Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 6

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 6


buru-buru ia membetulkan tempat duduk lagi.
Lain Tok-ko Ing, lain penerimaan Yak-bwe. Kalau si dara tak senang dengan sikap si tetamu,
adalah Yak-bwe terperanjat melihat siapa yang datang itu. Pikirnya: "Ah, kiranya dia itu engkoh
dari Lu Hong-chiu. Celaka, aku pernah berkelahi dengan adiknya, entah apakah engkohnya ini
sudah mengetahui jejakku, lalu suruh Tok-ko U minta aku supaya keluar menemuinya?"
"Mengapa leng-moay (adikmu) tak ikut serta?" tanya Tok-ko Ing pada tetamunya.
Memang biasanya kakak beradik she Lu itu selalu bersama barang kemana perginya. Itulah
sebabnya maka Tok-ko Ing menanyakannya.
"Justeru kepergianku kali ini ialah karena hendak mencari adikku itu," jawab Lu Hong-jun.
Mendengar jawaban itu, legalah hati Yak-bwe. Nyata Hong-jun itu belum bertemu dengan
adiknya. "Sayang, tak bisa berjumpa dengan cici Hong-chiu," kata Tok-ko Ing.
"Bulan yang lalu ia hadir dalam pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Kabarnya pada
waktu itu tentara negeri mengadakan serangan besar-besaran. Itulah sebabnya aku menjadi kuatir,"
menerangkan Hong-jun.
"Ha, kebenaran sekali Su-toako ini seorang hohan dari Kim-ke-nia juga," seru Tok-ko U.
"Oh, kiranya ia ingin mencari keterangan tentang adiknya kepadaku," pikir Yak-bwe. Buruburu
ia berkata: "Aku hanya seorang keroco Kim-ke-nia. Lu-lihiap seorang tetamu terhormat, mana
aku berharga untuk melayaninya. Yang dapat kusaksikan hanyalah nona Lu itu sering bersamasama
dengan Toan Khik-sia."
"Ya, benar. Ia berjumpa dengan Toan-siauhiap di kota Tong-Kwan. Karena ia membantu
sedikit kerepotan Toan siauhiap, maka Toan siauhiap telah mengajaknya pergi ke Kim-ke-nia,"
sahut Hong-jun.
"Turut keterangan Su toako tadi, Thiat-mo-lek, Shin Thian-hiong, Toan Khik-sia dan beberapa
pemimpin Kim-ke-nia telah berhasil meloloskan diri. Menilik hal itu rasanya enci Hong-chiu tentu
juga sudah lolos," kata Tok-ko Ing. Tapi kesimpulan dara itu telah disambut dengan buah tertawa
dari sang engkoh.
"Salahkah omonganku tadi?" sudah tentu Tok-ko Ing heran dan bertanya.
"Ha, ha, Lu toako bukan hendak mencari keterangan, sebaliknya ia malah hendak memberi
kabar pada kita," kata Tok-ko U.
"Ai, kabar apa?" tanya Tok-ko Ing.
"Dia telah bertemu dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat," sahut Tok-ko U.
Kejut Yak-bwe bukan kepalang. "Kalau ia sudah bertemu dengan mereka, berarti tentu sudah
mengetahui rahasiaku. Apakah kedua orang itu minta tolong padanya untuk mencari aku?"
pikirnya. Tapi ia sekarang sudah terlanjur menyaru jadi anak buah Kim-ke-nia. Maka terpaksa ia kuatkan
urat syarafnya dan berkata: "Oh, bagus. Aku yang tertinggal dari barisan ini, ingin sekali
mengetahui tempat tinggal Thiat cecu, agar lekas-lekas dapat menggabungkan diri. Apakah Thiat
cecu memberitahukan pada Lu tayhiap?"
"Benar aku bersahabat baik dengan Thiat-mo-lek, tapi aku ini bukan orang loklim. Kemana
pergi mereka, tak leluasa bagiku menanyakannya," katanya. Dalam pada itu itu timbul
kecurigaannya terhadap Yak-bwe: "Aneh, dia seorang thau-bak dari Kim-ke-nia, mengapa tak
mengerti sama sekali akan pantangan kaum loklim?"
Tapi segera ia melanjutkan ceritanya:
"Setelah berjumpa dengan mereka, barulah kuketahui, bahwa adikku tak kurang suatu apa. Itu
sudah cukup melegakan hatiku. Tentang lain-lain urusan, aku tak punya banyak waktu untuk
menanyakan. Tetapi ada sebuah berita yang boleh kusampaikan pada Su toako, bahwa sekalipun
markas Kim-ke-nia pecah, namun kerugian jiwa anak buahnya tak seberapa besar."
"Pernahkah Lu toako bertemu dengan Khik-sia," tiba-tiba Tok-ko U mengajukan pertanyaan.
Memang walaupun belum lama muncul di dunia kangouw, tapi nama Toan Khik-sia itu sudah
cukup tenar, ya, boleh dikata menjadi buah bibir tiap orang lok-lim. Dalam hubungan itulah maka
Tok-ko U mengajukan pertanyaannya.
"Belum pernah. Konon kabarnya ia sedang mencari bakal isterinya," sahut Hong-jun.
"Siapakah calon isterinya itu?" tanya Tok-ko Ing.
"Memang rasanya kalian tentu tak bakal menduga bahwa bakal isterinyaitu adalah puteri dari
Sik-ko, ciat-to-su dari Lo-cu," jawab Hong-jun dengan tertawa.
"Ya, memang di luar dugaan. Toan Khik-sia adalah seorang lok-lim, mengapa bisa tersangkut
dalam perkawinan semacam itu?" kata Tok-ko Ing dengan heran.
Kabarnya nona itu bukan anak sesungguhnya dari Sik-ko. Dahulu ayah bunda nona itu
bersahabat baik dengan orang tua Toan Khik-sia, maka mereka lalu menetapkan perjodohan anakanak
mereka. Nona itu sekarang sudah tinggalkan rumah Sik Ko dan berkelana di dunia kangouw.
Turut cerita Thiat-mo-lek, tali perjodohan kedua anak muda itu mengalami kejadian-kejadian yang
mengherankan. Ya, jika hendak diceritakan satu hari satu malam rasanya takkan habis. Karena
waktu itu kita tak mempunyai banyak waktu, jadi akupun tak mendengarkan dengan jelas,"
menerangkan Hong-jun.
Sejak awal, Yak-bwe menjublek saja dengan perasaan kebat-kebit. Demi Hong-jun sudah
mengakhiri keterangannya, barulah ia longgar napasnya. Pikirnya: "Ya, ketika aku ribut-ribut
dengan Khik-sia, telah merembet adiknya (Lu Hong-chiu). Rupanya Thiat-toako dan Se-kiat
sungkan menceritakan padanya."
"Khik-sia mencari aku" Hm, apakah hal itu bukan alasan kosong agar ia dapat meninggalkan
rombongan supaya dapat menemani Lu Hong-chiu" Hm, bukan sekali dua Khik-sia selalu
menghina aku. Taruh kata ia sadar dan menyesali kekhilafannya, akupun tak sudi menghiraukannya
lagi," demikian pikirnya pula. Namun dalam hati kecilnya sebenarnya ia mengharap agar benarbenar
Toan Khik-sia itu sedang mencarinya.
Kedua saudara Tok-ko dan kedua saudara Lu merupakan dua pasang kakak-beradik yang
terkenal di dunia kangouw. Satu sama lain saling mengagumi. Sebenarnya pertemuan dua pasang
pendekar kakak beradik itu akan menggembirakan sekali, tetapi sayang Lu Hong-chiu tak ikut serta.
Namun hal itu tak mengurangi kegembiraan mereka. Rupanya Tok-ko U cocok sekali dengan
Hong-jun. Mereka berbicara dengan asyik sekali.
"Masih ada sebuah soal lain yang bagus sekali untuk kalian bertiga dengarkan. Soal itu timbul
dari soal perkawinan Toan Khik-sia," kata Hong-jun.
Kembali Yak-bwe terkesiap kaget dan buru-buru menanyakan hal itu.
"Bukankah tadi telah kukatakan tentang cerita Thiat-mo-lek mengenai pernikahan Toan Khiksia
itu" Pada waktu itu tiba-tiba Thiat-mo-lek berhenti bercerita. Ini bukan melainkan karena
panjangnya cerita yang dibawakan itu, pun karena ia sedang memikirkan suatu hal lain. Hal itu ia
minta tolong akan bantuanku. Dengan mereka aku hanya berbicara selama dua jam. Kuatir
waktunya tak cukup, maka Thiat-mo-lek terpaksa menunda cerita tentang Toan Khik-sia dan
mengganti dengan lain cerita yaitu tentang pernikahan dari seorang lain lagi."
Ternyata Tok-ko Ing itu gemar sekali mengetahui tentang urusan pernikahan orang. Maka
cepat-cepat ia menanya: "Urusan pernikahan siapakah yang hendak dimintakan bantuan pada Lutayhiap
itu?" "Bo Se-kiat," sahut Hong-jun. "Hal itu juga tak kurang menariknya. Ya, entah bagaimana
secara kebetulan terdapat persamaan dengan pernikahan Toan Khik-sia. Gadis yang menjadi
idaman Se-kiat itu juga puteri dari seorang Ciangkun kerajaan. Walaupun kedudukan ciangkun itu
tak setinggi Sik ciat-to-su, tetapi juga tak seberapa terpautnya."
"Ha, Lu toako, jangan main teka-teki, terangkanlah siapakah gadis itu?" Tok-ko Ing mendesak.
"Ialah puteri dari Sip Hong, berpangkat Tin-siu-su dari Pok-ong-seng. Dalam dunia Kangouw
nama nona itu sudah tak asing lagi, yaitu Sip In-nio."
"Meskipun Sip In-nio itu puteri seorang Ciangkun, tapi ia lebih banyak berkelana di luaran, jadi
juga termasuk golongan puteri Kangouw, sepadan dengan diri Bo Se-kiat," kata Tok-ko U.
"Tetapi bagaimanapun kenyataannya ia itu puteri seorang ciangkun dan Se-kiat kuatir kalau
ciangkun itu tak menyetujui pernikahan puterinya. Mendiang ayahku bersahabat baik dengan Sipciangkun,
malah pernah berbuat suatu kebaikan kepada ciangkun itu. Thiat-mo-lek tahu akan hal
itu, maka ia lantas mendapat akal minta tolong aku supaya menjadi orang perantaranya. Coba
kalian pikir, bukankah hal itu cukup menarik?" tanya Hong-jun.
"Hebat, sungguh menarik sekali!" entah apa sebabnya Tok-ko Ing serentak berseru girang.
"Hai, mengapa kau begitu kegirangan atas pernikahan orang lain?" Tok-ko U menjadi
keheranan melihat sikap adiknya yang kurang layak itu. Sudah tentu ia tak mengetahui bahwa di
dalam taman bunga tadi adiknya itu telah 'minum cuka' alias cemburu kepada Sip In-nio.
Ya, memang dara itu tak mengetahui bahwa dirinya dibohongi oleh Yak-bwe yang begitu pandai
merangkai cerita. Ia cemburu pada In-nio yang diduganya tentu ada hubungan dengan Yak-bwe.
Bahwa ternyata kekasih In-nio itu adalah Se-kiat, sudah tentu membuat Tok-ko Ing girang setengah
mati. Harapannya untuk merebut kasih si pemuda cakap Yak-bwe, menjadi besar.
"Menarik sih cukup menarik. Tetapi akulah yang runyam. Pertama, aku tak mempunyai
pengalaman menjadi comblang. Kedua kali, sejak mendiang ayah menutup mata aku berdua
dengan adikku berkelana di dunia kangouw. Setitikpun tak ada minat menginjak lantai gedung
kaum pembesar lagi. Dengan begitu hubungan kami dengan keluarga Sip sebenarnya sudah lama
terputus," kata Hong-jun.
Tok-ko Ing buru-buru menganjurkan: "Ah, Lu toako, itu adalah suatu perbuatan mulia.
Sekalipun menghadapi rintangan kiranya tak seharusnya kau mundur."
"Ah, memangnya tidak sukar. Paling banyak hanya gagal sebagai comblang saja," sahut Hongjun.
Tok-ko U tertawa: "Ing-moay, dalam urusan pernikahan ini rupanya kau begitu ngotot seperti
Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat sendiri!"
Tiba-tiba Tok-ko Ing teringat sesuatu, serunya: "Hai, Su toako, kau adalah adik misan Sip Innio.
Agar Lu toako mendapat sukses dalam tugasnya nanti, lebih baik kau ceritakan tentang
kegemaran nona Sip itu."
Lu Hong-jun tertegun, ujarnya: "Kiranya Su toako itu adik misan dari Sip In-nio" Kalau begitu
kuserahkan saja tugasku kepada Su toako. Bukankah itu lebih leluasa?"
"Jangan begitu ah! Su-toako justeru diam-diam tinggalkan rumah keluarga Sip, kalau pulang
tentu kurang enak. Dan lagi ia pernah muda, jadi tak leluasa terhadap Sip-ciangkun," cepat-cepat
Tok-ko Ing menyanggapi. Ia lalu menuturkan cerita yang dirangkai oleh Yak-bwe di dalam taman
bunga tadi. Kiranya dara itu mempunyai maksud tertentu. Sebelum pernikahan Sip In-nio berlangsung
dengan Se-kiat, ia tak menghendaki 'pemuda' Yak-bwe itu bertemu muka dengan In-nio.
Habis mendengar penuturan Tok-ko Ing, timbullah rasa curiga dalam hati Hong-jun. Tetapi ia
tak mau mengatakan. Hanya saja matanya selalu memperhatikan gerak-gerik Yak-bwe. Karena
kuatir rahasianya akan ketahuan, buru-buru Yak-bwe memutuskan ocehan Tok-ko Ing, ujarnya: "Sip
paiupeh-ku itu seorang yang lapang dada, perangainya pun penurut. Jika berhadapan padanya, lebih
baik jangan mengajukan tentang urusan pernikahan itu lebih dulu. Tetapi banyak-banyaklah
menceritakan tentang perbuatan mulia dari Bo Se-kiat selama ini. Setelah Sip piaupeh mempunyai
kesan baik, barulah kau bicarakan urusan selanjutnya."
"Ai, Thiat-mo-lek juga menasihati aku begitu. Malah ia menambahkan bahwa Sip Hong itu
seorang yang setia akan budi dan perbuatan mulia. Mendiang ayahku pernah melepas budi
padanya, dirasa ia tentu suka mendengarkan kata-kataku," kata Hong-jun.
"Bagus, kalau begitu lekaslah laksanakan tugas itu," seru Tok-ko Ing.
"Ai, mengapa kau mendesak orang begitu rupa" Untung Lu toako itu bukan orang yang sempit
dada, kalau tidak ia tentu mengira kau seperti hendak mengusirnya," Tok-ko U menegur sang adik.
"Ah, memang sudah lama mengobrol di sini, sudah seharusnya aku pergi," kata Hong-jun.
Mendapat teguran sang koko, Tok-ko Ing merasa tak enak. Buru-buru ia mencegahnya: "Lu
toako, mendengar kata-kataku tadi kau lantas mau pergi. Bukankah itu menandakan kau sempit
dada" Duduklah sebentar lagi dan ceritakanlah kepada kami tentang beberapa peristiwa yang
menarik di dunia kangouw."
Semula Tok-ko Ing tak menyukai Hong-jun, malah ia merasa jemu melihat sikap anak muda
yang plintat-plintut suka melirik muka orang itu. Tapi setelah mengetahui kalau Hong-jun hendak
menjadi orang perantara dalam pernikahan Se-kiat " In-nio, sikapnya lantas berubah seratus delapan
puluh derajat. Dari tak suka menjadi suka.
Sebaliknya melihat sikap yang manis dari dara itu, entah bagaimana, nyamanlah rasanya
perasaan Hong-jun. Sungkan juga ia untuk pergi dan terpaksa duduk lagi.
"Masih ada lagi sebuah berita. Kabarnya setelah pulang ke Tiang-an, Cin Siang, itu panglima
dari pasukan Gi-lim-kun juga berniat hendak mengadakan Eng-hiong-hwe. Katanya, niatnya itu
timbul setelah ia mengetahui tentang pertemuan orang gagah di gunung Kim-ke-nia. Rencananya
itu mengandung maksud untuk menampung sekalian orang gagah dalam dunia kangouw agar
jangan sampai terjerumus dalam kalangan lok-lim," kata Hong-jun.
"Sekarang ini kekuasaan berada di dalam tangan para panglima daerah. Kerajaan dalam
keadaan gelap. Bagi kaum kangouw yang menjunjung cita-cita luhur, sukar rasanya mau bekerja
untuk kerajaan," demikian Tok-ko U memberi pandangannya.
"Mungkin tidak demikian kenyataannya. Turut pendapatku, kini kaum persilatan dapat
digolongkan dalam empat kategori (golongan). Pertama, golongan Ceng-pay yang bercita-cita
luhur. Golongan inipun masih dapat dibagi menjadi tiga kelas. Kesatu, yang tak mau bekerja untuk
kerajaan dan benci kepada sepak terjang kaum panglima daerah. Karena hal itu mereka terpaksa
masuk ke dalam loklim menjadi penyamun. Dalam hal itu. Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat adalah
contohnya. Kedua, ialah kaum yu-hiap (pendekar kelana) dalam dunia kangouw. Misalnya, kalau
dulu ialah mendiang Toan Kui-cing tayhiap dan kalau sekarang ialah pengemis sakti Wi Gwat,
Gong-gong-ji yang termasyhur itu, dapat juga dimasukkan dalam kelas ini ...."
"Bukankah Gong-gong-ji itu sudah berganti haluan dari jahat menuju ke jalan yang lurus?" Tokko
Ing menyeletuk.
"Gong-gong-ji adalah suheng dari Toan Khik-sia. Perangai orang itu memang aneh sekali. Juga
sepak terjangnya dahulu itu bukan termasuk jahat, melainkan di tengah-tengah antara jahat dan
baik. Kabarnya dalam beberapa tahun terakhir ini, kejahatannya itu sudah banyak berkurang. Dia
sudah dapat digolongkan dalam kelas sebagai yu-hiap," Hong-jun menerangkan.
Ia menghirup cawan tehnya lalu menyambung lagi: "Dalam kalangan tokoh-tokoh aliran Cengpay
itu masih terdapat lagi golongan yang kedua yaitu yang suka bekerja pada kerajaan. Tujuan
mereka bukan karena hendak merebut kedudukan menjadi pembesar negeri, melainkan dengan
mendapat kepercayaan dari pemerintah itu, nantinya mereka hendak mengembangkan cita-cita
mereka. Mungkin juga mereka itu hendak membantu pihak kerajaan untuk melucuti kekuasaan
kaum panglima daerah. Turut yang kuketahui, dalam pasukan Gi-lim-kun, tak sedikit jumlahnya
tokoh-tokoh seperti itu. Misalnya, opsir yang pernah bertempur dengan Su toako, yaitu An Tingwan,
adalah juga dari golongan itu."
Tok-ko U tertawa: "Ya, memang kutahu sebelum masuk ke dalam pasukan Gi-lim-kun, An
Ting-wan itu seorang tokoh hiap-gi. Itulah sebabnya ketika menolong Su toako dalam kesulitan
tempo hari, aku hanya melukainya ringan-ringan saja."
kiranya sebelum Tok-ko Ing dan Yak-bwe keluar, Tok-ko U telah menceritakan hal pertempuran
Yak-bwe dengan pasukan Gi-lim-kun pada Hong-jun.
"Golongan kedua dari kaum bulim itu walaupun takmempunyai cita-cita suatu apa, tapipun
termasuk golongan Ceng-pay. Mereka itu kebanyakan berasal dari perguruan atau keluarga bulim,
mungkin ada juga yang mengandalakan belajar ilmu silat untuk mengangkat nama. Golongan itu
termasuk apa yang dinamakan 'belajar silat untuk dijual pada kerajaan'. Tapi apakah pihak kerajaan
mau memakai, mereka pun tak terlalu memusingkan. Tokoh-tokoh yang mewakili golongan ini
antara lain ialah seperti Cin Siang dan Ut-ti Pak," kata Hong-jun melanjutkan analisanya.
"Tapi katanya kedua orang itu amat menjunjung cita-cita luhur, tidak seperti kaum pembesar
pada umumnya. Kabarnya banyak kaum loklim yang menghargai sikap kedua orang itu," kata Tokko
U. "Benar, boleh dikata bahwa kedua jenderal itu benar-benar tokoh yang cemerlang. Jika mereka
bukan keturunan panglima-panglima kerajaan yang termasyhur, mungkin mereka sudah menjadi
kaum yu-hiap," kata Hong-jun. "Karena kini mereka menjadi pembesar tinggi, jadi sudah
selayaknya setia menjalankan tuga-tugas negara. Selain kedua orang itu, ayah Sip In-nio, yaitu Sip
Hong, juga termasuk golongan tokoh-tokoh semacam itu."
Tok-ko U mengangguk: "Kiranya jumlah tokoh-tokoh dari golongan seperti itu, tak sedikit
jumlahnya."
"Golongan ketiga, ialah tokoh-tokoh bulim jahat yang mengandalkan kepandaian silat untuk
melakukan kejahatan. Pada golongan ini juga dapat dibagi menjadi dua: pertama, bangsa pencoleng
loklim yang tahunya hanya merampok dan membunuh. Dalam hal ini tak perlu kusebutkan contohcontohnya.
Kelompok kedua ialah yang berhamba menjadi kaki tangan dari kaum panglima daerah.
Misalnya Goh Beng-yang, itu pemimpin dari pasukan Gwe-tho-lam yang dibentuk Tian Seng-su."
"Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo si iblis tua itu, juga termasuk kelompok tersebut. Bermula ia
menjadi begal tunggal, sekarang kabarnya menjadi tetamu undangan dari Tian Seng-su,"
menyeletuk Tok-ko U.
"Di samping itu masih ada segolongan lain, yakni kaum Bu-lim-in-su (tokoh-tokoh bulim yang
mengasingkan diri). Karena putus asa melihat keadaan negara, mereka lari dari masyarakat ramai.
Mo Kia lojin dan Se-gak-sin-liong Hong-hu Ko locianpwe, adalah contohnya," kata Hong-jun.
Diam-diam Tok-ko U kagum akan analisa yang dibuat oleh tetamunya itu, ujarnya:
"Pengetahuan Lu toako ternyata amat luas. Berdasarkan hal itu, maka Eng-hiong-hwe (rapat para
orang gagah) yang akan diselenggarakan Cin Siang itu, juga pentingkah?"
Hong-jun mengucap kata merendah hati lalu menyahut: "Pada hematku, menilik kedudukan dan
kewibawaan Cin Siang, rapat yang akan diselenggarakan itu, kecuali golongan Bu-lim-in-ih, ketiga
golongan kaum bulim yang lain itu, tentu akan banyak yang datang. Malah dikuatirkan akan lebih
mendapat sambutan hebat dari Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan di gunung Kim-ke-nia itu."
"Apakah rapat itu sudah ditetapkan harinya?" tanya Tok-ko U.
"Kabarnya akan diadakan pada hari Tiong-ciu tahun ini di istana Li-san-hing-kiong," kata
Hong-jun. "Kalau begitu hanya kurang tiga bulan lagi. Sayang aku seorang gadis jadi tak leluasa datang
kesana. Apakah Lu toako bermaksud kesana juga?" tiba-tiba Tok-Ko ing menyeletuk.
Hong-jun tertawa: "Aku hendak ke Poh-ong dulu menemui Sip Hong untuk menyelesaikan
urusan Bo Se-kiat. Setelah itu pulang. Jika masih keburu, ingin juga aku melihat-lihat keramaian
itu. Dalam rapat itu, rasanya Su toako tak leluasa datang, tetapi jika kalian engkoh adik mempunyai
minat, besok kita boleh sama-sama pergi."
Dalam Eng-hiong-hwe itu, yang penting ialah mengadu kepandaian silat. Tentang yang boleh
menghadiri itu siapa, baik wanitakah atau priakah, semua diperbolehkan.
"Aku pernah bertempur dengan pasukan Gi-lim-kun. Walaupun pada waktu itu aku memakai
kerudung muka, tapi rasanya tentu diketahui juga," kata Tok-ko U.
Jawab Hong-jun: "Cin Siang mempunyai banyak sekali sahabat-sahabat kangouw. Sudah tentu
ia mengetahui juga tentang pantangan-pantangan orang kangouw. Kabarnya untuk Eng-hiong-hwe
itu ia telah membuat pengumuman. Barang siapa yang hadir, takkan diselidiki tentang perbuatanperbuatannya
yang sudah-sudah, sekalipun andaikata pernah memusuhi kerajaan. Syaratnya
hanyalah mereka itu jangan sekali-kali membuat onar di kota Tiang-an. Dalam pertandingan silat,
tak ada paksaan bahwa yang menang nanti akan diharuskan bekerja pada kerajaan. Untuk
pemenang pertama sampai dengan pemenang kelima, akan diberi hadiah sebatang golok pusaka dan
seekor kuda pilihan. Aku sih tak menginginkan hadiah itu, melainkan hanya ingin menambah
pengalaman saja."


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, nanti apabila sudah tiba waktunya, kita putuskan lagi," sahut Tok-ko U.
Mendengar itu tampaknya Hong-jun agak kecewa. Ia mendongak ke langit dan tertawa: "Ai,
tanpa terasa sudah terlalu lama mengobrol, kini aku betul-betul hendak pergi."
Karena tahu orang mempunyai urusan penting, maka Tok-ko U pun tak mau mencegahnya lagi.
"Koko, apakah kau benar-benar berhasrat hadir dalam Eng-hiong-hwe di Tiang-an itu?" tanya
Tok-ko Ing kepada kokonya setelah Hong-jun pergi.
"Dan kau bagaimana?" balas bertanya Tok-ko U.
"Aku kepingin sekali menambah penglihatan, ai, sayang ...."
"Sayang apa?" tukas Tok-ko U.
"Sayang Su toako tak leluasa ikut pergi. Dan akupun tak ingin pergi juga. Menghadiri
semacam pertemuan begitu, baru menggembirakan kalau banyak kawan," kata si dara.
Yak-bwe tertawa: "Bukankah tadi Lu Hong-jun mengajak kalian?"
"Aku tak begitu kenal dengan dia," sahut Tok-ko Ing.
Tok-ko U mengolok tertawa: "Oh, jadi kalau Su toako tak pergi, kaupun tak mau pergi" Kalau
begitu, karena kau tak pergi akupun juga tak pergi."
Begitulah setelah bercakap-cakap beberapa waktu lagi, mereka lalu sama masuk tidur. Ketika
berada di kamarnya, hati Yak-bwe menjadi gelisah. Bukan disebabkan karena tak dapat menghadiri
pertemuan di Tiang-an itu, melainkan karena memikirkan Toan Khik-sia.
Teringat dalam perjumpaannya beberapa kali dengan Toan Khik-sia itu selalu terjadi salah
paham, diam-diam Yak-bwe menghela napas, keluhnya: "Kalau aku memang tak berjodoh padanya
mengapa aku ditakdirkan lahir sehari dengan dia. Dan begitu lahir lantas dijodohkan" Tapi jika
berjodoh, mengapa setiap kali berjumpa selalu bertengkar" Ataukah hanya karena ia tak berani
melanggar pesan mendiang orang tuanya saja" Kalau dikata ia tak menaruh hati padaku, mengapa
ia marah-marah ketika mendengar aku dipasangkan pada putera Tian Seng-su" Namun bila ia
benar-benar menaruh hati, tak selayaknya ia bersikap dingin padaku, walaupun ia sudah mengetahui
bahwa aku sudah tinggalkan keluarga Sik! .... Keterangan Lu Hong-jun tadi bahwa kini ia sedang
mencari aku, apakah boleh dipercaya" Bagaimanakah hubungannya dengan Lu Hong-chiu" Sudah
menginjak perjanjian kasih ataukah hanya sebagai kawan semata-mata.... Hm, Yak-bwe, Yak-bwe!
Jangan kau pikirkan dia lagilah. Tidakkah ia sudah cukup banyak menghina padamu" Persetan
dengan pemuda gagah atau perwira. Dia memperlakukan kau begitu macam, masakan kau sudi
tunduk padanya?"
Makin sang pikiran melayang, makin bergolak amarah Yak-bwe. Tapi makin ia berusaha untuk
menghapus bayangan Toan Khik-sia dalam hatinya, makin bayangan anak muda itu tergores jelas.
Dan tahu-tahu kala itu sudah lewat tengah malam, namun ia tak merasa ngantuk sama sekali.
Jendela kamarnya yang sebelah belakang itu, kebetulan menghadap ke arah taman. Dari jendela
itu melongok keluar, dilihatnya sang dewi malam memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang.
Taman bunga seolah-olah bermandikan cahaya rembulan. Permukaan empang bening laksana kaca,
pohon-pohon, batu-batu dan bunga-bunga bersemarak bagaikan terbungkus dalam kabut perak.
Sungguh suatu pemandangan yang permai.
Di ruang sebelah depan sana, ternyata masih tampak penerangannya. Itulah kamar yang
ditempati Tok-ko Ing. "Kiranya ia masih belum tidur," kata Yak-bwe seorang diri.
Menyebut nama Tok-ko Ing, teringatlah Yak-bwe akan diri dara itu. Ya, teringat akan sikap dara
itu kepadanya. Diam-diam ia merasa geli sendiri: "Baik rupa, perangai dan ilmu silat nona Tok-ko
itu, bukan sembarangan nona dapat menandingi. Sayang aku ini sekaum dengannya .... Mereka
berdua kakak-adik amat baik sekali kepadaku, tapi bagaimanapun aku terpaksa tak dapat lama-lama
tinggal di sini. Hm, kini lukaku sudah sembuh. Seharusnya kutinggalkan tempat ini."
Sebenarnya Yak-bwe merencanakan untuk pergi dengan diam-diam. Ia akan tinggalkan
sepucuk surat menjelaskan tentang dirinya yang sebenarnya. Tapi demi teringat akan budi kebaikan
Tok-ko Ing, ia merasa sungkan untuk berbuat begitu. Setelah beberapa hari bergaul, timbullah rasa
sukanya kepada dara itu.
Ia putar otak untuk mencari jalan yang lebih sempurna. Tiba-tiba ia mendapat akal. Hanya saja
akal itu sedikit bersifat nakal. "Lebih baik sekarang aku menjenguk ke kamarnya. Melihat
kedatanganku pada tengah malam begini, ia tentu terkejut. Pada saat ia murka, aku segera
menerangkan diriku. Ha, entah bagaimana reaksinya nanti, kecewa atau girangkah ia?" demikian
akal yang direkanya itu.
Membayangkan akan reaksi si dara nanti, ia merasa gembira sekali.
Ia melangkah keluar menuju ke kamar cat merah itu. Tapi waktu hampir dekat, tiba-tiba dari
kain jendela kamar itu tampak dua buah bayangan orang, seorang wanita dan seorang pria. Yang
pria adalah Tok-ko U.
"Kiranya mereka berdua masih belum tidur. Karena Tok-ko U berada di dalam, aku tak leluasa
masuk," pikirnya.
Waktu Yak-bwe hendak angkat kaki, tiba-tiba kedengaran Tok-ko U berkata: "Ing-moay, hal ini
menyangkut nasibmu seumur hidup. Harap kau pikir semasak-masaknya."
Geli Yak-bwe dibuatnya. Karena ingin mencuri dengar apa yang dipercakapkan kedua saudara
itu, ia batalkan maksudnya pergi.
Tok-ko Ing diam saja. Beberapa saat kemudian kedengaran Tok-ko U berkata pula: "Kiranya
sudah lebih dari layak apabila kau berjodoh dengan ...... Hong-jun. Seperti kau ketahui, ilmu silat
Lu Hong-jun itu amat tinggi dan orangnya pun baik."
Yak-bwe terkesiap mendengar ucapan itu. "Kiranya bukan memperbincangkan diriku.
Kokonya hendak menjodohkan dia pada Lu Hong-jun. Bagus, aku terlepas dari kesulitan. Hanya
sayang sekalipun Lu Hong-jun itu orangnya baik, tapi adiknya itu seorang gadik yang katak. Kalau
Tok-ko Ing jadi menikah dengan keluarga Lu, jangan-jangan ia bakal setori dengan iparnya itu,"
pikirnya. "Apa" Jadi kedatangan Lu Hong-jun kemari tadi, akan meminang sendiri?" tiba-tiba Tok-ko
Ing berseru. "Bukan meminang melainkan berkenalan," Tok-ko U tertawa.
Dengan nada agak marah, Tok-ko Ing berseru: "Kau mulanya tak mengatakan apa-apa, masakan
datang-datang lantas mau nontoni orang. Aturan macam apa itu" Jika tahu, sudah tentu aku tak
sudi keluar!"
"Ai, memang sebelumnya ia sudah mengatakan, tetapi aku tak memberitahukan padamu.
Ketika aku bepergian baru-baru ini, aku telah berjumpa dengan Hong-git Wi Gwat. Locianpwe ini
seorang yang suka mengurusi perkara orang. Ia mengobrol panjang lebar dan menanyakan juga
tentang dirimu. Ia mengatakan, kita berdua adalah sepasang saudara pendekar. Keluarga Lu pun
sepasang saudara pendekar. Jika dapat terangkap dalam perjodohan, tentulah bakal menjadi buah
pujian dunia, bu-lim."
"Lu Hong-jun kan mempunyai seorang adik, pinang sajalah!" Tok-ko Ing menyeletuk.
Wajah Tok-ko U berubah merah. Memang pada waktu itu Hong-git Wi Gwat juga mengatakan
hal itu, yaitu agar sepasang saudara itu saling mengikat jodoh.
"Yang kubicarakan sekarang ini ialah tentang urusan pernikahanmu, perlu apa menyangkutnyangkut
diriku?" Tok-ko U cepat membantah.
Kata Tok-ko U lebih jauh: "Locianpwe itu mengatakan, apabila kita setuju, ia segera akan
mencari Lu Hong-jun, suruh ia datang ke rumah kita untuk berkenalan dengan kau. Biasanya locianpwe
itu suka ugal-ugalan, jadi aku tak berani pastikan sungguh tidaknya omongannya itu.
Jawabanku pada itu waktu ialah akan menyerahkan hal itu padamu sendiri. Maksud kunjungan
Hong-jun, kita sambut dengan senang hati, tetapi soal pernikahan itu urusan yang tak boleh
dipaksakan, biar kau sendiri yang memutuskan."
Tok-ko Ing menghela napas, ujarnya: "Benarlah, kau telah memberi jawaban yang tepat."
"Oleh karena tak terlalu kumasukkan dalam hati kata-kata lo-cianpwe itu, maka waktu pulang
aku pun tak mau buru-buru mengatakan padamu. Apalagi karena kita sibuk merawat Su toako, jadi
tak keburu memberitahukan. Sungguh tak terduga bahwa Lu tayhiap itu benar-benar datang
kemari. Sebelum kau keluar, ia sudah beberapa kali menanyakan tentang dirimu. Sebenarnya ia itu
seorang yang berwatak terus terang, tapi ketika menanyakan dirimu ia sudah berlaku likat-likat.
Sudah tentu kuketahui maksudnya. Rupanya Hong-gi Wi Gwat telah menyuruhnya datang kemari.
Ing-moay, apakah kau tak mengetahui bagaimana beberapa kali ia melirik padamu?"
"Ya, justeru sinar matanya itulah yang kubenci!" sahut Tok-ko Ing.
Tok-ko U tertawa: "Ya, aku tahu ada seorang yang tak kau benci. Dan diapun suka bergaul
dengan kau!"
"Su toako sedang dalam sakit. Ia adalah tetamu yang kau undang kemari. Bahwa jerih payahku
mewakili kau untuk merawatnya bukan mendapat terima kasihmu, sebaliknya kau malah mengejek
padaku," demikian Tok-ko Ing mengomel.
"Kaulah yang harus berterima kasih padaku, moaymoay, jangan kira aku tak tahu isi hatimu, ya"
Memang aneh ini. Aku yang lebih dulu dan lebih kenal lama dengan Su toako tak dapat bergaul
dengan rapat, sebaliknya begitu bertemu padamu ia lantas jatuh hati. Ai, mungkin sudah menjadi
kehendak nasib. Hanya saja, hanya saja ...."
Sebenarnya Tok-ko Ing tengah tundukkan kepala. Tapi begitu mendengar ucapan sang engkoh
itu, serentak ia dongakkan kepala" "Hanya apa"!" ia tanya dengan cepat.
Tenang-tenang saja Tok-ko U menyahut: "Meskipun Su toako itu tiada tercela, tetapi asalusulnya
tak ketahuan. Bagaimana keturunan keluarga Lu, rasanya kita sudah cukup mengetahui."
"Apanya yang tak jelas. Ia sudah menuturkan asal-usul dirinya kepadaku," cepat-cepat Tok-ko
Ing menukas. "Tapi aku tetap bercuriga," sahut Tok-ko U.
"Ah, memang kau ini banyak curiga. Tapi aku menaruh kepercayaan penuh padanya!" bantah
Tok-ko Ing. Dengan nada bersungguh Tok-ko U berkata: "Moaymoay, urusan pernikahan itu suatu hal yang
serius. Coba kau bilang terus terang tentang keputusanmu, biar kudapat memberi keterangan pada
orang." "Baik, berilah jawaban pada orang itu dengan membilang .... dengan membilang ...."
"Membilang bagaimana?" tukas Tok-ko U.
Selebar wajah Tok-ko Ing bertebar warna merah. Tiba-tiba berhamburanlah kata-kata dari
mulutnya: "Bilang sajalah padanya, bahwa aku sudah dijodohkan pada lain orang. Pemuda she Lu
itu terlambat datangnya. Dan habis perkara!"
Tok-ko U terbeliak, tanyanya dengan suara berbisik: "Apakah kau sudah mengikat janji dengan
Su-toako?"
"Ha, koko, kau sungguh pintar. Kalau satu waktu kukatakan kau tolol, itu hanya karena
keserentakan dari pikiranku saja. Silahkan kau kembali untuk memberi jawaban pada pemuda she
Lu itu," ujar Tok-ko Ing.
"Moaymoay, kau lebih suka menikah dengan Su-toako. Sayang tiada comblang yang
memperantarakan. Turut katamu, rupanya kau sudah mengambil keputusan yang masak. Kau tentu
bermaksud mengatakan bahwa Su toako itu dapat diandalkan daripada Lu Hong Jun," kata Tok-ko
U. Tok-ko Ing berkobar semangatnya: "Ilmu sastera dan ilmu silat dari Su-toako amat menonjol,
belum tentu kalah daripada Lu Hong-jun. Sekalipun taruh kata, ia tak nempil dengan Lu Hong-jun,
tapi aku sudah kenal pribadinya dan cocok dengan perangainya. Biarpun Lu Hong-jun sepuluh kali
lebih lihay dari dia, aku .... aku....."
"Kau tetap akan memilih Su-toako bukan?" Tok-ko U menukas dengan tertawa.
Tok-ko Ing tundukkan kepala. Ia tak menyahut dan sikap begitu berarti ia diam-diam
menerimanya. "Bagaimana kau mengetahui kalau ilmu silat Su-toako itu lihay" Ah, mungkin ketika kalian
berdua keluar untuk menyambut kedatangan Lu Hong-jun, kalian sama-sama menyelipkan pedang.
Apakah kalian sebelumnya sudah menguji kepandaian di dalam taman?" tanya Tok-ko U.
"Benar, kau tentunya hanya mengetahui bahwa ilmu pedangnya lihay, tapi tentu belum mengerti
siapa suhunya. Dengarlah, ilmu pedangnya lihay, ajaran dari Biau Hui sin-ni!" sahut Tok-ko Ing.
Dengan bersemangat dara itu menceritakan tentang permainan pedang Yak-bwe. Setiap gerak
dan setiap jurus dari ilmu pedang "Su-toako"nya, ia lukiskan dengan gairah sekali.
"O, o, hm, hm," selama mendengarkan cerita sang adik, mulut Tok-ko U selalu menghamburkan
nada heran dan kagum.
"Mengapa ilmu pedang Biau Hui sin-ni dapat diturunkan kepada seorang lelaki, itu sungguh
mengherankan sekali!" akhirnya Tok-ko U menyatakan keheranannya.
"Piaucinya yang bernama Sip In-nio yang mengajarkannya, Tok-ko Ing memberi keterangan. Ia
lantas menceritakan keterangan yang dirangkai oleh Yak-bwe.
Anehnya kesangsian Tok-ko U makin jelas menampil pada wajahnya.
"Ai, kau ini bagaimana, koko" Apakah kau curiga Su toako mencintai piauci-nya?" tanya Tokko
Ing. Tok-ko U tertawa: "Omitohud, berdosa, berdosa! Tidakkah kau mendengar ucapan Lu Hongjun"
Sip In-nio sudah tertambat hatinya dengan Bo Se-kiat. Thiat-mo-lek dan kawan-kawan
mengetahui hal itu. Dan untuk urusan itulah, maka Thiat-mo-lek sudah minta tolong Lu Hong-jun
menjadi comblangnya. Sip In-nio seorang jelita perkasa, seorang pendekar wanita. Masakan ia
bermoral tipis?"
"Ya, habis mengapa wajahmu lain" Terus terang aku sendiripun bermula juga menaruh
kecurigaan. Tapi setelah mendengar keterangan Lu Hong-jun, hilanglah segala prasangkaku," kata
Tok-ko Ing. Tok-ko U merenung beberapa saat, kemudian berkata tenang-tenang: "Moay-moay, percayakah
kau akan omongannya?"
Tok-ko Ing membeliakkan matanya lebar-lebar dan menyentak: "Apa?"
"Kulihat di dalam situ terdapat sesuatu yang mencurigakan," kata Tok-ko U.
"Apanya yang mencurigakan?" cepat-cepat Tok-ko Ing mendesak.
"Bahwa ilmu pedang dari Biau Hui sin-ni itu hanya diajarkan pda kaum wanita dan tidak boleh
kepada kaum pria, itu sudah menjadi peraturan dari perguruannya. Sekalipun Sip In-nio
mempunyai ikatan keluarga dengan Su-toako, tapi tak mungkin nona itu berani melanggar
pantangan suhunya secara diam-diam mengajarkannya pada Su-toako," kata Tok-ko U.
Mendengar itu, timbul juga keheranan Tok-ko Ing. Dengan ragu-ragu ia berkata: "Mungkin, ya
mungkin karena Sip In-nio itu masih kecil maka ia tak menyadari perbuatannya. Terdorong rasa
kegembiraannya bermain-main dengan Su-toako, sesaat ia sampai lupa akan pantangan itu."
Tok-ko U gelengkan kepala: "Meskipun aku belum pernah bertemu pada Sip In-nio, tapi
kabarnya ia itu seorang nona yang bijaksana, kalau tidak masakan Bo Se-kiat penuju padanya.
Pantangan suhunya, merupakan suatu hal yang penting. Meskipun usianya masih muda, pun tak
nanti ia naif akal itu."
"Ha, aku sampai lupa. Su-toako mengatakan, pada setiap hari Sip In-nio berlatih pedang, ia
tentu melihat di samping," kata Tok-ko Ing.
"Ilmu pedang ajaran Biau Hui Sin-ni itu bukan olah-olah sukar dan anehnya. Tanpa ada guru
yang memberi petunjuk, bagaimanapun cerdasnya, rasanya tetap tak mungkin mampu "mencuri
belajar". Apakah ia mengatakan padamu kalau ilmu pedangnya itu bolehnya mencuri?" tanya Tokko
U. Tok-ko Ing sendiri juga seorang ahli ilmu pedang. Ia cukup mengetahui bagaimana sukarnya
orang belajar ilmu pedang itu. Tapi anehnya karena terpengaruh oleh rasa pancaran kalbunya, ia
main "telan" saja akan obrolan Su Yak-bwe tadi. Ketika saat itu engkohnya mengingatkan hal itu,
barulah ia timbul rasa kecurigaannya.
Tiba-tiba dengan suara menggumam Tok-ko U berkata: "Jangan-jangan, hm, jangan-jangan ...."
"Jangan-jangan apa?" cepat Tok-ko Ing menyeletuk.
"Jangan-jangan ia itu seorang gadis," sahut Tok-ko U.
Tok-ko Ing tercengang. Sesaat kemudian ia membentak sang engkoh: "Ngaco saja kau ini!
Mana bisa ia seorang gadis"!"
"Ah, aku kan hanya meraba-raba dalam dugaan saja. Jangan kesusu marah dulu," sahut Tok-ko
U. Kedua saudara itu amat baik sekali hubungannya. Tok-ko Ing merasa menyesal juga tadi sudah
membentak sang enkoh dengan kata-kata kasar. Buru-buru ia tertawa: "Jika ia memang benar
seorang gadis, itu malah kebenaran sekali. Bisalah ia menjadi ensoh-ku nanti. Maukah kau
kujodohkan padanya?"
Sebenarnya olok-olok Tok-ko Ing itu hanya sekedar untuk memperbaiki kesalahannya tadi.
Siapa tahu, waktu mendengarnya Tok-ko U juga tercengang. Beberapa saat kemudian baru ia dapat
berkata: "Kalau ia benar seorang gadis, itulah seorang gadis istimewa yang jarang terdapat di dalam
dunia. Mana aku layak menjadi pasangannya?"
"Ai, kalau begitu, kau anggap dirimu itu lebih rendah dari aku?" tanya si dara.
Kembali setelah termenung beberapa saat, barulah Tok-ko U dapat berkata: "Ah, sudah tentu ia
itu bukan seorang gadis. Ya, tak mungkin, tak mungkin! Akulah yang mengadakan dugaan secara
serampangan."
Walaupun mulutnya mengatakan begitu, namun tahu juga Su Yak-bwe di tempat
persembunyian, seolah-olah mendapat kesan bahwa pemuda itu merasa getun karena "Su-toako" itu
seorang lelaki. Yak-bwe berpikir: "Tok-ko U sudah menaruh kecurigaan. Kalau aku sampai
menceritakan kepadanya bahwa aku ini seorang nona, jangan-jangan bisa menimbulkan
kerunyaman. Jika Tok-ko U sampai mengajukan pinangannya, apakah aku dapat menolaknya?"
Tiba-tiba terdengar suara tertawa mengikik dari Tok-ko Ing, lalu katanya:
"Ah, memang sungguh sayang bahwa Su-toako bukan seorang nona. Kalau pembicaraan kita
saat ini didengar Su-toako, wah, tentu runyam sekali."
"Apakah kau sungguh tak mengetahui kalau ia itu seorang gadis yang menyaru jadi lelaki?"
tanya Tok-ko U.
Sahut Tok-ko Ing, "Sudah tentu aku mengetahui. Ia .... ia ..."
Tok-ko U terbeliak kaget, serunya: "Moaymoay, moaymoay, kau, kau, kau dengan dia ...."
"Koko, jangan menduga sembarangan. Ia hanya menyatakan padaku, menyatakan ...."
"Oh, ia tentu menyatakan isi hatinya kepadamu, bukan?" tanya Tok-ko U.
Kedua belah pipi si dara bersemu merah. Ia tersipu-sipu tundukkan kepala kemalu-maluan
sambil memainkan ikat pinggangnya.
Yak-bwe juga terkesiap, pikirnya: "Bilakah aku menyatakan isi hatiku kepadanya?" -- Tiba-tiba
ia teringat ketika si dara menjenguk sakitnya, ia telah memuji dara itu berilmu tinggi dan pintar
kerja. Ya, ya, ia pernah mengatakan kepada Tok-ko Ing: "Siapakah hai, gerangan yang berbahagia
mempersuntingkan nona?"
"Ah, apakah ia kira aku menaruh hati padanya?" Demikian pikir Yak-bwe lebih lanjut.
Di dalam ruangan kedengaran Tok-ko U tertawa: "Su-toako bukan seorang wanita, ah, itulah
memang rezekimu. Baiklah, biarlah kujadikan kehendakmu itu. Besok akan kuselidiki lagi
sikapnya kepadamu. Biar kujadikan perjodohanmu itu, agar dirimu mendapat tempat. Nah,
tidurlah baik-baik, aku hendak pergi."
"Mengapa aku gelisah" Asal kau tak menggerecoki aku dengan urusan Lu Hong-jun, aku pun
tak punya keresahan apa-apa lagi," sahut Tok-ko Ing.
Karena Tok-ko U hendak tinggalkan ruangan itu, Yak-bwe pun segera mendahului pergi. Tapi
baru ia melangkah sampai di rumpun pohon bunga, sekonyong-konyong sesosok bayangan hitam
loncat melampaui tembok dan melayang tepat di atas batu gunung-gunungan yang berada di
sebelahnya. Ketika mengawasi, kejut Yak-bwe bukan kepalang. Saking kagetnya, tubuhnya sampai
gemetar dan bunga-bunga yang tersentuhnya menjadi berhamburan jatuh.
Orang yang tiba-tiba datang itu bukan lain ialah manusia yang dibencinya tapipun yang paling
dirindukannya. Toan Khik-sia!


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiranya Khik-sia telah menempuh jarak 700 li menyusur jalan raya Tiang-an, tapi tetap tak
dapat menemukan Yak-bwe. Ia terpaksa kembali dan hendak membalik haluan ke arah selatan.
Kebetulan ia berjumpa dengan Lu Hong-jun.
Sebenarnya Lu Hong-jun sudah mempunyai kecurigaan terhadap Yak-bwe. Dalam pembicaraan
selanjutnya, ia pun menceritakan juga diri Yak-bwe itu kepada Khik-sia. Demi mendengar bahwa
"pemuda" itu orang she Su dan mengaku masih adik misan dari Sip In-nio, girang Khik-sia bukan
kepalang. Ya, siapa lagi pemuda gadungan itu kalau bukan Yak-bwe! Cepat-cepat Khik-sia minta
alamat tempat tinggal Tok-ko U dan malam itu juga ia segera berangkat.
Ketika tiba di pintu gedung keluarga Tok-ko, haripun sudah lewat tengah malam. Menurut
peraturan, jika hendak mertamu itu seharusnya pada siang hari. Tapi Khik-sia sudah tak tahan lagi.
Apalagi Lu Hong-jun juga menyinggung-nyinggung tentang hubungan rapat antara pemuda she Su
itu dengan adik perempuan Tok-ko U. Maka tanpa dapat mengendalikan diri lagi, Khik-sia segera
mengambil keputusan. Lebih dulu masuk menyelundup ke dalam gedung untuk mencari Yak-bwe
sesudah itu baru ia menghaturkan maaf kepada tuan rumah.
Dan sungguh kebetulan sekali, ketika ia melayang masuk ke atas batu gunung-gunungan, ia
kesamplokan dengan orang yang dicari-carinya. Karena "tertangkap muka", Yak-bwe menjadi
gelagapan, sebaliknya Khik-sia pun terkejut dan girang sekali!
"Adik Yak-bwe ....!" tanpa ragu-ragu lagi Khik-sia meluncurkan tegur salam yang manis.
Tapi wajah Yak-bwe sedingin es. Tanpa memandangnya lagi, ia terus kebutkan lengan bajunya
dan pergi. Khik-sia memburunya, dan terus menjambret lengan baju Yak-bwe, bisiknya dengan
lirih: "Adik Bwe, kau dengarkanlah perkataanku ...."
Yak-bwe kebas lengannya dan membentak dengan dingin: "Tahulah sopan sedikit! Siapa
adikmu itu?"
Rasa cinta Khik-sia itu hangat membara, tapi kulit mukanya tipis. Dibentak sedingin begitu,
merahlah telinganya, ribuan kata-kata yang hendak dirangkainya, menjadi kacau balau lagi.
Dengan gerak hun-hoa-hud-liu atau bunga tersiak mengebut pohon liu, Yak-bwe lanjutkan
langkahnya. Khik-sia makin bingung. Dengan besarkan nyali ia tekan ujung tumitnya. Dengan
gerak ginkang istimewa teng-hun-jong, ia melambung melampaui kepala Yak-bwe dan melayang
jatuh di hadapan si nona untuk menghadangnya.
"Minggir!" bentak Yak-bwe. Dan tanpa hentikan langkah, ia terus maju menerjang.
Tapi Khik-sia lantas mengadangkan kedua tangannya. Bagaimanapun Yak-bwe hendak coba
menerobos, tetap kena terhadang.
"Toan Khik-sia, kau terlalu menghina orang!" akhirnya meluncurlah kata-kata kemarahan dari
mulut Yak-bwe. "Yak-bwe, kau marah padaku, aku tak sesalkan padamu. Harap kau mengingat akan hubungan
antara keluarga kita dahulu," demikian buru-buru Khik-sia berkata.
"Bagaimana?" Yak-bwe menegas.
"Sejak dilahirkan, kita lantas, lantas .... ah, sudahlah jika kita sampai tak rukun, arwah ayah
bunda kita di alam baka tentu tak dapat tenteram," Khik-sia melanjutkan kata-katanya.
Sebenarnya betapa ingin Yak-bwe "rujuk" dengan pemuda yang dikenangkan itu. Tapi ia sudah
biasa dibesarkan sebagai seorang siocia yang beradat tinggi. Teringat beberapa kali Khik-sia pernah
menghinanya, api amarah Yak-bwe masih belum reda. Jika sedatangnya tadi Khik-sia lantas
meminta maaf, mungkin Yak-bwe dapat diredakan kemarahannya. Adalah karena Khik-sia itu
memang tak pandai merangkai kata-kata, walaupun sudah merancangkan lama, tapi hasilnya tetap
tak seperti yang diharapkan. Ia kira dengan mengingatkan Yak-bwe akan hubungan keluarga
mereka dahulu, dapatlah ia mendinginkan hati si nona. Siapa tahu sebaliknya Yak-bwe malah lain
penerimaannya. Pikirnya: "Ha, kiranya kau hanya karena takut dicap tak berbakti kepada orang tua,
maka terpaksa mencari aku. Jadi sekali-kali bukan karena kau suka kepadaku."
"Thiat-toako juga amat perhatikan terhadap urusan kita. Ia pesan wanti-wanti kepadaku harus
mengajakmu pulang. Adik Bwe, sukalah kiranya kau perkenalkan aku kepada tuan rumah agar
dapat kujelaskan duduk perkaranya. Dan besok pagi kita lantas berangkat pulang," demikian kata
Khik-sia pula. Jilid 7 "Jika kau tetap membandel, aku terpaksa ambil tindakan keras!" seru Khik-sia.
Sret,sret, sret, tiga kali ia bolang-balingkan pedang untuk mendesak mundur nona itu. Ia
menyerang dengan gencar.
"Lepaskan golokmu!" tiba-tiba ia membentak. Ia yakin lawan tentu sudah tak dapat bertahan
lagi. Siapa tahu nona itu malah maju selangkah. Sebenarnya Khik-sia memang tak bermaksud
mengambil jiwa si nona. Permainan pedang Khik-sia telah mencapai tingkat sedemikian rupa
hingga dapat dilancarkan dan dihentikan menurut sekehendak hatinya. Tadi ia miringkan ujung
pedangnya untuk menutuk siku si nona supaya lepaskan goloknya. Tapi tak nyana, nona itu hanya
tertawa mengejek seraya berseru: "Jangan kesusu, bung!...." Sepasang goloknya dilingkarkan dan
dengan tenaga lwekang lunak, ia menarik pedang Khik-sia ke samping.
Kiranya walaupun tenaga nona itu kalah dengan Khik-sia, tapi ilmu kepandaiannya tak di bawah
Khik-sia. Di samping itu matanya amat celi sekali dan pikirannya tajam pula. Begitu melihat
gerakan Khik-sia, ia segera mengetahui kalau anak muda itu takkan mengambil jiwanya. Itulah
sebabnya maka ia sengaja maju selangkah untuk menggeser pedang Khik-sia ke samping. Dengan
begitu tenaga Khik-sia berkurang separuh. Begitulah nona itu telah berhasil kembangkan ilmu
golok dengan lwekang lunak untuk menundukkan kekerasan lawan. Sudah tentu dalam hal itu, cara
si nona mengambil "timing" (waktu) yang tepat, adalah faktor yang menentukan.
Diam-diam Khik-sia merasa kagum juga.
Kalau di sini ia masih belum merebut kemenangan adalah di partai sana Hong-kay Wi Wat
sudah mulai menang angin. Dengan ngacirnya Ceng-ceng-ji karena ketakutan digertak Khik-sia,
lawan Wi Wat hanya tinggal Pok Yang-kau dan Liu Bun-siong. Sekalipun Wi Wat tadi kena
tertutuk, tapi lwekang Pok Yang-kau pun menderita besar, maka meskipun ditambah dengan
seorang Liu Bun-siong, tetap Wi Wat dapat mengatasinya.
Di saat Bun-siong tusukkan pedangnya kemuka Wi Wat, tiba-tiba yang tersebut belakangan ini
menggembor keras sehingga saking kagetnya Bun-siong sampai tergetar dan tusukannyapun
menemui tempat kosong. Dan secepat kilat Wi Wat segera merebut pedang lawan seraya
menendang musuhnya yang satu (Pok Yang-kau) sampai terjungkir balik.
Wi Wat seorang pembenci kejahatan. Benar Pok Yang-kau da Liu Bun-siong itu benggolanbenggolan
penjahat, tapi keduanya mempunyai ciri-ciri kejahatan yang berlainan. Kalau Pok Yangkau
hanya malang melintang mengandalkan kekuatannya, adalah Liu Bun-siong itu termasyhur
sebagai tukang "petik bunga" alias pengrusak kaum wanita. Diantara kedua orang itu, Wi Wat lebih
benci kepada Bun-siong. Pedang yang dirampasnya tadi segera ditimpukkan kepada orang she Liu
itu. Sebenarnya ilmu ginkang Liu Bun-siong cukup lihay dan lagi saat itu ia sudah menyingkir
sampai belasan tindak. Namun tak urung ia tetap termakan pedang timpukan Wi Wat juga. Ujung
pedang dari punggung menembus sampai ke dada.
Poh Yang-kau cerdik sekali. Pada saat Wi Wat tengah mengincar jiwa Bun-siong, ia gunakan
kesempatan itu untuk loncat bangun terus menyusup dalam rombongan para pengemis.
Ciok Ceng-yang pun juga sudah dapat merobohkan Han Ciat. Sedang saat itu tongkat
kekuasaan jatuh di atas altar batu. Di situ Ma tianglo dan Ji tianglo tengah berebutan
mengambilnya. Melihat itu, Uh-bun Jui hendak loncat membantu Ma tianglo. Tapi Ceng-yang
datang. Ma tianglo dan Uh-bun Jui tak berani menyerangnya. Mereka putar tubuh terus ngacir.
Ceng-yang pun segera mengambil tongkat kekuasaan dari partai Kay-pang tersebut.
Bintang penolong yang diharapkan Uh-bun Jui, si nona pemimpin barisan wanita baju merah,
ternyata saat itu tampak keripuhan menghadapi serangan Khik-sia.
Dengan geramnya Uh-bun Jui berseru sengit: "Urusan besar telah dirusakkan bangsat kecil itu.
Nona Su, aku telah menelantarkan maksudmu yang baik."
Sahut nona itu dengan hati besar: "Selama gunung masih menghijau, masa takut tak mendapat
kayu bakar. Kalah menang bukan soal. Kekalahan sementara waktu tak jadi apalah."
Ia lancarkan sebuah serangan kosong, kemudian mundur dari gelanggang. Tapi rupanya ia
masih belum puas karena tiba-tiba ia menoleh dan berseru kepada Khik-sia: "Hai, siapa kau" Harap
beritahukan namamu!"
Tiba-tiba dari bawah altar batu, ada seorang menyahut: "Bangsat kecil itu adalah Toan Khiksia!"
Kiranya orang yang membuka rahasia Khik-sia itu, bukan lain adalah Ping-tat, jago yang patah
tulang lengannya karena dipelintir Khik-sia tadi. Sebenarnya ia tak kenal dengan Khik-sia. Tapi ia
kenal lama dengan Ceng-ceng-ji. Tentang ilmu kepandaian Ceng-ceng-ji, ia cukup paham. Tapi ia
perhatikan bahwa gerakan Khik-sia itu, serupa benar dengan Ceng-ceng-ji. Ia tahu bahwa
sahabatnya itu (Ceng-ceng-ji) mempunyai seorang suheng dan seorang sute. Pengemis muda yang
memelintir tangannya tadi jauh lebih muda dari Ceng-ceng-ji. Sudah tentu bukan suheng dari
Ceng-ceng-ji, melainkan sutenya.
Ping-tat merasa tak dapat membalas sendiri, maka ia hendak gunakan siasat "pinjam pisau
membunuh orang". Ia harap setelah mengetahui nama Toan Khik-sia, nona itu akan mencari balas.
Meskipun ilmu silat nona itu tak memadai Khik-sia, tapi ia mempunyai "backing" (andalan) kuat
serta mempunyai anak buah banyak. Jadi kemungkinan besar tentu dapat membalas. Dan benar
juga di kemudian hari Khik-sia akan mendapat beberapa kesulitan dari nona itu. Tapi karena belum
sampai waktunya, baiklah kita pertangguhkan dulu.
Demi mendengar nama Khik-sia, nona itu tercengang. Pada lain saat ia tertawa: "Oh, kiranya
Toan siauhiap, sungguh tak bernama kosong! Walaupun aku kalah, tapi puaslah!"
Dengan putar sepasang goloknya, ia lindungi Uh-bun Jui. Dengan diikuti oleh barisan wanita
merah dan anak buah Uh-bun Jui, mereka menerobos pergi. Ciok Ceng-yang tak mau menimbulkan
pertumpahan darah besar. Buru-buru ia acungkan tongkat untuk anggota-anggota Kay-pang yang
hendak mengejar mereka.
Khik-sia menghapus arang di mukanya dan menjumpai Hong-kay Wi Wat.
Jago tua dari Kay-pang itu tertawa riang: "Sungguh tak kecewa menjadi putera Toan tayhiap.
Ayahmu tentu akan tersenyum gembira di alam baka."
Ciok Ceng-yang dan Ji tianglo pun menghampiri untuk menghaturkan terima kasih kepada
Khik-sia. "Sayang Uh-bun Jui dan Ma tianglo dapat lolos. Kukira kematian Ciu pangcu kita tentu ada
sangkut pautnya dengan mereka berdua. Entah siasat apa yang mereka rancang itu?" kata Ji tianglo.
Kata Wi Wat: "Mereka tentu pergi ke Tiang-an untuk mengacau Eng-hiong-tay-hwe yang
diselenggarakan Cin Siang. Sebenarnya aku tak berhasrat hadir, tapi berhubung ada urusan ini,
terpaksa aku harus ke sana."
Ciok Ceng-yang segera menuturkan hasil penyelidikannya ke Tiang-an. Kiranya Thio Kam-lok
menganiaya Wi hiangcu itu terjadi pada tengah malam. Tempatnya diatur di paseban dalam dari
hun-tho (anak cabang) Kay-pang di Tiang-an. Rencana itu telah diatur Thio Kam-lok sedemikian
rupa. Siangnya ia cari-cari alasan merobek surat untuk Wi hiangcu. Ia percaya rencananya itu pasti
takkan ketahuan orang. Tapi tak nyana, seorang anak buah Kay-pang telah tak sengaja
mempergokinya. Pengemis itu menjadi pencuri dan dikejar alat negara. Ia tahu dirinya tak dapat
berdiam di Tiang-an lagi. Maka malam-malam ia pergi ke tempat Wi hiangcu. Maksudnya, hendak
minta perlindungan dari hiangcu itu. Ia hendak serahkan barang curiannya itu kepada Wi hiangcu
dengan permintaan supaya dikembalikan kepada pemiliknya. Secara kebetulan sekali, ia
mengetahui rencana keji dari Thio Kam-lok.
Pengemis pencuri itu sembunyi di dalam tumpukan genteng di bawah jendela. Mengetahui apa
yang terjadi di dalam ruangan, kejutnya bukan kepalang. Ia tak berani keluar dari tempat
persembunyiannya, pun setelah peristiwa itu ia tetap tak berani bicara pada lain orang. Baru setelah
Ciok Ceng-yang datang membuat penyelidikan, karena yakin Ceng-yang pasti dapat melindungi
dirinya, pengemis itu berani membuka rahasia.
"Tampaknya penganiayaan terhadap Wi hiangcu dan suhengku itu, adalah dua buah perkara.
Tapi besar kemungkinannya mempunyai hubungan satu sama lain," kata Ceng-yang.
"Betul! Wi hiangcu itu adalah pengikut setia dari Ciu pangcu. Pengkhianat-pengkhianat itu
menganggap jika tak melenyapkan Wi hiangcu, tentulah sukar buat Uh-bun Jui merangkai cerita
sandiwaranya," kata Ji tianglo.
"Apakah kau meragukan kalau Ciu pangcu tak datang ke Tiang-an?" tanya Lok-san, Lwe-santonghiang-cu. "Kupikir makin mencurigakan. Hm, siapa tahu jangan-jangan suheng masih hidup di dunia,"
tiba-tiba Ceng-yang berseru.
Katanya lebih lanjut: "Pada hakekatnya Cin Siang belum berjumpa dengan suheng. Menilik
kedudukan dan pribadinya, kupercaya ia tak berdusta. Waktu kubikin penyelidikan di Tiang-an,
anak buah Kay-pang di Tiang-an juga tak pernah bertemu dengan Ciu pangcu."
Ji tianglo menyeletuk: "Ya, memang aku sudah menyangsikan. Dengan lancar sekali Uh-bun
Jui menuturkan tentang peristiwa dicelakainya Ciu pangcu, tapi tak ada saksinya sama sekali.
Paling-paling mengatakan Thio Kam-lok yang menyaksikan. Tetapi kini setelah nyata Thio Kamlok
lah yang membunuh Wi hiangcu, cerita Uh-bun Jui tadi tak dapat dipercaya lagi. Turut
pendapatku, 90 persen tentulah Uh-bun Jui itu bersekongkol dengan Thio Kam-lok. Dengan
membunuh Wi hiangcu, tak ada orang lagi yang menyangsikan keterangan Uh-bun Jui. Tetapi
setiap kebohongan itu tentu bakal ketahuan."
Ciok Ceng-yang melanjutkan kata-katanya lagi: "Jika peristiwa terbunuhnya suheng itu hanya
karangan saja, menilik bahwa suheng belum datang ke Tiang-an, maka sekalipun Uh-bu Jui begitu
bernafsu merebut kedudukan pangcu, tapi belum tentu ia berani membunuh suhunya."
Ji tianglo mengangguk, ujarnya: "Mudah-mudahan begitulah. Ditinjau dari peristiwa hari ini,
rasanya Uh-bun Jui tentu mempunyai backing (penunjang) yang kuat. Jika tidak, masakan ia berani
berbuat begitu."
"Siapakah nona yang membawa barisan wanita tadi" Tampaknya baik sekali hubungannya
dengan Uh-bun Jui. Apakah kalian tahu?" tanya Ceng-yang.
Para Tiang-lo dan Hiang-cu saling berpandangan. Tapi tak seorangpun dari mereka yang
mengetahui. "Budak busuk itu jahat benar, biar kuselidiki asal-usulnya. Tapi sekarang ini, baik kita jangan
hiraukan ia dulu, masih ada lain urusan yang lebih penting," kata Wi Wat.
Ji tianglo menyetujui: "Ya, benar, sekarang kedudukan pangcu jangan diberikan pada Uh-bun
Jui. Wi susiok, pengangkatan pangcu baru, tak boleh ditunda-tunda lebih lama. Harap kau orang
tua yang memutuskan, sekalian harap membatalkan pengangkatan Uh-bun Jui tadi."
"Ceng-yang, kau adalah orang satu-satunya yang diharapkan oleh seluruh anggota Kay-pang.
Kau sajalah yang menjabat pangcu, jangan menolak lagi," kata Wi Wat.
"Hidup matinya Ciu suheng masih belum ketahuan, masakan aku lantas menduduki jabatan
itu?" bantah Ceng-yang.
Jawab Wi Wat dengan tandas: "Negeri tak boleh satu haripun tak ada kepalanya, begitu pula
dalam partai kita tak boleh sehari tak punya pemimpin. Banyak nian pekerjaan yang harus kita
selesaikan, untuk itu kita harus punya pemimpin. Jika keadaan suhengmu belum jelas dan kau
sungkan menjadi pangcu, biarlah untuk sementara kau menjabat sebagai wakil pangcu saja."
Wi Wat bergelar Hong-kay atau Pengemis Gila, tapi apa yang ia ucapkan tadi benar-benar jitu
sekali. Ciok Ceng-yang tak dapat menolak lagi. Begitulah Wi Wat segera mengadakan persidangan
anggota lagi dan mengumumkan tentang hal itu. Oleh karena golongan yang anti Ceng-yang saat
itu sudah ikut pada Uh-bun Jui, maka pengangkatan itu telah disambut dengan persetujuan aklamasi
atau suara bulat.
Setelah urusan partai selesai, berkatalah Wi Wat kepada Khik-sia: "Toan siauhiap, pengemis tua
masih hendak minta bantuanmu untuk sebuah urusan."
Khik-sia tersipu-sipu mengiakan dan minta pengemis tua itu mengatakan.
"Sungguh memalukan sekali bahwa dalam partaiku telah muncul seorang pengkhianat semacam
Uh-bun Jui itu. Dia bersekongkol dengan kawanan durjana hendak mengacaukan rapat dari Cin
Siang. Apa maksud yang mereka rencanakan itu, sekarangmasih belum jelas. Tapi bagaimanapun,
rencana mereka itu bukan bermaksud baik, kita harus menjaganya. Sekarang aku si pengemis tua
ini masih belum dapat berangkat. Kau mempunyai ilmu gin-kang yang tinggi, apakah suka
mewakili aku berangkat ke Tiang-an lebih dulu untuk memberitahukan Cin Siang?"
Khik-sia berpikir sejenak, berkata: "Aku sanggup mengerjakan perintah lo-cianpwe itu, tapi
akupun mempunyai sebuah hal yang akan mohon bantuan lo-cianpwe juga."
"Katakanlah," kata Wi Wat.
"Tentulah lo-cianpwe sudah mengetahui tentang peristiwa tentara negeri menggempur gunung
Kim-ke-nia. Toako-ku Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat membawa anak buahnya menuju ke Ho-se. Di
sana mereka tengah menyusun kekuatan lagi. Aku mendapat perintah dari Thiat toako untuk
mencari seseorang. Orang itu telah kutemukan, tapi menolak kuajak pulang. Terpaksa sekarang
aku hendak pulang melapor pada Thiat toako."
Oleh karena Wi Wat tak tahu bahwa 'orang' yang dicari Khik-sia itu ternyata seorang nona yang
bakal menjadi isterinya, maka bertanyalah pengemis tua itu: "Siapakah orang itu" Apakah penting
sekali?" "Dia bukan orang persilatan, melainkan seorang ..... seorang sahabatku yang baik," sahut Khiksia
dengan terputus-putus.
"Oh, tahulah aku. Kalian sekarang sedang giat mengumpulkan orang gagah. Tentulah hendak
minta orang itu masuk ke dalam perserikatan kalian," seru Wi Wat.
Pengemis Gila itu tak mau minta penjelasan apakah sahabat Khik-sia itu pria atau wanita.
Dengan sembarangan saja, ia menduga-duga semaunya.
Khik-sia berduka, ia tertawa getir: "Bagaimana pendirian orang itu, telah kuketahui jelas. Tak
nanti ia mau bergabung pada kita. Tapi tak apalah ...."
Hong-kay Wi Wat itu sudah tua, tapi suka ceriwis. Cepat ia memberi komentar: "Betul,
toakomu Thiat-mo-lek itu luas sekali pergaulannya. Jika ia mau bergerak, tentulah dengan mudah
akan mendapat sambutan baik dari orang gagah di empat penjuru. Kurang satu orang itu, tak jadi
apa." "Benar, lo-cianpwe. Tetapi jika aku tak lekas-lekas pulang tentulah Thiat toako amat
mengharap-harap. Oleh karena itu, hendak kumohon kepada lo-cianpwe agar menyuruh seorang
anak murid Kay-pang memberitahukan kepada Thiat toako bahwa aku sedang pergi ke Tiang-an.
Selain itu, meskipun Kim-ke-nia diserang oleh tentara Gi-lim-kun, tapi hubungan pribadi toako
dengan Cin Siang itu tetap baik. Dalam hal ini harap Thiat toako mengetahuinya."
Wi Wat tertawa: "Thiat-mo-lek memimpin kaum enghiong. Pun Bo Se-kiat itu juga seorang
loklim bengcu yang baru. Tak usah kau katakan, akupun sebenarnya hendak melaporkan hal itu
kepada mereka. Nah, baiklah kita sama-sama membagi laporan. Karena waktunya rapat di Tiangan
itu sudah mendesak, maka baiklah kau lekas-lekas berangkat."
Begitulah setelah saling menetapkan rencana pembagian tugas, Khik-sia segera berangkat ke
Tiang-an. Dengan gunakan gin-kang, pada hari pertama Khik-sia dapat menempuh jarak 300-an li
lebih. Hari kedua ia sudah tiba di Gui-cia (sekarang propinsi Ho-pak). Tiba-tiba ia berpapasan
dengan suatu rombongan rakyat yang terdiri dari laki perempuan, tua muda dan besar kecil. Dari
wajah dan dandanan serta keadaan, teranglah mereka itu tengah mengungsi.
Waktu Khik-sia menanyakan, pak tua yang menjadi pemimpin rombongan itu menyahut dengan
heran: "Engkoh kecil, apakah kau tak tahu bahwa Su Tiau-gi telah menderita kekalahan.
Pasukannya yang kalah itu kini mundur ke Pok-yap. Di mana tempat yang dilalui, mereka
merampok rakyat. Mengapa kau hendak kesana" Kau masih begini muda, baik ketemu tentara
negeri maupun tentara perampok, kau tentu dipaksa turut mereka."
Yang dikatakan 'Su Tiau-gi' oleh pak tua itu, adalah putera dari Su Su-bing, itu jenderal dari An
Lok-san. Setelah An Lok-san dibunuh oleh anaknya sendiri, An Ging-hi, maka anak buah An Loksan
menjadi terpecah belah. Panglima Kwe Cu-gi dari kerajaan Tong-tiau dengan mudah dapat


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membasmi mereka. Untuk sementara waktu, Su Su-bing menakluk pada kerajaan Tong. Tapi tak
lama kemudian ia dapat menyusun kekuatan lagi, dan berontak. Setelah berhasil mengalahkan
tentara gabungan dari 9 Ciat-to-su (panglima perbatasan), ia mulai menyerang Lok-yang.
Su Su-bing dapat membunuh An Ging-hi dan lalu mengangkat diri menjadi kaisar Tay Yan
hongte. Tapi tak lama kemudian, ia dibunuh oleh puteranya sendiri yakni Su Tiau-gi. Kerajaan
Tong-tiau memerintahkan Li Kong-pik mengganti kedudukan Kwe Cu-gi untuk memukul Su Tiaugi.
Akhirnya pada permulaan tahun kerajaan Po-ging atau tahun 762 Masehi, Li Kong-pik berhasil
masuk ke Lok-yang dan mengejar tentara Su Tiau-gi. Su Tiau-gi membawa sisa anak buahnya
menuju ke daerah Pok-yap dengan maksud hendak menggabung pada suku He. Rombongan rakyat
dipimpin oleh pak tua itu adalah rakyat di daerah yang mengungsi karena takut dirampok tentara Su
Tiau-gi. Khik-sia sendiri adalah seorang anak yang menjadi sebatang kara karena akibat peperangan.
Teringat akan kematian sang ayah di medan pertempuran dan ibunya yang akibat melarikan diri lalu
menderita luka dan akhirnya juga meninggal, diam-diam Khik-sia menjadi ngeri. Ngeri karena
peperangan atau huru-hara itu sampai sekarang masih belum padam.
"Engkoh kecil, kembalilah saja. Di sebelah depan sana sudah kosong semua," kata pak tua itu
pula. Khik-sia menghaturkan terima kasih: "Terima kasih, lo-tio. Tapi aku mempunyai urusan
penting, terpaksa harus kesana. Terserahlah pada nasib."
Karena Khik-sia tak mau mendengar nasihatnya, pak tua itu hanya menghela napas panjang.
Dan Khik-sia lalu meneruskan perjalanan pula. Belum berapa jauh, di sebelah depan tampak debu
mengepul tinggi. Benar juga ia berpapasan dengan sepasukan tentara pecundang. Di dalam
pasukan itu terdapat belasan buah kereta. Mereka membawa panji-panji, tapi keadaan pasukan tiu
tak mirip dengan susunan tentara lagi.
Ketika Khik-sia sedang pertimbangkan baik tidaknya ia menghindar dari pasukan perampok itu,
tiba-tiba terdengar suara orang menggembor keras. Seorang tua yang bertubuh tinggi besar
menyerbu ke tengah pasukan itu dan membentak keras-keras: "Siapa yang sayang jiwanya, harus
lekas-lekas pergi. Tinggalkan kereta pesakitan!"
Khik-sia tersentak kaget. Pikirnya: "Siapakah orang tua itu" Mengapa seorang diri ia berani
menyerbu kawanan 'serigala'" Dari suara bentakannya itu, terang ia memiliki lwekang tinggi, tidak
di bawah Hong-kay Wi Wat. Tapi sayang, ia sudah terluka dalam."
Orang tua gagah itu bersenjatakan sebatang tongkat besi. Trang, ia hantam golok seorang opsir
sampai mencelat ke udara. Dan ketika tongkat besinya melayang turun, seorang opsir lain yang tak
keburu menangkis dengan senjatanya lung-ya-pang, telah terhantam remuk. Melihat opsirnya mati,
kawanan tentara perampok itu sama lari kalang-kabut.
Dari rombongan pasukan itu tampil dua orang, tapi mereka tak berpakaian opsir. Serempak
keduanya berseru: "Hai, Hong-hu Ko, jiwamu sudah berada di ujung rambut, mengapa masih berani
merampas kereta pesakitan" Baiklah, jika kau ingin lekas-lekas menghadap raja akhirat, biarlah
kami bantu!"
Orang tua yang dipanggil Hong-hu Ko itu tak menyahut dengan mulut melainkan dengan
pukulan tongkat besinya. Kedua orang tadi ternyata bukan jago lemah, tapi toh mereka hanya kuat
bertahan sampai 10-an jurus saja, sudah lantas kalah. Orang tua she Hong-hu itupun tak dapat
mengejar mereka. Setelah anak buah pasukan itu bubar, ia lantas berusaha membuka kereta
pesakitan. Kereta pesakitan itu merupakan sebuah kerangkeng yang ditutup besi rapat-rapat.
Sebenarnya harus mencari kuncinya dulu, tapi rupanya orang tua itu tak sabar lagi. Bruk, ia
hantamkan tongkat besinya ke kerangkeng besi sehingga tutup kerangkeng itu berlubang. Jago tua
itu menjenguk ke dalamnya, tapi segera ia berseru: "Bukan!" -- Ia lantas berganti sasaran
kerangkeng yang kedua.
Melihat kekuatan orang tua itu, diam-diam Khik-sia terkejut sekali. Tiba-tiba ia teringat:
"Astaga! Kiranya tokoh yang kedudukannya sejajar dengan Hong-kay Wi Wat, ialah Se-gak-sinliong
(Naga Sakti gunung barat) Hong-hu Ko locianpwe. Tapi siapakah yang dapat melukai tokoh
semacam orang tua ini" Dan mengapa ia hendak merampas kereta pesakitan?"
Khik-sia belum pernah berjumpa dengan Hong-hu Ko, tapi sudah mendengar kemasyhuran
namanya. Kiranya Hong-hu Ko itu selain bersahabat baik dengan mendiang ayak Khik-sia juga
pernah menerima budi dari bibi Khik-sia yang bernama He leng-siang itu (He Leng-siang adalah
isteri dari Lam Ce-hun. Sejak umur 10 tahun, Khik-sia lantas ikut pada bibinya itu " pen).
Khik-sia menimang dalam hati: "Meskipun lo-cianpwe itu mampu menandingi kawanan tentara
perampok, tapi setelah kutahu kalau dia, masakan aku tinggal diam tak mau memberi bantuan?"
Pada saat itu Hong-hu Ko sudah menghantam terbukan 7 buah kereta pesakitan, tapi tetap
belum mendapatkan orang yang dicarinya.
Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang mendatangi dengan gemuruh sekali. Penunggang
kuda yang paling depan sendiri, seorang tua yang berwajah jelek keja, tubuhnya kekar dan matanya
hanya tinggal satu. Astaga! Khik-sia tersirap kaget. Itulah Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo!
Iblik itu tertawa nyaring: "Hai, Hong-hu Ko, nyawamu sendiri sudah di ujung rambut, masih
mau menolong orang" Mari biar kuantarmu ke akhirat!"
Wut, iblis itu loncat dari kudanya. Dengan gerak can-liong-chiu atau gerak menabas naga, ia
berjumpalitan di udara terus menghantam lawan. Hong-hu Ko menyambutnya dengan jurus kihweliau-thian atau mengangkat api membakar langit. Tongkat diarahkan ke dada Yo bok-lo. Brak,
pukulan iblis she Yo tadi telah berhasil mementalkan tongkat Hong-hu Ko ke samping.
Sebenarnya ilmu kepandaian Hong-hu Ko tak kalah dengan Yo Bok-lo. Tapi karena sebelumnya
ia sudah terluka dalam lebih dulu, kemudian mengamuk menghantami kerangkeng besi, tenaganya
berkurang banyak sekali. Maka dalam adu kekuatan yang pertama itu, Yo Bok-lo lah yang menang
angin. Iblis she Yo itu, tak mau memberi hati. Baru kakinya turun ke bumi, ia sudah enjot lagi
menerjang. Hong-hu Ko membabat ke arah kaki, tapi sebagai iblis yang bergelar Chit-poh-tui-hun
(tujuh langkah mengejar nyawa), Yo Bok-lo itu lihay sekali kakinya. Tendangannya tadi ternyata
hanya pancingan, begitu Hon-hu Ko menghantam, dengan berdiri di sebelah kaki ia putar tubuh ke
samping Hong-hu Ko. Di situ secepat kilat ia menyambar tong-kut orang. Dengan meminjam
tenaga Hong-hu Ko dan tenaganya sendiri, begitu ia mencengkeram tongkat, terus membentak
keras: "Lepaskan!"
Hong-hu Ko kena diselomoti, terang ia tentu tak dapat mempertahankan tongkatnya lagi. Tapi
sekonyong-konyong terdengar suara orang membentak: "Lepaskan!" - Sesosok tubuh melayang
datang terus menusuk jalan darah li-yan-hiat di punggung telapak tangan Yo Bok-lo.
Itulah Toan Khik-sia. Ia datang tepat pada waktunya. Yo Bok-lo segera mengenali musuhnya
besar itu. Sebuah matanya buta karena tusukan anak muda itu. Walaupun bencinya kepada anak
muda itu menyusup sampai ke tulang, namun kedatangan Khik-sia secara begitu mendadak itu,
membuatnya tergetar juga. Tinggalkan tongkat, ia berganti sasaran untuk menangkis tusukan Khiksia.
Ilmu kim-na-chin atau merebut senjata dengan tangan kosong dari iblis itu, sudah mencapai
tingkat tinggi. Tetapi karena anak muda itu lihay ilmu gin-kangnya, tambahan pula menggunakan
pedang pusaka, maka Yo Bok-lo tak berdaya untuk merapatinya. Malah dalam serangan tiga kali
berturut-turut, iblis itu dipaksa mundur tiga langkah.
Hong-hu Ko tak kenal pada Khik-sia. Melihat anak semuda itu dapat melayani seorang jago
kolotan seperti Yo Bok-lo, ia merasa heran juga. Ia berniat memberi bantuan kepada anak muda itu,
tapi ia dapatkan tenaganya habis. Pikirannya cepat bekerja dan akhirnya ia ambil putusan, lebih
menolong orang yang dicarinya itu dulu.
Dengan kertek gigi, ia gunakan sisa tenaganya untuk menghantam kereta pesakitan. Namun
sudah dua buah kereta yang dirusaknya, tetap orang yang hendak ditolongnya itu tak kelihatan.
Pada saat itu, anak buah Yo Bok-lo yang mengikut di belakangnya tadi pun sudah tiba. Dua
orang opsir penunggang kuda, loncat turun. Yang seorang mencekal ruyung cui-mo-pian, yang
seorang seorang membekal sam-ciat-kun atau tongka tiga ruas. Cepat mereka menyerang Khik-sia,
tapi dengan sigapnya Khik-sia menghindari cambukan pian untuk kemudian membabat sam-ciatkun.
"Hati-hati!" saking terkejutnya Hong-hu Ko berteriak memperingatkan Khik-sia.
Tapi pedang Khik-sia itu bukan sembarang pedang. Trang, terdengar bunyi mendering dan
tahu-tahu tongkat sam-ciat-kun sudah kutung sebuah ruasnya. Tiba-tiba tampak sebuah sinar putih
berkelebat. Ternyata bagian tengah dari sam-ciat-kun itu berlubang dan di dalam lubang itu
dipasangi senjata rahasia hu-ku-ting atau paku pembusuk tulang yang amat beracun sekali.
Paku beracun itu mendadak keluarnya dan tidak diduga sama sekali oleh Khik-sia. Jaraknya
pun amat dekat sekali. Syukur tadi Hong-hu Ko sudah meneriakinya lebih dulu. Dalam saat-saat
yang berbahaya itu, Khik-sia unjukkan kepandaian gin-kangnya yang istimewa. Ia buang tubuhnya
mendatar seraya putar pedangnya menyampok paku itu. Yang sebuah kena ditampar jatuh yang dua
buah menyambar di bawah kakinya. Sedikitpun ia tak terluka.
Tapi di sebelahkanya masih ada Yo Bok-lo. Laksana harimau buas yang siap menerkam sang
korban, pada saat Khik-sia tengah menghindar dari serangan paku tadi, iblis itu segera lontarkan
sebuah hantaman dahsyat. Tubuh Khik-sia masih terapung di udara jadi sukar untuk menghindar.
Hong-hu Ko berseru keras. Cepat ia timpukkan tongkat besinya, kemudian menyusuli
menghantam. Opsir yang bersenjata ruyung cui-mo-pian hendak menyerbu, tapi kena timpukan
tongkat Hong-hu Ko. Seketika kepala pecah, otaknya berlumuran keluar dan jiwanya melayang.
Hong-hu Ko gunakan sisa tenaga untuk adu pukulan dengan pukulan biat gong-ciang dari Yo
Bok-lo. Begitu kuat Hong-hu Ko menghantam, sampai mulutnya mendengus keras. Plak, Yo Boklo
tersurut mundur sampai beberapa tindak. Tetapi anehnya, Hong-hu Ko tampaknya masih tegak
berdiri tak apa-apa.
Sesaat Khik-sia turun ke tanah, begitu ia memandang ke arah Hong-hu Ko, kejutnya bukan
kepalang. Ternyata jago tua itu wajahnya pucat seperti kertas, sepasang matanya merah. Khik-sia
tak mau merangsang Yo Bok-lo lagi, melainkan perlu menolong Hong-hu Ko dulu.
Huak .... mulut Hong-hu Ko menguak muntah darah. Ternyata jago tua itu sudah kerahkan
seluruh tenaganya untuk menghantam. Benar Yo Bok-lo kena dihantam mundur, tapi jago tua yang
sudah terluka dalam itu, kini makin bertambah parah lukanya. Ia kehabisan tenaga betul-betul.
Melihat kesempatan itu, opsir yang bersenjata sam-ciat-kun tadi cepat timpukkan dua buah paku
hu-kut-ting lagi ke arah Hong-hu Ko. Tapi kali ini Khik-sia sudah siap siaga tak nanti ia kena
dibokong. Cepat ia melejit ke muka untuk melindungi Hong-hu Ko, kemudian putar pedangnya
untuk menyampok jatuh hu-kut-ting.
Pada saat itu Yo Bok-lo sudah dapat memperbaiki posisinya dan mulai menyerang lagi. Khiksia
cepat memanggul Hong-hu Ko sembari putar pedangnya. Anak muda itu bertahan diri sembari
maju menghampiri Yo Bok-lo.
Yo Bok-lo heran dibuatnya, pikirnya: "Anak itu sungguh gila, mengapa ia senekad itu?"
Memang dengan memanggul Hong-hu Ko, tentu berbahaya sekali bagi Khik-sia untuk
bertempur dengan Yo Bok-lo. Salah-salah keduanya (Khik-sia dan Hong-hu Ko) akan binasa
semua. Memang Yo Bok-lo sendiri juga tak terluput dari luka berat.
Tapi ternyata iblis she Yo itu malah menjadi gentar dengan kenekatan si anak muda itu.
Sebenarnya ia pasti menang, tapi sebaliknya malah jeri untuk adu kekuatan. Ia miringkan tubuh
dan dengan gerak chit-poh-tui-hun, ia menyelinap ke samping Khik-sia. Di sini ia memberikan
Hong-hu Ko sebuah hantaman.
Sekonyong-konyong Khik-sia berganti arah. Tubuh meluncur seperti anak panah terlepas dari
busurnya: "Rebahlah!" mulutnya kedengaran membentak. Kiranya Khik-sia telah gunakan siasat
suaranya di timur tapi yang diserang arah barat'. Dengan andalkan ilmu gin-kangnya yang jempol,
ia menyergap ke tempat si opsir dan tahu-tahu punggung si opsir itu sudah berhias sebuah tusukan
pedang yang cukup membuat nyawanya melayang. Dengan berhasil membunuh opsir itu, berarti
Khik-sia mendapat keringanan.
Gusar Yo Bok-lo bukan olah-olah. Tapi demi melihat walaupun dengan memanggul orang
namun anak muda itu masih dapat lari secepat kuda bedal, diam-diam Yo Bok-lo menjadi kaget
juga. "Taruh kata dapat mengejarnya tapi belum tentu dapat merobohkan bangsat kecil itu," akhirnya
setelah menimang-nimang sejenak, Yo Bok-lo terpaksa tak mau mengejar.
Khik-sia membawa Hong-hu Ko ke atas gunung yang di sebelah muka. Di situ ia letakkan
orang tua yang terluka berat itu. Dilihat jago tua itu sudah tersengal-sengal napasnya, wajahnya
berwarna gelap. Khik-sia terkejut, buru-buru ia tempelkan telapak tangannya ke punggung Honghu
Ko. Ia salurkan lwekang untuk menolong orang she Hong-hu itu.
Lewat beberapa menit kemudian, Hong-hu Ko dapat membuka mata dan bertanya: "Siapakah
kau?" "Wanpwe Toan Khik-sia."
"Toan Kui-ciang pernah apamu?" tanya Hong-hu Ko pula.
"Ayah wanpwe," sahut Khik-sia.
Mendengar itu Hong-hu Ko tertawa gelak-gelak: "Sungguh jaman itu selalu maju. Aku si
pengemis tua dalam hari-hari terakhir dapat berjumpa dengan putera seorang sahabat karibku,
sungguh berbahagia sekali!"
Nada orang tua itu makin lemah, katanya pula: "Hiantit, aku sudah tak berguna lagi, harap kau
jangan buang tenaga sia-sia."
Tapi mana Khik-sia mau menurut, ujarnya: "Lo-cianpwe, tolong kau salurkan pernapasan, biar
kubantu melancarkan darahmu. Aku pun membekal pil leng-tan yang mustajab."
"Aku terkena sebatang paku hu-kut-ting dan termakan dua buah pukulan iblis tua itu. Sekalipun
ada pil siok-beng-sian-tan (pil dewa penyambung jiwa), rasanya tak bergunalah. Jangan membuang
waktu, hiantit, maukah kau membantu sebuah urusan untukku?"
Meskipun tak mengerti ilmu pengobatan, tapi demi melihat kaki tangan Hong-hu Ko makin
kaku, Khik-sia percaya akan keterangan jago tua itu. Adanya pengemis tua itu masih dapat bicara,
adalah karena mengandalkan kekuatan napasnya saja. Terpaksa dengan menahan kepiluan hati,
Khik-sia menyatakan kesanggupannya untuk melakukan permintaan orang.
"Aku adalah paman guru dari Ciu pangcu partai Kay-pang. Tahukah kau kepada Ciu Ko itu?"
tanya Hong-hu Ko.
Khik-sia menerangkan bahwa ia barusan menghadiri rapat Kay-pang yang menghebohkan
peristiwa terbunuhnya Ciu Ko.
"Tidak, Ciu Ko belum mati. Dia ditawan oleh anak buah Su Tiau-gi," menerangkan Hong-hu
Ko. Khik-sia tersentak kaget. Herang ia dibuatnya. Su Tiau-gi itu adalah kaisar Wi Yan, ada
hubungannya apa dengan Ciu Ko"
"Aku sendiripun tak mengerti entah apa sebabnya Su Tiau-gi menawannya. Kemarin barulah
aku mendapat berita bahwa tertangkapnya Ciu Ko itu karena dijebak. Keterangan jelas tentang hal
itu, kurasa tak sempat lagi kututurkan. Cukup asal kau suka menyampaikan berita ini ke suatu
tempat, aku sudah sangat berterima kasih padamu," kata Hong-hu Ko. Sampai di situ, suara
pengemis tua itu sudah makin lemah.
Buru-buru Khik-sia tahan tangannya yang masih menempel di punggung Hong-hu Ko itu dan
menyalurkan lagi lwekangnya.
"Dengan sisa pasukannya Su Tiau-gi hendak menggabung pada Kahan, kepala suku He.
Pesakitan-pesakitan pentingpun dibawanya ke sana juga. Oleh karena itu maka tadi aku telah
mencegat mereka untuk menolong Ciu Ko. Hal ini harus lekas dilaksanakan. Jika mereka sudah
keburu tiba di daerah Kaham, sukarlah untuk membebaskan Ciu Ko. Kira-kira lima puluh li dari
sini, ada sebuah gunung. Di atas gunung itu terdapat sebuah gua, di depannya tumbuh lima batang
pohon siong tua. Tempat itu menjadi markas dari hun-tho (cabang) Kay-pang. Setelah
mendapatkan tempat itu, kau harus minta bertemu dengan Hwe Tay-yap, tho-cu kay-pang di situ.
Sampaikan padanya berita ini supaya ia lekas-lekas mengadakan pencegatan dan merampas
pesakitan sebelum pasukan Su Tiau-gi tiba di Pok-ong."
"Aku telah mendapa janji bantuan dari dua orang sahabat. Paling lambat besok pagi, mereka
tentu sudah datang. Kau minta Hwe thocu supaya kirim orangnya menunggu kedua sahabatku itu
di pagoda yang terletak di kaki gunung itu. Kedua sahabatku itu tak kenal pada Hwe thocu, maka
bawalah barangku ini ....."
Hong-hu Ko melolos sebentuk cincin besi dari jarinya, lalu diserahkan pada Khik-sia, ujarnya:
"Berikan cincin ini pada Hwe thocu. Suruh ia berikan pada orangnya yang disuruh menyambut
sahabatku itu untuk menjadi tanda pengenal. Sudah jelaskah?"
"Harap Locianpwe legakan hati, aku sudah dapat mengingatnya dengan sungguh-sungguh."
jawab Khik-sia.
Hong-hu Ko tertawa getir: "Delapan belas tahun yang lalu, aku pernah memberikan sebuah
cincin kepada ayahmu karena hendak minta pertolongannya. Sungguh tak nyana, delapan belas
tahun kemudian, aku harus menyerahkan sebuah cincin lagi kepadamu, juga untuk minta bantuan.
Dengan kalian ayah dan anak, rupanya aku memang berjodoh!"
Suara tertawa reda, sepasang kakinya berkelojotan dan Hong-hu Ko menarik napas yang
penghabisan .....
Khik-sia amat berduka. Seorang pengemis luar biasa dari dunia persilatan, seorang tokoh
persilatan yang sakti, telah meninggal secara menyedihkan di sebuah gunung belantara. Dengan
pedang pusakanya, Khik-sia menggali sebuah liang dan mengubur Hong-hu Ko. Kemudian ia
meletakkan sebuah batu besar selaku pertandaan. Setelah menyiram kuburan itu dengan kucuran air
mata, Khik-sia dengan hati berat meninggalkan tempat itu.
Untuk jarak 50 li itu, Khik-sia hanya menggunakan waktu kurang dari satu jam.
Ternyata gunung itu tak berapa lagi. Mendaki ke atas dan mencari dengan teliti, cepat ia sudah
dapatkan kelima batang pohon siong itu. Tapi heran ia tak melihat suatu guapun.
"Aneh, apakah aku keliru?" pikirnya. Tapi ia hendak mencoba sebuah cara.
"Wanpwe Toan Khik-sia, mendapat perintah dari cianpwe Kay-pang Hong-hu Ko untuk minta
bertemu dengan Hwe thocu!" demikian ia lantas berseru nyaring.
Tiba-tiba tanah yang di bawah pohon siong yang di tengah-tengah sendiri, mengungkap ke atas
dan pada lain kejap berubah menjadi sebuah mulut gua. Malah menyusul ada seorang berseru:
"Apakah membawa bukti penandaan?"
Kiranya gua itu dibuat di bawah tanah, atasnya ditutupi dengan tanah yang bertumbuh rumput.
Jika tidak menyelidiki dengan seksama orang luar pasti sukar mengetahuinya.
"Ada sebuah cincin besi dari Hong-hu locianpwe," sahut Khik-sia.
"Lemparkan cincin kemari untuk kami periksa," seru orang itu.
Khik-sia menurut. Beberapa saat kemudian, orang itu berseru: "Aku ini Hwe Tay-yap sendiri,
silahkan masuklah."
Menurut kepantasan, Hwe Tay-yap seharusnya yang keluar untuk menyambut orang yang
dimintai tolong oleh ketua Kay-pang. Sebaliknya malah Khik-sia yang disuruh masuk. Meskipun
Khik-sia seorang pemuda yang tak menghiraukan segala macam peradatan tetek bengek, namun tak
urung ia merasa kurang senang juga. Diam-diam ia menganggap Hwe thocu itu seorang yang
angkuh. Namun karena berat melakukan pesan Hong-hu Ko, terpaksalah ia mengalah juga.
Di dalam gua itu amat gelap. Lebih-lebih Khik-sia baru datang dari tempat terang. Samarsamar
ia hanya melihat beberapa sosok bayangan orang. Kembali Khik-sia menggerutu: "Hm,
mengapa tahu ada tetamu, mereka tetap takmau nyalakan lampu?"
Saat itu ia sudah berjalan masuk beberapa langkah. Tiba-tiba ia hentikan langkahnya dan timbul
pikirannya hendak bertanya. Tapi sekonyong-konyong ia mendengar bunyi senjata rahasia
mengaum di udara dan berbareng itu tersiar bau yang harum. Untuk Khik-sia selalu siap sedia.
Cepat ia cabut pedangnya dan bolang-balingkan kian kemari untuk menjaga diri. Dua buah thi-cijong,
dua batang paku tho-kut-ting dan tiga bilah belati. Kena ditampar jatuh semua.
Dalam sinar yang terpancar dari kelebat pedangnya itu, Khik-sia melihat ada tiga orang maju
menyerangnya. Salah seorang bukan lain adalah ji-suhengnya sendiri: Ceng-ceng-ji!


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Setan cilik, kau telah memperdayai aku, sekarang akupun juga menyelomotimu. Lihat
pedangku!" Ceng-ceng-ji tertawa dingin seraya menyerang. Cepat sekali ia lancarkan serangannya
itu. Dalam beberapa kejap saja ia sudah menyerang tujuh kali.
Khik-sia gunakan gerakan kaki i-poh-hoan-sing untuk berloncatan menghindar. Serunya: "Jisuheng,
jangan salah paham. Kau bermusuhan dengan Kay-pang itu, bisa menimbulkan bahaya.
Maka meskipun aku telah menipumu tapi aku bermaksud baik. Mengapa kau salahkan aku?"
Ceng-ceng-ji memaki: "Kurang ajar! Kau seorang anak kemarin sore berani menasihati aku"
Dulu karena ada tiang pengandal su-niomu itu, aku biarkan saja dirimu. Tapi kini setelah jatuh ke
dalam tanganku, kau tentu kuhajar!"
Dalam melontarkan dampratannya itu, Ceng-ceng-ji tetap lancarkan pedangnya dengan
serangan-serangan yang berbahaya.
Khik-sia naik darah juga. Pikirnya: "Dia berani mengkhianati perguruan dan sekarang hendak
membunuh aku. Apakah aku masih mengingat tali persaudaraan lagi?"
"Karena Ji-suheng tak mau memberi maaf, terpaksa siau-te melanggar adat!" serunya sambil
kembangkan pedang dalam jurus tiang-ho-lok-jit atau matahari terbenam di sungai panjang.
Trang, pedang Ceng-ceng-ji yang terbuat dari emas murni itu, kena dipentalkan ke samping.
Pedang keduanya sama-sama pedang pusaka, maka sama-sama tak gempil serambutpun juga. Tapi
sekalipun begitu, tangan Ceng-ceng-ji merasa kesakitan.
Dalam hal gin-kang terang kalau Khik-sia lebih unggul dari bekas ji-suhengnya itu. Pun dalam
ilmu lwekang, setelah mendapat gemblengan dari Bo Jong-long, ayah Bo Se-kiat yang menjadi
kepala pulau Hu-siang-to, lebih atas juga dari Ceng-ceng-ji. Pada saat itu Khik-sia tak mau
mengalah lagi. Permainan yang digunakan ialah ilmu pedang Thian-liong-kiam-hwat dari warisan
keluarganya. Ilmu permainan Thian-liong-kiam-hwat itu mengutamakan kekerasan. Ini sesuai
dengan ilmu lwekang yang dimiliki Khik-sia sekarang. Maka kalau Ceng-ceng-ji menjadi tersirap
kaget, itulah sudah jamak. Dari rasa mengiri, timbullah pikiran buas dari Ceng-ceng-ji untuk
membunuh sutenya itu.
Tadi telah diterangkan bahwa dalam gua itu berisi tiga orang. Sewaktu Khik-sia menghalau
mundur Ceng-ceng-ji, tiba-tiba salah seorang dari mereka menghantam dari samping dengan senjata
tongkat. Orang itu bukan lain adalah murid pemberontak dari Kay-pang, yaitu Uh-bun Jui.
"Aku adalah pangcu dari Kay-pang. Ceng-ceng cianpwe membantu partai kami, mengapa kau
mengadu biru memutar balik hitam putihnya. Urusan partai Kay-pang kami, tak perlu kau campur
tangan!" seru Uh-bun Jui.
Beradanya Uh-bun Jui di situ, telah membuat Khik-sia menjadi terang persoalannya. Uh-bun
Jui tentu menduga bahwa Hong-hu Ko akan datang ke markas gua situ, itulah sebabnya maka Uhbun
Jui mendudukinya lebih dulu. Tetapi mengapa ia berbuat begitu" Apakah benar-benar ia sudah
berbalik haluan, mengkhianati leluhur guru dan menggabung pada pemberontak Su Tiau-gi"
Memikir sampai di sini, berkobarlah amarah Khik-sia. Sudah tentu Uh-bun Jui bukan tandingan
Khik-sia. Hanya sekali gebrak saja, tongkat Uh-bun Jui sudah kena dipapas kutung oleh Khik-sia.
Untung Ceng-ceng-ji cepat-cepat menyerang sehingga Uh-bun Jui terlepas dari serangan Khik-sia
yang kedua. Bentak Khik-sia: "Benar, memang aku tak berhak campur urusan partaimu Kay-pang. Tetapi
Hong-hu Ko lo-cianpwe berhak campur tangan! Beliau telah dicelakai orang sampai binasa, tahu
tidak kau" Beliau suruh aku kemari untuk menyampaikan kabar. Suhumu ditawan kaum
pemberontak, tahukah kau" Asal kau masih punya setitik rasa nurani (liangsim), tentu akan berdaya
untuk menolong suhumu. Tetapi kau ternyata menganggap aku sebagai musuh, apa maksudmu?"
Semprotan Khik-sia itu telah membuat Uh-bun Jui terlongong-longong. Tetapi pada lain saat ia
tertawa gelak-gelak: "Telah kuketahui semua urusan itu. Suhuku tak membutuhan bantuanmu.
Untuk melakukan karya besar harus menyampingkan urusan tetek bengek, kau tahu apa, hai, budak
kecil" Betapapun aku ini adalah pangcu dari Kay-pang. Aku melarangmu ikut campur!"
Ancaman itu dibarengi dengan sebuah hantaman tongkat. Khik-sia masih mempunyai pikiran
panjang. Bagaimanapun halnya, Uh-bun Jui itu adalah masih anak murid Kay-pang. Segala
kedosaannya harus partailah yang memberi keputusan. Maka ia ambil putusan tak mau
membunuhnya. Ia gunakan jurus giok-li-joan-cian atau bidadari menyusupkan jarum, yakni sebuah
gerak serangan yang memakai lwekang lunak, untuk menutuk jalan darah jiok-ti-hiat di siku lengan
orang. Khik-sia hendak menawan murid murtad itu hidup-hidup. Pertama, dapat digunakan
sebagai barang tanggungan agar ia dapat keluar dari gua itu. Kedua, demi menghormati
kewibawaan pimpinan Kay-pang untuk mengurusnya sendiri.
Tapi ternyata Uh-bun Jui itu cukup licin. Ia cukup tahu kelihayan Khik-sia, sudah tentu ia tak
berani bertempur sesungguhnya. Gerakan tongkatnya yang berkelebat kesana tetapi mengarah
kesini, kosong isinya sukar diduga itu, memang diperuntukkan membuat supaya ia mudah mundur
setiap saat. Untuk tusukan Khik-sia yang tak mudah baginya untuk menangkis itu, telah
dihindarinya dengan loncatan ke samping.
Saat itu Ceng-ceng-ji pun sudah menyerang lagi dengan pedangnya. Benar Khik-sia lebih
unggul setingkat dengan ji-suhengnya itu, tapi karena pada saat itu ia tengah kembangkan
permainan lwekang lunak, maka tak dapatlah ia mementalkan pedang Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji
gunakan ilmu cak-jit-hiat atau tusukan tujuh jalan darah. Tapi dengan tangkasnya dapatlah Khik-sia
menangkisnya dengan tepat. Kiranya anak muda itupun mahir dalam ilmu pedang perguruannya.
Iapun kembangkan jurus cat-jit-hiat. Dalam beberapa kejap saja, kedua pedang mereka saling
berbentur. Tapi karena sama-sama pedang pusaka, jadi tak menderita suatu apa.
Heng-liong-koay-hwat atau permainan tongkat menundukkan naga yang digunakan Uh-bun Jui
itu adalah berasal dari ilmu pusaka Kay-pang. Tapi dikarenakan Khik-sia kelewat tangguh, maka ia
tak dapat berbuat apa-apa. Walaupun dikeroyok dua itu, Khik-sia masih menang angin, tapi untuk
merebut kemenangan dalam waktu yang singkat, juga tak mudah.
Demikian mereka bertempur dengan makin serunya. Sekonyong-konyong Khik-sia rasakan
kepalanya pusing, mata berkunang-kunang. Memang sejak masuk ke dalam gua situ, ia sudah
tercium bau wangi. Ia pun sudah curiga, tetapi karena secepatnya ia sudah mendapat serangan, jadi
ia tak sempat memikirkannya lagi. Tetapi wangian itu berasal dari bungan Asulo atau dalam nama
bangsa Tionghoa disebut bunga Mo-kui-hoa (bunga setan). Bunga itu diperoleh Ceng-ceng-ji
ketika ia mendaki di puncak gunung Himalaya. Kemudian bunga itu diramu dengan istimewa
sekali, hingga menjadi suatu bi-hiang (wangi pembius) yang amat lihay, lebih hebat dari bi-hiang
kepunyaan Gong-gong-ji.
Detik-detik berjalan dengan cepat dan racun dari bi-hiang itupun makin bekerja. Khik-sia
dapatkan tenaganya makin berkurang. Diam-diam ia mengeluh. Akhirnya dengan menahan napas,
ia rubah permainannya menjadi ilmu permainan golok. Dengan jurus no-hay-to-liong atau ngaduk
laut membunuh naga, ia hantam kepala Ceng-ceng-ji. Jurus itu adalah jurus yang terganas dari ilmu
pedang keluarganya. Ketrampilan pedang digabung dengan perbawa kedahsyatan golok.
Ceng-ceng-ji kenal lihay. Tak berani ia menangkis, melainkan cepat-cepat menghindar. Tapi
Uh-bun Jui agak lambat, kembali tongkatnya kena terpapas kutung. Trang, mencelatlah tongkatnya
itu dari tangannya.
Khik-sia berputar hendak berlalu, tapi segera ada lengking suara dingin menggerang: "Masih
ada aku di sini!"
Seperti telah diterangkan tadi, di dalam gua situ terdapat tiga orang. Ceng-ceng-ji, Uh-bun Jui
dan seorang paderi asing berbaju merah. Paderi tua itu berdiri di mulut gua. Sejak tadi ia hanya
berpeluk tangan mengawasi saja. Ia hendak tunggu sampai Khik-sia sudah kehabisan tenaga, baru
nanti turun tangan.
Hoan-ceng atau paderi asing itu menggunakan senjata sepasang kecer (plat logam berbentuk
bundar, dipukulkan satu sama lain untuk tetabuhan). Ketika Khik-sia menusuk, paderi itu
kemplangkan (benturkan satu sama lain) kecernya sehingga menimbulkan suara gempar yang
mengalun sampai jauh ke lembah. Khik-sia terperanjat, pikirnya: "Lihay benar paderi ini,
tenaganya tak di bawahku!"
Tapi itu hanya penilaian Khik-sia sendiri karena pada hakekatnya lwekang paderi itu masih
kalah setingkat dengan Ceng-ceng-ji. Adanya Khik-sia mempunyai anggapan demikian karena saat
itu tenaganya sudah berkurang banyak.
Mulut gua dihadang si paderi, tiga kali Khik-sia coba menerjang tapi kena dihalau oleh
sepasang kecer si paderi. Tiba-tiba dari belakang terdengar deru senjata menyambar. Ceng-ceng-ji
kembali sudah datang menyerang. Khik-sia menyabat ke belakang. Sabatan pedangnya ia
dilancarkan dengan sepenuh tenaga. Kedua pedang mereka muncratkan letikan api, tetapi bukannya
mundur sebaliknya Ceng-ceng-ji malah maju dua langkah. Ujung pedang Kim-ceng-toan-kiamnya
ditujukan ke muka Khik-sia, tapi pemuda itu sempat menghindar. Melihat Khik-sia mulai
kehabisan tenaga, segera Uh-bun Jui berani menyerang lagi.
Dengan menutup pernapasannya itu, bagaimanapun juga Khik-sia tak dapat bertahan lama.
Kembali ia harus mengambil napas, tapi dengan berbuat begitu ia seperti orang yang mabuk
minum, kepalanya serasa pusing kepingin tidur sekali. Khik-sia mengeluh, dengan kuatkan
semangat ia tangkis pedang Ceng-ceng-ji.
"Bagus hendak kulihat kau yang mengajar aku atau aku yang mengajar kau!" Ceng-ceng-ji
tertawa mengejek. Sret, sret, sret, tiga kali ia lancarkan serangan lagi. Sabatan pertama memapas
kopiah Khik-sia, yang kedua memutuskan ikat pinggang dan yang ketiga melubangi baju si anak
muda. Ia tak mau melukai, melainkan hendak membikin malu saja.
Khik-sia gigit lidahnya. Pada saat Ceng-ceng-ji tertawa, sekonyong-konyong Khik-sia
kiblatkan pedangnya. Begitu pedang Ceng-cengo terpental ke samping, ia lantas teruskan
menggurat lengan orang hingga terluka. Bluk, kakinya menendang Uh-bun Jui sampai jatuh
jumpalitan. Dengan menggigit lidahnya tadi, Khik-sia merasa kesakitan. Tapi dengan begitu
semangatnya menjadi tergugah dan dengan perangsang sakitnya itu, tenaganyapun malah
bertambah. Malah lebih kuat dari tenaganya semula.
Ceng-ceng-ji tersentak kaget. Buru-buru ia pindah pedangnya ke tangan kiri. Kini ia
menyerang dengan pedang tangan kiri dan menghantam dengan tangan kanan. Ia gabungkan
serangan keras dan lunak ganti berganti. Ilmu itu adala ilmu pelajaran yang didapatnya ketika ia
ikut pada Coan Lun hwat-ong. Dengan begitu Khik-sia pun tak mengetahui cara memecahkannya.
Daya perangsang dari gigitan lidahnya tadi, kini sudah reda. Ketambahan lagi Khik-sia harus
menghadapi ilmu serangan yang tak dikenalnya. Kepalanya makin pusing, bingung ia bagaimana
harus menghadapi. Ia dapat menghindari pedang Ceng-ceng-ji tapi tak mampu menyingkir dari
pukulan dan tutukan jarinya. Akhirnya sebuah pukulan Ceng-ceng-ji telah membikin rubuh anak
muda itu. Ceng-ceng-ji menambahi lagi dengan sebuah tutukan pada jalan darah pelemas.
"Hm, coba saja kau masih keras kepala tidak?" Ceng-ceng-ji mendengus dingin. Ia terus
hendak menutuk tulang pi-peh-kut di bahu Khik-sia untuk membikin lenyap kepandaian anak muda
itu. Saat itu Uh-bun Jui pun sudah tengel-tengel bangun. Terhadap anak muda yang membikin
kacau urusannya itu, Uh-bun Jui benci setengah mati. Cepat diambilnya potongan tongkat terus
hendak disabatkan ke kaki Khik-sia.
Trang, trang, si paderi menghadang dengan sepasang kecernya hingga pedang Ceng-ceng-ji dan
tongkat Uh-bun Jui terhalang. Dengan suara keren paderi itu berseru: "Tuan puteri maukan hidup,
tidak boleh melukainya!"
Mendapat tutukan berat dari Ceng-ceng-ji dan menghirup obat bi-hiang yang keras, maka
pikiran Khik-sia jadi limbung. Samar-samar ia mendengar kata-kata 'tuan puteri' (kongcu) tadi.
Pikirnya: "Siapakah tuan puteri itu?"
Tapi ia tak sempat memikirkan lagi karena saat itu si paderi sudah lantas menjinjingnya. Karena
banyak menyedot bi-hiang, seketika Khik-sia menjadi pingsan.
Entah berselang berapa lama, tahu-tahu ketika Khik-sia membuka mata, kejutnya bukan
kepalang. Kiranya saat itu ia tengah berbaring di sebuah ranjang yang berkasur empuk dari sebuah
kamar yang dihias indah. Pantasnya kamar itu adalah kamar dari seorang gadis orang berada.
Hendak ia menggeliat bangun, tapi susah tenaganya tak ada sama sekali. Ia bingung mengapa
dirinya berada di situ. Tapi setelah merenung tenang-tenang, ingatannya berangsur-angsur kembali.
Kini barulah ia teringat bahwa dirinya diculik oleh si paderi hoan-ceng.
Tengah ia menggali ingatannya itu, tiba-tiba terdengar lengking tawa macam bunyi kelinting.
Seorang dara muncul dan berkata: "Bagaimana, apakah di sini kurang enak" Maaf, telah membuat
kau kaget. Tapi aku tak bermaksud jahat, melainkan hendak mengundangmu sungguh-sungguh.
Kuatir kau menolak undanganku itu, terpaksa kugunakan jalan begitu."
Gadis itu bukan lain ternyata nona pemimpin barisan wanita baju merah yang dipanggil Uh-bun
Jui dengan sebutan Nona Su itu.
"Siapa kau" Aku belum kenal padamu, mengapa kau hendak mengundang aku" Tempat apa
ini?" tanya Khik-sia.
"Sekarang kau adalah tetamuku, tak kuatir aku menerangkan. Aku bernama Su Tiau-ing, adik
perempuan dari Su Tiau-gi. Kau tak kenal padaku, tapi bukankah kau pernah mengatakan nama
engkohku itu" Waktu ini kami menjadi pengungsi, jadi tak dapat menyediakan kamar tetamu dan
terpaksa kuberikan kamarku sendiri. Apa kau merasa senang?" kata nona itu.
Su Tiau-gi adalah putera dari Su Su-bing. Ia bunuh ayahnya dan mengangkat diri menjadi raja
Wi Yan. Tentang hal itu Khik-sia sudah mengetahui.
Kini baru ia mengerti bahwa yang dipanggil 'tuan puteri' oleh paderi hoan-ceng itu adalah Su
Tiau-ing ini. Khik-sia tertawa tawar: "Aku seorang rakyat jelata, tak berani bergaul dengan kaum ningrat.
Apa maksudmu mendatangkan aku kemari ini?"
Dara itu tertawa: "Jangan marah dulu, maukah" Siapa dirimu, aku sudah tahu jelas. Terus
terang, kita semua adalah kaum penyamun. Hanya saja ayahku lebih bernyali besar, berani
melawan raja. Kaum pemberontak, jika menang tentu menjadi raja, tetapi kalau kalah dinamakan
berandal. Itulah sudah jamak."
Terang gamblang jelas getas, ucapan dara itu. Nyata ia tak mengandung maksud buruk terhadap
Khik-sia. "Tentang mengapa kuundang kau kemari, tentu akan kuterangkan pelahan-lahan. Singkatnya
saja, aku hendak minta bantuanmu untuk sebuah hal," kata Tiau-ing.
Mendiang ayah Khik-sia dahulu telah gugur dalam medang pertempuran melawan pasukan Su
Su-bing. Jenderal Leng Ho-tiau adalah yang memimpin pasukan untuk menyerang kota Ciau-yang
yang dipertahankan Toan Kui-ciang. Meskipun Toan Kui-ciang tidak langsung terbunuh oleh Su
Su-bing, tapi secara tidak langsung ada hubungannya juga. Maka setelah mengetahui dara itu puteri
Su Su-bing, belum-belum Khik-sia sudah mempunyai rasa antipati. Maka tanpa banyak pikir lagi,
ia segera menyahut: "Benar, aku ini seorang penyamun, tetapi aku tidak seperti kamu orang. Aku
ini seorang penyamun yang tak punya cita-cita muluk, aku tak mampu membantu urusanmu."
Gadis itu tertawa: "Jangan kelewat merendah diri dululah!"
Khik-sia tertawa rawan: "Dan lagi, akupun tak suka membantumu. Terserah bagaimana kau
hendak mengapakan diriku!"
Tiba-tiba gadis itu tertawa nyaring.
"Apa yang kau tertawakan?" teriak Khik-sia dengan marah.
"Aku menertawai dirimu seorang lelaki, tapi tidak lapang dada!" sahut Su Tiau-ing.
Khik-sia terkesiap: "Dalam hal apa aku tidak lapang dada?" tanyanya.
"Kutahu mengapa kau benci padaku. Kau tentu masih teringat akan peristiwa pertempuran di
Sui-yang, bukan" Dalam pertempuran itu ayahmu gugur dan kebetulan ayahkulah yang menjadi
pihak lawannya. Sudah sewajarnya kalau kau mendendam. Tetapi mana ada pertempuran tanpa
ada korban yang jatuh" Jika dua pihak saling bertempur, tentu sukar terhindar dari korban-korban
yang luka dan mati. Apalagi ayahku dan Leng Ho-tiau sudah meninggal, seharusnya dendam sakit
hatimu itu dihilangkan juga. Turut kata kau tak mau menghapus rasa dendammu itu, pun
seharusnya hanya tertuju kepada ayahku saja. Pada masa itu aku masih seorang anak perempuan
kecil yang tak tahu apa-apa. Mengapa diriku turut dibawa-bawa" Dengan setulus hati kuundang
kau kemari karena aku hendak minta bantuanmu. Tetapi ternyata kau bersikap begitu getas
kepadaku. Apakah ini bukannya menandakan hatimu sempit?" dengan tepat sekali Tiau-ing telah
menelanjangi isi hati Khik-sia. Nona itu telah memberikan uraian yang jitu.
Diam-diam Khik-sia mengagumi kecerdikan nona itu. Meskipun perasaannya masih tetap tawar
terhadap nona itu, namun sikapnya tidak segetas tadi lagi. Sahutnya: "Memang aku tak
bermusuhan dengan kau, tetapi kita berlainan jalan berbeda tujuan, aku tak dapat membantu
kerepotanmu!"
"Toh aku belum mengatakan bagaimana kau tahu tak dapat membantu" Dan mungkin juga kita
sehaluan," Tiau-ing tertawa.
Khik-sia kalah separuh, akhirnya terpaksa ia mengalah: "Baiklah, silahkan mengatakan saja
urusanmu itu."
"Aku bermaksud hendak berserikat dengan Thiat-mo-lek dan Bo Se-kiat. Kita sama-sama
membagi rata kerajaan dan negeri. Sukakah kau menyampaikan hal ini kepada mereka?" kata Tiauing.
"Tidak!" tukas Khik-sia dengan tegas.
"Mengapa?" tanya Tiau-ing.
"Tidak ya tidak! Siapa Thiat toako-ku itu, rasanya kau tentu tak mengetahui," sahut Khik-sia.
"Mengapa tak tahu" Thiat-mo-lek pernah menjabat sebagai si-wi di istana, kemudian difitnah
oleh kaum dorna sehingga keluar. Tetapi ia masih tetap setia kepada kerajaan Tong. Dengan An
Lok-san dan ayahku, ia pernah bertempur. Dalam anggapannya, pihakku itu kawanan pemberontak.
Berdasarkan hal itu, kau lantas menetapkan bahwa ia tentu tak sudi berserikat dengan aku. Betul
tidak?" "Kalau sudah tahu, itulah sudah cukup," sahut Khik-sia.
Dengan komentarnya yang terakhir itu, Khik-sia hendak memutuskan pembicaraan. Ia duga
nona itu tentu tak dapat berkata lagi. Siapa tahu, Tiau-ing malah tertawa gelak-gelak.
"Mengapa kau tertawa lagi?" Khik-sia heran dibuatnya.
"Kutertawai kau terlalu gegabah dan menelan saja sejarah kerajaan Tong dan tak
menyesuaikannya dengan suasana perubahan jaman," sahut Tiau-ing.
"Bagaimana aku tak dapat melihat perubahan jaman, harap nona katakan," kata Khik-sia.
"Lain dulu lain sekarang. An Lok-san adalah suku Oh (utara). Ia ingin menjadi kaisar
Tiongkok. Jika sekalian patriot Tiong-goan tak setuju, itulah sudah jamak. Keluargaku she Su
adalah orang Han. Jika orang she Li dapat menjadi kaisar, mengapa kami orang she Su, orang she
Thiat, orang she Bo dan kau she Toan, tidak boleh" Ini dalil pertama.
"Dahulu Thiat-mo-lek menjadi pengawal kaisar Tong, sekarang menjadi pemimpin Lok-lim
(begal). Bo Se-kiat itu seorang yang punya ambisi besar, kutahu hal itu. Mungkin Thiat-mo-lek
tidak berniat berontak, tapi keadaan sudah berkembang sedemikian rupa, mau tak mau ia harus
menetapkan putusannya. Baik ia mau berontak atau tidak, pihak kerajaan tetap takkan memberi
ampun padanya. Markasnya di Kim-ke-nia sudah dihancurkan tentara pemerintah, kini ia melarikan
diri entah ke mana. Rasanya sukar untuk menginjakkan kakinya lagi. Jika mau berserikat dengan
kami, tentu sama-sama ada kebaikannya. Mengapa tak mau?"
Tiau-ing berlidah tajam dan pandai merangkai kata-kata. Sebaliknya Khik-sia tak pandai bicara.
Dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang tidak benar, tapi sukar untuk mengatakan.
"Bagaimana, kau sudah dapat memikir jelas belum?" tanya nona itu.
Diam-diam Khik-sia membatin: "Meskipun An Lok-san adalah suku Oh dan Su Su-bing suku
Han, tapi dua-duanya merupakan harimau dan serigala. Siapa yang jadi kaisar, sama saja.
Sedikitpun tiada manfaatnya bagi rakyat jelata. Su Tiau-gi membunuh ayahnya sendiri karena
hendak merebut kedudukan, ini lebih biadab lagi. Su Tiau-ing ini adalah adik perempuannya,
rasanya tentu tak berbeda banyak dengan engkohnya."
Walaupun batinnya begitu, tapi lahirnya Khik-sia tetap bersikap ramah kepada nona itu.
Kemudian ia mengambil ketetapan, ujarnya: "Kau minta aku mengatakan sejujurnya?"


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiau-ing mengiakan.
"Taruh kata Bo Se-kiat mau bersekutu dengan kau, akupun tak mau menjadi orang
perantaraannya," kata Khik-sia.
"Mengapa" Kau memandang hina pada kami?" seru Tiau-ing.
"Terserah kau hendak mengatakan bagaimana, pendek kata, apa yang aku tak ingin, takkan
kukerjakan. Jika mau mengirim orang perantara, silahkan cari lain orang saja," sahut Khik-sia.
Dengan tawar Tiau-ing berkata: "Jika ada orang yang lebih sesuai dari kau, sudah tentu kamipun
takkan berjerih payah untuk mendatangkan kau kemari. Jika kau tak mau, akupun tak dapat
memaksa. Tapi karena dengan tak mudah kami mengundangmu datang, rasanyapun tak mudah kau
hendak pergi. Dalam hal ini, rasanya kau tentu mengerti, bukan" Nah, silahkan menimbang lagi,
mau meluluskan atau tidak?"
Khik-sia tertawa dingin: "Apakah kau menghendaki aku pura-pura meluluskan permintaanmu"
Sebenarnya aku dapat berbuat begitu, berbohong padamu. Tapi dengan tak pegang janji begitu,
bukanlah laku seorang laki-laki perwira. Maka akupun tak mau berbuat begitu. Mengertikah kau"
Nah, rasanya sudah cukup, jika hendak membunuh aku, silahkan saja."
Kembali Tiau-ing tertawa gelak-gelak.
"Mengapa kau tertawa?" lagi-lagi Khik-sia kesima.
"Kali ini aku bukan menertawai kau, melainkan menertawai engkohku yang sudah salah lihat
orang. Ternyata mataku lebih tajam dari dia," sahut Tiau-ing.
"Bagaimana?" tanya Khik-sia.
"Engkohku berpendapat, dengan siasat paksa dan membujuk, dapatlah tentu menundukkan kau.
Tetapi pendapatku bertentangan. Kupandang kau seorang muda yang berkepribadian kuat, jujur dan
perwira. Apa yang kau pikirkan, tentu kau katakan. Tak mau membohongi diri sendiri, pun tak
mau menipu orang. Bagus, benar- benar dapat digolongkan perilaku seorang laki-laki utama."
Disanjung puji, adalah menjadi kesukaan setiap orang. Tanpa merasa Khik-sia pun tergerak
hatinya. Pikirnya: "Nona ini cerdik dan berpambek tinggi. Sebenarnya dapat digolongkan sebagai
Hati Budha Tangan Berbisa 15 Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cacad 19

Cari Blog Ini