Ceritasilat Novel Online

Bunga Ceplok Ungu 8

Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto Bagian 8


gambar ini. Kau ambillah sebuah gambar lagi dari dalam
rumah sahabat ayahmu. Alamatnya sudah kucantumkan di
sini. Kau perpadukan dua gambar ini. Dan engkau bakal
mengerti. Aku akan menyuruh Ratna menyusulmu. Dengan
demikian selesailah tugasku sebagai seorang ibu...."
Dengan perasaan heran Bagus Boang menerima pemberian
itu. Nyonya itu seperti sedang mengucapkan selamat tingal
dan selamat jalan untuk yang penghabisan kalinya. Hatinya
jadi terharu. Ia berkata pula bahwa Suryakusumah sebentar
lagi akan sadar, dia hanya pingsan. Setelah itu Nyonya Harya Udaya lenyap di balik rimbun hutan. Segera ia menghampiri
tubuh sahabatnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedua mata Suryakusumah tertutup rapat. Napasnya turun
naik perlahan sekali. Nadinya berdenyut lemah, malahan tak
tetap. Itu suatu tanda bahaya. Dan menyaksikan hal ini, Bagus Boang tak dapat menahan hatinya. Setelah menyimpan
lukisan Sungai Cisedane, ia berjongkok memeluk tubuh
sahabatnya. Kemudian mengeluh dan menangis dengan
mendadak. "Saudara Suryakusumah...bangun! Bangun! Kau begini
karena aku. Aku membuatmu celaka..."
Ia menggoyang-goyangkan tubuh sahabatnya itu. Tapi
sekian lamanya, hanya pingsan. Apakah dia sengaja
membohong untuk menghibur hatinya" Memperoleh pikiran
demikian, Bagus Boang menangis mengerung-gerung. Ia
mendongak ke udara. Lalu berteriak sekeras-kerasnya.
"Tuhan... Tuhan... kau berada di mana" Di dunia ini banyak penjahat yang panjang usianya. Apa sebab kau membiarkan
saudaraku yang bukan penjahat pergi begini mudah" Dia
seorang laki-laki sejati. Jangan biarkan maut membawanya
pergi...."
Sekonyong-konyong, Suryakusumah membuka matanya. Ia
heran melihat sahabatnya menangis seperti perempuan. Ia
mendengar pula keluhan dan doanya. Segera ia meletik
bangun seraya berkata keras.
"Hai! Kenapa kau mengutuki aku" Kenapa kau
membandingkan aku dengan seorang penjahat?"
Bagus Boang kaget. Ia mencelat bangun. Melihat
Suryakusumah segar bugar ia tercengang. Serentak ia berseru girang. "Kau tidak mati" Kau tidak mati?"
"Mati bagaimana" Kenapa kau menangisi aku?"
Bagus Boang bersyukur bukan main. Terus saja ia berlutut
dan berkata komat kamit. "Ya Tuhan ampunilah aku. Aku
sangat menyesal. Ternyata Engkau mendengarkan doaku."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bagus Boang tak tahu, bahwa serangan Arya Wirareja
sebenarnya terbatas. Dia tak berani membuat Suryakusumah
mati dita-ngannya. Meskipun dalam keadaan marah, jago
istana itu hanya membuatnya pingsan. Dalam beberapa jam,
bocah itu bakal sadar sendiri, sekarang ia kena goncang.
Goncangan itu mempercepat rasa sadarnya.
"Sebenarnya kau ini berkata apa?" Suryakusumah
menegas. "Kau mengutuk, kau menangis, kau mengeluh lalu tertawa. Di-manakah kini si bangsat Wirareja?"
"Dia kabur kena hajar," jawab Bagus Boang.
"Kau yang menghajarnya?" Suryakusumah terbelalak.
"Bukan. Bukan aku. Tapi Nyonya Harya Udaya."
"Nyonya Harya Udaya yang mana?"
"Nyonya Harya Udaya ya Nyonya Harya Udaya. Masakan
ada yang lain" Dialah ibunya Ratna."
Suryakusumah heran. Katanya kurang jelas. "Benarkah dia yang menolong aku?"
"Benar. Mari kita ke rumahnya."
"Untuk apa?" Suryakusumah tak mengerti.
"Aku mau minta anak gadisnya. Dan kau minta kitab ilmu pedang," jawab Bagus Boang sederhana.
Suryakusumah heran bukan main. Katanya setengah
bergumam, "Bagaimana bisa begitu"'
"Paman Harya Udaya bingung tatkala ditinggal isterinya.
Pastilah dia bakal mengambil hati dan mendengarkan setiap
perkataan Bibi, begitu melihatnya pulang." Bagus Boang mencoba meyakinkan.
"Benar-benar kau jempolan!" puji Suryakusumah. "Jadi Nyonya Harya Udaya datang untuk meminang gadisnya sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
atas namamu. Kau jempolan sekali. Bagaimana caramu
mengambil hatinya?"
Paras Bagus Boang menjadi merah.
"Kau jangan meledek aku. Yuk, berangkat tidak?"
"Siapa yang meledek dirimu?" Suryakusumah mendelik.
"Hayo, kauceritakan pengalamanmu mulai dengan kaburnya bangsat Wirareja! Cepatlah!"
Bagus. Boang kenal tabiat Suryakusumah. Segera ia
mengisahkan mulai kejadiannya. Dan mendengar peristiwa itu, Suryakusumah bersyukur sampai kedua kelopak matanya
basah. Tapi dia juga prihatin bagi Fatimah. Katanya kemudian dengan menghela napas.
"Baik. Kau pergilah!"
"Dan kau?" Bagus Boang menegas.
"Pada saat ini dan mulai sekarang, sirnalah napasku untuk mengharapkan kitab ilmu pedang itu. Lagipula aku tak mau
menerima budi seseorang. Hm.... kau pergilah sendiri!"
Bagus Boang tertegun. Teringatlah dia kepada Ratna. Juga
kepada sahabatnya itu.
Dua-duanya tak dapat ia meninggalkan, mengabaikan dan
melupakan. Akan tetapi, ia pun tak berani memaksa atau
membujuk sahabatnya itu. Ia jadi bimbang.
Pada saat itupun, Suryakusumah tertegun pula. Ia menatap
wajah Bagus Boang. Banyak yang hendak dikatakan. Tapi
mulutnya tak dapat digerakkan.
Waktu itu senja hari telah tiba dengan diam-diam. Dingin
hawa pegunungan mulai terasa meresapi tubuh. Mereka telah
empat bulan tinggal di atas gunung. Mereka telah terbiasa
pula dengan hawanya. Tetapi kini, mereka berdiri tegak
dengan pikirannya masing-masing. Hawa dingin terasa sekali
menggerumuti tubuhnya. Dan oleh rasa dingin itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suryakusumah seperti tergugah. Katanya dengan perlahan,
"Saudara Bagus Boang, jangan pedulikan aku!"
"Tidak! Justru engkau berkata begitu, tergugahlah
nuraniku," sahut Bagus Boang dengan suara gemetar. "Kau pergilah mencari fatimah! Kalau kau mau, akupun akan pergi
mencari Ratna."
"Jangan pedulikan diriku," kata Suryakusumah lagi. "Aku sudah mengambil keputusan hendak mengikuti Paman Watu
Gunung untuk menjadi seorang penjahat besar.
Aku berharap, kaupun harus melaksanakan tugas hidupmu
sebagai seorang pendekar dan seorang ksatria sejati. Mari kita bersumpah tidak akan saling menghalangi dan campur tangan
tugas hidup kita masing-masing. Hm, kau pergilah!"
Bagus Boang tahu. Itulah pernyataan seorang yang sangat
berduka. Hatinya lantas menjadi terharu. Pikirnya, biasanya seseorang yang putus asa akari menjadi orang suci atau
mensucikan dirinya. Sebaliknya ia malah menjadi seorang
penjahat. Meskipun ingin menjadi seorang penjahat yang
menggetarkan hati orang-orang licik, palsu dan pengecut,
tetapi kalau hatinya tidak kuat, dia bakal tersesat dan menjadi seorang penjahat sungguhan." Memperoleh pertimbangan
demikian, serentak ia berseru: "Tidak! Kalau kau tidak mau mencari Fatimah, akupun tidak akan mencari Ratna."
Baru saja Bagus Boang berkata demikian, sekonyongkonyong terdengarlah suatu helaan napas berat. Mereka
berdua menoleh. Gerumbul belukar bergerak perlahan.
"Fatimah!" seru Suryakusumah dengan suara kalap. Di tengah gerombol belukar berdiri seorang gadis berwajah pucat kuyu. Kedua matanya bendul dan merah. Kelopaknya basah
kuyup. Ia mendongak mengawasi puncak mahkota pepohonan
dan mencoba mengulum senyum. Dialah Fatimah. Hampir
empat bulan lamanya, dia berputar-putar tak kenal lelah
mencari Bagus Boang. Pada saat-saat tertentu ia memanggilTiraikasih Website http://kangzusi.com/
manggil namanya. Kemudian menengok jurang-jurang dan
menyibakkan belukar-belukar. Ia mengira Bagus Boang lenyap
oleh suatu kecelakaan. Karena itu, hatinya makin lama
menjadi gelisah, sehingga dalam waktu empat bulan saja
berat badannya telah surut hampir dua puluh kilogram.
Mendadak petang itu ia mendengar suara. Suara yang
dirindukan dan yang selalu dibawanya mimpi. Cepat ia
menghampiri. Hatinya terpukul tatkala mendengar ucapan
Bagus Boang, sampai ia berdiri terlongong.
"Suryakusumah!" katanya dengan suara menggigil.
"Kemari! Eh, mengapa kau diam saja" Kalau kau tak mau
datang, kau akan mengganggu kebahagiaan keluarga Kamajaya-Ratih."
Suryakusumah tak bergerak dari tempatnya. Ia seperti
mendengar suara rintih yang menyedihkan. Maka ia yakin,
Fatimah telah mendengarkan semua pembicaraan tadi. la
menoleh kepada Bagus Boang. Dan ia melihat sahabatnya itu
berdiri tegak dengan pandang terpukau. Dan ia jadi sakit hati.
"Fatimah...." Katanya setengah mengerang. "Kau... Kau..."
la tak sanggup meneruskan kata-katanya. Dilihatnya air
mata Fatimah turun dengan deras. Gadis itu mencoba tertawa.
Tapi alangkah hebat wibawanya. Jauh melebihi tangis sedu
sedan. "Kenapa kau masih tegak berdiri di situ?" Fatimah melambaikan tangannya. Tiba-tiba suaranya berubah bengis.
"Baik. Semuanya tak sudi mendengarkan suaraku lagi."
Serentak ia memutar tubuh dan lari menghilang dengan
menubruk-nubruk.
Suryakusumah terguncang hatinya. Ia kaget. Serentak
berseru kalap. "Fatimah! Fatimah! Tak boleh kau menyakiti diri. Tunggu! Tunggu! Aku masih mau mendengarkan kata-katamu untuk selamanya... Fatimah, tunggu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Berbareng dengan suaranya, Suryakusumah mengejar.
Sebentar saja tubuhnya lenyap dari penglihatan. Yang
terdengar hanya suara kemerosak yang makin lama makin
jauh. Kini tinggal Bagus Boang sendiri. Hutan telah sunyi dan
senyap. Tapi hatinya terasa lebih sunyi dan lebih gelap. Lama ia berdiri tanpa bergerak. Dengan menjenakkan napas, ia
mengantarkan Suryakusumah dan Fatimah dengan doanya.
Katanya di dalam hati. "Hidupku sendiri menjadi saksi, bahwa hatiku telah kuserahkan kepada Ratna Permanasari. Untukmu
Fatimah, aku bersedia mohon maaf sebesar-besarnya selama
hidupku" Ia lalu berlutut mencium bumi, kemudian mendongak ke
angkasa. Ia bedoa dengan sungguh-sungguh semoga Tuhan
memperkenankan Suryakusumah menjadi jodoh Fatimah.
Tetapi di dalam hati kecilnya ia tahu, bahwa tidak mudah bagi Fatimah untuk membohongi diri sendiri dan mencoba
menghibur hatinya. Dia terlalu sakit.
Perlahan ia berdiri. Tiba-tiba tangannya menyentuh
gulungan gambar Sungai Cisedane. Kemana sekarang hendak
pergi" Nyonya Harya Udaya berpesan, agar dia langsung
mencari alamat seseorang yang tercantum di dalamnya.
Sebaliknya ingin ia melihat wajah Ratna Permansari sekali lagi.
Apa lagi gadis itu telah diserahkan ibunya kepadanya.
-ooo00dw00ooo- 12 BUNGA CEPLOK UNGU DARI BANTEN
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
SURYAKESUMAH bukannya seorang pemuda lemah. Ilmu
kepandaiannya sudah sempurna. Hanya saja sebelum mahir,
ia bertemu dengan jago-jago kelas satu. Itulah sebabnya, ia nampak seperti tak berarti.
Dalam ilmu berlari kencang, ia menerima warisan dari
pendekar Ganis Wardhana. Dibandingkan dengan Bagus
Boang yang kini sudah mengantongi rahasia ilmu sakti ajaran Pancapaha, tidak perlu malu. Akan tetapi aneh! Sekian
lamanya ia mengejar Fatimah, tak dapat ia menyusul.
Jangankan menyusul. Melihat bayangannya pun tidak sempat.
Sadar akan hal itu, ia berhenti. Pikirannya bekerja untuk
memecahkan teka teki itu.
la sudah bergaul dengan Fatimah cukup lama. Ia tahu pula
sampai dimana ilmu kepandaian Fatimah. Dalam hal mengadu
ilmu lari kencang, ia berada di atasnya. Tapi apa sebab kali ini tidak"
Fatimah hanya memutar tubuh. Kemudian menggeserkan
kaki. Tiba-tiba tubuhnya bergerak sangat gesit. Dan sebentar saja bayangannya lenyap dari penglihatan. Ilmu apakah yang
digunakan" Tiba-tiba ia terkejut. Itu disebabkan ia teringat akan sesuatu. Teringat dongeng Watu Gunung tentang
seorang wanita cantik yang terpaksa kawin dengan seorang
Persia demi menolong Sultan Tirtayasa. Wanita itu seorang
pendekar namanya Kartika Nilawardani. Dia puteri keturunan
Pangeran Indra Prawara. Pangeran itu termasyur dengan ilmu
larinya yang bernama, Sepi Angin.
Kemasyurannya sejajar dengan kakek gurunya Syech
Yusuf. Baik dalam ilmu pedang maupun ilmu pukulan tangan
kosong. Kalau ilmu larinya diwarisi Kartika Nilawardani adalah wajar adanya. Tetapi apa hubungannya dengan Fatimah"
Seumpama ilmu berlarinya Fatimah bukan warisan imu
Pangeran Indra Prawara, lantas diperolehnya dari siapa"
Sebaliknya kalau ilmu larinya" memang warisan dari puteri
Kartika Nilawardani benar-benar membingungkan. Fatimah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diasuh semenjak kanak-kanak oleh pendekar Iskandar yang
bertindak sebagai ayah angkatnya.
Benar kata orang, pikir Suryakusumah, setelah sadar akan
persoalannya kembali. "Jodoh memang tak dapat dipaksapaksa. Jelas sekali, hatinya masih ada pada Bagus Boang."
Waktu itu malam hari telah tiba dengan diam-diam. Bulan
di atas nampak besar cemerlang. Suryakusumah mendongak
ke udara dengan kepala kosong. Angannya menjangkau arah
lari Fatimah. Sekarang entah sudah tiba di mana.
Ia merasakan suatu kesepian yang menyayat. Pada detik
itu, ia merasa diri kesepian seorang diri. Tiada seorangpun yang mengisi hatinya. Fatimah berada di depannya, tapi
hatinya berada pada orang lain. Teringatlah dia akan Bagus
Boang. Dia memang seorang sahabat sejati. Dia pernah
berkorban untuknya. Dia memandang dirinya melebihi saudara
kandung sendiri. Malahan tak ubah belahan jiwanya sendiri.
Tapi dia tidak mengerti dirinya. Tak mengerti perasaannya.
Memperoleh pertimbangan demikian, hatinya jadi tak keruan
rasa. Tiba-tiba terasalah dalam lubuk hatinya, bahwa hanya
gurunya yang bertubuh cacat itulah yang mengenal dirinya.
Pendekar Watu Gunung yang terkenal sebagai penjahat
beracun. "Guru... Guru!" ia berkata kepada dirinya sendiri. "Di dunia ini tiada seorangpun yang sudi menerima hatiku. Apa sebab
Guru masih mau merampas pedang dan kitab ilmu untukku"
Berhasil atau tidak. O Guru, mari kita berangkat mencari
tempat hidup sendiri. Gunung Patuha ini begitu terkutuk!"
Sekonyong-konyong ia mendengar suatu suara.
"Suryakusumah! Ah kau di sini" Syukur kita bisa bertemu.
Kau tadi berkata apa?" Itulah suara orang tua yang bernada dalam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Suryakusumah memutar tubuh. Dengan diiringi suara
gemeresak, kelima pamannya berdiri tegak dibelakang deret
pohon. Mereka berjalan perlahan-lahan menghampirinya.
"Bagaimana caranya engkau bisa lolos dari tangan Harya Udaya?" tanya Hasanuddin. "Coba kemari, kau terluka atau tidak!"
Tetapi Suryakusumah tetap tegak. Sama sekali ia tak
bergerak dari tempatnya. Suriadimeja mengira ia kena hajar
Harya Udaya. Serentak ia maju. Diluar dugaan, Suryakusumah
bergerak mundur. Ia jadi tercengang. Sebelum membuka
mulut, Suryakusumah berkata dengan suara mendadak.
"Semenjak kini dan seterusnya, tidak lagi aku memedulikan kitab warisan. Kalau kamu menghendaki, pergilah sendiri
menemui Harya Udaya. Cobalah kamu minta kembali."
Suriadimeja berlima tercengang sampai tak mempercayai
pendengarannya sendiri.
"Kau berkata apa?" ia menegas.
"Coba kau periksa nadinya!" Galuh Waringin menganjurkan.


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin sekali urat nadinya tergetar kena pukulan."
Suriadimeja maju hendak meraih pergelangan tangan, la
heran, tatkala Suryakusumah mengibaskan tangannya sambil
membentak. "Siapa bilang aku terluka?"
Suriadimeja,menoleh kepada Suriamanggala untuk minta
pertimbangan. Dan Suriamanggala lalu berkata mengalihkan
pembicaraan. "Baiklah, perkara kitab warisan biarlah kita bicarakan perlahan-lahan dikemudian hari. Sekarang marilah kita
pulang!" Ajakan Suriamanggala segera disetujui empat rekannya.
Memang pulang dahulu adalah yang paling benar. Harya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Udaya tak dapat diajak berdamai. Melawan dengan kekerasan
ternyata mereka tak mampu. Karena itu perkara kitab warisan harus dikesampingkan dahulu. Yang penting kini menetapkan
kedudukan ketua himpunan terlebih dahulu. Kemudian
memanggil seluruh pendekar dari seluruh dunia untuk diajak
berunding dan mendatangi Harya Udaya. Harya Udaya boleh
tangguh. Tapi masakan mampu melawan tenaga ribuan
orang" Diluar dugaan, Suryakusumah menghancurkan rencananya.
Dengan kepala ditegakkan, pemuda itu berkata: "Aku tak mengharapkan menjadi ketua himpunan segala. Akupun tak
sudi di sebut sebagai ahli waris pula."
Suriadimeja berlima heran bukan main.
"Suryakusumah!" bentaknya. "Apakah otakmu sudah miring" Mengapa engkau melepaskan kedudukanmu itu yang
demikian baik?"
"Aku tidak sudi kedudukan ketua segala. Itu bisa
diterangkan. Yang tak dapat diterangkan, pastilah ada orang lain yang mendambakan kedudukanku tersebut," jawab
Suryakusumah. Itu jawaban yang mengandung sindiran.
Suriadimeja terbelalak. Dengan kepala menebak-nebak ia
berteriak. "Siapakah yang begitu kurang ajar sampai berani
mengganggu kedudukanmu" Coba katakan!"
"Paman! Banyaklah murid-murid Paman yang lebih tinggi
ilmu kepandaiannya daripada aku. Mengapa tak memilih di
antara mereka saja?"
Suriadimeja tergugu. Dan Hasanuddin yang berwatak,
berangasan menyambung. "Sebenarnya engkau kena gosokan siapa sampai bisa berkata begitu?"
"Yang menggosok aku adalah diriku sendiri," sahut Suryakusumah dengan cepat. "Akulah yang ingin mundur
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sendiri. Dengan begitu, akan mengurangi capai lelah Paman
berlima mengurusi diriku. Beberapa murid-murid Paman
sebentar lagi bakal tiba di rumah perguruan. Apa perlu aku
ikut-ikutan datang pula?"
Ungkapan Watu Gunung memang benar. Suriadimeja
berlima mempunyai rencana hendak melantik salah seorang
muridnya yang mampu mengalahkan Suryakusumah, menjadi
ahli waris ketua himpunan laskar pejuang. Rencana ini sangat dirahasiakan. Tak tahunya malahan justru kena dibongkar
orang yang langsung bersangkutan. Tak mengherankan ia
menjadi malu berbareng gusar. Bentaknya, "Kau mengacau balau tak keruan! Apakah kedudukan sebagai ketua himpunan
laskar pejuang bisa dibuat sembarangan" Taruh kata kau
benar-benar hendak menyerahkan kedudukan ketua kepada
salah seorang murid kelima pamanmu, haruslah engkau
berhadapan terang-terangan di depan seluruh anggota
perwakilan. Tidak macam begini. Hayo, kita pulang bersama.
Di depan perwakilan nanti, kita berunding dan putuskan...."
Suryakusumah tertawa pelan melalui hidungnya. Sekarang
lenyaplah sudah keraguannya terhadap tutur kata Watu
Gunung tentang kelima pamannya itu. Segera ia membawa
sikapnya. Katanya tegas, "Kenapa mesti membuang buang
waktu" Semenjak hari ini, aku bukan ahli waris Himpunan
Sangkuriang. Bukankah sudah jelas" Artinya, aku tak tahu
menahu lagi tentang segala tetek bengek yang terjadi dalam
himpunan. Nah, apakah belum memuaskan hati Paman?"
Sebenarnya di dalam hati Suriadimeja girang bukan
kepalang. Namun ia dongkol pula melihat Suryakusumah.
Bocah itu apa sebab bersikap kurang ajar. Membentak galak.
"Kau berani melanggar pesan gurumu" Kaulah seorang
durhaka yang merusak tata tertib yang dirintis dengan susah payah oleh kakek gurumu..."
"Budi dan ajaran guruku Ganis Wardhana tidak akan
terlupakan. Ia berada di dalam dadaku dan perasaanku,"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sahut Suryakusumah sambil menunjuk dadanya sendiri.
"Tetapi setelah guru meninggal, seseorang boleh bebas
mengangkat guru lain lagi. Sejarah banyak memberi
contohnya."
"Apa?" Suriadimeja berlima kaget. "Kau mengangkat guru lagi" Siapa?"
Suryakusumah tertawa lebar. "Semenjak dahulu orang
memasuki suatu aliran dengan tujuan hendak mencari yang
benar dan membuang yang membuat sesat. Biarlah aku
merubah cita-cita hidup yang lain. Aku akan memasuki-aliran lain, untuk membuang yang benafdan memasuki yang sesat."
"Kau edan! Gendeng! Sinting!" maki Suriadimeja.
"Ingatlah kau ahli waris suatu himpunan laskar perjuangan yang besar. Kau jangan mengacau tak keruan!" bentak
Hasanuddin. Galuh Waringin yang biasanya bisa membawa sikap sabar,
kali ini ikut gusar. Tak mengherankan apabila Suriadimeja,
Jayapuspita, Suriamanggala dan Hasanuddin merah padam
mukanya. Maklumlah, bagi mereka Himpunan Sangkuriang
merupakan himpunan laskar perjuangan yang tertinggi di
dunia. Siapa yang menduduki kursi ketua, samalah besanya
dengan menduduki tahta kerajaan. Sebab sebagai seorang
ketua, dia bisa memerintah di seluruh penjuru bumi Priangan.
Sekalian pendekar akan mendengarkan. Tak tahunya,
Suryakusumah sama sekali tidak menghargai. Dia membuang
kedudukannya sebagai ketua seperti membuang sampah.
Keruan mereka merasa terhina.
Selagi belum memperoleh keputusan apakah yang hendak
dilakukan terhadap seorang pengkhianat himpunan, mereka
mendengar suara tongkat mengetuk-ngetuk tanah. Serentak
mereka menoleh dengan berbareng. Dan pada saat itu,
mereka mendengar suara Watu Gunung yang menyeramkan.
Kata pendekar berbisa itu, "Kamu berlima mendengar sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bukan" Aku Watu Gunung tidak berdusta pada kalian.
Bukankah ketua himpunan kalian telah mengangkat aku
sebagai guru" Kalian mendengar sendiri."
Suryakusumah datang menghampiri membungkuk dengan
hormat. Kata pemuda itu menyambut, "Guru! Sampai malam begini Guru baru datang. Aku berada cukup jauh dari
tempatku semula. Untung Guru dapat mencari aku."
"Benar... secara kebetulan pula aku mendengar suara
orang di malam sunyi begini. Lantas saja aku kemari
memasang pendengaran," sahut Watu Gunung dengan suara
penuh kasih. Percakapan mereka berdua terus menggelitiki hati
Suriadimeja berlima. Mereka saling memandang. Hasanuddin
si berangasan lantas membentak dengan suara gusar.
"Watu Gunung! Himpunan Sangkuriang tak dapat
dipermainkan orang. Kau apakan bocah itu, sampai dia
menjadi linglung!"
Watu Gunung tertawa terbahak.
"Bukan dia yang linglung. Justru kamu berlima yang
linglung! Bukankah begitu?"
"Kau bilang apa?" bentak Hasanuddin.
"Aku bilang, dengan Himpunan Sangkuriang aku agak
segan. Tapi berhadapan dengan kamu pendekar linglung
masakan aku takut" Hayo majulah! Aku ingin mencoba-coba
kekuatan kalian."
Merah padam muka Hasanuddin berlima. Akan tetapi
mereka menguasai diri. Luka akibat pukulan Harya Udaya
belum sembuh seluruhnya. Meskipun Dewa Ratna khasiatnya
tinggi, namun mereka masing-masing hanya menelan
separoh. Mereka telah menyaksikan kepandaian Watu Gunung
melawan Harya Udaya. Karena itu, tak dapat mereka melawan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kekerasan dengan kekerasan. Meskipun hati mereka
mendongkol, Suriadimeja terpaksa berkata lunak.
"Hari ini, biarlah kami memberi kesempatan bagimu
membuka mulutmu lebar-lebar. Tapi tunggulah tiga bulan lagi.
Kami akan datang mencarimu dengan membawa seluruh
pendekar di Jawa Barat sebagai saksi."
Watu Gunung tertawa geli.
"Apakah kalian masih bisa mengumpulkan kawan-kawanmu
pendekar, ingin aku tahu. Apakah yang kalian andalkan?"
"Hm, kau terlalu menghina Himpunan Sangkuriang," bentak Hasanuddin. "Kau menyesalpun akan terlambat."
"Justru teringat kepada himpunan laskar pejuang yang
besar itu, maka mustahil kalian bisa mengumpulkan mereka.
Coba, bagaimana kalian mempertanggungjawabkan bekas
luka lima tempat di tubuh ketuamu" Nanti dulu! Dan luka itu mengapa sama dengan luka yang diderita Mirza" Nanti dulu,
dengarkan kata-kataku: Dan aku akan mengundang pula
Harya Udaya, apakah pukulan ilmu Jalasutera yang kalian
andalkan mempunyai sasaran pukulan demikian atau tidak?"
"Binatang! Apa maksudmu?" Hasanuddin gusar.
"Apakah kalian memaksa aku untuk membeberkan
kebaikan budi kalian di sini" Di depan ahli waris Himpunan
Sangkuriang?"
Mereka berlima berubah wajahnya. Badannya menggigil
menahan api kemarahannya. Namun mereka masih bisa
berpikir. Kalau mengumbar luapan hati, mereka bisa
ditelanjangi di depan Suryakusumah. Hal itu tidak akan
menggagalkan rencananya belaka tapi juga mengancam jiwa
mereka di kemudian-hari. Maka dengan mengibaskan tangan,
Suriadimeja berkata sambil mengangkat kaki.
"Tunggu saja tiga bulan lagi. Sekarang, kami tak ada waktu untuk mendengarkan ocehanmu."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hasanuddin dan ketiga rekannya, terus saja mengikuti
Suriadimeja mengangkat kaki. Dalam pada itu Watu Gunung
berseru, "Siapa sudi menunggu kalian sampai tiga bulan" Tiga hari saja belum tentu aku sudi."
"Kau mau menunggu atau tidak, bukan urusan kami. Tapi
kami nanti akan mencarimu, biarpun kau bersembunyi di
ujung .dunia," sahut Hasanuddin yang tak sanggup menahan luapan hatinya.
Watu Gunung tidak menjawab. Ia hanya tertawa, tertawa
merendahkan. Dan akhirnya meludah beberapa kali ke tanah.
Katanya sambil menuding kepergian mereka, "Suryakusumah!
Hebat kelima pamanmu. Mereka benar-benar orang bersih dan
menggolongkan kita pada manusia jahat. Bagaimana" Apakah
kau tidak menyesal ikut padaku?"
"Guru!" sahut Suryakusumah dengan wajah pucat. "Benarbenar mataku kini terbuka lebar. Sayang, aku belum
memperoleh bukti yang meyakinkan, sehingga tak dapat aku
mengambil tindakan. Tapi tiga bulan lagi mereka datang,
akulah yang bakal menghadapi. Ucapanku ini adalah janji
hidupku." Watu Gunung tertawa perlahan. Wajahnya suram dan
suaranya mengandung duka cita.
"Anakku! Seumpama mereka berjumpa denganku pada
pagi hari tadi, hm.... Rasanya sukar aku memberi ampun.
Tetapi aku bakal dikutuk manusia di seluruh dunia. Dan
kejahatan mereka akan ditimpakan kepadaku sampai ke liang
kubur. Sekarang aku sudah mempunyai saksi. Setidaktidaknya seorang. Itulah engkau! Namun aku puaslah sudah.
Hanya sayang, kita tidak berjodoh untuk bisa hidup lebih lama lagi."
Suryakusumah tercengang. Ia tak mengerti apa maksud
gurunya itu. Pikirnya di dalam hati, kita tidak berjodoh untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bisa hidup lebih lama lagi. Apakah maksudnya" Memikir
demikian, ia bertanya meminta penjelasan.
"Kita baru saja bertemu. Belum cukup satu hari, malah.
Sekarang Guru berbicara tentang jodoh. Kita tidak dapat hidup lebih lama lagi. Apakah Guru melakukan suatu kesalahan?"
Watu Gunung bergeleng kepala. Ia tertawa sedih lagi. Dahi
dan seluruh tubuhnya mulai mengucurkan keringat. Pada
malam bulan besar, nampak bertetesan sebesar kacang hijau.
Suryakusumah mendekat. Ia merasakan suatu hawa dingin
seperti uap meruap dari pori-pori gurunya. Hatinya jadi sibuk tak menentu.
"Baik pedang Sangga Bhuwana maupun kitab warisan tak
dapat kuambil kembali untukmu," ujar Watu Gunung dengan suara lemah.
Ah! Suryakusumah mengira, gurunya sangat menyesal
karena gagal merampas pedang dan kitab warisan untuknya.
Maka cepat cepat ia berkata, "Guru! Kita lahir dan pulang tanpa pakaian. Untuk apa Guru bersusah hati hanya direcoki
perkara pedang dan buku. Guru sudah bertempur melawan
Harya Udaya demi untukku. Hal itu sudah membuat hatiku
terharu. Yang penting bagi kita sekarang, marilah
meninggalkan gunung ini secepat mungkin untuk membangun
suatu kehidupan baru di masa depan."
Dengan sekali pandang tahulah Suryakusumah, bahwa
gurunya terluka kena pukulan Harya Udaya. Tetapi ia tak
mengetahui, bahwa gurunya menderita luka parah kena
pukulan maut. Luka yang dideritanya lebih parah daripada
yang diderita Harya Udaya. Apalagi sikap gurunya terhadap
kelima pamannya tadi penuh tantangan dan berwibawa. Ia tak
tahu pula, bahwa sebenarnya Watu Gunung hanya
menggertak belaka untuk mengelabui. Itulah sebabnya begitu
mendengar ucapan Suryakusumah, Watu Gunung nampak
makin sedih. Perlahanlahan ia duduk di atas batu dengan
bantuan tongkat besinya. Kemudian berkata sabar, "Anakku,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tadi siang aku berbicara dengan setengah-setengah. Meskipun kau sedikit banyak dapat menangkap, namun kau belum yakin
benar lantaran samar-samar. Sekarang, aku akan
menceritakan kepadamu siapakah sebenarnya pemilik pedang
dan kitab warisan yang memusingkan dunia ini. Juga apa
sebab muncul seorang asing bernama Mirza di dalam
percaturan ini. Tak dapat aku menunda-nunda lagi. Sekarang
atau tidak. Sebab kurasa tiada waktu lagi untuk dapat
berbicara denganmu."
Mendengar perkataan gurunya, jantung Suryakusumah
berdenyut kencang. Ia tegang sendiri, melihat sikap gurunya yang bersungguh-sungguh. Juga perasaan cemas meraba
seluruh tubuhnya.
Tatkala itu bulan cemerlang sedang menggeser ke titik
tengah. Alam menjadi cerah lembut. Tetapi malam itu terasa
sunyi. Hanya kadang-kadang terdengar bunyi burung kukuk di
kejauhan atau gemeresak binatang melata menyeberang
daun-daun kering. . "Sunyi. Bukankah kau rasakan
kesenyapan ini" Kesenyapan yang menimbulkan rasa takut.
Rasa cemas," kata Watu Gunung.
"Pada empat puluh tahun yang lampau, akupun pernah
merasakan malam-malam seperti ini, lebih tegang, lebih
cemas dan lebih besar daripada apa yang kaujumpai serta
kaualami di atas gunung dalam empat bulan ini...."
Suryakusumah menarik napas dengan hati-hati. Ia menatap
wajah gurunya dan mempertajam pendengarannya. Kata
Watu Gunung meneruskan, "Tatkala itu, akupun seumurmu


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang. Semangat hidupku masih berkobar-kobar. Ingin aku
membangunkan satu himpunan besar. Semacam Himpunan
Sangkuriang. Ayahku berada di markas Laskar Sultan
Tirtayasa sebagai ketua golongan kami. Tetapi sesungguhnya, akulah yang bekerja. Akulah yang mengurus himpunan kami
dari atas Gunung Mandalagiri yang berada di pojok tenggara
dari sini. Kemudian aku berpesiar untuk mencari pengalaman.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ilmu sakti golongan kami adalah warisan Resi Budha Wisnu
yang bermukim di atas Gunung Raung di Jawa Timur. Selain
kami mengenal aliran suci, mengenal pula keragaman pukulan
beracun. Dan dengan bekal ajaran itulah, akhirnya aku
merantau dari tempat ke tempat. Kerap-kali aku mencoba
orang-orang yanag membanggakan diri sebagai orang gagan.
Dan selama itu, belum pernah aku dikalahkan. Maka namaku
dikenal dan dikutuki orang."
Suryakusumah tertarik hatinya. Ia makin bersungguhsungguh mendengarkan tutur kata gurunya.
"Pada suatu hari, tibalah aku di Gunung Sangga Bhuwana.
Gunung Sangga Bhuwana berada di wilayah suku Badui, lebih
rendah dari Gunung Patuha ini. Letaknya barat laut dari sini.
Sungai Cimadur, Cisimeut, Ciberang dan Cidurian bermata air di situ." Watu Gunung berkata lagi, "Tatkala aku memasuki rimba rayanya, aku tersesat jalan. Ini berbahaya. Sebab
barangsiapa tidak mengerti adat istiadat orang-orang Badui
akan mengalami suatu malapetaka yang menyedihkan.
Begitulah kabar yang pernah kudengar tatkala aku-masih
kanak-kanak. Waktu itu menjelang mahgrib tatkala tiba-tiba aku
mendengar suara bergemuruh. Arah datangnya suara itu aneh
pula. Bukan datang dari delapan penjuru, tapi dari bawah
kakiku. Mula-mula aku mengira suatu gempa bumi atau arus
air di bawah tanah. Tetapi selang beberapa saat lamanya, aku mendengar suara jerit menyayatkan hati. Kemudian terdengar
pula suara benturan logam yang nyaring sekali. Aku lantas
dapat menetapkan, bahwa suara gemuruh itu datang dari
suatu pertarungan yang dahsyat luar biasa.
Seringkali sudah aku bertempur melawan tiga empat orang
sekaligus. Ilmu saktiku tak tercela pula. Tetapi belum pernah aku mengalami suatu pertempuran yang menerbitkan suara
begitu bergemuruh sampai menggoyahkan bumi. Maka tak
ragu lagi, bahwa suara pertempuran begitu bergemuruh pasti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dilakukan oleh orang orang sakti yang berada diatasku. Eh,
pendekar manakah yang mempunyai ilmu kepandaian
diatasku" Pikirku saat itu. Aku lantas menghampiri dengan
hati-hati. Selagi berjingkat-jingkat hendak menjenguk ke bawah,
tiba-tiba tanah yang kuinjak amblong. Dan aku hampir
terbanting di atas tanah mirip sebuah pendapa. Di depanku
aku melihat sebuah mulut gua yang tertutup batu besar.
Segera aku menggesernya. Ternyata di balik batu itu terdapat sebuah gua besar yang lengang dan kosong. Dari dalam gua
itulah, suara bergemuruh tadi datang. Maka tahulah aku,
bahwa suara itu adalah pantulan gaung gua yang
menyebabkan suara bergemuruh."
Suryakusumah makin tertarik, la sampai menahan napas.
"Tetapi betapapun juga, bunyi pertempuran itu terlalu
dahsyat bagiku. Aku membesarkan hati. Perlahan lahan aku
merayap masuk. Di dalam gua j angat gelapnya. Karena angin
suatu pertarungan terasa sekali menumbuki diriku, hati-hati aku berharap agar dapat melihat dengan jelas. Maklumlah,
hari sudah mendekati mahgrib. Dan aku berada di dalam gua.
Bisa dibayangkan, betapa susah aku dapat melihatnya.
Dengan sabar, lambat laun mataku biasa juga. Kini aku
melihat berkelebatnya beberapa macam senjata. Teranglah
sudah, di dalam gua terjadi pertempuran mati hidup. Siapa
yang sedang mengadu nyawa, tak dapat aku menjelaskan.
Yang jelas mereka semua mailusia seperti diriku.
Kini aku melihat empat orang sedang mengerubuti seorang
wanita tua yang rebah di atas batu panjang. Yang dua orang
berpakaian seragam laskar Kasultanan Banten. Perawakan
tubuhnya tinggi besar. Yang dua orang mengenakan pakaian
Bugis. Mereka berempat bersenjata pedang panjang, golok,
tongkat dan rantai berduri. Inilah macam senjata yang
mengerikan. Sedang wanita yang berusia lanjut, tetap saja
rebah di atas batu panjang. Wanita itu kurus kering.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rambutnya reriyapan. Sayang, wajahnya tak jelas. Ia
bersenjata selembar pelangi. Mungkin ikat pinggangnya.
Sifatnya lemas. Tetapi berada di tangannya mempunyai
wibawa yang luar biasa. Setiap digerakkan, dinding gua
tergetar. Suara angin mengaung bergulungan. Empat
lawannya kena disibakkan mundur seperti terdorong. Dan
apabila salah seorangnya berani mencoba mendekati, tiba-tiba saja mengaduh kesakitan atau mengerang. Ini suatu kejadian
yang hebat. Selama hidupku belum pernah aku melihat
seseorang yang melayani empat lawannya hanya dengan
rebahan saja. Sungguh luar biasa!
-ooo00dw00ooo- NAMUN BETAPAPUN juga, aku merasakan suatu tata
pertarungan yang tidak adil. Pada waktu itu. Aku seorang
pemuda yang masih kokoh memegang tata tertib undangundang seorang ksatria. Orang boleh kalah atau mati. Tapi
untuk mengerubut seorang tua yang mungkin sekali dalam
keadaan sakit adalah suatu perbuatan yang kurang pantas.
Seumpama menangpun, adalah.suatu kemenangan yang hina.
Yang tiada harganya sama sekali. Menimbang demikian, hatiku menjadi panas dan muak. Tanpa memikirkan akibatnya, aku
lantas berdiri sambil menarik senjata tongkatku. Terus saja aku membentak.
"Binatang tak tahu malu! Kamu berempat mengerubut
seorang tua di atas ranjang peraduan. Benar-benar kamu
harus mampus!"
Tapi baru saja aku bergerak hendak maju, orang tua itu
berkata menegur: "Anak muda! Kau mundurlah sedikit!
Jangan kau melibatkan diri. Lihat sajalah yang terang mungkin sekali ada gunanya demi kemajuanmu di kemudian hari."
Jelas sekali ia berkata dengan suara wajar. Namun ruang
gua seperti kena tekanan suaranya. Yang mengherankan lagi,
tubuhku seakan-akan kena tergoyahkan. Buru-buru aku
menancapkan kedua kakiku kuat-kuat. Pikirku waktu itu,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa kali aku pernah mengadu ilmu kepandaian melawan
pendekar-pendekar jempolan. Belum pernah musuh musuhku
bisa menggempur kedudukan kakiku. Tapi hanya dengan
serentetan suara saja, kedua kakiku nyaris tergempur orang
tua ini. Ilmu sakti apakah yang dimilki orang tua itu?"
Itulah sebabnya aku jadi tercengang-cengang. Pikiranku
penuh untuk mencari jawab. Untunglah, pandang mataku
makin lama makin menjadi biasa. Sekarang aku dapat melihat
ruang gua menjadi lebih terang. Kulihat orang tua itu
berebahan di atas batu panjang, la melayani keempat
lawannya dengan enak dan santai saja. Senjata pelanginya
berkelebat kesana kemari. Dan ia mempermainkan mereka
berempat seakan segerombolan tikus. Beberapa kali mereka
berempat mencoba lolos dari libatan. Namun setiap kali
bergerak mundur, pelangi orang itu mendadak menjadi
panjang dan mencegat dibelakang punggungnya. Maka
terpaksa mereka maju untuk menangkis atau mengelakkan.
Sekarang tahulah aku bahwa ilmu kepandaian orang tua itu
susah diukur tingginya. Aku jadi merasa iba melihat keempat lawannya yang lari kesana kemari tanpa pegangan lagi.
Tadi aku muak dengan kelicikan mereka. Setelah bisa
membandingkan ilmu kepandaian mereka, memang tidak
terlalu salah mereka terpaksa mengerubut. Coba mereka maju
seorang demi seorang, kukira akan mati terjengkang hanya
dalam satu gebrakan saja. Memperoleh pertimbangan
demikian, aku segera berseru: "Eyang! Mereka bukan
tandinganmu. Ampuni nyawa mereka. Lihatlah Eyang, mereka
mengenakan pakaian seragam. Artinya mereka hanyalah
pesuruh pesuruh majikannya belaka."
Wanita tua itu tertawa selintasan. Suara tertawanya
mengandung rasa duka, cemas dan penasaran. Lalu menyahut
memberi kelonggaran sedikit terhadap mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia mengibaskan pelanginya. Tapi begitu ditarik, tahu-tahu
keempat lawannya terpental menumbuk tembok. Mereka
tewas berbareng tanpa sempat berteriak lagi.
Aku tercengang.
Bengis wanita itu. Malahan terlalu bengis buat seorang
wanita yang berusia lanjut. Kesannya seakan-akan mirip hantu wanita penghisap darah. Bulu kudukku bergidik dengan
sendirinya. "Mari!" katanya memanggil aku.
Seperti terkena pengaruh ilmu gaib, aku maju menghampiri
dengan kepala kosong. Dan ia meneruskan perkataannya,
"Tahukah engkau, siapa mereka" Mengapa kau memintakan
ampun?" Sesungguhnya aku belum kenal siapa mereka. Karena itu
aku memberi penjelasan demikian. Wanita tua itu"syukur,
bisa menerima. Tetapi tiba-tiba ia melontarkan suatu
pertanyaan yang mengejutkan.
"Kau mempunyai kepandaian apa sampai pula ikut-ikutan
mengadu untung untuk memperebutkan kitab warisan Arya
Wira Tanu Datar?"
"Arya Wira Tanu Datar" Apakah itu?" aku tercengang.
Segera aku meyakinkan dirinya, bahwa nama itu baru untuk
pertama kalinya kudengar. Dan sama sekali tak tahu menahu
tentang kitab warisan yang diperebutkan. Dengan sungguhsungguh aku menerangkan, bahwa kedatanganku ke dalam
gua semata-mata karena tertarik suatu bunyi yang gemuruh.
Mendengar penjelasanku, ia bersikap agak lunak. Namun ia
masih mencari keyakinan. Katanya menguji, "Jadi kau datang kemari, karena tersesat atau karena kebetulan saja?"
"Kedua-duanya boleh dikatakan begitu," jawabku tanpa ragu. "Aku memang sedang sesat jalan. Tatkala aku berhenti beristirahat, aku mendengar bunyi gemuruh." .
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wanita itu berdehem. Sejenak ia menimbang-nimbang.
Kemudian berkata menguji lagi. "Kau tahu, gua ini dilingkari apa" Itu sebuah jurang maut. Kau tengoklah di dalamnya. Kau akan melihat berpuluh-puluh tengkorak manusia. Mereka
itupun akan kulemparkan pula ke dalam jurang agar terkubur
disitu. Kau lihat saja!"
Setelah berkata demikian, ia mengebut-kan pelanginya.
Suatu angin besar melemparkan empat mayat pengeroyoknya
tadi, masuk ke dalam gua. Dengan sekali mendengarkan
suara, tahulah aku, bahwa bagian dalam gua terasa luas lega.
Aku maju mengikuti arah melayangnya mayat-mayat tadi
dengan hati-hati. Bagian dalam gua semakin gelap. Meskipun
mataku sudah agak biasa melihat di dalam kegelapan, namun
belum berani aku berlaku sembrono. Benar saja. Kakiku
menumbuk sebongkah batu yang mencongak. Laju terasalah
gumpalan hawa dingin menyerang dari bawah. Jelas sekali,
bahwa hawa dingin itu datang dari arah bawah. Tengkukku
lantas meremang.
Tatkala aku mendengar wanita tua itu menghela napas
dalam. Berkata nyaring tegas, "Sebenarnya aku bukan
manusia kejam. Tetapi bagaimana aku dapat membiarkan
mereka keluar dari guaku dengan selamat" Dahulu pernah aku
memberi ampun seseorang. Lihatlah sekarang akibatnya.
Berpuluh-puluh orang datang dengan bergiliran hendak
merampas pedang dan buku warisan yang harus kujaga
dengan seluruh jiwaku."
Tertarik sekali aku mendengar kata-katanya. Aku memutar
tubuhku dan berjalan menghampiri. Terdengar dia berkata
lagi, "Hm, benar juga kata-kata orang zaman dahulu. Burung mati karena makan. Manusia mati karena harta. Aku kini
malahan berani menambahi manusia mati karena
kebutuhannya, angan-angannya dan keserakahannya.
Lihatlah, karena mereka ingin, memiliki pedang dan kitab
warisan Arya Wira Tanu Datar, mereka mati di sini dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terkubur di dalam jurang. Siapa sanak keluarganya,
bagaimana aku sempat mengetahuinya. Bukankah hal ini
menyedihkan sekali" Dan kau anak muda, siapakah namamu?"
"Andi Pamungkas."
"Andi Pamungkas?" ia mengulang. Suaranya dingin.
"Orang menamakan keluarga kami dengan sebutan Watu
Gunung," aku menambahi agar berkesan mentereng.
Harapanku ini nampak berhasil, la mengangkat kepalanya
dengan wajah berubah. Jelas sekali ia terbangun
perhatiannya. "Jadi kau anak Watu Gunung" Siapakah nama ayahmu?" ia menegas.
"Pada zaman mudanya, Beliau bernama Wangsa Wijaya."
"Ah! Kau anak Wangsa Wijaya?" ia berseru. Lalu tertawa gelak!" Katanya dengan setengah bersorak, "Jadi kau keturunan Pangeran Girilaya" Bagus! Bagus! Bagus! Kalau
begitu kau bukan orang asing. Pernahkah ayahmu menyebutnyebut nama Nyai Emban Rangkung" Atau Nyai Gede
Wanagiri?"
Mendengar nama itu, aku kaget sampai mundur bergeser
kaki. Nyai Emban Rangkung" Bagi rakyat Banten katakan saja
bagi rakyat seluruh bumi Pasundan pasti kenal nama itu. Dia hidup pada masa Sultan Yusuf memerintah negara, sebagai
pengasuh putera mahkota Abdulmafakir.
Tatkala Sultan Yusuf gugur di Palembang, Pangeran
Abdulmafakir masih berusia lima bulan. Meskipun demikan"
dengan suatu keberanian yang mengagumkan"ia menaikkan
putera mahkota yang baru berusia lima bulan itu di atas tahta.
Ini adalah suatu tindakan yang melebihi tugas sebagai
pengasuh. Tetapi dia memang seorang wanita pertama yang
besar pengaruhnya di dalam pemerintahan. Dia mendapat
dukungan penuh dari Mangkubumi Jayanegara. Kata-katanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tiada yang berani menentang. Para menteri tunduk dan patuh
kepadanya, sehingga ia lantas di sebut orang dengan nama
Nyai Gede Wanagiri.
Orang-orang yang jujur mengakuinya sebagai seorang
wanita cendekiawan yang dilahirkan sejarah untuk yang
pertama kalinya4). Sebaliknya yang tidak senang
menyebarkan kabar desas desus, bahwa dia sesungguhnya
selir Sultan Yusuf5). Terdorong rasa cinta dan sebagai
pembalas jasa, ia berjuang untuk putera mahkota Abdulmafakir"demikianlah kata orang. Benar atau tidak, nyatanya
Nyai Gede Wanagiri kemudian bergelar Ratu, sehingga desasdesus itu banyak meyakinkan orang.
"Aku murid Nyai Gede Wanagiri" kata wanita tua itu.
"Namaku sendiri Randamsari. Itulah nama zaman mudaku.
Sekarang rupaku sudah tak keruan macamnya. Ingin , aku
mengabadikan nama guruku. Maka aku memperkenalkan diri
dengan Rangkung. Itulah sebabnya aku disebut Nyai
Rangkung."
Kembali aku kaget. Baik Nyai Gede Wanagiri maupun
Randamsari merupakan dua tokoh sejarah yang
mengasyikkan. Kedua-duanya mempunyai ceritanya masingmasing. Nyai Gede Wanagiri terkenal kesaktiannya dan
besarnya pengaruh dalam pemerintahan. Sedang Randamsari
yang kemudian bernama Nyai Rangkung pernah
menggoncangkan dunia karena menggondol kitab himpunan
Sarwa Sakti dan pedang mustika dunia, milik gurunya. Dia


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghilang sejak tahun 1640. Orang mengira ia sudah mati.
Tak tahunya ia masih hidup" meskipun kini dalam keadaan
sakit parah. Dengan menuding kearah jurang yang menembus gua
dinding dalam, ia tertawa perlahan melakiHiidungnya. Katanya seperti kepada dirinya, "Orang-orang yang datang kemari adalah mereka yang tidak tahu diri. Untuk kitab sakti dan
pedang mustika dunia, mereka bersedia mati. Sebenarnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka mirip diriku. Tetapi akibatnya, mereka mati tak
bertiang kubur di sini, jauh dari sanak keluarganya. Akupun bakal begitu juga.
Dengan tak mengingat kemampuan diri, aku mendalami
kitab sakti yang kusimpan dengan caraku sendiri. Akibatnya
aku lumpuh, meskipun berhasil juga. Sayang, aku takkan lama dapat hidup lebih lama lagi."
Aku tertegun mengawasi Nyai Randamsari yang rebah di
atas.sebuah batu pendiang mirip pembaringan. Karena
tubuhnya nampak kurus kering, kukira dia sakit parah.
Ternyata ia tidak hanya menderita sakit parah, tetapi juga
terancam jiwanya. Teringat betapa dalam keadaan demikian,
masih bisa membinasakan keempat lawannya. Aku jadi
mengira-ngira betapa tingginya ilmu kepandaiannya.
"Apakah kitab itu warisan seperti yang kautuduhkan tadi kepadaku?" Aku meminta penjelasan.
"Ya. Itulah kitab sakti warisan Arya Wira Tanu Datar,"
sahutnya. Kemudian tertawa perlahan mengejek dirinya
sendiri. "Kitab warisan Arya Wira Tanu Datar berasal dari Dewi Rengganis. Puteri itu hidup pada zaman Gajah Mada. Semasa
mudanya bernama Dyah Mustika Perwita adik Dyah Purana
Pitaloka. Dialah puteri Ratu Purana yang luput dari
malapetaka. Kitab warisan itu mula-mula jatuh ketangan
guruku. Kemudian dipersembahkan kepada Pangeran
Ranamenggala. Setelah Pangeran Ranamenggala berhasil
merobohkan benteng Sluiswyek di Jakarta dan membakar
Kota Jakarta, kitab itu berhasil kucuri. Aku tidak hanya
mencuri kitab saja, tapi juga pedang mustika dunia yang
bernama Sangga Buwana.
Pastilah timbul pertanyaanmu, apa sebab dan bagaimana
caraku bisa mencuri kitab dan pedang itu. Yang pertama,
akupun pada masa mudaku mempunyai angan-angan pula
hendak meneruskan cita-cita guruku menjadi ratu. Untuk bisa mencapai angan-angan itu, satu-satunya jalan manakala aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berhasil mewarisi isi kitab sakti. Guruku bisa berhasil
menaklukkan para menteri kera-jaan karena berbekal ilmu
kepandaiannya. Itulah suatu bukti yang tak dapat diingkari.
Memang hebat isi kitab warisan itu. Hanya saja terlalu hebat.
Aku tak dapat mengukur tenaga kemampuan sendiri.
Meskipun aku murid satu-satunya guruku yang berhasil
mencapai tingkat ketujuh, Namun sebenarnya tenaga saktiku
masih belum sanggup menerima ajaran kitab warisan.. Aku
tersesat jalan dan akhirnya lumpuh begini.
Yang kedua, aku ingin memecahkan teka-teki segulung
peta. Manakala berhasil, aku bakal memiliki timbunan harta
karun yang sangat ternilai harganya. Pikirku, seumpama gagal menjadi ratu, setidak-tidaknya aku bisa mendirikan suatu
himpunan dengan mengandalkan pada jumlah harta karun.
Akupun bisa mengangkat diri menjadi ratu tak bermahkota.
Terdorong oleh angan-angan itu, aku berusaha mengambil
hati guruku untuk memperoleh kepercayaannya. Aku berhasil.
Meskipun demikian, belum berani aku melaksanakan
impianku. Sebab seumpama berhasil, guruku masakan akan
tinggal diam berpeluk tangan" Dengan ilmu kepandaiannya
yang begitu tinggi, betapa aku sanggup aku melawannya"
Maka aku memutuskan tidak akan mengganggu kitab dan
pedang warisan selama guruku masih hidup. Keputusan ini
meratakan jalanku di kemudian hari. Betapa tidak" Aku lantas nampak mengabdikan diri seutuhnya terhadap guru serta cita-citanya. Aku menjaga kesehatan guru dan kitab warisan
seperti diriku sendiri, sebab aku mempunyai kepentingan
besar. Akhirnya, suatu kali guruku dalam keadaan lega hati. Aku
dipanggilnya datang untuk menemani. Dia lantas
menceritakan riwayat dan asal mula kitab warisan dan pedang Sangga Bhuwana. Dia berkata, bahwa benda warisan itu
seungguhnya dipersembahkan kepada keturunan Raja PajaTiraikasih Website http://kangzusi.com/
jaran. Tapi karena belum bisa menjatuhkan pilihan, untuk
sementara berada dalam perlindungannya."
"Siapakah yang menitahkan agar benda warisan itu harus dipersembahkan kepada keturunan Raja Pajajaran?" aku
bertanya. "Arya Wira Tanu Datar. Dialah kakak kandungku," jawab guruku. "Karena aku bekerja di dalam istana, lagipula dia disibukkan dengan pekerjaannya sebagai hamba Raja
Mataram. Benda warisan itu dipercayakan kepadaku.
Demikianlah, maka benda itu kusimpan."
"Aku tercengang mendengar keterangannya. Diam-diam
aku berpikir, bahwa perangai guruku sebenarnya tidak
berbeda jauh dengan diriku sendiri. Oleh kesan itu, aku makin berani memegang cita-citaku. Justru demikian, guruku
memberi keterangan tambahan. Bahwasanya siapa saja yang
memiliki benda warisan Dewi Rengganis, di kemudian hari
akan naik tahta."
"Kalau begitu mengapa tak cepat-cepat diserahkan kepada salah seorang keturunan Raja Pajajaran agar dia bisa
membangunkan kerajaannya kembali?" tanyaku minta
penjelasan. "Guruku menjawab, 'bahwa menurut pesan utusan Dewi
rengganis, pewarisnya dan yang berhak menyimpan hanyalah
seorang wanita. Seandainya di kemudian hari sampai jatuh di tangan pria, akan menerbitkan suatu huru hara besar yang
bakal menggoncangkan dunia'. Hal itu bisa dimengerti. Sebab peng-himpunnya adalah seorang puteri. Puteri Dyah Mustika
Perwita adalah anak raja yang hidup sebatang kara jauh dari bumi kelahirannya. Dia bercita-cita hendak melanjutkan usaha almarhum ayahandanya yang gugur di Majapahit. Sayang
rupanya ia tak berhasil. Mungkin pula karena direnggut
usianya. Maka dengan penasaran, dia membuat sebuah wasiat
bahwa pewarisnya di kemudian hari harus seorang wanita.
Barangsiapa melanggar wasiatnya akan kena kutuk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar keterangan guruku, aku berpikir, apakah itu
bukan cerita rekaan guru belaka untuk menutupi kesalahannya menyimpan kitab warisan dan pedang mustika demi
kepentingan diri sendiri"
Tentu saja, aku tak berani memperlihatkan kesan itu
dihadapannya guru. Aku malahan menundukkan kepalaku
cepat-cepat. Mendadak"diluar dugaan"guruku berkata,
"Randamsari! Kita sudah cukup meminjam kekuasaan
warisan puteri Rengganis. Sekarang aku bermaksud hendak
menyerahkan kepada yang berhak mewarisi. Tak peduli dia
seorang laki-laki atau wanita."
"Guru," kataku memotong. "Wasiat Puteri Rengganis menegaskan, bahwa warisannya diperuntukkan bagi wanita.
Karena Guru belum mendapat keputusan siapakah dia, lebih
baik Guru simpan saja."
"Tidak," jawab guruku dengan suara tegas. "Warisan Puteri Rengganis yang berwujud kitab sakti dan pedang mustika,
mungkin boleh, kita warisi. Sebab pengetahuan bukanlah milik perseorangan. Tetapi harta benda Kerajaan Pajajaran, tidaklah boleh kita miliki. Didalamnya terselip suatu cita-cita untuk membangun kembali Kerajaan Pajajaran yang hampir lenyap
dari percaturan sejarah. Kalau hal ini kita simpan saja, arwah-arwah leluhur Kerajaan Pajajaran akan mengutuki."
"Harta" Harta Pajajaran?" aku tercengang.
Guruku lantas memperlihatkan sebuah lukisan Sungai
Cisedane. Itulah lambang keagungan Kerajaan Pajajaran atau
Kerajaan Pakuan yang dibangun Ratu Purana di tepi Sungai
Cisedane. Dewi Rengganis adalah puteri bungsu Ratu Purana
yang gugur di lapangan Bubat Majapahit. Sebagai peringatan, maka Sungai Cisedane diabadikan.
"Aku sudah mencoba menyelidiki," kata guruku. "Hampir memakan seluruh umurku. Tetapi ternyata lukisan ini
sebenarnya menggenggam suatu rahasia besar yang tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mudah dipecahkan. Titik-titik itu mempunyai hubungan
hubungan tertentu, seperti jalan yang menunjukkan
dimanakah kerajaan itu disimpan."
Aku jadi tertarik. Namun tak berani aku memandang lamalama. Aku takut kena pandang guru. Setelah guru memberikan
keterangan panjang lebar tentang peta rahasia itu, dia lalu berkata memutuskan.
"Marilah kita langgar wasiat Puteri Rengganis. Daripada warisannya tetap tersimpan di dalam tanganku, lebih baik
kuserahkan kepada anak keturunan Kerajaan Pajajaran,
dengan demikian kita tidak terlalu berdosa."
Aku bisa menerima alasan guru. Agaknya guru takut kena
kutuk. "Setelah sekian tahun mengamat-amati, aku tertarik
kepada sepak terjang Pangeran Ranamanggala. Kepadanyalah
warisan Dewi Rengganis hendak kuserahkan. Moga-moga di
dalam tangannya warisan Dewi Rengganis bisa berjalan
seperti yang diharapkan."
Aku meruntuhkan pandang. Meskipun aku tidak menyetujui
keputusan itu, tak berani aku membantah. Dalam hati aku
berkata, kalau benar-benar berada di tangan Pangeran
Ranamanggala, aku bakal kehilangan harapan. Guru bisa
berkata dengan tulus ikhlas, karena kini sudah menjadi ratu.
Sedangkan aku"
Dalam pada itu, guruku berkata lagi. Kali ini agak
memberikan kesempatan bagiku. Katanya, "Kupercayakan
benda warisan ini kepadamu, Randamsari! Kau seperti
mewakili diriku. Sekiranya benda warisan ini benar-benar
membuat Pangeran Ranamanggala runtuh, kau simpanlah
atas namaku. Seumpama akupun sudah'tiada, kau carilah
pewarisnya yang tepat."
Hatiku tergetar, mendengar kata-kata guru. Itulah suatu
kepercayaan besar yang luar biasa. Mendadak saja sirnalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagian besar impianku. Yang terasa kini adalah rasa
tanggung jawab. Maka dengan dada terbuka, aku bersumpah
hendak melakukan tugas besar tersebut.
Demikianlah maka benda warisan itu kubawa kepada
Pangeran Ranamanggala. Selanjutnya, Pangeran
Ranamanggala berhasil memimpin angkatan perangnya
memasuki Jakarta. Benteng Belanda dibakarnya, kemudian
kotanya. Namanya menggetarkan dunia. Aku jadi ketakutan.
Takut kehilangan impianku. Maka tiga pusaka warisan Arya
Wira Tanu Datar itu, kucuri dan kularikan. Akhirnya aku
bersembunyi dan mengeram di dalam gua ini.
Aku kagum mendengar kisah perjalanan Nyai Randamsari
yang kini sudah menjadi tua bangka. Alangkah hebat. Demi
menca: pai angan-angannya, ia bersembuyi di dalam gua
hampir separuh masa hidupnya, la berhasil. Tapi akhirnya
tubuhnya lumpuh. Untuk berangan-angan menjadi ratu sudah
tidak mungkin lagi. Siapakah yang bakal menerima warisan
ilmu saktinya"
"Siapa yang bakal mewarisi ilmu kepandaianku, tidaklah menjadi soal bagiku," kata Randamsari. "Yang terasa di dalam hatiku, aku harus menyerahkan pusaka warisan ini kepada
yang berhak menerimanya. Ah, aku kini jadi mengerti keadaan hati guruku, apa sebab Beliau dengan rasa tulus ikhlas hendak menyerahkan pusaka warisan kepada yang berhak. Setidak-tidaknya, bukankah aku setua ini harus memikirkan perjalanan pulang ke alam baka" Dengan membebaskan diri dari rasa
bersalah, aku bisa mengurangi azab penanggungan yang
selalu memburu-buru hatiku."
Mendengar permintaannya, aku lantas berkata: "Sekarang ini, dunia sedang kacau. Pendekar-pendekar gagah bangun
mengangkat senjata. Sultan Ageng Tirtayasa berketetapan
hendak mengusir Kompeni Belanda dari bumi Nusantara.
Kukira hancurnya Kompeni Belanda tinggal menunggu waktu
saja. Perkenankan aku tinggal di sini beberapa hari untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merawat sakitmu. Aku yakin, kau bakal sembuh. Alangkah
hebat, manakala engkau berhasil melaksanakan hatimu untdk
memperoleh pewaris yang sebenarnya."
Randamsari menyeringai begitu mendengar ucapanku.
Katanya malas, "Anak. Sekarang ini tiada lagi yang dapat menyembuhkan diriku. Aku hanya bisa hidup dalam beberapa
hari saja. Semua manusia pasti mati. Hanya saja, aku bakal
mati penasaran. Lantaran aku merasa bersalah mengkhianati
wasiat Puteri Rengganis. Mengkhianati Arya Wira Tanu Datar.
Mengkhianati gruruku yang mengasuh diriku dengan penuh
kasih." Sampai di sini Watu Gunung berhenti menghela napas, la
mendongak ke atas memandang bulan. Suryakusumah
memperhatikan gerak gerik gurunya dengan sepenuh hati. la
menunggu. Dan sejenak kemudian Watu Gunung meneruskan
ceritanya. "Anak! Kau keturunan Pangeran Girilaya. Dan Pangeran
Girilaya anak keturunan Pangeran Pasarean saudara Sultan
Hasanuddin. Dengan begitu, sebenarnya engkau termasuk
kerabat Sultan Banten," kata Nyai Randamsari. "Aku percaya, anak keturunan Pangeran Pasarean terkenal jujur, walaupun
aneh pendiriannya. Coba katakan padaku, siapakah kini yang
disebut sebagai tokoh keturunan sisa Kerajaan Pajajaran" Kau kenal seorang yang bernama Pangeran Indra Prawara"
Bagaimana menurut pendapat-mu?"
"Pangeran Indra Prawara?" aku terkejut. "Dia seorang pendekar besar. Seorang ahli pedang yang sejajar dengan
Syech Yusuf. Dia terkenal jujur dan gagah. Memang dialah
sisa keturunan Raja Pajajaran yang terakhir."
"Bagus!" seru Nyai Randamsari girang.
"Aku mendengar kabar selentingan bahwa pangeran itu
mempunyai seorang gadis yang cantik jelita. Gadis itu begitu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cantik sehingga orang mengumpamakan dirinya sebagai
Bunga Ceplok Ungu dari Banten. Benarkah itu?"
"Siapakah yang kaumaksudkan" Apakah Kartika
Nilawardhani?"
"Benar! Benar! Aku mendengar nama itu dari mereka yang pernah datang kemari. Karena tertarik, aku membiarkan
mereka pergi dari guaku. Ah, tak kusangka manusia ini banyak yang berhati palsu. Mereka tidak pernah membawa pendekar
atau puteri pendekar yang kumaksudkan. Tapi malahan
membawa teman-temannya yang datang kemari untuk
mengeroyok diriku. Maka terpaksalah aku melemparkan
mereka ke dalam jurang," kata NyarRandamsari berduka.
Hatiku tercekat. Samar-samar aku bisa menerima
alasannya, apa sebab semenjak itu dia bersikap kejam dan
bengis. "Anak!" kata Nyai Randamsari lagi. "Coba katakan terus terang kepadaku. Tadi engkau menyaksikan sendiri, bahwa di
antara pendatang yang menginginkan pusaka warisan
terdapat orang-orang Makasar. Aku pernah mendengar kabar,
bahwa Sultan Ageng Tirtayasa mendapat dukungan penuh
dari prajurit-prajurit Makasar sisa laskar Truno-joyo. Tetapi apa sebab, mereka bilang bukan sebagai utusan Sultan Ageng
Tirtayasa?"
Menyaksikan ia rebah kesakitan, aku jadi menaruh iba.
Lantas aku menggambarkan pasang surutnya perjuangan
Sultan Ageng Tirtayasa. Bahwasanya Sultan Tirtayasa kini
dimusuhi puteranya sendiri Pangeran Abdul-kahar yang
mendapat bantuan kompeni. Bahwasanya Sultan Tirtayasa
dan Pangeran Purbaya terjepit di antara tebing-tebing Sungai Cisedane. Bahwasanya Syech Yusuf kemudian mendirikan
himpunan kesatuan laskar perjuangan untuk membantu Sultan
Tirtayasa. Dan mendengar keteranganku itu, Nyai Randamsari
nampak berduka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Syech Yusuf seorang pendekar gagah. Hanya saja aku tak senang padanya," katanya dengan menarik napas. Kemudian mengangkat kepalanya dan memandang wajahku. Berkata
lagi, "Sebenarnya aku mempunyai calon pewaris tiga orang.
Yang pertama, kukira tidak sudi menerima kebaikanku ini.
Yang kedua, yang tidak kusukai tadi. Dan yang ketiga, puteri Pangeran Indra Prawara."
Aku tercengang mendengar kata-katanya.
Segera aku bertanya, apa sebab dia tidak menyukai Syech
Yusuf. Dia menjawab, "Dalam hal ilmu pedang, Syech Yusuf memang seorang yang tepat mewarisi kitab warisan Arya Wira
Tanu Datar. Tetapi tabiatnya aku tak senang. Dalam beberapa bulan ini seringkali aku didatangi utusan-utusan-nya untuk
minta diserahkan pusaka warisan Arya Wira Tanu Datar.
Mungkin sekali demi menegakkan keutuhan laskar perjuangan.
Tetapi tabiatku sendiri, memang aneh. Makin seseorang
menghendaki kitab warisan Arya Wira Tanu Datar, makin aku
menaruh curiga. Itulah sebabnya, aku berkeputusan, tidak
akan menyerahkan kepadanya."


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan orang pertama yang tidak sudi menerima
kebaikanmu, siapakah dia?"
"Dialah Ki Ageng Darmaraja," sahut Nyai Randamsari.
"Semenjak dahulu, ilmu kepandaiannya berada diatasku.
Orang seperti dia, tidak memerlukan bantuan orang lain."
Aku ikut prihatin. Tiba-tiba timbullah rasa sangsiku.
"Syech Yusuf seorang pejuang yang jujur. Masakan dia
ikut-ikutan pula memperebutkan kitab warisan?"
"Benar, sama sekali aku tidak berdusta. Sayang, tak dapat aku menunjukkan bukti kepadamu. Tetapi di antara mereka
memang terdapat salah seorang anggota himpunannya.
Bukankah himpunan yang didirikan bernama Himpunan
Sangkuriang" Rupanya seorang yang pernah kubiarkan pergi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari sini, termasuk salah seorang pengikutnya. Apakah
Pangeran Indra Prawara bermusuhan dengan Syech Yusuf?"
Tak dapat aku memberi keterangan yang tegas. Tetapi
bahwasanya di antara para pendekar terjadi suatu
permusuhan adalah soal biasa. Hal itu berhubungan dengan
lomba ilmu kepandaian.
"Baik, begini saja," katanya. "Sekarang aku mengambil keputusan. Kitab warisan dan pedang Sangga Bhuwana
kupersembahkan kepada puteri Kartika Nilawardani. Tetapi
karena ilmu kepandaiannya masih lemah, biarlah untuk
sementara dalam perlindungan ayahnya. Dan peta "Sungai Cisedane biarlah kuserahkan kepada Pangeran Purbaya.
Bagaimana" Apakah kau mau menerima tugas ini?"
"Telah lama aku mendengar kecantikan puteri Pangeran
Indra Prawara. Tetapi belum pernah aku melihatnya. Kalau
aku menerima itu, bukankah aku bakal terkabul melihat
kecantikannya" Kecuali itu aku mengagumi kegagahan
Pangeran Indra Prawara. Maka tugas itu kuterima dengan
gembira." Suryakusumah tercengang mendengar alasan gurunya
menerima tugas suci itu. Tetapi ia berdiam saja.
"Anak," kata Watu Gunung. "Sekarang ini, rupaku seperti setan. Karena itu kalau aku menceritakan keadaanku pada
zaman mudaku, pasti engkau akan mentertawakanku. Pada
zaman itu ahli pedang kenamaan dipegang oleh dua orang.
Syech Yusuf dan Pangeran Indra Prawara. Sebaliknya
pendekar gagah yang berperawakan perkasa dan berparas
cakap, diwakili oleh lima orang: Pangeran Purbaya, Harya
Udaya, Harya Soka-dana, Ki Tapa dan aku. Masing masing,
kecuali diriku mempunyai pacar. Pacar Pangeran Purbaya
bernama Udani Sari Ratih. Ki Tapa bernama Sekar Purbati.
Sedang Harya Udaya dan Harya Sokadana sedang merebut
hati Naganingrum adik Ganis Wardhana.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aku berharap setelah berjasa membawa pusaka warisan
kepada Pangeran Indra Prawara akan memperoleh
keleluasaan untuk meminang puterinya. Ayahku bukan
seorang pendekar yang tak ternama. Akupun keturunan
Pangeran Girilaya.
Demikianlah, aku segera keluar gua untuk mencari
binatang buruan untuk makan Nyai Randamsari. Kemudian
aku menyimpan kitab dan peta warisan dibalik baju. Sedang
pedang Sangga Bhuwana kugantungkan di pinggangku.
Sebelum berangkat aku mendapat hadiah dua batang tongkat
pendek yang berisi racun. Barangsiapa kena tertikam batang
tongkat itu, nyawanya tidak akan tertolong lagi. Sebab racun yang berada di dalamnya merupakan ramuan racun zaman
kuno seperti tercatat di dalam kitab warisan. Obat
pemunahnya hanya berada dalam kitab itu pula. Artinya,
kecuali Nyai Randamsari, tiada seorangpun di dunia ini yang bisa memunahkannya.
Dengan langkah tegar aku berangkat mengunjungi rumah
Pangeran Indra Prawara. Kebetulan sekali, Pangeran Indra
Prawara sedang bepergian. Selama menunggu
kedatangannya, aku ditemani oleh puteri impianku. Dialah
Kartika Nilawardani. Ah, benar-benar cantik dia. Orang
menyebutnya sebagai Bunga Ceplok Ungu.
Rasanya tidak berlebihan. Karena Nila berarti intan biru.
Intan yang indah. Menurut pertimbanganku, kecantikannya
luar biasa. Hatiku lantas menjadi mantap. Kalau sudah
melaksanakan tugas, aku benar-benar hendak meminangnya.
Sekiranya terkabul impianku, dunia ini rasanya mendekam
dalam pelukanku.
Pada hari kedua, tiba-tiba datanglah seorang pelayan
mengantarkan sepucuk surat. Kartika nampak gembira
membaca surat itu. Wajahnya berseri-seri. Matanya jadi
cemerlang. Dan kejelitaannya tambah menjadi-jadi. Hatiku
tertarik lalu bertanya, "Apakah surat dari ayahmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan!" jawabnya dengan wajah bersemu dadu. la lalu masuk ke ruang dalam dengan setengah berlarian, la nampak
sangat bahagia.
Kesempatan itu kugunakan untuk mencari keterangan.
Pelayan itu berkata kepadaku, bahwa surat itu datang dari
kakak seperguruannya.
"Mereka bejdua nampak serasi benar untuk menjadi
sepasang dewa dewi di kemudian hari," pelayan itu
menambahkan. "Siapakah kakak seperguruannya?" aku bertanya dengan penuh nafsu.
"Tuanku Harya Udaya," jawab pelayan itu.
Jawaban itu kurasakan seperti halilintar meledak di tengah
hari terang benderang. Kepalaku jadi pening. Mataku
berkunang-kunang. Cepat-cepat aku mengundurkan diri
masuk ke dalam kamar penginapan yang sudah disediakan.
Makan minum pada hari itu hampir-hampir tak kusentuh.
Dari mulut pelayan itu, aku mendapat keterangan lebih
jauh lagi tentang hubungan Kartika Nilawardani dengan Harya Udaya. "Yang jatuh hati sebenarnya Kartika Nilawardani. Hati Harya Udaya sendiri lebih tertambat kepada Naganingrum.
Pendekar itu mengutamakan kecerdasan otak daripada
kecantikan belaka. Dialah puteri yang berotak cemerlang pada zaman itu."
"Mendengar keterangan itu, aku merasa dalam kesulitan.
Kalau bersaingan merebut cinta kasih dengan Harya Udaya,
rasanya masih sanggup aku berlomba. Tetapi masalah yang
kuhadapi adalah lain. Sebab Kartika Nilawardani yang justru jatuh cinta kepada pendekar itu. Ini sulit."
Watu Gunung menarik napas panjang dengan meruntuhkan
pandang ke tanah. Dan Suryakusumah terguncang hatinya. Ia
jadi teringat kepada keadaan dirinya. Dia pun mencintai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Fatimah dengan segenap hatinya. Dia bersedia melakukan apa
saja demi kekasihnya itu. Tetapi hati Fatimah justru berada pada Bagus Boang. la jadi merasa bertepuk sebelah tangan.
Teringat akan hal itu, tiba-tiba hatinya merasa bertambah
dekat. Melihat cacat tubuh gurunya, hatinya menjadi pilu
tersayat. Ingin ia memperoleh penjelasan sebab musababnya
dengan segera. Tetapi ia menahan diri.
"Sebagai seorang pemuda yang masih berkobar-kobar
semangat hidupku, hatiku terpukul. Untung aku dapat
menghibur diri. Bukankah aku sedang melakukan tugas suci?"
Watu Gunung meneruskan ceritanya. "Dengan menguatkan
diri aku tetap menunggu kedatangan Pangeran Indra Prawara.
Tatkala beberapa hari kemudian Pangeran Indra Prawara
pulang, segera aku mengabarkan maksud kedatanganku. Dan
kitab warisan Arya Wira Tanu Datar beserta pedang Sangga
Bhuwana kuserahkan kepadanya. Dia girang bukan main dan
memuji diriku sangat tinggi. Dihadapan puterinya, dia berkata bahwa aku seorang pemuda yang benar-benar berhati mulia,
suci dan tidak serakah. Dia berkata pula, bahwa aku
merupakan teladan sikap seorang pendekar sejati yang dapat
memegang teguh suatu kehormatan. Maka kedua benda
warisan leluhur Raja Pajajaran akan dijunjungnya tinggi dan akan dijaganya dengan seluruh jiwanya. Ia memerintahkan
puterinya agar menerima pusakanya dengan tangannya
sendiri. Bukankah kedua pusaka tersebut diperuntukkan bagi
Kartika Nilawardani. Dan tatkala Kartika Nilawardani menerima pusaka warisan dengan tangannya sendiri, hatiku agak
terhibur. Sirnalah gejolak hatiku .yang bukan-bukan.
Pada hari itu juga, kami bertiga berangkat mendaki Gunung
Sangga Bhuwana untuk mengunjungi Nyai Randamsari. Aku
jadi memperoleh kesempatan lagi mengenal Kartika
Nilawardani dari dekat. Benar-benar hatinya halus seperti yang dikabarkan orang. Gerak geriknya lembut. Pandangnya selalu
cerah. Tepatlah orang yang mengumpa-makannya sebagai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bunga Ceplok Ungu yang indah serta meresapkan. Menurut
pertimbanganku, seseorang yang memimpikan mahligai
keluarga yang tenteram"dialah orangnya yang pantas
dipersunting. Tetapi apabila calon suaminya mengajaknya hidup di dalam
masyarakat yang serba kasar dan tegang, Kartika Nilawardani bukan seorang isteri yang tepat. Maka aku heran, apa sebab
Harya Udaya lebih tertarik kepada Naganingrum. Pada saat itu tahulah aku, bahwa cita-cita hidup Harya Udaya jauh berbeda dengan aku. Harya Udaya ingin mengangkat diri menjadi
seorang pendekar jempolan, yang membutuhkan bantuan
tenaga calon isterinya. Memang dalam hal itu hanya
Naganingrumlah satu-satunya wanita yang tepat. Sebab
Naganingrurri seorang pendekar yang lincah dan cemerlang
otaknya. Sebaliknya, aku merantau meninggalkan gunung
karena resah hati. Selama dalam perantauan aku memimpikan
suatu ketenangan hidup. Kalau aku bisa membawa Kartika
Nilawardani pulang sudahlah cukup. Pedang dan kitab sakti
segala tidak berarti bagiku.
Pada hari keempat datanglah kami di kaki Gunung Sangga
Bhuwana. Segera aku menunjukkan gua Nyai Randamsari.
Sebagai seorang yang merasa diri masih muda, tak berani aku menyertai Pangeran Indra Prawira memasuki gua. Siapa tahu
ada pembicaraan penting antara orang-orang tua. Maka aku
menunggu dengan Kartika Nilawardani di luar.
Ternyata kedatangan kami bertiga terlambat satu langkah,
Nyai Randamsari sudah berpulang ke alam baka. Setelah
berunding, kami menanamkan jenazah Nyai Randamsari di
dalam gua. Sebab untuk membawanya ke kota, sangatlah
jauhnya. Lagipula akan menjadi perhatian orang. Tapi baru
saja kami meletakkan batu terakhir di atas makam, di luar gua terdengarlah langkah kaki menghampiri. Sekali menjejakkan
kaki, Pangeran Indra Prawara melesat keluar dan terdengarlah serentetan pembicaraan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dengan berjingkat-jingkat aku membawa Kartika
Nilawardani menjenguk di mulut gua. Yang datang adalah
seorang yang berperawakan tinggi jangkung. Kulitnya agak
kehitam-hitaman. Kedua matanya tajam luar biasa. Wajahnya
menyiratkan kekerasan hati. Dialah Syech Yusuf ahli pedang
kenamaan pada zaman itu dan termasyur sebagai pendiri
himpunan laskar perjuangan.
Dia datang untuk mengambil kitab Arya Wira Tanu Datar
dan pedang Sangga Bhuwana. Entah bagaimana caranya
berbicara. Dia menerangkan, bahwa kedatangannya itu atas
nama laskar seluruh bumi Jawa Barat. Karena kitab warisan
pedang Sangga Bhuwana sudah lama dirampas seorang yang
bukan haknya serta untuk menjaga penyelewengan lagi, maka
ia bersedia untuk melindungi.
Pangeran Indra Prawara memberi jawaban, bahwa
pewarisnya sudah ditetapkan, dialah puterinya sendiri. Dia
bertindak sebagai pelindung, sebelum puterinya berhasil
mewariskan saktinya.
Syech Yusuf menolak penjelasan itu. Pusaka warisan bukan
milik perorangan, tapi milik rakyat. Tanpa bantuan dan
dukungan rakyat, tak mungkin pewarisnya bisa membangun
kembali suatu negara.
"Baiklah soal membangun negara, kita . lupakan dulu," kata Pangeran Indra Prawara. "Kelak bilamana aku tak sanggup melaksanakan cita-cita leluhur kita, biarlah dia menunjuk
orang lain."
"Tidak!" potong Syech Yusuf garang. "Soal warisan itu, harus ditetapkan sekarang juga. Atau sama sekali tidak. Sebab pada saat ini Sultan Tirtayasa dalam keadaan terjepit. Dia
memerlukan bantuan tenaga laskar pejuang yang terdidik
baik." Pangerarffndra Prawara berpikir sejenak. Kemudian
memutuskan, "Biarlah kami menimbang-nimbang dulu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sekarang ini, baru saja kami memakamkan tubuh orang yang
mewarisi."
"Kau maksudkan Randamsari" Dia bukan manusia yang
patut dihormati. Dia seorang pencuri dan pengkhianat besar,"
bentak Syech Yusuf.
Sedikit banyak Pangeran Indra Prawara pernah mendengar
riwayat Nyai Randamsari. Murid Emban Rangkung itu,
memang pantas disesali. Tapi dia kini sudah wafat. Menyesali atau mengutuki perbuatan seseorang yang sudah mati,
rasanya kurang tepat. Pangeran Indra Prawara adalah seorang pendekar yang halus perasaannya. Maka ia menolak cara
berpikir Syech Yusuf.
"Manusia yang pernah hidup ini, siapakah yang tidak
pernah salah," katanya sabar. "Dia kini sudah tiada. Marilah kita doakan, agar dia memperoleh ampun. Meskipun dia patut
tercela, tapi pada saat-saat terakhir, ia sadar kembali. Nabi kitapun memberi tempat pada orang yang telah sadar
kembali. Lihatlah, dia tidak membawa kitab dan pedang
warisan ke kuburnya. Dia malahan sudah menunjuk
pewarisnya menurut pesan gurunya. Coba dia seorang yang
jahat atau benar-benar pengkhianat, pastilah kitab warisan
sudah dirobeknya hancur. Dan pedang Sangga Bhuwana akan
dibuang jauh-jauh..."
Masuk akal alasan Pangeran Indra Prawara untuk memberi
tempat kepada arwah Nyai Randamsari. Tetapi Syech Yusuf
tidak mau tahu. Dengan alasan gawatnya kancah perjuangan,
dia tetap minta kepada pusaka warisan itu diserahkan di
dalam perlindungan. Tak mengherankan bahwa suasana
pertemuan itu menjadi panas. Masing-masing lantas bersiap.
"Kau hendak menjadi pelindung pusaka warisan itu?"
bentak Syech Yusuf dengan mengulum senyum. "Kepandaian apakah yang kaumiliki sampai berani menjadi pelindungnya"
Apakah kau sanggup melawan orang-orang yang bersedia
mati demi memperoleh pusaka warisan itu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Asalkan kau ikut melindungi, kukira tidak seorangpun di dunia ini yang mau mengadu untung," jawab Pangeran Indra Prawara dengan muka merah.
"Aku justru ingin mengadu untung!" kata Syech Yusuf.
"Kalau kau bisa melawan sepasang tanganku' ini, boleh
engkau menjadi pelindung pusaka warisan itu."
Kedua orang itu lantas bergebrak mengadu kepandaian. Keduanya ahli pedang kenamaan. Masing-masing mempunyai
ilmu simpanannya. Hebat pertarungan itu. Mereka berkelahi
tanpa berhenti sampai hampir menjelang maghrib. Dalam ilmu
pukulan tangan kosong, Pangeran Indra Prawara kalah seurat.
Tapi tatkala dia menghunus pedang pusaka Sangga Bhuwana,
dengan cepat Syech yusuf kena dilukai.
"Baiklah. Kali ini aku mengalah. Tapi tunggu barang tiga hari lagi. Aku akan datang dengan membawa saksi. Dengan
demikian, pertarungan kita ini ada wasitnya."
Setelah berkata demikian, Syech Yusuf turun gunung
dengan cepatnya. Dan kami melanjutkan perjalanan pulang ke
kota. Sepanjang jalan Pangeran Indra Prawara tampak
merenung. Sepatah katapun tak pernah ia berbicara. Tapi
terasa, betapa dia bersedia mati demi melindungi pusaka
warisan pu-terinya. Benar-benar pengucapan seorang ayah
yang sejati. Lima hari kemudian, Syech Yusuf benar-benar datang. Ia
disertai Ki Ageng Darma-raja dan Pangeran Purbaya. Rupanya
dua orang itulah yang diketemukannya dulu sebagai saksi dan wasit. Pangeran Purbaya adalah murid Ki Ageng Darmaraja.
Tapi dalam hal ini, ia bertindak mewakili Sri Sultan Ageng
Tirtayasa. Dilihat sepintas lalu, Syech Yusuf seperti hendak
menunjukkan kejujurannya dengan membawa dua orang


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wasit. Ia mau mengesankan bahwa nafsu merebut pusaka
warisan itu bukan karena alasan pribadi, tapi semata-mata
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terdesak oleh api perjuangan bangsa hendak mengusir
penjajah. Demi kejayaan Himpunan Sangkuriang ia bersedia
mengorbankan jiwanya, begitulah ia berkata.
Tentu saja Pangeran Indra Prawara tak dapat dikelabui
dengan begitu saja. Ia tahu, dua orang itu berada pada pihak Syech Yusuf. Pada saat saat yang menentukan, mereka pasti
akan masuk ke gelanggang untuk membantu Syech Yusuf.
Namun ia tak takut. Sikapnya tenang dan berwibawa. Katanya
setengah menyesali diri sendiri:
"Sama sekali aku tak mengira, bahwa Tuan seorang
pendekar yang mengutamakan keadilan dan menjauhkan
ketamakan. Seumpama tahu begini, aku harus membawa
seorang wasit pula...."
Lembut ucapannya, tapi penuh ejekan tajam. Dengan
segera aku sadar akan kepincangan itu. Namun aku sebagai
orang luar tak dapat aku mencampuri urusan orang-orang tua.
Tetapi di dalam hatiku aku sudah mengambil suatu keputusan, andaikata Pangeran Indra Prawara dapat dikalahkan, aku tidak akan menyerahkan dua pusaka warisan Arya Wira Tanu Datar.
Mendadak saja, suatu ketetapan lain menghancurkan
keputusanku. Sebelum bertanding, dua pusaka warisan dijaga
Ki Ageng Darmaraja. Tak peduli siapa yang menang dialah
yang akan menyerahkan dengan dua tangannya sendiri. Diamdiam aku mengutuk.Demikianlah pertarungan segera dimulai. Seperti dulu
mula-mula dua pendekar kenamaan itu berkelahi dengan
menggunakan tangan kosong. Mereka bertempur terus
menerus sampai matahari tenggelam. Masing-masing
memperlihatkan kemampuannya dan keragam ilmu
kepandaiannya. Seribu jurus telah lewat. Kedua-duanya tiada yang menang atau kalah.
Hebat! Sungguh hebat pertarungan itu. Dahsyat dan
menyesakkan pernapasanku. Mereka menggunakan pukulanpukulan maut. Siapa yang lengah pasti mati seketika itu juga.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tatkala matahari mulai doyong ke barat, masing-masing
menghunus pedang. Syech Yusuf berpedang pendek Makasar.
Dan Pangeran Indra Prawara menggunakan pedang Sangga
Bhuwana. Begitu bergerak, dia lantas berada di atas bukit.
Kemudian mendaki lapangan terbuka yang berada di atas
bukit. Rumah Pangeran Indra Prawara berbentuk seperti
pesanggrahan. Letaknya memencil di luar kota, dekat hutan
dan bukit-bukit pegunungan. Sejuk hawanya dan
pemandangannya indah. Jarak antara rumahnya dan bukit
yang memagari kurang lebih empat ratus meter. Jalannya
tidak lurus. Banyak tikungan yang melingkar-lingkar dan
penuh batu-batu tajam. Kecuali itu harus menyeberangi
sungai dan pengem-pangan sawah. Namun begitu, mereka
bisa bergerak dengan sangat lincah. Ah, benar-benar
mengagumkan! Tadinya aku bangga . dengan ilmu
kepandaianku sendiri. Setelah menyaksikan pertarungan itu,
mendadak aku merasa menjadi kecil, sekecil biji asam.
Kira-kira menjelang senjahari, pedang Sangga Bhuwana
berhasil membabat pedang Syech Yusuf sampai terkutung.
Melihat demikian, hatiku girang bukan main. Memang aku
mengharap, agar kemenangan berada di"f3ihak Pangeran
Indra Prawara. Tapi begitu kegirangan, aku menyaksikan
suatu kejadian yang menyesakkan napas.
Setelah kehilangan pedang, Syech Yusuf bukannya menjadi
lemah, sebaliknya justru nampak lebih hebat. Dia berkelahi
dengan semangat tempur yang berkobar-kobar. Ternyata ia
kini memperlihatkan ilmu pukulan simpanannya yakni ilmu
pukulan, Lampo Batang Nakilalaki yang di ambil dari nama dua gunung di Sulawesi. Barangkali dimaksudkan sebagai tugu
peringatan asal Syech Yusuf.
"Demikianlah dengan ilmu itu dapat mendesak Pangeran
Indra Prawara. Dan pedang Sangga Bhuwana seakan-akan
kehilangan kegarangannya." Watu Gunung melanjutkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kisahnya. "Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan Pangeran Indra Prawara berputar-putar mempertahankan diri
dari-sambaran angin musuh. Aku jadi heran. Dalam hal tenaga sakti, Ki Ageng Darmaraja menempati kedudukan tertinggi
pada zaman itu. Tapi mereka berdua seimbang. Apa sebab
Pangeran Indra Prawara nampak jauh dibawah angin" Apakah
dia tak sampai hati untuk mendesak Syech Yusuf dengan
pukulan yang mematikan pula" Agaknya demikianlah keadaan
hati Pangeran Indra Prawara yang berbudi halus. Melihat
lawan tak bersenjata, ia merasa tak tenang. Tapi setelah di desak terus menerus, akhirnya ia memperlihatkan taringnya
juga. Sekali pedangnya meluncur, suasana pertarungan segera berubah. Mereka berdua lantas nampak berimbang.
Sesudah berkelahi beberapa jurus, berkali-kali Syech Yusuf
kena dilukai. Sebaliknya dengan sabetan tangan terbuka,
Syech Yusuf dapat menghajar Pangeran Indra Prawara. Pada
saat itu sekonyong-konyong berseru tinggi.
"Kau sudah kena pukulan mautku beberapa kali. Kalau kau tetap membandel, kau akan kehilangan pedang mustikamu.
Apakah kau ingin aku merampas pedangnya terang-terangan
di depan hidungmu?"
Mendengar ancaman itu, Pangeran Indra Prawara sangat
marah, katanya: "Baik. Jikalau kau sanggup merampas
pedangku, semenjak itu tiada lagi nama Pangeran Indra
Prawara." Kedua-duanya sangat letih. Tapi setelah saling sesumbar
menantang28) terbangunlah semangat tempurnya kembali.
Kini, mereka bertarung dengan setengah kalap. Pedang
Sangga Bhuwana menyambar-nyambar dahsyat. Rupanya
Pangeran Indra Prawara bersedia gugur demi kehormatannya.
Dengan suatu gerakan yang aneh, pedang Sangga Bhuwana
berkelebat dan pundak Syech Yusuf mengucurkan darah.
Sungguh mengherankan. Syech Yusuf tidak mengerang
mengaduh kesakitan. Sebaliknya dia malahan tertawa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terbahak-bahak. Aku melongokkan kepalaku. Kulihat Pangeran
Indra Prawara sempoyongan. Apa yang telah terjadi" Ternyata Syech Yusuf telah melakukan suatu tipu muslihat. Ia
membiarkan pundaknya kena sasaran pedang. Sebaliknya
tangannya dapat menerkam hulu pedang sambil
menghantamkan tangan kanannya ke dada. Bres!
Paras muka Pangeran Indra Prawara pucat pias. Ia kaget
karena gelang penghias pedang Sangga Bhuwana kena
tercengkeram hingga putus. Tapi Syech Yusuf tak dapat
berdiri tegak lagi. Tubuhnya bergoyangan dengan berlumuran
darah. Pedang Sangga Bhuwana tidak hanya melukai, tapi
tuahnya luar biasa. Syech Yusuf yang melindungi dirinya
dengan ilmu kekebalannya tak berhasil mempertahankan diri.
Rasa nyeri luar biasa merayapi seluruh tulang belulangnya.
Menyaksikan hal itu, Ki Ageng Darmaraja lantas melerai
pertarungan. Menimbang bahwa luka yang di derita Pangrena
Indra Prawara lebih parah maka Syech Yusuf dinyatakan
menang. Kitab warisan Arya Wira Tanu Datar diserahkan
dalam penjaganya. Sedang pedang Sangga Bhuwana tetap
menjadi hak milik Pangeran Indra Prawara.
Mendengar keputusan itu, hatiku mendongkol. Keputusan
itu kurasakan kurang adil. Pangeran Indra Prawara memang
luka parah, tetapi belum bisa di sebut kalah. Sebab Syech
Yusuf pun menderita luka tak enteng pula. Apakah karena dia berhasil merampas gelang penghias pedang Sangga
Bhuwana" Tetapi Pangeran Indra Prawara berhasil
mengutungkan pedang Syech Yusuf.
Tatkala hatiku berontak. Tiba-tiba suatu pertimbangan lain
menusuk hatiku. Pikirku, Pangeran Indra Prawara terpukul
dadanya hingga muntah darah. Sebaliknya pundak Syech
Yusuf hanya kena gores pedang. Kalau mereka harus
bertanding lagi untuk menderita rugi. Dia takkan bertahan
bertempur satu jam lagi...
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memperoleh pertimbangan demikian, diam-diam aku
memuji pengamatan Ki Ageng Darmaraja. Betatapun juga dia
seorang pertapa. Nyatanya cara pertimbangannya lebih baik
dari aku. Tetapi aku merasa tak rela, gelang penghias Sangga Bhuwana kena rampas. Dengan memberanikan diri aku
maju menghadap Pangeran Purbaya.
"Pangeran! Keputusan Ki Ageng , Darmaraja sungguh
mengagumkan hatiku. Syech Yusuf memang menang seurat
saja. Karena itu pantaslah dia menjadi penjaga kitab warisan Arya Wira Tanu Datar. Se-, baliknya Pangeran Indra Prawara
juga tidak bisa dikatakan kalah. Yang benar dalam gebrakan
ini dia menderita luka lebih berat. Namun pedang Sangga
Bhuwana dinyatakan sebagai hak miliknya turun-temurun.
Benar-benar suatu keputusan yang adil.
Akupun sebanarnya mempunyai pendapat lain. Lihatlah aku
membawa segulung gambar lukisan Sungai Cisedane. Menurut
pesan Nyai Randamsari, peta ini harus kupersembahkan
kepada Pangeran Purbaya. Nyai Randamsari berharap setelah
menemukan harta benda Kerajaan Pajajaran, pangeran
Purbaya dapat mewujudkan cita-cita Dewi Rengganis
membawa derajat rakyat Pasundan ke jenjang percaturan
dunia yang tinggi."
Setelah berkata demikian, aku menyerahkan peta rahasia.
Baik Ki Ageng Darmaraja maupun Pangeran Purbaya memuji
ketu-lusanku. Malahan Syech Yusuf yang sedang kesakitan
memberi senyum manis kepadaku. Tetapi mereka bertiga
berubah wajahnya setelah aku menahan kedua tanganku yang
sudah kuangsurkan. Pangeran Purbaya minta penjelasan apa
maksudku. Aku lantas mengoceh.
"Pedang Syech Yusuf terkutung pedang Sangga Bhuwana.
Meskipun demikian, Pangeran Indra Prawara tidak sudi
merampas sebagai kenang-kenangan. Sebaliknya Ki Ageng
membiarkan gelang penghias pedang Sangga Bhuwana
berada pada tangan Syech Yusuf. Ini kuranglah tepat. Aku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
khawatir akan melahirkan ekor panjang dikemudian hari.
Padahal bukankah Sultan Ageng Tirta-yasa menghendaki
persatuan di antara kita semua" Demi itu semua- aku ingin
membuat jasa sedikit. Aku ingin memohon sesuatu.
"Kau bicaralah" desak Pangeran Purbaya.
"Dari jaurfaku mengantarkan peta ini ke hadapan paduka.
Biarlah aku merasa puas, apabila gelang penghias pedang
Sangga Bhuwana dihadiahkan kepadaku. Dengan demikian,
aku akan mempunyai sepercik impian dalam hidupku."
Lama sekali mereka berdua berdiam diri. Baik Ki Ageng
Darmaraja maupun Pangeran Purbaya tak dapat mengambil
keputusan. sekonyong-konyong Syech Yusuf tertawa terbahak-bahak.
Katanya dengan wajah girang. "Dengan Pangeran Indra
Prawara tiada aku mempunyai permusuhan. Kalau toh kita
sampai berkelahi, semata-mata lantaran di desak kepentingan perjuangan bangsa. Sekarang engkau mengantarkan sesuatu
sumbangan yang sungguh ternilai harganya. Apa arti gelang
permata ini bagiku" Nah, terimalah! Aku menyerahkan dengan
tulus ikhlas."
Khawatir kalau aku menduganya hendak berlaku curang, ia
melemparkan gelang penghias pedang Sangga Bhuwana
kepadaku. Demikianlah maka petang hari itu, mereka berjalan di atas jalannya, masing-masing. Ki Ageng Darmaraja dan
Pangeran Purbaya membimbing Syech Yusuf pulang ke
markasnya. Sedang aku membimbing Pangeran Indra Prawara
pulang ke pesanggrahannya.
Luka yang diderita Pangeran Indra Prawara memang
sangat parah. Semenjak tadi, dia membungkam mulut.
Setelah kubimbing pulang, di tengah perjalanan dia
memuntahkan darah segar beberapa kali. Namun ia seorang
pendekar gagah. Setelah memuntahkan darah, dia tak sudi
menerima bantuanku. la berjalan pulang sendiri, katanya:
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Syukur! Di rumahku masih ada engkau. Selanjutnya ajaklah Kartika berbicara agar hatinya terhibur."
Girang hatiku menerima kepercayaan itu. Tetapi aku tak
sampai hati meninggalkan. Sebisa-bisaku aku mencoba
memperingan deritanya, la nampak letih. Setelah berbicara
dengan puterinya, ia minta agar berada di dalam kamarnya
seorang diri. Tahulah aku, ia hendak bersemadi untuk
menyembuhkan luka dalamnya.
Keesokan harinya, ia roboh sakit. Segera ia memberi
perintah agar memanggil Harya Udaya pulang....
"Harya Udaya?" Suryakusumah menegas.
"Benar...." sahut Watu Gunung. "Bukankah sudah kukatakan, bahwa dia murid Pangeran Indra Prawara?"
Suryakusumah seperti terbangun ingatannya. Ia
mendengarkan terus. Dan berkatalah Watu Gunung
melanjutkan kisahnya. "Pangeran Indra Prawara sudah merasa dirinya tidak akan tertolong lagi. Ia memanggil Harya Udaya agar mengurus mayatnya di kemudian hari. Itu sudah wajar.
Yang tidak wajar adalah mengenai diriku sendiri. Secara
kebetulan aku bertemu dengan Nyai Randamsari. Sekarang
aku seperti terlibat dalam suatu perkara yang besar.
Pada malam Pangeran Indra Prawara menarik napas
penghabisan, aku berada di depan pembaringannya dengan
Harya Udaya. Dia berpesan penjagaan puterinya diserahkan
kepada Harya Udaya. Juga pedang Sangga Bhuwana
dipercayakan pula kepadanya untuk dirawat, dijaga dan
dipertahankan. Setelah kelak Kartika Nilawardani pandai
menjaga diri, barulah pedang Sangga Bhuwana diserahkan.
Dia yakin bahwa ba-rangsiapa yang memiliki warisan Arya
Wira Tanu Datar akan diilhami Dewi Rengganis. Seperti Nyai
Gede Wanagiri yang bisa menjadi ratu. Dan Nyai Randamsari
yang kokoh pendiriannya dan menjadi pendekar nomer satu di
jagad. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah berpesan demikian kepada Harya Udaya, Pangeran
Indra Prawara memandang padaku dengan wajah
menyungging senyum. Katanya, "Oleh petunjukmulah
keluargaku terpilih menjadi ahli waris leluhurku. Rasa terima kasih terhadapmu akan kubawa sampai ke liang kubur.
Sewaktu aku memasuki gua, aku melihat sesuatu. Kau
jenguklah lagi gua itu. Rupanya Randamasari memberikan
sesuatu kepadamu."
Kemudian pesannya yang terakhir seakan-akan merupakan
genderang sayembara. Tak peduli siapa saja yang bisa
merebut kembali kitab warisan yang berada di tangan Syech
Yusuf disahkan sebagai ahli warisnya. Puterinya Kartika
Nilawardani direstui pula sebagai jodohnya.
Setelah berkata demikan, meninggallah Pangeran Indra
Prawara. Dan tamatlah riwayat seorang pendekar jempolan
kelas satu pada zaman itu. Dia mati dengan menggenggam
rasa penasaran.
Saat jenazahnya sudah kami kebumikan, aku berunding
dengan Harya Udaya. Kami berdua sepakat siapa saja yang
berhasil merebut kembali kitab warisan itu akan
mengembalikan kepada Kartika Nilawardani.
Mendengar kata persepakatan itu, Suryakusumah lalumenyela: "Pastilah usul itu datang dari Guru."
"Benar. Bagaimana kau tahu?" Watu Gunung heran.
Suryakusumah tidak membuka mulutnya lagi. Ia haenya
senyum. Pikir pemuda itu dalam hati, " Meskipun Kartika Nilawardani mempersembahkan hatinya pada Harya Udaya,


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tapi guru tak dapat melupakan rasa cintanya. Untuk Kartika
Nilawardani, guru bersedia mengadu untung terhadap seorang
pendekar nomer satu di kolong dunia. Inilah pengucapan rasa cinta yang luar biasa besarnya. Dibandingkan dengan diriku
terhadap Fatimah aku kalah jauh."
Pada saat itu Watu Gunung melanjutkan kisahnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kita berdua sadar bahwa ilmu kepandaian kita masih
terpaut jauh dengan Syech Yusuf. Maka kita sepakat untuk
melatih diri selama empat lima tahun lagi. Setelah itu, aku mendaki Gunung Sangga Bhuwana mencari gua Nyai
Randamsari. Benar saja. Pada dinding gua aku melihat seleret gambar tipu muslihat ilmu berkelahi dengan tangan kosong.
Bagus! Apakah Nyai randamsari sengaja mewariskan aku
semacam ilmu pukulan untuk melawan ilmu Lampo Batang
Nakilalakinya Syech Yusuf" Teringat betapa Pangeran Indra
Prawara runtuh dengan pukulan itu, segera berkobar-kobar
semangatku. Aku lantas mencoba-coba. Baru saja aku
menirukan gaya dua gambar, terasa sekali sulitnya. Namun
terdorong oleh suatu keyakinan bahwa ilmu sakti Nyai
Randamsari mungkin sekali ilmu pemunah kesaktian Syech
Yusuf, aku berjuang mati-matian menekuni dan mendalami.
Sudah kukatakan tadi bahwa hal itu tidak mudah. Sulitnya
luar biasa. Maklumlah, aku hanya belajar lewat gambar tanpa penjelasan. Itu sebabnya, kemajuanku sangat lambat.
Teringat masa tahun adalah terlalu lama, aku jadi tak sabaran.
Tanpa memedulikan akibatnya, terus saja aku turun gunung
mencari berita. Waktu itu dua tahun telah kulalui.
Keadaan kancah perjuangan sudah berubah. Tadinya
Sultan Tirtayasa selalu menang perang. Tapi pada saat
terakhir, VOC dengan bantuan putera mahkota Abdul-kahar
mulai jaya. Berita itu cukup menyedihkan. Mendadak aku
mendengar berita lain lagi yang sangat mengejutkan.
Setelah Pangearan Purbaya memberi laporan tentang
meninggalnya Pangeran Indra Prawara Sultan Tirtayasa
segera mengambi tindakan. Dengan pertimbangan
kebijaksanaan, puteri Kartjka Nilawardani berada dalam
perlindungannya. Kemudian datanglah mala petaka itu. Laskar Banten terjepit di segala penjuru. Untuk belanja laskar
perjuangan, Sultan Tirtayasa perlu minta bantuan kepada
orang-orang asing.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seorang pedagang Persia bernama Emir Mohamad Yusuf
menawarkan jasa-jasanya.
Dia sanggup menyumbang dana perjuangan. Tetapi
sebagai balas jasa, dia minta Kartika Nilawardani sebagai
isterinya. Entah bagaimana pembicaraan itu terjadi, tahu-tahu Kartika Nilawardani sudah menjadi isteri Emir Mohamad
Yusuf." "Ah!" seru Suryakusumah.
Watu Gunung menghela napas panjang. Ia mendongak ke
udara dengan berdiam diri. Kemudian melanjutkan sambil
menurunkan pandangan perlahan-lahan.
"Dengan hati panas aku mencari Harya Udaya. Bukankah
Kartika Nilawardani sudah mempersembahkan hatinya
kepadanya" Mengapa dia membiarkannya di dekap seorang
asing yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya" Apakah
karena dia takut kepada kekuasaan seorang raja?"
Suatu berita lain datang bagaikan halilintar. Harya Udaya
berada dalam perjalanan menuju ke rumah Syech Yusuf. Dia
diberitakan hendak melamar murid Syech Yusuf yakni puteri
Naganingrum. Eh, bagaimana ini" Bagaimana ini"
Bukankah Pangeran Indra Prawara berpesan kepadanya
agar menjaga Kartika Nilawardani! Kecuali itu, dia pun
diwajibkan merampas kembali kitab warisan. Mengapa justru
dia melamar murid Syech Yusuf" musuh Pangeran Indra
Prawara" Apakah dia sudah putus asa setelah Kartika
Nilawardani berlalu dari hadapannya"
Teringat aku akan tutur kata pelayan Pangeran Indra
Prawara bahwa Harya Udaya sebenarnya lebih cenderung
kepada Naga-ningrum. Sebaliknya Kartika Nilawardani
mempersembahkan cintanya kepadanya. Seumpama Harya
Udaya tidak memikul tanggung jawab terhadap gurunya, ia
tidak terlalu salah. Cinta memang tidak dapat dipaksakan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Apakah pelamaran terhadap Naganingrum sebenarnya adalah
salah satu tipu muslihat belaka"
Belum puas aku menghadapi teka-teki itu. Ingin aku
mendengar keterangan dari mulut Harya Udaya sendiri. Tapi
pada saat itu, entah apa sebabnya, aku benci kepada Harya
Udaya. Meskipun demikian, tak dapat aku membunuhnya
karena dia adalah orang yang pernah menerima cinta Kartika
Nilawardani."
Heran Suryakusumah mendengar kata-kata Watu Gunung
yang terakhir ini. Namun ia tidak berkata apa-apa. Yang
terasa, ia sangat iba. Guru itu sangat besar cintanya pada
Kartika Nilawardani sehingga tak mau berpikir yang bukanbukan kepada seseorang yang dicintai kekasih hatinya.
"Kebetulan sekali"tatkala itu"Syech Yusuf sedang
merayakan ulang tahunnya yang ke 67." Watu Gunung
melanjutkan ceritanya. "Segera aku mencari keterangan
tentang keluarga Syech Yusuf. Benar-benar dia seorang
pendekar nomer satu di jagad ini: Rumah perguruannya dijaga ketat. Maka aku menunggu pada hari-hari penerimaan tetamu.
Selagi dia sibuk meyambut kedatangan tetamu, aku
menyelundup masuk ke dalam kamar tidurnya. Baru saja aku
masuk, terdengarlah langkah kaki seorang memasuki ruang
tengah. Cepat-cepat aku bersembunyi di dalam kolong tempat
tidur. Yang datang ternyata salah seorang dari kelima pamanmu
si berangasan Hasanuddin. Dia seorang asing bersama
seorang asing bernama Mirza"pelayan Emir Mohamad Yusuf.
Terdengar dia berkata berbisik.
"Mirza, carilah tempat penyimpanan kitab itu! Aku
menunggu diluar. Kau taburi lantai ini dengan bubuk pemunah tenaga. Kalau terjadi sesuatu kau terbatuk-batuklah untuk
memberi tanda!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang yang di sebut Mirza itu baru hendak mengiakan,
tiba-tiba terdengar langkah kaki mendatangi. Buru-buru
mereka keluar pintu. Ternyata yang datang Harya Udaya. Dia
membawa pedang panjang pada pinggangnya. Itulah pedang
Sangga Bhuwana milik Kartika Nilawardani. Hatiku jadi
mendidih. Apakah orang ini menukar Kartika Nilawardani
dengan pedang pusaka itu ataukah dia mencurinya"
"Harya Udaya! Kau mencari siapa?" terdengar Hasanuddin menegur.
"Kau membawa Saudara Mirza masuk. Apakah mendapat
perintah Syech Yusuf" Beliau menhendaki ruang tengah ini
kosong," jawab Harya Udaya pendek.
Hasanuddin tertawa gelak, sahutnya: "Ah, saudara Harya Udaya! Kau ingin berbicara dengan Saudara Mirza.bukan"
Beribicaralah! Ada berita bagus untukmu. Puteri Kartika
Nilawardani sudah mengandung."
Licin Hasanuddin. Itu jawaban yang menyimpang jauh, tapi
sungguh menarik. Aku-pun segera memasang telinga. Tetapi
ternyata Harya Udaya tiduk begitu tertarik. Dia hanya
mendengus. Kemudian keluar lagi dari ruang tengah. Mereka
berbicara beberapa patah kata lagi tapi kurang jelas- Dan tak lama kemudian masuklah Syech Yusuf dan Ganis Wardhani ke
dalam ruang tengah.
Meskipun sibuk menerima tetamu, pastilah Syech Yusuf
kenal pedang mustika yang berada di pinggang Harya Udaya.
Seumpama tidak, dia pun tahu Harya Udaya murid Pangeran
Indra Prawara. Namun heran. Sama sekali ia tidak
menyinggung-nyinggung. Pembicaraan mula-mula yang
kudengar adalah suatu gumaman.
"Hm... Naganingrum membuat aku repot saja. Dia sudah
menjadi isteri Pangeran Purbaya. Apa sebab dia bergaul dekat dengan Harya Udaya" Bagaimana pendapatmu?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Barangkali berhubungan dengan tugas pekerjaannya,"
sahut Ganis Wardhana. "Naganingrum datang mengunjungi
ulang tahun Ayah atas nama Pangeran Purbaya. Dan Harya
Udaya bertugas mengawalnya."
Syech Yusuf mendengus perlahan. Ia menepuk batu
dinding dan memutar seluruh tombol. Kemudian mengangkat
selapis batu. Dan nampaklah sebuah kotak kayu terbungkus
rapi. Ia meletakkan kotak kayu itu di atas meja. Katanya
sambil menhela napas panjang.
"Karena kitab warisan inilah, Pangeran Indra Prawara tewas dengan sia-sia. Dua tahun lewatlah sudah, namun hatiku tak
pernah tenteram. Kau dan Naganingrum adalah anak-anakku
yang terdekat. Maka selanjutnya, kitab warisan Arya Wira
Tanu Datar akan menjadi milik keluarga kita. Tahukah engkau, apa sebab aku membiarkan Harya Udaya bergaul dekat
dengan Naganingrum?"
"Inilah yang seringkali hendak kutanyakan kepada Ayah,"
ujar Ganis Wardhana.
Syech Yusuf tertawa perlahan, sahutnya: "Yang pertama"
karena dia murid Pangeran Indra Prawara. Tatkala Pangeran
Indra Prawara dahulu kena gempur ilmu sakti Lampo Batang,
sudahlah aku yakin bahwa dia akan tewas. Waktu itu aku
melihat pandang mata Pangeran Purbaya. Betapapun juga,
meskipun bukan termasuk keluarga, tetapi mereka berdua
adalah satu rumpun keluarga. Terus terang saja, aku curiga
pada Pangeran Purbaya. Kukira diam-diam ia mendendam hati
terhadapku.' lnilah atasanku yang kedua. Sebagai murid Ki Ageng
Darmaraja. Pangeran Purbaya sangat mencemaskan bagiku.
Sekiranya gurunya ikut campur, siapakah yang dapat
menandingi. Sekarang aku mendengar kabar, Harya Udaya
menjadi pengawal pribadi Pangeran Purbaya. Bukankah
bertambah bahaya bagi masa depan kita" Itulah sebabnya aku
membiarkan Naganingrum bergaul dengan Harya Udaya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walaupun dia sudah menjadi isteri Pangeran Purbaya. Kau
pasti mengerti maksudku sekarang."
Ganis Wardhana manggut-manggut. Bertanya minta
penjelasan: "Seumpama hadirnya Harya Udaya selalu
merisaukah Ayah, apa sebab tidak Ayah sirnakan saja?"
"Tidak!" sahut Syech Yusuf cepat. "Memang pernah aku mempunyai pikiran demikian, tetapi kurasa kurang sempurna.
Seumurku aku menganggap diriku seorang mulia. Itulah
sebabnya, belum pernah aku membunuh seseorang tanpa
salah. Bahwasanya aku membinasakan Pangeran Indra
Prawara adalah demi menyelamatkan himpunan kita. Kalau
tidak, perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa akan kandas di
tengah jalan. Meskipun demikian, sampai sekarang aku sangat menyesal. Karena itu apakah dunia akan membenarkan
tindakanku kalau aku membunuh Harya Udaya" Memang
sengaja aku membiarkan Harya Udaya bergaul rapat dengan
Naganingrum. Malahan aku berharap Naganingrum bisa
direnggut dari samping Pangeran Purbaya. Pertama,
kerenggangan Pangeran Purbaya dan Naganingrum akan
mengurangi bahaya terhadapku. Kedua, ingin aku
memperoleh kepastian apakah Harya Udaya menerima pesanpesan tertentu dari Pangeran Indra Prawara.
Seumpamam benar ia mendapat pesan agar merebut
kembali kitab warisan ini, bisa kita sudahi dengan adanya
Naganingrum. Tegasnya, Harya Udaya harus menjadi
menantuku. Dengan demikian, kitab warisan betapapun juga
masih berada di tangan kita. Hanya saja Harya Udaya adalah
seorang yang licin. Lihat sajalah, dia bisa membawa-bawa
pedang Sangga Bhuwana di depan umum. Padahal semua
orang tahu, bahwa pedang mustika itu milik puteri Pangeran
Indra Prawara."
Sampai di sini Syech Yusuf tergelak gelak.
"Rupanya dia mempunyai sifat yang sama denganku. Ontuk sebuah mustika, dia berani dan rela menyerahkan puteri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pangeran Indra Prawara. Berani--melanggar kehendak
gurunya. Dan-fela mengorbankan kepentingan diri sendiri
demi pedang itu. Bukankah dia menukarkan puteri itu dengan
pedang pusaka" Asal pedang boleh berada ditangan-nya,
Sultan Tirtayasa boleh menentukan nasib puteri Kartika
Nilawardani. Dengan perlindungan Sultan"siapakah yang
berani mengganggu pedang Sangga Bhuwana" Nah, inilah
alasanku yang keempat.
Seumpama aku tiada lagi dan dia melamar Naganingrum,
izinkanlah asal pedang Sangga Bhuwana diserahkan kepada
Naganingrum semacam emas kawin. Kalau pedang mustika itu
berada di tangan Naganingrum, maka Himpunan Sangkuriang
akan tegak bagaikan Gunung Gede. Kau mengerti maksudku"
Tapi Harya Udaya seorang licin kataku tadi. Kau harus hatihati. Aku khawatir kalau aku sudah meninggal, tiada. lagi yang sanggup mengendalikan Harya Udaya. Dalam hal ini, engkau
harus mengandalkan pada Naganingrum. Kukira, dia masih
sanggup mengendalikan keliaran Harya Udaya di kemudian
hari...." Mendengar sampai di sini, bulu roma Suryakusumah
bergidik. Pikirnya dalam hati, Kakek Yusuf seorang yang
perpandangan jauh. Dia pandai dan menyebut diri sebagai
seorang gagah. Tapi mengapa selicik ini" Ah, kitab warisan
Arya Wira Tanu Datar benar-benar membuat malapetaka
orang! Dalam pada itu, Watu Gunung nampak menghela napas
dua tiga kali. Keringatnya mengucur deras sepanjang
lehernya. Punggungnya sudah semenjak tadi basah kuyup.
Setelah menarik napas panjang panjang untuk melegakan
dadanya, ia melanjutkan:
"Sungguh! Kitab warisan ini bakal mencelakakan orang,"
kata Syech Yusuf. "Biarlah dunia sibuk lagi. Aku kan
menambahi sebuah kitab ilmu pedangku pula...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Itulah kitab pedang warisan Syech Yusuf yang kini ikut
menambah malapetaka orang. Aku meyaksikan sendiri, betapa
jago-jago roboh kehilangan nyawanya demi merebut pusaka
warisan itu. Bahkan aku sendiri cacat tubuh karena kitab itu pula."
Tatkala mengucapkan kata-kata itu, suara Watu Gunung
terdengar makin lemah. Napasnya sampai nampak tersengalsengal. Melihat hal itu, Suryakusumah berkata: "Sudahlah, sudahlah! Tak usah Guru menceritakan kenang-kenangan
yang menyedihkan. Apa perlu?"
Tetapi Watu Gunung menggelengkan kepalanya. Sahujnya,
"Aku harus menceritakan semua"agar jelas. Kalau tidak kisah ini akan terpendam selamanya. Dengarkan! Beberapa saat
kemudian, Ganis Wardhana keluar. Maka tinggallah Syech
yusuf seorang. Kitab warisan Arya Wira Tanu Datar dan kitab ciptaannya berada di atas meja. Tak lama kemudian, Syech
Yusuf bersender pada dinding kamar dengan semangat runtuh. Tangannya meraba-raba bekas lukanya akibat tikaman
Pangeran Indra Prawara. Sekarang barulah aku tahu, bahwa
akibat tikaman Pangeran Indra Prawara, tangan kirinya tak
dapat lagi digerakkan. Hatiku jadi tegang sendiri. Inilah saat paling baik untuk merebut kembali kitab warisan demi Kartika Nilawardani. Mungkin sekali begitu teringat nasib Kartika
Nilawardani aku menghela napas. Tiba-tiba Syech Yusuf
membentak. "Siapa bersembunyi di dalam kamar?" .
Tak dapat aku membuka mulut lagi. Dengan mengerahkan
seluruh keberanianku aku menubruk dengan tongkat
pemberian Nyai Randamsari. Syech Yusuf boleh hebat. Tetapi
betapa dia bisa mengenal rahasia tongkat beracun Nyai


Bunga Ceplok Ungu Karya Herman Pratikto di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Randamsari. Begitu aku menubruk dia lantas menangkis.
Justru dia menangkis dia kena racun Nyai Randamsari. Dan ia roboh terkulai. Tetapi dia memang seorang jago jempolan.
Masih dia bisa menampar mukaku dan menendang. Akupun
roboh terguling. Begitu melihat diriku, dia tertawa dingin.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Katanya kaku. "Ah, ternyata engkau! Mengapa engkau
bersembunyi di dalam kamarku?"
"Aku menghendaki kitab warisan itu," jawabku pendek.
"Kau kena racun yang sangat berbahaya. Kau serahkan kitab warisan itu dan aku akan memberimu obat pemu-nahnya."
Tapi dia tertawa lebar. "Aku Syech Yusuf seorang laki-laki yang datang dari Makasar. Selama hidupku belum pernah aku
sudi menerima budi seseorang. Apa lagi aku harus mengemisngemis terhadapmu bocah yang tak punya nama. Kau kira,
dengan kepandaianmu itu sudah bisa melukai aku?"
Mendadak romannya berubah sangat bengis. Lalu
membentak. "Jadi engkaupun memikirkan juga kitab warisan itu" Kalau begitu, kau harus kusirnakan pada saat ini juga
agar mengurangi keruwetanku di kemudian hari."
Aku menjadi nekat. Dengan tangan tetap menggengggam
tongkat Nyai Randamsari aku menubruk kembali. Tapi kali ini tidak mudah. Dengarusekali bergerak, dia meluputkan diri.
Tangannya dibabatkan dan lenganku lantas patah. Dengan
sisa tenagaku aku menyambitkan tongkat Nyai Randamsari.
Dia menangkis lagi. Kaget ia sampai berjingkrak kesakitan.
Dengan pancaran mata beringas, ia menggerung: "Binatang!
Kalau begitu kau pun harus mempunyai tanda mata."
Suatu kesiur angin meraba mukaku dan aku merasakan
suatu tusukan dingin. Dalam ketakutan dan rasa kaget, aku
lantas melompat keluar jendela. Pada saat itu aku mendengar suara Harya Udaya. Untung di luar terdengar letusan senjata.
Kompeni Belanda menyerbu dengan mendadak. Dengan
demikian, aku lolos dari tangan mereka."
"Dan bagaimana dengan Kakek Yusuf?" potong
Suryakusumah dengan suara gemetar.
"Dia terlalu percaya kepada tenaga saktinya sendiri.
Sebaliknya dia salah hitung terhadap tenaga racun senjata
Nyai Randamsari. Dia lantas rebah terkulai. Tatkala kompeni
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Belanda menyerbu, dia kena ditawan. Di dalam pengasingan,
ia dapat menyelamatkan nyawanya. Tetapi untuk itu, dia
harus mengorbankan seluruh tenaga saktinya. Sehingga
semenjak hari itu, Syech Yusuf menjadi manusia biasa. Semua ilmu kepandaiannya punah," jawab Watu Gunung. "Sebaliknya aku menanggung penderitaan yang sangat menyedihkan.
Benar-benar Syech Yusuf bisa menyiksa diriku.
Aku menjadi manusia setengah hidup dan setengah mati.
Muka dan lenganku cacat. Dengan menangis menggerunggerung aku mendaki Gunung Sangga Bhuwana. Lalu
bersembunyi di dalam gua. Syukurlah aku menemukan
kumpulan obat luar Nyai Randamsari. Setelah satu tahun
mendekam di dalam gua, lukaku sembuh. Tapi mukaku sudah
rusak. Aku lantas mengenakan topeng. Setelah merasa diri
pulih, segara aku turun gunung untuk mendengar-dengar
berita. Tepat pada saat itu, aku mendengar sayembara
merebut kitab warisan yang diselenggarakan di atas Gunung
Cakrabhuwana. Aku mencoba coba mengadu untung. Tapi
karena tenaga saktiku belum pulih seluruhnya, aku kena
dikalahkan. Sebulan kemudian aku mendengar kabar yang
mengejutkan. Kartika Nilawardani meninggal setelah
melahirkan anak. Aku roboh pingsan mendengar kabar itu.
Setelah siuman kembali, aku mencoba mencari keturunannya.
Ternyata keturunannya seorang perempuan. Begitu Kartika
meninggal, puterinya diserahkan kepada Sultan Tirtayasa.
Kemudian -dipercayakan kepada Pendekar Iskandar untuk
diasuh dan dididik."
"Ah!" Suryakusumah terkejut. "Apakah Fatimah?"
"Siapa Fatimah?" Watu Gunung berbalik tanya dengan heran. Suryakususmah terlo-ngong sebentar. Kemudian
menundukkan kepalanya menjawab dengan menggelengkan
kepalanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Puteri Pendekar Iskandar kukenal dengan nama Fatimah.
Apakah....."
Watu Gunung tidak begitu tertarik. Wajahnya suram,
katanya: "Syukurlah kalau engkau kenal keturunan puteri Kartika Nilawardani... Tapi meninggalnya Kartika Nilawardani membuat aku kalap. Aku mencoba merebut kitab warisan
kembali. Tetapi aku justru kena hantam pukulan Sorga Dahana Ki Ageng Darmaraja. Di kaki gunung, ilmu saktiku punah.
Dan aku kena siksa pendekar-pendekar yang menaruh
dendam padaku. Aku jadi cacat tubuh begini. Untunglah,
nyawaku masih tertolong juga. Dengan merangkak rangkak,
masih bisa aku mencapai gua Nyai Randamsari. Di sana aku
memendam diri hampir dua puluh tahun. Sekarang ini, babak
terakhir bakal terjadi. Harya Udaya kena pukulan beracun
warisan Nyai Randamsari. Kukira dalam beberapa hari lagi, dia bakal mati. Kau kembalilah ke dalam gua Harya Udaya.
Catatlah semua lukisan yang berada pada dinding guanya.
Setelah itu musnahkan gua Harya Udaya. Selanjutnya hanya
engkaulah yang bakal memiliki dan mewarisi kitab ilmu
pedang Syech Yusuf dan ilmu sakti Arya Wira Tanu Datar.
Cepat! Cari gua itu! Kau jangan takut! Meskipun Harya Udaya bisa mengukir angkasa, dia takkan mengganggu dirimu. Sebab
engkau adalah ahli waris Himpunan Sangkuriang. Dan
menurut jalan pikiran Harya Udaya, dia memperoleh kitab
Arya Wira Tanu Datar dan kitab pedang Syech Yusuf dari
tangan Syech Yusuf lewat Naganingrum. Dengan begitu dia
merasa berhutang.... Nah, pergilah!"
"Sudahlah, jangan sebut-sebut lagi perkara kitab itu!"
Anak Harimau 12 Pendekar Cacad Karya Gu Long Angrek Tengah Malam 2

Cari Blog Ini