Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu Bagian 10
mengelilinginya seorang saja.
Dewa Ajaib tidak pernah melihat formasi semacam ini, tetapi ada sedikit hal yang dikenalnya sangat.
Inilah formasi I-Ching. Formasi 8 arah yang berdasarkan bentuk cangkang
kura-kura tua. Sepertinya mereka bakal menyerang secara kompak untuk menjatuhkan dewa
Ajaib. Dengan tanpa aba-aba panjang, semua pengeroyoknya segera menyerang ke
arah dewa ajaib.
Sungguh sebuah formasi yang hebat...
Formasi yang terlihat tidak ada lagi celah. Formasi ini sangat cocok mengepung
seorang saja. Sepertinya dewa ajaib bisa dalam masalah yang tidak kecil.
Tongkat para pengemis itu bergerak sesuai dengan perubahan formasi I-ching.
Semua jurusnya padat dan bertenaga dalam tinggi.
Sedangkan dewa ajaib yang melihat hal ini sempat bingung, sepertinya dia tidak
mampu berkelit dengan cepat lagi. Karena betapapun hebatnya dia berkelit, pasti ada ruang yang janggal kemudian.
Dalam beberapa puluh jurus, terlihat Dewa ajaib telah menerima 3-4 pukulan ke
arah kakinya. Lalu dengan sangat marah, dia menarik tongkat salah seorang pengemis.
Dengan sekali hentak, pengemis itu telah terlempar lumayan jauh. Dengan
tongkat itu, segera dia rapal jurus yang "diajari" oleh Jieji. Jurus pedang ayunan dewa musim semi.
Kelebat tongkat dari Dewa Ajaib sungguh hebat, meski dia baru belajar beberapa
minggu. Tetapi jurusnya ini tidak gampang dipandang remeh.
Ayunan Pedang ini tidak melawan jurus tongkat mereka, tetapi malah
mengikutinya dengan gerakan yang amat cepat.
Semua orang yang melihatnya sangat terkagum-kagum. Sebelum tongkat terlihat
menyerang orang depan, orang di belakangya telah roboh. Tetapi ketika
penyerang dari depan mengeluarkan jurus hebat ke arahnya, dia tidak berkelit.
Tetapi mengikuti arah serangan, tongkat-nya dewa ajaib berbalik kembali.
Dalam 10 jurus kemudian, terlihat belasan pengemis telah jatuh akibat pukulan
tongkat. Jika saja tongkat diganti dengan pedang, mungkin pengemis itu tidak akan hidup
lebih lama lagi jika terserang.
Dewa Ajaib sangat bergembira, tidak disangka ilmu penyempurnaan Jieji sangat
hebat ketika bertarung dalam pengeroyokan musuh.
Sewaktu menciptakan ilmu ini, Dewa Ajaib merasa sangat sempurna adanya.
Hanya 1 hal yang tidak terpikirkan olehnya yaitu jika yang menyerangnya adalah
banyak orang, maka ilmu pedang ayunan dewanya yang 7 tingkat memiliki
kelemahan yang banyak.
Sekarang hal ini telah teratasi akibat ciptaan 2 jurus baru tersebut.
Tetapi sebelum dia girang lama, dia merasakan hawa tapak yang dahsyat luar
biasa sedang menuju ke arahnya.
Dewa ajaib tentu sangat terkejut...
Dengan mengancangkan tapaknya cepat, dia melayani tapak dahsyat dengan
sebuah hentakan.
Ketika kedua tapaknya bertemu...
Sinar kilat cepat dan benturan hebat segera terjadi. Terlihat penyerang mundur
hampir 10 kaki akibat benturan tenaga dalam yang dalam sekejap itu.
Dewa Ajaib meski tidak apa-apa terakhir, tetapi dia juga sangat terkejut. Inilah jurus tapak mayapada yang disempurnakan. Dewa Ajaib pernah melihat tapak
seperti itu beberapa puluh tahun yang lalu. Tetapi dia tidak menyangka ada juga pengemis yang menguasai ilmu ini.
"Tapak pemusnah raga?" tanyanya heran kemudian.
Penyerangnya tak lain adalah tetua di tengah tadi.
"Bukan... Inilah jurus kedua dari 18 tapak naga mendekam milik Kaibang... Siapa sesungguhnya anda?" tanya tetua itu.
"Ha Ha... Hebat... Hebat... Tidak disangka si tua Pei Nanyang itu melakukan hal yang hebat.. Dia malah mengangkat seorang pengemis untuk menjadi muridnya.
Tidak tahu malu dia itu..." kata Dewa Ajaib sambil tertawa keras.
Tetapi, para pasukan Kaibang sangat tidak senang mendengarnya. Apalagi tetua
di tengah itu. Dengan marah dia menghampiri dewa ajaib.
"Dia itu kakek guruku... Beraninya kau!!!!"
"Kakek guru" Ha Ha.... Ini lebih lucu lagi.. Kau dengannya tiada banyak
perbedaan umur. Tetapi dia mengangkatmu sebagai cucu muridnya... Lain
halnya dengan diriku, jika kau kuangkat sebagai cucu murid, mungkin masih
sangat pantas... Sungguh lucu sekali...." kata Dewa Ajaib sambil
terpingkal-pingkal
Para pengemis Kaibang sepertinya tidak tahan lagi mendengar ejekan dari
Orang tua aneh ini, mereka lantas telah siap untuk menyerang kembali.
Tetapi, sebelum mereka melancarkan jurus. Mereka dengan tiba-tiba melihat
seorang pemuda paruh baya telah berdiri di tengah.
Entah kapan pemuda ini datang, siapapun belum sempat melihatnya.
Tetapi dia telah berada di depan Dewa Ajaib...
"Kau......" kata Dewa Ajaib dengan sangat girang.
Sedangkan Zhao kuangyin dan Yunying yang melihat orang tersebut juga
sangatlah girang.
Dengan berjalan ke arah tengah, Zhao memberi hormat kepadanya.
"Tuan Qianhao... Apa kabarnya?" tanyanya.
"Yang mulia tiada perlu sungkan...." kata Zhen Qianhao membalas hormat itu.
Tentu semua partai pengemis kontan terkejut luar biasa. Mereka tahu bahwa
kakek guru mereka telah sampai di tengah arena pertarungan tadinya. Tetapi hal
yang paling tidak disangka mereka adalah Sung Taizu juga berada disana.
Tetua ditengah sangatlah malu, dia tidak menyangka bahwa kakek gurunya
sendiri adalah teman baik mereka semua.
Dengan segera, dia maju dan memberi hormat.
"Maafkan kita semua kakek guru...."
"Sudah... Tidak apa-apa... Segera pimpin anggotamu untuk menuju ke kota Ye saja." kata Pei Nan Yang.
Mendengar apa kata Qianhao, mereka semua segera bubar. Tetapi bersama
Zeng Qianhao, mereka berniat melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda
sesaat itu. "Yang Mulia, jadi benar adanya anda tidak berada di Kaifeng?" tanya Qianhao dengan hormat ke arah Zhao.
"Betul..." kata Zhao yang seraya menceritakan pengalamannya, bagaimana dia diracuni dan bagaimana dia bisa sampai ke Dongyang kemudian.
Zeng Qianhao mendengarnya dengan sangat cermat, beberapa kali dia
menghela nafas panjangnya.
"Tuan... Apakah kamu mendengar bagaimana gosip dunia persilatan kemudian
dalam 3 tahun ini?" tanya Yunying ke arahnya.
"Iyah... Sepertinya hal ini tidak menguntungkan Xia Jieji, aku sedang dalam perjalanan menuju ke kota Ye. Tetapi tidak disangka bertemu dengan kalian
disini. Sepertinya kali ini lumayan gawat untuknya. Selain itu... Saya juga akan mencairkan sebuah masalah disana..." Kata Pei Nanyang yang kemudian.
Mereka dengan cepat melanjutkan perjalanan sebelum malam adanya
menjemput. BAB LXXVII : Gurun Tua Mongolia
Kembali kepada Jieji...
Setelah berpamitan dengan Yuan Jielung dan kawan-kawan di perbatasan kota
Ye. Dia segera berniat untuk mengambil arah utara. Entah apa maksudnya,
tetapi di dalam hatinya dia berniat mencari sesuatu yang telah tertunda beberapa tahun yang lalu disana.
Dalam perjalanan yang hanya sekitar 1 jam ke arah utara, tiba-tiba dia teringat akan sesuatu hal. Hal yang dirasakannya memang sepertinya penting. Tetapi
karena hal ini tidaklah begitu memusingkan dirinya. Maka dia segera melanjutkan perjalanannya pula ke arah utara tanpa menghiraukan benda yang sempat
tertinggal tadinya itu. Jieji tidak tahu, benda ini meski kelihatan tidaklah penting.
Tetapi benda ini jugalah yang akan menentukan hubungan dirinya dengan
keluarganya. Di daerah perbatasan tempat terjadinya pertarungan...
Di sana tertampak seorang pemuda yang keluar dari tempat persembunyiannya.
Dengan berjalan cepat, dia menuju ke arah sesuatu yang sempat dijatuhkan oleh
Jieji saat pertarungannya tadinya.
Dia segera jongkok untuk mengambil benda tersebut yang tak lain adalah kipas
yang dipakai Jieji untuk menyamar sebagai seorang sastrawan.
Terlihat pemuda itu tersenyum sangat sinis dan penuh kemenangan saat dia
mengambil kipas tersebut, di dalam pemikirannya terdapat beberapa hal yang
tidak mengasikkan tentunya.
Sepuluh hari kemudian di tanah tua Mongolia...
Jieji telah sampai disana. Sepertinya dia sedang mengamati sesuatu hal yang
dirasakannya sangat penting. Tentu hal ini adalah menyangkut asal-usul benda
yang masih terselip di pinggangnya sendiri.
Pedang ekor api...
Kenapa pedang ini disebut sebagai pedang pemusnah raga"
Dan kenapa para "Dewa" memperebutkan benda tersebut, dan bukannya pedang Es rembulan. Hal ini cukup menjadi pertanyaannya selama beberapa tahun yang
belum terjawab.
Mumpung waktu Jieji masih banyak, dia berniat memecahkan misteri yang masih
tertanam di hatinya.
Gurun pada siang hari memang panas sangat luar biasa.
Dengan berpakaian yang cukup tertutup, Jieji berniat mencari desa terdekat
terlebih dahulu untuk mencari informasi tentang daerah gurun tua ini.
Setelah sekitar 5 jam dia berkeliling daerah gurun, akhirnya dia menemukan
sebuah tempat yang terdapat banyak perkemahan.
Orang-orang di gurun bersifat nomaden. "Rumah" mereka biasanya dibangun dekat aliran air ataupun sungai kecil guna bisa menghidupi diri disana.
Jieji dari jauh melihat pemandangan yang cukup luar biasa yang belum pernah
dilihatnya langsung. Barisan perkemahan disini sangat mirip dengan barisan
perkemahan di perbatasan layaknya ketika kedua negara sedang melakukan
peperangan. Dengan terkagum-kagum akan perkemahan yang lumayan luas itu, dia berkuda
pelan mendekatinya.
Orang-orang yang tinggal di daerah dekat aliran sungai tersebut segera
memandang ke arahnya.Melihat Jieji datang berkuda sendirian, mereka segera
keluar sambil membawa senjata mereka masing-masing untuk menghadangnya.
Jieji yang melihat hal aneh ini, segera turun dari kuda dan memberi hormat ke
arah mereka. "Ada apa para tuan-tuan begitu terkejut melihatku?"
"Siapa kau... Apa maksudnya datang ke daerah kita?" tanya seorang yang di tengah setelah serius mengamatinya beberapa saat.
"Tidak ada apa-apa... Saya hanya ingin meminta air untuk diriku sendiri dan kudaku... Selain itu, sepertinya malam mulai mendekati. Bisakah saya meminjam
tempat untuk beristirahat malam ini?" tanya Jieji kemudian.
"Tidak bisa... Kau lanjutkan saja perjalananmu itu secepatnya. Masih sekitar 10 li dari sini sebelah barat. Kau bisa temukan penginapan, disana kau bisa
beristirahat.." katanya dengan sangat kasar.
Orang di tengah ini sepertinya usianya hanya sekitar 30 tahun-an. Mukanya
berewokan dan suaranya juga sangat kasar.
Jieji hanya memandang ke arahnya dengan serius.
Tetapi saat mereka berdua berbincang, hal ini telah mengundang lumayan
banyak penduduk disana untuk mendekati Jieji.
Mereka memandang ke arah Jieji dengan cukup heran. Mereka merasa kenapa
pemuda dari daratan tengah bisa sampai ke sana"
Tidak berapa lama sebelum Jieji ingin meninggalkan tempat itu. Dia disapa oleh
seseorang. Jieji segera melihat ke arah orang tersebut, dan segera turun dari kuda kembali.
Dia datang memberi hormat kepadanya dengan sopan.
"Tuan... Anda benar dari daratan tengah" Apa maksud anda datang ke tempat
ini?" tanyanya.
Orang yang berbicara kepada Jieji adalah seorang tua yang berpakaian cukup
aneh. Selain itu, di tangannya memegang sebuah tongkat yang cukup besar. Dia
cukup terlihat berkharisma adanya.
"Pak Tua.. Namaku Jieji dari daratan tengah. Tujuanku kemari adalah untuk
mengamati pemandangan gurun yang nan indah ini saja. Tidak ada maksud
lain..." kata Jieji berbohong kepadanya.
"Ha Ha... Orang bilang daratan tengah adalah daerah yang nan subur dengan
pemandangan yang luar biasa indah dan sangat cocok untuk ditinggali, tetapi
tidak disangka di daratan tengah juga ada orang yang seaneh anda yang
jauh-jauh kemari hanya untuk melihat pemandangan..." katanya sambil tertawa keras.
Hal ini di kuti oleh beberapa orang di belakang pak tua tersebut.
Tetapi Jieji hanya tersenyum simpul sambil memberi hormat. Dia merasa orang
tua ini adalah orang yang mempunyai pengaruh lumayan besar dari semua orang
disana. Lantas kembali dia memberi hormat.
"Pak tua, bisakah aku tinggal beberapa saat disini" Karena kudaku juga telah capek sepertinya. Mungkin perjalananku tidak bisa dilanjutkan lagi..." kata Jieji dengan sopan kepada orang tua tersebut.
"Baiklah kalau begitu.. Kamu boleh tinggal disini. Tetapi hanya untuk beberapa hari saja. Sebab...." katanya dengan mengerutkan dahinya kembali.
"Tenang saja pak tua... Saya tidak akan berani merepotkan anda terlalu lama...
Begitu besok pagi, aku akan melanjutkan kembali perjalananku..." kata Jieji memberi hormat kepadanya.
Pak tua kemudian menganggukkan kepalanya dengan pelan.
Setelah itu, dia meminta beberapa orang dibelakangnya untuk menyediakan
sebuah tempat untuknya. Sebuah perkemahan yang tidaklah besar, tapi sudah
sangat cukup untuk bisa ditinggali oleh Jieji sendiri.
Saat sore... Jieji berjalan sendiri untuk menikmati pemandangan daerah itu.
Di sebelah barat perkemahan terdapat sungai kecil yang alirannya tidak deras.
Selain itu, terlihat adanya padang rumput yang lumayan luas disana terbentang.
Sungguh sebuah pemandangan yang jarang dilihatnya. Dia bernafas lega juga
melihat semua pemandangan itu.
Sambil duduk di sebuah batu kecil. Jieji mulai berpikir.
Dia ingin menanyakan hal mengenai pedang kepada orang tua itu, tetapi dia
belum mendapatkan daya yang sempurna.
Apalagi pedang ekor api bukanlah sebuah pedang sembarangan, maka dalam
mengungkapkannya dia juga ingin sangat berhati-hati sekali.
Tetapi tidak lama sebelum dia berpikir keras.
Seseorang mendekatinya. Dari langkah saja, Jieji telah tahu siapa yang sedang
datang tanpa melihatnya. Karena langkah tersebut di kuti dengan suara tongkat
yang lembut terasa adanya.
Sambil berdiri dan berbalik menghadap kepadanya, Jieji memberi hormat.
"Pak tua...."
"Hm...." Kata orang tua itu seraya duduk mengambil batu di sampingnya.
"Kamu tahu nak" Kenapa tadi banyak orang yang mencegatmu di tengah jalan?"
tanya orang tua itu.
"Tidak tahu pak tua...."
"Kamu tahu" Kita sebagai bangsa nomaden selalu saja tidak pernah akur satu sama lain. Oleh karena itu, kita selalu mencurigai orang sendiri daripada orang lainnya..." kata pak tua itu dengan mengerutkan dahinya.
"Benarkah" Jadi memang benar ada musuh dari desa tersebut yang benar akan
datang suatu saat nantinya?" tanya Jieji.
"Ha Ha... Kamu sangat cerdas nak... Saya mendengar kalau banyak orang
daratan tengah yang cerdas. Ternyata benarlah adanya.." kata orang tua ini sambil tertawa.
Jieji hanya memberi hormat kepadanya pendek.
"Di daerah kita... Suku sendiri saja saling berebut tanah. Entah sampai kapan semua suku kita ini bisa akur dan membina hubungan baik sesamanya..." kata pak tua sambil menghela nafasnya.
"Ini pasti juga ada sebabnya kan" Selain itu, jika bangsa Mongolia bersatu padu.
Mungkin bangsa lainnya tidak akan mampu meremehkan bangsa mongol lagi..."
kata Jieji memberi kesimpulan.
"Betul nak.. Mungkin suatu hari akan sampai nantinya. Tetapi hal yang kita bicarakan sesungguhnya bukanlah ini.. Nak, namaku Agula. Saya adalah kepala
desa disini sejak 50 tahun yang lalu. Suku kita dinamakan suku Jiamojin.
Penduduk disini mungkin telah sekitar 1000 orang lebih. Tetapi suku kita selalu mendapat ancaman dari arah utara, yaitu suku Mibao. Dalam 5 tahun terakhir,
kita sudah mengalami perang beberapa kali."
Sebelum Pak tua menceritakan lebih lanjut, Jieji memotongnya.
"Jadi karena inilah aku dicurigai ketika pertama kali datang kemari?"
"Ha Ha.. Betul.. Oleh karena itu nak, kami meminta maaf kepadamu."
"Tidak apa-apa pak tua.." kata Jieji pendek.
"Hm.... Aku kira beberapa hari lagi mungkin akan terjadi lagi pertempuran satu
sama lainnya karena sejak 5 hari yang lalu, suku Mibao telah mengirimkan surat
tantangan perang. Sampai kapan bisa damai kembali?" kata pak tua itu dengan
sungguh sungguh.
Jieji yang mendengar apa hal yang dikatakan pak tua Akula, hanya bisa
menghela nafas panjang. Kemudian terlihat mereka berdua hanya duduk melihat
pemandangan matahari terbenam yang sungguh indah adanya.
Malam harinya...
Jieji diundang kepala desa Akula untuk menghadiri rapat persidangan mereka.
Tetapi dengan diundangnya Jieji, maka banyak pihak juga yang tidak senang
adanya. Bagaimanapun mereka menganggap bahwa Jieji kemungkinan adalah
mata-mata dari suku lainnya untuk mencari informasi.
Tetapi sepertinya Akula tidak menganggapnya begitu. Dia melayani Jieji dengan
sangat baik. Dia diberikan status "duduk" yang cukup tinggi. Selain itu, Jieji mendapat gelas emas untuk susu arak kuda yang terkenal.
Sepertinya pak tua merasa dia ada "jodoh" dengan Jieji. Sehingga dia sangat
menghormati pemuda ini.
Suasana dalam ruangan rapat yang hanya berbekal tenda yang tidak terlalu
besar tersebut cukup tegang. Sepertinya para "jenderal" tidak sabar lagi semuanya.
"Kepala desa... Tidak usah kita banyak berbicara terlalu banyak dengan suku
Mibao lagi. Besok akan saya pimpin pasukan melewati hutan misteri untuk
berhadapan langsung dengan mereka semua sambil menunggu pasukan dari
Mibao tiba." tutur seorang pemuda yang sempat menghalangi Jieji di depan
tenda perkumpulan suku mereka tadinya.
Jieji berpikir mungkin orang inilah termasuk "Jenderal" dari desa mereka. Tetapi bagaimanapun peperangan langsung berhadapan sungguh tidaklah manjur,
sebab bagaimanapun korban yang berjatuhan akan banyak sekali. Jieji hanya
duduk sambil mengusap dagunya sambil berpikir. Dia tidak sanggup memberikan
Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
komentar apapun karena dia sama sekali tidak tahu lokasi strategis di daerah itu yang baik.
Tetapi dia juga ingin sekali menolong orang tua itu.
"Baiklah... Bersamamu akan diangkat asisten 3 orang. Selain itu kamu bisa
membawa 200 orang pasukan dari sini." kata Pak tua itu dengan perasaan yang masih bercampur aduk.
"Saya ingin ikut juga...." teriak seseorang dari arah samping.
Semua segera melihat orang tersebut. Perawakan orang ini tidaklah tinggi, dari
sinar matanya nampak kepercayaan diri yang tinggi. Selain itu, tubuh pemuda ini agak kekar dan kasar.
"Tidak bisa Jing Hu, kamu disini untuk melindungi desa ini. Melindungi rakyat yang masih di bawah umur dan wanita bukanlah pekerjaan yang mudah. Oleh
karena itu, aku mengangkatmu untuk berposisi di dalam bukannya di luar..." kata Pak Akula dengan pengertian kepadanya.
"Tetapi dalam peperangan beberapa tahun ini, aku tidak pernah berada di garis depan. Untuk hal ini aku cukup malu adanya...." kata Jing Hu dengan tunduk.
"Tidak bisa kamu katakan hal semacam ini. Tanpa desa ini, suku kita Jiamojin tidak mungkin ada. Kamu sangat kuharapkan karena tiada orang lain lagi yang
sanggup menjaga desa ini..." kata Pak tua kembali.
Terlihat pemuda bernama Jing Hu ini hanya menyilangkan tangannya ke dada.
Ternyata inilah cara bangsa mongol memberi hormat. Namun, dari wajahnya
masih tertampak rasa tidak senang dan mendongkol.
Semua hal telah diputuskan. Oleh karena itu, rapat hari ini telah selesai adanya.
Tinggal persiapan untuk peperangan saja.
Dalam ruangan, Jieji terakhir berjalan keluar sambil meminta pamit kepada
kepala suku atau kepala desa ini. Kepala desa hanya menganggukkan kepalanya
pelan saja sambil memandang ke arah Jieji yang terus keluar meninggalkan
ruangan. Setelah keluar, dia langsung memilih tempat yang tadi sorenya sempat dia
duduk. Yaitu di arah aliran sungai kecil dan duduk di batu sambil menenteng guci arak yang cukup besar.
Sambil menikmati pemandangan malam dia meneguknya dengan sangat nikmat
seperti sedang dahaga saja.
Desiran angin malam sepertinya makin dingin saja.
Tetapi hal ini sama sekali tidak menghalangi Jieji untuk menikmatinya. Dia duduk telah sekitar 2 jam disana. Sampai kembali dari arah belakang ada suara yang
mendekatinya. Suara yang tentu tidak asing. Suara yang tadi sore dirasakannya.
Langsung saja suara itu berhenti di tempat pas di sampingnya. Sambil duduk dia
memandang ke arah Jieji yang terus-terusan meneguk guci arak itu.
Tentu orang ini adalah Pak tua Akula yang juga menenteng seguci arak kecil di
tangannya. "Kamu belum tidur nak?" tanyanya.
"Belum pak... Aku telah terbiasa tidur tidak pada waktunya...." kata Jieji.
"Ha Ha... Betul... Semua orang tentu punya masalah tersendiri yang susah
diungkapkan..."
"Betul.... Betul.... Hidup memang begini..." kata Jieji sambil meneguk arak di guci yang telah hampir habis.
"Kamu sudah berkeluarga nak?" tanya Akula.
"Tentu... Aku berasal dari wilayah timur, Dongyang. Disana aku telah mempunyai seorang isteri yang cantik dan seorang anak yang masih bayi...."
"Ha Ha... Tetapi anehnya kenapa kamu tidak membawa mereka kemari
sekalian?"
"Tidak pak.. Saya tidak mungkin membawa mereka ke tempat tersebut
mengingat gurun bukanlah tempat bermain yang bagus..." kata Jieji dalam
keadaan setengah mabuknya.
"Betul... Sesekali mungkin aku akan mencoba menikmati pemandangan daratan
tengah. Jika perdamaian telah baik disini. Aku akan ikut cucuku untuk ke daratan tengah saja.."
"Wah, ternyata anda juga telah punya seorang cucu" Apakah cucumu berada di daratan tengah sekarang?"
"Betul... Dia berada disana. Tadinya ingin kujodohkan dengan anda. Tetapi
karena tahu nak Jieji telah mempunyai pedamping, tentu tidak akan kulakukan
lagi... Ha Ha..."
Jieji yang melihat tingkah orang tua ini juga agak heran. Kenapa orang tua ini
yang belum mengenalinya lantas berani menjodohkan cucunya dengannya.
Lantas dengan mengalihkan pembicaraan Jieji berkata sendiri.
"Orang-orang mengatakan gurun adalah tempat yang seperti surga adanya...."
kata Jieji sambil menatap langit yang penuh bintang.
Sepertinya langit di gurun sungguh berbeda dengan langit China daratan.
Langit disini sangat penuh bintang adanya. Bagaikan sorga tiada beroda kaki.
Suasana malam di gurun memang sungguh luar biasa sekali. Tentu Jieji yang
lumayan puitis melihatnya segera mengucapkan kata-kata seperti itu.
"Siang berkepanjangan dan tiada akhir dengan Malam abadi dan damai
berkelanjutan...." sambungnya kembali sambil meneguk arak di guci.
Orang tua ini yang melihat tingkah Jieji yang terkesan aneh segera
mengaguminya. Dia merasa bahwa Jieji bukanlah orang sembarangan. Selain
itu, dari pinggangnya yang terus terselip sebuah "pedang aneh" lantas memberinya perkiraan bahwa Jieji adalah seorang pesilat. Setidaknya mungkin
ilmu silat Jieji juga telah lumayan tinggi adanya.
Mereka berdua duduk sampai pagi adanya di tempat itu. Sesekali mereka
menceritakan tentang kehidupan mereka sendiri.
Pak tua mengatakan bahwa dia mempunyai seorang cucu perempuan yang juga
bisa silat. Kata Pak tua, cucunya melayani kerajaan. Dan merupakan pasukan
khusus dalam kerajaan.
Sementara Jieji menceritakan tentang keluarganya yang di Dongyang.
Mereka berdua sering terlihat tertawa senang sambil meneguk arak.
Keesokan harinya...
Jieji tetap 1 malam tiada tidur. Dia hanya duduk disana, di dekat aliran sungai.
Sementara itu pak tua akula telah pulang ke tendanya menjelang pagi benar.
Sebenarnya malam di gurun sungguh sangatlah berbeda dengan siang hari
disana. Malam di gurun sungguh sangat dingin. Dinginnya malam di gurun tidak
jauh berbeda dengan dinginnya daerah gunung Fuji pada malam hari.
Jieji adalah seorang yang mempunyai tenaga dalam yang tinggi, jadi mengenai
masalah cuaca tentu tidak sanggup membuatnya tidak berkutik. Sementara
orang-orang di perkemahan yang mengetahui Jieji tidak tidur semalaman juga
merasa heran. Bukan saja karena dia tidak tidur, melainkan dia duduk sendiri tanpa alas dan
tiada pakai baju yang sangat tebal.
Paginya, orang-orang yang melihatnya sungguh terkejut. Sebab dari wajahnya,
tiada tampak rasa mengantuk ataupun lelah. Semua orang di daerah itu
terkagum-kagum melihatnya.
Pak tua Akula segera mengantar kepergian Jenderalnya bersama 200 orang
prajurit ke arah utara menuju ke arah hutan misteri.
Setelah semua dirasanya beres, dia kembali mencari Jieji.
"Nak Jieji, apa kamu sungguh akan pergi hari ini?" tanya pak Akula kepadanya.
"Tidak pak... Saya tidak akan pergi dengan begitu saja..." kata Jieji menatapnya serius.
"Loh" Memang ada masalah apa Nak Jieji?" tanya Akula sambil keheranan kepadanya.
"Mengenai suku Mibao.. Aku tidak akan berpangku tangan..." kata Jieji.
"Bagaimana menurut pandangan anda sendiri?"
"Pasukan Jiamojin mungkin saja sulit mencapai kemenangan..." tutur Jieji pendek.
"Kenapa?""
"Itu tidak usah diherankan dahulu... Pasukan Jiamojin baru saja berangkat
sekarang ke sana. Lalu pak Akula pernah berpikir bahwa bagaimana jika
pasukan Mibao terlebih dahulu telah menempatkan pasukan di hutan misteri itu?"
tanya Jieji. "Ha Ha.. Memang.. Jika hutan misteri itu adalah hutan biasa, maka mungkin kita bisa takut. Tetapi hutan misteri bukanlah hutan biasa. Disana dikabarkan oleh
nenek moyang bahwa leluhur kita suku nomaden berada disana dan terus
menunggu hutan tersebut. Oleh karena itu, semua orang mongol tidak berani
bertindak kurang ajar disana seperti membunuh...." tutur Akula menjelaskannya.
"Jadi begitu?" kata Jieji sambil berpikir.
"Tetapi lebih bagus jika aku menyusul saja kesana..." katanya kembali.
"Jadi nak Jieji...." kata Akula dengan wajah yang senang.
"Betul.. Tidak mungkin aku berpangku tangan. Tenanglah pak Tua, aku akan
berusaha mendamaikan suku Mibao supaya peperangan serta jatuh darah masih
bisa dihindari..." jelas Jieji dengan senyuman kepadanya.
Pak tua Akula hanya melihatnya sambil tersenyum sangat manis ke arahnya.
Tidak disangkanya Jieji juga berniat membantunya terhadap masalah
peperangan kali ini.
BAB LXXVIII : Guo Lei, Pendekar Aneh dari Suku Mibao
Sekitar 10 Li arah utara dari perkemahan Jiamojin...
Wilayah yang "aneh" sudah terpampang di mata seorang pemuda yang
menunggang kuda kuning kemerahan.
Meski hanya sendirian, dari wajah pemuda ini terus tertampak berseri-seri. Dan
dari sinar matanya seakan tertampak cahaya yang lembut tetapi membara.
Dengan santai dia menunggang kuda bermaksud melewati daerah tersebut.
Daerah yang nan asri cukup menganehkan sebab bagaimanapun daerah ini
masih termasuk daerah gurun.
Suara burung berkicau menghangatkan suasana. Selain itu, masih terdapat
suara riakan air yang hampir jelas terdengar. Suasana hutan "aneh" sungguh sangat indah bagaikan surga saja. Pohon-pohon menjulang tinggi layaknya hutan
di daerah selatan China daratan. Sebentar-bentar tercium bau wangi yang harum
yang berasal entah darimananya.
Sambil memegang sebuah kain yang sepertinya adalah peta. Pemuda tersebut
berjalan untuk melintasi daerah hutan belantara.
Peta yang digenggam adalah peta untuk bisa keluar dari hutan yang cukup rumit
ini. Sebelum dia meninggalkan perkemahan Jiamojin, dia diberikan selembar kain
peta oleh kepala suku disana. Pemuda juga dipesan supaya lebih berhati-hati
karena banyaknya jalan yang bisa memerangkapkan dirinya.
Tentu pemuda yang berada di daerah aneh ini tiada lain adalah Xia Jieji adanya.
Terlihat dia duduk di kuda gagahnya sambil berpikir keras akan daerah asri
tersebut. Hal yang paling membingungkannya adalah terdapatnya tanah subur
yang luasnya mungkin telah mencapai 5 Li persegi di daerah nan tandus.
Peta yang digenggamnya seakan membuatnya teringat akan sesuatu hal.
Sesuatu hal yang sungguh tiada asing baginya.
Sambil mengamati dengan serius, Jieji mendapatkan sebuah ide dari
pemikirannya. Peta yang dipegangnya dan terlukis indah membuatnya teringat akan sebuah
formasi ilmu silat yang baru-baru dilihatnya sendiri.
Yah, inilah formasi dari jurus pedang 15 pengawal sakti kerajaan.
Sungguh aneh adanya, apakah memang 15 pengawal sakti mendapat ide
menciptakan formasi tersebut dari hutan misteri"
Ataukah ada sesuatu hal yang masih terpendam di dalamnya"
Tetapi niat Jieji kali ini bukanlah untuk memecahkannya, namun untuk segera
keluar dari hutan misteri.
Oleh karena itu, dia hanya menelusuri peta dan tidak mengambil pusing akan hal
lainnya. Seperti biasa, formasi 8 diagram Dao terdiri dari 8 pintu utama. Kesemua pintu
tersebut banyak yang menyesatkan, banyak juga yang meminta "orang" untuk kembali ke "asal".
Perubahan di dalamnya terus berubah setiap waktu dan tiada bisa dihapal
dengan mudah. Tentu Jieji yang memandang daerah tersebut membuatnya berdecak kagum.
Bagaimanapun formasi adalah formasi. Di dalamnya tiada terkandung hal licik
layaknya manusia. Dengan berbekal peta pemberian Akula, Jieji telah sanggup
keluar dari tempat yang lumayan aneh ini. Dalam sekitar 1 jam saja, Jieji kembali telah melihat sinar yang sangat terang di depannya.
Tentu sinar ini adalah akibat pantulan cahaya matahari nan panas ke gurun yang
menimbulkan fenomena cukup terang. Padahal dalam hutan, sinar matahari
masih tidak mampu masuk semuanya sehingga wilayah hutan misteri cukup
gelap adanya. Seraya keluar, Jieji telah melihat hal yang cukup aneh.
Di depannya tidak jauh, dia merasakan sebuah hawa yang cukup di kenalnya.
Hawa yang dimaksudkan tentu adalah hawa peperangan.
Hanya Jenderal berpengalaman ataupun seorang pendekar hebat yang mampu
merasakan hawa semacam ini. Meski menurutnya mungkin dari tempatnya ke
arah utara masih sekitar 2 li lebih, namun dia telah mampu merasakannya
dengan sangat baik.
Dengan tanpa berpikir lebih lanjut, dia segera memacu kudanya kencang ke arah
dirasakannya "hawa" peperangan itu.
Tanpa perlu lama berkuda, dia telah sampai di sebuah tebing yang cukup tandus.
Ujung tebing tiada lain adalah ujung yang buntu, tetapi di bawahnya adalah
jurang yang cukup tinggi.
Dari atas sebelum melihat saja, Jieji telah yakin bahwa kedua pihak pasukan
telah "bertemu" satu sama lainnya.
Dan apa yang diperkirakannya adalah benar.
Dia melihat ke bawah dari ujung tebing tersebut.
Kedua belah pihak pasukan meski berjumlah tiada banyak, tetapi kedua pihak
telah sangat siap adanya.
Pasukan terlihat sedang saling berhadapan. Di depan para pasukan terlihat
jenderal yang semalam menyatakan akan memimpin pasukan Jiamojin. Sedang
di pihak lainnya, terlihat bahwa jenderal lain juga maju. Keduanya sepertinya
telah terlibat dengan perbincangan yang cukup serius.
Namun, Jieji tidak ingin keluar terlebih dahulu. Sebab dia ingin mendengar apa
hal yang sedang diperdebatkan mereka berdua.
"Kau.... Telah lebih dari beberapa puluh tahun, kita tidak akan menyerahkan daerah hutan misteri kepadamu. Tetapi kenapa kau begitu memaksa?" tanya
jenderal dari pihak Jiamojin.
"Tu Bao... Bagaimanapun peperangan kali ini tidak bisa dihindari. Kau tahu, wilayah hutan masih termasuk wilayah kita. Bagaimana kau bisa tidak menyetujui
pembagian setengah wilayah hutan saja?"
"Kepala suku kita semenjak beberapa puluh tahun yang lalu telah menyatakan hal ini, jadi tiada perlu lagi kalian memaksa. Jika kalian menang, maka daerah ini bisa menjadi milik kalian. Kita suku Jiamojin tidak perlu lagi mempertahankannya selama suku kita telah musnah." Kata Tu Bao dengan gagahnya.
Apa yang dikatakan Tu Bao ternyata mengundang reaksi tawa dari pasukan suku
Mibao. Semuanya menganggap Tu Bao adalah sedang bercanda adanya.
"Jadi cucu kepala suku kalian tidak bisa kau lindungi" Ha?" tanya jenderal pasukan Mibao.
Tetapi sambil mengangkat tangan, dia memerintah pasukannya untuk membawa
keluar seseorang.
Terlihat dengan cukup jelas, beberapa pasukan dari pihak Mibao menggiring
seorang gadis kecil. Gadis kecil berada di atas kuda dengan tangan dan kakinya
terikat kencang dengan tali di pelana kuda. Sambil di giring ke depan dengan
perlahan, terlihat gadis tersebut tidak mampu bersuara karena sepertinya nadi
bicaranya telah tertotok.
Jieji yang dari atas melihat si gadis tentu terkejut.
Gadis kecil cantik ini pernah ditemuinya beberapa hari yang lalu saja. Yaitu saat terjadinya pertempuran antara pasukan Liao dengan pasukan Sung di utara kota
Ye. Gadis cantik ini tiada lain yang bernama Lie Xian yang sempat memujinya
saat pertarungan hebatnya di perbatasan utara kota Ye. Lie Xian juga adalah
seorang wanita yang berada dalam pasukan 15 pengawal sakti. Jadi apa yang
dikatakan Akula sangat tepat bahwa cucunya adalah salah seorang dari pasukan
khusus kerajaan tadinya.
Tetapi ada hal yang aneh, kenapa gadis bernama Lie Xian tersebut bisa
ditangkap dan tertotok nadinya tiada berdaya oleh suku Mibao yang berada di
utara suku Jiamojin sukunya sendiri. Selain itu, gadis cantik tersebut mempunyai kungfu yang tidak rendah dan tidak bisa dipandang remeh begitu saja. Namun,
kenapa bisa di tangkap dengan mudah dan tak berkutik.
Semua pasukan dari pihak Jiamojin tentu terkejut tiada kepalang. Mereka melihat cucu dari kepala suku mereka yang sedang terikat tiada berdaya di atas kuda.
Sepertinya moral pertempuran mereka segera merosot drastis karena melihat hal
tersebut. Jenderal Tu Bao yang sangat berpengalaman di medan perang juga terlihat
terguncang melihat Lie Xian berada di bawah ancaman pasukan Mibao.
Dia tahu dengan pasti, kepala suku Jiamojin, Akula amat menyayangi cucu
satu-satunya tersebut. Dia juga tahu tentunya suku Mibao pasti memanfaatkan
kejadian ini untuk mengancamnya dan setidaknya meminta mereka menyerah
atas semuanya. Tetapi apa yang diperkirakan Tu Bao salah sekali.
"Apa maumu Da Wu?" tanya Tu Bao.
"Ha Ha.... Sekarang kau sudah tidak mampu berkata lebih banyak lagi.
Permintaanku tidaklah susah. Dan juga sederhana saja...." katanya
"Katakan keparat Da Wu.... Jangan kau terlalu banyak berbasa basi...." teriak Tu Bao dengan sangat marah.
Jenderal Da Wu dari suku Mibao hanya tersenyum sangat sinis sambil
mengangkat sebelah tangannya kembali.
Entah kali ini apa maksudnya lagi.
Segera, dari pihak musuh suku Jiamojin keluar seorang laki-laki yang kurus
tinggi. Pemuda ini tidak berkuda, tetapi hanya berjalan kaki adanya. Di
pinggangnya terselip sebuah pedang besar dan panjang tetapi tidak disarungkan.
Pedang yang cukup aneh untuk seorang pendekar. Tetapi pedang tersebut
cukup berat sepertinya. Karena pemuda tersebut sepertinya sedang menyeret
kakinya sambil berjalan ke depan.
"Apa maumu Da Wu?"?"" tanya Tu Bao yang agak keheranan melihat seorang pemuda telah keluar dari pasukan Mibao.
"Sekarang... Ada hal yang harus benar diselesaikan. Perkenalkanlah, pemuda tersebut namanya Guo Lei. Dia berasal dari wilayah Jinyang. Dia termasuk
seorang pesilat hebat juga.
Selain itu...." tutur Da Wu.
Tetapi sebelum dia melanjutkan, dia telah dipotong oleh Tu Bao.
"Kita ini para lelaki.. Tidak perlu kau itu terlalu banyak basa-basinya. Sekarang katakan apa maumu...."
"Ha Ha.... Betul jenderal mongol sejati. Baiklah....." kata Da Wu sambil tertawa sangat keras.
Setelah tertawanya telah benar berhenti, dia kembali melanjutkan.
"Di antara para pasukanku. Banyak jumlah korban yang telah jatuh di tangan pendekar kalian. Sekarang, keinginanku mudah saja. Yang merasa telah
membunuh para jenderal kita segera maju untuk bertarung melawan Guo Lei.
Jika ada yang bisa hidup, maka nona Lie Xian akan kulepaskan...."
Tentu kata-kata Da Wu membuat semangat para pasukan Jiamojin bangkit
kembali karena tadinya melihat Lie Xian ditawan yang membuat moral pasukan
Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka merosot.
Bagaimana dia yang hanya seorang saja mampu bertarung melawan banyaknya
jenderal yang lumayan hebat dari Jiamojin.
"Kau tidak bercanda Da Wu?" tanya Tu Bao sambil kelihatan senang.
"Tentu tidak... Yang merasa pernah membunuh jenderal kita saja yang maju.
Tetapi orang lain yang tidak pernah bertarung hebat dengan kita di harapkan
mundur...." tutur Da Wu dari Mibao.
Mendengar apa yang dituturkan Da Wu, semua pasukan Jiamojin kembali sangat
bersemangat. Pendekar dari tanah Mongolia memang keras dan memegang
janjinya, jadi mereka merasa dengan mengalahkan orang bernama Guo Lei.
Maka nona Lie Xian telah sanggup di tolong keluar.
Jieji yang melihatnya dari atas tiada merasa heran. Dia tahu dengan pasti apa
maksud jenderal Da Wu adanya. Dia hanya tersenyum melihat semua hal itu,
tetapi dalam hatinya dia merasa cukup bimbang juga. Sesaat, dia melihat ke arah Guo Lei yang dingin dan tiada berperasaan tersebut sepertinya. Dia memandang
ke arahnya dengan serius sekali.
"Baiklah, sekarang tiada perlu lagi banyak cakap. Aku pahlawan dari Jiamojin, Heng Biu melayanimu."
Dari arah pasukan Jiamojin telah muncul seorang yang kelihatannya cukup
gagah. Perawakannya cukup tinggi dan tubuhnya cukup tegap seperti sebuah
pilar yang kokoh saja.
"Baik... Kau boleh bertarung...." kata Da Wu dengan sinis ke arahnya.
Jenderal Heng Biu segera keluar dari daerah pertahanan Jiamojin menuju ke
arah tengah "arena" pertarungan. Sambil menyandang tombak pendek, dia berkuda dengan gagah dan telah sampai sambil memandang serius ke arah
lawannya. Sedangkan Guo Lei juga berjalan ke arah arena. Tetapi dia berjalan dengan cara
menyeret kakinya sebab pedang berat itu telah menggesek ke tanah.
Orang-orang yang melihat Guo Lei berjalan tentu heran, beberapa bahkan
menertawainya. Sepertinya Guo Lei seperti orang yang pincang sebab pedang
masih terlalu berat untuk tubuhnya yang kurus kering itu.
Tetapi Jieji yang melihatnya tentu tiada berpikiran demikian. Dia merasa cukup
aneh melihat gaya dan gerakan Guo Lei. Jika dia benar lemah, mana mungkin
dia berani bertarung hanya seorang diri saja. Tentu orang bernama Guo Lei tidak bisa dipandang remeh.
Sedangkan Heng Biu terlihat cukup heran melihat lawannya. Dengan segera dia
bersuara. "Mana kudamu?"
"Aku tidak bisa berkuda...." jawab Guo Lei.
Semua pasukan Jiamojin tentu tertawa terpingkal-pingkal mendengar kata-kata
dari Guo Lei. Semua orang tahu bahwa "kuda" bagi bangsa Mongolia adalah "nyawanya".
Mendengar Guo Lei tidak bisa berkuda tentu banyak orang yang terkesan
menghinanya. Tetapi hal ini malah membuat darah dalam diri Guo Lei segera berdesir hebat.
Sinar matanya kali ini telah penuh dengan hawa pembunuhan.
Heng Biu di tengah tersebut memang tiada menertawainya, tetapi dengan
melihat sinar mata Guo Lei. Dia juga merasa gentar adanya.
"Kau maju dululah karena kau tidak berkuda...." kata Heng Biu untuk memberinya kesempatan.
"Tidak perlu... Kau maju saja..." kata Guo Lei dengan nada rendah.
Sebenarnya Heng Biu termasuk seorang satria, dia tidak ingin memanfaatkan
kesempatan dengan mencuri serang terlebih dahulu. Tetapi karena Guo Lei
memintanya menyerang dahulu, dia tidak berkata apa-apa lagi.
Kali ini kelihatan Guo Lei telah serius untuk menyerangnya.
Sementara itu, Lie Xian yang tertutup mulutnya terlihat mengerutkan dahinya dan sesekali dengan sangat kepayahan dia berusaha untuk menggelengkan
kepalanya. Tentu ini adalah peringatan darinya untuk tidak bertarung.
Namun sayang sekali, tiada seorangpun dari pasukan Jiamojin yang melihat
tingkah cucu kepala desa mereka.
Dengan ancang-ancang menyerang seraya teriak sangat keras. Heng Biu segera
melancarkan serangan dengan berkuda sangat cepat ke arah Guo Lei.
Detik pertama yang cukup mendebarkan. Semua tahu, jika Heng Biu berhasil
dalam serangan pertamanya. Maka selanjutnya mungkin telah sangat mudah.
Tetapi... Arah berkuda Heng Biu memang tiada salah, kecepatannya memang hebat dan
gaya ancang-ancang tusukannya memang sekilas terlihat sangat mematikan.
Saat dia masih terpaut 10 kaki di depan Guo Lei, dia cukup heran. Sebab terlihat Guo Lei masih diam saja meski jarak itu telah sangat dekat sekali.
Sementara itu Jieji yang melihat di atas tebing segera sangat terkejut. Dia
langsung berteriak.
"Awasss!!!!!"
Tetapi seperti yang diperkirakan Jieji adanya.
Saat kuda telah sangat dekat, tiada yang melihat bagaimana Guo Lei
menghindari tusukan tombak pendek dari Heng Biu.
Tiada orang yang melihat bagaimana Guo Lei melawan serangan musuhnya.
Tahu-tahu mereka semua menutup mata karena silaunya sebuah benda yang
telah terangkat. Silau dari sebuah benda yang mirip besi mulus yang terpancar
karena bias sinar matahari.
Ketika pasukan Jiamojin dan pasukan Mibao menutup mata karena "silau"nya sebuah cahaya yang datangnya entah darimana. Mereka mendengar suara
bacokan. Suara bacokan yang sungguh sangat fasih terdengar.
Saat mereka membuka kembali mata mereka. Mereka melihat pemandangan
yang sungguh tiada mengasikkan adanya. Pemandangan yang membuat orang
memuntahkan makanannya saat sedang makan.
Ternyata tubuh dan kuda dari Jenderal Heng Biu telah terbelah dua...
Darah masih muncrat dengan deras dari kuda dan tubuh Heng Biu yang terbelah
dua pas di kepalanya. Muncratan darah membasahi semua tubuh dari Guo Lei
layaknya dia sedang mandi hujan sahaja. Sementara itu, Guo Lei malah terlihat
tersenyum sangat sinis mendapati hal ini. Dia seperti setan yang sedang
haus-haus akan darah manusia.
Sungguh mengerikan!!!
Sementara itu, terlihat Da Wu sangat girang mendapati hal ini. Terbalik dengan
Tu Bao yang sangat merinding melihat kecepatan dan jurus hebat dari
musuhnya. "Sekarang siapa lagi?" tanya Da Wu dengan sinis.
"Aku Heng Bu dari Jiamojin, adiknya Heng Biu akan membalaskan
dendamnya....." teriak seseorang dari pasukan Jiamojin. Sepertinya Heng Bu telah sangat marah mendapati saudaranya tewas terbantai dengan mengerikan
oleh "setan" tersebut. Dia tiada berpikir akibatnya lagi sebab emosi telah menggelayutinya sampai ke puncak.
Jenderal Tu Bao berniat mencegahnya, sebab dia tahu. Kemampuan sang kakak
saja jauh lebih tinggi dari adik. Mana mungkin adiknya Heng Bu mampu
mengalahkan "setan" ini. Namun, sepertinya dia tidak mampu mencegahnya barang sekalipun.
Sebab Heng Bu telah maju di tengah arena pertarungan dengan cepat.
"Aku bersumpah.... Tidak kau mati berarti aku...." teriak Heng Bu dengan tidak bermacam-macam lagi.
Dengan segera terlihat otaknya masih lumayan jernih bekerja. Dia tidak
menyerang dari depan seperti almahum kakaknya sendiri. Melainkan berusaha
memperbaiki jarak dengan pendekar aneh tersebut.
Dia melarikan kudanya berkeliling lingkaran penuh mengepung Guo Lei dengan
cepat. Sementara itu, Guo Lei tetap tersenyum sangat sinis. Darah di tubuhnya masih
terus menetes dan belumlah kering. Sesekali dia bahkan menjilati amis darah
dari kuda dan Heng Biu sambil memandang ke arah Heng Bu.
Karuan karena hal ini, sang adik kontan marah luar biasa.
Dia segera mengeluarkan busur panah yang masih terselip di punggung. Dengan
menyelipkan tombak di pinggang. Heng Bu langsung memanah ke arah Guo Lei.
"Siuttt.... Siutt...."
Terdengar suara anak panah mengoyak angin sangat jelas.
Tetapi sepertinya "setan" bernama Guo Lei sungguh hebat. Dia terlihat sangat tenang meski anak panah mengancamnya.
Kembali dengan gerakan yang tiada terlihat dan silau. Anak panah terlihat telah terbelah dua. Dua batang anak panah yang meluncur sekaligus sepertinya tiada
berarti baginya.
Jieji yang melihat keadaan dari atas tebing segera berkhawatir.
Karena hanya dialah orang yang sanggup menyaksikan bagaimana kelebat
pedang nan cepat itu bekerja. Sesaat, Jieji juga merasa sangat kagum akannya.
Tetapi bagaimana pun Guo Lei adalah seorang setan yang berdarah dingin.
Tentu dia tetap mencemaskan Heng Bu yang sebenarnya nyawanya seperti telur
yang telah berada di ujung tanduk.
Kembali lesatan anak panah mengoyak angin terdengar.
Karena tiada mampu melukai Guo Lei, Heng Bu bermaksud untuk memanah
secara tiga batang sekaligus. Tiga batang anak panah yang sangat cepat telah
mengarah ke arah kepala, dada, dan paha kanan Guo Lei.
Heng Bu yang merasa sedang di atas angin karena dia mengambil serangan
jarak jauh cukup girang.
Tetapi... Tiga batang anak panah memang mengarah ke arah 3 sudut mati dari Guo Lei.
Namun dengan sangat cepat dan sigap, Guo Lei segera mundur beberapa
langkah ke belakang.
Entah apa maksudnya...
Tetapi ketika anak panah betul dekat, dia menangkap ke semua anak panah
dengan luar biasa cepat.
Alhasil, ketiganya berhasil di tangkap sangat mudah oleh Guo Lei.
Pasukan Mibao yang melihat keberhasilan Guo Lei segera bersorak sangat
bergembira. Sedang pasukan Jiamojin sangat terguncang menyaksikannya.
Tetapi tanpa membuat lawannya menunggu lama. Guo Lei melemparkan ketiga
anak panah ke udara. Sesaat itu, sinar terang kembali muncul luar biasa
hebatnya. Silau kali ini dirasakan bagi kedua belah pihak sangat menggigit mata mereka.
Namun, Heng Bu malah terlihat sebaliknya. Dia terkejut menyaksikan hal
tersebut. Sesaat dia tahu apa hal yang sedang di alami kakaknya menjelang
detik-detik kematian sang kakak tercintanya.
Dia terlihat telah pasrah sekali.
"Jleb... Jleb... Jleb..."
Suara tiga kali benda yang masuk ke daging sangatlah jelas terdengar.
Ketika kembali orang-orang membuka mata. Mereka sangat terkejut kembali.
Meski kali ini tiada se-ngeri apa yang dialami oleh Heng Biu. Namun, cukup
membuat hati para pasukan Jiamojin terguncang.
Tiga batang anak panah-nya menancap di kedua bahunya dan sebatang pas di
perut Heng Bu. Darah segera mengucur dengan deras sekali.
Heng Bu terlihat telah terjatuh dari kudanya sambil pasrah mendapati ajalnya
yang telah mendekat. Sesaat ketika matanya telah mulai mampu melihat, dia
melihat hal yang membuatnya seakan bermimpi sangat buruk.
Sebab, Guo Lei telah berdiri di depannya sambil mengancungkan senjatanya
tinggi siap membacok.
Sepertinya Heng Bu bakal menemui ajalnya disini.
Dengan gerakan tanpa perasaan dan sungguh dingin, dia membacokkan ke arah
Heng Bu yang sedang terlentang tiada bergerak.
Sinar silau kembali muncul seperti tadinya.
Semua pasukan dari Jiamojin sungguh telah sangat ketakutan melihat sikap
darah dingin penyerang tersebut. Beberapa dari mereka bahkan menangis tiada
berani melihatnya.
Ketika pedang berat telah dekat dengan tubuhnya. Seakan-akan terdengar suara
benda keras yang membentur.
Suara kali ini tentu tidak sama dengan suara yang seharusnya terdengar.
Suara kali ini bahkan seperti suara bertemunya kedua baja.
"Klangggg....."
Kerasnya suara tersebut mendengungkan telinga para pasukan di kedua belah
pihak. Sementara Heng Bu telah membuka matanya. Dia melihat fenomena aneh. Dia
yang telah merasa dirinya telah tewas entah kenapa masih terasa sakitnya anak
panah masih menggelayuti dirinya.
Sempat-sempatnya dia memegang wajahnya sendiri. Ternyata dia tidak tewas.
Wajahnya bahkan masih baik-baik saja. Dia melirik ke arah Guo Lei yang tadinya
membacok. Namun sekarang, pedang beratnya tidak ada lagi di tangannya
sendiri. Entah kenapa pedang berat itu telah terlepas dari tangan Guo Lei.
Sedang pandangan matanya sedang di arahkan ke arah tebing tinggi yang
jauhnya hampir 1/4 Li dari tempatnya.
Semua pasukan dari kedua belah pihak sungguh terkejut adanya. Mereka
melihat Guo Lei telah "kehilangan" senjatanya. Beberapa bahkan melirik ke samping.
Mereka menemukan senjata ampuh milik Guo telah tertancap jauh sekitar 50
kaki dari tempat yang seharusnya. Tentu tanpa menduga-duga, mereka sangat
terkejut. "Siapa Kau!!!!" teriak Guo Lei ke arah atas.
Pandangan mereka segera mengarah ke arah Jieji yang masih duduk di atas
kudanya dengan gagah. Tetapi dari arah tangannya, telah terancang sebuah jari.
Memang benar...
Penyerang dadakan itu adalah Jieji adanya, dan jurus yang digunakan tentu tiada lain adalah jurus Ilmu jari dewi Pemusnah.
BAB LXXIX : Pedang Bumi Berpendar
Tanpa menjawab pertanyaan Guo Lei lebih lanjut, Jieji turun dari kuda sambil
berjalan pelan ke arah tengah arena pertempuran.
Semua orang dari pasukan Jiamojin maupun Mibao yang melihatnya cukup
merasa aneh, karena mereka sama sekali tidak tahu bahwa penyerang yang
menggunakan satu jurus untuk menghalangi Guo Lei adalah pemuda ini.
Sementara itu, Guo Lei melihat dengan sangat serius ke arah Jieji yang datang
dengan tenang. "Siapa kau" Mengapa kau halangi aku?"
Jieji memandang cukup serius ke arahnya. Dan tidak berapa lama dia menjawab.
"Namaku Dekisaiko Oda dari Dongyang." Jawab Jieji.
"Ha Ha... Ternyata orang Dongyang. Kali ini kamu telah mencampuri urusan
besar ku disini. Jadi jangan harap kau bisa lolos meski kau menguasai Ilmu Jari dewi pemusnah dengan baik." tutur Guo Lei sambil memandang dingin ke arah
Jieji. Setelah itu, dia berjalan pelan untuk memungut pedang beratnya yang
terpisah cukup jauh dari sana.
Sementara itu, Lie Xian terlihat sungguh senang tiada karuan mendapati Jieji
telah berada disana. Dari sinar matanya terpampang sebuah sinar kebahagiaan.
Dia tidak menyangka "pahlawan" dalam hatinya-lah yang telah datang kesana untuk menghentikan pemuda berdarah dingin tersebut. Meski disandera, dia
merasa sungguh senang mendapati hal ini.
Jieji yang berjalan tenang akhirnya telah sampai juga ke arah Heng Bu
tergeletak. Tanpa menjawab pertanyaan Guo Lei, dia segera menotok jalan
darah Heng Bu untuk mencegah darah yang mengalir deras akibat menancapnya
tiga buah panah.
Seraya berpaling ke arah Tu Bao, Jieji memberikan tanda dengan
menganggukkan kepala pelan.
Dengan mudah, Tu Bao mengerti apa maksud Jieji. Dia meminta 5 orang dari
pasukannya untuk mengangkut jenderalnya.
Lalu dengan gerakan cekatan dan tanpa banyak bicara, 5 orang tersebut telah
mulai datang dan mengangkut jenderal Heng Bu yang kepayahan. Dan dengan
cepat pula mereka berniat meninggalkan "arena" pertarungan.
Tetapi sepertinya bagi Guo ini adalah sebuah penghinaan baginya karena
mangsa yang seharusnya di"telannya" malah di selamatkan oleh orang yang tiada ternama. Dia langsung marah luar biasa ketika melihat 5 orang pasukan
dari Jiamojin sedang mengangkut Heng Bu yang telah kepayahan meninggalkan
tempat itu. "Keparat!!!!"
Setelah suara teriakannya keluar, Guo telah maju dengan sangat cepat ke arah 5
orang yang mengangkut Heng tadinya. Dengan pesat, dia seperti seekor singa
yang mengincar mangsanya yang tiada berdaya dan sedang membelakanginya.
Dengan bacokan cepat dari arah atas, dia berniat melenyapkan ke 6 orang
tersebut sekaligus.
Memang luar biasa, ternyata kecepatan si Guo lumayan hebat meski di
tangannya masih terpegang sebuah pedang besar dan berat.
Bacokan Guo tentu adalah bacokan kelas pesilat yang sangat tinggi. Karena bagi
pesilat biasa saja, tidak mungkin sanggup mengangkat pedang yang beratnya
mungkin telah hampir 20 kati. Tetapi baginya, pedang tersebut yang berat tidak
bermasalah sama sekali.
Semua orang bisa melihat apa yang sedang di lakukan oleh Guo.
Semua orang bahkan terlihat bernafas tertahan menyaksikan ke 6 orang tersebut
akan dibantai lagi seperti Jenderal dari Jiamojin, Heng Biu tadinya.
Tetapi... Sekali lagi dia dihalangi. Dia dihalangi oleh sinar yang sekilas berwarna merah yang mengancam pundaknya. Dengan berbalik luar biasa cepat, dia "menampar"
sinar hawa pedang itu dengan pedang beratnya.
Tentu kembali suara berlaganya "baja" kembali terdengar. Tetapi kali ini sangat aneh, sebab hawa pedang yang keluar dari jari Jieji membalik ke arahnya sendiri.
Jarak antara Jieji dan Guo Lei sebenarnya tidaklah jauh sekali.
Menyaksikan senjata hendak makan tuan, Jieji tetap tenang.
Dia tunggu hawa pedang itu telah sangat dekat kepadanya. Lalu dengan kibasan
tangan pelan, hawa pedang itu meluncur pesat ke belakang seakan hanya
membentur angin. Hawa pedang yang melesat dari arah samping bahu Jieji telah
membentur ke arah tebing tadinya dimana dia berada.
Semua orang yang menyaksikan tingkah Jieji sungguh heran, hawa pedang
berbenturan keras dengan tebing itu dan sesaat seperti timbul ledakan keras.
Tanah disana bahkan sempat goyang sebentar ketika ledakan terjadi.
Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua pasukan dari kedua belah pihak sangat kagum akan kemampuan dua
pendekar tersebut.
Sementara itu, Guo yang tahu jurus lawannya sanggup di tahan dengan demikian
mudah dan mangsanya telah kabur tentu marah luar biasa. Kali ini dia menatap
ke arah Jieji dengan hawa pembunuhan yang luar biasa tingginya. Hawa
pembunuhan dalam diri Guo kali ini berdesir sangat luar biasa. Pasir disekitar
tempat berdirinya terasa tidaklah ramah lagi.
Desiran angin seakan sedang mengelilingi tubuhnya.
Jieji hanya melihatnya sambil diam. Dalam hatinya, dia juga berpikir lumayan
keras. Dia tidak pernah menyangka masih ada seorang pendekar yang begitu hebat dari
tanah tua Mongolia.
"Kau... Apa maumu sebenarnya" Kenapa kau campuri urusanku disini" Ha?"
tanyanya dengan sangat marah.
"Sebab telah kujanji dengan kepala suku Jiamojin. Aku akan melindungi mereka semua keluar dari sini...." kata Jieji datar.
"Kau pikir kau sanggup" Ha" Ha Ha....."
"Belum dicoba tentu tidak tahu...." jawab Jieji sambil tersenyum.
"Meskipun Pei Nanyang tidak akan berkata begitu sombong terhadapku.... Kau"
kau itu siapa" Dulu aku pernah menggemparkan Dongyang sendirian. Saat itu
kau masih dimana" Ha?" tanyanya dengan angkuh sekali.
"Mengenai itu, aku tidak perlu tahu sama sekali sebenarnya. Lagian tiada urusan bagiku untuk mengetahui apa yang kau lakukan dahulu kala. Sebab apa yang
kau bilang itu bisa saja kau karang-karang.... Orang bijak mengatakan banyak
berkata-kata adalah orang yang bodoh membantah..." jawab Jieji sambil
tersenyum sangat geli melihatnya.
Tindakan Jieji membuatnya marah luar biasa. Kali ini sepertinya Guo Lei tidak
sanggup lagi bertahan akan apa yang telah dikatakan Jieji. Semua kata-katanya
seakan menusuk langsung ke hatinya. Dia terlihat sangat gusar, wajahnya yang
kurus pucat telah memerah. Sebelah tangannya terlihat telah bergetar sangat
hebat. "Kau telah keterlaluan sekali... Baiklah, sepertinya kau tidak akan puas jika belum tergeletak berlumuran darah... Kau sepertinya hanya anak kecil dari negeri
sebelah, ingusmu bahkan belum kau hapus bersih... Bagiku sekarang kau seperti
telur di ujung tanduk....Ha Ha...." katanya seolah menghina.
"Tidak usah anda terlalu banyak bercakap meninggikan diri. Temanmu tidak akan pernah menghormati apa yang anda katakan. Dan musuhmu tentu tidak akan
percaya terhadap omongan yang bau busuk yang keluar dari mulutmu itu...."
jawab Jieji dengan tenang dan tanpa emosi sedikitpun, melainkan dia tersenyum
sangat manis. Tetapi dalam hati Jieji, dia tahu lawannya kali ini bukanlah lawan gampangan. Dia tetap serius untuk berhati-hati akan serangan mendadak
lawannya. Pasukan Jiamojin yang mendengar omongan Jieji yang keluar dari mulutnya
tentu sangat kagum. Mereka tidak menyangka semua kata-kata Guo mampu
dibalikkan mudah oleh pemuda ini. Sesaat, terlihat mereka bersorak gembira.
"Keparat!!! Apa yang kau katakan itu tiada gunanya lagi. Baiklah... Kali ini aku rasa tiada perlu lagi berkata banyak...." tutur Guo sambil menyiapkan pedangnya untuk menyerang.
Kembali terlihat dia mengangkat pedangnya tinggi terlebih dahulu sebelum
menyerang. Dengan di angkatnya pedang besarnya tinggi, sinar kemilau nan silau segera
tertampak. Sebenarnya apa yang dilakukan Guo tentu telah terlihat jelas oleh Jieji tadinya di puncak tebing. Namun, tentu apa yang dilakukan Guo tiada orang di sana yang
mengetahui hal sebenarnya.
Jieji yang melihat sinar kemilau sepertinya tidak begitu terganggu. Melainkan dia mengeluarkan sebuah sapu tangan untuk menutup matanya. Sapu tangan
berwarna hitam telah mengikat kedua matanya sendiri.
Guo yang melihatnya tentu sangat marah, dia merasa Jieji sedang menghinanya.
Lalu tanpa berkata banyak lagi, dan sambil datang dengan emosi tinggi dia
membacok. Bacokan yang sama dilakukan olehnya ketika bertarung melawan
Heng Biu tadinya. Bacokan pedang nan kuat dan keras dirasakan oleh Jieji yang
sedang menutup matanya. Dia tahu dengan sangat pedang sedang mengarah ke
kepalanya. Dengan sedikit gerakan memutar ke kiri, Jieji menghindari ayunan pedang. Dan
kemudian dengan bersalto setengah tidur, kembali dia layangkan tendangan
dahsyatnya ke pedang yang telah lewat di sampingnya dengan kaki kanannya.
Melihat keadaan begitu, Guo tentu sangat terkejut. Dia tidak menyangka pedang
mampu dihindari dengan mudah oleh Jieji apalagi pedangnya tertendang jatuh
terseret. Tetapi sebelum dia benar terkejut, sebuah "tamparan" kaki kiri ke muka telah dirasakannya.
Guo terlihat terjatuh sambil menyeret mukanya ke pasir dengan sangat pesat.
Sepertinya menurut Jieji, Guo telah terjatuh dan terluka dalam yang lumayan
parah. Tetapi dengan sangat gesit, dia telah berdiri kembali sambil memegang
pipinya. Kali ini Guo kena sendiri, dia tidak menyangka pemuda yang berusia
jauh di bawahnya dengan mudah mengalahkannya. Kontan dia marah luar biasa.
Setelah dia periksa, ternyata 2 gigi bagian belakangnya telah putus.
Jieji terlihat telah membuka kembali sapu tangan hitam dari wajahnya. Sekarang
kedua matanya tidak tertutup lagi. Tujuannya tentu supaya dia tidak terganggu
akan silau cahaya dari pedang besar tersebut, dan tujuannya tentu bukan untuk
menghina pendekar marga Guo ini.
Pasukan Jiamojin yang tidak melihat gerakan Jieji dan Guo tentu tahu bahwa
Guo telah "kalah" dalam jurus gerakan yang sangat cepat. Sedangkan dari pasukan Mibao, sepertinya tiada yang percaya apa yang sedang dilihatnya.
Guo yang tadinya sombong merasa dia harus serius. Kali ini dia melihat ke arah
Jenderal Da Wu dari suku Mibao. Dia memberikan kode untuk menyiapkan
sesuatu. Tanpa perlu waktu yang lama. Dari arah pasukan terlihat seorang maju
cepat ke arahnya dan berlutut tepat di bawahnya. Prajurit tersebut membawa
sebuah kotak, sepertinya dalam kotak pasti terdapat sesuatu benda. Sesuatu
benda yang cukup pendek adanya. Mungkin adalah senjata, tetapi mungkin juga
adalah sebuah benda yang akan dipakainya dalam pertarungan.
Semua orang mengawasi dengan sangat perhatian pada benda yang akan
dikeluarkan Guo tersebut.
Dengan sebelah tangan, Guo terlihat membuka kotak besi itu. Sebelah
tangannya segera menggenggam sesuatu.
Saat "sesuatu" benda itu diambil dari kotak...
Semua yang melihatnya sungguh sangat terkejut.
Sebab benda tersebut adalah sebilah pedang pendek bergagang perak juga
yang seperti sedang terselip di pinggang Jieji adanya. Namun disini yang
berbeda adalah pedang ini berwarna ungu membara. Berbeda dengan pedang
yang dipegang Jieji adanya yang berwarna merah menyala.
Yang sungguh terkejut melihatnya tentu adalah Jieji. Dia tidak menyangka bahwa
pedang pendek "aneh" di dunia ternyata masih ada yang berwarna ungu
keperakan. Tetapi apa unsur yang terkandung di dalamnya tentu belum di
ketahui oleh Jieji.
Setahunya, pedang ekor api berwarna merah terkandung unsur api yang panas.
Sedangkan pedang Es rembulan terkandung hawa dingin es. Sekarang di
depannya terpampang sebilah pedang yang berwarna ungu menyala. Baginya
keadaan ini sungguh sangat aneh.
Ketika mengangkatnya, terlihat Guo tetap agak kepayahan seperti dia
mengangkat pedang beratnya itu. Tetapi bagaimanapun pedang pendek tersebut
tentu lebih ringan dari pedang nan berat yang sempat dipakai Guo tadinya.
Hanya melihat sesaat, Jieji telah tahu apa energi yang terkandung di dalamnya.
Tentu tiada lain adalah energi tanah yang berat.
Rupanya pedang berwarna ungu inilah yang mewakili unsur tanah.
Tetapi kenapa tidak pernah disebutkan ahli pandai besi bahwa dia masih
menciptakan pedang lainnya yang tergolong unsur lain ketika masih berada di
gua es Hua Shan saat dia bersama Yunying mendapatkan pedang Es rembulan.
Inilah hal yang menjadi pertanyaan yang baru bagi Jieji.
Guo sepertinya telah siap kembali untuk menyerang. Kali ini sifatnya telah sangat gagah kelihatannya dengan pedang berwarna ungu menyala. Semua pasukan
Jiamojin bahkan gentar mendapati hal ini. Sedang pasukan Mibao tentu
sangatlah senang.
Jieji mengancangkan dirinya untuk berhadapan langsung kali ini. Seraya
mencabut pedang di pinggangnya, dia mengarahkan arah pedang lurus ke arah
Guo. Tentu pedang Jieji ini juga mengundang decak kagum luar biasa. Mereka tidak
menyangka bahwa pedang dalam legenda telah dimiliki oleh Jieji.
Tanpa sadar menyaksikan fenomena tersebut, Tu Bao menggumam.
"Ini pedang dalam legenda... Pedang pemusnah raga pendiri tanah mongol...."
Jieji yang mendengarnya tentu cukup heran. Tetapi dia merasa masih punya
waktu panjang dengan Jenderal itu untuk menanyainya. Kali ini, dia tetap serius menghadap ke arah Guo.
Sementara itu, Guo juga sangat senang mendapati pedang di pinggang pemuda
ini adalah pedang Ekor api. Sebilah pedang yang juga diincarnya dengan sangat
harap. "Ha Ha... Tidak kusangka pedang ekor api yang telah menghilang kembali
muncul. Dulunya aku tidak pernah mempercayai apa kata Manabu Hirai bahwa
ada seorang pemuda pemegang pedang tersebut. Tetapi sekarang barulah aku
benar percaya...." tutur Guo.
"Manabu" Kau temannya?" tanya Jieji sambil mengerutkan dahinya.
"Dia adalah musuhku. Dalam bertarung 10 kali, tidak pernah dia sekalipun
menang melawanku. Dan bekas goresan di wajahnya juga akulah penyebabnya,
bahkan bekas goresan di seluruh tubuhnya juga akulah orang yang
melakukannya...." kata Guo dengan riang dan angkuh.
"Tidak heran, karena dia bukanlah pendekar yang hebat. Dia hanya pendekar
kelas teri...."
Kata-kata Jieji tentu bertujuan menjatuhkan kesombongannya. Karena Guo
terlihat sangat bangga mampu mempercundangi Manabu yang kungfunya telah
sangat tinggi. Kali ini dia telah gusar kembali di jawab Jieji.
"Kau......" tunjuknya dengan menggertakkan giginya.
"Tetapi Manabu telah tewas di perbatasan kota Ye sekitar hampir 4 tahun yang lalu...." jawab Jieji datar. Tetapi sambil berpikir, dia merasa mungkin saja Manabu berupaya merebut pedang Ekor api adalah untuk menandingi pedang ungunya
Guo. Oleh karena itu, Manabu pernah ingin membunuhnya saat perjalanannya ke
arah utara beberapa tahun yang lalu demi sebilah pedang ekor api.
"Betul... Dia dibunuh oleh Xia Jieji ketika dalam pertempuran kacau itu...." tutur Guo yang sama sekali tidak tahu bahwa Xia Jieji telah berada di depannya.
"Sepertinya omongan yang terlalu banyak tidak berguna. Kali ini aku akan
serius..... Kau hati-hatilah jika masih ingin melihat matahari esok..." tutur Guo kembali seraya melakukan kuda-kuda.
Jieji yang melihat kuda-kuda Guo tentu merasa cukup heran juga. Sebab
kuda-kuda inilah kuda-kuda khas ilmu pedang Dongyang. Jieji tetap pada
posisinya saja, dia mengancungkan pedangnya lurus sambil berdiri menyamping.
Desiran angin tenaga dalam telah terasa lumayan kental.
Hawa tenaga dalam menyesakkan dada tentu terasa bagi semua pasukan yang
berada disana. Tanpa banyak bicara, Guo langsung saja mengayunkan pedang pendek nan
"berat" ke arah Jieji yang masih berdiri menyamping.
Melihatnya, Jieji langsung mengayunkan pedangnya berputar selingkaran secara
indah beberapa kali ke arah Guo. Namun, posisi Jieji masih tetap menyamping
adanya. Pedang berat bertemu dengan pedang merah membara. Suara pedang berlaga
sangat kental terasa dan sangat mendesing keras di telinga orang yang
mendengarnya. Sinar kemilau kedua pedang sungguh terang adanya. Mereka
tidak menyangka mampu menyaksikan pertarungan yang sungguh indah sekali.
Jieji mengerahkan jurus pedang ayunan dewa musim gugurnya. Jurus pedang
tertinggi yang disempurnakannya untuk melayani pedang cepat dan berkualitas
sangat tinggi dari Guo.
Kecepatan Guo kontan naik luar biasa ketika dia memegang pedang ungu.
Sebab, keseharian Guo dia selalu membawa pedang berat untuk berlatih.
Kali ini, dia memakai pedang yang jauh lebih ringan. Tentu hal ini sungguh
menguntungkannya.
Bacokan pedang Guo jauh lebih cepat dari bacokan pedang Jieji adanya.
Jenderal Tu Bao yang melihat gerakan Jieji tentu sangat cemas. Tetapi Jieji
sepertinya tetap tenang menghadapi jurus penyerangnya.
Memang benar adanya, sepertinya Jieji telah kalah angin. Dia kalah kecepatan
dengan ayunan pedangnya Guo. Setiap jurus Guo kelihatan datang mengancam,
sedangkan Jieji hanya bisa menghindari ataupun menangkisnya saja tanpa ada
peluang untuk membalas.
Jieji tentu kagum akan kecepatan pedang lawannya, namun untuk masalah ini
dia sangat berhati-hati sekali. Sebab jika terkena satu bacokan saja, akan sangat merugikannya. Dia telah bertarung sangat serius adanya.
Ketika pedang menusuk cepat terasa di arah ulu hatinya Jieji, dia kontan cepat
menarik kakinya untuk mundur. Lesatan pedang kali ini luar biasa mengancam.
Sebab jika terlambat selangkah saja, sepertinya pedang akan menusuk ke arah
jantungnya dan akan tewas seketika.Keadaan berbahaya tersebut bagi orang
yang melihatnya tentu tidak sanggup bernafas dengan baik.
Tetapi sepertinya Jieji telah mempunyai sebuah ide yang cukup bagus. Saat
pedang hampir sampai, sepertinya dia langsung dengan gerakan Dao dan
mengkayangkan dirinya dengan sempurna seraya menancapkan pedang Ekor
api di pasir. Namun, lesatan pedang yang telah cepat luar biasa segera mengoyak sedikit
bajunya dan pas di arah dada sebelah kirinya.
Posisi mereka sekarang sangat luar biasa...
Guo berada di atas seperti sedang melayang, sedangkan Jieji menopang
tubuhnya dengan tancapan pedang Ekor api pas di punggung.
Guo yang melayang di atas merasa dirinya cukup berbahaya kali ini. Sebab dia
tahu jika penyerang menggunakan kaki, maka sasarannya mungkin kali ini
adalah perutnya. Namun, dia mempunyai perhitungan tersendiri. Dia telah siap
membacokkan pedang ke bawahnya jika Jieji menggunakan kakinya untuk
menendang ke atas.
Tentu apa yang dipikirkan Guo sangat diketahui Jieji saat itu...
Dengan mengambil resiko "kehilangan". Jieji tidak menyerang, melainkan berputar cepat ke arah kiri sambil meninggalkan pedang ekor apinya yang
sedang tertancap di tanah.
Beberapa kali terlihat Jieji berputar menghindari arah pedang yang sanggup di
bacokkan Guo. Saat dia mendarat baik, dia telah terpisah cukup jauh. Mungkin
telah sekitar 30 kaki dari daerah tertancapnya pedang Ekor api.
Tentu hal ini dilihat oleh Guo.
Sifatnya yang tamak segera mengundang dia untuk "mengambil" pedang Ekor api yang masih tertancap adanya di tanah.
"Ha Ha.... Ternyata begitu mudah aku mendapatkan pedang ini...." teriaknya dengan sangat gembira dengan sebelah tangannya memegang pedang Ekor Api.
Jieji hanya melihatnya sambil tersenyum. Dia tidak berkuatir segala, karena dia merasa untuk merebut pedang dari tangan Guo tentu tidak begitu susah baginya.
Sementara itu, Guo sangat senang tentunya. Tetapi kesenangannya tidaklah
lama, dia merasa sangat aneh ketika dia memegang pedang Ekor api ini.
Sepertinya pedang Ekor api merasa "berontak" dan bergetar sangat hebat di tangannya. Rasa panas menyengat segera menggelayuti dirinya.
Sungguh hal yang sangat aneh sekali...
Kenapa Guo tidak sanggup memegang pedang Ekor api"
"Lepaskan pedang itu... Pedang itu bukan untuk orang yang bertangan kotor
sepertimu...." teriak Jenderal Tu Bao yang melihatnya.
Jieji tentu heran, selama dia memegang pedang Ekor Api. Tidak pernah terjadi
hal yang begituan. Sesaat dia berpikir lumayan keras. Tetapi Guo Lei yang
mendapati hal tersebut segera melempar pedang Ekor api ke arah pasukan
Mibao. Prajurit disana segera memungut pedang ekor api untuk dimasukkan ke
dalam kotak yang tadinya diperuntukkan untuk pedang berwarna ungu milik Guo.
Pedang Ekor api tidak lagi berontak.
Sekarang Guo terlihat tersenyum sangat puas kembali. Dia merasa kali ini dialah orang yang telah menang melawan Jieji. Namun, dalam dirinya hawa
pembunuhan masih terasa sangat fasih di sinar matanya. Sepertinya meski dia
mampu merebut pedang Ekor api, dia tidak akan mengampuni orang bernama
Dekisaiko Oda tersebut.
Dengan segera, kembali dia mengancangkan jurusnya.
Sementara itu, melihat kesiapan Guo Lei. Jieji malah hanya tersenyum saja
dengan diam. Dia tidak bersiap untuk menyerang. Bahkan tidak terlihat dia
sedang berniat bertahan. Posisinya semua terbuka sekarang seakan pasrah.
Sikapnya sangat santai luar biasa.
"Ternyata kau telah siap mati.... Ha Ha Ha....." Guo sangat senang melihat sikap Jieji yang tiada melakukan gerakan perlawanan. Dia sama sekali tidak tahu, kali ini dia telah dalam keadaan yang cukup gawat.
Dengan tanpa banyak bicara lagi, dia berlari cepat ke arah Jieji dengan kedua
tangan siap membacok. Kecepatannya kali ini sengaja di tingkatkan dua kali lipat dari serangan pertamanya tadi. Sepertinya kali ini, Guo berniat menghempas
satu jurus mematikan untuk melawan Jieji yang tiada berdaya.
Hal ini sangat mengejutkan pasukan Jiamojin. Terlebih lagi Lie Xian yang masih
disandera, tanpa sadar dia segera meneteskan air matanya ke pipi melihat
"kepasrahan" Jieji.
Ketika beranjaknya Guo dari tempatnya, Jieji telah menutup matanya rapi dan
tapaknya seakan dipertemukan. Inilah ancang-ancang tingkat keempat dari tapak
berantai. Sepertinya mungkin Guo Lei dalam masalah yang besar.
Seperti kilat menyambar, bacokan pedang ungu telah sampai di kepalanya
dengan sangat cepat. Pedang nan keras itu segera menghantam kepala Jieji
dengan sangat keras.
Tetapi... Di saat pedang pendek berwarna ungu telah seinchi saja di kepala Jieji.
Pedang seakan menghantam sesuatu yang bahkan lebih keras dari pedang itu
sendiri. Pedang ungu yang masih terpegang di tangan Guo segera terpental
sangat tinggi ke atas. Guo tentu sangat terkejut mendapati hal ini.
Sebisanya, dia segera mundur untuk menyeret kakinya cepat. Karena dia merasa
hal yang "aneh" segera akan muncul.
Tentu perkiraannya kali ini sangatlah benar adanya. Tetapi semuanya telah
terlambat sekali.
Ketika dia merasa telah berhasil mundur, justru saat itu dia melihat sinar api yang kecil yang sangat luar biasa banyaknya sedang terpampang di matanya.
Dengan terkejut, dia berusaha untuk menghindari saja sambil mundur. Tiada
Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keinginan baginya untuk menahan energi yang luar biasa banyak itu.
Namun, ketika dia telah siap benar untuk "kabur". Semua api kecil itu telah berubah menjadi tapak yang sangat banyak sekali.
Dengan nekad dan tiada jalan lagi untuk kabur, Guo langsung melayani tapak
yang jumlahnya ribuan itu dengan tapaknya sendiri. Suara tapak berlaga sangat
keras dan fasih terdengar disana.
Beberapa pasukan depan kedua belah pihak bahkan telah muntah darah
mendapati hawa tenaga yang sangat menyesakkan itu.
Namun seperti Manabu, Dewa Bumi dan Fei Shan. Kali ini Guo Lei menerima
beberapa tapak itu tepat di dada, muka, dan perutnya.
Suara dentuman dahsyat segera terdengar luar biasa keras. Guo terhempas jauh
melayang seperti layang-layang yang telah putus. Keadaannya sekarang tidak
jauh berbeda dengan Manabu yang menerima jurus keempat tapak berantai.
Dia terjatuh hampir tidak sadarkan diri lagi di tengah tanah pasir yang jaraknya terpaut sekitar 50 kaki dari tempat Jieji berada. Luka dalamnya sangatlah parah luar biasa. Meski dia memulihkan dirinya selama 10 tahun pun, dia tidak akan
lagi sanggup untuk bertarung sebaik sekarang. Sepertinya riwayat pertarungan
pendekar berdarah sangat dingin ini telah habis disini.
Prajurit Jiamojin yang melihatnya segera girang tidak kepalang, sedangkan Lie
Xian segera menangis bahagia menyaksikan kemampuan luar biasanya Xia Jieji.
Sementara itu, hawa energi Jieji masih sangat dahsyat berputar di seluruh
tubuhnya. Dengan sebelah tangan, dia menarik dengan menggunakan energi dahsyatnya
ke arah prajurit yang masih memegang kotak berisi pedang Ekor api. Sedangkan
tangan lainnya segera dia arahkan ke arah pedang ungu yang telah tertancap
cukup jauh. Dengan mudah, kedua benda ini di tarik seperti Jieji sedang menggunakan tali
untuk menariknya dari tempat jauh. Posisi Jieji sekarang telah menggenggam
dua pedang dahsyat tersebut.
Tetapi dia kembali merasa aneh. Kenapa pedang dari pendekar bermarga Guo
ini justru tidaklah berat seperti pedang saat digenggamnya. Jieji malah
merasakan pedang ini sangat ringan adanya. Entah apa rahasia di baliknya.
"Lepaskanlah nona itu... Maka semua orang dari pasukan Mibao akan pulang
dengan selamat ke desa... Bagaimana...." teriak Jieji ke arah Da Wu, sang
jenderal dari suku Mibao.
Da Wu sepertinya tiada pilihan lain. Sebab mereka merasa Guo Lei yang begitu
hebat saja tidak mampu mengalahkan pemuda ini. Apalagi sekarang Guo telah
terluka parah dan dalam keadaan setengah mati. Persyaratan ini segera
disanggupi oleh Da Wu sambil menghela nafas panjang.
Sisa tenaga dalam Jieji masih terasa mendesir. Melihat kalau suku Mibao telah
setuju melepaskan cucu dari pak tua Akula. Jieji segera menariknya dengan
tenaga dalam seperti ketika dia menarik dua bilah pedang dahsyat itu. Sesaat,
Lie Xian telah melayang mendekatinya. Nona cantik yang melayang tersebut
tersenyum sangat senang melihat tindakan Jieji.
Tidak berapa lama...
Si nona cantik segera turun di hadapannya. Dengan gerakan cepat, Jieji segera
membuka totokan nadi darah Lie Xian.
Tetapi, dengan cepat pula si nona cantik segera berlutut menyembah Jieji.
"Terima kasih pertolongan anda kepadaku, pendekar Xia...."
Dengan cepat, Jieji membimbingnya berdiri dengan sangat sopan terhadapnya.
Lie Xian sangat puas mendapati kenyataan ini.
Sementara itu, sepertinya Guo Lei mengatakan sesuatu dengan sangat pelan.
Jieji yang mampu mendengarnya, segera berjalan ke arahnya yang sedang
terlentang tiada berdaya.
"Jadi... Kau inilah pendekar Xia" Xia Jieji?" tanyanya dengan kepayahan.
"Betul... Dekisaiko Oda adalah Xia Jieji, Xia Jieji juga adalah Dekisaiko Oda..."
jawab dia datar.
"Ha Ha... Tidak kusangka... Akhirnya aku juga mengalami nasib yang sama
dengan Manabu. Keduanya takluk di tanganmu...."
"Bertobatlah... Jadilah orang biasa saja kelak jika kau sembuh kemudian..." tutur Jieji dengan serius ke arahnya. Lalu sambil berjalan balik, Jieji berniat
meninggalkannya.
Tetapi, Guo Lei segera memanggilnya kembali.
"Pendekar Xia, jagalah pedang Bumi berpendar itu dengan baik. Berjanjilah
kepadaku...."
Jieji cukup terkejut. Rupanya nama pedang ini adalah pedang Bumi berpendar.
Jika memang benar ada pedang semacam ini, tentu pedang yang satunya lagi
yaitu pedang yang bersifat unsur langit/udara pasti ada adanya di dunia.
Seraya berpaling menghadap ke arah Guo yang kepayahan, Jieji hanya
mengangguk perlahan sambil tersenyum.
BAB LXXX : Xue Hung, Wanita Tua Nan Sakti
Puncak Gunung Tai...
Seperti biasanya, kedua orang tua yang sering nampak di puncak tersebut setiap
hari hanya menikmati perbintangan di angkasa yang nan indah. Meski keduanya
yang telah berhenti sepenuhnya dari dunia persilatan tetapi mereka tetap saja
asyik melihat perubahan dunia ini dan pemerintahan.
Namun setiap mereka mulai serius melihat, acap kali nampak rasa kuatir dan
gelisah. Tetapi keduanya juga sepertinya jarang punya daya yang bagus untuk
menghadapinya. Kali ini tentunya masih tetap sama saja.
Keduanya bahkan pernah berpikiran bahwa lebih bagus jika mereka tidak
mengetahui takdir langit, daripada setelah mengerti dan mengetahui dengan
yakin tetapi tiada cara yang bagus untuk sanggup melawannya.
"Bintang pahlawan melawan bintang naga kegelapan. Bintang kaisar melawan
bintang naga ungu. Menarik sekali... Menarik...." kata Dewa Sakti sambil
tersenyum sangat manis.
"Hm... Ini adalah babak baru yang tidak pernah sanggup kita perkirakan
sebelumnya." tutur Dewi peramal.
"Hm.. Betul.. Ini jagad mulai aneh sekali.. Semoga kelanjutan kegelapan akan berakhir sama sekali..."
"Tidak mungkin... Kamu juga tahu" Jagad akan berubah dari saat ke saat.
Kedamaian hanya soal waktu saja. Tidak lama lagi mungkin orang akan angkat
senjata..."tutur Dewi peramal.
"Menurutku tidak begitu selalu.. Sung akan bertahan lama.. Dan runtuhnya Sung pun mungkin akan karena bangsa lain kecuali Han..." Kata Dewa Sakti.
Sebuah kata yang kurang masuk akal sesungguhnya. Maksud Dewa sakti
mungkin adalah serbuan dari Liao-lah yang akan meruntuhkan kelangsungan
Sung. Tetapi bukanlah karena pemberontakan dari dalam negara yang akan
"memutuskan" nadi kerajaan Sung.
"Mmm..." Dewi Peramal terlihat mengangguk perlahan.
Tetapi kemudian dia melanjutkan lagi sambil menunjuk.
"Bagaimana menurutmu bintang naga kegelapan itu?"
Dewa sakti segera mengarahkan pandangannya ke arah yang di tunjuk oleh
Dewi peramal. Sebuah bintang perak berkilap dengan kehitaman di pinggiran dan sesekali
memancarkan aura "kegelapan". Bintang yang terkesan angker itu masih
bergantungan dengan "angkuh" di langit.
Tetapi bintang tersebut bersebelahan dengan bintang "Pahlawan". Bintang pahlawan yang memiliki 4 warna di sekeliling. Keempat warna seakan sangat
kokoh melindunginya. Bintang yang terlihat sangatlah indah, bintang tersebut
memberi rasa nyaman bagi para pengamatnya.
Dewa Sakti dan Dewi peramal yang melihatnya tentu tersenyum sangat puas
beberapa lama sambil mengamatinya.
"Dulu kamu tidak pernah ingin melanjutkan lagi proyek mengenai pemusnah
raga. Sekarang di langit telah terlihat jelas..."
"Betul, satu Dewa dan satunya lagi Iblis... Peperangan keduanya tidak akan lama lagi..." jawab Dewa Sakti.
"Ilmu pemusnah raga memiliki 2 kontras energi. Yang satu adalah pihak
kebenaran, yang lainnya pihak kejahatan. Entah siapa yang bakal menang
terakhir..." tutur Dewi peramal sambil menghela nafas.
"Betul... Dulu sudah kutahu dengan sangat baik adanya. Saat Dewa Manusia
menganjurkan Ilmu dewa pembuyar tenaga dalam, saat itu juga aku
terang-terangan menolaknya. Begitu pula tindakan dewa Bumi sendiri yang
sangat mengecewakanku sungguh...." jelas Dewa Sakti seraya mengehela nafas panjang.
"Tetapi untunglah... Jika kau sangat ingin menciptakan ilmu itu, maka dunia telah kacau sejak 50 puluh tahun yang lalu...."
Dewa Sakti hanya menganggukkan kepalanya sambil menghela nafas kembali.
*** Dikisahkan Xia Jieji kembali...
Setelah peperangan yang tidak sempat membuat jatuh korban banyak. Kedua
belah pihak telah berjanji untuk damai kembali. Suku Mibao yang telah
kehilangan "pendekar" hebatnya tidak berani lagi untuk berbicara peperangan kembali. Sedangkan Suku Jiamojin sendiri lebih mengutamakan kedamaian
daripada luas tanah di utara yang tiada seberapa saja itu. Oleh karena itu, kedua belah pihak berjanji untuk melakukan gencatan senjata selama 10 tahun.
Perjanjian telah di tanda tangani kedua belah pihak pas 3 hari setelah
pertarungan antara Jieji dengan Guo Lei di arah utara Hutan Misteri. Semua
rakyat suku Jiamojin sungguh bersyukur, karena mereka telah mampu hidup
tanpa lagi sesuatu kekhawatiran penyerangan dan peperangan.
Pesta dibuat lumayan besar di desa Jiamojin.
Sedangkan Jieji diagungkan oleh para rakyat dan para pasukan di sana. Mereka
amat menghormati pemuda yang hanya berusia 30 tahun lebih tersebut. Terlebih
lagi Akula, kepala desa ini sungguh sangat bersyukur.
Sebab tujuan utama dari suku Mibao menurunkan Guo Lei untuk melakukan
pertarungan 1 lawan 1 adalah untuk melenyapkan semua "jenderal" hebat dari kubu mereka.
Jika semua jenderal hebat telah tiada, maka suku Jiamojin telah tiada berarti
apa-apa lagi. Dan untuk menguasai ke "selatan", suku Mibao telah tiada halangan lagi. Tetapi mereka sama sekali tidak pernah mengira bahwa di desa Jiamojin ada seorang
"pendekar" hebat.
Di suatu sore...
Seperti biasa, Jieji hanya duduk saja di dekat aliran sungai.
Sebenarnya dia ingin pamit kepada Akula karena dirasanya cukup sia-sia dan
tiada petunjuk pedang pemusnah raga sampai sejauh ini. Dengan berpikir
beberapa saat, dia merasa inilah saatnya untuk pamitan dengan Akula, sang
"penguasa" Jiamojin. Dia memutuskan bahwa besok dia akan pulang kembali ke China daratan untuk segera menuju Dongyang kembali.
Tetapi... Ketika dia masih duduk dengan cukup tenang disana.
Dia dihampiri dua orang. Kedua orang yang tentu telah dikenalinya. Sepertinya
keduanya datang untuk berbincang dengannya.
"Kak Jieji.."
Sapa suara seorang wanita yang lembut. Tentu orang tersebut tiada lain adalah
Lie Xian, cucu dari pak tua Akula.
"Hm..."
"Pak tua..."
kata Jieji sambil memberi hormat pelan kepada orang tua ini.
"Nak Jieji... Semua kisahmu di utara kota Ye telah diceritakan cucuku kepadaku.
Sungguh aku tidak tahu bahwa pendekar nomor 1 di dunia ada di desa kita.
Sungguh aku terlalu tersanjung mendapatinya..." kata Akula sambil memberi
hormat gaya "mongolia" kepadanya.
"Ini kata-kata terlalu berat untuk ku terima. Jieji hanya seorang pemuda biasa, dia masih muda dan tiada kelebihan terlalu banyak untuk dipamerkan...Sungguh
malu sekali..."
jawab Jieji dengan sopan dan sangat merendah sekali.
"Ha Ha... Jika bukan anda seorang pahlawan sejati, siapa lagi?"
"Betul kak... Kamu betul-betul luar biasa sekali. Meski 15 pasukan pengawal kerajaan tentu bukanlah tandinganmu sama sekali... Tetapi kakak hebat,
sungguh merendah sekali.." kata Lie xian menyambung.
"Tidak.. Untuk masalah ini kita tidak perlu melanjutkannya lagi.. Saya memohon kepada anda sekalian, sebab semakin lama aku merasa semakin tiada pantas
lagi..." kata Jieji.
"Betul... Betul seorang pahlawan... Tetapi Xian juga menceritakan sedikitnya tujuan kamu kesini..." Kata Akula dengan cukup serius.
Jieji yang melihatnya lumayan terkejut. Tetapi kali ini, dia tidak berusaha
menyembunyikannya lagi.
"Betul.. Sebenarnya aku ingin menanyai jenderal Tu Bao mengenai pedang ini..."
kata Jieji seraya mencabut pedang ekor api dari sarungnya.
Akula melihatnya dengan serius. Dia meminjam pedang ekor api dari tangan
Jieji. Tanpa ragu tentu Jieji memberikan kepadanya seraya mengangsurkan.
Ketika Akula memegang pedang tersebut, dia terkagum. Sambil mengamatinya
dengan serius, dia berkata.
"Ini adalah perwujudan dari matahari nan panas seperti di gurun..." jawab Akula.
"Ha" Masak sih" Jadi apa pedang ini ada hubungannya dengan wilayah gurun?"
tanya Jieji yang agak penasaran.
"Betul... Ini bukanlah rasa "Api". Bukanlah panas Api, melainkan panas dari cahaya matahari. Untuk masalah ini, aku mempunyai beberapa petunjuk..." kata Akula seraya melihat dengan serius ke arah pedang.
"Kakek... Jangan berbelit-belit dong.. Katakan saja.." kata Lie Xian seraya tersenyum.
"Baik.. Baik..
Mengenai pedang tersebut, dalam kitab nan kuno dari negeri kita menyebutkan
bahwa harus menyembah pada matahari yang nan suci. Keajaiban akan muncul
ketika penyembahan dilakukan. Garis terbentang antara dewa dan manusia. Iblis
tidak bisa mendekat barang sekalipun."
Jieji yang mendengarnya segera berpikir.
Pedang ekor api" Kenapa pedang ini disebut pedang ekor api" Kenapa pula
pedang ini malah terakhir disebut pedang pemusnah raga"
Sungguh adalah aneh sekali baginya.
Menurutnya, pemusnah raga adalah kata arti gabungan semua unsur yang
setara dan seimbang. Sehingga menciptakan unsur baru yang jauh lebih kuat
dari unsur-unsur lainnya.
Dia memang mendapatkan sesuatu, tetapi karena tanpa analisis yang kuat, dia
tidak berani memberikan kesimpulan.
"Lalu apa maksud dari puisi pendek di atas pak?" tanya Jieji kembali.
"Mengenai masalah tersebut sungguh orang tua tak berguna tidak tahu
artinya...." kata Pak akula seraya menghela nafas panjang.
Jieji terlihat cukup kecewa, tetapi baginya dia masih punya sedikit harapan.
Setidaknya puisi tua Mongolia pasti ada petunjuknya.
"Tetapi... Aku baru ingat sesuatu hal..." kata Akula kembali dengan tersenyum tiba-tiba.
Jieji yang melihat perubahan wajahnya tentu cukup senang.
Dia berpikir, Pak tua Akula pasti punya sedikitnya petunjuk untuk hal yang ingin di ketahuinya dengan benar.
"Kamu masih ingat hutan misteri?""
"Tentu..."
"Dari sana, sebelum bertemu dengan pintu utama. Segera menuju ke arah barat.
Dari arah barat terus saja sekitar 20 li. Kamu akan bertemu dengan sebuah
perumahan yang cukup asri. Di sana juga terdapat beberapa pohon rindang di
gurun. Carilah orang yang bernama Xue Hung."
"Xue Hung" Dia adalah seorang nona?" tanya Jieji dengan aneh.
"Ha Ha... Kamu pergi saja ke sana dahulu untuk melihat-lihat. Tetapi ada 1 hal, orang tersebut tidak sembarang menemui orang lain. Dan...." kata Akula sambil mengerutkan dahinya.
"Dan apa pak?" tanya Jieji dengan agak heran.
"Kungfunya... Kungfunya mungkin sudah tanpa tanding. Kamu harus hati-hati
benar terhadapnya." jawab Akula dengan serius.
Jieji sangat terkejut mendengarnya. Dia tentu tidak pernah mengira masih ada
pendekar yang luar biasa lagi selain Guo Lei di gurun berpasir nan tandus. Dan
apa pula tujuan pendekar hebat itu menyendiri" Tentu semua masih menjadi
misteri yang tidak bisa terjawab.
"Jadi apakah orang bernama Xue Hung itu adalah orang satu-satunya yang
mengetahui rahasia pedang pemusnah raga?" tanya Jieji kembali.
"Mungkin hanya dia yang mengetahuinya dengan pasti. Tetapi kamu harus tahu, dulu Dewa Manusia-lah orang yang pernah bertemu dengannya. Namun
kabarnya dewa manusia kalah hanya dalam 3 jurus kepadanya."
Kata-kata pak tua Akula tentu sangat membuatnya terkejut luar biasa.
Setahu dia, Dewa manusia tidak tertandingi pada zamannya. Jika ada yang bisa
membuatnya kalah dalam 3 jurus, mungkin orang ini bukan lagi manusia adanya.
Sesaat Jieji langsung merinding. Kemampuan kakeknya saja sudah sangat
hebat. Tetapi dia kalah dalam 3 jurus oleh orang bernama Xue Hung, tetapi
keinginan bertarung dalam dirinya langsung memuncak. Ingin sekali dia
mencoba kemampuan orang bernama Xue Hung.
"Kalau begitu, besok aku harus berangkat..." kata Jieji dengan tersenyum.
"Aku ingin ikut denganmu.... " jawab Lie Xian dengan agak malu sambil memandang ke arah Jieji.
Jieji hanya diam, tetapi dia memalingkan wajahnya ke arah Akula. Akula yang
melihatnya tentu tersenyum.
"Tergantung nak Jieji saja semuanya..." lalu orang tua ini berkata.
Jieji menganggukkan kepalanya perlahan.
Keesokan harinya pagi benar sebelum matahari terbit dengan sempurna...
Jieji mulai berangkat ke arah utara bersama nona Lie Xian. Pak Akula
mengantarnya ke arah utara sampai 3 li lebih.
Perjalanan kali ini lebih mulus tentunya, sebab matahari yang nan panas masih
belum berayal di langit. Selain itu, hawa "dingin" dari gurun masih terasa sedikit dan belum lenyap adanya.
Tentu keadaan cuaca ini sungguh mirip dengan keadaan cuaca nan pagi di
daerah Jiang nan.
"Kak Jieji... Apa perjalanan akan kita cepatkan?" tanya Lie Xian yang telah meninggalkan daerah Jiamojin dan sedang menuju ke arah hutan misteri.
"Tidak perlu... Pelan saja.. Orang toh lumayan dekat, dan kita tiada mengejar waktu.." jawab Jieji.
"Oya kak... Bagaimana keadaan keluargamu di Dongyang?" tanya Lie Xian.
"Mereka baik saja.. Dan dalam 3 bulan ini aku akan membawa istriku ke daratan tengah.."
"Apa karena janji dengan pangeran kuangyi?"
"Betul..." jawab Jieji dengan mengangguk tetapi sambil berpikir.
"Apa kakak rasa semua akan beres nantinya?" tanya Lie Xian yang mengetahui maksud dari Zhao kuangyi.
"Tidak tahu... Aku sebagai adik, tentu masalah tersebut tergantung pada kakak angkatku. Lagian aku sebagai rakyat biasa tidak bagus mencampuri urusan
pemerintahan..." jawab Jieji.
Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakak sungguh orang bijaksana di zaman ini..."
Lie Xian langsung memujinya sambil tersenyum.
"Oya... Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam 15 pasukan pengawal istana?"
tanya Jieji yang agak heran setelah berkuda pelan beberapa lama.
Lie Xian yang mendengarnya segera tersenyum manis.
"Kakak tahu... Guruku adalah Jenderal Mu Fan. Dialah orang yang memasukkan aku dalam formasi 15 pasukan."
"Mu Fan" Dia adalah jenderal ternama dari Dinasti Zhou sebelumnya?"
Mu Fan adalah seorang jenderal yang telah pensiun sejak naiknya Sung Taizu,
Zhao kuangyin menjadi kaisar dinasti pertama Sung. Kabarnya Mu Fan memiliki
kungfu yang cukup termahsyur dan tidak bisa dipandang ringan di dunia
persilatan. "Betul.. Dialah orangnya. Dia mengajariku banyak ilmu silat. Selain itu, di antara para muridnya akulah orang yang paling berbakat. Jadi dia merekomendasikanku
ke dalam pasukan itu..." jawab Lie Xian mengenang.
"Hm... Lalu bagaimana yang kamu ketahui mengenai formasi 8 diagram Dao?"
tanya Jieji. Lie Xian tentu heran. Dia tahu bahwa formasi "pengurung" dari 15 pasukan adalah formasi 8 diagram Dao, tetapi dia sama sekali tidak tahu bahwa Jieji
mengetahuinya dengan sangat jelas.
"Betul.. Formasi pengurung ini diciptakan oleh guruku sendiri dan para pendekar dunia persilatan. Formasi tersebut juga sangat diminati oleh 5 orang pendekar
Liao itu. Sehingga mereka-lah dalam 5 tahun tersebut mengajari semua orang 5
tingkatan pedang ayunan dewa. Sehingga terakhir formasi tersebut menjadi
sangatlah kokoh adanya." kata Lie Xian menjelaskan tanpa ragu.
"Wah... Memang benar, formasi ini adalah formasi tanpa celah. Mungkin di dunia tiada lagi kungfu yang sanggup memecahkan formasi 8 diagaram Dao kalian."
kata Jieji memuji.
"Tetapi anda yang tanpa tanding pasti mampu melakukannya kan?" tanya Lie xian dengan tersenyum.
"Tidak juga... Di dunia tiada istilah tanpa tanding sesungguhnya. Beberapa kali aku juga nyaris menemui bahaya. Tetapi kepercayaan diri seseoranglah yang
membuat seseorang menjadi kuat..." kata Jieji.
"Apa betul begitu kak?" tanya Lie xian kembali.
"Betul.. Sesungguhnya betul begitu... Oya, dik Xian. Kamu sekarang berumur berapa?"
"Tahun ini pas 23 tahun. Memang ada apa?"
"Tidak apa-apa..." jawab Jieji.
Tanpa terasa, mereka telah sampai ke pintu masuk Hutan misteri.
Lalu sesuai dengan petunjuk pak tua Akula, Jieji dan Lie xian segera mengambil
arah barat. Semua petunjuk pak tua Akula sungguh cocok dengan keadaan alam
disana dan tidak berubah. Sesaat Jieji lumayan kagum pada orang tua itu.
"Dik Xian, kamu orang asli dari tanah tua mongolia?" tanya Jieji kemudian dengan mengajaknya berbincang kembali.
"Tidak juga.. Sebenarnya ayah dan ibuku tidak tahu rimbanya kemana. Sejak
kecil, aku diangkat oleh Pak Akula menjadi cucunya. Setelah beberapa tahun
tinggal di Mongolia, suatu saat, aku diangkat anak oleh seorang pemusik hebat
dari wilayah Nanyang. Disana aku juga diajari beberapa alat musik olehnya."
"Jadi maksudmu, pemusik itu namanya Lie Maoxin?"
"Betul.. Tidak disangka kakak juga tahu namanya... Sejak itu, aku sering pulang balik daerah Nanyang, Kaifeng dan desa Jiamojin bersama kakak angkatku."
tutur Lie Xian mengenang.
Jieji cukup kagum terhadap nona cantik ini. Tidak disangkanya kehidupan nona
Lie Xian juga termasuk pahit. Sejak kecil harus kehilangan kasih sayang orang
tuanya. Dan kesana-kesini untuk mempelajari sesuatu yang berguna untuknya
kelak. "Kakakmu" Maksudmu kakakmu juga orang yang dalam 15 pasukan tersebut?"
tanya Jieji kembali.
"Betul... Nama kakakku Lie Hui, dia tinggal di Chenliu. Kamu pernah juga
melihatnya kan?"
Jieji segera berpikir.
Lie Hui" Seorang gadis di samping Lie Xian saat pertarungan hebatnya di utara kota Ye
yang kecantikannya memang tidak kalah dengan Lie Xian.
Jangan-jangan dia adalah gadis dari rumah bordir Yuen Hua. Sebab dia pernah
mendengar dari 2 orang di penginapan Chen liu yang mengungkit namanya.
Tetapi tentu Jieji tidak berani menanyai Lie Xian, apakah benar atau tidak kakak angkatnya adalah seorang wanita penghibur.
Namun bagaimanapun Jieji tentu heran, bagaimana seorang wanita penghibur
hebat dalam kungfunya" Tetapi hebat dalam musik tentu adalah hal yang sangat
wajar. Meski Jieji bukanlah tipe lelaki yang suka ke rumah bordir, namun seluk
beluk rumah bordir tentu diketahuinya dengan sangat jelas adanya.
Wanita penghibur disana ada 3 tipe.
Tipe pertama adalah memanjakan para pengunjung dengan tarian dan musik.
Tipe kedua adalah memanjakan pengunjung dengan menemani minum arak.
Sedang tipe ketiga tentu adalah memanjakan tamunya dengan "tubuh".
Bagaimanapun Jieji tidak akan berani menanyai Lie Xian. Oleh karena itu,
selanjutnya dia diam dan tiada bersuara saja.
Tidak berapa lama...
Di depan gurun yang tandus tersebut telah menampakkan secercah kesuburan.
Pohon-pohon yang kecil sudah tertampak dari arah yang lumayan jauh. Jieji dan
Lie Xian yang melihatnya tentu segera girang sekali.
Mereka segera memacu kudanya lebih cepat untuk segera sampai.
Dari agak jauh, mereka telah melihat sebuah gubuk yang kecil.
Di sekeliling gubuk terdapat pohon yang rindang. Luas daerah tersebut tidaklah
kecil juga nampaknya. Mungkin hampir 1 Li persegi.
Sebuah fenomena yang cukup aneh juga, karena di daerah tandus masih
terdapat sumber aliran air. Bahkan disampingnya terlihat air terjun yang tidak
tinggi dan mengalir deras ke aliran di samping.
Daerah ini bisa dikatakan daerah "hutan misteri" mini. Daerah yang merupakan surga di neraka kehausan.
Setelah benar dekat...
Jieji dan Lie xian segera menambatkan kudanya di salah sebuah pohon besar.
Udara disini sungguh berbeda dengan udara di luaran. Udara terasa sungguh
sejuk karena tadinya sangatlah panas menyengat.
Jieji sesaat menarik nafas panjang untuk menikmatinya.
Setelah itu, dia berjalan perlahan mendekati gubuk yang tersusun cukup rapi.
Tetapi sebelum dia benar sampai...
Sebuah suara tenaga dalam hebat luar biasa telah muncul.
"Seorang pahlawan zaman ini telah datang... Kenapa tidak segera masuk?"
Suara seorang wanita muda?""
Suara yang keluar adalah suara yang hebat adanya. Suara yang jauh lebih sakti
dari semua suara yang pernah di dengar Jieji. Bahkan gaungan suara 1000
Li-nya Dewa Sakti bukanlah apa-apa jika dibandingkan suara orang ini.
"Pahlawan adalah sebutan bagi seorang yang hebat sepanjang masa.
Bagaimana orang yang masih muda dan tiada berpengalaman bisa disebut
dengan gelar yang demikian tinggi?" tutur Jieji dengan sangat sopan.
"Ha Ha Ha..........." terdengar suara seorang wanita muda yang tertawa cukup hebat.
Setelah tawanya mereda dia berkata.
"Masuklah...."
Pintu gubuk yang tadinya tertutup telah terbuka sangat pelan. Dan tidak berapa
lama, pintu telah terbuka penuh.
Jieji melihatnya sambil tersenyum manis, lalu dia berjalan pelan mendekati di kuti oleh Lie Xian.
Ketika dia telah sampai tepat pada daun pintu yang telah terbuka lebar. Dia
memandang ke dalam dengan serius adanya.
Sesaat, dia terkejut luar biasa...
Seorang wanita yang berambut putih...
Seorang wanita tua yang mirip dengan seseorang yang pernah dilihatnya
langsung... Wanita yang sungguh mirip dengan Dewi peramal...
Rambutnya memutih semua, namun pandangan matanya sungguh sangat
bersinar terang.
Dan di wajahnya tiada nampak keriput sama sekali. Di bibirnya tersungging
senyuman yang sungguh manis luar biasa layaknya seorang gadis yang sangat
cantik. Lie Xian yang melihatnya tentu sangat terkejut dan terkagum tiada
habis-habisnya.
BAB LXXXI : Perbincangan Dengan Xue Hung
"Kamu tahu" Sudah berapa lama aku menunggumu disini?" tanya Xue Hung, sang wanita tua langsung ketika menatap Jieji dengan tersenyum.
"Ha" Anda menungguku" Memang ada masalah apa sehingga diriku yang tiada
berguna membuat tetua menungguku?" tanya Jieji yang agak heran.
"Ha Ha Ha..............." Xue Hung terlihat tertawa sangat senang seperti layaknya seorang gadis kecil tiada henti-hentinya.
Tentu tingkah "aneh" tetua tersebut mengundang rasa heran luar biasa bagi Jieji maupun Lie Xian yang berada disana.
Entah apa maksud sesungguhnya dari Xue Hung mengatakan hal tersebut.
Tidak berapa lama, Lie Xian segera menanyainya.
"Tetua Xue... Boleh tidak kutahu berapa umur anda sesungguhnya sekarang?"
"Hm.... Aku lahir sekitar 30 tahun setelah wafatnya Kaisar wanita dari Dinasti Tang..." Jawab Xue Hung.
Hal ini segera mengejutkan keduanya. Seakan tidak percaya mereka
terheran-heran sekali.
Kaisar Wanita dinasti Tang adalah Wu Zetian. Dan 30 tahun setelah wafatnya
Wu Zetian adalah sekitar tahun 730-an. Sedangkan sekarang adalah akhir dari
tahun 900-an. Berarti wanita tua bernama Xue Hung ini paling tidak umurnya telah 240 tahun ke atas.
"Tidak mungkin....." kata Lie Xian yang agak heran.
"Ha Ha....... Itu mungkin saja. Bahkan kedua cucu keponakan muridku masih
tetap ada di dunia. Lalu apa yang heran dari semua itu?" tanya Xue Hung.
"Betul... Seharusnya kedua cucu keponakan murid tetua adalah dua tetua dunia persilatan juga yang telah sangat tua adanya." Jawab Jieji sambil tersenyum.
"Betul... Betul.... Kamu tahu, ketika murid kakak kandungku mengangkat murid lelaki yang hanya berumur 5 tahun satu-satunya. Saat itu umurku sudah 50-an."
kata Xue Hung. Xue Hung tentu adalah adik kandung dari Xue Yang, seorang pendekar yang
mempunyai sifat keadilan yang sungguh tinggi adanya. Pendekar yang
menyandang pedang Es rembulan dan mengharumkan dunia persilatan
beberapa lama. Berarti disini umur Dewa Sakti paling tidak juga telah mencapai 190-an. Sungguh hebat adanya.
"Kalau begitu... Sungguh aneh sekali ada kejadian begitu di dunia..." kata Lie Xian dengan mengerutkan dahinya.
"Itu tidaklah heran sama sekali. Hidup menurut jalan Dao akan membuat
seseorang panjang umur." tutur Xue Hung sambil menengadahkan kepalanya
dan menghela nafas panjang.
"Apa yang masih tetua risaukan?" tanya Jieji kemudian setelah beberapa saat.
"Hanya 1 hal saja. Kamu tahu" Aku hidup hanya dengan 2 tujuan..." tutur Xue Hung sambil memandang ke arah Jieji dengan sangat serius.
"2 hal" Tentu kedua hal tersebut adalah hal yang luar biasa pentingnya..." kata Jieji seraya mengerutkan dahinya.
"Betul... Hal pertama mungkin sangat penting. Tetapi hal kedua, sungguh aku benci akan hal ini. Tetapi inilah takdir yang harus kujalankan pada akhirnya..."
Jawab Xue Hung sambil menghela nafas kembali, tetapi kali ini dari wajahnya
segera nampak ketuaan yang sangat. Sepertinya ada hal yang betul-betul
mencemaskannya.
"Hm... Setidaknya hidup tetua masih ada tujuan. Sedangkan aku...." kata Jieji dengan mengerutkan dahinya.
Ini adalah pancingan yang sengaja dibuat oleh Jieji. Tentu baginya, tetua pasti tahu apa maksud kedatangannya disini. Namun bagaimanapun dia tiada berani
mengatakannya terus terang terlebih dahulu.
Oleh karena itu, dia menggunakan "pancingan" dari kata-katanya.
Tentu apa yang dikatakan Jieji sangat diketahui oleh Xue Hung.
Mendengarnya, Tetua tersebut langsung tertawa sangat keras.
"Ha Ha Ha..........................."
"Betul... betul... Kamu ingin menanyaiku sesuatu. Aku hampir lupa karena
menceritakan hal yang tidak berguna seperti ini...." tutur Xue Hung.
"Mohon maaf tetua... Tetapi masih banyak hal yang perlu kuketahui adanya..."
kata Jieji sambil memberi hormat sangat dalam kepadanya.
Xue Hung memandangnya beberapa saat.
Kemudian dia berkata.
"Kamu tahu... Di langit pada malam hari... Telah muncul 4 bintang yang sangat kontras satu sama lainnya sekarang?" tanya Xue Hung.
"Tentu tidak tahu... Mengenai masalah perbintangan sama sekali tidak kuketahui sama sekali.." jawab Jieji dengan jujur.
"Hm...." angguk Xue Hung dengan tersenyum.
"Sekitar ratusan tahun yang lalu, bintang tersebut juga pernah muncul. Hanya bintang saat itu hanya ada 2 biji. Yang pertama adalah bintang "pahlawan" dan yang kedua adalah bintang "kegelapan". Keduanya hampir mirip dengan
keadaan sekarang."
"Jadi maksud anda adalah tetua Xue Yang-lah salah satu dari bintang tersebut?"
tanya Jieji. "Betul.. Kamu cerdas dan pandai... Bintang kali ini juga sama adanya. Bintang pahlawan tiada lain adalah untuk dirimu. Sedangkan bintang kegelapan....." kata Xue Hung sambil mengerutkan dahinya.
"Siapa lagi tetua " Siapa lagi yang menyandang bintang kegelapan itu?" tanya Lie Xian memotong.
"Ha Ha.............." Xue Hung tertawa sangat panjang.
Setelah itu, dia memandang ke arah Jieji sambil tersenyum penuh arti.
"Hm... Bintang satunya lagi mungkin adalah diperuntukkan bagi Yue Liangxu...."
jawab Jieji dengan datar.
Xue Hung cukup terkejut. Dia tidak tahu bahwa Jieji sudah mampu mengiranya
sebahagian besar. Dan lantas dia tentu tertawa saja.
"Betul... Dialah orangnya. Dan kamu juga tahu seharusnya. Bintang kegelapan ratusan tahun yang lalu berakibat fatal bagi bintang pahlawan." jawab Xue Hung kembali.
Jieji berpikir beberapa saat. Setelah itu, dia menjawab kembali.
" Jadi bintang tetua Xue Yang-lah yang kalah akhirnya oleh tetua sesat yang merupakan kakek tua luar dari kedua istriku... Hm...." jawabnya sambil
menggoyangkan kepalanya.
Seakan tidak percaya, Xue Hung terkejut dan kagum luar biasa.
Berarti analisis dalam otaknya sebagian telah menuju ke kebenaran sejati yang
sungguh ingin diketahuinya.
"Betul... Dahulu, Huang Yuzong melakukan hal yang sangat licik. Dia meminta dukun tua dari tanah Mongolia untuk mengubah takdir langit sedemikian rupa.
Kamu tahu tujuannya?" tanya Xue hung kembali pada Jieji.
"Hm..."
"Di dunia, seseorang yang berambisi pada awalnya adalah melatih silatnya
hingga tingkat tinggi. Setelah itu, dia pasti akan berupaya menjadi ketua dunia persilatan. Namun setelah mencapainya dia tidak pernah puas. Dia ingin menjadi
pejabat kerajaan. Setelah juga mencapainya, dia tidak akan puas kembali.
Terakhir dia berupaya menjadi kaisar sejati. Setelah menjadi naga di bawah
langit, maka dia ingin hidup abadi dan kekal sejati... Inilah lingkaran kehidupan manusia yang ambisius...." terang Jieji sambil berpikir.
"Berarti sebahagian besar kamu telah mampu menebaknya. Betul... Hal itulah yang akan dilakukan oleh Huang Yuzong. Sedangkan ketika kakak kandungku
mengetahuinya, dia segera berniat menghentikan Yuzong. Tetapi, dalam
pertarungan 5 kali. Yuzong tidak pernah berhasil mengalahkan Xue Yang.
Namun, setiap kali kakak kandungku selalu melepaskannya dan memintanya
bertobat. Tetapi...."
tutur Xue Hung sambil menghela nafas panjang.
"Berarti benar apa yang kukira. Tidak mungkin Huang Yuzong yang belum
menyelesaikan ilmu silat tertingginya mampu mengalahkan Xue Yang yang telah
kesohor di dunia persilatan." jawab Jieji sambil menggoyangkan kepalanya.
"Betul... Saat itu, kakak kandungku mengalami sebuah masalah besar. Dia
dikeroyok pendekar dunia persilatan yang jumlahnya banyak sekali. Hal ini terjadi setelah pertarungan hebat terakhirnya melawan Huang Yuzong di puncak
gunung Sung. Yuzong yang tidak puas telah menfitnah kakakku. Alhasil, setelah
terluka lumayan parah dalam pertarungan. Dia juga masih harus melawan
banyaknya pendekar dunia persilatan. Terakhir, setelah dia kembali ke Hua
Shan. Dia datang ke daerah gurun ini..." jelas Xue Hung.
"Jadi Huang Yuzong setelah kematian Xue Yang lalu menyempurnakan ilmunya,
terakhir malah ilmu itu malah menyesatkan dirinya sendiri?" tanya Jieji.
"Betul... Kamu tahu... Jika ilmu dari 4 unsur-mu satu saja lebih bersifat
"membunuh" maka kamu telah berubah menjadi setan juga?" tanya Xue Hung kepadanya dengan tatapan penuh arti.
"Apa yang tetua katakan benar adanya. Aku hanyalah orang yang sangat
beruntung sekali..." jawab Jieji sambil berpikirdan terlihat sungguh puas adanya mendapati hal yang diterangkan oleh tetua Xue Hung.
Sesaat itu, Pemikirannya langsung melayang.
Tapak berantai ciptaannya sendiri adalah gabungan 4 jurus yang setara adanya.
Di antara keempat jurus yang paling mematikan dan menghasilkan serangan
mengerikan hanyalah "Ilmu jari dewi pemusnah dan tendangan mayapada."
Kedua Ilmu ini dipadu dengan kedua ilmu yang bersifat jauh lebih tenang,
sehingga keempatnya mampu saling melengkapi.
Jieji berpikir, jika saja ilmu langkah Dao-nya diganti dengan ilmu lain yang
bersifat "menyerang" maka dia juga telah berubah menjadi seorang pendekar sadis seperti layaknya Yuzong.
"Betul... Inilah yang menjadi kekhawatiranku setelah bertahun-tahun. Dewa Sakti tidak pernah ingin menyelesaikan gabungan ilmu terakhir karena dia tahu dengan
sangat benar. Jurus Ilmu jari dewi pemusnahnya lah yang akan "memusnahkan"
keturunan manusia di jagad. Tetapi sekarang..." kata Xue Hung menjelaskan, namun setelah itu dari tatapan matanya terlihat sayu sekali.
Jieji yang terus menatap orang tua, dan langsung terlihat sikap sayunya langsung terkejut luar biasa.
"Jadi Zhu Xiang?"?"?" tanya dengan terkejut dan heran luar biasa.
"Betul... Ini adalah hal yang sungguh gawat adanya...." jawab Xue Hung yang telah tahu bahwa Jieji telah mengetahuinya.
Dahulu, jurus Ilmu jari dari Dewa Saktilah yang sepadan dan terkuat untuk
membawa semua energi. Jieji yang menguasai ilmu tersebut dan menguasai
tapak berantai tentu sangat tahu. Sebab dari jurus tapak berantainya sendiri,
semua energi "diangkut" oleh Ilmu jari dewi pemusnah.
Sekarang Zhu xiang, seorang penguasa Ilmu tapak buddha Rulai yang
mempunyai unsur yang sama pasti akan mampu menyelesaikan proyek yang
telah tertunda beberapa puluh tahun itu. Tentu hal ini membuatnya sangat
terkejut sekali.
"Berarti pertarungan aku dengan Liangxu hanya menunggu waktu saja..." jawab Jieji yang serasa menyesal.
Xue hung yang melihat sikap Jieji segera menasehatinya.
"Ini adalah takdir. Kamu kecewa benar kan" Dua kali kamu tidak sanggup
membunuhnya hanya karena hatimu yang masih berbelas kasihan. Kamu
sungguh mirip kakak kandungku..." katanya sambil memandang ke Jieji dengan senyuman penuh arti.
"Aku adalah seorang lelaki biasa saja. Mana mungkin sanggup ku bandingkan
diriku dengan tetua Xue Yang..." jawab Jieji memberi hormat kepadanya.
"Ha Ha..... Kamu tidak tahu... Dari bintang pahlawan tentu akan turun kembali ke bintang pahlawan sendiri. Jadi bagiku, kamu adalah kakak kandungku...." kata Xue Hung dengan sangat gembira.
"Tidak... Tidak... Ini adalah hal yang sungguh kurang ajar sekali. Hal laknat seperti itu niscaya Jieji berani menerimanya...." kata Jieji dengan menggelengkan kepalanya dan menghormat dengan penuh kepada Xue Hung.
"Baiklah... Kamu tahu.. Apa tujuan kakekmu datang kesini sekitar hampir 35
tahun yang lalu?" tanya Xue Hung kemudian seraya mengganti topik
Pahlawan Dan Kaisar Karya Zhang Fu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pembicaraan. Hal ini tentu sangat ingin diketahui oleh Jieji. Dia sebenarnya tidak berani
bertanya dahulu, namun tuan rumah sudah memberikannya sebuah kata-kata
yang ingin diketahuinya. Tentu dia terlihat mengangguk kepalanya perlahan.
Golok Sakti 7 Harpa Iblis Jari Sakti Karya Chin Yung Pendekar Pengejar Nyawa 20
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama