Ceritasilat Novel Online

Kesatria Baju Putih 21

Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung Bagian 21


Hwe (Perkumpulan Baju Berdarah) yang kudirikan ini. oleh karena itu, kuharap kalian harus
melaksanakan setiap perintah ku"
"Ya, Hwecu."
"Ingat siapa berani berkhianat, pasti kubunuh dengan cara yang mengerikan sekali Maka
janganlah kalian coba-coba mengkhianatiku"
"Kami pasti setia kepada Hwecu."
"Tahukah kalian, mengapa perkumpulanku ini disebut Hiat Ih Hwe?"
"Sebab di mana kami muncul, di situ pasti banjir darah."
"Bagus, bagus" Hwecu itu manggut-manggut sambil tertawa cuas. "Ha ha ha Tidak percuma aku
membimbing kalian Nah, kini kalian boleh menyaksikan kepandaianku"
Hwecu itu mengerahkan lweekangnya, kemudian mengangkat sepasang tangannya perlahanlahan,
sekaligus membentak keras. seketika terdengar suara gemuruh, ternyata beberapa pohon
yang ada di situ tumbang langsung, dan daun-daunnya pun rontok semua. Betapa terkejutnya Tio
Cie Hiong melihat kedahsyatan lweekang Hwecu itu.
"Kini kalian telah menyaksikan kepandaianku, maka kalian jangan coba-coba mengkhianatiku"
"Kami tidak berani berkhianat, pasti setia selama-lamanya kepada Hwecu."
"Bagus, bagus" Hwecu itu manggut-manggut, kemudian menunjuk sepuluh orang berpakaian
merah seraya berkata, " Kalian yang kutunjuk.. harus segera pergi membunuh Jenderal Wan
Kebetulan hari ini dia sedang menjenguk ibunya yang sakit. Bunuhlah dia di tengah jalan"
"Ya," sahut sepuluh orang itu serentak.
"Yang lain boleh kembali ke tempat masing-masing," ujar Hwecu itu dan menambahkan, "Besok
malam kita berkumpul di sini lagi"
Usai berkata begitu, Hwecu itu melesat pergi, begitu pula dengan yang lain. Sedangkan Tio Cie
Hiong termangu-mangu di atas pohon, sepertinya sedang mempertimbangkan sesuatu, akhirnya
menguntit sepuluh orang Hiat Ih Hwe itu.
Sesungguhnya Tio Cie Hiong tidak habis pikir. siapa Hwecu tersebut dan kenapa ingin
membunuh Jenderal Wan" Lagi pula ia pun tidak tahu jelas perkumpulan apa Hiat Ih Hwe itu.
Karena pernah mendengar nama Jenderal Wan dari Yo Huai An, maka ia mengambil keputusan
untuk menolong Jenderal tersebut.
Tampak belasan ekor kuda berlari agak kencang di sebuah jalan, ternyata rombongan Jenderal
Wan, yang sedang menuju suatu tempat Jenderal Wan berusia lima puluhan, gagah dan
berwibawa. Dua ekor kuda mendamping Jenderal Wan.
Tampak pula dua lelaki berusia tiga puluhan duduk di punggung kuda-kuda itu. Mereka berdua
adalah pengawal pribadi Jenderal wan. "Berhenti" seru salah seorang pengawal itu.
Semuanya langsung berhenti. Hal itu mencengangkan Jenderal Wan, yang juga menghentikan
kudanya. "Ada apa, Ek Liong?" tanya Jenderal Wan dengan kening berkerut.
"Jenderal Wan, barusan aku melihat beberapa sosok bayangan merah berkelebatan di depan.
Maka, lebih baik kita berhenti di sini dulu" jawab Ek Liong memberitahukan. "Aku khawatir...."
"oh" " Jenderal Wan memandang ke depan, kemudian tertawa gelak. "Mungkinkah mereka ingin
membunuhku?"
"Kita harus berhati-hati," ujar Ek Liong lalu berseru. "Kalian semua harus siap menghadapi
segala kemungkinan"
"Ya," sahut para pengawal lain lalu meloncat turun untuk melindungi Jenderal Wan. Pada waktu
bersamaan, terdengarlah suara seruan lantang kemudian muncul sepuluh orang berpakaian merah.
"Hiat Ih Hwe muncul, harus banjir darah"
"Siapa kalian" Kenapa menghadang perjalanan kami?" tanya Ek Liong sambil menghunus
pedangnya. Ek Houw, adiknya juga ikut menghunus pedangnya.
"Kami ke mari untuk membunuh Jenderal Wan" sahut mereka serentak.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Jenderal Wan sambil menatap mereka dengan tajam.
"Jenderal Wan tidak perlu tahu, yang jelas hari ini engkau harus mati" sahut mereka dan mulai
menyerang. Seketika terjadilah pertarungan sengit, dan tak seberapa lama kemudian para pengawal itu
roboh dengan tubuh berlumuran darah.
"Jenderal Wan," ujar Ek Liong cemas. "Mereka rata-rata berkepandaian tinggi. Kalau aku dan
adikku tidak dapat melawan mereka, lebih baik Jenderal Wan kabur saja."
"Ha ha ha Pernahkah aku gentar menghadapi bahaya?" sahut Jenderal Wan sambil tertawa
terbahak-bahak.
"Tapi..." ucapan Ek Liong terputus, karena orang-orang berpakaian merah itu telah
menyerangnya . Ek Liong dan Ek Houw bertarung mati-matian melindungi Jenderal Wan. Belasan jurus
kemudian, mereka berdua mulai kewalahan, bahkan bahu Ek Houw telah terluka.
"Jenderal Wan, cepat kabur" seru Ek Liong cemas.
Akan tetapi Jenderal wan tetap duduk di punggung kudanya kelihatannya tidak mau kabur.
"Jenderal Wan... aaaakh" jerit Ek Liong. Ternyata bahunya tersabet pedang lawan.
"Berhenti" Mendadak terdengar suara bentakan yang mengguntur, kemudian tampak sosok
bayangan putih melayang turun di depan Jenderal Wan.
Orang-orang Hiat Ih Hwe terkejut bukan main, karena suara bentakan itu membuat telinga
mereka seakan mau pecah.
"Siapa engkau?" tanya salah seorang Hiat Ih Hwe.
"Hwecukah yang menyuruh kalian ke mari untuk membunuh Jenderal Wan, kan?" tanya orang
itu, yang tidak lain adalah Tio Cie Hiong bersama monyet bulu putih yang duduk di bahunya.
"Engkau... engkau...." mereka tersentak.
"Hm" Dengus Tio Cie Hiong. "Cepatlah kalian enyah, jangan cari penyakit di sini"
"Kami sudah ke mari, biar bagaimana pun harus membunuh Jenderal Wan" sahut salah seorang
Hiat Ih Hwe. "Kalau engkau menghadang, kami pun akan membunuhmu"
"oh?" Tio Cie Hiong tertawa dingin sambil melangkah maju. "Kalau begitu, cepatlah kalian turun
tangan" "Baik" orang itu manggut-manggut sambil memberi isyarat kepada teman-temannya. "Mari
serang dia"
Seketika juga mereka menyerang Tio cie Hiong dengan pedang. Tio cie Hiong bersiul panjang,
dan mendadak bergerak sambil mengibas-ngibaskan lengan bajunya.
Trang Trang Traaaang Semua pedang yang di tangan mereka patah berpotong-potong, lalu
terdengar suara jeritan mereka. "Aaaakh Aaaakh Aaaaakh..."
Sepuluh orang Hiat Ih Hwe itu terhuyung-huyung dengan mulut mengeluarkan darah. Mereka
semua telah terluka dalam bahkan musnah pula kepandaian mereka.
Sementara Jenderal Wan dan kedua pengawal pribadinya menyaksikan kejadian itu dengan
mata terbeliak lebar, sepertinya tidak percaya akan apa yang mereka saksikan itu.
"Siapa engkau" Beritahukanlah agar kami bisa melaporkan kepada Hwecu" ujar salah seorang
dari mereka. "Kalian tidak perlu tahu aku siapa, begitu pula Hwecu kalian" sahut Tio Cie Hiong dingin. "Lebih
baik kalian jangan kembali ke tempat itu, sebab kepandaian kalian telah kumusnahkan"
"Sampai jumpa" ucap orang itu. Mereka lalu berjalan pergi dengan langkah sempoyongan.
"Ha ha h a" Jenderal Wan tertawa terbahak-bahak. "Terimakasih Tayhiap, engkau telah
menyelamatkan nyawaku"
"Jangan sungkan-sungkan, Jenderal" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Bukankah
Jenderal mau pergi menjenguk orang tua?"
"Kok Tayhiap tahu" Jenderal Wan tercengang.
"Kebetulan aku mendengar Hwecu Hiat Ih Hwe memberi perintah kepada orang-orang itu,"
jawab Tio cie Hiong dan memberitahukan tentang itu.
"oooh" Jenderal Wan manggut-manggut. "Ternyata begitu Kalau Tayhiap tidak muncul, nyawa
kedua pengawal pribadiku dan nyawaku sendiri pun pasti melayang."
"Tapi aku tetap terlambat selangkah, sehingga tidak dapat menyelamatkan yang lain." Tio Cie
Hiong menghela nafas. "Aku mohon maaf Jenderal Wan"
"Jangan berkata begitu, Tayhiap" Jenderal Wan menggeleng-gelengkan kepala.
"Tayhiap" Ek Liong dan Ek Houw memberi hormat. "Terima kasih"
"sama-sama" sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Jangan berlaku sungkan-sungkan"
"Kepandaian Tayhiap sungguh tinggi, sehingga kami kagum sekali," ujar Ek Liong sambil
memandang Tio Cie Hiong dengan penuh kekaguman.
"Kepandaianku tidak begitu tinggi, biasa saja," sahut Tio Cie Hiong merendah. "ohya, mari bantu
aku mengubur mayat-mayat itu"
"Ya." Ek Liong dan Ek Houw mengangguk.
Mereka bertiga lalu menggali sebuah lubang besar, kemudian menguburkan semua mayat itu di
dalamnya. sementara Jenderal Wan manggut-manggut menyaksikannya. la tidak menyangka
bahwa penolongnya itu berhati begitu baik, mau mengubur mayat-mayat para pengawalnya.
"Tayhiap" ujarnya memuji. "Engkau sungguh berhati baik, bagaimana kalau kita mengangkat
saudara?" "Maaf, Jenderal Wan" Tlo cie Hiong menggelengkan kepala. "Kita tidak bisa mengangkat
saudara." "Lho" " Jenderal Wan heran. "Kenapa?"
"Sebab aku masih muda, maka tidak pantas mengangkat saudara dengan Jenderal,"jawab Tio
Cie Hiong jujur.
"Ha ha ha Jenderal Wan tertawa gelak. " Usia ku lima puluhan, usiamu empat puluhan. Pantas
bagi kita untuk menjadi saudara angkat"
"Jenderal Wan, aku... aku memakai kedok kulit." Tio cie Hiong memberitahukan. "sesungguhnya
usiaku baru dua puluhan, maka lebih baik aku memanggil Jenderal, paman saja."
"Apa?" Jenderal Wan terbelalak. "Engkau memakai kedok kulit?"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk.
"ohya Bolehkah aku tahu namamu?" tanya Jenderal Wan mendadak sambil menatapnya dalamdalam.
"Namaku Tio Cie Hiong." Kemudian menambahkan. "Aku telah bertemu Paman Yo Huai An...."
"Apa" Jenderal Wan menatapnya tajam. "Engkau telah bertemu kawan akrabku itu" Bagaimana
keadaannya?"
"Beliau baik-baik saja."
"Bagaimana engkau bertemu dia?"
"Malam itu...." tutur Tio Cie Hiong. "secara tidak langsung aku telah menyelamatkan mereka."
"oooh" Jenderal Wan manggut-manggut. "Ia memang tahu aturan, karena tidak menyuruh Tio
cie Hiong melepaskan kedok kulitnya.
"Maaf, Jenderal Wan" ucap Tio Cie Hiong. "Aku mohon diri"
"Tayhiap...." Jenderal Wan ingin menahannya, namun merasa tidak enak. "Mudah-mudahan kita
akan berjumpa kembali"
"sampai jumpa, Jenderal Wan"
"Tunggu" seru Ek Liong sambil menggenggam tangannya. "Tayhiap mau ke mana?"
"Aku mau pergi ke Gunung Hong Lay san," sahut Tio Cie Hiong jujur.
"Sungguh kebetulan" ujar Ek Liong girang. "Kita menuju arah yang sama, maka bagaimana
kalau kita melakukan perjalanan bersama?"
"Bukankah aku akan mengganggu perjalanan kalian?" ujar Tio Cie Hiong.
"Tentu tidak." sahut Jenderal Wan sambil tertawa. "Kami akan merasa gembira sekali apabila
Tayhiap bersedia melakukan perjalanan bersama kami"
"Baiklah." Tio Cie Hiong mengangguk.
Betapa girangnya Ek Liong dan Ek Houw. Ternyata mereka mempunyai pikiran yang sama, yakni
ingin mohon petunjuk kepada Tio Cie Hiong mengenai ilmu silat.
Ek Liong segera menuntun kudanya ke hadapan Tio Cie Hiong, sedangkan ia satu kuda dengan
Ek Houw. Mereka lalu melakukan perjalanan bersama. Kettka hari sudah gelap. mereka terpaksa
menginap di rumah seorang petani. Ek Liong dan Ek Houw tidak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Mereka berterus terang kepada Tio Cie Hiong ingin mohon petunjuk.
"Tugas kalian berdua memang berat sekali, karena harus melindungi Jenderal Wan," ujar Tio Cie
Hiong sungguh-sungguh. "Kalau hanya mengandalkan kepandaian yang kalian miliki sekarang,
memang sulit menghadapi orang-orang Hiat Ih Hwe itu."
"Ha ha h a Jenderal Wan tertawa. "Kalian berdua ingin mohon petunjuk, tapi kenapa tidak
segera berlutut di hadapannya?"
"Ya, ya." Ek Liong dan Ek Houw mengangguk. Namun ketika mereka berdua baru mau berlutut,
mendadak Tio cie Hiong mengangkat sebelah tangannya, sehingga membuat kedua orang itu tidak
jadi berlutut, lantaran tertahan oleh tenaga yang sangat kuat.
"Kalian berdua tidak usah berlutut, aku tidak berani menerimanya" ujar Tio cie Hiong sambil
tersenyum. "Tayhiap...." Ek Liong dan Ek Houw semakin kagum. "Kami ingin mohon petunjuk mengenai ilniu
silat, harap Tayhiap terima hormat kami"
"Aku pasti memberi petunjuk kepada kalian, namun kalian jangan berlutut Kalau kalian tetap
berkeras ingin berlutut, aku malah tidak akan memberi petunjuk kepada kalian, lho"
"Tayhiap...." Ek Liong dan Ek Houw saling memandang, lalu mengangguk seraya berkata. "Kami
menurut perkataan Tayhiap."
"Tayhiap," sela Jenderal Wan sambil tertawa. "Akupun ingin mohon petunjuk. agar bisa menjaga
diri pula."
"Maaf" ucap Tio Cie Hiong. "Bagaimana mungkin aku berani memberi petunjuk kepada
Jenderal?"
"Kenapa tidak" Jenderal Wan tertawa lagi. "Pokoknya Tayhiap juga harus memberi petunjuk
kepadaku" "Baiklah." Tio cie Hiong mengangguk. "Kebetulan bulan purnama, mari kita ke pekarangan saja"
Mereka berempat menuju pekarangan rumah. Tio Cie Hiong berdiri di tengah-tengah
pekarangan itu, kemudian menyuruh monyet bulu putih turun. Monyet bulu putih itu segera
meloncat turun dari bahunya.
"Nah sekarang kalian berdua boleh menyerangku dengan pedang," ujar Tio cie Hiong sungguhsungguh
. "Baik," Ek Liong dan Ek Houw mengangguk. Mereka berdua segera menyerang Tio Cie Hiong
dengan ilmu pedang andalan mereka.
Akan tetapi, Tio cie Hiong langsung berkelit, sehingga kedua bilah pedang Ek Liong dan Ek
Houw menyerang tempat kosong.
Plak Plak Lengan mereka tertepuk oleh telapak tangan Tlo Cie Hiong, membuat pedang mereka
terlepas. "Hebat Hebat" seru Jenderal Wan memuji. "Baru satu jurus pedang kalian telah terlepas Bukan
main tingginya kepandaian Tayhiap"
"Tayhiap." ujar Ek Liong bermohon. "sudikah Tayhiap mengajar kami semacam ilmu pedang?"
"Aku justru sedang memikirkan tentang ini. Ilmu pedang apa yang cocok bagi kalian berdua,"
sahut Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Tapi kuharap kalian jangan memanggilku tayhiap. panggil
saja aku saudara Tio"
"Itu...." Ek Liong dan adiknya tampak ragu.
"Kalau kalian tidak memanggilku saudara Tio, aku pun tidak akan mengajar kalian ilmu pedang."
tegas Tio cie Hiong.
"Baiklah, saudara Tio." Ek Liong dan adiknya mengangguk.
"Aku akan mengajar kalian Tui Hun Kiam Hoat (Ilmu Pedang Pengejar Roh). Ilmu pedang
tersebut sangat lihay dan ganas. Terdiri dari tujuh jurus, dan setiap jurusnya terdapat tiga
perubahan. Kalau tidak dalam keadaan bahaya, janganlah kalian mengeluarkan ilmu pedang
tersebut Karena setiap jurus pasti mematikan orang, maka disebut Tui Hun Kiam Hoat." Tio Cie
Hiong memberitahukan, lalu mulai mengajar mereka berdua.
Ek Liong dan Ek Houw belajar dengan tekun. sekali. Sedangkan Jenderal Wan terus
memperhatikan, dan diam-diam mengakui kehebatan ilmu pedang tersebut.
Setelah hari mulai terang, barulah Ek Liong dan Ek Houw berhasil menghafal semua jurus-jurus
tersebut, dan mereka terus berlatih.
"Bukan main hebatnya ilmu pedang itu" puji Jenderal Wan. Ternyata Jenderal itu terus berdiri di
tempat menyaksikan kedua pengawal pribadinya berlatih.
"Jenderal Wan" Tio Cie Hiong tersenyum. "Kok tidak beristirahat sama sekali" Tidak merasa lelah
atau ngantuk?"
"Ha ha ha Jenderal Wan tertawa gelak. "Tiga hari tiga malam aku tidak tidur pun tidak apa-apa.
Lagi pula... aku sedang menunggu.."
"Jenderai Wan menunggu apa?"
"Lupa ya" Bukankah engkau telah berjanji akan memberi petunjuk kepadaku" Mungkin sekarang
sudah waktunya."
"Jenderai wan...."
"Tayhiap Jangan ingkar janji lho"
"Baiklah. Tapi Jenderal Wan jangan memanggilku tayhiap. cukup panggil saja namaku"
"Ha ha ha" Jenderai Wan tertawa gelak. "Baiklah. Aku akan memanggilmu saudara Tio juga."
"Jangan" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Panggil saja namaku"
"Eh" saudara Tio...." Jenderai Wan mengerutkan kening.
"Jenderai Wan, semalam aku sudah bilang, bahwa usiaku masih muda," ujar Tio Cie Hiong
sambil melepaskan kedok kulitnya.
"Haaah" "Jenderai Wan terbelalak. "Ternyata benar engkau masih begitu muda dan tampan
sekali Sungguh di luar dugaan"
"Maafkan aku, Paman" ucap Tio Cie Hiong.
"Ek Liong, Ek Houw" seru Jenderai Wan. " cepat kalian melihat ke mari"
Kedua orang itu segera berhenti berlatih, lalu memandang ke arah mereka. Ketika melihat Tio
Cie Hiong yang telah melepaskan kedok kulit, Ek Liong dan adiknya pun terbelalak. "Eh" saudara
Tio...." "Jenderai Wan, inilah sebabnya kenapa aku menolak mengangkat saudara dengan jenderal,
sebab aku memang masih muda," ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum.
"Ha ha ha" Jenderai Wan tertawa gembira. "Mulai sekarang engkau tidak boleh memanggilku
jenderal, dan harus memanggilku paman"
"Ya, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk. kemudian memakai kembali kedok kulitnya.
"cie Hiong Jenderai Wan menatapnya heran. "Kenapa engkau harus memakai kedok kulit itu?"
"Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan," jawab Tio cie Hiong dan melanjutkan. "sebab
aku sedang melacak jejak musuh besarku, jadi aku harus memakai kedok kulit ini."
"oooh" Jenderal Wan manggut-manggut.
"saudara Tio...." Ek Liong dan adiknya mendekati Tio cie Hiong. "Aku tidak menyangka, bahwa
engkau masih begitu muda, namun kepandaianmu sungguh tinggi sekali"
"Terus terang ilmu pedang yang kuajarkan kepada kalian itu adalah ilmu pedang andalan Tui
Hun Lojin. Maka kalian jangan sembarangan membunuh orang dengan ilmu pedang itu" ujar Tio Cie
Hiong. "Apa?" Ek Liong terperanjat. "Itu... itu adalah ilmu pedang andalan Tui Hun Lojin?"
"Benar." Tio cie Hiong mengangguk.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"saudara Tio murid beliau?" tanya Ek Liong.
"Bukan, tapi aku kenal baik dengan Locianpwee itu," jawab Tio cie Hiong dan menambahkan.
"Aku berani mengajar kalian ilmu pedang itu, karena aku mempunyai alasan tertentu."
"oooh" Ek Liong dan Ek Houw manggut-manggut.
"cie Hiong Bagaimana paman nih?" tanya Jenderai Wan sambil tertawa. "Terus terang, paman
pun ingin belajar semacam ilmu pedang."
"Maaf, Paman" ucap Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Sebelumnya aku ingin menyaksikan
kepandaian Paman dulu, setelah itu barulah kuajarkan semacam ilmu pedang."
"Baik. Jenderal Wan mengangguk. sekaligus menghunus pedangnya dan mulailah
memperlihatkan ilmu pedangnya .
Tio Cie Hiong menyaksikannya sambil manggut-manggut. Berselang sesaat barulah Jenderai
Wan menghentikan gerakannya. "cie Hiong, bagaimana ilmu pedangku?"
"Hebat dan lihay," sahut Tio Cie Hiong sungguh-sungguh. "Hanya saja masih terdapat beberapa
kekurangan."
Bagian 47 "Nah, engkau harus memberiku petunjuk" ujar Jenderal Wan sambil tersenyum.
"Begini saja" Tio cie Hiong memberitahukan setelah berpikir. "Aku akan mengajar Paman
semacam ilmu pedang, yang sesungguhnya ilmu tongkat, tapi kuubah menjadi ilmu pedang."
"Oh" Ilmu tongkat apa itu?"
"San ciat Kun Hoat (Tiga Jurus Tongkat Maut), yaitu ilmu tongkat andalan Sam Gan Sin Kay,
Tetua Kay Pang." Tio cie Hiong menjelaskan. "Namun kini akan kuubah menjadi Sam ciat Kiam
Hoat" "Apa?" Jenderal Wan terkejut. "Engkau kenal Pengemis sakti?"
"Kenal baik dan kami pun akrab sekali," ujar Tio cie Hiong, yang kemudian berjalan ke tengahtengah
pekarangan. "Aku akan perlihatkan ilmu pedang itu."
Tio cie Hiong mulai mempertunjukkan ilmu pedang tersebut, dan seketika tampak pedangnya
berkelebatan. la tidak menggunakan suling pualam, melainkan menggunakan pedang yang
dipinjamnya dari Ek Liong tadi. Dapat dibayangkan betapa dahsyat dan lihaynya ilmu pedang itu,
sebab diubahnya berdasarkan ilmu Tongkat Maut andalan Sam Gan Sin Kay.
Jenderal Wan, Ek Liong dan Ek Houw menyaksikan ilmu pedang itu dengan penuh kekaguman,
karena sekujur badan Tio cie Hiong tertutup oleh bayangan pedang, sehingga badannya tak
kelihatan sama sekali.
Berselang sesaat, barulah Tio Cie Hiong berhenti. Tak henti-hentinya Jenderal Wan memuji
keiihayan ilmu pedang tersebut, begitu pula Ek Liong dan Ek Houw.
"Bukan main sungguh hebat dan lihay ilmu pedang itu" ujar Jenderal Wan sambil menghela
nafas panjang, kemudian menambahkan. "Cie Hiong, hanya engkau yang dapat melawan Lu Thay
Kam itu." "Paman" Tio cie Hiong tersenyum. "Perhatikan baik-baik, aku akan mulai mengajar ilmu pedang
ini" "Ya ." Jenderal Wan mengangguk dan mulai mencurahkan perhatiannya.
Sedangkan Tio cie Hiong mulai mengajar Jenderal Wan ilmu pedang tersebut sejurus demi
sejurus. Setelah hari mulai petang, barulah Jenderal Wan berhasil menguasai sam Ciat Kiam Hoat
Jenderal Wan terus berlatih. Berselang beberapa saat kemudian, mereka berpamit kepada
petani yang baik hati itu, lalu melanjutkan perjalanan.
"Cie Hiong...." Jenderal Wan menatapnya ketika mereka berhenti di persimpangan jalan. "Paman
tahu engkau tidak berniat bekerja untukku, namun apabila engkau ke ibukota kelak. mampirlah di
rumahku" "Ya, Paman." Tio cie Hiong mengangguk.
"Sesungguhnya...," ujar Jenderal Wan sambil menghela nafas panjang. "Dinasti Beng dalam
kekacauan, tetapi kalau engkau bersedia menyumbangkan sedikit tenagamu, aku yakin Dinasti
Beng tidak akan mengalami keruntuhan."
"Paman" Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Aku tidak mau mencampuri urusan kerajaan,
sebab aku ingin bisa hidup tenang dan damai."
"Yaaah Aku tidak bisa memaksamu, tapi... seandainya.... Aaak sudahlah" Jenderal Wan
menghela nafas lagi. "Aku tidak akan memaksamu, namun aku tetap akan berjuang demi Kerajaan
Beng. Aku akan berusaha menasehati kaisar agar memperhatikan rakyat, karena kini rakyat mulai
bangkit untuk memberontak. sedangkan Lu Thay Kam mulai bersekongkol dengan bangsa
Manchuria. Kemungkinan besar Lu Thay Kam itu ingin mengambil alih kekuasaan."
"Paman Apakah tiada seorang pun di istana, yang mampu melawannya?" tanya Tio Cie Hiong.
"Memang tidak ada. siapa yang berani menentangnya pasti mati," jawab Jenderal Wan. "Butinya
telah muncul orang-orang Hiat Ih Hwe ingin membunuhku. Aku yakin, mereka adalah para anak
buah Lu Thay Kam."
"Paman" Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepata. "sayang sekali, aku tidak berniat sama
sekali mencampuri urusan kerajaan"
"Itu yang kusayangkan."
"Ohya" Mendadak Tio Cie Hiong berpesan. "Paman, apabila perlu sesuatu, suruh saja Ek Liong
atau Ek Houw ke markas Kay Pang"
"Baiklah ." Jenderal Wan mengangguk, kemudian tersenyum getir. "Cie Hiong, setelah kita
berpisah di sini, entah kapan kita akan berjumpa lagi?"
"Mudah-mudahan kita akan berjumpa kembali" sahut Tio Cie Hiong. "Aku mohon pamit Paman,
saudara Ek Liong dan Ek Houw sampai jumpa"
"saudara Tio" Ek Liong dan Ek Houw menatapnya dengan mata basah. "selamat jalan"
"sampai jumpa" ucap Tio Cie Hiong dan sekaligus melesat pergi.
Jenderal Wan, Ek Liong dan Ek Houw saling memandang dengan wajah mura kemudian
mereka bertiga pun melanjutkan perjalanan.
Bab 83 Utusan Bu Lim sam Mo
Tampak sosok bayangan putih berkelebat ke puncak Gunung Hong Lay san. Dalam waktu
singkat Bu Lim Ji Khie muncul seraya membentak. "siapa?"
"Aku, Cie Hiong." Ternyata sosok bayangan putih itu adalah Tio Cie Hiong, yang telah tiba di
Gunung Hong Lay san.
"oh, engkau" sam Gan sin Kay menarik nafas lega. "Mari kita ke goa itu"
"Kakek Pengemis, lebih baik kita berkumpul di biara nenekku saja," ujar Tio cie Hiong.
"Baiklah." sam Gan sin Kay mengangguk. "Aku akan memberitahukan yang lain, engkau dan Kim
siauw suseng ke biara itu dulu"
Sam Gan sin Kay melesat pergi, sedangkan Tio Cie Hiong dan Kim siauw suseng menuju biara
tersebut. Mereka berdua duduk di ruang depan. Tak lama kemudian muncullah sam Gan sin Kay, Tui Hun
Lojin, Tio Tay seng dan lainnya.
"Paman" panggil Tio Cie Hiong.
"Cie Hiong...." Tio Tay seng menatapnya seraya bertanya. "Bagaimana" Engkau sudah
menemukan jejak Bu Lim sam Mo?" Tio cie Hiong menggelengkan kepala.
"Paman, belum ada utusan Bu Lim sam Mo yang ke mari?" tanyanya kemudian.
"Tidak ada sama sekali," sahut Tio Tay seng sambil menghela nafas panjang. "sungguh
mengherankan"
"Cie Hiong" tanya Lim Peng Hang. "Adakah sesuatu yang engkau atami selama mencari jejak Bu
Lim sam Mo?"
"Banyak yang kualami...," jawab Tio Cie Hiong sekaligus menutur. "Kini telah muncul Hiat Ih
Hwe, namun aku tidak tahu siapa ketua perkumpulan itu. Yang jelas dia memiliki kepandaian yang
sangat tinggi sekali."
"Kalau begitu...." sam Gan sin Kay menggeleng-gelengkan kepala. "Rimba persilatan akan
bertambah kacau."
"Menurutku tidak," sahut Kim siauw suseng. "Karena sasaran Hiat Ih Hwe adalah para menteri
dan Jenderal yang setia. Buktinya Jenderal Wan mau dibunuh. Kalau Cie Hiong tidak
mengetahuinya Jenderal Wan yang setia itu pasti sudah mati."
"Benar." Tio Tay seng manggut-manggut. "Jangan-jangan ketua Hiat Ih Hwe itu adalah Lu Thay
Kam" "Tidak mungkin," ujar Tui Hun Lojin. "sebab Lu Thay Kam tidak akan meninggalkan istana.
Mungkin orang itu adalah wakilnya."
"Masuk akal." Sam Gan Sin Kay manggut-manggut, kemudian memandang Tio Cie Hiong seraya
bertanya, "Engkau mengajarkan ilmu pedang kepada Yosuan Hiang Jenderal Wan, Ek Liong dan
adiknya?" "Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. "Aku mengajar Yosuan Hiang ilmu pedang Hong Lui Kiam
Hoat, mengajar Jenderal Wan ilmu pedang sam Ciat Kiam Hoat dan mengajarkan ilmu pedang Tui
Hun Kiam Hoat kepada Ek Liong bersaudara. Apakah Kakek Pengemis dan kakek Tui Hun
berkeberatan?"
"Tentu tidak," sahut sam Gan sin Kay dan Tui Hun Lojin serentak. "sebaliknya kami malah
merasa bangga sekali."
"oh?" Tio Cie Hiong berlega hati.
"Cie Hiong" sam Gan sin Kay menatapnya. "Jenderal Wan adalah Jenderal yang sangat setia
dan baik, lagi pula engkau telah mengubah sam Ciat Kun Hoat menjadi sam Ciat Kiam Hoat,
tentunya tidak masalah."
"Terimakasih Kakek Pengemis" ucap Tio cie Hiong.
"Ek Liong dan Ek Houw adalah pengawal pribadi Jenderal Wan, maka tidak ada salahnya engkau
mengajar mereka ilmu pedang Tui Hun Kiam Hoat, karena mereka berdua harus melindungi
Jenderal Wan," ujar Tui Hun Lojin sung-guh-sungguh. "oleh karena itu, aku pun merasa bangga
sekali." "Kalau begitu..." Tio Cie Hiong tersenyum. "Legalah hatiku Aku pun memberitahukan kepada
mereka mengenai sumber kedua macam ilmu pedang itu."
"Bagus Ha ha ha" sam Gan sin Kay tertawa gelak. "Tapi...."
"Kenapa?" tanya Tio Cie Hiong heran karena air muka Sam Gan Sin Kay tampak agak berubah.
"Yang kukhawatirkan adalah mantan Menteri Yo," sahut sam Gan sin Kay sambil menghela
nafas. "sebab dia tidak mengerti ilmu silat, hanya mengandalkan putrinya saja. Aku yakin para
pembunuh itu tidak akan tinggal diam."
"Aku sudah berpesan kepada mereka, apabila ada sesuatu harus segera ke markas pusat Kay
pang." Tio cie Hiong memberitahukan.
"Eh?" sam Gan sin Kay mengerutkan kening. "Kini markas pusat kita masih porak poranda,
bahkan masih kosong"
"Maksudku kalau dalam beberapa hari ini tiada utusan Bu Lim sam Mo ke mari, kita kembali ke
markas pusat saja," ujar Tio Cie Hiong.
"cie Hiong," sela Tio Tay seng. "Lebih baik kita tunggu di sini saja. Karena pihak Bu Tek Pay
tahu kita berada di sini, aku yakin tidak lama lagi akan muncul utusan Bu Lim sam Mo ke mari."
"Tapi tetap mengherankan...." sam Gan sin Kay menggeleng-gelengkan kepala. "Kenapa Bu Lim
sam Mo tidak segera mengutus seseorang ke mari, melainkan harus menunggu sampai sekian
lama?" "Mereka ingin membuat kita bingung dan cemas, mungkin juga mereka sedang menyelidiki
identitas lelaki yang membawa monyet," sahut Kim siauw suseng. "Karena itu, sasaran mereka
adalah Tio Cie Hiong."
"Kalau begitu..." sam Gan sin Kay menghela nafas. "Bukankah kejadian dua tahun lampau itu
akan terulang lagi?"
"Itu tidak jadi masalah," ujar Tio Cie Hiong sambil tersenyum getir. "Yang penting nenek, Adik
Im dan lainnya bisa selamat."
"cie Hiong...." Tio Tay seng menatapnya dan menghela nafas panjang. "setelah utusan Bu Lim
sam Mo ke mari, barulah kita rundingkan bersama."
"Ya, Paman." Tio Cie Hiong mengangguk. kemudian membelai-belai monyet bulu putih yang
duduk di bahunya. "Kauw heng, aku bingung sekali...."
Sementara itu, di dalam markas Bu Tek Pay terdengar suara tawa yang penuh kegembiraan.
Ternyata Bu Lim sam Mo, Kwan Gwa siang Koay, LEk Kui dan Ang Bin sat sin sedang minum-minum
sambil tertawa-tawa. Mereka tampak gembira sekali.
"Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo terus tertawa gelak. "Aku yakin pihak Kay Pang, yang berada di
Gunung Hong Lay san sedang kebingungan."
"Tidak salah," sahut Thian Mo sambil meneguk minumannya. "Terutama pengemis bau dan
ketua Kay Pang itu, dalam dua bulan ini mereka pasti tidak bisa makan dan tidur."
"ohya" Te Mo teringat sesuatu. "Bagaimana cara kita menghadapi lelaki yang punya monyet
itu?" "Gunakan cara lama" sahut Tang Hai Lo Mo.
"Maksudmu kita mengancam tawanan-tawanan kita untuk memaksa lelaki itu menyerah?" tanya
Te Mo. "Betul." Tang Hai Lo Mo manggut-manggut. "sebab telah terbukti dia mempunyai hubungan
dengan pihak Kay Pang."
"Jadi kita memusnahkan kepandaiannya?" tanya Thian Mo.
"Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa. "Kita harus membunuhnya, setelah itu barulah kita
habiskan yang lain jadi selanjutnya tiada gangguan apa-apa lagi bagi kita."
"Bagaimana kalau orang itu tidak mau menyerah?" tanya siluman Kurus mendadak. "Apakah kita
harus membunuh tawanan-tawanan itu?"
"Itu sudah pasti," sahut Tang Hai Lo Mo.
"Seandainya orang itu mau menyerah, kita pun harus membunuh para tawanan itu?" tanya
siluman Gemuk. "Tentu," Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Bahkan yang lainpun harus kita habiskan semua. Ha ha
ha..." "Kalau begitu...." siluman Gemuk mengerutkan kening. "Kita akan melanggar janji?"
"Mereka semua merupakan duri dalam mata kita. Kalau kita tidak membunuh mereka semua,
berarti kita meninggalkan penyakit bagi diri kita sendiri" Tang Hai Lo Mo menjelaskan. "oleh karena
itu, kita harus membunuh mereka."
Kwan Gwa siang Koay diam, sedangkan Lak Kui terus menerus meneguk minuman masingmasing
. "Lo Mo, kapan kita mengutus seseorang pergi menemui mereka?" tanya Ang Bin sat sin
mendadak. "Besok pagi," sahut Tang Hai Lo Mo.
"Lo Mo ingin mengutus siapa ke sana?" tanya Ang Bin sat sin lagi.
Tang Hai Lo Mo berpikir sejenak. lalu menjawab sambil memandang Ang Bin sat sin. "Engkau."
"Baik," Ang Bin sat sin mengangguk. "Besok pagi aku akan berangkat ke Gunung Hong Lay san
menemui mereka. Lalu apa yang harus kukatakan pada mereka?"
"Suruh mereka dan orang itu ke Lembah seribu Bunga tada tanggal lima belas" sahut Tang Hai
Lo Mo memberitahukan. "orang itu harus menyerah. Kalau tidak, para tawanan pasti dibunuh."
"Ya." Ang Bin sat sin mengangguk.
"Kwan Gwa siang Koay dan Luk Kui, di saat kita sampai di Lembah seribu Bunga, kalian harus
menjaga para tawanan. Apabila orang itu berani melawan, bunuhlah para tawanan itu" pesan Tang
Hai Lo Mo. "Ya," sahut Kwan Gwa siang Koay dan Luk Kui serentak.
Tawanan-tawanan itu telah kita beri minum racun pelemah badan, jadi mereka tidak bisa kabur
maupun melawan." Tang Hai Lo Mo memberitahukan. "Gampang sekali membunuh mereka. oh ya,
kalau kami bertiga telah berhasil memusnahkan kepandaian orang itu, kalian pun harus turun
tangan membunuh para tawanan itu."
"Baik." Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui mengangguk.
"Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "setelah kita membunuh mereka semua, rimba
persilatan betul-betul akan jadi milik kita Ha ha ha..."
Bu Lim Ji Khie, Tio Tay seng, Tio Cie Hiong dan lainnya duduk termangu-mangu di ruang depan.
Kelihatannya mereka sedang memikirkan sesuatu
"Ayah, kenapa Bu Lim sam Mo masih belum mengutus seseorang ke mari?" tanya Tio Hong Hoa
heran. "Mungkin mereka sedang mengatur suatu rencana busuk," sahut Tio Tay seng.
"Paman, kalau Bu Lim sam Mo tidak mengutus seseorang ke mari, lalu kita harus bagaimana?"
tanya Lie Man chiu murid Tayli Lo Ceng.
"Aku pun tidak tahu apa yang harus kita lakukan," sahut Tio Tay seng sambil menggelenggelengkan
kepala. "Hm" dengus sam Gan sin Kay. "Bu Lim sam Mo pasti mengutus orang ke mari, hanya saja
mereka sedang mengatur suatu siasat untuk menghadapi Cie Hiong."
"Tapi...," ujar Tio Cie Hiong. "Bu Lim sam Mo masih mengira bahwa aku telah mati. Ba-gaimana
mungkin...."
"Maksudku lelaki yang membawa monyet," sahut sam Gan sin Kay memberitahukan. "Yang
mereka takuti adalah engkau yang menyamar, maka sasaran mereka adalah dirimu..."
"Ada orang ke mari" seru Tio Cie Hiong mendadak. "Mungkin utusan Bu Lim sam Mo"
"Bagus" sam Gan sin Kay manggut-manggut. "Kita memang sedang menunggu kedatangannya."
"Ha ha ha" Terdengar suara tawa dan tampak sosok bayangan melesat masuk seraya berkata,
"selamat bertemu Ha ha ha..."
"Ang Bin sat sin" bentak sam Gan sin Kay. "Bagus engkau ke mari Bu Lim sam Mo yang
mengutusmu ke mari, bukan?"
"Tidak salah," sahut Ang Bin sat sin yang telah berdiri di hadapan mereka. "Tepat sekali
dugaanmu, Pengemis bau"
"Apa pesan Bu Lim sam Mo?" sam Gan sin Kay menatapnya tajam.
"It sim sin Ni, Lim Ceng Im dan lainnya berada di tangan kami." sahut Ang Bin sat sin sambil
memandang Tio Cie Hiong. "Mereka baik-baik saja. Tapi...."
"Kenapa?" tanya Lim Peng Hang.
"Bu Lim sam Mo akan melepaskan mereka, asal kalian memenuhi sebuah syarat." Ang Bin sat
sin memberitahukan.
"Apa syarat itu?" tanya sam Gan sin Kay.
"Karena kalian mempunyai hubungan dengan orang itu." Ang Bin sat sin menunjuk Tio Cie Hiong
yang memakai kedok kulit. "Maka kalian harus menyerahkannya kepada Bu Lim sam Mo, jadi It sim
sin Ni dan lainnya akan dibebaskan"
"Ang Bin sat sin" bentak sam Gan sin Kay. "orang ini tamu kami, bagaimana mungkin kami
menyerahkannya kepada Bu Lim sam Mo?"
"Kalau tidak...." Ang Bin sat sin tertawa dingin. "Keselamatan It sim sin Ni dan lainnya tidak
terjamin."
"Kalian memang licik" caci sam Gan sin Kay.
"Ha ha ha" Ang Bin sat sin tertawa. "Kalau kami tidak licik, tentunya sulit bagi kami menguasai
rimba persilatan."
"Bagaimana cara kami menyerahkan orang ini kepada Bu Lim sam Mo?" tanya Tio Tay seng
dingin. "Engkau siapa" Kenapa turut bicara?" bentak Ang Bin sat sin.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kurang ajar" hardik Tio Tay seng mengguntur. "Lihatlah apa ini?"
Tio Tay seng melempar sesuatu ke arah Ang Bin sat sin, cepatnya laksana kilat sehingga Ang Bin
sat sin tidak sempat berkelit.
Plaak sebuah benda melekat di dada Ang Bin sat sin. Benda itu ternyata Hong Hoang Leng.
"Haaah?" Ang Bin sat sin terkejut bukan main ketika melihat benda itu, bahkan dadanya terasa
sakit sekali. "Hong Hoang Leng...."
"Kalau engkau bukan utusan Bu Lim sam Mo, pasti sudah kubunuh" ujar Tio Tay seng dingin.
"Engkau... engkau pemilik Hong Hoang Leng?" tanya Ang Bin sat sin dengan air muka berubah.
"Ya." Tio Tay seng mengangguk. "juga pemilik pulau Hong Hoang To."
"Bagus, bagus Kini kalian berkumpul semua" Ang Bin sat sin tertawa dan melanjutkan, "Pada
tanggal lima belas nanti, kalian harus mengantar orang itu ke Lembah seribu Bunga. Kalau tidak, It
sim sin Ni dan lainnya pasti tak bernyawa lagi."
"Ang Bin sat sin" bentak Tio Cie Hiong dengan suara parau. "Jadi aku harus menyerahkan diri
kepada Bu Lim sam Mo?"
"Betul. Bu Lim sam Mo akan memusnahkan kepandaianmu, setelah itu barulah melepaskan It
sim sin Ni dan lainnya," sahut Ang Bin sat sin memberitahukan.
"Baik" Tio Cie Hiong mengangguk. "sam-paikan kepada Bu Lim sam Mo, bahwa pada tanggal
lima belas nanti, kami pasti ke sana. Aku pasti menyerahkan diri di Lembah seribu Bunga"
" Kalau begitu, aku mohon diri" ucap Ang Bin sat sin lalu melesat pergi seraya tertawa gelak.
"Ha ha ha sampai jumpai di Lembah seribu Bunga"
Monyet bulu putih mau bergerak. tapi Tio eie Hiong cepat-cepat mencegahnya. "Kauw heng,
biar orang itu pergi" katanya.
Monyet bulu putih langsung diam, namun bercuit-cuit seakan bersungut-sungut.
"cie Hiong," tanya sam Gansin Kay. "Bagaimana menurut pendapatmu?"
"Yah, apa boleh buat" jawab Tio Cie Hiong sambil menghela nafas panjang. "Aku akan
menyerahkan diri kepada Bu Lim sam Mo."
"Tapi...." Kim siauw suseng menggeleng-gelengkan kemala. "Bu Lim sam Mo aka memusnahkan
kepandaianmu."
"Itu tidak jadi masalah," ujar Tio Cie Hiong telah mengambil keputusan. "Yang penting nenek,
Adik Im dan lainnya selamat, aku kehilangan kepandaian tidak apa-apa."
"Belum tentu Bu Lim sam Mo cuma memusnahkan kepandaianmu, mungkin... mereka ingin
membunuhmu," ujar Tui Hun Lojin.
"Kalaupun begitu, aku tetap pasrah," sahut Tio Cie Hiong sambil membelai monyet bulu putih
yang duduk di bahunya.
"Cie Hiong," sela TioTay seng. "Bagaimana kalau engkau pura-pura menyerahkan diri, tapi di
saat Bu Lim sam Mo turun tangan memusnahkan kepandaianmu, di saat itu pula engkau
menyerang mereka?"
"Paman" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin, sebab Kwan Gwa
siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin pasti akan membunuh nenek. Adik Im dan lainnya, apabila
aku menyerang Bu Lim sam Mo."
"Kami akan menyerang mereka dengan serentak." ujar sam Gan sin Kay. "Agar mereka tidak
bisa turun tangan."
"Itu tidak mungkin." Tio cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Karena tidak keburu."
"Apa yang dikatakan cie Hiong memang benar," ujar Kim siauw suseng. "Kita tidak mempunyai
peluang itu. "
"Lalu kita harus bagaimana?" tanya sam Gan sin Kay dan berkeluh. "Aaakh..."
"Biar Bu Lim sam Mo memusnahkan kepandaianku" ujar Tio Cie Hiong. "urusan jadi beres"
"Tidak akan beres segampang itu." Tio Tay seng menghela nafas panjang dan melanjutkan,
"Aku yakin Bu Lim sam Mo mempunyai rencana busuk lain."
"Apa rencana busuknya?" tanya sam Gan sin Kay.
"Menurutku...," sahut Tio Tay seng dengan kening berkerut. "Bu Lim sam Mo pasti berniat
membunuh kita semua."
"Kalau begitu...." Wajah sam Gan sin Kay tampak cemas sekali. "Kita harus bagaimana?"
"Tiada jalan lain, kecuali pasrah dan melihat bagaimana keadaan di Lembah seribu Bunga nanti,"
sahut Kim siauw suseng. "Sekarang kita tidak bisa berbuat apa-apa."
"Adik Hiong," ujar Tio Hong Hoa mendadak. "Bagaimana kalau engkau minta bantuan kauw
heng?" "Tidak mungkin." Tio Cie Hiong menggelengkan kepala. "Sebab Bu Lim Sam Mo bukan orang
bodoh. Mereka pasti tidak mengijinkan kauw heng mendekati Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan
Ang Bin sat sin."
"Tadi kita telah salah," ujar Kim siauw suseng. "seharusnya kauw heng menguntit Ang Bin sat
sin." "Percuma," ujar Tio Cie Hiong dan menambahkan. "Kalau kauw heng pergi menguntitnya, malah
akan membuat nenek. Adik Im dan lainnya bertambah cepat celaka."
"Kalau begitu...." Kim siauw suseng menghela nafas panjang.
"Bagaimana nanti saja." Tio Cie Hiong tampakpasrah. "Tiada artinya kita membicarakannya
sekarang. Paling terulang lagi kejadian dua tahun yang lampau itu, mungkin sudah merupakan
takdirku."
"ohya" Mendadak Kim siauw suseng teringat sesuatu "Ketika Tayli Lo Ceng mau pergi, bukankah
pernah bilang bahwa semua itu pasti beres" Mungkinkah ini yang dimaksudkannya?"
"Iya." sam Gan sin Kay manggut-manggut. "Lo Ceng itu memang pernah bilang begitu. Yah,
mudah-mudahah benar apa yang dikatakannya"
Ang Bin sat sin telah kembali ke markas Bu Tek Pay melalui terowongan rahasia. setelah duduk
ia langsung memberitahukan.
"Telah kusampaikan kepada mereka. Kebetulan orang itu pun berada di sana"
"oh" Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Ternyata benar orang itu mempunyai hubungan
dengan pihak Kay Pang"
"Tapi...." Thian Mo menggeleng-gelengkan kepala. "Sebetulnya siapa orang itu?"
"Kita tidak perlu tahu siapa orang itu," sahut Tang Hai Lo Mo. "Yang penting dia harus
menyerahkan diri kepada kita. Beres, kan?"
"Betul." Te Mo manggut-manggut dan menambahkan. "Setelah kita membunuhnya dan
menghabiskan yang lain, barulah Bu Tek Pay berkuasa penuh di rimba persilatan. Ha ha ha..."
"Ohya" Ang Bin Sat Sin memperiihatkan Hong Hoang Leng. "Pemilik Hong Hoang Leng juga
berada di sana."
"Kami pernah bertarung dengan dia," sahut Kwan Ga Lak Kui sambil tertawa. "Bahkan kami pun
berhasil melukainya."
"Tapi...." Ang Bin sat Sin mengerutkan kening. "orang itu juga pemilik Hong Hoang To,
mungkin...."
"Maksudmu yang bertarung dengan kami itu bukan pemilik Hong Hoang Leng, yang asli?" tanya
Tiau Am Kui dengan kening berkerut.
"Ya." Ang Bin Sat Sin mengangguk
"Eeeh?" seru Tang Hai Lo Mo mendadak. "Jangan-jangan orang yang kita suruh menyerahkan
diri itu adalah pemilik Hong Hoang Leng yang asli, sedangkan yang lain hanya mengaku-aku saja"
"Mungkin." Thian Mo manggut-manggut.
"Siapa pun dia, tanggal lima belas nanti harus menyerahkan diri kepada kita," sahut Te Mo
sambil tertawa. "Kita bunuh saja dia, habis perkara Ha ha ha...."
"siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin," ujar Tang Hai Lo Mo dengan wajah serius. "Nanti
kalian tidak boleh bergeser sedikit pun dari It sim sin Ni dan lainnya. Apabila orang itu bergerak,
kalian harus segera membunuh mereka."
"Baik." siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin mengangguk.
"Setelah itu.. ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Kita habiskan yang lain. Nah, rimba
persilatan pasti akan menjadi milik kita. Ha ha ha..."
Bab 84 Penolong yang tak diduga
Suasana di Lembah seribu Bunga hening mencekam. Tampak dua kelompok orang berdiri
berhadapan dengan jarak puluhan depa, yaitu kelompok Bu Lim sam Mo dan kelompok Bu Lim Ji
Khie. It sim sin Ni, Lim Ceng Im, Tan Li Cu dan kedua murid It sim sin Ni duduk di bawah dijaga ketat
oleh Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin. It sim sin Ni dan lainnya tampak lemas, tak
bertenaga. sedangkan Lim Ceng Im telah terisak-isak dengan air mata bercucuran. Wajah pucat
pias dan kurusan pula.
"Bu Lim sam Mo" seru sam Gan sin Kay.
"Orang yang kalian hendaki telah berada di sini Bagaimana kemauan kalian sekarang?"
"Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Kami ingin memusnahkan kepandaiannya"
"Bu Lim sam Mo" ujar Tio Cie Hiong, yang memakai kedok kulit. "Aku tidak berkeberatan
tentang itu, tapi... benarkah kalian akan melepaskan mereka?"
"Tentu" sahut Tang Hai LoMo. "Setelah kami memusnahkan kepandaianmu, kami pasti
melepaskan mereka"
"Tidak akan ingkar janji?" tanya Tio Cie Hiong dengan suara parau.
"Tentu tidak" Tang Hai Lo Mo tertawa gelak. "Tapi... di saat kami memusnahkan kepandaianmu,
tidak boleh engkau melawan atau menangkis Apabila engkau berbuat begitu, Kwan Gwa siang
Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin pasti membunuh mereka tanpa ampun"
"Baik" Tio Cie Hiong mengangguk.
"Engkau harus ke tengah dan duduk di situ, kami bertiga akan mendekatimu" ujar Tang Hai Lo
Mo dan menambahkan. "Monyet itu tidak boleh kau bawa"
"Ya" Tio Cie Hiong mengangguk lagi, kemudian berkata kepada monyet bulu putih, "Kauw heng,
turunlah" Monyet bulu putih kelihatan tidak mau turun, melainkan terus menatap Bu Lim sam Mo.
"Kauw heng, demi keselamatan mereka, engkau turunlah" ujar Tio Cie Hiong lembut. Monyet
bulu putih bercuit perlahan seakan mengeluh, lalu meloncat turun.
"Nah sekarang engkau boleh maju ke tengah" seru Tang Hai Lo Mo.
Tio cie Hiong mulai melangkah ke tengah. Langkahnya bagaikan sebuah martil memukul hati
pihak Bu Lim Ji Khie. Mereka semua memandang Tio Cie Hiong dengan mata basah, namun tiada
seorang pun mengeluarkan suara.
Begitu pula Lim Ceng Im. sesungguhnya ia ingin berseru memanggil Tio Cie Hiong. Tapi melihat
Tio Cie Hiong masih memakai kedok kulit itu, maka ia terus bertahan untuk tidak mengeluarkan
suara. Setelah berada di tengah-tengah, Tio cie Hiong lalu duduk bersila sambil memejamkan matanya.
Bulim sam Mo mulai melangkah mendekatinya sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka bertiga
kelihatan gembira sekali.
Di saat bersamaan, mendadak terdengar suara tawa yang sangat nyaring menusuk telinga.
Begitu mendengar suara tawa itu, semua orang yang berada di situ pun menjadi tertegun karena
mengenali suara tawa tersebut, yang tidak lain suara tawa Kou Hun Bijin.
"Hi hi hi Hi hi hi" Menyusul melayang turun sosok bayangan di hadapan Kwan Gwa siang Koay,
Lak Kui dan Ang Bin sat sin.
"Haah" Bijin?" Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui tersentak. sedangkan wajah Ang Bin sat sin
pun berubah. Sementara Bu Lim sam Mo juga berdiri di tempat. Tio Cie Hiong pun membuka sepasang
matanya memandang ke arah Kou Hun Bijin.
"Hi hi Hi" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "Ada apa nih" Kok begitu ramai?"
"Kwan Gwa siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin" seru Tang Hai Lo Mo dengan suara lantang.
"Jangan membiarkan Bijin mendekati mereka"
"Ya," sahut siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin serentak.
"siang Koay, Lak Kui" bentak Kou Hun Bijin. "Kalian tidak boleh membunuh It sim sin Ni, Ceng
Im dan lainnya"
"Bijin Kami...." siang Koay dan Lak Kui tampak serba salah. "Kami...."
"Hm" dengus Kou Huh Bijin dingin. "Kalian berani membantah?"
"Kami... kami telah bekerja sama dengan Bu Lim sam Mo, kami tidak boleh...."
"Diam" bentak Kou Hun Bijin gusar. "Kalian berani melawanku?"
"Siang Koay, Lak Kui dan Ang Bin sat sin" seru Tang Hai Lo Mo. "Cepat serang dia"
Siang Koay Lak Kui tampak ragu.
"Hi hi Hi" Kou Hun Bijin tertawa cekikikan. "siang Koay, Lak Kui Kalian berani menyerangku"
Lihat apa ini"
Mendadak Kou Hun Bijin mengeluarkan dua buah medali, lalu diangkatnya tinggi-tinggi.
"Haah?" siang Koay Lak Kui tampak terkejut sekali, lalu segera menjatuhkan diri berlutut di
hadapan Kou Hun Bijin. "Hamba memberi hormat kepada Yang Agung Ada perintah apa, Yang
Agung?" "Kalian semua harus menjaga keselamatan It sim sin Ni, Ceng Im dan lainnya Ini perintahku"
"Hamba semua terima perintahmu."
"Sekarang kalian boleh bangun"
"Terima kasih Yang Agung" siang Koay Lak Kui segera bangkit berdiri
"Siang Koay" Kou Hun Bijin memberi perintah. "Ang Bir sat sin terlampau jahat, kalian berdua
harus membunuhnya "
"Hamba terima perintah," sahut siang Koay dan langsung menyerang Ang Bin sat sin.
"Siang Koay Kalian...." Ang Bin sat sin berusaha berkelit.
Akan tetapi, belasan jurus kemudian, Ang Bin sat sin mulai terdesak. Berselang sesaat,
terdengariah suara jeritannya.
"Aaaakh..." Tubuh Ang Bin Sat Sin terpental belasan depa, lalujatuh terkapar dan nyawa pun
melayang seketika.
"Siang Koay" bentak Tang Hai Lo Mo gusar.
"Kalian berdua berani mengkhianati kami" Baik Kami bertiga terpaksa membunuh kalian"
Bu Lim Sam Mo langsung melesat ke arah Kwan Gwa Siang Koay, sekaligus menyerang mereka
dengan Pak Kek Sin Ciang.
"Lawan mereka" seru Kou Hun Bijin. "Lak Kui, cepat bantu Siang Koay"
"Ya, Yang Agung," sahut Kwan Gwa Lak Kui dan langsung membantu Siang Koay menyerang Bu
Lim Sam Mo. Terjadilah pertarungan yang amat dahsyat, sebab siang Koay mengeluarkan ilmu Tok Im Ciang
(Ilmu Pukulan Dingin Beracun), sedangkan Lak Kui mengeluarkan Ku Lu Ciang IHoat (Ilmu Pukulan
Tengkorak). Namun ilmu pukulan Pak Kek Sin Ciang memang merupakan pukulan yang sangat dahsyat,
bahkan mengeluarkan hawa yang amat dingin, sehingga membekukan rumput-rumput di sekitar
tempat itu. Sementara Tio Tay Seng, Tio Lo Toa, Tio Hong Hoa dan Lie Man Chiu telah melesat ke arah It
Sim Sin Ni, sedangkan Sam Gan sin Kay dan Lim Peng Hang melesat ke hadapan Lim Ceng Im.
Gadis itu langsung mendekap di dada Lim Peng Hang sambil menangis terisak-isak.
Tui Hun Lojin dan Gouw Han Tiong terus menyaksikan pertarungan itu dengan mata tak
berkedip. Namun Kim Siauw Suseng malah memandang Kou Hun Bijin, kemudian mendadak
melesat ke arah wanita cantik itu.
"Bijin" panggilnya dengan suara rendah.
"Kim siauw suseng" Kou Hun Bijin tersenyum. "Aku tahu engkau terus menerus memandangku.
Apakah engkau menyukaiku?"
"Bijin...." Kim siauw suseng menundukkan kepala.
"Terus terang," bisik Kou Hun Bijin. "Aku menyukaimu."
"Apa?" Kim siauw suseng menatapnya tidak percaya. "Betulkah Bijin menyukaiku?"
"Hi hi Hi Walau aku pernah merasa suka kepada gurumu, tapi aku tidak pernah mengatakannya.
Terhadap engkau, aku malah berterus terang dan berani mengatakannya. Karena itu, aku sama
sekali tidak bergurau."
"Terima kasih Bijin Terimakasih...."
"Nanti saja kalau engkau mau mencurahkan isi hatimu, sekarang perhatikan pertarungan itu"
"Ya, Bijin." Kim siauw suseng mengangguk.
Mereka berdua sama sekali tidak tahu, bahwa sam Gan sin Kay terus memperhatikan mereka
sambil tersenyum-senyum.
Sementara pertarungan yang sedang berlangsung itu bertambah seru dan sengit. siang Koay
dan Lak Kui tampak matimatian melawan Bu Lim sam Mo.
Tio Cie Hiong yang duduk bersila mulai bangkit berdiri dengan perlahan-lahan, sedangkan
monyet bulu putih langsung meloncat ke bahunya.
"Kauw heng, lindungilah Ceng Im" ujar Tio Cie Hiong sambil membelainya. "Aku akan
menghadapi Bu Lim sam Mo."
Monyet itu manggut-manggut, lalu melesat ke arah Lim Ceng Im sambil bercuit-cuit gembira.
Tio Cie Hiong memperhatikan pertarungan itu, kemudian mendadak mengeluarkan siulan
panjang dan sangat nyaring.
"Berhenti" bentaknya menggunakan Iweekang.
Betapa terkejutnya Bu Lim sam Mo, Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui, dan seketika juga
mereka berhenti bertarung.
Bu Lim sam Mo memandang Tio Cie Hiong, sedangkan Tio Cie Hiong melepaskan kedok kulitnya
dengan perlahan-lahan.
"sam Mo" Tio Cie Hiong menatap mereka tajam. "Kalian bertiga masih mengenalku?"
"Haah...?" Bu Lim sam Mo terbelalak. "Engkau... engkau adalah Pek Ih sin Hiap Tio Cie Hiong?"
"Betul." Tio cie Hiong melangkah maju ke hadapan mereka.
"Engkau... engkau belum mati?" tanya Tang Hai Lo Mo dengan air muka berubah.
"Aku memang belum mati," sahut Tio Cie Hiong dingin. "Bu Lim sam Mo, yang sudah biarlah
berlalu Kalian bertiga sudah tua, lebih baik hidup tenang di suatu tempat, jangan membuat kacau
rimba persilatan lagi, sebab aku pun tidak mau mencampuri urusan rimba persilatan."
Sesungguhnya Tio Cie Hiong tetap merasa tidak tega membunuh mereka, maka menasehati
mereka agar mau hidup tenang di tempat sepi.
Akan tetapi, Bu Lim Sam Mo malah salah tanggap. Mereka mengira Tio Cie Hiong takut,
sehingga ingin berdamai dengan mereka.
"Ha ha ha" Tang Hai Lo Mo tertawa terbahak-bahak. "Engkau takut, bukan" Pokoknya hari ini
kami harus melenyapkanmu"
"Bu Lim sam Mo" Tio cie Hiong menghela nafas. "untuk apa kalian berbuat begitu" Tiada artinya
sama sekali."
"Hm" dengus Thian Mo. "Engkau merupakan penghalang bagi kami untuk menguasai rimba
persilatan oleh karena itu, hari ini kami bertiga harus membunuhmu"
"Aaaah" Tio Cie Hiong menggeleng-gelengkan kepala. "Kalian bertiga telah berusia hampir
sembilan puluh, tapi kenapa tidak mau menikmati hari-hari yang tenang dengan penuh kedamaian
dalam hati?"
"Jangan banyak omong" bentak Tang Hai Lo Mo. "Bersiap-siaplah untuk mampus"
Bu Lim sam Mo segera mengambil posisi mengurung, sedangkan Tio Cie Hiong tetap berdiri di
tempat. Matanya memandang mereka sambil menghela nafas panjang.
"Bu Lim sam Mo, tiada gunanya kita bertarung. Bagaimana kalau aku mengaku kalah, tapi kalian
bertiga mulai sekarang tidak menimbulkan bencana dalam rimba persilatan?" katanya.


Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan omong kosong" bentak Thian Mo. "Ajalmu tetah tiba hari ini, bersiap-siaplah untuk
mati" "Aaah" Tio Cie Hiong menghela nafas panjang, kemudian mulai mengerahkan Pan Yok Hian
Thian sin Kangnya.
Bu Lim Sam Mo mengerahkan Pak Kek Sin Kang, sehingga hawa di sekitar tempat itu berubah
menjadi dingin sekali.
It sim sin Ni, Bu Lim Ji Khie, Lim Ceng Im dan lainnya mulai tercekam ketegangan. Mereka tahu
bahwa tidak lama lagi akan terjadi pertarungan sengit.
"Ayah," bisik Lim Ceng Im. "Apakah Kakak Hiong sanggup melawan Bu Lim sam Mo?"
"Sanggup," sahut Lim Peng Hang.
"Ayah...." Lim Ceng Im ingin mengatakan sesuatu, namun dibatalkannya karena Bu Lim sam Mo
telah mulai menyerang Tio Cie Hiong.
Tio Cie Hiong berkelit dengan ilmu Kin Kiong san Tian Pou, sekaligus balas menyerang dengan
Bit Ciat sin ci (Ilmu Jari sakti).
Sementara monyet bulu putih menyaksikan pertarungan itu dengan penuh perhatian.
Kelihatannya ia sudah siap membantu apabila Tio Cie Hiong berada di bawah angin.
Tang Hai Lo Mo menyerang dengan jurus Swat Hoa Phiau Phiau (Bunga salju Beterbangan),
Thian Mo menyerang menggunakan jurus Han Thian soh swat (Menyapu salju Hari Dingin),
sedangkan Te Mo menyerang dengan jurus Ling swat Teng Hai (saiju Menutupi Laut).
Tio Cie Hiong diserang dari tiga jurusan, namun tidak gugup maupun panik, Mendadak
badannya berputar-putar melambung ke atas, sekaligus balas menyerang dengan jurus Man Thian
sing sing (Bin-tang-Bintang Bertaburan Di Langit) jurus tersebut justru dapat mematahkan
serangan-serangan yang dilancarkan Bu Lim sam Mo.
Tak terasa pertarungan telah melewati puluhan jurus, namun mereka masih bertarung
seimbang. Tiba-tiba Bu Lim sam Mo berhenti, lalu saling memandang dan manggut-manggut.
Tio Cie Hiong tahu, bahwa Bu Lim sam Mo akan segera mengeluarkan ilmu simpanan. Karena
itu, ia menghimpun Iweekang Kan Kun Taylo sin Kang.
Memang tidak salah dugaan Tio Cie Hiong, ternyata Bu Lim sam Mo mulai mengerahkan
Iweekang Hian Bun Kui Goan Kang Khi.
Mendadak Bu Lim sam Mo membentak keras, lalu dengan serentak menyerang Tio Cie Hiong
dari tiga jurusan, dan mengeluarkan tiga jurus ilmu pukulan Hian Bun sam Ciang.
Tio Cie Hiong tidak berkelit, melainkan menangkis serangan-serangan itu dengan ilmu pukulan
Kan Kun Taylo ciang Hoat, mengeluarkan jurus Kan Kun Taylo Bu Pien (Alam semesta Tiada Batas).
Daaaar... Terdengar suara benturan, yang memekakkan telinga.
Bu Lim sam Mo termundur tiga langkah, sedangkan Tio Cie Hiong tetap berdiri tegak di tempat.
Betapa terkejutnya Bu Lim sam Mo, karena mendadak iweekang mereka berbalik menyerang diri
mereka sendiri Mereka bertiga saling memandang memberi isyarat, kelihatannya mereka ingin
mengerahkan iweekang sepenuhnya.
Tio Cie Hiong menghimpun iweekang Kan Kun Taylo sin Kang hingga puncaknya. Betapa
tegangnya suasana di tempat itu Para penonton semakin tercekam, terutama Lim Ceng Im.
"Kauw heng, apakah Kakak Hiong sanggup menangkis serangan-serangan mereka?" tanya gadis
itu dengan nada cemas.
Monyet bulu putih bercuit-cuit, kelihatannya mulai tegang juga, bahkan maju beberapa langkah
siap membantu Tio Cie Hiong.
Pada saat bersamaan, terdengarlah bentakan keras. Ternyata Bu Lim sam Mo telah menyerang
Tio Cie Hiong dengan lweekang sepenuhnya.
Tio Cie Hiong menangkis dengan jurus Kan Kun Taylo Kwi Cong (segala-galanya Kembali Ke
Alam semesta) .
DaarDaaarDaaaar... Terdengar suara ledakan dahsyat, yang diiringi pula oleh suara jeritan.
"Aaaakh Aaaakh Aaaakh..."
Bu Lim sam Mo terpental belasan depa, kemudian roboh dengan mulut mengucurkan darah
segar. Sedangkan Tio Cie Hiong tetap berdiri di tempat Wajahnya tampak pucat pias, kemudian duduk
bersila. "Kakak Hiong" teriak Lim Ceng Im.
"Jangan mengganggu dia" bisik Lim Peng Hang.
Sementara monyet bulu putih telah melesat ke arah Tio Cie Hiong, bahkan sekaligus
memeriksanya. setelah itu, monyet bulu putih tampak berlega hati.
Berselang sesaat, barulah Tio cie Hiong bangkit untuk berdiri, lalu mendekati Bu Lim sam Mo.
Tio cie Hiong memeriksa nadi mereka, lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela
nafas panjang. setelah itu ia memasukkan pil ke mulut Bu Lim sam Mo. sesaat kemudian, Bu Lim
sam Mo memandang Tio Cie Hiong dengan mata redup.
"cie Hiong...," ujar Tang Hai Lo Mo lemah. "Terima kasih, engkau memang berhati bajik Tapi...
sudah terlambat karena tadi kami tidak mau mendengar nasehatmu."
"Bu Lim sam Mo, kalian ingin meninggalkan suatu pesan?" tanya Tio Cie Hiong lembut.
"cie Hiong...," sahut Thian Mo dengan nafas memburu. "Tolong... tolong cari Liu siauw Kun,
nasehati dia agar tidak melakukan kejahatan"
"Ya." Tio Cie Hiong mengangguk. Padahal ia sudah tahu bahwa Liu siauw Kun telah mati di
tangan Tan Li cu, namun ia tidak ingin mengecewakan Bu Lim sam Mo yang telah sekarat.
"cie Hiong...," Tang Hai Lo Mo tersenyum. "Kami... kami yang bersalah, karena tidak mau
mendengar nasehat paman guruku. Kami... kami...."
Mendadak kepala Tang Hai Lo Mo terkulai, begitu pula Thian Mo dan Te Mo. Ternyata nafas
mereka telah putus.
"Aaaah..." Tio Cie Hiong menghela nafas panjang. "Aku tidak tega membunuh kalian, tapi kalian
yang menyerangku dengan iweekang sepenuhnya. Kalau tidak. kalian pasti tidak akan mati."
"Kakak Hiong" Lim Ceng Im mendekatinya. "Kakak Hiong...."
"Adik Im...." Tio Cie Hiong langsung memeluknya, sekaligus membelainya dengan penuh cinta
kasih. "Kakak Hiong...." Lim Ceng Im menangis tensak-isak dengan air mata berderai-derai.
"Adik Im, jangan menangis Aku telah berada di sisimu." Tio Cie Hiong membelainya lagi.
"Huaha ha ha" sam Gan sin Kay yang usil itu tertawa gelak. "Dekap dan membelai nih ya"
"Kakek...." Kali ini Lim Ceng Im tidak cemberut, melainkan tersenyum gembira, lalu mendadak
mengecup pipi Tio cie Hiong.
"Wuaaah" sam Gan sin Kay tertawa lagi. "Kecupan mesra tuh"
Lim Ceng Im tersenyum malu dan Tio Cie Hiong menatapnya mesra. setelah itu, ia
mengeluarkan sebutir pil.
"Adik Im, telanlah obat pemunah racun ini" Lim Ceng Im mengangguk dan langsung menelan
obat tersebut. Kemudian Tio Cie Hiong mendekati It sim Sin Ni dan lainnya. la pun memberikan
obat pemunah racun kepada mereka, kemudian berkata pada Kou Hun Bijin. "Terima kasih, Kak"
"Hi hi Hi" Kou Hun Bijin tertawa gembira. "Adik kecil kini malah engkau yang berhutang budi
kepadaku."
"Kak. aku harus bagaimana membalas budi kebaikanmu?"
"Cukup dengan mencintai dan menyayangi Ceng Im. selamanya kalian tidak boleh ribut, harus
hidup rukun dan bahagia."
"Ya, Kak."
"Bijin" It sim sin Ni mulai bersuara. Kelihatannya racun yang mengidap di tubuhnya telah punah.
"Bagaimana engkau bisa muncul begitu kebetulan?"
"Sesungguhnya bukan kebetulan, melainkan memang sengaja muncul untuk menolong kalian,"
jawab Kou Hun bijin jujur. "Aku sudah tahu tentang kalian ditangkap. hanya saja aku tidak berani
turun tangan menolong kalian, sebab kepandaian Bu Lim sam Mo sangat tinggi."
"Kok engkau bisa tahu?" tanya It sim sin Ni.
"Itu adalah jasa Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui." Kou Hun Bijin memberitahukan. "Mereka
yang memberitahukan kepadaku secara diam-diam. Namun ketika aku muncul, kami berpura-pura
bersitegang. setelah itu, aku mengeluarkan dua buah medali."
"Benarkah kedua medali itu begitu berkuasa atas diri Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui?" tanya
It sim sin Ni. "Tentu tidak," sahut Kou Hun Bijin sambil tertawa cekikikan. "Itu hanya sandiwara belaka. Hi hi
hi..." "Kakak...." Tio Cie Hiong terbelalak mendengar penuturan wanita itu.
"Bagaimana adik kecil" Kakak cukup baik terhadapmu, bukan?" Kou Hun Bijin menatapnya
sambil tersenyum.
"Terima kasih atas semua kebaikan Kakak" ucap Tio Cie Hiong sambil memberi hormat.
"sama-sama" Kou Hun Bijin tertawa, kemudian mendadak berseru dengan suara nyaring. "Kini
kalian boleh keluar"
Tiba-tiba muncul beberapa orang, yang ternyata para ketua tujuh partai besar.. "Eeeeh?" Bu Lim
Ji Khie dan lainnya terheran-heran. "Kok mereka juga ada di sini?"
"Aku yang mengundang mereka ke mari," sahut Kou Hun Bijin memberitahukan. "Mereka semua
sudah tahu bahwa,Tio Cie Hiong memakai kedok kulit"
"Omitohud omitohud...," ucap Hui Khong Taysu ketua siauw Lim Pny. "Kini segalanya telah
beres. omitohud...."
"Ha ha ha" It Hian Tejin tertawa gelak. "Mulai sekarang rimba persilatan akan aman."
"Pek Ih sin Hiap memang luar biasa" ujar wie Hian cinjin, ketua Kun Lun pay. "Sekaligus telah
menyelamatkan rimba persilatan."
Para ketua tujuh partai terus-menerus memuji dan menyanjung Tio Cie Hiong sehingga
membuat pemuda itu menjadi kikuk. Lie Man chiu yang menyaksikan itu, mendadak terasa ada
suatu ganjalan di dalam hatinya. Ganjalan apa itu" Hanya dia seorang yang mengetahuinya.
Sementara Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui menggali sebuah lubang, lalu mengubur mayat Bu
Lim sam Mo. "Adik kecil," ujar Kou Hun Bijin sambil tersenyum. "Kwan Gwa siang Koay dan Lak Kui memang
sering melakukan kejahatan, tapi kini merekalah yang paling berjasa dalam hal menolong nenekmu
dan lainnya. oleh karena itu, kakak harap. engkau sudi mengampuni mereka"
"Pek Ih sin Hiap." ucap Kwan Gwa siang lyoay dan Lak Kid. "Kami semua bersedia dihukum."
"Siang Koay Lak Kui," sahut Tio Cie Hiong sambil tersenyum. "Aku sungguh harus berterima
kasih kepada kalian. Kalau tiada, kaliah, tentu nenekku dan lainnya akan celaka."
"Jangan berkata begitu...." Kwan Gwa siang Koay menundukkan kepala. "Kami... kami mohon
ampun" "Siang Koay Lak Kui" Tio Cie Hiong memegang bahu mereka seraya berkata, "Kita adalah
teman." "Terimakasih, Pek Ih sin Hiap Terima-kasih...."
"Kini urusan di sini telah beres" seru Sam Gan Sin Kay lantang. "Mari kita ke markas pusat Kay
Pang" Betapa ramainya suasana di markas pusat Kay Pang, bahkan sangat semarak pula dan
terdengar suara tawa gembira di sana-sini. Mereka bersulang dengan wajah ceria, terutama Tio Cie
Hiong dan Lim Ceng Im.
"Lim Pangcu," ujar Tio Tay seng sambil tertawa gelak. "Kini secara resmi kami, pihak Hong
Hoang To melamar putrimu untuk Cie Hiong."
"Ha ha ha" Lim Peng Hang tertawa gembira, "Tanpa dilamar pun telah kuterima Cie Hiong
sebagai mantu"
"Huaha ha ha" sam Gan sin Kay tertawa terbahak-bahak. "Tio Tocu, kapan akan dilangsungkan
pernikahan mereka?"
"Kami akan mengadakan pesta di pulau Hong Hoang To," sahut Tio Tay seng dan
menambahkan. "Karena putriku juga akan melangsungkan pernikahannya dengan Lie Man chiu."
"Ayah...." Wajah Tio Hong Hoa langsung memerah.
"Terimakasih, Paman" ucap Lie Man Chiu dengan tersenyum gembira.
Pada saat bersamaan, mendadak muncul rombongan Tayli, yaitu sin san Lojin, Ang Kin sian Li,
Toan wie Kie, Gouw sian Eng, Lam Kiong hujin, Lam Kiong Bie Liong dan Toan pit Lian.
"Kakek. Ayah" seru Gouw sian Eng dan langsung mendekap di dada Gouw Han Tiong.
"Nak...." Gouw Ha n Tiong membelainya dengan penuh kasih sayang.
Toan wie Kie segera memberi hormat kepada Gouw Han Tiong dan Tui Hun Lojin, juga
memberi hormat kepada yang lain.
"Huaha ha ha" sam Gan sin Kay tertawa gelak. "Bagaimana kalian bisa tiba di sini begitu tepat
waktunya?"
"Ha ha ha" sin san Lojin tertawa. "Belasan hari yang lalu, Tayli Lo Ceng menyuruh kami
berangkat ke mari. Lo Ceng itu bilang, semua urusan di sini telah beres, maka kami boleh ke mari."
"Sialan tuh kepala gundul" Caci Kou Hun Bijin. "Dia sudah tahu akan kejadian ini, namun...
malah bersembunyi di tempat yang begitu jauh."
"Bijin," bisik Kim siauw suseng. "Tidak baik mencaci Lo Ceng itu."
"Eh" Engkau...." Kou Hun Bijin melotot, tapi kemudian malah tersenyum. "Benar, benar.
Memang tidak baik mencaci Tayli Lo Ceng."
"Bukan main" seru sam Gan sin Kay. "Kou Hun Bijin bisa menuruti perkataan sastrawan sialan
itu Ha ha ha..."
"Pengemis bau" Wajah Kou Hun Bijin langsung berubah kemerah-merahan, sehingga menambah
kecantikannya. Itu membuat Kim siauw suseng menatapnya dengan mata terbelalak, sudah barang
tentu membuat wajah Kou Hun Bijin bertambah merah. "Kenapa sih engkau menatapku dengan
cara begitu?"
"Itu pertanda dia sangat mencintaimu, Bijin," sahut sam Gan sin Kay sambil tertawa.
"Eh" Pengemis bau" Kou Hun Bijin melotot. "Engkau belum pernah ditampar, ya?"
"Jangan, jangan" sam Gan sin Kay cepat cepat mundur.
"Kou Hun Bijin Kim Siauw Suseng" Mendadak It Sim Sin Ni memandang mereka dengan serius
sekali. "Benarkah kalian sudah saling mencinta?"
"Kami... ini... itu...." Kou Hun Bijin tergagap. tapi matanya melirik Kim siauw suseng.
"sin Ni," jawab Kim siauw suseng sungguh-sungguh. "Kami berdua memang telah saling
mencinta."
"Kalau begitu, kalian berdua boleh menikah," ujar It sim sin Ni sambil tersenyum.
"Terimakasih, sin Ni" ucap Kim siauw suseng sambil memberi hormat. Begitu pula Kou Hun Bijin.
"selamat, selamat" sam Gan sin Kay dan lainnya langsung memberi selamat kepada mereka
berdua. "Kim siauw suseng, kita tinggal di Kwan Gwa saja" bisik Kou Hun Bijin.
"Ya." Kim siauw suseng mengangguk. "Tapi sebelumnya kita harus menghadiri pesta pernikahan
Tio Cie Hiong dengan Lim Ceng Im di pula Hong Hoang To"
"Baik," Kou Hun Bijin menurut.
"Paman" tanya Tio Cie Hiong. "Kapan kita berlayar ke pulau Hong Hoang To?"
"Besok." sahut Tio Tay seng lalu berseru. "Aku mengundang semuanya ke pulau Hong Hoang To
untuk menghadiri pesta pernikahan cie Hiong dan putriku"
"Kalau begitu, kita harus membeli sebuah kapal besar," usul sam Gan sin Kay dan melanjutkan.
"Agar semuanya bisa berangkat bersama."
"Benar." Tio Tay seng mengangguk.
Di saat bersamaan, muncul seorang gadis berlari ke dalam dengan rambut awut-awutan seraya
berseru-seru. "Kakak Cie Hiong Kakak Cie Hiong"
Semua orang terbelalak ketika melihat gadis itu, karena tiada seorang pun mengenalnya.
"Eh" Adik Hiang?" Tio cie Hiong tertegun. "Engkau...."
"Kakak Cie Hiong" Gadis itu ternyata Yo suan Hiang, putri Yo Huai An. la langsung mendekap di
dada Tio cie Hiong sambil menangis sedih. "Kakak cie Hiong...."
"Adik Hiang, kenapa engkau ke mari?" tanya Tio Cie Hiong keheranan.
"Ayahku telah meninggal...." Yo suan Hiang memberitahukan dengan air mata berderai-derai.
"Tunanganku dan ayahku telah dibunuh...."
"oh?" Tio Cie Hiong tersentak. "Siapa yang membunuh ayahmu dan mereka?"
"orang-orang Hiat Ih Hwe. Aku... aku berhasil meloloskan diri, maka segera ke mari."
"Tenang, tenang"
"Kakak Cie Hiong, kini aku sudah sebatang kara. Aku... aku harus bagaimana?"
"Tenang" Tio Cie Hiong tidak tahu harus bagaimana menghibur gadis itu. sedangkan Lim Ceng
Im hanya berdiri melongo di tempat. Kejadian yang mendadak itu membuatnya tertegun.
"Cie Hiong" Tio Tay seng mengerutkan kening. "siapa gadis itu?"
"Paman, dia adalah Yo suan Hiang, putri mantan Menteri Yo." Tio Cie Hiong memberitahukan.
"oooh" Tio Tay seng manggut-manggut.
"Paman," ujar Tio Cie Hiong bermohon. "Kini dia telah sebatang kara bagaimana kalau Paman
menerimanya sebagai murid?"
"Baik, baik" sahut Tio Tay seng karena merasa simpati kepada gadis itu.
"Adik Hiang, cepatlah engkau berlutut kepada pamanku, sebab engkau akan diterima sebagai
murid" ujar Tio Cie Hiong. Yo suan Hiang segera berlutut di hadapan Tio Tay seng.
"Suan Hiang memberi hormat kepada Guru" ucapnya dengan terisak-isak.
"Suan Hiang" Tio Tay seng tersenyum. "Mulai saat ini engkau menjadi muridku, maka engkau
harus ikut kami kepulau Hong Hoang To untuk belajar kepandaian tinggi."
"Ya, Guru. suan Hiang harus menuntut balas kelak"
"Sekarang bangunlah"
"Ya, Guru" Yo suan Hiang bangkit berdiri, dan mendadak teringat sesuatu. "Kakak Cie Hiong, di
mana calon istrimu?"
"Ini." Tio Cie Hiong menunjuk Lim Ceng Im, yang berdiri melongo itu.
"Adik Ceng Im, maafkan aku jangan salah paham, aku menganggap Kakak Cie Hiong sebagai
kakakku sendiri" ujar Yo suan Hiang.
"Kak. aku tidak akan salah paham." Lim Ceng Im tersenyum sambil menggenggam tangannya.
"Hanya saja aku sempat kaget, karena Kakak Hiong belum menceritakan kepadaku tentang dirimu."
"oh?" Yo suan Hiang merasa heran.
"Ha ha ha" sam Gan sin Kay tertawa. "cie Hiong lelah menceritakan kepada kami. Hanya belum
sempat menceritakan kepadamu, cucuku."
"ooooh" Lim Ceng Im manggut-manggut.
"Kawan-kawan dan para ketua tujuh partai" ujar Tio Tay seng dengan suara lantang. "Besok kita
akan berlayar ke pulau Hong Hoang To"
Mulai sekarang Tio Cie Hiong dan Lim Ceng Im tidak akan berkisah lagi. Mereka telah melewati
berbagai percobaan yang membuat mereka menderita, namun akhirnya mereka hidup bahagia di
pulau Hong Hoang To, tak berpisah selama-lamanya, bahkan mereka tidak mau mencampuri
urusan rimba persilatan.
Setelah Bu Lim sam Mo mati, betulkah rimba persilatan akan aman dan damai tiada badai apa
pun" Justru sungguh di luar dugaan, dalam rimba persilatan telah muncul Hiat Ih Hwe siapa ketua
perkumpulan itu, tiada seorang kaum rimba persilatan yang mengetahuinya. Di samping itu, timbul
pula pemberotakan pemberotakan di mana-mana....
TAMAT

Kesatria Baju Putih Pek In Sin Hiap Karya Chin Yung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar Laknat 13 Kuda Putih Karya Okt Manusia Harimau Jatuh Cinta 7

Cari Blog Ini