Ceritasilat Novel Online

Sarang Perjudian 1

Sarang Perjudian Karya Gu Long Bagian 1


" Sarang Perjudian ( Qun Hu)
Karya : Gu Long
Saduran : Tjan ID
Bagian Pertama Setiap orang yang punya hubungan luas pasti tahu bahwa di dalam dunia persilatan terdapat
sebuah Sarang Perjudian yang misterius, pemilik Sarang Perjudian adalah seorang lo-sianseng dan
seorang lotaytay (nyonya tua), jejak mereka sangat misterius tapi memiliki pengaruh serta
kekuatan yang luar biasa hebatnya, bahkan mereka memiliki tabiat yang luar biasa, rasa ingin tahu
yang besar serta jiwa nyerempet bahaya seperti anak muda.
Oleh karena itulah bukan saja mereka mau menerima pelbagai taruhan yang aneh-aneh,
bahkan mau menerima barang taruhan bentuk apa pun. Di antara semua barang taruhan itu tentu
saja tak bisa lepas dari uang emas dan perak, uang dalam jumlah yang luar biasa besarnya,
bahkan terkadang jumlah itu sukar dipercaya dengan akal sehat.
Taruhan yang mereka terima kali ini adalah uang emas berjumlah limaratus laksa tahil emas
mumi. Sementara pertaruhan yang mereka selenggarakan berupa sebuah pertarungan mati hidup,
duel maut antara dua jago pedang yang paling tersohor di kolong langit waktu itu.
Sedemikian hebohnya berita pertarungan ini, nyaris melebihi hebohnya pertarungan mati hidup
antara Pek-in shiacu (pemilik Benteng Awan Putih) Yap Koh-seng melawan Sebun Jui-soat tempo
hari. Menyangkut duel yang akan diselenggarakan kali ini, mereka telah siapkan bahan serta
keterangan yang sangat detil. Keterangan mendetil tersebut kini sudah terpampang di atas sebuah
meja kecil berbentuk ornamen kerajaan yang terpampang di depan mata mereka saat ini.
Di atas lembaran surat keterangan itu tertulis:
Tanggal pertarungan : Bulan empat tanggal lima belas, Cu-si (jam 12 malam).
Tempat : Loteng Hong-hok-lo.
Barang taruhan : Lima ratus laksa tahil emas murni.
Sistim pertarungan : Satu lawan satu.
Peserta duel : Si Ti-ing melawan Liu Cengho.
Senjata yang digunakan : Pedang.
Bab 1 Pedang Si Toa-sianseng
Pedang ini dibuat berdasarkan patron serta aturan ketat yang diwariskan oleh Kam-ciang Bok
Shia serta Si hujin di masa lalu, baik ukuran panjang pedang, luas gagang pedang serta liukan
mata pedang bahkan sampai bahan serta ornamen pada sarung pedang pun dibuat berdasarkan
catatan kuno yang ada, semuanya berbau antik, kuno, mantap, tersembunyi, persis seperti watak
pemiliknya. Si Toa-sianseng bernama Koan-jin, alias Ti-ing, berperawakan enam depa sembilan inci, kurus
jangkung persis sebuah pit, biarpun umurnya sudah mencapai limapuluh empat tahun namun
pinggangnya tetap ramping tak nampak selapis lemak pun.
Pakaian yang dikenakan amat sederhana dan bersahaja, jenggot maupun kuku tangan
semuanya terawat rapi dan bersih, kecuali sepasang matanya yang memancarkan sinar tajam,
boleh dibilang bagian yang lain tidak nampak menonjol atau menarik perhatian orang, ibarat
sebuah mestika yang tersimpan rapat dalam kotak besi, semuanya berbau misterius dan penuh
kerahasiaan. Tempat ini adalah sebuah pesanggrahan kecil di belakang kebun perkampungan Bu-hok
sanceng, hari menunjukkan bulan empat tanggal delapan.
Matahari di ujung musim semi terasa hangat dan nyaman, sinar yang cerah memancar di atas
sebuah 'lian' kecil yang tergantung di tepi meja, gaya tulisan di atas 'lian' itu tampak lembut, halus
penuh gaya seni yang indah.
Bunga bersemi di tanah asing, mendatangkansuasanamabuk. Tulisan menghadirkan hawa
mabuk, kenapa tiada manusiayang mabuk"
Kecuali Si Toa-sianseng, dalam bilik pesanggrahan itu hadir pula dua orang manusia, seorang
lelaki setengah umur berkepala botak bagai seekor burung elang yang sedang berpangku tangan
berdiri di depan jendela dan seorang kakek berbaju kuning yang berdandan setengah pendeta
setengah preman, sedang mengamati sarung pedang di tepi meja dengan terpesona.
Terdengar kakek baju kuning itu bertanya kepada Si Toa- sianseng dengan suara yang rendah
tapi berat: "Sudah berapa lama pedang ini tak pernah dicabut dari sarung-nya"
"Tigabelas tahun," sahut Si Toa-sianseng sambil tetap membuang sorot matanya keluar
jendela, mengawasi selapis awan putih yang sedang melayang di kejauhan sana, "kalau bicara
lebih tegasnya, seharusnya sudah tigabelas tahun lebih tiga bulan sebelas hari!"
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya dengan suara amat lamban:
"Kau semestinya juga tahu, pedang yang seharian kugunakan bukanlah pedang tersebut."
"Ya, aku tahu," kakek berbaju kuning itu mengangguk, "pedang itu adalah pedang pembunuh,
sekali dicabut keluar dari sarungnya pasti akan ketemu darah, dalam pertarungan di Ing-tong
tempo hari, dengan andalkan pedang ini kau telah basmi banyak iblis dan okpa, pembantaian yang
membuat namamu menggetarkan sungai telaga, semestinya kejadian itu sudah selisih tigabelas
tahun dari sekarang bukan?"
Si Toa-sianseng tertawa getir.
"Yang ada hanya ceceran darah yang terburai bagai bulu merah, entah kopiah kebesaran siapa
saja yang sudah ternoda?" katanya hambar.
"Bukan kopiahmu sendiri?"
"Milikku?" kembali Si Toa-sianseng menghela napas panjang, "semenjak pertarungan hari itu,
aku hanya kepingin tidak menggunakan pedang itu lagi sepanjang sisa hidupku."
"Bagaimana dengan kali ini?"
"Kali ini" Ya, tampaknya aku sudah tak punya pilihan lain."
"Kenapa?"
"Liu Ceng-ho tidak memandang sebelah mata terhadap semua manusia di dunia ini,
menganggap nyawa manusia bagai sampah, bila aku tidak mencabut pedang ini, ia tetap akan
mencabut nyawaku," Si Toa-sianseng tertawa getir, "bila aku coba menghindar, kemungkinan
besar tempat ini akan berlumuran darah segar milik orang lain."
"Konon dia sudah berangkat sejak bulan tiga tanggal delapanbelas, tapi heran, kenapa hingga
hari ini masih belum memasuki wilayah Ouwpak?"
"Benar," Si Toa-sianseng tertawa getir, "Liu hoya memang seseorang yang luar biasa teliti dan
cermat, dia termasuk orang yang banyak memilih, selama hidup ia tak pernah mau menunggang
kuda apalagi keledai, bila menempuh perjalanan darat dia selalu menggunakan tandu yang dilapisi
permadani tebal, bahkan sepanjang jalan selalu ada orang yang berangkat duluan untuk mengatur
segala keperluannya termasuk tempat makan dan penginapan."
"Jadi ia tak pernah melakukan perjalanan dengan terburu buru?"
"Tidak pernah!"
"Tampaknya dia benar-benar termasuk orang yang cerdas dan teliti," kakek berbaju kuning itu
turut tertawa getir, "paling tidak dia paham, terlepas dia hendak membunuh atau dibunuh,
semuanya memang tak perlu dilakukan secara tergesa-gesa."
Bab 2 Angin Musim Semi Menggoyang Liu Ceng-ho
Liu Ceng-ho memang tak perlu tergesa-gesa, tandunya berjalan sangat lambat, dia memang
tak perlu terburu napsu.
Yang dia punyai adalah waktu, dia tahu dalam keadaan dan kondisi macam apa pun musuhnya
pasti akan menunggu kedatangannya.
Yang paling penting baginya adalah dia punya keyakinan untuk memenangkan pertempuran
kali ini, selewat tengah malam bulan empat tanggal limabelas, Si Ti-ing pasti sudah mampus di
ujung pedangnya.
Siapa pun orangnya, asal bertemu dengannya maka dapat dipastikan mereka akan
memperhatikan berapa kejap pedang yang digembol-nya, bahkan asal telah melihatnya sekejap,
sepanjang hidup mereka tak pernah akan melupakan pedang itu.
Dalam hal ini, dia pribadi sama sekali tak berbeda dengan senjatanya.
Pedang miliknya memang jauh berbeda dengan pedang kebanyakan, dari mata pedangnya,
tubuh pedangnya hingga gagang pedangnya, ukuran panjang maupun berat senjatanya sama
sekali melanggar kebiasaan para empu pembuat pedang di masa-masa lalu.
Pedang itu mempunyai ukuran panjang empat depa sembilan inci tujuh hun dengan berat
tigapuluh tiga kati tiga Bang tiga chee, mata pedang terbuat dari emas putih dengan kotak pedang
terbuat dari emas murni, di atas kotak itu bertaburkan intan mutiara dan batu kemala yang
nilainya mencapai di atas limabelas laksa tahil perak, indah, mewah, megah tanpa tandingan,
belum lagi pedangnya keluar dari sarung, daya pengaruh yang dipancarkan sudah cukup
membetot sukma siapa pun yang melihatnya.
Yang lebih penting lagi adalah manusia macam apakah yang pantas dan mampu menggunakan
sebilah senjata pedang sehebat itu" Berapa besar kekuatan lengan dan pergelangan tangannya
hingga mampu memainkan senjata seberat itu" Manusia macam apakah Liu Ceng-hoini"
Setiap bulan tiga dan bulan empat, di kala sinar matahari musim semi sangat hangat dan aneka
bunga bermekaran, Liu Ceng-ho selalu akan mengundang seorang jago pedang kenamaan untuk
menjaj al kepandaian ilmu pedang yang dimilikinya.
"Di saat musin dingin yang membekukan badan atau di kala musim panas yang menggerahkan
tubuh, seyogianya berdiam diri ketimbang banyak bergerak," katanya, "tapi di kala sinar matahari
hangat, di saat hembusan angin semilir, itulah saat yang paling tepat untuk membunuh orang."
Ketika aneka bunga bersemi di tanah asing, di saat pedang emas sudah keluar dari sarungnya,
jago-jago pedang kenamaan yang pernah menggemparkan sungai telaga suatu ketika akan
terkapar bermandikan darah di atas tanah, darah yang meleleh keluar tak beda jauh dengan darah
manusia biasa, dalam waktu singkat akan segera mengering dan menggumpal
Nama besar mereka pun ikut ternoda, ternoda darah segar.
Tidak banyak orang yang pernah berjumpa dengannya, terlebih mereka yang pernah melihat
dia mencabut keluar pedangnya.
"Biarpun waktu yang dibutuhkan untuk mencabut pedang membunuh lawan hanya berlangsung
cepat dan singkat, tapi merupakan satu pekerjaan yang sakral," katanya, "perbuatan sakral
semacam ini tidak diperuntukkan sebagai sebuah tontonan, apalagi dipertontonkan kepada orang
lain." Manusia macam dia sudah tentu bukan untuk dipertontonkan kepada orang lain, untungnya
ada juga saatnya dia ditonton orang.
Delapan orang lelaki kekar berbahu lebar berpinggang ramping telah memperlambat langkah
kakinya sebelum akhirnya berhenti di ujung jembatan merah tepat di depan sebuah gedung
bertingkat, tempat itu adalah sebuah pintu gerbang rumah penginapan yang tampak belum lama
dikapur hingga nampak sangat bersih.
Duapuluh empat orang pemuda kekar yang sejak awal sudah menanti kedatangannya di situ
serentak menyebarkan diri ke dua sisi jalan, di atas permukaan tanah nampak karpet merah telah
digelar rapi. Budak-budak Persia dengan tinggi badan sembilan depa yang semuanya menggembol pedang,
berjalan di belakang tandu, mereka semua mengenakan celana berwarna merah darah dengan
sepatu berwarna kuning emas, dadanya yang telanjang tapi nampak sangat berotot kelihatan
berkilauan bagai sinar mutiara karena cucuran butir-butir keringat, sebuah keleningan emas
sebesar mangkuk tergantung di telinga kiri mereka sehingga ketika terhembus angin musim semi,
terdengar suara dentingan yang nyaring.
Akhirnya orang yang berada dalam tandu muncul juga di depan mata.
Suara keleningan berdenting makin nyaring, lagi-lagi ada angin berhembus lewat, tampaknya
orang itu pun seakan ikut bergoyang karena hembusan angin itu.
"Diakah Liu Ceng-ho?"
"Benar."
"Manusia macam mikah yang mampu menggunakan pedang emas raksasa seberat tigapuluh
tiga kati untuk membantai kawanan jago dari dunia persilatan satu demi satu?"
"Benar!"
Hari itu adalah bulan empat tanggal duabelas, akhirnya hari itu, menjelang senja tiba, Liu Cengho
telah tiba di kota Han-yang.
Bab 3 Dewa Rejeki Datang Berkunjung
Data dan catatan mengenai Liu Ceng-ho yang terkumpul dalam "Sarang Perjudian," terbagi
menjadi beberapa bagian penting.
Dia adalah keturunan keluarga kenamaan, leluhurnya pernah berjasa besar dalam medan laga,
karenanya dia pun berhak menyandang gelar kehormatan sebagai seorang bangsawan yang
menjadi kebanggaannya selama ini.
Gelar "Ceng-ho" yang digunakan selain bermaksud sebagai sebuah gaya dalam penampilan,
secara tidak langsung dia ingin menunjukkan kepada orang luar bahwa gelar bangsawan yang
disandangnya adalah gelar kebangsawanan "Ho", satu tingkat dari gelar kebangsawanan kelas dua
pada jaman itu.
Tinggi badannya hanya lima depa tiga inci, berat badannya cuma empatpuluh delapan kilo,
bahkan raut mukanya sangat lembut dan halus persis wajah seorang wanita remaja, cara
berpakaiannya rapi, sangat memilih dan selalu perlente. Makan enak, arak wangi, perempuan
cantik dan pakaian mewah merupakan kegemaran utamanya, sayang dia jarang sekali
membersihkan badan alias mandi.
Ilmu pedang yang dilatihnya adalah ilmu pedang 'Pek-lek-lui-teng-cap-sah-si' (Tigabelas
Gerakan Sambaran Halilintar Gelegar Guntur) yang merupakan penggabungan dari 'khi' (hawa
murni), 'si' (gaya) dan 'lek' (tenaga), selain keras dan garang, daya hancurnya luar biasa dan tiada
keduanya di kolong langit, namun di hari-hari biasa dia nampak begitu lemah lembut hingga
sekilas orang mengira dia tak punya kekuatan untuk memindahkan sebuah bangku sekalipun.
Dia selalu berpenampilan lembut terpelajar dan romantis, selama hidup dia tak pernah mau
mencampuri urusan yang menyangkut uang dan harta, tapi kegemaran yang paling utama adalah
emas murni. "Hanya emas murni yang kekal abadi dan tak pernah berubah," katanya, "tiada benda lain di
dunia ini yang lebih nyata, lebih menjamin dan lebih terpercaya ketimbang emas murni."
Selama hidup dia pun tak pernah membunuh makhluk hidup, bahkan seekor semut pun dia
enggan untuk menginjaknya hingga mati.
"Aku hanya membunuh manusia, jelasnya tiada pekerjaan lain yang lebih sakral, lebih suci
daripada membunuh manusia."
Si Toa-sianseng mendapat pula satu bagian data catatan yang sama tentang lawannya. Tapi
siapa pun itu orangnya, bila sudah memeriksa isi data tersebut tentu akan berpendapat bahwa
perangai dan watak orang itu selain ruwet bahkan penuh mengandung pertentangan batin.
"Jenis orang ini terbentuk dari campuran dua makhluk dengan watak dan perangai yang
berbeda," kata kakek berjubah kuning itu sambil tersenyum setelah menghela napas panjang,
"cuma sayang pembentukan dari campuran ini tidak sempurna hingga tampak kurang bagus."
"Konon kondisi badannya selain lemah dan penyakitan, dia pun takut melihat sinar matahari,
bentuk sepasang kakinya beda, satu panjang dan satu pendek hingga selama hidup ia jarang
sekari berjalan kaki."
"Tapi dia sanggup mainkan pedang raksasa seberat tigapuluh tiga kati dan membunuh
lawannya dalam sekejap mata," kata Si Toa-"sianseng setelah termenung sejenak, "bila ia tak
memiliki tenaga alam yang luar biasa besarnya serta latihan yang tekun dan gigih, mana mungkin
dia bisa melakukan hal tersebut?"
Apa yang dikatakan memang benar.
Duel antara dua jago hanya ditentukan dalam sekejap mata, sedikit salah perhitungan mati
hidup segera akan ditentukan dan hal ini merupakan satu kenyataan yang tak dapat dipungkiri.
"Terlepas dari semuanya ini, batas kemampuan tubuh yang dibawa sejak lahir memang tak
mungkin bisa dirubah atau ditingkatkan dengan cara apa pun," kakek berbaju kuning itu bicara
dengan penuh keyakinan, "memakai pedang berat dengan kondisi fisik tubuhnya macam dia,
biarpun dia hebat dalam perubahan gerakan, sedikit banyak di balik kelincahan pasti terselip suatu
keadaan yang setengah dipaksakan, otomatis pasti akan timbul titik kelemahan atau peluang bagi
lawannya untuk menyerang."
Setelah tertawa dan berhenti sejenak, kembali terusnya:
"Umu pedang Po-im-cai-seng kiu-kiu pwe-cap-it-kiam (Delapan-puluh Satu Jurus Ilmu Pedang
Penembus Awan Pemetik Bintang)-mu yang memiliki pertahanan serapat jaring laba-laba, memiliki
perubahan tak terhingga dan memiliki pertahanan yang begitu kuat hingga tetesan air pun sulit
menembusi justru merupakan ilmu pedang tandingannya yang paling jitu."
Lelaki setengah umur yang kekar dan berkepala botak seperti paruh elang itu tiba-tiba tertawa.
"Beradu kecerdasan tak akan mengalahkan si Rambut Emas, mengetahui pedang itulah si Tu
berbaju kuning," katanya sambil tertawa, "kalau sampai Tu sianseng saja berkata begitu, tak
heran kalau pihak Sarang Perjudian berani memasang taruhan sampai lima-ratus laksa tahil emas
murni." "Limaratus laksa tahil emas murni?" seru Si Ti-ing terkesiap, "siapa yang pasang taruhan itu"
Dan bertaruh untuk siapa?"
"Dewa Rejeki yang pasang taruhan itu, dia bertaruh untuk si Pinggang Ramping."
Yang dimaksud sebagai' si Pinggang Ramping'adalah Liu Ceng-ho, sementara 'Dewa Rejeki'
adalah sebuah organisasi yang luar biasa besarnya, sebuah organisasi yang dibentuk oleh
kumpulan para tuan tanah serta para tauke perusahaan keuangan di wilayah San-say, mereka
punya uang, punya pengaruh, perdagangan apa pun dikerjakan, keuntungan dari mana pun
dikumpulkan. "Aku rasa kali ini si Dewa Rejeki salah perhitungan," kata si Elang Botak tiba-tiba, "Pihak Sarang
Perjudian berani menerima taruhan ini tentu saja karena mereka anggap sudah pasti menang dan
yakin akan menang, seakan si pihak bandar judi sudah menyimpan kartu as.
Mencl.ul.ik si Elang Benak membalikkan badan, dengan sepasang matanya yang lebih tajam
dari mata elang ditatapnya kakek berbaju kuning Tu lekat-lekat, kemudian katanya:
"Tu sianseng, sejak awal tentunya kau sudah tahu dengan pasti bukan kartu apa yang berada
di tanganmu?"
"Aku?" Tu sianseng tertawa hambar, "selama tahun-tahun terakhir, di tanganku sudah tak ada
pedang, juga tak memegang kartu, aku sudah menjadi seorang tua yang tak berguna!"
Elang Botak segera tertawa tergelak.
"Hahaha.... benar, benar, tepat sekali, tepat sekali, kalau di dalam gengaman seseorang telah
dipenuhi pelbagai emas, kemala, mutiara dan batu pualam, mana mungkin dia masih berminat
memegang barang lain?"
Setelah menghentikan tertawanya, ia melanjutkan:
"Tu sianseng, walaupun asal-usul ketiga orang bandar dari Sarang Perjudian amat misterius
dan rahasia, tapi bagiku, paling tidak aku sudah mengetahui salah satu di antaranya, karena
selama berapa tahun belakangan, setiap kali ada pertaruhan, sianseng tua yang bukan saja tahu


Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan pedang bahkan tahu juga tentang asal usul manusia itu selalu muncul di sekitar tempat
kejadian."
"Lo-sianseng itu adalah aku?"
"Rasanya sih begitu."
Kakek Tu berbaju kuning itu segera tertawa lebar, berbinar sorot matanya, diawasinya si Elang
Botak itu tajam-tajam.
"Bagaimana dengan kau sendiri?" balik tanyanya, "apakah kau juga termasuk salah satu dari
Dewa Rejeki?"
Sekali lagi si Elang Botak tertawa keras.
"Kalau aku adalah Dewa Rejeki, biar kepalaku harus dipotong pun aku tak akan memasang
taruhanku untuk si makhluk pipi putih berpinggang lembut itu."
Setelah berhenti sebentar, pelan-pelan terusnya: "Yang kuketahui sekarang, dalam kuil Dewa
Rejeki sudah kedatangan orang."
Yang datang ada tiga orang, ketiga orang itu tak satu pun yang berdandan dan bertampang
sebagai Dewa Rejeki.
Tempat ini adalah kebun belakang, kebun belakang berupa sebuah tanah perbukitan, suasana
serba merah menyelimuti seluruh tanah perbukitan itu, bunga yang mekar entah berupa bunga
persik" Atau bunga flamboyan" Atau bunga anyelir"
Biarpun guguran bunga memenuhi permukaan tanah, namun merahnya bunga di tanah
perbukitan itu bagaikan gincu yang dioleskan semalam, masih tersisa di waj ah para nona muda.
Ketiga orang itu berjalan turun dari atas perbukitan itu, pintu kecil di belakang tembok tidak
terkunci, perkampungan Bu-hok-sanceng memang bukan tempat yang terlarang untuk didatangi.
Mereka berjalan masuk ke balik aneka bunga di belakang kebun atas tanah perbukitan yang
memerah, kemudian menembusi guguran bunga yang melapisi permukaan tanah, berjalan
menelusuri sebuah jalan setapak yang terbuat dari batu hijau.
Dua orang di antaranya telah berusia pertengahan, berperawakan sedang, berpakaian sedang,
berwajah sedang dan ukuran pinggang sepuluh inci lebih besar ketimbang ukuran pada sepuluh
tahun berselang.
Baju yang dikenakan adalah jubah sempit berwarna hijau dengan pakaian berwarna biru
sebatas bahu, bentuknya mirip sekali dengan sebuah rompi yang terbuat dari besi.
Potongan baju serta dandanan mereka sangat bersahaja, asal kau telusuri jalan raya dalam
sebuah kota besar dan masuk ke dalam toko yang mana pun di kota tersebut, maka kalian sudah
dapat melihat orang dengan dandanan persis seperti itu duduk di belakang meja kasir sambil
memukul sempoa.
Mereka menggandeng seorang kakek yang sudah sangat tua, kakek
itu luar biasa sekali tuanya, rasanya tidak gampang untuk bertemu dengan seorang kakek yang
setua itu masih tetap hidup di dunia ini.
Sebetulnya kakek itu memiliki perawakan badan yang sangat tinggi, tapi sekarang sudah
menyusut dan mengering bagaikan segumpal ebi kering, rambutnya yang semula putih beruban
kini sudah rontok hingga nyaris ludas, wajahnya yang kuning penuh dengan keriput, ia
mengenakan sebuah jubah besar berwarna merah yang bermotif bunga, selain halus bahannya,
potongan serta jahitannya pun amat rajin dan rapi.
Tiba-tiba paras muka si Elang Botak berkerut kencang, sorot mata yang terpancar dari balik
mata Si Ti-ing pun berubah sedikit aneh, jauh berbeda dengan sorot matanya di hari-hari biasa.
Mereka belum pernah berjumpa dengan kakek itu, tapi lamat-lamat terasa seperti pernah
bertemu, perasaan itu seakan seperti seseorang yang mendadak bertemu dengan seekor makhluk
purba yang pernah didengarnya dari cerita dongeng, walaupun tahu kalau dia sudah tak sanggup
lagi melukai orang, tapi kau tetap merasakan satu tenaga tekanan yang begitu besar dan tak
terlukiskan dengan kata.
Kakek Tu berjubah kuning telah maju menyambut, sikapnya sopan dan amat menaruh hormat,
biarpun dia sendiri pun selalu dihormati sebagai seorang kakek terhormat, namun setelah berada
di hadapan kakek berjubah merah itu, keadaannya tak ubahnya seperti seorang murid yang
bertemu dengan gurunya, dengan sikap yang santun ia menjura dalam-dalam seraya menanyakan
keadaan orang. Sambil terbatuk-batuk tiada hentinya, kakek berjubah merah itu gelengkan kepalanya berulang
kali. "Aku tidak baik, sedikit pun tidak baik, bahkan kalau ada nona cilik yang sengaja telanjang
bulat di depanku pun aku sama sekali tidak tertarik. Hidup sebagai manusia sudah sangat tidak
menarik, apa lagi yang kau anggap baik?"
Sekali lagi dia gelengkan kepala sambil menghela napas dan terbatuk-batuk.
"Padahal kau tak perlu menanyakan keadaanku, karena aku pun tak ingin menanyakan
keadaanmu, aku tahu kau tak ingin bertemu aku dan aku pun tak ingin bertemu kau..."
Sesudah berhenti sejenak, tiba-tiba tanyanya:
"Apakah di sini ada yang bermarga Si?"
"Ada!"
"Kau adalah Si Ti-ing?"
"Benar!"
"Bagus sekali, aku memang khusus kemari untuk melihat kau."
Kakek berjubah merah itu segera mengamati Si Ti-ing dari ujung kepala hingga ke ujung kaki,
kemudian dari ujung kaki kembali ke ujung kepala, sesaat kemudian ia mulai terbatuk-batuk
sambil menghela napas.
"Padahal kau tak ada yang bagus dan menarik, tapi mereka bilang ilmu pedangmu sangat
bagus, bahkan bisa dibandingkan dengan kehebatan Yap Koh-seng di masa lalu," kembali dia
menghela napas panjang, "ilmu pedang yang dimiliki Sebun Jui-soat sangat tangguh dan tiada
tandingannya, dapat bertarung sejajar dengan kemampuan Yap Koh-seng sudah dianggap luar
biasa, maka mereka memaksaku untuk datang melihatmu dan aku pun tidak tahan untuk tak
datang kemari."
"Mereka?" tiba-tiba si Elang Botak menyela, sambil menuding ke arah dua orang lelaki itu,
terusnya, "apakah mereka adalah kalian?"
"Benar," salah seorang di antaranya menjawab sambil tertawa, ramah sekali tertawanya,
"mereka adalah kami berdua."
"Jadi kalian adalah Dewa Rejeki?"
Sekali lagi si Elang Botak tertawa keras, seakan sedang menjawab pertanyaan sendiri,
gumamnya: "Tentu saja kalian adalah Dewa Rejeki, kalau bukan Dewa Rejeki, bagaimana mungkin bisa
menghadirkan Toa Ang-bau si kakek berjubah merah?"
Entah di mana saja dan kapan saja, nama "Toa Ang-bau" memang cukup mengejutkan hati
siapa pun. "Toa-Ang-bau?" Si Ti-ing bergumam dengan perasaan terkesiap, "Siau-hun siau-cing-ie, Tohmia
Toa-ang-bau (Pembetot Sukma si Baju Hijau, Pencabut Nyawa si Jubah Merah)?"
"Rasanya memang begitu," kakek itu picingkan matanya seraya bergumam pula, "Si kecil Yan
baju hijau, si besar Li jubah merah, yang laki tampan yang perempuan cantik, serigala memang
selalu berkomplot dengan sang harimau."
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Sayang semuanya itu sudah merupakan kejadian masa lampau, saat ini si pembetot sukma
siau-Yan sudah tua lagi jelek, siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan kabur terbirit-birit,
sedang si pencabut nyawa Toa-Li juga telah berubah menjadi seorang pendekar yang hanya
mampu mencabut nyawa satu orang."
"Nyawa siapa?"
"Nyawa sendiri."
Tanya jawab ini tentu saja dilakukan oleh dia sendiri, karena dia merasa permainan ini sangat
menarik hati. Oleh karena itu dia bertanya sendiri, menjawab sendiri lalu tertawa sendiri, menanti dia merasa
tertawanya sudah cukup, barulah ujarnya:
"Oleh karena itu kedatanganku kali ini tak lebih cuma ingin melihat."
"Melihat bunga" Tidak bagus dilihat, melihat orang" Lebih tak bagus dilihat. Melihat pedang?" si
Elang Botak ternyata meniru juga untuk bertanya sendiri dan menjawab sendiri, "pedang pun tidak
bagus dilihat."
"Oya?"
"Pedang itu dipakai untuk membunuh, bukan untuk ditonton," kali ini yang berebut menjawab
adalah Si Ti-ing, "pedang pun tak ingin bertemu orang, yang diingini hanya bertemu darah."
Ia berjalan ke depan, berhadapan dengan Li Ang-bau lalu terusnya: "Bila pedang tajam yang
pernah dipakai untuk membunuh diloloskan dan sarungnya, maka dia ingin membunuh lagi,
bahkan pemiliknya pun tak sanggup untuk mengendalikan, aku percaya cianpwee pasti dapat
merasakan pula perasaan semacam itu bukan?"
Angin berhembus sepoi menggoyangkan bebungaan, bunga bergoyang bunga berguguran,
berapa banyakkah bunga yang telah berguguran hari ini"
Lewat lama kemudian Li Ang-bau baru mengangguk perlahan.
"Ya benar, memang begitu keadaannya," ia berkata, "pedang yang tajam memang sering
mempunyai roh, begitu juga dengan orang yang biasa menggunakan pedang, bila manusia dan
pedang telah menyatu, bila perasaan dan pedang telah menyatu, maka di saat menggunakan
maka semua gerakan akan berjalan sangat lancar, dapat mengembangkan seluruh tenaga
terpendam yang dimiliki orang maupun pedang itu."
"Benar, memang begitu."
"Oleh karena itu bila pedang itu sendiri sudah memiliki hawa pembunuhan, orang yang
menggenggam pedang pun akan tergerak napsu membunuhnya," Li Ang-bau bicara lebih jauh,
"bila napsu membunuh telah muncul, maka di saat melancarkan serangan dia tak akan memberi
kesempatan kepada lawannya untuk lolos dan kematian."
"Benar," lambat laun sikap Si Ti-ing berubah jadi makin serius, makin menaruh hormat, "jika
napsu membunuh telah timbul, kedua belah pihak tak boleh lagi memberi kesempatan kepada
lawannya, karena itu pertarungan antara dua jago tangguh, antara hidup dan mati sering hanya
ditentukan dalam sekejap mata, bila orang yang biasa menggunakan pedang tewas di ujung
pedang, maka dia akan mati dengan perasaan amat tenteram."
"Bagus, sebuah ucapan yang sangat bagus," puji Li Ang-bau sambil manggut-manggut,
"seandainya usiaku tigapuluh tahun lebih muda, jika kau tak punya janji dengan siapa pun, aku
pasti akan sangat gembira dan terhibur bila hari ini kita bisa bertarung, tapi sayang sekarang..."
Dia menghela napas panjang, lama kemudian baru ujarnya: "Sekarang aku hanya ingin melihat
niat pedang (Ie-kiam) yang ada di dalam dadamu, sudah tak ingin lagi melihat napsu membunuh
yang ada di ujung pedangmu." "Kalau begitu bagus sekali."
Kembali angin berhembus lewat menggoyangkan bebungaan, kembali bunga berguguran
melapisi permukaan tanah, berapa pun guguran bunga yang akan mengotori langit dan bumi,
semuanya itu sesungguhnya merupakan sebuah kejadian yang sangat alami.
Bunga gugur manusia mati, langit dan bumi memang tak pernah punya perasaan!
Langit dan bumi memang tak pernah punya perasaan, bila ada perasaan, mungkin sejak dulu
langit sudah gundul dan tanah sudah menua.
Perlahan-lahan Li Ang-bau bangkit berdiri, menggunakan sebuah tangannya yang kurus kering
berpegangan pada bahu orang yang berada di sisinya, lalu dengan tangan yang lain memetik
setangkai ranting bunga, entah bunga persik" Atau bunga anyelir" Atau bunga flamboyan"
Tiada bunga yang tak rontok, tiada manusia yang tidak akan tua. Tapi ketika ranting bunga itu
berada di tangan kakek itu, segala sesuatunya tiba-tiba saja berubah.
Bab 4 Rasanya Mati Tangan kiri Li Ang-bau sudah meninggalkan bahu orang itu, dengan ibu jari menggenggam jari
kelingking dan jari manis, ia tunjukkan sebuah gerakan jurus pedang, kaki kiri maju setengah
langkah diikuti tungkai kaki menghadap ujung kaki kanan, ranting bunga di tangannya diangkat
sejajar dada, ujung ranting di arahkan ke dada Si Ti-ing.
Pada saat yang amat singkat itulah, ranting bunga yang sudah layu itu seakan mendapat
kekuatan sihir yang luar biasa, tiba-tiba berubah seperti memiliki hawa kehidupan yang luar biasa.
Kakek berjubah merah yang tua, layu seakan hampir mati itu seolah-olah dalam waktu yang
amat singkat telah memiliki sumber kehidupan yang luar biasa, dan balik sorot mata tuanya yang
sedikit sipit seakan memancar keluar cahaya yang berbinar, badan yang layu, kusut dan sedikit
bongkok pun lambat laun berdiri tegak kembali, paras muka yang semula kuning lambat laun
memancarkan cahaya berkilat, peredaran darahnya yang semula mengering dan mulai layu kini
mulai mengalir kembali dengan lancarnya.
Sebuah kehidupan memang merupakan suatu kejadian yang aneh dan penuh misteri, tak ada
yang bisa menjelaskan kenapa seseorang dapat mengalami perubahan yang begitu luar biasa
hanya dalam waktu yang amat singkat"
Inikah keistimewaan yang dimiliki seorang jago pedang"
........Seperti seorang pemimpin yang sudah lama kehilangan kekuasaan, tiba-tiba memperoleh
kembali seluruh kekuasaannya, atau seperti seorang gadis yang putus cinta tiba-tiba menjumpai
kekasih yang telah lama meninggalkan dirinya muncul kembali di depan mata, atau seperti
seorang ibu yang tiba tiba melihat putranya yang hilang bertahun-tahun kembali lagi ke
pangkuannya......
Ketika seseorang yang sedang menghadapi keputusasaan dan tiba-tiba mendapatkan kembali
pengharapannya, apakah dia akan selalu bersihap seperti ini"
Ternyata sebuah kehidupan memang dipenuhi kemukjizatan, membuat orang terharu,
membuat orang terkagum.
Sebaliknya, keadaan dari Si Ti-ing justru lambat laun bertambah layu, kusut dan melemah.
Mengikuti bertambah kuatnya cahaya terang yang memancar keluar dari tubuh Li Ang-bau,
keadaan dirinya justru satu tingkat lebih layu dan kusut daripada keadaan semula.
Segulung tenaga tekanan yang maha dahsyat dan tak terlihat dengan kasat mata seakan
menindih badannya bagai tindihan bukit berkarangg, "Blaaammm" kakinya yang menginjak di
batuan hijau tiba-tiba menghancurkan sekeping batuan, lambat laun kakinya ikut tenggelam ke
bawah tanah. Yang lebih aneh lagi ternyata paras mukanya nampak begitu tenang dan tenteram, walaupun
tidak melakukan perlawanan maupun melancarkan serangan balasan, badannya juga sama sekali
tidak mundur. Entah berapa lama sudah lewat, tiba-tiba kembali terjadi sebuah perubahan yang sangat aneh.
Sisa-sisa bunga yang semula tampak mulai bersemi di atas ranting itu, tiba-tiba berguguran ke
tanah, sewaktu mencapai permukaan tanah, kelopak bunga itu segera layu dan mati, kelopak
bunga yang tadinya berwarna merah segar, ternyata dalam waktu sekejap telah berubah jadi
hitam pekat. Li Ang-bau membentak nyaring, ranting bunga yang berada dalam genggamannya melesat ke
depan dan tiba-tiba terpotong menjadi beberapa bagian di udara dan rontok ke tanah.
Cahaya terang yang berkilauan tadi, dalam waktu singkat bagaikan sebuah meteor yang
melesat lewat, lenyap tak berbekas seakan-akan menguap ke udara.
Li Ang-bau mulai tersengal-sengal napasnya, kemudian setelah terbatuk-batuk, ia menghela
napas panjang. "Bagus, bagus sekali," menggunakan semacam sinar mata yang aneh dia awasi Si Ti-ing, "bila
sesuatu benda berada dalam posisi berlebihan, akan terjadilah pembelokan, bila suatu keadaan
telah mencapai puncaknya, sebentar lagi akan terjadi perlemahan, dengan tidak berubah kau
hadapi perubahan, menghindari pucuk ketajaman di saat mencapai puncak dan menggunakan
tidak bertempur menjadi bertempur, dengan tenang menghadapi perubahan, hebat, kau sungguh
hebat." Setelah menghela napas, kembah ujarnya:
"Sungguh tak disangka kau telah memahami inti sari dari strategi perang yang kau rangkum
dalam ilmu pedangmu, kini kau sudah seorang jenderal, bukan lagi seorang prajurit keroco."
Bukan saja makna sebenarnya dari ilmu pedang sama persis dengan ilmu strategi perang, apa
pun yang kau kerjakan, bila sudah mencapai pada puncaknya maka teori dan alasannya tetap
sama. Tiba-tiba si Elang Botak menghela napas.
"Aku tidak mengerti," katanya, "aku benar-benar tidak mengerti, kedua orang Jay-sin-ya (Dewa
Rejeki) itu sebenarnya lagi apa?"
Tampaknya dia tahu orang lain tak akan mengerti apa yang sedang diucapkan, maka segera ia
terangkan sendiri:
"Bukan satu pekerjaaan yang gampang untuk mengundang Toa Ang-bau mau meninggalkan
sarangnya, kalian telah mengundangnya datang kemari, tujuannya tak lain hanya minta
kepadanya untuk melihat bagaimana hebatnya ilmu pedang yang diniiliki Si Toa-sianseng, kalian
ingin tahu apakah taruhan yang telah kalian pasang sudah benar sasarannya atau tidak, tapi
setelah dilihat sekarang, apa lagi yang bisa kalian perbuat" Memangnya kalian dapat menarik
kembali uang taruhan itu?"
Paras muka kedua orang dewa rejeki itu sama persis seperti lukisan dewa rejeki yang tiap
tahun akan muncul di rumah orang banyak, muka gemuk dengan senyuman menghiasi bibir, sama
sekali tak nampak reaksi maupun perubahan mimik mukanya.
Sementara itu Li Ang-bau telah berseru pula:
"Aku pun tidak mengerti, benar-benar tidak mengerti."
"Kau pun ada yang tidak dipahami?"
"Yang tidak kupahami adalah dirimu," kata Li Ang-bau, kemudian kepada Si Ti-ing tanyanya,
"kau tahu siapakah dia?"
"Tidak, aku tidak tahu."
"Dia bukan sahabatmu?"
"Bukan, dia datang bersama Tu sianseng, semestinya sahabat dari Tu sianseng."
"Kau keliru besar," tukas Li Ang-bau cepat, "dia pun bukan sahabatnya siau-Tu. Di dunia ini
memang terdapat sekawanan manusia y.ing sangat istimewa, mereka seakan tidak memiliki apa
pun, biar sahabat pun rasanya mereka tak punya."
Ia menengok ke arah si Elang Botak, kerutan alis matanya nampak lebih dalam, begitu dalam
seperti goresan dari pisau.
"Aku tahu kau adalah manusia dari jenis itu, itulah sebabnya aku merasa keheranan, kenapa
kau bisa datang ke sini," kata si kakek berjubah merah itu lagi, "di mana ada orang hampir
mampus, ke sanalah si burung pemakan bangkai akan terbang, sayangnya di sini tak ada orang
yang hampir mati."
Si Elang Botak segera tertawa, tertawa sangat keras.
"Setan tua berjubah merah, kali ini jawabanmu keliru besar," serunya sambil tertawa nyaring,
"di mana ada orang bakal mati, hanya si burung pemakan bangkai yang tahu, mati pun
mempunyai sejenis bau yang khas, dan hanya seekor burung pemakan bangkai yang dapat
mengendusnya."
Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya:
"Hey setan tua berjubah merah, urusan macam begini tak mungkin kau pahami, masih terlalu
banyak urusan di dunia ini yang tidak kau pahami."
Gelak tertawanya kembali menggetarkan bebungaan sehingga sebagian rontok ke tanah,


Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sementara tubuhnya mengikuti guguran kelopak bunga itu sudah melesat pergi meninggalkan
tempat itu, ketika ia pergi, tubuhnya persis seperti seekor kelelawar hitam yang terbang dan
melesat ke angkasa.
Tak ada yang berusaha menghalangi kepergiannya, dalam hati mereka hanya bertanya kepada
diri sendiri: .........Bagaimana sih rasanya mati"
Bagaimana pula baunya"
Siapa di antara mereka yang bakal mati"
Bab 5 Burung Pemakan Bangkai
Langit sudah bertambah gelap, seekor kereta kuda yang tertutup rapat oleh selembar kain
terpal berwarna hitam sedang berjalan menelusuri jalan setapak yang sepi dan hening.
Dengan mata setengah terpicing kakek berjubah merah itu bersandar di sudut ruangan kereta,
dua orang dewa rejeki dengan wajahnya yang bulat gemuk persis dua lembar lukisan yang
ditempel di pintu gerbang rumah, duduk berjajar persis di hadapannya.
Aldiirnya salah seorang di antara mereka buka suara, katanya:
"Kelihatannya orang itu sangat tidak sopan terhadap kau orang tua."
"Bukan cuma tidak sopan, bahkan amat sangat tidak sopan," ternyata kakek berjubah merah
itu tidak menunjukkan rasa gusar, dia menjawab dengan suara hambar, "terhadap siapa pun,
orang itu tak pernah sopan, di dalam pandangannya, seorang manusia yang masih hidup tak ada
bedanya dengan seseorang yang sudah mampus."
"Sebenarnya siapa sih orang itu?"
Kakek berjubah merah itu termenung, lewat lama sekali dia baru menjawab perlahan:
"Ada seseorang, ketika berusia sebelas tahun ia telah membunuh mati lima orang lelaki kekar
dengan menggunakan sebilah pisau penjagal kambing, ketika berusia tigabelas tahun, dia
mencukur rambutnya menjadi seorang pendeta di kuil Siau-lim-sie, belum genap dua tahun, garagara
seorang wanita dia diusir keluar dari kuil, bukan begitu saja bahkan dia dicambuk oleh
pendeta bagian pengadilan dengan cambuk berduri, nyaris dia mati konyol di tengah gunung."
"Dia tidak mampus, konon hal ini disebabkan ada tujuh-delapan-belas ekor serigala yang secara
bergilir menjilati mulut luhanya, serigala-serigala itu menjilati selama tujuh hari tujuh malam
sehingga akhirnya berhasil menyelamatkan jiwanya."
"Selama dua-tiga tahun berikut dia hidup di gunung itu bersama serombongan serigala, ketika
mencapai usia tujuhbelas tahun dia bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi, mula-mula sebagai
petugas di istal kuda yang kerjanya memandikan kuda dan membersihkan tahi, kemudian dia naik
pangkat jadi petugas angkat barang, ketika mencapai usia delapanbelas tahun dia sudah jadi
seorang piausu, ketika berusia sembilanbelas tahun dia bikin bangkrut perusahaan piaukiok itu."
"Kemudian selama beberapa tahun berikut pekerjaaan apa pun pernah dia lakukan, ketika
berusia duapuluh empat-lima tahunan dia ikut sebuah perahu dagang berlayar ke negeri Hok-sang
(Jepang), ketika tiga tahun kemudian kembali ke daratan, dia sudah berubah menjadi seorang
saudagar yang kaya-raya."
Setelah menghela napas panjang, kembali kakek berjubah merah itu berkata:
"Menurut kalian, manusia semacam ini termasuk orang yang punya kepandaian atau tidak?"
Tak seorang pun yang ada dalam ruang kereta itu menjawab.
Kembali berapa saat berlalu dalam keheningan, tiba-tiba kereta kuda berhenti berjalan,
berhenti di depan sebuah rumah kayu, di luar jendela kereta cahaya lentera tampak bergoyang
terhembus angin, empat orang dengan menggotong sebuah tandu menanti di luar.
Kakek itu perlahan-lahan duduk, perlahan-lahan bertanya:
"Kalian minta aku pergi menengok ke perkampungan Bu-hok sanceng, sekarang bukankah aku
sudah pergi melihat?"
"Benar."
"Kalian berjanji akan memberi aku barang, mana barangnya?"
"Dalam tiga hari pasti sudah tiba."
"Bagus, bagus sekali."
Perlahan-lahan kakek itu turun dari kereta dan bergumam, "Padahal aku sendiri pun tidak habis
mengerti, kenapa kalian paksa aku untuk pergi melihat" Sekarang kalian sudah tahu kalau si
kelinci yang sekujur badannya berbau aneh bakal kalah, apa pula yang bisa kalian perbuat" Uang
taruhan yang sudah disetor, siapa pula yang mampu untuk menariknya kembali?"
Cahaya lampu telah menjauh, tandu telah digotong pergi, dua orang itu masih berdiri saling
berhadapan, kau memandang aku dan aku memandang kau, dilihat dari balik kegelapan, mereka
sudah tak mirip lagi dengan dua dewa rejeki yang tiap tahun menempel di muka pintu, keadaan
mereka saat ini lebih mirip dengan dua orang mati, dua orang yang mati karena kalah taruhan.
Ke mana perginya si burung pemakan bangkai itu"
Bab 6 Jurus Andalan Dewa Rejeki
Limaratus laksa tahil emas murni memang sanggup membuat seorang manusia hidup
mendadak mati karena kalah taruhan, bahkan kadangkala bisa membuat manusia yang berkeretakereta
banyaknya mati gantung diri.
Limaratus laksa tahil emas mumi, sebuah jumlah yang luar biasa, biar dia seorang Dewa Rejeki
pun tak akan sanggup untuk memikul kekalahan ini, untung saja Dewa Rejeki memang jarang
kalah bertaruh.
Bagaimana dengan kali ini"
Setan tua berjubah merah ini memang tulen seorang setan tua, tapi kali ini, si setan tua pun
tidak habis mengerti kenapa mereka bersedia mengeluarkan biaya sebanyak ratusan laksa tahil
perak untuk mengundangnya, apakah mereka kuatir uangnya keburu berjamur"
Dewa rejeki yang barusan bicara adalah dewa yang usianya sedikit lebih tua, kurang lebih
berumur empatpuluh tujuh-delapan tahunan, tampangnya begitu polos dan blo'on melebihi
tampang sebiji buah pepaya, tapi sekarang tampangnya justru lebih minp sebiji ketela yang baru
saja dicongkel keluar dari dalam tanah.
Dia bermarga Thio, ada yang memanggilnya Thio Lo-ngo, ada yang memanggil Ngo tauke, Ngo
ciangkwee, Ngo toako, ada juga yang memanggilnya Ngo Toa-lang.
Rekannya berusia sedikit lebih muda, berperawakan badan lebih pendek dan lebih gemuk,
kalau dibilang dia mirip ketela, maka orang ini lebih mirip sebiji ketela yang sudah digencet sampai
gepeng. Dia pun dan marga Thio, menempati urutan ke delapan.
"Padahal setan tua itu seharusnya tahu, kalau dewa rejeki mulai bertransaksi maka dia pun
punya sedikit jurus andalan, kalau tidak, dia bukan lagi seorang dewa rejeki tapi setan royal."
Dua orang itu tertawa bersama, tertawa tergelak, tiba-tiba saja dua biji ketela berubah jadi dua
ekor rase, rase gemuk yang bulat lagi pandai berguling.
Dalam keadaan begini, mereka masih mempunyai jurus andalan apa lagi"
Suasana di dalam rumah kayu itu ternyata ramai sekali, bangunan yang jauh dari dusun, tak
bersebelahan dengan bangunan apa pun itu ternyata adalah sebuah arena perjudian yang sangat
besar. Dalam ruangan penuh dengan manusia yang sedang berjudi, kebanyakan merupakan orangorang
yang tak ingin identitasnya diketahui orang; paling tidak agar orang tak tahu kalau mereka
termasuk orang-orang yang gemar berjudi.
Di bagian belakang ruang utama masih terdapat sebuah kamar kecil, di tengah kamar tersedia
sebuah balai besar yang terbuat dari kayu cendana, di atas balai cendana itu terdapat dua buah
meja pendek, di atas meja bukan saja tersedia teh dan arak, terdapat juga manisan, buah, ikan
asap, daging masak kecap, usus goreng tie-to, ayam goreng, ham, kuping babi, kulit babi, bakpao
isi, lumpia, mantau, siau-lung-pau serta aneka ragam makanan kecil, pokoknya hidangan yang
tersedia di situ sangat komplit.
Tampak seseorang sedang duduk di atas balai, duduk sambil makan tiada hentinya, hidangan
macam apa pun asal sudah masuk ke dalam mulutnya, dalam sekejap mata telah hilang lenyap tak
berbekas, orang itu mempunyai wajah dengan selembar mulut yang amat besar, seakan-akan
mulut itu memang sudah disiapkan sejak lahir untuk makan sebanyak-banyaknya.
Yang lebih aneh lagi, orang yang begitu suka dan pandai bersantap ini justru memiliki
perawakan badan yang kurus kering, sedemikian kurusnya nyaris tinggal kulit pembungkus tulang.
Dengan susah payah aldiirnya Thio Ngo dan Thio Pat berhasil melampaui kumpulan manusia
yang sedang berdesakan di ruang tengah, mereka berdin di sisi orang kurus itu dengan sikap yang
sangat menghormat.
Setelah bertemu orang ini, kedua ekor rase itu seolah-olah telah berubah lagi menjadi dua biji
ketela. Dengan susah payah mereka menanti hingga orang itu menyelesaikan untuk sementara acara
makannya, lalu dengan sikap yang sangat hormat mereka menjura seraya memanggil:
"Ji-ko!"
Yang dipanggil Ji-ko (kakak kedua) sama sekali tak berpaling, melirik sekejap pun tidak, dia
masih berbaring kemalas-malasan di atas balai cendana sambil tanyanya dengan ogah-ogahan:
Toa tauke berdua, boleh aku bertanya kepada kalian, kak ini kau semua memasang taruhan
sebesar limaratus laksa tahil emas atas si makhluk kecil itu, sebetulnya semua ini atas ide siapa?"
"Ideku," jawab Thio Pat cepat-cepat, "aku pernah melihat Liu Ceng-ho turun tangan, dia
memang hebat dan luar biasa, malah paling tidak sudah ada tiga orang jago pedang yang setara
ilmu pedangnya dengan Si Ti-ing tewas di tangannya. Sejak awal aku sudah menganalisa hal ini
secara teliti dan yakin taruhan kali ini pasti kita yang menang, karena itu setelah berunding
dengan sam-ko, ngo-ko dan lak-ko, aku putuskan untuk memasang taruhan ini."
"Dengan persetujuan empat orang toa-tauke, tentu saja kau boleh memasang taruhan itu," ujar
Ji-ko hambar, "apakah sekarang kau masih menganggap bahwa taruhan itu sudah benar pada
sasaran?" Thio Pat segera tutup mulutnya tak berani menjawab, apalagi Thio Ngo, dia lebih tak berani
buka suara. Ji-ko kembali menghela napas panjang:
"Hai, Thio Pat wahai Thio Pat! Aku benar-benar tak habis mengerti, kenapa kau mesti she-Thio"
Kenapa tidak she-Ong saja?" Dengan kemalas-malasan dia bangun dan duduk, terusnya:
"Tahukah kau, sekarang ini berapa pasaran taruhan di luar sana atas pertempuran tersebut?"
"Mungkin satu banding tiga, semua pegang Si Ti-ing kalah, bahkan dalam pasaran tak ada yang
berani pegang Liu Ceng-ho kalah."
Thio Pat berbicara sangat tenang, semua masalah dibeberkan dengan jelas dan teliti bahkan
dengan lagak seakan tak bersalah, seolah-olah semua urusan sama sekali tak ada sangkut paut
dengan dirinya. Kontan saja Ji-ko mencak-mencak kegusaran, teriaknya: "Bagus, bagus sekali,
rupanya kau pun sudah tahu, tak kusangka ternyata kau pun tahu."
"Aku bukan cuma tahu, bahkan secara khusus telah mengundang Li Ang-bau untuk
meyakinkan, ternyata dia pun tak mau memasang taruhan atas Liu Ceng-ho."
"Biarpun telur busuk tua itu bukan manusia baik-baik, tapi kalau dalam soal ini, dia tak bakal
salah menilai," mendadak Ji-ko melompat bangun lagi sambil bertanya, "telur busuk tua itu rakus
lagi tamak, dengan cara apa kau berhasil mengundangnya?"
"Tentu saja dengan memberi sedikit hadiah."
"Sedikit hadiah itu berapa nilainya?"
"Enam orang bocah perempuan berusia empatbelas tahun, enam-puluh lembar daun emas
serta enam ekor babi putih yang diberi susu manusia bercampur obat-obatan."
Tidak menunggu sampai Ji-ko naik darah lagi, buru-buru Thio Pat menambahkan:
"Sebenarnya kita tak rugi memberi hadiah seperti itu, sebab aku telah berjanji hadiah itu akan
kukirim setelah dia selesai melakukan penilaian, dengan begitu kita pun tahu jalan mana yang
paling cocok ditempuh."
"Hingga sekarang masih ada berapa jalan lagi yang bisa kau tempuh?" tanya Ji-ko lagi sambil
menahan rasa mendongkolnya.
"Paling tidak masih ada dua jalan, kesatu adalah mendapat keuntungan, jalan kedua adalah cari
kembalian modal."
"Setelah keadaan berkembang jadi begini, kau masih mengharapkan keuntungan" Masih bisa
balik modal?"
"Biarpun tak bisa mengharapkan kemenangan, paling tidak masih bisa kembali modal," sahut
Thio Pat cepat, "bila Li Ang-bau memprediksikan kemenangan Liu Ceng-ho atas Si Ti-ing dalam
pertempuran ini, maka aku tinggal menghitung jumlah emas yang berhasil kita menangkan, jika
dia memprediksikan Si Ti-ing menang dan Liu Ceng-ho kalah, maka aku akan mencari akal untuk
balik modal."
"Bagaimana caramu untuk balik modal" Memangnya kau masih bisa menarik balik uang taruhan
yang telah dipasang?"
"Tentu saja tak dapat."
Memang tak ada orang yang bisa menarik kembali uang taruhan yang telah dipasang, Thio Pat
berkata lebih jauh:
"Tetapi aku toh bisa memasang taruhan lagi dengan memegang Si Ti-ing, jumlah taruhannya
sama limaratus laksa tahil emas murni, biar kalah di taruhan pertama, paling tidak bisa menang
pada taruhan yang kedua, sehingga modal pokok pun tetap bisa balik, siapa tahu malah bisa
untung sedikit-dikit."
"Ehmm, usulmu memang cukup bagus dan bisa diandalkan," Ji-ko manggut-manggut, "cuma
saja masih ada sedikit persoalan."
"Persoalan apa?"
"Setelah situasi berubah jadi begini, siapa yang sudi bertaruh limaratus laksa tahil emas lagi
denganmu?"
"Aku percaya pasti dapat menemukan orang-orang itu." "Orang-orang macam apa?"
"Mereka yang suka bertaruh tapi takut kalah," jawab Thio Pat, "sebelum memasang taruhan,
biasanya orang-orang itu pasti akan menyelidiki terlebih dulu detil dari orang yang bertarung,
bahkan penyelidikan mereka pasti mencakup hal-hal yang paling kecil."
"Memangnya orang-orang macam begini bersedia untuk bertaruh denganmu?"
"Sebenarnya sih tidak mau, tapi sekarang aku percaya mereka pasti mau."
"Kenapa?"
"Karena ulah seseorang dan marga Si yang dijuluki orang Si Pousat, dan sekarang dia sedang
berjudi pay-kiu di arena luar sana."
Si Ho, berusia limapuluh satu tahun, belum lagi berusia sepuluh tahun sudah bergabung
dengan keluarga Si dan menjadi kacung bukunya Si toa-sauya, ketika toa-sauya naik pangkat jadi
Toa-sianseng, si kacung buku pun naik pangkat jadi seorang congkoan.
Di hari-hari biasa dia selalu mengenakan baju kasar berwarna biru, tak suka makan besar, tak
suka main pelacur, tidak minum arak, tidak membual tidak berjudi, penyakit jelek sedikit pun tidak
dimiliki, oleh karena itulah orang menjulukinya Si Pousat (Malaikat Si).
Dandanan dari Si Pousat saat ini persis seperti seorang saudagar yang kaya mendadak, hanya
saja dia sudah kalah berjudi hingga peluh membasahi seluruh jidatnya, matanya memerah dan
kelihatan agak sedikit lesu.
Dalam waktu singkat dia sudah diundang masuk, Thio Pat segera membantunya
memperkenalkan diri
"Dia adalah Si congkoan, selama dua tahun terakhir menjadi tamu langganan tempat ini, boleh
dibilang setiap malam dia pasti datang, orangnya supel dan royal, kalau berjudi pun sangat berani,
hanya sayang nasibnya sedikit kurang beruntung sehingga sedikit banyak sudah menyumbang ke
kita, aku telah membantunya untuk memberesi semua utang piutangnya dengan tempat ini, tentu
saja sebagai imbalannya kami pun minta bantuan Si congkoan untuk membantu kami
menyelesaikan sedikit urusan kecil.''
"Aaah, betul, itu sih hanya urusan yang sangat gampang, urusan sangat kecil," Si Ho segera
menyahut sambil tertawa paksa.
Banyak orang pintar berpendapat, dan urusan kecillah akan ditemukan pintu besar, pintu yang
ada di balik urusan besar rasanya dapat diketahui oleh siapa saja.
Bab 7 Siapa yang Jadi Burung Tolol"
Pekerjaan yang diminta Thio Pat untuk dikerjakan Si Ho memang benar-benar sebuah
pekerjaan kecil.
Dia serahkan sebuah resep obat untuk Si Ho dan memintanya untuk membeli obat esok pagi di
toko obat terbesar di dalam kota, bila selesai mengambil obat, dia harus mengunci diri di dalam
kamar untuk memasak obat itu.
Bila obat telah matang, buang cairan obat itu ke dalam lubang jamban, dan mengganti isi
mangkuk dengan semangkuk kuah jinsom, kuah jinsom itu adalah sarapan buat Si toa-sianseng.
Setelah itu dia harus membuang ampas obat yang telah dimasak ke dalam selokan yang ada di
dalam dapur, bila semua telah dikerjakan maka tugas pun selesai.
"Setelah aku melakukan tugas ini selama dua hari secara beruntun, apa yang diduga Thio Patya
ternyata tepat sekali," lapor Si Ho kemudian, "benar juga, ternyata ada segerombol manusia
yang kasak-kusuk menyelinap masuk ke dalam, secara sembunyi-sembunyi berkeliling dalam
kamarku, lalu mengambil ampas obat yang kubuang ke dalam selokan bahkan pergi ke toko obat
Khing-ho-tong untuk mencari tahu obat-obatan apa saja yang telah kutebus di situ."
"Lantas bahan obat obatan apa saja yang kau tebus dari toko obat itu?"
"Tak lebih cuma sebangsa Gou-hong, Thian-jit, Coa-tan serta bahan-bahan obat sejenis yang
khusus digunakan untuk mengobati penyakit lever akut, bahkan harganya pun mahal sekali."
"Ooh, mengerti aku sekarang," kata Ji-ko kemudian, sambil berpaling ke arah Thio Pat katanya
lebih lanjut, "apakah kau hendak meninggalkan kesan seolah-olah Si Lo-toa sudah terjangkit
penyakit lever, bahkan penyakitnya sudah mencapai taraf yang menguatirkan?"
"Benar!"
"Si Ti-ing sangat berpengalaman dalam pelbagai pertempuran, sewaktu muda dia pun royal
minum arak dan main perempuan, diserang dari luar dan dalam, bila sampai terkena penyakit
lever, dapat dipastikan sakitnya pasti sangat parah dan sukar diobati lagi"
"Bukan saja tak bisa diobati, bahkan paling pantang menggunakan tenaga berlebihan, padahal
pertarungan antara dua jago yang dipertarungkan justru tenaga dalam," kata Thio Pat perlahan,
"jika hawa mumi sampai digerakkan, bila sampai menggoncangkan hati dan isi perut, tak usah
pihak musuh turun tangan pun dia pasti akan mati secara mengenaskan."
"Ketika orang-orang itu berhasil mendapat berita tersebut, tentu saja mereka akan memasang
Liu Ceng-ho menang, bahkan aku yakin para penjudi itu pasti tergopoh-gopoh memasang
taruhannya, seakan kuatir kalau rahasia itu keburu bocor."
"Dalam keadaan begini, aku pun terpaksa menerima taruhan mereka itu, agar mereka mengira
aku betul-betul seorang pecundang yang amat goblok," Thio Pat menerangkan lebih lanjut,
"dengan begitu modal taruhan kita pun bisa diselamatkan, bukankah kejadian ini patut kita
rayakan dengan gembira?"
Kembali dia tertawa bagaikan seekor rase:
"Maka aku pun lagi-lagi mengeluarkan uang sebesar limaratus laksa tahil emas dan diserahkan
ke pihak Sarang Perjudian, aku minta mereka selesaikan urusan selanjutnya. Aku rasa mungkin
sekarang sudah ada beritanya."
"Tahukah kau orang-orang itu siapa saja?"
"Paling banter mereka adalah penjudi-penjudi yang kemaruk harta, berpikiran picik yang suka
bertaruh tapi takut kalah, manusia-manusia bangsa kurcaci, bangsa siaujin yang senangnya kasakkusuk


Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti bandit cilik."
Setelah berhenti sejenak dan tertawa, tambahnya:
"Biarpun kita berhasil mengeruk sedikit uang rejeki mereka, rasanya siapa pun tak akan
bersedih hati karena kerugian orang-orang itu.
Dalam pada itu Ji-ko kembali sudah menyikat habis sepotongusus asap, sepotong tie-to,
sepotong daging masak kecap serta empat biji pia yang ditaburi wijen.
Setiap kali mendengar berita yang memuaskan hati, dia memang selalu akan makan lebih rakus
lagi. "Biarpun caramu sedikit rendah, licik dan memalukan, tak bisa dipungkiri memang sebuah ide
yang brilian," kembali Ji-ko mencomot sepotong ayam goreng, "untuk menghadapi ayam goreng
seperti ini, terpaksa kita harus sikat sampai habis, untuk menghadapi orang-orang semacam itu,
kita pun harus membuat mereka kalah bertaruh sampai mampus."
Tiba-tiba dari luar ruangan terdengar seseorang tertawa tergelak: "Hahaha....kalau ada ayam
goreng, tolong jangan disikat sampai habis, paling tidak kau harus sisakan sepotong paha ayam
untukku, hati-hati, makan seorang diri bisa membuat perutmu sakit."
Di tengah gelak tertawa nyaring, seorang lelaki kekar berjubah lebar, bersepatu rumput,
kepalanya botak seperti elang, matanya tajam seperti mata rajawali, menerobos masuk dari depan
pintu. Orang-orang yang berusaha menghalangi jalan perginya, entah kenapa, asal maju
menghadang, tahu-tahu tubuh mereka sudah mencelat
jauh sekali, ada yang menumbuk di atas dinding, ada pula yang terlempar keluar melalui
daun jendela. Ji-ko hanya memandangnya sekejap, ternyata ia benar-benar merobek sepotong paha ayam
goreng dan melemparkan ke depan.
"Nih, ambil!"
Paha ayam dengan membawa deruan angin yang tajam dan kuat, seperti sebatang anak panah
yang terlepas dari busurnya, melesat ke depan dengan kecepatan tinggi.
Jangan dilihat orang ini tinggal kulit pembungkus tulang, kurusnya setengah mati sehingga
mirip cacing penyakitan, tenaga serangannya ternyata luar biasa hebatnya, bahkan mengandung
kekuatan hampir beberapa ratus kati.
Si Elang Botak seakan tidak tahu akan hal ini, paha ayam tersebut seakan dihantar ke
hadapannya oleh seorang nenek tua dengan menggunakan sepasang sumpit, dia menerimanya
dengan sangat mudah dan ringan bahkan langsung mulai digigit.
Sambil mengunyah daging, gumamnya:
"Thio Pat-ya, ternyata kau memang hebat, tak disangka kau punya jurus pamungkas juga. Di
waktu biasa aku lihat kau selalu saja kerja merugi, tak tahunya kau lagi menyaru sebagai babi
untuk menelan seekor harimau, tak aneh jika setiap kali Dewa Rejeki mulai bicara soal transaksi,
kau yang selalu dikirim untuk melakukan negosiasi."
"Tapi sayang, kebetulan kau pun ada kalanya tidak she-Thio ataupun she-Ong," jengek Ji-ko
sambil tertawa dingin.
"Bagaimana dengan kau sendiri?" tanya si Elang Botak, "kau she apa?"
"Kwan!"
"Kwan Ji?" kembali Elang Botak bertanya, "Kwan Ji dari wilayah Kwan-say?"
"Betul, itulah aku!"
Tiba-tiba si Elang Botak tertawa terbahak-bahak:
"Hahaha.....tidak nyana Kwan Ji dari wilayah Kwan-say pun seorang Dewa Rejeki!"
Kwanji ikut tertawa keras:
"Aku Kwanji sejak muda memang seorang bandit, seluruh kolong langit telah kujelajahi, semua
harta kekayaan seakan sudah jadi barang dalam kantongku, kalau aku bukan Dewa Rejeki, siapa
yang akan jadi Dewa Rejeki?"
Lalu kepada si Elang Botak itu tanyanya lagi:
"Bagaimana dengan kau" Apa nama margamu?"
"Pok!"
"Pok" Pok Ing?" agak berubah paras muka Kwanji.
"Benar!"
Mendadak Kwanji melompat bangun dan duduk, sinar tajam memancar keluar dari balik
matanya, sorot mata itu sangat tajam, tajam bagai sembilu dan menatap wajahnya tanpa
berkedip. "Sudah lama kau tinggal di luar perbatasan, mau apa datang kemari?"
"Kalau aku mau datang, aku akan datang. Kalau aku mau pergi, aku pun pergi, siapa pun tak
berhak mengurusi aku."
"Kak ini mau apa kau datang kemari?"
"Datang menyampaikan warta gembira," kembali Pok Ing tersenyum, "limaratus laksa tahil
emas yang kalian pasang sebagai taruhan kedua di Sarang Perjudian sudah ada yang
menerimanya, pasaran taruhan sekarang adalah tiga lawan satu, jika Si Ti-ing tidak mampus,
anggap saja kalian yang menang, kalian masih bisa untung seratus laksa tahil emas."
Berseri wajah Thio Pat mendengar berita ini, tak bisa membendung rasa gembiranya ia segera
bertanya: "Siapa yang begitu berani menerima tantangan dalam pertaruhan ini?"
"Aku!"
Bab 8 Pedang Emas Bangau Kuning
Tengah malam bulan empat tanggal limabelas, bulan purnama, rembulan yang bulat besar dan
memancarkan sinar terang tergantung di atas awang-awang.
Suasana di bawah loteng Hong-hok-lo (Loteng Bangau Kuning) bagai bermandikan cahaya
lentera, bukan saja orang berjubel di sepanjang pantai, perahu layar pun banyak berjajar di
sepanjang tepi sungai, sebagian besar di antaranya tentu saja orang-orang persilatan.
Namun di antara sekian banyak orang yang hadir, ada juga para penjaja kaki lima yang
menjual makanan kecil, air teh dan arak, ada pula perempuan-perempuan yang berdandan menor,
berbaju warna-warni dan berlagak seperti perempuan gedongan, perempuan dari keluarga kaya,
mereka tak lain adalah "perempuan-perempuan pedagang," maksudnya perempuan yang
dagangannya tak lain adalah menjajakan diri.
Orang-orang semacam ini pun ikut memasang taruhan, biar taruhan mereka tidak terlalu besar,
asal ada yang dipertaruhkan, orang pasti akan tertarik dan ikut meramaikannya.
Tentu saja di antara mereka ada juga yang khusus datang untuk menonton keramaian, atau
khusus berdagang, ada juga yang datang untuk menonton bagaimana akhir dari duel maut antara
dua jago pedang yang amat tersohor namanya dalam dunia persilatan ini.
Sayang sekeliling rumah makan Bangau Kuning-Hong-hok-lo dijaga dengan super ketatnya,
pada hakekatnya tak seorang pun yang diperbolehkan berlalu-lalang di seputar sana.
Penjagaan super ketat ini terpaksa dilakukan karena jauh sebelum pertarungan dimulai, Liu
Ceng-ho telah mengutarakan syaratnya, pedangnya bukan untuk ditonton orang banyak, ilmu
pedangnya juga bukan untuk dipertontonkan kepada orang banyak, dia mencabut pedangnya dan
melancarkan serangan karena untuk menentukan siapa menang siapa kalah, siapa hidup siapa
mati. Cu-si (jam 12 malam) sudah lewat, ternyata Liu Ceng-ho belum juga menampakkan diri.
Dia memang punya kebiasaan datang terlambat, dia tak pernah mau menunggu orang lain,
selamanya dia lebih suka orang lain yang menunggu kedatangannya.
Sebuah perahu pesiar yang indah, mewah dan megah akhirnya bersandar di dermaga, aneka
bunga yang harum semerbak nampak menghiasi seluruh ruang perahu, bunyi seruling dan
dentingan tali kecapi masih mendendangkan lagu yang merdu merayu.
Akhirnya Liu Ceng-ho muncul juga, dia mengenakan baju sutera yang tipis dengan sebuah ikat
pinggang berwarna kuning emas, wajahnya yang pucat pias di bawah pantulan cahaya lentera
mirip sekali dengan wajah sesosok mayat. Tapi dia justru merasa bangga karena hal ini, baginya,
begitulah warna dan tampilan dari seorang bangsawan terhormat,
Mana mungkin seseorang yang harus banting tulang bekerja keras sambil peras keringat habishabisan
memiliki selembar wajah yang putih pucat dan halus macam dia"
Bau harum semerbak terendus dari seluruh tubuhnya, memang banyak saudagar kaya dan
Persia seringkah menghadiahkan aneka parfum yang harum semerbak dan mahal harganya untuk
dia, tak heran kalau dia beranggapan tidak mandi sepanjang tahun pun tidak menjadi soal, karena
memang begitulah ciri khas dari seorang bangsawan.
Semua perhatian dari setiap orang yang berdiri di tepi telaga telah tertuju kepadanya, semua
orang memperhatikan pedang emasnya yang luar biasa besarnya, tak ada lagi yang mau
memerhatikan perawakan badannya yang tinggi ramping semampai persis seperti tubuh seorang
gadis muda itu.
Seluruh ruangan rumah makan Hong-hok-lo bermandikan cahaya lentera, tak disangkal Si Toasianseng
pasti sudah datang lebih dahulu, dia sedang menunggu kehadirannya, menunggu
memang gampang membuat hatinya panik, kalau sudah panik pikiran dan perasaan hatinya pasti
kalut. Sebelum pertarungan berlangsung, membiarkan musuhnya menunggu hampir setengah jam
lamanya termasuk salah satu taktik perang yang dimilikinya.
Dia memang selalu merasa puas atas semua pengaturan serta persiapan yang telah dia lakukan
untuk diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar ada orang dalam kerumunan berteriak keras:
"Pertarungan antara Sebun Jui-soat melawan Yap Koh-seng yang berlangsung dalam Istana
Terlarang pun mengijinkan orang lain untuk ikut menonton, mengapa kau melarang kami untuk
ikut menonton pertarungan kalian?"
"Aku bukan Sebun Jui-soat, Si Toa-sianseng juga bukan Yap Koh-seng," jawaban Liu Ceng-ho
amat santai dan ringan, "perubahan ilmu pedang yang mereka miliki banyak tak terhingga,
pertarungan mereka pun berlangsung dalam suasana penuh perubahan dan kejadian tak terduga.
Beda dengan pertarungan kami berdua, pertarungan kami hanya sebuah pertarungan untuk
menentukan siapa hidup siapa mati, siapa menang siapa kalah. Mungkin semua kejadian hanya
berlangsung sekejap mata."
"Kau yakin dapat meraih kemenangan dalam sekejap mata?"
Liu Ceng-ho merenung sejenak, kemudian baru sahutnya hambar:
"Tidak ada kata yakin di dalam menentukan suatu kemenangan atau kekalahan, hidup atau
mati. Kadangkala nampaknya sudah menang padahal kalah, ada kalanya biar mati padahal masih
hidup, walaupun ada sementara orang masih hidup segar bugar, padahal tak ada bedanya dengan
mati." Setelah berhenti sejenak, pelan-pelan tambahnya:
"Aku percaya banyak sekali orang yang berada di sini demikian keadaannya."
Akhirnya Lhi Ceng-ho naik ke atas loteng rumah makan Bangau Kuriing, berhadapan dengan Si
Ti-ing. Kali ini adalah kak pertama mereka saling bersua, tapi, mungkin juga akan merupakan
pertemuan yang terakhir kali.
Kedua orang itu saling bertatap muka, sampai lama sekali sebelum buka suara, di saat pertama
kak bersua dan juga merupakan terakhir kak bertemu, dua orang jago pedang yang amat tersohor
di kolong langit itu hanya mengucapkan sepatah kata:
"Silahkan!"
Napas yang menentukan mati hidup segera akan diputuskan, serangan mematikan yang akan
mencabut nyawa segera akan dilepaskan, dalam keadaan begini, apa artinya banyak bicara"
Bab 9 Siapa sang Pemenang"
Di bawah loteng rumah makan Hong-hok-lo, beribu kepala mendongak ke atas. Dalam waktu
yang relatif singkat, setiap orang yang hadir di situ seakan menaruh perhatian yang sangat besar
atas mati hidup dua orang jago yang sedang beradu ilmu dan menentukan siapa menang siapa
kalah itu. Tiba-tiba suara deruan angin membelah ruangan loteng Hong-hok-lo, diikuti cahaya lentera
bergoyang tiada hentinya.
Segulung desingan angin tajam mengiringi sekilas cahaya emas melesat keluar menembusi
jendela, cepat bagai sebuah bianglala panjang yang melewati tepi sungai, jatuh di tengah air nun
jauh di sana. Percikan bunga air memancar ke empat penjuru, semua orang terkesiap, semua orang
terbelalak. "Pedang emas itu pasti milik Liu Ceng-ho, pasti niiliknya!''
Kini pedang emas telah lepas tangan, terbang keluar dari rumah makan Bangau Kuning,
jangan-jangan Liu Ceng-ho menderita kekalahan dalam pertarungan ini"
Percikan bunga air di tengah sungai beserta riak-riaknya dengan cepat telah tenang kembali,
cahaya lentera dalam ruangan yang berkedip-kedip, lambat laun menjadi terang benderang
kembali. Permukaan air maupun suasana di atas loteng terasa hening, sepi, seakan-akan tak pernah
terjadi peristiwa apa pun di sana.
Entah berapa lama sudah lewat. "Kreeek!" daun jendela terbuka dan muncul sesosok bayangan
manusia, tubuhnya ramping dan tinggi semampai, wajahnya pucat, tapi sepasang matanya
berkilauan bagai bintang kejora.
.........Biarpun pedang emasnya telah berubah bagai seekor bangau kuning yang terbang ke
udara, ternyata orangnya masih sehat walafiat.
Ke mana perginya Si Ti-ing" Tubuh Si Ti-ing sudah roboh terkapar, golok dalam genggamannya
masih utuh, paras mukanya tenang bahkan tenteram, pakaian yang dikenakan tidak nampak
kusut, hanya di atas tengkuk bagian belakang telah bertambah dengan sebuah bekas jari tangan
berwarna hitam pekat.
Kesimpulan bersama yang dikeluarkan Pok Ing dan kakek Tu berjubah kuning adalah:
"Si Toa-sianseng telah berangkat duluan!"
Biarpun pertarungan telah berakhir, orang yang bisa naik ke atas loteng pun hanya beberapa
orang, tentu saja ucapan tersebut ditujukan untuk Kwanji.
Dengan lantang dan gagah Kwanji segera berkata:
"Si Ti-ing telah mati berarti kami kalah, limaratus laksa tahil emas menjadi milikmu.''
Tapi kemudian tak tahan ia bertanya lagi:
"Waktu itu, kenapa kau berani bertaruh kalau dia bakal mati" Kukira kau bakalan kalah total."
Pok Ing tidak langsung menjawab, dia hanya berkata perlahan: "Mati pun mempunyai semacam
bau yang istimewa, hanya burung pemakan bangkai yang dapat mengendusnya."
Tiba-tiba kakek Tu berjubah kuning menyela:
"Padahal matinya Si Ti-ing hanya meminjam pedang dari Liu Ceng-ho untuk 'membebaskan
tentara'nya!"
"Pembebasan tentara" hanya sebuah istilah dari ajaran To yang berarti semacam cara untuk
menjadi seorang dewa.
"Ya, sebenarnya sejak awal dia sudah mengidap sejenis penyakit yang tak mungkin
disembuhkan lagi," kakek Tu berjubah kuning melanjutkan, "sebagai seorang jago pedang, hanya
mati di ujung pedang lawan merupakan cara penyelesaian yang paling tepat, sebagaimana dalam
'pembebasan tentara', mengharapkan kebajikan mendapat kebajikan, oleh sebab itulah dia mati
dalam keadaan yang sangat tenang dan hatiku pun ikut tenteram."
"Penyakit yang tak mungkin disembuhkan?" tanya Kwan Ji, "bagian mana yang sakit?"
"Hatinya!"
"Jadi dia telah mengidap penyakit lever yang tak bisa disembuhkan?"
"Benar, oleh sebab itu Si Ho tidak mengkhianatinya, dan itu pula sebabnya Si Ho masih dapat
hidup." Perlahan-lahan Kwan Ji membalikkan badannya, memandang Thio Pat dengan mata melotot.
Thio Pat memaksakan diri untuk tertawa, walaupun tak berani bersuara, namun maksudnya
sangat jelas: "Bagaimanapun juga, kita toh tetap menangkan taruhan ini."
Si Ti-ing telah mati, Liu Ceng-ho peroleh kemenangan, tentu saja pihak Dewa Rejeki telah
menangkan taruhan ini, tapi anehnya, Pok Ing justru masih bertanya kepada Liu Ceng-ho:
"Dalam pertarungan tadi, sebenarnya kau menang atau kalah?"
"Kau maksudkan pertarungan yang mana?"
"Maksudku pertarungan pedang."
Taruhan yang ditetapkan pihak Sarang Perjudian dan Dewa Rejeki memang kemenangan dalam
pertarungan pedang.
Ternyata jawaban dari Liu Ceng-ho sama sekali di luar dugaan, membuat semua orang
tercengang. "Kalau bicara soal pertarungan pedang, tentu saja aku yang kalah. Pedang emasku dipaksa
untuk meluncur lepas dan genggaman dan melesat keluar dan ruangan, jadi bicara soal
pertarungan pedang aku berada di pihak yang kalah," katanya, "tapi kalau bicara soal pertarungan
mati hidup, akulah pemenangnya."
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya dengan nada sedih:
"Yang kalian pertaruhkan adalah pedangku, sedang yang kupertaruhkan adalah mati hidupku.
Si Ti-ing menggunakan tubuhnya menggantikan pedang, dengan pedang meraih kemenangan,
sementara aku menggunakan perubahan dari pedangku untuk menggerakkan perubahan dari
gerak tubuhku, tubuhku ringan dan pedangku gencar, getaran pedang membuat aku mengubah
jurus seranganku hingga tak terhingga, ketika pedangku terlepas dan genggaman, pikiran lawan
pasti akan agak teledor, tenaga dalam yang terpancar pun ikut tersumbat, saat itulah kesempatan
yang sangat baik bagiku untuk menghabisi nyawanya."
Kesimpulan terakhir yang dia buat adalah:
"Oleh sebab itu, orang lain menggunakan tubuhnya menggantikan pedang, dengan pedang
menguasai lawan, sementara aku menggunakan pedang menggantikan diriku, dengan diriku
membunuh musuh. Asal musuh mati dan aku tetap hidup, menang kalah dalam ilmu pedang tidak
jadi masalah bagiku, karena dalam sebuah pertempuran, yang kupertaruhkan adalah mati
hidupku." "Oleh karena itu kalau bicara soal pertandingan pedang, kau berada di pihak yang kalah?"
"Benar!"
Bulan purnama masih bersinar terang, Liu Ceng-ho sudah melesat keluar melalui jendela,
bersalto beberapa kali di tengah udara dengan gerakan yang aneh tapi indah, seaneh dan seindah
jurus pedangnya sebagai seorang jago pedang kenamaan.
Manusia dan pedang telah lenyap tak berbekas, irama musik masih mengalun memecahkan
keheningan, malam terasa semakin larut.
Di dalam ruang loteng Hong-hok-lo, kini tinggal dua orang yang masih tersisa, yang satu adalah
Kwan Ji, yang lain adalah Pok Ing, satu sebagai pemenang dan yang lain sebagai sang pecundang.
Dua orang dengan enam buah guci arak....
Kini rembulan sudah tenggelam, arak pun telah mengering, dengan mata setengah kabur Kwan
Ji mulai bergumam:
"Pok Ing, ingat baik-baik, suatu hari nanti aku pasti akan mengunggulimu."
Tapi Pok Ing sudah tak nampak, yang terdengar hanya gelak tertawa latah yang bergema dari


Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balik gelombang embun pagi:
"Hahaha....mati hidup menang kalah ditentukan dalam sekejap mata, siapa yang jadi
pemenang" Aku sendiri pun bukan, pemenang sesungguhnya di jagad raya ini sudah pada
mampus!" Bagian Kedua Taring Serigala
Pembukaan Setiap orang yang memiliki telinga yang tajam pasti tahu bahwa dalam dunia persilatan
terdapat sebuah organisasi perjudian yang amat misterius, bukan saja bersedia menerima pelbagai
taruhan yang aneka jenis dan aneh, bahkan bersedia pula untuk bertaruh dengan cara apa pun.
Konon penyelengara Sarang Perjudian ini adalah seorang lo-sian-seng serta seorang lo-thaythay,
jejak mereka misterius, tenaga dalamnya sempurna, ilmu silatnya sangat tangguh, bahkan
mereka memiliki sifat petualangan serta rasa ingin tahu yang luar biasa, melebihi sifat seorang
bocah bandel. Kini, semua orang baru tahu, Lo-sianseng yang mereka anggap sudah sangat tua itu ternyata
tidak setua yang dibayangkan, bukan saja seringkah masih sanggup melakukan pekerjaan dan
perbuatan yang mustahil dilakukan orang lain, bahkan seringkah masih bisa menarik simpatik dan
rasa senang kaum gadis terhadapnya.
Orang ini bukan saja semangatnya hebat, tenaga hidupnya jauh lebih hebat dan sangat
mengerikan hati. Sejauh mana ilmu silat yang dia miliki" Tidak banyak yang tahu tentang hal ini,
karena kalau bisa tak bertarung, dia selalu berusaha untuk tidak turun tangan, persis seperti di
saat dia bisa duduk, maka tak mungkin dia akan berdiri, selagi dapat minum arak, dia pun tak
akan minum air biasa.
Orang ini tak lain adalah Pok Ing.
Bila seseorang tidak menjumpai musuh yang dapat menandinginya, hidup di dunia ini memang
jadi tak berarti, tapi Pok Ing hidup dengan penuh kegembiraan, karena dia memiliki seorang lawan
tangguh yang menarik hati, Kwanji dan wilayah Kwan-say, Kwan Giok-bun. "Seng-liat-hau-paKwan Giok-bun" (Kwan Giok-bun yang Sanggup Merobek Harimau dan Kumbang), selagi merobek
robek manusia hidup, dia dapat melakukannya bagai sedang merobek selembar kertas.
Kali ini, kembali mereka terlibat dalam sebuah pertaruhan, yang dipertaruhkan adalah sebuah
gigi serigala yang penuh misteri dan penuh rahasia.
Bab 1 Serigala di Atas Api.
Bintang malam bertaburan di atas sebuah bukit gundul, udara cerah tapi dinginnya bukan
kepalang. Seorang lelaki kekar berkepala botak seperti burung elang duduk bersandar di sisi tebing di atas
sebuah batu hijau, dia mengenakan jubah hitam yang longgar dan lembut, bersepatu rumput
dengan sepasang mata yang lebih terang ketimbang bintang malam, waktu itu dia sedang
menatap sebuah tumpukan api unggun di hadapannya.
Di tengah jilatan lidah api tampak sebatang besi terpalang di atasnya, seekor hewan, entah
sapi, entah kambing sedang dipanggang di atas api unggun itu, tampaknya sudah hampir matang,
bau harum bercampur bau sangit berhembus ke empat penjuru, bahkan terendus sampai di
belakang bukit sana.
Betul juga, ada orang di belakang bukit yang mengendus bau harum daging panggang itu.
Terlihat seorang lelaki yang berperawakan tinggi kurus, bahkan nyaris tinggal kulit pembungkus
tulang berjalan mendekat dan belakang bukit itu.
"Pok Ing!"
Dia kelihatan bukan saja tidak stabil waktu berjalan, bahkan ketika berdiri pun sama sekali tak
stabil, namun suara teriakannya itu sangat jelas dan nyaring, bahkan tahu-tahu badannya sudah
berada dua-tigapuluh kaki di depan api unggun itu.
Ketika melihat daging yang sedang dipanggang, sepasang matanya kontan berbinar, sinar yang
memancar keluar dan matanya jauh lebih terang ketimbang cahaya bintang malam.
"Daging yang kau panggang bukan daging kambing," katanya. "Memang bukan."
Dengan kemalas-malasan Pok Ing bersandar di atas batu, menggunakan sebuah sikat yang
dicelupkan ke dalam sebuah baskom yang entah berisi campuran bumbu apa, ia sikat daging di
atas panggangan itu dengan cairan bumbu tersebut, setiap jengkal daging disapunya secara
merata dan teliti. Ketika minyak daging menetes jatuh ke dalam kobaran api, bergemalah suara
gemertak yang diiringi bau harum semerbak.
Ketika angin gunung berhembus lewat, jilatan api bertambah besar, daging pun terendus
semakin harum. "Tak ada yang mengatakan ini daging kambing, di sini pun bukan tempat untuk makan daging
kambing," kata Pok Ing.
Lelaki penyakitan yang kurus kering itu mengernyitkan alis matanya yang tebal sambil tarik
napas dalam-dalam, tiba-tiba iriirnik mukanya menampilkan satu perubahan yang aneh sekali.
"Itu sih daging serigala!" serunya.
"Tepat sekali!" sinar mata yang mengandung tawa terlintas dari balik mata Pok Ing, "biarpun
Kwan Ji penyakitan, ternyata hidungnya sama sekali tidak sakit."
"Daging serigala kelewat kasar, tidak enak dimakan," seru Kwan Ji
"Betul!"
"Aku hanya minta separuh, muka dan biji mata serigala ikut aku." Pok Ing tertawa makin
lantang. "Katanya daging serigala kekwat kasar, tidak enak dimakan, kenapa kau masih minta separuh?"
"Yang akan kumakan bukan daging serigala, yang ingin kumakan adalah kenangan."
"Kenangan?"
Kwan Ji membuang pandangan matanya ke tempat kejauhan, walaupun berada di balik
kegelapan malam, di bawah cahaya bintang, namun pikiran dan perasaannya justru berada di
suatu tempat nun jauh di sana, suatu tempat di bawah cahaya bintang malam.
"Ketika masih berada di luar perbatasan, ketika aku masih muda, dalam semalaman aku telah
membantai banyak penyamun, memenggal empatpuluh enam buah batok kepala."
"Sebuah pembantaian yang hebat, sangat bagus!"
"Malam itu, aku telah membuat mata sebilah golok yang terbuat dari inti baja gumpil tak
karuan, melengkung seperti gulungan kertas, tatkala lewat kentongan keempat, perutku sangat
lapar, saking laparnya mungkin seekor kuda pun dapat kuhabiskan dalam sekejap."
"Sayang di sana tak ada kuda."
"Itulah sebabnya aku menangkap seekor serigala, kurobek hidup-hidup menjadi dua bagian,
lalu seperti yang kau lakukan sekarang, memanggangnya di atas api unggun," ujar Kwanji lebih
jauh, "tak sampai satu jam kemudian, aku telah melalap serigala itu hingga ludas tak tersisa."
"Hebat sekali cara makanmu, pasti amat memuaskan."
"Hingga hari ini, setiap kak teringat peristiwa pada malam itu, jari tanganku akan bergerak
dengan sendirinya, entah karena ingin menjagal kaum bandit lagi, atau ingin menikmati daging
serigala lagi."
Kembali Pok Ing tertawa.
"Daging serigala yang tersedia malam ini hanya satu, bahkan sekarang sudah matang, tapi
sayangnya daging itu tak ada hubungannya sama sekali denganmu, dia tak akan mampu
melahapmu, dan kau pun tak dapat melahapnya."
"Kenapa?"
"Sebab daging serigala ini milikku, dari ujung kepala hingga ke ujung ekor milikku, dari wajah
serigala hingga ke pantat serigala tetap milikku."
"Memangnya kau sanggup menghabiskan?"
"Rasanya tidak."
"Kau tidak bersedia membaginya separuh untukku?"
"Tidak"
"Sejak kapan kau jadi begitu pelit dan sangat hitungan?"
"Sekarang!"
"Sekarang kenapa kau harus berubah?"
"Karena sekarang perasaan hatiku sedikit kurang enak, bahkan merasa agak tegang," sahut
Pok Ing. "Tegang'" dengan perasaan heran Kwan Ji berseru, "Pok Ing yang banyak pengalaman dalam
pertarungan dan entah sudah berapa kak menyerempet bahaya juga bisa merasa tegang?"
Pok Ing menghela napas panjang.
"Setiap kak tahu kalau ada orang ingin membunuhku, aku selalu merasa amat tegang, begitu
mulai tegang aku merasa mulai lapar, itulah sebabnya aku segera menangkap seekor serigala dan
memanggangnya."
Kwanji ikut tertawa.
"Aku pun sama," katanya, "tiap kak merasa tegang aku mulai ingin makan, tapi sekarang kau
boleh tak usah tegang lagi." "Kenapa?"
"Karena ada aku, Kwanji dari wilayah Kwan-say, setelah mendapat jatah ikut menikmati daging
serigalamu, tentu saja aku tak akan membiarkan orang lain datang membunuhmu."
"Setelah makan serigalaku, kau akan mewakiliku untuk membunuh musuh?"
"Betul sekali," Kwanji tertawa keras, "makan serigala bunuh musuh, kejadian pada tigapuluh
tahun berselang terulang lagi, siapa tidak merasa puas?"
"Tapi sayang yang bakal datang pada malam ini tak sampai empat-puluh enam orang," sekali
lagi Pok Ing menghela napas.
Yang datang hanya empat orang.
Empat orang itu muncul dari arah yang berbeda, usianya beda, pakaiannya beda, tentu saja
raut wajah mereka pun beda.
Tapi anehnya, empat orang manusia yang berbeda ternyata memiliki sebuah kesamaan yang
amat istimewa. Keempat orang itu nampak sangat tenang dan pandai membawa diri, sedikit hawa napsu dan
api amarah pun tak ada.
Di tengah malam buta, di atas tebing gundul yang dingin, di daerah yang begitu sepi, liar, tak
berpenghuni, kemunculan mereka yang sangat tiba-tiba ternyata membawa sikap dan lagak
seperti orang yang sedang berpiknik di hari yang cerah, atau seperti orang yang datang untuk
bertamu. Sebuah kemunculan yang kontras sekali dengan suasana yang sesungguhnya.
Apakah kedatangan mereka benar-benar ingin membunuh orang"
Kwan Ji telah merobek sepotong paha serigala dan mulai mengunyah dengan lahap, ketika
melihat kedatangan keempat orang itu, gumamnya:
"Tigapuluh laksa limaribu tahil, tigapuluh laksa tujuhnbu limaratus tahil, tigapuluh laksa duaribu
tahil, empatpuluh laksa tahil," sambil berpaling ke arah Pok Ing, tanyanya:
"Jadi semua berapa jumlahnya?"
"Seratus empatpuluh laksa empatribu limaratus tahil."
"Tidak murah, tidak murah."
"Apanya yang tidak murah?"
"Empat orang itu tak ada yang murah, malah besar kemungkinan lebih mahalan sedikit
ketimbang empatpuluh enam orang itu."
"Oya?"
"Untuk menyewa To-sat-kau (Anjing Penjagal) tigapuluh laksa limaribu tahil, Kim Lo-ji tigapuluh
laksa tujuhribu limaratus tahil, Ong Toan tigapuluh laksa empatribu tahil, Siau Giok-jin empatpuluh
laksa tahil, dari kumpulan pembunuh bayaran termahal, kini sudah ada empat orang muncul di
sini." Setelah menghela napas panjang dan gelengkan kepalanya berulang kali, terusnya:
"Sungguh tak disangka ternyata ada orang yang berani mengeluarkan emas begitu banyak
untuk membunuhmu"
"Emas atau perak?"
Seorang di antara empat jagoan yang muncul dan balik kegelapan itu mendadak tertawa
dingin, katanya:
"Kalau cuma perak, uang sewa itu hanya pantas untuk menjagal seekor anjing."
Kwan Ji menghabiskan potongan daging paha serigala terakhir lebih dulu sebelum gelengkan
kepala sambil menghela napas panjang
"Biarpun emas, kalau cuma bayaran sekecil itu masih belum pantas untuk membunuh aku."
"Membunuhmu?" tanya Kim Loji, "kenapa harus membunuhmu?"
"Karena sebelum kau bunuh si elang kecil, kau harus bunuh aku duluan."
"Tidak bisa, orang itu tak bisa dibunuh," tiba-tiba Siau Giok-jin yang berdiri paling jauh berseru
lantang. "Kenapa?"
"Kalau kita bunuh dia, tak bakal ada orang mau bayar kita, biar setahil perak pun."
Kwan ji segera temwa tergelak.
"Hahaha.... nama besar Siau popo ternyata memang bukan nama kosong belaka, transaksi
yang tidak menghasilkan uang, tak pernah mau dikerjakan."
Tiba-tiba gelak tertawanya berhenti, dengan malas-malasan dia bangkit berdiri, seluruh
tubuhnya seakan hampir buyar ketika terhembus angin, tapi sepasang matanya tajam bagaikan
sembilu, sembilu yang menyambar-nyambar di atas wajah Siau Giok-jin.
"Sayang sekali, biarpun kak ini kakan tidak membunuhku, aku tetap akan membunuhmu."
"Kau kira membunuh itu pekerjaan yang mudah?" jengek Siau Giok-jin sambil tertawa hambar.
Perkataan itu belum selesai diucapkan, sudah ada tiga orang turun tangan.
Tiga orang yang berada paling depan.
Golok, pisau kecil, pisau belati. Senjata yang digunakan ketiga orang itu hanya senjata sangat
biasa, tapi semuanya merupakan senjata tajam yang dapat digunakan untuk membunuh orang.
Sikap serta gerak-gerik ketiga orang itu sebenarnya sangat tenang, tapi begitu turun tangan,
kelincahan mereka tak ubahnya seperti tiga ekor ular berbisa.
Sasaran dari penyerangan mereka bertiga tetap bukan Kwan Ji, melainkan Pok Ing.
Pok Ing sama sekali tak bergerak, yang bergerak adalah Kwan Ji.
Begitu Kwan Ji bergerak, golok segera kutung, pisau belati rontok ke tanah, pisau kecil
sepanjang tiga depa sembilan inci pun ikut patah menjadi tigabelas bagian, dua buah lengannya
yang kurus tapi kuat dan berotot itu tahu-tahu sudah dirobek dan tersayat menjadi dua bagian.
Seperti seorang nona yang gemar merobek kain sutera, atau seorang bocah cilik yang suka
merobek kertas warna-warni. Kwan Ji amat gemar merobek badan manusia.
Yang dia robek bukan tiga orang yang berada di hadapannya, tapi orang yang berdiri paling
jauh dari situ, Siau Giok-jin yang bernilai empatpuluh laksa tahil.
Percikan darah segar yang memancar ke empat penjuru tidak nampak menyolok di tengah
kegelapan malam, justru robekan lengan yang melayang di udara kelihatan lebih seram, ngeri dan
menakutkan. Senjata tajam yang dimiliki tiga orang di depan sudah rontok, keberanian mereka sudah runtuh,
hawa napsu membunuh telah punah, yang tersisa hanya tubuh mereka yang berdiri mematung.
"Plook,plook,plook...."
Pok Ing yang bertepuk tangan, di tengah tiga kali tepukan tangannya, mendadak tubuhnya
sudah melesat ke samping dan bergeser tiga depa dari posisi semula.
Sebab pada waktu yang amat singkat itulah, tiba-tiba muncul sebilah pedang yang berkilauan
tajam, menembus masuk melalui bawah tanah.
Jika Pok Ing tidak bergerak, sambaran pedang itu pasti akan menusuk masuk melalui
selangkangannya, menembusi pinggulnya dan merobek-robek isi perutnya.
Kalau harus bicara jujur, serangan semacam inilah yang disebut serangan yang benar-benar
mematikan, sebetulnya serangan itu sudah diperhitungkan matang-matang, sekali dilepas pasti
akan mengenai sasaran.
"Bagus," bentak Kwan ji nyaring, "serangan pedang ini berharga duapuluh laksa tahil!"
Di tengah bentakan nyaring, tangan besarnya yang kurus kering dan kuning kepucat-pucatan
itu sudah menangkap seseorang dari bawah tanah, bahkan membetotnya keluar.
Di antara kilatan cahaya api, dalam waktu yang amat singkat itulah lelaki penyakitan yang
kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang dan nampak begitu lemah seakan setiap saat bakal
hancur berkeping itu telah berubah menjadi setan iblis, malaikat buas yang datang dan jaman
bahuela, begitu sadis, begitu telengas, begitu mengerikan.....
Bab 2 Kabar Angin Gelar : Manusia Ular.
Nama asli : Tidak jelas.
Kelebihan : Menembus tanah,penyamaran, penyusupan, meloloskan diri, menyusutkan
tulang, mengobat iracun, senjata rahasia, pembunuh bayaran.
Harga sewa: Dua puluh laksa tahil emas murn
Rekor : 31 kali pembunuhan gelap, berhasil 27 kali, mundur sebelum berhasil 4 kali
Gagal : Belumpernah.
"Rekor semacam ini merupakan sebuah rekor yang luar biasa, dalam Sarang Perjudian pasti
tersimpan catatan rekor tersebut."
"Rasanya memang ada."
"Dalam tiga tahun belakangan, konon dia sudah termasuk salah satu dari sepuluh pembunuh
bayaran paling top."
"Rasanya memang begitu," Pok Ing membenarkan.
"Lantas kenapa kau tidak menanyakan hingga jelas siapa yang telah mengutus mereka untuk
membunuhmu" Kenapa kau lepaskan dia?"
Kembali Pok Ing tertawa.
"Selama duapuluh tahun hidup melang melintang dalam dunia persilatan, aku pun sudah
banyak melakukan pembunuhan, kalau orang lain mau membunuhku, aku rasa itu hal yang
lumrah dan pantas, buat apa aku mesti urusi masalah kecil macam begitu?"
"Bagus, cukup mendengar perkataanmu itu, kau pantas diberi hadiah tiga mangkok arak putih."
"Aku malas minum arak denganmu."
"Kenapa?"
"Kau makan kelewat banyak, sangat mengganggu kesenanganku minum arak," kata Pok Ing,
"kau seakan selamanya tak pernah makan kenyang, memangnya kau penyakitan?"
Kwanji tertawa keras.
Seekor serigala utuh akhirnya habis dimakan dia seorang, yang tersisa kini hanya sebuah
kepala serigala yang masih utuh.
Dengan menggunakan ujung sebilah pisau Kwan Ji siap mencungkil kepala serigala itu, tiba-tiba
Pok Ing turun tangan secepat petir, dari dalam mulut serigala itu dia cabut keluar semacam
benda, sebuah benda yang memancarkan sinar tajam di balik kegelapan malam.
"Benda apa itu?" tanya Kwanji.
"Taring, sebiji taring serigala," Pok Ing menerangkan, "wajah dan mata serigala menjadi
milikmu, sedang taring serigala ini menjadi milikku."
"Kambing sejak pagi hingga malam kerjanya hanya makan rumput, serigala dari pagi hingga
malam kerjanya hanya melolong, karena itu wajah serigala sama persis seperti wajah kambing,
tahan lama dan mudah digigit, jelas merupakan hidangan lezat untuk teman minum arak. Begitu
juga dengan mata serigala persis seperti mata kambing, tak beda rasanya."


Sarang Perjudian Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berhenti sejenak, kembali Kwanji bertanya: "Bagaimana dengan taring serigala" Apa
gunanya taring serigala" Memangnya kau akan pasang taring itu di mulutmu agar bisa menggigit
orang?" Pok Ing tidak menjawab, dia sodorkan taring serigala itu ke depan, diperlihatkan kepada Kwan
Ji. Taring yang dicabut keluar dari mulut serigala itu putih bersih bagai gading gajah, sekelilingnya
dibalut dengan emas murni dengan ukiran yang indah dan menarik, di sisi lapisan emas itu terukir
sebuah huruf kecil: "Siau."
Berubah paras muka Kwan Ji.
Menurut kabar angin yang beredar dalam dunia persilatan, konon Siau Cap-it-Long yang
termasyhur di kolong langit di masa lalu mempunyai hubungan yang akrab dan aneh dengan
kawanan serigala.
Siau Cap-it-Long adalah seorang anak yatim piatu, sejak kecil sudah hidup mengembara di
tengah hutan yang terpencil, kehidupannya tak beda jauh dengan kehidupan seekor serigala,
kelaparan, kesendirian, kedinginan, tak pernah merasakan simpatik, tak pernah merasakan
kehangatan cinta, oleh sebab itu dia sangat memahami penderitaan dari seekor serigala.
Serigala sama seperti kambing, punya nyawa, punya kehidupan dan punya keinginan untuk
tetap hidup, mempertahankan kehidupannya, mereka pun butuh makan, tapi apabila serigala
sampai kehilangan taringnya, seringkali kehilangan tersebut dapat mengakibatkan mati karena
kelaparan. Oleh karena itu Siau Cap-it-Long sering pergi ke gunung yang terpencil untuk menemukan
serigala-serigala kelaparan semacam itu, lalu menggunakan ilmu kedokteran yang pernah
dipelajarinya dan Persia, membantu kawanan serigala itu untuk membuatkan taring-taring palsu.
Cerita semacam ini, biasanya hanya beredar sebagai dongeng-dongeng seputar Siau Cap-itLong, dongeng yang belum terbukti kebenarannya.
Tapi sekarang Kwanji sudah tahu, ternyata kejadian tersebut bukan hanya sebuah dongeng.
"Ya, taring serigala itu memang seharusnya menjadi mikkmu," sahut Kwanji, kemudian
tanyanya, "tapi bersediakah kau mengorbankan taring itu untuk orang lain?"
"Tidak bersedia."
"Mungkinkah aku punya barang yang bisa ditukar dengan milikmu itu?"
"Tidak ada."
"Apakah aku masih punya kesempatan atau jalan untuk merubah keputusanmu?"
"Tidak ada."
Kwan Ji menghela napas panjang. Pada saat itulah tiba-tiba dari bawah bukit berkumandang
suara teriakan rombongan piaukiok yang sedang lewat.
Petugas piauwkiok berteriak dengan lantang, nyaring dan keras suara:
"Si-peng-pat-bun, thian-he-thay-peng (Empat arah tenang delapan penjuru mantap, kolong
langit aman sentausa)!"
Langit sudah mulai terang tanah, matahari musim semi di bulan keempat memang terasa lebih
hangat dan nyaman.
Satu rombongan pengawalan barang berjalan di sebuah jalan raya nun di depan sana,
menelusuri jalan yang berliku menembusi tanah perbukitan.
Enambelas orang pengawal barang dengan pakaian yang mencolok; empat orang piausu
dengan baju yang cerah kuda yang gagah, duabelas buah kereta barang yang masih nampak
baru, bergerak pelahan menelusuri jalanan, di mana mereka lewat, tertinggal bekas roda kereta
yang sangat dalam di atas permukaan tanah, jelas barang yang diangkut kereta-kereta barang itu
sangat berat dan banyak jumlahnya.
Duabelas buah kereta barang dengan duapuluh empat buah panji perusahaan berwarna kuning
berukirkan empat huruf besar berwarna merah darah:
Thian he-Thay-peng
Kolong langit aman sentausa!
Perkataan yang besar lagaknya!
Bila orang piauwkiok betul-betul bisa menjelajahi kolong langit tanpa menghadapi problem dan
masalah, bila dunia sungguh aman dan sentausa, bukan mengawal barang namanya tapi suatu
kemukjijatan. Bila kita perhatikan congpiauwtau mereka yang berjalan paling belakang, maka kau akan
semakin merasa bahwa keempat buah tulisan itu kelewat takabur dan menggelikan.
Congpiautau itu berusia tiga-empatpuluh tahunan, bobot tubuhnya seratus tiga-empatpuluh
kati, tidak menunggang kuda, tidak naik kereta, bahkan tandu pun tidak, dia duduk di sebuah
kursi kebesaran thay-su-i dengan ukuran dobel yang dipikul delapan orang lelaki kekar, lelaki-lelaki
berotot. Dia mengenakan jubah panjang bordiran berwarna merah darah, di bagian dada serta
punggungnya tersulam empat huruf besar berwarna kuning emas.
Sulaman di depan bertuliskan:
Cukat Thay-peng
Di bagian belakang bertuliskan:
Thun-heThaypeng
"Jadi orang ini adalah toa-tauke dan congpiautau dari perusahan ekspedisi Thay-peng piaukiok,
Cukat Thay-peng?"
"Benar."
'Selama limabelas tahun mengawal barang, benar-benar tak pernah terjadi pembegalan barang
satu kak pun?"
"Jangan lagi satu kali, setengah kak pun tak pernah." Kwanji segera menghela napas panjang.
"Aaai.... terus terang, tidak kulihat kepandaian macam apa yang dia miliki, malah kadangkala
aku jadi bingung sendiri, sebetulnya aku sedang berhadapan dengan seorang manusia atau seekor
babi." "Tentu saja dia manusia, malah seorang manusia dengan rejeki yang luar biasa bagusnya," ujar
Pok Ing, "dia pun tidak memiliki kepandaian yang hebat atau luar biasa, hanya kebetulan
bapaknya adalah Cukat Eng-kiat yang paling dihormati dan disegani dalam perusahaan piaukiok,
ayah mertuanya pun kebetulan adalah Tu Toan yang berkemampuan paling hebat di kalangan
hek-to. Dan kebetulan pula mereka berdua tewas lantaran membela teman-temannya."
"Orang persilatan selalu membedakan dengan jelas mana budi mana dendam, maka hutang
budi ini pun semua orang mencatat di atas rekening milik si gemuk."
"Kelihatannya begitulah kejadian yang sebenarnya."
Kwan Ji mencongkel keluar sebiji mata serigala dan dihisapnya dalam mulut, persis seperti
seorang bocah yang sedang menghisap gula-gula, lewat lama kemudian ia baru berkata:
"Aku rasa, setiap persoalan pasti ada pengecualiannya."
"Oya?"
"Bahkan Liok Siau-hong dan Coh Liu-hiang yang begitu kosen dan perkasa di masa lampau pun
pernah gagal, apalagi Cukat Thay-peng."
Dengan menggunakan sepasang mata malingnya dia tatap wajah Pok Ing lekat-lekat, kemudian
sepatah demi sepatah berkata:
"Aku punya firasat, kali ini barang kawalannya tak bakal selamat tiba di tempat tujuan, kau
berani bertaruh denganku?"
Pok Ing menghela napas panjang.
"Ooh,_____rupanya tujuanmu menguntitku terus karena ingin bertaruh denganku?"
"Tentu saja," jawab Kwan Ji, "hati kaum pecundang selalu hitam, siapa sih yang tak ingin
mendapatkan kembali modalnya yang habis dalam taruhan?"
"Ehmmm, cengh juga ucapanmu!"
"Kau berani bertaruh?"
"Mana ada petaruh yang tak mau bertaruh" Memangnya kau pernah melihat ada pelacur yang
tak mau menerima tamu?"
Kwan Ji tertawa tergelak.
"Apa yang akan kau pertaruhkan?" tanya Pok Ing.
"Kau punya apa, aku pun akan pertaruhkan apa."
"Terlepas apa pun yang akan dipertaruhkan, gigi serigala ini pasti termasuk di antaranya," kata
Pok Ing kembali tertawa.
"Tentu saja begitu."
Mendadak Pok Ing melompat bangun, dengan sepasang mata malingnya yang tajam ia balas
Suling Emas Dan Naga Siluman 13 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Laknat 1

Cari Blog Ini