Ceritasilat Novel Online

Han Bu Kong 8

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui Bagian 8


merintangiku ke sana?" lamkiong Peng juga berteriak.
Namun Tiam Jong Yan dan kedua ciok bersaudara tetap bertempur tanpa
bicara. Air hujan mengguyur air darah dan menggenangi jalan yang becek.
Mendadak terdengar suara bentakan dan jeritan, sesosok bayangan terguling
keluar dari kegelapan hutan sana dengan luka di dada.
Sekilas pandang segera Tiam Jong Yan menendang sehingga orang itu
terpental. "Wah, celaka, si harimau gila Tio Kang terjungkal," teriak Li thi-hai.
"Hm, jika tidak lekas mundur, tiada satupun diantara kalian dapat pergi
dengan hidup," jengek Ciok-loji.
Belum lenyap suaranya kembali seorang bayangan menerjang keluar dari
kegelapan hutan sambil menjerit, langsung ia menerjang ke depan Li thi-hai,
pedang yang dipegangnya lantas menabas, tapi ia sendiri keburu
menyemburkan darah segar, mata mendelik dan segera roboh terjungkal.
Agaknya orang ini binasa terkena pukulan kuat.
"Celaka, Go sute terbunuh," teriak Ciok-lotoa, selagi ia hendak memeriksa
kawannya mendadak dua kali tabasan golok Li Hui-hai membuatnya melompat
mundur. "Hm, sahabat Hek-to ke 13 propinsi sudah berkumpul di sini, Tiam jong pai
kalian hari ini mungkin akan tertumpas seluruhnya di sini," jengek Li thi-hai.
"Kentut busuk!" bentak Ciok-loji murka sekaligus ia melancarkan lima kali
tusukan. Tergerak hati Lamkiong Peng, ia tidak mau terlibat lebih lama lagi dalam
pertempuran yang tak keruan juntrungannya ini. Mendadak ia mendesak
mundur Tiam Jong Yan, kebetulan waktu itu cambuk Yim ong-hong juga
menyabat, selagi Tiam Jong Yan kerepotan menghindari serangan dua jurusan,
kesempatan ini segera digunakan Lamkiong Peng untuk melompat ke arah
perkampungan. Baru saja tubuh Lamkiong Peng meluncur ke depan, Ciok-lotoa membentak,
sebelah potlot bajanya disambitkan.
Ketika mendengar desing angin tajam menyambar dari belakang, tanpa
menoleh Lamkiong Peng melompat sekuatnya ke depan sambil mengebaskan
sebelah tangan ke belakang, potlot baja lawan jadi ketinggalan dan jatuh di
tanah. Li hui-hai menjadi kalap, selagi Ciok-loji menabas dengan pedangnya, ia tidak
menghindar, sebaliknya golok langsung menabas pundak Ciok-lotoa hingga
darah munerat. Sambil meraung kesakitan, ciok-lotoa, menubruk maju, kontan kedua golok Li
hui-hai menikam sehingga menembus perut Ciok-lotoa, tapi kedua tangan
Ciok-lotoa yang kuat juga mencekik leher Li hui-hai, sebelum Li hui-hai sempat
meronta tahu-tahu mata mendelik dan tulang kerongkongan tercekik patah,
darah pun mengucur dari mulutnya dan binasa seketika.
Kejut dan gusar Ciok loji sambil meraung kalap pedangnya juga menusuk iga
Li hui-hai hingga menembus ke iga sebelahnya.
Tentu saja Li Thi-hai tidak tinggal diam, goloknya juga membacok sehingga
lengan kanan Ciok-loji terpenggal, teriaknya parau, "Serahkan nyawamu!"
Belum lenyap suaranya, pukulan Ciok-loji juga tepat mengenai dada Li Thi-hai.
Kontan Li thi-hai tumpah darah dan golok jatuh ke tanah. Lengan kanan Ciokloji
pun buntung sebatas pangkal pundak, namun dia tidak merasakan sakit,
seperti lengan kutung itu bukan miliknya, menyusul kakinya menendang pula
ke selangkangan Li thi-hai.
Terdengarlah jeritan Li thi-hai, tubuhnya mencelat dan jatuh ke dalam hutan,
jelas nyawa pun amblas. Kedua tokoh kalangan hitam semuanya binasa dalam
sekejap. Ciok-loji sempoyongan, tersembul senyuman pedih pada ujung mulutnya,
gumamnya, "Lotoa, sudah kubalaskan sakit hatimu.........."
Belum lanjut ucapannya ia pun jatuh kelenger.
Karena tersabat oleh cambuk Yim Ong Hong, Tiam Jong yan juga kesakitan,
sekilas pandang dilihatnya kedua Ciok bersaudara telah sama menggeletak,
tentu saja ia terkesiap, diam-diam ia berkeluh, "Ai, habislah semuanya!"
Waktu ia memandang ke sana, dilihatnya Yim ong hong lagi berjongkok
kesakitan kena tendangannya tadi. Bentaknya," Kau bilang sahabat kalangan
hitam ke 13 propinsi hampir semuanya berkumpul di sini, apakah benar tujuan
kalian adalah harta benda keluarga Lamkiong ini?"
Meski kesakitan, Yim ong hong tetap tenang, jawabnya, "Habis untuk apa para
kawan berkumpul di sini jika bukan lantaran ada rezeki?"
Tiba-tiba timbul akal keji Tiam jong yan katanya, "Setelah mendapatkan
bagian rezeki itu, apakah kalian segera angkat kaki dari sini?"
"Sesudah berhasil, tentu saja kami akan pergi, untuk apa berdiam di sini" Hah,
orang pintar sebagai Tiam jong yan mengapa mengajukan pertanyaan begini?"
sahut Yim ong-hong tertawa.
Mendadak Tiam-jong-yan alias Kongsun Yan meluncurkan tiga larik sinar lagi
ke udara, terdengar letusan disertai bunga api yang bertebaran memenuhi
angkasa. Tergerak hati Yim Ong-hong, ia tahu orang sedang memanggil kawannya,
segera ia pun bersuit memberi tanda.
Dalam sekejap terdengarlah suara teriakan di dalam hutan yang menyerukan
berhenti bertempur.
Segera sesosok bayangan tingggi besar melompat keluar dari kegelapan hutan
sana sambil berseru, "Bagaimana, Yim-lotoa?"
Orang ini berambut ubanan semua, suaranya lantang, namun keadaannya
kelihatan runyam, baju tak teratur berlepotan air darah dan air hujan, ia pun
bersenjata cambuk. Dia inilah Cin Luan-ih, salah seorang dari Hong-ih-siangpian,
kedua cambuk angin dan hujan, dua tokoh bandit yang pernah
mengguncangkan dunia kangouw.
"Tiam-jong-yan lopas tangan!" jawab Yim Ong-hong.
Cin Luan-ih tertawa puas, tapi kelika melihat mayat kedua Li bersaudara. ia
pun terkejut. Sementara itu bayangan orang berbondong-bondong melayang keluar pula
dari dalam hutan, sebagian besar melompat ke belakang Hong-ih-siang-pian,
sebagian kecil, empat orang tojin dan tiga pemuda berpedang, mendekati
Kongsun Yan. Terkesiap juga Kongsun Yan melihat sisa kawannya itu, tidak terkecuali
kawannya juga kaget melihat keadaan medan tempur, salah seorang tojin
berjenggot berseru, "Hah, Ciok toako dan Ciok-jiko . . . ."
Kiranya di antara ke-17 jago Tiam-jong-pai yang datang ini, ada sembilan
orang yang terbunuh.
''Sudahlah . . . ." ucap Kongsun Yan dengan menghela napas.
"Sudahlah bagaimana" Apa maksudmu"' tanya si tojin jonggot hitam yang
bergelar Thian-go Tojin.
"Biarkan mereka lewat ke sana," ucap Kongsun Yan pelahan.
"Jiko, mana boleh . . . ."
Belum lagi Thian-go bicara lebih lanjut, mendadak Kongsun Yan memberi
tanda, "Jangan banyak bicara, biarkan mereka lewat!"
Thian-go Tojin mengepal erat kedua tinju nya, suatu tanda tidak rela atas
kebijaksanaan sang Suheng. Serentak belasan orang sama me-layang ke arah
perkampungan sana.
Kongsun Yan lantas mendesis, "Agaknya Samte tidak tahu maksudku. Hari ini
kawanan penyatron yang datang tidaklah sedikit, untuk menghemat tenaga,
apa salahnya kita biarkan mereka langsung menuju ke sana, tentu mereka
akan disambut golongan lain yang sudah menunggu di sana. Kita boleh tunggu
saja di sini, apakah mungkin kita akan membiarkan harta benda diboyong
mereka begitu saja?"
Thian-go melenggong, ia simpan kembaili pedangnya dan mengangguk,
katanya, "Ya, perhitungan Jiko memang harus dipuji."
Kongsun Yan memandang para anak mu-rid Tiam-jong yang hadir, ucapnya
pula dengan menyesal, "Kalian tahu, demi memenuhi janji dengan kaum iblis
pada berpuluh tahun yang lalu oleh leluhur kita, bilamana sekarang kita dapat
membendung musuh dan mempertahankan diri sudahlah lumayan. Yang
kuharap asalkan harta benda itu tidak sampai diangkut pergi, untuk itu
biarpun jiwaku barus melayang juga kurela. Ciangbun Suheng sudah .... Ai,
selanjutnya hanya Samsute saja yang harus memikul tugas mengembangkan
Tiam-jong-pai kita."
Thian-go To-jin menunduk terharu, anak murid Tiam-jong-pai yang lain pun
sama prihatin menghadapi tugas selanjutnya yang berat
Angin mendesir, hujan masih turun dengan lebatnya membuyarkan darah
yang memenuhi tanah di situ.
Malam tambah larut, di bawah hujan Lamkiong Peng terus berlari dengan
cepat. Ha-nya sebentar saja bayangan rumah megah di depan sudah
kelihatan. Terbangkit semangat Lamkiong Peng, ber-bagai tanda tanya dalarn benaknya
sejenak lagi akan menjadi jelas. Namun hatinya tetap diliputi ketegangan.
Secepat terbang Lamkiong Peng melompati undak undakan rurnah yang
panjangnya lebih 20 tingkat itu. Tempat ini sudah dikenalnya dengan baik
sejak kecil, begitu kaki menyentuh undakan batu yang dingin itu, timbul juga
perasaan hangat dalam lubuk hatinya.
Tak terduga pada saat itu juga mendadak dari dalam rumah bergema suara
bentakan pe-lahan, "Kembali!"
Tiga bintik perak serentak menyambar tiba, dua titik perak di depan, satu titik
di belakang. Akan tetapi ketika hampir mendekati sasaran, titik perak terakhir
itu mendadak meluncur terlebih cepat dan mendahului yang lain.
Keruan Lamkiong Peng terkejut, cepat ia mengegos, terdengar suara desing
tajam me -nyambar lewat di samping telinga, berbareng itu ia melompat ke
atas sehingga kedua titik senjata rahasia yang lain pun Iuput mengenainya.
Waktu ia hinggap kembali di lantai, suasana dalam rumah lantas sunyi senyap
seperti tidak pernah terjadi sesuaiu.
Cemas hati Lamkiong Peng memikirkan kedua orang tua, segera ia berteriak,
''Siapa yang berada di dalam, ini Lamkiong Pmg sudah pulang!"
Belum Ienyap suaranya terdengarlah orang berseru di dalam, "Ah, kiranya
anak Peng adanya!"
Sesosok bayangan secepat terbang me-layang keluar. Belum lagi Larnkiong
Peng sem-pat menghindar, tahu-tahu bayangan orang sudah memegang
pundaknya, Sekuatnya Lamkiong Peng meronta, tapi sukar terlepas.
Sekilas pandang dilihatnya rambut orang semrawut, namun kedua matanya
terang dan bersinar welas asih, siapa lagi kalau bukan sang ibu.
Sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya bahwa sang ibu mempunyai kungfu
setinggi itu. Selagi ia melenggong, sang ibu telah me-rangkulnya dengan erat sumbil
berseru. ' O, anakku, engkau sudah pulang, sungguh sangat kebetulan!"
Kasih sayang ibunda sungguh menghibur hati Lamkiong Peng yang cemas,
lapar, lelah dan curiga.
Di tengah ruangan besar yang guram itu hanya diterangi sebuah lentera kecil
hampir padam tertiup angin ketika pintu mendadak terbuka.
Waktu Larnkiong Peng masuk ke dalam tertampaklah berpuluh peti besar
tertimbun di tengah ruangan, di atas peti penuh menancap berbagai senjata
rahasia. Pada deretan kursi di sekitar sana duduk bersandar beberapa lelaki kekar yang
kelihatan lesu, malahan ada yang kelihatan berlepot-an darah, ada yang
napasnya terengah dan sebagian memejamkan mata setengah mengantuk,
jelas mereka habis mengalami pertempuran sengit dan terluka.
Di tengah ruangan yang agak runyam ini berdiri pula dengan tenang seorang
tua berbaju perlente, jenggotnya kelihatan bergoyang tertiup angin, namun
sikapnya tetap tenang dan sinar matanya meneorong.
"Ayah!" seru Lamkiong Peng sambil mem-buru maju dan berlutut di depan
orang tua ini. Dia memang ayah Lamkiong Peng, Lamkiong Siang-ju.
Orang tua ini menghela napas pelahan dan membelai kepala anak
kesayangannya, sampai sekian lama tidak sanggup berucap apa pun.
Dengan penuh kasih sayang Lamkiong hujin (nyonya Lamkiong) menggunakan
saputangan-nya untuk mengusap air hujan dan air keringat di kepala
Lamkiong Peng, ucapnya dengan lembut, "Nak selama ini tentu telah bikin susah
padamu, selanjutnya mungkin engkau akan tambah sengsara lagi."
Lamkiong Siangju hanya tersenyum getir saja tanpa bersuara.
Melihat wajah sang ayah yang rawan dan muka ibunda yang pucat kurus,
keadaan di dalam rumah juga tampak runyam. Lamkiong Peng tahu tentu
telah terjadi hal-hal yang luar biasa, capat ia tanya, "Ayah, sebenarnya apa
yang terjadi'' Kenapa berbagai cabang per-usahaan kita telah kaututup" Tiamjongpai yang selamanya tidak ada sangkut-paut apa pun dengan kita
mengapa sekarang ikut mengepung perkampungan kita, seperti menjaga, tapi
juga kelihatan tidak bermaksud baik terhadap kita. Kecuali itu, Kun-mo-to
yang sering terdengar di dunia kangouw tapi tidak pernah terlihat orangnya,
mengapa juga memusuhi kita" Ayah, mohon jelaskan semua itu, sungguh
anak teramat cemas dan gelisah."
"Sabar dulu, nak, kenapa kaujadi segopoh ini?" ujar Lamkiong-hujin.
"Sebentar ayahmu tentu akan menjelaskan duduknya perkara."
Dengan wajah prihatin Lamkiong Siang-ju naelangkah ke luar pintu, setelah
memandang sejenak, mendadak ia membalik tubuh dan memberi hormat
sambil berkata, "Maaf, jika terpaksa kuperlakukan kalian secara kurang
hormat!" Selagi semua orang yang duduk lesu itu merasa heran, ada yang berdiri dan
bertanya, "Ada . . ada apa . . . . "
Tahu-tahu bayangan Lamkiong Siang-ju berkelebat dan memenuhi seluruh
ruangan, semua orang yang baru berdiri itu sama roboh terduduk lagi di kursi
masing-masing serta tak sadarkan diri, hanya sebentar saja lantas mendengkur
dan tertidur dengan nyenyak.
Melihat ketangkasan sang ayah yang hanya dalam sekejap saja telah menutuk
hiat-to tidur semua orang, keruan kejut dan heran sekali Lamkiong Peng,
serunya, "Hah, kiranya ayah menguasai kungfu sehebat ini"!"
Kiranya di kolong langit ini tidak ada seorang pun yang tahu bahwa bos
keluarga Lamkiong yang kaya raya dan termashur ini ternyata teorang ahli
silat maha tinggi yang jarang ada bandingannya, sampai putra kesayangan
sendiri juga baru sekarang tahu hal ini.
Dalam pada itu Lamkiong Siang-ju telah berdiri menghadapi dinding dan
berucap dengan suara berat, "Anak Peng, sejak kecil kauhidup tidak
kekurangan apa pun, hanya kau saja permata hati ayah-bunda, apa pun kesalahanmu
ayah-bunda tidak pernah marah padamu, apakah kautahu sebab
apa semua ini?"
Lamkiong Peng tidak dapat melihat wajah sang ayah, tapi dari pundaknya
yang bergetar jelas hati orang tua itu sangat dirangsang emosi, tentu saja ia
gugup, sahutnya, "Anak . . . anak tidak tahu, mungkinkah anak berbuat
sesuatu kesalahan?"
"Apa yang kukatakan itu adalah karena menyangkut nasibmu selanjutnya."
ucap Lamkiong Sian ju pula. "Soalnya, untuk seterusnya tak dapat lagi
kauhidup enak soperti sebelum ini, mungkin malah akan hidup menderita dan
harus berani menghadapi ujian berat."
Lamkiong Peng merasa bingung, tanyanya dengan suara gemetar, "Bilamana
anak harus menderita bagi ayah-bunda kan pantas juga, hanya . . . hanya
mengapa ayah bicara, demi-kian, sesungguhnya ada . . . ada urusan apakah?"
"Keluarga Lamkiong, maha kaya raya, apakah kautahu dari mana datangnya
kekayaan sebesar ini?" ucap Lamkiong Siang-ju dengan prihatin.
Lamkiong Peng melongo bingung.
"Kakek-moyangmu berasal dan keluarga miskin," demikian tutur Lamkiong
Siang-ju. "Seperti juga orang miskin umumnya, kakek-moyang kita kenyang
menjalami penderitaan hidup sengsara. Akhirnya beliau bersumpah ingin
menjadi orang kaya, dengan hemat beliau mengumpulkan sedikit sangu dan
ikut berlayar dengan serombongan pelaut.
"Tak terduga, di tengah jalan kapal yang di tumpangi mengalami angin badai
dan kapal tarbalik, kakek-moyang kita beruntung men-dapatkan sepotong
kayu dan terhanyut meng-ikuti arus, untunglah beliau tidak meninggal dan
terdampar ke sebuah pulau yang tak diketahui namanya.
"Dalam keadaan begitu, cita-cita beliau ingin menjadi kaya kembali buyar
serupa mimpi belaka, saking sedihnya dia menangis tergerung-gerung. Tak
terduga, pulau karang itu ternyata bukan pulau kosong tanpa peng-huni. pada
saat kakek moyang merasa putus asa, tiba tiba diketahuinya di tengah pulau
terdapat banyak orang tua yang berpakaian model kuno. Kiranya pulau karang
itu adalah pulau misterius yang dalam dongeng dunia persilatan di sebut Cusiaci-tian (istananya para dewa)."
Kembali Lamkiong Peng melenggong.
Didengarnya sang ayah menyambung lagi, "Setelah menemukan kakek


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

moyang, kawanan orang tua itu tanya tentang asal-usul dan pengalamannya.
Beliau diamat-amati dengan teliti, akbirnya kakek moyang- diperbolehkan
tinggal di situ.
"Dengan cepat sekali tiga tahun sudah lewat, selama tiga tahun itu kakek
moyang banyak mengalami kesukaran, beliau harus be-kerja giat siang malam
tanpa kenal lelah, setelah mengalami gemblengan tiga tahun, mendadak
kawanan kakek itu membawa kakek-moyang ke tepi laut. . Ternyata di situ
sudah berlabuh sebuah kapal besar, dalam kapal ter-timbun harta benda yang
tak terhitung jumlah-nya.
"Tentu saja kakek moyang terbelalak heran dan bingung, sama sekali tak
tersangka olehnya bahwa kavvanan kakek aneh itu dapat memberi hadiah
kapal besar dengan isinya. Hanya saja syaratnya kakek moyang diharus-kan
bersumpah takkan menyiarkan rahasia ke-kayaan Cu-sin-tian. Selain itu kakek
moyang diwajibkan mencicil utang yang dibawanya sekapal penuh itu.
"Rupanya isi kapal itu hanya sebagai modal pinjaman kepada kakek moyang
ber-hubung keterangannya yang bersumpah ingin menjadi orang kaya itu.
Kawanan kakek ajaib di pulau itu sengaja membantu memenuhi cita-citanya,
cuma untuk itu kakek moyang di-haruskan turun temurun keluarga Lamkiong
mesti menugaskan putra sulungnya membawa sejumlah harta kekayaannya ke
pulau Cu-sin-tian. Setiap turunan jumlah antaran itu harus bertambah sekali
lipat, kecuali keluarga Lam-kiong tidak punya keturunan lagi, kalau tidak
betapapun janji bayar utang itu tidak boleh diingkari.
"Sampai pada angkatan kakekmu, jumlah utang yang berlipat itu telah
berjumlah sukar dihitung dan mendadak datang pula utusan Cu-sin-tian
mendesak antaran upeti yang harus dipenuhi itu. Terpaksa kakekmu harus
me-ngumpulkan harta kekayaan yang tersebar di berbagai tempat dan
menugaskan pamanmu mengantarnya ke Cu-sin-tian. Waktu itu, aku sendiri
belum menikah sedangkan pamanmu sudah mempunyai seorang anak bayi . .
. . " Baru sekarang Larnkiong Peng mengetahui sejarah keluarganya yang diliputi
keanehan itu dengan suara rada gemetar ia tanya, "Dan di . . . . di manakah
paman sekarang" Di mana pula saudara sepupuku itu?"
Lamkiong Siang-ju mengeleng, jawabnya, "Sehari sebelum pamanmu
berangkat, dengan nekat dia membunuh istri dan anak kesayangannya yang
masih bayi itu. Rupanya dia sudah menghitung,satu angkatan lagi, biarpun
keluarga Lamkiong menjual semua harta benda kekayaannya juga sukar
memenuhi utang kepada Cu-sin-tian.
"Rupanya pamanmu tidak sampai hati anak keturunannya akan menderita,
juga tidak ingin aku kawin dan beranak yang akibatnya juga cuma akan
tertimpa sengsara, maka pamanmu meninggalkan pesan sepucuk surat, lalu
berangkat dengan membawa harta benda itu dan berlayar ke lautan, sejak itu
pun tidak ada kabar beritanya lagi . . . ."
Bertutur sampai di sini, ia menjadi ber-duka dan tersendat-sendat.
Pada umumnya orang luar hanya tahu keluarga Lamkiong kaya-raya tiada
bandingannya, siapa pula yang tahu keluarga kaya ini ternyata penuh dengan
darah dan air mata.
"Tidak lama sesudah pamanmu berangkat, kakek juga lantas wafat." tutur
Lamkiong Siang-ju lebih lanjut. "Setelah berkabung selama ti-ga tahun, aku
lantai keluar mencari kabar jejak pamanmu. Biasanya setiap kali anggota
keluarga kita mengirim upeti, sebelumnya pihak Cu sin tian selalu mengirim
utusan dengan membawa surat dan memberi petunjuk ke pelabuhan mana
harus dituju. Jadi anggota keluarga kita tidak ada yang tahu di mana letak
pulau Cu-sin-tian yang sebenarnya, meski sudah sekian tahun aku berkelana
tetap tidak mendapatkan sesuatu petunjuk. Akhirnya aku pun putus asa, tak
tersangka pada waktu itulah aku bertemu dengan ibumu."
Mendadak Lamkiong-hujin mengusap air mata dan memegang tangan sang
suami, lalu berucap pelahan, '"Biarlah kuteruskan ceritamu Sesudah bertemu
dengan ayahmu, kami lantas saling jatuh cinta. Cuma ayahmu senantiasa
berusaha menghindariku. Sudah tentu aku heran dan sedih. Dalam gusarku
segera kuputuskan juga akan menikah dengan seorang lain.
"Orang itu juga sahabat ayahmu, siapa sangka pada suatu hari ayahmu . . .
ayahmu kena disergap orang dan keracunan hebat, dalam keadaan sakit parah
ayahmu menceritakan sejarah keluarganya kepadaku, maka aku baru tahu
sebabnya dia selalu menghindari diriku. rupunya dia mempunyai alasannya,
yaitu dia menyadari keluarga Lamkiong yang termashur ini akhirnya akan
runtuh, akan bangkrut, ayahmu tidak tega membuatku sengsara di kemu-dian
hari, juga tidak tega melahirkan anak yang nasibnya akan menderita, begitu
dewasa wajib membayar utang bagi leluhurnya
"Tapi ibumu ternyata tidak gentar meng-hadapi semua itu," tiba-tiba Lamkiong
Siang-ju menyambung, 'dia juga tidak takut kepada kehidupan miskin. Dalam
semalam dia meng-gendongku ke Thian-san untuk mencari obat penawar.
Maka sejak itu kami tidak pernah berpi-sah lagi," tukas Lamkiong-hujin sambil
meng-gelendot di tubuh sang suami. 'Kemudian, se-telah kaulahir, kami
bertekad akan membuat bahagia hidupmu, tidak ingin kau belajar ilmu silat,
maka kami tidak pernah mengajarkan kungfu padamu. Siapa tahu watak
pembawaanmu justru gemar ilmu silat, kami tidak tega pula melawan
kehendakmu, maka kami me-ngirim dirimu kepada Liong Po-si . . . .O, nak,
sungguh kami telah membikin susah padamu karena selama ini selalu kami
rahasiakan se-mua ini."
Habis bertutur, menangislah nyonya Lam-kiong tersedu.
Sambil membelai rambut putranya, Lamkiong Siang-ju bertutur lagi
"Sebenarnya ku-harapkan utusan Cu-sin-tian takkan datang se-cepat ini,
sebab itulah kami pun tidak meng-hendaki pernikahanmu. Siapa tahu sekali
ini, agaknya mereka sudah memperhitungkan keka-yaan keluarga Lamkiong
takkan terdapat sisa lagi, maka tanpa menunggu kau kawin dan melahirkan
anak segera menyampaikan pesan agar selekasnya menyelesaikan pengiriman
harta benda kita, untuk itu dirimu ditunjuk yang ha-rus melaksanakan tugas.
"Nak, kautahu semua ini untuk memenuhi sumpah kakek moyangmu, meski . .
. meski ayah-bunda sangat sayang padamu, tapi . . . tapi apa yang dapat kami
lakukan lagi . . . " sampai di sini. berderailah air matanya.
Mendadak Lamkiong Peng membusungkan dada dan berseru tegas, "Ayah dan
ibu, urusan utang keluarga Lamkiong kita dengan sendirinya harus kita
tuntaskan . . . . "
"Tapi kau, nak . . . . " Lamkiong-hujin tidak sanggup meneruskan lagi.
"Anak pasti akan pulang kembali," seru Lamkiong Peng tegas. "betapa
misteriusnya Cu-sin-thian itu, anak bersumpah akan pulang ke sini untuk
mendampingi ayah dan ibu. Biarpun di sana ada dinding tembaga dan tembok
baja juga takkan mampu mengurung anak. Apalagi jika para penghuni di sana
berjuluk Para Dewa, masa mereka memaksa orang berbuat tidak bakti kepada
orang tua"'
"Tapi . . . tapi sekali ini lain daripada biasanya," ujar Lamkiong Siang-ju
dengan sedih. "Akhir-akhir ini orang dari Kun-mo-to justru muncul lagi di dunia
kangouw, bahkan mereka bertekad merintangi kita mengirim harta ke Cu-sintian."
Baru sekarang Lamkiong Peng menyadari duduknya perkara, "Pantas dengan
janji rahasia mereka memaksa berbagai golongan orang Bu-lim untuk
bersama-sama merampas harta kiriman keluarga Lamkiong."
Lamkiong Siang-ju menghela napas, "Sekarang anak murid Tiam-jong yang
datang itu masih berkumpul di luar perkampungan sana, sebab mereka gagal
merampas harta benda yang tidak sedikit ini. Kelihatan mereka seperti
berjaga, sebenarnya mereka mengawasi supaya kita tidak dapat mengirim
keluar harta benda yang tidak sedikit ini. Selain itu ada lagi kawanan bandit
besar dunia kangouw yang juga mengincar rejeki nomplok ini.
"Selama beberapa hari ini entah berapa kali telah terjadi pertempuran sengit di
perkampungan kita ini dan banyak mengalirkan darah. Ai, harta, selain
membawa sengsara bagi keluarga Lamkiong kita, apa pula yang kita
dapatkan" Anakku. jika engkau dilahirkan di keluarga miskin, tentu takkan
kaurasakan penderitaan seperti sekarang ini."
Di luar hujan nusih turun dengan lebatnya.
Mendadak di luar jendela ada orang menghela napas panjang, "Ai, aku salah!"
Lamkiong Peng terkejut, bentaknya, "Siapa itu?"
Segera Lamkiong Siang-ju pun melompat ke depan jendela dan membuka
daun jendela. Tapi sebelum orang tua itu bertindak lebih lanjut, suara orang tadi telah
menegur, "Lotoa, apa sudah pangling padaku"'
"Hah, Loh Ih-sian!" seru Lamkiong-hujin sambil memburu maju.
Lamkiong Siangju juga berseru kaget, "He, Jite, kiranya engkau?"
Waktu Lamkiong Peng mengawasi, ter-tampak di luar jendela berdiri seorang
tua berkepala botak, segera dikenalinya si kakek aneh bernama Ci Ti alias
mata duitan itu.
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa kakek yang mata duitan ini adalah
"Jite" atau saudara kedua sang ayah. Seketika ia jadi melongo.
Dilihatnya kakek botak itu telak melompat masuk dan berhadapan dengan
sang ayah. "Jite," ucap Lamkiong Siang-ju sambil memegangi pundak Ci Ti, "Sekian lama
tidak bertemu, mengapa...mengapa engkau berubah begini?"
Ci Ti termenung-menung seperti orang linglung, tiba-tiba ia bergumam, "Aku
salah, aku salah!"
"Ah, urusan yang sudah lalu, untuk apa kaupikirkan lag!," ucap Lamkionghujin
dengan sedih. "Aku dan Toako tidak menyalahkanmu, sebaliknya malah
merasa . . . merasa bersalah padamu."
"Tidak, aku salah," seru Ci Ti mendadak sambil berlutut di depan Lamkiong
Siang-ju dan mencucurkan air mata. "Toako, kuminta maaf . . . . "
Lekas, bangun, Jite," kata Lamkiong Siang-ju sambil menarik si kakek botak.
"Tidak, Selama urusannya tidak kukatakan, mati pun aku tidak mau berdiri
lagi," kata Ci Ti. "Soal ini sudah 20 tahun menekan hatiku. Pada waktu itu,
kusangka Samoay (adik ketiga) silau kepada kekayaan keluarga Lamkiong,
maka aku ditinggalkan untuk menikah denganmu. Aku tidak tahu bahwa
sebelum berkenalan denganku dia sudah mencintaimu. Tidak kuduga bahwa
dia menikah denganmu, bukan lantaran kemaruk kepada kekayaanmu, dia
justru rela ikut sengsara bersamamu, sebaliknya aku . . . aku malah tinggal
pergi tanpa pamit, bahkan kudatangkan serombongan musuh untuk merecoki
kalian . . . . "
"Ai, Jite, aku dan Samoay kan tidak beralangan apa pun, untuk apa
mengangkat lagi urusan lampau dan buat apa engkau menista diri sendiri,"
ujar Lamkiong Siang-ju dengan menyesal.
Tidak boleh tidak harus kukutuk diriku sendiri, dengan begitu barulah hatiku
bisa agak tentram," kata Ci Ti. "Selama puluhan tahun ini siang dan malam
kukutuki kalian, seperti orang gila aku mencari harta benda, kecuali merampok
dan mencuri. hampir dengan segala jalan aku berusaha mengumpulkan harta
benda, akupun mengasingkan diri, hidup hemat dan melarat, orang sama
menganggap aku orang gila, tidak ada yang tahu bahwa aku sengaja
bersumpah akan mengumpulkan harta benda yang lebih banyak daripada
kekayaan keluarga Lamkiong, akan tetapi . . . ."
Mendadak ia melemparkan karung yang dibawanya dan berteriak pula, "Ini,
biarpun kukumpulkan harta benda berjuta-juta tahil, lalu apa gunanya" Baru
sekarang kutahu betapa besarnya harta benda tetap tidak dapat membeli cinta
yang murni, biarpun kekayaan berlimpah tetap tak dapat mengurangi derita
seorang. Baru sekarang kusadar, Toako aku . . . aku salah padamu, harap
engkau sudi memberi ampun."
"Sudah kaudengar ceritaku tadi"'' tanya Lamkiong Siang-ju dengan rawan.
Ci Ti mengangguk.
Cepat Lamkiong Siang-ju membangunkan-nya dan berkata, "Apa pun juga hari
ini kita bertiga telah berkumpul kembali di sini, sungguh menggembirakan dan
bahagia." Ia tertawa cerah, lalu berpaling dan berkata pula, "Anak Peng, lekas memberi
hormat kepada paman. Inilah Loh lh-sian, paman Loh yang dahulu terkenal
sebagai Sin-heng-bu-eng-tang-kun-thi-ciang (si pelari cepat tanpa bayangan,
kepala tembaga dan pukulan besi)."
Lekas Lamkiong Peng melangkah maju dan memberi hormat.
Loh Ih-sian mengusap air matanya, kata-nya dengan tertawa, "Nak, tentu tak
kausangka kakek yang mata duitan ini adalah pamanmu."
Lamkiong-hujin juga terharu, ucapnya dengan tersendat, "Sungguh tak
terduga akhirnya kita berkumpul lagi, tak nyana sekarang engkau suka
berdandan secara begini. Ai, masa . . . masa engkau begitu miskin sehingga
baju pun tidak mampu beli."
"Aku bukan miskin, tapi terlampau kikir," ujar Loh Ih-sian dengan tertawa.
"Meski dalam karungku terisi berjuta tahil perak, tapi satu tahil pun kusayang
menggunakannya."
"Kutahu apa yang kaulakukan ini adalah lantaran dia (maksudnya sang istri),"
kata Laro-kiong Siang-ju dengan gegetun. "Ai, engkau memang . . . .
"Cis. sudah sama tua, untuk apa bicara kejadian dulu di depan anak," omel
Lamkiong-hujin dengan agak jengah.
Meski hati ketiga orang tua ini diliputi rasa sedih dan haru, tapi juga merasa
gembira karena dapat berkumpul kembali. Sesaat itu mereka seakan-akan
berada pada 20 tahun yang lalu. tatkala mereka masih muda dan malang
melintang di dunia kangouw bersama.
Pada saat itulah mendadak terdengar orang membentak di luar serentak tiga
batang panah bersuara menyambar masuk lewat jendela dan "cret", sama
menancap di atas peti yang bertumpak di tengah ruangan itu.
"Haha, bagus, tak tersangka ada kawanan bandit berani menyatroni rumah
Toako se-karang." kata Loh Ih-slan dengan tergelak.
"Tenaga pemanah ini tampaknya tidak lemah, entah orang gagah dari mana?"
kata Lamkiong Siang-ju dengan tertawa.
Segera terdengar seorang berteriak di luar, "'Yim Ong-hong dan Cin Lun-ih
bersama para orang gagah dari ke-18 gunung datang untuk meminta sedikit
biaya kepada Lamkiong-cengcu, harap Lamkiong cengcu memberi
kebijaksanaan akan menerima dengan hormat atau menolak secara tegas?"
"Kenapa Hong-ih-siang-pian muncul kembali?" ucap Lamkiong Siang-ju dengan
kening bekerenyit.
"Tampaknya Hong-ih-siang-pian belum tahu siapa yang tinggal di sini," ujar
Loh Ih-sian sambil membusungkan dada. seketika perawakannya seakan-akan
tumbuh lebih tegap. Lalu sambungnya, "Siaute belum Iagi tua, bagaimana
dengan Toako"'
"Masa kaukira Toako sudah tua?" sahut Lamkiong Siang-ju.
"Haha, bagus!" Loh Ih-sian bergelak tertawa sambil menepuk pinggang
sehingga terdengar bunyi genta, "Sekarang juga?"
"Ya, tunggu kapan lagi?" jawab Siang-ju.
Lamkiong-hujin tertawa, "Bagus, Hau-hoa-leng (genta pembela bunga) kalian
masih lengkap, sebaliknya bunga macam diriku ini sudah layu!"
Tiba-tiba orang di luar menbentak pula, "Lekas beri jawaban, bila kami
menghitung tiga kali tidak ada keputusan, segera kami menyerbu masuk!"
Loh Ih-sian menanggapi ucapan Lamkiong-hujin tadi, "Ah, kami bersaudara
belum Iagi tua, masa engkau mengaku sudah layu" Eh, Lo-toa, perintis jalan
kan tetap diriku?"
"Baik," kata Siang-ju.
Baru saja kata itu terucapkan, mendadak Loh Ih-sian melompat dan hinggap di
atas kedua tangan Lamkiong Siang-ju yang diangkat ke atas. Begitu Siang-ju
membentak, "Pergi!"
Sekali tolak, kontan tub ah Loh Ih-sian terlempar ke luar secepat terbang.
Terdengarlah Suara "blang", daun pintu terpentang, menyusul terdengar
gemerinting, seutas benang emas terbang masuk dari luar, berbareng ada
benang emas lain menyambar keluar dari tangan Lamkiong Siang-ju.
Kembali terdengar bunyi genta, kedua benang emas terlibat menjadi satu,
menyusul Siang-ju membentak pula, "Masuk!"
Seketika di luar ada orang menjerit dan terdengar suara menderu, tubuh Loh
Ih-iian melayang masuk kembali, tangan kiri terbelit oleh benang emas,
tangan kanan mencengkeram seorang kakek bertubuh tinggi besar.
Segera Loh Ih-sian membanting tawanan-nya ke lantai. Ternyata yang
dibekuknya ada-lah satu di antara Hong-ih-siang-pian, yaitu Yim Ong-hong.
Lamkiong Peng terkesima, entah kejut atau kagum. Waktu ia mengamati lebih
lanjut baru diketahuinya bahwa pada ujung kedua utas benang emas itu sama
terikat sebuah genta kecil warna emas. ketika Loh Ih-sian melayang keluar
atas tenaga lemparan Lamkiong Siang-ju, segera ia melemparkan genta emas
ke dalam, berbareng itu genta emas Lamkiong Siang-ju juga dilemparkan
keluar, kedua utas benang emas saling belit dengan kuat, waktu Siang-ju
menarik Iagi dengan kuat, sementara itu Loh Ih-sian sempat menerkam ke
bawah dan Yim Ong-hong tercengkeram dan diangkat.
Berkat tenaga tarikan Lamkiong Siang itu Loh Ih-sian dapat melayang keluar
secepat terbang dan melayang masuk kembali dengan sama cepatnya. Biar
pun Yim Ong-hong juga bukan jago lemah, tapi dalam keadaan terkejut ia


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi kelabakan dan tak tempat mengelak.
Dalam pada itu di luar telah terjadi kekacauan, ada suara orang tua berteriak,
"Yang di dalam apakah Hong-tun sam-yu adanya"'
Lamkiong Siang-ju dan Loh Ih-sian sali pandang dengan tertawa.
Waktu itu Yim Ong-hong sudah merangkak bangun, dengan muka pucat dan
ketakutan berseru, "Hah, ternyata bsnar Hong-tun-sam yu adanya!"
"Sudah sekian tahun tidak bertemu, syukur engkau masih kenal kami
bersaudara," ucap Loh Ih-sian.
Yim Ong-hong menghela napas menyesal ucapnya dengan menunduk,
"Sekalipun Caihe tidak kenal Iagi kepada kalian bertiga, tapi gaya 'genta emas
pencabut nyawa' tadi tidak mungkin kulupakan."
"Haha, genta pencabut nyawa ... . .. Sungguh tidak terduga permainan yang
kami ciptakan untuk bersenda gurau telah dipandang orang persilatan sebagai
ilmu sakti," ujar, Loh Ih-sian dengan tertawa. Mendadak ia membentak'
dengan wajah kereng, "Jika kauingat juga kepada kami bersaudara, apakah
sudah kau lupakan sumpah yang pernah kalian ucapkan di depan kami?"
Yim Ong-hong menjawab dengan takut, "Bilamana kutahu Lamkiong-cengcu
tak-lain-tak-bukan adalah Leng-bin-jing-ih-khek (si baju biru berwajah dingin)
dari Hong-tun-sam-yu dahulu, betapa besar nyaliku juga tidak berani
melanggar Lamkiong-san-ceng satu langkah pun."
HAN BU KONG JILID ke 14 "Dan bagaimana setelah kau tahu sekarang?" jengek Loh Ih-sian.
Di luar sana masih gaduh, segera Yim ong hong berteriak, "Cin-loji, lekas
membawa para saudara kita mengundurkan diri keluar perkampungan, Hongtunsam-yu berada disini!"
Belum lenyap suaranya Cin Luan-ih telah melompat ke depan pintu, serunya
kaget, "Ah, kiranya betul ketiga Taihiap berada disini, tak terduga kungfu yang
kami latih selama berpuluh tahun ini tetap tidak mampu menahan sekali
terkam dari udara oleh Loh tai-hiap."
DI bawah hujan lebat sana mendadak ada orang berteriak, "Huh, Hong-tun
sam-yu apa segala" Jauh-jauh kita sudah datang kemari, masa selalu satu
patah kata ini saja kita lantas mundur dengan tangan hampa."
Pada saat yang sama serentak belasan bayangan orang lantas menerjang
maju. Mendadak Cin Luan-ih membalik tubuh dan membentak, "Siapa itu yang
bicara?" Segera seorang leleki pendek kecil dengan sinar mata tajam tampil ke muka,
seorang di sebelah kiri juga menjengek, "Hm, menyuruh kawan sendiri pergi,
sedikitnya kau perlu di beri sedikit sangu" Betul tidak, kawan-kawan?"
Belasan orang sama mengiakan.
"Ah, kiranya kedua Pek cecu," ucap Yim ong hong dengan tertawa sambil
mendekati kedua orang itu. "Katakan saja terus terang, sesungguhnya apa
yang kalian minta?"
Orang yang di sebelah kiri menjawab, "Dari jauh kami datang kemari, adalah
layak bilamana kami minta bagian, sebagai orang tua tentu juga harus
memikirkan nasib para saudara kami yang sudah lelah ini."
"Baik, terimalah ini?" seru Yim ong hong sambil tertawa, berbareng kedua
tangannya menyodok ke depan.
Terdengarlah suara "blang-blang" dua kali, kontan kedua Pek bersaudara
menjerit dan tumpah darah serta terguling ke bawah undakan sana.
"Nah, siapa lagi yang minta bagian rezeki?" jengek Yim ong hong kemudian.
Seketika kawanan bandit sana bungkam, hanya suara hujan saja yang
terdengar, belasan orang itu sama berdiri diam, bernafas saja tidak berani
terlampau keras.
"Enyah!" bentak Yim ong hong.
Buru-buru belasan orang itu ngacir keluar.
Hong-ih-siang-pian lantas memberi hormat dan mohon diri.
"Sudah lama kita berkenalan, kalian ternyata belum lagi melupakan kami,
meski sekarang kami sedang menghadapi urusan gawat, tapi bilamana kalian
perlu bantuan sedikit banyak masih dapat kuberikan," kata Lamkiong siang ju.
"Ah, cengcu tidak menghukum kami saja sudah membuat kami
berterimakasih, mana kami berani mengharapkan urusan lain," jawab Yim ong
hong. "Jika demikian, karena kami masih ada urusan, biarlah kita sudahi sampai di
sini," kata siang-ju sambil memberi tanda mengantar tamu.
Yim ong hong dan Cin luan-ih memberi hormat. Selagi mereka hendak
melangkah pergi, mendadak Loh-ih-sian berkata, "nanti dulu, Ingin kutanya
sedikit, ketika kalian datang tadi, tentu kalian telah bertemu dengan anak
murid Tiam-jong di depan sana?"
"ya, Anak murid Tiam-jong sudah terluka lebih separuh, kecuali Tiam jong yan
dan Thian-go berdua, yang masih sanggup bertempur tidak seberapa orang
lagi." Habis menutur, kedua orang itu lantas mohon diri dan angkat kaki.
Setelah berada di tengah ruangan, Loh-ih-sian berkata, "Jika kepungan
kawanan penyatron sudah menipis, kenapa kesempatan ini tidak digunakan
Toako untuk mengangkat peti-peti ini keluar?"
Lamkiong siang-ju tersenyum pedih,"Para utusan Cu-sin-to sudah datang satu
kali, tapi mereka tidak menjelaskan tempat penyerahan harta benda ini,
umpama peti ini kita angkut keluar, lalu harus diantar kemana?"
Loh-ih-sian tercengang, mendadak ia menengadah dan bergelak tertawa,
"Haha, dimana dan kapanpun, betapa banyak penyatron di sana, memangnya
dengan gabungan kita takut takkan mampu menerobosnya?"
Sembari bicara, serentak ia guncangkan genta emas yang dipegangnya, suara
genta yang nyaring berkumandang jauh di tengah hujan lebat.
Melihat Lamkiong Peng memandangi gentanya dengan terkesima, Loh-ih-sian
bertanya, "Nak, apakah dapat kau dengar di mana letak keajaibannya bunyi
genta ini?"
Lamkiong peng menggeleng dengan tersenyum.
"Genta emas ini sebenarnya adalah benda pusaka keluarga lamkiong kita,"
tukas Lamkiong hujin, "genta ini seluruhnya ada tiga pasang, satu hal aneh
mengenai genta emas ini adalah bila salah satu pasang diantaranya
berguncang, kedua pasang yang lain juga akan ikut berbunyi. Gejala ini serupa
paduan suara alat musik saja."
Segera ia mengeluarkan sepasang genta emas dan diberikan kepada Lamkiong
Peng, sesudah genta itu dipegang, mendadak Loh-ih-sian mengguncangkan
gentanya, seketika genta di tangan Lamkiong peng juga ikut berbunyi.
Tentu saja Lamkiong Peng terheran heran dunia ini memang penuh keajaiban,
banyak urusan yang sukar dijelaskan dengan akal.
'"Ketika kami bertiga masih malang melintang di dunia kangouw dahulu, hanya
kung fu ibumu yang paling lemah." tutur Lamkiong Siang-ju. "Kami kuatir
suatu tempo ibumu akan menghadapi bahaya, maka kubagikan genta emas ini
kepada mereka masing-masing satu pasang, bila ibumu mengalami bahaya,
sekali genta berbunyi, segera kedua pasang genta yang kami pegang ini juga
akan mengeluarkan suara dan segera pula kami dapat menyusul ke tempatnya
untuk memberi bantuan . . . . "
Makanya ayahmu telah memberikan nama yang aneh dan juga enak didengar
kepada genta yang serupa ini, yaitu Hou hou-leng." sambung Loh Ih-sian
dengan tertawa.
"Ah, kisah berpuluh tahun yang lalu buat apa mengungkapnya Iagi." ujar
Lamkiong- hujin
"Anak Peng, apabila kaumau, biarlah sepasang gentaku ini boleh kuberikan
padamu, selanjutnya bila berkelana di dunia kangouw
Mendadak teringat olehnya putra kesayangan sebentar Iagi akan menuju ke
tempat jauh yang tidak diketahui di mana letaknya, seketika wajahnya yang
berseri berubah muram durja.
Lamkiong Siang-ju menghela napas pelahan, "Ya, nak, bolehlah kau simpan
saja sepasang genta ini, ayah-ibu tidak dapat memberi benda berharga lain,
hendaknya kedua pasang genta ini dapat kausimpan dengan baik, kelak .... "
Bicara urusan kelak, tanpa terasa ia menjadi sedih dan tidak sanggup
meneruskan. Di luar hujan masih lebat, suasana gelap gulita.
Memegangi keempat buah genta emas, Lamkiorig Peng juga menunduk diam.
Tiba-tiba Loh Ih-sian berkata dan tertawa lantang, "Haha, jika ayah-bundamu
sudah menghadiahkan gentanya kepadamu, bila kusimpan gentaku sendiri,
bisa jadi akan kau pandang pamanmu ini memang orang kikir. Nak, ambil
saja, biar kuberikan sekalian gentaku ini dm simpanlah baik-baik, kelak bila
ketemukan gadis setimpal, bolehlah kaubagi dia sepasang genta ini."
Dengan hormat Lamkiong Peng menerima pemberian itu.
"Apa pun juga, hari ini kita dapat berkumpul kembali, hal ini harus kita
rayakan," kata Lamkiong hujin. "Biarlah kuolah dua-tiga macam hidangan
untuk teman minum arak kalian. Dengan hadirnya Loh-loji dan anak Peng di
sini, paling tidak perasaanku akan lebih longgar."
"Ah, masa mesti bikin repot Samoay sendiri," ujar Loh Ih-sian.
"Apa boleh buat, kan semua kaum hamba di sini sudah dilepas," kata
Lamkiong-hujin.
Lalu Lamkiong Siang-ju membuka hiat-to para lelaki yang terluka karena
membela perkampungannya tadi disertai permintaan maaf, kemudian mereka
disilakan istirahat di belakang.
Selesai mengatur, makanan sederhana pun sudah dihidangkan.
Tapi belum lagi tiga cawan arak habis terminum, mendadak Loh Ih-sian berdiri
dan membentak," Siapa itu di luar?"
Di tengah kegelapan malam di luar masih hujan lebat, terdengar suara
gemersak ramai di undak-undakan. Sekali Lamkiong Sian-ju tolak dari jauh,
terpentanglah daun pintu, tapi di luar tidak kelihatan sesuatu.
Air muka Lamkiong Siang-ju dan Loh Ih-lian sama berubah, tiba-tiba angin
meniup membawa semacam bau amis yang aneh.
Kebetulan Lamkiong-hujin datang me-bawakan sepiring Ang-sio-bak, sekilas
pandang terlihat dalam kegelapan di luar ada dua titik cahaya, tanpa terasa ia
menjerit, "Hah, ular!"
"Prang!" piring yang dipegangnya jatuh dan pecah berantakan.
Terlihat. kedua titik cahaya hijau itu bergoyang-goyang dan semakin dekat.
Selagi Lamkiong Peng hendak bertindak, mendadak Loh Ih-sian mencegahnya
sambil mendesis, "Nanti dulu !"
Sekali ia menyembur, seutas benang perak terpancar ke arah kedua titik
cahaya hijau. Di tengah desir angin yang berbau amis tercium pula bau arak, kiranya Loh Ihsian
telah menggunakan tenaga dalam untuk menekan arak yang diminumnya
sehingga terpancur keluar, serupa panah arak, sungguh hebat sekali
semprotan panah arak itu, seketika kedua titik cahaya hijau itu padam.
Dengan kening bekerenyit Lamkiong Siang-ju berucap, "Sejak Ban-siu-sanceng
(perkampungan seribu binatang) terbakar, di dunia persilatan sudah
langka ahli yang mahir mengendalikan ular dan binatang liar, kedatangan ular
ini sungguh rada aneh."
Belum habis terpikir, tiba-tiba bergema suara musik di kejauhan, segera kedua
titik cahaya hijau muncul lagi, bergoyang-goyang mengikuti irama musik dan
meninggi ke atas. Berubah air muka Lamkiong Siang-ju, diraihnya poci arak di
atas meja dan disiramkan ke sana, seutas air mancur lantas tersebar sampai
di depan pintu, segera. ia jemput pula lentera tembaga dan berjongkok untuk
menyulut, "buss", api lantas menyala dan berkobar mengikuti jalur arak.
Di bawah cahaya api tampaknya di atas undak-undakan luar sana seckor ular
hijau sebesar lengan lagi menegak leher dengan lidahnya yang terjulur
sembari menyurut mundur.
Loh Ih-sian berteriak kaget dan menyingkir ke pojok.
"Hah, Loh-loji juga takut ular?" ujar Lam-kiong-hujin dengan tersenyumBaru sekarang Lamkiong Peng tahu sebab-nya kakek botak ini ketakutan
terhadapan kawanan setan dari Kwan-gwa dulu, rupanya bukan orangnya yang
ditakuti melainkan ular piaraan mereka.
Dengan cepat api yang menyala dari alkohol itu telah paham, suara musik tadi
tambah melengking.
Cepat Lamkiong-hujin juga turun tangan, dua titik cahaya perak menyambar
ke depan, cahaya hijau seketika padam, ular pun terguling ke bawah undakKoleksi
Kang Zusi undakan. Mendadak suara musik berubah keras, menyusul lantas terdengar
suara harimau meraung, seekor macan kumbang melompat ke atas,
''Binatang!" bentak Lamkiong Peng sambil memapak ke depan.
Harimau itu sedang menubruk dari atas, sekali berkelit Lamkiong Peng
mengelak ke samping, menyusul sebelah tangannya lantas menghantam
kepala binatang itu. "Prak", tanpa ampun kepala macan hancur, darah
munerat, kepala binatang buas itu luluh dan binasa.
Sekalian kaki Lamkiong Peng mendepak, bangkai karimau ditendangnya ke
bawah undak undakan sana.
"Sungguh hebat, itulah murid Sin-long maha sakti!" puji Loh Ih-sian sambil
berkeplok tertawa.
Mendadak suara musik berganti nada lagi, suara musik ringan hilang, sebagai
gantinya adalah suara alat musik berat, yaitu tambur dan gembreng ditabuh
bertalu-talu. Di tengah hujan angin empat sosok bayangan tinggi besar
tampak muncul dari kegelapan dan serentak melompat ke atas undakundakan.
Ternyanta ke-empatnya adalah kingkong yang bertenaga raksasa.
Di bawah cahaya remang bulu keempat ekor kingkong yang berwarna kuning
emas itu membentangkan kedua lengan dengan mulut ternganga serta
mengeluarkan suara garang di selingi suara gemuruh menepuk dada, buas dan
mengerikan. "Lekas kembali, anak Peng," seru Lamkiong Siang-ju.
Namun Lamkiong Peng tetap berdiri menghadapi keempat ekor kingkong itu.
Tiba-tiba bergema suara orang di dalam kegelapan hutau, "Lamkiong Siang ju,
untuk apa kaubertahan di situ, jika tidak lekas angkat kaki, sebentar lagi bila
binatang sakti membanjir tiba, kematian kalian pun takkan terkubur."
Suaranya kecil melengking, berkumandang jelas di tengah suara genderang
yang ramai,''Omong kosong!" bentak Lamkiong Peng, berbareng kedua
tangannya lantas memukul langsung kepada kedua ekor kingkong yang
tengah. Sambil meraung aneh, kedua ekor kingkong itu terguling ke bawah undakundakan.
tapi segera mereka melompat bangun dan menerjang maju lagi
sambil menyeringai sehingga kelihatan barisan giginya yang menakutkan.
Dalam pada itu kedua ekor kingkong yang lain segera menubruk maju dari
kanan-kiri. Namun secara gesit Lamkiong Peng melompat ke samping.
Kedua ekor kingkong yang terguling tadi sudah menerjang tiba dan
mengerubuti Lamkiong Peng. Mangkin gencar suara tambur ditabuh, makin
kalap keempat ekor kingkong itu menerjang musuh.
Melihat putranya kewalahan dikerubut keempat ekor kingkong itu, Lamkiong
Siang-ju tidak tinggal diam, dari samping ia pun menghantam. kontan salah
seekor" kingkong itu terpukul jatuh. Tapi dengan cepat merangkak bangun dan
menerjang maju lagi.
Mendadak Loh Ih-sian mendekap bibir dan bersuit sekerasnya, begitu keras
suara suitannya sehingga irama tambur menjadi kacau, seketika cara
bertempur keempat ekor kingkong itu pun tidak teratur lagi.
Kesempatan itu digunakan Lamkiong Siang-ju untuk menghantam lagi,
'"blang". dada salah seekor kingkong iiu tertonjok. Sungguh dahsyat pukulan
ini, kontan kingkong tumpah darah dan terguling ke bawah undak undakan.
Loh Ih-sian masih terus bersuit. Mendadak iapun menghantam dua tangan
sekaligus, salah seekor kingkong itu mendoyong ke belakang, tapi segera kaki
Loh Ih-sian mengait dan "bluk" kingkong ttu jatuh terjengkang.
Tanpa ayal Loh Ih-sian memegang kedua kaki kingkong sambil menggertak,
sekali angkat tubuh kingkong sebesar manusia itu terus diputar dua-tiga kali,
lalu dliemparkan hingga jatuh jauh di hutan sana.
Semangat Lamkiong Peng tambah terbangkit, kembali ia menghantam dan
menendang sehingga seekor kingkong mencelat.
Sekarang suara tambur itu bergema lagi, namun sisa seekor kingkong itu
rupanya tahu gelagat dan tidak berani bertempur lagi, segera ngacir pergi.
Loh Ih-sian bergelak tertawa puas dan memuji, '"Sungguh kungfu hebat,
murid Sin-liong memang lain daripada yang lain."
Dalam pada itu Lamkiong Siang-ju sedang berseru lantang ke sana,
"Dengarkan para kawan, harta benda di Lamkiong-san ceng saat ini berada di
sini, apabila kalian mengincarnya, silakan mengambilnya menurut kemampuan
kalian, kenapa mesti main sembunyi dalam kegelapan hutan dan menyuruh
kawanan binatang yang tak berarti ini untuk membikin malu kalian sendiri?"
Suara tambur mulai mereda, sebagai gantinya suara musik halus tadi kembali
bergema, lembut dan ulem.
Waktu angin meniup lagi, bau amis tadi sudah hilang, sebaliknya malah


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengandung bau harum sayup sayup aneh membuat perasaan tergelitik dan
membangkitkan nafsu.
Mendadak di tengah hutan yang gelap menyala empat cahaya lampu yang
menyilaukan mata, pekarangan di depan uudak-urdakan batu, seluas dua-tiga
tombak itu tiba-tiba muncul enam orang gadis berbaju sutera putih tipis dan
berkerudung topi bunga serta mulai menari mengikuti irama musik.
Hujan masih turun, hanya sekejap saja baju tipis keenam gadis jelita itu sudah
basah kuyup sehingga hampu tembus pandang garis tubuh mereka yang
menggiurkan. Makin lama makin asyik bunyi musiknya dan makin panas tariannya, kening
Lamkiong Peng bekerenyit, ia melengos ke arah lain.
Alis Lamkiong Siang-ju juga menegak, katanya, "Jite, apakah kauingat cara
mempengaruhi lawan dengan kemaksiatan dan menggertak dengan kekerasan
seperti ini biasanya digunakan tokoh kangouw dari mana?"
"Apakah maksud Toako hendak mengatakan kebiasaan majikan perempuan
dari Ban-siu san-ceng, yaitu Tek-ih-huicu (si nyonya senang)?" jawab Loh Ihsian.
"Sesudah kebakaran yang menimpa Ban-siu-san-ceng, sudah lama Tek-ihhuicu
meng-hilang dan tiada kabar beritanya," kata Lam-kiong Siang-ju.
"Bahwa sekarang dia muncul kembali, nyata caranya sudah tidak selihai dulu
lagi, namun gayanya masih tidak berubah."
"Ya, memang sudah berpuluh tahun tidak ada kabar tentang Tek-ih-huicu,
apakah mungkin iblis perempuan yang menyendiri ini dahulu juga pernah
mendidik murid?"
Tengah bicara, suara musik tadi tambah gencar, gaya menari keenam gadis
berbaju sutera itu pun semakin menghanyutkan, di antara gerak-geriknya
seperti sengaja dan seperti tidak sengaja selalu menonjolkan bagian tubuh
yang seharusnya dirahasiakan, lirikan matanya juga memikat.
Cahaya lampu juga tambah remang, dari kegelapan hutan sana lantas muncul
empat gadis lagi dengan menggotong sobuah joli kecil beratap.
Waktu joli berhenti dan tabir tersingkap, kedua gadis jelita di depan lantas
membentang dua buah payung, maka turunlah dari joli seorang nona berbaju
warna lembayung dengan potongan tubuh yang ramping, cantik sekali nona ini
tampaknya tapi mukanya justru dialingi sebuah kipas bambu.
"Joli kecil dan baju ungu, semua ini adalah ciri pengenal Tek-ih-huicu dahulu.
jangan-jangan memang betul Tek-ih-huicu telah rnuncul lagi di dunia
kangouw?" gumam Lamkiong Siang-ju.
Loh Ih-sian tidak menanggapi, dia kelihataprihatin, mendadak ia membentak,
"Siapa itu?"
Waktu ia berpaling, di bawah cahaya lampu yang remang, di atas tumpukan
peti ternyata sudah bertambah beberapa sosok bayangan orang.
Pada saat itu juga gadis berbaju ungu juga mulai melangkah ke atas undakundakan
mengikuti irama musik, gayanya jauh lebih monggiurkan daripada
gadis yang lain.
Serentak belasan gadis jelita tadi mengikut di belakangnya, sambil menaiki
undakan batu para gadis itu melepaskan baunya yang tipis sepotong demi
sepotong sehingga akhirnya telanjang bulat tanpa sehelai benang pun.
Sementara itu di tengah ruangan pendopo bayangan orang banyak serentak
berputar mengitari tumpukan peti, seorang yang mengepalainya tampak
berperawakan kekar, alis tebal mata cekung, seorang lagi bertubuh jangkung
dan berwajah kurus. Kiranya mereka ini adalah tokoh Tiam-jong-pai, yaitu
Kongsua Yan dan Thian-go Tojin.
"Hm, kukira Tiam-joNg-pai adalah golongan ternama dan aliran lurus rupanya
juga biasa berbuat secara sembunyi-sembunyi, tengah malam buta menyusup
ke rumah orang, barangkali memang beginilah ajaran Tiam-jong-pai?" segera
Loh Ih-sian mengejek.
Thian-go Tojin meniadi gusar. Sedangkan Kongsun Yan tidak menghiraukan
ejekan itu, ucapnya ketus, "Kami hanya minta birara dengan Lamkiongcengcu."
"Melihat perbuatan para Totiaug, rasanya tidak ada yang perlu kubicarakan
lagi," ujar Lamkiong Siang-ju dengan dingin.
"Creng", segera Thian-go Tojin melolos pedang.
Kongsun Yan tetap tenang saja, katanya, "Apabila Cengcu mau mendengar
nasihatku sebaiknya harta bendamu ini kautitipkan dalam pengawasan kami
selama tiga tahun, sesudah tiga tahun akan kami kembalikan dalam keadaan
utuh tanpa kurang sesuatu . . . ."
"Hehe, anjing kelaparan ingin pinjam bakpau, sungguh menggelikan," ejek Loh
Ih-sian. Kongsun Yan berlagak tidak mendengar, katanya pula, "Atas kehormatan
Tiam-jong-pay kuberani memberi jaminan takkan mengganggu sedikit pun
harta bendamu ini."
"Hehe, kehormatan Tiam-jong-pai" Memangnya berapa harganya sekati?"'
jengek pula Loh Ih-sian.
Thian-go membentak murta, segera pedang bergerak dan hendak menyerang.
Namun Kongsun Yan keburu mencegahnya, katanya, "Nanti dulu Samte,
dengarkan dulu jawaban Lamkiong-cengcu.'"
"Kukira Toako juga tidak ada jawaban, kami justru ingin tahu apa yang dapat
diperbuat orang Tiam-jong-pai Kalian?" jengek Loh Ih-sian.
Belum lenyap suaranya segera pedang Thian-go Tojin menusuk, cepat Loh Ihsian
berkelit dari keduanya lantas saling labrak.
Di luar sana suara musik masih berkumandang, belasan gadis jelita itu sudah
berada di ujung undak-undakan, semuanya telanjang bulat dengan tubuh yang
mulus menggiurkan.
Gadis jelita berbaju ungu menggoyang goyang kipasnya setengah menutupi
wajahnya, meski dia tidak menanggalkan bajunya. Tapi terkadang
mengeluarkan suara tertawa genit yang memikat.
"Turun?" bentak Lamkiong Peng.
Namun kawanan gadis itu tetap menari seperti tidak mendengar, Kerlingan
mereka terpusat ke arah Lamkiong Peng seakan-akan ingin menelan bulatbulat
anak muda itu. Melihat goyang pinggul dan gerakan memikat yang terpampang di depan mata
itu, tentu saja Lamkioug Pong serba susah, mana dia sampai hati turun tangan
terhadap gadis telanjaug begilu.
Dalam pada itu Thian-go Tojin dan Loh Ih-sian sedang bertempur dengan
sengit. Pedang Thian-go berputar cepat dengan tipu serangan yang ganas,
ilmu pedang Tiam-jong-pai memang cepat dan lincah, namun Loh Ih-sian iuga
tidak kurang lihainya Dia bergerak terlebih cepat daripada sambaran pedang
lawan. Sedikit pun senjata lawan tidak mampu meyentuh ujung bajunya,
malahan dia seperti sengaja hendak mempermainkan orang dan tidak balas
menyerang, serupa kucing mempermainkan tikus.
Dengan gemas mendadak pedang Thian-go tojin menusuk dari arah yang tak
terduga akan tetapi mendadak tersengar suara "trang" kiranya Loh ih-sian
sempat meraih sebuah piring sebagi tameng sehingga tertusuk berantakan
oleh pedang Thian go tojin, hidangan dalam piring berhamburan mengotori
bajunya. Tentu saja Thian go tojin bertambah murka, seklai depak ia bikin meja
terbalik, mangkuk piring pecah berserakan, lampu perunggu di atas meja juga
ikut terguling dan padam seketika.
Tapi pada saat itu cahaya lampu dari dalam hutan sana telah menyorot tiba,
kawanan penari telanjang juga sudah berada di depan ruangan.
Lamkiong siang ju berkerut kening, ucapnya, "Jite, jangan bergurau lagi,
sudah waktunya turun tangan sungguh-sungguh!"
"Baik," seru Loh-ih sian, segera jurus serangannya berubah, sekaligus ia
melancarkan dua tiga kali pukulan sehingga Thian go tojin terdesak ke pojok
ruangan. Siang ju berseru kepada sang istri, "hujin boleh kaulayani yang di luar dan
yang di dalam serahkan saja kepadaku."
Dengan sendirinya lmakiong hujin sudah melihat datangnya kawanan penari
telanjang itu, Cuma seketika ia pun bingung menghadapi adegan luar biasa
itu. Nona berbaju ungu tadi tampaknya melangkah maju dengan gaya gemulai,
tahu-tahu ia sudah bergeser ke depan Lamkiong Peng, seketika anal muda itu
pun mencium bau harum yang memabukkan, pikirannya serasa melayang.
"Mundur!" cepat ia membentak sembari ayun sebelah tangannya ke depan
untuk menghantam Koh-cing-hiat di pundak orang.
Tak tersangka nona cantik itu sama sekali tidak menghindar, sebaliknya sambil
tertawa genit ia malah menyongsong maju, dengan dadanya yang montok ia
sambut pukulan Lamkiong Peng itu.
Cepat Lamkiong Peng menarik kembali pukulannya, betapapun ia tidak dapat
menyerang seorang gadis yang tidak melawan.
"Menyingkir Peng-ji!" seru lamkiong hujin.
Tapi baru saja dia bergerak, tahu-tahu empat penari telanjang sudah
mengadang di depannya. Empat penari telanjang Iain lantas mengepung
Lamkiong Peng dengan goyang pinggul dan guncang dada secara merangsang.
Saat itu Lamkiong Peng berdiri di depan pintu, bila dia menyingkir berarti
memberi kesempatan kepada kawanan penari telanjang itu untuk menyerbu ke
dalam, tapi kalau tidak menghindar. tentu dia akan terkurung di tengah gadis
telanjang, betapapun teguh imannya jika dibuai oleh irama musik yang
masyuk dan tarian yang merangsang, tentu tidak tahan akhirnya.
Dalam pada itu keempat penari telanjang itu sudah semakin mendekat, gaya
mereka yang cabul sungguh bisa membuat setiap lelaki lupa daratan ....
Di sebelah dalam pertarungan Thian-go dan Loh Ih-sian juga tambah seru,
jsgo pedang Tiam-jong-pai yang lain sudah memegang pedang dan siap
tempur juga, Tiba-tiba Kongsun Yan melolos pedang dan berkata, "Hari Ini bukan
pertandingan biasa, umpama main kerubut juga bukan soal lagi"
Ia memberi tanda dan segera msnyerang disusul oleh begundalnya.
Mendadak Loh Ih-sian merasa angin tajam menyambar dari belakang, tiga
pedang serentak menabasnya.
Thian-go Tojin juga tidak tinggal diam , berbareng ia pun menyerang
'"Hm, biasanya Tiam jong- pai tidaklah jahat, mestinya aku tidak suka
membikin susah orang. tapi perbuatan kalian sungguh keterlaluan, terpaksa
aku harus bertindak." kata Lamkiong Siang-ju.
Mendadak ia menghantam ke belakang, angin pukulannya mendampar
keempat penari telanjang yang mengepung di depan Lamkiong Peng, meski
dia menyerang tanpa berpaling, namun pukulannya cukup telak, mana
kawanan gadis telanjang itu tahan angin pukulannya, terdengar jeritan kaget,
dua di antaranya tergetar jatuh ke bawah undakan batu.
"Harap ayah menghadapi mereka di sini, biar anak melayani orang Tiam-jongpai,"
seru Lamkiong peng.
Belum lanjut ucapannya, kembali Lamkiong Siang-ju menghantam lagi satu
kali, si nona berbaju ungu tergetar mundur, cepat Lamkiong Peng mendesak
maju dan menutuk pundak lavvan.
Namun kipas si nona mendadak menabas pergelangun tangan Lamkiong Peng,
sekilas tertampaklah wajahnya di bawah cahaya remang.
Seketika hati Lamkiong Peng tergetar, seru-nya, "Hei, kau . . . kau . . . . "
Sungguh tak tersangka dan tak terduga nona berbaju ungu ini adalah Suci
atau kakak seperguruannya, yaitu Koh-ih-hong alias Ong So-so.
Dengan tersenyum manis dan kerlingan genit kembali Koh Ih-hong memotong
lagi dengan kipasnya menurut irama musik.
"He, Sisuci, ken .. kenapa engkau menyerangku"' seru Lamkiong Peng. "Masa
engkau tidak . . . tidak kenal lagi padaku" Di mana Toako sekarang?"
Koh Ih-hong terkekek, "Hehe, siapa kenal padamu" Siapa Toakomu?"
Dalam pada itu kawanan penari telanjang lantas menerjang maju pula,
Dengan tercengang Lamkiong Peng menyurut mundur ke dalam ruangan.
Kening Lamkiong Sian-ju bekerenyit, serunya, "Gadis ini mungkin sudah
terpengaruh oleh obat bius. boleh kau menyingkir dulu...."
Belum lenyap suaranya. mendadak cahaya pedang berkelebat. Kongsun Yan
telah menusuk dari samping.
Lamkiong Peng membentak, segera ia menendang pergelangan tangan lawan
yang memegang senjata.
Di sebelah. sana Lamkiong hujin tampaknya juga serba susah menghadapi
keempat penari telanjang tadi, meski ia sendiri juga orang perempuan, tidak
urung mukanya menjadi merah melihat gerak cabul mereka.
"Awas obat bius mereka, Hujin," seru Lamkiong Siang-ju mendadak.
Terkesiap Lamkiong-hujin. benar juga, baru saja ia menahan napas, serentak
keempat penari telanjang itu menaburkan kabut tipis.
Dengan gusar Lamkiong-hujin mengebaskan lengan bajunya sehingga bubuk
putih buyar, sekaligus ia kebut hiat-to tangan lawan.
Di sebelah sana Loh ih sian satu lawan empat dan sedang melancarkan
pukulan dasyat, "blang blang", mendadak ia menyikut ke belakang sehingga
dua orang lawan menjerit kaget dan pedang terlepas, kedua tojin itu pun
tumpah darah. Dalam pada itu Lamkiong Peng telah menandingi Kongsun Yan dan dua pemudi
berdandan ringkas. Ia terkejut, kuatir dan sangsi pula, ia kuatir mengenai
keadaan sang Toako, yaitu Liong hui, juga sangsi mengapa Koh ih hong bisa
berubah menjadi begitu.
"Jangan melukai dia ayah!" seru Lamkiong Peng mendadak.
Kiranya pada saat itu Koh Ih-hong kena ditutuk oleh lamkiong sian ju dan
sempoyongan terjatuh ke bawah undakan batu.
Pada saat itulah itulah tiba-tiba dari kegelapan hutan sana muncul sesosok
bayangan sambil membentak terus menerjang tiba, sekali raih dapatlah dia merangkul
tubuh Koh Ih hong yang hampir roboh itu.
Pendatang ini bertubuh tinggi besar dan berbaju mentereng muka penuh
berewok pendek kaku serupa dari landak. Nyata dia inilah Liong hui.
"He, toako..........." seru lamkiong Peng setelah mengenali orang.
"Apakah orang ini Liong Hui?" tanya Lamkiong Siang ju dengan melenggak.
'"Betul,"jawab Lamkiong Peng, segera ia berseru pula, "Toako, siaute
Lamkiong Peng berada di sini!"
Siapa tahu air muka Lioug Hui tidak memperlihatkan sesuatu perasaan serupa
orang ling lung saja, sambil merangkul Koh Ih-hong segera ia pentang kelima
jarinya mencakar muka Lamkiong Sian ju.
Baru saja Lamkiong siang ju mendak ke bawah, segera Liong hui menendang
lagi. Meski ganas serangannya, tapi sebenarnya banyak lubang kelemahannya.
Namun Lamkiong siang ju tidak ingin melukainya, ia melompat mundur untuk
menghindari tendangan lawan.
Tak terduga mendadak Laiong hui menaruh Koh ih hong, lalu membentak,
"Biarlah aku mengadu jiwa dengan kawanan bangsat kalian ini?"
Sekali tendang ia bikin seorang penari telanjang hingga terjungkal, menyusul
sebelah tangannya menghantam lamkiong siang ju dengan dasyat.
"he, Toako, ken.........kenapa kau"............." jerit Lamkiong Peng keget, tibatiba
pundak terasa dingin, kiranya telah terserempet oleh pedang Kongsun Yan
sehingga tergores luka.
"Layani saja lawanmu dengan tekun, biar kuselesaikan urusan Suhengmu ini,"
kata Lam kiong Siang-ju.
Tanpa menghiraukan luka sendiri, Lam kiong Peng berseru kuatir, "Ayah,
apakah Toaka terpengaruh juga oleh obat?"
"tampaknya memang begitu," kata Lamkiong Siang-ju.
"Sungguh rendah Tiam-jong-pai, pakai obat bius segala"!" teriak Lemkiong
Peng dengan murka, mendadak ia jepit batang pedang Kong-sun Yan yang
menyambar tiba, sekali tekuk pedang lawan lantas patah, sebelah kaki
menendang seorang jago pedang Tiam-jong-pai. Menyusul pedang patah
membalik dan digunakan untuk menusuk lawan.
Jago pedang menjerit dan jatuh terguling dengan tangan memegang dada ia
bergulingan di lantai yang penuh pecahan mangkuk piring; sehingga sekujur
badan berlumuran darah, akibatnya tak sadarkan diri.
"Keji amat!" geram Kongsun Yan.
Selagi dia hendak menyerang pula dengan pedang patah, tak tersangka
Lamkiong-hujin telah berhasil mengebas hiat-to keempat penari telanjang dan
saat. itu sedang melompat tiba, sekali tepuk pelahan Ciang-tai-hiat di punggung
Kongsun Yan tertutuk.
Pada saat itu juga pedang patah yang dirampas Lamkiong Peng juga
ditusukkan ke bahu Kongsun Yan, terdengar jeritan, darah pun mengucur.
"Jisuheng . . . ."seru Thian-go kuatir.
Dengan tumpah darah Kongsun Yan berseru, "Samte, le . . . lekas pergi!"
Habis berkata ia pun jatuh terguling.
Tiba-tiba dalam kegelapan sana berkumandang suara kuda lari, cepat seorang
berteriak dari kejauhan. "Lamkiong-cengcu, Lam-kiong-heng, saudaramu
Suma Tiong-thian datang terlambat!"
Hanya sekejap saja seckor kuda sudah mendekat, Thi cian ang-ki Suma Tiongthian,


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

si jago tua bertombak besi dan panji merah, memutar tombaknya di
bawah hujan, langsung ia larikan kudanya ke atas undak-undakan sambil
berteriak pula "Jangan kuatir, Lam kiong heng, inilah Suma Tiong-thian!"
Begitu tombak bergerak, secepat kilat ia tusuk Liong Hui.
Sekilas pandang Lamkiong Peng melihat kuda jago tua itu akan menginjak
tubuh Koh Ih-hong yang menggeletak di undakan batu itu. ia berteriak kuatir
dan melompat maju sambil mendorong dengan kuat sehingga Iari kuda
tertolak ke samping.
Tentu saja kuda itu meringkik kaget dan tusukan tombak Suma Tiong-thian
juga meleset. Liong Hui membentak gusar, sekali raih ujung tombak kena dipegangnya.
Baru sekarang Suma Tiong-thian dapat melihat jelas siapa orang yang
diserangnya tadi, serunya, "Hei, Liong. . . Liong-taihiap . . . ."
Pada saat itu tiba-tiba dari hutan Sana berkumandang suara orang tertawa
seram, keempat jalur cahaya api serentak padam, suara musik juga lantas
lenyap. Angin dan hujan kembali menderu lebat, bumi raya gelap gulita dan hampir
tidak kelihatan jari sendiri.
Pada saat itulah terdengar Lamkiong-hujin menjerit kaget dan bentakan Liong
Hui, mendadak Liong Hui menarik sekuatnya sehingga Suma Tiong-thian
terseret jatuh ke bawah kuda, berbareng itu Liong Hui juga berguling dan
mengangkat Koh Ih-hong terus dibawa lari ke tengah kegelapan sana.
Lamkiong Peng tercengang. sedang Thian-go Tojin melancarkan dua-tiga kali
tusukan untuk mendesak mundur Loh Ih-sian, lalu ia mendobrak daun jendela
dan melompat pergi.
Kuatir di luar musuh akan menyergapnya Loh Ih-sian tidak mengejar.
Suma Tiong-thian ternyata sangat tangkas meski sudah berusia lanjut, sekali
lompat ia berusaha menahan kudanya yang menjadi liar dan membedal ke
dalam ruangan, terdengar suara gemuruh, tumpukan peti diterjang roboh. Isi
peti berserakan, semuanya berupa batu permata yang kemilauan dalam
kegelapan. Selagi Suma Tiong-thiau hendak mengatasi kudanya, sekonyong-konyong
sinar tajam menyambar dari luar, seorang jago pedang Tiam jong-pai
menyambitkan pedangnya, cepat jago tua itu mengelak, pedang menyambar
lewat dan menancap di perut kuda.
Keruan kuda itu kesakitan dan tambah liar terus membedal keluar seperti
kesetanan. Jago pedang Tiam-jong-pai tadi tertendang jatuh dan belum sempat
merangkak bangun, kontan dia terinjak mampus oleh lari kuda yang kesetanan
itu. Habis menginjak orang, kuda itu pun keserimpat dan jatuh terjungkal ke
bawah undak -ondakan sambil meringkik, lalu tidak bergerak lagi.
Suma Tiong-thian terkesima kehilangan kuda kesayangan.
Lamkiong Peng berteriak, "Toako . . ." Akan tetapi Lamkiong Siang-ju lantas
rnembujuknya, "Tenang, anak Peng, tampaknya kedua orang itu kehilangan
kesadarannya dan saat ini entah sudah lari ke mana, bukan mustahil . . . ."
Meski tldak lanjut ucapannya, namun dapat diduga dia pasti akan mengatakan
keselamatan Liong Hui dan Koh Ih-hong sukar diramalkan.
Lamkiong Peng tertegun sejenak, mendadak ia menjadi beringas, diseretnya
bangun Kong-sun Yan, bentaknya, "Coba katakan, dengan obat bius apa Tiamjongpai kalian mengerjai Toako kami sehingga dia lupa daratan"'
Selain sang guru, orang yang paling dikasih dan dihormatinya ialah Liong Hui,
dengan sendirinya hatinya sekarang sangat sedih dan gusar.
Ujung mulut Kong-sun Yan berlumuran darah, setengah potong pedang masih
menancap di bahunya, keadaannya payah, ucapnya lemah, "Orang Tiam-jongpai
tidak pernah menggunakan obat bius."
'Omong kosong, jika bukan perbuatan Tiam-jong-pai kalian, habis siapa?"
teriak Lamkiong Peng,
Kongsun Yan memejamkau mata dan tidak menanggapi.
"Sabar anak Peng," ucap Lamkiong Siang-ju, "Kuyakin Tiam-jong-pai memang
bukan orang yang suka menggunakan obat bius, apa yang diperbuatnya ini
tentu karena terpaksa, juga pakai perempuan cantik untuk memikat musuh,
cara ini pun pasti tidak sudi dilakukan Tiam-jong-pai, seharusnya kaukatakan
terus terang apa yang terjadi. Kalau tidak, peristiwa hari ini telah disaksikan
orang banyak. betapa pun kalian menyangkal juga sukar membuat orang
percaya." Tiam-jong-yan Kongsun Yan tersenyum sedih, ucapnya, 'Di mana Samsuteku
Thian-go?"
Loh Ih-sian menjawab, 'Meski Tiam-jong-pai kalian mernusuhi kami, tapi kami
tidak bertindak kejam, Thio-go sudah. kami lepaskan.
Kongsun Yan terdiam sejenak, akhirnya ia menghela napas dan bertutur,
"Bilamana kalian ingin ke luar dari perkampungan ini dengan selamat, kukira
teramat sulit."
"Apa maksudmu"' tanya Lamkiong Siang-ju. "Kalau kalian ingin hidup,
hendaknya kauserahkan harta bendamu ini kepada mereka, kalau tidak . . . . "
"Memangnya kaum iblis Kun-mo-to sudah tiba?" tanya Lamkiong Siang-ju.
"Betul," Kongsun Yan mengangguk," "agaknya Kun-mo-to terlalu meremehkan
Lamkiong-sanceng kalian, mereka tidak mengirim jago kelas tinggi melainkan
cuma seorang pelayan rendahan saja dengan kawanan gadis dan binatang
buas itu, katanya hendak membantu Tiam jong pai kami menduduki
perkampungan ini siapa tahu Lamkiong-cengcu suami-istri yang selama ini
dikenal sebagai orang awam ternyata menguasai kungfu setinggi ini. Sekarang
pihak mereka untuk sementara menghentikan serangan, tentu sedang
menyiapkan langkah selanjut-nya yang lebih lihai."
Bicara sampai di sini napasnya tampak tersengal dan seperti tidak tahan lagi.
Lamkiong Siang-ju tampak sedih, ucapnya, "Terima kasih atas
keterusterangan Totiang, bilamana tidak menolak, padaku tersedia obat luka."
"Tiada gunanya." ucap Kongsun Yan dengan tersenyum pedih, ''Urat nadiku
sudah tergetar putus oleh pukulan nyonya, ditambah lagi tusukan pedang
Lamkiong-kongcu tadi .... Namun semua itu tidaklah menjadikan aku dendam
kepada kalian, aku hanya memohon bilamana mungkin, kelak semoga kalian
dapat membantu Suteku membangun kembali Tiam-jong-pai kami ....'"
Sampai di sini, suaranya hampir tak terdengar lagi, napas pun semakin lemah.
Tiba-tiba hati Lamkiong Peng tergerak, serunya, "Jika benar kawanan iblis dari
Kun mo-to tadi harus menyusun kekuatan untuk menyerang lagi, saat ini
kepungan tentu agak longgar, kesempatan ini dapat kita gunakan untuk
menerjang keluar daripada menunggu ajal di sini."
"BetuI," tnkas Loh Ih-sian, "Setelah menerjang keluar dapat kita berusaha
mengadakan kontak dengan utusan dari Cu-sin-tian . ... "
"Usul yang baik," kata Suma Tiong thian. ''Saat ini di !uar ada belasan orang
kawanku dan ..."
"Belasan Piauthau kawan Suma-cianpwe sekarang juga lagi istirahat di
ruangan belakang, biar kupanggil keluar mereka," kata Lamkiong Peng tibatiba
sambil lari ke belakang.
"Apakah Toako dan Toaso masih ingin berbenah sesuatu lagi?" tanya Loh Ihsian.
"Selanjutnya kami takkan punya kediaman tetap lagi, mau bebenah apa pula?"
ujar Lam-kiong-hujin sambil menghela napas.
Selagi Loh Ih-sian hendak bicara pula, mendadak terdengar suara kaget
Lamkiong Peng yang berlari keluar.
"Ada apa?" tanya Lamkiong Siang-ju.'"Semua . . . mati semua . . . . ucap Lamkiong Peng dengan gugup.
Semua orang sama melenggong.
"Semuanya mati dengan urat nadi tergetar putus," tutur Lamkiong Peng.
"Dada mereka terasa masih hangat, jelas mati belum lama, tapi sudah
kuperiksa dan tiada nampak bayangan seorang pun."
Semua orang saling pandang dengan ter cengang, Bahwa di ruangan depan
berkumpul tokoh kelas tinggi sebanyak ini dan tiada seorang pun mendengar
sesuatu, tahu-tahu orang di belakang sama terbunuh, sungguh kejadian yang
mengerikan. Pelahan Kongsun Yan membuka matanya dan berucap dengan lemah, "Sudah .
. . sudah terlambat, kawanan . . . kawanan iblis sudah datang ...."
Mendadak matanya mendelik, napas tersumbat dan meninggal dunia.
Angin masih menderu, hujan tetap lebat.
Di tengah suara tegang itu. perasaan semua orang sama tertekan.
Lamkiong-hujin menggunakan saputangannya untuk membalut luka lengan
Lamkiong Peng, katanya pelahan, ''Coba angkat tanganmu, nak, apakah
melukai uratmu tidak?"
Lamkiong Peng menggerakan tangannya dan menjawab, "Tidak apa-apa."
Dalam pada itu terdengar pula derap kaki kuda yang ramai dalam kegelapan,
kedengarannya tidak cuma satu-dua penunggang kuda saja.
"Suma-heng," tanya Lamkiong Siang-ju, "yang datang itu mungkin anak
buahmu?" Suma Tiong-thian berlari ke depan, dilihatnya empat ekor kuda berlari datang
dengan cepat di bawah hujan lebat. Waktu diamati, ternyata tiada seorang
penunggang pun, hanya kuda yang terakhir terikat miring sebuah panji merah
dan berkibar tertiup angin, mendadak panji itu tertiup jatuh ke tanah dan
terinjak kuda sehingga sukar dikenali lagi.
Tergetar hati Suma Tiong-thian dan menyurut mundur, gumamnya, "Wah,
habis . . . habis sudah .... "
Apakah para saudaramu di luar perkampungan sana juga mengalami sesuatu"'
tanya Lamkiong Siang-ju.
"Ada kuda tanpa penunggangnya. dengan sendirinya lebih banyak celaka dari
pada selamatnya," ucap Suma Tiong-thian. Mendadak ia berteriak lantang,
"Wahai kawanan tikus Kun-mo-to! Jika berani ayolah keluar untuk menentukan
siapa yang lebih unggul, kenapa main sembunyi dan sergap, terhitung orang
gagah macam apa?"
Sambil berteriak ia jemput tombaknya yang terlempar ke undakan batu tadi
terus berlari dengan tombak terhunus.
Mendadak dari kegelapan hutan sana melayang keluar tiga gulung bayangan
hitam. Cepat tombak Suma Tiong-thian menyampuk dan menusuk, kedua
guling bayang hitam terpukul jatuh, bayangan ketiga tertusuk oleh ujung
tombak. Lamkiong Siang-ju memburu maju dan berseru, "Sabar dulu, Suma-heng,
jangan terburu nafsu dan terpancing muslihat musuh!"
Tanpa terasa Suma Tiong-thian diseret kembali ke dalam ruangan, waktu ia
memeriksa ujung tombaknya. ternyata yang tersunduk di situ adalah sebuah
kepala manusia dan segera dikenali sebagai anak buah sendiri.
Keruan air muka Suma Tiong-thian berubah hebat. tangan pun terasa lemas
dan tombak terjatuh ke lantai.
"Sungguh keji kawanan iblis Kun-mo-to." geram Loh Ih-sian. "Toako, dengan
kemampuan kita, memangnya kita tidak dapat menerjang keluar . . . ."
"Jite," kata Lamkiong Siang-ju, "musuh dalam keadaan gelap dan kita di pihak
terang, betapapun kita sudah berada dalam posisi yang lemah. Jika kita tidak
sabar dan menghadapi persoalan dengan tenang, bisa jadi urusan akan
runyam."' Tapi . , . tapi kalau mesti menunggu dan menunggu lagi, sampai kapan baru
akan berakhir?"
Dengan beringas Suma Tiong-thian berseru, "Aku Iebih suka menerjang ke
kegelapan sana dan bertempur mati-matian daripada menunggu dengan
tersiksa cara begini?"
Lamkiong Peng juga memandang sang ayah dengan semangat menyala, anak
muda ini pun ingin bertempur saja daripada menunggu secara tidak menentu.
Pelahan Lamkiong Siang-ju menghela napas, "Soal mati atau hidup adalah
urusan kecil, tapi menepati janji adalah soal lebih besar. Sejak dulu hingga kini
keluarga Lamkiong tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar janji, meski
sekarang keluarga Lamkiong kita menghadapi keruntuhan juga tetap tidak
boleh melanggar janji. Apapun juga kita harus menunggu kedatangan utusan
Cu-sin-tian dan menyerah-terimakan harta benda ini, kalau tidak mati pun aku
tidak tentram."
Pada saat itulah tiba-tiba di bawah hujan terdengar suara gemersik, suara
orang berjalan yang semakin mendekat. Seketika hati semua orang menjadi
tegang. Sekali lompat Loh Ih-sian menuju ke depan pintu.
Di atas undak-undakan akhirnya muncul tiga sosok bayangan orang,
selangkah demi selangkah naik ke atas, kedatangannya seperti tidak
bermaksud jahat.
"Siapa itu?" bentak Loh Ih-sian.
Tiba-tiba orang yang di tengah berdehem pelahan, dalam kegelapan kelihatan
kepalanya yang gundul kelimis, seperti seorang hwesio. Sekali mengangkat
kaki. tahu-tahu sudah di depan Loh Ih-sian.
Keruan Ih-sian terkejut.
Terdengar pendatang itu berkata, "Paderi tua tidak sering berkecipung di dunia
kangouw, umpama kuberitahukan namaku juga Sicu takkan kenal."
Waktu Loh Ih-tian memandang ke sana, dilihatnya sekujur badan orang basah
kuyup, jenggot dan alisnya sama putih, sikapnya kereng berwibawa, tanpa
terasa timbul rasa hormat dan segan Koh Ih-iian.
Kedua orang lain juga menyusul naik ke atas undakan, seorang memakai
tudung sebangsa caping dan memakai mantel ijuk, tangan memegang sebuah
karung goni yang basah.
Karena tudungnya yang lebar sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Orang
ketiga berjubah biru, ternyata seorang tojin.
Meski dandanan ketiga orang ini, tidak sama, tapi semuanya sudah berusia
lanjut. Dalam keadaan tidak biasa ini. entah ada keperluan apa kunjungan kalian
bertiga?" tegur Loh Ih-sian.
Hwesio pertama memberi salam dengan tersenyum, jawabnya, "Kedatangan
kami justru menyangkut kejadian di Lamkiong-san-ceng ini.
Apabila Sicu tidak keberatan, biarlah kututurkan setelah berada di dalam."
Loh Ih-sian agak ragu, tapi ketiga orang itu lantas melangkah ke dalam
ruangan. Tergerak hati Larnkiong Peng, pikirnya, '"Kepungan di luar perkampungan
cukup ketat, entah cara bagaimana ketiga orang ini dapat masuk kesini
dengan leluasa?"
Waktu ia melirik sang ayah, orang tua itu kelihatan tetap tenang taja. maka ia
pun tidak kuatir lagi.
Begitu masuk ke dalam dan melihat mayat yang bergelimpangan itu, si hwesio
lantas berkata; "Ai, hanya persoalan sedikit harta benda dan harus jatuh
korban jiwa sebanyak ini, apakah para Sicu tidak merasa berdosa?"
"Kejadian ini bukanlah kehendak kami dan terjadi karena terpaksa, biarlah
kelak akan kami mengadakan selamatan bagi arwah para korban ini," kata
Lamkiong Siang-ju
"Jika benar Sicu mempunyai nazar begini, hal ini menandakan Sicu masih
mempunyai nurani yang baik," kata si hwesio. "Tapi akan Lebih baik lagi
bilamana Sicu sudi rnendermakan barang-barang yang mengakibatkan
bencana ini untuk amal bagi anak-cucumu."
Air muka samua orang sama berubah, baru sekarang kelihatan belangnya
maksud tujuan kedatangan ketiga orang mi. '
Dengan tenang Lamkiong Siang-ju men-jawab, "Meski Caihe ada maksud
demikian, cuma sayang, harta benda ini sudah bukan milikku lagi."
"Ah, masa Harta benda ini masih berada di tempat Sicu, kenapa bukan lagi
milikmu?" kata si hwesio dengan tersenyum.
Mendadak Suma Tiong-thian membentak, ' Umpama benar miliknya, jika tidak
didermakan padamu, memangnya akan kaupaksa?"
Si hwesio tua tetap tersenyum tanpa gusar. jawabnya sambil tergelak. "Haha,
bila para Sicu tidak sudi beramal, maka urusan di sini pun tidak ada sangkutpautnya
dengan kami."
Memangnya apa sangkut-pautnya urusan ini dengan kalian?" bentak Suma
Tiong-thian dengan gusar. "Lekas kalian enyah dan sini!"
'Eeh, Sicu ini ternyata seorang pemberang?" seru si tojin berjubah biru dengan
tertawa. "Wah, air muka Sicu kelihatan gelap, ini tanda tidak baik, hendaknya jangan
suka marah, kalau tidak, pesti akan mengalami malapetaka. Ingat dan
camkan!" Saking gusarnya sampai Suma Tiong-thian tidak sanggup bersuara, hanya
dadanya yang tampak naik turun.
Si kakek bermantel ljuk lantas mendekati Suma Tiong-thian, mendadak ia
menyingkap tudungnya dan mendengus, "Hm, apakah kau tidak percaya
ucapannya?"
"Memang tidak ..." belum lanjut per-kataan Suma Tiong-thian, mendadak
dilihatnya wajah orang yang luar biasa.


Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata muka orang tua ini sangat menyeramkan, bagian di atas hidung
penuh goresan bekas luka serupa sebuah semangka yang diiris kian kemari,
rambut dan alisnya juga terkerik licin, kedua matanya bersinar galak,
wajahnya sangat menakutkan.
Semua orang juga terkesiap menyaksikan wajah yang seram ini.
Si kakek tertawa, 'Haha, jangan takut, biar mukaku jelek, tapi hatiku sangat
baik, seorang pedagang sejati. Jika mereka datang dengan bertangan kosong
untuk menderma, kedatanganku justru membawa barang dagangan dan ingin
jual beli secara adil."
"Memangnya barang dagangan apa yang kaubawa, bolehkah diperlihatkan
kepada hadirin di sini?" ujar Lamkiong Siang-ju dengan tersenyum.
"Wah, tampaknya Lamkiong-cengcu juga seorang pedagang," kata kakek itu
sembari menuang semua isi karungnya. Ternyata isinya adalah buah kepala
manusia yang sudah terguyur air hujan sehingga putih pucat.
"Semua barangku ini masih segar dan baru, sebuah kepala bertukar dengan
sebuah peti, jual-beli ini tentu cukup adil bukan?"
"Satu kepala tukar sebuah peti, hm, jual-beli ini memang pantas, cuma kukira
barang daganganmu sudah tidak segar lagi," jengek Siang-ju.
"Oo, apakah kauminta barang yang lebih segar"' tanya si kakek.
Mendadak Lamkiong Siang-ju melompat ke sana dan mengangkat sebuah peti,
serunya, "Jika sekarang juga kupotong kepalamu sendiri, maka peti ini akan
kutukar." "Eh, jadi atau tidak bisnis kita, kenapa Cengcu mesti mengincar jiwaku?" sahut
si kakek dengan tertawa sambil melangkah maju.
Selagi semua orang melenggong, mendadak sebelah kaki si kakek menyampar
sebuah kepala manusia yang dituangnya dari karung tadi, langsung kepala itu
menyambar ke muka Suma Tiong-thian. Berbareng itu sebelah tangan si kakek
terus meraih peti yang dipegang Lamkiong Siang-ju, tangan lain juga
memotong pundak Lamkiong-hujin, sedangkan kaki kanan terus menyampar
pula sehingga sebuah kepala kembali mencelat menuju ke muka Loh Ih-sian
dengan keras. Beberapa gerakan itu seakan-akan dilakukannya. secara bersamaan. Keruan
semua orang melengak.
Dalam pada itu Suma Tiong-thian juga kaget ketika mendadak sebuah kepala
manusia menyambar kearahnya, seketika ia tidak sempat mengelak, cepat ia
mengebas dengan tangan sehingga kepala itu mencelat jauh ke luar ruangan.
Habis itu baru mendadak teringat olehnya wajah kepala tadi seperti sudah
dikenalnya, yaitu salah seorang anak buahnya sendiri. Keruan hati terkesiap,
rasanya mual, isi perut hampir tertumpah keluar seluruhnya. Ia membentak
dan menghantam pula dengan dahsyat.
Dalam pada itu Loh Ih-sian menggeser ke samping sehingga kepala manusia
tadi menyambar Lewat di tampingnya dan '"bluk", membentur dinding.
Sedang Lamkiong Siang-ju berusaha mempertahankan petinya, tiba-tiba
dirasakan tenaga dahsyat menyodok tiba, sekuatnya ia bertahan.
Pada saat hampir sama Lamkiong-hujin lantas menabas, ia balas memotong
pergelangan tangan si kakek.
''Sambil bergelak kakek itu meluncur ke samping, peti Lamkiong Siang-ju ikut
tertolak ke depan karena kehilangan imbangan, saat itu juga Suma Tiong-thian
lagi menghantam dan tepat mengenai peti, "brak", seketika peti jatuh terbuka
dan isinya berhamburan.
Diam-diam Lamkiong Peng terkejut, sekaligus kakek itu menggunakan tangan
dan kakinya untuk rnenyerang empat orang dengan cara yang berbeda,
kungfunya sungguh sangat lihai, mengapa selama ini tidak terdengar asal-usul
seorang tokoh kosen seperti-ini?"
Si hwesio tua tadi tersenyum dan berkata "Tenaga dalam Lamkiong-sicu
sungguh hebat, pukulan Lamkiong-hujin juga sangat gesit, bicara sejujurnya
kalian sudah terhitung lumayan. Mengenai Sicu yang ini .... "
Ia melirik Suma Tiong-tian sekejap, lalu menyambung, "Dia tidak lebih serupa
anak yang baru masuk sekolah dasar, bila ingin maju masih harus belajar lebih
giat lagi."
"Dan bagaimana dengan diriku?" tanya Loh Ih-sian sambil melompat maju dan
menyerang si hwesio.
'Akulah pengujinya, jangan salah sasaran!" seru si kakek kelimis tadi sambil
mengadang di depan Loh Ih-sian, tangan terangkat, kontan ia colok kedua
mata Loh Ih-sian.
Dalam keadaan demikian, Loh Ih-sian tidak sempat menarik kembali
pukulannya untuk menangkis, tak terduga mendadak ia mendongak sedikit, ia
pentang mulut terus hendak menggigit jari lawan.
Keruan kakek kelimis itu terkesiap dan cepat tarik kembali tangannya.
"Haha, boleh juga, dengan cara menggigit ini sudah terhitung lulusan kelas
menengah," seru si hwesio.
"Huh, terhitung jurus serangan macam apa ini?" jengek si kakek kelimis
"Oo, belum pernah kaulihat" Hehe, tampaknya engkau perlu banyak
menambah pengalaman." ejek Loh Ih sian.
Sembari bicara kedua orang sudah saling gebrak lagi, hanya sekejap saja
belasan jurus sudah lalu.
Meski cara bertempur Loh Ih-sian tampak serabutan. tapi serangannya justru
sangat berbahaya, sama sekali si kakek kelimis tidak mampu mengatasinya.
Suma Tiong-thian sampai melongo menyaksikan pertarungan mereka.
"Tak tersangka di dunia persilatan sekarang masih ada beberapa jago lumayan
seperti ini, bilamana harus kubinasakan mereka sungguh rasanya tidak tega,"
ucap ti tojin berjubah biru tadi.
Mendadak Lamkiong Peng mendengus, "Hm, jika setiap penghuni Kun-mo-to
cuma punya kepandaian seperti mereka ini, maka ketakutan orang kangouw
terhadap kawanan iblis dari pulau hantu itu sebenarnya agak berlebihan."
"Eh, kautahu kami datang dari Kun-mo-to anak muda?" tanya si tojin dengan
mata melotot. "Lahiriah bajik, hati ternyata kejam dan keji, ucapan licin. kungfu tidak lemah,
usia pun rata-rata sudah mendekati waktunya masuk peti mati, orang begini
jika tidak datang dari Kun-mo-to masakah mungkin datang dari tempat lain?"
jengek Lamkiong Peng.
"Hahaha, bagus!" seru tojin berjubah biru dengan terbahak, anak muda
memang lebih cepat berpikir . . . ."
Belum lanjut ucapannya Lamkiong Peng telah jemput sebatang pedang di
lantai terus menusuk.
Tojin itu tidak mengelak melainkan cuma mengebaskan lengan jubahnya.
kontan pedang terbelit oleh lengan jubah yang longgar itu.
Tak terduga pedang Lamkiong Peng yang kelihatan keras itu, sebenarnya
cuma serangan pancingan belaka, mendadak ujung pedang bergetar terus
menyambar ke samping, Ialu secepat kilat menusuk lagi dari arah lain.
Lengan jubah si tojin membelit tempat kosong, tahu-tahu ujung pedang lawan
menyambar lagi ke tenggorokannya, sungguh tak terpikir olehnya anak muda
belia ini menguasai ilmu pedang sehebat ini. Cepat ia menyurut mundur duatiga
selangkah. Si hwesio tua berkerut kening, nyata dia terkesiap ucapnya, "Aha, Sicu cilik ini
sungguh anak berbakat. Apabila kaumau ikut kami ke lautan sana, tanggung
dalam waktu sepuluh tahun pasti akan menonjol dan menjagoi dunia
kangouw." "Huh, Lamkiong Peng adalah seorang lelaki sejati matipun tidak sudi
berkomplot dengan kawanan iblis," seru Lamkiong Peng.
"Lamkiong Peng"!" si hwesio menegas, "Jadi dirimu inilah putra sulung
lamkiong san-ceng sekarang ini?"
"Betul!" teriak Lamkiong Peng, berbareng Pedang menyabat sambil menggeser
ke samping. Si hwesio tua mengelak dengan ringan, katanya. "Lamkiong-sicu, rasanya
paderi tua menjadi terpikat oleh bakat putramu ini dan ingin memboyong
segenap anggota keluarga Lamkiong ke pulau sana untuk menikmati hidup
bahagia bersama. Tapi bila Sicu sendiri berkeras pada pendirianmu, kami juga
tidak boleh membiarkan harta benda ini digunakan sebagai dana kejahatan
kawanan tua bangka di Cu-sin-to sana, apalagi kalau putramu yang berbakat
ini sampai diperalat oleh mereka, tentu urasan akan tambah runyam. Maka
terpaksa hari ini kami mesti melanggar pantangan membunuh."
Tiba-tiba pikiran Lamkiong Siang-ju tergerak, serunya cepat, "Jite dan anak
Peng, berhenti dulu semuanya!"
Lamkiong Peng segera melompat mundur. Sedangkan Loh Ih-sian
molancarkan pukulan dahsyat untuk memaksa mundur si kakek kelimis, habis
itu ia pun melompat ke samping Lamkiong Sian-ju sambil berkata, "Toako,
jangan kau percaya kepada ocehan hwesio ini.
Penghuni Kun-mo-to kebanyakan adalah manusia jahat dan orang buangan,
sebaliknya penghuni Cu-sin-to adalah kaum kesatria dunia persilatan yang
mengasingkan diri. tidak perlu bicara urusan lain, melulu nama Kun-mo dan
Ca-sin saja sudah merupakan pembedaan yang menyolok, urusan sekarang
sudah telanjur begini, biarlah kita hadapi kawanan iblis ini sekuatnya."
Segera Suma Tiong-thian menyatakaa setuju, "Betul, gempur saja!"
Segera Lamkiong Siang-ju berkata pula, "Antara keluarga Lamkiong sudah ada
perjanjian dengan Cu sin-to yang telah berlangsung selama ratusan tahun,
tentang siapa baik dan siapa jahat bukan urusan kita, yang jelas tidak
mungkin kurusak perjanjian leluhur yang sudah ada. Urusan hari ini biarlah
kuselesaikan langsung dengan Taysu saja."
"Jika begitu, jadi Sicu bermaksud menantang bertarung denganku satu lawan
satu?" tanya si hwesio dengan sinar mata gemerdep.
"Begitulah maksudku," jawab Siang-ju.
"Dan bagaimana pula jika hasil pertandingan kita sudah jelas?" tanya si hwesio
tua. "Bila kukalah, maka segala urusan keluarga Lamkiong kuserahkan kepada
semua Kehendakmu," jawab Siang-ju dengan tegas dan mantap.
Loh Ih-sian dan lain-lain yakin ilmu silat hwesio tua ini pasti sangat tinggi dan
sukar diukur, tapi mereka pun tahu watak Lamkiong Siang-ju yang pendiam
dan cermat, tidak nanti berbuat sesuatu yang tidak yakin berhasil, sebab itulah
meski merasa ragu, namun tidak ada yang bersuara.
Si hwesio tua tersenyum, katanya sambil mengerling ke arah kedua kawanya,"
"Sebenar-nya aku tidak keberatan atas tantangan Lam-kiong-sicu ini, cuma
sayang, kedua kawanku ini jelas tidak dapat meluluskan."
Serentak si jubah biru dan si kakek kelimis berseru, "Ya, tidak!"
Loh lh-sian dan Iain-lain menjadi heran, jelas pertarungan ini menguntungkan
pihak mereka, mengapa kedua orang ini menolak dengan tegas.
Lamkiong Siang-ju tertawa, "Haha, rupanya tidak meleset dugaanku . . . . "
"Dugaan apa?" tanya si hwesio.
Tertawa Lamkiong Siang-ju terhenti, ucapnya pelahan, "Orang bilang Teh-ih
Hujin mahir ilmu rias yang tidak ada bandingannya di dunia ini, setelah
bertemu sekarang memang harus kupuji ternyata tidak bernama kosong.
Cuma sayang, betapa cermat tindakanmu tetap melupakan sesuatu."
Hati semua orang sama tergetar, sama heran atas ucapan Siang-ju ini.
Pelahan si hwesio menjawab, "Melupakan apa?"
"Meski Hujin bicara dengan alim serupa seorang paderi saleh, tapi engkau lupa
bahwa seorang hwesio harus menjalani pembabtisan dengan kepala diselomoti
api dupa. Engkau tidak membawa tasbih pula, meski memakai kasa (jubah
kaum hwesio), tapi kaki memakai sandal orang awam. Yang lebih kentara lagi
adalah wajah Hujin yang dibuat kereng, namun kerlingan matamu tidak
berubah, mana mungkin seorang paderi saleh selalu main mata."
Hwesio tua itu terdiam sejenak, mendadak ia tertawa ngekek, katanya, "Ah,
rupanya aku terlalu menilai rendah keeerdasan kalian, sebab itulah aku telah
bertindak ceroboh. Sungguh hebat juga dapat kaulihat samaranku. Tadi aku
pun tidak seharusnya menggunakan "gema irama iblis dan tari pembetot
sukma" sehingga dapat kauterka Tek-ih Hujin pasti berada di sekitar sini. Yang
lebih tidak pantas lagi adalah aku menyamar sebagai hwesio, padahal di dunia
ini mana ada hwesio yang punya mata jeli serupa diriku" "
Waktu semua orang memandangnya, meski wajahnya kelihatan kereng,
namun kerlingan matanya memang jalang. Mau-tak-mau semua orang sama
gegetun. di samping memuji kemahiran penyamaran Tek-ih Hujin yang luar
biasa berbareng juga mengagumi ketajaman mata Lamkiong Siang-ju, orang
lain tidak tahu Samarannya, tapi dia ternyata dapat mengetahui hwesio tua ini
adalah samaran Tek-ih hujin.
Di tengah tertawa merdunya, pelahan tangan si "hwesio" mengusap dan
menarik muka sendiri, ketika ia membuka tangan, tahu-tahu hwesio tua yang
saleh telah berubah menjadi seorang perempuan setengah baya dan masih
sangat cantik mempesona.
"Setelah jejak Hujin ketahuan, kenapa tidak lekas pergi saja, memangnya
perlu mengalirkan darah di sini?" kata Siang-ju.
Tek-ih Hujin mengerling genit, ucapnya, 'Kami bertiga melawan kalian berlima
memang terasa kalah kuat, cuma sayang, betapapun cerdik Lamkiong-cengcu
tetap melupakan sesuatu."
Nyata, suaranya sekarang telah berubah menjadi halus merdu.
"Melupakan apa?" tanya Siang-ju.
Tek-ih Hujin tertawa ngikik, "Kaulupa bahwa selain mahir merias dan
mengubah suara, Tek-ih Hujin masih menguasai sejenis kepandaian yang tidak
ada bandingannya di dunia....."
Tergerak hati Lamkiong Siang-ju, serunya mendadak, "Hah menggunakan
racun maksudmu" . ..."
"Betul, kembali dapat kauterka dengan jitu," ajar Tek-ih Hujin. "Cuma sayang
kini sudah terlambat."
Serentak Lamkiong Siang-ju menyurut mundur sambil membentak "Lekas
tahan napas!"
"Sudah kukatakan terlambat, masa engkau tak percaya?" ujar Tek-ih Hujin
dengan tertawa. "Saat ini kalian sudah mengisap hawa racun yang tak
berwujud dan tak berbau, dalam setengah jam kalian akan mati dengan tubuh
membusuk, apa gunanya sekarang kalian mau menahan napas" Selama
hidupku senantiasa 'tek-ih' (senang), jika lebih sering tidak senang tak
mungkin orang kangouw memberi nama julukan Tek-ih Hujin padaku?"
Ia meraba rambut pada pelipisnya, lalu berucap pula dengan tersenyum
manis, "Jika saat ini kalian mengaku salah dan mau me nurut kepada
perkataanku, bisa jadi akan kuberi ampun kepada kalian dan menawarkan
racun yang kalian isap. Kalau tidak, selang setengah jam Iagi, biarpun tabib
sakti Hoa To lahir kembali juga tidak mampu menyelamatkan kalian."
Muka Lamkiong Siang-ju tampak pucat, damperatnya, "Huh, ngaco-belo,
betapapun kau putar lidah tetap takkan kupercaya."
Tek-ih Hujin tertawa senang, "Hihi, meski mulutmu keras, padahal dalam
hatimu sudah percaya. betul tidak" Soalnya engkau tentu sudah pernah
mendengar cerita orang kangouw bahwa kabut wangi pencabut nyawa Tek-ih
Hujin tidak berbau dan tidak berwujud, kalau tidak segera minum obat
penawar, dalam jarak seluas tiga tombak baik manusia maupun hewan,
asalkan keciprat setitik saja kabut beracun itu. tidak ada yang dapat hidup
lebih dari satu jam.
"Cuma sayang kabut ini tak dapat mencapai jauh, dengan susah payah aku
menyaru sebagai hwesio tua dan menuju ke sini di bawah hujan, tujuanku
adalah membuat kalian tidak berjaga-jaga, dengan begitulah baru dapat
kumasuk ke ruangan ini dengan leluasa dan dapat meracun mati kalian dengan
mudah." Dia bicara dengan berlenggak-lenggok dan main mata dengan genit.
Tiba-tiba pikiran Lamkiong Peng melayang-layang, tanpa terasa teringat
olehnya akan diri Kwe giok ge, diam-diam ia membatin," mengapa perempuan
yang berhati keji dan jahat sama berbentuk cantik molek?"
Pada saat itulah terdengar Loh-ih-sian membentak,"perempuan keji, biar aku
mengadu jiwa denganmu!"
Serentak Suma Tiong-thian juga jemput kembali tombaknya.
Tapi si kakek kelimis dan tojin jubah biru lantas mengadang di depan mereka.
Han Bu Kong Jilid 15 Tek-ili Hujin juga lantas mendmgus, "Hm, kalian tidak lekas minta ampun
padaku, memangnya kalian tidak ingin hidup lagi"''
Seketika Suma Tiong-thian merandek, sebab mendadak leringat olehnya akan
anak-istri dan keluarganya.
"Aku memang sudah bosan hidup!" teriak Loh Ih-sian, berbareng ia
menghantam dengan kalap.
"Kau sendiri bosan hidup, apakah orang lain juga bosan hidup?" ucap Tek-ih
Hujin. Seketika Loh Ih-.sian melengak dan berhenti menyerang, waktu ia
memandang ke sana, Suma Tiong-thian kelihatan lesu, sedangkan Lamkiong
Siang-ju tampak sedih. Lamkiong-hujin memandang putra kesayangannya
dengan cemas.

Han Bu Kong Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Loh Ih-sian terharu. pikirnya, "Aku sendiri sebatangkara, dengan sendirinya
mati hidup tidak menjadi soal bagiku. Tapi orang lain berumah tangga dan
anak istri lengkap bahagia, mana mereka bisa meniru dirimu dan menyuruh
mereka mati begitu saja?"
Maklumlah, lantaran wataknya yang mudah tersinggung, makanya dia putus
asa dan mengasingkan diri selama 20 tahun, dengan segala daya upaya
berusaha mengumpulkan duit, sebaliknya pribadinya sama sekaili tidak
terawat. Sekarang hatinya menjadi dingin dan berdiri termangu tanpa bicara.
Tiba-tiba Lamkiong Peng berseru, "Cara bagaimana kau bikin susah Toako
kami, kemana perginya sekarang?"
Tek-ih Hujin tersenyum, "Asalkan kau turut perkataanku, urusan Toakomu
tentu akan kuberitahukan padamu, Sekarang hari sudah hampir pagi racun
yang kalian minum sudah hampir bekerja. kalian tidak berani bertempur dan
juga tidak mau menyerah, apakah memang ingin menanti ajal saja di sini?"
"Hm, jangan kau gembira dalu, segala macam racun di dunia ini pasti ada obat
penawarnya" Jengek Lamkiong Siang-ju mendadak
"Ah. tidak perlu kau bicara lagi kutahu maksudmu hanya ingin memancing
supaya kuberi tahu seluk-beluk racun ini," kata Tek-ih Hujin dengan tertawa,
"Terus terang kukatakan, racunku ini di dunia hanya dipunyai dua keluarga
saja, atau dengan lain perkataan juga cuma dua tempat ini saja yang
mempunyai obat penawar, salah satu tempat itu justru jauh terletak di luar
perbatasan utara sana. biarpun sekarang engkau dapat terbang ke sana juga
tidak keburu lagi"
Hati Lamkiong Peng tergerak, didengarnya sang ibu sedang berkata, "Habis
cara bagaimana baru dapat kauberi . . . ."
Belum lanjut ucapannya, "kekk", mendadak seekor burung beo menerobos
masuk melalui jendela dan hinggap di atas sebuah peti lalu mengguncangkan
sayap untuk merontokkan air hujan yang membasahi bulunya, kemudian
bersuara panjang pula satu kali. Meski kecil burungnya, tapi tampak gagah.
"Aha. sudah datang!" Mendadak Lamkiong Siang-ju berseru girang.
Beruang beo itu melayang dan hinggap di pundak Siang-ju serta menirukan
ucapannya, "Sudah datang . . " "
Benar juga segera terdengar suara langkah orang di undakan batu, sesosok
bayangan tinggi besar lantas muncul di depan pintu.
Orang yang berperawakan raksasa ini memakai baju satin yang sangat
mewah, tapi caranya memakai justru tidak teratur, dari tujuh buah kancing
hanya dirapatkan tiga buah saja sehingga dadanya terbuka dan kelihatan
dadanya yang bidang dengan simbar (bulu) dada yang hitam lebat.
Rambut orang ini juga semerawut tak teratur, kedua alisnya sangat tebal,
mata kiri justru tertutup oleh sebuah kedok mata sehingga menambah
keseraman mata kanannya.
Tangan kirinya tampak melambai lurus dan lengan kanan menyanggah pada
sebuah tongkat hitam, kaki kanan buntung sebatas dengkul.
Sorot matanya yang tajam itu sekarang sedang menyapu pandang keadaan
sekelilingaya. Tergetar hati Tek-ih Hujin melihat kemunculan orang aneh ini.
Burung beo tadi segera terbang dan hinggap di pundak si buntung kaki dan
bermata satu ini.
Lamkiong Siang-ju memberi hormat dan berseru, "Sudah lama kami
menunggu, silakan masuk."
Pelahan orang aneh itu mengangguk, katanya tambil memandang Lamkiong
Peng, "Inikah putra kesayanganmu" .... Haha, bagus. memang hebat!"
Diam-diam Tek-ih Hujin menyurut mundur ke sudut yang agak gelap. Sedang
si tojin berjubah biru dan si kakek berdiri dengan air muka prihatin
memandangi pendatang yang aneh ini.
Seperti tak acuh si buntung tersenyum, katanya, "Sudahlah, tidak perlu
bertempur lagi, kabut racunmu sama sekali takkan mempan terhadapku."
Tek-ih Hujin terkesiap. Belum lagi dia bertindak, tongkat lelaki buntung itu
mengetuk lantai, pelahan ia melangkah masuk, katanya, " Bagus, peti-peti ini
sudah siap . . . . "
Burung beo tadi menirukan, "Bagus . . Bagus,... "
Si tojin jubah biru dan si kakek kurus saling memberi tanda, berbareng
mereka hendak menubruk maju.
Tanpa berpaling lelaki buntung itu mendadak membentak, "Jangan bergerak!"
Seketika kedua orang itu urung bertindak.
Dengan tak acuh lelaki buntung itu membalik tubuh, lalu berkata, "Aha, sekian
tahun tidak bertemu, mengapa kalian masih suka main sergap begini?"
Tojin jubah biru terkekeh, "Ah, masakah main sergap, maksud kami banya
ingin menyapa kepada kenalan lama saja.!"
"Bagus, bagus . . . . " ucap si buntung sambil membelai bulu burung beo yang
hitam legam itu. "Rupanya kalian berdua juga berhasil menemukan Kun-mo-to
dan kedatanganmu sekarang hendak memusuhiku, bukan?"
Mendadak si kakek menyela, "Betul?" Sinar matanya meneorong terang dan
siap tempur. Namun si buntung hanya memandangnya sekejap dengan hambar, ia berkata
ke arah lain, "Lamkiong-cengcu, jika putramu sudah datang, peti juga sudah
siap, bila ada arak harap sediakan dua guci.habis minum segera berangkat!"
"Hm, kutahu kami tidak kaupandang sebelah mata," jengek sikakek
mendadak. "Tapi bila peti-peti ini hendak kaubawa pergi, sedikitnya harus
kaulangkahi dulu mayatku."
Dengan terkekeh si tojin jubah biru lantas menyambung, "Meski kungfu kami
bukan tandinganmu, tapi jika. dua lawan satu, jelas engkau takkan menarik
keuntungan. Apalagi, hehe. bukan mustahil keluarga lamkiong akan berdiri di
pihak kami."
Si buntung bermata satu itu berucap, "Bagus, boleh kalian coba saja nanti . . .
Hehe, dan nona besar itu, jika obat penawar tidak kauberikan, apakah kaukira
dapat keluar dari Lamkiong-san-ceng dengan hidup?"
Air muka Tek-ih Hujin berubah, katanya dengan tersenyum genit, "Eh, jika
engkau melarang kupergi, biarlah kutemanimu di sini."
"Haha. bagus, Bu-tau-ong, Hek-sim-khek, coba kalian bekuk dia, akan kuberi
rasa enak padanya," seru si buntung.
Suma Tiong-thian tertesiap mendengar nama-nama yang disebut itu, kiranya
kedua orang ini adalah "Bu-sim-siang-ok" atau dua manusia jahat tak berhati
yang terkenal berpuluh tahun lampau itu, pantas kungfu mereka tinggi dan
tindak-tanduknya keji.
Lamkiong Peng belum luas pengalaman kangouw, tak diketahuinya asal-usul
Bu-sim-siang-ok yang ditakuti beberapa puluh tahun yang lalu ini.
Si kakek kurus, Bu-tau-ong atau kakak tanpa kepala, tertawa ngekek,
ucapnya, "Hehe, kau minta kami membekuk dia" .... Hah, barangkali setelah
kau masuk Co-sin-tian, pikiranmu menjadi kurang waras."
"Hm, apakah kalian memang sudah bosan hidup dan tidak mau minta obat
penawar kepadanya?" jengek si buntung.
Bu-tau-ong dan Hek-sim-khek sama melengak, seru mereka, "Apa artinya?"
"Hah, rupanya kalian belum lagi tahu," seru si buntung dengan tertawa. "Baik,
ingin kutanya padamu, apakah sebelumnya kalian telah mencium obat
penawar?" Kedua orang sama terkesiap dan tidak dapat bicara.
"Haha, kalian mengira ucapannya tadi hanya untuk menggertak pihat
Lamkiong-cengcu saja dan tidak benar telah menebarkan kabut berbisa
soalnya kalian memang tidak tahu kapan dia menyebarkan racun, begitu
bukan?" Muka Hek-sim-khek tambah pucat, wajah Bu-sim-ong pun semakin beringas.
"Huh, jangan kalian percaya kepada ocehannya," kata Tek-ih Hujin dengan
tertawa, namun suaranya rada gemetar
Serentak Bu-sim-siang-ok berputar tubuh, Hek-sim-khek lantas menegur,
"Jadi benar kaugunakan racun?"
Bu-tau-ong juga lantas melangkah maju sambil menjulurkan tangan.
"Serahkan obat penawarnya!"
Si buntung kelihatan tertawa senang. ia bersandar tak acuh di atas peti,
katanya "Obat penawar tulen. setelah dicium, kontan akan bersin tujuh kali,
harus kaucoba du!u, jangan sampai tertipu."
Tek-ih Hujin menyurut mundur, ucapnya gugup, "Jangan . . jangan kau
percaya, dia bohong!"
"Jika tidak serahkan obat penawar, akan kucincang dirimu, dagingmu akan
"kumakan bersama arak," bentak Bu-tau-ong bengis.
"Kulitnya putih halus, dagingnya tentu empuk, rasanya pasti enak." Tukas
Hek-sim-khek. "Cuma sayang, tentu rada berbau langu," ujar si buntung dengan tertawa.
Dalam pada jtu Tek-ih Hujin masih terus menyurut mundur, ucapnya, "Baik,
akan"akan kuberi?"
Ia meraba bajunya, tapi mendadak tangannya terangkat, berpuluh titik perak
tajam serenntak berhamburan, ia sendiri segera melayang keluar melalui
jendela. Cepat lengan baju Hek-sim-khek mengebas, kedua tangan Bu-sim-ong juga
menghantam dari jauh sehingga senjata rahasia lawan dibikin rontok, tanpa
berhenti mereka terus mengejar sambil membentak, "Lari ke mana"!"
Pada saat itu juga dari luar menyambar masuk setitik cahaya tajam menuju ke
arah Lamkiong Peng. Selagi anak muda itu hendak menangkap senjata rahasia
itu, sekonyong-konyong tangan terasa kesemutan, "tring", cahaya perak itu
mencelat jauh ke sana. Entah sejak kapan si buntung bermata satu sudah
berada di sampingnya, jarinya mengetuk pelahan tangan Lamkiong Peng,
tongkat yang menyanggah ketiaknya membentur senjata rahasia musuh
hingga mencelat. Meski tinggi besar tubuhnya, namun gerak-gerik ternyata
sangat gesit. Lamkiong Peng jadi melengak sendiri.
Dengan tak acuh si buntung melangkah ke sana dan bersandar pula di peti,
katanya, "Permainan itu tidak boleh disentuh."
"Tidak boleh disentuh?" Lamkiong Peng menegas.
Si mata satu tertawa, katanya, "Meski nona besar itu tidak betul menyebarkan
kabut berbisa tanpa wujud itu, tapi senjata rahasianya memang betul berbisa
jahat dan tidak boleh disentuh. Kakiku ini justru korban senjata rahasia lakinya
pada waktu Ban-siu-san-ceng terbakar dulu, hampir saja jiwaku ikut
melayang. Sampai akhirnya bahkan harus dipotong."
Semua orang sama terkejut,
Si mata satu menyeringai, ucapnya pula, "Ah di dunia ini mana ada racun
tanpa bau dan tiada wujud, kalau ada, bukankah nona besar itu dapat malang
melintang di dunia ini tanpa tandingan?"
Sinar matanya menyapa pandang wajah semua orang yang kelihatan bingung
itu, tuturnya pula, "Kabut pembetot sukma hanya semacam asap berbisa yang
tipis dan dapat terlibat oleh mata, racun ini sudah pernah kuratakan, apa yang
kukatakan tadi tidak lebih hanya untuk mengadu domba antara mereka sendiri
supaya anjing menggigit anjing, biar nona besar itu merasakan betapa
kejamnya kedua kawannya sendiri- Haha, mana mungkin dapat diberikannya
obat penawar yang dapat membuat orang bersin tujuh kali. Cuma . . . nona
besar itu juga bukan seteru yang mudah ditandingi, akhirnya Bu-sim-siang-ok
juga takkan menarik sesuatu keuntungan, bisa jadi kedua pihak akan samasama
konyol." Suma Tiong-thian berseru senang, "Haha, hampir saja aku tertipu olehnya."
Si mata satu memandangnya sekejap, jengeknya, "Orang yang tidak takut
mati tak mungkin tertipu olehnya."
"Memangnya engkau sendiri tidak takut mati" tanya Suma Tiong-thian.
"Siapa bilang aku tidak takut mati" Orang yang tidak takut mati tentu orang
tolol." Mendadak Suma Tiong-thian menunduk, gumamnya, "Tapi jelas.engkau tidak
takut mati, kalau takut, mustahil engkau mau menerjang
Bao-siu-san-ceng di tengah malam buta sendirian dan membakar beratus
binatang buas serta membinasakan Hok-siu-san-kun . . . . "
"Ah, itu cuma perbuatan ugal-ugalanku pada waktu muda," ujar si mata satu
dengan tertawa. 'Manusia makin tua makin licik, hari ini aku juga tidak mau
bergebrak dengan orang, terpaksa menggunakan akal licik untuk mengadu
domba mereka sendiri."
Dengan tersenyum Lamkiong Siang-ju berucap, "Meski sudah lama kutahu
kungfu Anda maha tinggi, tapi tak pernah terpikir Cianpwe ini ialah Hong Manthian,
Hong-taihiap. terlebih tidak menyangka setelah pertemuan Wi-tan
dahulu Hong-taihiap lantas menghilang sekian lamanya dan ternyata masih
sehat walafiat."
"Haha, seiudah pertemuan Wi-san, orang kangouw lama mengira kawanan
makhluk tua itu sudah mampus semua dan cuma tersisa Sin-liong dan Tanhong
berdua, tidak ada yang tahu bahwa kawanan tua bangka itu masih
banyak yang hidup di dunia fana ini, cuma kebanyakan sudah mengasingkan
diri ke Cu-sin-to dan Kun-moto, bicara sesungguhnya. keadaannya tidak
banyak bedanya dengan mati."
"Hah, jadi Hong-taihiap inilah yang terkenal di dunia persilatan sebagai Mohiamkuncu (si jantan petualang) Tiang-jiu-thian-kun (Si ksatria suka
tertawa)?" tanya Lamkiong Peng.
Hong Man-thian menengadah dan tergelak, "Ah, itu hanya sebutan yang
sembarangan diberikan oleh kawan kangouw, mana aku dapat disebut sbagai
Kuncu segala, kalau Siaujin (orang rendah) sih lebih tepat."
Dalam pada itu hajan sudah reda. cahaya remang subuh sudah kelihatan di
luar. Lamkiong Siang-ju dan Loh Ih-sian mengumpulkan batu permata yang
berserakan tadi dan dimasukan lagi ke dalam peti.
Lamkiong-hujin mengeluarkan seguci arak dan seperangkat baju kering, arak
untuk Hong Man-thian, baju diberikan kepada Lamkiong Peng yang basah
kuyup itu. Suasana yang diliputi ketegangan tadi kini berubah menjadi sepi dan haru
akan perpisahan.
Hong Man-thiaa dan Loh Ih-sian duduk berhadapan tanpa bicara dan asyik
Perjodohan Busur Kumala 22 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pedang Golok Yang Menggetarkan 5

Cari Blog Ini