Ceritasilat Novel Online

Pedang Ular Merah 3

Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


Karena buaian cumbu rayu dan kasih sayang, sepasang orang muda ini melakukan perjalanan dengan amat gembira. Mereka tidak memperdulikan lagi akan bahaya yang mungkin datang dari kejaran Tiong Han maupun suhu mereka. Kui Hwa amat percaya kepada kekasihnya, karena dara inipun maklum akan kelihaian Tiong Kiat. Misalnya suhu mereka mengejar, dengan kekuatan mereka, agaknya guru mereka sendiripun takkan dapat mengganggu kebahagiaan mereka.
Akan tetapi beberapa belas hari kemudian, ketika sepasang orang muda ini akan pesiar di sebuah telaga, mengaso di pinggir telaga melihat orang-orang berpesta di atas perahu alangkah terkejutnya hati mereka ketika tiba- tiba Can Kong berdiri di hadapan mereka dengan pedang terhunus di tangan kanan.
"Ayah... !" Kui Hwa berseru dengan wajah pucat dan gadis itu menghampiri ayahnya hendak berlutut, akan tetapi Can Kong menggerakkan pedangnya dan membacokkan pedang itu ke arah leher Kui Hwa! Biatpun kepandaian Kui Hwa lebih tinggi dari pada ayahnya, namun bacokan yang dilakukan oleh ayahnya dan diserangkan kepadanya yang sedang berlutut itu, agaknya tak dapat dielakkan lagi !
"Traang........!" terdengar suara keras dan pedang di tangan Can Kong tinggal gagangnya saja. Ternyata bahwa pedangnya yang mengancam nyawa puterinya sendiri itu tehh kena ditangkis oleh Tiong Kiat yang mempergunakan pedang Ang-coa kiam. Dapat dibayangkan betapa tajam dan ampuhnya pedang Ang-coa-kiam. Baru saja terbentur sekali, pedang di tangan Can Kong telah dibabat putus !
"Anjing.. anjing rendah tak tahu bermalu l" Can Kong berseru dengan nafas terengah-engah. 'Kalian harus mampus." kemudian dengan nekad Can Kong lalu menubruk Kui Hwa uuruk mencekik lehernya .
"Ayah... ! Ampunkan anakmu, ayah..."
Kui Hwa mengeluh tanpa berani melawan, akan tetapi kembali Tiong Kiat yang menolongnya Sebuah sampokan lengan kanan pemuda ini membuat tubuh Can Kong terpental dan terhuyung - huyung mundur ke belakang hampir jatuh! Memang, kepandaian Can Kong masih kalah jauh kalah dibandingkan dengan kepandaian Tiong Kiat, baik ilmu pedang, maupun tenaga lweekangnya.
"Suheng," kata Tiong Kiat yang menyebut "kakak seperguruan" karena memang Can Kong juga murid dari Lui Thian Sianjin, "tidak ada harimau makan anaknya, apalagi manusia!"
"Anjing she Sim!" Can Kong marah sekali sehingga sepasang matanya seakan-akan mengeluarkan cahaya api dan mulutnya mengeluarkan buih. "Kau telah melakukan perbuatan rendah melarikan anak gadis orang, masih dapat memberi nasihat kepadaku" Saat ini kalau bukan kau, tentu aku yang akan mampus!" Setelah berkata demikian, Can Kong kembali menyerang, dan kali ini ia menyerang Tiong Kiat dengan sepenuh tenaga!
"Ayah... !" Kui Hwa menjerit dan hanya dapat menangis. Ayahnya sudah nekad benar dan menyerang secara bertubi-tubi dan mata gelap.
Tiong Kiat telah menyimpan kembali pedangnya dan sesungguhnya ia tidak berani untuk membalas serangannya orang tua yang nekad itu. Akan tetapi, karena Can Kong menyerang dengan mati-matian, ia menjadi repot juga.
"Can suheng, mengapa kau berlaku seperti anak kecil. Biarkan kami berdua pergi. Aku masih menghormatimu sebagai seorang subeng dan kalau boleh, sebagai orang tua sendiri, akan tetapi kesabaran ada batasnya " kata Tiong Kiat sambil menangkis sebuah pukulan dengan tenaga sepenuhnya sehingga Can Kong merasa betapa lengannya sakit sekali dan kembali tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
"Bangsat rendah ! Binatang tak bermalu !' Can Kong memaki lagi tanpa memperdulikan rasa sakit pada lengannya, ia menyerbu kembali dengan ilmu pukulan Kim-liong pai yang berbahaya bagi lawannya
"Kau mencari penyakit sendiri" kata Tiong Kiat dengan marah karena ia anggap orang tua ini amat keterlaluan.
"Koko, jangan...!" Kui Hwa berseru akan tetapi terlambat. Tiong Kiat telah membalas serangan lawannya dan ketika tubuhnya bergerak cepat, sebuah tendangannya yang lihai telah mengenai lambung Can Kong dengan hebatnya. Tubuh Can Kong terlempar jauh dan roboh ke dalam air telaga !
"Ayah..." Kui Hwa menjerit dan menolong ayahnya, akan tetapi pada saat itu, diantara perahu-perahu yang bergerak ke sana ke mari di atas telaga, meluncur cepat sebuah perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang hwesio gemuk, sekali ia mengulurkan tangannya tubuh Can Kong yang hampir tenggelam itu telah berpindah ke dalam perahu.
"Siapa pemuda itu, siapa pula gadis itu dan siapa kau" tanya pendeta Buddha ini kepada Can Kong yang napasnya sudah empas-empis.
Can Kong membuka matanya dan ketika ia melihat hwesio gemuk itu ia tersenyum pahit. Ia mengenal hwesio ini yane bukan lain adalah seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, la bernama Cin Kun Hosiang, tokoh dari Bu-tong-pai, hwesio perantau yang menjadi pendekar besar penolong rakyat sehingga namanya amat terkenal, baik di kalangan rakyat maupun di dunia kang-ouw.
"Cin suhu, celakalah... hancur nama ....baikku oleh anjing-anjing tak bermalu itu. Perempuan itu adalah puteri tunggalku, sedangkan pemuda itu adalah suteku sendiri. Mereka.. mereka minggay....... dan......."
Orang tua itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia menjadi lemas dan pingsan karena luka pada lambungnya yang hebat akibat tendangan Tiong Kiat.
Bukan main marahnya Cin Kun Hosiang mendengar keterangan ini. Dengan tangan kiri memondong tubuh Can Kong. Ia lalu melompat ke pantai, mengagumkan sekali gerakannya ini karena tubuhnya yang gendut itu seakan- akan amat ringan. Ketika berhadapan dengan Tiong Kiat yang memandang dengan sikap dingin dan Kui Hwa yang masih mengucurkan air mata, hwesio itu lalu menurunkan tubuh Can Kong yang masih pingsan itu di atas tanah. Kui Hwa hendak menubruk ayahnya, akan tetapi hwesio itu mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah gadis itu sambil berkata,
"Jangan mengotori ayahmu dengan tanganmu yang bernoda"
Kui Hwa terkejut sekali karena ujung lengan baju itu mengeluarkan hawa pukulan yang amat kuat. Akan tetapi dengan lincahnya ia dapat mengelak dan memandang kepada hwesio itu dengan marah.
"Kepala gundul. Siapakah kau maka berani sekali kau berkata demikian kepadaku?" bentaknya.
Hwesio itu tertawa bergelak. "Pinceng Cin Kun Hosiang paling benci kepada orang orang jahat, akan tetapi lebih benci lagi kepada seorang anak durbaka. Kau adalah seorang anak perempuan yang mendurhaka terhadap orang tua, seorang anak gadis tak bermalu yang menodai nama keluarga ! Percuma saja kau dilahirkan di atas dunia, lebih baik sekarang juga kau meninggalkan dunia agar nama baik ayahmu tidak sampai menjadi buah tutur orang 1"
"Keparat" bentak Kui Hwa. "Aku pernah mendengar nama Cin Kun Hosiang sebagai tokoh Bu-tong-pai yang tersohor, akan tetapi ternyata kau hanya seorang kepala gundul ysng berpura-pura alim dan orang yang lancang yang suka mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Kau kira aku takut kepadamu?" Kui Hwa menjadi marah sekali oleh karena ucapan itu didengar oleh orang - orang yang kini mulai berkumpul menonton mereka. Ia merasa dihina dan dibikin malu sekali, maka setelah mencabut pedangnya ia lalu menyerang hwesio gemuk itu.
Cin Kun Hosiang ketika melihat datangnya serangan yang cukup hebat mi, diam- diam menjadi terkejut. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Kim-liong-pai akan tetapi ia pernah melihat Can Kong bermain silat dengan pedang dan karena tingkat Can Kong masih rendah, maka hwesio ini merasa sanggup untuk menghadapinya,
Kini melihat gerakan Kui Hwa, selain terkejut iapun merasa heran bagaimana gadis ini memiliki ilmu pedang yang jauh lebih hebat dari pada ilmu pedang ayahnya! Akan tetapi ia tidak tempat banyak berpikir dan cepat pula ia mencabut senjatanya, yakni sebatang tongkat pendek yang tadinya terselip di pinggangnya.
Pertempuran hebat terjadi di pantai telaga itu antara Cin Kun Hosiang dan Kui Hwa. Kalau dibandingkan antara kedua orang yang sedang bertempur ini, maka kepandaian mereka boleh dibilang berimbang kuatnya. Hwesio gemuk itu lebih menang dalam hal tenaga lweekang dan pengalaman, akan tetapi Kui Hwa menang jauh dalam kecepatan dan kehebatan gerakan pedangnya. Pedangnya melupakan seekor burung elang yang menyerang dan menyambar-nyambar dan semua penjuru, sedangkan tongkat di tangan Cin Kun Hosiang merupakan seekor induk ayam yang melindungi anak anaknya dari serangan elang itu. Gerakannya tidak cepat dan amat tenang, akan tetapi sekali digerakkan, cukup untuk membikiu pedang Kui Hwa terpental kembali.
Betapapun juga, karena kalah lihai ilmu silatnya, hwesio gendut itu terdesak hebat oleh Kui Hwa, sungguhpun takkan mudah bagi Kui Hwa untuk merobohkan lawannya. Diam-diam Cin Kun Hosiang merasa kaget sekali. Jarang sekali hwesio ini bertemu dengan lawan yang sedemikian tangguhnya. Banyak sudah ia mengalami pertempuran menghadapi penjahat-penjahat oan perampok-perampok, akan tetapi selalu ia memperoleh kemenangan. Jarang ada orang yang sanggup menghadapi tongkatnya yang digerakkan dengan tenaga lweekangnya yang sudah tinggi. Akan tetapi siapa kira bahwa kini menghadapi puteri Can Kong seorang dara jelita yang masih muda sekali, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas serangan gadis ini.
Cin Kun Hosiang menjadi kekhi (gemas) juga. Pada saat pedang Kui Hwa menyambar dari atas, ia cepat menangkis dengan tongkatnya, dan membarengi dengan serangan pukulan tangan kirinya ke arah dada gadis itu! Inilah serangan dari ilmu pukulan Lwee-khi-ciang- hoat yang luar biasa hebatnya, karena pukulan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga khi-kang. pukulan ini tidak perlu mengenai tubuh, hawa pukulannya saja cukup mengalahkan lawan. Yang paling hebat adalah pukulan ini takkan terasa oleh lawan dan tidak melukai tubuh luar, namun menyerang dan melukai tubuh bagian dalam.
Untung bagi Kui Hwa selama itu, Tiong Kiat memandang pertempuran dengan penuh perhatian. Ketika ia melihat betapa Kui Hwa dapat mendesak lawannya dan meyakinkan bahwa kekasihnya itu pasti akan dapat mengalahkan Cin Kun Hosiang, ia merasa lega dan tidak mau turun tangan membantu. Akan tetapi ketika melihat gerakan pukulan hwesio itu, ia menjadi terkejut sekali."Awas pukulan Lwee-khi!" teriaknya memperingatkan Kui Hwa dan berbareng ia mengirim pukulan dengan tenaga khikangnya ke arah hwesio itu. Cin Kun Hosiang terkejut ketika merasa angin pukulan yang luar biasa kuatnya menyambar dari samping. Ia terpaksa menarik kembali pukulannya itu dan mencoba menjejak, akan tetapi Kui Hwa yang merasa marah sekali kepada lawannya, tidak memberi hati dan ketika pedangnya meluncur ke depan biarpun Cin Kun Hosiang mencoba untuk mengelak, tetap saja ujung pedang itu menancap ke pundaknya sebelah kanan. Ketika Kui Hwa mencabut pedangnya, Cin Kun Hoaiang terhuyung ke belakang, kemudian roboh mandi darah dalam keadaan pingsan.
Tiong Kiat memegang tangan kekasihnya, menariknya sambil berkata, "Hayo kita pergi, moi moi" Kui Hwa beberapa kali menengok ke arah ayahnya, akan tetapi ia hanya terisak sedih dan mengikuti kekasihnya yang berlari cepat.
Setelah jauh dari tempat itu, Kui Hwa berhenti berlari, menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu. Tiong Kiat menghampirinya, lalu memeluknya.
"Koko mengapa kau melukai ayah" Bagaimana kalau kalau ia mati " Ah, kau yang membunuhnya"
Tiong Kiat mnmegang kedua pundak Kui Hwa dan memaksa gadis itu memandangnya. "Kui Hwa, pikirlah baik-baik. Dalam keadaan seperti itu, kau hanya tinggal memilih, ayahmu atau aku ! Dia telah menyerangku mati- matian, dan kaupun tahu bahwa tadinya aku selalu mengalah. Akan tetapi, kalau aku terus mengalah, bukan dia yang roboh pasti aku yang roboh, pasti akulah yang telah dirobohkannya. Kalau aku yang terluka, apakah ayahmu akan mau melepaskan aku begitu saja tanpa membunuhku lebih dulu?"
Mendengar ucapan ini, Kui Hwa menundukkan mukanya sambil terisak-isak menahan kepedihan.
"Aku aku menyesal sekali, koko....... Bagaimanakah nasioku menjadi begini " Aku bermusuh dengan ayah sendiri......."
Tiong Kiat menghiburnya, menggunakan tangannya untuk menghapus air mata kekasihnya yang mengalir turun di sepanjang pipinya, lalu mendekap kepalanya.
"Jangan takut, moi-moi. Bukankah ada aku yang akan selalu melindungimu" Tidak apalah kalau ayahmu membencimu, bukankah sudah ada aku seorang yang akan mencinta dan membelamu selama hidupku?"
Terhibur juga hati Kui Hwa mendengar ucapan yang penuh cinta kasih ini.
"Koko, betul-betulkah kau akan tetap mencintaiku selama hidupmu" Tidak akan tertarik oleh gadis lain yang lebih cantik dari pada aku ?" bisiknya manja.
"Aku bersumpah, moi-moi. Bukankah sudah berkali - kali aku menyatakan bahwa aku mencintamu dengan segenap nyawaku?" kata Tiong Kiat kepada Kui Hwa yang merem melek terayun oleh bujuk rayu yang dikeluarkan dengan suara halus dan yang cukup kuat untuk merobohkan hati seoiang gadis ini. Demikianlah amat berbahaya kalau seorang gadis hanya membuka telinga untuk mendengarkan bujuk rayu seorang pemuda, tanpa membuka kewaspadaan hatinya dan kewaspadaan matanya untuk dapat melihat apakah yang tersembunyi di balik senyum manis, dan apa yang terdengar di balik cumbu rayu itu. Sekali ia telah terjebak dan masuk perangkap sukarlah baginya untuk keluar kembali.
"Koko, sekali lagi aku mohon kepadamu, janganlah kau melupakan aku, jangan meninggalkan aku, dan jangan pula kau bermain gila dengar wanita lain. Aku takkan kuat menahannya dan aku lebih baik mati dari pada harus berpisah dengan kau, dari pada harus melihat engkau berkasih-kasihan dengan wanita lain. Akan kubunuh wanita itu !"
"Jangan khawatir, kekasihku, tidak ada wanita yang lebih cantik, lebih manis dan lebih setia dari padamu!"
Terhiburlah hati Kui Hwa dan anak ini telah melupakan lagi ayahnya yang ditinggalkan dalam keadaan terluka parah. Tidak teringat lagi ia apakah ayahnya akan mati akibat tendangan kekasihnya itu, ataukah masih hidupi Bahkan Kui Hwa tidak perduli lagi akan nama Cin Kun Hoaiang yang sudah ia lukai. Pada hal kalau pikirannya sadar, ia akan mengeluarkan keringat dingin kalau teringat betapa telah melukai seorang pendekar yang sudah tersohor namanya, seorang gagah yang dicintai oleh orang - orang kang - ouw, yang mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang tentu saja takkan tinggal diam.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, merantau tanpa arah tujuan tetap. Di mana saja mereka mendengar ada tempat yang bagus dan menyenangkan, mereka lalu mendatangi tempat itu. Keadaan mereka tiada ubahnya seperti sepasang pengantin baru yang melakukan perjalanan berbulan madu.
0o-dw-o0 Akan tetapi, tepat sebagaimana yang di ajarkan oleh para cerdik pandai dan para bijaksana di jaman dahulu, bahwa segala sesuatu mengenai tindakan dalam hidup, harus dilakukan dengan hati suci, bersih dari pada Lima Sifat yang dipergunakan sebagai garis dan batas hidup. Lima Sifat itu adalah Jin, Gie, Lee, Ti, Sin. Demikianlah dengan hubungan antara Tiong Kiat dan Kui Hwa. Kedua orang muda ini melakukan hubungan hanya karena dorongan nafsu semata, nafsu yang membikin buta mata batin mereka, yang melumpuhkan keteguhan iman mereka. Dan semua penyelewengan ini terjadi karena tidak adanya Lee, karena tidak adanya peraturan. Mereka telah melanggar Lee, melanggar peraturan yang diajarkan oleh para bijaksana. Hubungan mereka setelah dewasa melampaui kesopanan dan sama sekali melanggar peraturan kesopanan dan kesusilaan. Akibatnya mereka terkena bujukan iblis, dan kemudian mereka bahkan meninggalkan suhu dan orang tua, minggat dan melakukan pelanggaran peraturan yang kedua. Ketiga kalinya mereka hidup seperti suami isteri di luar pernikahan yang sah, dan hal ini lebih - lebih melakukan pelanggaran peraturan yang amat buruk. Semenjak jaman dahulu, orang orang di negeri Tiongkok selalu berpegang teguh kepada peraturan, terutama sekali dalam hal hubungan antara laki - laki dan wanita, dan bagaimana bukti kebaikannya" Bagi seorang rakyat Tiongkok, pernikahannya hanya terjadi satu kali selama mereka hidup. Jarang sekali, hampir tidak ada, terjadi perceraian - perceraian, dan suami isteri hidup rukun sampai di hari tua.
Setel ih melakukan perjalanan beberapa bulan saja, mulai lunturlah "cinta kasih" yang didengungkan oleh mulut Tiong Kiat terhadap Kui Hwa. Biarpun kini pemuda itu sama sekali tidak menyatakan kelunturan cinta kasihnya dalam kata kata, namun pandangan mata dan sikapnya membuat Kui Hwa amat gelisah. Gadis ini benar-benar mencinta Tiong Kiat, bahkan telah membuktikan cintanya itu dengan memberatkan pemuda itu dari pada ayahnya.
Berkali - kali mulai timbul percecokan dan perbantahan diantara mereka karena soal kecil saja dan hati Kui Hwa makin lama makin gelisah dan sedih. Ia membujuk - bujuk kekasihnya itu untuk menghentikan perantauan mereka dan tinggal di dalam sebuah kota, mencari rumah dan hidup berumah tangga sebagaimana yang diidam-idamkan oleh semua gadis di dunia ini. Akan tetapi Tiong Kiat selalu menyatakan tidak setuju.
"Aku tidak betah tinggal di rumah. Kalau kau merasa lelah ikut aku merantau, marilah kita mencari rumah dan kau beristirahat di situ. biar aku melanjutkan perantauan seorang diri."
Semenjak mendapat jawaban ini, Kui Hwa tidak berani lagi bicara tentang menghentikan perantauan mereka. Ia juga tidak membantah ketika melihat Tiong Kiat mendatangi rumah gedung orang-orang hartawan untuk mencuri emas dan perak guna dipakai membiayai perjalanan mereka. Beberapa bulan kemudian, mereka tiba di sebuah dusun di luar kota Heng-yang. Baru saja mereka berjalan mematuki pagar dusun, tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan dan mereka melihat dua orang wanita sedang berlari ketakutan, dikejar oleh seorang laki-laki tua yang membawa golok yang diangkatnya tinggi-tinggi. Dua orang wanita itu adalah orang-orang dusun, akan tetapi yang seorang biarpun berpakaian sederhana seperti pakaian orang dusun, ternyata masih muda dan amat cantiknya. Adapun wanita kedua sudah setengah tua, berlari sambil menggandeng dan menarik lengan gadis cantik manis itu.
Melihat bahaya maut mengancam kedua orang wanita itu, Tiong Kiat dan Kui Hwa segera turun tangan. Kui Hwa melompat ke dekat kedua orang wanita itu untuk melindungi mereka, adapun Tiong Kiat cepat menyerbu laki-laki bergolok itu. Akan tetapi, alangkah herannya ketika sekali saja mengulur tangan, golok itu dengan mudah telah dapat dirampasnya. Ternyata laki laki itu seorang dusun yang lemah dan sama sekali tidak pantas menjadi orang jahat yang mengganggu dan mengancam wanita! la menyangka bahwa mungkin orang ini berotak miring, maka bentaknya,"Orang gila darimana berlaku kurang ajar kepada orang perempuan?"
Akan tetapi orang laki-laki yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu, menjadi marah dan menegur Tiong Kiat dengan mata merah,
"Orang muda, kau perduli apakah dengan urusan rumah tangga orang lain" Mereka adalah istri dan anakku, aku hendak membunuh mereka kemudian membunuh diri sendiri, ada hubungan apakah dengan engkau?"
Tiong Kiat tersenyum jenaka. "Kakek lucu, kau ingin mati mengapa mengajak orang lain" Bila kau memaksa anak istri untuk ikut sertamu mati, sungguh pengecut!"
Kakek itu makin marah,"mengapa kau bilang aku pengecut!"
"Itu karena kau takut hidup, takut menghadapi kesukaran, maka kuanggap kau pengecut! Sudah terang bahwa anak istrimu tidak sudi mati, akan tetapi kau hendak memaksa mereka. Dengan perbuatan ini, kembali kau pengecut, jadi dua kali pengecut !" Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah yang tadinya marah itu menjadi muram dan laki-laki itu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis! Kedua orang wanita yang dikejar-kejar tadi lalu berlari menghampiri dan bertangis-tangisanlah ketiga orang itu ! Tentu saja Tiong Kiat dan Kui Hwa hanya bisa saling pandang dengan heran dan geli hatinya.
"Eh, ah, bagaimana pula ini?" Kui Hwa kini maju bertanya. "Seperti anak keciI saja kalian ini. Tadi berkejar-kejaran sekarang bertangis-tangisan! Kesusahan apakah yang mengganggu kalian" Beritahukan kepada kami, pasti kami akan dapat membantu kalian."
Ketiga orang itu mengangkat muka memandang kepada dua orang muda itu dan setelah kini melihat dari dekat, diam diam Tiong Kiat mengerling kagum ke arah gadis dusun yang benar benar cantik sekali itu ! Karena menangis sepasang pipi gadis itu menjadi kemerah-merahan dan bibirnya demikian menarik dan indah sehingga diam-diam Tiong Kiat menelan ludah !
"Kami adalah orang orang yang tertimpa kemalangan hebat," kata kakek itu. "Loan Li puteri kami yang hanya seorang ini telah terlihat oleh Hek pa cu (Macan Tutul Hitam) dan telah dipinang ! Kami tidak melihat jalan keluar, maka kupikir lebih baik kami binasa daripada anak kami menjadi korban Hek pa cu !
"Hm, siapakah Hek pa cu itu" Orang macam apakah dia ?" tanya Tiong Kiat sambil memandang gadis yang bernama Loan Li itu.
Kini kakek itu yang memandang heran. "jiwi tentu datang dari tempat jauh maka belum pernah mendengar nama Hek pa cu Tong Sun ! Dia telah dikenal baik olen seluruh penduduk di sekitar daerah Heng-yang. Dialah pemimpin dari gerombolan Sorban Merah yang terkenal !"
'Kalau begitu mengapa pula kau menolak pinangannya" Bukankah ia seorang ternama seperti katamu tadi" Terima saja pinangannya, habis perkara !" kata Kui Hwa.
"Tidak ...... tidak sudi....... lebih baik mati!" gadis cantik berkata dan wajahnya berobah pucat, sambiI menggoyang - goyangkan kedua tangan ia menyatakan tidak setuju.
"Nah, itulah yang menggelisahkan hatiku. Anakku tidak mau menjadi bini muda Hek pa cu dan penolakan ini berarti kematian yang mengerikan bagi kami bertiga. Dari pada mati disiksa oleh kaki tangan Hek pacu lebih baik aku sendiri yang menjadi algojo atas nyawa kami bertiga."
"Hm, orang macam apakah Hek pa cu ini sehingga ia demikian berkuasa ?" kata Tiong Kiat. "Empek, jangan kau takut, kebetulan sekali aku adalah seorang ahli menangkap se-....
(ketikan tidak bisa terbaca karena terlalu gelap)
"Kami keluarga Gu, namaku Gu Seng, bertempat tinggal di dusun ini. Banyak terima kasih karena taihiap dan lihiap sudi menolong kami. Akan tetapi, Hek.pa cu adalah seorang yang kejam dan tangguh sekali, adapun kaki tangannya amat banyak jumlahnya. Bagaimanakah jiwi dapat menghadapinya?"
"Tak usah kuatir lopek " kata Kui Hwa, "biarpun seandainya terdapat seratus orang Hek pa-cu kami berdua sanggup untuk mencabuti kumis dan ekor mereka!"
Dengan girang tiga orang itu berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian mereka lalu kembali ke rumah mereka dan menanti dengan hati berdebar-debar.
"Hwa moi, agaknya Hek-pa-cu ini amat jahat dan berpengaruh. Lebih baik kita mendatangi sarangnya dan membasminya sama sekali agar daerah ini terhindar dari pada kejahatannya. Biarlah gadis itu dibawa ke sarang mereka dan diam-diam kita mengikutinya, Setelah tiba di sarang mereka, barulah kita turun tangan, menolong gadis itu dan sekalian menghancurkan sarang mereka. Bagaimana pendapatmu?"
"Memang sebaiknya demikian, koko. Akan tetapi, hal ini perlu kita beritahukan kepada keluarga Gu, agar mereka tidak menjadi terkejut dan gelisah, dan mengerti akan siasat kita."
Menjelang malam, kedua orang muda ini mendatangi rumah keluarga Gu, dan memberi-tahukan siasat mereka itu. Karena keluarga Gu tidak melihat jalan keluar dari pada ancaman ini, maka tentu saja mereka menurut segala petunjuk dan kehendak penolong mereka!
Dan pada malam hari ini, datanglah serombongan orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar berpakaian seragam dengan sorban merah. Mereka ini adalah anak buah dari Hek - pacu yang datang membawa sebuah tandu untuk mengambil Loan Li. Jumlah mereka lima belas orang, semuanya nampak seram dan galak. Penduduk kampung itu yang sudah mendengar tentang kehendak Hek pa cu untuk mengambil Loan Li, siang-siang sudah menutup pintu dan yang berani keluar hanyalah orang-orang lelaki yang berdiri di depan rumah dengan sikap menghormat. Mereka memandang kepada rombongan orang-orang itu dengan ketakutan, bagaikan melihat serombongan macan tutul yang galak.
Dengan hati tidak karuan rasa, Gu Seng dan istrinya menyambut kedatangan rombongan itu dan dengan memaksa diri menarik muka manis dan ramah tamah, mereka lalu menghidangkan minuman dan makanan. Akan tetapi pemimpin rombongan itu menolak hidangannya sambil berkata, "Orang she Gu tak perlu menyambut kami. Yang penting segera suruh anakmu berias dan masuk ke dalam tandu, ikut dengan kami. Twako sudah tidak sabar lagi, dan besok siang kau boleh datang ke hutan sebelah barat untuk menerima penghormatan dari twako serta hadiah-hadiah!"
Dengan wajah pucat dan kedua kaki gemetar, loan Li lalu berjalan keluar, dibimbing oleh ibunya, lalu setengah memaksa ibunya menyuruh gadis itu memasuki tandu yang sudah tersedia di depan rumah. Rombongan itu sambil tertawa - tawa melihat gadis ini dan kemudian tandu lalu dipanggul dan dibawalah gadis itu keluar dari dusun memasuki hutan sebelah barat !
Diam diam dua bayangan orang mengikuti gerak gerik rombongan Sorban Merah ini. Mereka bukan lain adalah Tiong Kiat dan Kui Hwa. Mereka mengikuti rombongan itu memasuki hutan dan ternyata bahwa rombongan itu membawa loan Li ke sebuah rumah besar yang terdapat di dalam hutan itu. Akan tetapi, ketika Kui Hwa dan Tiong Kiat mengintai dari atas genteng, mereka melihat bahwa gadis itu dimasukkan ke dalam kamar yang terjaga kuat, sedangkan di tempat itu tidak nampak bayangan Hek-pa cu ! Kemudian mereka mendengar dari pembicaraan para penjaga itu bahwa Hek-pa-cu sebetulnya tinggal di kota Heng-yang dan keesokan harinya baru akan datang menjemput calon bini mudanya !
Terpaksa sepasang orang muda ini melewatkan malam itu di dalam hutan, akan tetapi karena mereka berdua dapat saling menghibur maka malam itu dilewatkan dengan penuh kegembiraan. Pada saat seperti itu dalam bujuk dan cumbu rayu Tiong Kiat yang tampan dan manis bahasa, lenyaplah segala keraguan hati Kui Hwa dan cinta kasihnya terhadap Tiong Kiat makin mendalam.
Pada keesokan harinya, baru saja matahari muncul dan burung-burung berkicau riuh rendah menyambut datangnya siang, terdengarlah suara gemuruh dari luar hutan. Suara ini ternyata adalah sorak-sorai yang penuh kegembiraan dari serombongan anggauta-anggauta Sorban Merah terdiri dari empat puluh orang lebih. Mereka mengiringkan seorang laki - laki tinggi besar yang berusia hampir empat puluh tahun, berbaju biru, bercelana hitam dan sorbannya merah sekali. Orang ini berjalan dengan langkah yang gagah dan yang mendatangkan rasa seram pada orang yang melihatnya, adalah sepasang matanya yang liar dan senjatanya yang luar biasa. Senjatanya ini adalah sebuah penggada yang aneh dan mengerikan bentuknya, bulat memanjang dengan ujung tiga meruncing. Penggada ini nampak berat sekali, akan tetapi biarpun senjata besar ini tergantung pada pinggangnya, ia berjalan dengan enak saja, seakan-akan senjata itu hanya merupakan benda yang ringan saja. Inilah dia Teng Sun yang berjuluk Hek pa cu Si Macan Tutul Hitam, kepala dari gerombolan Sorban Merah yang amat terkenal dan ditakuti oleh orang !
Ketika Hek.pa cu dengan rombongan telah tiba di dekat rumah besar itu, tiba tiba dari atas pohon melayang turun dua orang muda yang dengan tenang berdiri di depan kepala gerombolan ini. Teng Sun tercengang melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda tampan berdiri di depannya maka ia membentak keras,
"Jiwi siapakah dan ada keperluan apa kiranya menghadang perjalanan kami?"
"Kaukah yang bernama Hek pa cu Teng Sun "' tanya Tiong Kiat.
"Benar dugaanmu saudara muda yang gagah. Siapakah kalian ini dan keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini ?"
"Hek pa cu! Tak usah kau tahu siapa kami, akan tetapi kedatangan kami ini untuk menamatkan riwayatmu yang buruk ! Kau telah memaksa gadis she Gu untuk menjadi bini mudamu ! Apakah ini laku seorang jantan " Kau mempergunakan pengaruhmu untuk menakut-nakuti penduduk dusun, untuk mengganggu anak bini orang. Sungguh tidak patut !"
Tiba-tiba Hek-pa-cu Tang Sun terbahak-bahak tertawa mendengar makian-makian ini. la anggap sangat lucu seorang pemuda yang tampak lemah bersama dengan seorang gadis cantik ini berani memaki dan menentangnya ! Bahkan orang orang kang-ouw yang ternama saja masih akan berpikir-pikir dulu untuk menantangnya bagaimana dua orang muda yang masih seperti kanak-kanak ini berani berlaku kurang ajar kepadanya "
"Ha, ha, ha, bocah yang masih hijau! Kau perduli apakah dengan segala urusan dan kesenanganku" Kalau kau mau mengambil gadis she Gu itu, ambillah. Aku rela melepaskannya asal saja kau tinggalkan kawanmu itu sebagai gantinya !"
Bukan main marahnya Tiong Kiat mendengar ini, akan tetapi ia kalah dulu oleh Kui Hwa yang juga menjadi luar biasa marahnya.
"Jahanam besar, kau sudah bosan hidup!" teriak Kui Hwa dan tahu - tahu ia telah menyerang Hek-pa-cu dengan pedangnya! Gerakannya amat cepat bagaikan kilat menyambar sehingga kepala perampok itu terkejut sekali. Ia cepat mengelak, akan tetapi ujung sorbannya masih terbabat ! Tak disangkanya bahwa gadis cantik ini mempunyai kepandaian demikian hebatnya, maka tahulah dia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh. Cepat ia menarik senjatanya yang hebat itu dan bertempurlah mereka dengan seru.
Sementara itu, Tong Kiat juga sudah mencabut pedang Ang coa-kiam dan sekali ia memutar pedangnya, dua orang anggauta Sorban Merah roboh mandi darah! Anak buah gerombolan Sorban Merah itu berteriak teriak marah dan semua mencabut golok mereka, akan tetapi kembali beberapa orang roboh oleh Tiong Kiat ketika pemuda ini menerjang ke depan! Dalam waktu yang amat singkat saja sudah ada delapan orang yang binasa di ujung pedang Ang coa-kiam ! Penjahat-penjahat itu menjadi gentar juga dan merasa ragu-ragu untuk mengeroyok Tiong Kiat.
"Moi moi, kau uruslah anjing-anjing ini, biar aku menolong nona Gu!" Tiong Kiat berseru dan tanpa menanti jawaban kekasihnya, ia lalu berlari ke arah rumah besar di mana Loan Li ditahan. Di situ ia disambut oleh beberapa orang penjaga, akan tetapi mereka bukanlah lawan Tiong Kiat yang lihai, maka bertumpuk-tumpuklah mayat anak buah Sorban Merah, ketika pemuda ini mengamuk sambil menyerbu ke dalam rumah. Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Kui Hwa dan Teng Sun berjalan amat serunya, Hek.pa cu Teng Sun ternyata memang pandai dan kosen. Senjatanya yang besar dan berat itu diputar sedemikian rupa, mendatangkan angin besar dan celakalah Kui Hwa kalau satu kali saja senjata itu mengenai tubuhnya! Senjata ini beratnya sedikitnya ada dua ratus kati dan dimainkan dengan tenaga yang luar biasa kuatnya. Akan tetapi Kui Hwa mempergunakan ginkangnya yang luar biasa sehingga tubuhnya seakan - akan merupakan seekor burung yang menyambar-nyambar dari segala jurusan. Pedangnya berkelebat-kelebat merupakan segulung sinar putih dan tubuhnya kadang kadang mumbul ke atas, melayang dan menyambar dari atas dengan kecepatan luar biasa!
Setelah bertempur lima puluh jurus lebih, Teng Sun merasa terdesak hebat. Pedang di tangan dara manis itu benar-benar amat lihai. Gerakan pedang yang cepat, ditambah pula oleh ginkang yang luar biasa membuat gadis itu kadang-kadang lenyap dari depan matanya. Kalau saja Teng Sun tidak bersenjata penggada yang besar dan berat yang diputar-putar sedemikian rupa sehingga Kui Hwa harus berlaku hati-hati, tentu kepala gerombolan inii sudah roboh sejak tadi !
"Kawan-kawan, bantulah menangkap gadis liar ini !" Teng Sun berseru keras kepada kawannya karena la benar-benar telah kewalahan sekali. Beberapa orang tauwbak (pemimpin gerombolan pembantu-pembantunya) yang semenjak tadi berdiri bengong menonton pertempuran itu, bergerak maju hendak mengeroyok. Mereka adalah empat orang yang bertubuh tinggi besar yang dipilih oleh Hek-pa cu Teng Sun sebagai pembantu-pembantunya. Akan tetapi belum juga mereka dapat menggerakkan golok, tiba - tiba Kui Hwa berseru nyaring dan keras. Tubuhnya melompat ke atas sampai hampir dua tombak, dan dengan gerakan Merak Sakti Mematuk Ular, pedangnya meluncur dari atas ke bawah, melakukan serangan yang luar biasa cepat dan kuatnya ! Gerakan ini benar benar mengandalkan ginkang yang sempurna, sehingga tidak terduga sama sekali oleh Hek pa.cu Teng Sun. Percuma saja ia mengangkat penggadanya untuk menghantam tubuh yang melayang ke atas itu, karena baru saja ia mengangkat penggadanya, pedang di tangan Kui Hwa telah menyambar dan menancap di tenggorokannya !
Hek-pacu Teng San mengeluarkan suara seperti seekor babi disembelih, tubuhnya terhuyung - huyung, penggadanya terlepas dari pegangan dan ia lalu roboh tak bernapas lagi!
Dengan wajah keren, Kui Hwa menghadapi empat orang tauwbak dan para anak buah gerombolan dengan pedang di tangan.
"Siapa telah bosan hidup" Hayo majulah ! Biarlah hari ini pedangku membasmi gerombolan Sorban Merah sampai ke akar akarnya !" Sikapnya demikian gagah dan garang sehingga empat orang tauwbak itu saling pandang dan kemudian mereka berempat lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Hwa! Kawan kawannya yang puluhan banyaknya ketika melihat empat orang pemimpin itu berlutut, segera menjatuhkan diri pula berlutut sambil meletakkan senjata di atas tanah. Inilah tanda menyerah dan takluk terhadap gadis yang gagah perkasa itu. "Lihiap yang gagah perkasa. Sepak terjangmu demikian gagah dan amat mengagumkan hati kami seluruh anggauta Sorban Merah. Lihiap jauh lebih gagah dari pada Hek-pa-cu Teng Sun, maka kami seluruh anggauta Sorban Merah menyerah dan mohon ampun dari lihiap. Sudilah kiranya lihiap memimpin kami orang orang bodoh menggantikan kedudukan Hek-pa cu!"
Untuk sesaat, gadis itu berdiri bengong. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang-orang yang tinggi besar dan galak itu kini semua berlutut memberi hormat kepadanya, bahkan memilihnya sebagai kepala mereka ! Ia tak dapat menjawab, dan akhirnya ia berkata perlahan,
"Aku Can Kui Hwa bukanlah keturunan perampok bagaimana kalian mau mengangkat aku menjadi kepala perampok ?"
"Lihiap, harap jangan salah sangka," berkata seorang diantara empat orang tauwbak itu, "Sesungguhnya rombongan Sorban Merah bukanlah gerombolan perampok. Perkumpulan kami dulunya merupakan perkumpulan orang orang gagah yang bekerja dengan cara jujur, menjaga keamanan kampung - kampung dari serbuan perampok, mengawal pengiriman barang barang atau orang-orang hartawan yang melakukan perjalanan Jauh, dan di samping pekerjaan itu, kami memperdalam kepandaian silat. Semenjak Hek pa-cu datang dan merampas kedudukan ketua, kami diselewengkan dan terpaksa mengikuti jejaknya. Kami kini telah bertobat, dan asal saja lihiap sudi memimpin kami, perkumpulan Sorban Merah akan menjadi perkumpulan yang baik lagi."
Akan tetapi pada saat itu, Kui Hwa teringat kepada Tiong Kiat, maka ia segera bertanya, "Di manakah adanya kawanku tadi" Dan bagaimanakah dengan nasib nona Gu Loan Li?"
"Kawanmu itupun hebat dan ganas sekali lihiap. Banyak kawan kami telah mati di dalam tangannya. Nona Gu yang ditahan di dalam kamar, telah dirampas dan dibawa lari oleh kawanmu itu."
"Kalau begitu biarlah urusan pengangkatan ketua ini nanti saja dibicarakan lagi setelah aku dapat bertemu dengan kawanku. Dia adalah suhengku dan kalau kalian hendak mencari seorang pemimpin, dialah orangnya, bukan aku !" setelah berkata demikian, sekali ia menggerakkan kedua kakinya, Kui Hwa telah lenyap dari situ, membuat para anggota Sorban Merah menjadi makin kagum saja.
Dengan cepat Kui Hwa berlari kembali ke dusun tempat tinggal Loan Li. Akan tetapi, ketika ia tiba di rumah keluarga Gu Seng, ternyata bahwa keluarga itu masih menanti-nanti dan Tiong Kiat bersama nona Gu belum juga tiba di rumah itu!
Kui Hwa menjadi heran dan juga bercuriga. Tanpa berkata sesuatu kepada keluarga yang memandang penuh kegelisahaan itu, ia melompat pergi dan kembali ke dalam hutan. Ia mencari-cari sampai hari menjadi gelap, akan tetapi ia tak melihat bayangan suhengnya dan nona Gu yang ditolongnya itu. Akhirnya ia kembali lagi ke dusun dan menuju ke rumah keluarga Gu. Lalu apakah yang didengarnya" Keluh kesah dan tangis yang memilukan ! Kui Hwa merasa tak enak hati sekali dan cepat ia masuk ke dalam rumah itu lalu menuju ke ruang belakang. la melihat Gu Seng duduk sambiI menangis dan ketika melihat Kui Hwa datang, kakek itu berkata, "Tidak ada gunanya pertolonganmu nona. akhirnya anakku tertimpa bencana juga!" Kui Hwa terkejut sekali. Ia memegang lengan kakek itu dengan keras sehingga Gu Seng memandangnya dengan kaget dan kesakitan.
"Hayo lekas ceritakan apa yang terjadi dan di mana adanya suhengku !"
Kakek itu memandang heran. "Nona, benar-benarkah kau tidak tahu" Suhengmu telah mengantarkan Loan Li pulang dengan selamat, akan tetapi begitu masuk ke kamarnya Loan Li telah menggantung diri sampai mati! Ternyata ........ kau dan suhengmu ........ datang terlambat..... dan dia .... anakku itu telah menjadi korban keganasan Hek pa cu .......!" Kakek itu mendekap mukanya dan menangis lagi.
Kui Hwa menjadi pucat air mukanya, dan setelah termenung sebentar, mengerahkan otak untuk berpikir, ia lalu memegang lagi tangan kakek itu dan berkata, "Apakah yang terjadi " Mengapakah Loan Li menggantung diri !"
"Inilah suratnya, lihiap. Kau bacalah sendiri , ", ," Kakek itu memperlihatkan sehelai kertas yang ditinggalkan oleh Loan Li yang bernasib malang. Surat itu ternyata ditulis dengan tangan gemetar, merupakan empat baris pantun sederhana yang berbunyi demikian:
Mengusir harimau dengan pertolongan srigala Apa bedanya "
Hanya satu Jalan membebaskan diri dari noda. Tinggalkan raga !
"Aku juga tidak tahu apakah artinya tulisan ini lihiap. Akan tetapi ia menyebut tentang membebaskan diri dari noda, maka mudah sekali diduga bahwa ia tentu telah menjadi korban keganasan Hek-pa-cu !" kata Gu Seng dengan suara sedih.
Akan tetapi wajah Kui Hwa makin pucat. Jari-jari tangan yang memegang surat itu menggigil sehingga surat itu terlepas dan melayang turun.
"Di mana suhengku!" tanyanya dengan suara berat dan bibir gemetar.
Gu Seng yang baru berduka tidak melihat perobahan ini dan ia berkata, "Taihiap tentu sedang beristirahat di ruang depan. Maafkanlah kami yang tidak dapat menghormat dan menjamu kalian yang telah menolong kami."
Akan tetapi Kui Hwa telah pergi, tanpa menanti habisnya ucapan itu. Dan ketika ia berdiri di depan Tiong Kiat yang duduk menghadapi arak di ruang depan, Kui Hwa merupakan seekor singa betina yang marah sekali!
"Moi-moi, kau baru datang" Bagaimana dengan Hek pa cu" Sudah kau kirim ke neraka?" Ia bertanya sambil tersenyum manis.
Akan tetapi Kui Hwa memandang bagaikan hendak menelan suhengnya itu. Matanya memancarkan sinar berapi dan ia berkata tegas dan singkat,
"Ji-suheng, mari kita keluar. Tidak perlu kita ribut-ribut di rumah orang!" Setelah berkata demikian, Kui Hwa melompat keluar dan menanti suhengnya di tempat sunyi dalam dusun itu.
Tak lama kemudian, tampak bayangan Tiong Kiat berkelebat dan pemuda ini berdiri di hadapannya dengan tenang sungguhpun senyumnya yang tadi telah lenyap.
"Ada apakah, sumoi " Sikapmu aneh sekali."
Sebagai jawaban Kui Hwa menghunus pedangnya.
'ji-suheng, ingatkah kau bahwa aku telah mengorbankan segalanya karena setiaku kepadamu" Aku telah mengorbankan guru, ayah, keluargaku, kehormatan dan namaku jiwa ragaku, semua kukorbankan demi cintaku kepadamu. Kau, tentu tahu, bukan ?"
"Tentu saja, moi-moi, kita memang sudah saling mencinta dan......."
"Jangan sebut - sebut tentang cintamu !" Kui Hwa memotong marah. "Kau tentu masih ingat akan sumpahmu untuk bersetia " Dan sekarang apakah yang telah kaulakukan kepada gadis she Gu itu?"
Di dalam kegelapan senja Tiong Kiat mencoba untuk bersenyum.
"Apa maksudmu, sumoi" Gadis she Gu itu sudah kutolong dan kukembalikan kepada orang tuanya."
"Bohong! Pengecut yang berani berbuat tak berani mengaku! Telah lama semenjak siang hari kau membawa Loan Li kembali ke rumahnya akan tetapi sampai senja baru kau datang bersama dia! Sebelum kau membawanya pulang, ke mana kau bawa dia dan apa yang telah kau perbuat ! Mengapa Loan Li datang - datang lalu membunuh diri " Apa kaukira aku begitu bodoh, ji suheng " Kau telah menyalahi janji, melanggar sumpah. Kau seorang laki-laki mata keranjang, berhati cabul, menjadi hamba nafsu jahat! Kau laki-laki tak beriman. perusak kehidupan orang lain, kaulah yang membunuh Loan Li!"
Tiong Kiat terdesak sekali oleh tuduhan-tuduhan ini, dan tiba - tiba dengan suara gagah ia berkata, "Sumoi kau terlalu sekali ! Apakah dengan adanya hubungan antara kita, aku harus mengikatkan kakiku kepadamu" Apakah aku tidak boleh hidup dengan bebas lagi " Harus selalu menurut dan menjadi budakmu" Memang kuakui bahwa aku telah mengadakan perhubungan dengan Loan Li! Akan tetapi, dia juga mencintaiku ! Su moi, ketahuilah, seorang laki-laki tak dapat mengikat hatinya kepada seorang perempuan saja ! Ini memang sudah menjadi sifat jantan, lihatlah buktinya. Lihatlah sifat jantan pada seekor ayam, pada binatang - binatang lain yang jantan! Lihat pula kepada raja dan para bangsawan. Cukupkah dengan seorang saja perempuan disampingnya" Ha, ha, moi - moi yang manis jangan kau cemburu, aku akan tetap mencintamu, moi-moi!"
'Bangsat besar!" Kui Hwa menjadi marah sekali. "Aku sudah bersumpah akan membunuh perempuan yang main gila dengan kau dan karena perempuan she Gu itu sudah mati sekarang kaulah gantinya !" Setelah berkata demikian, Kui Hwa menyerang Tiong Kiat dengan hebatnya !
Tiong Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga menjadi penasaran dan marah. Ia mencabut pedangnya dan berkata,
"Sumoi, kau ikut aku meninggalkan perguruan bukan karena kupaksa! Sekarang kau hendak memisahkan diri dari aku, bukan pula atas paksaanku. Kau memang berkepala batu! Tidak tahu dicinta orang!" Sambil berkata demikian, ia mainkan pedangnya dengan gerakan yang paling lihai. Memang, kepandaian Kui hwa masih kalah jauh apabila dibandingkan dengan ilmu silat Tiong Kiat. Apalagi pedang di tangan Tiong Kiat adalah pedang pusaka Ang.coa-kiam yang amat tajam dan kuat. Baru beberapa jurus saja terdengar suara keras dan pedang di tangan Kui Hwa terlempar kesamping. Tiong Kiat masih berlaku murah dan sengaja tidak mau mematahkan pedang bekas kekasihnya itu.
Biarpun telah kehilangan pedangnya, dengan nekad Kui Hwa masih maju menubruk, Tekadnya hendak membunuh atau dibunuh! Namun Tiong Kiat telah melompat pergi sambil mentertawakannya. Kui Hwa mengejar, akan tetapi pemuda itu telah menghilang di dalam gelap !
Kui Hwa menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis. Sampai setengah malam ia menangis sedih, terisak-isak mendekam di atas tanah itu.
Ia merasa menyesal sekali,menyesal, kecewa dan juga bersedih. Betapapun juga ia amat mencinta pemuda itu yang kini sudah meninggalkannya. Pada keesokan harinya, Kui Hwa yang saking hampir putus asa dan tidak tahu harus pergi ke mana, ia teringat akan permintaan anggauta Sorban Merah agar ia suka memimpin mereka. Timbul harapan baru padanya dan ia lalu menjumpai para tauwbak dan anak buah Sorban Merah yang menerimanya dengan gembira sekali. Semenjak hari itu, Kui Hwa diangkat menjadi kepala dari gerombolan Sorban Merah !
0o-dw-o0 Adapun Tiong Kiat yang kini telah dapat memisahkan diri dari Kui Hwa, melanjutkan perantauannya seorang diri. Pada hari-hari pertama ia memang kesepian dan merasa amat rindu kepada Kui Hwa. Beberapa kali ia ingin kembali kepada sumoinya itu, ingin minta maaf dan berbaik kembali, akan tetapi keangkuhan hatinya menahannya melakukan hal yang dipandangnya lemah ini.
Akan tetapi, lambat laun dapat juga ia menghilangkan rindunya. Apalagi setelah ia melihat wanita-wanita lain dan dapat menghibur hatinya dengan mereka ini. Tiong Kiat adalah seorang pemuda yang sebetulnya tidak mempunyai hati buruk. Ia cukup berwatak gagah dan budiman. akan tetapi sayang sekali, ia gila perempuan ! Dan kegilaannya dalam hal ini kadang-kadang merangsangnya sedemikian kuatnya sehingga hati nurani dan kebijaksanaannya tertutup! Di dalam perantauannya, tiap kali bertemu dengan kejadian yang tidak adil, dengan kekejaman-kekejaman dan penindasan, selalu ia turun tangan membela fihak yang tertindas. Dengan kejam sekali ia membasmi orang-orang jahat tanpa mengenal ampun lagi karena sesungguhnya ia amat benci akan kejahatan. Pernah ia membasmi sampai habis rombongan perampok yang dua puluh orang jumlahnya. Semua ia bunuh dan tak seorangpun anggauta perampok terlepas dari pada Ang-coa-kiam di tangannya ! Banyak hartawan yang kikir dan yang suka mengandalkan pengaruh uangnya untuk berlaku sewenang-wenang ia bakar rumahnya, dan merampas harta bendanya untuk dibagi-bagikan kepada rakyat miskin! Banyak pula bangsawan dan pembesar yang korup dan tidak bijaksana, ia datangi dan ia ancam sambil mencukur rambutnya atun bahkan memotong sebuah telinganya !
Akan tetapi, di samping semua kebaikan ini, banyak pula ia melakukan pelanggaran kesusilaan. Di mana saja ia berada, la selalu mengadakan perhubungan dengan wanita-wanita, baik perempuan golongan pelacur maupun wanita baik - baik, dan tidak perduIi apakah hubungan itu berjalan atas dasar sama suka ataupun dengan paksaan ! Banyak pula wanita yang jatuh hati kepadanya, karena memang Tiong Kiat memiliki wajah yang tampan dan gagah. Pendeknya, ia menuntut penghidupan sebagai seorang hiapkek (pendekar) yang gagah dan cabul !
Sungguh amat sayang betapa seorang pemuda gagah perkasa yang memiliki dasar amat baik seperti Tiong Kiat, dapat terjerumus sampai demikian dalam. Perbuatan-perbuatan baik yang dilakukannya telah dinodainya sendiri. Kebajikan dan kejahatan tak dapat berjalan sama. Kebaikan akan lenyap sifatnya apabila dilakukan di samping kejahatan, seperti sebuah lukisan indah yang terkena noda kotor. Sebaliknya, kejahatan takkan lenyap sifatnya biarpun disampingnya orang melakukan pula kebaikan, seperti sebuah lukisan yang buruk takkan menjadi baik biarpun akan diberi pigura yang betapa indahpun.
Demikianlah, pada suatu hari dengan kebetulan sekali ia bertemu dengan Suma Eng, atau Eng Eng, gadis gagah perkasa yang roboh pingsan terkena pukulan Pek-lek-jiu dari Ban Yang Tojin yang telah dikalahkannya. Melihat keadaan gadis itu, timbullah rasa kasihan dalam hati Tiong Kiat dan segera ia memondong tubuh Eng Eng dan dibawanya ke tempat tinggalnya di dalam hutan itu. Memang telah beberapa pekan ia tinggal di hutan ini.Dengan sungguh-sungguh ia lalu mengohati gadis yang ternyata menderita luka berat didalam dadanya itu. Tiong Kiat memang pernah mempelajari sedikit ilmu pengobatan, yakni pengobatan yang khusus untuk mengohati luka-luka di sebelah dalam, ilmu pengetahuan yang amat penting bagi orang perantau dan ahli silat. la dapat menolong nyawa Eng Eng akan tetapi sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda yang mata keranjang ini mana dapat tahan menghadapi kecantikan Eng Eng yang memang luar biasa sekali" Melihat wajah yang cantik Jelita dan manis, melihat tubuh yang menggiurkan, tidak kuatlah ia menahan nafsu jahatnya. Melihat luka di dada gadis itu, Tiong Kiat dapat menduga bahwa gadis ini tentu berkepandaian tinggi sekali karena kalau tidak memiliki Iweekang yang tinggi, pasti orang akan mati terkena pukulan sehebat itu! Sampai setengah malam pemuda ini termenung. Perang hebat terjadi di dalam hatinya, perang antara nafsu jahat dan hati nuraninya. Nafsu jahat mendorongnya agar ia melakukan perbuatan jahat terhadap gadis cantik yang ditolongnya ini, sedangkan hati nuraninya berbisik agar ia tidak mengganggu gadis ini. Akhirnya hati nuraninya kalah dan Eng Eng telah menjadi korban kelemahan hati pemuda itu !
Pada keesokan harinya, Tiong Kiat amal menyesal atas perbuatannya. Ia maklum bahwa gadis ini bukanlah gadis sembarangan, dan baru sekarang ia merasa takut akan perbuatannya sendiri. Ia melarikan diri, meninggalkan Eng Eng yang masih pingsan di dalam kuil itu. Baru kali ini Tiong Kiat melarikan diri karena ketakutan. Ia tidak tahu akan kepandaian Eng Eng, tidak tahu apakah gadis itu memiliki ilmu silat yang luar biasa. akan tetapi entah bagaimana, ia merasa takut dan menyesal sekali. Mungkin karena ia merasa amat kasihan kepada Eng Eng, merasa betapa hatinya amat tertarik kepada gadis yang tidak berdaya dan pingsan itu ! Biasanya, ia mengenangkan wanita-wanita yang menjadi korbannya dengan hati senang dan gembira. Akan tetapi, kali ia mengenangkan wajah Eng Eng dengan menyesal dan amat malu!
Sementara itu marilah kita ikuti perjalanan Eng Eng. Ketika pagi-pagi itu ia sadar dari pingsannya, ia mendapatkan dirinya berada di kuil bobrok seorang diri. Hancurlah rasa hati dan pikirannya, dan ia menangis tersedu-sedu. Ingin ia mencabut pedang dan membunuh diri akan tetapi tiba-tiba ia menghentikan isaknya dan pandangan matanya menjadi liar. kalau ada orang yang melihat pandangan matanya ini, tentu orang itu akan menjadi terkejut sekali. Nafsu membunuh terbayang pada matanya. "Aku akan bunuh dia...... aku akan bunuh dia......." ucapan ini terulang beberapa kali oleh bibirnya yang gemetar. Wajahnya pucat sekali dan ia merasa tubuhnya lemah. Ketika meraba dadanya, ia menyentuh ampas daun-daun obat yang ditempelkan pada lukanya.
Dengan gemas ia merenggut obat itu dan membantingnya di atas tanah. Sesungguhnya, iapun maklum bahwa orang telah menoIongnya dan kini lukanya di dalam dada sudah sembuh, hanya tinggal bekasnya saja. Akan tetapi oleh karena ia marah, jengkel, gemas dan berduka, dadanya terasa amat sesak lagi. Kini rasanya jauh lebih sakit dari pada ketika ia terpukul oleh Ban Yang Tojin. Yang terasa perih bukan kulit dan daging dada, melainkan dalam sekali, jauh di dalam dada dan kepalanya!
Dengan air mata bercucuran, Eng Eng jalan terhuyung huyung keluar dari dalam kuil bobrok. ia mengerahkan tenaga kakinya dan berlari untuk menyusul atau mencari orang yang telah menolongnya akan tetapi juga yang telah menghancurkan hidupnya. Nafsu membunuh menyesakkan nafasnya dan kepalanya menjadi panas dan pening sekali. Setelah ia berlari cepat beberapa lamanya, rasa panas dari kepalanya itu menjalar turun dan membuat seluruh tubuhnya terasa panas membara, seakan api di dalam tubuhnya bernyala-nyala!
Akhirnya dara yang sengsara itu tidak kuat menahan lagi. Kepalanya berdenyut-denyut, pandangan matanya berkunang, segala sesuatu dihadapannya serasa terputar-putar, bumi yang diinjaknya bergoyang-goyang bagaikan air laut terayun-ayun. la mencoba untuk mempertahankan dirinya, akan tetapi sia-sia. Tubuhnya terguling dan tanpa mengeluarkan sedikitpun suara Eng Eng jatuh pingsan lagi! Kali ini bukan roboh pingsan karena Iuka pukulan, melainkan oleh pukulan yang datang dari hatinnya sendiri sehingga luka akibat pukuIan Ban Yang Tojin telah merekah kembali.
Sampai berapa lama ia pingsan, Eng Eng tak dapat ingat lagi. Ketika ia siuman dan membuka matanya perlahan, ia merasa betapa kepala dan mukanya menjadi basah. Ternyata hujan turun di dalam hutan itu dan biarpun hari masih siang, namun hutan nampak gelap oleh mendung. Sukarlah baginya untuk membuka mata karena air hujan menyerang kedua matanya dari atas. Ia melindungi matanya dengan tangan dan memandang ke atas. Alangkah herannya ia ketika melihat seorang Iaki-Iaki tengah berlutut di dekatnya dan ternyata bahwa tubuhnya telah ditutupi selimut. Ketika Eng Eng memperhatikan, penutup tubuhnya itu bukan selimut melainkan sehelai mantel warna biru. Orang itu sendiri kini telah menjadi basah kuyup karena air hujan!
Untuk sesaat Eng Eng tidak mengenal orang ini, karena air hujan manghalangi pandangan matanya. Akan tetapi ketika ia memandang dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia melompat bangun.
"Kau....... ! Manusia jahanam, bagus kau datang mengantarkan nyawa! Setelah berkata demikian, Eng Eng lalu mencabut pedangnya dan menyerang dengan hebat!"
Laki-laki itu adalah seorang pemuda yang tampan sekali dan pakaiannya berwarna biru. Tidak salah lagi pikir Eng Eng. inilah laki-laki yang telah mendatangkan malapetaka atas dirinya ! Biarpun ia merasa heran mengapa laki-laki ini berani muncul lagi, namun ia tidak banyak pikir dan cepat menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya. Hujan yang turun telah membuat tubuhnya terasa segar dan karena yang membuat ia menderita adalah hati dan pikirannya, maka ketika pingsan tadi, keadaannya sudah menjadi banyak baik. Apa lagi ketika ia masih siuman, pemuda yang tadi berlutut di dekatnya telah menotok dan mengurut pundaknya berkali-kali kemudian pemuda itu untuk beberapa lama telah memegang tangannya dan menyalurkan hawa di dalam tubuh untuk membantu gadis itu pulih kembali jalan darahnya.
Pemuda itu sesungguhnya mirip sekali dengan Tiong Kiat, karena dia adaIah Tiong Han! Ketika tadi melihat seorang dara jelita rebah pingsan di dalam hutan, ia menjadi terkejut dan merasa kasihan sekali. Sekali memandang saja maklumlah Tiong Han bahwa gadis itu menderita luka, maka ia cepat maju untuk memberi pertolongan. Ketika hujan turun dengan lebatnya, pemuda ini tidak pergi dari situ hanya mengangkat tubuh Eng Eng ke bawah pohon besar dan mempergunakan mantelnya untuk menyelimuti tubuh orang dan berusaha mengohati gadis itu yang ternyata berhasil baik sekali. Tidak disangkanya sama sekali setelah siuman gadis itu menyerangnya dengan demikian ganasnya !
Tiong Han telah berbulan-bulan mencari jejak Tiong Kiat untuk minta kembali pedang Ang.coa kiam sesuai dengan perintah suhunya. Di sepanjang jalan, ia tidak pernah Iupa untuk mempelajari ilmu pedang dari kitab Ang-coa-kiam coansi. Dengan bantuan kitab ini, maka ilmu pedangnya banyak mendapat kemajuan.
Ia mendengar keterangan orang-orang yang di jumpai di jalan, bahwa ada seorang pemuda yang serupa benar dengannya memasuki hutan itu, maka cepat-cepat Tiong Han mengejar ke dalam hutan. Tidak disangkanya bahwa ia tidak bertemu dengan adiknya, sebaliknya melihat seorang gadis cantik yang rebah terluka hebat di dalam hutan.
Melihat serangan Eng Eng, Tiong Han terkejut bukan main. Serangan itu menunjukkan bahwa gadis ini memiliki ilmu pedang yang amat luar biasa. Cepat Tiong Han mengelak, akan tetapi sinar pedang gadis itu mengejarnya bagaikan kilat cepatnya sehingga ia cepat melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari bencana. Namun pedang itu terus mengejarnya dan menyerang dengan serangan berbahaya yang bertubi tubi datangnya !
"Eh, eh, tahan dulu nona ! Mengapa kau menyerangku tanpa sebab" Apakah salahku terhadapmu ?" tanya Tiong Han sambil melompat ke belakang dengan gerak tipu Le-hi-ta teng (Ikan Le Melompat Tinggi) Dengan cara mengelak ini ia dapat menjauhkan diri dan untuk sementara dapat bernafas karena terlepas dari serangan yang bertubi-tubi itu.
"Keparat jahanam!" Dengan nafas terengah-engah saking marahnya, Eng Eng menudingkan pedangnya. "Kau masih bertanya-tanya lagi" Anjing bermuka manusia kalau aku tidak membunuhmu sekarang juga, aku tidak bernama Suma Eng lagi ! Akan kuhancurkan tubuhmu menjadi makanan srigala !" Kembali ia menubruk maju dan menyerang dengan cepat kembali.
Tiong Han terpaksa mencabut pedangnya dan menangkis. Ia maklum bahwa kalau ia menghadapi gadis ini dengan tangan kosong saja, ia pasti akan roboh dan benar-benar akan dicincang sampai hancur oleh gadis berotak miring ini. Akan tetapi ia merasa kasihan sekali. Mungkin gadis ini tiba-tiba menjadi gila karena telah menderita luka hebat, pikirnya. "Nona, aku tidak kenal padamu. Baru sekarang kita bertemu muka, kau telah salah lihat, nona !"
"Bangsat rendah ! Pengecut besar ! Kau lebih pengecut daripada anjing ! Anjing yang menggigit masih melingkarkan ekornya (karena takut) akan tetapi kau berpura-pula baru sekarang bertemu denganku. Bagus, akan kuantar kau ke neraka, hendak kulihat apakah di sana kau masih akan dapat menyangkal pula !" kembali ia menyerang, dan Tiong Han yang merasa makin terkejut melihat gerakan pedang yang luar biasa anehnya itu, dengan cepat menangkis dan melindungi dirinya. Ia makin terheran-heran karena gerakan pedang gadis ini pada dasarnya hampir bersamaan dengan Ang coa.kiamsut yang dipelajarinya akan tetapi yang aneh sekali adalah perkembangannya, karena ilmu pedang gadis itu benar benar ilmu pedang yang aneh. Sama sekali terbalik daripada ilmu pedang yang pernah dipelajarinya !
'Nona, nona..... kau tenang dan sabarlah ! Aku bersumpah, selama hidupku, aku Sim Tiong Han belum pernah bertemu dengan kau. belum pernah aku mendengar nama Suma Eng ! Bagaimanakah kau bisa menuduhku yang bukan-bukan" Kesalahan apakah yang telah kuperbuat terhadapmu?"
"Bagus! Namamu yang hina dina akan teringat selalu olehku sehingga kalau kali ini aku tidak berhasil, lain kali aku masih ada kesempatan untuk mencari dan membunuhmu! Kau tak perlu bersumpah, sumpah laki - laki hina dina macam engkau tiada harganya! Mampuslah!" Eng Eng menyerang lagi, kali ini dengan gerak tipu yang paling berbahaya!
Hujan masih turun dengan lebatnya dan pertempuran berjalan makin seru. Tiong Han yang hanya menangkis dan mengelak saja, terdesak hebat. Selain ilmu pedang nona ini benar benar aneh dan berbahaya, juga pedang di tangan Eng Eng yang mengeluarkan sinar merah amat Iihai ! Beberapa kali pedang Tiong Han bertemu dengan pedang Eng Eng dan ketika pemuda itu memperhatikan, ia terkejut sekali karena pedangnya telah gompal di beberapa bagian !
"Nona, sabarlah, kau masih terluka! Berbahaya bagimu kalau terus mengerahkan tenaga lweekang!" Ia masih berseru memperingatkan biarpun ia berada dalam bahaya. Betapa pun juga Tiong Han merasa amat kasihan kepada gadis ini yang masih disangkanya gila.
Akan tetapi jawaban dari Eng Eng adalah serangan yang mengganas. Tiong Han menangkis akan tetapi pedangnya terbabat putus menjadi dua dan pedang di tangan Eng Eng menyambar cepat ke arah lehernya dibarengi seruan girang dari gadis itu! Tiong Han menjatuhkan diri, pundaknya terserempet pedang sehingga terluka. Akan tetapi ia lolos dari bahaya maut karena begitu ia menjatuhkan diri ia lalu menggelundung dengan gerakan Trenggiling Turun dari Lereng ! Setelah dapat menjatuhkan diri, ia cepat melompat dan lari secepat mungkin !
"Jahanam hina dina, jangan lari!" Eng Eng berseru mengejar, akan tetapi ia mengeluh kesakitan dan terpaksa duduk di bawah sebatang pohon karena dadanya terasa sakit dan napasnya sesak. Betul seperti yang dikatakan Tiong Han tadi, pengerahan tenaga dalam membuat lukanya kambuh kembali, ia merasa amat sakit pada dadanya dan cepat gadis ini lalu berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kaki di atas lalu mengerahkan tenaga dan mengatur nafas.
Beginilah caranya melatih lweekang dan pernafasan sebagaimana yang dipelajarinya dari suhunya, yakni Hek Sin-mo ! Sampai beberapa lama ia berjungkir balik dan baru ia berhenti mengatur pernafasannya setelah merasa dadanya ringan dan tidak sakit lagi. Barulah ia duduk beristirahat dan ia mempergunakan tenaga hatinnya untuk melawan keinginannya hendak menangis saking sedihnya.
"Aku tak boleh terlalu bersedih, aku harus sembuhkan luka ini, aku harus dapat hidup beberapa lama lagi untuk membalas penghinaan ini! Tiong Han... Tiong Han... sebelum aku dapat menghancur-leburkan tubuhmu mencincang kepalamu, aku takkan berhenti berusaha....... Tiong Han...!" Ia mendekap dadanya dan cepat mengatur nafasnya panjang-panjang karena kesedihan membuat dadanya terasa sesak dan sakit lagi.
Menjelang senja, hujan berhenti dan nampaklah tubuh seorang wanita yang layu dan lemah lunglai berjalan keluar dari hutan itu. Wanita ini adalah Eng Eng.
Sementara itu, Tiong Han berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ia masih merasa terharu, kagum dan juga heran. Ia merasa terharu, melihat keadaan nona yang benar-benar kenal ilmu pedangnya itu. Tiada hentinya sambiI berlari ia memikirkan gadis itu. Siapakah gadis itu" Alangkah cantik manisnya dan alangkah lihai ilmu silatnya. Kalau saja ia membalas serangan gadis itu dan memiliki pedang yang baik, agaknya kepandaian mereka berimbang. Belum tentu ia akan dapat menangkan gadis itu karena ia dapat membayangkan betapa hebat dan lihainya gadis itu kalau tidak sedang terluka dadanya. Ia benar - benar merasa kagum sekali, dan hatinya tertarik. Bayangan gadis itu tak dapat ia usir dari depan matanya. Akan tetapi ia merasa heran sekali, karena mengapakah gadis itu marah-marah dan membencinya " Mengapa gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk membunuhnya "
Mengapa ia disangka telah berbuat sesuatu yang amat jahat kepada gadis Itu " Apakah ia disangka orang yang telah melukai dada gadis itu " Ah, Tiong Han menghadapi teka teki yang amat sulit dalam diri Eng Eng. Namanya Suma Eng, alangkah indah nama itu. Akan tetapi mengapa sikap gadis itu demikian aneh" Gilakah dia " Tak mungkin, gadis yang bicara demikian jelas dan yang dapat bersilat demikian Iihai, sungguhpun ilmu silatnya amat aneh tak mungkin gila!
Demikianlah Tiong Han benar-benar menjadi bingung. Akan tetapi ia tidak berani mendekati gadis itu, karena ia yakin bahwa gadis itu takkan berhenti sebelum dapat membunuhnya. Hal yang amat menyakitkan hati dan membuatnya berduka. Setelah berlari jauh, barulah Tiong Han merasa betapa pundaknya perih karena pundak itu sudah terluka dan lecet kulitnya. Terasa amat panas luka itu dan ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali. Ternyata luka itu kini menjadi bengkak.
"Ah, lihai sekali ! Agaknya pedang itu mengandung bisa pula !" Katanya dalam hati. Cepat-cepat ia membuka bungkusannya dan mengeluarkan obat pemunah bisa. Setelah menelan dua butir pel putih dan menghancurkan obat bubuk dengan arak yang dibawanya dalam sebuah guci kecil untuk dipergunakan sebagai obat luar, ia merasa lega. Ternyata bisa yang terkandung oleh pedang gadis itu tidak berapa jahatnya.
Beberapa hari kemudian ketika ia tiba di luar sebuah dusun, Tiong Han mendengar suara ribut-ribut dan ketika ia telah tiba di tempat itu, ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus yang hidungnya seperti burung kakaktua dan bersenjata sepasang besi kaitan sedang dikeroyok oleh banyak orang. llmu silat laki laki itu benar-benar lihai dan tujuh orang yang berpakaian seragam piauwsu (pengawal barang kiriman ) itu biarpun mengeroyok dengan senjata golok dan pedang, sama sekali tidak berdaya menghadapinya.
Tiong Han yang sedang merasa sedih dan menyesal karena pikirannya masih penuh dengan bayangan Suma Eng, tadinya tidak begitu tertarik hatinya. Akan tetapi karena ia melihat betapa di atas tanah menggeletak tubuh seorang wanita cantik yang sudah menjadi mayat dan ada pula dua orang piauwsu yang merintih-rintih dengan tubuh terluka berat, ia menjadi tertarik dan segera melompat menghampiri.
Pada saat itu ia tiba di tempat pertempuran, laki-laki bersenjata kaitan itu sedang mendesak para pengeroyoknya dengan senjatanya yang luar biasa dan dengan satu sabetan keras, ia kembali telah merobohkan seorang pengeroyok !
"Ha, ha, ha! Buka matamu lebar-lebar, hendak kucongkel matamu !" kata laki laki itu dan kaitannya cepat menyambar ke arah mata orang yang telah roboh terlentang itu! Akan tetapi tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Ia cepat berpaling untuk melihat siapa orang yang dapat mendorongnya tanpa ia ketahui lebih dulu itu.
Ternyata di depannya telah berdiri seorang pemuda tampan yang robek baju pada pundaknya dan pundak itu terluka karena masih tampak tanda-tanda darah dan kulit pundak tertutup oleh obat.
"Sabar dulu, kawan " kata Tiong Han kepada orang tinggi kurus yang bukan lain adalah Ban Hwa Yong orang ketiga dari Thian-te Sam kui !
"Bangsat rendah! Kau berani sekali mencampuri urusan Ban Hwa Yong, tokoh besar dari Thian-te Sam-kui ?" teriak Ban Hwa Yong marah dan cepat kaitannya menyambar ke arah leher Tiong Han ! Pemuda ini melihat gerakan lawannya yang cepat dan kuat, segera melompat mundur dengan marah sekali. Akan tetapi Ban Hwa Yong tidak memberi kesempatan kepadanya dan cepat melangkah maju mengejar dan menyerangnya secara bertubi - tubi. Sepasang kaitannya menyambar-nyambar dan senjata ini memang berbahaya sekali, karena penyerangannya berbeda dengan senjata-senjata lain, bukan dari depan bahaya yang datang, melainkan dari belakang dan dari samping. Senjata ini dipergunakan untuk menggali dan sekali saja tubuh tergait oleh kaitan yang kuat dan runcing sekali itu, akan robeklah kulit dan daging !
Diam-diam Tiong Han merasa terkejut sekali. Tak disangkanya lawan ini demikian lihainya. Ia pernah mendengar nama Thian-te Sam kui, tiga orang iblis bumi langit yang terkenal jahat, maka kini menghadapi seorang diantara iblis ini, la tahu bahwa ia harus turun tangan ! Akan tetapi, dengan pundak terluka dan bertangan kosong, bagaimana ia bisa menghadapi seorang tokoh dari Thian- te Sam-kui yang berkepandaian tinggi"
Akan tetapi, Tiong Han mengerahkan ginkangnya dan mengandalkan kelincahan gerakan tubuhnya untuk menghindarkan setiap serangan lawan. Sampai tiga puluh jurus Tiong Han dapat menghadapi lawannya dan dapat juga melakukan serangan balasan dengan pukulan-pukulan dari ilmu silat Kim-liong pai. Ban Hwa Yong merasa penasaran sekali. Betulkah dia tidak dapat merobohkan seorang pemuda bertangan kosong yang sudah terluka dan tampaknya lemah" Ia berseru marah dan mempercepat gerakan senjatanya, menyerang dengan gerak tipu yang paling dahsyat. Kewalahan jugalah Tiong Han menghadapi Jai-hwa-cat (penjahat penculik bunga) ini!
Tiba tiba seorang piauwsu yang paling tua usianya, melemparkan sebatang pedang ke arah Tiong Han sambil berseru,"Hohan (orang gagah) silakan kau menggunakan pedangku ini!"
Bukan main girangnya hati Tiong Han melihat berkelebatnya pedang ini. Ban Hwa Yong juga melihat pedang yang dilemparkan ini, maka ia cepat mendesak Tiong Han dengan pukulan kaitan kiri, sedangkan kaitan kanan dipergunakan untuk memukul ke arah pedang itu! Tiong Han cepat mempergunakan gerak tipu Dewa Awan Menyambut Pelangi. Ia miringkan tubuh untuk menghindari sabetan senjata kiri lawan, kaki kanannya bergerak cepat menendang pergelangan tangan kanan Ban Hwa Yong dan dengan tangan kiri diulur cepat menangkap pedang itu ! Ban Hwa Yong terpaksa menarik kembali kaitannya yang tadi hendak dipergunakan untuk memukul pedang karena ujung sepatu lawannya mengancam pergelangan tangan dan sementara itu, Tiong Han telah melompat ke belakang dan kini pemuda ini telah memegang sebatang pedang yang berkilauan tajamnya!
Semua piauwsu dan orang orang dusun yang menonton pertempuran itu bersorak memuji melihat ketangkasan dan keindahan gerakan Tiong Han tadi. Akan tetapi Tiong Han sebaliknya memandang kepada pedang yang dipegangnya sambil berkata kagum, "Pokiam (pedang pusaka) yang bagus !"
Baru saja ia menutup mulutnya, angin yang keras menyambar dari kanan-kiri dan kini sepasang kaitan di tangan Ban Hwa Yong telah menyambarnya dengan gerak tipu Menutup Pintu Menggencet Lawan ! Akan tetapi, dengan gerakan indah sekali Tiong Han menggerakkan pedang di tangan kanannya, memutarnya merupakan sinar melengkung dari kanan ke kiri.
"Trang! Trang !" Bunga bunga api memancar keluar ketika sepasang kaitan itu sekaligus terbentur oleh pedang ini dan Ban Hwa Yong merasa betapa telapak tangannya kesemutan. Ia menjadi terkejut sekali, apalagi ketika tlba-tiba matanya silau oleh sinar pedang Tiong Han yang kini membalas dengan serangan-serangan hebat!
Harus diketahui semenjak turun gunung dan mempelajari ilmu pedang Ang coa-kiam sut dari kitab peninggalan sucouwnya, ilmu kepandaian pemuda ini telah maju pesat sekali. Apalagi kini yang dimainkannya adalah sebatang pedang pusaka, maka tentu saja gerakannya amat hebat dan pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar putih yang menyilaukan mata.
Ban Hwa Yong mempertahankan diri sampai dua puluh Jurus, akan tetapi sekarang ia bertempur sambil mundur teratur, terus terdesak hebat tanpa dapat berdaya lagi. Akan tetapi, betapapun keuletannya boleh dipuji. Ia telah puluhan tahun merantau dan menjagoi di dunia kang-ouw, sudah mengalami banyak sekali pertempuran, maka ia telah dapat mempertahankan diri dengan amat kuatnya.
Baru setelah bertempur selama dua puluh tujuh jurus terdengar suara keras dan kaitan di tangan kanan Ban Hwa Yong terpental jauh ke atas! Penjahat cabul ini mengeluarkan teriakan keras dan tiba - tiba la merogoh sakunya dengan tangan kanan dan tiga buah senjata rahasia berbentuk paku hitam menyambar kearah jalan darah di tubuh Tiong Han!
Pemuda ini cepat memutar pedangnya untuk menangkis paku-paku itu akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh lawannya untuk melompat dan berlari pergi secepat mungkin seperti orang dikejar setan! Tiong Han yang tidak ingin mencari permusuhan, melihat lawannya berlari ketakutan, tidak mau mengejar, bahkan lalu menghampiri piauwsu tua yang memberi pinjam pedang itu.
"Lo-enghiong. pedangmu ini benar - benar bagus sekali. Terima kasih atas bantuanmu " Tiong Han mengembalikan pedang itu. akan tetapi piauwsu itu memegang lengannya dengan muka girang sekali dan berkata,
"Tak usah berlaku sungkan, hohan. Pedang pusaka ini telah berpuluh tahun berada di tanganku dan sesungguhnya aku tidak berharga untuk memiliki pedang ini. Biarlah untuk pertolonganmu kepada kami, pedang ini kami persembahkan kepadamu !"
Tentu saja Tiong Han menjadi terkejut sekali. Ia merasa malu dan sungkan, karena bagaimanakah ia dapat menerima pemberian pedang mustika begitu saja dari orang yang tak dikenalnya "
Piauwsu itu melihat keraguannya, maka ia lalu berkata,"Orang muda yang gagah. Marilah kau ikut kami dan mari kaudengarkan penuturan kami agar kau dapat mengerti betapa besar jasamu tadi ! Kau telah menghindarkan penyembelihan besar-besaran terhadap keluarga piauwkiok (perusahaan ekspedisi) kami !"
Karena ia merasa letih dan juga pundaknya terasa perih, terutama sekali karena ia ingin mendengar siapakah adanya wanita cantik yang mati di situ dan mengapa tokoh Thian. te Sam-kui itu sampai bentrok dengan kawanan piauwsu ini, maka Tiong Han tidak menampik undangan ini, dan beramai ramai mereka lalu pergi ke rumah piauwkiok yang tidak jauh dari situ. Seperti telah kita ketahui, ketiga Thian-te Sam kui setelah berhasil membasmi dan membunuh semua keluarga Pak eng piauwkiok di kota Hun-leng, tiga manusia iblis ini lalu melarikan diri sambil menculik Lo Kim Bwe atau nyonya Ouw Tang Sin yang cantik jelita dan genit. Atau lebih tepat lagi, yang membawa lari Kim Bwe adalah Ban Hwa Yong si penjahat cabul.
Oleh karena memang ketiga orang penjahat ini mempunyai kesukaan sendiri-sendiri maka setelah keluar dari kota Hun leng mereka lalu berpisah dan mengambil Jalan masing-masing, Ban Hwa Yong yang membawa Kim Bwe lalu melanjutkan perjalanannya. Girangnya bukan main, ketika ia mendapat kenyataan bahwa wanita yang diculiknya ini tidak seperti yang lain-lainnya. Biasanya wanita yang diculik dan dipermainkannya selalu melawan dan berduka atau bahkan ada yang nekad membunuh diri, akan tetapi Kim Bwe tidak demikian. Perempuan ini tidak nampak bersedih meskipun keluarganya telah terbasmi semua, bahkan ia nampaknya suka melakukan perjalanan dengan Ban Hwa Yong!
"Sayang kau dan suheng - suhengmu tidak mau menunggu dulu kedatangan dara yang cantik jelita seperti bidadari !" katanya kepada penjahat cabul itu, dan ia lalu menceritakan perihal Eng Eng kepada Ban Hwa Yong. Penjahat ini hanya tertawa saja dan berkata.
"Betapapun juga, ia tidak mungkin secantik engkau manisku !"
Demikianlah sampai sebulan lebih Kim Bwe melakukan perjalanan menurut saja ke mana penjahat itu membawanya. Ban Hwa Yong nampaknya amat sayang kepadanya dan sebaliknya Kim Bwe juga memperlihatkan kasih sayangnya. Padahal semua sikap Kim Bwe ini hanya dilahir saja. Ia merasa melawan tiada gunanya, dan berarti sama dengan membunuh diri. Sesungguhnya ia amat benci kepada laki-laki ini, bukan hanya karena Ban Hwa Yong telah membunuh semua keluarganya termasuk ayah dan adiknya yang tercinta, akan tetapi terutama sekali karena Ban Hwa Yong berwajah buruk. Kalau saja laki-aki yang menculiknya ini seorang laki laki muda yang tampan, bukan tak mungkin Kim Bwe akan dapat menerimanya dan melupakan sakit hatinya!
Diam diam Kim Bwe selalu mencari kesempatan baik untuk membunuh jai hwa cat ini. Pertama-tama karena Ban Hwa Yong amat tinggi ilmu kepandaiannya, kedua kalinya karena penjahat cabul itu selalu berlaku hati-hati sekali.
Pada suatu hari, ketika mereka berdua sedang berjalan hendak memasuki dusun Cia-keng-bun, mereka melihat serombongan piauwsu menyusul mereka dan mendahului masuk ke dalam dusun itu. Mereka itu terdiri dari sembilan orang dan karena mereka ini menunggang kuda mengiringi sebuah kereta barang, maka mudah dilihat dari bendera di atas kereta bahwa mereka adalah piauwsu-piauwsu dari perusahaan Gin-houw piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Macan Perak). Piauwsu yang termuda ketika lewat, berpaling dan memandang ke arah Kim Bwe dengan penuh perhatian, lalu tersenyum. Kim Bwe melihat wajah piauwsu muda yang tampan itu, membalas senyum ini. la melakukan hal ini dengan sengaja, bahkan ketika rombongan piauwsu itu telah lewat, Kim Bwe mengeluarkan saputangan dari dalam bajunya dan melambaikan ke arah piauwsu muda tadi !
Tentu saja Ban Hwa Yong menjadi cemburu dan marah sekali. Hampir saja ia memukul muka kekasihnya itu, akan tetapi Kim Bwe segera berkata, "Mengapa kau marah-marah" Gin houw piauwkiok adalah piauwkiok yang amat terkenal, dan orang-orangnya memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai. Mereka pernah datang di tempat tinggalku dan mengenal mendiang suamiku. Sebagai kenalan-kenalan lama, tidak bolehkah aku memberi salam kepada mereka ?" Kemudian ia sengaja membikin panas hati Ban Hwa Yong. "Kurasa lebih baik kita jangan masuk ke dusun itu dan melewatinya saja dengan mengambil jalan lain, karena kalau para piauwsu itu melihat aku berjalan bersamamu, mereka tentu akan merasa curiga dan kalau mereka menyelidiki celakalah kau !"
Benar saja, usahanya memancing-mancing dan membikin panas hati Ban Hwa Yong untuk mengadudombakan penjahat ini dengan para piauwsu itu, telah mendapat hasil baik. Ban Hwa Yong yang merasa cemburu menjadi benci kepada piauwsu - piauwsu itu, apalagi mendengar Kim Bwe memuji " muji. Kini mendengar ucapan nyonya muda ini, mukanya menjadi merah saking marahnya,
"siapa yang celaka" Aku" Mengapa aku yang celaka?" tanyanya penasaran.
"Karena kepandaian mereka benar-benar tinggi ! Mendiang suamikupun tidak dapat mengalahkan ilmu silat pemimpin-pemimpin Gin-houw-piauwkiok," kata Kim Bwe pula.
Ban Hwa Yong hampir saja membanting-banting kakinya. "Suamimu " Hm, cacing tanah itu bisa apa sih! Kau lihat saja nanti, akan kubasmi habis pemimpin-pemimpin Gin houw - piauwkiok dan kuratakan dengan bumi perusahaan mereka seperti halnya Peng.eng-piauwkiok! Akan tetapi kalau di situ terdapat wanitanya yang cantik seperti engkau, engkau harus mengalah dan membiarkan aku membawanya!"
Bukan main girangnya hati Kim Bwe mendengar bahwa usahanya mengadu domba ini berhasil, akan tetapi ia berpura-pura memperlihatkan muka marah mendengar ucapan terakhir dari Ban Hwa Yong.
"Dasar mata keranjang ! Orang yang selalu mencari wanita cantik seperti kau, mana bisa menangkan piauwsu-piauwsu dari Gin-houw piauwkiok "'
Ucapan ini merupakan minyak yang menyiram api kemarahan Ban Hwa Yong sehingga tanpa banyak Cakap lagi penjahat cabul ini lalu memegang lengan tangan Kim Bwe dan membawanya lari cepat memasuki dusun itu !
Memang sesungguhnya dalam kata - kata Kim Bwe kepada Ban Hwa Yong tadi, tidak semuanya bohong. Pemimpin Gin houw-piauwkiok memang kenal dengan Pak.eng piauwkiok milik suaminya. Ketua dari Gin-houw-piauwkiok itu adalah seorang piauwsu setengah tua, berusia lima puluh tahun akan tetapi masih nampak gagah dan kuat. Piauwsu ini bernama Lai Siong Te seorang gagah yang amat pandai bermain pedang. Oleh karena kegagahannya, nama Gin - houw - piauwkiok amat terkenal dan tidak sembarang perampok berani mengganggu barang-barang yang dikawal oleh piauwsu-piauwsu dari Gin-houw-piauwkiok. Bendera piauwkiok yang bersulam lukisan harimau dari benang perak itu merupakan tanda yang ditakuti oleh para perampok.
Lai Siong Te memang pernah berkunjung ke Hun leng dan berkenalan dengan Ouw Teng Sin dan Ting Kwan Ek, kedua piauwsu dari Pek-eng-piauwkiok itu. Bahkan pernah ia melihat Kim Bwe yang ketika itu masih menjadi nyonya Ouw Teng sin. Di dalam perjalanan tadi, Lai Siong Te tidak ikut karena piauwsu tua ini sekarang jarang sekali mengantar sendiri barang-barang yang dilindungi oleh piauwkioknya. Cukup dilakukan oleh anak buahnya dan murid-muridnya saja. Tentu saja untuk mengawal barang-barang amat berharga kadang-kadang ia sendiri turun tangan.
Ketika rombongan piauwsu itu tiba Lai Siong Te menyambut dengan gembira karena mendengar bahwa rombongan itu tidak menemui kesulitan sesuatu di dalam perjalanan. Sebagai seorang ketua yang pandai, ia lalu memerintahkan para pelayan untuk menyediakan minuman dan hidangan sebagai hiburan kepada para pegawainya.
Pada saat - saat orang-orang itu sedang makan minum tiba tiba datang seorang piauwsu yang menghadap Lai Siong Te dengan muka pucat dan memberi laporan,
"Celaka, Lai piauwsu, di perempatan sebelah selatan itu ada seorang laki-laki dan seorang wanita yang memaki-maki dan menantang semua piauwsu dari Gin-houw piauwkiok !"
Mendengar ucapan ini, marahlah para piauwsu muda yang berada di situ. Tanpa menanti jawaban kepala piauwsu itu, dua orang piauwsu muda telah lari sambil mencabut pedang mereka ! Benar saja di tengah jalan perempatan, tak jauh dari rumah piauwkiok itu, tampak seorang laki-laki tinggi kurus dengan seorang wanita muda yang cantik sekali berdiri sambil memaki-maki.
"Manakah tikus-tikus dari Gin-houw piauwkiok" Biar mereka maju ke sini hendak kuhi-tung berapa helai kumisnya!"
Seorang di antara piauwsu muda ini adalah seorang muda yang tadi telah tertarik oleh kecentilan Kim Bwe dan telah bertukar pandang dan senyum dengan nyonya muda itu, maka ia lalu main ke depan bersama kawannya dan membentak.
"Manusia kurang ajar dari manakah yang berani datang menghina nama piauwkiok kami" Siapakah namamu dan mengapa kau datang-datang ngaco belo seperti orang gila?"
Melihat piauwsu muda yang tadi telah berani bermain mata dengan Kim Bwe, Ban Hwa Yong marah sekali. "Ha. ha, ha, begini sajakah macamnya tikus - tikus dari Gin houw-piauwkiok" Tidak tahunya hanya tikus selokan yang kotor, pemakan kecoa dan kotoran!"
Bukan main marahnya kedua orang piauwsu muda itu mendengar hinaan ini. Biarpun yang ditanya belum memberitahukan namanya namun kekurangajarannya membuat keduanya tak sabar lagi. Serentak mereka maju menyerang dengan pedang di tangan. Akan tetapi, dengan bertangan kosong Ban Hwa Yong maju menyambut serangan mereka dan baru lima jurus saja, ia berhasil merampas pedang seorang di antaranya dan begitu pedang rampasan ini digerakkan, robohlah kedua orang piauwsu muda itu dengan luka pada lengan dan pundak! Ban Hwa Yong tertawa bergelak dan hendak maju membunuh kedua orang ini. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras,
"Penjahat kejam jangan main gila di sini!" Ban Hwa Yong tidak memperdulikan bentakan ini, pedangnya terus hendak membacok leher kedua piauwsu muda yang telah dilukainya itu, akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar putih yang menyilaukan, menangkis pedangnya.
"Traang!" terdengar suara keras tahu-tahu pedang itu telah terbabat putus! Ban Hwa Yong terkejut dan marah sekali. Ia cepat memutar tubuhnya dan ternyata bahwa yang membabat putus pedangnya itu tadi adalah seorang tua yang bersikap tenang.
"Hm jadi inikah orang she Lai yang menjadi pemimpin dari Gin houw piauwkiok" Kau berani membikin putus pedang rampasan di tangan Ban Hwa Yorg bagus sekali!"
Sementara itu, Lai Siong Te biarpun berhasil membuat putus pedang tadi, namun ia merasa tangannya tergetar, maka ia tadi menjadi terkejut juga. Kini mendengar nama orang tinggi kurus yang berhidung bengkok ini, makin terkejutlah dia. Ia telah mendengar nama Thian te Sam- kui dan tahu bahwa tiga orang iblis itu amat lihai, maka sering kali ia memberi nasihat kepada anak buahnya agar supaya menjauhi tiga iblis itu, Tidak tahunya sekarang orang termuda dari pada tiga iblis itu datang sendiri mencari perkara ! la cepat menjura dan berkata,
"Maaf, maaf, tidak tahunya kami berhadapan dengan Ban taihiap yang terkenal gagah perkasa! Setelah sekarang aku mengetahui dengan siapakah aku berhadapan aku harap sudilah kiranya taihiap memberi maaf kepada murid-muridku yang telah berlaku kurang ajar. SiIakan taihiap datang ke rumah kami yang buruk untuk menerima penghormatan kami dan beristirahat !" Ucapan ini amat merendah dan sesungguhnya telah membuat hati Ban Hwa Yong menjadi dingin. Penjahat ini mempunyai hati yang suka sekali mendapat pujian orang. Melihat sikap merendah dari piauwsu tua itu, dia melihat betapa semua orang memandangnya dengan takut-takut dan penuh hormat, ia sudah menjadi bangga sekali sehingga ia tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus, Lai-piauwsu. Baiknya kau masih mengenal orang dan dapat membedakan mana ulat mana naga ! Kalau tidak, aku khawatir Gin houw - piauwkiok akan tinggal namanya saja hari ini!"
Biarpun Lai Siong Te merasa mendongkol sekali mendengar kesombongan ini, namun ia menekan perasaan marahnya dan hanya tersenyum saja. Agaknya semua akan berjalan beres dan damai kalau saja Kim Bwe tidak bertindak. Nyonya muda ini merasa kecewa sekali. Ia sengaja hendak mengadu-dombakan kedua orang ini agar supaya Ban Hwa Yong dikalahkan dan ia dapat terlepas dari pada orang yang dibencinya itu.
Maka ketika ia melihat betapa Lai Siong Te memperlihatkan sikap lemah dan mengalah dan Ban Hwa Yong sudah reda marahnya, ia cepat melangkah maju, memungut pedang seorang piauwsu yan tadi dirobohkan oleh Ban Hwa Yong, kemudian berkata dengan nyaring,
"Lai-lo enghiong, lupakah kau kepadaku" Aku adalah isteri dari Ouw Teng Sin dari Pek eng - piauwkiok ! Seluruh keluarga Pek - eng piauwkiok telah terbunuh mati oleh jahanam terkutuk ini, maka tolonglah kau membantuku membalas dendam kepada jahanam ini " Sambil berkata demikian Kim Bwe menggerakkan pedang itu menusuk dada Ban Hwa Yong !
Jai-hwa cat ( penjahat cabul ) ini terkejut, heran dan marah bukan main. Ia mengelak sambil melompat ke belakang dan tahu - tahu ia telah mencabut sepasang kaitannya, senjatanya yang amat diandalkan dan memang amat berbahaya itu. Lai Siong Te dan murid-muridnya ketika mendengar ucapan nyonya muda itu, terkejut sekali dan serentak mereka lalu maju sambil mengeluarkan senjata masing - masing.
Namun mereka kalah cepat oleh Ban Hwa Yong, karena dengan gerakan yang amat hebat, la mendesak maju dan tiba tiba terdengar pekik mengerikan dari mulut Kim Bwe ketika sepasang kaitan baja di tangan penjahat cabul itu telah mengenai tubuhnya. Kaitan di tangan kanan menancap dan mengait lehernya. sedangkan kaitan kiri menembus Iambungnya! Ketika Ban Hwa Yong menarik kembali senjatanya tubuh Kim Bwe terkulai dan roboh tak bernafas lagi.
"Ha. ha, ha, perempuan hina ! Kau mencoba mengkhianati Ban Hwa Yong " Dasar kau mencari mampus !" Setelah berkata demikian, ia mengangkat kaitannya untuk menangkis pedang Lai Siong Te yang sudah maju menyerangnya dengan marah sekali.
"Ban Hwa Yong, kau benar-benar berhati kejam sekali! Hari ini aku Lai Siong Te pasti mengadu jiwa denganmu!"
"Tua bangka ! Tak usah kau mengejek, aku memang sudah mengambil keputusan untuk menjadikan Gin houw-piauwkiok seperti Pek-eng piauwkiok yang sudah musnah! Bersiaplah kalian untuk mampus di tangan Ban Hwa Yong yang perkasa !" Kaitannya bergerak cepat dan masih baik bagi Lai Siong Te bahwa ia memegang sebuah pedang pusaka, karena kalau tidak, tentu ia takkan dapat bertahan lama menghadapi penjahat yang lihai itu.
Ketika melihat ketua dan guru mereka terdesak hebat oleh Ban Hwa Yong, para piauwsu yang lain serentak lalu maju mengeroyok sehingga sebentar saja Ban Hwa Yong setelah dikeroyok oleh tujuh orang piauwsu termasuk Lai Siong Te ! Akan tetapi penjahat Itu tak merasa gentar, bahkan sambil tertawa-tawa ia menghadapi para pengeroyoknya dengan gagah sekali.
Dan pada saat itulah Sim Tiong Han pemuda tokoh Kim liong-pai itu datang dan akhirnya berhasil mengusir Ban Hwa Yong !
Setelah mendengar penuturan tuan rumah, Tiong Han menarik napas panjang dan berkata agak menyesal, "Sayang sekali aku tidak tahu akan hal ini sebelumnya, kalau aku tahu, pasti aku takkan membiarkan penjahat kejam itu melarikan diri ! Akan tetapi biarlah akan kuingat dia dan kalau sampai aku dapat bertemu lagi dengan dia pasti akan kubereskan jahanam itu!"
Ketika Lai Siong Te mendengar bahwa pemuda yang bernama Sim Tiong Han ini adalah murid dari Kim liong pai, ia cepat-cepat menyatakan hormatnya dan berkata, "Tidak heran bahwa ilmu silatmu sedemikian hebat, Sim-taihiap ! Tidak tahunya kau adalah murid dari Kim - liong - pai ! Hanya sayang sekali kau tidak membawa pedang Ang coa-kiam, pedang pusaka dari Kim Iiong pai itu. Kalau kau membawa pedang itu, tak usah kau memperkenalkan diri, pasti mataku yang tua akan mengenalmu, karena aku pernah melihat dan menyaksikan kelihaian pedang Ang coa. kiam ketika aku masih muda dulu."
Tiong Han menghela napas. "Itulah sebabnya mengapa aku turun gunung. Lai piauwsu. Pedang pusaka kami telah lenyap dicuri orang ! Maka tolonglah kau mendengar dan melihat kalau kalau ada orang yang membawa bawa pedang itu beri kabarlah kepadaku ! Aku akan mencari ke utara."
"Tentu saja, taihiap, kami akan membantumu. Dan untuk sementara sebelum kau dapat menemukan kembali Ang coa.kiam kau pakailah pedangku Hui-liong-kiam ini! Aku persembahkan kepadamu dengan hati rela, karena kau lebih pantas menggunakan pedang ini taihiap."
Tiong Han memandang kepada pedang yang diletakkan di atas meja di depannya itu, "Pedarg baik." katanya. 'Tidak mudah mendapatkan pedang pusaka seperti ini, Lai piauwsu. mengapa kau memberikannya kepadaku" Sungguh aku merasa sukar untuk dapat menerimanya."
Lai Siong Te tertawa bergelak, "Memang demikianlah sifat seorang gagah, dia tidak ingin memiIiki barang orang lain betapapun indah dan berharga barang itu ! Aku hargai sikapmu ini taihiap. Akan tetapi, pedang ini kuberikan dengan rela hati. Dengan setulusnya aku memberikan pedang ini kepadamu, karena untuk apakah orang tua seperti aku memiliki pedang ini" Seperti seekor domba memakai tanduk kerbau saja ! Dan pula, dengan memberikan pedang ini kepadamu berarti bahwa aku tidak melanggar janjiku kepada pemberi pedang ini !"
Tertarik hati Tiong Han mendengar ucapan ini. "Siapakah pemilik pedang ini dan mengapa diberikan kepadamu, Lai piauwsu ?"
Piauwsu itumenarik napas panjang. "Seorang gagah, seorang wanita yang luar biasa." Kemudian Lai Siong Te menuturkan kepada pemuda itu tentang riwayat pedang yang tajam dan keramat itu. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, Lai Siong Te sudah menjadi seorang piauwsu di daerah Santung. Namanya sudah cukup terkenal sebagai seorang piauwsu yang jujur dan baik, yang menjaga barang kiriman dengan sungguh-sungguh, bahkan yang berani yang bertanggung jawab dan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi barang yang dipercayakan kepadanya untuk dikirim.
Pada waktu itu di sepanjang lembah sungai kuning. Sebelah selatan kota Cin-an, terkenal sebagai tempat yang amat berbahaya dan jarang sekali ada yang berani melalui jalan ini. Telah beberapa lamanya tempat itu menjadi daerah yang ditakuti karena munculnya seorang perampok tunggal yang berjuluk Sin-kiam-koai-jin (Manusia Aneh Berpedang Sakti). Bahkan Lai piauwsu sendiri tidak berani melalui tempat ini dan selalu mengantarkan barang-barang berharga dengan jalan memutar. Telah banyak sekali orang-orang gagah mencoba untuk mengusir perampok ini, akan tetapi akibatnya mereka itu roboh seorang demi seorang di tangan Sin-kiam-koai-jin yang kosen.
Pada suatu hari seorang bangsawan tinggi memanggil Lai piauwsu dan ketika piauwsu ini datang menghadap bangsawan itu berkata kepadanya,
"Lai piauwsu, aku mempunyai sebuah benda yang harus diantarkan ke kuil Thian hok-si di dusun Tiang sen an di kaki Gunung Fu-niu. Akan tetapi, benda itu harus sudah sampai di kuil itu dalam waktu lima belas hari. Sanggupkah kau mengantarkan benda itu ke tempat tersebut dalam waktu kurang dari lima belas hari" Kalau kau berhasil membawa benda itu sampai di tempatnya dengan selamat dan tidak terlambat, berapa saja biayanya akan kubayar, bahkan akan kuberi hadiah besar kepadamu. Akan tetapi awas, kalau benda itu sampai hilang kau akan ditangkap dan dihadapkan ke depan pengadilan, karena benda itu amat berharga !"
Lai Siong Te terkejut mendengar bahwa ia diharuskan membawa benda ke tempat itu dalam waktu sedemikian cepatnya, akan tetapi sebagai seorang yang telah banyak makan asam garam dunia ia dapat menetapkan perasaannya dan bertanya,
"Benda berharga apakah yang hendak taijin kirim ?"
"Jadi kau sanggup!" Pembesar ini berkata, "Lai piauwsu, hal ini bukan perkara kecil dan ketahuilah bahwa hanya kepada kau seorang aku menaruh harapanku, kalau kau tidak sanggup, terpaksa aku harus melarang kau membuka piauwkiok di kota ini, karena apakah artinya bagi kotaku mempunyai seorang piauwsu yang tidak sanggup membawa benda itu ke tempat yang sudah ditentukan" Ketahuilah bahwa benda itu adalah sebuah patung Buddha yang amat berharga dan suci dan harus segera diantar ke kuil tersebut, karena lima belas hari lagi kuil itu selesai dibangun dan hendak dibuka. Patung itu perlu sekali berada di sana sebagai pengesahan pembukaan kuil itu, dan aku telah berhutang budi kepada kuil itu sebelum diperbaiki. Ketika anakku sakit, aku berkaul di kuil itu bahwa aku akan memperbaikinya dan menaruhkan sebuah patung Buddha dari kota raja apabila anakku sembuh. Sekarang anakku sembuh, maka aku harus membayar kaul itu. Nah, sekarang kau tahu persoalannya dan Sanggupkah kau?"


Pedang Ular Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lai siong Te berpikir - pikir. Untuk menuju ke dusun di kaki Gunung Fo-niu, la harus melewati lembah Sungai Kuning di mana terdapat perampok tunggal yang ditakuti orang itu. Akan tetapi ia hanya membawa sebuah patung Buddha, tentu benda itu takkan menarik perhatian seorang perampok. Untuk apakah patung bagi seorang perampok" Dan pula mungkin sekali perampok yang bernama Sin kiam- koai jin itu tentu takkan mau mengganggu benda suci seperti patung itu. Untuk mengambil jalan memutar, tidak mungkin sama sekali karena tentu akan terlewat waktu yang lima belas hari itu.
'Baiklah, taijin. Hamba sanggup melakukan perintah ini, bukan karena hamba takut diusir dari kota ini, akan tetapi mengingat bahwa tugas yang baik dan suci, maka hamba memberanikan diri untuk melakukannya.
Demikianlah, agar jangan menarik perhatian Lai Siong Te membawa patung itu dan berangkat seorang diri menuju ke barat. Patung itu kecil saja, tingginya hanya satu setengah kaki, terbuat dari pada perak bakar yang amat halus ukirannya. Dihitung dari harga bahannya, tidak amat berharga, entah kalau dipandang dari sudut seninya. Lai piauwsu membungkus patung dalam sebuah kain tebal warna kuning dan digendongnya patung itu pada pundaknya.
0oo-dw-oo0 Jilid 3 UNTUK mempercepat waktu, ia melakukan perjalanan naik kuda dan sengaja memilih kuda yang baik dan kuat. Ia membalapkan kudanya dan mengaso untuk makan atau tidur saja dan juga kadang - kadang untuk memberi kesempatan kepada kudanya makan rumput dan beristirahat sejenak.
Jalan yang dilaluinya amat sunyi, karena sebagaimana telah dituturkan di depan, tidak ada orang yang berani melewati jalan yang menjadi daerah operasi perampok tunggal Sin kiam-koai- jin itu! Akan tetapi piauwsu itu merasa girang dan juga heran sekali karena sampai beberapa hari kemudian, ia tidak melihat tanda - tanda adanya gangguan dari Sin-kiam koai-jin. Ia mempercepat larinya kuda dan sebelas hari kemudian ia telah tiba di hutan terakhir, sudah dekat dengan dusun Tiang.seng an di kaki gunung Fu niu !
Biarpun hari telah mulai senja Lai piauwsu tidak menghentikan kudanya yang sudah lelah. Hatinya berdebar girang dan ia ingin sekali lekas lekas keluar dari hutan itu. Kalau saja la bisa sampai di dusun yang ditujunya pada sore hari itu. Alangkah mujurnya !
Akan tetapi, tiba-tiba kudanya berjingkrak aneh dan ketika ia memandang, la melihat di depan kudanya berdiri seorang yang kurus dan tinggi, berpakaian sutera hitam dan mukanya ditutup pula dengan sutera hitam sampai di bawah matanya ! Benar-benar merupakan iblis yang mengerikan!
Lai Siong Te menjadi pucat dan cepat ia melompat turun dari kudanya yang berjing-krak ketakutan itu. Ia lalu mengangkat tangan memberi hormat kepada orang berpakaian hitam dan berkedok hitam pula itu.
"Mohon maaf apabila siauwte mengganggu sahabat !* katanya dengan sikap merendah sekali, dan sungguhpun ia dapat menduga bahwa iblis inilah tentunya yang disebut sin-kiam koai jin akan tetapi ia berpura-pura tidak tahu. "Siauwte takut kemalaman dan hendak melanjutkan perjalanan ke dusun Tiang seng-an di luar hutan.'*
Tiba tiba orang berkedok itu tertawa bergelak dan suara ketawanya terdengar aneh, parau dan tinggi. Kemudian orang itu bicara dengan hidung dipencet !
"Ha. ha, ha. ! Lai Siong Te, kaukira aku tidak tahu siapa kau dan apa perlumu lewat di tempat ini " Lekas kautinggalkan bungkusan patung itu, atau kautinggalkan kepalamu Boleh kau pilih!" Sambil berkata demikian, orang itu mencabut pedangnya dan silaulah mata Lai Siong Te melihat pedang yang bercahaya terang. Tak salah lagi, pikirnya dengan hati berdebar-debar, inilah dia Sin-kiam koai jin !
"Maaf" katanya, "sungguh tajam pandangan matamu. Akan tetapi sesungguhnya siauwte tidak tahu siapakah sebenarnya orang gagah yang berdiri di hadapanku ?"
Orang itu menyabet-nyabetkan pedangnya sehingga terdengar suara suitan nyaring sekali. "Kau lihat pedang ini " Nah, terkalah siapa aku!"
"Apakah kau yang disebut Sin-kiam koai jin?"
Orang itu tertawa kembali, "Dan kau berani lewat di sini tidak takut kepada Sin kiam koai jin" Sungguh besar nyalimu, orang she Lai!"
"Harap saja koai-hiap jangan mengganggu siauwte,"Lai piauwsu mencoba membela diri. "Yang siauwte bawa hanyalah sebuah patung yang harus di pasang di kuil Thian - hok - si. Karena patung suci ini siauwte bawa dengan melakukan tugas yang mulia, maka siauwte tidak mengambil jalan memutar, harap saja koai hiap sudi memaafkan."
"Orang cerewet ! Tak usah banyak membuka mulut, lekas kautinggalkan patung itu dan pergi dari sini " Kembali Sin-kiam-koai-jin menggerakkan pedangnya. Melihat gerakan pedang yang cepat dan berkilat itu tahulah Lai piauwsu bahwa ia bukanlah lawan orang yang tinggi ilmu silatnya itu. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengalah dan memberikan patung itu kepada Sin-kiam koai-jin.
Bagi seorang yang menghendaki kemajuan dalam pekerjaannya, syarat terutama baginya ialah menaruh rasa cinta dan hati setia kepada pekerjaan yang dipegang atau dllakukannya.Terutama bagi seorang seperti Lai Siong Te yang bekerja menjadi piauwsu. Pekerjaannya sebagai pelindung barang barang yang diantar atau dikawalnya membuat ia harus sanggup melindungi barang barang itu dengan keras kalau perlu mempertaruhkan nyawanya. Oleh karena inilah maka ia menjadi seorang piauwsu yang ternama dan dipercaya oleh mereka yang mengirimkan barang - barang berharga. Gin-houw Piauwkiok (Perusahaan ekspedisi macan perak) amat disegani dan mendapat kepercayaan penuh oleh karena semua orang tahu bahwa bagi Lai Piauwsu, barang barang yang dilindunginya baru dapat terampas darinya apabila kepalanya telah terlepas dari tubuhnya atau nyawanya telah meninggalkan tubuhnya !
Pukulan Naga Sakti 20 Hati Budha Tangan Berbisa Karya Gan K L Pendekar Pemetik Harpa 10

Cari Blog Ini