang ke langit, Ting Ling berkata : "Sekarang masih banyak waktu, Mungkin
dalam waktu singkat ini engkau dapat menyelesaikan pengobatanmu terakhir. Sekarang
setiap detik berharga sekali. Lekas gunakan sebaiknya agar nanti jangan menyesal !"
"Jika pengobatanku ini dapat selesai sebelum tengah malam, keadaannya
menguntungkan. Tetapi kalau tak dapat selesai, tentu lain keadaannya," kata Han Ping.
Ting Ling mendesak supaya pemuda itu lekas mulai bersemedhi. Han Pingpun menurut.
Karena tubuhnya sudah bersih dari racun, kini darahnya menyalur lancar. Dalam waktu
singkat saja ia sudah dapat mengosongkan pikirannya.
Ketika membuka mata, ternyata ruang kuil sudah diterangi oleh lilin. Melongok ke arah
luar, tampak Pengemis sakti Cong To dan si pengemis kecil, sudah datang. Keduanya
tegak berdiri di tengah ruang menghadapi Ho Heng Ciu yang tengah mencekal Kim-pay.
Muka pemuda itu tampak gelisah.
Pengemis sakti Cong To mengulum senyum dingin. Wajahnya sayu muram. Sedang
wajah si pengemis kecilpun tampak gelisah. Ia berdiri di samping gurunya dengan kepala
menunduk . . . .
Perlahan-lahan Han Ping menghela napas . Ia berpaling ke belakang. Tampak Ting Ling
dan Ting Hong, bersembunyi di belakang. Ia kerutkan dahi dan hendak mendamprat.
Tetapi tiba-tiba Ting Ling memberi isyarat dengan lekatkan jari ke mulutnya. Han Ping
terpaksa menelan kembali kata-kata ucapannya.
Tempat persembunyian Han Ping dan kedua nona itu terletak di belakang meja arca.
Suatu tempat yang teraling oleh bayangan permukaan meja. Jika tak memperhatikan
dengan seksama, sukar untuk melihat ketiga anak muda itu. Dan Ting Ling memang
cermat sekali. Sebelumnya ia memang sudah menghilangkan semua bekas yang
dipergunakannya. Oleh karena Cong To dan si pengemis kecil sedang ditimpa masalah
tegang merekapun tak sempat memperhatikan keadaan di sekeliling ruang itu. Sedangkan
Heng Ciu jarang keluar ke dunia persilatan. Dia tak dapat menduga tentang kemungkinan
itu. Dengan demikian dapatlah Han Ping dan kedua nona Ting bersembunyi dengan aman.
Pengemis sakti Cong To menghela napas panjang, tanyanya kepada pengemis kecil :
"Jam berapakah sekarang ini ?"
Pengemis kecil melongok ke cakrawala dan mengatakan bahwa saat itu kurang lebih
jam setengah sebelas malam.
Heng Ciu tertawa dingin, ucapnya : "Jika susiok sudah berjanji datang, tentu akan
menetapi janjinya !"
Kembali Cong To menghela napas dan perlahan-lahan duduk bersila, pejamkan mata
bersemedhi. Dengan lwekangnya yang tinggi dapatlah ia sekejap mata saja sudah
mengosongkan pikirannya.
Baru beberapa saat, tiba-tiba ia mendengus dan membuka matanya lagi. Belum sempat
ia membuka mulut, terdengarlah bunyi harpa dan pada lain saat masuklah seorang wanita
cantik berpakaian sutra hijau, diiring oleh empat dayang saja berpakaian warna merah . . .
. Heng Ciu menyingkir dua langkah ke samping dan membungkuk tubuh memberi
hormat : "Murid Ho Heng Ciu dengan hormat menyambut kunjungan susiok".
Wanita cantik berpakaian sutra hijau itu tersenyum. Sejenak ia memandang pemuda itu
lalu melangkah ke tempat Pengemis sakti Cong To.
Cong To berbangkit memberi hormat dengan ucapan tertawa ramah : "Sudah 10 tahun
lebih kita tak berjumpa. Keadaan sumoay masih serupa dulu."
Wanita cantik itu tertawa hambar : "Suheng mencari aku kemari, entah hendak
memberi petunjuk apa saja ?"
Pengemis sakti Cong To termahsyur di daerah Kanglam-Kangpak. Tiada seorang tokoh
persilatan yang tak mengindahkan kepadanya. Tetapi anehnya, ia seperti kehilangan
kewibawaannya ketika berhadapan dengan wanita cantik itu. Beberapa saat kemudian
barulah ia dapat membuka mulut dengan tergugu-gugu : "Dalam hal ini, sesungguhnya
aku tak berani menerima kehormatan sumoay, tetapi . . . ."
Cukup lama kiranya wanita cantik itu memberi waktu Cong To untuk bicara. Tetapi
karena sampai sekian jenak belum juga Cong To mengatakan kelanjutan dari
perkataannya itu, akhirnya wanita cantik itu kerutkan alis dan menukas : "Karena ternyata
tiada sesuatu yang penting, lebih baik aku kembali saja . . . ."- habis berkata wanita cantik
itu berputar tubuh dan melangkah pergi.
"Harap sumoay berhenti dulu. Aku hendak bicara", buru-buru Cong To berseru
mencegah. Tampak wajah wanita cantik itu mengerut kurang senang, ucapnya : "Lekas
katakanlah, aku tak punya waktu berada disini lama-lama".
Cong To menghela napas : "Peristiwa yang lampau, kini sudah lalu. Apakah sumoay
masih mendendam dalam hati ?"
Wanita cantik baju hijau itu tertawa mengekeh : "Ah, suheng terlalu sungkan.
Bagaimana aku berani mendendam padamu " Hm, hm, aku tiada tempo lagi untuk
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenangkan peristiwa yang sudah lapuk !"
"Kalau begitu, baiklah kuberanikan diri untuk bicara lebih lanjut. Demi memandang
wajah mendiang suhu kita, sudilah kiranya sumoay menyerahkan Kim-pay itu kepadaku.
Agar ilmu kepandaian dari partai Kim-pay-bun kita tak sampai musnah di dunia persilatan.
Tentang diriku, terserah saja bagaimana sumoay hendak memberi keputusan. Aku sudah
tua, sudah tak menghiraukan lagi soal mati atau hidup !"
Wanita cantik itu menyahut tawar : "Kakek guru pendiri partai Kim-pay-bun, sudah
meninggalkan pesan. Siapa yang berhasil mendapatkan Kim-pay itu, dialah yang menjadi
ahli waris partai. Karena Kim-pay itu berada di tanganku, sudah tentu kuanggap diriku
menjadi ketua Kim-pay-bun. Kata-kata suheng tadi benar-benar menghina pesan yang
ditinggalkan kakek guru pendiri partai. Dan ternyata suheng masih berani
mengucapkannya !"
Mendapat dampratan itu, Cong To tertegun diam. Pada saat ia hendak membuka mulut,
wanita cantik itu sudah mendahului : "Dan lagi suheng kan sudah mempunyai anganangan
mati. Jika kuserahkan Kim-pay itu, dikuatirkan muridnya yang tak becus itu, tak
mampu melindungi Kim-pay kita. Jika Kim-pay sampai jatuh ke tangan orang atau direbut
lain orang, hal itu tentu merupakan hinaan maha besar bagi kakek guru kita turun
menurun !"
Heng Ciu mengeluarkan pandang ke arah Cong To dan si pengemis kecil, ujarnya :
"Setelah membenam diri dalam gunung terpencil, susiok telah berhasil mempelajari
berbagai ilmu kepandaian Kim-pay-bun yang sakti. Kali ini keluar dengan membawa citacita
hendak mencanangkan diri kepada dunia persilatan. Partai-partai persilatan dan tiga
marga It-kiong, Ji-koh, Sam-taypoh yang termahsyur itu akan diajak untuk mengukur
kepandaian !"
"Apa ?" Cong To terbeliak kaget, "Menurut peraturan yang digariskan kakek guru, turun
temurun jabatan ahli waris itu hanya diberikan kepada dua murid. Memang boleh saja
menjalankan dharma kebaikan di dunia persilatan. Tetapi jika hendak meningkatkan sepak
terjang untuk menguasai dunia persilatan, tentu harus memperluas menerima muridmurid.
Hal itu bertentangan dengan pesan kakek guru. Mengapa hendak dilaksanakan ?"
Tiba-tiba wajah si cantik itu mengerut gelap, ujarnya dingin-dingin : "Mengapa hal itu
tak boleh" Walaupun turun temurun hanya diwariskan pada dua orang, tetapi tidak ada
peraturan yang membatasi jumlah penerimaan murid. Jika kuterima murid secara luas,
akan kubagi tingkatan mereka menurut tinggi rendahnya kepandaian. Dengan demikian
tidak menyimpang dari garis ketentuan perguruan kita tetapi dapat pula mengembangkan
kemajuan partai Kim-pay-bun".
"Dengan demikian sumoay sudah memutuskan untuk memperbesar perguruan kita dan
tak menghiraukan segala apa lagi !"
"Karena Kim-pay berada dalam tanganku, akulah ketua partai Kim-pay-bun. Engkau
berani menghina aku, masakan aku tak berani menjatuhkan hukuman kepadamu ?" seru
wanita cantik itu dengan murk a.
Cong To menengadahkan muka dan tertawa nyaring : "Selama malang melintang di
dunia persilatan, pengemis tua itu tak pernah mengedipkan mata menghadapi musuh
yang bagaimana saktinya. Hanya sebuah hal yang paling mengecewakan hidupku yakni
tak dapat merebut kembali Kim-pay perguruan kita. Jika malam ini menghadap Kim-pay,
rasanya matipun tak menyesal . . . ."
Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat lengan baju menutupi mulutnya yang merekah
tawa : "Memang kemunculanku di dunia persilatan kali ini, telah kudengar sanjung pujaan
orang terhadap kemahsyuran nama suheng. Dan ternyata apa yang kusaksikan, memang
suatu kenyataan. Nama suheng amat menggetarkan di seluruh wilayah Kanglam-Kangpak
!" "Ah, ah, jangan terlalu menjunjung pengemis tua . . . ."
"Tentulah kemahsyuran nama suheng itu bukan jatuh dari langit", tukas si wanita
cantik, "melainkan dengan modal keberanian yang menyala-nyala dan kesaktian yang
gilang gemilang. Apabila karena hal itu, suheng binasa begitu saja, apakah tak sayang
akan kemahsyuran nama suheng ?"
Ting Ling berbisik ke dekat telinga Han Ping : "Wanita itu luar biasa licinnya. Entah ia
hendak memasang jerat apa kepada Pengemis sakti . . . ."
Pengemis sakti tertawa nyaring : "Pengemis tua memang bodoh sehingga tak mengerti
apa maksud ucapan sumoay itu . . . ."
Setelah menghadapi pembicaraan beberapa saat, rupanya Pengemis sakti itu mendapat
pulang keberaniannya lagi.
Wanita cantik itu tiba-tiba mengisar langkah, menatap si pengemis sakti. Wajahnya
berseri-seri laksana bunga segar mekar.
Rupanya Cong To tak berani beradu pandang dengan seri wajah si wanita yang riang.
Ia tundukkan kepala dan menyurut mundur dua langkah.
Melihat itu, pengemis kecil kerutkan alis dan mengisar ke samping gurunya. Sedang
Heng Ciupun cepat beringsut di belakang si wanita cantik, menjamah bahu wanita cantik
dan ditariknya mundur tiga langkah.
Heng Ciu dahulu adalah murid Pengemis sakti. Karena wanita cantik itu adik
seperguruan dari Pengemis sakti. Dengan demikian Heng Ciu adalah murid kemenakan
dari wanita cantik itu. Tetapi perbuatan Heng Ciu menarik bahu wanita yang menjadi bibi
gurunya itu, benar-benar merupakan tingkah laku yang liar.
Melihat itu berobahlah wajah Pengemis sakti. Ia mendengus dingin dan serentak
mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepalanya.
Heng Ciu cepat mengangkat Kim-pay dan membentak : "Hayo, berlutut !"
Melihat itu Pengemis sakti terpaksa berlutut. Pengemis kecilpun segera ikut berlutut.
Waktu ditarik mundur tadi, si wanita cantik hanya kerutkan alis tetapi tak marah. Ia
melirik Heng Ciu tetapi tak mencegah perbuatan Heng Ciu yang mengacungkan Kim pay
itu. Wanita cantik itu menyisih ke samping. Ia memandang ke sekeliling.
Sepasang mata Heng Ciu memancar penuh dendam kemarahan kepada Cong To :
"Murid telah melaksanakan perjanjian yakni mengundang susiok kemari bertemu dengan
suhu. Entah apakah tugas yang telah kita sepakati dalam perjanjian itu, telah suhu
lakukan ?"
Pengemis sakti sapukan matanya kepada Heng Ciu, lalu memandang kepada si wanita
cantik, serunya : "Dalam peraturan perguruan kita tercantum bahwa Kim-pay kita itu tak
boleh dijabat oleh dua orang. Orang yang memegang Kim pay harus dianggap sebagai
pribadi kakek guru, Sumoay mengatakan bahwa sumoay memiliki Kim-pay, karenanya
sumoaylah yang menjadi ketua partai. Tetapi apa sebab sumoay membiarkan Kim-pay itu
berada di tangan orang lain " Kepada siapakah aku harus tunduk perintah ?"
Wanita cantik itu tertawa : "Dalam kedudukan sebagai ketua partai Kim-pay-bun,
kuangkat Heng Ciu mewakili aku mengeluarkan amanat. Apakah hal itu tak boleh ?"
Pengemis-sakti Cong To menghela napas : "Ya, ya, sudahlah . . . . Pengemis tua tak
ingin melihat Kim-pay perguruan kita dihina orang. Lebih baik dari pada menjadi buah
tertawaan orang, pengemis tua mati saja di bawah perintah Kim-pay. Hm, lebih baik mati
dari pada mata tak kuat memandang hal-hal yang kotor . . . ."
Heng Ciu tertawa dingin : "Sekalipun engkau kepingin mati tetapi dikuatirkan tak
semudah itu . . . ." - tiba-tiba ia mengangkat Kim-pay tinggi-tinggi, serunya : "Tiga hari
yang lalu telah kuberi amanat Kim-pay. Engkau harus dapat merebut kitab pusaka dari
perguruan Lam-hay-bun. Kini saat perjanjian itu sudah penuh. Mengapa engkau tak lekaslekas
menghaturkan kitab pusaka itu " Apakah maksudmu ?"
"Pengemis tua sudah berusaha sekuat tenaga untuk merebut kitab itu, tetapi tokohtokoh
Lam-hay-bun merintangi keras. Oleh karena mereka sakti-sakti, terpaksa sampai
detik ini aku belum berhasil merebut kitab mereka. Atas kesalahan itu, pengemis tua
bersedia menerima hukuman partai !"
Heng Ciu berpaling kepada wanita cantik itu : "Cong To belum berhasil mendapatkan
kitab pusaka. Bagaimana kita akan menindaknya ?"
Wajah wanita itu berobah, kebutkan lengan baju dan menlesat ke hadapan Cong To.
Tegurnya dingin : "Jika belum mendapatkan kitab itu, perlu apa engkau suruh aku datang
kemari ?" Tiba-tiba pengemis kecil menyelutuk : "Meskipun suhu belum berhasil mendapat kitab
itu, tetapi beliau telah berusaha dengan sekuat tenaga. Beliau telah bertempur sehari
semalam sehingga habis tenaga. Sejak ikut pada suhu, belum pernah pengemis kecil
menyaksikan suhu bertempur dengan orang sampai begitu hebat. Karena seorang diri,
suhu tak dapat menghadapi lawan yang berjumlah lebih banyak dan menggunakan siasat
bergilir. Pengemis kecil tidak punya kepandaian, meskipun ingin membantu tetapi tak
mampu turun tangan . . ."
Wanita cantik itu tertawa sinis dan membentaknya : "Tutup mulutmu ! Dalam urusan
besar ini, bagaimana engkau berani turut campur mulut !"
Cong To tertawa gelak-gelak : "Untunglah pengemis tua tak dapat merebut kitab itu.
Jika dapat, tentu akan berdosa terhadap arwah para kakek pendiri perguruan Kim-paybun".
Wanita cantik itupun tertawa mengikik : "Engkau sangka kalau tak mendapat kitab
pusaka dari Lam-hay-bun itu aku tak berani memperluas perguruan kita . . . . ?"
Nadanya agak gentar dan tiba-tiba ia berganti dingin : "sikap suheng memandang
kematian seperti pulang ke rumah itu, benar-benar membuat aku kagum. Tetapi kita
tunggal seperguruan dan mengingat budi suheng yang telah banyak membantu kepadaku
ketika sedang menuntut pelajaran, jika suruh aku turun tangan sungguh hatiku tak
sampai". Mendengar itu, berseri rianglah wajah si pengemis kecil. Serta merta ia berlutut
memberi hormat : "Sejak berpisah dengan susiok, tak seharipun suhu tak mengenangkan .
. . ." Tiba-tiba wanita cantik ulurkan tangan mendorong Cong To lalu bertanya sambil
tertawa : "Benarkah siang malam suheng mengenangkan diriku ?"
Cong To menghela napas : "Jika sumoay hendak menghukum diri pengemis tua ini,
silahkan turun tangan saja. Cara menyiksa batin begini, sungguh membuat pengemis tua
tak dapat mati dengan meram !"
Tiba-tiba teringatlah si pengemis kecil bahwa makin susioknya itu tertawa manis, makin
ganaslah tindakannya. Diam-diam hatinya tergentar. Serentak ia berbangkit dan loncat
melindungi si Pengemis sakti seraya berseru : "Jika hendak menghukum, silahkan susiok
menghukum pengemis kecil ini ! Tetapi mohon sudilah rnembebaskan suhu. Sekalipun
pengemis kecil menderita siksaan yang bagaimana hebatnya, tetap pengemis kecil
berterima kasih atas budi susiok !"
Wanita cantik itu perlahan-lahan mengangkat kaki sehingga tampak celana warna
merah dan telapak kaki yang mungil.
Dengan merekah senyum tawa yang menyengsamkan, berkatalah ia : "Seorang murid
yang begitu menghormat gurunya, sungguh jarang sekali kujumpai di dunia !"- perlahanlahan
kakinya menjulur dan mendepak dada si pengemis kecil.
Tampaknya gerak kakinya itu seperti orang menari, perlahan dan indah sekali. Tetapi
ternyata pengemis kecil itu menjerit dan muntah darah terus rubuh di tanah, mencelat
beberapa langkah ke belakang,
Pengemis sakti Cong To menyaksikan peristiwa itu dengan mata berapi-api. Serentak ia
membentak : "Tindakan sumoay terhadap seorang angkatan muda begitu apakah tidak
terlalu kejam ?"
Wanita cantik itu tertawa riang : "Aku mendapat kesan, hubungan kalian guru dan
murid tak ubah seperti ayah dan anak saja. Jika suheng binasa, diapun tentu berduka dan
ingin menemani suheng. Maka lebih baik kusempurnakan keinginannya sekali agar kalian
dapat tetap berkumpul di alam baka !"
Cong To tertawa. Ia berpaling kepada muridnya si pengemis kecil, serunya : "Kau Ji,
mulai saat ini, engkau sudah bukan anak murid Kim-pay-bun lagi . . . . !"
Pengemis kecil itu bergeliat duduk, sahutnya : "Budi suhu terhadap murid adalah
melebihi gunung besarnya. Sekalipun murid harus mati disini, tetapi murid tak mau keluar
dari perguruan !"
"Pengemis tua mengucap perkataan tentu harus dilaksanakan. Bagaimana engkau
berani membantah ! Lekas enyah dari sini !"
Wanita cantik itu tertawa : "Jalan darahnya telah kututuk, sekalipun tidak mati tetapi
takkan sembuh dalam waktu yang singkat. Sesungguhnya mengingat kepandaian suheng
yang tinggi, tentu suheng dapat menyembuhkannya. Tetapi sayang suheng sendiripun
akan kehilangan kemampuan untuk mengobatinya . . . ."
Habis berkata, wajah wanita itu mengerut gelak. Tiba-tiba ia ulurkan dua buah jari
tangan kanannya ke arah dada Cong To.
Dalam detik-detik elmaut hendak merenggut jiwa si Pengemis sakti, tiba-tiba terdengar
suara bentakan keras : "Tahan !"
Serangkum angin pukulan menghambur keluar dari belakang meja arca. Wanita cantik
itu menyisih ke samping. Ketika berpaling, ia melihat seorang pemuda cakap yang gagah
dan dua orang nona cantik muncul dari belakang meja sembahjang.
Kiranya Han Ping mengetahui semua pembicaraan dan peristiwa yang berlangsung di
ruangan kuil itu. Ting Ling dan Ting Hong kuatir Han Ping tak tahan dan menerobos
keluar. Kedua nona itu berusaha keras untuk mencegahnya jangan mencampuri urusan si
Pengemis sakti dengan sumoaynya.
Tetapi tindakan kedua nona itu kebalikannya malah menimbulkan semangat
kegagahannya. Lebih-lebih ketika melihat kecabulan si wanita yang begitu mesra dengan Ho Heng Ciu.
makin merahlah mata Han Ping. Darahnya meluap-luap . . . .
Pada saat si wanita genit hendak menutuk dada Cong To, tak dapat lagi Han Ping
menahan kesabarannya. Serentak ia loncat membentak dan lontarkan pukulan Biat-gongciang
atau Pembelah angkasa. Kedua nona Ting itu terpaksa mengikuti tindakan Han Ping.
Ternyata setelah sempat menyalurkan darah untuk mengobati lukanya selama tiga hari
itu, luka Han Ping boleh dikata sudah hampir sembuh sama sekali. Tenaganyapun pulih
kembali. Ia tak menyadari hal itu tetapi bagi si wanita cantik, pukulan pemuda itu
mengejutkan sekali kedahsyatannya. Wanita cantik itu tak mau adu kekerasan melainkan
menghindar ke samping.
Kedua nona Tingpun terkejut menyaksikan kedahsyatan tenaga pukulan Han Ping.
Diam-diam mereka girang juga.
Marah sekali wanita genit itu karena diserang dari belakang. Tetapi ketika berpaling dan
melihat Han Ping seorang pemuda cakap, redalah amarahnya. Sepasang matanya berkaca
minyak dan mulutnya mengulum senyum manis seraya berseru : "lh, siapakah engkau "
Tahukah engkau bahwa mencuri lihat atau mencuri dengar urusan dalam suatu partai,
merupakan larangan besar ?"
Han Ping tertawa hambar : "Sudah lebih dulu tiga hari yang lalu aku berada disini
mengobati luka. Adalah salahmu sendiri mengapa tak mau memeriksa tempat ini hingga
pembicaraanmu sampai terdengar orang. Hal itu tak boleh menyalahkan aku !"
Han Ping benar-benar tak punya pengalaman sehingga jujur sakali bicaranya. Sampai
sedang mengobati luka, pun dikatakan.
Sepasang mata yang tajam dari wanita cantik itu menatap wajah Han Ping. Ia gelenggeleng
kepala tertawa : "lh, tak nyana orang muda seperti engkau dapat mengatakan
kebohongan dengan wajah tak berobah . . . ."
"Tutup mulutmu ! Aku seorang anak laki-laki, masakan mau membohongimu !" bentak
Han Ping murka.
Wanita cantik itu tersenyum : "Baiklah, anggap saja engkau bicara sejujurnya !
Siapakah kedua budak perempuan itu ?"
"Apakah pedullmu dengan mereka ?" balas Han Ping.
"Kalau tak boleh peduli, apakah tak boleh bertanya ?" wanita cantik itu tertawa.
Melihat wanita cantik itu bertingkah genit terhadap Han Ping, marahlah Ting Hong. Ia
cepat mendamprat : "Huh, sungguh tak sedap dipandang mata tingkah laka yang berbau
cabul itu !"
Mata wanita cantik menggeliar, memancarkan sinar pembunuhan. Namun mulutnya
masih tenang-tenang berkata : "Siapakah yang nona maki itu ?"- ia melangkah
menghampiri Ting Hong.
"Bagaimana engkau tahu siapa yang kumaki itu. Huh, siapa yang berbuat tentu
tersinggung !" sahut Ting Hong.
Sedangkan Ting Ling yang bermata tajam, telah memperhatikan bahwa wanita genit itu
mengandung maksud jahat. buru-buru ia meneriaki adiknya supaya mundur. Tetapi
gerakan wanita itu cepat sekali. tiba-tiba ia mengendap, melesat ke samping dan
menampar bahu Ting Hong.
Rupanya lengan baju wanita genit itu memang khusus untuk menampar musuh. Karena
lengan baju itu dapat merentang panjang.
Ting Hong terkejut sekali. Daiam gugup, ia menyelinap ke samping dua langkah.
Tamparannya luput, tanpa berpaling kepala, wanita cantik itu kibaskan lengan baju ke
belakang menghantam Ting Hong.
Ting Hong tak menyangka bahwa lengan baju wanita itu dapat menjulur panjang dan
dapat pula mengarah sasaran dengan tepat. Ia tak keburu menghindar lagi.
Pada saat Ting Hong terancam bahaya, tiba-tiba Han Ping membentak keras dan
menghantam punggung wanita itu.
Wanita itu cepat berputar diri. Tangan kanannya yang menampar Ting Hong tiba-tiba
ditarik pulang untuk menyingkap rambutnya yang longsor. Sedang tangan kiri menampar
Han Ping. Berjaga diri sambil menyerang, dilakukannya serempak dalam sebuah gerak yang indah
sekali. Setitikpun tak mirip gerak orang berkelahi, melainkan seperti orang sedang menari.
Walaupun mengetahui bahwa tamparan lengan baju wanita itu mengandung tenaga
dahsyat, tetapi Han Ping tak mau menghindar. Ia menangkis dengan tangan kiri. Hal itu
mengejutkan si wanita genit. Ia tak menyangka pemuda itu berani adu kekerasan. Buruburu
ia endapkan tangannya ke bawah untuk menghindari benturan seraya tertawa. "lh,
cara berkelahi yang nekad ! Apakah engkau tak takut terluka ?"
Wanita itu berputar tubuh, menyingkir tiga langkah ke samping.
Kesempatan itu dimanfaatkan Han Ping, ia menyusup maju. Tangan kiri memukul,
tangan kanan gunakan ilmu Kin-liong-chiu untuk menangkap siku lengan orang.
Tangan kiri menghambur tenaga, tangan kanan melincah tangkas. Tenaga dan
kelincahan serempak digunakan. Tangan kiri seperti palu godam menghantam karang,
tangan kanan segesit ular meluncur . . .
Karena menyingkir ke samping itu, si wanita cantik kehilangan posisi. Ditambah dengan
gerakan Han Ping yang luar biasa anehnya, membuat si wanita terbeliak kaget. Buru-buru
Persekutuan Tusuk Kundai Kumala Karya Wo Lung Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuhnya mencondong ke samping untuk menghindari pukulan. Tetapi siku lengannya
yang kiri tak dapat lolos dari cengkeraman Han Ping. Seketika ia rasakan lengannya
kesemutan . . . .
Peristiwa itu selain mengejutkan Ho Heng Ciu dan kedua nona Ting, pun Pengemis sakti
Cong To juga terkesiap kaget. Ia mengetahui ilmu menyambar dengan tangan kosong itu,
jauh berlainan dengan ilmu menyambar yang terdapat di dunia persilatan. Gerakannya
aneh, perobahannya sukar diduga.
Si wanita genit diam-diam terkejut. Cepat ia kerahkan tenaga dalam ke arah lengannya.
Seketika lengan si wanita yang halus itu berobah keras seperti batu. Tetapi ketika ia
hendak meronta dari cekalan Han Ping, ternyata pemuda itu sudah melepaskannya dan
mundur tiga langkah.
"Untuk membayar penarikan lengan bajunya yang mengebut bahuku tadi, akupun
melepaskan cengkeramanku. Kita tak saling berhutang !" seru Han Ping.
Mendengar itu Ting Ling kerutkan dahi : "Wanita baju hijau itu jelas memiliki
kepandaian sakti. Belum tentu Han Ping seorang diri mampu mengalahkannya. Apalagi
sebagai ketua Kim-pay-bun, ia dapat menyuruh Cong To untuk turun tangan. Hm, benarbenar
goblok sekali Han Ping itu. Pura-pura menjadi ksatria perwira tetapi telah
menghilangkan kesempatan yang bagus. Tak mungkin dia mampu menangkap wanita itu
lagi . . . ."
Begitupun Heng Ciu. Dia juga tak puas melihat susioknya, si wanita cantik itu, batalkan
tamparannya kepada Han Ping. Begitu pula ketika melihat Han Ping lepaskan
cengkeramannya selama membalas budi, makin besarlah cemburu hati Heng Ciu. Tanpa
menunggu perintah si wanita cantik lagi, Heng Ciu terus mengangkat Kim-pay dan berseru
keras : "Cong To, murid tingkatan kedua belas dari Kim-pay bun, sambutlah amanat Kim
pay !" Cong To mengangkat kedua tangannya memberi hormat : "Murid Cong To dengan
hormat menerima perintah !"
"Dalam 100 jurus engkau harus dapat membunuh pemuda she Ji itu. Tidak boleh gagal
!" Cong To berbangkit dan berputar diri menghadapi Han Ping. Melihat Han Ping tegak
berdiri dengan gagah parkasa dan tak menunjukkan rasa gentar sedikitpun juga,
tersiraplah darah Cong To. Pikirnya : "Jelas dia bukan tandinganku tetapi dia tak takut
sama sekali. Keangkuhan dan keberaniannya benar-benar mengagumkan . . . ."
"Diam-diam timbul rasa sayang kepada pemuda itu.
Melihat si Pengemis sakti tak lekas turun tangan, Heng Ciu mengangkat Kim-pay makin
tinggi dan mendesak Cong To supaya lekas bertindak.
Tiba-tiba wanita genit itu melesat ke samping Heng Ciu dan ulurkan tangan kanan,
ujarnya : "Berikan Kim-pay itu kepadaku. Urusan malam ini, serahkan padaku !"
Heng Ciu terkesiap : "Mengapa ?" Wanita cantik itu tertawa : "Aku dan gurumu, adalah
saudara seperguruan. Sejak kecil bergaul sampai besar. Begitu berjumpa, tentu harus
melakukan penghormatan . . . ."
Nadanya lemah lembut tetapi wajahnya memancarkan hawa pembunuhan yang ganas.
Dan Heng Ciu yang cukup mengetahui tentang perangai susioknya itu tak berani
membantah lagi. Segera ia menyerahkan Kim-pay.
Setelah menyambuti Kim-pay, berpalinglah wanita baju hijau itu ke arah Cong To : "Tak
peduli engkau setuju atau tidak terhadap tindakanku untuk mengembangkan perguruan
kita, tetapi aku sudah mengambil ketetapan. Apalagi belum tentu akan menggunakan
nama Kim-pay-bun itu. Jika engkau dapat memperoleh kitab pusaka dari Lam-hay bun,
akupun bersedia menukarkan Kim pay yang kuperoleh dengan jerih payah selama
bertahun-tahun ini, kepadamu !"
Cong To menghela napas : "Pengemis tua sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi ilmu
kepandaian orang-orang Lam-hay-bun itu memang hebat. Kim-pay perguruan kita itu
adalah barang peninggalan dari kakek guru pendiri Kim-pay bun. Asal Pengemis tua masih
hidup, tentu akan berusaha untuk mendapatkannya. Jika sumoay mengembalikan Kim-pay
itu berarti sumoay telah mengembalikan kedudukan pengemis tua ini . . . ."
Wanita baju hijau itu tersenyum : "Setelah memperoleh kedudukan sebagai pimpinan
engkau tentu menjalankan peraturan perguruan. Yang pertama kali tentu akan
menangkap aku atas tuduhan menghianati perguruan. Kemudian menghukumku nenurut
peraturan perguruan, benar tidak ?"
"Benar," sahut Cong To tegas, "itu memang sudah menjadi peraturan yang ditetapkan
oleh kakek guru. Setiap murid Kim-pay-bun harus taat !"
"Jika aku tak mentaati perintah Kim-pay " Bagaimana tindakanmu ?" tanyanya sambil
tertawa. Sahut cong-To dengan tandas : "Atas budi kakek guru, pengemis tua ini telah diangkat
menjadi ketua Kim-pay-bun angkatan ke 12. Sudah tentu pengemis tua akan berusaha
sekuat tenaga untuk menjamin dan melaksanakan segala peraturan perguruan. Asal
sumoy suka menyerahkan Kim-pay itu kepadaku, tentu segera akan kuatur
pelaksanaannya !"
Wanita cantik itu tertawa : "Mengatur pelaksanaan peraturan perguruan adalah
urusanmu. Mentaati atau tidak, terserah kepadaku. Tetapi yang jelas, sekarang engkau
belum mendapatkan Kim-pay itu. Tak perlu engkau membayangkan hal yang tidak-tidak.
Sebelum mendapatkan kitab pusaka Lam-hay-bun, jangan mimpi untuk memperoleh Kimpay.
Kim-pay ditukar dengan kitab, masing-masing mempunyai kepentingan dan
kebutuhan sehingga tak saling rugi. Berpuluh tahun aku menderita untuk
mendapatkannya. Kalau engkau menggunakan tenaga untuk merebut kitab pusaka, itu
sudah selayaknya !"
Cong To menghela napas : "Pengemis tua sudah kehilangan kepercayaan untuk
merebut kitab itu. Tetapi tetap akan kuusahakan sekuat tenagaku."
Wanita cantik itu merenung beberapa jenak, tiba-tiba ia tertawa : "Dalam hal itu aku
bersedia membantumu, tetapi engkaupun harus berjuang sungguh-sungguh . . . ." wanita itu berhenti lalu berpaling ke arah Han Ping, ucapnya : "Mengapa engkau kerutkan
dahi " Jika hendak menantang adu kesaktian dengan aku, mari kita cari sebuah
tempatyang sunyi. Disitu kita dapat bertanding dengan sepuas-puasnya dan menentukan
siapa yang lebih unggul !"
Han Ping menyambut tantangan itu dengan tertawa dingin : "Sudan tentu akan
kulayani !"
Wanita cantik berpaling lagi kepada Cong To, katanya : "Murid kesayanganmu itu telah
kututuk jalan darahnya. Telah kuberinya kelonggaran, walaupun lukanya berat, tetapi
tidak sampai membahayakan jiwanya. Dengan kepandaianmu tidaklah sukar untuk
mengobatinya. Biar Ho Heng Ciu kutinggal disini. Jika engkau memerlukan bantuanku,
biarlah dia memberitahukan kepadaku, aku pasti segera datang . . . ."
Tiba-tiba wanita cantik itu tertawa melengking serunya : "Suheng, selamatlah. Sumoay
hendak mohon diri . . . ."- ia terus melangkah perlahan-lahan keluar dari ruang kuil.
Demi kepentingan susiok, murid sanggup berkorban sampai mati, tetapi . . . ." teriak
Heng Ciu. Wanita cantik itu kerutkan alis dan tertawa : "Kalau sedia berkorban sampai mati,
mengapa engkau takut-takut lagi " Jangan kuatir, tinggallah disini !"
"Murid . . . ."
"Tak perlu banyak bicara !" bentak wanita cantik itu dengan marah, "dua tiga hari lagi
akan kukirim orang untuk menjemputmu !" - habis berkata ia terus lanjutkan langkah.
Ke empat gadis baju merah pengiringnya, pun segera berputar tubuh dan mengikuti di
belakang si wanita genit.
Ting Ling seperti ditusuk jarum. Apa yang lain orang tak memperhatikan, nona itu
selalu cermat. Melihat gerakan ke empat gadis dayang-dayang itu, tahulah ia bahwa
mereka memiliki kepandaian yang tinggi. Dan memandang ke arah Ho Heng Ciu, ternyata
pemuda itu seperti orang yang kehilangan ibunya. Wajahnya berduka sekali, tegak berdiri
terlongong-longong memandang bayangan wanita cantik tadi. Diam-diam Ting Ling geli
dalam hati. Karena Han Ping tak ikut menyusul, wanita genit itu berpaling menuding Han Ping,
serunya tertawa : "Bukankah engkau hendak menantang berkelahi " Mengapa engkau tak
menyusul kemari ?"
"Huh, apa engkau sangka takut padamu !" teriak Han Ping murka seraya ayunkan
langkah keluar ruang.
"Tunggu !" cepat-cepat Ting Hong meneriakinya.
Han Ping terkejut, serunya : "Engkau memanggil aku ?"
"Ya," sahut Ting Hong, "wanita itu licin seperti siluman rase. Perlu apa engkau
mendengar kata-katanya " Kalau mau bertanding, perlu apa harus mencari tempat yang
sepi . . . ."
"Benar, wanita itu memang bukan sesungguhnya hendak adu kepandaian dengan
engkau. Dia tentu mempunyai maksud lain !" seru Ting Ling.
Dahi wanita cantik itu mengerut hawa pembunuhan. Sekali ayunkan tubuh, ia melayang
ke dalam ruangan lagi. Sambil tertawa mengikik ia menegur Ting Ling : "Adik ini
mengatakan kalau aku mempunyai lain maksud. Cobalah katakan, maksud apa itu ?"Sambil berkata-kata, si wanita genit perlahan-lahan mengisar mendekati Ting Ling.
Ting Ling seorang nona yang cerdas. Tetapi betapapun, dia tetap seorang gadis. Atas
pertanyaan si wanita genit, wajahnya tersipu merah.
"Siapa yang tahu isi hatimu. Hm, jelas sudah hatimu tentu mempunyai rencana lain !"
ia mendamprat wanita itu.
Sesungguhnya amarah wanita itu sudah menyala. Tetapi wajahnya tetap tenang dan
malah tertawa riang : "Kata-kata adik ini, sukar dimengerti. Seorang anak perempuan
yang masih begitu muda, mengapa mempunyai pikiran yang tak keruan" Mulut adalah
cermin hati . . . ."
Cong To tak mengira bahwa sumoay yang sudah tak berjumpa selama 20 tahun itu, kini
ternyata berobah menjadi seorang wanita yang cabul. Malunya bukan kepalang. Cepatcepat
pengemis sakti itu mendengus dan berpaling muka.
Ting Ling yang lincah pikiran, serta mendengar dengusan si pengemis sakti, ia segera
tersadar dan cepat melesat beberapa langkah ke samping.
"Hm, budak yang licin !" diam-diam wanita itu memaki.
Sambil membungkuk badan seperti orang memberi hormat, wanita genit itu berseru
tertawa : "Mengapa engkau lari ?"
Sekali tubuh menjulur keatas lagi, tiba-tiba wanita itu melesat serta menampar.
Wanita genit itu memang sakti. Apalagi serangan itu dilancarkan dengan nafsu
kemarahan. Cepat dan dahsyatnya bukan kepalang.
Baru Ting Ling menginjak tanah, segera ia merasa dilanda oleh serangkum hawa panas,
seperti air mendidih. Seketika tubuh nona itu menggigil. Keringat bercucuran membanjir
keluar . . . . Setelah melepaskan pukulan, wajah si wanita genit yang semula berseri merah segar,
saat itu berobah pucat lesi. Ia loncat keluar ruang lagi lalu lari pesat.
Sesungguhnya Han Ping memang kurang pengalaman. Walaupun ia tahu bahwa
pukulan yang diderita Ting Ling itu bukan ilmu pukulan biasa, tetapi ia tak tahu caranya
mencegah tindakan si wanita genit.
Agaknya Ting Ling sudah merasa sesuatu yang tak wajar pada dirinya. Ia tertawa
hambar, ujarnya : "Aku terkena pukulan gelap dari wanita itu . . . ."
"Apa " Taci terluka ?" Ting Hong terkejut. Dilihatnya muka tacinya membegap merah
dan dahinya penuh butir-butir keringat.
"Aku segera akan mati terbakar . . . ." kata Ting Ling seraya mengusap dahinya. Dari
seorang gadis yang biasanya keras dan angkuh, saat itu nada suara Ting Ling lemah
lembut. Napasnyapun sesak seperti tengah menderita kesakitan hebat.
Han Ping terkejut. Ia tak sangka wanita genit itu memiliki ilmu pukulan yang
sedemikian ganasnya. Ia tak sampai hati melihat Ting Ling menderita kesakitan begitu.
Dihampirinya nona itu dan dirabanya kening Ting Ling. Ia berjingkat kaget. Kening Ting
Ling membaurkan hawa yang panas sekali.
"Hai, ilmu pukulan apa ini . . . ?" diam-diam ia terkejut dalam hati. Tiba-tiba ia teringat
bahwa Pengemis sakti Cong To adalah suheng dari wanita baju hijau tadi. Mungkin
pengemis tua itu dapat menolong.
"Sebagai suheng dari wanita baju hijau tadi, kiranya locianpwe tentu mengetahui
pukulan apa yang digunakan untuk memukul nona Ting ini ?" katanya kepada Cong To.
Sebagai tokoh yang termahsyur, setiap orang persilatan tentu mengindahkan sekali
kepada Cong To. Han Ping kurang pengalaman apalagi dalam keadaan bingung. Ia tak
menghiraukan segala peraturan lagi.
Pengemis sakti Cong To kerutkan dahi lalu menjawab dengan dingin : "Pukulan itu,
pengemis tua sendiri pun tak tahu !"
Betapapun juga sebagai seorang gadis, Ting Ling merasa malu keningnya dijamah
seorang pemuda dan dilihat oleh orang. Ia tersenyum dan menolak dengan halus : "Ah,
sudahlah, aku masih dapat bertahan sendiri. Tak perlu engkau sibuk-sibuk."
Sejenak Han Ping berpaling memandang nona itu lalu berpaling lagi menatap Cong To :
"Locianpwe seorang tokoh yang harum namanya dan sangat kukagumi. Melihat seorang
nona sedang menderita kesakitan hebat dan tak menolong. Apakah hal itu berkenan
dalam hati locianpwe ?"
Serangkai ucapan yang keras tetapi beralasan sekali. Mau tak mau Cong To tergerak
juga hatinya. Ia maju menghampiri ke tempat Ting Ling. Setelah memeriksa sejenak, ia
berpaling kepada Han Ping.
"Dia terkena pukulan lwekang Sam-yang-cin-gi !" serunya.
Han Ping tertegun.
"Apakah locianpwe dapat menolongnya ?"
Cong To merenung diam. Beberapa saat kemudian ia berkata : "Pukulan lwekang Samyangcin-gi, merupakan ilmu pukulan yang paling sukar dari perguruan kami. Pengemis
tua tak mampu menolongnya !"
"Kalau begitu, pukulan Sam-yang-cin-gi itu tiada obatnya lagi ?" Han Ping menegas.
Tiba-tiba Heng Ciu menyelutuk : "Memang bisa ditolong tetapi harus susiokku yang
turun tangan. Kecuali dia, tiada seorangpun di dunia ini yang mampu menolongnya !"
Mendengar tacinya tak dapat tertolong lagi, hati Ting Hong berduka sekali. Air matanya
bercucuran. Ia berlutut memeluk tubuh tacinya : "Ci, mari kita pulang. Kemungkinan ayah
dapat menolongmu !"
Ting Ling memegang lengan adiknya, gelengkan kepala tertawa : "Mungkin aku tak
kuat bertahan lagi. Engkau pulang sendiri saja. Apabila berjumpa ayah bilanglah kalau aku
mati di tengah jalan karena menderita sakit. Jangan bilang karena terkena pukulan Samyangcin-gi !" "Jangan kuatir !" tiba-tiba Han Ping berseru, "tentu akan kutangkap wanita baju hijau
itu dan kupaksanya supaya mengobati engkau !"
Tiba-tiba pemuda itu melesat ke samping Heng Ciu, sekali menyambar ia
mencengkeram siku lengan pemuda she Ho itu.
Ho Heng Ciu pernah merasakan kelihaian Han Ping serta menyaksikan pemuda itu
bertempur dengan susioknya yakni si wanita baju hijau itu. Ia menyadari kalau
kepandaiannya kalah unggul dengan Han Ping. Cepat-cepat ia loncat menghindar ke
samping. Tetapi Han Ping sudah siapkan rencana untuk meringkus pemuda itu. Begitu Heng Ciu
menghindar ke samping, secepat itu pula Han Ping menghantam dengan tangan kiri.
Pukulan itu tepat sekali waktunya sehingga anginnya tepat menyambar di belakang
Heng Ciu. Pemuda itu terpaksa loncat balik ke tempatnya semula. Disitu Han Ping sudah
menunggu menerkamnya. Ilmu menangkap dengan tangan kosong Kin-liong-chiu ajaran
mendiang padri Hui Gong merupakan ilmu simpanan gereja Siau-lim-si yang jarang
dimainkan. Oleh karenanya walaupun jago-jago kelas satu, juga tak pernah melihat ilmu
sambaran dengan tangan kosong semacam itu.
Dalam keadaan terdesak, Heng Ciu nekad hendak menghantam tetapi tiba-tiba ia rasa
siku lengannya kesemutan dan tenaganya lenyap. Tahu-tahu pergelangan tangannyapun
telah dicengkeram Han Ping.
Cong To deliki mata kepada Han Ping. Tampaknya pengemis sakti itu hendak turun
tangan. Tetapi entah bagaimana ia malah berputar tubuh dan menghampiri muridnya, si
pengemis kecil.
Sekali Han Ping keraskan cengkeramannya, Heng Ciu rasakan darah pada lengan
kirinya itu melancar balik ke atas lagi, terus menyusup ke jantung.
Pergelangan tangannya serasa pecah tulangnya.
Keringatpun bercucuran seperti hujan.
Saat itu Cong To sudah berjongkok hendak menolong si pengemis kecil. Tetapi serta
melihat wajah Heng Ciu mengerut derita kesakitan, serentak ia berbangkit lagi dan
membentak Han Ping : "Dalam perguruan pengemis tua, selamanya tak membenarkan
orang luar turut campur dalam perguruan. Lekas lepaskan cekalanmu !"
Hanya sejenak Han Ping berpaling memandang Cong To lalu bertanya garang kepada
Heng Ciu : "Dimanakah tempat wanita baju hijau itu ?"
Heng Ciu deliki mata kepada Cong To. Ia marah sekali karena pengemis sakti itu tak
Hikmah Pedang Hijau 7 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Pendekar Sakti 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama