Ceritasilat Novel Online

Kisah Sang Budha Dan Muridnya 3

Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Bagian 3


kesetiaannya kepada Mahakaccayana, tetapi beberapa bhikkhu
berpikir bahwa Sakka hanya menyukai Mahakaccayana.
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Seseorang yang
dapat mengendalikan indrianya dicintai oleh para dewa dan
manusia". Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 94 berikut:
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 94 berikut:
Ia yang telah menaklukkan dirinya bagaikan seorang kusir
mengendalikan kudanya, yang telah bebas dari kesombongan
dan kekotoran batin; maka para dewa pun akan mengasihi orang suci seperti ini.
*** VII-6-Kisah Sariputta Thera
Pada suatu akhir masa vassa; Sariputta Thera berangkat untuk suatu perjalanan bersama dengan beberapa pengikutnya.
Seorang bhikkhu muda pengikutnya, yang memiliki dendam
terhadap Sariputta Thera, mendekat kepada Sang Buddha dan
memfitnah dengan mengatakan bahwa Sariputta Thera telah
mencaci dan memukulnya.
Sang Buddha memanggil Sariputta Thera dan menanyakan
apakah hal itu benar"
Sariputta menjawab, "Bhante, bagaimana mungkin seorang
bhikkhu, yang dengan tenang menjaga pikirannya, berangkat
dalam suatu perjalanan tanpa kesalahan, telah melakukan
kejahatan terhadap bhikkhu pengikutnya" Saya seperti tanah
yang tidak merasa senang ketika bunga-bunga tumbuh, dan tidak juga merasa marah ketika sampah dan kotoran teronggok di
atasnya. Saya juga seperti keset, pengemis, kerbau jantan
dengan tanduk yang patah; saya juga merasa jijik dengan
kekotoran tubuh dan tidak lagi terikat dengan itu".
Ketika Sariputta Thera berbicara, bhikkhu muda itu
merasa sangat tertekan dan menderita. Akhirnya ia mengaku
bahwa ia berbohong perihal Sariputta. Kemudian Sang Buddha
menyarankan kepada Sariputta Thera untuk menerima
permohonan maaf bhikkhu muda itu. Jika tidak, akibat yang
berat akan menimpa diri bhikkhu muda itu. Bhikkhu muda
mengakui bahwa ia bersalah dan dengan hormat meminta maaf.
Sariputta Thera memaafkan bhikkhu muda itu dan beliau juga
meminta maaf apabila beliau berbuat salah.
Semua yang hadir memuji Sariputta Thera, dan Sang
Buddha berkata, "Para bhikkhu, seorang arahat seperti Sariputta tidak memiliki kemarahan atau keinginan jahat. Seperti tanah dan tugu kota, ia sabar, toleran, teguh; seperti danau yang tak
berlumpur, ia tenang dan bersih".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 95 berikut:
Bagaikan tanah, demikian pula orang suci. Tidak pernah
marah, teguh pikirannya bagaikan tugu kota (indakhila), bersih tingkah lakunya bagaikan kolam tak berlumpur. Bagi orang suci seperti ini tak ada lagi siklus kehidupan.
*** VII-7-Kisah Seorang Samanera Dari
Kosambi Suatu ketika, seorang anak berumur tujuh tahun menjadi
samanera atas permintaan ayahnya. Sebelum rambut kepalanya
dicukur, anak itu diberi sebuah objek meditasi. Ketika rambut kepala anak itu sedang dicukur, ia memusatkan pikirannya
dengan teguh pada objek meditasi. Sebagai hasil dari
meditasinya, dan juga berkat kamma baiknya di waktu lampau;
akhirnya ia mencapai tingkat kesucian arahat secepat orang
selesai mencukur rambut kepalanya.
Beberapa waktu kemudian, Tissa Thera, disertai samanera
muda tersebut, pergi ke Savatthi untuk memberikan
penghormatan kepada Sang Buddha. Di tengah perjalanan
mereka bermalam di sebuah vihara desa. Tissa Thera tidur,
tetapi samanera muda duduk sepanjang malam di samping kasur
Tissa Thera. Pada waktu fajar menyingsing, Tissa Thera berpikir bahwa sudah saatnya membangunkan samanera muda. Ia
membangunkan samanera dengan kipas daun palemnya, tetapi
secara tidak sengaja mata samanera terpukul oleh tangkai kipas dan matanya rusak.
Samanera menutup matanya dengan satu tangan dan pergi
melaksanakan tugasnya mempersiapkan air pencuci muka dan
mulut Tissa Thera, menyapu lantai vihara dan lain-lain. Ketika samanera muda mempersembahkan air dengan satu tangan
kepada Tissa Thera, Tissa Thera mencelanya dan berkata
bahwa ia seharusnya mempersembahkan dengan dua tangan.
Kemudian, setelah Tissa Thera mengetahui bagaimana
samanera itu rusak matanya, seketika itu ia menyadari bahwa ia telah melakukan kesalahan terhadap seorang manusia yang
sungguh-sungguh mulia. Merasa sangat menyesal dan merasa
dirinya rendah, ia memohon maaf kepada samanera.
Tetapi samanera berkata bahwa itu bukan kesalahan Tissa
Thera juga bukan kesalahannya sendiri tapi merupakan
buah/akibat perbuatan (karma) lampau, sehingga Tissa Thera
tidak lagi terlalu sedih. Tetapi Tissa Thera tidak dapat mengatasi kekecewaan atas kesalahan yang tak dikehendakinya.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan ke Savatthi dan
sampai di Vihara Jetavana dimana Sang Buddha menetap. Tissa
Thera berkata kepada Sang Buddha bahwa samanera muda
yang datang bersamanya adalah seorang yang paling mulia yang pernah ia temui, dan dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam perjalanan mereka.
Sang Buddha lalu menjawab, "Anak-Ku, seorang arahat
tidak akan marah dengan siapapun. Ia sudah mengendalikan
indrianya dan memiliki ketenangan yang sempurna".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 96 berikut:
Orang Suci yang memiliki pengetahuan sejati, yang telah
terbebas, damai dan seimbang batinnya, maka ucapan,
terbebas, damai dan seimbang batinnya, maka ucapan,
perbuatan serta pikirannya senantiasa tenang.
*** VII-8-Kisah Sariputta Thera
Tiga puluh bhikkhu dari sebuah desa datang ke Vihara Jetavana untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang
Buddha mengetahui bahwa telah tiba waktunya bagi bhikkhubhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat.
Beliau mengundang Sariputta dan di hadapan bhikkhubhikkhu itu, Beliau bertanya, "Anak-Ku, Sariputta, apakah kamu dapat menerima kenyataan bahwa dengan cara bermeditasi,
seseorang dapat merealisasi nibbana?"
Sariputta menjawab, "Bhante, berkaitan dengan
perealisasian nibbana dengan meditasi, saya menerima hal itu bukan karena saya percaya kepada-Mu. Pertanyaan itu hanya
bagi seseorang yang belum berhasil merealisasi nibbana, yang menerima kenyataan dari orang lain".
Jawaban Sariputta tidak dapat dimengerti secara tepat
oleh para bhikkhu.
Mereka berpikir: "Sariputta belum melenyapkan
pandangan salah, sampai saat ini, ia belum memiliki keyakinan terhadap Sang Buddha".
Kemudian Sang Buddha menjelaskan kepada mereka
makna sebenarnya dari jawaban Sariputta.
"Para bhikkhu, jawaban Sariputta dapat disederhanakan
menjadi demikian: Ia menerima bahwa nibbana dapat dicapai
menjadi demikian: Ia menerima bahwa nibbana dapat dicapai
dengan meditasi, tetapi ia menerima hal itu berdasarkan hasil pengalamannya sendiri, dan bukan karena saya telah mengatakan hal itu atau orang lain mengatakan hal itu. Sariputta yakin
terhadap-Ku. Ia juga yakin terhadap akibat-akibat dari
perbuatan baik dan jahat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 97 berikut:
Orang yang telah bebas dari ketahyulan, yang telah
mengerti keadaan tak tercipta (nibbana), yang telah memutuskan semua ikatan (tumimbal lahir), yang telah mengakhiri kesempatan (baik dan jahat), yang telah menyingkirkan semua nafsu
keinginan, maka sesungguhnya ia adalah orang yang paling mulia.
*** VII-9-Kisah Samanera Revata
Revata adalah saudara laki-laki termuda dari murid utama
Sariputta. Ia satu-satunya saudara Sariputta yang tidak
meninggalkan rumah tangga untuk menempuh kehidupan tanpa
rumah. Ayahnya sangat menginginkan agar ia menikah. Revata
baru berumur tujuh tahun ketika ayahnya mempersiapkan sebuah pernikahan baginya dengan seorang gadis kecil.
Pada jamuan pernikahan, ia bertemu dengan wanita tua
yang berumur 120 tahun. Melihat wanita tua itu, Revata kecil merenung. Ia menyadari bahwa segala sesuatu merupakan
subjek dari ketuaan dan kelapukan, sehingga ia berlari
meninggalkan rumah dan pergi ke vihara. Di sana terdapat tiga puluh bhikkhu. Sebelumnya, bhikkhu-bhikkhu itu telah memohon kepada Sariputta Thera agar menjadikan saudara beliau menjadi seorang samanera, jika ia datang kepada mereka.
Kemudian Revata menjadi seorang samanera dan
Sariputta Thera diberitahu hal itu oleh para bhikkhu.
Samanera Revata menerima sebuah objek meditasi dari
para bhikkhu dan pergi ke hutan Akasia, tiga puluh yojana
jauhnya dari vihara. Pada akhir masa vassa ia mencapai tingkat kesucian arahat.
Suatu ketika, Sariputta Thera memohon izin kepada Sang
Buddha untuk mengunjungi saudaranya, tetapi Sang Buddha
Buddha untuk mengunjungi saudaranya, tetapi Sang Buddha
menjawab bahwa Beliau sendiri juga akan pergi ke sana. Jadi, Sang Buddha disertai Sariputta Thera, Sivali Thera, dan lima ratus bhikkhu pergi mengunjungi Samanera Revata.
Perjalanan itu sangat jauh, jalannya buruk dan daerah
tersebut tidak ditinggali manusia; tetapi para dewa memenuhi setiap kebutuhan Sang Buddha dan para bhikkhu selama di
perjalanan. Setiap satu yojana, sebuah vihara dan makanan
disediakan, dan perjalanan mereka rata-rata satu yojana per
hari. Revata mengetahui perihal kunjungan Sang Buddha, ia
membuat persiapan untuk menyambutnya. Dengan kekuatan
batin luar biasanya ia menciptakan vihara khusus untuk Sang
Buddha dan lima ratus vihara untuk bhikkhu lainnya, dan
membuat mereka merasa nyaman ketika mereka tinggal di sana.
Pada perjalanan pulang, mereka berjalan dengan waktu
yang sama seperti sebelumnya, dan sampai di Vihara Pubbarama di sebelah timur kota Savatthi pada akhir bulan. Dari sana
mereka pergi ke rumah Visakha, yang mempersembahkan
makanan kepada mereka. Setelah makan, Visakha bertanya
kepada mereka. Setelah makan, Visakha bertanya kepada Sang
Buddha apakah tempat Revata di hutan Akasia menyenangkan.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 98 berikut:
Apakah di desa atau di dalam hutan, di tempat yang
rendah atau di atas bukit, di mana pun Para Suci menetap, maka tempat itu sungguh menyenangkan.
tempat itu sungguh menyenangkan.
*** VII-10-Kisah Seorang Wanita
Seorang bhikkhu setelah menerima sebuah objek meditasi dari
Sang Buddha, mempraktekkan meditasi di sebuah taman tua.
Seorang wanita yang tidak dikenal datang ke taman dan melihat bhikkhu itu. Ia mencoba untuk menarik perhatiannya dan
merayunya. Sang bhikkhu menjadi terkejut. Pada saat yang
sama; seluruh tubuhnya diliputi berbagai macam perasaan
kepuasan yang menyenangkan.
Sang Buddha melihatnya dari vihara Beliau, dan dengan
kemampuan batin luar biasa, Beliau mengirim seberkas sinar
kepadanya dan bhikkhu tersebut menerima pesan yang berbunyi:
"Anak-Ku, tempat dimana orang mencari kesenangan duniawi
adalah bukan tempat untuk seorang bhikkhu. Para bhikkhu
seharusnya senang tinggal di hutan dimana orang-orang duniawi tidak menemukan kesenangan".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 99 berikut:
Hutan bukan tempat yang menyenangkan bagi orang
duniawi, namun di sanalah orang-orang yang telah bebas dari
nafsu bergembira, karena mereka tidak lagi mencari kesenangan indria.
*** VIII-1-Kisah Tambadathika
Tambadathika mengabdi kepada raja sebagai penjagal para
pencuri selama lima puluh lima tahun, dan ia baru saja pensiun dari pekerjaannya. Suatu hari, setelah mempersiapkan bubur nasi di rumahnya, ia pergi ke sungai untuk mandi. Ia mempersiapkan bubur nasi itu untuk dimakannya setelah kembali dari sungai.
Pada waktu Tambadathika mengambil bubur nasi,
Sariputta Thera yang baru saja bangun dari meditasi Jhana
Samapatti, berada di muka pintu rumahnya.
Pada saat melihat Sariputta Thera, Tambadathika berpikir,
"Meskipun dalam hidupku saya telah menghukum mati para
pencuri, sekarang saya seharusnya mempersembahkan makanan
ini kepada bhikkhu itu".
Kemudian ia mengundang Sariputta Thera untuk datang ke
rumahnya dan dengan hormat mempersembahkan bubur nasi
tersebut. Setelah bersantap Sariputta Thera mengajarkan Dhamma
kepadanya, tapi Tambadathika tidak dapat memperhatikan,
sebab ia begitu gelisah mengingat masa lalunya sebagai seorang penjagal. Ketika Sariputta Thera mengetahui ini, ia memutuskan untuk menanyakan dengan bijaksana apakah ia membunuh
pencuri atas kehendaknya atau ia diperintahkan untuk melakukan hal itu. Tambadathika menjawab bahwa ia diperintah raja untuk hal itu. Tambadathika menjawab bahwa ia diperintah raja untuk membunuh mereka dan ia tidak berniat untuk membunuh.
Kemudian Sariputta Thera bertanya, "Jika demikian,
apakah kamu bersalah atau tidak?"
Tambadathika menyimpulkan bahwa ia tidak bertanggung
jawab atas perbuatan jahat tersebut, ia tidak bersalah.
Oleh karena itu ia menjadi tenang dan meminta kepada
Sariputta Thera untuk meneruskan penjelasannya. Dengan
mendengarkan Dhamma penuh perhatian, ia hampir mencapai
tingkat kesucian sotapatti, ia hanya mencapai anuloma??ana.
Setelah khotbah Dhamma berakhir, Tambadathika menyertai
perjalanan Sariputta Thera sampai jarak tertentu, dan kemudian ia pulang kembali ke rumahnya.
Pada perjalanan pulang seekor sapi (sebenarnya setan
yang menyamar sebagai seekor sapi) menyeruduknya sehingga ia meninggal dunia.
Ketika Sang Buddha berada dalam pertemuan bhikkhu
pada sore hari, para bhikkhu memberitahu Beliau perihal
kematian Tambadathika. Ketika ditanyakan di mana
Tambadathika dilahirkan kembali, Sang Buddha berkata kepada
mereka bahwa meskipun Tambadathika telah melakukan
perbuatan jahat sepanjang hidupnya, karena memahami Dhamma
setelah mendengarnya dari Sariputta Thera, ia telah mencapai anuloma??ana sebelum meninggal dunia. Ia dilahirkan kembali di alam sorga Tusita.
Para bhikkhu sangat heran bagaimana mungkin seseorang
Para bhikkhu sangat heran bagaimana mungkin seseorang
yang melakukan perbuatan jahat seperti itu dapat memperoleh
pahala demikian besar setelah mendengarkan Dhamma hanya
sekali. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Daripada suatu
penjelasan panjang yang tanpa makna, lebih baik satu kata yang mengandung pengertian dapat menghasilkan manfaat yang lebih
besar". Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 100 berikut:
Daripada seribu kata yang tak berarti, adalah lebih baik
sepatah kata yang bermanfaat, yang dapat memberi kedamaian
kepada pendengarnya.
*** VIII-2-Kisah Bahiyadaruciriya
Sekumpulan pedagang pergi melaut dengan sebuah kapal. Badai
mengganas dan kapal mereka hancur di tengah laut. Dari semua penumpang hanya satu orang yang hidup. Orang yang selamat
dengan memeluk sebuah potongan kayu itu terdampar di
pelabuhan Supparaka.
Karena pakaiannya hilang, ia mengikatkan sepotong kulit
kayu di tubuhnya. Dengan memegang sebuah mangkok, ia duduk
di tempat dimana orang-orang dapat melihatnya.
Orang-orang yang lewat memberinya nasi dan bubur.
Beberapa orang menganggapnya seorang arahat dan
memujanya. Beberapa orang lain membawakannya pakaian
tetapi ia menolaknya. Ia takut dengan memakai pakaian akan
menyebabkan orang-orang hanya memberi sedikit. Di samping
itu, beberapa orang telah mengatakan bahwa ia seorang arahat.
Maka dengan pikiran salah, ia menganggap dirinya seorang
arahat. Oleh karena ia adalah seorang yang berpandangan salah
dan menggunakan sepotong kulit kayu sebagai pakaiannya,
maka ia dikenal dengan nama Bahiyadaruciriya.
Suatu ketika, Mahabrahma yang pernah menjadi temannya
dalam kehidupan lampau, melihat bahwa ia telah melakukan
kekeliruan. Ia berpikir bahwa menjadi tugasnya untuk
kekeliruan. Ia berpikir bahwa menjadi tugasnya untuk
mengembalikan Bahiya ke jalan yang benar.
Mahabrahma datang kepadanya pada malam hari. Ia
berkata kepadanya: "Bahiya, kamu bukan arahat dan lebih dari itu kamu belum memiliki kualitas yang dimiliki seorang arahat".
Bahiya memandang Mahabrahma dengan terkejut.
Kemudian ia berkata: "Ya, saya mengakui bahwa saya
bukan seorang arahat, seperti yang telah kamu latakan. Sekarang saya menyadari bahwa saya telah melakukan kesalahan besar.


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi adakah di dalam kehidupan sekarang ini seorang arahat?"
Mahabrahma kemudian berkata bahwa sekarang ini di
Savatthi ada seorang arahat. Buddha Gotama, yang telah
mencapai Penerangan Sempurna dengan kemampuan-Nya
sendiri. Bahiya menyadari demikian besar kesalahannya. Ia merasa
sangat menderita dan berlari di sepanjang jalan menuju ke
Savatthi. Mahabrahma menolong Bahiya dengan kekuatan
batinnya, sehingga jarak sepanjang 120 yojana dapat ditempuh dalam satu malam.
Bahiya bertemu Sang Buddha ketika Beliau sedang
menerima dana makanan bersama para bhikkhu. Ia dengan
penuh hormat mengikuti-Nya. Kemudian ia memohon kepada
Sang Buddha untuk membabarkan Dhamma.
Sang Buddha menjawab bahwa saat menerima dana
makanan bukan waktu yang tepat untuk berkhotbah.
Sekali lagi, Bahiya memohon: "Bhante, seseorang tak akan
tahu bahaya yang akan menimpa kehidupanmu dan kehidupanku,
sehingga babarkanlah kepadaku perihal Dhamma".
Sang Buddha mengetahui bahwa Bahiya telah melakukan
perjalanan 120 yojana dalam waktu semalam, dan juga diliputi perasaan gembira yang meluap-luap pada saat bertemu Sang
Buddha. Oleh karena itu Sang Buddha tidak segera berbicara
mengenai Dhamma kepadanya tetapi menunggu sampai ia tenang
dan memungkinkan untuk menerima Dhamma dengan baik.
Bahiya terus-menerus memohon. Sehingga, ketika berdiri
di tepi jalan, Sang Buddha berkata kepada Bahiya:
"Bahiya, ketika kamu melihat suatu objek, hendaknya
sadarlah bahwa hal itu hanya objek yang dilihat; ketika kamu mendengar satu suara, sadarlah bahwa hal itu hanya suara;
ketika kamu mencium, atau merasa, atau menyentuh sesuatu,
sadarlah bahwa hal itu hanya bau, rasa, sentuhan, dan ketika kamu berpikir tentang sesuatu, sadarlah bahwa hal itu hanya
objek pikiran".
Setelah mendengar khotbah di atas, Bahiya mancapai
tingkat kesucian arahat dan memohon ijin Sang Buddha untuk
menjadi bhikkhu.
Sang Buddha berkata kepadanya untuk membawa jubah,
mangkuk, dan kebutuhan bhikkhu lainnya. Dalam perjalanan
untuk mendapatkan barang-barang tersebut, ia diseruduk oleh
seekor sapi (sebenarnya raksasa yang berwujud sapi) sehingga ia meninggal dunia. Ketika Sang Buddha dan para bhikkhu
ia meninggal dunia. Ketika Sang Buddha dan para bhikkhu
berjalan keluar setelah makan, mereka menemukan Bahiya telah tergeletak meninggal dunia pada tumpukan sampah.
Atas perintah Sang Buddha, para bhikkhu
mengkremasikan tubuh Bahiya dan sisa jasmaninya disimpan
dalam sebuah stupa.
Setelah kembali ke Vihara Jetavana, Sang Buddha berkata
kepada para bhikkhu bahwa Bahiya telah merealisasi nibbana.
Beliau juga berkata kepada mereka berkaitan dengan
pencapaian "Pandangan Terang Magga" (Abhi??a) Bahiya
adalah yang tercepat dan terbaik.
Para bhikkhu bingung dengan pernyataan yang diucapkan
Sang Buddha dan bertanya kepada Beliau mengapa dan kapan
Bahiya menjadi seorang arahat.
Sang Buddha menjawab, "Bahiya telah mencapai tingkat
kesucian arahat pada saat ia mendengarkan penjelasan Dhamma
yang diberikan kepadanya ketika kita menerima dana makanan".
Para bhikkhu heran bagaimana seseorang mencapai arahat
setelah mendengarkan hanya sedikit kalimat Dhamma. Kemudian
Sang Buddha berkata kepada mereka bahwa banyaknya katakata atau panjangnya khotbah tidaklah menjadi masalah jika hal itu bermanfaat bagi seseorang.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 101 berikut:
Daripada seribu syair yang tak berguna, adalah lebih baik
sebait syair yang berguna, yang dapat memberi kedamaian
sebait syair yang berguna, yang dapat memberi kedamaian
kepada pendengarnya.
*** VIII-3-4-Kisah Kundalakesi Theri
Kundalakesi adalah putri orang kaya dari Rajagaha. Ia senang dengan kehidupan menyendiri. Suatu hari ia kebetulan melihat seorang pencuri yang sedang digiring untuk dibunuh dan ia
secara tiba-tiba jatuh cinta padanya. Hal itu disampaikan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya menolak. Tetapi
Kundalakesi tak mau mundur setapak pun. Akhirnya orang
tuanya mengalah dan membayar sejumlah uang untuk kebebasan
pencuri tersebut.
Mereka berdua segera dinikahkan. Meskipun Kundalakesi
mencintai suaminya dengan sangat, suaminya tetaplah seorang
pencuri, yang hanya tertarik kepada harta dan permatanya.
Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua
permatanya, dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung.
Katanya: "Adinda, aku ingin melakukan persembahan
kepada makhluk halus penjaga gunung yang telah menolong
hidupku ketika akan dibunuh".
Kundalakesi menurut dan pergi mengikuti suaminya.
Ketika mereka sampai di tujuan, suaminya berkata:
"Sekarang kita berdua telah sampai di tujuan. Maka engkau
akan kubunuh untuk mendapatkan semua permatamu itu!"
Dengan ketakutan Kundalakesi memohon: "Jangan! Aku
jangan kau bunuh. Ambilah semua hartaku, tetapi selamatkanlah jangan kau bunuh. Ambilah semua hartaku, tetapi selamatkanlah nyawaku!"
"Membiarkanmu hidup?" ejek suaminya. "Jangan-jangan
nanti engkau malahan melaporkan bahwa permatamu itu
kurampas. Tidak bisa! Kau harus kulenyapkan untuk
menghilangkan saksi!"
Dalam keputus-asaannya Kundalakesi menyadari bahwa
mereka sekarang sedang berada di tepi jurang. Ia berpikir
bahwa ia seharusnya berhati-hati dan cerdik. Jika ia mendorong suaminya ke jurang, mungkin merupakan satu kesempatan untuk
dapat hidup lebih lama lagi.
Kemudian dengan mengiba ia berkata kepada suaminya:
"Kakanda, kita berkumpul bersama-sama ini hanya tinggal
beberapa saat lagi. Bagaimana pun juga, engkau adalah suamiku dan orang yang sangat kucintai. Maka, ijinkanlah aku
memberikan penghormatan kepadamu untuk yang terakhir
kalinya. Hanya itu saja permintaan terakhirku. Semoga kakanda mau mengabulkan permintaan terakhir isterimu ini".
Setelah berkata seperti itu, Kundalakesi mengitari laki-laki itu dengan penuh hormat, sampai tiga kali.
Pada kali terakhir, ketika ia berada di belakang suaminya,
dengan sepenuh kekuatannya ia mendorong suaminya ke jurang,
dan jatuh ke tebing batu yang terjal.
Setelah kejadian itu, ia tidak berkeinginan lagi untuk
kembali ke rumah. Ia meninggalkan semua permata-permatanya
dengan menggantungnya di sebuah pohon, dan pergi, tanpa tahu kemana ia akan pergi.
Secara kebetulan ia sampai di tempat para pertapa
pengembara wanita (paribbajika) dan ia sendiri menjadi seorang pertapa penngembara wanita. Para paribbajika lalu mengajarinya seribu problem pandangan menyesatkan.
Dengan kepandaiannya ia menguasai apa yang diajarkan
mereka dalam waktu singkat. Kemudian gurunya berkata
kepadanya untuk pergi berkelana dan jika ia menemukan
seseorang yang dapat menjawab semua pertanyaannya, jadilah
kamu muridnya. Kundalakesi berkelana ke seluruh Jambudipa, menantang
siapa saja untuk berdebat dengannya. Oleh karena itu ia dikenal sebagai "Jambukaparibbajika".
Pada suatu hari, ia tiba di Savatthi. Sebelum memasuki
kota untuk menerima dana makanan, ia membuat sebuah
gundukan pasir dan menancapkan sebatang ranting eugenia di
atasnya. Suatu tanda yang biasa ia lakukan untuk mengundang
orang lain dan menerima tantangannya.
Sariputta Thera menerima tantangannya.
Kundalakesi menanyakan kepadanya seribu pertanyaan
dan Sariputta Thera berhasil menjawab semuanya.
Ketika giliran Sariputta Thera bertanya kepadanya,
Sariputta Thera hanya bertanya seperti ini: "Apa yang satu itu"
(Ekam nama kim)".
(Ekam nama kim)".
Kundalakesi lama terdiam tidak dapat menjawab.
Kemudian ia berkata kepada Sariputta Thera untuk
mengajarinya agar ia dapat menjawab pertanyaannya. Sariputta berkata bahwa ia harus terlebih dahulu menjadi seorang
bhikkhuni. Kundalakesi kemudian menjadi seorang bhikkhuni dengan
nama Bhikkhuni Kundalakesi. Dengan tekun ia mempraktekkan
apa yang diucapkan oleh Sariputta, dan hanya dalam beberapa
hari kemudian, ia menjadi seorang arahat.
Tak lama setelah kejadian tersebut, para bhikkhu bertanya
kepada Sang Buddha: "Apakah masuk akal Bhikkhuni
Kundalakesi menjadi seorang arahat setelah hanya sedikit
mendengar Dhamma?"
Mereka juga menambahkan bahwa wanita tersebut telah
berkelahi dan memperoleh kemenangan melawan suaminya,
seorang pencuri, sebelum ia menjadi paribbajika.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 102 dan 103
berikut ini: Daripada seribu bait syair yang tak bermanfaat adalah
lebih baik satu kata Dhamma yang dapat memberi kedamaian
kepada pendengarnya.
Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh
dalam ribuan kali pertemburan, namun sesungguhnya penakluk
terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.
*** VIII-5-6-Kisah Brahmana
Anatthapucchaka
Suatu ketika, seorang brahmana bernama Anatthapucchaka
mengunjungi Sang Buddha dan berkata, "Bhante, saya berpikir
bahwa Anda hanya mengetahui praktek-praktek yang
bermanfaat dan tidak mengetahui praktek-praktek yang tidak
bermanfaat".
Sang Buddha menjawab bahwa Beliau juga mengetahui
praktek-praktek yang tidak bermanfaat dan merugikan.
Kemudian Sang Buddha menyebutkan satu per satu enam
praktek yang dapat memboroskan kekayaan, sebagai berikut:
1. Tidur sampai matahari terbit,
2. Kebiasaan bermalas-malasan,
3. Bertindak kejam,
4. Gemar minum minuman keras yang menyebabkan
mabuk dan lemahnya kesadaran,
5. Berkeliaran sendiri di jalan pada waktu yang tidak
tepat, dan 6. Perilaku seks yang salah.
Setelah itu Sang Buddha bertanya kepada brahmana
tersebut bagaimana ia menghidupi dirinya.
Brahmana itu menjawab bahwa ia menghidupi dirinya
dengan berjudi, sebagai contoh: bermain dadu.
Selanjutnya Sang Buddha bertanya kepadanya apakah ia
menang atau kalah. Ketika sang brahmana menjawab bahwa ia
kadangkala menang dan kadangkala kalah.
Sang Buddha berkata kepadanya, "Menang dalam
permainan dadu tidak dapat diperbandingkan dengan
kemenangan melawan kekotoran batin".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 104 dan 105
berikut ini: Menaklukkan diri sendiri sesungguhnya lebih baik
daripada menaklukkan makhluk lain; orang yang telah
menaklukkan dirinya sendiri selalu dapat mengendalikan diri.
Tidak ada Dewa, Mara, Gandhabba, atau pun Brahmana
yang dapat mengubah kemenangan dari orang yang telah dapat
menaklukkan dirinya sendiri.
*** VIII-7-Kisah Paman Sariputta Thera
Suatu ketika, Sariputta Thera bertanya kepada pamannya
seorang brahmana apakah ia telah melakukan perbuatanperbuatan baik.
Sang brahmana menjawab bahwa ia telah membuat
persembahan senilai seribu kahapana setiap bulan untuk pertapa-pertapa Nigantha, dan berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam kehidupannya yang akan datang.
Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya
telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun
tidak mengetahui jalan menuju alam brahma. Kemudian Sariputta Thera membawa pamannya menghadap Sang Buddha, dan
memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskan Dhamma,
yang dengan pasti akan membawa seseorang ke alam brahma.
Sang Buddha berkata: "Brahmana, persembahan
sesendok dana makanan kepada seorang suci akan lebih baik
daripada persembahan seribu kahapana kepada orang yang
tidak suci?"
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 106 berikut:
Biarpun bulan demi bulan seseorang mempersembahkan
seribu korban selama seratus tahun, namun lebih baik jika ia menghormati orang yang memiliki pengendalian diri, walaupun
hanya sesaat saja.
hanya sesaat saja.
Paman Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
VIII-8-Kisah Keponakan Sariputta Thera
Pada lain kesempatan, Sariputta Thera bertanya kepada
keponakannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan
perbuatan-perbuatan baik. Keponakannya menjawab bahwa ia
telah mengorbankan seekor kambing ke dalam api pemujaan
setiap bulan, dan ia berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma pada kehidupannya yang akan datang.
Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya
telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun
tidak mengetahui jalan menuju alam brahma.
Kemudian Sariputta Thera membawa keponakannya
seorang brahmana muda menghadap sang Buddha. Di sana,
Sang Buddha mengajarkan Dhamma yang dapat menuntun
seseorang menuju ke alam brahma dan berkata kepada sang
brahmana: "Brahmana muda, memberikan penghormatan kepada
orang suci untuk sesaat saja akan jauh lebih baik daripada
memberikan peghormatan untuk api pemujaan selama seratus
tahun". Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 107 berikut:
Biarpun selama seratus tahun seseorang menyalakan api
pemujaan di hutan, namun sesungguhnya lebih baik jika ia
walaupun hanya sesaat saja, menghormati orang yang telah
walaupun hanya sesaat saja, menghormati orang yang telah
memiliki pengendalian diri.
Keponakan Sariputta Thera mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
VIII-9-Kisah Teman Sariputta Thera
Pada kesempatan lain lagi, Sariputta Thera bertanya kepada
temannya, seorang brahmana, apakah ia telah melakukan
perbuatan-perbuatan baik. Temannya menjawab bahwa ia telah
melakukan persembahan pengorbanan dalam skala besar. Ia
berharap untuk dapat terlahir kembali di alam brahma dalam
kehidupannya yang akan datang.
Sariputta Thera menjelaskan kepadanya bahwa gurunya
telah memberikan harapan yang salah dan mereka sendiri pun
tidak mengetahui jalan menuju alam brahma.
Kemudian Sariputta Thera membawa temannya
menghadap Sang Buddha, yang menunjukkannya jalan menuju
ke alam brahma.
Kepada teman Sariputta Thera, Sang Buddha berkata,
"Brahmana, memberikan penghormatan kepada para orang suci
(ariya) untuk sesaat saja akan lebih baik daripada melakukan persembahan pengorbanan besar dan kecil sepanjang tahun".


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 108 berikut:
Dalam dunia ini, pengorbanan dan persembahan apapun
yang dilakukan oleh seseorang selama seratus tahun untuk
memperoleh pahala dari perbuatannya itu, semuanya tidak
berharga seperempat bagian pun daripada penghormatan yang
diberikan kepada orang yang hidupnya lurus.
diberikan kepada orang yang hidupnya lurus.
Brahmana teman Sariputta Thera mencapai tingkat
kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***
VIII-10-Kisah Ayuvaddhanakumara
Suatu waktu terdapat dua orang pertapa yang tinggal bersama, mempraktekkan pertapaan yang keras (tapacaranam) selama
bertahun-tahun lamanya. Kemudian, satu di antara dua pertapa itu meninggalkan kehidupan bertapa dan menikah. Setelah
seorang anak laki-lakinya lahir, keluarga tersebut mengunjungi pertapa tua temannya dan memberi hormat kepadanya.
Kepada kedua orang tua anak itu sang pertapa berkata,
"Semoga kalian panjang umur", tetapi dia tidak berkata apa-apa kepada si anak.
Kedua orang tua tersebut bingung dan menanyakan
kepada pertapa, apakah alasannya ia tidak berkata apa-apa
kepada anak itu. Sang pertapa berkata kepada mereka bahwa
anak tersebut hanya akan hidup tujuh hari lagi dan ia tidak tahu bagaimana untuk mencegah kematiannya, tetapi Buddha Gotama
mungkin tahu bagaimana cara mencegahnya.
Kemudian orang tua tersebut membawa anaknya
menghadap Sang Buddha; ketika mereka memberi hormat
kepada Sang Buddha, Beliau juga berkata "Semoga kalian
panjang umur" hanya kepada kedua orang tua itu dan tidak
kepada anaknya.
Sang Buddha juga memperkirakan kematian akan datang
pada anak itu. Untuk mencegah kematiannya, Sang Buddha
pada anak itu. Untuk mencegah kematiannya, Sang Buddha
berkata kepada orang tua itu agar mereka membangun pavilium
di depan pintu masuk rumahnya dan meletakkan anak tersebut
pada dipan di dalam pavilium. Kemudian beberapa bhikkhu
diundang ke sana untuk membaca paritta selama tujuh hari. Pada hari ketujuh Sang Buddha sendiri datang ke pavilium itu. Para dewa dari seluruh alam semesta juga datang. Pada waktu itu
raksasa Avaruddhaka berada di pintu masuk, menunggu
kesempatan untuk membawa anak itu pergi. Tetapi kedatangan
para dewa menyebabkan raksasa tersebut hanya dapat
menunggu di suatu tempat yang jauhnya 2 yojana dari anak
tersebut. Sepanjang malam, pembacaan paritta dilaksanakan
tanpa henti, sehingga melindungi anak tersebut. Hari berikutnya, anak tersebut diambil dari dipan dan melakukan penghormatan
kepada Sang Buddha.
Pada kesempatan itu, Sang Buddha berkata "Semoga
kamu panjang umur" kepada anak tersebut. Ketika ditanya
berapa lama anak tersebut akan hidup, Sang Buddha menjawab
bahwa ia akan hidup selama seratus dua puluh tahun. Kemudian anak itu diberi nama Ayuvaddhana.
Ketika anak tersebut remaja, ia pergi berkeliling negeri
dengan disertai lima ratus orang pengikut. Suatu hari, mereka datang ke Vihara Jetavana, para bhikkhu mengenalinya, dan
bertanya kepada Sang Buddha:
"Dengan melaksanakan apa seseorang bisa berumur
panjang?" Sang Buddha menjawab, "Dengan menghormati dan
Sang Buddha menjawab, "Dengan menghormati dan
menghargai yang lebih tua, yang memiliki kebijaksanaan serta kesucian, niscaya seseorang akan memperoleh tidak hanya umur panjang, tetapi juga keindahan, kebahagiaan, dan kekuatan".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 109 berikut:
Ia yang selalu menghormati dan menghargai orang yang
lebih tua, kelak akan memperoleh empat hal, yaitu: umur
panjang, kecantikan, kebahagiaan, dan kekuatan.
*** VIII-11-Kisah Samanera Samkicca.txt
Pada suatu ketika, tiga puluh bhikkhu setelah menerima pelajaran objek meditasi yang diberikan Sang Buddha, pergi menuju
sebuah desa besar, yang jauhnya 120 yojana dari Savatthi. Pada waktu itu, lima ratus orang perampok tinggal di tengah-tengah hutan dan mereka berkeinginan untuk membuat persembahan
dari daging dan darah manusia untuk makhluk halus penjaga
hutan. Kemudian mereka datang ke vihara desa dan meminta
salah seorang bhikkhu diserahkan kepada mereka untuk
dikorbankan kepada makhluk halus penjaga hutan. Semua
bhikkhu, dari yang tertua sampai yang termuda, bersedia secara sukarela untuk pergi. Di antara para bhikkhu tersebut, terdapat juga seorang samanera muda yang bernama Samkicca.
Samanera itu disuruh menyertai perjalanan mereka oleh Sariputta Thera. Samanera ini baru berumur tujuh tahun, tetapi telah
mencapai tingkat kesucian arahat. Samkicca berkata bahwa
Sariputta Thera, gurunya, mengetahui bahaya yang akan
menghadang mereka, dengan sengaja menyuruhnya untuk
menyertai perjalanan para bhikkhu, dan ia telah siap menjadi orang yang pergi memenuhi keinginan perampok. Kemudian
Samkicca pergi bersama perampok. Para bhikkhu merasa
sangat sedih telah membiarkan samanera muda pergi. Para
perampok membuat persiapan untuk upacara pengorbanan.
Ketika semuanya sudah siap, pimpinan mereka mendekati
Ketika semuanya sudah siap, pimpinan mereka mendekati
samanera, yang sedang duduk, dengan pikiran terpusat pada
konsentrasi terserap (Jhana). Sang pimpinan perampok
mengangkat pedangnya dan menebaskannya kepada samanera
muda, tetapi mata pedang tersebut bengkok tanpa memotong
daging samanera. Ia meluruskan mata pedangnya dan
menebaskannya lagi, kali ini, pedang tersebut bengkok sampai ke pangkalnya tanpa melukai samanera. Melihat hal yang aneh
ini, pemimpin perampok menjatuhkan pedangnya berlutut di kaki samanera dan memohon ampun. Semua perampok itu terheran-heran dan merasa sangat ngeri, mereka menyesali perbuatannya, dan bertekad akan menjadi bhikkhu.
Samanera muda disertai lima ratus pengikutnya berangkat
kembali ke vihara desa dan ketiga puluh bhikkhu yang tinggal di vihara merasa lega dan gembira melihatnya. Kemudian Samkicca dan lima ratus pengikutnya meneruskan perjalanan mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sariputta Thera. Setelah
bertemu Sariputta Thera mereka pergi untuk memberi
penghormatan kepada Sang Buddha.
Ketika menceritakan apa yang telah terjadi, Sang Buddha
berkata, "Para bhikkhu jika kamu merampok atau mencuri dan
melakukan berbagai bentuk perbuatan jahat, hidupmu akan
menjadi tidak berguna, meskipun kamu hidup seratus tahun.
Menjalani hidup dengan hidup suci meskipun satu hari lebih baik daripada seratus tahun hidup dengan kejahatan".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 110 berikut:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memiliki
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi memiliki
kelakuan buruk dan tak terkendali, sesungguhnya lebih baik
adalah kehidupan sehari dari orang yang memiliki sila dan tekun bersamadhi.
*** VIII-12-Kisah Khanu-Kondanna
Setelah menerima pelajaran objek meditasi dari Sang Buddha,
Kondanna pergi ke hutan untuk mempraktekkan meditasi dan di
sana Kondanna mencapai tingkat kesucian arahat. Dalam
perjalanan pulang untuk memberi penghormatan kepada Sang
Buddha. Kondanna sangat lelah dan berhenti di perjalanan.
Kondanna duduk di atas lempengan batu besar dan
mengkonsentrasikan pikiran dalam jhana. Pada saat itu lima ratus orang perampok setelah merampok sebuah desa besar datang
ke tempat Kondanna berada. Mereka mengira bhikkhu itu
bagaikan tunggul pohon sehingga mereka menaruh tumpukan
barang rampokan di sekitar tubuh beliau. Ketika hari mulai siang mereka menyadari bahwa apa yang mereka kira sebagai tunggul
pohon pada kenyataannya adalah makhluk hidup. Kemudian
mereka berpikir bahwa makhluk itu merupakan raksasa sehingga mereka lari dengan ketakutan.
Kondanna menyatakan kepada mereka bahwa ia hanya
seorang bhikkhu, bukan raksasa, dan berkata kepada mereka
agar jangan takut. Perampok-perampok tersebut terpesona oleh kata-katanya, dan memohon maaf atas kesalahan yang telah
mereka perbuat. Tak lama kemudian, semua perampok
memohon kepada Kondanna agar berkenan menerima mereka
dalam pasamuan bhikkhu. Sejak saat itu Kondanna dikenal
dengan nama "Kanu Kondanna" (Kondanna tunggul pohon).
dengan nama "Kanu Kondanna" (Kondanna tunggul pohon).
Kondanna beserta bhikkhu-bhikkhu baru menemui Sang
Buddha dan menyampaikan kepada Beliau apa yang telah
terjadi. Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Hidup seratus
tahun dengan ketidak-tahuan, melakukan hal-hal yang bodoh,
adalah tidak bermanfaat; sekarang kamu telah melihat kebenaran dan telah menjadi bijaksana, kehidupanmu sehari sebagai orang yang bijaksana, sangat bermanfaat".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 111 berikut:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak
bijaksana dan tidak terkendali, sesungguhnya lebih baik adalah kehidupan sehari dari orang yang bijaksana dan tekun
bersamadhi. *** VIII-13-Kisah Sappadasa Thera
Suatu ketika seorang bhikkhu tidak merasa bahagia dengan
kehidupan sebagai bhikkhu. Pada saat itu juga ia merasa tidak tepat dan memalukan untuk kembali hidup sebagai perumahtangga. Kemudian ia berpikir akan lebih baik jika ia meninggal dunia. Pada suatu kesempatan, ia memasukkan tangannya ke
dalam pot dimana terdapat ular di dalamnya tetapi ular itu tidak menggigit. Hal ini disebabkan pada kehidupan lalu ular tersebut sebagai budak dan sang bhikkhu sebagai tuannya. Karena
kejadian ini bhikkhu tersebut dikenal dengan nama Sappadasa
Thera. Pada kesempatan lain, Sappadasa Thera mengambil
pisau cukur untuk memotong tenggorakannya.
Sebelum melakukan perbuatan itu, ia merenungkan
kesucian dari praktek moralnya (sila) sepanjang hidup sebagai bhikkhu, dan seluruh tubuhnya diliputi kegiuran (piti) dan
kebahagiaan (sukkha). Kemudian ia melepaskan dirinya dari piti dan mengarahkan pikirannya untuk mengembangkan
pengetahuan pandangan terang dan tak lama kemudian
Sappadasa mencapai tingkat kesucian arahat, dan ia pulang
kembali ke vihara.
Setelah tiba di vihara, bhikkhu-bhikkhu lainnya bertanya
kemana ia telah pergi dan mengapa ia membawa pisau. Ketika
Sang Thera berkata kepada mereka bahwa ia bermaksud untuk
mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia
mengakhiri hidupnya, mereka bertanya kepadanya mengapa ia
tidak melakukannya.
Ia menjawab, "Saya sebenarnya bermaksud untuk
memotong tenggorokanku dengan pisau ini, tetapi saya sekarang telah memotong semua kekotoran batin dengan pisau
pengetahuan pandangan terang".
Para bhikkhu tidak mempercayainya, kemudian mereka
pergi menemui Sang Buddha dan berkata, "Bhante, bhikkhu ini
menyatakan bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian arahat
dengan menaruh pisau di tenggorokannya untuk membunuh
dirinya sendiri. Apakah mungkin untuk mencapai jalan kesucian arahat (arahatta-magga) dengan cara demikian singkat?"
Kepada mereka Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu,
ya, itu mungkin, untuk seorang yang bersemangat dan rajin dalam mempraktekkan ketenangan dan mengembangkan pandangan
terang, ke-arahat-an akan dicapai dalam waktu singkat. Seperti halnya seorang bhikkhu yang berjalan latihan meditasi, ia dapat mencapai tingkat ke-arahat-an meskipun langkah kakinya belum menyentuh tanah".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 112 berikut:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi malas dan
tidak bersemangat, maka sesungguhnya lebih baik kehidupan
sehari dari orang berjuang dengan penuh semangat.
*** VIII-14-Kisah Patacara Theri
Patacara merupakan putri seorang kaya dari Savatthi. Ia sangat cantik dan dijaga dengan sangat ketat oleh orang tuanya. Tetapi, suatu hari ia meninggalkan rumahnya dengan kekasih pilihannya, seorang pelayan laki-laki dari keluarganya. Mereka pergi
menetap di sebuah desa, kini ia sebagai istri orang miskin. Tidak berselang lama ia hamil dan pada saat persalinan sudah dekat, ia meminta ijin kepada suaminya untuk kembali ke tempat orang
tuanya di Savatthi. Tetapi suaminya melarang. Pada suatu hari ketika suaminya pergi, ia pergi ke rumah orang tuanya. Suaminya mengikutinya, menangkapnya di perjalanan, dan memohon
kepadanya untuk pulang bersama, tetapi ia menolak. Hal itu
terjadi pada saat usia kelahiran sudah dekat. Akhirnya ia
melahirkan anak laki-laki di semak-semak. Setelah melahirkan anaknya ia kembali ke rumah bersama suaminya.
Sekali lagi hal di atas terjadi, ia hamil lagi, dan pada saat persalinan anaknya sudah dekat, ia pergi ke rumah orang tuanya di Savatthi. Suaminya mengikutinya dan menangkapnya di tengah perjalanan, tetapi saat persalinan datang dengan cepat dan juga hujan turun sangat lebat. Suaminya mencari tempat yang sesuai untuk persalinan dan ketika ia membersihkan sebidang tanah, ia digigit oleh seekor ular berbisa. Ia meninggal dunia saat itu juga.
Patacara menunggu suaminya dan pada saat menunggu itu ia
melahirkan anak kedua. Pada pagi hari, ia mencari suaminya,
melahirkan anak kedua. Pada pagi hari, ia mencari suaminya,
tetapi ia hanya menemukan tubuh suaminya yang sudah kaku. Ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa suaminya meninggal dunia karena dirinya, kemudian ia meneruskan perjalanan ke rumah
orang tuanya. Karena hujan yang tak henti-hentinya sepanjang malam,
sungai Aciravati menjadi banjir, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk menyeberangi sungai bersama kedua anaknya.
Dengan meninggalkan anak tertua di tepi sungai sebelah sini. Ia menyeberangi sungai dengan anak laki-laki yang baru berumur
sehari. Ia menaruh bayi itu di tepi sungai, dan menyeberang
kembali untuk menjemput anak tertua. Ketika ia berada di
tengah sungai, elang besar melayang-layang menuju tempat anak kedua berada. Elang itu mematuknya seperti menggigit sepotong daging. Ia berteriak-teriak untuk menakut-nakuti burung itu, tetapi semua itu sia-sia. Anak bayi itu telah dibawa pergi oleh elang besar. Pada saat itu anak yang tertua mendengar ibunya berteriak-teriak dari tengah sungai dan anak itu berpikir bahwa ibunya memanggilnya untuk datang kepadanya. Kemudian ia
menyeberangi sungai untuk pergi ke tempat ibunya berada.
Tetapi anak itu terbawa arus sungai yang sedang banjir. Patacara kehilangan kedua anaknya, dan juga kehilangan suaminya.
Patacara mencucurkan air mata dan meratap dengan
keras, "Seorang anak telah dibawa pergi seekor elang, anak
yang lainnya terbawa arus, suamiku juga meninggal dunia digigit ular berbisa!"
ular berbisa!"
Kemudian ia melihat seorang laki-laki dari Savatthi dan
dengan sedih menanyakan tentang orang tuanya. Laki-laki itu
menjawab badai yang terjadi di Savatthi kemarin malam telah
merobohkan rumah orang tuanya dan kedua orang tuanya
beserta tiga saudara laki-lakinya meninggal dunia serta telah dikremasikan di atas satu tumpukan kayu. Mendengar berita
yang demikian tragis, Patacara menjadi gila, ia tidak peduli bahwa bajunya telah terlepas dari badannya, dan ia hampir tak berpakaian. Ia berlari-lari di sepanjang jalan, berteriak-teriak tentang kesengsaraannya.
Ketika Sang Buddha memberikan khotbah di Vihara
Jetavana, Beliau melihat Patacara di kejauhan. Beliau
menghendaki agar Patacara datang ke dalam pertemuan itu.
Kerumunan orang mencoba untuk menghentikan Patacara,
dengan mengatakan, "Jangan biarkan wanita gila itu masuk".
Tetapi Sang Buddha berkata kepada mereka agar tidak
mencegah wanita itu masuk. Ketika Patacara cukup dekat untuk mendengar khotbah, Beliau berkata kepadanya untuk berhati-hati dan tenang. Kemudian ia menyadari bahwa ia hampir tidak memakai pakaian dan dengan malu ia duduk. Seorang yang hadir memberinya secarik kain, dan ia membungkus dirinya dengan
kain itu. Ia kemudian berkata kepada Sang Buddha bagaimana
ia telah kehilangan anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya dan orang tuanya.
Sang Buddha berkata kepadanya, "Patacara, jangan takut,
Sang Buddha berkata kepadanya, "Patacara, jangan takut,
kamu telah datang kepada seseorang yang dapat melindungimu
dan membimbingmu. Sepanjang proses lingkaran kehidupan ini
(Samsara), jumlah air mata yang telah kamu kucurkan atas
kematian anakmu, suamimu, orang tuamu, dan saudara lakilakimu sangat banyak, lebih banyak dari air yang ada di empat samudra".
Kemudian Sang Buddha menjelaskan dengan rinci
"Anamatagga Sutta", yang menjelaskan perihal kehidupan yang
tak terhitung banyaknya. Berangsur-angsur Patacara merasa
tenang. Kemudian Sang Buddha menambahkan bahwa ia
seharusnya tidak berpikir keras tentang sesuatu yang telah pergi, tetapi seharusnya mensucikan diri dan berjuang untuk merealisasi nibbana. Mendengar nasehat dari Sang Buddha, Patacara
mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Kemudian Patacara menjadi seorang bhikkhuni. Pada
suatu hari, ia sedang membersihkan kakinya dengan air dari
tempayan. Pada saat ia menuangkan air untuk pertama kalinya, air tersebut hanya mengalir pada jarak yang pendek kemudian
meresap; kemudian ia menuangkan untuk kedua kalinya. Air
tersebut mengalir sedikit lebih jauh. Tetapi air yang dituangkan untuk ketiga kalinya mengalir paling jauh. Dengan melihat aliran dan menghilangnya air yang dituangkan sebanyak tiga kali, ia mengerti dengan jelas tiga tahapan di dalam kehidupan makhluk hidup.
Sang Buddha melihat Patacara melalui kemampuan batin
luar biasa-Nya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar luar biasa-Nya dari Vihara Jetavana, mengirimkan seberkas sinar dan memperlihatkan diri sebagai seorang manusia.
Sang Buddha kemudian berkata kepadanya, "Patacara
kamu sekarang pada jalan yang benar, dan kamu telah tahu
pandangan yang benar tentang kelompok kehidupan (khandha).
Seseorang yang tidak mengerti corak tidak-kekal, tidakmemuaskan, dan tanpa-inti dari khandha adalah tidak
bermanfaat, walaupun ia hidup selama seratus tahun".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 113 berikut:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak
dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang
berkondisi, sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat timbul tenggelamnya segala sesuatu yang
berkondisi. Patacara mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah
Dhamma itu berakhir.***
VIII-15-Kisah Kisagotami Theri
Kisagotami adalah putri seorang kaya dari Savatthi, ia dikenal sebagai Kisagotami karena ia mempunyai tubuh yang langsing.
Kisagotami menikah dengan seorang pemuda kaya dan memiliki
seorang anak laki-laki. Anak tersebut meninggal dunia ketika ia baru saja belajar berjalan dan Kisagotami merasa sangat sedih.
Dengan membawa mayat anaknya ia pergi untuk mencari obat
yang dapat menghidupkan kembali anaknya dari setiap orang
yang ditemui. Orang-orang mulai berpikir bahwa ia telah menjadi gila. Tetapi seorang bijaksana, yang melihat kondisinya, berpikir bahwa ia harus memberikan pertolongan dan berkata
kepadanya: "Sang Buddha adalah seorang yang harus kamu datangi. Ia
memiliki obat yang kamu butuhkan, pergilah kepadanya!"
Kisagotami kemudian pergi menemui Sang Buddha dan
bertanya, obat apakah yang dapat menghidupkan kembali
anaknya.

Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang Buddha berkata kepadanya untuk mencari
segenggam biji lada dari rumah keluarga yang belum pernah
terdapat kematian. Dengan membawa anaknya yang telah
meninggal dunia di dadanya. Kisagotami pergi dari rumah ke
rumah, untuk meminta segenggam biji lada. Setiap orang ingin menolongnya, tetapi ia tidak pernah menemukan sebuah rumah
pun dimana kematian belum pernah terjadi. Kemudian ia
menyadari bahwa tidak hanya keluarganya saja yang telah
menghadapi kematian, terdapat lebih banyak orang yang
meninggal dunia daripada yang hidup. Tak lama setelah
menyadari hal ini, sikap terhadap anaknya yang telah meninggal dunia berubah. Ia tidak lagi melekat kepada anaknya.
Ia meninggalkan mayat anaknya di hutan dan kembali
kepada Sang Buddha serta memberitahukan bahwa ia tidak
dapat menemukan rumah keluarga dimana kematian belum
pernah terjadi.
Kemudian Sang Buddha berkata, "Gotami, kamu berpikir
bahwa kamu yang kehilangan seorang anak, sekarang kamu
menyadari bahwa kematian terjadi pada semua makhluk.
Sebelum keinginan mereka terpuaskan, kematian telah
menjemputnya".
Mendengar hal ini, Kisagotami benar-benar menyadari
ketidak-kekalan, ketidak-puasan dan tanpa inti dari kelompok kehidupan (khandha) dan mencapai kesucian sotapatti.
Tak lama kemudian, Kisagotami menjadi seorang
bhikkhuni. Pada suatu hari, ketika ia sedang menyalakan lampu, ia melihat api menyala kemudian mati. Tiba-tiba ia mengerti
dengan jelas timbul dan tenggelamnya kehidupan makhluk. Sang Buddha melalui kemampuan batin luar biasa-Nya, melihat dari
Vihara Jetavana, dan mengirimkan seberkas sinar serta
memperlihatkan diri sebagai seorang manusia. Sang Buddha
berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan
berkata kepada Kisagotami untuk meneruskan meditasi dengan
objek ketidak-kekalan dari kehidupan makhluk dan berjuang
keras untuk merealisasi nibbana.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 114 berikut:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun, tetapi tidak
dapat melihat "keadaan tanpa kematian" (nibbana),
sesungguhnya lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat "keadaan tanpa kematian".
Kisagotami mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.***
VIII-16-Kisah Bahuputtika Theri
Suatu saat di Savatthi, tinggalah pasangan suami istri yang
memiliki tujuh anak laki-laki dan tujuh anak perempuan. Semua anaknya telah menikah dan keluarga anak-anaknya hidup dengan tidak kekurangan. Kemudian sang ayah meninggal dunia dan
sang ibu mendapatkan semua kekayaan tanpa membagi
sedikitpun kepada anak-anaknya.
Anak laki-laki dan anak perempuannya menginginkan
memiliki warisan, sehingga mereka berkata kepada ibunya,
"Manfaat apa yang kami dapatkan dari kekayaan kami"
Tidakkah kita dapat membuatnya berlipat ganda" Tidak
dapatkah kita mengurus ibu kita?"
Mereka mengatakan hal itu berkali-kali kepada ibu
mereka, dan si ibu berpikir bahwa anaknya akan mengurus
kehidupan si ibu. Akhirnya ia membagi kekayaan tersebut tanpa menyisakan sedikit pun untuk dirinya.
Setelah pembagian kekayaan, ia pertama kali tinggal
bersama anak laki-laki tertua, tetapi menantunya menuntut dan berkata:
"Ia telah datang dan tinggal bersama kita, jika ia memberi
kita dua bagian dari kekayaan!" dan juga hal-hal lain.
Lalu ia pergi menetap di anak laki-laki kedua. Hal yang
sama juga terjadi. Jadi ia pergi dari satu anak laki-laki ke anak sama juga terjadi. Jadi ia pergi dari satu anak laki-laki ke anak laki-laki lainnya, dari satu anak perempuan ke anak perempuan lainnya, tetapi satu pun tidak ada yang mau menerimanya untuk waktu yang lama dan tidak memberikan penghormatan
kepadanya. Wanita tua tersebut merasa sakit hati terhadap perlakuan
anak-anaknya. Ia meninggalkan keluarganya dan menjadi
bhikkhuni. Karena ia dulu ibu dari banyak anak maka ia dikenal dengan nama Bahuputtika. Bahuputtika menyadari bahwa ia
menjadi bhikkhuni pada usia tua dan oleh karena itu ia
seharusnya tidak menyia-nyiakan waktu. Ia hendak
menggunakan sisa hidupnya dengan sepenuhnya, sehingga
sepanjang malam ia meditasi sesuai dengan Dhamma yang telah
diajarkan Sang Buddha.
Sang Buddha memperhatikan diri wanita tua itu dari
Vihara Jetavana. Melalui kemampuan batin luar biasa Beliau,
dengan cahaya yang cemerlang, Beliau terlihat duduk di depan wanita itu.
Kemudian Sang Buddha berkata, "Kehidupan seseorang
yang tidak pernah mempraktekkan Dhamma ajaran Sang
Buddha adalah tidak berguna, meskipun seseorang hidup seratus tahun".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 115 berikut:
Walaupun seseorang hidup seratus tahun tetapi tidak dapat
melihat keluhuran Dhamma (Dhammamuttamam), sesungguhnya
lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat
lebih baik kehidupan sehari dari orang yang dapat melihat
keluhuran Dhamma.
*** IX-1-Kisah Culekasataka
Di Savatthi berdiam sepasang suami istri brahmana. Mereka
hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh
mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama
Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian
luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat bersamaan.
Jadi, bila si istri pergi mendengarkan khotbah Sang Buddha pada siang hari, maka si suami pergi pada malam hari.
Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan
khotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi keriangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk
memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang
Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang.
Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu,
pada malam jaga ketiga, brahmana berkata pada dirinya sendiri,
"Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat
menghindar terlahir ke empat alam rendah (Apaya), saya akan
memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha."
Setelah berkata begitu, dia meletakkan pakaian luarnya ke
kaki Sang Buddha dan dia berteriak, "Saya menang! Saya
menang! Saya menang!"
Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada diantara
para pendengar khotbah. mendengar teriakan tersebut ia
menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal
pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar
bahwa brahmana tersebut telah berbuat sesuatu yang tidak
mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi
penghargaan. Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan
sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas
keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu
memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha.
Dia mendapat hadiah lagi dari Raja berupa dua potong
pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian
kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah empat potong
lagi. Jadi dia memberikan kepada sang Buddha apa saja yang
diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipat-duakan
hadiahnya. Akhirnya hadiah meningkat menjadi tiga puluh dua potong
pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu
potong untuk istrinya, dan selebihnya diberikan kepada Sang
Buddha. Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benarbenar melakukan suatu perbuatan yang sulit dan juga harus diberi hadiah yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk
hadiah yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk
membawa dua potong pakaian beludru yang berharga mahal,
dan memberikannya kepada brahmana.
Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua
penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum
tempat Sang Buddha tidur, dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu menerima dana makanan di rumah brahmana.
Ketika raja pergi berkunjung ke Vihara Jetavana untuk
memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup
tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini, raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing
berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah,
empat ekor kuda, empat orang pelayan wanita, empat orang
pelayan laki-laki, empat orang pesuruh laki-laki, empat desa, dan empat ribu uang tunai.
Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka
bertanya kepada sang Buddha, "Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat?"
Sang Buddha menjawab, "Jika Brahmana memberikan
baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadiah
enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi
pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga
terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang.
Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya,
Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya,
jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan
hanya sebagian. Juga, jika seseorang terlalu lambat dalam
melakukan perbuatan baik, mungkin dia tidak akan sanggup
untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang
cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak
baik." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 116 berikut:
Bergegaslah berbuat kebajikan,
dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan;
barang siapa lamban berbuat bajik,
maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.
IX-2-Kisah Seyyasaka Thera
Ketika itu ada seorang Thera yang bernama Seyyasaka yang
mempunyai kebiasaan masturbasi. Ketika mendengar hal
tersebut, Sang Buddha menegurnya, karena melakukan sesuatu
yang mengakibatkan seseorang jauh dari memperoleh magga dan
phala. Pada saat itu juga, Sang Buddha menetapkan peraturan
larangan menikmati kesenangan seksual bagi para bhikkhu,
peraturan sanghadisesa. Pelanggaran (apatti) peraturan itu
menyebabkan hukuman dan diskors oleh Sangha. Kemudian
Sang Buddha menambahkan, "Jenis pelanggaran ini dapat
mengakibatkan hasil perbuatan jahat di dunia ini maupun di masa mendatang."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 117 berikut:
Apabila seseorang berbuat jahat,
hendaklah ia tidak mengulangi perbuatannya itu,
dan jangan merasa senang dengan perbuatan itu,
sungguh menyakitkan akibat dari memupuk perbuatan
jahat. IX-3-Kisah Lajadevadhita
Suatu ketika Mahakassapa Thera sedang berdiam di gua Pippali dan berada dalam suasana batin khusuk bermeditasi mencapai
konsentrasi tercerap (samapatti) selama tujuh hari. Segera
setelah beliau bangun dari samapatti, beliau berkeinginan
memberi kesempatan pada seseorang untuk mendanakan
sesuatu kepada orang yang baru bangkit dari samapatti.
Beliau melihat keluar dan menemukan seorang pelayan
muda sedang menabur jagung di halaman rumah. Maka Thera
berdiri di depan pintu rumahnya untuk menerima dana makanan.
Wanita itu meletakkan seluruh jagungnya ke mangkuk Thera.
Ketika wanita itu pulang setelah mendanakan jagung kepada
thera, dia dipatuk oleh seekor ular berbisa dan meninggal dunia.
Dia terlahir kembali di alam surga Tavatimsa dan dikenal sebagai Lajadevadhita. "Laja" berarti jagung.
Laja menyadari bahwa dia terlahir kembali di alam surga
Tavatimsa karena dia telah berdana jagung kepada
Mahakassapa Thera, maka ia sangat menghormati Mahakassapa
Thera. Kemudian Laja memutuskan, dia harus melakukan jasa
baik kepada Thera agar kebahagiaannya dapat bertahan. Jadi
setiap pagi wanita itu pergi ke vihara tempat Thera berdiam, menyapu halaman vihara, mengisi air dalam kolam mandi, dan
melakukan jasa-jasa lainnya.
Pada mulanya thera berpikir samanera-samanera yang
melakukan pekerjaan tersebut. Tetapi pada suatu hari thera
mengetahui yang melakukan pekerjaan tersebut adalah dewi
wanita. Kemudian thera memberi tahu dewi wanita tersebut
untuk tidak datang ke vihara itu lagi. Orang-orang akan
membicarakan hal-hal yang tidak baik jika dia tetap datang ke vihara.
Mendengar hal itu, Lajadevadhita sangat sedih, menangis
dan memohon kepada Thera, "Tolong jangan hancurkan
kekayaan dan harta benda saya."
Sang Buddha mendengar tangisannya dan kemudian
mengirim cahaya dari kamar harum Beliau dan berkata kepada
dewi wanita tersebut, "Devadhita, itu adalah tugas murid-Ku
Kassapa untuk melarangmu ke vihara, melakukan perbuatan
baik adalah tugas seseorang yang berniat besar memperoleh
buah perbuatan baik. Tetapi, sebagai seorang gadis, tidak patut untuk datang sendirian dan melakukan berbagai pekerjaan di
vihara." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 118 berikut:
Apabila seseorang berbuat bajik,
hendaklah dia mengulangi perbuatannya itu dan bersuka
cita dengan perbuatannya itu,
sungguh membahagiakan akibat dari memupuk perbuatan
bajik. Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
Lajadevadhita mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
IX-4-5-Kisah Anathapindika
Anathapindika adalah pendana Vihara Jetavana yang didirikan
dengan biayalimapuluh empat crores. Ia tidak hanya dermawan
tetapi juga benar-benar berbakti kepada Sang Buddha.
Dia pergi ke Vihara Jetavana dan memberikan
penghormatan kepada Sang Buddha tiga kali sehari. Pada pagi
hari dia membawa bubur nasi, siang hari dia membawa beberapa macam makanan yang pantas atau obat-obatan, dan pada malam
hari dia membawa bunga dan dupa.
Setelah beberapa lama Anathapindika menjadi miskin,
tetapi sebagai orang yang telah mencapai tingkat kesucian
Sotapanna, batinnya tidak terguncang dengan kemiskinannya,
dan dia terus melakukan perbuatan rutinnya setiap hari yaitu berdana.
Suatu malam, satu makhluk halus penjaga pintu rumah
Anathapindika menampakkan diri dalam ujud manusia menemui
Anathapindika, dan berkata: "Saya adalah penjaga pintu
rumahmu, kamu telah memberikan kekayaanmu kepada Samana
Gotama tanpa memikirkan masa depanmu. Hal itulah yang
menyebabkan kamu miskin sekarang. Oleh karena itu kamu
seharusnya tidak memberikan dana lagi kepada Samana Gotama
dan kamu seharusnya memperhatikan urusanmu sendiri sehingga
menjadi kaya kembali."
Anathapindika menghalau penjaga pintu tersebut keluar
dari rumahnya. Karena Anathapindika sudah mencapai tingkat
kesucian sotapanna, makhluk halus penjaga pintu tersebut tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dia pun pergi meninggalkan rumah tersebut. Dia tidak mempunyai tempat tujuan pergi dan ingin
kembali ke rumah Anathapindika, tetapi dia takut pada
Anathapindika. Jadi dia mendekati Raja Sakka, raja para dewa.
Sakka memberi saran kepadanya, pertama dia harus
berbuat baik kepada Anathapindika dan setelah itu meminta
maaf kepadanya. Kemudian Sakka melanjutkan, "Adakira-kira
delapan belas crores yang dipinjam oleh beberapa pedagang
yang belum dikembalikan kepada Anathapindika, delapan belas
crores lainnya disembunyikan oleh leluhur (nenek moyang)
Anathapindika, dan telah dihanyutkan ke dalam laut. Dan
delapan belas crores lainnya yang bukan milik siapa-siapa yang dikuburkan di tempat tertentu. Pergi dan kumpulkanlah semua
kekayaan ini dengan kemampuan batin luar biasamu, penuhilah
ruangan-ruangan Anathapindika. Setelah melakukan itu, kamu
boleh meminta maaf padanya."


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Makhluk halus penjaga pintu tersebut melakukan petunjuk
Sakka, dan Anathapindika kembali menjadi kaya.
Ketika makhluk halus penjaga pintu memberi tahu
Anathapindika mengenai keterangan dan petunjuk yang
diberikan oleh Sakka, perihal pengumpulan kekayaannya dari
dalam bumi, dari dasar samudra, dan dari peminjampeminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum.
peminjamnya. Anathapindika terkesan dengan perasaan kagum.
Kemudian Anathapindika membawa makhluk halus penjaga
pintu tersebut menghadap Sang Buddha
Kepada mereka berdua, Sang Buddha berkata,
"Seseorang tidak akan menikmati keuntungan dari perbuatan
baiknya, atau menderita akibat dari perbuatan jahat untuk
selamanya, tetapi akan tibalah waktunya kapan perbuatan baik atau buruknya berbuah dan menjadi matang."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120
berikut: Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik, selama
buah perbuatan jahatnya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.
Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk, selama
buah perbuatan bajiknya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.
Makhluk halus penjaga pintu rumah itu mencapai tingkat
kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma tersebut berakhir
IX-6-Kisah Bhikkhu Yang Ceroboh
Ada seorang bhikkhu, setelah menggunakan barang-barang
perabotan, seperti tempat tidur, kursi panjang, dan peralatan milik vihara, meninggalkannya begitu saja barang-barang itu
dengan tidak mengembalikannya ke tempat semula.
Membiarkannya terkena hujan dan matahari, dan menjadi sarang semut-semut putih. Ketika bhikkhu-bhikkhu lain menegurnya
karena kebiasaannya yang tidak bertanggung jawab, dia akan
menjawab dengan cepat dan tajam:
"Saya tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan
barang-barang tersebut, lagipula barang-barang itu hanya akan mengalami kerusakan kecil", dan lain-lain. Selanjutnya dia
meneruskan kebiasaan yang sama.
Ketika Sang Buddha datang dan mengetahui hal tersebut,
Beliau berkata kepada bhikkhu tersebut:
"Kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan buruk,
waktu sekecil apapun, karena itu akan menjadi besar jika kamu melakukannya sebagai kebiasaan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 121 berikut:
Jangan meremehkan kejahatan walaupun kecil, dengan
berkata: "Perbuatan jahat tidak akan membawa akibat".
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang
jatuh setetes demi setetes,
demikian pula orang bodoh sedikit demi sedikit memenuhi
dirinya dengan kejahatan.
IX-7-Kisah Bilalapadaka
Suatu waktu, seseorang yang berasal dari Savatthi, setelah
mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha,
sangat terkesan dan memutuskan untuk menerapkan apa yang
telah diajarkan oleh Sang Buddha.
Isi khotbah itu adalah memberi dana tidak hanya dilakukan
oleh diri sendiri tetapi hendaknya juga menghimbau orang lain untuk melakukannya. Dengan melakukan hal tersebut, seseorang akan memperoleh banyak pahala dan memperoleh banyak
pengikut pada kehidupan yang akan datang.
Oleh karena itu orang tersebut mengundang Sang Buddha
beserta seluruh bhikkhu yang berdiam di Vihara Jetavana untuk menerima dana makanan keesokan harinya.
Kemudian orang itu pergi ke rumah-rumah tetangganya,
dan memberitahu bahwa dana makanan (pindapatta) akan
dilakukan keesokan hari kepada Sang Buddha beserta para
bhikkhu. Oleh karena itu, siapa yang akan turut berperan-serta tergantung kepada masing-masing orang.
Seorang kaya yang bernama Bilalapadaka melihat laki-laki
tersebut pergi berkeliling dari rumah ke rumah. Ia tidak setuju atas kelakuannya itu dan juga merasa tidak senang. Ia
menggerutu, "O, orangmalang! Kenapa dia tidak mengundang
beberapa bhikkhu saja sebanyak kesanggupan dia sendiri
beberapa bhikkhu saja sebanyak kesanggupan dia sendiri
memberi dana, daripada pergi berkeliling membujuk orang lain?"
Lalu dia meminta laki-laki itu untuk membawa
mangkoknya dan dia memasukkan ke dalam mangkok tersebut
sedikit nasi, hanya sedikit mentega, sedikit air dan tebu. Barang tersebut dibawa secara terpisah dan tidak dicampur dengan yang diberikan orang-orang lain.
Orang kaya tersebut tidak mengerti kenapa barangbarangnya diperlakukan secara terpisah. Ia mengira laki-laki tersebut akan memberitahu orang lain bahwa orang kaya seperti dirinya memberi sumbangan hanya sedikit dan membuatnya
malu. Oleh karena itu, orang kaya Bilalapadaka mengutus
pelayannya untuk menyelidiki.
Penganjur berdana itu meletakkan makanan yang sedikit
pemberian orang kaya tersebut ke dalam mangkuk-mangkuk
nasi, kari, dan daging manis, agar orang kaya tersebut mendapat banyak pahala. Pelayan orang kaya melaporkan apa yang telah
dilihatnya. Tetapi majikannya, Bilalapadaka, tidak mengerti
artinya dan tidak yakin maksud penganjur tersebut. Walau
demikian, keesokan harinya dia pergi ke tempat di mana dana
makanan dilakukan. Pada saat yang sama, dia membawa sebilah
pisau yang akan dipergunakan untuk membunuh penganjur,
apabila penganjur berdana itu mengumumkan di depan umum
betapa sedikit yang diberikan oleh orang kaya seperti dirinya.
Tetapi penganjur berdana ini berkata kepada Sang
Buddha, "Bhante, dana makanan ini merupakan gabungan dari
semua, walaupun ada yang memberi banyak atau pun sedikit
semua, walaupun ada yang memberi banyak atau pun sedikit
tidaklah dihitung. Tiap orang dari kami memberi dengan
keyakinan dan kerendahan hati. Jadi semoga kami semua
memperoleh pahala yang sama."
Ketika mendengar kalimat tersebut, Bilalapadaka
menyadari bahwa dia telah berpikiran keliru terhadap laki-laki itu. Ia merenungkan jika ia tidak mengakui kekeliruannya itu dan memohon penganjur berdana itu untuk memaafkannya, maka dia
bisa terlahir di salah satu dari empat alam kehidupan rendah (apaya).
Lalu dia berkata, "Temanku, saya telah melakukan
kesalahan besar terhadapmu dengan berpikir keliru tentang
kamu, maafkanlah saya."
Sang Buddha mendengar orang kaya tersebut meminta
maaf, dan dari penyelidikannya Beliau mengetahui alasannya.
Lalu Sang Buddha berkata, "Pengikutku, kamu seharusnya tidak meremehkan perbuatan baik walau sekecil apapun; perbuatan
baik yang kecil akan menjadi besar, jika kamu melakukannya
sebagai kebiasaan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 122 berikut:
Janganlah meremehkan kebajikan walaupun kecil dengan
berkata: "Perbuatan bajik tidak akan membawa akibat."
Bagaikan sebuah tempayan akan terisi penuh oleh air yang
dijatuhkan setetes demi setetes,
dijatuhkan setetes demi setetes,
demikian pula orang bijaksana sedikit demi sedikit
memenuhi dirinya dengan kebajikan.
IX-8-Kisah Mahadhana
Mahadhana adalah seorang pedagang kaya dari Savatthi. Pada
suatu kesempatan,limaratus perampok telah merencanakan untuk merampoknya, tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan
untuk merampoknya.
Pada saat lain para perampok itu mendengar bahwa
pedagang Mahadhana akan segera bepergian denganlimaratus
kereta penuh dengan barang-barang berharga. Pedagang
Mahadhana juga mengajak bhikkhu-bhikhu yang akan bepergian
pada tujuan yang sama untuk pergi bersama dengannya. Dan dia berjanji untuk memperhatikan kebutuhan bhikkhu-bhikkhu
selama dalam perjalanan. Lalu kelimaratus bhikkhu pergi
bersama dengannya.
Perampok-perampok memperoleh berita perjalanan
mereka dan pergi mendahului di depan untuk menunggu
rombongan pedagang. Tetapi pedagang itu berhenti di pinggir
hutan tempat perampok-perampok itu sedang menunggu.
Rombongan akan melanjutkan perjalanannya setelah bermalam
beberapa hari. Perampok-perampok memperoleh berita keberangkatan
mendatang, dan membuat persiapan untuk merampok
rombongan tersebut. Pedagang juga mendengar kabar gerakan
penjahat-penjahat tersebut dan memutuskan untuk kembali ke
rumah. Penjahat-penjahat sekarang mendengar bahwa pedagang
akan pulang ke rumah, lalu mereka menunggu di jalan yang
menuju rumah. Beberapa orang desa mengirim berita kepada
pedagang mengenai gerakan para penjahat, dan akhirnya
pedagang memutuskan untuk tinggal di desa beberapa waktu.
Ketika pedagang memberitahu keputusannya kepada para
bhikkhu, bhikkhu-bhikkhu itu sendiri pulang kembali ke Savatthi.
Sesampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu menemui Sang
Buddha dan memberitahu Beliau perihal tertunda-nya perjalanan mereka. Kepada mereka, Sang Buddha berkata: "Parabhikkhu,
Mahadhana menghindar dari perjalanan yang dikepung oleh para penjahat. Seseorang yang tidak ingin meninggal dunia
menghindar dari racun.Parabhikkhu bijaksana, yang menyadari
bahwa tiga tingkat alam kehidupan serupa dengan perjalanan
yang dikepung dengan bahaya, hendaknya berusaha keras
menghindar dari berbuat jahat."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 123 berikut:
Bagaikan seorang saudagar yang dengan sedikit pengawal
membawa banyak harta,
menghindari jalan yang berbahaya,
demikian pula orang yang mencintai hidup,
hendaknya menghindari racun dan hal-hal yang jahat.
Lima ratus bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
IX-9-Kisah Kukkutamitta
Di Rajagaha terdapat seorang putri orang kaya yang telah
mencapai tingkat kesucian sotapatti pada usia yang masih muda.
Suatu hari, Kukkutamitta, seorang pemburu datang
kekotadengan kereta untuk menjual daging rusa. Melihat
Kukkutamitta, si pemburu itu, wanita kaya yang masih muda ini jatuh hati seketika.
Dia mengikuti Kukkutamitta, menikah dengannya dan
berumah tangga di sebuah desa kecil. Dari hasil perkawinannya, lahirlah tujuh orang anak laki-laki, dan setelah tiba waktunya semua anak mereka menikah.
Suatu hari, Sang Buddha meninjau sekeliling alam
kehidupan pada dini hari dengan kemampuan batin luar biasaNya. Beliau menemukan bahwa si pemburu, ketujuh putranya
dan istri-istri mereka sudah memiliki kesiapan batin untuk
mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Paginya, Sang Buddha pergi ke tempat di mana pemburu
telah menyusun perangkap buruannya di dalam hutan. Sang
Buddha meletakkan jejak kaki Beliau di dekat perangkap, lalu duduk di bawah semak-semak yang rindang, tidak jauh dari
perangkap tersebut.
Ketika pemburu datang, dia melihat tidak ada binatang di
dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan
dalam perangkap. Sebaliknya, dia melihat jejak kaki dan
menduga bahwa seseorang telah datang sebelumnya dan
melepaskan binatang tersebut.
Ketika dia melihat Sang Buddha duduk di bawah semaksemak yang rindang, dia mengira Beliaulah orang yang telah
melepaskan binatang dari dalam perangkap. Dengan marah
pemburu itu mengeluarkan busur dan anak panahnya untuk
memanah Sang Buddha.
Tetapi sewaktu dia menarik anak panahnya, dia menjadi
tidak bisa bergerak dan tetap berdiam pada posisi seperti
patung. Anak-anak pemburu itu menyusul dan menemukan ayah
mereka. Mereka juga melihat Sang Buddha pada jarak tertentu
dan mengira Beliau pastilah musuh ayah mereka. Mereka semua
mengambil busur-busur dan anak-anak panah, dan mereka
membidik Sang Buddha. Tetapi mereka juga tidak bisa bergerak dan menjadi seperti patung.
Ketika pemburu dan putra-putranya tidak kembali, istri
pemburu menyusul mereka ke dalam hutan bersama dengan
ketujuh menantunya. Melihat suami dan semua anaknya dengan
anak panah mereka membidik Sang Buddha, dia mengangkat
kedua tangannya dan berteriak, "Jangan membunuh ayahku."
Ketika sang suami mendengar kata-kata istrinya, dia
berpikir "Ini pastilah ayah mertua saya", dan anak-anaknya
berpikir "Ini pastilah kakek kami", dan kemudian cinta kasih timbul pada mereka.
timbul pada mereka.
Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, "Singkirkan
busur dan anak-anak panah kalian, dan beri penghormatan
kepada ayah saya."
Sang Buddha menyadari bahwa pada waktu itu, pikiran
pemburu dan ketujuh anaknya melembut dan mereka tergerak
menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah mereka.
Setelah menyingkirkan busur-busur dan anak-anak panah
mereka, mereka memberi penghormatan kepada Sang Buddha
dan Sang Buddha menjelaskan ajaran Dhamma kepada mereka.
Akhirnya pemburu, ketujuh putranya, dan ketujuh
menantunya, semua berjumlahlimabelas, mencapai tingkat
kesucian sotapatti.
Kemudian Sang Buddha pulang kembali ke vihara, dan
memberi tahu kepada Ananda Thera dan bhikkhu-bhikkhu lain
perihal Kukkutamita dan keluarganya yang telah mencapai
tingkat sotapatti pada dini hari.
Parabhikkhu kemudian bertanya kepada Sang Buddha,
"Bhante, apakah istri pemburu yang telah mencapai sotapanna, tidak bersalah melakukan pembunuhan; jika dia mengembalikan
barang-barang seperti jaring, busur-busur, dan anak panah untuk keperluan suaminya pada saat hendak berburu?"
Terhadap pertanyaan itu, Sang Buddha menjawab,
"Parabhikkhu, para sotapanna tidak membunuh, mereka tidak
mengharapkan yang lain terbunuh. Istri pemburu itu hanya
menuruti kemauan suaminya mengambil barang-barang untuknya.
menuruti kemauan suaminya mengambil barang-barang untuknya.
Seperti halnya tangan tidak luka, tangan itu tidak dapat dimasuki racun. Juga karena dia tidak mempunyai niat melakukan
kejahatan, maka dia tidak melakukan kejahatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 124 berikut:
Apabila seseorang tidak mempunyai luka di tangan,
maka ia dapat menggenggam racun.
Racun tidak akan mencelakakan orang yang tidak luka.
Tiada penderitaan bagi orang yang tidak berbuat jahat.
IX-10-Kisah Koka Si Pemburu
Suatu pagi, saat Koka pergi berburu dengan anjing-anjing
pemburunya, dia melihat seorang bhikkhu memasukikotauntuk
berpindapatta. Pemburu mengira bahwa hal itu merupakan
pertanda buruk dan menggerutu pada dirinya sendiri: "Sejak
saya melihat pemandangan ini, saya mengira saya tidak akan
mendapatkan hasil buruan apapun hari ini", dan dia melanjutkan perjalanannya. Seperti dugaannya, dia tidak memperoleh
apapun. Pada perjalanan pulang, dia melihat kembali bhikkhu yang
sama sedang berjalan pulang ke vihara setelah menerima dana
makanan dikota. Pemburu itu menjadi sangat marah. Ia
melepaskan anjing-anjing pemburunya ke arah bhikkhu tersebut.
Dengan cepat bhikkhu itu memanjat pohon yang tidak dapat
dijangkau oleh anjing pemburu. Kemudian si pemburu pergi ke
bawah pohon dan menusuk tumit kaki bhikkhu tersebut dengan
ujung anak panahnya.
Bhikkhu itu sangat kesakitan dan tidak mampu lagi
memegang jubahnya. Jubahnya terlepas dan jatuh menutupi si


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemburu yang berada di bawah pohon.
Anjing-anjing melihat jubah kuning terjatuh mengira bahwa
bhikkhu tersebut telah jatuh dari pohon. Segera anjing-anjing tersebut menyambar jubah kuning dan tubuh yang terbalut di
dalamnya, menggigit dan mengguling-gulingkannya dengan penuh kemarahan.
Bhikkhu itu, dari persembunyiannya di atas pohon
mematahkan sebuah ranting pohon yang kering untuk menghalau
anjing-anjing itu. Akhirnya anjing-anjing itu mengetahui bahwa mereka telah menyerang tuan mereka sendiri, bukan bhikkhu,
dan mereka berlarian ke dalam hutan.
Bhikkhu tersebut turun dari atas pohon, dan menemukan si
pemburu telah meninggal dunia. Ia merasa menyesal atasnya.
Bhikkhu itu juga bertanya dalam hatinya apakah dirinya
bertanggung jawab atas kematian si pemburu karena tertutup
oleh jubah kuningnya"
Kemudian bhikkhu itu menghadap Sang Buddha untuk
menjernihkan keragu-raguannya. Sang Buddha berkata: "AnakKu, pastikan dan janganlah ragu-ragu bahwa kamu tidak
bertanggung jawab atas kematian pemburu. Pelaksanaan moral
(sila) kamu juga tidak tercemari oleh kematian itu. Lagipula, pemburu itu mempunyai perbuatan keliru terhadap orang yang
tidak berbuat salah, sehingga ia memperoleh keadaan akhir yang menyedihkan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 125 berikut:
Barangsiapa berbuat jahat terhadap orang baik, orang
suci, dan orang yang tidak bersalah,
maka kejahatan akan berbalik menimpa orang bodoh itu,
bagaikan debu yang dilempar melawan angin.
bagaikan debu yang dilempar melawan angin.
Bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian arahat setelah
khotbah Dhamma itu berakhir.
IX-11-Kisah Tissa Thera
Ada seorang penggosok permata dan istrinya tinggal di Savatthi.
Disanajuga berdiam seorang Thera yang telah mencapai tingkat kesucian arahat. Setiap hari pasangan ini memberi dana makanan kepada thera itu.
Suatu hari ketika penggosok permata itu sedang
memegang daging, utusan Raja Pasenadi dari Kosala tiba dengan membawa sebutir ruby, yang meminta untuk dipotong, dan
diasah sampai mengkilap. Si penggosok permata tersebut
mengambil ruby dengan tangannya yang telah terkena darah, dan meletakkannya di atas meja serta pergi ke dalam rumah untuk
mencuci tangannya.
Burung peliharaan keluarga ini melihat darah melumuri ruby
dan mengira barang itu adalah sepotong daging, lalu mematuk
serta menelannya di hadapan sang thera.
Ketika penggosok permata selesai mencuci tangannya, dia
menemukan bahwa ruby tersebut telah hilang. Dia bertanya
kepada istri dan anaknya, dan mereka menjawab bahwa mereka
tidak mengambilnya. Kemudian dia bertanya kepada sang thera
dan mendapat jawaban bahwa sang thera tidak mengambilnya,
tetapi dia merasa tidak puas. Karena tidak ada orang lain kecuali sang thera di dalam rumah. Penggosok permata berkesimpulan
pastilah sang thera yang telah mengambil ruby yang berharga
tersebut. Lalu dia memberi tahu istrinya bahwa dia harus
menyiksa sang thera agar mengakui sebagai pencurinya.
Tetapi istrinya menjawab: "Thera ini telah menjadi
pembimbing dan guru kita selama dua belas tahun, dan kita tidak pernah melihat thera itu melakukan perbuatan jahat apa pun,
janganlah menuduh thera itu. Lebih baik kita menerima hukuman dari raja daripada menuduh orang suci."
Tetapi si suami tidak mendengarkan kata-kata istrinya. Dia
mengambil tali dan mengikat thera itu serta memukulnya berkali-kali dengan sebuah tongkat, sehingga sangat banyak darah
mengalir dari kepala, telinga, dan hidung. Darah itu berceceran jatuh ke lantai.
Burung penggosok permata melihat darah, lalu berharap
untuk mematuknya, burung itu datang mendekat sang thera. Si
penggosok permata yang pada saat itu sangat marah, menyepak
burung dengan seluruh kekuatannya, sehingga burung itu mati
seketika. Kemudian thera itu berkata, "Lihatlah, apakah burung itu
mati atau tidak?"
Penggosok permata menjawab: "Kamu juga seharusnya
mati seperti burung itu."
Ketika sang thera yakin bahwa burung itu telah mati, dia
menjawab dengan pelan: "Muridku, burung itulah yang menelan
ruby tersebut."
Mendengar itu, penggosok permata membelah badan
Mendengar itu, penggosok permata membelah badan
burung tersebut, dan menemukan ruby di dalam perutnya.
Kemudian penggosok permata menyadari bahwa dia telah
bersalah dan menggigil ketakutan. Dia memohon kepada sang
thera untuk mengampuninya dan terus menerima dana makanan
di muka pintu rumahnya.
Thera itu menjawab, "Muridku, ini bukanlah kesalahanmu
dan juga bukan kesalahanku. Ini terjadi disebabkan oleh apa
yang telah kita perbuat dalam kehidupan lampau. Hanyalah
hutang kita dalam proses kehidupan (samsara). Saya tidak sakit hati terhadapmu, fakta ini terjadi karena saya memasuki rumah.
Mulai hari ini, saya tidak akan memasuki rumah manapun, saya hanya akan berdiri di muka pintu."
Segera setelah mengatakan hal ini, sang thera meninggal
dunia akibat luka-lukanya.
Mendengar kejadian itu, bhikkhu-bhikkhu bertanya
kepada Sang Buddha dimana pelaku kisah di atas akan terlahir kembali"
Sang Buddha menjawab, "Burung itu terlahir kembali
sebagai putra penggosok permata; penggosok permata terlahir
kembali di alam neraka (Niraya); istri penggosok permata
terlahir kembali di salah satu alam dewa; dan sang thera, yang telah mencapai tingkat kesucian arahat pada kehidupannya saat ini, merealisasi "Kebebasan Akhir" (parinibbana)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 126 berikut:
Sebagian orang terlahir melalui kandungan;
Sebagian orang terlahir melalui kandungan;
pelaku kejahatan terlahir di alam neraka;
orang yang berkelakuan baik pergi ke surga;
dan orang yang bebas dari kekotoran batin mencapai
nibbana. IX-12-Kisah Tiga Kelompok Orang
Kelompok pertama: Sekelompok bhikkhu dalam perjalanan
mereka untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.
Mereka berhenti di sebuah desa. Beberapa orang memasak
makanan untuk didanakan kepada para bhikkhu. Salah satu
rumah terbakar dan alarm kebakaran berkumandang di udara.
Pada saat itu, seekor burung gagak terbang mendekat dan
mematuk alarm kebakaran, lalu jatuh mati di tengah-tengah
desa.Parabhikkhu melihat burung gagak yang telah mati
berpendapat bahwa hanya Sang Buddha-lah yang dapat
menjelaskan kejahatan apa yang telah dilakukan burung gagak
sehingga ia mati dengan cara itu.
Setelah menerima dana makanan, mereka melanjutkan
perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang
Buddha, dan juga untuk bertanya mengenai burung gagak
yangmalang. Kelompok kedua: Kelompok bhikkhu lain yang sedang
mengadakan perjalanan dengan sebuah kapal. Mereka juga
dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan kepada Sang
Buddha, ketika mereka sedang berada di tengah lautan,
kapalnya tidak dapat bergerak. Lalu undian dilakukan untuk
menemukan siapa yang membuat sial. Tiga kali undian menimpa
istri kapten. Kapten kapal berkata dengan sedih, "Banyak orang yang
seharusnya tidak meninggal dunia karena wanita yang membuat
sial ini; ikat sebuah pot penuh dengan pasir ke leher wanita ini dan lempar dia ke dalam laut sehingga saya tidak akan
melihatnya lagi."
Wanita itu dilempar ke dalam laut sesuai perintah kapten
dan kapal pun dapat bergerak kembali.
Setibanya di tempat tujuan mereka, para bhikkhu turun
dari kapal dan melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang
Buddha. Mereka berniat bertanya kepada Sang Buddha,
perbuatan jahat apa yang menyebabkan wanitamalangitu
dilempar ke laut.
Kelompok ketiga: Sekelompok bhikkhu yang terdiri dari
tujuh bhikkhu dalam perjalanan untuk melakukan penghormatan
kepada Sang Buddha. Mereka meminta keterangan pada sebuah
vihara di mana terdapat tempat yang layak untuk berteduh pada malam hari di sekitarsana. Kepada mereka ditunjukkan sebuah
gua, dan disana mereka bermalam.
Tetapi di tengah malam sebuah batu karang besar jatuh
dari atas dan menutupi pintu masuk gua.
Pada pagi harinya, bhikkhu-bhikkhu dari vihara di sekitar
situ datang ke gua melihat apa yang terjadi dan mereka
membawa orang-orang dari tujuh desa. Dengan bantuan
penduduk desa, mereka mencoba menggeser batu karang
tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, tersebut. Tetapi usaha itu tidak ada gunanya. Dengan demikian, ketujuh bhikkhu terjebak di dalam gua tanpa makanan dan
minuman selama tujuh hari.
Pada hari ke tujuh, batu karang itu secara ajaib bergerak
sendiri, dan para bhikkhu bisa keluar dari gua, serta melanjutkan perjalanan mereka menghadap Sang Buddha. Mereka juga
berniat bertanya kepada Beliau, kejahatan apa yang telah
mereka perbuat sebelumnya sehingga mereka terkurung selama
tujuh hari di dalam gua.
Ketiga kelompok yang melakukan perjalanan itu bertemu
dalam perjalanan dan mereka bersama-sama menghadap Sang
Buddha. Tiap kelompok menceritakan kepada Sang Buddha
apa yang telah mereka lihat atau alami dalam perjalanannya.
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok pertama:
"Parabhikkhu, dahulu kala ada seorang petani yang mempunyai
seekor lembu jantan. Lembu jantan tersebut sangat malas dan
juga sangat keras kepala. Lembu tersebut tidak dapat dibujuk untuk melakukan pekerjaan apapun, dia hanya berbaring
mengunyah jerami atau tidur. Petani tersebut tiap kali kehilangan kesabaran disebabkan kemalasan dan keras kepalanya hewan
tersebut. Dengan marah dia mengikat tali jerami di sekeliling leher lembu dan membakarnya, lembu jantan itupun mati.
Disebabkan oleh kejahatan ini, petani tersebut menderita lama sekali di alam neraka (Niraya) dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia mati terbakar pada akhir kehidupan yang ketujuhnya."
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua:
Sang Buddha menjawab pertanyaan kelompok kedua:
"Parabhikkhu, saat itu terdapat seorang wanita yang mempunyai anjing peliharaan. Dia selalu membawa anjing tersebut
bersamanya ke manapun dia pergi. Dikotaitu terdapat pemudapemuda yang selalu menggoda wanita itu dan anjingnya, sehingga dia sangat marah, dan merasa malu. Akhirnya ia merencanakan
untuk membunuh anjingnya. Dia mengisi sebuah pot dengan
pasir, mengikatkan di leher anjingnya, melemparkannya ke dalam sungai, dan anjing itupun tenggelam. Akibat dari perbuatan jahat ini, wanita tersebut menderita dalam waktu lama di alam neraka (Niraya), dan untuk memenuhi sisa akibat perbuatan jahatnya, dia telah dilempar ke dalam laut, dan tenggelam pada akhir
kehidupan yang keseratusnya".
Sang Buddha menjawab pada kelompok ketiga:
"Parabhikkhu, saat itu tujuh orang gembala melihat seekor iguana masuk ke dalam anak bukit, dan mereka menutup ketujuh jalan
keluar dari anak bukit tersebut dengan ranting-ranting dan
cabang-cabang pohon. Setelah menutup ketujuh jalan keluar,
mereka pergi serta melupakan iguana yang terperangkap di
dalam anak bukit tersebut. Tujuh hari kemudian, mereka teringat apa yang telah mereka lakukan dan dengan cepat kembali ke
tempat perbuatan usil mereka dan mengeluarkan iguana tersebut.
Akibat dari perbuatan jahat ini, ketujuh orang itu telah terkurung bersama selama tujuh hari tanpa makanan dan minuman pada
akhir kehidupan yang keempatbelasnya."
Kemudian para bhikkhu berkata, "O memang benar!
Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang Tidak ada tempat pelarian dari akibat kejahatan bagi orang yang telah melakukan perbuatan jahat, walaupun dia berada di langit, atau di dalam samudra, ataupun di dalam gua".
Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Benar, bhikkhu!
Kamu benar, walaupun di langit atau di mana saja, tidak ada
tempat yang tidak terjangkau oleh akibat kejahatan."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 127 berikut:
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga,
dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat
menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya.
Semua bhikkhu tersebut mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
IX-13-Kisah Raja Suppabuddha
Raja Suppabuddha adalah ayah dari Devadatta dan ayah mertua
dari Pangeran Siddhatta, yang kemudian menjadi Buddha
Gotama. Raja Suppabuddha sangat membenci Sang Buddha karena
dua alasan. Pertama, karena Pangeran Siddhattha telah
meninggalkan istrinya, Yasodhara, putri Raja Suppabuddha,
untuk melepaskan keduniawian.
Dan kedua, karena putranya, Devadatta, yang telah
diterima dalam pasamuan Sangha oleh Sang Buddha,
menganggap Sang Buddha sebagai musuh utamanya.
Suatu hari ia mengetahui bahwa Sang Buddha akan datang
untuk berpindapatta. Raja Suppabuddha minum-minuman yang
memabukkan, sehingga dirinya mabuk dan menutup jalan.
Ketika Sang Buddha dan para bhikkhu datang, Raja
Suppabuddha menolak untuk memberikan jalan masuk, dan
mengirim pesan yang berbunyi, "Saya tidak dapat memberikan
jalan kepada Samana Gotama, yang jauh lebih muda daripada
saya". Melihat jalan masuk telah ditutup, Sang Buddha dan para
bhikkhu pulang kembali. Kemudian Raja Suppabuddha mengirim
seseorang untuk mengikuti Sang Buddha secara sembunyisembunyi, dan mencari keterangan apa yang dikatakan oleh
sembunyi, dan mencari keterangan apa yang dikatakan oleh
Sang Buddha serta melaporkan kepadanya.
Setelah Sang Buddha tiba, Beliau berkata kepada
Ananda, "Ananda, karena perbuatan jahat Raja Suppabuddha
yang menyebabkan ia menolak memberi jalan kepada saya, tujuh hari mendatang sejak saat ini dia akan ditelan bumi, di kaki tangga menuju puncak bangunan istananya."
Mata-mata raja mendengar hal tersebut dan melaporkan
kepada raja. Raja berkata bahwa dia tidak akan pergi ke dekat tangga tersebut, dan akan membuktikan kata-kata Sang Buddha
adalah tidak benar.
Kemudian raja memerintahkan pelayannya untuk
memindahkan tangga tersebut, sehingga dia tidak akan
menggunakannya. Dia juga menyuruh pelayan yang bertugas
memberitahu untuk memegangnya jika dia pergi ke arah kaki
tangga. Ketika Sang Buddha memperoleh keterangan perihal
perintah raja kepada anak buahnya tersebut di atas, Beliau
berkata, "Parabhikkhu! Walaupun Raja Suppabuddha tinggal di
puncak bangunan, atau di atas langit, atau di dasar laut, atau di dalam goa, kata-kata saya tidak akan keliru. Raja Suppabuddha akan ditelan bumi di tempat yang telah saya katakan pada
kalian." Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 128 berikut:
Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di manapun juga,
di manapun juga,
dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat
menyembunyikan diri dari kematian.
Pada hari ketujuh, kira-kira pada waktu makan, kuda
kerajaan ketakutan dengan alasan yang tidak diketahui, dan
mulai meringkik dengan keras serta menendang-nendang dengan
sangat marah. Mendengar suara ringkikan dari kudanya, Raja
merasa dia harus menangani kuda peliharaannya, dan ia
melupakan semua pencegahan terhadap bahaya. Dia mulai
menuju pintu. Pintu terbuka dengan sendirinya, tangga yang telah dipindahkan sebelumnya juga masih di tempatnya semula,
pelayan lupa mencegahnya untuk tidak turun. Kemudian Raja
menuruni tangga dan segera dia melangkah di atas bumi. Bumi
terbuka dan menelannya serta menyeretnya ke alam neraka Avici (Avici Niraya).
X-1-Kisah Kelompok Enam Bhikkhu
Suatu ketika terdapat tujuh belas bhikkhu sedang membersihkan suatu bangunan komplek Vihara Jetavana dengan tujuan agar
dapat menempatinya. Pada saat yang bersamaan tiba di tempat
itu pula kelompok enam bhikkhu. Kelompok enam bhikkhu
mengatakan kepada kelompok pertama, "Kami adalah senior
kalian, jadi sebaiknya kalian memberi kemudahan kepada kami, tempat ini akan kami pergunakan." Kelompok tujuh belas
bhikkhu tidak mau memberikan tempat tersebut, sehingga
chabbaggi bhikkhu memukuli mereka dan membuat mereka
berteriak-teriak kesakitan.
Sang Buddha mendengar perihal itu, kemudian Beliau
memberi teguran kepada mereka, dan menetapkan peraturan


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa bhikkhu tidak boleh memukul bhikkhu lain.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 129 berikut:
Semua orang takut akan hukuman;
semua orang takut akan kematian.
Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri,
hendaknya seseorang tidak membunuh atau
mengakibatkan pembunuhan.
X-2-Kisah Kelompok Enam Bhikkhu
Beberapa saat setelah kejadian pertama di atas, kedua
kelompok bhikkhu yang sama sedang berada pada suatu tempat.
Setelah larangan untuk memukul sesama bhikkhu ditetapkan,
kelompok enam bhikkhu melakukan ancaman terhadap
kelompok tujuh belas bhikkhu dengan cara mengangkat tangan
mereka. Kelompok tujuh belas bhikkhu yang lebih junior
daripada kelompok enam bhikkhu lari ketakutan.
Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau menetapkan
peraturan bahwa para bhikkhu dilarang mengangkat tangannya
untuk mengancam.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 130 berikut:
Semua orang takut akan hukuman;
semua orang mencintai kehidupan.
Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri,
hendaknya seseorang tidak membunuh atau
mengakibatkan pembunuhan.
X-3-4-Kisah Para Pemuda
Suatu waktu, Sang Buddha sedang menerima dana makanan di
Savatthi. Ketika itu Beliau berjalan melewati sekelompok
pemuda yang sedang memukul ular dengan tongkat. Sang
Buddha bertanya kepada mereka perihal itu, dan mereka
menjawab, mereka memukul ular itu karena takut ular itu
menggigitnya. Kepada mereka, Sang Buddha berkata, "Jika
kalian tidak ingin luka, seharusnya kalian tidak melukai yang lain, jika kalian melukai mereka, kalian tidak akan mendapat
kebahagiaan. Juga di kelak kemudian hari." Kemudian Sang
Buddha membabarkan syair 131 dan 132 berikut ini:
Barang siapa mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri
dengan jalan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan
kebahagiaan, maka setelah mati ia tak akan memperoleh kebahagiaan.
Barang siapa mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri
dengan jalan tidak menganiaya makhluk lain yang juga
mendambakan kebahagiaan,
maka setelah mati ia akan memperoleh kebahagiaan.
X-5,6Kisah Kondadhana Thera
Sejak Kondadhana Thera diterima dalam pasamuan Sangha, ada
bayangan wanita yang selalu mengikuti beliau. Bayangan ini
hanya dapat dilihat oleh orang lain, sedangkan Kondadhana
Thera sendiri tidak melihatnya.
Ketika beliau berpindapatta, orang-orang memberikan dua
sendok makanan kepada beliau, dengan mengatakan, "Ini untuk
Bhante, dan yang ini untuk wanita yang mengikuti Bhante."
Melihat seorang bhikkhu bepergian dengan seorang
wanita, para penduduk menghadap kepada Raja Pasenadi dari
Kosala dan melaporkan perihal bhikkhu dengan wanita tersebut,
"O, Raja, usir saja bhikkhu itu dari kerajaanmu karena beliau tidak memiliki moral." Raja segera pergi ke vihara tempat
bhikkhu itu berdiam dan para pengawalnya mengepung vihara
tersebut. Mendengar suara ribut, bhikkhu itu keluar dan berdiri di
depan pintu, dan bayangan wanita itu berada tidak jauh dari
bhikkhu tersebut. Mengetahui raja yang datang, bhikkhu tersebut masuk dan menunggu di dalam. Raja masuk ke dalam ruangan,
dan bayangan wanita itu tidak terdapat dalam tempat itu.
Kemudian Raja bertanya kepada bhikkhu itu, di mana
wanita tersebut berada, bhikkhu itu menjawab bahwa ia tidak
melihat wanita.
melihat wanita.
Raja menginginkan kepastian, ia menyuruh bhikkhu
tersebut keluar ruangan. Kemudian bhikkhu tersebut keluar
ruangan, dan ketika raja melihat keluar tertampak bayangan
wanita di dekat bhikkhu itu.
Akan tetapi ketika bhikkhu memasuki ruangan kembali,
bayangan tersebut tidak diketemukan. Raja kemudian
mengatakan bahwa wanita itu tidak benar-benar ada, dan
bhikkhu tersebut tidak bersalah. Raja mengundang bhikkhu itu untuk datang ke istana, dan menerima dana makanan setiap hari.
Ketika bhikkhu lain mendengar hal itu, mereka ragu-ragu
dan bingung, dan mereka berkata kepada Kondadhana Thera:
"O, bhikkhu yang tidak bermoral! Sekarang raja akan
menyuruhmu keluar dari kerajaan ini setelah engkau menerima
dana makanan, karena engkau bersalah!"
Kondadhana Thera berkata dengan pedas: "Hanya engkau
satu-satunya yang tidak bermoral, hanya kamu yang bersalah,
sebab hanya engkau yang bepergian dengan wanita!"
Parabhikkhu kemudian menceritakan masalah ini kepada
Sang Buddha. Sang Buddha mengundang Kondadhana Thera dan
bertanya, "Anakku, apakah engkau melihat wanita bersama
dengan para bhikkhu ketika engkau berbicara dengan mereka"
Apakah engkau melihat wanita bersama mereka seperti mereka
melihat engkau bersama wanita. Saya mengetahui bahwa engkau
tidak menyadari telah menciptakan masalah sebagai akibat
tidak menyadari telah menciptakan masalah sebagai akibat
perbuatan jahatmu dalam kehidupan yang lampau. Sekarang
dengarlah, Saya akan menjelaskan kepadamu mengapa ada
bayangan wanita yang mengikuti dirimu. Engkau adalah dewa
dalam kehidupan lampaumu. Pada waktu itu ada dua orang
bhikkhu yang sangat akrab. Engkau berusaha membuat masalah
di antara mereka berdua, engkau menyamar sebagai seorang
wanita yang mengikuti salah seorang bhikkhu itu. Atas
perbuatanmu itu, engkau sekarang dikuti oleh bayangan wanita.
Jadi, selanjutnya engkau jangan berdebat dengan bhikkhu lain atas permasalahan itu. Diamlah seperti gong yang pecah, dan
engkau akan merealisasi nibbana."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 133 dan 134
berikut ini: Jangan berbicara kasar kepada siapapun,
karena mereka yang mendapat perlakuan demikian,
akan membalas dengan cara yang sama.
Sungguh menyakitkan ucapan kasar itu, yang pada
gilirannya akan melukaimu.
Apabila engkau berdiam diri bagaikan sebuah gong pecah,
berarti engkau telah mencapai nibbana,
sebab keinginan membalas dendam tak terdapat lagi dalam
dirimu. X-7-Kisah Para Wanita yang
Melaksanakan Peraturan Moral
Suatu ketikalimaratus wanita dari Savatthi berkunjung ke Vihara Pubbarama untuk melaksanakan tekad peraturan moral
uposatha. Pendiri vihara itu adalah seorang wanita terkenal, Visakha, bertanya kepada kelompok-kelompok wanita itu
mengapa mereka datang untuk melaksanakan kewajiban hari
uposatha. Visakha memperoleh jawab berbeda-beda dari
kelompok-kelompok wanita yang berbeda jenjang usianya,
karena mereka datang dengan alasan yang bermacam-macam.
Kelompok wanita yang jenjang usianya sudah tua
melaksanakan kewajiban hari uposatha karena berharap
memperoleh keuntungan/rejeki dan kebahagiaan surgawi lahir
kembali sebagai dewa setelah meninggal dunia.
Kelompok wanita yang berjenjang usia setengah baya
berharap tidak tinggal bersama dalam satu rumah dengan istri lain dari sang suami tercinta.
Kelompok wanita yang baru menikah berharap
mendapatkan anak pertama laki-laki, dan kelompok wanita yang belum menikah berharap bisa menikah dengan suami yang baik.
Mendapat jawab seperti itu, Visakha membawa para
wanita tersebut menghadap Sang Buddha. Ketika Visakha
wanita tersebut menghadap Sang Buddha. Ketika Visakha
memberitahukan kepada Sang Buddha tentang jawaban yang
bermacam-macam dari kelompok-kelompok wanita itu, Sang
Buddha berkata, "Visakha! Kelahiran, ketuaan, dan kematian
selalu terjadi pada setiap makhluk hidup, karena setiap makhluk yang dilahirkan, ia akan menjadi subjek dari ketuaan, dan
kelapukan, dan akhirnya kematian. Saat ini para wanita itu belum mengharapkan kebebasan dari lingkaran tumimbal lahir
(samsara), mereka masih menyukai dan terikat dengan lingkaran tumimbal lahir (samsara)."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 135 berikut:
Bagaikan seorang penggembala menghalau sapinya dengan
tongkat ke padang rumput,
begitu juga umur tua dan kematian menghalau kehidupan
setiap makhluk.
X-8-Kisah Peta Ular
Suatu ketika, Maha Moggalana Thera pergi ke bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera, Moggalana Thera melihat makhluk
halus setan berwujud ular dan ia tersenyum, tetapi tidak
mengatakan apapun. Ketika mereka kembali ke Vihara
Jetavana, Maha Moggalana Thera bercerita kepada Lakkhana
Thera di hadapan Sang Buddha perihal makhluk halus yang
memiliki tubuh panjang dan dikelilingi oleh api tersebut.
Sang Buddha kemudian mengatakan, setelah Beliau
mencapai Penerangan Sempurna, Beliau juga telah bertemu
dengan bermacam peta, tetapi Beliau tidak memberitahukan
keberadaan makhluk halus itu kepada penduduk karena mungkin
tidak mempercayainya, dan mereka bisa beranggapan keliru
terhadap Sang Buddha.
Demi kasih sayangnya terhadap semua makhluk hidup,
maka Sang Buddha berdiam diri. Kemudian Beliau melanjutkan,
"Sekarang aku telah mempunyai saksi yaitu Moggalana, saya
akan menceritakan tentang peta ular ini."
"Pada masa hidup Buddha Kassapa, peta itu terlahir
menjadi seorang pencuri yang sangat kejam, dia membakar
rumah orang kaya sebanyak tujuh kali. Tidak puas terhadap hal itu, dia juga membakar kuti harum Buddha Kassapa yang
dibangun oleh orang kaya tersebut pada saat Buddha Kassapa
sedang pergi berpindapatta. Sebagai akibat perbuatan jahatnya, dia mengalami penderitaan dalam waktu lama di alam neraka
(niraya). Sekarang dia terlahir sebagai peta yang memiliki badan yang terbakar oleh kobaran api ke atas dan ke bawah sepanjang badannya.Parabhikkhu, orang bodoh bila melakukan kejahatan
tidak mengerti bahwa perbuatan itu adalah perbuatan jahat;
tetapi mereka tetap tidak akan dapat terlepas dari akibat
kejahatannya itu."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 136 berikut:
Apabila orang bodoh melakukan kejahatan,
ia tak mengerti akan akibat perbuatannya.
Orang bodoh akan tersiksa oleh perbuatannya sendiri,
seperti orang yang terbakar oleh api.
X-9-12.Kisah Maha Moggallana Thera
Suatu saat petapa Nigantaha merencanakan untuk membunuh
Maha Moggalana Thera dengan tujuan akan menghilangkan
kemashuran dan keberuntungan Sang Buddha. Mereka
menyewa para perampok untuk membunuh Maha Moggalana
yang kala itu berdiam di Kalasila dekat Rajagaha.
Perampok itu mengepung vihara tempat Maha Moggalana
Thera berdiam, tetapi Maha Moggalana dengan kemampuan
batin luar biasanya dapat menghilang, sehingga mereka tidak
dapat menangkap Maha Moggalana dalam waktu dua bulan.
Ketika para perampok kembali mengepung vihara pada
bulan ketiga, Maha Moggalana Thera mengetahui bahwa ia
harus menerima akibat perbuatan (kamma) jahat yang
dilakukannya pada salah satu kehidupan lampaunya, maka beliau tidak menggunakan kelebihan batinnya, sehingga para perampok berhasil menangkap dan menganiayanya dengan kejam. Setelah
itu tubuhnya dibuang ke semak-semak, karena dianggap telah
menjadi mayat. Dengan kekuatan batin/jhananya, Maha Moggalana dapat
bangkit kembali dan pergi menghadap Sang Buddha di Vihara
Jetavana. Tetapi Maha Moggalana juga menyadari akibat dari
penganiayaan yang dideritanya, beliau tidak akan dapat hidup lebih lama lagi. Maka beliau memberitahu Sang Buddha bahwa
beliau akan segera meninggal dunia (parinibbana) di Kalasila.
Sang Buddha kemudian menganjurkan agar beliau
membabarkan Dhamma terlebih dahulu sebelum parinibbana.
Maha Moggalana membabarkan Dhamma kepada para
bhikkhu, setelah itu bersujud (namaskara) kepada Sang Buddha sebanyak tujuh kali.
Berita wafatnya Maha Moggalana Thera di tangan para
perampok menyebar bagaikan kobaran api. Raja Ajatasattu
menyuruh orang-orangnya agar menyelidiki hal ini, mereka
berhasil menangkap para perampok dan menghukum mati
dengan cara membakarnya.
Parabhikkhu mendengar wafatnya Maha Moggalana
Thera sangat sedih dan tidak mengerti mengapa orang seperti
beliau meninggal dunia di tangan para perampok.
Kepada mereka Sang Buddha kemudian mengatakan,
"Parabhikkhu pada kehidupan saat ini beliau hidup dengan
kemuliaan sehingga beliau tidak akan mengalami kematian lagi.
Akan tetapi pada kehidupan yang lampau ia telah melakukan
kejahatan besar terhadap kedua orang tuanya yang buta keduaduanya. Pada awalnya beliau adalah seorang anak berbakti,
tetapi setelah ia menikah, istrinya membuat permasalahan,
istrinya mendorong agar ia berpisah dengan orang tuanya.
Kemudian ia membawa kedua orang tuanya yang buta pergi ke
hutan dengan pedati, disanakedua orang tuanya dibunuh dengan cara dipukul. Sebelumnya, dengan tipu muslihat ia meyakinkan kedua orang tuanya, seolah-olah mereka akan dibunuh oleh
kedua orang tuanya, seolah-olah mereka akan dibunuh oleh
penjahat. Untuk perbuatan jahat yang dilakukannya ini, ia telah menderita di alam neraka untuk waktu lama, dan pada
kehidupan saat ini beliau harus mengalami kematian di tangan perampok. Tentunya dengan melakukan perbuatan jahat
terhadap mereka yang tidak jahat, seseorang pasti akan
menderita karenanya." Kemudian Sang Buddha membabarkan
syair 137, 138, 139, dan 140 berikut ini:
Seseorang yang menghukum mereka yang tidak patut
dihukum dan tidak bersalah,
akan segera memperoleh salah satu di antara sepuluh
keadaan berikut:
Ia akan mengalami penderitaan hebat, kecelakaan, luka
berat, sakit berat, atau bahkan hilang ingatan.
Atau ditindak oleh raja,
atau mendapat tuduhan yang berat,
atau kehilangan sanak saudara,
atau harta kekayaannya habis.
Atau rumahnya musnah terbakar,
dan setelah tubuhnya hancur,
orang bodoh ini akan terlahir kembali di alam neraka.
X-13-Kisah Bhikkhu Bahubhandika
Seorang pria yang kaya di Savatthi setelah kematian istrinya mengambil keputusan untuk menjadi seorang bhikkhu. Sebelum
dia menjadi bhikkhu, dia mendirikan sebuah vihara, termasuk
dapur dan ruang penyimpanan. Dia juga membawa perabotan,
beras, minyak, mentega, dan berbagai kebutuhan sehari-harinya.
Apa pun yang dia kehendaki, pelayan-pelayan akan
memenuhinya. Jadi meskipun dia hidup sebagai bhikkhu, dia
hidup dengan berlebihan dan memiliki berbagai macam harta
sehingga beliau dikenal dengan nama "Bahubhandika".
Suatu hari bhikkhu-bhikkhu lain membawanya menghadap
Sang Buddha dan kemudian menceritakan kehidupan Bhikkhu
Bahubhandikka yang penuh dengan kemewahan sebagai mana
layaknya kehidupan orang kaya.
Sang Buddha mengatakan kepada Bahubhandika,
"Anakku, Aku mengajarkan tentang kehidupan yang sederhana,
mengapa engkau membawa begitu banyak harta milikmu?"


Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika mendapat teguran ini dia marah dan berkata,
"Bhante, aku akan hidup sebagai mana kehendak-Mu."
Kemudian dia melepas dan membuang jubah atasnya.
Melihat hal tersebut, Sang Buddha mengatakan kepada
Bahubhandika, "Anakku, pada kehidupan yang lampau engkau
adalah raksasa, meskipun sebagai raksasa tetapi engkau memiliki adalah raksasa, meskipun sebagai raksasa tetapi engkau memiliki rasa takut dan malu berbuat jahat. Akan tetapi sekarang engkau menjadi bhikkhu dalam ajaran-Ku, mengapa engkau membuang
semua rasa malu dan takut berbuat jahat itu?"
Mendengar kata-kata itu, dia menjadi sadar akan
kesalahannya. Rasa malu dan takutnya muncul kembali. Ia
memberi hormat kepada Sang Buddha serta meminta maaf,
Kemudian Sang Buddha berkata, "Berdiri di situ tanpa
jubah atas adalah tidak pantas, membuang jubah tidak membuat engkau menjadi bhikkhu yang sederhana, seorang bhikkhu juga
harus menghilangkan keragu-raguannya."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 141 berikut:
Bukan dengan cara telanjang, rambut dijalin, badan kotor
berlumpur, berpuasa, berbaring di tanah, melumuri tubuh dengan debu, ataupun berjongkok di atas tumit,
seseorang yang belum bebas dari keragu-raguan dapat
mensucikan diri.
Banyak orang pada waktu itu mencapai tingkat kesucian
sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.
Jumlah Dilihat :107
X-14-Kisah Menteri Santati
Suatu ketika Menteri Santati berhasil kembali dari penumpasan pemberontak di perbatasan. Raja Pasenadi begitu bangga
terhadapnya, memberi kekayaan dan kegemilangan kepada
menterinya serta mengadakan pesta selama 7 hari dengan para
gadis penari. Selama tujuh hari menteri itu bersenang-senang, bermabuk-mabukan, dan bergembira dengan gadis-gadis penari
muda belia. Pada hari ketujuh, dengan menunggang gajah kerajaan, dia
pergi mandi ke tepi sungai. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan Sang Buddha yang sedang berpindapatta.
Santati menganggukkan badannya sebagai tanda menberi
hormat kepada Sang Buddha.
Sang Buddha tersenyum, dan Ananda bertanya mengapa
Sang Buddha tersenyum. Lalu Sang Buddha berkata, "Ananda,
menteri ini akan menemuiku hari ini, dan setelah aku memberikan sedikit pelajaran, dia akan mencapai tingkat kesucian arahat dan kemudian dia akan meninggal dunia (parinibbana)."
Pesta Menteri Santati berlangsung sepanjang hari di tepi
sungai, mandi, makan minum dan menyenangkan hati mereka.
Pada sore hari pestanya berlangsung di taman, minum lebih
banyak dan menari dengan gadis penari.
Gadis penari mencoba untuk menyenangkan menteri,
Gadis penari mencoba untuk menyenangkan menteri,
Kisah Sepasang Bayangan Dewa 5 Asmara Berdarah karya Kho Ping Hoo Pedang Tanpa Perasaan 14

Cari Blog Ini