Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
Kalau menghadapi pengeroyokan, biarpun aji pukulan ampuh itu mampu memukul tewas dengan sekali pukul beberapa orang pengeroyok, namun gerakannya tidaklah begitu cepat sehingga pertahanannya terbuka dan diapun tentu akan dapat terkena serangan para pengeroyok yang bagaikan hujan datangnya itu. Untuk mempertahankan dirinya, terpaksa dia mainkan ilmu lain, yaitu mempergunakan kuda-kuda Wandiro Kingkin dan memainkan pukulan Bajradenta. Bahkan kemudian dia terpaksa mencabul keris Hat Nogo pemberian Raden Wijaya untuk membela diri. Dengan keris itu, dia menangkis sambaran senjata-senjata lawan yang tak dapat dielakkan, sementara itu, kedua kakinya dan tangan kirinya melakukan serangan balasan yang kembali berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi jumlah pengeroyok tidak pernah berkurang karena selalu bertambah orang kalau ada pengeroyok yang roboh.
Cuaca menjadi semakin gelap dan Nurseta sudah terkena pukulan bermacam senjala lawan. Akan tetapi karena dia mengerahkan kekebalan, maka yang robek-robek hanya pakaiannya saja sedangkan kulit tubuhnya belum ada yang terluka sedikitpun. Akan tetapi, dia menjadi lelah bukan main. Sejak tadi dia terus menerus mengerahkan tenaga menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Ketika gerakannya agak mengendur, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya menyambar dan mengenai pinggangnya.
"Desss........" Tendangan Aji Cakrabairawa itu amat kuatnya dan biarpun Nurseta sudah menahan dengan kekebalan tubuhnya, telah mengerahkan tenaga sakti ke dalam pinggang yang tertendang, tetap saja dia terpelanting roboh. Pada saat itu, sebatang pedang dan sebatang tombak menyambar dari kanan kiri. Dia mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya mendorong ke atas dalam keadaan telentang, dan dari kedua tangan itu menyambar tenaga dahsyat dari Aji Jagad Pralaya. Dua orang perwira yang menyerangnya itu menjerit dan tobuh mereka terlempar sampai jauh dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Akan tetapi pada saat itu juga, Ki Cucut Kalasekti sudah menubruk dari samring dan kedua lengan Nurseta dapat ditangkap dan ditelikungnya, Ki Buyut Pranamaya datang membantu, tangannya menghantam tengkuk pemuda itu dan Nurseta terkulai pingsan.
"Jangan bunuh dia" Ki Cucut Kalasekti membentak dan melarang para perwira Daha yang hendak menyerang pemuda yang sudah pingsan itu. Karena semua perwira mengenal Ki Cucut Kalasekti atau Adipati Satyanegara dari Bendowinangun sebagai seorang kepercayaan Snbaginda, maka merekapun tidak berani membantah.
Ketika Ki Buyut Pranamaya bertanya mengapa pemuda yang amat berbahaya itu tidak dibunuh saja, Ki Cucut Kalasekti tertawa.
"Hahahaha, kita rugi besar kalau dia dibunuh. Ingat, tombak pusaka itu belum jatuh ke tangan kita. Nurseta inllah yang akan mendatangkan tombak pusaka itu kepada kita. Untuk menebus nyawanya, kalau tombak itu berada padanya, tentu dia akan menukar tombak itu dengan nyawanya. Sebaliknya kalau tidak ada padanya dan masih berada di tangan WuJansari, maka kalau gadis setan itu mendengar bahwa Nurseta menjadi tawanan di Kediri, tentu ia akan datang ke sini"
"Hemm, gadis itu bukan orang bodoh. Bagaimana kalau ia tidak datang" Berarti kita akan membuang waktu sia-sa saja" kata Ki Buyut Pranamaya.
"Ha haha, ia memang bukan orang bodoh, akan tetapi apakah kau kira aku ini bodoh" Ingat, Wulansari itu aku yang mendidiknya sehingga menjadi pintar, maka tentu aku lebih pintar dari padanya. Aku mengenalnya sejak ia masih remaja, dan aku tahu benar akan wataknya. la seorang gadis yang keras hati dan pemberani, juga ia amat mencinta Nurseta. Kalau ia mendengar bahwa orang yang dikasihinya itu tertawan, tentu ia akan menggunakan segala dayanya untuk menyelamatkan Nurseta. Aku merasa yakin bahwa ia tentu akan muncul disini"
Demikianlah, Nurseta menjadi seorang tawanan yang ditahan di dalam penjara bawah tanah yang amat kuat. Bukan hanya kaki tangannya yang dibelenggu. juga tempat tahanan itu dijaga ketat bahkan selalu diamati oleh dua orang kakek sakti sehingga dia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lolos dari situ.
Mulailah Narseta merasa menyesal mengapa dia tidak ingat akan dua orang kakek yang sakti itu sehingga dia sampai tertawan. Dia tidak menyesal menjadi tawanan, bahkan andaikata dia matipun dia tidak akan menyesal. Yang disesalkan adalah karena tugasnya belum selesai. Ki Ageng Tejanirmala belum dapat dia serahkan kepada Raden Wijaya.
Sang Prabi Jayakatwing girang mendengar laporan Ki Cucut Kalasekti bahwa tombak pusaka itu tentu akan dapat ditemukan kembali dengan ditawannya Nurseta. Hal ini sedikitnya menjadi penghibur hatinya yang gelisah karena adanya gerakan pemberontakan dari Majapahit dan Madura, apa lagi dengan adanya berita bahwa dari pantai utara datang pasukan Tartar yang amat kuat.
Dugaan Ki Cucut Kalasekti memang tidak ngawur. Ketika Wulansari yang menyamar sebagai pria menyelundup ke dalam kota raja Kediri, dan ia mendengar berita yang sengaja disebar bahwa Nurseta telah menjadi tawanan Sang Prabu Jayakatwang, ia terkejut bukan main.
Dengan hati-hati ia meiakukan penyelidikan dimana pemuda yang dikasihinya itu ditahan. Ketika ia mendengar bahwa Nurseta ditahan di dalam penjara bawah tanah dan dijaga sendiri oleh Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, ia terkejut bukan main dan iapun tahu bahwa menolong kekasihnya dengan kekerasan merupakan suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Sebagai seorang bekas pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, ia tahu apa artinya ditahan di dalam penjara bawah tanah, yaitu bahwa orang yang ditahan di sana tidak mungkin dapat dibebaskan dari luar. Selain penjagaan amat ketat, juga memiliki banyak pintu yang tebal. Apa lagi ada dua orang kakek sakti itu yang berjaga. Jalan kekerasan tidak mungkin dapat membebaskan kekasihnya, akan tetapi bagaimanapun juga ia harus membebaskan Nurseta. Hidupnya takkan ada artinya lagi kalau sampai Nurseta tewas, apa lagi tewas sebagai seorang tawanan. Andaikata kekasihnya itu gugur di medan pertempuran, hal itu masih dapat diterimanya, Akan tetapi mati dalam tawanan musuh. Tidak, ia harus dapat menolongnya. Harus.
*** "Berhenti. Siapa kau yang berani lancang masuk ke sini?" bentak seorang komandan jaga dan selusin perajurit pengawal diluar istana Kerajaan Daha sudah menodongkan tombak mereka kepada pemuda yang berani memasuki pekarangan itu.
"Hemm, apakah kalian sudah tidak mengenalku lagi?" kata Wulansari dengan suara biasa, suara wanita.
"Ia...... ia........ seorang wanita......"
"Seperti........ Wulansari........"
Wulansari tersenyum"Benar, aku Wulansari. Aku ingin menghadap Sribaginda. Harap laporkan ke dalam, katakan bahwa aku Wulansari ingin menghadap Gasti Prabu Jayakatwang. Penting sekali"
Gegerlah keadaan para perajurit pengawal itu. Mereka tentu saja sudah mengenai Wulansari, bahkan biasanya mereka kagum dan juga jerih terhadap pangawal pribadi Sribaginda yang sakti ini. Akan tetapi merekapun mendengar bahwa gadis perkasa ini telab minggat dan kini menjadi buruan. Dan merekapun sudah mendengar pesan Ki Cucut Kalasekti agar cepat melapor kalau Wulansari muncul.
Selagi mereka itu kebingungan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan muncullah dua orang kakek sakti yang membuat para perajurit itu bernapas lega. Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya yang kebetulan baru keluar dari istana segera mengenal "pemuda" yang dihadapi oleh para perajurit pengawal dengan sikap bingung itu.
"Ha haha, tidak salah dugaanku. Kau pasti akan muncul, Wulansari cucuku yang cantik, hehheh " kata Ki Cucut Kalasekti sambil menghampiri gadis yang berpakaian pria itu.
"Ki Cucut Kalasekti, ingat, aku bukan cucumu" kata Wulansari dengan sikap angkuh"Heh heh, Wulansari muridku yang manis?"
"Hanya bekas murid, Ki Cucut. Ingat, sekarang aku musuhmu, bukan lagi muridmu"
"Ha ha ha, baru mendapatkan beberapa petunjuk dari mendiang Panembaban Sidik Danasura, kau sudah menjadi begini sombong, Wulan. Nah, katakan kepadaku, bukankah kedatanganmu ini karena Nurseta?"
Wulansari mengerutkan alisnya. Sebelum ia datang ke istana Daha, ia telah mengatur siasat sematangnya, bahkan munculnya dua orang kakek sakti inipun tidak mengejutkan hatinya karena memang sudah ia perhitungkan dan iapun sudah mengatur siasat bagaimana untuk menghadapi dua orang kakek sakti ini.
"Ketahuilah. Ki Cucut Kalasekti, juga kau Ki Buyut Pranamaya. Aku datang ini sama sekali tidak ada urusannya dengan kau berdua, atau dengan siapa saja. Aku datang untuk menghadap Sang Prabu Jayakatwang sendiri"
"Wah, Ki Cucut, bekas muridmu ini sungguh tinggi hati dan besar kepala" Ki Buyut Pranamaya mencela dengan hati panas karena dia sama sekali tidak dipandang mata oleh gadis itu.
"Wulan, jangan kau bersikap begini. Kau datang untuk minta agar Nurseta dibebaskan, bukan" Nah, serahkanlah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada kami, dan kami akan menyerahkan Nurseta kepadamu"
"Ki Cucut, sudah kukatakan bahwa aku tidak mau berurusan dengan kalian berdua. Aku hanya mau berurusan dengan Sang Prabu Jayakatwang"
"Babo babo, bocah sombong" Ki Buyut Pranamaya berseru "Kalau kami turun tangan menangkapmu, apa kau kira akan mampu lolos dari tangan kami " Kau sudah berada di sini. terkepung, biar pandai terbangpun takkan dapat lolos. Tidak perlu berlagak lagi"
"Siapa perduli obrolanmu, Ki Buyut " Kalian boleh. tangkap aku, boleh bunuh aku, akan tetapi jangan harap bisa mendapatkan tombak pusaka itu. Boleh pilih, hadapkan aku kepada Sang Prabu Jayakatwang sekarang juga dan aku akan menyerahkan tombak pusaka kepadanya, atau kalian menghalangiku dan aku akan melawan sampai mati, akan tetapi jangan harap tombak pusaka itu akan dapat kalian peroleh"
Ki Buyut Pranamaya membentak, "Huh, kau kira bisa menggertakku" Kalau kau sudah kusiksa, hendak kulihat apakah kau tidak akan menyerahkan tombak itu" Dia sudah hendak bergerak menyerang, akan tetapi Ki Cucut Kalasekti menengahi. Dia sudah mengenai watak gadis yang pernah menjadi murid dan cucu terkasih ini. Dia tahu bahwa Wulansari amat keras hati dan tidak takut mati. Biar disiksa bagaimacapun juga, sampai mati, ia pasti tidak akan sudi menyerah. Dan akibatnya, dia dan Ki Buyut Pranamaya yang akan menanggung kemarahan Sang Prabu Jayakatwang. Dan hal itu tentu saja amat berbahaya bagi mereka.
"Baiklah, Wulansari. Kami akan mengantarmu menghadap Prabu Jayakatwang. Akan tetapi awas, kami selalu berada di dekatmu dan kalau kau membuat ulah yang tidak-tidak, kami tidak akan segan segan untuk membunuhmu" kata Ki Cucut Kalasekti.
"Dan menyiksamu" tambah Ki Buyut Pranamaya.
Seorang perajurit lalu diperintah oleh Ki Cucut Kalasekti untuk melapor ke dalam agar disampaikan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa dia dan Ki Buyut Pranamaya mohon menghadap bersama Wulansari.
Mendengar laporan itu, Sang Prabu Jayakatwang dengan bersemangat sekali lalu memerintahkan tiga orang itu menghadapnya. Dia pun mempersiapkan pasukan pengawal pribadi untuk menjaga keselamatannya, karena bagaimanapun juga, dia masih curiga kepada Wulansari yang telah melarikan Dyah Gayatrt dan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dari dalam istana.
Ketika dua orang kakek sakti itu menyembah kepada Sang Prabu Jayakatwang, Wulansari juga memberi hormat, akan tetapi ia tidak berlutut, hanya menyembah sambil berdiri saja. Melihat sikap ini, Sang Prabu Jayakatwang memandang kepada gadis yang pernah disayangnya itu.
"Hemm, kiranya kau, Wulansari. Kalau kami menghendaki, sekarang juga tanpa banyak cakap, aku dapat memerintahkan agar kau ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi sebelum aku lakukan itu, aku ingin mendengar dulu apa maksudmu datang menghadap kami" Jelas babwa dalam suara Sribaginda mengandung kemarahan terhadap gadis ini. Akan tetapi Wulansari bersikap tenang saja. Hal inipu sudah diperhatikannya dan sudah diduganya akan terjadi.
"Hamba mengerti akan kemarahan paduka, gusti. Akan tetapi hambapun tidak merasa bersalah. Kepergian Puteri Gusti Dyah Gayatri adalah atas kehendaknya sendiri......."
"Akan tetapi kau telah berani mencurl Ki Ageng Tejanirmala" Sang Prabu Jajakatwang membentak marah.
"Bagaimanapun juga, tombak pusaka itu daiulunya adalah hamba yang mendapatkan. Akan tetapi, gusti, Hamba datang bukan untuk membicarakan soal yang telah lalu, Hamba datang untuk menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada paduka dengan syarat agar kakangmas Nurseta yang paduka tawan itu dibebaskan. Hamba hendak menukarkan Ki Ageng Tejanirmala dengan kakangmas Nurseta"
"Omong besar" Raja itu membentak, marah karena ada orang berani mengajukan tuntutan kepadanya seperti itu, seolah-olah dia yang hendak diperintah "Kau sungguh sumbong, Wulansari. Kalau sekarang aku perintahkan kau ditangkap, dan kami paksu untuk mengembalikan tombak pusaka itu, apa kau kira akan mampu lolos ?"
Wulansari tersenyum. Senyum yang dahulunya selalu mendatangkan perasaan aman dalam hati Sribaginda, kini senyum itu seperti keris penusuk ulu hatinya, "Gusti, kalau hamba takut akan ancaman itu, tentu hamba tidak akan datang ke sini. Kalau paduka menyuruh menangkap dan membunuh hamba, tombak pusaka itu selamanya tidak akan kembali ke tangan paduka. Biar paduka menyuruh orang menyiksa hamba sampai mati, hamba tidak akan menyerahkan tombak pusaka itu. Maka, paduka tinggal pilih. Menurutl permintaan hamba agar kakangmas Nurseta ditukar dengan Ki Ageng Tejanirmala, atau hamba akan mengamuk. Dan kiranya tidak akan mudah menangkap hamba, biar di sini ada dua orang kakek iblis ini" Kini suara Wulansari penuh tantangan. Wajah raja itu menjadi agak pucat. Dia marah sekali dan ingin dia mengeluarkan perintah agar gadis ini dikeroyok dan ditangkap, akan tetapi dia teringat akan kepentingan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Tombak pusaka itu adalah wahyu kerajaan. Kerajaan Daha akan selalu jaya kalau dia memiliki tombak pusaka itu. Pada hal, sekarang Kerajaan Daha sedang terancam malapetaka karena pemberontakan Raden Wijaya. Dia merasa bimbang, diombang-ambingkan kemarahan dan juga keinginan memiliki kembali tombak pusaka itu.
Pada saat itulah Ki Cucut Kalasekti yang maklum akan isi hati junjungannya, menyembah dan berkata, "Ampunkan hamba, gusli. Kalau paduka mengijinkan, biarlah hamba berdua Ki Buyut Pranamaya berurusan dengan Wulansari. Hamba berdua yang akan menanggung bahwa tombak pusaka itu pasti akan diserahkan oleh Wulansari kepada hamba berdua. Hamba yang akan mengawal Nurseta ketika pertukaran terjadi, dan hamba jamin Wulansari tidak akan dapat menipu paduka. Percayalah, segalanya tentu akan berakhir dengan beres dan menyenangkan, sesuai dengan keinginan hati paduka"
Raja Jayakatwang dapat menangkap apa yang tersembunyi dalam katakata Ki Cucut Kalasekti itu. Dalam kalimat terakhir itu jelas tersimpul janji kakek sakti itu bahwa dia tidak akan begitu bodoh untuk memenuhi permintaan gadis itu begitu saja. Tentu kakek itu telah mengatur akal agar tombak pusaka dapat dikuasai kembali, dan di samping itu, selain Nurseta tidak perlu dibebaskan, juga agar gadis itu dapat ditangkap.
"Heh, Wulansari. Kau sungguh berani mati sekali mengajukan tuntutan kepadaku. Mengapa kau begitu mati-matian untuk membebaskan Nurseta" Apakah alasanmu?"
Tanpa merasa sungkan sedikitpun, Wulansari menjawab dengan suara lantang "Gusti, hendaknya paduka ketahui bahwa kakangmas Nurseta sebenarnya masih sanak keluarga paduka sendiri"
"Ehhh........?"" Sang Prabu Jayakatwang terbelalak, lalu memandang kepada Ki Cucut Kalasekti.
"Bagaimana ini, Adipati Satyanegara, benarkah ucapan Wulansari itu?"
"Hamba sendiri juga tidak tahu, gusti" kata Ki Cucut Kalasekti yang memandang heran kepada bekas muridnya itu.
"Wulansari, bagaimana kau dapat mengatakan demikian" Ada hubungan apa antara Nurseta dengan keluargaku?"
"Hendaknya paduka ketahui bahwa kakangmas Nurseta adalah putera kandung mendiang Pangeran Panji Hardoko"
Sepasang mata Sribaginda makin melebar. Mendiang Pangeran Panji Hardoko adalah adik tirinya, seorang pangeran putera seorang diantara selir ayahnya.
"Tapi.... setahuku, dia meninggal dunia tanpa meninggalkan putera" katanya menyangkal.
"Memang tidak ada yang mengetahui hal itu, gusti. Ayahnya adalah mendiang Pangeran Panji Hardoko dan ibunya adalah Ni Dedeh Sawitri. Sebelum meninggal dunia, Raden Panji Hardoko menyerahkan Nurseta yang masih, bayi kepada Ki Bayaraja yang kemudian memberontak kepada Kerajaan Singosari dan tewas. Nurseta oleh Ki Bayaraja diserahkan kepada adiknya, yaitu mendiang Ki Baka. Demikianlah, gusti. Karena kakangmas Nurseta adalah darah keluarga paduka sendiri, sudah sepatutnya kalau dia diampuni"
"Hemmm, akan tetapi, andaikata dia itu benar keluarga kami, masih tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kau bersusah payah mempertaruhkan nyawa untuk membebaskannya?"
"Dia adalah tunangan hamba" jawab Wulansari dengan berani.
Prabu Jayakatwang tertawa dan mengelus jenggotnya "Aha, kiranya demikian. Pantaslah kalau begitu. Baik, Wulansari. Aku mau menukar Nurseta dengan Ki Ageng Tejanirmala. Apakah sekarang juga kau akan menyerahkan tombak pusaka itu kepada kami?"
"Tombak pusaka itu hamba simpan di suatu tempat dan di sanalah pertukaran itu dapat hamba lakukan, Kakangmas Nurseta harus dibawa ke tempat itu dan di sana hamba akan menukarkan tombak pusaka itu dengan kakangmas Nurseta"
"Hemm, di manakah tempat itu?" Ki Cucut Kalasekti bertanya.
"Di sebuah goa di suatu bukit" jawab Wulansari dengan cerdik. Kalau ia menyebutkan tempat itu dengan jelas, tentu dua orang kakek jahat dan licik ini akan melanggar janji, akan menangkapnya dan mereka akan mengambil sendiri pusaka itu.
"Katakan di mana?" Ki Buyut Pranamaya membentak.
Wulansari tersenyum mengejek "Tidak akan kuberitahu di mana. Pendeknya, tempat itu baru dapat kalian ketahui kalau kakangmas Nurseta sudah dibawa ke sana"
"Hah. Jauhkah dari sini?" Ki Cucut Kalasekti bertanya, khawatir kalau-kalau gadis itu telah mempersiapkan perangkap untuk dia
"Hanya setenjah hari perjalanan" jawab Wulansari dan hati kakek itu merasa lega. Kalau hanya perjalanan setengafa hari, berarti tempat itu masih termasuk wilayah Kediri dan tidak begitu jauh dari kota raja. Tempat itu tentu aman baginya, tidak termasuk daerah musuh.
"Baiklah, mari kita berangkat" katanya kepada Wulansari, dan dia menyembah kepada Sang Prabu Jayakatwang "Gusti, hamba mohon diri, hamba akan membawa Nurseta dari dalam tahanan untuk ditukar dengan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
Prabu Jayakatwang, dengan wajah berserl, mengangguk "Baik, paman adipati. Laksanakan tugasmu sebaik mungkin"
Ki Buyut Pranamaya juga berpamit, dan Wulansari berkata kepada raja itu "Gusti.. hamba menghaturkan terima kasih atas segala kebaikan paduka kepada hamba, dan hamba berjanji bahwa hamba tidak akan mencampuri perang antara Kediri dengan musuh dari manapun juga"
Prabu Jayakatwang mengangguk dan tersenyum. Kau boleh bicara apa saja, gadis manis, pikirnya. Tombak pusaka itu akan kembali kepadanya, dan Nurseta akan tetap ditahan, juga gadis ini akan ditangkap, hidup ataupun mati.
"Diajeng Wulan......." Nurseta terbelalak memandang kepada gadis itu ketika dia dibawa keluar dari dalam penjara bawah tanab oleh Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang.
Wulansari memandang pemuda itu. Kerinduan membayang di matanya. Ingin ia menubruk pemuda yang dicintanya itu, akan tetapi ia menahan gejolak hatinya dan ia hanya tersenyum.
"Kakangmas Nurseta, sukur kau masih selamat dan sehat" katanya lirih dan singkat.
Setelah sejenak menatap wajah pemuda itu dengan sepenuh kasih sayangnya, ia lalu menundukkan pandang matanya. Sikap ini saja sudah dapat ditangkap oleh Nurseta bahwa gadis itu sungguh masih amat mencintanya seperti dia mencinta Wulansari, akan tetapi gadis itu sengaja menunduk dan ini berarti bahwa keadaan gawat dan dia tidak boleh banyak bicara. Akan tetapi, kalau dia diam saja, hal itu bahkan akan menimbulkan kecurigaan dua orang kakek sakti itu, pula, hatinya juga merasa tidak enak sekali kalau dia belum mengetahui apa maksudnya dia dibawa keluar dari penjara dan di situ dia melihat Wulansari telah menanti di alun-alun istana Kerajaan Daha.
"Diajeng Wulansari, apa artinya semua ini" Kenapa kau berada di sini" Apa yang terjadi?"
Sikap dan pertanyaan Nurseta demikiam wajarnya, akan tetapi Wulansari melihat suatu ketidak-wajaran. Dara ini sudah mengenal benar watak Nurseta yang biasanya tenang sekali. Kini pemuda itu kelihatan begitu terheran-heran disertai kekhawatiran, maka iapun dapat menduga bahwa memang pemuda itu sengaja bersikap demikian agar tidak mendatangkan perasaan curiga kepada dua orang kakek sakti. Diam-diam Wulansari kagum bukan main. Kekasihnya itu selain tampan dan sakti, juga cerdik sekali. Akan tetapi ia menymipan kegembiraan dan kekagumannya ini dalam hati, lalu iapun menarik muka khawatir, dan menjawab lirih.
"Kakangmas Nurseta, aku mendengar bahwa kau ditahan di sini. Hatiku menjadi risau dan gelisah bukan main, maka aku lalu nekat menghadap Prabu Jayakatwang untuk memintakan pengampunan untukmu"
"Apa" Kau yang sudah menjadi pelarian dan orang buruan karena melarikan Puteri Dyah Gayatri datang menghadap Sang Prabu Jayakatwang" Diajeng Wulan, itu namanya sama dengan mencari penyakit" Nurseta berseru dan menegur, kembali hal ini tidak wajar bagi Wulansari dan iapun semakin yakin bahwa pemuda itu bersandiwara untuk membantunya menyempurnakan siasat yang sedang ia jalankan.
"Hahaha, Nurseta. Muridku ini bukan mencari penyakit, akan tetapi ia datang untuk menolongmu, dan ia berhasil, hahaha. Kalau tidak ada muridku ini, jangan harap kau dapat hidup" Ki Cucut Kalasekti berkata mengejek.
"Ki Cucut Kalasekti, aku bukan muridmu lagi" Wulansari membentak.
"Tapi....... tapi...... bagaimana kau dapat menolongku, diajeng" Aku masih dibelenggu, dan di sini........ ada dua orang kakek iblis ini........"
"Kakangmas, jangan khawatir. Kau pasti akan dibebaskan, karena sudah kujanjikan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa engkau, akan kutukar dengan tombak pusaka......"
"Ki Ageng Tejanirmala?" Nurseta berseru seperti orang terkejut" dan Wulansari tahu pula bahwa ini adalah buatan, karena betapapun terkejutnya, kekasihnya itu tidak akan memperlihatkannya seperti itu kalau memang tidak disengaja.
"Benar, kakangmas. Hanya itulah yang akan dapat membebaskanmu. Dua orang kakek ini akan ikut bersamaku dengan membawamu, ke tempat pusaka itu kusimpan. Setelah pusaka kuberikan kepada mereka, kau akan dibebaskan. Aku harus melakukan ini, kakangmas, untuk menyelamatkanmu"
"Hahaha, benar sekali itu. Pusaka, tombak pusaka, untuk apa sih bagi seorang gadis manis seperti Wulansari" Tombak pusaka tidak bisa bicara, tidak hidup, tidak bisa bergerak, tidak dapat diajak bercumbu rayu......."
"Tutup mulutmu" Nurseta membentak dan sekali ini bukan hanya pura-pura karena memang dia marah mendengar ucapan itu Ki Cucut Kalasekti, "aku tidak pernah tunduk dan menyerah kepadamu, sampai sekarangpun. Karena itu, jaga baik-baik mulutmu yang kotor"
Demikianlah, kakangmas Nurseta. Mari kau ikut dengan kami, dan kau akan dibebaskan di sana....."
"Tidak. Bagaimana kau hendak menyerahkan tombak pusaka kepada orang-orang ini, diajeng " Tombak pusaka itu berharga sekali, jauh lebih penting dari pada diriku"
"Kakangmas, tombak pusaka itu kuserahkan kepada mereka ini untuk dihaturkun kepada Sang Prabu Jayakatwang. Dan bagiku, di dunia ini tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatanmu. Sudahlah, kakangmas, harap jangan membantah lagi. Mari, Ki Cucut dan Ki Buyut, kita berangkat"
"Nanti dulu, Wulansari. Kami akan membawa pasukan pengawal karena kami khawatir kalau-kalau kau akan menjebak kami, hahaha" kata Ki Cucut Kalasekti tertawa.
Diam-diam Nurseta terkejut. Kalau benar dugaannya bahwa Wulansari pasti tidak akan menyerahkan pusaka itu begitu saja melainkan hendak menggunakan akal, maka dengan adanya pasukan pengawal, maka tentu usaha Wulansari itu akan sia-sia belaka.
"Hemm, Ki Cucut Kalasekti, sungguh kau tidak patut dinamakan seorang datuk yang sakti. Kau sudah berdua bersama Ki Buyut Pranamaya, keduanya orang-orang tua yang katanya sakti mandraguna, digdaya dan tidak takut melawan siapapun juga. Kini, menghadapi seorang gadis seperti diajeng Wulansari saja, kalian sudah ketakutan setengah mati sehingga kalian merasa perlu membawa pasukan pengawal. Sungguh tidak tahu malu sekali"
"Hahaha, kami berdua tidak takut kepada Wulansari dan kepadamu, Nurseta" kata Ki Cucut Kalasekti "Akan tetapi siapa tahu Wulansari menyembunyikan teman temannya di tempat itu. Kami harus membawa pasukan"
"Sesukamulah, Ki Cucut Kalasekti. Aku memang tahu bahwa kau seorang pengecut. Berapa ribukah pasukan yang kau bawa serta?" kata Wulansari dengan suara dan sikap mengejek sekali sehingga mau tidak mau wajah kakek itu berubah kemerahan.
"Keparat, berani kau memaki aku pengecut" Pasukan ini hanya untuk berjaga-jaga, seratus orangpun sudah cukup"
"Wulansari, awas kau kalau menipu kami" kata Ki Buyut Pranamaya
"Diajeng Wulan, hati-hatilah. Aku tahu bahwa kau jujur dan memegang janji, akan tetapi mereka ini orang-orang yang amat kejam dan curang. Aku tetap tidak percaya kepada mereka"
"Jangan khawatir, kakangmas. Sang Prabu sendiri sudah berjanji kepadaku. Akan tetapi, baik juga kalau kau berdua, Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, sekarang mengucapkan janji bahwa kalian di sana tidak akan mengganggu kami dan melepaskan kakangmas Nurseta"
"Aku berjanji tidak akan mengganggu Nurseta dan akan melepaskannya" kata Ki Cucut Kalasekti.
"Dan aku berjanji tidak akan menpganggumu, Wulansari" kata Ki Buyut, Pranamaya cepat-cepat.
"Mari kita berangkat" kata Wulansari, agaknya tidak perduli bahwa dua orang kakek itu membawa seratus orang perajurit pengawal. Mereka semua menunggang kuda. Wulansari menunggang kuda, dan Nurseta juga mendapatkan seekor kuda. Kedua tangannya yang tadinya dibelenggu ke belakang, kini dibelenggu di depan sehingga dia dapat memegang kendali kuda, akan tetapi kalau Wulansari menunggang kuda di depan sendiri, Nurseta harus menjalankan kudanya di antara dua orang kakek itu. Pasukan seratus orang perajurit pengawal mengikuti dari belakang.
Karena mereka menunggang kuda, maka rombongan ini dapat tiba di tempat tujuan lebih cepat. Tengahari lewat sedikit mereka sudah mendaki sebuah bukit, yaitu Bukit Menur. Bukit itu merupakan satu diantara ribuan bukit yang memanjang di sebelah selatan dari barat ke timur, sebuah bukit kapur di mana terdapat banyak goa. Bukit yang hutannya tidak begitu lebat namun daerahnya liar dan tidak ditinggali penduduk.
Dua orang kakek itu memberi isarat kepada pasukannya agar berhati-hati walaupun bukit ini masih berada di wilayah Kediri.
Setelah tiba di bawah sebuah puncak batu karang dan kapur, Wulansari menghentikan kudanya, lalu melompat turun., Melihat ini, dua orang kakek itupun berlompatan turun dan Nurseta juga disuruh turun akan tetapi tetap berada di antara dua orang kakek itu yang menghampiri Wulansari.
Wulansari menunjuk ke puncak itu "Pusaka itu kusimpan di sana, dan untuk mendaki ke sana harus berjalan kaki, tidak dapat berkuda"
Dua orang kakek itu, juga Nurseta, memandang ke atas. Puncak itu penuh dengan batu-batu besar dan dari bawah memang nampak lubang-lubang goa, akan tetapi entah di goa yang mana pusaka itu disimpan.
Ki Cucut Kalasekti memberi isarat dengan gerak tangannya kepada empat orang perwira yang memimpin pasukan itu, kemudian dia berkata kepada Wulansari. Baiklah, mari kita mendaki ke atas" Dan diapun menggapai kepada seorang perwira agar ikut mendaki ke atas.
Wulansari melihat betapa pasukan itu bergerak mengepung puncak, akan tetapi ia berpura-pura tidak melihat ini, lalu ia menjadi penunjuk jalan dan mendaki naik. Ternyata memang hanya ada jalan setapak menuju puncak itu. Jalan setapak yang tidak dapat dilalui kuda. Selain jalan itu, tidak ada jalan lain yang lebih baik karena selain di bawah puncak terdapat benyak jurang, juga penuh dengan batu-batu yang mudah longsor.
Puncak itu sendiri merupakan dataran yang penuh batu dan goa.
Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar kcras. Dia tidak tahu apa yang akan dilakakan gadis itu, namun dia yakin bahwa tentu Wulansari telah mempergunakan perhitungan yang matang maka berani melakukan penukaran yang nampaknya sia-sia ini. Pihak lawan adalah dua orang kakek sakti, dan masih ada lagi seratus orang perajurit yang mengepung puncak itu. Agaknya, keadaan mereka berdua sungguh lemah sekali dan kalau dua orang kakek itu tidak melanggar janji, merekapun agaknya sukar untuk dapat meloloskan diri.
Wulansari berhenti di depan dinding batu besar di mana terdapat tiga buah lubang goa "Kalian tunggu di sini, biar aku mengambil dulu pusaka itu. Akan tetapi, kakangmas Nurseta harus dibebaskan dari belenggunya"
Ki Buyut Pranamaya hendak membantah. akan tetapi Ki Cucut Kalasekti yang sudah yakin akan kekuatan pihaknya, segera mengambil kunci dan membuka belenggu besi dari kedua pergelangan tangan Nurseta.
"Nah, kau ambillah, Wulan. Dia harus di sini dulu sebelum pusaka itu kau serahkan kepada kami" katanya. Dua orang kakek itu bersiap menyerang dengan pukulan maut kepada Nurseta yang berdiri di antara mereka. Wulansari mengangguk.
"Tunggulah sebentar" Dan iapun melompat ke dalam goa yang berada di tengah. Dua orang kakek dan Nurseta memandang dan menunggu dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Goa itu gelap dan tidak nampak lagi gadis itu dari luar.
Tak lama kemudian, gadis itu keluar lagi. dan kini ia membawa sebuah bungkusan panjang dari kain kuning "Inilah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Terimalah, Ki Cucut Kalasekti, dan bebaskan kakangmas Nurseta, biar dia masuk ke goa ini"
"Nanti dulu" kata Ki Cucut Kalasekti "Ki Buyut, kau jaga dulu Nurseta karena aku harus memeriksa dengan teliti apakah tombak itu aseli ataukah palsu"
Wulansari membuka kain pembungkus benda itu dan nampaklah sebatang tombak. Mata tombak itu putih seperti perak yang berkilauan.
"Ki Cucut Kalasekti, kau pernah menerima tombak ini dariku, tentu dapat mengenalnya. Ki Buyut Pranamaya, kaupun pernah merampas tombak ini, tentu kau mengenalnya pula" kata Wulansari.
"Ki Ageng Tejanirmala........" Dua orang kakek itu berseru hampir berbareng.
"Ki Ageng Tejanirmala. Itu tombak pusaka ayahku, itu tombak milikku, diajeng Wulansari. Jangan kau serahkan kepada orang lain. Aku tidak sudi menyerahkannya kepada mereka, lebih baik aku mati" teriak Nurseta dan teriakan ini menyenangkan hati dua orang itu karena ini merupakan bukti bahwa tombak pusaka itu memang aseli. Mereka tadi sudah melihatnya dan tidak ragu lagi, akan tetapi pernyataan Nurseta itu lebih meyakinkan hati mereka.
"Serahkan tombak itu kepadaku, Wulan" kata Ki Cucut Kalasekti.
Wulansari membungkus kembali tombak itu, "Hemm, janjinya adalah ditukar, maka kalian harus pula membiarkan kakangmas Nurseta ke sini lebih dulu"
"Kau serahkan tombaknya dulu" kata Ki Cucut Kalasekti sambil menjulurkan tangan.
"Kakangmas Nurseta biar ke sini dulu" kata Wulansari.
Melihat mereka tidak mau saling mengalah, Ki Buyut Pranamaya berkata, "Berbareng saja. Kau serahkan tombak dan biar pemuda ini lari ke situ" Tentu saja dia tidak khawatir kedua orang muda itu akan dapat lari. Kemana mereka akan lari" Pasukan sudah mengepung puncak itu, dan di situ ada pula mereka berdua.
Agaknya Ki Cucut Kalasekti juga berpikir demikian, maka diapun berkata.
"Baiklah, berbareng saja. Nah, lemparkan tombak itu, biar Nurseta lari ke situ"
"Baiklah. Kakangmas Nurseta, kalau kulemparkan tombak ini kepada mereka, kau larilah ke sini"
"Tidak. Aku tidak mau ditukar dengan Ki Ageng Tejanirmala. Jangan berikan tombak pusaka itu kepada mereka, diajeng Wulan'" kata Nurseta dengan suara keras, tanda bahwa dia marah,
"Kakangmas Nurseta, kuharap kau tidak akan menghalangiku. Kakangmas, maukah kau........ demi aku.......... ?"
Kalau tadinya Nurseta terkejut dan meragu melihat bahwa agaknya gadis ini benar-benar hendak menyerahkan tombak pusaka Tejanirmala kepada dua orang kakek itu, kini pulih kembali kepercayaannya. Mustahil Wulansari akan sebodoh itu. Dengan mengambil sikap apa boleh buat dan masa bodoh, dia menggerakkan kedua pundaknya.
"Terserahlah, diajeng, akan tetapi jangan sesalkan aku kalau nanti mereka itu menipumu"
"Kesinilah, kakangmas, Ki Cucut terimalah tombak pusaka ini" kata Wulansari sambil menjulurkan tombak itu ke arah Ki Cucut, sedangkan Nurseta melangkah memasuki goa. Melihat bahwa tombak sudah dijulurkan, Ki Buyut Pranamaya tidak menghalangi Nurseta memasuki goa. Untuk apa dihalangi, pikirnya. Dua orang muda itu tidak akan mampu melarikan diri.
Setelah Ki Cucut Kalasekti menerima tombak pusaka itu, dia cepat menyerahkannya kepada perwira yang tadi diajaknya naik, "Cepat kau larikan pusaka ini ke istana dan haturkan kepada gusti prabu"
Agaknya memang telah mereka atur sebelumnya. Perwira itu menyembah, menerima pusaka, lalu diapun lari menuruni puncak tadi dan tak lama kemudian diapun sudah membalapkan kuda, dikawal oleh selusin perajurit, meninggalkan lereng Bukit Menur, membawa pusaka itu.
Akan tetapi dua orang kakek itu tidak meninggalkan depan goa, bahkan kini keduanya tertawa bergelak, agaknya mereka merasa lega dan gembira sekali karena tombak pusaka telah mereka selamatkan dan kirimkan kepada Sang Prabu Jayakatwang, sedangkan dua orang muda itu berada di dalam cengkeraman mereka,
"Hahahaha. Nurseta dan Wulansari, kalian seperti dua ekor tikus berada di dalam perangkap, hahaha" Ki Cucut Kalasekti tertawa bergelak, diikuti oleh Ki Buyut Pranamaya yang kagum melihat keberhasilan siasat kawannya.
"Ki Cucut Kalasekti, apa maksudmu " Ingat, kau sudah berjanji untuk tidak mengganggu kakangmas Nurseta" Wulansari membentak marah sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu.
"Hahahaha, aku tidak akan melanggar janji, Wulan manis. Aku berjanji tidak akan mengganggu Nurseta, bukan" Nah, sekarang aku akan menangkap kau, bukan Nurseta"
"Dan aku berjanji tidak akan mengganggu Wulansari, sekarang aku akan menangkap kembali Nurseta, haha" Ki Buyut Pranamaya juga berkata sambil tertawa.
"Hemm, kalian dua orang manusia iblis. Kalian kira mudah saja menangkap kami?" bentak pula Wulansari.
"Hehheh, Wulansari, lebih baik kalian menyerah saja untuk kami tawan dan kami bawa ke Kediri. Lihat, seratus orang perajurit sudah mengepung tempat ini. Percuma saja kalian melawan kami" kata pula Ki Cucut Kalasekti.
"Nah, diajeng, dari tadi aku sudah menduga bahwa dua orang iblis ini pasti akan menggunakan muslihat" kata Nurseta yang kini menjadi gelisah juga melihat bahwa keadaan mereka memang tidak berdaya.
Tiba-tiba Wulansari tertawa, ketawanya bebas akan tetapi tidak kasar dan wajahnya menjadi manis dan cerah sekali "Hahahihihi, kakangmas Nurseta. Aku tidak akan pantas menjadi calon garwamu (isterimu) kalau aku sebodoh itu. Heh, Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, bukan kami yang terjebak dalam perangkap, melainkan kalian yang seperti dua ekor srigala tua masuk dalam perangkap. Lihat baik-baik" Setelah berkata demikian tiba-tiba Wulansari memegang pergelangan tangan Nurseta dan menariknya ke belakang, ke sebelah dalam goa yang gelap itu dan tiba-tiba terdengar sorak sorai gemuruh. Dari kanan kiri goa itu, yaitu dari dalam kedua goa yang lain, muncul duapuluh orang, dan dari batu-batu besar di puncak itupun berlonqatan keluar duapuluh orang lain. Mereka itu segera mendorong batu-batu di atas puncak dan terdengarlah suara gemuruh ketika batu-batu itu menggelundung ke bawah, menerjang batu-batu lain sehingga kini dari puncak itu turun hujan batu ke arah lereng di mana seratus orang perajurit Daha itu menanti.
Tentu saja para perajurit menjadi kacau balau, apa lagi ketika dari bawah bukit kini berlarian naik sedikitnya duaratus orang yang telah mengepung lereng itu. Terpaksa mereka berloncatan turun dan melakukan perlawanan mati matian untuk membela diri sedapatnya. Ternyata bahwa jumlah lawan dua kali lebih banyak dari mereka.
Tentu saja dua orang kakek itu terkejut bukan main. Ketika mereka hendak melarikan diri, tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat keluar dari dalam goa itu dan dua orang muda itu sudah berdiri di depan mereka sambil tersenyum.
Ki Cucut Kalasekti marah bukan main, Mulutnya yang bentuknya meruncing seperti mulut ikan itu menjadi semakin runcing. Mukanya yang berwarna kebiruan itu kini menjadi gelap bercampur warna merah.
"Wulansari, kau bocah durhaka, kubunuh kau" sambil mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular, kakek itu sudah maju. menubruk dan menyerang bekas muridnya itu dengan gerakan dahsyat penuh kemarahan.
Begitu menyerang, dia telah mengerahkan Aji Segoro Umub dan pukulan Gelap Sewu. Wulansari mengenai aji-aji itu, dan iapun menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan balas menyerang. Gadis ini telah mewarisi hampir seluruh ilmu kepandaian Ki Cucut Kalasekti, maka ia sama sekali tidak merasa gentar. Apa lagi, selama ini diam-diam ia telah melatih dan menggembleng dirinya, dan juga ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura, menambah kehebatan tenaga saktinya sehingga dibandingkan dengan Ki Cucut Kalasekti yang usianya sudah tujuhpuluh empat tahun, ia tidak dapat dibilang lebih lemah. Ia bahkan memiliki kecepatan melebihi bekas gurunya itu, dan tentu saja memiliki napas lebih panjang walaupun harus diakuinya bahwa ia masih kalah pengalaman dan bahwa Ki Cucut Kalasekti memiliki, banyak akal yang aneh-aneh.
"Wuuuttt....... dukkk" Ketika Wulansari membalas dengan serangan tamparan Aji Gelap Sewu, Ki Cucut Kalasekti menyambut dengan tangkisan dengan maksud untuk menangkap pergelangan tangan bekas murid itu. Akan tetapi, tak disangkanya begitu kedua lengan bertemu, tubuhnya tergetar hebat dan jangankan dapat menangkap lengan gadis itu, bahkan dia hampir saja terjengkang.
"Ssssshhhh........." Dia mengeluarkan suara mendesis, jari jari tangannya mencengkeram ke depan dengan gerakan aneh dan cepat sekali.
Namun, Wulansari sudah maklum akan akal ini dan iapun berloncatan ke belakang, lalu ke kiri dan dari kakinya melayang dan menendang ke arah pinggang lawan. Ketika Ki Cucut Kalasekti mengelak sambil menggerakkan tangan ke kanan untuk menangkis, tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangannya dan jari tangannya yang runcing itu sudah mencuat dan menusuk ke arah mata dan muka lawan. Itulah ilmu pukulan yang pernah ia pelajari dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Dan jari-jari tangannya menyambar hawa yang amat panas sehingga Ki Cucut Kalasekti terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pukulan panas yang tak dikenalnya itu. Itulah Aji Dahana Puspita (Bunga Api) yang pernah dipelajari gadis itu dari Panembahan Sidik Danasura dan yang telah mematangkan dengan latihan yang tekun sehingga ilmu itu kini menjadi ilmu pukulan yang bebat karena jari-jari tangannya itu seperti besi-besi panas menyerang lawan.
Ki Cucut Kalasekti yang melempar tubuh ke belakang terpaksa bergulingan karena dikejar oleh gadis itu yang mengirim tendangan-tendangan ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya. Akhirnya, dia mampu pula melompat bangun dan membalas dengan serangan dahsyat yang dapat dielakkan oleh gadis itu. Terjadilah perkelahian yang mati-matian antara bekas guru dan murid ini, yang pada umumnya memiliki gerakan yang sama.
Pertempuran yang terjadi antara Nurseta dan Ki Buyut Pranamaya tidak kalah hebatnya. Ki Buyut Pranamaya amat membenci Nurseta yang dianggap penghalang keberuntungannya itu. Dan diapun tahu bahwa murid mendiang Panembahan Sidik Danasura ini memiliki kesaktian yang hebat, sakti mandraguna dan amat digdaya sehingga biarpun lawan itu masih muda, pantas menjadi cucunya, namun dia tidak berani memandang ringan. Begitu menyerang, dia sudah mengeluarkan pukulan ampuhnya, yaitu Aji Marga Parastra (Jalan Maut). Kedua lengannya bergerak-gerak seperti dua ekor ular menyambar nyambar. Kedua tangannya yang terbuka itu mengeluarkan angin dan mengeluarkan bunyi bercuitan dan sekali saja tangan itu mengenai tubuh lawan, akan hebat akibatnya, karena kalau tangan itu mengenai batu karang saja akan remuklah batu karang itu, mengenai batang pohon akan tumbanglah pohon itu. Apa lagi kalau mengenai tubuh orang" terutama kepalanya.
Nurseta bersikap tenang. Dia lebih mengkhawatirkan Wulansari dari pada dirinya sendiri. Dia mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini sambil memperhatikan keadaan Wulansari. Setelah dia melihat dengan kagum betapa gadis itu sama sekali tidak terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti dan dapat melawan dalam keadaan seimbang, legalah hati Nurseta dan dia dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya.
"Hahl Ambrol dadamu" Ki Buyut Pranamaya yang menjadi marah karena semua pukulannya dapat dielakkan oleh Nurseta, tiba-tiba mengirim tendangannya yang ampuh, yaitu Aji Cakrabairawa.
"Wuuuuttt......." Tendangan yang dilakukan dengan tubuh melayang itu memang berbahaya bukan main. Selain cepat, juga tendangan itu. mengandung tenaga yang amat dahsyat. Nurseta sudah mengenal tendangan ampuh ini, maka diapun cepat meloncat ke samping untuk
mengelak. Akan tetapi begitu tubuh kakek itu turun ke tanah, dia sudah mengeluarkan bentakan lagi dan tubuhnya membalik, melayang dan kembali tendangan maut menyambar. Terpaksa Nurseta harus mengelak lagi. Sekali ini, begitu membalik Ki Buyut Pranamaya menyusulikan pukulan-pukulannya yang ampuh dengan bertubi-tubi. Pukulan berantai itu amat cepat datangnya, susul menyusu dan setiap pukulan mendatangkan angin dan terasa berat dan kuat bukan main. Nurseta menghadapinya dengan tenang. Kalau dia mengelak, maka lengan kakek itu meluncur dan mengeluarkan suara mendesir.
Nurseta maklum bahwa dia tidak mungkin mengelak terus. Setelah terdesak terus, akhirya diapun mengumpulkan tenaga dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkkl" Dua lengan bertemu dan akibatnya, keduanya terpental dan meloncat ke belakang. Ki Buyut Pranamaya mengerutkan alisnya yang tebal. Lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan Nurseta terasa nyeri seolah tulangnya akan patah. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan hal ini dan sudah menyerang lagi. Serangannya bertubi, diseling dengan tendangan Aji Cakrabairawa yang amat berbahaya itu. Namun, kini Nurseta melawan dengan sama kerasnya.
Tamparan-tamparan tangan Nurseta mengandung Aji Bajradenta menyambar-nyambar ketika dia membalas serangan lawan. Ki Buyut Pranamaya juga mengenal pukulan ampuh. Pemuda itu adalah seorang murid yang sudah digembleng oleh mendiang Panembahan Sidik Danasura, satu-satunya orang yang ditakuti ketika masih hidup. Maka diapun berhati-hati sekali, tidak berani menyambut tamparan pemuda itu secara langsung walaupun kakek ini memiliki aji kekebalan. Dia mengelak atau menangkis dari samping, dan membalas dengan tak kalah sengitnya.
Perkelahian antara Nurseta dan Ki Buyut Pranamaya berlangsung dengan hebat sekali. Ki Buyut Pranamaya terkenal memiliki ilmu meringinkan tubuh yang disebut Garuda Nglayang yang membuat dia dapat berlari cepat seperti terbang dan membuat gerakannya ringan dan cepat sekali, seperti seekor burung garuda vang melayang dan menyambar-nyambar. Akan tetapi, menghadapi Nurseta, dia tidak berani bergerak terlalu cepat karena dia harus membuat setiap pukulan dan tendangannya mantap dan penuh dengan tenaga sakti. Kalau tidak, dia akan kalah karena pemuda itu menggunakan tenaga yang sakti dan kuat sekali. Maka, perkelahian antara mereka berjalan lamban dibandingkan dengan perkelahian antara Wulansari dan Ki Cucut Kalasekti yang nampak lebih cepat.
Bayangan tubuh kedua orang ini berkelebatan dan keduanya berusaha keras untuk saling menekan mengandalkan kecepatan dan kekuatan.
Sementara itu, pertempuran antara seratus orang perajurit pengawal Daha dengan kurang lebih dua ratus orang itu terjadi dengan ramainya. Memang seperti telah diduga dan diharapkan Nurseta, Wulansari telah mengatur siasat yang direncanakan dengan matang sebelum dara ini menghadap Sang Piabu Jayakatwang.
Setelah ia menyelidiki keadaan Nurseta yang ditawan di dalam penjara bawah tanah, ia tidak melihat cara lain untuk menolong kekasihnya itu. Maka, satu-satunya jalan hanyalah menukarkan tombak pusaka Tejanirmala dengan keselamatan Nurseta.
Ia tahu pula akan kelicikan dua orang kakek itu, maka diam-diam ia meninggalkan kota raja itu lagi untuk mengatur persiapan. Perlu diketahui bahwa ketika Singosari jatuh ke tangan pasukan Daha, banyak perajurit Singosari yang terpaksa melarikan diri dan menyusup ke gunung-gunung dan ke dusun-dusun, menjadi petani-petani biasa. Hal ini diketahui benar oleh Wulansari. Sebagai seorang pendekar wanita yang selalu turun tangan membasmi kejahatan, namanya terkenal dan dikagumi. Maka, ketika ia membutuhkan tenaga bantuan, tidak sukar bagi Wulansari untuk menghubungi para bekas perajurit Singosari dan merekapun segera mengumpulkan kawan kawan untuk membantu Wulansari ketika gadis itu mengatakan bahwa dia perlu bantuan untuk menghadapi pasukan Daha. Dalam waktu dua hari saja ia sudah berhasil mengumpulkan lebih dari duaratus orang laki laki yang siap untuk membantunya karena mereka adalah orang-orang yang membenci pasukan Daha. Ia lalu mengatur siasat, menyuruh duaratus orang lebih itu menjadi semacam barisan pendam, bersembunyi di dalam goa dan di balik batu-batu di puncak, dan sebagian besar lagi menanti di kaki Bukit Menur, agar mereka bersembunyi dan siap menunggu saat ia memberi isarat untuk menyerang.
Demikianlah, setelah saatnya tiba, Wulansari menarik Nurseta memasuki goa dan ternyata di dalam goa itu terdapat atap goa yang terbuka dan dari lubang itu Wulansari melepas sebatang anak panah ke udara. Anak panah ini membawa ronce-ronce merah sehingga ketika melayang ke udara, nampak jelas oleh mereka yang bersembunyi dan itulah isaratnya. Mereka lalu menyerbu dan berloncatan keluar dari tempat persembunyian mereka, mengejutkan pasukan pengawal Daha yang seratus orang banyaknya itu.
Pertempuran itu terjadi berat sebelab. Bukan saja pasukan Daha kalah banyak jumlahnya, akan tetapi juga semangat mereka kalah besar. Pasukan Daha itu terkejut dan sama sekali tidak mengira akan diserang oleh orang demikian banyaknya. Juga kedudukan mereka terjepit sekali. Kuda tunggangan mereka tidak dapat bergerak luasa dan ketika mereka berloncatan turun, kuda mereka itu lari cerai-berai. Karena tidak terpimpin dengan baik, keadaan kacau balau, hal ini sudah membuat nyali mereka menjadi kecil dan semangat mereka pudar. Sebaliknya, orang-orang yang menyerbu memang sudah merencanakan sebelumnya, kedudukan mereka lebih baik, jumlah mereka lebih besar dan ditambah pula dendam yang membara di hati mereka, maka tentu saja semangat merekapun jauh lebih besar.
Para perajurit Daha roboh bergelimpangan. Ada yang lari dan terjerumus ke dalam jurang, ada pula yang nekat menuruni bukit melalui jalan lain dan merekapun ikut longsor terbawa batu-batu yang menggelundung turun. Pekik dan jerit kesakitan terdengar dan disambut sorak-sorai para pembantu Wulansari. Lebih dari setengah jumlah perajurit Daha roboh dan sebagian lagi ada yang terjerumus ke dalam jurang atau jatuh bergulingan ke bawah bukit. Hanya sebagian kecil saja yang berhasil lolos dari maut.
Perkelahian tingkat tinggi antara Nurseta melawan Ki Buyut Pranamaya dan Wulansari melawan Ki Cucut Kalasekti masih berlangsung dengan hebatnya.
"Ahhhh........ " Ki Buyut Pranamaya menubruk bagaikan seekor beruang marah, lengan kanannya yang panjang itu meluncur dan telapak tangan terbuka yang mengandung tenaga sakti yang berbahaya itu memukul kearah dada Nurseta.
Pemuda ini miringkan tubuh, menangkis dengan lengan kanan pula, dan ketika kakinya bergeser, tangan kirinya membalas dengan pukulan kearah muka lawan. Ki Buyut Pranamaya menekuk lengan kanan yang tadi gagal memukul, memutarnya dan menangkis pukulan tangan kiri Nurseta, lalu kaki kirinya maju dan dengan kiri ditekuk, sikunya disodokkan ke arah dada Nurseta. Pemuda ini melangkah mundur mengelak, akan tetapi siku yang ditekuk itu dilonjorkan dan tangan kiri itu mencengkeram ke arah bawah pusar. ini merupakan serangan yang amat curang dan berbahaya sekali.
Namun, Nurseta tidak menjadi gugup. Lengannya mengibas ke bawah dan menangkis. Akan tetapi, kiranya cengkeraman ke arah bawah pusar itupun hanya pancingan saja karena tiba-tiba, dalam keadaan yang dekat itu, Ki Buyut Pranamaya menekuk lututnya dan lutut itu sudah menghantam ke arah perut Nurseta. Hal ini sungguh tidak tersangka sama sekali dan Nurseta tidak mampu mengelak atau menangkis lagi, hanya mengerahkan kekebalan kearah perutnya.
"Desss.........." Perut itu ditumbuk lulut seperti dihantam palu godam dan biarpun kekebalannya membuat isi perut tidak terguncang, namun tetap saja saking kerasnya tumbukan lutut itu, tubuh Nurseta terjengkang, Dia malah sengaja melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan. Untung dia melakukan ini, karena kalau tidak, tentu dia sudah celaka oleh lawannya yang sudah mengejar dan kini kedua kaki Ki Buyut Pranamaya berusaha untuk menendang kepala atau dada pemuda itu. Nurseta yang bergulingan mampu menghindar dan diapun meloncat bangun lagi.
"Hahaha, hancur isi perutmu" bentak Ki Buyut Pranamaya dan diapun menyerang dengan tendangan tendangannya yang hebat. Dengan sigap, Nurseta mengelak terus. Akan tetapi dia mulai terdesak. Dia terus mundur kearah Wulansari yang juga nampak terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti.
Sebetulnya, Nurseta tidak terdesak, hanya dia memang sengaja terus mundur untuk mendekati Wuiansari yang sudah terdesak sampai ke dekat jurang oleh lawannya.
Wulansari memang terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti yang mempunyai banyak sekali jurus-jurus pukulan yang curang. Bahkan kaki kini gadis itu pernah tersabet tendangan Ki Cucut Kalasekti, sehingga terasa nyeri dan membuat gadis itu agak terpincang. Namun, Wulansari tidak pernah mengeluh dan terus mempertahankan dirinya. Kini ia memegang kerisnya yang kecil bersinar kuning emas itu, sedangkan Ki Cucut Kalasekti juga memegang sebatang keris panjang yang hitam dan bentuknva seperti ular.
Wulansari maklum bahwa keris di tangan bekas gurunya itu adalah sebatang keris yang beracun. Akan tetapi keris di tangannya juga beracun dan kini perkelahian diantara mereka sudah merupakan perkelahian mati-matian.
Wulansari memang kalah pengalaman dan kalah matang gerakannya, namun ia menang ulet dan menang napas. Ki Cucut Kalasekti, seperti halnya Ki Buyut Pranamaya, sadah mulai berkeringat dan napas mereka sudah mulai terengah-engah. Perkelahian itu terlalu lama dan terlalu banyak memeras tenaga mereka yang sudah tua.
Melihat keadaan kekasihnya, Nurseta merasa khawatir juga. Dia harus dapat cepat merobohkan Ki Buyut Pranamaya agar dia dapat membantu Wulansari. Para pembantu Wulansari yang sudah menang dalam pertempuran itu, kini hanya berani menonton dari jauh saja, karena mereka semua maklum bahwa kalau mereka membantu, mereka seperti mengantar nyawa dan akan mati konyol saja.
Nurseta mulai memperhatikan keadaannya. Ki Buyut Pranamaya terus melancarkan serangan berhati-hati, pukulan dan cengkeraman susul menyusul, diselingi tendangan Cakrabairawa. Agaknya kakek yang sudah terengah-engah itu bendak mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk mencapai kemenangan karena dia sudah mulai mendesak lawan sehingga lawan itu mundur terus.
Nurseta bergerak sampai dia dekat dengan sebuah jurang yang amat curam, dan ketika lawannya menendang lagi, dia mengerahkan tenaganya meloncat ke atas melampaui atas kepala lawan.
Ki Buyut Pranamaya terkejut dan cepat membalikkan tubuh dan pada saat itu, Nurseta sudah mengerahkan seluruh tenaga saktinya melalui kedua lengannya, kemudian, dengan Aji Jagad Pralaya yang dahsyat dia menyerang dengan kedua telapak tangan mendorong.
"Hyaaaatttt........"
Bukan main hebatnya serangan ini. Setiap kali menghadapi serangan jurus dari Aji Jagad Pralaya, selalu Ki Buyut Pranamaya tidak berani menangkis, dan selalu menghindarkan diri mengelak. Akan tetapi sekali ini dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak ke kiri atau ke kanan, sedangkan untuk meloncat mundur berarti membunuh diri karena di belakangnya terdapat jurang yang menganga seperti mulut Sang Batara Kala yang siap menelannya bulat-bulat. Terpaksa sekali diapun mengerahkan tenaga terakhir dan menyambut serangan Aji Jigad Pralaya itu dengan Aji Marca Parastra (Ular Maut).
"Dessss........'" Hebat bukan main pertemuan dua pasang telapak tangan itu, dan akibatnya, Nurseta terhuyung ke belakang akan tetapi tubuh Ki Buyut Pranamaya terjengkang dan langsung saja dia terjatuh ke dalam jurang yang teramat curam itu.
Terdengar pekik melengking mengerikan keluar dari mului tubuh kakek yang melayang ke dalam jurang itu, betapapun saktinya, terjatuh seperti itu ke dalam jurang yang tak nampak dasarnya dari atas, agaknya akan sulit baginya untuk menyelamatkan dirinya.
Nurseta tidak memperdulikan lagi lawannya yang sudah lenyap, juga tidak merasakan dadanya yang sesak. Dia terlalu mengkhawatirkan Wulansari yang terdesak oleh hujan tusukan keris hitam di tangan Ki Cucut Kalasekti. Pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti juga terkejut dan tertegun mendengar pekik dari rekannya. Dia menjadi gugup, maka ketika Nurseta meloncat dan menyerangnya dengan pukulan Jagad Pralaya, dia menggulingkan tubuh ke bawah.
Saat itu dipergunakan oleh Wulansari untuk menendangkan tanah dan batu kerikil ke arah muka kakek itu. Ada sepotong batu yang mengenai mata kiri Ki Cucut Kalasekti, sehingga dia menggereng dan melompat berdiri. Akan tetapi, Wulansari sudah menyambitkan kerisnya. Keris kecil itu meluncur seperti anak panah.
"Ceppp" Keris kecil melengkung milik Wulansari yang dulunya pemberian Ki Cucut Kalasekti sendiri itu dengan tepatnya menghunjarn dada Ki Cucut Kalasekti sampai ke gagangnya.
Kakek itu tersentak kaget dan dia masih dapat melemparkan keris hitamnya yang meluncur ke arah Wulansari, dengan ilmu melempar keris yang sama.
Namun, Wulansari dapat mengelak dan keris itu meluncur terus dan lenyap.
Dengan nekat, Ki Cucut Kalasekti yang melihat kini Nurseta terhuyung, segera menarik pemuda yang berada di tepi jurang itu.
Nurseta memang terhuyung. Kiranya tadi ketika dia menyerang Ki Buyut Pranamaya dan ditangkis pertemuan tenaga yang membuat Ki Buyut Pranamaya itu terlempar ke dalam jurang membuat Nurseta menderita luka di dadanya. Ketika dia kembali mengerahkan tenaga menggunakan Aji Jagad Pralaya menyerang Ki Cucut Kalasekti untuk membantu Wulansari dan dapat dielakkan oleh kakek itu.
Nurseta merasa betapa dadanya nyeri sekali dan dia terhuyung.
Tubrukan Ki Cucut Kalasekti tidak tersangka-sangka datangnya dan Nurseta sedang terhuyung, maka tak dapat dihindarkan lagi, pemuda itu kena ditubruk dengan keras dan keduanya terjungkal ke dalam jurang.
"Kakangmas Nurseta... ah, kakangmas...." Wulansari terbelalak pucat, lalu menangis sambil lari menghampiri tebing jurang itu. Dunia bagaikan gelap baginya dan hampir saja ia jatuh pingsan, dan kalau hal itu terjadi, tentu ia akan terguling pula ke dalam jurang. Untung pada saat itu, dari bawah terdengar suara Nurseta.
"Diajeng Wulan......."
Hampir Wulansari tidak percaya akan pendengarannya sendiri, akan tetapi suara kekasihnya itu menghidupkan lagi secercah harapan dan mencegah ia jatuh pingsan. Ia menjenguk ke bawah jurang dan harus memejamkan lagi matanya saking ngerinya. Kiranya kekasihnya itu tersangkut pada sebatang pohon semak yang tumbuh di bawah tebing itu, hanya kurang lebih tiga meter dari atas.
Dan bukan hanya Nurseta yang menggunakan tangan kirinya menggantung pada dahan pohon, juga Ki Cucut Kalasekti bergayut di pohon itu dalam jarak hanya dua meter dari Nurseta. Pohon yang tumbuh miring itu tidak terlalu besar maka kini digantungi tubuh dua orang dewasa, sudah bergoyang-goyang dan seperti akan patah. Kalau sampai patah, habislab. sudah riwayat dua orang itu.
Yang hebat adalah Ki Cucut Kalasekti, karena biarpun dia sudah terluka parah, keris kuning kecil itu masih menancap di dadanya namun dia masih berusaha untuk menendang-nendang ke arah Nurseta sambil tertawa seperti orang gila.
"Heh heh ha ha ha, Nurseta. Sekali ini kita akan mati bersama. Tidak, kau harus mampus lebih dulu. Hahaha, aku ingin melihat kau jatuh lebih dulu ke dalam jurang, ingin mendengar pekik kematianmu, hahaha"
Dan dia menendang-nendang sehingga pohon kecil itu semakin bergoyang-goyang.
Nurseta sudah merasa lemah sekali. Ketika terjatuh tadi, lengan kanannya menjadi salah urat ketika dia menangkap dahan pohon, dam kini lengan kanan itu tergantung lemas dan nyeri. Dia hanya menggunakan tangan kiri saja untuk bergantung, sedangkan dadanya semakin sesak rasanva karena luka dalam yang dideritanya.
Tendangan kaki kakek itu hanya kurang belasan senti saja nyaris mengenainya dan kalau sampai dia terkena tendangan, tak mungkin tangannya kuat bertahan. Dan pobon kecil itupun sudah bergoyang-goyang, akarnya mengeluarkan bunyi berkeretakan.
"Kakangmas, pertahankan...... kakangmas, tangkap ujung kembenku ini"
Tiba-tiba Wulansari berseru sambil menahan napas sakin tegangnya. Biarpun ia memakai pakaian pria, namun kemben itu tak pernah lepas dari pinggangnya yang ramping dan tadi, begitu melihat keadaan kekasihnya, ia cepat melolos kembennya dengan membuka bajunya, tidak perduli akan banyak orang yang melihat dari jauh. Sebagian perut dan punggungnya nampak telanjang tak diperdulikannya dan kini ia sudah menelungkup dengan kepala dan pundak di tepi jurang, menjulurkan kemben itu ke bawah.
Akan tetapi, lengan kanan Nurseta tak dapat dipergunakan lagi dan tangan kirinya memegang dahan pohon erat-erat. Tangan kiri
itulah yang menjadi penahan nyawanya, sekaii lepas diapun akan tewas. Akan tetapi dia tidak mau menggelisahkan hati kekasihnya diatas. Ketika ujung kemben itu menyentuh lehernya, cepat dia membuka mulut dan menggigit ujung kemben, setelah menggigitnya dengan kuat, baru dia berani melepas tangan kiri dari dahan dari cepat menangkap ujung kemben itu dengan tangan kirinya.
Pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti yang melihat kemben itu sudah menyumpah-nyumpah dan berusaha sekuat tenaga untuk menendang tubuh Nurseta.
"Wuuut" plakk...... kreekkkkk......." Tendangan itu mengenai pinggul Nurseta sehingga tubuh Nurseta bergoyang goyang di ujung kemben dan Wulansari yang memegang ujung lain kemben itu sambil menelungkup harus mengerahkan seluruh tenaga agar kemben itu tidak sampai terlepas dari pegangannya.
Akan tetapi karena Ki Cucut Kalasekti bergerak terlampau kuat ketika memaksakan tendangan tadi, pohon kecil yang sudah hampir jebol itu tidak kuat menahan lagi. Dahan yang dipegang Ki Cucut Kalasekti patah dan tubuhnya meluncur ke bawah menyusul rekannya.
Bedanya, kalau tadi Ki Buyut Pranamaya mengeluarkan pekik mengerikan ketika terjatuh, kini terdengar suara gelak tawa yang aneh dari Ki Cucut Kalasekti.
Dengan seluruh tenaganya, hati-hati sekali dan hampir tak bernapas karena ketenangan hatinya, takut kalau kalau kembennya tidak kuat menahan berat tubuh kekasihnya, Wulansari menarik tubuh Nurseta melalui kemben itu perlahan-lahan ke atas.
Akhirnya, disaksikan oleh puluhan pasang mata yang ikut merasa tegang dan menahan nafas, Nurseta dapat ditarik ke atas tebing.
"Kakangmas Nurseta......... "
"Diajeng Wulan........" Mereka berangkulan.
Wulansari merangkul pemuda itu dan menciumi mukanya dengan penuh kasih sayang, penuh keharuan dan rasa bahagia sehingga air matanya bercucuran. Sampai lama mereka berlutut sambil saling berangkulan. Akhirnya Wulansari menyusupkan mukanya ke dada kekasihnya.
Nurseta juga merasa berbahagia sekali. Nyaris nyawanya melayang dan kekasihnya ini yang menyelamatkannya. Nyeri pada lengan kanannya tak dirasakannya lagi, bahkan sesak pada dadanya juga tidak dirasakan.
"Kakangmas........ akhirnya kita dapat bertemu kembali......" bisik Wulansari.
Nurseta seperti ditarik kembali ke dunia setelah tadi tenggelam ke dalam alam sorga penuh kebahagiaan dan diapun teringat akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Dia menarik napas panjang, penuh penyesalan.
Wulansari merasa benar tarikan napas panjang itu karena telinganya menempel di dada kekasihnya. la mengangkat mukanya dan menatap wajah kekasihnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Kau" kenapakah, kakangmas " Kenapa menarik napas panjang?"
"Ki Tejanirmala......." Nurseta mengeluh.
Wulansari tersenyum, "Kakangmas, masihkah kau belum percaya kepada calon isterimu yang bodoh ini " Apakah kau kira aku begitu bodoh untuk menyerahkan tombak pusaka itu kepada mereka"
"Tapi.... tapi.... sudah kau berikan, diajeng..."
Senyum itu melebar sehingga nampak kilatan gigi putih berderet rapi,
"Itu yang palsu, kakangmas. Yang aseli masih kusimpan, dan hanya akan kuserahkan kepadamu seorang, kakangmas"
"Diajeng........." kini Nurseta yang merangkul dan saking girangnya. dia mencium mulut yang mengeluarkan kata-kata yang amat menyenangkan hatinya itu sampai Wulansari gelagapan dan meronta lemah.
Ketika Nurseta melepaskan ciumannya yang berapi-api itu, Wulansari berbisik.
"ihh, kakangmas, apakah tidak malu" Lihat, puluhan, bahkan seratus lebih orang memandang kita........"
Nurseta terkejut, menoleh dan wajahnya berubah kemerahan. Benar saja, banyak sekali orang-orang yang tadi membantu Wulansari berdiri memandang dari jauh dan tentu saja miereka semua melihat ketika dia dan kekasihnya berangkulan dan berciuman tadi. Dia lalu menarik bangun kekasihnya dan pada saat itu, orang-orang itu bersorak gembira dan mereka mendaki ke puncak sambil tertawa-tawa.
Sambil bergandeng tangan dengan Nurseta, Wulansari menyambut mereka dengan senyum "Kita telah menang" katanya "Sekarang, kalian cepat kumpulkan kuda merea dan kumpulkan pula semua senjata yang ada. Mulai sekarang, kalian haras menghambakan diri kepada Majapahit. Kami berdua akan membawa kalian ke sana"
Kembali orang-orang itu bersorak dan merekapun berlarian turun untuk menangkap kuda yang bercerai-berai tadi, mengumpulkan pula senjata-senjata lawan, merawat teman yang terluka.
Nurseta mengeluh. Baru sekarang terasa nyeri lengan kanannya dan dadanya.
Wulansari merangkui "Kau kenapa, kakangmas ?"
"Hemm, lengan kananku rerkilir rupanya, "Mari kuperiksa, kakangmas"
Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Wulansari memeriksa lengan kanan kekasihnya setelah mernbuka bajunya. Diam-diam gairahnya timbul melihat lengan yang kokoh berotot dan berkulit halus bersih itu. Ditahannya gairah dan iapun memeriksa. Memang terkilir lengan itu, dipangkal lengan agak membengkak.
"Tahankan, kakangmas, akan kutarik" kata Wulansari dan iapun menggunakan sediki tenaga untuk membetot lengan itu. Terdengar bunyi dan lengan itu sudah pulih kembali.
Nurseta menggerak-gerakkan lengan kanannya dan Wulansari memandang penuh perhatian.
"Bagaimana, kakangmas?"
"Kau hebat, sudah sembuh, tapi........"
Dia menggit bibir karena dadanya terasa nyeri dan sesak. Dia meraba dadanya.
"Kenapa dadamu, kakangmas?"
"Tadi ketika beradu tenaga dengan Ki Buyut Pranamaya, biarpun dia terlempar ke alam jurang, aku sendiri agaknya menderita guncagan hebat sehingga terluka dalam. Aku harus cepat memulihkannya, diajeng"
"Kau memang hebat, kakangmas. Mari aku bantu kau"
Mereka duduk bersila dan Nurseta memejamkan matanya, mengatur pernapasan untuk memulihkan keadaan dalam dadanya yang terguncang.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wulansari bersila di depannya, menjulurkan kedua lengan ke depan, telapak kedua tangannya menempel di dada kekasihnya yang telanjang. Mereka berdua harus memejamkan mata karena kalau membuka mata, tidlak mungkin mereka akan dapat memusatkan perhatian dan tenaga.
Begitu dekat, bersila berhadapan seperti itu, tentu akan membangkitkan gairah dan kemesraan. Mereka itu bagaikan dua orang yang kehausan akan kasih sayang dan kini setelah saling menemukan kembali, mereka bagaikan dua orang kehausan melihat air sejuk segar.
Hal ini tidaklah mengherankan. Keduanya sudah saling mencinta sejak mereka masih remaja. Namun, kasih sayang itu selalu terpendam dan selalu terhalang. Kini, Nurseta telah berusia tigapuluh tiga tahun dan Wulansari tigapuluh dua tahun. Bagaikar kembang sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah matang pohon.
---ooo0dw0ooo--Jilid 22 SETELAH lewat kurang lebih satu jam Nurseta merasa betapa dadanya sudah pulih kembali. Dia mampu cepat memulihkan kesehatan dalam dadanya berkat bantuan Wulansari. Dua telapak tangan gadis itu terasa hangat dan menyalurkan tenaga getaran yang hangat dan lembut.
"Cukuplah, diajeng" katanya dan diapun memegang kedua tangan yang kecil itu. Wulansari membuka kedua matanya dan mereka saling pandang. Muka dan leher mereka berkeringat dan mereka saling pandang dengan senyum penuh kasih sayang. Jari-jari tangan mereka saling genggam dan terasa getaran mesra sampai ke lubuk hati masing-masing.
"Terima kasih, diajeng" bisik pula Nurseta. Sekarang kita dapat berangkat"
"Berangkat?" tanya Wulansari seperti mimpi indah.
"Tentu saja. Ke Majapahit, bukan?"
"Ya, menyerahkan tombak pusaka itu kepada Pangeran Raden Wijaya. Akan tetapi kakangmas yang menyerahkannya"
"Kenapa, diajeng" Bukankah pusaka itu berada padamu?"
"Mari kita ambil, kakangmas. Akan kuserahkan kepadamu" Ia bangkit berdiri sambil menenarik tangan Nurseta, kemudian menggandeng tangan pemuda itu memasuki goa di tengah tadi.
Kiranya pusaka itu disimpan di dalam goa ini oleh Wulansari. Terbungkus kain putih bersih. Dengan sikap yang sungguh-sungguh dan penuh hormat gadis itu memegang tombak pusaka itu dengan kedua tangan, lalu membungkuk dan menyerahkannya kepada Nurseta.
"Kakangmas Nurseta, terimalah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini dari tanganku. Dahulu aku merampasnya darimu, dan maafkanlah semua kesalahanku, kakangmas. Aku menyerahkan pusaka ini sebagai bukti cintakasih dan baktiku kepadamu, calon suamiku yang kupuja dan kuhormati"
Sepasang mata Nurseta menjadi basah. Dia merasa terharu sekali, terharu dan berbahagia. "Duhai diajeng Wulansari yang kukasihi melebihi segala apapun di dunia ini. Terima kasih, diajeng. Kau tidak bersalah apapun, tidak perlu meminta maaf. Marilah kita lupakan segala hal yang telah lewat, diajeng, dan mulai detik ini, kita bersama membangun suatu kehidupan baru yang bersih dan penuh dengan kasih sayang. Semoga para dewata memberkahi kita berdua, diajeng" kata Nurseta sambil menerima pusaka itu dengan kedua tangan pula Kedua tangannya memegang kedua tangan Wulansari yang menyangga pusaka itu dan sejenak mereka saling berpandangan di dalam ruangan goa yang remang remang itu. Sinar matahari masuk dari lubang di atas, amat indahnya seperti seberkas cahaya putih, jatuh menimpa pusaka yarg berada di tengah-tengah antara mereka.
"Semoga para dewata memberkahi kita, kakangmas"
Mereka lalu melangkah keluar sambil bergandeng tangan dan pusaka itu sudah berada di tangan Nurseta. dia tidak membuka lagi kain putih pembungkus pusaka, karena dia tidak ragu lagi, dia sudah percaya kepada calon isterinya dan merasa yakin sepenuhnya bahwa pusaka itu tentulah yang aseli.
Orang-orang yang tadi mengumpulkan kuda dan senjata, telah siap pula. Mereka menyerahkan dua ekor kuda kepada Nurseta dan Wulansari, setelah dua orang muda ini menuruni puncak. Berangkatlah rombongan ini menuju ke Majapahit.
*** Sepasang orang muda perkasa itu menunggang kuda di depan, Rombongan hampir dua ratus orang itu mengikuti dari belakang, ada yang berkuda, ada yang berjalan kaki. Mereka bergantian menunggangi kuda yang terkumpul kurang dari seratus ekor itu. Kadang-kadang Nurseta dan Wulansari saling menceritakan pengalaman masing-masing ketika mereka melakukan perjalanan seenaknya ini. Kuda-kuda itu tidak dapat dilarikan karena banyak diantara rombongan yang berjalan kaki.
"Kakangmas, aku sudah berjanji kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa aku tidak akan ikut berperang melawan Kediri, tidak akan membantu pihak manapun dalam perang yang timbul" tiba-tiba Wulansari berkata lirih.
Nurseta menoleh dan memandang gadis yang menunggang kuda di sebelahnya itu. Alisnya berkerut dan hati kecilnya merasa tidak setuju dengan janji yang diceritakan kekasihnya itu.
"Hemmm, kenapa begitu, diajeng" Bukankah baru saja kau dengan para pembantumu ini telah menyerbu dan membasmi sepasukan perajurit Kediri?"
"Ah, hal itu lain lagi, kakangmas, Apa yarg baru saja terjadi di Bukit Menur itu bukan merupakan perang antara dua kerajaan, melainkan pertempuran yang kulakukan untuk menentang yang jahat dan untuk menyelamatkan kau. Akan tetapi kalau terjadi perang, aku tidak mau terlibat, kakangmas. Aku tidak mau berperang memusuhi Kediri"
"Kenapa begitu, diajeng" Kau adalah puteri Paman Senopati Medang Dangdi, seorang senopati Singosari yang setia. Dan kau pernah digembleng oleh mendiang Eyang Panembahan Sidik Danasura sendiri, dan juga ditolong oleh Paman Jembros yang juga seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Sudah sepantasnya kalau kau juga kini membela Sineosari sebagai tanah air dan bangsamu"
Wulansari tersenyum "Kalau kau bicara tentang tanah air dan bangsa, aku menjadi semakin bingung, kakangmas. Bukankah Kediri juga setanah air dan sebangsa dengan kita " Ingat, keluarga Kerajaan Kediri bahkan masih keluarga Kerajaan Singosari pula. Memang, sudah sepatutnya kalau aku membela dan membantu Singosari, akan tetapi tidak kalau memusuhi Kediri, kakangmas. Bayangkan saja Aku pernah menjadi seorang bayangkara di Kediri, menjadi seorang panglima pengawal pribadi Prabu Jayakatwang dan ketika itu aku dipercaya, dihargai dan dihormati. Hanya karena urusan pribadi aku meninggalkan Kediri Bagaimana mungkin sekarang aku harus memusuhi kerajaan itu, padahal seluruh keluarga Prabu Jayakatwang di istana pernah bersikap baik sekaii kepadaku" Tidak, kakangmas, aku bukan seorang yang tidak mengenal budi seperti itu"
Nurseta mengangguk-angguk. Dia merasa betapa alasan yang dikemukakan Wulansari memang masuk diakal dan kuat pula. Bahkan diam-diam dia merasa kagum dan senang bahwa calon isterinya ini ternyata memiliki dasar watak yang baik dan lembut, juga mengenal budi dan tidak mudah merobah pendirian demi keuntungan pribadi.
"Aku dapat memaklumi dan menerima pendapatmu itu, diajeng. Apa lagi kalau kita mengingat akan semua petuah mendiang Eyang Panembahan Sidik Danusura, perang merupakan peluasan dari pada nafsu-nafsu angkara murka manusia yang menimbulkan kekejaman-kekejaman dan dendam kebencian"
"Dan bagaimana dengan kau sendiri, kakangmas Nurseta" Maafkan kalau aku berterus terang. Aku tahu bahwa kau adalah putera Pangeran Panji Hardoko seorang pangeran Kediri. Tanah tumpah darahmu adalah Kediri. Bagaimana kalau sampai terjadi perang antara Kediri dan keturunan Singosari yang kini berada di Majapahit?"
Nurseta mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tersenyum. Bukan main kekasihnya ini. Lembut, setia, gagah perkasa, adil, akan tetapi juga jujur bukan main sehingga tidak ragu lagi untuk bertanya kepadanya tentang hal yang sebetulnya amat peka itu. Diapun terpaksa harus berterus terang mengemukakan pendapatnya karena menghadapi seorang yang berwatak terbuka seperti itu, tidak perlu menyembunyikan sesuatu
"Pertanyaanmu itu tepat dan baik sekali, diajeng. Juga amat jujur, maka akupun akan menjawab sejujurnya pula. Kurasa, amat tidak bijaksana bagi setiap orang manusia untuk mengikatkan diri secara berlebihan dan kaku terhadap keturunannya . Biarpun aku keturunan Kediri, akan tetapi sejak kecil aku hidup di bumi Singosari, diasuh oleh pendekar Singosari, yaitu mendiang Ayah Baka. Sejak kecil aku hidup di bumi Singosari, bergaul dengan kawula Singosari, mengalami suka duka di Singosari. Biarpun kemudian kenyataannya aku keturunan seorang pangeran Kerajaan Kediri, namun apa artinya keturunan kalau hidupku selama ini di bumi Singosari " Tentu saja seluruh perasaan hatiku condong membela Singosari. Kediri seperti kerajaan asing
bagiku, Aku sudah mengalami banyak senang dan susah bersama Singosari. Apa lagi mendiang Ayah Baka selalu mengajarkan bahwa seorang gagah harus selalu dapat mempertahankan tanah airnya. Sejengkal tanah sepercik darah. Demikian kata Ayah Baka selalu. Jelaslah, diajeng, kalau terjadi perang dengan Kediri atau dengan siapapun juga, hatiku condong untuk membela Singosari"
Gadis itu mengangguk-angguk dan tersenyum manis sekali, sepasang mata bintang itu bersinar-sinar. "Aduh gagahnya calon suamiku. Aku kelak ingin mempunyai seorang anak laki-laki yang seperti ayahnya ini"
Nurseta tersipu. Calon isterinya ini sungguh terbuka dan jujur. Ini tentu pengaruh didikan Ki Cucut Kalasekti yang diharapkannya kini sudah tewas benar-benar.
"Ihh, diajeng, kau terlalu memuji, membuat aku malu saja" katanya dan kekasihnya itu menutupi mulut, tertawa geli melihat kecanggungan Nurseta.
"Kalau begitu, jika nanti timbul perang antara Majapahit dan Kediri, kau akan maju perang, kakangmas" Dalam pertanyaan ini terkandung kekhawatlran dan Nurseta dapat merasakan ini. Dia merasa tidak tega untuk mendatangkan kekecewaan dan kedukaan di dalam hati kekasihnya yang sudah demikian lamanya terbenam di dalam kedukaan dan keputus-asaan. Kini mereka telah bertemu dan bersatu, tidak ada apapun di dunia ini yang lebih penting dari pada itu, tidak ada apapun yang akan mampu memisahkan mereka lagi.
"Bagaimana baiknya kalau menurut pendapatmu, diajeng Wulan?" Dalam jawaban inipun Nurseta sudah menjelaskan bahwa dia akan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, bahkan kalau perlu mentaati nasihat dan pendapat calon isterinya. Wulansari dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik kata-kata kekasihnya, maka iapun merasa berbahagia sekali dan juga bersukur. Ia yakin benar akan besarnya kasih sayang Nurseta kepadanya dan dalam percakapan itu saja sudah nampak jelas rasa cinta kasih calon suaminya itu. Maka iapun tidak ingin dianggap mau menang sendiri, tidak ingin memaksakan kehendak atau mementingkan diri sendiri.
"Begini, kakangmas Nurseta Semua pendirianmu tadi kuhormati dan kubenarkan Sejengkal tanah sepercik darah, memang demikianlah sepatutnya pendirian seorang satria sejati. Akan tetapi, kakangmas. Masih kurangkah jasamu terhadap Pangeran Raden Wijaya" Kalau kakangmas sudah menyerahkan tombak pusaka Ki AgengTejanirmala, bukankah itu merupakan jasa yang jauh lebih besar dibandingkan andaikata kakangmas berhasil membunuh seribu orang musuh " Karena itu, kakangmas, kalau setelah kita menyerahkan pusaka itu kepada Raden Wijaya, lalu kakang mas mengundurkan diri dan tidak mencampuri perang, aku yakin tidak ada seorangpun yang akan mencelamu. Ingatlah, sudah lama sekali kita saling terpisah oleh keadaan. Apakah kakangmas tega untuk sekali lagi meninggalkan aku, menempuh bahaya dalam perang sehingga hidupku akan selalu was-was dan gelisah" Aku tidak memaksamu, kakangmas Nurseta, hanya mengharapkan keadilan dan pertimbanganmu"
Nurseta menoleh dan memandang kekasihnya. Terkejutlah dia melihat betapa sepasang mata yang jeli dan jernih itu berlinang air mata. Tahulah dia bahwa kekasihnya itu benar-benar amat merindukan hidup dalam damai dan bahagia di sampingnya, tidak terpisahkan apapun juga dan Wulansari memang berhak mengingat betapa sejak kecil ia hidup selalu diliputi kekerasan dan kedukaan. Kalau gadis itu tidak memiliki dasar watak yang baik, watak satria seperti dimiliki ayah ibunya, kemungkinan besar ia telah menjadi seorang wanita, yang menyeleweng dari pada jalan kebenaran, mengingat betapa ia hidup dalam asuhan seorang datuk iblis seperti Ki Cucut Kalasekti. Sudah sepatutnya kalau dia mengalah dan menyenangkan bati calon isterinya itu. Pula, apa yang dikatakan kekasihnya tadi memang mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Bagaimunapun juga, Kediri adalah sedarah dan sebangsa dengan Singosari. Perang yang terjadi antar saudara atau antara keluarga kerajaan itu pada hakekatnya. adalah urutan dendam mendendam antara mereka. Dendam turun menurun sejak Ken Arok. Para senopati dan perajurit hanyalah terbawa-bawa, terseret arus perang yang ditimbulkan karena urusan pribadi atau dendam keluarga kerajaan. Dia sendiripun bukan seorang senopati, bukan ponggawa kerajaan. Bahkan lebih dari itu, dia masih keturunan seorang pangeran Kediri, ayah kandungnya adik tiri Sang Prabu Jayakatwang sendiri.
"Baiklah, diajeng. Aku berjanji tidak akan ikut berperang"
Wulansari mendekatkan kudanya, menjulurkan tangan kanannya dan memegang lengan kiri kekasihnya.
"Terima kasih kakangmas. Aku semakin kagum dan semakln cinta padamu. Percayalah, aku hanya tidak ingin kita terlibat dalam perang saudara itu, akan tetapi tentu saja kalau kita menghadapi kejahatan, baik kejahatan itu dilakukan orang-orang Kediri ataupun orang-orang Singosari, tentu kita harus turun tangan menentang mereka dan menolong rakyat tak berdosa yang tertindas oleh kejahatan mereka"
Pandang mata wanita itu lebih jelas lagi membayangkan rasa haru dan terima kasihnya kepada Nurseta. Pemuda itupun memandang kepadanya dengan senyum.
"Diajeng, kalau aku mau menuruti kehendakmu, bukan berarti bahwa aku mengalah, hanya karena aku melihat bahwa alasanmu tadi memang benar dan tepat. Tentu saja aku mengerti bahwa pada dasarnya, kau berjiwa pendekar. Lihat di sana, agaknya pasukan Majapahit sudah mulai bergerak, diajeng"
Wulansari memandang dan mereka menahan kuda dan memberi isarat dengan tangan agar pasukan rakyat itu berhenti. Semua orang berhenti dan memandang kearah pasukan besar yang bergerak dari depan itu dengan hati gembira.
Segera kehadiran mereka dilihat oleh para senopati Majapahit yang mulai bergerak. Dua orang penunggang kuda yang gagah memacu kuda mereka dari pasukan Majapahit itu dan menghampiri mereka.
"Kanjeng rama......." Wulansari berseru girang.
"Ah, kau kiranya, Wulansari" seru pula segtopati Ki Medarg Dangdi, ayah gadis perkasa itu "Dan bersama kau pula, anakmas Nurseta" Kini Ki Medang Dangdi girang bukan main melihat puterinya telah dapat bertemu dan pulang bersama calon mantunya itu dalam keadaan sehat. "Dan bagaimana dengan tugas kalian " Berhasilkah?" Segera dia teringat akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala
"Berkat bimbingan Gusti Yang Maha Kuasa dan doa restu ayah, kami berhasil dan pusaka itu telah kami bawa untuk dihaturkan kepada Pangeran Raden Wijaya"
Mendengar ucapan puterinya ini, Ki Medang Dangdi memandang dengan wajah berseri. "Bugus sekali, Wulansari. Aku bangga sekali menjadi ayahmu. Akan tetapi, siapakah pasukan kecil di belakangmu itu?"
"Apalah kanjeng rama tidak mengenal mereka" Harap ayah lihat baik-baik, tentu ada diantara mereka yang ayah kenal karena mereka adalah orang orang Singosari, bahkan ada yang bekas perajurit Singosari"
Sementara itu, ketika melihat kedua orang senopati, Ki Medang Dangdi dan Ki Mahesa Wagal, diantara pasukan rakyat yang mengenal mereka segera berseru, "Hidup senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal. Hidup Singosari"
Dua orang senopati itu tersenyum, lalu Ki Medang Dangdi berseru kepada mereka. "Apakah kalian sudah siap semua untuk menyerbu Kediri dan membaias kekalahan Singosari ?"
"Siaaaaapp" teriak mereka serempak.
"Bagus, kalau begitu kalian boleh bergabung dengan pasukan kami" Beberapa orang perwira Majapahit segera menerima dan menampung mereka bergabung dengan pasukan besar.
"Wulansari. lebih baik kau dan anakmas Nurseta segera menghadap Raden Wijaya dan menghaturkan pusaka itu, kemudian kalian cepat menyusul kami dan membantu kami menyerbu Kediri" kata pula Ki Medang Dangdi kepada puterinya.
"Ayah, kami berdua sudah bersepakat untuk menghaturkan pusaka kepada Raden Wijaya, setelah itu kami tidak akan lkut bertrmpur dalam perang, melainkan kami akan melakukan perondaan dan penjagaan keamanan dalam kehidupan rakyat agar jangan sampai mereka, seperti biasanya, kalau terjadi perang, menjadi korban kejahatan yang timbul di mana-mana. Yang akan kami musuhi dan hadapi adalah penjahat-penjahat pengganggu keamanan kehidupan rakyat jelata, dari manapun datangnya"
Ki Medang Dangdi mengangguk-angguk dan tidak membantah kehendak puterinya. Sebagai seorang senopati kawakan yang sudah sering melakukan perang, dia tahu apa yang dimaksudkan oleh puterinya itu. Sudah banyak dia melihat dan mendengar mengalami sendiri akan timbulnya kejahatan setiap kali terjadi peperangan. Penjahat-penjahat mendapat kesempatan untuk mengumbar nafsu angkara murka mereka tanpa ada alat pemerintah yang dapat menen tang karena alat pemerintah sibuk dalam perang. Bahkan tidak jarang nggauta pasukan yang mabuk kemenangan, atau putus asa karena kekalahan, menumpahkan segala gejolak nafsu mereka kepada rakyat jelata yang tidak mampu melawan.
Mereka lalu berpisah. Nurseta dan Wulansari berdua saja melanjutkan perjalan mereka, membalapkan kuda memasuki wilayah Majapahit. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan pasukan induk Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya sendiri. Tentu saja mereka diterima oleh Raden Wijaya dengan ramah dan gembira. Apa lagi setelah Nurseta mempersembahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada pangeran itu.
Sang Pangeran Wijaya membuka bungkusan tombak pusaka itu dan melihat sinar mencorong penuh wibawa dari tombak pusaka itu, Raden Wijaya mengangkatnya tinggi di atas kepalanya.
"jagad Dewa Bathara....... Akhirnya, berkat kemurahan para dewata, pusaka ini sampai juga ke tanganku. Agaknya Sang Hyang Widhi memang sudah memberi restu agar aku membangun kembali Singosari yang runtuh dan mendirikan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar. Nurseta, dan kau juga, Wulansari. Kalian telah berjasa besar kepada Majapahit. Kami masih ingat akan janji kami, Nurseta. Kami pernah berjanji kepadamu bahwa kalau tombak pusaka ini dapat kau serahkan kepada kami sampai Majapahit berhasil berdiri dengan jaya, maka apapun yang kau minta akan kami penuhi. Sekarang, tombak pusaka sudah kau serahkan kepada kami. Bantulah kami untuk mengalahkan Kediri, agar kejayaan Singosari dapat bangkit kembali dalam kerajaan yang baru, yaitu Majapahit yang akan mempersatukan bukan saja Singosari dan Kediri, akan tetapi juga seluruh kerajaan dan kadipaten di Nusantara. Setelah itu, baru kami akan bertanya, balas jasa apa, anugerah apa yang kau minta, dan kami pasti akan memenuhinya"
Nurseta cepat menghaturkan sembah "Hamba menghaturkan banyak terima kasih atas segala kemurahan hati paduka, Gusti Pangeran. Akan tetapi, hamba tidak mengharapkan balas jasa karena penyerahan pusaka ini selain merupakan pesan terakhir dari mendiang ayah Baka, juga merupakan tugas kewajiban hamba terhadap Singosari, terhadap paduka yang melanjutkan perjuangan Singosari. Yang hamba harapkan hanya satu, gusti. Yaitu hamba dan diajeng Wulansari mohon perkenan paduka untuk tidak ikut dalam perang ini"
Raden Wijaya terbelalak dan mengerutkan alisnya. "Tidak kelirukah pendengaranku, Nurseta" Coba ulangi lagi permintaanmu tadi"
Nurseta menyembah. "Hamba berdua diajeng Wulansari mohon perkenan paduka untuk tidak ikut dalam perang ini, Gusti Pangeran"
"Sungguh aneh sekali, Nurseta. Kau dan Wulansari adalah dua orang muda perkasa yang berjiwa satria, dan yang sudah membuat jasa besar dengan mendapatkan tombak pusaka untuk kami. Akan tetapi kalian tidak mau membantu kami berperang melawan Kediri. Sungguh kami tidak dapat mengerti mengapa kau berdua mengambil sikap seperti ini"
Melihat kekasihnya tersudut, Wulansari cepat menghaturkan sembah dan berkata dengan suara lantang. "Mohon paduka ampunkan kalau hamba yang mewakili kakangmas Nurseta menjawab pertanyaan paduka itu, gusti pangeran. Menurut pendapat hamba, untuk mengabdi negara dalam perjuangan, bukan hanya dengan
jalan melibatkan diri dalam perang saja. Masih banyak jalan untuk mengabdi kepada negara dan bangsa, gusti. Dan hamba berdua mengambil keputusan untuk mengabdi dengan cara lain. Selagi paduka dan semua pasukan mengadakan perang melawan Kediri, maka keamanan hidup rakyat jelata tidak akan terjamin, kejahatan muncul di mana-mana. Hamba berdua akan mengadakan perondaan dan akan menanggulangi kekacauan yang timbul, menghadapi orang-orang jahat yang mempergunakan kesempatan dalam kesempitan mengail di air keruh. Terutama sekali di daerah yang telah dikuasai pasukan paduka. Dengan demikian, rakyat akan menyambut kemenangan paduka dengan gembira, dan dengan pengabdian seperti itu, hamba berdua sudah menjaga kewibawaan dan nama baik paduka"
Raden Wijaya mengangguk-angguk, Diapun maklum bahwa setiap kali terjadi perang, ketika Singosari dahulu menundukkan pemberontak, ketika Daha menyerbu Singosari, selalu timbul kekacauan karena para penjahat tentu akan keluar merajaiela. Maka, apa yang dikemukakan Wulansari itu memang benar. Disamping itu, calon raja yang bijaksana ini dapat pula menduga bahwa tentu ada alasan lain yang sifatnya pribadi, namun dia cukup bijaksana untuk tidak mendesak. Bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa jasa kedua orang itu sungguh sudah teramat besar dengan diserahkannya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ke tangannya. Dahulu, ketika Prabu Jayakatwang menguasai tombak pusaka itu, Kerajaan Singosari jatuh oleh Daha. Kini, tombak pusaka itu berada di tangannya, maka dia merasa yakin bahwa tentu dia akan mampu menaklukkan Daha. Dia tidak akan mendirikan kembali Singosari, yang telah jatuh. Dia cukup cerdik. Kalau dia mendirikan lagi Singosari, maka tentu akan terus menerus terjadi pemberontakan, karena Kerajaan Singosari merupakan kerajaan turunan yang diperebutkan oleh keturunan Ken Arok, keturunan Tunggul Ametung, dan keturunan Kerajaan Kediri. Akan tetapi dia akan membangun sebuah kerajaan baru, Kerajaan Mijapahit. Dengan demikian, tidak akan terjadi keributan dan perebutan kekuasaan.
Karena kesanggupan dua orang muda perkasa itu untuk menjaga keamanan juga merupakan suatu perjuangan yang tidak kecil artinya, maka Raden Wijaya segera memberikan persetujuannya. Menghadapi para penjahat bukan tidak berbahaya bahkan lebih berbahaya dari pada kalau bertempur dalam perang di mana terdapat banyak kawan dalam satu pasukan. Mereka bahkan akan menentang orang-orang jahat yang berbahaya, dan banyak diantara para datuk sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Raden Wijaya lalu menyerahkan tanda kekuasaan berupa dua helai kain yang ditulisnya sendiri kepada dua orang muda itu. "Dengan tanda kekuasaan ini, kau berdua dapat bergerak dengan bebas dan semua ponggawa Majapahit akan tunduk dan mentaati keinginan kalian berdua sebagai wakil kami" Demikian pesannya sebelum pasukan itu melanjutkan gerakan, dipimpin sendiri oleh pangeran itu.
Wulansari dan Nurseta menghaturkan terima kasih dan mereka berduapun melanjutkan perjalanan memasuki daerah baru Majapahit untuk bertemu dengan Warsiyem, isteri Ki Medang Dandi dan ibu kandung Wulansari.
Tentu saja ibu yang pernah menderita siksaan ketika menjadi tawanan Ki Cucut Kalasekti ini gembira dan terharu bukan main dapat bertemu kembali dengan puterinya, apa lagi bersama Nurseta, calon mantunya yang sudah banyak berjasa ketika mereka berdua berada di dalam goa di dalam jurang akibat perbuatan Ki Cucut Kalasekti. Iapun merasa girang dan puas mendengar bahwa Ki Cucut Kalasekti, musuh besar yang amat jahat itu telah terjatuh ke dalam jurang yang amat dalam dan besar kemungkinan tewas, bersama Ki Buyut Pranamaya. Ia memuji puteri dan mantunya ketika mendengar bahwa mereka telah menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada Raden Wijaya.
"Ah, betapa bahagia hatiku mendengar itu semua, Wulansari dan Nurseta Ayahmu pernah bercerita bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu bukan saja memilikl khasiat tolak bala, akan tetapi juga dapat dianggap sebagai wahyu keraton. Agaknya sudar menjadi kehendak Sang Hyang Widhi bahwa Gusti Pangeran Raden Wijaya yang akan membangun kembali Singosari dan menjadi seorang raja yang adil dan bijaksana, maka pusaka itu dapat kalian serahkan kepadanya"
"Saya yakin akan hal itu, kanjeng ibu. Buktinya, ketika Sang Prabu Jayakatwang menguasai tombak pusaka itu, dia berhasil menalukkan Singosari. Kini pusaka berada di tangan Gusti Pangeran Raden Wijaya, maka tentu Majapahit yang akan menang" kata Wulansari.
"Akan tetapi, anak-anakku, ketika kalian bertemu dengan pasukan Majapahit yang dipimpin gusti pangeran di mana terdapat pula ayahmu, kenapa kalian tidak ikut menggabung dan membantu gerakan pasukan yang hendak menyerbu Kediri itu?"
"Tidak, ibu. Kami memang sudah bersepakat untuk tidak ikut dalam perang dan hal itu sudah kami jelaskan kepada Raden Wijaya. Kami hanya akan menjaga keamanan, saja, memberantas semua penjahat yang mempergunakan kesempatan selagi terjadi peperangan untuk mengacau kota dan dusun yang tidak terjaga. Dan kanjeng pangeran sudah memberi ijin, bahkan telah memberikan tanda kuasa kepada kami" kata Wulansari.
Warsiyem mengangguk-angguk. Tanpa bicarapun ia dapat mengerti akan isi hati puterinya dan mantunya. Ia tahu bahwa puterinya pernah menjadi pengawal pribadi Raja Kediri dan calon mantunya itu bahkan putera seorang pangeran Kediri. Tentu saja mereka merasa rikuh untuk ikut menyerbu Kediri.
"Kalau begitu, kurasa sebaiknya kalau kalian melangsungkan pernikahan sekarang juga. Biarpun secara sederhana, disaksikan oleh para ibu, aku dapat mengatur peresmian pernikahan kalian, Wulansari dan Nurseta"
Wajah Wulansari berubah kemerahan. "Tidak ibu, Kami tidak akan meresmikan pernikahan kami sekarang" Nurseta juga mengangguk membenarkan ucapan calon isterinya, karena memang urusan pernikahan itu telah mereka bicarakan sebelumnya.
"Akan tetapi mengapa, anak-anakku" Kalian berdua sudah cukup lama saling mencinta, cukup lama terpisah dan menanti, dan usia kalian juga sudah lebih dari cukup" Menunggu apa lagi ?"
"Ibu, hal inipun sudah kami sepakati bersama. Biarpun kami berdua tidak ikut bertempur dalam perang, namun kami ikut berprihatin dan kami sudah mengambil keputusan untuk menikah setelah perang ini selesai dan pangeran sudah berhasil dan menang"
"Kalian memang anak-anak yang tabah dart tahan uji. Semoga perang ini cepat selesai, kalian menikah dan menerima anugerah kedudukan tinggi dari Gusti Pangeran"
"Tidak demikian, ibu. Cita-cita kami, kalau perang sulah selesai dan keadaan negara kembali aman, kami akan mecnikah, kemudian kami akan mengundarkan diri, menjadi petani-petani di pegunungan, hidup bersih, tentram dan damai, jauh dari keramaian dan kekerasan. Kami sudah muak karena sejak kecil bergelimang dengan kekerasan, dengan perkelahian dan permusuhan, ibu"
Warsiyem menarik napas panjang. "Alangkah akan bahagia dan tenteramnya hidup seperti itu, anak-anakku. Akupun merindukan kehidupan yang penuh damai dan ketenteraman, akan tetapi ayahmu adalah seorang senopati....... mana mungkin....."
"Ayah sudah telalu banyak jasanya terhadap kerajaan, Ibu. Setelah perang selesai, bisa aja ayah dan ibu mengundurkan diri dan hidup tenteram di pegunungan"
Warsiyem diam saja, akan tetapi di dalam batinnya, ia tahu bahwa hal itu tidak akan mungkin terjadi, ia mengenal baik watak suaminya, seorang senopati yang setia kepada kerajaan yang tidak akan mau mundur selama tenaganya masih dibutuhkan.
Nurseta dan Wulansari hanya beberapa hari saja tinggal bersama ibu gadis itu. Mereka lalu berangkat untuk melakukan perondaan, terutama di daerah yang sudah dikuasai pasukan Majapahit, untuk menjaga keamanam Melindungi rakyat dan menentang segala bentuk kejahatan yang timbul akibat perang.
** Setelah Prabu Jayakatwang menerima tombak pasaka dari tangan seorang perwiranya yang diutus oleh Ki Cucut Kalasekti untuk menyerahkan pusaka itu ke istana Kediri, hatinya menjadi besar. Sama seekali ia tidak menduga bahwa pusaka itu adalah tombak pusaka yang palsu, karena demikian miripnya pembuatan benda tiruan itu. Maka, Prabu Jayakatwang lalu mengratur barisannya untuk menghajar pasukan Majapahit yang dibantu oleh pasukan Madura dan bergabung dengan pasukan Tartar itu.
Prabu Jayakatwang maklun akan ancaman bahaya besar setelah menerima laporan bahwa pihak musuh telah menguasai daerah utara, dari Tuban sampai mendekati daerah kediri. Cepat diperintahkannya untuk membuat persiapan. Belatentara Kediri dibagi dalam tiga barisan pertahanan yang kuat. Pertahanan di bagian utara dipimpin oleh Mahesa Antaka dan Ki Bowong, dan karena pertahanan ini merupakan pasukan induk, Prabu Jayakatwang sendiri juga ikut memimpin pertahanan utara ini. Pertahanan di bagian timur dipimpin oleh Senopati Segoro Winotan dibantu oleh Senopati Ronggo Janur. Pertahanan di selatan dipimpin oleh Ki Patih Kebo Mundarang dan Senopati Pangelet.
Terjadilah pertempuran hebat di mana-mana. Kekuatan pasukan gabungan dari Majapahit. Madura, dan Tartar itu amat kuatnya. Sehingga di mana-mana balatentara Kediri mengaiami kekalahan dan kehancuran.
Pertahanan di bagian timur yang dipimpin oleh Segoro Winotan, mengalami serbuan hebat dari tentara Majapahit yang dipimpin oleh Ronggo Lawe. Dua orang musuh yang saling membenci itu bertempur di medan laga.
Tak dapat dicegah lagi, bertemulah dua orang senopati yang saling membenci itu di dalam medan yuda. Ronggo Lawe dengan gagahnya menunggang kudanya yang diberi nama Andawesi, sedanykan Segoro Winotan sebagai pimpinan pasukan kerajaan, mengendarai sebuah kereta perang. Namun, begitu keduanya bertemu, keduanya segera berlompatan turun dan kini berdiri saling berhadapan dengan sikap beringas.
"Heh keparat Ronggo Lawe, orang kasar dusun tak tahu aturan. Sudah kuduga, ternyata kau hanyalah antek dari si pemberontak Wijaya. Menyerahlah saja, kau akan aku bawa sebagai tawanan, dari pada harus kupenggal batang lehermu dan kugantung kepalamu di pohon waru menjadi setan penasaran" kata Segoro Winotan yang marah teringat akan dirinya yang tertipu oleh Raden Wijaya dan Rongge Lawe ketika dia diutus rajanya menyelidiki Majapahit.
Ronggo Lawe yang kerwatak keras itu menjadi merah mukanya, akan tetapi walaupun suaranya lantang, sikapnya masih tenang, sikap seorang satria yang tidak dikacau oleh amarah.
"Hemm, Segoro Winotan. Sudah jamak kalau ada maling berteriak maling, seperti yang kau lakukan. Kau mengatakan bahwa Gusti Pangeran Raden Wijaya adalah pemberontak. Bercerminlah. Siapa sesungguhnya pemberontak" Kau orang-orang Kediri, bukan kami. Bukankah Kediri yang selalu. diperlakukan dengan baik oleh Singosari, membalas kebaikan dengan kepalsuan, dengan pemberontakan. Kediri yang memberontak terhadap Singosari, sedangkan Gusti Pangeran Raden Wijaya hanyalah pejuang yang hendak menghajar dan membasmi pemberontak Kediri"
"Babo babo si keparat RonggqLawe, sungguh lancang ucapanmu. Sekali lagi, kau tidak mau menyerah?"
"Sebelum pecah dadaku atau putus leherku, Ronggo Lawe tidak mengenal menyerah"
"Kalau begitu, akan pecah dadamu dan putus lehermu" Segoro Winotan membentak dan menerjang dengan dahsyatnya. Serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Ronggo Lawe yang membalas dengan tak kalah dahsyatnya. Kedua orang senopati ini segera bertanding, keduanya mempergunakan tombak. Melihat pimpinan mereka sudah bertanding, pasukan kedua pihak segera bersorak dan terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Kediri melawan pasukan Majapahit yang dibantu oleh pasukan Mongol.
Seru dan mati-matian pertandingan antara Segoro Winotan dan Ronggo Lawe. Keduanya merupakan senopati yang bertenaga besar dan memiliki pengalaman dalam pertandingan, juga keduanya telah mempelajari aji kedigdayaan. Namun, Ronggo Lawe lebih muda dan juga Ronggo Lawe adalah murid Empu Supamandrangi pertapa di Gunung Bromo. Sepak terjangnya trengginas, dan setiap serangannya membuat tombak di tangannya seperti kilat menyambar, penuh tenaga yang amat kuat dan cepat sekali.
Segoro Winotan susah mengimbangi kecepatan dan kekuatan Ronggo Lawe dan sebelum lewat limapuluh jurus, tubuhnya sudah basah oleh keringat. Apa lagi dia melihat betapa pasukannya mulai terdesak dan terhimpit maka hatinya merasa risau dan hal ini membuat pertahanannya kurang kokoh. Karena kelengahan ini, kaki kiri Ronggo Lawe yang menyambar dalam sebuah tendangan, berhasil mengenai pinggangnya dan Segoro Winotan terhuyung dan hampir roboh. Dia menjadi marah bukan main.
"Aaaaagggghhhh......." Dengan gerengan seperti seekor beruang marah, Segoro Winotan menubruk dan tombaknya meluncur cepat ke arah perut Ronggo Lawe.
"Terburai ususmul" bentaknya menyambung gerengannya.
Ronggo Lawe sudah siap siaga dengan tenang. Ketenangannya membuatnya waspada, sebaliknya dari lawannya yang menjadi lengah, karena amarah yang berkobar. Ketika tombak Segoro Winotan meluncur ke arah perutnya. Ronggo Lawe membalikkan tombaknya, menangkis dengan gagang tombak dari samping sambil mengerahkan tenaganya.
"Trang......." Tombak di tangan Segoro Winotan menyeleweng dan tiba-tiba tombak Ronggo Lawe sudah membalik lagi dan mata tombaknya, tanpa dapat dihindarkan lagi, menusuk dada Segoro Winotan.
"Ceppp......." Ronggo Lawe sudah mencabut kembuli tombaknya sambil menendang. Tubuh Segoro Winotan terpelanting, darah mengucur dari dadanya. Tombaknya terlepas dan kedua. tangannya mendekap dada yang terluka. Ronggo Lawe tidak memberi kesempatan lagi kepada lawan. Dia sudah mencabut pedangnya dan sekali dia mengayun pedang, leher Segoro Winotan terbabat putus.
Melihat ini, seorang perwira Majapahit lalu menggunakan tombaknya menusuk kepala itu pada lehernya, dan mengangkat kepala itu tinggi-tinggi sambil bersorak. Para perajurit Majapahit yang melihat ini, ikut pula bersorak. Senopati Ronggo Janur, pembantu Segoro Winotan, marah sekali dan dengan keris terhunus dia menyerang Ronggo Lawe. Namun, Ronggo Lawe kembali menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa gebrakan saja, Senopati Ronggo Janur juga terpelanting dan tewas dengan dada robek.
Robohnya para senopati Daha membuat para perajurit Kediri merasa semakin panik. Mereka memang sudah terdesak oleh pasukan gabungan Majapahit dan Mongol, Terutama sekali sepak terjang para perajurit Mongol itu amat menggiriskan. Pasukan dari Mongol itu memang merupakan pasukan yang sudah berpengalaman, dan mereka terkenal buas, Bahkan pasukan Mongol sampai menggegerkan negara-negara di barat karena keberanian dan kebuasan mereka. Dengan badan terlindung pakaian perang, pedang di tangan digerakkan dengan amat cepat dan kuat, dengan kebuasan binatang liar, pasukan Mongol ini menggiriskan hati para perajurit Kediri.
Robohnya Segoro Winotan dan Ronggo Janur membuat para perajurit Kediri menjadi gentar dan akhirnya merekapun mundur meninggalkan banyak korban, bahkan diantara mereka ada yang melarikan diri atau takluk. Celakanya, mereka yang takluk itu kalau berhadapan dengan pasukan Mongol, sama sekali tidak memperoleh ampun. Pasukan Mongol biasa membasmi pihak musuh yang kalah, bahkan membunuhi musuh yang sudah menyerah dan menyerah. Mereka yang kebetulan berhadapan dengan tentara Majapahit, dapat diterima sebagai taklukan dan tidak dibunuh.
Bukan hanya di bagian timur ini saja pasukan Kediri mengalami kekalahan besar, juga di bagian selatan, pertahanan yang dipimpin sendiri oleh Ki Patih Kebo Mundarang dan Senopati Pangelet, mengalami kekalahan. Ketika sorak-sorai pasukan Majapahit menyambut kemenangan di bagian timur itu, di bagian selatan sedang terjadi perang yang juga amat seru dan mati-matian.
Pasukan Majapahit yang menyerbu dari selatan dipimpin oleh Senopati Lembu Sora yang gagah perkasa. Yang dipimpinnya adalah gabungan pasukan Majapahit dan Madura, karena pasukan Mongol hanya menyerbu dan bergabung dengan pasukan yang menyerang dari utara dan timur saja. Namun, pasukan gabungan pimpinan Lembu Sora ini cukup tangguh, karena di sampingnya terdapat senopati-senopati yang gagah perkasa seperti Pamandana, Wirota Wiragati, dan Mahesa Wagal.
Ki Patih Kebo Mundarang tadinya mengadakan perlawanan mati-matian dan dia sendiri mengamuk bagaikan seekor banteng terluka. Namun, dia mendengar berita kekalahan pasukan Kediri di bagian timur, bakkan banyak perajurit Kediri yang melarikan diri ke selatan. Hal ini membuat dia merasa panik, juga anak buahnya menjadi panik. Sebaliknya. ketika para perajurit Majapahit dan Madura mendengar akan kemenangan kawan-kawan mereka di bagian timur, mereka bersorak sorai dan semangat merekapun berkobar-kobar. Maka, tak tertahankan lagi oleh pasukan Kediri. Mereka terdesak mundur dan akhirnya Ki Patih Kebo Mundarang tidak lagi dapat menguasai anak buahnya yang kacau balau. Bahkan banyak pula yang sudah melarikan dari gelanggang.
Ternyata Ki Patih Kebo Mundarang, patih yang dipercaya oleh Sang Prabu Jayakatwang itu, bukanlah seorang senopati yang berjiwa pahlawan. Ketika dia melihat betapa Senopati Pangelet roboh tewas, diapun segera melarikan diri bersama pasukan pengawalnya yang terdiri dari belasan orang saja. Dia membiarkan sisa pasukannva melakukan perlawanan dan diam-diam diapun melarikan diri tanpa pamit kepada anak buahnya.
Melihat ini, Senopati Lembu Sora merasa penasaran dan segera melakukan pengejaran dengan membawa dua puluh orang pasukan. Baginya, kemenangan pertempuran tanpa dapat menawan pimpinan pasukan lawan, baik mati atau hidup. tidaklah sempurna. Dia barus dapat membawa kepala Ki Patih Kebo Mundarang sebagai tanda kemenangan pasukan yang dipimpinnya. Maka pengejaranpun dilakukan dengan cepat.
Ki Patih Kebo Mundarang berhasil melarikan diri ke sebuah dusun, dan bersembunyi di rumah Ki Lurah Trini Panti. Ki Lurah tentu saja menyambut orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi darinya itu dengan segala kehormatan. Di dapur, isterinya sibuk mempersiapkan masakan, ayam dan domba disembelih seketika dan rombongan Ki Patih Kebo Mundarang dijamu dengan makanan yang royal.
Akan tetapi, setelah mereka selesai makan dan matahari mulai condong ke barat, tiba-tiba terdengar suara ribut ribur di luar rumah. Kiranya, Senopati Lembu Sora dan para pengikutnya telah tiba di rumah Ki Lurah Trini Panti dan para pengawal Ki Patih Kebo Mundaran tidak melakukan perlawanan mati-matian. Namun, belasan orang yang sudah kelelahan dan kehilangan semangat karena kalah perang itu, dengan mudah dihabisi oleh dua puluh orang lebih pasukan Lembu Sora.
Ki Patih Mundarang sendiri yang mengintai dari dalam rumah, dengan muka pucat dan tubuh menggigil lalu melarikan diri melalui pintu belakang, tidak memperdulikan lagi kepada para pengawalnya yang sedang mati-matian melakukan perlawanan.
Dia di kebun rumah Ki Lurah Trini Panti. Hatinya lega melihat bahwa kebun itu sunyi dan tidak ada seorangpun perajurit Majapahit yang menghadangnya. Dia berlari terus. Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kebun dan tiba di bawah rumpun bambu, dia dikejutkan oleh seorang yang telah berdiri menghadang di depannya, Lembu Sora!
Gemetar kedua kaki Ki Patih Kebo Mundarang ketika dia melihat senopati yang gagah perkasa itu.
"Hahaha, Ki Patih Kebo Mundarang, hendak melarikan diri ke mana" Pengecut, hayo hadapi aku Lembu Sora seperti seorang perajurit sejati, bukan seperti anjing yang melarikan diri sambil mengepit ekornya. Hahaha"
Wajah Ki Patih Kebo Mundarang sebeetar pucat sebentar merah. Dia merasa gentar terhadap senopati yang sudag diketahuinya amat digdaya ini, akan tetapi diapun merasa amat malu. Dia bukan seorang yang lemah. Sama sekali tidak. Belum tentu dia kalah oleh Lembu Sora. Akan tetapi, semangatnya bertempur sudah lenyap, dan dia yang jauh lebih tua dari Lembu Sora, merasa putus asa.
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 5 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Pendekar Riang 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama