Ceritasilat Novel Online

Naga Dari Selatan 18

Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Bagian 18


menyelinap kesamping. Kalau Ciok ji-soh tak lekas2
menahan kimkong-lunnya, pasti akan berbenturan sendiri
dengan pedang Yan-chiu. Kala menginjak tepian payon,
tampak payon itu cekung kebawah tapi tak sampai roboh.
Dan membarengi dengan tenaga injakannya itu, orang tadi
laksana burung waled sudah loncat turun dan menghilang
dalam kegelapan.
GAMBAR 96 Baru saja Ciok ji-soh keluar, segera dilihatnya Yan-chiu sedang
bertempur dengan seorang diatas genteng, cepat iapun melompat
Keatas untuk membantunya.
"Nona Yan, siapakah orang itu?" tanya Ciok ji-soh.
"Aku sendiripun tak melihatnya jelas, tapi dia memakai
dandanan seperti seorang hweshio dan mukanya memakai
kerudung. Apakah kau mendapat hasil?" sahut Yan-chiu
balas bertanya.
"Ai, sial benar. Tidak berhasil menemukan suatu apa
bahkan telah membuat Liok-cou gusar!" kata Ciok ji-soh
lalu menuturkan kejadian yang dialamin ya tadi.
"Akupun nihil. Baru hendak masuk keruang Lo-hantong, lampunya sama padam. Diluar pintu seperti ada
orang mengejar, lalu aku menyongsongnya, tapi tiada
tampak seorangpun jua. Ketika aku hendak balik masuk
kedalam ruangan itu lagi, tahu2 ada angin pukulan
menyambar dari belakang. Aku dipikatnya keatas genteng.
Rupanya kepandaiannya lebih unggul dari aku. Sewaktu
kau datang, dia segera ngacir tadi itu!"
Keduanya sama heran, tapi tak dapat memecahkan
rahasia kejadian tadi. Kala itu sudah tengah malam dan
Ciok ji-soh segera ajak Yan-chiu pulang lagi kekamarnya
saja. "Dengan menyelidiki cara begini, susahlah kita
mendapat hasil. Tadi Kiau loji mengatakan Hwat Siau dan
Swat Moay menyamar jadi hweshio, disamping itu ada lain
orang lagi yang mengacau dibelakang layar. Baik kita
rundingkan lagi siasat untuk menghadapi mereka!" kata
Ciok ji-soh. Tak lama setelah mereka berdua tiba dikamar, Kiau To
pun datang. "Aneh....., aneh......! Terang dalam ruang Lo-han-tong
terdapat seorang yang bersembunyi, tapi berulang kali
kuhardiknya dan 3 buah batu kulemparkan ternyata tiada
barang seorang manusia pun disitu!" Kiao To menerangkan
dengan menggerutu.
"Ah, kalau bukan si Hwat Siau dan Swat Moay siapa
lagi. Baik kita tunggu kedatangan suko saja!"
Tapi hampir lewat tengah malam, tetap Tio Jiang belum
muncul. (Oo-dwkz-tah=oO)
BAGIAN 53 : PATUNG HIDUP
"Bukan melainkan mempunyai kepandaian yang tinggi,
pun dia seorang yang cermat, seharusnya tak nanti dia
sampai lalai. Kalau menilik kejadian2 aneh yang kita, alami
tadi, jangan2 dia mendapat kesulitan!" kata Kiau To.
Juga Yan-chiu cemas, katanya: "Kedua suami isteri itu,
terutama yang perempuan (Swat Moay) kecerdasannya
tidak dibawah Cian-bin Long-kun. Bukan mustahil kalau
suko mengalami kesukaran dari mereka!"
Ciok ji-soh pun sibuk. Pada lain saat ia berbangkit. "Biar
kususulnya!" serunya.
"Aku ikut. Siao Chiu, kau tunggu dulu disini jangan
pergi ke-mana2!" serentak Kiau To menunjangnya.
Sebenarnya Yan-chiu tak suka ditinggal, tapi mengingat
kalau2 nanti Tio Jiang kembali kesitu dan tiada
mendapatkan seorangpun, tentu akan bingung, maka
terpaksa ia mengiakan. Tak lama sepeninggal Kiau To dan
Ciok ji-soh, Yan-chiu segera merasa kesepian. Dan kesepian
itu menimbulkan kerawanan hati yang bukan2. Setiap insan
tentu takkan terluput dari kematian. Mereka tiada gelisah
karena tak mengetahui apabila saat kematiannya itu tiba.
Bahwa mengetahui hari kematian itu adalah suatu siksaan
batin yang maha hebat, dirasakan sendiri oleh Yan-chiu.
Terkenang. akan nasibnya yang menyedihkan itu, tanpa
terasa air matanya bercucuran. Ketika ia hendak
mengusapnya, se-konyong2 matanya tertumbuk akan
seorang hweshio yang entah bilamana tahu2 sudah berada
dikamar situ. Mukanya memakai kain kerudung, tak lain yalah
hweshio yang memikatnya dari ruang Lo-han-tong tadi.
Siang tadi Yan-chiu titip pada salah seorang hweshio
supaya membelikan sebatang pedang. Pedang itu secepat
kilat dilolos dan diserangkannya dengan jurus it-wi-tokkang. Walaupun pedang itu benda "pasaran", tapi jurus
yang digunakan itu bukan olah2 hebatnya hingga seketika
itu ratusan sinar pagutan pedang memburu ketenggorokan
hweshio gadungan itu.
Tapi orang itu hanya ganda tertawa saja. Secepat dia
menyambar sebuah ciok-tay (tempat lilin) tring, ditangkisnya pedang Yan-chiu. Sebenarnya jurus it-wi-tokkang itu dapat diperkembangkan lagi dalam 7 perobahan.
Tapi. tekanan ciok-tay itu rasanya ber-puluh2 kati beratnya.
Hendak Yan-chiu menggerakkan pedangnya, tapi tak dapat.
"Kau siapa?" bentaknya dengan kaget.
Tangan kiri orang itu pe-lahan2 menyingkap kerudung
mukanya dan dengan tertawa menyahutlah dia: "Hampir
setahun suntuk berkumpul, masa cepat lupa?"
Ai....., kiranya si Swat Moay. Setan benar wanita itu,
untuk mencapai tujuannya, ia rela menggunduli rambut.
"Mengapa kau masih berada disini" Apa mau menunggu
mati"!" seru Yan-chiu dengan murka.
Swat Moay tertawa mengejek. "Entahlah, siapa yang
menunggu kematiannya disini nanti!" sahutnya.
Terpegang kandungan hatinya, Yan-chiu bungkam.
"Siao-ah-thau, sebaiknya kau omong terus terang saja,
bukankah rombonganmu belum mengetahui tempatnya
juga?" Mendengar bahwa fihak Hwat Siau dan Swat Moay
belum berhasil menemukan tempat simpanan harta karun
itu, diam2 Yan-chiu girang. Benar ia tinggal dua hari satu
malam nyawanya, tapi seketika itu ia tak merasa cemas
lagi. "Bagus, coba saja siapa nanti yang lebih dahulu
menemukannya!" sahutnya.
Tiba2 Swat Moay gontaikan tangannya. Entah senjata
rahasia macam apa yang dilepaskan itu, tapi tahu2 Ciu Simi yang tengah menggeletak dilantai situ sudah terbuka jalan
darahnya dan terus bangkit berdiri. Yan-chiu tak
membiarkan Swat Moay menolongi orang itu. Secepat kilat
berputar kebelakang, tangkai pedangnya disodokkan kejalan
darah orang she Ciu Itu. Cepat dan tepat gerakannya kali
ini, hingga Ciu Sim-i yang tak mengira sama sekali akan
serangan kilat itu, segera mendeprok lagi kelantai.
Yan-chiu sudah memperhitungkan, begitu ia menutuk
jalan darah Ciu Sim-i,
Swat Moay pasti
akan menolonginya. Maka secepat habis memberesi Ciu Sim-i,
secepat itu pula ia sudah berputar kebelakang lagi untuk
songsongkan ujung pedangnya kearah Swat Moay.
Melihat gerakan yang lihay dari sinona itu, bukannya
turun tangan tapi sebaliknya Swat Moay malah menghamburkan pujian: "Ilmu pedang yang lihay, gerakan
yang bagus ! Hanya sayang sekali, walaupun sebelah
kakinya melangkah ketingkat kepandaian yang sempurna,
sebelah kakinya yang satu lagi sudah masuk kepintu akhirat
!" Lagi2 hati Yan-chiu tersayat dengan ucapan Swat Moay
ftu. Tubuhnya serasa lemas tak bertenaga. Swat Moay
bersorak dalam hati. "Siao-ah-thau, kau tak ingin mati
bukan?" bujuknya dengan nada merayu.
Sedemikian halus merawan rayuan itu hingga timbullah
pertentarigan dalam batin Yan-chiu. Mati melawan
penjajah mati sahib namanya. Kematian yang berharga
sekali. Ini ia tiada menyesalkan sedikitpun juga. Tapi dalam
hati kecilnya, sesungguhnya ia tak ingin mati. Ya, dara
yang menginjak masa sweet seventeen (17 tahun) adalah
ibarat sekuntum bunga yang tengah memperkembang
biakkan keharumannya, jadi siapakah yang suka disuruh
mati" Dalam dua hari ini, Yan-chiu pun mempunyal
perasaan begitu: "Tak rela mati tak suka mati."
Bahwa bujuk rayuan yang sedemikian merawankan Itu
telah mencengkeram kalbunya itulah sudah jamak. Maka
tanpa diinsyafinya Iagi, menyahutlah ia dengan serta merta
: "Ah, sudah barang tentu tak suka mati !"
Itu hanya menurutkan suara hatinya. Maka dikala sang
pikiran sadar, buru2 ia menyusuli dengan kata2 bengis:
"Apa pedulimu?"
Tapi Swat Moay menertawakan, ujarnya: "Kalau tak
suka mati, itulah mudah. Tetap kau ikut mereka untuk
mencari tempat harta itu, begitu berhasil kau harus
membakar tumpukan kayu bakar yang kusediakan ditempat
pagoda itu. Dan kala itu, jalan darahmu tentu akan kubuka.
Ingat, waktunya hanya tinggal 2 hari satu malam saja, kalau
tak berhasil menemukan, kau boleh terima nasib saja. Kalau
kau menurut perintahku ini, tentu bakal selamat. Untuk
kepercayaan itu, Hwat Siau dan Swat Moay masih suka
memberikan !"
Selama mendengari kata2 Swat Moay itu, Yan-chiu
termangu2 saja. Habis memberi "tekanan" itu, tanpa
menunggu jawaban orang Swat Moay segera sudah melesat
keluar. Lewat beberapa saat kemudian, barulah Yan-chiu
tersadar: "Jangan kau ........ ngaco belo!" serunya. Dua perkataan
yang terdahulu, diucapkan dengan keras, karena mengira
Swat Moay masih berada disitu. Tapi dua patah yang
dibelakang nadanya sudah lemah, karena sudah diketahui
kalau Swat Moay ternyata sudah menghilang. Saking
tergetar perasaannya, sampaipun telapak tangan Yan-chiu
basah dengan keringat dingin.
Kembali Yan-chiu merasa kesepian. Karena sukonya
tetap belum datang, ia segera berjalan keluar dan berhenti
dibawah lonceng besar dari gereja itu. Hatinya makin sunyi
rawan. Tanpa terasa kakinya mengayun langkah. Tiba2
dilihatnya disebelah muka ada sebuah bayangan hitam.
Ketika mendongak mengawasi, kiranya itulah bayangan
dari pagoda Hwat-tha (tempat menyimpan rambut Liokcou). Yakni pagoda yang dijanjikan oleh Swat Moay tadi.
"Ai....., mengapa aku datang kemari?" keluhnya dengan
suara tak lampias. Tapi pada lain saat hatinya serasa
berbicara sendiri: "Bukantah kau sendiri yang datang
kemari?" Kesedihan dan kecemasan berkecamuk menjadi satu
dalam rongga hati Yan-chiu. Begitu hebat rasa itu
mencengkeramnya, hingga sesaat kepalanya terasa pening
dan matanya ber-kunang2. Karena gemetar tak dapat
berdiri dengan jejak, iapun duduklah ditanah. Dalam
kesesakan napas, matanya tertumbuk akan seonggok kayu
bakar yang tertumpuk dimuka pagoda itu. Melihat itu,
telinganya serasa me-ngiang2 lagi dengan nada ucapan
Swat Moay tadi ....... "begitu berhasil, kau harus lekas2
membakar tumpukan kayu yang kusediakan ditempat
pagoda itu ....... untuk kepercayaan itu, Hwat Siau dan
Swat Moay masih tetap suka memberikan" ................
Yan-chiu dekap telinganya, supaya menghilangkan suara
itu. Tapi rasanya suara itu tetap mengiang-ngiang dianak
telinganya. Saking gusarnya, serentak ia berbangkit dan lari
membabi buta menuju kearah timur. Karena tak
menghiraukan suatu apa, se-konyong2 kakinya tersandung
pada suatu benda dan terpelantinglah ia sampai tiga empat
meter jauhnya. Kalau saja ilmunya mengentengi tubuh tak
lihay dan tempo hari tak minum mustika batu, tentu
jatuhnya itu akan tele2 dan babak belur.
Cepat2 ia bangun dan ketika mengawasi kepada benda
yang membentur kakinya tadi, kiranya itulah sebuah benda
bulat yang menonjol keatas kira2 seperempat meter
tingginya. Ia meringis, tapi dalam kesialannya itu ia
mendapatkan kesadarannya lagi. Itulah disebabkan karena
rasa kaget, sehingga pikirannya terang kembali. Serta sadar,
didapatinya dirinya berada diluar gereja, hal mana
membuatnya terperanjat sekali. Bukantah kalau nanti
sukonya kembali dan tak mendapatkan dirinya (Yan-chiu),
dia pasti akan mencarinya" Dengan begitu, tentu akan
saling cari mencari nanti.
Tapi dimanakah kini ia berada itu" Tadi karena lari
membabi buta, hingga sampai tersesat. Kini setelah mencari
arah dengan seksama, ia mengambil putusan menuju
keruang Tay-hiong-tian lebh dahulu. Begitulah segera ia
ayunkan langkah kesana. Tapi ketika melalui benda hitam
yang membentur kakinya tadi, se-konyong2 is dapatkan
benda itu seperti memancarkan sinar cahaya berkilau.
Buru2 ia berhenti untuk memeriksa. Astaga, kiranya itulah
sebuah mulut perigi (sumur)!
Perigi itu memang aneh, tingginya dipermukaan tanah
hanya kurang lebih seperempat meter saja. Tapi ketika ia
menjenguk kedalamnya, ternyata lubangnya sangat dalam
sekali, airnya berkilauan memantulkan hawa dingin. Yanchiu lalu tinggalkan tempat itu tapi baru saja sang kaki


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah, tiba2 ia merasa dalam pantulan cahaya perigi
itu amatlah anehnya. Permukaan air yang ditimpah oleh
cahaya bintang telah menimbulkan pancaran-balik (refleksi)
mengkilap bagaikan perak, tercampur biru gelap dan sedikit
ke-hijau2an. Yan-chiu coba mengisar kesamping sedikit dan
cahaya itupun tak kelihatan lagi. Mengawasi ke cakrawala,
tampak rembulan masih dalam bentuknya sisir (tanggal
muda). "Mungkinkah harta karun itu berada disini?" tiba2 terkilas suatu pikiran olehnya. Tapi pada lain saat ia
menertawai pikirannya itu sendiri. Desas desus tentang kimjianggiok-toh yang sudah ber-tahun2 tersiar itu, tentunya
berada didalam patung sehingga sukar diketemukan. Kalau
berada, didalam sumur, cukup dengan menguras (mengambil) airnya, sumur itu pasti kering dan harta
karunpun mudah diketemukan.
Memikirkan soal harta karun teringatlah ia akan
ancaman Swat Moay tadi. Seketika timbullah khayalannya:
apabila benar2 ia nanti dapat menemukan harta itu, adakah
ia hendak menyulut kayu bakar Itu" Ah, pening kepalanya
memikirkan hal itu. Tadi karena ia bingung memecahkan
persoalan Itu, ia sampai lari tak karuan dan tersesat disitu.
Memang soal "kebenaran" itu tak semudah seperti yang
diucapkan oleh mulut anak kecil. Kalau nanti dirinya
dihadapkan dengan kenyataan, belum tentu dia akan dapat
mengambil keputusan yang tepat!
Sampai sekian saat Yan-chiu ter-mangu2 disisi perigi itu.
Setelah itu ia menuju keruangan besar. Ditengah jalan
dilihatnya diatas atap ada orang ber-lari2an. Mata Yan-chiu
yang tajam segera dapat mengenalinya itu sebagai Hwat
Siau dan iapun tak menghiraukan lagi terus kembali
kekamarnya. Disitu Kiau To dan Ciok ji-soh sudah
menunggu, tapi Tio Jiang tetap belum kelihatan.
"Kemana Tio Jiang" Kau tadi kemana saja" Jangan2 dia
tadi sudah datang dan pergi lagi! Dan Ciu Sim-i ini
mengapa sudah mampus ?" ber-tubi2 Kiau To menyambutnya dengan pertanyaan.
Yan-chiu menelan ludahnya dan menyahut dengan terbata2 "Aku ...... akupun bingung juga, baru aku hendak
keluar dia (Ciu Sim-i) telah berhasil membuka jalan
darahnya dan hendak melarikan diri, maka terus
kubunuhnya!"
Entah apa sebabnya ia sendiri tak tahu, mengapa ia tak
mau menceritakan kedatangan Swat Moay tadi. Turut adat
perangainya, mulut amat tangkas bicara, lebih2 terhadap
orang sendiri tak pernah ia menyimpan rahasia. Heran,
mengapa kali ini ia sampai ter-putus2 bicaranya apalagi
mau berbohong. Kiau To tak memperhatikan ciri2 itu dan hanya
menuturkan rencananya: "Siao Chiu, untuk mencari Ang
Hwat cin jin, sukarlah rasanya. Tapi menurut pendapatku,
apabila bisa mendapatkan suhuku, itu sudah cukup,
Kuingat dahulu Thian Te Hui memelihara berpuluh ekor
merpati pos untuk mengirim berita. Burung itu luar biasa
pintarnya. Kupikir untuk melepaskan mereka lagi keempat
penjuru. Siapa tahu, suhu tentu akan dapat menerima
berita, itu!"
Girang Yan-chiu mendengar itu, tapi pada lain saat
tawar pula hatinya karena walaupun harapan itu ada
namun tipis sekali kemungkinannya.
"Kalau memangnya sudah suratan nasibku, biarlah aku
binasa. Usah membuat sibuk Tay Siang Siansu dan lain2
orang," ujarnya dengan tersenyum pahit.
Brak......, tiba2 Kiau To meninju meja hingga hancur,
"Kau tak nanti kami biarkan mati, apakah kau tak mengerti
akan perasaan orang?"
Yan-chiu terbeliak kaget dan menatap Kiau To.
"Ai....., Siao Chiu," Kiau To menghela napas,
"bagaimana sampai hati kami membiarkan kau meninggal "
Ai..... , memang perangaiku ini berangasan harap kau
jangan marah!"
"Bagus, itulah sifat ksatrya namanya! Barang siapa yang
marah, aku tentu menentangnya!" seru Ciok ji-soh sambil
tunjukkan jempolnya.
Berhadapan dengan dua tokoh yang berwatak lurus terus
terang, hati Yan-chiu terhibur juga. Kiau To segera menuju
kedusun Cek-wi-hong untuk mengambil merpati2 pos itu.
Setelah diikat dengan surat untuk Tay Siang siansu, maka
ber-puluh2 burung itu dilepaskannya. Ketika burung2 itu
meluncur keangkasa, mendoalah Kiau To: "Merpati,
merpati! Jiwa Yan-chiu, tergantung padamu!"
Pada masa Thian Te Hui masih jaya, merpati2 itu dilatih
untuk mengirim surat keberbagai penjuru. Jadi apabila Tay
Siang siansu masih berada diwilayah Kwicu, tentulah akan
diketemukan. Sepeninggal Kiau To, tiba2 pintu kamar digereja itu
didebur keras dan masuklah Tio Jiang dengan wajah pucat.
Serta masuk, mulutnya segera berhamburan dengan kata2
aneh: "Huh, aneh, aneh sekali! Masakan didunia ini
terdapat peristiwa segaib itu, kalau tak menyaksikan dengan
mata kepala sendiri, biar dibunuh mati tak nanti aku mau
mempercayai !"
"Keanehan apa, lekas katakan!" seru Ciok ji-soh. Tapi
sebaliknya melihat sukonya ter-sengal2, Yan-chiu menyuruhnya beristirahat dulu sebentar. Setelah memulangkan napas, barulah Tio Jiang mulai menutur:
"Posat dari Kong Hau Si ini dapat mengeluarkan kesaktian.
Percaya atau tidak itu terserah padamu !" .
Ciok ji-soh tertawa geli, ujarnya: "Siao-ko-ji (engkoh
kecil), seperti aku, kau tentu berpapasan dengan Hwat
Siau!" Ciok ji-soh lalu tuturkan pengalamannya sendiri diruang
Liok-cou-tian. Tapi untuk keherannya, Tio Jiang menggeleng, sahutnya: "Bukan, bukan begitu. Hwat Siau
seorang yang bertubuh kurus kering. Tapi yang kulihat
diruang Sui-hud-kek itu, adalah sebuah patung Bi-lek-hud
yang perutnya gendut dan tubuhnya pendek. Masakan aku
tak dapat membedakannya?"
Ciok ji-soh cepat2 mendesaknya supaya menceritakan
kejadian itu. "Sekeluarnya dari sini, asal ketemu patung atau arca,
baik kecil maupun besar, tentu kuamat-amati dengan
perdata. Tapi kesemuanya itu tak mengunjukkan tanda
apa2," Tio Jiang mulai menutur, "tiba diruang Sui-hud-kek,
disitu penerangannya terang benderang. Kukira hal Itu
adalah perintah dari pengurus gereja, tapi anehnya disitu
tiada terdapat barang seorang hweshiopun yang tengah
membaca kitab. Dengan loncat dari jendela kumasuk dari
belakang ruangan itu. Disitu aku sudah dikejutkan oleh
sebuah patung setinggi orang, yang tampaknya tengah
deliki mata kepadaku. Kemudian setelah masuk kedalam
ruangan, kembali semangatku terbang demi melihat patung
Bi-lek-hud yang berada disitu, nampaknya sedang
menyeringai tertawa kepadaku !"
"Ai, mungkin pandanganmu kabur!" tukas Ciok-ji-soh.
"Memang orang tentu menganggap mataku kabur. Tapi
demi kumendekati untuk memeriksanya, tiba2 dari arah
belakang terdengar suatu suara dan cepat2 kuberputar si,
celaka.......... kiranya hanya seekor kucing loncat dari
jendela. Baru kuhendak berpaling kemuka lagi, punggungku
terasa ditiup oleh hawa panas! Saat itu aku sudah berdiri
didekat. patung Bi-lek-hud dan disitu tiada barang
seorangpun kecuali patung itu. Saking kaget ketakutan, aku
segera loncat keluar dari jendela lagi dan sekali enjot kaki
aku melayang keatas wuwungan. Dari situ dengan
mengaitkan kaki pada tepian wuwungan, kuayunkan
tubuhku untuk melongok kebawah. Ah, benar juga
diruangan situ tiada barang seorang manusiapun kecuali
patung Bi-lek-hud yang masih tetap tertawa berseri itu !
GAMBAR 97 "...... saking kagetnya cepat aku melompat keluar dan
mengaitkan kakiku keatas emperan dan tubuhku menggantung
kebawah untuk melongok kedalam .......... " demikian Tio Jiang
bercerita. "Kuberanikan diri lagi untuk masuk dan menghampiri
patung hud itu.
"Kumengangguk kepada Bi-lek-hud itu dan astaga, Bilek-hud yang hanya sebuah patung ternyata dapat
mengeluarkan suara seperti kayu berkereyotan !"
"Hai, sudahlah! Teranglah patung itu penyaruan dari
manusia!" tukas Ciok ji-soh dengan serentak.
"Benar, memang lwekang Hwat Siau itu bukan olah2
saktinya. Kalau dia mengempos dada, tubuhnya dapat
berobah menjadi gemuk. Ya, aku sudah pernah menyaksikannya sendiri!" Yan-chiu turut menimbrung.
Tio Jiang lanjutkan pula ceritanya dengan kurang
bernapsu: "Ah, dia telah menghambat pekerjaan kita.
Memang kala itu siapa yang tak ketakutan menampak ada
patung dapat tertawa, dapat meniup hawa" Begitulah aku
segera tinggalkan ruangan itu dan menuju keruang Lo-hantong. Tapi begitu masuk, disitu gelap sekali hi, aneh, kalau
benar Hwat Siau adanya, mengapa dia tak mencelakai
aku?" "Perlu apa mereka hendak mencelakaimu sekarang"
Bukantah lebih banyak orang yang mencari harta itu, lebih
baik baginya. Nanti apabila sudah diketemukan rasanya
belum terlambat untuk membunuhmu!" kata Yan-chiu.
"Ah, masa ada orang sekejam itu hatinya! Siao Chiu, kau
tentu mengalami penderitaan selama setahun ikut mereka."
Yan-chiu berpaling ketempat yang agak gelap untuk
menghapus air matanya. Sedang Ciok ji-soh lalu
memberitahukan Tio Jiang tentang kepergian Kiau To tadi.
Oleh karena mereka bertiga tak mempunyai lain rencana
yang bagus, terpaksa mereka hanya duduk diam disitu
menunggu kedatangan Kiau To, siapa syukurlah tak lama
sudah muncul. "Usaha kita pada malam ini, rasanya sudah cukup
sampai disini dulu. Mengingat hubungan antara suhu
dengan Yan-chiu, rasanya beliau tentu takkan membiarkan
begitu saja!" kata Kiau To.
Begitulah mereka lalu beristirahat dan malam itupun
tiada kejadian apa2 yang penting.
---oo-dwkz0tah-oo--BAGIAN 54 : ASMARA MURNI
Sekarang mari kita ikuti perjalanan Ciok Siao-lan sigadis
hitam manis yang hendak menyusul The Go ke Lo-hu-san.
Ditengah jalan ia menghajar dua orang kongcu (anak
orang hartawan atau pembesar). Tanpa hiraukan mereka
ber-kaok2, nona itu segera cemplak kuda mereka terus
dicongklangkan se-kencang2nya. Antara Kwiciu ke Lo-husan hanya seperjalanan seratusan li jauhnya. Dua ekor kuda
kedua kongcu tadi, dengan bergiliran dinaikinya. Oleh
karena kedua ekor kuda itu termasuk kuda2 pilihan maka
belum setengah malam saja, dapatlah ia tiba digunung itu.
Tapi begitu ia kendorkan kendali, kedua ekor kuda Itu
segera mendeprok ketanah. Kiranya kedua bintang itu
sudah putus jiwanya saking kelelahan.
"Siapa"!" tegur seorang peronda malam demi Siao-lan
menginjak puncak Giok-li-nia.
"Aku, perlu apa banyak bertanya ini itu" Aku hendak
mencari Cian-bin Long-kun The Go!"
Kala itu The Go sudah diseret kelapangan untuk sesaji
sembahyangan bendera. Sudah tentu para penjaga malam
menduga kalau nona itu hendak menolongi The Go.
Seketika itu tampillah lima orang penjaga dan memakinya:
"Budak hina, serahkan tanganmu untuk diringkus!"
Trang...., trang...... dalam gusarnya Siao-lan sudah
menyengkelit rubuh salah seorang dari penjaga malam itu,
lalu menobros masuk.
"Jangan lepaskan budak hina itu!" riuh rendahlah
kawanan penjaga itu ber-teriak2 untuk memberi peringatan
kepada kawan2nya.
Siao-lan gugup dan mainkan garu penusuk ikan dengan
gencar. Walaupun la berhasil merubuhkan beberapa orang,
tapi kawanan penjaga itu makin lama makin banyak
jumlahnya. Suara hiruk pikuk mereka telah membikin kaget
Ki Ce-tiong siapa terus loncat menyongsongnya dengan
tongkatnya. Siao-lan makin kalap. Tanpa menghiraukan setan belang
lagi, begitu ada sesosok tubuh melayang datang, ia segera
menusuknya. Tapi melihat pengacau itu hanya seorang


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wanita, Ki Ce-tiong buang senjatanya lalu julurkan jarinya
untuk menyambar senjata lawan.
"Lepas!" serunya sembari menyentak se-kuat2nya.
Siao-lan rasakan tangannya kesemutan dan tahu2
senjatanya berpindah ketangan lawan (Kiau To) yang
segera menimpukkannya kearah sebatang puhun yang
berada didekat situ. Baru penusuk ikan itu menyusup
masuk sampai beberapa centi dalamnya, tangkainya bergoyang2. Gegap gempita, para anak buah Thian Te Hui
menyaksikan kelihayan pemimpinnya.
"Hai, kiranya kaukah?" tegur Ki Ce-tiong demi
mengetahui siapa lawannya tadi.
"Jangan banyak bicarakan yang tidak2, mana Cian-bin
Long-kun!" sahut Siao-lan dengan dada berombak.
Ki Ce-tiong pernah melihat sekembalinya dari kepulauan
Lam-hay, Li Seng Tong membawa nona itu ber-sama2 ke
Kwiciu. Maka diapun lalu menanyakan mengapa nona itu
tidak berada pada Li Seng Tong tapi datang ke Lo-hu-san.
"Mencari The Go!" sahut Siao-lan dengan tegas.
Sebagai seorang gadis, sebenarnya tak pantas ia berkata
begitu. Tapi tersurung oleh panggilan hati, ia buang rasa
malu dan menyatakannya dengan terus terang.
"Mengapa mencarinya?" tanya Ki Ce-tiong terkesiap.
Tengah mereka bertanya jawab, muncullah Ceng Bo
siangjin kesitu dan bertanya: "Baiklah Ki-heng bawa ia naik
keatas gunung dulu, nanti ditanyai lagi!"
Ditengah perjalanan Siao-lan menuturkan maksud
kedatangannya. Baik Ki Ce-tiong maupun Ceng Bo adalah
orang2 yang mempunyai hati welas asih. Mereka kasihan
pada Siao-lan, tapi teringat bahwa The Go sudah buntung
kakinya, mereka saling berpandangan. Setiba di Giok-li-nia,
berkatalah Ceng Bo: "Nona Ciok, boleh dikata setiap orang
persilatan tentu menghendaki jiwa Cian-bin Longkun.
Adakah kau mengetahui hal itu ?"
"Sudah tentu aku tahu, kalau tidak masakan aku
korbankan diri untuk menebus dosanya?" sahut Siao-lan.
Ceng Bo terdiam sejenak, lalu berkata pula: "Kali ini
dalam pembentukannya yang kedua kali, Thian Te Hui
telah memutuskan untuk membuatnya sesaji sembahyangan
bendera........."
"Jadi engkoh Go sudah meninggal"!" tukas Siao-lan
dengan serempak.
Ceng Bo menghela napas, ujarnya: "Mati sih
belum........"
Baru mendengar sampai disini, kedengaran Siao-lan~
menghembuskan napas longgar. Dapat dibayangkan betapa
kasih sayang nona hitam manis itu kepada The Go.
"Nona Ciok, baiklah kuberitahukan padamu tapi harap
kau jangan berduka. Kedua kaki The Go kini sudah
buntung!" Siao-lan terbeliak kaget, tapi pada lain saat wajahnya
mengunjuk pendirian yang teguh, serunya: "Asal dia itu
tetap engkoh Go, sekalipun hanya mempunyai sebuah jari,
tetap tiada bedanya!"
Ceng Bo dan Ki Ce-tiong tak dapat berbuat apa2. Dalam
kebatinan mereka hanya mengharap, setelah mendapat
pelajaran yang pahit itu, mudah2an anak muda itu kembali
kejalan yang benar, sehingga dapat ber-sama2 Siao-lan
melewati sisa penghidupannya dengan bahagia.
Tapi dalam pada itu, Ceng Bopun teringat akan nasib
puterinya sendiri Bek Lian, bidadari yang menjelma didunia
ini rela mencukur rambut menjadi rahib (nikoh)
dikarenakan perbuatan yang tak bertanggung jawab dari
The Go. Siangjin itu memanjatkan doa mudah2an puterinya
diberi keteguhan imam dalam usahanya menebus dosa itu.
Diam2 dia mengakui, bahwa hanya dalam waktu dua
tahun, saja, didalam penghidupannya telah terjadi
perobahan yang besar.
Sembari ber-cakap2 itu, tibalah mereka dimuka sebuah
pondok. "Nona Ciok, silahkan kau masuk sendiri!" ujar
Ceng bo. Membayangkan bahwa dalam beberapa kejab lagi la
bakal berjumpa dengan pemuda tambatan jiwanya, tanpa
terasa hatinya berdeburan keras. Mendorong pintu
didapatinya dalam pondok itu remang2 penerangannya,
karena disitu hanya terdapat sebuah pelita dengan
sumbunya sebesar biji kedele. Sesosok tubuh membujur
diatas pembaringan. Air mata kegirangan dan kesedihan,
ber-ketes2 membasahi kedua belah pipinya.
Dengan ber-indap2 ia mendekati pembaringan itri. Disitu
dihapusnya air matanya, kemudian setelah tertegun
beberapa jurus, barulah mulutnya kedengaran memanggll
dengan berbisik: "Engkoh Go...., engkoh Go.....!"
Tapi baru dua kali ia memanggil, pecahlah tangisnya
tersedu sedan ............
---oodwkz-0tah-oo--Telah diterangkan dimuka bahwa sepasang kaki The Go
telah dipapas kutung oleh Ceng Bo siangjin. Syukur Kang
Siang Yan keburu datang menolongi dan memberi obat
penghenti darah. Ceng Bo pun berpendapat bahwa dengan
sudah menjadi invalid begitu, The Go tentu akan sudah
insyaf, maka diapun malah memberikan obat juga.
The Go dibawa kesebuah pondok. Ketika tersadar, dia
tak berkata apa2. Hanya dalam hatinya ter-bayang2 akan
tingkah laku Ceng Bo siangjin dan orang2 Thian Te Hui
terhadap dirinya. Betapapun jahatnya seseorang, tapi dalam
nuraninya dia tentu masih mempunyai setitik hati yang
baik. Demikianlah The Go yang pada saat itu mendapat
penerangan bathin, menyesal atas perbuatan2nya yang lalu.
Dalam keadaan limbung antara sadar tak sadar karena
lukanya itu, hatinya selalu mengacai (bercermin muka)
kehidupan yang dituntutnya selama ini. Matanya meram
tapi hatinya melek. Ketika ada suara berisik orang bercakap2 diluar, dia kira kalau orang2 Thian Te Hui. Sebagai
orang yang masih mempunyai rasa malu, dia lalu pura2
tidur tak mau menemui mereka. Bahkan ketika ada orang
berseru "engkoh Go", dia tetap tak percaya pendengarannya. Dia serasa mengalami "impian ditengah
hari" (sesuatu yang mustahil).
Namun dia paksakan diri untuk menggeliat, demi
tampak Ciok Siao-lan berdiri dihadapannya, dia tetap
belum percaya. Dia meramkan pelapuk matanya dan
mengenangkan kejadian pada 2 tahun berselang. Ditempat
itu (Lo-hu-san) jugalah Ciok Siao-lan telah mengusapkan
keringat dimukanya (The Go), tapi dia malah menjadi gusar
dan melukainya. Dia merasa, dalam kehidupannya itu,
banyak nian menyakiti hati dan mencelakai orang. Tapi
yang paling hebat sendiri, yalah menyakiti hati dua orang
gadis. Yang satu Bek Lian dan yang lain Ciok Siao-lan.
Melihat wajah Cian-bin Long-kun pucat lesi bagai kertas,
hati Siao-lan serasa disayat dengan sembilu. Seketika
pecahlah tangisnya mengiring air mata. Lari menubruk
kemuka, berserulah ia: "Engkoh Go, kau bagaimana" Aku
ini Siao-lan, Siao-lan yang selalu setia menyintai kau!"
Kini barulah The Go tahu bahwa dirinya masih sadar
dan bahwa yang dilihatnya itu benar Siao-lan. Dirangsang
oleh rasa kemenyesalan, air matanya berhamburan keluar.
"Engkoh Go, bagaimanapun juga Po-sat masih
melindungi. Kalau aku tak mengunjungi gereja Kong Hau
Si dan berjumpa dengan Tio Jiang dan Liau Yan-chiu, tentu
aku tak tahu kau berada disini. Kini syukurlah aku telah
dapat menjumpaimu, aku .............. takkan meninggalkan
kau lagi. Engkoh Go, ayuh kita cari tempat yang sunyi
untuk beristirahat dengan tenang," sebentar menangis
sebentar tertawa Siao-lan membawakan kata2-nya.
The Go mencekal erat2 tangan nona itu tanpa mengucap
sepatah katapun. Tak berapa lama haripun sudah terang
tanah. Dengan selimut Siao-lan menggendong The Go
keluar dari pondok itu. Ketika berpapasan dengan Ceng Bo,
The Go tundukkan kepala tak berani memandangnya. Ceng
Bo nasehati Siao-lan jangan buru2 membawa pergi The Go,
karena lukanya masih belum sembuh betul. Tapi Siao-lan
tak kena dicegah.
GAMBAR 98 Siao-lan membungkus The Go dengan sehelai selimut, lalu
memondongnya meninggalkan Ceng Bo Siangjin dan kawan2 nya
di Lo-hu-san...........
Begitulah singkatnya saja, besok tengah malam, mereka
sudah tiba digereja Kong Hau Si.
"Kita menghaturkan terima kasih dahulu kepada Po-sat,
setelah itu kita tinggalkan dunia ramai ini untuk mencari
ketenangan hidup!" kata Siao-lan. Dia berteriak minta
pintu, tapi belum ia melangkah keruang Tay-hiong-po-tian,
tiba2 muncullah sesosok tubuh yang bukan lain adalah Tio
Jiang. "Hai, kiranya kau, Ciok Ji-soh telah lama menunggumu!" ujar Tio Jiang.
Dengan girang sekali Siao-lan minta Tio Jiang
membawanya kepada kakak iparnya itu. Tiba dikamar
mereka, disana sudah kelihatan Kiau To, Ciok Ji-soh dan
Yan-chiu tengah berpikir keras. Kiranya tempat penyimpan
harta karun itu masih belum dapat diketemukan. Dalam
pada itu, nyawa Yan-chiu hanya tinggal sehari dua malam
saja. Sebagai seorang wanita yang beradat lurus, Ciok Ji-soh
tuturkan semua kejadian pada Siao-lan, termasuk diri
Yanchiu. Tiba2 berkatalah The Go: "Aku yang rendah
hendak menghaturkan suatu pendapat, entah saudara2
disini suka mendengarkan tidak."
Walaupun tahu kalau tadi Siao-lan membawa masuk
The Go, tapi selama itu Kiau To dan Tio Jiang tak
menghiraukannya. Mendengar orang yang dicap sebagai
penghianat itu hendak menyatakan sesuatu, diam2 Kiau To
dan Tio Jiang memakinya. Tapi kata2 makian itu
ditelannya kembali karena teringat bahwa si Cian-bin Longkun itu seorang pemuda yang cerdik cendekia. Dalam hal
kecerdasan, jarang terdapat ta.ndingannya didunia persilatan. Bahwa hanya karena salah asuhan sajalah, maka
orang muda itu telah tersesat menjadi seorang penghianat.
Rasanya tiada ada jeleknya untuk mendengarkan buah
pikiran orang muda itu. Begitulah tanpa berjanji
sebelumnya, Kiau To dan Tio Jiang saling menukar isyarat
mata, masing2 setuju untuk mendengarkan apa yang
hendak dikatakan orang itu. Kiau To yang perangainya
kaku, tak mau bicara apa2. Tapi Tio Jiang yang jujur,
segera membuka mulut: "Entah Cian-bin Long-kun
mempunyai buah pikiran apa?"
"Huh, apa2an dia!" Yan-chiu ber-sungut2.
The Go tak mau menghiraukan, setelah mengatur napas,
berkatalah dia: "Kurasa tempat harta karun itu, sangat pelik
sekali. Yang disuruh menyembunyikan harta itu oleh Thio
Hian-tiong, tentulah orang2 kepercayaannya. Bahwa orang
persilatan sampai dapat mendengar soal harta karun itu,
tentulah siasat anak buah Thio Hian-tiong itu sendiri untuk
membuang bekas. Entah bagaimana pendapat saudara2
tentang penilaianku itu!"
Kiau To berempat seperti disadarkan.
"Wahai, mengapa kita tak dapat memikir sampai disitu"
Hal itu sesungguhnya amat sederhana sekali!" seru mereka.
Didalam hati mereka mengagumi kecerdasan The Go.
Setelah mengambil napas, The Go melanjutkan pula
kata2nya: "tapi Thio Hian-tiong bukannya tak mengetahui
bahwa betapapun rahasianya tempat harta itu, namun pasti
bakal diketahui orang. Tapi dia sudah memperhitugkan,
dikala orang2 sama mencari kim-jiang-giok-toh ........ Hai,
bukantah, saudara2 mengatakan bahwa Hwat Siau dan
Swat Moay berada didalam gereja ini" Kata2ku tadi tentu
dapat dicuri dengarnya!"
Oleh karena pada saat itu Kiau To dan Tio Jiang sudah
menaruh kepercayaan pada The Go, maka mereka berdua
segera memburu keluar untuk memeriksanya. Benar juga,
tampak ada dua sosok bayangan hitam lari kearah utara.
Ditilik dari arah berangkatnya, mereka tentu habis berada
disitu, "Mereka benar mendengari diluar. Tapi kini mereka
sudah lari jauh, The-heng tak usah kuatir apa2 lagi!" kata
Kiau To dengan geramnya.
Bahwa mulut seorang berangasan macam Kiau To
meluncurkan kata2 "The-heng" (saudara The), telah
membuat semangat The Go timbul lagi. Setelah merenung
sejenak, tangannya menuding kearah luar jendela dan
mulutnya segera berkata : "Tapi akupun hanya men-duga2
saja. Kata orang 'yang kosong itu berisi, yang isi itu kosong'.
Harta karun disembunyikan didalam perut arca. Hanya
karena sangat dirahasiakan sekali, jadi orang tak dapat
menemukannya dan lalu mengambil kesimpulan harta
karun itu sebenarnya tak ada. Dan anggapan itu, dapat
menyelamatkan harta karun itu!"
Diantara keempat orang itu, Ciok Ji-sohlah yang paling
lamban ( tumpul ) otaknya. Diam2 ia memaki pada anak
muda itu yang dikatakan jual petai kosong (membual atau
omong kosong) saja.
Sebaliknya Yan-chiu cukup cerdas untuk menangkap


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maksud si Cian-bin Long-kun. Melongok keluar jendela
didapatinya suami isteri Hwat Siau - Swat Moay itu baru
saja loncat kearah wuwungan rumah disebelah muka untuk
lari pergi. Berputar kedalam ruangan, memujilah Yan-chiu:
"Cian-bin Long-kun, aku tunduk padamu!"
"Kali ini mereka benar2 pergi. Dengan Ilmunya
mengentengi tubuh, bukan mustahil kalau mereka dapat
pergi datang secepat kilat!" kata The Go.
Kini barulah Ciok Ji-soh tahu mengapa The Go berkata2 begitu tadi. Kiranya memang sengaja diperdengarkan
kepada Hwat Siau - Swat Moay yang mendekam diluar
jendela. Juga Kiau To dan Tio Jiang merasa kagum atas
kecerdikan The Go. Dalam soal kecerdasan, mereka berdua
mengaku kalah jauh dengan Cian-bin Long-kun. Kini
mereka mencurahkan perhatian untuk mendengarkan apa
yang hendak dikatakan The Go lebih lanjut.
Dengan membawa lukanya Itu, sebenarnya semangat
The Go lemah sekali. Digendong Siao-lan menempuh
perjalanan yang sedemikian jauhnya itu, luka2 dipahanya
kambuh lagi dan mengucurkan darah pula. Tapi demi
dilihatnya orang2 yang dahulu membencinya tujuh turunan
kini mengunjuk sikap mengindahkan kepadanya, hatinya
menjadi besar. Bukan karena gila hormat, tapi karena insyaf bagaimana
bedanya semangat perjoangan ber-api2 yang diunjuk oleh
Tio Jiang dan kawan2 dalam membela negara dan bangsa,
dengan kelakuannya (The Go) yang selama itu hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri serta mencelakai
saudara2 sebangsa.
"Tegasnya, kalau hanya men-cari2 pada semua arca
digereja itu, tentu akan sia2. Walaupun bangunan gereja
Kong Hau Si ini sedemikian besarnya, tapi rasanya dapat
juga diselidiki sampai habis!" habis berkata itu napas The
Go tampak ter-sengal2 kepayahan. Buru2 Siao-lan
menasehatinya supaya jangan berbanyak bicara dulu.
Tapi The Go tak menghiraukan, ujarnya: "Sudah
beberapa hari kalian berada digereja ini, masakan
dikompleks (lingkungan) gereja ini tiada terdapat tempat
yang agak mencurigakan?"
Mendengar itu Yan-chiu seperti disadarkan. Teringat ia
sumur kecil yang membentur kakinya itu, seperti
memancarkan cahaya yang aneh. Tapi di-pikir2 rasanya
mustahil harta karun itu berada didalam sumur yang
sedemikian ke-cilnya. la menarik lengan Tio Jiang untuk
diajak keluar. Ciok ji-soh dan Kiau Topun ber-turut2
meninggalkan kamar itu. Jadi yang berada disitu hanyalah
Ciok Siaolan dan The Go berduaan.
Dapat menyumbangkan pikiran untuk membantu, The
Go serasa terhibur hatinya.
"Siao-lan, apa kau tak mau bantu mereka mencarinya?"
tanyanya kepada Siao-lan.
"Tidak, aku tak mempedulikan segala apa kecuali
hendak mendampingimu!" sahut sinona hitam manis,
The Go menghela napas, ujarnya ter-iba2: "Siao-lan, aku
selalu menyakiti hatimu.."
Buru2 Siao-lan dekap mulut The Go, serunya dengan
mesra: "Engkoh Go, aku tak pernah sesalkan kau.
Bagaimanapun kau memperlakukan diriku, aku tetap setia
cinta padamu!"
Habis berkata, Siao-lan menangis. Sesal The Go tak
kunjung habis. Dahulu ketika dia masih utuh cakap, dia tak
menghiraukan nona itu. Sebaliknya biarpun kini dia sudah
menjadi aeorang invalid, nona itu tetap setia.
"Siao-lan, dalam kehidupan sekarang ini, aku telah mensia2-kan kau. Mudah2an dalam penitisan besok, kita dapat
bersatu se-lama2nya," katanya sembari menghela napas.
"Mengapa" Apakah karena nona Bek?" tanya Siao-lan.
"Ah, nona Bek konon kabarnya sudah mencukur rambut
menjadi rahib (nikoh) sudah tentu ia tak mau campur
dengan keduniawian lagi. Pun aku juga yang mencelakainya. Kini kedua kakiku sudah buntung, menjadi
seorang Invalid"
"Sudahlah! Sekalipun kau meninggal, aku tetap
menyintaimu!"
Terharu The Go mendengar pra-setya dari nona itu.
Digenggamnya tangan nona itu erat2 tanpa mengucap
sepatah katapun, hanya dua pasang mata saling
berpandangan, merangkai seribu kata bahasa asmara.
Adalah pada saat mereka diayun dalam buaian
kebahagiaan, tiba2 dari mulut jendela terdengar suara
ketawa. Menyusul dengan bunyi "brak" dari daun jendela
terpentang, muncullah seorang hweshio.
"Cian-bin Long-kun seharusnya mengganti nama dengan
Hong-liu Long-kun (pemuda akhli merayu) barulah tepat.
Ho....., suatu adegan yang romantis benar2 ini!" seru
hweshio itu. The Go terperanjat mendengar nada suara itu. Ketika
mendongak kemuka, benarlah apa yang diduganya itu.
Hweshio gadungan itu ternyata Swat Moay adanya. Diam2
The Go mengeluh dalam hati. Swat Moay seorang yang
ganas, dalam keadaan seperti sekarang dia bukan
tandingannya. Siao-lanpun Idem, tak nanti dapat menandingi wanita lihay itu. Namun sebagai seorang yang
cerdik, dia berusaha untuk mengekang kegelisahannya.
Dengan memain senyum, berkatalah dia: "Ah....., cianpwe
menggoda saja!"
Sebaliknya Siao-lan yang belum kenal siapa hweshio itu
segera menanyakan kepada The Go. Mencuri suatu
kesempatan, The Go memberi isyarat dengan kerlingan
mata agar Siao-lan lekas keluar memanggil Kiau To dan
Tio Jiang. Tapi sayang Siao-lan tak mengerti dan malah bertanya
lagi: "Dia hendak apa kemari ini?"
Swat Moay sebal mendengar itu, lalu loncat masuk.
Dalam kegugupannya The Go paksakan tertawa dan
menyahut kepada Siao-lan: "Cianpwe ini adalah seorang
pendekar dari Tiang-pek-san yang menjadi orang kepercayaan Sip-ceng-ong dari kerajaan Ceng. Orang
menggelarinya sebagai Swat Moay!"
Dengan keterangan itu, The Go percaya, sekalipun Siaolan itu sangatlah bodohnya namun dengan mengetahui
adanya seorang jagoan Ceng yang menjadi musuh Thian Te
Hui, ia tentu sadar dan tentu akan lekas2 lari keluar untuk
memanggil bantuan. Tapi kode The Go itu tetap macet lagi.
Walaupun tahu bahwa kehadirannya seorang kepala jagoan
Ceng itu tentu merugikan The Go dan dirinya sendiri,
namun Siao Lan tak memikir untuk memanggil Kiau To
dan kawan2. Bahkan ia malah mencekal senjatanya hi-jat
untuk di-goyang2-kan hingga thiat-hoan (gelang besi) yang
tersalut pada ujung hi-jat itu berkerontangan bunyinya. Dan
begitu tampak Swat Moay menghampiri dekat, ia segera
membentaknya: "Karena kau orangnya pemerintah Ceng,
sanalah jangan dekat2 pada engkoh Go!"
The Go mengeluh gelisah. Sebaliknya Swat Moay
perdengarkan suara ketawa iblis.
"Harap cianpwe jangan mencelakai dia, silahkan tanya
padaku saja. Siao-lan, lekas cari Kisu To dan engsomu
sana!" kata The Go. Oleh karena otak Siao-lan begitu
buntu, maka dia terpaksa menyatakan maksudnya itu
dengan terang2an.
Sebenarn ya bukan tak tahu Siao-lan bahwa keadaan saat
Itu amat berbahaya sekali. Tapi dipengaruhi oleh rasa
kasihnya kepada The Go, ia tak tegah biarkan pemuda itu
seorang diri menghadapi musuri. Jadi sebaliknya dari pergi,
ia malah berseru: "Jangan takut, engkoh Go! Biar kugebah
hweshio ini!"
Siao-lan tak mengetahui kalau hweshio itu sebenarnya
seorang wanita. la tetap mengira kalau hweshio itu seorang
hweshio tulen. Begitu gerakkan hijat, dengan jurus hun-cuihwat-boh (pecah air menda yung ombak), ia tusuk perut
orang. Hi-jat atau senjata garu ikan itu, panjangnya hampir
2 meter. Sedang ruangan situ amatlah sempitnya. Tapi
dengan dapat memainkan senjata itu sedemikian rupa,
dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa Siao-lan telah mempunyai latihan yang mahir dalam permainan senjata
itu. Tapi sayang lawannya adalah Swat Moay, yang jauh
berlipat ganda dari ia. Belum hi-jat menusuk kemuka,
tangan Swat Moay sudah dijulurkan menerkam. Ciok Siaolan mengisar kesamping lalu menusuk ulu hati. Tapi lagi2
hal Itu sudah diperhitungkan Swat Moay. Ini bukan
dikarenakan ia mahir akan permainan hi-jat Lam-hay-cakjat, tapi oleh sebab gerak permainan ilmu sllat itu pokoknya
hampir serupa. Setelah gagal menyerang perut, hi-jat tentu
akan ditusukkan kedada. Ini adalah dalil. Dan menunggulah tangan kanan Swat Moay didadanya. Begitu
hi-jat menusuk, cukup dengan dua buah jarinya, ia sudah
dapat menyepitnya erat2.
Bahwa hi-jatnya serasa menusuk kaget, kemudian seperti
ditarik keras, telah membuat Siao-lan terperanjat sekali.
Ketika diawasinya, ternyata ujung senjatanya telah dijepit
jari lawan. Hendak ia menariknya kuat2, tapi sedikitpun
ternyata tak dapat bergerak.
"Capung membentur tiang batu!" tertawa Swat Moay
dengan sinis. Begitu ketiga jarinya dikatupkan melingkar,
ujung hi-jat yang besarnya sama dengan jempol tangan itu,
segera melengkung bengkok. Kini baru Siao-lan tahu lihay
hingga mulutnya
menganga. Maka cukup dengan menyentak sedikit saja, hi-jat Itu sudah pindah ketangan
Swat Moay, siapa lalu sodokkan tangkai hi-jat kemuka.
Seketika terkulailah Siao-lan rubuh ketanah karena jalan
darahnya kian-ceng-hiat tertusuk.
The Go tersentak kaget. Dengan tahankan sakit, dia
paksakan diri untuk mengangkat tubuhnya. Dilihatnya
Siao-lan sudah tak berkutik lagi ditanah. Dengan menghela
napas panjang, dia terlentang lagi dipembaringan.
Swat Moay masih sengaja hendak unjuk kegarangan.
Sekali ia banting hijat itu kelantai, maka menyusuplah
ujung senjata itu sampai setengah meter dalamnya. "Cianbin Long-kun, apakah selama ini kau baik2 saja?" tanyanya.
Satu2nya jalan bagi The Go yalah mengulur waktu,
mudah2an Kiau To dan kawan2 segera kembali. Oleh
karena tak dapat mencari lain alasan, maka disingkapnyalah selimut yang menutup kakinya itu. Melihat
kedua kaki pemuda itu sudah buntung, berserulah Swat
Moay: "Ah, siasat orang Thian Te Hui itu, keliwat ganas!"
"Siasat cianpwe, juga tak kurang ganas dari itu. Sucouku
menyatakan: 'rekening itu harua dibayar oleh cianpwe
berdua'!" sahut The Go tak kalah sinisnya,
"Apakah Ang Hwat cinjin juga datang kemari?" tanya
Swat Moay dengan kejutnya.
The Go ganda tertawa tak mau menyahut. Tapi Swat
Moay seorang cerdas. Dalam lain kejab saja, ia sudah dapat
menduga bahwa kata The Go itu hanya gertakan saja.
"Cian-bin Long-kun, kalau kali ini kau mau bekerja sama
dengan kami, tanggung takkan mengalami kerugian lagi!
Jika berhasil mendapatkan harta karun itu, cukup dengan
1% saja bagianmu, kau pasti akan dapat menikmati
penghidupan yang senang sampai akhir hidupmu!"
Swat Moay salah rabah siapakah Cian-bin Long-kun
yang baru itu. Dengan ucapan itu, terbangkitlah penyesalan
The Go. Dia menyorot perjalanan hidupnya yang lalu,
Adalah karena "temaha akan keuntungan" itu, sehingga kini
namanya ternoda dan badannya cacad. Telah menjadi
tekadnya, dengan sisa hidupnya sebagai orang cacad itu
hendak dia menebus kedosaannya. Dan tadi diapun sudah
memulaikannya dengan membantu pikiran pada Kiau To
dan Tio Jiang. Seketika merah padamlah selebar muka Cian-bin
Longkun. Tiba2 dia menghantam papan pembaringan dan
berseru: "Kata2-mu itu salah. The Go yang sekarang ini,
bukanlah The Go yang dahulu. Sekalipun seluruh harta
karun itu diberikan padaku, tak nanti aku sudi galang
gulung dengan kamu lagi!"
Swat Moay tersentak kaget, tapi ia segera tertawa
mengejek, serunya: "Bagus, seorang Cian-bin Long-kun


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang patriot dan luhur. Siapakah yang membawa tentara
Ceng masuk ke Kwiciu" Siapakah yang menjadi perencana
hancur leburnya ke 72 markas Hoa-san itu " Apakah kau
kira mereka mau mengampuni kau sungguh" Apakah
mereka tidak menggunakan kau sebagai alat sementara, lalu
kelak menghukummu lagi!!"
Kening The Go mengucurkan keringat sebesar butir
kedele. Diam2 terbit pertentangan dalam batinnya.
Memang kedosaannya itu sukar mendapat keampunan.
Kalau dia bekerja sama dengan pemerintah Ceng lagi,
mungkin din akan mendapat kenikmatan hidup. Tapi
terkilas pula dalam pikirannya, bahwa orang2 macam Ceng
Bo siangjin dan kawan2 itu, adalah orang2 gagah yang jujur
perwira. Bagi mereka merah tetap merah, putih tetap putih.
Dalam beberapa jam saja berkumpul dengan mereka, dia
mendapat kesan akan kejujuran dan keluhuran budi
mereka. Terang mereka takkan seperti yang dituduhkan
Swat Moay tadi, yakni kelak akan menghukumnya lagi.
Malah bukti menyatakan kalau bercampur gaul dengan
orang2 macam Hwat Siau dan Swat Moay itu, besar
bahayanya. Diam2 dia mengutuk wanita ganas yang berlidah racun
itu, sehingga hampir saja menggoyahkan pikirannya
menjurus kejalan yang celaka,
"Kalau mengharapkan The Go masuk dalam perserekatan kawanan tikus lagi, mungkin seperti menantikan halilintar berbunyi ditengah hari!" ujarnya
dengan tegas. Wajah Swat Moay berobah, sembari menyambar hijat.
dia mengancam: "Baik, kau boleh puaskan hatimu memain
lidah. Tapi akupun tak mau membiarkan kau menjadi
penasehat dari Thian Te Hui. Biar kucabut nyawamu
dululah!" "Kalau mau bunuh lekaslah bunuh, jangan buang tempo
mengomong yang tak berguna!" sahut The Go dengan tak
gentar. Sebaliknya Swat Moay menjadi terkesiap. Seorang
pemuda yang kemaruk pangkat dan harta, kini dalam
beberapa hari saja sudah berobah menjadi seorang jantan
yang perwira. Tapi tiba2 ia mendapat siasat bagus.
"Kau jatuh giliran yang kedua, lebih dahulu anak
perempuan inilah!" aerunya. Berputar kebelakang ia aegera
angkat hi-jat menusuk dada Siao-lan.
"Tahan!" se-konyong2 The Go berseru kaget,
"Bagaimana, apa sudah berobah haluan?" tanya Swat
Way. Dalam beberapa kejab itu, pikiran The Go, sudah
berobah. Dahulu dia men-sia2kan nona itu sedemikian
rupa, sebaliknya kini ternyata nona Itu tetap setia. Untuk
kesetiaan itu, dia berjanji pada diri sendiri hendak
membalas budi. Sudah tentu dia tak tegah biarkan nona itu
binasa. Namun untuk menolong sinona, berarti dia harus
meluluskan permintaan Swat Moay, suatu hal yang
bertentangan dengan prinsip hidupnya yang baru. Berketes2 butir keringat mengucur dari dahinya, karena, sang
pikiran pepat memecahkan kesukaran itu.
Tampak Swat Moay mengangkat hijat, kini ujung senjata
itu terpisah satu meter dari dada Siao-lan.
"Cian-bin Long-kun, pikirlah masak2. Akan kuhitung
satu sampai 10, dan ujung hi-jat ini akan menurun sampai
setengah meter!" serunya.
Menurut perhitungan waktu, menghitung 1 sampai 10 itu
hanya memakan waktu, 10-an detik saja. Belum lagi The
Go mendengar jelas apa yang dikatakan Swat Moay itu,
atau wanita ganas itu sudah mulal menghitung dan tahu2
sudah sampai hitungan yang ke 10. Tanpa pedulikan suatu
apa lagi, ujung hi-jat itu meluncur turun dengan pesatnya.
Dalam kejutnya The Go menjerit, tapi ternyata lwekang
Swat Moay sudah mencapai tingkat kesempurnaan, dapat
menguasai gerak tenaga menurut sekehendak hatinya.
Walaupun turunnya hi-jat itu sedemikian pesat, tapi tepat
pada setengah meter kebawah, senjata itu dapat berhenti.
Melirik kepada The Go, kembali mulut wanita itu mulai
menghitung dari 1 lagi.
Saking menahan kesesakan napas, dada The Go serasa
panas. Napasnya memburu keras dan matanya berkunang2. Dia paksakan untuk mengangkat kepalanya yang
berat itu. GAMBAR 99 Waktu The Go menoleh, tahu2 dilihatnya senjata garu itu
sudah dekat di dada Ciok Siok-lan
Mengawasi kemuka. Samar2 tampak olehnya, ujung
hijat itu sudah menurun setengah meter. Dan sebelum dia
sadar, didengarnya Swat Moay sudah menghitung sampai
bilangan ke 6. Dan pada saat itu, The Go sudah pingsan tak
Ingat orang lagi.
Tapi karena Swat Moay membelakangi The Go, jadi ia
tak tahu akan keadaan anak muda itu. Malah ia sudah
mereka (merencanakan) rencana, kalau nona itu tak
dibunuhnya, The Go pasti akan mengira kalau ia (Swat
Moay) hanya main gertak saja. Jadi untuk menundukkan
kekerasan hati anak muda itu, jiwa nona itu harus
dikorbankan. Dan seperti bunyi mitraliyur, mulutnya
berhamburan menghitung 7, 8, 9. Begitu mengucap 10,
ujung hi-jatpun meluncur turun
"Omitohut, siancay....., siancay.......!" se-konyong2 pada
saat2 yang genting meruncing itu, terdengar suara seorang
hweshio mengucapkan tegur keagamaan.
Nada seruan itu luar biasa sekali kedengarannya. Seluruh
ruangan situ se-olah2 dicangkum oleh gema suara atau
kalau dalam kiasan bahasa daerah (Jawa) orang
mengatakan "turut ngusuk" (menyalur diantara tiang
bandar dan penglari atap). Begitu ulem (kumandang)
namun begitu ramah wajar bagai melukiskan suatu suasana
kehampaan yang agung. Sampaipun seorang tokoh macam
Swat Moay mau tak mau menjadi tersentak kaget juga. Dan
ujung hi-jat yang hanya terpisah satu dim dari dada Siao-lan
itu tertahan oleh getaran suara tadi, hingga tak dapat
langsung mengenai badan.
Dalam tersadarnya, secepat kilat Swat Moay berpaling
kearah pintu. Hai, kiranya diambang pintu tampak ada
seorang hweshio tinggi besar, berwajah merah berseri
seperti bayi. Hweshio tua itu mengenakan jubah warna
putih dan mencekal sebatang sik-sian-ciang (tongkat
pertapaan terbuat dari timah), sedang mengawasi kearahnya. Berdebar hati Swat Moay menampak hweshio yang
berwajah sedemikian ramahnya itu. Cahaya wajah yang
bebas dari segala dendam permusuhan terhadap siapapun
juga. Api kemarahan yang bagaimana hebatnyapun rasanya
seperti sirna daya ditatap oleh cahaya muka yang seagung
itu. Sekalipun begitu jelas tampak oleh Swat Moay
bagaimana sikap hweshio itu sedemikian tenang laksana
laut, kokoh laksana gunung. Sebagai seorang tokoh
persilatan tahulah sudah Swat Moay bahwa kini ia
berhadapan dengan seorang achli lwekang dan gwakang
(tenaga luar) yang istimewa.
Adalah pada saat ia terpesona itu, si hweshio sudah
ayunkan langkahnya pe-lahan2 menuju ketempat pembaringan The Go. Sewaktu lewat disisi Siao-lan, dia
pun mengerlingkan pandangannya sebentar, menengok
nona itu. "Siancay...., siancay.....! Mengapa sicu (anda) menahan
kesakitan begitu rupa?" bisiknya dengan halus. Dan cukup
dengan menyentuhkan ujung tongkatnya kebahu Siao-lan
dengan pelahan, terbukalah sudah jalan darah sinona yang
tertutuk tadi. Tapi tetap sinona tak berani bergerak, karena
ujung hi-jat ditangan Swat Moay itu masih tetap berada
satu dim diatas dadanya. Rupanya hal itu diketahui juga
oleh sihweshio.
"Harap sicu hematkan tangan, agar nona ini dapat
berbangkit," katanya kepada Swat Moay.
Kata2 itu bukan merupakan suatu perintah, karena
nadanya begitu ramah halus. Tapi seperti terkena daya
penarik kuat, tanpa merasa Swat Moay mengangkat pula hijat keatas. Barulah ketika didapatinya Siao-lan loncat
bangun, Swat Moay menjadi tersadar dari kehilangan
peribadinya tadi. Ya, mengapa ia begitu serta merta
mendengar kata2 si hweshio" Bukantah tadi ia sudah
menetapkan rencana bagus" Mengapa hanya dengan
sepatah dua kata2 hweshio itu saja, ia sudah kehilangan
faham" Begitu kesadarannya pulih, la segera berseru keras terus
menyerang hweshio pengacau itu. Swat Moay cukup insyaf
bahwa hweshio itu tak boleh dibuat main2. Maka sebelum
orang berjaga, ia sudah mendahului dengan sebuah
serangan mendadak yang dilancarkan dengan sepenuh
tenaga, bahkan sekaligus ia salurkan juga lwekang im-cui.
Sedemikian dingin hawa lwekang Itu menabur, hingga
Siao-lan menggigil bergemetaran. Saat itu The Gopun
sudah tersadar. Begitu didapatinya Siao-lan berada
disisinya, dia lekas menggenggam tangan sinona.
GAMBAR 100 Begitu tersadar dari kesimanya, dengan sengit Swat Moay terus
ayunkan garu ikannya untuk menyerang Tay Yang Siansu.
Sebaliknya hweshio itu enak2 saja tampaknya. Dia
masih diam saja ketika ud yung hi-jat yang mengeluarkan
hawa sedingin es itu hampir mengenal tubuhnya. Hanya
tampak tangannya bergerak sedikit untuk melintangkan
tongkat pertapaannya. Trang...... bergerontanganlah bunyi
hijat dan tongkat timah berbenturan. Untuk kekagetan Swat
Moay, didapatinya lwekang im-cui itu menjadi sirna daya,
lenyap bagai sebentuk jarum jatuh didalam samudera.
Hendak la menarik pulang senjatanya, tapi tak mampu.
(Oo-dwkz-0-tah-oO)
BAGIAN 55 BERPANTANG AJAL
Baru kini Swat Moay terperanjat bukan buatan. Takut
kalau lawan keburu menyalurkan lwekang balasan yang
terang tak dapat ia tahan, buru2 ia lepaskan cekalannya ....
trang........ , jatuhlah hi-jat Itu berkerontangan ketanah.
Sedang iapun sudah loncat mundur beberapa tindak.
"Sicu, lepaskan golok pembantai (jagal), kembalilah
kejalan yang terang. Dengan mengenakan jubah pertapaan
itu, masakan kau tak mengerti akan ajaran gereja!"
kedengaran hweshio itu berkata.
Belum lagi Swat Moay menyahut, The Go sudah terbuka
hatinya. Serentak dia seperti mendapat penerangan batin,
serunya bertanya: "Yang tak mengenakan pakaian
pertapaan, apakah dapat menerima penerangan dari
mahkota gereja ?"
"Pintu kerajaan gereja itu selalu terbuka lebar!" sahut si
hweshio dengan tersenyum.
The Go yang berotak cerdas segera dapat menangkap
kata2 si hweshio itu. Dia ter-mangu2 diam merenung.
Sebaliknya Swat Moay yang loncat mundur tadi, tetap
penasaran, serunya: "Hweshio, adakah kau ini Tay Siang
siansu dari Liok-yong-si ?"
"Benar2 itulah gelaran lo-ceng!" sahut si hweshio tua.
Swat Moay seperti terpagut ular, serempak ia loncat
keluar dari jendela. Nama Tay Siang siansu sejajar dengan
nama Ang Hwat cinjin dan Kang Siang Yan. Tapi ilmu
kepandaiannya ternyata sukar dijajaki lwekang im-cui yang
dimiliki itu, sekalipun air panas yang tengah mendidih
begitu terbentur tentu akan segera berobah menjadi air es.
Namun dengan mudahnya, lwekang im-cui tadi telah
dihapus sirna daya oleh si hweshio. Ilmu lwekang yang
dipunyai si hweshio itu, benar2 telah mencapai tingkat
kesempurnaan total. Demikianlah sembari lari melintasi
beberapa ruangan, ia masih merenungkan kejadian tadi.
Tiba2 tampak sesosok bayangan hitam menghadang
sembari berseru: "Niocu, hasilkah?"
"Sudahlah, jangan tanya hal itu. Tay Siang siansu tiba
kemari!" sahut Swat Moay kepada orang itu yang bukan
lain adalah suaminya, si Hwat Siau adanya.
Juga Hwat Siau tak kurang terperanjatnya.
"Habis bagaimana baiknya"!" tanyanya.
Swat Moay merenung sampai sekian jenak, baru
kedengaran ia berkata: "Tak perlu kuatir, kita masih
mempunyai sehelai kartu terakhir. Budak perempuan she
Liau itu, masakan mau mandah mati begitu saja!" Begitulah
sepasang suami isteri itu lalu merundingkan siasat lebih
lanjut. ---oo0dwkz^tah0oo--Dan kita, kembali tengok keadaan ruangan tadi.
Setetelah Swat Moay ngacir pergi, Tay Siang siansu
menghampiri pembaringan dan meng-elus2 kepala The Go.
Seketika The Go rasakan dirinya nyaman sekali.
"Mohon taysu mencukur rambutku!" tiba2 The Go
berseru. "Jodohmu belum sampai, mengapa hendak menjadi
orang pertapaan ?" sahut Tay Siang Siansu dengan tertawa,
"ingatlah hati nurani itu adalah Hud, dan Hud tentu akan
bersemayam didalam hati sanubari. Itu sudah cukup."


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

The Go mengangguk. Tiba2 pintu terpentang dan
masuklah seseorang seraya berseru: "Suhu!". Kemudian
terus berlutut memberi hormat. Dia adalah Kiau To.
Dibelakang mengikuti dua orang wanita, Ciok ji-soh dan
Yan-chiu, Melihat Kiau To, tertawalah Tay Siang siansu,
ujarnya: "Ilmu silat bertambah maju, kecerdasan sebaliknya
mundur!" "Mohon suhu sudi menerangkan kesesatan murid itu,"
kata Kiau To sembari menundukkan kepala.
"Apa yang dirasa baik, lakukanlah. Tiada kesesatan
mengapa harus dibenarkan ?" sahut Tay Siang sembari
kebutkan lengan bajunya. Tanpa dikehendaki, Kiau To
tersentak bangun.
Sedang Yan-chiu ketika menampak Tay Siang siansu,
begitu kegirangan sekali hingga sampai mengucurkan air
mata. "Lo-hweshio!" serunya dengan ter-iba2.
Tenang2 saja Tay Siang siansu mengangkat kepala
mengawasi Yan-chiu sembari menyungging senyuman.
Tapi begitu menatap dirl Yan-chiu, seri wajahnya segera
berobah menjadi keren (ber-sungguh2), sehingga sekalian
orang yang berada disitu sama tersentak kaget.
"Lo-hweshio, bagaimana?" tanya Yan-chiu.
Tay Siang tak menyahut hanya ulurkan tangannya.
Dengan 3 buah jari dia memeriksa polo (pergelangan)
tangan Yan-chiu. "Siancay.......! Nona kecil ini akan
menuju kealam baka!" katanya kemudian.
"Suhu, bukantah karena menerima surat dari merpati pos
itu, suhu lalu datang kemari?" buru2 Kiau To berseru
dengan kaget, "adalah karena jiwanya terancam maut,
maka aku mohon suhu menaburkan kemurahan hati untuk
menolongnya !"
Tay Siang siansu hanya mendehem didalam tenggorokan, lalu menatap Yan-chiu dan berseru: "Aneh....,
aneh...., sungguh aneh !"
Adalah Ciok ji-soh yang berwatak berangasan, karena
tak mengerti apa yang diucapkan siansu itu, segera berseru:
"Lo-hweshio, apakah kau mempunyai daya untuk
menolongnya" Lekaslah memberi pertolongan !"
Tay Siang menggeleng, sahutnya: "Jalan darah ki-hiat
(istimewa) diluar pembuluhnya telah ditutuk lwekang oleh
orang. Kepandaian lo-ceng terbatas, hanya tahu sampai
disitu saja. Untuk menolongnya, dikuatirkan akan
membikin kapiran !"
Ucapan itu membuat sekalian orang serasa diguyur air
dingin. Tadi Kiau To tengah melanjutkan usaha mencari
tempat harta. karun itu disekeliling gereja Kong Hau Si situ.
Sedang Yan-chiu dan Tio Jiang tengah memeriksa mulut
sumur yang memancarkan sinar aneh itu. Mendengar para
hweshio mengatakan bahwa Tay Siang siansu datang,
mereka ber-gegas2 menemuinya. Mereka menyongsong
dengan penuh harapan. Dikiranya begitu Tay Siang siansu
datang, Yan-chiu tentu akan tertolong. Tapi nyatanya, apa
yang disumbarkan oleh Swat Moay itu benar adanya. Tay
Siang siansu pun tak berdaya menolongnya !
Tay Siang siansu adalah paderi agung yang tinggi
martabatnya, sudah tentu dia tak mau berbohong.
Mendengar keterangannya tadi, serentak Yan-chiu terus lari
keluar. Tio Jiang buru2 memburunya, tapi nona itu sudah
lenyap tak ketahuan kemana. Dengan gelisah Tio Jiang
kembali kedalam ruangan dan segera jatuhkan diri berlutut
dihadapan Tay Siang.
"Biar bagaimana kumohon siansu sudi menolong jiwa
Siao Chiu itu!" serunya ter-iba2 dengan suara tak lampias.
Tay Siang menggeleng, ujarnya: "Harap siaoko bangun.
Banyak nian urusan didunia ini yang tak dapat dicegah
usaha manusia, mengapa harus disedihkan?"
Kembali hati Tio Jiang seperti diguyur es.
"Siansu, apakah benar2 tiada daya lagi ?" tanyanya.
Belum Tay Siang menyahut, Kiau To tiba2 sudah
membuka mulut: "Suhu, tadi berulang kali suhu
menyatakan aneh, apakah artinya itu?"
"Bukantah nona itu pernah memakan mustika yang
bermanfaat sekali terhadap badannya?" tanya Tay Siang.
Mendengar itu timbul lagi harapan Tio Jiang, serunya :
"Ia memang pernah memakan mustika batu peninggalan
dari Tat Mo Cuncia."
"Ai......., makanya wajah nona itu memancarkan sinar
kehijau2-an, jauh berbeda dengan kebanyakan orang."
"Adakah hal itu akan menolongnya?" tanya Tio Jiang
pula. Sampai sekian jurus Tay Siang tak menyahut. Suasana
diruangan situ menjadi sedemikian heningnya, sehingga
seumpama ada sebatang jarum jatuh kelantai, tentu akan
kedengaran juga. Hati sekalian orang ber-debar2. Akhirnya
berkatalah Tay Siang: "Sukar...., sukar....! Harus dilihat
apakah ia sanggup menderita siksaan itu tidak " Kini belum
waktunya mengatakan, nanti saja apabila sudah saatnya
baru kuterangkan !"
Oleh karena masih ada setitik sinar harapan, Tio Jiang
serta merta haturkan terima kasih kepada Tay Siang.
"Siaoko, sedemikian murah kasih Hud, harus kau
menjaga dirimu baik2 jangan gelisah!" ujar Tay Siang.
Tio Jiang tak mengerti apa yang dimaksudkan ucapan
siansu itu. Yang dipikirkan yalah keselamatan Yan-chiu.
Kegelisahan apapun juga, dia tak takut asal sumoaynya
selamat. Sehabis mengucap kata2 yang sukar ditebak itu,
Tay Siang lalu menuju kesudut ruangan untuk duduk
bersemadhi. Ciok Siao-lan menceritakan apa yang telah
terjadi diruangan tadi, dan kini makin teballah kepercayaan
sekalian orang kepada The Go.
Ketika Tio Jiang mengemukakan mulut perigi kecil itu,
The Go yang penuh dengan pengalaman segera berkata :
"Mulut perigi itu disebut Tat Mo Keng (perigi Tat Mo).
Ketika Tat Mo cuncia dari India datang kemari, gereja
Kong Hau Si ini masih bernama Hwat Seng Si. Maka
menunjuklah Tat Mo ketanah seraya berkata: 'Didalam
tanah ini terdapat emas.' Ber-duyun2lah rakyat menggali
tanah itu. Sampai sekira 10-an tombak dalamnya,
penggalian sampai dibatu padas dan airpun keluar, tapi
emas tetap tak terdapat. Rakyat menuduh Tat Mo
membual, namun berkatalah guru besar itu: 'Tak dapat
diketemukan dengan penggalian biasa!'. Sejak itu perigi
disebut perigi Tat Mo. Mulutnya meskipun kecil, tapi
dasarnya makin dalam dan lebar, dapat dibuat menyimpan
harta karun !"
"Hai, kalau begitu ayuh kita pergi kesana!" seru Kiau To
kegirangan. "Baiklah cari dulu Yan-chiu untuk diajak pergi
bersama2," kata Tio Jiang yang disetujui juga oleh Kiau To.
Begitulah keduanya segera tinggalkan ruangan itu.
Kemana gerangan perginya Yan-chiu" Kiranya dengan
hati patah sigenit itu lari keluar melalui dua buah tikungan,
lalu berhenti diujung tembok, menangis tersedu sedan. Ia
kuras air matanya, menangis dan menangis saja. Tiba2
terasa bahunya ditepuk orang. la kira kalau itu tentulah
sukonya yang hendak menghibur.
"Suko, Tay Siang siansupun tak berdaya lagi. Adakah
dengan begini saja kita akan berpisah se-lama2nya?"
Orang yang menepuk itu tertawa, serunya: "Nona kecil,
kalau tak mau berpisah, itulah mudah! Apakah kau sudah
mengetahui tempat simpanan harta karun Itu?"
Yan-chiu seperti tersengat kala. Ketika secepatnya ia
berpaling kebelakang ternyata yang menepuk bahunya itu
adalah Swat Moay. Sedang disebelah belakangnya lagi,
terdapat Hwat Siau. Buru2 Yan-chiu geliatkan bahu untuk
tnenghindari Langan wanita !tu,
"Jangan pedulikan aku!" serunya.
"Siao Chiu, orang macam Tay Siang siansupun tak
berdaya! Kau tak menghendaki tenagaku" Apakah kau
benar2 hendak tinggalkan dunia yang indah ini, rela
menjadi setan gentayangan?" Swat Moay tertawa iblis.
Yan-chiu teramat gusarnya. Dengan se-kuat2nya ia
menghantam, tapi Swat Moay menyongsongnya menangkap tangan Yan-chiu, serunya: "Siao Chiu, ini
adalah kesempatan yang terakhir. Coba kau hitung, berapa
lama lagikah kau dapat bernapas?"
Yan-chiu tak berdaya. Memang dalam hati kecilnya ia
tak kepingin mati. Tapi biar bagaimana tak sudi ia
menyerah pada Swat Moay.
"Usah kau pedulikan tentang jiwaku lagi, akan
kutanggung sendiri!" sahutnya dengan tawar.
Swat Moay tak marah, ujarnya: "Baiklah! Kalau kau
ingat pesanku, asal kau sulut tumpukan kayu bakar itu, aku
tentu segera datang!"
Tanpa tunggu jawaban orang, wanita itu segera
melenyapkan diri. Seketika timbullah sesal Yan-chiu.
Benar2 ia ingin mengejar wanita itu untuk memberitahukan
tentang sumur kecil itu. Tapi baru saja kakinya melangkah
setindak, terkilas pada pikirannya: "Tidak, tidak! Mati
biarlah mati, apa peduli!"
Sang mulut berkeras, namun hatinya mengeluh. "Ah,
lebih baik suruh Swat Moay membuka jalan darah, biar
bagaimana, asal aku dapat hidup bahagia didamping suko."
Kembali sang kaki melangkah, tapi lagi2 berhenti.
Sampai sekian saat ia tertegun, tak dapat mengambil
keputusan. Akhirnya keperwiraan hati telah menang. "Ah,
biarlah! Suhu mengatakan kalau aku sudah tak berayahbunda. Kalau tiada ditolong suhu, tentu aku sudah
dibinasakan orang jahat. Kalau memang sudah suratan
takdir tahun ini aku harus mati, mengapa aku harus mohon
belas kasihan" Daripada mati sia2, lebih baik kuturun
kedalam sumur untuk menyelidikinya. Sekalipun aku tak
dapat berenang, tapi aku dapat menutup jalan hawa!"
Setelah membulatkan tekad, ia lalu menuju kesumur Tat
Mo. Setiba disitu tanpa banyak pikir lagi, ia terus terjun
kebawah, blung.......... Bagi orang yang tak dapat berenang,
begitu terjun ke air, tentu akan gelagapan. Juga Yanchiupun demikian. la terus silam sampai satu tombak lebih
dalam, baru teringat untuk menutup lubang hawa. Sekali
mengerahkan semangat, tubuhnya segera melayang naik.
Kecuali gelap remang2 dari cahaya air, ia tak melihat
sesuatu apa lagi. Ia mulai hembuskan napas dan
tubuhnyapun tenggelam lagi kebawah. Tak berselang
berapa jurus, kakinya telah menginjak dasar perigi. la
pentang matanya sembari meng-geliat2kan kaki tangan.
Tapi selain air, tiada tampak apa2 lagi. Dalam keputusan
asa, tubuhnya serasa hendak mengapung keatas lagi. Buru2
ia gunakan ilmu cian-kin-tui, untuk menjaga keseimbangan
tubuh, lalu berjaIan kemuka.
Ilmu cian-kin-tui (tindihan seribu kati) yang digunakan
itu, se-kurang2nya mempunyai kekuatan beberapa ratus kati
beratnya. Tadi pertama kali menginjak dasar perigi, rasanya
dasar itu lunak karena terdiri dari lempung dan lumpur.
Tapi waktu dia gunakan ilmu membikin berat badan itu,
kakinya melesak masuk lagi dan menginjak dasaran yang
keras datar. Buru2 ia membungkuk untuk merabahnya.
Ai....., kiranya dasar itu terbuat daripada papan batu.
Girangnya Yan-chiu bukan kepalang. Dengan kedua
tangan, ia menyingkap lumpur yang membenam dasar itu.
Air menjadi keruh dengan hamburan lumpur, tapi ia tak
ambil peduli. Tangannya merabah-rabah terus dan untuk kegirangannya akhirnya ia telah dapat merabah dua buah
rantai besi! "Kalau dibawah papan besi ini terdapat simpanan harta
karun, sekalipun nyawa menjadi korban, rasanya masih
berharga juga. Demikian ia merenung dan dengan
mengundang seluruh kekuatannya, ia menarik rantai besi
itu, dan .......... terangkatlah papan batu itu keatas. Tapi
berbareng dengan itu, Yan-chiupun hampir terhuyung
jatuh. Lumpur makin mengeruhkan air disekitarnya.
Setelah papan batu terangkat, tampaklah suatu cahaya
mengilau memancar dari dasar air. Saking girangnya,
lupalah Yan-chiu kalau ia berada didalam air. Menjeritlah
ia karena dimabuk kegirangan itu dan masuklah seteguk air
lumpur kedalam mulutnya. Buru2 ia menutup mulut, tapi
berbareng itu, tangannya serasa ditarik keatas oleh riak air.
Sekalipun ia coba kerahkan cian-kin-tui, namun tetap
sempoyongan. Dan berbareng itu hidung seperti tertampar
keras, kepala pening mata berkunang. Hendak ia menutup
hidung, tapi sudah tak keburu, kelutuk, kelutuk, kembali
mulutnya terminum beberapa teguk air lumpur. Sedang
riak-putaran airpun terasa makin kuat. Perut Yan-chiu
sudah kembung minum air lumpur, dan keadaannyapun
sudah limbung, kakinya tak dapat berdiri kokoh lagi.
Bluk........, ia membentur dinding perigi dan rubuhlah ia tak
sadarkan diri Diceritakan, sewaktu Tio Jiang memburu mencari Yanchiu tadi, sigenit itu sudah loncat masuk kedalam perigi,
jadi sudah tentu Tio Jiang tak dapat menemukannya.
Kembali kedalam kamar, dia berkata kepada Kiau To:
"Ayuh, kita pergi saja, tak usah tunggu ia lagi!"
Begitulah Kiau To beserta Ciok ji-soh dan Tio Jiang
menuju kesumur Tat-mo-keng. Belum lagi mendekati
tempat itu, dari kejauhan sudah tampak ada dua sosok
bayangan sedang membungkukkan badan memandang
kedalam perigi itu. Mereka bukan lain adalah Hwat Sisu


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Swat Way. Kiranya setelah pergi tadi, Swat Moay bersembunyi
disuatu tempat untuk menunggu apa yang hendak
dilakukan Yan-chiu. Dilihatnya nona itu lari menuju ke
sumur dan loncat masuk kedalamnya. Timbullah kecurigaan Swat Moay, jangan2 nona itu telah mengambil
putusan pendek untuk bunuh diri. Celaka, serunya seorang
diri. Kartu atau pion satu2nya yang diharapkan telah gagal
lag!. Terang tempat harta karun itu makin jauh dari
harapannya. Dengan berputus asa, mereka berdua sudah mengambil
putusan untuk kembali keutara saja melapor pada Sip-cengong. Tapi baru kakinya hendak diayun, tiba2 Yan-chiu
berhasil membuka papan batu, hingga permukaan sumur itu
memancarkan cahaya yang gilang kemilau. Kegirangan
kedua suami isteri itu sukar dilukiskan.
"Niocu, benda itu berada disini!" seru Hwat Siau.
"Benar, kiranya budak perempuan mengetahui tapi ia
berkeras kepala lebih suka mati daripada menyerah pada
kita. Ho, tak mudahlah!" sahut isterinya.
Seketika Hwat Siau lantas hendak turun kedalam perigi,
tapi dicegah isterinya yang mengatakan lebih baik tunggu
kalau Yan-chiu sudah naik keatas lagi. Adalah karena
keayalan itu, datanglah Tio Jiang dan Kiau To. Kalau
musuh lama saling berjumpa, bagaikan banteng yang merah
matanya. Kiau To lari mendahului dan belum orangnya tiba, jwanpiannya yang terbuat dari otot kerbau itu sudah melayang
menyapu. Bahwa Tay Siang siansu tak ikut serta, telah
membuat Hwat Siau berbesar hati. Dia cukup yakin tentu
dapat membereskan ketiga lawannya itu. Sekali merabah
pinggang, pek-kim-tiu-tay atau sabuk sutera emas putih,
sudah berada ditangannya. Ketika tangannya menyongsong
kemuka, selendang yang panjangnya hampir 10 meter itu
tanpa bersuara apa2 sudah menjulur kemuka.
Kiau To bernapsu sekali untuk mengalahkan lawan.
Apalagi karena hari sudah menjelang gelap, jadi dia tak
dapat melihat jelas akan adanya selendang emas putih itu
lagi. Dia menerjang maju, kira2 5 meter jauhnya dari Hwat
Siau, barulah kepala jagoan Ceng itu menyentakkan
selendangnya keatas.
Selendang itu penuh disaluri dengan lwekang, sehingga
merupakan seekor ular hidup. Tempo bertanding dengan
Ceng Bo di Lo-hu-san beberapa hari yang lalu, dia telah
berhasil melibat imam gagah itu hingga tak berdaya.
Tertampar oleh kibasan selendang itu, seketika itu rubuhlah
Kiau To. Hanya karena dia cukup kuat kepandaiannya,
begitu rubuh buru2 dia sodokkan pian ketanah untuk
menahan tubuh. Mengandal ruyungnya itu sebagai tongkat,
dia berjumpalitan. Ketika berdiri jejak, dia menundukkan
kepala untuk mengawasi, hai....kiranya selembar selendang.
Bluk....., saking gusarnya dia menghantam ketanah hingga
tanah itu sampai berlubang. Tapi Hwat Siau siang2 sudah
menyentakkan selendangnya keatas lagi. Hanya deru
anginnya yang gemuruh mendesing-desing, namun dari
arah mana benda itu me-nyambar2 sukar diduganya.
Kejut Kiau To bukan kepalang. Dia buru2 mundur. Tapi
Hwat Siau meluncur maju memburunya. Tangannya
bergerak dan me-legut2lah selendang itu bagaikan ratusan
ekor ular berbisa hendak memagut Kiau To. Sebenarnya
Kiau To cukup tahu akan kelihayan musuh dan diapun
sudah berlaku sangat hati2 sekali. Namun menghadapi
senjata musuh yang sedemikian luar biasanya itu, bingung
juga dia dibuatnya. Satu2-nya jalan, terpaksa dia putar
jwan-pian begitu rupa, sehingga merupakan lingkaran sinar
yang tak dapat ditembus oleh hujan, guna melindungi diri.
Dan ternyata siasat itu berhasil. Untuk beberapa saat,
memang Hwat Siau tak berdaya untuk menggempurnya.
Sedang disebelah sana. Ciok ji-soh dan Tio Jiang sudah
bertempur melawan Swat Moay. Boan-thian-kok-hay,
mengarungi langit melintasi laut, salah satu jurus dari tohay-kiam-hwat telah dilancarkan Tio Jiang, namun Swat
Moay tetap tegak tak mau menyingkir. Tahu-'2 dia
gerakkan lengannya melintang, dan tangan itu sudah
mencekal senjata. Trang......, ketika kedua senjata itu
berbenturan, Tio Jiang segera rasakan ada suatu tenaga
dingin menyalur kearahnya. Buru2 dia gunakan jurus cengwi-tian-hay untuk diteruskan menusuk tenggorokan orang.
GAMBAR 101 Disebelah sini Kiau To terus tempur dengan Hwat Siau dengan
serunya, disisi sana Tio Jiang dan Ciok ji-soh pun ikut
mengeroyok Swat Moay.
Adalah tepat pada saat itu, Ciok ji-sohpun sudah tiba dan
serangkan kim-kong-lun pada Swat Moay, menuju bawah
dan atas. Tapi gerakan Swat Moay itu luar biasa gesitnya. Dengan
menggeliat kesamping ia sudah dapat menghindari
serangan Ciok ji-soh dan Tio Jiang. Bahkan berbareng
dengan itu, ia sudah dapat mengirim sebuah serangan
balasan kepada Ciok ji-soh.
Ciok ji-soh terkesiap kaget. Bukan saja karena
menampak kegesitan lawan pun juga dengan senjatanya
yang luar biasa anehnya itu. Bentuknya macam sebuah
lingkaran besar berwarna hitam. Tapi anehnya senjata itu
ada kalanya tampak berbentuk pesegi, tapi ada kalanya
berbentuk bulat. Entah senjata apa itu namanya, hanya
yang jelas, senjata itu tak mengeluarkan sedikit suara
apapun. Tahu2 kalau melayang dekat, lantas menerbitkan
putaran tenaga yang hebat. Baru Ciok ji-soh hendak
mengangkat kim-kong-lnn menangkisnya, atau ia sudah
tersentak kemuka dan gentayangan rubuh. Dalam
gugupnya, bttrtt2..... ia kerahkan tenaga untuk menarik
kim-kong-lun kebelakang sembari ayunkan tuhuhnya untuk
menahan tenaga sedotan Swat Way. Tapi Swat Moay
hanya mengekeh tertawa, tahu2 ia berkisar menyerang Tio
Jiang. Kini barulah Ciok ji-soh dapat melihat jelas bahwa
senjata yang dimainkan oleh Swat Moay itu tak lain tak
bukan hanyalah sebuah mantel angin. Mantel dipakai untuk
menahan serangan angin, tapi ditangan Swat Moay, benda
itu telah berobah menjadi suatu senjata yang hebat, hingga
hampir2 Ciok ji-soh celaka dibuatnya. Diam2 Ciok ji-soh
mengagumi kepandaian lawan yang memiliki ilwekang
sedemikian tingginya. Tapi dalam pada itu, ia terkejut sekali
demi mendapatkan bahwa tenaga sedotan Swat Moay yang
sedemikian kuatnya tadi, dalam sekejab mata saja sudah
hilang musna. "Gila!" diam2 Ciok ji-soh mengeluh.
Tadi sewaktu disedot, Ciok ji-soh menarik kebelakang
kim-kong-lun untuk melindungi jalan2 darah berbahaya
pada tubuhnya. Dan dalam pada waktu itu, ia kerahkan
tenaganya untuk menyentakkan tubuhnya menahan
sedotan lawan. Bahwasanya tenaga sedotan Itu dapat
lenyap dengan seketika, menandakan sampai dimana
penguasaan Swat Moay akan ilmu lwekangnya. Jelas
diketahui, betapa jauh terpaut kepandaiannya (Ciok ji-soh)
dibanding dengan lawan. Bukan saja Swat Moay dapat
menyerang dengan lwekang yang maha dahsyat, pun dapat
menariknya pulang sembarang waktu.
Karena dilepaskan, Ciok ji-soh yang tak keburu
menguasai tenaganya itu telah terjerembab jatuh kebelakang, bum....., bagian belakang batok kepalanya
terbentur pagar persegi. Dengan menjerit keras, ia loncat
bangun lagi. Ketika tangan merabah kebelakang batok
kepalanya, ternyata bagian kepala itu beloboran darah.
Perangai Ciok ji-soh sangatlah kerasnya. Bahkan
melebihi kerasnya dari orang lelaki kebanyakan. Tapi
bahwa kali itu ia jatuh knock-out sampai beloboran darah
kepalanya, telah membuat matanya ber-kunang2 kepalanya
pusing tujuh keliling. Buru2 ia loncat kesamping, lalu
ngelumpruk duduk ditanah, tak dapat berdiri lagi. Tapi
sebagai seorang jago betina yang tak mau kalah dengan
orang lelaki, ia tetap keraskan hati.
"Siao-ko-ji, aku knock-out. Kau seorang diri saja layani
wanita iblis itu!" serunya kepada Tio Jiang. Rupanya is
paksakan diri untuk berseru, ini ternyata dari napasnya
tampak memburu ter-sengal2 habis mengeluarkan kata2 itu.
Terpaksa Tio Jiang bermain single dengan Swat Moay.
Memang pada waktu akhir2-ini kepandaian Tio Jiang
makin bertambah maju dengan pesatnya. Tapi berhadapan
dengan Swat Moay, tetap dia tak berdaya. Apalagi
menghadapi senjata luar biasa dari lawan itu, Tio Jiang
hanya dapat bertahan saja. Satu2-nya keuntungan Tio Jiang
yalah dia menggunakan pedang pusaka yang dapat
menabas kutung segala macam logam.
Memang Tio Jiang hendak menarik keuntungan dari
senjatanya itu. Begitu senjata musuh melayang layang, dia
barengi untuk menabasnya, tapi selincah burung, mantel
Swat Moay itu terbang keatas. Begitulah dalam 3 jurus,
pedang Tio Jiang telah kena dirangkum dalam libatan
lingkaran angin mantel. Tio Jiang sempat memperhatikan
juga akan Ciok ji-soh yang ternyata masih mendeprok
ditanah belum dapat bangun itu. Sudah tentu hal itu
membuatnya bingung. Dan kebingungan inilah yang
menyebabkan gerakannya agak lambat. Sedikit lubang itu
saja telah dapat diketahui oleh Swat Moay. Mengalihkan
kakinya kesamping, wanita itu kebutkan mantelnya keatas
dan ujung baju mantel itu tepat hendak menampar jalan
darah Tio Jiang.,
Syukur Tio Jiang cukup tangguh dengan serangan itu.
Dengan gunakan permainan pedang to-hay-kiam-hwat
sembari dicampur dengan gerak tubuh hong-cu-may-ciu
(sigila menjual arak), tubuhnya ber-geliat2 menghindar.
Benar dia berada dibawah angin, namun dalam 10 jurus
saja rasanya tak nanti Swat Moay dapat merebut
kemenangan. ---oo0dwkz^tah0oo--BAGIAN 56 : HABIS GELAP TERBITLAH
TERANG Kembali pada partai Kiau To lawan Hwat Siau, rupanya
jalannya pertandingan makin berat sebelah. Kiau To hanya
dapat membungkus dirinya dengan lingkaran sinar jwanpian sembari loncat kesana menghindar kemari. Benar2 dia
hanya dapat bertahan tak mampu balas menyerang lagi.
Selendang sutera Hwat Siau makin bergelora hidup, dan
makin gencar serangannya. Selendang itu se-olah2
membungkus lingkaran sinar jwan-pian.
Kedua seteru itu sama mainkan senjata yang bersifat
lemas. Jwan-pian atau ruyung lemas Kiau To itu ada kira2
tiga meter panjangnya. Sewaktu diputar, dapat menjadi
sebuah lingkaran yang membungkus dirinya. Tapi oleh
karena selendang si Hwat Siau lebih panjang lagi, jadi
dapatlah dibuat melingkungi lingkaran jwan-pian itu.
Pemandangan yang disuguhkan dari kedua permainan itu,
memang sangat menarik sekali.
Tenaga himpitan yang dibawa oleh gelombang selendang
Hwat Siau itu makin lama makin terasa hebat. Malah tidak
cukup disitu saja kehebatan itu. Sambaran selendang yang
mengeluarkan bunyi men-deru2 itu, disertai pula dengan
hawa panas yang merangsang tubuh Kiau To. Diserang
secara begitu luar biasa, betul2 telah membuat Kiau To mati
kutu didalam terperanjatnya. Melirik kesebelah sana
didapatinya Tio Jiangpun pontang-panting tak keruan
keadaannya. Sedang Ciok ji-soh mendumprah ditanah tak
dapat berdaya suatu apa.
"Ciok ji-soh, apakah kau terluka berat?" tiba2 dia
tergerak pikirannya untuk menegur wanita keras hati itu.
Dalam sepeminum teh lamanya itu, setelah beristirahat
dan menyalurkan hawa dalam, Ciok ji-soh merasa agak
baikan. Maka serunya menyahut: "Tak jadi halangan apa2!"
"Mengapa tak memanggil bantuan?" seru Kiau To.
Seruan itu telah menyadarkan Ciok ji-soh. Bukantah
tokoh silat gereja yang sukar dicari tandingannya, Tay
Siang siansu, itu berada disini" Ai, mengapa ia setolol Itu
tak mau mengundangnya kemari, tapi berkeras mau
melawan sendiri musuh yang terang bukan lawannya itu"
Plak, ia menampar mukanya sendiri selaku menghukum
diri atas ketololannya itu. Serentak loncat bangun, ia terus
hendak lari, tapi bluk....., tahu2 ia terjatuh lagi. Mengapa"
Kiranya Hwat Siau dan Swat Moay cukup tahu apa artinya
kalau Ciok ji-soh berhasil mengundang Tay Siang siansu
kesitu. Sudah tentu mereka tak mau membiarkan nyonya
gagah itu untuk masuk kedalam gereja. Begitu nyonya itu
mengayun tubuh, Hwat Siau segera sentakkan selendang
yang dengan cepatnya segera melegat-legut menyerang.
Karena Ciok ji-soh tak bersiaga, maka ia dipaksa mencium
tanah lagi. Tapi wanita yang keras kepala itu, dengan cepatnya
merangkak bangun lagi, lalu memberosot lari kemuka.
Hwat Siau menggerung. Selendangnya berobah menjadi
sebuah lingkaran yang meluncur keatas kepala Ciok ji-soh.
Kiau To mengeluh kaget. Ketika Ceng Bo bertanding
dengan kepala, jagoan Ceng itu, diapun menyaksikan
dengan mata kepala sendiri bagaimana kehebatannya
selendang itu. Dia insyaf, sekali Ciok ji-soh sampai kena
terlibat selendang itu, jiwa nyonya itu tentu terancam dan
dia sendiripun pasti tak mampu menolonginya.
Bagi seorang ksatrya macam Kiau To, menolong kawan
adalah suatu kewajiban mulia sekalipun andai kata jiwanya
sendiri sampai berkorban untuk itu. Loncat keatas, dia


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

balingkan jwan-pian untuk menghantam
selendang. Hantamannya itu dilancarkan dengan seluruh tenaganya.
Oleh karena Hwat Siau tak mengira kalau Kiau To berani
berbuat senekad itu, maka selendangnyapun kena kehantam
dengan tepatnya. Ujung selendang yang selingkar tadi, telah
terpental keatas dan Ciok ji-sohpun dapat menggunakan
kesempatan itu untuk menyelinap 3 tombak jauhnya.
Diganggu secara begitu, Hwat Siau timpahkan kemarahannya kepada Kiau To. Lingkaran ujung selendangnya tadi kini berbalik melibat jwan-pian Wau To.
Dan sekali menyentak, berserulah Hwat Siau dengan
bengianya: "Lepas!"
Watak Kiau Topun keras seperti baja. Dia bertekad tak
mau lepaskan jwan-piannya. Bahkan senjata itu dicekalnya
erat2. Tapi sesaat itu dia rasakan tangannya sakit bukan
alang kepalang. Kulit telapak tangannya sampai terbeset,
namun dia berkeras hendak mempertahankan. Tapi
bagaimanapun juga, tokh akhirnya jwan-pian itu kena
terkait oleh tarikan selendang Hwat Siau.
Kesemuanya itu hanya berlangsung dalam waktu
beberapa kejab saja. Dengan tertawa menghina, Hwat Siau
alihkan selendangnya mengejar Ciok ji-soh lagi. Ciok jisoh
berputar kebelakang untuk menangkis dengan sepasang
kim-kong-lunnya. Tapi tangkisannya itu bukan saja
menghantam angin, bahkan sebaliknya malah kena terlibat
lingkaran selendang. Hendak ia mencoba melepaskan diri,
namun sia2 jua. Adalah pada saat yang genting meruncing
itu, se-konyong2 dari atas tembok sana terdengar orang
berseru dengan menggeledek: "Keparat, macam berkelahi
apa itu" Hai, mana si kui-ah-thau (budak perempuan nakal)
?" Dalam suasana sehening malam itu, auara seruan itu seolah2 memecah bumi kedengarannya. Memang diluar
dugaan Hwat Siau dan Swat Moay bahwa pertempuran itu
akan berjalan sampai sekian lama. Perhitungannya, dalam
dua tiga gebrak saja mereka tentu dapat membereskan Kiau
To bertiga. Dan ini memang harus begitu, karena mereka
harus lekas2 masuk kedalam perigi agar jangan sampai
kedahuluan orang. Dua puluh jurus lebih telah berlangsung,
tapi berkat perlawanan yang nekad dari ketiga orang itu,
Hwat Sisu dan Swat Moay terpaksa menggigit jari.
Seruan yang mengguntur tadi, telah membuat Hwat Siau
terperanjat. Namun sebagal jago kawakan, dia tak menjadi
gugup dengan gangguan itu. Selanjutnya tetap dilingkarkan
kearah kim-kong-lun. Dengan gunakan tenaga lemas dia
menarik dan itu saja sudah cukup menyeret Ciok ji-soh
sampai setombak jauhnya. Setelah itu barulah dia
mendongak keatas. Sesosok tubuh macam sebuah menara
tampak berdiri diatas wuwungan rumah. Tinggi orang itu
tak kurang dari 2 meter lebih dan perawakannya begitu
gagah perkasanya. Pada lain saat, tampak ada dua sosok
bayangan lagi, tiba disamping orang tinggi besar tadi.
Hanya cara kedua orang itu naik keatas wuwungan, adalah
aneh juga. Kedua sosok bayangan hitam itu naik dengan
menggunakan tangan, kemudian baru tegak berdiri.
Astagafirullah! .......... Begitu berdiri kedua sosok tubuh
itu kira2 hampir 3 meter tingginya. Orang pertama yang
boleh dikatakan sudah jangkung tadi, begitu berjajar dengan
kedua bayangan hitam itu telah berobah menjadi semacam
anak kecil saja. Betapa kejutnya Hwat Siau dapat
dibayangkan. "Niocu, dari 36 jalan!" tiba2 dia menyerukan isterinya.
Seruan itu rupanya sebuah tanda rahasia yang lengkapnya
adalah begini: 'dari 36 jalan, lari adalah yang paling
selamat'. Jadi maksudnya dia hendak mengajak sang isteri
kabur saja. Tapi baru saja ucapannya itu diserukan, atau dari
kejauhan sudah tampak mendatangi ber-puluh2 batang
obor. Kiranya sewaktu mendengar seruan mengguntur dari
sijangkung tadi, para hweshio gereja situ sama terperanjat.
Dengan membawa obor, mereka ber-bondong2 menghampiri keluar. Dalam sekejab saja suasana disitu
menjadi terang benderang laksana siang hari.
Dari cahaya obor, dapat Swat Moay melihat jelas siapa2
yang berdiri diatas wuwungan itu. Si jangkung pertama
tadi, adalah seorang laki2 yang gagah perawakannya.
Sedangkan kedua sosok tubuh yang hampir 3 meter
tingginya itu, kiranya bukan manusia melainkan dua ekor
orang-utan! Juga Kiau To, Tio Jiang dan Ciok ji-soh sudah dapat
mengetahui siapa2 yang datang itu.
"Nyo cecu, kiranya kaulah!" serempak Kiau To dan Tio
Jiang berseru dengan berbareng.
Benar, memang sijangkung itu bukan lain adalah Nyo
Kong-lim itu toa-cecu (pemimpin pertama) dari ke 72
markas Hoasan. "Memang akulah!" Nyo Kong-lim menyeringai tertawa.
Dan bluk....., loncatlah dia turun. Kedua orang-utan itupun
ikut turun. Taringnya yang menonjol dimulut, menampilkan kebuasan yang mengerikan orang.
Sebagai orang persilatan yang banyak makan asam
garam, Hwat Siau dan isterinya cukup menginsyafi sampai
dimana kelihayan bangsa binatang begitu itu. Setelah saling
bertukar isyarat mata, mereka berdua loncat keatas rumah.
"Keparat, belum apa2 sudah mau ngacir!" seru Nyo
Kong-lim nikasar au.
Memang sekalipun memiliki kepandaian yang hebat,
kedua suami Isteri itu adalah bangsa manusia licik.
Bukannya berhenti menyambuti tantangan Nyo Kong-lim
sebaliknya mereka malah enjot pula kakinya untuk loncat
keatas wuwungan rumah yang kedua. Tapi adalah pada
saat itu, dari sebelah luar tembok gereja, loncat masuk
beberapa orang. Dua dari mereka tampak menghunus dua
batang pedang yang bergemerlapan cahayanya. Melihat
jalanan dipegat, Hwat Siau dan Swat Moay loncat balik lalu
tegak saling membelakangi bahu.
Wut, Nyo Kong-lim mencabut sam-cat-kun (toya yang
mempunyai 3 buku), terus loncat keatas. Kiau To, Tio Jiang
dan Ciok ji-soh pun mengikuti dari belakang. Kedua
binatang itupun tak mau ketinggalan, turut melompat
keatas. Sewaktu melihat Tio Jiang agaknya kedua orang
utan itu seperti bertemu dengan sahabat lama. Mereka
menyeringai tertawa, tapi sebaliknya Tio Jiang malah berjingkrak kaget dibuatnya.
Saat Itu ada ratusan hweshio dengan mencekal obor,
menyuluhi wuwungan. Tampak diantara rombongan
orang2 yang datang itu tadi, yang berada disebelah depan
dandanannya seperti seorang pertapaan (imam), berwajah
agung dan mencekal sebatang pedang pusaka. Memang dia
bukan lain Ceng Bo siangjin adanya. Yang berada disisinya
adalah Kang Siang Yan In Hong. Sebelah kanan dan kiri diapit2 Kui-ing-cu dan Thaysan sin-tho Ih Liok. Dibelakangnya terdapat Ki Ce-tiong yang menghunus
sepasang song-kian, serta Sin-eng Ko Thay. Kini belasan
orang itu sama mengepung Hwat Siau dan Swat Moay.
Setelah yakin bahwa kedua kepala benggolan kaki
tangan pemerintah Ceng itu tak dapat lolos, bertanyalah
Ceng Bo kepada Kiau To: "Kiau-heng, bagaimana Yanchiu" Dan lain2 saudara?"
Kiau To sebenarnya masih belum hilang keheranannya
mengapa sekalian tokoh2 kawan seperjoangannya itu dapat
tiba digereja Kong Hau Si pada saat yang begitu tepat.
Setelah merenung sejenak barulah dia sadar, bahwa
kedatangan kawan2 itu adalah hasil dari undangan yang
disebarkan dengan merpati posnya. .
"Ah, terlalu panjang untuk diceritakan. Lebih baik
bereskan dahulu kedua manusia busuk itu!" sahutnya
dengan girang. Kulit tangannya yang terbeset karena ditarik Hwat Siau
tadi masih berlumuran darah. Sewaktu dia menuding
kepada Hwat Siau dan Swat Moay, tangannya yang merah
berdarah itu tampak memberi pemandangan yang
mengerikan sekali sewaktu ditimpa cahaya penerangan
obor. Hwat Siau dan isterinya tampak gelisah sekali.
Rombongan Ceng Bo adalah jago2 keras semua. Apalagi
masih ada Tay Siang siansu. Jadi dapatkah mereka
menyelamatkan jiwa kali ini, adalah suatu pertanyaan
besar. Maka betapapun lihaynya kepandaian kedua suami
isteri itu, tak urung tercekat juga hatinya.
"Apakah saudara baik2 saja?" tanya Ceng Bo kepada
sepasang suami isteri itu. Demikian toleransi (kesabaran)
siangjin itu, sampaipun kepada musuh besar, dia tetap
memberi tegur salam pergerejaan yang ramah.
"Bek-heng mengapa suka membuang waktu saja, labrak
sajalah........." seru si kasar Nyo Kong-lim sembari
kibar2kan sam-ciat-kunnya. Tertumbuk akan hadirnya
Kang Siang Yan, berserulah dia sembari menuding: "Hai,
kiranya kaupun berada disini."
Kang Siang Yan tak mau hiraukan si kasar itu.
Melangkah maju bersama suaminya, mereka berhadapan
dengan Hwat Siau Swat Moay. Melihat itu tertawalah Swat
Moay dengan sinisnya: "Mengapa kamu sekalian perlu
turun tangan lagi" Kami berdua suami isteri akan serahkan
tangan ditangkap!"
Tahu kalau kedua kepala jagoan itu bukan bangsa yang
tak berguna, berserulah sibongkok Ih Liok: "Mengapa"!"
"Hehehe ! ..: " Swat Moay mengekeh, "Kami berdua
suami isteri tak memiliki 3 kepala 6 tangan, bagaimana
dapat melayani kamu sekalian?"
Kini tahulah sekalian orang kemana jatuhnya kata2 Swat
Moay itu. Jadi suami isteri durjana itu kuatir kalau
dikeroyok. Sudah tentu bangkitlah kemarahan orang
binyak. Lebih2 Kang Siang Yan yang terus menyatakan
kepada suaminya: "Ing-ko, cukup kami berdua yang
majulah!" "Ing-ko" (kanda Ing), tanpa terasa mulut si Bongkok
mengulangi kata2 yang merdu dari Kang Siang Yan ketika
membahasakan Bek Ing atau Ceng Bo siangjin.
"Heh, Kang Siang Yan, betapa merdu ucapan Ing-ko itu.
Rasanya sudah 10 tahun lebih saudara Bek Ing rindu
dengan ucapan itu!" si Bongkok menggoda.
"Huh......., lagi2 mulutmu yang lancip itu cengar-cengir
ya!" Kang Siang Yan menyeringai.
Bahwa setelah 10 tahun berpisah karena salah faham kini
kedua suami iateri gagah itu sudah berbaik kembali, telah
disambut dengan perasaan girang oleh sekalian orang
gagah. Tapi diantara sekian banyak yang merasa gembira
itu, hanya Tio Jiang yang tampak gelisah. Dia tetap kuatir
akan keselamatan Yan-chiu yang tetap tak muncul hingga
saat itu: Dia seperti mendapat firasat kalau sumoaynya itu
dalam keadaan berbahaya.
"Suhu, Siao Chiu entah pergi kemana!" katanya melapor
kepada sang suhu dengan nada merengek. Kemudian
dengan ter-bata2 dia menuturkan apa yang telah terjadi
dengan sumoaynya Itu.
"Ayuh, lekas cari dianya!" seru sekalian orang sebelum
Ceng Bo menyatakan apa2.
Hwat Siau dan isterinya yang mengetahui beradanya
sigenit itu, dengan tertawa getir segera mengejek: "Ya,
carilah! Toh nantinya kamu hanya mendapat sesosok
bangkai saja!"
Saking gusarnya Tio Jiang segera menyerang kedua
suami isteri jahat itu dengan sebuah jurus hay-lwe-sip-ciu.
Tapi siang2 kedua suami isteri itu sudah angkat tangannya
masing2 dan tahu2 pedang Tio Jiang telah terdorong oleh
suatu tenaga yang kuat. Bahkan orangnyapun terhuyung
mundur sampai beberapa tindak.
"Setengah jam yang lalu, budak perempuan itu
menceburkan diri kedalam sumur. Jadi kalau nanti
diketemukan, bukantah bakal merupakan mayat belaka?"
kembali kedua suami isteri itu mengejek.
Sudah tentu sekalian orang gusar sekali, tapi dalam pada
itu tak tahu, mereka sebabnya mengapa Yan-chiu sampat
mengambil keputusan yang pendek itu. Berisik sekalian
orang sama memperbincangkan soal itu.
Sebenarnya dengan mengemukakan persoalan Yan-chiu
itu, hendak kedua suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay
itu mengalihkan perhatian orang. Dan ketika siasatnya itu
berhasil dimana semua orang sama asyik membicarakan
sigenit, mereka bersorak didalam hati. Mencuri kesempatan
itu Hwat Siau dan isterinya segera kisarkan kakinya
mundur, lalu se-konyong2 memburu kebelakang.
Yang berada dibelakang mereka adalah Tio Jiang dan


Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiau To. Dasarnya Tio Jiang sudah kacau balau pikirannya
memikirkan keadaan sang sumoay, maka dia tak bersiaga
sama sekali. Apalagi kedua suami isteri itu telah gunakan
seluruh tenaganya untuk menerjang, maka Tio Jiangpun
serasa sesak napasnya karena di-himpit oleh dua buah
tenaga dahsyat. Buru2 Tio Jiang angkat pedangnya untuk
menangkis, tapi dalam pada itu, Swat Moay dan Hwat Siau
sudah dapat membuka sebuah lubang lolos.
Kini tersadarlah semua orang bahwa mereka telah kena
dipedayai. Serempak mereka maju mengejar. Tapi dalam
sekejab itu saja, Hwat Siau dan Swat Moay sudah berada
beberapa meter disebelah muka, suatu jarak yang membuat
kedua suami isteri kegirangan sekali karena yakin tentu
dapat lolos. Tapi se-konyong2 dari arah belakang terasa ada
sambaran angin yang berbau amis. Dalam kesibukannya,
kedua suami isteri itu tak sempat untuk menoleh
kebelakang lagi dan hanya gerakkan tangannya menghantam kebelakang. Blak....., blak...., kiranya tepat
sekali hantaman itu mengenai sasarannya, tapi bukan suara
menjerit kesakitan yang terdengar melainkan gerungan yang
dahsyat. Dan berbareng dengan itu, sebuah tangan raksasa
berkilat dihadapannya. Ketika mereka mendongak mengawasi, hai kiranya kedua orang utan itu tengah
merangsangnya! Kiranya walaupun sekalian orang itu dapat diselomoti,
tapi kedua binatang itu tetap waspada. Ini disebabkan
karena tak mengerti apa yang tengah dikatakan oleh orang2
itu dengan Hwat Siau dan Swat Moay. Yang diketahui oleh
kedua binatang itu, yalah Hwat Siau dan Swat Moay
dikepung oleh orang banyak. Maka begitu kedua suami
isteri itu hendak lolos, dengan sigapnya kedua binatang itu
maju menghadang.
Seperti diketahui, bangsa orang utan yang tinggal di
pegunungan Sip-ban-tay-san itu gemar berloncatan dan
berlari2an. Jadi dalam soal kegesitan, mereka tak dibawah
jago silat kelas utama. Dengan memiliki kulit yang tebal
keras, benar2 mereka merupakan makhluk yang lihay. Dua
buah hantaman kedua suami isteri tadi, cukup mereka kuat
menahannya. Adalah karena kelambatan beberapa detik itu saja,
cukuplah sudah bagi Kang Siang Yan, Kui-ing-cu dan
rombongannya untuk mengejar tiba. Mereka menyusul
turun darl atas wuwungan. Kembali mereka mengepung
kedua suami isteri jagoan Itu.
Nyo Kong-lim menghalau kedua orang utan itu,
kemudian menerangkan asal usul mereka: "Ketika dua hari
aku tersesat dalam bi-kiong (istana sesat) gunung Sip-bantay-san (sebagaimana halnya dengan Tio Jiang tempo hari),
bersua dengan kedua binatang itu yang berada disitu. Pada
lain tempat, kujumpai simpanan ransum makanan, entah
siapa yang telah menaruhkan disitu. Setelah men-cari2
selama setengah tahun, barulah aku dapat keluar dari
tempat itu. Kalau tadi tak ada kedua orang utan itu yang
menghadang, tentulah kedua bangsat itu dapat lolos!"
Seenaknya saja sikasar itu bercerita, se-olah2 bukan
sedang menghadapi pertempuran, sehingga membuat
sekalian orang geli dibuatnya. Adalah tak jauh dari situ,
tampak sumur Tat-mo-keng.
"Biarlah aku yang turun memeriksanya!" seru Tio Jiang.
Tanpa menunggu idin sang suhu lagi, dia terus loncat turun
kedalam sumur. Air sumur itu sudah hening kembali. Lapisan lumpur
yang ber-golak2 tadi pun sudah tenang menutup dasar
sumur lagi. Ilmu berenang Tio Jiang sangat bagus. Begitu
tiba didalam air, dia segera membuka mata untuk
mengawasi kesekeliling situ. Dalam kepekatan air sumur
yang kehitam2an itu, samar2 tampak ada 3 larik cahaya
berkilau. Tio Jiang meluncur kebawah dasar dan
tangannyapun menyentuh tubuh Yan-chiu. Dilihatnya
badan nona itu sudah seperti "terbungkus" lumpur. Dengan
terharu duka, dibawanya sang sumoay timbul kepermukaan
air. Dari mulut sumur yang hanya tiba dimasuki tubuh
seseorang, disorongkannya tubuh Yan-chiu keatas. Syukur
disebelah atas sudah ada orang yang cepat2 menyambuti
untuk menarik Yan-chiu kedaratan. Mulut, telinga dan
hidung nona itu terbungkus lumpur semua, entah masih
hidupkah dia itu " Buru2 diambil air untuk mengguyur
mukanya sampai bersih. Hai, kiranya cahaya muka sigenit
itu masih tetap seperti orang hidup.
Tio Jiang menelungkupi tubuh sang sumoay, menangis
tersedu sedan. Kemarahan sekalian orang ditimpahkan
kepada Hwat Siau dan Swat Moay. Benar Yan-chiu itu
seorang nona genit yang nakal, tapi ia sangat tangkas lincah
dan mempunyai bakat bagus. Sifatnya yang ramah riang
terhadap orang, telah meninggalkan kesan yang mendalam
kepada sekalian orang. Jadi kalau mereka penasaran atas
meninggalnya nona itu, itulah sudah pada tempatnya.
---o-dwkz-0-tah-o--"Hong-moay, ayuh kita lebih dahulu membalaskan sakit
hati Siao Chiu!" seru Ceng Bo kepada Kang Siang Yan
sembari aiapltan pedang.
"Baiklah!" sahut sang isteri sembari kontan menyerang
tenggorokan Swat Moay dengan jurus pah-ong-oh-kang.
Melihat isterinya sudah mendahului, Ceng Bopun segera
menyusuli dengan sebuah jurus Tio-ik-cut-hay.
Suami isteri Hwat Siau dan Swat Moay itu insyaf, bahwa
kali ini mereka bakal menghadapi suatu pertempuran hebat.
Jadi mereka sangat ber-hati2 sekali. Mereka berdiri saling
merapat punggung, supaya dapat bahu membahu bertempur
Begitu tusukan pedang memburu, Hwat Siau mundur
selangkah sembari gontaikan selendang sutera untuk
melibat kedua pedang lawan. Sedang Swat Moaypun
dorongkan sepasang tangannya kemuka untuk menghantam
kaki Kang Siang Yan dan Ceng Bo.
Selendang sutera anyaman benang emas putih itu, melingkar2 bagaikan seekor naga menari. Tapi pedang Kang
Siang Yan dan Ceng Bo itu adalah pedang pusaka
songhong-kiam (sepasang burung cenderawasih) yang dapat
dibuat membelah segala macam logam. Karena gugupnya
lupalah sejenak Hwat Siau akan hal itu. Maksudnya dia
hendak melibat kedua pedang itu, tapi tak tahunya ujung
selendang telah kutung menjadi 3 potong. Kini selendang
itu hanya tinggal 2 tombak panjangnya.
Sedang untuk serangan Swat Moay tadi, Kang Siang Yan
dan Ceng Bo ber-sama2 loncat keudara untuk menghindarinya. Selagi masih diatas, pedang berganti gaya
dalam jurus Kut-ji-thou-kang dan Boan-thian-kok-hay. Dua
batang pedang yang memancarkan sinar ke-hijau2an
memburu dari 4 jurusan, laksana sebuah jaring pedang yang
hendak memperangkap Hwat Siau dan Swat Moay.
Jangankan Hwat Siau dan Swat Moay yang merasakan
sendiri, sedang sekalian orang yang melihat saja, sudah
sama kabur pandangannya dan ter-longong2 mengawasi
pemandangan yang menakjubkan itu.
GAMBAR 102 Sambil merapatkan punggung mereka, Hwat Siau dan Swat
Moay keluarkan lwekang mereka yang hebat untuk menempur
Ceng Bo dan Kang Siang Yan.
Dengan ditabasnya kutung selendangnya itu, Hwat Siau
terdesak dibawah angin. Dan serta menampak rangsangan
jaring pedang yang begitu rapat, dengan gugupnya Hwat
Siau segera gentakkan selendangnya menjadi lurus kaku,
lalu menyodok kaki Ceng Bo. Berbareng dengan itu,
tangannya kiri menyusuli sebuah hantaman. Dua buah
serangan itu, dia tujukan kearah Ceng Bo siangjin semua.
Ini disebabkan karena dia cukup tahu bahwa siangjin Itu
lebih lemah dari isterinya (Kang Siang Yan).
Se-lemah2nya, Ceng Bo juga bukan jago sembarangan.
Sudah tentu dia tak begitu mudah dirubuhkan dengan
serangan itu. Setelah loncat keatas sedikit, mulutnya bersuit
keras dan pedangnyapun berganti jurus dengan ceng-witian-hay. Seperti berulang kali kami lukiskan, ilmu pedang
to-hay-kiam-hwat itu, jurus berikutnya lebih hebat dari jurus
yang terdahulu. Ceng-wi-tian-hay merupakan jurus kedua,
baik gaya dan perbawanya jauh lebih hebat dari jurus
pertama tadi. Tapi hantaman yang dilancarkan Hwat Siau tadi
mengandung tenaga kuat yang panas sekali rasanya,
sehingga Ceng Bo serasa terhimpit napasnya. Buru2 dia
kerahkan hawa dalam untuk bertahan.
Telah diterangkan diatas tadi bahwa suami isteri Hwat
Siau dan Swat Moay itu bertempur dengan saling
tempelkan punggung masing2. Kala itu se-konyong2 kaki
mereka berkisar dan berobahlah kini posisi mereka. Hwat
Siau menghadapi Kang Siang Yan sedang Swat Moay
melayani Ceng Bo. Kiranya kedua suami isteri jagoan itu,
sudah mempunyai latihan bersama yang sempurna sekali.
Begitu berkisar, Swat Moay sudah lantas lancarkan dua
buah hantaman. Belum lagi hawa panas tadi dirasakan
hilang oleh Ceng Bo, atau kini ada lagi rangsangan hawa
dingin datang. Begitu cepat dan sebat perobahan itu
berlangsung, hingga Ceng Bo yang tak keburu bersiap,
seketika menggigil kedinginan. Begitu pula Hwat Siau yang
menghadapi Kang Siang Yan, sudah segera melancarkan
serangan lwekang panas, jadi keadaan Kang Siang Yanpun
serupa dengan Ceng Bo. Tapi disebabkan lwekang nyonya
gagah itu jauh melebihi sang suami, jadi serangan lwekang
panas dingin yang ber-tubi2 dilancarkan itu, dapat juga
ditahannya. Pedangnya tetap memain dengan lincahnya.
Walaupun gerakan Ceng Bo agak lambat karena
menghadapi tekanan lwekang yang aneh itu, namun dengan
paksakan diri dapat juga dia langsungkan jurus ke 4, 5 dan
6. Maju merapat dengan Kang Siang Yan, dia selalu
membura kearah bagian jalan darah yang berbahaya dari
musuh. Hwat Siau dan isterinya tetap gunakan siasat berputar2. Dan perputaran itu makin lama makin pesat.
Walaupun hanya dengan sepasang tangan kosong, namun
pukulau Iwekang yang sebentar memancarkan hawa panas
dan sebentar hawa dingin lama kelamaan telah membuat
Ceng Bo kepayahan juga. Karena terlalu lama menahan
napas untuk menolak serangan lwekang musuh, hawa
dalamnya merangsang naik sehingga mukanya menampilkan cahaya merah membara. Melihat keadaan
sang suami, Kang Siang Yan kaget sekali. Mengisar kaki
mendekati, bertanyalah ia: "Kau bagaimana?"
Ceng Bo seperti si gagu yang makan getah. Menderita
siksaan tapi sukar mengatakan. Jadi dia tak menyahut
pertanyaan isterinya itu. Sebaliknya Kang Siang Yan segera
mengetahui bahwa Iwekang suaminya itu kurang kuat, tak
boleh lama2 menghadapi lwekang istimewa dari lawan.
"Mundurlah, biar aku sendiri yang melayani!" buru2 ia
menyuruh Ceng Bo tinggalkan gelanggang. Tepat pada saat
itu Swat Moay melancarkan sebuah hantaman, Kang Siang
Kesatria Berandalan 4 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Tusuk Kondai Pusaka 12

Cari Blog Ini