Ceritasilat Novel Online

Wanita Gagah Perkasa 6

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen Bagian 6


yang dapat diajak bertanding, yang lain-lainnya semuanya
tidak ada artinya! Untuk keperluan apakah dari tempat jauhjauh
kau datang kemari?" It Hang heran bukan main. "Aku
mohon tanya she dan nama besar dari looCianpwee?" ia
tanya. Ia ingin ketahui siapa adanya orang-orang yang
bernyali besar ini. Orang tua itu perdengarkan pulahinaannya:
"Hra!"
"Namaku?" katanya. "Sekalipun aku menyebutkannya, kau
pasti tidak ketahui! Di jaman ini, mereka dari golongan muda
hanya tahu namanya Siauwlim pay dan Butong pay, sedang
sebenarnya mereka melainkan dengar nama belaka! Tentang
kami orang-orang tua, yang tidak sempat mendirikan partai,
tentu mereka tidak tahu atau mengenalnya. Terus terang aku
katakan, andaikan Butong Ngoloo ada di sini, mungkin mereka
akan mengaku dirinya adalah yang termuda terhadap aku..."
It Hang benar-benar tidak mengerti akan obrolannya
ocehan orang itu. "Dan apakah imam itu gurumu?" orang tua
itu menanya sambil tangannya menunjuk Pek Sek Toojin.
It Hang heran bukan kepalang. "Menurut katanya, dia ada
terlebih tua dan terlebih terhormat daripada Butong Ngoloo,
tetuaku, tetapi mengapa dia tidak kenal Pek Sek Susiok?"
Namun ia menjawab juga: "Itulah paman guruku." Lantas ia
mengulangi menanyakan she dan namanya kedua orang tua
itu. Orang tua itu segera perlihatkan roman yang sangat
bangga. "Kau sebenarnya dari partai mana?" dia balik menanya.
"Apakah tetuamu tidak pernah beritahukan kau tentang
Lioksiangsian Ouw Mai si Dewa Dunia, dan SinCiu Beng Hui si
Tangan Sakti" Aku adalah Lioksiangsian Ouw Mai itu! Pada
dua puluh tahun yang lalu, dengan bertempat di atas gunung
Butong san, pernah aku mengadu pedang dan silat dengan
Cie Yang Tootiang. Di dalam ilmu silat bertangan kosong dia
suka mengalah satu jurus kepadaku. Dan dalam hal ilmu
pedang kedua pihak ada sama tangguhnya. Tapi karena dalam
ilmu silat tangan kosong aku telah menang daripadanya, maka
dalam ilmu pedang, tidak dapat tidak aku harus memberi
muka padanya, aku tetap mengalah!..."
It Hang heran ditambah heran. Gurunya adalah seorang
paling jujur dan biasa merendah, kalau benar pernah terjadi
adu ilmu silat itu, mengapa gurunya tak pernah
memberitahukannya"
"Itulah kejadian pada dua puluh tahun yang telah lampau!"
SinCiu Beng Hui nyeletuk. "Pada waktu itu ilmu pedang dari C
ie Yang Tootiang masih berimbang dengan kepandaiannya
saudara Ouw ini. Kalau adu kepandaian itu dilakukan
sekarang, aku berani pastikan, belum sampai lima puluh jurus,
Cie Yang Tootiang akan sudah kalah! Dalam halnya Siauwlim
pay, meskipun disohori untuk ilmu silatnya tangan kosong,
sebenarnya banyak sekali bagian-bagiannya yang lemah,
maka itu Keng Beng pun bukanlah tandinganku!"
Sehabisnya berkata demikian, dari dalam sakunya si
Tangan Sakti keluarkan sejilid buku, pada halaman kulitnya
bertulisan: "Sepuluh cacat dari ilmu silat Siauwlim pay."
Lantas ia kata pula: "Guna singkirkan anggapan keliru dari
khalayak ramai, sengaja aku telah tulis buku ini, untuk beber
pelbagai kelemahan dari ilmu silat Siauwlim pay!"
"Apakah kau bermaksud hendak menyerahkan bukumu ini
kepada Keng Beng Tiangloo?" It Hang tanya
Pemuda ini tetap tak berkurang herannya.
"Sayang Keng Beng kepala gundul bangkotan itu namanya
saja besar, tapi yang sebenarnya kosong belaka!" jawab Beng
Hui. "Diapun cupat sekali pandangannya! Dia telah tutup
pintu, dia tidak berani keluar menemui kami!"
It Hang niat pinjam buku itu untuk dilihat isinya, tetapi
bersamaan dengan itu pintu Siauwlim sie tampak terpentang,
di ambang pintu segera muncul keluarnya pendeta.
Segera juga Ouw Mai berseru: "Bagus! Akhirnya toh kita
bertemu juga! Hai, Keng Beng, kau berani atau tidak melayani
aku dalam sepuluh jurus?"
"Omitoohud!" pujinya* pendeta yang jalan di sebelah kiri,
seorang yang usianya lanjut dan wajahnya sangat sabar.
"PinCeng, sudah tua dan lemah, sudah lama pinCeng tidak
punya kegembiraan untuk main silat..."
Hweeshio yang di sebelah kanannya hweeshio tua dan
sabar ini, berkata sambil tertawa dingin: "Katanya kalian
dalam beberapa hari ini setiap hari datang mencari ketua kami
untuk ditantang adu silat, apakah kalian tidak tahu aturan
kami dari pihak Siauwlim pay" Bukankah tiekekCeng kami
telah memberitahukan aturan piebu kami kepadamu" Orang
siapa yang datang untuk mencoba-coba lebih dahulu dia mesti
main-main dengan murid kami dari tingkat ke lima, artinya kau
harus menjatuhkan lebih dahulu tingkat demi tingkat, barulah
aku sendiri yang melayani kalian. Kalian tidak suka turut
aturan kami ini, dan datang membuat ribut saja, apa maksud
kalian yang sebenarnya?" Lantas pendeta ini menggapai ke
arah dalam kuilnya, dan memanggilnya nyaring: "Gouw Ceng,
cobalah kau main-main kepada kedua tetamu ini!"
Dari dalam kuil segera terdengar suara penyahutan dan
lompat keluarnya satu seebie atau kacung hweeshio umur
empat atau lima belas tahun.
Melihat hweeshio cilik itu, Ouw Mai jadi sangat gusar.
"Cun Seng, kepala gundul bangkotan, kau sangat
memandang rendah kepada kami!" dia berteriak. "Aku tahu
kau sebagai Khamsie, akan tetapi kamipun adalah orangorang
yang berderajat, apakah kau anggap kami sembabat
untuk main-main denganmu?"
Pendeta yang disebut Cun Seng itu, tidak memberikan
penyahutannya. Sebaliknya siauwseebie, si hweeshio cilik,
segera perdengarkan suaranya: "Cukup! Kalian adalah tetamuTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
tetamu kami yang datang dari tempat jauh, suka aku
mengalah untuk kau menyerang terlebih dahulu sampai tiga
jurus!" "Hai, keledai gundul cilik!" menjerit Ouw Mai, "tahukah kau
siapa aku ini?"
Si cilik itu angkat jari-jari tangannya ke mukanya, ia
mengejek. "Aku tahu kau siapa!" sahutnya. "Kau adalah si buaya darat
yang hanya pandai pentang bacot!"
Mendengar itu, It Hang tertawa tanpa ia terasa.
Hweeshio cilik itu menyebutkannya "buaya darat" yaitu "bu
lay". Suara "bu lay" ini, apabila diucapkannya dengan dialek
Hoolam, sama suaranya dengan "ouw mai" ialah sama seperti
namanya Ouw Mai sendiri. Gunung Siauwsit san atau Thaysit
san itu memang berada dalam propinsi Hoolam. Dan si cilik ini
justeru berdialek Hoolam.
"Hai, Keng Beng!" teriaknya pula Ouw Mai. "Butong dan
Siauwlim adalah sebagai pemimpin-pemimpin kaum Rimba
Persilatan, maka kenapa kau kaum Siauwlim pay tidak telad
Cie Yang Tootiang yang demikian sopan santun" Ketika dulu
aku datangi Butong san, Cie Yang sendiri yang keluar
menyambut aku, dan di waktu adu silat, dia telah kalah dari
aku. Dan ketika aku pulang, dia bersama-sama empat
muridnya mengantarkan juga kepadaku! Dengan
perbuatannya itu, barulah dia dapat disebut sebagai seorang
pemimpin Rimba Persilatan!..."
Orang congkak ini belum tutup rapat mulutnya, ketika satu
tabokan nyaring mampir ke kupingnya. Itulah tangannya Pek
Sek Toojin yang sudah melayang menyambar ke kupingnya
itu, menyusul mana, tubuhnya pun terpelanting jatuh kira-kira
tiga tumbak jauhnya, sambil bergulingan dia menjerit teraduhaduh.
"Hai, orang-orang Siauwlim pay, apakah kau tidak
mengindahkan undang-undang negara?" berteriak Beng Hui.
"Cara bagaimana di waktu siang hari sebagai ini kau berani
aniaya orang?"
Ouw Mai masih saja bergulingan kesakitan, suaranya serak
dan perlahan, seperti hendak tarik napasnya yang
penghabisan. Menampak demikian, Keng Beng Siansu kerutkan dahi.
"Kasihlah dia makan sebutir pel," pendeta kepala dari
Siauwlim sie ini berkata pada khamsie, wakilnya
Dari sakunya Cun Seng rogoh keluar satu pot kecil terbuat
dari perak, dari dalam mana dia tuang keluar sebutir angwan,
obat pulung warna merah, yang ia berikan pada si hweeshio
muda. "Ketua kami pemurah hatinya, dia hadiahkan kau obat
mustajab," Cun Seng kata pada orang tua mulut kotor itu.
Beng Hui sambuti obat dari tangannya hweeshio kecil itu,
dan terus ia masukkan ke dalam mulut kawannya.
Setelah dapat telan obat itu, tidak lama Ouw Mai lantas
bisa bersuara pula.
"Saudara tuaku ini kau telah bokong hingga mendapat luka
di dalam," berkata Beng Hui. "Obat tadi telah menolong
jiwanya tetapi itu belum cukup, mari bagi aku dua butir lagi!"
Cun Seng Siansu gusar. "Apakah kau hendak memeras
padaku?" bentaknya.
"Tidak jadi apa, berikan padanya sebutir lagi." kata Keng
Beng. Pendeta kepala yang murah hati ini kuatir Ouw Mai benarbenar
terluka parah. Dengan terpaksa Cun Seng memberikan pula sebutir.
Beng Hui jadi sangat girang. Ia sambuti obat itu yang terus
disimpannya dalam sakunya, lalu ia angkat tubuhnya Ouw Mai
untuk dipanggul dan dengan tindakan pesat ia berlalu dari
gunung Siauwsit san.
"Apakah kau kenal aku?" Pek Sek Toojin yang masih gusar
itu mencegatnya.
"Aku justeru hendak mohon berkenalan," sahut Beng Hui.
Ia hentikan tindakannya dan menoleh.
"Aku adalah adik seperguruan Cie Yang Tootiang yang ke
empat," Pek Sek perkenalkan dirinya. "Akulah yang dijulukkan
Touwliong Kiamkek Pek Sek Toojin. Bukankah buaya ini tadi
mengatakan bahwa aku adalah salah seorang yang pernah
mengantar padanya turun dari Butong san" Mengapa dia tidak
mengenali aku?"
Mendengar itu si hweeshio kecil, yang sekarang telah
berkumpul bersama beberapa kawannya, tertawa ramai.
Ouw Mai, yang ngelehek di pundaknya Beng Hui, angkat
kepalanya dengan tiba-tiba.
"Oh, kiranya kau adalah salah satu dari Butong Ngoloo!..."
katanya. "Pantas kau liehay... Dasar aku sudah tua, tenagaku
sudah habis... Baiklah, lagi tiga tahun aku nanti perintahkan
muridku pergi cari kau untuk menuntut balas!"
Sekarang ini, meski suaranya tidak keras, toh dia tidak
serak lagi. "Tikus, lekas pergi!" Pek Sek membentak. Ia mendongkol
berbareng merasa geli untuk kelakuannya kedua orang yang
rendah martabatnya itu.
Beng Hui benar-benar lantas saja lari.
"Pek Sek Tooheng, kau telah berlaku keliru dengan
memberitahukan namamu!" kata Cun Seng sambil tertawa.
"Kenapa siansu?" Pek Sek tanya karena herannya.
"Sebabnya ialah dengan mengetahui namamu itu mereka
bisa perpanjang perkara itu!" menjelaskannya pendeta itu.
"Kalau nanti mereka mampus, di atas batu kuburannya pasti
mereka akan tambah ukiran huruf-huruf yang berbunyi:
'Pernah aku bertempur kepada Butong Ngoloo!'"
"Kalau itu sampai terjadi mereka sungguh kurang ajar!"
Meski ia mengucap demikian, imam ini toh tertawa.
"Tooheng, bukannya pinCeng bicara main-main belaka,"
Cun Seng Siansu berkata pula. "Di dalam kalangan Rimba
Persilatan memang banyak terdapat manusia-manusia
sebangsa mereka itu. Dua buaya itu sudah menduga, pasti
ketua kami tidak bakal melayani mereka bertanding, dan
orang-orang Siauwlim sie tidak akan rampas jiwa mereka, dari
itu mereka sengaja mengeluarkan kata-kata yang kotor itu.
Adalah pengharapan mereka, jikalau nanti mereka dilayani,
nama mereka jadi banyak dibuat sebutan."
"Ya, cuma orang-orang Siauwlim sie saja yang ada
demikian sabar dan pemurah hatinya," Pek Sek kata. "Jikalau
mereka berani berbuat seperti tadi di Butong san, sedikitnya
mereka akan dikasih tanda mata dengan kedua kakinya dibikin
tidak dapat digunakan untuk berjalan lagi!" Cun Seng Siansu
tertawa. "Itupun sebabnya kenapa mereka tidak berani main
gila terhadap Butong pay," katanya. "Tentu mereka tadi tak
menyangkanya bahwa di gunung Siongsan ini, dengan
menyebut-nyebut Butong pay, mereka akan ketemu bintang
celakanya!"
Pek Sek Toojin pun tertawa, sampai ia tepuk-tepuk
tangannya. "Tetapi, tooheng," kata Cun Seng kemudian, "ketika tadi
kau menyerang buaya darat itu, nampaknya kau gunakan
tenaga sepuluh bagian penuh, akan tetapi setelah mengenai
sasaran, kau hanya mengerahkan tiga bagian saja. Benarkah
itu?" Pek Sek menjadi sangat kagum.
"Benar-benar taysu sangat jeli matanya!" dia memuji. "Aku
sebal melihat tingkahnya buaya itu, maka aku telah kerahkan
tenagaku sepenuhnya, akan tetapi setelah melihat dia tidak
punya guna, mendadak aku merasa tidak tega, karenanya aku
hanya gunakan tenaga tiga bagian."
Pendeta itu lantas menghela napas.
"Maka itu kita telah kena dipedayai buaya itu..." kata dia.
"Dipedayai bagaimana siansu?"
"Mereka telah dapat menipu lebih sebutir pel," sahut Cun
Seng. "Sutee, janganlah kau terlalu kikir," Keng Beng Siansu turut
bicara. "Walau mereka dapat tambahan satu butir, itulah tiada
artinya bagi kita. Obat itu cuma bisa dipakai untuk menolong
orang, tidak untuk mencelakai. Maka kita tidak usah merasa
kuatir." Khamsie dari Siauwlim sie menggeleng kepala, ia tidak kata
apa-apa lagi. Ia bisa memikir jauh, nyata kelak dikemudian
hari kekuatirannya khamsie ini terbuktikan. Sebab obat pulung
merah itu di belakang hari telah menerbitkan perkara "gaib"
terbesar yang kedua dalam jamannya kerajaan Beng, yang
dinamakan perkara "Pil Merah". Kelebihannya sebutir pel itulah


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyebabkan hilangnyajiwa dari satu raja...
Sampai di situ, Pek Sek Toojin dan Keng Beng Siansu lantas
saling unjuk hormat. Pek Sek perkenalkan It Hang kepada
pendeta utama dari Siauwlim sie itu. ketua dari Siauwlim pay.
Keng Beng memuji apabila ia lihat tampangnya pemuda she
To itu. Malam itu bertempat dalam ruang sucinya yang diberi
nama "Kay Heng Ceng Sia" atau "kamar untuk mengubah
kelakuan", Keng Beng Siansu menjamu tetamunya.
Selama bersantap, Pek Sek omong tentang wafatnya C ie
Yang Tootiang, mendengar mana, Keng Beng menghela napas
mengutarakan sayangnya.
It Hang turut menjadi terharu. Ia membayangkan, setelah
suhu-nya wafat, Butong pay tidak punya kepala lagi, ke empat
susioknya walaupun kepandaian silatnya sempurna, mereka
semua tidak mempunyai bakat untuk jadi pemimpin. Ia
merasa bahwa kedudukan utama dari kaum persilatan pastilah
akan berpindah kepada kaum Siauwlim pay...
Cuaca malam itu bagus, tiga puluh enam pendopo dan lima
puluh empat menara dari Siauwlim sie tertampak tegas sekali,
ketika Keng Beng Siansu sehabis hirup tehnya dan
memandang bulan yang indah, tiba-tiba ia tertawa.
"Tooheng, malam yang seindah ini cocok atau tidak bagi
pekerjaannya yahengjin?" dia tanya imam dari Butong san itu.
(yahengjin=tukang keluar malam).
Ditanyakan tentang Yahengjin itu Pek Sek Toojin menjadi
heran. "Apakah maksudmu ini loosiansu?" tanyanya.
"Mungkinkah ada yahengjin yang berani satroni Siauwlim
sie" Tadi kedua buaya itu sangat mengganggu, akan tetapi
pintoo berani pastikan, mereka tidak punyakan kepandaian
untuk masuk kemari."
Pendeta tuan rumah itu tertawa.
"Orang yang akan datang malam ini bukan sebangsa
kurcaci," dia menjawab. "Dia adalah utusan istimewa dari Him
Kengliak. Malah diapun adalah orang yang pinCeng undang
secara istimewa juga."
Imam dari Butong pay itu menjadi terlebih heran.
"Him Kengliak yang mana itu?" dia tanya dengan
penegasannya. "Apakah dia TayCiangkun Him Teng Pek yang
menjadi kengliak di jasirat Liauwtong?"
"Di kolong langit ini mungkinkah ada dua Him Kengliak?"
Keng Beng bersenyum.
"Him Kengliak adalah seorang panglima pandai dari jaman
kita ini, dia pun jujur, mustahil dia hendak mengganggu
Siauwlim sie?" Pek Sek tanya dalam keheranannya yang telah
memuncak itu. "Pasti sekali itu bukan maksudnya!" Keng Siansu tertawa
pula. Pek Sek mengawasi, sedang si pendeta berdiam.
Selang sesaat kemudian berkata pulalah tuan rumah: "Ada
satu orang bernama Gak Beng Kie. Pernahkah tootiang dengar
nama itu?"
Pek Sek Toojin berdiam, tetapi It Hang terperanjat.
"Aku tahu orang itu!" sahut anak muda ini.
"Nah. dialah yang akan datang malam ini," Keng Beng
beritahukan. It Hang kaget. "Untuk keperluan apakah?" dia tanya.
"Dia datang atas titah Him Kengliak."
Tentu sekali jawaban itu membuat It Hang tidak mengerti,
sama tidak mengertinya Pek Sek sang paman guru.
Ketika Kengliak Him Teng Pek terima pangkatnya dengan
tugas di Liauwtong, selagi terima cap kebesarannya, ia
berbareng menerima juga Sianghong Pookiam, yakni pedang
kekuasaan yang dihadiahkannya kaisar kepadanya. Dengan
punyakan pedang ini, apabila ia menghadapi perkara besar,
hingga orang mesti dihukum mati, Him Kenghak bisa lebih
dahulu jalankan hukuman itu, baru kemudian ia
melaporkannya kepada junjungannya. Kekuasaannya besar
luar biasa. Dengan dapatkan kekuasaan semacam ini akan
dapat diketahui, kengliak itu berlaku bijaksana dan cakap atau
tidak. Kekuasaannya seorang kengliak adalah mengurus
pasukan tentara berikut rakyat dalam wilayah kekuasaannya
itu, kedudukannya lebih penting dan lebih tinggi daripada satu
gubernur jenderal.
Seterima jabatannya itu. Him Kengliak berangkat ke
Liauwtong dengan melakukan perjalanan cepat. Ia telah bawa
bersama pasukan pribadinya karena ia segera niat bekerja
mengurus wilayah tapal batas yang dipercayakan kepadanya.
Dalam menjalankan tugasnya di Liauwtong, paling dulu tiga
pembesar rakus yang berpangkat Ciangkun (jenderal), yang
kejahatannya dapat dibuktikan, ia hukum mati. Ketiga perwira
tinggi itu adalah Lauw Gie Ciat, Ong Ciat dan Ong Bun Teng.
Kepala mereka itu dibawa ke pelbagai tangsi untuk
dipertontonkan kepada semua opsir dan serdadu, hingga hati
tentara jadi gentar. Karenanya, maka selanjutnya semua
orang peperangan taat kepada aturan ketentaraan.
Selanjutnya Him Kengliak mulai dengan usahanya
memperbaiki semua pasukan, pakaian dan peralatannya,
terutama pendidikannya. Untuk pembelaan, ia telah membuat
kereta-kereta perang dan meriam, kotanya juga diperkuat
dengan antaranya menggali kali pelindung kota.
Sama sekali ada delapan belas laksa serdadu di Liauwtong,
tadinya semua tentara itu tidak keruan, setelah dipimpin Him
Kengliak, mereka merupakan satu angkatan perang yang baik,
mereka di tempatkan di Busun untuk menghadapi tentara
Boan. Hingga raja Boan, yang dengar kecakapannya kengliak
itu, tidak berani gerakkan tentaranya untuk mengganggu
perbatasan Tionggoan. Bahkan pasukan itu ditarik pulang ke
Hinkeng. Dengan lenyapnya ancaman bahaya perang, Him Kengliak
berlega hati. Gak Beng Kie di dalam pasukannya Him Kengliak menjabat
CamCan, penasihat atau penulis, pangkat itu tidak tinggi tetapi
sangat dipercaya. Maka ketika Him Kengliak dapat pikiran
membuat sebatang pedang istimewa, dia bebankan tanggung
jawab itu kepada Beng Kie.
Gak Beng Kie terima tugas tersebut, untuk itu ia hendak
pergi ke Kwangwa buat cari ahli pembuat pedang, akan tetapi
di lain pihak ia dengar selentingan bahwa di kota raja ada
komplotan yang memusuhi Him Kengliak, komplotan yang
terdiri dari Perdana Menteri Pui CiongTiatdan Menteri Perang
Lauw Kok Cin. Komplotan ini iri hati akan kekuasaan kengliak
yang besar itu dan berikhtiar untuk menjatuhkannya,
antaranya menteri penasihat yaitu giesu, dianjurkan
mendakwa Him Kengliak. Karena ini, dengan seijin Him
Kengliak, Beng Kie pergi ke kota raja melakukan penyelidikan,
untuk merintangi komplotan itu.
Sesampainya di kota raja. Beng Kie berhasil memperoleh
keterangan bahwa di sampingnya komplotan itu terdapat juga
serombongan menteri setia, seperti Yo Lian dan Lauw It Keng.
yang membelai Him Kengliak, hingga untuk sementara
panglima di tapal batas itu tidak akan menghadapi bahaya.
Karena ini. ia ambil kesempatan untuk pergi mencari ahli
pembuat pedang. Tapi ia nampak kesulitan. Ahli-ahli itu
banyak yang sudah meninggal, dan yang masih hidup sudah
lanjut usianya, mereka sungkan pergi ke Liauwtong. Beng Kie
sendiripun ahli pedang tapi dia tidak pandai membuatnya
sendiri. Setelah memikir-mikir akhirnya Beng Kie ingat bahwa di
dalam kalangan persilatan, cuma Siauwlim paylah yang
punyakan kitab pembuatan pedang, yakni "Liong
Coan Pek Lian Kiat", maka ia berkeputusan pergi ke
Siauwlim sie untuk minta salinan rahasianya pembikinan
pedang itu. Ia kandung niatan, kecuali membuat pedang
untuk Him Kengliak. iapun hendak membuat golok dan
pedang untuk tentaranya.
Begitulah selagi keadaan di perbatasan aman, Beng Kie
sudah lantas pergi ke Siongsan. Ia kunjungi Keng Beng
Siansu. kepada siapa ia utarakan keinginannya Him Kengliak
untuk meminjam salinan kitab rahasia pembuatan pedang itu.
Demikian halnya Beng Kie, yang dituturkan Keng Beng
Siansu kepada Pek Sek Toojin.
"Hal itu memang baik sekali," kata pendeta ini, "apalagi
untuk Him Kengliak sendiri. Hanya sangat disayangkan bahwa
Siauwlim pay mempunyai aturan sendiri yang mesti dihormati,
yaitu kitab-kitabnya dilarang diwariskan kepada pihak luar, tak
terkecuali Him Kengliak sekalipun. Maka setelah aku pikir pergi
datang, aku memutuskan suruh dia datang untuk mencurinya
saja!" Sehabisnya berkata demikian, Keng Beng tertawa terbahakbahak.
Pek Sek pun anggap kcputusan itu lucu, dia turut tertawa.
Cun Seng Siansu ingat sesuatu, lalu ia tanya It Hang:
"Tahukah kau bagaimana ilmu silatnya Gak Beng Kie itu?"
"Dibandingkan dengan teeCu, dia menang berlipat kali,"
sahutnya pemuda ini.
Pek Sek Toojin terkejut hingga berubah roman mukanya. Ia
nampaknya tidak senang.
"Kau terlalu merendahkan diri, lauvvtee!" ujar Cun Seng
sambil tertawa. "Menurut dugaanku, mungkin ilmu silatnya itu
dia perolehnya dari suatu cabang tertentu. Aku bersama
ketuaku harapkan dia berhasil dengan pencuriannya ini, akan
tetapi tak dapat kami tanggung mengenai sikapnya muridmurid
kami. Kami telah memikirnya, apabila ilmu silatnya tidak
berarti, kami tidak hendak menugaskan murid-murid yang ada
kepandaiannya untuk melakukan penjagaan."
"Menurut pintoo." Pek Sek Toojin campur bicara,
"mengingat namanya Siauwlim pay, walaupun kau niat
memberi kelonggaran pada orang she Gak itu, sudah
seharusnya hasil kerjanya itu dia dapatkan bukannya dengan
secara gampang."
Cun Seng tertawa.
"Itulah sudah selayaknya!" kata ia. "Dan kalau tooheng ada
punya kegembiraan, silakan kau turut menontonnya."
Sampai di situ orang lalu bicara lain-lain hal, sampai
mendatangnya sang malam, pada waktu itulah orang telah
bersiap sedia. Gak Beng Kie di lain pihak gembira sekali, oleh karena
sikapnya Keng Beng Siansu mendatangkan > kekagumannya. Ia
telah mengenakan pakaian malam warna hijau. Ketika ia telah
sampai di luar kuil Siauwlim sie, di muka pintu kuil ia memberi
hormat dengan menjura tiga kali, sesudah mana baru ia
apungkan tubuhnya, untuk lompat naik ke atas genteng.
Segera juga ia masuk ke dalam kuil.
Tapi berbareng dengan itu, ia lihat satu bayangan orang
sangat gesitnya melesat di sampingnya, menuju ke arah timur
utara. Mahir ilmu enteng tubuhnya. Bayangan itu pastilah
bukan dari sembarang orang. Tentu saja ia terkejut, hingga ia
menduga mungkin Keng Beng Siansu telah berubah sikap
dengan menugaskan orang pandai untuk merintangi padanya.
Selagi "pencuri" ini berdiri diam sambil berpikir dari ruang
Lohan tong keluar dengan tiba-tiba satu seebie cilik, yang
umurnya baru lima atau enam belas tahun. Pesat lompatnya si
cilik ini, yang tanpa sepatah katapun lantas menyerang
dengan tipu silat "Imyang Siangtong Ciang."
"Hai, orang lancang, kau berani masuk kemari?" demikian
bentaknya kacung pendeta itu.
Beng Kie ingat pengunjukannya ketua Siauwlim sie. ia
layani bocah ini separuh memain. Begitulah ia melayani
dengan senantiasa berkelit, sambil memikirkan jalan untuk
nerobos masuk lebih dalam.
Di luar dugaan, seebie itu beradat tinggi, sesudah berulang
kali dia gagal dengan penyerangannya, lantas dia membuat
perubahan, ialah selanjutnya dia berkelahi dengan
menggunakan ilmu silat "BianCiang" Tangan Lemas. Sabansaban
ia beraksi menotok atau menonjok, gerakan tubuhnya
sangat lincahnya.
It Hang bersama paman gurunya, mengintai dari atas
sebuah menara, dikawani satu pendeta dari ruang Tat Mo Ih
dari Siauwlim sie. Mereka kenali seebie itu. ialah hweeshio cilik
yang tadi siang tantang Ouw Mai, maka mereka merasa lucu
sendirinya. "Suhu cilik ini gesit sekali gerak-gerakannya," It Hang kata.
"Kalau tadi siang kejadian dia turun tangan, pasti sekali buaya
darat itu akan dapat luka parah."
Di lain pihak Beng Kie terus layani sicilik itu, sampai ia rasa
sudah cukup lama, lantas ia sengaja membuka satu lowongan,
hingga tangannya si seebie yang tidak sempat ditarik pulang
telah mengenai jalan darahnya kiebun hiat di bawah tetek kiri,
menyusul mana, ia mencelat naik ke tembok sambil berseru:
"Suhu kecil, liehay sekali tanganmu! Aku menyerah kalah!..."
Seebie itu sebaliknya menjadi heran. Ia memang telah
berhasil dengan serangannya, akan tetapi baru saja tangannya
menempel kulit badan lawannya, ia rasakan daging orang
seperti melesak, hingga tak dapat ia menekannya, jangankan
untuk ditotoknya. Maka ia heran kenapa orang telah mengaku
kalah... Meski demikian, dasarnya bocah, ia anggap ilmu silatnya
sendiri sudah liehay. Yang mengherankan padanya yaitu,
lawannya walaupun mengaku kalah, tapi dia lari ke arah
dalam! Selagi seebie ini diam memikirkan lawannya itu, satu orang
lompat turun dari ruang CeeCouw am.
"Anak tolol!" demikian orang yang baru datang ini, ialah
Cun Seng Siansu. "Orang telah mengalah padamu, kau masih
tidak tahu! Kenapa kau tidak lekas menghaturkan terima
kasih" BianCiangmu masih beda sangat jauh!"
Merah mukanya kacung itu. Tapi ia segera rangkap kedua
tangannya. "Terima kasih untuk kebaikanmu, tetamu yang mulia," kata
dia. Beng Kie terkejut. Ia kagumi Cun Seng Siansu. ia betulbetul
tidak ketahui di mana sembunyinya tetua dari Siauwlim
sie itu. Iajuga kagum akan keliehayan dari matanya pendeta
ini. Segera Beng Kie lewati Lohan tong. untuk memasuki ruang
Kayheng Cengsia, yaitu tempat di mana tadi siang Keng Bcng
Siansu sambut Pek Sek Toojin. Ia baru lompat masuk, segera
ia dengar suara angin yang menyambar mukanya, maka


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan gunakan ilmu enteng tubuhnya yang istimewa, ia
terus lompat naik ke pcnglari.
"Tetamuku, jangan kaget," terdengar satu suara sambil
tertawa. "Silakan turun! Mari kita mengadu senjata rahasia!"
Beng Kie pandang orang yang bicara itu, satu pendeta di
tangan siapa ada sebuah benda panjang persegi. Itulah
senjata yang tadi menyambar dia, yang anehnya telah segera
kembali ke tangan pemiliknya.
Pendeta itu adalah Hian Thong, muridnya Cun Seng Siansu.
Ia gunakan senjata rahasianya, tapi untuk kekagumannya, ia
dapatkan Beng Kie mempunyai kelincahan yang di luar
dugaannya. Pemuda itu dapat loloskan diri, dengan lompat ke
penglari, yang dalam sejenak bagaikan lenyap dari
hadapannya. Karenanya, ia jadi menantang untuk adu
kepandaian senjata rahasia, karena bangkit tabiatnya yang
suka menang itu.
Sambil tertawa Beng Kie terus lompat turun, akan memberi
hormat. "Harap taysu menaruh rasa kasihan kepadaku," dia
memintanya. "Jangan mengucap demikian," Hian Thong kata. "Kau
menggunakan senjata apa?"
Tidak biasanya Beng Kie menggunai senjata rahasia, ia jadi
berpikir. Kebetulan di luar ruang, di latar dalam, ada sebuah
pohon lengkeng, terus saja ia kata sambil tertawa: "Aku
berdahaga sangat, sudilah kiranya berikan aku ketika akan
petik beberapa biji buah lengkeng untuk melenyapkan
dahaga..."
Hian Thong heran, ia tidak dapat terka maksud orang.
"Silakan!" katanya kemudian. Beng Kie naik ke pohon
lengkeng, ia petik buahnya dan dahar itu, sampai kira-kira tiga
puluh biji, semua bijinya ia kumpulkan, dan digenggam dalam
tangannya. "Cukup!" katanya kemudian. "Sekarang aku telah siap
dengan senjata rahasiaku, taysu, silakan kau beri ajaran
padaku!". Mengetahui orang hendak gunakan biji lengkeng sebagai
senjata rahasia, Hian Thong menjadi tidak senang, dalam
kemendongkolannya itu, tanpa kata apa-apa lagi, ia mulai
dengan penyerangannya, dengan lima biji Tiatpouwtee.
Beng Kie menangkis dengan biji lengkengnya, setiap
tiatpouwtee terbentur biji lengkeng dan menerbitkan suara,
jatuh ke lantai. Senjata rahasia si pendeta itu gagal menemui
sasarannya. Baru sekarang Hian Thong heran sekali, tapi ia penasaran,
ia ayunkan sepasang tangannya, untuk menyerang dengan
senjata rahasianya yang dinamakan "wanyho Cim", senjata
rahasia mirip bantal tetapi di dalamnya disembunyikan senjata
tajam yang bisa dipakai menyerang dan bisa ditarik pulang...
Diserang senjata rahasia yang luar biasa sebagai
boomerang itu. Beng Kie menyambutnya dengan empat butir
biji lengkengnya; ia telah kerahkan tenaga besar, hingga
Wanyho Cim kena terhajar miring dan menjurus ke lain arah.
Menampak demikian, Hian Thong segera tarik pulang
senjatanya itu.
Matanya Beng Kie tajam sekali. Segera ia dapatkan, senjata
rahasia itu terikat dengan selembar kawat halus, yang ujung
lainnya seperti terlibat di bebokongnya si pendeta. Ia gunakan
kegesitannya lompat menyambar, untuk putuskan kawat itu.
Maka waktu Hian Thong mengulangi serangannya, dengan
sendirinya senjatanya itu melesat keluar, senjata tajamnya
nancap di batang pohon lengkeng!
"Terima kasih!" mengucap Beng Kie, yang terus lompat lagi
akan lewati "pintu kota" yang kedua ini, untuk nerobos ke
Congkeng kok, loteng tempat simpan kitab. Dengan katakatanya
itu, ia seperti mengatakan bahwa, si pendeta sudah
sengaja mengalah terhadapnya...
Baru beberapa tindak, Beng Kie telah dicegat pula oleh satu
pendeta lain, yang muncul dari ruang Tat Mo Ih dengan
bersenjatakan Hongpian san, senjata semacam alat sekop,
yang gagangnya panjang.
"SieCu, harap berhenti!" demikian si pendeta berseru.
Beng Kie tahu pendeta ini tentu seorang yang liehay, sebab
sudah biasanya murid atau murid-murid yang liehaylah baru
dapat di tempatkan di dalam Tat Mo Ih.
"Maaf, suhu!" ia memberi hormatnya, sambil ia tanya nama
orang. Hweeshio itu perkenalkan diri sebagai Thian Goan, murid
kepala dari Keng Beng Siansu. Dia melintangkan senjatanya
tetapi sambil bersenyum.
"Silakan keluarkan senjatamu, Gak SieCu!" dia
mengundang. "Maaf!" jawab Beng Kie, yang segera hunus pedangnya
yang memancarkan cahaya bergemerlapan -- pedang Yuliong
kiam, atau pedang "Naga Memain."
Gurunya Beng Kie, yaitu Thian Touw Kiesu, sudah cari
bahan baja dan besi di gunung Thiansan, ia membawanya
pada Auwyang Tie Cu, ahli pembuat pedang yang tajam,
untuk dibuatkan dua bilah pedang, satu panjang dan satu
pendek. Yang panjang adalah Yuliong kiam ini, dan yang
pendek diberi nama Toangiok kiam, pedang "Memutuskan
kumala". Yuliong kiam inilah yang dijadikan pedang pusaka
Thiansan pay. Bercekat juga hatinya Thian Goan melihat pedangnya
pemuda itu, akan tetapi mengingat senjatanya sendiri ada
"senjata berat", ia tidak takut.
Setelah memberi hormat, Beng Kie bersiap dengan
pedangnya diangkat rata di depan dadanya.
Thian Goan sudah lantas menyerang, dengan sebat sekali.
Beng Kie pun tidak kurang gesitnya berkelit ke samping, dari
mana ia kirim tusukan ke lengannya lawan itu.
"Sungguh sebat!" seru Thian Goan yang memuj inya. Ia
segera tarik pulang senjatanya untuk menyerang pula.
Beng Kie batalkan serangannya, setelah menarik pulang
sambil berkelit, kembali ia menyerang. Kali ini pedangnya kena
bentur senjatanya Thian Goan, kedua senjata bentrok keras,
dengan kesudahan Beng Kie rasakan tangannya kesemutan
menjadi seperti kaku, hingga ia kaget sekali. Tapi lekasjuga ia
dapatkan tenaganya kembali maka ia mendahului menyerang
dan mendesak, tiga kali beruntun.
Atas desakan itu, Thian Goan bela diri sambil putar
gegamannya, hingga tubuhnya seperti terkurung.
"Bagus!" memuji Beng Kie. Tapi, sambil berikan pujiannya
itu pemuda ini terus mendesaknya.
Akhir-akhirnya kaget juga pendeta itu. Di dalam Tat Mo Ih
ia adalah salah satu pendeta terliehay, sedang dalam Siauwiim
sie ia menduduki kursi yang ketiga. Di dalam pengalaman
persilatan, ia ketahui baik pelbagai macam ilmu silat golongan
selatan dan utara. Akan tetapi sekarang ia saksikan Gak Beng
Kie bersilat dalam keistimewaannya segala macam cabang
persilatan. Hingga sampai kira-kira lima puluh jurus, ia masih belum
dapat terka orang sebenarnya ada dari golongan mana.
Masih Beng Kie mendesak, beberapa kali senjata mereka
beradu hingga menerbitkan suara nyaring.
Pertandingan tengah berlangsung, tiba-tiba terdengar suara
kata-kata yang datangnya seperti dari tengah udara. Itulah
suara Keng Beng Siansu di atas menara. Katanya: "Thian
Goan! Kau sudah kalah, kenapa kau tidak lantas undurkan
diri!" Thian Goan agaknya heran, tapi ia lantas berhenti bersilat.
Barulah sekarang ia dapat kenyataan, bahwa kedua pinggir
sekopnya pada bagian tajamnya, telah sempoak bekas
terpapas pedang. Tapi ia masih penasaran, maka di dalam
hatinya ia kata: "Senjataku kalah karena pedangmu pedang
mustika, tetapi di dalam hal ilmu silat aku belum kalah..."
Gak Beng Kie menjura ke arah pagoda, dan ia hendak
menghampirinya dengan jalan melalui Congkeng kok, tapi
Thian Goan mendahuluinya di tangga menara.
"Suhu, teeCu masih belum kalah, mengapa suhu
menitahkan teeCu undurkan diri?" tanyanya. "Kalau toh suhu
niat membiarkan dia lewat, sedikitnya dia harus merasakan
kesulitannya. Dengan cara suhu ini, apakah dia tidak akan
memandang.enteng kepada Hongpian san dari Siauwiim
pay?" Tidaklah heran kalau pendeta ini mengatakan demikian,
karena pada jaman itu, ilmu silat Hokmo Hongpian san dari
Siauwiim pay sangat terkenal.
Keng Beng Tiangloo bersenyum.
"Untuk banyak tahun kau telah ikuti aku, di dalam Tat Mo
Ih pun kedudukanmu tinggi, mengapa sekarang masih belum
insyaf kekalahanmu?" tanya guru ini. "Coba periksa jubahmu
bagian dadamu!"
Thian Goan segera tunduk untuk melihatnya. Maka di situ
ia tampak tiga lubang kecil bekas ujung pedang. Baru
sekarang ia insyaf bagaimana murah hatinya Beng Kie
Melihat muridnya berdiam, Keng Siansu rangkap kedua
tangannya. "Inilah dia pemuda harapan!" pendeta ini memuji. "Tidak
kusangka, dalam usiaku yang telah lanjut ini, dapat aku
saksikan ini cahaya terang dalam dunia Rimba Persilatan!"
"Sebenarnya ilmu silatnya Gak Beng Kie ini dari kaum
mana, suhu?" Thian Goan tanya kemudian. "Dan apa
sebabnya suhu sampai menghargainya demikian macam?" t.
"Ilmu pedangnya itu adalah ciptaan sendiri, hasil petikan dari
keistimewaannya semua cabang il mu silat lainnya," sang guru
menerangkan. "Aku telah dengar bahwa Thian Touw Kiesu
hidup menyendiri di gunung Thiansan untuk meyakinkan ilmu
silat, dugaku pemuda ini mungkin murid kesayangannya Thian
Touw Kiesu itu."
Thiansan terpisah selaksa lie dari Siongsan, maka tidaklah
heran sedikit sekali orang Siauwiim pay yang ketahui Thian
Touw Kiesu asyik meyakinkan ilmu pedang. Demikianlah Thian
Goan meski kedudukannya tinggi, ia belum pernah dengar
namanya Thian Touw Kiesu. Maka dengan perasaan ingin
tahu, ia awasi gurunya.
"Pemuda ini, kecuali latihan semangatnya yang dia belum
dapat sempurnakan benar," mengatakan pula Keng Beng
siansu, "Walaupun Cie Yang Tiangloo menjelma pula, masih
belum tentu dia dapat memenangkannya. Demikianlah ilmu
silat, setiap hari bertambah baru, setiap bulan berubah --jikalau tidak mundur, niscaya maju --- maka ingatlah kau baikbaik!"
Thian Goan dapatkan paling banyak pelajaran daripada
saudara-saudara seperguruannya, hingga ia merasa bangga,
akan tetapi sekarang insyaflah ia akan kekurangannya. Ia
tidak runtuh semangat, bahkan ia belajar lebih jauh dengan
rajin dan ulet, hingga di belakang hari ia peroleh hasil karena
ambekannyayang besar itu.
Gak Beng Kie sudah lintasi Tat Mo Ih, ia sampai di depan
CeeCouw am. Congkeng kok tertampaklah sudah di
hadapannya. Kuil CeeCouw am itu dibangun untuk
memperingati Tat Mo Couwsu. "Cee Couw" itupun berarti
"Leluhur mula pertama". Karena itu, menghadapi kuil itu Beng
Kie lantas memberi-hormat sambil menjura.
Puas Cun Seng Siansu menampak orang sangat tahu
aturan. "Gak SieCu, silakan bangun!" ia berkata. "Silakan masuk
dan duduk di sini."
Beng Kie bertindak masuk ke dalam kuil. Ia memberi
hormat sedalam-dalamnya, sambil mengucapkan: "TeeCu
datang untuk menghadap, tidak berani teeCu mengadu
kepandaian."
Cun Seng ini sama tingkatannya dengan Keng Beng Siansu,
sebenarnya dia tak sudi menjaga "kota" ini. akan tetapi
setelah saksikan kegagahannya Gak Beng Kie, hatinyajadi
tertarik, hingga dalam kegembiraannya itu, suka ia akan
mencoba-coba pemuda itu. Demikian ia turun dari pagoda, ia
pergi ke CeeCouw am akan layani main-main pemuda itu. ,
"Jangan kau terlalu merendah," kata Cun Seng Siansu
sambil tertawa. "Duduklah! Dalam hal ilmu silat tidak dapat
dikatakan siapa belajar lebih dahulu dan siapa belakangan.
Yang benar adalah, orang yang memperoleh buah peryakinan,
dialah yang menjadi guru. Dalam hal ilmu silat kalau orang
saling belajar mempelajari, bagi kedua pihak ada faedahnya."
"Maaf," mengucap Beng Kie. Ia tetap berlaku hormat.
Barulah setelah itu, ia ambil tempat duduk di sebelah barat
menghadapi si pendeta tua, yang duduk di sebelah timur.
Jarak di antara mereka sekira tiga tombak jauhnya.
"Tak usah kita mengadu kepandaian dengan beradu
tangan," berkata Cun Seng Siansu, "cukup jikalau kita masingmasing
duduk diam dengan hanya kepalan kita yang dihadapi
satu pada lain. Ini namanya adu kepalan..."
Beng Kie heran dengan caranya "adu kepalan" yang
demikian itu. "Kita duduk sejarak tiga tombak, anginnya kepalan kita
akan sampai satu kepada yang lain," berkata pula pendeta tua
itu. Dengan sama-sama tetap duduk, kita menyerang satu
pada lain. Siapa yang terserang hingga roboh dari tempat
duduknya dialah yang kalah. Diumpamakan kita duduk sama
tangguhnya, nanti kita gunakan kelenengan untuk menghitung
siapa di antara kita yang terlebih ulet bertahannya."
"Bagaimana caranya, siansu?" Beng Kie minta ketegasan.
Cun Seng Siansu jemput sebuah kelenengan, ia lemparkan
itu kepada si anak muda.
"Taruh kelenengan itu di dalam baju di depan dadamu,"
Cun Seng Siansu menyuruhnya.
Beng Kie ikuti petunjuknya Cun Seng Siansu.
Cun Seng Siansu duduk dengan benar, ia pun letakan
sebuah kelenengan di dadanya itu.
"Kau boleh menyerang ke arahku dengan cara sesukamu,"
katanya kemudian, "demikian juga aku. Kita akan sulut
sebatang hio untuk dijadikan batas waktu. Jikalau kita
keduanya sama dapat bertahan, nanti kita hitung bunyinya
kelenengan siapa di antara kita yang bersuara paling banyak."
Beng Kie anggap perjanjian itu sangat baru baginya.
"Silakan mulai!" Cun Seng memberi isyarat setelah ia duduk
rapi. Beng Kie menurut, ia lantas menyerang.
"Bagus!" seru Cun Seng sambil menangkis dan
menyerangjuga.

Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beng Kie kalah tenaga, ia rasakan sambarannya angin ke
arah mukanya. Ia bersyukur bahwa kelenengannya tidak
sampai perdengarkan suara.
Lantas Cun Seng balas menyerang, dan Beng Kie
menangkis. Saling serang ini berlaku terus, selama itu, Beng Kie
rasakan angin menyambar mukanya semakin lama semakin
keras, ia terperanjat.
"Benar-benar liehay ilmu silatnya Siauwlim pay," pikirnya.
Ia insyaf, apabila terus ia melayaninya keras sama keras, ia
tidak akan dapat bertahan. Maka ia lantas memikirkan akal.
Cun Seng Siansu menyerang pula. Beng Kie tidak
membalas, ia hanya perberat tubuhnya untuk dapat duduk
tetap. Ia tak kena dibikin bergerak oleh angin lawan, tetapi
kelenengannya berbunyi!
"Satu, dua..." Cun Seng menghitung.
Selagi lawan menghitung, mendadak Beng Kie pun
menyerang. Belum sempat Cun Seng menangkis, atau
kelenengannya juga berbunyi.
"Satu, dua..." Beng Kie turut menghitung.
Nyata kelenengan mereka masing-masing berbunyi tiga
kali. Cun Seng Siansu lantas tertawa.
"Kau cerdik!" pujinya. Ia menyerang pula.
Beng Kie tetap pakai caranya yang baru itu. Ia menunggu
sesudah diserang, segera ia membalas. Tapi Cun Seng juga
menggunakan akal. Dia telah menyerang dengan ancaman
belaka, dan ketika dia diserang, dia lantas gunakan
tenaganya. Maka anginnya Beng Kie kena tertolak.
Atas itu, Beng Kie cepat-cepat tarik pulang tangannya. Tapi
ia kalah cepat kelenengan telah terserang berbunyi! Hingga
kesudahannya ia kalah dua karena ini, segera ia berlaku
waspada. Lagi beberapa gebrak, kelenengan kedua pihak berbunyi
bergantian, akan tetapi walau demikian, sampai sebegitu jauh
Beng Kie masih kalah lima. Tentu saja ia menjadi gelisah
sendirinya. "Aku mesti mengalah," pikir Cun Seng. Benar-benar ia tidak
melawan ketika ia diserang dua kali hingga ia kalah empat tapi
jumlahnya Beng Kie masih kalah satu. Hal ini membuat si anak
muda tertawa tanpa merasa.
"Biaraku hajar dia sekali lagi..." pikir Cun Seng, yang
perhatikan wajah lawannya.
Beng Kie lantas diserang, tapi dia berikan perlawanan
dengan bersemangat. Kelenengan kedua pihak masing-masing
berbunyi, tapi jumlahnya tetap Beng Kie kalah tiga.
Ketika itu. hio hampir terbakar habis.
Beng Kie bingung. Ia tidak dapat duga maksud apa
sebenarnya yang rjun Seng Siansu kandung terhadap dirinya.
Dalam bingungnya itu, ia peroleh akal. Begitu diserang pula, ia
kerahkan tenaga dalamnya, sampai kelenengannya tertolak ke
depan, memapaki serangannya pendeta itu. Berbareng
dengan itu iapun membalas menyerang, hingga kelenengan
itu terserang dari depan dan belakang, lantas saja pecah
belarakan. "Celaka, kelenenganku pecah!" Beng Kie sengaja berseru.
"Bagaimana menghitungnya sekarang?"
Cun Seng tercengang, ia hendak bangun, tetapi justeru ia
bergerak, Beng Kie serang padanya, sampai kelenengannya
berbunyi, tepat tiga kali! Dan berbareng dengan itu, api hio
pun padam! Cun Seng Siansu lantas tertawa gelak-gelak.
"Kau cerdik sekali, laotee!" katanya dengan pujiannya. "Kita
bertanding seri tetapi dapat dikatakan kau telah dapat
tobloskan pintu kota ini."
Beng Kie lompat turun untuk lantas menjura memberi
hormat "Maaf!" katanya. Berbareng dengan itu, sekarang ia
rasakan kedua lengannya sakit.
"Kau masih begini muda, tapi kau tangguh sekali, kau
dapat lewati tempat ini!" kata pula Cun Seng Siansu.
Sekeluarnya dari Ceefjouw am. Beng Kie dapatkan
rembulan bersinar suram dan bintang-bintangpun sangat
jarang. Tiba-tiba ia ingat kepada bayangan yang ia lihat tadi
ketika ia mulai memasuki pekarangan Siauwlim sie. Ia jadi
berpikir. Ia sudah lewati empat "pintu" dan haripun telah larut
malam-sudah jam tiga.
Ke mana perginya bayangan itu" Kalau bayangan itu
ditugaskan untuk mengamat-amati padanya, kenapa sampai
itu waktu masih belum muncul juga"
Dengan pikiran terus bekerja, Beng Kie menuju ke
Congkeng kok. Ia sampai seperti tanpa merasa.
Tidak ayal lagi ia tekuk kedua lututnya, untuk memberi
hormat sambil manggut tiga kali.
Tiba-tiba, ia dengar satu suara terang: "Anak yang baik,
mari masuk!"
Beng Kie bangun dan bertindak ke pintu yang ia tolak
terbuka. Di dalam ia tampak Keng Beng Siansu tengah
berduduk semedhi. Dengan bergegas-gegas ia rapikan
pakaiannya, untuk segera berlutut.
"Apakah kau muridnya Thian Touw Kiesu?" itulah
pertanyaan pertama yang diajukan ketua Siauwlim pay.
"Ya," jawab Beng Kie dengan sebenarnya.
"Pada tiga puluh tahun yang lalu, ketika pinCeng pesiar ke
Ngobie san. pinCeng peroleh jodoh bertemu gurumu itu,"
Keng Beng kata pula. "Di kala itu gurumu sedang kumpulkan
pelbagai macam kitab ilmu silat pedang, yang ia pelajari, dan
memahaminya dengan sungguh-sungguh, kemudian ia hidup
menyendiri di Thiansan. sampai tidak ada kabar cerita lagi.
Kau muncul sekarang, maka teranglah sudah, ia telah dapat
sempurnakan peryakinannya itu. Sungguh harus pinCeng beri
selamat kepada sahabatku itu!"
Gak Beng Kie turunkan kedua tangannya.
"Ilmu silat Thiansan kiamhoat masih baru, teeCu
mengharap sukalah Taysu berikan petunjuk lebih jauh," kata
ia dengan merendah.
Keng Beng tertawa.
"Dalam halnya ilmu silat pedang, apa yang pinCeng pelajari
jauh ketinggalan daripada gurumu." Keng Beng nyatakan.
"Malam ini kebetulan sekali kau telah datang, ingin sekali
pinCeng mencoba-coba lweekangmu."
Beng Kie terkejut. Ia bingung. Ia sudah merasa pasti akan
kalah, sedang untuk menggunakan kecerdikanpun ia tidak
sanggup. "Pergilah kau duduk di sana," kata Keng Beng, selagi
pemuda itu masih dalam kesangsian. Ia menunjuk tempat
duduk yang diperuntukkan bersemedhi.
Beng Kie menduga orang hendak adu kepandaian seperti
caranya Cun Seng Siansu tadi.
"Dengan sebenar-benarnya teeCu tidak berani sambuti
kepalan loosiansu," ia berkata, hatinya bertambah gelisah.
"Aku tidak berniat adu kepalan denganmu," kata Keng Beng
sambil bersenyum. "Kau duduk saja."
Beng Kie insyaf bahwa ia salah omong. Bahna bingungnya,
ia sampai tidak dapat berpikir dengan sadar. Satu kepala
partai, apalagi dari Siauwlim pay. tidak nanti ia sudi melayani
adu kepalan. Maka dengan muka berubah merah, ia pergi
duduk bersila. Keng Beng Siansu tarik satu tempat duduk lain yang ia
letakkan di depannya si anak muda di atas mana iapun bersila.
Ia pun keluarkan sepotong benang, satu ujungnya ia
angsurkan pada pemuda itu.
"Kita masing-masing memegang satu ujung," kata pendeta
itu. "Dan kau duduk dengan tetap dan tenang seperti biasa
orang bersemedhi, supaya dengan begitu aku bisa periksa
berapa dalam adanya Iweekangmu."
Gak Beng Kie heran, ia separuh percaya separuh tidak.
"Mungkinkah dengan cara itu dia bisa ketahui tinggi
rendahnya lweekangku?" pikirnya. Tapi ia duduk dengan tegak
dan tenang, ia mulai bersemedhi, akan empos semangatnya.
Berselang sekian lama, anak muda ini merasakan tubuhnya
menjadi keras, jalan napasnya pun turun naik dan masuk
keluar dengan seksama. Itulah tanda telah sempurnanya
pemusatan semangatnya. Memang sejak masih kecil ia ikuti
gurunya bersemedhi, ia telah wariskan kepandaian gurunya.
Ia hanya kalah waktu peryakinan daripada gurunya itu. Tidak
lama kemudian, ia mulai merasa tubuhnya sedikit panas.
Sendirinya Beng Kie girang bukan main karena hebatnya
Iweekangnya itu. Maka diam-diam ia buka sedikit kulit
matanya untuk intai pendeta di depannya itu.
Keng Beng duduk bersila dengan mata meram dan tenang,
tetapi wajahnya tersungging senyuman. Menampak demikian,
Beng Kie menduga-duga apa mungkin Iweekangnya telah
dapat dijajaki oleh pendeta itu. Pikiran ini membuat
pemusatannya sedikit goncang.
Keng Beng Siansu terus duduk diam dengan semedhinya.
Beng Kie juga bercokol terus, akan tetapi, dengan lewatnya
sang waktu, karena ia pikirkan pendeta tua itu, rupa-rupa
perasaan timbul dalam otaknya.
Ia pun teringat kepada Him Kengliak di perbatasan, entah
bagaimana keadaan tentaranya. Karena ini, pemusatan
semangatnya agak goncang.
"SianCay! SianCay!" mendadak Keng Beng Siansu
mengucap sendirinya.
Pujian yang mendadak itu membuat Beng Kie terperanjat.
Masih Keng Beng Siansu mengucap, tentang nasihat
melenyapkan pikiran melamun, perihal kebebasan pikiran,
pokok dasar untuk mencapai semedhi sejati.
Dasarnya cerdas, Beng Kie segera insyaf, maka dengan
cepat sekali ia dapat empos pula semangatnya, ia bisa
pusatkan pula pikirannya, dapatlah ia bersemedhi terus
dengan sabar dan tenang.
"Cukup!" berkata Keng Beng Siansu kemudian sambil ia
tarik benangnya. "Dengan caranya kau bersemedhi ini,
lweekangmu bakal berhasil sendirinya!"
Beng Kie lantas berbangkit, ia memberi hormat sambil
menghaturkan terima kasih. Tapi ia masih tidak mengerti,
bagaimana caranya pendeta itu ketahui tentang Iweekangnya
itu, hingga ia niat mengajukan pertanyaan.
"Untuk yakinkan lweekang, hati orang mesti jangan terkena
debu biar bagaimana sedikitpun juga," berkata pendeta itu.
"Jikalau hati tidak tetap, seluruh anggauta tubuh turut tidak
tetap juga. Satu kali orang diserang pikiran campuran, segera
akan tertera pada wajahnya. Ketika kau pertama, duduk,
benang bergerak sedikit, kemudian lantas tetap tenang,
membuktikan Iweekangmu telah sempurna. Tapi selang
sedikit lama, pikiranmu tergerak, itu adalah bukti hatimu
belum bersih. Tergeraknya pikiranmu itu menyebabkan
benangpun bergerak, itulah tandanya, kau telah kemasukan
pikiran yang tak keruan."
Baru sekarang Beng Kie insyaf. "Terima kasih, taysu,"
katanya. Sampai di situ, ia ingat untuk ambil kitab yang
dijanjikannya. Tiba-tiba wajahnya Keng Beng berubah.
"Apakah kau datang berkawan?" pendeta ini tanya.
Beng Kie terkejut. Ia bingung.
"Tidak!" sahutnya.
"Kalau begitu, telah ada orang mendaki Congkeng kok!"
kata Keng Beng Siansu. "Lekas, kau wakilkan aku menawan
orang itu!"
Baru pendeta ini tutup mulutnya, segera terdengar
seruannya Cun Seng Siansu: "Semua pendeta dari Tat Mo Ih
cepat menuju ke Congkeng kok!"
Tanpa berayal dan sangsi lagi, Gak Beng Kie hunus
pedangnya, ia lompat naik ke loteng. Baru ia sampai atau ia
dengar satu suara aneh, ialah suara angin yang datangnya
dari satu serangan kepalan. Maka segera ia melakukan
penangkisan. Benturan ini menandakan bahwa, penyerang
yang tidak dikenal itu adalah seorang liehay. Tapi ia tak takut,
ia segera menikam ke arah dari mana, serangan datang.
Kesudahannya serangan ini membikin ia kaget. Serangannya
itu tidak mengenai sasaran, orang yang diserang itu dengan
kegesitannya sudah mencelat ke kanan. Ia dapat lihat
bayangan yang hitam.
"Siapa kau?" teriaknya anak muda ini, yang segera putar
Yuliong kiam, yang bercahaya terang berkilauan, hingga ia
tampak bayangan tadi adalah seorang tua yang bermuka
merah, yang berdiri dengan wajah tersungging senyuman
menyengir. Orang tidak dikenal itu tidak menjawab, atas mana Beng
Kie maju merangsak sambil menikam kepada jalan darah
hoakay hiat dari orang itu.
Orang tua muka merah itu berkelit sambil lompat.
Beng Kie lompat mencegat depan orang itu, pedangnya
menyambar. Di luar dugaan, orang tua itu gesit sekali. Sambil lompat ke
samping, sebelah tangannya menyambar lengan Beng Kie
yang menyekal pedang untuk digempurnya.
Beng Kie tidak menyangka, akan tetapi ia masih
mempunyai kesehatan untuk menyelamatkan diri sambil
mendek diri dengan tarik pulang pedangnya, yang ujungnya ia
pakai menyontek ke atas, kepada nadi lawannya.
Orang tua itu benar-benar liehay. Dia buang lengannya
sambil memutar tubuh, hingga dalam sekejap itu ia sudah
hadapi pula si anak muda, tangannya pun terus menyambar
selagi musuhnya menyontek nadinya itu.
Inilah Beng Kie tidak sangka, ia terkejut. Ia mencoba tarik
pulang tangannya, tapi tidak urung tangannya terbentur juga,
sehingga ia merasakan sakit bukan main. Karenanya, ia jadi
sangat gusar, terus saja ia menikam.
Orang tua itu egoskan pundaknya terus dia mundur. Tapi
justeru dia mundur, ujung pedangnya si anak mudajuga
diteruskan ke arah di mana dia mundur. Sekarang dialah yang
menjadi kaget. "Sret!" Demikianlah terdengar suara robeknya
baju yang terbabat pedang.
Dengan tidak memberikan ketika sedikitpun Beng Kie
terus mendesaknya.
Orang tua itupun murka agaknya, sambil berseru ia lompat
menyamping, tapi pun sambil berlompat, tangannya melayang
sangat cepat hingga kena menyampok pedang, sampai
pedang itu menyeleweng. Berbareng dengan itu, dengan satu


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lompatan pesat, orang tua itu mencelat ke wuwungan!
Beng Kie tidak puas, ia hendak mengejar. Tapi waktu itu
dari atas wuwungan segera terdengar bentakannya Cun Seng
Siansu: "Menggelindinglah kau!" suara keras terdengar dari
robohnya tubuh.
Cun Seng lompat turun menyusul robohnya orang tua itu.
Ia segera nyalakan api. Maka terlihatlah si orang tua yang
tempatkan diri di antara para-para kitab, wajahnya pucat pasi.
"Siapa kau?" tegur Cun Seng. "Apakah kau masih belum
mau menyerah?"
Si muka merah menyengir.
"Jikalau kau berani maju pula setindak saja, aku nanti
ubrak-abrik Congkeng kok ini!" dia mengancam. "Kau telah
rasakan bagaimana sambutanku tadi atas tanganmu, apakah
kau kira aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk gempur
lotengmu ini?"
Wajahnya Cun Seng Siansu merah padam. Memang ia telah
rasakan, ketika tadi ia menyerang, si muka merah ini telah
menangkis dengan hebat, suara bentrokannyapun hebat
sekali. Selagi kedua pihak nampaknya tegang, terdengar puji Keng
Beng Siansu, lalu orangnya sendiri tertampak muncul.
"Keng Beng Siansu!" si muka merah itu menegur, "jikalau
kalian kaum Siauwlim pay hendak rampas kemenangan
dengan andalkan jumlahmu yang besar, aku berkeputusan
untuk tidak keluar pula dari sini!"
"Omietoohud!" Keng Beng memuji pula, seraya
menakapkan kedua tangannya.
"Apakah kehendak sieCu datang kemari?" dia tanya.
"Sudikah kau menj elaskanny a?"
Sikapnya pendeta ini sabar sekali.
"Aku datang hendak meminjam kitab LiongCoan Peklian
Koat dan Ie Kin Keng," sahut orang tua itu, suaranya tetap.
"Kitab LiongCoan Peklian Koat itu aku telah janjikan
meminjamkannya kepada lain orang, maka itu menyesal tak
dapat aku berikan kepadamu," jawab pendeta kepala dari
Siauwlim sie itu. "Tentang Ie Kin Keng, dapat aku jelaskan, itu
adalah kitab pusaka dari Couwsu kami. maka menyesal sangat
kitab itupun tak dapat dipinjamkan."
Belum sempat orang itu kata apa-apa, Cun Seng Siansu
terdengar tertawa.
"Kau pun telah terkena pukulanku dari ilmu silat Sinkun,"
berkata pendeta ini, "bukannya kau lekas-lekas pergi untuk
beristirahat akan mengobatinya, kenapa kau masih berani
hendak memeras kami?"
Selagi orang tua muka merah itu berdiam, Keng Beng
Siansu jalan memutari para-para kitab, setelah mana ia
berkata: "Kau pergilah sekarang! Kami tidak hendak tegur
kau! Kitab-kitab kami di sini, andaikan kau berniat bawa pergi,
itu tak dapat kau lakukan!"
Cepat juga orang tua itu menjadi insyaf. Memang mungkin
Keng Beng sendiri tidak akan merintanginya, tetapi pendetapendeta
lainnya, yang banyak jumlahnya, mungkinkah mereka
tidak akan turun tangan"
"Kau suruh aku pergi, aku percaya," katanya. "Bagaimana
dengan pendeta-pendeta lainnya?"
"Aku nanti titahkan khamsie antar kau keluar," sahut Keng
Beng Siansu. "Dia nanti umumkan pemberitahuanku supaya
mereka jangan merintanginya."
Si muka merah pandang Cun Seng Siansu, ia sendiri masih
pegangi para-para.
"Kaum agama Buddha tidak biasa berdusta, kau masih
sangsikan?" Keng Beng Siansu tanya, apabila ia saksikan
keragu-raguannya orang itu.
"Baik!" sahut si muka merah, dengan masih jumawa.
"Silakan kau berikan aku sebutir pil Siauwhoan tan!"
"Hm!" Cun Seng perdengaran geramnya.
Tetapi Keng Beng Siansu bersikap lain.
"Berikan ia sebutir," kata pendeta kepala ini.
Cun Seng menurut dengan terpaksa ia rogoh keluar satu
botol kecil yang berisikan obat-obat pulung warna merah, ia
buka tutupnya akan tuang keluar sebutir pil yang ia angsurkan
kepada si muka merah itu.
Orang tua ini menyambuti, lalu dengan lantas ia telan pil
itu. "Nah, mari turut aku keluar!" Cun Seng kata kemudian.
Lalu sambil berlompat ia mendahului.
Orang tua muka merah itu memutar tubuh, ia hadapi Keng
Beng Siansu untuk memberi hormat sambil menjura, baru
setelah itu ia lompat menyusul Cun Seng.
Gak Beng Kie lihat sepasang mata tajam dari orang itu,
yang tidak mau diam. ia kuatir orang kandung maksud tidak
baik. dengan cekal pedangnya ia mengikuti di belakang
mereka. Ketika itu. di wuwungan dan di atas genteng, telah
berkumpul banyak pendeta-pendeta tuan rumah, di antaranya
ialah delapan pendeta dari Tat Mo lh. Di situpun terdapat Pek
Sek Toojin serta To It Hang.
Beng Kie heran apabila ia lihat pemuda she To itu.
"Hongthio menitahkannya supaya dia dibiarkan pergi!" Cun
Seng lantas memberikan pengumuman.
Pendeta itu berdiri di sampingnya It Hang. It Hang yang
matanya tajam dapat lihat tangannya pendeta itu bertanda
belang merah seluruhnya. Ia terkejut.
"Siansu, apakah tadi kau telah berbcntrok tangan dengan
penjahat ini?" tanyanya It Hang.
"Kenapa?" Cun Seng balik tanya karena herannya.
"Dia adalah Imhong Toksee Ciang Kim Laokoay." ItHang
beritahukan. Cun Seng kaget. Memang tadi. sehabisnya beradu tangan,
ia merasakan apa-apa yang beda pada tangannya, ia hanya
tidak menduga jelek, terutama tidak menduga sama sekali
kepada Imhong Toksee Ciang. si "Tangan Pasir Beracun".
"Hai!" dia berteriak. Ketika dia hendak lompat menyusul,
mendadak dia rasai kedua lututnya lemas.
Si muka merah sendiri, ialah Kim Tok Ek, sudah berlalu
dengan cepat, melewati dua wuwungan, tetapi dia masih
dengar seruannya Cun Seng itu. maka dia menoleh sambil
berkata: "Apakah ucapannya orang-orang Siauwlim sie dapat
dipercaya?"
"Jangan kejar padanya!" Keng Beng Siansu mencegah.
"Tapi aku bukannya orang Siauwlim sie!" teriak To It Hang.
Rupanya mendadak ia ingat sesuatu. Maka ia berseru: "Gak
Toako. mari kita kejar! Dia telah curi kitab ilmu pedang
kepunyaan gurumu!"
Mendengar itu, Beng Kie berseru seraya lompat melesat,
dengan beberapa kali lompat ia sudah sampai di bagian
belakang CeeCouw am.
It Hang pun telah menyusul dengan cepat. Maka bersamasama
mereka mengejar jago yang bertangan liehay itu.
Kejadian ini ada di luar dugaannya Pek Sek Toojin. Di
dalam hatinya ia sesalkan It Hang yang dikatakan usilan, suka
campur tahu urusan lain orang. Imam ini tidak tahu bahwa It
Hang senantiasa pikirkan Giok Lo Sat. Maka sekarang, setelah
mengetahui penjahat ini justeru orang yang curi kitab ilmu
pedangnya si Raksasi Kumala, sudah tentu dia tidak bisa
tinggal diam. Dalam pengejarannya itu, It Hang lantas ketinggalan dari
Beng Kie. Mulanya saja ia masih lihat bebokongnya orang she
Gak itu, lalu sebentar kemudian ia cuma lihat bayangan saja,
yang dalam sekejap telah lenyap di antara gelapnya sang
malam. Ia liehay ilmu enteng tubuhnya, tetapi dibanding
dengan Beng Kie dan Kim Tok Ek, ia masih kalah. Begitulah,
walaupun ia mengejar terus, akhirnya ia tak lihat lagi
bayangan orang-orang yang disusulnya itu, hingga ia jadi
ragu-ragu. Justeru itu Pek Sek Toojin telah menyusul padanya.
"Mereka itu berada di arah barat utara sana," kata It Hang.
"Kita susul terus atau jangan?"
"Kau adalah bakal ketua partai kita," kata Pek Sek dengan
jawabannya, "maka mengenai urusan kaum kangouw, harus
kau mengerti dan menginsafinya. Kita toh datang ke Siauwlim
sie sebagai tetamu! Maka mari kita kembali dulu. Khamsie dari
Siauwlim sie terkena tangan jahat, mari kita tolong padanya,
sehabis itu, baru kita susul orang jahat itu. Kim Laokoay pun
sudah terkena pukulan Siauwlim Sinkun, dia pasti bukan
tandingannya orang she Gak itu, tidak perlu kita
membantunya."
It Hang anggap Pek Sek benar, maka ia lantas saja turut
kembali ke Siauwlim sie.
Di lain pihak Gak Beng Kie sudah susul terus pada Kim Tok
Ek. Selang setengah jam, ia telah mengejar dari Siauwsit san
sampai di Thaysit san. Ia masih mengejar terus ketika
sekonyong-konyong ia rasakan hatinya tidak tenteram dan
mulutnya kering haus. Tanpa merasa tindakannya jadi
perlahan, sedang Kim Tok Ek di depan sudah lenyap dari
pandangan matanya!
Dengan perlahan Beng Kie menyalurkan jalan napasnya. Ia
sekarang merasakan gatal pada lengannya. Maka ia gulung
tangan bajunya akan lihat lengannya itu. Ia terkejut. Ia
tampak lengan itu, terus, ke bawah, menjadi hitam dan
bengkak, di lain pihak, segaris merah bagaikan benang,
merayap naik ke atas, seperti mengalirnya bisa ular.
Kim Tok Ek telah lama terkenal, dia pasti ada sepuluh lipat
lebih liehay daripada Kim Cian Giam, keponakannya. Beng Kie
telah tersampok lengannya, dengan lantas bisanya tangan
jahat orang itu bekerja. Maka dalam kagetnya, anak muda ini
berhenti mengejar, segera ia cari tempat untuk duduk
bersemedhi. guna melancarkan jalan napasnya. Dengan cara
ini, ia hendak tolak bekerjanya racun.
Berselang kira-kira setengah jam. Bcng Kie dapat
kenyataan garis merah di lengannya itu telah menjadi
kurangan, sudah turun mendekati nadi, maka fa pikir, di
waktu terang tanah ia akan sudah bisa kembali ke Siauwlim
sie. Hatinya telah menjadi lega.
Hampir berbareng dengan itu, Beng Kie dengar suara
seruling, yang datangnya dari tempat tidak jauh. Suara itu
halus tetapi tedas. Maka ia ulur lehernya untuk memandang.
Lalu ia tampak satu anak muda yang duduk di atas sebuah
batu besar, sedang meniup seruling itu.
"Aneh!" pikirnya, karena di waktu seperti itu, sekira jam
empat, bukan waktunya meniup seruling.
Tidak lama kemudian suara seruling berhenti. Itulah
disebabkan kedatangannya beberapa bayangan sambil berlarilari.
Pemuda itu segera lompat bangun.
"Oh, kalian baru sampai?" demikian pertanyaannya. "Kalian
terlambat!"
Orang-orang yang baru sampai itu belasan jumlahnya, di
kepalai oleh seorang tua umur kurang lebih lima puluh tahun,
yang tubuhnya kurus kering. Segera orang tua itu tertawa
terbahak-bahak.
"Aku percaya kau toh tidak berani lancang berlalu dari sini!"
katanya. "Hai, bocah, siapa sebenarnya namamu?"
Pemuda itu angkat alisnya. Ia tertawa.
"Tidak perlu aku memberitahukan namaku!" katanya.
"Kau adalah pitik yang baru muncul!" kata si orang tua,
"tahukah kau undang-undang kaum Rimba Hijau" Kau sudah
ulur tanganmu, kau telah bekerja, mengapa kau tidak datang
menjumpai kepala naga di sini?" (Kepala naga " liongtauw -jago setempat).
"Kau toh bukannya kepala naga di sini?" berkata si
pemuda. "Pandai kau mencari keterangan!" kata orang tua itu.
"Coba. ingin aku ketahui, siapakah si kepala naga yang jadi
toako di sini" Kau tahu aturan, tetapi kau sengaja langgar itu.
itu artinya kesalahanmu telah bertambah!" (Toako -saudara tua). "Apa sih main toako-toako-an! Kalian boleh melakukan
pencurian, akupun boleh!"
Dari sampingnya si orang tua maju seorang yang tubuhnya
tegap, dia lantas saja menuding.
"Hai, bangsat cilik!" dampratnya dengan bengis.
"Bagaimana kau berani bekerja hitam dan memakan hitam"
Lekas kau keluarkan batu permata itu!"
Mendengar sampai di situ, tahulah Beng Kie bahwa dua
pihak orang itu adalah sama-sama bandit, cuma ia merasa
heran atas si anak muda, yang romannya demikian sopan
santun tetapi dia toh menjadi penjahat --- bekerja hitam dan
memakan hitam...
Pemuda itu tertawa.
"Jadinya kaulah si toako kepala naga di sini?" dia tegaskan.
"Maka itu kenallah kau pada Moa HekCu!" bentak orang itu
dengan jumawa. "Kau hendak serahkan kumala itu atau
tidak?" "Menyesal sekali," sahut si anak muda. "Aku telah tukarkan
itu dengan uang!"
Orang yang perkenalkan diri sebagai Moa HekCu itu
menjadi sangat gusar. Ia lonjorkan sepasang tangannya
perlihatkan tali bandringnya(huijiauw). Segera ia menyerang.
"Jangan lukai dia!" seru si orang tua kurus kering.
Anak muda itu gerakkan serulingnya menangkis serangan
sepasang huijiauw itu. Selagi menangkis, iapun majukan diri
mendekati musuh, tangannya yang kiri diulur. Maka tidak
ampun lagi Moa HekCu kena ditotok, roboh seketika dengan
tubuhnya terbanting keras!
Mukanya si orang tua kurus kering jadi berubah pucat.
"Kau pernah apa dengan Tiat Hui Liong?" dia tanya.
Orang tua ini nyata liehay, dia dapat menduga.
Memang pemuda itu adalah Tiat San Ho, gadisnya Tiat Hui
Liong. Setelah diusir ayahnya, nona ini berlalu dengan
menyamar sebagai pria. Ia merantau dengan merdeka. Jikalau
putus uang belanjanya, dengan gampang ia satroni rumah
seorang hartawan untuk curi uangnya. Baru beberapa hari
yang lampau ia sampai di kota Kayhong, di suatu jalan ia
ketemu rombongannya Kim Tok Ek dan Kim Cian Giam. Ia tak
ingin dapat dilihat, cepat-cepat ia menjauhkan diri. Tadinya ia
hendak berlalu dari Kayhong, tapi sekarang ia ubah niatnya
itu. Dengan munculnya Kim Tok Ek, ada kemungkinan
ayahnya bersama Giok Lo Sat akan datang menyusul.
Tiada sedetikpun San Ho dapat lupakan ayahnya. Ia tahu,
bahwa ayahnya, dengan dibantu Giok Lo Sat (atau


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebaliknya), tentu akan cari Kim Tok Ek, untuk minta kembali
kitab ilmu pedang, ia ingin dapat membantu ayahnya itu. Ia
insyaf, bahwa ia tidak akan sanggup melawan Kim Tok Ek,
akan tetapi ia dapat membantu ayahnya dengan mengintai
gerak-geriknya orang she Kini yang liehay itu. Demikian ia
bertindak. Sesampainya di Kayhong, San Ho keputusan bekal, dari itu
pada suatu malam ia satroni seorang hartawan besar. Justeru
rumah itu lebih dahulu didatangi Hek MoaCu, yang telah
berhasil mencuri uang dalam satu bungkusan besar, dalam
mana terisi juga sebatang kumala gioksanho yang indah,
sudah kepalang, ia sambar bungkusan itu dari tangannya Hek
Moarju. Sama sekali San Ho tidak pikirkan kumala itu, sampai
keesokannya tiba-tiba ia terima "surat undangan" yang
menentukan waktu dan tempat untuk pertemuan. Waku itu
adalah jam tiga, dan tempatnya adalah tempat di mana tadi ia
tiup serulingnya, tanjakan Ngopek Siepo di gunung Thaysit
san itu. Berbareng dengan itu, ia pun segera dapat tahu
bahwa dirinya terus ada yang intai. Ia insyaf, apabila ia
bentrok kepada pengintai itu di tempat mondoknya, ia kuatir
Kim Tok Ek nanti pergoki padanya, maka ia anggap lebih baik
ia terima undangan tanpa banyak berisik. Ia percaya bahwa
pengundangnya bukan lawannya yang setimpal. Sekarang
kenyataan di luar dugaannya, maling yang ia malingi itu
adalah kawannya Kim Tok Ek paman dan keponakan,
sebagaimana Kim Cian Giam telah datang bersama si maling
itu. Sebelumnya Kim Cian Giam sudah kenal San Ho, tapi
karena orang menyamar sebagai pemuda dan waktu itu
bulanpun suram dan bintang sedikit, tidak dapat ia segera
mengenalinya, hanya setelah pertempuran, baru ia menduga
kepada Tiat Hui Liong yang ilmu silatnya ia kenal baik.
Gak Beng Kie terperanjat mendengar tegurannya orang she
Kim ini. Ia tahu Tiat Hui Liong dan Kim Tok Ek keduanya sama
kesohor di barat utara. Kenapa dua orang itu bisa berada
berbareng di wilayah selatan ini"
Atas teguran orang itu. Tiat San Ho tertawa. lapun
lintangkan serulingnya.
"Orang tua she Kim!" katanya separuh mengejek, "Giok Lo
Sat hendak rampas jiwamu, cara bagaimana kau masih berani
banyak tingkah di sini?"
Kim Cian Giam terkejut, hingga segera ia celingukan ke
sekitarnya. "Kau toh San Ho?" katanya ragu-ragu. "Benarkah ayahmu
dan Giok Lo Sat telah datang kemari?"
San Ho tidak lantas menjawab, ia hanya tiup serulingnya.
"Pasti mereka dapat dengar suara serulingku ini!" jawabnya
sambil tertawa.
Nona ini jeri, sengaja ia bawa aksinya itu untuk menbikin
pusing kepalanya si orang Kim, yang sebaliknyajeri terhadap
Giok Lo Sat. Benar-benar Kim Cian Giam berkuatir sampai wajahnya
pucat. "Paman pergi ke Siauwlim sie untuk mencuri kitab, kenapa
ia masih belum balik?" demikian ia berpikir. Ia takut kalau
benar-benar Tiat Hui Liong dan Giok Lo Sat muncul di
hadapannya itu.
San Ho kembali perdengarkan tertawanya yang dingin.
"Oh nona. aku tidak tahu bahwa kau nona San Ho, harap
kau tidak kecil hati," akhirnya kata Cian Giam sambil memberi
hormat dengan lagak yang sibuk, terus ia sambar tangan
kawan-kawannya untuk berlalu, ia sendiri sudah lantas
memutar tubuhnya.
Itu waktu Hek MoaCu telah bisa merayap untuk berbangkit.
"Kim Toako, jangan kau percaya ocehannya!" kata pencuri
ini dengan tertawa dingin. "Aku tahu benar, di dalam
beberapa hari ini kecuali dia, di wilayah Kayhong ini tidak ada
lain kambratnya lagi!"
Hek MoaCu ini, untuk di propinsi Hoolam, selain menjadi
kepala dari rombongan Hoolam pang juga seorang cabang
atas untuk wilayah Tenghong. Ilmu silatnya tidak mahir akan
tetapi ia banyak konconya, pandai sekali ia memperoleh kabar
kaum kangouw. Kim Cian Giam tahu pengaruh dan liehaynya sahabat ini,
maka ketika mendengar kata-katanya itu, hatinya mulai
tenangan. "Bagus, bocah, kau hci.iui permainkan aku!" katanya
dengan mengejek.
"Ah, kiranya dia seorang perempuan?" kata Hek MoaCu
dengan kegirangan. "Kasihlah dia padaku!"
Tiat San Ho mendongkol bukan kepalang, tahu-tahu ujung
serulingnya telah menyambar, hingga Hek MoaCu roboh
terguling pula untuk kedua kalinya. Kali ini dia tertotok lebih
hebat, sampai tidak bisa menggerakkan tubuh untuk bangun
pula. Kim Cian Giam tertawa haha-hihi.
"Kau ganas, budak cilik!" tegurnya, sambil tangannya
menjambret ke muka orang. Sebat sekali ia ulur sebelah
tangannya itu. San Ho gesit, ia dapat kelit diri.
"EnCie Lian!"dia menjerit. "Lekas, enCie!"
Cian Giam kaget, hingga ia celingukan pula, ketika mana
digunai si nona dalam penyamaran untuk lompat mundur.
"Kurang ajar!" bentak Cian Giam. yang menjadi gusar. Ia
sadar bahwa ia kembali kena dipermainkan nona itu. Menuruti
kemurkaannya ia lompat maju, untuk berdiri di hadapan si
nona. "Kau berani pakai nama Giok Lo Sat untuk menakut-nakuti
aku?" katanya dengan tertawa dingin. Lalu tangannya
menjambret pula.
Lagi-lagi San Ho mundur untuk menghindarkan diri.
Dalam gusarnya itu, Cian Giam menyerang pula.
Dengan terpaksa San Ho totok tangan musuhnya itu. Tapi
Cian Giam sangat Iiehay. dia tidak berkelit, dia justeru
menyambar dan merampas seruling musuh dengan tangan
kanannya yang terus ia lempar ke tanah, dan tangan kirinya
berbareng menyambar juga.
San Ho kaget untuk gerakan musuh yang sangat sebat itu,
sampai tak dapat ia mundur lagi.
Sekonyong-konyong Cian Giam tertawa, tangannyapun
tidak diteruskan menyerang.
"Aku tidak tega lukai kau dengan menggunakan Tiatsee
Ciang!" katanya. "Tapi kau jawablah aku secara baik-baik dan
terus terang! Awas jikalau kau sembunyikan sepatah katajua.
walaupun aku tidak mau bunuh kau mati, sedikitnya aku akan
bikin kau tersiksa seumur hidupmu! Mana. ayahmu dan Giok
Lo Sat" ke mana perginya mereka?"
"Apakah benar-benar kau hendak temui mereka?" si nona
balik tanya. Ia tetap bandel dan besar kepala.
"Siapa main-main denganmu?" bentak Cian Giam. Ia ulur
tangannya menyambar si nona untuk dicekuknya.
Sekarang ini San Ho dapat egoskan tubuhnya.
"EnCie Lian!" ia berteriak pula.
memanggil Giok Lo Sat.
Tak sudi Cian Giam "dijual" pula, tanpa perdulikan jeritan
itu ia maju, tangannya diulur, hingga jari-jari tangannya
mengenai baju si nona. Tapi berbareng dengan itu dia
menjerit keras: "Aduh!" sambil tangannya segera ditarik
pulang. San Ho heran menampak kejadian itu.
Gak Beng Kie dari tempat persembunyiannya di belakang
batu dapat dengar nyata pembicaraan orang, mulanya ia
menyangka kepada bentrokan di antara kawan sendiri, ia tidak
mau turun tangan untuk membantui salah satu pihak. Akan
tetapi ia dengar si nona menyebut-nyebut orang tua itu she
Kim dan si orang tua sendiri perkenalkan dirinya sebagai
ImhongToksee Ciang, ia jadi berpikir lain.
"Ah, tak disangka di sini aku dapat menemui mereka."
pikirnya pula. "Kim Laokoay tidak dapat dicandak, baik aku
bekuk saja keponakannya ini!..."
Maka diam-diam ia jemput tanah dan dipulungnya bagaikan
pil. dengan, apa ia timpuk Cian Giam di saat orang she Kim ini
hendak sambar pemuda tetiron itu. Dan terkenalah Cian Giam
kepada nadinya.
Timpukan itu tidak keras tapi telah membikin semangatnya
orang she Kim seperti terbang buyar, karena dia menduga
kepada si Raksasi Kumala yang datang menyerang padanya,
maka tanpa berayal lagi ia segera membalik tubuh
mengangkat langkah panjang.
Hek MoaCu telah dipayang bangun oleh kawan-kawannya,
ia heran menyaksikan lagaknya orang she Kim itu, hingga ia
berteriak: "Di sini tidak ada lain orang kecuali bangsat cilik
ini!" Cian Giam segera menoleh, ia tampak si nona sedang
tertawa menyengir, di situ tidak ada Giok Lo Sat. Ia tetap
sangsi dan jeri, maka ia tak mau lantas kembali. Ia hanya
melihat ke sana-sini. tanpa ia tampak sesuatu perubahan.
Orang-orangnya Hek MoaCu tidak menjadi takut walaupun
kepalanya telah orang robohkan, mereka maju mengurung
pemuda palsu itu. Tetapi mereka tidak berani segera turun
tangan, rupanya mereka masih ragu-ragu.
Cian Giam mencoba menenangkan diri. Ia pikir, kalau
penyerangnya tadi benar Giok Lo Sat, tidak nanti si Raksasi
Kumala mengumpet terus dan tidak mengejar padanya. Ia
tahu nona itu sangat ganas. Dan pikirnya pula. kalau benar
Giok Lo Sat ada di situ, walaupun ia hendak kaburpun akan
cuma-cuma belaka, pasti ia akan dapat dicandak. Maka
akhirnya ia ambil putusan, daripada mesti mati, lebih baik ia
kembali. "Jikalau dia bukannya Giok Lo Sat, pasti aku ditertawai Hek
MoaCu," ia berbalik pikir. Demikian akhirnya, ia putar
tubuhnya. Tiat San Ho lihat orang batal kabur, ia jadi bingung.
"EnCie Lian!" dia berteriak pula. sekeras-kerasnya.
Walaupun dia sudah ambil ketetapan, dasar bekas burung
kaget. Cian Giam tetap ragu-ragu, maka sambil bertindak
menghampirkan, matanya melirik ke kiri dan kanan. Begitulah
ia dengar ketika ada angin menyambar.
"Tikus, jangan menggunakan senjata gelap!" dia
mendamprat sambil menangkis dengan sebelah tangannya.
Menyusul itu, orang she Kim ini menjerit keras. "Aduh!" lalu
tubuhnya terguling roboh di tanah.
Beng Kie pun lompat keluar dari tempatnya sembunyi!
Mulanya, dengan tanah pulung yang pertama Beng Kie
ingin robohkan orang she Kim itu, tapi Cian Giam ternyata,
walaupun nadinya telah tertimpuk, dia masih dapat
pertahankan diri. Beng Kie tidak niat mengejar orang she Kim
itu. disebabkan ia baru saja beristirahat, ia tidak boleh
menggunakan tenaganya untuk berlari-lari keras. Ia tidak
sangka, karena malu hati kepada Hek MoaCu. Cian Giam telah
balik kembali. Cian Giam melainkan malui Giok Lo Sat, dia
tidak menduganya di situ ada si orang she Gak yang terlebih
liehay daripada si Raksasi Kumala.
Selagi Cian Giam kembali, Beng Kie sudah pulung pula tiga
butir peluru tanah itu, berbareng dengan itu pemuda ini
jemput dua batang kayu kering, lalu dia serang Cian Giam
yang hendak menyerang si nona. Maka tidak ampun lagi. mata
kanannya Cian Giam kena tertusuk satu cabang kayu yang
menyerupai anak panah itu, hingga dia roboh dengan matanya
mengucurkan darah deras!
Hek MoaCu semua menjadi kaget, semuanya lantas
menyerang. Beng Kie hunus pedangnya yang ia putar untuk dipakai
menangkis, ketika pelbagai senjata bentrok, dengan
menerbitkan suara berisik, banyak golok dan pedang telah
terbabat kutung! Hingga semua orangnya Hek MoaCu kaget
dan lompat mundur.
Hek MoaCu sendiri, melupakan sakitnya, sudah gulingkan
tubuh untuk lari sambil bergelindingan.
Juga Kim Cian Giam, dengan menahan sakit, telah lompat
bangun dengan niatan angkat kaki. akan tetapi Beng Kie
sudah lompat kepadanya dengan ujung pedang Yuliong kiam
ditandalkan ke tenggorokannya!
"Kim Tok Ek itu apamu?" pemuda she Gak itu tanya.
"Dia adalah pamanku," jawabnya Cian Giam.
Meski Tok Ek dan Cian Giam mereka bersanak sebagai
paman dan keponakan, tapi usia mereka bedanya tidak ada
sepuluh tahun. "Bagus!" kata Beng Kie. "Sekarang suruhlah pamanmu itu
tebus kau dengan kitab ilmu pedang?"
"Kitab ilmu pedang apa itu?" Cian Giam tanya.
"Kau masih berpura-pura?" bentak Beng Kie. "Kitab ilmu
pedang kepunyaannya Giok Lo Sat!"
"Ah..." bersuara Cian Giam. "Apakah sangkut-pautnya kitab
Giok Lo Sat dengan kau?"
Beng Kie tidak menjawab, ia hanya gerakkan tangannya,
tapi belum sampai ujung pedang menyontek tenggorokan si
orang she Kim, dari satu tikungan ia lihat munculnya satu
orang yang berlari-lari sambil berteriak berulang-ulang:
"Lepaskan dia! Aku nanti serahkan kitab itu!"
Dengan tangan kirinya, Beng Kie tolak tubuh Cian Giam
sampai orang roboh, lantas ia bersiap, akan menantikan orang
yang sedang mendatangi itu. ialah Kim Tok Ek.
Jago Tiatsee Ciang itu tertawa menyeringai, dia datang
bukan untuk serahkan kitab seperti apa yang dia katakan tadi.
hanya secara mengejek dia kata: "Hm! Neraka tidak ada
pintunya, kau toh memasukinya juga: Mari. mari! Kitab ilmu
pedang ada di sini! Jikalau kau mempunyai kepandaian, nah
ambillah ini!"
Kalau tadi dikejar Beng Kie dia kabur, kenapa Kim Tok Ek
sekarang justeru berani menantang" Tidak lain, itulah
disebabkan tadi ia terluka bekas hajarannya Cun Seng Siansu,
hingga iapun perlu beristirahat dulu seperti Beng Kie tadi. Ia
duduk bersemedhi sekian lama sampai ia rasakan darahnya
berjalan pula seperti biasa, maka segera ia lari ke tempat ini di
mana ia sudah janji dengan keponakannya, untuk bertemu.
Kebetulan sekali dia sampai di saat Cian Giam terancam.
"Bagus!" menyambut Beng Kie. "Aku memang ingin tempur
pula padamu! Jikalau kau satu laki-laki sejati, jangan lari!"
Beng Kie tutup kata-katanya dengan serangannya.


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kim Tok Ek berkelit akan terus balas menyerang. Ia
berkelahi dengan tangan kosong, karena ia andalkan Toksee
Ciang yang jahat.
Beng Kie menyerang berulang-ulang, tapi ia waspada,
karena ia tahu liehaynya lawan ini, yang dengan kegesitannya
dia seperti nyeplos pergi datang antara sambaran-sambaran
pedang yang cahayanya berkilauan.
Tiat San Ho saksikan pertempuran yang kipa itu, tetapi
sangat dahsyat, ia menjadi kagum: Kagum untuk liehaynya
pedang si anak muda dan kegesitaunya si orang she Kim.
Beng Kie berkelahi dengan "Twiehong Kiamhoat", ilmu
pedang "Mengejar angin", salah satu ilmu dari ilmu pedang
Thiansan pay, m bergerak dengan sangat cepat. Inipun yang
pertama kali ia pakai ilmu itu, akan layani jago Tangan Pasir
Besi itu. Dengan jalan ini ia bisa desak mundur pada lawan
yang tangguh itu, yang mesti mundur setindak demi setindak.
"Lekas serahkan kitab itu!" Beng Kie membentak sambil
terus mendesak.
Sebagai jawabannya Kim Tok Ek perdengarkan tertawanya
yang seram. Jago ini kemudian kata dengan dingin: "Jikalau
aku tidak perlihatkan keliehayanku kepadamu, kau tentunya
menyangka aku si orang tua jeri padamu!" Benar-benar Tok
Ek menyerang dengan hebat sekali, sesuatu serangannya
mendatangkan siuran angin. Yang hebat ialah, beberapa kali
pedangnya Beng Kie kena disampok terpental, hingga pemuda
ini menjadi heran.
Beberapa gebrak telah berlanjut, mendadak Beng Kie kaget
dan bingung karena tiba-tiba ia merasa dahaga, mulutnya
kering. Nyatalah ia telah keluarkan terlalu banyak tenaga,
sedang waktujtu ia baru saja sembuh.
"Celaka..." ia mengeluh.
Tapi pemuda ini tidak tahu bahwa Tok Ek pun merasa lebih
bercelaka daripada dia. Sebab Tok Ek juga tergempur tenaga
dalamnya oleh Cun Seng Siansu, iapun baru saja pulih
tenaganya, lalu sekarang ia paksa keluarkan tenaga sekuatnya
untuk dapat melayani Beng Kie. yang ia niat robohkan.
Memang kelihatannya ia menang di atas angin, tetapi di dalam
anggauta badannya sudah tergerak hebat.
Maka selang beberapa saat Kini Tok Ek menjadi buyar
pandangan matanya.
Syukur untuk jago ini, meski sudah kabur pandangan
matanya, tapi kupingnya masih tajam pendengarannya,
menuruti suara anginnya pedang, ia tahu di mana atau ke
mana ujung pedang musuh menjurus. Dengan begitu, selain
berkelit, ia juga bisa sampok pedang musuh! Malah satu kali
tangannya bisa sambar lengannya Beng Kie selagi pemuda ini
menyerang. Dengan tangan kirinya, Kim Tok Ek gunakan ilmu
menangkap tangan yang dinamakan "Toakimna Ciu" -"Tangkapan Besar".
Sejenak saja Beng Kie rasakan lengannya lemas, tenaganya
seperti habis secara tiba-tiba. Tapi selagi begitu, ujung
pedangnya justeru menjurus ke selangkangannya Tok Ek
mengenai tulang kakinya.
Geraknya pedang sangat perlahan. Tok Ek tidak dengar itu.
ia baru kaget setelah mendadak merasa sakit. Meskipun
tusukan perlahan tetapi Yuliong kiam tajam luar biasa.
Karena tertusuk, Tok Ek menjerit, dengan tangan
kanannya, segera ia menyerang beruntun sampai dua kali.
Beng Kie sedang menyekali sebelah tangannya, tak dapat
ia kelit diri, maka ia kena diserang, atas mana tubuhnya,
bagaikan siukiu. bola sulam, terhuyung roboh ke arah bawah
gunung! San Ho kaget, tetapi ia masih sempat lompat menyambar
tubuhnya si anak muda yang ia peluknya mencegah tubuh itu
jatuh tergelincir ke bawah gunung itu.
Beng Kie muntahkan darah hidup, tapi meski demikian ia
masih bisa perdengarkan suaranya yang serak: "Lekas pungut
pedangku!"
San Ho ragu-ragu.
"Bagaimana kau rasa?" dia tanya.
Tapi Beng Kie gelisah.
"Lekas! Lekas!" serunya dia.
Juga Kim Tok Ek. setelah serangannya itu dia jatuh roboh,
sedang Kim Cian Giam, yang matanya buta sebelah dan telah
merasai tangannya Beng Kie. habis tenaganya, hanya karena
ia tidak pingsan, ia masih bisa berdiri dan berjalan, maka
ketika ia tampak pamannya roboh, lantas ia lompat untuk
menolongnya. Karena ini. San Ho dapat dengan leluasa
menjemput pedangnya Beng Kie.
Tapi ia kuatir nanti ada orang yang merintangi padanya,
maka untuk mengancam, begitu ia cekal pedang itu. ia lantas
putarkan untuk dipakai menyabet, kebetulan sekali ia kena
sabet batu. dan di antara suara nyaring, batu itu
memuncratkan letikan api berhamburan.
Kim Cian Giam lihat cahaya api itu, ia kaget dan jeri, maka
tidak ragu-ragu lagi ia keluarkan Seantero tenaganya, ia
pondong tubuh pamannya, untuk dibawa lari turun gunung.
Sementara itu, selagi pertempuran berlaku di antara Gak
Beng Kie dan Kim Tok Ek, orang-orangnya Hek MoaCu sudah
kabur bersama-sama pemimpin itu sendiri. Maka di waktu itu
tanah pegunungan itu sepi dari manusia lainnya kecuali Beng
Kie dan San Ho sepasang pemuda-pemudi itu.
"Tolong angkat aku," Beng Kie minta, ketika ia lihat si nona
datang mendekati, i
San Ho menurut, ia bantu pemuda itu untuk dapat
berbangkit. Tapi Beng Kie tidak terus berdiri, ia hanya duduk
bersila untuk bersemedhi.
"Kau pergilah lebih dahulu," kata ia kemudian pada si nona,
suaranya serak dan perlahan.
San Ho tidak perdulikan titah itu, ia diam menemani.
"Aku kuatir musuh nanti datang pula!" Beng Kie mendesak.
"Pergilah kau! Kau pergi ke Siauwlim sie untuk memberi
kabar!" Tergerak hatinya Nona Tiat.
"Ia telah terluka parah, ia toh masih pikirkan aku," katanya
di dalam hati. "Eh, mengapa kau tidak turut perkataanku?" Beng Kie
menegur, apabila ia tampak orang masih berdiam saja
San Ho masih mempunyai sifat kanak-kanak, biasanya
kalau orang bicara kasar demikian terhadapnya, amarahnya
lantas timbul. Tapi sekarang sebaliknya, ia menjadi terharu,
hingga air matanya meleleh turun.
"Baiklah," katanya dengan perlahan. "Aku akan lantas
pergi." Beng Kie terluka parah, ia sudah coba luruskan jalan
napasnya, masih ia belum sanggup lakukan. Karena itu,
terpaksa ia bersila terus, hingga tanpa merasa, fajar sudahi
menyingsing. Sekarang ia lihat nyata si nona sedang berdiri di
bawah pohon pek, berdiri diam sambil memegangi pedang.
"Eh, kenapa kau masih belum pergi juga?" tanya Beng Kie
yang menjadi heran.
Mendadak nona itu berlompatan lari mendekati, terus ia
buka mulutnya yang mungil.
"Kau adalah seorang yang tidak kenal Cenglie!" ia balik
menegur, tetapi suaranya sabar.
Pemuda itu heran.
"Kenapa aku tidak kenal Cenglie?" dia tanya.
"Kau sudah tolong jiwaku, kenapa kau tidak ijinkan aku
melakukan kewajiban untuk melindungi kau?" si nona tanya.
"Apakah hanya kau seorang saja yang diperkenankan menjadi
seorang gagah?"
Beng Kie bungkam. Ia coba menggerakkan tubuhnya,
lantas ia merasakan sakit yang hebat, ia pun seperti kehabisan
tenaga. "Marilah aku gendong kau, untuk dibawa ke Siauwlim sie.".
kata San Ho kemudian.
Beng Kie mengawasi akan kemudian menggeleng kepala, la
ingat bahwa makhluk di depannya itu adalah satu nona yang
menyamar sebagai pemuda.
"Tak usah," sahutnya. Ia empos pula semangatnya.
"Dia aneh," pikir San Ho, yang jujur, hingga ia tidak
menduga bahwa Beng Kie bersikap demikian karena mentaati
adat sopan santun bahwa wanita dan pria tak dapat
berpegang tangan.
Masih Beng Kie mencoba mencoba luruskan napasnya,
supaya ia dapat memulihkan tenaganya, akan tetapi tetap ia
tidak peroleh hasil, bahkan sebaliknya ia rasakan napasnya
sesak. Ia tidak ingat sama sekali bahwa ia belum dahar dan
lukanya sangat parah. Ia pentang kedua matanya mengawasi
San Ho yang tetap berdiri diam di dampingnya. Akhirakhirnya,
ia menghela napas.
"Baiklah aku gendong saja padamu." kata San Ho pula
kemudian. Pemuda itu diam saja.
San Ho tahu, ia tidak dapat tentangan lagi, maka ia
berdongko untuk pasang bebokongnya, akan cekal kedua
tangan si anak muda yang terus digendongnya.
Maka sedetik kemudian, nona ini sudah berlari-lari turun
gunung menuju ke kuil Siauwlim sie.
Pada waktu itu di dalam Siauwlim sie, Khamsie Cun Seng
Siansu telah lolos dari bahaya sebagai akibat dari serangannya
Kim Tok Ek. Inilah disebabkan lweekangnya lebih liehay'
daripada Tok Ek, iapun telah makan obat pilnya yang mujarab,
maka setelah dibantu dengan semedhi, dalam satu malam
saja, ia sudah pulih kesehatannya. Menampak ini maka Pek
Sek Toojin telah mohon pamitan untuk berangkat pulang.
"Entah kenapa Gak Toako masih belum kembali?" It Hang
tanya paman gurunya itu.
"Mungkin dia mengejar sampai beberapa puluh lie
jauhnya." Pek Sek utarakan dugaannya, "untuk dapat
menyandak siluman bangkotan itu."
"Siluman itu sudah terkena tanganku, dia bukannya lagi
tandingannya Gak SieCu," Cun Seng menyatakan.
Mendengar itu. lega hatinya It Hang. Toh ia masih ingin
tunggu kembalinya Beng Kie, maka ia menyesal Pek Sek
sudah minta pamitan, hingga ia mesti ikut berangkat.
Pek Sek Toojin ada mengandung maksud mengapa ia ajak
It Hang lekas berlalu. Ia ingin ajak gadisnya berangkat ke kota
raja bersama-sama pemuda she To ini, supaya pemuda dan
pemudi itu dapat bergaul bebas dan erat. Kalau Beng Kie turut
bersama, dia pasti kurang leluasa untuk mengamprokkan
puterinya kepada pemuda incarannya itu...
San Ho mesti berjalan jauh dan sukar dengan
menggendong satu tubuh yang mantap, maka setelah tengah
hari, barulah ia sampai di Siauwlim sie.
Cun Seng Siansu lantas keluar menyambut ketika
tiekekCeng melaporkan kembalinya Beng Kie dengan
tergendong, dan ia terkejut bukan main ketika melihat
keadaan yang berbahaya dari pemuda itu.
"Apakah yang telah terjadi?" dia tanya San Ho.
Nona Tiat, yang masih tetap dengan penyamarannya,
tuturkan jalannya pertempuran yang dahsyat itu.
"Itulah hebat," serunya sang pendeta
Dengan cepat Cun Seng bawa Beng Kie ke dalam kamar,
paling dulu ia kasih minum air obat somthung, kemudian ia
cekoki tiga butir pil siauwhoan tan.
Tidak lama Keng Beng Siansu pun datang melongok, tapi
ketika ia lihat San Ho, terus saja ia kata: "Kau tak usah
mendampinginya lebih jauh."
San Ho heran, hingga ia mengawasi dengan bengong.
"Setelah beristirahat dua hari dia akan sembuh," kata
pendeta kepala itu kepada pemuda tetiron ini. "Kau bawa
suratku ke Thaysit san akan menumpang tinggal kepada Cu
Hui Suthay. Selang dua hari, kau datang pula kemari untuk
menyambut Gak SieCu ini."
Segera San Ho mengerti bahwa pendeta ini telah ketahui
penyamarannya, maka wajahnya menjadi merah sendirinya
Terpaksa ia sambut? surat dari pendeta itu, lalu ia pamitan dan
pergi. Seberlalunya si nona, Keng Beng dan Cun Seng keluar dari
kamar di mana Beng Kie dirawat.
"Gak Beng Kie ini sempurna latihannya, jikalau dia
direndengkan dengan It Hang, mereka mirip dengan pohon
kumala, mereka adalah bakat-bakat yang sukar didapatkan
selama seribu tahun," kata Cun Seng. "maka aku tidak sangka,
kenapa dia tidak bisa kendalikan dirinya, hingga dia hampir
merusak kesucian kuil kita ini... Kalau suheng tidak lantas
dapat pergoki penyamaran nona itu, dan dia bermalam di sini
bersama-sama Beng Kie, tidakkah itu akan lebih hebat
kesudahannya" Andaikan hal ini tersiar tidakkah itu
memalukan?"
Keng Beng Siansu menghela napas.
"Tapi itulah bukan hal yang aku kuatirkan," kata pendeta
ini. "Dalam segala hal kita harus memandangnya dari keadaan
dan suasananya. Beng Kie sedang terluka parah, dari itu,
siapa saja yang antar dia, wanita atau pria. adalah sama saja
Dalam keadaan sulit dan berbahaya sebagai Beng Kie, kita tak
dapat taati sepenuhnya adat sopan santun. Umpama dia tidak
dapat orang yang merawatinya tidak ada halangannya mereka
berdua berdiam di dalam satu kamar."
"Tetapi tadi mengapa suheng menghela napas?" Cun Seng
tanya. "Aku sayangi bakatnya Beng Kie yang putih bersih." kata
pendeta kepala dari Siauwlim sie itu. "dia bukan saja bisa
menjadi kiamkek, diapun bisa menjadi pendeta suci. Aku
hanya kuatirkan dia nanti terlibat asmara..." (Kiamkek -- ahli
pedang). Mendengar ini, lega hatinya Cun Seng. Karena yang ia
kuatirkan adalah kehormatannya Siauwlim sie.
Benar seperti katanya Keng Beng Siansu. selang dua hari.
Beng Kie telah sembuh dari bisanya tangan jahat dari Kim Tok
Ek. hingga selanjutnya ia membutuhkan hanya sedikit waktu
lagi untuk memulihkah tenaganya kembali seperti sediakala.
Tepat di hari ketiga pagi-pagi. Keng Beng Siansu serahkan
pada Beng Kie salinan kitabnya ilmu pedang, yaitu "LiongCoan
Pcklian Koat" sambil pemuda itu dipesan untuk belajar
sungguh-sungguh dengan kuat dan bertetap hati. supaya dia
dapat selalu mengatasi diri.
Pemuda itu mengucap terima kasih, ia memberi hormat


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk pamitan. Ketika ia sampai di luar Siauwlim sie, di muka
pintu, sambil bersenyum San Ho asyik menantikan padanya.
Tiba-tiba ia teringat yang ia telah digendong si nona, ia
menjadi jengah sendirinya.
"Mau apa kau datang kemari?" ia tanya.
"Untuk memapak kau," sahut San Ho. "Aku juga hendak
haturkan terima kasihku kepadamu."
"Aku justeru hendak mengucapkan terima kasih padamu,"
Beng Kie kata. "Kau hendak pergi ke mana sekarang?"
"Dan kau?" si nona balik menanya.
"Aku hendak pergi ke Pakkhia."
"Aku juga hendak pergi ke Pakkhia!" si nona tertawa.
Beng Kie melengak.
"Kau pun hendak pergi ke Pakkhia?" dia tegaskan.
"Benar. Maka kita boleh jalan sama-sama!"
Tidak ada alasan untuk Beng Kie menolak, terpaksa ia
terima nona itu.
Maka berdua berangkatlah mereka menuju ke kota raja.
San Ho berlaku polos dan ramah tamah, terhadap Beng Kie
dia berlaku sebagai saudara kandung kakak beradik, maka itu,
lambat laun lenyaplah kelikatan mereka. Karena polosnya si
nona omong dari hal apa saja yang ia dapat pikir, kecuali ia
tak ingin omong tentang ayahnya, hingga karenanya, Beng Kie
heran sekali. Sifat kekanak-kanakannya Tiat San Ho belum lenyap
seanteronya, akan tetapi sejak kecil ia telah kenyang ikuti
ayahnya merantau, karena itu, ia kenal banyak dan ketahui
segala hal ikhwalnya kaum kangouw. maka karena itu pula,
perjalanan mereka menjadi lancar sekali. Di samping itu,
sering San Ho kenali orang-orang kangouw yang menuju ke
utara juga. Demikian pada suatu hari, sesampainya mereka di
Hamtan, sebuah kota besar di Hoopak, selagi jalan di dekat
sebuah rumah makan, ia menunjuk ke rumah makan itu
sambil berkata pada kawan seperjalanannya: "Lihat di dalam
restoran, di antara tetamu-tetamunya itu, ada satu kepala dari
kaum Hitam!"
"Kita baik jangan usil," sahut Beng Kie.
"Kau temani aku, mari kita melihatnya," San Ho minta. "Dia
adalah dari derajat yang tinggi. Selama dua hari ini, semua
orang kangouw yang kita ketemukan mungkin harus
memandang dia sebagai tertua..."
"Eh, bagaimana kau ketahui itu?" Beng Kie tertarik juga
hatinya. "Kau lihat di sana, di pojok tembok," kata San Ho. "Lihat itu
setangkai bunga bwee yang dilukiskan di situ. Coba kau hitung
jumlah tangkainya."
"Ya ada dua belas," jawab Beng Kie, setelah ia bertindak
mendekati. "Nah, itu dianya! Itulah bunga bwee yang menjadi tanda
rali.isiu yang jumlah tangkainya menandak.ui tinggi rendahnya
derajat orang yanp bersangkutan. Biasanya, jumlah tangkai
adalah tiga belas yang paling banyak, sekarang bunga ini
bertangkai dua belas, inilah hal yang ganjil."
"Baiklah kalau begitu," kata Beng Kie. "Mari kita masuk dan
melihatnya. Tapi ingat, kau jangan sembarang terbitkan onar."
Keduanya lantas mampir di rumah makan itu, mereka pilih
meja dari mana mereka bisa leluasa memandang ke
sekitarnya. Beng Kie melihat ke sekitar ruangan, ia tampak di sebelah
timurnya, dekat pada jendela, duduk dua orang yang
mengenakan kopiahnya rendah sekali, sehingga menutupi
mata dan hidungnya, akan tetapi walaupun demikian, dengan
matanya yang taj am Beng Kie merasa seperti pernah
melihatnya, dan iapun lantas ingat suatu apa, maka
sekonyong-konyong ia bangun berdiri, terus ia bertindak maju.
San Ho heran. "Eh, toako, kau mau berbuat apa?" tanya nona ini.
Beng Kie tidak segera menjawab, dia hanya menggapai.
"Jongos, tolong seduhkan dulu satu tehkoan teh
LiongCeng!" katanya kepada jongos. Tetapi gerakan
tangannya itu ada demikian rupa, hingga ia kena singkap
kopiahnya orang yang ia curigai itu, sampai kopiah itu
terangkat, menyusul mana, dia lompat menyambar.
"He, Eng Siu Yang, bangsat tua, kau kenali aku atau tidak?"
tegurnya pemuda ini membarengi gerakannya menyekal
orang. Orang itu dengan sebat sekali menangkis dengan
kebutannya, hudtim, untuk sekalian lilit lengan penyerangnya
itu. San Ho heran bukan main.
"Dia larang aku terbitkan onar. sekarang dia yang mulai..."
katanya dalam hati. Ia sama sekali tak tahu bahwa kedua
orang itu adalah penghianat yang berkongkol sama pihak
Boan, yang di puncak bukit Kunsan sudah kepung Giok Lo Sat.
Walaupun Eng Siu Yang liehay. menghadapi Beng Kie ia
berkecil hati, apapula setelah gagal ia menangkis dan melilit
tangan si anak muda, sementara di pihak lain. sambaran
pemuda itu telah diulangi. Bahna berkuatir dan hendak bela
diri. ia berseru seraya angkat meja untuk menangkis, hingga
karenanya, piring mangkok, atau lebih benar pelbagai sayur,
terbang ke arah pemuda itu.
Beng Kie lompat berkelit. Justeru inilah yang dikehendaki
Eng Siu Yang, yang gunakan ketika baik itu untuk lompat
keluar jendela.
Sahabatnya penghianat bangsa itu tidak kenal bahaya, dia
maju merintangi Beng Kie mengejar kawannya, akan tetapi
Beng Kie dalam sengitnya berbalik menyambar padanya, yang
kena dicekal dan dilemparkan terbanting ke jalan besar di luar
jendela. Eng Siu Yang baru mau lari terus atau pengejarnya sudah
dapat candak padanya, yang segera diserang dengan pedang
Yuliong kiam, hingga terpaksa, dia gunakan kebutannya akan
melakukan perlawanan. Kebutannya itu memang dapat
digunakan sebagai pedang atau alat penotok jalan darah di
samping senjata penyabet atau pelibat. Hanya meski dia
sangat liehay, sekarang dia menghadapi ilmu pedang Thiansan
kiamhoat dengan pedang mustika pula. kebutannya
nampaknya tiada berguna.
Pertempuran itu membikin takut orang-orang yang berlalu
lintas, mereka semua lantas jauhkan diri dan sembunyi,
sedang toko-toko yang berdekatan, repot menutup pintu.
Beng Kie mendesak terus-terusan, membikin Siu Yang
repot menangkis.
Pertempuran tengah berlangsung, tiba-tiba terdengar suara
gembleng pembuka jalan dan muncul delapan penunggang
kuda. yang di belakangnya tampak pula delapan thaykam.
orang kebiri, yang mengiring sebuah kereta keraton.
"Lekas tangkap penjahat!" Eng Siu Yang berteriak ketika ia
lihat rombongan kereta itu.
Delapan penunggang kuda itu adalah siewie-siewie atau
pahlawan?-pahlawan istana, mereka sudah lantas lompat
turun dari kudanya dan maju menyerang Beng Kie.
Beng Kie jadi mendongkol. Ia tidak takut dikepung tapi ia
tidak dapat melayani barisan pengawal istana itu, karena ia
sendiri adalah utusannya Him Kengliak... Untuk mencegah
keonaran, ia lantas lompat mundur dan lari menyingkir.
Eng Siu Yang beramai hendak mengejar, tapi mereka
terlambat. Beng Kie lari melintasi duajalanan panjang, ketika tiba-tiba
dari pojok di muka tikungan jalan yang kedua itu muncul San
Ho yang menyambutnya sambil tertawa berseri-seri.
"Bagaimana, eh?" nona ini menegur. "Kenapa justeru kau
yang terbitkan onar?"
Beng Kie tertawa.
"Kau cerdik sekali, kau telah nantikan aku di sini!" katanya.
"Aku telah menduga pasti, kau tidak akan sanggup layani
mereka terus-terusan, maka itu, aku mendahului kau
menyingkir kemari!" sahut nona yang cerdik itu.
"Bukannya aku tidak sanggup, aku..."
"Sudahlah, aku tahu!" si nona memotong, sambil ia tertawa
pula. "Aku tahu kau bukannya tidak sanggup melawan
mereka, kau hanya tidak sudi melayani rombongan siewie itu.
Aku bicara main-main saja! Tahukah siapa yang duduk dalam
kereta itu?"
"Siapa dia sebenarnya?" Beng Kie balik tanya.
"Dia adalah satu budak besar!"
"Ah, kau jangan ngaco belo!" Beng Kie tegur.
"Eh, siapa yang mau omong main-main?" kata si nona.
"Orang yang naik kereta itu adalah gadisnya babu susu dari
Hongthaysun, buyutnya raja! Babu susu itu adalah Keksie
Hujin, yaitu Nyonya Kek, yang sangat disayangi oleh raja yang
baru, maka begitu lekas habis penobatan raja ini dia lantas
kirim orang ke kampungnya untuk menyambut kedatangan
gadisnya ini."
Beng Kie heran.
"Apa kau bilang?" tanyanya. "Kau sebut-sebut raja yang
baru?" "Benar! Raja yang tua sudah wafat, sekarang putera
mahkota yang menggantikan kedudukannya!" si nona
menerangkan. Memang, ketika Beng Kie berlalu dari kota raja, kaisar
sedang sakit berat, ia hanya tidak sangka telah wafat
demikian cepat. Maka ia lantas menghela napas.
"Kenapa, eh?" tanya San Ho. "Raja punya kebaikan apa
terhadapmu" Kenapa kau bersusah hati?"
"Aku terharu bukan untuk raja itu," Beng Kie jawab. "Ah,
inilah urusan besar dari negara... Baik kita jangan bicarakan
itu..." "Hm!" gerutunya nona itu.
"Apakah kau anggap aku sebagai bocah cilik, hingga tak
tepat untuk aku mengetahui urusan negara" Hm!"
"Bukan begitu, nona..."
Beng Kie berhenti bicara dengan tiba-tiba, karena ia lihat di
lain ujung jalan itu muncul sepasukan serdadu. Ia segera
sambar tangannya si nona untuk diajak menyingkir.
Baru sesudah berada di luar kota, kedua anak muda ini
berhenti berlari.
"Kita telah terbitkan onar, sekarang kita harus sembunyi
dulu," kata Beng Kie. Kemudian ia menambahkan: "Aku
anggap putera mahkota bijaksana, setelah naik tahta, dia
bakal membuat perubahan, akan tetapi tak disangka begini
saja kelakuannya, sampaipun segala babu susu ia berikan
kepercayaan yang berlebih-lebihan. Dia benar-benar merusak
tata tertib dalam istana. Lebih celaka lagi segala penghianat
dia biarkan mundar-mandir di dalam istana. Melihat begini,
sia-sialah capai lelahnya Him Kengliak dan To Suheng."
Memang, setelah diketahui ada penghianat di dalam istana.
It Hang telah minta Beng Kie memberitahukannya kepada Him
Teng Pek, supaya pembesar di perbatasan itu kasih kisikan
lebih jauh kepada raja. In Yan Peng dan Kim Cian Giam adalah
"pemburor." dari istana, dan Eng Siu Yang, dia belum menjadi
siewie akan tetapi namanya sudah sampai di kuping raja,
maka heran sekarang, penghianat ini muncul dengan
berterang dan bisa bersekongkol dengan kawanan siewie.
Oleh karena onar di atas. Beng Kie dan San Ho berlaku
waspada. Mereka berhasil melintasi Cio keeCung dan Pooteng,
lalu dengan diam-diam mereka nelusup masuk ke dalam kota
raja: Pakkhia. Berdua mereka pergi ke gedung sahabatnya
Him Kengliak. yaitu Yo Lian yang berpangkat Pengko Kiesu
tiong, pembesar penilik dalam kementerian peperangan.
Di sini Beng Kie mendapat keterangan jelas bahwa Kaisar
Sin Cong telah wafat sejak sebulan lebih, bahwa putera
mahkota, yaitu ThayCu Siang Lok, telah naik menjadi gantinya
dengan pakai nama raja Kong Cong.
"Sekarang di dalam kota raja ada dua kabar terbaru,"
berkata Yo Lian. "Yang pertama yaitu, setelah naik menjadi
raja. Kaisar Kong Cong mendapat semacam penyakit aneh.
Tabib istana kata kaisar dapat sakit mejen, akan tetapi setelah
diberi obat untuk penyakit itu, ia tetap tidak bisa sembuh.
Sudah satu bulan lebih kaisar masih belum dapat duduk di
singgasana."
"Putera mahkota pernah belajar silat, tubuhnya sehat dan
kuat. kenapa dia bisa dapat penyakit luar biasa itu?" tanya
Beng Kie. "Dan apa itu kabar yang kedua?"
"Selama ini di dalam kota raja ini sering terdengar
lenyapnya anak-anak muda, di antaranya juga terdapat anakanak
orang berpangkat," Yo Lian terangkan pula. "Kiubun
Teetok sudah berikan titah-titah keras untuk menyelidiki serta
menjaganya, akan tetapi buah hasilnya hampa belaka. Coba
pikir, tidakkah itu aneh?"
"Kalau yang lenyap adalah nona-nona, pasti itu ada
perbuatannya penjahat-penjahat pemetik bunga," kata Beng
Kie. "Sekarang yang lenyap adalah anak-anak muda, memang
ini aneh."
Sampai di situ, pembicaraan beralih kepada soal lain.
"Bagaimana dengan perkaranya Him Kengliak?" Beng Kie
tanya "Baru-baru ini setelah kau meninggalkan kota raja," sahut
Yo Kiesutiong, "lantas ada beberapa giesu yang mengajukan
surat mendakwa Him Kengliak yang menjadi biang keladi
adalah Pengpou Cusu Lauw Kok Cin dan Giesu Yauw Cong
Bun. Orang yang karang surat dakwaan adalah Giesu Phang
Sam Goan."
Beng Kie tertawa tawar.
"Tidak heran jikalau Lauw Kok Cin mendendam sakit hati,"
kata dia. "Dia pernah menjadi pembesar militer di bawah
penguasaannya Him Kengliak di Liauwtong, karena temahanya
dia telah main gila dalam urusan keuangan, hal itu telah
diadukan Him Kengliak kepada Si i Baginda dan lantas dia
ditarik pulang Dan Yauw Tiong Bun ada terlebih buruk lagi.
Dia berani peras linu Kengliak, yang dimintai tiga lembar kulit
Cietiauw, kulit musang yang mulus warnanya. Kengliak adalah
seorang pembesar putih bersih, sudah tentu dia tidak sanggup
beli tiga lembar kulit yang mahal itu. Tapi dia masih suka
berlaku baik, dia telah serahkan kulit musangnya yang dia
dapatkan dari hadiah. Atas itu, Yauw Cong Bun mengatakan
Kengliak tidak memandang mata padanya. Tentang Phang
Sam Goan, aku tidak ketahui jelas, tapi apa yang aku dengar
adalah dia menjadi musuh dari partai Tonglim tong yang lurus,
maka dia tentu juga bukan orang baik-baik."


Wanita Gagah Perkasa Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan tetapi tulisannya liehay sekali," kata Yo Lian. "Dalam
surat pengaduannya itu dia majukan sebelas macam dakwaan,
delapan fatsal menuduh Kengliak bodoh dan karenanya sudah
mencelakai negara, dan yang tiga fatsal lagi menuduh
Kengliak sudah menghina Sri Baginda"
Mendengar dakwaan itu, Beng Kie tertawa besar.
"Sungguh aneh!" seru pemuda ini. "Jikalau Kengliak bodoh
hingga mencelakai negara, tapi kenapa angkatan perang Boan
dapat ditangkis di Hinkeng" Jasa siapakah itu" Setiap
tindakannya, dengan tentu Kengliak ada kasihkan laporan ke
kota raja. Dia pegang kekuasaan atas tentara, dia juga
memegang pedang Sianghong Pookiam, namun tidak pernah
dia berani berlaku lancang, makabagaimanadia bisa dituduh
telah menghina Sri Baginda?"
"Tadi aku telah katakan, itulah disebabkan pitnya Phang
Sam Goan liehay sekali, dia dapat putar balik duduknya hal,"
Yo Lian jelaskan. "Aku mengaku, bahwa aku sendiri tidak nanti
sanggup menulis dakwaan semacam itu!" Ia berhenti
sebentar, lalu ia berkata pula: "Meski demikian, tak usah kau
berkuatir. Sudah sebulan lebih sejak sakitnya Sri Baginda,
dakwaan itu masih tertunda saja. Di dalam istana benar
banyak kaum tersesat akan tetapi pihak yang benar pun tidak
kurang." Malam itu Beng Kie hiburkan diri dengan tenggak arak, ia
sangat mendongkol dan penasaran mengingat sepak
terjangnya dorna-dorna, ia menenggak arak sampai mabuk, la
baru sadar keesokannya setelah terang tanah waktu ia
rasakan ada angin 'dingin meniup batang lehernya, ia
membalikkan tubuhnya dan membuka mata ia tampak San Ho
berada di dampingnya, nyata nona inilah yang jaili padanya.
"Jangan nakal, hei!" ia menegur sambil tertawa.
"Orang yang mempelajarkan ilmu silat bisa mabokmabokan
begini macam, sungguh tidak bagus!" kata si nona
sambil tertawa juga. "Kau tidur nyenyak sekali sampai kau tak
tahu ada orang dekati padamu! Syukur adalah aku, kalau
seandainya penjahat tukang petik bunga yang satroni kau,
tidakkah itu akan hebat kesudahannya?"
"Kau ngaco!" Beng Kie menegur pula.
"Ngaco?" mengulangi si nona. "Tidakkah dengan kupingmu
sendiri kau telah dengar apa katanya Yo Tayjin, bahwa di
dalam kota raja selama ini telah lenyap banyak anak-anak
muda?" "Ah, anak perempuan omong seenaknya saja!" tegurnya
pula Beng Kie. "Kalau kau masih ngaco terus, aku nanti hajar
padamu!..."
Nona Tiat leletkan lidahnya.
"Baiklah!" katanya kemudian. "Walaupun di sini tidak ada
penjahat wanita yang suka petik bunga, di waktu begini kau
sudah seharusnya bangun tidur!"
Beng Kie tertawa ia bangun dari pembaringannya.
"Hari ini aku ingin tengok saudara To," katanya. "Aku rasa
dia sudah sampai di kota raja Kau berdiam di kamar ini
menantikan kembaliku. Kau harus mengerti. Pek Sek Toojin
tidak punya kesan baik terhadap kau dan ayahmu."
"Tidak apa aku dilarang turut kau." kata si nona. "Tapi,
turut penglihatanku. To It Hang itu bukannya sahabat sejati..."
Beng Kie heran, hingga ia mengawasi sambil mendelong.
Pendekar Panji Sakti 24 Pendekar Cacad Karya Gu Long Neraka Hitam 4

Cari Blog Ini