Ceritasilat Novel Online

Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 4

Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Bagian 4


kita tidak lihat, dari itu, aku hendak menyusul," Lim
Siauw Chong beritahukan. "Apakah kau berhasil
mengepung Pian Siu Hoo?"
"la ada sangat licin, kendati ia dikejar oleh anakku, ia
dapat lolos," Yan Toa Nio beritahukan. "Selagi ia lolos,
Pian Siu Hoo sudah tantang anakku untuk bertempur
terus sampai di akhirnya. Ia kata ia tidak mau berhenti
sebelum habis orang terakhir dari Kangsan-pang. Ia
bilang ia mau pulang ke Hucun-kang, dan di sana
tunggui kita ibu dan anak, guna pertempuran yang
memutuskan. Ia tegaskan, apabila dalam waktu seratus
hari kita tidak susul padanya, ia hendak serahkan
Kangsan-pang pada orang lain dan ia sendiri mau kabur,
setahu ke mana, karena ia tidak mau lagi hidup di muka
air. Ia bilang, apabila terjadi demikian, ia tidak boleh
dipandang takuti kita dan kabur. Tantangan itu kita telah
terima baik. Dengan dilindungi oleh orang-orangnya,
yang masih berjumlah besar, ia telah angkat kaki.
Anakku sudah pulang lebih dahulu, untuk salin pakaian.
Lim loo-suhu, silakan kau kembali!"
Mendengar itu, hatinya Lim Siauw Chong menjadi
lega, karena ia tahu, untuk sementara itu, ancaman
bahaya bagi Giokliong-giam sudah lewat.
"Hanya sekarang Yan Toa Nio dan anaknya
menghadapi bahaya," pikir ketua dari Kiushe Hiekee.
"Sayang Pian Siu Hoo tidak dapat dibikin binasa, hingga
ia sekarang merupakan ancaman bencana. Sebenarnya ia
jauh terlebih berbahaya daripada bugee-nya yang liehay,
ia juga punyai pergaulan luas, banyak sobat dan
kenalannya. Di mana di Hucun-kang ia menjagoi, untuk
ia gampang akan kumpul tenaga-tenaga baru. Ia sudah
kabur sambil mengancam, pasti ia akan siapkan kekuatan
yang luar biasa. Maka juga ini, kecuali bagi Yan Toa Nio
dan anak, pun ada berbahaya bagi Giokliong-giam.
Umpama kata Yan Toa Nio gagal, ke mana parannya
jikalau ia tidak satroni lagi pada Hiecun?"
Dengan pikiran ngubek di otaknya Lim Siauw Chong
perintah perahunya ditujukan pulang.
Yan Toa Nio sendiri sudah terus pulang ke gubuknya,
akan susul anaknya.
Dengan pakaian kuyup, sedang itu bukannya pakaian
mandi Yan Leng In tidak mau ketemu orang. Ia pulang
langsung, ibunya sebaliknya, kuatir ia terluka, maka ibu
ini pun terus susul ia.
Lim Siauw Chong balik dan lagi sekali tilik penjagaan.
Ia masih perintah sejumlah orang pergi ke segala
tempat, akan cari musuh, kuatir ada yang masih umpati
diri. la juga perintahkan Tan Tay Yong cari tahu
kerugian, orang, perahu dan rumah-rumah. Sebab benar
mereka ketolongan, tapi kerugian ada hebat, karena
musuh menyerang dengan selalu gunai api.
Sampai pagi, barulah orang selesai dengan
pemeriksaan. Setelah cuaca menjadi terang, Hiecun telah berikan
pemandangan yang menyedihkan, sebagai korban api.
Di antara empat tauwbak, Lim Siong Siu dan Yo A
Tiong terluka hingga mereka tidak dapat jalan. Sama
sekali telah binasa tujuh pemuda, dan yang luka ada
tigapuluh lebih. Rumah musnah sebagian, malah cunkongso
sendiri kebakar separahnya.
Tan Giok Kouw adalah orang yang kembali paling
belakang, bersama orang-orang perempuan, anak-anak
dan orang-orang tua. Mereka ini tidak kurang suatu apa.
Mereka semua lantas pulang ke masing-masing
rumahnya, siapa yang tidak punya rumah, menumpang
pada mereka yang rumahnya lebih besar.
Semua korban jiwa telah dirawat dan dikubur dengan
baik. Orang-orang tawanan tidak diganggu, dengan perahu
mereka dibawa keluar dari Hiecun dan dilepaskan, hingga
mereka dapat berlalu dengan selamat.
Tan Tay Yong telah keluarkan uang, untuk riangkan
korban-korban. Sebab mereka, yang rumahnya ludas,
selain mesti dirikan rumah baru, juga mesti beli pakaian
dan rupa-rupa perabotan, terutama perabotan dapur.
Syukur meski adanya semua kehebatan, usaha
menangkap ikan dapat dilanjuti dan tidak tertunda.
Kerugian perahu-perahu pun terganti oleh perahu-perahu
rampasan. Paling akhir, atas titahnya Lim Siauw Chong, Tan Tay
Yong kumpulkan semua anggota Hiecun. Ketua ini
peringatkan kendati bahaya sudah lewat, mereka toh
tidak boleh alpa, sebab musuh setiap waktu dapat
datang kembali. Mereka dianjurkan bersatu terus. Mereka
dipesan, kalau ada rombongan lain Kiushe Hiekee yang
datang, rombongan itu harus diterima, untuk perkuatkan
diri. Giokliong-giam Hiecun harus dipertahankan untuk
selama-lamanya. Kemudian ketua ini unjuk
penghargaannya untuk bantuan sobat-sobatnya dan Yan
Toa Nio serta anak, karena dengan tidak ada mereka,
Hiecun pasti akan ludas.
Mendengar itu, semua orang Hiecun pada haturkan
terima kasih mereka pada Sian Ie sekalian, hingga suara
mereka bergemuruh.
Walaupun bagaimana juga, kemenangan terakhir ada
pada Hiecun, maka itu, dalam kedukaan Lim Siauw
Chong perintah adakan pesta besar, untuk satu hari saja,
untuk gembirakan mereka yang masih hidup, yang sudah
berkelahi mati-matian.
Sehabisnya pesta, Yan Toa Nio dan gadisnya mohon
pamitan, katanya untuk berangkat memenuhi janji
terhadap Pian Siu Hoo. Ia haturkan terima kasih yang
mereka telah diterima di Hiecun, dan mereka telah dapat
bantuan. Mereka harap, kalau mereka selamat, supaya di
lain hari mereka dapat bertemu pula.
"Kita ada terhitung pihak Kiushe Hiekee, barangkali
kita akan kembali ke sini, dan tinggal tetap di sini," kata
nyonya Yan akhirnya.
"Aku lihat toanio berdua baik jangan terlalu terburuburu,"
Lim Siauw Chong kata. "Pian Siu Hoo baru kabur,
ia pasti belum siapkan diri, umpama toanio cari ia, ia
tentu tidak akan mau lantas menemui. Toanio telah
bantu kita, maka itu, aku anggap, kita juga tidak boleh
an-tap kamu bekerja sendiri. Aku suka pergi ke Hucunkang,
untuk membantu sedapat-dapatku. Syukur kalau
kita dapat bereskan Pian Siu Hoo, jikalau sebaliknya, aku
pun akan merasa puas. Karena gempuran Englok-pang
pada Hiecun, kita dari pihak Hiecun juga ingin bikin
pembalasan. Maka, toanio, sekarang urusan tidak
mengenai kau sendiri, hanya mengenai juga kita, adalah
selayaknya bila kita bekerja sama-sama. Benar, toanio,
aku tidak puas andaikata aku antap Pian Siu Hoo dapat
angkat kepala lagi di Hu-cun-kang!"
Cukat Pok bersenyum tawar kapan ia dengar ucapan
yang paling belakang ini.
"Lim loosu, bukannya aku hendak bakar kau, tetapi
kau keliru jikalau kau pandang demikian enteng pada
Pian Siu Hoo," berkata Souw-posu. "Pian Siu Hoo kabur
karena kekalahan hebat dan ia telah menantang Toa Nio,
aku percaya pasti, ia bersiap dengan tidak bekerja
sendiri, ia mesti undang orang pandai guna bantu ia. Ia
sudah menjagoi dua atau tigapuluh tahun di Hucun-kang,
apa mungkin benar-benar ia sudi tinggalkan daerah
pengaruhnya itu" Aku juga lihat Yan Toa Nio
memandang terlalu enteng! Menurut aku, baiklah kita
memahamkan urusan dengan teliti."
"Apa yang Cukat loosu bilang ada hal yang benar,"
kata Yan Toa Nio, "cuma dalam hal ini kami ibu dan anak
tidak dapat memikir jauh. Keinginan kita hanya
pembalasan sakit hati, lain tidak! Musuh memang liehay,
umpama kata kita celaka di tangannya, kita tidak
penasaran, kita mau anggap saja itu sebagai takdir.
Begitulah maka kami berdua tidak takut walaupun Pian
Siu Hoo minta bantuannya orang-orang gagah."
"Yan toanio, aku dapat mengerti kau," Hengyang Heein
turut bicara. "Sakit hati kau ada hebat, keinginanmu
adalah balas musuh dengan tangan sendiri, karena ini,
kau tidak ingin bikin lain-lain kerembet-rembet. Ini ada
maksud yang baik. Di sebelah itu, toanio sudah lupai
persobatan di kalangan Sungai Telaga dan Rimba
Persilatan. Bukankah menjadi tujuan utama kita, untuk
tolong si lemah, bantu hamba-hamba setia dan anakanak
berbakti, isteri-isteri yang bijaksana dan suci murni"
Bukankah harus kita bantu kau, toanio" Urusanmu kita
sudah dengar lama, sekarang kita dapat berkenalan
langsung dengan kau, apa kita boleh diam saja melihat
kau bekerja sendirian" Tidak! Apapula kita ketahui baik,
kau sekarang lagi hadapi bahaya! Kamu berdua saja,
mereka ada sejumlah besar, apa itu pantas diantapkan"
Mereka pun hendak membalas sakit hati, mereka hendak
angkat naik pula pamor mereka, malah mereka ada
kandung maksud jelek terhadap Hiecun ini lebih
mengharuskan kita untuk berada di damping kamu
berdua. Toanio, mari kita bekerja sama-sama! Urusan ini
baik kita damaikan dengan pikiran tenang."
Sampai di situ, Hee In Hong turut bicara
"Sian loosu, apa yang kau bilang, semua itu benar," ia
kata. "Meski begitu, aku lihat kita baik jangan terlalu
berkuatir. Pian Siu Hoo lari pulang, di Hucun-kang ia
tentu akan kumpul tenaga, maka sekarang, sebelum kita
bertindak, baik kita lebih dahulu selidiki padanya,
sesudah kita ketahui jelas, baru kita berdamai bagaimana
kita harus hadapi padanya."
Sebelum Yan Toa Nio kata apa-apa, Lim Siauw Chong,
yang manggut-manggut, sudah mendahului.
"Sekarang baik diatur begini saja," ia bilang. "Yan Toa
Nio berdua boleh berangkat lebih dulu, tapi jagalah
supaya orang tidak curigai kau, kemudian kita akan susul
kau. Satu hal yang pasti, kita tidak boleh bikin Pian Siu
Hoo kembali dapat lolos, itulah berbahaya dan berabe."
Yan Leng In lantas berbangkit. "Cuwie loo-cianpwee,
terima kasih untuk perhatianmu terhadap kami," ia
berkata. "Adalah tidak pantas bagi kami apabila kami
tampik kebaikan hati loo-cianpwee- Cuma satu hal aku
hendak minta, ialah andaikata loo-cianpwee sekalian
sampai di Hucun-kang, sebelumnya kita sendiri tempur
Pian Siu Hoo, jangan loo-cianpwee turun tangan. Urusan
Giokliong-giam baik dikesampingkan dulu! Kami akan
binasa dengan mata tak meram jikalau kami tidak dapat
bunuh sendiri pada musuh kita itu!"
Lim Siauw Chong bersenyum terhadap nona itu.
"Mengenai ini, nona, kau dan ibumu baik jangan
kuatir," ia berikan perkataannya. "Jikalau kita sampai di
Hucun-kang, itu tidak akan bikin kamu berdua menjadi
penasaran, kita akan biarkan kamu berdua turun tangan
sendiri!" Sampai di situ, pembicaraan sudah berakhir.
Hengyang Hie-in Sian Ie ada punya urusan di Kang-im,
ia akan berangkat sendiri. Souwposu Cukat Pok juga
tidak berkawan, karena sudah biasanya ia lebih suka
jalan sendiri. Lim Siauw Chong mempunyai perjanjian
dengan suheng-nya Tan Ceng Po, di Ciantong-kang,
sesudah itu ia baru mau pergi ke Hucun-kang, maka ia
jalan sama-sama Hee In Hong dan akan berpisahan di
tengah jalan. Di hari kedua, dengan tetap gunai perahu kecilnya,
Yan Toa Nio berangkat bersama anaknya Mereka dandan
sebagai nelayan. Tan Giok Kouw merasa berat ditinggal
pergi, maka dengan sebuah perahu, ia mengantar
sampai di mulut muara. Ia pesan dengan wanti-wanti
agar ibu dan anak itu kembali ke Giokliong-giam apabila
mereka sudah selesai mencari balas.
Leng In duduk di tengah dengan penggayuhnya,
ibunya pegang kemudi. Ia dapat menggayuh dengan
baik, maka perahunya telah laju dengan pesat.
Hengyang Hie-in dan yang lain-lain berangkat tidak
lama dari berangkatnya Yan Toa Nio dan anak. Lim
Siauw Chong berangkat paling belakang, karena lagi
sekali ia kumpulkan semua penduduk Hiecun, untuk
kasih mengerti pada mereka agar mereka bersatu dan
beragam membelai Hiecun, sebab musuh masih dapat
datang pula. la pun janji, satu waktu ia akan ajak Tan
Ceng Po datang, akan longok mereka. Katanya, ia harap
Kiushe Hiekee dapat pindah semua dari Hucun-kang ke
Giokliong-giam, sebab di Hucun-kang, suasana telah jadi
buruk dan mereka tidak boleh ikut-ikutan jadi tukang
berkelahi dan jahat.
Demikian, seperginya semua orang itu, Hiecun kembali
jadi seperti biasa, hingga Tan Tay Yong jadi berdebardebar
hatinya, karena sekarang ia mesti tanggung jawab
sendiri. Maka ia pun minta semua orang bersatu dan
berhati-hati, akan jaga diri.
Kita sekarang turuti Yan Toa Nio dan anaknya. Mereka
dapat menggayuh dengan cepat akan tetapi perjalanan
toh tidak dapat dibikin lekas sebagaimana yang mereka
harap. Selama masih berada di daerah Englok-kang,
saban-saban mereka berdaya akan menyingkir dari
orang-orang yang dicurigai, bukan karena takut, hanya
sebab mereka tidak mau hadapi rintangan dengan tak
ada perlunya. Baru setelah lewat tiga hari, mereka dapat
keluar dari daerah Englok-kang. Selama di perjalanan ini,
roman perahu mereka, mereka robah, hingga tidak
sembarang orang dapat mengenali perahunya kendati
tadinya orang pernah lihat. Mereka sendiri sengaja pakai
pakaian yang banyak tambalannya, rambutnya tidak
pernah disisir, muka tidak pernah disusut, hingga mereka
mirip dengan dua pengemis perempuan.
Di hari kesembilan, ibu dan anak ini telah mulai masuk
daerah Hucun-kang. Dari Tonglouw mereka menuju ke


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiantek, mereka menyingkir dari pusatnya Lankie-pang.
Karena perjalanan masih ada empat atau lima lie dari
pusat Kangsan-pang, mereka lantas singgah di satu
dusun nelayan kecil di dalam teluk. Syukur bagi mereka,
penduduk situ tidak terlalu perhatikan mereka. Leng ln
bicara dengan lidah Bin-at tetapi ibunya tidak dapat
robah lagu suara asalnya.
"Di sini kita mesti hati-hati," Yan Toa Nio pesan
anaknya. "Penduduk sini ada nelayan semua, karena
mereka hidup di atas Hucun-kang, harus disangsikan
yang mereka tidak punya hubungan dengan musuh kita.
Kita mesti jaga agar rahasia kita jangan terbuka. Kita
mesti berlaku hati-hati untuk mencari sarangnya Pian Siu
Hoo." Leng In perhatikan pesanan ibunya itu.
Dua hari lamanya Yan Toa Nio bergaul dengan
penduduk pesisir itu. Ia tidak mau lantas pergi ke udik.
Satu nelayan tua, Pok AKui namanya, diajak bicarabicara.
Nelayan itu telah berusia enampuluh lebih,
romannya polos.
"Mendengar suaramu, nyonya, kau mesti ada asal
Hucun-kang juga," kata orang she Pok itu. "Kangsanpang
berada di sini sudah beberapa turunan dan belum
pernah pindah, siapa saja hidup di muka air sini, ia tentu
ketahui di mana letak pusatnya, maka heran, sebagai
nelayan, kau tidak mendapat tahu...."
"Kau rupanya tidak dapat bedakan aku, loojinkee!"
Toa Nio kata sambil tertawa. "Benar aku asal Hucun-kang
tetapi sudah duapuluh tahun lebih aku berlalu dari sini,
hingga sekarang aku menjadi seperti seorang asing. Aku
ingat, sebelumnya aku pindah, aku mempunyai satu
keponakan yang bekerja di dalam Kangsan-pang,
sekarang aku tidak tahu, ia masih hidup atau sudah mati,
atau kalau masih hidup apa ia tetap masih bekerja pada
pusat. Andaikata aku bisa bertemu ia, aku percaya aku
tidak usah mengalami hidup sengsara terlebih jauh
seperti ini.... Kami berdua, ibu dan anak, hidup di muka
air, tapi lacur, kami tidak punya kepandaian, hingga kami
tidak dapat hidup sebagai nelayan. Aku pikir akan hidup
di darat saja...."
Nelayan tua itu manggut. Ia berniat buka mulut ketika
satu nelayan muda, yang sedang masak nasi di bagian
belakang, dului ia.
"Ayah, kau jangan kasih keterangan sembarangan,"
demikian katanya. "Kau hendak suruh orang pergi ke
pusat, siapakah yang mau dicari" Ayah tidak tahu, pusat
sekarang sudah pindah...."
"Kau ngaco!" orang tua itu membentak, sambil
menoleh ke belakang. "Mustahil pusat bisa pindah" Kau
masaklah nasimu! Aku tidak dapat salah!"
"Kau tidak percaya, ayah?" anak muda itu masih
berkata. "Memang adalah aneh, aku juga tidak percaya
kalau yang bicara dengan aku bukannya orang yang aku
percaya betul! Ia adalah Ciu Siu-jie, sobat kekalku. Baru
kemarin ia pulang dan lewat di sini. Ia juga anggap aneh
yang Kangsan-pang mesti pindahkan pusat! Sekarang ini
di pusat yang lama cuma ketinggalan berapa pengurus,
yang lainnya sudah pergi semua."
Si nelayan tua benar-benar heran, sampai ia berseru
tertahan. "Benar-benar aneh!" ia kata. "Kejadian ini tidak saja
aku belum pernah saksikan, dengar pun tidak. Kangsanpang
belum pernah pindah, sejak dahulu! Rupanya ada
terjadi suatu apa yang hebat...."
"Itulah aku tidak tahu," sahut si anak muda.
"Sebenarnya ketua Kangsan-pang ada ternama
melainkan adatnya ada sedikit keras. Kalau ia sampai
diusir entah berapa liehay-nya sang lawan itu...."
Yan Toa Nio unjuk roman tenang, meski ia juga
sebenarnya sedikit heran.
"Pian Siu Hoo pindah sarang, benar-benar ia ada
kandung suatu maksud," ia pikir. Ia menduga musuh
pasti sedang kumpulkan tenaga.
Lantas dengan diam-diam Yan Toa Nio berdamai
dengan anaknya.
"Ia sudah pindah, entah ke mana," ia kata. "Untuk
mencari tahu, mari kita dekati pusatnya. Kita jadi tambah
pekerjaan...."
Leng In setuju. Ia anggap, keterangan dapat
didapatkan hanya dari orang dalam.
Pada malam itu, jam dua antara gelap petang, dengan
hati-hati Yan Toa Nio lepaskan perahunya dari tambatan,
dan menggeleser di muka air, kemudian barulah
penggayuh dikasih kerja keras, hingga dengan laju
kendaraan itu menuju ke Go-cu-mui ialah pusat atau
sarangnya Kangsan-pang.
Oleh karena pesatnya perahu laju, pada kira-kira jam
tiga, perahu ini sudah sampai di dekat Gocui-mui. Mereka
tidak berani segera hampirkan sarangnya Kangsan-pang,
di satu pengkolan, tempat yang tersembunyi, mereka
tahan perahu mereka. Mereka mendarat, dengan turuti
gili-gili, mereka dekati mulut Gocui-mui, yang merupakan
suatu muara persegi tiga. Di situ berlabuh tiga perahu
besar dan dua perahu kecil. Penerangan di dalam perahu
kebanyakan sudah padam. Di perahu kiri ada cahaya api
dan sunyi nampaknya
Yan Toa Nio hampirkan perahu ini, dengan berani ia
loncat naik ke atasnya.
Yan Leng In, yang jalan belakangan, susul ibunya.
Di dalam perahu terdengar suara orang menggeros.
Yan Toa Nio pergi ke mulut gubuk perahu, Leng In
hampiri jendela.
Di dalam tertampak dua orang, yang satu rebah di
pembaringan, yang satunya di lantai perahu. Mereka
inilah yang kasih dengar suara mengorok.
Tentu sekali, dengan mengawasi saja, keterangan tak
didapatkan. Selagi Yan Toa Nio berpikir, Yan Leng In telah hampiri
ia, ketika ia menoleh, anak itu menunjuk ke atas. Lantas
saja ia mengerti, maka lantas juga ia loncat naik ke
gubuk perahu, terus ke atas tiang layar. Leng In
sebaliknya ambil galah kejen, yang dengan keras ia
timpukkan ke air, hingga dalam kesunyian, galah itu
menerbitkan suara berisik. Berbareng dengan itu, si nona
lari sembunyi ke belakang.
Lekas sekali, satu orang lari ke luar. Dan ia lantas
dapat lihat galah mengambang.
"A Su, mari, lekas!" ia memanggil. Ia mengulangi
sampai dua kali, barulah kawannya muncul, dengan
lungu-lungu. "Ho suhu, ada apa?" ia tanya, matanya kesap-kesip,
tindakannya limbung. "Ada apa suhu, kau kelihatannya
kaget...."
"A Su, hayo sadarkan diri'." orang itu menegur. "Apa
barusan kau tidak dengar suara apa-apa, begitu nyaring"
Tidak keruan-keruan galah kejen itu ceburkan diri ke air!
Aku kuatir di sini ada orang tidak diingini!...."
"Tidak bisa jadi!" jawab si A Su itu. "Kalau ada orang,
mustahil! Kita tidak dapat lihat! Tentu tadi galah tidak
ditaruh rapi, barusan karena tersampok angin ia rubuh
sendirinya! Kita jangan ibuk tidak keruan! Ketua kita
sudah pindah dari sini, biar ada urusan bagaimana besar,
tidak nanti orang cari kita. Kenapa suruh aku lihat
sebatang bambu" Kita tidak usah ambil peduli!"
"A Su, bukannya begitu!" kata kawannya, yang
rupanya mendongkol. "Bukankah di waktu mau pergi
ketua sudah bentahukan kita bahwa ia mempunyai
musuh, yang hendak satrukan padanya" Juga Gocu-mui
ada terlalu sempit, sedang urusan bukan urusan
coanpang, maka ia anggap tidak bagus akan bikin onar di
sini" Ketua toh sudah pesan, kalau ada orang cari dia,
kita mesti berikan keterangan menurut pesanannya,
sedikit juga jangan salah. Kau ketahui sendiri, ketua kita
tidak boleh dibuat permainan, kalau kita bikin salah,
kesudahannya ada hebat bagi kita. Mari kita periksa!"
Ditegur begitu, A Su tidak berani banyak omong lagi,
ia masuk ke dalam, untuk ambil lentera, tangan kirinya
menyekal golok. Dari depan ia pergi ke belakang, dari
sini ia loncat ke perahu sebelah, begitupun perahu
ketiga, ia periksa dengan teliti. Ia terus ditemani oleh
kawannya yang dipanggil Ho suhu. Mereka balik ke
perahunya dengan tidak dapati apa-apa, sesudah mutar
lagi di perahu ini, mereka masuk ke dalam.
Yan Toa Nio lantas loncat turun, dan Leng In juga
keluar dari tempat sembunyinya di bawahan kemudi,
tetapi ia terus naik ke gubuk perahu di mana ibunya
berada, maksudnya akan bicara satu pada lain.
Yan Toa Nio baru mau buka mulutnya kapan matanya
lihat suatu apa di tengah sungai.
"Mundur!" ia berbisik seraya tolak tubuh anaknya,
dengan ia kembali loncat naik ke atas tiang layar.
Leng In menurut, ia loncat turun, akan kembali ke
tempat sembunyinya tadi.
Apa yang nyonya Yan lihat adalah sebuah perahu kecil
yang mendatangi dengan lekas ke jurusan perahu besar.
Di atas perahu kecil itu segera muncul satu lentera
merah, yang digoyang beberapa kali.
Orang di perahu rupanya telah dengar suara perahu
itu, dua-duanya keluar dan menunggu di muka perahu.
Kapan perahu kecil itu sudah datang dekat, lentera
merah lantas disingkirkan.
"Saudara siapa di sana?" begitu menegur si orang she
Ho dari perahu besar. "Kenapa begini hari masih datang
kemari" Apa kau antarkan barang?"
"Ya, satu nota, yang ini malam juga mesti disampaikan
kemari. Katanya barang yang dimaksudkan sudah sampai
cuma belum tahu, di mana ditundanya. Dan kau, Ho suhu,
mulai malam ini, kau diminta menaruh perhatian.
Biar bagaimana juga, jual beli sekali ini tak bisa
dibatalkan lagi. Lauw Phoa sudah siap, akan sambut
tetamu kita itu, yang hendak dipapak secara baik-baik.
Cuma, andaikata ia sampai jauh terlebih siang, Lauw
Phoa kuatir ia tidak keburu sedia lengkap, kalau
perdagangan ini gagal, ia kuatir nama baik dari Kangsanpang
nanti termusnah anteronya! Ho suhu, kau di sini
sudah terima kabar atau belum?"
"Di sini tidak ada kabar sedikit juga," sahut si orang
she Ho. "Perahu-perahu berlayar tidak putusnya tetapi
kita belum pernah lihat perahu barang."
"Baiklah," kata orang dari perahu kecil itu. "Sekarang
Ho suhu sudah dapat ketahui, kita hendak kembali."
Perahu kecil itu lantas digayuh balik dan terus pergi
pula, dan Ho suhu serta kawannya pun masuk pula ke
dalam. Yan Leng In muncul pula setelah orang sudah
menghilang di dalam gubuk dan Yan Toa Nio dengan
hati-hati loncat turun dari tiang layar. Anak dan ibu
berkumpul menjadi satu. Dengan satu tanda gerakan
tangan, Yan Toa Nio ajak anaknya loncat turun ke muka
perahu di mana mereka umpatkan diri di pinggir pintu,
akan pasang kuping.
"Kau telah dengar sekarang," terdengar satu suara.
"Urusan sekarang tidak boleh dipandang lagi seperti
permainan anak-anak, selama dua hari ini, kita mesti
berlaku hati-hati. Ketua kita toh sudah terangkan pada
kita dalam dua hari ini bakal terjadi apa-apa, bahwa di
Haytong-kok sembarang waktu dapat kedatangan orang.
Kita sekarang mesti menunggu dan menjaga, kalau
terjadi kegagalan di pihak kita, sungguh malu. Apa kita
mesti bilang pada ketua kita" Kita harus mengaso
dengan bergiliran, kalau nanti sudah terang tanah dan
datang wakil kita, baru kita lepas tangan, kita boleh tidur
Seantero hari, tidak nanti ada yang larang!"
Leng ln lantas kasih tanda pada ibunya, ia terus ke
kepala perahu, akan terus loncat lebih jauh ke darat,
ibunya susul ia.
"Benar-benar Kangsan-pang telah pindah," kata si
nona, setelah mereka kumpul di darat, jauh dari perahu
musuh. "Di sini tidak ada orang yang penting. Perahu
kecil barusan mesti ada orang suruhannya Pian Siu Hoo,
yang datang dari sarang mereka yang baru itu. Mereka
sebut Haytong-kok, tempat itu, satu selat yang asing
sekali bagi kita. Pian Siu Hoo ambil tempat begitu asing,
itu menunjukkan terang daya upayanya atau rencananya
yang ditujukan terhadap kita. Ia ingin supaya kita tidak
lekas-lekas ketahui pernahnya pusatnya itu. Apa tidak
baik kalau sekarang kita susul dan kuntit perahu tadi"
Jikalau kita berhasil, kita tentu akan segera ketahui
sarangnya musuh kita itu!"
Yan Toa Nio manggut.
"Aku juga pikir demikian," ia kata. "Perahu musuh ada
kecil dan enteng, sekarang ia tentu sudah pergi jauh,
tetapi karena sekarang ada di waktu malam, tidak ada
halangannya untuk kita coba kejar padanya."
Ibu dan anak telah dapat kecocokan, lantas lekaslekas
mereka balik ke perahu mereka, yang mereka
segera bawa keluar dari tempat sembunyi, kemudian
dengan gunai tenaga, yang lebih besar daripada
biasanya, mereka bikin perahu itu bergerak cepat di
muka air. Mereka ambil tujuan menuju ke perahu kecil
tadi, ialah ke barat.
Begitu lekas sudah sampai di tengah sungai, perahu
bisa bergerak dengan leluasa, kendati jagat ada gelap.
Dari sini, perahu menuju lebih jauh ke jurusan barat
selatan. Mereka rasanya sudah laju jauh tetapi perahu
kecil tadi belum kecandak.
"Kita baik jangan berbuat begini bodoh," akhirnya Yan
Toa Nio kata. "Kita tidak ketahui jurusan yang musuh
ambil, kita juga tidak tahu di mana letaknya Haytongkok,
ke mana kita mesti menuju sebenarnya" Aku pikir


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik kita menunda, akan besok dengar-dengar
keterangan lebih dahulu."
Yan Leng In bisa setujui ibunya, maka itu, perahu
mereka tidak lagi laju pesat laksana melesatnya anak
panah, dan tujuan pun ke pinggir.
Selagi mereka hendak mengkol:
"Lihat di sana, di sebelah timur!" tiba-tiba Yan Toa Nio
berkata "Apa itu bukannya cahaya lentera merah?"
Leng In berpaling dengan cepat. Benar, seperantaraan
lepasan anak panah, ia tampak cahaya merah yang kecil,
yang bergerak-gerak. Tapi, selagi mengawasi, cahaya itu
lantas Ienyap. "Ibu, mari kita susul cahaya itu," kata si nona. "Itu ada
cahaya yang sama dengan yang tadi di Gocu-mui.
Jangan-jangan di sana ada pelabuhan mereka...."
Yan Toa Nio putar tujuan perahunya selagi si anak
belum tutup mulutnya, maka Leng In bisa lantas
menggayuh. Mereka berlaku hati-hati, supaya penggayuh
tidak menerbitkan suara air berisik.
Tidak antara lama, mereka sudah sampai di tempat di
mana mereka tadi lihat cahaya api menghilang. Itu
adalah muka air yang menjadi tempat bertemunya tiga
aliran sungai. Tiga atau empat perahu mayang tertambat
di pinggiran, tetapi perahu kecil tadi tidak tertampak.
Yan Leng In memandang ke depan dengan tidak
peroleh hasil. "Ibu!" kata ia seraya tangannya menunjuk ke selatan.
Yan Toa Nio gayuh perahunya masuk ke dalam
perapatan, atau sha-cee-kauw, tapi sebelum ia masuk
jauh, di sebelah belakangnya, ia dengar suara
penggayuh, apabila ia menoleh, ia lihat sebuah perahu
kecil lagi mendatangi. Karena ia menduga pada musuh,
yang berbalik menguntitnya, ia gunakan tenaganya, akan
bikin perahunya laju pesat. Ia sering-sering menoleh, ia
lihat ia sedang dibuntuti dari kejauhan.
"Perlahan sedikit, biar ia dapat susul kita," katanya
pada anaknya. Sudah terlanjur, ia tidak bisa sembunyi
lagi. Leng In memperlambat gerakan tangannya, dan
kepala perahu ia tujukan ke pinggir.
Apamau, perahu di belakang pun jadi perlahan
lajunya, maka itu sekarang telah jadi terang, perahu itu
sedang menguntit.
"Coba berhenti, lihat, cara bagaimana ia ikuti kita,"
Leng In kata pada ibunya.
Yan Toa Nio menurut. Perahu mereka segera dikasih
minggir. Dengan perlahan, perahu kecil di belakang itu berlayar
dan lewat. Penumpangnya ada tiga orang, satu kemudi,
dua menggayuh. "Ibu jangan kasih diri kita dipincuk," kata Leng In.
"Terang perahu itu ada perahu Kangsan-pang, ia lagi
berdaya supaya kita tidak bisa susul perahu kecil di
depan tadi. Mari kita maju!"
"Sabar," Toa Nio jawab anaknya. "Kasih ketika untuk
aku mengingat-ingat. Dulu aku pernah lewat di
perapatan itu. Jurusan barat utara ada jalanan langsung
dua, yang lain ada untuk ke Iehang dan ke suatu tempat
sunyi, kalau tidak salah, Tohhoa-thong namanya. Dalam
satu tahun, melainkan di bulan dua dan tiga ada banyak
perahu pesiar. Di sana, sepanjang sepuluh lie, semua
ada pohon-pohon tohhoa yang indah. Kecuali dalam dua
bulan itu, tidak ada perahu pergi ke sana. Mari kita coba
menyelidikinya...."
Baru saja nyonya Yan berhenti berkata atau dari
jurusan barat utara ada muncul sebuah perahu kecil,
keluarnya dari tempat penuh gelaga, lajunya pesat
sekali. "Lihat itu perahu kecil, ibu!" kata Leng In. "Terang ia
telah sembunyi di sini! Mari kita susul padanya!"
Toa Nio juga merasa aneh, sambil menjawab,
"Baiklah!" ia geraki penggayuhnya.
Mencurigai ada perahu kecil di depan itu. jalannya
sebentar cepat, sebentar perlahan, dan nyonya Yan tidak
mampu menyandak, malah satu kali, ia seperti lenyap
tetapi lekas muncul pula! Adalah setelah menghilang
buat kedua kalinya, ia lenyap betul-betul.
Yan Toa Nio sudah mengejar jauhnya tujuh atau
delapan lie, tempat ada istimewa sunyi, malah kadangkadang
perairan pun sempit, lebarnya hanya beberapa
kaki, di kedua tepi penuh dengan gelagah dan
pepohonan air lainnya. Nyata sekali, itu cocok untuk
tempat banyak. Setelah melalui belasan lie, Yan Toa Nio dan anaknya
sampai di tempat, di mana mereka lihat dua tempat
pemberhentian perahu. Ketika itu, sudah waktunya fajar.
"Kita tidak boleh sembarangan maju lebih jauh," kata
Yan Toa Nio "Perahu kecil telah lenyap, kita berada
dalam bahaya. Kalau ia benar ada dari pihak KangsanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pang, pasti ia sedang permainkan atau sedikitnya mereka
akan tertawakan kita, dan katakan tolol..."
Cuaca sudah mulai terang, keadaan di sekitarnya
sudah mulai dapat dilihat nyata.
"Ibu, apa itu yang nampaknya hitam di pinggiran,"
Leng In tanya, tangannya menunjuk itu. "Di sini memang
ada beberapa kampung Mari kita mampir, akan tanya
keterangan hal Haytong-kok. Asal benar itu adalah
selatnya, mesti ada orang yang ketahui."
Mereka berlaku hati-hati tetapi mereka tidak takut.
--ooo0dw0ooo-- VII Di muka kampung kelihatan dua orang tani, yang mau
pergi ke sawah, mereka ini telah dapat lihat itu ibu dan
anak, mereka mandek sebentar, akan menoleh ke
sekitarnya, lantas mereka jalan terus.
Yan Toa Nio cepatkan tindakannya
"Jiewie lauwko, tunggu sebentar!" nyonya kita
memanggil. "Tunggu, aku hendak minta sedikit
keterangan."
Selagi dua orang tani itu berhenti bertindak, si nyonya
hampirkan mereka.
"Aku numpang tanya apa di dekat-dekat sini ada selat
Haytong-kok?" ia tanya.
Orang yang ditanya agaknya melengak, ia menoleh
pada kawannya, yang pun kelihatannya tercengang,
tetapi lekas juga ia berpaling pada nyonya kita.
"Kami tidak tahu di mana letaknya Haytong-kok," ia
menyahut. "Ada apa nyonya cari selat itu?"
"Kami berdua mau sambangi sanak kami," jawab Yan
Toa Nio. "Sanak kami itu tinggal di Haytong-kok, sudah
lama kami tidak pernah datang, dari itu kami lupa di
mana adanya Haytong-kok itu. Jalanan mana kami mesti
ambil?" Mendadak orang tani itu tertawa.
"Mestinya kau salah ingat, nyonya!" berkata ia
kemudian. "Tentang namanya Haytong-kok, kau tidak
menyebut keliru, yang salah adalah sangkaanmu. Di
dalam itu selat tidak bisa ada orang yang tinggal! Lebih
baik nyonya jangan lelahkan diri lagi, selat itu kau tidak
nanti dapat cari!"
Yan Toa Nio lantas menduga jelek, karena
perkataannya itu orang ada putar balik.
"Orang tidak ketahui jelas, buat apa tanya melitmelit,"
kata Leng In, yang tidak sabaran. Ia tahu pasti
yang orang-orang tani itu tidak sudi bicara. "Bisa jadi kita
yang keliru, mari kita cari ke lain jurusan...." Yan Toa Nio
mengerti maksud puterinya.
"Terima kasih, jiewie," ia kata seraya manggut pada
dua orang itu. Orang tani itu putar tubuhnya, akan lanjutkan
perjalanan mereka ke sawah, tetapi baru sepuluh tindak
lebih, mereka sudah menoleh pula ke belakang, terus
sampai dua kali.
Yan Toa Nio dan Leng In lihat sikap orang, mereka
tidak mengambil peduli, malah sambil tunduk, mereka
jalan terus, menuju ke kampung.
"Ibu, terang dua orang itu tahu Haytong-kok tetapi
mereka tidak mau kasih tahu," kata Leng In, setelah
mereka jalan jauh, tapi ia bicara dengan pelahan. "Bisa
jadi mereka ada sangkutannya dengan Kangsan-pang.
Aku percaya sekalipun di dalam kampung, kita bakal
tidak peroleh apa-apa. Mestinya itu selat berada di dekat
sini." Yan Toa Nio manggut, ia setujui dugaan anak itu.
Mereka sudah mendekati kampung. Melihat rumahrumah,
terang di situ kebanyakan ada tinggal orangorang
miskin. Dari mencilnya rumah-rumah, terang
kampung itu bukan dari suatu pamili. Rumah-rumah ada
beberapa puluh, kebanyakan tidak dengan pekarangan
depan atau ceracapan.
Dari sebuah rumah, yang dikurung dengan pagar,
kelihatan muncul seorang perempuan tua bersama satu
bocah perempuan, pakaian mereka sudah tua. Bocah itu,
dengan sebatang kayu, ada menggebah tiga ekor
kambing. Si orang tua mengawasi sambil berhenti berdiri
di muka pintu. "A Lan, hati-hati!" kata nyonya tua itu. "Jaga supaya
kambing kita tidak melintas ke sawah dan kebunan, nanti
orang usil mengatakan kita...."
Yan Toa Nio hampirkan orang tua itu.
"Selamat pagi, encie!" ia berkata. "Aku numpang
tanya, apa di sini ada tempat atau selat yang dipanggil
Haytong-kok?"
Nyonya itu mengawasi kedua tetamunya dengan
bergantian, ia unjuk roman kaget atau curiga.
"Nama tempat itu asing sekali bagi aku," ia menyahut
kemudian, dengan suara tidak lampias, "boleh jadi itu
bukan terletak di sini... aku belum pernah dengar...."
"Pada kira-kira lima atau enam tahun berselang, kami
pernah datang kemari," terangkan Yan Toa Nio, "kami
tahu letaknya Haytong-kok ada di sini tetapi kami sudah
lupa di sebelah mana.... Encie tinggal di sini, mengapa
encie tidak tahu"...."
Mukanya si nyonya tua menunjukkan roman likat.
"Harap nyonya tidak tertawakan aku...." kata ia
kemudian. "Kami ada orang-orang desa, benar kami
terlahir di sini, tetapi kami tidak pernah mengisar jauh
dari sawah dan kebun kami, jangan kata tempat yang
jauh, tempat di sekitar bukit ini saja aku belum pernah
pergikan.... Boleh jadi ayahnya si A Lan tahu, sayang ia
tidak ada di rumah.... Coba nyonya tanya orang lain....
Kalau nyonya tidak katakan aku seorang tua yang doyan
omong, andaikata tidak ada urusan sangat penting,
baiklah nyonya jangan capaikan hati terlebih jauh.
Daerah sekitar kami ini ada sangat tidak aman, sampai
kita sendiri, untuk cari kayu, tidak berani pergi ke
bukit..." "Ada ancaman bahaya apakah di sini?" Yan Toa Nio
tegasi. "Paling juga ada gangguan dari serigala...."
"Aku sudah bicara, nyonya. Aku sudah tua, kalau aku
mau bicara sama kau, tentu dengan maksud baik."
Leng In kutik ibunya.
"Terima kasih, uwa," ia kata. "Baiklah kami nanti pergi
ke lain tempat saja."
Nyonya tua itu tidak menjawab, hanya ia ngoceh
sendirian, "Satu nona yang elok di kampung kita tidak
ada yang bisa tandingi...."
Yan Toa Nio haturkan terima kasih pada si nyonya, ia
ajak anaknya berlalu, baru saja mereka jalan belasan
tindak, atau mereka dengar si orang tua kata pada
mereka. "Kau orang berdua baiklah percaya aku. Di daerah ini
tidak ada Haytong-kok. Jangan kau orang jalan asrukasrukan
ke sekitar bukit ini. Aku bicara dengan
sejujurnya, dengan maksud baik...."
Lantas terdengar ia menghela napas.
Yan Toa Nio pandang puterinya, lantas berdua mereka
bersenyum. Mereka berpura-pura tidak mendengar,
mereka jalan terus. Sebentar kemudian, mereka sudah
berada jauh juga dari kampung itu.
"Kau lihat ibu!" kata Leng In. "Terang Haytong-kok
berada di bilangan ini. Penduduk sini ada orang-orang
miskin, mereka tentu berada di bawah ancaman atau
pengaruh, maka mereka tidak berani banyak omong.
Mereka ini adalah bangsa lemah, sebaliknya pihak
Kangsan-pang ada bangsa galak, bisa dimengerti yang
mereka ini takut...."
Yan Toa Nio manggut, ia benarkan anaknya itu.
Mereka sekarang menuju ke mulut bukit. Mereka
terbenam dalam kesunyian. Begitu lekas mereka
bertindak masuk di mulut jalanan, mereka tidak lihat lagi
rumah orang. Malah sebaliknya, jalanan ada sukar.
Kereta pasti tidak bisa lewat di situ. Di kiri dan kanan ada
banyak pepohonan, penuh dengan rumput tebal dan
oyot. Setelah melalui kira-kira setengah lie, Toa Nio dan
Leng In lihat di depan mereka, di tepi jalanan, ada berdiri
dua orang lelaki, semua dengan pakaian ringkas, tapi
tangan mereka tidak menyekal senjata, usia mereka kirakira
tigapuluh tahun.
Mereka ini terus mengawasi
Toa Nio dan anaknya jalan terus, sampai mereka telah
datang dekat. "Kau orang mau pergi ke mana?" tiba-tiba salah
seorang menegur. "Jangan maju lebih jauh!"
Yan Toa Nio hentikan tindakannya, ia awasi itu dua
orang. "Kenapa kita dilarang maju?" ia tanya.
"Jangan keliru mengerti, nyonya," kata orang yang


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satunya "Kita cegah kau orang dengan maksud baik.
Mustahil kau orang hendak antarkan diri ke mulut
harimau?" "Tolong kau kasih keterangan lebih jelas, aku tidak
mengerti," kata Yan Toa Nio.
"Bukit ini tidak aman," menyahut orang yang kedua
itu. "Entah dari mana datangnya, di sini ada mengeram
banyak binatang liar, malah di waktu siang, mereka
berani muncul akan ganggu orang. Kita semua ada
pemburu, di sebelah depan sana kita telah gali lubanglubang
jebakan, yang diperlengkapi dengan kawat-kawat.
Kita ingin tangkap semua binatang liar di sini, supaya
selanjutnya tidak ada lagi gangguan bagi orang-orang
yang berlalu lintas. Kau orang ada orang perempuan,
cara bagaimana kau orang bisa jalan di sini" Silakan kau
orang kembali!"
"Terima kasih, tuan-tuan," berkata Yan Toa Nio, yang
tadinya membelar. "Kalau kita tidak ambil ini jalan artinya
kita mesti mutardan buang-buang banyak sekali tempo,
mungkin berhari-hari, itu ada terlebih hebat bagi kita.
Harap kau orang tak usah pedulikan lagi pada kita, kita
ada punya kebisaan, barangkali kita tidak sampai kena
diganggu binatang liar!"
Setelah kata begitu, Yan Toa Nio sengaja lantas
bertindak. "Kau benar aneh, nyonya!" kata pemburu itu. "Kita
benar-benar bermaksud baik, kenapa kau tidak sudi
dengar kita" Kita orang ada terdiri dari belasan saudara,
untuk atur perangkap, kita sudah korbankan modal dan
tenaga, kalau sekarang kau orang ambil ini jalanan, apa
kau orang tidak jadi rugikan kita" Bagaimana kau
sanggup ganti kerugian itu" Baik kau mundur, nyonya.
Kau harus ketahui, kecuali lubang jebakan, kita pun ada
atur jepretan panah, maka apabila kau tidak sayang diri,
pergi kau maju terus, nantinya jangan kau sesalkan
kita!...."
Yan Toa Nio tersenyum.
"Kau orang tidak pakai aturan, tuan-tuan," ia kata.
"Melulu untuk kau orang tangkap binatang alas, lantas ini
jalanan kau tutup untuk umum! Aku tidak percaya pada
gangguan binatang liar itu, kita mau maju juga!"
Kedua pemburu itu mundur, mereka bersenyum sindir.
"Benar-benar kau aneh, nyonya! Belum pernah kita
kenal perempuan kepala batu seperti kau! Kita sudah
kasih nasehat, kau orang mau memaksa antarkan jiwa,
karena kau orang sudah bosan hidup, jangan kau nanti
sesalkan orang!...."
Lantas saja berdua mereka lompat mundur, naik ke
tempat yang tinggi.
Yan Toa Nio dan puterinya sudah siap akan buka
tindakan mereka tatkala dari sebelah depan, muncul dari
tikungan seorang yang lari-lari sambil berseru, "Nyonya,
jangan bikin orang mendongkol! Mereka ini bermaksud
baik! Jiewie, silakan mundur! Mari kita orang bicara
dengan cara baik! Menolong satu jiwa ada lebih menang
daripada mendirikan menara tujuh tingkat, tapi kalau kita
celakakan orang, ia pun setan tidak mau pergi!...."
Suara itu ada luar biasa. Si kedua pemburu, yang niat
undurkan diri ke dalam rimba, jadi berdiri diam. Dan
nyonya kita, yang mau bertindak, jadi tunda dahulu
niatannya, sebaliknya, bersama puterinya, ia mengawasi.
Orang yang lagi mendatangi itu telah berusia
tujuhpuluh lebih, tubuhnya kecil tetapi jangkung,
mukanya kurus, alisnya panjang melewati ujung mata,
sedang kumis dan jenggotnya, yang panjang setengah
kaki lebih, sudah putih semua. Ia pakai baju biru dengan
celana kutung, kakinya hanya memakai sepatu rumput,
betisnya dibiasakan telanjang. Ia terus berlari-lari hingga,
ketika ia sampai, napasnya ada tersengal-sengal.
Yan Toa Nio dan gadisnya diam mengawasi, kedua
pemburu itu agaknya heran.
"Jiewie lauwko, mari turun," kata si orang tua, yang
dandan sebagai satu nelayan. "Aku si tua bangka ini ada
seorang yang usil, yang suka campur tahu urusan lain
orang...."
Dua pemburu itu menurut, mereka loncat turun dan
menghampirkan. Yan Toa Nio lihat gerakannya dari pemburu itu, yang
terang ada punya kepandaian, maka mereka mestinya
bukan pemburu-pemburu biasa saja. Ia menduga orangorang
itu dari Kangsan-pang.
Dua orang itu lantas awasi si orang tua, dari atas ke
bawah. "Orang tua, kau bikin apa?" lantas satu di antaranya
menanya. "Kenapa kau justru datang dari atas bukit?"
"Jiewie menjaga di mulut jalanan, kenapa jiewie tidak
lihat aku lewat?" orang tua itu balik tanya. "Baru saja
satu jam kira-kira yang aku bulak-balik di sini, aku
kembali karena aku ketemu batunya! Barusan aku baru
sampai di mulut tikungan ketika aku dengar
pertengkaran kau orang, maka aku datang untuk
mendamaikan...."
Lantas ia menoleh pada Yan Toa Nio, sambil manggut,
ia kata terus, "Nyonya aku harap kau suka dengar orang
punya omongan. Jalanan ini benar-benar tidak bisa
dilalui, di sebelah dalam, semua ada lubang-lubang
jebakan, siapa kejeblos jatuh karena tidak berhati-hati,
untungnya luka, celakanya binasa. Dua saudara ini telah
menjadi satru-satrunya binatang-binatang alas, asal saja
mereka saling dapat lihat, kendati baru bayangannya,
mereka lantas tidak saling mengasih hati! Begitulah aku
si tua bangka, barusan hampir-hampir aku antarkan
jiwaku, maka itu, aku tidak kesudian menghadapi bahaya
lagi! Maka, nyonya, baik kau ambil lain jalanan, jangan
kau jalan di sini...."
Kembali ia menoleh pada dua pemburu itu.
"Jiewie lauwko, ucapanku benar atau tidak?" ia tanya.
"Di dalam ini bukit ada sembunyi sama sekali makhlukmakhluk
yang berbulu yang hatinya malang melintang,
maka juga, seorang baik-baik, siapa kesudian bersatru
sama segala binatang liar" Jiewie lauwko, kau orang
lelah, terima kasih! Kita orang memang tidak mau
permainkan jiwa kita.... Nyonya, apa kau tidak mau
lekas-lekas berlalu dari sini?"
Sembari kata begitu, orang tua ini bertindak pergi,
selagi ia lewatkan si nyonya, ia kedipkan matanya,
kemudian, dengan tidak menoleh lagi, ia berjalan terus.
Kedua pemburu merasa heran dan curiga menampak
kelakuan sebagai orang edan atau tolol dari si orang tua
itu, tetapi karena orang itu sudah lantas berlalu, mereka
tidak ambil tindakan apa-apa.
Yan Toa Nio sementara itu bisa menduga maksudnya
si orang tua, ia tidak mau kukuhkan sikapnya barusan,
sambil berpaling pada anaknya, ia kata, "Mari, nona! Si
orang tua barusan telah ketemu batunya, kita juga baik
jangan cari penyakit. Masa jalanan cuma di sini" Mari kita
kembali!" Dengan tidak tunggu jawaban, nyonya kita lantas
putar tubuhnya dan pergi.
Di saat ibu dan anak itu memutar tubuh, kedua
pemburu kasih dengar mereka punya tertawa menyindir,
tetapi Yan Toa Nio dan anaknya tidak ambil mumet,
mereka terus berjalan pergi, akan susul dan cari si orang
tua. Untuk keheranan mereka, melihat tidak ada orang di
sekitar situ, sedang di situ tidak ada pohon-pohon atau
gombolan rumput yang lebat di mana orang bisa
umpatkan diri. "Apakah benar ia bisa jalan cepat luar biasa?" pikir
nyonya kita. "Leng In, mari!"
Mereka telah jalan terus sampai di tepi sungai di mana
ada tertambat perahu mereka.
"Orang tua tadi ada aneh," kata Toa Nio pada
anaknya. "Selagi ia lewat di sampingku, terang ia ada
kedipkan mata. la seperti telah ketahui maksud kita. Ke
mana ia pergi sekarang" Kita mesti cari padanya!...."
Mereka berdua di pantai, mata mereka celingukan.
Tiba-tiba, beberapa tombak jauhnya, di antara
gombolan telaga, mereka dengar suara air yang
tergayuh. "Ia rupanya naik perahu!" kata Leng In.
Yan Toa Nio memandang ke jurusan dari mana suara
itu datang, ia lantas tampak munculnya sebuah perahu
kecil, yang laju ke jurusan udik, tetapi penumpangnya,
satu orang, sukar buat dikenali, karena satu tudung yang
lebar ada menutupi kepalanya, hanya, samar-samar, dia
itu seperti si orang tua tadi.
"Mari kita susul padanya!" kata Yan Toa Nio kemudian.
Maka, berdua, ibu dan anak ini, lantas kasih kerja
penggayuh mereka. Perahu mereka laju pesat, tetapi
perahu di depan sukar untuk dicandak. Dengan lekas
mereka sudah lalui dua atau tiga lie, tetapi jarak mereka
satu pada lain tetap ada empat atau lima tombak
jauhnya. "Mustahil kita berada di sebelah dianya?" kata Yan
Leng In, yang penasaran. "Mari kita susul dan lewatkan
padanya, akan lihat dia sebenarnya ada orang macam
apa!" Yan Toa Nio tidak menjawab, hanya penggayuhnya,
yang bekerja terlebih cepat.
Perahu di depan mengkol di satu tikungan, dari situ
tujuan ada sebuah pesisir di mana ada tumbuh banyak
pohon yangliu. Kelihatan darat di situ ada sebuah
kampung kecil. Selagi Yan Toa Nio berkutet sama penggayuhnya,
perahu di depan sudah berlabuh dan penumpangnya
telah naik di gili-gili, tapi, sekarang nyonya kita sudah
bisa lihat dengan pasti, itu orang adalah si orang tua
tadi! Sebenarnya Yan Toa Nio hendak teriaki itu, tatkala si
orang tua menoleh ke belakang, kepalanya digoyanggoyang,
tangannya menunjuk ke depan di mana ada
rumah orang. Karena ini, nyonya itu batalkan niatannya.
Ia bisa menduga bahwa ia telah disuruh menyusul ke
darat. "Ibu, ia kelihatannya aneh sekali," kata Leng In. "Ia
kasih tanda supaya kita susul ia, apa kita boleh turut
tanda-tandanya itu?"
Yan Toa Nio manggut.
"Sikapnya ada luar biasa tetapi romannya ada baik, ia
mestinya bukan anggota lawan kita," kata si ibu. "Entah
ia ada kandung maksud apa.... Mari kita ikuti padanya,
tidak usah kita takut...."
Yan Leng In turut ibunya, sesudah tambat perahu
mereka, mereka lompat ke darat, bertindak mengikuti
jurusannya si orang tua. Kampung di situ terdiri dari kirakira
empatpuluh buah rumah dan mereka kebanyakan
ada dari pamili nelayan, sebagaimana hampir di setiap
depan atau samping rumah ada, dijemur jala atau jaring
atau lain-lain pesawat buat menangkap ikan. Keadaan
sunyi, dan ada sedikit orang tampak mundar-mandir di
luar rumah. Seorang tua kelihatan bertindak ke pintu pagar dari
suatu rumah dan di muka pintu ia berdiri, lantas Yan Toa
Nio dan anaknya maju meng-hampirkan orang itu, siapa
mendahului manggut seraya terus mengundang.
"Jikalau kau orang berdua, ibu dan anak tidak curigai
aku, silakan masuk," kata ia dengan manis.
Yan Toa Nio unjuk hormatnya.
"Kita orang belum lagi kenal, aku malu akan ganggu
kau, loo-jin-kee," ia kata. "Apa loo-jinkee sudi
perkenalkan dirimu dan menerangkan apa sebabnya
maka kau telah ajak kita berdua datang kemari?"
Orang tua itu bersenyum.
"Toanio, janganlah dahulu tanya aku punya she dan
nama," ia menyahut. "Dengan sebenarnya, aku tidak
kenal kau orang ibu dan anak, tetapi satu orang telah
terangkan hal kau orang kepadaku dan ia pesan aku agar
aku setiap waktu bisa bantu kau di mana yang perlu.
Orang itu inginkan aku mencegah kau orang terjatuh ke
dalam akal muslihatnya itu orang-orang yang serong
hatinya." "Aku mohon janganlah loo-jinkee bersangsi buat
segera omong terus terang kepadaku," Yan Toa Nio
berkata pula "Siapa itu orang, yang pesan agar loojinkee
bisa membantu kita ibu dan anak?"
Orang tua itu tolak pintu pagar.
"Apakah toanio kenal Lim Siauw Chong dari Kiushe
Hiekee?" ia tanya dengan perlahan.
Melihat orang bicara begitu perlahan, Yan Toa Nio
hanya manggut. "Aku ada Tan Ceng Po," kemudian si orang tua
perkenalkan diri. "Kau tentu percaya bahwa terhadap kau
orang berdua, aku tidak ada kandung maksud jelek...."
Mendengar nama itu, Toa Nio dan gadisnya
terperanjat, malah si nyonya segera unjuk hormatnya.
"Oh, kiranya Tan loo-cian-pwee!" ia kata. "Loocianpwee,
maafkanlah kita berdua, ibu dan anak, yang
seperti tidak punya mata...."
Si orang tua tidak kata apa-apa, ia hanya bertindak
masuk, maka ibu dan anak itu lantas mengikuti. Mereka
hampirkan rumah, yang terdiri dari tiga ruangan, yang di
samping ada kecil. Di paseban, semua ada bersih dan
terawat baik. Sesampainya di muka pintu, terdengar Tan Ceng Po
berkata, "Cukat loosu, kau lihat, perjalananku ternyata
tidak sia-sia belaka! Kau lihat, aku berhasil mencari
mereka ibu dan anak!"
Dari dalam rumah sudah lantas terdengar suara orang
menyahut yang diikuti dengan tindakan kaki yang
berjalan keluar, tetapi sebelum orang itu muncul, Yan


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Toa Nio punya hati telah terbuka, karena ia telah
menduga, orang di dalam rumah itu mestinya ada
Souwposu Cukat Pok, salah satu orang gagah yang ia
telah ketemui di dalam Giokliong-giam Hiecun.
Lekas juga Cukat Pok muncul dari ruangan sebelah
timur, karena Yan Toa Nio pun terus bertindak masuk,
mereka telah bertemu di thia.
"Cepat sekali kau orang datang!" kata Cukat Pok.
"Toanio, aku kagum sekali untuk kesehatan kau orang!
Karena kau bisa datang begitu cepat, kau tentunya telah
ketahui juga halnya Kangsan-pang telah pindahkan pusat
mereka di Gocu-mui."
"Cukat loosu, kau benar ada satu kuncu!" Yan Toa Nio
pun memuji. "Kita ibu dan anak ada sangat berterima
kasih pada kau, yang telah bikin perjalanan begitu jauh
datang kemari untuk membantu kita!"
"Jangan sungkan, toanio," Tan Ceng Po campur
bicara. "Cukat jietee-ku ini memang ada orang yang
paling boleh dipercaya di dalam kalangan Rimba
Persilatan kita! Jangan kata orang-orang yang menjadi
sahabatnya Lim sutee-ku, sekalipun lain orang, di mana
yang perlu, ia tentu akan angsurkan tangannya! Silakan
toanio berdua duduk, mari kita orang bicara!"
Toa Nio merasa ketarik sama caranya thia itu
diperlengkapi, semua dengan sederhana, kursi meja ada
lengkap dan bersih. Ia dan anaknya menghaturkan
terima kasih, baru ia ambil tempat duduk.
"Tadi malam aku pergi ke Han-kee-cee akan coba
bikin penyelidikan," kata tuan rumah kemudian,
"kebetulan sekali aku dapatkan toanio sedang menguntit
perahunya anggota Kangsan-pang. Sebenarnya di shaceekauw, pihak Kangsan-pang sudah siap untuk turun
tangan, hanya tidak secara berterang, mereka mau suruh
saudara-saudara mereka yang pandai berenang dan
selulup bekerja dari dalam air, agar kau orang ibu dan
anak bisa merasai pahit getir, agar dengan begitu,
mereka bisa perlihatkan pengaruh mereka. Tapi aku
telah rintangkan mereka itu. Mulut jalanan gunung, yang
toanio hendak masuki, memang ada jalanan buat pergi
ke selat Haytong-kok, hanya, buat sampai ke lembah,
perjalanan masih ada belasan lie. Ketika Pian Siu Hoo
berhasil menduduki itu lembah, beberapa penduduk situ
ia telah usir, dengan begitu di sepanjang jalan ia
merdeka mengatur penjagaan-penjagaan. Sementara ini,
Pian Siu Hoo masih belum niat ketemui toanio berdua. Ia
sudah pikir, pertemuan ini kali ada pertemuan untuk
penghabisan kali: ia lebih suka batu dan kumala terbakar
habis sama-sama! Ini juga sebabnya kenapa pusatnya
dipindahkan ke dalam Haytong-kok. Untuk membantu ia,
ia sudah undang beberapa orang ternama dari kalangan
Sungai Telaga. Karena itu, toanio, pasti ia tidak mau
sembarangan ijinkan kau lancang masuk ke dalam
lembahnya. Inilah sebabnya juga, kenapa aku cegah kau
orang punya niatan melanggar bahaya. Cukat jietee
datang kemari atas kehendaknya Lim sutee-ku, agar aku
diberitahukan duduknya perkara, supaya aku bisa
sekalian bantu kau. Tidak melainkan kau orang ibu dan
anak yang bermusuhan sama Pian Siu Hoo, juga kita dari
pihak Kiushe Hiekee, sebab ini ada soal mati hidup dari
pihak kita. Urusan Giokliong-giam Hiecun jadi bisa
dipakai alasan untuk sekalian bereskan urusan Hucukang.
Selama pihak Kangsan-pang masih hidup, sukar
pihak Kiushe Hiekee berdiri dengan tenteram. Maka,
toanio, aku undang kau datang kemari, untuk kautunda
dahulu tindakanmu. Sekarang aku sudah undang
berkumpul beberapa orang yang bisa diandalkan dari
pihak Kiushe Hiekee, kalau nanti mereka sudah kumpul
semua, aku hendak tantang Kangsan-pang akan
tetapkan suatu tanggal guna kita orang lakukan suatu
pertarungan yang memutuskan, untuk mati atau hidup
kita! Perkara tempat, Kangsan-pang boleh pilih iapunya
lembah Haytong-kok. Pian Siu Hoo seorang tidak usah
dibuat kuatir, bukannya aku Tan Ceng Po takabur, aku
tidak pandang mata padanya, hanya "apa yang mesti
dipikirkan adalah beberapa orang kawannya, yang berdiri
di belakangnya. Jikalau mereka semua dapat diundang
kumpul di Haytong-kok, benar-benar kita orang mesti
berlaku luar biasa hati-hati. Dengan kumpulnya mereka,
tidak saja urusan kau sendiri bisa gagal, toanio, juga
urusan kita. Dari itu sekarang, sebelumnya kita turun
tangan, aku ingin cari tahu dahulu kekuatan pihak
Kangsan-pang, kemudian baru kita bisa pikirkan daya
upaya akan hadapi mereka."
"Terimah kasih, loo-cianpwee," kata Yan Toa Nio,
yang tidak sangka bahwa urusan telah berubah menjadi
hebat demikian rupa. "Kalau dalam urusan membalas
sakit hati kita tidak punya harapan, kita ibu dan anak
malu akan hidup lebih lama, maka kita pikir, biarlah
Haytong-kok merupakan tempat di mana kita dapat
kepastian, mati atau hidup! Hanya di sini aku hendak
tegaskan, baiknya kita bekerja sama-sama, janganlah
urusan kita kedua pihak digabung menjadi satu, aku
ingin cari sendiri pada Pian Siu Hoo, untuk bereskan
perhitungan kita sendiri!"
Tan Ceng Po goleng kepala.
"Dalam hal ini, jangan Toa Nia terlalu berkukuh," ia
kata. "Kau harus mengerti, kau orang tetap ada turunan
dari Kiushe Hiekee, maka urusan adalah urusan kita
sama-sama. Kau mau membalas sakit hati, kita mau
membela diri, perbedaan sebenarnya tidak ada, sebab
yang kita bakal hadapi ada Pian Siu Hoo satu orang.
Adalah sudah selayaknya kita satrukan Pian Siu Hoo,
kesatu ia sudah tidak pegang aturan, kedua ia telah
minta bantuan pihak luar untuk celakakan kita...."
Tan Ceng Po masih hendak bicara terus, ketika dari
luar ia dengar teguran, "Tan loo-suhu! Kita telah datang,
kenapa kau kunci pintu dan tidak mau sambut kita" Kau
benar berlaku tidak pantas!...."
Mendengar itu, Tan Ceng Po unjuk roman kaget
berbareng girang.
"Kebetulan sekali kau orang datang!" kata ia pada Toa
Nio dan puterinya. "Sekarang aku hendak pertemukan
kau pada seorang yang kau orang niscaya tidak sangka
bisa bertemu! Ia ada seorang yang juma-wa luar biasa,
kita orang mesti papak padanya...."
Yan Toa Nio dan anaknya berbangkit, ia percaya
ucapannya ketua dari Kiushe Hiekee itu meskipun ia
belum tahu siapa adanya si tetamu yang katanya jumawa
itu. Malah Cukat Pok juga turut berbangkit, akan bikin
penyambutan. Biar ia merasa heran buat sikapnya tuan rumah dan
tetamu, Yan Toa Nio mengerti bahwa memang di
kalangan Sungai Telaga ada banyak orang-orang pandai
luar biasa, baik karena kepandaiannya, maupun karena
sifat atau adat tabiatnya. Orang-orang pandai itu biasa
umpatkan diri dan tidak pernah muncul kalau tidak pada
saatnya. Di luar, malah di luar pagar, ada berdiri satu pengemis
tua, pakaiannya banyak tambelannya, banyak lubangnya,
dan kedua kakinya ada telanjang. Kelihatannya ia sudah
berusia enampuluh lebih. Sebagai pengemis, tidak heran
kalau ia bertubuh kurus kering. Hanya sepasang alisnya
ada panjang dan dua biji matanya yang bundar, ada
bersorot tajam. Pada kedua lengan dan kakinya,
kelihatan nyata urat-urat yang kasar. Ia ada cantel
sebuah kantong di pinggangnya, dua kantong lain
tergantung di pundak kiri dan kanan, dan tangannya
menyekal sebatang toya pendek- Apa yang menarik
perhatian adalah ia tidak bertubuh lemah atau reyot, dan
pakaiannya meski compang-camping tapi bersih.
Begitu sampai di luar, Tan Ceng Po lantas lari
menghampirkan pengemis itu, kelihatannya ia
menyambut dengan luar biasa girang, dengan cara yang
menghormat sekali.
"Hoa loosu!" Ia berseru. "Bagaimana kau senggang
hingga kau telah datang pada tempatku yang cupat ini"
Aku heran, kenapa aku sama sekali tidak mendapat
ketahui tentang kedatanganmu ini!"
Pengemis itu pentang matanya lebar-lebar.
"Jangan kau main-main sama aku, eh.'" ia menegur.
"Kau si nelayan tua, setiap hari kau bermain di air,
membunuh pada sesama makhluk berjiwa, orang sebagai
kau mana mau pandang mata padaku si pengemis miskin
melarat" Tapi, aku adalah si orang yang senantiasa turuti
kehendak hati sendiri! Umpama hari ini aku ada
mempunyai kegembiraan mencari kau, itu tandanya aku
hendak dahar segala apa kepunyaanmu, maka kau harus
layani aku dengan baik-baik! Jikalau kau turuti
kehendakku, segala apa menjadi beres sendirinya, kalau
sebaliknya, awas, kau yang hidup di muka air, aku nanti
congtie padamu, aku nanti bikin kau tidak akan peroleh
kendati seekor ikan, aku akan bikin tidak ada ikan yang
mau dekati jaringmu, hingga akhirnya kau si nelayan tua,
akan mati karena jengkel!...."
Ucapan itu ada hebat tetapi Tan Ceng Po tertawa
berkakakan. "Sahabat karibku, kau terlalu pandai bicara!" ia
berkata. "Sahabatku di sini ada sahabat-sahabat lain,
mari aku ajar kenal mereka kepadamu!"
"Nelayan tua, jangan kau sudi gawe! Aku si pengemis
melarat, siapa yang mau hargakan" Aku hanya kenal kau
satu tua bangka, kau jangan bikin aku jadi banyak cape
hati!...."
Cukat Pok, yang muncul di belakangnya Tan Ceng Po,
lantas tertawa terbahak-bahak.
"Loo-cianpwee, kau benar-benar tidak memandang
orang!" berkata ia dengan nyaring. "Apakah kau sangka
tidak ada orang yang ketahui baik asal-usulmu" Loocianpwee,
aku Cukat Pok, mataku tidak lamur! Loocianpwee,
kenapa sih kau main-main terhadap kita?"
Pengemis itu memandang pada Souwposu, ia lalu
bersenyum. "Oh, kiranya tuan yang mulia juga ada di sini!" ia
berkata. "Maaf tuan, maaf, aku telah berlaku kurang
hormat!...."
Tan Ceng Po menyelak dengan berkata sambil
tertawa, "Di kalangan Sungai Telaga orang juluki
sahabatku ini si Pembalasan Cepat, maka sahabat
karibku, sekarang kau telah terima pembalasanmu!"
"Nelayan tua, kau keliru!" sahut si pengemis tua.
"Pembalasan datangnya dari Thian, tidak dari segala
orang-orang kosen yang namanya tersohor dan
termasyhur! Bangsa mereka itu tidak bisa urus segala
sepak terjangku sendiri! Aku telah lepas kata-kata,
selama aku hidup, aku tidak mau membikin hutang untuk
di lain penjelmaan! Tapi sejak aku sadar sebagai
manusia, aku tidak pernah mempunyai uang kendati juga
satu bun! Sekarang, setelah makan umur enampuluh
lebih, tetap langit dan bumi ada gubukku, empat lautan
ada rumahku!"
Sampai di situ, Yan Toa Nio menghampirkan untuk
unjuk hormatnya.
"Loo-cianpwee!" ia berkata.
Si pengemis mengawasi nyonya kita dan gadisnya dari
atas sampai ke bawah.
"Nyonya, apakah kau hendak mengamal kepadaku
karena kau melihat kemelaratanku?" ia tanya. "Tetapi
sejak hidupku, aku ada punya semacam penyakit! Ialah
aku tidak terima amalnya orang perempuan.... Sedang
kau pun niscaya tidak akan sanggup memberi cukup
amal kepadaku! Aku si pengemis bangkotan tidak
inginkan air thee restan dan nasi yang kelebihan!.... Aku
tidak inginkan uang, satu atau setengah bun! Maka
baiklah kita orang ambil saja jalan kita masingmasing!...."
Yan Toa Nio tidak berani kata apa-apa atas jawaban
yang aneh itu. Sekarang Leng In yang maju akan unjuk
hormatnya. Tapi si pengemis tidak mau membalas
hormat, ia melainkan tertawa hihihihi!
Diam-diam Tan Ceng Po golengkan kepala pada ibu
dan anak itu, agar mereka tidak menjadi kecele.
"Hoa loosu, silakan masuk!" ia mengundang.
Dengan tak menghaturkan terima kasih, dengan
tindakan lebar pengemis itu berjalan masuk.
Yan Toa Nio merasa aneh bukan main, apabila tidak
tetua dari Kiushe Hiekee mendahului memberi tanda
padanya, ia niscaya sudah menjadi tidak senang hati.
"Siapa sebenarnya orang ini?" ia berbisik pada Cukat
Pok. "Kenapa ia begini aneh?"
"Kau orang ibu dan anak harus bisa tahan sabar,"
Souwposu pun berbisik, "jagalah baik-baik agar kau
orang tidak menyebabkan dia menjadi tidak senang atau
gusar. Dalam urusan kita, jikalau kita orang bisa
dapatkan bantuannya, dengan cepat kita orang akan
mendapat kepuasan. Dia adalah orang yang di daerah
Kanglam biasa dipanggil Kiongsin Hoa Ban Hie, si
Malaikat Kemelaratan."
Yan Toa Nio berdiam atas keterangan itu. Sebagai
orang kelahiran Kanglam, ia juga pernah dengar
namanya si Malaikat Kemelaratan itu, cuma orangnya ia
belum pernah lihat, sedang umurnya ia rasa ada kurang
cocok dengan orangnya sendiri. Tempo ia masih muda,
ia sudah dengar halnya orang berilmu ini, yang selalu
bekerja dengan umpatkan diri dan segala perbuatannya
selalu ada menggemparkan. Di sepanjang Tiangkang, di
darat atau di air, kalau mendengar namanya Kiongsin,
bangsa Rimba Hijau selamanya nenjadi sakit kepala tidak
keruan, hingga kalau di antara mereka terjadi
pertentangan, sampai namanya si Malaikat Kemelaratan
dijadikan dato sumpah " ialah siapa yang bersalah, ia


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan celaka di tangannya Hoa Ban Hie! Tapi waktu itu ia
dengar Kiongsin sudah berusia setengah abad, maka
sekarang, usianya si pengemis mestinya sudah delapan
atau sembilanpuluh tahun, maka adalah aneh,
menampak romannya, dia sekarang baru berumur kirakira
enampuluh tahun.
"Apakah ini tidak aneh?" demikian ia pikir.
Yan Leng In juga heran jika ia ketahui siapa adanya si
pengemis ini, tapi seperti ibunya, ia juga tutup mulut
serta masuk dengan tidak kata apa-apa.
Sesampainya di dalam, Hoa Ban Hie sudah lantas
duduk menghadapi meja Patsiantoh, tongkatnya ia letaki
di atas meja, dua kantongnya ia gabruki di atas kursi.
Tan Ceng Po sudah lantas datang dengan secawan
thee, agar bisa letakkan cawan itu di mukanya si
pengemis, dengan tangan kiri ia raba orang punya
tongkat yang ia hendak geser. Tapi si pengemis segera
tahan tangannya.
"Eh, nelayan bangkotan, kau hendak bikin apa?" ia
menegur. "Apa boleh jadi kau berniat merampas
bendaku dan mencelakakan jiwaku" Kau harus ketahui,
tongkat untuk menggebuk anjing ini adalah benda
semengga-mengganya dari aku si pengemis tua!"
Tan Ceng Po tarik pulang tangannya dengan cepat
dan tertawa. "Aku tidak kesudian kau punya benda ini!" ia berkata
sambil bersenyum. "Aku hidup dari penangkapan ikan,
aku bisa hidup terlebih mewah daripada kau! Kalau kau
anggap benda ini sebagai mustika, aku tentu tidak berani
langgar!...."
"Sahabat, jangan kau pandang tongkatku ini sebagai
barang permainan!" si pengemis pun tertawa.
"Tongkatku ini, jika ia dapat dilihat oleh anjing
gelandangan dari Kang-lam, anjing itu niscaya runtuh
semangatnya! Sudah banyak kali aku taklukkan makhlukmakhluk
jahat dan kejam, semua itu aku mengandal
pada bendaku ini! Nelayan bangkotan, aku melihat yang
sifatmu juga telah berubah, belum pernah aku melihat
kau melayani tamu sebagai hari ini! Hari ini hari apa" Apa
hari ini ada hari ulang tahunmu" Aku hanya dapat
tenggak kau punya arak kegirangan tetapi aku tidak bisa
mengantar bingkisan!"
Tan Ceng Po kembali tertawa.
"Tidak heran jika orang di kalangan Sungai Telaga
bersakit kepala apabila mereka mendengar namamu!" ia
berkata "Aku sendiri benar-benar takut padamu! Tapi,
mari kita orang bicara terus terang! Ada urusan apa
maka kau datang padaku di sini" Jikalau tidak ada
sebabnya, tidak nanti kau kesudian berikan aku
kehormatan dengan munculnya kau di sini!"
Pengemis itu tertawa terbahak-bahak.
"Nelayan bangkotan, kau benar ketahui apa yang akan
terjadi!" ia berkata. "Kau ternyata telah dapat tahu
terlebih dahulu yang aku datang kemari untuk menegur
padamu! Aku datang untuk tanya kau! Datangnya orangorang
ke Haytong-kok itu adalah atas panggilan-mu!
Kenapa mereka dirikan pusat mereka di sini" Kau tinggal
di sini, tentunya kau telah berikan ijinmu! Maka itu, aku
sengaja datang cari kau, karena tidak ada perlunya akan
aku pergi cari sendiri pada mereka itu!"
Sambil jatuhkan dirinya di kursi, Tan Ceng Po
menjawab teguran itu.
"Kalau benar untuk urusan ini kau datang padaku,
terang kau terlalu menghina padaku si tua bangkai" ia
berkata. "Haytong-kok bukannya lembah milikku sendiri!
Aku tinggal dengan umpatkan diri di Ceng-coh-wa ini,
aku masih belum tahu dari siapa aku dapat menyewanya,
maka itu, cara bagaimana aku boleh usil akan campur
tahu urusan lain orang!"
"Kau tidak bisa bicara secara demikian!" Hoa Ban Hie
berkata dengan tawar. "Haytong-kok ada jalanan untuk
aku mundar-mandir dan mereka justru dirikan pusat
mereka di lembah itu! Lembah dan pusat itu berada
dekat di depan kau, cara bagaimana kau boleh biarkan
saja mereka malang melintang" Kenapa kau sedikit pun
tidak mau campur tangan" Aku juga dengar, mereka
sebenarnya ada dari rombongan perahu-perahu di dalam
sungai, kenapa sekarang mereka justru lari ke gunung,
akan mendirikan pusat mereka di darat" Di tanah datar
orang kendarakan perahu, sampai umur begini punya
tinggi, aku si pengemis tua belum pernah dengar atau
lihat! Mereka seperti menjaga kau punya pintu, kenapa
kau antap-kan saja?"
"Jadinya kau datang padaku untuk urusan ini?" Tan
Ceng Po menanya. "Apa benar-benar kau tidak ketahui
siapa yang kepalai pusat di Haytong-kok itu atau kau
datang padaku melulu akan gertak-gertak aku?"
"Kau tahu sendiri, belum lama aku kembali dan aku
tidak punya mata-mata atau juru kabar, dari itu, mana
aku dapat ketahui urusan itu" Mereka seperti menjaga di
muka pintumu, aku anggap adalah tidak bisa menjadi
jikalau kau tidak mendapat tahu atau tidak diketahui
siapa mereka itu! Toh ada gampang sekali bagimu untuk
tanyakan keterangan pada mereka" Oleh karena itu, aku
sekarang datang padamu...."
"Kau benar juga, ya, kau tidak keliru," Tan Ceng Po
kemudian berkata pula. "Mencari aku adalah terlebih
gampang daripada mencari mereka itu! Mereka
pindahkan pusatnya kemari belum ada sepuluh hari,
tetapi sepak terjangnya ada dalam rahasia. Sejak
setengah bulan yang lalu, mereka telah mundar-mandir
kemari untuk atur persiapan. Aku pun merasa heran
begitu lekas mendapat dengar perihal gerak-gerik
mereka itu. Memang, di dalam kalangan Sungai Telaga
ada banyak hal-hal yang aneh. Pada mulanya aku tidak
ketahui mereka ada rombongan siapa dan dari mana
mereka datang, karena itu, aku lantas cari keterangan.
Mereka sebenarnya ada rombongan Tiathong-liong Pian
Siu Hoo si Naga Besi yang tersohor dari Hucun-kang, ia
telah pindahkan pusatnya di Gocu-mui. Ini benar-benar
yang dibilang, tahun dan bulan bisa berganti macam!
Tidakkah itu ada aneh" Maka aku anggap, sepak terjang
mereka itu mesti ada kandung maksud yang
membahayakan."
"Toh kau bukannya tidak mampu mencari
keterangan!" Hoa Ban Hie memotong. "Kenapa mereka
pindah kemari" Apakah maksud mereka itu?"
"Aku sudah bikin penyelidikan, sampai sekarang aku
masih belum bisa cari tahu maksud sebenarnya dari
mereka itu," Tan Ceng Po jawab. "Di samping itu,
rombongan itu tidak boleh dibuat permainan! Kenapa aku
mesti usil" Kenapa aku mesti rintangi mereka pindahkan
pusatnya kemari" Ada apa sangkutannya di antara
mereka dan aku" Kenapa aku mesti campur urusan
iseng-iseng begitu macam?"
Kelihatannya Hoa Ban Hie jadi tidak sabar.
"Kau jangan bicara yang tidak ada kepentingannya
dengan aku!" ia berkata. "Biarpun kau tidak ingin
campur, kau harus campur juga! Biarpun kau tidak ingin
menanya, kau toh harus menanya! Jikalau kau tidak
gebrak pada mereka supaya mereka angkat kaki dari
daerah ini, pasti di antara kita bakal ada perhitungan
yang tidak dapat dibikin beres!"
"Dengan Tiathong-liong Pian Siu Hoo aku tidak
bermusuhan atau berdendaman, kenapa aku harus adu
jiwa dengan ia?" Tan Ceng Po tegaskan. "Kau ketahui
sendiri, ia ada satu manusia yang sangat berbahaya! Di
Hucun-kang ada berapa orang yang berani bentur
padanya?" Hoa Ban Hie mendelikkan matanya.
"Aku tidak pedulikan soal ada punya permusuhan atau
tidak!" ia berseru. "Kangsan-pang berlaku begini tidak
tahu aturan, kelakuan itu aku tidak sudi lihat! Ia harus
diperintah lekas pindahkan pula pusatnya, kalau ia
pindah, urusan dapat dibikin beres, kalau tidak, aku ingin
lihat, cara bagaimana ia bisa tinggal berdiam dengan
tenteram di Haytong-kok!...."
Melihat orang mendongkol, Tongkouw Hiejin Tan Ceng
Po tertawa dingin.
"Sahabat karibku, baiklah kau tahan dulu hawa
amarahmu!" ia nase-hatkan. "Kau bilang, kau tidak
ketahui kenapa Pian Siu Hoo telah pindahkan pusatnya
kemari, tetapi sekarang kau bisa ketahui itu! Sebab dari
itu ada sangkutannya dengan nyonya dan puterinya
ini...." Sambil berkata begitu, Tan Ceng P o menunjuk pada
Yan Toa Nio dan Leng In.
Hoa Ban Hie awasi tuan rumah dan kemudian kedua
tamunya yang perempuan itu, kemudian ia menoleh pula
pada tuan rumah. "Apa kau bilang?" ia menanya.
"Kenapa Pian Siu Hoo, karena ibu dan anak ini sampai
mesti pindahkan pusatnya yang sudah turun menurun
itu" Sahabat baik, kau perlu berikan keteranganmu
padaku!" "Kalau kau inginkan itu, Hoa loosu, aku bersedia akan
berikan penjelasan," sahut Tan Ceng Po yang diam-diam
menjadi girang sekali karena ia telah menangkan si
pengemis tua yang masih bisa di-ogok-ogok. Dan ia
tuturkan hal-ikhwalnya ibu dan anak itu yang mempunyai
sangkutan hebat dengan Pian Siu Hoo.
Hoa Ban Hie geprak meja apabila ia telah mendengar
semua, sehingga tongkatnya terpental tinggi dan jatuh
pula ke atas meja dengan menerbitkan suara keras.
Adalah karena bantingan itu, Yan Toa Nio dan
gadisnya sekarang mendapat tahu yang tongkat itu ada
terbikin dari bahan logam, sedang tadinya mereka tidak
menyangka, karena romannya tidak mengutarakan itu.
"Pian Siu Hoo dari Kangsan-pang ada satu laki-laki dari
Hucun-kang, kenapa sekarang ia menjadi begitu
pengecut?" ia berkata dengan sengit. "Kenapa melulu
karena desakannya orang perempuan ia harus pindahkan
pusatnya dari air ke darat" Ia sungguh membikin suram
mukanya jago-jago sungai!"
Yan Toa Nio dan Yan Leng In terperanjat di dalam hati
apabila mereka dengar suaranya pengemis tua itu.
Bukankah dengan ucapan itu, Hoa Ban Hie utarakan
tidak puas bagi sikapnya Pian Siu Hoo" Apakah ia
mempunyai hubungan dengan si Naga Besi"
Syukur bagi ibu dan anak itu, mereka sudah lantas
mendengar terlebih jauh orang punya ucapan lanjutan.
"Kalau begitu, Pian Siu Hoo pindahkan pusatnya tentu
dengan kandung maksud," demikian katanya.
Tan Ceng Po tonjolkan jempolnya di mukanya si
Malaikat Kemelaratan.
"Sahabat karibku, dugaanmu cocok!" ia berkata
separuh mengejek dan separuh memuji. "Setelah pindah,
Pian Siu Hoo sudah lantas atur penjagaan di Haytongkok,
hingga sekarang Seantero jalanan gunung yang kita
kenal itu seperti juga telah diduduki olehnya. Sekarang ia
telah kirim surat undangan pada semua sahabatnya di
sepanjang sungai Tiangkang dan sahabat-sahabat
lainnya, dengan siapa saja yang ia semulanya telah
berkenalan. Di lembah Haytong-kok ia sedang
menantikan Toa Nio dan puterinya ini supaya ibu dan
anak lemparkan diri ke dalam jaring jebakan. Celakanya,
ia juga rembet-rembet kaumku dari Kiushe Hiekee!
Tindakannya ini ada liehay sekali! Terang Pian Siu Hoo
hendak menjadi di atas sungai, atau kalau ia gagal, ia
akan tetap tancap kaki di darat, karena ia telah punyakan
Haytong-kok ini. Gagah berani adalah ibu dan anak ini,
sayang mereka masih kurang pengalaman, karena
mereka berani lancang datang ke Haytong-kok tanpa
persiapan, maka itu tadi aku telah cegat mereka dan
lantas ajak pulang kemari. Lihatlah, sahabatku, apa kau
boleh pandang enteng pada sepak terjangnya Pian Siu
Hoo sekarang ini" Sekarang tidak bisa lain, aku harus
bersiap untuk maklumkan perang kepadanya!"
Berulang-ulang Hoa Ban Hie memperdengarkan suara
di hidungnya. "Dengan sikapmu ini, nelayan bangkotan,
kau mengunjukkan dirimu tidak seharusnya menjadi satu
sahabat!" ia berkata. "Kau nyata sudah gunai alat
muslihat terhadap aku! Kau ternyata mempunyai
sangkutan dengan urusannya Toa Nio ini! Perbuatannya
Pian Siu Hoo ada melintasi garis dari kaum Sungai
Telaga, maka selama aku si pengemis tua masih hidup
dalam dunia, aku tidak akan perkenankan orang
semacam dia berpencak silat di hadapan mataku! Ia
hendak kendalikan semua coanpang di atas dan bawahan
Tiangkang" Sungguh besar cita-citanya, sungguh besar
nyalinya! Sekalipun aku si pengemis tua yang sudah
beberapa puluh tahun malang melintang, masih belum
berani mengharap seperti apa yang ia idam-idamkan!
Sudah lama aku tidak main-main, maka sekarang aku
ingin pentang lagi mataku, aku ingin tengok macamnya
orang-orang Kangsan-pang atau kawan-kawan mereka
yang berkumpul di Haytong-kok! Eh, nelayan bangkotan,
apa yang kau hendak berbuat sekarang?"
"Aku hendak pentang lahar di hadapan Pian Siu Hoo,"
sahut Tan Ceng Po dengan adem. "Aku ingin hadapi ia
secara terus terang! Tidakkah ini ada menarik hati?"
"Tetapi aku tidak pikir demikian, sedikitnya untuk
permulaan," Hoa Ban Hie berkata. "Lebih dahulu aku
hendak permainkan pada mereka, supaya sebagai anjing
atau ayam, mereka nanti merasakan tidak tenteram di
hati, supaya mereka bisa buka matanya dan melihat!
Sesudah itu barulah kita orang nanti hadapi ia depan
berdepan, guna mendapatkan, kepastian siapa menang
dan siapa kalah! Nelayan tua, bagaimana pikiranmu?"
"Sahabat karib, kalau kau anggap itu cocok, aku
bersedia akan iringi kau!" sahut Tonglouw Hiejin, yang


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

girang bukan main karena ia telah berhasil tarik si
pengemis tua ini pada pihaknya. Hoa Ban Hie manggut.
"Baiklah!" ia berkata. "Sekarang, setelah kau berikan
persetujuanmu, aku hendak nyatakan pikiranku. Kau
punya tempat ini ada terlalu kecil, jika dengan tempat ini
kau hendak hadapi Kangsan-pang, kau keliru. Tempat ini
tidak sekuat sebagaimana yang kau sangka! Kau telah
bawa Yan Toa Nio ibu dan anak kemari, kau harus
berdaya akan berikan mereka tempat yang aman, untuk
lindungkan mereka. Tempatmu ini gampang diserang,
sukar untuk dilindungi. Apa kau hendak bikin aku si
melarat mesti turut-turutan berabe dan mendapat malu?"
Tan Ceng Po bersenyum di hadapannya si pengemis
tua itu. "Hoa loosu, kau ternyata pandang terlalu tidak
berharga padaku si nelayan tua!" ia berkata. "Kau jangan
tidak melihat mata pada gubukku ini! Aku tidak percaya
yang kawanan tikus itu akan mampu bikin tak bergeming
sepotong kayu bakar di sini!"
Si Malaikat Kemelaratan tertawa berkakakan sambil
melenggak-lenggak.
"Aku lihat sedikit api saja akan bakar musnah
padamu!" ia berkata. "Apa kau kira sarangmu ini cukup
tangguh" Bagaimana kalau mereka gunai api?"
"Itulah lain! Memang gubukku ini tidak boleh terlalu
diandalkan, tetapi aku telah undang ibu dan anak ini
datang kemari, maka adalah menjadi kewajibanku untuk
menanggung keselamatannya. Mereka ada seperti yatim
piatu dan musuhnya ada tangguh sekali, dari itu aku
perlu berkorban untuk menjamin pri-keadilan di kalangan
Sungai Telaga! Aku tahu betul, kecuali kau si nelayan
tua, tidak ada lain orang lagi yang tidak takut perkara,
yang tidak takut bencana!"
"Sahabat karibku, jangan kau terlalu andalkan diri!"
berkata Hoa Ban Hie, yang berulang-ulang
memperdengarkan suara menghina dari hidungnya. "Di
dalam kalangan Sungai Telaga, masih banyak lain orang
yang memiliki semangat laki-laki! Apa tidak lucu kalau
kau agulkan dirimu sendiri" Jangan kau tidak melihat
mata padaku si pengemis! Kau tahu, tempat kediamanku
ada jauh terlebih tangguh daripada gubukmu ini! Yan
Toa Nio dan kau nona, jikalau kau tidak memandang hina
padaku si pengemis tua bangkotan, aku undang kamu
berdua untuk mengunjungi rumahku, sekalipun untuk
sedikit hari, kemudian kita orang nanti pikir dengan cara
bagaimana kita akan hadapi Pian Siu Hoo dan kawankawannya!"
Biar bagaimana juga, Toa Nio dan gadisnya bersangsi.
Mereka baru kenal si pengemis tua, kini melihat sikapnya
yang luar biasa, ada sukar untuk mereka merasa
tenteram. Benar dari sikapnya Tan Ceng Po ia dapat
duga bahwa bantuannya orang tua ini ada sangat
diharap, meski demikian mereka tidak bisa segera
lenyapkan kesangsiannya. Ia sebenarnya hendak
menghaturkan terima kasih dan menampik, tetapi Cukat
Pok dengan samar-samar golengkan kepalanya memberi
tanda untuk mereka jangan menolak.
Tan Ceng Po bisa mengerti kesangsiannya mereka
berdua, maka ia lalu ambil putusan sendiri.
"Toanio, kamu berdua ibu dan anak benar-benar ada
mendatangkan kekaguman orang!" berkata Tong-louw
Hiejin. "Tempat kediamannya Hoa loosu tidak sembarang
orang dapat datangi, malahan orang sembarangan juga
tidak nanti diundang datang ke sana, maka kau orang
yang baru dikenal, telah mendapat undangan, ini adalah
kejadian yang jarang sekali!"
"Kalau begitu, kita ibu dan anak ada sangat
bersyukur," berkata Yan Toa Nio kemudian. Dan ia
haturkan terima kasihnya pada si pengemis itu. "Kita
bersedia akan penuhkan kehendak loo-cianpwee."
Baru sekarang kelihatan si pengemis bersenyum
gembira secara sungguh-sungguh.
"Kalau kamu berdua tidak cela padaku si pengemis tua
yang miskin melarat, marilah ikut aku," ia berkata. "Aku
ada seorang yang beradat terburu napsu, kalau satu
urusan belum beres, aku ingin segera selesaikan itu. Mari
kita berangkat sekarang!"
Dan ia pungut "tongkat untuk kemplang anjing"-nya.
"Tunggu dulu, sahabatku!" Tan Ceng Po mencegah.
"Kenapa begitu kesusu" Lihatlah sang waktu! Mereka ibu
dan anak baru sampai, di sini pun ada Cukat loosu,
mustahil aku tidak usah jamu lagi mereka dengan thee
dan makanan yang sembarangan?"
Hoa Ban Hie benar-benar mendesak.
"Nelayan tua, tinggalkan makananmu itu untuk kau
dahar sendiri nanti!" ia berkata. "Aku si pengemis tua
tidak biasa makan kau punya sisa air teh dan nasi!
Malahan kau sendiri, hayo turut aku. Kau tahu, cucu
muridku tukang minta-minta telah sediakan aku
beberapa botol arak yang bagus, aku undang kau untuk
minum sampai puas!"
"Baik, baik," Tan Ceng Po menjawab sambil
bersenyum. "Satu hweeshio pengembaraan dahar di
delapanbelas penjuru dan aku si nelayan tua akan makan
di sembilan-belas daerah!...."
"Cukup, Tan Ceng Po, cukup!" berkata Hoa Ban Hie.
"Kita orang akan hadapi Kangsan-pang, ingin melihat
kepandaian simpanannya boleh diandalkan atau tidak!
Sudah, jangan banyak bicara lagi, mari kita pergi!"
Yan Toa Nio dan gadisnya merasa heran melihat
tingkah lakunya orang-orang pandai ini, hingga mereka
bengong saja, mengawasi dan mendengarkan.
Tan Ceng Po bersenyum, ia tetap tenang saja.
"Hoa loosu ada begini baik budi, kebaikannya itu tidak
boleh disia-siakan," ia berkata pada Yan Toa Nio berdua
dan Cukat Pok. "Hayo kita berangkat!"
Kiongsin Hoa Ban Hie, yang telah gendong
kantongnya, segera mendahului bertindak keluar dengan
tuan rumah, Yan Toa Nio dan gadisnya mengikuti. Tuan
rumah masih manggut-manggut pada Cukat Pok, setelah
itu barulah ia keluar dengan tidak mengunci lagi
pintunya, hanya pintu pagar yang ia rapatkan. Dari luar
pagar, sambil menoleh ke rumahnya, ia berkata dengan
nyaring, "ACit naynay, lihat pintu! Aku mau pergi ke
Hokliong-gay untuk satu atau dua hari, kalau ada orang
datang cari aku, silakan supaya ia susul aku! Andaikata
kucing dan anjing itu berniat masuk ke dalam kampung
kita, jagalah supaya mereka tidak bisa lari kabur lagi,
kurunglah mereka di dalam kurungan, agar kulitnya kita
bisa keset dan dagingnya boleh dipanggang!...."
Belum sampai Tan Ceng Po tutup rapat mulutnya,
atau dari kamar sebelah kelihatan keluar satu pemuda
dengan baju pendek dan celana yang digulung tinggi,
kulitnya hitam, gerakannya gesit. Ia menghampirkan
tuan rumah akan unjuk hormatnya.
"Aku tahu, silakan loosu berangkat!" ia berkata
dengan hormat. Terus saja ia berdiri di pinggiran.
Yan Toa Nio bisa lihat, meski orang beroman sebagai
pemuda dusun, tetapi matanya pemuda itu bersinar dan
tubuhnya kekar. Maka ia duga pemuda ini tentu ada
murid yang diandalkan oleh Tan Ceng Po, siapa mesti
ada satu penduduk yang dimalukan di tempat
kediamannya itu.
Hoa Ban Hie sebaliknya tidak pedulikan apa-apa, ia
jalan terus dengan cepat, melewati beberapa rumah,
sampai di jalanan gili-gili sawah menuju ke selatan barat,
mengkol di satu tikungan.
Kelihatannya Kiongsin Hoa Ban Hie jalan seperti biasa,
tetapi sebagai satu ahli, Yan Toa Nio bisa bedakan orang
punya tindakan kaki yang seperti juga tidak menginjak
tanah. Itu adalah kesempurnaan ilmu jalan yang dinamai
Kun-goan Itkhie Lengpo-pou atau Jalan seperti
melayang-layang. Kepandaian seperti ini ia hanya pernah
dengar tetapi belum tahu siapa yang memiliki dan belum
pernah saksikan juga, maka ini adalah untuk pertama kali
ia melihat dengan mata sendiri.
Tidak heran apabila Yan Toa Nio dan gadisnya merasa
harus menggunakan tenaga untuk menyusul Hoa Ban
Hie, karena Tan Ceng Po dan Cukat Pok pun harus
memperlihatkan kepandaiannya agar dapat mengikuti si
Malaikat Kemelaratan.
Setelah melalui dua tiga lie dan lewatkan beberapa
tikungan barulah Hoa Ban Hie kendorkan tindakannya,
dengan begitu Tan Ceng Po, Cukat Pok, Yan Toa Nio dan
Leng In beruntun bisa datang dekat kepadanya.
Mereka sekarang melalui satu jalanan pegunungan
yang sempit, sedang tadinya dari sawah dan tegalan,
mereka berada di kaki bukit. Setelah menjurus ke barat
selatan kira-kira setengah lie, mereka segera melihat
beberapa rumah yang mencil sana-sini. Dan bila jalan ini
telah dilalui, tibalah mereka di suatu tempat terbuka.
Jalanan masih jalan pegunungan, tetapi luasnya ada tiga
empat tombak dan di kiri kanan ada berbaris pohon
yangliu dengan daun-daunnya yang hijau, hingga jalanan
di situ menjadi teduh. Kecuali yangliu, di situ pun ada
pohon-pohon bunga hutan dan rumput.
Lagi kira-kira selepasan panah jauhnya, setelah
nikung, lantas tertampak tempat di mana ada banyak
pohon siong dan pek yang lebat, yang berada di tanah
datar. Tanah ini letaknya tinggi. Dari antara pohon-pohon
itu lantas tertampak rumah-rumah bambu tertutup atap.
Di sebelah timur ada mengalir sebuah sungai yang
seperti memutari bukit, sumbernya dari selat-selat di atas
bukit. Karena airnya cetek dan banyak batu-batu yang
besar, maka air yang mengalir kadang-kadang
menerbitkan suara berisik dan muncrat tinggi seperti air
mancur. Pemandangan alam itu bisa melegakan hati yang
pepat. "Ini rupanya yang dipanggil desa Bancie sanchung dari
Hokliong-gam," Yan Toa Nio berkata pada Tan Ceng Po,
suaranya perlahan.
Tonglouw Hiejin manggut.
Hoa Ban Hie masih jalan terus di sebelah depan,
sekarang ia mulai nanjak, karena letak kampungnya ada
di tanah datar di atas tanjakan. Jalanan sekarang ada
kecil. Tiba-tiba dari jurusan pohon-pohon kelihatan seorang
muda lari mendatangi.
Melihat orang itu, hampir-hampir Yan Leng In tidak
tahan akan tidak tertawa geli. Karena benar perkataan,
bahwa makhluk mencari bangsanya. Sebab orang yang
mendatangi itu pun ada berpakaian rombeng dan penuh
dengan tambalan, hanya yang beda adalah
kebersihannya. Sesampainya di dekat Hoa Ban Hie, orang itu segera
berdiri di pinggiran dan segera memberi hormat.
"Loo-couwsu baru pulang," ia berkata.
Pengemis tua itu tidak membalas hormat, ia tidak
manggut atau menjawab, hanya angsurkan tongkatnya
yang disambuti oleh orang muda itu, segera dipanggul
dan dibawa pergi sambil berlari-lari pula.
Hoa Ban Hie jalan terus, ketika mendekati tempat di
mana ada pohon-pohon, di situ muncul dua orang tua,
masing-masing dari usia lima atau enampuluh tahun dan
kedua-duanya beroman sebagai tukang minta-minta,
melainkan tampang mukanya bukan seperti pengemis
yang kotor dan dekil. Malah yang di kiri ada kate gesit
seperti Cukat Pok dan yang di kanan bertubuh tinggi
besar, alisnya gompiok, matanya besar, brewokan dan
mukanya merah. Ia ini pakai baju dan celana pendek,
celananya sebatas dengkul, kakinya yang telanjang
ditutup dengan sepatu rumput. Kedua betisnya penuh
bulu hitam. Kedua lengannya penuh urat kasar. Maka itu,
meskipun, ia berpakaian rombeng sebagai pengemis,
orang tidak akan percaya ia ada tukang minta-minta.
Umpama kata ia bercampur dengan kawanan jembel,
orang masih akan sangsikan ia.
Melihat Kiongsin, kedua orang itu mengunjuk hormat
tanpa berkata apa-apa, sedang si pengemis tua, seperti
tadi, juga tidak ambil peduli pada kedua orang tua ini. Ia
hanya jalan terus, masuk ke tempat yang banyak pohonpohon
dan sama sekali tidak pernah menoleh pada tamutamunya,
la tidak berlaku manis sebagaimana selayaknya
satu tuan rumah, hingga kalau di muka umum, ia dapat
dianggap tidak tahu aturan.
Tan Ceng Po dan kawan-kawannya tidak gubris
sikapnya tuan rumah yang aneh ini, mereka terus
membuntuti dengan tidak berkata apa-apa. Mereka
sekarang berjalan di antara pohon-pohon kayu yang
seperti berbaris, daun-daun yang tebal bikin tempat itu
sebagai rimba yang gelap. Setiap melewati lima atau
enam pohon, pasti di belakang itu ada orang yang
berkelebat, yang unjuk hormatnya pada si Malaikat
Kemelaratan. Yan Toa Nio dan gadisnya tidak menjadi heran dengan
apa yang mereka tampak itu. Nyata bahwa Bancie
sanchung bukannya tempat sembarangan, kampung ini
tetap terjaga pada waktu siang, begitu juga di waktu
malam. --ooo0dw0ooo-- VIII Setelah berjalan jauhnya kira-kira setengah lie,
barulah di sebelah depan tampak sedikit cahaya terang.
Cahaya itu disebabkan kurangnya pohon-pohon. Sebagai
gantinya, lalu tampak beberapa rumah yang kebanyakan
seperti menempel dengan lamping bukit atau batu
gunung. Rumah-rumah itu tidak sama besarnya, ada
yang dua, ada yang sampai empat dan lima ruangan.
Hanya, apa yang luar biasa, yang Leng In dapat melihat
dengan kebetulan saja selagi ia mendongak, di atas


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pohon-pohon yang paling tinggi ada berdiri rumah-rumah
gubuk, yang dibikin kuat dengan palangan malang
melintang di antara cabang-cabang, sedang di bawahnya
tidak tertampak tangga bambu atau tangga tali yang
berupa sebagai ayunan. Rupanya rumah itu adalah
tempat untuk melihat jauh.
Leng In tidak ketahui di atas rumah-rumah itu ada
orang atau tidak, karena segala apa ada sunyi seperti itu
rimba sendiri. Setelah sampai di luar rimba, baru Hoa Ban Hie
berpaling pada sekalian tetamunya.
"Beginilah cara hidup sehari-hari dari aku si miskin
melarat," demikian ia kata. "Kita ada seperti orang-orang
hutan, yang tidak kenal adat sopan santun. Cukat loosu,
Yan toanio, harap suka maafkan aku. Aku tinggal di
tempat di mana jarang lain orang datang, bagaimana kau
pikir tempat ini, apa boleh juga?"
"Loosu, kau bolehlah dipandang sebagai loo-cianpwee
yang telah sucikan diri," kata Cukat Pok dengan
kekaguman. "Sebenarnya ada sukar akan dapatkan
tempat yang begini tenang dan indah. Siapa tinggal di
sini, ia benar bisa lupakan penghidupan manusia yang
berisik dan banyak aneka warnanya, ia bisa lupai harta
dunia yang begitu diperebutkan. Loosu, bagaimana kau
bisa sebut-sebut halnya si orang hutan?"
Hoa Ban Hie tertawa bergelak-gelak.
"Cukat loosu, jangan kau puji-puji aku," ia kata pula.
"Aku adalah seorang yang tidak punya jodoh dengan
jasa, nama besar dan harta dunia, di mana orang hendak
suruh aku berdiam?"
Souwposu tidak menjawab, ia melainkan bersenyum.
Hoa Ban Hie lantas ajak sekalian tetamunya
menghampirkan satu rumah yang paling besar di
Hokliong-gam. Pekarangan tidak dikurung dengan
tembok hanya dengan pagar bambu yang rata tingginya
empat atau lima kaki, yang ujungnya semua dibikin
lancip. Ketika orang sampai di muka pintu pekarangan, dua
pemuda kelihatan keluar menyambut, pakaian mereka
juga ada pakaiannya kawanan jembel.
"Chungcu baru pulang!" mereka itu menyambut.
"Barang makanan dan arak yang chungcu pesan sudah
disajikan rapi."
Hoa Ban Hie geraki tangannya, lantas dua pemuda itu
berdiri di pinggiran, buat kasih orang lewat, maka itu,
sekalian tetamu lalu dipimpin masuk.
Yan Toa Nio lihat pekarangan ada lebar, tanahnya
ditutup sama rumput hijau, di sana-sini ada tetanaman
pohon-pohon bunga dengan rapi. Rumah itu terdiri dari
tiga ruangan besar dengan dua lagi yang kecil di kedua
samping. Selagi masuk di pertengahan, di mana ada pintu
angin, entah dari manajalannya, di situ tahu-tahu ada
menyambut lagi dua pemuda yang tadi memapak di
pintu pekarangan.
Baru sekarang Kiongsin angkat kedua tangannya, akan
unjuk hormat pada empat tetamunya, hingga mereka ini
repot membalasnya!
Melihat dandanan tuan rumah dan memandang
perabotan atau perlengkapan dalam rumahnya, Yan Toa
Nio dan gadisnya menjadi heran dan kagum. Kursi dan
meja, semua terbikin dari bambu hijau. Segala apa ada
teratur rapi dan menarik nampaknya, semua-semua ada
bersih. Di tembok bilik ada digantung pedang dan
yauwkim, satu tanda bahwa selain pintar senjata tuan
rumah pun gemar main tetabuhan. Di meja kecil depan
jendela, yang rupanya dijadikan meja thee, ada papan
catur dengan biji-bijinya, yang masih teratur, sebagai
tanda bahwa orang bermain belum selesai. Sedang di
bilik sebelah timur ada tertempel beberapa gambar
tekenan dan tulisan-tulisan huruf yang bagus.
Siapa sangka bahwa ini ada rumahnya satu pengemis"
Apabila tuan rumah dan tetamu sudah ambil tempat
duduk, dua pemuda tadi datang dengan air thee, yang
diisi dalam cangkir-cangkir yang indah.
Yan Toa Nio menduga bahwa, kecuali Hoa Ban Hie
sendiri, di desa pengemis istimewa ini mesti ada lain-lain
orang berilmu sebagai si pengemis tua itu.
"Sahabat karibku, kau telah datang kemari, karena itu,
aku perlu mengodol saku akan layani pada kau," berkata
tuan rumah sambil bersenyum. "Lihat di sana, meja
perjamuan sudah tersedia! Tidakkah aku, si pengemis,
dalam hal melayani tetamu, ada jauh terlebih baik
daripada kau" Beda dengan kau, kalau aku datang
padamu, kau senantiasa tanya ini dan itu, yang bikin
kepala pusing saja! Itulah sebabnya kenapa aku tidak
sudi sering-sering datang padamu, sebab aku tidak
hendak ganggu pada orang muris sebagai kau...."
Digoda begitu, Tan Ceng Po tertawa besar.
"Lihat bagaimana hebat kau kemplang aku!" ia kata.
"Sudah, sahabatku, sudah, kau jangan omong saja,
tetapi mari kita lihat, siapa terlebih pandai dahar!...."
Hoa Ban Hie juga tertawa.
"Baik, baiklah," ia menyahut. "Lihat saja!"
Cukat Pok turut tertawa, tetapi ia tidak campur bicara,
sedang nyonya Yan dan gadisnya hanya bersenyum.
Ketika itu Hoa Ban Hie berbangkit, akan hadapi Cukat
Pok dan Toa Nio berdua.
"Aku ada satu pengemis tua, tetapi aku sekarang
hendak menjamu tetamu, sungguh aku tidak tahu malu,"
ia kata. "Bancie sanchung tidak punya perhubungan
dengan kota, maka apa yang aku bisa suguhkan, semua
ada barang-barang yang bisa didapat di satu desa,
hingga bisalah dimengerti bahwa untuk itu aku tidak
usah ngodol saku dalam-dalam. Toh aku masih ingin kau
rasai bagaimana masakan si orang pegunungan. Hanya,
karena ini bukan ada makanan sisa, yang boleh dapat
men-jembel, aku percaya tidaklah aku sampai
merendahkan kepada tetamu-tetamuku sekalian. Harap
dengan minuman itu aku bisa kasih selamat datang pada
sekalian tetamuku!"
Meja perjamuan ada di sebelah, di situ orang lantas
duduk, dan tuan rumah sudah lantas isikan orang punya
cawan dengan arak bikinannya sendiri, yang belumbelum
sudah menyiarkan bau harum, sedang kemudian
ternyata, masakan rebung segar dan ayam rasanya beda
daripada masakan orang-orang lain.
Bukan cuma Yan Toa Nio dan gadisnya serta Cukat
Pok, juga Tan Ceng Po sendiri sampai berikan pujiannya
buat itu barang makanan dan arak wangi.
Kekagumannya Toa Nio telah jadi bertambah.
Orang bersantap dengan tidak banyak omong, kirakira
jam dua, semuanya sudah merasa cukup.
Sementara itu Yan Toa Nio dan anaknya heran sampai
sebegitu jauh mereka tidak lihat orang perempuan atau
anak-anak di desa itu, si nyonya merasa likat sendirinya,
karena ternyata mereka berdua ada orang-orang
perempuan semengga-mengganya di situ. Cara
bagaimana mereka bisa berdiam lama-lama di itu rumah"
"Loo-cianpwee, aku ibu dan anak pikir niat balik ke
perahu kami," kemudian Toa Nio kata dengan diam-diam
pada Tan Ceng Po. "Kami bersyukur padamu yang telah
mengundang kami datang kemari dan hendak membantu
kami, tetapi di sini tidak ada orang perempuan, ada
kurang bagus kalau kita tetap berdiam sama-sama di
sini. Kalau sudah sampai saatnya, kami datang pada loocianpwee
untuk menerima bantuanmu yang kami sangat
hargakan."
Tan Ceng Po mengawasi nyonya itu.
"Baiknya kau bicara dengan aku, toanio, kalau kau
terus bicara dengan si Malaikat Kemelaratan, ia bisa jadi
tidak senang," ia kata. "Kau jangan sibuk, di sini
bukannya tidak ada orang perempuan. Kau lihat caracaranya,
maka kau bisa mengerti, aturan di sini mestinya
ada luar biasa juga. Sabar saja, sebentar kita nanti lihat,
dengan cara bagaimana ia akan mengatur kau berdua."
Mendengar itu keterangan, Yan Toa Nio tidak mau
banyak omong lagi.
Sementara itu Hoa Ban Hie, yang undurkan diri
sebentar, telah kembali bersama satu pengemis umur
enampuluh lebih.
"Kau ibu dan anak," ia kata, "setelah kau berada di
sini, kau boleh tinggal dengan hati tenteram dan tenang.
Masih belum terlalu kelambatan apabila kau pergi nanti,
sesudahnya urusan sama Kangsan-pang dapat dibikin
selesai. Bancie san-chung bukannya bertembok besi atau
tembaga, tetapi untuk melayani Pian Siu Hoo dan
sahabat-sahabat sebangsanya, rasanya aku masih
sanggup. Sekarang kau silakan ikut ini si Han yang tua
pergi ke belakang, di loteng Cheetiok-lauw, untuk kau
tempati selama kediaman kau di sini."
"Terima kasih, loo-cianpwee," Yan Toa Nio kata sambil
unjuk hormatnya. "Kita belum pernah kenal satu dengan
lain, sekarang, pada pertemuan yang pertama, loocianpwee
begini perhatikan kami, kami sungguh ada
sangat bersyukur."
Tuan rumah itu manggut. "Apa yang toanio bilang ada
hal yang benar," ia kata, "meski demikian, aku harap
selanjutnya toanio jangan ucapkan pula itu. Kita ada
orang-orang dari kalangan Sungai Telaga"apakah
kerjaan dan kewajiban kita" Bukankah saling menolong
ada keharusan kita" Nah, silakan kau beristirahat
dahulu!" Yan Toa Nio menjadi tidak enak sendirinya, ia tidak
nyana, selagi ia hendak unjuk bahwa ia kenal adat
istiadat dan mengenal budi, ia telah ketemu paku! Tetapi
ia tidak menjadi kecil hati, karena ia mengerti orang
punya adat aneh.
Sesudah manggut pada Tan Ceng Po dan Cukat Pok,
Toa Nio ajak anaknya ikut Loo Han, si Han tua itu, pergi
ke luar, akan menuju ke sebelah timur. Di luar sudah
siap lentera, buat dipakai di perjalanan, karena mereka
mesti lintasi satu jalanan kecil yang seperti di dalam
rimba. Kira-kira sejarak setengah panahan, Toa Nio bertiga
sampai di satu rumah yang dikitari dengan pekarangan
yang berpohon yangliu, yang ditutup rapat dengan pagar
bambu. Rumah itu berada di sebelah kiri, menghadapi
loteng atau rang-gon kecil, yang seperti terkurung
pohon-pohon. Dari jendela ranggon kelihatan sinar api.
Loo Han buka pintu pagar dan ajak ibu dan anak itu
masuk. "Di sana ada tangga untuk naik ke ranggon," ia
berkata seraya menunjuk ke jurusan timur selatan.
"Aturan chungcu kita ada sangat keras, karena ini ada
tempat untuk tetamu-tetamu terhormat, sampai di sini,
aku tidak berani maju lebih jauh. Kita ada terlarang
kendatipun mesti maju satu tindak lagi saja. Ini rumah
kecil ada tempat aku berdiam dan menjaga, kalau perlu
apa-apa, toanio boleh teriaki saja padaku."
"Terima kasih," berkata Toa Nio, yang tidak berani
berlaku sembarangan, sekalipun terhadap orang-orang
suruhannya Hoa Ban Hie. "Aku melulu bikin cape pada
kau." Lantas dengan ajak gadisnya Yan Toa Nio naik di
tangga, yang pun terbikin dari bambu, sebagaimana
loteng itu sedikit pun tidak memakai batu atau bata,
maka tidak heran kalau selagi manjat, tangga itu ada
kasih dengar suara kerekekan.
Pintu loteng ada ditutup tetapi ibu dan anak ini tolak
itu, akan masuk ke dalam.
"Anakku," berkata Yan Toa Nio, "kita sebenarnya
sudah banyak mengembara, sampai ke beberapa propinsi
dan kita telah ketemui banyak macam orang " orangorang
berilmu juga, tetapi sampai sebegitu jauh, belum
pernah kita ketemui orang aneh sebagai ini orang tua
she Hoa. Lihatlah ini loteng kecil, bagaimana luar biasa
cara pembikinannya, kuat dan menarik hati. Terang di
sini ada berdiam orang-orang luar biasa. Kenapa mereka
berdandan rerombengan, berkelakuan sebagai
serombongan jembel" Apabila pakaian mereka tidak
bersih.... Hoa Ban Hie ada seorang yang penting sekali di
dalam ini Bancie sanchung. Kita terum-bang-ambing
dalam lautan penghidupan, maksudnya tidak lain, melulu
untuk balas sakit hati ayahmu, maka bolehlah dikatakan
beruntung, di mana-mana kita ketemui orang-orang
dengan hati mulia. Lihatlah Tan cuncu di Giokliong-giam
Hiecun serta semua kenalan mereka! Dan sekarang,
lihatlah Tan loo-cianpwee dan orang tua she Hoa ini,
yang semua bersedia akan membantu kita! Kita mesti
bersyukur kepada Tan loo-cianpwee, yang ajar kita kenal
sama Hoa loosu! Sungguh, harapanku ada besar, yang
kita bakal bisa bikin perhitungan sama Pian Siu Hoo!
Rupanya roh ayahmu telah lindungi kita maka kita telah
peroleh tunjangan di mana saja kita sampai."
Leng In mesti benarkan ibunya itu, sebab memang
perjalanan mereka selalu berkesudahan dengan
menyenangkan. Mereka telah tempuh bahaya dengan
tidak sia-sia belaka....
Kemudian ibu dan anak ini kagumkan kursi meja dan
lain-lain perabotan di dalam itu kamar loteng, semua dari
bambu dan toh semuanya bagus dan menyenangkan di
pemandangan mata.
"Kalau kita hanya dengar orang omong ini semua,
siapa mau percaya?" kata Yan Toa Nio. "Maka kau harus
ingat, jangan sekali kita bertingkah dan jumawa, di
dalam dunia ada banyak sekali orang-orang pandai dan
gagah...."
Baru saja Yan Toa Nio berkata sampai di situ, tiba-tiba
ia dengar suara suitan di jurusan barat selatan, suaranya


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari jauh dan datang mendekati. Ia hampirkan pintu dan
tolak daunnya, akan melongok ke luar, atau ia lekas
rapati pula daun pintu itu dan kembali ke dalam. Ia tidak
lihat apa-apa, ia tidak bisa melihat jauh ke luar. Loteng
itu terkurung dengan pohon-pohon, dari loteng orang
tidak bisa melihat ke luar, dan dari luar orang tidak
mampu lihat loteng itu.
"Suara suitan itu mesti ada suara pertandaan di dalam
ini dusun," Toa Nio kata pada anaknya. "Dengan berdiam
di sini, kita tidak bisa ketahui apa juga terjadi di sebelah
luar. Ini tempat benar-benar ada tempat sunyi...."
Sebelum Leng In sahuti ibunya, ia dengar tindakan
kaki di luar, di bawah loteng, maka sekarang ia gantikan
ibunya akan pergi ke pintu dan melongok ke luar. Ia lihat
dua lentera di luar pagar dan seorang sedang diiringi.
"Ibu, mari!" nona Yan panggil ibunya. "Lihat, ada
orang datang!"
Yan Toa Nio hampirkan anaknya dan turut melongok
ke luar. Dua orang ada membawa lentera, mereka
berhenti di pintu di luar pagar, orang yang mereka
antarkan sudah masuk ke dalam pekarangan, tetapi dari
dalam rumah kecil, si orang tua she Han telah ke luar
menyambut, entah apa yang ia kata, orang itu
menghampirkan ke Cheetiok-lauw, ketika ia enjot
tubuhnya, tubuh itu telah mencelat naik ke atas loteng,
maka sekejap kemudian, ia sudah berada di dalam
lankan. "Kiranya Lim loo-suhu!" berseru Yan Toa Nio yang
kaget berbareng heran. Dan lekas-lekas bersama Leng
In, ia sambut salah satu ketua dari Kiushe Hiekee itu.
Lim Siauw Chong angkat kedua tangannya, akan
membalas hormat.
"Sungguh beruntung yang kau ibu dan anak bisa
dapatkan ini pertemuan luar biasa!" berkata ia dengan
suara yang menyatakan kegirangan. "Dasar Thian ada
maha adil dan orang-orang baik dikaruniakan, hingga
kau tidak sampai terjatuh ke dalam tangannya orangorang
jahat!" "Lim loo-suhu, silakan masuk," Toa Nio mengundang.
Mereka masuk ke dalam dan ambil tempat duduk, dan
Leng In segera menyuguhkan thee, yang memang telah
disediakan di loteng itu.
"Apakah loo-suhu datang sendiri?" Toa Nio tanya.
"Kau ada punya urusan tetapi kau bisa datang begini
cepat! Pian Siu Hoo telah pindahkan pusatnya di Gocumui,
loo-suhu pasti ketahui itu maka kau datang
menyusul kemari!"
Lim Siauw Chong tertawa. "Kau memuji, toanio!" ia
berkata. "Kita terlahir di Hucun-kang, biar bagaimana,
kita tetap ada punya hubungan sama orang-orang dari
kalangan coanpang, maka segala sepak terjangnya Pian
Siu Hoo mana bisa lewat dari mata kita" Yang aneh
adalah Kiongsin Hoa Ban Hie! Cara bagaimana ia boleh
suka membantu padamu ibu dan anak" Maka menurut
aku, rupanya bagi Pian Siu Hoo, hari-hari terakhirnya
sudah mendekat, pembalasan bakal menimpa dirinya! Ini
Bancie san-chung, sejak didirikannya oleh Kiongsin Hoa
Ban Hie, kecuali oleh pihaknya sendiri, belum pernah
dilintasi atau didatangi oleh orang lain, malah lain-lain
orang dari kalangan Rimba Persilatan pun sukar datang
kemari, sama sukarnya umpama orang mendekati langit!
Tapi kau ibu dan anak, sekarang kau bisa berada di sini,
sungguh luar biasa, sungguh bagus peruntunganmu!
Tiathong-Iiong Pian Siu Hoo boleh undang orang yang
paling pandai, mereka itu bakal tidak ada di matanya Hoa
loosu! Apakah kau pernah pergi ke Haytong-kok?"
"Dengan banyak susah kita telah cari Haytong-kok
tetapi sampai sekarang kita belum pernah masuki," Yan
Toa Nio jawab. Ia tuturkan bagaimana ia batal masuk
karena ce-gahannya Tan Ceng Po. "Pian Siu Hoo sudah
atur sempurna pusatnya itu, untuk masuk ke sana, kita
terpaksa mesti menerjang dengan andalkan kepandaian
kita" Lim Siauw Chong, yang ada sabar luar biasa,
bersenyum. "Pian Siu Hoo anggap dengan caranya itu ia bisa unjuk
keangkerannya Kangsan-pang," ia kata, "ia tidak tahu,
itu sebaliknya yang bakal melekaskan kemusnahannya.
Inilah yang dikatakan orang menggunai ilmu akan cari
mampus sendiri! Semakin ia unjuk kegarangan dan
kekuatannya, semakin orang-orang dan kalangan Rimba
Persilatan tidak mau mengasih hati padanya! Di dalam
kalangan Sungai Telaga, orang mesti andalkan tenaga
sendiri, siapa yang mengharapkan bantuan sobat handai,
ia tidak bisa diandalkan. Sekarang sikapnya ini telah
menerbitkan perasaan tidak senang dari banyak orangorang
tertua dari Hucun-kang, ia itu justru ingin sekali
kau ibu dan anak, jangan kuatirkan apa-apa. Pian Siu
Hoo telah bikin lenyap orang punya rasa suka
kepadanya, ia justru dirikan pusat di tempat yang mencil,
itu adalah jalan kemusnahan yang dibikinnya sendiri."
"Tapi, Lim loosu, Pian Siu Hoo ada cerdik, kenapa ia
jadi keliru" Mustahil ia tidak ketahui cacatnya ini" Jikalau
ia benar-benar tidak insyaf, ia menjadi si orang kuat yang
tidak berbudi akal!"
Masih saja Lim Siauw Chong bersenyum-senyum.
"Pian Siu Hoo boleh jadi orang yang berbahaya, tetapi
sudah terang di dalam Hiecun ia telah mati daya,
sekarang ia kabur ke sarangnya di Hucun-kang, tidak
heran kalau ia dendam hebat dan niat bikin pembalasan,
hingga ia pindahkan pusatnya kemari. Aku tahu ia telah
sebar surat undangan, akan minta bantuannya orang
pandai, karena kecuali ia hendak lampiaskan dendamnya,
ia pun kandung suatu niatan besar, yang dibangunkan
oleh ketemahaannya. Ia mau uji kepandaian sama semua
orang gagah dari daerah Ciatkang dan Kangsouw, agar,
kapan ia peroleh kemenangan, ia bisa terus
menjagoinya. Bisa dibilang tindakannya ada tindakan
gelo tetapi tindakan itu ada berbahaya. Oleh karena ini,
Toa Nio, usaha kau sebenarnya ada menghadapi
rintangan hebat."
"Aku mengerti, loo-suhu," Yan Toa Nio kata. Ia
manggut-manggut.
Sampai di situ, Lim Siauw Chong berbangkit.
"Aku mau pergi ke depan, akan lihat mereka sudah
kembali atau belum," ia kata.
"Siapa mereka itu, loo-suhu?" tanya Yan Toa Nio
dengan heran. "Chungcu dari Bancie san-chung serta suheng-ku
Cukat loosu," jawab Siauw Chong. "Mereka semua telah
pergi, ketika aku sampai, aku tidak dapat ketemukan
mereka, maka itu, oleh hu-chungcu aku telah diantar
kemari akan ketemukan kau orang."
Yan Toa Nio terperanjat, tapi lantas ia mengelah
napas. "Untuk urusan kita, orang telah sampai begitu kesusu
pergi ke Haytong-kok untuk membikin penyelidikan," ia
berkata, "dengan demikian, kita berbalik seperti menjadi
tuan rumah saja! Kenapa kita mesti berdiam seperti
manusia yang dipuja-puja dan urusan kita mesti
diserahkan kepada lain orang" Inilah tidak pantas!"
Lim Siauw Chong golengkan kepala.
"Aku minta toanio jangan mengucap demikian," ia
berkata. "Chungcu dari Bancie sanchung ada seorang
yang jiatsim, jika ia sudah mau membantu dan mau
bekerja, siapa pun tidak bisa cegah padanya. Sekarang
pun ia pergi bukan untuk menerjang bahaya, ia hanya
hendak bikin penyelidikan, jika ia sudah ketahui segala
apa dengan terang, baru ia mau bertindak akan
hadapkan Pian Siu Hoo. Toanio harus ketahui, urusan
sekarang telah mengenai juga banyak orang ternama
dari kalangan Sungai Telaga, oleh karena itu, sekalipun
Hoa loo-cianpwee, ia mesti pikir-pikir dahulu sebelumnya
bertindak. Ia mengerti, jika ia alpa, tempatnya ini juga
bisa celaka. Ia juga pikirkan soalmu dan ia tidak mau
sembarang-an. Maka sekarang toanio berdua baik
bersabar dan menunggu kesudahan penyelidikannya Hoa
loo-cianpwee."
Yan Toa Nio manggut, ia tidak kata apa-apa pula,
bersama gadisnya ia antar tetua dari Kiushe Hiekee ke
luar, tetapi setelah ia balik ke dalam, ia insyaf hebatnya
perkara. Ia tidak duga urusan dengan cepat telah
berubah menjadi perkara begini besar. Karena ini, meski
ia bisa tinggal dengan tanpa kuatir di Cheetiok-lauw, ia
toh tidak dapat pulas dengan mudah.
Berapa lama ia telah rebahkan diri, Yan Toa Nio tidak
ketahui, hanya di waktu fajar, selagi ayam-ayam jago
berkeruyukan, kupingnya mendengar seruntunan suara
suitan. Yan Leng In juga tidak bisa tidur, ia rebah dengan
pikiran bekerja seperti ibunya. Bila ia dengar suara suitan
itu, ia berbangkit dan hampirkan pintu yang ia buka
untuk melongok ke luar.
Kecuali suara suitan tadi, tidak tertampak gerakan apa
juga, kesunyian balik kembali seperti sediakala. Tapi,
baru saja ia putar tubuhnya akan menutup pintu, dari
bawah lauwteng ia dengar pertanyaan, "Apakah Yan
toanio sudah tidur?"
Ia lekas buka pula pintu dan menanya, "Siapa itu di
bawah?" Yan Toa Nio juga sudah lantas bergerak dari
pembaringannya, baru saja ia berduduk atau orang di
bawah telah meloncat lewati pagar.
Justru itu, tahu-tahu si-empe Han telah menerobos
dan menghampirkan orang baru itu, lantas ia bicara
berbisik, setahu apa yang dibicarakan.
Yan Leng In sudah lantas kenalkan Souwposu Cukat
Pok. "Cukat loosu, silakan naik," ia memanggil.
Si Pembalasan Cepat tidak menyahut, tetapi ketika ia
sudah loncat masuk ke lankan, Yan Toa Nio justru telah
sampai di luar akan sambut ia, untuk terus undang ia
masuk ke dalam.
"Banyak capek, loo-suhu!" berkata nyonya Yan yang
ketahui orang baru kembali.
"Kita ada orang-orang dari satu golongan, lain kali aku
minta toanio jangan berlaku seejie," Cukat Pok berkata.
"Aku baru saja turut Bancie sanchung chungcu pergi ke
Haytong-kok. Sebenarnya kita boleh bersyukur bahwa
kita telah ketemu dan mendapat bantuannya ini orang
berilmu. Perkara sekarang " telah berubah sifatnya dan
menjadi hebat, tetapi dengan demikian, berbareng
urusan sakit hatimu dapat diselesaikan, toanio. Pian Siu
Harpa Iblis Jari Sakti 30 Perkampungan Misterius Seri Pendekar Cinta 4 Karya Tabib Gila Neraka Hitam 4

Cari Blog Ini