Ceritasilat Novel Online

Misteri Lukisan Tengkorak 5

Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An Bagian 5


keluarga Pit yang buntung kakinya telah meronta bangun dan
melancarkan bokongan dengan senjata tajamnya.
Serentak dua bersaudara Yan berpekik nyaring.
Yan Yu-sim menerjang ke arah Liong Giam-ong sementara
Yan Yu-gi menerjang lelaki dari keluarga Pit yang tersisa itu.
Dalam waktu singkat dia telah menghajar lelaki dari
keluarga Pit itu hingga tulang tangannya hancur, di tengah
semburan darah segar, seketika tewaslah lelaki itu.
Sebaliknya Yan Yu-sim berhasil juga merontokkan golok
Liong Giam-ong, ketika tubuhnya ditumbuk mayat lelaki she
Pit itu, Liong Giam-ong turut roboh terjungkal ke tanah.
Dengan penuh ketakutan segera dia menggoyangkan
tangan berulang kali seraya menjerit, "Jangan bunuh aku,
tolong, jangan bunuh aku, peristiwa ini tak ada sangkutpautnya
denganku, betul, aku sama sekali tak tersangkut!"
"Waah, susah juga," Yan Yu-gi sengaja memperlihatkan
wajah serba salah, "bukankah kehadiran kami berdua sangat
menghambat karier serta masa depanmu?"
"Jangan ... jangan bunuh aku jerit Liong Giam-ong dengan
suara makin memelas, "tidak mungkin ... tidak mungkin
menghambat masa depanku, tolong jangan bunuh aku ... asal
kalian mengampuni nyawaku, biar aku disuruh menjadi kuda
atau kerbau pun aku bersedia, betul, aku benar-benar
bersedia" "Itu urusanmu," jengek Yan Yu-sim sambil tertawa dingin,
"kau bersedia bukan berarti kami pun bersedia."
Air mata bercucuran membasahi wajah Liong Giam-ong,
sambil menyembah di tanah pintanya, "Harap kalian berdua
jangan ... jangan marah ... betul, aku tidak terlibat dalam
peristiwa ini, semuanya adalah tanggung jawab Pit dan Tiap
bersaudara yang tak tahu diri, berambisi besar ... mereka
yang memaksaku terlibat dalam kejadian ini"
"Ooh, jadi kau dipaksa?" Yan Yu-gi sengaja berseru,
menggunakan kesempatan itu tubuhnya maju ke depan.
Dengan penuh ketakutan segera Liong Giam-ong mundur
ke belakang, kembali pintanya, "Semua perbuatan ini
tanggung jawab orang she Pit itu"
"Craaaak!", tahu-tahu sebilah golok sudah menghujam
punggungnya hingga tembus dada.
Darah segar segera menyembur keluar bagai pancuran,
membasahi seluruh bajunya, menodai seluruh permukaan
tanah. Liong Giam-ong terperangah. Dia ingin menjerit, namun tak
ada suara yang muncul, peristiwa yang paling dia takuti
akhirnya terjadi juga, kenyataan itu membuat dia lupa takut,
lupa meronta, bahkan lupa melawan.
Terdengar Pit-lotoa yang berada di belakangnya berseru
dengan napas tersengal, "Kalau harus mati, mati saja, jangan
tunjukkan mental tempemu!"
Dengan geram dia mencabut keluar goloknya, darah segar
berhamburan kemana-mana, tubuh Liong Giam-ong bagaikan
seekor bangkai ikan seketika terkapar di tanah, wajahnya
yang hijau membesi perlahan berubah pucat dan kelabu,
perlahan tubuhnya terkulai lemas dan tak bergerak lagi.
Yan Yu-gi segera tertawa terbahak-bahak, ejeknya,
"Hahaha, ternyata orang yang tak takut mati, tak takut sakit
telah mendusin!"
Dengan geram dan penuh perasaan dendam Pit-lotoa
melotot sekejap ke arah dua bersaudara Yan, kemudian
serunya sambil tertawa dingin, "Anggap saja kalian lebih
hebat, aku mengaku kalah!"
Selesai bicara, dia langsung menggorok leher sendiri
dengan goloknya, diiringi semburan darah tubuhnya roboh
terkapar di tanah.
Dua bersaudara Yan saling berpandangan sekejap,
kemudian bersama-sama tertawa tergelak.
Yan Yu-gi maju menghampiri mayat Pit-lotoa, membalik
jenazahnya kemudian menghadiahkan sebuah pukulan lagi ke
atas dadanya, ketika bangkit berdiri gumamnya, "Pit-lotoa,
kalian tiga bersaudara Tiap dan lima saudara Pit tak pernah
bisa menangkan kami lantaran kami tak takut dihina, kami tak
kuatir dipecundangi orang!"
Yan Yu-sim ikut maju menghadiahkan dua pukulan, seolah
kuatir ada di antara mereka yang pura-pura mati, setelah itu
baru ujarnya, "Memang lebih baik begini, bagaimanapun kita
toh merasa kehadiran mereka selalu mengganggu perjalanan
kita berdua, memang ada baiknya dibereskan lebih cepat."
"Bagaimana dengan lukamu?" tiba-tiba Yan Yu-gi bertanya.
"Hanya luka di kaki dan kedua lengan," sahut Yan Yu-sim
sambil tertawa getir.
"Toako," seru Yan Yu-gi penuh haru.
"Kita berdua adalah saudara kandung, biar mesti
mewakilimu menerima beberapa bacokan juga wajar!" tukas
Yan Yu-sim sambil tertawa keras.
Yan Yu-gi manggut-manggut, sembari menepuk bahu Yan
Yu-sim katanya, "Tahukah kau, apa yang membuatku paling
bahagia dalam hidupku ini?"
Setelah berhenti sejenak, dengan suara keras terusnya,
"Yang membuatku sangat bahagia adalah karena aku memiliki
seorang kakak macam kau!"
"Aku pun mempunyai seorang adik yang hebat!" sambung
Yan Yu-sim sambil tersenyum.
Sebetulnya Ko Hong-liang, Tong Keng serta Ting Tong-ih
berharap dua bersaudara Yan bisa saling gontok sampai
mampus melawan Liong Giam-ong bersembilan, tapi kini
setelah melihat dua bersaudara Yan tetap segar bugar,
perasaan mereka bertiga pun terasa ikut tenggelam.
Mendadak Yan Yu-gi berkata, "Aku hanya merasa heran
akan satu hal."
"Maksudmu darimana mereka tahu jejak kita berdua?"
tanya Yan Yu-sim.
"Benar."
"Sepanjang perjalanan kita memang meninggalkan tanda
rahasia agar bisa diketahui para jago yang dikirim Li-thayjin,
bisa jadi jago yang diutus Li-thayjin adalah mereka, tapi
lantaran orang-orang itu sudah lama dendam kepada kita,
maka maksudnya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk
membunuh kita berdua sekaligus merebut jasa besar itu."
"Pahala ini memang terhitung besar gumam Yan Yu-gi,
"tapi menurut pendapatku, keuntungan material jauh lebih
menarik hati, jangan-jangan..."
"Jangan-jangan kenapa?" tanya Yan Yu-sim, tampaknya dia
tak paham dengan maksud saudaranya.
Yan Yu-gi tidak langsung menjawab, dia memeriksa dulu
sekeliling ruangan, mengawasi juga titik-titik cahaya yang saat
itu sedang bergerak mendekat dengan cepatnya, kemudian
baru sahutnya, "Aku rasa di balik Li-thayjin ingin menangkap
para perampok uang negara dan membalaskan dendam
kematian putranya, dia mempunyai maksud tujuan yang lain"
"Tujuan lain" Tujuan apa?" tampaknya Yan Yu-sim pun ikut
melihat bergeraknya cahaya api di balik hutan yang makin
lama bergerak semakin dekat.
0ooo0 MISTERI LUKISAN TENGKORAK
Bab V. AIR BERGOLAK TAK BERPERASAAN.
19. Ikan Rebus.
Kode rahasia yang ditinggalkan Yan Yu-sim sepanjang
perjalanan hanya dipahami anak buah Li-thayjin, orang lain
jangan harap memahaminya.
Bahkan Leng-hiat pun tidak paham.
Dia memang bukan Tui-beng (si Pengejar nyawa).
Seandainya dia adalah Tui-beng, terlepas kode rahasia itu
dipahami atau tidak, ia pasti akan melacak dan berusaha
mencari tahu. Cahaya bintang bertaburan di angkasa, sinar lentera yang
memancar keluar dari balik kuil pun kelihatan lamat-lamat,
membuat suasana dalam hutan tidak terasa terlalu gelap.
Leng-hiat merasa hatinya sedikit sendu.
Sambil menyeka peluh yang mulai membasahi jidatnya, ia
bersandar pada sebatang pohon sebelum merosot duduk ke
tanah, pikirnya, "Dimana letak kesalahannya" Apakah dia
salah arah" Masih sempatkah kedatangannya atau sudah
terlambat?"
Yang terpenting, apakah Ko Hong-liang, Tong Keng dan
Ting Tong-ih sudah tertimpa musibah" Bagaimana nasib
mereka selanjutnya"
Pada saat itulah terdengar suara langkah kaki
sempoyongan berkumandang.
Seorang kakek kurus kering yang mengenakan pakaian
semrawut, berjalan sempoyongan sambil terbatuk-batuk tiada
hentinya. Orang itu berjalan sambil terbatuk-batuk, ketika batuknya
sudah tak tahan, sekujur badannya mulai mengejang keras,
lalu sambil bersandar di sebatang pohon dia mulai mengatur
napasnya yang tersengal.
Walaupun ia sudah berusaha menarik napas panjang,
naimun suara yang muncul dari dengusan napasnya seperti
kayu retak, seakan-akan semua udara yang sudah diisap tak
mampu tersalur ke dalam paru-parunya.
Cepat Leng-hiat menghampiri dan memayang tubuhnya, ia
merasa sepasang tangan kakek itu dingin membeku, pakaian
yang dikenakan pun sangat tipis yang membuat perasaannya
menjadi iba. Orang itu masih terbatuk-batuk dengan hebatnya, napas
yang diisap seakan sudah tak mampu ditelan kembali, setiap
saat seakan napasnya bisa terhenti, tapi dengan sepasang
matanya yang sayu dia masih mengawasi Leng-hiat.
Meski sorot mata itu sayu, namun Leng-hiat masih dapat
merasakan luapan rasa terima kasihnya.
Akhirnya orang itu mulai berjongkok sambil muntahmuntah,
Leng-hiat tahu yang dimuntahkan orang itu adalah
air bercampur darah.
Selesai muntah, terlihat orang itu merasa sedikit baikan
namun ia masih tetap berjongkok, selang sesaat kemudian
napas yang semula tersengal-sengal baru lambat-laun menjadi
tenang kembali.
Selama ini Leng-hiat terus menerus mengurut
punggungnya, bahkan menyalurkan tenaga dalamnya ke
tubuh kakek itu, ia bermaksud menggunakan kekuatannya
untuk membantu si kakek pulih kondisinya.
Tiba-tiba sambil berpegangan pada dahan pohon kakek itu
bangkit berdiri, ia berpaling, tertawa dan bisiknya, "Engkoh
cilik, sungguh mulia hatimu."
"Sudah seharusnya" jawab Leng-hiat, "Lotiang mau
kemana" Biar kuantar!"
Di bawah cahaya bintang dan rembulan, tiba-tiba Leng-hiat
lihat wajah kakek itu meski penuh dengan kerutan muka dan
bekas dimakan usia, ternyata dia tidak setua apa yang
dibayangkan semula.
Tangan kakek itu gemetaran terus, dengan tangan gemetar
itulah dia tepuk-tepuk bahu Leng-hiat, ujarnya, "Kau pergilah,
setiap orang tentu mempunyai tugas dan pekerjaan yang
harus diselesaikan."
Agaknya Leng-hiat kuatir kakek itu mendadak putus nyawa
di tengah jalan, ia bersikukuh dengan niatnya dan ujarnya
lagi, "Lotiang, bila tempat tinggalmu tak jauh dari sini, mari
kuantar sampai rumah."
Orang itu membesut darah yang membasahi ujung
bibirnya, lalu dengan mata setengah terpicing melirik Lenghiat
sekejap, sahutnya sambil tertawa, "Engkoh cilik, kau
memang naga di antara manusia, hatimu mulia, sayang aku
tak punya anak perempuan"
Kontan Leng-hiat merasa pipinya panas, selama ini dia
memang hanya tahu berjuang dan membunuh musuh, yang
penting baginya adalah menyelesaikan tugas sebaik-baiknya,
kecuali Cukat-sianseng, jarang ia mendengar kata-kata pujian
semacam ini. Mendadak kakek itu terbatuk lagi, segera Leng-hiat
memayangnya, orang itu mengeluarkan sapu tangannya
sambil memuntahkan sesuatu, ternyata ada sebagian
tumpahan itu menodai pakaian Leng-hiat.
"Aaah, maaf, aku telah mengotori bajumu," segera orang
itu membersihkan noda itu.
"Aaah, tidak masalah," tampik Leng-hiat sambil
membersihkan sendiri kotoran di pakaiannya.
Saat itulah tiba-tiba berkumandang suara derap kaki kuda
yang makin lama semakin mendekat.
Dengan cekatan Leng-hiat melepaskan genggamannya
sambil menghadang di hadapan kakek itu, tangannya meraba
gagang pedang. Yang muncul semuanya berjumlah tujuh ekor kuda,
penunggangnya berdandan sebagai opas, tapi anehnya
masing-masing menjepit tubuh seorang nenek, putrinya dan
bayi, ketika rombongan kuda itu bertambah dekat, terdengar
suara jeritan dan tangisan orang-orang yang ditangkap itu.
Leng-hiat tertegun, di tengah bentakan nyaring ketujuh
ekor kuda itu segera melintas.
Tiba-tiba Leng-hiat menggeser tubuhnya persis
menghadang di tengah jalan.
Dua orang penunggang kuda paling depan mendengus
dingin, mereka mengayun cambuknya melancarkan serangan.
Dengan sekali betotan Leng-hiat menangkap cambuk itu
dan membetotnya ke bawah, kontan kedua orang
penunggang kuda itu terjungkal dari kuda tunggangannya.
Seorang bocah perempuan yang berada dalam jepitan
mereka segera terlempar jatuh ke bawah, dengan cekatan
Leng-hiat menyambar tubuhnya, tapi bayi yang berada di
tangan seorang lagi segera terlempar ke atas sebuah batu.
Leng-hiat terkesiap, tak sempat baginya untuk
menyelamatkan bayi itu, tampaknya bayi yang tak berdosa itu
segera akan menumbuk di atas batu cadas.
Saat itulah tiba-tiba tampak kakek itu maju dengan
sempoyongan, ternyata dengan tepat ia berhasil membopong
bayi itu, malah kemudian sambil duduk di tepi jalan kakek itu
menimang sang bayi agar berhenti menangis.
Tak tahan Leng-hiat melempar sekulum senyuman ke arah
kakek itu. Sang kakek pun membalas senyuman itu dengan tertawa
ringan.

Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu kawanan opas dan pasukan pemerintah itu
sudah berlompatan turun dari kuda mereka, sambil melolos
senjata hardiknya, "He, siapa kau" Berani menghalangi
petugas negara melaksanakan tugas?"
"Apa dosa dan kesalahan mereka?" tanya Leng-hiat sambil
menuding bayi yang masih menangis itu.
"Apa urusannya denganmu!" bentak petugas opas itu
gusar. "Kalau sedang menjalankan tugas, seharusnya jelaskan
dulu alasannya," kata Leng-hiat hambar, "kalau tidak, orang
lain akan menganggap kalian sebagai gerombolan bandit!"
"Kami sedang melaksanakan tugas atas perintah Li-thayjin,
kau berani mencampurinya?" opas itu semakin gusar.
"Aku tak peduli Li-thayjin atau bukan, aku hanya tahu
manusia tetap manusia!" jawaban Leng-hiat semakin dingin
dan ketus. Sebetulnya opas itu hendak mengumbar amarahnya, tapi
setelah menyaksikan kebolehan Leng-hiat barusan, dia tahu
orang itu bukan manusia sembarangan, maka sambil
menuding ke arah tawanannya dia berkata, "Mereka tak mau
membayar pajak, maka kami pun menangkap keluarganya
sebagai jaminan, asal uang pajak sudah disetorkan, mereka
bisa membawa pulang keluarganya!"
Leng-hiat dan kakek itu saling bertukar pandang.
"Bayar pajak," terdengar kakek itu bergumam, "bukankah
pajak baru saja selesai dibayar."
"He, tua bangka, kau tahu apa" Hmm, tahumu cuma
kentut!" umpat opas itu geram, ia sama sekali tak pandang
sebelah mata terhadap kakek itu, "uang pajak yang disetor
tempo hari telah dirampok habis orang-orang Sin-wi-piau-kiok,
karena itu mereka harus membayar pajak lagi!"
"Kalau uang pajak dilarikan orang, seharusnya kalian
mengejar mereka yang merampok, masakah malah memeras
rakyat jelata" Apa gunanya?" gumam kakek itu lagi.
Tampaknya habis sudah kesabaran opas itu, dengan gemas
ia menjejakkan kakinya ke dada kakek itu.
Dengan sekali sambaran, tangan Leng-hiat sudah
mencengkeram kakinya.
Opas itu menjerit kesakitan, suaranya melolong bagai babi
disembelih, tampaknya jepitan jari tangan Leng-hiat lebih kuat
dari sepasang jepitan baja.
Opas itu mencoba meronta ke sana kemari sambil
membacok dengan goloknya, sayang semua usahanya tak
berguna, setiap kali dia mengayun goloknya membacok, Lenghiat
hanya mengegos ke samping, tahu-tahu serangannya
sudah mengenai tempat kosong.
Jangan kan melukai musuhnya, membentur ujung bajunya
pun tak mampu, sementara Leng-hiat masih mencengkeram
kaki opas itu dengan kuat.
Bebeberapa orang opas serentak maju mengembut sambil
mengayunkan goloknya melancarkan bacokan.
Leng-hiat sama sekali tidak melolos pedangnya, tapi
pertempuran telah diakhiri dalam waktu singkat.
Siapa yang maju lebih dulu, dia akan jatuh merintih lebih
dulu, menanti keempat opas roboh kesakitan, dua orang yang
tersisa ketakutan setengah mati hingga siapa pun tak berani
maju barang setengah langkah pun.
Opas yang kakinya kena dicengkeram pun sudah kehabisan
tenaga, sekarang ia mulai merengek minta ampun.
"Hohan, ampuni jiwaku ... ampuni jiwaku"
Leng-hiat melepaskan cengkeramannya, kemudian sambil
melotot ke arah beberapa orang opas yang ketakutan
setengah mati katanya, "Jika di kemudian hari kalian
menganiaya rakyat kecil lagi, lebih baik bayangkan dulu ketika
kalian sedang minta ampun kepada orang."
"Baik, baik," jawab kawanan opas itu cepat.
Diam-diam Leng-hiat menghela napas, dia tahu kawanan
opas itu tak mungkin mengingat perkataannya itu, namun dia
juga tak mungkin membunuh orang-orang itu.
Akhirnya sambil lepas tangan hardiknya, "Cepat enyah dari
sini!" Tergopoh-gopoh kawanan opas itu memungut kembali
senjatanya, mereka tak berani lagi mengusik kawanan orang
tua dan bocah itu.
Salah seorang opas dengan wajah masam berkata,
"Tayhiap, biarpun kau bebaskan kami, tapi... tapi ...
bagaimana kami mempertanggung jawabkan tugas ini?"
Leng-hiat tahu, memang ada sekawanan pejabat yang suka
menjatuhkan hukuman kepada anak buahnya yang tak
mampu melaksanakan tugas, maka segera ujarnya, "Aku she
Leng, bernama Leng Ling-ci, laporkan kejadian ini kepada
atasan kalian, bila kurang puas suruh cari aku."
Sayang pengetahuan kawanan opas itu sangat cetek,
mereka tidak tahu Leng Ling-ci adalah nama lain Leng-hiat, si
Darah dingin yang tersohor sebagai salah satu empat opas
kenamaan. Mereka segera mengingat baik-baik nama itu, kemudian
tergesa-gesa pergi meninggalkan tempat itu.
Rakyat yang tertolong itupun segera maju mengucapkan
terima kasih, Leng-hiat sadar, pertolongannya sekarang hanya
membantu mereka terlepas dari bahaya sesaat, sambil
mengulap tangan ujarnya kemudian, "Lebih baik kalian bahu
membahu saling menolong, pulanglah segera dan kumpulkan
uang untuk membayar pajak, kalau tidak, kesulitan akan
selalu berdatangan."
Ia merasa tanah perbukitan itu sepi dan jauh dari
keramaian, sudah seharusnya orang-orang itu diantar dulu
sampai ke tempat aman sebelum dilepas, tapi dia pun
menguatirkan keselamatan Ko Hong-liang sekalian, sehingga
untuk sesaat dia tak bisa mengambil keputusan.
Tiba-tiba kakek itu berkata, "Biarlah aku yang mengantar
pulang orang-orang ini."
Leng-hiat tidak langsung menjawab, pikirnya, "Orang tua
ini sedang menderita sakit parah, kalau sampai kambuh lagi di
tengah jalan nanti, siapa yang akan merawatnya" Mengurus
diri sendiri pun sulit, mana mungkin bisa menjaga orang lain?"
Baru saja dia hendak berkata, tiba-tiba kakek itu bertanya
sambil tertawa, "Leng-siauhiap, apakah kau sedang mencari
dua lelaki dan satu wanita yang ditangkap dua orang berwajah
kembar?" Leng-hiat terkesiap bercampur keheranan, untuk sesaat dia
hanya berdiri tertegun.
Sesudah berdehem, kembali kakek itu berkata, "Tampaknya
kau sudah salah arah, jalan yang mereka tempuh ke arah situ,
bisa jadi mereka sedang melewati sisi kanan wilayah Siau-kunsui,
kalau tidak dikejar sekarang, mungkin kau tak bisa
menyusulnya lagi."
"Lotiang, darimana kau tahu?" tanya Leng-hiat keheranan.
"Hidungku lebih tajam dari anjing, aku bisa mengendus
baunya," sahut kakek itu tertawa.
Kemudian sambil menggendong sang bayi dan
menggandeng tangan si bocah, serunya kepada orang yang
lain, "Ayo, kita segera berangkat!"
Memandang ke arah rombongan itu Leng-hiat hanya berdiri
tertegun, ia saksikan bayangan bungkuk kakek itu makin lama
semakin menjauh, suara batuknya sayup-sayup masih
terdengar, tak lama kemudian semuanya sudah lenyap dari
pandangan. ooooo Bintang dan rembulan masih memancarkan sinarnya
dengan terang. Dari balik keheningan yang mencekam kegelapan malam,
tiba-tiba terlihat kobaran api obor menerangi seluruh udara,
cahaya api yang menyilaukan mata itu bergerak mendekati
sebuah bangunan rumah gubuk.
Rupanya mereka telah mendengar ada suara wanita
sedang berteriak, para tetangga yang datang mengintip
segera mengira rumah itu kedatangan penyamun, maka
mereka pun menghimpun seluruh penduduk desa untuk
bersama-sama menghadang penyamun itu.
Sambil berteriak dan mengayunkan peralatan seadanya,
mereka menyerbu berusaha menangkap kawanan perampok.
Tapi dalam waktu singkat sudah tujuh delapan orang roboh
terkapar di tanah, roboh sambil merintih kesakitan.
Yan Yu-gi sembari menginjak patah tulang iga beberapa
orang korbannya berjalan menuju ke depan pintu, sambil
menyongsong cahaya obor yang menerangi tubuhnya ia
berseru lantang, "Mau apa kalian?"
"Kalian sedang berbuat apa di sini?" seorang tokoh desa
berteriak. Sambil menyeringai seram seru Yan Yu-gi, "Kami adalah
petugas keamanan dari kota, datang kemari untuk menangkap
orang!" Kehebohan segera melanda semua orang.
Yan Yu-sim yang mendengar teriakan saudaranya segera
menarik ujung bajunya, membunuh orang dalam keadaan
seperti ini jelas merupakan tindakan melanggar hukum,
apalagi mengaku sebagai petugas negara, kalau sampai berita
ini tersebar, jelas mereka sendiri yang akan mendapat
kesulitan. Yan Yu-gi sadar ia telah salah bicara, cepat dia
mengangguk. "Tidak mungkin," terdengar tokoh desa itu berseru, "A-lay
dan istrinya adalah orang baik, tak mungkin mereka
melanggar hukum dan melakukan tindak kriminal!"
"Orang baik?" Yan Yu-gi mendengus dingin, "atas dasar
apa kalian menilai seseorang baik atau buruk?"
Terdengar seorang petani berteriak keras, "Tapi aku
melihat kedua orang bajingan ini membunuh kakak A-lay dan
memperkosa enso A-lay!"
Seorang lelaki yang lain dengan mata melotot berteriak
pula, "Di dalam rumah masih ada beberapa orang yang
mereka tangkap, anak-anak A-lay juga masih ada di situ!
Mereka telah membunuh banyak orang baik!"
"He, cepat bebaskan orang-orang itu!" seorang lelaki
bercambang menghardik gusar.
Umpatan demi umpatan yang dialamatkan ke arah mereka
membuat Yan Yu-gi sangat berang, sorot matanya berubah
hijau menyeramkan, serunya penuh amarah, "Jika kalian tidak
segera pergi, jangan salahkan kalau aku akan membantai
kalian semua, dasar orang udik goblok!"
Gerombolan orang dusun itu segera berteriak gusar,
serentak mereka mengayunkan senjatanya melancarkan
serangan. Sayang sebagian besar dari mereka tak mengerti ilmu silat,
tak selang beberapa saat kemudian banyak di antara mereka
yang tergeletak di tanah, malah ada tiga orang di antaranya
mati terbunuh. Dalam keadaan begini terpaksa kawanan penduduk desa
itu mengundurkan diri.
Yan Yu-gi kembali menyerbu ke depan dan membunuh dua
orang lagi. Menggunakan kesempatan ini si lelaki gemuk dan lelaki
bercambang itu menyusup masuk ke dalam rumah, si lelaki
cambang segera membopong bocah lelaki itu dan dibawa
kabur, sementara si gendut ingin membebaskan Ting Tong-ih
bertiga dari ikatan, tapi sayang dia tak mengerti bagaimana
caranya membebaskan pengaruh totokan, selain itu dia pun
tak mengerti bagaimana caranya membebaskan pengaruh
jaring yang dihasilkan buli-buli itu.
Untuk sesaat dia menjadi bingung dan tak tahu apa yang
mesti dilakukan.
Segera Ting Tong-ih memberi tanda agar ia mendekat,
kemudian dengan cepat ia membisikkan sesuatu ke
telinganya. Baru saja si gendut mengangguk, Yan Yu-sim sudah
muncul di dalam ruangan, sekali tendang ia hajar si gemuk
hingga terguling di tanah.
Baru saja dia akan melancarkan serangan untuk
membunuhnya, mendadak Ting Tong-ih memanggil, "Yan
Toako!" "Ada apa?" tanya Yan Yu-sim tertegun.
"Mereka toh tidak paham ilmu silat, mustahil bisa
mengganggu kalian berdua, kenapa tidak kalian ampuni saja
nyawanya?"
Sementara Yan Yu-sim masih sangsi, si gendut segera
memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur lewat jendela.
Suasana di luar rumah gubuk itu sangat kalut, banyak
penduduk desa yang terluka, banyak pula yang mati,
sementara yang selamat sudah melarikan diri, kini yang tersisa
di sana hanya alat-alat pertanian serta obor.
Dengan jengkel Yan Yu-gi menghampiri obor-obor itu dan
menginjaknya hingga padam, kemudian umpatnya, "Dasar
sekawanan orang goblok yang mencari jalan kematian
sendiri!" "Kita sudah membunuh orang kelewat banyak, lebih baik
cepat tinggalkan tempat ini," kata Yan Yu-sim.
"Meninggalkan tempat ini?" Yan Yu-gi melotot besar, "aku
belum lagi tidur nyenyak, belum lagi bermain dengan gembira,
masakah harus pergi" Memangnya mereka bisa apa" Masakah
dengan posisiku sekarang pun harus takut kepada mereka?"
"Takut sih tidak, tapi alangkah baiknya kalau bisa
menghindari segala kerepotan."
Yan Yu-gi berpikir sejenak, kemudian ujarnya, "Dua
kentongan lagi hari sudah terang, kalau mau pergi lebih baik
menunggu sampai matahari terbit, kau toh tahu, wilayah Siaukunsui dipenuhi letupan lumpur panas, kalau sampai salah
langkah, kita sendiri yang berabe."
"Kalau begitu baiklah," dengan perasaan apa boleh buat
akhirnya Yan Yu-sim menyetujui.
Mendadak Yan Yu-gi seperti teringat sesuatu, tanyanya,
"Mana para sandera" Apakah ada yang kabur?"
"Sandera sih tidak ada yang lolos, hanya bocah lelaki itu
berhasil melarikan diri," sahut Yan Yu-sim tertawa.
"Yang laki atau yang perempuan?"
"Yang laki."
"Aaah, masih untung bukan yang perempuan," Yan Yu-gi
tertawa, "dia memang akan kusimpan untuk dinikmati
perlahan-lahan."
"Loji," tegur Yan Yu-sim sambil berkerut kening, "bocah


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perempuan itu masih kecil, apa enaknya?"
Yan Yu-gi kontan tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, ada apa Lotoa, tiba-tiba kau bisa beriba hati"
Tiba-tiba merasa kasihan dengan bocah itu" Jangan kuatir,
aku hanya akan menikmati yang kecil, sementara Ting Tong-ih
tak bakalan kusentuh."
Mendengar saudaranya menyinggung soal Ting Tong-ih,
paras muka Yan Yu-sim berubah hebat.
Sambil berjalan masuk ke ruang dalam, kembali Yan Yu-gi
berkata sambil tertawa, "Hanya orang muda yang bisa
menikmati masa romantis, aku anjurkan kepadamu, mumpung
usia kita belum terlalu tua, kalau ingin mencari kesenangan,
carilah sepuasnya, kalau orang sudah diserahkan ke tangan Lithayjin
dan dijebloskan ke dalam penjara, kau tak punya
harapan lagi untuk menikmati kehangatan tubuhnya!"
Begitu apa yang menjadi rahasia hatinya disinggung oleh
rekannya, kontan saja paras muka Yan Yu-sim berubah merah
padam, sesaat dia tak tahu apa yang mesti diucapkan.
Kembali Yan Yu-gi menepuk bahunya, setengah berbisik
katanya lagi, "Loko, ada sementara persoalan lebih baik
dilakukan secepatnya, toh semua pihak tak akan dirugikan
dalam hal ini, apalagi dia kan sudah bukan..."
Melihat saudaranya mulai menarik muka, segera Yan Yu-gi
menghentikan ucapannya dan segera mengeluyur masuk ke
dalam ruangan. Waktu itu bocah perempuan itu masih menangis tiada
hentinya, ia merasa amat sedih setelah menyaksikan orang
tuanya dalam semalam tewas dibunuh orang, kemudian
menyaksikan juga bagaimana gembong iblis itu membantai
penduduk desa semaunya, meski begitu ia berusaha untuk
tidak menimbulkan suara.
Menyaksikan gadis cilik itu menangis tanpa bersuara, Yan
Yu-gi merasa makin dipandang gadis itu tampak makin
menawan, tiba-tiba napsu birahinya muncul kembali, segera
hardiknya, "He, sediakan dulu hidangan yang enak, selesai
bersantap nanti kita mencari kesenangan!"
Gadis cilik itu menangis makin menjadi, sementara Ting
Tong-ih sekalian pun merasa semakin mencemaskan
keselamatannya.
Melihat gadis cilik itu tidak menuruti perintahnya, Yan Yu-gi
ingin mengumbar amarahnya, tapi setelah berpikir sebentar,
ujarnya kemudian sambil tertawa, "Sudahlah, nona cilik, asal
kau mampu memasak hidangan yang lezat, aku berjanji akan
membebaskan dirimu, setuju?"
Gadis cilik itu mendongakkan kepala, butiran air mata
membasahi pipinya yang bulat dan cantik, ia tidak mirip bocah
dusun yang kebanyakan hitam dan kekar, sebaliknya raut
mukanya halus dan lembut, hanya saja sepasang matanya
sudah merah membengkak, merah karena kebanyakan
menangis, membuat siapa pun yang memandangnya merasa
iba. Kembali Yan Yu-gi tertawa terkekeh-kekeh, tanyanya, "Eh,
bocah perempuan, siapa namamu?"
Gadis cilik itu menggigit bibir menahan amarah, sahutnya
lirih, "Ikan rebus."
"Ikan rebus?" ulang Yan Yu-gi melengak.
Gadis cilik itu manggut-manggut kemudian menundukkan
kepala lagi, rambut di depan kepalanya terjulai ke bawah,
beberapa di antaranya menutupi keningnya, membuat
wajahnya setengah tertutup.
"Kau benar-benar bernama Ikan rebus?" sambil berjongkok
Yan Yu-gi menengok wajahnya.
Sementara dalam hati ia berpikir, "Aneh betul nama ini"
Tapi kemudian ia berpikir bahwa orang dusun sudah
terbiasa memberi nama anaknya dengan sebutan yang
gampang seperti A-kau, A-miau, A-ti, A-gou dan lain
sebagainya. sehingga nama semacam itupun sesungguhnya
tidak aneh. Gadis cilik itu kembali mengiakan.
Yan Yu-gi segera memegang dagunya dan berkata sambil
tertawa, "Baiklah, Ikan rebus. Ikan rebus! Sekarang pergilah
mengukus seekor ikan, selesai bersantap kita segera akan
pergi dari sini!"
Seakan tumbuh secercah harapan, Ikan rebus segera
menyeka air matanya dan menuju ke dapur.
Mengawasi bayangan tubuh si gadis yang mungil, tiba-tiba
sekulum senyuman licik tersungging di ujung bibir Yan Yu-gi.
Ting Tong-ih semakin gelisah, sebab mereka tahu Yan Yugi
pasti sedang menggunakan akal busuknya untuk
membohongi gadis cilik itu.
20. Tukang Perahu Di Sungai A-kong.
Sambil memperhatikan bayangan punggung Ikan rebus
yang lenyap di balik pintu, Yan Yu-gi tertawa cabul, mendadak
ia berkerut kening kemudian mulai merintih.
"Kenapa kau?" Yan Yu-sim segera menegur.
Seakan menahan rasa sakit sahut Yan Yu-gi, "Aku akan
masuk ke kamar untuk bersemedi sebentar, bagaimana kalau
kau yang menjaga mereka?"
Yan Yu-sim manggut-manggut, maka Yan Yu-gi pun segera
masuk ke ruang belakang.
Lampu minyak yang menerangi dalam rumah semakin
redup, tampaknya minyak bakar sudah mendekati habis.
Baru saja Yan Yu-sim hendak menambah minyak lampu,
tapi dia pun tak tahu dimana minyak disimpan, mendadak
terdengar Ting Tong-ih memanggilnya dengan lirih, "Kau,
kemarilah sebentar!"
Begitu membalikkan badan, dia pun menyaksikan gadis itu.
Cahaya lentera semakin redup, kulit tubuh Ting Tong-ih
nampak jauh lebih pucat, tapi sepasang pipinya justru
kelihatan bersemu merah.
Kulit tubuhnya yang putih bersih tampak dari bawah telinga
hingga mencapai tengkuk, lalu dari tengkuk memanjang
hingga ke dadanya yang sedikit tersingkap, satu
pemandangan yang mendebarkan sukma.
Yan Yu-sim hanya melirik sekejap, tapi gejolak perasaannya
berkobar, ingin dia memeluk perempuan itu, membuka
bajunya dan memegang sepasang payudaranya....
Akhirnya setelah menarik napas panjang ia menuding ke
arah ujung hidung sendiri.
Ting Tong-ih manggut-manggut membenarkan. Tak sempat
menyulut lampu lagi Yan Yu-sim maju menghampiri.
"Lepaskan aku!" bisik Ting Tong-ih kemudian sambil
mengerling sekejap ke arahnya.
Yan Yu-sim berpikir sebentar, kemudian menggerakkan
kedua jari tangannya seakan hendak membebaskan Ting
Tong-ih dari totokan.
Tiba-tiba angin tajam berkelebat, bukan Ting Tong-ih yang
dibebaskan pengaruh totokannya, ia justru menotok dulu
beberapa buah jalan darah di tubuh Ko Hong-liang serta Tong
Keng. Totokan itu bukan saja membuat kedua orang ini tak
mampu bersuara, bahkan sama sekali kehilangan kesadaran.
"Apa maksudmu berbuat begitu?" Ting Tong-ih segera
menegur dengan marah.
"Bukankah kau minta aku membebaskan pengaruh
totokanmu?" ujar Yan Yu-sim, kemudian tanyanya lagi, "kau
bukan minta padaku untuk membebaskan mereka bukan?"
Paras muka Ting Tong-ih sedikit berubah, tapi kemudian
sahutnya sambil tertawa, "Tentu saja bukan minta kau
membebaskan mereka."
Gadis ini memang berparas cantik, bertubuh ramping,
apalagi bibirnya yang kecil mungil dan merah merekah.
Yan Yu-sim yang mengendus bau harum tubuhnya seketika
merasa jantungnya berdebar keras, sampai lama kemudian
baru ia berkata, "Setelah kupikir-pikir, rasanya aku tak akan
berani membebaskan dirimu."
"Kenapa?"
"Aku pikir seandainya kau kubebaskan lalu tiba-tiba
menyerangku atau melarikan diri, apa yang mesti kuperbuat?"
"Dasar rase tua!" umpat Ting Tong-ih dalam hati, tapi
sahutnya sambil tertawa lembut, "Tolol! Memangnya kenapa
aku mesti kabur!"
Kembali Yan Yu-sim termenung.
Cahaya lampu makin lama semakin redup, di balik
kegelapan yang mencekam ia merasa daya tarik yang
terpancar dari tubuh Ting Tong-ih makin lama semakin kuat,
semakin membuat jantungnya berdebar keras.
Lama, lama sekali, akhirnya dia berkata, "Nona Ting,
padahal dulu kau pernah bertemu aku, cuma saja kau tidak
mengetahuinya."
Angin dingin yang berhembus membuat suasana dalam
ruangan makin membeku, cahaya lentera yang bergoyang
membuat bebeberapa mayat yang terkapar dalam ruangan
nampak semakin menggidikkan hati.
Terdengar Yan Yu-sim berkata lebih jauh, "Sebenarnya
keluarga Yan di kota Seng-ciu merupakan keluarga persilatan
yang termashur dalam dunia persilatan, tapi ayahku Yan Tayyok
memaki kami berdua sebagai orang dengan watak labil,
bukan saja tidak mewariskan ilmu pukulan mayat hidupnya
kepada kami, bahkan setelah mengusir kami dari keluarga
besar, dia malah lebih mempercayai adik misan kami Yan
Lan." Ting Tong-ih tidak mengerti apa maksud Yan Yu-sim
menceritakan kisah asal-usulnya ini, tapi dia cukup tahu kalau
orang ini setengah sinting, marah senang sesuka hatinya
bahkan merupakan seorang tokoh yang menakutkan, terpaksa
ia mendengarkan dengan sabar.
"Setelah meninggalkan benteng keluarga Yan, kami banyak
menyalahi orang sehingga bebeberapa kali dikejar orang
hingga nyaris mati terbunuh, maklum waktu itu kepandaian
silat yang kami miliki sangat cetek, akhirnya kami pun hidup
menggelandang dalam dunia luas. Satu hal yang beruntung
adalah di saat akan kabur, kami sempat mencuri kitab pusaka
keluarga yaitu kitab ilmu pukulan mayat hidup. Sambil
melarikan diri, kami berlatih terus dengan tekunnya, kami
bersumpah bila suatu saat berhasil meyakini kungfu tinggi
maka semua dendam sakit hati ini akan kami balas."
Diam-diam Ting Tong-ih tertawa dingin, pikirnya, "Tak
nyana dua bersaudara ini mencuri kitab pusaka lebih dulu
sebelum kabur dari benteng keluarga Yan, bukan saja mereka
telah mengkhianati leluhur sendiri, bahkan masih berniat
membalas dendam, tak heran banyak orang memandang hina
mereka berdua."
"Tapi musuh kami terlalu banyak, bahkan berusaha
menelusuri jejak kami kemana pun juga, terpaksa sebelum
kepandaian silat berhasil diyakini, kami pun merahasiakan
identitas dengan hidup menyamar sebagai rakyat biasa. Waktu
itu aku pun bekerja menjadi seorang tukang perahu di sungai
A-kong. Nona Ting, kau masih ingat dengan arus deras di
sungai A-kong?"
Ting Tong-ih tertegun, "Sungai A-kong" Rasanya memang
ada nama sungai semacam itu?"
Tapi untuk sesaat dia tak bisa mengingat kembali kejadian
itu, dia pun tak ingat peristiwa apa yang pernah terjadi di situ,
maka sembari berpikir dia manggut-manggut berulang kali.
Yan Yu-sim nampak gembira sekali, teriaknya kegirangan,
"Jadi kau sudah ingat" Saat itu aku bersama beberapa orang
tukang perahu sedang mendayung rakit di sungai A-kong,
kami memang khusus melayani orang yang mau
menyeberang. Kalau tidak salah hari itu adalah hari Pekcun,
masih ingat" Kau bersama orang she Kwan dan tiga empat
orang lelaki kekar hendak menyeberangi sungai"
Sekarang Ting Tong-ih teringat kembali, peristiwa itu
berjadi pada suatu siang sepuluh tahun berselang, waktu itu
dirinya masih seorang bocah cilik ... saat itu matahari bersinar
terik. Berpikir sampai di situ, tanpa terasa Ting Tong-ih merasa
wajahnya berkilauan, tubuh pun terasa panas sekali....
Dia adalah anak gadis seorang hartawan, tidak mengerti
urusan dunia persilatan, tidak mengenal dendam sakit hati.
Saat itu Kwan Hui-tok dengan membawa tujuh delapan
orang menyerbu ke dalam rumahnya dan menculik dirinya.
Melihat sekawanan lelaki kekar berwajah kasar melarikan
dirinya, ia terkejut bercampur ketakutan, ketika Kwan Hui-tok
melihat dia mulai menangis, maka dengan suara lembut
katanya, ia bukan datang untuk mencelakai dia, tapi lantaran
ayahnya pernah menodai ibunya, bahkan membuat ayahnya
bunuh diri, maka ia khusus datang untuk balas dendam.
Pada mulanya Ting Tong-ih merasa ketakutan, tapi setelah
dibujuk dan dihibur dengan kata-kata lembut, entah mengapa
rasa takutnya hilang seketika.
Dia minta kepada Kwan Hui-tok jangan melukai ayahnya,
tapi lelaki itu diam saja bahkan melamun. Dalam suasana
begitulah mereka lewatkan malam itu.
Hari kedua, Ting Soat-khi, yaitu ayah Ting Tong-ih,
mengirim pasukan untuk mengepung mereka, ketika Kwan
Hui-tok berusaha meloloskan diri dari kepungan, ternyata para
pasukan itu berusaha juga menghabisi nyawa Ting Tong-ih.
Dengan akibat menderita luka bacokan di sebelas tempat,
akhirnya Kwan Hui-tok bersama anak buahnya mati-matian
melindungi keselamatan jiwanya bahkan berhasil memukul
mundur pasukan lawan.
Pada mulanya Ting Tong-ih mengira ayahnya berniat
membunuhnya karena menyangka dia sudah dinodai musuh,
maka dia pun memohon kepada Kwan Hui-tok agar
mengizinkan dia pulang.
Karena menguatirkan keselamatan jiwanya, Kwan Hui-tok
memutuskan untuk mengantar sendiri Ting Tong-ih pulang ke
rumahnya. Saat itulah tanpa sengaja mereka telah mendengar
pembicaraan antara Ting Soat-khi dengan istrinya.
Ternyata Ting-hujin pun wanita yang dilarikan Ting Soatkhi.
ayah kandung Ting Tong-ih, Ting Lan-lim tewas dibantai
Ting Soat-khi, kemudian ia memaksa Ting-hujin untuk kawin
dengannya. Karena kuatir putrinya dibunuh, akhirnya Ting-hujin dengan
membawa serta putrinya menjadi istri Ting Soat-khi.
Saat mereka berdua tiba di depan rumah itulah Ting-hujin
sedang merengek kepada Ting Soat-khi agar jangan
membunuh Ting Tong-ih, tapi dengan alasan Ting Tong-ih
telah dinodai para bandit, ia tak ingin kejadian itu menjadi


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahan tertawaan rekan-rekan pejabat.
Ting Tong-ih tak kuasa menahan diri, dia pun mencaci-maki
Ting Soat-khi habis-habisan.
Lantaran malu Ting Soat-khi menjadi naik pitam, ia segera
menitahkan para jagonya untuk mengepung Kwan Hui-tok.
Waktu itu kungfu yang dimiliki Kwan Hui-tok tidak
terlampau hebat, sementara Ting Tong-ih pun belum mengerti
silat, ketika Ting-hujin berusaha mencegah suaminya berbuat
jahat, akibatnya dia malah mati terbunuh.
Peristiwa ini membuat Kwan Hui-tok naik pitam, dalam
pertarungan yang tak berimbang itu ia berhasil menghabisi
nyawa Ting Soat-khi. Untung saudara-saudara Kwan Hui-tok
tiba tepat waktu, mereka berhasil menyelamatkan Kwan Huitok
dan Ting Tong-ih dari kematian.
Berhubung Ting Soat-khi adalah seorang pejabat, maka
peristiwa berdarah itu menjadi kejadian yang menghebohkan,
perintah penangkapan disebarkan, mereka pun menjadi
buronan negara.
Karena menjadi yatim piatu, Ting Tong-ih pun memutuskan
untuk turut bergabung dengan Kwan Hui-tok dan ikut
mengembara dalam dunia persilatan.
Pada mulanya Kwan Hui-tok tidak setuju, dia mengejek
Ting Tong-ih yang dikatakan tak akan tahan hidup
mengembara, akan tetapi hati kecilnya merasa berat untuk
berpisah dengan gadis itu, akhirnya permintaan itupun
dikabulkan. Suatu sore mereka tiba di sungai A-kong, saat itu pasukan
pemerintah sudah hampir mencapai belakang mereka,
sementara Kwan Hui-tok pun tak mengerti cara berenang,
maka ia perintahkan tukang perahu untuk mengangkut dulu
Ting Tong-ih menyeberangi sungai.
Untuk memudahkan perjalanan, di samping untuk
mengelabui pengawasan para opas, Ting Tong-ih menyamar
menjadi seorang pria dengan mengenakan topi lebar yang
nyaris menutupi seluruh wajahnya, dengan dandanan ini siapa
pun tak akan tahu kalau dia adalah seorang gadis.
Di musim gugur arus sungai A-kong sangat deras, mereka
harus menggunakan sampan untuk menyeberanginya, tapi
ketika tiba musim dingin, di saat air sangat cetek, biasanya
tukang perahu yang berpengalaman akan membopong
tamunya untuk menyeberang.
Karena waktu itu Kwan Hui-tok sedang dikejar para
prajurit, kawanan tukang perahu itu tak berani membopong
mereka menyeberangi sungai.
Dalam cemas dan gusarnya Kwan Hui-tok segera
mencengkeram seorang tukang perahu seraya membentak
gusar, "Kau bersedia membopong tidak?"
Tukang perahu itu tidak menjawab. Ting Tong-ih kuatir
Kwan Hui-tok membuat gusar tukang perahu itu, maka segera
dia memegangi bahu rekannya itu seraya berkata, "Toako,
biar aku mengadu jiwa bersamamu di tempat ini."
Saat itu angin amat deras, tapi peluh sebesar kedelai telah
membasahi jidat Kwan Hui-tok, dengan jengkel ia
mendepakkan kakinya berulang kali seraya berseru, "Kau tak
pandai silat, mana mungkin..."
Pada saat itulah tiba-tiba tukang perahu itu berseru, "Biar
aku bopong dia menyeberangi sungai."
Sebetulnya Ting Tong-ih ingin mendampingi Kwan Hui-tok
bertempur, terdengar tukang perahu itu berkata lagi, "Lebih
baik kau menyeberang dulu, dengan begitu baru ia bisa
berkonsentrasi melawan musuh."
Akhirnya sambil menggigit bibir Ting Tong-ih
menyeberang dulu.
Arus sungai waktu itu sangat deras, tapi dengan mantap
tukang perahu itu membawanya hingga mencapai tepi
seberang, dia tiba di seberang dengan aman, Kwan Hui-tok
pun bisa memusatkan perhatiannya untuk bertarung.
Tak disangka peristiwa yang telah berlalu hampir sepuluh
tahun lamanya kini disinggung kembali oleh Yan Yu-sim, yang
lebih tak disangka adalah tukang perahu yang pernah
membopongnya menyeberangi sungai waktu itu ternyata
bukan lain adalah Yan Yu-sim.
"Jadi tukang perahu itu adalah kau?" seru Ting Tong-ih
tertegun. "Betul, memang aku," jawab Yan Yu-sim dengan mata
berbinar, "waktu itu aku pun sedang menghindari pengejaran
musuh tangguh sehingga harus menyamar menjadi tukang
perahu. Tapi terus terang saja, meski penyaruanku bakal
terbongkar pun aku tetap akan membantumu menyeberang."
Kemudian dengan sorot mata yang lebih lembut daripada
penampilannya di hari biasa, ia berkata lagi, "Saat itu, kau
mengenakan topi lebar yang nyaris menutupi seluruh
wajahmu, yang kelihatan hanya dagumu yang mungil, ketika
kau sedang berbicara, aku dapat mengendus bau tubuhmu
yang harum, kemudian sewaktu melihat lenganmu yang
muncul dari balik baju begitu halus dan putih, aku segera tahu
kalau kau adalah seorang wanita yang sedang menyaru."
Menggunakan kesempatan itu Yan Yu-sim maju selangkah,
tanpa sadar Ting Tong-ih menyurut ke belakang, tapi lantaran
jalan darahnya tertotok, hanya sepasang matanya yang
berkedip, sementara tubuhnya tak mampu bergerak.
Terdengar Yan Yu-sim berkata lagi, "Nona Ting, maafkan
aku, padahal waktu itu aku sudah tahu kalau kau adalah
seorang wanita, saat itu arus sungai sangat deras, air telah
membasahi kakimu, aku pun dapat melihat gaunmu basah,
kakimu ikut terendam, karena kuatir kau terjatuh maka aku
memegangi kakimu. Kemudian aku tak kuasa menahan diri.
dengan janggutku kutusuk kakimu, tapi kau sama sekali tidak
menampik, aku hanya merasa belakang kepalaku sangat
hangat, setiap kakiku melangkah maju, air sungai terasa
makin panas, aku merasa seakan-akan terjerumus ke dalam
kubangan yang sangat dalam."
Ting Tong-ih masih teringat semua kejadian yang
dialaminya waktu itu, ia teringat betapa kuatnya arus sungai,
dia pun melihat awan yang menyelimuti angkasa, tapi dia tak
ambil peduli semua itu karena seluruh perhatiannya saat itu
sedang tertuju pada pertempuran yang sedang berlangsung di
tepi sungai. Dia pun merasa gaunnya basah, tapi dia tak ambil peduli,
dia juga merasa kakinya panas, tapi ia tak berminat
menengoknya. Dia tak menyangka kalau kejadian yang sebenarnya saat
itu ternyata begitu.
Waktu itu Ting Tong-ih baru saja hidup berkelana, ia belum
mengerti ilmu silat.
Waktu itu Kwan Hui-tok baru memimpin seribu orang anak
buah, baru saja memperoleh sedikit nama besar.
Sementara saat itu Yan Yu-sim dan Yan Yu-gi pun belum
berhasil mempelajari ilmu pukulan mayat hidup yang ganas
dan mematikan. Yan Yu-sim mempunyai watak yang jauh berbeda dengan
Yan Yu-gi, kalau Yan Yu-gi cabul dan suka memperkosa,
sebaliknya Yan Yu-sim meski suka perempuan namun belum
pernah melakukan perbuatan cabul apalagi memperkosa.
Saat dia menggendong Ting Tong-ih menyeberangi sungai
waktu itu dia pun merasa sangat terangsang, apalagi ketika
melihat pahanya yang basah, pinggangnya yang ramping, tapi
dia berkeras mempertahankan godaan perasaannya, dia hanya
berjalan dan berjalan terus menyeberangi sungai.
Akhirnya ia berhasil mencapai tepi seberang dan
menurunkannya ke daratan.
Ketika hembusan angin menyingkap gaunnya, ketika sinar
matahari menyinari paha putihnya, Yan Yu-sim hanya berdiri
sambil termangu.
Waktu itu berbagai ingatan sudah berkecamuk dalam
benaknya, beberapa kali dia ingin nekad melarikan perempuan
itu, tapi dia pun kuatir perbuatannya justru menimbulkan rasa
benci si nona terhadap dirinya.
Sementara ia sangsi, tiba-tiba terlihat Ting Tong-ih sudah
bersorak-sorai sambil berteriak kegirangan, "Kwan-toako,
Kwan-toako"
Ternyata pertarungan di tepi seberang telah berakhir.
Waktu itu Kwan Hui-tok sedang menyeberangi sungai.
Yan Yu-sim tahu bahwa dia tak punya harapan, sebab dia
sadar kungfunya bukan tandingan lawan.
Tapi dia masih berusaha mengintip tubuh Ting Tong-ih
yang montok, sambil menggigit bibir dan mengepal tinjunya ia
berpikir, "Suatu hari nanti aku harus mendapatkan dirimu,
suatu hari nanti aku harus mendapatkan kau."
ooOOOoo 21. Lotoa Loji.
Sampai dia berhasil menguasai ilmu tinggi, Yan Yu-sim
belum pernah melupakan kisah pengalamannya di sungai ATiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kong, ia sadar bahwa dirinya sudah jatuh hati terhadap gadis
itu. Sampai belakangan ini, dalam suatu kesempatan yang tak
terduga, ketika dia mengikuti Li Ok-lay Li-thayjin mengunjungi
rumah pelacuran Kiok-hong-wan, baru diketahui kalau Lan
Botan si bunga Botan biru ternyata adalah gadis yang
diimpikan siang malam itu.
Tapi gadis itu sama sekali tak mengenali dirinya lagi.
Meskipun dalam hati kecilnya ia terkejut, namun perasaan
itu tak diutarakan, sebab dia tahu Li-thayjin menganggap si
bunga botan biru sebagai benda yang tak boleh dijamah siapa
pun, namun Lu-thayjin pun kesemsem dengan kecantikannya.
Berbicara dari status serta kedudukannya, baik terhadap Lithayjin
maupun terhadap Lu-thayjin, dia sama sekali tak
berani mengusiknya.
Kemudian dia pun mendapat kabar kalau Kwan Hui-tok
sudah dijebloskan ke dalam penjara, padahal terhadap tokoh
pahlawan yang sangat disanjung gadis itu, ia menaruh rasa
benci yang luar biasa, maka berulang kali ia
mempersembahkan siasat kepada Li Wang-tiong, membuat
pembesar itu menaruh rasa benci yang besar terhadap Kwan
Hui-tok dimana pada akhirnya ia berusaha menghabisi
nyawanya. Setelah Kwan Hui-tok tewas, Ting Tong-ih menyerbu ke
dalam penjara, Yan Yu-sim pun tak tega menyaksikan gadis
itu tertangkap, maka sambil berlagak turun tangan, diam-diam
ia memberi petunjuk kepada Ting Tong-ih hingga berhasil
melarikan diri.
Kembali Yan Yu-sim menatap gadis itu dengan luapan cinta
yang membara, ujarnya setengah emosi, "Nona Ting, sejak
peristiwa penyeberangan di sungai A-kong, aku selalu ...
selalu merindukan dirimu, siang kubayangkan malam
kuimpikan ... masih ingat, suatu kali dalam mimpiku, aku
menyaksikan kau ... kau sangat baik kepadaku, sambil tidur
aku tersenyum, akhirnya senyum dan tawaku membangunkan
Loji dari tidurnya, Loji pun segera membangunkan aku,
sungguh waktu itu aku tak ingin mendusin dari tidurku, sebab
begitu bangun, kau akan lenyap dari pandanganku, lenyap tak
berbekas, maka aku melanjutkan tidurku, aku berharap bisa
mendapat impian indah lagi, sayangnya..."
Dengan sedih dan masgul ia menambahkan, "Sayang aku
tak pernah memimpikan dirimu lagi."
Ting Tong-ih termenung beberapa saat lamanya, kemudian
serunya cepat, "Bukankah aku ... aku sudah berada di
hadapanmu sekarang?"
"Benar, kau memang berada di hadapanku"gumam Yan Yusim.
Ting Tong-ih berusaha keras menenangkan hatinya,
kembali ia berkata, "Aku berada di hadapanmu, bukankah
semuanya sudah bagus?"
"Kau sudah berada di hadapanku, semuanya sudah bagus...
aah tidak, tidak mungkin!" seru Yan Yu-sim dengan mata
melotot. "Kenapa tidak mungkin?" diam-diam Ting Tong-ih mulai
gelisah, "bukankah aku telah berada di hadapanmu" Semua ini
kenyataan!"
"Kau tak mungkin bersikap baik terhadapku!" sambil
menutupi wajah sendiri Yan Yu-sim nyaris sesenggukan.
"Kenapa aku tak mungkin bersikap baik kepadamu"
Bukankah aku sangat baik kepadamu?"
Perlahan-lahan Yan Yu-sim menurunkan kembali
tangannya. "Kau... apakah kau akan bersikap sebaik dalam
impianku itu?"
"Bagaimana sih sikapku di dalam impianmu?" tanya Ting
Tong-ih sambil tersenyum.
Tapi begitu melihat sorot mata Yan Yu-sim, ia segera
mengerti apa yang terjadi. Bagaimanapun dia sudah bukan
seorang gadis kecil yang tak berpengalaman, apalagi
kehidupannya dalam rumah plesiran Kiok-hong-wan membuat
perempuan ini semakin paham akan seluk-beluk hubungan laki
perempuan. Sebagai seorang wanita, dia bukannya tak punya rasa
jengah, hanya saja sikapnya jauh berbeda dengan sikap
wanita kebanyakan.
Terdengar Yan Yu-sim bergumam lagi, "Kau... benar-benar
akan bersikap baik seperti dalam... dalam impianku?"
Ting Tong-ih manggut-manggut.
Tiba-tiba sorot mata Yan Yu-sim berubah tajam lagi, ia
menyapu sekejap wajah Ko Hong-liang dan Tong Keng,
kemudian serunya penuh emosi, "Tapi kau... kau pasti
meminta kepadaku untuk membebaskan mereka bukan?"
Kembali Ting Tong-ih mengangguk, meski bola matanya
sedang memandang ke arahnya, namun kerlingan matanya
sangat menawan hati.
Yan Yu-sim menghela napas panjang. "Tapi... aku tak bisa
membebaskan... tidak, aku tak bisa membebaskan mereka!"
"Cepatan sedikit, lihat, minyak lentera sudah hampir habis."
Segera Yan Yu-sim menambah minyak pada lentera itu,
setelah cahaya api menjadi terang kembali, ia berpaling
memandang Ting Tong-ih, tapi dengan cepat ia tertegun
setelah menyaksikan raut muka gadis itu.
Ternyata Ting Tong-ih sedang mengernyitkan sepasang alis
matanya yang lembut dan melengkung itu, seolah-olah dia
sedang memikirkan sesuatu.
Seketika itu juga Yan Yu-sim merasa hatinya bergolak
keras, sekalipun tubuh indah yang diimpikan siang malam
masih jauh dari hadapannya, namun dia seperti sudah


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasakan kelembutan dan hawa hangat tubuhnya,
merasakan pula lelehan keringat serta getaran lirih badannya.
Untuk sesaat Yan Yu-sim tak kuasa menahan rangsangan
birahi yang menggelora dalam hatinya.
Tiba-tiba Ting Tong-ih berbisik lagi, "Ada satu hal aku tak
tahu harus memberitahukan kepadamu atau tidak."
"Ehmm?" untuk sesaat Yan Yu-sim tidak memperhatikan
apa yang dikatakan gadis itu.
Perlahan Ting Tong-ih mendongakkan kepala, dengan sorot
mata sendu, sayu dan penuh kepedihan ia berkata, "Selama
hidup mengembara dalam dunia persilatan, pernahkah kau
berpikir untuk menikah, mempunyai anak, membangun
keluarga dan meneruskan sisa hidupmu dengan aman
tenteram?"
Yan Yu-sim tertegun, selama puluhan tahun hidup
berkelana dalam dunia persilatan, kini usianya sudah
mendekati empat puluh tahun, cahaya golok bayangan
pedang mana yang tak pernah dijumpai" Kesengsaraan,
penderitaan mana yang belum pernah dialami" Tapi belum
sekali pun ia memikirkan masa depannya, dia pun belum
pernah membayangkan untuk hidup tenteram sambil
mengasuh anak cucu.
Berkilat sepasang matanya setelah mendengar ucapan itu,
tiba-tiba ia menggenggam tangan Ting Tong-ih, lalu bisiknya,
"Nona Ting, kawinlah denganku..."
"Kau tidak malu mempersunting seorang wanita yang
sudah bertubuh rongsok macam aku" kata Ting Tong-ih sambil
menundukkan kepalanya.
"Tidak, sama sekali tidak malu," tukas Yan Yu-sim sebelum
gadis itu menyelesaikan perkataannya, "kenapa aku mesti
malu" Kenapa aku mesti keberatan"
Sejujurnya dia memang tak ambil peduli tentang persoalan
itu. Ting Tong-ih bersandar di sisi dinding dengan perasaan
lelah, karena tangannya digunakan untuk menahan kepala,
ujung bajunya segera melorot ke bawah hingga batas ketiak,
lengannya yang putih halus pun seketika muncul di depan
mata, membuat siapa pun yang memandang menjadi
terangsang, terpesona dibuatnya.
"Tapi ... kalau kita menikah, belum tentu kehidupan kita
bisa dilalui dengan gembira dan tenteram"
"Kau merasa malu kawin denganku?" berubah paras muka
Yan Yu-sim. Ting Tong-ih tertawa. "Cepat bebaskan dulu totokan jalan
darahku," pintanya.
Seandainya Ting Tong-ih mengumbar janji, bisa jadi secara
bodoh Yan Yu-sim akan membebaskan jalan darahnya,
seandainya Ting Tong-ih memancingnya disertai rayuan, bisa
jadi Yan Yu-sim akan membebaskan jalan darahnya, tapi Ting
Tong-ih tidak berbuat begitu, mula-mula dia membangkitkan
dulu perasaan cinta Yan Yu-sim dengan ucapan kemudian
memberikan pukulan secara diam-diam, setelah itu baru
mengajukan permintaan, hal ini membuat Yan Yu-sim percaya
bahwa permintaan yang diajukan gadis itu merupakan satu
tindakan yang seharusnya dilakukan, membebaskan totokan
jalan darahnya pun merupakan satu hal yang wajar.
Namun dia hanya membebaskan jalan darah kaku serta
jalan darah di tangan kirinya, sementara sepasang kaki serta
lengan kanannya masih tetap tak bisa digerakkan.
Kemudian Yan Yu-sim menarik sesuatu benda yang berada
di dasar buli-buli, Ting Tong-ih seketika merasakan belenggu
di tubuhnya mengendor.
Ternyata kemampuan benda itu memang luar biasa
hebatnya. Ting Tong-ih merasakan tubuhnya yang terbelenggu sama
sekali tidak meninggalkan bekas apa-apa, dia pun tidak
merasa peredaran darahnya tersumbat ataupun merasa linu
dan sakit, diam-diam ia terkejut bercampur keheranan.
Ketika berpaling memandang ke arah Ko Hong-liang dan
Tong Keng, tampak kedua orang itu masih tetap tergeletak di
tanah dalam keadaan tak sadarkan diri.
Perlahan-lahan ia membenahi rambutnya yang kusut,
kemudian katanya, "Di depan mata saat ini terdapat sejumlah
harta, asal kau bisa mendapatkannya maka kita berdua bisa
segera kabur ke ujung dunia."
"Maksudmu..."
"Uang kawalan" bisik Ting Tong-ih sambil menggunakan
dagunya menunjuk ke arah Ko Hong-liang dan Tong Keng
yang tergeletak di tanah.
"Haah, tak heran, tak heran..."
"Tak heran apa?"
"Tak heran Li-thayjin begitu panik dan ribut karena
persoalan ini, tampaknya dia memang sengaja membesarkan
masalah yang sebenarnya cuma urusan kecil, ternyata ...
ternyata uang kawalan itu belum hilang!"
Ting Tong-ih tersenyum, dengan lagak kelelahan dia
sengaja memicingkan sebelah matanya sambil bergumam,
"Coba pikirkan lagi ... lima belas juta tahil emas murni, wouw..
jumlah yang menggiurkan"
"Lima belas juta tahil emas murni..." Yan Yu-sim mulai
bergumam. "Lima belas juta tahil emas murni ... jumlah yang cukup
bagi tiga generasi kita hidup makmur!"
Yan Yu-sim tertegun beberapa saat lamanya, kemudian
katanya, "Ya, bisa membeli banyak gedung mewah, dapat
menikmati hidangan lezat setiap hari, dapat memelihara
banyak anak"
Kemudian dengan sorot mata berkilat serunya, "Cepat
katakan! Uang kawalan itu berada dimana?"
Ting Tong-ih segera mencibirkan bibirnya. "Galak amat sih
kamu ini, aku toh hanya bermaksud baik kepadamu, aku
hanya ingin kau turut mengetahui rahasia ini, memangnya kau
hendak memaksa aku buka suara?"
Yan Yu-sim segera menyadari kekasaran dan keberangasan
diri, segera serunya, "Nona Ting, maafkan aku, tolong katakan
dimana uang kawalan itu disimpan, asal bisa kudapatkan uang
itu, kita bisa segera kabur ke ujung dunia."
"Soal ini..." Ting Tong-ih menggigit bibirnya yang basah.
"Nona Ting, darimana kau mengetahui rahasia ini?" tibatiba
Yan Yu-sim bertanya lagi.
Ting Tong-ih tertawa. "Uang kawalan itu memang tak
pernah hilang, Ko-kokcu memang sengaja
menyembunyikannya untuk digunakan sendiri; aku adalah
komplotannya, masa tidak tahu!"
"Aah, betul, betul, betul, aku memang goblok," seru Yan
Yu-sim sambil memukul kepala sendiri, "kenapa tidak terpikir
olehku ... lantas uang kawalan itu ...?"
"Bimbing aku lebih dulu," tukas Ting Tong-ih kemalas
malasan. Segera Yan Yu-sim membimbing gadis itu bangkit dari
lantai, ketika tangannya menyentuh kulit badan si nona yang
halus, lembut dan harum baunya, Yan Yu-sim segera
merasakan kepalanya pusing seperti orang mabuk.
"Sekarang bimbinglah aku ke pintu, ambil lampu," ujar Ting
Tong-ih lagi. Yan Yu-sim membimbing Ting Tong-ih menuju ke depan
pintu, cahaya lentera segera menerangi suasana gelap di luar
sana. Ting Tong-ih segera menuding ke arah depan, mengikuti
arah yang ditunjuk, Yan Yu-sim memandang ke muka, pada
jarak dua puluhan depa di depan situ lamat-lamat ia
menyaksikan ada cahaya api, di antara hembusan angin
malam terendus bau ampas tahu yang sangat menyengat.
Karena tak melihat dengan jelas, Yan Yu-sim mengangkat
lenteranya lebih ke atas. "Dimana?" tanyanya.
Ting Tong-ih mundur selangkah dengan bahu kiri bersandar
pintu, sementara sepasang matanya mengawasi dengan tajam
titik kelemahan di bawah ketiak Yan Yu-sim.
Titik kelemahan itu merupakan sebuah jalan darah
kematian. "Dipendam di situ!" ujar Ting Tong-ih lagi dengan tenang.
Kembali Yan Yu-sim menggeser badannya, kini jalan darah
Coan-sim-hiat di bawah ketiaknya semakin terbuka.
"Aneh," gumamnya, "kenapa bisa secara kebetulan
dipendam di sini?"
Diam-diam Ting Tong-ih menghimpun tenaga dalamnya ke
jari tangan kanan, dengan berlagak seakan tak ada kejadian
apa-apa jawabnya, "Kenapa tidak mungkin" Ko-kokcu dan
Tong-piauthau justru berusaha keras kembali ke Cing-thian,
apa lagi tujuannya kalau bukan untuk menggali harta kawalan
itu?" Yan Yu-sim menjulurkan kepalanya keluar, dengan nada
tulus ujarnya sepatah demi sepatah, "Nona Ting, apapun yang
kau ucapkan, aku selalu percaya kepadamu, biar mesti mati di
tanganmu pun aku rela, aku bersedia."
Sebetulnya waktu itu Ting Tong-ih sudah siap turun
tangan, hatinya bergetar keras setelah mendengar ucapan itu.
Dia mencoba menengok ke arah orang itu, tampak Yan Yu-sim
dengan memegang lentera sedang mengawasi luar pintu,
sinar yang redup menyinari punggungnya yang bungkuk,
meski kelihatan amat buruk, tapi entah mengapa dia malah
tak tega turun tangan.
Sementara dia masih ragu, Yan Yu-sim sudah berpaling
kembali, titik kelemahan yang terbuka pun kembali hilang.
Ting Tong-ih sadar, sekalipun berada di waktu biasa, belum
tentu dia mampu menandingi orang ini, apalagi sekarang,
selain sebagian jalan darahnya masih tertotok, dalam ruang
lain pun masih terdapat Yan Yu-gi.
Tampak sepasang mata Yan Yu-sim berbinar-binar, dengan
luapan rasa terima kasih katanya, "Terima kasih banyak nona
Ting, terima kasih banyak, aku harus memberitahu kabar ini
kepada Loji, aku harus memberitahu dia lebih dulu."
Ting Tong-ih tahu, apabila gembong iblis itu keluar, bisa
jadi nona kecil si Ikan rebus tak bisa lolos dari nasib tragis,
segera cegahnya, "Jangan, lebih baik hanya kita berdua yang
mengetahui rahasia ini, apalagi bila dia sampai tahu, bukankah
kita mesti membagi satu bagian kepadanya?"
Tertegun Yan Yu-sim setelah mendengar perkataan itu,
menyusul kemudian ia mendongakkan kepala lagi, perlahanlahan
sorot matanya berubah dingin membeku.
Ting Tong-ih tertawa paksa, katanya, "Aku berbuat begini
demi..." Yan Yu-sim menggeleng.
"Aku boleh saja berbohong kepada orang lain, tapi aku tak
akan membohongi adik kandungku sendiri." Habis berkata
tiba-tiba ia turun tangan. Ting Tong-ih hanya merasakan
pandangannya kabur, tahu-tahu jalan darahnya sudah
tertotok, sekalipun tak sampai kehilangan kesadaran.
Dengan cepat Yan Yu-sim menyambar pinggangnya dan
berkata lembut, "Kau tak usah takut, setelah selesai
kubicarakan masalah ini dengan Jite, kita gali emas murni itu
dan hidup bersama dengan riang."
Seketika itu juga Ting Tong-ih merasa menyesal, rasa
menyesal yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Garagara
tak tega, dia bukan saja telah merusak seluruh
rencananya bahkan bisa jadi akan mengorbankan nyawa Ko
Hong-liang serta Tong Keng.
Pada saat itulah terdengar Yan Yu-sim berseru, "Loji,
apakah kau sudah merasa agak baikan?"
"Aku ada di sini," mendadak seseorang menjawab dari
belakang tubuhnya dengan nada dingin.
Dengan perasaan terkejut Yan Yu-sim berpaling, ternyata
Yan Yu-gi sudah berdiri hanya lima langkah di belakang
punggungnya. "Loji" seru Yan Yu-sim girang, "ternyata uang pajak yang
dikawal Sin-wi-piau-kiok tidak hilang, tapi dipendam di sebuah
tempat di depan sana."
Dengan sinar mata setajam sembilu Yan Yu-gi menatap
Ting Tong-ih sekejap, dengusnya ketus, "Kau jujur?"
Terpaksa Ting Tong-ih mengangguk.
"Kalau begitu kita..." agak ragu Yan Yu-gi berpaling
memandang wajah saudaranya. "Emas itu..."
Yan Yu-gi segera melakukan gerakan tangan seolah-olah
sedang menyembelih manusia.
Melihat itu Yan Yu-sim tertawa aneh, Yan Yu-gi pun ikut
tertawa aneh, mereka berdua mulai tertawa terbahak-bahak,
menyusul kemudian tertawa terpingkal-pingkal hingga
membungkukkan badan, tertawa hingga napasnya tersengalsengal.
"Kita ... tak usah menahan ... rasa dongkol lagi" serunya
gemetar. "Lima belas juta tahil emas ... lebih dari cukup buat kita
untuk hidup makmur"
Mereka mulai berangkulan, mulai berpelukan sambil
tertawa keras. "Lotoa!" seru Yan Yu-gi kemudian.
"Ada apa?"
"Lima belas juta tahil emas bukan jumlah yang kecil "Tentu
saja bukan jumlah yang kecil," sahut Yan Yu-sim sambil
tergelak, "coba lihat, kau sudah mulai bingung saking
gembiranya!"
"Sayangnya, kau tak punya kesempatan untuk menikmati
uang itu," lanjut Yan Yu-gi.
Sementara Yan Yu-sim masih tertegun, sepasang lengan
Yan Yu-gi yang sedang memeluk saudaranya itu menjepit
lebih kuat lagi, kemudian bagaikan sepasang jepitan baja ia
jepit sepasang lengan saudaranya, mengerahkan tenaga dan
terdengarlah suara tulang lengan yang patah.
Bukan hanya patah, menyusul kemudian terdengar lagi
suara gemerutukan nyaring, setiap bagian lengannya yang
patah kembali hancur berkeping-keping.
"Kau..." jerit Yan Yu-sim kesakitan, wajahnya berubah
menjadi merah. Menyusul kemudian terdengar lagi suara gemerutukan
nyaring, tulang iganya mulai patah satu demi satu, lalu tulang
dada, tulang pinggul ... semburan darah segar ikut muncrat
keluar dari mulutnya.
Yan Yu-sim menjerit keras, ia menjerit bagai suara lolongan
serigala menjelang maut, sekuat tenaga dia meronta.
Sungguh dahsyat tenaga rontaan itu, Yan Yu-gi muntah
darah, tapi dia sama sekali tak berbicara, ilmu mayat hidupnya


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikerahkan sepenuh tenaga untuk menghajar tubuh Yan Yusim.
"Pleetakk ... !", tulang punggung Yan Yu-sim patah jadi
dua. Kini Yan Yu-sim sudah tak sanggup mengendalikan
tubuhnya lagi, ia terjatuh ke belakang.
Kembali Yan Yu-gi menjepit jalan darah Tay-yang-hiat di
kening kiri kanannya sambil memuntir dengan kuat,
"Pleetak...!", sekali lagi terdengar suara tulang patah.
Ternyata tulang tengkuk Yan Yu-sim sudah hancur
berantakan. Sekalipun sudah berada dalam kondisi parah, Yan Yu-sim
tidak tinggal diam, dengan mengerahkan sisa tenaga yang
dimilikinya dia melancarkan serangan terakhir.
Dengkulnya langsung menyodok ke lambung Yan Yu-gi.
"Duuuk!", begitu sodokan bersarang telak, Yan Yu-gi
mundur dengan sempoyongan.
Yan Yu-sim berusaha meronta dengan sepenuh tenaga,
tapi sayang dia sudah kehilangan tulang punggung, kepalanya
sudah melengkung ke belakang nyaris menempel tanah,
kemudian tulang lehernya ikut patah, maka sepasang matanya
dapat melihat telapak kaki sendiri.
Sorot mata dan kulit wajahnya mendadak mengejang
keras, mengejang aneh, sayang itupun tidak berlangsung
lama, setelah menengok Ting Tong-ih untuk terakhir kalinya,
batok kepala itupun menyentuh tanah, kaki tak mampu berdiri
tegak dan seluruh badannya terjerembab mencium bumi.
Mungkin sesaat menjelang ajalnya dia masih ingin
mengucapkan sesuatu, sayang dia sudah tak sanggup bicara
lagi. ooOOOoog 22. Gelembung Air Kecil.
Ting Tong-ih ingin menjerit, namun tak sepotong suara pun
yang bisa diucapkan.
Sambil memegangi lambung sendiri Yan Yu-gi berdiri
terengah-engah, lama sekali dia mengawasi mayat Yan Yu-sim
sebelum napasnya tenang kembali.
Sambil menuding mayat saudaranya, ia berseru, "Kau itu
manusia macam apa" Hmm, jangan disangka karena kau
adalah saudara kandungku maka kau bisa mencari untung
sendiri! Mencuri ilmu pukulan mayat hidup adalah ideku, kalau
tidak, mana mungkin kau bisa memiliki kungfu seperti hari ini"
Kabur dari benteng keluarga Yan pun merupakan usulku,
kalau tidak, kau sudah lama mampus dalam keluarga Yan!
Membuat kekacauan dalam benteng keluarga Yan sehingga
kita punya peluang untuk kabur pun merupakan usulku, tanpa
aku, kau sudah lama mampus! Tapi kau selalu mendapat
bagian lebih banyak"
Makin bicara semakin naik darah, kembali umpatnya, "Kitab
ilmu pukulan kau ikut mendapat bagian, bahkan berhasil
melatih jauh lebih baik ketimbang aku! Status, posisi dalam
masyarakat kau pun jauh lebih tinggi ketimbang aku, nama,
keuntungan materi, kau selalu mendapat lebih banyak
ketimbang aku, padahal jasaku yang paling banyak,
pengorbananku juga lebih banyak, tapi dalam semua hal mesti
berbagi denganmu. Sekarang kau bakal memperoleh uang
emas dalam jumlah besar, atas dasar apa kau ingin berbagi
keuntungan denganku"
Dia berjalan mendekati jenazah Yan Yu-sim, lalu
ditendangnya kuat-kuat sambil teriaknya, "Kau sangka aku
tidak mendengar semua pembicaraanmu dengannya" Kau
anggap aku tidak menaruh perhatian" Sebetulnya kau
berencana melahap sendiri harta karun itu lalu kabur dari situ,
sekarang kau sudah punya wanita, apakah kau bakal
memperhatikan adikmu lagi" Sekarang kau tidak
mengkhianatiku, bukan berarti lain waktu tak bakal
membunuhku, sekalipun kau tak ingin membunuhku, sudah
pasti kau akan mendengarkan omongan perempuan iblis itu
untuk mencelakai.aku! Siapa turun tangan lebih dulu, dialah
yang kuat, siapa yang terlambat dia akan celaka! Kaulah yang
memaksa aku membunuhmu, kau ... kau tak usah dendam
dan marah kepadaku!"
Sekali lagi dia menginjak batok kepala Yan Yu-sim, serunya
lagi, "Sudah kau dengar" Jangan salahkan aku atas
kematianmu! Jangan salahkan aku"
Terdengar suara gemerutuk yang amat nyaring, batok
kepala Yan Yu-sim sudah diinjaknya kuat-kuat hingga hancur,
bahkan dia masih menginjak terus hingga terbenam ke dalam
tanah. Kini Yan Yu-gi merasakan hawa darah dalam dadanya
bergolak keras, pandangan matanya berkunang-kunang dan
kepalanya amat pening, tenaga pukulan terakhir yang
dilancarkan Yan Yu-sim menjelang ajalnya telah meninggalkan
luka yang cukup parah di tubuhnya.
Kemudian setelah memaksakan diri menarik napas panjang
dan menenangkan hati, ia tuding Ting Tong-ih sambil
teriaknya, "Sekarang juga aku akan mulai menggali, jika emas
kutemukan maka sekembalinya kemari, aku akan bersenangsenang
dulu denganmu, lalu bersenang lagi dengan bocah
perempuan itu ... tapi jika tak kutemukan emasnya..."
Sambil tertawa dingin ia berjalan keluar ruangan, Ting
Tong-ih ikut tertawa dingin.
Angin malam terasa sangat dingin, angin di saat
berakhirnya malam memang paling dingin, kabut pun tampak
paling tebal. Yan Yu-gi yakin bahwa Ting Tong-ih tak bakal berbohong,
sebab dari sikap Li Ok-lay yang mengirim begitu banyak jago
untuk menyelesaikan persoalan ini, ia dapat menyimpulkan
pengiriman uang pajak itu sudah menimbulkan masalah besar.
Lima belas juta tahil emas murni yang seharusnya
disetorkan ke pihak kerajaan, sekarang akan dipersembahkan
kepada dirinya, siapa yang tidak tertarik" Mata siapa yang
tidak berubah merah karena iming-iming itu"
Yan Yu-gi merasa kepalanya sedikit pening, tapi dia
berusaha mempertahankan diri, berusaha melangkah maju ke
depan. Tiba-tiba ia merasa kakinya menginjak sesuatu yang
lembek, sesuatu yang mengeluarkan bunyi aneh.
Ia merasa tanah yang diinjaknya sangat lembut, sangat
empuk ... aneh, kenapa permukaan tanah bisa begitu empuk,
begitu lembek" Dia mengira badannya sedang limbung,
kepalanya sedang pening karena luka yang dideritanya, maka
lagi-lagi dia maju beberapa langkah.
Tiba-tiba ia merasa sepasang kakinya diisap masuk ke
dalam lumpur, dalam waktu singkat mata kakinya sudah
amblas ke bumi, ternyata tempat dimana ia berada sekarang
adalah sebuah kubangan lumpur yang mengisap.
Ingatan pertama yang melintas dalam benaknya adalah dia
harus melewati tempat ini dengan gerakan tercepat dan
mencapai tempat penyimpanan harta karun itu.
Maka cepat dia mencabut kakinya dan berlarian ke depan
dengan gerakan kilat.
Seringkali mati hidup seseorang hanya diputuskan dalam
ingatan sesaat, begitu tubuhnya bergerak ke muka, ia segera
tahu bahwa arah yang dituju adalah sebuah rawa-rawa
berlumpur yang menghanyutkan, bahkan waktu itu lumpur
basah telah membenamkan kakinya hingga sebatas lutut.
Seandainya saat itu dia segera berlari balik, maka dengan
mengandalkan kekuatan tubuh yang dimiliki, mungkin masih
ada kesempatan hidup baginya, tapi waktu itu dia bukannya
sedang takut, sebaliknya malah benci dan sakit hati, ternyata
wanita bejad itu sedang membohonginya! Dia pun sedang
menyesal, kenapa gara-gara sepatah ucapan bohong, dia
telah menghabisi nyawa Lotoa! Pikirannya semakin bimbang,
benarkah harta karun itu disembunyikan di depan sana"
Karena keraguan dan kesangsian inilah dia harus
mempertaruhkan nyawanya!
Kini lumpur sudah menenggelamkan pinggulnya.
Ia berpeluk nyaring, dengan mengandalkan ilmu silatnya
yang hebat dia ingin melambung ke udara. Tapi sayang isapan
lumpur itu sangat kuat dan liat, begitu dia mengerahkan
tenaga dalamnya, daya isap lumpur itupun semakin menguat,
sekarang tubuhnya sudah tenggelam hingga batas pinggang.
Tak terlukiskan rasa takut dan ngeri yang mencekam
hatinya sekarang, bagaimanapun juga dia adalah seorang jago
persilatan yang banyak pengalaman dan luas
pengetahuannya, dengan menghimpun seluruh kekuatan yang
dimiliki, sekuat tenaga ia menggerakkan badannya, selangkah
demi selangkah berbalik ke arah daratan.
Pada saat itulah cahaya obor kembali menerangi seluruh
angkasa, menyusul suara teriakan berkumandang dari empat
penjuru. Penduduk desa sambil mengangkat obor tinggi-tinggi
meluruk datang dari empat penjuru dan mengepung sekeliling
tempat itu, ada yang memakai batu cadas, ada yang memakai
senjata tajam, semua benda yang mereka temukan di situ
segera digunakan untuk menimpuk Yan Yu-gi.
Bila berada dalam keadaan biasa, tentu saja Yan Yu-gi tak
perlu merasa takut, tapi sekarang lumpur telah menggenang
hingga dadanya, bahkan tubuhnya masih tenggelam terus ke
bawah. Maka tak ampun setiap timpukan benda yang diarahkan ke
tubuhnya segera menghajar wajah, kening dan tubuhnya
secara telak, darah segar mulai bercucuran membasahi
mukanya. Penduduk desa amat benci dengan kekejamannya, mereka
masih menimpuk tiada hentinya, malah para pemuda desa
mulai menggunakan katapel untuk menimpuknya dengan batu
cadas yang besar dan keras.
Yan Yu-gi sama sekali tak sanggup menghindar, lagi-lagi
kepalanya tertimpuk secara telak. Kini lumpur sudah
menggenangi kepalanya.
Saking takut dan ngerinya dia mulai menangis, mulai
berteriak minta tolong, sayang caci-maki dan kata umpatan
yang dilontarkan penduduk desa telah menenggelamkan
suaranya. Semakin Yan Yu-gi berteriak, lumpur semakin cepat
menenggelamkan tubuhnya, kini air lumpur sudah mulai
mengalir masuk ke dalam mulutnya.
Begitu mulutnya tersumbat lumpur, tubuhnya semakin
cepat tenggelam ke bawah, dalam waktu singkat tinggal
beberapa lembar rambutnya yang masih kelihatan di atas
permukaan. Kemudian gelembung kecil dan buih mulai bermunculan di
atas permukaan lumpur, diikuti sebuah pusaran kecil, tubuh
Yan Yu-gi lenyap ditelan bumi.
Pusaran dan gelembung mulai menyatu, berubah menjadi
sebuah buih yang besar, kotor dan kental, "Blupp!", buih-buih
itu pecah dan hilang, permukaan kubangan lumpur pun pulih
kembali dalam ketenangan.
Para penduduk desa masih berdiri di tepi rawa sambil
mencaci-maki dengan sumpah serapahnya, hingga seseorang
berseru, "Cepat tolong orang dalam rumah!"
Semua orang baru teringat akan hal ini dan segera
menerobos masuk ke dalam rumah.
Tapi bukan pekerjaan yang gampang bagi penduduk desa
untuk membebaskan Ko Hong-liang, Tong Keng serta Ting
Tong-ih dari pengaruh totokan, bahkan tabib desa pun tak
sanggup melakukannya.
Masih untung Ting Tong-ih berada dalam kondisi sadar,
sekalipun tubuhnya tak mampu bergerak, tapi ia bisa memberi
petunjuk kepada para penduduk desa guna menusuk
beberapa bagian jalan darah Ko Hong-liang yang tertotok
dengan benda tumpul.
Setelah berusaha cukup lama, akhirnya Ko Hong-liang
berhasil terbebas dari pengaruh totokan, dengan sendirinya
jalan darah Ting Tong-ih serta Tong Keng yang tertotok pun
sudah bukan menjadi persoalan.
Diam-diam Ting Tong-ih menyimpan buli-buli sakti itu,
kemudian menyerahkan seluruh uang yang dimiliki kepada
bocah perempuan yang cantik itu, dia pun berterima kasih
kepada penduduk desa yang telah menyelamatkan mereka,
bahkan berpesan agar segera mengubur mayat-mayat di situ
dan tak perlu melapor ke petugas keamanan.
Para penduduk desa segera menyanggupi, mereka
memang tidak berharap kedatangan para petugas keamanan,
karena itu mereka pun tak ingin menambah masalah bagi
dusunnya. Segera mereka pun meninggalkan dusun itu, Tong Keng
berjalan lebih dulu di depan dengan langkah lebar, melihat itu
segera Ting Tong-ih memperingatkan, "Hati-hati, jangan
sampai terinjak di rawa-rawa lumpur!"
"Jangan kuatir," jawab Tong Keng cepat, "aku hapal sekali
dengan wilayah sini, tempat ini dinamakan Siau-kun-sui
(gelembung air kecil), asal kita sudah menguasai medan,
dengan sendirinya tak akan salah berpijak."
"Aaah benar," seru Ko Hong-liang pula, "nona Ting tidak
menguasai keadaan medan di seputar sini, bagaimana
ceritanya hingga kau berhasil menggiring bajingan itu tercebur
ke dalam kubang lumpur?"
"Sejak ditawan dalam rumah itu, secara diam-diam aku
sudah memperhatikan keadaan medan di seputar situ, suara
letupan buih dan lumpur panas sempat menarik perhatianku.
Kemudian aku sempat membisikkan sesuatu ke telinga
saudara yang gemuk itu menjelang lari dari situ, aku bilang
kalian bukan tandingan kedua orang ini, cepat kabur dari sini.
Tolong lapisi kubangan lumpur di depan rumah dengan
rerumputan, lalu cepatlah bersembunyi, aku akan memancing
kawanan bajingan itu terjerumus ke dalam kubangan itu. Tak
nyana lelaki gemuk itu memang sangat cekatan, dia telah
membantu kita melakukan persiapan yang matang, karena
itulah aku berhasil memancing bajingan itu masuk ke dalam
perangkap."
Kemudian setelah tertawa ujarnya, "Sebelum melakukan
semua ini, dalam hati aku berdoa kepada Kwan-toako,
sekarang kita berhasil sukses, sudah pasti arwahnya di alam
baka yang telah melindungi kita semua."
Dalam keheningan yang mulai mencekam, terdengar Tong
Keng bergumam, "Entah bagaimana dengan keadaan opas
Leng?" "Menurut pendapatku," kata Ko Hong-liang yakin, "ilmu


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

silat yang dimiliki opas Leng masih jauh di atas kemampuan Ni
Jian-ciu, dia tak bakal mengalami apa-apa, cuma..."
Sesudah menghela napas, lanjutnya, "Setelah keonaran
yang dilakukan dua manusia bedebah ini hingga menyebabkan
jatuhnya beberapa korban, penduduk desa di seputar sini pasti
akan menaruh sikap antipatik terhadap orang-orang yang
dikirim pihak pemerintah, terutama terhadap orang luar, bisa
jadi mereka akan memasang sikap permusuhan."
"Yang patut dikasihani adalah nasib keluarga A-lay"
sambung Ting Tong-ih sambil menghela napas pula.
"Nona cilik yang bernama Ikan rebus itu yang paling
mengenaskan nasibnya," sambung Ko Hong-liang,
"seandainya perusahaan Sin-wi-piau-kiok milikku masih
berdiri, sudah pasti akan kubawa pulang dua bersaudara itu"
"Yang aku kuatirkan adalah selama hidup dia tak akan bisa
melupakan peristiwa yang dialaminya malam ini"
Kini mereka dalam perjalanan menuju ke kota Cing-thian.
Dalam keremangan fajar yang hampir menyingsing, Ko
Hong-liang balik ke perusahaan ekspedisinya untuk
berpamitan dengan keluarganya, Tong Keng pun pergi
berpamitan dengan kedua orang tuanya, bagaimana dengan
Ting Tong-ih"
Kedatangannya ke kota Cing-thian adalah untuk mencari
adik kandung Kwan Hui-tok yang konon bersekolah di sebuah
sekolah kenamaan di kota itu, dia berniat mempersiapkan
sesuatu bagi Kwan Siau-ci sebelum pergi berkelana dalam
dunia persilatan.
Jarak sejauh tiga puluhan li sebenarnya bukan jarak yang
terlalu jauh bagi Leng-hiat, sebenarnya ia bisa mencapai
wilayah Siau-kun-sui dalam waktu singkat, tapi sayang opas
kenamaan ini tidak kenal jalan.
Apalagi menempuh perjalanan di tengah malam yang gelap
dan medan yang sangat berbahaya, kendatipun ia memiliki
kepandaian silat yang lebih hebat juga tak sanggup bergerak
lebih cepat lagi.
Ketika tiba di wilayah 'gelembung air kecil', langit sudah
terang benderang, ia menjumpai penduduk dusun sedang
mengubur bebeberapa sosok mayat, satu di antaranya sedang
ditendang, diinjak dan disumpahi banyak orang.
Ternyata mayat yang sedang dihina itu adalah mayat Yan
Yu-sim. Leng-hiat amat terperanjat, dia tahu dengan kemampuan
yang dimiliki penduduk dusun itu tak nanti mereka sanggup
menghadapi dua bersaudara Yan, segera dia maju mendekat
sambil mencari berita.
Seandainya ia tidak bertanya, mungkin keadaan masih
mendingan, gara-gara peristiwa yang menimpa dusun mereka
semalam, orang-orang dusun itu sudah menaruh sikap
permusuhan terhadap setiap orang asing, ketika melihat
Leng? hiat menggembol pedang dan bertanya panjang lebar,
hampir saja mereka maju mengerubutnya.
Bagaimanapun Leng-hiat berusaha memberi penjelasan,
orang-orang dusun itu tak mau mendengarkan, sementara dia
pun tak ingin melukai orang tak berdosa, hal ini membuatnya
menjadi tertegun beberapa saat.
Tiba-tiba seseorang maju mendekat sambil mengguyurkan
seember air kotor ke atas kepalanya sembari mengumpat,
"Kalian kawanan petugas keamanan memang kaum bedebah,
sudah memaksa kami membayar pajak, sekarang minta kami
membayar lagi dengan alasan uang pajak itu hilang,
memangnya kalian anggap kami bukan manusia" Setiap hari
kami bekerja di sawah, mandi peluh, memeras keringat, untuk
makan keluarga pun tak kenyang, eeeh, kalian datang
merampoknya. Kalian gunakan uang keringat kami untuk apa"
Membunuh orang" Perang dengan negara tetangga"
Membangun istana" Pesta pora" Manusia bedebah, kalian
semua memang bukan manusia!"
Leng-hiat ingin memberi sedikit uang kepada penduduk
dusun itu, siapa tahu si gendut membentak, "Aaah, kau pura
pura baik, kucing menangisi tikus!"
Baru saja akan mengayunkan tongkatnya, tiba-tiba
terdengar seseorang membentak, "Engkoh gendut, tunggu
sebentar!"
Leng-hiat seketika tertegun, ternyata yang muncul adalah
kakek berpakaian compang-camping itu.
Sambil batuk kakek itu berjalan mendekat, penduduk dusun
tak ada yang mengenalinya, tapi dengan beberapa patah kata
kakek itu berhasil membaur dengan para penduduk desa.
Tak lama kemudian ia berhasil mendapat tahu apa yang
telah terjadi semalam di tempat itu.
Segera kakek itu menarik Leng-hiat pergi meninggalkan
tempat itu, dalam perjalanan kakek itu baru berkata, "Tak
disangka nasib dua bersaudara Yan berakhir secara tragis,
tampaknya siapa yang berbuat kejahatan akhirnya akan
memperoleh pembalasan yang setimpal."
Leng-hiat tidak berkata apa-apa, dia hanya melanjutkan
perjalanan dengan mulut membungkam.
"Kelihatannya Ko-kokcu sekalian telah berhasil lolos dari
bahaya maut, mungkin mereka sudah berangkat ke kota Cingthian,"
kembali kakek itu berkata.
Leng-hiat tetap membungkam.
"Aku dapat mengantar orang-orang itu pulang ke rumah
dengan selamat, kau tak perlu kuatir lagi," kakek itu berkata
lagi sambil tertawa.
Leng-hiat segera menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" seru si kakek sambil tertawa, "kau sudah tidak
mengenali diriku lagi?"
"Siapa kau?" tanya Leng-hiat sambil menatapnya dingin.
Seorang kakek yang terbatuk-batuk hingga nyaris putus
napasnya ternyata berhasil mengantar pulang sekawanan
manusia lemah, kemudian menyusul Leng-hiat ke Siau-kunsui,
dapat dipastikan kakek ini pasti bukan sekedar kakek
berpenyakitan. Kembali kakek itu tertawa lalu batuk, selesai batuk kembali
tertawa. "Kau benar-benar tidak mengenaliku lagi?" tegurnya.
Mendadak Leng-hiat tertawa lebar. "Rasanya kau belum
terlalu tua," katanya.
"Ya, hanya keriput wajahku bertambah banyak."
Setelah tertawa lebar, sikap Leng-hiat jauh lebih halus dan
lembut, katanya, "Sebenarnya aku ingin bertanya siapakah
kau, tapi, kau pun tak pernah bertanya siapakah aku."
"Siapa dan siapa bukan hal yang penting, bukan begitu?"
"Asal siapa terhadap siapa tak punya niat jahat, itu sudah
lebih dari cukup."
Kakek itu seketika menghentikan batuknya, dengan mata
setengah terpicing tanyanya, "Menurut kau, apakah aku
berniat jahat terhadapmu?"
"Bukankah kita sudah berteman?"
Kakek itu segera tertawa, lalu terbatuk-batuk lagi.
Waktu itu mereka sudah berada di jalan raya, tiba-tiba dari
arah belakang bergema suara derap kaki yang sangat ramai
tapi amat teratur.
Leng-hiat mengerut kening, saat itu dia pun merasa di luar
derap kaki yang ramai dan penuh disiplin itu, terdapat pula
dua buah langkah kaki yang mendekati belakang tubuhnya
tanpa menimbulkan sedikit suara pun.
Baru saja perasaan itu timbul, mendadak suara langkah
kaki yang ringan itu telah memisahkan diri ke samping jalan.
Leng-hiat mencoba melirik sekejap, dia saksikan ada dua
sosok bayangan manusia memisahkan diri ke samping kiri dan
kanan, lalu mendahuluinya dan menjepitnya di tengah.
Ketika kedua orang itu, satu mendekati bahu kiri, yang lain
mendekati bahu kanan Leng-hiat, mendadak mereka
mencabut pedangnya serentak.
Ternyata di balik jubah sutera yang dikenakan kedua orang
itu tersoreng sebilah pedang mestika yang bertaburkan intan
permata. Tiba-tiba Leng-hiat turun tangan, sepasang tangannya
menekan di atas punggung tangan kedua orang itu, membuat
lawannya meski berhasil menggenggam gagang pedangnya
namun tak berhasil melolosnya keluar.
Reaksi yang dilakukan kedua orang itupun sangat cepat,
mereka tidak terkejut, juga tidak menghardik, seakan-akan
kedua orang itu memiliki hubungan batin yang sempurna,
ketika pedangnya tak tercabut, serentak mereka
menggunakan tangannya yang kosong untuk mencengkeram
bahu kiri dan kanan si Darah dingin.
Dalam posisi begini Leng-hiat dihadapkan pada dilema, jika
dia tak lepas tangan maka bahunya akan dicengkeram orang,
sebaliknya bila dia lepas tangan maka kedua orang itu segera
akan melolos pedangnya.
Jika Leng-hiat harus menghadapi kedua bilah pedang itu,
dia pun terpaksa harus mencabut pedangnya untuk
melakukan perlawanan.
Kelihatannya kedua orang itu berniat memaksa Leng-hiat
melolos pedangnya dalam satu gebrakan.
Jika pedang sudah tercabut, situasinya pun tak sulit untuk
ditebak ... sayang Leng-hiat sama sekali tidak melolos
senjatanya. Sebab pada saat itulah terdengar seseorang membentak
nyaring dari arah belakang,
"Tahan!"
ooOOOoo Bab VI. RAJA OPAS, LENG-HIAT, OPAS MUDA.
23. Lihat Pedang.
Begitu suara bentakan berkumandang, tangan kedua orang
itu yang menekan bahu Leng-hiat segera ditarik kembali.
Leng-hiat sendiri pun segera menarik kembali tangannya
yang memegangi tangan kedua orang itu.
Kakek itu seolah merasa ketakutan, tubuhnya mundur
dengan sempoyongan, ketika Leng-hiat memayang tubuhnya,
dengan gerakan cepat bagai sambaran petir kakek itu segera
mengebaskan tangannya ke bahu Leng-hiat.
Sementara Leng-hiat masih tertegun, tampak kedua orang
jago itu sudah berlutut ke tanah.
Pakaian yang dikenakan mereka berdua sangat halus dan
mahal harganya, selain keningnya menonjol tinggi, alis
matanya tipis dengan wajah yang bersih, tapi sekarang
mereka berlutut dengan sikap yang amat menaruh hormat,
seakan-akan sedang menyembah malaikat yang datang dari
langit. Setelah memayang tubuh kakek itu, perlahan-lahan Lenghiat
berpaling, ia saksikan dari jalan raya di belakang sana
muncul sebuah tandu, di depan dan belakang tandu itu
berjajar delapan puluhan prajurit berseragam lengkap. Selain
itu terdapat pula dua puluh orang pengawal berbaju sutera
yang berdiri di sekeliling sebuah tandu berukir emas yang
sangat indah. Tiba-tiba tirai tandu itu disingkap, lalu muncul sebuah
tangan dengan jari tengah mengenakan cincin berbatu zamrud
sebesar buah kelengkeng.
Begitu tangan itu muncul dari balik tandu, serentak semua
orang menundukkan kepalanya, seakan-akan bila ada yang
melihat sekejap saja, hal itu sudah merupakan satu
penghinaan bagi orang itu.
Sambil membusungkan dada dan mendongakkan kepala,
Leng-hiat mengawasi tandu itu.
Akhirnya orang yang berada dalam tandu melangkah
keluar, dia adalah seorang lelaki tinggi besar.
Jenggot hitamnya yang panjang dan lebat bergoyang
dihembus angin, persis seperti sebuah sapu berwarna hitam,
mukanya bagai kemala, cerah dan berkilat.
Sebilah pedang tersoreng di punggungnya, gagang pedang
terbuat dari kemala hijau, jubahnya panjang berwarna tawar,
sementara motip bunga jubahnya kelihatan seolah bergerak
ketika tersampuk angin.
Dengan langkah sangat lambat ia berjalan mendekat,
langsung menuju ke hadapan Leng-hiat sebelum berhenti,
kemudian setelah mengawasi wajahnya sekejap, ia berkata
sambil tertawa lembut, "Ternyata tenaga dalam opas Leng
benar-benar sangat hebat!"
Sebuah perkataan yang sangat aneh.
Leng-hiat belum pernah bersua dengannya tapi sekilas
pandang orang itu dapat mengenali identitas si Darah dingin,
meski hal ini tidak terhitung aneh, namun justru yang aneh
adalah dia bukannya memuji ilmu pedang yang dimiliki Lenghiat,
sebaliknya malah mengagumi tenaga dalamnya.
Kenyataan tenaga dalam yang dimiliki Leng-hiat tidak
terhitung kelewat bagus, bahkan boleh dibilang merupakan
bagian terlemah ilmu silat yang dimilikinya.
"Li-thayjin!" balas Leng-hiat sambil menjura.
"Oya?" orang itu tertawa, "darimana kau tahu kalau aku
bukan Ong-thayjin, Thio-thayjin, atau Tio-thayjin?"
Sambil menuding pedang yang berada di punggungnya,
sahut Leng-hiat, "Siang-jiu-sin-kiam (sepasang tangan pedang
sakti) Li-thayjin, sekalipun aku tidak mengenali pedangmu,
paling tidak sudah lama mengagumi kehebatan
penampilanmu."
Li Ok-lay mendongakkan kepalanya tertawa terbahakbahak.
"Hahaha, orang bilang Leng-hiat angkuh, dingin dan
sabar, memandang enteng orang persilatan, tapi setelah
bersua hari ini, terbukti manisnya mulut Leng-hiat jauh
melebihi manisnya mulut para pejabat dalam istana!"
"Li-thayjin, tampaknya kau sedang bergembira hari ini"
Lagi berpesiar ke tempat berpemandangan indah?"
"Masakah dengan diikuti begini banyak pengawal aku
sedang pergi berpesiar?" ujar Li Ok-lay tertawa, "kalau ingin
berpesiar sih cukup ditemani seorang sahabat macam opas
Leng, buat apa mesti membawa banyak pengikut?"
Leng-hiat tertawa hambar dan tidak menjawab lagi.
Dengan pandangan seorang atasan terhadap bawahan, Li
Ok-lay memandang Leng-hiat sekejap, kemudian berkata,
"Terus terang, kedatanganku kali ini adalah sedang
melaksanakan tugas resmi."
Menurut aturan, Leng-hiat seharusnya bertanya sedang
melaksanakan tugas apa dan apakah perlu dibantu, tapi si
Darah dingin segera menukas, "Aaah, kebetulan aku pun
sedang menjalankan tugas resmi, kalau begitu kita berpisah di
sini." "Opas Leng!"


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Leng-hiat segera berhenti.
"Kebetulan tugas yang sedang kujalankan adalah
menyampaikan sebuah persoalan yang diserahkan Cukatsianseng
kepadamu," tiba-tiba Li Ok-lay berkata.
"Paman tak pernah menyuruh aku menyelidiki masalah
pajak rakyat."
"Kelihatannya opas Leng merasa sangat tidak puas dengan
persoalan ini?" kata Li Ok-lay sambil tertawa.
Perlahan-lahan Leng-hiat membalikkan badannya. "Uang
pajak lenyap dicuri orang, seharusnya sang pencuri yang
dilacak dan ditangkap, masakah pihak rakyat yang harus
menyetor uang pajak lagi!"
Air muka dua orang pemuda itu segera berubah hebat, tapi
Li Ok-lay sendiri seakan tidak menganggap ucapan itu
menyinggung perasaannya, ia menyahut,
"Untuk menangkap para pencuri, pihak atasan telah
mengutus kelompok lain, sementara uang pajak harus segera
dikirim ke kotaraja karena akan digunakan untuk membasmi
kaum pemberontak, uang itu sangat dibutuhkan, bagaimana
mungkin kami bisa menunda waktu pengiriman?"
"Aku sangat tidak setuju dengan cara kalian memaksa
rakyat untuk menyetor uang lagi."
Li Ok-lay kembali mengayunkan tangannya mencegah
kedua orang pemuda itu melolos pedangnya, kembali ia
berkata sambil tersenyum, "Perintah ini turun dari atas, aku
pun tak berani membangkang, sementara dalam hal kematian
putraku, sebagai seorang opas yang biasa menangkap
pembunuh, rasanya tak bisa berpeluk tangan."
"Menurut laporan, putra anda mati terbunuh karena saat itu
sedang menyiksa tawanan dengan alat siksaan keji, kasus
semacam ini aku tak sudi mencampurinya."
Li Ok-lay tertawa tergelak, suaranya nyaring dan jelas,
sembari mengelus jenggotnya ia berkata lirih, "Tapi ... soal
lukisan itu ... Yang mulia sudah memerintahkan Cukatsianseng
untuk mendapatkannya."
Hati Leng-hiat bergetar keras.
Sambil melangkah maju lebih ke depan Li Ok-lay mendesak
lebih jauh, "Opas Leng, kau pasti tahu soal lukisan tengkorak
bukan?" "Lukisan itu..." Leng-hiat berseru tertahan.
"Ya, lukisan itu..." Li Ok-lay sengaja berlagak misterius, dia
mundur lagi ke belakang sambil menatap lawannya tanpa
berkedip. Leng-hiat mulai meraba gagang pedangnya. Begitu jari
tangannya menyentuh gagang pedang, sikapnya pun menjadi
tenang kembali, setelah menarik napas panjang katanya, "Aku
dengar perdana menteri Hu meminta putramu untuk
membuatkan sebuah lukisan..."
"Itulah lukisan tengkorak" tukas Li Ok-lay, "lukisan itu
dinamakan juga lukisan selaksa tahun, sebetulnya hendak
dipersembahkan kepada Baginda Raja, tapi sekarang putraku
telah dibunuh sementara lukisan pun hilang tercuri, tentunya
opas Leng tak bisa mengatakan kedatanganmu kali ini bukan
lantaran peristiwa itu bukan!"
"Betul, kedatanganku memang lantaran peristiwa ini,"
akhirnya Leng-hiat mengangguk.
Li Ok-lay tersenyum.
"Lu Bun-chang telah berangkat ke kota Cing-thian untuk
membuat persiapan, pihak yang mencuri uang pajak kali ini
adalah perusahaan Sin-wi-piau-kiok serta orang-orang dari Busubun, pihak yang mengobrak-abrik penjara juga mereka,
yang melarikan tawanan juga mereka, bahkan yang
melakukan pembunuhan pun mereka, besar kemungkinan
lukisan tengkorak berada di tangan mereka, opas Leng, kalau
memang tujuan kita sama, kenapa tidak melakukan perjalanan
secara bersama-sama?"
Dengan cepat Leng-hiat menggeleng, tukasnya, "Betul,
kedatanganku kali ini memang karena masalah lukisan itu,
menangkap si pencuri lukisan merupakan tugas yang sedang
kuemban, tapi mengenai apa benar pihak Sin-wi-piau-kiok dan
anggota Bu-su-bun yang melakukan pencurian lukisan itu, aku
belum selesai melakukan pelacakan, jadi rasanya..."
"Katakan saja terus terang," sambung Li Ok-lay cepat,
sikapnya masih sangat tenang.
"Rasanya kita tidak sepaham dan tak sejalan, jadi kurang
baik untuk melakukan perjalanan bersama-sama," sambung
Leng-hiat cepat.
Begitu perkataan itu diucapkan, kembali paras muka semua
orang berubah hebat.
"Bagus, sebuah perkataan yang amat bagus," kata Li Oklay
sambil mengelus jenggotnya, "tidak sepaham, tidak sejalan
maka kau tampik melakukan perjalanan bersama, perdana
menteri Hu pernah berkata, 'banyak orang pernah
mengucapkan perkataan semacam itu, tapi kini rasanya orangorang
semacam ini..."
Bicara sampai di situ ia tersenyum dan tidak melanjutkan
lagi kata-katanya.
"Sepuluh tahun berselang, Cukat-sianseng pernah
mengucapkan perkataan itu di hadapan Hu-thayjin, tapi
nyatanya hingga kini dia masih segar bugar," ujar Leng-hiat
ketus. "Oya" Andaikata Cukat-sianseng tak pernah mengucapkan
perkataan itu, mungkin sekarang dia sudah memegang
kekuasaan keprajuritan dan memiliki jabatan jauh di atas."
"Sayangnya ada sementara orang sama sekali tak tertarik
untuk memegang kekuasaan ketenteraan," sindir Leng-hiat
sambil tertawa dingin.
"Benarkah begitu" Aku justru tahu kalau ada sekelompok
manusia yang sangat tertarik untuk mencampuri urusan orang
lain," kata Li Ok-lay sambil tertawa.
Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya, "Menurut
laporan anak buahku, berulang kali kau melindungi
keselamatan orang-orang Sin-wi-piau-kiok dan Bu-su-bun,
jelas perbuatan semacam ini merupakan pelanggaran besar,
berkomplot dengan musuh untuk menjatuhkan pemerintah
sah, hahaha ... tapi tentu saja aku percaya opas Leng amat
setia pada pemerintah, aku akan melupakan semua isu yang
beredar dan tak bakal melaporkan ke atasan, hahaha....
Bersekongkol dengan penjahat, membantu kaum
pemberontak, jelas tuduhan ini termasuk satu pelanggaran
yang amat besar".
Berubah paras muka Leng-hiat, segera tanyanya, "Apakah
kasus ini sudah diputuskan?"
"Kasus apa?" tanya Li Ok-lay tertegun.
"Pencurian uang pajak, membunuh orang, mencuri lukisan
... apakah sudah diputuskan kalau perbuatan itu dilakukan
oleh Sin-wi-piau-kiok serta orang-orang Bu-su-bun?"
"Tapi kenyataannya putraku tewas di tangan orang-orang
Bu-su-bun, dua bersaudara Yan, Ni Jian-ciu bisa menjadi saksi,
lalu pada saat bersamaan lukisan hilang dicuri, sedang uang
pajak pun hilang sewaktu dikawal orang-orang Sin-wi-piaukiok,
piausu mereka bisa dijadikan saksi untuk membuktikan
kebenaran ini."
Entah kenapa tiba-tiba Leng-hiat teringat akan sesuatu,
persoalan itu melintas bagai bintang kejora, dia tahu hal ini
merupakan kejadian yang sangat penting.
Ia tak punya kesempatan untuk berpikir lebih jauh,
tanyanya, "Kau maksudkan Li Siau-hong?"
"Benar," agaknya Li Ok-lay sendiri pun dibuat tertegun,
"piausu ini punya nyali, setia pada negara, demi kebenaran dia
bahkan bersedia mengkhianati rekan sendiri. Demi
keselamatan jiwanya, aku telah melindunginya secara
khusus." "Hmmm, apakah kasus ini telah disidangkan dan
diputuskan secara hukum?" kembali Leng-hiat mendengus.
"Kalau itu sih belum," sekali lagi Li Ok-lay tertegun.
"Kalau kasus ini belum disidangkan apalagi belum diputus
secara hukum, berarti orang-orang Sin-wi-piau-kiok dan Busubun baru dianggap sebagai tersangka yang paling dicurigai.
Aku membantu mereka karena tujuanku untuk membongkar
kasus ini, jadi kau tak bisa mengatakan aku berkomplot
dengan mereka."
Li Ok-lay tertawa dingin. "Opas Leng!" katanya, "andaikata
mereka benar-benar pelaku kejahatan itu, kau harus sadar,
melanggar hukum bukan satu kejadian enteng, apalagi
melindungi kaum penjahat dari jaring hukum, hmmm! Opas
Leng, mereka toh bukan sanak bukan saudaramu, apalagi
masa depanmu masih panjang dan terbuka, buat apa mesti
menyerempet bahaya demi mereka?"
"Selama kasus ini belum disidangkan dan diputuskan secara
hukum, berarti persoalan ini belum tersingkap secara tuntas,
aku berhak untuk melacak dan melakukan penyelidikan, aku
harus bisa mengungkap siapa pembunuh sebenarnya dan
siapa yang menjadi korban fitnah."
Bicara sampai di sini, kedua orang itu sama-sama
membungkam. Lewat beberapa saat kemudian Li Ok-lay baru tertawa
tergelak. "Hahaha, bagus, bagus! Punya nyali! Punya
semangat!"
"Selama ada Li-thayjin memerintah kota ini, tentunya
perdana menteri Hu tak perlu merasa kuatir bukan?"
Li Ok-lay tertawa misterius, katanya, "Opas Leng kelewat
memandang tinggi kemampuanku. Hu-thayjin memang sudah
memperhitungkan semua kejadian ini jauh hari sebelumnya,
jelas beliau jauh lebih hebat ketimbang aku. Mungkin beliau
pun sudah menyadari dalam usaha membasmi kaum
pemberontak bakal menghadapi berbagai rintangan, karena
itu perdana menteri telah mengutus ketiga orang andalannya,
'tua, menengah dan muda' untuk datang membantu
menyingkirkan semua rintangan, kelihatannya kali ini kaum
penyamun tak bisa lolos dari musibah!"
Leng-hiat menarik napas panjang, sepatah demi sepatah
dia berkata, "Tua, menengah, muda?"
"Si Tua tak mau mati, si manusia menengah, si bambu
hijau," berkilat sepasang mata Li Ok-lay.
"Mereka bertiga?" bisik Leng-hiat sambil menggenggam
gagang pedangnya makin kencang.
Li Ok-lay tidak tersenyum, tapi senyuman muncul dari balik
matanya, senyum penuh kelicikan dan kebusukan.
"Tentu saja," katanya, "maksud kedatangan mereka bertiga
adalah untuk membasmi kaum penyamun, mencari lukisan,
mengantar uang pajak balik ke kotaraja, dengan opas Leng
sama sekali tak ada hubungan apa-apa."
"Tentu saja. Kalau hanya bermaksud menghadapi diriku,
kekuatan Li-thayjin ditambah Hok-hui-siang-siu (sepasang
manusia hokki dan cerdik) dan ratusan orang saudara yang
hadir di sini pun sudah lebih dari cukup, buat apa mesti
mendatangkan kekuatan dari kotaraja."
"Bagus kalau opas Leng sudah mengetahui hal ini."
"Cuma kalau untuk menangkap penyamun, mengantar
lukisan dan melindungi uang pajak saja sudah mesti
mendatangkan 'tua, menengah, muda', apakah hal ini bukan
membesar-besarkan masalah kecil?"
"Lukisan itu merupakan benda yang akan dipersembahkan
kepada Yang mulia, membasmi perampok yang berani
mencuri uang pajak jelas merupakan satu hal penting, sebagai
orang yang setia pada kerajaan, perdana menteri Hu tak ingin
memandang enteng urusan ini, tentu saja beliau harus
mengirim jago-jagonya."
Leng-hiat manggut-manggut, katanya kemudian, "Lithayjin,
bila tak ada pesan lain, aku mohon diri."
"Opas Leng," tiba-tiba Li Ok-lay berkata, "konon kau
memiliki sebilah pedang yang dapat bergerak cepat, sudah
lama aku ingin melihatnya, bersediakah kau mempertontonkan
pedangmu kepadaku?"
Leng-hiat melengak, sekalipun Li Ok-lay bukan atasannya
langsung, namun bicara soal kedudukan, jelas dia memiliki
posisi jauh di atasnya.
Seandainya dia bukan termasuk salah satu dari empat opas
kenamaan yang memiliki lencana bebas kematian dan lencana
melakukan pembunuhan, dengan posisi Li Ok-lay sekarang,
dia dapat membunuhnya tanpa disidangkan.
Konon kehebatan ilmu silat Leng-hiat terletak pada
pedangnya dan sekarang Li Ok-lay telah mengajukan satu
permintaan, ingin menonton pedangnya.
Bila Leng-hiat sampai kehilangan pedang, dengan senjata
apa dia akan menghadapi serangan lawan"
Sebaliknya bila Leng-hiat menampik untuk memperlihatkan
pedangnya, berarti dia menunjukkan sikap bermusuhan,
dalam gusarnya bisa saja Li Ok-lay akan menurunkan perintah
membunuh, kalau sampai terjadi hal ini, apa pula yang harus
dia lakukan"
Tiba-tiba Leng-hiat melolos pedangnya.
Li Hok dan Li Hui segera melompat ke depan menghadang
di hadapan Li Ok-lay, mereka bersama-sama meraba gagang
pedangnya. Sementara Li Ok-lay sendiri masih tampil dengan senyum di
kulum, paras mukanya sama sekali tak berubah.
Leng-hiat mengangkat pedangnya sejajar dada, ujung
pedangnya kini sudah berada hanya satu kaki dari dada Li Oklay,
katanya, "Silakan dinikmati!"
Perlahan sekali Li Ok-lay menggunakan kedua jari
tangannya untuk menjepit ujung pedang, sementara matanya
mengawasi senjata itu tanpa berkedip, ujarnya pula sambil
tertawa, "Menonton pedang dengan cara begini apa tidak
kelewat berbahaya?"
Leng-hiat kembali menggetarkan tangannya, baru saja Li
Hok dan Li Hui mencabut pedangnya, Leng-hiat telah
menyodorkan gagang pedangnya ke tangan Li Ok-lay sembari
berkata, "Bila Li-thayjin memang menyukainya, silakan diambil
untuk dinikmati."
Dengan berbuat demikian, sama artinya Leng-hiat telah
menyerahkan senjata andalannya ke tangan musuh.
Kali ini paras muka Li Ok-lay berubah hebat, sementara Li
Hok dan Li Hui saling bertukar pandang sekejap, lalu dengan
wajah tertegun menyimpan kembali senjata masing-masing.
Sambil memegang pedang itu, beberapa kali Li Ok-lay
mengayunkan pedang itu di depan tubuh Leng-hiat, terdengar
desingan angin tajam menderu. "Pedang bagus, pedang
bagus!" pujinya kemudian.


Misteri Lukisan Tengkorak Seri 4 Opas Karya Wen Rui An di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini suasana dicekam dalam keheningan, yang terdengar
hanya suara batuk kakek tua itu.
Dalam keadaan begini, asal Li Ok-lay melancarkan
serangan atau menurunkan perintah penyerbuan, maka sulit
bagi Leng-hiat untuk lolos dari bencana kematian.
Setelah memperhatikan beberapa saat pedang itu, akhirnya
Li Ok-lay mengembalikan senjata itu ke tangan Leng-hiat
seraya berkata, "Sudah kulihat pedangmu, ilmu pedang yang
sangat bagus!"
Dia bukan memuji pedangnya tapi memuji ilmu pedangnya,
hal ini membuat semua orang melengak.
Ketika Leng-hiat sudah menerima kembali senjatanya, Li
Ok-lay baru berpaling seraya berseru, "Berangkat!"
Dia naik ke dalam tandu dan rombongan itupun
melanjutkan perjalanannya.
Kelima jari tangan Leng-hiat yang menggenggam gagang
pedang kelihatan memutih lantaran menggunakan tenaga
kelewat besar, tatkala rombongan itu sudah pergi jauh, peluh
membasahi seluruh tubuhnya.
Sudah cukup jauh rombongan itu melakukan perjalanan, Li
Hok dan Li Hui yang mengiringi di samping tandu pun hanya
saling berpandangan tanpa mengetahui apa yang sebenarnya
telah terjadi. Sudah jelas barusan mereka telah memperoleh
Rahasia 180 Patung Mas 13 Kait Perpisahan Serial 7 Senjata Karya Gu Long Rajawali Hitam 4

Cari Blog Ini