Ceritasilat Novel Online

Jaka Lola 6

Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Bagian 6


Tan Kong Bu dan isterinya, Kui Li Eng dengan penuh kebahagiaan menikmati hidup mereka di puncak Min-san. Para pembaca cerita Rajawali Emas tentu sudah mengenal siapa adanya suami isteri pendekar ini, yang keduanya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.
Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San, sedangkan isterinya, Kui Li Eng adalah puteri Kui-san-jin ketua Hoa-san-pai. Yang laki-laki putera ketua Thai-san-pai, yang wanita puteri ketua Hoa-san-pai. Tentu saja mereka merupakan pasangan yang hebat.
Akan tetapi, suami isteri ini lebih suka bersunyi diri, menjauhkan keramaian dunia, memperdalam ilmu dan menerima belasan orang murid di Min-san sehingga kelak terkenal munculnya sebuah partai persilatan baru, yaitu Min-san-pai.
Biarpun belasan orang anak murid Min-san-pai merupakan anak-anak pilihan yang berbakat sehingga rata-rata mereka itu dapat mewarisi kepandaian yang diturunkan oleh kedua suami isteri pendekar ini, namun mereka itu tidak dapat menyamai kemajuan yang diperoleh puteri tunggal guru mereka. Tan Kong Bu dan isterinya memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Tan Lee Si. Seorang gadis berusia sembilan belas tahun, cantik dan ber-wajah agung, berwatak keras seperti ibunya dan jujup Koleksi Kang Zusi191
Jaka Lola Kho Ping Hoo seperti ayahnya. Biarpun merupakan anak tunggal, Lee Si tidak biasa dimanja dan ia dapat berdiri de-ngan teguh di atas kaki sendiri, dalam arti kata segala sesuatu ingin ia putus-kan dan laksanakan sendiri sehingga biar-pun masih amat inuda, namun ia telah mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang luar biasa.
Ilmu silat yang dimiliki Lee Si memang aneh, merupakan percampuran dari ilmu kedua orang tuanya. Ayahnya, Tan Kong Bu, memiliki ilmu warisan dari mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun terutama sekali Ilmu Silat Yang-sin-kun! Adapun ibunya, Kui Li Eng, mewarisi ilmu silat aseli dari Hoa-san-kun. Karena ia menerima gemblengan dari ayah bun-danya, maka Lee Si tentu saja faham akan kedua ilmu itu, malah kedua ilmu yang sudah mendarah daging di tubuh dan urat syarafnya itu telah bercampur dan terciptalah ilmu silat campuraii yang aneh dan lihai. Ayahnya memberi hadiah sebatang pedang yang bersinar Kuning, sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama pedang Oie-kong-kiam. Adapun ibu-nya, seorang ahli senjata rahasie Hoa-san-pai, setelah melatih puterinya dengan ilmu senjata rahasia, menghadiahi se-kantung gin-ciam (jarum perak). Tidak sembarang ahli silat mampu memper-gunakan gin-ciam ini, karena jarum-jarum itu amatlah lembutnya, jika dipergunakan hampir tidak mengeluarkan suara dan sukar diikuti pandangan mata. Cara menggunakan harus mengandalkan sinkang dan latihan yang masak.
Pada suatu pagi yang cerah, Lee Si berlatih ilmu silat pedang di dalam ke-bun di belakang rumahnya. Sejak kemarin ia melatih jurus campuran dari Yan-sin-kiam jurus ke delapan dengan Hoa-san-kiam-sut jurus ke lima. Kedua jurus ini mempunyai persamaan, akan tetapi me-ngandung daya serangan yang amat berlainan sehingga kalau kedua Jurus ini dapat dikawinkan, akan merupakan jurus yang ampuh. Akan tetapi Lee Si me-nemui kesulitan. Tiap kali ia mainkan kedua jurus ini dalam gerakan campuran, ia merasakan dadanya sesak. Beberapa kali sudah ia mencoba dan akhirnya ia menyarungkan pedangnya di punggung, lalu berdiri tegak dan mengumpulkan napas, suatu ilmu berlatih napas secara aneh yang diajarkan oleh ayahnya untuk mengerahkan tenaga Yang-kang. Beberapa menit kemudian ketika sesak pada dada-nya sudah lenyap, ia meinbuka matanya dan menarik napas panjang. Pada saat itu terdengarlah suara orang perlahan,
"Anak baik, mengapa kau tidak men-coba dengan barengi cara Pi-ki-hu-hiat (Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah)" Jurusmu terlalu kacau dan berbahaya, kalau diulang-ulang bisa membahayakan diri sendiri."
Lee Si menengok dan tampaklah olehnya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun kurang lebih duduk berjongkok di atas tembok kebun. Orang itu dapat berada di sana tanpa ia ketahui sudah membuktikan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Lee Si berpeman-dangan luas, biarpun hatinya tak senang ada orang tak terkenal berani menegur dan malah memberi nasehat kepadanya yang berarti bahwa orang itu mernandang rendah, namun ia dapat menekan perasa-annya dan berkata,
Koleksi Kang Zusi192
Jaka Lola Kho Ping Hoo "Orang tua, siapakah kau dan apa perlunya kau berada di sini mengintai orang?"
Laki-laki itu tersenyum dan wajahnya yang tenang itu berseri. "Aku adalah sahabat baik ayahniu, sengaja datang ke Min-san. Kebetulan tadi aku mendengar sambaran angin pedangmu, membuat aku tertarik sekali dan secara lancang menonton. Gerakan-gerakanmu menyatakan bahwa kau tentulah puteri Kong Bu."
Keterangan ini dapat diterima, akan tetapi karena Lee Si belum pernah bertemu dengan orang ini dan sering kali ia mendengar dari ayah bundanya bahwa mereka dahulu banyak dimusuhi orang-orang jahat di dunia kang-ouw, maka ia tetap menaruh curiga. '"Maaf, Lopek (Paman Tua), kalau memang kau adalah seorang tamu dari ayah, rnengapa tidak langsung masuk dari pintu depan" Sebelum bertemu dengan ayah, maaf kalau saya tidak berani inelayanimu lebih jauh."
Orang itu tertawa. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Puteri Kong Bu benar-benar seorang yang hati-hati dan tidak sembrono. Ketahuilah, anak baik, aku datang dari Thai-san. Beritahukan ayahmu bahwa..... ah, itu dia sendiri datang!"
Lee Si menengok dan kagumlah ia akan kelihaian orang tua itu. Benar saja bayangan ayahnya berkelebat keluar dari pintu belakang. Begitu ayahnya melihat laki-laki yang berjongkok di atas pagar tembok, ia tercengang sejenak, kemudian terdengar dia berseru girang,
"Haiii..... bukankah suheng (kakak , seperguruan) Su Ki Han yang datang berkunjung?" Suara Kong Bu keras dan nyaring. Pendekar ini biarpun usianya sudah empat puluh tahun lebih, masih tampak muda dan gagah. la tertawa dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah berada di dalam kebun. Tak lama kemudian berkelebat bayangan yang gesit dari seorang wanita cantik.
"Lihat siapa yang datang berkunjung ini!" Kong Bu berseru.
Wanita itu berdiri memandang, latu tersenyum manis dan sepasang matanya yang masih bening itu bersinar-sinar. "Ah, kiranya seorang tamu agung dari Thai-san!" Kui Li Eng wanita ini, juga berlompatan dalam kebun.
Lee Si menjadi girang sekali la cepat memberi hormat kepada laki-laki yang sudah melompat turun dari atas pagar tembok dan kini berpelukan dengan Kong Bu itu. "Sudah lama saya mendengar nama Supek, harap maafkan kekurangajaran saya tadi."
"Wah, kau anak nakal. Apakah kau ysudah berlaku kurang ajar kepada Su-suheng?" bentak Kong Bu.
Koleksi Kang Zusi193
Jaka Lola Kho Ping Hoo "Eh, jangan galak-galak, Sute. Dia anak baik, baik sekali, sama sekals tidak nakal atau kurang ajar. Malah aku yang tidak tahu diri, menerobos memasuki rumah orang melalui kebun belakang seperti maling dan mulutku yang gatal ini berani memberi komentar atas latihannya bermain pedang."
"Bagus sekali! Hayo cepat kauhatur-kan terima kasih kepada Supekmu atas petunjuknya yang berharga!" kata Li Eng kepada puterinya.
Lee Si kembali menjura dengan hor-mat. "Supek, saya menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk Supek tadi yang tentu akan saya coba dan saya perhatikan."
Su Ki Han menggoyang-goyang kedua tangannya ke atas. "Wah-wah, kalian ini memang orang-orang yang berjiwa satria, pandai merendah diri. Pantas saja anak ini demikian maju dan hebat kepandaian-nya, kiranya bermodal sikap merendahkan diri yang amat baik untuk mencapai kemajuan! Petunjukku tadi belum tampak buktinya, belum juga dicoba, bagaimana spatut ditebus dengan ucapan terima kasih?"
"Supek, sesungguhnya sudah berhari-hari saya bingung menghadapi dua jurus yang hendak saya satukan itu, belum menemui jalan pemecahannya. Malah dada saya terasa sesak bernapas."
"Kau memang bandel!" Kong Bu mencela puterinya. "Ilmu silatku dan ilmu silat Ibumu semenjak dahulu memang berlawanan, sudah berkali-kali Ibumu dan aku bertanding, selalu tiada yang nienang tiada yang kalah. Bagaimana bisa kau satukan?"
"Ayah dan Ibu buktinya bisa bersatu, mengapa ilmunya tidak bisa?"
"Eh, anak gila.....!" Li Eng berseru dengan muka menjadi merah sekali.
"Ha-ha-ha, anak kalian ini rnemang benar. Biarpun ilmu silat itu berlawanan sifatnya, namun bukan tak mungkin dapat disatukan, asal pandai mengaturnya. Sifat Im dan Yang memang berlawanan inilah yang menjadikan segala apa di duma ini. Bukankah dalam kitab Ya-keng disebut bahwa IT IM IT YANG WI CI TO (sebuah Im dan sebuah Yang, itulah disebut TO)" Kekuasaaan alam bekerja dengan dasar Im Yang dua unsur berlawanan yang saling menarik, juga saling menolak, saling' menghancurkan, juga saling menghidupkan. Dengah adanya perpaduan Im dan Yang, barulah tercipta Ngo-heng, sari pati SUI HO BOK KIM THO
(air-api-kayu-logam-tanah). Cara kerja Ngo-heng pun berdasarkan Im dan Yang, sa-ling menghidupkan dan saling mematikan. AIR menghidupkan KAYU, KAYU meng-hidupkan API, API menghidupkan TANAH, TANAH menghidupkan LOGAM, dan LOGAM menghidupkan AIR.
Sebaliknya, AIR mematikan API, API mematikan LOGAM, LOGAM mematikan KAYU, KAYU
mematikan TANAH, dan TANAH mematikan AIR. Tentu saja arti kata menghidupkan boleh diganti menghasilkan, sedangkan mematikan boleh memusnahkan atau memakan habis.
Koleksi Kang Zusi194
Jaka Lola Kho Ping Hoo Wah, aku jadi ngacau terus..... ha-ha-ha!"
"Bagus, bagus, Supek. Saya mulai dapat menangkap rahasia Im dan Yang!" teriak Lee Si sambil bertepuk tangan kegirangan.
"Supekmu adalah murid tertua dari kakekmu, tentu saja dia telah mewarisi Ilmu Im-yang-sin-hoat," kata Kong Bu tersenyum.
Kembali sambil tertawa Su Ki Han mengangkat kedua lengannya ke atas menolak pujian itu.
"Tentang ilmu kepandaian silat, mana bisa aku dibanding-kan dengan Ayah dan Ibumu"
Anak baik kalau belajar ilmu silat, ayah bundamu inilah gurunya. Kalau mempelajari teori tentang Im Yang, mungkin aku akan dapat memberi penjelasan. Karena tadl kulihat bahwa gerakanmu dalam mempersatukan dua jurus itu mengandung hawa Im dan Yang, dua hawa yang berlawanan, maka kau gagal dan inilah merasa sesak dadamu. Satu-satunya cara untuk mengatasinya hanya dengan Pi-ki-hu-hiat, karena dengan demikian, kau akan dapat mengatur kedua hawa yang bertentangan itu dengan teratur dan bergiliran sehingga dapat menghasilkan jurus yang lihai dan sukar diduga iawan."
"Lee Si, setelah mendapat petunjuk dari Supekmu, kenapa tidak segera di-eoba agar kalau ada kekurangannya dapat minta penjelasan lagi?" kata Li Eng ke-pada puterinya. Ibu yang amat mencinta puterinya ini tentu saja menggunakan setiap kesempatan untuk kepentingan dan keuntungan puterinya.
"Sing.....!" Sinar kuning berkelebat ketlka Lee Si mencabut pedang Oei-kong-kiam. "Supek, mohon petunjuk Supek kalau ada kekeliruan," katanya dan sekali lagi, seperti yang telah ia lakukan di luar tahu ayah bundanya selama beberapa hari ini tanpa hasil, ia bersilat mainkan jurus yang digabung itu. la mentaati petunjuk Su Ki Han dan sambil bersilat ia mengerahkan Ilmu Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah. Gerakan kedua jurus itu ia satukan dan...... ia berhasil melakukannya dengan baik.
"Eh, seperti Yang-sin-kiam jurus ke delapan!" seru Kong Bu.
"Tidak, seperti jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut'" seru Li Eng.
Dengan girang sekali Lee Si meng-hentikan gerakannya dan bersorak, "Aku berhasil! Ayah, Ibu, memang itu tadi jurus ke delapan dari Yang-sin-kiam di-gabung dengan jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut'. Supek, terima kasih." Mereka tertawa-tawa dengan girang.
"Wah, kita ini tuan dan nyonya rumah macam apa?" Kong Bu tiba-tiba berseru mencela diri sendiri dan isterinya "Ada tamu agung datang, bukan lekas-lekas disambut dan dijamu, malah direpotkan dengan anak kita. Inilah kalau kita terlalu memanjakan anak!"
Koleksi Kang Zusi195
Jaka Lola Kho Ping Hoo "Ah, di antara saudara sendiri, manah ada aturan sungkan-sungkan segala ma-cam?" Su Ki Han membantah. Akan tetapi dia segera mengikuti mereka memasuki rumah di mana pemilik rumah cepat menyuguhkan minuman dan me-nanyakan keselamatan ayah bunda me-reka di Thai-san. Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San dan mendiang Kwee Bi Goat. Nyonya Tan Beng San yang pekarang, yaitu Cia Li Cu ibu Tan Cui Sian adalah ibu tirinya.
"Keadaan suhu dan subo (ibu guru) sehat-sehat dan selamat. Juga Thai-san-pai makin berkembang, tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."
"Supek, kenapa bibi Cui Sian tidak ke si-ni" Saya sudah kange'" betul. Sepuluh tahun sudah tak pernah bertemu dengannya. Tentu dia lihai sekali dan eantik jelita, ya?"
"Karena bibimu itulah maka hari ini aku berada di sini. Sumoi sudah sebulan lebih turun gunung ketika datang putera Bun-goanswe yang mengabarkan bahwa ada anak murid Hek Lojin yang meneari-cari Pendekar Buta untuk membalas den-dam. Malah putera Jenderal Bun itu pun menceritakan adanya sekawanan pen-jahat yang bernama Ang-hwa-pai, ber-pusat di Pulau Chong-coa-to dipinipin oleh Ang-hwa Nio-nio dan banyak orang sakti lainnya, juga mengumpulkan tenaga untuk menyerbu Liong-thouw-san. Putera Jenderal Bun itu dalam per.jalanannya ke Liong-thouw-san untuk memberi kabar, dan dia sengaja mampir ke Thai-san, seperti yang dipesankan oleh ayahnya. Mendengar berita ini, suhu menjadi tidak enak hatinya. Permusuhan berlarut-larut yang kini mengancam keselamatan keluarga Pendekar Buta sebetulnya terjadi karena suhu, sedangkan Pendekar Buta, Kwa-taihiap, hanya membantu suhu. Maka aku lalu disuruh turun gunung, men-cari sumoi untuk bersama-sama pergi ke Liong-thouw-san, bila perlu membantu Kwa-taihiap menghadapi musuh-musuh yang menyerbu."
Mendengar ini, Kong Bu malah tertawa. "Ah, ayah terlalu mengkhawatirkan keselamatan Kwa Kun Hong, sungguh lucu! Suheng, di jaman ini, siapakah orang-nya yang akan mampu mengalahkan Pendekar Buta dan isterinya" Kalau ada yang sekit hati dan ingin membalas dendam, biarkan mereka itu pergi menandingi Pendekar Buta, biar mereka tahu rasa. Ingin aku melihat mereka itu seorang demi seorang dirobohkan."
"Paman Hong, biarpun sudah buta, penjahat-penjahat itu akan dapat berbuat apakah terhadapnya" Akan tetapi, ayah mertua benar juga. Adik Cui Sian akan mendapat pengalaman yang amat ber-harga kalau dia sempat menyaksikan paman Kun Hong menghajar para pen-jahat yang hendak rnenyerbu ke Liong-thouw-san." Ucapan Li Eng ini disertai suara mengandung kebanggaan. Kwa Kun Hong terhitung pamannya, seperguruan, maka ia patut berbangga akan kelihaian dan ketenaran nama pamannya.
Su Ki Han tersenyum mendengar kata-kata suami isteri ini. Ternyata mereka ini masih sama dengan dahulu, tabah, berani dan gagah perkasa, juga jujur kalau bicara. Suami isteri yang cocok sekali, pantas mempunyai puteri sehebat Lee Si.
Koleksi Kang Zusi196
Jaka Lola Kho Ping Hoo "Memang tak dapat disangkal bahwa Kwa-taihiap memiliki kepandaian yang sakti. Suhu sendiri sering kali memuji-mujinya, apalagi karena sumber ilmu kepandaian Kwa-taihiap dan suhu adalah sama, yaitu dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi menurut suhu, sekarang banyak bermuncullan orang-orang sakti di dunia hitam, apalagi yang datang dari barat dan utara. Kaisar sendiri sampai bersusah payah dalam usahanya memperkuat dan memperbaiki Tembok Besar untuk mencegah perusuh dari barat dan utara. Namun, banyak tokoh-tokoh sakti mereka itu berhasil menerobos masuk dan selain melakukan penyelidikan untuk mengukur keadaan, juga mereka banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh hitam di 'sini. Karena itulah, menurut suhu, sudah tiba saatnya kitqi semua harus bangkit, siap sedia membela negara dan bangsa menghadapi mereka itu. Pada saat ini, agaknya pribadi Pen-dekar Buta menjadi pusat perhatian para tokoh hitam yang banyak menaruh dendam. Maka, Kwa-taihiap boleh diumpamakan sebagai umpan untuk memancing datang tokoh-tokoh itu dan kita harust mernbantunya nnembasmi mereka agaK
negara bersih daripada gangguan mereka. Bagaimana pendapat, Sute?"
Kong Bu mengangguk-angguk. "Ayah, selalu berpemandangan luas. Tentu saja kami di sini, biarpun hanya terdiri dari-pada kami bertiga dan beberapa belas, anak murid yang kaku dan bodoh, selalu siap membantu apabila diperlukan."
"Bagus!" Li Eng menyambung. "Belasan tahun pedangku tinggal bersembunyi di dalam sarungnya, membuat aki menjadi malas. Berilah aku lawan yang jahat dan kuat, dan kegembiraan lama akan timbul kembali!"
"Wah-wah, kau kambuh lagi". Apa tidak takut ditertawai anakmu" Kita sudah tua, tidak perlu menonjolkan semangat seperti di waktu muda." Kong Bu menggoda isterinya.
"Ayah, aku setuju dengan Ibut Ibu gagah dan bersemangat, mengapa dicela" Dan aku percaya, kalau Ibu ikut terjun, segala macam penjahat itu mana berani menjual lagak?" Lee Si membela ibunya.
Su Ki Han tertawa bergelak. "Anak baik, kalau Ibumu tidak begitu bersema-ngat dan gagah perkasa, mana bisa menjadi isteri Ayahmu" Sute berdua, kedatanganku ke sini, seperti telah kukatakan tadi, adalah mencari sumoi. Tadinya kusangka bahwa sumoi mengunjungi kalian. Apakah sumoi tak pernah datang ke sini?"
"Tidak, Su-suheng."
"Heran sekali, ke mana dia pergi" Apakah ke Lu-liang-san, ke rumah sute Tan Sin Lee"
Ataukah ke Hoa-san-pai" Dalam penyelidikanku, pernah dia terlihat di dekat daerah Tai-gpan, malah kabar-nya dia telah pergi mengunjungi Pulau Ching-eoa-to! Akan tetapi sekarang dia tidak berada di sana, malah ketika ku-tanyakan Bun-goanswe, juga tidak sing-Koleksi Kang Zusi197
Jaka Lola Kho Ping Hoo gah di sana."
"Mana bisa mencari seorang yang se-dang merantau" Suheng, lebih baik kau mendahului ke Liong-thouw-san dan menanti di sana. Akhirnya Cui Sian tentu juga akan singgah ke sana."
"Senang sekali memang melakukan perantauan seorang diri seperti Cui Siam. Dengan sebatang pedang menjelajan seribu gunung, memberi kesempatan kepada pedang untuk menghadapi seribu kesulitanc Wah, kau takkan berhasil mencarinya, Su-suheng. Memang sebaiknya kau me-nanti di Liong-thouw-san. Kelak kalau dia muncul di sini, tentu akan kuben tahu," kata Li Eng dengan wajah DerserU Nyonya ini yang dahulunya merupakan seorang gadis yang lincah dan suka sekali merantau, teringat akan masa mudanya dan timbul kegembiraannya.
"Cui Sian tidak seperti kau!" eefla Kong Bu.
"Kau dahulu selalu mencari perkara. Kalau semua gadis muda seperti kau akan kacaulah dunia. Ada gadis seperti kau lima saja, pasti dunia kang-ouw akan geger." Mereka tertawa-tawa lagi. Pertemuan dengan murid kepala Thai-san-pai ini ternyata mendatangkan kegembiraan luar biasa dan mereka bertiga itu bercakap-cakap sambil tertawa-tawa sampai hampir semalam suntuk. Banyak arak dan daging melewati tenggorokan mereka, dan ketiganya tidak memperhatikan lagi betapa sore-sore Lee Si sudab masuk ke kamarnya.
Baru pada keesokan harinya suann isteri ini mendapat kenyatean bahwa . puteri mereka tidak berada di dalam kamarnya dan bahwa pembaringannya tak pernah ditiduri malam itu.
Di atas meja dalam kainar Lee Si terdapat kertas bertulisan huruf-huruf halus yang berbunyi, "TURUN GUNUNG MENCARI BIBI CUI SIAN'".
"Bocah lancang!" seru Kong Bu yang cepat memanggil murid-muridnya yang tinggal di puncak dalam bangunan lain. Para murid yang berjumlah tiga belas orang ini juga tidak ada yang melihat bila Lee Si pergi furun gunung, karena malam hari itu, tahu bahwa suhu dan subo mereka menjamu seorang tamu dari Thai-san, para murid ini tidak berani di dalam bangunan tempat tinggal mereka.
"Mengapa ribut-ribut" Biarkan dia turun gunung mencari pengalaman. Dia bukan anak kecil lagi," kata Li Eng, tidak puas melihat suaminya seperti se-ekor ayam kehilangan anaknya.
"Biarpun dia sudah dewasa dan ke-pandaiannya cukup, tapi dia masih hijau. Dunia banyak sekali orang jahat, bagai-mana kalau dia tertimpa bencana?"
"Ah, kau sebagai ayah terlalu me-manjakannya! Kalau dia tidak digembleng dengan kesulitan dan bahaya, mana patut menjadi puteri kita?"
Koleksi Kang Zusi198
Jaka Lola Kho Ping Hoo Su Ki Han menjadi tidak ehftte? "Ahhh, akulah gara-garanya. Kalau tidak muncul di sini, agaknya Lee Si tidak akan pergi turun gunung. Biarlah aku minta diri sekaring dan akan kususul dia!"
"Jangan menyalahkan diri, Suheng. Memang sudah lama anak itu ingin sekali turun gunung, tapi selalu ditahan ayahnya. Sekarang ada kesempatan dan ada alasan, yaitu untuk mencari bibinya, Cui Sian, biar sajalah," kata Li Eng menghibur.
Juga Kong Bu menghibur, menyatakan bahwa bukan kesalahan Su Ki Han yang menyebabkan Lee Si pergi. Akan tetapi Su Ki Han tetap berpamit dan segera turun gunung dengan maksud mengejar Lee Si dan membujuk anak perempuan itu pulang ke puncak Min-san. Atau se-?tidaknya ia dapat mengamat-amati dan menjaganya. Akan tetapi betapapun cepat dia menggunakan ilmunya lari turun gu-nung, tetap dia tak dapat menyusul Lee Si.
Gadis ini bukanlah orang bodoh dan ia pun tahu bahwa ayahnya tidak suka membiarkan ia pergi. Oleh karena itu, malam tadi ia berangkat dengan cepat dan menyusup-nyusup hutan, tidak mau melalui jalan besar.
Karena baru kali ini ia turun gunung dan ia tidak ingin ayahnya dapat menge-jar dan memaksanya kembali, ia sengaja turun dari lereng sebelah barat dan sesukanya ia lari tanpa tujuan sehingga tanpa ia sadari, gadis ini melakukan perjalanan menuju ke barat! Dari Pegunungan Min-san ke barat, melalui dae-rah pegunungan yang tiada habisnya dan beberapa pekan kernudian gadis ini masih belum terbebas dari daerah pegunungan karena ternyata ia telah masuk daerah Pegunungan Bayangkara!
Penduduk dusun di pegunungan adalah orang-orang gunung yang tak pernah meninggalkan daerah pegunungan, maka tak seorang pun yang dijumpainya dapat menerangkannya ke mana jalan menuju Ke Liong-thouw-san atau ke kote raja. Hanya ada dua tempat di dunia in yang menarik hati Lee Si dan yang mendorong ia turun gunung yaitu pertama di Liong-thouw-san karena ia ingin, sekal berjumpa dengan paman ibunya yang terkenal dengan narna Pendekar Buta, dan ke dua ia ingin sekali menyaksikan bagaimana keadaan kota raja yang nanya pernah didengarnya dari eerita ibunya.
Pada suatu hari, ketika ia menuruni sebuah puncak di Pegunungan Bayangkara dan baru saja keluar dari sebuah hutan, ia mendengar suara aneh. Suara meleng-king tinggi dan suara seperti seekor ka-tak buduk "bernyanyi" di musim hujan. Sebagai puteri suami isteri pendekar yang berilmu tinggi, ia segera dapat men-duga bahwa suara-suara itu tentulah suara yang keluar dari mulut orang-orang sakti yang mengerahkan khikang tinggi. Cepat ia menyusup di antara pepohonan dan mengintai. Betul seperti telah diduganya, dari balik batang pohon ia mengintai daq melihat dua orang laki-laki aneh sedang berhadapan.
Yang melengking tinggi dan nyaring, lebih nyaring daripada lengking suara ayahnya kalau mengerahkan khikang, adalah seorang kakek berjenggot pendek yang tubuhnya amat Koleksi Kang Zusi199
Jaka Lola Kho Ping Hoo tinggi, lebih dua meter tingginya. Laki-laki ini berpakaian seperti orang asing, jubahnya berwarna kuning dan kepalanya dibungkus kain sorban warna kuning pula. Telinganya memakai anting-anting dan melihat bentuk hidungnya yang panjang melengkung serta kulitnya yang agak coklat gelap, terang bahwa si jangkung ini adalah seorang asing. Adapun orang ke dua yang memasang kuda-kuda dengan kedua lutut ditekuk setengah berjongkok sambil me-ngeluarkan suara "kok-kok-kok!" seperti suara katak buduk, adalah seorang kakek yang tubuhnya pendek gemuk berkepala gundul, kumis seperti tikus dan jenggot-nya pendek.
Dengan hati tertarik Lee Si meman-dang. Pasangan kuda-kuda kakek pendek gendut itu baginya tidaklah asing. Itu adalah pasangan kuda-kuda yang utnum dan banyak dilakukan oleh ahli silat dari utara. Akan tetapi pasangan kuda-kuda si jangkung itulah yang amat mengherankan hatinya. Si jangkung itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lurus, berdirinya bukan menghadapi lawan melainkan nn-ring sehingga lawannya berada di sebelah kanannya, kedua lengan dikembangkan dengan jari-jari terbuka, mukanya seperti orang kemasukan setan dan dari mulutnya keluarlah bunyi lengking yang kadang-kadang mendesis-desis.
Lee Si dapat menduga bahwa dua orang itu tentu sedang berada dalam awal pertandingan.
la tidak mengenal mereka, juga tidak tahu mengapa dua orang aneh ini seperti hendak bertempur, nriaka ia hanya mengintai dan menjadi penonton. Tiba-tiba si pendek gendut makin merendahkan tubuhnya dan suara "kok-kok" dari mulutnya makin dalam, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan. Kedua lengan itu tampak menggetar, penuh dengan tenaga mujijat yang menerjang ke depan. Si tinggi itu meng-gerakkan kedua lengan seperti orang menangkis, namun tetap saja ia terhu-yung ke kiri, mukanya berubah merah sekali.
Lee Si terkejut bukan kepalang. He-bat si pendek itu. Entah ilmu pukulan jarak jauh apa yang diperlihatkan tadi, tapi terang bahwa si jangkung telah ter-desak hebat dan keadaannya berbahaya. Mendadak si jangkung mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya berjungkir balik tiga kali dan tahu-tahu dia telah melayang ke tempat yang tadi, kemudian kedua lengannya bergerak dari atas kepala ke bawah seperti orang menekan. Dari kedua lengan yang panjang ini menyambar hawa pukulan sakti yang membuat debu mengebul di depan kakinya! Kali ini si pendek gendut yang menerima serangan ini dengan kedua tangannya, terdorong mundur sampai satu meter lebih dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan seperti bola karet ia dapat mematahkan daya serangan lawan yang menggunakan pukulan jarak jauh mengandalkan tenaga mujijat.
Keduanya lalu melompat dan oerdiri berhadapan dalam keadaan biasa. Keduanya agak pucat dan si pendek gendut tertawa dengan suaranya yang pareu dan , dalam, "Ha-ha-ha, sobat Maharsi, hebat bukan main pukulanmu tadi. Aha, agaknya inilah Pai-san-jiu (Pukulan Mendorong Gunung) yang terkenal hebat itu!"
Koleksi Kang Zusi200
Jaka Lola Kho Ping Hoo "Hemmmi, Bo Wi Sianjin, kami orang-orang barat hanya mempunyai sedikit hasil latihan, mana dapat disamakan dengan kau, seorang tokoh utara yang hidupnya nienentang keadaan alam yang buas dan kuat" Sudah lama aku mendengar bahwa Ilmu Pukulan Katak Sakti darimu tiada bandingnya dan ternyata hari ini aku telah membuktikan sendiri kehebatannya. Kalau kau tidak meman-dang persahabatan, agaknya aku tadi takkan kuat menahan!"
"Ha-ha-ha-ha-ha, kau orang barat nnemang pandai sekali mengelus hati merayu perasaan dengan pujian muluk! Bagiku, tidak ada kesenangan yang me-lebihi bertanding ilmu untuk membukti-kan sampai di mana hasil jerih payah yang kita derita selama puluhan tahun.
Akan tetapi, karena kita perlu sekali menyatukan tenaga menghadapi lawan yang lihai, biarlah aku bersabar dan kelak masih banyak waktu bagi kita untuk memuaskan hati menengok siapakah di antara kita yang lebih berhasil."
"Hemmm, aku selalu akan mengiringi keinginan hatimu, Sobat. Akan tetapi betul sekali kata-katamu tadi, saat ini kita perlu menghimpun tenaga. Lawan-lawan kita bukanlah orang-orang yang mudah dikalahkan," jawab si jangkung dengan bahasa yang terdengar kaku namun cukup jelas bagi Lee Si yang masih mengintai sambil mendengarkan.
"Kau benar, Maharsi. Kaukatakan tadi bahwa kau menerima pernnntaan bantuan dari adik seperguruanmu Ang-hwa Nio-nio" Jadi sekarang kau hendak pergi mengunjunginya ke Ching-coa-ouw (Telaga Ular Hijau)?"
"Betul, Sianjin. Adikku Kui Ciauw itu sekarang menjadi ketua Ang-hwa-pai di Pulau Ching-coa-to. Memang dulu sudah kujanjikan akan membantunya, karena kedua orang adikku Kui Biauw dan Kui Siauw telah tewas di tangan Pendekar Buta dan teman-temannya. Kau sendiri, kukira turun dari pegunungan utara untuk urusan kematian suhengmu Ka Chong Hoatsu.
Bukankah begitu?"
"Betul, Maharsi. Kakak seperguruanku itu tewas di tangan Raja Pedang yang sekarang menjadi ketua Thai-san-pai
"Hemmm, lawan kita memang berat. Pendekar Buta biarpun masih muda, kepandaiannya luar biasa sekali. Untuk menghadapinya maka selama hampir dua puluh tahun aku melatih dengan Pai-san-jiu."
Si pendek gendut mengangguk-angguk. "Sama halnya dengan aku, Sobat. Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San memiliki ilmu kepandaian yang lihai, terutama ilmu pedangnya Im-yang-sin-kiam. Karena itulah maka aku menyembunyikan diri selama dua puluh tahun lebih, khusus untuk melatih Ilmu Pukulan Katak Sakti guna menghadapinya. Mudah-mudahan jerih payah kita takkan, sia-sia dan roh-roh saudara kita akan dapat tenteram."
Koleksi Kang Zusi201
Jaka Lola Kho Ping Hoo Lee Si yang mendengarkan percakapan ini menjadi kaget sekali. Baiknya dia seorang gadis yang cukup cerdik dan tidak sembrono. la dapat menduga bahwa dua orang ini merupakan lawan-lawan yang amat tangguh, maka ia tidak mau sembarangan keluar dari tempat persem-bunyiannya. Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa bergelak, tepat di belakang Lee Si dan sebelum gadis ini sempat berbuat sesuatu, pundaknya telah dicengkeram orang dan ternyata yang menangkapnya adalah seorang hwesio yang sudah amat tua, mukanya pucat seperti mayat, tubuhnya tinggi besar dan kedua matanya selalu meram seperti orang buta, bajunya yang terbuat dari-pada kain kasar terbuka lebar di bagian dada memperlihatkan sebagian perut yang gendut.
"Tokoh-tokoh utara dan barat diintai bocah di luar tahu mereka, benar-benar aneh!" kata hwesio itu dengan suara tak acuh, kemudian tangannya bergerak dan..... tubuh Lee Si melayang ke arah dua orang aneh itu seperti sehelai daun kering tertiup angin! Tentu saja Lee Si yang tadinya sudah kaget, kini inenjadi takut setengah mati. la maklum bahwa tubuhnya melayang ke arah dua orang aneh itu dan tidak tahu bagaimana akan jadinya dengan dirinya. Tentu saja de-ngan mempergunakan ginkang, setelah kini terbebas dari pegangan hwesio sakti itu, ia dapat melayang ke samping untuk melarikan diri. Akan tetapi ia pun cukup maklum bahwa hal ini akan sia-sia belaka. Tak mungkin ia melarikan diri dari tiga orang aneh ini kalau mereka tidak menghendaki demikian. la teringai akan cerita ayah bundanya tentang keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia persilatan. Jalan satu-satunya hanya menyerah tanpa mengeluarkan kepandaian sehingga tiga orang itu akan merasa malu untuk meng-ganggu seorang lawan yang tidak me-miliki kepandaian seimbang. la harus mempergunakan kecerdikan di mana kepandaiannya takkan dapat menolongnya. Oleh karena inilah, ia hanya memutar agar dalam melayang ini ia dapat me-mandang kepada kedua orang tokoh dari .. barat itu.
Siapakah tiga orang sakti ini" Seperti dapat diketahui dari percakapan antara si jangkung dan si pendek yang didengarkan oleh Lee Si tadi, si jangkung adalah seorang tokoh barat berbangsa India se-belah timur,seorang pertapa dan pendeta yang disebut Maharsi (Pendeta Agung). Maharsi ini adalah kakak seperguruan dari Ang-hwa Sam-ci-moi, yaitu Kui Ciauw, Kui Biauw dan Kui Siauw. Sebagaimana kita ketahui, Kui Biauw dan Kui Siauw ini tewas ketika Ang-hwa Sam-ci-moi bentrok dengan Pendekar Buta dan teman-temannya, adapun Kui Ciauw sekarang menjadi ketua Ang-hwa-pai yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio. Su-dah bertahun-tahun lamanya Ang-hwa Nio-nio menaruh dendam kepada Pende-kar Buta atas kematian kedua orang saudaranya, dan untuk membalas dendam ia telah minta bantuan Maharsi. Akan tetapi, karena maklum betapa lihainya Pendekar Buta, mereka berdua menunda niat membalas dendam ini dan masing-masing menggembleng diri untuk mein-buat persiapan menghadapi musuh lama yang amat sakti itu.
Adapun si pendek itu adalah seorang tokoh dari daerah Mongol. Bo Wi Sianjin dahulu mempunyai seorang suheng (kakak seperguruan) bernama Ka Chong Hoatsu yang tewas di tangan Raja Pedang Tan Beng San. Juga karena maklum betapa lihainya musuh besar ini, Bo Koleksi Kang Zusi202
Jaka Lola Kho Ping Hoo Wi Sianjin tidak tergesa-gesa dan berlaku sembrono, melainkan dia malah menyembunyikan diri untuk menyakinkan sebuah ilmu yang ampuh untuk menghadapi musuhnya. Selama dua puluh tahun lebih dia menggembleng diri dan sekarang dia mulai turun dari tempat persembunyiannya untuk mencari musuh lama, yaitu Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Di tengah jalan kebetulan bertemu dengan Maharsi dan kebetulan sekali terlihat oleh Lee Si.
Hwesio tua renta yang tinggi besar dan amat lihai itu bukanlah seorang yang tidak dikenal para pembaca cerita Pen-dekar Buta. Dia itu bukan lain adalah Bhok Hwesio, seorang tokoh yang amat terkenal dari perkumpulan besar Siauw-lim-pai. Akan tetapi, berbeda dengan para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai pendeta-pendeta berbudi yang hidup suci dan biasanya menggunakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang hebat untuk membela kebenaran dan keadilan. Bhok Hwesio ini sennenjak dahulu me-rupakan seorang anak murid atau tokoh yang murtad. Ilmu kepandaiannya me-mang tinggi dan lihai sekali. Boleh di-bilang jarang tokoh Siauw-lim-pai yang dapat menandinginya, kecuali para pim-pinan dan ketuanya saja. Di dalam cerita Pendekar Buta diceritakan betapa Bhok Hwesio ini, dua puluh tahun yang lalu, dapat terbujuk oleh mereka yang me-musuhi Pendekar Buta dan kawan-kawan-nya. Akhirnya dia ditawan oleh suhengnya sendiri, Thian Ki Losu tokoh Siauw-lim-pai yang sakti, dibawa kembali ke Siauw-lim-pai dan seperti sudah rnenjadi peraturan keras Siauw-lim-pai kalau ada anak murid menyeleweng, Bhok Hwesio di "hukum"
di dalam "kamar penunduk nafsu" selama sepuluh tahun! la tidak boleh keluar dari kamar yang pintunya di "segel" dengan tulisan "hu" (surat jimat) diberi makan melalui lubang sehari sekali, dan diharuskan bersamadhi dan menindas hawa nafsu duniawi. Karena yang menjaga agar hukuman ini terlaksana baik adalah Thian Ki Losu sendiri, Bhok Hwesio tidak berdaya dan terpaksa dia menyerah. Suhengnya itu terlampau saktia baginya. Akan tetapi sesungguhnya hanya pada lahirnya saja dia menyerah. Di dalam hatinya dia menjadi marah dan sakit hati terhadap Pendekar Buta, Raja" Pedang dan lain-lainnya yang dianggapnya menjadi biang keladi daripada penderitaannya ini. Diam-diam dia bersamadhi untuk menggembleng diri, memupuk tenaga dan memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktian di dalam kamar kecil dua meter persegi itu! Saking tekunnya melatih diri, sudah sepuluh tahun lewat dan sudah lama Thian Ki Losu yang amat tua itu meninggal dunia, namun dia malah tidak mau keluar dari kamar hukuman ketika pintu dibuka sendiri oleh ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu. Akhirnya dia dibiarkan saja karena hal ini dianggap malah amat baik dan bahwa Bhok Hwesio agaknya sudah mendekati ambang pintu "kesempurnaan"!
Demikianlah, setelah bertapa menyik-sa diri selama dua puluh tahun, pada suatu malam para hwesio di Siauw lim-pai kehilangan hwesio tua yang dianggap hampir berhasil dalam tapanya itu. Tak seorang pun di antara para tokoh Siauw-lim-si itu menduga bahwa kepergian Bhok Hwesio kali ini adalah untuk mencari musuh-musuhnya yang dianggapnya mem-buat dia menderita selama dua puluh tahun untuk membalas dendam! Dan secara kebetulan sekali dia nnelihat Mahar-si dan Bo Wi Sianjin yang sudah dia -kenal namanya.
Girang hatinya mende-ngar bahwa mereka berdua itu pun mem-punyai tujuan yang sama, maka dia lalu muncul sambil menangkap dan melemparkan tubuh gadis yang dia ketahui Koleksi Kang Zusi203
Jaka Lola Kho Ping Hoo sejak tadi mengintai. Sengaja dia menggunakan tenaga sakti dalani lemparan itu untuk
"menguji" kelihaian dua orang tokoh utara dan barat yang akan menjadi teman seperjuangan menghadapi musuh-musuh besarnya yang sakti, yaitu Pen-dekar Buta, Raja Pedang dan teman-teman mereka.
Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang se-lama dua puluh tahun bersembunyi di tempat pertapaan rnasing-masing dan sudah lama tidak turun gunung, tidak mengenal hwesio tua renta yang tinggi besar dan bermuka pucat seperti mayat itu. Sekilas pandang saja ketika mereka tadi memandang wajah pucat tak ber-darah itu, mereka sebagai orang-orang sakti maklum bahwa hwesio tua itu benar-benar telah menguasai ilmu mujijat yang disebut I-kiong-hoan-hiat (Memin-dahkan Jalan Darah)! Hanya orang yang sinkang atau hawa sakti dalam tubuhnya sudah dapat diatur secara sempurnalah yang akan dapat menguasai ilmu "hoan-hiat" ini yang berarti bahwa hwesio itu sudah mencapai titik yang sukar diukur tingginya.
Sekarang melihat tubuh seorang gadis muda melayang ke arah mereka, tahulah ke dua orang itu bahwa hwesio tua ini hendak menguji kesaktian. Mereka tidak mengenal Lee Si dan biarpun jelas bahwa gadis itu mengintai, namun mereka tidak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan. i Namun karena gadis itu sudah dilontarkan ke arah mereka, Maharsi nriengeluar-kan suara melengking tinggi, sambil men-dorongkan kedua lengannya ke depan, ke arah tubuh Lee Si sambil mengerahkan sinkang dengan tenaga lembut.
Demikianpun Bo Wi Sianjin mengeluarkan suara "kok-kok" sambil mendorongkan lengannya, juga dengan tenaga lembut karena dia pun seperti Maharsi, tidak mau melukai atau mencelakakan gadis yang tak dikenalnya.
Untung bagi Lee Si bahwa ia berlaku hati-hati dan cerdik, tadi tidak meng-gunakan ginkang untuk melarikan diri, karena ternyata Bhok Hwesio hanya se-mentara saja melepaskannya.
Begitu ke-dua orang kakek itu menyambut, Bhok Hwesio sudah menggerakkan lengan lagi ke arah tubuh yang melayang itu. Lee Si merasa betapa tenaga yang hebat sekali dan panas datang menyambar dan menyangga punggungnya dari belakang! Pada saat itu, dari depan datang rnenyambar dua tenaga gabungan dari kakek jangkung dan kakek pendek.
Gabungan tenaga ini bertemu dengan tenaga Bhok Hwesio sehingga tubuh Lee Si yang tergencet di tengah-tengah di antara dua tenaga sakti yang saling bertentangan berhenti di tengah udara seakan-akan tertahan oleh tenaga mujijat dan tidak dapat jatuh ke bawah.
Memang hal ini sebetulnya amat tidak masuk di akil tampaknya, karena menyalahi hukum alam. Namun, harus diakui bahwa di dalam tubuh manusia terdapat banyak sekali rahasia-rahasia yang belum dapat dimengerti oleh manusia sendiri, dan sudah banyak yang mengakui bahwa terdapat tenaga-tenaga mujijat yang masih merupakan rahasia da-lam diri manusia. Di antaranya adalah sinkang (hawa sakti) yang selalu terdapat dalann diri setiap orang manusia. Hanya sebagian besar orang belum sadar akan hal ini dan karena tidak mengenalnya maka tidak kuasa pula mempergunakannya.
Sebagai puteri suami isteri pendekar yang berilmu tinggi, sungguhpun tingkat-nya belum Koleksi Kang Zusi204
Jaka Lola Kho Ping Hoo setinggi itu, namun Lee Si sudah maklum apa yang terjadi dengan dirinya. Ia dijadikan alat untuk mengukur tenaga sinkang, andaikata diambil per-umpamaan, ia merupakan sebatang tongkat yang dijadikan alat untuk main dorong-dorongan mengadu tenaga otot. Hanya dalam hal ini, bukan tenaga otot yang dipertandingkan, melainkan tenaga sinkang yang merupakan dorongan-dorong-an dari Jarak jauh!
Lee Si tidak begitu bodoh uhtuk mencoba-coba mengerahkan sinkangnya sendiri dalam arena pertandingan ini, karena hal ini akan membahayakan nyawanya. Kecuali kalau ia memiliki tenaga yang mengatasi tenaga tiga orang itu, atau setidaknya mengimbangi. la sengaja me-ngendurkan seluruh tenaga dan sedikit pun tidak melawan, namun dengan penuh perhatian ia merasakan getaran-getaran hawa sakti yang saling mendorong me-lalui tubuhnya itu. Segera ia dapat men-duga bahwa di antara tiga orang kakek itu, si hwesio tinggi besar inilah yang paling hlabat tenaganya, juga tenaga sinkang hwesio ini yang meneengkeramnya. Akan tetapi dibandingkan dengan tenaga si jangkung dan si pendek digabung menjadi satu, ternyata hwesio tua itu masih kalah kuat sedikit. Inilah yang perlu diselidiki oleh Lee Si dalam waktu singkat. Tentu saja ia tidak sudi menjadi "alat" mengukur sinkang seperti itu, karena kalau dibiarkan saja, akibatnya amatlah buruk. Kalau hanya berakibat tenaga sinkangnya sendiri melemah saja masih belum apa-apa, akan tetapi kalau ada kurang hati-hati sedikit saja dari ketiga orang itu, ia bisa menderita luka parah di sebelah dalam tubuhnya.
Lee Si sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Setelah mengukur tenaga yang bertanding, tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan keras sekali sannbil mengerahkan sinkang di tubuhnya, membantu atau lebih tepat "menunggangi" tenaga gabungan si Jangkung dan si pendek, terus ia mendorong hawa hwesio tinggi besar yang mencengkeramnya. Benar saja perhitungannya, Bhok Hwesio yang sudah merasa lelah dan tahu bahwa kalau dilanjutkan adu sinkang ini dengan dikeroyok dua, dia akan kalah, tiba-tiba menjadi terkejut karena fihak lawan menjadi makin kuat. Terpaksa dia mendengus dan menurunkan kedua lengannya.
Begitu terlepas daripada gencatan dari kedua fihak, tubuh Lee Si terlempar ke bawah.
Namun gadis cerdik ini sudah menggunakan ginkangnya dan melompat dengan selamat ke atas tanah. Sedikit pun ia tidak terpengaruh atau menjadi gugup biarpun baru saja ia terbebas dari-pada ancaman bahaya maut. la malah segera menggunakan kesempatan untuk mengadu mereka demi keselamatannya sendiri, karena kalau tiga orang itu ber-satu memusuhinya, terang ia akan celaka.
"Hemmm, hwesio sudah tua renta, mestinya berlaku alim dan budiman ter-hadap orang muda, kiranya sebaliknya, datang-datang kau menghina. Terang bahwa kau sengaja hendak menyombong-kan kepandaianmu kepada aku orang muda dan selain itu kau pun memandang rendah kepada dua orang Locianpwe (Orang Tua Gagah) ini. Hemmm, hwesio tua renta, betapapun kau menyombongkan kepandaian, kenyataannya dalam adu tenaga Koleksi Kang Zusi205
Jaka Lola Kho Ping Hoo tadi kau telah kalah!"
Bhok Hwesio tercengang, demikian s pula Maharsi dan Bo Wi Sianjin. Ucapan terakhir dari gadis itu membuktikan bahwa Lee Si bukan orang sembarangan dan malah mengerti akan adu sinkang tadi serta dapat mengetahui pula siapa kalah siapa menang! Perhitungan Lee Si memang tepat. Ucapannya membuat kedua telinga Bhok Hwesio menjadi merah sehingga kelihatannya aneh sekali, muka demikian pucat tapi kedua telinga merah seperti dicat!
"Siapa kalah" Biar Maharsi dari barat dan Bo Wi Sianjin dari utara terkenal lihai, dikeroyok dua sekalipun pinceng tidak akan kalah! Bocah liar, kau lancang mulut!" Bhok Hwesio menggoyang-goyang lengan bajunya. Akan tetapi Lee Si yang cerdik tidak bergerak dari tempatnya.
"Kalau menyerang dan merobohkan aku orang yang patut jadi cucu buyutmu, apa sih gagahnya" Tapi mengalahkan kedua orang Locianpwe yang sakti ini" Huh, omong sih gampang! Kalau kau menangkan mereka tak usah kaubunuh aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu!"
Di "bakar" seperti itu, Bhok Hwesio tersinggung keangkuhannya. la tersenyum lebar menghampiri Maharsi dan Bo Wi Sianjin, mementang kedua lengannya dan berkata, "Hayo kalian layani aku beberapa jurus, baru tahu bahwa pinceng (aku) lebih unggul daripada kalian!" Setelah berkata demikian, hwesio tua tinggi besar ini sudah menggerakkan kedua lengan bajunya yahg meriiup angin pukulan seperti taufan.
Maharsi dan Bo Wi Sianjin terkejut, akan tetapi sebagai orang-orang sakti yang berkedudukan tinggi, tentu saja mereka tidak sudi dihina oleh hwesio yang tak mereka kenal ini. Cepat mere-ka bersiap, Maharsi menangkis, dengan gerakan lengan dari atas ke bawah se-dangkan Bo Wi Sianjin sudah berjongkok dan dari mulutnya keluar suara kok-kok-kok seperti katak buduk. Di lain saat, tiga orang sakti ini suah bertempur dengan gerakan lambat namun setiap gerakan nnengandung sinkang dan Iweekang yang dapat membunuh lawan dari jarak jauh!
Inilah yang diharapkan oleh Lee Si. Jalan satu-satunya bagi keselamatan dirinya adalah mengadu tiga orang sakti itu agar ia dapat menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Maka begitu tiga brang itu saling gempur de-ngan gerakan lambat namun mengandung tenaga dahsyat, Lee Si segera menyelinap ke belakang batang pohon dan siap hendak melarikan diri.
"Hendak lari ke rnana kau, bocah liar?" Suara ini adalah suara Bhok Hwe-sio dan tiba-tiba hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lee Si Gadis ini terkejut bukan main, cepat mengelak sambil melompat dan..... "brakkk!" pohon di sebelahnya tadi patah dan tumbang!
Lee Si menjadi pucat. Bukan main hebatnya hwesio tua itu yang dalam keadaan dikeroyok Koleksi Kang Zusi206
Jaka Lola Kho Ping Hoo dua oleh Maharsi dan Bo Wi Sianjin, masih tetap dapat melihatnya dan mengetahui niatnya melarikan diri, bahkan dari jarak jauh dapat mengirim serangan yang demikian dahsyatnya.
"Huh, kaukira dapat lari dari Bhok Hwesio?" Hwesio tinggi besar itu dengan sebelah tangannya menahan serangan Maharsi dan Bo Wi Sianjin, sedangkan tangan kirinya kembali melancarkan pu-kulan-pukulan jarak jauh yang membuat Lee Si melompat ke sana kemari dengan cepat.
"Ah, kiranya Bhok-taisuhu (Guru Besar) dari Siauw-lim-pai" Maaf..... maaf....."
Bo Wi Sianjin melompat mundur. Juga Maharsi yang sudah mendengar nama ini menghentikan serangannya.
Lee Si kaget dan gelisah. Celaka, pikirnya. Tiga orang itu sudah saling mengenal dan agaknya tidak akan ber-musuhan lagi, dan hal ini berarti ia akan celaka! Menggunakan kesempatan ter-akhir selagi Bhok Hwesio terpaksa mem-balas penghormatan dua orang itu, ia cepat melompat dan mengerahkan ginkangnya. Akan tetapi tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang. Lee Si secepat kilat membanting diri ke kiri sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan merogoh gin-ciam (jarum perak) dengan tangan kiri. Sambil membalik dengan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lele Meloncat) ia menggerakkan tangan kiri-nya, menyerang dengan jarum perak ke arah bayangan Bhok Hwesio yang sudah melangkah lebar mengejarnya. Dalam keadaan terpojok, Lee Si lenyap rasa takutnya dan siap untuk melawan dengan gagah berani sebagaimana sikap seorang pendekar sejati.
Penyerangan Lee Si dengan jarum jaruni perak itu bukanlah hal yang boleh dipandang rtngan. Ilmunya melepas jarum perak adalah ilmu senjata rahasia yang ia pelajari dari ibunya dan boleh dibilang ia telah mahir dengan Ilmu Pek-po-coan-yang (Timpuk Tepat Sejauh Seratus Kaki). Serangannya tadi sebetulnya lebih bersifat menjaga diri, sambil membalik melepaskan segenggam jarum sebanyak belasan batang untuk mencegah desakan lawan. Biarpun jarum-jarum itu hanya disambitkan dengan sekali gerakan, namun benda-benda halus itu meluncur dalam keadaan terpisah dan langsung menerjang ke arah bagian-bagian berbahaya di perut, dada, leher, dan mata Serangan ini masih disusul oleh terjangani Lee Si sendiri yang telah memutar pe-dangnya melakukan serangan. Ternyata gadis muda yang cerdik ini, yang tahu bahwa tak mungkin ia akan dapat membebaskan diri kalau hanya lari dari hwesio kosen itu, telah menggunakan taktik menyerang lebih dulu untuk mencari kedudukan baik sehingga dapat mengurangi besarnya bahaya menghadapi lawan yang lebih tangguh.
"Eh, kau anak Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru ketika lengan bajunya dikibaskan menyampok runtuh semua jarum perak dan cepat ia menggerakkan tubuh ke belakang karena melihat bahwa sinar pedang gadis muda itu tak boleh dipandang ringan.
"Kalau sudah tahu, masih berani meng-hinaku?" Lee Si menjawab dan kembali tangannya Koleksi Kang Zusi207
Jaka Lola Kho Ping Hoo yang sudah menggenggam jarum perak bergerak menyambitkan jarum. Kini karena berhadapan dan dapat men-curahkan perhatian, Lee Si memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ia telah melepas jarum-jarum peraknya dengan gerakan Boan-thian-ho-i (Hujan Bunga di Langit), gerakan yang tidak saja amat indah, akan tetapi juga hasilnya luar biasa sekali karena jarum-jairum itu tersebar mekar seperti payung, atau seperti hujan mengurung tubuh Bhok Hwesio. Hebatnya, jarum-jarum itu kini mengarah jalan-jalan darah yang amat penting.
"Ho-hoh-hoh, siapa takut Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru, tubuhnya tiba-tiba rebah bergulingan dan di lain saat dia telah melompat berdiri sambil menggerakkan kedua tangannya. Benda-benda hijau meluncur ke depan, menangkis jarum-jarum itu sehingga di lain saat rumput dan daun hijau yang tertaneap jarum perak runtuh ke atas tanah.
Kini Lee Si yang kaget setengah ma-ti. Kiranya hwesio itu luar biasa sekali kepandaiannya, sudah amat tinggi, malah lebih tinggi daripada ibunya dalam hal menggunakan senjata rahasia. Baru saja hwesio tua itu mendemonstrasikan ke-lihaiannya menggunakan senjata rahasia dengan Ilmu Cek-yap-hui-hwa, yaitu ilmu melepas senjata rahasia menggunakan bunga dan daun. Tadi dengan hanya rumput-rumput dan daun yang direnggutnya sambil bergulingan, Bhok Hwesio berhasil memukul runtuh semua jarum yang di-lepas oleh Lee Si.
Namun ia tidak men-jadi gentar atau putus asa, cepat pedangnya sudah bergerak dengan jurus-jurus yang ia gabungkan dari kedua ilmu pedang warisan ayah bundanya.
Bhok Hwesio tercengang ketika dia mengelak dan mengebutkan ujung lengan bajunya. la mengenal baik Ilmu Pedang Hoa-san-pai, akan tetapi yang diperlihatkan gadis ini hanya mirip-mirip Ilmu Pedang Hoa-san-pai, bukan Ilmu Pedang Hoa-san-pai aseli, namun malah lebih hebat! Yang amat mengherankan hatinya adalah hawa pukulan yang terkandung oleh ilmu pedang ini, karena kadang-kadang mengandung hawa Im yang menyalurkan tenaga lemas, akan tetapi di lain detik berubah menjadi hawa Yang dengan tenaga kasar. Mirip dengan ilmu kepandaian yang dimiliki musuh besarnya, yaitu Pendekar Buta dan terutama Raja Pedang yang menjadi pewaris daripada Ilmu Im-yang-sin-hoat. Selama dua puluh tahun ini, di dalam kamar kecil yang menjadi tempat dia menderita hukuman "penebus dosa" dan sekaligus menjadi tempat dia bertapa dan menggembleng diri, memang dia khusus mencari ilmu untuk menghadapi Im-yang-sin-hoat. Maka sekarang menghadapi ilmu pedang Lee Si yang memang mengandung penggabungan kedua hawa yang bertentangan ini, dia tidak menjadi bingung. Sepasang lengan bajunya bergerak seperti sepasang ular hidup yang mengandung dua macam te-naga pula sehingga Lee Si sebentar saja terdesak hebat!
Mennang kalau bicara tentarig tingkat ilmu, tingkat Lee Si masih jauh di bawah tingkat kakek ini. Bhok Hwesio usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan selain memiliki ilmu yang amat iinggi dari Siauw-lim-pai, juga dia mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun lamanya?. Hanya dua hal yang mem-buat Lee Si dapat bertahan sampai tiga puluh Koleksi Kang Zusi208
Jaka Lola Kho Ping Hoo jurus lebih. Pertama, karena gadis ini memang mempunyai ilmu kepandaian aseli yang bersih dan sakti, ke dua ka-rena Bhok Hwesio sendiri merasa rendah untuk merobohkan gadis yang patut menjadi cucu buyutnya seperti dikatakan Lee Si tadi. Kalau dia mau mengeluarkan jurus-jurus simpaiian yang mematikan, agaknya sudah sejak tadi Lee Si roboh. Namun, kini Lee Si benar-benar terdesak hebat, pedangnya tidak leluasa lagi gerakannya karena sudah terbungkus oleh gulungan sinar kedua ujung lengan baju Bhok Hwesio. Gulungan sinar itu seperti lingkaran besar yang amat kuat, yang meringkus sinar pedangnya, makin lama lingkaran itu menjadi makin kecil dan sempit. Ruang gerak pedang Lee Si juga makin sempit. Gadis itu mulailah mengeluarkan peluh dingin. Maklum dia bahwa hwesio ini benar-benar amat kosen dan sekarang sengaja hendak mengalahkannya dengan tekanan yang makin lama makin berat untuk memamerkan kepandaiannya ia tahu bahwa akhirnya ia takkan dapat menggerakkan pedangnya lagi kecuali untuk membacok tubuhnya sendiri!
"Hayo kau berlutut dan minta ampun, mengaku murid siapa dan apa hubungan-mu dengan ketua Thai-san-pai!" berkali-kali Bhok Hwesio membentak karena melihat betapa ilmu pedang gadis ini mengandung gabungan hawa Im dan Yang, dia menduga tentu ada hubungan antara gadis ini dengan musuh besarnya, Si Raja Pedang.
Lee Si maklum bahwa hwesio ini tentu bukan sahabat bailk kakeknya Sl Raja Pedang, akan tetapi ia pun me-ngerti bahwa akhirnya ia akan mati, maka lebih baik baginya mati se&agai cucu Raja Pedang yang berani dan tak takut mati daripada harus mengingkari kakeknya yang merupakan seorang pen-dekar sakti yang bernama besar.
"Hwesio jahat! Tak sudi aku menyerah. Kalau mau tahu, Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San ketua Thai-san-pai adalah kakekku!"
Bhok Hwesio tidak menjadi kaget karena sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi dia girang sekali karena sedikitnya dia dapat membalas penasaran terhadap Raja Pedang kepada cucunya.
"Bhok-taisuhu, kita tawan saja cucunya!" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berteriak.
"Betul kita jadikan cucunya sebagai jaminan!" Maharsi menyambung.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar seorang di antara mereka berseru, "Bhok-suheng, tahan.....!"
Bhok Hwesio mengeluarkan seruan rendah seperti kerbau mendengus, akan tetapi dia mundur dan Lee Si merasa terhindar daripada tekanan hebat. Wajah-nya pucat, mukanya yang cantik penuh keringat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh ketabahan.
Koleksi Kang Zusi209
Jaka Lola Kho Ping Hoo Menggunakan kesempatan ini, Lee Si melompat mundur dan memandang kepada tiga orang pendatang baru yang menyelamatkannya itu dengan teliti. Orang pertama yang tadi berseru kepada Bhok Hwesio adalah seorang pendeta pula, seorang hwesio tua, sedikitnya tujuh puluh tahun usianya, bermuka hitam dan cacad bekas korban penyakit cacar. Biarpun mukanya bopeng dan buruk, namun sepasang mata hwesio ini membayangkan kehalusan budi dan kesabaran seorang pendeta yang sudah masak jiwanya. Hwesio ini membawa sebatang tongkat kuningan dan kini dia berdiri tegak menghadapi Bhok Hwesio. Keduanya saling pandang seakan-akan mengukur kekuatan masing-masing de-ngan pandang mata.
Hwesio ini memang bukan orang sembarangan, karena dia adalah Thian Ti Losu, seorang tokoh tingkat tiga dari Siauw-lim-pai, masih terhitung adik seperguruan Bhok Hwesio.
Adapun dua brang yang lain adalah tosu-tosu darl Kun-lun-pai dan Kong-thong-pai, yaitu Sung Bi Tosu tokoh tingkat tiga dari Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tosu ting-kat dua dari Kong-thong-pai. Thian Ti Losu ini adalah seorang utusan Siauw-lim-pai yang sengaja keluar dari pintu kuil untuk mencari Bhok Hwesio yang menghilang dari dalam kamar hukumannya. Di tengah jalan dia berjumpa dengan Leng Ek Cu, sahabat baiknya Kemudian setelah mendengar bahwa suhengnya itu berada dalam perjalanan melalui Pegunungan Bayangkara, dia mengejar dan ditemani oleh Leng Ek Cu yang maklum betapa lihai dan berbahayanya suheng temannya itu. Belum lama mereka memasuki daerah pegunungan ini, mereka bertemu dengan Sung Bi Tosu yang juga mereka kenal sebagai tokoh Kun-lun. Tosu ini sedang menuju ke Kun-lun-san di sebelah barat, maka mereka lalu mengadakan perjalanan bersama" Kebetulan sekali mereka datang pada saat Lee Si berada di ambang kematian di tangan Bhok Hwesio, maka cepat-cepat Thian Ti Losu mencegahnya.
"Thian Ti Sute, mau apa kau datang ke sini?" Bhok Hwesio menegur sutenya dengan pandang mata penuh selidik dan curiga.
"Bhok-suheng, siauwte diutus oleh ketua kita untuk mencari Suheng dan mengajak Suheng kembali ke Siauw-lim-si," jawab Thian Ti Losu dengan suara tenang.
Sepasang mata Bhok Hwesio yang biasanya meram itu kini terbuka sebentar, memandang dengan sinar kemarahan, tapi lalu terpejam lagi, hanya mengintai dari balik bulu mata.
"Sute, pulanglah dan jangan mem-bikin kacau pikiranku. Aku tidak ada urusan apa-apa lagi dengan kau atau dengan Siauw-lim-si."
"Tapi, Suheng. Siauwte hanya utusan dan ketua kita memanggilmu pulang."
"Cukup! Thian Seng Suheng boleh jadi ketua Siauw-lim-si, akan tetapi aku bukan orang Siauw-lim-pai lagi. Hukuman yang dijatuhkan kepadaku sudah cukup kujalani sampai penuh. Mau apa lagi" Pergilah!"
Koleksi Kang Zusi210
Jaka Lola Kho Ping Hoo "Kau tahu sendiri, Bhok-suheng, apa artinya menjadi utusan ketua. Tugas harus dilaksanakan dengan taruhan nya-wa. Dan kau pun cukup maklum, lebih maklum daripada siauwte yang .ebih muda dari padamu, apa artinya tidak mentaati perintah ketua kita, berarti penghinaan. Marilah, Suheng, kau ikut denganku kembali menghadap ketua kita dan percayalah, kalau kau minta dirl dengan baik-baik, Suheng kita yang men-jadi ketua itu tentu akan meluluskanmu."
"Thian Ti! Kautonjol-tonjolkan nama Thian Seng Suheng untuk menakut-nakuti aku" Huh, jangankan baru kau atau dia sendiri, biar Thian Ki Lo-suheng sendiri bangkit dari lubang kuburnya, aku tidak akan takut dan tidak sudi kembali ke Siauw-lim-si. Nah, kau mau apa lagi?"
"Ini pengkhianatan paling hebat! Suheng, kalau ada seorang anak murid Siauw-lim-pai murtad dan berkhianat, setiap orang anak murid yang setia harus me? nentangnya. Suheng, sekali lagi, kalau mau taat dan ikut dengan aku pulang atau tidak?"
Bhok Hwesio hanya tertawa mengejek. la maklum bahwa sutenya ini memiliki kepandaian hebat, terkenal dengan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai tingkat tinggi, juga terkenal sebagai seorang ahli Iwee-kang yang tenaganya hampir sama de-ngan tingkat yang dimiliki mendiang Thian Ki Losu sendiri. Akan tetapi dia tidak takut dan merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan sutenya ini.
"Bhok-taisuhu, menghadapi adik se-perguruan yang cerewet, mengapa masih terlalu banyak sabar?" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berseru dari samping kiri Bhok Hwesio. "Kalau mau bicara tentang ke-taatan, seorang adik seperguruanlah yang seharusnya taat kepada suhengnya!"
"Ha-ha-ha, benar-benar lucu ini. Bo Wi Sianjin dari Mongol bukanlah anak kecil, bagaimana bisa bersikap begini tak tahu malu, meneampuri urusan dalam dua orang murid Siauw-lim-pai?" Sung Bi Tosu sudah melangkah maju menghadapi Bo Wi Sianjin dan memandang tajam.
Bo Wi Sianjin si kakek pendek gendut tertawa mengejek. Kenyataan bahwa tosu itu mengenal namanya sedangkan dia sendiri tidak mengenal tosu itu mem-buktikan bahwa dia cukup dikenal oleh para tokoh kang-ouw. "Eh, kau ini tosu bau dari mana berani lancang snulut" Aku bicara dengan Bhok-taisuhu, ada sangkut-paut apa denganmu?"
"Pinto adalah Sung Bi Tosu dari Kun-lun-pai. Memang pinto tidak ada Jirusan denganmu, akan tetapi kau juga tidak ada urusan sama sekali untuk mencampuri persoalan saudara seperguruan Siauw-Lim-pai."
"Eh, keparat. Apa yang kaulakukan, bagaimana bisa ikut campur" Tosu Kun-lun selamanya sombong, apa kaukira aku takut mendengar nama Kun-lun" Heh-heh-heh, tosu cilik, berani Koleksi Kang Zusi211
Jaka Lola Kho Ping Hoo kau menentangku?"
"Menentang kelaliman adalah tugas A setiap orang yang n-'-njunjung kebenaran!
Kalau kau mencari perkara, pintu tidak akan mundur setapak pun!" jawab tokoh Kun-lun-pai dengan suara gagah.
Si kakek pendek gendut dari Mongol mengeluarkan suara ketawa yang serak. "Bagus, kau sudah bosan hidup!" Setelah berkata demikian, dia melompat maju ke depan Sung Bi Tosu, lalu memasang kuda-kuda dengan tubuh jongkok sehingga tubuh yang sudah pendek itu tampak menjadi makin pendek lagi. Dari mulutnya terdengar suara "kok-kok-kok!" dan kedua kakinya berloncatan dengan gerakan berbareng seperti katak meloncat.
"Hemmm. pendeta liar dari Mongol, apakah kau mau membadut di sini.....?" Belum habis Sung Bi Tosu bicara, tiba-tiba kakek gendut pendek itu menggerakkan kedua tangan depan dan tubuh Sung Bi Tosu terjengkang ke belakang, roboh telentang dan bergulingan.
Ternyata dia telah terkena pukulan ilmu Katak Sakti yang dahsyat. Namun, sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang lihai, begitu tadi merasai datangnya pukulan jarak jauh yang luar biasa, dia telah mengerahkan sinkangnya, sehingga biarpun dia telah terpukul dan "roboh terjengkang, dia tidak tewas. Orang lain yang terkena hawa pukulan sehebat itu tentu akan tewas di saat itu juga, akan tetapi tokoh Kun-lun-pai ini hanya terluka dan masih kuat melompat bangun dengan muka pucat dan mata merah.
"Iblis jahat!" serunya dan tubuhnya sudah melayang maju, sinar pedangnya berkelebat cepat menyambar.
Akan tetapi sekali lagi terdengar suara "kok-kok-kok!" dan sambil mengelak dari sambaran pedang, kakek gendut pendek itu sudah mengirim dua kali pukulannya. Pukulan pertama membuat pedang Sung Bi Tosu terpental, pukulan ke dua membuat tubuhnya terlempar sampai lima meter lebih dan tosu Kun-lun-pai itu roboh tak bangun lagi karena hyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya!
Pucat muka Leng Ek Cu, tokoh Kong-thong-pai saking marahnya menyaksikan pembunuhan atas diri teman baiknya ini. Diam-diam dia juga kagum dan ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pukulan Bo Wi Sianjin yang demikian hebat sehingga seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tinggi tingkatnya dapat terpukul binasa hanya oleh tiga pukulan jarak jauh.
"Keji..... keji sekali....." katanya sambil melangkah maju. "Mati hidup manusia bukanlah hal aneh, seperti angin lalu. Akan tetapi mengandalkan kepandaian untuk merenggut nyawa orang lain hanya untuk urusan tak berarti, benar-benar keji sekali. Apalagi kalau yalig melakukan itu seorang yang sudah menamakan dirinya tua dan pertapa pula. Bo Wi Sianjin, untuk kekejianmu itulah pinto terpaksa bertindak!" Sambil berkata demikian, Leng Ek Cu sudah mencabuf pedangnya dan bersiap menghadapi lawannya yang tangguh.
Koleksi Kang Zusi212
Jaka Lola Kho Ping Hoo Akan tetapi tiba-tiba dia cepat miringkan tubuh dan menggeser kaki kiri ke belakang sambil mengibaskan pedangnya karena tahu-tahu dari sebelah kanan menyambar hawa pukulan.
Kiranya pendeta tinggi bersorban itulah yang menggerakkan lengannya yang panjang untuk mencengkeram pundaknya tanpa berkata sesuatu.
"Heh, siapa kau" Pendeta aslng, jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak tokoh Kong-thong-pai itu sambil melintangkan pedang di depan dada.
Penyerangnya adalah Maharsi. Pendeta India yang jangkung ini mengeluarkan suara tertawa seperti suara burung hantu, lalu berkata dengan kata-kata yang kaku dan suara asing.
"Sudah berani mencabut pedang tentu berani menghadapi siapa juga, termasuk aku.
Maharsi orang bodoh dari barat." Setelah berkata demikian, dari kerongkongannya terdengar suara melengking tinggi yang memekak-kan telinga, kedua lengannya mendorong-dorong setelah tubuhnya miring-miring dalam kedudukah kuda-kuda yang ganjil. Akan tetapi dari kedua lengannya itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat.
Inilah ilmu Pukulan Pai-san-jiu!
Leng Eng Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai, ilrnu pedangnya merupakan ilmu pedang kebanggaan partainya, cepat dan bergulung-gulung panjang, juga dia memiliki ginkang yang membuat dia dapat bergerak cepat sekali. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkat Sung Bi Tosu. Melihat gerakan aneh dari pendeta asing ini, Leng Ek Cu tidak berani memandang rendah dan trdak mau menyambut langsung. la mengandalkan ginkangnya, dengan lincah dia mengelak dan tubuhnya meliuk ke samping, terus mengirim tusukan diiringi tenaga Iweekang yang membuat pedang itu berdesing menuju ke arah sasarannya, yaitu perut si pendeta India!
Maharsi kembali mengeluarkan lengking tinggi dan tubuhnya tanpa berubah sedikit pun juga agaknya tidak mengelak dan bersedia menerima tusukan pedang. Namun tidaklah demikian kiranya Karena sebelum pedang itu mencium kulit perutnya lewat baju, tiba-tiba perutnya melesak ke dalam dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah menyambar ke depan mengarah leher dan kepala iawan. Hebat memang pendeta ini, karena begitu dia menjulurkan lengannya den mengempiskan perutnya, selain pedang lawan tidak dapat mengenai perutnya, juga lengannya itu lebih panjang jangkauannya sehingga kalau Leng Ek Cu melanjutkan tusukannya, tentu lehernya akan patah dicengkeram dan kepalanya akan bolong-bolong!
Tentu saja Leng Ek Cu tidak sudi diperlakukan demikian. Andaikata tadi Sung Bi Tosu tidak berlaku sembrono dan tidak memandang rendah lawannya se-perti halnya Leng Ek Cu sekarang, belum tentu dia dapat dirobohkan sedemikian mudahnya oleh Bo Wi Sianjin yang memiliki Ilmu Katak Sakti. Leng Ek Cu amat hati-hati, dapat menduga bahwa lawannya, pendeta asing ini, memiliki kepandaian yang luar biasa dan aneh. Karena itu dia cepat Koleksi Kang Zusi213
Jaka Lola Kho Ping Hoo menarik pedangnya yang dikelebatkan merupakan lingkaran membabat kedua lengan lawan.
Gerakan ini dia lakukan dengan pengerahan tenaga Iweekang.


Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagus!" Maharsi berseru gembira. Memang demikianlah ?wataknya. Makin tinggi tingkat kepandaian lawan, makin gembiralah hatinya untuk melayaninya. Ilmu silatnya yang aneh, sebagian besar mengandalkan tenaga sinkang mujijat yang bercampur dengan ilmu sihir, namun harus diakui bahwa tubuhnya yang jangkung itu dapat bergerak lamas dan lincah, sungguhpun kedua kakinya jarang sekali dipindahkan dengan cara diangkat, hanya digeser-geserkan dengan menggerakkan kedua tumit. Sepasang lengannya yang panjang itu bagaikan sepasang ular hidup, tapi setiap gerakan mengandung tenaga dahsyat dari ilmu pukulan sakti Pai-san-jiu. Makin lama makin cepat kedua lengan bergerak, kini kedua tangan dikembangkan jari-jarinya, sepulun buah jari itu bergerak-gerak seperti ular-ular kecil dan terbentanglah jari-jemari yang menggeliat-geliat mengaburkan pandangan mata, sepuluh batang jari itu bergerak-gerak cepat menjadi ratusan dan .dari jari-jari itu menyambar hawa pukulan Pai-san-jiu!
Inilah ilmu yang hebat! Leng Ek Cu, tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai yang memiliki kiam-hoat pilihan, berusaha mengurung dirinya dengan selimut sinar pedangnya, namun dia hanya ?dapat bertahan sampai dua puluh lima jurus saja. Pandang matanya kabur, sinar pedangnya makin membuyar dihantam hawa pukulan yang merayap masuk antara sinar pedangnya bagaikan titik-titik air hujan. Pertahanannya makin lemah, kepalanya pusing dan tubuhnya bermandi peluh.
Maharsi inakin kuat saja, kini hawa pukulan yang dapat menyelinap di antara sambaran sinar pedang makin membesar tenaganya, mengenai tubuh Leng Ek Cu bagaikan jarum-jarum beracun menusuk-nusuk. Pakaian tosu Kong-thong-pai itu sudah bolong-bolong, kulit tubuhnya yang terkena hawa pukulan mengakibatkan titik-titik hitam dan makin lama pukulan-pukulan yang sebetulnya hanya merupa-kan sentilan-sentilan jari tangan yang sepuluh buah banyaknya itu makin gencar datangnya. Leng Ek Cu seorang gagah sejati, sedikit pun tidak mengeluh walau rasa nyeri pada tubuhnya hampir tak tertahankan lagi.
Akhirnya dia melakukan serangan balasan yang nekat, pedangnya membacok dengan disertai tenaga sepenuhnya, tubuhnya seakan-akan dia tu-brukan dengan tubuh lawan agar bacokan-nya tidak dapat dihindarkan Maharsi. Maharsi melengking tinggi, kedua tangan.giya bergerak dan dari atas dia mendahului lawan dengan pukulan Pai-san jiu sekerasnya.
"Hukkk!" Demikian bunyi yang keluar dari mulut Leng Ek Cu. Tubuhnya sejenak berdiri tegak, seakan-akan tubuh itu kemasukan aliran listrik dari sam-baran halilinta kemudian tubuh yang tegak itu menggigil, makin lama makin keras dan robohlah Leng Ek Cu dengan pedang di tangan. Tubuhnya tetap kaku tapi sudah tak bernapas lagi!
Dapat dibayangkan betapa marah dan sedihnya hati Thian Ti Losu melihat kejadian ini. Dua orang tosu itu, tokoh Kun-lun-pai dan tokoh Kong-thong-pai, keduanya adalah orang-Koleksi Kang Zusi214
Jaka Lola Kho Ping Hoo orang gagah yang melakukan perjalanan bersamanya. Sekarang mereka berdua tewas dalem keadaan yang amat menyedihkan, semua gara-gara urusan dia dengan suhengnya, Bhong Hwesio yang murtad. Kalau tidak ada urusan Bhok Hwesio, kiranyfc tidak akan terjadi peristiwa ini dan kedua orang temannya itu tidak akan mengorbankan nyawa.
"Bhong-suheng, benar-benar keu telah tersesat jauh sekali'." serunya dengan suara keras penuh kemarahan. "Kau inem-biarkan teman-temanmu membunuh dua orang tosu tidak berdosa dari Kun-lun dan Kong-thong. Bhok-suheng, kau insyaflah, jauhkan diri daripada pergaulan sesat dan mari pulang bersama siauwte, menghadap twa-suheng Thian Seng Losu dan menebus dosa menghadap perjalanan ke alam asal!"
Namun Bhok Hwesio yang sudah menyimpan rasa sakit hati dan juga penasaran terhadap Siauw-lim-pai, mana mau mendengar nasihat ini" la membuka ke-dua matanya dan menegur, "Thian Ti Losu, kau dan aku bukan saudara bukan teman bukan segolongan lagi, mengapa banyak cerewet" Mengingat akan perkenalan kita yang sudah puluhan tahun, mau aku mengainpuniniu dan lekas kau pergi dari sini jangan menggangguku lagi."
"Bhok Hwesio, kau benar-benar tidak mau insyaf" Terpaksa pinceng mentaati perintah twa-suheng dan menjalankan peraturan Siauw-lim-pai yang kami junjung tinggi. Berlututlah!"
Thian Ti liosu mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ditaruh miring aan berdiri di depan dada. Inilah pasangan kuda-kuda yang sudah biasa dilakukan oleh seorang tokoh Siauw-lim-pai untuK memberi hukuman kepada murid murad. Mesti menurut aturan, murid-murid yang sudah tidak diakui lagi oleh Siauw-lim-pai menerima hukuman paling berat, yaitu dimusnahkan kepandaiannya sehingga ia akan menjadi seorang pendeta cacad di dalam tubuh yang tak dapat disembuhkan lagi, membuatnya menjadi seorang yang lemah dan tidak memiliki sinkang lagi.
"Hu-huh-huh, siapa sudi mendengar ocehanmu?" bentak Bhok Hwesio marah.
"Bhok-taisuhu, kenapa begini sabar" Biarlah aku mewakilimu memberi hajaran kepada si sombong ini!" Bo Wi Sianjin si pendek gendut membentak marah, lalu melompat maju menghadapi Thian Ti Losu, tubuhnya berjongkok dan kedua lengannya didorongkan ke depan sambil mengeluarkan bunyi "kok-kok" dari kerongkongannya.
"Omitohud, pendeta sesat!" Thian Ti Losu mengeluarkan teguran dan dia pun mendorongkan kedua lengannya ke depan. Karena si pendek itu mendorong dan bawah ke atas, untuk mengimbangi tenaganya dari arah yang berlawanan, hwesio Siauw-lim ini mendorong dari atas ke bawah. Tampaknya perlahan saja dua pasang telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya hebat. Tubuh Thian Ti Losu mencelat ke atas sampai kedua kakinya meninggalkan tanah setinggi setengah meter, sedangkan tubuh Bo Wi Sianjin melesak ke dalam tanah sampai sepinggang dalamnya! Ini saja sudah mem-buktikan bahwa Koleksi Kang Zusi215
Jaka Lola Kho Ping Hoo Ilmu Katak Sakti yang mengandung tenaga sinkang luar biasa itu ternyata tidak dapat melawan kekuatan si hwesio tokoh Siauw-lim-pai.
"Bi Wi Sianjin, biar pinceng bereskan sendiri bocah ini!" kata Bhok Hwesio yang menggerakkan kedua kakinya melangkah maju menghampiri sutenya. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang seperti dua ekor jago tua sedang mengukur kekuatan dan keberanian hatiw sebelum mulai bertanding. Adapun Maharsi cepat menghampiri Bo Wi Sianjin dan sekali kakek jangkung ini menyendal tangari temannya, tokoh Mongol itu sudah
"tercabut" keluar dari tanah. Wajahnya menjadi merah karena dalam. segebrakan tadi saja sudah dapat dibuktikan bahwa ilmu kepandaian tokoh Siauw-lim-pai itu masih terlampau kuat baginya. Diam-diam dia harus mengakui kehebatan Siauw-lim-pai yang bukan kosong, terbukti dengan dua orang hwesio ini sudah cukup menyatakan bahwa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai memang hebat.
Sementara itu, Bhok Hwesio dan Thian Tt Losu sudah mulai bertanding. Karena maklum betapa lihainya hwesio murtad itu, Thian Ti Losu menyerang dengan senjata tongkatnya.
Begitu bergebrak, dia telah mempergunakan ilmu tongkatnya yang amat kuat. Tongkat itu mengeluarkan bunyi mengaung-aung dan ujungnya tergetar lalu pecah menjadi banyak sekali, langsung menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Bo Wi Sianjin dan Maharsi memandang kagum dan penuh perhatian. Sering sudah mereka menyaksikan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai yang tersohor dimainkan orang, akan tetapi baru kali ini melihat permainan tongkat demikian dahsyatnya.
Bhok Hwesio sendiri pun maklum akan kelihaian sutenya ini, dan tentu saja sebagai tokoh Siauw-lim-pai, dia mengenal baik ilmu tongkat dari Siauw-lim, maka dengan tenang namun tangkas dia melayani tongkat itu dengan kedua ujung lengan bajunya. Thian Ti Losu baru merasa terkejut ketika gerakan tongkatnya menyeleweng setiap kali bertemu dengan ujung lengan baju Bhok Hwesio. Hal ini menandakan bahwa bekas suhengnya itu luar biasa kuatnya dan dia kalah banyak dalam hal tenaga sakti. Selain ini, dia melihat gerakan suhengnya amat aneh, biarpun dasar-dasarnya masih memakai dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai yang kokoh kuat, namun perkembangannya berubah banyak seakan-akan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang tidak asli lagi. Memang demikianlah halnya. Selama dua puluh tahun menjalani hukumannya sambil bertapa di dalam kamar, Bhok HwesiO telah menciptakan ilmu pukulan dengan kedua lengan bajunya, yang sedianya dia ciptakan untuk menghadapi musuh-musuhnya yang lihai. nmu pukulan ini ciasar-nya memang Ilmu Silat Siauw-lim-pai yang dia pelajari semenjak kecil, akan tetapi perkembangannya dia ciptakan sendiri, khusus untuk melayani ilmu silat yang mengandung penggabungan hawa Im dan Yang, karena kedua orang musuh besarnya, Pendekar Buta dan Raja Pedang, adalah ahli-ahli dalam hal ilmu silat gabungan tenaga itu. Kini, menghadapi bekas sutenya dia malah mendapat kesempatan untuk sekali lagi, setelah tadi mencobanya atas diri Bo Wi Sianjin dan Maharsi, menggunakan dan mencoba ilmu ciptaannya itu.
Koleksi Kang Zusi216
Jaka Lola Kho Ping Hoo Kepandaian Bhok Hwesio meniang hebat. Hawa sinkang di dalam tubuhnya menjadi berlipat kuatnya setelah dia bertapa selama dua puluh tahun, berlatih setiap hari dengan tekun.
Memang dasar latihan samadhi dan peraturan bernapas dari Siauw-lim-pai amatlah kuatnya, berasal daripada sumber yang bersih dan diperuntukkan para pendeta Buddha untuk menguatkan batin dan mencapai kesempurnaan. Dan agaknya dalam hal ini, Bhok Hwesio sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, sungguhpun setelah sampai pada batas yang tinggi, ilmunya menjadi menyeleweng daripada garis kesempurnaan karena dikotori oleh rasa dendam dan sakit hati sehingga tak dapat menembus rintangan yang dibentuk oleh nafsunya sendiri. Andaikata Bhok Hwesio tidak dikotori oleh dendam dan nafsu, kiranya dia akan dapat naeneapai tingkat yang lebih tinggi daripada yang pernah dicapai oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai karena memapg pada dirinya terdapat bakat yang amat besar.
Thian Ti Losu baru sadar akan kehebatan bekas suhengnya ini setelah ber-tanding selama Uma puluh jurus. la terdesak hebat dan sinar tongkatnya selalu terbentur membalik oleh hawa pukulan lawan yang kuat sekali. Mamun, bagi tokoh Siauw-lim-pai ini, membela kebenaran merupakan tugas hidup dan merupakan pegangan sehingga die tidak gentar menghadapi apa pun. Mati dalam membela kebenaran adalah mati bahagia. la mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya lebih cepat, berusaha sekuatnya untuk menghancurkan benteng hawa pukulan yang menghimpitnya itu. Dengan gerakan melingkar, tongkatnya melepaskan diri daripada tekanan ujung lengan baju, lalu dari samping dia mengirim tusukan ke arah lambung. Gerakan ini boleh dikatakan nekat karena daiarn menyerang, dia membiarkan dirir.ya tak terlindung. Jika lawannya membarengi dengan serangan balasan, biar tongkatnya akan mencapai sasaran dia sendiri tentu akan celaka.
Bhok Hwesio mengeluarkan dengus mengejek. la tidak mempergunakan kesempatan itu untuk balas menyerang, melainkan cepat sekali kedua ujung lengan baju dia gentakkan ke samping dan di lain saat tongkat itu telah terlibat oleh ujung lengan baju ke dua menotok ke arah lehernya.
Thian Ti Losu kaget sekali, mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tongkatnya. Namun hasilnya sia-sia, tongkatnya seperti telah berakar dan tak dapat dicabut kembali. Sernentara itu, ujung lengan baju kiri Bhok Hwesio seperti seekor ular hidup sudah meluncur dekat.
Terpaksa sekali, untuk menyelamatkan dirinya, Thian Ti Losu melepaskan tongkatnya dan melempar tubuh ke belakang sambil bergulingan. la selamat daripada totokan maut, akan tetapi tongkatnya telah dirampas lawan. Bhok Hwesio tertawa pendek, tangannya bergerak dan..... tongkat itu amblas ke dalam tanah sam-pai tidak kelihatan lagi!
"Thian Ti Losu, terang kau bukan lawanku. Sekali lagi, kau pergilah dan jangan menggangguku lagi, aku maafkan kekurangajaranmu untuk terakhir kali mengingat bahwa kau hanya menjalankan perintah. Nah, pergilah!"
Koleksi Kang Zusi217
Jaka Lola Kho Ping Hoo Akan tetapi, mana Thian Ti Losu sudi mendengarkan kata-kata ini" Me-larikan diri daripada tugas hanya karena takut kalah atau mati adalah perbuatan pengecut dari akan mericemarkan nama baiknya dan terutarha sekali, nama besar Siauw-lim-pai. Mati dalam menunaikan tugas jauh lebih mulia daripade hidup sebagai pengecut yang menceniarkan nama baik Siauw-lim-pai. Dan Bhok Hwesio bekas suhengnya, menganjurkan dia menjadi pengkhianat dan pengecut! Thian Ti Hwesio menengadahkan mukanya ke atas, tertawa bergelak lalu mengerahkan seluruh Iweekangnya dan di lain saat dia telah menerjang maju dengan kepala yang mengepulkan uap di depan, me-nubruk Bhok Hwesio. Inilah jurus mematikan yang berbahaya bagi lawan dan diri sendiri! Karena jurus seperti ini, yang menggunakan kepala untuk meng-hantam tubuh lawan, merupakan tantangan untuk mengadu tenaga lerakhir untuk menentukan siapa harus mati dan siapa akan menang. Kalau dielakkan, hal ini akan menunjukkan kelemahan yang diserang, tanda bahwa dia tidak berani menerima tantangan adu nyawa, dan bagi seorang jagoan, apalagi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio, tentu saja merupakan hal yang akan memalukan sekali.
"Huh, kau keras kepala!" ejek Bhok 'Hwesio sambil berdiri tegak, perutnya yang gendut besar ditonjolkan ke depan. Bagaikan seekor lembu mengamuk, Thian Ti Losu menyeruduk ke depan, kepalanya diarahkan perut bekas suhengnya.
"Cappp!" Kepala hwesio itu bertemu dengan perut suhengnya dan menancap atau lebih tepat amblas ke dalam ketika perut itu mempergunakan tenaga menyedot. Hebatnya, tubuh Thian Ti Losu lurus seperti sebatang kayu balok. Kedua ta-ngannya bergerak hendak memukul atau mencengkeram, namun Bhok Hwesio yang sudah siap mendahuluinya, mengetuk kedua pundaknya. Terdengar suara tulang patah dan kedua lengan Thian Ti Losu menjadi lemas seketika, tergantung di kedua pundak yang telah patah sambungan tulangnya. Bhok Hwesio meneruskan gerakan tangannya. Tiga kali dia menge-tuk punggung Thian Ti Losu dan tubuh yang tegak lurus itu menjadi lemas, tan-da bahwa tenaganya lenyap. Adapun kepala tokoh Siauw-lim-pai itu masih menancap di "dalam" perut Bhok Hwesio.
"Nah, pergilah!" seru Bhok Hwesio. Perutnya yang tadinya menyedot itu dikembungkan dan..... tubuh Thian Tl Losu yang sudah lemas itu terlempar ke belakang sampai lima meter lebih jauhnya, roboh di atas tanah dalam keadaan setengah duduk. la maklum apa yang telah menimpa dirinya. Bhok Hwesio sudah melakukan tindakan yang amat kejam, bukan membunuhnya melainkan mematahkan tulang kedua pundak, tulang punggung dan menghancurkan saluran hawa sakti di punggung sehingga mulai saat itu dia tidak akan mungkin lagi mempergunakan Iweekang atau sinkang dan menjadi seorang tapadaksa selama hidupnya!
"Manusia keji....." katanya terengah engah menahan nyeri akan tetapi tnata* nya masih memandang tajam, "bunuhlajl sekalian....."
Koleksi Kang Zusi218
Jaka Lola Kho Ping Hoo "Huh-hu-huh, Thian Ti Losu. Kau benar-benar seorang yang tak kenal budi. Aku sengaja tidak membunuhmu agar kau dapat kembali ke Siauw-lim-pai danmem-buktikan bahwa kau seorang yang setia dan dapat menunaikan tugas sampai ba-tas kemampuan terakhir.
Dan kau masih mengomel?"
"Lempar saja dia ke jurang!" kata Bo Wi Sianjin yang masih merasa penasaran dan marah karena tadi dia terbanting masuk ke dalam tanah oleh tokoh Siauw-lim-pai itu.
"Heeeiii.....! Mana dia.....?""
Seruan Maharsi itu membuat Bhok Hwesio dan Bo Wi Sianjin menengok. Baru sekarang mereka teringat akan diri gadis cucu Raja Pedang ketua Thai-san-pai itu.
"Wah, dla melarikan diri. Hayo kejar, dia penting sekali harus kita tawan!" seru Bhok Hwesio dan ketiga orang kakek ini segera meloncat dan lenyap dari tempat itu mengejar Lee Si, meninggalkan Thian Ti Losu yang hanya dapat memandang dengan hati mendongkol. la ditinggal dalam keadaan cacad, bersama mayat dua orang temannya. Sung Bi Tosu Itokoh Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai.
"Ke manakah perginya Lee Si" Mengapa betul dugaan Bhok Hwesio tadi. Ketika gadis ini melihat bahwa di antara para kakek sakti itu timbul pertengkaran, ia maklum bahwa kehadirannya disitu amat berbahaya dan bahwa saat itulah merupakan kesempatan baik sekali baginya. Diam-diam ia menyelinap perg; pada saat pertandingan pertama terjadi.
Setelah menyelinap di antara pepohonan dia lalu berlari cepat sekali, sengaja mengambil jalan melalui hutan-hutan lebat.
Sepuluh hari kemudian, Lee Si yang kali ini berlari menuju ke timur tanpa disengaja, tiba di sebuah kota. Di tem-pat ini barulah ia mendapat kenyataan dari keterangan yang ia dapat bahwa selama ini ia telah salah jalan dan ter-sesat amat jauh. Kota ini adalah Kong-goan, sebuah kota di Propinsi Secuan sebelah utara, cukup besar dan ramai, di lembah Sungai Cia-ling. Karena ketika tiba di kota ini hari sudah menjelang senja, setelah mendapatkan keterangan itu Lee Si lalu menyewa sebuah kamar di rumah penginapan yang kecil tapi cukup bersih. Sehabis makan, ia berjalan keluar dari kamarnya, terus ke depan rumah penginapan dengan maksud hendak keliling kota.
Tiba-tiba ia mengangkat muka dan hatinya berdebar. Entah apa sebabnya, bertemu pandang dengan seorang pemuda yang kebetulan lewat di depannya, hati-nya berdebar dan mukanya terasa panas. Lee Si bingung dan heran sendiri. Pemuda itu tampan sekali, mukanya putih dan halus seperti muka wanita, alisnya hitam tebal, pakaiannya sederhana saja akan tetapi tidak menyembunyikan tu-buhnya yang kuat dan tegap, gerak-geriknya jelas membayangkan "isi", yaitu bahwa orang muda ini tentu menuliki kepandaian berarti.
Agaknya yang kemasukan aliran "stroom" aneh bukan hanya Lee Si karena pemuda ituyang Koleksi Kang Zusi219
Jaka Lola Kho Ping Hoo tadinya berjalan dengan 'kepala menunduk, tiba-tiba mengangkat muka memandang Lee Si, malah setelah lewat, beberapa kali dia menengok sehingga dua pasang mata bertemu dan sinarnya seakan-akan menembus jantung!
Sejenak Lee Si berdiri termenung, memeras otak untuk mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan pemuda tadi dan mengapa ia menjadi tertarik seperti ini. Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat ingat di mana dan bila nnana ia pernah melihat wajah itu, wajah yang seakan-akan tidak asing baginya dan yang membuat darah di tubuhnya berdenyut lebih cepat daripada biasanya. Akan tetapi setelah melihat betapa pemuda itu beberapa kali menengok memandangnya timbul kemarahan di hati Lee Si. Betapapun juga, pemuda itu kurang ajar, berani memandanginya seperti itu. Selain kurang ajar juga mencurigakan.
Lee Si cepat memasuki kembali ka-marnya, mengambil pedangnya dan tak lama kemudian tubuhnya sudah berkelebat di atas genteng yang mulai gelap dan langsung mengejar ke arah perginya pemuda tadi. Gerakannya cepat dan gesit sekali dan sebentar saja ia melihat pemuda itu berjalan perlahan melalui jalan kecil yang gelap, kemudian terus keluar kota sebelah timur.
Siapakah pemuda tampan itu" Bukan pemuda biasa. Pemuda itu adalah Kwa Swan Bu, putera tunggal Pendekar Buta Kwa Kun Hong! Telah lama sekal' kita meninggalkan Pendekar Buta dan anak isterinya. Setelah suami isteri dan putera mereka ini pindah kembali ke tempat lama, yaitu di Liong-thouw-san, Swan Bu tidak begitu dimanja lagi seperti ketika dia berada di Hoa-san. la amat tekun berlatih lilmu kepandaian di bawah bim-bingan ayah bundanya, terutama ayahnya.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali seperti biasa, Swan Bu turun dari puncak Liong-thouw-san dan pergi ke lereng sebelah kanan di mana terdapat jembatan tambang yang menghubungkan Liong-thouw-san dengan dunia luar. la duduk di atas batu besar dan memandang ke timur. Sudah menjadi kesukaan Swan Bu untuk menanti munculnya matahari yang merah dan besar. Kadang-kadang dia memandang dengan hati penuh rindu, bukan rindu kepada matahari melainkan kepada dunia ramai. Bagi seorang pemuda seperti dia, tentu saja tinggal di puncak Liong-thouw-san hanya dengan ayah bundanya, merupakan keadaan yang kadang-kadang menyiksanya, tersiksa oleh kesunyian dan rindu akan keramaian dunia. Tentu saja Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, maklum dan dapat merasakan kesunyian hidup putera mereka, dan maklum betapa besar hasrat hati Swan Bu untuk meninggalkan puncak dan merantau di dunia ramai. Akan tetapi, mereka selalu melarangnya dengan dalih bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh daripada cukup untuk dijadikan be-kal merantau di dunia ramai karena di sana terdapat banyak sekali penjahat-penjahat yang berilmu tinggi.
Selagi Swan Bu duduk termenung sambil menikmati bola merah besar yang mulai tampak muncul dari balik puncak sebelah timur, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sesosok bayangan Koleksi Kang Zusi220
Jaka Lola Kho Ping Hoo manusia yang ber-gerak cepat meloncat ke sana ke mari. Jelas bahwa orang itu datang mendaki puncak itu yang memang tidak mudah dilalui. Swan Bu tetap duduk tak ber-gerak, memandang penuh perhatian. Dari jarak sejauh itu, dan dengan cueca pagi yang masih remang-remang, die tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang datang ini. Terang bukanlah penduduk di sekitar Pegunungan Liong-thouw-san, karena tidak ada penduduk gunung yang dapat bergerak secepat itu. Timbul ke-gembiraan di hati Swan Bu. Tentu seorang di antara anak murid Hoa-aan-pai! Siapa lagi kalau bukan orang Hoa-san-pai yang datang berkunjung" Hatinya gembira karena semua anak murid Hoa-san-pai telah dia kenal baik.
Swan Bu melihat betapa orang itu meloncat ke atas jembatan tambang. Sebetulnya bukanlah jembatan, melainkan sehelai tambang yang direntang dari seberang jurang dan untuk melalui "jembatan" ini, orang harus memiliki kepandaian dan ginkang. Sekali saja terpeleset, mulut jurang yang menganga lebar mengerikan telah menanti di bawah untuk menelan lenyap tubuh si penyeberang yang jatuh! Swan Bu dapat melihat betapa tambang itu bergoyang sedikit ketika orang tadi meloncat di atasnya dan kini berlari melalui tambang.
Bergoyang-nya tambang ini saja sudah cukup dijadikan ukuran oleh Swan Bu bahwa si pendatang ini belumlah begitu sempurna ginkangpya. Teringat dia betapa ibunya melatih ginkang dan tambang inilah yang dijadikan ukuran. Selama dia belum dapat berlari-lari di atas tambang tanpa menggoyangkan tambang itu sedikit pun juga, dia diharuskan terus berlatih! Tentu saja sekarang dia dapat berlari-lari di atas tambang itu tanpa menggoyangkan tambang sama sekali.
Setelah orang itu datang dekat, Swan Bu terheran-heran. Orang itu adalah seorang pemuda, sebaya dengannya. Seorang pemuda yang tampan, pakaiannya indah, pedang yang bersarung pedang indah tergantung di pinggang, kepalanya ditutup sebuah topi lebar yang dihias sehelai bulu merak, membuat wajahnya tampak makin tampan. Yang membuat Swan Bu terheran-heran adalah bahwa dia sama sekali tidak mengenal orang ini. Orang ini bukanlah anak murid Hoa-san-pai! la cepat berdiri dan menghadang di situ.
Pemuda itu setelah melompaf ke se-berang setelah melalui jembatai tam-bang, melihat Swan Bu dan cepat dia menghampiri. Wajahnya yang tampan itu berseri dan mulutnya tersenyum. Cepat dia mengangkat kedua tangan memberi salam sambil berkata,
"Kalau tidak salah dugaanku, saudara ini adalah Kwa Swan Bu, putera dari , paman Kwa Kun Hong, bukan?"
Kening Swan Bu berkerut dan dia menjadi makin curiga, akan tetapi de-ngan hati tabah dia menjawab, "Dugaanmu betul. Siapakah kau dan apa maksud-mu mendaki puncak Liong-thouw-san?"
Pemuda itu tersenyum, tidak marah oleh sikap Swan Bu yang tidak manis. "Aku Bun Hui dari Koleksi Kang Zusi221
Jaka Lola Kho Ping Hoo Tai-goan, ayahku adalah sahabat baik ayuhmu."
"Ayahmu siapakah" She Bun....." Apakah ada hubungannya dengan Bun Lo sianjin ketua Kun-lun-pai?"
"Beliau adalah kakekku!" seru Bun Hui gembira. "Ayahku adalah Jenderal Bun Wan yang bertugas di Tai-goan, dengan ayahmu terhitung sahabat baik."
Swan Bu mengangguk-angguk. Tahulah dia sekarang siapa adanya peniuda tam-pan berpakaian indah dan mewah akan tetapi sikapnya ramah sederhana ini. Tentu saja dia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh di dunia kang-ouw dari ayah bundanya, baik tokoh-tokoh yang tergolong kawan maupun yang tergolong lawan. Sudah sering kali ayah bundanya menyebut-nyebut nama keluarga Bun dari Kun-lun-pai, malah dia pun tahu bahwa ibu dari pemuda ini masih terhitung bibinya karena ibu pemuda ini ?dalah adik angkat ibunya sendiri. Jadi mereka berdua masih dapat disebut saudara misan. la segera menjura dan berkata,
"Maafkan penyambutanku yang kaku karena aku tidak tahu sebelumnya. Kiranya saudara adalah putera paman Bun Wan. Benar dugaanmu, aku adalah Kwa Swan Bu. Bolehkah aku mendengar urusan penting apa gerangan yang mendorong saudara datang ke sini jauh-jauh dari Tai-goan" Kuharap saja tidak terjadi sesuatu yang buruk atas diri paman berdua di Tai-goan."
Bun Hui tersenyum, girarig hatiriya mendapat kenyataan bahwa Swan Bu tidaklah sesombong tampaknya tadi. "Girang sekali, hatiku dapat bertemu muka denganmu, adik Swan Bu. Sudah lama aku mendengar akan dirimu dari ayah bundaku, dan aku tahu bahwa usia kita sebaya, hanya aku lebih tua be&erapa bulan saja dari padamu. Jangan kau khawatir, ayah bundaku dalam keadaan se-lamat. Kedatanganku ini diutus oleh ayah, selain untuk menyampaikan hormat kepada ayah bundamu, juga untuk memberi peringatan bahwa kini mulai bermunculan musuh-musuh besar yang berusaha membalas dendam."
Berubah wajah Swan Bu yang tampan. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, matanya memancarkan sinar kemarahan. "Hemmm, kakak Bun Hui, berilah tahu kepadaku, siapa gerahgan musuh-musuh yang berusaha untuk membalas dendam kepada ayah?"
"Ayahku lebih mengetahui akan hal itu dan agaknya ayah telah mencatat secara lengkap dalam suratnya yang kubawa untuk ayahmu. Sepanjang pengetahuanku, agaknya penghuni Ching-coa-to yang mengumpulkan kekuatan untuk memusuhi ayahmu. Juga..... ada.....
orang dari Go-bi-san....."
Melihat keraguan Bun Hui, Swan Bu makin tertarik. "Siapakah. dia, Twako" Juga musuh besar ayah?"
Bun Hui menelan ludah dan mengangguk. Beratlah hatinya untuk menyebut nama Siu Bi.
Koleksi Kang Zusi222
Jaka Lola Kho Ping Hoo Tidak ingin dia melihat Siu Bi bermusuhan dengan Liong-thouw-san, dan lebih lagi tidak ingin dia melihat Siu Bi menjadi korban karena sudah pasti gadis itu akan menemui bencana kalau berani memusuhi Pendekar Buta.
"Dia datang dari Go-bi-san di mana terdapat dua orang bekas musuh besar ayahmu, yaitu Hek Lojin dan muridnya, The Sun. Mereka ini memiliki kepandaian hebat dan agaknya takkan mau sudah sebelum dapat membalas kekalahan mereka belasan tahun yang lalu."
"Hemmm, dan penghuni Ching-coa- to itu, siapakah?"
"Sepanjang pengetahuanku, kini di situ menjadi sarang Ang-hwa-pai yang dipimpin oleh ketua mereka yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio. Juga ada bekas jagoan di istana selatan berjuluk Ang Mo-ko, juga amat lihai biarpun tidak sehebat Ang-hwa Nio-nio kepandaiannya. Masih banyak lagi teman-teman mereka yang tidak kuketahui."
"Twako, di manakah letaknya Ching-coa-to" Di mana tempat tinggal Ang Mo-ko dan apakah orang-orang Go-bi-san itu sudah turun gunung" Mereka berkumpul di mana sekarang?"
Bun Hui memandang curiga. "Adikku yang gagah, agaknya bernafsu sekali kau ingin mengetahui tempat mereka- Mau apakah kau?"
"Tidak apa-apa," twako. Bukankah lebih baik mengetahui kedudukan dan keadaan lawan?"
Bun Hui lalu meinberi tahu dl mana letak Ching-coa-to. "Mungkin Ang Mo-ko yang tak tentu tempat tinggalnya itu pun sudah berada di Ching-coa-to. Ten-tang....; orang-orang Go-bi-san, aku sen-diri tidak tahu pasti di mana nnereka berada. Hanya..... kabarnya sudah turun gunung." Benar-benar berat hati Bun Hui untuk bicara tentang Siu Bi, dan ini pula yang menggelisahkan hatinya di dalam perjalanan itu karena dia merasa kha-watir kalau-kalau ayahnya memberi tahu perihal Siu Bi di dalam suratnya kepada Pendekar Buta.
"Twako, silakan kau naik ke puncak menghadap ayah dan ibu. Kalau mereka bertanya tentang aku, katakan bahwa aku hendak turun gunung mencegah kutu-kutu busuk itu niengganggu ketenteraman Liong-thouw-san!"
"Eh, adik Swan Bu..... jangan begitu...... tak boleh tergesa-gesa dan berlaku sembrono.....!"
Bun Hui berseru gugup.
Namun Swan Bu tersenyum dan dagunya mengeras membayangkan kekerasan "Mengapa jangan" Bukankah lebih baik mendahului lawan agar Jangan memberi kesempatan kepada mereka untuk ber-gerak" Apakah artinya aku menjadi putera tunggal ayah ibu kalau aku tidak becus membasnni musuh-musuh ayat ibu sehingga bangsat-bangsat itu tidak akan berani mengganggu orang tuaku" Selamat berpisah, Twako dan terima kasih atas Koleksi Kang Zusi223
Jaka Lola Kho Ping Hoo pemberitahuanmu. Kalau selesai tugasku, aku pasti akan mampir di Tai-goan untuk menghaturkan terima kasih kepada ayah bundamu."
Bun Hui menyesal bukan main mengapa dia tadi banyak bicara kepada pe-muda yang berwatak keras itu. Cepat-cepat dia mendaki ke atas puncak agar dapat memberi tahu kepada paman dan bibinya sehingga mereka akan dapat mencegah Swan Bu turun gunung.
la maklum bahwa Swan Bu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi mana bisa pemuda ini menghadapi musuh-musuh tangguh itu seorang diri" Baru Siu Bi, gadis remaja itu saja sudah demikian hebat kepandaiannya! Apalagi musuh-musuh lain yang lebih tua usianya. Ia juga sudah mendengar betapa Ang-hwa Nio-nio memiliki ilmu yang annat tinggi.
Tergesa-gesa dia mendaki puncak melalui tangga tambang. Ketika dia tiba di depan pondok, dia melihat seorang laki-laki berusia sebaya ayahnya, duduk di atas bangku menjemur diri di bawah sinar matahari pagi. Di sebelahnya duduk seorang wanita sebaya ibunya, lebih tua sedikit, cantik sekali, keduanya bercakap-cakap dengan sikap tenang.
Biarpun seringkali dia mendengar ayahnya menyajung-nyanjung dan memuji-muji Pendekar Buta, namun Bun Hui belum pernah bertemu muka dengan pendekar itu atau pun isterinya.
Akan tetapi, melihat kesederhanaan mereka yang sekarang duduk di depan pondok, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah paman dan bibinya. Apalagi sekarang jelas kelihatan betapa sepasang mata laki-laki setengah tua itu tidak pernah berkedip dan ketika dia berjalan mendekat, tampak olehnya betapa sepasang mata itu kosong tidak berbiji!
Sebatang tongkat kayu yang bersandar pada bangku laki-laki buta itu menarik perhatiannya dan diam-diam tengkuknya meremang karena dia sering mendengar dari ayahnya tentang keampuhan tongkat itu yang telah merobohkan banyak tokoh besar dunia kang-ouw.
Kini mereka berhenti bercakap-cakap dan menengok ke arahnya. Terkejut hati Bun Hui ketika bertemu pandang dengan sepasang mata nyonya itu. Alangkah tajam, penuh wibawa dan seakan-akan menembus langsung ke dalam dadanya! Seakan-akan mata nyonya itu mewakili pula mata suaminya yang buta sehingga kekuatan pandangannya seperti paodang mata dua orang digabung menjadi satu. Cepat dia maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan mereka tanpa mempedulikan tanah yang agak basah oleh embun pagi dan mengotori celana pakaiannya yang indah.
"Bangunlah, Hui-ji (anak Hui), tak perlu kau terlalu sungkan. Lihat, pakaianmu kotor oleh tanah basah!" Wanita itu, Kwee Hui Kauw, menegur Bun Hui.
Bun Hui tercengang. Bagaimana nyonya itu mengetahui bahwa dia adalah Bun Hui"
Selamanya baru kali ini dia bertemu muka dengan suami isteri pendekar ini!
"Betul kata isteriku, orang muda. Kau bangkit dan duduklah, mari kita bicara yang enak."
"Paman..... Bibi..... mohon ampun sebesarnya..... saya telah bicara dengan adik Swan Bu Koleksi Kang Zusi224
Jaka Lola Kho Ping Hoo dan....." Pendekar Buta Kwa Kun Hong tersenyum, menggerakkan tangannya mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya. "Dan dia pergi turun gunung" Tidak apa, anakku. Memang sudah waktunya dia turun gunung menambah pengalannan. Lebih baik kauserahkan surat ayahmu kepadaku."
Untuk kedua kalinya Bun Hui tercengang. Bagaimana suami isteri itu dapat mengetahui semuanya" Dapat tahu bahwa dia datang inembawa surat ayahnya, tahu pula tentang perginya Swan Bu turun gunung dan tahu bahwa dia itu Bun Hui padahal baru kali ini berteinu muka. Satu-satunya jawaban yang menerangkan keanehan ini hanya bahwa suami isteri ini tentu telah melihat kedatangannya dan mendengar percakaparinya dengan Swan Bu tadi, tanpa dia sendiri mengetahui kehadiran mereka! Ini saja sudah membuktikan kelihaian mereka!
la segera mengambil surat ayahnya dan menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong. Tak enak hatinya, karena bagaimana dia dapat menyerahkan surat kepada seorang yang buta kedua matanya" Untuk memberi tahu bahwa surat sudah tiia keluarkan, bibirnya bergerak hendak bicara agar paman yang buta itu dapat mengetahui, akan tetapi sebelum dia membuka mulut, Kun Hong sudah menggerakkan tangannya menerima surat itu dengan gerakan sewajarnya seperti se-Orang yang tidak buta. Seakan-akan dia melihat surat itu dan menerimanya tanpa ragu-ragu lagi. Tentu saja Bun Hui kaget setengah mati dan mulailah dia meragukan kebutaan Kwa Kun Hong. Akan tetapi keraguannya lenyap ketika Kun Hong menyerahkan surat kepada isterinya untuk dibaca. Dengan suaranya yang halus dan merdu Kwee Hui Kauw membaca surat itu yang isinya hampir sama de-ngan apa yang telah diceritakan Bun Hui kepada Swan Bu tadi, hanya bedanya bahwa di dalam surat itu disebut nama Siu Bi sebagai seorang musuh besar yang mengancam hendak membuntungi tangan Pendekar Buta dan anak isterinya!
Kwa Kun Hong tersenyum pahit dan berkata lirih setelah isterinya selesai membaca,
"Hemmm, benci-membenci, dendam-mendendam, permusuhan, bunuh-membunuh, apa senangnya hidup kalau dunia penuh dengan amukan nafsu ini" Isteriku, aku sudah bosan dengan segala urusan itu. Mudah-mudahan saja Swan Bu akan dapat mengingat semua nasihatku dan tidak suka menanam bibit permusuhan dengan siapapun juga di dunia ini....."
"Tak perlu digelisahkan semua itu," jawab isterinya dengan suara tetap te-nang, halus dan merdu, "Orang lain boleh meracuni hati sendiri dengan menanam kebencian, orang lain boleh mengikat diri dengan dendam dan permusuhan, akan tetapi kita yang sadar akan penyelewengan hidup itu tidak akan menuruti bujukan nafsu dan setan. Orang membenci kita, orang memusuhi kita, asalkan kita tidak menribenci dan tidak memusuhi mereka, kitalah yang menang. Bukanlah begitu kata-katamu sendiri! Nah, kalau ada yang hendak memusuhi kita, biarkan mereka datang. Kalau boleh, kita peringatkan mereka, kita sadarkan Koleksi Kang Zusi225
Jaka Lola Kho Ping Hoo mereka, kaleu tidak, apa boleh buat, kita hidup dan kita wajib membela diri. Kalau kita yang dibeci anugerah hidup tidak mau melakukan kewajiban membela dan menjaga diri, berarti kita kurang terima dan tidak menghargai anugerah itu. Bukankah begitu apa yang sering kaukatakan, suamku?"
Kwa Kun Hong menarik napas panjang dan mengangguk-angguk. Bun Hui berdiri bengong, hatinya terharu sekali dan tak kuat dia menentang wajah dua orang itu, membuatnya tunduk lahir ba-tin. Baru kali ini selama hidupnya dia menyaksikan keadaan penuh damai, penuh cinta kasih, penuh pengertian dan penuh kata-kata yang mempunyai arti begitu dalam pada sepasang suami isteri. la menunduk dan sikap serta kata-kata suami isteri itu saja sudah lebih daripada cukup untuk membuat hati anak muda ini men-jadi kagum dan tunduk.
"Hui-ji, kami sangat berterima kasih kepada ayahmu yang penuh perhatian dan juga kepadamu yang sudah melakukan perjalanan sejauh ini. Kuharap saja kau suka beristirahat di sini barang sepekan, agar kita dapat bercakap-cakap dan kami dapat mendengar ceritainu tentang keadaan orang tuamu dan juga keadaan dunia ramai," kata Kwa Kun Hong.
"Saya akan mentaati perintah Paman dan sementara itu, saya yang muda dan bodoh banyak mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Paman dan Bibi." Senang hati suami isteri itu melihat sikap dan mendengar kata-kata yang amat baik dari Bun Hui. Demikianlah, pemuda ini tinggal sampai sepuluh hari di puncak Liong-thouw-san dan selama itu, selain menceritakan segala hal tentang keadaan di kota raja dan lain-lain yang ditanyakan kedua orang tua itu, juga dia menerima banyak petunjuk-petunjuk yang amat penting uhtuk menyempurnakan kepandaian ilmu silathya, terutama ilmu pedangnya Kun-lun Kiam-sut banyak mendapat kemajuan oleh petunjuk Kwa Kun Hong.
Sementara itu, Kwa Swan Bu sudati berlari cepat sekali turun dari puncak. la merasa agak bersalah karena tidak berpamit kepada ayah bundanya, akan tetapi dia sengaja meninggalkan pesan saja kepada Bun Hui karena dia dapat menduga bahwa biarpun ayahnya tidak akan melarangnya, namun ibunya tentu akan menyatakan keberatan. Sudah sering kali dia menyatakan ingin turun gunung dan selalu dicegah ibunya yang berkata bahwa kepandaiannya kurang cukup untuk dipakai menjaga diri daripada gangguan orang-orang jahat yang banyak terdapat di dunia kang-ouw.
Sekarang Swan Bu tidak ragu-ragu lagi. Tadinya, memang dia meragu dan membenarkan ibunya, maka dia menunda keinginan hatinya untuk turun gunung. Akan tetapi begitu melihat Bun Hui, keraguannya lenyap. Dari gerakan Bun Hui ketika menyeberangi jembatan tambang, jelas tampak olehnya bahwa tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tingkat yang dimiliki Bun Hui. Kalau Bun Hui sudah diperbolehkan ayahnya melakukan perjalanan jauh seorang diri, mengapa dia tidak boleh" Pendapat ini diperkuat lagi oleh dorongan hatinya yang menjadi pa-nas mendengar betapa orang tuanya diancam oleh bartyak bekas musuh lama.
Koleksi Kang Zusi226
Jaka Lola Kho Ping Hoo Pada suatu hari sampailah dia di kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling. la bermaksud untuk melanjutkan perjalanan melalui Sungai Cia-ling ke selatan sampai di Sungai Yang-ce-kiang kemudian melanjutkan perjalanan ke timur melalui sungai besar itu. Akan tetapi ketika dia tiba di tepi sungai,, hendak menyewa perahu yang suka mengantarnya sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dia melihat dua orang pengemis menggotong seorang pe-ngemis lain yang agaknya sakit keras, wajahnya pucat, tubuhnya lemah dan dari mulutnya keluar darah. Tadinya Swan Bu tidak mau mencainpuri urusan orang lain sungguhpun sekilas pandang tahulah dia bahwa kakek pengemis yang digotong itu terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi perhatiannya tertarik ketika dia melihat pakaian para pengemis penuh tambalan itu. Pakaian penuh tambalan itu berwarna-warni dan berkembang-kembang. Teringat dia akan penuturan ayah-nya bahwa perkumpulan pengemis Hwa-i-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah perkumpulan pengemis yang patriotik dan ayahnya sendiri menjadi ketua kehormatan!
"Lopek, berhenti dulu! Biarkan aku mencoba untuk menolong orang tua yang menderita luka pukulan Ang-see-ciang ini!"
Dua orang pengemis yang menggotong si sakit memandang curiga, akan tetapi kakek pengemis yang terluka itu membuka mata, memandang heran, lalu berkata dengan napas terengah-engah "Turunkan aku...... biarkan Kongcu ini memeriksaku....."
Dua orang pengemis itu terheran, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Tubuh kakek itu tidak jadi dimasukkan ke dalam perahu, melainkan diletak-kan di atas tanah pasir.
Golok Naga Kembar 1 Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis 7

Cari Blog Ini