Ceritasilat Novel Online

Maling Budiman Berpedang Perak 2

Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


kekalahannya yang dulu, akan tetapi Tan Hong tidak perduli. Pemuda yatim piatu yang hidup seorang diri di dunia ini memang tidak khawatir akan dirinya terhadap segala macam bahaya yang bakal menimpa dirinya.
Kelenteng Kim-ci-tang adalah sebuah kelenteng yang besar dan mempunyai ruangan
yang amat luas. Kebetulan sekali ketika Tan Hong tiba di kuil tersebut, hari itu banyak sekali tamu-tamu memenuhi ruang depan kelenteng dan para hwesio penyambut para
tamu sibuk menyediakan segala macam keperluan sembahyang. Kepenuhan kelenteng
ini ada hubungannya dengan bencana banjir yang mengamuk di mana-mana hingga
orang-orang pada datang minta berkah dan bersembahyang di kelenteng itu. Orangorang hartawan bersembahyang untuk minta perlindungan bagi keselamatan
sekeluarganya. Ada pula yang minta supaya sanak keluarganya yang tinggal di daerah banjir mendapat perlindungan, dan banyak pula yang lainnya hanya datang umtuk
minta jodoh, minta peruntungan baik dan sebagainya. Memang, di manapun juga,
selalu dunia ini penuh dengan kebutuhan dan permintaan manusia yang tak ada
batasnya dan tak pula puas-puasnya!
Melihat banyaknya para tamu yang datang, Tan Hong menjadi ragu-ragu. Ia merasa
kurang baik kalau mengganggu ketenteraman mereka itu dengan maksudnya mengadu
kepandaian, karena hal ini akan mendatangkan sangkaan, bahwa ia sengaja datang
hendak mangacaukan suasana yang aman tenteram itu. Apakah To Tek Hosiang sudah
lupa akan janjinya" Diam-diam ia merasa girang juga, karena iapun tidak ada nafsu untuk bertempur memperbesar rasa permusuhan.
Tan Hong lalu mengikuti orang-orang yang bersembahyang dan agar jangan
menimbulkan curiga pada para hwesio penyambut tamu, iapun membeli hiosoa (dupa)
dan bersembahyang pula, sungguhpun ia menyalakan hiosoa dan mengangkatangkatnya itu hanya sekedar memberi hormat belaka.
Akan tetapi, setelah ia selesai bersembahyang dan keluar dari ruang sembahyang, tiba-tiba saja To Tek Hosiang telah berdiri di depannya dan berkata, "Ha, Gin-kiam Gi-to, ternyata kau benar-benar menepati janji!"
Tan Hong segera mengangkat tangannya sambil tersenyum, "Losuhu, apakah selama ini kau baik-baik saja" Kukira kau telah lupa akan janji kita."
Berubah air muka To Tek Hosiang mendengar hal ini. "Tan-sicu (tuan she Tan yang
gagah), seorang laki-laki, sekali mengeluarkan janji, selamanya takkan lupa. Sayang sekali hari ini tak kusangka-sangka tamu datang begini banyak, maka terpaksa pinceng tak dapat melayanimu. Kalau kau tidak berkeberatan, harap kau datang nanti malam
dan pinceng tentu telah bersedia untuk menyambut dan melayanimu."
Tan Hong tertawa. "Losuhu, benar-benarkah kau masih berhati muda dan masih suka
berkelahi" Baiklah, aku hanya memenuhi keinginanmu saja." Tiba-tiba pemuda ini tak mau berbicara lagi, karena ia melihat bahwa di situ ada beberapa orang yang
memandang ke arah mereka dengan tajam. To Tek Hosiang lalu menjura memberi
hormat kepada Tan Hong dan berkata, "Sahabatku yang baik. Pinceng menanti
kedatanganmu nanti malam." Setelah berkata demikian, To Tek Hosiang lalu
mengundurkan diri ke ruang dalam, sedangkan Tan Hong-pun lalu menuju keluar. Tiba-tiba pemuda itu menyelinap di antara para pengunjung dan menyembunyikan dirinya di belakang tubuh orang-orang lain, karena pada saat itu ia melihat dua orang pengunjung yang membuat hatinya berdebar-debar. Mereka ini tidak lain ialah Siok Lan dan
ayahnya! Tan Hong merasa heran kepada dirinya sendiri, mengapa ketika ia melihat
nona itu beserta ayahnya, hatinya secara mendadak menjadi berdebar-debar dan ia
menjadi malu, hingga tak berani memperlihatkan mukanya! Ia berbuat begitu, karena ia sadar bahwa pakaiannya sangat buruk dan memalukan, maka secara diam-diam ia
mengintai dan memandang ke arah Siok Lan dengan mata berseri dari jauh. Alangkah
cantiknya gadis itu, hingga ia serasa melihat seorang bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Ketika ia mengetahui betapa banyak mata laki-laki lain, pengunjung kuil itu, juga tertuju kepada Siok Lan dengan kagumnya, timbul ah rasa kurang senang di
hatinya! "Haaa, apakah aku sudah gila?" bisiknya dalam hati dan ketika ia melihat Siok Lan dan ayahnya masuk ke ruang sembahyang, ia lalu melangkah keluar. Akan tetapi, ketika ia hendak meninggalkan kelenteng itu, kakinya terasa amat berat. Sebetulnya hatinyalah yang terasa berat, berat untuk meninggalkan gadis itu. Kemudian diam-diam Tan Hong lalu bersembunyi di belakang sebatang pohon yang tumbuh di kelenteng itu, pura-pura beristirahat dan duduk menyandar pada sebatang pohon. Tetapi sebenarnya ia
memperhatikan pintu kelenteng dengan penuh perhatian, melihat kalau-kalau Siok Lan dan ayahnya keluar dari situ.
Sejurus lamanya ia menanti dengan sabar, dan akhirnya ia melihat nona itu keluar dari pintu kelenteng sambil berbisik-bisik dengan ayahnya, entah apa yang sedang
dibicarakannya. Mereka berdua keluar dari kelenteng dan terus berjalan menuju ke
utara, Tan Hong diamdiam mengikuti mereka dari belakang untuk mengetahui ke mana
kedua orang itu hendak pergi. Ternyata bahwa Siok Lan dan ayahnya tinggal di sebuah rumah penginapan yang tak jauh dari kelenteng itu. Tan Hong benar-benar seperti
orang yang tidak waras otaknya. Sehari itu, ia berdiri saja di satu tempat yang tak jauh dari rumah penginapan itu dan memandang ke arah hotel dengan penuh harap melihat
gadis itu kalau-kalau keluar. Akan tetapi ia kecewa, karena Siok Lan dan ayahnya Lo Cin Ki si Garuda Sakti, sampai sore tidak muncul-muncul keluar dari hotel itu.
Tan Hong terpaksa meninggalkan tempat itu, karena ia harus pergi ke kelenteng Kimci-teng untuk memenuhi janjinya dengan To Tek Hosiang. Ia mengambil keputusan,
apabila malam nanti urusannya dengan To Tek Hosiang telah beres, ia akan
mengunjungi susioknya itu.
Hari telah mulai gelap dan ketika Tan Hong meninggalkan tempat itu hendak menuju ke kelenteng, tiba-tiba dari atas pohon di mana ia tadi berdiri terdengar suara laki-laki yang parau menegur, "Sahabat, berhenti dulu!"
Tan Hong terkejut dan bersiap sedia. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa di atas pohon itu ada orang. Orang itu melompat turun dan ternyata yang melompat turun dari atas pohon itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Biarpun
tubuhnya tinggi besar dan gerakannya lamban, akan tetapi sepasang matanya
membayangkan kecerdikan dan ketika ia melompat turun tadi, Tan Hong dapat
menduga bahwa orang itu memiliki kepandaian tinggi.
Tan Hong berhenti dan menghadapi orang tinggi besar itu. "Sahabat, bukankah kau Gin-kiam Gi-to?" tegur si muka hitam itu.
Tan Hong tercengang mendengar pertanyaan ini, akan tetapi ia tidak mau menyangkal.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Tan Hong.
Si muka hitam tertawa dan ketika ia tertawa, maka mukanya yang hitam itu nampak
menarik dan gagah. "Mudah saja. Kau mempunyai gerakan yang menyatakan bahwa
kau pandai ilmu silat, sedangkan pedang yang berada di punggungmu itu bergagang
perak. Pakaianmu juga serba hitam seperti biasanya pakaian seorang ya-heng-jin (orang pejalan malam). Siapa lagi selain seorang pencuri berilmu tinggi yang memiliki pedang perak yang bernama Gin-kiam Gi-to?"
Tan Hong merasa kagum juga akan kejituan orang ini, maka ia lalu berseru, "Ah, kau benar-benar orang luar biasa, kawan. Apakah kau ini seorang penyelidik atau penjaga keamanan?" pertanyaan ini diucapkannya dengan tenang, menandakan bahwa ia sama
sekali tidak takut.
"Bukan! Aku hanya merasa heran sekali, mengapa Gin-kiam Gi-to yang namanya
tersohor sebagai seorang gagah, ternyata kini diam-diam mengintai seorang gadis
cantik seperti lakunya seorang bangsat rendah! Ayoh kau ikut aku pergi kepada gadis itu untuk minta maaf!"
Merahlah muka Tan Hong mendengar celaan ini. Ia harus datang kepada Siok Lan untuk minta maaf"
"Kau ngigau! Siapa sudi menuruti permintaanmu yang bukan-bukan itu?"
Si muka hitam tertawa lagi dan tiba-tiba ia mencabut pedangnya. "Jangan kau banyak tingkah! Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku Hek-bin-mo (Setan Muka
Hitam) Ong Kai tidak nanti takut kepadamu! Apakah kau harus ikut aku pergi menemui gadis itu atau pedangku akan bicara?"
"Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk bertengkar dengan segala iblis
muka hitam!" kata Tan Hong, lalu ia membalikkan tubuhnya dan lari cepat. Akan tetapi Ong Kai juga melompat dan berseru, "Baik, pedangku akan bicara. Awas serangan!"
teriaknya dan ia mengirim tusukan dengan pedangnya. Tan Hong berlaku waspada, dan iapun sudah mencabut gin-kiamnya dan segera menangkis. Terkejut juga ia ketika
merasa betapa tenaga si muka hitam itu benar-benar kuat dan mengejutkan. Si muka
hitam tertawa lagi dan terus menyerang dengan sengit. Ilmu pedangnya sungguh hebat, segalanya ini di luar dugaan Tan Hong. Diam-diam Tan Hong mengeluh, karena sebelum ia menghadapi To Tek Hosiang, ternyata sekarang bertemu dengan seorang lawan yang tangguh, kukwai (aneh), lihai dan mempunyai maksud yang bukanbukan! Terpaksa ia
melayani dan mengerahkan tenaganya dengan maksud menjatuhkan pedang lawan.
Akan tetapi, gerakan Ong Kai benar-benar di luar terkaannya dan untuk beberapa lama keduanya bertempur seru dalam keadaan seimbang.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara suitan nyaring yang terdengar jelas sampai ke tempat itu. Mendengar suara suitan yang tidak mempunyai arti apa-apa bagi Tan Hong ini, si muka hitam menghela napas dan berkata, "Sayang sekali! Baru saja enak-enak bertempur denga lawan yang menyenangkan, suhu telah memanggilku! Sudahlah,
maling! Kali ini aku mengampunimu, akan tetapi lain kali kalau aku melihat kau
mengintai gadis-gadis lain nanti, awas, aku takkan berhenti berusaha untuk dapat
merobohkanmu!"
"Iblis Muka Hitam yang bodoh!" Tan Hong memaki gemas, akan tetapi si muka hitam
sudah melompat jauh meninggalkannya. Tan Hong tidak mau mengejar, karena ia harus pergi ke tempat To Tek Hosiang. Diam-diam ia kagum juga melihat ketangkasan dan
kehebatan si muka hitam itu, dan ingin sekali mengetahui siapakah suhunya yang tadi bersuit memberi tanda panggilan. Alangkah anehnya orang-orang di kalangan kangouw, dan alangkah banyaknya orang-orang pandai di dunia ini! Peristiwa tadi memberi pelajaran lagi bagi Tan Hong, bahwa orang-orang yang berkepandaian tinggi sungguh banyak jumlahnya di dunia ini.
Ketika Tan Hong tiba di kuil Kim-ci-tang, hari telah mulai gelap, akan tetapi di ruang depan kuil itu nampak terang karena dipasangi lampu beberapa buah. Agaknya di situ ada tamu, karena di meja besar duduk empat orang hwesio bercakap-cakap. Ternyata
bahwa To Tek Hosiang sedang menghadapi tiga orang hwesio lain yang gemuk-gemuk
dan berpakaian mewah, ternyata jubah yang dipakai hwesio terbuat daripada sutera
halus! Dari luar Tan Hong dapat melihat betapa sikap To Tek Hosiang hormat sekali terhadap ketiga orang tamunya yang nampaknyapun lemah-lembut dan sikapnya
seperrti hwesio-hwesio yang berilmu tinggi dan sopan-santun.
Oleh karena ini, tan Hong tidak mau mengganggu dan berdiri di tempat gelap. Akan
tetapi, To Tek Hosiang yang mempunyai pandangan dan pendengaran tajam, telah
dapat melihatnya, maka hwesio ini lalu menghadap ke arah Tan Hong dan berkata,
"Selamat datang, Tan-sicu. Silahkan masuk!"
Tan Hong lalu masuk dan menjura kepada To Tek Hosiang sambil berkata, "Maafkan
apabila aku mengganggu, agaknya losuhu masih sibuk melayani tamu."
"Tidak apa, tidak apa! Tamu-tamu ini adalah orang-orang segolongan dengan pinceng."
Kemudian To Tek Hosiang berkata kepada ketiga tamunya, "Mohon dimaafkan, karena
pinceng terpaksa meninggalkan sam-wi sebentar untuk melayani pemuda ini
menyelesaikan perhitungannya dengan pinceng, dan malam ini juga kami hendak mainmain sedikit guna menambah pengertian dalam ilmu silat."
Ketiga hwesio yang menjadi tamu itu sangat senang mendengar ini. "Kebetulan sekali, sudah lama pinceng tidak melihat pertunjukan silat. Silahkan, To Tek suhu, kami bertiga bahkan lebih senang melihat pertunjukan silat daripada pertunjukan lain."
Setelah mendapat persetujuan ketiga orang tamunya To Tek Hosiang lalu menghadapi
Tan Hong dan berkata, "Tan-sicu, marilah kita sekarang main-main sebentar untuk
menentukan siapa yang lebih unggul. Harap kau berlaku murah kepada seorang hwesio tua!" katanya sambil tersenyum.
"Losuhu, aku yang muda minta pengajaran."
To Tek Hosiang lalu mengambil toyanya yang telah disediakan di satu sudut, Tan Hong lalu mencabut pedangnya dan bersiap dengan waspada.
Sebelum mereka bertanding, seorang di antara ketiga tamu itu bertanya kepada To Tek Hosiang, "Siapakah sebenarnya anak muda yang gagah ini?"
To Tek Hosiang tertawa lalu memperkenalkan, "Inilah Gin-kiam Gi-to yang terkenal di mana-mana dan mempunyai ilmu pedang yang tinggi."
Hwesio itu mengangguk-angguk dan dari mata ketiga orang tamu ini memancarlah
cahaya berkilat yang ganjil dan bersinar-sinar akan tetapi Tan Hong tidak sempat
memperhatikan karena pada saat itu To Tek Hosiang yang sudah siap dengan toyamya
lalu berseru, "Tan-sicu, awaslah terhadap toyaku!" Hwesio itu lalu maju menggerakkan toyanya dalam sebuah serangan yang hebat. Mula-mula To Tek Hosiang menggunakan
gerakan Ouwliong-cut-tong atau Naga Hitam Keluar Gua, yakni sebuah gerakan ilmu
toya dari cabang Siauwlim, akan tetapi ketika Tan Hong dapat mengelak dengan cepat, ia lalu memutar toyanya dan menyerang dengan menyapu ke arah paha pemuda itu
dalam tipu Hing-sau chian-kun atau Menyerampang Bersih Ribuan Prajurit. Tan Hong
memperlihatkan kelincahannya dan untuk menghindarkan diri dari serampangan yang
hebat ini ia melompat ke atas dengan cepat dan ringannya. Ketika tubuhnya melayang turun, ia balas menyerang dengan tipu Chong-eng-kim-touw atau Garuda Menyambar
Kelinci. To Tek Hosiang menangkis cepat, akan tetapi Tan Hong lalu merobah
serangannya, menarik kembali pedangnya dan maju menyerang lagi dengan gerak tipu
Pek-hong-koan-jit atau Bianglala Putih Menutup Matahari. Akan tetapi To Tek Hosiang juga dapat menangkis dengan tepatnya.
Demikianlah, kedua lawan ini mengeluarkan ilmu silat masing-masing dan berusaha
mengalahkan lawan secepat mungkin. To Tek Hosiang yang maklum akan kehebatan
Tan Hong, hendak mendahuluinya dan segera memutar toyanya dan memainkan ilmu
silat toya asli dari partai silatnya yakni Houw-san-pai. Tan Hong tidak kurang waspada, maka iapun lalu mengeluarkan ilmu pedang warisan suhunya, yakni ilmu pedang dari
Bok-san-pai. Makin lama mereka bertempur, makin hebatlah gerakan senjata mereka
hingga yang kelihatan hanya sinar pedang yang berkilauan bagaikan seekor burung
garuda menyambar, sedangkan toya To Tek Hosiang-pun mengamuk bagaikan seekor
naga yang ganas.
Berkali-kali ketiga orang hwesio gemuk yang menjadi tamu itu memuji, "Bagus, bagus!"
Namun betapapun hebat To Tek Hosiang yang telah bersiap sedia dan setiap hari
melatih ilmu toyanya khusus untuk digunakan menghadapi Tan Hong, namun pemuda
itu masih menang setingkat. Perlahan-lahan ia mulai mendesak dan sinar toya To Tek Hosiang makin lemah dan makin mengecil, sedangkan pedang peraknya makin
menyambar dengan ganas dan garang.
Pada saat itu, tiba-tiba menyambar angin yang dahsyat di ringi suara keras, To Tek Suhu mundurlah dan biarkan pinceng menghadapi pemuda maling ini!"
Ternyata yang datang melompat ke tengah lapangan pertandingan adalah seorang
hwesio gemuk, yakni seorang di antara tiga tamu tadi. To Tek Hosiang terkejut sekali, karena sama sekali ia tak pernah menyangka bahwa ketiga tamunya yang datang dari
barat ini memiliki ilmu silat yang tinggi. Ia hanya berdiri di pinggir dan memandang dengan heran. Ia bersyukur karena ia telah tertolong. Ia maklum bahwa kalau
pertandingan tadi diteruskan, akhirnya dia pasti akan kalah dan roboh untuk kedua kalinya oleh pemuda itu.
Tangan kiri hwesio gemuk itu memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) dan ia
berdiri menghadapi Tan Hong dengan mulut menyeringai. Lagak hwesio ini sungguh
menyebalkan, karena mirip dengan lagak seorang pemuda tengik yang menganggap
dirinya sendiri yang gagah dan tampan!
"Losuhu, kau siapa dan apa sebabnya maka kau datang-datang hendak mengajak aku
bertempur?" tanya Tan Hong.
"Ha, ha, ha, Gin-kiam Gi-to! Sudah lama pinceng mendengar namamu yang besar,
hingga suara itu bergema di empat penjuru membuat telingaku menjadi bising dan
sakit. Pinceng adalah Beng Kong Hwesio, dan kedua suhengku yang duduk itu adalah
Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio. Barangkali nama ini belum pernah kau
dengar, maka akan lebih muda dikenal kiranya apabila pinceng sebutkan bahwa kami
bertiga disebut orang Pekhoa Sam-sian atau Tiga Dewa dari Pek-hoa-san!"
Kini bukan saja Tan Hong yang terkejut, bahkan To Tek Hosiang sendiripun sangat
terkejut karena nama Tiga Dewa dari Pek-hoa-san ini amat terkenal sebagai tokohtokoh dan pendiri-pendiri cabang persilatan Pek-hoa-san-pai yang termasyur itu! Tadi ketika datang, ketiga tamu To Tek Hosiang itu hanya memperkenalkan nama-nama
mereka, sama sekali tidak disangkanya bahwa ia mendapat kehormatan menerima
tamu-tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang telah masuk golongan
tertinggi itu! Biarpun Tan Hong maklum bahwa tokoh-tokoh Pek-hoa-san ini menurut suhunya dulu
adalah orang-orang yang berilmu silat tinggi, akan tetapi suhunya pernah menyatakan bahwa mereka bertiga itu bukanlah orang baik-baik, maka pemuda ini sedikitpun tidak memperlihatkan rasa gentar. Ia bahkan tersenyum dan berkata dengan tenang.
"Ah, kiranya Pek-hoa Sam-sian yang kuhadapi! Lalu apakah kehendakmu?"
kembali Beng Kong Hwesio tertawa gelak-gelak. "Sudah pinceng katakan tadi bahwa
telah lama pinceng mendengar nama Maling Budiman Berpedang Perak yang kesohor.
Dan kebetulan sekali, kami bertiga paling benci dengan segala macam maling, baik yang besar maupun yang kecil. Maka sekarang, setelah pinceng berhadapan dengan seorang maling, biarlah pinceng mewakili To Tek Hosiang untuk menangkapnya dan
menyerahkannya kepada yang berwajib!"
"Hwesio gundul jangan kau sombong!" Tan Hong berseru marah sambil menggerakkan
pedangnya. "Bagus, bagus! Mainkanlah pedangmu, hendak kulihat sampai di mana kehebatan ilmu
pedang dari Bok-san-pai!"
Tan Hong tercengang juga mendengar bahwa hwesio ini telah mengenal ilmu
pedangnya, akan tetapi dengan hati-hati ia terus menyerang sambil mengerahkan
tenaga serta kepandaiannya. Benar saja, ilmu silat Beng Kong Hwesio benar-benar luar biasa, kebutannya digerakkan dengan cepat dan bulu-bulu yang halus dari kebutan itu menyambar-nyambar dan tak boleh dipandang ringan karena bulu-bulu yang halus ini
berkat tenaga lwekangnya yang tinggi, merupakan senjata yang sangat berbahaya.
Sedangkan tangan kanan hwesio itu memainkan ujung lengan bajunya yang panjang,
lebar dan berujung kecil pula. Ujung lengan baju ini tak kurang berbahayanya, karena digerakkan untuk menotok jalan darah lawan dengan gerakan tetap dan kuat sekali!
Ketika serangannya yang bertubi-tubi itu dapat dihindarkan oleh lawannya yang masih muda, Beng Kong Hwesio merasa sangat kesal. Ia berseru keras dan kedua tangannya
memainkan kebutan dengan ujung lengan baju dengan lebih hebat! Kedua senjata
istimewa itu mengurung dan menyerang Tan Hong dari kiri kanan dan dari atas dan
bawah dengan gencar, dan setiap sambarannya membawa hawa maut!
Akan tetapi, selain memiliki dasar ilmu silat tinggi, Tan Hong adalah seorang pemuda yang berhati tabah dan bersikap tenang serta waspada. Ia maklum bahwa ilmu silatnya masih kalah jika dibandingkan dengan kepandaian lawannya dan ia mungkin tidak
mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Akan tetapi dengan keuletan yang
mengagumkan, ia mempertahankan diri dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya
hingga setelah bertempur seratus jurus lebih, belum juga hwesio itu dapat
merobohkannya! Hal ini tentu saja membuat Beng Kong Hwesio merasa gemas dan
marah, tapi kagum juga. Belum pernah ia mendapat lawan semuda ini yang memiliki
daya tahan selama itu!
Pada saat itu, tiba-tiba dari atas genteng melayang turun tiga bayangan orang dan orang terdepan membentak dengan nyaring, "Pek-hoa Sam-sian! Bagus sekali, akhirnya kami dapat juga menemukan kalian!"
Tiga bayangan orang itu melayang turun dengan gerakan yang gesit dan ringan seperti tiga ekor burung. Serentak Bhok Kong Hwesio dan Kim Hong Hwesio bangun dari
duduknya dan mencabut senjata mereka, masing-masing bersenjatakan sebatang
kebutan yang berbulu merah!
Biarpun sedang bertanding dan didesak oleh lawannya, akan tetapi Beng Kong Hwesio dapat memperhatikan ketiga orang yang datang itu, Tan Hong dapat juga melirik
sekejap dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat dengan jelas, bahwa yang datang itu tidak lain ialah Lo Cin Ki atau yang dijuluki Jian-jiauw-sin-eng si Garuda Sakti Berkuku Seribu, yakni susioknya (paman gurunya) sendiri, nona Lo Siok Lan, dan si muka hitam Ong Kai yang sore tadi pernah bertempur dengannya!
Melihat bahwa yang bertempur melawan seorang di antara Pek-hoa Sam-sian adalah
pemuda yang sore tadi bertempur dengannya, Ong Kai lalu maju menerjang dengan
pedang di tangan dan berkata, "Eh, Maling Budiman, kau juga bertempur melawan
mereka" Jangan takut, kini kita bersatu menghadapi mereka dan aku akan
membantumu!"
Akan tetapi, serbuan si muka hitam ini lalu disambut oleh To Tek Hosiang, karena
hwesio ini berpikir bahwa sudah selayaknya ia membela para tamunya, apalagi karena tamutamunya itu adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-hoa-san! Ia berpikir bahwa orangorang yang datang membantu Maling Budiman ini tentulah golongan maling atau
perampok juga. Apalagi melihat Ong Kai yang tinggi besar, kasar dan bermuka hitam, tak salah lagi, orang ini tentulah kepala perampok yang buas dan ganas. Ia lalu
memutar toyanya dan membentak, Bangsat pemaling dan perampok hina dina! Jangan
kau kotorkan kelentengku yang suci ini!"
Ong Kai tercengang dan mengurungkan niatnya membantu Tan Hong. Ia pandang To
Tek Hosiang dengan sepasang matanya yang bundar lebar, lalu bertanya, "Eh, eh, ini ada lagi kepala gundul yang berkedok agama! Baik, baik kau mampuslah di tanganku
agar segera masuk ke neraka!" Maka ia lalu menyerang To Tek Hosiang kembali dengan sengit dan keduanya lalu bertempur seru!
Sementara itu, Lo Cin Ki melompat maju dan berhadapan dengan Bhok Kong Hwesio
dan Kim Kong Hwesio, lalu menuding dengan pedangnya, "Hwesio gadungan! Serahkan
nyawa kalian untuk menebus dosa yang telah kaulakukan terhadap keponakan Lie-siocia!" "Ha, ha, ha! Jadi inikah si Garuda Sakti Berkuku Seribu" Kau mengantarkan jiwa tuamu!
Apakah kau sudah bosan hidup?" Sambil berkata demikian, Kim Hong Hwesio lalu maju menyerbu, disambut dengan sengit oleh Lo Cin Ki.
Lo Cin Ki adalah seorang tokoh Bok-san-pai yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali serta bertenaga besar, maka begitu kebutan Kim Kong Hwesio bertemu dengan pedang
si Garuda Sakti, hwesio itu terhuyung ke belakang! Bukan kepalang kagetnya, karena tak pernah diduganya bahwa tenaga orang tua itu melebihi tenaganya sendiri!
Semetara itu, ketika Bhok Kong Hwesio melihat betapa suhengnya tak dapat
merobohkan Lo Cin Ki, malah jelas sekali nampak olehnya bahwa suhengnya kalah
tenaga. Ia lalu ikut maju menyerbu dan mengeroyok jago tua dari Bok-san itu!
Sebetulnya, kalau saja Bok-san-pai tidak lebih mengutamakan ilmu pengobatan dan
khusus memajukan ilmu silatnya, cabang persilatan ini akan memperoleh kemajuan
besar, karena memang dasar-dasar persilatan Bok-san-pai kuat dan sempurna sekali.
Akan tetapi Lo Cin Ki lebih suka mempelajari secara mendalam ilmu pengobatan, maka dalam hal silat, boleh dibilang ia hanya mencapai tingkat delapan bagian saja. Namun kepandaian ini agaknya cukup untuk mengimbangi kedua pengeroyoknya itu!
Ketika Lo Siok Lan melihat betapa ayahnya dikeroyok, walaupun ia maklum bahwa
kepandaian kedua hwesio gemuk itu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, ia lalu membentak, "Bangsat gundul curang! Jangan maju mengeroyok ayahku!" Gadis
yang tabah inipun lalu menggerakkan pedangnya hendak membantu ayahnya, akan
tetapi si Garuda Sakti berseru, "Jangan Lan-ji! Kaubantu saja suhengmu Tan Hong yang terdesak oleh iblis gundul itu!" Ternyata, biarpun ia sendiri terdesak, jago tua ini masih ingat kepada orang lain dan minta puterinya membantu Tan Hong!
Biarpun dengan hati ragu-ragu, namun gadis itu tidak berani membantah perintah
ayahnya. Ketika ia memandang, benar saja bahwa keadaan Tan Hong amat terdesak,
sungguhpun pemuda itu telah memainkan pedangnya sedemikian rupa merupakan
sebuah benteng baja yang kuat sekali, hingga andaikata disiram airpun takkan
membasahi tubuhnya yang terlindung sedemikian rapatnya oleh gerakan pedang!
Tanpa mengeluarkan suara apaapa. Siok Lan lalu memutar pedangnya menyerbu dan
menahan serangan Beng Kong Hwesio. Hwesio ini terkejut juga, melihat gerakan nona ini tidak kalah hebatnya daripada gerakan Tan Hong yang baginya sukar sekali untuk dirobohkan. Sebaliknya, ketika Tan Hong melihat betapa nona impiannya itu datang
membantunya, timbul ah semangatnya. Ia serasa dalam mimpi karena saat itu ia dapat bertempur melawan musuh bersama nona yang menjadi idamannya itu!
Dalam kegirangannya, Tan Hong beberapa kali mengerling dan memandang nona itu
hingga Siok Lan menjadi tertekan oleh serbuan Beng Kong Hwesio yang mengamuk
padanya, karena gerakan Tan Hong menjadi terlambat.
"Ayoh, kauseranglah dia! Mengapa ... lelah?" tegur gadis itu tanpa melihat Tan Hong, namun ia merasa betapa pemuda itu gerakannya agak mengendur.
Tan Hong terkejut dan bagaikan baru sadar dari mimpi ketika mendengar teguran ini.
Wajahnya berubah merah karena malu kepada diri sendiri. Ia lalu menggertakkan
giginya dan maju dengan semangat berapi-api! Kini keadaan menjadi berbalik. Beng
Kong Hwesio yang menghadapi Tan Hong seorang diri saja hanya menang sedikit, tetapi tidak sanggup merobohkannya, kini menghadapi keroyokan Tan Hong dan Siok Lan
yang memiliki kepandaian setingkat dengan Tan Hong, tentu saja sangat terdesak dan tak lama kemudian tubuhnya sudah mandi keringat dan napasnya terengah-engah!
Sementara itu, To Tek Hosiang yang menghadapi Ong Kai bertempur dengan seru pula, karena kepandaian si muka hitam inipun hebat pula dan setingkat dengan To Tek
Hosiang! Mereka saling serang dengan mati-matian, akan tetapi sebegitu jauh belum terlihat siapa yang akan menang di antara mereka. Melihat pertempuran hebat ini di ruang kelentengnya itu, diam-diam To Tek Hosiang menjadi ragu-ragu dan bingung.
Apalagi ketika tadi ia mendengar nama orang tua itu yang disebut si Garuda Sakti, ia menjadi tambah ragu-ragu karena sepanjang pendengarannya, nama ini adalah nama
seorang tokoh persilatan yang termasyur sebagai seorang pendekar tua pembela
keadilan! Tadinya ia bermaksud mengukur kepandaian Tan Hong si Maling Budiman,
tapi sekarang ia telah terlibat dalam pertempuran antara mati dan hidup yang belum diketahui sebab-sebabnya. Oleh karena inilah maka ia berkelahi sambil mundur dan
mendekati Tan Hong untuk mengajukan pertanyaan!
Pada saat itu, Beng Kong Hwesio sudah sangat terdesak, akhirnya dengan sebuah
tendangan kilat dari Tan Hong yang berhasil mengenai tepat pada tulang kakinya
menyebabkan hwesio ini serta-merta roboh terguling. Siok Lan dengan gemas sekali
lalu menubruk maju dan menusuk dengan pedangnya! Tan Hong terkejut melihat niat


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siok Lan ini, maka cepat-cepat ia memegang tangan nona itu dan berkata, "Nona ...
sumoi ... ! jangan sembarangan membunuh!"
Siok Lan merenggutkan tangannya dengan gemas. "Kau tahu apa" Ketiga hwesio cabul
ini telah menculik dan membunuh piauwmoi-ku (adik perempuan misan)!" Sambil
berkata demikian, gadis ini dengan marah sekali melanjutkan serangannya dan
pedangnya menancap ke dada Beng Kong Hwesio. Dan sejurus kemudian terdengar
pekik nyaring Beng Kong Hwesio dan ia tewas pada saat itu juga!
Mendengar keterangan gadis ini, Tan Hong terkejut sekali hingga ia berdiri diam tak kuasa mencegah gadis itu membunuh Beng Kong Hwesio, sedangkan To Tek Hosiang
ketika mendengar keterangan inipun lalu melompat ke belakang dan berseru, "Tahan
dulu! Pinceng tidak tahu bahwa mereka ini hwesio-hwesio jahat!"
Si muka hitam yang dalam keadaan masih marah hendak menyerbu terus, akan tetapi
Siok Lan berseru, "Tahan ... ! Suheng!" Sungguh heran, si muka hitam yang tinggi besar ini segera menghentikan serangannya, demikian taat dan tunduk ia rupanya terhadap dara itu.
Akan tetapi, pada saat itu terdengar keluhan Lo Cin Ki dan ketika mereka semua
memandang, ternyata dalam satu benturan nekad, Lo Cin Ki telah berhasil memukul
pundak Bhok Kong Hwesio membuat ia terhuyung ke belakang, akan tetapi sebaliknya, ujung kebutan Kim Kong Hwesio-pun telah menghantam ke belakang dan
mengeluarkan darah dari mulutnya!
"Ayah ... !" Siok lan memburu dan memeluk ayahnya, sedangkan Kim Kong Hwesio yang melihat Beng Kong Hwesio sudah tewas dan Bhok Kong Hwesio juga terluka pada
pundaknya, secepatnya ia mengangkat tubuh Beng Kong Hwesio yang sudah menjadi
mayat itu, lalu mengajak Bhok Kong Hwesio pergi dari tempat itu. Ia berpikir sia-sia saja untuk terus melawan, karena biarpun Lo Cin Ki telah menderita luka berat, akan tetapi di situ masih ada tiga orang muda yang hebat itu, bahkan ada pula To Tek Hosiang yang agaknya hendak membalik dan membantu mereka!
Tan Hong dan Ong Kai hendak mengejar, tetapi karena Siok Lan sedang sibuk menangisi ayahnya, maka mereka berdua tidak berdaya dan merasa tidak sanggup menghadapi
Kim Kong dan Bhok Kong hwesio sekalipun ia telah luka, tetapi masih kelihatan gesit dan kuat jua.
Ong Kai yang bertubuh tinggi besar lalu mengangkat tubuh suhunya dan atas petunjuk To Tek Hosiang yang tadi bertempur mati-matian dengannya, jago tua yang terluka itu dibawa masuk ke dalam sebuah kamar di kuil itu.
Ternyata bahwa Lo Cin Ki telah mendapat luka yang berbahaya di dalam tubuhnya.
Pukulan ujung hudtim itu buruk sekali akibatnya, karena pukulan ini telah mematahkan dua buah tulang iga di dada Lo Cin Ki dan menggoncangkan paru-parunya! Untung Siok Lan juga telah mempelajari ilmu pengobatan, maka setelah memeriksa luka di dada
ayahnya yang masih pingsan itu, gadis ini dengan jari-jari tangannya yang halus, tapi cekatan itu lalu menyambung tulang-tulang yang patah dan menggunakan obat gosok
dan obat minum yang dimasukkannya ke dalam mulut ayahnya.
Pada keesokan harinya, setelah berkali-kali diminumkan obat, jago tua itu siuman dari pingsannya. Selama ia masih pingsan, semua orang, termasuk juga To Tek Hosiang,
diam saja dan tak berani berkata apa-apa, sedangkan Tan Hong dan Ong Kai hanya
saling pandang dan menghela napas. Mengapa Tan Hong tidak pergi dari tempat itu" Ia merasa tak sampai hati meninggalkan Siok Lan, sekalipun gadis itu tak sepatah katapun mau berbicara dengannya.
Akan tetapi setelah ayahnya siuman kembali, wajah gadis itu tampak berseri, lalu ia berkata kepada Tan Hong, "Tan-suheng, kiam-hoatmu sungguh hebat!"
Merahlah muka Tan Hong mendengar pujian ini. "Ah ... ! Sumoi, kepandaianku masih
belum dapat dibandingkan dengan kepandaianmu yang tinggi itu!"
Sementara itu, setelah Lo Cin Ki siuman, ia lalu menggunakan jari-jari tangannya
meraba dadanya. Ia menarik napas panjang ketika ia mengetahui bahwa dua tulang
iganya patah, akan tetapi ia memuji kecekatan puterinya yang telah melakukan
penyambungan tulang iganya dengan sempurna.
Ketika semua orang datang ke kamar, untuk menjenguknya, ia menghela napas dan
berkata kepada Tan Hong, "Tan hong! Untung kau telah lebih dulu turun tangan, kalau tidak, mungkin kerugian besar yang akan kita derita."
Tan Hong mengeluarkan ucapan merendah diri untuk sebagai jawaban atas pujian
susioknya ini padanya, sedangkan To Tek Hosiang buru-buru tunduk memberi hormat
kepada Lo Cin Ki sambil berkata, "Lo-enghiong, maafkan pinceng yang telah sesat dan telah pula membantu orang-orang jahat. Percayalah, hal ini pinceng lakukan tanpa
pinceng sadari, bahkan sampai sekarangpun pinceng masih bingung dan tidak tahu
duduk perkara sebenarnya."
Oleh karena ia tahu bahwa apabila ia banyak berkata-kata, maka hal ini akan
mengganggu kesehatannya, Lo Cin Ki lalu mendesak muridnya untuk menceritakan hal
yang telah terjadi sehingga mereka datang mencari Pek-hoa Sam-sian untuk membalas dendam.
Ong Kai lalu bercerita yang didengarkan oleh Tan Hong dan To Tek Hosiang dengan
penuh perhatian.
*** Ong Kai adalah murid tunggal dari Lo Cin Ki si Garuda Sakti Berkuku Seribu yang telah menamatkan pelajarannya dan bekerja sebagai seorang piauwsu di kota Lui-koan-bun.
Ia adalah seorang pemuda yang biarpun beradat kasar, akan tetapi ia mempunyai
kecerdikan luar biasa. Sayang sekali, bakatnya dalam hal ilmu silat kurang baik, maka biarpun telah lama ia belajar silat, paling banyak ia hanya dapat mewarisi setengah bagian saja dari kepandaian suhunya, bahkan ia masih kalah oleh Siok Lan.
Lo Cin Ki mempunyai seorang adik perempuan yang telah menjadi janda dan adiknya ini mempunyai seorang anak gadis yang cukup cantik dan halus budi bahasanya. Gadis ini bernama Kiu Hwa dan semenjak kecil menjadi sahabat baik Siok Lan yang lebih tua
setahun daripadanya. Siok Lan berbakat baik dalam ilmu silat, sebaliknya Kiu Hwa tidak suka belajar silat, ia lebih suka menjadi seorang gadis yang lemah-lembut. Dan dalam hal kepandaian tangan, ia jauh lebih pandai daripada Siok Lan.
Lo Cin Ki tahu, sekalipun mukanya hitam, akan tetapi hatinya tetap suci bersih. Ia mengusulkan kepada adiknya untuk mengambil Ong Kai si muka hitam itu jadi iparnya.
Demikianlah, tak lama kemudian pemuda ini dipertunangkan dengan Kui Hwa.
Beberapa hari yang lalu datanglah malapetaka menimpa diri Kiu Hwa. Pada suatu
malam, kota Lui-koan-bun didatangi oleh tiga orang penjahat besar, yang tidak lain ialah Pekhoa Sam-sian, tiga hwesio gemuk berbatin kotor itu. Di sepanjang jalan mereka ini melakukan perbuatan-perbuatan yang keji yaitu, mengganggu anak bini orang.
Walaupun Kiu Hwa adalah seorang gadis lemah-lembut, akan tetapi memiliki kenekatan besar. Melihat ketiga orang hwesio biadab itu berniat jahat terhadap dirinya, ketika ia diculik dan dibawa ke sebuah kelenteng rusak di luar kota. Gadis ini mendapat
kesempatan untuk mencabut tusuk kondenya yang terbuat daripada perak yang tajam
seperti pisau belati itu dari rambutnya. Dengan nekad Kiu Hwa lalu memasukkan benda tajam itu ke tenggorokannya hingga ia tewas pada saat itu juga!
Saat itu Ong Kai sedang berada di luar kota karena sedang menjalankan tugasnya
mengawal barang-barang. Ketika pada keesokan harinya ia kembali ke rumah dan
mendengar tunangannya diculik orang, bukan main marah dan geramnya. Pemuda ini
lalu melakukan penyelidikan di rumah tunangannya di mana calon ibu mertuanya
didapati sedang menangis sedih dan berkali-kali ia jatuh pingsan memikirkan nasib gadisnya. Oleh karena tidak melihat tanda-tanda yang mendatangkan curiga dalam
kamar tunangannya itu, Ong Kai dapat menduga bahwa yang melakukan penculikan
tentu seorang penjahat berilmu tinggi, maka ia terus melakukan penyelidikan.
Kebetulan sekali ketika tiga orang hwesio biadab itu sedang membawa lari Kiu Hwa
yang dalam keadaan meronta-ronta, terlihat oleh seorang petani di luar kota, akan tetapi karena takutnya, petani itu menyembunyikan diri di balik pohon. Dari petani inilah Ong Kai tahu bahwa orang yang melarikan tunangannya itu adalah tiga orang
hwesio gemuk. Ia segera melakukan pengejaran sampai ke kuil tua itu. Dan alangkah hancur rasa hatinya ketika mendapatkan tunangannya rebah di lantai kuil dalam
keadaan telah tak bernyawa lagi.
Sebaliknya, di dalam kesedihannya, Ong Kai merasa bangga dan lega juga melihat
kematian tunangan yang dicintainya itu adalah karena membunuh diri dengan tusuk
konde! Dalam menangisi jenazah Kiu Hwa, dalam hatinya Ong kai memuji kesucian
gadis ini dan bersumpah hendak membalas dendam dan mencari ketiga orang hwesio
gemuk itu. Ong Kai yang cerdik itu lalu melakukan pengejaran dan penyelidikan. Untung baginya bahwa Pek-hoa sam-sian adalah tokoh-tokoh persilatan yang mempunyai adat
sombong dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada orang yang berani melawan
mereka. Karena kesombongannya inilah, ketiga orang hwesio gemuk ini sama sekali
tidak ada niat untuk menyembunyikan diri atau berusaha agar jejak mereka nanti tidak di kuti dan dicari orang. Secara terang-terangan mereka berjalan di jalan umum
melanjutkan perjalanan mereka hingga akhirnya mereka sampai di Wi-ciu.
Ong Kai tentu dengan mudah saja dapat mengikuti jejak ketiga orang hwesio gemuk itu, dan ketika melihat mereka masuk di kota Wi-ciu, dengan cepat Ong Kai lalu menuju ke rumah suhunya yang berada tak jauh dari kota Wi-ciu itu.
Tak terkira marah hatinya Lo Cin Ki dan Lo Siok Lan mendengarkan bencana yang
menimpa diri Kiu Hwa, maka tidak ayal lagi ayah dan anak ini melakukan penyelidikan ke Wi-ciu untuk membalas dendam. Oleh karena inilah maka Tan Hong sampai melihat
Siok Lan dan ayahnya berkunjung ke kelenteng Kim-ci-tang, di mana gadis dan ayahnya itu sedang menyelidiki keadaan kelenteng. Dan ini pulalah sebabnya mengapa Tan Hong dapat bertemu dengan ong Kai yang tadinya mencurigainya.
Setelah mendengar penuturan Ong kai sambil mengalirkan air mata karena teringat
akan tunangannya itu, Tan Hong menjadi terharu sekali.
"Saudara Ong kai, jangan kau khawatir. Biarpun aku bodoh, akan tetapi aku bersumpah hendak membantumu mencari dan membinasakan dua orang iblis yang masih hidup
itu!" Juga To tek Hosiang menyatakan penyesalannya mengapa matanya seakan-akan telah
buta, tidak melihat dan membedakan mana orang jahat dan mana yang baik. Berkalikali hwesio ini menyebut nama dewata, karena heran dan terkejut mendengarkan
kejahatan dan kekejian yang dilakukan oleh tiga orang hwesio yang berkepandaian
tinggi dan yang terkenal sebagai tokoh-tokoh dunia persilatan itu!
Ketika mereka menengok keadaan Lo Cin Ki lagi, orang tua ini berkata dengan suara menyesal kepada Ong Kai, "Ong Kai ... ! Sungguh menyesal aku, sebab kurang hati-hati hingga aku dapat dilukai oleh Kim Kong Hwesio! Dan menurut pemeriksaanku, lukaku
ini sedikitnya dalam waktu satu bulan baru bisa sembuh dan pulih kembali seperti
sediakala. Aku menyesalkan juga, Ong Kai, karena luka ini menghalangiku untuk
membantumu menangkap dan menewaskan musuh-musuh besar kita itu," Lo Cin Ki
menarik napas dalam-dalam.
"Tidak apa, suhu. Biarlah teecu sendiri yang akan pergi berhadapan dengan mereka!"
kata Ong kai dengan kesal dengan menggertakkan giginya.
"Ong-suheng, mengapa kau berkata begitu" Jangan khawatir, aku akan mewakili ayah
membantumu!" kata Siok Lan dengan perkasanya.
"Dan akupun bersedia setiap detik menjadi pembantumu, saudara Ong!" kata Tan Hong dengan muka berseri.
"Baik sekali, kalian anak-anak muda memiliki semangat demikian besar," kata Lo Cin Ki dengan girangnya. "Memang, sudah seharusnya demikianlah watak dan sikap
orangorang ksatria, pantang mundur menghadapi bahaya besar dalam membela
kebenaran. Dan dengan adanya kalian bertiga, apabila maju bersama, kurasa takkan
sangat berat menghadapi dua orang hwesio iblis itu. "
Ong Kai tidak berani membantah, lalu kemudian ia memandang wajah Tan Hong
dengan ragu-ragu. Mengapa pemuda maling ini dibawa-bawa" Bukankah pemuda
inipun menuntut penghidupan yang tidak layak" Lo Cin Ki agaknya dapat menduga apa yang dipikirkan oleh muridnya, maka ia lalu berkata, "Ong Kai, ketahuilah. Tan Hong ini adalah Gin-kiam Gi-to yang biarpun menjadi maling, akan tetapi bukan untuk diri
sendiri. Untuk melakukan kebajikan dengan jalan apa yang akan diambil seseorang,
dapat dipilihnya menurut pertimbangannya sendiri. Pokoknya asalkan berdasarkan
kebenaran dan kebaikan, maka jalan itu adalah jalan satu-satunya yang dianggap baik.
Lagi pula, agaknya kau belum tahu bahwa Tan Hong ini sebenarnya masih suhengmu
sendiri!" Terbelalak kedua mata Ong Kai memandang gurunya yang segera tersenyum,
"Bukankah kau pernah mendengar ceritaku tentang suhengku yang bernama Cin Cin
Tojin" Nah, pemuda ini adalah murid tunggal Cin Cin Tojin!"
Ong Kai yang berwatak jujur itu menjadi bertambah girang mendengar hal ini, "Ah!
Pantas saja ilmu kepandaianmu lebih tinggi dari kepandaianku! Rupanya kau murid Cin Cin Supek. Pantas, pantas! Tan-suheng, kalau demikian, kita adalah masih sekeluarga dan tentu saja kau harus ikut membantuku!"
Tan Hong tersenyum dan merasa girang melihat kejujuran pemuda muka hitam yang
mengalami kesedihan ditinggalkan mati oleh tunangannya dalam keadaan
menyedihkan itu. Diam-diam ia lalu bertekad untuk membalas sakit hatinya itu.
Demikianlah setelah mendapat doa restu dari Lo Cin Ki, ketiga anak muda itu, Ong Kai, Tan Hong dan Siok Lan berangkat untuk mengejar Bhok Kong Hwesio dan kim Kong
Hwesio ke mana saja.
*** Kali ini, karena maklum bahwa musuh-musuh mereka yang hebat itu tentu takkan
membiarkan mereka melarikan diri begitu saja. Bhok Kong dan Kim Kong Hwesio
melarikan diri dengan cara bersembunyi dan diam-diam. Mereka berdua juga merasa
sakit hati sekali. Setelah mengubur jenazah Beng Kong Hwesio di sebuah hutan mereka berjanji dalam hati akan membalaskan sakit hati sute mereka ini. Akan tetapi, kedua hwesio ini maklum bahwa mereka takkan dapat melawan Lo Cin Ki dan pembantu-pembantunya yang gesit dan cekatan itu. Maka keduanya lalu mengambil keputusan
untuk kembali ke Pek-hoa-san dan mencari daya upaya untuk menjaga kedatangan
musuh dan sekalian membasmi mereka.
Mereka lalu mengambil jalan memutar dan mencari seorang kawan mereka yang
bernama Ti Bong Hosiang, seorang hwesio perantau yang memiliki kepandaian tinggi
dan jauh lebih lihai daripada mereka sendiri. Mereka bermaksud untuk mengajak
kawan ini naik ke Pek-hoa-san bersama beberapa orang kawan lain untuk memperkuat
kedudukan mereka sambil menjaga kedatangan Lo Cin Ki dan pembantu-pembantunya.
Sementara itu Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan mencari jejak mereka sambil bertanyatanya sepanjang jalan. Tiap kali mendengar cerita orang tentang dua orang hwesio
gemuk, mereka lalu pergi menyelidik dan mengejar. Akan tetapi hasilnya nihil belaka, karena kedua musuh besar yang dicari-carinya itu telah pergi lagi tanpa meninggalkan jejak. Memang tidak mudah untuk mengejar dua orang musuh yang berkepandaian
tinggi dan yang telah berlaku hati-hati dan melarikan diri secara sembunyi-sembunyi.
Maka tak lama kemudian, ketiga orang anak muda itu telah kehilangan jejak kedua
musuhnya hingga Ong Kai menjadi tambah sakit hati. Pemuda muka hitam ini merasa
tidak sabar dan kalau mungkin, menurut hatinya, ingin sekali ia segera bertemu dan menyabung jiwa dengan pembunuh-pembunuh tunangannya yang tercinta itu!
Melihat kemurungan Ong Kai, Siok Lan menghibur, "Ong-suheng! Sudahlah, jangan kau bersedih terus, ingat, kesedihan yang berlarut-larut dapat merusak kesehatan, justeru pada waktu ini kau harus dapat menjaga kesehatanmu untuk dapat menunaikan
tugasmu membalas dendam!" Kata-kata Siok Lan ini membangkitkan semangat Ong Kai.
"Aku telah bersumpah untuk membunuh kedua iblis itu!" katanya dengan geram.
"Ucapan sumoi tadi benar, Ong-sute. Memang tak perlu kau terlalu berduka cita,
sebaliknya yang terpenting ialah kita bersama mencari daya upaya dan jalan bagaimana kita bisa menyusul dan mendapatkan tempat persembunyian mereka itu," kata Tan
Hong. "Tak dinyana bahwa selain kejam dan jahat, mereka itupun pengecut sekali. Tidak tahu malu, namanya saja besar sebagai tokoh-tokoh Pek-hoa-san, tetapi menghadapi musuh, mereka lari dan bersembunyi!" Ong Kai berkata dengan gemas yang meluap-luap.
Mendengar nama bukit ini, tiba-tiba wajah Tan Hong berseri. "Ah ... ! Benar juga! Tentu mereka itu telah lari kembali ke Pek-hoa-san! Mari kita mengejar ke sana! Tahukah kalian di mana Pek-hoa-san itu?"
Kedua kawannya menyatakan tidak tahu, maka mereka lalu mulai mencari keterangan
di mana adanya Bukit Pek-hoa-san. Dari para penduduk yang sering mengadakan
perantauan mereka mendapat keterangan bahwa Pek-hoa-san adalah sebuah bukit di
barat yang letaknya jauh juga dari tempat itu. Sesudah mereka mendapat keterangan, hari ini juga mereka lalu memulai perjalanan, mereka ke barat untuk mencari musuh-musuh mereka di sarang kedua hwesio itu.
Malam hari itu mereka bermalam di sebuah rumah penginapan. Tan Hong sekamar
dengan Ong Kai, sedangkan Siok Lan mengambil kamar terpisah seorang diri.
Pada waktu itu, bekas-bekas kerusakan yang diakibatkan oleh bencana banjir masih
terasa sekali, maka Tan Hong tidak melupakan pekerjaannya yang telah biasa ia
lakukan. Ia lalu berpamitan dengan Siok Lan dan Ong Kai untuk pergi sebentar mencuri uang dari rumah para hartawan, lalu kemudian membagi-bagikannya kepada penderita
korban banjir. Ong Kai berkata, "Aah, aku tidak perduli akan segala pekerjaan mencuri ini! Kalau ini memang sudah menjadi tugasmu untuk menolong sesama manusia yang menderita
sengsara, silahkan kaupergi, Tan-suheng. Akan tetapi berhati-hatilah."
Tan Hong tersenyum. "Biarlah kau tinggal di kamar saja, sute. Memang pekerjaan ini adalah pekerjaanku sendiri yang tak dapat kutinggalkan. Semalam saja aku tidak
melakukan pekerjaan ini, aku merasa seakan-akan berhutang kepada rakyat dusun yang menderita dan sengsara yang perlu ditolong. Nah! Sute, dan kau juga sumoi, tinggal ah baik-baik di sini, aku akan pergi malam ini dan besok pagi-pagi aku tentu telah kembali ke sini untuk melanjutkan perjalanan kita."
Ketika Tan Hong telah melayang naik ke atas genteng untuk melakukan pekerjannya
sebagai Maling Budiman, tiba-tiba dari bawah melompat pula bayangan orang yang
gerakannya tidak kalah gesitnya. Tan Hong menengok dan ternyata bahwa yang
mengejarnya adalah Siok Lan sendiri!
"Sumoi, mengapa kau menyusul?" tanyanya.
"Tan-suheng, perkenalkanlah aku ikut denganmu. Aku menjadi tertarik dan ingin sekali menyaksikan hasil pekerjaanmu. Aku ingin menambah pengalamanku."
"Eh ... eh ... ! Kau ingin belajar menjadi ... maling?" Tan Hong menggoda, akan tetapi hatinya girang bukan alang kepalang karena ditemani oleh sumoinya yang telah
merebut hati sanubarinya itu.
Wajah Siok Lan memerah. "Suheng! Jangan kau memperolok-olokkanku! Dulu aku
masih belum mengerti betul tentang sifat pekerjaanmu ini, bahkan sekarangpun aku
masih belum tahu jelas. Oleh karena itu sekarang aku hendak menyaksikan sendiri dan kemudian barulah aku dapat memutuskan apakah pekerjaanmu ini baik atau tidak. "
Di dalam hatinya Tan Hong berkata seorang diri, "Hmm! Jadi kau hendak ... mengujiku"
Baik ... nona manis! Akan kaulihat nanti bahwa aku Tan Hong bukanlah seorang jahat."
Akan tetapi kepada Siok Lan ia hanya tersenyum dan berkata, "Baiklah sumoi, akan
tetapi apakah kau sudah memberi tahu kepada Ong-sute" Jangan-jangan nanti ia
mencarimu dan merasa khawatir bila ia tidak mendapatkan kau berada di dalam
kamarmu." "Perlu apa memberi tahu orang lain" Segala sesuatu yang kulakukan tak perlu harus mendapat izin dulu dari siapapun juga!"
Diam-diam Tan Hong merasa heran juga melihat kekerasan hati gadis ini, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya mengajaknya. "Marilah kita berangkat, sumoi. Dan jangan lupa, kalau berada di rumah yang kita jadikan sasaran, harap kau suka menutupi
mukamu dengan saputangan agar tak mudah dikenal orang."
Siok Lan hendak membantah dan menyatakan bahwa perbuatan ini bersifat penakut,
akan tetapi Tan Hong mendahuluinya dan berkata, "Ingat, sumoi! Pada saat ini kita adalah maling, dan tahukah kau apa kewajiban maling" Yakni, seorang maling harus
mengambil barang atau uang orang dengan diam-diam dan menjaga sedapat mungkin
agar jangan sampai dikenal mukanya!"
Siok Lan tak dapat membantah lagi, lalu mangangguk sambil tersenyum pula. Mereka
lalu melompat pergi dan penduduk kota itu tentu akan geger dan ribut apabila mereka mengetahui bahwa di saat itu diatas genteng-genteng rumah mereka terdapat dua
sosok bayangan hitam yang gerakannya gesit sekali, yakni sepasang Maling Budiman
sedang menjalankan tugasnya!
Dengan matanya yang tajam Tan Hong mencari-cari rumah-rumah gedung yang besar
dan yang tak salah lagi menjadi tempat kediaman seorang hartawan, baik ia seorang pedagang maupun seorang pembesar. Akhirnya ia melihat sebuah gedung yang
mempunyai wuwungan tinggi. Gedung ini besar sekali, temboknya tebal dan disekeliling tembok tebal dan tinggi berwarna hijau. Tan Hong memberi tanda kepada Siok Lan dan keduanya lalu menggunakan ilmu loncat mereka dan bagaikan dua ekor burung kepinis mereka melayang masuk ke dalam taman itu.
"Sumoi, ikuti saja aku," Bisik Tan Hong yang segera maju menghampiri gedung itu
dengan jalan menyusup di antara tumbuh-tumbuhan di dalam taman. Hati Siok Lan
berdebardebar juga karena selama hidupnya baru kali ini ia bertindak dengan jalan sembunyi dan menyusup-nyusup sebagai lakunya seorang maling tulen! Ia merasa
heran sekali karena dadanya berdebar gembira dan ia teringat akan masa kanak-kanak dulu ketika dengan Kiu Hwa ia bermain kejar-kejaran dan sembunyi-sembunyian. Pada saat itu iapun merasa girang dan dadanya berdebar gembira seperti sekarang ini, rasa gembira dan berdebar yang ditimbulkan oleh rasa takut kalau-kalau dilihat orang! Ia ikut menyusup-nyusup di belakang Tan Hong dan kagum melihat betapa Tan Hong
bergerak demikian gesit dan cepat, tetapi amat hati-hati hingga daun-daun kering yang terpijak oleh pemuda itu seakan-akan tak mengeluarkan suara! Iapun lalu berjalan
dengan ujung kakinya agar tidak menimbulkan suara berisik.
Dari balik batang pohon, Tan Hong mengintai ke sekeliling gedung itu. Setelah merasa pasti bahwa di situ aman dan tidak ada orang, ia lalu memberi isyarat kepada sumoinya dan dengan cepat sekali tubuhnya melayang ke atas genteng gedung itu. Siok Lan lalu ikut melompat. Kembali ia mendapatkan Tan Hong mendekam di atas wuwungan
bagaikan seorang sedang bersembunyi. Iapun ikut mendekam pula dan keduanya lalu
memandang ke sekeliling dengan mata tajam. Ketika tak disengaja mereka saling
pandang, hampir Siok Lan tak dapat menahan ketawanya, demikian pula Tan Hong.
Entah mengapa, mereka merasa gembira dan geli, merasa bahwa mereka kembali ke
masa kanak-kanak dan sedang bermainmain sembunyi untuk dicari oleh kawan lain.
Setelah mencari letak kamar besar di dalam gedung itu, Tan Hong lalu membuka
genteng dengan cepat kemudian mereka lalu mengintai ke dalam. Dengan hati ingin
tahu sekali, Siok Lan-pun mengincar ke dalam kamar.
Tan Hong dan Siok Lan yang mengintai di atas genteng melihat sebuah kamar besar
yang mewah dan indah. Di dalam kamar itu duduk seorang setengah tua bersama
isterinya. Mereka ini adalah pemilik rumah dan mereka sedang sibuk bekerja. Yang kali-laki menulis dalam sebuah buku, mencatat-catat dan yang perempuan sedang
menghitung uang emas yang bertumpuk-tumpuk di atas meja!
Melihat betapa Tan Hong diam saja tak bergerak, gadis itu menjadi heran dan memberi isyarat dengan tangannya sambil menuding ke bawah. Akan tetapi Tan Hong
menggelengkan kepala, bahkan lalu berdiri menjauhi tempat itu sambil memberi tanda kepada Siok Lan supaya ikut. Setelah mereka berada agak jauh dari kamar itu, Tan Hong berkata, "Kita tak dapat bertindak sekarang, mereka masih sibuk dan belum pergi tidur,
" katanya perlahan.
Siok Lan merasa heran sekali. "Mengapa kau takuti mereka suheng" Bukankah mereka
itu orang-orang lemah yang mudah saja disingkirkan?"
Sekali lagi Tan Hong menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau masih belum memahami
sifat pekerjaanku ini, sumoi. Ingatlah bahwa aku adalah seorang maling, bukan seorang perampok yang mengambil barang orang dengan kekerasan dan menggunakan senjata.
Aku hanya mengambil uang orang tanpa diketahui oleh pemiliknya."
Siok Lan tidak puas mendengar keterangan ini. "Kalau kau tidak mau terlihat oleh
mereka, bukankah ada jalan lain yang lebih mudah" Mengapa harus menanti sampai
mereka tidur?" Bagaimana kalau mereka semalam ini tidak tidur?"
"Kita harus menanti di atas genteng."
"Apa ... " Menanti di sini sampai mereka tidur dan membiarkan diri kedinginan di atas genteng menjadi korban tiupan angin malam yang dingin ini" Alangkah bodohnya!"
Tan Hong tersenyum. "Memang pekerjaan ini memerlukan kesabaran besar, sumoi.
Atau, barangkali kau mempunyai cara lain yang lebih sempurna?"
Siok Lan merasa bahwa sekarang iapun telah menjadi kawanan maling yang
merundingkan cara bagaimana untuk mencuri barang orang lain! Ia merasa mendapat
kegembiraan luar biasa dalam pekerjaan baru yang tadinya dianggap hina ini.
"Mengapa kita tidak membuat mereka tidak berdaya tanpa terlihat" Dengan
menggunakan tiam-hwat (ilmu menotok urat) yang dilakukan dengan sambitan benda
keras, kita mudah saja membuat mereka tak berdaya!"
Tan Hong mengangguk-angguk dan menganggap bahwa usul ini baik juga. Memang
kalau ia mau, mudah saja ia membikin kedua orang di dalam kamar itu tidak berdaya tanpa mereka sempat melihat dirinya. Ia lalu bermufakat dan keduanya lalu turun
mencari beberapa buah kerikil yang halus, kemudian keduanya melompat pula ke atas dan mengintai dari atas genteng.
Kedua suami isteri hartawan yang tidak mendengar sesuatu dan tak pernah menyangka akan datangnya bahaya itu masih sibuk bekerja, yang perempuan menghitung-hitung
uang, yang laki-laki mencatatkan besarnya hasil yang mereka dapat dalam perdagangan mereka. Tiba-tiba dari atas genteng, melalui lubang yang dibuat oleh Tan Hong, dua butir batu kecil melayang cepat dan dengan tepat dua butir batu kecil itu menotok jalan darah di leher suami isteri hartawan itu. Tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa, keduanya menjadi lemas dan pingsan di tempat masing-masing!
Jilid 04 Tak lama kemudian, Tan Hong dan Siok Lan melayang turun ke dalam kamar itu. Tanpa memandang kepada kedua korban itu, Tan Hong lalu mengeluarkan dua buah kantong
kuningnya dari saku baju dan mengisi kantong itu penuh-penuh dengan uang perak dan emas yang bertumpuk di atas meja, bahkan ditambahnya pula dengan uang perak yang
tersimpan di dalam lemari. Ketika ia telah selesai dengan pekerjaannya dan menoleh kepada Siok Lan, ia melihat betapa gadis ini berdiri bagaikan patung memandang
kepada dua orang itu. Wajah gadis itu memperlihatkan perasaan iba kepada mereka.
Tan Hong memandang kepada mereka dan melihat bahwa kedua orang suami isteri itu
mempunyai wajah yang baik dan sabar, mempunyai watak yang baik dan tidak kikir.


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi ia tidak memperdulikan semua ini dan segera memegang tangan sumoinya
untuk diajak pergi dari situ. Siok Lan tidak berkata apa-apa, akan tetapi segera ikut melompat keluar dari kamar itu dengan wajah masih menyatakan tidak tega dan tidak senang. Ketika mereka tiba di luar, ia berkata kepada Tan Hong, "Tan-suheng!
Betapapun juga aku tidak suka melihat pekerjaanmu ini."
"Mengapa, sumoi?" tanya Tan Hong dengan tenang. "Kuanggap terlalu kejam!"
"Mengapa kejam" Bukankah kau sendiri yang mengusulkan tindakan itu dan totokan
kita itu tidak berbahaya, dan paling lama satu jam lagi mereka akan sadar kembali tanpa menderita sakit?"
"Bukan itu maksudku. Tapi ketika aku melihat wajah kedua orang itu, aku merasa pasti bahwa mereka adalah orang-orang yang baik hati. Kini uangnya kau curi, bukankah
mereka akan merasa kecewa dan sedih" Suheng ... ! Kau begitu tega membuat orang
lain menderita sedih?"
Tan Hong tersenyum. "Sabarlah, sumoi, dan jangan kau berlaku kepalang tanggung.
Marilah ikut aku dan saksikanlah sendiri pekerjaanku yang kauanggap kejam dan hina ini sampai selesai. Kalau sudah selesai, barulah kau boleh memberi komentar dan
kritik." Biarpun masih merengut, namun Siok Lan menganggap bahwa ucapan ini benar juga,
maka ia terus mengikuti pemuda itu menuju ke dusun-dusun. Alangkah bedanya
keadaan di kota dan di dusun. Pada saat itu, bulan telah muncul setengah dan dari atas genteng Siok Lan dapat melihat jelas perbedaan ini. Baru genteng-gentengnya saja
sudah jauh berbeda. Kalau rumah-rumah di kota tinggi-tinggi dan mempunyai
wuwungan serta genteng yang kokoh kuat dan berwarna merah, adalah rumah di
dusun-dusun jarang yang mempunyai genteng dari tanah. Kebanyakan hanya dipasangi
daun-daun kering sebagai atap dan rumah-rumahnya rendah lagi kecil pula. Jika dibuat perbandingan, agaknya kandang kuda para hartawan di kota jauh lebih besar dan bagus daripada rumah orang-orang kampung ini.
Apalagi ketika itu kemiskinan sedang merajalela akibat bencana alam yang mengamuk dan yang paling merasakan akibatnya adalah orang-orang miskin ini.
Biasanya, apabila melakukan pekerjaan membagi-bagi hasil curiannya, Tan Hong tidak banyak memilih dan melemparkan potongan perak begitu saja dari atas atap ke atas
pembaringan orang, akan tetapi kini ia sengaja membuka atap dan minta supaya Siok Lan menengok ke dalam. Tergetar juga hati Siok Lan melihat tubuh orang-orang yang kurus kering dengan pakaian tambal-tambalan serta dalam keadaan rumah yang benar-benar kosong dan miskin menyedihkan, tidur meringkuk kedinginan oleh karena
mereka tidak mempunyai selimut untuk melindungi diri dari serangan angin yang dapat masuk melalui celah-celah bilik mereka yang bobrok.
Tan Hong sengaja melemparkan uang perak ke atas pembaringan dengan mengerahkan
tenaga hingga uang itu menimpa papan pembaringan mengeluarkan suara keras.
Biasanya ia melempar dengan perlahan hingga tidak mengagetkan tuan rumah dan
kebanyakan, mereka yang mendapat bagian ini pada keesokan harinya baru akan dapat melihat potongan uang di atas pembaringannya.
Karena suara nyaring yang ditimbulkan oleh bantingan uang di atas pembaringan itu, orang-orang yang tidur di dalam kamar menjadi terkejut dan terbangun. Alangkah kaget mereka ketika melihat tiga potong perak yang bercahaya di dalam gelap. Mereka segera menyalakan lampu minyak dan ketika melihat bahwa barang berkilau itu benar-benar
uang perak, semua orang lalu merubung dan dengan mata terbelalak memandang.
Tan Hong mengajak Siok Lan pergi dari atas rumah itu, akan tetapi Siok Lan masih
sempat melihat betapa orang-orang di dalam rumah itu menjatuhkan diri berlutut dan mengucapkan terima kasih kepada dewata yang telah memberi pertolongan kepada
mereka! Tanpa banyak cakap Tan Hong mengajak Siok Lan ke sebuah rumah lain dan secara
bergilir ia membagi-bagikan potongan perak dan emas kepada penghuni-penghuni
rumah gubuk di desa-desa itu. Banyak sekali pemandangan yang menimbulkan ngeri
dan haru dalam hati gadis itu malam ini. Ia melihat pemandangan-pemandangan di
dalam rumah yang benar-benar hebat mengharukan. Ada penghuni rumah yang sedang
menangisi tubuh seorang anggota keluarga yang telah kaku dan mati. Ada pula yang
sedang menangisi anaknya yang sakit, dan banyak sekali yang mengeluh dan menangis karena menderita lapar!
Yang paling mengesan di hati sanubari Siok Lan ketika mereka melihat dari atap ke dalam sebuah rumah yang amat bobrok. Seorang wanita muda tapi kurus kering dan
pucat sedang menangisi mayat suaminya yang membuyur di atas balai-balai rusak dan seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun menangis pula memeluki
ibunya. "Ibu ... ! ibu ... ! ayah mengapa ... ibu ... ?"
Wanita itu tidak dapat menjawab, hanya menangis makin keras dan memeluki anaknya.
Dari gerakan wanita itu, Siok Lan dapat menduga bahwa wanita itu juga menderita sakit payah, tubuhnya demikian lemah tak bertenaga.
"Sian-ji ... anakku ... jaga dirimu baik-baik nak ... kalau kau merasa lapar ... jangan malumalu ... mintalah kepada orang lain ... minta belas kasihan orang-orang ... !"
"Aku harus mengemis, ibu ... ?" tanya anak itu.
"Terpaksa, Sian-ji ... ! Apa boleh buat, kau tidak boleh mati kelaparan seperti orang tuamu ... ! Kau masih anak-anak, perlu hidup lebih lama ... anakku ... ! Oh, anakku Sian ji
... !" Wanita itu memeluk anaknya dan dekapan ini agaknya akan merupakan dekapan
terakhir apabila wanita itu tidak segera mendapat pertolongan yang berupa obat-obat bagi penyakitnya dan beras bagi perutnya yang telah berhari-hari tidak di si.
Akhirnya, setelah kesedihan dan keharuan itu agak mereda, terdengar ibu itu bertanya,
"Sian-ji ... ! Kau ... lapar, nak?"
Lama tidak terdengar jawaban, tapi kemudian terdengar juga suara anak itu lemah,
"Ti ... tidak, ibu ... aku tidak lapar!"
"Sian-ji, jangan kau membohong, ibu dapat mendengar suara perutmu berkeruyuk ... "
"Tidak, ibu!" suara anak itu tetap dan keras. "Selama kau belum bisa mendapat
makanan, aku takkan mau merasa lapar!"
Tak tertahan pula hati Siok Lan memandang dan mendengar semua ini, dan
terdengarlah isak tangis gadis ini di atas atap! Dipegangnya lengan Tan Hong yang berjongkok di dekatnya. "Ah! Suheng ... kasihan sekali mereka itu ... tolonglah mereka!"
Tan Hong lalu mengambil semua sisa uang emas dan perak yang masih ada beberapa
belas potong lagi lalu dilemparkannya uang itu ke dalam kamar tersebut.
Tak terdengar suara apa-apa di dalam kamar, seakan-akan kedua manusia yang berada di dalamnya merasa terkejut dan takut. Kemudian terdengar anak itu berseru lemah,
"Ibu, ibu ... lihat, apakah ini?"
"Uang ... ! Ya Tuhan, uang emas dan perak ... Sian-ji ... " terdengar wanita itu menangis lagi dan Siok Lan yang tak dapat menahan tangisnya, lalu melompat pergi dari situ sambil terisak-isak!"
Tan Hong mengejarnya dan segera memegang lengan sumoinya. "Sumoi, tenanglah!
Pemandangan seperti itu bagiku tidak aneh lagi, dan sekarang nyatakanlah pendapatmu tentang pekerjaanku ini." Sambil berkata demikian, Tan Hong mengebut-ngebutkan
kedua kantong kuningnya yang telah kosong dan memasukkan ke dalam saku bajunya.
Siok Lan memandang semua ini dengan mata berlinang penuh air mata, kemudian ia
berkata, "Ah, Tan-suheng, tak kusangka di dunia ini ada pemandangan yang demikian menyedihkan. Tak kusangka bahwa banyak sekali bangsa kita yang hidup sengsara! Ah, kini aku mengerti mengapa kau menjadi maling!"
Tan Hong menghela napas lega. "Sumoi, ternyata kau juga mempunyai keadilan dan
kejujuran serta hati welas asih. Memang, jangan kaukira bahwa akupun tidak kasihan melihat kedua suami isteri hartawan yang kucuri uangnya tadi. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa selain harta yang kucuri, mereka itu masih mempunyai banyak harta lain yang takkan habis mereka makan selama hidup bersama anak cucu mereka!
Dibandingkan dengan kesengsaraan para rakyat miskin itu, apakah arti kesedihan kedua suami isteri hartawan yang kehilangan sedikit uangnya itu?"
"Kau benar, suheng. Mulai sekarang aku tidak mau memandang rendah lagi kepada
pekerjaanmu. "
"Sumoi! Baru melihat saja keadaan orang-orang yang miskin dan menderita kelaparan, hatimu telah tidak kuat, itu tanda seorang berbudi mulia. Kau baru melihat saja sudah ikut merasa sengsara, apalagi aku telah mengalami sendiri!" Tan Hong menghela napas karena teringat akan pengalamannya di waktu masih kecil.
"Engko Hong, kau pernah mengalami ... kelaparan?" tanyanya dan panggilannya
berubah "engko" yang lebih mesra daripada "suheng". Perubahan ini terloncat keluar dari mulutnya tanpa dirasainya, sedangkan kedua matanya memandang dengan
bersinar penuh perasaan iba.
Tan Hong tersenyum sedih. "Ayah ibuku meninggal karena kelaparan! Hal ini baru
kepadamu saja kuceritakan dan tak perlu aku malu akan hal itu. Sedangkan aku
sendiripun hampir saja mati kelaparan kalau tidak ditolong oleh suhu."
Siok Lan makin tertarik dan mendesak supaya Tan Hong menceritakan pengalamannya
dengan singkat dan Siok Lan yang mendengar penuturan ini, mengucurkan air mata
karena terharu dan kasihan.
"Alangkah malang nasibmu, engko Hong. Kini mengertilah aku mengapa kau selalu
bermuram durja seperti seorang yang telah menderita kesengsaraan hebat, dan tahu
pula aku mengapa kau demikian memperhatikan nasib-nasib orang-orang yang
menderita kelaparan hingga rela menjadi maling untuk menolong mereka! Kau mencuri semata-mata untuk menolong rakyat miskin hingga kau melupakan dirimu sendiri, dan lihatlah pakaianmupun sudah penuh tambalan. Ah, aku dulu sala sangka, engko Hong.
Kau benar-benar seorang maling budiman yang mulia dan suci!"
"Terima kasih, adikku yang baik. Sekarang aku tidak menderita lagi, bahkan aku merasa hidupku penuh bahagia. Terutama sekali semenjak kita bertemu." Tan Hong
memandang tajam dan untuk sesaat Siok Lan membalas pandang, mata pemuda itu,
akan tetapi gadis ini segera menundukkan muka dengan malu.
"Ah, hari telah mulai terang, mari kita pulang. Tentu Ong-suheng menanti-nanti kita!"
katanya sambil melompat jauh. Tan Hong mengejar dan mereka lalu lari dengan cepat menuju ke rumah penginapan.
*** Ketika mereka tiba di atas genteng rumah penginapan itu, alangkah terkejut mereka melihat betapa Ong Kai sedang mengamuk dan dikeroyok oleh lima orang yang
berpakaian sebagai piauwsu!
Ternyata ketika Ong Kai berada seorang diri di dalam kamarnya dan tidur nyenyak,
menjelang fajar, tiba-tiba ia mendengar suara banyak kaki orang berada di atas genteng kamarnya. Pemuda ini menyangka bahwa tentu ada orang-orang jahat hendak
menyerbu, maka cepat ia mencabut pedangnya dan keluar dari jendela kamarnya.
Benar saja, di atas genteng ia melihat bayangan beberapa orang memegang pedang.
Ong Kai memang pemberani dan tabah. Ia segera mengayun tubuhnya melompat ke
atas sambil membentak, "Bangsat-bangsat kecil, mau apa pagi-pagi datang
mengganggu orang?"
Kelima orang yang berada di atas genteng melihat pemuda muka hitam ini, berseru,
"Nah, ini dia orangnya! Tangkap! Bunuh!" Mereka lalu maju mengeroyok tanpa banyak pertanyaan lagi!
Tentu saja Ong Kai sangat marah. Ia maklum tentu telah terdapat salah paham dan
salah sangka, akan tetapi dasar ia berhati keras dan tabah, ia tidak mau banyak
bertanya pula. Dengan sengit ia memutar-mutar pedangnya dan kelima orang piauwsu
yang mengepungnya itu terpaksa mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya
untuk menahan amukan pemuda muka hitam itu! Biarpun ia hebat dan keras hati,
namun Ong Kai masih dapat membedakan orang jahat dan orang baik, maka iapun
tidak mau menurunkan tangan kejam, dan hanya memainkan pedangnya sedemikian
rupa untuk memamerkan kepandaian saja tanpa mengirim serangan yang dapat
mendatangkan bahaya bagi kelima orang musuhnya!
Pada saat itu datanglah Tan Hong dan Siok Lan. Melihat bahwa para pengeroyok Ong
Kai berpakaian piauwsu, Tan Hong segera berseru, "Saudara-saudara, tahan dulu!
Saudaraku inipun seorang piauwsu, mengapa kalian mengeroyoknya?"
Kelima orang piauwsu itu memang telah terdesak hebat dan tak berdaya, maka ketika mendengar teriakan Tan Hong ini mereka lalu melompat mundur dan berdiri berjajar
sambil memandang tajam.
Ong Kai tertawa bergelak-gelak. "Ha, ha, ha! Piauwsu kampungan! Bagaimana, sudah
kenal kehebatanku" Tiada hujan tiada angin kalian datang mengeroyokku, apakah di
rumah tidak mempunyai pekerjaan lalu iseng-iseng memamerkan kepandaianmu?"
Seorang di antara kelima piauwsu itu tidak lain adalah Lim-piauwsu dari Wi-ciu yang pernah bertempur dan mengejar dan berusaha menangkap Tan Hong ketika pemuda ini
berada di Wi-ciu. Melihat kedatangan Tan Hong, Lim-piauwsu terkejut dan segera
menjura, "Ah, Gin-kiam Gi-to datang, tentu taihiap akan dapat menerangkan sejelasnya kepada kami, oleh karena kami percaya bahwa taihiap bukan tergolong para perampok hina!"
"Sabarlah dulu kawan-kawan, sebenarnya apakah yang telah terjadi?" tanya Tan Hong.
"Mereka berlima ini datang-datang menyerbuku tanpa memberi kesempatan
sedikitpun!" seru Ong Kai dengan suara marah.
Lim-piauwsu menghela napas. "Mungkin sekali kami salah sangka, harap kau sudi
memberi maaf," katanya kepada Ong Kai. Kemudian kepada Tan Hong ia berkata,
"Marilah kita turun ke bawah saja, kurang leluasa bicara di atas genteng. "
Semua orang lalu melayang turun dan oleh karena rombongan piauwsu-piauwsu itu
telah dikenal dan dihormati semua penduduk sebagai orang-orang gagah, maka mudah
saja bagi Lim-piauwsu untuk minta kepada pengurus hotel agar supaya ruang belakang disediakan khusus untuk mereka dan tidak boleh diganggu orang lain.
Setelah memasuki ruang belakang dan makan suguhan bakpauw dan air teh yang
dipesan Lim-piauwsu, sebelum bercerita, Lim-piauwsu minta kepada Tan Hong supaya
memperkenalkan si muka hitam dan si nona cantik itu.
"Ini adalah suteku bernama Ong Kai dan pekerjaannya juga menjadi piauwsu di
Luikoan-bun, dan nona ini adalah sumoi-ku bernama Lo Siok Lan. "
Lim-piauwsu kembali menyatakan penjelasannya yang telah salah melihat orang dan
minta supaya Ong Kai suka memberi maaf.
"Nanti dulu!" kata Ong Kai, "Soal minta maaf tidak ada artinya. Yang penting aku ingin sekali mengetahui, kalian sangka siapa aku ini?"
Dengan sejujurnya Lim-piauwsu menjawab, "Kami tadinya menyangka bahwa kau
adalah Hek-bin-mo!"
"Hai!!" Oang Kai bangun dari tempat duduknya dengan kaget dan heran, sedangkan
Tan Hong dan Siok Lan juga merasa terkejut sekali. Akan tetapi kelima piauwsu itu memandang heran tidak mengerti mengapa ketika orang muda itu menjadi demikian
kaget. "Apakah kalian ini kembali hendak mencari perkara dengan aku" Jangan kalian mainmain!" Ong Kai membentak dan wajahnya yang hitam itu menjadi makin hitam oleh
karena darah merah menjalar di urat-urat mukanya.
"Lim-piauwsu, suteku ini memang bernama Hek-bin-mo!" kata Tan Hong.
Kini Lim-piausu dan kawan-kawannyalah yang terkejut sekali dan Lim-piauwsu
buruburu berdiri menjura kepada Ong Kai. "Maaf ... ! Maaf ..., sekali lagi terjadi salah paham yang sama sekali tak kami sangka dan sekali-kali kami tidak sengaja hendak
membikin marah dan tak senang kepada Ong-enghiong. Kami memang tidak
membohong atau hendak mempermainkan orang, akan tetapi benar-benar kepala
perampok yang kami musuhi itupun disebut Hek-bin-mo dan bernama Ciauw Lek."
Lim-piauwsu lalu menuturkan bahwa baru-baru ini muncul serombongan perampok
yang berkepandaian tinggi dan yang sama sekali tidak menghargai persahabatan dan
mengganggu pengiriman barang-barang yang dikawal oleh para piauwsu. Lim-piauwsu
dan beberapa orang kawan telah mendatangi sarang perampok baru itu di sebuah
hutan, akan tetapi mereka tidak mau memperdulikannya, bahkan para piauwsu itu lalu dimaki, dihina, kemudian diserang hingga sebuah pertempuran hebatpun terjadi. Akan tetapi, perampokperampok itu terlampau hebat hingga rombongan piauwsu itu dipukul mundur, bahkan tiga orang kawan Lim-piauwsu mendapat luka berat.
Dengan hati marah Lim-piauwsu lalu mengumpulkan kawan-kawannya dari beberapa
kota dan mereka ini lalu menyerbu ke dalam hutan untuk membuat pembalasan, akan
tetapi kembali mereka dipukul mundur. Di antara pimpinan perampok, terdapat tiga
orang kepala perampok yang memiliki kepandaian silat tinggi sekali. Seorang di antara ketiga kepala rampok ini bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan berjuluk Hek-bin-mo! Dua orang yang lain adalah orang-orang tua yang berkepandaian hebat sekali,
yakni dua saudara kembar bernama Ang Houw dan Ang Touw dan yang dinamai orang
Sepasang iblis Kembar!"
Setelah menceritakan ini semua, Lim-piauwsu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Tan Hong dan kawan-kawannya, hingga ketiga orang muda itu menjadi terkejut
lalu buru-buru mengangkat bangun Lim-piauwsu dan piauwsu-piauwsu lain yang juga
ikut berlutut. "Sam-wi enghiong yang mulia, kami mohon pertolongan sam-wi untuk membantu kami,
oleh karena selain sam-wi yang maju membantu, rasanya tak mungkin bagi kami untuk mengusir perampok-perampok itu dan ini berarti bahwa sumber nafkah kami menjadi
lenyap! Tolonglah kami, demi persahabatan di kalangan kang-ouw."
Tan Hong merasa kasihan juga melihat keadaan para piauwsu itu. Sebetulnya ia tidak tertarik dan tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan para jago liok-lim
(perampok), maka ia lalu mengambil keputusan untuk menjadi orang penengah saja
dan mencoba mendamaikan perampok-perampok itu dengan para piauwsu agar dapat
bekerja sama dengan baik. Juga ia tertarik mendengar kehebatan mereka dan ingin
sekali menyaksikan sendiri.
Akan tetapi tidak demikian dengan Ong Kai. Semenjak tadi hatinya telah amat tertarik mendengar bahwa ada kepala rampok yang bernama sama, bermuka serupa dan
bertubuh sebentuk dengan dia! Maka ia lalu berkata kepada Lim-piauwsu, "Jangan
khawatir, Lim-piauwsu! Aku takkan membiarkan seorang Hek-bin-mo lain melakukan
kejahatan dan membikin cemar nama julukanku! Hendak kulihat bagaimana
kehebatannya Hek-bin-mo palsu itu!"
"Lim-piauwsu, memang benar ucapan Ong-sute. Kita harus saling bantu dan sudah
menjadi keharusan kita untuk membantu kawan-kawan yang menderita kesukaran.
Biarlah siauwte ikut bersamamu ke sarang perampok itu dan mencoba mendamaikan
urusan ini."
Sementara itu, Siok Lan tidak mau berkata apa-apa, dalam hati gadis ini merasa heran sekali melihat sikap Tan Hong. Pemuda itu sendiri adalah seorang maling besar,
bagaimana sekarang ia mau memusuhi perampok" Bukankah mereka masih
segolongan" Betapapun juga, apabila Tan Hong memusuhi golongan perampok, maka ia
akan dapat dianggap mengkhianati golongan sendiri!
Setelah bersiap sedia, Lim-piauwsu lalu memberitahukan kepada kawan-kawan
piauwsu lainnya, hingga tak lama kemudian telah berkumpul dua puluh orang piauwsu yang mengantar ketiga orang muda itu ke hutan tempat perampok itu bersarang.
Mereka ini merupakan sebuah barisan panjang yang berjalan dengan sikap gagah oleh karena mereka menaruh pengharapan besar untuk dapat membalas dendam kepada
para perampok yang bertindak sewenang-wenang itu. Dari Lim-piauwsu mereka
mendengar bahwa ketiga anak muda yang hendak membantu mereka itu adalah
pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi, bahkan yang seorang adalah Gin-kiam
Gi-to yang terkenal. Para piauwsu ini kagum sekali melihat Siok Lan yang selain cantik jelita, juga bersikap pendiam dan tampak gagah sekali. Oleh karena di antara
rombongan piauwsu ini banyak pula yang masih muda-muda, maka sebagaimana
biasanya pemuda-pemuda menghadapi seorang gadis jelita, biarpun mereka tidak
berani terang-terangan oleh karena mendengar akan kehebatan Siok Lan, namun
mereka tetap berlumba untuk berlagak agar nampak gagah dan menarik perhatian
gadis itu! Akan tetapi, Siok Lan berjalan sambil tunduk dan sama sekali tidak mau memperdulikan pandangan mata semua orang, baik yang datang dari fihak rombongan
piauwsu sendiri, maupun yang datang dari penduduk yang melihat rombongan itu
berjalan. Para penduduk telah mendengar berita bahwa rombongan ini hendak
menyerbu perampok dan mereka kagum melihat bahwa di antara sekian banyak lakilaki gagah, terdapat seorang pendekar wanita yang demikian cantik jelita dan yang berjalan dengan tenang, seakan-akan tidak sedang hendak menghadapi pertempuran
dengan para perampok ganas !
*** Yang merajai hutan Pek-siong-lim adalah tiga orang kepala rampok yang diceritakan
oleh Lim-piauwsu tadi, yakni kedua saudara kembar yang sudah tua Ang Houw dan Ang Touw yang berjuluk Sepasang Iblis Kembar, dan si muka hitam Ciauw Lek yang disebut orang Hek-bin-mo si Iblis Muka Hitam, julukan yang sama benar dengan julukan Ong
Kai! Mereka bertiga merupakan tiga serangkai yang telah membuat nama besar di daerah
utara, akan tetapi pada suatu hari, di utara telah muncul seorang pendekar tua yang memiliki kepandaian tinggi sekali, sungguhpun keadaan kakek itu amat miskin dan
buruk. Munculnya pendekar perantau ini membuat gempar kalangan liok-lim oleh
karena pendekar ini benci sekali kepada bangsa perampok dan penjahat. Banyak sekali rampok yang telah tewas dan roboh di tangan pendekar ini, dan Ciauw Lek beserta
kedua orang kawannya lalu lekas-lekas melarikan diri. Mereka lalu kabur ke selatan dan akhirnya memilih tempat di hutan Pek-sionglim, menjadi kepala rampok disitu. Tertarik oleh kehebatan tiga orang kepala rampok ini, banyak anak buah rampok yang datang
membantu mereka.
Tak lama kemudian daerah itu menjadi tidak aman. Kepala rampok yang dulu, yang
ditewaskan oleh ketiga kepala rampok baru ini, dapat bekerja sama dan menghargai
para piauwsu hingga tak pernah mengganggu barang-barang yang dilindungi oleh para piauwsu ini. Sebaliknya para piauwsu juga seringkali memberi sumbangan-sumbangan
kepada kepala rampok itu. Akan tetapi, setelah kepala rampok digantikan oleh
Sepasang Iblis Kembar dan si Muka Hitam, siapa saja yang melewati daerah itu tentu akan dirampok habis-habisan tanpa pilih bulu! Bahkan ketiga orang kepala rampok baru ini tidak segan-segan menyerbu ke dalam dusun-dusun dan merampok penduduk
dusun, mengangkut hasil bumi yang mereka tanam dengan susah payah!
Di antara semua piauwsu yang menjadi korban, juga barang-barang di bawah
perlindungan Lim-piauwsu tak terkecuali. Lim-piauwsu menjadi marah dan menyerbu,
akan tetapi kepandaian ketiga kepala rampok itu benar-benar hebat, hingga bukan saja ia tidak dapat mengalahkan mereka, bahkan di antara kawan-kawannya ada yang tewas dan luka!
Kini setelah para piauwsu itu bertemu dengan Ong Kai yang telah mereka ketahui
kehebatannya ketika kelima piauwsu itu mengeroyoknya, dan terutama oleh karena
Ong Kai berkawan dengan Tan Hong si Maling Budiman yang terkenal itu, ditambah
pula dengan seorang pendekar wanita yang biarpun belum mereka saksikan
kehebatannya, akan tetapi oleh karena pendekar wanita itu menjadi adik seperguruan dari si Maling Budiman, mereka percaya bahwa gadis pendekar itupun tentu memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Tentu saja mereka berbesar hati dan timbul pengharapan mereka untuk dapat mengusir gerombolan perampok yang jahat itu.
Ang Houw dan Ang Touw serta Ciauw Lek, mempunyai banyak sekali anak buah dan
mereka memang mengadakan aturan yang keras serta berdisiplin. Di setiap sudut hutan Peksiong-lim mereka tugaskan penjaga-penjaga dan penyelidik-penyelidik hingga
kedatangan para piauwsu itu telah mereka ketahui dengan cepat.
Ciauw Lek tertawa geli, "Ha, ha, ha, piauwsu-piauwsu anjing itu benar-benar ingin mampus! Apakah mereka belum juga kapok" Lebih baik mengirim tanda takluk kepada
kita agar kita dapat mengampuni mereka, daripada datang mengantar kematian! Ha,
ha, ha!" "Ciauw-sute, jangan kau pandang rendah mereka. Menurut laporan penyelidik, kini
mereka datang mengiringkan tiga orang muda yang agaknya menjadi jago mereka.
Lebih baik kita berhati-hati menghadapi mereka," kata Ang Houw yang tertua dan lebih berhati-hati sikapnya.
"Twako berkata benar, sute," kata Ang Touw yang selalu membela kakaknya. "Memang
tidak ada salahnya kalau kita berhati-hati agar jangan sampai mengalami kegagalan seperti ketika di utara. "
Ciauw Lek yang bermuka hitam mencibirkan bibirnya dan tersenyum menghina.
"Orang-orang selatan yang lemah ini perlu apa ditakuti" Tapi, kalau ji-wi twako hendak mengadakan sambutan secara baik-baik, akupun setuju saja. Apakah aku harus
melarang anak buah yang hendak menganggu mereka?"
"Biarlah, biar mereka maju lebih dulu untuk sekedar menguji keadaan dan kekuatan
mereka. Kita bersembunyi dan melihat sepak terjang mereka lebih dulu. "
Ketiga kepala rampok ini lalu mengatur persiapan dan memberi perintah-perintah


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada anak buah mereka. Mereka lalu mengadakan pencegatan di sebuah tikungan
yang banyak ditumbuhi pohon siong yang besar-besar.
Rombongan piauwsu itu masuk ke dalam hutan dan hampir semua piauwsu yang
pernah mengalami kekalahan besar di dalam hutan ini mau tidak mau merasa dag-digdug juga. Akan tetapi oleh karena melihat betapa Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan
berjalan dengan sikap tenang dan berani, mereka lalu turut maju sambil memandang
kekanan ke kiri sambil bersiap-sedia dengan pedang atau senjata lain di tangan!
Ketika mereka tiba di tukungan di mana para perampok telah menanti sambil
bersembunyi di belakang pohon, tiba-tiba Tan Hong dan kedua orang kawannya yang
bermata tajam berhenti dan mengangkat tangan ke belakang memberi isyarat supaya
semua piauwsu berhenti.
Tiba-tiba dari depan terdengar suara mengiuk dan belasan batang anak panah
meluncur cepat dari segala jurusan! Akan tetapi anak-anak panah ini kesemuanya
menuju ketiga orang muda yang berdiri di depan. Ini memang kehendak para kepala
perampok yang hendak menguji kepandaian ketiga orang muda itu!
Ong Kai dan Tan Hong tenang-tenang saja, akan tetapi Siok Lan merasa marah sekali.
Gadis ini tahu-tahu telah melompat ke depan sambil mencabut pedangnya hingga
semua anak panah kini menuju kepada tubuhnya. Para piauwsu memandang dengan
mata terbelalak dan hati berdebar. Akan tetapi, secepat kilat Siok Lan memutar
pedangnya dan runtuhlah semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya,
bagaikan air hujan terhalang payung. Inilah gerakan pedang yang disebut Dewi Kwan Im Membuka Payung! Kagumlah para piauwsu melihat kehebatan gadis ini dan mereka
memuji dengan girang. Ternyata gadis pendekar ini tidak mengecewakan harapan
mereka! "Perampok-perampok rendah tak tahu malu! Keluarlah kalau kalian laki-laki sejati, jangan menyerang secara gelap bagaikan lakunya pengecut hina!"
Tiba-tiba dari belakang pohon berlompatan keluar lima orang tinggi besar yang
memegang golok di tangan. Mereka ini maju menubruk dengan golok terangkat ke arah Siok Lan!
Kagetlah para piauwsu itu, apalagi ketika mereka melihat betapa Tan Hong dan Ong Kai hanya tersenyum sambil menonton saja, sama sekali tidak hendak membantu dara
jelita yang dikeroyok lima orang itu! Akan tetapi, sekali lagi mereka tertegun dan kagum. Siok Lan berseru keras dan memutar pedangnya sedemikian rupa hingga sekali tangkis saja kelima golok lawannya terpental! Anak buah perampok itu terkejut dan hendak lari, akan tetapi tangan kiri dan kaki kanan Siok Lan bergerak cepat, dan robohlah dua orang perampok yang larinya paling belakang!
Gadis pendekar itu lalu memasukkan pedangnya di sarung pedang dan kini ia
menyambar lengan tangan kedua orang itu dan menyentak keras ke atas sambil
berseru, "Perampok-perampok hina, terimalah kembali dua ekor anjingmu ini!" Dan
luar biasa sekali! Dengan sekali ayun saja kedua tubuh anak buah perampok itu,
terlempar ke arah pohonpohon di depan bagaikan jatuhnya dua buah nangka!
Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan "Hebat sekali!" dan dari belakang semak-semak melayang keluar tubuh seorang tua yang cepat meyambar tubuh kedua anak
buah perampok yang masih melayang dan agaknya hendak membentur batang pohon
itu! Begitu kakek itu mengulur kedua tangannya, ia berhasil menangkap dengan tepat leher baju kedua perampok dan tubuhnya melayang turun dengan gerakan ringan
sekali. Kemudian ia mendorong kedua perampok itu ke kanan dan ke kiri hingga
keduanya jatuh terguling ke dalam semak!
Diam-diam Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan kagum juga melihat gerakan Garuda Sakti
Menyambar Kelinci yang diperlihatkan oleh kakek tadi untuk menolong kedua orang
perampok itu. Kakek itu tidak lain ialah Ang Houw dan pada saat itu juga, Ang Touw dan Ciauw Lek keluar pula dari tempat persembunyian mereka. Ketika melihat Ciauw Lek keluar, Tan Hong dan Siok Lan hampir tak dapat menahan geli hati mereka. Memang, orang tinggi besar ini hampir serupa dengan Ong Kai, baik kehitaman mukanya, maupun tubuhnya
yang tinggi besar itu. Kalau saja Ong Kai berdiri di sebelah orang hitam ini, maka di situ akan terdapat dua orang kembar, oleh karena kedua orang itupun serupa betul!
Ang Houw yang selalu berhati-hati lalu menjura kepada ketiga anak muda itu dan
bertanya, "Bolehkah kami mengetahui siapakah lihiap yang gagah ini dan siapa pula ji-wi enghiong yang datang memasuki daerah kami dengan para piauwsu itu?"
Sebelum Tan Hong membuka mulut menjawab, ia telah didahului oleh Ong Kai yang
menuding sambil membentak marah, "Perampok-perampok busuk! Sebelum kalian
bertanya, mengakulah lebih dulu. Apakah setan ini yang berani memakai nama julukan Hek-bin-mo?" Sambil berkata demikian, ia menunjuk ke arah hidung Ciauw Lek!
Memang semenjak tadi Ciauw Lek memperhatikan Ong Kai yang nampak gagah itu,
maka kini mendengar betapa pemuda muka hitam itu, mengeluarkan kata-kata
menghina dan datang-datang memaki dirinya, ia lalu balas membentak, "Akulah Hekbin-mo Ciauw Lek! Kau setan hitam, mau apa bertanya dan menyebut-nyebut
namaku?" "Bagus! Kalau begitu, mulai saat ini aku melarang kau menggunakan nama julukan Hekbin-mo dan mulai saat ini kaupun harus pergi dari hutan ini dan jangan berani
mengganggu orang lagi. Kalau tidak, tuanmu ini akan memutar batang lehermu!"
Bukan main marahnya Ciauw Lek mendengar ini. Kedua matanya melotot dan dadanya
naik turun terdorong gelombang kemarahan, "Setan hutan! Siapa kau maka berani
berlagak sesombong ini?"
Ong Kai tertawa, "Dengarlah, monyet! Aku bernama Ong Kai dan aku disebut Hek-binmo!" Tan Hong dan Siok Lan tersenyum geli dan para piauwsu itupun menahan geli hati
mereka, sungguhpun mata mereka memandang dengan penuh ketegangan melihat
lagak kedua orang tinggi besar yang menyeramkan itu. Dengan heran Ciauw Lek
melangkah mundur setindak.
"Kau ... ! Hek-bin-mo palsu!"
"Bangsat, kalau begitu kau harus mampus!" Ong Kai lalu menerjang dengan kepalan
tangan dalam gerak pukulan Raja Maut Merampas Nyawa! Pukulan ini hebat sekali,
akan tetapi dengan berani Ciauw Lek lalu menangkis dengan lengan tangannya. Dua
lengan tangan yang besar dan kuat beradu dan akibatnya Ciauw Lek terhuyung mundur tiga langkah!
Melihat ini, kedua saudara kembar she Ang itu lalu maju dan berkata, "Sute, tahan dulu.
Biar kita bicara dulu dengan mereka ini!"
Juga Tan Hong yang sebetulnya hanya bermaksud menjadi pendamai saja, mencegah
Ong Kai menyerang terus, "Ong-sute, sabarlah dulu. "
Ong Kai menggigit bibirnya. "Kalau tidak dihalangi, pasti aku akan putar batang lehermu sampai putus!"
Ang Houw lalu bertanya kepada Tan Hong, oleh karena itu ia tahu bahwa pemuda ini
yang menjadi pemimpin rombongan itu.
"Enghiong yang gagah, sekali lagi kami ulangi pertanyaan kami tadi. Apakah maksudmu datang ke sini dan memusuhi kami" Apakah sam-wi sengaja datang hendak membela
para piauwsu itu?"
Tan Hong menjawab dengan suara halus dan tenang. "Tai-ong, sebenarnya kami datang hanya hendak mendamaikan urusan yang timbul di antara kalian dan para piauwsu.
Kami minta kiranya kalian sudi bertindak bijaksana dan tidak melakukan perampasan terhadap barang-barang yang dilindungi oleh para piauwsu itu. Ingatlah bahwa mereka inipun melakukan tugas pekerjaan mereka dan apabila kalian mengganggu, maka
berarti kalian menanam bibit permusuhan yang tiada habisnya. "
"Kau anak muda, kurus kering dan jembel busuk! Siapakah kau ini maka begini
cerewet?" Tiba-tiba Ciauw Lek membentak dan menubruk ke arah Tan Hong sambil
mengirim kepalan ke arah kepala Tan Hong. Tan Hong berlaku tenang, dengan sedikit memiringkan kepala ia mengelak dari pukulan ini dan tanpa bergerak dari tempatnya, kaki kirinya meluncur ke depan dan tubuh Ciauw Lek tertendang sampai terlempar dua tombak jauhnya! Untung bagi si muka hitam bahwa Tan Hong tidak hendak
mencelakakan jiwanya, maka ia hanya mendapat sedikit luka dan kecet saja ketika
tubuhnya terlempar ke semak-semak berduri!
Biarpun Ang Touw juga mempunyai watak lebih sabar daripada Ciauw Lek, akan tetapi ia tidak sesabar Ang Houw. Melihat sutenya dirobohkan orang sedemikian mudahnya,
naiklah darahnya dan secepat kilat ia maju menyerang dengan pedang di tangan! Ia
menyerang dengan gerakan Burung Walet Pulang ke Sarang dan pedangnya meluncur
ke arah leher Tan Hong! Melihat kecepatan gerakan ini dan merasa betapa pedang itu mendatangkan angin yang cukup hebat, Tan Hong lalu mencabut pedangnya dan
menangkis. Tergetarlah telapak tangan Ang Touw ketika pedangnya kena ditangkis,
akan tetapi tangkisan itu tidak cukup kuat untuk membuat pedangnya terpental! Diamdiam Tan Hong juga memuji tenaga orang itu.
Akan tetapi, ketika melihat pedang perak itu berkilauan di tangan Tan Hong, seorang di antara para anak buah perampok berteriak, "Hai, dia adalah Gin-kiam Gi-to si Maling Budiman!"
Terkejutlah ketiga kepala rampok itu mendengar nama ini disebut, Ang Houw segera
menjura dan bertanya, "Betulkan, kau Gim-kiam Gi-to?"
Tan Hong tak menyembunyikan nama julukannya dan mengangguk sambil memandang
tajam. Maka merahlah wajah Ang Houw mengetahui bahwa pemuda yang hebat ini benarbenar si Maling Budiman adanya! Ia lalu menuding dan berkata marah, "Gin-kiam Gi-to!
Kau seorang maling yang telah membuat nama besar, akan tetapi ternyata kau sama
sekali tidak tahu aturan dalam kalangan liok-lim! Kau sendiri seorang maling, mengapa kau membela para piauwsu dan datang memusuhi kami" Apakah ini takkan membuat
sesama kaum mengatakan bahwa sebagai seekor bebek kau telah berani masuk ke
kandang besar dan menyerang angsa?" Perumpamaan ini dimaksudkan bahwa seekor
bebek yang kecil tentu tidak mau menyerang angsa yang masih segolongan dengannya!
Tan Hong tersenyum dingin dan menjawab, "Tai-ong, jangan kau berlancang mulut dan menggolongkan aku sebagai golonganmu! Biarpun aku seorang maling, akan tetapi
bukan sembarang maling seperti yang kaukira! Memang pada umumnya, seorang
maling boleh diumpamakan saudara muda dari seorang perampok! Akan tetapi, kau
merampok, membunuh, dan mencelakakan orang lain hanya untuk memenuhi dan
menyenangkan kebutuhan sendiri. Kau melakukan kejahatan terdorong oleh nafsu
tamak dan terdorong oleh keinginan hidup mewah sehingga melupakan
perikemanusiaan dan perikeadilan! Jangan kau persamakan aku dengan golonganmu
ini! Selama menjalankan pencurian, aku belum pernah mempergunakan hasil curianku
untuk kepentinganku sendiri! Kau dan kawan-kawanmu telah mengganggu dan
mencelakakan para piauwsu ini, serta menurut pendengaranku, kalian telah melakukan perampokan ke dusun-dusun, merampok penduduk yang miskin, bahkan melakukan
pembunuhan-pembunuhan! Oleh karena itulah maka aku dan kedua adikku ini datang
untuk memberi peringatan keras kepadamu!"
Ucapan Tan Hong ini disertai amarah yang meluap oleh karena ia tidak rela bahwa
dirinya dipersamakan dengan mereka, penjahat-penjahat kejam ini!
Merahlah muka Ang Houw, "Jangan sembarangan menuduh! Aku tak pernah
merampok penduduk dusun sebagaimana yang kau katakan itu!"
Tan Hong tersenyum menyindir, "Mungkin bukan kau sendiri yang bertindak. Akan
tetapi kalau anak buahmu yang berbuat, apakah kau hendak melepaskan tanggung
jawab dari tanganmu" Tidak bisa, tai-ong. Anak kecil yang berbuat jahat, orang tua harus bertanggung jawab. Anak buah yang menyeleweng, pemimpinnya tak lepas dari
pertanggung jawabnya!"
Kini Ang Touw tak dapat menahan sabarnya lagi. "Gin-kiam Gi-to, apa kaukira kami
berdua saudara Ang takut kepadamu" Marilah kita putuskan perkara ini dengan tangan, bukan dengan lidah! Apakah yang kau kehendaki" Kau datang bertiga dan kamipun
bertiga pula! Kita mengadu kepandaian tiga lawan tiga atau maju semua dengan
piauwsu itu" Anak buah kami juga sudah bersiap!"
Tan Hong maklum bahwa apabila semua maju akan terjadilah pertempuran besar dan
akan banyak orang yang terluka atau tewas, maka ia berkata lantang, "Sam-wi tai-ong!
Marilah kita mengadu kepandaian sebagai layaknya orang-orang ksatria, dan tidak main keroyokan! Ingin sekali kami bertiga minta pengajaranmu!"
Tiba-tiba Ciauw Lek melompat maju dengan marah. "Aku maju lebih dulu, siapa yang
hendak main-main denganku?"
Ong Kai cepat menyambut si muka hitam ini. "Setan palsu! Akulah lawanmu!" Hekbinmo ini cepat mencabut pedangnya.
"Bagus! Kaukira aku takut kepada tenagamu yang besar" Majulah kau, setan!"
Ong Kai lalu menyerang yang ditangkis dengan gesit oleh Ciauw Lek dan mereka lalu bertempur sengit. Semua orang menonton pertempuran ini dan para piauwsu bersiap
sedia menghadapi kemungkinan majunya para anggauta perampok jika akan menyerbu.
Ilmu pedang Ciauw Lek cukup hebat dan ganas dan dari gerakan kaki dan tangan kirinya yang kadang-kadang maju pula menyerang dengan cengkeraman, dapat diduga bahwa
ia mempunyai ilmu kepandaian silat dari utara yang tercampur dengan ilmu berkelahi bangsa Mongol. Akan tetapi, menghadapi Ong Kai ia tak mendapat banyak kesempatan, oleh karena selain tenaga lweekang Ong Kai lebih besar, juga ilmu pedangnya yang
berdasarkan ilmu pedang Bok-san Kiam-hoat itu ternyata mempunyai gerakan-gerakan
yang aneh dan lebih cepat daripada ilmu pedang Ciauw Lek. Akan tetapi, oleh karena Ciauw Lek bertempur dengan nafsu besar dan dengan nekad, untuk beberapa lama Ong
Kai belum mendapat kesempatan merobohkannya.
Para penonton merasa khawatir melihat pertempuran yang hebat ini. Tubuh kedua
orang itu berputar-putar cepat hingga sukar membedakan mana Ong Kai dan mana
Ciauw Lek! Akan tetapi Tan Hong dan Siok Lan dengan girang dapat melihat bahwa Ong Kai berada di pihak yang lebih unggul dan perlahan tapi tentu Hek-bin-mo itu mendesak lawannya.
"Hai, setan busuk! Kau berjanjilah untuk menanggalkan nama julukan Hek-bin-mo, baru aku mau mengampuni kau!" Ong Kai berseru sambil mendesak dengan pedangnya.
"Bangsat rendah, jangan banyak mulut!" balas Ciauw Lek sambil menangkis dengan
sekuat tenaga. Akan tetapi ternyata serangan Ong Kai itu hanya gertak belaka dan
ketika lawannya menangkis dengan keras, Ong Kai menarik kembali pedangnya dan
cepat membuat serangan dari samping. Serangan ini tidak diduga-duga sama sekali oleh Ciauw Lek, oleh karena si muka hitam ini sedang mengerahkan tenaga untuk menangkis serangan pertama, maka tidak ampun lagi ujung pedang Ong Kai mengenai pundak
kirinya! Ciauw Lek menjerit dan darah mengucur dari pundaknya, akan tetapi dengan nekad, ia menyerang lagi.
"Eh ... eh, masih belum kapok" Ayoh, berjanjilah untuk tidak mengganggu penduduk
kampung, baru aku mau memberi ampun!" Sekali lagi Ong Kai berseru.
"Bangsat sombong, saat ini aku Ciauw Lek akan menyabung jiwa denganmu!"
Melihat keadaan Ciauw Lek, Ong Kai lalu menggerakkan pedangnya bagaikan kitiran
angin cepatnya dan ketika Ciauw Lek terdesak mundur hingga terhuyung-huyung, kaki kanan Ong Kai cepat menyambar dan tepat menendang dada lawannya hingga tubuh
Ciauw Lek terlempar jauh dan roboh pingsan!
Para piauwsu bersorak girang melihat robohnya kepala rampok muka hitam yang
tangguh itu, sedangkan pihak perampok menjadi marah sekali. Mereka telah bersiap
untuk mengeroyok kalau saja mendapat komando dari kedua saudara Ang. Akan tetapi, baik Ang Touw maupun Ang Houw tidak memberi perintah apa-apa, hanya Ang Touw
yang segera melompat maju dengan pedang di tangan, dan yang segera disambut oleh
Siok Lan. "Apakah kau mengiri melihat robohnya adikmu dan ingin juga merasakan betapa
senangnya roboh pingsan?" Gadis ini menyindir hingga Ang Touw menjadi marah dan
tanpa berkata apa-apa kepala rampok yang tua itu menyerang. Serangannya benarbenar hebat dan kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaian Ciauw Lek
hingga Siok Lan mengelak cepat dan berlaku hati-hati.
Kalau pertempuran Ciauw Lek dan Ong Kai tadi mendebarkan jantung para
penontonnya oleh karena keduanya mengadu tenaga dan kekuatan hingga debu
mengepul di sekitar tempat di mana kaki mereka bergerak, adalah pertempuran kali ini membuat mata para penonton menjadi kabur dan kepala mereka pening. Gerakan
kedua orang ini demikian cepatnya hingga tubuh mereka merupakan sinar saja, yakni sinar berkelebatnya pedang mereka yang menutupi tubuh! Diam-diam Tan Hong
memuji kepandaian Ang Touw ini, akan tetapi ia percaya akan ketangguhan dan
kehebatan Siok Lan.
Memang sebenarnya Siok Lan kalah pengalaman dan kalah ulet, akan tetapi dalam hal ilmu pedang gadis yang telah mewarisi ilmu pedang Bok-san-pai dari ayahnya ini,
ternyata masih menang setingkat. Juga oleh karena lawannya sudah tua, maka
kegesitan Ang Touw telah banyak berkurang, berbeda dengan Siok Lan yang memiliki
ginkang yang cukup sempurna hingga gerakan-gerakannya tiada ubahnya bagaikan
seekor burung kepinis saja!
Dalam saat yang tepat, ketika Ang Touw menyerang dengan tipu gerakan Angin Selatan Menghembus Cemara, Siok Lan tidak mau menangkis pedang yang ditusukkan ke arah
lehernya, akan tetapi dengan gerakan yang tak terduga gadis ini lalu berjongkok dan dari bawah mengirim tusukan ke arah perut lawannya! Gerakannya lebih cepat
daripada gerakan Ang Touw hingga kepala rampok itu terkejut sekali. Untuk menangkis sudah tiada waktu baginya, maka ia terpaksa lalu menjatuhkan diri ke belakang,
berjungkir balik dan membuat salto tiga kali di udara baru tubuhnya turun ke tanah.
Gerakan ini indah sekali hingga Siok lan menjadi kagum, akan tetapi gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya, dan cepat mengejar. Baru saja kedua kaki Ang
Touw menginjak tanah, tiba-tiba Siok Lan telah menyerang lagi dengan tipu Ikan Leehi Gerakkan Ekor dan pedangnya menyambar kedua kaki Ang Touw. Oleh karena baru saja
kakinya turun, maka kakek ini tidak keburu melompat ke atas lagi dan terpaksa cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Pada saat itu Siok Lan maju dan menggerakkan
tangan kirinya dengan jari telunjuk dan jari tengah terbuka, menusuk ke arah mata lawan! Ang Touw terkejut dan memiringkan kepala sehingga gerakan pedangnya yang
menangkis menjadi kalut. Saat ini digunakan dengan baiknya oleh Siok Lan yang
mengubah tujuan pedang. Kini ujung pedangnya dimajukan sedikit hingga tahu-tahu
Ang Touw merasa tangannya perih sekali dan terpaksa melepaskan pedang sambil
melompat ke belakang! Ternyata sebuah jari tangannya telah putus oleh pedang Siok Lan dan darah mengucur keluar!
Ang Houw yang melihat betapa kedua orang sutenya berturut-turut dikalahkan,
menjadi marah sekali dan sambil mengeluarkan geraman keras, ia menyerang Siok Lan.
Akan tetapi Tan Hong lalu melompat maju sambil berkata, "Sabar dulu, tai-ong.
Untukmu sudah disediakan lawan, yakni aku sendiri. Akan tetapi sebelum kita
bertempur, hendak kujelaskan lagi kepadamu, bahwa pertempuran ini bersifat
mengadu kepandaian belaka dan bukan maksud kami hendak mengambil jiwa kalian.
Cukup asal kalian merasa bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatanmu yang
sewenangwenang, dan suka mengembalikan barang-barang para piauwsu yang
terampas, kami akan merasa puas."
"Anak muda! Kau sungguh sombong! Kau hanya bicara tentang kemenanganmu,
bagaimana kalau kau kalah olehku?"
Tan Hong tersenyum, "Hal ini bukan tidak mungkin! Kalau aku sampai kalah, maka
segala keputusan terserah kepadamu!"
"Dengar, Gin-kiam Gi-to! Kalau kau kalah olehku, aku akan menawanmu dan
menyerahkan kau kepada pangcu (ketua) kami dengan tuduhan bahwa kau sebagai
orang dari golongan liok-lim telah mengkhianati golongan sendiri!"
Tan Hong menjadi heran karena ia tidak menyangka bahwa mereka memiliki pangcu.
"Siapakah pangcu yang kau maksudkan itu?"
Juga Ang Houw merasa heran mendengar bahwa Maling Budiman ini belum pernah
mendengar nama pangcu dari golongan liok-lim.
"Pangcu kami adalah Kim-liong Hwat-su, dan beliau yang berhak menghukum segala
pengkhianat golongan liok-lim. "
Tan Hong merasa heran oleh karena terdengar menggelikan bahwa golongan liok-lim
yang terdiri dari segala macam penjahat seperti perampok, bajak, maling dan copet itu mempunyai seorang ketua dan dengan julukan Hwat-su yang berarti seorang berilmu
dan ahli kebatinan atau singkatnya seorang pendeta!
"Selain itu, jika kau tak dapat mengalahkan aku, semua piauwsu harus berjanji untuk setiap kali lewat di sini, membayar pajak kepada kami sebanyak sepuluh bagian
daripada harga barang yang mereka kawal!"
Semua piauwsu marah mendengar usul yang keterlaluan ini. Sedangkan mereka sendiri yang bekerja keras dan mengawal barang-barang itu, tidak berani menuntut upah yang demikian tingginya!
Tan Hong tersenyum dan bersikap tenang. "Sudah kukatakan tadi bahwa jika kami
kalah, semua keputusan terserah kepadamu, akan tetapi ingat, aku belum kalah! Maka mari kita main-main sebentar dan segala macam keputusan itu dapat dilakukan nanti!"
"Baik dan awas pedang!" tiba-tiba Ang Houw berseru dan langsung melakukan
serangan pertama. Melihat serangan Ang Houw yang mengembangkan tangan kiri
keluar dan memasang bhesi (kuda-kuda) sambil menjungkitkan kedua kakinya, Tan
Hong tercengang, inilah Sin-thiauw Kiam-hoat (Ilmu Pedang Rajawali Sakti) yang amat berbahaya dan hebat! Maka ia berlaku hati-hati dan melawan sambil mengeluarkan
gerakan-gerakan paling hebat dari Bok-san Kiam-hoat.
Kalau dibuat perbandingan tentang ilmu pedang Bok-san Kiam-hoat yang dimiliki Tan Hong dan Siok Lan, memang terdapat sedikit perbedaan dan sebetulnya Tan Hong jauh lebih kuat daripada gadis itu. Dulu ketika melawan Siok Lan, sengaja Tan Hong tidak mau mengalahkan dan merobohkan gadis itu. Ayah Siok Lan, yakni si Garuda Sakti Lo Cin Ki, biarpun seguru dengan Cin Cin Tojin, suhu Tan Hong, namun Lo Cin Ki lebih mengutamakan dan memperdalam pelajaran ilmu pengobatan, maka ilmu silatnya agak
kurang tinggi apabila dibandingkan ilmu silat Cin Cin Tojin. Apalagi Cin Cin Tojin adalah seorang tosu perantau yang telah banyak sekali mengalami pertempuran dan banyak
bertemu dengan orang-orang pandai dari segala cabang persilatan, maka tosu ini telah banyak mempelajari ilmu silat dan karenanya ia dapat menambah kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam gerakan ilmu pedang Bok-san-pai. Pula oleh karena
Tan Hong mempelajari silat dengan sebuah cita-cita yakni untuk menggunakan
kepandaian itu menolong sesama manusia yang menderita sengsara, maka pemuda ini
belajar dengan tekun, rajin, dan sepenuh hati hingga tentu saja ia memperoleh hasil yang gemilang.
Ang Houw memang hebat sekali dan kalau saja Siok Lan yang menghadapi orang tua ini, maka keadaan mungkin akan berimbang. Akan tetapi kini ia bertemu dengan Tan Hong, maka baru beberapa puluh jurus saja mereka bertempur, tampaklah sudah betapa
kepandaian pemuda itu memang lebih tinggi daripada kepandaiannya! Keduanya
bergerak perlahan, tidak seperti ketika Siok Lan bertempur melawan Ang Touw, hingga para penonton yang kurang paham ilmu silat tinggi, menganggap bahwa Siok Lan lebih gesit dan lebih hebat daripada Tan Hong. Akan tetapi, gadis itu sendiri, Ong Kai dan juga kedua kepala rampok Ang Touw dan Ciauw lek yang telah dikalahkan, maklum bahwa
kedua orang itu telah memperlihatkan kepandaian asli mereka. Setiap gerakan, biar dilakukan dengan lambat atau perlahan, namun mengandung tenaga lweekang yang
tinggi dan setiap serangan itu kalau ditangkis oleh sembarang orang, maka
penangkisnya akan roboh terpukul tenaga dalam yang melayang keluar dari serangan
itu. Tidak ada debu mengebul dari bawah kaki mereka, bahkan gerakan kaki mereka
tidak terdengar sama sekali, seakan-akan tidak menginjak tanah, akan tetapi apabila diperhatikan, ternyata daun-daun di sekeliling tempat itu melambai dan bergoyang
bagaikan terhembus angin, padahal pada saat itu tidak ada angin menghembus! Inilah angin pukulan yang diterbitkan oleh serangan dan gerakan kedua orang itu!
Merasa bahwa kepandaiannya kalah tinggi, tiba-tiba Ang Houw membuat gerakan
serangan nekad. Ia berseru nyaring dan pedangnya membacok, sedangkan tangan
kirinya dari bawah mengirim pukulan hebat ke arah perut tan Hong dengan jari-jari tangan miring! Tan Hong mengelak, akan tetapi ia lalu membuat gerakan yang sama,
yakni Dewa Mabuk Menolak Gunung. Pedang kedua orang itu bertemu dan menempel,
sedangkan kedua tangan kiri mereka juga bertumbuk keras. Untuk sesaat seakan-akan kedua tangan dan kedua pedang itu melekat, akan tetapi, tiba-tiba Ang Houw mengeluh dan tubuhnya seakan-akan terdorong oleh tenaga keras sekali, terhuyung-huyung ke
belakang sampai lima langkah! Wajahnya pucat sekali dan ia telah mendapat luka
dalam. Ang Houw menjura. "Gin-kiam Gi-to, kau memang hebat sekali. Aku mengaku kalah,


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan tetapi tunggulah datangnya hari pembalasanku!" Setelah berkata demikian, ia ajak kedua sutenya pergi dari tempat itu setelah meninggalkan pesan kepada para anak
buahnya untuk mengembalikan semua barang-barang pada piauwsu.
Diam-diam Tan Hong merasa menyesal sekali oleh karena ia maklum bahwa ia telah
menanam bibit permusuhan dengan kepala rampok yang tangguh itu. Akan tetapi ia
tidak memperlihatkan kemenyesalannya, lalu bersama kawan-kawannya membantu
para piauwsu mengambil kembali barang-barang mereka yang terampas dan masih
berada di dalam sarang perampok di tengah hutan itu.
Para piauwsu, di bawah pimpinan Lim-piauwsu menghaturkan banyak terima kasih
kepada Tan Hong dan kedua kawannya, dan menyebut mereka sebagai Bok-san Samhiap atau Tiga Pendekar dari Bok-san, yakni mengingat bahwa ketiganya adalah anak murid dari Bok-san-pai! Ong Kai merasa girang sekali atas kemenangan ini dan berkata,
"Mulai sekarang si iblis hitam itu tentu tak berani lagi mengembari nama julukanku!"
Tan Hong dan Siok Lan tersenyum mendengar ini. Diam-diam ketika mereka mendapat
kesempatan bicara empat mata, Tan Hong berkata kepada Siok Lan, "Sumoi, mulai
sekarang kita harus berhati-hati sekali oleh karena menurut dugaanku, ketiga kepala rampok itu tentu manaruh dendam kepada kita dan berusaha mencari balas!"
Siok lan memandang kepada tan Hong dengan muka kagum setelah mengetahui bahwa
kepandaian pemuda ini sesungguhnya masih berada lebih tinggi daripada tingkat
kepandaiannya sendiri.
"Hong-ko, dengan adanya kau di dekatku, aku tidak pernah merasa takut?" Melihat
kerlingan mata dan senyum bibir gadis itu, tiba-tiba di dada kiri Tan Hong terasa detak jantungnya mengeras.
"Aah, kau terlalu memuji, sumoi, " katanya perlahan.
"Hong-ko, ketika kita bertemu dan bertempur dulu itu, mengapa kau tidak mau
mengalahkan aku" Padahal kalau kau mau, mudah saja, bukan?" tanya Siok Lan sambil memandang tajam.
Muka Tan Hong menjadi merah. "Mengapa kau berkata demikian, sumoi" Aku tak
dapat mengalahkanmu, karena memang ilmu pedangmu hebat sekali!"
Diam-diam Siok Lan merasa girang oleh karena pemuda ini ternyata pandai sekali
membawa diri dan tidak sombong, biarpun memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam ia
merasa tertarik dan suka sekali kepada pemuda ini, apalagi setelah ia mendengar
riwayat Tan Hong ketika masih kecil yang amat menyedihkan dan mengharukan itu.
Hatinya menjadi lemah dan perasaan iba serta sayang timbul dalam dadanya!
*** Ketiga pendekar Bok-san-pai ini melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Pek-hoasan,
mencari musuh-musuh mereka, yakni Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio. Di
sepanjang perjalanan, tak pernah lupa Tan Hong melakukan pekerjaannya seperti biasa, dan kini tiap kali ia keluar malam untuk melakukan pencurian, Siok Lan tak pernah ketinggalan dan selalu membantunya dengan setia!
Bahkan Ong Kai yang selalu merasa kesepian karena ditinggal seorang diri diwaktu
malam, mulai mencoba ikut membantu pula. Akan tetapi, setelah sekali dua kali ia ikut dan melihat betapa di dalam pekerjaan ini ia dapat pula merasakan kebahagiaan yang nampak pada sikap orang-orang miskin yang mereka tolong, Ong Kai makin sering ikut dan mulai melakukan pekerjaan itu dengan gembira. Bahkan kini mereka bekerja secara terpisah, seorang mencuri di gedung seorang hartawan dan setelah mendapat hasil,
mereka bertemu di tempat yang sudah dijanjikan lebih dulu untuk bersama-sama pergi menbagi-bagikan hasil itu ke dusun-dusun yang berdekatan!
Pada suatu malam, Ong Kai mendapat bagian mencuri di rumah seorang pedagang hasil bumi yang kaya raya. Tan Hong dan Siok Lan mendatangi rumah lain. Ketika Ong Kai
sedang mengintai dari atas genteng, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang
berkelebat di atas genteng itu juga! Ia cepat bersembunyi di balik wuwungan rumah yang tinggi dan mengintai gerak-gerik orang yang baru datang ini. Orang itu berpakaian hitam dan di punggungnya nampak sebatang golok. Ong Kai merasa curiga dan
menduga bahwa kalau ia bukan seorang maling, tentulah seorang yang mempunyai
maksud lain yang buruk.
Dari gerakan orang itu, Ong Kai maklum bahwa tamu malan itu memiliki sedikit
kepandaian dan bukan merupakan lawan berat, maka hatinya menjadi lega dan ia terus mengintai. Ketika ia melihat orang itu melompat turun ke belakang gedung, iapun ikut pula melompat di belakangnya dengan diam-diam dan terus mengintai. Ia melihat
betapa dengan cekatan menandakan seorang ahli, orang itu membongkar jendela
sebuah kamar, lalu melompat masuk! Ong Kai juga cepat melompat dan mengintai!
Alangkah marah dan gemasnya melihat bahwa kamar itu adalah kamar seorang wanita
dan hal ini dapat diketahuinya ketika penjahat itu menyingkap kelambu pembaringan oleh karena ia melihat tubuh seorang gadis sedang tidur pulas di atas pembaringan itu.
Ong Kai berniat melompat masuk dan menyerbu penjahat itu, akan tetapi ia menahan
maksud hatinya, lalu memandang penuh perhatian, siap untuk menolong apabila
penjahat itu melakukan sesuatu. Akan tetapi, tiba-tiba penjahat itu membungkuk dan menotok jalan darah gadis itu yang menjadi sadar dari tidurnya, tetapi tak dapat
bergerak maupun berteriak karena jalan darahnya telah di-tiam oleh penjahat tadi.
Kemudian dengan cepat penjahat itu memondong tubuh gadis itu dan melompat keluar
melalui jendela kamar!
Ong Kai tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia maklum bahwa penjahat ini tentu
seorang jai-hoa-cat atau penjahat pemetik bunga, maka tanpa ajal lagi ia menghadang di depan kamar dan membentak,
Jilid 05 "Bangsat penculik hina dina!" Dengan gemas Ong Kai menyerang ke arah leher penjahat itu. Terkejutlah penjahat itu dan cepat ia berkelit. Akan tetapi oleh karena ia sedang memondong tubuh gadis itu, gerakannya tidak leluasa lagi dan terpaksa melepaskan
tubuh gadis itu.
Ong Kai cepat menyambar tubuh orang yang dilepas ke bawah dan secepat kilat ia
menepuk pundak gadis tadi yang lalu dapat bergerak kembali. Gadis ini lalu berteriak-teriak minta tolong dan mundur sampai ke dinding, melihat pertempuran yang terjadi antara penjahat yang menculiknya dan penolong yang gagah ini. Ong Kai melayani
penjahat dengan bertangan kosong, sedangkan penjahat itu yang ternyata masih muda, menggunakan goloknya untuk menyerang penghalang dan pengganggunya.
Sementara itu, teriakan gadis tadi telah membangunkan penghuni rumah dan beberapa orang, termasuk ayah ibu gadis tadi, berlari keluar. Akan tetapi mereka hanya dapat memeluk anak gadis mereka dan selanjutnya menonton pertempuran itu dengan wajah
pucat ketakutan.
Penjahat yang telah kepergok itu lalu berlaku nekad dan mengamuk sambil
memutarmutarkan goloknya menyerang dengan nekad. Ong Kai berlaku waspada dan
hati-hati. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari dalam usahanya mengelakkan serangan
golok, dan sengaja mempermainkan penjahat itu.
Gadis yang hampir terculik itu beserta kedua orang tuanya dan beberapa orang
pelayan, melihat pertempuran dengan mata terbelalak. Selama hidup mereka belum
pernah melihat pertempuran sehebat ini dan diam-diam mereka kagum sekali melihat
betapa penolong yang tinggi besar dan gagah itu melayani penjahat yang memegang
golok dengan tangan kosong belaka!
"In-kong (tuan penolong), pergunakanlah pedangmu!" tiba-tiba gadis itu berteriak
kepada Ong Kai. Suaranya merdu dan nyaring hingga Ong Kai tersenyum sambil
berpaling kepadanya. Ketika kedua matanya memandang wajah gadis itu, ia tercengang dan dadanya berdebar aneh! Gadis itu memiliki sepasang mata dan mulut semanis
mendiang tunangannya! Maka ketika teringat akan tunangannya yang juga tewas
karena terculik penjahat-penjahat cabul, timbul marahnya dengan hebat. Dengan
menggeram, ketika golok penjahat itu menyerang lagi, ia membalas dengan sebuah
tendangan kilat hingga golok itu terlepas dari pegangan si penjahat dan sebelum
penjahat itu sempat melarikan diri, sebuah pukulan mampir di pundaknya membuat
penjahat itu roboh pingsan!
"Ikat ia, lekas! Ikat dan bawa ke kantor tihu!" Ayah gadis itu memerintah kepada para pelayannya yang segera berlari-lari mencari tambang besar dan beramai-ramai
mengikat tangan penjahat itu yang tak dapat bergerak lagi!
Gadis itu lalu menghampiri Ong Kai dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda ini sambil berkata, "In-kong, budimu sungguh besar dan selama hidupku aku takkan
melupakan pertolonganmu ini."
Ong Kai menjadi bingung, Untuk mengangkat bangun ia harus menyentuh pundak gadis
itu dan hal ini tak dapat dilakukannya, takut dianggap kurang sopan. Maka dalam
bingungnya, iapun lalu berlutut di depan gadis itu sambil berkata, "Siocia! Janganlah kau berlutut kepadaku. Aku takkan berdiri sebelum kau bangun juga."
Gadis itu memandang dengan mata yang bening dan bersinar jujur. Ia makin kagum
melihat wajah Ong Kai yang walaupun berkulit hitam akan tetapi cukup gagah. Melihat betapa penolongnya itupun ikut berlutut, ia tersenyum lalu bangun berdiri. Juga kedua orang tuanya lalu menjura dan menghaturkan terima kasih kepada Ong Kai.
"Siapa nama in-kong dan bagaimana dapat melihat penjahat itu?" tanya ayah si gadis yang memandang dengan kagum.
Bingung juga Ong Kai mendengar pertanyaan ini. Ia datang ke situ memang sengaja dan dengan maksud hendak mencuri harta orang yang bertanya kepadanya!
"Siauwte hanya kebetulan saja bertemu dengan penjahat itu dan menjadi curiga
melihat gerak-geriknya, maka siauwte lalu mengejarnya dan mengintainya." Walaupun jawaban ini kurang jelas, akan tetapi ia rasa tidak menyimpang dari kebenaran, oleh karena memang secara kebetulan ia bertemu dengan penjahat itu dan memang ia
merasa curiga lalu mengintainya! Kemudian ia melanjutkan jawabannya, "Siauwte she Ong bernama Kai dan siauwte sedang merantau bersama-sama dengan seorang sumoi
dan seorang suheng yang tinggal di rumah penginapan."
Pada saat itu, dari atas genteng melayang turun dua orang yang tidak lain adalah Siok Lan dan Tan Hong.
"Nah, itu mereka datang!" kata Ong Kai kepada tuan rumah dan gadisnya. Semua orang memandang kepada dua orang muda itu dengan kagum dan Ong Kai lalu
memperkenalkan Tan Hong dan Siok Lan.
Ketika mendengar bahwa Ong Kai telah menolong puteri tuan rumah dan agaknya
diperlakukan dengan hormat dan manis, baik oleh tuan rumah, maupun oleh gadis yang bernama Lai Hwa Eng itu, diam-diam Siok Lan dan Tan Hong saling lirik dan tersenyum.
Kedua pemuda ini kembali dari mencuri harta, lalu membawa uang itu di dalam
kantung dan menanti di tempat yang telah dijanjikan. Akan tetapi, setelah menanti beberapa lama belum juga mereka melihat Ong Kai, keduanya lalu pergi menyusul ke
rumah yang menjadi bagian Ong Kai untuk dicuri uangnya, dan di situ mereka melihat betapa Ong Kai sedang beramahtamah dengan tuan rumah! Hampir saja Ong Kai lupa
bahwa ia telah menjadi tamu orang di waktu tengah malam! Ia agaknya lupa pulang
oleh karena ia merasa kerasan dan senang berada di dekat Hwa Eng. Kalau Tan Hong
dan Siok Lan tidak mengajaknya pergi, mungkin ia akan bercakap-cakap terus sampai pagi.
Jodoh Si Mata Keranjang 11 Pedang Pembunuh Naga Penggali Makam Karya Tan Tjeng Hun Kisah Si Rase Terbang 9

Cari Blog Ini