Ceritasilat Novel Online

Ilmu Ulat Sutera 14

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying Bagian 14


denganku atas kekalahannya di tangan Ci-siong Tojin tempo
hari?" "Mungkin juga dia ingin mengajak Bu-tong-pay bekerja sama
menggempur Bu-ti-bun," kata Thian-ti dengan mata setengah
terpejam. Fu Giok-su langsung mengulaskan senyuman lebar.
"Seandainya benar demikian, tentunya bagus sekali. Dengan
bergabungnya Go-bi-pay dan Bu-tong-pay, tidak takut Bu-tibun masih bisa berdiri lebih lama lagi." Dia tertawa terbahakbahak. Kali ini suaranya lebih menyeramkan daripada suara
tawa Thian-ti tadi.
***** Dugaan Thian-ti memang tidak salah. Pada hari kedua
menjelang matahari berada di atas kepala, surat undangan
Kuan Tiong-liu sudah sampai. Tentu saja Fu Giok-su
menyambutnya sebagai Ciangbunjin Go-bi-pay.
Kuan Tiong-liu menyatakan minatnya mengajak Bu-tong-pay
bekerja sama menggempur Bu-ti-bun. Fu Giok-su
menyambutnya dengan gembira. Meskipun Kuan Tiong-liu
adalah seorang pemuda yang cerdas, tapi dalam hal kelicikan,
dia masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan Fu Giok-su.
Dalam dunia Kangouw, asal-usul Fu Giok-su masih
merupakan misteri. Sedangkan para murid Bu-tong-pay
memercayai dia sepenuhnya tanpa pernah tebersit kecurigaan
1084 sedikit pun. Apalagi partai lainnya. Sikapnya tidak pernah
meragukan. Caranya berbicara ataupun menghadapi tamu
jauh lebih berwibawa daripada Kuan Tiong-liu.
Pada dasarnya dia memang keturunan tokoh terkenal. Nenek
moyangnya pernah menggetarkan dunia persilatan sebagai
tokoh paling misterius pada zamannya. Baik didikan ataupun
silsilah keluarga saja, Kuan Tiong-liu sudah bukan apa-apa
dibandingkan dengannya.
"Bu-ti-bun adalah musuh seluruh Bu-lim. Asalkan Go-bi-pay
dan Bu-tong-pay bergabung menyerangnya, partai lurus
lainnya pasti tidak akan tinggal diam. Mereka pasti turun
tangan memberi bantuan untuk membasmi kejahatan Bu-tibun yang sudah sekian lama merajalela. Ajakan Kuanciangbunjin memang tepat. Kalau bukan kita yang memulai,
partai lain tentu belum berani mengambil tindakan mengingat
besar dan kuasanya Bu-ti-bun di dunia Kangouw saat ini."
"Tidak salah!" sahut Kuan Tiong-liu dengan nada berat. "Tapi
ular tidak mungkin tanpa kepala. Kita harus memilih seorang
bengcu untuk memimpin penyerangan ini!"
Fu Giok-su merenung sejenak. Kemudian dia tertawa lebar.
"Kalau dihitung dari usia, bengcu seharusnya dijabat oleh
Kuan-heng."
Diam-diam hati Kuan Tiong-liu senang sekali mendengar katakata Fu Giok-su. Tapi dia pura-pura menolaknya agar terlihat
rendah diri dan tidak sok. "Keputusan ini kurang adil. Menurut
pandangan Siaute, lebih baik mengikuti peraturan Bu-lim.
Memilih bengcu berdasarkan tingginya ilmu silat masingmasing." 1085 Kuan Tiong-liu berhasil mengalahkan Hay-liong Lojin dengan
mengandalkan Lok-jit-kiam-hoatnya yang sudah mencapai
taraf kesempurnaan. Tentu saja rasa percaya dirinya lebih
besar lagi sekarang. Tentu saja Fu Giok-su juga tidak
menolak. Tidak mudah mendapat seorang lawan seperti Kuan
Tiong-liu. Kebetulan dia bisa menguji sampai di mana hasil
latihan Coa-tiau-cap-sa-sut yang dilatihnya.
Salah seorang murid Bu-tong segera turun ke bawah gunung
untuk mengambil pedang Kuan Tiong-liu yang ditinggalkan di
tempat itu. Fu Giok-su sendiri tidak menggunakan senjata
yang biasa dipakainya. Dia sembarangan mengambil
sebatang toya dari penyimpanan senjata. Kali ini dia sama
sekali tidak berminat mengerahkan Bu-tong-liok-kiat dalam
menghadapi lawannya.
***** Di luar pendopo angin bertiup dengan kencang. Batasnya
memang hanya saling menutul saja. Tapi ketika kedua orang
mulai bertarung dengan seru, tanpa terasa hati para murid Butong menjadi tegang.
Kuan Tiong-liu berniat menyelesaikan pertandingan itu dalam
waktu secepatnya. Begitu berhadapan dengan Fu Giok-su, dia
langsung memainkan tiga jurus terakhir dari Lok-jit-kiam-hoat.
Serangannya gencar sekali. Pertama-tama Fu Giok-su
menghindar serangan tersebut secara asal-asalan saja.
Namun ketika jurus kedua mulai dimainkan oleh Kuan Tiongliu, dia pun tidak ayal lagi. Coa-tiau-cap-sa-sut langsung
dilancarkan. Tubuh Fu Giok-su meluncur bagai seekor rajawali
sakti yang mengincar mangsanya. Kadang-kadang
1086 gerakannya berubah laksana seekor ular yang siap menggigit.
Sekali waktu dia melayang di udara, sekejap kemudian dia
seakan melata di atas tanah. Perubahan yang dilakukannya
berturut-turut terlihat ruwet sekali. Bahkan orang yang ilmunya tidak seberapa tinggi langsung berkunang-kunang matanya
mengikuti gerakan Fu Giok-su.
Kuan Tiong-liu terkejut sekali. Tiga jurus terakhir Lok-jit-kiam-hoat telah dikerahkan seluruhnya, tapi dia tetap tidak sanggup
menahan Fu Giok-su apalagi menyentuh tubuhnya. Baru saja
dia berniat mengerahkan kembali tiga jurus terakhir Lok-jitkiam-hoat, toya Fu Giok-su sudah meluncur mengancamnya.
Kuan Tiong-liu tidak berani ayal. Cepat-cepat dia mencelat
mundur beberapa langkah. Fu Giok-su malah bagaikan seekor
ular yang menerjang terus. Kecepatannya sungguh
mengejutkan. Toya di tangannya juga ibarat seekor ular
berbisa yang siap menggigit musuhnya. Enam puluh empat
kali berturut-turut dia menyerang Kuan Tiong-liu. Pada
serangan yang keenam puluh empat, Fu Giok-su melihat titik
kelemahan Kuan Tiong-liu. Toyanya langsung menerjang
masuk. Tampaknya toya itu akan menghantam hancur
pangkal lengan Kuan Tiong-liu. Tapi pada detik yang
menegangkan itu, tiba-tiba Fu Giok-su menarik kembali
senjatanya kemudian gerakannya pun terhenti.
Wajah Kuan Tiong-liu berubah hebat. Tapi dia berusaha
menahan kekesalannya. Pedangnya sendiri ditarik kembali.
"Ilmu simpanan Bu-tong-pay ternyata merupakan pusaka yang
tidak tertandingi. Aku Kuan Tiong-liu mengaku kalah.
Kedudukan bengcu memang tepat dijabat oleh Fu-heng!"
Fu Giok-su menggelengkan kepalanya. "Meskipun Siaute
1087 menang setengah jurus, tapi bagaimana pun pengalaman
dalam dunia Kangouw masih dangkal. Menurut pendapat
Siaute, lebih baik urungkan saja niat memilih bengcu. Urusan
besar maupun kecil, kita rundingkan bersama dan mencari
keputusan yang adil!"
"Ini ...." Kuan Tiong-liu memerhatikan Fu Giok-su dengan
tajam. Tapi dia tidak menemukan apa pun yang
mencurigakan. Ucapan yang dikeluarkan oleh Fu Giok-su
demikian tulus. Hatinya tergerak. Dia sudah mempunyai
perhitungan yang matang. Akhirnya dia menganggukkan
kepala tanda setuju dengan usul Fu Giok-su tadi.
Fu Giok-su langsung-mengajak Kuan Tiong-liu duduk di
ruangan dalam. Sementara itu, dia juga memerintahkan
kepada salah seorang anak buahnya untuk mengantarkan
surat tantangan kepada Tok-ku Bu-ti. Dalam surat itu
dinyatakan bahwa dia mengajak Tok-ku Bu-ti bertemu di
Kuan-jit-hong, Giok-hong-teng, untuk bertanding secara adil.
Batas waktu setengah tahun yang dijanjikan juga sudah
hampir sampai. "Ketika aku bertarung melawan Tok-ku Bu-ti di Giok-hongteng. Kuan-heng segera mengumpulkan para murid Go-bi-pay
dan Bu-tong-pay dan mengadakan serangan ke Bu-ti-bun.
Basmi perkumpulan itu sampai bersih," Fu Giok-su
mengemukakan siasat yang sudah dipikirkannya matangmatang. Tentu saja Kuan Tiong-liu setuju. Dengan ilmu silat yang
dimiliki oleh Fu Giok-su, seandainya dia dapat mengalahkan
Tok-ku Bu-ti tapi dia sendiri pasti tidak terhindar dari luka yang cukup parah. Pada saat itu, dia baru turun tangan menghadapi
1088 Fu Giok-su dan kalau perlu merampas kedudukannya sebagai
Ciangbunjin Bu-tong-pay.
Sudah pasti dia tidak mengemukakan hatinya kepada siapa
pun. Bahkan wajahnya pun tidak menunjukkan perasaan apaapa. Sampai dia memohon diri kepada Fu Giok-su dan turun
ke bawah gunung, dia baru mengeluarkan suara tawa dingin
dua kali. Tapi hanya dua kali suara tawa dingin itu saja.
Fu Giok-su sendiri juga tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
***** Malam hari, kentungan ketiga baru saja terdengar. Di dalam
telaga dingin, Fu Giok-su mengemukakan siasat yang akan
dijalankannya di hadapan Thian-ti.
"Dalam pertarungan hari ini, meskipun aku menempuh bahaya
dengan memenangkan Kuan Tiong-liu secara nekat, tapi
dalam pandangan para murid Bu-tong-pay, kedudukan
sekarang bagaikan pohon besar dan kukuh. Di samping itu,
aku juga tidak menghilangkan muka Kuan Tiong-liu di depan
umum. Tentu saja diam-diam orang itu bersyukur dan para
murid Bu-tong menganggap Sun-ji berjiwa besar. Kuan Tiongliu adalah manusia yang angkuh dan tinggi hati. Ambisinya
juga besar sekali. Aku tahu apa yang terkandung di hatinya.
Dia tentu mengira dalam pertarungan melawan Tok-ku Bu-ti,
setidaknya aku akan terluka parah. Dia sendiri pasti akan
mengerahkan segenap tenaga untuk membasmi Bu-ti-bun.
Pada saat itu, kita baru meringkusnya juga belum terlambat."
Thian-ti yang melihat cucunya demikian cerdas dan banyak
akal, tentu saja hatinya girang tak terkatakan.
1089 ***** Pada malam yang sama, Tok-ku Bu-ti telah membuat sebuah
keputusan. Dia akan menikahkan Tok-ku Hong dengan
Kongsun Hong. Sudah pasti Kongsun Hong menerima
keputusan itu dengan gembira. Sedangkan Tok-ku Hong
terkejut sekali. Dia langsung mengunci dirinya dalam kamar
dan tidak menemui siapa pun.
Berita dengan cepat tersebar ke seluruh kantor maupun
cabang Bu-ti-bun. Bahkan dayang Sen Man-cing yang
bernama Guat Ngo juga sudah mendengar berita ini. Setelah
mendapat laporan dari Guat Ngo, Sen Man-cing tetap tidak
menunjukkan reaksi apa-apa. Dia duduk termenung kurang
lebih setengah kentungan. Akhirnya dia memerintahkan Guat
Ngo untuk mengundang Tok-ku Bu-ti datang ke tempat
tinggalnya. Tok-ku Bu-ti sendiri juga mempertimbangkan sekian lama,
baru melangkahkan kakinya menuju Liong-hong-kek.
***** Angin malam berembus dari tirai jendela. Sen Man-cing masih
duduk di tempatnya semula. Di hadapannya ada sebuah
lentera yang melambai-lambai tertiup angin. Ketika telinganya
menangkap suara langkah kaki manusia, baru dia menolehkan
kepalanya. Dia melihat Tok-ku Bu-ti melangkah ke dalam kamar, cepatcepat dia memalingkan kepalanya. Melihat keadaan itu, Tokku Bu-ti memperdengarkan suara tertawa dingin satu kali. Dia
1090 membalikkan tubuhnya berjalan ke arah pintu. Di situ dia
menghentikan langkah kakinya.
"Apakah aku salah masuk?" tanyanya datar.
"Kau tidak salah masuk. Tetapi apa yang kau lakukan baru
dapat dikatakan kesalahan besar!" nada Sen Man-cing bahkan
lebih dingin lagi.
"Kesalahan besar?" Tok-ku Bu-ti tentu tahu apa yang
dimaksudkan oleh Sen Man-cing, tetapi dia pura-pura tidak
tahu. "Hal apa yang kau maksudkan?"
"Urusan yang satu ini!"
"Aku rasa yang kau maksudkan mungkin pernikahan Hong-ji."
Sen Man-cing tidak menyangkal.
"Akhirnya kau harus memohon kepadaku juga," kata Tok-ku
Bu-ti tertawa bangga.
"Aku hanya mengingatkan," sahut Sen Man-cing sepatah demi
sepatah. "Hong-ji sama sekali tidak ada perasaan apa-apa
terhadap Kongsun Hong."
"Perasaan bisa dibina perlahan-lahan."
"Apakah manusia seperti engkau mengerti apa yang
dinamakan perasaan?"
"Aku hanya tahu bahwa aku mempunyai hak mengurus
pernikahan Hong-ji!"
1091 "Tapi kau harus berpikir demi Hong-ji. Pernikahan bukan
permainan. Ini masalah besar yang menyangkut seumur hidup
Hong-ji!" nada Suara Sen Man-cing begitu pilu. "Kau
memaksanya menikahi seorang laki-laki yang tidak
dicintainya. Bukankah sama saja kau ingin membuat dia
menderita sepanjang hidup ini?"
"Urusan apa pun hanya aku yang berhak menentukan. Tidak
ada hubungan denganmu!"
"Hong-ji adalah anak kandungku. Bagaimana kau bisa
mengatakan tidak ada hubungannya?"
"Anak kandungmu!" wajah Tok-ku Bu-ti berubah menghijau.
"Lalu, mengapa kau tidak mengatakan terus terang apa yang
telah kau lakukan tempo dulu?"
Dengan hati pedih Sen Man-cing menundukkan kepalanya.
Tok-ku Bu-ti juga tidak banyak bicara lagi. Dia membalikkan
tubuhnya berjalan keluar. Dibantingnya pintu kamar keraskeras. Sen Man-cing mendongakkan kepalanya. Mulutnya
membuka, tapi akhirnya dia tidak jadi memanggil.
Kepalanya tertunduk semakin rendah. Berulang kali dia
menarik napas panjang. Entah berapa lama telah berlalu,
Tiba-tiba terdengar suara pintu didorong dari luar. Sen Mancing menghela napas sekali lagi.
"Apakah kau sudah mempertimbangkan kembali?" tanyanya
dengan kepala tetap tertunduk.
"Ibu, apa yang harus dipertimbangkannya kembali?" yang
1092 masuk rupanya Tok-ku Hong.
Sen Man-cing tertegun. Dia mendongakkan kepalanya
perlahan-lahan. "Hong-ji, sudah larut malam. Mengapa kau
masih belum tidur juga?"
"Bukankah ibu juga sama saja?"


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dalam keadaan begini, mana mungkin bisa tidur nyenyak?"
Sen Man-cing menarik napas sekali lagi.
Tok-ku Hong terdiam.
"Ibu sudah tahu semuanya," kata Sen Man-cing dengan nada
pilu. Keduanya merenung sekian lama.
"Kau tidak ingin menikah dengan Kongsun Hong bukan?"
kembali Sen Man-cing membuka suara.
Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya. Sen Man-cing
tertawa sumbang. "Ada bagusnya keputusanmu itu. Daripada
menderita seumur hidup," kata Sen Man-cing selanjutnya.
"Tapi Tia berkeras ...."
"Ayahmu memang picik pikirannya. Hong-ji, bagaimana
dengan keputusanmu sendiri?"
Mata Tok-ku Hong bersinar terang. "Aku akan meninggalkan
tempat ini!"
1093 "Apa yang kau rasa baik, lakukanlah!" Sen Man-cing membelai
rambut Tok-ku Hong. "Tapi dunia Kangouw penuh dengan
kejahatan dan kelicikan. Kau harus berhati-hati!"
"Kelak ibu akan lebih kesepian lagi!"
"Kau tidak perlu khawatir. Ibu sudah terbiasa."
"Ibu, lebih baik kita pergi bersama-sama saja!"
Sen Man-cing menggelengkan kepalanya. Tok-ku Hong
merasa heran. "Ibu, aku benar-benar tidak mengerti ...."
"Kelak tentu kau akan mengerti. Kalau aku pergi sekarang,
kesalahan terletak pada ibumu ini. Sudahlah, lebih baik kau
pergi sendiri saja!"
"Kalau begitu, sekarang juga Hong-ji mohon diri kepada Ibu.
Harap Ibu menjaga diri baik-baik," Tok-ku Hong menjatuhkan
diri dan berlutut di atas tanah. Dia menyembah sebanyak tiga
kali. Ketika dia berdiri air matanya sudah mengembang.
Sen Man-cing menahan kepedihan hatinya dalam-dalam.
Sampai Tok-ku Hong meninggalkan kamar itu, barulah air
matanya berderai dengan deras.
***** Siang terik pada hari kedua. Tok-ku Bu-ti baru tahu bahwa
Tok-ku Hong sudah menghilang. Dia marah sekali. Dia segera
kembali ke ruangan pendopo dan menurunkan Panji Telapak
Darah. Dia memerintahkan kepada seluruh anggotanya untuk
membunuh Tok-ku Hong apabila berhasil menemukan gadis
1094 itu. Tidak ada orang yang berani melarang. Demikian pula
Kongsun Hong. Kali ini marah Tok-ku Bu-ti tampaknya benarbenar meledak. ***** Suasana sunyi mencekam. Pagi sudah tiba. Sinar matahari
yang timbul menerobos lewat jendela. Tok-ku Hong sudah
bangun. Dipandangnya sekitar rumah tua di mana dia berada.
Tanpa sadar dia menarik napas panjang.
Sekarang merupakan hari kedua dia meninggalkan Bu-ti-bun.
Rasa kesepian dan kesendirian semakin lama semakin
menggelayuti hatinya. Keadaan saat ini tidak sama dengan
saat pertama kali dia pergi dari Bu-ti-bun karena marah.
Sekarang dia tidak punya rumah lagi untuk pulang. Ke mana
tujuannya, dia sama sekali tidak tahu. Asal di depannya masih
ada jalan yang dapat ditempuh, dia melangkah terus. Dia
sama sekali tidak menyangka bahwa jejaknya sudah berada di
bawah pengawasan para penyelidik Bu-ti-bun dan laporan
sudah sampai di kantor pusat.
Suara helaan napas masih terdengar, seseorang sudah
muncul di depan pintu. Orang itu memandangnya dengan
mulut cengar-cengir.
"Tampaknya kedatanganku saat ini memang tepat. Tidak
sampai mengejutkan mimpi Toasiocia yang indah!"
"Kiu-bwe-hu!" seru Tok-ku Hong tanpa sadar setelah melihat
1095 jelas siapa orang yang masuk itu. "Untuk apa kau datang
kemari?" Jilid 24 Tangan Kiu-bwe-hu bergerak. Dia telah menggenggam
sebuah Panji Telapak Darah. "Perintah dari Pangcu, harap
Siocia ikut aku pulang sekarang juga!"
"Kalau aku tidak bersedia?"
"Pangcu juga menurunkan perintah, kalau membangkang
boleh dibunuh!"
Tok-ku Hong tertawa dingin. Goloknya langsung dicabut.
"Kalau kau berani menghalangi aku, golokku ini juga tidak
segan-segan membunuhmu!"
"Tampaknya aku tidak mempunyai pilihan lain. Maafkan
kelancanganku!" Sekali lagi tangan Kiu-bwe-hu bergetar.
"Tar!" sebuah pecut panjang disentakkan ke depan.
Golok Tok-ku Hong segera berputar. Dua gulung sinar
berkilauan menyelimuti tubuh Kiu-bwe-hu. Pecut panjang di
tangan Kiu-bwe-hu tidak dapat dilontarkan dengan leluasa
dalam ruangan yang sempit itu. Terdengar suara "crepp!"
Ujung cambuk tertebas putus oleh golok Tok-ku Hong.
Pada saat yang bersamaan, dari bagian ujung pecut yang
bekas ditebas oleh Tok-ku Hong tadi keluar seembusan asap
merah. Tok-ku Hong sedang menerjang ke arahnya. Otomatis
1096 asap merah itu pun terhirup olehnya. Gadis itu terkejut sekali.
Dia cepat-cepat mundur dan menutup pernapasannya. Namun
bagaimanapun dia sudah sempat mengisap asap merah itu.
Kepalanya pening seketika. Tubuhnya terkulai ke tanah.
"Ilmu silat Toasiocia tidak diragukan lagi memang cukup tinggi.
Tapi pengalaman dunia Kangouw sayangnya masih terlalu
cetek!" Kiu-bwe-hu menyimpan kembali pecut panjangnya. Dia
mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Manusia rendah!" Tok-ku Hong menekan goloknya di atas
tanah dan berusaha bangkit. Dia memaki-maki Kiu-bwe-hu
secara serabutan. Rasa pening di kepalanya semakin lama
semakin berat. Kiu-bwe-hu menghampiri gadis itu perlahan-lahan. Tok-ku
Hong mendelik kepadanya. "Bunuh saja aku!" teriaknya
dengan penuh kebencian.
"Membunuhmu" Aku tidak sebodoh itu. Pendirian Pangcu
tidak dapat dipastikan. Apabila dia menyesal, aku malah kena
getahnya. Bisa-bisa aku mati tanpa kuburan," Kiu-bwe-hu
tertawa dingin. "Lebih baik aku bawa kau pulang saja. Ada
Kongsun Hong yang membelamu. Lagi pula kau toh putri
Pangcu. Pasti tidak akan mati."
Hati Tok-ku Hong panik sekali. Otaknya segera bekerja
mencari jalan keluar. "Lebih baik kau lepaskan saja aku. Kalau
kau bawa aku kembali ke Bu-ti-bun, aku akan melaporkan
kepada Pangcu bahwa kau telah berbuat tidak senonoh
kepadaku. Sampai saat itu aku ingin tahu ada berapa lembar
nyawa yang kau miliki!"
1097 Mendengar kata-kata itu, Kiu-bwe-hu langsung tertegun. Tokku Hong tertawa dingin.
"Pertimbangkanlah baik-baik!"
Bola mata Kiu-bwe-hu mengerling ke sekitar tempat itu.
"Seandainya aku melepaskan engkau begitu saja, lalu
diketahui oleh Pangcu, sama saja akibatnya. Belum tentu
jiwaku bisa dipertahankan. Rasanya lebih baik aku pulang dan
melaporkan bahwa kau membangkang dan aku telah
kesalahan tangan membunuhmu."
"Kau berani membunuh aku?"
"Di sini hanya ada kita berdua. Dan orang mati sudah pasti
tidak bisa berbicara!" Kiu-bwe-hu tertawa seram. Tiba-tiba dia
mengulurkan tangan meraba pipi Tok-ku Hong sekilas.
"Dengan kata lain, bagaimanapun aku memperlakukanmu
sebelum kau mati, Bu-ti belum tentu bisa tahu."
Bulu kuduk Tok-ku Hong merinding seketika, Kiu-bwe-hu
membungkukkan tubuhnya dan tertawa cengar-cengir.
"Bisa bermesraan dengan nona secantik dirimu, mati pun aku
rela!" Dia mengulurkan tangan melepas kancing pakaian Tokku Hong satu per satu. Gadis itu tidak mempunyai tenaga
sedikit pun untuk melawan. Tanpa sadar air matanya mengalir
turun. Kiu-bwe-hu semakin senang. Dia tertawa terbahak-bahak.
Tepat pada saat itu juga, suara angin terdengar mengembus.
Segurat cahaya dingin menghantam belakang punggung Kiu1098 bwe-hu. Orang itu menjerit ngeri. Tubuhnya mencelat namun
terjatuh lagi di depan Tok-ku Hong. Belakang punggungnya
telah tertancap sebuah Jit-goat-lun.
Tok-ku Hong segera mengenali bahwa senjata itu adalah milik
Kongsun Hong, dia langsung mendongakkan wajahnya.
Kongsun Hong berdiri tegak di depan pintu. Kemudian laki-laki
itu melangkah ke dalam. Dibalikkannya mayat Kiu-bwe-hu
dengan ujung kaki. Setelah itu dia menggeledah seluruh tubuh
orang itu. Dari saku Kiu-bwe-hu dia mengambil sebuah botol
giok kecil. Dibukanya tutup botol tersebut lalu diendusnya di
depan hidung. Kakinya menendang mayat Kiu-bwe-hu sampai
terpental ke dinding yang ada di halaman. Lalu menghampiri
Tok-ku Hong. Dia membungkuk di depan gadis itu dan meraba
pipinya. "Apa yang kau inginkan?" bentak Tok-ku Hong tanpa sadar.
Kongsun Hong hanya memencet kedua belah pipinya agar
mulutnya terbuka. Setelah itu dia memasukkan sebutir pil yang
diambil dari botol giok kecil tadi dan memasukkannya ke mulut
Tok-ku Hong. Serangkum hawa segar langsung terasa di tenggorokan.
Perasaan Tok-ku Hong juga jauh lebih nyaman. Saat itu dia
baru menyadari bahwa Kongsun Hong memberinya obat
penawar asap merah tadi. Dia merasa malu karena telah
menduga yang bukan-bukan.
Kongsun Hong melempar botol giok di tangannya ke atas
tanah. Dia membalikkan tubuh dan melangkah pergi. Tetapi
Tok-ku Hong memanggilnya dengan gugup, "Apakah kau
sudah mau pergi?"
1099 "Suhu kali ini benar-benar marah. Lain kali kau harus lebih
berhati-hati!" nada suara Kongsun Hong berat sekali, tapi dia
tidak menolehkan kepalanya.
"Sekarang kau toh sudah menemukan aku. Kau bisa menyeret
aku pulang!"
"Kau kira aku sampai hati membawamu pulang lalu melihat
kau mati di tangan Suhu!" Kongsun Hong mendorong pintu,
kepalanya tetap tidak menoleh. Tubuhnya melesat lalu
menerjang keluar.
***** Dengan tertegun Tok-ku Hong memandang kepergian
Kongsun Hong. Dia tidak dapat melukiskan bagaimana
perasaannya saat itu. Setelah meninggalkan rumah tua itu,
Tok-ku Hong meneruskan langkahnya tanpa tujuan.
Hatinya semakin tertekan. Dia tidak meragukan apa yang
dikatakan oleh Kongsun Hong, dan dia juga mulai menyadari
betapa dalam cinta kasih laki-laki itu kepadanya.
***** Orang yang berlalu-lalang di jalan raya tidak banyak. Tapi
setiap kali ada yang berpapasan dengannya, mereka pasti
melihat Tok-ku Hong dengan tatapan aneh. Namun dia tidak
peduli. Orang-orang itu juga tak acuh.
Hanya dua orang yang merupakan kekecualian. Kedua orang
itu mendatangi dari arah yang berlawanan. Mereka sudah
1100 melewati Tok-ku Hong lalu mendadak menghentikan langkah
kakinya. Mereka saling pandang sekilas. Kemudian kaki
mengentak, tubuh melesat ke udara dan melayang turun di
hadapan Tok-ku Hong.
Gadis itu terkejut. Dia memerhatikan kedua orang di depannya
dengan saksama. "Hek-pai-siang-mo!" serunya tanpa sadar.
"Tok-ku-siocia, sudah lama tidak bertemu," kata Pek-mo-cian
sambil tertawa lebar.
Tangan Tok-ku Hong perlahan-lahan meraba gagang
goloknya. Belum lagi dia mencabut senjatanya itu, Hek-mocian sudah menukas, "Apakah Tok-ku-siocia yakin dapat
menandingi kami?" baru saja ucapannya selesai, tangan Hekmo-cian sudah bergerak secepat kilat dan berhenti di atas
bahu Tok-ku Hong.
Gadis itu merasa sepasang pundaknya kesemutan. Tanpa
sadar kelima jarinya merenggang dari gagang pedang. Hekpai-siang-mo mengambil sepasang golok Tok-ku Hong dan
memutarnya beberapa kali. Mereka tertawa terkekeh-kekeh.
"Maafkan kelancangan kami."
"Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Hek-pai-siang-mo
yang merupakan jago kelas satu di Tibet adalah dua orang
manusia yang rendah," bentak Tok-ku Hong marah.
Hek-mo-cian tersenyum simpul.
"Kami tidak mempunyai maksud jahat. Kami hanya ingin
membawa Tok-ku-siocia untuk ditukarkan dengan semacam
1101 benda." "Benda apa?" tanya Tok-ku Hong kebingungan.
Sekali lagi Hek-mo-cian tertawa lebar.
"Soat-lian dari Ping-san!"
"Kami sudah menyelidiki sampai jelas. Tian-liong-siang-jin
merebut soat-lian yang akhirnya jatuh ke tangan Tok-ku Bu-ti,"
tukas Pek-mo-cian.
Tok-ku Hong menggelengkan kepalanya, "Kalian salah besar!"
Hek-mo-cian ikut-ikutan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Soat-lian dari Ping-san itu mempunyai khasiat besar. Sedikit
saja sudah cukup untuk menambah tenaga dalam atau
memperpanjang umur. Kami juga tidak serakah. Hanya ingin
meminta separuhnya saja. Tok-ku Bu-ti sendiri toh tidak perlu
begitu banyak. Kami membawa putri kesayangannya dan
menukar sedikit soat-lian, rasanya tidak keterlaluan."
"Tujuan kami melewati perbatasan kali ini adalah untuk
merebut soat-lian. Kalau belum berhasil, kami tidak akan
kembali begitu saja!" tukas Pek-mo-cian kembali.
Mendengar ucapan kedua orang itu, Tok-ku Hong sadar
percuma bicara banyak. Mereka bukan jenis manusia yang
mudah diberi pengertian. Dengan mengandalkan ilmu silatnya,
sudah pasti dia bukan tandingan Hek-pai-siang-mo. Akhirnya
dia hanya dapat menarik napas panjang.
1102

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Hek-mo-cian beralih ke arah golok di tangannya.
"Sepasang golok ini biar kami simpan sementara, bagaimana
menurut pendapatmu?"
Tok-ku Hong tertawa. "Andai kata aku bilang tidak boleh, apa
kalian akan mengembalikannya kepadaku?" sindir gadis itu.
"Kami tetap akan menyimpannya," Hek-pai-siang-mo tertawa
terbahak-bahak.
***** Angin bertiup kencang. Tanah kuning menimbulkan debu yang
beterbangan. Setelah melewati daerah bertanah kuning itu,
dari kejauhan sudah tampak pintu gerbang Bu-ti-bun yang
megah. Hek-pai-siang-mo membawa Tok-ku Hong berjalan di atas
tanah kuning ini. Tiba-tiba mereka menghentikan langkah
kakinya. Pek-mo-cian memandang Hek-mo-cian sekilas.
"Anggota Bu-ti-bun banyak sekali. Kita memang tidak takut
jumlahnya yang banyak, tapi sebaiknya kita menjaga segala
kemungkinan. Aku rasa lebih baik kita tinggalkan saja dia di
tempat ini."
Hek-mo-cian menganggukkan kepalanya tanpa menyahut.
Tiba-tiba tangannya terulur dan menutuk jalan darah Tok-ku
Hong. Gadis itu terkulai di atas tanah. Hek-mo-cian menyeret
Tok-ku Hong dan menyembunyikan di balik semak-semak.
Pek-mo-cian menggerakkan golok di tangannya. "Dengan
membawa sepasang golok ini saja, sudah cukup membuktikan
1103 bahwa putri Tok-ku Bu-ti ada di tangan kita!" katanya dengan
wajah berseri-seri.
***** Di bawah cahaya matahari, sepasang golok itu memancarkan
cahaya yang dingin. Tok-ku Bu-ti menerima pedang yang
disodorkan ke hadapannya. Matanya memandang sepasang
golok itu lekat-lekat. Sinar matanya lebih tajam dan lebih
dingin dari cahaya yang dipancarkan golok tersebut.
"Ini memang senjata yang biasa digunakan Hong-ji. Aku sering
mengajarkan bahwa golok ada, orangnya juga ada.
Tampaknya Hong-ji benar-benar sudah di bawah
cengkeraman kalian berdua," kata Tok-ku Bu-ti sambil
tersenyum lebar.
"Asalkan Buncu memberikan separuh dari Ping-san soat-lian
kepada kami, putri kesayangan Buncu ini pasti akan kembali
dengan selamat!"
Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak. "Baik!" Bawa Tian-liongsiang-jin kemari!"
Dua orang anggota Bu-ti-bun segera mengundurkan diri.
Kongsun Hong juga keluar dari ruangan tersebut. Sejak tadi
dia memerhatikan Hek-pai-siang-mo lekat-lekat. Kemudian
sinar matanya terpusat pada tanah kuning di alas kaki kedua
iblis hitam putih itu.
"Hek-pai-siang-mo tidak mungkin meninggalkan tawanannya
terlalu jauh. Sedangkan di daerah sekitar sini hanya ada satu
tempat yang tanahnya kuning."
1104 Kongsun Hong mengambil keputusan untuk mencoba-coba
keberuntungannya.
***** "Soat-lian sudah dimakan oleh Wan Fei-yang," jawaban Tianliong-siang-jin mengejutkan Hek-pai-siang-mo. Tapi mereka
tidak begitu heran.
"Kalian berdua sampai dikalahkan oleh Wan Fei-yang, apa
sebabnya, sekarang kalian tentu sudah mengerti," tukas Tokku Bu-ti sambil tersenyum lebar.
Hek-pai-siang-mo saling lirik sekilas. Keduanya menarik napas
panjang. Seharusnya mereka sudah dapat menduga mengapa
Wan Fei-yang yang usianya masih begitu muda dapat
mengalahkan mereka berdua dalam sekejap mata.
"Kami dua saudara sudah salah paham terhadap Buncu.
Untuk kesalahan ini, kami harap Buncu dapat memakluminya,"
kata Hek-mo-cian.
"Hong-kouwnio sebentar lagi akan kembali dengan selamat.
Kami dua saudara di sini juga memohon diri kepada Buncu,"
tukas Pek cian.
"Tunggu dulu!" wajah Tok-ku Bu-ti serius. "Datang sesuka hati,
pergi seenaknya. Kalian berdua tampaknya memandang
sebelah mata terhadap Bu-ti-bun!"
"Sama sekali tidak ada maksud demikian," sahut Hek-mo-cian.
"Apa yang Buncu inginkan dari kami berdua?"
1105 "Aku hanya ingin bertaruh dengan kalian berdua," kata Tok-ku
Bu-ti tenang. "Bertaruh" Bertaruh apa?"
"Bertaruh pertarungan silat. Lihat dalam seratus jurus apakah
aku sanggup mengalahkan kalian berdua?"
Wajah Hek-pai-siang-mo berubah hebat.
"Selama ini aku sangat mengagumi ilmu silat kalian berdua.
Apalagi sekarang Bu-ti-bun sedang membutuhkan tenaga.
Seandainya kalian berdua bersedia membantu kejayaan Bu-ti
...." "Maksud Buncu, apabila dalam seratus jurus kami berdua
dikalahkan oleh Buncu, maka kami harus masuk menjadi
anggota Bu-ti-bun dan mendengar perintah Buncu?"
"Kedudukan sebagai Wakil Buncu, rasanya tidak terlalu
merendahkan derajat kalian berdua bukan?"
Hek-mo-cian tertawa datar. "Kami berdua sudah terbiasa
dengan kehidupan liar. Hidup bebas tanpa ada yang
mengatur. Kalau dapat demikian seterusnya sampai tua,
merupakan suatu hal yang paling bagus."
"Kalau begitu, kita harus lihat sampai di mana kemampuan
kalian berdua!"
"Kami dua bersaudara sudah berada di tempat Bu-ti-bun,
rasanya bagaimanapun kami harus bertaruh bukan?" Hek-mo1106 cian mengangkat matanya menatap langit-langit. "Meskipun
sinkang Buncu sangat luar biasa, tapi dalam seratus jurus,
kami dua saudara mungkin masih bisa menghadapinya."
Tok-ku Bu-ti berdiri dari kursinya. Tongkat kepala naganya
sudah siap di tangan. Dengan mengentakkan tongkat itu di
tanah, dia berjalan turun dari undakan atas. Hek-pai-siang-mo
menenangkan hati untuk siap siaga. Pertarungan seru sudah
di depan mata. Sebentar lagi akan dimulai.
Tok-ku Bu-ti dengan tongkat kepala naga menghadapi dua
lawan sekaligus. Langkahnya penuh percaya diri. Dia bertekad
untuk mengalahkan Hek-pai-suang-mo. Di lembah sempit
tempo hari, Hek-pai-siang-mo sudah dikalahkan satu kali oleh
Tok-ku Bu-ti. Sekarang mereka berada di kandang lawan,
dalam kedudukan mereka sudah lemah tiga bagian.
Dalam pertarungan kali ini, sebetulnya Hek-pai-siang-mo
sudah setengah kalah. Masalahnya, apakah mereka sanggup
menerima seratus jurus dari Tok-ku Bu-ti"
***** Begitu meninggalkan kantor pusat, Kongsun Hong langsung
menghambur ke daerah bertanah kuning. Setelah mencari
dengan saksama, akhirnya dia berhasil menemukan Tok-ku
Hong di balik semak-semak.
Dia melepaskan tutukan yang terdapat pada tubuh Tok-ku
Hong, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia
membalikkan tubuh langsung meninggalkan tempat itu. Gadis
itu sendiri tidak tahu harus berkata apa. Dengan berat dia
menyeret kakinya pergi dari sana.
1107 Ketika Kongsun Hong kembali ke kantor pusat, Tok-ku Bu-ti
sudah bertarung sebanyak sembilan puluh tujuh jurus. Pada
saat itu juga, dia berhasil membuat golok di tangan Hek-paisiang-mo terlepas.
Hek-pai-siang-mo dikalahkan dengan hati ikhlas. Mereka
mengakui keunggulan Tok-ku Bu-ti. Mereka langsung
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tok-ku Bu-ti. Setelah itu
keduanya menuju daerah bertanah kuning untuk membawa
Tok-ku Hong kembali. Tapi mereka terkejut sekali ketika tidak
dapat menemukan gadis itu. Mereka cepat-cepat kembali ke
Bu-ti-bun dan melaporkan kejadian tersebut dengan hati kecut
kepada Tok-ku Bu-ti.
Ternyata Tok-ku Bu-ti tidak menyalahkan mereka.
"Selamanya nasib Hong-ji tidak terlalu buruk. Dia pasti dalam
keadaan baik-baik. Urusan sekecil ini, kalian berdua tidak
usah menyimpannya dalam hati," dia hanya mengucapkan
beberapa patah kata ini.
Setelah itu dia memerintahkan semua anggotanya keluar dari
ruangan itu, kecuali muridnya sendiri, Kongsun Hong.
Anak muda itu merasa agak curiga. Matanya tidak berani
menatap langsung wajah Tok-ku Bu-ti. Kepalanya tertunduk
dalam-dalam. Tok-ku Bu-ti melangkah perlahan menghampiri Kongsun
Hong. Tiba-tiba dia menepuk bahu muridnya dengan lembut.
"Benar-benar menyusahkan dirimu sampai-sampai kau harus
lari bolak-balik," katanya.
1108 Tubuh Kongsun tergetar. Dia menatap Tok-ku Bu-ti sekilas
kemudian menjatuhkan diri berlutut di hadapannya. "Tecu
bersedia menerima hukuman apa pun yang Suhu berikan,"
sahutnya tenang.
Tok-ku Bu-ti menggelengkan kepalanya. "Lagi-lagi terjerat
dalam huruf "asmara." Terlalu lugu bahkan terlalu bodoh." Dia
meneruskan langkah kakinya keluar dari ruang tersebut.
Tinggal ah Kongsun Hong sendiri di dalam ruangan dalam
keadaan tetap berlutut.
***** Matahari bersinar dengan terik. Angin kencang
mengembuskan pasir. Akhirnya Tok-ku Hong tidak kuat lagi.
Dia jatuh terkulai di pesisir pantai. Ombak besar mendeburdebur. Sudah beberapa hari ini dia seperti orang yang tidak waras.
Pertama-tama dia menyelinap ke atas Bu-tong-san. Namun
dia tidak berhasil menemukan Wan Fei-yang. Dia balik
kembali ke kota mencari ke rumah Lu Wang. Tapi anak muda
itu juga tidak ada di sana. Dia teringat Wan Fei-yang pernah
mengungkit persoalan Hai-liong Lojin kepadanya. Dia
mengambil keputusan untuk berspekulasi.
Beberapa hari berturut-turut dia berlari terus. Makan tidak
tetap, tidur tidak bisa nyenyak. Belum lagi sepanjang hari
diterpa angin kencang dan debu tebal. Belum lagi dia
mencapai tempat kediaman Hai-liong Lojin, tubuhnya sudah
tidak kuat lagi. Dia jatuh pingsan di tepi pantai.
1109 Entah berapa lama dia tidak sadarkan diri. Ketika
kesadarannya mulai pulih, dia mendapatkan dirinya terbaring
dalam sebuah kamar yang bersih. Dengan terkejut dia
melompat bangun. Setelah merasakan bahwa dirinya tidak
mengalami apa-apa, barulah hatinya menjadi tenang kembali.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang gadis manis masuk
dengan membawa sebaskom air. Gadis itu adalah Fu Hiongkun. Dia sama sekali tidak tahu siapa Tok-ku Hong. Hanya
kebetulan saja dia menemukan gadis itu terkapar di pantai.
Dia langsung mengangkatnya pulang tanpa berpikir panjang
lagi. "Kouwnio, akhirnya kau sadar juga," sapa Fu Hiong-kun
sambil meletakkan baskom berisi air hangat itu di atas meja
dekat samping tempat tidur.
"Kau yang menolong aku?" Tok-ku Hong segera dapat
menduga apa yang telah terjadi.
Fu Hiong-kun menganggukkan kepalanya, "Iya .... Mengapa
kau bisa berjalan sampai ke tempat ini?"
"Aku tersesat di jalan," sahut Tok-ku Hong yang merasa curiga
terhadap Fu Hiong-kun.
Gadis itu tidak menyadarinya. "Bagaimana aku harus
menyebutmu?"
Tok-ku mempertimbangkan sejenak. "Aku bernama Sangkuan
Hong," sahutnya kemudian. Fu Hiong-kun tetap tidak curiga
sedikit pun. 1110 ***** Yan Cong-tian juga tidak menaruh kecurigaan terhadap Tokku Hong. Dia malah tidak menutupi asal-usul dirinya.
Mendengar cerita orang tua itu, diam-diam Tok-ku Hong
terkejut setengah mati.
Setelah menetap beberapa hari di tempat itu, dia terus
mendengarkan dengan saksama pembicaraan mereka. Dia
tahu sebelumnya Wan Fei-yang ada bersama mereka. Dan
sekarang anak muda itu sedang menuju negara Fu-sang
untuk mencari obat untuk menyembuhkan Yan Cong-tian.
Setelah mengetahui bahwa Yan Cong-tian bermaksud
menjodohkan Fu Hiong-kun dengan Wan Fei-yang, hatinya
kacau dan sedih sekali. Rupanya diam-diam selama ini cinta
kasihnya telah tumbuh terhadap anak muda itu. Tadinya dia
merasa Wan Fei-yang juga mempunyai perasaan yang sama.
Sekarang hatinya menjadi bimbang. Apakah dia telah salah
tanggap atas sikap Wan Fei-yang selama ini"
Dia merasa iri terhadap Fu Hiong-kun. Tapi ia tidak
menunjukkan perasaannya di depan mereka. Kelembutan dan
kecantikan Fu Hiong-kun membuat hatinya semakin rendah
diri. Perasaan Fu Hiong-kun terhadap Wan Fei-yang, dia juga
tahu. Tapi dia tidak ingin putus asa begitu saja. Dia ingin
menunggu Wan Fei-yang kembali dan menanyakannya
dengan jelas. Di bawah perawatan Fu Hiong-kun dan Yan Cong-tian,
kesehatan Tok-ku Hong pulih dalam waktu yang singkat.
Meskipun kedua orang itu tidak mencurigai asal-usulnya,
1111 namun melihat Tok-ku Hong selalu bermuram durja sepanjang
hari, mereka merasa penasaran juga.
Beberapa hari berlalu lagi. Akhirnya Wan Fei-yang pulang
dengan selamat dan membawakan obat yang dibutuhkan Yan
Cong-tian. Dia tidak bertemu dengan Tok-ku Hong.
Diminumkannya obat tersebut kepada supeknya. Setelah
mendengarkan cerita Fu Hiong-kun tentang gadis yang
ditolongnya, semakin lama dia semakin curiga. Dengan
tergesa-gesa dia menghambur ke kamar di mana Tok-ku
Hong menginap. Kamar itu sudah kosong. Tidak ada bayangan Tok-ku Hong.
Tetapi Wan Fei-yang menemukan sebuah tusuk konde emas


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di atas bantal. Melihat tusuk konde itu, hati Wan Fei-yang
tergetar. Dia keluar dari kamar sambil berteriak-teriak
memanggil nama Tok-ku Hong.
Pada saat itu juga, Fu Hiong-kun baru tahu bahwa gadis yang
ditolongnya ialah putri Tok-ku Bu-ti, Tok-ku Hong adanya.
Baru saja dia berniat mengejar keluar, mendadak terdengar
suara ribut seperti ada benda berat yang terjatuh di kamar Yan
Cong-tian. Dia terkejut sekali. Maksudnya mengejar Tok-ku
Hong dibatalkan, dia menghambur ke kamar Yan Cong-tian.
Dia melihat tubuh orang tua itu kaku sekali. Dan suara tadi
rupanya suara jatuhnya tubuh Yan Cong-tian ke atas tanah.
Posisinya masih dalam keadaan duduk tegak. Dia sama sekali
tidak bergerak. Meja yang ada di samping tempat tidur telah
terbalik. Di atas kepala Yan Cong-tian mengepul asap putih berupa
uap. Fu Hiong-kun mengerti bahwa reaksi obat telah mulai
bekerja. Yan Cong-tian sedang mengumpulkan hawa
1112 murninya menyembuhkan luka. Dia tidak berani mengganggu
juga tidak berani meninggalkan tempat itu. Akhirnya dia
mengambil keputusan untuk duduk di samping menjaga Yan
Cong-tian. ***** Setelah mengeluarkan surat tantangan, para murid Go-bi-pay
dan Bu-tong-pay menyamar sebagai orang biasa dan
menyelundup ke dalam Bu-ti-bun. Tentu saja hanya sebagian
besar. Gerak-gerik mereka memang dirahasiakan serapat
mungkin. Namun tetap saja berhasil diketahui oleh para
penyelidik Bu-ti-bun.
Ketika mendengar laporan dari anggotanya tentang masalah
ini, Tok-ku Bu-ti hanya tertawa dingin. Pada saat dia
mendengarkan berita dari para bawahannya dari berbagai
cabang itulah, Tok-ku Hong kembali ke rumah.
Begitu memasuki ruangan pendopo, Tok-ku Hong langsung
menjatuhkan diri berlutut. Para hadirin terkesima melihat
kelakuannya. Apalagi Kongsun Hong, hatinya tegang sekali.
Tok-ku Bu-ti seperti tidak melihat kehadirannya.
"Teruskan!" katanya dengan suara berat.
Para penyelidik itu tidak berani membantah. Mereka
meneruskan laporannya. Melihat keadaan itu, tanpa sadar air
mata mengalir di pipi Tok-ku Hong. Akhirnya para penyelidik
itu selesai juga memberikan laporannya. Tanpa dapat
menahan perasaannya lagi, Tok-ku Hong memanggil, "Tia ...."
Tok-ku Bu-ti sama sekali tidak menoleh ke arah Tok-ku Hong.
1113 "Panggil kepala penjaga pintu!" teriaknya dengan suara
lantang. Kim-liong Tongcu Cukek Ming cepat-cepat menurunkan
perintah tersebut kepada bawahannya. Dua orang penjaga
cepat-cepat masuk ke dalam.
"Kami sedang mengadakan rapat penting di dalam ruangan
ini, mengapa kau membiarkan orang luar masuk ke sini?"
bentaknya keras.
Kedua penjaga itu terkejut sekali. Hati Tok-ku Hong perih tidak terkirakan.
"Pek-houw Tongcu, menjaga keamanan dengan teledor.
Hukuman apa yang harus dijatuhkan?" tanya Tok-ku Bu-ti
kepada Kongsun Hong.
Kongsun Hong tertegun seketika. Tapi akhirnya dia menjawab
juga, "Hukuman ringan tebas kedua kaki, hukuman yang
berat, mati!"
"Bawa kedua orang itu keluar! Tebas kedua kakinya!" bentak
Tok-ku Bu-ti sekali lagi.
Tidak ada seorang pun yang berani menghalangi. Tidak lama
kemudian, dari luar pendopo jeritan ngeri berkumandang.
Wajah para hadirin berubah hebat. Pada saat itu, sinar mata
Tok-ku Bu-ti baru beralih ke arah Tok-ku Hong. Kongsun Hong
cepat-cepat maju ke depan dan berlutut di samping gadis itu.
"Tecu bersedia menggantikan Gin-hong Tongcu menerima
hukuman mati!" katanya tanpa berpikir panjang.
1114 Tok-ku Bu-ti tertawa dingin.
"Bu-ti-bun tidak memiliki peraturan seperti itu." Dia berhenti
sejenak. "Bawa keluar Gin-hong Tongcu, ikat keempat
anggota tubuhnya pada masing-masing leher kuda. Tarik
sampai putus!"
Para hadirin terkejut setengah mati. Tok-ku Hong hanya
mengalirkan air mata dengar wajah sendu. Dia tidak memohon
pengampunan. Hu-hoat kiri dan kanan segera mengiakan.
Mereka maju ke depan. Kongsun Hong berdiri dengan panik.
Kedua belah lengannya terbentang mengadang di depan
mereka. "Tunggu dulu ...!"
Tok-ku Bu-ti meluap marahnya.
"Kongsun Hong, apakah kau juga ingin ikut ikutan
membangkang terhadapku?" bentaknya garang.
"Tecu tidak berani ...." Kongsun Hong menjatuhkan diri
berlutut lagi. "Sejak zaman dahulu Bu-ti-bun ada sebuah
peraturan. Tongcu baru pertama kali berbuat kesalahan, boleh
digantikan oleh tongcu kedua dalam menerima hukuman
berupa tujuh kali tebasan golok. Dengan demikian hukuman
mati pun terhindarkan!" sahutnya lantang.
Wajah Tok-ku Bu-ti berubah kelam. "Kau bersedia
menggantikan dia menerima tujuh kali tebasan golok?"
"Betul!" sahut Kongsun Hong tanpa berpikir dua kali.
1115 Pada saat itu, hati Tok-ku Hong merasa terharu sekali. Dia
memalingkan kepalanya. "Suheng?" panggilnya.
Kongsun Hong menggelengkan kepalanya. "Mengapa kau
harus kembali ke sini?"
Kepala Tok-ku Hong tertunduk rendah-rendah. Dia juga tidak
tahu bagaimana perasaannya saat itu. Kongsun Hong tetap
berlutut. "Silakan Buncu menurunkan perintah hukuman!"
Tok-ku Bu-ti memandang Kongsun Hong lekat-lekat. Dia
menarik napas panjang. "Baik .... Tapi aku ingin Hong-ji
berjanji bahwa dia bersedia menikah denganmu!"
"Tecu merasa tidak pantas ...!" Kongsun Hong membenturkan
kepalanya di atas lantai.
"Aku bukan berbicara denganmu!" mata Tok-ku Bu-ti beralih
kepada Tok-ku Hong. "Jawab! Apakah kau bersedia menikah
dengan Kongsun Hong?"
Tok-ku Hong menoleh kepada Kongsun Hong. Dia ingat
selama beberapa tahun ini entah telah berapa kali Kongsun
Hong menempuh bahaya untuk membela dan
menyelamatkannya. Budi laki-laki itu sudah tidak terkira
banyaknya. Hatinya setia dan tulus. Meskipun Kongsun Hong
sadar bahwa dia sendiri sama sekali tidak mencintainya.
Kemudian dia teringat Wan Fei-yang yang sudah memiliki Fu
Hiong-kun. Gadis itu pernah menyelamatkannya pula. Sampai
hatikah dia menghancurkan hati seorang gadis setelah dia
sendiri tahu bagaimana rasanya patah hati" Wan Fei-yang
sudah tidak mempunyai orang tua. Walinya sekarang adalah
1116 Yan Cong-tian. Padahal sementara itu secara terang-terangan
orang tua itu sudah mengemukakan maksud hatinya untuk
menjodohkan Fu Hiong-kun dengan Wan Fei-yang. Andai kata
tidak pun, belum tentu Yan Cong-tian setuju Wan Fei-yang
menikahi putri Tok-ku Bu-ti yang terkenal jahat dan keji. Dia
mempertimbangkan semuanya berkali-kali. Tok-ku Bu-ti tidak
memaksa Tok-ku Hong segera menjawab.
Baginya, apa pun jawaban Tok-ku Hong tidak menjadi
persoalan. Bila gadis itu mengatakan tidak, Kongsun Hong
tidak perlu menggantikan Tok-ku Hong menerima hukuman.
Berarti nasib gadis itu memang harus mati hari ini. Apabila
Tok-ku Hong mengiakan, lebih banyak lagi keuntungan yang
dapat diraihnya. Niatnya mengangkat Kongsun Hong sebagai
mantu terkabulkan. Selain itu dia bisa membuat Sen Man-cing
semakin sedih dan kesal.
Senyumnya mengembang ketika Tok-ku Hong
menganggukkan kepalanya.
***** Tujuh bacokan golok memenuhi seluruh tubuh Kongsun Hong.
Dada, puncak, pinggang, punggung, semua mendapat bagian.
Kongsun Hong mengertakkan giginya erat-erat menahan rasa
sakit, akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri juga.
Tok-ku Hong tidak sampai hati melihatnya.
Sejak tadi dia sudah memalingkan wajahnya. Tabib Cai Huato sudah menunggu di sudut. Setelah hukuman berakhir,
cepat-cepat dia menghampiri laki-laki itu dan memborehkan
obat kim-cang-yok (obat penyembuh luka) yang paling
1117 mujarab. "Bagaimana keadaannya?" tanya Tok-ku Bu-ti. Sebetulnya dia
sangat menyayangi Kongsun Hong. Wajahnya menyiratkan
perasaan khawatir.
"Mudah-mudahan pada hari pernikahan, luka-lukanya sudah
sembuh semua," sahut Cai Hua-to sembari tertawa getir.
Tok-ku Bu-ti menoleh ke arah Tok-ku Hong. "Kau lihat sendiri,
Kongsun Hong demikian tulus mencintaimu. Dapat menikah
dengan seorang laki-laki seperti dia, merupakan
keberuntunganmu!"
Tok-ku Hong menundukkan kepalanya dalam-dalam. Keadaan
sudah sampai taraf seperti ini, apalagi yang dapat dikatakan.
***** Sen Man-cing juga tidak dapat berbuat apa-apa. Dugaan Tokku Bu-ti bahwa pernikahan antara Tok-ku Hong dengan
Kongsun Hong akan membuatnya kesal dan sedih tidak
sepenuhnya benar.
Ketulusan cinta Kongsun Hong sama sekali di luar dugaan
nyonya itu. Dapat menikah dengan seorang laki-laki seperti
itu, bukan suatu hal yang buruk. Tentu saja Tok-ku Bu-ti tidak
menyangka Sen Man-cing dapat mempunyai pikiran demikian.
Tok-ku Bu-ti lupa. Sebagai seorang ibu, kebahagiaan Tok-ku
Hong adalah segalanya bagi Sen Man-cing. Lebih baik dicintai
daripada mencintai, pikir nyonya itu dalam hatinya.
Lagi pula keputusan Tok-ku Bu-ti tidak dapat diganggu-gugat
1118 oleh siapa pun. Tidak ada orang yang bisa menghalangi apa
saja yang ingin dilakukannya. Sedangkan kesan Sen Man-cing
terhadap Kongsun Hong mulai bagus. Hanya satu hal yang
selalu membuat nyonya itu sedih. Tok-ku Bu-ti tetap tidak
memperbolehkan dia meninggalkan Liong-hong-kek.
***** Rembulan bersinar terang. Angin bertiup sejuk. Hari itu
memang hari baik. Lentera berjumlah ratusan dipasang di
mana-mana. Seluruh Bu-ti-bun bagai sehelai lukisan putih.
Suara gendang bertalu-talu. Kegembiraan terlihat di seluruh
pelosok gedung tersebut.
Sepasang pengantin, Tok-ku Hong dan Kongsun Hong diantar
ke hadapan Tok-ku Bu-ti. Melihat keadaan itu, senyum Tok-ku
Bu-ti semakin lebar. Kepala Tok-ku Hong terpasang sebuah
hong-koan, penutup kepala seperti mahkota yang dipakai
pengantin zaman dahulu. Sehelai kain merah menutup
wajahnya. Tidak terlihat bagaimana mimik wajahnya. Kalau
Kongsun Hong sendiri tidak usah dikatakan lagi. Selain
gembira, dia juga tegang sekali.
Mata Tok-ku Bu-ti beralih kepada wajah Kongsun Hong.
"Kongsun-ji, bagaimana keadaan lukamu?" tanyanya dengan
penuh perhatian.
"Terima kasih atas perhatian Buncu. Semua sudah sembuh."
Mendengar ucapannya, para hadirin tertawa geli. Tok-ku Bu-ti
juga tertawa lebar. "Bagaimana kau memanggilku tadi?"
Kongsun Hong tertegun. Dia mengganti panggilannya. "Suhu
1119 ...." Sekali lagi para hadirin tertawa terbahak-bahak. Tok-ku Bu-ti
menggelengkan kepalanya. "Sampai saat ini kau masih belum
tahu bagaimana harus memanggil aku?"
Cian-bin-hud yang berdiri di sampingnya segera menjelaskan.
"Kongsun Tongcu benar-benar lucu. Sekarang seharusnya
kau memanggil Buncu dengan sebutan Yok-hu-tayjin (ayah
mertua yang mulia)."
Wajah Kongsun Hong merah padam.
"Yok-hu-tayjin ...." panggilnya gugup.
"Nah, ini baru betul!" kata Tok-ku Bu-ti sambil mengelus
jenggotnya. "Tujuh kali tebasan golok sebagai pengganti
seorang istri. Kalau dipikirkan tidak terlalu merugikan juga."
"Betul sekali ...! Betul sekali!" sahut Kongsun Hong sambil
melirik ke arah Tok-ku Hong. Bibirnya tersenyum terus.
Tok-ku Bu-ti mengalihkan pandangannya ke arah Tok-ku
Hong. "Hong-ji, kau sudah menjadi istri orang. Lain kali
adatmu jangan terlalu keras lagi," katanya menasihati.
Mak comblang yang menjadi perantara segera maju ke depan.
"Waktunya sudah sampai," katanya melaporkan.
***** Seorang laki-laki yang memimpin upacara segera maju
menggantikannya.
1120 "Harap sepasang pengantin berlu ...." kata-katanya belum
selesai diucapkan, suara bentakan keras berkumandang dari
luar. "Tunggu dulu!"
Suara itu demikian lantang, para hadirin memalingkan
kepalanya ke arah sumber suara. Para tamu yang tadinya
berkerumun di pintu segera memencarkan diri. Wan Fei-yang
melangkah masuk dengan sempoyongan. Tangannya
menggenggam sebuah kendi arak.
Tubuh Tok-ku Hong tergetar. Dia maju selangkah kemudian
berhenti. "Wan Fei-yang, untuk apa kau datang kemari?" teriak
Kongsun Hong marah.
Tok-ku Bu-ti tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sinar
matanya malah bertambah dingin menyeramkan. Tampaknya
Wan Fei-yang benar-benar sudah mabuk. Dengan tubuh
limbung dia menghampiri Tok-ku Hong.
"Aku ... aku datang untuk mengucapkan selamat kepada
Toasiocia dan Kongsun Tongcu. Selamat menempuh hidup
baru ...." dia menyodorkan kendi araknya ke hadapan
Kongsun Hong. "Kongsun Tongcu, Siaute memberi selamat
kepadamu dengan secawan arak ini. Mudah-mudahan kau
akan hidup bahagia dan saling mengasihi sampai ratusan


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahun ...!"
Wajah Kongsun Hong berubah hebat. Dia mengibaskan kendi
1121 arak yang disodorkan oleh Wan Fei-yang.
"Oh, kau tidak sudi memberi muka kepadaku" Tidak apa-apa.
Kau tidak sudi, pasti ada yang sudi ...." Wan Fei-yang
membalikkan tubuhnya ke arah Tok-ku Hong. "Toasiocia ...."
Tok-ku Hong tidak dapat menahan perasaannya lagi. Dia
melepaskan mahkota di kepalanya. "Siau Yang ...."
Dalam waktu yang bersamaan, Cian-bin-hud maju ke depan.
"Sejak tadi sudah terlihat jelas bahwa kedatanganmu ini hanya
untuk mengacau!" bentaknya dengan suara keras. Dia
langsung mencengkeram Wan Fei-yang.
Telapak tangan Wan Fei-yang juga tidak kalah cepat
menghantam ke depan sehingga Cian-bin-hud terdesak
mundur tiga langkah.
"Kalian jangan coba-coba menghalangi pembicaraanku
dengan Toasiocia!" Dia menoleh kembali kepada Tok-ku
Hong. "Kau adalah putri Tok-ku Bu-ti. Sedangkan aku adalah
murid murtad Bu-tong-pay. Tentu saja aku tidak pantas
untukmu. Tapi aku benar-benar menyukaimu!"
Para hadirin yang mendengar kata-katanya menjadi
kebingungan. Air mata Tok-ku Hong sudah mengembang.
"Kau memang keras kepala dan tidak pernah mau mengalah,
aku tidak peduli. Salah siapa kau terlahir di tempat seperti ini.
Aku mengalami luka parah karena hantaman ilmu Mit-kip-sinkang ayahmu. Kalau bukan Fu-kouwnio yang menolong,
mungkin aku hari ini sudah tidak ada di dunia ini. Tanpa
bantuannya, Yan-supek juga tidak tertolong. Beberapa waktu
1122 yang lalu, aku pergi ke tempat yang jauh untuk mencari obat
untuk luka Yan-supek. Dia juga yang merawat Yan-supek
yang sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Coba kau
bilang, apakah aku tidak sepantasnya berterima kasih atas
jerih payah ini" Terhadap dirinya aku hanya terharu dan
berterima kasih sekali. Dia telah kupandang sebagai adik
kandungku sendiri. Tidak tersangka, kau malah salah paham
atas kejadian kecil ini. Kau bahkan kembali ke Bu-ti-bun serta
menuruti apa yang diperintahkan ayahmu yang kejahatan apa
pun bisa dilakukan olehnya, dan menikah dengan Kongsun
Hong!" "Tutup mulutmu!" bentak Tok-ku Bu-ti akhirnya.
Wan Fei-yang tertawa sumbang.
"Baik. Memang tidak ada kata-kata lagi yang harus
kuucapkan!" Dia mendongakkan kepalanya dan meneguk
habis arak dalam kendi yang dibawanya. "Sayangnya aku
masih belum cukup puas meminum arak. Mana arak" Cepat
bawakan arak untukku!" Wan Fei-yang berteriak-teriak seperti
orang yang kurang waras.
Air mata Tok-ku Hong mengalir semakin deras. "Siau Yang
...!" panggilnya dengan suara meratap.
Tok-ku Hong bermaksud menghampiri Wan Fei-yang, tapi
Cian-bin-hud, Teng Cu, Hek-pai-siang-mo sudah menerjang
maju mengurung Wan Fei-yang.
"Minggir! Aku tidak berminat bertarung dengan kalian!" teriak
Wan Fei-yang sambil membanting kendi araknya ke atas
lantai. 1123 Hek-pai-siang-mo meraung murka. Keduanya menerjang ke
depan. Dua pasang telapak tangan menghantam ke arah Wan
Fei-yang. Tinju Cian-bin-hud juga sudah diluncurkan. Tubuh
Wan Fei-yang berkelebat. Gerakannya berubah-ubah. Dalam
keadaan mabuk, sepasang telapak tangannya menghantam
ke depan dengan tenaga penuh. Dia mengerahkan Pik-lekciang. Hantamannya membuat orang-orang yang menyerbu
terpental mundur. Tangannya menuding Tok-ku Bu-ti.
"Kau saja yang turun tangan!" tantangnya dengan suara
lantang. Tok-ku Bu-ti berdiri dari tempat duduknya.
"Malam ini aku akan memperhitungkan utang-piutang antara
Bu-tong-pay dengan Bu-ti-bun!" teriak Wan Fei-yang kembali.
"Tampaknya kau sudah lupa bahwa kau adalah murid murtad
bagi Bu-tong-pay!" sindir Tok-ku Bu-ti.
"Fu Giok-su barulah murid murtad Bu-tong-pay!"
Tok-ku Bu-ti tertawa dingin. "Bagaimanapun, pokoknya malam
ini kau jangan harap dapat keluar dari Bu-ti-bun dalam
keadaan hidup!" Mata Tok-ku Bu-ti menyorotkan kobaran api
"Aku memang tidak berharap dapat keluar dalam keadaan
hidup!" sahut Wan Fei-yang sambil membusungkan dadanya.
"Pesta masih harus dilangsungkan. Kita bertarung di luar
saja!" 1124 Wan Fei-yang tertawa terbahak-bahak. Kakinya dientakkan.
Tubuhnya mencelat berjungkir balik dua kali kemudian
menginjak di atas kepala seorang tamu lalu melesat keluar.
Tok-ku Hong memandang dengan mulut terbuka. Tapi dia
tidak mengatakan apa-apa. Perasaannya pada saat itu kacau
sekali. ***** Di luar ruangan juga terpasang banyak lentera. Keadaan
terang benderang. Tok-ku Bu-ti menghentikan langkah
kakinya. Dia mengibaskan lengan bajunya satu kali.
"Sebelumnya aku pernah mengampunimu satu kali. Malam ini,
jangan salahkan kalau aku turun tangan kejam!"
Perasaan mabuk Wan Fei-yang telah hilang beberapa bagian
karena tertiup angin yang sejuk. Wajahnya berubah serius.
"Silakan!" teriaknya. Tubuhnya mencelat ke udara. Secara
berturut-turut dia melancarkan empat belas kali serangan.
Tok-ku Bu-ti berdiri kukuh bagai gunung Thay-san.
Penampilannya juga tenang sekali. Empat belas kali serangan
Wan Fei-yang disambutnya dengan baik, tapi wajahnya mulai
berubah. Kekuatan tenaga dalam Wan Fei-yang bukan saja
sudah jauh melebihi sebelumnya, tapi benar-benar jauh di luar
dugaannya. "Soat-lian dari Ping-san benar-benar obat yang tidak ada
duanya. Orang ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama!"
pikirnya dalam hati.
1125 Setelah mendapat pikiran itu, dengan diam-diam Tok-ku Bu-ti
mengerahkan Mit-kip-sin-kangnya. Tiba-tiba tubuhnya
bergerak. Telapak tangannya menghantam ke depan dengan
cara keji. Ternyata Wan Fei-yang tidak terdesak mundur oleh
angin hantaman telapak tangan Tok-ku Bu-ti. Tubuhnya
melayang dan tangan kiri diputar. Tahu-tahu tangan Tok-ku
Bu-ti telah memegang tongkat kepala naganya. Dia menerjang
kembali ke arah Wan Fei-yang.
Pada saat itu pedang Wan Fei-yang juga sudah dihunus.
Tubuhnya meluncur menerobos ke dalam cahaya tongkat
kepala naga Tok-ku Bu-ti. Pertarungan berlangsung dengan
seru. Tok-ku Bu-ti menyerang seratus kali berturut-turut. Tapi
tidak sekali pun dia berhasil menahan Wan Fei-yang. Malahan
anak muda itu mendesak terus ke arahnya. Wan Fei-yang
mencelat ke tengah udara. Dia berjungkir balik. Pedangnya
menukik tajam mengancam kepala Tok-ku Bu-ti.
Tok-ku Hong serbasalah. Dia juga mengkhawatirkan
keselamatan ayahnya. "Hati-hati!" serunya tanpa sadar.
Tok-ku Bu-ti cepat-cepat menggeser langkah kakinya dan
memiringkan kepalanya. Gelang emas pengikat rambutnya
terpapas putus. Tapi mendengar teriakan Tok-ku Hong tadi,
Wan Fei-yang malah berdiri terpana. Mata Tok-ku Bu-ti
mengerling sekilas. Tongkat kepala naganya dikibaskan.
Pedang Wan Fei-yang langsung tertangkis. Telapak tangan
kirinya dengan gerakan kilat menghantam ke depan.
Wan Fei-yang terkejut sekali. Dengan panik dia mengulurkan
tangannya menyambut hantaman itu.
"Blammm!" tubuh terpental sejauh dua depa. Dia langsung
1126 memuntahkan segumpal arah segar. Serangan Tok-ku Bu-ti
tadi tidak terduga sama sekali. Dengan Mit-kip-sin-kang sekali
lagi dia berhasil melukai Wan Fei-yang. Anak muda itu
berusaha bangkit. Tok-ku Bu-ti sudah menerjang lagi ke
depan untuk menghantam Wan Fei-yang kedua kalinya. Tapi
Tok-ku Hong sudah menghambur dan mengadang di depan
Wan Fei-yang. "Mundur!" bentak Tok-ku Bu-ti.
Belum sempat Tok-ku Hong berkata apa-apa, sebelah tangan
Wan Fei-yang sudah menyentuh pundaknya. "Akhir ... nya aku
... dapat juga mati di sampingmu!" katanya dengan nada parau
dan bibir menyunggingkan senyuman.
"Siau Yang, kau jangan berbuat bodoh!" sahut Tok-ku Hong
dengan gugup. "Pokoknya aku tidak akan menikah dengan
Kongsun Hong!"
Mata Wan Fei-yang bersinar terang. Air mata Tok-ku Hong
semakin deras. "Kalau kau mati, kau kira aku juga sanggup
hidup lebih lama lagi?"
"Rupanya kau juga menyukai aku!" teriak Wan Fei-yang
gembira. Dia bahkan mirip orang yang kalap. Tidak peduli
darah segar terus mengalir dari ujung bibirnya.
Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya. "Cepat kau pergi!"
katanya mengingatkan.
Wan Fei-yang juga ikut-ikutan menganggukkan kepalanya.
Tok-ku Hong yang melihat dari ujung sana tidak tahu
bagaimana perasaannya saat itu. Wajah Tok-ku Bu-ti hijau
1127 membesi. Dia mengibaskan lengan bajunya. Tok-ku Hong
yang membungkuk di samping Wan Fei-yang terpelanting di
atas tanah. Tok-ku Bu-ti mengulurkan telapak tangannya dan
menghantam ke arah Wan Fei-yang.
Belum lagi hantaman itu mengenai sasarannya, tubuh Wan
Fei-yang sudah melesat ke udara dan berjungkir ke atas
tembok pekarangan.
"Kejar!" Tok-ku Bu-ti memberikan perintah dengan kalap.
Tubuh Wan Fei-yang berkelebat. Dia menyelinap ke balik
gerombolan bunga. Bayangannya sudah menghilang dari
pandangan. Meskipun luka dalamnya cukup parah, tapi ia
pernah menelan soat-lian dari Ping-san, gerakan tubuhnya
masih lincah. Apalagi Hui-hun-cong merupakan ilmu pusaka
dari Bu-tong-liok-kiat. Kehebatannya dapat dibayangkan.
Gerombolan bunga tersebut hancur oleh hantaman tongkat
kepala naga Tok-ku Bu-ti. Namun Wan Fei-yang sudah tidak
terlihat. "Bocah itu sudah terluka cukup parah. Dia tidak mungkin pergi
jauh. Geledah!" Tok-ku Bu-ti menurunkan perintah kepada
para anggotanya.
Beratus-ratus lentera dan obor segera menerangi sekitar
tempat itu. ***** Bicara memang mudah, tapi lain dengan kenyataannya.
Sampai hari menjelang pagi, tetap saja mereka tidak dapat
1128 menemukan Wan Fei-yang. Yang membuat kemarahan Tokku Bu-ti hampir tidak terbendung adalah menghilangnya Tokku Hong yang menggunakan kesempatan ketika mereka
semua sibuk mencari Wan Fei-yang.
Pasti budak perempuan itu yang secara diam-diam
menunjukkan jalan dan menolong Wan Fei-yang melarikan diri
dari tempat tersebut! Semakin dipikir, Tok-ku Bu-ti semakin
marah. Tapi dia tidak tahu harus bagaimana lagi.
***** Tok-ku Hong memang mempunyai niat mengajak Wan Feiyang melarikan diri dari Bu-ti-bun. Oleh karena itu, dia
menunggu di ujung lorong rahasia. Tetapi sampai matahari
sudah tinggi, Wan Fei-yang tetap tidak muncul. Para anggota
Bu-ti-bun juga belum kembali.
Tidak disangka ginkangnya demikian tinggi. Tok-ku Hong
terkejut membayangkannya. Tapi hatinya juga gembira. Yang
mengkhawatirkan justru luka Wan Fei-yang yang cukup parah.
Apakah dia dapat bertahan sepanjang perjalanan"
Tanpa pikir panjang lagi Tok-ku Hong segera menghambur ke
depan. Tujuannya ialah tempat di mana Fu Hiong-kun dan
Yan Cong-tian berada. Dia berharap dapat bertemu dengan
Wan Fei-yang dalam perjalanan. Hanya di sanalah tempat
tinggal Wan Fei-yang satu-satunya untuk sementara. Apalagi
di sana ada Fu Hiong-kun yang ilmu pengobatannya sudah
cukup tinggi. Anak muda itu pasti kembali ke sana. Karena
alasan ini juga, Tok-ku Hong berlari siang malam tanpa
mengenal lelah.
1129 ***** Wan Fei-yang sendiri juga bermaksud cepat-cepat kembali ke
sana. Tapi dalam seketika, dia merasa bahwa luka yang
dideritanya terlalu parah. Pasti dia tidak akan berhasil
menerjang kepungan para anggota Bu-ti-bun.
Ketika masuk ke gedung Bu-ti-bun dalam keadaan mabuk. Dia
sama sekali tidak berpikir untuk keluar dengan selamat.
Hatinya sudah terlalu kecewa membayangkan pernikahan
Tok-ku Hong. Sekarang dia sudah mengerti isi hati gadis itu.
Malah dia tidak berminat lagi untuk mati dengan cara konyol
seperti apa yang akan dilakukannya tadi.
Dulu dia sudah pernah menyelundup dalam Bu-ti-bun dan
menjadi anggotanya untuk jangka waktu yang cukup panjang.
Terhadap keadaan sekitarnya dia juga pernah memerhatikan
dengan saksama. Oleh karena itu, dia juga berhasil
menyembunyikan diri tanpa diketahui oleh anggota Bu-ti-bun.
Sepanjang perjalanan, dia berkali-kali bersembunyi lalu
mengendap-endap. Tanpa sadar dia sudah sampai di bawah
tembok Liong-hong-kek. Saat itu juga dia sudah mengambil
keputusan. Liong-hong-kek adalah daerah terlarang bagi
seluruh anggota Bu-ti-bun. Pasti tempat itu juga merupakan
sarang persembunyian yang aman. Tinggi tembok itu sekitar
empat depa. Tidak mudah baginya untuk meloncat naik
dengan luka separah itu. Wan Fei-yang tetap nekat dia
mengambil napas dalam-dalam lalu mengentakkan kakinya. Di
tengah udara dia berjungkir balik dan mencelat lagi ke atas.
Tubuhnya masih belum bisa mencapai atas tapi tangannya
masih sempat berpegangan erat pada atas dinding. Dengan
susah payah dia memanjat. Setelah itu tubuhnya meluncur ke
1130 bawah seperti selembar kertas yang tertiup angin. Kepalanya
pusing tujuh keliling. Dia terjatuh di atas hamparan rumput.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan nekat dia naik ke atas loteng. Setahap demi setahap
dia merangkak. Setelah terkena hantaman Mit-kip-sin-kang,
dia tidak sempat beristirahat sama sekali. Semestinya dia
duduk bersila dan menghimpun hawa murninya. Tapi mana
ada kesempatan baginya untuk melakukan semua itu.
Sedangkan untuk menyelamatkan diri saja masih menjadi
persoalan. Tentu saja lukanya semakin parah.
Penerangan di atas loteng masih menyala.
Wan Fei-yang masih terus berusaha merangkak.
***** Sen Man-cing belum tidur. Dia masih duduk di depan
penerangan dengan termangu-mangu. Hari ini adalah hari
baik bagi Tok-ku Hong. Dia sebagai seorang ibu hanya dapat
duduk tertegun sambil mendoakan kebahagiaan putrinya
dalam hati. Dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin
dia dapat tertidur pulas.
Sejak matahari tenggelam dia sudah duduk di sana. Sampai
sekarang dia masih belum bangun juga. Dia merasa
kesunyian menyelimuti hatinya. Namun perasaannya sudah
kebal. Tepat pada saat itu, dia mendengar suara tarikan
napas. Tidak tepat kalau dikatakan tarikan napas. Bernapas dengan
tersengal-sengal lebih tepat. Tapi siapa"
1131 Akhirnya wajah Sen Man-cing baru menunjukkan adanya
perubahan. Tubuhnya berkelebat tanpa suara ke samping
pintu. Kemudian dia mengulurkan tangannya menarik daun
pintu tersebut. Wan Fei-yang dengan tubuhnya berlumuran
darah langsung terkulai. Dia terjatuh di depan kaki Sen Mancing. Wanita setengah baya itu terkejut sekali. Dengan kecepatan
gerakannya, dia masih tidak sempat memapah tubuh Wan
Fei-yang. Namun akhirnya dia membungkukkan tubuhnya
memapah anak muda itu. Pada saat itu juga, dia melihat
belahan giok yang tergantung di leher Wan Fei-yang.
"Belahan giok ini merupakan hadiah kenang-kenangan atas
cinta kasihku terhadap Ci-siong Tojin. Mengapa bisa berada
pada anak muda ini" Apakah di antara mereka ada hubungan
yang istimewa?" kata Sen Man-cing dalam hatinya.
***** Setelah kentungan telah berlalu. Wan Fei-yang baru tersadar
kembali. Guat Ngo juga baru datang. Dia melaporkan apa
yang terjadi di ruangan pendopo. Tentu saja dia mengenali
Wan Fei-yang. Menurut kabar yang didapatnya, inilah anak
muda yang dicintai oleh Tok-ku Hong. Hal ini benar-benar di
luar dugaan Sen Man-cing.
Namun nyonya itu belum lupa bahwa dialah murid murtad Butong-pay yang dituduh membunuh Ci-siong Tojin.
??Kalau diperhatikan, anak muda ini tidak mirip orang jahat.
Apakah kabar yang didengarnya hanya fitnahan belaka" Atau
ada kesalahpahaman di dalamnya"
1132 Oleh karena itu, begitu Wan Fei-yang sadarkan diri, dia
langsung mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan,
"Mengapa harus membunuh Ci-siong" Mengapa kau bisa
melakukan hal sekeji itu?"
Wan Fei-yang sampai terbelalak diberondong seperti itu. Tapi
sejenak kemudian dia memakluminya.
"Orang yang membunuh sebetulnya ciangbunjin yang
sekarang, Fu Giok-su. Setelah mengetahui bahwa aku juga
bisa ilmu silat bahkan Ci-siong Tojin sendiri yang
mengajarkan, maka dia memfitnah aku. Masalah ini, Yansupek sendiri sudah mengerti semuanya. Tidak lama lagi kami
akan berangkat ke Bu-tong-san membereskan masalah ini,"
sahutnya tenang.
Sen Man-cing memerhatikan Wan Fei-yang lekat-lekat.
"Bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak berbohong?"
desaknya kembali.
Meskipun kecurigaannya masih ada, tapi nada suaranya
sudah jauh lebih lunak. Wan Fei-yang merenung sejenak.
"Maafkan kelancangan Boanpwe. Apakah Hujin bernama Sen
Man-cing?"
Sen Man-cing menganggukkan kepalanya. Wan Fei-yang
memperlihatkan belahan giok yang tergantung di lehernya.
"Sebelum menutup mata, Suhu memberikan belahan giok ini
kepada Boanpwe. Suhu juga berpesan agar aku mencari Hujin
di Bu-ti-bun."
1133 "Apa lagi yang dikatakannya?" tanya Man-cing dengan hati
terharu. "Tidak ada lagi," Wan Fei-yang menundukkan kepalanya.
Wajahnya berubah pucat. Dia membuka mulut dan
memuntahkan segumpal darah segar. Tapi dia masih
berusaha melanjutkan kata-katanya. "Ketika itu luka Suhu
sudah parah sekali. Setelah mengucapkan beberapa patah
kata, napasnya pun berhenti." Ucapannya selesai, kembali dia
memuntahkan darah segar.
Sen Man-cing mempertimbangkan sejenak. Akhirnya dia
mengulurkan sepasang telapak tangannya di punggung Wan
Fei-yang dan menyalurkan tenaga dalamnya. Wan Fei-yang
tertegun. "Hujin, kau ...."
"Jangan banyak bicara! Kumpulkan hawa murni untuk
menyembuhkan luka!" Sen Man-cing menyalurkan hawa
murninya sendiri ke dalam tubuh Wan Fei-yang.
Anak muda itu menghela napas. Akhirnya dia mengalirkan
hawa murni yang diterimanya ke seluruh peredaran darah
dalam tubuhnya. Tepat pada saat itu, Sen Man-cing baru
merasakan bahwa hawa murninya tidak dapat terkendalikan
lagi. Seperti aliran sungai yang deras mengalir terus.
"Aneh," gumamnya seorang diri. Pikirannya tergerak. Baru
saja dia berniat menarik kembali telapak tangannya, namun
sepasang telapak itu seperti diolesi lem dan tidak dapat tarik.
Semakin dia memberontak, hawa murninya mengalir semakin
cepat. Juga semakin deras.
1134 Sedangkan hawa murni tersebut di dalam tubuh Wan Fei-yang
seakan-akan sedang berlomba saling mendahului. Segulung
demi segulung saling susul-menyusul, bahkan menembus dua
urat nadi terpenting dalam tubuhnya. Sedangkan wajah Sen
Man-cing dari merah berubah menjadi putih. Begitu pucat
menakutkan, seakan tidak ada setitik darah pun yang
mengalir. Sebaliknya wajah Wan Fei-yang merah padam
seperti kepiting rebus. Sampai-sampai dia sendiri merasa
heran. Ternyata hawa murninya sendiri pada saat itu berubah
menjadi sedemikian kuat dan deras.
Mungkinkah Sen-hujin ..."
Pikirannya baru tergerak, ketika mendadak dia merasakan
urat nadi yang menentukan hidup matinya juga telah
tertembus. Wan Fei-yang hanya merasakan kepalanya seperti
hampir meledak, kemudian dia jatuh tidak sadarkan diri.
Sen Man-cing menggigil hebat. Dia terpental ke belakang dan
terkulai di atas tanah. Guat Ngo yang menyaksikan keadaan
tersebut terkejut setengah mati. Dengan panik dia maju ke
depan memapah Sen Man-cing. "Hujin, apa yang terjadi?"
tanyanya cemas.
"Ti ... tidak apa-apa ...." suara Sen Man-cing sedemikian
lemah. Wajahnya pucat pasi. Saat itu juga dia merasakan
tubuhnya lemas tak bertenaga. Dia menoleh kepada Wan Feiyang. Anak muda itu persis seperti sebuah patung yang
terbuat dari tanah liat. Bergerak pun tidak. Segumpal uap tipis mengepul dari tubuhnya. Dia seperti dikukus di atas dandang
nasi dengan tungku api yang membara di bawahnya. Guat
Ngo juga melihat apa yang terjadi pada anak muda tersebut.
1135 Dia merasa heran sekali.
"Hujin, kenapa dia?"
Sen Man-cing seperti tidak menyadari. Matanya malah
memerhatikan wajah Wan Fei-yang lekat-lekat. Tiba-tiba dia
menyadari sesuatu, dengan nada sumbang dia tertawa
terbahak-bahak. Suara tawa itu tampak begitu gembira tetapi
juga mengenaskan.
"Dua puluh tahun sudah, ternyata begini kejadian yang
sebenarnya," gumamnya sambil terus tertawa.
Guat Ngo sama sekali tidak mengerti.
***** Sehari demi sehari terus berlalu. Wan Fei-yang masih belum
sadar juga. Di permukaan kulitnya mengumpul lapisan seperti
sarang laba-laba. Makin hari makin menebal. Sampai pada
hari ketujuh, wajah Wan Fei-yang sudah berubah putih seperti
kapas. Lapisan yang mirip sarang laba-laba itu juga sudah
memenuhi wajahnya.
"Hujin, mengapa dia masih belum sadar juga?" Guat Ngo tidak
pernah lupa mengajukan pertanyaan ini setiap hari.
"Pada saatnya dia akan tersadar sendiri," jawaban Sen Mancing pun selalu sama.
"Apa lagi yang ditunggunya?"
"Bangkit dari kematian."
1136 ***** Pagi hari yang sama, di bawah tatapan para anggota Bu-tibun, Tok-ku Bu-ti keluar dari kantor pusat. Kongsun Hong
mengikutinya dari belakang. Kali ini, Tok-ku Bu-ti hanya
meminta dia melayaninya saja.
Surat tantangan dari Fu Giok-su sudah sampai. Tok-ku Bu-ti
meninggalkan Bu-ti-bun, justru untuk memenuhi tantangan itu.
Sambil berjalan, tidak lupa dia mengingatkan orang-orang
kepercayaannya.
"Kepergianku ini adalah untuk memenuhi tantangan. Aku yakin
baru aku sampai di sana, Kuan Tiong-liu pasti akan
mengumpulkan murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay menyerbu
ke tempat ini. Kalian harus lebih waspada dan berhati-hati!"
Setiap kali ada yang menyebut nama Kuan Tiong-liu, Hek-paisiang-mo rasanya seperti hampir meledak.
"Pangcu berangkat saja dengan hati tenang. Mengenai Kuan
Tiong-liu, kami pasti membuat dia bisa datang dengan hidup,
keluar jadi mayat!" sahut Hek-mo-cian.
"Lagi pula murid-murid Go-bi-pay sudah hampir habis dibunuh
oleh pihak kita. Sisanya paling-paling tidak seberapa. Tidak
mungkin berpengaruh banyak. Sedangkan para jago Bu-tong
rata-rata juga sudah dibunuh oleh Fu Giok-su. Sisanya tidak
ada yang perlu dikhawatirkan," tukas Pek-mo-cian.
"Bicara memang mudah. Tapi toh tak ada salahnya kalau
berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan!"
1137 "Kami pasti akan mengingat baik-baik. Mengenai pertarungan
di atas Kuan-jit-hong, harap Pangcu juga menaruh perhatian!"
kata Hek-pai-siang-mo serentak.
Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. "Kalau dilihat dari ilmu silat Fu
Giok-su yang tidak seberapa itu tetapi berani menantang aku,
seandainya bukan gila, pasti ada suatu rencana yang
terselubung di dalamnya."
"Itulah sebabnya Pangcu sudah memerintahkan Cian-bin-hud,
Teng-cu, Cukek Ming jauh sebelumnya berkumpul di sana
untuk mengawasi segala kemungkinan," sahut Hek-mo-cian.
"Mereka sudah mengikuti aku sekian tahun. Meskipun ilmu
silat mereka tidak tinggi namun pengalaman mereka sudah
cukup untuk menghadapi musuh tangguh. Apalagi mereka
juga membawa para penyelidik yang sudah ahli," kata Tok-ku
Bu-ti tersenyum lebar.
"Pangcu sendiri tidak mengharapkan apa-apa, kecuali kabar
berita yang pasti."
"Biasanya kalau kita mengetahui kedudukan lawan dan tipu
muslihatnya, kita sudah pasti akan meraih kemenangan."
Saat berbicara, mereka sudah melewati dua baris anggota Buti-bun yang berjejer mengantarkan kepergian Tok-ku Bu-ti.
Kemudian dua orang anggota membawakan kuda tunggangan
yang akan mereka tunggangi. Di bawah tatapan para murid
Bu-ti-bun, Kongsun Hong dan Tok-ku Bu-ti melarikan kudanya
meninggalkan tempat itu. Debu segera beterbangan
memenuhi sekitar daerah tersebut.
1138 Sepanjang perjalanan selalu ada penyelidik Bu-ti-bun yang
memberi laporan. Tapi apa yang mereka katakan semuanya
sama. Mereka hanya melihat Fu Giok-su mengendarai kuda
melintas dengan cepat. Dan dia hanya seorang diri.
Sesampainya mereka di kaki gunung, mereka memerhatikan
kode-kode rahasia yang ditinggalkan oleh para penyelidik.
Semua menunjukkan keadaan aman. Tok-ku Bu-ti dan
Kongsun Hong mengikat kuda mereka pada batang pohon
yang besar, kemudian meneruskan perjalanan dengan
berjalan kaki. Sesampainya di Kuan-jit-hong, mereka tetap
tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. Hati Kongsun
Hong menjadi tenang. Tetapi justru wajah Tok-ku Bu-ti yang
berubah semakin kelam. Apa yang selalu dikatakan orang
memang benar. Jahe yang tua lebih pedas rasanya. Tok-ku
Bu-ti sudah malang melintang dunia Kangouw selama
berpuluh tahun. Semakin tenang suasana yang dihadapinya,
hatinya semakin curiga. Ketenangan seperti yang dilihatnya
sekarang malah membuat hatinya makin tidak tenteram.
***** Di atas bukit angin bertiup kencang. Fu Giok-su berdiri tegak
berlawanan dengan tiupan angin. Pakaian dan rambutnya
melambai-lambai. Sebatang toya yang terletak di sampingnya
seakan sedang menyambut embusan angin. Yang terlihat
hanya sebatang toya dan orangnya.
Tok-ku Bu-ti melangkah perlahan. Ketika jaraknya kurang dari
tiga depa, Fu Giok-su baru membalikkan tubuhnya. Dia
menjura dalam-dalam dengan wajah penuh senyuman. "Tokku Pangcu, sudah lama Siaute mengagumi nama besarmu!"
1139 Tok-ku Bu-ti tertawa datar. "Fu-ciangbunjin benar-benar
seorang laki-laki yang sempurna!"
"Terima kasih," mata Fu Giok-su beralih ke arah wajah
Kongsun Hong. "Buncu terkenal sebagai manusia yang cerdik.
Ternyata hari ini berani menempuh bahaya dengan tidak
berpikir panjang."
Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. "Apa maksud ucapan Fuciangbunjin. ini?" tanyanya tenang.
"Dengan mengandalkan ilmu silat Siaute, tidak mungkin dapat
menandingi Tok-ku Pangcu. Tapi aku berkeras menantangmu,


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukankah kau segera dapat menduga bahwa ada hal yang
tidak semestinya?"
"Memang sudah dalam dugaanku," kata Tok-ku Bu-ti dengan
wajah tidak menampilkan perasaan apa-apa.
"Itulah sebabnya, Tok-ku Pangcu memerintahkan Cian-binhud, Teng-cu, dan Cukek Ming untuk mempersiapkan diri jauh
sebelumnya."
Mendengar kata-kata itu, wajah Tok-ku Bu-ti mulai berubah.
"Di mana mereka sekarang?" tanya Kongsun Hong.
"Di sini ...." Fu Giok-su menepuk tangannya dua kali.
1140 Jilid 25 Dalam waktu yang bersamaan, tiga sosok tubuh manusia
melayang jatuh dari atas. Tiga sosok mayat.
Kepala Cian-bin-hud yang gundul hampir terbelah menjadi dua
bagian. Pakaian Cukek Ming penuh dengan bercak darah.
Entah berapa banyak jarum beracun yang menusuk tubuhnya.
Sedangkan dada Teng-cu retak parah bahkan lubang di
tengahnya menganga mengerikan.
Kongsun Hong marah sekali. Baru saja dia hendak menerjang
ke arah Fu Giok-su, Tok-ku Bu-ti sudah melarangnya.
"Pertarungan hari ini merupakan penyelesaian utang piutang
antara Bu-ti-bun dan Bu-tong-pay yang sudah berlangsung
selama ratusan tahun. Mengapa ada orang luar yang ikut
campur dalam urusan ini?" tanya Tok-ku Bu-ti setenang
mungkin. "Apakah Buncu tidak melihat bahwa mereka bukan mati hari
ini?" Fu Giok-su malah berbalik mengajukan pertanyaan.
"Ditilik dari ucapanmu, orang-orang yang kau undang itu, hari
ini tidak akan turun tangan mencampuri urusan kita?"
"Itu sih harus ditanyakan sendiri pada orangnya!" tampang Fu
Giok-su sengaja dibuat seperti merasa serbasalah. "Mereka
adalah angkatan cianpwe bagiku. Ada pepatah yang
mengatakan, yang muda harus menurut apa yang dikatakan
oleh yang tua!"
"Bagus! Pepatah yang bagus sekali!" mata Tok-ku Bu-ti beralih
1141 kepada Kongsun Hong. Seakan ada sesuatu yang
disembunyikan dalam sinar matanya.
Fu Giok-su rupanya dapat sorot matanya tadi.
"Pangcu juga tidak perlu memberi isyarat kepada Kongsun
Hong untuk mencari bantuan. Dua ratus tujuh orang anggota
Bu-ti-bun yang melakukan perjalanan secara diam-diam
mengiringi Tok-ku Pangcu, tidak ada satu pun yang masih
hidup!" katanya tiba-tiba.
Kongsun Hong terkejut. Wajah Tok-ku Bu-ti berubah hebat.
"Sungguh telengas caramu turun tangan!"
Fu Giok-su meremas tangannya sambil tersenyum lebar.
"Nyali kecil bukan laki-laki sejati, tidak keji tidak bisa
menonjolkan diri!"
"Bagus!" seru Tok-ku Bu-ti sekali lagi. "Hidup-matinya para
murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay, pasti kau juga tidak peduli
sama sekali!"
Senyum Fu Giok-su semakin lebar. "Hari ini tidak mati, kelak
toh harus mati juga. Dengan demikian, mati sekarang saja
juga tidak menjadi persoalan bukan?"
Tok-ku Bu-ti tertawa sumbang. "Tampaknya, hari ini aku juga
jangan mengharapkan sebuah pertarungan yang adil!"
"Pada permulaannya, rasanya masih adil."
Mata Tok-ku Bu-ti menyapu ke sekeliling. "Para sahabat yang
menyembunyikan diri .... Kalian sudah boleh keluar sekarang!"
1142 Baru saja ucapannya selesai, dari balik sebuah batu karang
yang besar terlihat Thian-ti berjalan keluar dengan tersenyumsenyum. "Tok-ku Bu-ti, dua puluh tahun saja tidak bertemu, tidak
tersangka kau sudah berubah tua begitu banyak!" sindirnya
ketus. Sinar mata Tok-ku Bu-ti tajam sekali.
"Mungkin karena kau setiap hari menyumpahi aku di dalam
telaga dingin belakang Bu-tong-san selama hampir dua puluh
tahun," sindiran Tok-ku Bu-ti tidak kalah sinis.
Wajah Thian-ti langsung berubah kelam. Pada saat itu, Hujan,
Angin, Kilat, dan Geledek juga muncul serentak. Mereka
mengambil posisi masing-masing dan mengurung Tok-ku Bu-ti
serta Kongsun Hong.
Penampilan Tok-ku Bu-ti masih adem ayem. "Tokoh Siau-yaukok muncul sekaligus. Seandainya aku Tok-ku Bu-ti sampai
kalah, rasanya bangga juga."
"Sebetulnya sejak semula kau sudah tahu asal usul Giok-su.
Pada saat itu juga kau sudah harus berpikir bahwa kami pasti
akan muncul juga."
"Sayangnya aku tidak berpikir akan hal itu," sahut Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. "Aku selamanya ini tidak pernah memerhatikan
manusia-manusia yang selama puluhan tahun hanya bisa
bersembunyi di lubang tikus!"
1143 Thian-ti mendengus marah. "Sungguh mulut yang tajam.
Mengagumkan! Mengagumkan!"
Tok-ku Bu-ti mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak. "Kalau hendak maju, sekarang juga kalian boleh maju
semuanya!"
"Untuk sementara Giok-su sendiri saja sudah cukup."
"Berapa cucu yang kau miliki?" tanya Tok-ku Bu-ti tiba-tiba.
"Cuma satu ini!"
"Kau tidak takut keturunanmu putus sampai di sini?"
Thian-ti tertawa lebar. "Giok-su toh tidak melatih ilmu Mit-kip-sin-kang. Tubuhnya juga sehat sekali. Mengapa takut putus
turunan?" Pada saat itu juga, Tok-ku Bu-ti seakan merasa ada sebatang
jarum besar yang menusuk ulu hatinya. Wajahnya menjadi
kelam seketika. Melihat keadaan itu, Thian-ti bangga sekali.
Dia tertawa terbahak-bahak.
"Menurut pendapat Sun-ji, kita sudahi saja pembicaraan ini
sampai di sini. Kalau diteruskan, tentu kita dianggap tak adil,"
tukas Fu Giok-su.
Tok-ku Bu-ti tertawa dingin beberapa kali. Fu Giok-su maju
dua tindak. Toya di tangannya digetarkan. Terlihat kilauan
berbunga-bunga. Bayangannya bagai beratus-ratus.
"Silakan Tok-ku Buncu memberi pelajaran!" kata Fu Giok-su
1144 sambil menjura sekali lagi.
"Bagus sekali!" kata Tok-ku Bu-ti. Tongkat kepala naganya
dientakkan, kemudian dikibaskan ke depan. Jurus yang satu
ini tampaknya tidak mengandung perubahan, tetapi
kekuatannya seperti geledek yang bergemuruh memecahkan
keheningan bumi.
Fu Giok-su tidak menangkis serangan itu. Dia menggeser
tubuhnya. Toya di tangannya ditarik. Terlihatlah toya tersebut
terbelah menjadi dua bagian dengan seutas rantai di
tengahnya sebagai penyambung. Fu Giok-su menyabetkan
ujung toya ke arah tenggorokan Tok-ku Bu-ti. Dengan susah
payah laki-laki itu berhasil menghindarinya. Tongkat kepala
naganya berputar ke sekeliling. Fu Giok-su mencelat mundur.
Begitu ada kesempatan, dia mendesak maju lagi. Dia
melakukan penyerangan dengan gencar. Tempat yang di ncar
selalu tenggorokan Tok-ku Bu-ti.
Bayangan tubuh Tok-ku Bu-ti berkelebat seperti anak panah
yang dibidik dari kiri dan kanan. Kadang-kadang sebelah
telapak tangannya menghantam.
"Bu-tong-liok-kiat sudah pernah aku lihat bahkan rasakan
beberapa kali. Tapi tidak ada satu pun yang memainkannya
dengan cara sekeji dirimu," kata Tok-ku Bu-ti dingin.
"Sayangnya masih tidak sanggup melukai Tok-ku Pangcu!"
sahut Fu Giok-su sambil mengubah gerakannya. Coa-tiaucap-sa-sut segera dikerahkan. Coa-tiau-cap-sa-sut ini tidak
pernah diwariskan kepada siapa pun. Tok-ku Bu-ti juga belum
pernah melihatnya. Untuk sesaat dia tidak bisa menentukan
gerakan Fu Giok-su, dia malah terdesak sejauh tiga depa.
1145 "Apakah yang kau mainkan ini juga ilmu Bu-tong-pay?" tanya
Tok-ku Bu-ti penasaran.
"Terus terang saja, yang satu ini memang ilmu pusaka Butong-pay yang tidak pernah diwariskan kepada siapa pun.
Namanya Coa-tiau-cap-sa-sut!" sambil menjawab, Fu Giok-su
tidak berhenti bergerak.
Sekarang dia menggunakan jurus Coa-hua-liong-hui (Ular
Berubah Menjadi Naga Terbang). Tubuhnya mencelat ke
udara dan berputaran beberapa kali. Benar-benar seperti
seekor naga sakti yang sedang terbang di langit. Sepasang
telapak tangannya tiba-tiba dikatupkan. Sambil melayang dia
mencengkeram tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti. Begitu
kuatnya tarikan itu sehingga tubuh Tok-ku Bu-ti ikut tergetar.
Thian-ti mengambil kesempatan itu baik-baik. Sepasang
telapak tangannya meluncur mengancam kedua pundak Tokku Bu-ti. Laki-laki itu terpaksa melepas tongkat kepala
naganya. Sementara itu Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek
menerjang dari empat arah yang berlawanan.
"Manusia rendah!" bentak Kongsun Hong murka. Tubuhnya
meluncur. Sepasang jit-guat-lun di tangannya melayang maju.
Siapa tahu baru saja dia menemukan titik lowong untuk
menerjang masuk, sebelah kaki Tok-ku Bu-ti sudah tiba di
hadapannya dan menendang Kongsun Hong sampai terpental
jauh. Kongsun Hong tentu saja tidak menyangka sama sekali.
"Cepat pergi!" bentak Tok-ku Bu-ti dengan suara lantang.
1146 "Suhu ...." panggil Kongsun Hong sambil maju lagi dua
langkah. "Kalau kau tidak pergi, aku yang pertama-tama akan
membunuhmu!" teriak Tok-ku Bu-ti marah.
Suaranya tajam sekali. Kata-katanya baru selesai, Fu Giok-su
sudah menerjang ke arah Kongsun Hong. Tok-ku Bu-ti segera
menghantam telapak tangannya ke depan untuk mengadang
Fu Giok-su. Tapi begitu dia bergerak, Hujan, Angin, dan
Geledek segera bergerak juga. Posisi mereka tetap dalam
keadaan mengepung Tok-ku Bu-ti.
Setelah terkena tendangan tadi, Kongsun Hong sudah
mengerti maksud Tok-ku Bu-ti. Dia tahu kalau dia masih
berada di sana, bukan saja tidak dapat memberi bantuan apaapa malah membuat perhatian Tok-ku Bu-ti terpencar. Dia
juga tahu bahwa kali ini Tok-ku Bu-ti akan mengerahkan
segenap kekuatannya untuk bertarung. Dia tidak berani
berdiam lama-lama di tempat itu. Dengan panik dia
menghambur ke bawah gunung.
Tok-ku Bu-ti menyambut serangan Hujan, Kilat, Angin, dan
Geledek dengan gencar. Diam-diam dia memerhatikan bahwa
Kongsun Hong sudah agak jauh. Dia sendiri berusaha
melepaskan diri dari kepungan keempat orang itu. Tetapi pada
saat itu juga, Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek sudah
memencarkan diri. Posisi mereka berubah. Barisan Hujan,
Angin, Kilat, Geledek segera dikerahkan.
Keempat orang itu berlatih keras selama bertahun-tahun.
Tujuannya memang untuk menghadapi Tok-ku Bu-ti. Begitu
barisan itu mulai bergerak, bayangan mereka bagaikan
1147 pelangi yang tidak henti bergerak. Tok-ku Bu-ti terkejut sekali.
Cepat dia menoleh ke arah kanan di mana terletak bagian imyang. Hanya di situ ada kekosongan yang dapat dijadikan
jalan keluar baginya. Namun dua bagian itu langsung di si oleh
Fu Giok-su dan Thian-ti. Hilangnya kesempatan Tok-ku Bu-ti
untuk menerobos barisan tersebut.
Tetapi Tok-ku Bu-ti memang tidak berlebihan apabila disebut
manusia yang cerdas. Setelah menerjang beberapa kali tanpa
hasil, dia mulai melihat titik kelemahan barisan tersebut. Dia
segera menerobos bagian itu, tapi terpaksa terdesak kembali
karena serangan Fu Giok-su dan Thian-ti.
Tiba-tiba terlihat segumpal asap merah meluncur dari kaki
bukit ke atas langit. Tok-ku Bu-ti mendengus dingin. "Siapa
lagi yang kalian undang untuk membantu mengalahkan aku"
Suruh naik saja sekalian!" katanya kesal.
Thian-ti tertawa cengar-cengir. "Dugaanmu kali ini salah. Asap
tadi merupakan isyarat bahwa murid Go-bi-pay dan Bu-tongpay sudah menyerbu ke Bu-ti-bun," sahutnya menjelaskan.
Wajah Tok-ku Bu-ti semakin berubah. Dia menghimpun hawa
murninya dan mengerahkan Mit-kip-sin-kang. Berturut-turut
dia melancarkan empat belas kali serangan. Pada saat itu
juga Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek memutar tubuhnya
secepat kilat. Gerakan mereka seperti gasing mainan anakanak. Namun deru angin yang ditimbulkan oleh tubuh mereka
ibarat badai yang menggulung. Seluruh serangan Tok-ku Bu-ti
berhasil ditolak.
Melihat serangannya yang gencar masih juga tidak membawa
hasil, hati Tok-ku Bu-ti mulai tergetar. Seakan ada batu berat
1148 menekan di atas kepalanya. Untuk sesaat dia hanya
menggeser kakinya ke kiri dan kanan. Otaknya masih bekerja
keras mencari akal menerobos barisan tersebut.
Mengetahui keadaannya yang mulai kewalahan Thian-ti
tertawa terbahak-bahak. "Tok-ku Bu-ti, hari ini Kuan-jit-hong
akan menjadi tanah pemakamanmu."
"Belum tentu!" sahut Tok-ku Bu-ti sambil bergerak mundur
satu langkah kemudian menghimpun hawa murninya kembali.
Tubuh Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek bergerak serentak.
Kembali mereka berputaran seperti sebelumnya kemudian
mendadak berhenti. Keempatnya langsung menerjang ke arah
Tok-ku Bu-ti. Kibasan lengan baju Angin, jarum beracun
Hujan, golok Geledek, serta pedang Kilat, semuanya
dikerahkan dalam waktu bersamaan.
Tok-ku Bu-ti meraung keras. Kibasan lengan baju Angin
terhajar robek oleh hantaman telapak tangannya. Jarum
beracun Hujan terkena angin tepukannya dan melenceng
melewati samping pundaknya. Telapaknya menghantam terus
dengan gencar. Kembali pedang Kilat terhajar olehnya
sehingga terpental keluar dari barisan. Keadaan Geledek yang
lebih mengenaskan. Golok dan orangnya melayang sejauh
dua depa. Fu Giok-su sama sekali tidak menyangka akan terjadi hal
demikian. Namun dia bergerak cepat. Selagi tenaga hantaman
pertama tadi sudah hampir habis dan Tok-ku Bu-ti belum
sempat mengerahkan tenaga baru, dia langsung
menyerangnya dengan salah satu jurus Coa-tiau-cap-sa-sut.
1149

Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak muda itu mengerahkan segenap tenaganya menahan
hantaman telapak tangan Tok-ku Bu-ti. Sedangkan Thian-ti
juga langsung menggunakan kesempatan itu menghajar
belakang punggung Tok-ku Bu-ti dengan sepasang telapak
tangannya. Terdengar suara "Hoakkk! Hoakkk!" dua kali. Tok-ku Bu-ti
memuntahkan darah segar dua kali berturut-turut. Tubuhnya
terpental dengan gerakan melayang langsung meluncur ke
dalam jurang. Para lawannya segera menghambur ke tepi
jurang. Terlihat tubuh Tok-ku Bu-ti semakin mengecil
kemudian menghilang dalam kabut yang berselimut.
Tanpa dapat menahan diri lagi, Thian-ti mendongakkan
kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Hujan, Angin, Kilat,
Geledek, dan Fu Giok-su saling pandang sekilas. Mereka juga
ikut tertawa keras-keras. Tok-ku Bu-ti sudah berhasil
dilenyapkan. Orang lainnya tidak dipandang sebelah mata lagi
oleh mereka. Tampaknya kerja keras mereka selama puluhan
tahun untuk menguasai dunia persilatan tidak lama lagi akan
menjadi kenyataan
***** Kantor pusat Bu-ti-bun pada saat ini sudah tenang kembali.
Yang mati atau yang terluka tidak terhitung. Mayat
bergelimpangan di mana-mana. Para murid Go-bi dan Bu-tong
sedang berbenah diri. Mereka juga menghitung jumlah-jumlah
yang terluka atau terbunuh. Sebetulnya yang terluka juga
sudah boleh dihitung sebagai orang mati. Luka yang mereka
alami demikian parah sehingga kesempatan hidup mungkin
satu persen pun tidak ada.
1150 Meskipun Bu-ti-bun sudah menduga para murid Go-bi-pay dan
Bu-tong-pay akan datang menyerbu dan mereka sudah
mengadakan persiapan sebelumnya, namun mereka sama
sekali tidak menyangka kalau pihak lawan benar-benar licik.
Pertempuran mereka lebih-lebih dari pecah perang.
Pertama-tama Hek-pai-siang-mo dikalahkan oleh Kuan Tiongliu dengan tiga jurus terakhir Lok-jit-kiam-hoat. Walaupun Yi
Pei-sa memohon pengampunan bagi kedua bekas suhunya
itu, Kuan Tiong-liu tetap turun tangan keji terhadap mereka.
Dengan kematian Hek-pai-siang-mo, para anggota Bu-ti-bun
seperti ular tanpa kepala. Mereka menjadi kalang kabut dan
kocar-kacir. Sampai senja menjelang pada hari yang sama,
semua sudah tersapu bersih.
Pada saat itu, Fu Giok-su baru kembali. Dia hanya seorang
diri. Tangannya mendekap di depan dada. Seakan terhuyunghuyung. Langkah kakinya juga tampak berat, seolah-olah telah
terluka parah. Melihat keadaannya, Kuan Tiong-liu sudah
mempunyai perhitungan tersendiri. Sambil maju menyambut,
tenaganya disalurkan ke telapak tangan.
"Kali ini benar-benar menyusahkan Fu-heng ...." katanya
sambil mengulurkan tangan dengan gerakan cepat. Dia
bermaksud mencengkeram urat nadi di pundak Fu Giok-su.
Tetapi cengkeramannya gagal mengenai sasaran. Kuan
Tiong-liu langsung terpana. Fu Giok-su malah tertawa lebar.
"Kuan-heng begitu bertemu langsung turun tangan keji,
apakah tidak terlalu cepat mengambil tindakan?" tanyanya
tenang. 1151 Pada saat itu Kuan Tiong-liu baru merasakan ada sesuatu
yang tidak beres. Dia mundur satu langkah. "Ternyata Fuheng sama sekali tidak terluka!" katanya gugup.
"Aku hanya ingin menguji ketulusan hati Kuan-heng, bagus
sekali ...!"
"Apanya yang bagus?" tanya Kuan Tiong-liu penasaran.
"Kuan-heng tidak tulus, aku terlebih-lebih harus berbuat
kejam. Apakah tidak bagus jadinya?" Fu Giok-su menyeringai
menyeramkan. Tanpa sadar tubuh Kuan Tiong-liu bergetar.
"Ilmu Mit-kip-sin-kang milik Tok-ku Bu-ti hebat sekali. Sungguh tidak ternyana Fu-heng bisa mengalahkannya," katanya tidak
habis pikir. "Hanya mengandalkan beberapa jurus cakar monyet Siaute,
mana mungkin bisa mengalahkannya?"
"Kalau begitu ...." tanpa terasa alis Kuan Tiong-liu berkerut
seketika. "Kuan-heng juga termasuk manusia yang cerdas. Tentu dapat
menduga apa yang telah terjadi."
"Apakah Fu-heng telah mengundang beberapa tokoh
terkemuka untuk memberi bantuan" Mengapa aku tidak
mendengar Fu-heng mengungkit masalah ini?"
1152 "Orang pintar hanya berbicara tiga patah kata. Sama sekali
tidak boleh membuka rahasia hati. Pepatah ini, Siaute yakin
Kuan-heng sudah pernah mendengar bukan?"
Kuan Tiong-liu mendengus dingin.
"Mengapa tidak mengundang orang itu keluar agar Siaute
dapat berkenalan?"
"Orangnya sudah keluar ...." yang menjawab tentu saja Thianti. Di belakangnya menyusul Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek.
Mereka mengambil posisi di seluruh ruangan. Para murid Butong berseru kaget mendengar kemunculan si makhluk tua.
Wajah Gi-song dan Cang-song langsung berubah hebat.
"Giok-su, mengapa kau mengundang makhluk tua itu ke sini?"
bentak Gi-song marah.
Fu Giok-su mendelikkan matanya lebar-lebar. Cang-song
langsung menyurut dua langkah. Gi-song tetap
membusungkan dadanya. Kuan Tiong-liu tertawa lebar. "Tentu
saja untuk membalas dendam," katanya.
"Terkurung dalam telaga dingin selama dua puluh tahun bukan
hal yang menyenangkan!" sahut Thian-ti sambil
menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Tentu saja
dendam ini harus diperhitungkan baik-baik!"
Wajah para murid Bu-tong-pay tidak ada satu pun yang tidak
berubah. 1153 "Sekarang, satu-satunya jalan adalah menggabungkan diri
membina kekuatan. Dengan demikian setidaknya masih ada
kemungkinan hidup," kata Kuan Tiong-liu cepat.
Suara bising segera terdengar. Para murid Bu-tong maupun
Go-bi-pay menghunus senjata masing-masing. Mata Fu Gioksu menyapu ke sekeliling.
"Kalian salah lagi. Sekarang merupakan waktunya kita saling
membutuhkan. Bagaimana mungkin aku akan membunuh
kalian. Pokoknya yang menurut yang hidup, yang
membangkang ...."
"Selama ini ternyata kau berkomplot dengan para penjahat itu.
Sungguh memalukan nama Bu-tong-pay!" teriak Gi-song
marah. Fu Giok-su menggelengkan kepalanya. "Selama ini Susiok
selalu menganggap diri sendiri paling pintar. Ternyata sampai
sekarang masih belum mengerti juga ...."
"Mengerti apa?" Gi-song tertegun. Kemudian mendadak dia
berteriak. "Apakah kau memang segolongan dengan mereka
dan sejak semula sudah mengincar Bu-tong-pay?"
Fu Giok-su menganggukkan kepalanya dengan tenang.
"Akhirnya pikiran Susiok terbuka juga."
"Kalau begitu, tentunya Wan Fei-yang hanya terkena fitnahan
dan menjadi kambing hitam bagimu. Sebetulnya kaulah yang
membunuh Ciangbun-suheng!"
"Tidak salah ...." Fu Giok-su dengan berani mengaku terus
1154 terang. "Kematian Yan-suheng dan Wan-ji ...!" suara Gi-song
langsung bergetar.
"Tentu saja aku juga yang merencanakan semua siasat keji itu
...." mata Fu Giok-su setengah menerawang.
Gi-song marah sekali. Tangannya mengepal erat-erat.
"Mengapa kau harus berbuat demikian?" tanyanya dengan
mata hampir melotot keluar.
Thian-ti maju ke depan dan menjawab pertanyaan itu, "Karena
dia adalah cucuku!"
Mendengar ucapannya, sampai-sampai Kuan Tiong-liu ikut
terperanjat. Wajah para murid Bu-tong-pay berubah hebat.
Mereka menatap Fu Giok-su dengan penuh kebencian dan
kemarahan. Kuan Tiong-liu segera menggunakan kesempatan itu baikbaik. "Baik dan jahat tidak mungkin berdiri bersama. Mari kita
serang orang-orang ini dan balas dendam untuk Ci-siong
Tojin!" teriaknya lantang.
Dua orang murid Bu-tong-pay yang adatnya berangasan
langsung menerjang ke depan. Keduanya langsung disambut
oleh hantaman telapak tangan Thian-ti dan Fu Giok-su.
Sekejap mata mereka terpental kembali, mulut mereka
memuntahkan darah segar, nyawa mereka pun melayang
seketika. "Para murid yang masih setia padaku menepi ke bawah
1155 tembok sebelah kiri. Yang membangkang tetap di tempat!"
teriak Fu Giok-su dengan wajah angker.
Para hadirin langsung gempar. Sebagian besar yang takut
mati langsung berjalan berdesak-desakan ke arah bawah
tembok sebelah kiri. Mereka tidak berani mendongakkan
wajahnya memandang rekan yang lain. Cang-song juga ikutikutan menuju ke sebelah kiri. Tangannya menarik ujung baju
Gi-song. Tapi pegangannya disentak oleh saudara
seperguruannya itu. Dia menuding Fu Giok-su dengan mata
mengandung kebencian yang dalam, "Murid murtad!"
Fu Giok-su tertawa dingin. "Kau habisi nyawamu sendiri atau
aku yang harus turun tangan?" tanyanya sinis.
Gi-song seperti tidak mendengar kata-katanya. Dia
membalikkan tubuhnya ke arah gunung Bu-tong-san dan
menjatuhkan diri berlutut.
"Para leluhur Bu-tong-pay, sejak masuk ke dalam perguruan
ini, Gi-song selalu membanggakan diri sendiri dan tinggi hati.
Tidak pernah bisa membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Bahkan Gi-song pernah menyumpahi Wan Feiyang, yang sebetulnya tidak berdosa. Selama dia berada di
Bu-tong-san, Gi-song juga tidak jarang mencari masalah
dengannya dan menghukumnya dengan cara yang semenamena. Sekarang Gi-song menyesal namun sudah terlambat.
Satu-satunya jalan menebus kesalahan ini hanya mati. Harap
para leluhur memberkati Bu-tong-pay. Jangan sampai hancur
begini saja. Juga memberkati Wan Fei-yang agar panjang
umur dan dapat kembali ke Bu-tong dengan selamat!" Selesai
berkata, dia langsung mencabut pedangnya dan menggorok
leher sendiri. 1156 Para murid Bu-tong yang mengambil keputusan mengikuti Fu
Giok-su merasa malu sekali. Kepala mereka tertunduk dalamdalam. Air mata mengalir dengan deras. Sayangnya mereka
tidak mempunyai keberanian seperti Gi-song.
Sedangkan sisa dua puluh orang yang masih berdiri di tempat
sangat terpukul hati mereka. Setelah meraung keras mereka
menerjang keluar. Kuan Tiong-liu dan Yi Pei-sa juga langsung
menerjang. Tangan kedua orang ini saling bergenggaman.
Kibasan lengan baju Angin, jarum beracun Hujan, golok
Geledek, pedang Kilat bergerak serentak. Sepasang tinju
Thian-ti bergerak serentak. Sepasang tinju Thian-ti bergerak
tanpa mengenal kata kasihan. Sedangkan toya Fu Giok-su
berkelebat cepat bagai ular berbisa yang siap mematuk
mangsanya! Keenam orang ini adalah tokoh nomor satu di dunia persilatan
pada zaman ini. Tentu saja kedudukan mereka sudah di atas
angin. Melihat gerakan keenam orang ini, Kuan Tiong-liu
sadar sulit menerjang keluar. Dia saling lirik sekilas dengan Yi Pei-sa. Akhirnya kedua orang itu menganggukkan kepala dan
menyerang Fu Giok-su serentak.
Darah segar bercipratan ke mana-mana. Kelebatan tubuh
manusia bagai bayangan-bayangan setan yang menari-nari.
Suara jeritan histeris berkumandang menyayat hati. Satu demi
satu mayat roboh dan jatuh menghadap Kuan Tiong-liu. Dia
dan Yi Pei-sa menggerakkan pedangnya dengan gencar.
Namun tetap tidak berhasil melukai Fu Giok-su. Ketika mereka
merasa suasana di sekitar telah berubah menjadi hening,
mereka baru sadar bahwa di dalam ruangan itu hanya tersisa
mereka berdua yang masih hidup. Thian-ti, Hujan, Angin, Kilat,
1157 dan Geledek sudah mengepung mereka berdua dari segala
penjuru. Fu Giok-su mundur dua langkah. Dia tertawa lebar. "Aku rasa
kita tidak perlu melanjutkan pertarungan lagi!" katanya sinis.
Kuan Tiong-liu menyarungkan pedangnya kembali. Dia
menoleh kepada Yi Pei-sa. Gadis itu menyusupkan kepalanya
ke dalam pelukan Kuan Tiong-liu.
"Ke mana pun kau pergi, aku akan ikut. Jangan tinggalkan aku
seorang diri!" kata gadis itu tenang.
Kuan Tiong-liu menganggukkan kepalanya. "Jangan khawatir
.... Aku akan membawamu serta." Dia mengerling kepada Fu
Giok-su, "Seandainya kami di bawah serangan toyamu, bagi
kami hal itu malah merupakan suatu penghinaan!"
"Apa pun yang kau katakan aku tidak peduli!" sahut Fu Gioksu datar. "Karena kau sama sekali bukan manusia lagi, tapi binatang!"
baru saja ucapannya selesai, pedang di tangannya langsung
menikam belakang punggung Yi Pei-sa dan dia sendiri segera
mengentakkan tubuhnya ke belakang dan pedang itu pun
menembus jantungnya.
Satu pedang dua nyawa. Dengan bibir tersenyum Yi Pei-sa
mengembuskan napas terakhir dalam pelukan Kuan Tiong-liu.
Pada saat itu juga nyawa Kuan Tiong-liu juga melayang.
Mereka mati berpelukan.
Ujung mata Fu Giok-su bergetar sekejap. Perlahan-lahan dia
1158 membalikkan tubuhnya. Tidak ada orang yang tahu
bagaimana perasaan hatinya. Tidak seorang pun.
Tepat pada saat itu, para murid Siau-yau-kok sudah
berhamburan keluar dari tempat persembunyian mereka.
Rupanya mereka telah mempersiapkan diri sejak tadi dan
menjaga-jaga seandainya terjadi sesuatu yang tidak
di nginkan. Obor-obor menyala dengan terang.
Suara sorakan memekakkan telinga. Mereka menari-nari di
atas mayat-mayat yang bergelimpangan.


Ilmu Ulat Sutera Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

***** Di sebuah jalan daerah yang terpencil, sebuah kereta kuda
yang sudah tua melaju perlahan. Orang yang menjalankan
kereta dan kuda yang menarik di depannya sama-sama tua.
Sampai gigi pun sudah hampir ompong semuanya.
Di dalam kabin kereta Sen Man-cing dan Guat Ngo duduk
berdampingan. Di belakang mereka tergeletak Wan Fei-yang
yang sudah hampir mirip mayat hidup. Seluruh tubuhnya
dilapisi sarang laba-laba yang mengepulkan uap dingin. Tentu
saja bukan sarang laba-laba betulan. Hanya tampaknya
seperti seekor serangga yang terperangkap dalam sarang
laba-laba. Selama ini Sen Man-cing terus memerhatikan perubahan yang
terjadi pada diri Wan Fei-yang. Dia sudah mengerti apa
sebenarnya yang terjadi. Dia juga sadar bahwa pada saat ini
Wan Fei-yang tidak boleh menerima sedikit pun getaran atau
guncangan batin. Oleh karena itu, ketika dia merasakan ada
sesuatu yang tidak beres, dia langsung mengajak Guat Ngo
1159 memapah Wan Fei-yang keluar dari jalan rahasia.
Kepergian mereka untung saja tepat pada waktunya. Baru
mereka meninggalkan tempat itu tidak beberapa lama, Lionghong-kek juga sudah diserbu oleh orang-orang Go-bi-pay dan
Bu-tong-pay. Jalan rahasia itu bukan terletak di dalam Liong-hong-kek.
Kalau para anggota Bu-ti-bun tidak sedang pontang-panting
menghadapi musuh, tentu mereka juga tidak demikian mudah
melarikan diri dari tempat tersebut. Selama beberapa puluh
tahun ini, baru kali pertama Sen Man-cing meninggalkan Bu-tibun. Dapat dibayangkan perasaan asingnya terhadap dunia
luar. ***** Sementara itu, di pondok peninggalan Hay-liong Lojin, Fu
Hiong-kun, dan Tok-ku Hong duduk berhadapan dengan
saling membisu. Di belakang mereka ada sebuah makam
baru. Di sanalah Yan Cong-tian dikuburkan.
Kejadian itu berlangsung tujuh hari yang lalu. Tiba-tiba Fu
Hiong-kun melihat keadaan Yan Cong-tian yang
mencurigakan. Dia segera memeriksa. Ternyata napas orang
tua itu sudah berhenti. Biar dilihat dari sudut mana pun, Yan
Cong-tian sudah tidak menampakkan gejala orang hidup.
Akhirnya dengan perasaan sedih, Fu Hiong-kun terpaksa
mengubur Yan Cong-tian. Dia sendiri tetap menetap di tempat
itu, dengan harapan bahwa pada suatu hari Wan Fei-yang
akan pulang ke sana. Lagi pula dia memang tidak mempunyai
tempat tinggal lagi. Dia sadar bagaimana kakeknya
membencinya sekarang. Sedangkan melihat perubahan Fu
1160 Giok-su, abangnya itu juga tidak mungkin memaafkannya.
Pokok persoalannya adalah dia sendiri yang sudah tidak
sanggup hidup bersama-sama orang-orang jahat itu.
Wan Fei-yang tidak kembali, malah Tok-ku Hong yang datang
ke sana. Fu Hiong-kun merasa di luar dugaan. Apalagi setelah
mendengar cerita Tok-ku Hong tentang kehadiran Wan Feiyang yang mengacau di hari pernikahan gadis itu, Fu Hiongkun semakin tertekan. Tapi dia adalah seorang gadis berjiwa
besar. Dia tidak membenci Wan Fei-yang.
Dia hanya menarik napas panjang. Dia juga tidak cemburu
ataupun marah terhadap Tok-ku Hong. Menghadapi seorang
gadis yang baik hati dan lembut seperti Fu Hiong-kun,
bagaimana mungkin Tok-ku Hong tidak dapat melenyapkan
rasa salah pahamnya dulu" Meskipun mulutnya tidak berkata
apa-apa, tapi hatinya sudah mengambil keputusan untuk
membagi cinta kasih Wan Fei-yang separuhnya untuk Fu
Hiong-kun. Setiap kali mengungkit nama Wan Fei-yang, hati kedua gadis
itu menjadi khawatir kembali. Sampai saat ini Wan Fei-yang
masih belum pulang ke tempat ini, ke mana perginya pemuda
itu" Apakah lukanya terlalu parah sehingga tidak dapat
mempertahankan lagi dalam perjalanan"
Teringat akan hal-hal yang buruk, hati keduanya menjadi
semakin cemas dan takut. Akhirnya Fu Hiong-kun
membimbing gadis itu ke depan makam Yan Cong-tian. Dia
bermaksud melupakan sejenak urusan Wan Fei-yang.
Baru saja Tok-ku Hong bermaksud menjatuhkan diri berlutut,
tiba-tiba dia merasa tanah yang dipijaknya bergetar. Fu Hiong1161 kun juga merasakannya. Matanya terbelalak. Tanpa sadar dia
menjerit ngeri. Apalagi ketika kuburan itu retak dan terpecah
belah lalu tanah berhamburan ke mana-mana disusul dengan
suara pecahnya peti mati. Fu Hiong-kun sampai menggigil
ketakutan. "Hong-cici, apa sebenarnya yang terjadi?" tanyanya gugup.
"Mayat hidup ...!" dia sendiri yang mengucapkan kata-kata itu,
tapi wajahnya sendiri pula yang berubah menghijau.
Sekali lagi terdengar suara gemuruh yang memekakkan
telinga, bagai terjadi gempa bumi yang dahsyat. Kuburan itu
merekah lebar dan sesosok tubuh menerjang keluar dari
dalamnya! Wajahnya merah padam, di antara siulan panjang, tubuhnya
berjungkir balik dua kali kemudian melayang turun di hadapan
Fu Hiong-kun dan Tok-ku Hong. Wajah kedua gadis itu
berubah beberapa kali. Mereka mundur beberapa langkah.
Tanpa sadar tangan keduanya bergenggam erat. Mata
mereka terbelalak. Mulut terbuka lebar. Yan Cong-tian tertawa
terbahak-bahak.
"Anak bodoh! Apa yang kalian takutkan?" tanyanya tenang.
Fu Hiong-kun tersadar. Sukmanya yang tadi baru melayang
sekarang kembali lagi. Dengan heran dia memandang Yan
Cong-tian lekat-lekat. "Locianpwe ... kau ...?"
Wajah Yan Cong-tian berseri-seri. Dia tertawa terbahak-bahak
sekali lagi. 1162 "Tiga puluh tahun berlatih dengan susah payah tanpa hasil.
Siapa sangka setelah mengalami berbagai penderitaan,
ternyata hari ini aku berhasil menguasai Tian-can-kiat!"
"Tian-can-sinkang?" Tok-ku Hong dan Fu Hiong-kun tertegun
serentak. "Ilmu ini merupakan pusaka Bu-tong-pay selain Bu-tong-liokkiat. Karena Suhu dibokong musuh dan mati pada saat itu
juga, beliau belum sempat mengatakan kunci ilmu Tian-cansinkang ini. Itulah sebabnya aku tidak pernah berhasil melatih
ilmu ini. Sampai sekarang aku baru tahu kunci rahasia
tersebut," sahut Yan Cong-tian serius.
Tok-ku Hong dan Fu Hiong-kun mendengarkan dengan
termangu-mangu.
"Tian-can-sinkang adalah sebuah ilmu yang luar biasa.
Memang harus mengalami luka parah dulu, di ambang
kematian lalu hidup lagi, baru memahami sim-hoat yang luar
Pendekar Pemetik Harpa 28 Pendekar Wanita Penyebar Bunga Karya Liang Ie Shen Lambang Naga Panji Naga Sakti 7

Cari Blog Ini