Ceritasilat Novel Online

Darah Dan Cinta Di Kota Medang 12

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Bagian 12


pemimpin pengawal menyatakan bahwa para perwira ikut
prihatin dengan para petani dan ikut memohon kepada Sang
Hiang Tunggal serta Sunan Ambu agar hujan segera
diturunkan."
"Saya heran, Sik, banyak benar cerita yang kaudengar
tentang Putra Mahkota dan Pangeran Anggadipati itu," ujar
Banyak Sumba, perasaan tidak enak makin menyesak dalam
hatinya. "Seorang petani datang ke Kutabarang, kebetulan bertemu
dengan kami. Kampungnya pernah dikunjungi dan ketika
rombongan Putra Mahkota dijamu, Putra Mahkota
mengusulkan agar jamuan disimpan untuk malam hari saja.
Mereka mengusulkan agar para puragabaya bersantap siang
hari dan nanti bersantap lagi dengan Putra Mahkota. Para
puragabaya itu pun menolak dan mengusulkan agar mereka
dijamu malam hari saja. Di samping itu, para bangsawan di
Kutabarang telah mendapat pesan dari pencalang rombongan,
agar tidak menyediakan jamuan siang karena semua
rombongan berpuasa."
"Baiklah, Sik," kata Banyak Sumba yang tidak mau
mendengar lagi cerita-cerita tentang kebudimanan
Anggadipati, "Kita sudah tiba di Kutabarang dan selesailah
dengan cerita-cerita yang bagus itu."
Mereka pun memasuki gerbang Kota Kutabarang yang siap
untuk ditutup berhubung malam sudah hampir tiba.
MALAM itu, tiga sekawan menginap di Kota Kutabarang.
Keesokan paginya, Banyak Sumba keluar diiringi kedua orang
panakawannya untuk melihat-lihat suasana. Ternyata,
kemarau panjang dan panas yang menimpa seluruh Pajajaran
berkesan sekali pengaruhnya di kota yang besar. Terutama di
pasar, tempat-tempat penjualan hasil bumi tampak kurang
isinya. Kalau hasil-hasil bumi masih ada, mutunya tidak baik
pula. Buah-buahan kecil-kecil, berbagai jenis menghilang sama
sekali dari pasar. Harganya pun menjadi tinggi. Sementara itu,
barang-barang lain tidak menguntungkan pula.
Karena para petani berkurang penghasilannya, mereka
tidak mampu berbelanja seperti pada musim-musim biasa.
Itulah sebabnya, para pedagang perhiasan, perlengkapan,
atau hasil-hasil laut menghadapi masa-masa sepi pula.
Penduduk Kota Kutabarang kelihatan tidak segembira seperti
biasa. Menurut keterangan Arsim, banyak sekali upacara
perkawinan atau upacara memandikan bayi yang
ditangguhkan. Melihat suasana yang serbamurung itu, Banyak Sumba
mulai bertanya-tanya dalam hatinya. Apakah tepat baginya
melaksanakan pembalasan dendam" Bukankah sebagai warga
kerajaan ia harus berdukacita karena menurut berita banyak
rakyat Pajajaran yang menderita kekeringan, kalau Putera
Mahkota berpuasa dan berdoa di kuil-kuil di seluruh Pajajaran
untuk memohon kasih sayang Sunan Ambu, bukankah tidak
pada tempatnya ia bersiap-siap mengucurkan darah orang "
Akan tetapi, kalau dia menangguhkannya, kesempatan
yang begitu baik mungkin lolos untuk selama-lamanya.
bukankah Anggadipati sasaran utama tugasnya, dan kalau
orang itu telah dirobohkannya, tugas selanjutnya hanyalah
tugas-tugas yang ringan belaka" Dan bukankah kalau
menangguhkan rencananya semula ia tidak berwatak seperti
umumnya anggota wangsa Banyak Citra yang keras hati dan
keras kemauan" Atau, mungkinkah dia takut" Tapi, bagaimana
dengan suasana prihatin yang diderita oleh seluruh rakyat
Pajajaran" Bukankah seharusnya ia berpuasa atau berdoa
dalam kuil, seperti warga kerajaan lainnya"
"Raden, kita membutuhkan persediaan buah-buahan untuk
sore ini," kata Jasik. Banyak Sumba mengiakan, lalu mengikuti
Jasik ke tempat buah-buahan. Jasik menunjuk tempat pisang
dan pepaya sambil memberikan uang. Akan tetapi, entah apa
sebabnya, pedagang buah-buahan itu tidak memberikan
pepaya, malahan memberikan semangka.
"Saya membutuhkan pepaya, Bibi, bukan semangka," kata
Jasik. "Oh, maaf, Den, saya salah mengerti."
"Tidak apa-apa, Bibi," ujar Jasik.
"Salah mengerti itu berbahaya, Den," sambung bibi
pedagang. "Karena salah mengerti, orang dapat ditimpa
kesusahan yang tidak perlu," katanya sambil tersenyum, 'Jadi
Bibi minta maaf."
"Ah, ini kan hanya tertukar pepaya, Bibi."
"Tapi Bibi salah mengerti, Den. Kalau tertukar sangkaan
dan yang diambil sangkaan buruk, orang yang dapat berabe
juga," kata pedagang itu.
Sore harinya, ketika Banyak Sumba sedang beristirahat di
tempat menginap, didengarnya orang-orang ramai dijalan.
"Raden, mereka datang," kata Arsim yang menjengukkan
kepalanya lewat pintu. Banyak Sumba bangkit, lalu
berpakaian. Ikat pinggang lebar yang juga menjadi sarung
lima buah pisau kecil dikenakannya, kemudian ditutup dengan
pakaian hitam yang panjang. Banyak Sumba segera
menggabungkan diri dengan rakyat banyak, penduduk Kota
Kutabarang dan penduduk kampung-kampung sekeliling, yang
mengelu-elukan Putra Mahkota atau yang ingin melihat beliau.
Semua orang memandang ke arah jalan yang datang dari
gerbang kota sebelah selatan, karena dari arah itulah
rombongan akan tiba, dan bergerak menuju ke istana
penguasa kota. Ke arah itu pulalah Banyak Sumba
mengarahkan matanya, setelah memilih tempat berdiri yang
baik, yaitu suatu tempat yang agak dingin di halaman sebuah
rumah. Berulang-ulang ia meraba ikat pinggangnya yang tebal
karena pisau-pisau beracun itu. Ia merencanakan mencabut
dua bilah pisau sekaligus, yang satu akan dilemparkannya
dengan tangan kanan, yang lain dengan tangan kiri.
Direncanakan pula jalan-jalan mana yang akan dijadikannya
tempat berlari dan menghindar setelah melemparkan pisaupisau
itu. Ia sudah kenal benar dengan lorong-lorong di
Kutabarang. Ia pun merasa beruntung karena hari menuju
malam. Oleh karena itu, akan sukar bagi orang untuk
mengejarnya di dalam gelap. Sementara itu, kuda sudah
disiapkan di luar benteng oleh Arsim dan Jasik, supaya mudah
dipergunakan kalau keadaan mendesak hingga Banyak Sumba
harus meninggalkan kota.
Walaupun segalanya telah dipersiapkan, tak urung
jantungnya berdebar-debar. Ia berdiri di tempat yang agak
tinggi dan berlindung dari pandangan orang. Walaupun begitu,
ia tidak terlalu jauh dari jalan. Karena itu, pisaunya tidak akan
gagal mengenai sasarannya. Bukankah di masa kecil ia pernah
diajar dengan keras oleh Kakanda Jante Jaluwuyung untuk
menjadi pelempar belati yang baik" Dan bukankah ajaran
Kakanda Jante tidak boleh gagal, terutama dalam
membalaskan dendam baginya" Banyak Sumba meyakinkan
dirinya bahwa dalam usahanya itu, ia dibantu secara gaib oleh
Kakanda Jante Jaluwuyung, seorang pelempar pisau yang
tidak ada tandingannya. Maka, ia pun berdiri di tempatnya,
menunggu saat yang penting itu sambil menenangkan dirinya.
Ia mencoba berdoa, tetapi tidak dapat memusatkan
pikirannya. Mungkin karena percakapan orang-orang terlalu
bising, pikirnya.
Banyak Sumba berpaling ke selatan dan tampak rakyat
memberikan jalan kepada penunggang kuda cokelat, seorang
ponggawa dengan pakaian yang agak menyolok. Ponggawa
itu dengan gagah duduk di atas kudanya sambil berseru-seru
nyaring. "Sebentar lagi, junjungan kita, Putra Mahkota berada di
tengah-tengah kita. Sambutiah beliau dengan seluruh hati
kalian yang mencintai beliau. Serukan isi hati kalian kepada
beliau, Hidup Yang Mulia! Hidup Pajajaran!" katanya. Tiba-tiba
saja seluruh rakyat yang berdiri sepanjang jalan itu berseru,
Hidup Yang Mulia! Hidup Pajajaran!
"Sudah! Sudah!" kata ponggawa itu sambil menggerakgerakkan
tangannya. Akan tetapi, rakyat terus berseru. Dan
taklama kemudian, terdengarlah lenguh trompet tiram yang
mendayu-dayu dan meremangkan bulu roma Banyak Sumba.
Rakyat hening kembali. Banyak Sumba berpaling lagi ke
selatan. Di ujung jalan besar yang panjang dan lurus itu,
orang-orang memberikan jalan kepada rombongan yang mulai
tampak pandu-pandunya. Banyak Sumba meraba ikat
pinggangnya yang tebal oleh sisipan pisau beracun. Saat yang
sangat penting dalam kehidupannya telah tiba, beban tugas
yang diembannya akan menjadi sangat ringan setelah
kematian Puragabaya Anggadipati. Ia tidak usah belajar lebih
lama lagi karena ia tahu wangsa Wiratanu dan Pembayun
Jakasunu tidak dikenal sebagai perwira-perwira yang tangguh.
Anggadipati-lah yang menyebabkan ia harus belajar bertahuntahun
dan menghabiskan biaya serta masa remajanya. Ia
memegang pisau-pisau, ia bermaksud berdoa, tetapi lidahnya
ragu-ragu untuk menyebutkan nama Sang Hiang Tunggal dan
Sunan Ambu. Diserunya nama Kakanda Jante Jaluwuyung
dalam hatinya, lalu dipeganglah sebuah hulu pisau yang ada di
pinggangnya. Tak lama kemudian, rombongan pun tiba. Serombongan
kuda ditunggangi para jagabaya, disusul serombongan kuda
putih yang ditunggangi para puragabaya yang mengawal
Putra Mahkota. Di tengah-tengah para puragabaya yang
sepuluh orang jumlahnya, terdapat seekor kuda hitam kelam.
Di atas kuda hitam kelam itulah Putra Mahkota berada.
Banyak Sumba tidak lama mencari-cari di mana Anggadipati
berada. Di sebelah kanan Putra Mahkota, duduk di atas kuda
putih, tampak kesatria yang tampan tetapi berpakaian
pendeta, Pangeran Anggadipati!
-oooodw0o0kzoooGlosarium : Babancong: bangunan di samping atau di muka pendapa
tampak orang menabuh gamelan
Batu penarung: rintangan
Reuma: bekas huma yang ditinggalkan agar tanahnya
subur kembali Wide: tirai yang terbuat dari potongan-potongan bambu
yang kecil dan panjang, satu sama lain dihubungkan dengan
tali Sampurasun: permisi
Badega: orang yang berkedudukan sedikit lebih tinggi dari
pelayan Bumi Ageung: Rumah Besar
Nayaga: penabuh gamelan
Kembang Beureum: Bunga Merah
Barangbang semplak: pelepah daun kelapa jatuh
(model/cara memakai ikat kepala)
Pamagersari: hamba sahaya
Kohkol: kentongan
Baca kisah selanjutnya di buku ketiga
Pertarungan Terakhir
Banyak Sumba melihat berselang-selang dengan kayu
Samida sebagai kayu pembakaran itu, terdapat pula penduduk
kampung. Menyadari hal itu, gemetarlah seluruh tubuh Banyak
Sumba. Ini adalah pikiran dan dendam orang gila, pikir Banyak
Sumba. Ini tidak boleh terjadi. Sang Hiang Tunggal akan
mengutuk seluruh Pajajaran, termasuk dirinya, kalau peristiwa
yang buas itu terjadi. Akan tetapi, betapapun hatinya
meronta-ronta, kakinya seolah-olah terpaku pada tanah. Ia
hanya gemetar dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Tiba-tiba dari arah tumpukan kayu dan manusia itu
terdengar suara kecil. Mula-mula tidak jelas, kemudian makin
lama makin keras. Tangisan bayi. Banyak Sumba
mendengarnya dan ia menyadari bahwa itu adalah tangisan
yang mewakili seluruh kemanusiaan yang hendak diperlakukan
dengan buas. Mendengar tangisan bayi di dalam tumpukan
kayu bakar itu, berkunang-kunanglah mata Banyak Sumba.
Ia melihat badega yang membawa obor besar berjalan dan
hendak mulai menyulut unggun besar itu. Tiba-tiba tangisan
bayi itu melengking bertambah nyaring. Hati banyak Sumba
berontak, melonjak dan, tercabutlah kakinya dari bumi. Ia
menghambur ke depan, ke arah pembawa obor itu. "Tidak.
Tidak. Jangan!" katanya sambil berlari.
-ooo00dw00ooo- SERI KESATRIA HUTAN LARANGAN
~ Bara Dendam Menuntut Balas ~
Karya : Saini KM
Sbook Oleh Manise di Dimhad Website
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://
http://dewikz.byethost22.com/
Synopsis : Menggabungkan diri pada gerombolan penjahat si Colat
merupakan pilihan yang masuk akal bagi Banyak Sumba.
Sebagai musuh kerajaan, gerombolan si Colat diburu oleh
pasukan puragabaya. Dengan begitu, Banyak Sumba berharap
bisa bertemu Pangeran Anggadipati dan membalaskan
kematian kakaknya. Selain itu,dia juga bisa belajar kesaktian si
Colat yang konon setara dengan para puragabaya itu.
Akhirnya, Banyak Sumba memang berhasil bertemu
kembali dengan Pangeran Anggadipati. Sudah lama Banyak
Sumba menantikannya. Dendam kesumat yang berlipat-lipat
sudah demikian memuncaknya hingga tak sanggup lagi
ditahankan. Darah yang tertumpah harus dibayar dengan
darah. Nyawa harus dibayar dengan nyawa. Akankah dendam
Banyak Sumba terlunaskan dalam pertarungan terakhirnya"
Bagaimana pula kisah cintanya dengan Emas Purbamanik yang
tertahan oleh dendam yang belum terlunaskan"
Komentar : "Karya Saini K.M. ini memiliki orisinalitasnya sendiri." "
Jakob Sumardjo akademisi dan pengamat sastra
"Saya merasakan adanya penceritaan yang mengalir
tenang, sabar, dan matang yang pada gilirannya menjelma
kejernihan." "Seno Gumira Adjidarma, pertulis dan jurnalis
Biodata Singkat Penulis :
Saini K.M. dilahirkan di Sumedang pada 16 Juni 1938. la
merupakan salah satu pemrakarsa berdirinya Jurusan Teater
di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, la pernah
memenangkan Sayembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),
sayembara yang diadakan oleh Direktorat Kesenian
Depdikbud, penghargaan sastra dari Pusat Pembinaan dan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pengembangan Bahasa, Anugeiah Sastra dari Yayasan Forum
Sastra Bandung pada 1995, dan penghargaan SEA Write
Award pada 2001.
Isi Buku : Bab 1 Kesempatan
Bab 2 Si Rambeng
Bab 3 Diikuti Orang-Orang Tak Dikenal
Bab 4 Tidak Jadi Digantung
Bab 5 Aki Gombal Tukang Pantun
Bab 6 Padepokan Sirnadirasa
Bab 7 Raden Madea Calon Puragabaya
Bab 8 Hampir Tersesat
Bab 9 Kesasar ke Padepokan Tajimalela
Bab 10 Bersepakat dengan Si Colat
Bab 11 Penyesalan
Bab 12 Malakal Maut
Bab 13 Jasik Bab 14 Burung Senja
Bab 1 Kesempatan Banyak Sumba memandang wajah Pangeran Anggadipati
beberapa lama, hatinya terhenyak. Kebencian dan dendam
yang disangkanya akan meluap dan mengguncangkan
jiwanya, ternyata tidak dirasakannya. Hatinya kosong.
Kalaupun ada perasaan, hanyalah perasaan duka-cita. Ia raguragu
dan tidak percaya, mana mungkin seorang kesatria yang
begitu halus, yang dari wajahnya memancarkan sifat pendeta
dan ketenteraman jiwa, dapat menjadi pembunuh keji seperti
yang digambarkan oleh pembawa berita ke Kota Medang"
Akan tetapi, hatinya berkata pula, justru siluman sering
menempati hati orang yang tidak disangka-sangka. Dengan
mempergunakan orang-orang yang tidak disangka-sangka
seperti itu, siluman dapat menimpakan malapetaka yang
sebesar-besarnya kepada manusia. Jadi, mengapa harus raguragu"
Banyak Sumba bermaksud mengeraskan hati, ia tidak mau
lagi memandang wajah Pangeran Anggadipati. Ia memandang
ulu hati puragabaya itu, ulu hati yang akan dijadikan sasaran
pisau beracun yang ada di pinggangnya. Tetapi, matanya
tertarik oleh Putra Mahkota. Banyak Sumba terpukau melihat
wajah Putra Mahkota yang sangat bermuram durja itu. Di
samping itu, tampak Putra Mahkota sangat pucat dan lemah.
Teringatlah Banyak Sumba akan cerita orang-orang bahwa
Putra Mahkota di samping mengelilingi kerajaan untuk
menyampaikan belasungkawa kepada rakyat, beliau pun
berpuasa. Beliau beriktikad mengunjungi seluruh kuil yang ada
di kerajaan, seandainya hujan tidak turun juga.
Melihat wajah Putra Mahkota yang sedang tersenyum dan
melambai-lambaikan tangan, mendengar rakyat yang berseruseru
bahagia karena dapat melihat wajah.junjungannya,
mencairlah tekad Banyak Sumba. Ia termenung dan terharu.
Rasa kasih sayang meluap dari hatinya. Ia ragu-ragu sejenak.
Tidak disadarinya, ia kemudian berseru-seru seperti rakyat
yang lain, "Hidup Putra Mahkota! Hidup Pajajaran!"
Dengan Jasik dan Arsim, Banyak Sumba bertemu di suatu
tempat yang telah dijanjikan, yaitu di bawah benteng yang
bersemak. Jasik dan Arsim sudah menumpuk jerami agar
Banyak Sumba tidak akan cedera jika melompat dari atas
benteng. Ternyata, Banyak Sumba tidak perlu turun
melompati benteng. Ia datang menemui kedua orang
panakawannya melalui pintu gerbang kota. Melihat
kedatangannya tidak menurut rencana, kedua orang
panakawan itu memandangnya penuh tanda tanya.
"Saya menangguhkan rencana itu, Sik," kata Banyak Sumba
dengan nada minta maaf. Panakawannya tidak berkata apaapa,
mereka tetap memandang kepadanya, seolah-olah
meminta penjelasan. Banyak Sumba terdorong untuk berkata,
"Saya tidak dapat melakukan pembunuhan selagi Putra
Mahkota berada di sini. Sang Hiang Tunggal akan
mengutukku, seandainya upacara suci dinodai dengan darah.
Apa pula kata orang tentang keluargaku, seandainya sampai
kulakukan pembunuhan yang keji itu," katanya.
Mendengar penjelasan itu, kedua orang panakawannya
tetap membisu. Arsim melihat ke langit, sementara Jasik
menunduk, memerhatikan rerumputan. Sikap mereka itu
dirasakan oleh Banyak Sumba sebagai sikap menyesali. Ia
malu karena sebelumnya begitu panjang lebar menerangkan
rencana pembunuhan itu. Di samping itu, betapa berkobarkobar
cara ia menerangkan rencana itu. Karena itu, Banyak
Sumba terdorong untuk menambahkan penjelasan lagi.
"Di samping itu," katanya, "saya tak sampai hati melakukan
serangan secara licik, Sik, Kang Arsim, betapapun kejinya
Anggadipati. Sebagai kesatria, kita harus menghadapinya
secara kesatria. Saya malu oleh diri sendiri kalau harus
membunuh sembunyi-sembunyi, mempergunakan pisau
beracun, lalu melarikan diri seperti pengecut. Oleh karena itu,
saya putuskan menangguhkan rencana dan membuat rencana
lain yang pantas bagi kehormatan wangsa Banyak Citra. Saya
akan melakukan hal itu, walaupun tentu akan memakan waktu
lebih lama daripada kalau saya membunuh Anggadipati
dengan pisau beracun ini," katanya sambil memegang ikat
pinggangnya yang lebar itu. Ia teringat bahwa saat hendak
mencabut pisau dan melemparkannya, ia tidak berpikir
tentang kelicikan atau kehormatan seorang kesatria, tetapi ia
silau oleh sorot wajah Pangeran Anggadipati yang begitu
agung dan mulia.
"Kalau begitu, marilah kita pulang saja dahulu," kata Arsim.
Akhirnya, mereka bertiga menuntun kuda masing-masing,
menyusuri sungai kecil yang melingkari benteng di tempat itu.
Di suatu tempat, Banyak Sumba berhenti. Kedua orang
panakawannya pun berhenti. Banyak Sumba mengambil
pundi-pundi dari balik bajunya. Dibukanya tutup pundi-pundi
itu, lalu dilemparkannya ke sungai.
Tiba-tiba, suatu hal yang aneh terjadi. Air dari tempat
jatuhnya pundi-pundi itu bergejolak, dan naiklah uap
berwarna nila. Air menjadi kehitaman. Ikan-ikan kecil
bergelepar dan mati, demikian juga yang besar-besar,
menggeliat-geliat kemudian terapung. Melihat kejadian itu,
melongolah Jasik dan Arsim. Banyak Sumba tertegun sejenak,
kemudian berkata, "Isi pundi-pundi itu terkutuk, diambil oleh
tukang-tukang tenung dari sungai-sungai Buana Larang,
tempat para siluman memandikan tubuh mereka yang busuk,"
katanya. Para panakawan memandang kepadanya. Tidak seorang
pun mengatakan apa-apa. Kejadian-kejadian yang aneh dan
hebat biasa berlaku pada anggota-anggota wangsa Banyak
Citra yang termasyhur itu.
Tak lama kemudian, mereka pun telah berada di atas
pelana kuda masing-masing, lalu memacunya ke arah selatan
menuju Perguruan Gan Tunjung. Sepanjang jalan itu, Banyak
Sumba tidak berkata-kata. Pikirannya dipenuhi oleh masalah
yang makin lama makin mencekamnya. Makin jelas bahwa
masalah yang dihadapinya bukanlah bagaimana ia harus
berusaha menjadi pendekar yang tangguh dan dapat
mengalahkan seorang puragabaya. Untuk itu, ia bertekad
menambah ilmunya dan keyakinan serta kepercayaan akan
kemampuan dirinya makin baik. Ia tidak takut melawan siapa
pun. Akan tetapi, ternyata, ia berulang-ulang menghadapi
kebimbangan. Kebimbangan itu mencapai puncaknya pada saat yang
sangat penting. Ia tidak dapat melaksanakan tugasnya ketika
kesempatan untuk membunuh Anggadipati tiba. Itu bukanlah
disebabkan ia takut, tetapi ada sesuatu yang menyebabkannya
bimbang. Ada masalah-masalah yang tidak dapat dijawabnya,
dan itulah sebabnya ia termenung.
Setelah mereka tiba di Perguruan Gan Tunjung, Banyak
Sumba masih tetap tidak banyak berbicara. Rupanya, Jasik
melihat kemurungan Banyak Sumba. Ia mendekat dan
bertanya, "Raden bersusah hati, apakah saya dapat menolong
Raden" Walaupun saya tidak cerdas, biasanya saya punya
cara lain yang dapat Raden pergunakan."
"Ya, Sik. Kautahu, saya bukanlah penakut. Tetapi ketika
saya melihat Anggadipati mendekat, seolah-olah ada cahaya
yang menyilaukan mata hati saya. Saya menghindari sorot
wajahnya dan hanya melihat sasaran pisau saya. Namun
demikian, saya masih juga tidak dapat bertindak. Putra
Mahkota yang ... juga saya sayangi, walaupun saya baru
melihatnya juga menolong nyawanya. Saya tidak menganggap
bahwa Anggadipati memiliki kesaktian atau hal-hal gaib yang
melindunginya. Saya menganggap, diri saya yang memiliki
cacat. Kau tahu saya bukan penakut, tetapi saya bimbang
ketika itu."
"Apa rencana Raden sekarang?" tanya Jasik.
"Saya tidak tahu, Sik. Saya akan kembali ke kampung si
Gojin mengembalikan kuda kepada Aria Banga. Selanjutnya,
mungkin saya akan mencari tempat yang baik untuk bertapa,
untuk menemukan jawaban dari pertanyaan saya. Saya akan
memohon petunjuk kepada Sang Hiang Tunggal."
"Raden, ada tugas yang pasti tidak menimbulkan keraguraguan
Raden. Siapa pun akan sependapat bahwa abu
Kakanda Jante adalah hak wangsa Banyak Citra. Itulah
sebabnya, kita dapat memulai tugas kita dari yang ringan itu.
Soal Anggadipati, kita tangguhkan dahulu. Soalnya... sudah
hampir tiga tahun kita mengembara."
"Benar, Sik. Saya sependapat denganmu. Tetapi saya akan
tetap gelisah kalau pertanyaan-pertanyaan saya tidak
terjawab. Saya akan pergi dulu kepada si Gojin. Saya akan
bersemedi di dalam hutan, kemudian segera kembali ke sini.
Rencana yang pertama adalah mengambil abu Kakanda dan
kita dapat kembali ke Kota Medang, meminta restu Ayahanda
untuk melakukan tugas selanjutnya. Tugas yang pertama
adalah belajar, kedua membalas dendam dan membela
kehormatan keluarga."
"Tidakkah Raden kekurangan biaya?" tanya Jasik sambil
memegang pinggangnya, tempat dia menyimpan uangnya.
"Tidak Sik, saya dapat berhemat di luar Kota Kutaba-rang.
Barangkali, pada masa-masa yang akan datang, saya akan
perlu bantuanmu. Simpanlah uang itu."
"Baik, Raden. Kita akan segera pergi ke Pakuan untuk
mengambil abu Kakanda Jante," lanjut Jasik. Banyak Sumba
tahu bahwa Jasik sudah rindu sekali untuk pulang. Ia pun
lebih sangat rindu.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Banyak Sumba
berangkat seorang diri menuju kaki Gunung Mandalagiri, ke
kampung si Gojin. Ketika ia tiba di kampung si Gojin keesokan
harinya, hari telah senja. Diucapkannya terima kasih kepada
Raden Aria Banga yang telah meminjamkan kudanya, lalu ia
beristirahat. Pagi-pagi keesokan harinya, ia berlatih seperti
biasa. Sementara itu, ia pun bertanya kepada para petani
yang ditemuinya, apakah mereka mengetahui padepokan atau
pertapaan yang dapat dikunjunginya. Banyak keterangan yang
diterimanya, tetapi umumnya tempat orang-orang berilmu itu
sangat jauh. Bahkan, banyak yang berada di luar wilayah
Kuta-barang. Ia pun merencanakan untuk pergi ke
Kutabarang, lalu dengan Jasik berangkat ke Pakuan Pajajaran.
Menurut berita, abu Kakanda Jantejaluwuyung disimpan di
sana. la bermaksud mengambil abu itu, lalu kembali ke Kota
Medang untuk menengok keluarga yang sangat dirindukannya.
Selama perjalanan, akan dicarinya keterangan-keterangan
tempat pertapa yang termasyhur bijaksana dan dapat
menjawab rahasia hati manusia.
Rencananya itu ternyata tidak dapat dijalankannya.
Keesokan harinya, suatu peristiwa terjadi di kampung si Gojin.
Pagi-pagi sekali terdengar suara si Gojin mencaci-maki dan
menantang. Banyak Sumba segera keluar dari gubuknya, lalu
berdiri di depan serambi. Si Gojin bertolak pinggang,
menghadapi tiga orang asing yang baru tampak hari itu. Di
antara ketiga orang pendatang itu, seorang sudah sangat tua
berpakaian perjalanan yang terdiri dari pangsi dan salontreng
nila. Dari pakaiannya itu, Banyak Sumba tidak dapat menduga,
apakah orang tua itu seorang petani atau seorang pendeta.
Dua orang yang lain sangat mudah diperkirakan. Mereka yang
sangat muda ini berpakaian seperti santri-santri padepokan.
Mereka mengenakan salontreng putih, celana pangsi, serta
sarung terikat di pinggang. Ketiga orang itu mengenakan
terompah yang sama potongannya, yaitu terompah kulit kasar
yang tidak disamak dan tanpa hiasan apa-apa.
Perhatian Banyak Sumba terhadap ketiga orang pendatang
itu tidak terputus karena si Gojin berteriak, "Kalian tidak dapat
memaksa aku menyuruh Raden Aria Banga pergi dari sini. Ia
datang ke sini dengan kehendaknya, ia akan kubiarkan pergi
dari sini kalau dia menghendaki."
"Saya mendapat keterangan dari ayah orang muda itu, kau
mendapatkan keuntungan karena adanya Raden Aria Banga di
sini," kata orang tua itu dengan tenang.
"Apa pedulimu" Ia datang ke sini karena tertarik oleh
ayam-ayamku. Kalau dia membeli ayam itu, aku menjual
dengan harga yang disetujui bersama."
"Kau tahu Raden Aria Banga masih sangat muda. Engkau
tidak berhak mengambil kesempatan dari kemudaannya.
Orang muda belum dapat bertanggung jawab atas
perbuatannya. Engkau tidak boleh mempergunakan
kelemahan anak muda itu demi kepentingan sendiri. Oleh
karena itu, izinkan kami membawanya pulang," kata orang tua
itu, tetap tenang.
"Ia tidak mau pulang dan menyuruhku menghadapi kalian."
"Kami diminta oleh ayahnya untuk memaksa dia pulang,
kalau perlu," kata orang tua itu. Kedua orang pengiringnya
diam saja. "Ia mewakilkan kepadaku, juga untuk dipaksa kalau perlu,"
kata si Gojin sambil tertawa.
"Kalau perlu, kami pun akan memaksamu untuk
melepaskan Raden Aria Banga," kata orang tua itu, tidak
disangka-sangka.
Si Gojin tertegun, lalu tertawa. Ia bertolak pinggang,
kemudian tertawa kembali. Orang tua itu melangkah ke
arahnya, walaupun gerakannya halus, tampak sekali ia tidak
takut kepada si Gojin. Orang tua itu berjalan menuju si Gojin.
Setelah berdekatan, ia memandang mata si Gojin. Si Gojin
bingung, kemudian tertawa kembali, walaupun tidak sekeras
sebelumnya.

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba, si Gojin menangkap leher orang tua itu. Tapi
entah bagaimana, dengan secepat kilat, si Gojin telah
terbaring. Si Gojin segera bangun. Ketika bangun, ia melihat
Banyak Sumba. Setelah berdiri kembali, si Gojin bersiap.
Rupanya, ia sangat marah dan malu dengan Banyak Sumba.
Dari sikap kakinya, Banyak Sumba tahu bahwa si Gojin
bermaksud memukul orang tua itu sampai mati. Akan tetapi,
orang tua itu dengan cepat maju, dan kedua tangannya
memegang tangan si Gojin. Ia tidak memegang dengan
seluruh jarinya melingkar, tetapi melekatkan kedua tapak
tangannya pada kedua tangan si Gojin.
Si Gojin mengibaskan kedua tangan itu dengan keras ke
samping Tiba-tiba, ia terjatuh kembali dan telentang. Ia
segera bangkit dan menghambur, menubruk orang tua itu.
Orang tua itu menggerakkan tangannya sedikit, sambil
memindahkan kedua tapak kakinya. Si Gojin melesat lalu
tersungkur, kira-kira tiga langkah di belakang orang tua itu.
"Lebih baik kaukatakan kepada Raden Aria Banga agar dia
mengikuti kami, pulang ke Kutabarang."
"Tidak!" seru si Gojin. Ia bangkit, sambil terengah-engah
bersiap-siap kembali melakukan serangan.
Orang tua itu diam saja. Si Gojin mendekat,
mengembangkan kedua tangannya hendak menangkap orang
tua itu. Banyak Sumba dapat meramalkan, si Gojin akan
mengambil keuntungan dari tenaganya yang besar. Si Gojin
tentu bermaksud menangkap orang tua itu, lalu mengangkat
dan membantingnya. Serangan itu akan sukar sekali
dihindarkan. Si Gojin adalah orang yang tinggi dan besarnya
hampir dua kali tinggi orang tua itu. Akan tetapi, orang tua itu
tenang saja dan tidak menghindarkan diri, walaupun si Gojin
makin lama makin dekat.
"Seru ibu-bapakmu yang ada di Buana Larang, hai Tua
Bangka!" seru si Gojin.
Ketika dilihatnya orang tua itu tidak bergerak, tampak si
Gojin bimbang. Ia mendekat, mendekat. Lalu ditangkapnya
leher orang tua itu. Tangan si Gojin mulai mengeras, orang
tua itu meraba tengkuknya. Kemudian, ia memegang
kelingking si Gojin dan melipatnya ke belakang. Si Gojin
terpaksa melepaskan pegangannya dan mencoba memukul
dengan sisi tangan kanannya yang masih bebas. Orang tua itu
mengendalikannya dengan terus melipat kelingking si Gojin
dan mengikuti gerak lengan si Gojin yang hendak melepaskan
kelingkingnya. Mereka melingkar-lingkar sejenak, kemudian si
Gojin jatuh kembali. Banyak Sumba tidak tahu dengan cara
apa orang tua itu menjatuhkan si Gojin.
"Sekarang, suruh Raden Aria Banga keluar," kata orang tua
itu. Si Gojin tidak menjawab. Dengan terengah-engah, ia
duduk di tanah sambil memegang kelingking tangan kirinya.
"Suruh dia keluar," kata orang tua itu.
"Tidak, Tua Bangka!" seru si Gojin, mendelik.
"Bawa keluar dia, Anak-anak!" kata orang tua itu kepada
kedua anak muda yang mengiringnya.
"Awas kalau berani!" seru si Gojin.
Santri-santri itu melangkah ke gubuk terbesar tempat
tinggal Aria Banga. Mereka tidak perlu masuk karena Raden
Aria Banga keluar. Tampak ia menyerah kepada suruhan-suruhan
ayahnya. Ketika Banyak Sumba masih terpukau,
keempat orang itu telah pergi meninggalkan kampung si
Gojin. Banyak Sumba tidak rrienunggu mereka menghilang dari
pandangannya untuk segera bersiap-siap mengikuti
rombongan itu. Ia mengambil barang-barangnya yang sedikit,
lalu berjalan ke arah si Gojin. Banyak Sumba berkata, "Paman,
saya sudah cukup lama belajar kepada Paman dan saya
beranggapan sudah dapat menguasai apa yang Paman
ajarkan kepada saya. Saya mengucapkan terima kasih dan
menyatakan rasa utang budi yang sebesar-besarnya. Saya pun
ingin menyampaikan pernyataan terima kasih itu secara
perlambang karena sebenarnya saya tidak akan dapat
membayar utang budi itu."
Sambil berkata demikian, Banyak Sumba menyodorkan
sepasang pakaian hitam yang terbuat dari sutra Katai. Ia pun
memberikan beberapa keping uang emas dalam kantong kecil
yang terbuat dari kulit halus yang disamak. Si Gojin
memandangnya sebentar, tampak wajahnya kelam.
Kemudian, ia menarik napas panjang, tersenyum. Ia
menerima pemberian itu sambil menepuk-nepuk bahu Banyak
Sumba. "Kau murid yang tabah dan tangguh, Raden," katanya.
Banyak Sumba segera mohon diri, lalu bergegas
meninggalkan lawang kori kampung kecil itu. Samar-samar
tampak rombongan yang hendak dikejarnya. Banyak Sumba
pun berlari mengejar empat orang penunggang kuda yang
melarikan kudanya perlahan-lahan karena harus melalui jalanjalan
sempit dan naik-turun lembah-lembah kecil di kaki
Gunung Mandalagiri.
Bab 2 Si Rombeng Banyak Sumba berlari dan terus berlari. Ia berharap dapat
mendekati para penunggang kuda itu hingga dapat memanggil
mereka. Ia akan meminta untuk diterima sebagai siswa kakekkakek
itu dan menanyakan tempat tinggalnya. Akan tetapi, ia
kelelahan. Betapapun lambatnya penunggang kuda melarikan
kuda mereka, jalan di semak-semak itu sukar dilalui. Banyak
Sumba menghadapi banyak sekali hambatan. Untung, suatu
ketika, para penunggang kuda itu berhenti. Ternyata mereka
sudah tiba dijalan besar yang bercabang ke dua arah. Satu
arah ke utara, menuju Kutaba-rang, arah lain ke selatan
menuju ke daerah berhutan. Banyak Sumba mempercepat
larinya. Para penunggang kuda itu bergerak kembali. Penunggang
kuda yang muda-muda ke utara, sementara orang tua itu ke
selatan. Banyak Sumba hampir putus asa, tetapi terpikir
olehnya suatu gagasan. Jalan ke selatan itu lengang
dibandingkan dengan ke utara. Artinya, tidak akan banyak
jejak kuda di jalan itu. Banyak Sumba dapat membuntuti
kakek-kakek itu dengan mengikuti jejak kudanya. Kalau perlu,
ia akan melupakan kelelahannya dan terus mengikuti jejak
kuda itu hingga ia dapat menemukan kuda yang dapat
dibelinya. Dengan timbulnya gagasan itu, bangkit kembalilah
semangatnya. Ia mulai berjalan di jalan besar itu seraya
memandang ke arah kakek-kakek yang mulai menghilang di
belokan. Sepanjang hari, Banyak Sumba berjalan. Ia tidak
menghiraukan kelelahannya. Sambil berjalan, ia berulangulang
menundukkan kepala mengawasi jejak kaki kuda yang
jelas di atas jalan berdebu itu. Sambil terus melangkah, ia
berdoa, mudah-mudahan ia dapat menemukan kampung
besar agar dapat membeli atau meminjam kuda. Ia terus
berjalan hingga hari bertambah panas.
Pada suatu ketika, ia terkejut. Ia kehilangan jejak kuda itu.
Ia bingung sebentar, lalu kembali tergesa-gesa. Ternyata,
kakek-kakek itu membelok ke kiri, memasuki semak-semak,
kemudian melintasi sungai kecil dan masuk ke hutan. Banyak
Sumba bimbang sejenak. Kalau ia terus berjalan dan
kemalaman di hutan yang tidak dikenalnya, mungkin ia akan
menghadapi bahaya. Siapa tahu hutan itu dihuni oleh
binatang-binatang buas yang sukar dihindari, seperti ular
sanca. Hal seperti itu sangat mungkin karena Banyak Sumba
melihat kedua sungai yang diseberangi berawa-rawa. Di sana
pun dilihatnya banyak sekali jejak babi hutan dan bin&tang
lainnya. Di tempat-tempat seperti itu, biasanya hidup ular-ular
besar yang sukar dilawan.
Kalau kakek-kakek itu masuk hutan, mungkin karena ia
mengambil jalan pintas. Dengan berkuda, kakek-kakek itu
mungkin akan sampai ke daerah yang lebih aman selagi hari
masih siang. Lain halnya dengan Banyak Sumba yang berjalan
kaki. Ia mungkin akan kemalaman di hutan berawa-rawa yang
berbahaya itu. Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuatnya
bimbang. Akhirnya, ia mengambil keputusan. Ia akan
memasuki hutan itu. Kalau diperkirakan hutan itu luas dan
tidak dapat ditembus sebelum senja, ia akan kembali ke jalan
besar atau ke daerah yang lebih aman. Ia pun berjalan
kembali. Ternyata, ketika mengikuti jejak kuda itu, ia mendaki
punggung gunung yang landai yang makin lama makin tinggi.
Ia merasa lega ketika menyadari hutan itu makin berubah
sifatnya.-Rawa-rawa dengan sifat-sifatnya makin jauh
ditinggalkan. Ia berjalan di daerah yang kering dan bercadascadas.
Ia tahu bahwa daerah itu cocok sekali sebagai tempat
tinggal harimau tutul, tetapi ia tidak menganggap binatang itu
berbahaya. Namun, kelegaan hatinya itu tidak lama. Jejak kuda itu
makin sukar ia temukan di antara semak-semak di tanah yang
keras. Berulang-ulang ia kehilangan jejak dan berulang-ulang
pula ia harus kembali ke tempat yang telah dilaluinya. Ia
hampir putus asa ketika tiba di suatu tempat, yaitu bagian
hutan yang bertebing-tebing.
"Berhenti!" tiba-tiba ia mendengar orang berkata. Banyak
Sumba berpaling ke arah datangnya suara itu'dan dilihatnya
empat orang pemuda datang mengelilinginya. Banyak Sumba
tidak bersiap-siap, bukan saja karena pemuda-pemuda itu
tidak kelihatan mengancam, tetapi ia pun tidak merasa
bersalah. "Saudara datang dari mana dan ada maksud apa?"
"Saya mengikuti seorang kakek yang menuju ke tempat ini.
Saya bermaksud belajar kepadanya," jawab Banyak Sumba.
"Saudara... Saudara Banyak Sumba?" seorang di antara
pemuda itu bertanya.
Banyak Sumba berpaling kepadanya, "Saudara Girilaya!"
seru Banyak Sumba dengan gembira seraya memegang
tangan Raden Girilaya, bekas guru keperwiraan di Puri
Purbawisesa. Raden Girilaya memegang bahunya dan sambil tersenyum
berkata, "Sungguh tidak saya sangka kita akan bertemu di
sini!" "Saya pun menyangka Saudara berada di Pakuan Pajajaran,"
ujar Banyak Sumba.
"Wah, itu cerita yang panjang, saya pergi ke sana, tetapi
akhirnya terdampar di sini."
"Saya datang ke sini dengan susah payah, dengan maksud
belajar kepada seorang tua yang
"Oh, Eyang Resi," kata seorang di antara pemuda itu. "Kita
akan membawa Saudara menghadap beliau nanti. Sekarang,
marilah ke tempat saya dulu," kata Raden Girilaya sambil
menuntun Banyak Sumba. Yang lain minta diri untuk kembali
ke tempat masing-masing. Raden Girilaya mengacungkan
tangannya, lalu mereka berpisah.
Banyak Sumba mengikuti Raden Girilaya melewati semaksemak
yang tumbuh di antara bongkah-bongkah cadas yang
besar-besar. Ternyata, di beberapa tempat di bagian gunung
yang bercadas-cadas itu terdapat bangunan-bangunan kecil
terbuat dari kayu dengan atap ijuk dan serasi dengan alam
sekitarnya, hingga Banyak Sumba sukar melihatnya.
Setelah beberapa lama berjalan dan bertemu dengan
beberapa orang kawan Raden Girilaya, mereka tiba di tempat
yang agak lapang di bawah sebuah tebing yang tinggi. Raden
Girilaya menyelinap di celah cadas, lalu ia masuk ke gua diikuti
Banyak Sumba. Ternyata, gua itu cukup luas. Di dalamnya
bersih dan terang oleh cahaya yang datang dari celah-celah
yang tidak kelihatan. Sementara itu, di sudut ruangan
dinyalakan sebuah lampu minyak kelapa. Banyak Sumba
melihat kotak-kotak lontar bertumpuk, kotak pakaian dari
rotan, cerek air dari tanah, dan dua helai kulit kambing
sebagai alas, mengilap di bawah cahaya yang datang dari luar
itu. Banyak Sumba dipersilakan duduk. Mereka pun mulai
saling bertanya tentang keadaan masing-masing, tentang
pengalaman mereka, tentang Pakuan Pajajaran, dan Puri
Purbawisesa. Ternyata, Raden Girilaya tidak dapat memenuhi
keinginannya untuk belajar ilmu kenegaraan di Pakuan
Pajajaran. Ia sudah terlalu tua, demikian keterangan
pamannya yang ada di Pakuan Pajajaran. Di samping itu, ia
sudah cukup berilmu sebagai perwira. Oleh karena itu,
bangsawan itu menganjurkan agar dia melanjutkan pelajaran
keperwiraannya. Ia diberi nasihat untuk menjadi murid Resi
Sirnadirasa, tempatnya tidak jauh dari Kota Kutabarang
walaupun tidak banyak diketahui orang. Dan, kembalilah
Raden Girilaya ke Kutabarang hingga akhirnya tiba di
Padepokan Sirnadirasa.
Banyak Sumba menceritakan pengalamannya sejak
menggantikan Raden Girilaya sebagai pengajar ilmu
keperwiraan. Walaupun demikian, ia merahasiakan perkenalan
dan hubungannya dengan Putri Purbamanik.
"Tampaknya Saudara begitu berhasrat menguasai ilmu
keperwiraan, sampai Saudara tiba di tempat ini," kata Raden
Girilaya tersenyum.
"Seperti Saudara juga, ilmu keperwiraan adalah jalan hidup
saya. Dan, saya merasa senang sekali dapat bertemu dengan
Saudara di sini. Besar harapan saya untuk mendapat
pertolongan Saudara agar maksud saya dapat terlaksana,"
lanjut Banyak Sumba.
"Eyang Sirnadirasa akan senang menerima Saudara di sini.
Saya akan menjelaskan semua yang saya ketahui tentang
Saudara, terutama bahwa Saudara pernah bekerja di Puri Purbawisesa.
Ada syarat yang harus dipenuhi oleh calon-calon
siswa, yaitu setiap calon harus mengucapkan sumpah terlebih
dahulu. Akan tetapi, sumpah itu bukanlah hal yang berat
karena sebenarnya setiap orang baik bersumpah demikian
kepada dirinya sendiri," demikian Raden Girilaya menjelaskan.
"Dapatkah saya mengetahui isi sumpah itu sekarang?"
tanya Banyak Sumba dengan keingintahuan yang keras. Ia
merasa cemas kalau sumpah yang harus diucapkan akan
memaksa dia membuka rahasianya, terutama alasan dia
belajar ilmu keperwiraan itu.
"Tidak banyak," jawab Raden Girilaya, "Saudara cukup
menyatakan di hadapan Eyang Resi dan para siswa lain bahwa
demi Sang Hiang Tunggal, Saudara tidak akan
mempergunakan ilmu yang didapat dari Eyang Resi untuk
kejahatan dan kepentingan diri sendiri. Saudara hanya
mempergunakan ilmu itu dalam mengagungkan Sang Hiang


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tunggal. Di samping itu, Saudara bersedia menerima
hukuman seberat-beratnya sebagaimana yang ditetapkan oleh
Dewan Perguruan, seandainya Saudara merasa berbuat salah
dan melanggar sumpah Saudara sendiri."
Banyak Sumba terdiam, ia merasa gamang menghadapi
sumpah itu. Apakah ia akan sanggup mengucapkan sumpah
itu tanpa bimbang" Apakah membalas dendam demi
kehormatan keluarga dianggap kejahatan atau tidak" Banyak
Sumba kembali menghadapi masalah yang tidak pernah dapat
dijawabnya sendiri. Ia menarik napas panjang, lalu berkata,
"Saya bersedia mengucapkan sumpah itu," katanya tanpa
diketahuinya apa yang mendorongnya mengatakan hal itu.
Raden Girilaya tampak tidak merasakan kebimbangan
Banyak Sumba karena ia terus berkata, "Sekarang
beristirahatlah dulu di sini, saya akan memberitahukan
kedatangan Saudara kepada Eyang Resi," katanya.
"Sungguh, saya malu oleh kebaikan Saudara," ujar Banyak
Sumba. "Tak ada kebaikan saya kepada Saudara. Apa yang saya
lakukan demi Sang Hiang Tunggal juga. Setiap tamu akan
saya perlakukan seperti Saudara," katanya sambil tersenyum.
Banyak Sumba memandang pemuda yang bangkit untuk
pergi itu. Dalam hatinya ia berkata, Raden Girilaya adalah
contoh terbaik dari kesatria Pajajaran. Ia tiba-tiba merasa
terharu. Ia tidak tahu, apakah ia cukup berharga untuk
bergaul dengan kesatria-kesatria Pajajaran. Ia tahu, dengan
tugas membalas dendam yang diembannya, sukar sekali
baginya untuk dapat menempatkan diri di antara mereka.
Sambil memandang berkeliling di dalam ruangan gua yang
terang oleh cahaya lampu dan cahaya matahari, ia terus
termenung. Kesatria Pajajaran menyediakan dirinya untuk
kepentingan kerajaan, kepentingan sang Prabu yang berarti
kepentingan warga kerajaan seluruhnya. Kepentingan
kerajaan berada di atas segala-galanya bagi para kesatria
seperti Raden Girilaya dan kawan-kawannya. Akan tetapi,
bagaimana kalau mereka menghadapi nasib seperti yang
dihadapinya" Kalau kakak Raden Girilaya dibunuh orang
dengan keji, apakah yang akan dilakukan kesatria itu" Banyak
Sumba tidak dapat menjawab pertanyaannya. Karena lelah, ia
tidak berusaha menjawabnya.
MALAM itu, Banyak Sumba dibawa oleh Raden Girilaya ke
tempat Resi Sirnadirasa. Seperti juga dalam gua Raden
Girilaya, di sana terdapat kotak-kotak lontar, beberapa helai
kulit kambing sebagai tikar, lampu minyak kelapa yang
cahayanya terang, cangkir-cangkir dari tanah dan kotak-kotak
besar tempat menyimpan pakaian, senjata dan barang-barang
berharga. Eyang Resi yang berpakaian putih, sedang
membaca-baca tulisan pada janur kelapa yang tergulung.
"Ketika kedua pemuda itu datang, orang tua itu mengangkat
mukanya dan mempersilakan mereka masuk dan duduk
dengan ramah. "Maaf, Anak-anak, ada yang kurang jelas dalam tulisan ini,"
katanya ketika kedua orang pemuda itu sudah duduk di atas
kulit kambing yang tergelar.
"Silakan, Eyang," ujar Raden Girilaya. Kemudian, Raden
Girilaya berbisik, tulisan yang ada pada janur kelapa itu adalah
surat yang diterima Eyang Resi dari bekas murid beliau di
Pakuan Pajajaran.
"Raden," tiba-tiba orang tua itu berkata kepada Girilaya,
"kita akan menerima tamu bulan depan atau akhir bulan ini.
Seorang calon puragabaya berada dalam perjalanan menuju
perbatasan timur kerajaan. Perwira itu bermaksud berkenalan
dengan siswa-siswa di sini."
"Kami sangat senang mendengar berita itu, Eyang." "Ya,
siapa tahu kalian akan menjadi pembantu perwira itu di
kemudian hari."
Aneh, hati Banyak Sumba berdebar-debar mendengar
berita itu. Sementara itu, dalam hatinya dijalinlah sebuah
rencana. Tapi, ia segera mendesak rencana itu ke bawah
kesadarannya. Ia mulai mendengarkan kembali percakapan
guru dan murid itu.
"Raden, dari mana kau datang?" tanya Eyang Resi kepada
Banyak Sumba. "Dari daerah Medang, Eyang Resi."
"Alangkah jauhnya!" seru Eyang Resi.
"Saya sudah lama tinggal di Kutabarang, Eyang Resi."
"Oh, memang banyak sekali orang Pajajaran yang menetap
di Kutabarang. Ya, dari seluruh kerajaan datang ke
Kutabarang dan menjadi kaya di sana. Atau, menjadi orang
berilmu." "Raden Banyak Sumba ini masih merasa kekurangan ilmu,
Eyang," sela Raden Girilaya.
"Bagus, ilmu tidak akan ada habisnya. Kalaupun seluruh
lontar, janur, dan daun-daunan lain dikeringkan untuk
dijadikan surat dan seluruh senjata diubah menjadi pisau pangot,
tidak akan tertuliskan ilmu yang diturunkan oleh Sang
Hiang Tunggal. Jadi, janganlah kau puas, Raden."
"Saya datang ke sini karena alasan itu, Eyang."
"Baiklah, Raden Girilaya sudah menceritakan maksud
Raden. Besok pagi kita laksanakan upacara itu."
Sesuai yang dijanjikan, keesokan harinya ketika matahari
terbit, Banyak Sumba disumpah. Isi sumpah tidak banyak
bedanya dengan yang diceritakan Raden Girilaya. Akan tetapi,
Banyak Sumba kurang memerhatikan kata-kata dan isi
sumpah itu. Hatinya gelisah dan bimbang. Upacara itu
akhirnya selesai juga.
Siswa-siswa memberi salam kepada Banyak Sumba,
menyatakan bahwa Banyak Sumba adalah saudara mereka,
lebih dekat daripada saudara sekandung karena mereka
bersaudara dalam penyerahan diri kepada kebaikan dan
kepada Sang Hiang Tunggal. Banyak Sumba tidak gembira
oleh uluran persaudaraan ini. Harinya bimbang dan gelisah.
KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Raden Girilaya yang
menjadi teman seguanya membangunkan. Tak lama
kemudian, semua santri di bawah pimpinan Eyang Resi telah
berlari-lari melompati cadas-cadas dan jurang-jurang sempit,
mendaki punggung gunung, menuruni lembah, menaiki
pohon, dan menuruni tebing dengan berpegang pada akarakar.
Sebagai siswa baru, Banyak Sumba hampir tak dapat
mengikuti mereka karena kelelahan. Akan tetapi, kemauannya
yang keras tidak mengizinkan dia menyerah. Ia terus
mengikuti kawan-kawannya. Akhirnya, tibalah mereka di
lapangan kecil di dalam hutan. Para santri mulai berlatih dan
Raden Girilaya mendekati Banyak Sumba. Pemuda itu
tersenyum. "Saudara Sumba," katanya, "suatu yang lucu terjadi."
"Apakah itu?" tanya Banyak Sumba. "Saya diberi tugas oleh
Eyang Resi untuk mengajar Saudara," kata pemuda itu sambil
tetap tersenyum, lalu melanjutkan kata-katanya, "Padahal,
dulu Saudara dapat mengalahkan saya dengan mudah,
bukan?" Banyak Sumba tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Ia
hanya tersenyum.
"Baiklah, saya akan mencoba memenuhi perintah Eyang
Resi. Kalau saya dikalahkan, saya akan menyerahkan tugas
saya itu kembali."
Kemudian, Raden Girilaya mengajak Banyak Sumba untuk
bertanding. Dalam beberapa gerakan saja, Banyak Sumba
sudah terjatuh. Raden Girilaya sudah berubah. Ia sudah
sangat maju. Dalam pertandingan itu, tubuh dan tangan
Raden Girilaya seolah-olah licin. Pukulan-pukulan Banyak
Sumba yang dilakukan dengan terkendali, semuanya meleset.
"Saya menyerah dan bersedia menjadi siswa Saudara," kata
Banyak Sumba sambil tersenyum dan bangkit dari rumput
tempatnya terjatuh. Ia sangat penasaran dan ingin sekali
segera mengetahui rahasia ilmu dari Padepokan Sirnadirasa
itu. Ketika mereka beristirahat, mulailah Raden Girilaya
menjelaskan ilmu itu.
"Dulu, saya melihat lawan sebagai benda yang menjadi
sasaran pukulan dan tendangan. Setelah datang ke sini,
pandangan saya berubah. Di samping sebagai sasaran
pukulan dan tendangan, saya pun menganggap lawan sebagai
tenaga, kekuatan, atau tekanan yang dalam perkelahian
bergerak ke berbagai arah, khususnya pada tubuh kita. Kalau
kekuatan ini mengenai kita, mungkin kita cedera. Sebaliknya,
kalau tenaga itu tidak mengenai kita, tenaga itu akan
mengganggu keseimbangan tubuh lawan. Nah, dalam
keadaan tidak seimbang ini, kita menyerang lawan. Kita
mendorong atau menarik ke arah mana berat badan atau
tenaga lawan akan jatuh. Maka, tanpa mempergunakan
tenaga banyak, kita akan menjatuhkan lawan," katanya.
"Apakah kita tidak boleh mempergunakan pukulan?" tanya
Banyak Sumba setelah termenung, "bukankah dengan pukulan
yang tepat mengenai sasaran, lawan akan jatuh?"
"Ya, tapi kita berkelahi tidak selalu untuk menyakiti lawan.
Mungkin kita melawan seseorang hanya untuk meyakinkan dia
bahwa sebaiknya dia tidak usah melawan kita. Kita harus
mengasihi lawan."
Banyak Sumba termenung. Ia tidak mengerti maksud
kawan seperguruannya itu, tetapi ia diam saja. Kemudian, ia
minta diberi contoh tentang cara-cara yang diterangkan Raden
Girilaya itu. Mulailah mereka berlatih kembali, bersama dengan
siswa-siswa lain. Berulang-ulang Banyak Sumba jatuh, tetapi
samar-samar ia mulai mengerti inti ilmu dari Padepokan
Sirnadirasa. Hari itu, sebelum latihan selesai dan para siswa
mulai mengerjakan huma padepokan, dua kali Banyak Sumba
dapat menggagalkan serangan Raden Girilaya. Eyang
Sirnadirasa yang memerhatikan mereka berlatih, berkata
kepada Banyak Sumba, "Engkau sangat berbakat, Raden,
cepat sekali kau mengerti."
"Tapi, begitu sering saya jatuh, Eyang, berpuluh-puluh kali.
Saya belum sanggup menjatuhkan Raden Girilaya."
"Tapi kau dapat menghindari serangannya, Raden," ujar
Eyang Sirnadirasa.
"Raden Sumba sangat berbakat, Eyang. Dulu, dalam dua
gerakan saya dijatuhkannya dengan ilmu keras. Sekarang
mulai licin, Eyang."
"Ya, Eyang melihatnya. Besok coba lagi, Raden," katanya.
Dua hari, seminggu, dua minggu di padepokan itu, Banyak
Sumba berlatih, semedi merenungkan ilmunya, bercakapcakap,
dan bertanya kepada siswa-siswa lain. Akhirnya, ia
jarang dijatuhkan Raden Girilaya. Bahkan, beberapa siswa lain
dapat dijatuhkannya. Ia makin keras berlatih, makin sering
termenung, memikirkan dan memecahkan masalah-masalah
yang dihadapinya dalam latihan, la harus cepat menguasai
ilmu itu, kewajiban keluarga memanggilnya. Ia pun telah rindu
kepada ayah-bunda, kakak, dan adik-adiknya.
Pada suatu hari, bertanyalah Banyak Sumba kepada Raden
Girilaya, "Saudara, kapankah seorang siswa padepokan
dianggap tamat belajar di sini ?"
"Saudara Sumba, Padepokan Sirnadirasa ada hubungannya
dengan Padepokan Tajimalela, tempat calon-calon puragabaya
dilatih," sahut Raden Girilaya. Mendengar itu, ber-debarlah
hati Banyak Sumba. Akan tetapi, ia berusaha
menyembunyikan apa yang terjadi dalam hatinya. Ia
menunduk. Kemudian, Raden Girilaya melanjutkan
penjelasannya, "Padepokan ini bukan saja diketahui, bahkan
direstui oleh sang Prabu. Siswa-siswa di sini dianggap
setingkat lebih rendah daripada para puragabaya. Akan tetapi,
hendaknya Saudara tidak salah mengerti. Kalau kita setingkat
lebih rendah, bukan berarti kita ini hebat-hebat. Sama sekali
tidak. Dalam ilmu lahiriah, mungkin kita tidak jauh daripada
para puragabaya. Tetapi dalam hal-hal yang bersifat ruhani,
kita bukan apa-apa dibandingkan dengan mereka. Saudara
ketahui bahwa para puragabaya sebenarnya pendeta-pendeta
yang memuja Sang Hiang Tunggal dengan otot-otot dan
tulang-tulang mereka. Tentu saja di samping dengan caracara
biasa, yaitu dengan hidup suci dan menguasai mantramantra.
Kalau siswa-siswa di sini dianggap baik, itu karena
tugas-tugas kepuragabayaan sering sekali diserahkan kepada
kita, kalau tugas itu tidak terlalu berat."
"Tugas-tugas macam apakah itu?" tanya Banyak Sumba
penasaran. "Misalnya, kalau ada orang jahat yang harus ditangkap.
Kalau orang jahat itu sudah merajalela dan para jagabaya
kewalahan, Resi Tajimalela biasanya mengerahkan calon-calon
puragabaya. Pertama, untuk mengendalikan perampok itu;
kedua,. untuk menguji keberanian, ketabahan, dan
keterampilan calon-calon puragabaya itu. Akan tetapi,
perampok-perampok itu sering tidak begitu tangguh untuk
dihadapi oleh para calon puragabaya. Biasanya, Resi
Tajimalela mengutus seseorang untuk menghubungi Eyang
Sirnadirasa dan menyerahkan tugas-tugas menumpas orang
jahat kepada padepokan kita ini."
"Sudah seringkah padepokan ini mendapat tugas?"
"Menurut keterangan siswa-siswa yang lebih tua dahulu
memang sering, tetapi sekarang makin jarang. Hal itu
disebabkan mutu para jagabaya makin lama makin baik. Di
samping itu, kemakmuran terus-menerus meningkat, hingga
orang-orang tidak lagi perlu hidup dari kejahatan."
Mendengar keterangan itu, Banyak Sumba agak kecewa.
Ingin benar ia ikut melaksanakan salah satu tugas itu.
Sementara ia termenung, Raden Girilaya berkata kembali,
"Saya ingin sekali mendapat tugas seperti itu. Belum lama ini,
si Gojin, tukang sabung ayam yang kampungnya tidak berapa
jauh dari Kutabarang, membujuk salah seorang putra
bangsawan untuk berboros-boros di rumahnya. Kebetulan,
Eyang Sirnadirasa perlu memberi penjelasan kepada dua
orang siswa di sini tentang beberapa cara menjatuhkan lawan
dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Sebenarnya, saya
sudah mengusulkan agar si Gojin dihadapi oleh siswa-siswa
yang lebih lanjut. Akan tetapi, setelah dipertimbangkan si
Gojin dianggap terlalu sepele untuk dihadapi oleh siswa-siswa.
Jadi, si Gojin ini diperlakukannya sebagai contoh untuk
percobaan saja. Eyang Resi memberikan contoh cara
menjatuhkan orang yang bertenaga besar seperti si Gojin.
Sebelumnya, Eyang Resi menjelaskan bahwa makin besar
tenaga seseorang, makin besar amarahnya, dan makin mudah
pula ia dijatuhkan. Menurut kawan-kawan yang mengikuti
Eyang Resi, penjelasan Eyang Resi telah diberikan dengan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik sekali melalui si Gojin itu."
"Mungkinkah ada tugas-tugas semacam itu dalam waktu
dekat ini?" tanya Banyak Sumba yang ingin sekali ikut
mengambil bagian. Raden Girilaya termenung, kemudian
berkata, "Beberapa waktu yang lalu, Eyang Resi mengatakan
kepada kami, siswa-siswa yang lebih lama di sini, bahwa
seorang penjahat besar telah membunuh beberapa orang
bangsawan di Kutawaringin. Nama orang itu si Colat."
Mendengar kabar itu, berdebarlah hati Banyak Sumba.
Dapatkah ia menghadapi si Colat yang luar biasa itu"
Bukankah lebih baik kalau ia berguru kepada si Colat setelah
berguru kepada Resi Sirnadirasa" Sebelum pertanyaanpertanyaan
itu terjawab, Raden Girilaya berkata, "Tapi, si
Colat ini tinggi sekali ilmunya. Eyang Resi mengatakan bahwa
kemungkinan diserahkan kepada kita tipis sekali. Resi
Tajimalela tidak akan sampai hati kalau siswa-siswa di sini
menjadi korban. Akan tetapi, menurut Eyang Sirnadirasa,
bukan tidak mungkin diadakan tugas gabungan, yaitu para
calon puragabaya ditugaskan menghadapi si Colat, sementara
siswa-siswa dari sini ditugaskan menghadapi anak buahnya.
Mereka ini dikabarkan berilmu lumayan tinggi. Di samping itu,
umumnya mereka tega membunuh, seperti juga si Colat yang
meremehkan nyawa manusia dan tidak takut lagi akan Sang
Hiang Tunggal."
Sore itu, ketika Banyak Sumba seorang diri dalam gua,
timbullah pikiran yang dianggapnya baik. Lebih baik tidak
terpengaruh oleh kesempatan-kesempatan yang tidak ada
dalam rencananya semula. Lebih baik ia berpegang pada
rencananya semula, yaitu mencari guru yang tinggi ilmunya,
mencoba ilmunya itu, kemudian mempergunakannya bagi
kepentingan kehormatan keluarganya. Ia bertekad belajar
hingga tamat di Padepokan Sirnadirasa, kemudian mencari si
Colat dan belajar kepadanya. Belajar kepada si Colat ini sangat
penting baginya karena si Colat-lah salah seorang yang
dikabarkan menguasai ilmu kepuragabayaan. Apakah orang itu
jahat atau tidak, tidak masalah baginya. Yang menjadi
persoalan, bagaimana caranya agar ia secepat mungkin dapat
menguasai ilmu setinggi-tingginya, lalu dengan secepatcepatnya
membunuh Anggadipati, Jakasunu, dan Wiratanu
dengan begundal-be-gundalnya.
Tanpa diketahuinya, Raden Girilaya memasuki ruangan, lalu
duduk di dekatnya.
"Rupanya ada masalah berat yang sedang Saudara
pikirkan," kata Raden Girilaya sambil tersenyum.
"Tidak," ujar Banyak Sumba dengan kikuk karena merasa
kepergok. "Kalau begitu, barangkali ada seorang gadis di suatu
tempat yang dengan harum rambutnya menghimbauhimbau?"
lanjut Raden Girilaya sambil tersenyum.
Perkataannya tiba-tiba membawa ingatan Banyak Sumba ke
Puri Purbawisesa. Kerinduan kepada gadis itu tiba-tiba
mendesak dalam dadanya. Ia menunduk. Ketika ia
mengangkat mukanya, Raden Girilaya sedang
memandangnya. Tiba-tiba saja, Banyak Sumba menyadari
bahwa raut muka Raden Girilaya sama dengan raut muka Nyai
Emas Purbamanik. Bagaimanapun, Nyai Emas Purbamanik ada
hubungan darah dengan Raden Girilaya. Maka, perasaan
persaudaraan yang selama ini terjalin antara dia dan pemuda
itu menjadi lebih erat.
"Saudara Sumba, kita sudah cukup dewasa untuk punya
kekasih, mengapa harus bingung kalau saya mengatakan halhal
seperti itu?" tanya Girilaya sambil tersenyum. "Saudara ini
alim sekali rupanya, apakah Saudara bermaksud menjadi
pendeta?" tanya Girilaya pula dengan nada bersenda gurau.
Nada senda gurau ini meringankan perasaan Banyak
Sumba. Ia berterima kasih kepada Raden Girilaya yang sangat
pandai menenggang rasa. Ia mulai tersenyum.
"Sudah lama kita bersahabat, Saudara Sumba. Tidak ada
salahnya kita menceritakan tentang diri kita masing-masing.
Ada peribahasa bahwa dukacita akan menjadi lebih ringan
kalau ditanggung bersama, demikian pula kebahagiaan akan
lebih semarak kalau dibukakan. Nah, berceritalah tentang diri
Saudara, tentang gadis-gadis, dan pengalaman-pengalaman.
Jangan dipendam sendiri pengalaman dan lain-lainnya itu,"
lanjutnya. "Tapi tidak ada yang harus saya ceritakan, kecuali yang
telah Saudara ketahui sendiri," ujar Banyak Sumba.
"Ah, Saudara Sumba ini sangat pemalu. Jadi, saya yang
harus memulai memberi contoh," lanjutnya pula sambil
tersenyum. "Senang sekali saya kalau dapat mendengar cerita-cerita
dari Saudara," kata Banyak Sumba.
"Tapi, Saudara harus menukarnya nanti. Saudara Sumba
sudah pernah mengunjungi ibu kota Pakuan Pajajaran?"
"Belum.Justru mengunjungi Pakuan merupakan keinginan
saya yang sampai sekarang belum terpenuhi."
"Oh, Saudara Sumba harus, sekali lagi harus
mengunjunginya. Pakuan Pajajaran sungguh-sungguh kota
yang memesonakan. Gerbangnya dapat dimasuki delapan
kereta bersama-sama. Di dalamnya, kita akan melihat
bangunan-bangunan yang besar dan indah. Setiap kali saya
melihat bangunan besar, saya langsung menganggapnya
istana Sang Prabu. Akan tetapi, sangkaan saya meleset. Apa
yang saya sangka istana bukan apa-apa kalau dibandingkan
dengan istana Sang Prabu. Saya belum pernah melihat orang
sebanyak di ibu kota Pakuan. Menurut perhitungan kerajaan,
Pakuan Pajajaran berpenduduk 50.000 orang. Bayangkan,
Saudara Sumba! Kota-kota yang kita anggap besar
penduduknya, kebanyakan tidak lebih daripada lima ribu
orang. Pakuan Pajajaran sepuluh kali lebih besar daripada
kota-kota yang biasa kita temukan di dataran utara ini.
DanRaden Girilaya tersenyum sebelum melanjutkan ceritanya.
"Bukankah tidak sukar diduga bahwa di antara lima puluh ribu
orang itu ada gadis cantik yang menyebabkan kita mabuk
kepayang?"
"Tidak usah di antara lima puluh ribu orang, di antara
sepuluh orang saja mungkin seorang pemuda dapat mabuk
kepayang," ujar Banyak Sumba, juga sambil tersenyum.
"Tapi, saya bukanlah orang yang mudah mabuk kepayang,
Saudara Sumba. Ketika itu, saya berjalan-jalan melihat-lihat
pemandangan kota. Dari suatu tingkap yang tinggi, pada
sebuah rumah besar, tampak tiga orang gadis. Salah seorang
di antaranya memandang ke arah saya. Dan seperti monyet
yang dipandang oleh ular besar, saya tidak dapat
memalingkan muka. Sejak itulah, saya bukan saya yang dulu
lagi, Saudara Sumba. Coba, apakah yang akan Saudara
perbuat kalau tiba-tiba hati Saudara terjatuh atau tertinggal di
dalan rumah asing tempat gadis itu berada?"
Banyak Sumba termenung sambil memandang kepada
Raden Girilaya yang tersenyum di hadapannya. Terbayang
olehnya bagaimana dia mengalami hal yang sama ketika
melihat Putri Purbamanik di atas benteng memandang
kepadanya. Seperti yang dikatakan Raden Girilaya, ia pun
seperti seekor monyet yang ditatap ular sanca yang besar,
tidak bisa bergerak dan beranjak dari tempatnya.
"Ah, mengapa Saudara Sumba begitu lama memikirkan
pertanyaan saya itu?" tanya Raden Girilaya agak keheranan.
"Karena ... karena saya tidak tahu apa yang akan saya
perbuat kalau ada gadis yang menyebabkan saya mabuk
kepayang seperti itu," katanya berbohong. Kemudian, berhenti
sejenak, untuk mengambil napas. Banyak Sumba melanjutkan
kata-katanya, "Kalau ada gadis yang punya kekuatan untuk
menggerakkan hati saya seperti itu, saya akan menaiki tingkap
atau benteng rumahnya," katanya. Mendengar itu, Raden
Girilaya agak terkejut.
"Wah, tapi itu sangat berbahaya. Siapa tahu ada badega
atau ponggawa yang melihat kita dan berteriak seolah-olah
kita pencuri dan kita dikeroyok," katanya.
"Bukan kita pencuri, tapi gadis itu yang mencuri hati kita,"
jawab Banyak Sumba bercanda.
"Saudara Sumba yang berani menaiki benteng seperti itu
hanya ada dalam cerita, yaitu cerita Puragabaya Anggadi-pati
ketika perwira hebat itu jatuh cinta kepada seorang gadis di
Kota Medang yang bernama Yuta Inten, kabarnya cantik luar
biasa. Oh, apakah Saudara pernah melihat dan mengenal
gadis termasyhur itu yang sekarang menghilang entah ke
mana?" "Saya ... saya pernah mendengarnya ... tapi saya tidak tahu
... oh ... saya tidak tinggal di dalam kota. Keluarga saya
memiliki puri agak jauh dari kota," katanya berbohong.
"Baiklah, mari kembali pada masalah yang sedang kita
hadapi. Tentu saja saya tidak melompat ke jendela rumah
gadis itu. Saya mencari Mak Comblang yang tidak sedikit
jumlahnya di Pakuan Pajajaran. Dan tidak selang beberapa
hari, saya sudah dapat berhubungan dengan gadis itu.
Namanya Pembayun Wungu, putri sulung keluarga besar
bangsawan di sana dan sayaRaden Girilaya terus
menceritakan pengalamannya, tetapi pikiran Banyak Sumba
terbang ke Puri Purbawisesa, membayangkan Nyai Emas
Purbamanik. Alangkah rindu ia bertemu dengan gadis itu, dan
alangkah jauh rasanya gadis itu sekarang Bukan saja jarak
antara Padepokan Sirnadirasa memang jauh, tetapi nasibnya
yang belum menentu terasa memberikan jarak yang lebih jauh
dan belum tentu dapat ditempuhnya. Ia menundukkan
kepalanya dan sadar bahwa penderitaan Ayunda Yuta Inten
sekarang menimpa dirinya, walaupun tidak tepat benar.
Bagaimanapun, Ayunda terpaksa tidak dapat berhubungan
dengan Pangeran Anggadipati karena permusuhan yang
terjadi antara keluarga Banyak Citra dan keluarga Anggadipati
akibat tindakan kejam Anggadipati sendiri. Ternyata, tindakan
itu mengambil korban lain, yaitu dia sendiri. Seandainya
segalanya tidak terjadi, hubungannya dengan Nyai Emas
Purbamanik tentu akan lancar dan tidak terhambat.
"Saudara Sumba, mengapa Saudara bersedih?" Banyak
Sumba terkejut dan mengangkat kepalanya malu-malu. Raden
Girilaya tidak berkata apa-apa, tetapi pandangan matanya
terus bertanya, "Saya mencintai seorang gadis. Karena
sesuatu, sekarang cinta kami tidak menentu. Itulah sebabnya,
mengapa saya sekarang berada di sini?"
"Oh, jadi Saudara berkelana dan jadi guru ilmu keperwiraan
untuk melupakan kesedihan itu?"
"Ya," jawab Banyak Sumba setelah tertegun sebentar.
Sampai disitulah percakapan mereka ketika itu karena
seseorang datang memasuki gua mereka.
DI PADEPOKAN Sirnadirasa, Banyak Sumba terus berlatih
dengan yang lain. Karena ketekunannya, ilmu baru dari
padetang ilmunya yang baru itu. Banyak Sumba menyadari hal
itu, lalu berkata, "Dari ayahmu, saya belajar kecepatan dan
ketepatan. Dengan bantuan ayahmulah, saya mulai menyadari
bahwa hidup kita sehari-hari dapat menyebabkan semua
anggota badan kita tidak bekerja sesuai dengan
kemampuannya. Oleh karena itu, ketika kita mulai
mempelajari ilmu berkelahi, ayahmu menyuruh kita bergerak
dan mempergunakan seluruh anggota badan kita sebanyak
mungkin. Kita harus melompati jurang-jurang rendah,
menyelundup di bawah dahan-dahan pohon perdu, memanjat,
berguling, merangkak, dan lain-lain. Tanpa kita sadari, kita
menjadi lebih cepat dan lebih lincah daripada kebanyakan
orang. Kita sudah membuktikannya berulang-ulang. Kau pun
tahu, betapa mudahnya kaukalahkan orang-orang di
gelanggang Kutabarang dulu. Itu semua berkat pengajaran
dan latihan ayahmu, Paman Wasis.
"Akan tetapi, kita pun menyadari bahwa pukulan kita paling
kuat hanya sampai membuat orang pingsan, itu pun kalau
mengenai sasaran yang baik. Berbeda halnya dengan pukulan
si Gojin, bukan saja dapat membuat orang pingsan tetapi
dapat meremukkan, bahkan dapat membunuh. Itulah yang
berbulan-bulan, siang malam kupelajari di tempat si Gojin.
Nanti, kalau ada kesempatan, kau pun dapat mempelajarinya
dariku, Sik, juga Kang Arsim, kalau mau."
"Tentu saja saya mau, Raden," ujar Arsim sambil
mendekat. "Nah, suatu hari, dengan keheranan saya melihat
bagaimana Gojin yang tinggi besar itu dijatuhkan berulangulang
oleh seorang kakek-kakek. Ternyata, kakek-kakek ini
adalah seorang resi yang bernama Sirnadirasa. Maka,
kususullah dia ke padepokannya. Di sana, saya mempelajari
tentang tenaga dan keseimbangan. Secara kasarnya,
kupelajari adanya tiga macam tenaga atau penggunaan
tenaga. Pertama tenaga besar, seperti kalau kita sedang
mengangkat batu besar atau mengunci lawan. Tenaga kedua
adalah tenaga ledak, yaitu seperti yang kita pergunakan kalau
kita menyentik telinga anak. Ketiga, tenaga yang mengalir,
seperti yang kita gunakan kalau mengikuti tekanan lawan,
bukan untuk menyerah tetapi mengarahkannya ke arah yang
kita inginkan."
"Lebih baik kita lakukan, Raden, saya ingin sekali
mencoba," kata Jasik.
"Baiklah, Sik, tapi ingin saya simpulkan bahwa dua hal yang
saya dapatkan dalam pengembaraan ini, yaitu di samping
kecepatan dan ketepatan yang saya dapat dari ayahmu, saya
telah mempelajari dan melaksanakan ilmu pukulan dan ilmu
penggunaan tenaga."
Sore itu, ketika para siswa di Perguruan Gan Tunjung
sudah beristirahat, kedua orang panakawannya berjalan ke
tempat-tempat sekitar perguruan. Di tanah lapang yang biasa
dipergunakan oleh siswa-siswa Gan Tunjung berlatih, mulailah
ketiga orang itu bersabung. Kedua orang panakawan itu tidak
berdaya menghadapi tuannya. Seperti permainan, Jasik dan
Arsim dengan mudah dilemparkan atau dikunci oleh Banyak
Sumba. Juga ketika mereka menyerang Banyak Sumba
bersama-sama, keduanya tak mampu merobohkan Banyak
Sumba. Suatu ketika, berhentilah Jasik dan sambil terengah-engah
berkata, "Saya bersyukur kepada Sang Hiang Tunggal yang
telah memberi Raden segala kepandaian itu."
Banyak Sumba duduk di bawah sebatang pohon rindang di
tepi lapangan, diikuti kedua orang panakawannya. "Sekarang,
marilah kita membuat rencana, Sik."
"Kita segera pergi ke Pakuan Pajajaran, mengambil abu


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jenazah Raden Jante. Pulangnya kita lewat Kutawaringin,
kalau mungkin melakukan sesuatu," kata Jasik.
"Itulah yang ada dalam hati saya," kata Banyak Sumba,
"dan kita akan segera ke Panyingkiran." "Ya," ujar Jasik
dengan bersemangat. "Bagaimana dengan Kang Arsim?" "Saya
sudah berkata kepada Jasik, saya tidak usah pergi ke Pakuan
Pajajaran. Saya lebih baik membekali Raden dengan apa yang
mampu saya berikan." -"Sayang sekali, Kang Arsim."
"Saya rasa, saya akan lebih berguna kalau tinggal di sini,
Raden," kata Arsim. Banyak Sumba mengerti dan menghargai
sekali kebijaksanaan panakawannya itu.
"Raden dapat memilih, membawa uang atau saya belikan
kuda," lanjut Arsim.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Kang Arsim. Soal itu,
Jasik akan lebih tahu. Bagaimana, Sik?" Jasik termenung.
SELANG sehari setelah percakapan di lapangan dekat
Perguruan Gan Tunjung, pada subuh berembun, berangkatlah
Banyak Sumba dan Jasik dari perguruan itu. Arsim
mengantarnya sampai lawang kari, lalu melambai sambil
mengucapkan doa. Kedua orang pengembara itu melambai,
lalu memacu kuda mereka masing-masing menuju Kota
Kutabarang. Ketika matahari terbit, mereka berada di dalam
kota. Beberapa perlengkapan dibeli Jasik, lalu kedua orang
penunggang kuda itu berangkat lagi. Dengan melalui gerbang
kota sebelah barat, mereka meninggalkan kota pelabuhan
yang mulai sibuk.
Mula-mula jalan lurus ke barat melalui hutan kecil, humahuma,
dan kelompok kampung-kampung. Ketika hari mulai
panas, jalan mulai membelok ke selatan. Pendakian-pendakian
landai mereka lalui. Sementara itu, kampung-kampung mulai
berpagar tinggi. Hutan-hutan mulai lebat, kadang-kadang
menjangan atau babi hutan melintasi jalan walaupun di siang
bolong. Ketika sore tiba, mereka singgah di sebuah kampung
untuk menginap. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka
berangkat lagi. Pada hari kedua, tengah hari, mereka tiba di
pasar buah-buahan yang letaknya tidak jauh dari Puri
Purbawisesa. "Sik, kita akan menginap di kampung dekat puri," kata
Banyak Sumba sambil memandang ke menara-menara di atas
benteng Puri Purbawisesa. Kerinduannya mulai memberati
hatinya. Dan ketika mereka berjalan mendekati puri itu, berdebardebarlah hadnya.
Apakah kekasihnya masih seperti dulu" Mungkinkah ketika
ia tidak berada di dekatnya, gadis itu berubah pendiriannya"
Hal itu tidak mustahil, pikir Banyak Sumba. Siapakah yang
mau bertunangan dengan seorang buronan seperti dia"
Mungkinkah gadis itu telah membocorkan rahasianya sehingga
Puri Purbawisesa yang penuh dengan kenang-kenangan itu,
sekarang menjadi perangkap baginya" Mungkinkah puri itu
sekarang menjadi tempat malapetaka" Banyak Sumba tidak
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri, tetapi ia
bertekad untuk memasuki puri, apa pun yang akan terjadi.
Kenangannya pada kejadian-kejadian sebelum ia
meninggalkan puri itu, membuatnya seperti mabuk. Ia
mengabaikan segala bahaya yang mungkin menunggunya di
puri itu. Puri itu makin lama makin dekat, akhirnya tibalah Banyak
Sumba danjasik di bawah bayangan dinding yang tinggi.
Ketika itu, matahari sudah condong ke barat. Banyak
Sumba menghentikan kudanya, memandang seluruh puri.
Jasik pun menghentikan kudanya dan berdiri di samping
tuannya. "Kita akan tidur di kampung sebelah selatan itu, Sik. Nanti
malam saya akan memasuki puri setelah saya menyelidiki
apakah orang-orang sudah mengetahui rahasia kita di sini."
"Saya akan menemani Raden," kata Jasik. "Jangan Sik," ujar
Banyak Sumba sambil memandang mata Jasik, menyelidiki
apakah Jasik mencurigai sesuatu. Tampak cahaya mata Jasik
penuh dengan pertanyaan. Banyak Sumba tidak sanggup
berterus terang kepada panakawannya. Kalau ia mengatakan
bahwa ia ingin berjumpa dengan seorang putri, dan untuk itu
menantang bahaya yang mungkin menunggu di sana,
panakawannya akan menyesalinya. Bagaimanapun, berulangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
ulang Banyak Sumba menyimpang dari rencana semula karena
hal-hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan
tugasnya. Banyak Sumba merasa malu oleh panakawannya
itu. Akan tetapi, hatinya berat untuk tidak mengunjungi puri
itu terlebih dahulu sebelum pergi ke Pakuan Pajajaran yang
jauh. "Kalau berbahaya, lebih baik saya ikut." "Tidak, Sik, saya
hanya berkunjung kepada Paman Salti-win," kata Banyak
Sumba berbohong. Memang ia akan berkunjung kepada
Paman Saltiwin, orang tua yang baik hati dan sayang
kepadanya, tetapi bukan Paman Saltiwin yang menariknya
memasuki puri itu. Jasik pun tidak memaksa untuk
menemaninya, walaupun dari cahaya matanya tampak
kecemasan. Tak lama kemudian, mereka melarikan kudanya kembali,
menuju kampung yang tidak jauh letaknya dari puri itu. Di
kampung itu, Banyak Sumba cukup dikenal karena pernah
lama tinggal di sana sambil mengajar anak-anak ponggawa
ilmu berkelahi. Banyak Sumba bertanya tentang berbagai hal
mengenai berbagai peristiwa dan isi puri, tetapi para petani
yang hidup dengan damai itu tidak mengetahui berita-berita.
Mereka tidak tahu apa-apa tentang kejadian-kejadian di dalam
puri. Oleh karena itu, ketika malam tiba dan Banyak Sumba
berjalan ke arah puri, ia tidak tahu, apakah bahaya
menunggunya atau tidak.
Walaupun tidak tahu apa-apa tentang bagaimana sikap
orang di dalam puri itu, Banyak Sumba merasa lebih baik
berhati-hati daripada ceroboh. Ditunggunya malam menjadi
gelap, kemudian ia menyelundup bersama-sama dengan para
pamagersari yang datang paling belakang, memasuki gerbang
yang terbuka sedikit. Ia segera menuju rumah Paman Saltiwin.
Hatinya berdebar-debar, bukan karena merasa berada dalam
bahaya, tetapi karena ia berada di tempat kekasihnya berada.
Paman Saltiwin merangkulnya dan bertanya dengan suara
nyaring, Banyak Sumba berbisik dan meminta agar mereka
bicara perlahan-lahan. Banyak Sumba menerangkan
kedatangannya, kemudian bertanya keadaan di puri
sepeninggalnya. Ia bertanya tentang Tuan Putri.
"Tak ada perubahan, Raden. Tak ada yang perlu Raden
takuti di sini, walaupun Raden sedang melaksanakan tugas
rahasia. Mengenai Tuan Putri, segera setelah Raden pergi,
beliau juga berangkat ke Pakuan Pajajaran. Asih beliau bawa.
Dari Asihlah, Paman tahu bahwa ... antara Raden dan Tuan
Putri telah terjalin kasih sayang."
Perkataan orang tua itu menyenangkan hati Banyak
Sumba, tetapi juga menggugah kerinduan dan sedikit
kekecewaan. Walaupun begitu ia tetap bertanya, "Paman, tahukah
Paman mengapa Tuan Putri berangkat ke Pakuan Pajajaran?"
"Sama sekali tidak tahu, Raden. Tuan Putri tidak
mengatakan apa-apa. Yang Paman tahu, Ayahanda Pangeran
Pur-bawisesa berada di sana."
Mendengar penjelasan itu, Banyak Sumba termenung.
Mungkinkah gadis yang dicintainya itu pergi ke Pakuan
Pajajaran untuk memberitakan tentang dia, tentang di mana
dia berada, dan apa yang hendak dilakukannya" Pertanyaan
itu mulai menyiksanya. Mungkinkah kekasihnya, gadis yang
selama ini dicintainya, mengkhianatinya dengan menyebarkan
berita tentang dirinya di kalangan bangsawan-bangsawan
tinggi di Pakuan Pajajaran" Pertanyaan-pertanyaan itu bagai
pukulan yang bertubi-tubi menimpa kepalanya. Banyak Sumba
menunduk. "Raden, jangan berkecil hati. Tidak sukar mencari tempat
Pangeran Purbawisesa, walaupun Pakuan Pajajaran sangat
luas dan orang sangat banyak di sana," kata Paman Saltiwin
ketika melihat Banyak Sumba murung oleh penjelasannya
"Terima kasih, Paman. Saya akan menemukannya di
Pakuan Pajajaran," ujar Banyak Sumba, seolah-olah katakatanya
meluncur dengan sendirinya. Lalu, mereka pun
bercakap-cakap tentang itu dan ini. Larut malam Banyak
Sumba diantar ke gerbang puri, lalu keluar melalui pintu kecil.
Malam itu, Banyak Sumba sukar memicingkan matanya.
Subuh-subuh ia membangunkan Jasik. Mereka pun segera
berangkat. SETELAH empaj hari berada di perjalanan, termasuk satu
hari untuk istirahat kuda mereka, pada hari kelima, tampak
menara-menara jaga Kota Pakuan Pajajaran yang tingginya
melebihi pohon kelapa. Banyak Sumba mempercepat lari
kudanya dijalan yang lebar, diikuti Jasik yang juga tidak sabar
untuk segera memasuki kota. Akan tetapi, perjalanan mereka
tidak dapat dilakukan dengan cepat karena makin dekat
dengan kota, makin banyak orang yang lalu-lalang. Demikian
juga, berbagai macam kendaraan, kereta, dan pedati beriringiring
ke segala arah, yang pusat perjalanannya adalah kota
yang megah dan besar.
Setelah beringsut-ingsut, akhirnya kedua orang
pengembara itu dapat juga mencapai gerbang kota. Mereka
masuk ke tengah-tengah kesibukan kota yang menyebabkan
mereka keheranan.
Begitu banyak orang, jalan-jalan yang lebar, kendaraan,
dan bangunan-bangunan dari batu bata atau kayu yang
megah. Entah berapa lama mereka menjelajahi jalan lebar itu.
Banyak Sumba berkata, "Sik, sudah saatnya kita mencari
tempat menginap."
"Ya, Raden. Kita punya banyak kesempatan melihat-lihat
kota nanti," ujar Jasik yang tampak masih belum puas
menikmati tamasya kota itu. Setelah itu, mereka menepi,
turun dari kuda masing-masing. Banyak Sumba bertanyatanya
kepada orang-orang yang berada di dekatnya tentang
tempat menginap di dalam kota. Beberapa tempat ditunjukkan
orang, tetapi ketika Banyak Sumba dengan panakawannya ke
tempat-tempat menginap itu, semuanya sudah penuh.
Akhirnya, Banyak Sumba memutuskan untuk menginap di
kampung di luar kota. Jasik tampak kecewa, tetapi tak ada
pilihan lain kecuali meninggalkan kota itu untuk sementara.
Maka, kedua orang pengembara itu pun berangkat ke arah
gerbang kota sebelah utara, lalu menuju kampung terdekat.
Tidak sukar bagi mereka untuk menemukan tempat menginap
dan menitipkan kuda.
Akhirnya, beristirahatlah mereka. Banyak Sumba
merenungkan bagaimana cara mereka mengambil abu jenazah
Jante Jaluwuyung.
Sambil duduk-duduk di serambi rumah tempat mereka
menginap, Banyak Sumba berkata kepada Jasik, "Sik,
sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu di mana abu
jenazah Kakandajantc diletakkan di dalam kuil itu. Kalau tidak,
saya takut kita akan membuang waktu lebih banyak. Itulah
sebabnya, kita akan menyelidiki dulu bentuk kuil itu."
''Tidakkah hal itu akan menimbulkan kecurigaan?" tanya
Jasik. "Tentu saja kita harus berusaha agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Di samping itu, kita tidak akan bertanya kepada
orang-orang yang mungkin mencurigai kita."
"Kalau perlu, saya saja yang memasuki kuil itu, Raden.
Raden dapat berjaga-jaga di luar."
'Justru sebaliknya, Sik. Sayalah yang masuk, kau yang .
berjaga di luar," kata Banyak Sumba.
"Baiklah, saya akan mencoba mengobrol dengan penjaga
kuil itu. Kalau dia lengah, Raden segera memasuki kuil."
"Mungkin saya tidak akan memasukinya dari jalan biasa,
Sik. Kalau perlu, saya akan masuk dari atas, melalui pohon,
seandainya di sana ada pohon tinggi yang dapat saya jadikan
jembatan."
"Baiklah, kalau begitu, akan lebih mudah tugas saya,
Raden." "Mudah-mudahan," kata Banyak Sumba. Hatinya mulai
berdoa. Tiba-tiba ia tertegun, teringat kepada Putri
Purbamanik. Kesadaran bahwa ia berada di dekat gadis yang
dicintainya itu, menyebabkan kerinduan menyesak dalam
dadanya. "Kita akan memasuki kota pada sore hari, ketika orangorang
mencari hawa, Sik," katanya. Setelah tertegun sebentar,
ia melanjutkan perkataannya, "Kita akan melihat-lihat tamasya
kota sambil menyelidikinya." Dalam hatinya, Banyak Sumba
berdoa, mudah-mudahan ia dapat bertemu dengan
kekasihnya. Sore itu, sebelum matahari dekat benar ke
puncak-puncak bukit di sebelah barat, kedua orang
pengembara itu berangkat dari kampung tempat mereka
menginap dan memasuki ibu kota kerajaan melalui gerbang
sebelah utara. Ketika menikmati tamasya kota dan orang-orang yang hilir
mudik di sana, tak henti-hentinya mata Banyak Sumba
mencari-cari, kalau-kalau ia dapat bertemu dengan gadis yang
dirindukannya. Akan tetapi, di antara begitu banyak orang ia
tidak melihat gadis yang dicintainya itu.
"Sik, mari kita melihat-lihat istana sang Prabu," katanya
kepada Jasik. Ia berharap dapat bertemu Putri Purbamanik di
sekitar istana itu.
"Mari, Raden, saya pun ingin sekali melihat istana untuk
saya ceritakan nanti kepada orang-orang di kampung kita,"
kata Jasik. Mereka bergegas mengikuti jalan besar menuju pusat kota
karena di sanalah istana sang Prabu berada. Makin mendekad
tengah-tengah kota, makin banyak orang yang sedang
beristirahat dan menghibur diri. Dan ketika mereka berada
beberapa ratus langkah lagi dari istana, begitu banyaknya
orang di lapangan luas sekitar istana, hingga Banyak Sumba
bertabrakan dengan pejalan-pejalan yang lain. Akhirnya,
tibalah kedua orang pengembara itu ke suatu tempat yang
batasnya dibuat dari pohon bunga-bungaan. Dari seberang
batas itu terdapat taman yang indah sekali, di belakang taman
menjulang bangunan besar yang atapnya terbuat dari batu
berukir, bata, dan kayu. Pada bagian-bagian tertentu, kayukayu
berukir itu kayu cendana yang harum baunya. Banyak
Sumba memandang bangunan itu dari jauh dengan penuh
kekaguman.

Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tidak berani melangkahi batas yang terdiri dari pohon
bunga-bungaan itu. Bukan karena taman di seberang batas itu
begitu indah, tetapi tidak ada orang lain yang berani
menyeberangi batas itu. Banyak Sumba termenung saja,
kagum memandangi istana yang ada di seberang batas itu.
Jasik terdengar bercakap-cakap tidakjauh dari tempatnya
berdiri. Jasik terdengar bertanya, 'Apakah tidak diperbolehkan
orang memasuki daerah di dalam batas kebun bunga itu?"
tanya Jasik. "Rupanya Saudara pendatang," ujar yang ditanya.
"Ya, kami datang dari Kota Medang," kata Jasik.
"Oh, alangkah jauhnya. Tentu Saudara tidak tahu soal
batas ini. Memang, kebun bunga yang melingkari taman yang
lebih dalam ini batas. Akan tetapi, tidak berarti orang dilarang
mendekati istana. Bagaimanapun, istana itu milik seluruh
warga kerajaan. Saudara tahu, kayu-kayu, batu-batu, dan
bata-bata itu diambil dari seluruh kerajaan. Setiap sungai di
seluruh Pajajaran memberikan batunya, setiap hutan
memberikan kayu-kayunya, sedangkan bumi Pajajaran
memberikan tanahnya yang dibuat jadi batu bata. Mengapa
orang tidak mau mendekati istana dan merasa puas berjalan
di dalam jarak tertentu" Karena rakyat tahu, di istana orang
tidak sedang bersenang-senang. Di sana, orang bekerja
karena banyak urusan. Orang-orang tidak mau berisik di
tempat-tempat yang terlalu dekat ke istana. Kalau sang Prabu
sedang beristirahat, mereka akan merasa menyesal kalau
mengganggu dengan tidak sengaja. Saya pun tidak mau
melintasi kebun bunga ini kalau tidak terpaksa. Saya cukup
puas kalau mengunjungi istana pada hari-hari upacara saja,"
kata orang itu. Setelah itu, Jasik berkata lagi, "Kami ingin
sekali mengetahui tempat kuil penyimpanan abu jenazah."
"Oh, di sebelah barat. Nah, puncaknya dapat Saudara lihat
dari sini, di belakang pohon pakis haji itu."
"Terima kasih," kata Jasik. Ia mendekati Banyak Sumba,
lalu berkata, "Raden, hari makin senja."
Mereka berpandangan. Banyak Sumba masih penasaran
untuk dapat bertemu dengan Nyai Emas Purbamanik, tetapi
hari memang sudah menuju senja, tugas berat menunggunya.
Maka, tanpa berbicara, ia melangkah ke arah barat diikuti
panakawannya yang setia.
Tak lama kemudian, mereka tiba di kuil itu. Banyak Sumba
kecewa melihat kuil itu dijaga ketat sekali. Di gerbang depan,
berdiri empat orang bersenjata tombak, sementara pintu-pintu
kecil kalau tidak tertutup, masing-masing dijaga oleh seorang
gulang-gulang. Banyak Sumba berpaling kepada Jasik.
"Heran, Raden, seharusnya tidak perlu penjagaan ketat,
apalagi pada senja hari, ketika orang-orang membawa sajen,"
kata Jasik. Banyak Sumba melangkah mendekad Jasik, lalu dengan
setengah berbisik ia berkata, "Bagaimana kalau kita pura-pura
membawa sajen dan masuk kuil setelah agak remangremang?"
"Itu tidak mungkin, Raden. Menurut keterangan bapak
tempat kita menginap, hanya orang-orang yang dikenal
penjaga yang diizinkan masuk."
"Aneh," ujar Banyak Sumba, "apakah bapak tempat kita
menginap mengatakan hal-hal lain, misalnya apa sebabnya
penjagaan begitu ketat?"
"Saya tidak berani bertanya lebih banyak, Raden. Saya
takut si Bapak menjadi curiga karena pertanyaan-pertanyaan
saya itu."
Banyak Sumba diam, kemudian mereka melangkah.
Beberapa kali mereka berjalan mengelilingi kuil yang besar itu.
Mereka berjalan di antara orang-orang yang sedang
menikmati udara senja yang sejuk. Mereka bertindak seperti
orang lain, pura-pura jalan-jalan agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Ketika melihat balai-balai yang kosong di taman
sebelah kiri kuil, mereka duduk di sana sambil melihat-lihat
orang-orang yangjuga duduk-duduk di balai-balai sambil
beristirahat atau bercengkerama. Tak berapa lama kemudian,
datang seorang kakek-kakek tua menuntun anak kecil,
mungkin cucunya. Kakek-kakek itu berdiri sejenak dekat
mereka, kemudian berkata. "Maaf, Anak-anak Muda, lutut
kakek gemetar kalau terlalu banyak berjalan, bolehkah ikut
duduk?" "Silakan, Kakek," kata Banyak Sumba dan Jasik bersamaan.
Orang tua itu membiarkan cucunya berlari-lari di lapangan,
sementara ia duduk di balai-balai tempat kedua orang
pengembara itu duduk. Setelah beberapa lama terdiam,
berkatalah kakek-kakek itu. "Di masa kakek muda, penghuni
Pakuan tidak sebanyak ini. Sekarang, hampir tidak ada jalan
yang aman untuk orang tua, kereta-kereta simpang siur,
pejalan-pejalan yang tergesa-gesa mungkin menyenggol dan
menyebabkan orang tua terjatuh."
"Kakek, apakah dulu kuil ini dijaga seperti sekarang?" tanya
Jasik. Kakek itu berpaling kepada Jasik, lalu mendekatkan
telinganya. Jasik mengulang pertanyaannya, "Apakah waktu
Kakek muda, kuil ini dijaga seperti sekarang?"
"Oooh, tidak, tidak, Anak Muda. Belum lama kuil ini dijaga.
Biasanya hanya kuncen yang ada di sana. Kira-kira, musim
panen yang lalu terjadi keributan, tentu Anak Muda tidak tahu.
Anak Muda datang dari mana?"
"Dari Kota Medang, Kakek."
"Oooh, pantas. Beberapa bulan yang lalu, ada orang yang
mencoba mencuri pundi-pundi abu jenazah. Oleh karena itu,
sekarang kuil dijaga ketat," kata kakek-kakek itu. Banyak
Sumba hampir tersentak dari duduknya.
"Mencuri abu jenazah" Bagaimana hal itu terjadi, Kakek?"
"Oooh, begini Anak Muda. Barangkali engkau pernah
mendengar ada seorang puragabaya yang gila. Puragabaya ini
menjadi gila dan membunuh banyak bangsawan di hutan
dekat Kutabarang. Nah, terpaksa kawan-kawannya dari
Padepokan Tajimalela menangkapnya. Tetapi ketika hendak
ditangkap, puragabaya gila ini melawan dan terjatuh ke dalam
jurang. Sahabat-sahabatnya sangat bersedih, lalu dengan
segala upacara besar membakar dan menyimpan abu
jenazahnya dalam kuil para pahlawan ini. Tapi, tentu saja ada
orang yang tidak setuju abu jenazah puragabaya itu disimpan
dalam kuil sebagaimana haknya, walaupun puragabaya itu
gila. Dalam adat kerajaan, setiap puragabaya"tidak
disebutkan waras atau gila"kalau meninggal, abunya berhak
disimpan dalam kuil agung ini. Tapi tentu saja, keluarga
bangsawan-bangsawan yang terbunuh oleh puragabaya itu
tidak setuju. Mereka beranggapan bahwa puragabaya yang
pernah membunuh bangsawan Pajajaran, tidak berhak abunya
disimpan dalam tempat yang mulia. Itulah sebabnya,
beberapa bulan yang lalu, ada serombongan pemuda yang
mencoba mengambil guci abu jenazah puragabaya itu.
Untung, kuncen berteriak-teriak dan banyak jagabaya di
tempat ini, hingga maksud itu dapat digagalkan."
Sementara kakek-kakek itu berkata-kata, berulang-ulang
Jasik dan Banyak Sumba berpandangan. Banyak Sumba baru
menyadari bahwa semua yang diceritakan kakek-kakek itu
benar-benar suatu hal yang tidak mustahil. Di samping itu, ia
pun menyadari, ternyata tugasnya yang pertama itu tidak
dapat dipandang sebagai tugas yang enteng. Sekarang, kuil
itu dijaga dengan ketat. Ia pun menyadari, ancaman Wangsa
Wiratanu untuk menghinakan abu jenazah Kakanda Jante
Jaluwuyung bukan sekadar ancaman. Ternyata, ancaman itu
hampir terlaksana.
Seraya termenung, Banyak Sumba terkenang
pengalamannya ketika Raden Bungsu Wiratanu merebut
kudanya di Kutawaringin. Tentu kesatria berandalan semacam
itu yang memimpin usaha pengambilan abu jenazah Kakanda
Jante. Rupanya, dinasibkan baginya untuk berhadapan dengan
keluarga Wiratanu, demikian pikir Banyak Sumba. Ia ingin
sekali dapat kesempatan berhadapan dengan Raden Bungsu
Wiratanu untuk mengembalikan penghinaannya. Bukan saja
karena orang itu telah merebut kudanya, tetapi juga telah
berani hendak menghinakan abu jenazah anggota keluarga
wangsa Banyak Citra. Banyak Sumba mendengus. Jasik melirik
kepadanya. "Kakek," kata Jasik, "Adakah di antara pencuri abu jenazah
itu tertangkap?"
"Wah, sialnya tidak ada yang tertangkap. Mereka rupanya
orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan itu. Mungkin
mereka pencuri-pencuri yang disewa," lanjut kakek-kakek itu.
Setelah termenung, kakek-kakek itu berkata, "Ya, mungkin
mereka pencuri-pencuri yang dibayar. Orang yang menyuruh
mereka sebenarnya hanya perlu dengan isi guci, yaitu abu
jenazah. Mungkin sekali gucinya akan diambil oleh pencuripencuri
itu dan dijual. Saya tahu, guci abu jenazah
puragabaya itu bagus sekali. Kata orang, dibuat di negeri
Katai. Sengaja didatangkan ke sini oleh Pangeran Anggadipati,
sahabat karib puragabaya yang gila itu. Kakek pernah melihat
guci yang indah itu dengan tulisan pada landasan kayu yang
menjadi tatakannya. Kalau tidak salah, tulisan itu menyatakan
tanda kasih sayang dari Pangeran Anggadipati kepada si mati.
Memang, Pangeran Anggadipati ini sering sekali datang ke kuil
untuk berdoa dan membawa bunga-bunga yang segar.
Menurut berita, sebenarnya si mati itu calon ipar Pangeran
Anggadipati ini, tapi Kakek lupa lagi bagaimana ceritanya. Tapi
cerita-cerita tentang Pangeran Anggadipati dan si mati sering
sekali dinyanyikan oleh juru-juru pantun."
Percakapan antara kakek-kakek itu dan Jasik terus
berlangsung. Akan tetapi, Banyak Sumba mulai terpecah
perhatiannya. Ia sangat tertarik oleh keterangan-keterangan
kakek-kakek itu, tetapi suatu persoalan mulai mengganggu
pikirannya. Benarkah Anggadipati telah menyediakan guci
yang bagus dan mengunjungi kuil untuk membaca doa-doa
dan membungai abu jenazah Kakanda Jante" Seandainya hal
itu benar, tidakkah hal itu bertentangan dengan anggapan
Ayahanda dan ia sendiri bahwa Anggadipati sebenarnya iri dan
benci terhadap Kakanda Jante"
Ketika peristiwa yang menyedihkan itu terjadi, yaitu ketika
Kakandajante terbunuh, datang dua rombongan keluarga
Banyak Citra. Kedua rombongan itu membawa berita yang
berbeda. Rombongan yang pertama menyatakan Kakanda
Jante dibunuh dengan keji. Rombongan kedua menyatakan
Kakanda jante tidak sengaja terbunuh. Ayahanda memilih
berita yang pertama dan upacara ikrar pembalasan dendam
pun dilakukan di lapangan Kota Medang. Semenjak itu,
Banyak Sumba beranggapan bahwa Kakanda jante dibunuh
karena akan menjadi puragabaya yang terlalu perkasa. Akan
tetapi, berulang-ulang ia mendengar kisah yang lain dari
tukang pantun ataupun dari rakyat biasa. Umumnya, ceritacerita
itu menyatakan bahwa Pangeran Anggadipati sangat
kasih kepada Kakanda jante dan kematian itu karena
kecelakaan. Ia mencoba untuk tidak memercayai cerita-cerita
itu, akhirnya ia pun bimbang. Sekarang, cerita itu terdengar
lagi dari kakek-kakek itu. Cerita terakhir tentang perhatian
Anggadipati pada abu jenazah Kakandajante sungguhsungguh
mengguncangkan keyakinannya. Ia benar-benar
bimbang. Siapa tahu Anggadipati memang benar-benar
seorang kesatria budiman, seperti dikisahkan dalam nyanyian
tukang-tukang pantun dan cerita-cerita rakyat kerajaan yang
mencintai puragabaya itu.
"Raden," kata Jasik. Banyak Sumba bangkit dari
renungannya. Hari menuju malam, cuaca remang-remang,
orang-orang mulai beranjak untuk pulang. Obor-obor mulai
dipasang di sepanjang jalan. Lampu-lampu minyak
bergantungan di depan rumah.
"Mari kita pergi dari sini, Sik," kata Banyak Sumba seraya
berdiri. Jasik mengucapkan selamat berpisah dan terima kasih
kepada kakek-kakek yang mulai memanggi1 cucunya. Mereka
berjalan ke suatu jalan agak sunyi, tidak jauh dari kuil itu. Di
tempat itu, Banyak Sumba berhenti dan untuk pertama kalinya
menyatakan kebimbangannya kepada panakawannya, "Sik,
saya sungguh-sungguh menjadi bimbang sekarang. Kau tahu
bahwa salah satu tugasku adalah membunuh Anggadipati.
Akan tetapi, kau pun mendengar bagaimana orang bercerita
tentang kisah kematian Kakanda Jante. Kisah itu umumnya
bertentangan dengan anggapan Ayahanda dan anggapanku.
Anggadipati tidak bersalah, Anggadipati sayang kepada
Kakanda. Saya tidak percaya, tetapi cerita kakek-kakek itu
sungguh mengguncangkanku, Sik."
"Kita dapat menyelidiki kebenaran kisah itu, Raden. Masih
ada waktu bagi kita untuk menyelidikinya setelah tugas
pertama kita selesai. Marilah kita ambil dulu abu jenazah itu.
Siapa tahu, dari tulisan pada guci abu jenazah, kita akan
mendapat keterangan lebih lanjut tentang kisah itu."
Setelah termenung sebentar, berkatalah Banyak Sumba,
"Saya tidak merasa menyesal dengan gagalnya rencana saya
membunuh Anggadipati dengan pisau itu, Sik. Siapa tahu
kalau saya berhasil membunuhnya, ternyata saya membunuh
orang yang tidak bersalah. Kalau begitu, apa yang akan terjadi
pada Ayunda Yuta Inten?"
Banyak Sumba menarik napas panjang karena lega. Dalam
hatinya, ia bersyukur tidak jadi membunuh puragabaya itu. Ia
tahu, Ayunda Yuta Inten mencintai Pangeran Anggadipati
dengan seluruh jiwa raganya, dengan seluruh hidupnya, apa
pun yang dikisahkan orang tentang puragabaya itu. Ia tahu
bahwa Ayunda Yuta Inten terus-menerus bertapa demi
kepentingan keluarga dan juga orang yang dikasihinya itu.
Alangkah sengsara hidup Ayunda Yuta Inten dan alangkah
tabahnya wanita yang disayanginya itu. Ia merasa hormat dan
rindu kepada ayundanya. Ia ingin berbuat sesuatu yang
membahagiakan Ayunda, tetapi selama ini, dukacita wanita
itulah yang dicarinya.
Sekarang, ia mulai bimbang. Tanpa disadarinya, ia mulai
berharap semoga kakek-kakek itu yang benar supaya ia tidak
harus membunuh Pangeran Anggadipati dan Ayunda Yuta
Inten tidak harus berdukacita. Semangatnya bangkit untuk
segera mengambil abu jenazah itu dan ia berpaling kepada
Jasik yang dengan teliti mengawasi kuil itu dari tempat gelap.
"Sik, barangkali Sang Hiang Tunggallah yang
menghalangiku ketika pisau beracun itu akan kulemparkan
terhadap puragabaya itu," kata Banyak Sumba, kemudian ia
melanjutkan perkataannya, "Mudah-mudahan, tulisan pada
guci itu membesarkan harapan-harapanku."
"Raden, penjaga-penjaga di samping kiri meninggalkan


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tempatnya," kata Jasik. Banyak Sumba memandang ke arah
itu. 'Sik, janganlah kau terlalu memikirkan penjaga-penjaga itu,
mereka bukan persoalan yang berat. Yang perlu kita pikirkan,
ke mana kita akan lari setelah menemukan guci itu?"
Jasik memandang Banyak Sumba dengan penuh
pertanyaan. Banyak Sumba terdorong untuk menjawab,
"Begini, Sik. Saya terpaksa akan memukul salah seorang atau
dua orang penjaga sampai pingsan, lalu kita memasuki kuil.
Kita akan mengambil guci itu, lalu melarikan diri. Yang penting
sekarang adalah menentukan jalan-jalan yang akan kita lalui
ketika melarikan diri."
"Tapi..."kata jasik. Ia tidak melanjutkan perkataannya.
Sebagai seorang yang telah biasa bergaul dengan anggota
wangsa Banyak Citra, ia percaya bahwa anggota wangsa
Banyak Citra dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Ia
percaya kepada Banyak Sumba dan siap menuruti
perintahnya. "Sekarang, ikutilah saya," kata Banyak Sumba. Mereka pun
berjalan, tidak menuju kuil, tetapi mengelilingi kuil. Di suatu
mulut lorong, Banyak Sumba berhenti. Ia berkata, "Lorong
inilah yang paling sepi. Kalau kita melarikan diri ke sini, tidak
akan-terlalu banyak orang yang melihat kita."
Jasik memandang ke arah lorong itu. Dilihatnya hanya
beberapa pintu rumah yang masih terbuka dan memancarkan
cahaya lampu ke arah jalan. Sementara itu, beberapa orang
tua masih bercakap-cakap di halaman.
"Raden, kalau rencana kita undurkan waktunya sebentar,
mungkin lorong ini akan lebih sepi lagi."
"Tidak, Sik. Saat ini tidak disangka orang sebagai waktu
untuk melakukan pencurian guci itu. Kalau malam sudah
sedikit larut, para jagabaya mulai meronda. Kita akan mudah
disergap oleh orang-orang yang bersenjata seperti para
jagabaya. Orang-orang yang tidak bersenjata merupakan
persoalan yang lebih kecil bagi kita."
Jasik rupanya mengerti. Banyak Sumba pun mulai berjalan
menuju salah satu pintu kuil sebelah kiri, tempat berdiri dua
orang penjaga. "Raden, apakah yang akan Raden lakukan?" "Saya akan
memukul penjaga-penjaga itu sampai pingsan lalu kita masuk
ke dalam kuil. Mungkin kau akan menunggu di luar untuk
berjaga, tetapi kalau tidak perlu, kau boleh masuk bersama
saya." Jasik tidak menjawab, ia mengikuti majikannya yang
melangkah dengan tenang ke arah pintu kuil di sebelah kiri
itu. Setiba mereka di sana, kira-kira beberapa langkah lagi dari
para penjaga, salah seorang dari para penjaga itu mendekati
mereka sambil mengawasi wajah mereka dalam cahaya
remang lampu-lampu minyak.
"Hai, siapakah Ki Silah ini?" katanya.
"Kami pengembara," sahut kedua orang pengembara itu.
"Mau ke mana, Saudara-saudara" Tidakkah Saudarasaudara
beristirahat di malam yang gelap ini?"
"Kami pendatang dan tidak menginap di dalam kota,"
jawab Banyak Sumba.
"Tapi, sebentar lagi gerbang kota ditutup," kata penjaga
itu, kecurigaannya mulai berkurang.
"Kami berjanji untuk bertemu dengan teman di sini, lalu
kami ke luar kota bersama-sama. Teman kami sedang ada
urusan dengan saudaranya di sebelah barat."
Penjaga itu sudah kehilangan curiganya, rupanya, terutama
karena tampak Banyak Sumba seorang yang sangat lemah
lembut sikapnya.
"Sudah lamakah Saudara menjadi penjaga di kuil ini."
"Ah, baru musim panen yang lalu, semenjak ada usaha
pencurian guci puragabaya Jante Jaluwuyung."
"Pencurian?" kata Banyak Sumba, pura-pura heran.
"Ya, tapi tentu saja gagal. Pencuri-pencuri yang akan
menghinakan abu jenazah akan terkutuk untuk selamalamanya,"
kata penjaga itu.
"Untuk apa pencuri-pencuri itu menghinakan abu jenazah?"
tanya Banyak Sumba untuk lebih menghilangkan kecurigaan
penjaga itu. Ketika itu, penjaga yang lain mendekat dan ikut mengobrol.
Penjaga baru itu berkata, "Wah, tentu Saudara pendatang."
"Memang," kata Banyak Sumba, "dan kami merasa aneh
kalau ada orang yang mencoba mencuri abu jenazah."
"Kisahnya begini. Puragabaya Jante Jaluwuyung ini seorang
puragabaya yang hebat. Ia membunuh beberapa orang
bangsawan. Di antara yang terbunuh adalah anggota wangsa
Wiratanu dari Kutawaringin dan satu keluarga bangsawan di
Kutabarang. Nah, saudara-saudara korban ini tentu saja ingin
membalas dendam. Mereka berusaha membalas dendam
terhadap saudara-saudara dan anggota keluarga puragabaya
Jante Jaluwuyung. Akan tetapi, menurut cerita orang, keluarga
puragabaya ini menghilang. Itulah sebabnya, pembalasan
dendam mereka lakukan terhadap abu jenazah puragabaya
itu. Mereka mencoba mencuri abu jenazah ini untuk
menghinakannya. Sayang mereka tidak tertangkap. Kalau
tertangkap, kita akan mengetahui, apakah pencuri itu datang
dari Kutawaringin atau Kutabarang."
"Tapi, bagaimana saudara tahu bahwa pencuri-pencuri itu
akan menghinakan abu jenazah ... puragabaya itu?"
"Kuncen kuil mengatakan, ketika mereka dba di tempat
guci itu, salah seorang pencuri itu berseru kepada kawankawannya.
Ini dia, abu si Jahanam itu!"
"Oh!" kata Banyak Sumba. Ketika itu, kedua orang penjaga
berdiri berdampingan satu sama lain, tapi tidak terlalu dekat.
Banyak Sumba mengharapkan mereka berdiri lebih
berdekatan. Ia bertanya, "Apakah ada anggota-anggota
keluarga puragabaya itu yang sering datang menjenguk abu
dan berdoa di sini?"
"Saya sudah katakan tadi, anggota keluarga si mati itu
menghilang, mungkin karena takut oleh pembalasan dendam.
Akan tetapi, Pangeran Anggadipati selalu datang ke sini.
Setiap hari besar, beliau datang membawa bunga dan berdoa
di sini," katanya.
"Saya pernah melihat beliau menangis di depan guci itu,"
kata penjaga yang lain.
"Mereka bersahabat karib dan sudah seperti saudara ketika
Puragabaya jante Jaluwuyung ini hidup. Bahkan, saya dengar,
Pangeran Anggadipati sudah bertunangan dengan adik
perempuan Puragabaya jante Jaluwuyung itu. Kasihan kalau
saya melihat Pangeran Anggadipati datang ke sini. Begitu
bermuram durja beliau. Saya pernah mendengar Pangeran
Anggadipati berkata kepada Puragabaya Rakean. Pangeran
Anggadipati menyatakan, kalau saja ia tahu di belakangnya
ada jurang, ia tidak pernah akan menghindarkan diri waktu
diserang oleh Jante Jaluwuyung yang sedang kemasukan itu.
Ketika itu, Puragabaya Rakean berkata kalau Pangeran
Anggadipati menahan serangan Jante Jaluwuyung, yang akan
menjadi korban akan lebih dari seorang, bukan Jante saja
tetapi juga Pangeran Anggadipati. Memang, peristiwa itu suatu
kecelakaan yang menyedihkan sekali. Saya mengerti mengapa
Pangeran Anggadipati begitu bersedih hati."
"Saya mendengar bahwa guci tempat abu jenazah
puragabaya yang mati itu sangat indah," kata Banyak Sumba.
"Memang, yang paling indah di antara guci-guci
puragabaya yang lain. Pangeran Anggadipati mendapatkannya
dari sahabatnya yang mengembara ke negeri Katai," kata
penjaga itu. "Saya belum pernah melihat cinta seorang sahabat seperti
diperlihatkan Pangeran Anggadipati kepada si mati," kata
penjaga yang lain.
"Pangeran Anggadipati seorang budiman. Ia selalu baik
terhadap orang-orang di sekelilingnya. Bahkan ketika ia
mendapat laporan abu jenazah akan dicuri, tidak marah. Ia
hanya berkata bahwa usaha pencuri-pencuri itu dapat
dimengerti. Walapun begitu, katanya, para pencuri itu akan
mengurungkan maksudnya kalau mereka tahu bahwa Jante
Jaluwuyung tidak bersalah karena puragabaya itu membunuh
dalam keadaan tidak sadar. Dan, kata Pangeran Anggadipati,
sebenarnya tidak sepantasnya mereka meneruskan balas
dendam kepada orang yang tidak berdaya seperti si mati yang
sudah tidak akan melawan. Pembalasan dendam itu hanya
akan mengotorkan tangan mereka di mata Sang Hiang
Tunggal." "Ya, Pangeran Anggadipati itu sangat pengampun," kata
penjaga yang satu.
"Ia seorang pendeta yang perwira atau ia seorang
pahlawan yang juga bersifat pendeta."
"Ia seorang puragabaya sejati," kata kawannya. "Saya
mengerti sekarang, mengapa beliau begitu banyak
dinyanyikan oleh tukang-tukang pantun dan dipuja-puja dalam
cerita-cerita rakyat."
Kedua orang penjaga itu sekarang duduk berdampingan.
Sebenarnya, Banyak Sumba kasihan kepada penjaga-penjaga
itu, dua orang baik yang ramah kepadanya. Sambil meminta
maaf kepada kedua orang penjaga itu, Banyak Sumba
menghantamkan tinju kanannya ke ulu hati yang satu,
sedangkan tinju kirinya menyusul menghantam ulu hati yang
lain. Pelajaran yang diterimanya dari si Gojin tidak
mengecewakannya. Kedua orang penjaga itu terjatuh dan
tidak bergerak lagi. Mereka pingsan sebelum menyadari
bahwa mereka diserang.
"Sik, sembunyikan di tempat gelap," kata Banyak Sumba
seraya mengangkat salah satu korbannya dan membawanya
ke bawah bayangan kuil, lalu membaringkannya. Jasik yang
kagum melihat daya pukul tuannya, tertegun sejenak, lalu
segera mengikuti tindakan tuannya. Kedua penjaga itu
dibaringkan di tempat tersembunyi. Untuk lebih
menyembunyikan keduanya, sarung hitam yang mereka pakai
ditutupkan pada mereka. "Mari kita masuk, Sik."
"Tidakkah lebih baik saya menunggu di luar?" "Tidak perlu,
Sik." "Bagaimana kalau penjaga lain datang ke pintu itu?"
"Mereka tidak akan segera menemukannya dan kita sudah
akan menemukan guci itu," ujar Banyak Sumba sambil
menyeret tangan Jasik.
Jasik menurut dan mereka mengendap-endap memasuki
kuil. Mereka berjalan di lorong yang remang-remang diterangi
lampu-lampu minyak. Lampu kecil yang berkelap-kelip itu
makin suram cahayanya karena asap dupa yang tebal
mengalun memenuhi ruangan. Dalam cahaya remang itu,
Banyak Sumba melihat bunga-bunga rampai berserakan di
lantai, sementara dinding lorong kuil dipenuhi guci-guci indah
tempat jenazah.
Sebagai seorang bangsawan, Banyak Sumba mengetahui
bahwa guci-guci pada lorong pertama adalah tempat abu
jenazah para ponggawa kerajaan yang berjasa. Guci-guci para
puragabaya terdapat pada dinding lorong tingkat kedua dari
kuil itu, sedangkan abu jenazah keluarga sang Prabu terdapat
pada puncak kuil dalam ruangan pualam yang berada di pusat
kuil. Di sanalah Kuncen berada. Karena Banyak Sumba tidak
akan memasuki ruangan itu, kemungkinan untuk kepergok
tidak besar, kecuali kalau penjaga-penjaga yang pingsan itu
siuman. Dan karena mengejar waktu, Banyak Sumba bergegas
memasuki tingkat kedua kuil itu, lalu berjalan sambil
memeriksa guci-guci di sana. Ia mengambil salah satu lampu
yang terletak di dinding lorong, lalu dipergunakannya untuk
menerangi guci-guci yang diperiksanya.
Akhirnya, dilihatnya sebuah guci yang indah buatannya dan
dihiasi untaian bunga yang masih segar. Banyak Sumba
segera melangkah ke sana, lalu mempergunakan lampu.
Dalam remang-remang itu, ia melihat nama Jante Jaluwuyung
Jantungnya terhenyak, denyutnya seolah-olah berhenti. Akan
tetapi, hanya sebentar ia tertegun. Ia merangkul guci itu, lalu
mengangkatnya. Ia melepaskan sarungnya, lalu dibungkuskannya
pada guci itu. Kemudian, disandangnya guci itu
dengan sarung. Sebelum melangkah dari tempat itu, ia
mendengar desir langkah orang.
Kedua orang pengembara itu saling memandang. Banyak
Sumba memberi isyarat kepada Jasik untuk menyelinap di
sudut lorong. Kemudian, dipadamkannya lampu-lampu yang
ada di dekatnya. Mereka berdiri melekatkan dada mereka ke
dinding lorong yang penuh dengan guci. Tak lama kemudian,
terdengar langkah mendekat dan muncul tiga sosok tubuh
dalam remang-remang itu. Banyak Sumba dan Jasik lebih
merapatkan tubuh mereka pada dinding lorong kuil sambil
tetap mengawasi para pendatang, "Penjaga," bisik Jasik.
"Tapi mereka tidak bersenjata panjang," ujar Banyak
Sumba. Ketika Jasik hendak berkata lagi, Banyak Sumba menutup
mulut Jasik karena salah seorang di antara ketiga pendatang
itu berjalan ke arah mereka.
"Di sini tempatnya," bisik orang itu agak keras. Kedua
temannya mengikuti. Ternyata, mereka berjalan menuju
tempat guci abu jenazah Kakandajante yang sekarang sudah
kosong. "Bawa lampu," kata orang itu kepada salah seorang
temannya. "Tidak usah pakai lampu, kau kan, sudah hafal?"
"Bawalah lampu. Daripada keliru lebih baik kita hati-hati.
Jangan takut karena Sang Hiang Tunggal merestui usaha kita.
Bukankah restu Sang Hiang Tunggal juga kalau penjaga pintu
kiri itu meninggalkan kewajibannya?"
"Tapi kita harus hati-hati. Kalau mereka kembali akan
melihat gerak-gerik kita di dalam," bisik yang lain.
"Hai!"
"Apa?"
"Guci itu tidak ada."
"Hah"!"
'Jahanam! Penjaga-penjaga itu lebih pintar daripada kita.
Mereka meninggalkan tugas, tetapi guci itu mereka bawa,
jahanam!" "Mari kita pergi ke pintu dan kita tunggu mereka. Kita
potong kepala mereka untuk kenang-kenangan," kata salah
seorang di antara mereka.
Mendengar percakapan mereka itu, sadarlah Banyak Sumba


Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa orang-orang itu datang dengan maksud yang sama
dengan dia, yaitu mencuri abu jenazah Kakanda jante. Tibatiba,
kemarahannya meluap, hingga napasnya hampir terhenti.
Ia mengeratkan sarungnya yang juga membungkus guci di
pinggangnya. Ia berkata kepada Jasik dengan nyaring, "Sik,
orang-orang ini harus diajar tahu diri!" katanya. Ketiga
pendatang itu tampak terkejut mendengar suara yang datang
dari sudut lorong. Mereka hendak lari atau bersiap, tetapi
seperti seekor harimau lapar Banyak Sumba menghambur
menghantamkan tangan dan kakinya ke arah tubuh mereka.
Jasik pun memilih mangsanya dan menerkamnya tanpa
ampun. Teriakan-teriakan terdengar, bunyi guci-guci yang
berjatuhan dan pecah pun menambah ingar-bingar suara
perkelahian. Dari luar terdengar lenguh trompet tiram tanda
bahaya dan suara kaki-kaki terdengar menyerbu ke dalam kuil.
"Ikuti saya!" seru Banyak Sumba kepada Jasik yang baru
saja memukul lawannya hingga pingsan. Banyak Sumba
berlari ke arah pintu kuil sebelah kiri, tempat tadi mereka
masuk. Sepanjang jalan, ia memukul lampu-lampu yang
terletak di tiap sudut lorong kuil itu. Akan tetapi, sebelum
mereka dapat mencapai pintu itu, mereka melihat penjagapenjaga
berlari dengan pedang terhunus ke arah mereka.
Banyak Sumba ber-balik, demikian juga Jasik. Mereka menuju
pintu kuil yang lain, tapi baru saja mereka melangkah, datang
kira-kira empat atau lima orang penjaga. Kedua orang
pengembara itu terpaksa berlari menuju pusat kuil.
"Padamkan lampu-lampu!" seru Banyak Sumba kepada
Jasik, sementara ia sendiri memukuli lampu-lampu yang ada
didekatnya. Maka, kuil pun jadi gelap gulita. Akan tetapi, tak
lama kemudian, mereka dapat melihat kembali, setelah
terbiasa dalam gelap itu.
"Bawa obor! Bawa obor!" terdengar penjaga-penjaga
berteriak dari tingkat dua kuil itu. Banyak Sumba kebingungan
sejenak, kemudian dilihatnya cahaya dari atas.
"Sik, kita hanya dapat meloloskan diri melalui lubang itu,"
katanya sambil tengadah.
"Tapi, lubang itu terlalu tinggi, Raden," ujar Jasik. "Ambil
sarung bajingan-bajingan itu!" seru Banyak Sumba. Jasik
melepaskan sarung-sarung korbannya yang bergelimpangan di
lantai lorong. Sementara itu, para penjaga ribut di luar.
"Hai, para penjaga yang sial, siapa berani naik ke tingkat
dua akan menjadi korban pertama," kata Banyak Sumba.
Suaranya bergema dalam kuil itu.
"Obor! Obor!" terdengar suara dari luar.
"Coba naik ke tingkat dua, siapa yang mau jadi korban
pertama?" seru Banyak Sumba. Kemudian berbisik, "Sik,
Suling Emas Dan Naga Siluman 27 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pendekar Pedang Kail Emas 3

Cari Blog Ini