Ceritasilat Novel Online

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 18

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu Bagian 18


Orang muda itu ada Lie Hong Kiat!
Dalam heran dan girangnya, tidak tempo lagi, pemuda
kita lari naik keatas.
Dipuncak itu ada sebuah kuil, didalam pekarangan
depan, yang lebar, ada berkumpul berbaris sejumlah imam, yang semuanya bersenjatakan pedang. Mereka itu berbaris dengan rapi dan tenang. Adalah didepan mereka, ditengah kalangan, dua orang kelihatan asyik pie-bu, adu kepandaian silat dengan menggunakan pedang. Caranya dua orang ini bertanding ada luar biasa, karena mereka gunai nui-kang, ilmu lemah-lembut, pelahan tetapi gesit, gesit tetapi
pelahan. Melainkan dimatanya akhli, pertandingan itu
barulah berarti, karena sesuatu gerakan ada sangat
berbahaya, itulah hasil buah dari peryakinan beberapa
puluh tahun! Diantara dua orang yang lagi bertempur itu, yang satu
ada satu satu imam tua dan ubanan seluruhnya, karena dia adalah tuan rumah dari kuil itu atau ketua dari Cit Toakiam-sian, yalah Yok Hian Ceng.
Orang yang ke dua membuat Kang Siau Hoo bengong
tercengang. Orang itu, yang pakaiannya sangat sederhana
yang sepatunya sepatu rumput, cau-eh, adalah Ah Hiap si gagu, dia punya suheng!
Begitu ia sampai diatas, Siau Hoo sudah lantas
menghampiri Hong Kiat, untuk mereka saling jabat tangan, kemudian ia segera mengawasi, hingga dia tak sempat
tanya apa-apa dan si orang she Lie-pun berdiam sepenti dia, karena ia ini juga sangat ketarik dengan pertempuran itu.
Segera juga Siau Hoo dengar suara yang ia kenal, yang
datang dari sampingnya :
"Eh, orang she Kang, apa kabar dengan isteriku?"
demikian pertanyaan itu.
Siau Hoo menoleh dengan cepat. Di depannya ada Kie
Kong Kiat! Cepat ia angkat kedua tangannya.
"Sehentar kita bicara! Kau jangan kuatir," ia bilang.
Kembali ia menoleh ke arah pertempuran.
Pada saat itu, Yok Hian Ceng dan Ah Hiap berada
renggang jauh, ada sulit untuk kedua pedang mereka
bentrok satu dengan lain, akan teapi Siau Hoo insaf benar bahwa kedua-dua pedang ada punya maksud yang sangat
berbahaya. Yok Hian Ceng maju dengan dia punya tipu pedang
"Ciong-pou-hok-tee Keng-ma-kiam" atau "Kuda istimewa
yang berlompat dan mendekam," atas mana, Ah Hiap
hadapi dia dengan "Lian Hoan Keng-ma-kiam" atau "Kuda
berantai."
Hian Ceng berlompat kekiri, dua-dua kakinya terangkat.
Lompatan itu ada lompatan maju, dibarengi dengan
sontekan pedang keatas, gerakannya sangat pesat.
Ah Hiap tangkis sontekan itu, ia-pun berlompat, dengan niatan membalas, akan tetapi Yok Hian Ceng mendahului
tarik pulang pedangnya, untuk bersiap, dengan begitu,
serangannya dapat dibuat punah.
Kembali mereka saling serang secara hebat sekali.
Semua mata ditujukan kearah dua orang yang lagi pie-bu itu, Siau Hoo tidak kecuali, akan tetapi, sekarang ini, napsu berkelahi dari anak muda ini menjadi banyak lebih reda. Ia sudah lantas lihat nyata, ilmu pedang dari Yok Hian Ceng ada setingkat lebih tinggi daripada ia punya kepandaian, akan tetapi kepandaiannya Ah hiap, sang suheng, ada jauh lebih tinggi bertingkat-tingkat, maka itu, ia jadi sangat kagum ia punya saudara itu.
Selagi pemuda ini mengawasi dengan tajam, Kong Kiat
hampirkan ia dari belakang dan tolak tubuhnya.
"Eh, orang she Kang, buat apa tonton mereka piebu?"
kata orang she Kie ini. "Mari! Mari bantu aku cari isteriku!
Kau sudah tolongi Ah Loan di Cin Nia, sekarang tak dapat kau lepas tangan!"
Oleh karena ia dibetot, Siau Hoo putar tubuhnya dan
geraki ia punya tangan dengan begitu, tubuhnya Kong Kiat jadi kena tertoyor.
"Jangan sibuk!" Siau Hoo bilang. "Aku tahu dimana Ah
Loan ada!"
Kong Kiat mendongkol.
"Dimana adanya Ah Loan?" tanya ia dengan sengit.
"Kau bilangi aku, aku bisa pergi mencari sendiri! Aku perlu tegaskan Ah Loan, dia hendak nikah kau atau aku! Jikalau Ah Loan hendak nikah kau, aku Kie Kong Kiat dengan
kedua tanganku akan serahkan dia! Aku ada turunan dari Liong Bun Hiap, aku bukannya tak mampu cari lain orang perempuan untuk jadi isteriku!"
Belum sempat Siau Hoo menjawab, atau ia terperanjat,
karena kupingnya dengar seruan kaget yang riuh, karena piebu sudah berakhir, sudah ada keputusan siapa menang dan siapa kalah. Ia menoleh dengan segera, tetapi ia telah terlambat, ia cuma bisa saksikan Yok Hian Ceng lagi
dipepayang oleh beberapa muridnya, dari pundaknya yang kiri terlihat darah bercucuran keluar, hingga kecuali
bajunya, kumis jenggotnya yang putih-pun kecipratan darah merah.
Ah Hiap kelihatannya sangat gembira, ketika ia
masukkan pedangnya kedalam sarung, ia tertawa, habis itu dengan pentang kedua tangannya, laksana burung terbang, ia lari kearah diapunya sutee.
Justeru itu, Ma Hian To menghampiri Lie Hong Kiat,
untuk bicara. "Tadi sudah dijanjikan, asal Cou-su kita kalah, kau
orang ada merdeka untuk geledah gunung kami ini," kata dia, "maka sekarang, pergilah kau buat pemeriksaan, kami tak akan menghalanginya lagi!"
Hong Kiat manggut, terus ia menoleh pada Siau Hoo.
"Bagaimana?" dia tanya.
"Too Teng telah aku binasakan di belakang gunung ini,"
jawab orang yang ditanya. "Dia kata bahwa Ah Loan sudah dapat ditolongi oleh aku punya suheng Ah Hiap."
Orang she Lie itu heran.
"Bagaimana kau bisa buat dia buka mulutnya?" dia
tanya. Baru Siau Hoo hendak menjawab pula atau suhengnya
telah sampai di depannya, terus suheng ini gerak-geraki kedua tangannya, mulutnya, dan juga tubuhnya. Dia
beraksi meniup terompet, seperti memukul tambur, lantas ia bertindak lemas seperti orang perempuan, kemudian, sambil sebelah tangan menunjuk kearah barat, ia samber tangan suteenya, untuk ditarik, buat diajak jalan.
Siau Hoo beri tanda kepada suheng itu dengan geraki
kedua tangannya, kemudian ia menoleh pada Ma Hian To.
"Aku telah dapat tahu tentang isteriku," ia bilang.
Kie Kong Kiat, yang berada disampingnya si anak muda,
dengar itu dengan mendongkol, matanya mengawasi
dengan merongos.
Siau Hoo tidak perdulikan cucu-mantunya Pau Kun Lun
itu, ia hanya teruskan pada Ma Hian To: "Kau boleh pergi kebelakang gunung, akan lihat mayatnya Too Teng di
rumahnya satu penduduk, disana boleh sekalian tanyakan keterangan perihal Lu Cong Giam, dia ada orang macam
apa! Umpama kata kau orang tetap antap Lu Cong Giam
bernaung didalam gunungmu ini, lambat-laun bakal ada
datang lain orang untuk mengacau gunung kau ini!"
"Lu Cong Giam sudah terbitkan onar untuk gunung kita,
Cousu pasti bakal hukum dia!" sahut Ma Hian To.
Siau Hoo bersenyum dingin.
"Bagus!" kata ia dengan nyaring. "Terserah kepada
liangsim kau orang! Nah, sampai kita orang bertemu pula!
Sampai nanti!"
Siau Hoo tidak sempat putar tubuhnya, Ah Hiap sudah
betot ia, ajak ia lari turun gunung!
Lie Hong Kiat lantas saja lari, untuk menyusul bersama ia, Kie Kong Kiat-pun turut. Dia ini tetap masih
mendongkol. Ah Hiap si"tolol" bawa katanya sendiri, ia lari begitu keras, sampai ia buat Siau Hoo kewalahan mengikutinya.
Hingga Hong Kiat dan Kong Kiat sukar menyandaknya.
Kong Kiat tak dapat atasi dirinya, ia sampai mengutuk si gagu, yang ia umpat caci.
Orang terus berlari-lari, tak perduli jalanan ada mudun dan sukar, adalah selang sekian lama, sampailah mereka dikaki gunung. Disitu ada kedapatan tiga ekor kuda yang dijagai oleh beberapa bocah angon kambing.
Ah Hiap tolak tubuhnya Siau Hoo kearah kudanya Kong
Kiat. Ia rupanya suruh sutee itu pakai orang punya kuda. Ia sendiri loncat atas kudanya yang ia terus hendak beri lari. Ia tidak kenal cape, napasnya-pun tidak tersengal-sengal.
Sementara itu Kie Kong Kiat sudah menghampiri Siau
Hoo, tangan siapa ia jambret.
"Eh, orang she Kang, mari kita bicara!" kata dia, yang napasnya memburu keras sekali. "Kita harus selesaikan
urusan kita! Umpama kata Ah Loan tak inginkan aku, aku setuju, asal segala ada dijelaskan terlebih dahulu, habis itu, kau orang boleh pergi kabur!"
Siau Hoo beri tanda pada ia punya suheng, ia loncat
turun dari atas kuda keatas mana ia sudak loncat naik. Iapun ada bernapas memburu, hingga ia tak dapat segera
bicara. Tapi Hong Kiat, sambil tuntun kudanya yang berbulu
putih, menghampiri mereka berdua.
"Aku telah bertemu saudara Kie ini di Tiok-kie," kata ia pada Siau Hoo, "dari musuh kami menjadi sahabat satu
dengan lain. Saudara Kie ini sudah jelaskan padaku, walaupun dia telah menikah dengan sah dengan Nona Ah Loan,
mereka berdua belum pernah menjadi suami-isteri yang
sebenar-benarnya dalam penghidupan suami-iseri, karena itu aku telah beri nasehat kepadanya, umpama kata si nona cintai kau, saudara Kang, baiklah dia mengalah saja!"
"Memang, mengalah tak apa untuk aku." Kong Kiat
turut bicara. "Tapi aku ingin ketemu sama Ah Loan, aku hendak bicara dengan dia, untuk menjelaskan segala apa!"
"Jikalau begitu," Siau Hoo bilang, "baik kau pinjam
kudanya saudara Lie, mari kita sama-sama ikut aku punya suheng itu!"
Mendengar itu, Hong Kiat segera serahkan dia punya
kuda putih, kemudian ia kata pada anak muda kita.
"Saudara Kang," katanya, "sejak kita orang berpisahan
di musim semi di Siong San, aku sudah lantas menikah,
sekarang ini aku dan isteriku, bersama-sama ibunya Ou Jie Ceng, sama-sama tinggal didalam kota Teng-hong.
Bersama-sama saudara Ou, aku lagi buat perjalanan. Kami sudah pergi ke Tiang-an, kami mendaki Cin Nia, kami
lewati Han tiong. Maksudku adalah, pertama untuk cari
kau, saudara, dan kedua guna pesiar. Sekarang kita orang telah bertemu disini, aku girang sekali. Saudara, pergilah kau orang bertiga kepada Nona Ah Loan, aku sendiri
hendak pergi ke Tiok-kie, akan susul Jie Ceng, buat
bersama-sama dia pulang ke Tenghong. Kanda Kang, aku
harap kau tenang dan sabar, jangan kau berduka. Dan kau, saudara Kie, aku harap kau bisa indahkan kehormatan kita kaum kangou!"
Siau Hoo menghela napas, ia angkat ke dua tangannya.
"Saudara Lie, jangan kuatir," ia bilang. "Aku Kang Siau Hoo ada satu laki-laki sejati, tidak nanti aku perbuat apa-apa yang bisa mendatangkan malu. Ah Loan benar baik
dengan aku tetapi kami belum pernah lakukan apa-apa yang sesat. Dia sudah menikah dengan sah dengan saudara Kie,
dia tetap ada isterinya saudara Kie. Kecuali saudara Kie ceraikan dia ?"
Siau Hoo bicara dengan gagah, akan tetapi, hatinya
sebenarnya karam.
Justeru itu, Ah Hiap perdengarkan suaranya "Ah-ah-uhuh." dan kedua tangannya pun digerak-geraki akan desak suteenya lekas berangkat.
Hong Kiat lantas angkat kedua tangannya.
"Saudara-saudara, persilahkan!" berkata dia. "Harap kau orang nanti melancong ke Teng hong dimana kita orang
nanti bicara dengan leluasa!"
Siau Hoo dan Kong Kiat naik atas kuda mereka,
berpaling kepada orang she Lie itu, mereka rangkap tangan mereka masing-masing.
Ah Hiap sudah larikan kudanya, maka itu, ia punya
sutee dan si orang she Kie mesti lantas kaburkan juga kuda mereka, untuk menyusul.
Meninggalkan Bu Tong San, tiga penunggang kuda ini
larat ke barat. Ah hiap tetap jalan di depan, tidak pernah ia mau singgah, selalu kudanya dilarikan keras. Sebenarnya si gagu ini tak setujui Kong Kiat ikut, didalam hatinya, dia kata : "Buat apa kau turut kami" Apakah kau hendak lihat isterinya suteeku?"
Kong Kiat sebaliknya jemu pada si gagu ini, biar ia tahu orang ada liehay, ia tidak takut, saking turuti hawa amarah, beberapa kali ia sudah raba gagang pedangnya.
"Sabarlah, saudara Kie," Siau Hoo malang ditengah.
"Sabarlah untuk sementara waktu. Nanti di depannya Ah
Loan, baru kita bicara pula. Percaya, aku Kang Siau Hoo akan hargai Ah Loan!"
Kong Kiat kerutkan alis, ia mendongkol berbareng
berduka. "Aku tidak perduli Ah Loan suka menikah denganku
atau tidak!" kata ia dengan penasaran. "Aku hanya hendak tanya Pau Kun Lun kenapa dia nikahkan cucunya dengan
aku, sedang dia tahu, sedari masih kecil cucunya itu sudah bergaul rapat dengan kau! Kenapa hal ini tidak pernah
terangkan padaku" Kenapa dia pakai Bie Jin Kee, akal
perempuan cantik" Kenapa dia dustakanaku, hingga untuk banyak hari aku mesti menjelajah pegi jauh dan menerjang bahaya, sampai aku terluka, sampai aku mendapat musuh"
Sekian lama dia permainkan aku. Kie Kong Kiat, apa
dengan begitu aku tidak jadi si tolol?"
Pemuda ini berdiam sebentaran saja, lalu ia menyambungi. "Orang she Kang!" kata ia. "aku tidak halangan akan
serahkan isteriku kepada kau, tapi sepatah kata aku hendak tanyakan Ah Loan, aku ingin dia jelaskan, apa artinya dia punya perkataan ketika kami ditawan disarangnya Ou Lip!
Ketika itu Ah Loan utarakan padaku, dilain dunia, dia suka kami menjadi suami-isteri. Aku hendak tegaskan, selagi kami sama-sama belum menutup mata, kami ada suami
isteri atau bukan! Apabila dia ada satu perempuan tak
berharga, segera aku akan tinggalkan dia, anggap saja aku buta-melek dan tolol, aku telah turunkan derajatnya Liong Bun Hiap ...
Siau Hoo kerutkan alis, ia bungkam. Ia merasa soal ada sangat ruwet dan sulit. Ia jadi berpikir keras. Ia terbenam dalam kesangsian, hingga ia larikan kudanya tidak sekeras tadi.
Ah Hiap disebelah depan kembali beri dengar suaranya
"Ah-ah-uh-uh!" ia ada begitu tidak sabaran, sampai ia putar
kudanya dan gunai cambuknya terhadap kudanya Kie Kong
Kiat! Ia mendelik, ia hunjuk sikap kasar. Rupanya ia
hendak bilang: "Telur busuk! Buat apa kau ikut-ikut kami"
Ada sangkutan apa antara kau dan isterinya aku punya
sutee?" Kong Kiat lagi pusing, ia berduka dan mendongkol,
karena itu, hatinya jadi panas, beberapa kali ia hendak serang si gagu, tapi Siau Hoo senantiasa nyelak disama tengah.
Dua hari telah dilewatkan ditengah perjalanan, akhirnya tiga orang ini sampai juga di rumahnya Gan Too-tay di
Sengkau, hingga Ah Hiap jadi sangat girang. Ia sudah
lantas loncat turun dari kudanya, ia hampirkan Siau Hoo, akan betot sutee ini, kepala siapa kemudian ia usap-usap!
Siau Hoo telah lanta loncat dari kudanya, kalau tidak, ia bisa terpelanting.
Kie Kong Kiat turut loncat turun, Ah Hiap menghampiri
ia, dengan niatan ditendang, melihat mana, dia hunus
pedangnya. "Eh, gagu, kau keterlaluan!" ia berseru. Ia terus
menggurat tapak jalak diatas tanah, dia ludahi itu, lantas ia menginjak beberapa kali. Itu ada penghinaan untuk Si gagu.
Ah Hiap menjadi gusar, ia melotot, ia pun hendak hunus pedangnya, tetapi Siau Hoo lantas cekal lengannya.
-oo0dw0oo- Bab 20 P e n u t u p. Selagi si gagu ini hendak hunjuk kegusarannya terlebih jauh, dan dalam rumah ada keluar beberapa orang sambil
berlari-lari, antaranya terus ada yang berkata: "Oh, gagu, kau sudah pulang" Lekas masuk kedalam, kau lihat! Wan-gwee kita sedang berharap padamu!"
Seorang lain bicara dengan gerak-gerakannya, yalah dia berjalan dengan tindakan eloh, lalu ia balik matanya, seperti orang mendelik, melihat mana, Ah Hiap melengak, lalu
sambil beri dengar seruan "Uh!" ia lari kedalam.
Siau Hoo lantas lari, akan ikuti suheng itu.
Kie Kong Kiat masih mendongkol, tapi ia simpan
pedangnya, ia-pun lari menyusul.
Dipertengahan, Gan Wan-gwee muncul akan memapak
kepada Ah Hiap, ia bicara dengan gerakan tangan, atas
mana si gagu melengak, rupanya ia mengerti ada terjadi hal yang penting atau hebat.
Gan Too-tay tidak perdulikan si gagu itu, ia papaki Siau Hoo dan Kie Kong Kiat. Ia jalan sambil pegang tongkat, ia punya air muka ada guram, tanda dari kedukaan.
"Yang mana satu ada sutee dari tamuku yang gagu?" ia
tanya dengan hormat.
"Itulah aku, Kang Siau Hoo," sahut Siau Hoo sambil
membalas hormat.
"Apakah nona Pau itu ada isterimu?" tanya pula tuan
rumah. Siau Hoo melengak, tetapi ia lekas menjawab: "Nona
Pau itu ada orang sekampung halaman dengan aku.
Apakah sekarang dia lagi berobat di rumah wan-gwee?"
Gan Wan-gwee menghela napas.
"Lukanya si nona sangat parah," sahut ia. "Pada malam
ke dua dari berangkatnya tamu yang gagu, ia sudah
hembuskan napasnya yang penghabisan ... "
Siau Hoo kaget, sampai ia melengak, tapi akhirnya, ia
banting-banting kaki, air matanya segera mengucur dengan deras.
Kong Kiat, yang berada disampingnya kawan ini,
mukanya menjadi sangat pucat, tapi ia kertek gigi.
"Wan-gwee, jenazah si nona sudah dikubur atau
belum?" ia tanya.
"Belum, belum dikubur," sahut tuan rumah, "Jenazah
itu sudah dirawat. Apakah samwie hendak pergi lihat?"
Kong Kiat menghela napas panjang.
"Ya," ia menyahut dengan lemah.
Gan Wan-gwee segera berjalan dengan, diiringi beberapa bujangnya itu. Siau Hoo dan Kong Kiat mengikuti, sambil menundukkan kepala Ah hiap juga ikut, tapi ia agaknya
masih bingung. Tuan rumah menuju ke timur dimana ada sebuah rumah
bertembok tanah dengan dua ruangan, ditengah itu ada
meja abu dengan hiolo dan tempat tancap lilin serta dua mangkok teh dingin, di belakang meja ada sebuah peti mati.
Dengan titahnya tuan rumah, beberapa bujang angkat
tutup peti mati itu, untuk dibuka, maka itu didalam situ kelihatanlah tubuhnya Ah Loan yang sudah tidak
bernyawa, dia punya baju dan kun telah ditukar dengan
baju dan kun dari sutera, begitu-pun sepatunya ada sepatu baru, rambutnya telah disisir rapi. Ia punya mata ada sedikit terbuka, hingga kelihatanlah biji matanya yang berdiam, dan sepasang alisnya mengkerut, suatu tanda ia telah
menahan sakit. Dia punya mulut ada tertutup sedikit,
hingga kelihatan dua baris giginya yang nempel rapat. Biar bagaimana, dia tetap ada elok.
Pepat hatinya Siau Hoo, hingga dengkulnya jadi lemas,
hingga ia rubuh disamping peti. Terus saja nangis
sesenggukan. Semua bujang berdiri sambil tunduk.
Ah Hiap berdiri bengong, matanya mengembeng air.
Gan Wan-gwee, dengan tangan bajunya, susuti ia punya
air mata.

Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kasihan nona ini," kata ia dengan pelahan. "Dia dapat empat luka bacokan golok, yang paling hebat adalah yang di dadanya. Disaat hendak tarik
napasnya yang penghabian, ia merintih dengan pelahan sekali, samarsamar ia sebut-sebut Siau Hoo."
Mendengar itu, Siau Hoo menggerung-gerung.
Kong Kiat sendiri berdiri menjublek, kulit mukanya
pucat sekali, biarnya ia ada bersedih luar biasa, ia tidak keluarkan air mata, ia kepal keras kedua tangannya,
matanya dibuka lebar-lebar. Ia pandang Ah Loan, ia awasi orang-orang disekitarnya. Tiba-tiba, ia menangis keras.
"Eh, orang she Kang, kau ada satu laki-laki, buat apa
kau menangis?" kemudian ia tegur Siau Hoo. "Kang Siau
Hoo, sekarang barulah aku takluk kepadamu, tidak
percuma kau menjadi muridnya Loo-sinshe dan Kiu Hoa
San, karena kau sanggup buat Kun Lun Pay tercerai-berai, inilah satu nona umur dua-puluh tahun, kau juga buat
sampai dia mati bersengsara begini. Anggaplah Kang Cie Seng telah peroleh putera yang sanggup membalas sakit hati untuknya! Kau berhasil dengan pembalasan kau, kau boleh merasa puas! Bagus, bagus! Ha-ha-ha!"
Siau Hoo berlompat bangun.
"Saudara Kie, apa sampai sekarang kau masih mengejek
aku?" ia tanya.
Kong Kiat angkat kepalanya, ia tertawa berkakakan.
"Untuk apa aku mengejek kau?" ia balik tanya. "Aku
hanya kagumi kau! Sebelum dia mati, Ah Loan tidak
pernah omong satu apa hal kau, dia bungkam terhadap aku, itu tandanya dia tidak mencintai aku, maka itu sekarang, pergilah kau urus dia! Selama dia hidup, aku seperti sedang bersandiwara, katanya
saja kami ada suami-isteri, sebenarnya, hal tidak demikian. Dari itu sekarang adalah giliran kau, orang she Kang, untuk jadi suami dari setannya si nona she Pau. Nah, sampai ketemu pula!"
Habis mengucap demikian, Kong Kiat angkat kedua
tangannya, ia ngeloyor keluar ...
Siau Hoo berdiam, dia antap orang berlalu, kemudian,
setelah menepas air, ia bicara sama ia punya suheng, untuk mana, ia gerak-geraki kedua tangannya, diantaranya,
disebelah telapakan tangannya, ia menggaris-garis,
membuat peta, dengan itu ia minta suheng ini pergi ke Tinpa, akan cari satu atau dua sanaknya keluarga si nona, untuk dipanggil datang.
Ah Hiap mengerti, ia suka sekali tolongi sutee itu, maka juga ia sudah lantas pergi dengan cepat.
Ketika itu, peti mati masih belum ditutup, Siau Hoo
masih awasi Ah Loan, sampai Gan Wan-gwee perintah
orang-orangnya angkat tutup peti, untuk ditutup pula
dengan rapi, ia sendiri undang si anak muda pergi
kepertengahan rumahnya, buat ia orang duduk beromongomong, sekalian buat pemuda itu beristirahat. Ia tanya kenapa si nona terluka dan apa huibungannya si anak muda dengan nona itu.
Walau-pun ia sedang berduka, Siau Hoo suka kasi
keterangan pada wan-gwee yang baik budi itu, maka itu, ia lantas menutur, mulai hal sakit hati ayahnya, sampai
lelakon hidupnya sendiri, bahwa sejak ia kenal Ah Loan dan berdua mereka sudah janji akan jadi suami isteri, siapa tahu, akhirnya peruntungan mereka malang.
Gan Wan-gwee heran dan kagum, ia terharu.
"Nyatalah kau orang telah ditakdirkan," nyatakan ia
kemudian. "Memang, dalam kalangan kangou, permusuhan sukar habisnya. Kau masih muda, tuan, jangan kau berduka, kau masih bisa berbuat banyak, supaya di
belakang hari tidaklah kau hidup sia-sia sebagai satu laki-laki!"
Siau Hoo manggut-manggut, ia menghela napas pula.
Setelah dua hari menumpang di rumahnya Gan Wanwee, Siau Hoo sambut kembalinya Ah Hiap, yang berhasil memanggil Lou Cie Tiong.
Menemui orang she Lou itu, Siau Hoo malu.
"Pehhu," kata ia sembari memberi hormat dengan
terpaksa. Cie Tiong berduka, kepada anak dan sahabatnya itu. Ia
tidak bilang suatu apa, ia hanya tanyakan tentang Ah Loan, perihal sebab dari meninggalkannya kemudian ia menghela napas.
"Dalam hal ini, siapa juga tidak dapat disesalkan," kata ia kemudian, "cuma dua orang, yalah pertama Pau Loosuhu dan kedua ayahmu sendiri yang menutup mata pada
belasan tahun yang lampau ... "
Siau Hoo tunduk, ia menghela napas pula.
Cie Tiong kucurkan air mata ketika ia urus jenazahnya
Ah Loan untuk pantek tutupnya. Ia ada ajak beberapa
pegawai, maka dengan dibantu oleh orang-orangnya Gan
Wan-gwee, ia tidak terlalu repot. Akhirnya, ia pergi sewa kereta, untuk bawa peti mati pulang ke Tin-pa. Kepada tuan rumah, ia menghaturkan banyak-banyak terima kasih.
Ketika ia hendak berangkat, Cie Tiong pesan pada Siau
Hoo, katanya: "Kau harus berusaha, tak usah kau berduka lebih jauh ?"
Setelah berada berduaan saja dengan suteenya, Ah Hiap
sentil orang punya kuping, hingga Siau Hoo jadi heran.
Selagi sutee ini mau minta keterangan, suheng itu
menunjuk kegunung, ia usut-usut ia punya kumis,
kemudian dengan roman gemas, ia banting-banting kaki.
Diakhirnya, suheng ini cekal orang punya lengan, untuk ditarik, buat diajak jalan.
Siau Hoo menahan kakinya, ia geraki kedua tangannya.
"Suheng pulang lebih dahulu," ia kata. "Aku hendak
pergi dahulu ke Tin-pa, dari sana aku akan langsung pulang ke Kiu Hoa San, untuk menghadap suhu. Selanjutnya aku
tidak akan gunai pula aku punya Tiam-hiat-hoat!"
Ah Hiap mengerti kehendaknya sutee itu, ia manggutmanggut, tapi ia beraksi pula, seperti meniup terompet dan memukul tambur, lalu ia goyang-goyang tangan, seperti ia hendak memberi nasehat: "Isierinya menutup mata tidak
apa, jangan kau berduka."
Siau Hoo-pun manggut pada suheng itu, kemudian awasi
sang suheng, loncat naik atas kudanya, buat berangkat
pergi, akan menuju ke timur, ke Kiu Hoa San. Setelah
suheng itu pergi jauh, ia cari Gan Wan-gwee kepada siapa ia menghaturkan terima kasih, kemudian ia memberi
hormat untuk pamitan. Betum sampai tiga puluh lie, ia
sudah dapat susul Cie Tiong serta jenazahnya Ah Loan. Ia menepas air mata diatas kudanya, karena tidak sanggup
jalan bersama-sama, ia mengikuti dari kejauhan.
Kereta keledai, kendati-pun keledainya dua, jalan dengan sangat pelahan, maka itu, selang dua hari, barulah
rombongan ini sampai di Tin-pa. Ketika kereta memasuki Pau kee cun, Siau Hoo tahan kudanya dimuka kampung,
disebelah selatan, dimana ia duduk bengong di atas
kudanya. Ia punya sepasang alis mengkerut. Ia memandang langit, ia lihat awan puth melayang-layang. Kapan ia
memandang kebumi, ia tampak tegalan dengan rumputnya
musim rontok, dan di mana-mana daun-daun pohon telah
menjadi merah. Di sungai, sang air mengalir dengan
pelahan. Dari atas jembatan, beberapa bocah lari mendatangi.
"Penunggang kuda, dulu juga nona Loan pandai
menunggang kuda!" kata mereka sambil tangan mereka
menunjuk-nunjuk.
Siau Hoo simpangkan kudanya, untuk menyingkir dari
bocah-bocah itu. Siapa tahu, ia justeru segera berada
berhadapan dengan pohon yangliu yang batangnya
bertanda bacokan golok, hingga teringatlah ia pada halnya masih kecil, tempo ia berada bersama-sama Ah Loan.
Hampir ia rubuh semaput dari atas kudanya, saking
berduka. Maka lekas-lekas ia kuati hati, ia jalankan
kudanya memutari Pau-kee-cun. Dengan tidak menoleh
pula , ia tinggalkan kampung itu ...
Sebentar pula, Siau Hoo sudah berada didalam kota Tinpa. Disini ia tidak cari ia punya ie-thio Ma Cie Hian hanya ia pergi pada sebuah rumah penginapan di mana terus ia rebahkan diri, malah terus-terusan ia keram diri sampai dua hari, hingga ia mirip dengan seorang yang sedang sakit.
Dahar ia tidak bernapsu. Adalah di hari ketiga, ia mulai nasa hatinya lebih enteng, maka itu, ia minta disediakan barang makanan. Habis bersantap, ia rapikan pakaian,
walau-pun ia merasa sangat lelah, tenaganya seperti habis, ia paksakan pergi ke rumahnya Ma Cie Hian.
Sang ie-thio kebetulan ada dibengkelnya.
"Ah, kau kembali?" paman itu menegur, "Anak, kau
begitu baik dengan Ah Loan, kenapa kau tidak omong dari siang-siang" Lihat, sekarang orang telah menutup mata, rumah tangganya-pun ludas ... ! Adakah ini yang disebut permusuhan, yang dinamai kecintaan" Tidak, inilah
keruwetannya kaum kangou! Kita sebenarnya celakai diri kita sendiri ... "
Siau Hoo menggoyang-goyang tangan, sepasang alisnya
mengkerut. "Sudah, ie-thio, jangari kau sebut-sebut pula hal itu." ia bilang. "Semua adalah takdir dan nasib ... Sekarang aku melainkan hendak menemui ibu, satu kali saja, setelah itu, aku hendak pergi pula ?"
Cie Hian agaknya terkejut.
"Eh, kau masih belum tahu?" katanya. Ia diam sebentar, akan segera tambahkan. "Ya, aku ingat sekarang ... Ketika itu hari kita orang berpisah, kita lantas tidak bertemu pula
... Kau tahu, sebulan lebih setelah, ibumu menutup mata "
Ia memang berat sakitnya, sudah begitu setiap hari ia
berselisih saja dengan Tong Toa. Dia itu punya dagangan sangat mundur, dia-pun sering kata-katai ibumu, hingga ibumu jadi sangat berduka, hingga ibumu-pun senantiasa pikiri kau, hingga akhirnya, ia tak kuat menahan lagi " ia telah tinggalkan dua anak untuk Tang Toa, dua anak itu ada berpenyakitan ... "
Siau Hoo menangis, air matanya turun deras, tapi
kemudian ia tanya, dimana ibunya dikubur, habis itu ia pamitan, akan kembali kehotelnya. Disini ia berdiam lagi satu hari, akan tungkuli kesedihannya. Di lain harinya, ia ambil putusan akan tinggalkan kampung halaman itu
dimana ia sangat menderita, begitulah ia minta jongos
belikan ia kertas dan hio serta lain-lain keperluan
sembahyang, yang mana ia gantung disebelah kudanya,
sesudah ia minta kudanya itu disiapkan, ia sendiri pergi lakukan pembayaran sewa kamar. Dengan cepat ia sudah
menuju keluar kota, ke Pak San, gunung sebelah utara,
akan cari kuburan ayahnya, untuk hunjuk hormatnya.
"Ayah," diam-diam ia kata, "anakmu sudah berhasil
membalas sakit hati ayah. Long Cie Khie telah bunuh ayah, aku-pun telah bunuh dia! Beginilah apa yang aku bisa
lakukan. Selama ini, aku telah lakukan apa yang
bertentangan dengan hatiku sendiri oleh karena itu,
sekarang hatiku tawar. Ayah, harap kau merami mata ... "
Habis itu, Siau Hoo pergi cari kuburan ibunya, untuk
bersernhahyang pula.
"Ibu, harap kau merasa tenang disini," ia-pun kata
dengan diam-diam. "Ibu tentu merasa lebih senang disini daripada selama hidupmu ... Aku telah berdiri sendiri, aku sudah balas sakit hatinya ayah. Adikku, yang berada di Shoasay dimana ia belajar dagang, ia tak kurang suatu apa.
ia hidup terlebih baik daripada aku yang tidak punya guna.
Mulai ini hari dan selanjutnya, aku akan berdiam didalam gunung, aku tidak akan perdulikan lagi sekali-pun urusan kaum kangou ...
Dan sini, dengan naik kudanya, Siau Hoo menuju
keselatan, kepohon yangliu yang beriwayat baginya, ia
turun dibawah pohon, akan bakar habis selebihnya ia punya kertas, hingga api berkobar-kobar, abunya beterbangan
naik, melayang bagaikan kupu-kupu. Tak dapat ia tahan
kesedihannya. "Ah Loan, adikku, kau dikubur entah dimana tapi
tentunya tidak jauh dari sini, rohmu tentu berada
disampingku ... Ah Loan, aku tidak tahu apa aku mesti
bilang, aku hanya hendak pergi " Nanti, setiap tiga tahun sekali, aku akan datang kemari untuk sembahyangi kau,
maka itu, kau meramilah matamu " Sekarang ini habislah sudah permusuhan diantara kaum Kang dan Pau, dan
tubuhmu, bersama hatiku, telah mati bersama. Ah Loan,
aku pergi, sampai bertemu pula!"
Ketika itu langit mendung, tandanya mau hujan.
Sejumlah bocah berlari-lari pulang, sambil menjerit-jerit:
"Mau turun hujan. Mau turun hujan!"
Angin juga meniup deras.
Siau Hoo hunus pedangnya, akan bacok cabang yangilu,
untuk keset kulitnya, yang mana ia simpan, kemudian ia loncat naik atas kudanya, terus ia larikan binatang
tunggangan itu menuju ke Utara, meninggalkan Tin-pa. Ia jalankan kudanya belum lama, sang hujan turun, tapi
dengan hujan-hujanan, ia jalan terus. Ia masih saja berduka, romannya lesu. Ia lanjutkan terus perjalanannya, kecuali diwaktu bermalam. Demikian ia lintasi Cin Nia diwaktu
tengah hari, ia sampai dikota Tiang-an, See-an, tetapi ia tidak mau masuki kota, ia singgah saja di Lam-kwan, kota sebelah selatan. Ia dahar dalam sebuah rumah makan kecil.
Ia sudah pikir untuk menuju terus ke timur. Benar sekali ia berjalan sambil tuntun kudanya, akan keluar dari Lam-kwan, tiba-tiba dari depan ia, ia dengar panggilan:
"Kang Siau Hoo!" ia terperanjat, ia segera angkat
kepalanya, tapi segera juga hatinya lega.
Itulah Lau Cie Wan yang memanggil ia. Orang she Lau
ini mengenakan pakaian putih, sedang berkabung. Ia lantas angkat kedua tangannya, akan beri hormat pada itu saudara seperguruan dan marhum ayahnya.
"Siau Hoo, apakah kau baru datang dari Tin-pa?" Cie
Wan tanya. "Kau
lihat, bagaimana
mengenaskan kesudahannya Keluarga Pau! Tentang kematiannya Ah
Loan, aku sudah dengar, tetapi sekarang, suhu juga telah menutup mata, jenazahnya ditunda didalam kuil Go Liong Sie didalam kota, baru kemarin dia diuruskan, maka lagi dua hari, kembali sebuah peti mati akan diangkut ke Tin-pa
... " Biar bagaimana, Siau Hoo tercengang.
"Kematiannya gurumu tidak ada sangkutannya dengan
aku," kemudian ia bilang. "Selama di In Tiat Nia aku telah merdekakan padanya!"
"Memang kau tidak ada sangkut pautnya," kata Cie
Wan. "Keluarga Pau jadi celaka begini semua ada
perbuatannya suhu, yang makan hasil buatannya sendiri.
Terhadap lain-lain muridnya, dia berlaku terlalu keras, kejam, tetapi terhadap persaudaraan Liong, dia lunak luar biasa, dia
malah mengeloni. Ketika
dahulu kau menumpang pada suhu, umpama kata dia orang yang insaf, dari siang-siang dia mesti cegah kedua anaknya perlakukan kejam kepada kau, supaya kau jangan diperhina, malah
selayaknya dia jodohkan Ah Loan kepadamu. Sebenarnya,
satu kali telah menjadi sanak dekat, permusuhan akan
lenyap sendirinya, tetapi ia tidak berbuat demikian, dia justeru musuhkan kau, malah kemudian muncul lelakonnya Kie Kong Kiat!"
Cie Wan sendiri yang sebut namanya Kong Kiat, tetapi
dia juga yang darahnya naik.
"Kie Kong Kiat! Dia makhluk apa!" dia berseru
sendirinya. "Kami ikuti dia ke luar dari Tong-kwan,
katanya untuk papaki kau, untuk lawan padamu, aksinya
baik sekali, dimana dia sampai, dia corat-coret diatas tembok,
hendak menangkap kau, akan tetapi kesudahannya, ketika kau mencoret ditubuhnya sendiri, dia tidak mendapat tahu! Lucunya ketika kau orang bertemu di Bu Tong San, dia tidak kenali kau, hingga dia kena kau permainkan, tetapi atas itu ia bencikan kami! Celaka adalah kejadian di Kok-shia, ketika orang-orang polisi dari Ceng yang susul kami, dia telah tinggalkan kami, dia kabur, hingga aku, bersama-sama Cie Yau, kena diangkap, hingga kami mesti wakilkan terancam dengan hukuman tiga bulan.
Sukur Lu-ciu-hiap Yo Kong Kiu, cinceng dari Keluarga
Kau, ada baik hati, dia suka belai kami hingga kami
dibebaskan dan dimerdekakan. Setelah itu aku berdamai
denan Cie Yau. Kami ambil putusan buat tidak kembali,
kami tidak ingin campur pula urusan kau yang sulit dan menyukarkan kami. Cie Yau mengerti membuat koyo,
maka itu, kami buat obat itu, lalu disepanjang jalan, berdua kami beri pertunjukan silat sambil menjual obat tempel itu.
Ketika kemudian kami sampai di Lou-sie, di Hoo-lam, kami sudah behasil mengumpul sejumlah uang, disitu kami tetap bekerja sama-sama, dengan bersero kami membuka sebuah
rumah obat, menjual koyo buatan kami itu. Baru berselang setengah bulan dengan tiba-tiba suhu datang kepada kami.
Ia membawa luka-luka disekujur tubuh, dia tidak punyakan lagi kuda dan goloknya. Suhu bilang bahwa ia sedang
dikejar oleh serang perempuan yang minta ganti jiwanya satu bocah terhadapnya. Coba suhu tidak bertemu kami
pasti dia sudah rubuh ditengah jalan besar dan akan binasa karena kelelahan dan kelaparan. Kami undang suhu datang kekota kami, kami obati dia punya luka-luka. Selama itu
suhu telah jadi seperti orang edan, dia tidak mau dahar, dia menangis saja.
Pada suatu hari, selagi berdua Cie Yau aku repot layani pembeli diluar, suhu dipedalaman sudah gantung dirinya, tempo kemudian kami masuk dan mendapat tahu lalu kami
segera turunkan tubuhnya, napasnya sudah berhenti
berjalan " "
Siau Hoo berdiam, tetapi, diam-diam, ia terharu.
Kematiannya jago tua itu ada hebat.
"Kami sudah lantas urus jenazahnya suhu," Cie Wan
melanjutkan. "Baru kemarin dahulu kami kirim ke Tiangan. Kemarin telah dilakukan sembahyang di kuil Go Liong Sie. Lagi dua hari, apabla Cie Kiang sudah berhasil
mengumpulkan orang dari Han-tiong jenazah itu akan
diangkut pulang kekampung halamannya. Aku sendiri akan kembali ke Lousie, untuk usahakan terus toko obat kami.
Hatiku telah tawar akan makan nasi kaum kangou, biarnya aku bakal mati kelaparan, aku tak sudi melakoninya lagi!
Saudara Siau Hoo, kau sekarang hendak pergi kemana" Ah Loan sudah menutup mata, jikalau kau suka, aku bisa
carikan kau satu nona lain. Di Lou-sie ada puterinya satu hartawan, yang sedang mencari jodo yang dicari adalah
satu pemuda gagah! Saudara, kau dengar aku, baik kau
ubah caranya hidup kau!"
Siau Hoo goyang-goyang kepala.
"Sampai ketemu pula!" berkata ia sambil ia memberi
hormat. Ia tidak punya kegembiraan akan layani kenalan ini, ia cambuk kudanya, untuk dikasi lari. Ia tetapi ada berduka.
Cie Wan mengawasi dengan bengong, ia-pun lantas jalan
terus. Siau Hoo menuju ke Ie-sie, disana ia temui adiknya, Siau Loan, dengan siapa ia buat pertemuan. Itu ada pertemuan yang mengharukan hati, tetpi yang membuat sang kanda
lega hatinya, karena ia dapat kenyataan, penghidupan
adiknya itu ada baik. Ia tidak berkumpul lama dengan
adiknya itu, ia terus menuju pula, ke Selatan. Dimana ia sampai, ia tetap tidak terhibur. Maka diakhirnya, ia ambil tujuan pulang, kegunung Kiu Hoa San.
Pada suatu hari Siau Hoo sampai di gunungnya, ia
bertemu kepada gurunya, guru ini tidak bicara banyak
kepadanya, melainkan berikan nasihat akan muridnya
jangan turun gunung lagi, harus berdiam saja di gunungnya itu akan lanjutkan kepandaiannya.
Siau Hoo menurut. Ia punya guru ada punya pelasan
kitab ilmu silat, bagian ilmu pedang, tangan kosong dan Tiam-hiat hoat, semua itu ada karangannya sang guru


Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri, dan semua itu ia baca ia yakinkan, gurunya berikan segala petunjuk. Ia belajar terus dengan sungguh-sungguh bersama-sama Ah Hiap, kepada siapa ia suka berikan
penjelasan mengenai berbagai petunjuk itu.
Diatas Kiu Hoa San ada ditanam ratusan pohon teh,
hasilnya itu setiap tahun sudah cukup dipakai untuk
penghidupannya bersama, guru dan dua murid. Setiap hari setelah pelajaran ilmu silat, melukis gambar mengenai
gerak-gerakan ilmu silat dan mendaki gunung atau
meloncati jurang, Siau Hoo ajak Ah Hiap rawat kebun teh.
Mereka tidak pernah turun gunung kecuali disaat membawa teh untuk dijual.
Lima tahun sejak Siau Hoo kembali dari prantauan, Loosinshe, ia punya guru, menutup mata, kedua muridnya
rawat jenazahnya dengan baik, dikubur diatas gunung.
Kemudian pernah satu kali Siau Hoo turun gunung, akan
tengok adiknya di Iesie, dari situ ia pulang ke kampungnya, akan
bakar kertas dibawah
pohon yangliu, akan "sambangi" Ah Loan ... Dari sini, ia pergi ke Long-tiong dimana ia ketahui Long-tiong-hiap Cie Kie, yang
selanjutnya menjadi sahabatnya. Dalam perjalanannya
pulang ke Kiu Hoa San, ia ambil jalan mengikuti sungai Tiang Kang.
Sejak waktu itu, setap tiga tahun Siau Hoo turun gunung sekali, dan setap ia turun gunung, ia ambil tujuan
perjalanan yang serupa.
Sekarang ia tidak dipanggil lagi dengan nama Siau Hoo, ia ubah itu menjadi Kam Lam Hoo.
Pada waktu itu, diantara orang-orang kangou yang
namanya kesohor, di Utara adalah Kie Kong Kiat, di
sekitar Hoolam dan Anhui adalah Lu ciu-hiap Yong Kong
Kin. ia bekas cinteng dari Kou-keechung di Ceng-yang, di Siamsay adalah Lou Cie Tiong, di Su-coan Utara adalah
Lie Hong Kiat. Dia ini punya nama lebih terkenal dari yang lain-lain itu, sebabnya adalah selain ia muridnya Siok Tiong Liong, dia-pun telah peroleh kemajuan pesat. Tadinya, ia cuma kalah sedikit terhadap Kie Kong Kiat, tapi
belakangan, selagi ia bekerja pada kantor ciangkun di
Ankeng, karena keletakan tempatnya yang dekat dengan
Kiu Hoa San ia suka mendaki gunung itu, menyambangi
Kang Lam Hoo, dari saudara angkat ini ia minta
pengajaran lebih jauh, ia rajin belajar, maka itu ia jadi peroleh
kemajuan, terutama
ilmu pedang. Karena kemajuannya ini, belakangan ia letakkan jabatan, ia tuntut penghidupan di kalangan kangou, untuk tolong yang lemah.
Kalau Kang Lam Hoo ketahui kejadian tidak pantas, Hong Kiat adalah yang di tugaskan pergi mengurusnya, maka itu, namanya terus naik.
Kedudukannya Siau Hoo selama itu adalah mirip
dengan "naga diantara manusia" atau "burung hoo diantara binatang bersayap". Dia tidak mau bentrok dengan siapa juga, sebaliknya orang sungkan tanam bibit permusuhan
dengannya. Kalau dia turun gunung, dia turun dengan
diam-diam, dia bawa tingkah seperti gurunya dahulu.
Berselang lagi sepuluh tahun, pada satu kali Ah Hiap
turun gunung, kemudian lewat satu tahun, dia tidak
kelihatan pulang. Kam Lam Hoo heran, ia-pun turun
gunung akan susul dan cari suheng itu, tetapi, dia sudah pergi kebanyak tempat, dia tetap tak dapat ketemukan
suhengnya. Untuk beberapa tahun, Kang Lam Hoo tidak
berhasil mencari suhengnya itu.
Hampir berbareng itu waktu, namanya Kie Kong Kiat di
Utara sudah tidak terdengar pula, dia seperti telah
menghilang, sedang Yo Kong Kin, karena satu bentrokan, sudah terluka, hingga terpaksa ia undurkan diri, hidup dikalangan kangou. Lou Cie Tiong juga telah menutup
mata, tapi ia telah digantikau oleh puterinya Lou Cong Hui, yang masih mewariskan kepandaian Kun Lun Pay.
Di Su coan Utara, Cie Gan In telah digantikan oleh
puteranya, yang bernama Kiam Hoo, yang bisa wariskan
kepandaian ayahnya.
Sementara itu, Lie Hong Kiat sudah tinggal menetap
ditepinya telaga Po Yang Ou, ia tuntut penghidupan tani sambil membaca kitab saja.
Pada waktu itu, orang yang biasa malang melintang di
dunia kang ou adalah Kang Lam Hoo punya sahabat kekal, yalah Wan Keng Coan dan Wan-kee chung, muridnya Tiat
Tiang Ceng siapa kemudian dikenal sebagai Ceng Hian
Siansu, sebab ia telah sucikan diri.
Siang hari berlalu seperti biasa.
Bugeenya Kang Lam Hoo maju terus, tetapi tidak
sembarangan ia gunai itu. Ia punya pengalaman diwaktu
muda ada hebat sekali, ia lebih banyak terbenam dalam
kedukaan, dari itu, dalam umur empat puluh tahun, ia
sudah ubanan rambut dan kumis jenggotnya, maka kalau ia sedang pesiar dan ada orang kenali dia, dia dipanggil "Loo Hiap." jago tua. Dalam usia tinggi itu, selagi lain-lain orang sudah lupa lelakonnya, ia sendiri tetap setiap tiga tahun turun gunung untuk membakar uang-uangan kertas di Tin
pa. Kota Tin pa dan dusun sekitarnya sudah seperti salin
rupa, pohon yangliu yang beriwayat sudah tua dan mati, kayunya telah orang pakai sebagai kayu bakar, tapi Siau Hoo tetap ingat itu. Ia toh masih simpan kulitnya pohon itu itu, yang ia pandang sebagai barang kuno "
Di Ie-sie, Shoasay, Kang Siau Loan sudah menutup
mata, tapi ia ada punya anak, dan keponakannya ini, Kang Lam Hoo suka sambangi.
Kadang-kadang Kang Lam Hoo pergi ke telaga Po Yang,
akan kunjungi Lie Hong Kiat, akan pasang omong pada
saudara angkat ini, untuk rundingkan ilmu silat, atau sama-sama diatas air telaga, berenang selulup dan timbul ditelaga itu.
Isterinya Lie Hong Kiat adalah Tan-sie, yalah nona
pegunungan yang dulu diatas gunung Siong San, Hong Kiat tolongi dari tangannya satu manusia busuk. Selama tiga puluh tahun menikah sama Hong Kiat, ia telah melahirkan tiga kali. Tapi semua anaknya itu tidak berumur panjang.
Adalah setelah usianya meningkat, ia dapati satu anak lagi, satu putera, yang diberi nama Bou Pek.
Adalah cita-citanya Hong Kiat untuk anaknya belajar
surat, tidak usah yakinkan ilmu silat seperti ia, adalah
karena cita-citanya ini, ia undurkan diri dari dunia kangou, siapa tahu, ia tak mampu wujudkan cita-citanya itu. Pada suatu tahun, daerah Kanglam kena diserang wabah
penyakit, Hong Kiat dan isterinya rubuh sebagai korban, kebetulan Kam Lam Hoo datang, dia ini coba menolong,
tidak berhasil, bergantian, suami isteri itu menutup mata.
Pada itu waktu, Hong Kiat titipkan anaknya, yang baru
berumur delapan tahun, pada kanda angkatnya itu. Hong
Kiat pesan: "Kanda, sakitku berdua rasanya tak dapat
disembuhkan pula, maka itu, ingin aku titipkan anak kami kepada kau, atau kalau tidak, tolong kanda kirim kita pada Hong Keng, adikku, yang tinggal di Lam-kiong, di
kampung halaman kami, yang hidupnya dalam kecukupan."
Dugaan Hong Kiat benar, bersama isterinya, ia
tinggatkan dunia yang fana ini, maka itu setelah Siau Hoo rawat jenazah suami isteni itu, yang dikubur ditepi telaga, ia antarkan Bou Pek kepada pamanny di Lam-kiong. Ia
berbuat begini karena ia sendiri hidupnya tak ketentuan.
ada berabe untuk dia bawa-bawa bocah itu, sedang ia-pun tidak pikir untuk berikan pelajaran silat kepada keponakan angkat ini.
Selang lagi beberapa tahun, setelah Ceng Hian Siansu
tinggal menetap di kuil Kang Sim Sie di Tong-ou,
keamanan ada terganggu dan di mana-mana siapa mengerti sedikit saja ilmu silat, dia terus menjagoi. Kang Lam Hoo sudah coba tindas orang-orang busuk itu, tetapi ia
kekurangan kaki-tangan, karena itu, ia memikir mencari pembantu.
Pada suatu hari, selagi berjala ditanah pegunungan Cin Nia, dari belakangnya, Kang Lam Hoo dengar ada yang
teriaki: "Kang Siau Hoo!" Ia heran, ia menoleh dengan
segera. Sudah beberapa puluh tahun, tidak lagi ada orang
sebut-sebut dia punya nama itu. Ia dapatkan satu
penunggang kuda putih larikan kudanya ke arah ianya,
umurnya orang itu tidak berjauhan dengan usianya sendiri, cuma kumis dan jenggotnya dicukur kelimis. Orang itu
bertubuh kate dan tegap, romannya gagah seperi anak
muda. Empat kaki kudnya perdengarkan suara nyaring.
Lekas sekali, dia sudah datang dekat. Nyata dia adalah Kie Kong Kiat!
Kong Kiat ada bawa-bawa pedang, ujungnya berbunyi
kebentur dengan besi injakan kaki.
"Kang Siau Hoo!" berkata dia, yang jumawa sejak
mudanya. "Sudah banyak tahun kita orang tidak pernah
bertemu siapa tahu, kau masih hidup! Apakah kau masih
memikir untuk kita orang adu kepandalan" Sayang sekarang tidak ada Ah Loan yang kita orang bisa perebutkan!"
Kang Lam Hoo, yang kumis jenggotnya memain atas
sampokan angin, tidak menjadi gusar.
"Buat apa kau ungkat-ungkat kejadian dimasa kita masih muda?" ia tanya. "Bagaimana keadaan kau selama
beberapa puluh tahun ini?"
"Aku ada terlebih menang daripada kau!" jawab Kong
Kiat. "Aku bukannya seperti kau yang sampai sekarang ini masih sebatang kara. Aku telah beristeri, aku ada punya beberapa anak, yang semuanya sudah terlebih besar dari kau dimasanya kau mengacau di Bu Tong San! Aku telah
belikan mereka sawah kebun, untuk mereka bercocok
tanam, selanjutnya, aku tak perdulikan lagi pada mereka!
Selama beberapa tahun ini, aku hidup dalam perantauan.
Aku telah pergi ke Mongolia, ke Thibet, ke Kwietang juga.
Sekarang aku baru kembali dan Inlam."
"Sekarang kau hendak menuju kemana?" tanya Siau
Hoo yang tak gubris orang punya sikap jumawa itu,
"Apakah kau hendak pulang?"
Kong Kiat melotot.
"Pulang untuk apa?" jawab dia "Apakah orang sebangsa
kita bisa nganggur di dalam rumah" Aku punya beberapa
anak dan cucu tak berguna semuanya, mereka tak mampu
wariskan kepandaian kaum Liong Bun Pay, maka sekarang
aku memikir buat cari satu anak muda untuk dijadikan
muridku. Supaya aku bisa didik ia hingga dia dapat
wariskan bugeeku, supaya jadi jauh terlebih pandai
daripada kau!"
Masih Kang Lam Hoo tak gusar atas orang punya
kecongkakan itu. Malah dia kata:
"Inilah kebetulan. Aku ada punya satu anak muda
puteranya sahabatku, sekarang dia ada di Lam-kiong, pergi kau cari dia, kau ambil dia sebagai muridmu."
"Anak siapa dia itu?" Kong Kiat tanya. "Kalau dia
anaknya Ah Hiap, aku tak sudi! Sampai sekarang ini, aku masih tetap benci sigagu itu!"
"Aku punya kanda itu telah lenyap sekian lama," Kang
Lam Hoo beri tahu. "Dia jauh terlebih tua dari pada aku, jangan-jangan dia sudah tak berada lagi dalam dunia ini.
Pemuda yang aku sebutkan itu ada puteranya Lie Hong
Kiat, namanya Bou Pek, sekarang dia tinggal menumpang
sama pamannya."
Tiba-tiba Kong Kiat melengak. Terang ia teringat hal
dahulu, ketika ia bentrok sama Lie Hong Kiat di Tiang-an, See-an. Ia terharu, tetapi kemudian ia tertawa.
"Baik!" kemudian ia berseru. "Aku nanti ambil dia
sebagai muridku! Nah, sampai ketemu pula! Sampai
ketemu pula!"
Walau-pun dia bersikap congkak, tapi sekali ini waktu
hendak berpisahan, Kong Kiat memberi hormat, dan Siau
Hoo balas hormatnya itu. Dia cambuk kudanya sambil
tertawa dan menghilang ...
Kang Lam Hoo antap orang pergi, kemudian ia
merantau lebih jauh.
Lagi beberapa tahun telah lewat, lantas Kang Lam Hoo
dengar kabar hal Kie Kong Kiat menutup mata di Lamkiong, sebaliknya, Lie Bou Pek telah dapat kepandaiannya turunan dari Liong Bun Pay itu, dan kemudian, pemuda ini telah angkat namanya di Pakkhia dimana dia telah
rubuhkan berbagai jago.
Pernah beberapa kali Kang Lam Hoo pergi ke Pakkhia,
dari itu, ia telah dapat tahu halnya Yo Kong Kiu diam
menyendiri diluar pintu Eng-teng-mui di Pakkhia, hidup sebagai penjual bunga bersama dua cucunya perempuan ...
TAMAT -ooo0dw0ooo- Jodoh Si Mata Keranjang 10 Romantika Sebilah Pedang Karya Gu Long Bara Naga 7

Cari Blog Ini