Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Tiga orang itu saling pandang, kemudian mereka menatap wajah Ji Kiang Bwe. Mereka tadi melihat sepak terjang pemuda yang lihai itu dan mereka agak gentar kepadanya, akan tetapi tentu saja tidak gentar menghadapi dara muda yang diaku oleh si tukang perahu sebagai ketua yang baru.
"Bagus! Kalau begitu, biar kami mengrrimnya mengikuti jejak ayahnya!" bentak mereka dan tiga orang itu mempersiapkan pedang mereka untuk menerjang
"Pangcu, hati-hati ....! teriak si tukang perahu yan.g sudah melintangkan dayungnya untuk membantu, Juga Kian Bu tidak mau tinggal diam.
"Ji-siocia, perkenankan aku membantumu!" Biarpun dia belum tahu mengapa orang-orang Hoat-kauw memusuhi nona itu, akan tetapi mudah saja baginya untuk mengambil keputusan, pihak mana yang patut dibantunya.
"Paman Gu, mundurlah dan kemudikan saja perahu kita, engkau bukan lawan mereka. Souw-kongcu, sudah kukatakan bahwa ini adalah urusan pribadi, harap engkau menonton saja dan tidak mencampuri. Aku tidak ingin mencontoh mereka yang pengecut dan mengandalkan pengeroyokan ini !
Tukang perahu itu mundur dan memegang kemudi perahu, memandang dengan khawatir, sedangkan Kian Bu juga mundur dan memandang dengan heran dan kagum. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis yang pandai sastra, nampak lemah lembut, pandai main yang-kim dan membuat sajak itu, ternyata begitu tenangnya dan berani menghadapi pengeroyokan tiga orang Hoat-kauw yang lihai itu! Namun, diam-diam dia masih bersiap siaga untuk menjaga kalau-kalau gadis itu membutuhkan bantuannya. Dia tidak ingin melihat gadis itu celaka di tangan tiga orang lawan yang lihai itu.
Mendengar pemuda yang lihai itu menawarkan bantuannya kepada gadis yang mengaku sebagai ketua baru dari Kim-kokpang, tiga orang Hoat-kauw itu diam-diam merasa semakin gentar. Seorang di antara mereka, yang berjenggot lebat dan berusia limapuluhan tahun, menahan gerakan pedangnya dan dia pun berkata dengan suara membujuk.
"Nona, kalau engkau benar menjadi pangcu dari Kim-kokpang yang baru, kami anjurkan agar engkau membawa Kimkok-pang untuk bekerja sama dan bersahabat dengan Hoatkauw, tentu Kim-kok pang akan menjadi semakin kuat dan kelak akan menjadi sebuah perkumpulan yang besar dan berpengaruh, bahkan para pimpinannya akan mendapat kesempatan banyak untuk mendapatkan kekuasaan. Nah, sebelum terlanjur, kami sungguh mengharapkan nona akan suka membawa semua pimpinan dan datang berkunjung kepada pimpinan kami untuk membicarakan kerja sama itu."
Dengan alis berkerut Ji Kiang Bwe memandang kepada mereka lalu bertanya, "Kalian bertiga ini merupakan tokoh tingkat berapakah dari Hoat-kauw?"
"Kami bertiga adalah para pembantu ketua cabang. Ketua cabang merupakan tokoh tingkat ke empat dan kami berada di bawah mereka." kata si jenggot lebat dengan suara yang kurang senang ditanya tentang tingkat mereka.
"Hemm, tingkat lima atau empat" Tidak cukup berharga untuk membicarakan persoalan dengan aku. Kalau tokoh tingkat pertama atau setidaknya kedua dari Hoat-kauw yang datang, tentu aku akan suka bicara." Sikap nona itu sungguh keren dan meiihat sikap itu saja, tiga orang ini menjadi gentar. Hanya orang yang percaya akan kemampuan sendiri saja yang dapat bersikap seperti itu.
"Baiklah, kalau begitu, kami hendak kembali untuk melapor kepada atasan kami," kata si jenggot lebat dan dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk meninggalkan perahu itu, kembali ke perahu mereka yang bercat hitam dan yang menempel pada perahu besar itu.
"Nanti dulu!" bentakan nona itu nyaring berwibawa, suaranya melengking dan menusuk, membuat tiga orang itu terkejut dan membalikkan tubuh menghadapinya. "Kalian telah menabrak perahuku. Kalian teiah menyerang pembantuku. Kemudian kalian bersikap sombong tidak menghormatiku. Kesalahan ini sebetulnya harus ditebus dengan nyawa. Akan tetapi, karena hari ini aku sedang menerima tamu terhormat, biarlah memandang muka tamuku, aku tidak akan membunuh kalian. Hayo cepat kalian menggunakan pedang memotong lengan kiri kalian masing-masing sebatas siku!"
Tiga orang itu terbelalak. Muka mereka menjadi pucat lalu berubah merah karena penasaran dan marah. Mereka adalah orang-orang penting dari Hoat-kauw dan tadinya, meiihat si tinggi kurus Gu Lok yang dikenal sebagai Si Dayung Baja, tokoh Kim-kok-pang yang juga menentang Hoat-kauw, mereka hendak membunuhnya. Hanya karena muncul dara yang mengaku sebagai ketua baru Kim-kok-pang, mereka tidak jadi membunuhnya. Akan tetapi, sekarang mereka dihina , diharuskan membuntungi lengan kiri sendiri, tentu saja mereka tidak sudi .
"Nona, engkau keterlaluan, " kata si jenggot lebat. "Kami sudah mengampuni nyawa Si Dayung Baja, dan sekarang nona bahkan berani menghina kami?"
"Cepat kalian lakukan, kalau tidak tentu pangcu yang akan membuntungi lengan kalian, mungkin leher kalian!" kata Si Dayung Baja Gu Lok dengan lantang.
"Srat-srat-srat. !" Tiga orang itu mencabut lagi pedang masing-masing yang tadi telah disimpan dan si jenggot lebat berkata marah. "Kami dari Hoat-kauw bukanlah orang-orang yang mau menerima" penghinaan begitu saja! Kim-kokpangcu , tadi engkau mengatakan hendak menandingi kami bertiga seorang diri saja, menyuruh Si Dayung Baja mundur dan menolak pula bantuan pemuda itu. Apakah kata-katamu itu masih dapat d i percaya?"
"Singgg.!" Nampak sinar yang menyilaukan mata berkelebat dan tangan kanan Ji Kiang Bwe telah memegang sebatang rantai dari baja putih yang tadi ia pakai sebagai ikat pinggang. Rantai itu indah dan berkilauan, namun ternyata mempunyai gagang dan panjangnya tidak kurang dari satu meter. Begitu dilolos dan digerakkan, rantai itu menjadi tegang seperti sebatang pedang, bahkan mengeluarkan suara berdesing seperti senjata tajam, kemudian menjadi lentur seperti rantai biasa dan berputar lalu rantai itu melibat-libat lengan kanan Kiang Bwe. Gerakan ini indah dan cepat. Kian Bu pernah .mempelajari delapanbelas macam senjata dari ayah ibunya, akan tetapi belum pernah melihat seuntai rantai baja putih indah yang dijadikan ikat pinggang itu kini dipergunakan sebagai senjata. Ketika dia mengamati penuh perhatian, dia meiihat betapa bagian ujung rantai itu, mata rantainya tidak bundar, melainkan tipis dan tajam! Senjata seperti itu dapat menyambar seperti golok membabat, dapat menusuk seperti pedang karena digerakkan dengan sinkang sehingga menjadi tegang, dapat pula untuk menotok jalan darah dan dapat melibat senjata tajam lawan. Sungguh merupakan sebuah senjata yang ampuh, kalau saja pemegangnya mahir mempergunakannya karena penggunaannya juga sukar dan berbahaya bagi diri sendiri kalau kurang mahir.
"Tiga ekor tikus dari Hoat-kauw, majulah untuk kubuntungi lengan kiri kalian!" kata Kiang Bwe, suaranya lembut dan sikapnya tenang, ' seolah ia sama sekali tidak merasa tegang, juga t dak siap untuk bertanding, apa lagi menghadapi pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai .
Tiga orang Hoat-kauw itu, yang masih gentar kalau-kalau Si Dayung Baja dan Kian Bu akan membantu nona itu, cepat menggerakkan pedang masing-masing, membentuk kurungan segitiga dan mereka menyerang dengan gerakan cepat dan kuat dari kanan kiri dan depan! Kian Bu sendiri menahan napas meiihat kedahsyatan serangan tiga orang itu, akan tetapi Si Dayung Baja nampaknya tenang-tenang saja.
Begitu dara itu bergerak, tahulah Kian Bu mengapa tukang perahu itu nampak tenang saja. Kiranya dia sudah yakin akan kehebatan nona yang menjadi ketua perkumpulannya itu. Begitu Kiang Bwe menggerakkan senjata di tangannya, nampak kilat menyambar ke sekelilingnya dan terdengar bunyi berdencingan disusul bunga api berpijar ketika tiga batang pedang para pengeroyok itu tertangkis rantai dan tiga orang itu berloncatan ke belakang karena tangan mereka terasa panas seperti disentuh api membara.
"Heiiiittt,....!!" Dara itu me-ngeluarkan suara melengking1engking dan senjata di tangannya menyambar-nyambar dengan ganasnya, membuat tiga orang itu makin terkejut dan mereka harus memutar pedang untuk melindungi diri mereka. Memang aneh kalau .dilihat, tiga orang berpedang kini terdesak oleh dara yang mereka keroyok. Hal ini membuktikan betapa cepatnya gerakan dara itu, jauh lebih cepat dari pada gerakan tiga orang lawannya sehingga ia mampu menghujankan sambaran rantainya kepada mereka, membuat mereka menjadi repot sekali. Apa lagi setiap kali senjata mereka berternu dengan rantai, mereka merasa betapa gagang pedang mereka seolah berubah menjadi bara api yang membakar telapak tangan.
Diam-diam Kian Bu memperhatikan gerakan dara itu dan diapun terpesona. 'Tadi saja dia sudah terpesona oleh kecantikan dan kepandaian gadis itu berma i n yang-kim dan mengutip sajak, dan kini ditambah lagi kekagumannya melihat gerakan senjata rantai itu. Dan tiba-tiba mukanya berubah kemerahan. Pantas saja gadis itu tadi memuji ginkangnya ketika dia meloncat dari perahunya ke atas perahu besar. Kiranya gadis itu sendiri ahli meringankan tubuh yang hebat sehingga gerakannya demikian cepat dan lincahnya!
Kembali terdengar dara itu mengeluarkan lengkingan suara memanjang tiga kali dan sinar rantainya menyambar-nyambar, disusul muncratnya darah, buntungnya lengan kiri ke tiga orang itu dan begitu Kiang Bwe menggerakkan kaki nya tiga kali, tubuh tiga orang pengeroyok itu terlempar keluar dari perahu dan berjatuhan ke air telaga!
Kian Bu terbelalak, juga bergidik. Dara yang demikian jelita, dan halus lembut gerak gerik dan tutur katanya, ternyata kini dapat melakukan perbuatan yang baginya nampak sadis sekali ! Dia memang putera suami isteri pendekar, akan tetapi selama ini dia hanya berlatih silat dengan ayah ibunya, dan tidak pernah bertanding dengan orang luar, apa lagi melihat lengan tiga orang dibuntungi begitu saja dan tubuh mereka yang sudah kehilangan lengan kiri ditendang ke air telaga.
"Ji-siocia, apa artinya semua i-ni?" tanya Kian Bu dan kini wajahnya tidaklah seramah tadi. Sakit hatinya meiihat dara jelita itu dapat melaku-an kekejaman seperti itu.
"Paman Gu, jalankan perahu menepi," kata Kiang Bwe, lalu kepada Kian Bu ia berkata, "Souw-kongcu, panjang ceritanya untuk menjawab pertanyaanmu ini dan pertanyaanmu yang tadi. Maukah engkau menjadi tamu kami dan mendengar kan keteranganku untuk menjawabmu" . Atau kalau engkau masih merasa tidak suka dan tidak mau memenuhi undanganku, terserah,. tentu saja kami tidak dapat memaksamu."
Melihat pandang mata itu nampak sayu dan berduka, redalah kemarahan Kian Bu. Dia memang ingin sekali mengetahui riwayat dara ini dan mengapa terdapat permusuhan antara perkumpulan yang agaknya dipimpin dara itu dengan Hoat-kauw, suatu aliran yang cukup besar dan berpengaruh.
"Baiklah, aku ingin mendengarkan penjelasanmu agar hatiku tidak menjadi penasaran, walaupun tentu saja urusan itu tidak menyangkut diriku." Dia teringat kepada perahu keci1nya yang masih tertambat kepada perahu besar itu. "Akan tetapi aku harus mengembalikan dulu perahu yang kusewa."
"Jangan khawatir, urusan itu akan dikerjakan orangorangku di tepi telaga," kata Ji Kiang Bwe. Mereka mendarat dan lima orang menyambut dara itu dengan sikap hormat. Bahkan atas permintaan Kiang Bwe, dua ekor kuda segera dipersiapkan dan ia mengajak Kian.Bu untuk menunggang kuda menuju ke tempat tinggalnya.' Kian Bu meiihat betapa dalam hal menunggang kuda, dara itupun mahir sekali. Mereka membalapkan kuda menuju sebuah bukit yang dari jauh nampak berwarna kuning emas berkilauan. Itu adalah karena di bukit itu terdapat batu-batu cadas yang berwarna kekuning-kuningan sehingga kalau tertimpa matahari dan nampak dari jauh seperti emas. Karena itu pula, maka lembah bukit di mana terdapat warna seperti emas itu di sebut Lembah Bukit Emas.
Mereka membalapkan kuda mendaki bukit itu dan setelah tiba di lereng, di lembah itu, nampak dari situ Sungai Yang-ce seperti seekor naga biru meliuk-liuk di bawah sana. Di lembah bukit itu terdapat sebuah perkampungan dan di depan pintu gerbangnya, baru Kian Bu mengetahui bahwa itu bukan sebuah dusun biasa, melainkan perkampungan yang menjadi pusat dari Kim-kok-pang (Perkumpulan Lembah Bukit Emas), seperti yang tertulis pada papan besar di pintu gerbang.
Puluhan orang menyambut nona itu dengan sikap gembira dan normat ketika Kiang Bwe dan Kian Bu memasuki pintu gerbang perkampungan itu. Terdapat perumahan seperti di sebuah dusun kecil, dan Kiang Bwe mengajak Kian Bu ke sebuah bangunan terbesar yang berada di tengah perkampungan. Mereka meloncat turun dari kuda dan dua orang anggauta Kim-kok-pang segera mengurus dua ekor kuda itu .
"Mari silakan masuk, Souw-kong cu." Ji Kiang Bwe mempersilakan. Mereka memasuki rumah yang cukup besar dengan prabot rumah yang lengkap dan baik, lalu nona rumah itu mengajak Kian Bu duduk di sebuah ruangan tamu yang luas, yang mempunyai banyak jendela me nembus ke sebuah taman. Mereka duduk berhadapan terhalang meja besar dan seorang wanita setengah tua muncul membawakan minuman dan menghidangkan minuman dengan sikap hormat,"lalu mengundur kan diri lagi. Setelah menuangkan minuman dan mempersilakan tamunya minum, Ji Kiang Bwe memandang tamunya. Mereka saling pandang, dan dara itu menghela napas panjang.
"Sebetulnya aku sendiri merasa heran mengapa aku ingin menceritakan riwayat dan keadaanku kepadamu, kongcu. Pada hal kita baru saja berkenalan dan hanya secara kebetulan bertemu di telaga. Mungkin karena sikapmu yang ramah, karena kesediaanmu membantuku tadi menghadapi orang-orang Hoat-kauw."
"Maafkan aku, Ji-siocia. Akupun biasanya tidak berani lancang ingin mengetahui persoalan orang lain. Akan tetapi peristiwa yang terjadi di perahu tadi amat menarik hatiku. Kalau nona tidak mau menceritakan sebabnya, tentu hatiku akan selalu merasa penasaran bagaimana seorang seperti nona dapat melakukan hajaran yang demikian kerasnya terhadap tiga orang tadi."
"Akan kuceritakan semua karena akupun ingin menerangkan kepadamu, Kongcu. Akan tetapi sebelum itu, sudah sepantasnya kalau aku mengetahui lebih banyak tentang dirimu, orang yang kupercaya mendengarkan riwayatku."
Kian Bu tersenyum ."Aku mengerti, nona, dan memang sudah sepantasnya begitu. Akan tetapi tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku. Aku ting-gal di Wu-han bersama orang tuaku, dan ayahku seorang pedagang kain. Aku adalah anak tunggal, dan sejak kecil aku tinggal di Wu-han. Baru sekali ini aku pergi merantau seorang diri untuk mencari pengalaman dan kebetulan saja ketika, aku sedang berperahu di telaga itu aku mendengar permainan yang-kimmu. Nah, tidak ada apa-apanya yang menarik, bukan?"
"Akan tetapi engkau pandai ilmu silat, setidaknya, engkau memiliki ginkang yang hebat. Siapakah gurumu, kong cu?" "Aku belajar sedikit ilmu silat dari ayah ibuku sendiri," jawab Kian bu sederhana. Dara itu membelalakkan matanya dan Kian Bu merasa seolah jantung dalam dadanya jungkir balik. Begitu indahnya mata itu ketika dibuka lebar. "Aih, kalau begitu, ayah ibumu adalah orang-orang sakti!" Kata dara itu kagum.
Wajah Kian Bu menjadi kemerahan. "Ah, sama sekali bukan, nona. Ayahku seorang pedagang kain dan ibuku seorang ibu rumah tangga yang baik. Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu dan semua yang terjadi tadi, nona."
Wajah yang jelita itu nampak muram, akan tetapi hanya sebentar, seolah awan tipis berlalu. lalu bercerita. Ayahnya bernama Ji Kun Ek, seorang pendulang emas yang tadinya seorang pemburu. Dia berhasil menemukan emas di bukit itu, dan mendengar dia berhasil menemukan emas, banyak pemburu yang tadinya merupakan rekan-rekannya ikut pula mencari emas. Dan terbentuklah sekelompok pendulang emas yang makin lama menjadi semakin banyak, sampai lebih dari seratus orang banyaknya . Dan untuk mencegah agar tidak ada orang luar ikut-ikutan, apa lagi karena seringnya ada orang jahat merampok hasil pendulangan beberapa orang di antara mereka. Ji Kun Ek membentuk kelompok itu sebagai anggauta perkumpulan Kim-kok-pang yang menetap di Lembah Bukit Emas itu. Mereka semua mengangkat Ji Kun Ek sebagai ketua Kim-kok-pang, bukan hanya karena dia merupakan orang pertama yang mendulang emas, melainkan juga karena diamemiliki ilmu silat yang paling kuat di antara mereka.
Hasil pendulangan emas membuat Kim-kok-pang cukup kuat dan kehidupan para anggautanya cukup makmur. Ji Kun Ek bahkan mengirim anak tunggalnya, ya itu Ji Kiang Bwe, ke kota besar dan memanggil guru-guru sastra dan seni untuk mendidik puterinya. Setelah dia sendiri menghabiskan semua ilmu silatnya diajarkan kepada puterinya, dia bahkan menganjurkan puterinya untuk memperdalam ilmu silatnya dan secara kebetulan sekali, ketika berkunjung ke sebuah kuil wanita untuk bersembahyang, Ji Kiang Bwe bertemu dengan seorang pendeta wanita yang kebetulan juga menjadi tamu para nikouw di situ. Pendeta wanita ini berjuluk Pek Mau S ankouw, julukan Pek-mau (Rambut Putih) ini karena seluruh rambut kepalanya sudah putih semua seperti benang-benang sutera putih, sungguhpun usianya baru sekitar limapuluh tahun. Tidak ada seorangpun yang akan menduga bahwa pendeta wanita ini sesungguhnya memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sejak muda sekali Pek Mau Sian-kouw ini merantau ke negeri barat, bertahun-tahun tinggal di India, kemudian juga lama berada di Tibet sehingga namanya lebih terkenal di daerah Tibet dari pada di Tiongkok. Pek Mau Sian-kouw selain ahli ilmu silat tinggi, juga telah mempelajari ilmu perbintangan dan ramalan, dan begitu melihat Ji Kiang Bwe yang ketika itu berusia tigabelas tahun dan sudah pandai ilmu silat karena gemblengan ayahnya, ia tahu bahwa ia telah bertemu dengan murid yang berjodoh dengannya. Demikianlah, selama lima tahun Pek Mau Sian-kouw mengajarkan ilmu ilmunya kepada Ji Kiang Bwe sehingga setelah berusia delapanbelas tahun, Ji Kiang Bwe telah menguasai ilmu-ilmu andalan pertapa wanita itu.
"Aku mengikuti subo ke tempat pertapaannya selama dua tahun tera-hir, dan ketika subo mengijinkan aku turun gunung dan pulang ke sini, ternyata telah terjadi malapetaka hebat mehimpa diri ayahku sebagai ketua Kim-kok-pang," kata dara itu dan wajahnya kembali muram .
"Apa yang telah terjadi dengan ayahmu dan ibumu, nona?" "Ibuku sudah meninggal dunia sejak aku masih keci1, Souw-kongcu. Karena itu, seluruh kasih sayangku terhadap orang tua kucurahkan kepada ayahku. Akan tetapi, ketika tiga bulan yang lalu aku pulang, aku mendengar bahwa ayahku telah meninggal dunia kurang lebih sebulan sebelum aku pulang."
"Hemm terkena sakit?" "Tidak, dia terbunuh oleh pimpin an Hoat-kauw! Menurut cerita para pembantu ayah, sudah lama Hoat-kauw membujuk ayah agar Kim-kok-pang suka bekerja sama dengan Hoatkauw dan mengakui Hoat-kauw sebagai aliran tunggal yang harus dianut oleh semua anggauta Kim-kok-pang. Ayah menolak bujukan itu sehingga akhirnya terjadi bentrokan antara ayah dan pimpinan Hoat-kauw. Dalam suatu pertandingan satu lawan satu ayah roboh dan tewas."
Kian Bu diam saja tidak memberi komentar. Kalau pertandingan itu, apa-un alasan pertandingan, dilakukan satu lawan satu, maka hal itu merupakan suatu kehormatan bagi seorang ahl i silat, dan kalah menang merupakan soal ke dua. Sukar mencampuri kekalahan orang yang bertanding satu lawan satu.
Ji Kiang Bwe melanjutkan ceritanya. Ketika ia pulang dan semua pembantu ayahnya mengetahui bahwa dara ini pulang membawa ilmu kepandaian yang jauh lebih tangguh dibandingkan mendiang ayahnya, mereka lalu serta merta mengangkatnya menjadi ketua Kim-kok-pang yang baru.
"Aku tidak dapat menolak pengangkatan itu demi ayahku, dan selama tiga bulan ini, aku hanya dapat berduka karena kematian ayah. Aku menjadi yatim piatu, dan biarpun aku berduka, apa yang dapat kulakukan" Hoat-kauw adalah sebuah aliran kepercayaan yang besar dan berpengaruh. Aku hanya dapat menanti sampai ada orang Hoat-kauw berani datang hendak memaksakan kehendak.
Jilid VII Kalau hal itu terjadi, aku akan melawan mereka, bukan hanya untuk membalaskan kematian ayahku, juga untuk menentang kejahatan mereka memaksakan kehendak kepada perkumpulan lain. Dan pada hari ini, untuk menghibur hati, aku berpesiar di telaga, hanya mengajak Paman Gu Lok untuk mengemudikan perahu. Dan hal yang kunanti-nanti selama tiga bulan inipun tiba, yaitu hendak membunuh Gu Lok karena paman ini merupakan pembantu utama mendiang ayah. Nah, engkau tahu mengapa aku bersikap keras kepada tiga orang itu."
Lega rasa hati Kian Bu. Andaikata malapetaka ini menimpa dirinya, andaikata ayahnya yang terbunuh oleh orang Hoatkauw karena menolak bujukan mereka, mungkin dia akan bersikap lebih keras lagi terhadap tiga orang Ho-at-kauw tadi. Mungkin mereka akan dibunuhnya!
"Ahh, nasibmu sungguh menyedihkan, Ji-siocia, akan tetapi percayalah, orang yang benar akan mendapatkan kemenangan terakhir. Dan engkau berada di pihak benar, pangcueh, siocia."
Dara itu tersenyum. "Kenapa engkau menyebutku ketua atau nona" Namaku Ji Kiang Bwe dan setelah kita berkenalan dan bercakap-cakap, bukankah kita telah bersahabat?"
Kian Bu juga tersenyum. "Akan tetapi engkau juga menyebutku Kongcu (tuan muda)! Bagaimana kalau kita hapuskan saja sebutan yang kaku itu dan kita saling menyebut seperti kakak dan adik?"
Kiang Bwe melebarkan senyumnya dan kemuraman wajahnya lenyap bagaikan awan tipis tersapu angin. "Aku akan senang sekali, akan tetapi bagaimana kalau aku yang lebih tua?"
"Tidak mungkin! Engkau masih nampak remaja bagiku, sedangkan aku sudah sembilanbelas tahun lebih."
"Aih, engkau bersikap kakek-kakek saja, Bu-koko (kakak Bu). Usiaku sendiri sudah delapanbelas tahun." "Kalau begitu aku lebih tua setahun, Bwe-moi (adik Bwe)!" Keduanya saling pandang dan tertawa, sehingga suasana menjadi gembira.
Tiba-tiba daun pintu ruangan itu diketuk orang dari luar walaupun daun pintu itu terbuka. Mereka menoleh dan nampak Si Dayung Baja Gu Lok sudah ber diri di luar pintu dan anehnya, biarpun kini dia berada di dalam rumah, bukan di dalam perahu lagi, dia masih membawa-bawa dayung bajanya yang dipakai sebagai tongkat! Kiranya benda itu lebih banyak dipergunakan sebagai senjata dari pada sebagai dayung.
"Ah, paman Gu, masuklah. Oya, sudahkah engkau kembalikan perahu kecil yang disewa Souw-kongcu tadi?" tanya Kiang Bwe.
Gu Lok masuk dan mengangguk. "Sudah, pangcu. Bahkan dari. tukang perahu itu saya menerima titipan sesampul surat untuk pangcu." Dia menyodorkan sebuah sampul surat.
Kiang Bwe menerima surat itu dan memandang heran. "Dari manakah tukang perahu itu menerima surat untukku ini?"
"Katanya dari seorang wanita cantik yang memberinya upah royal untuk mengantarkan surat ini kepada ketua Kimkok-pang. Saya minta surat itu dan saya serahkan sendiri kepada pangcu."
"Duduklah, Paman Gu Lok dan perkenalkan ini toako Souw Kian Bu yang tadi telah membantu kita di perahu." Kiang Bwe membuka surat itu sedangkan Gu Lok saling memberi hormat dengan Kian Bu dan duduk dengan punggung lurus dan tegak.
Setelah membaca isi surat, Kiang Bwe mengangkat muka memandang kepada Gu Lok dan Kian Bu. "Hoat-kauw mengirim undangan kepada pimpinan Kim-kok-pang! Bagus, ini merupakan kesempatan baik bagi kita untuk datang berkunjung memenuhi undangan dan menyelesaikan urusan di antara mereka dan kita."
"Pangcu hendak memenuhi undangan mereka?" tanya Gu Lok, wajahnya membayangkan keraguan dan kekhawatiran . "Tentu saja! Mereka merayakan ulang tahun dan menurut undangan mereka, sengaja mereka menggunakan kesempatan ini untuk berkenalan dengan para undangan yang terdiri dari perkumpulan-perkumpulan dan semua aliran di dunia kangouw. Disaksikan oleh para tokoh kangouw, aku akan dapat menuntut dari Hoat-kauw mengapa mereka membunuh ayahku dan hendak memaksa Kim-kok-pang bekerja sama dengan mereka. Mereka tentu tidak akan berani berbuat seenaknya di depan para tokoh kangouw."
"Kalau begitu, saya akan menemani pangcu," kata Gu Lok. "Lebih baik jangan, paman. Selama aku pergi, engkau mewakili aku mengatur anak buah dan menjaga keamanan di sini," kata dara itu dengan suara tegas.
"Baiklah, pangcu. Saya mohon diri," kata Gu Lok yang tahu diri, melihat bahwa kemunculannya mungkin mengganggu pangcunya yang sedang bicara dengan tamunya.
Setelah Gu Lok keluar, Kian Bu berkata, "Bwe-moi, biarlah aku yang menemanimu. Aku akan membantumu kalau sampai ada pihak yang memusuhimu.
Sikap dara itu lebih manis, akan tetapi tetap saja tegas. "Terima kasih atas tawaran bantuanmu, Bu-ko, akan tetapi sekali lagi, kami tidak dapat menerima bantuan dari luar. Tentu engkau mengetahui bahwa urusan ini merupakan urusan yang menyangkut kehormatan Kim-kok-pang, oleh kareha itu, harus dihadapi secara terhormat pula. Tidak, kami tidak mungkin dapat menarik bantuan dari luar kalangan Kimkok-pang."
Melihat ketegasan ketua Kim-kok-pang itu, tentu saja Kian Bu tidak dapat membantah karena diapun maklum akan kebenaran pendapat itu. "Baiklah kalau begitu, hanya aku minta engkau suka memberitahu kepadaku, kapan dan di mana diadakannya perayaan ulang tahun Hoat-kauw itu?"
"Menurut surat undangannya, perayaan diadakan di Bukit Harimau, di luar kota An-king pada permulaan bulan depan." "Terima kasih, Bwe-mo'. Nah, sekarang aku mohon diri untuk melanjutkan perjalanan, karena aku tahu bahwa engkau tentu akan sibuk menghadapi urusan perkumpulanmu. Selamat tinggal dan selamat berpisah, Bwe-moi."
Sebetulnya Kiang Bwe ingin sekali menahan pemuda yang sejak pertama kali bertemu sudah menarik hatinya itu. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja ia merasa malu untuk menyatakan perasaannya, dan selain itu, iapun harus melakukan persiapan menghadapi undangan dari Hoat-kauw. Maka, iapun hanya dapat mengucapkan terima kasih atas bantuan Kian Bu dan ia mengikuti bayangan pemuda itu ketika meninggalkan lereng Lembah Bukit Emas.
Pemuda itu berlatih silat yang aneh. Gerakan-gerakannya lambat dan seolah gerakan memukul atau menendang dari kaki tangannya hanya main-main saja, tidak mengandung tenaga, tidak nampak cepat maupun kuat. Akan tetapi anehnya, pohon besar yang berada dalam jarak tiga meter di depannya, bergoyang-goyang cabangnya yang sebesar tubuh manusia, cabang ranting dan daun-daunnya yang lebat bergoyang-goyang seperti dilanda angin besar sehingga banyak daun pohon yang sudah kuning dan setengah kuning rontok, gugur berhamburan!
Setelah berlatih selama setengah jam, bersilat tangan kosong lalu pemuda itu menyambar sebuah tongkat bambu di bawah pohon dan kini dia bersilat menggunakan tongkat bambu yang panjangnya sekitar satu setengah meter. Kalau tadi ketika bersilat tangan kosong gerakannya nampak lamban dan lemah, kini setelah bersilat tongkat, gerakannya cepat bukan main sehingga lenyaplah bayangan pemuda itu, dibungkus gulungan sinar tongkat dan terdengar bunyi mengaung saking cepat dan kuatnya tongkat bambu itu bergerak. Dan tiba-tiba, gulungan sinar itu melayang ke atas pohon, seperti seekor burung mengelilingi pohon dan nampak daun-daun pohon jatuh berhamburan, bukan hanya yang kuning, melainkan juga yang hijau dan juga rantingrantingnya. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu melayang turun pohon itu telah berubah seperti kepala seorang berambut lebat yang kini dicukur pendek dengan bentuk bulat! Ternya ta tongkat yang sama sekali tidak tajam karena terbuat dari bambu itu mampu membabat ranting dan daun pohon sehingga menjadi gundul!
Setelah selesai bersilat tongkat yang aneh dan juga menggiriskan itu, dia duduk beristirahat di atas sebongkah batu di bawah pohon, memandangi daun-daun yang berserakan dan melamun, membiarkan peluh membasahi lehernya. Daun-daun gugur, Manusia mati. Dan teringatlah dia akan semua orang yang dikasihinya dan yang telah meninggalkan dirinya karena mati seorang demi seorang. Ayah dan ibunya mati. Kemudian orang yang mengasuhnya sejak dia kecil, kemudian menjadi pengganti ayah ibunya, juga mati ! Demikian pula gurunya yang pertama kali, guru yang dikasihinya, di hormatinya mati pula terbunuh orang!
Sia Han Lin termenung, tenggelam dalam kenangan duka. Teringat dia akan keadaan dirinya yang kini hidup sebatangkara di dunia ini. Sejak berusia lima tahun dia terpaksa berpisah dari ayah ibunya yang berperang melawan serbuan musuh, dia dilarikan mengungsi oleh Liu Ma, pengasuhnya. Kemudian ternyata ayah ibunya itu tewas dalam perang dan selanjutnya dia diasuh sebagai putera Liu Ma. Cinta kasihnya kepada ayah ibunya berpindah kepada Liu Ma, dan ketika dia menjadi murid ong Hwi Hosiang, dia menemukan lagi seorang yang dihormati dan disayangnya, yaitu gurunya itu. Akan tetapi, malapetaka datang menimpa. Liu Ma dan Kong Hwi Hosiang tewas di tangan tiga orang
Raja Iblis yang kejam. Bahkan dia sendiri tentu sudah tewas kalau tidak ditolong oleh gurunya yang sekarang, yaitu kakek yang hanya dia kenal sebagai Lo-jin (Orang Tua). Akan tetapi, gurunya ini seorang manusia yang aneh dan agaknya tidak mungkin mempunyai perasaan kasih sayang kepada manusia aneh ini seperti yang dirasakan terhadap mendiang Kong Hwi Hosiang dan Liu Ma. Lo-jin seolah tidak terikat oleh apapun juga, tidak membutuhkan kasih sayang, juga tidak pernah memperlihatkan kasih sayang, namun setiap gerak geriknya tak pernah menyusahkan apa dan siapapun. Ilmuilmu yang diajarkan kepadanya selama lima tahun inipun ilmu yang aneh, namun karena yakin bahwa Lo-jin adalah seorang manusia seperti dewa, Han Lin menaati semua petunjuknya dan selama lima tahun ini berlatih dengan amat tekunnya.
Teringat akan semua keadaan dirinya, timbul perasaan iba diri dan terbenamlah Han Lin ke dalam duka. Hatinya seperti diremas-remas. Dia adalah utera seorang yang pernah menjadi raja, hidup bergelimang kemuliaan dan ke hormatan, lalu tiba-tiba saja dia menjadi yatim piatu, bahkan sekarang dia tidak memiliki apa-apa lagi kecuali dirinya sendiri! Dan gurunya, satu-satunya orang yang dekat dengan dirinya, yaitu Lo-jin, jarang berada di puncak itu, membiarkan dia seorang diri saja. Bahkan kini, sudah dua minggu gurunya itu pergi entah ke mana. Pergi tidak pernah pamit, datang tidak pernah memberitahu, seperti angin saja.
Ketika Han Lin duduk termenung bertopang dagu, murung dan perasaannya tertekan, dia tidak merasakan bahwa ada angin lembut bertiup dan bayangan seorang kakek yang rambutnya seperti benang sutera putih telah berdiri di belakangnya. Andaikata Han Lin tidak sedang tenggelam dalam lamunan, tentu pendengarannya yang terlatih dan tajam itu dapat menangkap gerakan seringan daun kering itu. Akan tetapi dia sedang tenggelam dalam kedukaan, maka dia sama sekali tidak tahu bahwa gurunya, Lojin, telah berdiri di belakangnya Kakek yang bertubuh tinggi agak kurus dengan wajah putih kemerahan, ma tanya berbinar-binar seperti bintang, kumis, jenggot dan rambutnya sudah putih semua itu kini berdiri dan mengelus jenggotnya, tersenyum dan mengangguk-angguk. Tongkat bambu di tangannya lalu digerakkan melintang di depan dadanya dan terdengar suara mengaung.
Mendengar suara ini, barulah Han Lin sadar dari lamunannya dan sebelum membalikkan tubuh, dia sudah tahu siapa yang datang. Dia segera menjatuhkan diri berlutut dan membalik, memberi hormat kepada gurunya.
"Suhu," suaranya masih mengandung duka, walaupun dia berusaha menekannya. "Han Lin, apakah jurus-jurus terakhir dari Khong-khi-ciang (Tangan Udara Kosong) dan Pek-lui-tai-hong-tung (Tongkat Petir Badai) telah dapat kau kuasai dengan baik?"
"Sudah, suhu. Apakah suhu menghendaki agar teecu memainkannya?" "Tidak, aku sudah percaya bahwa engkau telah menguasainya dengan baik. Akan tetapi kenapa engkau berduka?"
Han Lin maklum bahwa dia tidak mungkin dapat membohongi gurunya, maka diapun berkata, "Suhu, teecu tadi teringat akan kematian orang-orang yang teecu sayang, dan teecu merasa berduka sekali Maaf, suhu Teecu mengerti benar bahwa duka adalah sia-sia dan timbul dari iba diri, bahwa sesungguhnya amat tidak baik dan tidak sehat membiarkan diri tenggelam dalam duka. Akan tetapi pengertian teecu itu tidak banyak menolong, suhu. Teecu tetap berduka. Beruntung sekali bahwa suhu kembali pada saat teecu dilanda duka nestapa yang amat menekan hati, maka teecu mohon petunjuk, suhu. Suhu, mohon diberi petunjuk bagaimana teecu akan dapat menguasai hati dan mengendalikan nafsu agar teecu tidak dicengkeram duka."
Kakek itu tersenyum dan senyumnya mendatangkan kelembutan yang mengharukan karena wajah itu presis wajah seorang bayi yang suka tertawa-tawa sendiri secara wajar. Kemudian dia ber kata dengan suara halus.
"Han Lin, segala macam jalan atau cara untuk mengendalikah nafsu adalah ulah nafsu itu sendiri juga, karena cara didorong oleh suatu keinginan mencapai sesuatu dan ini hanyalah ulah nafsu yang pandai mengubah bentuk dan ragam. Usaha untuk melenyapkan duka tidak ada bedanya dengan duka itu sendiri, keduanya bersumber kepada si-aku yang menjadi duka karena terkenang akan sesuatu dan si-aku pula yang menginginkan agar tidak berduka. Karena itu, usaha apapun yang bersumber dari aku, tidak akan dapat berhasil dengan sempurna."
"Kalau -begitu, apa yang dapat teecu lakukan, suhu" Teecu tahu benar menurut ajaran kitab-kitab agama , juga menurut petuah-petuah yang teecu dapat kan dari mendiang suhu Kong Hwi Hosiang dan dari suhu, akan tetapi pengetahuan teecu itu tidak menolong melenyapkan duka dari hati teecu. Suhu,
teecu menjadi bingung, mohon petun-juk." Kakek itu menghela napas panjang bukan karena sedih, bukan karena kecewa. "Apapun yang engkau lakukan atau tidak lakukan, kalau itu bersumber dari si-aku, akan sama saja palsunya dan sia-sianya. Bersikaplah wajar-wajar saja, Han Lin dan jangan menentang segala yang kaulakukan sendiri. Kalau engkau dilanda duka, bedukalah, kenapa mesti dipersoalkan lagi" Selama manusia masih hidup di dalam jasmani ini, manusia tidak akan terlepas dari segala macam perasaan susah senang puas kecewa dan sebagainya lagi. Akan tetapi, yang penting adalah menyadari akan semua itu, mengamati setiap gejolak nafsu yang menguasai hati akal pikiran dan yang mengemudikan semua gerak gerik kita. Menyadari sepenuhnya bahwa semua itu adalah ulah si-aku, yaitu nafsu yang mengaku-aku. Yang berduka itu adalah hati dan pikiranmu. Seperti juga yang marah, yang kecewa, yang iri, yang diserang penyakit, semua itu hanyalah alat-alat atau anggauta tubuh mu. Kesadaran yang sepenuhnya ini akan membuat kita yakin bahwa. semua itu hanyalah permainan nafsu belaka. Bahkan kalau kematian tiba, yang mati adalah tubuh jasmani belaka. Selama nafsu daya rendah menguasai hati akal pikiran, maka di dalam kehidupan ini kita akan selalu menjadi permainannya, dan semua yang kita lakukan dikemudikan oleh nafsu daya rendah. Bahkan usaha kita untuk mengendalikan atau menguasai nafsu juga datang dari nafsu daya rendah, karenanya, biarpun kita mengerti akan suatu perbuatan yang tidak benar, kita tetap saja tidak mampu menghentikan perbuatan itu."
"Suhu, kalau begitu alangkah celakanya hidup ini, kita dibiarkan menjadi korban, dicengkeram dan diperhamba nafsu tanpa kita mampu membebaskan diri !"
"Tidak, Han Lin. Di samping nafsu daya rendah yang diikutsertakan dalam kehidupan kita, masih terdapat sesuatu yang berkat Kasih Sang Maha Pencipta, disertakan pula kepada kita. Sesuatu yang biarpun nampak tipis dan hampir tak nampak, namun selalu ada dan tidak pernah meninggalkan manusia, sesuatu yang menjadi bukti dan saksi betapa Tuhan Maha Kasih dan Maha Pengampun. Sesuatu ini yang menjadi tali yang tak pernah terputuskan, yang menghubungkan manusia kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Tinggal terserah kepada manusia sendiri apakah akan mengabaikanNya dan menyerah kepada nafsu, atau memperkuat ikatan yang akan menghubungkan manusia dengan kekuasaan Tuhan yang selalu bersemayam di dalam dan luar diri setiap orang manusia itu."
"Lalu bagaimana caranya agar ikatan itu dapat diperkuat, suhu?" "Usaha manusia tidak akan membawa hasil. Hanya Kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu mengaturnya, dan kalau Kekuasaan Tuhan sudah bekerja, maka dengan sendirinya nafsu daya rendah akan kembali ke tempat mereka semula, menjadi hamba yang baik, bukan menjadi majikan yang kejam. Dan agar Kekuasaan Tuhan dapat bekerja, maka semua daya kerja hati akal pikiran haruslah berhenti. Kalau kita hidup selaras dengan To, maka To yang akan bekerja mengatur segalanyadan apapun yang diatur oleh To sudah pasti sempurna. Kekuasaan Tuhan bekerja dengan sempurna, Maha Murah', Maha Kasih, Maha Adil , Maha Pengampun dan.Maha Kuasa Satu-satu nya yang dapat kita kerjakan hanyalah menyerah, dengan penuh keikhlasan, penuh kepasrahan, penuh ketawakalan."
"Akan tetapi , suhu. Bukankah menyerah inipun merupakan suatu usaha. dari hati akal pikiran?" "Bukan, Han Lin. Usaha selalu mengandung pamrih uncuk mendapatkan sesuatu. Akan tetapi menyerah dengan kepasrahan tidak mengandung usaha apapun, dan tidak menginginkan apapun , karena kalau ada keinginan mendapatkan sesuatu, itu bukan pasrah namanya. Pasrah dalam arti kata yang sesungguhnya sama dengan mati, seperti orang yang dalam tidur, apapun yang akan tiba menimpa dirinya, terserah kepada Tuhan. Andai kata pada saat itu Tuhan hendak mencabut nyawanya, diapun akan menyerah tanpa membantah, ikhlas, pasrah, tawakal ."
"Kalau begitu, bukankah kita lalu menjadi malas dan hanya menyerahkan segalanya kepada Tuhan saja, suhu?" "Sama sekali tidak, Han. Lin. Itu namanya bukan menyerah dengan kepasrahan, keikhlasan dan ketawakalan, melain kan ingin mempersekutu Tuhan, bahkan ingin enaknya sendiri saja. Tuhan telah menciptakan kita lengkap dengan segala alat yang ada pada diri kita, dan semua itu diciptakan bukan percuma, melainkan diciptakan untuk dipergunakan, untuk dimanfaatkan. Kalau tidak kita pergunakan, tidak kita manfaatkan, itu berdosa namanya, dan penggunaannya, pemanfaatannya haruslah untuk kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, selaras dengan To, berarti membantu pekerjaan Kekuasaan Tuhan. Segala sesuatu yang diciptakan Tuhan di alam maya pada ini bekerja, bergerak yang berarti bekerja. Bahkan bintang matahari dan bulanpun bekerja bergerak tiada hentinya. Kita yang dlberi perlengkapan yang sempurna, tentu saja harus bekerja, berusaha demi memenuhi semua keperluan dan kebutuhan hidup di dunia. Kita harus makan agar tidak mati kelaparan, kita membutuhkan pakaian agar tidak mati kedinginan, kita membutuhkan tempat tinggal untuk berlindung dari binatang buas, angin dan panas atau hujan. Untuk memenuhi kebutuhan itu, tentu saja kita harus mencari, harus berusaha dan bekerja! Namun, semua pekerjaan itu barulah benar kalau didasari kepasrahan, didasari penyerahan kepada Tuhan sehingga apapun yang kita lakukan, akan sejalan dengan To."
Han Lin mengangguk-angguk , dia mengerti benar apa yang dimaksudkan gurunya. "Mudah-mudahan teecu tidak terlalu dipermainkan nafsu daya rendah dan mudah-mudahan teecu akan mendapat pengampunan dan bimbingan Tuhan dengan iman dan penyerahan, suhu."
"Semoga Tuhan memberi jalan kepa damu, Han Lin. Akan tetapi sekarang aku ingin memberitahu kepadamu bahwa sudah tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Aku akan melanjutkan perjalananku dan engkaupun harus melanjutkan jalan hidupmu sendiri. Sekali lagi ingat, dengan ilmu yang kaupelajari, berarti engkau menjadi abdi keadilan dan kebenaran, akan tetapi bukan keadilan dan kebenaran bagi pribadimu. Semua perasaan pribadi harus disingkirkan , kalau tidak engkau tidak akan mungkin dapat bertindak adil. Cari dan mintalah petunjuk dari Tuhan, dan engkau pasti akan menerima petunjukNya."
"Suhu" Han Lin terkejut dan tentu saja merasa terpukul. Baru saja dia menyusahkan kematian orang-orang yang dikasihinya dan kini gurunya, orang terakhir yang terdekat dengannya, menyatakan bahwa mereka harus berpisah.
"Han Lin, lupakah engkau bahwa keterikatan itulah justeru yang menjadi penyebab terutama dari duka" Mempunyai namun tidak memiliki, itulah seyogianya. Secara lahiriah kita boleh mempunyai apapun juga, namun secara batiniah kita tidak memiliki apa-apa. Nah, cukup sudah, tongkatku ini boleh kaumiliki, benda ini sudah puluhan tahun tak pernah lepas dari tanganku." Nampak bayangan berkelebat dan yang tinggal di depan Han Lin hanyalah sebatang tongkat bambu yang menancap di atas tanah. Lojin telah lenyap seperti di telan bumi .
Han Lin memberi hormat ke arah berdirinya gurunya tadi sambil berlutut sampai delapan kali, kemudian dia bangkit, mencabut tongkat bambu yang biasa dipegang gurunya, mencium gagang tongkat itu dan berbisik. "Suhu, terima kasih!"
Setelah itu, Han Lin menuruni puncak, menggendong buntalan pakaiannya di punggung dan membawa sebatang tongkat bambu yang selama ini tak pernah terpisah dari tangan Lojin. Lima tahun lamanya dia menerima gemblengan kakek sakti yang luar biasa itu, dan kini dia sudah dewasa, sudah berusia duapuluh tahun! Ke mana dia harus pergi" Teringat akan ini, setibanya di puncak sebuah lereng, dia berhenti dan memandang ke sekeliling Alam di bawah sana seolah menanti, menggapaikan tangan kepadanya. Akan tetapi, ke arah mana dia harus pergi dan apa atau siapa yang menantinya di sana" Dia tidak mempunyai apa-apa lagi, bahkan tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Liu Ma telah tewas, juga Kong Hwi Hosiang, Cun Hwesio dan Kun Hwesio para pembantu Kong Hwi Hosiang.
Mengunjungi kubupan mereka" Tidak ada artinya. Pernah Lojin bicara dengan lembut mengenai hal itu. Mengunjungi kuburan orang tua hanya merupakan kewajiban untuk menjaga agar kuburan mereka itu bersih dan terawat, bukan sebagai bukti. kebaktian. Kebaktian terhadap orang tua yang sesungguhnya bukan terletak kepada pemeliharaan kuburan, melainkan dalam sepak terjang kita sehari-hari, dalam kelakuan kita, Kelakuan yang baik akan mengangkat nama baik orang tua, sebaliknya kelakuan buruk akan menodai nama orang tua, walaupun orang tua sudah meninggal,"
Teringat akan kata-kata gurunya itu, Han Lin tidak lagi ingin berkunjung ke kuburan orang-orang yang dahulu disayangnya itu. Akan tetapi ada hal lain yang mendorongnya untuk pergi ke dusun Li-bun. Dia harus melihat apa yang terjadi dengan penduduk dusun itu semenjak lima tahun yang lalu Sam Mo-ong mengganas di sana. Sudah menjadi kewajibannya untuk turun tangan menolong, kalau penduduk dusun itu tertindas oleh perbuatan sewenang-wenang tiga orang datuk iblis itu.
Ya, dia akan pergi ke dusun Li-bun, Setelah itu, baru dia akan melanjutkan perjalanannya, mencari keluarga ibunya! Kenapa dia merasa tidak mempunyai keluarga dan hidup sebatang kara" Di sana.masih ada dua orang kakak mendiang ibunya. Kakak perempuan ibunya bernama Yang Kui Lan dengan suaminya bernama Souw Hui San dan kakak laki-laki ibunya bernama Yang Cin Han dengan isterinya Can Kim Hong. Dia mengenai nama-nama itu dari mendiang ibunya dan tak pernah dia melupakan nama-nama itu. Juga tempat tinggal mereka Menurut ibunya, pamannya Yang Cin Han tinggal di Lok-yang, dan bibinya Yang Kui Lan tinggal di Wuhan. Kelak dia akan mengunjungi mereka. Tak dapat dia membayangkan bagaimana paman dan bibinya itu akan menerimanya, dan membayangkan segala kemungkinan dalam penyambutan itu mendatangkan ketegangan dan kegembiraan dalam hatinya.
Dengan jantung berdebar karena tegang , Han Lin memasuki, dusun Li-bun, Betapa dekat dusun ini dengan hatinya, baru sekarang dia merasakannya. Semua benda yang terdapat di situ, pohon-pohon, rumah-rumah dusun, batu-batu besar, selokan-selokan, semua itu begitu ramah menyambutnya dengan kenangan manis, membuat dia merasa bertemu dengan sahabat-sahabat lama. Hal ini tidaklah aneh karena selama sepuluh tahun dia tinggal di dusun itu. Akan tetapi, agaknya tidak ada seorang penduduk dusun itu yang mengenalnya. Ketika dia pergi, kepergiannya dianggap sebagai kematian oleh para penduduk yang mendengar bahwa dia telah terlempar ke dalam jurang bersama ibunya, yaitu Liu Ma, dan ketika itu lima tahun yang lalu, dia adalah seorang pemuda remaja, sedangkan sekarang dia telah menjadi seorang pemuda dewasa. Akan tetapi dia dapat mengenal wajah-wajah tua yang tidak mengalami perubahan, hanya wajah-wajah itu nampak muram, tidak seperti dahulu. Dia tidak mengenal wajah-wajah muda penduduk Li-bun, karena seperti juga dia, orang-orang muda itu dahulu masih kanak-kanak atau remaja ketika dia pergi. Agaknya tidak ada seorangpun di antara penduduk dusun itu yang menaruh perhatian terhadap Han Lin. Dia hanya seorang pemuda berpakaian sederhana, menggendong buntalan pakaian, membawa tongkat bambu. Siapa yang akan menaruh perhatian kepada seorang pemuda sesederhana ini" Satu hal yang agak menghibur hati Han Lin adalah melihat betapa para penghuni dusun Li-bun itu, tua muda, nampak rajin bekerja. Mereka berlalu-lalang dengan langkah tergesa gesa, membawa alat pertanian atau alat alat penangkap ikan. Hal ini berarti bahwa penghuni dusun Li-bun masih memiliki penghasilan yang cukup baik. Hanya saja, mengapa wajahwajah itu muram"
Han Lin menuju ke rumah di mana dahulu dia tinggal bersama Liu Ma. Dan hatinya terharu juga melihat rumah itu masih seperti dulu, terpelihara baik-baik, pekarangannya disapu bersih dan semua pohon yang tumbuh di pekarangan masih seperti dulu, hanya agak lebih besar tumbuhnya. Jantungnya berdebar Seolah dia akan melihat ibunya muncul dari pintu depan menyambutnya. Dia merasa seperti dahulu kalau pulang ke rumah itu Masih biasakah sebetulnya keadaannya dan apakah semua yang dialami lima tahun ini hanya mimpi belaka" Dia bahkan merasa betapa hatinya mengharap kan Liu Ma benar-benar muncul menyambutnya dengan senyum dan pandang matanya yang khas, yang penuh kasih sayang kepadanya! Ketika dia naik ke beranda depan, hampir saja mulutnya memanggil Liu Ma seperti dahulu, dengan sebutan ibu.
Dia menahan suaranya karena pada saat itu dari. pintu depan muncul seorang laki-laki. yang usianya sekitar limapuluh tahun. Pria ini nampak tua dan lemah, namun Han Lin segera mengenalnya.
"Paman Akui!" serunya gembira. orang ini lima tahun yang lalu merupakan seorang pembantu rumah tangga, terutama mengurus kebon dan dipercaya ibunya karena memang jujur dan setia walaupun buta huruf.
Akui memandang pemuda itu dengan alis berkerut. "Siapakah engkau......?" katanya meragu. "Dan ada keperluan apa berkunjung ke sini?" Pandang matanya jelas membayangkan keheranan bahwa pemuda yang tidak dikenalnya itu mengetahui namanya Dia merasa pernah mengenal pemuda Ini, akan tetapi lupa lagi entah di mana.
"Paman, apakah paman sudah lupa kepadaku" Aku Han Lin, paman." Sepasang mata itu terbelalak, la lu nampak ketakutan dan orang itu terhuyung kebelakang seperti telah didorong. "Tidak tidak...." dia menggeleng kepala dan mengangkat kedua tangan seperti hendak melindungi dirinya. "Setan kau.... roh penasaran
Han Lin merasa kasihan, akan tetapi juga geli. Dia tersenyum dan berkata lembut. "Paman Akui, apakah aku kelihatan seperti setan" Lihat baik-baik, aku adalah Han Lin yang lima tahun lalu tinggal bersama mendiang ibu di sini. Aku telah pulang, paman. Aku masih hidup, belum mati dan bukan roh pe nasaran.."
Akui dapat menenangkan hatinya dan dia memandang penuh perhatian, agaknya mulai percaya bahwa yang berdiri di depannya bukan setan, bukan roh penasaran, melainkan seorang pemuda dari darah daging dan kini dia mulai mengenai wajah itu! "Tapi tapi.... bukankah engkau sudah mati lima tahun yang lalu, terlempar ke dalam jurang dan tewas bersama ibumu" Lihat di dalam itu, ada meja sembahyang untuk menyembahyangi arwah ibumu dan arwahmu x
'Tidak, Paman. Ibu memang tewas terjatuh ke dalam jurang, akan tetapi aku tidak mati. Tuhan masih melindungi dan menghendaki aku masih hidup."
"Tapi kalau begitu, kenapa sampai lima tahun baru engkau pulang" Selama lima tahun ini, engkau dimana saja....?" Agaknya Akui belum yakin benar bahwa pemuda yang berdiri di depannya adalah Han-Lin.
"Panjang ceritanya, paman mari kita bicara di dalam. Selain banyak yang kuceritakan, juga banyak yang akan kutanyakan kepadamu. Jangan ragu, paman Akui, aku benar-benar Han Lin yang ketika berusia enam tahun, jatuh dari atas pohon di pekarangan depan itu dan untung ada paman di bawah pohon sehingga tubuhku menimpa paman dan tidak cedera."
Mendengar ini, barulah Akui yakin Bagaimana mungkin pemuda ini dapat mengetahui,apa yang terjadi belasan tahun yang lalu itu kalau pemuda ini bukan Han Lin yang aseli" Pula, kini dia melihat bahwa wajah Han Lin tidak berubah dari wajahnya lima tahun yang lalu, walaupun kini dia lebih tinggi dan tegap.
"Kongcu, benar-benar engkaukah ini ?" Suaranya menjadi serak dan kedua matanya basah ketika Akui memegang tangan Han Lin. "Aih, kongcu betapa malapetaka telah menimpa kita bersama, seluruh warga dusun kita menderita sengsara "
Han Lin tidak ingin orang lain mendengar ucapan ini, maka dia lalu menggandeng tangan Akui dan diajaknya orang tua itu masuk rumah, lalu duduk di ruangan dalam. Ternyata prabot rumah itupun masih seperti dulu, tidak diubah sama sekali dan agaknya yang mengurus rumah itu hanya Akui seorang karena tidak terdapat orang lain di situ. Setelah duduk, agar meyakinkan hati Akui bahwa dia benar Han Lin, pemuda itu lalu secara singkat menceritakan pengalamannya.
"Memang benar bahwa lima tahun yang lalu itu, orangorang jahat membuat aku terjungkal ke dalam jurang, paman. Akan tetapi aku dapat berpegang kepada pohon yang tumbuh di dinding jurang sehingga nyawaku selamat. Ibu tewas di dasar jurang dan sudah kukubur jenazahnya. Biarpun aku terluka, akan tetapi aku diselamatkan seorang kakek yang kemudian menjadi guruku dan aku dibawa pergi untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Setelah lewat lima tahun, barulah aku diperkenankan untuk pulang ke sini. Akui menyusut air matanya karena sedih dan terharu. "Ah, ternyata Tuhan telah melindungi orang yang tidak berdosa. Tidak siasialah selama lima tahun ini aku merawat rumah ini, menjaga dan membersihkannya walaupun semua orang menertawakan aku dan mengatakan bahwa engkau dan ibunya telah tewas. Aku mengambil keputusan untuk merawat terus rumah ini sampai aku mati ternyata, kini tiba-tiba engkau pulang, kongcu, seperti seorang bangkit kembali dari kuburan."
"Aku berterima kasih sekali kepadamu, paman Akui. Akan tetapi sekarang aku ingin mendengar, a.pa yang terjadi di dusun ini sejak aku pergi. Dan bagaimana pula dengan kuil di bukit itu!" . .
"Kongcu, tiga orang losuhu di kuil itu telah terbunuh pula " "Aku tahu, paman. Aku sempat menguburkan jenazah mereka. Yang ingin kuketahui, apa yang terjadi selanjutnya setelah ketiga orang suhu itu tewas?"
"Yang terjadi adalah bencana bagi dusun kita, bahkan juga dirasakan dusun-dusun lain di sekitar sini, kong cu. Kuil itu menjadi sarang mereka.... dan sampai sekarang, kehidupan para penghuni dusun ini seperti dicekam ketakutan, dan tersiksa. Banyak yang diam-diam melarikan diri mengungsi. Yang tetap tinggal terpaksa harus tahan menderita penghinaan dan pehindasan. Mereka itu menganggap seluruh penghuni dusun sebagai pelayan. Semua kebutuhan makan mereka harus kita sediakan, bahkan banyak pula gadis dusun ini mereka tawan. Juga gadis-gadis dari dusun lain. Banyak pula yang mereka pukuli, mereka rampas hartanya, ada pula yang mereka bunuh karena berani melawan Dan semua peninggalan ibumu yang disimpan dalam kamar ibumu ah, semua telah dirampas tanpa aku dapat mencegahnya , kongcu
" "Tidak mengapa, paman. Barang yang hilang sudahlah, jangan dipikirkan lagi," kata Han Lin akan tetapi hatinya terasa nyeri dan panas, bukan ka rena barang-barang peninggalan Liu Ma dirampas orang, melainkan karena mendengar akan berbuatan sewenang-wenang dan kejam dari gerombolan penjahat itu. Seingatnya, yang muncul dan mengacau kuil di puncak Bukit Ayam.Emas hanyalah tiga orang Sam Mo-ong dan seorang pemuda bersuling yang kejam dan licik, yang dia lupa lagi siapa namanya .
"Paman, apakah sampai sekarang mereka itu masih tinggal di kuil di puncak Bukit Ayam Emas, dan kalau masih, berapa banyaknya mereka yang bersarang di sana?"
"Banyak, banyak sekali, kongcu, dan lima orang pemimpin mereka menurut desas-desus para penduduk berjuluk Bu-tek Ngo-sin-liong . Anak buah mereka banyak sekali, antara duapuluh sampai tigapuluh orang dan aku mendengar mereka itu adalah para anggauta Hoat-kauw, kongcu. Entah aliran apa itu, yang jelas, mereka semua suka mempergunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka. Mereka membangun pondok-pondok di sekitar kuil, menjadi tempat tinggal para anggauta. Dan para anggauta itulah yang suka membikin kacau, merampok, menculik wanita, menyiksa dan membunuh!"
Han Lin mengepal tinju. Tak mungkin dia mendiamkan saja kejahatan itu melanda daerah yang demikian indah. Hatinya sudah terbakar mendengar betapa gerombolan itu tidak pantang melakukan kejahatan bagaimanapun, bukan hanya menculik gadis-gadis dusun, bahkan isteri orangpun mereka rampas.
"Paman Kui, terima kasih atas ke baikanmu selama lima tahun merawat rumah ini, dan mulai sekarang engkau boleh tinggal di sini selama hidupmu dan anggap saja rumah ini milikmu sendiri.. Dan sekarang aku mohon kepadamu, rahasiakan kedatanganku. Jangan ceritakan kepada siapapun juga bahwa aku masih hidup dan datang kembali ke rumah ini. Aku hanya akan tjnggal beberapa hari saja di sini, paman, kemudian aku akan pergi lagi sehingga tidak perlu menggegerkan penduduk dusun Li-bun."
Akui mengangguk-angguk maklum, lalu berbisik, "Aku tahu, kongcu. Bukan hanya kongcu yang takut, akupun takut kalau sampai mereka mengenal kongcu. Memang sebaiknya kalau kongcu bersembunyi dan cepat meninggalkan tempat yang tidak aman ini. Aku akan menjaga rumah ini sampai kelak keadaan kembali aman dan kongcu pulang ke sini."
Tentu saja Han Lin menyuruh pelayan itu merahasiakan kehadirannya bukan karena dia takut. Dia akan menentang gerombolan itu dan hal ini harus dia lakukan sendiri tanpa setahu penduduk dusun Li-bun sehingga kelak tidak akan ada akibat yang buruk bagi para penduduk karena dia seorang yang bertanggung-jawab. Akan tetapi biarlah Akui mengira dia takut, hal itu lebih baik lagi agar Akui benar-benar merahasiakan bahwa dia masih hidup dan kembali kesitu .
"Memang benar, paman, aku takut kalau mereka mengetahui aku berada di sini. Akan tetapi, selama lima tahun ini, apakah kepala dusun Li-bun ini mendiamkan saja semua kejahatan itu terjadi" Bukankah dahulu, Lurah Can dari dusun ini terkenal memiliki keberanian dan berwatak adil?"
"Aihh, kongcu. Lurah Can memang mengumpulkan para muda dan menyerbu ke sana, akan tetapi akibatnya, lurah Can dan beberapa orang tewas dan sejak itu, tidak ada lagi yang berani. melawan untuk mati konyol. Dan setelah Lurah Can tewas, mereka mengangkat seseorang di antara mereka menggantikan kedudukan kepala dusun, dan kami semua semakin tidak berdaya."
"Hemm, siapa lurah baru itu?"
"Dia Lurah Ouw yang tinggal di rumah lurah lama bersama keluarganya." "Baiklah, paman. Sekarang paman boleh melanjutkan pekerjaan sehari-hari seperti biasa. Aku akan beristirahat. Apakah kamarku masih terpelihara?"
Wajah Akui berseri. "Masih, kong cu. Biarpun tadinya aku sudah yakin bahwa kongcu dan nyonya telah meninggal dunia, namun kedua kamar itu setiap hari kubersihkan dan pintunya selalu kututup dan kukunci. Tidak ada seorangpun boleh mengganggu kedua kamar itu. Bahkan pakaian kongcu juga masih dalam almari. Yang tidak ada hanyalah barang-barang berharga yang telah diambil oleh mereka, kongcu."
Han Lin memasuki kamarnya dan dia benar-benar merasa terharu. Kamar itu mengingatkan dia akan masa lalu, semua masih seperti dahulu. Ketika dia membuka almari, pakaiannya juga masih lengkap, akan tetapi tentu saja pakaian itu tidak dapat dipakainya sekarang, terlampau kecil. Hari ini sampai malam dia berdiam saja di dalam rumahnya seperti orang bersembunyi, dilayani oleh Akui yang kini nampak berseri wajahnya, seperti tanaman yang hampir mengering mendapatkan siraman air hujan.
Setelah malam tiba Han Lin mengatakan kepada Akui bahwa malam itu dia tidak ingin diganggu, lalu dia menutupkan pintu kamarnya dan mengunci dari dalam. Tanpa diketahui siapapun, dia lalu keluar dari kamarnya melalui jendela. Gerakan Han Lin sudah cepat bukan main, ringan dan cepat seperti seekor burung walet. Kini ditambah kegelapan malam, tidak ada orang akan mampu melihat gerakannya ketika dia berlari dalam kegelapan menuju ke rumah kepal a dusun, yaitu Lurah Ouw seperti yang dia dengar dari Akui tadi . Menurut Akui, lurah itu tinggal di rumah besar bekas rumah keluarga Lurah Can, bersama keluarganya, yaitu tiga orang isteri dan lima orang anak.
Semua anggauta keluarga di rumah Lurah Ouw telah tidur nyenyak. Rumah itu telah sepi ketika bayangan hitam itu berkelebat cepat ke atas wuwungan rumah, lalu melayang turun ke dalam. Tidak lama Han Lin mencari-cari di mana kiranya sang lurah berada, dia mendengar suara dua orang peronda yang agaknya bertugas jaga di rumah kepala dusun itu. Dia segera menyelinap di balik sudu t tembok.
"Wah, yang paling senang adalah Ouw-toako,ya" Menjadi lurah, isterinya banyak, mendapat kehormatan "
"Ssttt, hati-hati kau bicara. Kalau terdengar olehnya, engkau tentu akan dihajar." "Dia tidak akan mendengar. Dia sedang terlelap dalam pelukan isterinya yang terbaru, isteri yang ke empat dan kamarnya di ujung belakang. Tidak akan dapat mendengar suara kita."
"Sudahlah, jangan mengiri. Kalau engkau ingin mendapatkan tempat yang enak, bekerjalah lebih keras, membuat jasa sebesarnya dan tentu Pemimpin kita akan memberimu kenaikan pangkat."
Han Lin membiarkan mereka lewat dan setelah mereka jauh, baru dia keluar dari tempat sembunyinya dan cepat menuju ke kamar di ujung belakang. Dari cahaya Iampu keci l yang remang-remang, dia melihat dalam intaiannya seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh lima tahun tidur mendengkur di samping seorang wanita muda yang cantik, dan wanita itu nampak menangis lirih, hampir tanpa suara. Han Lin dapat menduga bahwa wanita muda itulah selir ke empat dan agaknya diselir oleh sang lurah secara paksa, mungkin direnggut secara paksa dari tunangannya, atau bahkan suaminya, atau orang tuanya .
Tanpa mengeluarkan suara, dia membuka jendela, melompat masuk dan sebelum wanita itu tahu apa yang terjadi, tangan Han Lin menyambar dan wanita itupun terdiam, pingsan tanpa melihat apapun sebelumnya. Agaknya gerakannya itu menimbulkan sedikit goncangan dan sang lurah yang sedang mendengkur itu, menghentikan dengkurnya. Akan tetapi, diapun tidak sempat membuka mata karena begitu tangan Han Lin bergerak, dia sudah tidak tahu apa-apa lagi dan pingsan. Han Lin menyambar pakaian sang lurah yang berserakan, membungkus tubuh lurah yang pendek gendut itu sejadinya, kemudian diapun sudah meninggalkan kamar itu, kini memanggul tubuh sang lurah dan tak seorangpun penjaga tahu bahwa lurah mereka telah meninggalkan rumah di atas pundak seorang yang bergerak cepat dan ringan seperti seekor burung walet.
Pagi-pagi sekali, Han Lin membebaskan totokannya dari tubuh lurah yang sebetulnya adalah seorang tokoh Hoat-kauw bernama Ouw Tit dan yang oleh para pimpinan Hoat-kauw ditugaskan untuk menjadi lurah di dusun Li-bun. Mereka berada di sebuah lereng dan dekat sebuah pondok bambu. Sejak ditotok pingsan, Ouw Tit tidak tahu apa yang terjadi, dan kini, begitu totokannya bebas, dia terkejut, membuka mata dan melihat dirinya berada di dekat pondok, di lereng bukit yang sunyi dan hari masih pagi sekali, matahari baru mengirim cahayanya sebagai tanda bahwa fajar telah menyingsing. Dia merasa tubuhnya yang semalam tidak dapat bergerak itu kaku-kaku dan melihat dirinya setengah telanjang, dengan pakaiannya hanya dibungkuskan di tubuhnya dia terkejut dan cepat dia mengenakan pakaiannya sehingga kini nampak patut, lalu dia memandang kepada pemuda itu dan nampaklah sikapnya yang jagoan dan sudah biasa memerintah.
"Heiii, apa yang terjadi" Di mana aku dan bagaimana dapat berada di siini" Siapa pula engkau" Hayo mengaku sejujurnya !
Melihat sikap ini, di dalam hatinya Han Lin merasa muak sekali. Sungguh merupakan seorang yang berwatak amat buruk dan jelas orang macam ini tentu jahat dan kejam. "Orang she Ouw, akulah yang membawamu ke sini, mengambilmu dari tempat tidur di kamarmu," katanya tenang.
Orang pendek gendut itu melotot dan mukanya menjadi merah karena marah. "Apa...." Berani kau! Sudah ingin mampus, ya?" Dan diapun sudah menerjang maju dan kedua tangannya bergerak cepat melakukan serangan. "Bagaimanapun juga, dia adalah seorang anggau-ta Hoat-kauw yang sudah ada tingkat, maka tentu saja dia pandai ilmu silat. Serangannya dengan kedua tangan bertubi-tubi itu juga mengandung tenaga besar dan cepat.
"Plakkk! Dukk !!" penyerang itu mengaduh-aduh dan mengguncang-guncang kedua lengannya yang terasa seperti patah-patah tulangnya ketika bertemu dengan lengan Han Lin. Akan tetapi dasar orang tak tahu diri, setelah rasa nyeri agak berkurang, dia menyerang lagi semakin ganas, bahkan kini menyusuli pukulannya dengan tendangan kaki-nya yang pendek dan besar.
Han Lin tidak sabar lagi . Dia me nangkap kakikanan yang menendang, mendorong kaki itu ke atas sehingga tubuh Ouw Tit terlempar ke atas.
"Bukk !!" Pantat yang gemuk itu terbanting keras, membuat pemiliknya menyeringai kesakitan. Dia bangkit lagi, menyerang lagi hanya untuk roboh lagi karena terkena tamparan tangan ki ri Han Lin. Pemuda ini hendak menaklukkan dan menundukkan bukan hendak membunuh maka tenaga pukulannya juga terkendali , tidak terlalu keras namun cukup membuat lawan terpelanting keras. .
Dasar orang bandel yang sudah memperoleh kedudukan sehingga merasa paling menang, Ouw Tit bangkit lagi dan mengeluarkan suara gererrgan seperti binatang buas. Karena ketika dibawa ke situ dia tidak bersenjata, maka melihat sebuah dahan kering di bawah pohon, dia lalu menyambar dahan kering itu dan mempergunakannya sebagai senjata, menyerang lagi denganmembabi-buta. Akan tetapi, begitu dia menghantamkan dahan kering itu, Han Lin mendahuluinya, tongkat bambunya menyambar dan menotok pundak, membuat Ouw Tit terpelanting lagi dan tidak mampu bangkit kembali, hanya melotot marah.
Han Lin maklum bahwa dia menghadapi seorang yang kasar dan bandel, maka dia lalu mempergunakan ujung tongkatnya menotok beberapa kali ke arah tubuh si pendek gendut dan kini tubuh itu bergulingan di atas tanah berteriak mengaduh-aduh, berkelojotan dan dalam kesakitan yang hebat.
"Aduhh mati aku aduhhh aughh" ampun, ampunkan aku Akhirnya dia menangis dan minta minta ampun. Karena memang bukan niat Han Lin untuk menyiksa orang, maka begitu orang itu minta ampun, hal yang diharapkan dengan menotok mendatangkan kenyerian itu, dia lalu membebaskan totokannya. Ouw Tit tidak menderita nyeri lagi, hanya tubuhnya masih lemas dan panas dingin karena kini dia mengerti bahwa dia menghadapi seorang yang amat lihai.
."Nan, sekarang apakah engkau masih hendak melawan" Kalau engkau masih membandel , bukan saja aku akan membuat engkau tersiksa seperti tadi, hidup tidak matipun tidak, aku akan menyiksa pula empat orang isterimu dan semua anak-anakmu. Bagaimana?"
"Ampun, taihiap, aku menyerah kalah.... aku minta ampun akan tetapi, rasanya aku tidak pernah mengenal taihiap dan tidak ada urusan di antara kita, kenapa taihiap memperlakukan aku seperti ini?"
"Aku tahu, engkau lurah Ouw dari dusun Li-bun dan engkau adalah anggau-ta Hoat-kauw." ."Benar, benar sekali, taihiap. Aku adalah Lurah Ouw dari dusun Li-bun, dan aku adalah seorang anggauta Hoat-kauw. Karena itu, dengan melihat Hoat-kauw, tentu taihiap tidak akan membunuhku "
"Hemm, justeru karena engkau o-ang Hoat-kauw, aku ingin sekali menyiksamu, menyiksa seluruh keluargamu!" Han Lin membentak dan si pendek gendut itu menjadi pucat.
"Ampun, taihiap.... ampunkan aku, anakku masih kecilkecil"
dia meratap. "Baik, aku akan mengampuni dan mengampuni semua anak isterimu asalkan engkau suka menurut semua kehendakku. Nah, sekarang ceritakan tentang Hoat-kauw yang telah menduduki kuil di Bukit Ayam Emas. Apa hubungan Hoat-kauw dengan Sam Mo-ong, ceritakan semua dengan sejujurnya!"
Karena sudah tidak berdaya sama sekali dan takut kalaukalau dia dan seluruh keluarganya dibasmi oleh pemuda yang luar biasa lihainya itu, Ouw Tit membuat pengakuan. Andaikata dia belum pernah dijadikan kepala dusun, belum pernah mengenyam kesenangan dan kemuliaan sebagai kepala dusun dengan banyak isteri dan anak, mungkin dia akan berkeras tidak mau mengaku, bahkan mungkin memilih mati seperti banyak di lakukan para anggauta Hoat-kauw yang fanatik. Akan tetapi, kesenangan duniawi telah mengikatnya erat-erat dan karena ingin selamat sekeluarga, diapun membuat pengakuan dengan suara tersendat-sendat. Dari mulut Ouw Tit, Han Lin mendengar semuanya. Kiranya Sam Mo ong adalah kaki tangan bangsa Mongol
yang ingin menguasai Kerajaan Tang, dan Sam Mo-ong mengajak Hoat-kauw bersekutu untuk bersama-sama mengguling-an Kerajaan Tang! Dan kuil di Bukit Ayam Emas itu dijadikan semacam sarang oleh Hoat-kauw untuk mengadakan hubungan dengan para utusan Mongol. Kalau Hoat-kauw membuat gerakan dari pusat atau cabang, tentu akan terlalu menyolok dan diketahui pemerintah, maka tempat di Bukit Ayam Emas itu menjadi semacam sarang rahasia.
Han Lin mengangguk-angguk. Kiranya mereka itu bukan memusuhi penduduk dusun Li-bun atau membunuhi para hwe-sio di kuil karena permusuhan pribadi, melainkan karena gerakan yang lebih besar lagi, yaitu untuk memberontak terhadap kerajaan. Ini sungguh berbahaya sekali, terutama bagi penduduk dusun Li-bun, karena mungkin saja pemerintah akan menganggap bahwa seluruh penduduk dusun Li-bun menjadi anggauta pemberontak.
"Sekarang ceritakan siapa saja yang tinggal di puncak Bukit Ayam Emas, berapa orang dan siapa pemimpinnya!" kata pula Han Lin dan suaranya tetap tegas dan penuh wibawa karena diam-diam dia mengerahkan kekuatan batin seperti pernah dia pelajari dari mendiang Kun Hwesio yang ahli sihir. Pengaruh sikap dan suara Han Lin itu sungguh kuat dan pada saat itu, Ouw Tit melihat Han Lin sebagai seorang yang amat menyeramkan dan menakutkan. Karena itu, diapun dengan terus terang menceritakan bahwa anak buah Hoat-kauw yang tinggal di puncak Bukit Ayam Emas ada kurang lebih limapuluh orang dan yang memimpin mereka adalah Bu-tek Ngo Sinliong, lima orang tokoh besar Hoat kauw.
"Akan tetapi, saat ini Bu-tek Ngo Sin-liong tidak berada di sana, karena mereka pergi ke Bukit Harimau, di luar kota Anking untuk menghadiri ulang tahun Hoat-kauw yang akan dirayakan besar-besaran dan mengundang semua partai persilatan'dan aliran."
Han Lin tertarik. "Kapan akan di adakan perayaan itu?"
"Bulan depan." "Nan, sekarang engkau harus ikut denganku ke kota Namsan. Di sana, di depan kepala daerah, engkau harus membuat pengakuan seperti yang kauceritakan kepadaku."
Ouw Tit terbelalak, mukanya pucat. "Tapi tapi, taihiap ;
aku tentu akan ditangkap dan dihukum!" "Hemm, engkau memilih kusiksa dengan seluruh keluargamu, mati perlahan lahan" Begitukah?" Han Lin mengangkat tongkat bambunya mengancam.
"Ampun....! Tidak, tidak, tai hiap." "Kalau begitu, engkau harus membuat pengakuan di depan kepala daerah dan mungkin keluargamu akan terhindar dari hukum. Hayo!" Han Lin menarik tangan orang itu dan dibawanya berlari cepat menuju ke kota Nam-sam yang merupakan kota kabupaten yang membawahi Li bun.
Para penjaga di kantor Bupati Cu segera membawa Han Lin dan Ouw Tit menghadap pembesar itu. Cu-taijin (pern besar Cu) memandang kepada mereka dengan heran, lalu menegur, sambil menudingkan telunjuknya kepada Ouw Tit. "Bukankah engkau Ouw Tit, lurah dusun Li-bun yang menggantikan Lurah Can yang tewas oleh gerombolan penjahat itu?"
"Ampun, taijin, kata Han Lin lantang, "saya ingin melaporkan keadaan di Li-bun. Dahulu, lima tahun yang lalu, Lurah Can tewas di tangan gerombolan penjahat, dan Ouw Tit ini adalah orangnya gerombolan itu yang sengaja diselundupkan dan dengan memaksa penduduk, dia dipilih menjadi lurah baru. Seluruh dusun dan wilayah Li-bun kini telah dikuasai gerombolan yang amat berbahaya karena mereka berniat melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Tang, taijin."
Tentu saja Bupati Cu terkejut bu kan main. "Siapakah engkau, orang muda?" "Nama saya Sia Han Lin, penduduk dusun Li-bun, taljin." Kemudian Han Lin menghardik Ouw Tit. "Hayo engkau cepat membuat pengakuan di depan Tai-jin!"
Bupati Cu memberi isyarat dan lima orang perajurit pengawal segera datang ke ruangan itu dengan golok di tangan untuk menjaga segala kemungkinan karena tentu saja hati bupati itu merasa khawatir bahwa lurah dusun Li-bun itu dikatakan sebagai anggauta gerombolan penjahat yang mempunyai niat memberontak.
"Ceritakan semuanya dengan sejujurnya!" bentaknya kepada Ouw Tit. Ouw Tit merasa terjepit. Menghadapi Han Lin saja dia sudah tidak berdaya dan dia lebih ngeri menghadapi ancaman pemuda tampan yang nampaknya lemah lembut itu dari pada lima orang pe rajurit pengawal yang memegang golok. Dia tahu bahwa kalau dia menghendaki , dia akan mampu mengalahkan lima orang perajurit itu. Akan tetapi dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Han Lin yang lihai. Dia hanya mengharapkan pemuda itu tidak akan mengganggu keluarganya seperti dijanjikan tadi, maka diapun mengulang ceritanya yang tadi dia ceritakan kepada Han Lin.
Mendengar bahwa Li-bun, tepatnya di puncak Bukit Ayam .Emas terdapat sarang gerombolan pemberontak, Cu-taijin terkejut bukan main. Li-bun termasuk wilayahnya, maka kalau sampai terdapat gerombolan pemberontak di sana, itu merupakan tanggung-jawabnya. Dialah yang akan ditegur oleh atasannya kalau gerombolan pemberontak itu makin mengganas dan semakin kuat.
"Jebloskah dia dalam tahanan dan hubungi Un-ciangkun (perwira Un) cepat cepat!" kata bupati kepada pengawalnya . "Taijin, harap hati-hati menghadapi penjahat ini, dia cukup lihai, sebaiknya kalau dibelenggu saja!" Berka-ta demikian, Han Lin menggerakkan tangannya menorok pundak Ouw Tit yang se gera terkulai lumpuh. "Sebaiknya memang kalau Taijin cepat memerintahkan pasukan untuk menyerbu dan menangkapi gerombolan itu. Mereka telah menguasai Li-bun dan menekan penduduk, menyengsarakan mereka. Saya mohon diri dan terserah kepada taiiin."
"Tunggu dulu, Han Lin!" kata bupati itu. "Kalau gerakan kami berhasil menumpas gerombolan pemberontak, engkau telah berjasa dan kami tidak akan melupakan jasamu . Di mana engkau tinggal?"
"Saya tidak mengharapkan imbalan, taijin, saya lakukan ini untuk membela penduduk Li-bun di mana saya tinggal. Selamat tinggal, taijin!" karena tidak ingin diganggu lagi, Han Lin mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat lenyap dari depan pembesar itu yang tercengang. Akan tetapi menyadari gawatnya urusan, Bupati Cu segera memerintahkan petugas untuk membelenggu kaki tangan Ouw Tit yang sudah tertotok lumpuh itu dan menyeretnya ke dalam tahanan dengan pesan agar dijaga ketat. Kemudian dia mengadakan hubungan dengan komandan pasukan di benteng terdekat dan tak lama kemudian, sepasukan perajurit yang terdiri dari duaratus orang bergerak menuju ke dusun Li-bun, dipimpin oleh beberapa orang perwira.
siapapun juga di dusun itu.
(MAAF ADA HALAMAN YANG HILANG) Demikianlah, selagi mereka kebingungan dan sudah mengambil keputusan bahwa kalau sampai sore hari Lurah Ouw belum juga pulang mereka akan melapor kekuil di puncak Bukit Ayam Emas, maka mereka mel ihat seorang pemuda memasuki pekarangan dan dari luar berdatangan pula sepuluh orang pemuda dusun di luar pekarangan.
"Haiii , kalian mau apa" Dan siapa engkau, orang muda" Apa perlumu masuk ke pekarangan ini?" bentak seorang. di antara sepuluh orang jagoan pembantu Lurah Ouw itu dengan sikapnya yang galak. Teman-temannya juga sudah maju mengepung Han Lin dengan setengah lingkaran.
Han Lin yang memegang tongkatnya, bersikap tenang saja ketika sepuluh orang jagoan itu memperlihatkan sikap mengancam, dan diapun maju menyambut mereka dengan bentakan nyaring "Kami adalah penghuni dusun- Libun yang sudah muak melihat kekejaman kalian dan tidak ingin lagi melihat kalian mengacau di dusun kami!"
Mendengar ucapan ini, tentu saja sepuluh orang anggauta Hoat-kauw itu menjadi terkejut, terheran, marah dan juga geli. "Bocah gila, engkau sudah bosan hidup!" bentak seorang di antara mereka yang segera menggerakkan goloknya membacok leher Han Lin, sedangkan yang lain hanya menonton saja karena mereka mengira bahwa seorang teman mereka saja sudah cukup untuk membunuh pemuda yang lancang itu.
Jilid VIII Akan tetapi mereka terbelalak ketika melihat teman mereka yang menyerang itu tiba-tiba saja terjengkang, goloknya terlepas dan dia tidak mampu bangkit kembali. Tahulah mereka bahwa pemuda dusun ini tidak seperti yang lain, memiliki kepandaian maka berani bersikap menantang seperti itu. Sambil berteriak-teriak ganas, sembilan orang menyerang Han Lin dengan golok mereka. Serangan mereka ganas dan semua golok menyambar bagaikan tangan maut. Namun, mereka terkejut ketika pemuda yang mereka serang itu lenyap dan yang nampak hanya bayangannya berkelebat. Tahu-tahu, ada tongkat menyambar-nyambar dari arah belakang mereka. Mereka membalik dan menggerakkan golok untuk menangkis, namun terlambat. Ujung tohgkat bambu yang gerakannya seperti kilat menyambar-nyambar itu menotok mereka satu demi satu dan robohlah mereka bagai kan rumput dibabat pedang.
Sepuluh orang dusun itu kini telah menjadi lebih dari tigapuluh orang Mereka berdatangan dan menjadi penonton saja di luar pekarangan karena mereka semua merasa gentar terhadap sepuluh orang tukang pukul Lurah Ouw itu, Akan tetapi, ketika melihat betapa dalam beberapa menit saja Han Lin sudah merobohkan sepuluh orang yang di takuti, itu, orang-orang dusun bersorak dan mereka menyerbu ke dalam pekarangan, mengangkat senjata di tangan mereka yang bermacam-macam bentuknya, ada kapak, arit, cangkul , garu, palu dan berbagai, macam perkakas lagi,
Han Lin maklum bahwa orang yang mendendam dapat menjadi amat kejam, juga bahwa orang yang merasa menang dapat mabok kemenangan dan dapat melakukan apa saja yang dirasakan menjadi haknya karena menang., Maka cepat dia menghadang dan mengangkat kedua tangan ke atas.
"Berhenti dan tahan senjata!" Bentakannya mengandung wibawa kuat dan tigapuluh orang lebih itu berhenti dan memandang kepada Han Lin dengan heran. Mereka hendak "membantu" pemuda itu membantai sepuluh orang jagoan dan menyerbu rumah Lurah Ouw yang selama ini menjadi seperti, raja lalim di dusun itu, kenapa Han Lin menahan mereka"
"Bi.arkan kami, bunuh mereka semua!" terdengar beberapa orang berteriak. "Tidak!" Han Lin membentak,. "kita tidak suka melihat kekejaman mereka, berarti kita bukan orang-orang kejam seperti mereka! Mari, kita buktikan bahwa kita tidak seperti mereka, Kajau kita sekarang bertindak kejam, lalu apa bedanya antara mereka dan kita?" Dia teringat akan kenyataan yang pernah dipaparkan Lojin bahwa di dalam diri setiap orang manusia terdapat nafsu yang sama. Kalau seseorang mencela orang lain berbuat sewenang-wenang, adalah karena di pencela itu tidak mempunyai kesempatan melakukan hal yang sama. Sekali dia mendapatkan kesempatan, mungkin dia akan lebih jahat dari pada yang dicela! Hanya orang yang tidak diperbudak nafsu-nafsunya saja yang akan dapat selalu ingat dan waspada, tidak menuruti bisikan atau perintah nafsu-nafsunya sendiri.
"Akan tetapi mereka selama ini bertindak kejam terhadap kita!" terdengar bantahan. "Lalu kalian ingin membalas dendam dan bertindak kejam pula terhadap mereka" Kalau begitu, kalian berubah menjadi orang-orang kejam dan aku tidak sudi membantu orang-orang kejam dan pengecut! Kenapa tidak dari dulu kalian melawan tindakan mereka yang kejam" Kenapa baru sekarang, melihat mereka tak berdaya, lalu kalian hendak membantai mereka" Dengar, kalau kalian tidak menurut kepadaku, aku akan pergi dan biar kalian sendiri menghadapi gerombolan yang berada di kuil puncak bukit Ayam Emas!"
Mendengar ucapan pemuda ini, semua orang menjadi pucat wajahnya dan semangat mereka yang menggebu-gebu didorong dendam itupun mengempis dan mereka seperti sekelompok anak-anak yang ketakutan. Kasihan juga rasa hati Han Lin menyaksikan sikap mereka itu. Mereka memang seperti anak-anak yang membutuhkan perlindungan dan pengawasan.
"Aku ingin melihat kalian menggunakan semangat kalian untuk membela diri, bukan untuk bertindak sewenang-wenang dan kejam. Melihat pihak musuh sudah tidak berdaya lalu hendak membantai mereka, itu perbuatan kejam sewenangwenang. Juga kalian tidak boleh menyerang keluarga Lurah Ouw yang tidak bersalah apa-apa. Ketahuilah bahwa Lurah Ouw kini telah kutawan dan kuserahkan kepada yang berwajib. Tak lama lagi pasukan akan menyerbu sarang gerombolan di puncak Bukit Ayam Emas, dan kita harus menjaga agar jangan sampai ada orang dari rumah ini lolos dan memberi kabar kepada gerombolan di Sana. Mengertikah kalian" Kalian hanya bertugas menjaga di sini, mengepung rumah ini agar tidak ada yang dapat keluar, akan tetapi kalian tidak boleh membunuh orang yang tidak menyerang kalian. Mengerti?"
Mendengar ini, semua orang bersorak gembira. Dusun mereka akan terbebas dari . cengkeraman gerombolan penjahat Setelah lima tahun!
"Kami mengerti, kongcu!" Tiba-tiba Akui berseru dan menghadap ke arah orang banyak. "Kita harus menaati perintah Sia-kongcu kalau ingin dusun kita diselamatkan! Orang-orang menyambutnya dengan sorakan setuju.
Han Lin mengangkat tangan dan semua orang terdiam, mendengar. "Saya senang sekali melihat sikap kalian. Sekarang, dengar baik-baik. Sepuluh orang ini harus dibelenggu kaki tangannya dan dibawa ke dalam rumah, aku akan mengumpulkan semua penghuni rumah ini. Hayo sepuluh orang pemuda yang pertama datang ke sini ikut, akan tetapi ingat, jangan membunuh orang. Aku hanya ingin agar semua keluarga Ouw Tit dikumpulkan di ruangan dan diawasi agar jangan seorangpun di antara mereka dapat mengirim berita ke sarang gerombolan. Kalau ada yang berbuat kejam dan jahat, akan kuhajar sendiri!"
Sepuluh orang pemuda itu dengan semangat besar dan sikap seperti jagoan segera mendekati Han Lin dan mengikuti pemuda ini memasuki rumah lurah Ouw. Sedangkan yang lain-lain segera menyerbu pekarangan dan sebentar saja sepuluh orang itu sudah ditelikung dan diikat seperti ayamayam yang hendak dipanggang! Saking benci dan dendamnya biarpun tidak ada di antara mereka yang berani menyiksa apa lagi membunuh, tidak urung sepuluh orang tukang pukul yang sudah tidak berdaya itu menjadi "korban caci-maki, diludahi dan di olok-olok yang bagi mereka jauh lebih menyakitkan dari pada kalau digebuki. Biasanya mereka seperti penguasa-penguasa di dusun itu, tidak ada seorangpun berani memandang kepada mereka, apa lagi bicara kasar. Dan kini, orang-orang dusun itu meludahi mereka, mencaci maki mereka!
Han Lin dan sepuluh orang pemuda dusun menyerbu memasuki rumah. Ternyata tidak ada tukang pukul lain kecuali hanya empat orang isteri sang lurah dan anak-anak mereka, juga ada beberapa orang pelayan wanita. Mereka semua sudah ketakutan dan berkumpul di sebuah ruangan terbesar di rumah itu, maka mudahlah bagi Han Lin dan kawan-kawannya. Mereka semua dikumpulkan di dalam ruangan, dilarang meninggalkan ruangan itu, dan dijaga di pintu oleh sepuluh orang pemuda dusun. Kemudian Han Lin meninggalkan rumah setelah berpesan ke pada Akui agar mengawasi orang-orang dusun itu agar mereka jangan melakukan hal-hal yang jahat seperti menyiksa, membunuh, apa lagi merampok.
Sejak lima tahun yang lalu, kuil di puncak Bukit Ayam Emas telah dijadikan sarang oleh Hoat-kauw yang bertugas mengadakan hubungan dengan pihak Mongol yang diwakili oleh utusan mereka, yaitu Sam Mo-ong, tiga orang datuk besar yang sakti. Dan selama lima tahun ini, mereka telah melakukan banyak hal yang bagi mereka merupakan kemajuan dalam kerja sama mereka. Pihak Sam mo-ong membantu orang-orang Mongol menundukkan saingansaingan mereka, yaitu suku-suku bangsa lain yang juga ingin meluaskah kekuasaannya di wilayah Kerajaan Tang dan memaksa suku-suku bangsa yang lebih kecil untuk bergabung dan membantu orang Mongol. Adapun pihak Hoatkauw yang diwakili oleh Bu-tek Ngo Sin-liong, lima orang tokoh Hoat-kauw, bergerak menalukkan partai-partai persilatan dan aliran-aliran lain untuk menguasai dunia kangouw. Kalau kerjasama ini berhasil, maka Kerajaan Tang akan menghadapi pasukan Mongol yang dibantu oleh sukusuku bangsa lain dan dunia kangouw! Untuk hubungan kerja sama di antara mereka, pihak Sam Mo-ong mewakilkan kepada An seng Gun, putera mendiang An Lu Shan yang diaku anak oleh kakeknya sendiri, yaitu Kwi-jiauw Lo-mo, seorang di antara Sam Mo-ong. Seng Gun ini juga diperuntukan kepada pihak Hoat-kauw agar hubungan dengan pihak Mongol dapat selalu terjalin, juga Seng Gun seolah menjadi pengamat yang mengikuti perkembangan gerakan Hoat-kauw.
Ketika Han Lin kembali ke Li-bun, kebetulan sekali sarang Hoat-kauw di puncak Bukit Ayam Emas itu ditinggalkan para pemimpin besarnya. Lima orang Bu-tek Ngo Sin-liong tidak berada di sana karena mereka sedang sibuk membantu pihak pimpinan Hoat-kauw yang hendak mengadakan perayaan ulang tahun mengundang semua partai dan aliran, perayaan yang akan diadakan di Bukit Harimau, di luar kota An-king, yang merupakan pusat cabang terbesar dari Hoat-kauw saat itu. Seng Gun sendiri sejak dua tahun ini tidak pernah nampak di kuil itu karena dia melaksanakan sebuah tugas rahasia yang diberikan kepadanya oleh Sam Mo-ong.
Han Lin menyelinap di luar perkampungan gerombolan di puncak Bukit Ayam Emas itu. Kuil yang dahulu menjadi tempat di mana dia belajar ilmu silat dari Kong Hwi Hosiang kini telah menjadi perkampungan gerombolan dan di pagari, dan di sekitar kuil dalam perkampungan itu dibangun beberapa buah rumah tempat tinggal anggauta gerombolan.
Karena agaknya mereka semua merasa yakin tidak akan ada seorangpun berani mengusik mereka, maka perkampungan gerombolan itu tidak terjaga ketat. Dengan mudah saja Han Lin melompati pagar bambu memasuki perkampungan tanpa terlihat siapapun dan dia menyelinap antara pondok-pondok itu. Ketika mendengar isak tangis wanita dari sebuah pondok, diapun mendekati dan mengintai . Pondok-pondok darurat itu terbuat dari
kayu dan bambu maka mudah sekali bagi Han Lin untuk mengintai. Seorang wanita muda, usianya tidak akan lebih dari enambelas tahun, menangis terisak-isak di atas pembaringan. Seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar bermuka hitam, duduk di atas kursi dekat pembaringan dan nampaknya marah-marah.
"Sudahlah, jangan menangis saja, menyebalkan kau!" bentak laki-laki itu sambil melotot kepada wanita muda yang menangis. Apa sih maumu?"
"Pulangkan aku" tangis wanita itu, "Kembalikan aku ke rumah orang tuaku, aku ingin kembali kepada mereka" "Sialan! Engkau sudah menjadi isteriku, sudah limabelas hari di sini, dan setiap hari hanya menangis minta pulang !" "Aku bukan isterimu! Engkau engkau menculik dan memaksaku hu-hu-huuhhh, pulangkan aku.... pulangkan aku" "Engkau menjemukan!" bentak laki laki bermuka hitam itu dan dia lalu bangkit berdiri, tangannya menampar. "Plakk.. . .!!" Keras sekali tamparan itu dan wanita itu menjerit dan terjengkang ke atas pembaringan, pipinya yang kiri membengkak biru dan ia menangis semakin sedih.
Melihat ini, Han Lin tidak dapat menahan lagi kesabarannya. Kalau saja mereka itu suami isteri, tentu dia tidak berhak mencampuri urusan mereka Akan tetapi dari tangis wanita tadi dia tahu bahwa wanita yang masih remaja itu diculik dan dipaksa menjadi isteri orang itu, jelas ia adalah seorang di antara banyak korban, yaitu wanita-wanita di Libun dan sekitarnya yang diculik oleh para anggauta gerombolan itu dan dipaksa menjadi isteri mereka dari wanita inilah dia akan mendapat keterangan banyak dan penting, dan semua keterangannya tentu akan dapat dipercaya. Melihat wanita itu ditampar, dia lalu menerobos masuk nelalui pintu depan yang tidak dikunci. Tanpa mengeluarkan suara berisik, Ia sudah berada dalam pondok dan langsung memasuki kamar.
Laki-laki tinggi besar muka hitam itu terkejut ketika tibatiba saja ada seorang pemuda memasuki kamarnya dia sedang kesal dan marah kepada wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Sudah limabelas hari wanita itu dikeram dalam pondoknya, dan setiap hari hanya menangis dan merengek minta dipulangkan saja. Kini, melihat ada pemuda memasuki kamarnya, kemarahannya memuncak.
."Jahanam! Siapa kau berani memasuki pondokku!" teriaknya, dengan kedua tangan dikepal siap untuk memukul sedangkan wanita muda itu terbelalak ketakutan pipinya masih lebam.
"Engkau yang jahanam, laki-laki kejam tak berprikemanusiaan!" Han Lin balas menegur. "Kau bosan hidup!" bentak laki-laki itu dan diapun sudah menerjang dengan kedua kepalan tangan menyambarnyambar dalam serangan bertubi . Namun, sekali Han Lin menggerakkan tangan setelah menghindar dengan langkah mundur, dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan si tinggi besar itu. Si tinggi besar muka hitam itu mengerahkan tenaganya untuk melepaskan kedua tangannya yang tertangkap, namun betapapun dia mengerahkan tenaga, siasia belaka karena kedua lengan itu seperti terjepit besi dan sama sekali dia tidak mampu menggerakkan kedua lengannya. Tiba-tiba Han Lin menggerakkan tangan kiri si tinggi besar yang dipegangnya dan tanpa dapat dicegah lagi, si tinggi besar itu menampar mukanya sendiri, disusul tangan ke dua sampai berkali-kali .
"Plak-plak-plak-plak !!" . Kedua pipinya bengkak dan bibirnya pecah pecah berdarah. Kemudian, Han Lin menotoknya dan si tinggi besarpun roboh tak berkutik lagi.
Han Lin menoleh kepada wanita muda yang masih menangis di atas pembaringan dan yang kini memandang kepadanya dengan sinar mata ketakutan
"Jangan takut, nona. Aku datang uk menolongmu dan menolong semua wanita yang diculik dan dipaksa ditempat ini. Untuk itu aku membutuhkan keterangan dan petunjukmu, maka marilah ikut denganku meninggalkan neraka ini."
Mendengar bahwa pemuda yang lihai itu hendak membebaskannya, tentu saja gadis itu segera menganggukangguk dan cepat ia mengenakan baju rangkap dan sepatunya karena selama dikeram di pondok. itu ia tidak pernah diperbolehkan mengenakan sepatu untuk menjaga agar ia tidak melarikan diri.
Han Lin mengajaknya keluar lalu memondong tubuhnya dan berloncatan, menyelinap di antara pondok-pondok dan akhirnya dia berhasil meloncati pagar bambu tanpa ada yang dapat melihatnya. Dia mengajak gadis itu ke sebuah hutan di lereng bukit, lalu minta keterangan tentang sarang gerombolan itu. Dengan girang dia mendapat keterangan bahwa saat itu, semua pimpinan Hoat-kauw tidak berada di. sana, karena semua pergi entah ke mana gadis itu tidak mengetahuinya.
"Yang berada di sana kurang lebih limapuluh orang anggauta gerombolan. Lima orang yang biasanya menjadi. pimpinan disana, yaitu Bu-tek Ngo Siong, telah pergi sejak beberapa hari yang lalu.
"Dan berapa banyaknya wanita yang seperti. engkau, diculik dan dipaksa tinggal di sana?" "Banyak sekali" Hampir semua anggauta gerombolan menculik wanita dan memaksanya menjadi, isterinya. Bahkan ada pula yang telah mempunyai. anak. Ada pula belasan orang gadis muda yang diculik. dan disekap dalam sebuah pondok yang dijadikan tempat tahanan para gadis itu, Ahh, sungguh buruk sekali nasib kami wanita-wanita dusun yang lemah dan bodoh Kami bagaikan sekawanan domba yang berada di tengah-tengah gerombolan srigala .. . " gadis itu meratap sambil menangis.
"Sudahlah, nona, jangan menangis. Mari, kuantar engkau ke dusun Li-bun dan untuk sementara tinggallah dulu di sana. Kelak engkau dan para wanita itu akan diantar pulang,"
Han Lin lalu mengantar wanita itu ke dusun Li-bun dan Akui menerimanya dengan ramah.. Setelah. menceritakan tentang wanita itu kepada Akui. dan menyuruh Akui, menyediakan kamar untuknya, membiarkannya untuk sementara tinggal disitu, Han Lin lalu pergi menemui penduduk. Li-bun. Dia menceritakan segalanya kepada mereka dan mengajak mereka untuk. bersiap ikut menyerbu sarang gerombolan.
Pada keesokan harinya, sekitar duaratus orang pasukan dari Nam-san pagi-pagi sekali sudah tiba di Li-bun. Han Lin atas nama penduduk Li-bun menemui komandannya dan memberitahu bahwa penduduk akan membantu gerakan pasukan dan bahwa wani a-wanita yang berada di sarang gerombolan adalah penduduk dusun yang diculik karena itu mereka tidak berdosa Dia mengharap agar pasukan tidak mencelakai. mereka dan penduduk dusun akan membebaskan mereka. Komandan pasukan mengerti dan menyetujui permintaan itu.
Demikianlah, malam tadi berlalu tanpa ada persangkaan buruk dari para anggauta Hoat-kauw, maka tentu saja mereka menjadi panik ketika pagi-pagi sekali, pasukan yang besar jumlahnya datang menyerbu.
Han Lin memimpin penduduk Li-bun menyerbu melalui. bagian belakang dengan membobol pagar, dan mereka membebaskan para wanita dan anak-anak. Akan tetapi tidak semua wanita mau dibebaskan. Bahkan ada di antara mereka yang membantu suami mereka melakukan perlawanan dan ikut gugur! Mereka adalah para wanita yang sudah jatuh cinta kepada penculik mereka.
Akan tetapi sebagian besar para wanita dengan gembira ikut membebaskan diri. Puluhan orang wanita dan kanakkanak melarikan diri. Sementara itu para anggauta Hoat-kauw melakukan perlawanan mati-matian, akan tetapi karena pihak pasukan jauh lebih besar jumlahnya, dan mereka diserbu dengan mendadak sehingga tidak siap sedia akhirnya mereka berantakan. Sebagian besar dari mereka terbunuh dan hanya sedikit saja yang berhasil lolos dari maut, pada hal mereka adalah anggauta-anggauta Hoat-kauw yang rata-rata memiliki kepandaian lumayan. Pasukan lalu membakar sarang gerombolan itu sampai rata dengan tanah.
Penduduk Li-bun lalu mengatur pemulangan para wanita itu ke rumah keluarga masing-masing, Han Lin menyerahkan pekerjaan ini kepada penduduk Li-bun karena dia sendiri segera berangkat ke Bukit Harimau untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh Hoat-kauw.
Kita kembali tiga tahun yang lalu Perkumpulan Nam-kiangpang (Perkumpulan Selatan Sungai) merupakan perkumpulan silat yang terbesar di sebelah selatan Sungai Yang-ce-kiang. Nam-kiang-pang mempunyai sumber yang kuat dari Siauwlim-pai dan Bu-tong-pai, maka para pimpinannya mempunyai kepandaian tinggi. Hal ini adalah karena pendirinya dahulu memang murid Bu-tong-pai yang kemudian menjadi murid Siauw lim-pai. Sampai sekarang hubungannya dengan kedua partai besar itu dekat.
Ketua Nam-kiang-pang bernama Tio Kui Po yang terkenal dengan julukan Thian-te Sin-to (Golok Sakti Bumi Langit). Dia berusia limapuluh tahun gagah perkasa dengan tubuh tinggi tegap Ilmu silatnya hebat apa lagi ilmu goloknya.
Namun Tio-pangcu (ketua Tio) ini seringkali termenung dengan hati penasaran. Dia mempunyai banyak murid akan tetapi di antara sekian banyaknya murid, hanya ada seorang saja yang memiliki bakat yang baik. Nama murid ini Ciu Kang Hin seorang pemuda berusia duapuluh tahun. Pada hal yang dia harapkan dan sayang adalah seorang pemuda yang bernama Tio Ki Bhok, keponakannya sendiri. Namun pemuda yang usianya duapuluh tahun ini bahkan ketolol-tololan dan biarpun sudah digemblengnya istimewa namun hasilnya tidak memuaskan hatinya, bahkan mengecewakan Seringkali Tiopangcu melamun dan bersedih.
Pada suatu sore, Tio-pangcu berjalan-jalan seorang diri di tepi sungai Bagian tepi sungai di situ sunyi sekali, Selagi Tiopangcu berjalan sambil termenung, bermaksud pulang karena kepergiannya sudah cukup jauh dan dia tidak ingin kemalaman dijalan tiba-tiba dari balik semak belukar di tepi sungai nampak ada belasan orang berpakaian serba hitam dan mereka semua mengenakan topeng seperti yang biasa dipakai oleh orang-orang Beng-kauw,
Tigabelas orang itu mengepungnya dan sikap mereka mengancam. Tio-pangcu dengan tenangnya menghadapi mereka. Dia mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata, "Cuwi. (anda sekalian) siapakah" Dan ada keperluan apakah menghadangku" Aku Tio Hui Po rasanya tidak pernah bermusuhan dengan cuwi ."
"Tio-pangcu, Nam-kiang-pang selalu memandang rendah kepada Beng-kauw kami, kini. kami, mendapat kesempatan untuk membuktikan sampai, dimana kepandaian ketua Namkiang-pang maka demikian sombongnya kepada kami."
Tio-pangcu tepsenyum dan mengangguk-angguk. "Hemm, jadi kalian ini orang-orang Beng-kauw" Ketahuilah kita dipandang orang karena ulah kita sendiri dipandang tinggi atau rendah merupakan penggambaran dari perbuatan kita. Siapa yang tidak tahu bahwa Beng-kauw adalah golongan sesat yang tidak pantang berbuat jahat" Tentu saja kalian dipandang rendah. Seperti yang kalian lakukan sekarang ini adalah perbuatan yang rendah."
Belasan orang itu menjadi; marah. "Tio Hui Po manusia sombong rasakan pembalasan kami Mereka lalu menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Tiopangcu. Orang-orang Beng-kauw itu menggunakan bermacam senjata yang aneh-aneh, dan Tio Hui Po segera mencabut goloknya.
Sinar golok yang dimainkan Tio-pangcu bergulung-gulung menyilaukan mata sehingga sukar bagi para pengeroyoknya untuk dapat menembus perisai sinar golok itu dengan senjata mereka. Pada saat itu muncul seorang pemuda yang dengan gagahnya menghardik, "Belasan Orang mengeroyok seorang saja. Pengecut!" Pemuda itu menggunakan pedang membantu Tio-pangcu dan ternyata gerakannya cukup hebat.
Tio Hui Po sebetulnya tidak perlu dibantu karena goloknya cukup kuat untuk melawan tigabelas orang itu. Malah dia merasa khawatir kalau-kalau" pemuda itu akan celaka di tangan orang-orang Beng-kauw yang lihai, maka dia memutar goloknya dengan cepat sambil mendekati pemuda itu untuk melindunginya. Akan tetapi terlambat. Apa yang dikhawatirkan terjadi. Tiba-tiba pemuda itu mengeluh dan pundaknya berdarah. Melihat ini Tio-pangcu menggerakkan goloknya lebih cepat lagi dan dua orang pengeroyok roboh. Akan tetapi pada saat itu seorang di antara para pengeroyok melepas benda peledak di atas tanah. Terdengar suara ledakan dan asap mengepul tebal. Tio-pangcu yang khawatir kalau asap itu beracun, cepat melompat dan menarik tangan pemuda itu, dibawa meloncat menjauhi asap, dan ketika mereka memandang, ternyata belasan orang itu sudah melarikan diri di balik asap.
Tio-pangcu membawa pemuda itu menjauh, dan tiba-tiba pemuda itu mengeluh dan terkulai pingsan. Cepat Tio Hui Po merangkulnya dan memeriksa lukanya. Luka di pundak, untung tidak merusak tulang, hanya mengeluarkan banyak darah dan agaknya luka mengandung racun sehingga pemuda itu tak sadarkan diri. Cepat dia menotok beberapa jalan darah agar racun tidak menjalar makin jauh dan menggunakan obat menghisap racun, sambil membantu dengan penyaluran dengan tenaga sakti.
Akhirnya pemuda itu mengeluh, sadar dan bangkit. Seuntai kalung keluar dari batik baju di dadanya Melihat kalung itu, Tio-pangcu terkejut dan terheran-heran. Kalung itu sama benar dengan kalung yang selama ini disimpan dan dipakainya. Akan tetapi dia menahan gejolak hatinya dan diam saja. Ketika pemuda yang usianya sekitar delapanbelas tahun dan berwajah tampan itu membuka matanya, dia segera bangkit duduk dan memberi hormat kepada Tio-pangcu.
"Terima kasih atas pertolongan lo-cian-pwe Saya harus malu, saya yang mau membantu lo-cian-pwe malah di tolong." "Siapakah engkau, orang muda ilmu pedangmu cukup baik, akan tetapi agaknya engkau tidak tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang Beng-kauw yang berbahaya.
"Saya bernama Tong Seng Gun, locian-pwe. Kebetulan sekali saya berada di sini ketika melihat lo-cian-pwe dikeroyok banyak orang. Saya sedang mencari seseorang."
"Siapa yang kaucari" Mungkin aku mengenalnya dan mengetahui di mana dia berada."
"Dia adalah ketua perkumpulan Nam-kiang-pang, bernama Tio Hui Po. Apakah lo-cian-pwe mengenalnya?" Tio-pangcu memandang tajam ketika menjawab, "Akulah yang bernama Tio Hui Po ketua Nam-kiang-pang. Orang muda, mau apakah engkau mencari aku?"
Orang muda itu terbelalak, nampak kaget sekali dan memandang kepada Tio-pangcu, kemudian dia menjatuhkan dirinya sambil menangis.
Tio-pangcu menyentuh pundaknya mengangkatnya bangun dan tidak berlutut. "Tenanglah dan ceritakan kepadaku mengapa engkau mencari aku."
."Ah, lo-cian-pwe, beruntung sekali saya dapat bertemu dengan lo-cian-pwe setelah lama saya cari. Ketahuilah bahwa saya adalah keponakan dari mendiang Si-ang-cu Sianli ketua Ang-lian-pang (Perkumpulan Teratai Merah) di Hang-kouw
"Apa?" Tio-pangcu terkejut. "Si-ang-cu Sianli telah mati" Apa yang terjadi?"
"Tiga bulan yang lalu Ang-Han pang diserbu oleh Bengkauw dan bibi tewas di tangan mereka" "Ahhh Tio-pangcu mengepal tinju, memejamkan matanya dan membayangkan peristiwa yang terjadi duapuluh tahun yang lalu. Dia masih muda ketika itu dan belum menjadi ketua Nam kiang-pang. Dia bertemu dengan Siang-cu Sianli , keduanya masih muda dan Siang-cu Sianli juga baru menjadi calon ketua Ang-lian-pang. Keduanya saling jatuh cinta, akan tetapi sebagai calon ketua keduanya tentu saja tidak boleh menikah. Hubungan mereka akrab sekali, keakraban yang mendalam dan akhirnya karena tidak-dapat menahan diri, mereka melakukan hubungan badan. Ketika Siang-cu Sianli pergi menyembunyikan diri dengan dalih memperdalam ilmunya dan setelah ia melahirkan seorang anak laki-laki, ia membawa anak itu kepada Tio Hui Po dan menyerahkan anak itu kepada ayahnya. Hal ini terpaksa dilakukan karena la harus melakukan upacara pengangkatan sebagai ketua Ang-lianpang. Hui Po menjadi pusing tujuh keliling ketika menerima anak laki-laki yang masih bayi itu. Dia sendiri adalah calon ketua Nam-kiang-pang Terpaksa dia menemui Tio Sun Po, adiknya yang sudah berkeluarga membawa anak itu dan mengatakan bahwa terpaksa membawa anak laki-laki itu karena ibunya tewas oleh penjahat dan anak itu tidak mempunyai keluarga lagi Tio Sun Po menerima dan memelihara anak itu yang diberi nama Tio Ki Bhok, diaku anak oleh Tio Sun Po. Setelah anak itu berusia belasan tahun, Tio Hui Po yang sudah menjadi ketua Nam-kiang-pang mengambil nya dan melatih."keponakannya" ini dengan ilmu silat. Demikianlah hal-hal yang teringat oleh Tio Hui Po pada saat itu. Kini bekas kekasihnya atau ibu Tio Ki Bok, Siang-cu Sian-li tewas oleh orang-orang Beng-kauw. Bahkan dia sendiri tadipun diserang orang-orang Beng-kauw!
"Akan tetapi, kenapa engkau mencari aku?" akhirnya dia bertanya. "Maaf, lo-cian-pwe, sebelum meninggal dunia karena lukalukanya, bibi Siang-cu menyerahkan kalung ini kepada saya dan minta agar saya mencari lo-cian-pwe dengan pesan agar lo-cian-pwe sudi menerima saya menjadi murid, agar kelak saya dapat membalaskan sakit hati ini kepada Beng-kauw."'
Tio-pangcu menerima kalung itu, mengamatinya sejenak dan dia yakin bahwa itu adalah kalung yang diberikannya kepada kekasihnya dahulu. Dia termenung dengan hati sedih membayangkan kekasihnya itu terbunuh oleh orang Bengkauw. Dan dia teringat bahwa di antara muridnya tidak ada yang berbakat kecuali hanya seorang, maka tidak ada jelek nya memenuhi permintaan terakhir dari Siang-cu Sian-li. Apa lagi dia tadi sudah melihat bahwa pemuda ini memiliki gerakan yang cukup tangkas.
"Baiklah, Seng Gun. Demi Siang-cu Sian-li aku menerima engkau menjadi muridku." katanya. Mendengar ini, dengan girang Seng Gun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Tio-pangcu. Demikinlah, mulai saat itu, Seng Gun menjadi murid Tio-pangcu.
Sama sekali Tio Hui Po tidak pernah menduga bahwa dia telah memelihara anak harimau yang buas dan kelak akan membahayakan dirinya. Seperti kita ketahui, Seng Gun adalah cucu yang diangkat putera oleh Kwi-jiauw Lomo seorang di antara Sam Mo-ong yang menjadi utusan orang Mongol Dan Seng Gun menerima tugas khusus dari Sam Mo-ong untuk" membantu gerakan Hoat-kauw. Para penyelidik Hoat-kauw menyelidiki partai-partai persilatan dan aliran yang tidak mau di ajak kerjasama dan melakukan siasat adu domba di antara mereka. Musuh utamanya yang terkuat adalah Beng-kauw karena Beng-kauw memiliki banyak orang pandai. Karena itu mereka berusaha untuk membuat Beng-kauw dimusuhi semua aliran dengan melakukan perbuatan fitnah yang dijatuhkan kepada Beng-kauw. Perkumpulan Ang-sin-liong yang diketuai oleh Siong-cu Sian-li diserbu dengan menyamar sebagai orang-orang Beng-kauw, dan mereka berhasil membunuh Siang-cu Sian-li. Mereka sudah menyelidiki dan mengetahui rahasia Tio pangcu, maka Seng Gun mendapat tugas rahasia untuk menyusup dalam Nam-kiang pang sebagai keponakan Siang-cu Sian-li. Hal ini adalah karena pihak Hoat-kauw maklum betapa lihainya Thian-te Sin-to Tio Hui Po, dan nama besar Nam-kiang-pang amat berpengaruh sehingga kalau mereka dapat menguasai Nam-kiang pang, maka akan mudah sekali untuk menggerakkan perkumpulan lain untuk me musuhi Beng-kauw.
Hampir dua tahun Seng Gun menerima gemblengan dari Tio-pangcu. Dia menyembunyikan kepandaiannya sendiri sehingga baik suheng-suhengnya maupun suhunya sendiri tidak tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian tinggi, ketika dia membantu Tio-pangcu dua tahun yang lalu, menghadapi pengeroyokan orang-orang Beng-kauw yang sebetulnya adalah anak buah Hoat-kauw yang menyamar, dia tidak memperlihatkan ilmunya maka Tio-pangcu yang lihaipun dapat dia kelabui .
Selama dua tahun dia sudah mempelajari banyak, dan mungkin hanya sedikit di bawah suhengnya Ciu Kang Hin. Diam-diam Tio-pangcu girang mendapat kenyataan bahwa Seng Gun amat berbakat, tidak kalah dibandingkan dengan Kang Hin sehingga kini dia mempunyai dua orang murid yang boleh diandalkan.
Pendekar Bodoh 15 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Seruling Samber Nyawa 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama