Ceritasilat Novel Online

Han Bu Kong 1

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Bagian 1


" Han Bu Kong Jilid 1 Angin menderu, awan berarak mengelilingi lereng bukit Jong-liong-nia yang
merupakan lereng pegunungan Hoa. Bukit yang memanjang terjal dengan
jurang yang dalam, puncaknya yang menegak dipandang dari jauh serupa
sebilah pisau mengkilat yang menebus awan di tengah langit.
Cahaya fajar menyimak awan, kabut pun mulai menipis. Di puncak Jong-liongnia
itu, dibawah tugu peringatan pujangga Han-bun-kong berdiri seorang gadis
rupawan dengan gayanya yang indah sedang memandang jauh ke arah jalan
yang menuju ke atas bukit dengan kening bekerenyit.
Tidak lama kemudian, benarlah di jalan pegunungan itu muncul beberapa
sosok bayangan orang. Wajah si nona cantik berubah berseri, lalau mendengus
perlahan penuh rasa benci dan dendam.
Sekejap kemudian beberapa sosok bayangan itu sudah melayang tiba dan
berhenti di depan si nona cantik.
Nona itu mengerling sekejap, lalu berucap dengan dingin, "ikut padaku!"
Dengan suatu gerakan indah ia melompat mundur beberapa tombak jauhnya,
tanpa memandang lagi ia terus melayang ke atas menuju ke puncak selatan
sana. Pendatang itu seluruhnya terdiri dari lima orang, seorang diantaranya lelaki
kekar berbaju hitam, bermuka brewok, berbaju ringkas dan membawa pedang,
alis tebal dan mata besar, ia berkata kepada seorang nyonya muda berbaju
merah disampingnya dengan tertawa, "Hah, latah benar nona cilik tadi,
tampaknya lebih angkuh daripada waktu engkau masih muda."
"Masa?" si nyonya muda berpaling dengan tersenyum.
"Sudah tentu benar," seru lelaki baju hitam dengan tertawa. "Bilamana orang
memperistrikan dia tanggung akan lebih runyam dari pada aku Liong Hui.
Hahaha!" Suara tertawanya menggema angkasa, mengandung rasa kasihan atas diri
sendiri dan juga penuh rasa puas.
Si nyonya muda bersuara aleman dan mendekap ke dada si brewok,
rambutnya bertebaran tertiup angin dan bertaut dengan jenggot pendek si
lelaki kekar. Di tengah gelak tertawa, seorang pemuda berbaju merah dan berbadan kurus
yang menyusul tiba, mendadak berdehem dan berucap, " Suhu datang!".
Seketika si brewok berhenti tertawa dan si nyonya baju merah juga berdiri
tegak kembali. Tertampaklah muncul seorang kakek berjubah satin, muka memakai kerudung
kain sutera tipis warna hitam. Di belakangnya mengikut dua lelaki kekar lain
dan juga berbaju hitam mulus, berdandan ringkas dan membawa golok.
Kedua orang ini menggotong sepotong barang sepanjang satu tombak dan
lebarnya antara tiga kaki, berbentuk lonjong, tapi tertutup oleh sehelai kain
panca warna sehingga tidak jelas kelihatan sesungguhnya barang apa yang
mereka usung ini.
Melihat si kakek, si brewok, nyonya muda, baju merah, dan pemuda kurus tadi
sama berdiri dengan sikap hormat dan tidak berani bersuara lagi..
Sudah berhenti, si kakek menyapu pandang sekejap dengan sinar matanya
yang tajam, lalu bertanya dengan suara tertahan, "dimana dia?"
"Sudah naik ke atas," jawab si berwok dengan hormat
Si kakek mendengus, "Ayo berangkat!". Segera ia mendahului menuju ke atas
puncak gunung, ujung jubahnya tersingkap oleh tiupan angin sehingga
kelihatan sarung pedangnya yang berwarna hijau terbuat dari kulit ikan hiu.
Si nyonya muda yang tertinggal di belakang berucap pelahan, "Ai, hari ini
ayah...." dia tidak meneruskan ucapannya.
Si pemuda kurus tadi berpaling memandang dua orang muda-mudi sekejap ia
terkesima sejenak, lalu berkata, "Simoay (adik perempuan keempat) dan Gote
(adik kelima), boleh kalian menunggu dibawah gunung saja."
Habis berkata ia lantas menyusul si brewok dan si nyonya muda. Kedua mudamudi
saling pandang sekian lama dan tiada yang bicara yang apapun.
Puncak selatan merupakan puncak tertinggi di Jong-liong-nia, hampir
seluruhnya tertutup oleh gumpalan awan, angin meniup kencang, sejak
dahulukala jarang ada manusia berkunjung ke sini. Namun sekarang sang
surya baru terbit, puncak utama pegunungan Hoa yang terkenal ini telah
banyak di datangi orang. Tertampak empat orang perempuan setengah umur
dengan rambut sudah mulai beruban dan berbaju hijau singsat berdiri berjajar
di bawah pohon cemara tua, wajah setiap orang tampak prihatin.
Ketika si nona cantik tadi melayang tiba segera ia mendesis,"Itu dia datang!"
Baru lenyap suara, dari bawah puncak lantas berkumandang seruan orang,
"Janji sepuluh tahun yang lalu tidak pernah dilupakan Liong Po-si, mengapa
Sip-tiok-li tidak menyambut kedatangan kenalan lama?"
Suaranya tidak keras, namun setiap katanya berkumandang dengan jelas.
Keempat perempuan berbaju hijau itu saling pandang sekejap, tapi tidak ada
yang bergerak. Seadngkan si nona cantik hanya mendengus saja, lalu
berduduk santai di atas batu hijau di samping pohon cemara.
Baru saja suara orang tadi lenyap, di atas puncak sudah muncul bayangan si
kakek yang tinggi besar dan berwibawa itu, dengan sorot mata tajam ia
menyapu pandang kelima orang perempuan di bawah pohon, lalu bertanya "
Apakah tempai ini puncak Hoa-san yang tertinggi" Apakah kalian anak murid
Tan-hong?"
Dengan tak acuh si nona cantik menjawab, "Betul!"
"Dan dimanakah Tan-hong Yap jiu-pek?" tanya pula si kakek sambil
melangkah maju.
Perlahan si nona cantik berbangkit, ia mengawasi si kakek beberapa kejap dari
atas ke bawah dan dari bawah kembali ke atas, lalu menjengek, "Apakah
engkau ini Put-si-sin-liong, Liong Po-si?"
Put-si-sin-liong atau si naga sakti tak termatikan, Liong Po-si yaitu si kakek
berjubah satin itu tampak melenggong, mendadak ia menengadah dan tertawa
terbahak-bahak, "Hahaha bagus,bagus! Tak tersangka hari ini di dunia
kangouw masih ada orang berani menyebut namaku langsung di depanku!"
Si nona cantik tertawa dingin, ucapnya dengan sikap pongah, "Bagus, bagus!
Tak terduga hari ini di dunia kangouw ada orang berani menyebut nama
guruku di hadapanku."
Melenggak juga si kakek, mendadak ia mendekati keempat orang perempuan
berbaju hijau, ia tuding si nona cantik dan bertanya, "Apakah dia murid Yap
jiu-pek?" Keempat orang perempuan berbaju hijau memandangnya tanpa berkedip dan
menjawab berbareng "Betul!"
Serentak Liong Po-si berpaling dan menegur dengan gusar, "Sepuluh tahun
yang lalu gurumu berjanji akan bertemu denganku disini, mengapa sekarang
dia tidak muncul, sebaliknya menyuruhmu bersikap kurang sopan kepada
kaum cianpwee"
"Hm, betapa pentingnya janji pertemuan juga takkan dipenuhi lagi oleh
guruku," Kata si nona dengan dingin.
"Memangnya kenapa?" bentak Liong po-si dengan gusar
"Guruku telah wafat tiga bulan yang lalu", jawab si nona dengan perlahan.
"Sebelum meninggal beliau memberi pesan agar kuwakili pertemuan ini, tapi
beliau tidak pernah memberitahukan padaku bahwa engkau ini kaum cianpwee
segala." Dia bicara dengan tenang, nadanya dingin tanpa emosi, sama sekali tidak ada
tanda duka seorang murid lagi menyampaikan berita tentang meninggalnya
sang guru. Kembali Liong po-si melenggak, kain sutera yang mengerudungi mukanya
tampak bergetar, jenggot perak di bawah dagunya juga rada gemetar.
Keempat perempuan berbaju hijau juga saling pandang lagi sekejap, tapi tetap
tidak bersuara.
Dalam pada itu si brewok, si nyonmya muda dan pemuda kurus berlima juga
sudah menyusul tiba. Kedua lelaki berbaju hitam menaruh pelahan barang
yang mereka usung itu, lalu menyurut mundur dengan sikap hormat.
Si brewok alias Liong-hui mendekati Liong po-si, dengan suara pelahan ia
tanya, "Bagaimana, ayah?"
Mendadak Liong po-si menghela nafas dan berkata, "Yap jiu-pek sudah mati!"
Dengan menyesal ia lantas membalik tubuh dan melangkah pergi.
Sorot mata si nona cantik yang dingin itu memancarakan cahaya yang aneh,
mendadak ia menengadah dan tertawa dingin, "Hah sayang, sungguh sayang!"
Tak tersangka tokoh paling gagah yang termashur di dunia kangouw Put-sisinliong ternyata cuma begini saja setelah kulihat."
Serentak Liong po-si berhenti di tempat. Alis liong-hui juga menegak,
dampratnya gusar, "Apa katamu?"
"Apa kataku tiada sangkut pautnya denganmu," jawab si nona ketus, "Disini
tidak ada hak bicara bagimu."
Tentu saja liong-hui tambah gusar, tapi Liong po-si telah memutar balik dan
menegur si nona, "Kaubilang apa tadi?"
Dengan tenang si nona menjawab, "Apa yang ditetapkan dalam perjanjian
guruku denganmu sepuluh tahun yang lalu mengenai pertemuan ini?".
Liong po-si tampak kecewa, jawabnya, "Yang menang akan ditetapkan
menjadi pemimpin dunia kangouw selamanya dan yang kalah....Ai, kalau Yap
jiu-pek sudah mati, biarpun orang she Liong dapat merajai dunia kangouw....."
"Meski guruku sudah wafat, apakah engkau pasti dapat merajai dunia
kangouw?" mendadak si nona memotong dengan ketus.
"Memangnya hendak kau tantang diriku untuk bertanding?" Tanya si kakek.
"Hm, biarpun ada maksudku demikian, mungkin engkau juga tidak sudi
bergebrak denganku," sahut si nona.
"Memang betul," ujar Liong po-si.
"Selama berpuluh tahun kira-kira ada berapa kali engkau bertanding dengan
guruku?" tanya si nona mendadak.
"Berapa kali, sukar dihitung lagi."
"Dan pernahkah engkau menangkan beliau setengah atau satu jurus?"
"Tapi juga tidak pernah kalah."
"Nah, kalau kalah dan menang tidak pernah terjadi dan engkau lantas ingin
merajai dunia kangouw, apakah di dunia ini ada urusan segampang ini".
Liong po-si melenggong, "Yap jiu-pek sudah mati, masakah harus kutantang
orang mati untuk bertanding?"
"Hm, meski guruku sudah meninggal, tapi beliau meninggalkan satu seri ilmu
pedang, bila engkau tidak mamapu mengalahkan ilmu pedang ini, hendaknya
segera engkau membunuh diri di puncak Hoa san ini dan setiap anak murid Jihausan-ceng selanjutnya dilarang berkecimpung di dunia kangouw."
Belum lagi Liong po-si menjawab, mendadak si brewok Liong hui bergelak
tertawa dan berteriak, "Dan bagaimana kalau ayahku menang?"
Sama sekali si nona tidak menghiraukannya, melirik pun tidak, ucapannya
seolah-olah tidak terdengar olehnya.
Liong hui tertawa keras dan berseru pula, "Jika ayahku kalah diharuskan
segera membunuh diri, bila ayah menang, memangnya Yap jiu-pek itu dapat
mati sekali lagi" Apalagi jelas-jelas kau tahu ayahku tidak sudi bergebrak
dengan kaum muda, apa gunanya biarpun Yap jiu-pek meninggalkan ilmu
pedang segala?"
"Diam?" mendadak Liong po-si membentak. Lalu ia mendekati si nona cantik
dan berucap dengan suara tertahan," selama sepuluh tahun ini, apakah dia
telah menciptakan pula seri ilmu pedang baru?"
"Betul," Jawab si nona.
Meneorong sinar mata Liong po-si, tapi lantas menghela nafas lagi dan
berkata, "Biarpun ada ilmu pedang maha sakti, kalau tidak dimainkan oleh
orang yang menguasai kculetan yang cukup, memangnya dapat
mengalahkanku begitu saja?"
Pelahan ia menunduk, tampaknya sangat kecewa.
Dengan ketus si nona berkata pula, "Jika ada orang yang kculetannya
sebanding denganmu, lalu dengan ilmu pedang tinggalan guruku untuk
bergebrak denganmu, bukankah hal itu serupa halnya guruku bertempur
sendiri denganmu?"
Sorot mata Liong po-si tambah buram, ucapnya dengan hampa, "Sejak 17
tahun yang lalu segenap jago dunia persilatan kelas top berkumpul di Wi-san,
kecuali gurumu dan aku, semuanya gugur dalam pertarungan di Wi-san sana.
Sekarang bila ingin mencari seseorang yang mempunyai kekuatan sebanding
denganku, untuk itu mungkin perlu menunggu tiga atau lima puluh tahun lagi."
"Untuk menguasai ilmu pedang dengan baik memang diperlukan kekuatan
latihan yang cukup, kurang salah satu diantaranya takkan mampu menjadi
jago kelas tinggi, dalil ini cukup jelas, sebab itulah setelah pertemuan di Wisan,
tiada lagi jago lain yang mampu mengungguli Tan-hong dan Sin-liong.
Biarpun di antara angkatan muda ada juga yang mendapatkan penemuan yang
mukjizat dan memperoleh ilmu gaib, tapi tetap juga tiada seorang pun yang
berkekuatan melebihi Tan-hong dan Sin-liong, betul tidak?"
"Ya memang." Sahut si kakek.
Sepuluh tahun yang lalu, apakah kekuatan guruku sebanding denganmu?"
"Umpama ada selisih juga tidak ada artinya."
"Tapi selama sepuluh tahun ini guruku tidak pernah melupakan janji
pertarungan denganmu disini, beliau giat berlatih siang dan malam."
"Memangnya aku tidak begitu?" ujar si kakek.
"Jika begitu keadaannya, bila sekarang kalian berhadapan, bukankah kekuatan
kalian juga tidak berbeda banyak?"
"Ya kecuali di dalam sepuluh tahun ini gurumu (perempuan) bisa mendapatkan
obat mujizat yang dapat menambah kekcuatannya dengan cepat, kalau tidak
pasti tidak dapat melebihiku."
Setelah menghela nafas, mendadak ia berpaling dan berkata kepada si
brewok, "Nah anak Hui, ketahuilah bahwa bertambahnya kekuatan latihan
seorang serupa halnya kawanan burung membuat sarang dan manusia
membangun gedung, harus setingkat demi setingkat maju secara teratur,
sedikitpun tidak dapat dipaksakan, pantang tinggi hati dan ingin maju dengan
cepat, fondasi harus terpupuk dengan kuat, kalau tidak biarpun bengunan
gedung sudah berdiri, jelas tidak tahan lama. Memang ada juga obat-obat
mujizat yang dapat menambah kekcuatan, tapi obat ajaib demikian sangat
sukar dicari. Banyak juga orang kangouw yang ingin menemukan obat
mukjizat demikian sehingga menimbulkan macam-macam peristiwa
menyedihkan."
Liong hui menunduk dan mengiakan.
"Apalagi pertarungan di antara jago kelas tinggi, waktu, tempat dan si pelaku
sendiri adalah faktor yang menentukan," kata Liong po-si pula.
"Tapi kalau guruku berhasil menciptakan satu seri ilmu pedang tanpa ciri,
bukankah dengan mudah dapat mengalahkanku?" kata si nona cantik.
"Didunia ini mutlak tidak ada kungfu yang tanpa ciri kelemahan," ujar Liong
po-si,. "Namun bila ciri diantara ilmu pedang gurumu itu tidak dapat
kutemukan, atau satu jurus serangannya membuatku tidak berdaya untuk
mematahkannya, maka jelas aku akan kalah."
"Janji pertemuanmu dengan guruku belum terlaksana dan guruku lantas wafat,
sungguh di alam baka pun beliau tidak bisa tenang," ucap si nona cantik.
"Hm, memangnya tidak kurasakan sebagai penyesalan selama hidupku ini?"
jengek Liong po-si.
Nona itu menengadah, katanya pula, "Sebelum wafat guruku pernah berkata
kepadaku bahwa di dalam sepuluh tahun ini engkau pasti juga akan
menciptakan ilmu kungfu baru untuk menghadapi beliau."
"Haha, memang Cuma Yap ji-pek saja benar-benar sahabat yang tahu
perasaanku," Seru Liong po-si, dengan tertawa, namun tertawa yang pedih
dan mengharukan.
Tiba-tiba si nona berkata pula, "Tapi kau pun tidak perlu risau karena kungfu
yang kau latih selama ini tidak berguna lagi. Sebelum wafat guruku sudah
memikirkan satu cara bagimu bilamana engkau ingin menentukan kalah
menang dengan beliau."
Suara tertawa Liong po-si seketika berhenti ia pandang si nona dengan tajam.
Nona cantik itu tidak menghiraukannya, katanya lagi, "Begini caranya, jika
boleh kututuk tiga hiat-to tubuhmu, yaitu Koat-bun-hiat di bagian bahu, Sinconghiat di punggung dan Yang-koan-hiat di dekat pinggul, dengan begitu
tertutuplah urat nadi Tok-im yang dapat mengekang sebagian tenagamu,
dengan kelihaianmu tentu tertutuknya ketiga hiat-to itu takkan
membahayakan jiwamu, tapi tenagamu dapatlah susut menjadi Cuma tujuh
bagian saja dan berarti sama kuatnya denganku, lalu akan kugunakan ilmu
pedang guruku untuk bergebrak sendiri denganmu?"
Dia bicara kian kemari akhirnya yang dituju ternyata begini. Liong po-si jadi
melenggak lagi.
Didengarnya si nona berkata pula, "Cara ini adalah pesan guruku sebelum
wafat, bilamana tidak kauterima, tentu juga aku tak dapat memaksa."


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak pemuda brewok Liong hui berseru, "Huh, kau bicara seperti
permainan anak kecil saja, mana boleh pertandingan dilakukan secara begitu."
Si nyonya muda berbaju merah yang berdiri agak jauh disana mendadak
melompat maju dan menjengek,"Hm, jika begitu, bila kuganakan ilmu silat
ayahku untuk bergebrak denganmu kan juga sama saja."
Nona cantik itu mendengus dan melengos, mendadak ia menengadah dan
menghela nafas, katanya, "Wahai suhu, kan sudah kukatakan dia pasti takkan
terima caramu ini, tapi engkau tidak percaya, sekarang terbukti dugaan suhu
memang salah."
Lalu ia mendekati keempat perempuan berbaju hijau di bawah pohon sana dan
berucap, " Ayolah kita pergi, apa alangannya membiarkan Ji-hau-san-ceng
merajai dunia persilatan."
"Nanti dulu!" bentak Liong po-si mendadak.
Si nona menoleh dan mengejek,"Jika engkau tidak mau menepati janji
terhadap orang mati tentu aku tidak menyalahkan dirimu. Anggap saja
memang tidak pernah ada janjian sepuluh tahun yang lalu tiu."
Liong po-si menengadah dan bergelak tertawa lantang, serunya "Selama
berpuluh tahun entah sudah berapa kali menyerempet bahaya dan belum
pernah kupikirkan soal mati dan hidup, lebih lebih tidak pernah ingkar janji
terhadap siapapun. Meskipun Yap jiu-pek sudah mati, namun janji tetap janji,
jika dia telah meninggalkan pesan cara bertanding denganku, mana boleh
kuingkar janji padanya."
Keruan Liong hui dan si nyonya muda terkejut, cepat mereka berseru,
"Ayah!...."
Tapi Liong po-si terus menarik kain kerudungnya.
Sekilas pandang terkesiap juga hati si nona cantik. Dilihatnya wajah orang
penuh bekas luka silang menyilang, biarpun dipandang di siang hari tetap juga
menimbulkan rasa seram.
Dengan suara berat Liong po-si berkata kepada Liong hui, "Selama hidup
ayahmu sudah mengalami berautus kali pertempuran besar atau kecil dan
belum pernah kalah, batapapun tangguhnya lawan tetap dapat kutundukkan
dia dengan pedangku, semua itu adalah karena dadaku yang lapang, tekadku
yang bulat, tidak ada sesuatu yang kutakuti, tapi bila satu kali akau ingkar
janji, tentu dadaku tidak lagi selapang itu, dan bisa jadi sudah lama aku mati."
Sinar matanya menjadi buram, dia seperti tenggelam dalam lamunan masa
lampau. Cahaya yang surya yang baru terbit menembus kabut tipis dan
menyinari wajahnya yang penuh bekas luka sehingga garis-garis bekas luka itu
bersemu merah. Pelahan ia meraba dahi sebelah kanan, disitu ada sejalur luka pedang
memanjang dari dahi kanan hingga ujung mata, bila miring lagi sedikit ke kiri
tentu mata kanan itu sudah lama cacat.
"Empat puluh tahun yang lalu, di benteng Giok-lui-koan....." dia bergumam
pelahan dan seakan-akan terbayang kembali adegan dahulu ketika di
berhadapan dengan Ko siau-thian, itu tokoh utama Go bi pay yang berjuluk
Coat-ceng-kiam atau si pedang tanpa kenal ampun, dengan sejurus Thian-cekenghong" Atau pelangi menghias ujung langit, pedang Ko siau-thian telah
meninggalkan bekas luka pada dahinya itu, sekarang dirabanya dengan
pelahan, rasanya masih dapat merasakan penderitaan waktu kulit dagingnya
tersayat pedang dahulu.
Mendadak ia menengadah dan bersuit, lalu bergelak tertawa dan berteriak,
"Wahai Ko siau-thian, meski aku tidak mampu menangkis jurus seranganmu
Thian-ce-keng-hong itu, tapi engkau sendiri masakah mampu lolos dari
pedangku"...."
Suara tertawanya berubah lemah, tapi waktu tangan menyentuh tiga garis
bekas luka di dahi kanan, kembali terkenang olehnya kejadian lain, waktu dia
berkelana menjelajah dunia, dia berhadapan dengan Pah-san-kiam-kek,
melawan jago keluarga pang dan juga mengunjungi siau-lim-si, dimana-mana
dia menantang bertanding, setiap kali menyerempet bahaya, tapi selalu lolos
dari maut dan akhirnya menang, semua itu mendatangkan julukan baginya
sebagai put-si-sin-liong atau si naga sakti tak termatikan. Teringat olehnya 30
tahun yang lalu orang Bulim mengadakan pesta di Sian-he-nia untuk
mengukuhkan julukannya, dimana berkumpul ksatria dari segenap penjuru,
pesta yang meriah dan juga membanggakan, terkenang pada kejadina dulu
itu, tanpa terasa tersembul senyuman pada ujung mulutnya.
Pelahan ia mengelus jenggotnya sehingga menyentuh setitik bekas luka
tusukan pedang, inilah akibat serangan Sam-hoa-sin-kiam atau si pedang sakti
tiga bunga, luka ini paling ringan, tapi juga paling berbahaya pada waktu itu.
"Kiu-ih-hui-eng (si elang sembilan sayap) Tik Bong-peng sungguh tokoh paling
sulit dihadapi selama hidupku...." demikian Liong po-si bergumam pula
perlahan, "Tapi betapa lihai ilmu pedangnya tetap tidak dapat lolos di bawah
pedangku".
Lalu dia meraba lagi bekas luka di tepi mata kanan, itulah tusukan pedang
jago kunlun pai. Malahan bagian iganya juga terdapat bekas luka pedang Butongpai, diam-diam ia mengakui kebaikan hati orang Bu tong, hanya
menyerang tubuhnya tanpa merusak wajahnya, sebab itulah Liong po-si
sendiri juga tidak membunuh lawannya, tapi siapa yang menyangka dalam
pertarungan di Wi-san itu, ketiga sesepuh Butongpai yang berhati welas asih
itu juga tewas.
Terkenang kepada semua kejadian masa lampau itu tanpa terasa Liong po-si
menghela nafas panjang lagi. Bahwa dalam pertarungan di Wi-san itu hampir
segenap jago inti dunia persilatan telah tewas seluruhnya, sebaliknya Liong
po-si sendiri tidak mengalami cidera apapun, memangnya apa sebabnya"
"Hal ini lantaran segala ilmu silat di dunia ini telah kuuji dan kupelajari, maka
tidak ada lagi sesuatu kungfu yang mampu melukaiku!"
Ia memandang jauh puncak di gunung seberang sana, mendadak timbul
semacam perasaan kosong yang sukar dijelaskan. Ingin menang tida bisa
adalah hal yang menyedihkan, minta kalah tidak dapat juga mengharukan.
Segala kejadian masa lampau solah-olah awan yang mengambang di udara itu
melayang lewat dalam benaknya....
Mendadak suara elang berkumandang dari bawah gunung menyadarkan
lamunan put-si-sin-liong Liong po-si. Suasana di atas puncak terasa sunyi
senyap, sorot mata tajam si nona cantik lagi menatapnya, seperti sedang
menunggu, seperti juga hormat dan kagum, tapi juga seperti meremehkan.
Sekonyong-konyong Liong po-si tertawa lantang sambil membentangkan
kedua tangannya, terdengar suara "trang-tring" nyaring, belasan kancing
emas jubahnya sama rontok jatuh ke tanah.
Terkesiap si brewok liong-hui, serunya "Ayah, buat apa"....."
"Jika tidak kulayani ilmu pedang tinggalan Yap jiu-pek, selain dia mati tidak
tentram di alam baka, akupun menyesal selama hidup," Kata Liong po-si
dengan tertawa.
Si nona cantik mendengus, pelahan ia mengeratkan tali pinggang dan siap
tempur "Tapi... tapi hal ini kurang adil, ayah..." seru liong-hui pula.
"Kautahu apa?" bentak Liong po-si. Mendadak ia tertawa lagi. "Hahaha, selama
hidupku dijuluki put-si (tak termatikan), bilamana sudah tua harus mati di
bawah pedang orang lain, rasanya juga menggembirakan bagiku."
Cepat Liong-hui menyurut mundur ketika melihat tangan sang ayah bergerak,
jubah satin berwarna ungu mendadak terlempar ke atas serupa segumpal
awan terbang ke angkasa, lalu mampir di pucuk cemara.
"Koat-bun, Sin-cong, Yang-koan...." dengan ketus si nona cantik menyebut
nama ketiga hiat-to.
Liong po-si mendengus, ia lantas memutar punggungnya ke arah liong-hui,
katanya dengan tenang, "Anak hui, apakah masih ingat gerakan Ho-cui-keng
(tenaga cocokan bangau)?"
"Masih," jawab liong-hui dengan ragu.
"Nah gunakan gaya Ho-cui-keng untuk menutuk ketiga hiat-to yang
disebutnya itu," ucap Liong po-si
"Tapi...Ayah..."
"Cepat!" bentak si kakek
Liong-hui ragu sejenak pula, akhirnya ia menggertak gigi dan memburu maju
ke belakang sang ayah, tangan kanan terangkat, jari telunjuk dan jempol
terangkap serupa paruh burung bangau dan pelahan menutuk koat-bun-hiat di
bagian pundak. Si nyonya muda berbaju merah menghela nafas, ia berpaling ke arah lain,
sekilas terlihat barang yang tertutup oleh kain satin yang diusung oleh kedua
orang berbaju hitam tadi, serentak ia berpaling kembali dan dilihatnya si
brewok Liong-hui belum lagi melancarkan tutukannya, rupanya baru terjulur
sampai setengah jalan tangan Liong-hui lantas bergemetar dan tidak sanggup
turun tangan lebih lanjut.
Liong po-si melirik ke belakang dan mendamprat, " Manusia tak......becus!"
Cukup bengis ia memaki, tapi ketika mengucapkan "becus", suranya berubah
menjadi lunak. Liong hui meluruskan kembali kedua tangannya dan menghela nafas, ucapnya
"Ayah, kupikir urusan ini agak ganjil..."
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong sesosok bayangan orang
melayang tiba, kiranya si pemuda belia dan tampak lemah lembut dan selalu
mengikut di belakang pemuda kurus berbaju hitam itu bersama seorang anak
dara tadi. "Untuk apa kaudatang kemari Gote"!" Seru Liong-hui dengan kening
berkernyit. Pemuda lemah itu menjawab dengan lugas, "Jika toako tidak sanggup turun
tangan biarlah siaute saja menggantikan engkau."
"Apa kaugila?" Bentak liong-hui dengan mendelik
Pemuda lemah itu memandang lurus ke depan dengan air muka kaku.
put-si-sin-liong membalik tubuh dan mengawasi anak muda itu beberapa
kejap, lalu berkata dengan gegetun, "Ai selama ini kuanggap kau terlalu lemah
lembut serupa anak perempuan, tak tersangka diluar kau halus tapi keras
didalam, serupa diriku pada waktu muda, jika sekali ini aku dapat...."
mendadak ia terbatuk, lalu menyambung, "Baiklah jika kaupun paham gerakan
Ho-cui-keng, boleh lekas kau turun tangan."
Liong-hui lantas melangkah mundur dengan menunduk seperti tidak ingin
melihat apa yang bakal terjadi.
Maka terdengarlah suara "tek-tek-tek" pelahan tiga kali, Liong po-si lantas
menghela nafas lega, lalu menarik nafas lagi dalam-dalam disusul dengan
suara mendering dan cahaya pedang yang menyilaukan mata.
Dalam pada itu si nyonya muda lantas mendekati liong-hui, dibisikinya, "Untuk
apa kausedih, toh ayah tidak pasti kalah."
Mendadak Liong-hui mengangkat kepalanya seperti mau bicara, tapi urung.
Terlihat si nona cantik tadi telah menerima sebatang pedang dari salah
seorang perempuan berbaju hijau tadi, disentilnya batang pedang dengan dua
jarinya,"tring", terdengar suara nyaring bergema.
Liong po-si juga sedang memandang pedang sendiri yang bercahaya hijau,
samapi sekian lama ia tidak bergerak, hanya jarinya saja yang meraba-raba
batang pedang serupa seorang ibu membelai anak kesayangannya.
Kemudian dia menanggalkan sarung pedangnya yang masih tergantung di
pinggangnya, ia membalik dan menyerahkan sarung pedang itu kepada si
pemuda lemah tadi.
Pemuda yang berwajah putih cakap itu mendadak terkilas rasa kejut dan
heran, cepat ia sambut pemberian pemberian sarung pedang itu.
"Mulai hari ini, pedang Yap-siang-jiu-loh (embun musim rontok di atas daun)
ini adalah milikmu," demikian kata Liong po-si.
Dengan sinar mata meneorong pemuda itu memegang sarung pedang dan
melangkah mundur, lalu dia berlutut dan menyembah tiga kali kepada Liong
po-si. Air muka si brewok Liong-hui berubah hebat, alisnya yang tebal berkerut, dia
seperti mau bicara, tapi si nyonya muda berbaju merah telah menarik ujung
bajunya, keduanya saling pandang sekejap, lalu menunduk diam.
"Jangan sia-siakan pedang ini!" demikian pesan Liong po-si.
Pemuda lembut itu lantas berbangkit, mendadak ia mendekati benda panjang
yang tertutup oleh kain satin itu, pelahan ia menjulurkan sarung pedang untuk
menyingkap kain penutup panca warna itu. Maka tertampaklah benda itu
ternyata sebuah peti mati terbuat dari kayu cendana.
Liong po-si menatap anak muda itu tanpa berkedip, tanyanya dengan suara
berat "Adakah yang ingin kaukatakan?"
Pemuda itu kembali berlutut lagi pelahan dan menyembah tiga kali terhadap
peti mati itu, mendadak ia melolos sebilah belati ia menusuk ujung jari sendiri,
darah lantas mengucur keluar, ia kebaskan tangannya sehingga beberpa titik
darah menetes di atas peti mati.
Air muka Liong po-si yang kereng mendadak tersembul senyuman puas,
ucapnya "Bagus-bagus!"
Habis itu barulah ia mendekati si nona cantik tadi.
"Anda menyiapkan peti mati dengan harapan akan kalah, put-si-sin-liong
memang tidak malu disebut sebagai jago perkasa nomor satu di dunia
persilatan," kata si nona dengan tersenyum.
Sampai sini barulah nona ini memperlihatkan senyuman yang manis bagaikan
bunga yang mekar semarak, senyum yang memikat dan sukar dilukiskan.
Pemuda lemah tadi telah menggantungkan sarung pedang kulit ikan hiu pada
pinggangnya, mendadak sorot matanya memancarkan cahaya aneh menatap
wajah si nona cantik, lalu selangkah demi selangkah didekatinya dengan
pelahan. Nona itu mengerling, sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa terasa si nona
terkesima. Sesudah pemuda itu berada di depannnya barulah ia menegur,
"Kaumau apa?"
Liong po-si juga lantas berkata, "Disini sudah tidak ada lagi urusanmu, kenapa
tidak mengundurkan diri saja!"
Namun anak muda itu tidak menjawab, mendadak kedua tangannya
terpentang, telapak tangan kiri menghantam iga si nona, sebaliknya telapak
tangan kanan memukul iga kiri put-si-sin-liong, Liong po-si.
Sungguh luar biasa kecepatan dan ketepatan kedua serangan pemuda ini, si
nona cantik dan liong po-si sama terkesiap, mereka tidak menyangka
mendadak bisa diserang.
Pada saat mereka melenggong itulah tangan si pemuda lemah sudah
menyambar tiba, cepat si nona cantik menangkis dengan sebelah tangan,
"plok", kedua tangan beradu.
Liong-po-si terpaksa juga menangkis, ia menggeser dan angkat sebelah
tangannya, ia pun beradu tangan dengan muridnya itu.
Di tengah suara adu pukulan itu si brewok Liong-hui memburu maju sambil
membentak, "Apa kau gila, Gote?"
Tapi segera terlihat pemuda lembut itu menarik kembali tangannya dan
menggeser mundur, lalu berkata dengan hormat, "Suhu, nona ini tidak
berdusta!"
"Maksudmu, kekuatanku sekarang telah seimbang dengan dia?" tanya Liong
po-si, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata pula, "Haha, bagus, bagus,
baru sekarang kutemukan lawan yang sama kuat!"
Liong-hui tampak tercengang sejenak, katanya kemudian kepada pemuda
lembut, "Kiranya tujuanmu cuma untuk menguji kekuatan perempuan itu
apakah sebanding dengan suhu apa tidak?"
"Ya begitulah", sahut anak muda itu dengan menunduk.
"Jika maksudnya bukan untuk meneoba, mana dia bisa menyerang guru
sendiri, kan mubazir pertanyaanmu itu" ujar Liong po-si dengan tertawa cerah.
Kakek yang gagah dan kereng ini, meski sekarang menghadapi pertempurna
yang pasti sangat berbahaya, namun hatinya justru terasa sangat gembira,
entah lantaran menemukan lawan yang "sama kuat" atau karena merasa
tindakan muridnya itu sangat cocok dengan seleranya"
Liong-hui tampak kikuk dan mundur teratur sambil melirik sekejap kepada
pemuda lembut itu.
Si nyonya muda berbaju merah tertawa dan berkata, "usia gote masih muda
belia, tak tersangka sudah mempunyai kecerdasan dan kekuatan sehebat ini."
Liong po-si berucap dengan gegetun, "Sesudah lama baru ketahuan hati
manusia, setelah perjalanan jauh baru tahu tenaga kuda. Untuk mengetahui
watak dan kecerdasan seseorang juga baru kelihatan bilama menghadapi
keadaan genting."
Pemuda lembut tadi menunduk. Sedangkan liong hui saling pandang sekejap
dengan si nyonya muda.
Anak dara yang berdiri berdampingan dengan si pemuda lembut tadi tampak
tersenyum senang dan bangga.
Baru sekarang pandangan si nona cantik berpindah dari wajah si pemuda
lembut, lalu menjengek, "Nah sesudah dicoba, bolehkah dimulai sekarang?"
"Tentu saja," Kata Liong po-si sambil mengayunkan pedangnya sehingga
menerbitkan suara dering nyaring dan mengakibatkan rontoknya lidi cemara


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menjatuhi tubuh keempat perempuan berbaju hijau ringkas itu.
Meski tenaga dalam Liong po-si sudah surut banyak, tapi tetap selihai ini,
tanpa terasa keempat perempuan itu saling pandang dengan terkesiap.
Tapi si nona cantik anggap seperti tidak tahu, ucapnya ketus, "Jika boleh
mulai, silakan anda ikut padaku!"
Liong po-si jadi melenggong lagi, "Masakah bukan disini?"
"Ya, disini bukan tempat yang baik untuk bertanding," Segera si nona cantik
sepeti hendak membalik ke sana.
"Sebab apa?" tanya Liong po-si.
"Jika kubunuh dirimu, tentu anak muridmu akan menuntut balas padaku,
padahal pengaruh Ji-hau-san-ceng di dunia persilatan sangat besar, sebaliknya
guruku cuma menerima seorang murid seperti diriku saja, bila mereka
menuntut balas kepadakau, tentu aku tidak mampu melawannya, betul tidak?"
"Dengan sendirinya engkau tidak mampu melawan!" bentak liong-hui
"Hm, hanya mengandalakan sedikit kepandaianmu ini kaukira dapat
mengalahkan guru kami?" jengek si nyonya muda mendadak.
Liong po-si melirik kedua anak muridnya itu sekejap, diam-diam seperti
merasa menyesal, segera ia berkata, "Tentu maksudmu ingin merahasiakan
ilmu pedangmu untuk berjaga bilamana anak muridku menuntut balas padamu
setelah berhasil kaubunuh diriku, begitu?"
"Betul," jawab si nona cantik. "Pada waktu suhu mengajarkan ilmu pedang ini
padakau, kecuali menugasku membunuhmu, ada juga orang lain yang harus
kubunuh, mana boleh kuperlihatkan ilmu pedang ini di depan umum sehingga
orang sempat mempelajari ciri kelemahan ilmu pedangku ini"
"Ya betul juga, bilamana aku menciptakan sesuatu kungfu baru, tentu kau pun
akan merahasiaknnya," ujar Liong po-si dengan mengangguk.
Mendadak ia menghela nafas panjang dan menatap tajam si nona cantik, lalu
bertanya sekata demi sekata, "Menjelang wafatnya gurumu, apakah dia masih
begitu benci padaku?"
"Bila benci dan dendam sudah mendalam apa bedanya waktu hidup atau sudah
mati?" jengek si nona.
"Haha, apa bedanya...apa bedanya...." mendadak Liong po-si menegadah dan
bersuit, lalu membentak, "Baik, dimana tempatnya" Ayo, akan kuikuti!"
Tanpa bicara lagi si nona cantik lantas memabalik tubuh dan melangkah pergi.
Mendadak si brewok liong-hui membentak "Nanti dulu!"
Tapi si nona tetap melangkah ke depan seperti tidak mendengar.
Tiba-tiba terdengar kesiur angin lewat, tahu-tahu si pemuda lembut sudah
menghadang di depannya.
Bekerenyit juga kening si nona cantik, ia menoleh memandang Liong po-si
sekejap. Segera Put-si-sin-liong, Liong po-si membentak, "Kalian mau apa lagi?"
Si nyonya muda melompat maju dan berkata, "Betapapun kita harus berjaga
segala kemungkinan, apabila mereka telah mengatur perangkap disana,
bukankah suhu akan terjebak?"
Liong po-si menjadi sangsi, ia memandanga sekejap si nona cantik.
Si nona cantik balas menatapnya dengan dingin seakan akan sedang berkata,
"Pergi atau tidak terserah padamu......."
Sebelum Liong po-si berkata pula, cepat si nyonya muda mendahului bicara,
"Sampai saat ini belum juga kami minta petunjuk akan nama nona yang
terhormat, sungguh kurang sopan."
Dia bicara dengan lemah lembut dan tersenyum pula sehingga mau tak mau
orang harus menjawab pertanyaannya.
Meski air muka si nona tetap dingin, tidak urung ia menjawab singkat,
"Namaku Yap man-jing."
"Sungguh nama yang bagus, "ujar si nyonya muda dengan tersenyum. "Dan
namaku Kwe giok-he, nama kampungan, tapi.....ai, apa boleh buat."
Dalam keadaan demikian dan di tempat sperti ini dia justru bicara tetek
bengek, tampaknya Liong po-si merasa tidak sabar, tapi agaknya dia sangat
sayang kepada si nyonya muda itu maka dia tidak mencegahnya.
Si brewok liong-hui tampaknya juga sangat hormat dan juga jeri terhadap
nyonya muda itu. Hanya si pemuda lembut saja tetap kelihatan kaku tanpa
emosi. Tidak bicara juga tidak tertawa.
Terdengar nyonya muda itu menyambung lagi, "Nona Yap, meski kita tidak
pernah bertemu sebelum ini, namun gurumu sudah lama kami dengar,
ditambah lagi nona Yap sendiri begini cantik dan menyengkan, sebab itulah
segala apa yang diucapkan nona Yap telah kami turuti semua."
Si nona cantik alias Yap man-jing hanya mendengus saja tanpa menanggapi.
Maka Kwe giok-he meneruskan lagi, "Cuma syarat yang dikemukakan nona
Yap tadi, betapapun kami rasakan agak kurang baik..."
"Kurang baik apa" Urusan ini tidak ada sangkutpautnya denganmu, mengapa
engkau ikut campur?" jengek Yap man-jing dengan ketus.
Namun Kwe giok-he tetap tersenyum cerah dan berkata, "Jika benar nona Yap
tidak menghendaki kami melihat rahasia ilmu pedang gurumu, seharusnya hal
ini kaubicarakan jauh sebelumnya, mengapa mesti menunggu sampai
sekarang baru dikemukakan olehmu. Sungguh aku tidak habis mengerti akan
dalil ini."
Yap man-jing memandangnya beberapa kejap, lalu menjengek, "Hm, apa
benar kau minta kukatakan terus terang?"
"Sebabnya kutanya kepada nona memang berharap engkau suka
memberitahukan apa alasannya, kalau tidak untuk apa kuikut bicara?" Ujar
kwe giok-he dengan tersenyum.
Pelahan yap man-jing mengerling sekejap setiap orang yang hadir disini
seolah-olah sudah dipandangnya semua, lalu mengejek, "Sebabnya hal ini
tidak kukemukakan tadi adalah lantaran kulihat diantara kalian yang berada
disini tidak ada seorang pun yang dapat melihat ciri kelemahan ilmu
pedangku."
"Dan mengapa sekarang harus kaukemukakan?" tanya kwe giok-he.
Seperti tidak sengaja yap man-jing melirik sekejap si pemuda lembut, lalu
berkata, "Sebabnya kukemukakan syaratku ini adalah lantaran tiba-tiba kulihat
di antara anak murid Put-si-sin-liong ternyata bukan orang goblok semua,
sedikitnya ada satu diantaranya yang terhitung pintar."
Air muka Kwe giok-he rada berubah, tapi segera ia tersenyum lagi dan
berkata, "Terimakasih atas pujian nona Yap. Pantas Sip-tiok-li mati begitu dini
dengan hati lega, sebab dia mempunya seorang murid baik sebagai nona."
Kata berjawab, gayung bersambut, kontan Kwe giok-he membalas ucapan
orang dengan sama tajamnya, namun tetap ramah tamah dan tersenyum
manis. Air muka yap man-jing tampak berubah juga, ia mendengus terus hendak
melangkah pergi.
Dengan tersenyum Kwe giok-he memandang bayangan punggung orang,
agaknya dia merasa senang karena dapat mengalahkan orang dengan perang
lidah. Siapa tahu mendadak Liong po-si menghela nafas dan memandangnya dengan
sorot mata buram, ucapnya, "Alangkah baiknya bilamana anak hui memiliki
setengah kecerdasanmu."
Giok he mcununduk dengan tersenyum, tapi Liong po-si lantas menambahkan,
"Cuma sayang engkau terlampau pintar."
Habis ini segera ia berteriak, "Tunggu dulu, nona Yap!"
Sekali lagu Yap man-jing berhenti, katanya tanpa menoleh, "Ikut pergi atau
tidak terserah kepada keputusanmu, buat apa banyak bicara lagi."
Liong po-si berdehem, lalu berkata pula, "Selama hidup Yap jiu-pek terkenal
jujur, kuyakin anak muridnya pasti juga bukan manusia pengecut. Selama
hidupku tidak pernah gentar terhadap apapun, andaikan di sana terdapat
sesuatu perangkap juga bukan soal bagiku."
Mendadak Yap man-jing berpaling, meski tetap dingin air mukanya, tapi
tampak menampilkan rasa kagum dan hormat.
"Hanya saja pedangku ini sudah mendampingiku selama beberapa puluh
tahun, meski bukan senjata wasiat segala, namun juga pernah banyak
mengalahkan berbagai tokoh ternama dunia persilatan," demikian Liong po-si
bicara lebih lanjut dengan bangga dan juga setengah terharu.
"Maka bilamana hari ini aku tidak dapat pulang dengan hidup, kuharap nona
dapat menyerahkan kembali pedangku ini kepada muridku Lamkiong peng."
Suaranya yang kereng kini telah berubah menjadi rasa duka dan sedih, suara
duka demikian belum pernah di dengar oleh anak muridnya, sampai si pemuda
lembut Lamkiong peng juga tercengang.
"Dan bila aku yang tidak kembali dengan hidup, kuharap juga kauserahkan
pedangku Liong-gin-sin-im (ringkik naga suara malaikat) ini kepada mereka,"
tiba-tiba si nona cantik Yap man-jing juga meninggalkan pesan sambil
menunjuk keempat perempuan berbaju hijau tadi.
"Baik" sahut Liong po-si.
Serentak Yap man-jing melangkah ke sana sambil berkata, "Ayo berangkat!"
Sekilas ia lirik lagi Lamkiong peng sekejap.
Tanpa ragu lagi Liong po-si lantas ikut berangkat. Tapi baru saja lewat di
samping Lamkiong peng, mendadak ia menyurut mundur lagi selangkah dan
menepuk pundak anak muda itu, seperti mau bicara tapi urung. Ia cuma
tersenyum saja, lalu menghela nafas pelahan, ketika dia melangkah ke depan
lagi, dalam sekejap lantas menghilang di balik gumpalan awan.
Meski bayangan sang guru sudah menghilang, Lamkiong peng masih berdiri
mematung sambil memandangi awan yang mengambang di udara itu, meski
wajahnya kaku dingin, namu sorot matanya memancarkan perasaan hangat.
Terdengar Kwe giok-he yang berdiri di belakangnya lagi bergumam, " Yapsiangjiu-loh....Liong-gim-sin-im....Tak tersangka antara suhu dan Tan
hong,Yap jiu-pek memang terjalin..."
Tiba-tiba liong hui berdehem, katanya "Urusan pribadi suhu sebaiknya jangan
dibicarakan."
Dia mendekati Lamkiong peng dan berdiri diam sejenak sambil mengelus
janggut, lalu memutar balik dan berduduk di atas batu sana serta mengelamun
memandangi awan yang mengapung di udara.
Kwe giok he juga memandang Lamkiong peng sejenak, mendadak ia
menggapai dan memanggil, "Kemari Simoay!"
Anak dara yang berdiri agak jauh itu mendekat dengan menunduk, langkahnya
kelihatan enteng dan gesit, jelas tidak lemah kungfunya, tapi gerak geriknya
kelihatan malu-malu serupa gadis pingitan, sama sekali tidak ada ciri khas
sebagai anak murid Ji-hau-san-ceng atau perkampungan Ji-hau yang disegani.
Dengan tangan memainkan ujung baju seperti anak gadis yang takut-takut ia
menyapa "Ada apa, Toaso (kakak ipar)?"
Giok-he tersenyum dan berkata, "Gote datang belakangan tapi menonjol
paling atas sehingga mewarisi pusaka Yap-siang-jiu-loh dari suhu, kau gembira
atau tidak?"
Anak dara yang memang malu-malu itu tambah likat, mukanya putih lantas
bersemu merah, kepala menunduk terlebih rendah.
Pemuda kurus yang sejak tadi diam saja mendadak menimbrung, "Bukan saja
Simoay metrasa gembira, aku juga sangat senang!"
Dengan wajah berseri Kwe giok-he memandang mereka kian kemari, lalu
berkata, "Kalian sungguh dua sejoli yang setimpal, sampai kata hati keduanya
juga sama. Pantas orang Kangouw suka merangkai Ciok Tim dan So-so
menjadi satu dan menyebut mereka sebagai Liong-bun-siang-kiam (sepasang
pedang keluarga liong), cuma sayang...."
Sampai disini ia lantas berhenti dan cuma berdehem pelahan saja sambil
melirik Lamkiong peng.
Ciok Tim, pemuda kurus itu juga memandang ke arah Lamkiong peng, di
antara mata alisnya samar-samar kelihatan menampilkan rasa iri, tapi dengan
lantang ia lantas berseru, "Tapi selanjutnya bila ditambah Gote, mungkin
orang kangouw akan menyebut kami sebagai Liong-bun-sam-kiam (tiga
pedang keluarga liong)!"
"Rupanya engkau belum tahu," Kata Giok-he dengan tertawa, "meski belum
lama Gote masuk perguruan kita, tapi keluarga Lamkiong dari daerah kanglam
terkenal sebagai keluarga hartawan, maka sudah lama juga orang Bulim sama
memberi suatu julukan kepada Gote sebagai Hu-kui-sin-liong (Si naga sakti
kaya dan jaya)!"
"Toaso memang berpengetahuan banyak dan berpengalaman luas," Kata Ciok
Tim dengan tertawa, "Siaute sendiri jarang berkelana di dunia kangouw,
pengetahuanku kalau dibandingkan Toaso sungguh selisih terlalu jauh."
Tiba-tiba si brewok Liong-hui menimbrung, "Memang pernah kudengar
disebutnya nama Hu-kui-sin-liong, tapi itu cuma sanjung puji dari kalangan
piaukok (perusahaan pengawalan) yang ada hubungan erat dengan grup
keluarga Lamkiong, masa kau anggap sungguh-sungguh?"
"Baik, baik kau lebih tahu dan aku tidak tahu," gerutu Giok-he sambil melotot.
Mestinya Liong-hui hendak omong lagi, tapi demi melihat air muka sang istri
yang kurang senang itu, seketika ia urung bicara.
Semua orang menjadi bungkam. Hanya angin mendesir dan dedaunan
gemersik, awan yang mengambang di udara melayang kian kemari serupa
urusan dunia persilatan yang selalu berubah suka dukanya.
Sampai sekian lamanya keempat perempuan berbaju hijau ringkas itu juga
tetap berdiri di bawah pohon cemara, hanya terkadang mereka melirik ke arah
anak murid Ji-hau-san-ceng ini, agaknya dapat mereka rasakan juga diantara
anak murid keluarga liong ini terdapat pertentangan dan saling curiga, sebab
itulah di antara kerlingan mereka terkadang juga menampilkan rasa menghina
dan mencemoohkan.
Sudah cukup lama juga, mendadak Liong-hui berbangkit dan memandang
cuaca, ucapnya dengan suara tertahan, "Rasanya kepergian Suhu
sudah.....sudah lebih setengah jam!"
Kwe Giok-he menjawab, "Engkau selalu tidak sabaran, pantas suhu tidak mau
mewariskan Yap-siang-jiu-loh kepadamu. Coba kaulihat, sedikitpun Gote tidak
kelihatan gelisah."
Mau tak mau berubah juga muka Liong Hui, ucapnya dengan tergagap,
"Toh sesama saudara sendiri, diwariskan kepada.......kepada siapa kan sama
saja." "Hm, tentu saja sama," jengek Giok-he.
Lamkiong Peng tampak adem ayem saja, ia tersenyum dan mendekati Kwe
Giok-he, katanya dengan tersenyum, "Toaso, apakah kau tahu sebab apa aku
tidak gelisah?"
Meski dia bicara dengan tersenyum, namun ucapannya tegas dan mantap.
Giok-he tersenyum dan menjawab, "O, dari.....dari mana kutahu"
Mendadak liong-hui menyela, "Masa kau tahu hati Gote tidak gelisah" Sebelum
jelas kalah menang suhu, setiap orang pasti gelisah."
"Setiap orang memang gelisah, cuma aku saja tidak," ujar Lamkiong Peng.
Seketika air muka Ciok Tim dan Liong-hui berubah, Kwe Giok-he lantas
mendengus, sedangkan Ong so-so, si anak dara, juga mengernyitkan dahi,
memandang anak muda itu dengan heran.
Pelahan Lamkiong Peng menutur, "Sebabnya aku tidak gelisah adalah karena
aku lebih daripada yakin bahwa suhu pasti takkan kalah"!
Mendadak keempat perempuan berbaju hijau di bawah pohon sama
mendengus dan melengos ke sana."
Giok-he juga mendengus, Liong-hui lantas bertanya "Berdasarkan apa
kauberani memastikannya" Setelah tenaga dalam suhu susut sebanyak itu,
sungguh hampir tidak ada kesempatan menang bagi beliau, apalagi genduk
she Yap itu kelihatan sangat licin dan licik."
"Sebenarnya dalam hal menganalisa sesuatu urusan biasanya Gote sangat
meyakinkan, tapi apa yang kau katakan tadi rasanya sukar dipercaya orang!"
tukas Ciok Tim tiba-tiba, dia selalu bicara dengan pelahan, setiap kalimat
diucapkan secara teratur sekan-akan kuatir salah omong.
Dengan tersenyum Lamkiong peng menjawab, "Pukulanku tadi selain berhasil
menguji kebenaran keterengan nona she Yap itu dan memang tidak berdusta
kepada suhu, juga dapat kuketahui gerak tubuh suhu jauh lebih cepat
daripada nona itu."
Dia berhenti sejenak, lalu menyambung dengan pelahan, "Waktu itu
kulancarkan serangan sekaligus kepada mereka berdua, nona she Yap itu
berdiri di sebelah kananku, meski tangan kanannya memegang pedang, tapi
tanpa bergeser dia dapat menangkis pukulanku dengan tangan kiri....."
Dengan telapak tangan kiri ia memberi contoh, lalu menyambung, "Tapi waktu
itu suhu berdiri di sebelah kiriku, tangan kanan beliau juga memegang pedang,
waktu kupukul dengan sendirinya beliau tidak dapat menangkis dengan
pedang yang dipegangnya pada tangan kanan, sebab itulah beliau harus
berputar untuk menangkis seranganku dengan tangan kiri."
Dia bicara dengan teratur dan jelas sehingga tanpa terasa keempat perempuan
berbaju hijau itu pun berpaling dan ikut mendengarkan dengan cermat.
"Dalam keadaan begitu," demikian Lamkiong peng menyambung, "gerak
tangan suhu jelas lebih banyak satu kali dan pada waktu menangkis pukulanku
seharusnya juga lebih lambat sejenak daripada nona she Yap itu, namun pada


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

waktu empat tangan beradu, suara yang timbul terjadi berbareng tanpa ada
perbedaan mana lebih dulu, dari kejadian ini bukankah terbukti gerak tangan
suhu memang lebih cepat daripada nona Yap itu, walaupun selisihnya tidak
banyak, tapi pertarungan di antara jago kelas tinggi, selisih sedetik saja dapat
menentukan kalah dan menang, apalagi suhu sudah berpengalaman beratus
kali tempur, maka kubilang beliau tidak mungkin kalah."
Uraian Lamkiong peng ini membuat si anak dara alias Ong so-so tersenyum
cerah, Ciok Tim mengangguk-ngangguk, Kwe Giok-he bertopang dagu dan
termenung. Malahan Liong-hui lantas berkeplok tertawa, "Haha, betul,
memang ditimbang dari sudut manapun, tidak nanti suhu bisa kalah."
Dengan telapak tangannya yang lebar ia tepuk pundak Lamkiong peng dengan
keras sambil berseru, "Gote, engkau memang hebat, sekarang Toako juga
tidak perlu cemas lagi."
Mendadak keempat perempuan berbaju hijau ringkas itu sama mendengus,
yang berdiri di ujung kiri lantas bertanya kepada teman disebelahnya, "Lengcu,
apakah kaucemas?"
Leng cu menggeleng kepala dan ganti bertanya kepada kawan disebelahnya
lagi, "Apakah kau cemas, Watcu?"
"Aku juga tidak cemas!" jawab Wat cu
"Jika begitu Ho cu tentu juga tidak perlu cemas" ujar leng cu
"Aku memang tidak cemas sedikit pun kata Hocu dengan tertawa.
"Barangkali Ancu yang lagi cemas."
"Aku pun tisdak cemas." Kata ancu yang berdiri di ujung kanan "Tapi apa
sebabnya aku tidak cemas tidak dapat kuberitahukan kepada kalian."
Keempat orang lantas saling pandang, lalu sama mendekap mulut dan tertawa
cekikak dan cekikik.
Dengan mendongkol mendadak Liong hui menjengek, "Hm kalau tidak
mengingat kalian ini orang perempuan, tentu akan kuberi hajar adat!"
Serentak keempat perempuan itu berhenti tertawa, kontan Ancu balas
menjengek, "Hm, kalau tidak mengingat kau ini orang lelaki, pasti kuberi
hajaran setimpal!"
Tidak kepalang gusar Liong hui, sambil membentak, mendadak ia membalik
dan menghantam sepotong batu hijau di sebelahnya, "blang", batu hancur dan
kerikil munerat. Batu karang yang keras itu ternyata terpukul remuk.
"Hm, tenaga pukulan yang hebat!" jengek An cu, mendadak tangannya
berputar, "creng" pedang dilolosnya.
Di tengah berkelebatnya sinar pedang dia terus melompat ke depan sepotong
batu yang lain, sekali menusuk, "bles", tahu-tahu ujung pedangnya telah
ambles lebih satu kaki ke dalam batu serupa bambu menancap di atas lumpur
saja. Selagi liong hui terkesiap, terdengar ancu telah berkata dengan tertawa, "Hah,
rupanya batu disini sangat lunak!"
"Ilmu pedang hebat!" seru Kwe Giok-he tiba-tiba, dengan tersenyum ia
mendekati ancu dan berucap, "Taci, bolehkah aku pun meneobanya?"
Ancu tampak melenggak, sebelum dia menjawab, mendadak Kwe Giok-he
turun tangan secepat kilat, jari tangannya yang putih halus itu mengebas ke
iga lawan. Karena terkejut Ancu menggeser ke samping, meski dapat menghindarkan
serangan lawan, tapi pedang tidak sempat ditariknya kembali dan masih
tertancap di dalam batu.
Dengan suara halus Giok he lantas berkata, "Terima kasih atas kemurahan
hatimu, setelah kucoba segera kukembalikan!"
Pelahan ia lantas menarik pedang itu dari jepitan batu, dipandangnya pedang
itu dengan cermat, tampaknya dia lagi mengamat-amati pedang yang
dipegangnya, tapi sebenarnya sedang menyelami batu gunung itu.
Sejenak kemudian dia tersenyum manis lagi pelahan ia mengangkat pedang ke
atas, sekali berputar pedang lantas disurung ke depan, kembali terdengar
suara "bles" pelahan, batang pedang amblas lagi ke dalam batu hampir
separoh. Selagi keempat perempuan berbaju hijau itu terkesiap, dengan suara lembut
Giok-he berkata pula, "Benar juga batu disini sangat lunak seperti tahu!"
Lalu pedang ditariknya kembali, pelahan ia mendekati Ancu dan
mengembalikan pedang itu.
Air muka Ancu sebentar merah sebentar pucat, jantung pun berdetak, tanpa
bicara ia terima kembali pedang itu dan melangkah ke tempat semula.
Dengan suara lembut Giok-he berkata pula "Kuharap engkau jangan kesal,
meski tusukan pedangku kelihatan jauh lebih dalam, padahal ilmu pedang dan
tenagaku selisih tidak terlalu banyak daripadamu."
Diam-diam ia bersyukur telah dapat mengelabui lawan dengan cara yang licik.
Kiranya pedang yang ditusukkannya itu tadi mengulangi lagi tempat yang
ditusuk ancu semula, jadi sesungguhnya dia cuma menambah dalam sebagian
tusukannya itu, namun kelihatannya menjadi amblas jauh lebih banyak
daripada tusukan ancu.
Dengan sendirinya ancu tidak memperhatikan hal ini, dengan gemas ia
kembali ke tempatnya tadi, mendadak ia berpaling dan mendengus, "Hm,
mungkin betul kungfumu lebih tinggi daripadaku, tapi gurumu......Hm, kukira
kalian tidak perlu lagi menunggunya."
Serentak air muka Lamkiong peng, Liong-hui, Kwe Giok-he dan Ong so-so
sama berubah. "Apa katamu?" bentak Liong-hui sambil melompat maju.
Ancu seperti mau bicara lagi, tapi dia keburu ditarik mundur oleh ketiga orang
kawannya. Tiba-tiba Kwe Giok-he mendekati Ancu, ucapnya dengan tersenyum,
"Orang suka sembarangan mengoceh kan pantas diberi hukuman, betul tidak?"
Tanpa menghiraukan lagi apa rcaksi lawan, secepat kilat jarinya menotok Kohcinghiat di bahu Ancu.
Seketika Ancu melenggong, seperti menyesal akan ucpannya tadi, maka
tutukan Giok-he seperti tidak dirasakannya. Untungnya Watcu yang berada di
sebelahnya, lantas menangkis tutukan giok-he, berbareng ia balas
mencengkram pergelangan tangan lawan.
"Hm, berani kalian melawan diriku?" ucap Giok-he dengan tersenyum, ia tarik
kembali tangannya, menyusul ia menutuk lagi iga kanan Watcu.
Sembari mendorong ke samping Ancu yang masih berdiri melenggong, Watcu
juga menggeser, menyusul terdengarlah suara "crang-creng" dua kali,
sekaligus ia lolos dua pedang terus balas menusuk pinggang giok-he.
Karena didorong, Ancu tersadar, mendadak ia pun melolos pedang dan
melancarkan serangan gabungan.
"Berhenti!............Berhenti!..............."Liong hui berteriak-teriak.
Siapa tahu, bukannya berhenti, sebaliknya Lengcu dan Hocu juga lantas ikut
menerjang maju.
Liong hui menjadi kuatir, serunya, "Selama hidupku tidak pernah bergebrak
dengan orang perempuan, mengapa kalian tidak lekas membantu Toaso"!"
Terpaksa Ong so-so melompat maju, kontan ia hantam Watcu sehingga
pertarungan bertambah seru.
Pelahan Ciok Tim melangkah maju, ucapnya dengan kening berkernyit, "Suhu
melarang kita membawa pedang ke atas gunung, agaknya beliau tidak
menghendaki kita main kekerasan, bilamana nanti kita disalahkan beliau lantas
bagaimana?"
Liong hui menjadi ragu, waktu ia pandang ke sana, terlihat sinar pedang
bertaburan, giok-he dan so-so berdua telah terkurung oleh barisan pedang
keempat perempuan berbaju hijau, meski seketika tidak sampai kalah, tapi
jelas sukar memperoleh kemenangan.
"Bagaimana pendapatmu, Gote?" tanya liong hui kepada Lamkiong peng.
Anak muda itu memandang sarung pedang hijau yang tergantung di
pinggangnya dan menjawab, "Terserah kepada keputusan toako."
Alis Liong hui bekerenyit rapat dan sukar mengambil keputusan.
Lamkiong peng lantas berkata pula, "Jika kuduk kita terancam pedang orang,
apakah kitapun tidak boleh turun tangan?"
Mendadak Liong-hui berteriak, "Betul, ayo maju, Samte dan Gote!"
Tapi belum lagi mereka bertindak, mendadak terdengar seorang menjengek di
belakang mereka, "Empat lawan dua memang tidak pantas, jika lima lawan
empat, rasanya juga kurang adil! Tampaknya anak murid Tan-hong (burung
hong cantik) dan Sin-liong sama suka main kerubut?"
Cepat Lamkiong peng berpaling, dilihatnya di samping peti mati sana entah
sejak kapan telah berdiri seorang tojin (pendeta agama To atau Tao) dengan
rambut di sanggul tinggi di kepala, dahi lebar dan pipi kempot dengan sinar
mata setajam mata elang, tubuhnya yang tinggi dan sangat kurus
mengenakan jubah pertapaan berwarna hijau tua.
Meski jengekkannya terdengar tidak keras, tapi seketika membuat Kwe giokhe
di satu pihak dan para perempuan berbaju hijau di lain pihak sama berhenti
bertempur. "Siapa kau?" segera Liong hui membentak.
"Siapa aku" Em, sampai aku saja tidak kau kenal?" jengek Tojin sanggul tinggi
itu sembari mendekati peti mati dengan pelahan.
Kedua lelaki penggotong peti sejak tadi berdiri diam saja, mendadak mereka
membentak dan mengadang di depan si Tojin. Dalam pada itu terdengar kesiur
angin lewat, Lamkiong peng memburu maju untuk menjaga peti.
Tojin itu mendengus dan berhenti melangkah, ia mengamat-amati Lamkiong
peng beberapa kejap, lalu menegur, "Kau mau apa?"
"Dan kau mau apa?" jengek Lamkiong peng dengan sama ketusnya.
"Haha, bagus, bagus!" mendadak Tojin itu terkekeh dan berputar ke depan
Liong hui, lalu bertanya, "Janji pertemuan gurumu dan Yap jiu-pek sepuluh
tahun yang lalu apakah sudah diselesaikannya?"
Liong hui jadi melenggak, jawabnya, "Dari.....dari mana kau tahu?"
"Hahaha, masakah urusan gurumu aku tidak tahu?" seru si tojin dengan gelak
tertawa, lalu ia menyapu padang sekeliling situ dan bertanya pula, "Kemana
perginya mereka berdua?"
"Peduli apa denganmu?" jawab Liong-hui dengan kurang senang.
"Hehe, bagus, bagus!" tojin itu terkekeh pula, lalu berputar ke depan Ciok Tim
dan bertanya, "Siapa yang kalah dan siapa yang menang?"
"Tidak tahu!" jawab Ciok Tim pelahan.
Kembali si tojin itu terkekeh dan menggeser ke depan keempat perempuan
berbaju hijau, lalu bertanya, "Apakah akhirnya Yap jiu-pek dapat mengalahkan
Put-si-sin-liong"
Keempat perempuan itu saling pandang sekejap, tapi kwe giok-he lantas
mengikik tawa. Serentak si tojin membalik tubuh dan menegur, "Apa yang kau tertawakan?"
"Kutertawa geli karena akhirnya Yap jiu-pek telah mendahului guruku lebih
cepat satu langkah!" sahut Giok he dengan tersenyum.
"Mendahului apa?" tanya si Tojin.
"Akhirnya dia mati lebih dahulu daripada guruku!" jawab giok he.
Tergetar hati si tojin, seketika ia melenggong, sejenak kemudian barulah ia
berucap dengan lemas, "Jadi......jadi Yap jiu-pek sudah.....sudah mati?"
"Ya" jawab Giok he.
Mendadak si tojin menghela nafas panjang, katanya kemudian, "Tak tersangka
ucapan Thian-ah Tojin sebelum ajalnya pada 20 tahun yang lalu ternyata
sangat tepat."
"Ucapan apa?" tanya Liong hui.
"Sin-liong pasti menangkan Tan hong......" kata si tojin dengan menunduk.
Mendadak Ancu, salah seorang perempuan berbaju hijau itu mendengus, "Hm,
meski nona Yap sudah meninggal, tapi Put-si-sin-liong juga tidak pernah
menang." Si tojin menengadah, semangatnya tampak terbangkit, serunya, "Put-si-sinliong
tidak pernah menang?"...........Memangnya mereka telah gugur
bersama"!"
"Ken...........Omong kosong!" damprat Liong hui.
Dengan tajam si tojin menatap Liong hui dan bertanya sekata demi sekata,
"Kau mau bilang ken....apa?"
"Kentut!" teriak Liong hui.
Mendadak si tojin melolos pedang yang tergantung di pinggangnya, tapi baru
tercabut setengah lantas dilepaskan kembali, ucapnya, "Meski engkau kurang
sopan, tidak boleh aku meniru perbuatanmu."
Lalu ia bergelak tertawa.
"Hm, memang ada sementara orang tidak sudi bergebrak dengan kaum muda,
akan tetapi.....saat ini Put-si-sin-liong justru sedang bertanding dengan murid
nona Yap, " demikian jengek Ancu.
"Kau bilang Put-si-sin-liong bertanding dengan kaum muda?" si tojin menegas
dengan heran. "Betul" jawab ancu tegas.
Segera liong hui berteriak, "Biarpun guruku bergebrak dengan murid Yap-jiupek,
namun lebih dulu beliau telah menutuk beberapa hiat-to tertentu,
sehingga tenaganya telah susut tujuh bagian, tindakan beliau yang luhur dan
jujur ini mungkin jarang ada di dunia ini"
Gemerdep sinar mata si tojin, sambil mengelus jenggotnya yang sudah kelabu
ia tersenyum, gumamnya, "Dia ternyata menyusutkan tenaga sendiri untuk
bergebrak dengan orang.........."
"Ya walaupun begitu beliau tetap akan menang!"seru liong hui.
"Apa betul?" ucap si tojin pelahan.
"Tentu saja......" teriak liong hui pula dan mendadak suaranya berubah
lemah,"... betul."
Padahal dia tidak yakin akan ucapannya itu dan sesungguhnya lagi berkuatir.
Tojin memandangnya dua tiga kejap, lalu melirik Lamkiong peng yang berdiri
di samping peti mati, katanya kemudian, "Sesungguhnya siapa di antara kalian
yang menjadi murid utama Put-si-sin-liong?"
"Peduli apa denganmu"!" jawab Liong hui dengan kurang senang.
"Ah agaknya dirimu inilah!" kata si tojin dengan tersenyum.
"Memangnya mau apa jika betul!?" jengek Liong hui.
Mendadak tojin itu menuding sarung pedang hijau di pinggang Lamkiong peng
dan bertanya, "Jika benar engkau Ciangbun-teecu (murid pewaris ketua) Jihausan-ceng, mengapa pedang Yap-siang-jiu-loh itu berada padanya?"
Han Bu Kong 02 Pertanyaan si tojin membuat Liong hui melenggong, ia pandang Lamkiong
Peng sekejap lalu berpaling kembali dan menjawab, "Tidak perlu kau ikut
campur!" Tojin itu mendengus, "Hm, jika hari ini gurumu kalah dan tidak kembali lagi,
apakah kau tahu siapa yang akan menjadi kepala Ji-hau-san-ceng yang
disegani di dunia persilatan itu?"
Liong hui berdiri tegak tanpa menjawab, sampai sekian lama mendadak ia
membentak, "Siapa bilang suhuku takkan kembali lagi" Siapa yang mampu
mengalahkan beliau" Put-si-sin-liong selamnya tak termatikan!"
Suaranya yang kereng berkumandang jauh dan menimbulkan gema sahut
menyahut dari empat penjuru lembah gunung.
Mendadak terdengar seseorang menjengek dengan suara tajam, "Siapa bilang
didunia ini tidak ada yang mampu mengalahkan Put-si-sin-liong" Siapa yang
bilang put-si-sin-liong tak termatikan!"
Hati Lamkiong-peng, Liong hui dan lain-lain sama tergetar, cepat mereka
berpaling kesana, tertampak dari balik kabut sana muncul sesosok bayangan
dan akhirnya terlihat dengan jelas ialah Yap man-jing dengan bajunya yang
berkibar tertiup angin laksana dewi kahyangan yang turun dari langit. Pada
kedua tangannya jelas memegang dua batang pedang bersinar gilap, sebatang
diantaranya bercahaya hijau kemilau, segera dikenali mereka pedang hijau
inilah Yap-siang-jiu-loh yang selama berpuluh tahun tak pernah berpisah
dengan Put-si-sin-liong, Liong Po-si itu.
Seketika Liong hui melotot, rambut jenggotnya seakan-akan menegak, dengan
beringas ia memburu ke depan Yap-man-jing dan membentak, "Suhuku
bagaimana" Dimana suhuku?"
"Dimana gurumu saat ini tentu kautahu sendiri, masakah perlu Tanya?" jawab
Yap-man-jingketus.
Tubuh Liong hui terasa lemas dan hampir saja tidak sanggup berdiri tegak.
Air muka Lamkiong peng mendadak juga berubah pucat lesi seperti mayat.
Ciok Tim juga merasa seperti dada mendadak di godam orang, sekujur badann
serasa kaku, sampai Ong so-so yang berdiri di dampingnya menjerit pelahan
terus jatuh kelenger juga tidak diketahuinya.
Kwe giok he juga terperanjat dan gemetar. Sedangkan keempat perempuan
berbaju hijau tadi terus berlari menyongsong kedatangan Yap-man-jing.
Sambil meraba pedangnya si tojin tadi pun bergumam, "Akhirnya Put-si-sinliong
mati juga!?"".Ai, akhirnya dia mati juga!"
Suaranya makin lama makin lemah, entah menyesal atau bersyukur" Entah
gembira atau berduka"
Dengan sorot matanya yang tajam Yap-man-jing mengawasi mereka dengan


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tenang. Mendadak Liong hui berteriak, "Engkau yang membunuh guruku, bayar jiwa
guruku!" Seperti kerbau gila ia terus menerjang ke depan.
Serentak Ciok Tim dan Kwe giok-he juga memburu maju. Sedangkan
Lamkiong peng baru maju selangkah lantas menyurut mundur, kembali ke
samping peti mati sambil memandang sekejap si tojin tanpa terasa air
matanya menitik.
Dalam pada itu Liong hui sudah menerjang ke depan Yap-man-jing, sebelah
tangannya mencengkram muka si nona, tangan yang lain terus meraih pedang
hijau yang dipegangnya.
Terdengar Yap-man-jing tertawa dingin, segera Liong hui pun merasakan
pandangannya menjadi silau oleh sinar pedang, tahu-tahu keempat
perempuan berbaju hijau telah memutar pedang masing-masing dan
mengadang di depannya dengan membentuk selapis diding sinar pedang.
Yap man-jing sendiri lantas menyurut mundur, ia pindahkan pedang hijau pada
tangan kanan, mendadak ia membentak, "Kim-liong-cai-thian (naga emas di
atas langit)!"
Berbareng ia mengeluarkan sesuatu benda emas dan diacungkan ke atas,
kiranya sebelah belati bertangkai ukiran naga terbuat dari emas.
Pelahan ia menurunkan belati naga emas itu sebatas hedung, lalu membentak
lagi,"Kawanan naga hendaknya menerima perintah!"
Melihat belati emas itu air muka Liong hui berubah pucat lagi, ia berdiri
terkesima, pikiran menjadi kacau seperti meras bingung oleh apa yang terjadi
ini. Sinar mata si tojin tadi tampak gemerdep, kembali ia bergumam, "Kim-liongbitleng (perintah rahasia naga emas) kembali muncul lagi di dunia
kangouw"..Hehe!"
Mendadak terlihat Liong hui melangkah mundur dua-tiga tindak, lalu bertekuk
lutut dan menyembah, meski wajahnya menampilkan rasa gusar dan gemas,
suatu tanda menyembahnya itu tidak sukarela melainkan terpaksa.
Yap-man-jing tertawa dingin pula, keempat perempuan berbaju hijau lantas
menarik kembali pedangnya.
Lalu Yap-man-jing menggeser maju melewati keempat perempuan berbaju
hijau, setiap langkah selalu disertai ketukan pedang yang dipegangnya
sehingga menerbitkan suara "tring" yang nyaring memecah suasana yang
mencekam ini. Kwe giok-he lantas mendekati Liong hui, katanya dengan suara tertahan,
"Meski Kim-liong-bit-leng berada padanya, tapi"."
Pandangan Yap-man-jing beralih kepada Kwe giok-he, mendadak ia membalik
belati emas itu ke bawah dan mendengus, "Hm, apakah kau tidak mau
tunduk?" Giok-he memandang belati yang dipegangnya, jawabnya tenang, "Kalau
tunduk bagaimana, bila tidak tunduk bagaimana pula?"
Berubah lagi air muka liong hyui yang masih berlutut, ia menoleh memandang
istrinya sekejap, lalu berucap dengan rada gemetar, "Moaycu (adikku),
mana".mana boleh?"
Mendadak alis Kwe giok-he menegak teriaknya, "Dia telah membunuh guru
kita dan mencuri benda pusaka beliau, apakah kita masih harus tunduk kepada
perintahnya?"
Saat itu ciok tim beru saja mengangkat bangun Ong so-so yang jatuh pingsan
tadi mendadak terlihat bayangan orang berkelebat, tahu-tahu giok he sudah
berada di depannya dan bertanya, "Samte dan simoay, bagaimana dengan
kalian, apakah kita harus tunduk kepada perintahnya?"
Ciok tim melirik sekejap kearah belati emas yang dipegang Yap-man-jing, lalu
menunduk diam tanpa menjawab.
Giok-he lantas mendekati Lamkiong peng, tanyanya dengan suara gemetar,
"Gote, biasanya engkau paling bisa berpikir, meski Kim-liong-bit-leng
merupakan pusaka tanda kebesaran Ji-hau-san-ceng kita, tapi dalam keadaan
demikian apakah kita masih harus tunduk kepada perintahnya?"
Dengan wajah dingin Lamkiong peng memandang sekejap Yap-man-jing.
Sejak tadi Yap-man-jing mengawasi kwe giok-he, tiba-tiba ia mendengus,
"Hm, Kim-liong-bit-leng sudah muncul dan kalian berani membangkang atas
perintahnya, masakah Put-si-sin-liong baru saja mati lantas kalian melupakan
sumpah yang pernah kalian ucapkan waktu mengangkat guru padanya?"
Rambut Giok-he agak kusut, butiran keringat juga menghiasi dahinya,
biasanya dia banyak akalnya dan seorang periang, menghadapi urusan genting
apapun dapat diselesaiaknnya dalam suasana apapun dapat diselesaikannya
dalam suasana senda gurau, tapi sekarang dia kelihatan gugup dan bingung,
agaknya dia telah menduga perintah yang akan diucapkan Yap-man-jing pasti
sangat tidak menguntungkan dia,"
Liong hui memandang sekejap lagi kepada istrinya, lalu mengehela nafas
panjang dan berkata, "Jika Kim-liong-bit-leng sudah berada di tanganmu, apa
pula yang dapat kukatakan".
"Hm, mendingan engkau belum lupa kepada ajaran gurumu!" jengek Man-jing.
"Hanya kenal pada Leng (tanda perintah) dan tidak kenal orang (yang
memegang tanda perintah)?".."ucap Liong hui dengan lesu, mendadak ia
menengadah dan membentak, "tapi telah kau bunuh guruku, aku".."
Sampai di sini suaranya menjadi tersendat dan penuh emosi, sukar lagi
meneruskan ucapannya.
Lamkiong peng tetap tenang saja, katanya kemudian, "Kutahu, biarpun Kimliongbit-leng berada padamu, tapi di balik urusan ini pasti ada persoalan yang
belum diketahui. Kalau tidak, tanda perintah ini pasti akan dimusnahkan oleh
suhu dan tidak nanti dibiarkan jatuh ke tanganmu. Apa pun juga, boleh coba
uraikan dulu apa pesan beliau yang akan kau sampaikan kepada kami?"
Yap-man-jing menghela nafas panjang, katanya, "Nyata, hanya engkau saja
yang dapat menyelami jalan pikiran Put-si-sin-liong."
Mendadak kwe giok-he membentak, "Tapi pesan lisan tidak ada bukti, cara
bagaimana kami dapat membedakan benar dan tidaknya pesan yang akan
kausebutkan" Samte,simoay, perempuan ini telah membunuh Suhu, jika kita
tidak menuntus balas apa terhitung manusia?"
Seketika Ciok tim mengangkat kepala dengan mata melotot sambil mengepal
erat kedua tinjunya.
Tiba-tiba Yap man-jing mengejek, "Hm, kau bilang pesan lisan tanpa bukti"."
Ia terus mengigit belati emas dengan mulut, lalu mengeluarkan lagi sehelai
kertas yang terlipat rajin, sekali jari menyelentik, kertas itu disambitkan ke
depan Liong hui.
Segera Giok-he memburu maju sambil membentak, "Coba kulihat!"
Selagi dia hendak menjemput kertas surat itu, sekonyong-konyong bagian iga
terasa kesemutan.
Rupanya Yap man-jing juga telah bertindak, dengan ujung belati emas ia
ancam iga giok-he dan membentak,"Kau mau apa?"
"Sebagai muridnya, masakah aku tidak dapat membaca surat wasiat guru
sendiri?" teriak Giok-he, meski di mulut ia membantah, namun tubuh tidak
berani bergerak sama sekali.
"Mundur dulu ke sana!" bentak Man-jing.
"Kau ini apa, berani memerintah diriku"!" jawab Giok-he dengan gusar.
Tapi segera dirasakan setengah badan kaku kesemutan, tanpa terasa ia
menyurut mundur ke belakang Liong-hui.
Karena perhatiannya terpusat kepada surat wasiat gurunya sehingga agak
lengah dan dapat diatasi oleh Yap manjing, sungguh tidak kepalang rasa gusar
dan dongkol Giok-he, bibir sampai gemetar dan sukar bicara lagi.
Liong hui sangat sayang kepada sang istri, cepat ia berbangkit dan memegang
tangannya yang terasa sangat dingin itu, tanyanya dengan kuatir,
"Ba"Bagaimana, Moaycu, engkau tidak apa-apa bukan?"
Tersembul senyuman terhibur di ujung mulut Kwe giok-he,sahutnya, Aku"aku
tidak apa-apa!"
Mendadak ia mengisiki Liong hui dengan suara tertahan, "Lekas kaubaca surat
wasiat itu, bila isinya tidak menguntungkan kita, sebaiknya jangan kaubaca
dengan suara keras!"
Liong hui melenggak, dipandangnya sang istri dengan bingung, agaknya baru
sekarang ia dapat memahami jalan pikiran istrinya itu.
Didengarnya Yap man-jing lagi mengejek, "Hm, pesan tinggalan guru tidak
lekas dibaca, tapi buru-buru menghibur istri yang sok aksi, huh?"
Muka liong hui menjadi merah, pelahan ia membalik tubuh, segera ia hendak
menjemput surat wasiat itu.
Siapa tahu pedang Yap manjing lantas menyambar dari samping, dengan
ujung pedang hijau Yap-siang-jiu-loh ia cungkit surat itu.
"Apa maksudmu ini" damprat Liong-hui dengan kurang senang.
"Kau kelihatan ogah membaca surat ini, biarkan orang lain saja yang
membacanya." Jengek Man-jing.
Sorot matanya lantas berputar, setiap orang dipandangnya sekejap secara
bergiliran, tampaknya sedang mencari calon untuk disuruh membaca surat
wasiat itu. Tiba-tiba ia mendekati Ong so-so dan berkata, "Ambil surat ini dan
bacalah dengan suara keras supaya didengar semua orang!"
So-so baru saja siuman dari pingsannya, mukanya masih pucat, ia coba melirik
Giok-he sekejap, lalu bertanya, Kenapa kau suruh kubaca pesan tinggalan
suhu?" Sembari bicara, tidak urung ia ambil surat yang tersunduk di ujung pedang
orang itu, setelah ragu sejenak lagi, dipandangnya Ciok Tim, lalu memandang
pula Lamkiong Peng, akhirnya dia membentang kertas surat itu.
"Baca dengan suara keras, satu kata pun tidak boleh ketinggalan, baca
selengkapnya!" seru Yap manjing.
Giok-he saling pandang sekejap dengan Liong Hui, dirasakan tangan sang istri
sedingin es, ia menghela napas dan menghiburnya, "Segala apa terserah
kepada takdir, buat apa engkau cemas."
Giok he memenjamkan mata, dua titik air mata lantas menetes. Liong Hui
menggenggam tangan istrinya dengan erat. Didengarnya So-so telah mulai
membaca. "Janji pertarunganku dengan Yap Jiu-pek sudah dilakukan sejak sepuluh tahun
yang lalu, yang menang tetap hidup, yang kalah harus mati, apa pun yang
terjadi takkan disesalkan pihak mana pun, juga takkan benci dan dendam, jika
aku kalah dan mati, ini pun kulakukan dengan sukarela, setiap anak muridku
dilarang menuntut balas terhadap anak murid Tan-hong, yang melanggar
pesan ini bukanlah muridku, pemegang Kim-liong-bit-leng berhak memecatnya
dari perguruan."
Mungkin karena tegang dan juga emosional, meski sedapatnya ia
menenangkan diri, tidak urung suara So-so tetap agak bergemetar. Sampai di
sini ia berganti napas, setelah agak tenang barulah ia membaca lebih lanjut.
"Di antara anak muridku, anak Hui yang pertama masuk perguruan, ia juga
terhitung keponakanku sendiri, jujur dan lugas, sangat kusayang, hanya
pribadinya teramat lugu dan kaku, mudah menerima kisikan, inilah cacatnya
sehingga sukar memegang pekerjaan besar dan tidak dapat menghasilkan
sesuatu." Sampai di sini So-so berhenti sejenak sambil melirik Liong hui sekejap.
Liong hui tampak menunduk kikuk.
Segera So-so menyambung lagi, "Adapun pribadi anak Tim cukup kuat, tegas
dan bijaksana, So-so halus budi dan lemah lembut?"
Karena menyangkut diri sendiri, muka So-so menjadi merah, ia membetulkan
rambutnya yang kusut, lalu menyambung, "Hanya anak Peng saja berasal dari
keluarga ternama, sejak kecil mendapat didikan ketat, tidak ada sifat dugal
atau nakal. Terlebih pembawaannya pendiam dan tidak suka menonjol,
malahan bakatnya sangat tinggi, maka kuputuskan?"."
Sampai di sini mendadak terdengar Kwe giok-he menangis sedih.
Liong hui menghela nafas dan merangkulnya perlahan
Terdengar Giok-he berkeluh, "Oo ... sudah banyak yang kukerjakan bagi Cihausan-ceng, tapi ... tapi beliau sama sekali tidak menyinggung diriku di
dalam pesannya ini."
"Sabarlah, Moaycu, mengapa hari ini engkau berubah menjadi begini"!" ucap
Liong Hui dengan kening bekerenyit.
Giok-he mengangkat kepala, mukanya penuh air mata, katanya. "Sungguh
hatiku sangat sedih, sudah ... sudah sekian tahun kukerja keras bagi Suhu,
tapi ".tapi apa yang kita peroleh?"
Mendadak Yap Man-jing mendengus dan melengos, seperti tidak sudi
melihatnya. Namun dia tetap berjaga di samping So-so.
Sesudah termangu sejenak, lalu So-so membaca lagi, "Maka sudah
kuputuskan menyerahkan Yap-siang-jiu-loh yang sudah berpuluh tahun tidak
pernah berpisah denganku ini serta tugas menjaga peti wasiat kepada anak
Peng, tugas ini harus dilaksanakan hingga tuntas, peti rusak orang pun
binasa." Bekerenyit juga kening So-so, agaknya dia tidak paham arti kalimat terakhir
itu, ia termenung sejenak dan mengulang lagi kalimat itu, "Peti rusak orang
pun binasa!".
Kemudian ia melanjutkan, "Selama hidupku ada tiga cita-citaku yang belum
terlaksana, semua ini juga harus dilaksanakan oleh anak Peng. Ketiga urusan
ini sudah kuberitahukan kepada nona Yap Man-jing"."
Kembali So-so berhenti, sinar mata Ciok Tim tampak gemerdep.
So-so lantas melanjutkan."Selama beberapa puluh tahun aku berkecimpung di
dunia kangouw So-so lantas melanjutkan, "Selama beberapa puluh tahun aku
berkecimpung di dunia Kangouw, tidak bisa terhindar dari lumuran darah
kedua tanganku, tapi bila kuraba hati dan bertanya pada diri sendiri, rasanya
aku tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar keadilan dan kemanusiaan.
Selanjutnya aku tidak mampu mengikuti kejadian duniawi lagi, Ji-hau-sanceng
yang kudirikan ini seterusnya kuserahkan kepada "."
Mendadak So-so berhenti pula sambil menarik napas dalam-dalam, air
mukanya kelihatan kelihatan terheran-heran.
"Serahkan kepada siapa, lanjutkan!"seru Yap Man-jing dengan tidak sabar.
Berputar bola mata Ong So-so, tanyanya lirih, "Memangnya surat ini belum
kau baca?"
Alis Yap Man-jing menegak, katanya lantang, "Memangnya kau kira anak
murid Tan-hong adalah manusia rendah begitu?"
So-so menghela napas hampa, katanya, "Oo, tadinya kukira surat ini sudah
kau baca, karena menguntungkanmu tentu saja kau serahkan kepada kami,
jika isinya tidak menguntungkanmu tentu takkan kau serahkan kepada kami."
Nadanya jelas penuh rasa kagum dan hormat kepada orang, juga penuh rasa
kasih sayang dan lemah lembut. Setiap gerak-gerik So-so memang timbul
sewajarnya dan setulusnya sehingga siapa pun tidak tega membikin susah dia.
Tangis Giok-he mulai reda, tiba-tiba ia menengadah dan bertanya, "Apakah
betul surat itu tulisan tangan Suhu?"
So-so mengangguk perlahan.
Giok-he mengusap air matanya dan berkata pula, "Kau kenal tulisan pribadi
Suhu?" "Akhir-akhir ini Suhu sering berlatih menulis," tutur So-so dengan perlahan,
"Dan akulah yang selalu meladeni beliau dengan mengasahkan tinta bak
baginya." Sampai di sini dua titik air mata lantas menetes, rupanya dia terkenang
kepada sang guru yang berbudi itu. Ketika dia hendak menyeka air matanya,
tiba-tiba dirasakan pundak ditepuk orang perlahan, ternyata Yap Man-jing
telah menyodorkan saputangan kepadanya.
Giok-he terdiam sejenak, kemudian ia tanya, "Lantas bagaimana, Suhu
menyerahkan pengurusan Ci-hau-san-ceng kepada siapa!"
So-so mengusap air matanya, lalu mengembalikan saputangan kepada Yap
Man-jing dengan tersenyum terima kasih, dibetulkannya kertas surat yang
dipegangnya, lalu membaca lagi, "Ci-hau-san-ceng seterusnya kuserahkan
kepada anak Hui dan Giok-he suami-istri!"
Serentak Giok-he berdiri tegak dan memandang langit yang biru kelam itu, ia
termangu-mangu sekian lama, air mukanya tampak malu dan menyesal.
Liong Hui berdehem perlahan, ucapnya lirih, "Moaycu, betapa pun Suhu
ternyata tidak melupakan dirimu!"
"O, Suhu....." mendadak Giok-he berseru dan menjatuhkan diri ke dalam
pelukan sang suami dan menangis pula.
Kembali Yap Man-jing mengejek hina lagi padanya, "Hm, baru sekarang kau
ingat kepada Suhu dan baru berduka baginya"!"
Tangis Giok-he tambah keras, sedangkan Liong Hui menunduk diam.
Terdengar So-so membaca lagi, "Ci-hau-san-ceng adalah hasil usaha selama
hidupku, tanpa orang jujur dan lugas sebagai anak Hui tentu takkan mampu
mengerahkan para pahlawan sedunia, tanpa kecerdasan dan kepintaran Giokhe
untuk membantu kekurangan anak Hui, tentu juga Ci-hau-san-ceng sukar
berdiri tegak abadi."
Lamkiong peng menghela napas, agaknya dia sangat kagum dan bersyukur


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terhadap pembagian tugas dan kewajiban dalam pesan sang guru itu.
Waktu ia memandang ke sana, dilihatnya Ong So-so lagi memandang surat
yang terpegang dengan terkesima dan tidak membaca lebih lanjut.
Ciok Tim juga memandang ke sana, mendadak tertampil rasa girangnya,
serunya, "Simoay, kenapa tidak kau lanjutkan membaca"!"
"Aku ... aku ...." mendadak So-so menunduk dengan muka merah, tapi air
mata lantas berlinang.
"Pesan Suhu masakah tidak kau baca lebih lanjut?" ujar Ciok Tim, dia cuma
memerhatikan surat wasiat itu, sikap So-so yang malu dan juga kecewa itu
tidak dilihatnya.
Perlahan So-so mengusap air mata, lalu membaca lagi, "Kim-liong-bit-leng
adalah pusaka tertinggi perguruan kita, selanjutnya kuserahkan kepada anak
Tim dan ... dan So-so untuk dipegang bersama. Dengan ketulusan anak Tim
dan kepolosan So-so, kuyakin mereka takkan sembarangan menyalahgunakan
benda pusaka ini. Dengan Liong-bun-siang-kiam, gabungan kedua pedang ini
pasti takkan membikin nama perguruan kehilangan wibawa. Segala urusan
penting perkampungan sudah teratur dengan baik, untuk ini anak Peng tidak
perlu resah, sesudah pulang dan berbenah seperlunya, tiga bulan kemudian
boleh menemui nona Yap Man-jing di puncak Hoa-san untuk bersama-sama
menyelesaikan tiga cita-citaku yang belum terlaksana itu, tapi juga jangan
jauh meninggalkan peti sakti tinggalanku. Ingat dengan baik."
So-so membaca semakin cepat, rasa kecewa pada wajahnya juga tambah
meneolok. Sementara itu tangis Giok-he sudah reda, ia menghela napas perlahan dan
membisiki Liong Hui, "Segala apa cukup diketahui oleh Suhu, hanya perasaan
Simoay saja tidak diketahuinya."
"Perasaan apa?" tanya Liong Hui dengan melenggong.
"Simoay lebih suka berkelana di dunia Kangouw bersama Gote daripada
bersama Samte memegang Bit-leng tanda kekuasaan perguruan kita," tutur
Giok-he. "Oo, tampaknya engkau serba tahu," ujar Liong Hui.
Dalam pada itu So-so telah membaca lagi, "Selama hidupku ke atas tidak
bersalah kepada Thian, ke bawah tidak malu terhadap sesamanya, biarpun
mati, di alam baka pun dapatlah kututup mata dengan tertawa."
Ketika mengakhiri isi surat wasiat ini, suara So-so menjadi tersendat, perlahan
ia melipat surat itu, dilihatnya Yap Man-jing telah menyodorkan belati naga
emas kepadanya sambil berpesan, "Jagalah dengan baik!"
"Terima kasih," jawab So-so lirih.
Man-jing tersenyum.
Tiba-tiba So-so menambahkan dengan perlahan, "Hendaknya selanjutnya kau
pun dapat menjaga dia dengan baik."
Dengan mata merah basah So-so lantas menyingkir.
Keruan Yap Man-jing melengak, sejenak ia berdiri termenung, lalu ia
mendekati Lamkiong Peng, tanpa bicara ia tancapkan pedang Yap-siang-jiu-loh
di depan anak muda itu dan berucap dengan dingin, "Pada tangkai pedang
terdapat lagi sepucuk surat rahasia, boleh kau ambil dan dibaca sendiri!"
Lalu dia membalik tubuh dan tinggal pergi.
Pada sebelum So-so selesai membaca surat wasiat Put-si-sin-liong tadi,
Lamkiong Peng memang sudah tenggelam dalam lamunannya. Setelah
mendengar ucapan Yap Man-jing, segera ia cabut pedang dengan kening
bekerenyit dan tetap merasa bimbang.
Ketika bayangan Yap Man-jing sudah hampir menghilang baru mendadak ia
berteriak, "Nanti dulu, nona Yap!"
Segera pula ia melayang ke sana.
Man-jing berpaling dan berkata dengan ketus, "Ada apa" Memangnya hendak
kau bunuh diriku untuk membalas dendam bagi gurumu?"
Wajah Lamkiong Peng yang selalu tenang itu menjadi agak emosi, ucapnya
dengan suara berat, "Betulkah guruku belum lagi meninggal" Di mana
sekarang beliau berada?";
Tubuh Yap Man-jing seperti rada tergetar, tapi cepat ia bisa menenangkan diri
dan menjawab, "Jika Put-si-sin-liong belum mati mengapa dia tidak pulang ke
sini?" "Untuk ini perlu ditanyakan padamu," jengek Lamkiong peng.
"Kenapa tidak kau tanya dulu kepada dirimu sendiri?" sahut Man-jing dengan
lebih ketus. Tanpa menoleh lagi ia memberi tanda kepada keempat perempuan
pengiringnya dan berkata, "Berangkat!"
Hanya sekejap saja lima sosok bayangan sudah menghilang di bawah sana.
Liong Hui, Giok-he, Ciok Tim dan So-so lantas mendekati Lamkiong Peng,
berbareng mereka bertanya, "Mengapa engkau bilang Suhu mungkin belum
meninggal?"
Dengan kening bekereyit Lamkiong Peng berkata, "Jika Suhu sudah meninggal,
kenapa beliau meninggalkan kata-kata seperti "bila kalah dan mati" dan
"bilamana aku mati" dan sebagainya. Apalagi kalau Suhu benar gugur dalam
pertandingan tadi, dengan watak beliau yang keras, mana mungkin
ditinggalkannya pesan yang ditulisnya sejelas dan selengkap ini?"
So-so segera menambahi, "Ya, tulisan beliau juga sangat rajin dan teratur,
serupa waktu beliau berlatih menulis indah biasanya."
"Nah, kan tambah jelas lagi," ujar Lamkiong peng dengan mata meneorong,
"Dalam keadaan begitu, umpama suhu tidak langsung dicederai lawan, pasti
juga tidak mungkin meninggalkan surat wasiat serapi ini, kuyakin di balik
urusan ini pasti ada sesuatu yang tidak beres ...."
Ia berhenti sejenak, sorot matanya mendadak berubah guram, katanya pula
dengan menyesal, "Akan tetapi, jika beliau belum meninggal, mengapa beliau
tidak kembali ke sini?"
Semua orang saling pandang dan tak bisa memberi komentar. Kedua lelaki
penggotong peti tadi juga ikut mendengarkan dengan cermat.
Si Tojin yang sejak tadi cuma menonton saja di samping rupanya tidak
mendapat perhatian mereka oleh karena suasana yang tegang tadi.
Kini Lamkiong Peng agak jauh meninggalkan peti mati yang dijaganya dan
asyik bicara dengan saudara seperguruannya, mendadak Tojin itu menggeser
ke peti mati, secepat kilat ia menyergap selagi kedua penggotong peti ikut
mendengarkan pembicaraan Lamkiong Peng, tahu-tahu bagian belakang
kepala mereka terpukul.
Tanpa sempat bersuara, "bluk-bluk", kedua orang lantas roboh kelengar.
Sama sekali si Tojin tidak menghiraukan korbannya lagi, secepatnya ia angkat
peti mati itu terus dibawa lari ke bawah gunung.
Lamkiong peng sendiri lagi memikirkan isi surat wasiat yang mencurigakan itu,
ketika itulah terdengar suara "bluk" dua kali disusul dengan jeritan kaget Ong
so-so, "Hei, apa yang kau lakukan"!"
Pembawaan So-so memang polos dan pemalu, mimpi pun tak terduga olehnya
ada orang akan merampas peti mati kayu cendana itu, karena kagetnya ia
hanya berdiri kesima saja.
Tapi karena jeritannya, buyarlah lamunan Lamkiong Peng, cepat ia membalik
tubuh dan sekilas pandang sempat melihat bayangan si Tojin yang kabur ke
bawah gunung dengan mengangkat peti mati itu.
Sungguh tidak kepalang kejutnya, tanpa pikir ia lantas mengejar, hanya
beberapa kali loncatan saja sudah jauh di bawah sana.
"Toako, Samko ...." seru So-so khawatir.
Liong Hui juga berteriak, "Lekas kejar!"
"Kejar apa?" kata Giok-he.
"Kejar perampok peti mati itu," seru Liong Hui dengan gusar.
"Hanya sebuah peti mati saja, biarpun terbuat dari kayu cendana, memangnya
berapa harganya?" ujar Giok-he.
"Tapi apakah boleh kita membiarkan Gote sendiri menyerempet bahaya?"
"Dan bagaimana dengan Suhu, apakah beliau tidak kita urus lagi?" jengek
Giok-he. Serentak Liong Hui memutar balik dan menegas, "Apa katamu?"
Giok-he menghela napas, ucapnya, "Kukira apa yang dikatakan Gote tadi
memang beralasan. Pokoknya kita tidak peduli apakah Suhu benar sudah
meninggal atau belum, yang penting kita harus memeriksa ke tempat yang
didatangi beliau tadi, apabila Suhu memang benar belum meninggal, kan
beruntung sekali kita!"
"Akan ...... akan tetapi bagaimana dengan Gote?" ucap Liong Hui ragu.
"Tadi telah kau lihat gerakan Kim-liong-coan-hun (naga emas menembus
awan) Gote itu, bagaimana kalau dibandingkan kepandaianmu?" tanya Giokhe.
Liong Hui jadi melenggong, "Ini"...."
"Ini menandakan kepandaian Gote sesungguhnya di luar ukuran kita," tukas
Giok-he, "Dengan kungfu yang dikuasainya sekarang, bukan soal lagi baginya
untuk menghadapi jago mana pun, untuk menjaga diri tentu saja terlebih
mudah." Liong Hui termenung, katanya kemudian, "Ya, ini?"ini juga betul."
So-so tampak gelisah, selanya, "Akan tetapi kalau Tojin itu berani main
rampas peti mati, hal ini menandakan di dalam peti itu pasti ada sesuatu
rahasia yang tidak kita ketahui ...."
Perlahan Giok-he menepuk pundak So-so dan berkata dengan lembut,
"Simoay, apa pun usiamu masih terlalu muda, ada sementara urusan yang
sukar kau pahami. Sebabnya Tojin itu menyerempet bahaya merampas peti
mati itu, tujuannya tidak lebih hanya menggunakan kejadian ini untuk
membuat namanya terkenal saja."
"Namun.......namun bila tiada sesuatu rahasia dalam peti, untuk apa Suhu
menyuruh".menyuruh dia menjaga peti itu dengan baik?" kata So-so.
Giok-he menjadi kurang senang, katanya pula, "Sekalipun di dalam peti mati
ada rahasia, memangnya rahasia itu bisa lebih penting daripada urusan mati
hidup Suhu?"
So-so meremas-remas kedua tangan sendiri dengan bimbang, meski ia merasa
ucapan sang suci kurang benar, tapi rasanya sukar membantahnya.
Segera Liong Hui menyela dengan mengangguk, "Simoay, ucapan Toasomu
memang cukup beralasan. Kulihat kepandaian Tojin itu toh tidak terlalu tinggi,
Gote pasti tidak akan mengalami kesukaran, lebih penting kita menyelidiki
urusan Suhu saja."
Sejak tadi Ciok Tim hanya termenung saja, dia seperti mau ikut bicara, tapi
setelah memandang So-so sekejap, lalu urung buka mulut.
Giok-he tertawa cerah, perlahan ia tepuk pundak So-so lagi sekali, katanya,
"Turutlah pada perkataan toaso, pasti tidak salah lagi. Bila terjadi apa-apa atas
diri Gote, boleh kau minta pertanggungan jawab toasomu ini, tidak perlu
khawatir."
Ciok Tim tampak berpaling ke arah lain.
Giok-he lantas berkata pula, "Samte dan Simoay, mari kita pergi mencari
Suhu!" So-so mengangguk dan ikut melangkah ke sana bersama Giok-he, namun
melirik sekejap juga ke arah menghilangnya bayangan Lamkiong Peng dengan
perasaan berat.
"Jika Simoay tidak mau ikut mencari Suhu, dengan tenaga kita bertiga rasanya
juga cukup," kata Ciok Tim tiba-tiba.
"Ah, kenapa Samte bicara demikian." ujar Giok-he dengan tertawa.
"Biasanya Simoay paling berbakti kepada Suhu, selama ini Suhu juga paling
sayang pada Simoay, mana bisa dia tidak mau mencari Suhu?"
"Ya, betul," tukas Liong Hui.
Pada saat itulah terlihat seekor burung terbang tinggi menembus awan,
mendadak berbunyi panjang, suaranya bergema seakan-akan lagi mengejek
kebodohan Liong Hui, kecerdikan Kwe Giok-he, kecemburuan Ciok Tim dan
kelemahan So-so, cuma sehabis berbunyi, mendadak burung itu pun
menumbuk dinding tebing di tengah kabut tebal.
Liong Hui berjalan di depan dengan cepat, memandangi bangkai burung yang
terjerumus ke bawah itu, katanya sambil menoleh, "Burung ini sungguh amat
bodoh!" "Burung yang kehilangan pasangan tidak mau hidup sendirian, maka sengaja
membunuh diri dengan menumbuk dinding tebing," tutur Ciok Tim.
"Jika aku menjadi burung itu, aku lebih suka mati merana!" ucap So-so dengan
hampa. "Kalian keliru semua," kata Giok-he dengan tersenyum. "Burung itu tidaklah
bodoh, juga tidak kesepian, dia tertumbuk mati hanya lantaran terbangnya
terlalu tinggi dan karena lengahnya sendiri."
"Terbang terlalu tinggi bisa mati tabrakan, terbang terlalu rendah bisa terbidik
oleh pemburu," ujar Liong Hui dengan menyesal. "Ai, tak tersangka menjadi
manusia sulit, menjadi burung juga tidak sederhana,"
Tengah bicara mereka berempat sudah bergerak cukup jauh, tanah
pegunungan yang kacau tadi kini tertinggal pohon cemara tua yang tetap
berdiri tegak dengan desir angin kencang dan awan tebal.
Burung yang terjerumus ke jurang itu tertiup angin melayang jatuh ke bawah
sana Saat itu Lamkiong Peng sedang mengejar si Tojin secepat terbang, dia sudah
melampaui tugu Han-bun-kong, dengan gelisah ia mengejar sepenuh tenaga.
Meski Tojin itu mengangkat sebuah peti mati, tapi gerak tubuhnya tetap
sangat gesit dan cepat, Lamkiong Peng merasa bayangan di depan makin jelas
kelihatan, tapi seketika tetap tak tersusulkan.
Sungguh ia tidak tahu mengapa Tojin ini sengaja menyerempet bahaya hanya
untuk merampas sebuah peti mati, juga tidak dimengertinya mengapa
gurunya menyuruhnya menjaga peti mati dengan baik.
Tiba-tiba teringat olehnya macam-macam dongeng kuno. Apakah mungkin di
dalam peti mati ini tersimpan sesuatu rahasia dan rahasia ini menyangkut
seperti harta karun yang sudah lama diincar orang atau tersimpan semacam
senjata wasiat atau sejilid kitab pusaka ilmu silat maha tinggi"
Pikiran demikian terkilas dalam benaknya dengan cepat, dan pada detik itulah
bayangan Tojin di depan mendadak bergerak lamban. Ketika ia menoleh, tiada
tertampak seorang saudara seperguruan yang menyusul kemari, ia menjadi
ragu apakah telah terjadi sesuatu di sana.
Pada saat itu tidak sempat baginya untuk memikirkan hal-hal yang demikian,
mendadak ia melompat terlebih cepat ke depan hanya beberapa kali naik
turun, jaraknya dengan si Tojin semakin dekat.
Mendadak terasa setitik bayangan hitam menyambar tiba, menghantam
lengan kanannya, terkesiap juga Lamkiong Peng oleh sambaran angin keras
ini, cepat ia membaliki tangan kanan dan meraihnya, dengan tepat setitik
bayangan ini kena dipegangnya, tapi lantaran itu sarung pedang hijau yang
dipegangnya judi terlepas dan jatuh ke dalam jurang.
Waktu bayangan hitam itu terpegang, segera dirasakan dingin dan basah,
sekilas lirik ternyata yang terpegang itu adalah bangkai burung.
Ia tersenyum mengejek pada diri sendiri, sungguh terlalu, dunia selebar ini,
masakah seekor burung mati bisa begitu kebetulan menimpanya. Betapa pun
hal ini dirasakan sebagai "ada jodoh", bangkai burung dimasukkan ke dalam
bajunya. Waktu ia memandang ke depan, sudah dekat dengan ujung puncak gunung,
jaraknya dengan si Tojin juga tinggal beberapa meter saja
Biarpun Tojin itu sangat kuat, tapi dengan mengangkat sebuah peti mati dan
berlari di tanah pegunungan yang curam demikian, akhirnya ia mulai lelah
juga. Ketika larinya mulai kendur, mendadak terdengar bentakan dari
belakang, "Berhenti!".
Ia sedikit melirik ke samping, tertampaklah sebatang pedang hijau kemilau
menyambar dari belakang, jaraknya sudah cukup dekat, angin tajamnya sudah
dapat dirasakan.
Si Tojin masih terus berlari, cuma diam-diam ia telah siap berputar. Ketika
menurut perhitungannya saatnya sudah tepat, mendadak ia membentak
sambil membalik, peti mati diangkatnya terus dikeprukkan ke atas kepala
Lamkiong peng. Peti mati buatan kayu cendana itu sangat berat, ditambah lagi si tojin
menghantam dengan sekuat tenaga, bobot peti itu menjadi beribu kati
beratnya. Cepat Lamkiong peng bermaksud menahan langkahnya, akan tetapi sudah
terlambat, tertampak segumpal bayangan hitam dengan angin dahsyat
menindih dari atas. Berada di lereng gunting yang terjal begini jelas sukar
baginya untuk menghindar.
Karena kepepet, Lamkiong peng juga membentak sambil putar pedangnya,
dengan cepat ujung pedang memapak peti mati yang menindih dari atas itu.
Dalam sekejap saja ujung pedangnya menutul beberapa kali, terdengar suara
"tok-tek" berulang-ulang, setiap tutulan pedangnya serentak mengurangi daya
tindih peti, inilah gerakan ringan melawan berat kaum ahli, gerak tangkis
demikian memerlukan perhitungan yang jitu dan berani.
Dengan wajah kelam si Tojin berusaha menekan peti mati itu sekuatnya,
Lamkiong peng juga pasang kuda-kuda dengan kuat dan menegakkan pedang
untuk menyanggah daya tekan peti.


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam keadaan demikian, kedua orang sama tidak berani ayal, sebab mereka
tahu sedikit meleng saja tentu akan terjerumus ke jurang yang tak
terbayangkan dalamnya.
Panjang peti itu lebih dua meter, sedang ujung pedang cuma setitik saja. Peti
menindih dari atas, pedang harus menegak untuk menahan daya tekan yang
kuat itu, betapa berbahayanya tentu dapat dibayangkan.
Lamkiong peng merasakan daya tekan peti semakin berat, batang pedang
buatan baja itu mulai melengkung.
Kain baju Lamkiong peng mulai mengembung, rambut dan jenggot si Tojin
seakan-akan menegak, kedua orang sama mengerahkan segenap tenaga dan
berdiri sekukuh tonggak, namun sedikit demi sedikit kaki Lamkiong Peng mulai
bergeser dengan perlahan.
Jika dia tidak geser kaki akhirnya kaki akan amblas, tapi geseran yang
perlahan ini baginya sekarang boleh dikatakan mahasulit. Yang lebih sulit lagi
adalah dia harus berjaga jangan sampai ujung pedangnya menusuk masuk ke
dalam peti. Sebab kalau ujung pedang masuk peti, segera peti akan menindih
ke bawah dan ini berarti maut baginya.
Angin gunung mendesir lewat di sisi telinganya, Lamkiong peng merasakan
pedang yang dipegangnya dari dingin mulai berubah menjadi panas.
Pandangannya mulai kabur, maklumlah segenap tenaganya hampir terkuras
habis. Wajah si Tojin kelihatan tambah guram, sinar matanya tambah beringas,
dengan menyeringai mendadak ia membentak, "Tidak turun ke bawah!?"
"Belum tentu bisa!" jawab Lamkiong peng sambil membusungkan dada.
"Hm, usiamu masih muda belia, jika mati begini saja tanpa ada yang
mengurus mayatmu, sungguh aku merasa kasihan bagimu," jengek si Tojin.
"Huh, entah siapa yang akan mati!" kata Lamkiong peng, diam-diam ia merasa
menyesal kenapa tiada seorang pun saudara seperguruannya menyusul
kemari, apakah betul akan terjadi mayatnya tak terurus"
"Mengapa mereka tidak menyusul kemari, apakah........" selagi dia membatin
demikian, sekonyong-konyong dirasakan daya tekan peti mati tambah kuat, ia
terkejut dan cepat menenangkan diri dan bertahan lebih kuat. Ia sadar
agaknya si Tojin sengaja membuyarkan konsentrasinya dengan ucapannya.
Tiba-tiba dilihatnya di bawah bayangan peti mati dahi si Tojin berhias butiran
keringat, tergerak pikirannya, agaknya lawan sendiri juga sudah payah,
asalkan aku bertahan sebentar lagi tentu akan dapat mengatasi lawan.
Segera ia balas mengejek, "Hm, memangnya kau kira aku tidak tahu
keadaanmu. Biarpun lwekangmu lebih tinggi daripadaku, tapi engkau telah
berlari sejauh ini dengan mengangkat benda seberat ini, tenaga yang telah
kau kuras jelas jauh lebih banyak daripadaku, biarpun keadaanku cukup
payah, akan tetapi engkau justru serupa pelita yang kehabisan minyak."
Air muka si tojin yang kelam itu kembali berubah terlebih gelap, peti mati yang
dipegangnya terasa bergetar, kesempatan itu digunakan Lamkiong peng untuk
menolak dengan pedangnya sehingga terangkat lebih tinggi sedikit. Lengan si
tojin yang putih itu mulai berubah merah dan akhirnya menjadi kebiru-biruan.
Lamkiong peng merasa lega, perlahan ia berkata pula, "Jika kita terus
bertahan seperti ini, meski aku bisa celaka, tapi engkau pasti mampus."
Dia sengaja mempertegas kata "mampus" dengan suara keras, lalu
menyambung pula, "Hm, hanya karena sebuah peti mati kayu cendana saja
kenapa kau bela mati-matian, jika kau mau lepas tangan sekarang juga,
mengingat sesama kaum persilatan, takkan kuusut lebih lanjut perbuatanmu
ini dan akan kulepaskan kau pergi."
Uraiannya meski bermaksud mengacaukan semangat tempur lawan, tapi ada
sebagian kata katanya juga timbul dari lubuk hatinya yang murni.
Tak terduga si tojin lantas tertawa dingin dan membentak, "Hm, masakah
gampang kumati begitu saja" Jika mati tentu juga bersamamu!"
Mendadak ia mengerahkan sisa tenaganya dan menekan peti mati terlebih
kuat. Selagi Lamkiong peng terkesiap, dilihatnya si tojin mendak ke bawah
sedikit dan sebelah kakinya bahkan terus menendang.
Tenaga si tojin dikerahkan seluruhnya pada kedua tangannya, maka
tendangannya sebenarnya tidak keras, tapi tempat yang di arah justru sangat
berbahaya, yaitu bagian selangkangan, bagian lemah ini cukup fatal bila
terdepak dengan tepat, tidak perlu terlalu keras.
Dalam keadaan begini, jika Lamkiong peng menghindari tendangan ini, berarti
kuda-kudanya akan goyah dan peti mati akan jatuh dari atas, sebaliknya kalau
tidak mengelak, pasti juga akan celaka.
Dalam gusarnya tanpa pikir ia mengayun telapak tangan kiri ke bawah,
ditabasnya pergelangan kaki lawan. Baik waktu maupun tempat yang di arah
sungguh sangat tepat.
Tapi tojin itu segera juga berganti gerakan, kedua tangan tetap memegang
peti mati, tubuh terapung, kaki kanan ditarik kembali, kaki kiri terus
menendang pula secepat kilat.
Lamkiong peng juga tidak kalah cepatnya, tangan kiri berputar, kembali ia
cengkeram kaki lawan. Diam-diam ia pun terkesiap, cara si tojin ini jelas sudah
kalap, kalau perlu ingin gugur bersama dengan dia. Sebab dengan tubuh
bergantungan dan kedua kaki menendang secara bergantian, bilamana
Lamkiong peng tertendang dan jatuh ke dalam jurang, si tojin sendiri juga
pasti akan ikut terjeblos ke jurang.
Dalam sekejap itu meski Lamkiong peng dapat menahan beberapa kali
tendangan berantai si tojin, tapi tangan kanan yang memegang pedang terasa
linu pegal, peti mati terasa semakin menekan ke bawah, tangan kiri juga mulai
sukar menahan tendangan kilat musuh.
Dalam keadaan kepepet kalau dia mau melepaskan pedang dan melompat
mundur, jelas dia dapat menyelamatkan jiwa sendiri. Tapi dia lantas teringat
kepada pesan sang guru yang telah menyerahkan pedang pusaka Yap-siangjiuloh kepadanya dengan tugas membela peti sakti itu, "peti rusak orang
binasa", demikian kata terakhir amanat sang guru itu.
Diam-diam ia menghela napas, sukar diselaminya sesungguhnya ada
keistimewaan apa pada peti mati ini sehingga perlu dibela mati-matian, tapi
apa pun juga dia harus patuh kepada amanat sang guru.
"Peti rusak orang binasa", itulah amanat yang tidak boleh dilupakan,
mendadak ia berteriak, "Baiklah, biar kita gugur bersama!"
Mendadak ujung pedang menolak sekuatnya ke atas, tangan kiri terus
mencengkeram ke depan, dia tidak lagi menangkis tendangan si tojin
melainkan mencengkeram dada orang. Ia menjadi nekat dan tidak memikirkan
akibatnya lagi, yang penting amanat sang guru telah dilaksanakannya.
Berubah juga air muka si tojin melihat kekalapan anak muda itu, mendadak ia
tertawa keras, "Hahaha! Bagus, bagus, biarlah kita bertiga gugur bersama!"
Tergetar hati Lamkiong peng, "Bertiga"!" ucapnya tanpa terasa. Mendadak ia
tahan serangannya dan kembali menegas dengan membentak, "Dari mana
datangnya orang ketiga?"
Meski timbul rasa curiganya dan ingin tahu sesungguhnya apa yang
dimaksudkan si tojin, tapi dalam keadaan begini, ibarat orang sudah berada di
punggung harimau, ingin turun pun tidak bisa lagi.
Didengarnya si tojin lantas membentak, "Di sini juga ada tiga orang!"
Berbareng kedua kakinya menendang pula secara berantai. Diam-diam
Lamkiong peng juga sudah siap untuk gugur bernama orang gila ini untuk
menunaikan kewajibannya membela peti mati itu sesuai amanat sang guru.
Siapa duga, pada detik terakhir yang menentukan itu, tiba-tiba terjadi sesuatu
yang mendekati keajaiban. Dirasakan oleh Lamkiong peng pedang yang
menolak peti mati itu mendadak terasa ringan, peti mati yang semula
menindih ke bawah dengan sangat kuat itu telah berubah seperti benda tak
berbobot. Begitu bobot peti mati berubah ringan, keadaan segera berubah. Si Tojin
mendadak merasakan timbul semacam tenaga gaib dari dalam peti yang
menghilangkan tenaga murni pada kedua tangannya yang berpegangan pada
peti itu sehingga tubuh bagian bawah kehilangan daya gerak. Baru saja kedua
kakinya menendang, seluruh tubuhnya lantas anjlok ke bawah.
Perubahan yang terjadi secara mendadak ini sama sekali tidak memberi
peluang baginya untuk berpikir, dalam kagetnya cepat ia melejit di udara
sehingga hinggap ke permukaan tanah dengan setengah berjongkok, lalu
cepat melompat mundur.
Lamkiong peng juga terkejut dan menarik pedang dari peti terus melompat
mundur. Kedua orang sama melompat mundur dan tetap berdiri berhadapan, si Tojin
mengepal tinju dengan muka kelam dan mata melotot memandangi peti mati
itu. Lamkiong peng juga memandang peti mati itu dengan penuh rasa heran dan
bingung. Tertampak peti mati itu bisa berhenti sejenak di atas udara meski sudah
terlepas dari dukungan kedua orang itu, habis itu baru menurun ke bawah
dengan perlahan seakan-akan di bagian bawah ditopang oleh seorang yang
tidak kelihatan, malahan jatuhnya ke tanah begitu enteng tanpa menimbulkan
suara sama sekali.
Mau tidak mau ngeri juga Lamkiong peng menyaksikan kejadian luar biasa ini.
Meski sudah banyak dongeng seram yang pernah didengarnya, tapi apa yang
dilihatnya ini sungguh sukar untuk dipercaya.
Si Tojin juga lagi menatap peti mati itu dengan sorot mata yang kejut dan
sangsi, malahan bibirnya kelihatan rada gemetar, katanya mendadak,
"Ba.......bagus sekali, ternyata benar engkau tidak....... tidak mati!"
Habis itu, serentak ia menubruk maju lagi ke arah peti mati.
Kembali Lamkiong peng terkejut, tanpa pikir ia membentak, "Kau mau apa?"
Segera ia putar pedangnya dan menyongsong si Tojin. Betapa pun dia lebih
muda dan kuat, tenaganya dapat pulih lebih cepat.
Saat itu si Tojin sudah menerjang sampai di depan peti mati, tahu-tahu sinar
hijau menyambar tiba, kalau dia tidak segera menarik diri berarti maut
baginya. "Mundur!" terdengar Lamkiong peng membentak.
Benar juga, terpaksa Tojin melompat mundur kembali ke tempat semula.
Dengan pedang melintang di depan dada, Lamkiong peng lantas mengadang di
depan peti mati.
Mendadak si Tojin menghela napas, ucapnya, "Ai, ada permusuhan apa antara
dirimu denganku, mengapa engkau berbuat begini padaku"!"
Ucapan orang ini membingungkan Lamkiong peng, sukar dirasakan ucapan
menyesal mengomel atau memohon"
Sesudah melenggong sejenak barulah ia menjawab, "Selamanya kita tidak
kenal, mana ada permusuhan?"
Si Tojin seperti orang linglung dan masih memandang peti mati dengan
termenung, sejenak kemudian, tiba-tiba ia berkata pula, "Asalkan kau
serahkan peti ini kepadaku, seterusnya engkau adalah penolongku yang
terbesar, selama hidupku takkan melupakan budi kebaikanmu ini dan pasti
akan kuberi balas jasa sebesar-besarnya."
Lamkiong peng menatapnya dengan tajam, lalu mendengus, "Hm, setelah
tidak mampu merampas dengan kekerasan, lalu hendak kau gunakan cara
memohon dengan halus?"
Mendadak si Tojin membusungkan dada dan menjawab dengan angkuh,
"Selama hidupku tidak pernah memohon kepada orang."
"Hm, apa pun juga selangkah saja tidak boleh lagi kau dekati peti ini," jengek
Lamkiong Peng. Sungguh si Tojin kecewa dan tak berdaya, sudah digunakannya macammacam
jalan, main rampas, main labrak dan memohon secara halus, semua
itu tetap tidak dapat melunakkan tekad anak muda itu yang membela peti mati
dengan teguh. Karena kehabisan akal, akhirnya Tojin itu berkata dengan sungguh-sungguh,
"Apakah kau tahu sebabnya gurumu menyuruhmu membela peti mati ini!"
"Tidak tahu!" jawab Lamkiong peng.
Sorot mata si Tojin menampilkan setitik sinar harapan pula, ucapnya, "Jika
tidak tahu sebabnya, apakah berharga kau bela dengan jiwa ragamu?"
"Pokoknya itulah amanat perguruan, tiada gunanya kau putar lidah dan
berusaha menghasut," jengek Lamkiong peng,
"Hehe, apakah kau kira aku benar-benar tak dapat menundukkan dirimu" Bila
sebentar tenagaku pulih seluruhnya, memangnya kau mampu melawan lebih
lama?" "Belum lagi dicoba, tidak perlu membual dulu. Pokoknya mati-hidupku sudah
kupertaruhkan atas peti pusaka ini."
Si Tojin memejamkan mata sejenak dan termenung, waktu ia membuka mata
lagi, ia menghela napas panjang dan berucap perlahan, "Ai, sungguh aku tidak
habis mengerti mengapa kau bela peti ini mati-matian tanpa sayang akan
jiwamu sendiri."
"Hm, aku pun tidak habis mengerti untuk apa peti ini hendak kau rampas
dengan mati-matian," jawab Lamkiong peng dengan ketus.
Si Tojin mengepal tinjunya erat-erat sambil menggereget, mendadak ia
mendesak maju selangkah dan menatap Lamkiong peng dengan tajam, sampai
sekian lamanya barulah ia berkata, "Memangnya kau ingin kukatakan terus
terang seluk-beluk urusan ini baru akan kau serahkan peti ini?"
"Biarpun kau beberkan seluk-beluk urusannya juga takkan kulepaskan," jawab
anak muda itu. Tojin itu menengadah memandang jauh ke langit seperti tidak mendengar
ucapan Lamkiong peng itu, perlahan ia berkata pula, "Ada sementara orang
selama hidupnya giat bekerja dan keras berusaha, selalu berbuat baik, tidak
berani bertindak salah selangkah pun, tapi sekali dia salah langkah, dalam
pandangan umum lantas berubah menjadi orang berdosa yang tak
terampunkan. Sebaliknya ada sementara orang lagi yang selama hidupnya
berbuat jahat melulu, tapi pada suatu kesempatan secara kebetulan ia telah
berbuat sesuatu kebaikan sehingga orang pun sama memaafkan segala
dosanya yang telah diperbuatnya......"
Dia bicara dengan perlahan dan lirih, seperti bergumam, seperti juga lagi
berkeluh kesah terhadap yang Mahakuasa.
Sampai di sini mendadak ia tertawa latah dan berseru, "Coba katakan, apakah
adil Thian memperlakukan manusia sesamanya?"
Lamkiong peng melongo bingung, ia heran Tojin bersanggul tinggi yang
misterius ini mengapa dalam keadaan begini bisa bicara hal-hal yang tidak ada
sangkut pautnya dengan kejadian tadi.
Waktu ia memandang ke sana, dilihatnya air muka si Tojin yang menampilkan
rasa sedih dan kecewa tadi mendadak berubah menjadi gusar, dengan
tangannya yang kurus dan rada gemetar ia tuding Lamkiong Peng dan
membentak, "Kau bela peti mati ini senekat ini, memangnya kau tahu siapa
orang yang membujur di dalam peti ini?"
Keajaiban yang timbul dari peti mati ini tadi sebenarnya sudah dirasakan
Lamkiong Peng, pasti ada sesuatu misteri yang belum terungkap, lamat-lamat
Harpa Iblis Jari Sakti 2 Pedang Ular Mas Karya Yin Yong Pukulan Si Kuda Binal 5

Cari Blog Ini