Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong Bagian 15
menjadi pasukan bantuan. Ia susun barisan kuat untuk menahan terjangan musuh. Walaupun
mereka terdiri dari kawanan liau-lo (anak buah penyamun) tapi mereka cukup terlatih dalam
peperangan. Di bawah komando Se-kiat yang pandai ilmu perang, mereka menjadi benteng
pertahanan yang kokoh juga.
Anak pasukan suku Ki, biasa dilatih perang secara individu (perseorangan). Seorang tentara
suku Ki dapat menghdapi dua orang anak buah Se-kiat. Tetapi pasukan Ki itu tak mengerti cara
mengatur barisan untuk menyerang atau bertahan. Setelah disusun Se-kiat seratus anak buahnya
saja cukup kuat untuk menahan serangan tiga ratus tentara Ki. Hanya sayang tentara taklukan dari
Su Taiu-gi itu sudah pecah nyalinya. Se-kiat tak dapat lagi mengendalikan mereka. Maka
sekalipun situasi agak mendingan, Se-kiat tak mampu balas melakukan offensif (serangan), karena
ia hanya mengandal inti pasukan bekas liau-lo tadi. Pertempuran menjadi berimbang.
Tiba-tiba Se-kait mengambil putusan untuk tinggalkan daerah Tho-ko-poh. Begitulah ia segera
memberi komando untuk menerjang kepungan musuh. Pertempuran dahsyat segera terjadi lagi.
In-nio dengan mengandalkan kelincahan kudanya, dapat leluasa mencari jalan keluar. Tetapi
dalam medan pertempuran yang sedemikian kacaunya itu, tak mungkin ia dapat mencari Bik-hu.
"Ilmu kepandaian Pui sute lebih tinggi dari aku, Se-kiatpun tiada sempat lagi menangkapnya.
Kupercaya ia tentu dapat lolos dari kepungan," pikir In-nio.
Anak pasukan Se-kiat berhasil membobol sebuah ujung tembok kota. In-nio cepat keprak
kudanya untuk menerobos keluar mendahului pasukan Se-kiat. Tetapi di sebelah muka masih ada
pasukan wanita Tiau-ing yang tengah mengejar Su Tiau-gi. Saat itu In-nio sudah capek sekali. Ia
tak mau bertempur dengan Tiau-ing lagi. Ia belokkan kudanya menyusur jalan kecil di
pegunungan. Berkat kudanya yang lihay, tak berapa lama ia berhasil tinggalkan pasukan Se-kiat
jauh di belakang.
Hutan yang sunyi, matahari yang menjelang silam dengan sinarnya keemas-emasan,
menghidangkan suatu pemandangan yang sejuk nyaman. Jauh sekali bedanya suasana di medan
pertempuran yang menyeramkan. In-nio merasa seperti habis mengalami sebuah impian ngeri.
Dari atas gunung memandang ke bawah, daerah Tho-ko-poh masih sayup-sayup kelihatan tapi
suara genderang sudah tiada kedengaran lagi. Bau amis yang terbawa oleh kesiur angin, masih
terasa sepoi-sepoi. Dari situ dapat dibayangkan betapa dahsyatnya pertempuran itu.
In-nio menghela napas. Teringat akan pengalamannya selama beberapa hari ini, hatinya merasa
kecewa. Dari sikap Se-kiat yang lupa budi tinggalkan kecintaan sampai pada sikap Bik-hu yang
tulus ikhlas mengunjukkan rasa cinta dalam caranya sendiri. Benar-benar kedua anak muda itu
seperti bumi dan langit bedanya. In-nio pilu tetapi dalam kepiluannya itu ia mendapat getaran
bahagia juga. "Entah apakah Pui sute dapat lolos dari bahaya" Dan setelah lolos, kapankah kita dapat
berjumpa lagi?" In-nio bertanya-tanya dalam hati. Selagi ia terbenam dalam pelbagai kenangan
suka duka, sekonyong-konyong terdengar derap kaki kuda mencongklang keras. Dari larinya,
tahulah In-nio kuda itu tentu bukan kuda sembarangan.
"Apakah Pui sute?" In-nio terkejut dan berpaling. Dan kejutnya makin besar demi kuda yang
mencongklang itu kuda putih Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu. Tetapi penunggan bukan Bik-hu
melainkan seorang wanita yang rambutnya terurai masai dan tubuhnya berlumuran darah.
Tanpa diperintah lagi, karena melihat kawannya datang, kuda In-nio itu lantas lari menyambut.
Kini In-ni makin jelas bahwa yang datang itu bukan lain adalah Bu-ceng-kiam Shin Ci-koh!
Kalau In-nio terkejut, Shin Ci-koh pun tak kurang kagetnya. Tetapi belum saling berhadapan,
Shin Ci-koh sudah jatuh dari kudanya.
Kiranya ia habis bertempur mati-matian dengan orang Leng-ciu-pay. Kaum Leng-ciu-pay mahir
menggunakan racun. Betapa tinggi lwekang Shin Ci-koh, namun karena pertempuran berjalan
lama, iapun tak kuat terus menerus menutup pernapasannya. Meski dapat membunuh enam belas
orang, tapi iapun menyedot beberapa tok-hun (puder racun) yang ditebarkan orang Leng-ciu-pay.
Shin Ci-koh coba kerahkan lwekang untuk menolak racun, tapi dikarenakan ia harus melawan
serangan musuh, akhirnya ia terluka berat. Mati-matian ia membuka jalan darah. Berkat kuda
Ciau-ya-say-cu kepunyaan Bik-hu yang dirampas Se-kiat kemudian diberikan padanya, barulah ia
dapat lolos dari kepungan musuh. Kuatir di jalan besar kesampokan musuh, serupa halnya dengan
In-nio, iapun mengambil jalan hutan. Dan secara kebetulan, ia berpapasan dengan In-nio.
Shin Ci-koh kehabisan tenaga dan lukanyapun belum keburu dibalut. Melihat In-nio, ia terkejut
sekali dan spontan lemah lunglailah persendiannya. Sampai mencekal tali kendali saja ia tak kuat.
Ia jatuh ngelupruk di tanah.
"Baik, kalau mau menuntut balas, silahkan! Aku lebih suka mati di tanganmu daripada dihina
Ceng-bing-cu!" wanita itu deliki mata dan menghela napas.
In-nio terkseiap. Buru-buru ia turun dari kudanya dan mengangkat Shin Ci-koh. "Mengapa kau
tak bunuh aku?" teriak wanita itu dengan napas tersengal-sengal.
"Walaupun wanpwe ini bukan kaum hiapgi, namun tahu juga wanpwe akan kewajiban
menolong sesama manusia yang sedang menderita kesusahan. Sekali-kali wanpwe tak mau
'menindih tangga' pada orang yang sudah jatuh," kata In-nio sembari merawat luka Shin Ci-koh.
Selain luka dalam pun Shin Ci-koh menderita luka luar yang cukup banyak. Yang paling berat
ialah di bagian tulang punggung dan perut. Darah masih mengucur keluar.
"Tempel obat luka kim-jong-yok dan silahkan pergi. Di sini bukan tempat yang aman, jangan
sampai kau terlibat dengan urusanku," kata Shin Ci-koh.
"Soal menghadapi musuh, biarlah kita bicarakan lagi nanti. Sekarang apakah lo-cianpwe
membekal kim-jong-yok?" tanya In-nio.
"Apa kau tak membawa?" Shin Ci-koh terkejut.
Kim-jong-yok atau obat pelumur luka, sebenarnya setiap orang persilatan tentu membekal. Tapi
karena Shin Ci-koh disergap secara mendadak oleh orang Leng-ciu-pay, maka ia tak sempat lagi
membawa obat itu.
"Celaka, kim-jong-yok kepunyaanku siang-siang, siang-siang sudah ....," In-nio menjadi
gelisah. "Kim-jong-yokmu dirampas Tiau-ing?" tukas Shin Ci-koh.
Sebenarnya In-nio tak mau memberitahukan hal itu karena mungkin menusuk perasaan Shin Cikoh.
Tapi karena Shin Ci-koh sudah mendahului mengatakan, In-nio terpaksa mengangguk: "Tetapi
hal itu tak dapat mempersalahkan murid lo-cianpwe. Karena aku menjadi orang tawanannya, sudah
tentu ia harus menggeledah badanku."
Shin Ci-koh menghela napas: "Ah, tak nyana murid yang paling kumanjakan, pada saat aku
dalam bahaya, ia tak datang menolong sebaliknya kau yang merawati aku dengan tekun. Aku,
sungguh menyesal ...."
In-nio tak dapat mencari kata-kata untuk menghiburinya.
"Apakah kau mengerti ilmu menutuk jalan darah" Itu mudah dipelajari. Biar kuajarkan
padamu. Salurkan lwekang ke arah ujung jari dan tutuklah dulu jalan darahku di bagian sin-thianhiat,
kemudian di bagian leng-cong-hiat. Setelah menutuk harus segera mengurutnya. Apakah kau
dapat mengurut?" tanya Shin Ci-koh.
In-nio mengatakan dapat. Memang walaupun ilmu menutuk supaya menghentikan keluarnya
darah itu tampaknya sederhana tetapi harus mengerti ilmu ketabiban juga. Di bagian mana yang
luka, harus di bagian mana yang ditutuk. Ini memang penting. Pengertian In-nio dalam hal itu
tidak banyak maka iapun tak berani gegabah. Tentang ilmu mengurut, barang siapa yang belajar
ilmu menutuk jalan darah, tentu sekalian belajar ilmu mengurut.
In-nio cepat mengerti apa yang diajarkan Shin Ci-koh. Sayang karena habis bertempur setengah
harian, tenaga In-nio pun lemah. Dengan susah payah ia berusaha mengerahkan lwekang ke ujung
jari. Habis melakukan penutukan, ia capai sekali.
"Bawalah kudaku itu dan pergilah lekas. Jangan mengurusi aku lagi," kata Shin Ci-koh.
Ternyata walaupun lukanya luar sudah berhenti mengalirkan darah, tetapi luka dalamnya tetap
masih payah. Dan itu mengandalkan tenaganya sendiri untuk melakukan pengobatan dengan
lwekang. Berhasil atau tidak, terserah pada nasib. Kalau orang Leng-ciu-pay tidak berhasil
mengejarnya, ia tentu selamat. Tapi kalau mereka tiba di situ, ia pasti celaka.
Shin ci-koh menyuruh In-nio membawa kuda Ciau-ya-say-cu-ma itu, agar In-nio dapat berganti
kuda di tenagh jalan. Dengan membawa dua ekor kuda istimewa, In-nio kemungkinan besar pasti
dapat meloloskan diri.
Tetapi In-no tak mau. Diangkatnya Shin Ci-koh ke atas punggung kuda, ujarnya: "Kita
bersama-sama pergi!"
"Tidak, aku sudah tak dapat berjalan jauh lagi," kata Shin Ci-koh.
"Aku tahu. Tetapi di sebelah muka sana ada sebuah biara rusak. Di sana kita meneduh
sementara," In-nio tak mau banyak bicara terus melarikan kuda membawa Shin Ci-koh ke biara tua
yang terletak di atas gunung.
"Biara itu oleh penduduk setempat dan kaum pemburu disebut Yok-ong-bio atau biara Raja
Obat. Karena bertahun-tahun daerah Tho-ko-poh selalu perang, kawanan pemburu yang tinggal di
atas gunung itupun dipanggil masuk dinas tentara juga. Sebagian yang tak mau, melarikan diri ke
daerah yang lebih dalam. Karena tiada yang merawat lagi, biara itupun rusak tak terurus.
Setelah membersihkan galagasi dan sarang laba-laba yang memenuhi ruangan biara, In-nio
menempatkan Shin ci-koh di situ. Kemudian ia keluar lagi mencari makanan. Tapi karena kuatir
Shin Ci-koh didatangi musuh, In-nio pun tak berani pergi jauh. Untung pada saat itu adalah saat di
mana burung-burung sama pulang ke sarangnya. In-nio tak bertenaga lagi untuk berburu binatang
hutan, maka ia terpaksa menimpuk burung dengan batu. Setelah berhasil mendapatkan dua ekor
burung dan memetik beberapa buah-buahan yang ia tak tahu namanya pokok asal kira-kira dapat
dimakan, ia lantas kembali ke biara.
Shin Ci-koh yang tengah menjalankan penyaluran lwekang sampai ubun-ubun kepalanya
mengepul asap tipis, demi melihat kedatangan In-nio segera menghela napas: "Nona Sip, aku sudah
tidak berguna lagi. Lebih baik kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini."
Setelah menjalankan penyaluran lwekang, ia dapatkan lwekangnya terluka parah. Luka yang
tak mungkin diobati dengan kepandaiannya sendiri. Paling-paling ia hnaya dapat bertahan untuk
sementara waktu saja.
"Telah kupetikkan beberapa buah-buahan hutan. Coba lihat apakah dapat dimakan?" In-nio
bertanya tanpa menghiraukan anjuran Shin Ci-koh.
Waktu melihat buah-buahan itu, Shin Ci-koh terkejut girang. Ternyata buah-buahan hutan itu
dapat digunakan sebagai obat pemulih urat-urat dan penghilang gangguan darah. Ini justeru yang
diperlukan. Setelah makan beberapa biji, semangat Shin Ci-koh tambah baik. Iapun duduk bersila
lagi untuk menyalurkan lwekang. Tetapi lewat beberapa jenak, ia membuka mata dan menghela
napas pula: "Ah, tetap tak berguna. Lukaku sangat parah. Hawa cin-gi hanya dapat menyalur
sedikit-sedikit. Paling tidak harus memerlukan tujuh delapan hari baru aku dapat pulih seperti
sediakala. Tetapi Ceng-beng-cu tentu tahu kalau aku menderita luka berat. Dia tentu melakukan
pengejaran di daerah gunung ini. Masakan kau mau menempuh bahaya merawati lukaku selama
tujuh delapan hari itu" Nona Sip, lekas pergilah. Aku hanya akan minta tolong sebuah hal padamu
yakni supaya memberitahukan pada Gong-gong-ji tentang musuh-musuhku itu. Minta dia supaya
membasmi seluruh kawanan Leng-ciu-pay sampai habis!"
Teringat akan kekasihnya Gong-gong-ji, walaupun mulut mengucapkan kata-kata keras, tetapi
hatinya pilu dan tak kuasa lagi ia menahan air matanya.
Diam-diam In-nio girang mengetahui Shin Ci-koh tak berbahaya jiwanya: "Harap lo-cianpwe
tenang-tenang mengobati luka. Taruh kata musuh datang kemari, tetapi sute-ku juga dapat mencari
aku kemari, Begitu lukamu agak baikan dan sute-ku datang, kita akan pergi bersama-sama."
Shin Ci-koh menarik napas: "Dalam hidupku hanya kenal kekerasan membunuh orang. Hari ini
baru aku tahu betul kemuliaan hiag-gi (kaum persilatan yang menjalankan kebaikan). Nona Sip,
kau bukan saja penolongku, pun juga guruku yang baik dan sahabatku yang mulia!"
"Ah, kata-kata lo-cianpwe ini memukul diriku. Aku hanya melakukan dharma yang seharusnya
dilakukan manusia hidup. Mana aku pantas disejajarkan dengan kaum hiap-gi?" In-nio
mengucapkan kata-kata merendah.
"Sute-mu itu juga baik orangnya, jauh lebih baik dari Se-kiat. Hm, kaupun lebih menang
ratusan kali dari muridku itu," kata Shin Ci-koh.
Belum In-nio membuka mulut tiba-tiba terdengar derap kaki orang mendatangi. Shin Ci-koh
tersirap kaget, buru-buru ia membisiki In-nio: "Mungkin Ceng-bing-cu yang datang. Lekas
sembunyikan dirimu."
Cepat sekali tindakan orang itu. Baru In-nio hendak melongok keluar, pintu sudah terpental
ditendangnya. Dan begitu melangkah masuk biara, orang itu sudah berteriak: "Siapa yang berada di
dalam?" Suaranya amat menusuk telinga. In-nio terkejut. Ketika mengawasi, ternyata yang datang itu
adalah Ceng-ceng-ji.
Karena dikejar suhengnya (Gong-gong-ji), Ceng-ceng-ji keputusan jalan. Dalam putus asa, ia
terpaksa hendak menggabung saja pada Su Tiau-gi. Ia sudah mendengar berita tentang persekutuan
Tiau-gi dengan Se-kiat. Se-kiat seorang pemimpin loklim dan mempunyai backing pulau Hu-songto.
Kalau ia (Ceng-ceng-ji) berhamba padanya, tentu akan terlindung. Ia memang tak punya
hubungan dengan Se-kiat. Tapi dengan mengandalkan pengaruh Tiau-gi, ia percaya Se-kiat tentu
sungkan menolaknya. Sama sekali ia tak tahu bahwa kini Tiau-gi dan Se-kiat itu sudah pecah.
Merasa wajahnya yang aneh seperti kunyuk itu mudah dikenal orang persilatan, maka Cengcengji melakukan perjalanan pada waktu malam. Dengan begitu ia dapat menghindar mata orang
yang tentu akan melapor pada suhengnya. Dan yang dipilihnya ialah jalanan gunung dan hutan
yang sepi-sepi. Demi melihat di luar biara terdapat dua ekor kuda dan di bagian dapur ada asap
mengepul (karena In-nio memanggang burung), Ceng-ceng-ji singgah. Tanpa disangka-sangka ia
berjumpa dengan In-nio dan Shin Ci-koh.
Ceng-ceng-ji lebih sukar dihadapi daripada Ceng-beng-cu. Kalau In-nio terperanjat adalah Shin
Ci-koh sudah berteriak: "Bagus, kukira siapa, ternyata kaulah kunyuk! Kau masih hutang padaku
sebuah tamparan. Kebetulan sekali kau datang, ayo kemari membayar hutangmu itu!"
Melihat siapa yang berada disitu, kejut Ceng-ceng-ji lebih besar dari Shin Ci-koh. Mengetahui
kelihayan wanita yang pernah menempeleng mukanya tempo hari, Ceng-ceng-ji cepat angkat kaki
seribu. Memang hebat ilmu ginkangnya, sekali melesat sudah lenyap dari pemandangan.
"Bibi, bagus, kau menggebah Ceng-ceng-ji sampai lari terkencing-kencing!" In-nio tertawa geli
dan bertepuk tangan.
Wajah Shin Ci-koh pucat. Pada lain saat ia muntahkan segumpal darah segar.
"Bibi, bagaimana keadaanmu?" tanya In-nio dengan cemas. Kini ia memanggil dengan sebutan
'bibi' kepada Shin Ci-koh.
Shin Ci-koh menghembus napasnya dan berkata: "Itu hanya dapat menggertaknya sementara
waktu. Ceng-ceng-ji seorang ahli silat jempol. Setelah kagetnya reda, ia tentu dapat mengaetahui
keadaan diriku. Sebelum ia datang,lekaslah kau lari!"
Ternyata karena kuatir Ceng-ceng-ji mengetahui keadaan dirinya, Shin ci-koh mengempo sisa
tenaganya untuk menggertak. Ini menggoyangkan perkakas dalamnya. Maka habis berteriak, iapun
lantas menyembur darah.
In-nio tetap tak mau pergi. Pikirnya: "Belum tentu Ceng-ceng-ji itu akan kembali. Andaikata
kembali, akupun sanggup menghadapinya."
Keputusan In-nio itu semata-mata terdorong oleh rasa hiap-gi. Ia sadar kalau bukan tandingan
Ceng-ceng-ji, tapi biar bagaimanapun juga, tetap ia tak mau tinggalkan Shin Ci-koh seorang diri
dalam keadaan terluka.
Apa yang diduga Shin Ci-koh itu ternyata tepat. Setelah lari agak jauh dan kejutnya reda, Cengcengji curiga. Batinnya: "Shin Ci-koh berlumuran darah. Benar noda darah itu mungkin berasal
dari korban yang dibunuhnya, tetapi jika tak terluka, ia tentu sudah mengejar aku. Mengapa
sekarang tidak" Pula, nada suaranya tadipun agak gemetar. Ha, jika ia benar-benar terluka, inilah
kesempatan sebaik-baiknya bagiku untuk membalasnya."
Pada saat Shin Ci-koh menganjurkan In-nio supaya lari, tiba-tiba pintu mendebur keras, sebua
kerikil jatuh ke lantai. Ternyata Ceng-ceng-ji kembali lagi. Namun karena masih kuatir, ia
timpukkan sebuah kerikil untuk menyelidiki keadaan. Itulah cara orang persilatan bertanya jalan
untuk mencari tahu keadaan. Jika ada reaksi, ia tak mau turun tangan.
Bedanya, Ceng-ceng-ji hendak mencari tahu apakah Shin Ci-koh terluka atau tidak. Jika
ShinCi-koh mengejar, iapaun segera akan lari sekencang-kencangnya.
Shin Ci-koh tertawa gelak-gelak, serunya: "Kunyuk kecil, tak perlu kau timpuk batu.
Masuklah, Suhengmu menunggu di sini. Dia barusan mengambilkan air untukku, sebentar tentu
datang." Ceng-ceng-ji terperanjat. Buru-buru ia loncat bersembunyi di atas pohon. Dari situ ia meninjau
keadaan sekelilingnya.
Dalam pada itu Shin Ci-koh mendorong In-nio dan mendesaknya supaya melarikan diri. Tetapi
sebaliknya, In-nio malah menyahut: "Baik, kita bersama-sama lari."
Dalam anggapan In-nio, meskipun Shin Ci-koh parah lukanya, tetapi tentu masih kuat bertahan
naik kuda. Sekalipun dengan begitu lukanya makin bertambah berat, namun masih jauh lebih baik
daripada jatuh di tangan si kunyuk Ceng-ceng-ji.
Di luar dugaan karena kelewat bernafsu mendorong, Shin Ci-koh memaksa gunakan tenaga.
Bukan In-nio yang kena didorong, sebaliknya ia sendiri yang jatuh terjungkal. In-nio cepat-cepat
hendak mengangkatnya tetapi pada saat itu Ceng-ceng-jipun suda masuk dengan tertawa terbahakbahak.
Rupanya Ceng-ceng-ji sudah tahu kalau ditipu Shin Ci-koh.
Seperti kucing menerkam tikus, dengan tergelak-gelak Ceng-ceng-ji berseru: 'Kau adalah bakal
susoh-ku. Suheng tidak ada, kaupun serupa. Baiklah, karena memandang muka suhengku, akupun
takmau membikin susah padamu. Tetapi hutan tetap hutang, harus dibayar. Akupun tak mau
meminta bunganya, cukup membayar sebuah tamparan atas hutangmu menampar aku."
Dengan bergaya sepeti hendak menampar, selangkah demi selangkah Ceng-ceng-ji maju
menghampiri Shin Ci-koh. Ia hendak balas menghinanya.
Sret. In-nio segera mencabut pedangnya dan dengan jurus Giok-li-tho-soh ia menabas Cengcengji. Yang diserang hanya ganda tertawa saja, serunya: "Oho, bukankah kau ini anak perempuan
Sip Hong" Bagus, ayahmu memimpin pasukan hendak menyerang Bo Se-kiat, tentunya Bo Se-kiat
sudah tak mau padamu lagi. Biar kuhaturkan kau kepadanya selaku hadiah. Nah, rebah dulu di
pinggir sana!"
Dengan kebutan lengan saja, Ceng-ceng-ji menyingkirkan ujung pedang In-nio, kemudian maju
merapat menutuk jalan darah si nona. Memang siang-siang ia sudah mendengar berita tentang
perkawinan Se-Kiat dengan Tiau-ing. Iapun tahu juga bahwa In-nio itu adalah bekas kekasih Sekiat.
Kuatir kalau Se-kiat masih tak dapat melupakan In-nio, Ceng-ceng-jipun tak berani
melukainya sungguh-sungguh. Ia hanya hendak menutuk jalan darah supaya si nona lemas dan
rubuh saja. Setelah Shin Ci-koh diselesaikan, ia segera akan membawa In-nio pergi.
Siapa tahu dalam beberapa hari ini, selama bersama-sama Bik-hu, In-nio banyak mendapat
pelajaran ilmu pedang. In-nio cepat menarik pedang dan membabat tangan Ceng-ceng-ji. Cengcengji memang kelewat memandang rendah. Jalan darah tidakkena ditutuk, sebaliknya hampir saja
jari tangannya terpapas kutung. Untung ia lekas-lekas tarik kembali tangannya.
"Budak hina yang tak tahu mati. Betapa tinggi kepandaianmu, berani melawan aku" Jika
sampai membuat marahku, mukamu tentu akan kucakar, biar seumur hidup kau tak laku kawin!"
bentaknya dengan marah.
"Hebat benar kau, menghina seorang anak perempuan!" Shin Ci-koh menyindirnya.
Ceng-ceng-ji putar tubuh menghadap ke tempat Shin Ci-koh: "Baik, karena kau mengatakan
begitu, biarlah kutamparmu dulu baru nanti memberesi budak perempuanitu. Kau seorang tokoh
yang terkenal lama, tentu tak dapat mengatakan aku menghinamu!"
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
In-nio tetap berlaku tenang sekali. Dihina lawan, ia tak marah. Ia tahu kepandaian Ceng-cengji
itu jauh lebih atas, orangnyapun kejam sekali. In-nio telah bertekad bulat untuk mengadu jiwa
dan untuk itu ia harus bersikap tenang. Ia tetap mainkan pedangnya untuk melibat jangan sampai
Ceng-ceng-ji lolos.
Jika di tempat pertempuran yang agak lebar, tentu Ceng-ceng-ji sudah dari tadi dapat lolos.
Tetapi ruangan biara itu sempit sekali. Waktu Ceng-ceng-ji hendak menyelinap dari samping Innio,
In-nio cepat gunakan ilmu pedang Hui-hoa-ciu-tiap (bungan terbang mengejar kupu-kupu).
Ilmu pedang itu hasil ciptaan suhunya, Biau Hui sin-ni. Mengutamakan kelincahan dan
ketangkasan, paling cocok untuk kaum wanita. Karena memandang rendah lawan, sejak mulai
bertempur Ceng-ceng-ji hanya gunakan tangan kosong saja. Dan selangjutnya pun ia tak sempat
lagi mencabut pedang. Ia menjadi keripuhan juga. Tak lagi ia mampu lolos.
Hanya saja Ceng-ceng-ji kini sudah berhati-hati. Kalau In-nio mengharap dapat menusuknya,
itulah seperti orang mendaki langit sukarnya. Enam kali enam jurus atau sama dengan tiga puluh
enam serangan telah dilancarkan,namun ujung baju Ceng-ceng-ji saja In-nio tak mampu
menyentuhnya. Pada saat In-nio menyelesaikan ke-36 jurusnya dan hendak berganti permainan baru, Cengcengji sudah sempat mencabut pedangnya dan membentak: "Jika kau tak tahu selatan, jangan
salahkan aku berlaku ganas!" -- Dan pedangnya dikiblatkan dalam setengah lingkaran, ujgung
menusuk dada, batangnya memapas pedang si nona dan tangkainya disodokkan ke lambung.
Sekaligus tiga serangan telah membuat In-nio kelabakan sekali.
Shin Ci-koh diam-diam telah mengambil keputusan. Asal tubuhnya tersentu jari Ceng-ceng-ji,
iapun hendak bunuh diri dengan jalan memutus urat nadi. Waktu melihat In-nio berjuang matimatian
utnuk melindunginya, diam-diam ia berterima kasih sekali dan terharu. Dua titik ari mata
mengalir di celah pipi. Ia bergelar Bu-ceng-kiam atau Pedang Tak Kenal Kasihan. Sekalipun
gelaran itu hanya gelaran kosong karena pada kenyataannya ia sekali-kali bukan manusia yang tak
punya perasaan kasihan, namun sejak dewasa sekalipun dalam keadaan yang bagaimana sedihnya,
ia tak pernah mengucurkan air mata. Sejak keluar ke dunia persilatan, baru pertama kali itu ia
menghamburkan air mata.
In-nio kewalahan menangkis ketiga serangan Ceng-ceng-ji. Pada saat ia akan termakan pedang
lawan, tiba-tiba Shin Ci-koh berteriak memberi petunjuk: "Jalan ke Hun-wi, kemudian Li-hong,
gunakan jurus hian-niau-hoa-sat!"
Hun-wi dan Li-hong adalah nama posisi kaki. Saat itu Ceng-ceng-ji tengah menuju ke posisi
Hun-wi untuk menyerang. Jika In-nio menuju ke Hun-wi juga, berarti akan mengantar jiwa. Tetapi
ia sudah tak berdaya. Begitu mendengar petunjuk Shin Ci-koh, iapun laksanakan tanpa reserve.
Keduanya bergerak dengan cepat. Baru Ceng-ceng-ji tinggalkan Hun-wi menuju ke Kian-wi,
posisinya tepat berada di sisi In-nio. In-nio cepat gunakan jurus Hian-niau-hoa-sat dan ternyata
hasilnya mengagumkan sekali. Tusukan Ceng-ceng-ji luput, sebaliknya ujung pedang In-nio dapat
membabat lengan lawan. Ceng-ceng-ji kaget dan buru-buru geliatkan pinggangnya dan maju
selangkah. Tetapi belum lagi kakinya berdiri tegak, ujung pedang In-nio sudah menyambut ke
dadanya. Kiranya sesuai dengan petunjuk Shin Ci-koh, dari posisi Hun-wi In-nio mengisar ke Lihong.
Dan ini justeru tempat di mana Ceng-ceng-ji hendak beralih. Ceng-ceng-ji kempiskan dada
dan terlolos dari lubang jarum. Sekalipun begitu tak urung ujung bajunya kena terpapas.
"Sayang, sayang!" Shin Ci-koh menghela napas. Ia adalah tokoh ilmu pedang utama pada
jaman itu. Kepandaiannya ilmu pedang sejajar dengan Mo Kia lojin dan Biau Hui sin-ni. Pernah ia
menguji kepandaian dengan Gong-gong-ji, maka ia cukup paham akan ilmu pedang "Wan-kongkiamhwat" Gong-gong-ji. Dengan begitu ia sudah dapat menduga lebih dulu tentang gerakan
Ceng-ceng-ji tadi. Sayang tenanga In-nio tak mencukupi syarat. Walaupun sudah mendapat
petunjuk Shin Ci-koh, namun paling banyak ia hanya dapat membabat ujung baju Ceng-ceng-ji saja
tapi tak dapat melukainya.
Sekalipun begitu, inisiatif kini dipegang oleh In-nio. Setiap gerakan Ceng-ceng-ji selalu
dipatahkan oleh In-nio yang menerima petunjuk dari Shin Ci-koh.
Lama kelamaan marah juga Ceng-ceng-ji, teriaknya: "Shin Ci-koh, kau keluarlah!"
Shin Ci-koh tak ambil pusing dan tetap memberi petunjuk pada In-nio. In-nio tertawa
mengejek: "Terhadap aku saja kau tak mampu mengalahkan, mana berharga bertanding dengan
Shin lo-cianpwe?"
Dalam pertempuran, jangan sekali-kali marah. Justeru In-nio hendak membuat supaya Cengcengji marah. Sambil mengejek pedang in-nio digelincirkan ke lambung orang. Jika Ceng-ceng-ji
tak cepat menghindar, tulang iganya tentu remuk.
Ceng-ceng-ji tahu juga akan siasat In-nio. Ia tindas kemarahannya dan menghadapi In-nio
dengan hati-hati. Tiba-tiba ia mendapat siasat. Bahunya tampak digerakkan.
"Jalan ke Kian-hong dan gunakan jurus Kim-ciam-lo-kiap!" cepat Shin Ci-koh sudah lantas
meneriaki. Di luar dugaan, Ceng-ceng-ji berdiam diri sehingga In-nio menusuk angin. Shin Ci-koh hendak
memberi petunjuk lagi tapi sudah terlambat. Trang. Ceng-ceng-ji sudah berhasil mementahkan
pedang In-nio dan cret, menyusul tangannyapun sudah mencengkeram bahu si nona. Asal jari
Ceng-ceng-ji sedikit ditekankan lagi, tulang pi-peh-kut bahu In-nio tentu remuk. Dan In-nio pasti
akan menjadi invalid selama-lamanya.
Dalam detik-detik yang berbahaya itu dimana In-nio sendiri sudah tak berdaya, sekonyongkonyong
Ceng-ceng-ji tarik pulang tangannya dan memaki: "Kurang ajar, siapa yang membokong
dari belakang itu?"
In-nio gelagapan mendongak ke muka dan berserulah ia dengan girang: "Khik-sia, kau datang!"
"Cici In, aku juga datang!" tiba-tiba terdengar juga sebuah suara melengking nyaring.
Menyusul masuklah Yak-bwe.
Khik-sia dan Yak-bwe memang datang hendak mencari In-nio. Karena sudah seperti saudara
kandung, sejak berpisah dengan In-nio, Yak-bwe selalu memikirkan saja. Kebetulan Thiat-mo-lek
bermaksud hendak mengirim surat kepada Se-kiat. Surat yang berisi nasihat terakhir supaya Se-kiat
kembali ke jalan yang benar. Untuk itu Thiat-mo-lek memerlukan seorang untuk membawa
suratnya. Tahu akan isi hati Yak-bwe, Khik-sia sengaja tawarkan diri kepada Thiat sukonya untuk
mengirim surat itu. Demikianlah dengan membawa Yak-bwe, Khik-sia segera berangkat ke Yu-ciu.
Mereka tak menduga sama sekali bahwa In-nio sudah menyelundup masuk ke Tho-ko-poh
untuk menemui Se-kiat. Mereka hanya menduga tentu akan berjumpa dengan In-nio di Yu-ciu
karena nona itu ikut pada ayahnya yang memimpin tentara untuk menindas pemberontakan di YuKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ciu. Sebenarnya Thiat-mo-lek tak setuju Khik-sia pergi. Ia tahu bagaimana perangai sutenya itu.
Mungkin di Yu-ciu nanti akan bentrok dengan Se-kiat. Tapi Thiat-mo-lek tiada lain pilihan lagi
karena selain Khik-sia siapa yang mampu melakukan tugas sebagai kurir begitu. Setelah Khik-sia
berangkat, Thiat-mo-lek ajak Toh Peh-ing, Shin Thian-hiong dan kawan-kawan menuju ke gunung
Hok-gu-san. Di sana ia hendak membereskan segala perpecahan di kalangan loklim akibat tindakan
Se-kiat. Dengan naik kuda pemberian Cin Siang yang dapat naik gunung melintasi sungai seperti di
tanah datar, Khik-sia dan Yak-bwe dapat menempuh perjalanan dengan lancar. Hari itu mereka tiba
hanya kurang 30-an li dari Tho-ko-poh. Pertama-tama yang mereka jumpai ialah tentara-tentara
yang kalah perang dan meloloskan diri dari Tho-ko-poh. Khik-sia tahu peperangan sudah dimulai,
maka ia tak mau mengambil jalan besar, melainkan memilih jalan kecil di pegunungan. Ketika
melalui biara rusak, didengarnya suara senjata beradu. Dan yang membuat mereka terkejut ialah
dua ekor kuda yang tertambat di muka biara. Teranga itulah kuda In-nio dan Bik-hu yang diterima
dari Cin Siang tempo hari. Bergegas-gegas Khik-sia dan Yak-bwe loncat turun dan masuk ke dalam
biara. Ilmu ginkang Khik-sia itu hanya di sebelah bawah suhengnya (Gong-gong-ji). Tetapi lebih
unggul dari Ceng-ceng-ji. Ceng-ceng-ji yang tumpahkan perhatian menghadapi In-nio sudah tak
mengetahui akan kedatangan Khik-sia. Baru setlah Khik-sia turun tangan, Ceng-ceng-ji tahu kalau
ada pendatang baru. Tapi iapun tak meyangka kalau yang datang itu Khik-sia. Ia hanya menyangka
orang itu tentu lihay. Ini dapat dilihat dari kebutan lengan baju yang meneribit angin keras.
Seorang persilatan yang tengah bertempur, paling takut kalau ada orang membokong dari
belakang. Demikian juga Ceng-ceng-ji. Belum tangannya menekan tulang pundak In-nio, lebih
dulu ia berpaling ke belakang untuk melihat siapa penyerangnya tadi dan astaga ....
"Siapa yang membokongmu" Hm, kau hendak menghina seorang wanita yang terluka, sungguh
nista sekali. Dengan perbuatanmu itu kau amsih berani menyingung-nyinggung tentang Eng-hiong
dan Ho-han?" Khik-sia tertawa sinis.
Yak-bwe maju merangkul In-nio dan saat itu barulah In-nio tersadar serta merasa ngeri teringat
pertempuran tadi. "Khik-sia, kau pelintir tulang pundak si kunyuk tua itu, untuk memuaskan
penasaran cici In," teriak Yak-bwe.
Ceng-ceng-ji merah padam mukanya. Teriaknya dengan gusar: "Khik-sia, kau benar-benar tak
memandang mata pada orang tua. Biar bagaimana aku ini suhengmu, mengapa kau berani
menghina aku di depan umum"!"
Shin Ci-koh menertawakan: "Bagus, sungguh bagus sekali Ceng-ceng-ji, kau tak berjumpa
dengan suheng, bertemu dengan sute pun serupa juga!"
"Tutup mulutmu!" bentak Khik-sia kepada Ceng-ceng-ji, "beberapa kali kau hendak mengambil
jiwaku, mengapa masih berani mengaku suheng?"
"Kurang ajar!" Ceng-ceng-ji balas membentak: "Aku adalah suhengmu. Aku berhak
mengajarmu, masakan aku hendak mengambil jiwamu sungguh-sungguh" Mengingat kau masih
muda kurang pengalaman, akupun tak mau mengimbangi kekurangajaranmu. Baik, jika kau masih
tidak terima, silahkan mengadu pada toa-suheng, sekarang biar kucari toa-suheng supaya datang
kemari." Ceng-ceng-ji main gertak dengan suara keras tapi sebenarnya hatinya jeri terhadap sutenya itu.
Ia merasa tak menang jika berkelahi dengan Khik-sia. Apalagi ada Yak-bwe dan In-nio di situ.
Maka sengaja ia gunakan lidah untuk mencari alasan buat angkat kaki.
"Tak usah kau capekan diri mencari toa-suhengmu. Gong-gong-ji memang justeru hendak
mencarimu. Dia sudah berjanji padaku, beberapa hari lagi akan datang kemari. Kau temani saja
sutemu tinggal di sini beberapa hari ini," Shin Ci-koh tertawa mengejek.
Makin mengingat perbuatan Ceng-ceng-ji, makin meluap kemarahan Khik-sia. Ia cabut
pedangnya dan membentaknya: "Ceng-ceng-ji, kau masih ada muka menyebut dirimu sebagai
murid perguruan kami" Kau mengkhianati ajaran perguruan, menceburkan diri dalam kalangan
jahat, bertindak salah dan mengumbar kejahatan. Sunio telah memberi perintah kepada toa-suheng
supaya memengal kepalamu. Karena masih mengingat persaudaraan, beberapa kali toa-suheng
bermurah hati tak tega membunuhmu. Hal ini, jangan kira aku tak tahu. Mengapa kau masih
berani gunakan nama toa-suheng untuk menggertak aku" Baik, karena memandang muka toasuheng,
aku pun takkan mengambil jiwamu. Kau bikin cacd dirimu sendiri sajalah!"
Dunia persilatan mengenal sebuah peraturan. Murid yang melanggar peraturan perguruannya
diberi kebebasan dari hukuman mati tapi diharuskan membikin cacad dirinya sendiri agar seluruh
kepandaiannya hilang. Itulah sebabnya maka Khik-sia meminta cara itu.
Saking malunya Ceng-ceng-ji menjadi marah. Ia memaki keras-keras: "Kau mengandalkan
perlindungan sunio untuk jual kesombongan" Hm, sekalipun aku dianggap melanggar peraturan
perguruan pun bukan kau yang berhak menghukum!"
Pedang ceng-kim-kiam bergerak seolah-olah hendak menyerang Khik-sia, tapi sekonyongkonyong
Ceng-ceng-ji balikkan tangannya untuk menangkap Yak-bwe. Licik benar Ceng-ceng-ji.
Tahu kalau tak bakal menang melawan Khik-sia, maka ia gunakan siasat licik, selagi orang tak
bersiaga ia hendak meringkus Yak-bwe sebagai brang tanggungan untuk menekan Khik-sia.
Karena mempunyai rencana begitu, siang-siang Ceng-ceng-ji sudah memperhitungkan jarah
Yak-bwe. Maka meskipun hanya dengan balikkan tangan ke belakang dengan tanpa melihat,
sebenarnya ia tentu akan berhasil menangkap Yak-bwe. Tapi di luar perhitungannya, ternyata Shin
Ci-koh sejak tadi selalu mengikuti gerak-gerik Ceng-ceng-ji saja.
Begitu Ceng-ceng-ji mengangkat pedang pura-pura hendak menyerang Khik-sia, Shin Ci-koh
sudah mengetahui siasatnya. Dan cepat-cepat ia meneriaki Yak-bwe: "Nona Su, lekas
menyingkir!"
Bret, baju Yak-bwe kena dijambret robek oleh Ceng-ceng-ji. Untung Yak-bwe sudah keburu
menyingkir hingga tak kena dicengkeram. Ceng-ceng-ji hendak mengejar dengan lain cengkeraman
tapi Khik-sia sudah mendahului loncat membacok. Tadi karena kurang pengalaman, ia kena
diingusi sehingga Yak-bwe hampir saja jadi korban.
Serangan yang dilancarkan Khik-sia dengan kemarahan itu disebut jrusu Liong-bun-song-long.
Di dalam gerak mengandung lain gerak. Tebaran sinar pedang benar-benar seperti gelombang
ombak laut yang mendampar bertubi-tubi. Getaran ujung pedangnya menerbitkan angin menderuderu.
"Baru sebulan tak ketmu, mengapa kepandaian anak itu sedemikian pesatnya?" diam-diam
Ceng-ceng-ji mengeluh dalam hati.
Keduanya bergerak secara cepat. Ceng-ceng-ji menang pengalaman, tapi Khik-sia menang
kepandaian. Pada saat ujung pedang Khik-sia hampri mengenai, Ceng-ceng-ji baru balikkan
tangannya menangkis dengan jurus Kim-tiau-tian-ki (burung alap-alap pentang sayang). Trang,
begitu kedua pedang saling beradu, Ceng-ceng-ji tekankan pedangnya dan dengan meminjam
tenaga Khik-sia, ia buang tubuhnya ke belakang sampai satu tombak lebih. Maksudnya hendak
melarikan diri.
"Hai, hendak lari kemana kau?" teriak Khik-sia sambil loncat menusuk ulu punggung Cengcengji. Meskipun berhasil mematahkan serangan Khik-sia tadi, tapi tak urung tangan Ceng-ceng-ji
terasa sakit juga. Kali ini ia tak berani adu kekerasan lagi. Ia mengisar ke samping dan dengan
gerak tipuan, ia dapat menghindari serangan. Namun saat itu Khik-sia sudah menjaga di ambang
pintu. "Karena mengingat seperguruan, kau tak sampai hati turun tangan. Apa kau kira aku sungguh
takut padamu?" seru Ceng-ceng-ji.
Khik-sia tertawa dingin: "Mengapa tempo hari tak tampak kau mengingat saudara
seperguruan?"
Justeru itulah yang dinanti-nantikan Ceng-ceng-ji. Ia memang hendak memancaing supaya
Khik-sia bicara. Sekonyong-konyong ia menusuk dan menutuk tujuh bagian jalan darah di tubuh
Khik-sia. Tadi Khik-sia sudah termakan tipunya. Kali ini mana ia dapat diingusi lagi" Walaupun
mulutnya bicara tapi matanya tetap memperhatikan tangan Ceng-ceng-ji. Begitu lawan bergerak,
iapun lantas bergerak. Dan yang digunakan juga jurus permainan menusuk jalan darah. Tetapi
yang digunakan Khik-sia itu bukan tusukan tujuh jaland arah, melainkan tutukan sembilan jalan
darah. Dibanding dengan ilmu tutukan Ceng-ceng-ji lebih unggul setingkat.
Ilmu menusuk jalan darah dari ilmu pedang Wan-kong-kiam-hwat memang istimewa sekali.
Bagian yang paling sempurna dari ilmu pedang tersebut ialah menusuk sembilan jalan darah. Dulu
hanya Gong-gong-ji seorang yang dapat memainkan. Sudah tentu Ceng-ceng-ji terbeliak kaget. Ia
tak menyangka sama sekali kalau Khik-sia pun bisa. Tring, tring, tring, ia dapat menangkis yang
tujuh, tapi yang dua dengan susah payah baru ia dapat meloloskan diri. Kedua saudara seperguruan
itu karena tahu akan kepandaian masing-masing, untuk beberapa saat masih belum ada yang
menang atau kalah. Tapi yang nyata, baik dalam ilmu lwekang dan ilmu pedang, Khik-sia lebih
unggul setingkat dari Ceng-ceng-ji. Dalam pertempuran itu, Ceng-ceng-ji selalu di pihak bertahan.
Melihat Khik-sia lebih unggul, barulah Yak-bwe lega dan perhatiannya kini dicurahkan pada
Shin Ci-koh. Tahu bahwa Shin Ci-koh itu suhu Tiau-ing, sebenarnya Yak-bwe tak punya kesan
baik. Tapi karena tadi Shin Ci-koh telah memberi peringatan sehingga ia dapat terlepas dari
sergapan Ceng-ceng-ji, Yak-bwe pun menghaturkan terima kasih kepada wanita itu.
"Muridku berbuat curang kepadamu, walaupun kau tak memaki aku, tapi aku sudah merasa
malu sendiri," Shin Ci-koh menghela napas.
Sesaat Yak-bwe heran, pikirnya: "Wanita ini biasanya ganas dan sombong, mengapa sekarang
mendadak sontak berubah perangainya?"
Baru In-nio hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar derap kaki orang datang. Ternyata
yang datangitu dua orang thau-to (imam). Yang seorang tua dan yang satu muda. Wajah mereka
mengunjukkan sebagai orang suku Oh. Thau-to yang muda itu tinggi kurus perawakannya,
mengenakan jubah warna hijau, matanya berkilat-kilat tajam sekali. In-nio segera mengenali thauto
itu sebagai Ceng-bing-cu murid ahli waris dari partai Leng-ciu-pay yang telah memimpin anak
buahnya mengepung Shin Ci-koh. Thau-to tua itu tak dikenalnya. Tetapi dari wajahnya yang
merah kemilau dan sepasang matanya yang berapi-api serta perawakannya yang luar biasa
tingginya, tentulah juga seorang kosen yang tinggi lwekangnya. kemunginan lebih sakti dari Cengbingcu. Wajah Shin Ci-koh berubah seketika. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: "Oh, kiranya
Leng Ciu siangjin datang, maaf, aku lalai menyambut. Aku merasa beruntung karena hari ini dapat
bertemu dengan dua angkatan dari partaimu!"
Munculnya Ceng-bing-cu saja cukup membuat In-nio terkejut apalagi mendengar bahwa thau-to
tua itu ternyata Leng Ciu siangjin, suhu dari Ceng-bing-cu. Diam-diam ia mengeluh dalam hati.
Baru pihaknya tambah dua tenaga (Khik-sia dan Yak-bwe), kini pihak lawan datang juga dua tokoh
kuat. Sebaliknya kini giliran Ceng-ceng-ji yang girang setengah mati, serunya tergopoh-gopoh:
"Ceng-bing toheng, sebenarnya aku sudah akan menangkap wanita siluman itu untuk kuserahkan
padamu, tetapi sute-ku yang kurang ajar ini selalu merintangi aku. Ah, aku merasa malu!"
Ceng-ceng-ji belum kenal leng Ciu siangjin. Tetapi dengan Ceng-bing-cu ia sudah bersahabat
karib ialah ketika sama-sama membantu Su Tiau-gi tempo hari. Iapun mengetahui juga tentang
permusuhan antara Ceng-bing-cu dengan Shin Ci-koh. Sebaliknya, Ceng-bing-cu tidak tahu kalau
Ceng-ceng-ji pun mendendam pada Shin Ci-koh. Ia kira Ceng-ceng-ji itu benar-benar hendak
membantunya menangkap Shin Ci-koh. Sudah tentu ia berterima kasih.
Khik-sia tak menghiraukan sama sekali akan kedatangan kedua tokoh Leng-ciu-pay itu.
Memang Khik-sia itu bagaikan anak kambing yang tak takut pada harimau. Melihat kesempatan
dimana Ceng-ceng-ji terpencar pikirannya karena bicara tadi, Khik-sia perhebat serangannya.
Bunuh dulu Ceng-ceng-ji baru nanti menggempur benggolan Leng-ciu-pau, demikian pikirnya.
Cret, Ceng-ceng-ji termakan sebuah tusukan. Tetapi tusukan Khik-sia itu bukan dimaksud
untuk mengambil jiwa, melainkan untuk menusuk jalan darah saja. Ceng-ceng-ji sudah banyak
pengalaman. Waktu merasa hawa pedang menyusup ke dalam urat, buru-buru ia empos semangat
dan kempiskan dadanya. Tusukan Khik-sia tidak tepat mengenai jalan drahnya melainkan di
sebelah jalan darah Yang-koh-hiat lambung kiri. Hanya sedikit kulitnya yang terluka.
Berbareng saat itu Ceng-bing-cu berkata: "Memberi buah tho akan dibalas dengan buah li.
Terima kasih atas bantuanmu. Akupun akan membantumu membersihkan pengacamu!"
Khik-sia baru berganti gerak hendak menusuk jalan darah Ceng-ceng-ji, tahu-tahu Ceng-bing-cu
sudah berada di belakang dan menampar punggungnya dengan Toa-chiu-in, sebuah pukulan
beracun. Apabila kena urat punggung Khik-sia pasti terluka kena racun.
Tampaknya Khik-sia seperti tak berjaga-jaga, tetapi sebenarnya ia selalu memperhatikan
keadaan di sekeliling situ. Waktu tangan Ceng-bing-cu sudah akan 'in' (mencap) punggungnya,
tanpa menoleh Khik-sia sabatkan pedangnya ke belakang. Ceng-bing-cu terkejut bukan kepalang.
Ia mengira tadi tentu berhasil mencuri kesempatan karena terang Khik-sia sedang gerakkan
pedangnya menusuk Ceng-ceng-ji. Siapa tahu ternyata permainan Khik-sia mencapai tingkat
sedemikian rupa, hingga dapat merubah gerakan tangannya pada setiap waktu dan keadaan yang
bagaimanapun jua.
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tahan!" pada saat dimana tangan Ceng-bingcu pasti kutung, tiba-tiba Leng Ciu siangjin
berteriak sembari kebutkan lengan bajunya. Sedemikian hebat kebutan ketua Leng-ciu-pay,
sehingga pedang Khik-sia yang tajamnya luar biasa tak mampu menusuk lengan baju thau-to tua
itu, bahkan orangnya (Khik-sia) sendiri tersurut tiga langkah. Setelah berputar-putar tubuh, baru ia
dapat berdiri tegak.
Bukan main kejut Khik-sia. Ilmu lwekang bagian 'sia' (hapus atau memindah), Khik-sia dapat
juga menggunakan. Tetapi apa yang dipertunjukkan Leng Ciu siangjin tadi hebatnya bukan tertara.
Khik-sia belum pernah mendengar dan menyaksikan. Jika tidak mengalami sendiri, tentu ia tak
percaya hal itu.
Di lain pihak, Leng Ciu siangjin sendiri juga tak kurang kagetnya. Kebutannya hanya dapat
mengundurkan si anak muda sampai tiga langkah, sungguh di luar dugaan. Pikirnya: "Bocah ini
paling banyak baru 20-an tahun umurnya, mengapa begitu lihay" Jika tadi ia menusuk tiga kali
berturut-turut, aku tentu tak mampu gunakan lwekang 'sia', terpaksa aku harus melawannya."
"Urusanku dengan partaimu, tiada sangkut pautnya dengan lain orang," kedengaran Shin Ci-koh
mendengus dingin, "muridmu kesatu Ceng-bing-cu telah tak mengindahkan aku kemudian
kuberinya hajaran. Setelah itu dua kali anak muridmua menyerang aku. Ada dua puluh tiga orang
yang meninggal. Mereka semua akulah yang membunuhnya. Jika kau hendak menuntut balas,
harap pada aku saja!"
Leng Ciu siangjin mendengus, ia tertawa dingin: "Shin Ci-koh, kau juga tak memandang mata
padaku. Kau anggap aku ini orang bagaimana?"
"Benar, siangjin memang golongan cianpwe persilatan, mana mau mencelakai orang yang
sedang terluka?" buru-buru In-nio mengumpaknya. Menyaksikan kepandaian Leng Ciu siangjin
tadi, In-nio insyaf bahwa sekalipun ia bertiga dengan Khik-sia dan Yak-bwe maju berbareng, pun
takkan menang. Maka cepat ia gunakan ucapan Leng Ciu siangjin untuk memukulnya.
Shin Ci-koh tetap masih duduk bersila. Sedikitpun tiada perubahan pada seri mukanya. Ia
menyeletuk: "Leng Ciu siangjin, kunasehatikan jika hendak membikin permbalasan, lebih baik
sekarang juga. Inilah saat yang paling tepat untuk melakukan permbalasan. Kalau selewatnya hari
ini, dikuatirkan tak mudah kau hendak mengalahkan aku!"
Seru Ceng-bing-cu: "Wanita siluman itu sudah terluka. Suhu, jika kau enggan turun tangan,
biarlah aku saja yang menindaknya!"
"Ngaco, mundur!" bentak Leng Ciu siangjin. Sekonyong-konyong ia tertawa gelak-gelak.
Terpaksa Ceng-bing-cu mundur sambil meringis.
"Shin Ci-koh, apakah kau kira aku tak tahu isi hatimu" Kau paling takut kalah di tanganku dan
ditertawai orang. Maka kau sengaja mendesak aku supaya bertindak sekarang. Sekarang kau
sedang luka parah, jika kubunuhmu tentu orang tak menyohorkan kepandaianku!"
Habis berkata ia merogoh keluar dua buah pil, ditaruhkan di telapak tangan lalu dihembusnya
dengan mulut. Dua butir pil itu 'terbang' ke pangkuan Shin Ci-koh.
"Dua butir pil itu, satu untuk memunahkan racun, satunya untuk mengobati luka. Setelah kau
sembuh betul, baru aku bertanding padamu agar kau mati tidak penasaran!" seru Leng Ciu siangjin
dingin. "Kau kira aku tak sanggup mengobati lukaku sendiri" Aku tak sudi menerima budimu!" sahut
Shin Ci-koh. Kembali Leng Ciu tertawa keras: "Gelranmu Bu-ceng-kiam, akupun tak mau melepas budi
padamu! Karena lukamu masih belum sembuh, aku enggan membunuhmu maka kuberimu obat.
Itu sekali-kali bukan suatu kebaikan melainkan supaya lekas-lekas dapat kuambil jiwamu. Memang
kutahu kau dapat mengobati sendiri, tapi palging tidak harus makan waktu sampai 7-8 hari. Mana
aku mempunyai tempo menunggumu" Setelah makan pilku itu, paling lambat besok pagi siang,
kau tentu sudah sembuh. Besok malam pada waktu begini, kita bertemu lagi di sini. Kita keluarkan
kepandaian masing-masing untuk menentukan kejantanan. Hm, hm, pada waktu itu, sekali
bertanding jangan harap aku suka mengampunimu! Bagaimana, apa kau tetap tak mau minum pil
itu" Atau apakah kau sudah tahu dan merasa kepandaianmu tak menang dari aku" Begitu lukamu
sembuh, kau tentu mati di tanganku. Kalah tetap kalah, mati tetap mati. Tak perlu cari alasan apaapalagi!"
Saking marahnya Shin Ci-koh terus sekali telan kedua pil itu. Serunya: "Besok malam aku
tentu menunggumu di sini. Surat undangan dari Raja Akhirat, entah akan diberikan kepada siapa
nanti?" Leng Ciu siangjin tertawa keras: "Waktumu hanya sehari saja, harap kau bereskan semua
pesanmu, maaf aku tak dapat mengawani lebih lama." -- Ketua Leng-ciu-pay itu lantas memimpin
Ceng-bing-cu pergi. Ceng-ceng-ji pun gunakan kesempatan itu untuk ngintil mereka.
Perubahan yang datangnya secara mendadak itu, sungguh di luar dugaan. Pikir Khik-sia: "Leng
Ciu siangjin sungguh seorang benggolan yang sakti, meskipun jahat, dia tak mau mencelakai orang
yang terluka. Sungguh tak mengecewakan gengsinya sebagai ketua sebuah partai persilatan."
Tiba-tiba wajah Shin Ci-koh berubah gelap dan mendekap perut merintih-rintih. Yak-bwe
terkejut sekali, serunya: "Jangan-jangan siluman tua itu menipumu dengan obat racun" Ai, Shin locianpwe,
kau kelewat percaya padanya!"
Tiba-tiba Shin Ci-koh muntahkan segumpal darah kental. Katanya dengan wajah bersungguh:
"Leng Ciu lo-koay tidak bohong, obat pilnya itu manjur sekali. Darah kental yang kusemburkan
ini, adalah racun yang berada di tubuhku. Rupanya tak usah sampai besok pagi, aku sudah sembuh
sama sekali!"
"Shin lo-cianpwe, apakah kau yakin dapat menangkan dia?" In-nio merasa cemas.
Dengan angkuh Shin Ci-koh menyahut: "Siluman tua itu juga belum tentu dapat menangkan
aku!" Namun sekali mulutnya mengatakan begitu, tapi terang kata-katanya itu bernada kurang yakin
untuk menangkan pertempuran besok malam. Memandang kepada Khik-sia, berkatalah ia: "Besok
kalau aku bertempur melawan Leng Ciu lokoay, dia membunuh aku atau aku membunuhnya,
bukanlah suatu hal yang mustahil. Jika aku yang tak beruntung, harap kau sampaikan pada toasuhengmu."
"Aku telah membunuh dua puluh tiga murid Leng-ciu-pay. Sekalipun aku nanti mati di tangan
Leng Ciu siangjin, tetap aku masih untung. Gong-gong-ji tentu membalaskan sakit hatiku. Khiksia,
tolong kau wakili aku menasihati dia, jangan sampai dia menuntut balas! Dia harus menurut
nasihatku. Nasihat yang merupakan permintaanku kepadanya yangterakhir," kata Shin Ci-koh pula.
Heran In-nio mendengarnya. Pertama ia berjumpa denganShin Ci-koh, iamasih merupakan
seorang wanita yang ganas tak kenal kasihan, bermulut tajam dan minta padanya (In-nio)
menyampaikan surat kepada gong-gong-ji supaya Gong-gong-ji membunuh habis semua orang
Leng-ciu-pay. Apa yang didengarnya kini, jauh sekali bedanya. Shin Ci-koh minta Khik-sia supaya
menasihati Gong-gong-ji jangan menuntut balas. Hanya terpaut satu jam saja, ternyata wanita itu
telah mengalami perubahan batin yang luar biasa besarnya.
Shin Ci-koh kini alihkan pandangannya kepada In-nio dan berkata dengan lembut: "Nona Sip,
aku terkena pengaruhmu. Aku pernah mencelakai kau, kebalikannya kau berkorban untuk
menolong aku. Sungguh aku mersa malu sendiri. Dahulu aku selalu membalas setiap sakit hati,
menumpas setiap penghinaan. Tetapi balas membalas itu, ternyata tiada baik akibatnya. Sesaktisaktinya
kepandaian seseorang, toh pada suatu hari ia akan jatuh juga. Diriku ini menjadi sebuah
contoh. Aku tak ingin Gong-gong-ji terjerumus dalam perjalanan hidupku yang lampau. Memang
aku pernah menginginkan supaya Gong-gong-ji membalaskan sakit hatiku, tetapi itu keluar dari
pikiranku yang terlalu mementingkan diriku sendiri."
Diam-diam hati In-nio girang, pikirnya: "Terhadap siapa harus membalas, terhadapa siapa harus
tak menuntut balas. Sebenarnya tak boleh dicampur-adukkan. Tak nyana Shin Ci-koh dapat
mengeluarkan kta-kata yang begitu berharga. Rupanya ia sudah memperoleh kesadaran batin."
lalu Ci-koh berplaing dan berkata kepada Khik-sia: "Suhengmu itu berwatak berandalan, tidak
suka dikekang. Jauh lebih jelek dari aku. Aku sungguh tak tega. Kasih tahu padanya, dalam hatiku
hanya da dia seorang .... tetapi akupun tak menghendaki karena diriku dia lantas tak kawin seumur
hidup. Dia terlalu tak pedulikan dirinya sendiri. Harus ada seorang isteri bijaksana yang
membantunya."
Mendengar uraian kata-kata Shin Ci-koh yang penuh mengandung petuah itu, ketiga anak muda
itu sama menghela napas terharu. Mereka tak kira bahwa seorang wanita yang terkenal ganas,
ternyata penuh dengan budi kehalusan seorang wanita.
"Harap cianpwe jangan kuatir. Belum tentu kau kalah dengan Leng Ciu lokoay. Dan kitapun
tak mau tinggal diam melihati saja," kata Khik-sia.
Shin Ci-koh tertawa rawan. Baru ia mau bicara, Yak-bwe sudah mendahului: "Shin lo-cianpwe,
bukankah sekarang kau sudah sembuh, mengapa tak tinggalkan tempat ini saja" Kupersembahkan
kudaku untukmu. Kuda yang sehari dapat menempuh seribu li. Tak nanti Leng Ciu lokoay mampu
mengejarmu. Setelah mendapatkan Gong-gong-ji, siapa yang berani mengganggumu?"
Alis Shin Ci-koh menjengkit, ujarnya: "Walaupun aku tak ingin mengikat permusuhan dengan
Leng Ciu lokoay, namun akuun tak mau unjuk kelemahan. Aku sudah berjanji padanya, mana dapat
mengingkari" Dia memberi obat padaku, berarti dia mempercayai aku. Jika aku tak pegang
kepercayaan, mana aku masih punya muka hidup di dunia persilatan lagi" Melarikan diri, tak usah
dikemukakan lagi! Bukan saja begitu, pun besok malam dalam pertempuran itu, kalian sekali-kali
tak boleh memberi bantuan!"
Yak-bwe menjadi malu sendiri. Namun diam-diam ia mengagumi Shin Ci-koh, pikirnya:
"Sungguh tak kecewa ia menjadi tokoh ternama. Dalam keadaan yang berbahaya sekalipun, ia tetap
tak berubah pendiriannya."
"Terima kasih atas perhatianmu semua. Tetapi kuharap tak usah meresahkan diriku. Maaf,
sekarang aku masih perlu bersemedhi sebentar. Silahkan kalian bercakap-cakap dengan kawan
lama." Khik-sia tundukkan kepala merenung. Yak-bwe menarik In-nio ke samping dan menanyakan
tentang diri Bik-hu. Selama sibuk merawati Shin Ci-koh, In-nio memang tak sempat lagi
memikirkan diri sutenya itu. Mendengar pertanyaan Yak-bwe, ia mendongak ke langit. Dilihatnya
rembulan sudah tinggi. Sudah tengah malam.
"Akupun justeru sedang menunggu!" kata In-nio.
"Dia berada di mana" Mengapa kau seorang diri ke Yu-ciu" Dan bagaimana kau bisa berjumpa
dengan Shin lo-cianpwe" Apakah kau berjanji dengan Pui suheng untuk bertemu di sini?" demikian
Yak-bwe berturut-turut mengajukan pertanyaan. Ia mengira Bik-hu masih dalam ketentaraan.
In-nio menghela napas: "Ceritanya amat panjang. Tapi lebih dulu aku hendak bertanya,
bagaimana kalian berdua bisa datang kemari?"
"Pertama, hendak mencarimu. Kedua, karena Khik-sia disuruh Thiat-mo-lek mengantarkan
surat kepada Se-kiat."
"Apakah di tengah jalan tadi kamu berjumpa tentara-tentara yang kalah?" tanya In-nio.
"Karena ada dua pihak, yang bermusuhan saling bertempur. Kami tak mau terlibat dalam
urusan mereka, maka menghindari dan memilih jalan kecil saja. Mengapa mereka itu?" Yak-bwe
balas bertanya.
"Su Tiau-gi dan adiknya bertempur sendiri. Raja Ki mengusir Se-kiat dari Tho-ko-poh, maka
terjadi perang tanding yang gempar. Bik-hu dan aku tercerai berai," In-nio menerangkan singkat.
"Oh, kiranya kau datang bersama Pui suheng" Aku tak tahu bilakah Beng Kong sudah
menyambut Liang Hong?" Yak-bwe berseru girang. Beng Kong dan Liang Hong adalah sepasang
suami isteri yang terkenal dalam sejarah. Mereka sependirian dan seperjuangan.
Merahlah muka In-nio, dampratnya: "Aku berkata tentang urusan serius, sebaliknya kau
menggoda semaunya."
Yak-bwe membisiki ke dekat telinga In-nio: "Jejaka kawin perawan menikah, adalah urusan
serius nomor satu di dunia. Emas seribu kati mudah didapat, tetapi kawan yang sehati sukar
ditemukan. Dengan sudah mendapatkan kawan sehati, apakah kau tak layak bergirang" Bagus,
bagus, ah, supaya kau tidak menjadi marah, silahkan kau katakan urusanmu yang serius itu. Aku
tak mau menanyakan urusanmu pribadi."
"Berbicara tentang urusan serius itu, artinya sia-sia saja Khik-sia memberikan surat Thiat-molek
itu kepada Se-kiat," kata In-nio.
"Lho, mengapa" Apakah aku boleh turut mendengarkan?" Khik-sia menghampiri.
"Justeru memang hendak kudengarkan padamu," sahut In-nio yang lalu memulai
keterangannya. "Akulah yang lebih dulu datang ke Yu-ciu, kemudian Bik-hu baru menyusul.
Benar memang aku sudah berjumpa dengan Se-kiat tetapi dalam statusku sebagai tawanan Tiauing."
"Hai, kau menjadi tawanan Su Tiau-ing?" Khik-sia berseru kaget. Yak-bwe meliriknya dan
mendengus: "Huh, herankah" Apa yang tak dilakukan wanita siluman itu?"
In-nio menuturkan semua yang dialaminya. Waktu mendengar sampai pada hal Se-kiat hendak
membujuk In-nio tapi kemudian ditolak tegas-tegas sehingga sampai bertempur, Khik-sia tak dapat
menahan kemarahannya lagi: "Tak nyana Se-kiat berubah menjadi manusia begitu!"
"Eh, kau jadi menemuinya, tidak?" tegur Yak-bwe.
"Mengingat persahabatan yang dulu, Thiat piauko hendak menasihatinya lagi untuk yang
penghabisan kali. Karena piauko sudah mempercayakan surat itu kepadaku, berhasil atau tidak aku
harus tetap menyampaikan surat ini kepadanya," sahut Khik-sia.
In-nio mengangguk: "Benar, tiada jeleknya mencoba sekali lagi. Ah, diharap setelah tentaranya
mengalami kekalahan, ia mau mendengar nasihat Thiat cecu."
Yak-bwe paling mengetahui pribadi In-nio. Waktu In-nio menceritakan bagaimana Bik-hu
menempuh bahaya menolong dirinya tadi, samar-samar Yak-bwe sudah dapat melihat adanya setitik
kasih dalam hati In-nio kepada pemuda itu. Maka iapun tak begitu curiga akan kata-kata In-nio
yang terakhir mengenai diri Se-kiat. Tapi ia berkata kepada diri sendiri, andaikata dirinya yang
diperlakukan begitu oleh Se-kiat, tentu ia tak sudi lagi mengenalnya.
"Khik-sia, pergi pun baik. Menyerahkan surat itu nomor dua, yang penting kau harus menyirapi
di mana Bik-hu itu dan ajaklah kemari! Karena tak melihat cici In, dia tentu gelisah juga," katanya.
Sengaja ia kemukakan diri Bik-hu pada saat In-nio membicarakan Se-kiat. Untuk mencegah supaya
In-nio jangan melantur lebih jauh.
Siapa tahu In-nio pun justeru mempunyai maksud begitu. Namun ia masih meragu, ujarnya:
"Walaupun memang baik juga Khik-sia pergi itu, tetapi bagaimana Shin lo-cianpwe ...."
Tiba-tiba Shin Ci-koh kedengaran tertawa: "Nona Sip, kau berpisah dengan sutemu dalam
pertempuran itu, akupun turut memikiri juga. Kalian tak perlu meresahkan diriku. Leng Ciu
lokoay mengatakan besok malam baru datang tentu besok malam. Tak nanti dia mencelakai aku
sebelum lukaku sembuh. Tentang Ceng-ceng-ji, tanpa beserta Leng Ciu lokoay, tak nanti ia berani
datang kemari! Kini tenagaku sudah pulih lima puluh persen, taruh kata ia (Ceng-ceng-ji) datang,
akupun dapat mengatasinya. Pasukan Se-kiat kemarin malam baru menerobos keluar dari
kepungan. Sute nona Sip itu mungkin berada di muka pasukan. Karena tak melihat nona Sip, ia
tentu masih mencarinya, tentu belum pergi jauh. Urusan tak boleh ayal-ayalan. Toan siauhiap, jika
hendak mencari mereka, sekarang juga kau harus berangkat."
"Baik, berhasil menemukan mereka atau tidak, besok malam aku tentu balik kemari. Malam
hari tak leluasa naik kuda, kutinggalkan untuk Shin lo-cianpwe, siapa tahu lo-cianpwe
memerlukannya," kata Khik-sia.
Karena tahu gin-kang Khik-sia itu tak kalah cepat dengan lari kuda, Shin Ci-kohpun
membiarkan saja. Katanya: "Terima kasih atas kebaikanmu. Kau tak keburu balik kemari pun tak
mengapa. Toh aku tetap akan bertempur seorang diri dengan lokoay itu."
Waktu In-nio dan Yak-bwe mengantar Khik-sia sampai keluar pintu, Yak-bwe tiba-tiba tertawa:
"Dalam memberikan surat kepada Se-kiat nanti, siapa tahu kau akan berkesempatan menjumpai
nona Su-mu itu. Sayang sekarang ia sudah menjadi pengantin Se-kiat."
"Bah, siapa yang masih mengenangkan nona siluman itu?" Khik-sia mendengus.
Sekalipun mulut mengatakan begitu tapi tak urung dalam perjalanan, Khik-sia juga teringat
akan Tiau-ing. Teringat selama berjalan ribuan li bersama nona itu. Ini bukan karena ia masih ada
'apa-apa' dengan nona itu, melainkan karena Tiau-ing dengan gaya yang lincah merangsang itu,
meninggalkan banyak kesan padanya.
"Keris dan kerangka, adalah dwitunggal yang tak dapat dipisahkan. Tiau-ing dan Se-kiat itu
benar-benar sejoli yang paling tepat!" pikirnya. Terkenang akan kesulitan-kesulitan yang
ditimbulkan Tiau-ing tempo hari, diam-diam Khik-sia mendongkol tapi pun geli. "Sekarang kalau
bertemu aku tak kuatir dirayu lagi. Tapi ah, lebih baik jangan berjumpa saja."
Tiba di kaki gunung dan masuk ke dalam sebuah lembah, hari pun sudah menejelang terang
tanah. Melalui tepi sebuah hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang berisik. Khik-sia
menghampiri dan tampak tiga lelaki beralis tebal serta berpakaian opsir kerajaan Wi-yan (Su Tiaugi)
tengah bertengkar. Karena kepingin tahu, Khik-sia diam-diam mencuri dengar. Dengan ginkangnya
yang lihay, gerakannya tak mengeluarkan suara sama sekali hingga ketiga opsir itu tak
mengetahui. Salah seorang berkata: "Ia musuh dari cukong (junjungan) kita. Jika kita serahkan kepada
cukong, tentu kita mendapat hadiah besar."
kata yang seorang: "Keadaan cukong dalam bahaya, mana kau masih mengharap hadiah dari
dia" Turut pendapatku, lebih baik kita serahkan pada Bo Se-kiat saja. Bo Se-kiat baik terhadap
orang." Orang yang kesatu berkata pula: "Hm, Bo Se-kiat gentleman palsu. Mana memperlakukan
orang dengan baik" Apakah bukan pura-pura saja" Kau jangan percaya pada mulut siluma kecil
itu. Karena jatuh ke tangan kita, sudah tentu ia menurut apa saja. Begitu kita antarkan ia pulang, ia
tentu berbalik muka kepadamu. Saat itu jangan lagi harta atau pangkat, sekalipun mangkuk nasi
saja mungkin kau sekar mendapat."
Khik-sia terkejut. Dari pembicaraan, terang mereka itu telah menawan orang. Mereka sedang
berunding, hendak menyerahkan pada Su Tiau-gi atau pada Bo Se-kiat. "Mereka menyebut-nyebut
'siluman kecil', apakah bukan seorang wanita" Ha, apakah bukan ...."
Baru Khik-sia berpikir begitu, tiba-tiba kedengaran orang yang ketiga tertawa gelak-gelak.
Yang dua bertanya: "Toako, apa yang kau tertawakan?"
Opsir ketiga itu menyahut: "Aku menertawakan kalian yang begitu tolol. Bakpao sudah berada
di mulut masakan diberikan orang lagi. Benar-benar kalian bernyali tikus!"
"Kalau menurut pendapatmu, bagaimana?" tanya kedua orang tadi.
"Su Tiau-gi, Bo Se-kiat, kedua-duaya tak boleh dipercaya. Memang Su Tiau-gi kini seperti
'patung Po-sat menyeberangi sungai' (berbahaya), Bo Se-kiat yang dienyahkan raja Ki, pun menjadi
seperti 'anjing orang yang kematian keluarganya' (ngenas). Perlu apa kita berhamba pada mereka"
Turut pendapatku, lebih baik kita pergi jauh dan mendirikan 'usaha' sendiri. Wanita kecil itu, kita
jadikan isteri cecu (pemimping begal)."
"Bagus, tetapi jadi isteri siapa" Kita bertiga sudah seperti saudara, jangan sampai hubungan
kita retak hanya karena siluman kecil itu," kata kedua orang kawannya.
Kata opsir tadi: "Aku ada sebuah cara. Kita adakan undian, siapa yang baik peruntungannya.
Samte, coba kau patahkan ranting kayu ini menjadi tiga. Yang satu panjang, yang dua pendek.
Yang mendapat kutungan panjang, akan memperisterikannya. Baik, jite, kau ambil dululah."
Begitulah opsir yang dua orang itu segera mengambil masing-masing sebatang kutungan
ranting. Sekonyong-konyong opsir yang dipanggil toako tadi turun tangan. Secepat kilat dia
membacok kedua kawannya tadi. "Ha, ha, akulah yang menjadi toako. Kalian berani berebut isteri
dengan aku, terpaksa aku bertindak!"
Selagi opsir itu tertawa kegirangan karena sudah memberesi kedua saingannya, tiba-tiba
sesosok tubuh melesat ke hadapannya dan membentaknya: "Siapa yang hendak kau ambil isteri itu"
Wanita itukah?"
Ternyata bayangan itu bukan lain Khik-sia adanya. Dan saat itu juga seorang wanita
kedengaran berteriak: "Khik-sia, tolonglah aku!"
Itulah Su Tiau-ing! Khik-sia berpaling dan dapatkan Tiau-ing tegak bersandar pada sebatang
pohon siong. Mata mereka saling beradu. Tadi Khik-sia sudah membayangkan tentang
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjumpaannya dengan Tiau-ing. Bahwa ternyata ia bakal berjumpa dalam keadaan seperti itu,
membuat Khik-sia terlongong-longong. Si opsir menggunakan kesempatan itu untuk membacok
Khik-sia. Khik-sia gelagapan ketika tubuhnya tersentuh dengan logam dingin. Bagi seorang ahli silat,
dalam saat-saat yang berbahaya, tentu akan mengadakan reaksi cepat untuk menghindar. Begitupun
dalam saat yang fatal itu. Khik-sia turunkan bahunya dan condong ke sebelah kiri. Brat, bajunya
terpapas rompal, jaraknya hanya terpisah seujung rambut dari lengannya. Ternyata tenaga
hantaman golok si opsir itu telah dihapus oleh kekuatan lwekang Khik-sia. Memang cepat sekali
gerakan golok itu, tapi setelah mengenai baju, daya tenaganyapun sudah habis.
Opsit itu adalah salah seorang dari empat jagoan yang mengawal Su Tiau-gi. Ilmu
kepandaiannya tinggi juga. Bacokannya luput, ia maju dua langkah untuk mengjaga keseimbangan
badannya yang condong ke muka. Dan menyusul ia lantas membacok Khik-sia lagi. Bahkan
sekaligus ia lancarkan tiga buah serangan. Semuanya mengarah jalan darah maut dari tubuh Khiksia.
Itulah yang disebut jurus Liong-bun-song-long dari ilmu permainan golok Toan-bun-to.
Indahnya bukan buatan.
Tetapi saat itu Khik-sia sudah berjaga-jaga. Dan marahlah demi melihat keganasan orang itu.
Bentaknya: "Pemberianmu kukembalikan, rasakanlah sendiri golokmu ini!"
Menghindari ujung golok, ia mendekap gigir golok dengan kedua jari dan sekali dorong, ia
pinjam tenaga untuk memukul. Golok itu secepat kilat terputar dan berbalik menghantam kepala si
opsir. Cret, bluk ..... kepala opsir itu terbelah menjadi dua dan tubuhnyapun seperti batang pisang
rubuh ke tanah.
Berbareng dengan itu kedengaran lengking jeritan wanita. Ternyata Tiau-ing yang menjerit dan
terus rubuh ke tanah. Khik-sia agak bersangsi, tapi akhirnya mau juga ia mengangkat nona itu.
"Aku hampir mati terkejut. Khik-sia, apakah kau tak terluka?" tegur Tiau-ing.
"Aku tak kena apa-apa. Hai, lukamu, lukamu ...." Khik-sia tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena Tiau-ing sudah menelungkupi dadanya. Ternyata Tiau-ing berlumuran darah hingga pakaian
Khik-siapun kelumuran juga.
Bermula Tiau-ing pimpin pasukan wanita mengejar engkohnya. Tomulun pun memimpin
pasukan suku Ki untuk mengejarnya (Tiau-ing). Tiau-gi balas menyerang dan terjadilah
pertempuran di malam hari yang dahsyat. Tiau-ing terkena dua batang leng-cian (panah pendek)
dan kuda tunggangannyapun terkena sebatang pisau. Kuda itu binal dan lari sekuatnya.
Dalam pertempuran malam gelap yang kacau balau itu, setiap orang tak mengenal mana lawan
mana kawan lagi. Tiau-ing terluka, pun anak buahnya tak tahu. Begitu ia dilarikan kudanya, juga
tiada anak buahnya yang mengawalnya. Kuda Tiau-ing mencongklang ke sebuah lembah buntu dan
tak terduga-duga berjumpa dengan ketiga opsir bawahan Su Tiau-gi tadi. Ketiga opsir itu juga
loloskan diri dari pertempuran yang kacau itu. Mereka hendak bersembunyi di lembah situ, setelah
pertempuran selesai, mereka akan melihat gelagat dulu untuk menentukan pilihannya.
Mereka bertiga adalah orang kepercayaan Su Tiau-gi, sudah tentu kenal sekali dengan Tiau-ing.
Sesaat mereka tak dapat mengambil putusan. Lebih dulu meringkus si nona, baru nanti berunding
lagi. Demikian keputusan mereka. Opsir yang menyerang Khik-sia itu, memang tinggi ilmu
silatnya. Tapi ia jahat dan licin. Ingin ia memonopoli Tiau-ign sendiri, maka dibunuhnya kedua
kawannya secara licik. Tapi ternyata ia pun mati sendiri di tangan Khik-sia.
Sebenarnya Khik-sia jemu dengan Tiau-ing. Tapi mengingat nona itu terluka berlumuran darah,
tak sampai hati Khik-sia untuk mendorongnya.
"Khik-sia, tolong laukan sebuah kebaikan untukku. Tusuklah aku supaya segera mati! Dari
sorot matamu, kutahu kau benci padaku. Perlu apa aku merintih minta kasihanmu" Kalau sudah
membunuh aku, tentu kemarahanmu reda dan akupun tak banyak menderita kesakitan lagi!"
"Jika hatiku seperti kau, tentu tadi-tadi aku sudah tak mempedulikanmu lagi!" Khik-sia
mendengus dingin.
Wajah Tiau-ing mengerut tawa dan berubahlah nada cakapnya: "Khik-sia, aku merasa salah
kepadamu. Tetapi akupun pernah berbuat baik juga. Khik-sia, janganlah hanya mengingat
kejahatanku saja, pun seharusnya kau memikir mengapa aku berbuat tak baik kepadamu itu.
Sebenarnya aku selalu hendak bersama kau, bersama kau ...."
"Tutup mulut! Jika kau masih mengatakan hal-hal yang berguna itu, aku terpaksa melemparkan
kau di sini!" bentak Khik-sia.
Tiau-ing menyeringai: "Baik, aku takkan mengomong lagi. Hanya mendengar bicaramu,
menurut putusanmu!"
"Kau pernah menolong jiwaku. Akupun pernah menolong jiwamu juga. Jika kali ini aku
menolongmu lagi, kaulah yang lebih untung. Ganjalan hati dan budi pada wakut yang lampu, baik
jangan diungkat lagi. Kini kau menjadi isteri Se-kiat, mari kuantarkan pulang kepada suamimu,"
kata Khik-sia. Rasa girang dan mendongkol tercampur dalam hati Tiau-ing. Girang karena mendapat
pertolongan, mendongkol karena Khik-sia begitu getas tak berkecintaan. Meskipun menolong, tapi
ia merasa dihina juga. Khik-sia tak memperdulikan anggapan Tiau-ing. Yang penting ia hendak
menolong. Maka segera ditutuknya jalan darah Tiau-ing supaya berhenti mengalirkan darah, lalu
dilumuri obat. Tiau-ing mendapat itga buah luka. Lengan, perut dan punggungnya. Untuk melumurkan obat,
Khik-sia harus membuka pakaian nona itu. Sudah tentu ia bersangsi. Tapi pada lain saat tampillah
kesatriannya: "Seorang ksatria selalu bertindak dengan terang dan jujur. Karena aku sudah
meluluskan menolongnya, mengapa ragu-ragu?"
Sekalipun begitu tak mau ia membuka pakaian, melainkan merobeknya di bagian yang terluka
dan melumurinya obat. Karena pakaiannya ada empat lima bagian yang robek, malu juga Tiau-ing.
Obat Khik-sia manjur sekali. Begitu dilumurkan, darahpun berhenti. Khik-sia segera membuka
jalan darahnya. Ujarnya: "Kau tidurlah dulu, biar kucari kereta."
Kata Tiau-ing: "Penduduk desa di sekeliling tempat ini sudah pindah semua. Untuk
mendapatkan kereta, kecuali merampas ke dalam kubu tentara, sekalipun kepandaianmu tinggi
jangan harap bisa mendapatkan di lain tempat. Jika kau tinggalkan aku di sini, bagaimana nanti
apabila ada musuh datang?"
Khik-sia anggap pernyataan Tiau-ing itu betul juga. Apa boleh buat, terpaksa ia membawa juga
nona itu. Pikirnya: "Aku hendak menyampaikan surat kepada Bo Se-kiat. Jika sekalian mengantar
isterinya, berarti sekali tepuk dua lalat. Dengan mengolong isterinya itu, mau tak mau ia tentu
berterima kasih kepadaku. Siapa tahu ia suka mendengar nasihatku."
Segera ia memanggul nona itu dan dengan gunakan gi-kang ia lari sepanjang jalan besar. Tak
berapa lama, ia berpapasan dengan sebuah pasukan berkuda, yakni gabungan anak buah Tomulun
dan pasukan wanita dari Kay Thian-sian.
Sebagai kongcu (puteri) dari raja Wi Yan, sudah tentu setiap orang kenal pada Tiau-ing. Melihat
sang puteri dipanggul seorang lelaki, gemparlah sekalian anak tentara. Pertempuran di daerah Thokopoh kali ini, boleh dikatakan Tiau-ing lah yang menjadi biang keladinya. Karena bentrok
dengan engkohnya, mereka telah menjadikan daerah kediaman suku Ki itu sebuah medan
peperangan. Tentara suku Ki tak senang pada Tiau-ing. Saat itu mereka menertawakan dan
mendampratnya: "Ho, apakah itu bukan memperlainya Bo Se-kiat" Baru kemarin ia menikah,
sekarang sudah lari ikut lain lelaki."
"Eh, rupanya tidak begitu. Jangan-jangan bocah laki itu yang menyerobotnya," kata seorang
lain. Ada sementara tentara Ki yang kenal pada Khik-sia, berseru: "Ai, apa bocah lai itu bukannya
yang tempo hari sudah melarikannya" Rupanya mereka berdua sudah sekongkolan, mana dituduh
menyerobot" Lihatlah, siluman perempuan itu memeluknya kencang-kencang. Ai, mesra sekali!"
Ada pula yang menyelutuk: "Tak peduli perempuan itu diserobot atau suka rela melarikan diri
dengan lain lekaki, tapi yang nyata Se-kiat telah menerima pembalasan yang setimpal. Se-kiat
bermaksud hendak merampas daerah kita, kini isterinya diserobot orang lebih dulu. Ha ha, ini
namanya 'siapa menanam tentu memetik hasilnya'."
Anak buah pasukan wanita Kay Thian-sian, hampir semua benci pada Tiau-ing. Mereka sama
mendekap mulut tertawa mengejek. Walaupun tak leluasa mendamprat tapi cemooh tertawa mereka
itu lebih menyakitkan telinga.
Khik-sia berdada lapang. Ia hanya memikirkan menolong orang, lain tidak. Ia tak menyangka
kalau perbuatannya itu dicemoohkan orang. Bermula panas juga ia mendengar cemooh ejekan
mereka itu. Tapi pada lain saat, rasa ksatrianya lebih tampil. Ia tak mau meladeni mulut mereka
yang iseng itu dan terus cepatkan larinya. Iapun siapkan pedang, menjaga kemungkinan apabila
anak tentara hendak mengganggunya.
Benar juga nona 'manis' Thian-sian keprak kudanya ke muka dan tertawa gelak-gelak: "Hai,
bocah laki, apa kau dirayu lupa daratan oleh perempuan siluman itu" Tidakkah kau melihat bentuk
pakaiannya" Dia kan masih memakai pakaian pengantin! Hm, ternyata di dunia masih terdapat
seorang perempuan yang begitu tak tahu malu dan seorang lelaki tolol yang begitu tak kenal
selatan!" Tiau-ing membisiki telinga Khik-sia: "Khik-sia, bunuh perempuan jelek itu dan rampas
kudanya!" Thian-sian tak kenal Khik-sia. Sebaliknya Khik-sia pernah mendengar In-nio bercerita tentang
diri Thian-sian. Begitu melihat wajahnya yang jelek, ia segera mengenalinya sebagai panglima
wanita berwajah jelek tapi berhati baik. Tak mau ia menempurnya. Begitu Thian-sian menerjang,
Khik-sia segera melesat dari samping kuda si nona. Karena serangannya luput, Thian-sian tak
keburu menarik pulang tangannya. Orang dan kudanya menerjang ke muka.
"Tinggalkan perempuan siluma itu dankau nanti bebas! Jika tidak, kita tentu bertempur lagi!"
bentak Tomulun seraya putar tombaknya.
Tempo hari Tomulun pernah kalah dengan Khik-sia. Anak raja itu mengagumi kepandaian
Khik-sia, itulah maka ia suka melepaskannya. Tapi demi dilihatnya Khik-sia masih bersikap seperti
yang sudah-sudah, yakni mati-matian melindungi Tiau-ing, timbullah kecurigaan Tomulun bahwa
Khik-sia tentu mempunyai hubungan tak layak dengan Tiau-ing.
Thian-sian putar kudanya dan berseru: "Ging-kang bocah itu hebat sekali, hati-hati, jangan
lepaskan dia!"
Tomulun ajukan kudanya dan dengan mainkan tombak ia membentak: "Jika tak menyerahkan
orang, jangan menyesal kalau tombakku tak bermata. Aku bukan bermaksud hendak mencelakai
kau, tetapi perempuan siluman itu harus kutangkap!"
Khik-sia tetap tak mau berhenti, bahkan ia putar pedangnya dengan seru. Tring, tring, tring,
tanah penuh dengan kutungan golok, tombak dan pedang tetapi tiada satupun dari anak buah
Tomulun yang terluka. Khik-sia hanya memapas senjata tak mau melukai orang.
Tomulun mengejar, teriaknya: "Apakah kau betul-betul sayang pada perempuan siluman itu?"
"Budak itu sudah lupa daratan. Rela mati asal mendapat paras cantik. Yang penting, tangkap
saja perempuan siluman itu. Tak usah banyak bicara dengan budak itu," seru Thian-sian.
Rupanya Thian-sian tahu kalau Tomulun itu segan bertempur dengan Khiks-ia. Maka iapun
lantas mendesaknya. Ia paling benci Tiau-ing. Sudah tentu tak mau lepaskan kesempatan yang
baik itu. Tomulun kertek gigi dan membentak: "Lihat tombak!" - Ia kaburkan kudanya dan menombak
Khik-sia. Tombak yang panjangnya setombak lebih itu, menimbulkan angin keras.
Khik-sia putar diri untuk menghadapi Tomulun supaya Tiau-ing lebih aman. Begitu ujung
tombak hampir tiba di dadanya, ia lantas tempelkan pedangnya pelahan-lahan. Tombak Tomulun
menurun ke bawah. Tomulun kerahkan tenaganya untuk mengangkat tekanan pedang Khik-sia.
Inilah yang ditunggu Khik-sia. Ia biarkan pedangnya dijungkirkan ke atas, lalu dengan meminjam
tenaga congkelan itu, ia enjot tubuhnya melambung ke udara dan melayang sampai beberapa
tombak jauhnya. Sambil dengan sebelah tangan menddekap tubuh Tiau-ing supaya jangan sampai
jatuh, Khik-sia berjumpalitan dengan jurus Kek-cu-hoan-sim (burung merpati membalik tubuh).
Dalam posisi kaki di atas kepala di bawah, ia menukik turun seperti burung garuda meyambar.
Jatuhnya tept ke arah seorang tentara berkuda. Ia congkel tentara itu sampai terguling ke tanah,
kemudian ia hinggap di atas punggung kuda dan mengepraknya lari.
Baik anak buah Tomulun maupun pasukan wanita Kay Thian-sian sama melongo. Belum
pernah mereka menyaksikan kepandaian yang begitu luar biasa. Setelah Khik-sia mencapai
setengah li, barulah kawanan tentara itu gelagapan. Mereka berteriak-teriak sembari lepaskan anak
panah. Tetapi mana dapat mengenai" Memang ada beberapa batang panah yang hendak menyusup
ke punggung Khik-sia tapi semua kena ditangkis jatuh oleh si anak muda.
Tomulun menghela napas: "Ah, perempuan siluman itu benar-benar lihay. Meskipun sudah
menjadi isteri Bo Se-kiat, ia masih dapat membuat seorang anak muda gagah menjual jiwa
untuknya. Terang tadi anak muda itu tak mau melukai anak buah kita. Baiklah, biarkan dia pergi
tak usah dikejar."
Memang karena ditusuk pantatnya, kuda Khik-sia lari pesat. Tapi setelah lari beberapa saat,
kuda itupun letih, mulutnya berbuih. Maklum bukan kuda sakti semacam kuda pemberian Cin
Siang. "Tiau-ing, apa kau sudah agak baik" Akan kurampaskan seekor kuda untukmu," kata Khik-sia.
Tiau-ing paksakan membuka mata dan dengan terengah-engah ia minta Khik-sia memeluknya
kencang-kencang karena ia tak kuat duduk. Sebenarnya Khik-sia mengharap, setelah darahnya
berhenti keluar, semangat Tiau-ing lebih kuat dan dapat naik kuda sendiri. Tetapi karena nona itu
bertingkah sedemikian rupa, Khik-sia pun mengira lukanya tentu makin berat. Terpaksa ia
dudukkan nona itu di muka. Dengan sebelah tangan memegang kendali dan sebelah tangan
memeluk pinggang Tiau-ing, Khik-sia larikan kudanya.
Meskipun hati Khik-sia bersih tak mempunyai pikiran apa-apa namun karena duduk merapat di
belakang seorang wanita cantik yang harum baunya, mau takmau berdebar juga hatinya, mukanya
merah padam. Tapi ada lain macam bau yang membuat Khik-sia muak. Ialah walaupun darah pada
luka Tiau-ing itu sudah tak keluar lagi, tapi dari luka-luka itu masih tetap mengalir air darah. Bau
wangi tercampur bau amis, menjadi semacam bebauan aneh yang amat menusuk hidung. Khik-sia
muak tapi kasihan juga.
"Ah, hari ini ia cukup menderita. Menolong orang harus sampai selesai. Aku sudah berjanji
menolongnya. Sebelum bertemu Se-kiat aku harus menjaganya hati-hati." Diam-diam Khik-sia
mendamprat dirinya sendiri yang mempunyai rasa muak. Meskipun dengan naik kuda secara
boncengan itu tak sedap dipandang umum, namun daripada menyuruh nona itu naik kuda sendiri
dengan resiko mungkin akan jatuh, lebih baik ia memakai cara boncengan saja.
"Jalanlah di sebelah kiri jalanan ini, ai, mengapa kuda ini seperti tak bisa lari?" kata Tiau-ing
dengan suara masih tersengal-sengal.
Jalan di bagian tengah akan menjurus ke kota Lu-liong, yakni lini (garis) yang akan ditempuh
Sip Hong dalam penyerangannya nanti. Jalanan bagian kiri, menuju ke kota Leng-bu. Merupakan
lini yang akan dibuat jalan oleh Li Kong-pik dengan tentaranya nanti. Itulah maka Tiau-ing dapat
menentukan bahwa Se-kiat tentu mengambil jalan yang membelok ke kiri itu. Khik-sia buru-buru
hendak mengejar jalan, tapi kudanya sudah letih apalagi dinaiki dua orang. Makin lama makin
lambat jalannya.
Selama dalam perjalanan itu, Khik-sia berpapasan dengan bermacam anak pasukan. Mereka
adalah tentara-tentara yang kalah perang. Ada yang termasuk anak buah Su Tiau-gi. Ada juga anak
buah Se-kiat yang kececer di belakang dengan rombongannya. Di samping itu terdapat juga laskar
rakyat suku Ki yang berbondong-bondong menuju ke kota Tho-ko-poh karena didengarnya terjadi
pertempuran. Khik-sia tak menghiraukan orang-orang itu. Ia merampas kuda tentara pelarian itu untuk
berganti tunggangan. Selama itu ia harus beberapa kali berganti kuda. Tak kurang dari belasan
ekor kuda yang ia rampas. Ketika mencapai 70-an li lebih, haripun sudah lohor (lewat tengah hari).
Khik-sia gelisah. Ia teringat akan pertempuran Shin Ci-koh dengan Leng Ciu siangjin malam nanti.
Ia sudah berjanji pada Shin Ci-koh, akan balik.
"Kalau sampai tak berhasil mengejar Se-kiat, bagaimana ini" Aku tak dapat menelantarkan
Tiau-ing begini saja, tetapi aku tentu ingkar janji terhadap Shin lo-cianpwe. Yak-bwe dan cici In
tentu gelisah memikirkan diriku," pikirnya.
Teringat pada Yak-bwe, bercekatlah hati Khik-sia. Kalau Yak-bwe tahu perbuatannya saat itu,
tentu akan marah-marah. Paling tidak sepuluh hari atau setengah bulan tentu tak mau biara padanya
(Khik-sia). Tapi ia tak berani membohongi tunangannya itu. Nantipun ia akan menceritakan terus
terang. Tengah pikiran Khik-sia gelisah, tiba-tiba di sebelah muka tampak segulung debu mengepul.
Jauh di padang rumput sana tampak suatu pasukan besar sedang bergerak. Khik-sia girang dan
cepat keprak kudanya.
"Apakah di sebelah muka terdapat Bo Se-kiat?" teriaknya. Ia gunakan lwekang suara Coan-imjipbi. Di tempat lapangan, suaranya dapat disampaikan 5-6 li jauhnya. Ia tak mau memanggil 'Bo
toako' lagi. Pun tak suka menyebut 'Bo bengcu'. Langsung saja ia memanggil nama Bo Se-kiat.
Ia harap Se-kiat akan lekas-lekas keluar. Setelah menyerahkan surat dan meminta balasan, terus
ia kembali ke biara rusak. Kalau ia dapat berjumpa dengan Se-kiat sendiri, itu lebih cepat
selesainya. Tak usah melalui liku-liku peraturan ketentaraan di mana orang harus mendaftarkan diri
dulu bila hendak bertemu pada seorang pembesar.
Ia larikan kudanya terus. Kira-kira satu li jauhnya dari pasukan besar itu, barulah ia melihat Bo
Se-kiat diiring beberapa pengawal, berkuda menyongsong datang. Buru-buru Khik-sia turunkan
Tiau-ing. Berbareng itu Se-kiatpun sudah tiba dan loncat turun dari kudanya. Demi melihat
pakaian Tiau-ing compang-camping dan tubuh berlumuran darah, wajah Se-kiat mengerut gelap.
Khik-sia tercengang. Pikirnya: "Se-kiat tampak kurang senang, ai, apakah, apakah .... kurang
ajar, apakah dia curiga padaku?"
Belum lagi ia sempat membuka mulut memberi keterangan, Tiau-ing sudah melengking dan lari
kepada Se-kiat.
"Ing-moay, ini, ini, bagaimana?" tanya Se-kiat dengan getar.
Tiau-ing menelengkupi dada Se-kiat dan menangis tersedu-sedu: "Dia, dia, dia menghina aku!"
Karena berkata dengan isak tangis, suara Tiau-ing pun takjelas. Namun Khik-sia dapat
mendengarnya dengan terang, seterang melihat burung merpati putih terbang di siang hari. Kejutnya
bukan kepalang sehingga ternganga mulutnya.
"Nona Su, aku, kau kata apa?" tergopoh-gopoh ia menegur.
Mata Tiau-ing membalik seperti orang hendak menumpahkan kemarahan, dan sesaat pingsanlah
ia dalam pelukan Se-kiat. Ternyata nona itu marah sekali atas sikap yang begitu dingin dari Khiksia.
Ia tak dapat melihat seorang pemuda yang pernah 'diincar' bersikap begitu dingin kepadanya.
Ia anggap itu suatu penghinaan. Tadi sewaktu di hutan ditolong Khik-sia, timbullah seketika bekasbekas
cinta lama yang mengeram dalam hatinya kepada anak muda itu. Ia hendak 'menghangatkan'
api asmara itu, tetapi disemprot Khik-sia. Khik-sia menganggap ia harus berlaku tegas dan jujur
terhadap seorang wanita yang sudah bersuami. Siapa tahu hal itu telah menyinggung perasaan
Tiau-ing. Akibatnya, budi dibalas dengan badi. Budi pertolongan Khik-sia, bukan saja tak
diterimakasihi bahkan dibalasnya dengn kebencian yang menyala-nyala. Ia memutar balik urusan
dan mengadu pada suaminya.
Pingsannya Tiau-ing itu memang bukan pura-pura. Selama dalam perjalanan naik kuda dengan
mengandung luka-luka itu, memang napasnya sudah terhimpit. Ditambah pula dengan kemarahan
dan kebenciannya terhadap sikap Khik-sia. Dan sakit hati itu dirasakan lebih hebat dari sakit luka
di tubuhnya. Maka setelah mengucapkan beberapa patah kata kepada Se-kiat, iapun tak kuat lagi.
Wajah Se-kiat makin gelap. Tiau-ing diserahkan pada salah seorang tentara wanita dan ia lantas
mencabut pedang. Bentaknya: "Khik-sia, kau bangsat kecil yang kelewat menghina aku!" - Sang
kaki mengisar maju, pedang cepat menusuk Khik-sia.
Cengang Khik-sia masih belum tenang. Begitu pedang melayang tiba, baru ai gelagapan dan
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghindar. Bret, leher bajunya tertusuk bolong namun ia dapat menghindar juga.
Khik-sia tak nyana sama sekali bahwa pertolongannya bakal mendapat balasan yang sedemikian
keji. Sesaat tak tahulah ia bagaimana harus bertindak. Sebaliknya Se-kiat, sekali turun tangan terus
menyerang berturut-turut. Setiap serangannya selalu menggunakan jurus berbahaya.
Bahwa orang yang belajar silat, pokoh utama ialah untuk membela diri. Maka karena didesak
begitu rupa, mau tak mau Khik-sia curahkan perhatian untuk menghindar. Konsentrasi
pikirannyapun mulai pulih. Tahu ia apa yang dihadapinya itu.
Setelah menghindar, berserulah ia: "Bo Se-kiat, dengarlah. Isterimu itu terluka. Aku bertemu di
tengah jalan. Dengan baik-baik kuantarkan kemari!"
Se-kiat kertek gigi dan mendampratnya: "Untung ia belum mati dan masih dapat bicara
membuka kebohonganmu!"
Cret, kembali ia sambarkan pedangnya dengan ganas. Sekali tabas hendak mengambil jiwa
orang. Poan-liong-yau-poh atau naga melingkar melilit kaki, demikian Khik-sia bergerak seraya
mencabut pedang. Saat itu pedang Se-kiat sudah hampir mencium punggungnya. Dengan sebat
Khik-sia menyabat ke belakang dan tepat sekali dapat menangkisnya. Terlambat sedikit saja,
walaupun gin-kangnya lihay, tapi tentu akan kena juga.
Marahlah Khik-sia: "Kau hanya mendengar omongan isterimu saja tapi tak mempedulikan
keteranganku!"
Se-kiat tertawa mengejek: "Siapa percaya obrolanmu" Apakah isteriku sudi merayumu?"
Dalam tukar bicara itu, Khik-sia sudah menghindari tiga buah serangan. Serunya: "Bo Se-kiat,
kau betul-betul gelap pikiran. Jika aku menggoda isterimu, masakan aku berani mencari kau
kemari" Karena ia terluka, siapa yang menolong kalau bukan aku?"
Se-kiat terkesiap namun pedangnya tetap menyerang, bentaknya: "Bangsat, jangan ngoceh tak
keruan. Jika tak kubasmi nyawamu tentu tak dapat mencuci bersih hinaanmu!"
Se-kiat seorang yang cerdas. Mana ia tak dapat menimbang penjelasan Khik-sia tadi" Tapi
justeru makin menimbang, makin besar rasa terhina dan cemburunya! Ia anggap keterangan Khiksia
yang mengatakan bahwa Tiau-ing lah yang merayu, menandakan bahwa isterinya itu masih
belum dapat melupakan Khik-sia. Dan karena maksudnya tak tercapai maka Tiau-ing telah berbalik
mendakwa Khik-sia. Se-kiat tahu juga hal itu. Namun karena ia tak dapat meninggalkan Tiau-ing,
untuk menjaga kehormatanya, ia harus melenyapkan Khik-sia.
Karena Se-kiat tetap menutup telinga dan menyerang ganas, akhirnya marah juga Khik-sia.
Serunya: "Thiat toako akan menyerahkan surat padamu. Lihat dulu surat itu, baru kita bicara lagi!
Jika kau tak mau insyaf dan tetap akan bersama dengan perempuan siluman itu, terserah padamu
kalau mau berkelahi. Akupun sedia melayani!"
Khik-sia gunakan gerak kek-cu-hoan-sim atau burung merpati membalik tubuh, untuk buang
tubuhnya sampai tiga tombak ke belakang. Ia keluarkan surat dan dorongkan tangan kiri dalam
pukulan biat-gong-ciang, surat itu melayang kepada Se-kiat. Tetapi tanpa melihatnya, Se-kiat
bolang-balingkan pedangnya dalam jurus Pat-hong-hong-ih (hujan angin dari delapan penjuru) dan
surat itupun hancur berkeping-keping bertebaran dibawa angin.
"Heh, apa kata Thiat-mo-lek kalau bukan mengulangi lagu lama yang menjemukan itu. Aku tak
memerlukannya. Toan Khik-sia, mengingat sekelumit persahabatan kita yang lalu, silahkan kau
bunuh diri sendiri. Agar aku tak perlu mencincang tubuhmu!" Se-kiat tertawa dingin.
Saking marahnya mulut Khik-sia sampai berbuih, bentaknya: "Se-kiat, kau tahu malu atau
tidak" Yang harus bunuh diri adalah kau sendiri!"
"Apa kau masih akan bertanding lawan aku" Baik, terimalah kematianmu!"
Khik-sia tak dapat mengendalikan diri lagi dan menusuk. Tetapi sekali tangkis, Se-kiat dapat
membuat Khik-sia terhuyung-huyung. Hampir saja ia termakan tusukan Se-kiat.
Khik-sia terkejut. Cepat ia tenangkan diri. Tapi secepat itu, Se-kiatpun sudah menusuk dada
Khik-sia. Tring, Khik-sia gunakan jurus Heng-hun-toan-hong untuk menangkis dan pedang Se-kiat
pun gempil sedikit. Keduanya sama-sama tergetar tubuhnya.
Se-kiat terkejut, pikirnya: "Kepandaiannya maju pesat sekali." - Dahulu ketika diadakan
pertandingan memilih lok-lim-beng-cu di gunung Kim-ke-nia, kedua anak muda itu pernah
bertempur. Memang kala itu Khik-sia lebih kalah setingkat. Tetapi dia sedang dalam masa
pertumbuhan, maka tenaganyapun lebih cepat bertambah kuat dari Se-kiat. Dalam pertempuran kali
ini, tenaga mereka pun sudah berimbang. Bahkan Khik-sia menang set karena memakai pedang
pusaka. Tengah pertempuran berlangsung seru, kawanan thau-bak bawahan Se-kiat yang berjumlah
belasana orang dan kawanan baju kuning pun tiba. Para thau-bak itu sudah kenal pada Khik-sia.
Mereka kaget dan heran melihat Se-kiat bertempur lawan Khik-sia.
Seorang thau-bak yang sudah agak tua, maju memberi nasihat: "Harap bengcu jangan umbar
kemarahan. Kita harus bertindak menurut pertimbangan. Walaupun kita berbeda tujuan dengan
Thiat cecu dari Kim-ke-nia, tetapi kita sama-sama satu sumber."
Dan ada juga yang menasihati Khik-sia: "Toan hengte, harap kau minta maaf pada bengcu.
Entah kesalahan apa yang kau lakukan terhadap bengcu. Tetapi saling bunuh itu kurang baik.
Setelah kau minta maaf, kamipun dapat membantu menyelesaikan urusan."
Rupanya mereka tadi telah melihat Tiau-ing dipayang dua orang tentara wanita. Sedikit banyak
mereka dapat menerka apa yang terjadi. Di dunia persilatan, mempermainkan isteri orang
merupakan pantangan yang paling besar. Apalagi isteri dari Lok-lim-beng-cu. Tetapi orang-orang
itu cukup mengenal Khik-sia sebagai pemuda yang lurus. Walaupun menilik keadaan Tiau-ing tadi,
Khik-sia patut dicurigai, tetapi mereka tetap masih sangsi. Sebagian yang tahu akan mentalitet
Tiau-ing, tak menyangsikan lagi kejujuran Khik-sia. Dengan pertimbangan bahwa Khik-sia itu
seorang pemuda gagah yang lurus hati dan menjadi sute dari seorang tokoh loklim (Thiat-mo-lek)
yang sangat diindahi, mereka segera berusaha untuk melerai.
Tetapi mana Khik-sia mau disuruh minta maaf" Ujarnya: "Se-kiat yang salah! Perempuan
siluman itu menyembur fitnah, dan dia tak mau menerima keteranganku terus mau membunuh aku
saja. Jika disuruh minta maaf, seharusnya Se-kiat yang melakukan lebih dulu."
Khik-sia masih muda umurnya. Sekali marah, ia tak ingat tempat lagi. Tiau-ing dicacinya
sebagai 'perempuan siluman'. Suatu hinaan yang hanya sesuai untuk seorang wanita yang cabul.
Sudah tentu Se-kiat marah sekali.
"Ini adalah urusanku dengan bangsat itu. Tak usah kamu turut campur. Barisan pengawal dari
Hu-song-to tetap tinggal di sini, yang lain boleh pulang. Beritahukan pada sekalian saudara, tak
boleh keluar kemah tanpa ijin," Se-kiat mengenyahkan kawanan thau-bak itu. Diam-diam ia sudah
merencanakan, pada suatu kesempatan ia tentu harus melenyapkan beberapa thau-bak yang pro
Khik-sia itu. Kawanan thau-bak itu saling berpandangan satu sama lain. Mereka tak sadar kalau menyalahi
perasaan Se-kiat dan menimbulkan kebencian bengcu itu. Dan karena melihat Khik-sia tetap
membangkang, mereka anggap percuma saja melerai. Maka merekapun segera tinggalkan tempat
itu. Kini yang tinggal hanya delapan orang baju kuning (pengawal Se-kiat dari Hu-song-to).
Mereka memencar diri di delapan penjuru tetapi tak mau menyerang Khik-sia.
Sekonyong-konyong permainan pedang Se-kiat berubah. Ia berganti dengan ilmu pedang Loanbihong-kiam-hwat (ilmu pedang angin lesus). Ujung pedang selalu mengarah jalan darah
berbahaya dari tiga bagian tubuh Khik-sia. Kiranya Se-kiat mencemaskan gin-kang Khik-sia yang
tinggi, maka yang terutama ia hendak melukai kaki anak muda itu supaya jangan sampai bisa
melarikan diri.
Khik-sia unggul dalam senjatanya. Se-kiat lebih menang sedikit dalam tenaga kepandaian. Jika
ko-chiu bertempur, baik tidaknya senjata yang mereka gunakan itu memegang peranan besar. Yang
bersenjata pedang pusaka, sudah tentu lebih enak. Tetapi sekali-sekali bukan yang menentukan
kemenangan. Ilmu pedang yang dimainkan Se-kiat itu, adalah ilmu pusaka dari Hu-song-to yang
tak pernah diajarkan pada orang luar. Sekali dikeluarkan, Se-kiat segera menang angin.
Khik-sia mengandalkan ilmu gin-kangnya untuk berlincahan mengikuti srangan lawan. Dalam
beberapa kejap, ia sudah menghindari tiga puluh enam jurus serangan Se-kait. Seklaipun Se-kiat
tak mampu menusuknya, namun Khik-sia pun tak mampu keluar dari lingkaran pedang lawan.
Melihat Se-kiat tumpahkan permainannya agar Khik-sia jangan sampai lolos, diam-diam marahlah
Khik-sia. Ia mengambil putusan untuk mengadu jiwa. Namun keduanya sama-sama mempunyai
keistimewaan sendiri. Tanpa terasa, mereka telah bertempur sampai 100-an jurus dengan tetap
belum ada yang kalah atau menang.
Khik-sia mendongak dan dapatkan matahari sudah condong ke barat. Ia terkejut, pikirnya:
"Menilik naga-naganya, pertempuran ini tentu akan berlangsung sampai seribu jurus. Dengan
begitu bukankah akan menelantarkan janji pada Shin lo-cianpwe?"
Pikirnya lebih lanjut: "Se-kiat rupanya hendak mengurung aku, tapi aku justeru hendak pergi
dari sini dulu baru nanti kupertimbangkan lagi. Apalagi di sini daerah kekuasaannya. Sekalipun
mungkin ia sungkan suruh anak buahnya membantu, tetapi kalau pertempuran berjalan kelewat
lama, akulah yang menderita kerugian. Kalau hari ini aku sukar mendapat kemenangn, perlu apa
aku melibatkan diri dalam pertempuran."
Tetapi Khik-sia sudah terkurung dalam lingkaran pedang. Mau lolospun tak mudah. Khik-sia
tenangkan dirinya. Terhadap ilmu pedang Se-kiat, sedikit banyak ia sudah dapat mengetahui.
Sekonyong-konyong ia rubah permainannya. Pedang diputar melingkar seperti orang main golok.
Dengan jurus Lui-tian-kiau-hong ia bacok kepala Se-kiat kemudian membabat dua kali. Sekali
gerak dua serangan. Dahsyatnya bukan kepalang. Se-kiat terkejut dan terdesak mundur sampai dua
langkah. Ternyata permainan yang digunakan Khik-sia itu, bukan asli ilmu pelajaran dari perguruannya,
melainkan ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek yang dinamakan Hok-mo-kiam (ilmu pedang iblis
mengeram). Pada waktu Thiat-mo-lek bertempur dengan Se-kiat dalam perebutan lok-lim-beng-cu
tempo hari, Thiat-mo-lek sengaja mengalah. Padahal ilmu pedang ciptaannya itu adalah justeru
penunduk dari ilmu pedang Se-kiat. Sebenarnya ilmu pedang ciptaan Thiat-mo-lek itu bukan lebih
lihay dari ilmu pedang perguruan Khik-sia. Melainkan karena ilmu pedang Thiat-mo-lek itu
mengambil kelihayan (keistimewaan) dari permainan golok dan pedang. Tetapi pun ada syaratnya
ialah harus dimainkan oleh orang yang memiliki lwekang tinggi. Jika lwekangnya kalah dengan
lawan, tentu sukar untuk mengalahkan lawan.
Dalam pertempuran yang berlangsung lama itu, tiba-tiba Khik-sia teringat akan ilmu pedang
yang dimainkan Thiat-mo-lek tempo dulu. Sekalipun ia tahu kalau tenaganya masih kalah dengan
Se-kiat, namun ia dapat menutup kekurangan itu dengan pedang pusakanya. Akhirnya ia ambil
putusan untuk mencobanya juga.
Pedang pusakan memang bukan faktor yang menentukan kemenangan. Tetapipun
membahayakan juga. Se-kiat segera mengenali permainan Khik-sia itu adalah ilmu pedang yang
pernah dimainkan Thiat-mo-lek dahulu. Kuatir pedangnya akan terpapas kutung oleh pokiam Khiksia
pula karena teringat bahwa tempo dulu pernah dikalahkan Thiat-mo-lek dengan ilmu permainan
itu, tergetarlah hati Se-kiat. Dan karena hatinya jeri, iapun kena didesak mundur sampai dua
langkah. Sebenarnya Khik-sia bisa ilmu itu hanya karena melihat saja, Thiat-mo-lek tidak mengajarkan
padanya. Karena itu permainannyapun kurang sempurna. Jika saja Se-kiat tidak kuncup nyalinya,
belum tentu Khik-sia dapat menang.
Setelah berhasil mengundurkan Se-kiat, Khik-sia segera enjot tubuhnya lolos dari lingkaran
pedang Se-kait. Tetapi sebelum kakinya menginjak bumi, dua orang baju kuning sudah
menghadangnya: "Bangsat kecil, hendak lari kemana kau?" - Secepat kilat pedang merekapun
sudah lantas menusuk.
Tetapi Khik-sia tangkas sekali. Mendengar sambaran pedang, tumitnya menginjak tanah dan
dengan jurus heng-hun-toan-ma atau awan melintang memotong puncak, ia balikkan tangan
menghantam. Tapi ia tak bermaksud melukai orang maka yang dipapas hanya pedang mereka saja.
Setelah dapat memapas kutung, Khik-sia terus hendak menerobos keluar.
Kedua orang baju kuning itupun tidak lemah. Berbareng pada saat itu, ujung pedang dari salah
seorang membentur pedang Khik-sia, sementara baju kuning satunya menyerang maju dalam jurus
Hi-si-hun-kim. Ujung pedang menusuk lutut Khik-sia. Jurus ini adalah serangan untuk menolong
diri dari bahaya. Khik-sia menyambut mereka dengan tak kurang istimewanya. Untuk pedang
yang coba menekan pedangnya, ia babat kutung lagi. Sedang untuk si penyerang yang menusuk
lututnya, ia tendang lututnya. Kedua orang baju kuning itu terpaksa mundur dua langkah. Tapi
pada saat itu Se-kiatpun sudah selesai tiba.
"Se-kiat, hari ini aku benar-benar menyaksikan kegaranganmu sebagai lok-lim-beng-cu. Masih
ada berapa lagi orangmu" Mengapa tak suruh mereka maju semua?" Khik-sia tertawa mengejek.
Se-kiat balas mengejek tertawa: "Bukankah kau mengatakan hendak bertempur mati-matian
padaku" Mengapa belum ketahuan kalah menangnya, kau sudah mau lari terbirit-birit" Mereka
hanya kutugaskan menahan tetamu saja, sekali-kali takkan mengeroyokmu. Mari, mari, kita
bertempur sampai tiga ratus jurus lagi. Asal kau tak lari, mereka pun takkan turun tangan."
Kedua baju kunging itupun tak bergerak lagi. Mereka berdiri bahu membahu dengan saling
silangkan pedangnya. Memberi hormat kepada Khik-sia, berkatalah mereka: "Harap Toan siauhiap
suka tinggal!"
Marah Khik-sia tak terkira. Ia ingin menggasak Se-kiat. Tetapi demi teringat akan janjinya
kepada Shin Ci-koh dan Yak-bwe, In-nio yang menunggu kedatangannya, amarahnyapun reda.
"Ya, ya. Thiat toako berulang kali memperingatkan aku, tidak boleh marah kalau berhadapan
dengan musuh. Huh, jangan samapi aku termakan tipu Se-kiat!" pikirnya.
Selagi Se-kiat belum dekat, secepat kilat Khik-sia berputar tubuh dan lari ke jurusan lain,
serunya: "Jika mau bertanding sampai ada yang kalah, mari ikut aku ke gunung sana!"
"Apakah di sini tidak sama saja, perlu apa ke lain tempat?" Se-kiat menertawakan. Dan
berbareng itu kedengaran dua orang baju kuning sudah menyerang Khik-sia: "Harap tinggal di sini
saja!" Kedelapan Ui-ih-jin (baju kuning) itu menduduki delapan jurusan. Setiap akali Khik-sia hendak
menerobos di sela-sela mereka, dengan spontan mereka tentu akan menutup. Khik-sia tak berdaya
menerobos keluar walaupun gin-kangnya tinggi.
"Hm, kukuatir kalian tak mampu menahan aku!" Khik-sia mengejek serta menabas. Kedua
orang baju kuning acungkan pedangnya. Begitu pedang saling melekat, Khik-sia menggembor
keras dan maju dua langkah. Namun kedua orang itu meskipun mundur, pedangnya tetap bertahan
mati-matian. Kiranya Khik-sia telah adu lwekang dengan kedua Ui-ih-jin itu. Jika lwekang Khik-sia tak
mampu menindih lawan, sekalipun mempunyai pokiam juga tak berguna karena tak dapat
mengutungkan pedang orang.
Kedelapan orang baju kuning itu adalah pengawal dari pemimpin pulau Hu-song-to. Mereka
sudah mendapat gemblengan ilmu lwekang dari Bo Jong-long. Meskipun tidak selihay lwekang Bo
Se-kiat dan Khik-sia, namun karena dua orang maju berbareng, maka untuk beberapa saat Khiksiapun
sukar mengalahkan.
Khik-sia kerahkan lwekang Hian-kang untuk mematahkan pedang kedua lawannya. Tiba-tiba
kedua orang itu tertawa mengejek: 'Toan siauhiap lihay sekali! Tetapi dengan menggunakan ilmu
lwekang Hu-song-to untuk membunuh kami, entah bagaimana bila kelak siauhiap bertemu muka
dengan To-cu kami?"
Memang Khik-sia pernah mendapat bimbingan dari ketua Hu-song-to (Bo Jong-long) tentang
ilmu lwekang mereka. Ia tahu juga tentang inti rahasia ilmu itu. Karena terburu-buru hendak
meloloskan diri, Khik-siapun lantas gunakan Siau-bu-siang-sin-kang, sebuah tenaga lwekang yang
paling mudah untuk memecahkan lwekang lawan. Dan Sian-bu-siang-sin-kang itu justeru
merupakan lwekang yang paling istimewa dari kaum Hu-song-to.
Khik-sia terkejut sendiri dan kemerah-merahan mukanya. Lwekang Siau-bu-siang-sin-kang itu
ternyata merajai sekali. Kalau menggunakan tenaga penuh, bukan melainkan pedang lawan saja
yang akan putus, pun orangnya juga akan menderita luka dalam yang parah.
Khik-sia hanya membenci Se-kiat seorang. Sekalipun begitu ia masih tak sampai hati untuk
membunuhnya. Adalah karena Se-kiat mendesaknya begitu rupa, terpaksa Khik-sia mengadu jiwa
juga. Kawanan baju kuning itu hanya urusan dari Hu-song-to, mereka hanya mendengar perintah
Se-kiat saja. Sudah tentu Khik-sia lebih-lebih takmau melukai mereka. Buru-buru Khik-sia
menarik kembali pedangnya. Karena lwekang sudah mencapai tingkat sedemikian rupa, dapat
disalurkan-ditarik menurut sekehendak hati. Tidak demikian dengan kedua baju kuning itu.
Mereka tak mampu menguasai gerak lwekangnya seperti Khik-sia. Karena lwekang mereka masih
tetap menyalur, Khik-sia menderita kerugian. Ia terhuyung-huyung beberapa tindak dan hampirhampir
rubuh. Sret, Se-kiat datangn dengan menusuk: 'Oho, tak nanti kau mampu lolos. Lebih baik bertempur
lagi. Apa yang kau bisa, keluarkanlah semua. Sekalipun kau gunakan ilmu dari pamanku (Bo
Jong-long), akupun takkan mengejekmu."
"Ilmu dari perguruanku tak nanti lebih rendah dari kaummu!" Khik-sia berseru marah. Sekali
putar pedang, ia menyerang sembilan jalan darah di tubuh Se-kiat.
Se-kiat lintangkan pedang untuk melindungi diri. Ia bersikap bertahan tak mau menyerang.
Pedang keduanya dalam beberapa kejap saja sudah saling berbentur sembilan kali. Tapi karena
cepatnya gerakan mereka, benturan itupun hanya ringan saja dan karenanya pedang Se-kiatpun tak
sampai putus. "Ilmu menusuk jalan darah dari Wan-kong-kiam-hwat benar-benar lihay! Sayang kau
berhadapan dengan aku, tak mudah mencapai maksudmu!" kembali Se-kiat tertawa mengejek.
Khik-sia terubur-buru dan marah. Pula tadi ia sudah menderita sedikit ketika adu lwekang
dengan kedua baju kuning. Sebenarnya memang lwekang Khik-sia lebih rendah sedikit dari Sekiat.
Ia menyerang dengan kalap dan ini lebih menghamburkan tenaga lwekangnya.
Tiba-tiba Se-kiat membentak: "Kau tak dapat melukai aku, maaf, aku yang akan melukai kau!"
Cret, pedang Se-kiat menyambar dengan dahsyat. Khik-sia yang sudah kehabisan tenaga, tak
kuat menangkis. Ia cepat menghindar tapi tak urung ujung bajunya tertusuk berlubang, lengannya
tergurat luka sepanjang tiga dim.
Se-kiat hendak melanjutkan keganasannya tapi sekonyong-konyong terdengar suara orang
memaki dengan melengking: "Kurang ajar! Bo Se-kiat, kau berani mengganggu sute-ku!"
Se-kiat terperanjat. Tampak segulung asap putih meluncur cepat sekali. Walaupun belum
melihat jelas orangnya, tapi manusia yang dapat berlari secepat angin pada jaman itu, siapa lagi
kalau bukan Gong-gong-ji.
Karena bar pertama kali itu datang di Tiong-goan, kedelapan pengawal baju kuning dari pulau
Hu-song-to, tak kenal akan kelihayan Gong-gong-ji. Gong-gong-ji menerobos dari jurusan baratlaut,
ialah justeru jurusan yang hendak diterobos Khik-sia tadi. Penjaganya juga kedua baju kuning
yang adu lwekang dengan Khik-sia itu. Begitu ada angin menyambar, merekapun cepat menutup
jalan. Jurus yang digunakanpun serupa seperti yang mereka lakukan terhadap Khik-sia.
Gong-gong-ji bersuit dan tring, tring, pedang kedua baju kuning itupun kutung menjadi dua. Itu
bukan karena lwekang Gong-gong-ji jauh lebih tinggi dari Khik-sia. Tapi soalnya, Gong-gong-ji
bergerak lebih cepat. Sebelum pedang kedua baju kuning itu merapat dan lwekangnyapun belum
menyalur, sudah didahului oleh Gong-gong-ji.
"Jelas tidak" Ini sekali-kali bukan ilmu kepandaian dari Hu-song-to!" Gong-gong-ji
menertawakan. Tetapi kedua jagoan Hu-song-to itu sudah lari terbirit-birit. Tiba-tiba mereka
rasakan kepalanya silir sekali. Dikiranya kalau Gong-gong-ji mengejar. Mereka berpaling dan
legalah hati mereka karena Gong-gong-ji ternyata tidak mengejar. Saat itu baru mereka berani
meraba kepala .... astaga, kepala mereka sudah gundul kelimis! Mereka terkejut dan Gong-gong-ji
tertawa terbahak-bahak.
Puas tertawa, Gong-gong-ji melesat ke muka Se-kait dan membentaknya: "Kau berani mengejek
ilmu pedang kaumku?" - Wut-wut, wut, pedang berhamburan mengarah ke sembilan jalan darah Sekiat.
Tusuk Kondai Pusaka Karya S D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jurusnya serupa dengan yang dimainkan Khik-sia, tetapi perbawanya jauh lebih hebat, seperti
Pedang Tanpa Perasaan 10 Kitab Pusaka Karya Tjan Id Panji Sakti 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama