Ceritasilat Novel Online

Tusuk Kondai Pusaka 10

Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 10


Setelah mengetahui tempat tahanan suhunya dan mendapatkan obat penawar racun dari budak
itu maka pada suatu malam ia diam-diam menyelundup masuk ke dalam gua tahanan. Setelah
membunuh beberapa penjaganya, akhirnya dapatlah ia membebaskan Ciu Ko.
Karena rayuan ular cantik Su Tiau-ing, Uh-bun Jui menjadi sesat pikiran. Akibatnya ia telah
mencelakai suhunya dan dirinya sendiri juga kehilangan segala-galanya. Kedudukan pangcu gagal
sebaliknya ia malah diusir dari Kay-pang. Kesudahannya, karena sudah tak berharga lagi, Tiau-ing
telah membuangnya mentah-mentah. Nama hancur, badan binasa. Adakah dalam keadaan seperti
itu ia masih ada muka melihat matahari lagi" Maka ia telah mengambil keputusan, setelah
menolong suhunya ia segera akan membunuh diri. Dan Uh-bun Jui telah melaksanakan hal itu
dengan konsekuen.
Seperti diketahui pengaruh Kay-pang itu amat besar. Anak buahnya tersebar luas di manamana.
Perjalanan Khik-sia dengan Tiau-ing itu, siang-siang sudah dapat diketahui oleh anak buah
Kay-pang. Mereka gunakan burung dara pos untuk memberi tahu pada pos-pos yang lain. Dengan
secara beranting, dapatlah berita itu disampaikan pada Wi Gwat di Tiang-an. Kebetulan pada saat
itu Ciu Ko pun sudah bebas dan tiba di Tiang-an. Begitulah mereka segera siap menunggu
kedatangan Khik-sia di situ.
Uh-bun Jui adalah murid kesayangan Ciu Ko. Bahwa muridnya telah menderita kecemaran
begitu hina, sudah tentu Ciu Ko dendam sekali kepada Tiau-ing. Tapi dikarenakan luka beracun
dalam tubuhnya masih belum sembuh sama sekali, maka ia minta sutenya yaitu Ciok Ceng-yang
yang turun tangan. Sedang Hong-kay Wi Gwat mengingat tingkat kedudukannya yang lebih tinggi,
tak mau turut meringkus Tiau-ing.
Adalah ketika Khik-sia masih terlongong-longong tak tahu apa yang harus dilakukan, di sana
Ciok Ceng-yang sudah bertempur dengan Tiau-ing. Pedang pusaka milik Khik-sia masih di tangan
Tiau-ing. Karena terdesak, Tiau-ing keluarkan jurus-jurus yang ganas. Meskipun bagi Khik-sia
ilmu permainan pedang Tiau-ing itu masih belum tinggi sekali, namun apa yang disaksikan pada
saat itu, sungguh di luar dugaan Khik-sia. Ia tak mengira kalau ilmu kepandaian nona itu hebat,
kini barulah ia tahu kalau dulu Tiau-ing ternyata belum mau mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Melihat permainan pedang Tiau-ing lihay sekali, ketambahan pula menggunakan po-kiam, maka
dalam dua tiga puluh jurus, Ciok Ceng-yang belum dapat mengatasi. Malah Hong-kay Wi Gwat
sendiri diam-diam merasa kagum dengan ilmu pedang nona itu.
Tapi bagaimanapun Ciok Ceng-yang itu adalah jago utama dari murid Kay-pang angkatan
kedua. Kepandaiannya hanya kalah setingkat dengan Wi Gwat yang menjadi paman gurunya itu.
Tapi dengan suhengnya yakni Ciu Ko, ia tetap menang unggul. Menurut penilaian, sebenarnya
kepandaian jago Kay-pang itu tak hanya setingkat lebih atas dari Tiau-ing. Lewat tiga puluh jurus
kemudian, dapatlah sudah Ciok Ceng-yang mempelajari gerak permainan lawannya. Segera
permainan tongkatnya dirubah dari bertahan kini menjadi penyerang.
Hang-liong-tiang-hwat atau ilmu tongkat menundukkan naga, adalah ilmu kebanggaan partai
Kay-pang yang sakti. Apabila sudah dikembangkan, empat penjuru delapan angin diliputi oleh
bayangan tongkat. Isi tidaknya serangannya sukar diduga-duga. Tampaknya menyerang dari
sebelah timur, tiba-tiba datangnya serangan itu dari sebelah barat. Dan yang lebih mengagumkan,
setiap pantulan ujung tongkat itu selalu mengarah jalan darah yang berbahaya.
Ya, hanya dalam beberapa kejab saja, situasinya sudah terbalik. Kalau tadi Tiau-ing dapat
menyerang dengan ganasnya, kini ia hanya dapat bertahan diri. Bahkan bertahan saja rupanya
makin susah karena permainannya makin kendor. Khik-sia tetap melongo tak tahu apa yang harus
diperbuat. Tiba-tiba kedengaran Tiau-ing menjerit "aduh". Jalan darah kian-keng-hiat di bahunya
kena ditutuk ujung tongkat. Tubuh Tiau-ing hanya bergetar dua kali tapi tak sampai rubuh. Melihat
itu Ciok Ceng-yang agak terkejut.
"Hm, kiranya budak siluman ini mengenal ilmu menutuk jalan darah. Nyata tak boleh
dipandang ringan," diam-diam Ciok Ceng-yang membatin. Iapun segera mengganti cara
permainannya dengan ilmu tongkat ciong-chiu-hwat atau tutukan dengan tenaga berat. Tari
tongkatnya segera menimbulkan angin menderu-deru. Di tangan jago Kay-pang, tongkat bambu
berubah menjadi lebih dahsyat dari tongkat besi atau baja.
Ketika mendengar teriakan mengaduh dari Tiau-ing tadi, hati Khik-sia serasa seperti ditutuk
oleh tongkat bambu Ciok Ceng-yang. Tanpa dapat dikendalikan lagi, ia segera hendak memburu
untuk mencegah Ciok Ceng-yang. Tapi baru saja keinginannya itu timbul, dan belum lagi sang kaki
sempat bergerak, tahu-tahu Wi Gwat sudah menariknya erat-erat.
"Siau Toan, kau bagaimana ini" Mengapa kau tak mau minum arak yang kuberikan?" dengan
tertawa meringis Pengemis Gila Wi Gwat menegurnya.
Khik-sia seperti semut di atas kuali panas, sahutnya: "Wi lo-cianpwe, nona Su ini, nona Su ini
....." "Nona Su ini akrab sekali dengan kau, bukan?" Wi Gwat tertawa menukasnya.
Merah padam Khik-sia dibuatnya. Tapi pada saat-saat seperti itu, ia tak dapat berbuat apa-apa
kecuali mengakui dengan bersikap diam.
Tiba-tiba Wi Gwat berubah keren (serius): "Toan hiantit, kau seharusnya mengingat bahwa
ayahmu itu seorang pendekar perwira. Budak siluman itu adalah anak perempuan dari Su Su-bing
dan adik perempuan dari Su Tiau-gi. Sepak terjang mereka tidak baik, mengapa kau galang gulung
dengan dia" Budak siluman itu telah mengadu-dombakan partai Kay-pang sehingga timbul
perpecahan di kalangan kaum kami dan mencelakai Uh-bun Jui sampai binasa. Coba bilang, layak
tidak kami menghukumnya?"
Pikir punya pikir, Khik-sia memang merasa Tiau-ing yang bersalah. Sukar baginya untuk
membela nona itu.
Tiba-tiba Wi Gwat tertawa lagi: "Di dunia ini banyak sekali gadis yang cantik dan pintar. Kau
suka yang mana, aku sanggup menjadi perantaranya. Tapi asal gadis pilihanmu itu golongan bulim,
ayahnya tentu mau memandang mukaku si pengemis tua ini."
Benar Khik-sia dibuatnya meringis. Kedua telinganya menjadi merah dan ia paksakan juga
untuk berkata: "Wi lo-cianpwe, aku bukannya mempunyai hubungan pribadi dengan nona Su ini
...." Wi Gwat tertawa gelak-gelak: "Apalagi tidak punya hubungan apa-apa, itu lebih baik.
Duduklah dan minum arak, sebaiknya tak usah kau melihatinya."
Sudah tentu Khik-sia tak dapat minum arak dengan tenteram. Walaupun ia anggap Su Tiau-ing
yang salah, tapi setelah bergaul beberapa hari dengan nona itu, sedikit banyak ia mempunyai
hubungan batin juga. Bagaimana ia disuruh berpeluk tangan melihat Su Tiau-ing diringkus dan
dibuat sesaji sembahyangan"
Pada saat itu Ciok Ceng-yang sudah dapat memberi tekanan. Tongkatnya makin lama makin
gencar bagaikan petir menyambar-nyambar dan badai menderu-deru.
Permainan pedang Tiau-ing sudah dibikin kocar-kacir, namun nona itu masih bertahan matimatian
pantang menyerah. Menurut gelagat, dalam beberapa jurus lagi, kalau tidak binasa di bawah
hujan tongkat, sekurang-kurangnya nona itu tentu akan terluka.
Melihat itu Khik-sia makin gugup, serunya: "Wi lo-cianpwe, aku bersedia kau caci maki tapi
kuminta kau suka mengampuni jiwanya!"
"Siau Toan, katamu kau tak punya hubungan pribadi dengannya, tapi mengapa kau mintakan
ampun padanya ....?"
Kegelisahan Khik-sia telah membuat kepalanya mandi keringat, urat-uratnya berkerenyotan.
Tanpa menunggu Wi Gwat selesai bicara, ia segera menukasnya: "Lepaskan ia dululah, untuk saat
ini aku tak dapat menjelaskan. Aku lebih suka mewakilinya menerima hukuman, maukah?"
Kay-pang merasa berhutang budi besar kepada Khik-sia. Bahwa anak muda itu sedemikian
gelisahnya, walaupun heran tapi diam-diam Wi Gwat menjadi ragu juga. Pikirnya: "Dengan
memandang muka Khik-sia, mengampuni jiwa budak siluman ini, rasanya juga tak keliwat
keberatan."
Tapi Wi Gwat itu seorang pendendam dan pemberantas kejahatan. Berpuluh tahun ia
memperjuangkan cita-citanya itu dengan gigih. Walaupun dalam hati ia tergerak juga dengan
permintaan Khik-sia tadi, namun mulutnya masih tak mau berganti nada, ujarnya: "Tak dapat,
budak siluman itu biar bagaimana harus ditangkap."
Kalau Khik-sia meneliti dengan kepala dingin, tentulah ia akan merasakan bahwa nada ucapan
pengemis aneh itu lebih lunak dari tadi. Wi Gwat hanya mengatakan "ditangkap", bukannya
menghendaki jiwa Tiau-ing. Tapi dalam saat-saat seperti ketika itu, mana Khik-sia dapat
menggunakan otaknya yang terang"
Dengan jurus ki-hwe-liau-thian atau mengacungkan api membakar langit, Ciok Ceng-yang
ancamkan ujung tongkatnya ke lengan Tiau-ing. Karena mengandalkan kelihayan pedangnya, Tiauing
gunakan jurus thiat-soh-heng-kiang atau rantai besi membentang di sungai, tongkat Ciok Cengyang
hendak dipapasnya. Tiba-tiba Ciok Ceng-yang membentak supaya Tiau-ing lepaskan
pedangnya. Ternyata dengan gunakan tenaga lwekang menempel, Ceng-yang lekatkan tongkatnya
di batang pedang. Trang, sekali Ceng-yang geliatkan tongkatnya terlepaslah pedang Tiau-ing ke
tanah. Tapi Ceng-yang tak berhasil menutuk jalan darah nona itu melainkan hanya menusuk pecah
lengan bajunya saja.
"Ho, mau lari kemana" Biar kupunahkan ilmu kepandaianmu dulu!" bentak ketua Kay-pang itu
sembari angkat tangan kirinya untuk mencengkeram tulang pi-peh-kut di bahu Tiau-ing.
Saat itu Khik-sia sedang dipegangi Wi Gwat. Serta melihat keadaan Tiau-ing, serentak Khik-sia
segera menerjang kemuka sehingga Wi Gwat sampai keseret beberapa langkah. Lwekang yang
diyakinkan Wi Gwat selama berpuluh tahun itu, bukan olah-olah hebatnya. Diseret oleh Khik-sia,
seketika ia mengeluarkan reaksi. Cengkeramannya makin kuat hingga Khik-sia pun tak dapat
melangkah maju lebih jauh.
Khik-sia tahu dirinya sebagai angkatan muda, sudah tentu ia tak mau menggunakan kekerasan
terhadap seorang cianpwe (angkatan tua). Dan andaikata ia menggunakan kekerasan, pun belum
tentu segera dapat melepaskan diri.
"Lo-cianpwe harap lepaskan!"
Tepat pada saat Khik-sia menyerukan begitu, sekonyong-konyong terdengar seseorang berseru:
"Tahan, jangan turun tangan dulu."
Kata-kata yang pertama, kedengarannya jauh. Tapi ucapan yang terakhir kedengarannya sudah
dekat, sehingga nadanya mengiang di telinga jago-jago Kay-pang.
"Hebat benar lwekang orang ini!" baru Wi Gwat membatin begitu, seekor kuda sudah melesat
tiba. Saat itu jari telunjuk Ciok Ceng-yang hampir menyentuh bahu Tiau-ing, tapi begitu mendengar
nada suara orang itu, ia tertegun. Dan ketika kuda datang, ia menjadi lebih kaget pula demi melihat
penunggangnya. Buru-buru ia tarik pulang tangannya dan berseru: "Bo tayhiap, kau juga datang."
Kiranya penunggang kuda yang datang itu adalah Bo Se-kiat.
Bo Se-kiat adalah ketua dari perserikatan penyamun atau Lok-lim-beng-cu, sudah tentu Ciok
Ceng-yang mau memandangnya. Di samping itu masih ada faktor lain, kaum Kay-pang harus
membayar budi padanya. Hal itu nanti akan pembaca ketahui belakangan.
Namun dalam menuruti permintaan Se-kiat itu, diam-diam Ceng-yang merasa heran juga.
Tanyanya: "Bo tayhiap, apakah kau juga akan memintakan keringanan untuk budak siluman ini?"
"Kesemuanya telah kuketahui. Kedatanganku kemari ini memang justeru hendak
menyelesaikan urusan ini dengan suhengmu," sahut Se-kiat.
Setelah memberi hormat kepada Wi Gwat dan Ciu Ko, berkatalah Se-kiat lebih jauh: "Nona Su
itu telah menjerumuskan Uh-bun Jui ke arah tindakan sesat mengkhianati partai, memenjarakan Ciu
pangcu dan memecah belah partai Kay-pang sehingga hampir terjadi bentrokan di dalam partai.
Memang tak dapat disalahkan kalau partai Kay-pang akan memberesinya. Tapi di balik
tindakannya itu menurut pendapatku, adalah karena ia mempunyai rencana hendak berserikat
dengan Kay-pang guna melawan tentara negeri. Entah apakah dugaanku itu benar atau salah?"
Tiau-ing terkesiap kaget, pikirnya: "Hebat benar anak muda ini. Dia belum kenal padaku tapi
dapat mengetahui isi hatiku."
Jawab Ciu Ko: "Hal itu, Uh-bun Jui pun pernah mengatakan padaku. Kay-pang tak mau
membanggakan diri dengan nama hiap-gi (menjalankan kebenaran), tapipun tak mau bertindak
sembarangan sebagai kaum perampok. Bagaimana kami dapat kerja sama dengan pengkhianatpengkhianat
yang mencelakakan negara dan menindas rakyat" Dan kami bangsa pengemis hanya
menginginkan adanya tempat di mana kami dapat meminta nasi, masakan kami berani
memimpikan hendak menduduki tahta singgasana?"
Tertawalah Se-kiat: "Dunia ini memang kotor, yang mempunyai moral dia berhak hidup.
Siapapun dapat menjadi raja. Pengemis menjadi raja, pun bukan suatu hal yang ajaib. Hanya,
setiap orang mempunyai cita-cita sendiri. Bahwa Ciu pangcu tak menghasratkan singgasana
kerajaan, baiklah, jangan kita ungkat lagi hal itu. Tapi dengan begitu, walaupun nona Su itu telah
bersalah memenjarakan Ciu pangcu, namun sekali-kali tak bermaksud mengambil jiwa Ciu pangcu.
Entah dalam hal ini apakah Ciu pangcu sudi berlapang dada memberi ampun jiwanya?"
Ciu Ko merenung diam.
Se-kiat beralih tanya kepada Khik-sia: "Kabarnya karena hendak menolong kau, nona Su telah
membelakangi engkohnya, bemarkah itu?"
"Kiranya Bi toako juga tahu?" sahut Khik-sia.
"Bagaimana kau perlu minta tolong padanya, apakah dengan kepandaianmu kau kena ditawan
engkohnya?" tanya Wi Gwat dengam keheranan.
"Dalam hal ini, sebenarnya ialah yang lebih dulu bersalah padaku yaitu menangkap aku, tapi
kemudian melepaskan lagi. Tapi aku tetap berterima kasih padanya," kata Khik-sia dengan
sungguh-sungguh. Kemudian ia menuturkan pengalamannya.
Kini baru mengertilah Wi Gwat mengapa Khik-sia sampai mintakan ampun untuk Tiau-ing.
"Kalau begitu meskipun ia puteri Su Su-bing dan adik perempuan Su Tiau-gi, tapi sepak terjang
nona Su itu berlainan dengan ayah dan kakaknya. Tahu kesesatan segera berubah, itulah baik
sekali. Adalah karena mengingat ia sudah kembali ke jalan lurus, maka barulah aku memberanikan
diri untuk mintakan ampun pada Ciu pangcu. Entah apakah Ciu pangcu sudi memberi muka
padaku?" Ciu Ko menghela napas, ujarnya: "Ya, ya, ya, adalah muridku itu sendiri yang lemah imannya
hingga tersesat. Kata peribahasa 'setiap benda itu baru timbul ulatnya apabila dalam benda itu
sudah rusak sendiri'. Sebenarnya tak dapat mempersalahkan siapa-siapa dan akupun juga tak
berniat membalaskan sakit hatinya. Bo tayhiap, jiwaku ini adalah kau yang merebut kembali,
bagaimana kau dapat menolak permintaanmu" Baiklah, biarlah selembar jiwaku ini asal nona Su
itu tak mengganggu aku, akupun tak mau mengganggunya juga!"
Mengapa Ciu Ko mengatakan berhutang jiwa pada Se-kiat" Kiranya disitu memang terselip
sebuah kisah. Adalah pada saat Ciu Ko dilepaskan oleh Uh-bun Jui, ternyata ia jatuh lagi di tangan
seorang musuh yang lebih ganas. Musuh itu bukan lain adalah Ceng-ceng-ji. Siasat Su Tiau-ing
merayu Uh-bun Jui supaya mengkhianati suhunya, Ceng-ceng-ji pun ikut serta merancangkannya.
Bahkan dialah yang tampil untuk membantu Uh-bun Jui merebut kedudukan pangcu dari Kay-pang.
Sudah tentu ia bukan sungguh-sungguh sayang kepada Uh-bun Jui, melainkan ada maksud
tersendiri, yakni serupa dengan Tiau-ing; menggunakan Uh-bun Jui untuk menguasai Kay-pang.
Tetapi ketika tiba pada persoalan diri Ciu Ko, ia tak sependapat dengan Tiau-ing. Ceng-ceng-ji
mengusulkan supaya Ciu Ko dibunuh saja agar jangan sampai menimbulkan bahaya di kemudian
hari. Sebaliknya Tiau-ing tidak setuju, begitupun Uh-bun Jui berkeras mempertahankan suhunya
jangan dibunuh. Oleh karena masih membutuhkan tenaga kedua orang itu, maka untuk sementara
Ceng-ceng-ji terpaksa menurut.
Ketika tiba saatnya Tiau-ing melarikan diri dengan Khik-sia, ingatan Ceng-ceng-ji timbul
kembali. Ia lebih pandai dari Uh-bun Jui, apa yang Uh-bun Jui pikirkan, sudah tentu iapun dapat
memikirkannya juga. Ia yakin Tiau-ing tentu tak sempat membawa pergi Ciu Ko. Siasat Uh-bun
Jui untuk merayu budak kepercayaan Tiau-ing, tak luput dari perhatian Ceng-ceng-ji. Memang
siang-siang Ceng-ceng-ji sudah menaruh kecurigaan pada Uh-bun Jui, maka ia selalu mengawasi
gerak-gerik anak muda itu. Inilah tepat seperti apa yang dikatakan oleh sebuah pepatah 'belalang
menangkap jengkerik, burung gereja sudah siap di belakangnya'. Uh-bun Jui hendak menjalankan
siasat merayu, tapi di luar tahunya, Ceng-ceng-ji juga diam-diam mengintainya.
Begitulah setelah mengetahui tempat tahanan suhunya, diam-diam Uh-bun Jui segera
menyelinap ke sana. Dengan cepat lenyapnya anak muda itu diketahui Ceng-ceng-ji. Ia segera
mengompes (minta keterangan paksa) pada si budak perempuan, siapa karena takut akan ancamanancaman
segera memberitahukan letak tempat tahanan Ciu Ko.
Sehabis membebaskan suhunya dan memberikan obat penawar, Uh-bun Jui lalu menghabisi
jiwanya sendiri, anak muda itu hendak menebus dosa selaku tanda kesetiaannya, tapi ia tak
menduga bahwa racun di tubuh suhunya itu sedemikian hebatnya. Meskipun sudah minum obat
penawar namun tak dapat seketika sembuh. Jangankan kepandaiannya, sedang tenaganya saja
masih belum normal. Saat itu sebenarnya Ciu Ko masih membutuhkan perlindungan tapi sayang,
Uh-bun Jui sudah keburu bunuh diri. Betapa kedukaan Ciu Ko dapatlah dibayangkan. Baru saja ia
selesai mengubur muridnya, Ceng-ceng-jipun muncul.
Ciu Ko mengambil putusan untuk adu jiwa. Ia gigit lidahnya sendiri agar dapat menghimpun
seluruh tenaganya, kemudian dengan pukulan Thian-mo-ciat-te-toa-hwat ia hantam Ceng-ceng-ji
sekuat-kuatnya. Benar Ceng-ceng-ji lumpuh separuh tenaganya, tapi ia dapat menghantam kaki Ciu
Ko sampai patah. Dengan marahnya Ceng-ceng-ji segera akan menghabisi jiwa ketua Kay-pang
itu, tap di luar dugaan Bo Se-kiat kebetulan lewat di situ. Karena tenaganya sudah berkurang,
dengan mudah dapatlah Se-kiat menghalau lawan pergi. Se-kiat mengobati kaki Ciu Ko dan malah
mengantarkannya sampai tiga ratus li jauhnya. Setelah menyerahkan ketua Kay-pang itu pada
seorang pemimpin cabang setempat, barulah Se-kiat minta diri.
Bahwa Se-kiat yang pernah melepas budi sedemikian besarnya, telah mintakan ampun untuk
Tiau-ing, sudah tentu Ciu Ko sungkan menolaknya. Tapi baru Se-kiat hendak mengajukan
permintaan itu lagi kepada Wi Gwat, jago itu cepat mendahuluinya: "Bo tay-hiap, sudahlah, jangan
membikin kami sekalian menjadi sungkan."
Jawaban itu cukup membuat Se-kiat peringisan.
"Wi lo-cianpwe, aku rela menerima dampratan dan tetap mintakan ampun padamu," buru-buru
Khik-sia berseru.
Pengemis tua itu gelengkan kepala, sahutnya: "Percuma saja kau minta ampun padaku.
Perangai si pengemis tua ini buruk dan keras. Aku tak punya sanak kadang, tak kenal budi
kecintaan!"
Tiba-tiba Tiau-ing angkat pedangnya dan berseru: "Ah, tak usah kalian mintakan ampun aku.
Bagus, pengemis tua, karena kau tak mau melepaskan aku, mari majulah!"
Wi Gwat meneguk lagi buli-buli araknya. Setelah itu dengan tenang ia menjawab: "Apakah kau
menantang aku" Uh, masakan seorang budak perempuan seperti macammu pantas menjadi
lawanku?" Ia tertawa dan semburkan arak dari mulutnya, serunya: "Si pengemis tua itu tak kenal budi
kecintaan tapi tahu memandang muka orang. Sebenarnya dosamu itu harus dihukum. Kalau aku
sampai membunuhmu, rasanya cukup pantas juga. Tapi Ceng-ceng-ji sekarang bukan kawan
sehaluanmu, kau kini menjadi sebatang kara, kalau kubunuh kau pun tak ada orang yang tahu, tak
ada orang yang bakal menuduh aku orang tua menghina orang muda. Ah, tidak, tidak, pengemis tua
mana mau menghilangkan muka orang" Aku lebih suka tak membunuhmu!"
Kembali ia meneguk arak dan tertawa terbahak-bahak. Sebenarnya pengemis tua itu bukannya
tak mau bermurah hati tetapi memang ia sengaja hendak mengocok hati Se-kiat dan Khik-sia
supaya gelisah. Sebagai pengemis tua yang berwatak aneh, ia tak mau mentah-mentah memberi
ampun tanpa mengemukakan alasan yang teguh. Dan alasannya tadi memang tepat. Kini Tiau-ing
menjadi sebatang kara dan karena dapat membebaskan diri dari pengaruh engkohnya dan kawankawan


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang jahat, maka pengemis tua itu tak menganggapnya lagi sebagai musuh.
"Wi Gwat digelari sebagai Pengemis Gila dan memang tindakan dan ucapannya sukar diduga,
tampaknya gila tapi tidak gila. Adalah nona Su itu memang cerdas karena dapat mengetahui
perangai pengemis tua itu," pikir Khik-sia.
"Hai, ilmu pedangmu sungguh istimewa, budak perempuan. Siapakah suhumu?" tanya Wi
Gwat. Tiau-ing tertawa: "Untung kau tak bunuh aku, coba kau berbuat begitu, kau tentu bakal
merasakan kelihaian suhuku. Jika ingin mengetahui siapa suhuku itu, silahkan tanya pada Gonggongji." "Bah, sekalipun kau tak mau bilang masakan aku tak tahu" Suhumu tentulah itu Shin Ci-koh
yang bergelar Bu-ceng-kiam."
Tiau-ing terbeliak kaget, pikirnya: "Kurang ajar, lihay sekali pengemis tua ini. Mengapa ia
kenal akan corak permainan suhu" Dengan melihat beberapa jurus permainanku saja, ia segera
mengetahui nama suhu."
Serentak menyahutlah ia dingin-dingin: "Pengemis tua, kalau sudah tahu nama suhuku, ya
sudah. Beliau lebih tak kenal kasihan dari kau. Jika kau bunuh aku, apakah kau kira beliau akan
mengampuni jiwamu?"
Wi Gwat terbahak-bahak: "Budak perempuan, sudah berapa tahunkah kau ikut pada suhumu"
Ia bergelar Bu-ceng-kiam, tapi hati nuraninya berbudi tak berbudi, tentang hal itu kaupun tak usah
mengetahui. Pengemis tua ini tak takut ia akan membunuh aku, tapi kuatir ia nanti akan minta
tolong padaku."
Bu-ceng-kiam artinya Pedang tak berperasaan.
"Apa" Beliau akan minta tolong padamu?" teriak Tiau-ing.
Wi Gwat tetap tertawa: "Betul, ia akan minta aku menjadi comblang, apakah itu bukannya
minta tolong?"
"Ngaco belo!" bentak Tiau-ing dengan jemu.
Wi Gwat semakin terpingkal-pingkal: "Percaya atau tidak, terserah padamu. Pengemis tua juga
tak suka membuka rahasia pribadi seorang guru di depan muridnya. Baiklah, Ciu sutit, ayo kita
pergi. Kalau terus bicara, mungkin orang akan memaki aku si pengemis tua ini tak senonoh."
Kerut wajah dan sikap si pengemis gila yang sesaat garang dan sesaat riang peramah itu,
membuat Su Tiau-ing meringis. Karena sudah dikenal sebagai pengemis kegila-gilaan, maka orang
pun tak heran akan gerak-gerik Wi Gwat yang aneh itu.
"Pengemis tua ini lihay benar. Ucapannyapun bukannya seperti orang gila. Apakah ia benarbenar
mengetahui rahasia pribadi suhu?" diam-diam Tiau-ing membatin.
Seperginya tokoh-tokoh Kay-pang, maka berhadapanlah kini Khik-sia dengan Se-kiat. Teringat
akan Thiat-mo-lek, Khik-sia segera menanyakan: "Bo toako, mengapa kau kebetulan sekali datang
kemari" Thiat toako apakah datang juga?"
Se-kiat tertawa: "Bukannya secara kebetulan, memang aku sengaja menunggu kedatangan
kalian di sini. Piauko-mu itu seorang sahabat lama dari Cin Siang. Dalam pertemuan para ksatria
yang diselenggarakan oleh Cin-sian itu, sudah tentu piauko-mu datang, tapi karena masih ada
sedikit urusan jadi ia agak lambat. Mungkin paling lambat besok lusa ia tentu sudah tiba kemari."
Ia masih melanjutkan kata-katanya pula: "Aku bersama Kim-kiam-ceng-long Toh Pek-ing dan
kawan-kawan, sudah datang lebih dulu beberapa hari di Tiang-an. Baru beberapa hari ini aku
mengikat persahabatan dengan Ciu Ko, karena informasi (berita) di kalangan Kay-pang itu cepat
sekali dilaksanakan, maka aku pun mengetahui semuanya. Siang-siang aku sudah tahu kalau kau
bersama nona Su akan tiba di kemari hari ini, tahu pula aku bahwa Kay-pang hendak menangkap
nona Su. Oleh karena di dalam Kay-pang cabang Tiang-an banyak sekali orangnya, maka akupun
tak leluasa mencegah mereka. Maka aku terpaksa memburu kemari."
Kini barulah Khik-sia mengerti duduk persoalannya. Diam-diam ia merasa heran: "Bo Se-kiat
tak kenal dengan Tiau-ing. Se-kiat tahu kalau Tiau-ing puteri dari Su Su-bing, tapi Se-kiat tak
menganggapnya sebagai perempuan jahat. Ini saja sudah sukar terjadi. Apalagi Se-kiat masih mau
berusaha untuk menolong nona itu, sungguh luar biasa sekali. Apakah kesemuanya itu demi untuk
kepentinganku?"
Setelah bahaya lewat, barulah saat itu Tiau-ing tampil kemuka. Tapi anehnya ia bukan
menghaturkan terima kasih kepada Se-kiat, tapi hanya mengunjukkan jempol tangannya berseru:
"Bo tayhiap, kau sungguh berdada lapang sekali, suka bekerja tanpa memikirkan jasa, kemanamana
kau selalu mendamaikan pertengkaran. Benar-benar tak kecewa menjadi seorang pemimpin
Lok-lim!" Se-kiat tertawa: "Konon kabarnya anak buah dari engkohmu amat patuh padamu. Setelah
kalian menderita kekalahan, kabarnya juga kau yang mengatur sehingga tak sampai seluruh anak
pasukanmu ludas. Nona Su, kau juga seorang pendekar wanita."
Tiau-ing balas tertawa: "Kiranya kau amat perhatikan urusanku. Tapi kabar yang kau dengar itu
terlampau menyanjung diriku, aku tak mempunyai kecakapan sedemikian besarnya. Adalah karena
aku berbeda dengan anak gadis pada umumny yang suka bersolek saja, maka engkohku merasa
jengkel padaku."
"Oh, kukira pelarianmu itu disebabkan Khik-sia, ternyata kalian kakak beradik itu memang
sudah punya perselisihan," kata Se-kiat.
Khik-sia merah mukanya, serunya: "Baik perangai maupun tindakan nona Su itu berlainan
dengan engkohnya. Mereka saudara lain ibu. Engkohnya membunuh ayahnya dan
bersimaharajalela sewenang-wenang, memang siang-siang nona Su sudah tak puas."
Se-kiat mengangguk: "Oh, kiranya begitu." -- Matanya beralih kepada Tiau-ing, seperti ada
sesuatu yang dipikirkan.
Kata Tiau-ing: "Budi besar tak dibalas dengan ucapan terima kasih saja. Bo bengcu, kelak
apabila kau memerlukan tenagaku, silahkan memberi perintah. Apa yang kau kehendaki, asal
tenagaku mampu, tentu akan kukerjakan." -- Habis berkata dengan tertawa tajam ia melirik kepada
Se-kiat. Pikir Khik-sia: "Kata-kata Tiau-ing tak keruan juntrungannya. Di satu pihak menyatakan
bersedia melakukan segala perintah Se-kiat. Hm, orang macam apakah Bo toako itu, masakan ia
sudi menerima segala pemberianmu" Memang kalau suhengku yang mengatakan itu masih dapat
dimengerti, tapi kau, hai Tiau-ing, mana kau mampu menandingi ilmu 'tangan kosong' yang
istimewa dari suhengku?"
Tapi di luar persangkaan Khik-sia, ternyata reaksi Se-kiat itu tak terduga-duga. Sedikitpun ia
(Se-kiat) tak mengunjuk rasa kurang senang mendengar ucapan Tiau-ing itu, bahkan sebaliknya
malah berseri girang dan tersenyum simpul: "Kalau begitu, lebih dulu aku menghaturkan terima
kasih kepada nona."
Begitulah percakapan dari Tiau-ing dan Se-kiat itu tampaknya seperti sepasang muda mudi yang
sudah rapat hubungannya dan serasi pendiriannya. Bahwa Khik-sia 'terasing' di pojok, rupanya
Tiau-ing mengerti juga. Tiba-tiba ia hentikan bicaranya dengan Se-kiat dan menghampiri ke muka
Khik-sia. Menyerahkan kembali po-kiam Khik-sia, berkatalah ia: "Terima kasih atas bantuanmu
selama di perjalanan. Kutahu kau tak suka padaku, tapi aku tetap berterima kasih kepadamu."
Rupanya ucapan Tiau-ing keluar dari lubuk hati yang sesungguhnya karena nadanya agak
gemetar. Sebagai reaksi secara spontan (serempak) Khik-siapun merasa sedikit rawan dengan
perpisahan itu. Setelah menyambuti po-kiam, ia berkata: "Urusan Kay-pang sudah selesai, apakah
kau tak perlu kuantar sampai ke Tiang-an?"
Banyak sekali yang tengah direka dalam pikiran Tiau-ing. Mendengar pertanyaan Khik-sia itu,
ia tertegun. Belum sempat ia memberi penyahutan, Se-kiat sudah mendahului bertanya: "Oh,
kiranya nona Su juga akan menghadiri Eng-hiong-tay-hwe?"
Tiau-ing tenangkan pikirannya dan tertawa: "Ah, masakan aku layak menghadiri pertemuan
Eng-hiong (ksatria) itu. Di kolong langit ini hanya kalian, kau dan Thiat-mo-lek, yang pantas
disebut ksatria. Hanya karena urusan dengan Kay-panglah maka aku sampai datang kemari.
Memang aku boleh tak usah melanjutkan perjalanan ke Tiang-an, tapi karena toh sudah tiba di sini
dan sudah dekat dengan Tiang-an, serentak timbullah hasratku untuk menyaksikan ramai-ramai."
"Nona Su, kau adalah pendekar kaum wanita, mengapa begitu merendah" Tapi kau hanya
seorang diri, rasanya tentu kurang leluasa. Kurasa lebih baik kau pergi bersama-sama kita saja. Di
Tiang-an kita mempunyai 'sarang' (istilah kaum loklim untuk suatu 'tempat rahasia'). Tempatnya
besar sekali, ada kamar-kamar untuk wanita. Kurasa kau tentu leluasa menetap di sana," kata Sekiat.
"Khik-sia, apakah kau tak jemu padaku?" tanya Tiau-ing.
"Dalam hal ini Bo-toako yang menjadi tuan rumah. Aku dan kau hanya sebagai tetamu saja,"
sahut Khik-sia.
Tiau-ing tertawa: "Bo-bengcu, kau tahu bahwa selama dalam perjalanan, ia (Khik-sia) selalu
berusaha menghindarkan diri dari aku, mungkin takut kalau kujirat kakinya. Untung sekarang kau
yang mengundang, kalau tidak, aku tentu tak berani bersama-sama dia lagi."
"Oh, mungkin ia berusaha menjunjung tata susila. Padahal pergaulan pria-wanita kaum
persilatan itu bebas dari segala ikatan adat," kata Se-kiat. Ia lantas berpaling memandang Khik-sia:
"Piaukomu Thiat-mo-lek memperhatikan sekali hubunganmu dengan nona Su yang satunya.
Bagaimana, apa kau sudah menemukannya?"
Lalu ia menerangkan kepada Tiau-ing: "Ah, kebetulan sekali calon isteri Khik-sia itu tunggal
she dengan kau. Sejak lahir mereka sudah dipasangkan."
Tiau-ing sudah tahu bahwa Khik-sia mempunyai seorang kawan wanita she Su, tapi bahwasanya
nona Su itu ternyata bakal isteri Khik-sia, baru sekarang Tiau-ing mengetahuinya.
Tiau-ing dan Khik-sia sama-sama gelisah. Hanya saja kegelisahan mereka itu berbeda. Kalau
Tiau-ing gelisah bahwa ternyata Khik-sia sudah punya bakal kawan hidup, adalah Khik-sia resah
karena menduga Yak-bwe itu sekarang sudah punya pilihan pemuda lain. Tapi Khik-sia tak
mengutarakan hal itu kepada Se-kiat.
"Ya, memang aneh sekali. Secara kebetulan semalam aku mendapatkannya di hotel, sayang tak
sempat menjumpainya. Oh, ya, nona Sip bersama-sama dengan ia," kata Khik-sia pula. Ia tuturkan
apa yang telah terjadi semalam. Hanya kecurigaannya terhadap Yak-bwe, tak diceritakannya.
"Tak perlu kau gelisah. Asal mereka berdua ke Tiang-an, masakan tak dapat diketahui jejaknya"
Di Tiang-an kita mempunyai banyak kawan," kata Se-kiat.
Khik-sia tahu kalau Se-kiat menghiburnya, tapi anehnya Se-kiat itu sepatahpun tak
mengucapkan tentang diri In-nio. Hubungan Se-kiat " In-nio berlainan dengan Khik-sia " Yak-bwe.
Kedua anak muda yang tersebut duluan itu bukan saja belum bertunangan, pun ikatan kasih mereka
belum positif. Karena Khik-sia tak suka usil dan belum kenal dengan In-nio, dan karena Se-kiat tak
mengatakan apa-apa, maka iapun sungkan untuk menanyakannya.
Begitulah sambil berjalan sambil bercakap-cakap, tibalah mereka di jalan besar. Disitu
tertawalah Se-kiat bertanya: "Khik-sia, kau mau membonceng aku atau tetap bersama dengan nona
Su?" Kemerah-merahanlah wajah Khik-sia, sahutnya: "Tiang-an sudah tak berapa jauh, tinggal duatiga
puluh li saja. Biarlah aku lari saja."
Se-kiat terhitung lebih tua dari Khik-sia, maka tanpa sungkan lagi ia lantas berkuda bersamasama
Tiau-ing, sedang Khik-sia mengikutinya dari belakang dengan berjalan kaki. Kalau Se-kiat
dan Tiau-ing bercakap-cakap dengan riang gembira, adalah Khik-sia berdiam diri menggigit jari
saja. Pikirannya melayang-layang pada Yak-bwe.
Hari pertandingan masih kurang dari dua hari. Walaupun Cin Siang telah menyatakan dalam
pengumumannya bahwa jago-jago yang ikut dalam pertandingan itu takkan diusut asal-usulnya, tapi
dikarenakan Khik-sia itu merupakan seorang buronan penting yang merampas kuda pemerintah,
sedang Tiau-ing adalah adik dari pemberontak Su Tiau-gi, maka keduanya pun termasuk golongan
buronan kelas berat.
Benar Khik-sia itu bukan seorang pemberontak seperti kedua saudara Su, tapi karena ia pernah
merampas barang antaran untuk Tian Seng-su kemudian mengadu biru di gedung ciat-to-su, maka
ia merupakan seorang gembong penyamun. Mengetahui tentang riwayat anak muda itu, setibanya
di Tiang-an, Se-kiat menasehati agar Khik-sia jangan sembarangan keluar rumah.
Rupanya Tiau-ing mengindahkan nasehat Se-kiat itu. Setibanya di sarang, jangankan keluar
rumah sedang keluar ke halaman luar saja, ia tak mau. Ia tetap menyekap diri di dalam kamarnya
saja. Sebaliknya Khik-sia tak betah mengalami 'tahanan' semacam itu. Meskipun Se-kiat telah
menjanjikan akan menyuruh orang untuk menyirapi jejak Yak-bwe, namun Khik-sia tetap belum
tentram hatinya.
Pada hari kedua, ia tak dapat menahan diri lagi dan keluar untuk mencari berita. Memang
dalam hati anak muda itu terbit perbantahan sendiri. Ia tak berani mengharap untuk berbaik
kembali dengan Yak-bwe, namun suara hatinya memaksanya supaya ia menemui nona itu lagi.
Sekalipun hanya melihat saja, bahkan mendengar beritanya saja, puaslah sudah rasa hatinya.
Sebagai kota raja, Tiang-an itu amatlah luasnya. Luasnya tak kurang dari puluhan li,
mempunyai sembilan jalan raya dan enam buah distrik. Penduduknya penuh sesak. Untuk mencari
seseorang di kota Tiang-an, adalah seperti mencari jarum di dalam laut. Namun dengan untunguntungan
Khik-sia ayunkan langkahnya mencari kemana-mana, Tiap saat ia selalu memperhatikan
orang yang dijumpainya di jalanan, manakala orang itu mempunyai ciri-ciri sebagai kaum
persilatan. Tak sengaja ia telah tiba di muka sebuah lapangan. Orang berjejal-jejal mengerumuni,
genderang berbunyi riuh rendah. Sebuah bendera besar, terpancang di tengahnya, berkibar-kibar
tertiup angin. Ternyata lapangan luas itu adalah tempat pertandingan silat, dimana seorang
persilatan tengah menjajakan kepandaiannya untuk mencari uang. Memang hal itu sudah lazim
terdapat di dunia persilatan. Memang ada yang khusus mengadakan demonstrasi kepandaian silat
sambil menjual obat-obatan, tapi ada juga yang dilakukan oleh seorang persilatan apabila ia
keputusan uang di jalanan.
Khik-sia tak begitu menaruh perhatian. Tiba-tiba terdengar percakapan dari beberapa penonton
yang berada di sebelahnya. Kata salah seorang: "Ai, mungkin sekali ini lain dari yang lain. Seorang
nona hendak membuka adu pertandingan silat untuk mencari jodoh!"
Kata kawannya: "Untuk pertandingan Eng-hiong-tay-hwe besok pagi itu, rakyat tentu tak dapat
masuk kemari. Tapi dengan adanya beberapa pertandingan sekarang ini, rasanya dapat menjadi
obat pelipur kecele."
"Seluruh ahli di kolong jagad berkumpul di kota raja ini. Menggunakan kesempatan itu buat
cari jodoh memang jalan paling tepat. Tapi entahlah, cantik tidak barang 'hadiah'nya itu, ya?"
menyeletuk kawannya yang lain.
Tertawa seoran pula: "Perlu apa sih kau ngiler" Kau toh tak mengerti silat, sekalipun nona itu
secantik bunga, kaupun tak ada harapan menyuntingnya. Perlu apa kau pusingkan ia cantik atau
tidak" Sebaliknya yang kupikirkan, bagaimanakan kepandaian silat nona itu. Jika begitu keluar
dalam beberapa gebrak saja sudah rubuh, bukankah akan mengurangi kesenangan tontonan ini?"
Yang pertama kali membuka mulut tadi, berkata pula: "Dengan berani membuka pertandingan
sehari di muka pertandingan Eng-hiong-tay-hwe ini, tentulah nona itu tidak rendah kepandaiannya."
Ketika Khik-sia mendongak, dilihatnya memang pada bendera itu terdapat empat buah huruf
yang berbunyi 'mencari jodoh dengan bertanding'. Pikirnya: "Seorang nona yang betul-betul berisi,
tentu tak sudi membuka pertandingan cari jodoh semacam begini. Mungkin hanya bangsa nona
persilatan yang tengah keputusan bekal, untuk mencari tempat 'meneduh' ia lantas mencari jodoh.
Tapi, iseng-iseng menonton juga tak apalah."
Di tengah lapangan itu terdapat seorang gadis dan seorang lelaki tua. Rupanya mereka itu ayah
dan anak. Potongan muka gadis itu menarik juga. Pada saat Khik-sia datang tadi, rupanya katakata
pembukaan telah diucapkan oleh orang tua itu. Dan ada seorang berseru tanya: "Jadi tua muda,
buru bagus, asal dapat mengalahkan anak perempuanmu lantas boleh mengawininya?"
"Benar, tapi hanya ada kecualiannya, ialah orang yang sudah beristeri tak boleh turut dalam
pertandingan ini," sahut pak tua.
"Bagus, aku baru berumur tiga puluh, belum beristeri. Aku mau mencoba!" belum habis pak
tua memberi keterangan, seorang lelaki berteriak menukasnya. Dia seorang lelaki bermuka brewok,
suaranya keras seperti guntur.
Malah begitu tiba di tengah gelanggang, si brewok itu sudah lantas mengacungkan sepasang
tinjunya dan berseru: "Calon isteri, jika aku sampai terlalu keras memukulmu, kau harus lekas-lekas
kasih tahu, ya?"
"Silahkan memukul dengan sekuat-kuatnya, kukuatir kau tak dapat memukulku," sahut si nona.
Tanpa banyak bicara, si brewok lantas ayunkan tinjunya, tapi dengan lincah dapatlah nona itu
menghindarinya. Malah dengan gaya gerakan tubuh yang lemah gemulai, nona itu berputar dan
sekali tangannya menyambar ke lambung, rubuhlah si brewok itu. Gegap gempita para penonton
bertampik sorak karena gelinya.
"Nona itu lihay juga, bukan seperti nona penjaja silat yang kebanyakan. Gerakan kakinya entah
dari aliran partai mana itu. Aku seperti pernah melihat gerakan semacam itu, tapi di mana, ya"
Baiklah, kulihat lagi barang sekali dua jurus," pikir Khik-sia.
Si brewok merangkak bangun dan berseru: "Lihay benar, aku tak berani lagi mengambilmu
sebagai isteri."
Baru ia tinggalkan lapangan, seorang lain sudah tampil ke muka lagi. Dengan tertawa gelakgelak,
orang itu berseru: "Aku sih tak takut mempunyai isteri galak. Ayo, jadi isteriku sajalah."
Rupanya ada seorang penonton yang kenal dengan orang yang masuk ke tengah gelanggang itu.
Berkatalah penonton itu: "Ini kan Siong suhu yang membuka rumah perguruan di pintu selatan
sana. Ilmu silatnya tong-pi-kun hebat sekali. Kali ini pertandingan tentu ramai benar."
Saat itu kedengaran si nona berkata: "Jika bisa menangkan aku, nanti baru bicara lagi!"
Orang she Siong agak membungkuk ke bawah lalu tiba-tiba loncat menerjang dengan sepasang
tangannya. Gayanya mirip benar dengan kera. Tapi bagaimana serunya ia menyerang, dalam
sepuluh jurus saja iapun kena disengkelit oleh si nona sampai jatuh terlentang.
Kini, mulailah tertarik perhatian Khik-sia. Tapi perhatiannya itu bukan karena mengagumi
kepandaian si nona, melainkan aliran ilmu silat nona itu. Kalau kepandaian si nona, tetap Khik-sia
pandang enteng. Yang Khik-sia herankan ialah gaya ilmu silat nona itu tak sama dengan cabang
persilatan yang manapun di dunia Tiong-goan. Walaupun pertandingan itu diperuntukkan cari
jodoh hingga tak perlu sampai harus ada yang binasa, tetapi nona itu selau menggunakan jurus-jurus
yang ganas, seolah-olah hal itu sudah menjadi kebiasaannya. Hanya saja jelas kelihatan oleh Khiksia,
setiap kali menghantam, nona itu hanya menggunakan satu atau dua bagian tenaganya saja.
Itulah sebabnya maka guru silat she Siong tadi, hanya tersengkelit jatuh tapi tak sampai terluka
berat. Diam-diam timbullah pertanyaan dalam hati Khik-sia: "Murid siapakah ia itu" Mengapa makin
kuperhatikan, permainannya silat itu makin serupa dengan apa yang pernah kulihatnya?"
Baru ia berpikir begitu, ada pula seorang yang tampil ke tengah gelanggang. Ia seorang
sasterawan yang berumur lebih kurang 30 tahun. Dengan menggoyang-goyangkan kipasnya,
bergayalah sasterawan itu dengan tutur bahasanya yang sopan-santun: "Siau-seng (hamba) Kim
Ceng-ho hendak mohon pengajaran barang beberapa jurus kepada nona."
"Anakku, hati-hatilah. Tuan ini adalah putera Kim Ting-gak, pemimpin dari gabungan kantor
piau-kiok (pengangkutan barang) di Tiang-an yang terdiri dari 13 buah piau-kiok," kata si pak tua
memperingatkan gadisnya. Kemudian ia mintakan kelonggaran kepada si pemuda itu: "Mohon tuan
suka memberi kemurahan hati."
Kim Ceng-ho agak terkesiap: "Ah, tak nyana pak tua itu tahu tentang diriku." -- Memang ia
adalah putera tunggal dari Kim Ting-gak. Karena keliwat menyayang akan puteranya, maka
meskipun Ceng-ho tlah diberi ilmu kepandaian warisan keluarga Kim dan umurnyapun sudah
hampir 30, tapi selama ini belum pernah ditugaskan untuk mengawal barang antaran. Mengapa kali
ini Ceng-ho mau unjuk diri adalah karena tergerak hatinya melihat paras si nona yang cantik. Di
samping itu iapun ingin juga untuk mengukur kepandaiannya sendiri yang selama itu belum pernah


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

digunakan. Kim Ting-gak termasyhur dan menggetarkan dunia persilatan. Ceng-ho tahu semua orang jeri
kepada sang ayah, maka meskipun Ceng-ho itu sendiri belum pernah mengawal apa-apa, tapi semua
piau-su (jago silat yang ditugaskan mengawal barang) sama mengindahkan padanya. Hal ini
menyebabkan timbulnya kecongkakan Ceng-ho. Ia merasa telah mewarisi seluah kepandaian sang
ayah, maka kalau ayahnya tak ada yang dapat menandingi, ia anggap iapun begitu juga. Siapa tahu
bahwa di atas langit itu masih ada langit, orang yang pandai masih ada yang melebihi pandai lagi.
Adanya Kim Ting-gak selalu sukses dalam perusahaannya itu, bukan disebabkan karena ia itu lihay
tiada lawannya, tetapi karena supel dan luasnya pergaulannya dalam dunia persilatan. Kalau hanya
mengandal kepandaian saja, masih banyak sekali jago-jago yang lebih lihay darinya.
Tapi Kim Ceng-ho telah menafsirkan keliru. Bahwa pak tua itu mengenal dirinya dan
memohonkan kasihan untuk anaknya, telah membuat Ceng-ho kegirangan sekali. Dengan
menggoyang-goyangkan kipasnya, berkatalah ia: "Ah, jangan terlalu merendah. Puterimu cantik
dan gagah, aku sangat mengaguminya. Kita nanti hanya main-main sampai batas tertentu saja, tak
sampai melukai puterimu."
Diam-diam marahlah nona itu, namun wajahnya tetap tenang. Tawar-tawar ia berkata:
"Janganlah tuan Kim berlaku sungkan. Kaki dan tangan itu tiada bermata. Jika nanti aku sampai
kesalahan tangan dan melukai tuan, harap tuan jangan ambil marah."
"Ha, sampai di mana kelihayanmu berani membuka mulut besar" Ayo, baik-baiklah kau minta
pengajaran dari tuan Kim," si pak tua mendampratnya.
Mana Ceng-ho tahu bahwa kata-kata pak tua itu sebenarnya dimaksud untuk memperingatkan si
nona supaya jangan keliwat ganas terhadap Ceng-ho. Maka tertawalah ia gelak-gelak: "Puterimu
bicara dengan terus terang. Aku ingin berkenalan dengan kepandaian puterimu. Harap nona
berkelahi dengan sungguh-sungguh."
Ia yakin tentu menang. Soalnya bagaimana ia dapat merebut kemenangan itu dengan cara yang
gemilang, jangan sampai melukai tapi dapat menundukkan betul-betul nona itu.
Tapi apa nyatanya" Dalam beberapa jurus saja, Kim Ceng-ho segera terkejut sekali. Nona itu
mempunyai gaya permainan yang aneh. Makin mendapat lawan yang lihay, makin ganas reaksinya.
Tadi karena dua lawannya yang terdahulu hanya biasa saja kepandaiannya, maka nona itupun tak
begitu kelihatan menyolok. Tapi kini berhadapan dengan Kim Ceng-ho, barulah berkembang betulbetul
kepandaiannya. Tangan memukul, jari menusuk. Setiap serangannya selalu mengarah jalan
darah berbahaya di tubuh Ceng-ho.
Kini baru terbukalah mata Kim Ceng-ho bahwa nona itu ternyata lebih lihay daripadanya. Ia
terperanjat tapi segera menjadi gusar. Pikirnya: "Terang kau sudah tahu aku ini siapa, tetapi malah
hendak membikin malu. Bagus, karena kau tak sungkan padaku, jangan salahkan akupun berlaku
kejam padamu."
Secepat kilat ia lantas mengambil kipas yang sebenarnya diselipkan di belakang punggung.
Begitu nona itu tiba dengan pukulannya, Ceng-ho mengisar kakinya dan berputar tubuh. Tahu-tahu
kipasnya sudah mengancam jalan darah lo-kion-hiat di telapak tangan si nona.
Benar kepandaian silat dari Ceng-ho itu tak menang dengan si nona. Tapi ilmu tutuk yang
diwarisi dari keluarganya, memang hebat sekali. Sebagai seorang ahli, demi mengetahui gerakan
Ceng-ho yang menutuk begitu cepat dan tepat pada sasarannya, diam-diam ia gentar juga. Buruburu
ia tarik pulang tangannya. Tapi setelah mendapat angin, Ceng-ho tak mau memberi hati lagi.
Kipas dimainkannya dengan gencar. Dalam beberapa saat nona itu kerepotan karena tak paham
akan gerak serangan orang yang begitu aneh sehingga ia terpaksa mundur beberapa langkah.
Kipas berbeda dengan pedang dan golok. Bagi orang biasa, kalau hanya memegang sebatang
kipas saja, tentu tak dapat melukai orang. Tapi ditangan seorang ahli tutuk, kipas itu dapat berubaha
menjadi suatu senjata yang hebat. Ilmu tutuk pada hakekatnya harus berada dekat atau lekat pada
sasarannya. Dengan tambah memakai kipas, berarti lengan tangan bertambah panjang, jadi lebih
leluasa daripada hanya dengan tangan kosong saja. Apalagi kipas Ceng-ho itu rangkanya terbuat
dari pada batang baja murni, jauh berlainan dengan kipas kebanyakan.
Dengan seorang nona penjual silat saja, Ceng-ho harus menggunakan kipas untuk
menghadapinya, rupanya sekalian penonton sama berseru heran malah ada yang mengejek. Semua
orang tahu bahwa Ceng-ho itu adalah putera dari Kim Ting-gak yang termasyhur. Sudah tentu
Ceng-ho malu dan marah-marah. Pikirnya: "Untung dalam pertandingan ini, mereka berdua (pak
tua dan gadisnya) tak menyebut-nyebut larangan memakai senjata. Aku tak mau pedulikan
bagaimana comelan orang-orang, pokok rubuhkan dulu nona ini baru bicara lagi. Hm, aku sih tak
mengharap mendapakan ia sebagai isteri, tapi urusan ini sudah berlarut sedemikian rupa, aku harus
menjaga mukaku."
Dalam berisik dengusan para penonton, Ceng-ho gencarkan serangannya. Nona itu mundur
beberapa langkah. Tiba-tiba entah karena kesandung batu atau karena gugup, nona itu terhuyunghuyung
dan begitu kehilangan keseimbangan badan, ia lantas tersungkur jatuh. Ceng-ho girang
sekali, cepat kipas ditutukkan ke arah jalan darah ih-gi-hiat si nona, "brak" .... astaga kipas pecah
menjadi dua. Ternyata nona itu sengaja gunakan siasat menjatuhkan diri. Begitu kipas menyentuh
pakaiannya, secepat kilat ia lantas menghantam dan menyambarnya.
Si nona memungut pecahan kipas dan diberikan kepada Ceng-ho, katanya dengan tertawa:
"Tuan Kim, maaf beribu maaf, aku telah merusakkan kipasmu!"
Pecahlah seketika sorak-sorai pujian dari para penonton. Ceng-ho merah padam mukanya.
Sungguh sayang tak ada lubang untuknya menyembunyikan diri dari adegan yang memalukan itu.
Walaupun kipas itu terbuat dari lembaran baja tipis, namun dengan enak saja si nona dapat
merobeknya, hal ini membuatnya melongo. Kepandaian yang dimiliki si nona itu sungguh
mengejutkan orang. Seperti dikejar setan, Ceng-ho segera angkat kaki seribu di bawah tampik
sorak para penonton.
Kini mau tak mau terkesiap juga hati Khik-sia. Tapi kejutnya itu bukan kagum akan kepandaian
si nona melainkan aliran ilmu silatnya. Setelah memperhatikan bagaimana dengan tangan kosong si
nona menjatuhkan tiga orang penantangnya, kini barulah Khik-sia dapat menentukan bahwa aliran
ilmu silat nona itu sama dengan Su Tiau-ing. Gerakan tangan kosong dari nona itu serupa dengan
gerakan pedang Su Tiau-ing.
"Tiau-ing belum pernah mengatakan kalau ia mempunyai saudara seperguruan, tapi dari gaya
permainan nona ini teranglah satu aliran dengan Tiau-ing. Malah dalam kemahiran, nona ini lebih
unggul dari Tiau-ing. Dalam kalangan wanita persilatan angkatan muda, mungkin nona inilah yang
nomor satu. Ia begitu lihay, perlu apa mengadakan pertandingan cari jodoh?" pikir Khik-sia dengan
heran. Karena mengira hanya menonton seorang nona persilatan biasa yang hendak mencari jodoh
maka bermula Khik-sia tak begitu menaruh perhatian. Pikirnya, sebentar ia segera hendak pergi.
Tapi setelah mendapatkan bahwa nona itu ternyata salah seorang murid dari Shin Ci-koh, ia
batalkan rencananya. Akhirnya ia putuskan untuk mengikuti pertandingan itu sampai akhir dan
tangguhkan rencananya untuk mencari Yak-bwe.
Setelah dapat menjatuhkan pemimpin muda dari Cap-sa-ke-piau-kiok yakni Kim Ceng-ho, tiada
seorangpun yang berani tampil ke muka lagi. Pak tua berkeliling mengitari lapangan lalu berseru:
"Ksatria mana lagi yang sudi memberi pelajaran pada anakku ini?"
Entah disengaja atau tidak, mata pak tua itu tertumbuk pada Khik-sia. Khik-sia pura-pura tak
tahu dan tundukkan kepala, pikirnya: "Jika bukan dengan hadiah puterimu, mungkin aku senang
untuk main-main. Aku sudah cukup banyak mendapat kesulitan, tak mau mencari gara-gara lagi."
Saat itu si nona kedengaran berseru: "Kabarnya besok pagi itu Eng-hiong-tay-hwe akan dibuka,
sudah tentu para jago dari seluruh penjuru sudah berada di kota ini, tapi mengapa seorangpun tak
kelihatan batang hidungnya?"
Memang di antara penonton itu terdapat beberapa jago yang akan turut dalam pertandingan
Eng-hiong-tay-hwe besok pagi. Sudah tentu mereka merah dengan kata-kata si nona itu. Tapi pada
umumnya mereka itu adalah tokoh-tokoh yang mempunyai nama. Kalau sampai dirubuhkan oleh si
nona bagaimana mereka ada muka untuk turut dalam pertandingan besok" Maka walaupun marah,
terpaksa mereka tak mau tampilkan diri.
Tiba-tiba terdengar seseorang berseru dalam nada yang brengsek: "Budak perempuan, jangan
omong besar. Selama hidup di dunia 40 tahun, aku belum mendapat isteri. Rupanya sekarang
jodohku sudah datang!"
Dari salah sebuah sudut penonton tampak menciak ke pinggir. Seorang lelaki bertubuh kokoh
kekar menerobos masuk. Mukanya hitam seperti pantat kuali, matanya melolo menghadap ke atas,
berkumis kaku dan mempunyai dua buah taring (gigi) yang menonjol keluar pada bibirnya. Buruk
sekali wajah orang itu.
Si nona menyambutnya dengan tertawa menghina: "Ah, mungkin kau salah alamat, lihat
seranganku!"
Si hitam menangkis dan tertawa: "Tidak salah lagi, kau benar-benar isteri idam-idamanku."
Si nona gunakan kelincahannya untuk melejit ke samping si Hitam. Sambil menampar ia
mendamprat: "Kau seperti katak yang menginginkan angsa alias orang yang tak tahu diri!"
Tamparan itu diarahkan ke telinga, tapi rupanya si Hitam boleh juga. Dengan lengkungkan
pinggang dapatlah ia menghindari, tapi dalam pada itu ia sengaja membelakangi si nona. Dengan
demikian tamparan si nona bukan mengenai telinga, melainkan kena punggungnya.
"Ha, ha, gatal sekali punggungku. Keras lagi jika mengukur, ya" Kau kecewa karena aku
bermuka buruk" Ha, ha, siapa yang suruh kau bertanding cari jodoh" Aku si katak jelek ini tentu
akan berhasil mendapatkan kau!" seru si Hitam tergelak-gelak.
Melihat Si Hitam kasihkan punggungnya dihantam, para penonton mengira kalau ia tentu
hendak membanyol. Tapi bagi si nona sendiri, hal itu telah menimbulkan kekagetannya. Ternyata
tangannya yang mengenai punggung Si Hitam itu rasanya seperti membentur papan besi sehingga
terasa kesakitan sekali. Kini barulah ia tahu bahwa Si Hitam itu memiliki ilmu lindung kim-ciongtoh.
"Aku harus menggunakan akal untuk mengalahkannya, tak boleh gunakan kekerasan," pikirnya.
Seketika ia lantas rubah gaya serangannya. Pukulannya dilancarkan secepat angin puyuh. Tapi
setiap pukulan sengaja dilewatkan di sisi sasarannya, tidak dikenakan. Makin lama gerakan nona
itu makin kencang sehingga si Hitam seolah-olah seperti dikepung oleh bayangan si nona. Dalam
rabuannya itu, disertai juga gerakan menutuk jalan darah. Hanya sebagaimana dengan pukulannya,
pun tutukannya itu tidak dikenakan pada sasarannya.
Para penonton menjadi kagum dengan gaya permainan si nona. Mereka menghamburkan pujian
dengan sorak sorai. Sebaliknya diam-diam Khik-sia menguatirkan keadaan nona itu, pikirnya: "jika
bukan pertandingan cari jodoh, apabila memang tak ungkulan lantas boleh tinggalkan gelanggang.
Tapi dalam hal seperti ini ia harus berkelahi sampai kalah atau menang. Si Hitam itu lihay sekali,
sekalipun dapat memukul lubang kelemahan tubuhnya, tapi dengan kepandaian si nona yang
dimilikinya, rasanya sukar untuk melukai orang itu. Jika pertempuran berjalan lama, nona itu tentu
akan mengalami kerugian."
Hanya dalam beberapa kejap saja, nona itu sudah menjamah rata ke-36 jalan darah di tubuh Si
Hitam. Tiba-tiba Si Hitam tertawa gelak-gelak: "Kau hendak mencari lubang kelemahan tubuhku"
Nanti kalau sudah jadi suami isteri, tentu kuberitahukan."
Kiranya ilmu lindung kim-ciong-toh itu serupa dengan thiat-poh-san. Tentu ada satu dua bagian
jalan darah yang tak dapat ditutupi dengan ilmu itu. Lubang kelemahan itu dalam istilah persilatan
disebut toh-bun. Jika dapat menemukannya, sekali menutuk dengan ciong-chiu-hwat (tutukan
keras), tentu rubuhlah orang itu. Dengan menjamahi seluruh jalan darah Si Hitam tadi, si nona
memang hendak mencari dimana letak toh-bun itu. Tapi enak saja lagak Si Hitam itu, seolah-olah
ia tak punya lubang kelemahan sama sekali. Oleh karena itu, maka betapapun usaha si nona hendak
mencarinya, tetap tak berhasil.
Diolok begitu macam oleh Si Hitam, marahlah si nona. Sekonyong-konyong ia maju merapat
terus gunakan jurus ji-liong-tham-cu atau naga berebut mustika, untuk menutuk mata Si Hitam.
"Biar bagaimana masakan kau dapat melatih ilmu ki-ciong-toh sampai ke bagian matamu,"
pikirnya. Tapi diluar dugaan kali ini Si Hitam sudah siap sedia. Tiba-tiba ia ngangakan mulut, dua baris
giginya yang besar-besar dan putih-putih segera menggigit ujung jari si nona. Kejut si nona bukan
kepalang, buru-buru ia tarik pulang tangannya. Dengan begitu serangannya tadi pun kena
dipatahkan oleh Si Hitam.
Si Hitam tertawa geli: "Bagus, sekarang kita berkenalan lebih dekat." -- Ia pentang kedua
tangannya terus hendak memeluk tubuh si nona. Ternyata gerakannya tak kalah gesitnya dengan si
nona. Benar gerak permainannya itu bukan suatu gerak yang lihay, tapi justeru gerakan ketololtololan
itulah yang menyebabkan si nona mati kutu.
Seperti telah diterangkan, sekeliling gelanggang itu dipagari dengan penonton yang berjubaljubal.
Si nona hanya dapat main kucingan di dalam lingkungan situ karena tak berdaya untuk
menerobos keluar dari pagar manusia. Dengan pentang kedua tangan seperti harimau hendak
menubruk anak kambing, walaupun seketika tak dapat memperoleh hasil, tapi lama kelamaan
apabila nona itu sudah kepayahan, tentulah akan kena dipeluknya.
Benar juga beberapa saat kemudian, tampaknya nona itu sudah mandi keringat. Sekali sang
kaki agak lambat, iapun segera kena ditubruk Si Hitam yang terus memeluk pinggangnya. Dengan
tertawa gelak-gelak berserulah Si Hitam: "Si katak berhasil menubruk angsa! Ayo kita menjura,
menjura untuk menghadap pada bapak mertua, aduh!"
Entah apa sebabnya tiba-tiba mulut Si Hitam mengaduh kesakitan, kedua tangannya terkulai
melepaskan pelukannya. Bermula si nona masih mengira kalau Si Hitam main aksi, maka segera ia
memberi persen sebuah sikutan kepadanya. Di luar dugaan, Si Hitam menjerit: "Kau, kau ganas
sekali!" -- Sekali mulutnya menguak, segumpal darah segar segera muncrat dari mulutnya,
orangnya pun terus terjerembab jatuh!
Memang sikutan si nona itu keras dan tepat sekali jatuhnya. Para penonton yang kebanyakan
tak mengerti ilmu silat, demi melihat si nona dapat merebut kemenangan dalam kekalahannya, sama
bersorak memuji. Tapi anehnya si nona sendiri termangu-mangu, pikirnya: "Orang lihay siapakah
yang diam-diam membantu aku tadi" Ia mempunyai kepandaian begitu lihay, mengpa tak mau
maju ke dalam gelanggang sendiri?"
Siapakah gerangan yang menjatuhkan Si Hitam itu" Kiranya pembaca tentu sudah dapat
menebak dengan segera. Ya, benar, memang Khik-sialah yang diam-diam telah gunakan ilmu kekgongtiam-hwat atau menutuk jalan darah dari kejauhan, untuk menutuk jatuh Si Hitam. Kesatu,
karena Khik-sia agak sebal melihat tingkah laku Si Hitam yang begitu jumawa. Kedua, karena
setelah melihat bahwa nona itu tunggal seperguruan dengan Tiau-ing, diam-diam ia memang sudah
bersiap untuk memberi bantuan. Khik-sia adalah seorang ahli silat besar. Dalam beberapa jurus
saja dapatlah sudah ia mengetahui di mana letak toh-bun Si Hitam itu, yakni di tempat jalan darah
wi-kiong-hiat di sela ketiak belakang Si Hitam. Kebetulan sekali ketika Si Hitam memeluk si nona
tadi, ia berdiri membelakangi Khik-sia, apalagi jaraknya tak begitu jauh. Sekali lancarkan ilmu
tutuk kek-gong-tiam-hwat, kenalah jaland arah wi-kiong-hiat Si Hitam. Ilmu tutukan itu jauh lebih
lihay dari ilmu tutuk cong-chiu-hwat, sudah tentu Si Hitam tak kuat menahannya lagi. Tapi Khiksiapun
sama sekali tak mengira bahwa si nona bakal membarengi dengan sebuah sikutan. Saat itu
hawa murni Si Hitam sedang terluka akibat tutukan Khik-sia, maka begitu menerima sikutan si
nona yang tepat mengenai jalan darah suan-ki-hiat di dadanya, dengan begitu muka belakang kena
digempur, pecahlah ilmu lindung kim-ciong-toh dari Si Hitam.
Terkapar di tanah, Si Hitam terus muntahkan darah. Melihat itu para penonton yang bernyali
kecil sudah lantas ketakutan. Ada salah seorang yang berseru: "Celaka, jangan-jangan bakal terjadi
perkara berdarah nih!" -- Beberapa kejap saja sudah separuh bagian dari penonton yang sama
tinggalkan lapangan itu.
Rupanya si nona tadipun menjadi gugup. Buru-buru ia menghampiri dan menolongi Si Hitam
sambil berseru kepada pak tua: "Lekas ambil arak obat buat diminumkan."
Saat itu Khik-sia pun berada di tengah para penonton hendak tinggalkan tempat itu. Tapi tibatiba
terdengar seseorang berseru menggeledek: "Hai, siapakah yang melukai muridku?"
Seorang tua bertubuh tinggi besar dan pinggangnya agak bungkuk, masuk ke tengah
gelanggang. Astaga, itulah dia si Chit-poh-tui-hun Yo Bok-lo. Khik-sia terperanjat, buru-buru ia
hentikan langkah. Bukan karena takut pada Yo Bok-lo, melainkan Khik-sia tak mau terbitkan onar
di kota raja situ. Untung Yo Bok-lo tadi dari luar masuk ke dalam, coba ia dari dalam berjalan
keluar, tentu berpapasan dengan Khik-sia. Setelah berhenti, Khik-sia pun lantas menyusup ke
tengah rombongan penonton. Pikirnya: "Biar kulihat bagaimana iblis itu akan bertindak" Jika ia
akan membikin susah nona itu, terpaksa aku akan unjuk diri!"
Rupanya Yo Bok-lo marah besar. Setelah memeriksa sejenak kearah Si Hitam, wajah iblis tua
itu mengerut keheranan. Segera ia menutuki beberapa jalan darah di tubuh sang murid untuk
menghentikan darahnya yang muntah keluar. Setelah berhenti muntah darah dengan mata mendelik
Si Hitam angkat kepalanya dan berseru parau kepada suhunya: "Suhu, harap balaskan sakit hati
murid ini!"
"Siapa yang melukaimu, tahukah?" tanya Yo Bok-lo.
Pertanyaan itu membuat sekalian penonton heran. Siapa lagi yang melukai kalau bukan si nona
penjual silat itu, demikian pikir mereka.
Si Hitam menerangkan tentang pertandingan dengan si nona tadi. "Entah dengan cara
bagaimana, wanita siluman itu telah pecahkan kim-ciong-toh murid," katanya.
"Apakah dia?" tanya Yo Bok-lo dengan dingin sembari melirik tajam-tajam ke arah si nona.
Si pak tua tertawa meminta maaf dengan nada yang lemah: "Karena kesalahan tangan, anakku
telah melukai muridmu. Terimalah maafku si orang tua ini."
Yo Bok-lo tak mempedulikan, matanya tetap melekat ke arah si nona. Sudah tentu si nona
menjadi tak suka, serunya: "Telah diterangkan kalau bertanding silat, tinju kita tak bermata. Siapa
suruh muridmu masuk gelanggang" Siapa yang mati atau luka, harus menerima nasib dengan
senang hati!"
Melihat Yo Bok-lo bersikap garang, rupanya si pak tua menjadi kebingungan, serunya: "Tuan
Yo, harap sudi memandang muka suhunya!"
Yo Bok-lo terkesiap: "Ho, kiranya kau juga kenal padaku?" -- "Siapakah suhunya?" tiba-tiba ia
membentak seraya menampar si nona.
Rupanya si nona sudah berjaga-jaga. Ia segera keluarkan ilmu ajaran suhunya yakni dalam
jurus heng-hun-toan-hong atau awan melintang memotong puncak. Sambil menangkis dan
menyerang yakni dengan segera memotong ia menabas lengan Yo Bok-lo, sedang tangannya kiri
menyusup ke bawah tangannya kanan untuk menutuk jalan darah kiok-ti-hiat di pergelangan siku
lengan orang. Indah sekalipun jurus yang digunakan nona itu, namun tetap tak dapat menandingi kepandaian
Yo Bok-lo. Belum lagi tangannya itu mengenai tubuh Yo Bok-lo, si nona merasa seperti didorong
oleh suatu tenaga maha kuat sehingga tanpa dapat dikendalikan lagi tubuhnya mencelat ke udara!
Bahwasanya Yo Bok-lo sebagai seorang cian-pwe persilatan telah menyerang secara tiba-tiba
pada seorang nona, telah tak diduga sama sekali oleh Khik-sia. Tapi karena ia berada di tengahtengah
penonton, maka sudah tak keburu untuk mencegahnya. Lebih kaget lagi ia ketika si nona
kena dilemparkan ke udara. Ia tahu sampai dimana kepandaian Yo Bok-lo dan nona itu tentu akan
amblas jiwanya.
Pada saat Khik-sia terperanjat dan hendak menobros maju, tiba-tiba dilihatnya tubuh nona itu
berjumpalitan di udara dan terus melayang turun. Tiba di tanah berputar-putar seperti gasingan baru
dapat berdiri tegak. Sebagai seorang ahli silat, Khik-sia cepat mengetahui bahwa nona itu selamat
tak kurang suatu apa. Hanya karena tubuhnya masih diregut tenaga dorongan maka ia sengaja
berputar-putar untuk menghilangkannya. Kini dapatlah Khik-sia menarik napas longgar, pikirnya:
"Kiranya iblis tua itu sengaja mau menjajal orang saja. Ia hanya gunakan tenaga dorong-tarik. Ha,
membikin kaget saja."
Terdengar Yo Bok-lo tertawa gelak-gelak: "Ho, kiranya kau ini murid Shin Ci-koh!" -- Tiba-tiba


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia berhenti tertawa dan berseru dengan keren: "Tapi sekalipun murid Shin Ci-koh, dengan
kapandaian yang kau miliki ini, tak nanti kau mampu melukai muridku tadi! Siapakah yang diamdiam
membantumu" Ayo, lekas bilang dan kau boleh bebas. Ketahuilah bahwa bukannya aku takut
kepada suhumu, tetapi penasaran harus ditumpahkan pada biang keladinya. Karena bukan kau yang
berbuat maka akupun tak mau membikin perhitungan padamu!"
"Ih, aneh ini. Jadi ada orang yang diam-diam membantuku" Aku sendiri tak tahu hal itu!"
sahut si nona itu. Tapi sebenarnya iapun sudah mengetahui tentang hal itu, hanya karena ia merasa
berterima kasih dengan orang itu maka ia pura-pura tak tahu agar orang itu jangan terembet. Pun
dari ucapan Yo Bok-lo tadi, sebenarnya iblis itu sedikit jeri juga terhadap suhunya (Shin Ci-koh).
Kalau tidak begitu, perlu apa ia (Yo Bok-lo) mengemukakan alasan-alasan begitu"
"Rupanya iblis tua ini tak berani membikin susah padaku. Kalau penolongku tadi tak dapat
diketemukan, tak nanti iblis tua itu menarik panjang urusan ini. Apalagi aku memang sungguhsungguh
tak tahu siapa penolongku itu?" pikirnya lebih lanjut.
Rupanya Yo Bok-lo setengah percaya akan keterangan nona itu, pikirnya: "Orang itu gunakan
ilmu tutuk kek-gong-tiam-hiat. Jika sebelumnya budak perempuan ini tak bersekutu dengan orang
itu, masakan ia tahu siapa orangnya."
Dengan kesimpulan itu Yo Bok-lo tak mau mengorek keterangan dari si nona lagi. Ia
melangkah maju dua tindak, matanya berkeliaran memperhatikan ke sekeliling penonton, serunya
dingin-dingin: "Plintat- plintut membokong orang secara gelap bukanlah laku seorang ksatria! Hm,
sudah berani berbuat mengapa tak berani unjuk muka?"
Marahlah Khik-sia dihina begitu. Jika di lain tempat tentu ia segera maju ke muka. Tapi
lapangan itu adalah tempat latihan berbaris dari kota raja. Selagi ia hampir tak kuat menahan
kemarahannya, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya pesan Se-kiat supaya jangan timbulkan garagara.
Pikirnya: "Benar aku tak takut pada iblis tua itu. Tapi jika bertempur di sini tentu akan
ketahuan juga. Malah kalau tak kebetulan bisa merembet Bo-toako nanti. Ah, biar, biarlah aku
bersabar sementara waktu. Kelak tentu masih ada kesempatan untuk menghajarnya lagi."
Terang kalau tak terpaksa, Khik-sia tak mau berkelahi dengan Yo Bok-lo. Setelah mengetahui
bahwa Yo Bok-lo sudah tahu siapa suhu dari nona itu, Khik-sia memperhitungkan tentu iblis tua itu
tak berani mengganggu si nona lagi. Maka iapun mengambil putusan tinggalkan tempat itu.
Dengan pikiran itu tanpa disengaja Khik-sia sudah mengisar ke deretan muka, sedianya dari situ
mudahlah ia untuk keluar. Siapa tahu tiba-tiba Yo Bok-lo berseru membentaknya: "Bagus, kiranya
kau bangsat kecil!"
Malah begitu membentak, tinjunya pun sudah dilayangkan ke arah kepala Khik-sia, bluk, bluk,
.... terdengar suara tubuh yang jatuh gedebukan.
"Celaka! Penolongku kena dipukul mati oleh iblis tua itu!" si nona tersentak kaget. Tapi baru
ia menduga begitu, tiba-tiba dilihatnya ada sesosok tubuh melambung ke udara, melayang
melampaui kepala para penonton. Gerakannya ringan tangkas laksana seekor burung elang
menerobos hutan. Di tengah udara orang itu berjumpalitan dan melayang turun belasan tombak
jauhnya di tempat yang tiada orangnya.
Itulah Khik-sia yang kuatir akan mencelakai para penonton lantas gunakan gin-kang untuk
melayang keluar. Tapi sekalipun begitu tak urung dua orang penonton terkapar jatuh karena
tersambar angin pukulan si iblis tua. Yang seorang patah dua buah tulang rusuknya, yang seorang
patah lengannya. Untung tak sampai mengorbankan jiwanya.
Sebenarnya si nona dan pak tua tadi sudah melihat Khik-sia di antara rombongan penonton.
Memang sudah diduganya bahwa Khik-sia itu tentu bukan pemuda sembarangan. Tapi bahwasanya
Khik-sia itu ternyta sedemikian lihaynya, sungguh tak diduga sama sekali oleh nona itu. Diamdiam
nona itu terperanjat dan kagum, pikirnya: "Oh, kiranya pemuda itu yang membantu aku tadi.
Tapi ia aneh juga, sudah mau membantu secara diam-diam, mengapa tak mau tampil keluar. Budi
kebaikannya itu entah bagaimana aku dapat membalasnya?"
Perubahan yang terjadi di gelanggang secara begitu tiba-tiba itu, telah membuat para penonton
lari berserabutan. Sebuah mata dari Yo Bok-lo tempo di luar kota Ciau-yang dulu, kena ditusuk
sampai buta oleh Khik-sia. Sudah tentu kini Yo Bok-lo tak mau lepaskan musuhnya besar itu. Dia
bergelar Chit-poh-tui-hun atau Tujuh langkah penyambar nyawa. Dalam jarak pendek, ilmu
ginkangnya dapat menandingi Khik-sia. Baru Khik-sia berdiri tegak, Yo Bok-lo sudah memburu
datang dan berkuik-kuik: "Bangsat kecil, mau lari?"
"Siapa takut padamu?" Khik-sia balas mendamprat.
Begitu kedua tangan kedua seteru itu beradu, Khik-sia tersurut mundur selangkah, sedangkan
Yo Bok-lo tergetar tubuhnya. Diam-diam iblis tua itu tersentak kaget, pikirnya: "Baru berselang
satu tahun, kepandaian budak ini maju pesat sekali. Jika sekarang tak dapat melenyapkannya, kelak
jika hendak menuntut balas tentu akan lebih sukar lagi."
Beberapa kali ketika bertempur dulu, Khik-sia lebih unggul dalam ilmu gin-kang, tapi dalam
tenaga pukulan kalah dengan Yo Bok-lo. Tapi tadi dalam adu pukulan, Yo Bok-lo dapatkan tenaga
anak muda itu sudah menyamai dirinya. Yo Bok-lo bernafsu sekali untuk membunuh lawannya.
Pukulannya dilipat-gandakan tenaganya. Sekali ia mengisar kaki, ia segera lontarkan dua buah
pukulan yang dahsyat dari posisi yang tak diduga oleh Khik-sia. Pukulan kedua menyusul tapi
datangnya lebih dulu dari pukulan pertama. Yang diarah ialah di bagian pinggang pada jalan darah
ih-gi-hiat. Sebagai tokoh yang dimasyhurkan sebagai Penyambar jiwa, Yo Bok-lo mempunyai tujuh buah
gerakan kaki dan pukulan yang berbeda satu sama lain. Setiap jurus, merupakan pukulan maut.
Jago silat yang kebanyakan, tentu tak mampu lolos dari tujuh jurus pukulannya itu. Itulah makanya
ia mendapat julukan Chit-poh-tui-hun atau Tujuh-tindak-penyambar-nyawa. Dalam beberapa tahun
yang terakhir ini, ia berlatih keras untuk menyempurnakan ilmu pukulannya itu. Diberinya pula
tambahan beberapa gaya variasi yang lebih membingungkan lawan. Ia dapat menguasai
permainannya itu menurut apa yang dikehendakinya.
Begitu menghampiri dekat tubuh Khik-sia condong ke samping seperti orang yang terkena
pukulan. Tapi entah bagaimana, tiba-tiba ia meluncur datar macam anak panah dilepaskan ke muka.
Karena melengkung itu, maka pukulan Yo bok-lo luput mengenai sasaran pinggang, sebaliknya
menyentuh tongkak kaki Khik-sia. Bagi Khik-sia hal itu berarti mendapat panjatan. Dengan
meminjam tenaga panjatan itu, ia pun meluncur ke muka.
Yo Bok-lo terkejut. Kini baru ia menyadari bahwa sekalipun ilmu pukulannya bertambah hebat
tapi ilmu gin-kang si anak mudapun bertambah lihay juga. Pukulan yang dilontarkan dalam posisi
yang tak terduga-duga, pun ternyata masih dapat dihindari oleh Khik-sia.
Masih Yo Bok-lo merasa penasaran. Sebelum si anak muda sempat berdiri tegak, ia segera
memburu dan menyusuli pula dengan dua buah pukulan lwekang biat-gong-ciang. Sekali ini ia
tentu akan terpelanting, pikirnya.
Siapa tahu begitu Yo Bok-lo bergerak, Khik-sia pun bergerak. Sebelum tiba di tanah, ia sudah
berjumpalitan di udara untuk berganti posisi. Dalam berjumpalitan itu tangannyapun sudah
mencabut po-kiam. Dengan gerak pheng-pok-kin-siau atau burung alap-alap menukik awan, ia
meluncur turun ke arah Yo Bok-lo.
Di tengah udara dapat berjumpalitan dan masih dapat pula mencabut pedang untuk menyerang,
beberapa gerakan yang istimewa itu sekaligus dapat dilakukan dengan indahnya, sungguh tak
diduga sama sekali oleh Yo Bok-lo. Kini posisinya berbalik dari menyerang berganti diserang.
Sekarang giliran si iblis tua yang sibuk menangkis serangan itu.
Dengan serangan yang istimewa itu, Khik-sia dapat memaksa lawan sibuk berloncatan kian
kemari untuk menghindar. Untung kepandaian iblis tua itu lebih tinggi. Segera ia gunakan ilmu
selentikan tan-ci-sin-thong dan pukulan lwekang biat-gong-ciang untuk mengisarkan ujung pedang
Khik-sia hingga tak sampai mengenai. Tapi Yo Bok-lo hanya lebih unggul sedikit dari Khik-sia,
jadi meskipun dapat menangkis namun dengan susah payah sekali.
Telah dikatakan di atas, bahwa tempat mereka bertempur itu adalah di muka lapangan Swan-bubun.
Karena tempat itu besok pagi hendak dijadikan tempat pertandingan Eng-hiong-tay-hwe,
maka sudah tentu diadakan penjagaan yang kuat. Inipun untuk menjagai segala kemungkinan
karena pada saat itu di kota raja banyak sekali berkumpul tokoh-tokoh silat dari delapan penjuru.
Siu-wi atau kwanan penjaga di situ, ada beberapa yang kenal pada Yo Bok-lo. Memang dalam
pertandingan cari jodoh tadi, kawanan siu-wi itu tak mengacuhkan. Tapi kini demi mengetahui Yo
Bok-lo berkelahi dengan orang, merekapun tak mau tinggal diam lagi.
Beberapa siu-wi segera lari mendatangi dan mendamprat Khik-sia: "Bangsat kecil yang bernyali
besar, berani bikin onar di Swan-bu-bun sini!"
Menurut fakta, yang membikin onar itu adalah kedua orang tadi. Jika dihukum, Yo Bok-lo pun
harus ikut menerima hukuman juga. Tapi ternyata kawanan siu-wi itu hanya menuduh Khik-sia
saja. Ada seorang siu-wi yang mahir menggunakan senjata rahasia sudah segera timpukkan dua
batang siu-cian (passer) ke arah Khik-sia.
Sudah tentu Khik-sia tak pandang mata pada kawanan siu-wi itu. Ia yakin nanti tentu dapat
mengalahkan Yo Bok-lo tapi untuk itupun harus membutuhkan waktu beratus-ratus jurus. Dan
sekalipun dapat menang, pun belum tentu dapat membunuh iblis tua itu. Dalam keadaan seperti
kala itu, kalau sampai kawanan tay-lwe-ko-chiu (jago-jago pengawal istana) turut keluar, tentu akan
lebih berabe lagi.
Dalam pada itu passerpun sudah tiba. Khik-sia sengaja mau unjuk kepandaian, serunya:
"Kurang ajar, mengapa kau hanya membidik aku sendiri?" -- Ia menjentik dengan jari tengahnya
dan terbanglah passer itu kembali. Sring, passer itu melayang melalui kain kepala si siu-wi
sehingga yang tersebut belakangan itu melonjak kaget.
"Toan Khik-sia besar sungguh nyalimu, berani melukai pengawal raja?" teriak Yo Bok-lo
sembari lontarkan sebuah hantaman. Tapi secepat itu pula Khik-sia melesat dan menyambar
seorang wi-su terus dijorokkan ke arah Yo Bok-lo.
"Yo Bok-lo, kau berani melukai pengawal raja?" serunya dengan meniru nada Yo Bok-lo.
Kesigapan anak muda itu betul-betul di luar dugaan Yo Bok-lo. Karena cepatnya gerakan anak
muda itu, Yo bok-lo sampai tak keburu menghindar. Bluk, tinjunya menjotos si wi-su. Untung
kepandaian Yo Bok-lo sudah mencapai tingkat sempurna dimana segala gerakan dapat dikuasai
menurut sekehendak hatinya. Sudah tentu Yo Bok-lo buru-buru menarik tangannya supaya jangan
sampai melukai si wi-su. Ia ganti pukulannya itu dengan gaya menangkap untuk menerima tubuh si
wi-su yang menjorok datang itu. Adegan itu telah membuat si iblis tua meringis.
Sebaliknya di sana Khik-sia tertawa gelak-gelak: "Ho, kau berkasih-kasihanlah dengan
pengawal raja itu. Aku tak sempat untuk mengawani kalian!"
Memang dalam ilmu gin-kang, Yo Bok-lo tak menang dengan Khik-sia. Apalagi saat itu karena
kagetnya, si wi-su memeluk erat-erat leher Yo Bok-lo, jadi orang she Yo itupun sungkan untuk
mengentakkannya. Maka dengan melongo, ia hanya dapat mengawasi musuhnya itu lari dengan
bebasnya. Dengan lincahnya Khik-sia loncat ke atas rumah penduduk. Dalam lain kejap, di sepanjang
wuwungan rumah penduduk hanya tampak sebuah sinar putih meluncur pesat. Begitu pesatnya
sampai kawanan wi-su itu tak sempat melepaskan panahnya lagi.
Setelah tiba di sebuah gang kesil yang sepi, turunlah Khik-sia. Diam-diam ia merasa geli
sendiri: "Dengan kupermainkan begitu tadi, rasanya cukuplah sudah untuk meledakkan dada Yo
Bok-lo!" Sekalipun begitu tetap ia tak berani jalan di jalan besar, pikirnya: "Dengan kegaduhan tadi,
tentulah menimbulkan perhatian orang. Biar lambat asal selamat, hati-hati ada lebih baik. Hari ini
rasanya tak baik untuk mencari berita Yak-bwe, lebih baik aku pulang saja. Biar kuberitahukan dan
kutanyakan pada Tiau-ing apakah nona penjual silat tadi sumoaynya."
Tiba di pos rahasia, haripun sudah menjelang magrib. Di situ terdapat beberapa pendatang baru.
Karena memikir orang yang datang kesitu tentulah kawan sendiri, maka Khik-siapun tak menaruh
kecurigaan, tetapi sebaliknya orang-orang itu sama menaruh perhatian kepadanya.
Karena ingin lekas-lekas mendapatkan Tiau-ing maka Khik-sia pun terus langsung masuk ke
kamarnya. Setelah tergesa-gesa membasuh muka ia lantas menuju ke tempat bagian wanita.
oooooOOOOOooooo
Pada masa kerajaan Tong itu, pergaulan antara pria dan wanita tak begitu keras aturannya.
Lebih-lebih dalam kalangan kaum persilatan, lazimlah sudah kalau pria dan wanita itu bergaul
secara bebas. Itulah sebabnya maka berani saja Khik-sia langsung memasuki kamar wanita.
Sekalipun begitu, namun Khik-sia merasa kikuk juga. Khik-sia tak tahu di mana letak kamar Tiauing
itu. Jika setiap kamar diketuknya tentulah akan ditertawakan orang. Diam-diam Khik-sia
bersangsi. Sarang atau tempat rahasia yang ditinggalin itu, sebenarnya merupakan sebuah gedung besar
semacam kasteel dari seorang she Kau. Oleh karena anak cucunya tak dapat mempertahankan
maka terpaksa gedung itu dijualnya. Luasnya beberapa bahu, dikelilingi oleh pagar tembok,
mempunyai berpuluh-puluh buah kamar. Di bagian mukda dan belakang, terdapat kebun bunga.
Kamar bagian wanita itu, terletak di kebun belakang. Kamar-kamarnya berserakan di antara
gunung-gunungan palsu dan pohon-pohon bunga.
Di halaman bagian dalam, sunyi senyap. Karena saat itu temponya makan malam, maka
mungkin mereka sama berada di dalam untuk makan. Sambil berjalan, Khik-sia mengharap dapat
berjumpa dengan orang untuk menanyakan di mana kamar Tiau-ing itu. Tetapi sampai sekian saat,
belum juga ia menjumpai seseorang. Tanpa terasa tibalah ia di sebuah sudut dari kebun belakang
itu. Pikirnya: "Yang ini rasanya tak perlu tanya orang lagi, tapi entah siapakah yang berada di
dalam rumah ini?"
Pada saat itu tiba-tiba didengarnya suara tertawa orang lelaki: "Kukira kau suka pada Khik-sia,
apakah bukan begitu?"
Walaupun suara itu pelahan sekali namun dapat didengar jelas oleh Khik-sia. Itulah nada suara
Se-kiat. Khik-sia terperanjat dan merasa sungkan. Se-kiat adalah seorang kakak yang
dihormatinya. Sungguh tak dikiranya kalau Se-kiat berada di kamar seorang nona macam Tiau-ing
dan bercakap-cakap secara berbisik-bisik, malah membicarakan tentang dirinya (Khik-sia). Tangan
Khik-sia yang sudah diulurkan hendak mengetuk daun pintu, buru-buru ditarik kembali.
Tiau-ing kembali tertawa mengikik: "Terus terang saja, memang bermula aku agak menaruh
perhatian kepada anak muda itu. Tapi setelah mengetahui pribadinya, aku merasa kecewa dan tak
suka lagi."
"Apakah bukan karena ia sudah bertunangan, kau lantas merasa kecewa?" tanya Se-kiat.
"Bertunangan atau tidak, itu bukan soal. Aku suka padanya bukan mesti harus menikah
dengannya. Sayang ia bukan pahlawan yang kucita-citakan," sahut Tiau-ing.
Se-kiat membantah: "Dalam kalangan jago muda, kepandaian Khik-sia itu sukar dicari
tandingannya. Mengapa kau katakan dia bukan pahlawan?"
"Ia tak mempunyai cita-cita besar dan angan-angan tinggi. Pendek kata, bukan batu mustika
yang kemilau. Betapapun tinggi ilmu silatnya, juga tak berguna," kata Tiau-ing.
Se-kiat berkata dengan bisik-bisik: "Habis siapakah pahlawan yang menjadi pujaanmu?"
Tiau-ing tertawa melengking, serunya: "Mengapa bertanya lagi" Sudah tentu kaulah!"
Se-kiat tertawa: "Suatu kehormatan yang tak pantas diberikan padaku."
Tiau-ing rendahkan suaranya sampai seperti orang berbisik-bisik hingga Khik-sia tak dapat
mendengarnya. Diantaranya hanya samar-samar terdengar kata-kata nona itu: "Kakakku masih
mempunyai tiga puluh ribu pasukan berkuda ..... Daerah suku Ki itu strategis sekali, baik
menyerang maupun bertahan .... Asal kau suka terima persembahanku ini berarti sudah menjadi
milikmu ..... Sudahkah kau menetapkan rencanamu" Hm, apakah kau benar-benar suka padaku atau
hanya pura-pura saja?"
Se-kiat menyahut agak keras: "Seorang lelaki, apa yang sudah dikatakan tentu selalu dipegang
teguh, tak perlu ragu-ragu lagi. Tentu aku sudah mengambil putusan yang positif. Tiau-ing, kau
sungguh seorang pembantuku yang berharga, aku sungguh-sungguh suka padamu!"
Khik-sia yang selama itu berdiri di luar rumah, tanpa sengaja telah mendengarkan semua
pembicaraan rahasia itu. Diam-diam ia tersentak kaget dan gelagapan. Beberapa saat kemudian
barulah pikirannya menjadi tenang lagi. Kini barulah ia dapat mengadakan analisa. "Bo toako
jatuh cinta pada Tiau-ing" Apa-apaan ini, sungguh suatu hal yang tak dapat dipercayai! Bagaimana
dengan nona Sip"
Apakah Bo toako tidak mencintainya" Semua orang mengira kalau ia dan nona Sip itu sudah
mengikat janji, bahkan Thiat-mo-lek piauko berusaha hendak merangkapkan perjodohan mereka.
Apakah semua orang salah kira" Atau apakah Bo toako sudah berganti haluan mengingkari
janjinya" Bo toako adalah seorang bu-lim-beng-cu yang dihormati orang, ai, mengapa ia berbuat
begitu?" Ia berhenti sejenak kemudian merenung pula: "Apa yang dikatakan barang persembahan Su
Tiau-ing tadi" Ho, apakah Bo toako kepincut dengan tiga puluh ribu pasukan berkuda dari
engkohnya (Su Tiau-gi) itu, lalu hendak berserikat dengan nona itu" Tapi, ah, gerakan besar apa
yang mereka hendak lakukan itu" Apakah Bo toako mencita-citakan hendak menjadi kaisar" Ia
bilang telah mengambil putusan apa saja itu" Apakah mengambil putusan memutuskan
hubungannya dengan nona Sip?"
"Siapa di luar itu?" tiba-tiba terdengar Se-kiat menegur dari dalam ruangan.
Adalah karena ketegangan hatinya tadi maka tubuh Khik-sia sampai tergetar dan tanpa sengaja
telah menyentuh gerendel pintu. Tapi hal itu malah kebenaran karena dengan begitu Se-kiat dan
Tiau-ing mengira kalau ada orang mengetuk pintu dan mereka tak menaruh kecurigaan apa-apa.
"Aku," sahut Khik-sia yang dalam itu diam-diam berpikir: "Ai, hubungan pria wanita itu
memang sukar dikata. Aku yang sejak lahir sudah ditunangkan pada Yak-bwe, toh masih ruwet tak
keruan, apalagi dia (Se-kiat) dengan In-nio. Nona Su Tiau-ing tak suka padaku, itu malah
meringankan aku. Perlu apa aku mengurusi dirinya lagi" Tapi Bo toako selama ini selalu
membantu aku, aku tetap harus menganggapnya sebagai seorang kakak." -- Tapi sekalipun sudah
mengambil ketetapan begitu, tak urung nada suaranya masih kedengaran agak gemetar juga.
Sambil membuka pintu, berserulah Se-kiat dengan heran: "Oh, kiranya kau. Ada apa" Mau cari
aku atau nona Su?"
Dalam pada itu, Se-kiat membatin: "Khik-sia anak ini tidak suka plintat-plintut mencuri dengar
pembicaraan orang. Huh, siapa tahu karena agak lama bergaul dengan Tiau-ing, maklum antara
pemuda dan pemudi yang seperjalanan, tentulah timbul rasa apa-apa."
Dengan terus terang Khik-sia menyatakan bahwa ia hendak mencari Tiau-ing.
"Apakah aku boleh mendengarkan" Atau perlukah aku menyingkir dulu?" Se-kiat paksakan
tertawa. Tiau-ing juga terkesiap, pikirnya: "Selama dalam perjalanan ia selalu kuatir kalau kurayu,
mengapa sekarang hendak mencari aku" Apakah tingkah lakunya dulu itu hanya aksi belaka
padahal hatinya tertarik padaku" Ai, sekarang sudah kasip."
Pertanyaan Se-kiat tadi telah menimbulkan rasa enggan pada Khik-sia, dengan agak tegas ia
berkata: "Aku bukannya hendak bicara rahasia, melainkan hendak memberitahu pada nona Su
tentang sebuah hal, habis itu aku segera akan pergi."
"Apakah itu?" Tiau-ing tersenyum, "bilanglah dan tak usah lantas buru-buru pergi."
Khik-sia bercerita: "Tadi siang aku telah berjumpa dengan seorang nona penjual silat. Agaknya
ia adalah saudara seperguruanmu."
Seketika berubahlah wajah Tiau-ing, serunya: "Orangnya bagaimana" Mengapa kau tahu kalau
saudara seperguruanku?"
Khik-sia segera menuturkan pengalamannya siang tadi. Mata Tiau-ing berkeliaran. Rupanya
iapun merasa heran juga. Setelah merenung sejenak, berkatalah ia: "Kalau demikian halnya,
teranglah kalau suci-ku."
"Mengapa tak pernah kau singgung?" tanya Khik-sia. Tiba-tiba ia merasa Se-kiat
memperhatikan dirinya. Merahlah wajah Khik-sia dibuatnya. Ia merasa menyesal dengan katakatanya
tadi, pikirnya" Mengapa aku begini bodoh menanyakan hal itu" Urusannya kenapa harus


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diceritakan padaku" Pertanyaan tadi tentu akan menimbulkan salah paham Bo toako."
"Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan suci itu. Hanya kutahu bahwa aku mempunyai
seorang suci tapi aku belum mengenalnya. Itulah makanya aku tak sempat memikirkannya.
Kepada orang yang kupikirkan sudah tentu tak kuberitahukan padamu."
Wajar saja nona itu berbicara sambil tertawa. Pun alasannya tepat sekali. Hal itu menandakan
akrabnya hubungannya dengan Khik-sia. Dan justeru sikap yang dibawakan itu telah berhasil
menolong Khik-sia dari kesulitan.
"Jejakku telah ketahuan Yo Bok-lo, harap Bo toako suka meningkatkan kewaspadaan," kata
Khik-sia. "Ya, kutahu," sahut Se-kiat acuh tak acuh.
Khik-sia akan segera pamitan tapi tiba-tiba Tiau-ing masih mengajukan pertanyaan lagi: "Khiksia,
tahukah kau apa sebabnya maka suci-ku itu mengadakan pertandingan cari jodoh?"
"Bagaimana aku tahu?" balas Khik-sia.
"Biarlah kutebaknya," Se-kiat tertawa menyela, "Nah, begini, jodoh yang hendak dicari oleh
suci-mu itu bukan lain ialah kau sendiri."
Khik-sia tak mengerti dan terkesiap tanya dalam hati: "Apa-apaan ini. Masakan sumoay dan
suci mau berjodoh?"
Sebaliknya tampak Tiau-ing mengangguk: "Benar, memang kupikir juga demikian. Aku tak
kenal padanya, tapi tetap mengenal ilmu silatnya. Ia membuka pertandingan itu sehari di muka
pertandingan Eng-hiong-tay-hwe. Hal itu tentu menggemparkan publik. Lama-lama aku tentu
mendengarkan dan ikut menyaksikan pertandingan itu."
Kini barulah terbuka pikiran Khik-sia, katanya: "Oh, kiranya ia menggunakan cara begitu."
"Ia tentu berjumpa suhu di tengah jalan dan tahu kalau aku sudah tiba di kota raja. Memang
pintar juga ia itu, gunakan cara begitu untuk memikat perhatianku," kata Tiau-ing.
"Habis kalau tidak begitu, tak nanti ia sembarangan mengunjukkan kepandaiannya. Dan
andaikata sudah bertemupun tak nanti kalian saling mengenal. Cara itu memang berbahaya tapi
rasanya tepat sekali," kata Se-kiat.
Sebagai seorang pemuda yang berhati lapang, begitu melihat Se-kiat dan Tiau-ing bercakapcakap
dengan bebas, ia pun segera tak kikuk lagi. Katanya dengan tertawa: "Jika ada lelaki yang
dapat mengalahkan dan menagih janjinya, lalu bagaimana jadinya?"
Tiau-ing balas tertawa: "Jika benar ada pahlawan itu dan ia memang penuju, apa salahnya kalau
ia menikah" Bukankah ini yang disebut "main-main jadi sesungguhnya?""
Nona itu bertopang dagu seolah-olah seperti ada yang dipikirkan. Kemudian melanjutkan
berkata: "Kembali pada persoalan tadi. Kalau toh ia tanpa menghiraukan cemoohan orang telah
menggunakan cara begitu mencari aku, tentulah membawa kabar penting. Ai, ia tak tahu kalau aku
tak leluasa keluar kemana-mana?"
Habis berkata serentak ia berbangkit dan menghampiri kemuka Khik-sia. Di situ ia memberi
hormat kepada si anak muda, katanya: "Khik-sia, urusan ini aku hendak minta tolong padamu."
Khik-sia balas memberi hormat dan tertawa: "Mengapa kau begitu sungkan kepadaku?"
"Kau sudah mengetahui suci-ku, maukah kau menolongi memanggilkannya?"
Karena dirinya barusan saja diketahui orang, sebenarnya tak leluasa bagi Khik-sia keluar lagi.
Tapi karena ia berdarah mulia suka membantu orang, ketambahan pula sedikit banyak ia sudah
bersahabat baik dengan Tiau-ing, permintaan nona itu tak dapat ditolaknya.
"Urusan sekecil itu mengapa perlu memakai kesungkanan yang berkelebihan. Biarlah
kuundangnya kemari," sahut Khik-sia.
Alis Se-kiat tampak mengerut seperti ada yang hendak dikatakan tapi urung. Sebenarnya ia
hendak mencegah Khik-sia jangan keluar lagi, tapi pada lain saat terlintas dalam pikirannya: "Tak
apalah ia pergi lagi. Dengan ginkangnya yang lihay tentulah tak sampai jatuh di tangan musuh."
Berkata Tiau-ing lagi: "Suci-ku itu bernama Liong Seng-hiang. Jika bertemu ajaklah ia kemari
saja. Pak tua itu ayah angkatnya, tak perlu diajak kemari."
Khik-sia mengiyakan dan minta diri pada Se-kiat. Se-kiat memesannya supaya berhati-hati.
"Bo toako benar menganggap aku sebagai adiknya," pikir Khik-sia dengan perasaan terima
kasih. Setelah melalui sebuah gunung-gunungan palsu yang terletak di depan rumah itu dan belum lagi
keluar dari halaman belakang situ, samar-samar ia seperti melihat sesosok tubuh bergegas-gegas
mendatangi. Begitu berpapasan, keduanya sama berseru kaget dan sama-sama berhenti. Khik-sia
berteriak memanggil "piauko", sedang orang itu berseru "piau-te". Kiranya dia adalah Thiat-mo-lek.
Girang Khik-sia bukan alang-kepalang, katanya: "Piauko, kau juga datang kemari. Aku sedang
mengharap-harap kau."
Juga Thiat-mo-lek girang sekali. Tapi setelah memangil piaute-nya tadi, tiba-tiba wajahnya
mengerut gelap, ujarnya: "Khik-sia, kabarnya kau datang dengan seorang nona Su. Bukankah ia itu
puterinya Su Su-beng?"
Selebar muka Khik-sia merah padam, sahutnya dengan terkait-kait: "Piau-ko, ini, ini ....."
Nyata Khik-sia sukar untuk menerangkan. Kata Thiat-mo-lek: "Sekarang aku tak punya tempo
mengurusi persoalanmu itu, baiklah untuk sementara jangan dibicarakan dulu. Sekarang jawablah
dulu pertanyaanku ini. Apakah nona Su itu juga tinggal di sini" Apakah kau barusan datang dari
tempatnya?"
"Ya, karena ...."
"Tak usah kau terisak-isak memberi alasan, nanti kita bicarakan lagi dengan tenang. Apakah Bo
Se-kiat juga sedang berada di kamar nona Su itu?" kembali Thia-mo-lek menukasnya pula.
Bahwa tiba-tiba Thiat-mo-lek menyebut diri Se-kiat, telah membuat Khik-sia terperanjat heran.
Pikirnya: "Mengapa baru datang saja toako lantas tahu tentang Se-kiat dan hendak mencarinya di
kamar Tiau-ing?"
"Ya, Bo toako memang di sana," sahutnya kemudian.
"Tak perlu mengejutkan lain orang, antarkan aku kesana. Aku hendak membicarakan suatu
urusan penting dengan Se-kiat," kata Thiat-mo-lek.
Khik-sia menganggap bahwa telat sedikit untuk mencari suci Tiau-ing, rasanya tak jadi apa.
Begitulah segera ia membawa piauko-nya ke tempat Tiau-ing lagi. Tiba di sana Tiau-ing segera
menegurnya: "Hai, Khik-sia, mengapa kau kembali lagi?"
Begitu membukai pintu, nona itu segera berhadapan dengan Khik-sia dan Thiat-mo-lek. Tiauing
terkesima. Tidak demikian dengan Se-kiat yang walaupun kedatangan Thiat-mo-lek itu secara
tiba-tiba sekali, namun dengan riang gembira ia segera keluar menyambutnya.
"Thiat toako, kebetulan sekali kau datang. Besok pagi adalah hari pertandingan, kukuatir kau
terlambat datang. Ini adalah nona Su. Khik-sia datang bersama-sama dengan nona Su, jadi kita
semua adalah orang sendiri," kata Se-kiat.
Tiau-ing cepat tampil kemuka memberi hormat, ujarnya: "Telah lama kudengar kemasyhuran
nama Thiat cecu yang gagah, aku yang rendah Su Tiau-ing menyampaikan hormat."
Thiat-mo-lek tersipu-sipu memberi isyarat agar nona itu jangan kelewat merendah diri.
Sebenarnya setelah perkenalan itu Tiau-ing hendak mengenali Thiat-mo-lek dengan rapat tapi demi
melihat sikap orang yang begitu keren dan dingin tak berani ia banyak bicara lagi.
"Bo hiante, kau adalah Beng-cu, aku ada suatu urusan hendak meminta pertimbanganmu," kata
Thiat-mo-lek. "Ai, Thiat toako, kedudukanku itu adalah berkat mengandalkan kewibawaanmu. Kitakan sudah
seperti saudara, mengapa toako begitu sungkan-sungkan. Harap toako mengatakan dengan bebas,"
kata Se-kiat. Thiat-mo-lek hanya melirik, tapi tak berkata apa-apa. Se-kiat tahu apa maksudnya dan kembali
menegaskan bahwa Tiau-ing itu adalah orang sendiri.
"Baik, nona Su, aku hendak pinjam tempatmu untuk bercakap-cakap sebentar dengan beng-cu.
Kurasa lebih baik kubicara empat mata dengan beng-cu. Khik-sia, kau tak ada urusan, keluarlah,"
kata Thiat-mo-lek.
Walaupun hanya ditujukan pada Khik-sia, tapi jelas bahwa Thiat-mo-lek pun tak menghendaki
Tiau-ing turut hadir di situ.
Rupanya Tiau-ing tahu juga hal itu. Dengan cepat ia berseru: "Thiat cecu, kau baru saja tiba,
tentu belum makan. Biarlah kubuatkan hidangan untukmu."
"Ah, tak usah repot-repot," sahut Thiat-mo-lek.
"Apakah Thiat cecu kuatir aku tak dapat masak enak" Selama dalam perjalanan akupun sering
memasakkan Khik-sia," kata Tiau-ing dengan tertawa.
Thiat-mo-lek cepat berganti nada tegas: "Huh, baiklah. Tetapi tak usah masak nasi. Nanti, nati
...." "Toh, tak usah membatasi temponya. Aku memerlukan tempo agak lama juga untuk memasak.
Ya, begini sajalah: bila kalian berdua sudah berunding selesai, harap suruh orang ke dapur
memberitahukan padaku. Jika aku sudah siap, tentu segera akan kuhidangkan makanan," tetap
Tiau-ing membantah.
"Nona ini benar-benar tangkas dan licin. Ia tetap hendak memegang alasan itu untuk
menyingkir supaya tak kentara," pikir Thiat-mo-lek. Ia segera mengangguk dan selaku kepantasan
iapun mengucapkan terima kasih atas kesediaan si nona.
"Nah, biar kumasakkan teh dulu, segera akan kusuruh orang mengantarkan kemari," kata Tiauing.
Tatkala berjalan keluar bersama Khik-sia, Tiau-ing leletkan lidahnya dan berkata: "Piauko-mu
garang benar, sampai orang sukar untuk meladeninya. Sejak masuk ke dalam ruangan, tak pernah
ia berseri wajahnya."
"Sebenarnya ia itu peramah, mungkin karena baru pertama kali berkenalan, maka kau anggap ia
itu sukar diajak bergaul," sahut Khik-sia.
"Ai, untunglah aku juga tak berminat bergaul padanya. Khik-sia, aku tetap meminta bantuanmu
untuk mencarikan suci-ku itu. Hm, hari sudah larut," kata Tiau-ing.
"Ya, segera akan kucari jejak suci-mu itu," sahut Khik-sia.
Khik-sia menduga kebanyakan nona penjual silat itu tentu sudah pergi dari lapangan. Tapi
untuk menyirapi jejaknya, terpaksa ia harus pergi ke lapangan itu juga. Saat itu ia membelok dan
menyusuri sebuah gang kecil. Dalam pada itu pikirannya mengenangkan akan peristiwa yang
dialaminya hari itu. Segala sesuatu sungguh di luar dugaannya. Pikir punya pikir, tibalah ia pada
adegan tentang sikap Thiat-mo-lek terhadap Tiau-ing tadi, katanya dalam hati: "Menurut pribadi
piauko, biasanya ia tak bersikap begitu dingin terhadap seorang kenalan baru. Huh, mungkin
piauko juga menganggap nona itu sebagai wanita siluman. Untung aku tak punya sedikit hubungan
kasih dengan Tiau-ing. Pelahan-lahan nanti piauko tentu mengetahui keadaanku yang sebenarnya."
"Tapi bagaimana sikap piauko bila mengetahui bahwa pemuda yang dipenujui Tiau-ing bukan
aku melainkan Se-kiat" Piauko tentu sungkan mendamprat Bo toako. Paling-paling ia hanya dapat
mengasihani nasib nona sip saja," demikian Khik-sia masih terbenam dalam dugaannya. Tetapi
adakah Thiat piauko-nya itu betul-betul akan merasa kasihan kepada In-nio atau tidak, ia sendiri tak
tahu. Hanya yang terang ia memang turut bersedih dengan nasib yang diderita In-nio itu.
Selagi ia melamun, tiba-tiba dari sebuah gang kecil yang terletak di samping jalan menerobos
keluar seorang lelaki. Malah orang itu lantas memanggilnya dengan berbisik, "Toan hiantit,
kaukah?" Kala itu haripun sudah gelap. Di gang situ tiada tampak seorangpun lagi. Dari sinar lampu
rumah-rumah yang berada di kedua tepi gang itu, tampak bahwa orang yang menegur Khik-sia itu
seorang persilatan dari pertengahan umur yang mengenakan jubah hijau, berjenggot panjang dan
mendukung sebuah yok-long atau kantong obat.
Demi mengetahui siapa orang itu, girang Khik-sia tak terperikan, serunya: "Oh, paman To, kau
juga datang kemari" Tapi mengapa tak mengambil jalan besar?"
Ya, memang itu bukan lain adalah Kim-kiam-ceng-long To Peh-ing, sahabat karib dari
mendiang ayah Khik-sia.
Sahut Peh-ing: "Di jalan besar yang menuju ke lapangan Swan-bu-bun itu penuh dengan
tentara, entah ada apa. Maka akupun terpaksa mengambil jalan kecil ini."
Khik-sia terperanjat kaget, pikirnya: "Jalan kecil ini tak dapat sampai ke sana. Kemanakah aku
akan mencari berita?"
Ternyata keterangan yang diberikan To Peh-ing itu masih ada lagi. Bahkan berita yang kedua
itu lebih mengejutkan Khik-sia lagi dari keterangan yang pertama tadi. Belum lagi Khik-sia
menceritakan tentang keadaan dirinya, Peh-ing sudah mendahului bertanya: "Bukankah kau tadi
dari kebun bunga gedung keluarga Kau?"
Gedung keluarga Kau adalah sandi nama dari pos rahasia yang dipondoki Khik-sia itu. Maka
Khik-sia telah mengangguk.
"Waktu kau keluar, apakah piauko-mu sudah tiba di sana?" cepat Peh-ing menanya pula dengan
wajah kecemasan.
"Sudah, saat ini ia sedan berunding dengan Bo toako," sahut Khik-sia.
"Apakah kau sudah berjumpa padanya?"
"Sudah," jawab Khik-sia.
"Apakah piauko-mu yang menyuruh kau keluar ini?"
"Bukan, aku sendiri ada sedikit urusan."
Mendengar jawaban itu gemetarlah tubuh Peh-ing. Katanya dengan gugup: "Mengapa kau tak
menemani piauko-mu" Lekas balik, lekas balik! Betapa penting urusanmu itu juga harus kau
pertangguhkan juga!"
Khik-sia terlongong-longong keheranan, ujarnya: "Paman To, kau kuatir di sana kita akan
ketahuan" Tidak, tentara negeri ...."
"Aku bukannya menguatirkan tentara negeri mengetahui tempat persembunyian kita itu.
Ketahuilah, musuh dari luar mudah dihadapi tapi pengkhianat dari dalam sukar diketahui!"
Kejut Khik-sia bukan alang-kepalang. "Paman To, apa maksudmu?" tanyanya serentak.
To Pek-ing banting-banting kakinya berseru: "Singkat saja kuberitahukan padamu, aku kuatir
kalau piauko-mu dicelakai Bo Se-kiat!"
Seperti halilintar menyambar di tengah hari, saking kagetnya Khik-sia sampai melonjak. Jika
bukan To Peh-ing yang mengatakan, ia tentu sudah mendampratnya habis-habisan.
"Mengapa Bo toako berbuat begitu?" tanyanya tak habis mengerti.
"Hati orang sukar diduga. Dan lagi sekalipun Se-kiat tak mau turunkan tangan jahatnya, namun
dapat juga ia lakukan secara menggelap," kata Peh-ing.
Khik-sia menaruh perindahan sekali kepada Se-kiat. Meskipun yang mengatakan itu adalah
sahbat baik dari mendiang ayahnya, tetapi ia tak mau lekas-lekas mempercayainya.
"Memang dua harimau sukar hidup rukun. Piauko-mu itu seorang jantan yang jujur dan tegas,
bukan mustahil Se-kiat dengki kepadanya. Karena meskipun Se-kiat itu seorang beng-cu yang
ditaati seluruh kaum lok-lim, tetapi pada hakekatnya tak memadai piauko-mu itu."
Khik-sia merenung dalam, pikirnya: "Hm, jangan-jangan orang tua ini menggunakan ukuran
siau-jin (orang rendah) untuk mengukur seorang kun-cu (gentleman)."
Namun tak berani Khik-sia mengatakan perasaannya itu kepada Peh-ing. Berkata pula jago tua
itu: "Bo Se-kiat itu seorang yang ambisius (gila pangkat) sekali. Memang biasanya ia
mengindahkan sekali kepada piauko-mu tapi dikuatirkan apabila sudah tiba saatnya, ia tentu tak
segan lagi untuk membasmi orang."
"Apakah piauko-ku mempunyai bentrokan tajam dengan dia?" tanya Khik-sia.
"Yang kuketahui, piauko-mu telah bergegas-gegas datang kemari karena perlu mencegah Sekiat
dalam suatu hal yang hendak dikerjakannya," sahut Peh-ing. Selanjutnya ia menyatakan
sayang ia tak tahu tindakan apa yang hendak dilakukan Se-kiat itu: "Tetapi yang nyata hal itu
mengenai urusan besar dan sekarang tak ada waktu bicara banyak-banyak lagi."
Segera Khik-sia teringat betapa sikap piauko-nya yang tampak begitu tegang ketika berhadapan
dengan Se-kiat tadi. Diam-diam ia berdebar juga. Sekalipun saat itu masih belum mau
mempercayai sama sekali akan keterangan To Peh-ing, namun Thait-mo-lek itu adalah satu-satunya
familinya di dunia. Kalau tak sungguh, masakan seorang tua macam Peh-ing mau bicara begitu
sungguh-sungguh. Serentak ia menjadi gelisah dan mengatakan kalau hendak balik menengok
keadaan piauko-nya.
"Bagus, gin-kangmu lebih cepat dari aku, lekaslah pulang. Kuharap di sana belum terjadi
sesuatu," sahut Peh-ing.
Dengan serempak, larilah Khik-sia pulang. Ketika hampir tiba, timbullah pikirannya: "Urusan
ini belum tentu benar tidaknya, aku tak boleh gegabah sehingga ditertawai orang. Mereka berdua
tengah berunding di kamar rahasia, lain orang tak boleh mengganggu. Baiklah aku bersembunyi di
tempat gelap untuk melindungi piauko secara diam-diam."
Setelah mengambil ketetapan, ia tak mau masuk dari pintu besar melainkan lompati tembok
belakang dan masuk dari belakang kebun. Rumah atau paviliun yang ditempati Tiau-ing itu terletak
di sudut kebun belakang. Di sebelahnya kebetulan tumbuh sebatang pohon yang lebat daunnya.
Dengan gin-kangnya yang lihay dengan mudah dapatlah Khik-sia loncat ke atas dahannya yang
tinggi. Dari situ melongok melalui jendela, dapatlah ia melihat keadaan dalam kamar itu dengan
jelas. Ternyata di dalam ruangan itu tampak Thiat-mo-lek sedang berdebat dengan Se-kiat. Dengan
memanggul kedua tangannya Thiat-mo-lek berjalan mondar-mandir. Tahulah Khik-sia kalau hal itu
merupakan adat kebiasaan sang piauko di kala memikirkan suatu persoalan yang penting.
Tiba-tiba dilihatnya sang piauko maju ke hadapan Se-kiat dan berseru keras: "Tidak bisa!"
Se-kiat terkesiap sejenak lalu bertanya: "Mengapa tidak" Ini adalah suatu kesempatan yang
jarang terjadi, mengapa harus disia-siakan" Aku sudah mempersiapkan semuanya!"
"Kau kira dengan mengirim sepasukan anak buah kita untuk menyerang istana, kita lantas
berhasil menangkap kaisar itu?" balas Thiat-mo-lek.
Se-kiat tertawa: "Besok pagi Eng-hiong-tay-hwe yang diadakan Cin Siang sudah akan dimulai.
Pasukan Gi-lim-kun (pengawal raja) dan si-wi (pengawal istana) kebanyakan tentu menjaga
keamanan. Dengan begitu penjagaan di istana tentu berkurang. Sekali bergerak dan berhasil,
bukankah suatu hal yang mengherankan."
"Aku pernah menjabat si-wi di istana. Istana mempunyai sembilan buah pintu besar, setiap
pintu selalu dijaga oleh lima puluh orang si-wi. Tak nanti penjagaan itu dikurangi. Selain itu masih
ada sebuah regu barisan panah yang selalu meronda. Berapakah jumlahnya orang yang hendak kau
kirim untuk menyerang istana itu" Memang teorinya saja mudah. Dan lagi ...."
"Ha, ha, Thiat toako," Se-kiat memutus omongan orang dengan menertawakannya, "anak buah
yang kukirim ke istana itu mempunyai kegunaan istimewa. Dapat menerobos masuk dan
menangkap raja Li Heng hidup-hidup, itulah memang yang kuharap. Tapi seandainya tak dapat,
tetap kita masih berhasil. Masakan kau tak ingat akan siasat sekali tepuk mendapat beberapa?"
Thiat-mo-lek kerutkan alisnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi baru sang mulut
bergerak sudah dihentikan lagi. "apa siasat 'sekali tepuk mendapat beberapa' itu" Sukalah
menyebutkan," katanya sesaat kemudian.
"Sekalipun tak dapat menawan Li Heng, tapi sekurang-kurangnya kita dapat menghilangkan
Cin Siang. Sebenarnya Kaisar Li Heng tak setuju dengan tindakan Cin Siang mengadakan Enghiong
-tay-hwe dengan mengundang tokoh-tokoh persilatan dari seluruh penjuru itu. Tetapi di
hadapan kaisar, Cin Siang telah memberi jaminan, bahwa jika sampai terjadi apa-apa, ialah yang
akan menanggungnya. Dari hasil Eng-hiong-tay-hwe itu ia berharap dapat memilih jago-jago untuk
memperkuat pasukannya Gi-lim-kun guna menghadapi panglima-panglima perbatasan. Itulah
sebabnya maka akhirnya iapun menyetujui juga rencana Cin Siang. Dengan tindakan kita itu,
paling tidak Li Heng tentu kana ketakutan setengah mati. Setelah itu, ia tentu akan meminta
pertanggungan jawab dari Cin Siang. Kedudukan sebagai pemimpin Gi-lim-kun, pasti tak dapat
dipertahankan oleh Cin Siang lagi," demikian Se-kiat panjang lebar menguraikan rencananya.
Kembali Thiat-mo-lek kerutkan alisnya, berkata: "Justeru aku adalah orang yang tak mau
berbuat hal yang mencelakai seorang sahabat! Di kala Cin Siang mendapat tugas bersama pasukan


Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gwe-thiok-lam dari Tian Seng-su menggempur Kim-ke-nia, jika ia tidak secara diam-diam
membantu pihak kita, mungkin kita tak dapat lolos lagi. Mengapa kita membalas budi orang
dengan air tuba?"
Se-kiat tertawa: "Toako, untuk melakukan pekerjaan besar masakan harus mengingat urusan
persahabatan lagi" Toako, kau berpribudi seperti kaum wanita!"
"Baik, anggap saja Cin Siang itu bukan seorang sahabat. Tapi masakan kita tak memikirkan
kepentingan orang kita sendiri" Regu yang kau kirim ke istana itu, jumlahnya tentu tak dapat
kelewat banyak. Di bawah hujan panah dari pasukan panah istana, apakah kau pikir dapat
meloloskan diri?" balas Thiat-mo-lek dengan suara berat.
Peristiwa Bulu Merak 6 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Kisah Sepasang Rajawali 2

Cari Blog Ini