Ceritasilat Novel Online

Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong 6

Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Bagian 6


daripada yang lain, aku tidak ingin nanti orang kena
pandang hina pada kita, karena itu, aku selalu menjaga
saja kepentingan sendiri. Bancie sanchung ada tempat
berkumpulnya segala pengemis, tempat semacam ini
cara bagaimana bisa dipakai untuk menyambut tetamutetamu
yang mulia dan terhormat" Tetapi kalau orang
benar hendak bikin terang mukanya si pengemis dan
hendak memberikan pengajaran kepadaku, cara
bagaimana aku berani tidak menyambut dengan segala
senang hati" Yang aku tidak sukai adalah mereka yang
matanya berada di batok kepala, yang di matanya seperti
tidak ada orang lain, hingga Bancie sanchung ini
dianggap tempat hina dina! Umpama orang yang tadi
malam datang kemari Itcie Sinkang In Yu Liang, di
kalangan Sungai Telaga bukannya seorang yang tidak
ternama, kalau ia mau datang kemari untuk perlihatkan
kepandaiannya, sama sekali tidak ada halangannya, tapi
ia nyata ada kandung maksud tidak baik, terang ia mau
bikin aku terhina dan malu! Begitulah ia telah geser dua
paso pelitaku di depan pintu besar! Ia ada satu jago
ulung, ia sebenarnya tidak boleh berpura-pura tolol.
Golongan kita suka terima perlakuan apa saja kecuali kita
orang punya aturan leluhur, yang sama sekali tidak boleh
dilanggar dan dibikin rusak! In Yu Liang telah unjuki nyali
besar, terang ia lagi mencari susah sendiri. Sekarang ini,
kalau di Haytong-kok ada In Yu Liang, aku juga pasti
berada di sana! Dan aku pasti akan datang ke sana,
kendatipun Tiathong-liong Pian Siu Hoo dari Kangsanpang
dan dianya tidak undang aku!"
--ooo0dw0ooo-- XI Baru sekarang Cukat Pok mendapat tahu bahwa
Kiongsin Hoa Ban Hie adalah ketua dari Ciongkee-pang
dari Kanglam. Golongan kaum pengemis miskin ini ada
punya derajat yang rendah, tetapi di antara mereka ada
aturan yang keras tetapi rapi, dan di antara anggotaanggotanya
ada orang-orang dengan kepandaian luar
biasa. Beberapa koay-hiap, atau pengemis yang gagah
mulia, ada termasuk dalam golongan ini. Di waktu-waktu
biasa, orang tidak tampak apa-apa yang luar biasa pada
golongan ini, hanya satu kali mereka ada terima
penghinaan tak semestinya, lantas mereka kelihatan
bangun. Apabila pihak pengganggu ada orang biasa saja,
ia melainkan dikasih rasa sedikit pahit getir, sebaliknya,
bila pengganggu itu ada satu golongan atau partai, atau
orang ternama, segera muncullah gelombang hebat.
Kawanan pengemis itu paling taat pada pemimpin
mereka, kematian dipandang sebagai barang permainan,
kalau yang di depan rubuh, yang di belakang merangsek,
terus tidak ada putusnya, sampai mereka telah dapat
kepuasan, atau sampai mereka ludes. Umpama terjadi
ada pengemis dari golongan ini yang calang, yang jahat,
ialah suka ganggu orang, pengemis itu tidak boleh
diganggu, hanya adukan padanya pada Keebio-nya atau
rumah abu leluhur. Caranya mengadukan ialah tuturkan
atas sepotong kertas tentang kejahatan si pengemis,
kirim pengaduan itu ke Keebio. Biasanya bio itu tidak ada
yang jaga, surat boleh dimasuki dengan begitu saja. Tapi
hasilnya pengaduan ini bisa diharap dalam tempo tak
sepuluh hari, nanti si pendakwa akan dapat surat balasan
di mana ia diberitahu akan pergi ke suatu tempat, akan
saksikan hasilnya itu. Umpama si pengemis punya
kejahatan tidak hebat, ia bakal kehilangan satu jari
tangannya, atau ia telah dihajar sampai mandi darah.
Tetapi siapa yang dipandang jahat luar biasa, ia akan
kedapatan sebagai mayat. Dalam hal ini, si pendakwa
tidak boleh bikin banyak berisik, cukup ia sediakan
selembar tikar, sepotong batu dan sebungkus kertas,
letaki itu di samping mayat, lantas ia boleh tinggal pergi,
kalau di hari kedua ia datang tengok pula, mayat itu
lantas sudah ada yang urus dan kubur. Sejak itu, pada
rumah si pendakwa, tidak akan datang lagi pengemis
yang minta-minta. Maka juga, orang atau saudagar yang
ketahui hal ini, tidak ada yang mau bikin banyak rewel
sama bangsa pengemis itu, supaya tidak usah ngalami
bentrokan. Mendengar pengutaraannya si Malaikat Kemelaratan,
Hengyang Hie-in Sian Ie berkata, "Hoa loosu,
sebagaimana yang aku ketahui, Itcie Sinkang In Yu Liang
ada seorang yang ternama dalam Rimba Persilatan,
benar kelakuannya ada rada jumawa, ia tapinya tidak
pernah terdengar ada lakukan apa-apa yang jahat. Maka
aku pikir, kalau bisa, baiklah urusan tak diperbesar. Siapa
tahu jika ia tak ketahui aturan di sini" Orang yang tidak
tahu, tidak dianggap berdosa...."
Hoa Ban Hie tertawa. "Kau benar ada seorang tua
dengan hati mulia, di mana saja kau sampai, kau ingin
lakukan kebaikan!" ia kata. "Tapi, sahabatku, satu kali
ini, kau salah pakai kemurahan hatimu itu. Kau mesti
mengerti, dengan pertemuan di Haytong-kok ini, Pian Siu
Hoo terang telah kandung putusan, salah satu mesti
hidup atau binasa! Apa soal begini besar bisa dengan
gampang-gampang diselesaikan secara damai" Siapa
yang nyebur di dalam ini air butek, lantas jiwanya ada
terancam bahaya! Maka aku lihat, dengan usiamu yang
tinggi, Sian loosu, kau baiklah tidak campur urusan ini".
Roman mukanya Sian Ie menjadi berubah.
"Pengemis bangkotan ini benar-benar ada satu
makhluk aneh!" ia pikir. "Dengan maksud baik aku
mengasih nasehat, siapa tahu ia lantas saja sindirkan
aku. Aku ingin jangan sampai ada orang yang kenamaan
menjadi rusak namanya atau mendapat kecelakaan, ia
sebaliknya anggap aku pengecut!"
Lalu ia pandang Raja Pengemis itu.
"Hoa chungcu, dengan kau, aku ada terlebih tua
beberapa tahun, kendati demikian, semangatku masih
hidup!" ia kata. "Benar-benar, di mana perlu, aku tidak
sayang jiwaku! Lihatlah, apa yang aku telah lakukan di
Giokliong-giam Hiecun! Dalam urusannya Yan toanio dan
anak dan Kiushe Hiekee terhadap Pian Siu Hoo, aku
mesti selalu turut serta, apapula setelah sekarang Pian
Siu Hoo telah menantang di Haytong-kok. Kau jangan
dapat pandangan keliru tentang diriku, chungcu. Aku
mesti pergi ke Haytong-kok, akan buka mataku, akan
luaskan pemandangan!"
Kiongsin Hoa Ban Hie tertawa berkakakan sambil
tepuk-tepuk tangan.
"Bagus, bagus!" ia berseru berulang-ulang. "Aku
girang bahwa aku si miskin melarat ada punya sahabat
sebagai kau! Aku girang yang Bancie sanchung bisa
dapat bantuan kau! Sahabat baik, aku memang tidak
ingin ayal-ayalan, aku ingin sekali lekas-lekas tengok
Haytong-kok, akan belajar kenal sama segala
persiapannya Pian Siu Hoo!...."
Kapan si Malaikat Kemelaratan telah tutup mulutnya,
lantas Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong beritahukan
bahwa mereka sudah pergi ke Haytong-kok, bahwa Pian
Siu Hoo, si Naga Besi, telah ketahui yang si Malaikat
Kemelaratan hendak satrukan padanya, karena mana,
orang she Pian itu tentu, paling lambat besok bakal kirim
utusan akan menyampaikan undangan.
"Maka bagaimana sekarang," mereka tanya, "kita baik
tunggu sampai datangnya undangan itu atau kita
mendahului pergi ke Haytong-kok?"
"Menurut aku, kita tidak boleh menunggu lagi," Hoa
Ban Hie bilang. "Lebih baik kita orang mendahului pergi,
ini hari juga! Perhitungan dengan Pian Siu Hoo mesti
lekas-lekas dibereskan! Kalau ciongwie setuju, kita boleh
lantas sediakan karcis nama kita."
Yan Toa Nio dan Yan Leng In ada bemapsu buat pergi
ke Haytong-kok, mereka paling dahulu nyatakan setuju
sama usulnya tuan rumah, hingga yang lain-lain lantas
menurut saja. Maka lantas ditetapkan mereka akan
berangkat selewatnya tengah hari, maka mereka lantas
siapkan karcis nama mereka, yang didahulukan dengan
namanya Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong, baru nama
Yan Toa Nio dan gadisnya, disusul oleh nama Hoa Ban
Hie. Kemudian menyusul namanya Sian Ie, Hee Kiu Hong
dan Cukat Pok. Kemudian Hoa Ban Hie himpunkan rakyatnya di depan
kongso, guna terangkan pada mereka itu hal timbulnya
pertentangan sama Tiat-hong-liong Pian Siu Hoo si Naga
Besi, sebab Pian Siu Hoo telah dirikan pusat di lembah
Haytong-kok dan pihaknya sudah langgar kesucian
aturan kaum mereka la kasih tahu bahwa Bancie
sanchung mesti pergi ke Haytong-kok, guna minta
keadilan, untuk bikin perhitungan.
"Pian Siu Hoo berani menantang di Haytong-kok, tentu
ia ada punya kekuatan cukup," Hoa Ban Hie terangkan
lebih jauh, "dari itu, dengan kepergian ini, barangkali aku
bakal kubur tulang-tulangku yang rudin di lembah itu.
Maka di mana Bancie sanchung tak boleh satu hari tak
ada ketuanya, kau orang harus lekas kirim orang pergi ke
Keebio kita di belakang gereja Leng-in-sie di See-ouw
untuk mengasih laporan pada couwsu supaya couwsu
kirim utusan kemari, akan gantikan aku atau urus
pengangkatan satu pengganti. Tentang ini kau orang
tidak boleh ayal-ayalan!"
Baru saja Hoa Ban Hie tutup mulutnya, lantas maju
bicara dua pengemis yang telah berusia tinggi. Mereka ini
masing-masing mempunyai sepasang mata yang tajam.
'Chungcu, kita di Bancie sanchung selamanya ada jaga
diri baik-baik dan kita juga tidak suka ganggu lain orang,
kalau sekarang Pian Siu Hoo mengancam kita, perbuatan
ada keterlaluannya, tidak bisa dibiarkan saja! Chungcu,
jikalau kita orang tidak turun tangan, akan berikan
pengajaran pada Pian Siu Hoo, lain kali nanti segala
orang hijau datang mengganggu kita dan golongan kita
jadi tidak ada artinya! Di mana segala apa belum ada
kepastian, aku minta chungcu jangan omong sedemikian
getas. Kita dari pihak Ciong-kee-pang ada tidak punya
guna, tapi kita orang suka pergi ke Haytong-kok, akan
labrak musuh kita itu!"
Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong lihat dua orang itu
ada punya sikap yang sungguh-sungguh, maka mereka
mengerti, pihak Bancie sanchung nyata ada tidak puas.
"Lauwko berdua tidak usah gusar," Hoa Ban Hie kata
sambil tertawa. "Kau orang lihat sekalian sahabatku ini,
dengan adanya mereka di dampingku, apa bisa jadi Pian
Siu Hoo gampang-gampang bisa musnahkan aku" Apa
yang aku harap, seperginya aku nanti, biarlah kau orang
jaga kampung kita ini dengan hati-hati, agar tidak sampai
kurang suatu apa. Sekarang, untuk sampaikan surat kita
ke Haytong-kok, kita belum punya dua wakil. Kita orang
benar dipanggil pengemis, tetapi Bancie sanchung mesti
juga bisa pegang derajatnya, supaya kalau kita kirim
orang, jangan nanti orang pandang wakil kita sebagai
tukang minta-minta. Saudara-saudara, siapa di antara
kau orang yang sudi terima tugas itu?"
Sambil kata begitu, Hoa Ban Hie pandang kawankawannya.
Sama sekali ada berkumpul lebih dari empatpuluh
orang, tua dan muda, tinggi dan kate, dengan roman
mereka yang berlainan satu sama lain. Mereka semua
dandan tidak keruan, karena pakaian mereka rerombengan
atau tambelan. Satu hal yang nyata sendiri
adalah bahwa pakaian itu semua ada tercuci bersih.
Dari dalam rombongan lantas keluar dua orang, satu
muda dan satu setengah tua. Si anak muda berusia
duapuluh lebih, tingginya tidak ada lima kaki, tubuhnya
kurus, sepasang alisnya kecil dan panjang, di bawah itu
ada ditawungi dua mata yang celi. Melulu ini sepasang
mata, yang bikin ia kelihatannya lain. Bajunya biru,
karena tua, telah berubah menjadi dua macam
warnanya. Ia ada pakai sepatu rumput, di pinggangnya
ada tergantung satu kantong, tangannya ada menyekal
toya pendek. Si orang tua, dari usia lima-puluh lebih, ada
bertubuh kekar dan romannya gagah, coba tidak
pakaiannya, orang sangsi bahwa ia ada satu pengemis.
Iapunya baju ada seperti jubah hweeshio, celananya biru
dan digulung tinggi sebatas betis. Ia tidak pakai sepatu.
Di pinggangnya ada satu kantong, yang dicanteli satu
gendul arak. la pegang tongkat atau ruyung tiga kaki
panjangnya. Dan mereka ini majukan diri untuk dijadikan
pembawa surat. Hoa Ban Hie awasi itu orang tua, ia bersenyum dingin.
"Kie Kiam, kau berani terima ini tugas?" ia kata. "Aku
kuatir, kau bukannya bakal dapat arak pemberian
selamat sebaliknya kau bakal bikin turun pamornya
Bancie sanchung! Sudah begitu, kau dibantu oleh Tiauw
Sam Ek, bantuan itu menambah besarnya kegagalan!
Kau orang mau pergi ke Haytong-kok, kalau pihak
Kangsan-pang hinakan kau orang, apa kau orang bisa
bikin" Apakah kau orang bisa pergi dan pulang dengan
tidak merusak Bancie sanchung punya kehormatan?"
Si orang tua bersenyum tawar. "Chungcu baik jangan
kuatir," ia kata. "Ketua dari Kangsan-pang, TiathongIiong Pian Siu Hoo kita pandang sebagai satu dermawan
besar, maka kalau kita pergi ketemukan padanya dan
kembali dengan tidak peroleh hasil, kita benar ada
sampah belaka!"
Nyata Hoa Ban Hie suka berikan tugas pada itu dua
orang, maka Kie Kiam bisa terima surat dari tangan
pemimpinnya, setelah simpan rapi surat itu di dalam
sakunya, ia mengasih hormat, dengan ajak si anak
muda, ia berlalu dari cun-kongso.
Yan Toa Nio dan puterinya percaya bahwa kedua
utusan itu ada orang-orang yang tidak boleh dipandang
enteng, karena di depannya Kiongsin, tidak nanti
majukan diri sembarang orang, sedang Hoa Ban Hie


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri tidak nanti berlaku sembrono.
Dugaan dari itu ibu dan anak ada tidak keliru, karena
Kie Kiam dan Tiauw Sam Ek adalah orang-orang yang
sedang melatih diri, malah Kie Kiam itu, dengan Hoa Ban
Hie, ia ada pernah suheng dan sutee. Berdua mereka ada
mempunyai masing-masing kepandaiannya. Mereka
sama-sama mempunyai keentengan tubuh, kegesitan
gerakan, sebab mereka mengerti Cosianghui, ilmu
entengi tubuh seperti terbang di atas rumput. Mereka
juga bisa bikin ciut tubuh mereka. Kie Kiam punya ilmu
lompat jumpalitan Sippat sianhoan tidak ada
tandingannya buat di selatan dan utara Sungai Besar.
Tiauw Sam Ek ada muridnya Kie Kiam pun beradat aneh,
tidak beda jauh daripada Hoa Ban Hie, maka tidak heran,
baru saja bicara, ia dan ketuanya sudah seperti saling
sindir. Di kalangan Ciongkee-pang ia disebut sebagai
"Koay Kiat," si Orang Aneh.
Demikian, sekeluarnya dari cun-kongso, dua orang ini
lantas gunakan ilmu mereka jalan cepat akan menuju ke
Haytong-kok, hingga tidak heran belum selang lama
mereka sudah sampai di mulut jalanan bukit.
Setelah itu, berdua mereka mulai bertindak masuk ke
mulut jalanan. Di luar dugaan, mereka tidak nampak
rintangan. Tempat itu ada sunyi dari manusia. Burungburung
pada berterbangan, bunga-bunga pada mekarkan
diri. Sesudah jalan jauhnya kira-kira selepasan gandewa,
wakil tua dan muda ini telah hadapkan satu tanjakan
yang tinggi. Di atas itu nampaknya ada tanah datar. Tapi
itu bukannya jalan besar, di situ ada beberapa jalanan
kecil, jalanan yang bisa dilalui untuk melintaskan bukit.
Sekarang ini Tiauw Sam Ek jalan di depan, gurunya di
belakang ia. Mereka berada dekat satu pada lain. Selagi
mereka mendekati hampir setombak jauhnya dari tanah
datar, dari belakangnya sebarisan pohon, ada keluar satu
orang yang terus saja menegur sambil membentak,
"Siapa" Jangan maju terus! Di sini tidak ada jalanan
umum! Ke mana kau orang mau pergi" Lekas kasih
keterangan! Di sini, di mana-mana, ada dipasang panah
jepretan, siapa kena langgar itu, itu artinya bencana!"
Orang yang barii muncul itu, yang lalu berdiri di depan
pohon, berumur kurang lebih tigapuluh tahun, tubuhnya
besar dan kekar, kulit mukanya hitam, maka dengan
mata besar dan alis gompiok, dengan hidung singa dan
mulut gede, sedang juga di kedua mulutnya ada gigi
sebagai caling, ia kelihatan bengis sekali.
Tiauw Sam Ek awaskan itu orang, lalu ia menjawab,
"Sahabat, kau pasang panah jepretan untuk tangkap
burung, ada apa itu sangkutannya sama kita yang
sedang berjalan" Aku lihat, sahabat, kau ada seperti
tidak mengerti urusan! Kau tahu, setiap tahun, kita lewat
di sini buat sepuluh atau duapuluh kali, maka justru ini
kali kebetulan kita ketemu sama kau, kenapa bisa terjadi
ini perubahan" Kenapa kita tidak boleh lewat di sini" Aku
lihat kau ada kandung maksud kurang baik!"
Sambil ucapkan perkataannya yang terakhir, Sam Ek
loncat maju. Melihat yang cegahannya tidak digubris, orang di
sebelah atas itu menjadi tidak senang, maka juga ia
segera membentak, "Makhluk tak tahu diri! Kenapa kau
tak mau dengar nasehat" Turunlah kau!" Titah itu disusul
sama satu gerakan tangan, yang melemparkan sepotong
batu. Tiauw Sam Ek lihat gerakan orang ia loncat ke
samping, tangannya ia ulur, maka batu itu ia lantas saja
kena sambuti. la tertawa ber-kakakan.
"Rupanya di sini ada satu aturan, ialah menyambut
tetamu dengan timpukan batu," ia berkata "Sayang aku
si pembesar adil tidak sudi makan sogokan, maka itu,
buat kau ini aku bayar kembali! Tulung kau sambuti!"
Dengan satu gerakan tangan, batu itu dilempar
kembali. Timpukan dari Tiauw Sam Ek ada dengan
memakai tenaga besar, batu itu melesat cepat luar biasa
Orang di depan berkelit dengan tunduki kepala, maka
batu itu lewatkan ia, terus menyambar satu pohon di
belakangnya, hingga menerbitkan suara keras, hingga
batu itu terpental balik, jauhnya sampai dua atau tiga
tombak, lantas jatuh ke tanah, mengggelin-ding jatuh ke
bawah bukit! Sementara itu, Sam Ek pun sudah loncat terus, akan
naik ke atas, hingga sekarang ia telah mulai mendatangi
dekat pada orang yang menjadi penghalangnya.
Juga si penghalang lantas loncat maju, akan
merintangkan. "Bocah, kau benar ada seekor anjing buta!" ia
berteriak. "Cara bagaimana kau berani datang ke
Haytong-kok akan jual lagak?"
Teguran ini ditutup sama serangan dengan kedua
tangan terhadap dada.
Terhadap itu serangan yang berbahaya, Tiauw Sam Ek
tidak menyingkir dengan lompat mundur atau ke
samping, ia hanya egos tubuhnya ke kiri dengan
majukan kaki kirinya, lalu kaki kanannya dimajukan terus
ke depan, kapan ia telah putar tubuhnya, ia jadi berada
di belakang musuh. Gerakannya ada sangat gesit hingga
musuh tidak pernah menduga itu. Di sini, dengan ulur
tangannya, ia samber orang punya bebokong untuk
dijambak. Melihat tindakan orang itu, si penghalang lantas duga
apa yang bakal kejadian, tidak tunggu sampai tangan
musuh mengenai tubuhnya, ia majukan kakinya setindak
ke depan, setelah mana ia balik tubuhnya. Tapi ia tidak
berayal, la loncat maju dengan kaki kirinya, akan dekati
musuh, akan dengan tangan kanan ia membarengi orang
punya pundak dari tangan yang tadi diulur untuk
menjambak ia. Tiauw Sam Ek segera gunai tipu Sauwliok-ciauw atau
"Enam kali menggape." Ia mendek dengan pundaknya
yang terancam bahaya itu, berbareng ia majukan tangan
kanannya, yang dari sebelah bawah tangan musuh
menyamber iga, yang ia hendak tusuk dan robek. Guna
kuatkan serangannya yang berbahaya ini, kaki kanannya
pun ia kasih maju, akan mendesak, dengan samberannya,
sedang tangan kirinya dipakai mendorong ke depan
dengan keras, pada tubuh musuh.
Gerakan tangan dan kaki dari muridnya Kie Kiam ada
terlalu sebat bagi musuhnya, yang telah berlaku ayal
atau alpa, ia baru kaget ketika kakinya kena kebentur
kaki musuh, tetapi sekarang sudah kasep; untuk tolong
iganya, ia mesti egos tubuh, tapi justru karena ini, tidak
usah Sam Ek gunai banyak tenaga pada tangan kirinya,
musuh sudah rubuh terguling, ke bawah bukit!
Tiauw Sam Ek tertawa berkakakan.
"Bagaimana, suhu?" ia kata dengan nyaring. "Kau
lihat, aku tidak sembrono!"
"Jangan jumawa, bocah!" Kie Kiam peringatkan. "Kau
baru pukul satu anak kecil, nanti datang si orang besar,
akan menyambut kau! Tunggu, di belakang masih ada
lain lelakon yang terlebih ramai!"
Berdua mereka maju, menghampirkan segerombolan
pohon kecil dan lewatkan itu. Mereka sekarang berada di
satu jalanan kecil, yang menuju semakin dalam di daerah
pegunungan itu.
Sam Ek berlaku gesit dan cepat, ia cegah kakinya
terpleset di tempat yang licin.
Segera mereka berada di jalanan, yang kedua
sampingnya ada pepohonan melulu " pohon-pohon
yang tinggi dan rendah tak ketentuan. Di tempat begini,
mereka bisa umpatkan diri.
Tidak antara lama, mereka telah sampai lagi di jalanan
bukit yang besar.
Kie Kiam selalu mengekor di belakangnya Tiauw Sam
Ek, siapa maju dengan berani, sedikit juga tidak merasa
jeri. Kira-kira satu lie jauhnya, Sam Ek sampai di jalanan di
tepi mana ada sebuah pohon besar, dari atas pohon itu
mendadakan loncat turun satu orang, dengan gerakan
seperti melayang.
Cepat sekali, kedua pihak telah berdiri berhadapan.
"Sahabat baik, kau baru sampai?" demikian
sambutannya orang itu, yang lantas angkat kedua
tangannya dengan dirangkap, kelihatannya ia mau unjuk
hormatnya, tidak tahunya, kedua tangan yang
tertangkup lantas dipentang, dipakai menyerang dada!
"Bagus!" berseru Tiauw Sam Ek, yang mengerti orang
bukan sambut ia hanya serang padanya, dari itu dengan
berbareng sama seruannya, ia loncat ke samping kiri
jauhnya dua tindak, dari sini ia mencelat pula ke kanan,
hingga ia hampir bentur tubuh musuh.
Penyambut itu agaknya terperanjat, rupanya karena ia
lihat orang punya kegesitan tubuh atau kepandaian,
tetapi kendati terperanjat, ia penasaran, maka untuk
kedua kalinya, ia maju menerjang pula.
Adalah di itu saat, Kie Kiam telah menyusul datang,
hingga ia bisa saksikan orang punya sikap galak. Ia
segera kasih dengar seruan dari tegurannya, "Sahabat
baik, beginilah caranya orang menyambut tetamu"
Jikalau tuan rumah terlebih dahulu berlaku tidak hormat,
jangan sesalkan kalau si tetamu berlaku tak mengenal
kasihan!" Dengan gerakannya terlebih jauh, Kie Kiam bikin ia
berada dekat sama pihak musuh. Ia tidak berayal akan
majukan kaki kiri seraya dengan tangan kanan
menyamber ke jurusan pinggang.
Sam Ek, di lain pihak, dari sebelah kanan, maju
menyerang, hingga orang tidak dikenal itu jadi kena
dikepung, dari kiri dan kanan.
Dengan tipu silat Sianjin toat-ie atau "Dewa
meloloskan baju," tuan rumah itu, atau si penjaga
jalanan, loloskan diri dari dua serangan yang berbareng
itu, ia enjot tubuhnya hingga ia naik ke tanjakan,
tubuhnya enteng sekali.
"Lihat, bocah!" Kie Kiam serukan kawannya. "Orang
barulah telah tunjuk kementerengannya terhadap kita!
Jikalau kita tidak mampu susul padanya, bagaimana kita
masih akan hidup terlebih lama lagi?"
"Itulah tak akan terjadi!" Sam Ek berseru. "Jikalau kita
tidak mampu panjat bukit ini, apa perlunya kita orang
datang kemari" Lihatlah aku si bocah!"
Sam Ek benar-benar sudah lantas enjot tubuhnya,
loncat mencelat naik ke atas tanjakan, ia telah geraki
tipu silat Itho chiongthian atau "Seekor burung ho
menerjang langit." Benar-benar, tubuhnya tertampak
seperti melayang, sebagai burung saja.
Pihak tuan rumah juga bukannya bangsa lemah, la
sudah mundur, jauhnya satu tombak lebih, setelah itu ia
maju pula, rupanya ia sudah siap akan lakukan
penyerangan balik.
Tiauw Sam Ek loncat naik, akan taruh kaki di satu
undakan. Ketelakan di situ ada naik seperti tangga. Dan
pihak musuh berada jauhnya dari ia empat undak.
Karena ini, ia maju terlebih jauh. Dengan satu loncatan
istimewa, ia lewatkan kepala musuh, hingga ia sekarang
berada di mulut jalanan yang berundak-undak itu, yang
ada tanah datar.
Kie Kiam lihat sepak terjangnya Tiauw Sam Ek yang
tidak kenal takut, ia lalu menulad. la telah loncat maju
dengan gunakan Liongheng coanchiu-ciang, atau
"Gerakan tangan yang beroman naga."
Di luar dugaan, pihak penjaga jalanan, bukannya ia
cegah Tiauw Sam Ek, ia justru pegat si orang tua ini.
Belum sampai Kie Kiam tancap kakinya, ia sudah
diserang dengan satu serangan sebagai terkamannya
harimau. Orang itu punya gerakan kaki ada enteng dan
cepat, dan tangannya sebat sekali tetapi berat, satu
tanda dari digunakannya tenaga yang besar sekali.
Kie Kiam tidak mau berkelit atau menangkis serangan
pihak lawan, sebaliknya, ia mau barengi menyerang,
akan dahulukan musuh, maka juga, selagi musuh hendak
bikin ia celaka, sambil miringkan tubuh sedikit ke kiri,
tangan kirinya ia ulur, telunjuk dan jari tengahnya, yang
ia lempangkan dengan keras, ia pakai menusuk musuh
itu, guna menotok jalan darah.
Serangan ini ada sama berbahayanya dengan tipu
Siokkut hun-kin-chiu atau "Memecah urat sambil ciutkan
tulang." Siapa terkena serangan semacam ini, ia bakal
celaka. Penjaga jalanan itu tidak menyangka bakal dapat
sambutan demikian rupa, ia jadi bingung sekali, karena ia
seperti mati daya. Lebih celaka, karena kaget, iapunya
gerakan jadi lambat sendirinya.
Di saat yang sangat berbahaya itu, tiba-tiba dari
sebelah atas bukit ada loncat turun satu orang, gerakan
siapa mirip dengan melayang turunnya segumpal mega
merah, karena tangannya ada memegang bendera yang
serupa warna. Dengan batangnya bendera merah itu, ia
ketok lengan kanan dari Kie Kiam.
Juga Kie Kiam tidak menyangka bakal datang
serangan semacam itu terhadap dia, tetapi ia tidak
menjadi gugup, hanya untuk menyingkir dari bencana, ia
lekas-lekas tarik pulang tangannya, dengan berkelit ke
samping kiri, ia ciut tubuhnya. Tapi ia tidak mau
menyerah dengan begitu saja, iapun penasaran, sambil
bikin gerakan menolong diri secara demikian, berbareng
tangan kanannya bekerja sambil berseru, "Sahabat baik,
terimalah ini!"
Dengan gerakan Tokee kimliang atau "Penglari mas
rubuh" ia hajar orang yang pegang bendera merah itu,
yang membokong ia.
Orang yang diserang itu gerakannya sebat sekali. Ia


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kibaskan tangannya " tangan kanan " ke kanan,
tubuhnya ikut bergerak, mundur, sampai lima atau enam
tindak. Sampai di situ, orang yang pertama, ialah si penjaga
jalanan, telah insyaf bahwa Kie Kiam ada liehay, maka
untuk membantu kawannya, kalau dari tadi ia nonton
saja, sekarang ia lompat maju.
Adalah selagi keadaan genting itu, orang yang pegang
bendera merah u lapkan tangan pada kawannya sambil
di lain pihak ia tegur Kie Kiam, "Sahabat baik, kau orang
datang untuk berkunjung, kenapa kau orang berlaku
begini tidak tahu aturan" Aku datang kemari untuk
menyambut tetamu, sebagaimana aku telah dititahkan
oleh pangcu kita!"
Ditegur begitu, Kie Kiam tertawa terbahak-bahak.
"Kau orang bertindak dengan melawan kehendak
Thian, sahabat baik!" ia kata dengan tak mau mengalah.
"Lihat saja, dalam urusan begini kecil kau orang masih
tidak mau pegang pri-kepantasan! Sebenarnya dari
siang-siang kau orang mesti sambut kita secara tahu
aturan begini! Tetapi kau orang anggap kau orang
berkepandaian tinggi, lantas kau orang tidak lihat mata
pada kita, orang-orang yang tak ternama hingga kau
orang terlalu menghina!"
Orang itu telah menjadi gusar, tetapi napsu
amarahnya ia tahan. Ia berkata pula, "Sahabat jangan
kau terlalu menghina pada kita orang! Jikalau kau orang
tetap tidak mau mengerti, baik kita orang bertempur
dahulu dan kemudian baru bicara! Sahabat, mari ikut
kita!" Dengan geraki bendera merahnya, orang itu putar
tubuhnya, dengan tidak tunggu jawaban lagi dari pihak
musuh, atau kedua tetamunya, ia bertindak pergi.
Tiauw Sam Ek telah berdiri menonton dari bawah
pohon, karena pertempuran telah berhenti, ia awasi saja
gurunya, yang bicara sama musuh. Ia saksikan orang "
dua-duanya " sudah lantas pergi, dan gurunya loncat
naik ke tempat tinggi, akan awasi perginya musuh
mereka, la niat susul guru itu, tetapi Kie Kiam
mendahulukan memanggil ia.
"He, anak, kedatangan kita kemari sungguh tak siasia!
Si orang she Pian benar telah tunggu kita! Hayo,
bocah, mari ikut aku, akan pentang matamu lebar-lebar!"
Setelah kata begitu, Kie Kiam lantas geraki tubuhnya,
akan loncat maju, menyusul kedua orang bekas lawan
mereka. Dengan segera, Tiauw Sam Ek lari, akan susul
gurunya itu. Ia gembira sekali.
Orang yang bawa bendera itu berlari-lari umpama kata
seperti terbang cepatnya, dari itu terang, ia hendak uji
ilmu lari cepat dari dua musuhnya.
Kie Kiam dan Tiauw Sam Ek tidak mau mengalah,
mereka coba mengikuti, dari itu dua-dua pihak telah
berjalan seperti terbang saja.
Orang yang pertama tidak ikut, ia rupanya mesti
jalankan pula tugasnya, menjaga mulut jalanan ke
lembah. Utusan tuan rumah telah lintaskan dua jalanan kecil,
yang sukar sekali untuk dijalani, sesudah itu dari jauhTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
jauh sudah kelihatan pepohonan haytong yang lebat,
yang berupa sebagai rimba saja. Bunga-bunga sudah
rontok tetapi cuaca di situ ada teduh, langit seperti
kealingan mega. Di situ ada terdapat angin.
Di lembah itu kedapatan banyak sekali pohon haytong
di antaranya ada menyelip rumah-rumah yang teratur
rapi. Di depan rimba haytong ada satu jalanan, di muka
jalanan itu berdiri dua orang dengan pakaian ringkas,
masing-masing bersenjata hie-cee atau tempulung dan
busur serta gandewanya. Mereka itu berusia kira-kira
tigapuluh tahun, kelihatannya gagah.
Cepat sekali, kedua tetamu sudah lantas susul wakil
tuan rumah, yang berjalan turun dengan cepat. Ketika
mereka lewat di antara dua penjaga muda itu, Kie Kiam
dan Sam Ek jalan terus dengan tidak menoleh lagi pada
mereka, malah mereka ce-patkan tindakannya akan bisa
dampingi pembawa bendera merah itu.
Sesudah melalui duapuluh tombak lebih, mereka
sampai di mulut kampung, tetapi mereka tetap jalan
terus, akan masuk ke dalam kampung itu.
Segera juga mereka sampai di depan sebuah rumah
batu, yang berada di tengah-tengah. Si pembawa
bendera berhenti bertindak, ia balikkan tubuhnya.
"Kasihlah suratmu padaku!" ia minta. Ia hadapkan Kie
Kiam. Dengan cepat Kie Kiam awasi wakil tuan rumah itu, ia
bersenyum tawar.
"Surat?" ia tegaskan. "Kau bicara gampang saja,
sahabat baik! Dari tempat ribuan lie aku membawa surat,
pesanan untuk aku adalah aku mesti ketemu sendiri
sama orang yang berhak akan terima suratku ini. Surat
dari Bancie sanchung cuma boleh disambuti sendiri oleh
Pian pangcu dari Kangsan-pang!"
Pembawa bendera merah itu deliki matanya, agaknya
ia gusar. "Kau hanya seorang suruhan, kenapa kau bersikap
begini jumawa?" ia menegur dengan suaranya yang
keras. "Sahabat baik, kau seperti tidak lihat orang
dengan matamu! Kau mesti ketahui, dengan sudi menyambuti
surat dari kau, aku bukannya pandang enteng
pada kau! Jikalau kau begini angkuh, sahabat baik, kau
baiklah tidak usah membawa surat datang kemari,
baiklah kau perintah Kiongsin Hoa Ban Hie datang
sendiri!" Baru saja si pembawa bendera tutup mulutnya, atau
dari dalam menerjang keluar satu orang yang segera
hampiri mereka sambil terus berkata, "Jadinya kau orang
anggap orang yang hendak sambuti surat ada jumawa
dan tidak tahu aturan" Baik! Tapi kau orang mesti
ketahui, kalau kau orang tetap ingin pangcu yang keluar
sendiri, jangan nanti kau orang menyesal!...."
Kie Kiam sambut ucapan itu dengan tertawanya
berkakakan. Ia rogoh sakunya dan keluarkan satu
kantong tipis warna biru, yang mana ia ulapkan di depan
orang itu. "Inilah dia surat yang aku bawa!" ia kata. "Aku sudah
bilang aku mau ketemu pada orang yang dialamatkan
sendiri! Aku lihat kau orang tidak pantas menerima surat
ini!" Lagi sekali, Kie Kiam ulapkan suratnya itu yang
terbungkus rapi.
Orang yang baru keluar itu berumur kurang lebih
empatpuluh tahun, mukanya bersorot kuning pucat, di
bawah sepasang matanya yang seperti mata tikus, ada
hidungnya yang lancip. Mulurnya diapit dengan bibir
yang tipis. Mukanya terang ada muka dari si licin cerdik.
Dengan tiba-tiba ia ulur sebelah tangannya, untuk
menyambar surat di tangannya Kie Kiam.
"Kau tidak pantas menerima ini!" berseru Kie Kiam,
yang gerakkan tangannya keluar, akan sampok tangan
orang, atas mana orang itu berseru sambil tubuhnya
bergerak mundur, hampir-hampir ia kena tabrak si
pembawa bendera merah.
Adalah di saat genting itu, di muka pintu terdengar
satu suara, "Pangcu titahkan membawa utusan Bancie
sanchung masuk."
Inilah suara yang membikin suasana tak menjadi
hebat. Orang yang tangannya kena di-sampok itu, mukanya
telah menjadi merah, karena sudah terang, ia telah
rubuh di tangannya Kie Kiam. Berhubung dengan adanya
perintah, ia lantas pergi ke samping.
Lantas pintu dipentang, oleh orang yang baru datang.
Kie Kiam dan Tiauw Sam Ek tidak takut barang sedikit,
mereka lantas bertindak masuk di pintu itu. Sesampainya
di dalam, mereka lihat satu ruangan yang luas sekali
dengan perabotan mentereng semua, tak ada tandatandanya
bahwa rumah besar itu diisi oleh orang tani
atau orang dusun.
Di ujung sebelah timur ada sebuah meja patsianto, di
situ ada berkumpul beberapa orang. Yang duduk di
sebelah kanan ada Tiat-hong-liong Pian Siu Hoo sendiri,
ketua dari Kangsan-pang. Di sebelah kiri ada Itcie
Sinkang ln Yu Liang, itu orang yang pernah datangi
Bancie sanchung yang ia coba bikin kalut. Yang lain-lain
adalah pelayan.
Kie Kiam dan Tiauw Sam Ek maju mendekati Tiathongliong
si Naga Besi, mereka angkat tangan mereka
masing-masing untuk memberi hormat, setelah itu, yang
pertama lantas berkata, "Kita orang datang kemari atas
titahnya chungcu Hoa Ban Hie dari Bancie sanchung,
untuk haturkan suratnya. Chungcu pun pesan kita untuk
menanyakan Pian pangcu punya kewarasan!"
Pian Siu Hoo pandang dengan tajam pada dua utusan
itu. "Kau orang berdua banyak cape," ia kata. "Mana surat
yang kau orang bawa?"
Kie Kiam angkat suratnya tetapi ia tidak jawab
pertanyaan tuan rumah itu.
Itcie Sinkang ln Yu Liang berbangkit, akan hampirkan
Kie Kiam, tangan kanannya ia ulur, dengan gunai jempol
dan jeriji manis dan jeriji tengah, ia jepit itu surat, yang
ia tarik dengan dikageti seraya ia terus berkata dengan
cepat, "Kau orang banyak cape!"
Selagi In Yu Liang betot surat itu, tubuhnya Kie Kiam
bergoyang dua kali, sedang kakinya Itcie Sinkang telah
bergerak setengah tindak ke samping. Surat itu telah
terlepas dari tangannya Kie Kiam.
"Loosu, tenagamu benar-benar besar!" kata Kie Kiam
sambil tertawa.
In Yu Liang tidak menjawab, ia hanya bersenyum
ewah, dengan putar tubuhnya, ia hampiri Pian Siu Hoo,
siapa sudah ulur tangannya, akan sambuti itu surat dari
Bancie sanchung, yang ia terus buka. Itu ada sepotong
surat merah. Apabila ia telah membaca, Pian Siu Hoo kata pada Kie
Kiam, "Oleh karena sangat terpaksa dan kesusu, ketika
aku dirikan pusatku di Haytong-kok ini, aku telah tidak
terlebih dahulu pergi mengunjungi Hoa chungcu di
Bancie sanchung. Tentang kealpaanku ini " satu
perbuatan kurang hormat " aku ketahui dengan baik.
Hoa chungcu ada baik sekali, sebelum aku ketemui dia,
dia sudah mendahului kirim suratnya ini, untuk
memberikan pelajaran padaku, untuk itu aku merasa
sangat beruntung! Adalah terlebih baik lagi kalau Hoa
chungcu niat berkunjung kemari siang-siang, pasti aku
akan menyambut dengan cara hormat...."
Lantas Pian Siu Hoo angkat pit dan tulis surat
balasannya atas selembar kertas merah juga, surat mana
ia masuki ke dalam amplop, setelah mana satu
pengawalnya, yang berdiri di dekat jendela, ia perintah
serahkan suratnya itu pada Kie Kiam.
Setelah terima surat itu, Kie Kiam berkata, "Kita
berterima kasih yang pangcu ada baik hati sudi
membalas suratnya chungcu kita! Sekarang kita orang
mau lekas-lekas pulang, akan sampaikan surat balasan
ini untuk selesaikan tugas kita!"
"Maaf, aku tidak antar pada kau orang sampai jauh,"
Pian Siu Hoo bilang.
"Terima kasih, pangcu," jawab Kie Kiam.
Apabila ia telah terima tanda pada Sam Ek yang
berdiri di sampingnya, Kie Kiam putar tubuhnya akan
bertindak keluar dan muridnya itu sudah lantas turut
padanya. Ketika itu di kamar samping duduk satu orang, ia ini
sudah lantas berbangkit dan bertindak keluar, seraya
berkata, "Di Bancie sanchung, di bawah pimpinan dari
chungcu Hoa Ban Hie, semua orang-orang ada
berkepandaian luar biasa, maka juga sahabat ini
seharusnya ada satu enghiong yang pasti lagi sucikan
diri, dari itu aku Cee loosu bersedia akan wakilkan tuan
rumah pergi mengantarkan padanya!"
"Ya, Cee loosu, tolong kau wakilkan aku!" berkata Pian
Siu Hoo yang setujui tindakannya orang she Cee ini,
maksud siapa yang sebenarnya ia bisa duga.
Cee loosu ini ada Kimtoo Cee Siu Sin si Golok Emas,
guru silat yang terkenal dari golongan Pakpay atau Utara,
ia tinggal di Kanglam dan telah angkat namanya di dua
propinsi Kangsouw dan Ciatkang, tempat kedudukannya
ada Ciantong di mana ia membuka rumah perguruan silat
dan mempunyai banyak murid, antaranya ada yang telah
lulus ujian dan mendapat nama baik. Ia ada bersahabat
dengan Pian Siu Hoo " sahabat setelah satu
pertempuran " maka itu, Tiathong-liong telah undang ia
datang ke Haytong-kok, guna membantu padanya
menghadapi pihak Kiushe Hiekee. Ia telah majukan diri
untuk mengantarkan Kie Kiam berdua, karena ia hendak
pertontonkan kepandaiannya. Ia tidak puas terhadap
Itcie Sinkang In Yu Liang, siapa sudah satroni Bancie
sanchung dan kembali dengan unjuk roman sombong,
sementara barusan ketika In Yu Liang hendak
mengunjuk kejumawaan terlebih jauh dengan uji Kie
Kiam " dengan jalan menjemput surat dengan jeriji
tangan"hampir-hampir jago jeriji tangan yang liehay ini
mendapat malu, karena tubuhnya telah kena dibikin
bergerak oleh utusan dari Bancie sanchung. Dari sini Cee
Siu Sin mendapat tahu bahwa utusan pihak lawan mesti
ada orang liehay yang lagi umpetkan diri, maka itu ia
ingin mencoba, kesatu untuk uji diri sendiri, kedua


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

supaya berbareng ia bisa bikin malu pada In Yu Liang
yang beradat tinggi. Ia girang, ketika ia mau unjuk
kepandaiannya, Pian Siu Hoo pun setujui tindakannya itu.
Begitulah ia bertindak untuk mengantarkan.
Tiauw Sam Ek telah keluar dari pintu, Kie Kiam ada
bersama ia. Ketika Kie Kiam baru turun di undakan
tangga, Cee Siu Sin telah dapat menyusul padanya, maka
berdua mereka jadi berada berdekatan.
Ketika orang mendekati, mendadak Kie Kiam putar
tubuhnya dengan kedua tangannya, ia rangkap bundar di
hadapan dadanya, dengan kaki kanannya diangkat naik,
menginjak undakan tangga sebelah atas.
"Aku tidak berani terima budi loosu, yang hendak
antar kita! "Silakan loosu kembali!" ia berkata sambil
rangkap kedua tangannya yang merupakan orang
hendak memberi hormat, tetapi agaknya hendak
membentur tubuh orang yang sedang mendatangi itu!
"Kau terlalu seejie, sahabatku!" menjawab Cee Siu Sin,
yang juga lantas gerakkan kedua tangannya. Dari
sebelah atas, kedua tangan ini turun, akan menekan
kedua tangannya pihak tamu yang berada di sebelah
bawah. Dua-dua pihak dengan diam-diam telah kumpul dan
gunakan tenaga mereka, maka itu bisalah diduga apa
artinya kebenturnya tangan mereka satu dengan lain.
Cee Siu Sin tertawa besar ketika ia bikin gerakan
tangannya, sedang Kie Kiam telah tarik pulang
tangannya sambil enjot tubuhnya akan mencelat turun
ke undakan bawah dari tangga. Cepat luar biasa si Golok
Emas telah lompat menyusul.
Tiauw Sam Ek yang menoleh, melihat bahwa orang
telah menyusul, ia lantas menduga bahwa orang pasti
ada kandung maksud jelek, karena itu ia telah cepatkan
tindakannya, malah ia lantas loncat ke tanjakan pertama.
Jika tadi mereka turun, sekarang mereka harus nanjak
pula. Kie Kiam turut loncat, tetapi ketika kakinya injak
tanah, ia telah siap dengan tenaganya, matanya
dipasang tajam ke jurusannya Cee Siu Sin.
Guru silat dari Pakpay ini telah loncat menyusul, ketika
kakinya menginjak tanah, ia terpisah kira-kira tiga atau
empat kaki di sebelah kanan dari orang yang ia susul.
Dengan satu gerakan kaki ke kanan, diturut dengan
gerakan kedua tangannya ke jurusan yang sama, Kie
Kiam menyingkir kira-kira tiga kaki terlebih jauh, tetapi di
sini, setelah ujung kaki kanannya menginjak tanah, lebih
jauh ia menggeser ke kiri tiga atau empat kaki jauhnya.
"Cee loosu, kita tidak berani terima kehormatan dengan
kau mengantarkan kita terlebih jauh!" demikian
tampiknya. Ketika Kie Kiam mengucap demikian, Cee Siu Sin
sudah loncat menyusul, maka lagi sekali, ia loncat
mendahulukan, maksudnya akan mencegah orang
mengantar, tetapi sebenarnya untuk menghalangi.
Cee Siu Sin berada dalam bahaya, tempat di mana
mereka berada kebetulan ada sempit dan ia berada di
pinggiran, maka untuk tolong dirinya, lekas-lekas ia
rangkap dua tangannya, dalam sikap Tongcu payhud
atau "Kacung menghormat Budha." Jadi tangannya
menjurus pada lengan. Ia pun bersikap hendak
membalas hormat, tetapi sebenarnya itu ada untuk
pecahkan gangguan musuh. Ia hendak totok jalan
darahnya Kie Kiam yang dipanggil Kiok-tie-hiat.
Kie Kiam tahu liehaynya ilmu totokan itu, kalau ia kena
diserang, kedua lengannya bakal tak mampu digunai lagi,
ia tunggu sampai tangan musuh hampir mengenai ia, ia
buka kedua tangannya, dari dalam dipentang ke kiri dan
kanan, lantas dari kiri dan kanan, ia rangkap pula ke
dalam, untuk dipakai menggempur dada musuh. Ia bisa
lakukan ini, karena serangan musuh sudah dilakukan,
artinya tenaga sudah dipakai, hingga tidak bisa dipakai
lagi, akan menyerang balik. Hingga, serangan jari yang
liehay itu jadi seperti pecah sendirinya.
Cee Siu Sin terperanjat buat caranya pihak tetamu
layani ia. Ia tahu, kalau ia tidak lekas berhenti, ia bisa
celaka, atau kalau ia nekat, dua-duanya bisa sama-sama
celaka, karena mereka akan sama-sama menyerang
dengan hebat, sedang keletakan tempat ada tidak
mengijinkan mereka bergerak atau menyingkir dengan
leluasa. Maka terpaksa ia lekas tarik pulang kedua tangannya,
ia rangkap itu, untuk dipakai menekan ke bawah, guna
hindarkan serangan musuh ke dada. Selagi berbuat
demikian dengan tangannya, kaki kanannya ia geser
mundur ke kiri, hingga tubuhnya jadi menyingkir cukup
jauh dari tangan musuh itu, kemudian lekas-lekas ia berkiongchiu
sambil berkata, "Silakan sahabatku!"
Kie Kiam sudah lolos dari bahaya, ia pun mundur,
kedua tangannya ia angkat.
"Loosu, nanti kita orang ketemu pula!" berkata ia,
yang terus loncat naik, akan jauhkan diri dari guru silat
dari Ciantong itu.
Selagi Cee Siu Sin mengawasi, guru dan murid itu
dengan lekas mereka lakukan perjalanan pulang,
keduanya ada berlega hati, karena mereka sudah
lakukan kewajiban mereka dengan tidak sampai rubuh di
tangan musuh-musuh yang liehay. Dengan tiada ada
rintangan mereka keluar dari Haytong-kok. Kapan
akhirnya mereka sampai di mulut sanchung, di sana
dengan satu tanda, mereka dikasih lewat oleh penjagapenjaga
Bancie sanchung. Tapi segera juga mereka
dapat kenyataan, dalam tempo mereka berpergian,
kampung mereka sudah seperti salin rupa, karena
diperkerasnya daya-daya pertahanan: dari mulut
kampung terus sampai ke dalam.
Di dalam cun-kongso, Hoa Ban Hie dan semua
kawannya asyik menantikan, ketika Kie Kiam dan Tiauw
Sam Ek muncul, untuk segera berikan laporan mereka.
Kie Kiam yang bicara bagaimana ia ketemui Tiathongliong
dan dapatkan jawaban dari tetua dari KangsanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pang itu, yang bersedia akan menyambut kedatangan
sekalian tetamunya.
Selama orang bicara, Hoa Ban Hie terus awaskan
dengan tajam pada itu kedua utusan, guru dan murid,
kemudian, sesudah orang bicara, ia tertawa.
"Apakah kau orang berdua, guru dan murid, selama di
Haytong-kok, tidak membikin aku jadi malu?" demikian ia
tanya. "Kie Kiam, kau mesti pikir biar baik, terhadap aku
Hoa Ban Hie, apabila kau sembunyikan apa-apa, itu
melulu akan bikin kau mencari susah sendiri! Bagaimana
jalannya maka kau orang rubuh di Haytong-kok"
Bagaimana caranya, untuk kita perbaiki itu" Sebenarnya,
musuh tangguh siapa yang kau telah hadapkan" Aku
ingin kau bicara sejujur-jujurnya!"
Kie Kiam ada seorang ulung dari kalangan Sungai
Telaga di mana ia telah nyebur lebih daripada tigapuluh
tahun, tetapi mendengar pertanyaannya Hoa Ban Hie, ia
tidak sanggup berikan jawabannya, melainkan mukanya
yang menjadi merah.
Melihat demikian, Tiauw Sam Ek lantas berkata,
"Suhu, di dalam ini hal, kau tidak sebagai muridmu! Buat
aku, si murid, jikalau aku kalah, itulah tidak seberapa
artinya. Tapi baiklah aku berikan keterangan pada
cuncu!" dan lantas ia menoleh pada Hoa Ban Hie, dengan
teruskan berkata, "Cuncu, jangan kau kuatir! Sejak kita
orang masuk di mulut lembah, belum pernah kita suka
mengalah! Umpama kata benar kita guru dan murid telah
menjadi pecundang, tidak nanti gampang-gampang kita
orang mau kembali kemari! Mana kita ada punya kulit
muka yang demikian tebal" Duduknya kejadian adalah
begini: Di sana ada Itcie Sinkang In Yu Liang. Ketika
suhu angsurkan surat, ia telah jual lagak dengan
kepandaian jari-jari tangannya. Ia telah gunakan
Poatteng-hoat yaitu ilmu 'Menyabut paku' dari Siauwlimpay
guna rampas surat dari tangan suhu. Ia ada seorang
kenamaan, tetapi tidak demikian gampang sebagai ia
pikir, akan lantas dapatkan surat itu! Guna hadapkan
ilmu musuh itu, suhu telah gunai Pauwciang-hoat atau
ilmu 'Memelukalu.' Kesudahannya ternyata, tenaga kedua
pihak ada sama, seperti delapan tail adalah setengah
kati. Surat suhu benar bisa kena dicabut, di lain pihak,
kakinya si orang she In pun telah bergerak! Cuncu, sama
sekali kita tidak kasih ketika akan musuh banyak
tingkah!" Hoa Ban Hie tertawa apabila ia telah dengar
keterangan itu.
"Tiauw Sam Ek, aku percaya keterangan kau!" kata ia
dengan nyaring. Lantas ia pandang Kie Kiam seraya terus
berkata, "Kau ada seorang kangouw ulung, kenapa kulit
muka kau ada tipis sekali" In Yu Liang muncul di
Haytong-kok, terang sekali ia hendak angkat lebih jauh
nama besarnya, begitulah kemarin ia telah datang
kemari, akan pertontonkan kepandaiannya Aku tidak
nyana, pikirannya ada cupat sekali! Kenapa ia coba bikin
aku malu, dengan ganggu pada kau orang berdua, guru
dan murid" Tapi ia benar bernyali besar! Kenapa ia lupa
jalannya alam, ialah siapa bunuh orang, ia mesti
mengganti dengan jiwa, siapa utang uang, ia mesti bayar
dengan uang juga, dan siapa punya utang, ia mesti
datang sendiri untuk membayarnya" Maka kalau aku si
melarat nanti pergi ke medan pertemuan, aku akan bikin
perhitungan sampai semuanya terbayar impas! Sekarang
kau orang berdua pergilah mengasoh! Tugas kau orang
adalah menjaga daerah pengempang bambu Siauwtioktongdi
Lamcun-kauw, itu mulut jalanan bagian selatan
dari desa kita ini!"
Kie Kiam menyahuti, "Ya," dan lantas ajak muridnya
undurkan diri. "Sekarang terang Pian Siu Hoo hendak bikin
pertemuan sama kita," kata Yan Toa Nio pada tuan
rumah, "karena itu, kita perlu siang-siang pergi padanya,
guna cari pemutusan, supaya urusan tidak jadi tertunda
dan tertunda lagi."
"Toanio, jangan kesusu," Tan Ceng Po berkata. "Kita
orang memang mesti pergi ke Haytong-kok tetapi buat
itu kita perlu berdamai terlebih dahulu, terutama buat
pastikan, di waktu bagaimana kita mesti pergi."
"Menurut aku, lebih baik kita pergi di waktu malam,"
Lim Siauw Chong nyatakan pikirannya. "Dengan jalan ini
kesatu kita jadi bisa bertindak lebih leluasa, kedua kita
boleh balas budinya Itcie Sinkang, yang telah datangi
kita malam-malam dan telah mengaduk di sini. Dengan
cara ini kita jadi pakai kebiasaan di kalangan Sungai
Telaga." Hoa Ban Hie manggut-manggut.
"Ya, kita orang mesti berlaku secara laki-laki," ia
bilang, "pergi dengan terang, pulang dengan terang
juga! Cuma kita harus ingat, dengan sepak terjangnya
ini, nyata sekali Tiathong-liong Pian Siu Hoo hendak
ambil tindakan getas, supaya dengan sekaligus ia bisa
dapatkan keputusan. Sekali ini ia hendak pastikan,
Kangsan-pang musnah atau hidup bangun dan
termasyhur! la ada seorang licik, ia tentu ada kandung
maksud buruk, dari itu kita orang tak boleh tidak, mesti
berlaku hati-hati. Umpama kita muncul di Haytong-kok
dalam satu rombongan besar, kita terang ada seperti
memasuki diri ke dalam jaring. Aku pikir, baik kita
mengatur bala bantuan, yang mesti masuk ke Haytongkok
secara diam-diam. Tidakkah kau orang berdua
saudara mupakat?"
Atas pikiran itu, Hengyang Hie-in Sian Ie lantas
nyatakan ia suka masuk dengan diam-diam ke Haytongkok,
supaya ia tidak usah siang-siang ketemui Pian Siu
Hoo. "Aku juga ingin cari tahu, sampai di mana Pian Siu
Hoo sudah siap, ia ada atur maksud jahat atau tidak,"
Sian Ie nyatakan lebih jauh.
"Aku setuju!" Hoa Ban Hie berkata.
Lantas mereka ambil putusan akan bekerja mulai
sebentar malam.
Setelah itu, Hoa Ban Hie lantas bekerja lebih jauh,
akan atur pertahanan di sarangnya itu, yang ia bikin
menjadi kuat sekali. Ia pun pesan, akan atur persiapan,
karena di waktu magrib mereka sudah dahar dan terus
dandan. Hengyang Hie-in Sian Ie, seperti sudah diputuskan,
berangkat lebih dahulu seorang diri, kemudian barulah
menyusul rombongan dari Bancie sanchung ialah
Kiongsin Hoa Ban Hie sendiri bersama-sama Cukat Pok,
Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong begitupun Yan Toa
Nio dan Yan Leng In. Hoa Ban Hie bawa duabelas
pengikut, yang hampir semua ada murid-muridnya yang
masih berusia muda, rata-rata umurnya kira-kira baru
duapuluh lima. Mereka semua dandan sebagai pengemis,
cuma pakaian mereka ada bersih. Mereka tidak bawa
senjata, hanya satu kantong kain warna biru, yang
mereka kempit di iga kiri, sedang tangan kanan mereka,
seorang satu, ada bawa lentera dengan masing-masing
tertulis empat huruf merah:
"Ban Cie San Chung. "
Dan mereka ini diperintah jalan di muka.
--ooo0dw0ooo-- XII Tepat di mulut Haytong-kok, lerotan dari Bancie
sanchung lantas berhenti dan Kiongsin Hoa Ban Hie, si
Malaikat Kemelaratan, sudah lantas perintah dua
muridnya kasih dengar suaranya yang nyaring, "Sahabatsahabat,
dengar! Chungcu dari Bancie sanchung telah
datang untuk memenuhi undangan berkumpul di dalam


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lembah Haytong-kok! Kita orang tidak lakukan suatu apa
yang bertentangan sama pri-kehor-matan, maka itu
andaikata kau orang tidak mau pergi memberi warta, kita
orang akan maju terus dengan tidak pedulikan apa-apa
lagi!" Suara itu berkumandang dalam kesunyian tetapi tidak
ada yang jawab, sedang seharusnya, dengan melihat
lerotan api saja, pihak Haytong-kok sudah mesti keluar,
akan melihat, minta keterangan atau menyambut.
Karena itu, Hoa Ban Hie lantas kasih perintah akan maju
terus. Perintah ini sudah diturut dengan lantas oleh itu
duabelas murid.
Dua tetua dari Kiushe Hiekee kuatir anak-anak muda
itu nanti nampak rintangan yang membahayakan
mereka, maka dua tetua itu lantas maju akan
mendahului, hingga mereka berada di depannya dua
pemuda yang paling depan.
Adalah di waktu itu, dari kiri dan kanan lembah, ada
loncat keluar dua orang dari pihak Haytong-kok, dan satu
di antaranya segera kasih dengar teguran, "Tetamutetamu
yang terhormat, jikalau kau orang datang dengan
turuti adat kebiasaan di kalangan kangouw, kenapa kau
orang tidak mau bersabar untuk menantikan jawaban
sampai pihak kita memberi kabar" Apakah tuan-tuan
memandang rendah pada kita pihak Haytong-kok dan
anggap di sini tak ada orang yang mampu merintang-kan
pada tuan-tuan sekalian?"
Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong, berhentikan
tindakan mereka, kedua tangannya ditaruh di depan
tubuh mereka. "Sahabat, jangan kau bicara dengan cara
yang tak beraturan!" ia balik menegur. "Chungcu yang
terhormat dari Bancie sanchung telah datang ke
Haytong-kok ini akan memenuhkan janji, kenapa kau
orang tidak siap untuk melakukan penyambutan" Kenapa
tadi kau orang diam saja, tidak menyahuti pertanyaan
kita" Kau orang berlaku begini jumawa, kau orang
sambut kita seperti juga kau orang tidak melihat kita,
dari itu, kita juga tidak perlu pakai aturan lagi!"
"Tuan, apakah kau ada Tan loo-suhu dari Kiushe
Hiekee?" tanya orang tadi dengan tak pedulikan teguran
orang. "Benar," menjawab Tonglouw Hiejin. "Kau orang telah
kenalkan aku, maka terlebih tidak pantas bagi kau orang
akan sambut kita secara begini! Bukankah kita ada
orang-orang dari suatu golongan" Tuan, aku masih
belum ketahui she dan nama yang mulia kau orang
berdua." Ditegur begitu rupa, itu dua orang lantas perkenalkan
diri. Mereka ada Thio Ban Kui dan Tow Cu In dari Sinkee
Coanpang. "Jadinya kita ada orang-orang sendiri, maka baik kita
orang jangan rusaki persahabatan kita di sini," Tan
Ceng Po kata pula. "Kita orang datang kemari umtuk
berurusan sama si orang she Pian, maka itu, sahabat
tolong kau orang lekas-lekas mengasih kabar ke
Haytong-kok!"
Thio Ban Kui dan Tow Cu In menyahuti dengan
berbareng. "Baiklah!" setelah mana mereka berikan tiga
kali tanda suitan, tanda mana telah dapat jawaban
dengan cepat. Dari dalam lembah, dari dua puncak atau tanjakan,
kelihatan muncul cahaya api obor dan lentera, yang
segera merupakan suatu rombongan panjang, hingga
romannya mirip dengan gerakannya tubuh naga api.
Lekas sekali, munculnya api itu disusul sama suara
suitan. Berdua Thio Ban Kui dan Touw Cu In lantas menunjuk
ke sebelah dalam.
"Tan loosu, Lim loosu, orang-orang yang menyambut
telah datang, silakan kau orang masuk!" berkata mereka
pada kedua tetamunya
Itu waktu dari tanjakan di dalam lembah telah muncul
empat orang atau chungteng, yang masing-masing
menyekal satu lentera yang besar, dan seorang lain di
tengah mereka maju menghampirkan Tan Ceng Po dan
Lim Siauw Chong buat terus berkata, "Mulut lembah ini
terpisah masih terlalu jauh dengan pusat, supaya tuantuan
tetamu yang terhormat tidak usah menunggu terlalu
lama, silakan tuan-tuan masuk! Warta sudah
disampaikan kepada Pian pangcu yang tentu bakal keluar
akan menyambut. Aku percaya tuan-tuan tidak akan
curigakan kita...."
Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong manggut, mereka
lantas menoleh ke belakang, akan mengasih tanda pada
kawan-kawan mereka, untuk maju.
Kiongsin Hoa Ban Hie bersama-sama Souwposu Cukat
Pok, Yan Toa Nio dan anak serta duabelas muridnya
sudah lantas maju dengan tidak sangsi-sangsi lagi.
Empat chungteng itu bersama tauwbak mereka sudah
lantas bertindak, akan memimpin tetamu-tetamunya.
Mereka jalan dengan tindakan cepat sekali.
Selanjutnya, di sepanjang jalan, saban-saban ada
muncul orang-orang Haytong-kok dengan pakaian
mereka yang ringkas, yang masing-masing membawa
lentera atau obor, semuanya masih muda, dengan berdiri
di pinggiran, mereka unjuk hormat, tetapi tidak ada satu
di antaranya yang bekal senjata.
Kapan rombongan ini sudah lintaskan tanjakan paling
tinggi, lantas jauh di depan mereka, mereka lihat ada
suatu kalangan di mana cahaya api ada terang laksana
siang. Itu waktu segera terdengar suaranya suitan yang
riuh, karena sambutan telah datang dari tanjakan dan
hutan, dengan tidak kelihatan siapa yang bunyikan itu.
Dari suaranya suitan itu telah terbukti penjagaan yang
kuat dan sempurna dari Haytong-kok itu pun
menyatakan jelas maksudnya Pian Siu Hoo untuk
hadapkan lawannya.
Selagi mendekati pusat Haytong-kok kira-kira dua
lepasan anak panah, dari pusat itu tertampak
mendatangi serombongan penyambut, yang kemudian
kelihatan nyata semua ada berpakaian serupa dan rapi,
dandanannya sebagai kaum nelayan.
Jumlah rombongan itu ada dua-puluh jiwa, mereka
semua pakai ikat kepala, dan semua ada bekal golok dan
senjata rahasia, tetapi tangan mereka ada memegang
masing-masing satu lentera. Mereka pun mendatangi
dengan cepat, adalah sesudah datang dekat kira-kira
empat atau lima tombak dari rombongan Bancie
sanchung, baru mereka berhenti, akan berdiri di kedua
tepi jalanan pegunungan itu.
Belum terlalu lama segera kelihatan datangnya
Tiathong-liong Pian Siu Hoo, ketua dari Kangsan-pang,
bersama-sama kawan-kawan mereka yang kebanyakan
ada orang-orang undangan, yang ia minta datang untuk
membantu ia. Tan Ceng Po dan Lim Siauw Chong mendahulukan
maju ke depan. "Pian pangcu, selamat ketemu!" Lim Siauw Chong
berkata. "Pian pangcu, kau telah dirikan pusat baru di
Haytong-kok ini, bagaimana angker kau kelihatannya di
mata kita kaum Sungai Telaga!"
Pian Siu Hoo tahu bahwa orang telah pukul sindir
padanya dengan cara halus tetapi ia tidak pedulikan itu,
ia terus bertindak maju akan menghampirkan, buat terus
angkat kedua tangannya.
"Lim loosu, di Giokliong-giam Hiecun kita orang telah
bertemu, aku tidak sangka, di sini pun kita orang bisa
bertemu pula!" demikian ia berkata. "Lim loosu, Pian Siu
Hoo girang sekali atas pertemuan ini!"
Lantas ia pun unjuk hormatnya pada Tan Ceng Po.
"Aku tidak pernah sangka bahwa kau juga, Tan loosu,
sudi datang ke lembah ini," ia berkata pula. "Di sini telah
berkumpul semua orang kenamaan dari kalangan Sungai
Telaga, sebentar aku si orang she Pian ingin sekali
menerima pengajaran dari tetamuku sekalian! Ijinkan
aku menemui terlebih dahulu Hoa loo-cianpwee dari
Bancie sanchung, kemudian sebentar kita orang nanti
pasang omong di dalam!"
Cukat Pok, Yan Toa Nio dan Yan Leng In telah datang
dekat, pada mereka itu Pian Siu Hoo unjuk hormatnya
sambil unjuk senyuman.
"Yan toanio, Yan kouwnio, kau orang benar-benar ada
orang-orang yang terhormat!" menyambut tuan rumah.
"Aku Pian Siu Hoo sangat kagum untuk kedatangan kau
orang ini! " Nah, Cukat loosu, kau pun persilakan!"
Yan Toa Nio dan gadisnya membalas hormat tetapi
mereka tidak bilang suatu apa mereka seperti tak sudi
bicara sama itu musuh besar, sedang Souwposu juga
tidak mau banyak omong.
Tiathong-liong maju lagi dua tindak, akan sambut Hoa
Ban Hie. "Nama besarnya chungcu dari Bancie sanchung telah
menggetarkan daerah Kanglam," ia berkata serta unjuk
hormatnya, "dan aku Pian Siu Hoo juga telah lama
mendengar nama loo-cianpwee itu, maka sekarang aku
girang sekali yang kita orang bisa bertemu di sini.
Saudara-saudara dari pihak Kangsan-pang telah
serahkan semua urusan padaku seorang, karena itu,
sama sekali aku belum mempunyai ketika akan
mengunjungi chungcu di Bancie sanchung untuk
mengunjuk hormatku. Aku ada seorang yang telah jatuh
nama, di Hucun-kang tidak ada tempat untuk aku taruh
kaki, karena itu aku terpaksa datang kemari untuk
tumpangi diri sementara waktu. Guna sekalian
saudaraku, aku tidak bisa bubarkan mereka. Aku telah
pilih tempat ini dengan tidak pemah sangka bahwa di sini
aku telah jadi tetanggamu, loo-cianpwee. Kita baru saja
sampai di sini, segala apa belum tersedia sempurna, oleh
karena itu, jikalau kita berlaku kurang hormat, aku
mohon loo-cianpwee sudi memberi maaf pada kita!"
Diam-diam Hoa Ban Hie tertawa dalam hatinya
mendengar ucapan orang itu.
"Pian pangcu, kau ada terlalu sungkan," ia menjawab.
"Aku si pengemis telah mendirikan kampung Bancie
sanchung di mana aku kumpulkan semua kawanku
tukang minta-minta, tidak lain maksudnya daripada
supaya mereka itu dapat tempat bernaung, agar mereka
tidak sampai dahar angin dan tidur di embun. Kita orang
bangsa melarat yang hidup terlunta-lunta, sejak dahulu
belum pernah berani banyak tingkah hingga menerbitkan
onar. Aku sendiri, si melarat, sudah lama mendengar
halnya berbagai rombongan dengan keangkeran dan
pengaruh besar mereka, dari itu aku sengaja jauhkan diri
dari mereka itu. Bancie sanchung tidak pemah mendekati
lain-lain kaum, karenanya tidak lain ialah untuk luputkan
diri dari keruwetan penghidupan, maka aku tidak sangka,
Pian pangcu, kau justru telah dapat melihat letaknya
lembah ini dan telah pindahkan golongan coanpang-mu
kemari. Di daratan dari Haytong-kok kau telah
mendirikan pusat dari rombongan perahu air, ini adalah
suatu hal yang aneh dari kaum kangouw. Kau ada baik
sekali, Pian pangcu, kau telah sudi terima kedatangan
kita. Aku si melarat ternyata telah datang tak dengan siasia!
Pian pangcu, kalau benar kau hendak bikin kita buka
mata di dalam lembah Haytong-kok ini, silakan kau
membuka jalan akan ajak kita masuk ke dalam! Aku si
melarat mempunyai satu urusan untuk mana aku hendak
mohon pertolonganmu, di dalam, kita orang akan
bicarakan itu dengan leluasa."
Pian Siu Hoo memperdengarkan suara di hidung. Ia
merasa tidak enak mendengar perkataannya si Malaikat
Kemelaratan. "Hoa chungcu, silakan!" ia berkata. "Aku Pian Siu Hoo
juga mempunyai satu urusan untuk mana aku hendak
minta pertolonganmu! Bersama aku ada sejumlah
sahabat yang hendak bertemu dengan loo-cianpwee,
maka, sebentar saja di dalam kita orang bicara sekalian!"
Dengan satu tanda, segera semua orang bertindak
maju. Maka itu, rombongan telah menjadi satu jumlah
besar, karena kedua pihak telah menjadi satu: Pihak
tamu terdiri hampir duapuluh orang dan pihak tuan
rumah duapuluh lebih.
Sekarang mereka sudah masuk di daerah pedalaman
dari lembah Haytong-kok, keadaan jauh terlebih tenang
daripada di mulut lembah bagian luar, di sini tidak
tertampak orang seliweran, hanya setiap jangka lima
tindak, pasti ada berdiri dua orang di kiri dan kanan yang
pe-gangi obor. Sebentar kemudian mereka sudah sampai, bukan di
depan, hanya di bagian belakang. Rumah terbikin dari
batu. Di sini api dipasang terang luar biasa, hingga
segala apa bisa terlihat nyata. Rumah itu besar dan
tinggi dengan tiga ruangannya. Pintu telah dibuka lebarlebar.
Di kiri dan kanan berdiri delapan anak muda
dengan sikap yang menghormat.
Pian Siu Hoo pimpin sekalian tamunya masuk terus ke
dalam akan undang mereka mengambil tempat duduk. Di
situ meja dan kursi telah teratur, di kiri dan kanan atau
timur dan barat. Pihak tamu duduk di gansan tamu.
Bersama tuan rumah, ada hadir tujuh orang.
Setelah awasi semua orang dari pihak tuan rumah,
akhirnya Kiongsin Hoa Ban Hie perhatikan satu orang
yang duduk di kursi kelima, siapa terus tunduki kepala,
seperti tidak berani melihat orang, sedang pakaiannya
tua dan rombeng, sama dengan pakaiannya pihak Bancie
sanchung, malah pakaiannya Hoa Ban Hie ada jauh
terlebih bersih. Orang itu berumur kira-kira enam-puluh
tahun dan romannya seperti orang berpenyakitan: muka
kuning, alis gundul, mata celong, hidung mancung,


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tulang pipi bangun, sedang kumisnya pendek. Tangannya
memegang sebatang huncwee, hingga kelihatan nyata
tangan yang mirip dengan ceker ayam, seperti kulit
hanya membungkus tulang.
Maka, dilihat sekelebatan, orang itu seperti orang
miskin melarat dari kalangan kangouw atau seperti
tukang tenung yang bersengsara. Hawa udara waktu itu
cukup panas, tetapi orang itu memakai jubah sepan juga,
warnanya merah tua dan berminyak. Di pundaknya ada
selembar mantel hijau yang warnanya sudah salin rupa
serta banyak tambalannya, seperti jubahnya sendiri.
Juga Tan Ceng Po dan yang lain-lain merasa aneh
terhadap orang itu. Jika dia tertampak bukan di medan
pertemuan, niscaya tidak ada satu orang yang pedulikan
padanya, orang pasti sangka ia ada pengemis biasa yang
tak cukup makan dan pakai. Tetapi beradanya orang itu
di medan pertemuan ada lebih menarik hati, karena ada
luar biasa yang Pian Siu Hoo mau undang sembarangan
orang, justru pada saat bakal mati atau hidup....
Segera datang saatnya Tiathong-liong si Naga Besi
berbangkit untuk memperkenalkan pihaknya dengan
pihak tamu. Karena orang ada banyak, ia tidak mau ajar
kenal satu per satu, hanya ia sebutkan saja nama sambil
tunjuk orangnya.
Demikian, pertama kali telah ditunjuk Itcie Sinkang In
Yu Liang, si Jeriji Liehay. Nomor dua adalah Kimtoo Cee
Siu Sin, si Golok Emas. Nomor tiga adalah Lianhoanpiauw
Hoo Cin Kong si Piauw Beruntun. Nomor empat
Hay-pacu To Seng, si Macan Tutul Laut. Nomor lima ada Lioktee
Sinmo Khu Liong Gan, si Iblis Bumi. Nomor enam ada
Sianciang Kaysan Khiu Cu Gie si Tangan Pembuka
Gunung. Dan nomor tujuh ada Tin-sankang Siauw Cee
Coan, si Jago Sankang.
Setelah belajar kenal, barulah Tonglouw Hiejin Tan
Ceng Po tahu siapa adanya si orang aneh yang dandan
sebagai pengemis rudin itu, ialah si Iblis Bumi yang
namanya ada menggetarkan dunia kangouw, karena ia
mempunyai kepandaian luar biasa, yang melebihkan
orang banyak, sedang adatnya pun aneh, hingga sifatnya
sama anehnya dengan Kiongsin Hoa Ban Hie.
"Aku tidak sangka Pian Siu Hoo bisa undang orangorang
seperti mereka ini," Tan Ceng Po pikir.
"Kelihatannya urusan di Haytong-kok ini ada sangat
sukar untuk dibereskan secara sederhana."
Sesudah belajar kenal, orang pada berduduk pula.
Setelah itu, Pian Siu Hoo hadapkan Hoa Ban Hie pada
siapa ia unjuk hormatnya.
"Hoa chungcu," berkata ia. "Berhubung dengan
kunjungan kau-orang ini aku Pian Siu Hoo ingin sekali
dengar keterangan chungcu."
Hoa Ban Hie tertawa ketika ia menyahut, "Pian
pangcu, aku Hoa Ban Hie datang ke Haytong-kok ini juga
untuk mohon sedikit keteranganmu. Di dalam kalangan
kangouw, tidak peduli kaum atau golongan mana,
masing-masing ada punya aturannya sendiri, dan siapa
juga tidak ada yang sembarangan berani ganggu atau
rusakkan sesuatu aturan golongan itu. Pian pangcu, di
Hucun-kang kau telah kepalai satu rombongan, dan
Kangsan-pang-mu bukannya satu coanpang yang kecil,
maka itu kau terlebih-lebih mesti bisa jaga baik
aturanmu. Tapi sekarang, buktinya, kau telah rubah atau
rombak aturanmu sendiri, ialah pusatnya Kangsan-pang
kau telah geser pindah ke Haytong-kok. Aku Hoa Ban Hie
kepalai serombongan pengemis rudin, akujuga ada
punya aturan sendiri. Seumur hidupku aku telah hidup di
dunia kangouw, aku telah merantau sampai ke
Tiangkang udik dan ilir, belum pernah aku lihat ada
orang yang jalankan perahu di daratan atau di atas
gunung yang tinggi mendirikan pelabuhan pusat, tetapi
kau, Pian pangcu, kau sekarang justru telah lakukan itu
keanehan, maka itu aku jadi tidak mengerti, maka juga
aku hendak minta keterangan dari kau!"
Sambil bicara, Hoa Ban Hie awaskan tuan rumah
dengan tajam. Tiathong-liong tertawa dingin. "Aku sudah
duga bahwa Hoa chungcu bakal tanyakan aku secara
begini," ia menyahut. "Mengenai halnya aturan dari
berbagi-bagi golongan, aku tidak berani sangkal bahwa
aku telah langgar aturan. Cuma, dalam halnya pusat dari
Kangsan-pang dipindahkan ke Haytong-kok ini, aku bisa
terangkan, sifatnya ada untuk sementara waktu. Bahwa
aku telah pindah kemari, hanya untuk pakai lembah ini
sebagai tempat untuk membikin beres urusan
perseorangan dari aku sendiri. Tentang kematian atau
kehidupan aku si orang she Pian, itu ada urusanku
sendiri, tidak ada sangkutan atau hubungannya sama
Kangsan-pang, maka andaikata aku mesti binasa di
dalam ini lembah, Kangsan-pang sendiri akan hidup
terus, bakal ada orang yang nanti gantikan aku. Aku
tidak ingin, karena urusanku sendiri, Kangsan-pang atau
saudara-saudara dari Kangsan-pang, turut menyerahkan
jiwanya. Sebabnya aku pindah kemari adalah karena
urusanku dengan mereka berdua pihak." Dan ia tunjuk
Yan Toa Nio ibu dan anak dan Lim Siauw Chong dari
Kiushe Hiekee. "Dengan Yan Toa Nio dan puterinya, Yan
Leng In, aku ada punya sakit hati untuk mana kita orang
berdua pihak tidak seharusnya hidup sama-sama di
dalam ini jaman, dan dengan Lim Siauw Chong dari
Kiushe Hiekee ada satu urusan yang belum selesai
diperhitungkan! Begitulah aku datang kemari, untuk
bereskan utusan dengan mereka berdua pihak. Maka aku
tidah sangka bahwa sepak terjangku ini telah
membikin kaget pada Hoa chungcu. Sekarang aku telah
berikan keteranganku, maka adalah giliranku untuk minta
keterangan dari chungcu, dengan kunjunganmu ini, kau
hendak berikan pengajaran apa padaku?"
"Hm, Pian pangcu, kau ingin dengar penjelasanku?"
Hoa Ban Hie menjawab. "Aku inginkan suatu apa yang
ada sedikit bertentangan sama pri-kepantasan! Ialah aku
minta supaya kau terlebih dulu mundur dari Haytong-kok
ini! Aku Hoa Ban Hie telah datang di daerah ini jauh
terlebih dahulu beberapa tahun daripada kau, maka kau,
Pian pangcu, jikalau kau berniat mendirikan pusat di sini,
kau mesti berdamai dahulu sama aku. Tapi sekarang
buktinya tidak, nyata sekali kau telah tidak pandang
mata padaku si pengemis, karena itu, aku si melarat jadi
mau campur tahu urusan ini!"
Mendengar ucapan orang itu, Kimtoo Cee Siu Sin
campur bicara. "Hoa chungcu," ia berkata, mendahului Pian Siu Hoo,
"kita orang datang ke Haytong-kok ini melulu karena kita
dengan Pian pangcu ada utamakan persahabatan di
kalangan kangouw. Kau sendiri, chungcu, adalah sahabat
kita yang kita kangeni namanya. Pian pangcu telah
dirikan pusatnya di lembah ini, kau tidak suka itu, dan
kau inginkan ia lantas pindah, caramu ini adalah hebat
dan sangat menyukarkan! Kita orang ada orang-orang
kaum kangouw, meski kita orang ada dari lain kaum, kita
orang toh masih harus utamakan persahabatan,
menggunakan paksaan, itulah bukan keharusan!"
Hoa Ban Hie tertawa berkakakan atas ucapannya si
Golok Emas itu.
'Cee loo-suhu, kau bicara dengan kepantasan!" ia
bilang. "Cuma kau harus ingat, ada orang yang datang
duluan dan belakangan, dan dalam segala hal, orang
mesti memandang mukanya lain orang. Kita orang di
kalangan kangouw apa bukan paling utamakan muka
terang" Pian pangcu telah punyakan pusatnya di Gocumui.
Dulu-dulu kalau di sana terjadi keruwetan urusan di
muka air, lain pihak atau kaum, tidak ada yang datang ke
Gocu-mui akan ganggu ia atau bikin ia susah. Aku
Kiongsin Hoa Ban Hie tinggal di Bancie sanchung bukan
baru satu atau setengah tahun, tetapi si orang she Pian
tidak memandang sedikit juga pada aku, ia telah datang
ke Haytong-kok dengan pikiran istimewanya di tanah
datar ia mau kendarakan perahu, di atas gunung ia mau
bikin pelabuhan air! Coba ia mau pandang pada aku dan
buka satu suara saja padaku! Tetapi ia tidak lakukan ini!
Nyata sekali Pian pangcu sudah tidak pandang orang
lain! Di lain pihak, pihaknya Pian pangcu sudah lakukan
satu perbuatan yang melanggar kehormatan! la telah
utus satu orang datang ke Bancie sanchung! Orang itu
bukannya orang sembarangan, tetapi perbuatannya ada
sembrono dan melewati batas! Ia telah langgar aturan
kita" aturan yang telah diwariskan kepada kita oleh
Kiongkee-pang " ialah ia telah geser pelita turunan kita
yang maha suci! Hal ini, Cee loo-suhu, ada satu soal lain.
Itu ada perbuatan dari nyali yang besar!
"Tapi, aku tidak ingin terbitkan gelombang besar!
Begitulah, dengan sekuat tenagaku, aku telah kendalikan
hawa amarah dari saudara-saudara mudaku. Aku telah
terangkan kepada mereka, bahwa kejadian adalah
karena salah mengerti, bahwa itu disebabkan orang tidak
ketahui adanya aturan rumah tangga kita! Aku terangkan
juga, bahwa kalau orang ketahui aturan kaum kita, yang
sangat suci, orang tidak nanti berani turun tangan!
Demikian aku bikin sabar saudara-saudaraku! Umpama
aku si melarat tidak berpikir jauh, andaikata aku mau
main gila, di mana pengaruh ada padaku, dengan
gampang sekali aku bisa anjurkan semua saudaraku
turun tangan! Harus dimengerti, asal aku bergerak,
gerakanku pasti bakal disambut oleh kaum Kiongkeepang
di tujuh provinsi selatan di mana orang pasti tidak
bakal diam saja! Coba pikir, berapa kekuatannya orang
itu maka ia berani main gila terhadap aturan kita yang
dipandang suci" Sekarang aku datang kemari dengan
dua maksud, ialah pertama untuk minta Pian pangcu
tolong urus dan tanyakan, apa maksudnya yang
sebenarnya maka ia berani satroni Bancie sanchung
dengan terbitkan kegaduhan di sana, dan kedua aku
ingin bikin beres urusan sama itu sahabat kita...."
In Yu Liang tahu orang maksudkan ia, maka ia lantas
menyahut. "Hoa chungcu, kedatanganmu kemari sebagian adalah
untuk urusan dengan aku, aku bersedia akan bicara
sama kau," ia kata. "Kita sama-sama pernah merantau
dalam kalangan Sungai Telaga, meski kita tidak punya
kepandaian yang bisa bikin langit kaget dan bumi
bergerak, kendati hanya nama kosong, toh di mana kita
sampai, kita masih bisa bicara dengan kepantasan, tetapi
jikalau kau hendak gunakan kekuatan untuk menindih
yang lemah, jikalau kau andalkan kepandaian tinggi
untuk menghina orang, atau tegasnya urusan hendak
diselesaikan dengan kekerasan, pembicaraan tak usah
dilakukan lagi! Hoa chungcu, aku mau minta keterangan
dari kau. Pian pangcu telah dirikan pusat di Haytong-kok
ini dan anggap saja bahwa ia telah langgar aturan
umum, tetapi kau sendiri bukannya sahabat kaum
nelayan dari Hu-cun-kang, kau tidak masuk dalam
rombongan coanpang, kau mana ada punya hak akan
campur tahu urusan coanpang ini" Haytong-kok juga
bukan kepunyaan perseorangan, kalau Pian pangcu
tempatkan itu untuk sementara waktu, apakah itu tidak
pantas" Umpama Bancie sanchung merupakan satu
rombongan, dan ia menjagoi di satu tempat, tetapi kalau
ia larang orang lain ambil kedudukan di sini, itulah ada
perbuatan sewenang-wenang! Bahwa aku ln Yu Liang
sudah datangi Bancie sanchung, itu ada yang dinamai,
kunjungan harus dibalas! Jikalau tidak terlebih dahulu
ada orang datang ke Haytong-kok ini, tidak nanti kita
menempuh bahaya pergi ke sana! Hoa chungrju,
sekarang aku si orang she In telah mengerti segala apa!
Hoa chungrju, kau-orang datang untuk menegur, untuk
menghukum kita, kalau kau datang hanya untuk paksa
Pian pangcu pindahkan pula pusatnya, setelah itu
barulah kau puas, kita orang baik tidak usah bicara
terlebih jauh, tidak usah kita orang omong lebih banyak
lagi, paling betul mari kita orang ambil putusan dengan
andalkan kekerasan, biarlah kepandaian yang tinggi dan
yang rendah, yang berikan putusan untuk kita orang
hidup atau musnah! Perihal urusan keluarga Yan ibu dan
anak dengan Pian pangcu, itu ada urusan lain lagi, aku si
orang she In tak mau campur urusan itu!"
Hoa Ban Hie kembali tertawa. "In loosu, kau ada
seorang jujur dan omonganmu ringkas jelas, ini adalah
sikap yang aku Kiongsin Hoa Ban Hie paling sukai!" ia
kata Sampai itu waktu, Lioktee Sinmo Khu Liong Gan
barulah angkat kepalanya, ia memandang pada Hoa Ban
Hie, ia bersenyum.
"Sahabat tua, kau juga ada seorang ulung di kalangan
Sungai Telaga," ia berkata, "seharusnya, setelah
sejumlah sahabat datang ke daerah Bancie sanchung ini,
kau mesti ambil sikap memburaskan perkara, maka aku
heran, kenapa kau justru bicara sebagai juga mendorong
ombak akan bantu membesarkan gelombang" Datangku
kemari bukan karena undangannya Pian pangcu, aku
datang untuk ketemui kau, karena sudah lama dengar
yang kau, Hoa chungrju, di Bancie sanchung ini kau telah
adakan pusat dari mana kau pegang pimpinan atas kaum
Kiongkee-pang, hingga di dalam kalangan kangouw, kau
menjadi salah satu orang besar! Sudah lama aku Khu
Liong Gan memikir untuk kunjungi kau, cuma karena kita
dengar kau telah menjagoi di daerah Kanglam ini, aku
tidak berani berlaku sembarangan mengunjungi ke
Bancie sanchung. Bahwa sekarang aku berada di sini,
inilah karena aku kebetulan berada dalam perjalanan dan
selagi lewat di sini, ternyata di sini ada dua sahabatku,
maka aku mau ketemu sahabat-sahabatku itu, untuk
minta keterangan perihal letaknya Bancie sanchung,


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebab aku tahu, Bancie sanchung berada di bilangan ini.
Maka adalah di luar sangkaanku, yang kau, Hoa chungcu,
kau justru datang kemari, untuk terbitkan hal yang tidaktidak....
Tindakan kau ini, aku anggap, tidak berharga.
Menurut pikiranku tidak selayaknya bagi Hoa chungcu
akan datang kemari melulu untuk menegur dan
menghukum! Si orang she Pian pindahkan pusatnya
kemari, itu disebabkan ia mempunyai permusuhan yang
tak gampang dapat diselesaikan dengan pihak Kiushe
Hiekee, sedang dengan keluarga Yan ibu dan anak, ia
pun mempunyai urusan lain. Tapi, ringkasnya, urusan
mereka adalah urusan coanpang, dalam urusannya itu,
orang luar tak berhak untuk turut campur tahu. Maka,
Hoa chungcu, kalau menurut aku baiklah kita orang ambil
sikap menjunjung keadilan, melindungi persahabatan,
apabila kita orang sanggup bikin beres urusan mereka
bertiga pihak, mari kita orang dengan sekuat tenaga
selesaikan itu. Tapi andaikata kita orang tidak berhasil,
baiklah kita orang jangan campur urusan mereka dan
biarkan mereka sendiri yang bereskan itu!"
Hoa Ban Hie tidak puas yang ia telah ditegur secara
demikian. "Sahabat tua, ucapanmu adalah nasehat yang
berharga sekali, seharusnya aku turut itu dengan
segera," ia berkata, "hanya sayang, kau cuma tahu ingin
membikin akur perselisihan atau dendaman orang, tetapi
kau tidak perhatikan aturan sendiri-sendiri dari masingmasing
golongan. Sahabat tua, keangkeranmu di
kalangan kangouw, aku Kiongsin telah ketahui dengan
baik, ucapanmu sangat berharga Dengan meraba tulang
iga sendiri, aku seharusnya turut itu. Dengan menuruti
nasehat-mu, itulah yang dinamakan orang sayang diri
sendiri! Melainkan dalam halku ini, ada suatu apa yang
membikin aku tidak mampu berkuasa sendiri. Itu adalah
aturan kaum kita yang tidak boleh dirusak oleh siapa
pun! Maka juga, biar tulang-tulangku mesti lebur atau
musnah menjadi abu, aku harus cari orang yang
menghina Bancie sanchung itu dan barulah aku mau
berhenti umpama kata ia sudah mau akui kesalahannya
itu! Aku adalah ketua dari Kiongkee-pang, aku tidak bisa
ijinkan orang ganggu aturan kita di hadapan mataku!
Kalau toh perdamaian dikehendaki, Pian pangcu dan In
loosu mesti diminta untuk memakai upacara pergi ke
Bancie sanchung serta memperbaiki lagi kedudukannya
lampu suci kita, kecuali itu, tidak ada lagi jalan damai!"
Hoa Ban Hie telah berikan putusannya yang tidak bisa
ditawar lagi, mendengar demikian, Lioktee Sinmo Khu
Liong Gan si orang aneh dari kalangan Sungai Telaga
telah putar kedua biji matanya. Ia manggut-manggut.
"Bagus, Hoa chungcu, bagus, kau telah utarakan rasa
hatimu," ia berkata, "dengan demikian kau telah bikin
sahabat tuamu tidak bisa bilang apa-apa lagi."
Sampai di situ, dengan tidak tunggu sampai Hoa Ban
Hie berikan jawabannya pada Khu Liong Gan si Iblis
Bumi, Yan Toa Nio berbangkit akan hadapkan Pian Siu
Hoo. "Pian pangcu, aku ingin bicara dengan kau!" ia
berkata. "Ketika pertemuan kita di Giokliong-giam
Hiecun, kau telah janjikan pertemuan di Hucun-kang ke
mana kau telah undang kita. Kau tahu, karena janjimu
itu, kita ibu dan anak sudah lantas berangkat ke Hucunkang,
siapa tahu, sesampainya kita di Go-cu-mui, kita
jadi hilang harapan! Sia-sia saja kunjungan kita ke
pusatmu itu, karena kau sendiri sudah pindah dengan
diam-diam! Kita hilang harapan, karena kita telah lakoni
perjalanan ribuan lie untuk memenuhkan janji! Kenapa
kau pindah dengan tak meninggalkan sedikit kata-kata,
supaya kita bisa susul kau lebih jauh" Mana kita tahu
bahwa kau telah pindah ke lembah Haytong-kok ini"
Jikalau tidak ada dua tetua dari Kiushe Hiekee, yang kita
ketemukan dan sudi membantu pada kita ibu dan anak,
niscaya sampai sekarang ini kita masih bergelandangan
saja untuk mencari kau! Pian pangcu, kau ada satu lakilaki,
kenapa terhadap orang-orang perempuan kau
berlaku begini tak punya kehormatan" Tidakkah kau
membikin hati orang menjadi tawar" Beruntung buat
kita, kita sudah dapat menumpang di Bancie sanchung
dan semua loo-cianpwee telah sudi membantu kita,
dengan demikian akhirnya kita bisa sampai di lembah ini.
Maka Pian pangcu, hutang kita yang lama, mari kita
orang bereskan terlebih dahulu!"
Mukanya Pian Siu Hoo menjadi merah. Ia tahu adalah
pihaknya sendiri yang kalah cenglie dan karena itu ia
tidak bisa buka mulut dengan leluasa, hingga ia hanya
bisa umbar hawa amarahnya.
"Yan toanio, jangan kau sembarangan bicara!" ia
membentak. "Aku Pian Siu Hoo ada sahabat yang boleh
dibunuh tetapi tidak diperhinakan! Memang dalam
pertemuan di Giokliong-giam aku telah nampak
kekalahan, tetapi selama napasku masih ada, tidak nanti
aku sembunyikan diri! Aku telah kembali ke Hucun-kang,
ke Gocu-mui, adalah melulu untuk bersiap, untuk
memenuhkan janji kita! Kau harus ketahui, urusanku
bukan hanya dengan kau orang saja, juga dengan Kiushe
Hiekee. Di antara Kangsan-pang dan Kiushe Hiekee,
salah satu pihak mesti sirna dari muka bumi ini! Gocumui
ada pusat pelayaran, di sana masih berlaku undangundang
negara, coba kau pikir, negara mana ijinkan kita
orang perang mati-matian di sana" Karena itu, maka aku
telah pilih tempat yang sunyi ini. Aku tahu, dengan
tindakanku ini, aku telah melanggar aturan dalam
kalangan coanpang, tetapi dengan berbuat begini, aku
ada kandung pikiran lain. Lembah ini aku hendak pakai
untuk sementara waktu saja Dengan tetap pakai Gocumui,
aku kuatir nanti muncul lain-lain keruwetan yang
tidak ada hubungannya dengan kita orang. Di sini hanya
kita orang berdua pihak saja yang berurusan, di sini aku
harap didapat keputusan! Kangsan-pang musnah atau
hidup terus! Di sini aku belum bersiap sempurna, itulah
sebabnya aku belum sempat kembali atau kirim wakil ke
Gocu-mui untuk papak dan sambut kau orang ibu dan
anak. Tidak, nyonya, aku tidak sembunyi! Coba aku telah
selesai dengan persiapanku, bukan kau tetapi aku yang
akan cari padamu, karena aku juga tidak mau ijinkan kau
lolos dari tanganku! Sekarang, Yan toanio, kalau kau
hendak bikin perhitungan dengan aku, silakan! Silakan
kau orang, ibu dan anak turun tangan, supaya tidak ada
lain orang nanti gerecoki kita!" Dengan ucapannya yang
terakhir itu, Pian Siu Hoo menyindir dua musuhnya yang
lain. "Hm, Pian Siu Hoo. k.au pandai sekali membantah!"
Yan Toa Nio menegur. "Sekarang memang ada temponya
untuk kita orang hidup atau binasa, maka silakan kita
orang pergi ke luar!"
Itu ada permintaan atau tantangan yang Pian Siu Hoo
harap-harap, maka ia lantas berbangkit. Tapi Hoa Ban
Hie justru mau satrukan ia dan tidak berikan ia berlalu
dengan begitu saja.
"Tunggu dahulu, Pian pangcu!" berkata tetua dari
Bancie sanchung. "Urusan kau dengan keluarga Yan ibu
dan anak baik ditunda sebentar! Bukankah urusan kita
orang telah tertunda bertahun-tahun" Maka kenapa kau
orang mesti repoti itu di saat ini juga" Kau mesti terlebih
dahulu usir aku si pengemis tua bangka, barulah kau
urus urusan kau orang!"
"Hoa Ban Hie, kau benar-benar terlalu menghina!"
Pian Siu Hoo membentak. "Apakah sikapmu ini
disebabkan kau pandang terlalu hina padaku si orang she
Pian" Apakah kau sangka aku tidak berani tandingi kau"
Baik, Hoa Ban Hie, mari kita orang bicara di luar!"
Ketika itu Tin-sankang Siauw Cee Coan berbangkit, ia
memberi hormat pada Hoa Ban Hie dan Pian Siu Hoo.
"Jiewie loo-suhu," ia berkata, "aku numpang tanya, di
antara kau orang dulu-dulu sebenarnya ada permusuhan
bagaimana besar hingga sekarang urusan itu tidak bisa
dibereskan kecuali dengan gunakan tenaga" Kau orang
sama-sama hidup di kalangan kangouw, sama-sama
mempunyai kaum sendiri, janganlah karena urusan salah
mengerti yang kecil, kedua pihak jadi mesti celaka dan
musnah! Tak menahan sabar bukanlah perbuatan dari
kau orang yang sama-sama telah berusia lanjut! Aku si
orang she Siauw datang di medan pertemuan ini
mengandung satu harapan, ialah biarlah kedua pihak
berlaku tenang dan dalam ketenangan menyelesaikan
urusan secara damai. Kenapa mesti adu jiwa".... Hoa loosuhu,"
Siauw Cee Coan melanjuti pada ketua dari Kiongkeepang, "terhadap Pian loo-suhu, aku minta kau sudi
mengalah sedikit. Pian loo-suhu kembali dari Englokkang,
karena urusan permusuhannya yang lama, yang
mesti diperhitungkan, dan karena itu, ia sampai
pindahkan pusatnya ke Haytong-kok ini. Seperti ia sudah
bilang, ia mau pakai lembah ini untuk sementara waktu,
selama ia hendak bereskan perhitungan lamanya, maka
itu, aku harap sudilah kau maklum padanya. Mengenai
perbuatan In loo-suhu, yang telah masuk ke Bancie
sanchung dan telah langgar aturan dari Kiongkee-pang,
itu disebabkan melulu karena ia tidak paham terhadap
aturan dari berbagai-bagai kaum, jadi ia lakukan itu tak
dengan sengaja. Maka kalau loo-suhu desak ia
keterlaluan, itu adalah tak selayaknya. Ringkasnya aku
Siauw Cee Coan inginkan kedua pihak bereskan urusan
secara damai! Atas nama persahabatan Rimba Persilatan,
aku suka wakilkan In loo-suhu pergi ke Bancie sanchung
untuk perbaiki kedudukan pelita suci dari Kiong-keepang.
Biarlah salah mengerti disingkirkan dan itu dirubah
menjadi persahabatan! Tidakkah ini ada terlebih baik
daripada permusuhan diperhebat" Bagaimana, Hoa loosuhu,
maukah kau pandang pada mukanya si orang she
Siauw ini?"
Hoa Ban Hie tahu Tin-sankang ada seorang jujur,
sekarang terbukti pula dengan sikapnya ini yang malang
di tengah. Ini ada sifat dari Siauw Cee Coan, yang di
Kanglam semua orang menghargakan.
"Siauw loo-suhu, aku Kiong-sin berterima kasih untuk
kebaikanmu ini," ia berkata sambil balas hormatnya
kenalan itu. "Loo-suhu, jikalau aku berkokoh dengan
anggapanku, orang niscaya akan katakan aku tidak kenal
persahabatan, maka itu, dengan memandang pada kau,
aku suka terima baik usulmu. Sekarang aku minta Pian
pangcu datang sendiri ke Bancie sanchung untuk
kembalikan pelita suci kita pada tempatnya, setelah itu,
aku tidak akan usil-usil lagi soal ia mendirikan pusatnya
di Haytong-kok ini. Tapi, andaikata Pian pangcu tidak
bersedia akan perbaiki kesalahan itu, harap Siauw loosuhu
tidak katakan bahwa aku tidak hargakan padamu!"
Tapi, mendengar itu, Pian Siu Hoo tertawa dingin.
"Siauw loo-suhu, terima kasih untuk kebaikanmu," ia
berkata. "Dalam halnya urusan malam ini, aku minta
sahabat-sahabat baik jangan kecilkan hati lagi! Aku Pian
Siu Hoo bukan bocah umur tiga tahun, aku telah bisa
melihat dengan terang dan jelas! Nyata sekali orang mau
bikin supaya aku tidak mampu angkat kepalaku di daerah
Hucun-kang! Untuk pergi ke Bancie sanchung buat
perbaiki kedudukannya pelita suci, adalah soal gampang,
tetapi aku ingin itu dilakukan nanti, setelah di sini ada
keputusan, siapa kuat dan siapa lemah! Sampai waktu
itu, jangan kata aku si orang she Pian disuruh pergi ke
Bancie sanchung untuk haturkan maaf, sekalipun aku
dipaksa akan berlutut setiap satu tindak, aku tidak nanti
berani tidak lakukan itu! Sekarang, Siauw loo-suhu, aku
minta supaya semua orang sudi jadi juru pemisah yang
adil, akan saksikan keputusan kita orang!"
Setelah berkata demikian, Pian Siu Hoo lantas unjuk
hormatnya pada si pengemis tua.
"Hoa loo-suhu, silakan kita orang pergi ke luar!" ia
berkata. Ia terima tantangan dengan menantang jugaBegitulah semua orang berbangkit menuju ke luar.
Di luar, di depan rumah batu, sudah teratur dua baris
tempat duduk, di kiri dan kanan. Itu adalah dua bangku
panjang terbikin dari bamboo, dengan di tengah-tengah
ada sebuah meja kecil. Letaknya ada timur dan barat,
berdampingan dengan tembok bukit.
Di empat penjuru, di atas pohon-pohon haytong ada
digantungkan banyak lentera merah.
Di kedua baris tempat duduk ada orang-orang dari
Haytong-kok dengan obor di tangan mereka, hingga
tanah lapang menjadi terang seumpama siang hari.
Begitu lekas semua pihak sudah duduk, Pian Siu Hoo
lantas berbangkit. Pada mukanya tertampak hawa
amarahnya yang sedang meluap, terutama kegusarannya
terhadap Hoa Ban Hie, yang ia anggap sangat menghina
padanya. Ia angkat kedua tangannya ke jurusan pihak
lawan. "Anggap saja bahwa aku si orang she Pian, dalam
hidupnya di kalangan kangouw sudah bertindak tak
selayaknya,, hingga ia telah tanam banyak permusuhan,
sebagaimana pada malam ini di Haytong-kok telah
datang tiga musuh yang menagih hutang padaku. Ini ada
kejadian yang cocok dengan perkataan: 'Hutang jiwa
bayar jiwa, hutang uang, bayar uang'. Sekarang aku mau
tahu, pihak mana yang ingin aku bayar hutangnya
terlebih dahulu"...."
Yan Toa Nio dan Leng In sudah lantas mendahului
berbangkit. "Pian pangcu, lebih baik kau bikin
perhitungan terlebih dahulu dengan aku!" berkata
nyonya itu. "Aku tidak ingin yang kau main ayal-ayalan
lagi!" "Hm!" Tiathong-liong si Naga Besi memperdengarkan
suaranya. "Sebabnya aku kembali ke Hucun-kang
memang pertama adalah untuk menunggui kau orang ibu
dan anak, sekalian supaya urusan di Hucun-kang


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diselesaikan di Hu-cun-kang juga!"
"Yan toanio," Tan Ceng Po me-nyelak, "aku minta kau
berdua ibu dan anak suka menunggu sebentar. Dalam
segala hal orang ada yang datang dahulu dan
belakangan. Begitulah, urusan Giokliong-giam Hie-cun
dengan Pian pangcu telah terjadi lebih dahulu, maka
harap kau sabar dan sampai urusan kita sudah selesai,
barulah kau perhitungkan urusanmu!"
Ketika Pian Siu Hoo sendiri hanya mengawasi dengan
senyum ewah, Lioktee Sinmo Khu Liong Gan telah
memperdengarkan suara tertawanya yang dingin. Ia
tetap duduk di tempatnya dan tidak berbangkit, hanya
mengawasi Tonglouw Hiejin.
"Tan loo-suhu, janganlah kau pandang empat penjuru
lautan kosong melongpong!" ia berkata, "janganlah kau
anggap di depan matamu tak ada lain orang! Si orang
she Pian masih belum sampai pada jalan buntunya, di
sampingnya masih ada sejumlah sahabat karibnya,
hingga kau juga tidak pandang mata pada lain orang.
Urusan di Giokliong-giam adalah urusan Englok-kang
Coanpang dengan kau dari pihak Kiushe Hiekee, aku
dengar ketua dari Englok-pang telah roboh di tanganmu,
karena itu, urusan sebenarnya sudah habis! Si orang she
Pian benar campur urusan di Giokliong-giam Hiecun,
tetapi waktu itu ia berada dalam kedudukan sebagai
sahabat yang membantu sahabat, untuk persahabatan di
kalangan kangouw kita, maka sekarang, Tan loosu, kalau
kau timpakan tanggung jawab kepada si orang she Pian,
nyata perbuatanmu yang keterlaluan!"
"Hm, Khu loo-suhu!" berkata Tan Ceng Po yang
menjadi tidak senang. "Kau anggap hal itu tidak adil,
tetapi kalau menurut pendapatmu, bagaimana?"
"Menurut aku, urusan sebenarnya gampang diatur,"
sahut si Iblis Bumi. "Di Haytong-kok ini, baiklah semua
urusan kau orang dikesampingkan terlebih dahulu! Di sini
sekarang ada berkumpul orang-orang pandai dari Rimba
Persilatan dari selatan dan utara Sungai Besar, ini ada
ketika baik yang,sukar untuk didapati, maka itu, kenapa
ketika yang sebaik ini kita tak mau gunakan" Kenapa
sekarang kita orang tak mau bikin pertemuan persilatan"
Kita kesampingkan urusan kau orang, lantas kita orang
pertunjukkan sedikit dari kepandaian masing-masing,
batasnya adalah kemenangan dan kekalahan! Umpama si
orang she Pian roboh, dalam hal urusannya dengan
keluarga Yan, aku tak mau campur tahu! Usul lainnya
aku tak mau tahu, bagaimana kau pikir sekarang?"
Sebelum Tan Ceng Po berikan jawabannya, Itcie
Sinkang In Yu Liang sudah campur bicara, terhadap Hoa
Ban Hie. "Hoa chungcu, usulmu adalah tak pantas!" demikian
katanya. "Satu laki-laki mesti bicara secara terhormat
dengan kepercayaan! Di mana baru-baru ini telah
diputuskan, pemecahan adalah pertemuan persilatan,
aku tak akan sangkal itu! Hoa chungcu, aku In Yu Liang
telah siap untuk menerima pelajaran!"
Hoa Ban Hie bersenyum tawar terhadap sikap jumawa
itu. "Sahabat baik, aku pun sudah siap!" ia menjawab.
"Memang tidak ada lain jalan untuk selesaikan
perbuatanmu di Bancie sanchung!"
"Mendengar suaramu, nyatalah kau anggap aku si
orang she In bukannya tandinganmu, Hoa chungcu,"
berkata pula In Yu Liang "Nyatalah kau sangat takabur!"
Tiba-tiba, dari sampingnya Hoa Ban Hie, loncat maju
satu orang", yang terus hadapkan Itcie Sinkin| in Yu
Liang si Jeriji Liehay.
"In Yu Liang, kau benar tahu diri!" kata ia, "apa yang
kau bilang, sedikit pun tidak salah, kau memang bukan
tandingan dari Hoa chungcu! Aku yang akan layani kau!"
In Yu Liang pandang orang yang baru muncul itu, satu
pengemis muda. Ia tahu betul, orang itu mesti ada
muridnya Hoa Ban Hie. Maka ia maju beberapa tindak,
seraya menuding.
"Anak muda, cara bagaimana kau berani pandang
sangat enteng padaku?" ia menegur. "Lekas beritahukan
namamu!" "Aku ada Chong Gim Ciu, murid dari Hoa chungcu,
atau leluhur mudamu yang pegang pimpinan atas
Kiongkee-pang Sankang!"
Pemuda itu tutup mulutnya sambil barengi maju
menyerang sedikit juga ia tidak mau berlaku sungkansungkan
lagi pada si Jeriji Liehay, hingga In Yu Liang jadi
sangat gusar. Atas serangan musuh, In Yu Liang egos kepalanya ke
kiri, berbareng dengan itu, tangan kanannya dilonjorkan
pada lengan musuh, tetapi Chong Gim Ciu sudah lekas
tarik pulang lengannya itu, akan dengan tangan kiri, ia
barengi menyerang pula, dengan Hokhouw tosim atau
"Macan hitam menyambar hati", ia menjuju dada.
In Yu Liang tidak dapat totok lengan kanan musuh,
sebaliknya tangan kiri musuh itu menyambar pula, ia
lekas egos sedikit tubuhnya ke kiri, tangan kanannya
diteruskan, dari kanan menekan tangan kiri musuh.
Serangan ini ada hebat.
Atas gerakan musuh yang sebat, Chong Gim Ciu lantas
tarik pulang tangannya itu.
Itcie Sinkang In Yu Liang ada seorang kenamaan,
pengalamannya ada banyak, maka dalam tempo yang
pendek, ia sudah ketahui yang pengemis muda itu telah
gunakan ilmu silat Bie-ciong-kun atau "Kepelan
Menyesatkan." Itu ada ilmu yang utamakan kegesitan
kaki tangan dan tubuh. Maka untuk melayaninya, ia
gunakan Ngoheng Lianhoan-kun.
Pertempuran sudah lantas berjalan dengan seru,
karena kedua pihak sama-sama tidak mau mengalah,
sebab dua-duanya justru ada sangat liehay.
Setelah melalui sepuluh jurus, In Yu Liang berlaku
semakin hati-hati. Ia dapat kenyataan, dalam sengitnya,
lawannya sudah berlaku telengas, sedikit pun dia itu
tidak mengenal kasihan.
Kapan sudah sampai ke jurus yang kelimabelas, dalam
penasarannya yang sangat, In Yu Liang merasa sibuk
juga Ia, satu jago tua, tidak mampu rubuhkan dengan
cepat satu anak muda. Buat ia, jangan kata kalah, tidak
bisa kalahkan saja pemuda itu, sudah menurunkan
pamor. Maka ia lantas gunakan Jie-pay-lian, atau
"Runtunan huruf melintang," untuk tutup tangan kanan
dari lawannya. Dengan sebelah kaki menginjak tanah, dari kiri, Chong
Gim Ciu putar tubuhnya ke kanan, sambil mutar, tubuh
itu ia bikin kate, tapi sambil mutar juga, mendadakan ia
bangun berdiri sambil kedua tangannya dimajukan dalam
tipu silat Pek-wan hianko atau "Lutung putih
persembahkan buah." Dua-dua tangan itu menyerang
berbareng pada pundak kiri dari In Yu Liang. Gerakan itu
semua ada sebat luar biasa.
In Yu Liang geser kaki kanannya ke belakang,
tubuhnya ikut mutar, berbareng dengan itu, pundaknya
yang kiri turut berkelit, sebab kaki kirinya lantas turut
bergerak, akan imbangi kaki kanan, selagi ia terlolos dari
itu serangan hebat, di lain pihak " sekarang dengan kaki
kanan berada di depan " ia bisa barengi membalas
menyerang iga kanan orang. Ia telah gunakan Honghong
tantian-cie atau "Burung hong pentang sebelah sayap".
Ketika itu, iga kanan lawan jadi kosong.
In Yu Liang telah gunakan antero tenaganya yang
dikumpul di jari tangan, sedang keistimewaannya adalah
jari tangannya yang liehay maka kalau iga terkena
tangannya itu, urat-urat bisa putus, tulang-tulang bisa
patah. Chong Gim Ciu bisa lihat maksud musuh, cepat luar
biasa, kedua tangannya ia tekan turun ke bawah selaku
menindih, dan kaki kirinya ia geser, untuk jauhkan
tubuhnya. Gerakan tangannya itu adalah buat barengi
menghajar tangan kanan musuh yang mengarah iganya.
Ternyata In Yu Liang telah geraki serangannya dengan
melihat selatan. Kapan ia dapatkan pihak lawan siap-siap
akan balas menyerang, buru-buru ia pindahkan kaki
kirinya ke kiri, tubuhnya mengikut, sedang tangan
kanannya, ia juga tarik pulang. Tetapi di lain pihak, selagi
lakukan gerakannya itu semua, ia pun membarengi
menyerang pula " sekarang dengan tangan kirinya,
tujuannya tetap ada iga kanan dari musuh. Oleh karena
ia gusar sekali, semua serangannya telah dilakukan
dengan tenaga sepenuhnya.
Diserang demikian rupa, walaupun ia sangat gesit,
Chong Gim Ciu sudah tidak berdaya akan menangkis
atau membatalkan serangan itu, sebagaimana ia mampu
berbuat terhadap serangan yang pertama Bagus buat ia,
ia bisa lihat gerakan musuh. Karena sudah tidak ada
jalan lagi, terpaksa ia ambil jalan yang penghabisan,
guna selamatkan iganya itu. Ia menjejak dengan kaki
kanan, tubuhnya ikut naik dan mencelat ke belakang. Ia
gunai Kimlee coanpo atau "Ikan gabus terjang ombak."
Karena gerakan dilakukan secara kesusu, ia tidak mampu
imbangi diri sebagaimana mestinya, ketika kakinya
menginjak tanah di sebelah kiri ia, ia tidak bisa
pertahankan tubuhnya, yang jadi bergoyang-goyang.
Adalah dengan susah payah, baru ia bisa berdiri tegak.
Tentu saja, untuk orang-orang terhormat, itu ada
tanda dari kekalahan.
In Yu Liang telah dapatkan kemenangan, ia tidak
merangsek, akan hajar lebih jauh pada lawan, yang kalah
gesit itu, tetapi karena tadi ia sangat mendongkol,
kemenangan ini bikin ia lupa adat sopan santun. Ia telah
tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "Begini saja
kepandaiannya leluhur muda yang pegang pimpinan di
Sankang! Baiklah kau pergi berlatih pula!"
Kejumawaan itu tidak pada tempatnya bagi seorang
kenamaan sebagai ia, ejekan ini bikin Chong Gim Ciu
sangat malu, muka siapa telah menjadi merah padam.
Adalah di saat itu, dari belakangnya Hoa Ban Hie, ada
mencelat satu orang, yang maju ke tengah medan
pertempuran. Karena letaknya mereka itu, ia ini justru
sampai di belakangnya Itcie Sinkang. Ia ternyata tidak
mau pakai aturan, begitu sampai terus saja ia menyerang
sambil membentak, "Kau tertawakan apa?"
In Yu Liang terperanjat, karena berbareng dengan
suara itu, meski serangan belum sampai, angin toh
sudah mendahului, maka terpaksa ia loncat ke samping
kiri, jauhnya satu tombak lebih, setelah mana, ia putar
tubuhnya akan melihat siapa yang sudah bokong
padanya. Penyerang tak memakai aturan itu ada satu pengemis
berumur kira-kira enampuluh tahun, mukanya panjang
dan romannya sangat jelek.
Sementara itu, atas tanda dari si pengemis tua, Chong
Gim Ciu sudah undurkan diri sambil tunduki kepala.
"Sahabat, kenapa kau tidak pakai aturan kangouw?"
Itcie Sinkang tegur si pengemis tua. "Kita orang di sini
lakukan pertempuran secara persahabatan, tetapi kau
telah bokong aku! Kau siapa?"
Pengemis itu tertawa dengan mengejek, matanya
dilototi, satu tanda bahwa ia membalas teguran itu
dengan penghinaan.
"Orang she In, kau anggap aku tidak pakai aturan
kangouw," ia menjawab, "tetapi sayang adalah kau!
Sebagai orang ternama, kenapa terhadap satu anak
muda kau berlaku sangat takabur" Dalam pertempuran,
kepandaian tinggi dan rendah akan menetapi
kemenangan atau kekalahan, maka apakah artinya jika
satu anak muda dari Bancie sanchung roboh di
tangannya seorang tua yang namanya telah tersohor"
Kenapa kau justru menghina keterlaluan terhadap satu
anak muda" Orang she ln, kau adalah satu eng-hiong
yang matanya tertutup, kalau leluhur muda tidak bisa
lawan kau, si leluhur tua akan gempur padamu!"
--ooo0dw0ooo-- XIII Napsu amarahnya Itcie Sinkang jadi berkobar-kobar.
"Pengemis tua bangka, kau berani mencaci aku?" ia
berseru. "Kau mesti ketahui, si orang she In tak boleh
dibuat permainan! Lekaslah kau perkenalkan dirimu,
supaya aku bisa ajar adat padamu!"
Pengemis tua itu menjawab dengan tertawa dingin.
"Kau tanya she dan namanya leluhur tuamu?" ia baliki.
"Aku sebenarnya ada saru kepala kecil di dalam
rombongan pengemis, tetapi sebagai leluhur tuamu, aku
bernama Ang Tiu!"
In Yu Liang tidak sanggup kendalikan diri lagi, karena
ia merasa terlalu dihinakan. Dengan gerakan Goyang
poksit atau "Kambing kelaparan menubruk makanan" ia
lompat menerjang dengan kedua tangannya yang
terbuka ke arah dadanya si pengemis tua.
Ang Tiu mendek sambil berkelit ke kiri, di sini ia berdiri
serta gerakkan kedua tangannya dari kiri ke kanan, dari
atas ke bawah, guna "bacok" lengan kanannya In Yu
Liang. Lekas-lekas In Yu Liang tarik pulang kedua tangannya
yang sudah tidak mengenai sasarannya, sambil bergerak
demikian, rubuhnya sendiri ia egosi ke kiri, tetapi untuk
meny e-rang pula, dengan luar biasa cepat, tangan
kanannya dipakai "memotong" tangan lawan sebatas
lengan atas. AngTiu tarik pulang tangannya dengan cepat,
tubuhnya terus berputar, dengan kaki kiri mendek
sedikit, kaki kanannya segera menyapu tangan musuh
yang sedang menyerang padanya. Gerakannya cepat luar
biasa. In Yu Liang lihat serangan yang berbahaya itu, ia


Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selamatkan dirinya dengan meloncat sampai satu tombak
lebih tingginya. Demikian mereka bertempur dengan
cepat dan seru, masing-masing menggunakan serangan
atau terjangannya yang liehay.
In Yu Liang lihat lawannya tangguh, maka ia memikir
akan gunakan antero kepandaiannya untuk merobohkan
dan merebut kemenangan, kalau tidak, ia harus mandah
kena dijatuhkan.
Serangan Ang Tiu tadi adalah dengan tangan kiri, dan
In Yu Liang dengan tangan kanan. In Yu Liang tarik
pulang tangannya untuk lekas dibaliki, buat diteruskan
menotok pundak kiri orang. Tangannya bergerak dari
bawah ke samping, dari samping naik ke atas, lantas
turun pula ke bawah. Kembali ia gunakan dua jarinya. Itu
adalah jari yang telah dilatih tiga atau empat puluh
tahun, yang bisa punahkan ilmu kedot Tiat-pouwsan atau
"Baju kain besi". Ini kali, karena gesitnya gerakan,
pundaknya Ang Tiu telah kena ditotok, meski juga si
pengemis tua itu telah lekas-lekas mendek sedikit.
Di luar dugaannya Itcie Sinkang In Yu Liang, totokan
itu yang bisa putuskan urat atau bikin mandek jalannya
darah, telah mengenai pundak yang empuk laksana
kapas. Pundak itu, dagingnya seperti juga tak
mempunyai sifat keras atau perlawanan. Bahna kaget, ia
berniat lekas-lekas tarik pulang tangannya itu.
Nyatalah Ang Tiu sudah gunakan Sia-kut-hoat, ilmu
membikin tulang "terlepas". Ilmu ini lemas seperti kapas
dan keras laksana baja. In Yu Liang dilayani justru
dengan kelemasan yang segera disusul dengan
kekerasan. Dan si pengemis tua sengaja gunakan tipu
atau ilmu ini akan jebak lawan yang tangguh itu.
Agar dapat terlolos dari bahaya, In Yu Liang segera
tarik pulang tangannya, yang telah digunakan dengan
tenaga sepenuhnya, hingga kaki depannya turut maju
dan kaki belakangnya turut cenderung ke depan. Di lain
pihak, ia telah hadapkan Ang Tiu, yang telah tukar
kelemasan dengan kekerasan dan unjuk kecepatan
istimewa Ketika pundak kirinya telah menjadi keras laksana
baja, dengan tangan kanannya, Ang Tiu barengi
menyerang tangan kanan musuh yang telah menotok
padanya Ia pun telah gunakan tenaga penuh, karena ia
tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan musuh liehay.
Hanya kalah cepat sedikit atau tangan kanannya Itcie
Sinkang kena tersampok begitu keras, sampai rubuhnya
turut tergerak terpelanting, hingga untuk cegah ia roboh
terguling, In Yu Liang harus mundur dua tiga tindak
dengan sempoyongan. Dasar liehay ia bisa cegah
tubuhnya jatuh atau tangannya terluka Tapi dari sini
sudah lantas ternyata bahwa ia telah nampak kekalahan.
Dalam keadaan biasa, In Yu Liang bisa berlaku
sebagai seorang terhormat, yang mukanya tipis, bersedia
akan akui kekalahannya ini, tetapi ini kali keadaan ada
lain. Sejak adu bicara baru-baru ini, ia sudah ambil
putusan akan melakukan pertandingan untuk
kemenangan atau binasa di selat Haytong-kok. Karena
Kiongsin Hoa Ban Hie tidak inginkan lain, ialah ia harus
menyerah atau perbaiki kedudukan pelita suci orang. Dan
untuk berbuat begini, ia merasa malu. Maka itu, ia lalu
tebalkan mukanya
Dengan muka merah, yang ia tidak bisa cegah, ln Yu
Liang hadapkan Ang Tiu dengan kedua tangan terangkat
naik, selaku tanda mengunjuk hormat.
"Sahabat baik, kau benar-benar liehay," ia kata. "Dari
sini jadi terbukti bahwa benar-benar murid-murid dari
Hoa chungcu bukan murid-murid yang orang melulu
sohorkan, tetapi benar berisi. Meski begitu, sahabat, aku
hendak majukan satu usul, dan apakah kau bersedia
akan mengiringi?"
Ang Tiu senantiasa bersiap, ia kuatir musuh berlaku
curang. Sekarang ia dapat kenyataan, lawan itu bukan
main curang hanya hendak unjuk kenekatan. Atau lebih
tegas, musuh ini mau adu jiwa. Maka itu, ia lantas kasih
dengar suara di hidung.
"Sahabat baik, ada usul apa pun, kau boleh
kemukakan, aku selalu sedia akan menerima baik, malah
kau boleh anggap aku sudah setujui!" ia berkata, dengan
sikap mengejek. "Aku memang sudah ketahui, kalau
secara begini saja pertandingan dihabiskan, kau niscaya
tak merasa puas dan tak tahu bagaimana harus
mengundurkan diri! Menghormati orang mesti
menghormati sampai di akhirnya, apapula kita kaum
Kiongkee-pang terhadap kau, satu busu yang kenamaan
di kalangan kangouw! Nah, sahabat baik, persilakan!"
"Orang she Ang, tutup mulut kau!" mendadakan In Yu
Liang membentak, la gusar bukan main atas penghinaan
itu, hingga ia tak mampu kendalikan diri lagi. "Kau harus
ketahui, kita orang di kalangan kangouw, batang
lehernya boleh putus, kehormatannya tak boleh
diperhina! Jangan kau omong lebih banyak lagi, karena
aku si orang she In juga mempunyai mulut! Di dalam
pertandingan, kekalahan atau kemenangan tidak berarti
banyak, dari itu jangan kau anggap bahwa kepandaian
kau boleh dibuat menjagoi! Aku telah lama dengar yang
kau orang kaum Kiongkee-pang mempunyai pusaka
kepandaian leluhurmu yang dinamai toya Susat Coatsupang,
yang dalam Rimba Persilatan ada istimewa, maka
itu, sebagai orang Kiongkee-pang, apa kau suka
pertunjuki itu di depannya si orang she In ini, agar aku
bisa mendapat pelajaran, supaya di akhirnya aku bisa
merasa puas dan ikhlas?"
Ang Tiu tertawa terbahak-bahak.
"In Yu Liang, tak kecewa yang kau menjadi orang
kenamaan dari Rimba Persilatan!" ia kata dengan
nyaring. "Pengetahuan kau ada banyak sekali! Hanya ini
kali, dalam halnya kepandaian pusaka itu, kau ada sedikit
keliru. Pusaka kepandaian itu cuma dipunyai oleh orang
yang menjadi loo-couwcong kita, ialah ketua pusat kita,
dan aku si orang she Ang, tak berhak akan gunai itu!
Sahabat, kalau kau memangnya berniat gunakan senjata,
aku sudah siapkan itu, maka silakan kau siapkan
senjatamu, supaya kita orang boleh main-main! Aku
harap supaya ini kali kau insyaf dan tak penasaran lagi!"
Si pengemis tua ini ucapannya selamanya tajam dan
menusuk. "Aku si orang she In bolehlah dibilang bernasib
malang, karena apa-mau, di sini aku telah berhadapan
sama seorang seperti kau dan gurumu!" ia bilang. "Aku
tidak ingin damprat kau, sahabat baik, karena dampratan
berarti mencemarkan kehormatanku! Sekarang aku
hanya hendak terangkan, ini hari kita orang mesti ambil
putusan di antara mati dan hidup! Nah, sahabat,
siapkanlah senjatamu!"
Sehabisnya kata begitu, In Yu Liang bikin gerakan
memutar tubuh dan berloncat ke belakang, sampai lima
atau enam kaki jauhnya, kemudian sambil menggape
terhadap Pian Siu Hoo, ia teruskan berkata, "Tuan,
tolong kau ambilkan pedangku!"
Dengan hanya menoleh, Pian Siu Hoo telah bikin satu
chungteng muncul dengan sebatang pedang, yang terus
diantarkan dan diserahkan pada In Yu Liang, siapa sudah
lantas hunus itu, akan terus hampirkan Ang Tiu.
"Orang she Ang, kau hendak tunggu apa lagi?" ia
menegur, dengan takabur.
Si pengemis tua sudah lantas mundur, empat atau
lima kaki jauhnya.
"Sahabat baik, silakan kau gunakan pedangmu!" ia
menantang. Sambil berbuat demikian, ia geraki kedua
tangannya ke jurusan pinggangnya, maka sebentar saja,
ia telah tarik keluar serupa senjata, senjata mana dengan
tangan kanan ia majukan ke depan dan tangan kirinya
menindih tangan kanan itu. Ini ada suatu cara atau sikap
penghormatan. Diam-diam In Yu Liang kaget apabila ia sudah lihat
nyata senjatanya pihak lawan itu, karena ia segera
merasa bahwa jangan-jangan ia sukar bisa menyingkir
hidup-hidup dari ujungnya senjata lawan itu. Sebab
senjata itu ada tombak pendek Lianhoan Coa-kut-chio,
tombak si "Tulang Ular". Itu ada semacam alat yang
paling sukar untuk dilayani, yang ada sebangsa ruyung
Ku-louw-pian dan tombak Liancu-chio. Ia, mesti tunjuk
Bentrok Rimba Persilatan 17 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Hati Budha Tangan Berbisa 11

Cari Blog Ini