Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Sepercik Darah 8

Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


"Bukankah kau ini Adi Santiko?" Medang Dangdi memandang orang itu dan bertanya.
Santiko balas memandane, lalu terbelalak. "Wah........ Kakang Medang Dangdi. Wah,
kang........ ia....... isterimu itu, mbakayu Warsiyem, juga datang, baru saja"
Mendengar ini, bagaikan seekor kijang, Medang Dangdi sudah melompat keluar tanpa pamit dan diapun berlari cepat menuju ke rumahnya. Ketika tiba di depan rumahnya yang sudah bobrok, benar saja, dia melihat seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita itu masih cantik, dan biarpun sudah belasan tahun dia tidak pernah bertemu dengan wanita itu, dia tidak lupa bahwa wanita itu adalah Warsiyem, isterinya. Seketika terdengar kembali keterangan Ki Lurah, tentang isterinya yang pergi bersama laki-laki lain. Isterinya telah menyeleweng dengan laki-laki lain, dan kini isterinya kembali, juga dengan seorang laki-laki, seorang pemuda yang tampan sekali. Hatinya seperti dibakar rasanya dan kemarahan teiah membuat wajahnya menjadi merah seperti udang direbus.
"Warsiyem......." teriaknya, suaranya mengguntur, mengejutkan Warsiyem dan Nurseta yang baru saja tiba di situ dan berdiri di depan rumah yang sudah rusak dan tidak terawat itu. Warsiyem sedang merasa terharu sekali melihat keadaan rumahnya. Lenyaplah semua kegembiraannya, keharuan menyesak di dada. Ia kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan kehormatan dan kini rumahnya juga nampak rusak dan hampir ambruk. Karena ia sedang terharu dan melamun, bentakan itu tentu saja mengejutkan hatinya. Ia membalikkan tubuhnya dan......wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak dan ia mengembangkan kedua lengannya.
"Kakangmas Medang Dangdi........ Suamiku........" Ia berlari menghampiri, hendak
memeluk akan tetapi Medang Dangdi mengelak sehingga tubuh wanita itu terhuyung, lalu membalik lagi dan iapun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki suaminya. Ia menangis sesenggukan, sampai sesak napasnya ketika menangis. Suaranya terputus putus dan tidak jelas. "Kakangmas........ Medang.......Dangdi......., ampunkan aku, kakangmas....... ahhhh, kakangmas suamiku ........ demi semua Dewata, mengapa diriku harus menderita seperti ini................"
"Jangan mengotorkan nama Dewata dengan mulutmu yang palsu" Tiba-tiba Medang Dangdi membentak dan kakinya menendang. Tubuh wanita itu terjengkang sampai dua meter jauhnya. "Perempuan hina, perempuan rendah dan lacur. Suami pergi mencari pekerjaan, bermain gila dengan laki-laki lain"
Warsiyem terbelalak, lalu merangkak menghampiri. "Kakangmas......... Harap mendengar
kan dulu keteranganku........"
"Dengar apa lagi " Engkau pergi bersama seorang laki-laki, dan engkau menyuruh adikmu membawa pergi Wulansari untuk menyusulku. Engkau perempuan tak tahu malu, keparat" Kini Medang Dangdi yang melihat Warsiyem bangkit berdiri melayangkan tangannya menghantam ke arah kepala isterinya. Hantaman itu keras sekali dan kalau mengenai kepala, tentu Warsiyem akan tewas seketika karena memang niat hati yang sudah diracun cemburu dan kemarahan itu hendak membunuh isteri yang dianggapnya tidak setia dan menyeleweng.
"Dukkk........" Karena pernah mempelajari ilmu bela diri dengan tekun, otomatis Warsiyem mengangkat lengan menangkis, dan akibat tangkisan itu, kepalanya luput dari hantaman, akan tetapi saking kerasnya suaminya menghantam, ia terhuyung ke belakang. Medang Dangdi semakin marah.
"Bagus. Engkau sudah mempelajari pula ilmu dari laki laki yang membawamu pergi, ya " Untuk melawan aku sekarang" Baik, keluarkan kepandaianmu dan mari kita mengadu nyawa untuk menebus aib ini"
"Kakangmas........ aduhh, kakangmas........ dengarlah dulu.......... ampunkan aku dan dengarkan penjelasanku......"
Akan tetapi ratap tangis Warsiyem tidak diperdulikan suami yang sudah diracuni cemburu dan dendam itu. Dia sudah meloncat dekat dan kini mengirim pukulan yang lebih hebat lagi. Melihat ini, agaknya Warsiyem yang merasa berduka sekali melihat sikap suaminya, tidak mau menangkis lagi dan dengan air mata bercucuran ia menengadah, memberikan kepalanya untuk dihantam biar ia mati dan terbebas dari pada penderitaan yang tak kunjung henti itu.
"Dukkk........" Sekali ini, pertemuan antara kedua lengan itu membuat Medang Dangdi yang terdorong ke belakang, bahkan terhuyung hampir roboh. Dia mengangkat muka memandang kepada Nurseta dengan marah sekali, lalu telunjuknya menuding.
"Jagad Dewa Bathara. Kiranya engkau ini biang keladinya. Engkau pula barangkali laki-laki yang membawanya, ataukah engkau menjadi gendaknya yang baru" Bagus. Kalau engkau memang mencinta wanita yang lebih tua darimu itu, engkau harus berani mempertaruhkan nyawamu untuknya" berkata demikian, Medang Dangdi sudah mencabut kerisnya dan melangkah maju menghampiri Nurseta.
"Paman Medang Dangdi, apakah kau lupa kepadaku" Memang baru sekali kita saling bertemu dan diperkenalkan, mungkin kau lupa kepadaku" Akan tetapi, apakah kau juga lupa kepada pusaka ini?" 'Nurseta mengeluarkan pusakanya, keris Kilat Nogo pemberian Raden Wijaya. Ketika dia membantu pasukan Singosari menghancurkan pemberontakan Mahesa Rangkah, dia diperkenalkan oleh Senopati Ronggo Lawe kepada Raden Wijaya dan dalam kesempatan ini, diapun diperkenal kepada para senopati Singosari termasuk Medang Dangdi.
Medang Dangdi tadinya memandang dengan alis berkerut, akan tetapi ketika melihat pusaka Kilat Nogo, dia tentu saja mengenal pusaka milik Raden Wijaya itu dan diapun teringat akan pemuda gagah perkasa yang pernah dihadiahi keris itu oleh sang pangeran.
"Kau........ kau pemuda itu......."
"Aku Nurseta, paman"
"Ah, benar. Anakmas Nurseta" katanya kemudian kembali alisnya berkerut. "Akan tetapi......." dia menoleh kepada Warsiyem yang masih menangis, "apa artinya ini" Mengapa kau bersama perempuan ini..........?"
"Tenanglah paman. Untung bahwa paman belum membunuh isteri paman, karena kalau hal itu sampai terjadi, paman akan menyesal selama hidup paman, karena paman akan menjadi seorang pengecut yang rendah budi dan sama sekali tidak adil"
"Apa............ Apa maksudmu, orang muda?" Medang Dangdi yang sudah menyimpan kerisnya itu kini kembali menjadi merah mukanya.
"Mari kita duduk yang baik dan biar aku yang akan menceritakan semua penderitaan yang telah dialami oleh kanjeng bibi Warsiyem, isteri paman yang bernasib malang ini. Mari kita duduk, paman"
Mereka bertiga duduk, biarpun Medang Dangdi masih ragu-ragu dan memandang penuh curiga. Warsiyem duduk pula mendekat, akan tetapi masih menundukkan muka dan menangis terisakisak. Nurseta lalu mulai bercerita. Mula-mula dia bercerita tentang dirinya sendiri yang terjungkal ke bawah tebing curam oleh ulah Ki Cucut Kalasekti yang menyerangnya dengan Sisik Nogo. Kemudian betapa dia selamat dapat mencapai goa di mana dia bertemu dengan Warsiyem yang ditawan oleh Ki Cucut Kalasekti di tempat terasing itu, kemudian betapa sampai empat tahun lebih dia bersama wanita itu tinggal di dalam goa dan berlatih ilmu bela diri. Dan akhirnya betapa dia dan Warsiyem berhasil keluar da. goa ketika Ki Cucut Kalasekti datang berkunjung dan dia berhasil merobohkan kakek iblis itu.
"Dan aku mendengar pengalaman kanjeng bibi Warsiyem darinya sendiri, paman. Ketika paman pergi, tak lama kemudian, Ki Cucut Kalasekti kebetulan lewat di dusun Paguh dan melihat kanjeng bibi. Ki Cucut Kalasekti lalu memaksa kanjeng bibi ikut. Kanjeng bibi tak
berdaya karena siapa berani melawannya" Laripun tiada gunanya. Karena itu, untuk menyelamatkan puteri paman, diajeng Wulansari, kanjeng bibi lalu mengutus adiknya untuk membawa puterinya menyusul paman ke Singosari. Kemudian, kanjeng bibi dibawa dengan paksa oleh Ki Cucut Kalasekti. Kanjeng bibi diancam, dipaksa, diperkosa, dibujuk. Namun kanjeng bibi tetap tidak mau menyerah, sehingga akhirnya karena kecewa dan marah Ki Cucut Kalasekti lalu membawanya ke dalam goa di tebing itu. Nah, demikianlah, paman. Kanjeng bibi Warsiyem telah mengalami penghinaan, perkosaan, dan siksaan lahir batin, namun ia tetap tidak mau menyerah kepada Ki Cucut Kalasekti. Hanya karena teringat kepada paman dan puterinya maka ia tidak membunuh diri. Dan sekarang, setelah Sang Hyang Wisesa mempertemukan kalian berdua, paman bahkan menuduhnya secara keji tanpa bukti"
Selagi Nurseta bercerita, tangis Warsiyem makin menjadi-jadi sampai ia sesenggukan seperti anak kecil, Wajah Medang Dangdi berubah pucat sekali dan kini dia menoleh kepada isterinya, lalu ditubruknya isterinya itu dengan air mata bercucuran.
"Aduhhh........isteriku...... diajeng, maafkan aku........maafkan aku yang terburu nafsu mendengar diajeng pergi bersama seorang pria. Ah, betapa bodoh dan gilanya aku menuduh diajeng yang bukan-bukan........ maafkan aku.."
Dia merangkul isterinya. Warsiyem merintih lirih dalam tangisnya, tak dapat berkata-kata dan terkulai dalam pelukan suaminya. Sejenak mereka saling berangkulan dan Nurseta merasa betapa kedua matanya panas karena dia merasa terharu sekali.
"Tidak......... Tidak......." Tiba-tiba Warsiyem meronta, melepaskan diri dari pelukan suaminya, lalu meloncat ke belakang, wajahnya pucat sekali, air matanya masih bercucuran di sepanjang kedua pipinya. "Tidak, aku tidak berharga lagi untuk menjadi isterimu, kakangmas Medang........ aku telah ternoda, aku telah menjadi permainan Ki Cucut Kalasekti, diperkosa puluhan kali. Aku tidak layak menjadi isterimu, tidak ada gunanya lagi aku hidup. Kau carilah anak kita, carilah Wulansari, tanya kepada anakmas Nurseta......." Tiba-tiba saja wanita yang nekat itu menggerakkan bambu Runcing, mengarahkan ujung bambu yang Runcing itu ke arah perutnya sendiri.
"Warsiyem........." Medang Dangdi berteriak akan tetapi tidak mampu melakukan sesuatu. Dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nurseta telah merampas bambu Runcing dari tangan wanita itu, yang berlutut sambil menangis dan mengeluh.
"Biarkan aku mati ahh, biarkan aku mati......."
"Kanjeng bibi, ingatlah" Nurseta berkata dengan suaranya yang halus namun meresap ke dalam hati wanita itu. "Kalau suami dan anakmu memang orang orang yang bijaksana, dalam pandang mata mereka kanjeng bibi sama sekali tidak hina, tidak kotor, tidak rendah. Mereka berdua masih membutuhkan kasih sayangmu kanjeng bibi"
---ooo0dw0ooo-JILID 12 MENDENGAR ucapan ini, berhentilah tangis Warsiyem dan ia menengadah, memandang ke arah suaminya, wajahnya pucat, sepasang matanya memandang penuh harap, mukanya basah air mata dan bibirnya bergetar ketika terdengar ia bertanya lirih, "Be....... benarkah itu........?"
Medang Dangdi menubruk dan merangkul isterinya, diciuminya wajah yang basah air mata itu. "Benar sekali, isteriku. Kakek iblis itu boleh jadi merampas tubuhmu, memiliki tubuhmu, mengotori tubuhmu. Akan tetapi siapapun tidak dapat merampas hatimu, tidak dapat memiliki cintamu, tidak dapat mengotori hatimu yang hanya mencinta aku dan anak kita seorang. Engkau tidak hina dalam pandanganku, diajeng, bahkan aku menghormatimu, aku mengagumi pengorbananmu. Engkau isteriku, hatimu tidak ternoda. Noda badan dapat dicuci bersih, dan hatimu tetap milikku, cintamu hanya untuk aku dan anak kita"
Wajah itu kini agak mlerah dan gepasang mata itu agak berseri. "Kakangmas Medang.....
benar....... benarkah itu" Bukan hanya sekedar hiburan belaka " Kelak engkau........ tidak
akan menghinaku dengan peristiwa itu ?"
Suaminya menatapnya sambil tersenyum walaupun matanya masih basah dan menggeleng kepalanya. "Tidak, isteriku. Semua itu terjadi bukan atas kehendakmu. Engkau telah menderita lahir batin selama belasan tahun, sekarang saatnya engkau hidup berbahagia dengan aku, dengan kami, aku dan anakmu"
"Wulan........... Wulansari, dimanakah ia ?"
Warsiyem nampak gelisah dan menoleh ke kanan kiri, seperti mencari-cari dan mengharapkan akan dapat menemukan puterinya di situ.
Medang Dangdi memandang kepada Nurseta. "Bukankah tadi anakmas ini bercerita bahwa puteri kita itu ikut dengan Cucut Kalasekti ?"
"Benar, kanjeng paman. Kami, yaitu kanjeng bibi dan aku, telah mencari ke rumah gedung tua tempat tinggal Ki Cucut Kalasekti, namun rumah itu kosong dan agaknya sudah lama tidak terawat. Kami lalu ke sini dan melihat rumah kanjeng bibi juga kosong dan tidak terawat"
"Ah, Nurseta, sekarang aku teringat. Bukankah iblis tua itu ketika tiba di dalam goa
mengatakan bahwa dia kini telah menjadi adipati bernama Adipati Satyanegara, adipati di Bendowinangun ?" tiba-tiba Warsiyem berseru.
Nurseta mengangguk. "Benar, sayapun ingat sekarang, kita harus melakukan penyelidikan ke Bendowinangun"
Ki Medang Dangdi mengerutkan alisnya. "Bendowinangun adalah kadipaten wilayah Kerajaan Dhaha. Aku sebagai seorang senopati Singosari, sungguh merasa kurang enak kalau harus melakukan penyelidikan ke sana. Dan pula, aku harus ikut dengan pasukan yang kembali ke Singosari setelah berhasil menaklukkan Bali. Diajeng Warsiyem, marilah engkau ikut bersamaku palang ke Singosari, nanti setelah menghadap Sribaginda, aku akan minta ijin untuk pergi mencari anak kita ke Bendowinangun"
Isterinya mengangguk. "Kalau begitu, biarlah Nurseta yang pergi mencari Wulan ke Bendowinangun"
"Ah, bagaimana kita berani merepotkan anakmas Nurseta ?" Medang Dangdi berkata sungkan.
"Kakangmas Medang, ketahuilah bahwa anakmas Nurseta ini bukanlah orang lain. Dia dan Wulan saling mencinta, dia adalah calon mantu kita"
"Ah, begitukah ?" Wajah Ki Medang Dangdi berseri. "Aku girang sekali. Kalau begitu, bolehkah kami berharap anakmas Nurseta akan mencari Wulansari ke Bendowinangun"
Nurseta dalam hatinya membantah bahwa dia dapat menjadi jodoh Wulansari, akan tetapi dia tidak mau mengecewakan dan membuyarkan harapan suami isteri yang baru saja saling bertemu dan dalam kebahagiaan itu. Bagaimanapun juga, dia sudah memberitahukan dengan terus terang kepada yang berkepentingan, yaitu Wulansari sendiri bahwa biarpun dia dan gadis itu saling mencinta, namun tidak mungkin menjadi suami isteri karena dia telah bertunangan dengan seorang gadis lain.
"Baiklah, kanjeng paman dan bibi, saya akan pergi ke Bendowinangun mencari diajeng Wulansari dan akan saya beritahukan tentang keadaan dirinya yang sebenarnya, siapa sesungguhnya ayah dan ibu kandungnya, dan tentang Ki Cucut Kalasekti yang sama sekali bukan kakeknya, melainkan musuh yang mencelakakan ibunya" Dalam hati dia menambahkan bahwa selain mencari Wulansari, diapun ingin meminta kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Ki Medang Dangdi memberi isarat kepada pasukan kecil yang mengawalnya untuk mendekat, lalu minta seekor kuda yang baik untuk isterinya. Kemudian, setelah berpamit, dia dan isterinya berpisah dari Nurseta yang menolak ketika akan diberi seekor kuda. Nurseta melanjutkan perjalanan untuk mencari Wulansari dan tombak pusaka, sedangkan Medang Dangdi membawa isterinya bergabung dengan induk pasukan kembali ke Singosari.
*** Ketika empat lima tahun yang lalu Wulansari melihat Nurseta terjungkal ke dalam jurang, ia menjadi putus asa, berduka, akan tetapi juga sakit hati kepada wanita yang menjadi tunangan Nurseta. Bersama kakeknya, ia pergi ke Pegunungan Kelud mencari calon isteri Nurseta dan setelah melakukan penyelidikan, bertanya kepada para penghuni dusun di daerah Pegunungan Kelud, akhirnya ia mendengar bahwa calon isteri Nurseta itu bernama Pertiwi, seorang gadis manis yang tinggal di dusun Sintren. Ia lalu pergi ke dusun itu, dibayangi oleh Ki Cucut Kalasekti yang merasa khawatir kalau-kalau cucunya akan menghadapi bahaya. Seperti kita ketahui, setelah bertemu dengan Pertiwi dan mendengar bahwa gadis dusun itu telah ternoda oleh Gagak Wulung, Wulansari tidak jadi membunuh Pertiwi, bahkan mentertawakan dan memberitahukan bahwa Nurseta telah mati. Kemudian, ia lari meninggalkan Pertiwi sambil menangis.
Melihat keadaan muridnya itu, Ki Cucut Kalasekti menggeleng-geleng kepala dengan heran sekali. Gadis yang diaku cucunya dan menjadi muridnya itu tidak jadi membunuh tunangan Nurseta, bahkan lari pergi sambil menangis. Dia yang sudah berusia tujuhpuluh lima tahun, tetap saja merasa bingung melihat sikap wanita, dan tidak dapat menyelami perasaan mereka. Diapun lalu mengejar Wulansari dan mereka pulang ke Bendowinangun.
Berulang kali Ki Cucut Kalasekti membujuk Wulansari untuk suka menerima kehendak hati Sang Prabu Jayakatwang agar gadis itu mau menjadi selirnya merangkap puteri pengawal dalam istana. Namun Wulansari selalu menolak sehingga diam-diam Ki Cucut Kalasekti mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa kalau gadis itu tetap menolak, dia akan mengambilnya menjadi isterinya sendiri. Kini, setelah dewasa, Wulansari mirip sekali dengan wanita yang membuatnya tergila gila, yaitu Warsiyem, ibu kandung gadis itu.
Wulansari sendiri nampak murung semenjak melihat Nurseta terjungkal ke bawah tebing. Ia merasa seolaholah hidupnya kosong dan tidak mempunyai harapan. Teringatlah ia akan tombak pusaka Ki Tejanirmala. Tombak pusaka itulah yang menjadi gara-gara, pikirnya. Kalau saja tidak ada pusaka yang dipej rebutkan itu, tentu ia tidak berhadapan dengan Nurseta sebagai musuh yang memperebutkan pusaka. Dan kini tombak pusaka itu oleh kakeknya telah diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang dengan ditukar kedudukan adipati. Hatinya mulai tertarik. Mengapa untuk tombak seperti itu saja Sang Prabu Jayakatwang sampai mau menukarnya dengan sebuah kadipaten berikut kedudukan adipati" Apa sih khasiatnya tombak itu" Hatinya mulai diganggu penasaran dan iapun mulai tertarik, ingin hidup di sebuah kota raja seperti Daha, di mana terdadat banyak satria yang perkasa. Ia ingin menghibur hatinya yang berduka itu dan hidup di kota raja. Maka, iapun menerima bujukan kakeknya, akan tetapi hanya mau menjadi pengawal dalam istana, bukan menjadi selir.
"Aku suka menjadi pengawal dalam istana atau pengawal pribadi Sang Prabu, akan tetapi aku tidak mau menjadi selir siapapun juga. Kalau ada yang berani mengganggu dan menyentuhku, siapapun dia, akan kubunuh"
Karena kesanggupan Wulansari, menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, Ki Cucut Kalasekti merasa girang sekali. Hal itu jauh lebih menguntungkan dirinya dari pada kalau dia harus memaksa gadis itu menjadi mangsa nafsunya, karena dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan bersikap seperti lbunya, tidak mau menyerahkan diri secara suka rela dan hal ini amat mengecewakan dan menyakitkan hatinya, Dia lalu mengantarkan gadis itu menghadap Sang Prabu Jayakatwang yang merasa girang sekali karena gadis itu mau menjadi pengawal dalam istana atau juga pengawal pribadinya. Biarpun gadis itu tidak bersedia menjadi selirnya, namun sedikitnya dia akan selalu berdekatan dan merasa terlindung oleh seorang gadis yang cantik dan sakti, dan siapa tahu, lambat laun gadis itu akhirnya akan menyerahkan diri juga menjadi selirnya seperti yang diam-diam diberitahukan oleh Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti itu.
Demikianlah, mulai saat itu, Wulansari tinggal di dalam istana, sebagai seorang penjaga keamanan pribadi raja dan juga kepala pengawal bagian dalam kraton.
Setelah gadis yang selama ini diakui cucu dan juga diambil murid itu pergi meninggalkannya, barulah Ki Cucut Kalasekti merasa kesepian. Maka diapun teringat kepada Warsiyem, ibu kandung gadis itu dan pergilah dia ke Blambangan, ke tebing curam di tepi pantai dan mengunjungi goa tempat dia menawan wanita itu dengan perahu, lalu memanjat ke atas. Seperti kita ketahui, dia dirobohkan oleh Nurseta dan kunjungannya itu bahkan membuka kesempatan kepada Nurseta dan Warsiyem untuk meninggalkan tempat itu.
Setelah berpisah dari Ki Medang Dangdi dan Warsiyem, Nurseta melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat menuju ke Kadipaten Bendowinangun, di dekat Kali Campur. Dia akan mencari Wulansari dan menceritakan tentang rahasia gadis itu, tentang ayah dan ibu kandungnya, tentang Ki Cucut Kalasekti yang sebenarnya adalah musuh besarnya. Dan tentu saja, dia mengharapkan gadis itu akan mengembalikan tombak pusaka Ki Tejanirmala. Setelah tombak pusaka itu dapat berada di tangannya kembali, barulah dia akan pergi ke Pegunungan Kelud mengunjungi ayah angkatnya, Ki Baka.
Tentu saja setelah dia tiba di Kadipaten Bendowinangun, dia mendapatkan gedung kadipaten itu kosong, banya ada para abdi dalem dan pasukan pengawal saja. Dari keterangan yang diperolehnya, ternyata bahwa gadis yang dicarinya, Wulansari, kini telah menjadi seorang pengawal pribadi di kraton Sang Prabu Jayakatwang. Dan dia memperoleh keterangan pula bahwa Sang Adipati Satyanegara, yaitu nama baru bagi Ki Cucut Kalasekti, telah beberapa hari lamanya meninggalkan kadipaten, tanpa seorangpun mengetahui ke mana perginya, Nurseta diam-diam mengharapkan kakek itu tidak akan dapat keluar lagi dari goa di tebing curam itu.
Nurseta segera menuju ke Kerajaan Daha di Kediri. Tentu saja dia mengalami kesulitan untuk dapat berjumpa dengan Wulansari yang menjadi kepala penjaga keamanan di kraton, bahkan menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, Kepala pasukan di luar kraton mencurigainya dan Nurseta telah dikepung oleh para penjaga itu, dan komandan mereka mengamati pemuda yang menanyakan dan mencari Wulansari itu dengan penuh selidik.
"Siapakah kau dan ada keperluan apakah kau mencari Raden Roro Wulansari, kepala penjaga istana?" hardik komandan yang berkumis melintang seperti kumis Gatotkaca itu.
Nurseta bersikap tenang saja. "Namaku Nurseta, harap dilaporkan kepada.........Raden
Roro Wulansari bahwa Nurseta datang dan ingin bertemu, tentu ia akan mengenal siapa aku dan akan keluar menemuiku"
Akan tetapi komandan itu takut kalau dia dipersalahkan, maka diapun bertanya dengan nada menyelidik, "Ki sanak, tidak begitu mudah untuk menjumpai beliau. Kami akan melaporkan, akan tetapi katakan dulu apa keperluanmu datang hendak menghadap beliau?"
Nurseta maklum bahwa dia tidak dipercaya, bahkan dicurigai, maka dia lalu teringat akan Ki Cucut Kalasekti yang menjadi adipati, dan diapun menjawab tegas, "Aku adalah utusan dari Sang Adipati Satyanegara, kakek dari Raden Roro Wulansari, dan aku datang membawa pesan penting dari Sang Adipati untuk cucunya itu"
Tepat sekali dugaannya. Begitu mendengar bahwa dia utusan Sang Adipati Satyanegara yang semua orang mengenal sebagai kakek dari Wulansari, komandan itu merobah sikapnya, menjadi ramah sekali.
"Ah, kiranya kau utusan dari Kadipaten Bendowinangun " Mengapa tidak dari tadi kau katakan demikian " Duduklah, ki sanak, kami akan memberi laporan ke dalam istana,"
Nurseta dipersilakan duduk di ruangan tunggu, di luar istana itu. Sambil tersenyum lega pemuda ini lalu duduk di situ, menanti dengan hati agak tegang. Ingin sekali dia melihat bagaimana sikap Wulansari kalau berhadapan dengan dia. Tentu, seperti juga Ki Cucut Kalasekti, gadis itu sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia masih hidup.
Tidak terlalu lama Nurseta menunggu. Komandan itu datang dengan sikap hormat membongkok-bongkok, mengiringkan seorang wanita yang berpakaian serba hijau, ringkas, pakaian seorang perwira yang gagah. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung dan dihias dengan hiasan rambut terbuat dari pada emas permata, juga lengannya terhias gelang-gelang yang bertaburan intan. Wajahnya yang cantik itu berseri dan mengandung wibawa yang membuat seorang pria tidak akan berani sembarangan saja bersikap kurang ajar terhadap wanita cantik ini.
Ketika wanita itu berhadapan dengan Nurseta yang sudah bangkit berdiri, mereka berdta berdiri saling berbadapan, dalam jarak kurang lebih dua meter, dan keduanya seperti terpesona. Wajah Wulansari yang tadinya berseri itu kini dibayangi keheranan dan ketidak percayaan, sebentar merah sebentar pucat, matanya terbelalak dan sampai lama ia tidak raampu mengeluarkan kata-kata, Juga Nurseta seperti orang kehilangan akal, hanya berdiri menatap wajah gadis itu, terpesona karena dalam hatinya yang penuh kerinduan itu kini penuh kagumi, matanya melihat gadis yang dicintanya itu kini bahkan lebih cantik dari pada dahulu.
"Kakangmas Nurseta......" Akhirnya Wulansari mengeluh, suaranya lirih seperti rintihan.
"Diajeng Wulansari........" Nurseta juga memanggil, penuh kerinduan, Hampir keduanya saling tubruk, akan tetapi Wulansari teringat bahwa ada beberapa pasang mata memandang mereka, yaitu mata para penjaga komandannya, Maka iapun membalik dan menghardik mereka.
"Tinggalkan kami di sini dan jangan ganggu"
Komandan itu memberi hormat, lalu diapun membentak para anak buahnya untuk pergi meninggalkan ruangan itu. Mereka itu dengan muka tunduk dan patuh meninggalkan ruangan dan keluar untuk berjaga di gardu penjagaan yang berada di luar pintu gerbang halaman istana.
Setelah mereka semua pergi, Wulansari melangkah maju dan tanpa dapat ditahannya lagi, langsung ia menubruk dan merangkul Nurseta dan suaranya terdengar menggetar ketika ia memanggil, "Kakangmas........"
Mereka berpelukan, penuh kerinduan dan sejenak Nurseta mendekap kepala, yang amat dirindukan dan disayangnya itu ke dadanya, seolah ingin memasukkan kepala itu ke dalam dadanya agar jangan terpisah lagi darinya. Kemudian, menyadari bahwa mereka berada di ruangan pendopo istana, keduanya saling melepaskan rangkulan dan Wulansari melangkah mundur dua langkah, memandang dengan mata basah dan dengan senyum manis menghias mulutnya.
"Kakangmas Nurseta, duduklah dan ceritakan bagaimana....... bagaimana engkau dapat
hidup lagi. Ah, kakangmas, melihat engkau terjungkal di tebing itu, pikiranku tidak memungkinkan bahwa engkau akan terbebas dari kematian, akan tetapi sesungguhnya, hatiku tidak pernah putus mengharapkan bahwa engkau selamat dan masih hidup"
Mereka duduk berhadapan. "Mungkin cinta kita dan doamu yang mendorong Sang Hyang Wisesa mengulurkan tangan dan menyelamatkan aku, diajeng"
"Ceritakan, kakangmas, ceritakanlah bagaimana engkau dapat menyelamatkan diri dari....
kejatuhan itu" Mau tidak mau Wulansari bergidik membayangkan betapa tubuh kekasihnya itu terjungkal dari atas puncak tebing yang demikian curamnya.
Dengan ringkas namun jelas Nurseta lalu menceritakan betapa batang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu yang menyelamatkannya dan betapa dia dapat merayap ke dalam sebuah goa tidak jauh dari situ.
"Dan tahukah engkau siapa yang kujumpai di dalam goa yang besar itu, diajeng?" tanya Nurseta sambil mengamati wajah cantik yang mendengarkan dengan penuh takjub itu, wajah yang mirip sekali dengan wajah wanita dalam goa, akan tetapi tentu saja wajah yang ini jauh lebih muda dan lebih cantik manis. Mendengar pertanyaan ini, Wulansari yang sudah keheranan itu menjadi semakin heran.
"Engkau menjumpai orang di dalam goa itu?" tanyanya, dan matanya yang lebar itu memandang tanpa berkedip.
Nurseta mengangguk dan tersenyum, jantungnya berdebar tegang karena dia menghadapi saat yang dinanti-nantikan, yaitu pembukaan rahasia keluarga gadis ini. "Dan siapakah yang kujumpai itu, diajeng" Ia seorang wanita, setengah tua dan cantik jelita, seperti engkau.."
"Ihh. Kakangmas, apa kau mau mengatakan bahwa aku sudah setengah tua?" Wulansari terbelalak dan mengelus pipinya sendiri.
Nurseta tersenyum lebar. "Bukan begitu maksudku, diajeng. Akan tetapi wanita itu memang memiliki wajah yang cantik dan mirip sekali dengan wajahmu, tentu saja ia jauh lebih tua. Namanya.... Warsiyem.." Nurseta sengaja mengucapkan nama ini dengan.tegas dan dia mengamati wajah cantik itu untuk melihat reaksinya.
Memang menarik sekali mempelajari reaksi gadis itu. Ia seperti orang tertegun, kedua alisnya berkerut dan ia seperti mengingat-ingat, melamun, akan tetapi lalu menggeleng kepala perlahan. "Aku seperti merasa tidak asing dengan nama itu, akan tetapi..... ah, aku tidak mengenalnya..." Lalu ia menyambung cepat, "Akan tetapi, bagaimana wanita itu dapat berada di dalam goa itu, kakangmas?"
Nurseta sedang berpikir-pikir bagaimana caranya untuk membuka rahasia gadis itu. Mendengar pertanyaan itu, diapun sudah mendapatkan cara terbaik, harus perlahan dan tidak mendadak. "Wanita itu, kanjeng bibi Warsiyem, sudah berada di dalam goa itu selama sepuluh tahun ketika aku tiba disana, dan ia berada di sana sebagai tawanan seorang yang amat jahat. Ia diculik dari rumahnya, dipaksa menjadi isteri penjahat itu. Ia tidak mau menyerah sehingga diperkosa dan disiksa, akan tetapi ia tetap tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela, maka penjahat itu menjadi marah dan ia ditahan di dalam goa di mana ia tidak akan mampu keluar karena goa itu berada di dinding tebing yang curam, sama sekali tidak ada jalan keluar"
"Hemm, betapa jahatnya laki-laki itu, dan betapa gagah beraninya wanita itu" kata Wulansari dan diam-diam Nurseta merasa girang karena memang inilah yang dikehendakinya. Sebelum membuka rahasia itu, dia ingin menanamkan kebencian dalam hati gadis ini terhadap Ki Cucut Kalasekti dan kekaguman terhadap Warsiyem. "Akan tetapi, kalau tidak ada jalan keluar, bagaimana engkau dapat keluar dari sana, kakangmas?" Wulansari agaknya tidak begitu tertarik kepada wanita dalam goa dan penculiknya, maka pertanyaannya selalu mengenai diri Nurseta.
"Sampai empat lima tahun aku berada di sana, diajeng, sama sekali tidak berdaya untuk dapat keluar. Merayap naik tidak mungkin karena amat tinggi dan curam. Merayap turun sampai ke laut dapat dilakukan, akan tetapi setibanya di bawah, juga tidak ada jalan keluar karena akan disambut air laut dahsyat yang akan menghempaskan kami ke batu karang dan tidak ada perahu di sana. Terpaksa aku tinggal di sana sampai empat tahun lebih, bersama kanjeng bibi Warsiyem dan kami memperdalam ilmu dan memperkuat tenaga sakti. Akhirnya, pada suatu pagi, muncullah penculik jahat itu untuk menjenguk kanjeng bibi. Aku menyerangnya dan berhasil merobohkannya. Lalu kami berdua cepat merayap turun, menggunakan perahu penjahat itu selagi laut menyurut dan akhirnya kami berhasil lolos dan mendarat"
Wulansari mendengarkan dengan hati penuh ketegangan. "Ah, aku girang sekali bahwa engkau selamat, kakangmas, tapi........ bagaimana engkau dapat menjadi utusan kakekku"
Benarkah Eyang Adipati Satyanegara yang mengutusmu ke sini ?"
Nurseta tersenyum mendengar sebutan Eyang Adipati ini kepada Cucut Kalasekti. Dia menggeleng. "Aku berbohong agar para penjaga itu mau percaya kepadaku, diajeng. Akan tetapi nanti dulu, apakah engkau tidak ingin mengetahui siapa adanya kanjeng bibi Warsiyem itu, dan siapa pula penculiknya yang jahat ?"
Wulansari menggeleng kepala dengan acub. "Aku tidak mengenal wanita itu, dan aka tidak perduli siapa pria yang amat jahat itu...."
"Penculik jahat itu bukan lain adalah Ki Cucut Kalasekti"
Wulansari mengerutkan alisnya, Tidak aneh baginya berita ini. Ia sudah tahu akan watak buruk kakeknya itu terhadap wanita, walaupun ia sama sekali tidak menyangka bahwa penculik wanita dalam goa itu adalah kakeknya. Akan tetapi ia teringat betapa penculik itu dirobohkan Nurseta di dalam goa, maka kini ia memandang penuh selidik.
"Dan engkau memukul dia roboh di dalam goa " Engkau....... engkau membunuhnya ?"
Nurseta menggeleng kepalanya. "Aku merobohkannya karena dia hendak membunuhku, dan dia tidak mati. Aku dan kanjeng bibi cepat meninggalkan goa itu untuk meloloskan diri"
"Dan kau tinggalkan kakekku di sana" Ah, aku harus ke sana untuk menoIongnya"
"Nanti dulu, diajeng. Tahukah engkau siapa adanya kanjeng bibi Warsiyem?"
Gadis itu mengamati wajah Nurseta penuh selidik, tidak mengerti mengapa pemuda itu bertanya demikian.
"Kanjeng Bibi Warsiyem adalah........ ibu kandungmu sendiri, diajeng"
"Ohhhh..........." Seketika wajah Wulansari menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang wajah Nurseta. "Apa........ apa maksudmu, kakangmas Nurseta" Kalau ia ibuku,mengapa kakekku menculiknya dan........ dan....... memperkosanya katamu tadi ?" Gadis itu benar-benar bingung sekali.
"Ki Cucut Kalasekti bukan kakekmu, diajeng. Dia hanya mengaku aku saja sebagai eyangmu. Dia membohongimu "
"Ohhh......." Untuk ke dua kalinya gadis itu menjerit kecil dan mukanya kini berubah lagi menjadi semakin pucat, lalu berubah merah sekali. "Apa maksudmu, kakangmas" Aku
........ aku bingung sekali. Benarkah semua kata-katamu ini dapat dipercaya ?"
"Tenanglah, diajeng dan dengarkan ceritaku, cerita ibumu tentang pengalamannya yang penuh derita" Dengan hati-hati Nurseta lalu mengulang cerita Warsiyem yang pernah didengarnya dari wanita itu, betapa wanita itu yang ditinggal suaminya mencari pekerjaan di Singosari, dilarikan Ki Cucut Kalasekti, diperkosa dan dibujuk, kemudian karena ia selalu menolak, dilempar ke dalam goa itu. Betapa anak tunggalnya, Wulansari, disuruhnya melarikan diri bersama adiknya laki-laki menunggang perahu untuk menyusul suaminya di Singosari. Betapa kemudian setelah berhasil lolos dari goa bersama Nurseta dan berkunjung ke dusun Paguh, wanita itu bertemu dengan suaminya yang telah menjadi senopati Singosari dan yang baru saja kembali memimpin pasukan menaklukkan Bali.
"Demikianlah, diajeng Wulansari. Ayah dan ibumu itu kini kembali ke Singosari dan mengutus aku untuk mencarimu. Aku mencari di Bendowinangun, akan tetapi di sana mendengar keterangan bahwa engkau menjadi pengawal istana di sini, maka aku mencarimu di sini. Ayahmu itu adalah seorang senopati Singosari, namanya Ki Medang......"
"Medang Dangdi........" Tiba-tiba Wulansari berseru keras dan seperti orang terkejut ia bangkit berdiri, wajahnya pucat dan matanya memandang jauh. "Ah, kakangmas Nurseta....., sekarang teringatlah aku........ ayahku Ki Medang Dangdi, ibuku Warsiyem, dan ketika itu s.......... ibu memaksaku pergi melarikan diri, bersama Paman Sarjito...... kami naik perahu. Kemudian berganti perahu besar dengan para penumpang lainnya, dan perahu itu diserang badai dan terbalik. Kepalaku terbentur karang dan aku tidak ingat apaapa lagi....."
Nurseta mengangguk senang. "Sampai,engkau diselamatkan oleh Ki Jembros dan disembuhkan oleh Eyang Panembahan Sidik Danasura, akan tetapi engkau lupa akan riwayat dirimu"
"Ya........ ya......., dan muncullah eyang..... ah, dia itu, Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakekku, dan dengan penuh kasih sayang dia menggemblengku dengan ilmu-ilmu kesaktian. Dia kelihatan begitu baik kepadaku, tapi...." tapi......"
"Diajeng, dialah laki-laki yang telah merusak kehidupan ibu kandungmu"
"Dan dia bahkan hampir membunuhmu, kakangmas. Dia jahat sekali, akan tetapi dia begitu sayang kepadaku......... ah, sungguh bingung aku, kakangmas. Aku harus pergi menemui ayah dan ibu kandungku........"
"Memang seharusnya demikian. Mereka telah menantimu di Singosari dengan hati penuh kerinduan. Marilah, diajeng, mari kita pergi bersama ke Singosari"
"Aku akan minta ijin dulu dari Sribaginda. Engkau tunggulah di sini, kakangmus" Dan
gadis itu dengan wajah masih tegang lalu meninggalkan Nurseta dan masuk ke dalam istana Selama hampir empat tahun menjadi pengawal istana, Wulansari memperlihatkan kesetiaan dan semua orang di istana menghormatinya dan segan kepadanya. Bahkan Sang Prabu Jayakatwang sendiri merasa suka kepadanya, dan melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak dapat digoda, raja yang pandai inipun tidak mau mendesak, Baginya, lebih penting tenaga dan kesetiaan Wulansari. Kalau hanya wanita, akan mudah baginya mendapatkan yang jauh lebih cantik menggairahkan dari pada gadis perkasa itu. Maka, ketika Wulansari minta ijin kepada Sang Prabu Jayakatwang untuk pulang ke Bendowinangun dan menengok kakeknya, ia tidak berani mengatakan bahwa ia akan menemui ayahnya yang menjadi senopati Singosari yang diam-diam dimusuhi oleh Raja Kediri itu, Sang Prabu dengan senang hati memberi ijin.
Berangkatlah Wulansari dan Nurseta, bukan ke Bendowinangun melainkan langsung ke Singosari. Sebelum berangkat, Nurseta sempat bertanya kepada Wulansari, "Diajeng, jangan lupa, bawalah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, karena pusaka itu harus kukembalikan kepada ayahku"
Tiba-tiba sikap Wulansari berubah kaku dan ia memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut. "Kakangmas, apakah yang menjadi pikiranmu hanya tombak pusaka itu saja" Jadi kedatanganmu ini bukan sengaja mencari aku melainkan mencari tombak itu?"
"Kedua duanya, diajeng. Tombak pusaka itu amat penting bagi kami, dan harus kukembalikan kepada ayahku. Di manakah pusaka itu, diajeng Wulansari ?"
"Pusaka itu disimpan oleh eyang........ eh, oleh Ki Cucut Kalasekti" gadis itu membohong. Ia sudah tahu bahwa pusaka itu oleh kakeknya diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang, akan tetapi iapun sudah bersumpah, seperti semua pejabat di Kediri, untuk tidak membocorkan hal itu. Setelah beberapa tahun menghambakan diri di istana itu, ia merasa suka dan timbul kesetiaannya, maka iapun tidak mau membocorkan rahasia itu. Bagaimanapun juga, bukan ia yang menyerahkan pusaka itu kepada Raja Kediri, melainkan Ki Cucut Kalasekti.
"Ah......" Nurseta nampak menyesal. Dia percaya kepada keterangan Wulansari itu. "Kalau aku tahu begitu, tentu takkan kulepaskan dia yang sudah tidak berdaya menggeletak di dalam goa itu......"
"Sudahlah, kakangmas. Sekarang yang terpenting adalah menemui ayah ibuku. Tentang
tombak pusaka itu, kita bicarakan kelak saja" Karena pada saat itu tidak mungkin menjumpai Ki Cucut Kalasekti untuk minta kembali Ki Ageng Tejanirmala, terpaksa Nurseta tidak membantah lalu menemani gadis itu pergi ke Singosari.
Tidaklah sukar bagi mereka untuk mencari rumah kediaman Senopati Medang Dangdi di kota raja Singosari. Ki Medang Dangdi melupakan seorang di antara para senopati yang terkenal, apa lagi baru saja dia pulang memimpin pasukan yang menang perang.
Sungguh merupakan pertemuan yang amat mengharukan dan juga menggembirakan yang terjadi di pagi hari itu di rumah kediaman Senopati Medang Dangdi.
Begitu bertemu. Wulansari dan ibunya saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, Tanpa kata-kata, ibu dan anak ini sudah saling mengenal walaupun ketika berpisah dahulu, usia Wulansari baru sepuluh tahun dan kini gadis itu sudah berusia hampir dua puluh lima tahun.
"Kanjeng ibu......."
"Wulan......... Wulansari anakku........"
Setelah bertangis tangisan dengan ibunya, Wulansari lalu menyembah ayahnya yang juga merangkulnya. Ayah ini memandang puterinya penuh perhatian, lalu tertawa girang.
"Wah, wah, engkau sudah begini besar, anakku. Sudah menjadi seorang gadis dewasa dan nampak gagah perkasa. Anakmas Nurseta sudah menceritakan bahwa engkau kini memiliki kesaktian yang hebat"
Mereka duduk di ruangan sebelah dalam. Nurseta juga diajak masuk dan suami isteri itu menganggap Nurseta seperti keluarga sendiri. Ketika mendengar bahwa puterinya kini menjadi pengawal istana di Daha, Ki Medang Dangdi mengangguk angguk. "Tidak ada salahnya menjadi pengawal istana Daha, apa lagi kepala pengawal istana, pangkat itu cukup terhormat. dan Kerajaan Daha juga merupakan kerajaan keluarga Singosari dan juga mengakui kekuasaan Singosari. Akan tetapi, setelah kita berkumpul, engkau harus melepaskan pekerjaanmu itu, nini, dan tinggal bersama ayah ibumu di sini"
"Memang seharusnya begitu. Usiamu sudah cukup dewasa, nini, dan di sini....... sudah ada
anakmas Nurseta, calon suamimu, Mau tunggu sampai kapan lagi " Engkau pulanglah dan kita segera mempersiapkan pernikahan kalian"
"Aih, kanjeng ibu........." Wulansari memeluk ibunya dengan sikap manja. Hatinya senang sekali melihat ayah ibunya agaknya sudah tahu akan percintaannya dengan Nurseta dan agaknya menyetujuinya. Sejenak ia teringat akan Pertiwi, akan tetapi ingatannya itu
tidak menggelisahkan hatinya. Kini, Pertiwi tidak merupakan saingan lagi. Bukankah gadis dusun itu telah ternoda dan sudah pasti Nurseta tidak akan mau memperisterinya setelah dia mendengar akan hal itu.
Melihat kemanjaan Wulansari, Ki Medang Dangdi dan isterinya tersenyum penuh kebahagiaan, sedangkan Nurseta hanya termenung. Harus diakuinya bahwa cintanya terhadap Wulansari tidak pernah berubah, bahkan makin mendalam. Akan tetapi juga dia tetap memegang kesetiaannya terhadap tunangannya, Pertiwi. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia tega merusak kebahagiaan keluarga yang baru saja berkumpul ini dengan penolakannya" Maka diapun diam saja, hanya menundukkan muka,
"Yaaa, aku sudah mendengar dari ibumu tentang anakmas Nurseta, anakku. Memang dia pantas menjadi suamimu, dia gagah perkasa, tampan dan berbudi luhur......"
"Ah, ya, aku belum memberitahu kepadamu bahwa selain itu semua, diapun berdarah bangsawan. Ayahnya adalah seorang pangeran "
Mendengar ini, baik Ki Medang Dangdi maupun Wulansari terkejut karena Wulansari sendiri baru sekarang mendengar akan hal itu.
"Putera pangeran kiranya" Siapakah ayahnya itu?" tanya Ki Medang Dangdi.
Isterinya tersenyum. "Engkau "juga mengenalnya, kakangmas. Mendiang avahnya adalah Pangeran Panji Hardoko dari Daha,"
'Ahhhh........" Ki Medang Dangdi nampak terkejut sekali.
"Benar," kata isterinya yang tetap gembira, mengira bahwa suaminya terkejut dan gembira, "sayang bahwa pangeran itu telah meninggal, dan menurut cerita anakmas Nurseta, ketika masih kecil sekali oleh ayahnya dia diberikan kepada mendiang Ki Bayaraja yang dulu memberontak itu, dan dari mendiang Ki Baya lalu diserahkan kepada Ki Baka yang gagah perkasa......"
"Nanti dulul" tiba-tiba Ki Medang Dangdi berseru dan dalam suaranya terkandung kekerasan yang mengejutkan isterinya dan juga Wulansari memandang ayahnya, bahkan Nurseta mengangkat muka memandang senopati itu. Senopati itu bangkit dari kursinya dan wajahnya berubah merah sekali, nampaknya seperti orang marah sehingga mengejutkan mereka bertiga.
"Kenapa, kangjeng rama?" Wulansari bertanya heran.
"Anakmas Nurseta, tahukah kau siapa ibu kandungmu?"
Pertanyaan ini terdengar agak kaku, tidak ramah seperti tadi sehingga Nurseta memandang heran. Dia menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu, kanjeng paman. Ayah Baka sendiri juga tidak tahu siapa ibu kandung saya, sedangkan Ki Baya dan ayah kandung saya sudah meninggal sehingga tidak ada seorangpun yang dapat memberi keterangan siapa ibu saya"
"Akan tetapi aku tahu. Aku tahu siapa ibumu. la adalah seorang tokoh golongan sesat dari Pasundan, namanya terkenal sekali, yaitu Ni Dedeh Sawitri"
"Ahhh........." Tentu saja Nurseta terkejut bagaikan disambar petir. Dia melompat berdiri dan matanya terbelalak memandang kepada Ki Medang Dangdi. Tentu saja dia terkejut mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, wanita iblis itu yang pernah bersama Gagak Wulung nyaris membunuhnya kalau saja dia tidak ditolong oleh Panembahan Sidik Danasura. Wanita iblis yang amat jahat dan keji itu ibu kandungnya"
"Tidak mungkin...." Dia berteriak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali. Lebih baik dia tidak mempunyai ibu kandung dari pada ibu kandung seorang wanita iblis seperti Ni Dedeh Sawitri.
"Aku masih ingat benar akan semua peristiwa itu," kata pula Ki Medang Dangdi seperti kepada diri sendiri, matanya termenung memandang jauh. "Kami sama sama masih
muda, Pangeran Pan ji Hardoko dan aku, Kami bersahabat dan aku kagum dan suka kepada bangsawan yang berbudi baik dan tidak sombong itu. Sayang, dia tergila gila kepada seorang wanita cantik, yang bukan lain adalah Ni Dedeh Sawitri, wanita muda yang cantik menarik, tokoh dari Pasundan yang agaknya memang dikirim oleh Kerajaan Pasundan untuk memata matai Singosari dan Daha. Hubungan antara mereka akrab dan mesra, bahkan Ni Dedeh Sawitri lalu menjadi seorang selir dari pangeran yang belum menikah itu. Dan hubungan itu membuahkan lahirnya seorang anak laki-laki. Akan tetapi, agaknya Ni Dedeh Sawitri merasa bosan kepada sang pangeran yang mulai sakit-sakitan, bahkan mungkin karena tugasnya selesai, pada suatu hari ia meninggalkan Pangeran Panji Hardoko dan anaknya, tanpa pamit. Hal ini, mengguncang batin pangeran yang sudah lemah itu. Dan itulah sebabnya mengapa dia menyerahkan puteranya kepada Ki Baya yang pada waktu itu juga merupakan seorang kepercayaan sang pangeran. Tak lama sesudah menyerahkan puteranya, diapun meninggal dunia. Agaknya, kepergian Ni Dedeh Sawitri yang sesungguhnya amat dicintanya itu telah menghancurkan hatinya dan membuat penyakitnya menjadi semakin parah. Nah, itulah yang kuketahui dan kalau kau ini putera mendiang Pangeran Panji Hardoko yang diberikan kepada mendiang Ki Baya, maka kaulah putera kandung Ni Dedeh Sawitri"
"Ahh......... ahhh......" Nurseta tidak dapat berkata-kata, kepalanya seperti tiba tiba menjadi pening.
"Aku adalah seorang yang biasa bersikap terus terang dan jujur, anakmas Nurseta. Oleh karena itu, setelah mengetahui bahwa kau adalah anak kandung Ni Dedeh Sawitri, terpaksa aku menyatakan bahwa hubunganmu dengan puteri kami Wulansari harus putus sampai di sini saja, karena tidak mungkin kami mengijinkan puteri kami menjadi mantu Ni Dedeh Sawitri "
"Kanjeng rama........" Wulansari berseru kaget.
"Nanti dulu " kata Warsiyem yang juga terkejut sekali mendengar ucapan suaminya. "Andai benar dia putera Ni Dedeh Sawitri, lalu mengapa " Apa salahnya dia menjadi suami Wulansari ?"
"Hemm, engkau belum tahu siapa itu Ni Dedeh Sawitri, isteriku. Dan engkaupun belum tahu, anakku. Dengarlah kalian baik-baik, Ni Dedeh Sawitri adalah seorang wanita iblis. seorang tokoh jahat yang amat keji, kejam dan cabul. Entah berapa banyak orang yang
tewas di tangannya tanpa sebab, orang-orang tidak berdosa. Dan entah berapa ratus banyaknya pria yang menjadi korban kecabulannya, banyak pula yang dibunuh kalau tidak mau menuruti kehendaknya. Ia cabul dan kotor, lebih hina dari pada seorang perempuan peiacur"
"Ahhh......." Isterinya berseru.
"Kanjeng rama........" Wulansari juga kembali menjerit.
"Agaknya anakmas Nurseta sudah tahu orang macam apa adanya Ni Dedeh Sawitri, Coba jawab sejujurnya, anakmas, tidak benarkah apa yang kukatakan mengenai diri Ni Dedeh Sawitri tadi?"
Nurseta tidak menjawab, hanya mengangguk karena memang diapun tahu orang macam apa adanya Ni Dedeh Sawitri.
"Ah, kalau begitu, tidak mungkin anakku menjadi mantu wanita semacam itu" teriak Warsiyem. "Wulansari, engkau tidak boleh menjadi isteri Nurseta. Aku tidak sudi berbesan dengan seorang wanita cabul, seorang tokoh sesatyang rendah budi dan tak tahu malu"
Dipat dibayangkan betapa sakit rasa hati Nurseta. Kalau benar dia putera Ki Dedeh Sawitri, wanita iblis yang amat jahat itu, kalau memang benar demikian, salahkah dia" Namun, dia masih dapat menguasai dirinya dan berkata dengan suara mengandung kegetiran,
"Kanjeng Paman Medang Dangdi dan kanjeng Bibi Warsiyem harap kau berdua tenang dan tidak khawatir. Memang saya akui bahwa saya mencinta diajeng Wulansari, akan tetapi aku tidak dapat menjadi suaminya, karena saya telah dijodohkan dengan seorang gadis lain. Karena itu, jangan khawatir, kau berdua tidak akan berbesan dengan ibuku, wanita yang jahat itu. Saya mohon pamit. Diajeng Wulansari, selamat tinggal dan maafkan semua kesalahanku, diajeng" Berkata demikian, Nurseta mengerahkan kepandaiannya dan sekali meloncat, tubuhnya berkelebat keluar dari rumah gedung itu.
"Kakangmas Nurseta........" Wulansari mengeluh dan gadis inipun menutupi mukanya, menangis. Biasanya, Wulansari jarang bahkan hampir tidak pernah menangis. Semenjak menjadi murid Ki Cucut Kalasekti, hatinya telah mengeras. Akan tetapi kini ia merasa amat duka dan sengsara kehilangan pria yang dicintanya, maka tidak dapat ia menahan dirinya dan menangis.
Ketika ayah dan ibunya merangkul dan mencoba untuk menghiburnya, tiba-tiba Wulansari menepiskan tangan mereka, meloncat berdiri dan sambil menyusut air matanya, ia memandang ayah bundanya itu dengan mata berang.
"Kanjeng rama dan kanjeng ibu mendatangkan perasaan bahagia dalam hatiku karena pertemuan antara kita, akan tetapi juga mendatangkan perasaan duka dengan sikap menolak kakangmas Nurseta. Biarlah saya akan kembali ke Daha dan melupakan semua ini"
Setelah berkata demikian, gadis yang merasa hancur hatinya karena perpisahannya dengan Nurseta itu juga mempergunakan ilmunya, meloncat dan berlari keluar gedung dan meninggalkan tempat itu.
"Wulan....... " Warsiyem berseru memanggil, akan tetapi anaknya tidak menjawab dan karena tidak kuasa mengejar, wanita ini terkulai dan menangis dalam pelukan suaminya yang menghiburnya.
"Sudahlah, diajeng. Lebih baik begitu, biar ia kembali ke Daha dan melupakan kedukaan dan kekecewaannya, Lebih baik begitu dari pada ia menjadi isteri putera Ni Dedeh Sawitri. Bagaimannpun juga, ia adalah anak kita. Kelak kalau rindu, kita dapat mencarinya di Kediri dan tentu sekali waktu ia akan kembali ke sini menengok kita"
Warsiyem hanya terisak, akan tetapi dapat menerima hiburan suaminva. Bigaimanapun juga, ia tidak rela kalau anaknya harus menjadi mantu seorang wanita iblis seperti Ni Dedeh Sawitri yang khabarnya amat jahat dari keji, juga berwatak hina dan rendah itu.
*** Nurseta berlari cepat meninggalkan Singosari. Hampir saja dia lupa diri saking hebatnya guncangan batin yang dirasakannya ketika dia mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitril Akan tetapi, dia segera dapat menguasai dirinya, dapat membuka mata dan menghadapi kenyataan dengan sewajarnya, betapapun pahit dan menyakitkan adanya kenyataan itu. Kini dia berjalan menuju ke Gunung Kelud yang sudah nampak di depannya. Dia harus menerima kenyataan. Kalau memang benar dia putera Ni Dedeh Sawitri, mengapa dia harus kecewa, mengapa dia harus berduka, atau merasa malu" Ini merupakan kenyatakan dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang mampu merobah kenyataan. Baik buruk hanya penilaian. Dia harus berani menghadapi kenyataan itu, tanpa menilainya.
Dia akan menghadap Ki Baka lebih dulu, menjenguk orang tua itu yang tentu merasa gelisah sekali karena selama hampir lima tahun dia pergi tanpa berita. Setelah itu, barulah dia akan mencari Ki Cucut Kalasekti kalau perlu ke goa di tebing itu, entah dengan cara bagaimana nanti, untuk meminta kembalinya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Membayangkan wajah ayah angkatnya itu, timbul perasaan rindu di hatinya. Entah bagaimana, setelah dia mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, perasaan cintanya terhadap Ki Baka menjadi semakin mendalam. Betapa luhur budi ayah angkatnya itu. Maka Nurseta lalu cepat cepat mempergunakan kepandaiannya berlari seperti terbang mendaki Gunung Kelud, menuju ke padepokan Ki Baka.
Akan tetapi, setibanya di pondok yang menjadi padepokan Ki Baka, Nurseta termangu-mangu memandang pondok yang kosong. Agaknya sudah lama pondok itu ditinggalkan, nampak terlantar, bahkan ladang di belakang pondokpun kini penuh dengan rumput dan semak-semak, tanda bahwa tidak dirawat sejak lama.
Nurseta termenung. Ki Baka sudah pergi" Pindah" Ataukah sudah tidak ada lagi, sudah meninggal dunia" Alisnya berkerut membayangkan kemungkinan terakhir itu. Dia harus mencari keterangan dan dia tahu ke mana harus bertanya. Ke dusun Sintren, di rumah Pertiwi. Maka diapun cepat menuruni lereng Kelud dan menuju ke dusun Sintren.
"Raden Nurseta......." Ki Purwoko menyambut kedatangan Nurseta dengan seruan kaget.
Nurseta melihat wajah Ki Purwoko nampak tua dan sinar matanya suram, wajahnya buram tanda bahwa orang ini telah menderita tekanan batin dan berada dalam duka. Hatinya semakin tidak enak maka segera dia bertanya.
"Paman Purwoko, saya tadi naik ke atas akan tetapi padepokan ayah Baka kosong dan....."
"Ayah angkatmu itu telah pergi beberapa tahun yang lalu, ikut dengan Panembahan Sidik Danasura, Raden"
Legalah rasa hati Nurseta, wajahnya berseri dan diapun ingat akan basa basi lagi.
"Bagaimana kabarnya, Paman " Baik baik saja, bukan" Dan bagaimana dengan bibi, dan dengan diajeng Pertiwi?"
Mendengar disebutnya nama puterinya, Ki Purwoko memejamkan kedua matanya. "Kami........ kami baik-baik saja, tapi........ tapi Pertiwi....... ahhhh......" Dia tidak dapat melanjutkan kata katanya dan matanya tetap terpejam.
"Paman. Apa yang terjadi dengan diajeng Pertiwi" Kenapa ia........?" Hati Nurseta terasa tidak enak sekali. Teringatlah dia akan pertemuannya terakhir dengan tunangannya itu, di pagi hari pada saat dia akan meninggalkan Gunung Kelud. Pada waktu itu, dia berterus terang kepada Pertiwi bahwa dia tidak mencinta calon isterinya itu walaupun dia akan setia kepadanya. Terbayang kembali ketika gadis itu lari sambil menangis, maka kini melihat sikap dan mendengar kata-kata Ki Purwoko, dia merasa gelisah dan tegang sekali.
Ki Purwoko menuding ke arah belakang rumah. "Ia berada di gubuk, di kebun belakang, kau temuilah ia dan bicara saja sendiri, Raden"
Diam-diam Nurseta terkejut. Dia tahu bahwa tentu Pertiwi merasa kecewa dan berduka karena dia berterus terang dahulu titu, akan tetapi sama sekali tidak menyangka bahwa kedukaan itu akan membuat Pertiwi hidup menyendiri di dalam sebuah gubuk di kebun belakang. Maka diapun bergegas pergi ke kebun belakang, Nampak sebuah gubuk sederhana di belakang, agak jauh dari rumah Ki Purwoko, menyendiri dan terpencil. Hatinya diliputi keharuan dan diapun cepat menghampiri gubuk itu.
"Diajeng Pertiwi......." Dia memanggil dari luar gubuk. "Aku Nurseta datang berkunjung, diajeng"
Diri dalam gubuk terdengar oleh Nurseta suara tertahan, lalu disusul isak tertahan, dan keluarlah Pertiwi dari dalam gubuk itu, Nurseta terkejut melihat gadis itu kini menjadi kurus, dan begitu keluar dari dalam gubuk, Pertiwi lari menghampiri Nurseta lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.
Nurseta menarik napas panjang. Dia merasa terharu sekali, kasihan kepada gadis ini. Namun, betapapun juga hatinya lega melihat gadis itu dalam keadaan sehat selamat walaupun kurus.
"Diajeng Pertiwi, tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Kenapa engkau menangis," Dan mengapa pula engkau berada di gubuk ini, tidak di rumah ayahmu ?"
"Kakangmas Nurseta....... hanya kaulah yang kutunggu........ sekarang setelah kau
datang, aku....... aku rela untuk mati......" Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis lagi tersedu sedan.
Tentu saja Nurseta terkejut bukan main. Dia membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu, menariknya berdiri lalu mengajak gadis itu duduk di atas bangku di depan gubuk. Bagaikan orang yang kehilangan semangat Pertiwi menurut saja. Mereka duduk di atas bangku bambu, berdampingan.
"Nah, sekarang keringkan air matamu dan ceritakanlah, apa maksud ucapanmu tadi, diajeng," Nurseta berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Apakah karena bertahun tahun ini aku tidak memberi kabar kepadamu" Percayalah, hal itu tidak kusengaja, diajeng, Aku tidak berdaya. Setelah sekarang aku dapat datang, aku pasti akan segera menemui ayahku untuk melaksanakan pernikahan kita, Akupun sedang mencarinya dan ingin bertanya kepada keluargamu di mana adanya ayahku. Ayahmu memberitahu bahwa dia pergi bersama Eyang Panembahan Sidik Danasura, maka sekarang aku akan menyusul ke sana dan akan kuminta agar pernikahan kita segera dilangsungkan"
Nurseta bicara seperti itu karena dia ingin menebus kesalahannya yaitu menyakiti hati gadis itu ketika dia mengaku mencinta gadis lain. Akan tetapi, mendengar ucapannya itu, Pertiwi bahkan menangis semakin sedih, sampai sesenggukan.
"Tidak, kakangmas....... tidak........, aku tidak mungkin menjadi isterimu......., tidak
mungkin........"
Nurseta mengerutkan alisnya. Gidis ini tentu merasa sakit hati sekali mendengar bahwa dia tidak mencintanya, melainkan mencinta gadis lain. "Diajeng Pertiwi, apakah engkau demikian sakit hati karena pengakuanku ketika aku hendak pergi dahulu itu " Maafkan kalau begitu, karena aku tidak ingin membohongimu, tidak ingin berpura pura kepada gadis yang kusayang dan kukasihani"
"Tidak, kakangmas, bukan karena itu. Aku........ aku tidak patut menjadi isterimu, aku hanya akan menyeretmu ke lembah penghinaan, aku hanya akan mendatangkan aib. Aku......... aku telah ternoda, kakangmas Nurseta........." Kalimat terakhir ini seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya.
"Diajeng Pertiwi. Apa........... apa maksudmu.......?"
Pertiwi menangis sampai mengguguk, baru ia dapat menjawab setelah beberapa lamanya. "Aku....... aku bukan perawan lagi, kakangmas, aku....... aku telah menyerahkan diri kepada pria lain........"
"Diajeng Pertiwi. Engkau....... engkau tidak setia kepadaku ?"
Pertiwi mengangguk sambil menangis. "Ya, begitulah......... karena itu aku tidak berharga
menjadi isterimu, kakangmas. Karena itu aku mengasingkan diri agar lain orang tidak ada yang ternoda oleh kotoran yang menempel padaku. Engkau nikahilah saja gadis yang
kaucinta itu, kakangmas, ia........ ia cantik jelita dan pantas menjadi isterimu....."
Nurseta mengerutkan alisnya. "Hem, engkau cemburu lalu engkau menyerahkan diri kepada pria lain ?"
Pertiwi menangis dan tidak menjawab, tangisnya semakin mengguguk ketika Nurseta meloncat pergi meninggalkannya. Ia sengaja bersikap demikian agar Nurseta marah dan membencinya. Biarlah pemuda yang tidak mencintanya itu menikah dengan gadis yang dicintanya. la sendiri harus mengalah, ia bahkan harus menghukum diri sendiri karena bagaimanapun juga, ia ternoda bukan karena diperkosa, melainkan karena ia menyerahkan diri dengan suka rela, karena ia lemah. Ada dua hal yang mendorongnya sengaja bersikap demikian untuk membuat pemuda itu meninggalkan dirinya, pemuda yang sesungguhnya amat dicintanya. Pertama, pemuda itu tidak mencintanya, maka orang yang dicintanya itu hanya akan hidup menderita batin saja kalau sampai menikah dengannya, dan ke dua, ia akan selalu rendah diri dan tak berharga setelah ternoda kalau sampai menjadi isteri Nurseta. Ia tahu bahwa seorang pemuda seperti Nurseta akan memegang janji, setia sampai mati walaupun tidak ada cinta. Dan satu-satunya jalan hanyalah memperlihatkan sikap seperti tadi, agar Nuiseta membencinya, dan agar perjodohan di antara mereka diputuskan saja.
Tanpa pamit lagi kepada orang tua Pertiwi, Nurseta meninggalkan Gunung Kelud dan langsung saja dia melakukan perjalanan cepat ke selatan, ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi.
Pada saat pemuda itu melakukan perjalanan cepat dan sudah mendekati daerah Teluk Prigi, Panembahan Sidik Danasura dan Ki Baka sedang duduk bersantai di luar pondok, duduk bersila di atas dua buah batu datar sambil bercakap cakap. Biasanya, pada saat-saat seperti ini, di waktu menjelang senja, kesempatan bersantai itu dipergunakan oleh Sang Panembahan untuk bicara tentang kehidupan dan dari percakapan ini Ki Baka menimba kesadaran yang banyak dan mendalam. Akan tetapi pada sore hari itu, Sang Panembahan nampak gembira dan wajahnya berseriseri. Ki Baka juga merasakan kegembiraan ini. Hawa amat sejuk dan warna langit di barat nampak amatlah indahnya, penuh awan yang keperakan dibentuk oleh sinar matahari yang mulai mengendur, siap untuk tenggelam di barat.
"Alangkah nyaman sore ini," demikian Sang Panembahan berkata.
"Sayapun merasakan hal itu, Paman Panembahan. Rasanya nyaman dan menyenangkan sekali"
Tak lama kemudian, dari jauh nampak bayangan Nurseta yang berlari cepat menuju ke tempat itu.
"Raden Nurseta......." Ki Baka berseru gembira bukan main.
Panembahan Sidik Danasura tersenyum pula dan pada saat mata mereka saling bertemu tahulah Ki Baka bahwa kakek tua renta itu gaknya sudah tahu bahwa pertanda ada hubungannya dengan kemunculan Nurseta ini.
"Ayah, Eyang......... Saya menghatur salam hormati........." Nurseta sudah menjatuhkan
diri berdiri di depan mereka dan menyembah. Bagaimanapun juga, hati pemuda ini diliputi keharuan. Kedua orang itu telah nampak tua. Panembahan Sidik Danasura memang telah berusia kurang lebih delapanpuluh tahun, sedangkan Ki Baka sendiri juga sudah tujuhpuluh tahun usianya.
"Jagad Dewa Bathara...... kulup Nurseta, akhirnya kau datang juga. Ayahmu dan aku seringkali bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah terjadi denganmu maka selama bertahun-tahun kau tidak pernah pulang"
"Benar sekali ucapan Paman Panembahan, Raden. Ke mana saja kau pergi dan apa yang telah terjadi?" tanya Ki Baka.
Nurseta lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa ketika dia mencari Wulansari untuk meminta kembali tombak pusaka, dia diserang oleh Ki Cucut Kalasekti sehingga jatuh terjungkal ke bawah tebing curam dan betapa dia bertemu dengan ibu kandung Wulansari. Semua dia ceritakan dengan jelas sampai pertemuannya terakhir dengan keluarga atau ayah bunda Wulansari di mana dia mendapat keterangan bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri.
"Jagad Dewa Bathara........" Ki Baka berseru dengan terkejut bukan main sedangkan Panembahan Sidik Danasura hanya mengelus jenggotnya sambil tersenyum, "Ni Dedeh Sawitri......." Ah, aku hanya pernah mendengar bahwa ia menjadi selir seorang pangeran di Daha, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa kau adalah puteranya"
"Inilah hal yang menghancurkan perasaanku dan membuat hatiku menjadi bimbang sekali, ayah....." Nurseta mengeluh.
"Hemm, kulup Raden Nurseta, mengapa terluka" Mengapa bimbang " Bukan kehendakmu dilahirkan di dunia ini, dari ibu yang manapun juga" tiba-tiba Panembahan Sidik Danasura berkata dan ucapan ini sungguh mengejutkan dan menyadarkan Nurseta sehingga sertamerta diapun menyembah.
"Maafkan saya, Eyang. Saya sesat dan keliru, dan terima kasih atas peringatan Eyang" Dengan suara ringan karena beban batin itu telah lenyap seketika oleh ucapan sang panembahan, Nurseta melanjutkan ceritanya sampai pertemuannya dengan Pertiwi. Di sini dia menarik napas panjang,
"Mohon nasihat Eyang dan Ayah, apa yang harus saya lakukan sekarang" Diajeng Pertiwi agaknya sudah tidak mau lagi menjadi isteri saya, dan terus terang saja, sayapun sejak dahulu tidak ada rasa cinta kepadanya. Cinta saya hanya terhadap diajeng Wulansari, akan tetapi dengan iapun agaknya tidak berjodoh, apa lagi ayah bundanya kini tidak setuju"
Ki Baka menarik napas panjang. "Sekarang akupun menyadari bahwa jodoh ditentukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, anakku. Kalau nini Pertiwi memang tidak menghendaki perjodoban itu dilanjutkan, sudahlah. Akan tetapi satu hal perlu kau ketahui, yaitu dalam peristiwa yang menimpa dirinya, jangan sekali-kali menyalahkan Nini Pertiwi "
Nurseta mengangkat muka menatap wajah ayah angkatnya. "Akan tetapi, Ayah, menurut
keterangan diajeng Pertiwi sendiri, ia........ ia telah....... menyerahkan dirinya kepada pria
lain. Ia telah...... melanggar susila, tidak setia terhadap pertunangan kami "
Ki Baka tersenyum. "Agaknya nini Pertiwi memang terlalu menyalahkan diri sendiri, atau hal itu dilakukannya agar mendapat alasan bagimu untuk memisahkan diri dan memutuskan ikatan. Sesungguhnya, ia menjadi korban kekejian seorang yang amat jahat, anakku. Apakah ia tidak menceritakan siapa yang telah........ menodainya"
Nurseta menggeleng kepala. Tadinya dia memang sama sekali tidak ingin mengetahui, Pria mana yang telah menerima penyerahan diri tunangannya itu.
"Dia adalah Gagak Wulung"
"Ahh...,......" Nurseta terkejut bukan main, matanya terbelalak lebar dan mukanya berubah merah. "Apa...... apa yang sesungguhnya telah terjadi, Ayah" Bagaimana tokoh sesat yang keji itu dapat menjadi pria yang dipilih diajeng Pertiwi?"
"Bukan dipilih, anakku. Pada pagi hari itu, setelah engkau berahgkat, Gagak Wulung mempergunakan sihir, memikat dan membawa pergi Pertiwi dan dengan ilmu hitamnya, dengan guna-guna dan pengasihan, dia berhasil membuat nini Pertiwi tidak berdaya. Kalau tidak ada aku, tentu ayah nini Pertiwi sudah dibunuh pula oleh penjahat itu" Ki Baka lalu menceritakan apa yang telah terjadi.
Mendengar ini, Nurseta mengepal tinju. "Ayah, aku akan pergi lagi. Akan kucari Gagak Wulung sampai dapat, akan kuhancurkan dia. Dan akupun akan pergi mencari Ki Cucut Kalasekti, akan kupaksa dia menyerahkan kembali Ki Ageng Tejanirmala"
"Nanti dulu, Raden. Harap jangan terburu nafsu dan tanyakanlah dulu kepada Eyangmu, karena segala hal yang dilakukan tergesa-gesa dan didorong oleh nafsu amarah dan dendam, sungguh tidak baik akibatnya"
"Eyang, mohon petunjuk" kata Nurseta.


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sadhu, sadhu, sadhu.........*" Panembahan Sidik Danasura yang sejak tadi diam mendengarkan saja, kini mengangkat kedua tangan ke depan daseperti berdoa. "Benar apa yang dikatakan ayahmu Baka, kulup. Apa yang terjadipun terjadilah, tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang mampu merobah apa yang telah dan sedang terjadi, sedangkan apa varg akan terjadi tidak terlepas daii pada perbuatan kita sekarang. Jangan mencoba menjadi hakim mewakili kekuasaan Sang Hyang Pamungkas, angger, Perbuatan yang didorong dendapi merupakan perbuatan jahat pula. Orang berdosa akan menerima hukumannya sendiri, entah dari mana datangnya"
"Terima kasih. Eyang, Kalau begitu, saya tidak akan pergi dan sengaja mencari Gagak Wulung, akan tetapi saya akan pergi untuk merampas kembali tombak pusaka...."
"Kukira belum waktunya, angger. Agaknya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa bahwa tombak pusaka itu masih belum kembali ke tangan yang berhak. Waktunya belum tiba. Akan terjadi perubahan besar sekali di tanah air kita, pergolakam yang bukan main hebatnya. Nampaknya satu hal yang terjadi amat merugikan, namun sesungguhnya tidak," karena segala peristiwa mengandung hikmah. Yang nampak merugikan mungkin hanya merupakan jalan untuk mendatangkan keuntungan, yang nampaknya buruk menyembunyikan sesuatu yang amat baik. Bakankan jamu itu pahit sekali namun mengandung manfaat yang amat besar" Karena itu, kalau kau dapat menerima nasihatku, tunggulah di sini dan memperdalam llmu agar kelak, di saatnya yang tepat, dapat kau pergunakan untuk nusa dan bangsa"
"Eyang, mohon tanya, apa artinva semua yang Eyang gambarkan tadi " Apa yang akan terjadi di tanah air kita?" Nurseta bertanya, merasa betapa tengkuknva meremang,
kakek itu seperti sadar dari keadaan termenung dan dia memandang wajah pemuda itu, tersenyum. "Aku ini manusia biasa, tanpa kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih tidak akan mampu berbuat sesuatu. Oleh karena itu, bagimana aku berani membuka rahasiaNya" Sadhu, sadhu, sadhu" Setelah berkata demikian, kakek itu duduk bersila, diam tak bargerak dan kedua matanya terpejam. Melihat ini, Ki Baka lalu menyentuh lengah Nurseta dan diajaknya pemuda itu berjalan jalan di tepi laut kidul yang sedang bergelora,
"Patuhi saja nasihat Eyangmu, Raden. Yang penting, engkau memperdalam llmu di sini agar kelak dapat kaupergunakan untuk membela nusa bangsa. Ingat, sejengkal tanah sepercik darah. Agaknya akan terjadi peristiwa hebai mengenai Singosari dan kelak harus kau pertahankan tiap jengkal tanah dengan tiap percik darah kalau perlu. Mungkin sekali pergolakan yang digambarkan oleh Paman Panembahan ada hubungannya pula dengan lenyapnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Juga, engkau baru saja pulang setelah pergi selama lima tahun. Engkau baru saja mengalami guncangan lahir batin, perlu menenteramkan batin di sini, angger. Taatilah petunjuk Eyangmu. Kalau saatnya tiba, tentu Eyangmu akan inemberi petunjuk pula. Sebagai seorang satria, tentu saja engkau tidak boleh tinggal diam, siap untuk mempertahankan setiap jengkal tanah air dengan setiap percik darahmu"
"Baiklah, Ayah. Saya akan mentaati semua petunjuk Eyang dan Ayah" kata pemuda itu dengan patuh. Bagaimanapun juga, dia memang baru saja mengalami guncangan batin yang hebat, yaitu persoalannya dengan Wulansari, kemudian dengan Pertiwi, lalu kenyataan tentang ibu kandungnya, tentang Gagak Wulung yang menodai tunangannya. Kalau menuruti nafsu, tentu dia ingin sekali menghadapi semua itu dengan kekerasan, ingin dia menghancurkan Gagak Wulung, ingin dia menjumpai Ni Dedeh Sawitri yang ternyata ibu kandungnya entah apa yang akan dilakukannya kalau ia berhadapan dengan wanita itu. Ingin dia merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ingin pula minta keputusan Wulansari tentang cinta kasih mereka, dan ingin pula dia menjumpai Pertiwi dan minta maaf karena ternyata gadis itu tidak berdosa seperti yang semula diduganya. Akan tetapi, kalau dia menurutkan semua keinginan itu, batinnya akan semakin kacau. Dia membutuhkan ketenteraman, ketenangan dan agaknya Panembahan Sidik Danasura merasa perlu agar dia memperdalam ilmu ilmunya, mungkin. untuk menghadapi peristiwa besar yang agaknya akan terjadi di tanah airnya.
*** "Maafkan" saya, kanjeng rama. Bukan maksud saya hendak membantah pendapat paduka. Akan tetapi, bukankah pekerjaan menentang Kerajaan Singosari itu amat berbahaya " Hendaknya paduka ingat bahwa di sana masih terdapat orang-orang terkemuka, senopati-senopati yang digdaya seperti misalnya Senopati Nambi, Lembu Sora, Lembu Pereng, Medang Dangdi, Gajah Pagon dan yang lain-lain. Saya khawatir, kanjeng rama, bahwa usaha itu akan menemui kegagalan" Demikianlah Wirondaya memperingatkan" ayahnya, yaitu Arya Wiraraja yang juga dikenai sebagai Banyak Wide, bupati di Sumenep, Madura. Wirondaya, putera sang bupati itu, adalah seorang pria berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam manis, sepasang matanya mengandung kecerdikan seperti mata ayahnya. Adapun Sang Bupati Wiraraja memang terkenal akan kecerdikannya. Bupati ini berusia kurang lebih limapuluh lima tahun.
Tadinya Bupati Arya Wiraraja adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Singosari. Akan tetapi, semenjak Sang Prabu Kertanagara menjadi Raja dan melakukan peremajaan di antara para pejabat tinggi, menggantikan tenaga tua dengan tenaga muda sehingga banyak pembantu setia menjadi sakit hati, maka Arya Wiraraja juga diam-diam menaruh dendam kepada sang raja. Dia menganggap bahwa Sang Prabu Kertanagara tidak patut menjadi raja, dan dia menginginkan agar Sang Prabu Kertanagara jatuh dan kedudukannya diganti oleh orang yang selama ini dikaguminya dan dicalonkannya untuk menjadi raja baru, yaitu Sang Pangeran Wijaya. Kesempatan dia nanti-nantikan dan sekarang, dia melihat betapa Sang Prabu Kertanagara yang ambisius itu mengirim balatentaranya ke mana mana untuk menundukkan raja raja yang tidak mau menakluk kepada kekuasaan Singosari.
Banyak hal yang tidak disetujui oleh Arya Wiraraja telah dilakukan oleh Sang Prabu Kertanagara. Pertama-tama diturunkannya pangkat dan kedudukan patih yang setia dan tua, yaitu Empu Raganata yang dilorot menjadi Jaksa di Tumapel, dan diturunkannya pula pangkat Tumenggung Wirakerti yang tua menjadi Mantri Angabaya, bahkan Pujangga Santasmerti yang bijaksana mengundurkan diri dan menjadi pertapa dari pada mengalami penurunan pangkat yang dianggap penghinaan dan melupakan budi dan jasa. Yang ke dua adalah pengiriman balatentara besar besaran ke Negeri Malayu yang disebut Pamalayu sehingga pengiriman itu sama dengan pengosongan kekuatan dalam negeri yang membahayakan keadaan dan keselamatan negeri sendiri. Ke tiga adalah penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan sehingga makin melemahkan keadaan dalam negeri, penyerbuan ke Bali dan ke Pasundan. Bahkan Sang Prabu Kertanagara begitu sembrononya untuk menghina dan mengusir utusan dari Kulai Khan, Raja Tartar yang amat terkenal kekuatannya dari utara itu. Masih belum puas dengan ambisinya, sang prabu juga mengirim pasukan untuk menyerang ke Kalimantan.
Pengosongan demi pengosongan dalam kerajaan dari pasukan-pasukan pilihan ini membuka kesempatan bagi Arya Wiraraja. Maka, pada pagi hari itu, dia memanggil puteranya, yaitu Wirondaya, diajak berbincang-bincang mengenai niat hatinya untuk menjatuhkan Sang Prabu Kertanagara, Namun Bupati Sumenep ini memang cerdik sekali, Biarpun di dalam Kerajaan Singosari kini kekurangan pasukan, namun dia sendiri masih tidak berani untuk melakukan peraberontakan. Tidak, dia tidak sebodoh itu. Dia tidak akan turun tangan sendiri, melainkan hendak meminjam lain tangan, yaitu Sang Prabu Jayakatwang, raja di Kediri yang dia tabu amat mendendam kepada Kerajaan Singosari, Dia sendiri juga merasa sakit hati karena diangkatnya dia menjadi Bupati Sumenep dianggapnya juga merupakan penurunan pangkat atau semacam penyingkiran agar dia berada jauh dari kerajaan.
"Sekali lagi saya mohon kanjeng rama ingat bahwa di. Sana terdapat pula saudara-saudara saya yang amat sakti mandraguna seperti Seperti senopati Nambi, Senopati Ronggolawe......"
"Cukup, puteraku. Mengagungkan kekuatan musuh berarti melemahkan semangat sendiri. Ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak memusuhi kerajaan tidak niemusuhi para senopati yang menjadi rekan-rekan, bahkan anak-anakku. Yang kutentang hanyalah Sang Prabu Kertanagara yang tidak bi jaksana. Dia harus dilorot dari singasana dan sudah sepatutnya singasari diduduki orang yang lebih tepat menjadi raja, seperti misalnya Pangeran Wijaya. Bupati Arya Wiraraja mengemukakan alasan-alasan yang tepat, sehingga akhirnya Raden Wirondaya, puteranya" dapat melihat alasan itu dan membenarkan keinginan ayahnya. Diapun tidak membantah lagi ketika ayahnya mengakibatkan dia sebagai seorang utusan untuk menyerahkan sepucuk 'surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Memang telah lama terdapat hubungan baik antara Bupati Sumenep ini dengan Raja Kediri. Keduanya memiliki dedam terhadap Sang Prabu Kertanagara. Apa lagi Raja Kediri ini, mengingat betapa Kerajaan Kediri yang tadinya merupakan kerajaan besar dan berkuasa, dikalahkan dan ditundukkan oleh Ken Arok raja pertama dari Singosari.
Biarpun Raja Singosaro kemudian membiarkan keturunan raja-raja Kediri untuk melanjutkan pemerintahan mereka dan membiarkan Kerajaan Kediri tetap berdiri, namun selama itu Kerajaan Kediri menjadi negara taklukan dan hal ini dianggap amat merendahkan martabat Kediri.
Seringkali terjadi perundingan antara Arya Wiraraja dan Sang Prabu Jayakatwang, dan tanpa sungkan lagi, Sang Prabu Jayakatwang menyatakan kebenciannya terhadap Kerajaan Singosari dan menyatakan niatnya untuk sewaktu-waktu menggempur kerajaan yang dianggap musuh besar itu. Adanya kenyataan bahwa puteranya, yaitu Raden Ardaraja, telah menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara, tidak mengurangi kebenciannya terhadap Kerajaan Singosari. Justru pernikahan antara puteranya dan seorang puteri Singosari membuktikan kelemahannya karena dia tidak berani mencoba untuk berbesan dengan Raja Singosari.
Setelah menerima petunjuk dan juga sepucuk surat dari ayahnya, barangkatlah Raden Wirondaya menuju ke Kediri. Kedatangannya di istana Sang Prabu Jayakatwang mendapat sanbutan meriah oleh Raja Kediri sendiri dan diapun dipersilakan masuk ke ruangan dalam dan diterima sebagai seorang tamu agung oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Pida saat menerima kunjungan Wirondaya sebagai putera dan utusan Arya Wiraraja, Sang Prabu Jayakatwang dihadap oleh Ki Patih Mundarang, para Senopati Jaran Guyang, Bango Dolog, Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung, Kampanis dan beberapa orang senopati lain yang dipercaya. Raden Wirondaya mengenal mereka semua dan maklum bahwa mereka adalah para ponggawa yang setia dan dipercaya. Oleh karena itu, tanpa ragu lagi diapun menghaturkan sembah kepada Sang Praba Jayakatwang disusul dengan penyerahan sepucuk surat dari ayahnya kepada raja itu.
Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari sahabatnya itu dengan gembira dan langsung dia membaca surat itu. Sementara itu, Wirondaya beberapa kali melirik ke arah seorang di antara penghadap Sang Prabu Jayakatwang dan beberapa kali alisnya berkerut. Ponggawa itu belum pernah dilihatnya, agaknya seorang kepercayaan yang baru, Akan tetapi ponggawa ini seorang wanita. Seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan sikapnya gagah perkasa. Gadis itu tidak duduk bersila di depan Sang Prabu Jayakatwang seperti para senopati, juga tidak duduk di samping raja itu seperti kebiasaan para selir dan dayang, melainkan berdiri tegak di belakang Sang Prabu Jayakatwang dengan sikap gagah. Lagaknya seperti seorang pengawal pribadi, akan tetapi kalau benar pengawal kenapa seorang wanita " Diam-diam putera Arya Wiraraja ini melirik sambil memperhatikan gadis itu.
Ia seorang gadis yang cantik manis, berkuiit kuning mulus, sepasang matanya mencorong seperti bintang, hidungnya kecil mancung. Mulutnya amat menggairahkan, dengan bibir yang merah basah tanpa pemerah, dihias lesung pipit di kanan kiri kalau mulut itu menyungging senyum, dan di atas dahi yang halus bagaikan lilin itu tumbuh sinom yang halus. Bentuk tubuh yang tertutup pakaian yang indah dan ringkas itu menambah daya tariknya. Sesosok tubuh yang padat, ranum, membayangkan kelembutan, kehangatan, namun juga kekuatan tersembunyi.
Diam-diam Raden Wirondaya bertanya-tanya di dalam hatinya, siapa gerangan gadis ini dan apa kedudukannya di Kediri"
Gadis itu memang benar seorang pengawal-Pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang yang dipercaya sekali. Namanya adalah. Wulansari dan biarpun, ia seorang gadis berusia duapuluh empat tahun yang cantik manis, namun dibalik sifat yangmenggairahkan hati setiap orang pria itu, tersembunyi kedigdayaan yang akan membuat setiap orang laki-laki menjadi gentar, Ia adalah murid seorang yang sakti mandraguna, yaitu Ki Cucut Kalasekti yang telah dianugerahi pangkat Adipati Satyanegara dan berkuasa di Bendowinangun karena jasa-jasanya. Bahkan bagi Sang Prabu Jayakatwang sendiri, Wulansari bukan hanya dipandang sebagai seorang pengawal pribadi, bahkan juga seorang wanita yang menggairahkan dan pernah Raja Kediri ini ingin mempersuntingnya sebagai seorang selir. Namun, Wulansari menolak dengan halus walaupun ia akhirnya menjadi seorang pengawal pribadi yang boleh dipercaya.
(Bersambung jilid ke XIII)
Hal yang tdk logis :
1. Wulansari memanggil ibunya dengan Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama kepada ayahnya. Emangnya orang tuanya seorang Adipati atau Raja.
2. Nurseta memanggil Kanjeng paman kepada Medang Dangdi.
3. Medang Dangdi tidak mau menerima Nurseta menjadi mantunya, padahal ia pernah bilang, manusia itu dilihat dari hatinya bukan wadagnya. Sedangkan Nurseta adalah seorang ksatria, dan juga, ia adalah anak seorang pangeran.
4. Cucut memelihara, mengajarkan ilmu kesaktiannya dan menganggap Wulansari yang cantik dan seksi sbg cucunya. Padahal Cucut adalah penjahat kelamin yang keji dan mungkar.
---ooo0dw0ooo-JILID 13 SUASANA dalam balairung itu sunyi sepi ketika Sang Prabu Jayakatwang membaca surat yang baru saja diterimanya dari Wirondaya itu. Agaknya penting sekali surat itu karena dia membacanya dengan serius, sepasang matanya tidak pernah berkedip, bahkan diulang bacanya surat itu sekali lagi.
"Bagus, bagus ! Kami gembira sekali menerima surat ayahmu, Wirondaya, dan kami merasa setuju sekali. Terima kasih atas petunjuk ayahmu kepada kami !" Lalu dia menoleh kepada Ki Patih Mundarang yang usianya sudah mendekati enampuluh tahun itu. "Kakang Patih Mundarang, surat dari Arya Wiraraja ini penting sekali diketahui oleh semua ponggawa. Bacalah keras - keras agar didengar oleh semua senopati, setelah itu baru kita akan merundingkannya." Sang Prabu Jayakatwang menyerahkan surat itu kepada patihnya yang menerimanya dengan sembah. Akan tetapi sebelum patih itu membaca surat dari Arya Wiraraja, Raden Wirondaya cepat berkata kepada Sang Prabu iayakatwang.
"Ampun, Sribaginda! Hamba mohon sudilah kiranya paduka berhati - hati dan tidak mengutus Paman Patih membaca, surat rahasia itu di depan banyak orang, terutama mereka yang masih belum dipercaya benar kesetiaannya." berkata demikian, Wirondaya memandang ke arah gadis yang berdiri di belakang raja itu.
Mendengar ucapan Wirondaya dan melihat arah pandang para utusan dari Sumenep itu, Sang Prabu Jayakatwang tertawa, kemudian berkata lantang.
"Wirondaya, andika tentu telah mengenal baik semua ponggawa kami yang hadir pada saat ini, kecuali barangkali wanita ini yang belum kaukenal. Ketahuilah bahwa ia adalah Nini Wulansari, yang menjadi kepala pengawal dalam keraton, juga pengawal pribadiku yang amat kami percaya. Tidak ada rahasia baginya, bahkan ia harus mengetahui semua rahasia kami agar ia dapat melaksanakan tugas jaga dengan lebih sempurna. Jangan andika khawatir, Wirondaya l"
Wirondaya melihat betapa gadis manis itu memandang kepadanya dengan mata mencorong dan alis berkerut, tanda bahwa ia merasa tidak senang karena tidak dipercaya, dan Wirondaya segera menyembah kepada Sang Prabu Jaya-katwang dengan muk'a merah.
"Mohon paduka mengampuni bamba yang tidak tahu. Kalau begitu, terserah kebijaksanaan paduka, karena paduka tentu lebih mengetahui keadaan di sini, Sribaginda."
"Kakang Patih, mulailah membaca surat dari Madura itu !"
Sejak tadi Ki Patih Mundarang sudah membuka surat itu dan membacanya dalam hati, maka kini dengan lantang dia lalu membaca surat di tangannya sehingga terdengar jelas oleh mereka semua yang hadir di situ.
"Kepada Paduka Raja Binetara patik mengirim berita gembira jika paduka hendak berburu sekaranglah saat yang paling jitu medan sedang tandus dan gersang tiada semak belukar dan ilalang tiada satupun aral melintang tiada pula suat u penghalang binatang-binatang buas tidak ada kecuali seekor macan tua tak berdaya "
"Masan tua tak berdaya! Ha - ha - ha, ya benar, dia macan ompong yang tidak berbahaya lagi!" Sang Prabu Jayakatwang berkata setelah Ki Patih Mundarang menyelesaikan bacaannya. "Anakmas Wirondaya, banyak saudaramu menjadi senopati di Singosari, tentu andika lebih iahu bagaimana sesungguhnya keadaan di sana-sekarang?"
Dengan terus terang Wirondaya menceritakan betapa ambisiusnya Sang Prabu Kertanagara, dan betapa banyak diadakan perubahan yang mengejutkan oleh Sang Prabu Kertanggara yang membuat banyak pejabat dan kawula merasa tidak senang dan tidak puas. "Semua nasehat baik dari Paman Patih Raganata yang bijaksana diabaikan, bahkan kedudukan patih setia itu dilorot. Juga semua nasehat menteri wreda tidak didengar. Yang didengar hanya bujukan para pejabat baru yang kurang pengalaman, hanya mengandalkan keberanian tanpa perhitungan. Akibatnya, kini keadaan kerajaan kosong dari balatentara yang sebagian besar dikirim ke negeri Melayu, bahkan sisanya yang sedikit menjadi semakin lemah karena dipakai menyerbu ke berbagai tempat. Tepat seperti ditulis oleh kanjeng rama, sekarang keadaan Kerajaan Singosari sedang lemah sekali."
"Akan tetapi, bukankah di sana masih terdapat banyak sekali senopati yang sakti mandraguna dan setia kepada Kerajaan Singosari ?"
"Hal itu memang benar, Sribaginda," jawab Wirondaya, teringat akan pendapat ayahnya, "akan tetapi apa artinya para senopati sakti mandraguna kalau mereka tidak memiliki pasukan yang kuat dan banyak " Tidak mungkin mereka akan kuat menghadapi serbuan pasukan yang puluhan atau ratusan ribu jumlahnya."
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Ki Patih Munda-rang. "Bagaimana, kakang Patih " Apa penda-patma tentang isi surat dari Bupati Sumenep itu?"
"Menurut pendapat hamba, apa yang dikemukakan Bupati Sumenep itu memang tepat sekali. Kalau memang kesempatan itu terbuka, memang siapa lagi kalau bukan paduka yang membalaskan kekalahan Kerajaan Kediri yang membuat Kerajaan Kediri kehilangan kejayaannya " Nenek moyang paduka, yaitu yang mulia Sang Prabu Dandang Gendis telah dikalahkan oleh seorang anak petani rendah dari Pangkur, yaitu Ken Arok yang menjadi raja pertama Singosari. Dan semenjak itu, Kerajaan Kediri yang besar dianggap sebagai negara talukan oleh Singosari. Sekarang, kalau kesempatan itu terbuka, sudah selayaknya kalau paduka yang menegakkan kembali kejayaan Kediri dan membalas kekalahan nenek moyang paduka."
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk lagi tanda setuju, akaa tetapi alisnya berkerut ka'au dia teringat kepada puteranya, yaitu Pangeran Ardaraja yang kini telah menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara di Singo-sari.
"Ampunkan hamba, Gusti, kalau apa yang hamba katakan tadi tidak berkenan di hati paduka." kata Ki Patih Mundarang yang merasa khawatir melihat junjungannya termenung setelah mendengarkan ucapannya.
"Sama sekali tidak, Kakang Patih. Semua yang kaukatakan tadi benar belaka. Kalau kami termenung, hanya karena kami mau tidak mau teringat kepada keponakanmu, Pangeran Ardaraja yang menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara di Singosari."
Ki Patih Mundarang menyembah. "Hal seperti itu tidak mungkin dapat dihindarkan, Gusti. Akan tetapi kiranya paduka lebih arif dan mengetahui bahwa demi perjuangan kerajaan, kadang-kadang diperlukan pengorbanan dan semua kepentingan pribadi hanya jatuh nomor dua untuk mementingkan dan menomorsatukan kepentingan negara."
Mendengar ucapan patihnya ini, Sang Prabu Jayakatwang menepuk pahanya sendiri dengan telapak tangan. "Ah, sungguh tepat ucapanmu itu, Kakang Patih! Tepat dan arif! Anakmas Wirondaya, sampaikan ucapan terima kasih kami kepada ramandamu dan disertai salam hormat kami,"
Setelah Wirondaya mohon diri dan menin-galkan Istana Kediri, Sang Prabu Jayakatwang segera memanggil seluruh senopatinya dan mengsdakan perundingan kilat untuk mengatur rencana penyerbuan ke Singosari yang sedang kosong seperti yang dikabarkan oleh Arya Wiraraja Bupati Sumenep di Madura itu. Semenjak datangnya surat itu sampai dengan ketika Sribaginda mengadakan musyawarah dan perundingan dengan para senopatinya, Wulansari selalu berada dekat Sribaginda karena memang gadis cantik jelita dan perkasa ini merupakan pengawal pribadi yang amat dipercaya.
Wulansarifadalah seorang gadis yang berusia kurang lebih duapuluh empat tahun, seorang wanita yang sudah matang, dengan bentuk tubuh menggairahkan, namun gerak geriknya yang cekatan bagaikan seekor burung seriti itu menunjukkan bahwa di balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Kulitnya kuning mulus, pakaiannya ringkas sederhana, juga sikapnya sederhana bahkan seperti orang yang acuh, Namurt, matanya yang seperti sepasang bintang itu tajam sekali dan pandang matanya menembus. Hidungnya kecil mancung, bibirnya selalu basah kemerahan dan kalau ia bicara apa lagi tersenyum, muncullah lesung pipit di pipi kiri, mengimbangi kemanisan tahi lalat kecil di pipi kanan. Rambutnya agak avut-awutan, dengan sinom melingkar-lingkar di dahi. Yang amat menarik perhatian orang adalah sinar matanya yang kadang-kadang redup, akan tetapi kadang-kadang bernyala aneh. Seorang gadis yang manis sekali.
Akan tetapi, gadis manis ini memiliki kepandaian yang membuat pria yang sudah tahu akan keadaan dirinya menjadi gemar. Biarpun dirinya nampak sebagai seorang gadis yang lembut dan manis, namun ia adalah seorang wanita sakti yang ketika kecil pernah digembleng ilmu oleh Sang Panembahan Sidik Danasura, kemudian setelah remaja sampai dewasa ia mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat mengerikan dari Ki Cucut Kalasekti Mendiang Panembahan Sidik Danasura adalah seorang pendeta dan pertapa di padepokan Teluk Prigi Segoro Wedi, yaitu di Laut Selatan dan panembahan ini terkenal sakti mandraguna. Adapun nama Ki Cucut Kalasekti, siapa yang tidak mengenalnya" Tadinya dia merupakan seorang datuk di antara golongan sesat dan namanya ditakuti di dunia hitam. Akan tetapi, kemudian dia berjasa telah mendapatkan dan menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada Sang Prabu Jayakatwang di Kediri sehingga dia dianugerahi pangkat sebagai seorang adipati dengan julukan Adipati Satya-negara di Bendowinangun. Hampir semua ilmu yang dabyat dari datuk ini telah diwarisi Wulansari. Oleh ka'rena itu, dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu kedigdayaan gadis manis ini.
Memang aneh melihat betapa Wulansari kini menjadi pengawal pribadi yang amat dipercaya dari Sang Prabu Jayakatwang. Ayah gadis ini adalah Ki Medang Dangdi, seorang di antara para senopati yang perkasa dari Kerajaan Singosari Ibunya bernama Warsiyem, juga seorang wanita sakti yang baru-baru ini berkumpul kembali dengan suaminya, Ki Medang Dangdi setelah saling berpisah selama belasan tahun karena ulah Ki Cucut Kala-sekti yang menculik Warsiyem. Akan tetapi, Wulansari tidak begitu dekat dengan ayah bundanya. Hal ini tidak aneh mengingat betapa gadis ini sejak berusia sepuluh tahun sudah saling berpisah dengan kedua orang tuanya, bahkan ia tidak ingat lagi siapa ayah ibunya. Ingatannya pernah hilang sebagai akibat kecelakaan ketika perahu yang ditumpanginya hanyut. Baru akhir - akhir ini saja, dengan bantuan Nurseta, seorang pendekar yang gagah perkasa, ia mengetahui siapa sebenarnya ayah ibunya dan sempat berkumpul sebentar dengan kedua orang tuanya itu. Akan tetapi tidak lama ia meninggalkan lagi orang tuanya, bahkan karena sakit hatinya kepada
ofahg tuanya, iaputi nekat menerima uluran tangan Raja Kediri untuk menjadi pengawal pribadinya! Pada hal, ia tahu bahwa Raja Kediri membenci Kerajaan Singosari di mana ayahnya menjadi senopatinya. Ia marah kepada ayah ibunya dan sakit hatinya karena mereka, terutama ayahuya, melarang ia berjodoh dengan Nurseta setelah ayahnya mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera kandung dari Ni Dedeh Sawitri, seorang tokoh sesat wanita dari Pasundan ! Karena perjodohannya dengan Nurseta dilarang ayah ibunya itulah maka kini ia menjadi pengawal pribadi yang setia dari Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Biarpun sejak berusia limabelas tahun sampai dewasa ia diaku sebagai cucu Ki Cucut Kalasekti dan mewarisi ilmu ilmunya, namun di dalam hatinya ia tidak suka kepada kakek itu, bahkan kemudian setelah ia bertemu dengan ayah dan ibu kandungnya, ia membenci Ki Cucut Kalasekti yang ternyata sama sekali bukan kakeknya, bahkan musuh besar yang pernah menculik dan memperkosa ibunya! Namun, mengingat bahwa Ki Cucut Kalasekti pernah menjadi gurunya dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, maka Wulansari tidak mau sembrono menentangnya, melainkan mencari kesempatan baik untuk kelak dapat membalaskan sakit hati ibu kandungnya kepada datuk sesat itu.
Demikianlah sedikit riwayat Wulansari yang" kini menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Ja yakatwang dan seperti diceritakan di bagian depan, Wulansari ikut mendengarkan semua percakapan antara Sribaginda dan para pong-gawanya ketika utusan dari Madura, yaitu Raden Wirondaya datang menghadap.
Bahkan ketika Sang Prabu Jayakatwang memanggil semua senopatinya untuk diajak bermusyawarah tentang siasat penyerbuan ke Singosari, Wulansari juga tetap berjaga di belakang Sribaginda. Para senopati merasa terkejut juga mendengar akan keputusan Sribaginda untuk mengadakan penyerbuan ke Singosari dan sebagian di antara mereka ada yang gentar.
"Mohon ampun, Gusti," kata Senopati Jaran Guyang sambil menyembah. "Bukan hamba hendak menentang. Hamba siap untuk melaksanakan perintah paduka, biar dengan taruhan nyawa sekalipun. Akan tetapi, apakah paduka sudah memikirkan masak - masak tentang penyerbuan ini " Hamba hanya khawatir kalau sampai gerakan ini gagal, tentu berbalik akan mencelakakan Kediri. Bagaimanapun juga, Singosari adalah kedungnya (sumbernya) para senopati yang sakti mandraguna dan digdaya."
Sang Prabu jayakatwang mengerutkan alisnya dan memandang kepada senopatinya itu dengan sinar mata mencorong. "Besarkan hatimu, Jaran Guyang. Semua telah kami perhitungkan dengan matang, bahkan selama bertahun-tahun ini telah kami perhitungan. Kinilah saatnya yang amat baik, dan kiranya tidak percuma kalau kami mendapat berkah dari Ki Ageng Tejanirmala!"
Para senopati terkejut dan juga girang, Raja mereka telah memiliki tombak pusaka, lambang kejayaan itu " Memang, ketika Sri-baginda menerima tombak pusaka itu dari tangan Ki Cucut Kalasekti, hal itu dirahasiakan sehingga para senopatinya sendiripun banyak yang tidak mengetahuinya. Melihat para senopatinya tercengang, Sang Prabu Jayakatwang menjadi gembira dan ingin memamerkan pusakanya agar para senopatinya menjadi besar hati mereka.
"Wulan, ambilkan pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan bawa ke sini!" perintahnya sambil menoleh kepada pengawal pribadinya itu. Perintah ini saja sudah membuktikan betapa besar kepercayaan Sang Prabu Jayakatwang kepada gadis pengawal yang tadinya ingin dijadikan selir akan tetapi gadis itu menolak. Wulansari menyembah lalu pergi ke dalam istana, langsung memasuki kamar Sribaginda dan hanya ia seorang bersama Sribaginda yang dapat membuka tempat rahasia di dalam kamar itu di mana disembunyikan tombak pusaka itu.
Setelah tombak pusaka itu berada di tangannya, dalam kamar yang sunyi karena ia telah menyuruh semua anak buahnya, para pengawal istana untuk keluar, juga para dayang, ia menimang-nimang tombak pusaka itu di tangannya dan terbayanglah semua peristiwa masa lalu ketika untuk pertama kalinya ia mendapatkan tombak pusaka itu. Tombak pusaka ini adalah milik Ki Baka, ayah angkat Nurseta. Tombak pusaka itu dirampas oleh Ki Buyut Pranamaya yang menyamar sebagai Wiku Bayunirada. Ketika terjadi pemberontakan Mahesa Rangkah, murid Ki Buyut Pranamaya, Nurseta membantu pasukan pemerintah untuk menghancurkan pemberontakan itu. Dalam pertempuran ini, Nurseta bertemu dengan Ki Buyut Pranamaya dan pemuda perkasa itu diserang oleh Ki Buyut Pranamaya dengan mempergunakan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala! Pada saat itulah ia muncul dan ia berhasil merampas tombak itu dari tangan Ki Buyut Pranamaya dan melarikan tombak pusaka itu, Biarpun ia dapat disusul oleh kakek sakti itu, namun berkat bantuan Nurseta, akhirnya ia berbasil m.miliki tombak pusaka itu dan tidak mau mengembalikannya kepada Nurseta, karena dianggapnya tombak pusaka itu sebagai tanda mata dari pemuda yang d cintanya itu! Kemudian tombak pusaka itu ia serahkan kepada Ki Cucut Kalasekti yang pada waktu itu masih ia anggap sebagai kakeknya yang baik hati. Oleh kakek itu, tombak pusaka diserahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dan sebagai imbalan jasanya, kakek itu diangkat menjadi adipati di Bendowinangun.
Wulansari sadar dari lamunannya. Di mana adanya Nurseta" Pemuda itulah sebetulnya yang berhak memiliki tombak pusaka ini! Akan tetapi kini tombak pusaka telah menjadi milik Raja Kediri dan ia sebagai seorang pengawal pribadi yang setia, harus membela junjungannya! Bergegas ia keluar dari kamar membawa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, lalu memasuki ruangan di mana Sribaginda dan para senopati masih menanti.
Setelah menerima tombak pusaka itu dari tangan Wulansari, Sang Prabu Jayakatwang membuka kain penutup tombak pusaka itu dan mengangkatnya tinggi di atas kepala. "Kalian lihat. Inilah Ki Ageng Tejanirmala yang akan memberkahi kita sehingga kita akan dapat mencapai kemenangan melawan Singosari "
Para senopati memandang dengan penuh khidmat dan juga gembira, hati mereka besar sekali rasanya dan mantap karena mereka percaya sepenuhnya bahwa siapa yang memiliki tombak pusaka itu seolah-olah mendapatkan wahyu kerajaan.
Kini Sang Prabu Jayakatwang mengadakan perundingan dengan Ki Patih Kebo Mundarang dan para senopati. Balatentara Kediri dibagi dua. Yang sebagian dipimpin oleh Senopati Jaran Guyang, pasukan ini menyerbu Singosari dari utara dan senopati ini dibantu oleh para perwira yang suaah terkenal pandai dari Kediri, di antaranya adalah Bango Dolog, Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung, dan Kampinis. Adapun sebagian lagi dipimpin langsung oleh Ki Patih Kebo Mundarang, menyerang Singosari dari arah selatan.
Sementara itu, jauh di utara, di negara Tiongkok, pada waktu itu terjadi pula peristiwa yang menarik di dalam istana kaisar. Pada waktu itu, Tiongkok dijajah oleh Bangsa Mongol dan yang menjadi kaisar adalah Ku-bilai Khan. Seperti juga kaisar pertama dari Kerajaan Moneol ini, yaitu Jenghis Knan, Kubilai Khan tidak kalah besar ambisi dan keangkara-murkaannya. Dia tidak akan puas sebelum seluruh dunia ditalukkannya. Biarpun seluruh Tiongkok telah dikuasainya, dia masih belum puas, Dikirimnya balatentara yang besar, menyerang sampai, jauh ke daerah Europa ! Dan diapun memperluas kekuasaannya ke selatan dan pada suatu hari, dia mengirim utusannya yang dikepalai oleh perwira Meng Ki menuju ke Kerajaan Singosari. Akan tetapi pada waktu Meng Ki datang menghadap Sang Prabu Kertanagara di Singosari, Sang Prabu ini juga sedang memperbesar kekuasaannya. Keberhasilan pasukan Singosari menundukkan daerah-daerah bahkan sampai ke negeri Melayu, membuat Sang Prabu Kertanagara merasa dirinya besar dan dia sama sekali tidak sudi tunduk kepada kebesaran Kaisar Kubilai Khan. Untuk memperlihatkan bahwa dia tidak takut kepada kaisar di utara itu, dia menolak untuk mengakui kekuasaan Kubilai Khan, bahwa dengan cara yang menantang sekali dia menulis pesan yang mecghina dan menantang di atas dahi Meng Ki, sang utusan itu.
Kaisar Kubilai Khan menerima kedatangan utusannya itu dengan kemarahan besar. Dia segera memerintahkan tiga orang panglimanya yang bernama She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu, memimpin duapuluh ribu orang pasukan, lengkap dengan kapal perang dan kapal pengangkut yang membawa segala perlengkapan perang dan bahan makan-untuk jangka waktu satu tahun lamanya. Mereka dipenntahkan untuk menghukum Raja Kertanagara di Singosari yang telah berani,menghina utusan kaisar. Berangkatlah pasukan yang terdiri dari para perajurit pilihan itu dengan kapal-kapal besar ke selatan. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1292. Sebagian besar dari ang-gauta pasukan adalah perajurit-perajurit Mo-ngol yang sudah terlatih, sudah berulang kali mengadakan penyerbuan ke barat, menalukkan banyak negara dan merupakan perajurit-pera-jurit yang perkasa. Sedikit di antara mereka adalah orang - orang Han yang merupakan orang talukan dari Bangsa Mongol yang menjajah Tiongkok. Bahkan seorang di antara tiga panglima itu, yang bernama Kau Seng, bukan pula orang Mongol, melainkan seorang peranakan Han Mancu, ayahnya orang Han dan ibunya orang Mancu. Kau Seng adalah seorang panglima yang selain pandai dalam ilmu perang, juga pandai ilmu silat, terkenal pula dengan anak panahnya, yang menurut kabar, sekali dilepas pasti merobohkan seorang lawan 1 Kau Seng yang sudah berusia enam-puluh lima tahun ini mempunyai seorang sute (adik seperguruan) bernama Lie Hok Yan, seorang pemuda berusia duapuluh enam tahun yang ditariknya menjadi seorang perwira dalam pasukannya. Sebetulnya Ue Hok Yan, seorang yang terkenal berjiwa pendekar, agak legan untuk membantu pasukan Mongol yang menjajah tanah airnya, akan tetapi karena dia sungkan terhadap suhengnya (kakak seperguruannya), maka terpaksa dia menerima pengangkatan sebagai perwira muda itu. Apa lagi sudah lama dia mendengar akan dunia selatan yang cantik, dan sebagai seorang pemuda yang belum berumah tangga, diapun ingin meluaskan pengalaman dan bertualang. Maka diapun ikut pula dalam ekspedisi ke selatan itu.
Pelayaran itu merupakan perjalanan yang amat melelahkan bagi pasukan besar itu. Mereka, terutama sekali para perajurit Mongol, merupakan ahli-ahli penunggang kuda, biasanya mereka bergerak melalui daratan, dapat melakukan perjalanan cepat baik menunggang kuda atau berjalan kaki. Akan tetapi sekali ini mereka berada di kapal dan merasa tidak berdaya sama sekali ketika kapal dipermainkan angin ribut. Badai membuat air laut bergelombang besar dan kapal-kapal itu bagaikan benda - benda kecil yang tak berdaya, oleng dan jalannya seperti kuda mabok. Para perajurit banyak yang mabok laut, tidak suka makan dan hanya bertiduran dengan kepala pusing.
Sementara itu, di Singosari terjadi geger ketika pasukan Kediri mulai menyerang. Penyerangan yang terjadi tanpa disangka-sangka oleh pihak Singosari.
Pasukan yang dipimpin Senopati jaran Gu-yang dan para pembantunya mengambil jalan melintas, melalui sawah ladang ke jurusan utara untuk menyerbu Singosari dari utara. Mereka membawa kereta, bende, gong dan tunggul, perlengkapan perang yang banyak dan mereka berhenti di desa Mameling. Melihat pasukan Kediri memasuki daerah Singosari, rakyat pedesaan menjadi panik dan terkejut bukan main. Di antara anak buah pasukan itu ada yang melakukan kekerasan, merampok dan memperkosa wanita dan tentu saja hal ini membuat penduduk dusun itu bangkit melakukan perlawanan. Akan tetapi, apa daya mereka menghadapi serbuan pasukan yang bersenjata lengkap dan terlatih" Banyak penduduk dusun yang tewas, dan sisanya melarikan diri mengungsi meninggalkan dusun mereka. Titir ditabuh bertalu-talu tanda bahaya dan mereka cepat melarikan dan menjauhi Mameling, sebagian pula menjadi utusan dari dusun Mameling untuk menghadap Sribaginda Kertana-gara dan melaporkan bahwa balatentara Kediri telah menyerbu dan tiba di Mameling.
Mendengar laporan ini, Sang Prabu Kerta-nagara tidak percaya. Mana mungkin Raja Kediri menyerbu Singosari" Bukankah Sang Prabu Jayakatwang itu masih besannya " Bukankah selama ini Singosari membiarkan raja itu berkuasa di Kediri" Akan tetapi, para pengungsi membanjir, hujan tangis di antara mereka, dan banyak pula yang terluka parah. Melihat keadaan ini, barulah Sribaginda percaya. Dipanggilnya calon mantunya, Raden Wijaya, dan diperintahkannya berangkat ke Mameling memimpin pasukan untuk mengusir pasukan musuh yang berani menyerbu wilayah Singosari.
Perasaan yang marah dan penasaran mengganggu hati Sang Prabu Kertanagara. Biarpun dia sudah memerintahkan mantunya, Raden Wijaya untuk memimpin pasukan menyambut para penyerbu yang datang dari utara itu, dia masih belum puas dan segera diutusnya Ki Patih Kebo Anengah untuk membawa pasukan besar menyusul pasukan pertama pimpinan Raden Wijaya ke dusun Mameling.
Mendengar perintah ini, Adhyaksa (jaksa) Empu Raganata, bekas patih yang diturunkan pangkatnya itu karena sudah tua, segera maju menyembah dan berkata, "Mohon ampun, Gusti, Akan tetapi hamba kira tidaklah bijaksana kalau paduka mengutus Patih Kebo Anengah untuk membawa sisa pasukan menyusul Raden Wijaya ke Mameling. Dengan demikian, maka Singosari menjadi kosong dan tidak ada kekuatan pasukan besar yang menjaganya. Apa artinya pasukan pengawal yang kecil jumlahnya jika menghadapi bahaya serbuan musuh"'*
Juga Mantri Angabaya Wirakreti, bekas tumenggung yang juga dilorot pangkatnya karena sudah tua itu, ikut membujuk. "Hamba kira pasukan yang dipimpin Raden Wijaya sudah cukup untuk menanggulangi musuh yang menyerbu dari Mameling, Gusti. Sebaiknya ibu kota jangan dikosongkan !"
"Ah, kalian ini orang - orang tua yang penakut. Musuh masih amat jauh dan kalian telah menjadi gugup. Wijaya itu masih muda, kurang pengalaman, maka sebaiknya kalau dia dibantu oleh Kebo Anengah agar sekali pukul, pihak musuh akan dapat dihancurkan. Mereka menyerbu dari utara, maka bahaya hanya datang dari arah utara. Mengapa harus takut akan kemungkinan penyerbuan lain?" Sang Prabu Kertanagara tetap tidak memperdulikan nasehat dua orang ponggawa tua itu dan berangkatlah Kebo Anengah membawa hampir semua sisa pasukan yang berada di Singosari
Memang inilah yang dinanti - nanti oleh barisan dari Kediri yang mengatur siasat memancing harimau meninggalkan sarang itu. Diam-diam, pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Kebo Mundarang dari Kediri, menyusup dari selatan dan dapat menyerbu tanpa banyak perlawanan!
Dengan mudahnya pasukan Kediri ini masuk dari selatan melalui Lawor terus ke Sida-bawana. Sementara itu, Sang Prabu Kertanagara masih enak-enak saja, seolah-olah tidak ada bahaya mengancam, bersenang - senang di keputren bersama para selir dan dayang, berpesta pora dihibur gamelan yang mengiringi alunan suara merdu dan tubuh muda indah me-liak-liuk ketika para dayang bertembang dan menari. Ki Patih Angragani menemani junjungannya berpesta pora, yakin bahwa para senopati pasti akan mampu menindas dan menumpas pemberontak itu. Bahkan Ki Patih Angragani demikian gembira ketika Sang Prabu Kertanagara minta agar dia suka ikut berjoget, ditemani seorang dayang yang cantik. Ki Patih memperoleh kesempatan memperagakan dirinya dan memamerkan kepandaiannya berjoget di antara demikian banyaknya wanita ayu. Pengaruh minuman keras membuat sang patih yang sudah setengah mabok ini agak lupa diri, berani pula ketika berjoget tangannya kadang-kadang menjamah dan menyentuh tubuh lawannya berjoget dengan genit, Sang Prabu yang melihat ini hanya tertawa saja karena dia sendiri-pun sudah setengah mabok.
Pendekar Sakti 12 Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Hati Budha Tangan Berbisa 12

Cari Blog Ini