Ceritasilat Novel Online

Harimau Mendekam Naga Sembunyi 10

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Bagian 10


lihat nona pengantin" Itulah tidak bisa!"
Lantas ada datang seorang polisi lain, yang mengancam
dengan cambuknya.
Siau Hou terpaksa mundur, ia tidak mau sampai kena
dicambuk. tetapi di lain pihak, ia maju. Ia buka makwa-nya karena hawa ada panas, ia terus pasang mata.
Gedung depan jadi sepi pula dari musik sesudah joli dan
rombongan musik masuk ke dalam.
Hatinya Siau Hou ada tidak tenteram. Ia tidak tahu Kiau
Liong sedang menangis atau tertawa. Atau nona itu ingat
padang pasir atau tidak, ingat padang rumput atau tidak.
Ketika ia raba panahnya ia jadi sangat menyesal kenapa
tadinya ia tidak yakinkan piau atau piau yang dipakaikan racun. Panahnya ini tidak bisa ambil jiwa orang ...
Di saat hatinya Poan Thian In mulai bergolak pula,
kupingnya dengar pula suara tetabuhan, maka ia terus
mengawasi. Joli besar yang tadi, kelihatan sedang digotong keluar, untuk diletakkan di atas gotongannya, buat nanti digotong lebih jauh, untuk dibawa pergi. Di belakang joli ada berbaris orang-orang perempuan yang mengantarkan.
Sampai di saat itu, Siau Hou tidak bisa berkuasa lagi atas dirinya, ia lempar makwa-nya, ia lompat maju, memburu
ke joli. Ia ada beringas, laksana harimau sedang murka.
Berbareng dengan itu terdengar jeritan " Ayoh!.." yang beiisik, sedang beberapa orang polisi dengan menghunus
golok, lompat maju akan mencegat, akan merintangkan.
Tetapi mereka diserang oleh Siau Hou, dengan panah
tangan panah mana pun dipakai memberondong ke jurusan
joli pengantin.
Seorang polisi lompat maju, tapi Siau Hou dului dupak
padanya, sampai dia rubuh dan goloknya tertapis, maka
sambil lompat maju, Siau Hou jumput goloknya, ia
memburu ke joli.
Tapi orang polisi ada banyak, mereka meluruh semua.
Suasana jadi sangat berisik kian hebat, orang-orang
perempuan, dengan ketakutan dan menjerit-jerit, lari
serabutan. Orang banyak juga kaget dan takut, mereka pun kabur Kalang kabutan, suara teriakan mereka sampai
bergemuruh. Sebagai seekor harimau, Siau Hou terjang orang-orang
polisi yang maju menghalangi ia. Sepatunya copot sebelah, ia tak hiraukan itu. Ia maju, ia tidak kenal mundur.
Sepasang matanya telah bersinar bagaikan menyala.
"Giok Kiau Liong!'" ia berseru. "Perempuan yang tak punya liangsim! Apakah kau sudah lupa dengan kejadian di gurun pasir" Apakah kau telah lupakan aku, Poan Thian In"
... " Teguran itu disusul dengan serangan beberapa batang
panah ke jurusan joli.
Belasan orang polisi ada melindungi joli, belasan yang
lain mencegat, mereka beraksi untuk membekuk si
penyerang atau pengamuk, akan tetapi mereka tak berdaya
menghadapi orang yang kalap bagaikan harimau itu.
Dalam kekalutan itu, segera muncul belasan buaya darat,
ialah mereka yang tadi mengganggu orang-orang perempuan, yang sekarang entah dari mana datangnya,
dengan bersenjatakan tongkat atau pentungan mereka
menyerbu. Mereka sudah lantas berteriak-teriak. "Tangkap si penjahat," tetapi bukannya mereka membantui orang-orang polisi, mereka justru lari sana-sini, menambahkan
kekalutan saja.
Satu kali Siau Hou keserimpat. Ia roboh, maka beberapa
orang polisi maju, akan hajar padanya, tetapi berbareng
dengan itu, beberapa buaya darat itu lari menghampirkan
sambil berteriak-teriak. "Looya, jangan bunuh padanya!
Inilah hari baik!"
Menggunai ketika orang polisi lagi bersangsi, Siau Hou
mencelat bangun. Tapi sepatunya yang kedua, telah mental copot. Ia tidak pedulikan itu, ia terus merangsek pula.
Mendadak ujung tongkat mengenai ia dari belakang,
ketika ia berpaling akan balas menyerang, ia dengar
teguran: "Kenapa kau tidak mau lekas lari menyingkir"
Lekas lari keluar dari Tekseng-mui!" ia segera angkat kepalanya, akan lihat orang itu, buat kagetnya, ia kenali Lau Tay Po hingga ia tercengang.
Tetapi Tay Po kedipkan mata, tanda mana ia mengerti
maksudnya, maka ia terus lari ke jurusan timur. Ia lari di antara orang banyak, yang masih lari serabutan. Orang-orang polisi mengejar. Dan Tay Po bersama belasan buaya
darat turut mengejar juga! Hanya caranya mereka mengejar ada aneh, karena mereka sengaja lari mendahului orang
polisi, akan kemudian lari begitu rupa di depan orang-orang polisi itu, hingga terang mereka sengaja berbuat demikian, guna merintangi ...
Siau Hou lari dengan tidak ada orang yang berani
menghadang di depannya, ia beroman bengis dan goloknya
dibulang-balingkan.
Akhir-akhirnya Siau Hou lari sampai di Koulau Depan,
di mana Hoa Lian Hoan telah menantikan ia bersama
kudanya, hingga sambil melempar goloknya, ia sambar les
kuda dan terus loncat naik ke atas binatang tunggangannya itu, yang ia terus larikan ke arah Pakshia, Kota Utara, buat dari sana mengkol ke barat, kabur mengikuti tembok kota.
Tidak lama, ia sudah sampai di Tekseng-mui.
Di pintu kota ini ada pembesar yang menjaga, ia lihat
seorang penunggang kuda sedang kabur mendatangi dengan
keringat dan napas memburu, ia curiga, maka ia maju akan mencegat dan berteriak, menyerukan akan orang berhenti.
Siau Hou tidak pedulikan cegahan itu, ia menyerang
dengan panahnya, kudanya ia kasih loncat akan
melewatkan, setelah mana ia kabur terus, sampai ia kena
terjang satu tukang sayur yang lagi dorong kereta sayurnya.
Masih saja ia kabur, hingga ia bisa lewat di pintu kota itu.
Di Kwansiang, ia terjang dua orang lain, ia lintasi balas kota sebelah luar itu, lalu dari sini ia kabur ke utara, di mana ia lewati juga Toushia. Adalah di sini, napasnya
memburu begitu hebat, hingga ia rasa tidak mampu kabur
lebih jauh dan terpaksa tahan kudanya. Ketika ia menoleh, ia tidak lihat ada pengejar, kecuali seekor keledai kecil yang mendatangi ke jurusannya. Kapan keledai itu sudah datang dekat, ia lihat penunggangnya ada Lau Tay Po.
Sambil menantikan dengan terus mengawasi dengan
tajam, Siau Hou coba kendalikan napasnya.
Tidak antara lama, Lau Tay Po telah menyandak serta
terus menahan keledainya.
"Saudara Lo, aku tidak sangka bahwa kau ada seorang sembrono," katanya. "Seorang yang sedikit teliti saja tidak nanti lakukan perbuatan semacam kau ini! Apakah artinya
perbuatan ini" Apa sendirian saja kau mampu bawa kabur
jolinya Giok Kiau Liong?"
Siau Hou awasi orang yang bicara itu, ia bisa mendengar
dan berpikir, tapi napasnya masih memburu keras, hingga
ia tidak bisa lantas bicara
Lau Tay Po bicara terus dengan keterangannya juga:
"Apa yang aku lakukan hari ini, aku lakukan itu menurut permintaannya Tek ngoya. Tadi malam Tek ngoya telah
cari aku, ia bilang bahwa ia telah terima suratmu, ngoya kata bahwa nona mantunya masih belum percaya betul
bahwa kau adalah engko-nya, tetapi Tek ngoya sendiri
sangat ketarik dan terharu atas lelakonnya keluargamu,
bagaimana darah dan daging berpencaran. Ia pun mau
percaya yang nona mantunya ada mempunyai engko yang
terombang-ambing di dunia Sungai Telaga. Berhubung
dengan suratmu itu, Tek ngoya telah menduga-duga, lantas ia bertindak. Hari ini ia sendiri yang datang kondangan
untuk bantu menjaga, dengan pesan keluarga Giok agar
melakukan penjagaan keras. Di lain pihak, ia sudah minta aku cari sahabat-sahabat untuk bercampuran di antara
orang banyak, guna melindungi kau menyingkir dari
bahaya andaikata kau sampai terbitkan onar ... "
Siau Hou tertegun akan dengar keterangan itu. Tapi ia
tidak diberi kesempatan akan bertanya, sebab Tay Po sudah melanjutkan keterangannya lebih jauh:
"Sedari siang-siang aku telah lihat kau, saudara Lo. Aku dapat kenyataan kau tidak bawa senjata. Aku tahu golok
mustikamu sudah kena dicuri oleh Khau Jie Chiu. Aku
percaya bahwa kau tidak akan terbitkan onar hebat, paling
juga kau ngambek terhadap jantung hatimu, bahwa kau
bakal sangat berduka. Nyata dugaanku meleset, sebab kau
sudah kalap dan ngamuk. Saudara, dari mula-mulanya kau
sudah bertindak keliru. Seharusnya dari siang-siang kau
berserikat dengan aku, si Itto Lianhoa, untuk kita samasama hadapi Giok Kiau Liong. Sekarang mari kita pergi
cari tempat sunyi, nanti lagi dua hari kita akan berdaya pula. Jangan kau berduka, jangan kau nekat. Kalau Giok
Kiau Liong sendiri sudah ambil putusan akan menikah
pada Lou hanlim, siapa bisa cegah" Hayo turun dari
kudamu, bikinlah napasmu jalan dengan benar. Aku nanti
ajak kau cari pondokan ... "
Mukanya Siau Hou ada pucat, napasnya masih saja
memburu, ia rupanya dengar nasehatnya Lau Tay Po, ia
mau turun, apa mau, ketika ia gerakkan tubuhnya, ia
ngusruk sekali, tubuhnya roboh dan dari mulutnya nyembur darah hidup! ...
Tay Po kaget, ia loncat turun dari keledainya akan
menolong. Kebetulan di situ ada lewat orang lain dan Tay Po minta bantuannya akan pondong Siau Hou untuk
dibawa ke pinggir jalan, direbahkan di bawah sebuah pohon besar, sedang kudanya dituntun untuk ditambat, begitupun sang keledai.
Siau Hou nampaknya lelah, tetapi ia tidak pingsan.
Tay Po awasi jago dari Sinkiang itu, ia tertawa.
"Kau ada satu laki-laki, kenapa karena Giok Kiau Liong, hatimu terluka sampai begini?" ia tanya. "Kau ada jago dari Rimba Hijau, ia ada satu siocia pingitan, bagaimana
soalnya maka kau sampai kena terlibat begini rupa?"
Siau Hou terus rebah, hingga ia mirip dengan
bangkainya seekor biruang. Dadanya bergerak turun naik
dengan cepat. Ia berdiam, sebagai juga ia tak mau
berbicara. Beberapa orang tani telah datang menonton. Dan dalam
kota, tidak ada orang polisi yang mengejar. Tempat ini
terpisahnya dari Tekseng-mui ada duapuluh lie lebih.
Di dalam kota, sementara itu, keributan telah berjalan
tidak lama. Keadaan juga tidak hebat. Sebentar saja,
ketenteraman telah kembali. Korban jiwa tidak ada, cuma
beberapa orang polisi terkena panah kecil, yang tidak
berarti. Joli pun kena terpanah, tetapi tidak ada yang
tembus ke dalam, dari itu, nona pengantin tidak kurang
suatu apa, ia duduk tenang, menangis pun tidak ...
Hanya Giok tayjin, yang ada murka besar.
"Bawa terus joli!" ia menitah. "Kalau anakku sudah menikah, aku akan basmi semua buaya darat di dalam kota, setelah itu, aku nanti bunuh diri!"
Demikian, tetabuhan dibunyikan pula, joli digotong,
dibawa pergi. Hanya sekarang penjagaan ada diperkuat oleh satu barisan serdadu. Tapi, itu waktu meski tadi ada
penjagaan kuat, suasana ada aman luar biasa. Jalan-jalan besar ada sunyi. Penonton telah kabur semua, si buaya
darat tak ada barang satu juga.
Cuma mereka, yang bawa tengloleng, yang menggotong
joli, hatinya kebat-kebit, mereka masih takuti ada panah nyasar ... Hingga, beda dari biasanya, mereka semua
berjalan dengan cepat.
Tidak antara lama, lerotan telah sampai di Sayshia, Kota Barat, di gedungnya keluarga Lou.
Gedung keluarga ini ada jauh terlebih besar dan lebar
daripada gedungnya keluarga Giok, keadaannya ramai,
sebab tetamu ada luar biasa banyak. Sebab Lou sielong
telah pangku pangkatnya hampir lamanya setengah
usianya, sedang Lou Kun Pwee ada punya banyak kawan
dan rekan. Tetamu-tetamu perempuan juga banyak, sebab
semua mereka ingin lihat pengantin perempuan, karena
Giok Kiau Liong kesohor sebagai biejin, perempuan yang
cantik. Ketika joli tiba, orang menyambut sambil bersorak,
hanya ketika ada cerita bagaimana tadi pengantin terganggu oleh orang mengamuk, yang menggunai panah, semua
orang kaget, hingga suasana gembira dan riuh rendah
berubah menjadi kesunyian. Banyak orang yang tercengang
sambil mulut menganga ...
Kemudian orang lihat pengantin lelaki muncul dengan
air muka merah padam, sedikit senyuman pun tidak ada,
sedang orang-orang polisi dan tentara sudah lantas siap di tempat-tempat yang penting, untuk menjaga pintu dan
pekarangan. Orang tercengang, saling berbisik, ada yang berkuatir
juga. Kalau toh ada yang bersenyum, atau memberi
selamat, ini dilakukan saking terpaksa, dengan membesarkan nyali ...
"Giok tayjin mesti berdaya," demikian ada yang kata. "Ia telah terganggu buat setengah tahun, sekarang terjadi onar ini, penjahatnya tidak dapat dibekuk. Kenapa ia tak
sanggup lawan Lau Tay Po" Tak usah ia mohon
meletakkan jabatannya, ia akan meletakkannya sendiri ... "
"Tapi hal bukannya demikian," kata seorang, yang baru kembali habis memapak pengantin, pada kenalannya.
"Dalam kejadian ini, Lau Tay Po tidak tersangkut-sangkut
... Tadi si pengamuk telah memaki kalang kabutan,
suaranya terdengar nyata. Menurut ia, nona pengantin,
waktu di Sinkiang ada ... "
Orang itu bicara dengan perlahan, sampai suaranya tak
terdengar nyata.
Sementara itu kedua pengantin telah dipimpin masuk, di
dalam keduanya jalankan upacara, menghormat pada langit
dan bumi, pada orang tua atau menua. Sesudah itu, orang
mulai dengan perjamuan.
Konde pengantin perempuan ada apa yang dinamai
konde "Liang-poan-tau". Ia ada pakai baju sulam yang indah. Ia ada diiring oleh budak-budak pelayan. Ia pergikan sesuatu meja tetamu, guna mengasih selamat dengan
secawan arak pada sesuatu tamu perempuan, buat
menghaturkan terima kasih.
Semua orang kagum buat nona pengantin, yang elok.
Tidak ada orang yang mau percaya bahwa baru saja nona
ini ada "pengacau" yang ganggu, yang mendamprat dan memanah, yang namanya disebut-sebut sebagai kalap. Dan
sekarang si nona ini kelihatan tidak malu-malu, sikapnya toapan, ia cuma lebih sering tunduk. Sesudah selesai
melayani semua tetamu, ia terus diiring ke dalam kamarnya yang lebar dan terperlengkap sempurna. Api pun dipasang
terang-terang. Di sini ruangan ada lima, tetapi nona pengantin pakai
kamar yang sebelah timur. Muilie berwarna merah, merah
juga warnanya kelambu dan seprei, yang tersinari cahaya
lampu merah ...
Begitu lekas sudah berada dalam kamarnya, nona
pengantin perintah budaknya perempuan, Gim Sie, kasih
tahu pada semua orang, katanya: "Siocia kita merasa kepalanya pusing, ia ingin rebah di atas pembaringan untuk beristirahat, harap sekalian thaythay, naynay dan siocia, suka bicara di luar kamar, jangan ada yang masuk lagi ke dalam kamar ini!"
Mendengar demikian, semua tetamu lantas bertindak
keluar dari kamar, semua merasa tidak ada yang senang,
menggerutu juga, mengatakan si nona pengantin ada kepala besar ...
Ketika sang sore mendatangi, tetamu-tetamu, lelaki dan
perempuan, telah pulang lebih dari separuhnya, hingga
kemudian ketinggalan saja sanak-beraya atau sahabatsahabat paling dekat dan rapat. Tetamu-tetamu lelaki duduk bercakap-cakap dengan baba pengantin yang temani
mereka. Kalau tadi nampaknya ia ada uring-uringan, sekarang
pengantin lelaki ada gembira, ia bisa bicara dengan wajah berseri-seri, hingga ia ada punya kegembiraan juga akan
bawa perutnya yang gendut ke kamar tulis, untuk di sana
angkat pit-nya, akan menulis syair. Ia baru selesai dua baris tatkala ia dengar suara berisik di pedalaman. Untuk
mendapat tahu, ia memburu ke dalam.
Di antara sinarnya api, ia lihat beberapa orang lari ke
jurusan kamar pengantin, dari mana segera juga ia dengar suara nyaring: "Nona pengantin pergi! Entah ia pergi ke mana!"
Baba kemantin menjadi kaget, maka ia lekas lari ke
kamarnya, di mana ia nampak orang banyak ada bingung
dan sibuk, antaranya ada yang berulang-ulang kata: "Heran!
heran." Lantas dua bujang perempuan kelihatan menggolong
satu budak, yang kemudian ternyata ada Gim Sie, matanya
terpentang, mulutnya nganga, kaki dan tangannya tidak
bergerak, sebagai juga ia ada seorang yang terkena racun.
Orang pun heran, selagi kamar tidak ada jendela
belakangnya, dari mana berlalunya si nona pengantin,
sedang di atas pembaringan, pakaian ada aduk-adukan. Di
atas pembaringan ada berlepotan darah yang masih segar,
sebagai juga itu ada darahnya nona pengantin yang
terbunuh orang ...
Di sana-sini sudah dicari, nona pengantin tidak


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedapatan. Di setiap pintu, bujang-bujang yang ditanya pun goyang kepala dan menyahut "tak tahu" atau "tak melihat".
Dalam sibuk dan kuatirnya, Lou Kun Pwee masih ingat
akan perintah siapkan kereta dengan apa ia berangkat
sendiri ke gedung keluarga Giok, untuk memberi kabar.
Tatkala itu sudah jam dua, langit ada gelap, kalau di
mana-mana keadaan ada sunyi, adalah di antara kedua
gedung, kedua besan, orang repot mundar-mandir.
Ketika Giok teetok terima kabar celaka itu, ia kaget,
sampai hampir ia pingsan, lantas ia banting-banting kaki, berulang-ulang keluar keluhannya, karena ia tidak bisa
mengucap kata-kata lain. Ia pun ada sangat bingung.
Jie-siauya bujuki ayahnya, yang ia coba menghibur, yang
ia terus dampingi, karena ia kuatir ayah itu menjadi nekat Giok thaythay ada bergirang dan berduka karena
pernikahannya anak daranya. Ia girang sebab puterinya
sudah menikah, ia berduka sebab ia mesti berpisah dari
puteri itu. Ketika terjadi kekacauan, ia kaget berbareng gusar, hingga ia jadi mendongkol dan masgul. Tapi
sekarang ia dengar ini kabar baru, ia pun kaget bukan main, cuma ia masih ada punya kekuatan hati, akan segera
berangkat ke rumah keluarga Lou, hingga di sana ia lihat kamar kosong, pakaian awut-awutan, dan di pembaringan
ada darah berlumuran. Segera ia menangis sesambatan.
"Liong-jie, Liong-jie, anakku, kasihan kau, kasihan ... "
Setahu bagaimana, Giok thaythay dapat dugaan jelek.
"Tentu keluarga Lou bunuh anakku, sebabnya adalah
kekacauan tadi di rumahku ... " demikian ia dapat pikiran,
"Pihak Lou tentu sangka gadisnya sudah bukan gadis
terhormat lagi, karena tidak ada jalan untuk urungkan
pernikahan, ia sengaja atur ini akal, ia bunuh anakku dan singkirkan buktinya, sedang Gim Sie, ia paksa minum
racun, guna lenyapkan saksi juga ... "
Tatkala dugaannya ini ia utarakan, Giok tkaythay dapat
perlawanan keras dari besannya.
"Tidak, itulah dusta!" kata Lou thaythay. "Siapa juga, dari keluarga mana pun, kaya atau miskin, tidak ada orang begitu gila, di harian pernikahan, dia mau bunuh nona
mantunya sendiri! Biar ada kejadian tadi siang, umpama
kata pihak lelaki curiga, toh tidak nanti ada alasan untuk bunuh nona pengantin!"
Syukur di situ masih ada beberapa sanak dekat, yang
lantas datang sama tengah, untuk cegah percidraan di
antara kedua besan.
"Sabar, dua-dua pihak mesti sabar," demikian juru pemisah. "Dua keluarga ada sanak baru, tetapi tadinya, dua-dua ada bersahabat kekal, sama-sama memangku
pangkat, sama-sama ada kenamaan, maka biar terjadi
bagaimana dengan nona pengantin, baiklah jangan berisik, jangan bikin perkara jadi hebat tak karuan. Apa kata kalau orang banyak dapat tahu" Bagaimana kalau sampai
pemerintah campur tangan" Dua-dua pihak bisa bersalah
dan dihukum. Dan entah bagaimana dengan cerita burung
di luaran! Maka itu baiklah perkara ditutup dulu, umpama disiarkan keterangan bahwa nona pengantin, karena
terjadinya onar, jadi kaget dan sakit, pikirannya terganggu, hingga ia tidak bisa berkumpul sama-sama suaminya,
hingga ia pun tidak pulang ke rumahnya atau berkunjung
kepada sanak dan pamili. Di lain pihak, dengan diam-diam,
kita berdaya akan cari nona pengantin itu ... Barangkali kita pun bisa dapat keterangan apabila nanti budak Gim Sie
sudah tersadar dan bisa bicara ... "
Ini usul ada baik, Giok thaythay suka menerima, begitu
juga Lou thaythay.
Lou thaythay lantas kumpulkan semua bujang, untuk
pesan mereka, agar mereka bisa simpan rahasia. Mereka
dipersen uang, guna tutup mulut mereka.
Sambil menangis Giok thaythay pulang ke gedungnya,
buat sampaikan kabar pada suaminya.
Giok teetok banting-banting kaki pula, ia menghela
napas, tapi ia bungkam. Ia cuma pesan agar orang jangan
sebut-sebut kejadian itu di depannya.
Jie-siauya telah menghibur ibunya, karena ia tidak berani banyak mulut pula di depan ayahnya.
Besoknya pagi, Giok teetok tidak muncul di kantor.
Orang kantor tidak tahu apa-apa, mereka menyangka sep
itu mangkir karena lelah dan ngantuk habis mengadakan
pesta. Semua tetamu sudah ditolak kunjungannya. Gedung
jadi sangat sunyi. Kecuali tukang-tukang, yang bongkar
teratap, dan kawanan pengemis, yang menantikan untuk
mendapati amal sisa makanan.
Keadaan di gedung keluarga Lou ada sama saja. Malam
itu, Lou Kun Pwee tidak dapat tidur sama sekali. Besoknya pagi, ia segera pergi ke kantor hu-in dari Sunthian-hu di mana ia ketemukan hu-in tayjin, berdua mereka bicara
sekian lama, setelah mana, hu-in perintahkan orangorangnya yang cerdik dan pandai, untuk mencari rahasia di seluruh kota.
"Kertas tak dapat dipakai membungkus api," demikian bunyinya pepatah. Dan inilah benar. Penduduk kota raja
tak dapat diabui semua. Lantas di sana-sini ada orang yang bicara kasak-kusuk, dengan ceritera burung mereka. Pihak kantor gunakan pengaruhnya untuk cegah orang cerita yang tidak-tidak, tetapi di warung-warung teh, di rumah-rumah makan, tetap ada orang-orang yang saling berbisik.
"Isterinya
Lou hanlim minggat! Giok cengtong kehilangan puteri-nya!" demikian kisikan, yang dari satu mulut sampai ke lain kuping, demikian seterusnya. Dan itu ditambahkan lagi, sampai seperti juga mereka melihat
buktinya. Di antara ceritera burung itu, ada menyusul suatu
kabaran lain, yang tak kalah mengejutkannya, ialah bahwa gedungnya Tiat pweelek telah kecurian pedang mestika
yang dahulu pernah hilang.
Sejak pedangnya telah didapat pulang, Tiat pweelek lalu
simpan itu pedang di dalam kamarnya sendiri, digantung di tembok tidak jauh dari pembaringannya. Ia memang biasa
tidur sendirian. Di luar kamarnya, kalau malam, api
dipasang. Dan di luar jendela, biasanya ada dipasang dua cinteng. Akan tetapi tadi malam, seperti biasanya, tidak ada terjadi apa-apa, hanya ketika pweelek itu mendusin dari
tidurnya, ia terperanjat akan lihat pedangnya tidak ada, di tembok, pedang itu sudah terbang tanpa sayap, hingga ia
jadi kaget, ia jadi jeri sendirinya. Sebab itu terjadi di dalam kamarnya sendiri. Karena ini, ia jadi gusar, ia lantas
perintahkan dilakukan pengejaran akan tangkap si pencuri, guna rampas pulang pedangnya itu. Sebab titah ini tidak
dirahasiakan, demikian ceritera teruwar.
Banyak orang menjadi ketakutan, hingga rumah-rumah
makan, warung-warung teh, menjadi sepi, sedang buayabuaya darat, semua pada ngelepotkan diri karena mereka
kuatir disangka dan dibekuk.
Malah Itto Lianhoa Lau Tay Po yang tadinya paling aksi
turut ngelepot juga, sedang isterinya, Coa Siang Moay,
seperti tak pedulikan yang suaminya hilang, ia setiap hari pergi pada tetangganya, untuk berjudi ...
Lau Tay Po menghilang sejak itu hari ia bantu
meloloskan Siau Hou dari bencana kepungan. Karena ini,
orang ada yang curigai padanya. Malah ada yang karang
cerita bahwa ialah, yang telah beli "orang edan", untuk sengaja bikin kacau pernikahannya Giok Kiau Liong, akan
kemudian culik si nona pengantin, untuk si nona dijadikan isterinya, akan akhirnya si nona bantui ia curi pedangnya Tiat pweelek ...
Sesudah ini, ceritera burung itu ditambah dengan
katanya Tiat pweelek dan Khu Kong Ciau sudah menjadi
juru pemisah dalam perselisihan di antara dua keluarga Lou dan Giok, bahwa Tek Siau Hong turut mengutus orang ke
Kanglam, buat undang Lie Bou Pek, supaya Lie Bou Pek
datang akan bantu urus perkara hebat ini.
Demikian kota raja penuh dengan kabar angin, suasana
menjadi genting, hingga asal matahari sudah turun jagat
menjadi gelap, di dekat-dekatnya gedung dua keluarga Lou dan Giok, di dekat istananya Tiat pweelek, orang sampai
tak berani berlalu-lintas.
Sementara itu tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat dari Loukau Kio, atau jembatan Marco Polo, di bilangan
lembah dari Seesan, Gunung Barat, di mana ada sebuah
kampung kecil yang dinamakan Tohhoa-kok, penduduknya
ada tambah penghuni baru.
Lembah atau kampung itu mendapati namanya karena di
situ ada tumbuh banyak bunga toh atau tohhoa, hanya itu
waktu, daunnya sedang pada rontok. Penduduk situ terdiri dari empatpuluh lebih rumah, di antara siapa ada seorang
she Ciang, dengan tuan rumah adalah empe Ciang yang
sudah berumur enampuluh tahun lebih. Tadinya empe ini
bekerja pada Giok teetok, selaku tukang pukul kentongan, malah anaknya perempuan, ia jual pada keluarga itu untuk dijadikan budak. Ia berhenti kerja ketika Giok teetok
dipindah ke Sinkiang dan anak perempuannya telah dibawa
pindah, ia pulang ke kampungnya, akan hidup bertani,
untuk mana ia punya sepuluh bahu tanah. Bersama ia,
kecuali isterinya ada tinggal anak lelakinya, yang ada anak pertama, yang bantu ia bercocok tanam, hingga bertiga
mereka hidup secara sederhana.
Sejak anaknya dibawa pindah ke Sinkiang, perhubungan
empe Ciang dan gadisnya itu terputus sama sekali, karena kabar juga ia tak dapat, sebagaimana ia sendiri tidak
mampu mengirim kabar pada anaknya. Sudah begitu, ia
pun jarang sekali pergi ke kota, hingga ia tak dapat dengar keluarga Giok sudah kembali atau belum dari Sinkiang.
Tapi setelah banyak waktu berselang, pada suatu hari (ialah empat hari sebelum lenyapnya Giok Kiau Liong), anak
perempuannya pulang dengan mendadak, dengan naik
kereta keledai, dan anak itu dandan dengan mewah.
Sebagai barang bawaan, kecuali dua buntelannya sendiri,
itu anak ada bawa juga beberapa bungkusan besar, berikut satu naya bambu yang besar.
Empe Ciang dan isterinya yang sudah berusia tinggi
hampir tidak kenali gadisnya itu, hingga si anak sendiri yang mesti terangkan bahwa dia adalah si anak perempuan
yang belasan tahun yang lalu telah dijual untuk dijadikan budak pada keluarga Giok.
"Di dalam gedungnya Giok tayjin aku dipekerjakan
sebagai budaknya siocia," anak itu terangkan lebih jauh.
"Siocia berikan nama Siu Hiang padaku. Di Sinkiang, aku ikuti siocia delapan atau sembilan tahun. Siocia perlakukan
aku baik sekali. Sekarang ini siocia mau menikah, ia tidak kehendaki yang aku ikut ia pindah ke rumah suaminya
untuk aku menjadi budak seumur hidup, maka ia berhentikan aku dan perinlah aku pulang sebagai orang merdeka,
malah siocia pun carikan suami untuk aku. Suamiku itu ada orang she Liong, orang asal Kamsiok, di Kamsiok ia
berdagang, ia berharta. Tidak lama lagi, suamiku itu bakal datang kemari, untuk sambut aku dan aku akan turut
padanya ... "
Habis kata begitu, si anak, ialah Siu Hiang, buka
buntelannya, hingga empe Ciang dan isterinya bisa saksikan selimut dan seprei yang indah, malah harum juga baunya.
Kemudian Siu Hiang buka naya bambunya di dalamnya
ternyata ada seekor kucing bulu putih mulus seperti salju, bulunya panjang, dengan cuma di hidungnya ada segumpal
bulu hitam, hingga binatang itu kelihaiannya bagus dan
mungil. "Tolong ayah belikan hati babi, buat kucing ini,' Siu Hiang minta tolong pada ayahnya. Dan ia kasih tahu juga, kucing itu dinamakan Soat Hou ...
Begitu tetangga-tetangga ketahui gadisnya empe Ciang
pulang, dalam keadaan mewah, mereka pada datang
menemui, untuk melihat, untuk mengagumi juga. Sanakberaya pun datang, buat aku ini cucu atau keponakan.
Banyak yang tanya ini dan itu pada Siu Hiang, ia ini tidak mau menjawab banyak, kecuali bahwa suaminya bakal
lekas datang, hingga kemudian orang mengharap-harap
datangnya si "suami" itu.
Selekasnya berada di rumahnya sendiri, Siu Hiang salin
riasan rambut cara Boan dengan konde dari nyonya muda
bangsa Han, sedang kakinya, yang tadinya bekas diikat,
yang selama ikuti Giok teetok ia buka, sekarang ia ikat pula.
Kaki itu sudah besar, tetapi kelihatannya tidak seperti kaki besar sewajarnya. Setiap hari ia duduk numprah di
pembaringan, buat bikin sepatu kecil, hingga ia bisa
rampungkan itu dengan cepat.
Pada hari keenam, kira-kira jam sepuluh siang, suaminya
Siu Hiang datang seperti ia sudah terangkan pada ayah dan ibunya. Suami itu berumur tak berjauhan dengan ia, hanya ada terlebih cakap dan tubuhnya terlebih jangkung, bajunya sutera biru, celananya sutera hijau, pinggangnya dilibat angkin bagus, seperti juga sepatunya ada sepatu mahal. Dia ada punya taucang yang panjang dan hitam mengkilap,
kulit kepalanya ada sedikit berwarna hijau, tanda bahwa ia habis cukur baru.
Menemui mertua lelaki dan perempuannya, baba mantu
ini cuma menjura, ia tidak berlutut, malah cambuk kudanya karena ia datang dengan menunggang kuda, ia tidak
lepaskan dahulu.
"Marilah kita berangkat!" ia kata pada Siu Hiang, sedang pada mertuanya ia kasih tahu bahwa ia mau ajak isterinya itu pulang.
Melihat suaminya datang, Siu Hiang juga lantas tidak
betah berdiam di rumahnya, ia pamitan dari ayah dan
ibunya, pada siapa ia tinggalkan limapuluh tail perak,
kemudian ia pamitan dari ayah dan ibu itu dan ikut
suaminya keluar.
Lantas ada banyak sanak dan sahabat yang datang, atau
yang mengawasi dan depan pintu mereka.
"Oh, sungguh sembabat!" kata beberapa orang, dengan kekaguman. "Dua-dua cakap dan cantik!"
Di depan rumah ada menunggu sebuah kereta serta
seekor kuda yang bagus, dan bagus juga selanya, sedang di samping sela ada tergantung sebatang pedang.
Ketika si kusir ada yang tanya, ia datang dari mana, ia
menyahut: "Toaya ini sewa keretaku dari Loukau Kio, buat tarik ia ke Cio-kee-chung."
Empe Ciang, bersama anaknya lelaki, membantui angkat
bungkusan, buat dikasih naik ke atas kereta, berikut si
kucing mungil, karena Siu Hiang bilang itu ada kucing yang jadi buah hatinya. Malah ia pun bekal babi serta nasinya untuk kucing itu. Dan itu kucing beberapa kali berbunyi:
"Meong, meong ... "
Duduk di atas keretanya, Siu Hiang awasi ayah dan
ibunya sambil menepas air mata.
Si baba mantu naik atas kudanya, dari mana ia rangkap
kedua tangannya.
"Sampai ketemu pula! Lagi dua tahun, aku akan ajak
isteriku kembali kemari!" ia kata, ketika ia pamitan untuk penghabisan kali.
Lantas kereta dikasih jalan, kuda menyusul, hingga
lantas terdengar suara roda kereta, suara tindakan kaki
kuda, yang meninggalkan lembah pohon toh itu.
"Sebenarnya toaya she apa?" tanya kusir, di tengah jalan.
"Aku she Liong, sahut suara yang halus, hingga si kusir mau anggap penumpangnya itu ada Pakkhia punya salah
satu pelaku sandiwara lelaki yang biasa pegang peranan
nona-nona. "Tetap toaya mau pergi ke Cio-kee-chung" Apa toaya
tinggal di sana?"
Si toaya goyang kepala.
"Tidak." ia menjawab. "Kita mau pergi ke Nio-cu-kwan, untuk penrgi ke Shoasay! Aku mau tukar kereta di Cio-keechung. Andaikata kau ingin menarik jauh, kita tidak usah sewa kereta lain, kau saja tarik kita terus sampai di gunung Siongsan."
Tukang kereta itu menggeleng kepala.
"Tidak bisa," ia menyahut. "Paling jauhnya kita melainkan bisa antar sampai di Ciu-ciu."
Kereta sekarang menuju ke arah barat-selatan. Pada jam
duabelas, mereka singgah di tengah jalan, habis itu, mereka melanjutkan. Itu hari juga mereka bisa lintasi Liu-lie-hoo dan sampai di Kho-pay-liam, karena sudah sore, mereka
lantas cari rumah penginapan di mana mereka lantas
singgah, untuk bermalam.
Kusir minta uang, si toaya tidak punya uang receh, ia
lantas berikan sepotong perak berat kira-kira dua tail,
hingga kusir jadi melengak, ia anggap penumpangnya ada
berharta dan royal.
Di waktu bersantap, toaya tidak mau makan makanan
dalam pondokannya itu di mana ada hanya nasi jelek, ia
mendesak meminta beras putih dan masakan ayam dan
bakpau yang putih bersih, yang mesti dibeli dari lain
tempat. Pondokan itu ada kecil, pelengkapannya melarat, sampai
sumpit dan mangkok pun jelek, hingga semuanya diafkir
oleh si toaya. Melainkan pelita, yang kelak-kelik, yang
sukar diganti. Pembaringan telah dilapis dengan seprei
sutera kepunyaan si toaya.
Selama menunggui makanan, toaya buat main kucing
mungilnya, sedang si nyonya nampaknya ada isteri yang
bijaksana, karena ia sudah lantas bersiap. Dari dalam
bungkusan ia keluarkan satu bungkusan kecil dalam mana
ternyata ada sumpit, sendok, jepitan, pisau kecil, untuk potong ayam dan bakpau, semua ada putih mengkilap,
tandanya itu ada terbuat dari perak, hingga pihak tuan
rumah jadi kagum. Si nyonya begitu rajin dan telaten,
sampai ia layani suaminya sebagai budak merawat majikan
... "Hidup begini mewah?" pikir tuan rumah dan isterinya.
"Dan jalanan ada tidak aman ... Dan mereka ada suami isteri begini muda ... Sungguh menguatirkan ... "
Tapi, kapan orang lihat pedang, pikiran orang jadi
sangsi. Pada jam dua, segala apa ada sunyi senyap. Suami isteri
itu masuk tidur.
Di mana-mana, toaya itu mengaku she Liong dan
namanya Kim Cun, sedang ia sebenarnya ada puterinya
Giok teetok, yang di malaman dari hari nikahnya sudah
menghilang dari rumah "suaminya," hingga ia terbitkan kegemparan, sebab hilangnya secara yang tak dapat
dimengerti, karena ia melulu menyebabkan orang mendugaduga, bersangsi ...
Sebetulnya tidak ada niatan bagi Kiau Liong akan
tinggalkan ayah dan ibunya, ia ada cukup berbakti, apa mau peruntungannya malang. Apa lacur, sesudah 'gagal" dengan Lo Siau Hou, ia mesti dijodohkan kepada Lou Kun Pwee,
satu hanlim yang ia tak penuju sama sekali, karena hanlim ini jelek, tubuhnya terokmok, perutnya gendut, hingga
kepintarannya tak mampu pertahankan romannya itu.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa hari sebelum hari pernikahan, pikirannya Kiau
Liong telah bergulat keras. Turuti orang tuanya atau
jangan" Angkat kaki atau jangan" Tapi akhirnya, ia bisa
juga ambil ketetapan. Apa yang ia buat harapan dengan
menikah dengan Lou hanlim" Pekgan Holie sudah binasa,
maka tidak ada lain orang lagi, yang pikirannya ia bisa
minta. Tetapi di akhirnya, ia berdamai dengan budak Siu
Hiang, yang ia ajak berkawan.
Siu Hiang ini ada pandai merawat nonanya, ia ada
cerdik dan gampang mengerti, samar-samar, ia toh ketahui rahasia nonanya, malah sudah dua tiga kali, ia dapat
pergoki sepak terjangnya si nona, melainkan ia tetap tutup mulut hingga akhirnya Kiau Liong anggap, ia boleh percaya budak ini. Begitu ia buka rahasia, bahwa ia pandai bugee, dan ia tak sudi menikah dengan Lou Kun Pwee, karena itu
ia mau minggat.
Siu Hiang mengucurkan air mata.
"Aku suka ikuti siocia," ia kata. "Biarlah di sepanjang jalan, aku tetap rawat siocia."
Kiau Liong suka ajak ini budak, dengan siapa ia lantas
atur tipu, maka beberapa hari di muka, ia berhentikan
budak itu, ia sengaja kasih banyak persenan begitupun
kucingnya. Di dalam buntalan, antaranya ia sesapkan buku ilmu silat yang penting, barang-barang permata, emas dan perak.
Semua orang heran atas sikapnya nona ini, tetapi Kiau
Liong kasih alasan yang kuat.
"Siu Hiang ada budak paling bisa melayani aku, tetapi aku mesti pindah ke rumah keluarga Lou, jikalau ia turut aku, ia akan selama-lamanya menjadi budak dan tak akan
bisa menikah, paling bagus ia hanya akan jadi gundik
orang, maka kalau aku kirim ia pulang ke rumahnya, ia bisa berkumpul dengan ayah ibunya, orang tuanya pun bisa
pilihkan ia suami untuk ia menikah."
Ini alasan diterima baik, sebab Siu Hiang diberhentikan
dengan baik, Giok thaythay malah kasih ia persen beberapa potong perak dan padanya dipulangkan surat jual beli
dirinya, hingga selanjutnya ia menjadi bebas merdeka. Ia kasih hormat pada thaythay, pada jie-siauya, pada siocia-nya, ia menangis ketika ia pamitan.
Rahasia ini tak diketahui oleh Gim Sie. Dia ini pun
cantik, tapi ia tidak cerdik, maka Kiau Liong tidak mau ajak ia. Malahan ketika si nona angkat kaki, ini budak telah
ditotok urat gagunya, hingga ia rebah sebagai mayat saja.
Kiau Liong berlalu sambil loloskan pakaian pengantennya, ia dandan dengan pakaiannya yang ringkas. Dengan pisau
kecil, ia lukai lengannya, dengan begitu ia bisa tinggalkan darah di atas pembaringan, yang ia bikin awut-awutan. Ia berlalu setelah ia padamkan api. Sebagai ahli silat, dengan gampang ia bisa berlalu dari kamarnya, dari gedung
keluarga Lou itu, meskipun orang belum pada tidur.
Kiau Liong sudah pikir, dengan kepergiannya ini berarti
bahwa ia akan masuk dalam kalangan Sungai Telaga atau
Rimba Hijau, bahwa ia sembarang waktu bisa bentrok
dengan orang, terutama dengan orang jahat, dari itu ia
anggap tidak bisa ia pergi dengan tak punyakan senjata.
Karena ini, ia lantas ingat pedang mustika di Pweelek-hu, yang ia terus satroni dan curi. Ia bisa lakukan ini sama gampangnya
seperti dahulu. Memang
ia serahkan Cengbeng-kiam dengan tak ikhlas hati, dulu pun ia pikir, ia kembalikan sebagai titipan saja, maka sekarang sudah
datang waktunya ia ambil pulang barang titipan itu. Ia tak peduli bahwa dengan curi pedang itu, ia bikin Tiat pweelek jadi kelabakan dan gusar.
Dari istana Tiat pweelek, Kiau Liong terus menuju ke
rumah si orang she Gui di See-hoo-yan di luar Cianmui,
ialah Anglian Gui Sam, bekas liaulo dari Pekgan Holie.
Rumah itu, seperti diketahui, ada salah satu pos atau sarang dari si Rase Mata Biru. Di situ Gui Sam tinggal bersama
isterinya, sebagai pelabi ia bekerja di dalam satu piautiam.
Sudah beberapa tahun ia tinggal di situ, sampai Kheng Liok Nio datang bersama nona Kiau Liong. Kiau Liong dapat
tahu sarang ini dari perantaraannya Kheng Liok Nio, ke
mana ia sudah beberapa kali pernah pergi, malah paling
belakang, di sana ia kirim seperangkat pakaian lelaki berikut satu kantong muat banyak anak kunci dan bahan api.
Sebaliknya, sampai sebegitu jauh, Gui Sam belum pernah
tanya she-nya si nona.
Demikian malam itu, Kiau Liong pergi ke sarangnya Gui
Sam. Ia terus minta air untuk cuci mukanya, akan
bersihkan pupur dan yancie, kemudian ia minta pisau cukur dan suruh isterinya Gui Sam cukurkan rambutnya di bagian depan, atasan jidat, hingga ketika kondenya dirombak,
dijadikan taucang, ia lantas kelihatan mirip dengan satu pemuda. Kedua lubang kupingnya ia tutup dengan pupur.
Ia pun segera salin pakaian lelaki.
Besoknya pagi, Kiau Liong perinlah Gui Sam pergi ke
pondokan di luar Tekseng-mui, akan ambil kudanya, yang
dititipkan di pondok itu, maka dengan menunggang kuda
itu ia mulai dengan perjalanannya minggat atau buron.
Siapa yang sangka bahwa pemuda itu adalah Giok Kiau
Liong puterinya satu teetok"
Sesampainya di Lou kau Kio, Kiau Liong sewa kereta,
yang ia ajak ke Toh-hoa-kok, untuk sambut Siu Hiang,
lantas ia bikin perjalanan ke jurusan selatan, karena
pertama ia mau pergi Hoolam akan pesiar di pegunungan
Siong yang tersohor, kemudian baru ia mau melancong ke
Butong San di Oupak, ke Gakyang, akan melihat telaga
Tongteng. Akan akhirnya, ia mau pergi ke Hengsan, akan
sembunyikan diri di daerah pegunungan yang tak kurang
terkenalnya itu. Ia sengaja menyamar sebagai suami isteri, supaya di perjalanan mereka bisa merdeka.
Selama dalam perjalanan, pikirannya Kiau Liong masih
bimbang. Kalau ingat ayah dan ibunya, ia berduka. Kalau
ia ingat Siau Hou, ia rasakan hatinya perih. Tapi kapan ia lihat keindahan alam di sekitarnya, kemerdekaannya itu,
hatinya jadi terbuka dan gembira. Hanya kadang-kadang ia menyesal, kenapa ia bolehnya berkenalan .. dengan seorang sebagai Poan Thian In yang ia katakan tak punya semangat
... "Entah kapan aku bisa kembali pada ayah dan ibuku, ...
" ia setempo mengeluh.
Kalau ia sedang larikan kudanya, dan mainkan
cambuknya, semangatnya nona ini jadi terbangun.
"Tidak peduli siapa, walau Kang Lam Hoo, Lie Bou Pek, Jie Siu Lian, mari semua datang padaku, ketemui Giok
Kiau Liong, akan saksikan pedang mustikaku Cengbengkiam! Aku tidak takut pada kau semua!"
Ia lantas jadi terkebur sendirinya.
Itu tengah hari, setelah paginya ia tinggalkan pondokannya, di mana ia bikin kagum tuan rumah, Kiau
Liong bersantap di tengah jalan, di suatu kampung, hingga di situ orang lihat Siu Hiang membuka buntalan di dalam
mana ada perak potongan yang bergemerlapan cahayanya.
Ia selalu mau makan enak, kalau tidak ayam, ia minta
daging lainnya, dan sesuatu kamar yang sempit dan jelek, ia perlengkapi dengan seprei dan selimutnya yang indah. Ia
tidak sangsi-sangsi akan gunai uangnya.
Siu Hiang tetap panggil toaya pada nonanya itu. Di
muka orang banyak, Kiau Liong bawa diri sebagai satu
suami sejati, hingga kadang-kadang mukanya si budak
menjadi merah sendirinya, bahna jengah.
Soat Hou ada sebagai jiwanya si nona, sampaipun di
tengah jalan, kucing itu suka diambil dari kereta, dari
tangannya Siu Hiang, untuk dibuat main. Kucing itu ada
sangat jinak dan mengerti, agaknya ia sangat sayang
majikannya. Tukang kereta heran kalau ia lihat gerak-geriknya ini
toaya, kadang-kadang pun ia jeri apabila ia saksikan orang sedang beroman keren.
Berselang dua hari, sampailah mereka di bilangan
Pooteng-hu. Lantas di situ ada beberapa penunggang kuda, yang kaburkan kuda mereka di belakang, akan menyusul.
Semua mereka ada bertubuh besar dan romannya garang.
Kiau Liong menoleh begitu lekas ia dengar berisiknya
tindakan kaki kuda, malah ia bisa lantas hitung jumlahnya: tujuh ekor. Pakaian mereka berlainan, ada yang lilit taucang di kepalanya, ada yang pakai topi rumput atau kopiah
merah. Semua mereka sedang mudanya, sebab tak ada yang
usianya lebih daripada empatpuluh tahun. Kelihatannya
mereka itu seperti serombongan saudara-saudara angkat.
Kiau Liong juga perhatikan kuda orang di atas mana ada
tergantung pauhok kecil, dari pauhok kelihatan ujung
pedang atau runcenya, malah yang satu ada membawa
bandring. Kalau mereka bukannya bangsa piausu, mereka tentu
ada kaum kangou," pikir si nona, yang terus raba
pedangnya. Ia tidak takut sedikit juga, ia ayun cambuknya, kasih kudanya lari mengiringi kereta. Beberapa kali ia
hampirkan samping kereta, akan lihat Siu Hiang, yang
duduk dengan pakaiannya yang reboh, dengan perhiasannya yang mentereng, tangannya buat main Soat
Hou. Dan kalau dia ini menoleh ke samping, dia
bersenyum, dan ia pun turut perlihatkan air muka berseriseri.
"Sesampainya di kota Pooteng, kita akan pesiar satu hari!
Mupakat?" tanya si nona.
Siu Hiang bersenyum.
"Segala apa boleh, terserah kepada toaya!" ia menyahut:
"Sekarang ini, ke mana kita menuju, aku tak tahu!"
Memang juga, Siu Hiang tak ketahui tujuan mereka.
"Di sana ada jurusan selatan," kata Kiau Liong, seraya menunjuk dengan cambuknya, "dan kita sekarang lagi
menuju ke jurusan itu ... "
Sementara itu si kusir beberapa kali menoleh ke
belakang, dari sinar matanya, yang seperti mata tikus,
kelihatan ia ada kuatirkan apa-apa.
Dari belakang, tujuh penunggang kudu telah laratkan
kuda mereka, sebentar saja, mereka sudah menyandak,
sudah melewati, tetapi sesampainya di sebelah depan, tiba-tiba mereka tahan kuda mereka, hingga debu jadi mengulak naik. Semua mereka menoleh ke belakang.
Siu Hiang lekas-lekas keluarkan saputangan, untuk
tutupi hidung dan mukanya.
Kiau Liong berludah. Ia lihat mengutaknya debu. Ia pun
merasakan bau yang tak sedap dari debu, dari rombongan
orang itu. Mereka ini mengawasi terus, terutama terhadap Siu
Hiang. Kemudian seorang yang mukanya hitam, maju
kepada Kiau Liong untuk memberi hormat.
"Sahabat, kau datang dari mana?" ia tanya.
Nona Giok buka matanya lebar-lebar, nyata ia ada tidak
senang. "Kita datang dari Pakkhia!" ia toh menjawab. "Mau apa kau tanya kita?"
"Tidak, aku menanya saja!" kata si hitam sambil tertawa.
"Maaf!" ia lantas angkat pula tangannya, sebagai tanda menghormat.
Kiau Liong melotot terhadap mereka itu, ia jemu.
Tujuh orang itu lantas tertawa berkakakan.
"Seekor anak ayam!" kata yang satu.
"Kenapa satu nona beradat begini keras?" kata yang lain.
"Sudahlah, mari!" kata yang lain lagi.
Dan lantas mereka kaburkan pula kuda mereka, hingga
debu mengebul-ngebul di belakang mereka, dan berisik ada suaranya kaki kuda mereka. Tujuan mereka ada jurusan
selatan. Kuda mereka baru saja lari beberapa tindak tatkala dua
orang di antaranya terguling jatuh dari atas kudanya
masing-masing, hingga mereka ketinggalan oleh kawankawannya yang berada di depan. Tapi di sebelah belakang
mereka ada dua lagi, mereka ini segera tahan kuda mereka.
"Eh, Loo Sam, Loo Kiu, kau kenapa?" mereka tanya.
"'Apa kau kepincuk?"
Dua orang yang ditanya itu, yang pakaiannya kotor dan
mukanya berlepotan debu, hingga mirip dengan kunyuk,
merayap bangun sembari teraduh-aduh.
"Aku terkena senjata rahasia!" kata mereka masingmasing. Dua kawan itu terperanjat.
"Balik kau semua!" mereka segera teriaki tiga kawan mereka, sedang yang satunya lantas loncat turun, guna
menolong dua kawan itu.
Segera juga ternyata, di bebokongnya kawan yang
dipanggil si Loo Sam, ada menancap sebatang anak panah
kecil, panjangnya belum tiga dim, tetapi meskipun
demikian, anak panah itu menancap ke dalam daging, maka
tempo sahabatnya mencabut keluar, dia menjerit keras:
"Aduh! Aduh!"
Segera juga darah meleleh keluar dari lubang luka itu.
Dan si Loo Kiu kena terpanah pada pundaknya, ia pun
kesakitan. Sementara itu, tiga kawan mereka, yang sudah kabur
jauh juga, telah kembali.
"Ada apa he?" tanya mereka dengan heran.
Sementara itu Kiau Liong, anteng seperti biasa,
melanjutkan perjalanannya, roda-roda kereta menggelinding dengan tetap, hanya si tukang kereta, yang nampaknya keheran-heranan, hingga ia melongo saja.
Siu Hiang turunkan tenda kereta, ia gunakan saputangan
akan tutup mulutnya, sekarang bukan karena debu, hanya
ia mau tahan tertawa cekikikannya.
Kiau Liong jalan terus, seperti tidak ada terjadi apa-apa, saban-saban ia cambuki kudanya. Ia lewat di sampingnya
tujuh orang itu, yang telah pada turun dari kuda mereka, akan tolong kawan mereka. Sedikit pun ia tidak menoleh
kepada rombongan itu.
Hanya, setelah kereta sudah lewat jauh, si muka hitam
telah datang mengejar.
"Sahabat, tahan!" ia teriak. "Kau masih berpura-pura, ya?"
Kiau Liong jalan terus, ia seperti tak dengar suara orang itu, tetapi di saat orang mulai datang dekat, ia balik
badannya dengan tiba-tiba, dan dengan mendadak juga
menyambar cambuknya, hingga ujung cambuk mengenai si
hitam itu. "Kau berani main gila?" nona Giok barengi menegur.
Si muka hitam menjadi gusar, sampai ia keluarkan
seruan tertahan. Ia segera cabut goloknya, yang ia simpan di dalam buntalannya.
Di belakang si hitam ini segera menyusul empat
kawannya, semua dengan hunus golok mereka masingmasing. Si tukang kereta kaget, sampai ia menjerit: "Looya! ..."
Tapi Kiau Liong segera siapkan pedang mustikanya,
hingga sinarnya berkeredepan, tatkala goloknya si hitam
dan kawan-kawannya sampai, ia menyambut dengan
tangkisannya. Sebagai kesudahan dari itu, suara keras
terdengar, lima buah golok sapat ujungnya, semua ujung itu jatuh ke tanah.
Lima orang itu kaget bukan main, tak tempo lagi,
mereka kabur. Tetapi Kiau Liong tidak mau mengasih hati, cuma ia tidak mengejar dengan kudanya, hanya ia susul
mereka dengan panah tangannya, yang ia lepas beruntun,
saling bergantian cepatnya, hingga jeritan yang terdengar juga ada saling susul, diseling dengan beruntun tergulingnya lima orang itu. Semua mereka menjadi kesakitan, waktu
sudah terbanting ke tanah, di antaranya masih ada yang
mencoba merayap bangun buat ambil langkah panjang!
Melihat itu Kiau Liong tertawa terbahak-bahak. Dengan
sabar ia simpan pedangnya yang tajam.
Adalah setelah itu, si kusir nongol keluar dari kolong
keretanya ke mana tadi ia loncat turun buat sembunyi
sambil mendekam, hingga hidungnya mengenai tanah dan
sekarang kotor, seperti hidung belang. Ia pun mengeluh.
"Lekas naik!" Kiau Liong membentak, seraya dengan cambuknya ia hajar bum kereta. "Lekas naik! Lekas
jalankan keretamu!"
Tukang kereta itu masih saja ketakutan, tetapi ia loncat naik atas kendaraannya, maka sesaat kemudian, keretanya
itu sudah terbawa kabur oleh keledainya, karena binatang itu kaget dan kesakitan terkena cambukan istimewa.
Kiau Liong larikan kudanya mengikuti kereta itu, ia
merasa puas sekali, sebagaimana ia duduk atas kudanya
dengan unjuk air muka yang berseri-seri. Dengan seperti
tidak merasa, ia lantas nyanyikan lagu yang terkenal:
"Dunia suram

Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

guram, menurunkan bencana, Hingga kita ... "
Ia baru nyanyi sampai di situ, mendadakan ia berhenti.
Kedukaannya datang dengan tiba-tiba, hingga untuk
melawan kedukaannya itu, ia mesti kertak gigi. Tidak urung ia keluarkan saputangan akan tepas air matanya.
Ketika kemudian si nona menoleh ke belakang, jauh di
sana, ia lihat tujuh orang itu telah berkumpul pula menjadi satu rombongan, mereka pada berdiri di tengah jalan besar, rupanya luka mereka tidak hebat. Mereka mengawasi si
anak ayam, yang mereka tidak sangka ada begitu liehay,
hingga bukan mereka yang peroleh kurban, sebaliknya
mereka sendiri yang menjadi mangsa ...
Kiau Liong jalan terus, selagi sang waktu masih siang, ia telah sampai di Pakkwan atau Kota Utara dari kota
Pooteng. Ia menuju ke sebuah hotel yang besar, ia perintah keretanya masuk lebih dulu, ia mengiringi di sebelah
belakang. Ia tanya jongos yang lari menghampirkan
padanya. "Apakah ada kamar yang besar?"
Sambil menjawab "Ada", jongos itu lantas persilahkan tetamunya masuk, akan periksa kamar. Ia perlihatkan
kamar sebelah luar dan dalam. Itu ada kamar-kamar dengan perlengkapan baik, menurut katanya si jongos, semua
kamar itu biasa dipakai oleh oleh keluarga pembesarpembesar yang sedang bikin perjalanan.
Kiau Liong pilih kamar yang ia ingin, ia suruh si jongos angkut barang-barangnya, sedang ia sendiri keluar akan
sambut Siu Hiang, siapa sudah lantas siapkan pembaringan dengan seprei dan selimutnya sendiri.
Soat Hou sudah lantas naik ke atas pembaringan seraya
kasih dengar suaranya.
"Kau lapar?" tanya si nona pada kucingnya. "Tunggulah sebentar." Ia menoleh pada jongos: "Kau bawakan kita air teh. Kita belum mau dahar, tetapi bawakanlah sepiring nasi campuran untuk kucing ini."
Jongos itu merasa heran, ia sampai awasi itu kucing yang mungil dan majikannya, kemudian ia ngeloyor keluar.
Kiau Liong naik ke pembaringan buat rerebahan dan
ciumi kucingnya.
"Bagaimana kau lihat kejadian tadi?" ia tanya Siu Hiang.
Ia pun tertawa. "Apa itu tidak menarik hati?"
"Tetapi aku kaget dan berkuatir," sahut budak itu. "Apa mereka tidak mampus?"
"Tidak ada yang binasa," sahut si nona sambil goyang kepala.
"Aku tidak berlaku kejam, aku melulu pertunjukkan
sedikit kepandaianku, supaya mereka jangan berani
menghina pula pada kita. Di kalangan kangou orang biasa
punyakan perhubungan rapat satu pada lain, apabila ini kali kita kasih diri kita dipermainkan, selanjutnya kita harus siap untuk terima lain-lain penghinaan lagi!"
Siu Hiang manggut, ia kelihatannya duka.
"Entah bagaimana sekarang di Pakkhia ... " ia kata. "Lou thaythay telah kehilangan kau, cara bagaimana ia bisa
mencegah dan tak bikin banyak ribut" Dan tayjin serta
thaythay, bagaimana kaget dan sibuknya mereka ..."
Tapi Kiau Liong tegur budaknya itu.
"Jangan sebut-sebut pula semua itu!" ia kasih ingat.
"Sekarang ini aku boleh bikin apa aku suka! Bukannya aku tidak berbakti, tetapi kejadian yang lampau memaksa aku
bertindak begini rupa! Aku tidak berdaya ... "
Wajahnya nona ini menjadi guram, ia usut-usut
kucingnya dengan ia bengong saja.
Justru itu di luar terdengar suara menanya:
"Apa toaya ada di dalam?"
"Ya! Ada apa?" Kiau Liong balik menanya.
Jawaban tidak ada, hanya muilie tersingkap dan si
tukang kereta muncul.
Kiau Liong terperanjat, ia kata. "Cara bagaimana kau berani lancang masuk kemari" Sungguh tidak tahu aturan!
Lekas pergi!"
Tukang kereta mundur pula, ia keluar dan berdiri jauh
dari pintu kamar.
Kiau Liong menyusul keluar.
"Ada apa?" ia tanya. "Lekas bicara!"
"Bayarlah sewaan kereta," sahut si kusir, yang nampaknya tidak senang. "Aku cuma menarik sampai di sini, tidak bisa lebih jauh. Kau cari saja lain kereta! Untuk ke Pooteng, ada banyak kereta lain ... "
Nona Giok melotot terhadap tukang kereta itu.
"Ketika di Loukau Kio toh kita sudah bicara pasti!" ia kata. "Kau toh mesti, antar kita sampai di Cio-kee-chung!
Mengapa baru sampai di sini, kau mau berhenti dan tak
mau mengantar lebih jauh dan suruh kita tukar kereta" Apa begini orang berjanji" Tidak bisa!"
Ia putar tubuhnya, akan kembali ke dalam.
"Toaya, toaya," kata si kusir, "toaya, dengarlah aku!
Sekarang, meski berapa kau bayar aku, aku benar-benar
tidak sanggup antar kau terlebih jauh. Jalanan ada
berbahaya, kaget saja bisa bikin kurang umurku sampai
sepuluh tahun! Sudah belasan tahun, aku tarik kereta,
belum pernah aku ketemu muatan sebagai kau, toaya ...
Dengan sekali mendelik saja, kau panah orang-orang,
sampai enam atau tujuh orang terluka! Kalau begini
jalannya, untuk antar kau, jangan kata sampai di Cio-keechung, sampai sepuluh lie di luar kota Pooteng saja, aku tak sanggup! Aku bisa kehilangan kepalaku ... "
Mendengar ini, Kiau Liong tertawa dingin. Ia balik pula.
"Onar itu ada apa sangkutannya denganmu?" ia
tegaskan. "Kenapa tidak ada sangkutannya, toaya?" kata kusir itu seraya banting-banting kaki. "Toaya sewa keretaku. Toaya pandai menggunai panah, lantas orang lain pandai
menggunai piau, apabila sudah tiba waktunya, senjata
tajam itu tidak ada matanya! Siapa nanti ganti jiwa
keledaiku dan jiwaku juga" Toaya sewa kereta kita,
bukannya jiwa kita berdua ... "
Kiau Liong menjadi sengit, hingga tangannya melayang.
"Aduh!" menjerit si kusir. "Jangan pukul aku, toaya, jangan! Biar toaya pukul aku sampai mati, aku tidak berani tarik terus pada toaya. Aku ada orang kuli, jangan toaya menghina aku ... "
Kiau Liong ada begitu gusar, hingga dari mejanya, ia
sambar cambuknya dengan apa ia hajar tukang kereta itu.
Siu Hiang, lari keluar, untuk mencegah.
"Sio ... toaya, jangan kau gusari ia ... " ia kata, hampir ia salah omong.
Kiau Liong masih gusar, ia masih hendak menghajar,
maka tukang kereta itu lari keluar, sembari berteriak-teriak:
"Berandal! Di tengah jalan kau telah lukai enam atau tujuh orang, di sini kau hendak pukul orang lagi! Ingat, kota Pooteng tidak boleh disamakan dengan lain-lain kota! Di
sini ada kantor pembesar negeri! Di sini ada Hekhou To
toaya! Di sini ada, Siangpian Lengkwan Bie samya. Di
mana juga orang meski pakai aturan ... "
Kiau Liong menyusul, ia dapat mengejar, maka
cambuknya, ia kenakan pula.
Dua tiga kali, tukang kereta itu rasai cambukan, sampai
jongos datang buat memisahkan, tetapi ia tidak bisa cegah naga betina dari Sinkiang itu yang sedang umbar napsu
amarahnya. Saking berisik, banyak tetamu lainnya pun pada keluar.
"Anak muda ini galak ... " begitu kata seorang.
Beberapa orang lain pun merasa tidak puas.
Si tukang kereta telah lari ke thia.
"Kau boleh perkarakan aku!" ia menantang. "Biar bagaimana, aku tidak mau tarik kau! Aku tidak mau tarik
orang jahat!"
Ia mau lari ke pintu, tetapi Kiau Liong dapat candak
padanya, satu dupakan dari si nona bikin ia rubuh
terpelanting, hingga kembali ia meski rasai ujungnya
cambuk. "Kau mau tarik aku atau tidak?" si nona membentak dan mengancam.
Rebah di tanah, kusir itu meringis-ringis.
"Aku tidak mau tarik! Biar kau pukul aku sampai mati, aku tidak mau tarik ... " ia kata dengan bandel.
Kiau Liong angkat tangannya hendak menghajar pula,
ketika dari belakang ia, ada orang tahan lengannya.
"Sudah cukup, sahabat!" kata itu orang. "Apa kau hendak hajar ia sampai mati" Baiklah kau buka mata dan
lihat, tempat apakah ini" ... "
Nona Giok berpaling, hingga ia lihat seorang dari usia
pertengahan, yang tubuhnya keren, yang memakai baju
sutra biru gerombongan, kedua matanya terbuka lebar
menunjukkan kegusarannya.
"Siapa kau?" Kiau Liong menegur. "Kau hendak campur urusanku?"
"Siapa juga hendak campur urusan tidak kepantasan!"
sahut orang itu. "Aku ada Lou Pek Hiong!"
Mendengar orang itu ada orang she Lou, kemendongkolannya Kiau Liong datang dengan tiba-tiba.
Ia memangnya sudah merasa tidak puas. Ia mengawasi
dengan tajam. "Sahabat," kata pula Lou Pek Hiong, "meskipun aku lihat kau masih muda tetapi aku percaya kau sudah biasa
merantau, maka kau tentulah mengerti segala kebiasaan di kalangan kangou. Kau tidak boleh bertindak lancang
sebagai ini, dengan sedikit saja tidak puas, kau lantas hajar orang. Dengan caramu ini, kau nanti bisa mendapat
kerugian!"
"Fui!" Kiau Liong menghina. "Kau tidak berhak campur urusanku."
Pek Hiong menjadi gusar, hingga ia tepuk-tepuk
dadanya. "Aku hendak campur tahu!" ia kata dengan nyaring.
"Bila kau berani menyambuk pula dia, aku nanti hajar kau dengan kepalanku!"
Setelah mana orang she Lou ini gulung tangan bajunya,
hingga kelihaian nyata lengannya yang kasar, sebagaimana kepalannya ada dua lipat besarnya daripada kepalan si
nona. "Akur!" kata seorang. "Ini anak memang mesti dihajar adat! Hajarlah muka yang kulitnya halus sampai menjadi
bengkak!" "Dia mesti kenal, ini ada toa-piautau Lou toaya dari Thaygoan, kata yang lain lagi, yang agulkan orang she Lou itu.
Selagi Pek Hiong mengawasi si nona yang ia sangka ada
satu pemuda, jongos telah datang menyelak.
"Sudah, sudah," ia kata. "Jiewie toaya, harap kau jangan gusar. Mari kita bicara dengan baik ... "
Di luar dugaan Kiau Liong tolak jongos itu, sampai dia
terpelanting, kemudian sambil berlompat, ia kirim
kepalannya pada orang yang dinamakan toa-piautau itu.
Lou Pek Hiong memang sedang mengawasi, maka ia
bisa lihat datangnya serangan. Tidak peduli serangan itu ada hebat, ia bisa menangkis dan berkelit.
Kiau Liong lihat datangnya tangan lawan, ia barengi
sambar itu seraya terus dibetot, sampai tubuhnya si piausu kena tertarik dan hampir ngusruk. Tapi dia ini majukan
kaki belakangnya, untuk terus dipakai menendang, sedang
kepalannya turut menjotos.
Oleh karena datangnya serangan ada hebat, Kiau Liong
mundur, sedang kedua tangannya berada di depan dadanya,
hingga kepalan musuh, juga kakinya, tidak sampai
mengenai tubuhnya.
Segera juga Pek Hiong gunakan ketika musuh mundur,
ia merangsek, kedua tangannya bekerja bergantian, kedua
kakinya maju setindak dengan setindak, dengan cepat. Duadua kepalannya ada berat.
Kiau liong terdesak sampai di dekat pintunya, di situ
terdengar suaranya Siu Hiang, yang menjerit di dalam
kamarnya. Semua mata ditujukan kepada Kiau Liong, yang sudah
sangat kedesak.
Adalah di saat berbahaya itu, sekonyong-konyong
tubuhnya Kiau Liong berputar, tangan
kanannya menangkis. Dan tangan kirinya ini bergerak sebat luar
biasa. Pek Hiong sedang hendak gunakan tipu "Uy-eng
jiautou" atau "Ulung-ulung menyambar perut" untuk menyekal lawannya supaya lawan itu tidak berdaya lagi
tatkala datang ini serangan yang di luar dugaannya, yang mengenai dadanya. Ia masih mencoba akan menangkis
dengan kedua tangannya, tetapi di lain pihak, kepalannya Kiau Liong menyambar pula pundak kirinya dibarengi
sama dupakan pada paha kirinya, hingga selagi ia
seloyongan, dupakan itu bikin ia rubuh dengan segera!
Semua orang menjadi kaget, tetapi Kiau Liong tidak
mendesak hanya lompat ke samping dari mana ia
mengawasi. Dengan muka merah bahna malu, Pek Hiong merayap
bangun, ia bukan menyerah atau lantas ngeloyor pergi,
hanya ia bangun untuk menyerang pula.
Di mana Kiau Liong sudah siap, dengan gampang ia
tangkis serangan itu.
Dengan hati panas, Pek Hiong ulangi seranganserangannya, hal mana ia bikin nona Giok mendongkol,
hingga dalam sengitnya, nona ini dalam empat atau lima
gebrak bikin toa-piautau itu mencium tanah pula!
Masih Pek Hiong penasaran. Ia lari ke dalam kamar,
akan ambil tombak. Ketika si nona pergi ke kamarnya
untuk mengambil pedang, ia sudah balik lagi dan terus
tikam nona itu dari belakang.
Kiau Liong dengar suara tindakan, ia lekas menoleh,
maka tempo ujung tombak sampai, ia egos tubuhnya. Tapi
Pek Hiong berlaku sebat, dengan cepat ia menikam buat
kedua kalinya, sekarang ia mengarah tenggorokan.
Kiau Liong unjuk kegesitannya. Dengan gampang ia
kelit tusukan yang berbahaya itu, karena mana, lagi-lagi Pek Hiong tikam ia, ini kali pada jurusan perut.
Sekarang Kiau Liong berkelit, bukannya ke belakang
atau minggir jauh, hanya ia geser kakinya ke samping dan terus maju, hingga ia berada di sebelahnya tombak, yang
lewati ia, hingga dengan gampang saking cepatnya, ia bisa cekal ujung tombak, dan sebelum Pek Hiong bisa berdaya
akan tarik pulang senjatanya itu, lagi-lagi ia mesti terima hajaran, sekali ini pada iganya kiri, hingga saking kesakitan, ia lepaskan kedua tangannya, hingga tombaknya kena
dirampas. Tetapi Kiau Liong tidak hendak gunai itu senjata, ia lemparkan tombak itu, hanya selagi orang kesakitan, ia merangsek, dengan satu gerakan lain, ia bikin piausu itu rubuh meloso!
Semua penonton menjadi kaget, sampai ada yang
berseru: "Oh! ... " Melihat piausu itu rubuh, Kiau Liong tertawa, lalu dengan tidak kata apa-apa ia berlalu dan
masuk ke dalam kamarnya.
Seluruh hotel menjadi sunyi senyap, oleh karena Lou
Pek Hiong ada piausu yang tersohor tapi sekarang ia kena dibikin rubuh secara gampang, sedang gelarannya tadinya
ada sangat dimalui, ialah Kimchio Siauhong atau Tombak
Mas dan Sinkun Thaypo atau Thaypo Kepalan Malaikat. Ia
pun baru saja kemarin sampai di Pooteng, untuk memenuhi
undangannya Hekhou To Hong, Kimtoo Phang Bou,
Siangpian Lengkwan Bie Tay Piu dan Skakie-piau Siang
Bun Wan. Lagi dua tiga hari, mereka berniat pergi ke
Pakkhia akan kunjungi sahabat, siapa tahu, ini hari ia kena dirubuhkan oleh satu pemuda yang bertubuh kecil langsing.
Bukan main malunya toa-piautau ini. Ia merayap bangun
dengan muka merah. Ia tidak jumput tombaknya, ia tidak
kepriki lagi pakaiannya yang kotor, sambil tunduk, dengan tak menoleh lagi ke kiri dan kanan, ia ngeloyor keluar dari hotel, tindakannya cepat.
"Inilah hebat!" kata satu orang. "Lihat, sebentar lagi tentulah Hekhou To toaya bakal datang kemari! Cara
bagaimana itu pemuda bisa pertahankan diri?"
Sementara itu, si kusir kereta sudah pergi sembunyikan
diri. Kuasa hotel, seorang she Ong, yang sudah berusia tua,
menghampirkan pintu. Ia tidak berani lancang masuk,
hanya dari situ, ia perdengarkan suaranya.
"Apa kau ada di dalam, tuan?" ia tanya "Aku ada kuasa dari rumah penginapan ini. Silahkan tuan keluar, aku
hendak bicara sedikit."
Muilie lantas tersingkap dan Siu Hiang, muncul di muka
pintu. Oleh karena muilie terangkat, maka keadaan dalam
kamar kelihatan nyata. Si anak muda sedang duduk di atas pembaringan lagi mengacai mukanya, hingga kelakuannya
itu mirip dengan kelakuannya satu gadis rupawan. Di
sampingnya ada sedang nongkrong kucingnya yang mungil.
Kuasa hotel berlaku hormat, ia menantikan dengan
sabar. Kiau Liong lepaskan kacanya, ia menghampirkan.
"Ada apa?" ia tanya, dengan suara dan sikap yang keren.
"Tidak apa-apa, tuan ... " sahut tuan rumah, yang hatinya ciut.
"Orang yang tadi tuan rubuhkan ... dia tentu telah pergi untuk mengambil kawan ... " Ia bicara dengan perlahan, suaranya tidak lancar. "Dia ada piausu yang baru datang dari Shoasay, dan ia datang kemari atas undangannya
Hekhou To Hong ... Namanya Hekhou To Hong itu
tentulah tuan telah dengar ... Ia ada okpa di tempat


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kediaman kita ini, ia ada membuka piautiam, orangorangnya berjumlah dua atau tigaratus orang. Kimtoo
Phang Bou ada gurunya. Baru pada tahun yang sudah,
Hekhou To Hong telah perbaiki sebuah berhala, untuk
mana ia telah undang Hoat Kong suhu, muridnya Ceng
Hian Siansu dari Kanglam. Berbareng dari itu tahun pun ke sini ada pindah satu hartawan besar, ialah Siangpian
Lengkwan Bie Tay Piu, yang ada sama galaknya sebagai
Hekhou To Hong ... Maka itu, tuan, harap kau jangan
layani mereka itu ... jikalau sebentar mereka itu datang, apa juga yang mereka bilang, jangan tuan pedulikan, jangan
tuan gusar ... "
Kiau Liong tertawa dingin mendengar nasehat itu.
"Biarlah aku datang sama tengah, untuk damaikan kedua pihak ... " kata pula kuasa hotel. "Dan besok, aku nanti bantu kau carikan sebuah kereta sewaan, supaya tuan bisa lanjutkan perjalanan. Aku lihat tuan mesti ada seorang
berpangkat, dari itu baik sekali tuan utamakan derajat
sendiri, jangan tuan ladeni mereka itu ... "
Kiau Liong bersenyum ia tertawa.
"Jangan kau takut," ia kata. "Tidak nanti aku terbitkan perkara jiwa di sini! Tapi, dari mereka itu, siapa saja yang datang, aku tidak takut! Sekarang jangan banyak bicara,
silahkan kau keluar! Lekas kau suruh jongos siapkan
makanan untuk kucingku!"
Kuasa itu menjura.
"Aku harap tuan suka menolong kita," ia kata, kumisnya yang ubanan bergerak-gerak. "Tuan ada seorang dalam perjalanan, tetapi kita ada penduduk sini, yang mesti
berdagang di sini, kita tidak berani berbuat salah terhadap siapa juga ... "
"Baiklah," ia berikan janjinya, "bila sebentar mereka datang, aku nanti bicara secara aturan dengan mereka, aku tidak akan layani mereka berkelahi di sini. Sudah, kau
jangan kuatir!"
Kuasa hotel itu menjura pula, "Terima kasih, tuan," ia kata.
"Ya, pergilah lekas siapkan makanan untuk kucingku!"
kata Kiau Liong dengan tak sabaran.
Selagi tuan rumah itu menyahuti, Kiau Liong balik dan
masuk pula ke dalam.
Tidak berselang lama, jongos datang dengan makanan
kucing. Ia tidak dapat tie-khoa, ia gantikan itu dengan sup ayam.
"Tidak, aku tidak mau ini, tukar!" kata Kiau Liong, yang cela makanan itu.
"Apa toaya sendiri hendak dahar?" jongos itu tanya.
"Ya, lekas kau sediakan ikan tambra, daging kambing, bakso, potong kecil-kecil, juga sup daging halus dan sayur pehcay pakai hiesit. Arak aku minta arak sari bunga mawar!
Apa kau sedia semua ini?" tanya si nona.
"Harap toaya suka menunggu, aku nanti pergi ke rumah makan," jawab jongos itu, dengan kesangsian.
"Nah, pergilah!"
Jongos itu berlalu dengan cepat, alisnya mengkerut,
mulutnya kemak-kemik.
Seberlalunya si jongos, Siu Hiang ambil cawan teh, yang
ia cuci dan ulangkan itu dua-tiga kali, baru ia tuangkan teh, untuk disuguhkan kepada nonanya.
"Siocia, aku berkuatir ... " ia kata. "Bagaimana bila sebentar datang itu segala okpa" ... "
Kiau Liong ulapkan tangannya.
"Jangan kuatir," ia menjawab. "Aku sanggup layani mereka semua. Pedangku, aku akan pegang sendiri, maka
kau jagalah jangan kau bikin lenyap bukuku dan Soat Hou
... " Siu Hiang manggut.
"Tetapi, siocia," ia kata, dengan masgul, "lain kali harap siocia jangan terbitkan onar pula. Kalau urusan menjadi
terlalu banyak, itulah tidak baik. Kita harus melakukan
perjalanan yang damai, ke Hengsan ... "
Kiau Liong tidak puas mendengar budaknya ini, tetapi ia
pikir, budak itu ada benarnya juga, maka akhirnya, ia
menghela napas.
"Bukanlah kehendakku sendiri menerbitkan onar,' ia
kata kemudian. "Kau tahu sendiri, aku tinggalkan rumah karena sangat terpaksa. Dan tadi, di tengah perjalanan, itu rombongan manusia kurang ajar ada terlalu menghina aku.
Aku paling tidak suka terima penghinaan ... Si tukang
kereta juga ada menjemukan! Kenapa baru sampai di sini,
ia sudah melanggar janji" Mengapa ia sebut-sebut To Hong akan ancam padaku" Sudah itu, datang Lou Pek Hiong!
Aku benci dia sebab dia orang she Lou!"
Siu Hiang terperanjat akan dengar suara bengis dari
nonanya. Wajahnya Kiau Liong menjadi guram, tetapi ketika ia
menoleh pada Soat Hou, yang sedang dahar dengan
bernapsu, ia lantas bersenyum. Ia girang akan lihat kucing yang bagus dan mungil itu.
Tetapi kesunyian tidak berjalan lama. Di luar segera
terdengar suara berisik dari tindakan banyak kaki. Siu
Hiang kaget, sampai mukanya pucat. Ia dengar suara orang mendehem-dehem.
Kiau Liong hunus pedangnya, ia singkap muilie dan
bertindak keluar. Ia lantas dapat lihat pintu thia dipentang dan di muka situ ada berdiri empat orang dengan tubuh
mereka yang besar dan keren. Mereka semua ada memakai
thungsha dengan rapi. Di antara mereka ada seorang yang
kumisan, yang romannya bengis. Dia ini adalah yang
angkat kedua tangannya untuk memberi hormat seraya
menanya: "Lauhia, adakah kau yang tadi telah piebu
dengan Lou piautau?"
"Benar!" menyahut Kiau Liong dengan pendek.
"Apakah lauhia sudi beritahukan she dan namamu?"
orang itu tanya pula.
"Aku ingin lebih dahulu ketahui kau siapa?" nona kita balik menanya
"Aku adalah adik angkat dari Siangpian Lengkwan Bie samya," sahut itu orang, "dan Hekhou To toaya adalah saudara angkatku ... "
"Aku tidak tanya yang lain hanya kau!"
"Aku Siang Bun Eng," sahut orang itu, yang kena didesak. "Orang juluki aku Shakie-piau Siang. Di Kanglam dan Hoopak, aku ada juga sedikit ternama ... "
"Sudah, jangan ngaco!" Kiau Liong memotong. "Aku Liong Kim Cun! Kau cari aku, ada urusan apa" Lekas kau
bicara!" "Toako-ku Bie samya serta Lou piautau sekarang lagi tunggui kau di Cieseng Lau," jawab Siang Bun Wan, "kita undang kau datang ke rumah makan itu untuk minum arak,
untuk sekalian bikin pertemuan!"
"Barang santapanku di sini sudah disiapkan," sahut Kiau Liong. "Di dalam kamarku ini juga aku ada punya anggauta keluarga perempuan, yang aku tidak bisa tinggalkan!
Siang Bun Wan tertawa buat penampikan itu.
"Liong-ya, apakah kau sangka kita ada orang-orang
busuk yang tak kenal kehormatan di kalangan kangou?" ia kata. "Keluargamu di sini, tidak nanti kita ganggu. Aku lihat kau ada seorang yang bernyali, aku percaya tidak nanti kau tidak berani pergi ... "
Kiau Liong bersenyum tawar.
"Tidak usah kau gunakan perkataan akan bikin hatiku panas!" ia kasih tahu. "Sekarang pergilah ke depan, tunggui aku di sana!"
Kiau Liong segera kembali ke kamar, akan masukkan
pedangnya ke dalam sarungnya, kemudian dengan bawa
pedang itu, ia bertindak pula keluar.
"Kau jalan di depan," ia kata pada Huipiau Siang, kemudian ia ikut mereka itu.
Banyak orang yang mengawasi, di antaranya ada juga
yang mengikuti, rupanya mereka ini menduga bahwa segera
mereka akan saksikan pertunjukan ramai.
Tatkala itu cuaca ada bersinar layung, angin musim cun
ada mendesir-desir.
Dengan tenang dan tindakan tetap, Kiau Liong ikuti
terus Siang Bun Wan. Rata-rata orang menyangka yang dia
adalah satu ahli silat yang masih muda, tidak ada yang
menyangka bahwa dia ada satu nona, malah satu ciankim
siocia. Dari Pakkwan, orang menuju ke Saykwan. Di Kota
Barat ini ada sebuah rumah makan yang besar, yang pakai
merek "Cie Seng Lau", di depan mana ada digantung beberapa lembar cita yang dituliskan huruf-huruf yang
berupa syair, yang memuji Lie Thay Pek sebagai dewa arak, yang minum arak gantangan dan menulis syair sampai
ratusan, bahwa selagi tidur di rumah makan, di Tiang-an, meskipun raja panggil, ia tak datang ...
Sesampainya di muka rumah makan, Siang Bun Wan
perintah satu kawannya naik lebih dahulu ke lauteng,
kemudian ia sendiri persilahkan orang undangannya masuk, akan terus naik di tangga lauteng.
Dengan tak bersangsi sedikit pun, Kiau Liong bertindak
di undakan tangga, tindakannya memperdengarkan suara
berisik. Nyata ruangan di atas lauteng ada lebar, kecuali enam
atau tujuh tetamu, semua meja masih kosong. Dan mereka
ini, begitu lekas dapat lihat munculnya nona kita, lantas pada berbangkit dari kursinya, kecuali dua di antaranya, ialah satu pendeta yang berumur tigapuluh lebih dan
seorang yang air mukanya menunjukkan kemurkaan,
karena dia adalah si toa-piautau Lou Pek Hiong.
Dengan menunda tindakannya, Kiau Liong awasi orang
itu, sebagaimana mereka juga pada memandang ia.
Seorang dengan umur kurang lebih empatpuluh tahun,
yang tubuhnya jangkung dan kurus, dengan kumis yang
pendek tetapi lebar, lantas angkat kedua tangannya, untuk memberi hormat.
"Selamat datang, tuan!" ia berkata, suaranya manis.
"Kita girang yang tuan telah sudi terima undangan kita!
Aku Bie Tay Piu, di ini tempat aku ada menjadi tetamu.
Karena aku ada gemar ilmu silat, maka itu aku telah datang pesiar ke sini, untuk mengikat tali persahabatan. Aku
memang paling hargai mereka yang ilmu silatnya
mengagumkan. Tadi saudara Phe ini baru datang," ia
tunjuk seorang yang berdiri di sampingnya, yang unjuk
roman gusar, matanya melotot! Dan Kiau Liong kenali dia
ada si muka hitam, yang tadi di tengah jalan ia persen
dengan sebatang panah. "Dari ianya aku mendapat tahu yang tuan ada ber-bugee tinggi dan juga mempunyai
sebatang pedang yang tajam, dari itu, aku semakin kagumi padamu. Justru itu, barusan datang ini Lou piautau, yang mengatakan bahwa tadi di rumah penginapan ia telah
belajar kenal dengan bugee-mu. Ia pun ada sangat kagum!
Maka itu, tuan, lantas saja aku kirim saudaraku Siang ini pergi undang kau. Maksudku dengan undangan ini, kesatu
untuk mendamaikan dan mengakurkan, kedua guna mohon
pengajaran dari kau ... "
Melihat sikap hormat dari orang itu dan suara yang
sabar, kemendongkolannya Kiau Liong berkurang dengan
cepat, maka ia juga angkat kedua tangannya, guna balas
kehormatan itu.
"Tidak apa, semua urusan kecil," ia menyahut. "Kalau pihakmu telah mengaku kalah dan ingin kita menjadi akur, aku juga tidak nanti berani terlalu mendesak!"
Setelah itu, tanpa tunggu diundang lagi, ia terus
berduduk. Baru saja nona Giok ini berduduk, atau Lou Pek Hiong
telah pukul meja sampai piring dan mangkok berloncatan.
"Aku penasaran!" ia berseru. "Aku Lou Pek Hiong telah merantau bertahun-tahun tetapi belum pernah terima
hinaan seperti hari ini! Bugee-mu liehay, bugee-ku lemah, kalau aku kalah terhadap kau, itulah tidak apa, kita tunggu saja lagi satu-dua tahun, nanti kita bertemu pula, akan coba-coba lagi! Tapi hari itu aku sedang membela keadilan! ... "
Kiau Liong bersenyum tawar.
"Toh aku tidak suruh kau membela keadilan itu?" ia
baliki. Lou Pek Hiong lompat bangun, agaknya ia hendak
menerjang, tetapi Bie Tay Piu dan yang lain-lain segera
mencegahnya. Selagi orang beraksi dan mengancam, Kiau Liong tetap
duduk di kursinya, ia cuma perdengarkan tertawa
menghina, pada wajahnya tak berubah sedikit juga.
"Aku numpang tanya she dan nama kau, tuan?" Bie Tay Piu tanya.
"Aku Liong Kim Cun," sahut si nona, dengan sikapnya yang tenang. Ia menunjang janggut, ia manggut perlahan
sekali. "Tuan asal dari mana?" Bie Tay Piu tanya pula.
"Asal Kamsiok ... "
"Apakah tuan datang dari Pakkhia?"
"Bukan," sahut si nona, yang terus menepuk meja. "Buat apa kau tanya melit-melit?"
Bie Tay Piu terperanjat, karena sikap yang aneh dari
orang itu. Tenang tapi berangasan ... Ia pun sangsikan anak muda ini ada berkepandaian tinggi seperti katanya si hitam dan piausu dari Shoasay. Tapi ia berlaku sabar.
"Maafkan aku, tidak seharusnya aku menanya dengan
melit," ia kata, sambil tertawa. "Karena kita ada sahabat-sahabat dari kalangan kangou, dan justru tuan telah sudi datang kemari, aku ingin sekali mendapat keterangan jelas perihal kau, tuan. Siapakah gurumu" Tuan yakinkan ilmu
bagian luar atau dalam?"
Kiau Liong berbangkit.
"Tidak ada orang yang ajarkan aku silat!" ia kata dengan ringkas. "Hanya ada juga Ah Hiap dari Kiu-hoa San dan Kang Lam Hoo sebagai kedua suhengku!"
Mendengar itu, si pendeta, ialah Hoat Kong, lantas
berbangkit. Bie Tay Piu terperanjat, tetapi ia masih bisa tertawa.
"Aku hendak sebut dua orang, apakah tuan kenal mereka itu?" ia tanya.
"Siapakah mereka?"
"Ialah Lamkiong Lie Bou Pek dan Kielok Jie Siu Lian
..." Kiau Liong manggut dengan perlahan.
"Aku tahu mereka," ia menyahut. "Semua mereka ada orang-orang segolongan dengan aku, tetapi mereka semua
ada pecundangku."
Bie Tay Piu tertawa apabila ia dengar jawaban ini.
"Bagaimana dengan Ceng Hian Siansu dari Kanglam?"
ia tanya pula. Sekali ini, nona kita menggeleng kepala.
"Aku belum pernah dengar tentang dianya," ia
menjawab. "Rupanya dia ada satu orang yang tidak punya nama, hingga dia, buat menjadi muridku saja, aku tidak
kesudian terima!"
Baru saja Kiau Liong tutup mulutnya atau jeriji
tangannya Hoat Kong sudah sampai di depan mukanya,
karena pendeta itu ada sangat panas hati yang gurunya
telah diperhina secara demikian.
Kiau Liong ada bermata awas, gerakannya juga sebat
bukan main. Dengan mudah sekali agaknya ia tangkis itu
serangan pada mukanya.
Berbareng dengan itu, dari belakangnya, ada golok
berkelebat, maka ia lekas berkelit, menyusul mana, ia hunus pedang mustikanya.
Karena serangannya gagal, si Muka Hitam, si orang she
Phe, sudah lantas tarik pulang goloknya. Tetapi Pek Hiong ada gusar, ia angkat kursi dan gunakan itu sebagai gantinya piau, buat hajar lawannya.
Senjata istimewa itu dapat dilihat oleh Kiau Liong,
dengan gampang ia bisa egos diri, hingga kursi jatuh
bergabrukan di atas lantai sekali.
Sekarang ada gilirannya Hoat Kong buat menyerang
pula. Ia telah gunakan senjata, ialah poan-koan-pit, alat yang merupakan pit, yang ia keluarkan dari dalam tangan
bajunya. Senjata itu, yang pendek yang terbikin dari baja tulen, ada istimewa untuk menotok. Dan dengan senjata itu ia menusuk sebagai juga menyambarnya seekor ular
berbisa, tujuannya ada pinggangnya si nona yang ceking.
Kiau Liong lihat datangnya senjata, tetapi ia tidak
berkelit, hanya cepat laksana kilat, ia membabat dengan
pedangnya. Di antara suara yang nyaring, ujung poan-koan-pit kena terpapas kutung, hingga Hoat Kong menjadi kaget, karena ia tidak sangka musuh ada begitu gesit dan ia telah berlaku alpa, hingga gerakannya jadi lambat.
Pek Hiong penasaran, ia menyerang pula, dengan meja
kecil di sampingnya, hingga meja itu terbanting di lantai, lantaran Kiau liong bisa menyingkir dari serangan itu.
Lantas beberapa orang lilin bantu menyerang, dengan
mangkok, poci arak dan lain-lain yang mereka bisa sembat secara sembarangan.
Kiau Liong bikin perlawanan dengan bagus. Ia
menyampok dengan pedangnya, ia menyanggapi dengan
tangan kiri, atau ia berkelit, ke kiri dan ke kanan, hingga semua serangan menjadi luput mengenai tubuhnya yang
gesit. Beberapa kali ia pun menendang senjata yang
menyambar ke bawah.
"Kalau ada jiwa melayang, jangan sesalkan aku!"
akhirnya ia berseru.
Sebagai kesudahan dari nona Giok lantas berbalik
melakukan penyerangan, pedangnya ia putar dengan cepat.
Dari bawah lauteng sekarang ada naik pula belasan
orang, semua bersenjatakan golok pendek dan tombak,
tetapi Kiau Liong tidak takut, ia terus berkelahi dengan gagah. Satu kali ia mencelat ke atas meja, lain kali ia loncat ke kursi. Ia berkelit ke tempat-tempat yang kosong, ia
menerjang pada saban lowongan, ia bikin kutung sesuatu
senjata yang berani bentur pedangnya, hingga ia bikin jeri setiap musuh yang senjatanya sapat.
Baru sekarang rombongan musuh itu keder dan pada
mundur. Kursi dan meja menggeletak kalang kabut, di antaranya
ada rebah beberapa kurban, yang merintih karena lukalukanya. Selama pertempuran, selain suara senjata pun ada suara
berisik dari mereka yang memaki atau menganjurkan
kawan untuk maju.
"Maju! Maju!"
Segera ada orang yang serahkan sepasang kong-pian
pada Bie Tay Piu, siapa sambil cekal itu lantas loncat naik ke atas sebuah meja.
"Tahan!" ia berseru. "Jangan menyerang kalang kabutan!
Kasih aku sendiri yang lawan Liong Kim Cun!"
Hoat Kong juga suruh orang mundur, ia sendiri maju,
karena ia berkeinginan keras akan totok lawan pemuda itu.
Pertempuran kusut telah berhenti, tetapi Kiau Liong
berada di tengah-tengah. Semua musuh ambil sikap
mengurung terhadap ia. Ia lihat jumlah yang banyak, tapi ia tidak takut.
Hoat Kong telah merangsek, ia masih gunakan


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjatanya yang sudah tak berujung.
Kiau Liong tidak menangkis, ia benar geraki pedangnya,
tetapi ini ada suatu aksi saja, karena ia berbareng pun loncat ke larikan, di sebelah mana, di bawah, ada jalan besar.
Juga di luar, di jalan besar, ada banyak orang. Mereka
hanya menonton, semua dongak, mengawasi ke lauteng,
maka kapan Kiau Liong telah loncat ke lankan, mereka bisa lihat pemuda ini. Mereka kaget atau jeri akan lihat sikapnya ini pemuda.
Oleh karena anggap musuh hendak kabur, beberapa
orang merangsek dengan senjatanya masing-masing. Tapi
Kiau Liong sambut mereka dengan pedangnya, hingga
setiap senjata yang datang dekat, semua ujungnya kena
terbabat kutung.
Segera juga datang serangan dari Bie Tay Piu, dengan
sepasang kong-pian, yang mengarah ke bawah, pada kaki.
Kiau Liong tidak tangkis itu serangan, ia enjot tubuhnya akan loncat ke atas meja, sembari loncat ia membabat ke
arah kepalanya Siang-pian Leng-kwan.
Bie Tay Piu kaget, ia lekas-lekas menangkis, tetapi begitu lekas kedua senjata beradu, ia menjadi lebih kaget lagi, sebab dua kong-piannya lantas lenyap ujungnya menjadi
korban dari pedang mustika itu.
Kiau Liong bergerak terus, sambil bulang-balingkan
pedangnya ke kiri dan kanan, untuk mundurkan musuhmusuh di kiri dan kanan, yang hendak rangsek ia, ia
menerjang Bie Tay Piu, siapa ia terus tikam.
Dengan hanya bersenjatakan kong-pian buntung, Bie
Tay Piu tidak berani lawan musuh yang liehay itu, terpaksa ia mundur, hingga punggungnya nempel dengan larikan
atau loneng lauteng,
Lankan itu tidak terlalu kekar buatannya, tubuhnya Kiau
Liong ada kecil dan enteng luar biasa, maka itu, tempo tadi si nona loncat ke atasnya, bergeming juga tidak. Tapi
sekarang, lankan itu dibentur oleh tubuh dari Tay Piu
gerakan siapa pun ada cepat dan berat. Maka ketika tubuh membentur lankan, suara keras menyusul itu lankan patah
dan ambruk, hingga Tay Piu tak berdaya lagi, tubuhnya
terus turut jatuh ke bawah, ia kaget dan keluarkan jeritan hebat.
Tingginya lankan lauteng itu ada dua tombak lebih,
kalau tubuhnya Tay Piu jatuh ke tanah, ia mesti rebah
celaka, tetapi syukur buat ia, dijalan besar ada banyak
orang, ketika ia jatuh, ia kena tubruk orang banyak, yang ketindihan, hingga, benar mereka turut rubuh, tetapi ia
tidak terbanting hebat. Dari sepasang kong-pian-nya, yang terlepas dan terpental, yang satu menyambar merek diri
toko obat di sebelah depan, yang satu lagi mengenai
kepalanya seorang, hingga dia ini rubuh dengan pingsan!
Di jalan besar itu, sekejab saja orang menjadi kalut.
Sementara itu, dari atas lauteng, ada menyusul jatuh lagi tubuh orang, ialah dari seorang she Phe yang mukanya
hitam. Ia terbanting keras, hingga ia rebah meringkuk
dalam keadaan separuh mati.
Dari atas lauteng, ruwet sekali orang berlari-lari turun, di antaranya kemudian tertampak Hoat Kong.
Sekarang di atas lauteng tinggal Kiau Liong seorang,
ketika ia menghampiri pinggiran lankan, yang sudah
ambruk akan melongok ke bawah, dari bawah ada
menyambar sebatang piau, dari Huipiau Siang. Serangan
itu ada jitu, mestinya piau mengenai sasarannya. Tetapi
Kiau Liong yang awas dengan gampang dapat menyambutinya ...
Hampir berbareng dengan ini, lantas ada datang
beberapa hamba negeri, sedang dari jurusan barat ada lari mendatangi beberapa penunggang kuda. Oleh karena
mereka datang hampir berbareng, penunggang-penunggang
kuda itu bisa cegat datangnya si hamba negeri, hingga
mereka yang berjumlah delapan orang itu bisa naik ke atas lauteng tanpa hamba negeri itu.
Kiau Liong berada sendirian, ia dapat ketika akan atur
jalan napasnya, tetapi kapan ia dengar banyak tindikan kaki di tangga lauteng, ia segera mengawasi seraya bersiap pula.
Yang pertama muncul ada seorang umur tigapuluh tahun
lebih, mukanya hitam, tubuhnya kate tetapi kekar. Ia pakai baju sutera panjang dan tangannya cuma menyekal
cambuk. Di belakang ia adalah kawan-kawannya. Begitu ia
menghadapi si pemuda tetiron, ia angkat kedua tangannya
memberi hormat.
"Aku ada Hek-liou To Hong," demikian ia perkenalkan diri. Ia tidak tunggu jawaban, segera ia tunjuk seorang
bertubuh besar di belakangnya. "Dan ini adi guruku, Kimtoo
Phang Bou." Kemudian ia melanjutkan: "Sahabatku, harap kau tidak lanjutkan sepak terjangmu terlebih jauh. Kota Pooteng sekarang ini bukan lagi kota Pooteng yang dulu. Lie Bou Pek, Jie Siu Lian, Yo Siau
thayswee, semua mereka pernah mengacau di sini, tetapi
kita, yang ada penduduk asal, yang tidak mau banyak
pernik, sudah tidak mau layani mereka. Hanya sekarang,
siapa saja, apabila ada lagi orang yang datang untuk
terbitkan onar, kita tentu tak bisa antapkan!"
"Siapa pedulikan kau hendak antap atau tidak!" kata Kiau Liong, "Kau hendak berbuat apa sekarang?"
"Aku hendak mencoba-coba kepandaian dengan kau!"
sahut To Hong. "Sekarang sudah lewat waktu dan kita juga tidak membawa alat senjata, dari itu, coba kau sebutkan
waktu dan tempatnya. Dengan caramu barusan, biar kau
menangkan banyak orang, kau tidak bisa dipandang sebagai satu enghiong! Kau mesti menangkan aku serta guruku ini, baru kau bisa lewat dari ini kota! Kalau tidak, jangan harap kau bisa berkisar lebih jauh!"
"Tidak usah tetapkan waktu dan tempat, sekarang saja, di sini!" Kiau Liong menantang. "Pergilah kau ambil senjatamu, aku tunggu, aku nanti layani kau semua!"
To Hong kagum buat keberanian orang, tetapi ia goyang
kepala. "Tempat di sini ada sempit," ia kata, "laginya di bawah lauteng bisa datang orang polisi, mereka bisa larang kita berkelahi di sini. Jikalau kau ada nyali untuk datang ke rumahku, di sana aku ada pekarangan yang luas, di sana
tentu kau bisa leluasa mainkan pedangmu!"
"Hm!" Kiau Liong perdengarkan suaranya, tanda dari memandang enteng, atau tanda dari nyalinya yang besar. Ia lantas tertawa. "Baiklah, sekarang kau boleh pulang, aku akan segera menyusul!"
To Hong juga bersenyum ewa.
"Kau jangan takut!" ia bilang. "Di sini ada Kimtoo Phang suya, Phang suya ada satu hoohan sejati, kau jangan kuatir yang kita nanti curangi atau bokong kau! Hayo
turun!" Kiau Liong unjuk sikap yang memandang enteng.
"Sama sekali aku belum pernah dengar nama kau
sekalian!" ia kata. "Siapa tahu bahwa kau ada makhluk-makhluk yang rendah?"
To Hong dan Phang Bou ada sangat mendongkol, tetapi
terpaksa mereka lantas turun lebih dahulu.
Waktu sudah lewat magrib, meski begitu, toko-toko di
depan tidak berani nyalakan api, sedang di rumah makan
itu, tidak ada barang satu tetamu lainnya, malah kuasa dan jongos-jongos pada umpatkan diri. Cuma di kejauhan ada
orang-orang yang menonton, sedang yang nyalinya kecil
telah pada menyingkir.
Di betulan muka lauteng, di tanah, ada reruntuhnya
lankan di samping itu ada Bie Tay Piu dan kawankawannya yang terluka. Mereka telah ditolongi, dikasih
bangun. Belasan orang polisi berada di situ, mereka ada cekal
golok dan rante, mereka hendak bertindak menjalankan
tugas, tetapi To Hong segera hampiri mereka.
"Jangan kau urus urusan perseorangan ini," kata itu cabang atas, si Harimau Hitam. "Kecuali ada terbit perkara jiwa, tidak usah kau pusingkan diri."
Ini pemberian tahu telah berhasil mencegah aksi dari
hamba-hamba negeri itu.
Orang lantas tunggui turunnya Giok Kiau Liong.
Beberapa chungteng siap dengan kuda. Huipiau Siang
berdiri di sampingnya seekor kuda, tangannya siap dengan piau-nya. Ia hendak bokong pada pemuda lawannya.
Ditunggu sekian lama, Kiau Liong tidak kelihatan turun
dari lauteng. Lauteng telah menjadi gelap gulita, karena cuaca magrib telah berubah dengan cepat. Orang juga tidak dengar suara apa-apa di atas lauteng itu.
"Lekas turun, lekas turun!" akhirnya beberapa orang memanggil. "Apa kau takut?"
Orang menegur beberapa kali, ketika mendadakan dari
atas lauteng ada melajang turun satu meja, hingga To Hong mesti loncat berkelit, meja itu jatuh hancur di jalan besar.
Setelah itu beruntun menyusul beberapa buah kursi,
sampai satu hungteng kena ketimpa dan rubuh.
"Apakah kelakuannya satu hoohan?" akhirnya menegur Phang Bou. Ia lantas minta goloknya, ia berniat balik ke lauteng. Tapi sebelum ia keburu berbuat demikian, ia lihat melayangnya pula sebuah meja, di belakang mana ada
menyusul satu orang, yang pedangnya bercahaya berkeredepan. Itulah Giok Kiau Liong, yang tubuhnya enteng dan sebat
gesit luar biasa. Hampir orang tidak tahu, bagaimana ia
injak tanah, bagaimana ia menyambar kuda dari tangannya
satu hungteng, tahu-tahu ia sudah berada di atasnya kuda itu, yang ia segera larikan ke jurusan barat.
Selagi lain-lain orang tercengang, Huipiau Siang, yang
telah sedia, sudah lantas menimpuk dengan piau, tetapi
Kiau Liong bisa sampok serangan itu dengan pedangnya,
hingga piau terpukul terpental.
Tatkala piau yang kedua menyusul, Kiau Liong dapat
menyanggapinya.
Siang Bun Wan penasaran, ia menimpuk pula, dengan
piau yang ketiga dan keempat, akan tetapi ia tetap tak
memperoleh hasil.
To Hong dan Phang Bou lantas loncat naik atas kuda
mereka. "Jangan lari!" mereka membentak.
Kiau Liong putar kudanya, akan hadapi semua musuh,
dengan pedangnya ia menunjuk!
"Mari," ia berseru dan tantang mereka itu. Lantas kudanya ia kasih lari ke arah barat.
Rombongannya Phang Bou segera juga pecut kuda
mereka, akan menyusul.
Kiau Liong kabur terus, sampai ia berada di luar pintu
Kota Barat. Di tegalan yang rata, di antara remangremangnya sang sore, ia tahan kudanya akan papaki To
Hong. "Apakah boleh di sini?" ia menantang.
To Hong tidak menyekal senjata, ia lantas mundur.
Karena ini, Phang Bou yang bersenjatakan sepasang golok
lantas gantikan ia maju terus.
Dari jurusan barat sekarang terlihat datangnya
serombongan orang lain, ialah chungteng dari To-keechung, mereka itu ada membawa belasan lentera dan
duapuluh lebih obor, hingga cahaya api jadi terang sekali.
Semakin lama mereka datang semakin dekat.
Phang Bou maju terus, akan tempur si anak muda, Ia
tidak merasa jeri. Kecuali pernah kalah di tangannya Lie Bou Pek, ia memang belum pernah tunduk terhadap siapa
juga. Ia tidak takut kendati orang ada bersenjatakan pedang mustika.
Kiau Liong juga layani itu jago dari Cimciu.
Sesudah bertempur lima enam jurus di atas kuda,
keduanya merasa tidak leluasa, dari itu, dengan kesetujuan, mereka pada loncat turun dari kuda mereka, akan lanjutkan pertempuran di atas tanah.
Segera juga Phang Bou perlihatkan permainan goloknya,
yang membikin ia mendapatkan julukannya, Kimtoo, si
Golok Emas. Sebat sekali, ia membacok ke kiri dan ke
kanan. Di lain pihak, Giok Kiau Liong telah perlihatkan
kegesitannya. Ia berkelit, loncat sana dan loncat sini, buat menyingkir dari sesuatu bacokan, pedangnya berkelebatan
mengikuti gerak-gerakan badannya.
Dengan lindungi diri dengan golok kirinya, Phang Bou
membacok dengan golok kanan, tetapi Kiau Liong loncat
ke samping, akan dari situ terus menyabet dengan
pedangnya, hingga jago Cimciu mesti lekas tarik pulang
goloknya. Itu waktu, rombongan chungteng yang membawa api
telah datang semakin dekat, cahaya api bisa menyorot jelas ke kedua tandingan itu, hingga kecakapannya Kiau Liong
tertampak nyata sekali. Nyata ia sudah buka baju luarnya yang ia pakai membungkus sarung pedangnya yang ia
gemblokkan di bahunya.
Phang Bou penasaran yang ia tidak bisa peroleh
kemenangan dengan cepat.
"Melawan satu tandingan yang mirip satu gadis, aku
tidak bisa rebut kemenangan, bagaimana aku bisa dianggap satu hookiat?" kata ia dalam hatinya. Karena ia memikir begini, ia lantas kasih kerja kedua tangannya dengan
terlebih cepat pula.
Kiau Liong tetap melayani dengan gagah.
To Hong telah minta sepasang golok dari orangnya, ia
turun dari kudanya dan terus maju akan bantu gurunya.
Kiau Liong tidak pedulikan yang ia mesti layani dua
musuh atau empat buah golok, ia keluarkan kepandaiannya
yang ia telah yakinkan selama sepuluh tahun, kepandaian
yang ia peroleh dari kitab.
Lou Pek Hiong ada penasaran dan gusar, dengan
sebatang tombak ia maju bantu mengepung. Perbuatannya
ini diturut oleh Siang Bun Wan, yang menggunakan
sebatang golok. Malah Hoat Kong juga tidak tahan sabar,
dengan sebatang toya besi ia turut dua kawan itu.
Maka sekarang Kiau Liong mesti hadapi lima musuh,
yang menyerang sambil mengurung padanya di lima
jurusan. Ia tetap tidak merasa jeri, pedangnya berkelebatan tak kurang gesitnya.
Bahna sengitnya, kemudian Phang Bou berseru:
"Nyerbu!" Lalu, dengan dimulai oleh ia sendiri, empat kawannya merangsek berbareng.
Kiau Liong tidak mau kasih dirinya dikurung terus,
setelah bertempur begitu jauh, ia gunakan goloknya yang
tajam, akan bikin sapat senjata musuh.
To Hong, Pek Hiong dan Bun Wan mesti loncat
mundur, karena golok dan tombak mereka telah terbabat
kutung, hingga tinggallah Phang Bou dan Hoat Kong, yang
masih mengepung. Phang Bou, yang napasnya mulai
memburu, merasa heran sekali.
"Aku tidak sangka ini bocah sukar untuk diajar adat,"
pikir ia. "Dulu Lie Bou Pek tidak sehebat dia ini.
Sebenarnya siapa adanya ini anak muda?"
Sia-sia saja ia menduga-duga, sebab ia memang tidak
kenal si nona Giok dan si nona sendiri rahasiakan diri.
Juga Hoat Kong kewalahan. Ia mengerti tiamhoat, ia
sudah diyakan buat totok musuh dengan ujung toyanya,
semua itu sia-sia belaka, si musuh tidak pernah kasih
dirinya ditowel. Ia sudah arah urat gagu, toh ia tetap gagal.
Di lain pihak, ia mesti hati-hati dengan toyanya, agar
senjata itu tidak sampai kena ditabas kutung juga seperti poan-koan-pit-nya. Apa yang ia buat heran, atau kuatirkan, kemudian ia merasa bahwa ini lawan yang muda, dari
gerak-geriknya, mesti kenal juga tiamhiat-hoat, jikalau
tidak, ada mustahil yang ia tidak mampu menotok. Oleh
karena penglihatannya ini, ia lantas tidak berani ngotot lagi.
Adalah Phang Bou yang penasaran, meski ia sudah
mulai sengal-sengal, ia masih merangsek semakinan hebat.
Ia telah kehilangan kesabarannya, hingga ketika golok
kirinya kena terpapas, ia masih tidak mau mundur, ia
mendesak terus! To Hong kemudian maju pula, ia telah
tukar golok. Rombongan chungteng, kecuali angkat tinggi obor dan
lentera mereka, juga mereka berseru-seru akan menganjurkan jago-jago mereka, dan tangan mereka yang
sebelah dipakai mengacung-acungkan tombak dan golok
mereka. Mereka yang tidak memegang alat penerangan itu,
telah maju mengurung, sikapnya sangat mengancam.


Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiau Liong lihat sikap orang itu, sebal luar biasa, ia
loncat naik ke kudanya. Tetapi ia tidak melarikan diri.
"Apakah kau semua masih tidak mau menyerah?" ia berseru seraya angkat tinggi pedangnya. Awas, jikalau kau meluruk semua mengepung aku, aku juga nanti terpaksa
serbu kau semua! Apabila sampai ada di antara kau yang
mampus, jangan menyesal, jangan kau katakan Liong Kim
Cun kejam!"
Ancaman itu ada hasilnya, rombongan chungteng batal
merangsek lebih jauh.
Siang Bun Wan masih penasaran, ia melepaskan pula
dua batang piau, yang dua-duanya kena disampok jatuh
oleh itu naga betina. Mau atau tidak, Phang Bou menjadi
kagum. "Tahan!" ia serukan pihaknya. Kemudian ia maju ke muka, "Liong Kim Cun, siapa sebenarnya gurumu?" ia tanya.
"Fui!" si nona membalas. "Kau tidak usah tanya!" Ia lantas tertawa.
Sesudah ia awasi semua musuhnya, ia tepuk-tepuk
dadanya. "Aku?" ia tanya. "Kau mau kenal aku" Aku adalah satu dewi pedang dalam dunia ini! Dengan
pedangku Cengbeng ini akan bikin si orang she Lie, she Jie
dan Kang Lam Hoo semua mesti manggut-manggut
meminta ampun padaku! Aku adalah seekor naga terbang
diri gurun pasir!"
Setelah kata demikian, Kiau Liong keprak kudanya
dengan cambuk, akan membuka jalan sambil bulangbalingkan pedangnya ke kiri dan kanan.
To Hong semua, meskipun berjumlah banyak dan
bersenjata lengkap, tidak berani maju akan merintangi anak muda tetiron itu, hingga Kiau Liong, dalam cuaca gelap
atau remang-remang bisa lanjutkan perjalanan dengan
anteng, menuju ke timur-utara. Ketika kemudian ia
menoleh ke belakang, ia tampak api obor sedang berlerot ke jurusan barat. Maka selanjutnya, ia kasih kudanya jalan
perlahan-lahan, ke Pakkwan, ia kembali ke hotelnya tidak lama kemudian.
Sekarang hotel ada memasang lentera dari huruf-huruf di
lentera itu, hotel itu gampang dikenalkan. Di bawah lentera ada beberapa orang, kapan mereka lihat si anak muda,
lekas-lekas mereka menyingkir. Semua mereka mengawasi
dengan keheranan dan jeri.
Kiau Liong tidak pedulikan mereka itu, ia maju terus ke
depan hotel di mana ia loncat turun dari kudanya, ketika satu jongos hampirkan ia, untuk sambuti kuda itu, ia kata:
"Ini kuda ada kudaku, rawat baik-baik! Siapa juga datang meminta kuda ini kau tidak boleh kasihkan!"
Jongos itu menyahuti, "Ya," berulang-ulang, setelah mana dengan bawa pedangnya, Kiau Liong bertindak ke
dalam, tatkala ia sampai di dalam kamarnya, di situ sudah ada sajian barang hidangan, api dipasang terang-terang.
"Oh, toaya baru pulang!" menyambut Siu Hiang, yang turun dari pembaringan. "Semua barang makanan sudah dingin lagi!"
"Tidak apa," sahut si "toaya" dengan perlahan. Ia duduk di pembaringannya buat mengaso, dan pedangnya ia
geletakkan di atas kasur. Segera ia tarik kucingnya,
"Apakah tidak ada terjadi apa-apa seperginya aku?" ia tanya.
"Cuma ada dua orang dari geemui yang menanyakan
tentang toaya," sahut Siu Hiang,
Nampaknya Kiau Liong terperanjat, "Bagaimana
jawabmu?" ia tanya.
"Aku menjawab dengan menuruti ajaranmu," jawab Siu Hiang dengan berbisik.
Kiau Liong manggut, ia berdiam. Ia awasi Soat Hou,
yang lempangkan tubuhnya, sedang
matanya ada bercahaya. Tiba-tiba ia menghela napas, hingga budaknya
awasi ia dengan tidak mengerti. Kemudian ia hampirkan
meja akan berdahar, sedikit sekali.
"Mari kita tidur!" kata ia kemudian, lewat beberapa saat Siu
Hiang hendak kunci pintu tetapi nonanya mencegahnya. "Jangan kau yang kunci," ia kata, terus ia turun dari pembaringan. Ia bertindak ke pintu di depan mana ia berdiri diam, seperti orang tercengang, kemudian ia singkap muilie hingga cahaya api menyorot keluar.
Siu Hiang terkejut melihat sikapnya si nona.
Di luar kamar tidak ada gerakan apa-apa, tetapi ketika
Kiau Liong bertindak keluar, ia siapkan kedua tangannya di depan dada dan matanya terpasang tajam. Ia melihat ke
sekitarnya. Lekas juga ia kembali ke dalam, akan periksa seluruh kamar, sampai kolong meja. Setelah ini barulah ia kunci pintu, muilie ia lepaskan di belakangnya.
Sesudah taruh pedang dan panahnya di samping bantal
kepala, Kiau Liong padamkan api. Ia naik ke pembaringan
untuk terus rebahkan diri. Siu Hiang tutupi ia dengan
selimut tetapi selimut itu ia singkap.
"Tidak usah," ia kata.
Siu Hiang rebah di pinggirnya nona itu.
"Siocia, sampai kapan baru kita sampai di Hengsan?" ia tanya, dengan perlahan.
"Kau jangan ibuk," sang nona menjawab. "Umpama kita sampai di Hengsan dan aku dapat kenyataan tempat itu
tidak menyenangkan, aku tentu akan cari lain tempat lagi ...
" "Kalau begitu, apa tidak lebih baik kita kembali saja ke Sinkiang?"
Kiau Liong menghela napas.
"Sudahlah," ia bilang, "kau jangan ganggu aku, biarkan aku dapat mengaso!"
Meski ia berkata demikian, tidak lama, nona ini tertawa
sendirinya. "Sekarang aku merasa bahwa aku benar-benar ada jadi suamimu dan kau adalah isteriku yang senantiasa dampingi aku dan ngoceh tak berhentinya ... " ia kata kemudian.
"Sampai sekarang ini, kau masih bisa godai aku, siocia!"
kata budak itu.
Nona itu tertawa geli, tetapi tidak lama, dengan tiba-tiba ia peluk Siu Hiang dengan keras, muka mereka nempel satu pada lain, sampai si budak merasa tertegun dan heran,
apapula kapan ia lantas merasai air mata meleleh
membasahkan mukanya.
"Kau berduka, siocia ... " ia kata, dengan merasa terharu.
Benar-benar Kiau Liong menangis, seperti anak kecil,
hingga budaknya jadi bingung, sedang untuk menghibur
dengan suara keras, ia kuatir. Ia pun tidak bisa loloskan diri dari pelukannya si nona.
Sesaat kemudian, tiba-tiba Kiau Liong lepaskan
tangannya dan balik tubuhnya, tangannya terus meraba ke
bantal kepala, setelah mana tangan itu dengan cepat sekali diayun ke jurusan jendela. Menyusul itu, di luar jendela, ada terdengar suara seperti barang berat jatuh, yang mana disusul dengan jeritan: "Aduh, aduh! Mati aku! ... "
Dan suara itu semakin lama jadi semakin perlahan,
hingga merupakan rintihan.
Siu Hiang kaget, sampai ia gemetaran, tetapi ia tidak
berani buka suara. Dengan selimut Kiau Liong kerebongi
budaknya itu. Sesudah lewat sekian lama, di luar lantas terdengar
suara: "Tidak apa-apa, tidak apa-apa, ... Tuan-tuan, silahkan kembali ke kamar!"
Itu adalah suaranya kuasa hotel.
Tetapi di sebelah itu, lantas terdengar suara seorang lain:
"Mata kirinya ... Dia terkena panah tangan ... Mestinya mata itu buta ... "
Di dalam selimutnya, Kiau Liong tertawa sendirinya,
karena ia telah dengar nyata semua kata-kata itu.
Selewatnya, terus sehingga pagi, suasana ada tenang.
Pada jam delapan atau sembilan, Kiau Liong baru teriaki
jongos akan bawakan ia bubur, sedang jongos, dari luar
jendela, menyahuti. "Ya, ya," suaranya mengatakan sikapnya yang menghormat, suatu tanda jongos itu jeri.
Setelah itu nona Giok suruh budaknya ambil pakaian
untuk ia salin. Dengan sepotong cita putih, ia belebat keras buah dadanya. Karena ia tidak sedia banyak pakaian orang lelaki, di bagian dalam ia tetap pakai pakaian orang
perempuan, cuma leher bajunya, ia tekuk ke dalam,
kancingnya ia pasang semua, di luar baru ia pakai pakaian lelaki. Ia pakai celana hijau, sebagaimana baju luarnya ada dari warna serupa. Di sebelah kaus kaki merah, ia pakai
sepatu juga. Sebagai pakaian luar, ia pakai thungsha biru.
Sesudah beres dandan, ia pergi cuci lubang kupingnya, akan kemudian tutup pula itu dengan pupur yang baru, yang
diaduk dengan minyak. Dengan hati-hati ia berkaca, akan
periksa kuping itu, kemudian baru ia buka pintu, akan
perdengarkan suaranya pula: "Jongos! Bawa air cuci muka!"
Satu jongos jawab suara itu dan tidak lama ia muncul
dengan dua baskom terisi air.
Sementara itu Siu Hiang sudah bereskan selimut dan
seprei, ia telah pakai sepatunya akan samperi kaca, untuk sisiri rambumya. Ketika jongos datang, ia tanya apa bubur sudah sedia.
"Segera akan disajikan, nyonya," menjawab jongos itu.
"Lebih dahulu kasih makan kucingku ini!" kata Kiau Liong, dengan suaranya yang dibikin-bikin, seperti
suaranya orang lelaki.
"Baik, toaya ... "
"Tadi malam ada terjadi apa?" si nona tanya. "Siapa itu yang menjerit?"
Jongos itu kaget, dengan muka pucat dan mendelong, ia
awasi tetamunya itu, kemudian ia geleng kepala.
"Aku tidak tahu, toaya ... "
Kiau Liong ambil handuk untuk susuti mukanya, ia
duduk di kursi sambil kasih dengar suara tertawa yang
dingin, kemudian dengan mala melotot, ia kata pada jongos itu: "Kasih tahu kuasa hotel, jikalau di waktu malam ia ijinkan sembarang orang masuk kemari, untuk bikin banyak berisik, mengganggu pada para tetamu hingga para tetamu
sukar mendapat tidur, perusahaannya tak bisa maju! Dan
kita, bila kelak datang pula ke Pooteng ini, sudah pasti tak sudi ambil kamar lagi di sini!"
"Ya, toaya, baik, baik ... " sahut jongos itu.
Kemudian, dengan lagaknya satu suami, Kiau Liong
kata pada Siu Hiang: "Ambil uang duapuluh tail, kasih pada dia ini, buat dia sebentar pergi ke kota untuk beli daun teh yang bagus, umpamanya teh Liongchee serta beberapa
bungkus hio wangi, begitupun satu kipas yang indah!"
Siu Hiang ambil uang yang disebutkan, ia kasihkan itu
pada si jongos, siapa telah terima itu untuk terus undurkan diri.
Seperginya si jongos, Kiau Liong minta Siu Hiang
cacingi rambutnya, kemudian ia rebah-rebahan sambil buat main Soat Hou.
Tidak lama jongos datang dengan bubur.
Belum terlalu lama sehabisnya "suami isteri" ini
bersantap pagi, jongos yang diperintah belanja telah
kembali dan serahkan barang belanjaannya berikut uang
kelebihannya. Siu Hiang adalah yang terima itu semua.
"Tolong ambilkan aku pit, bak dan bakhie," Kiau Liong kemudian minta. Ia hendak menulis di atas kipas. Tetapi ia tidak dapatkan pit yang bagus, ia tidak bisa menulis dengan huruf-huruf yang halus, terpaksa ia menulis dengan hurufhuruf separo co-jie dan separo biasa. Dan apa yang ia tulis adalah berupa syair. Sesudah menulis, ia letaki kipas di atas meja, akan tunggu keringnya bak.
Itu hari, sampai tengah hari, Kiau Liong tidak keluar dari hotel. Kemarin ia telah tempur To Hong sekalian dan
malamnya orang telah satroni ia, tetapi ini siang, dari pagi, tidak ada siapa juga yang datang mencari ia, umpamanya
untuk ditantang berkelahi. Maka itu, percaya bahwa orang telah jeri terhadap ia, hatinya jadi lega.
"Lekas sediakan barang makanan," kata ia pada jongos, yang ia teriaki.
Sehabisnya dahar, nona Giok suruh jongos siapkan
kudanya. Tentang si tukang kereta, yang kemarin ia hajar, ia tidak sebut-sebut, sedang sejak tadi fajar, tukang kereta itu sudah kabur bersama keretanya. Ia hanya perintah
jongos carikan ia sebuah cambuk lain.
"Ini hari kau mesti tunggang kuda," kata ia pada Siu Hiang. Ia telah punyakan kuda, ialah kuda yang kemarin
sore ia rampas dari rombongannya To Hong.
Selagi berhitungan uang sewa kamar dan makanan, Kiau
Liong serahkan sepuluh tail pada kuasa hotel.
"Kemarin To Hong dan orang-orangnya telah datang
kemari mencari onar," ia kata pada kuasa hotel itu. "Kau tentunya ketahui segala apa! Aku lihat kau mestinya ada
satu konco dari mereka!"
"Bukan, toaya, bukan," sahut si kuasa hotel, sembari menjura. "Dengan terus terang aku bilang, aku bukannya konco mereka hanya aku tidak berani mendapat salah dari
mereka itu ... "
"Aku juga tidak mau rewel dengan kau," ia bilang.
"Kemarin ini aku telah dapatkan seekor kuda dari To Hong,
kuda itu bukannya kuda curian atau rampasan, maka ini
uang sepuluh tail perak, aku ingin kau serahkan pada To
Hong, sebagai harganya kuda itu."
"Toaya sungguh adil!" kata kuasa hotel, sambil manggut-manggut. "Sebentar aku nanti kirim orang untuk sampaikan uang ini."
Kiau Liong manggut. Oleh karena Siu Hiang sudah siap,
ia lantas ajak budaknya itu keluar.
Selama di Sinkiang, Siu Hiang juga pernah belajar
menunggang kuda, malah ia bilang, menunggang kuda ada
terlebih gampang daripada menunggang keledai. Tapi
sekarang ia dapatkan kesukaran, sedang pauhok pun diikat pada kudanya itu. Tidak demikian dengan si nona, yang
cuma membawa pedang dan kucingnya, yang termuat
dalam semacam naya.
"Jangan cepat-cepat, aku tak bisa duduk tetap!" kata Siu Hiang, ketika nonanya hendak dului ia.
Kiau Liong tadinya jalan di sebelah belakang sambil
berkipas. "Jangan kau takut," kata nona itu. "Semakin kau ketakutan, semakin kau duduk tak tetap! Beranikan hati,
tidak apa-apa!"
Mereka ambil jalan besar, menuju ke selatan. Di jalanan
ini tidak ada banyak lain orang. Jalanan pun semakin lama jadi semakin jelek, tidak lempang.
Awan putih bergulung-gulung, menutupi matahari,
hingga langit seperti mendung.
Kiau Liong sudah jalan jauh juga, melihat sekitarnya, ia jadi sedikit bingung. Ia merasa lewat dengan cepat. Ia
sekarang berada di antara dua tepi sawah. Jalanan jadi
semakin sempit. Ia tidak melihat kampung atau rumah
orang. Benar selagi ia berpikir, mendadakan ia dengar suara berisik jauh di sebelah belakang ia. Itu ada suara berisik dari kaburnya banyak kuda. Maka ia menoleh dengan segera.
Pendekar Sakti Suling Pualam 15 Duri Bunga Ju Karya Gu Long Pedang Berkarat Pena Beraksara 8

Cari Blog Ini