Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Bagian 4
menyambar les kuda dari kusir, ia mengedut dengan keras, atas
mana keempat ekor kuda itu, yang semua ada kuda pilihan dari
istal raja Nepal, lantas kabur. Pada itu Hoa Seng menambah
sama cambuknya. Karena kuda lari bagaikan terbang,
penumpang-penumpangnya menjadi duduk tak tetap di atas
kereta itu. Itulah Timotato yang mengasi dengar suara angin, yang telah
menyusul mereka dengan lari keras sekali. Sembari lari
terdengarlah suara tertawanya yang aneh. Makin lama, ia
menyusul makin dekat.
Sebentar kemudian, mendadak keempat ekor kuda meringkik
keras, tentu kaki mereka pada berdeku. Luar biasa cepat,
Timotato sudah dapat menyandak, tangannya menyambar
kereta itu, begitu lekas dia mengerahkan tenaganya, kereta itu
kena ditahan, kudanya lantas roboh kakinya, tak dapat binatang
itu maju walaupun hanya satu tindak.
"Apakah perkataanmu tak dianggap olehmu?" Hoa Seng tanya,
membentak. Timotato tertawa.
"Aku bilang aku tidak campur tahu urusan di benteng tua!"
katanya. "Sekarang, sekeluarnya dari benteng tua itu, maka aku
mesti mencampurinya tahu!" Ia lantas memegang kereta, untuk
menarik sambil mengenjot tubuhnya, dari itu dalam sejenak ia
sudah berada di atas kereta.
Hoa Seng menghunus pedangnya, dengan lantas ia menikam
dadanya Bapak Daud. Ia menggunai tipu silat "Lie Kong
memanah batu."
Dengan kesebatan luar biasa, Timotato mengulurkan dua jari
tangannya. Ia menggunai tipu silat "Burung hong mengangguki
kepala." Dengan gerakannya itu ia hendak merampas pedang
penyerangnya itu.
Hoa Seng tidak sudi menyerahkan pedangnya, dengan
mengibas, ia membabat kedua jari tangan orang!
Tidak mengecewakan Bapak Daud menjadi jago dari seluruh
Arabia, sambil berkelit, ia ayun tangannya untuk menangkis,
berbareng dengan mana, tangan kirinya menggempur hingga
pedangnya Hoa Seng kena disampok mental. Ia tidak berhenti
sampai di situ, dengan tangan kanannya, dengan dua jerijinya,
ia menyambar ke matanya lawan itu!
Hoa Seng mesti mundur untuk mengelakkan serangan itu,
karena mana ia membuatnya kedua dayang menjadi kaget
hingga mereka menjerit ketakutan karena tubuh mereka kena
terlanggar. Tubuhnya Timotato sudah berada di atas kereta, kedua kakinya
sudah dipernahkan, tinggal lagi satu tarikan, ia akan sudah
berada di dalam kereta. Di saat itu, ia ditikam Hoa Seng, yang
mengarah tenggorokannya. Ia dapat menolong dirinya, dengan
satu sampokan ia membuatnya pedang penyerangnya mental
kesamping, hingga pedang itu menghajar putus sepotong kaju!
Dua jago itu jadi bertempur, seorang di dalam kereta, yang lain
di sebelah luar. Hebat pertempuran mereka, melebihkan
hebatnya pertempuran di dalam rumah, di ruang yang luas,
karena di sini keduanya sukar bergerak dan setiap serangannya
berbahaya sekali.
Bapak Daud berkelahi dengan bengis. Satu kali dia berseru,
dengan tubuh terangkat, dengan sebelah tangan dia
menyampok pedang, dengan tangan yang lain dia membarengi
menyerang dadanya lawannya.
Hoa Seng menghadapi ancaman bahaya. Ketika itu pedangnya
sudah tidak keburu ditarik pulang. Tidak ada jalan lain, ia mesti
berkelit atau menangkis serangan ke dada itu, pedangnya
sendiri sebisa-bisa ditarik pulang dengan diputar.
Di saat yang sangat mengancam itu, sekonyong-konyong
Timotato menggigil sendirinya. Ia merasakan hawa dingin
yang datang tiba-tiba. Juga Hoa Seng merasai hawa dingin
meresap ke tubuhnya, hanya karena ia berada di dalam kereta
di mana ia dapat memernahkan diri dengan baik, gangguan
hawa dingin itu tidak terlalu hebat. Ia pun menginsafi suasana,
maka itu ia menggunai ketikanya, segera ia memapas.
Timotato mengasi dengar teriakan dari kesakitan, tubuhnya
lantas jatuh ke bawah kereta. Di lengan kirinya, sepotong
dagingnya kena dipapas pedang. Ia menjadi sangat gusar.
"Hai, binatang, kau menggunai ilmu siluman apa?" dia
menanya bengis.
Koei Hoa Seng tidak mau melayani jago itu, ia tarik les
kudanya, ia mengeprak, maka keretanya lantas dibawa lari
sekeras-kerasnya. Dengan begitu, karena dia terluka, Timotato
tidak dapat mengejar lebih jauh.
Memikirkan kejadian barusan, Hoa Seng heran sekali. Dari
mana datangnya hawa dingin itu yang demikian tiba-tiba"
Itulah hawa dingin yang ia rasakan adanya di gunung Nyenchin
Dangla, di guha es. Tidak mungkin hawa dingin itu datangnya
dari langit. Kalau orang, siapakah yang menggunakannya" Di dalam kereta
itu tidak ada lain orang lagi. Siapakah orang yang membantu
kepadanya"
Kereta lari keras sekali maka tidak lama tibalah sudah mereka
di dalam kota. Masih Hoa Seng berpikir keras, memikirkan orang yang
membantu ia dengan hawa dingin itu. Ia dapat mengingat si
nona berbaju putih tetapi nona itu tidak ketahuan di mana
adanya. Adakah dia Papo" Tapi Papo tidak mengerti ilmu silat!
Apakah dialah si kedua dayang" Kalau mereka, dari mana
mereka dapatnya inti es dari guha es itu"
Akhirnya ia menduga-duga, mungkinkah si nona baju putih
justeru ada si puteri Nepal, memikir ini, ia merasa ia menjadi
terbenam makin dalam dalam keheranan ?"..
Tidak lama semasuknya ke dalam kota raja, istana sudah lantas
tertampak. Papo lantas mengasih lihat roman berduka.
"Saudaraku, benar-benarkah kau merasa pasti?" ia bertanya.
"Jangan kuatir!" Hoa Seng menyahuti tertawa.
"Sakitnya raja, yang terkena racun, bukannya enteng,"
menerangkan Papo. "Adalah aturan di dalam negara kami,
tabib yang mengobati raja mungkin nanti berkurban jiwa,
untuk sama-sama dikubur ...."
"Kalau penyakit ada penyakit lain, aku tidak merasa pasti.
Kalau benar itu disebab racun, ha ha! aku tanggung obatku
akan dapat mempunahkan racun itu! Loo-tiang, pernahkah kau
mendengar kemustajabannya teratai salju dari Thian San dalam
hal mengobati bisa?"
Sembari berkata, Hoa Seng mengeluarkan setangkai bunganya,
untuk dikibaskan di depan tabib itu, maka di dalam kereta itu
segera tersiar bau harum-semerbak. Sesuatu orang lantas
merasakan segar sekali.
Papo pernah membaca kitab ilmu obat-obatan, ia mengetahui
tentang soat-lian, atau teratai salju dari gunung Thian San,
maka itu mengertilah ia, teratai itu memang dapat
menyembuhkan sekalipun racun nyali merak atau jengger
burung ho. Karena ini, sekarang hatinya menjadi lega.
Segera juga kereta dihentikan di depan istana.
Istana raja Nepal kalah indah dengan istana di Pakkhia, kalah
juga dengan istana Potala, akan tetapi toh ada keistimewaannya
sendiri. Di kedua samping ada kuil-kuil serta menara-menaranya,
lauwteng atau ranggonnya terukir indah, sedang di atas
wuwungan atau kotak atau keranjang tiang bendera ada
burung-burungan atau beburonannya yang bagus seperti
binatang bernyawa. Di wuwungan menara ada kelenengan atau
genta terbuat dari pada kuningan, yang indah-mengkilap serta
suaranya sedap didengar. Di depan istana ada patung Sang
Buddha tinggi tiga tombak lebih. Di situ pun ada air mancur,
yang keluarnya dari kepala naga kuningan. Teranglah itu ada
buatan campuran seni Timur dan Barat, kecampuran sifat seni
Tionghoa. Maka itu, senang juga Hoa Seng menyaksikan itu semua,
matanya mengawasi ke segala pihak. Meski begitu, ia tidak
melupai tugasnya. Ia jalan di lorong panjang, mengikuti
dayang, ia sendiri sembari menarik si congkoan dari Gie-limkoen.
Di akhirnya, di dalam sebuah ruang istana dari batu putih
ia menghadap raja Nepal.
Di sini Hoa Seng merasa heran. Raja Nepal bermuka semu
dadu, tanda dari kesehatannya, tidak ada tanda-tandanya bahwa
ia lagi mengandung sakit. Di belakang raja itu berdiri seorang
tua, yang Papo kenali sebagai tabib istana. Di sebelah depan
raja berdiri seorang muda, yang punggungnya menghadap ke
luar. Begitu berada di dalam istana itu, Hoa Seng dapat mencium
bau yang harum luar biasa, ialah bau harum dari teratai salju
dari Thian San.
Melihat datangnya tetamu, raja Nepal berbangkit dengan
perlahan-lahan dari tempat duduknya yang berbangsal sulaman
indah. Berbareng dengan itu, si anak muda pun memutar
tubuhnya, untuk berbalik.
Kapan Hoa Seng melihat wajah orang, ia terperanjat saking
heran. Si anak muda juga heran sama seperti ia. Maka itu
keduanya jadi berdiri tercengang.
Pemuda itu bukan lain dari pada si anak muda bangsa India
yang diketemukan di gunung Himalaya.
Kemudian, sesudah mengangguk perlahan kepada si anak
muda, Hoa Seng memberi hormat kepada raja Nepal.
Raja itu membalas hormat sambil mengangguk.
"Tetamu dari negara besar, tak usah kau menjalankan banyak
kehormatan," katanya. "Duduklah!"
Hoa Seng segera menanya untuk urusan apa raja memanggil ia
datang menghadap.
Raja tertawa. "Sebenarnya aku memanggil tuan untuk mengobati penyakitku
tetapi sekarang tak usahlah aku membuat tuan capai hati lagi,"
sahutnya. Ia lantas menunjuk itu pemuda India seraya
menambahkan: "Pemuda ini ialah Jatsingh putera raja Champa. Dia datang di
saat kami baru mengirim kereta untuk mengundang tuan, dia
lantas memberikan obatnya. Luar biasa mujarab obatnya itu,
begitu dimakan begitu aku sembuh. Demikian sekarang, aku
sudah sembuh seanteronya. Tapi tuan telah datang ke negaraku
ini, maka itu walaupun tidak ada urusan apa-apa aku ingin
mengundang tuan berdiam di sini untuk beberapa hari."
Mendengar itu sekarang Hoa Seng mengerti duduknya hal.
Sengaja Jatsingh mencari soat-lian untuk menolongi raja dan
dia telah berhasil, raja Nepal sudah diobati sembuh dari
sakitnya itu. 14. Sayembara Puteri Nepal
Raja Nepal lihat congkoan dari Gie-lim-koen, pemimpin
pasukan istananya. Ia heran menampak roman orang tak wajar.
Hamba itu nampak lesu atau letih.
"Kau datang bersama tetamu agung, ada urusan apakah?" raja
tanya. Papo lantas mendahului menyahuti: "Paduka congkoan ini
memanggil hamba katanya untuk memeriksa penyakit tetapi
dia melarangnya membilang bahwa Sri Baginda sakit terkena
racun, hamba disuruh membilang itulah sakit kepala yang biasa
saja." Raja menjadi gusar.
"Apakah artinya itu?" ia tanya.
Melanjuti keterangannya, Papo menuturkan apa yang terjadi di
benteng kuno. Selagi tabib ini berbicara, dari perdalaman pendopo istana itu
muncul satu orang melihat siapa congkoan Gie-lim-koen itu
kaget hingga ia lantas berseru: "Pangeran, tolongi aku
?""!"
Hoa Sang kenali orang yang baru muncul itu ialah putera raja
Nepal yang ia ketemukan di dalam Kota Iblis.
Tanpa membilang apa-apa pangeran itu bertindak
menghampirkan si congkoan, mendadak dla berseru: "Kau
telah dipercayakan Sri Baginda dan diberi tugas penting,
kenapa kau berani meracuni Sri Baginda" Mungkin Sri
Baginda suka memberi ampun padamu tetapi aku tidak!"
Congkoan itu kaget sekali.
"Kau ?". kau ....." katanya.
Putera raja itu tidak mau banyak omong, bahkan dengan
kesebatannya yang luar biasa, ia menghunus goloknya dengan
apa ia membacok pemimpin pasukan Gie-lim-koen itu, hingga
orang roboh dengan jiwanya melayang!
Hoa Seng berdiam. Kalau ia mau mencegah, ia dapat
melakukannya. Kejadian itu dilakukan tanpa menanti Papo
selesai bicara. Sungguh suatu kejadian di luar dugaan saking
cepatnya. Putera raja itu menyusut goloknya, terus ia berkata kepada,
raja: "Paman-raja, paman berada di dalam istana dan kena
orang racuni, perkara itu tidak usah diselidiki lagi, tentulah itu
dilakukan oleh congkoan ini, tak usah disangsikan lagi."
Raja lagi mendengar keterangannya Papo, ia mulai mencurigai
congkoannya itu, sekarang ia menyaksikan perbuatannya
pangeran itu, meski itu ada di luar sangkaannya, ia tidak
curiga, bahkan ia mendapat kesan pangeran itu bersetia
kepadanya. "Dia bertugas melindungi, sekarang dia justru berbuat jahat,
pantas dia terbinasa," kata raja ini, yang lantas menitahkan
supaya mayatnya congkoan itu lekas disingkirkan, supaya
bekas-bekas darah itu lantas dibersihkan. Di lain pihak,
perintah pun dikeluarkan guna lekas menyajikan barang
santapan, untuk mengadakan pesta.
Dua bulan lebih raja menderita sakit, sekarang ia sembuh
dengan tiba-tiba, kegembiraannya luar biasa. Maka ia
mengadakan pesta istimewa di dalam istananya itu. Ia
menjamu putera raja Champa serta Hoa Seng si tetamu yang
dihormati. Urusan congkoannya itu tak lagi ia
menghiraukannya.
Papo bersama Hoa Seng saling mengawasi, mulut mereka
tertutup rapat, hati mereka tapinya bekerja, seperti sinar mata
mereka menunjuki. Mereka tahu pasti sakit raja bukan
perbuatannya congkoan Gie-lim-koen itu, hanya benar,
congkoan itu mesti tahu duduknya hal dan mungkin dia, turut
ambil bagian juga.
Me?reka terpaksa berdiam karena kalau mereka membuka
mulut, pastilah istana itu menjadi kacau. Pula tidak baik
muncul kekacauan selagi raja baru sembuh dan mengadakan
pesta ini.
Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sampai di situ, Hoa Seng mengasih keluar suratnya Dalai
Lama dan ia peserahkan pada raja itu sembari ia berkata:
"Seharusnya surat ini dihaturkan kepada Sri Baginda
selekasnya aku datang ke kota raja ini. Harap Sri Baginda
memaafkannya."
Raja membaca surat itu, ia girang sekali.
"Aku memerintah Negara dengan berpokok kepada ajaran
agama Buddha, sudah selayaknya jikalau akulah yang lebih
dulu menanyakan kesehatannya Buddha Hidup," katanya.
"Berhubung dengan hari ulang tahun Sang Buddha ini,"
berkata putera raja, yang campur bicara, "aku sudah mengirim
utusan atas nama paman raja untuk memberi selamat sekalian
menghadiahkan menara emas kepada Istana Potala. Oleh
karena paman tengah sakit, hal ini aku belum melaporkannya."
Tapi raja senang.
"Tindakanmu ini cocok dengan hatiku!" katanya girang. "Maka
itu lain kali, dalam urusan negara, apa yang kau lihat pantas
dilakukan, kau lakukanlah."
Tiba-tiba raja ini ingat suatu apa. Maka ia lantas berkata pula:
"Dua hari yang lalu ada datang pendeta dari Tiongkok,
mungkin kau kenal dia, karena aku lagi sakit, tidak sempat aku
memanggil dia menghadap. Sekarang ini baiklah dia diundang
untuk turut menghadirkan pesta ini."
Raja lantas mengeluarkan perintahnya.
Hoa Seng heran, ia menduga-duga siapa pendeta dari
negaranya itu, yang dapat melintasi gunung Himalaya. Karena
ini, ia lantas berpaling kepada putera raja itu.
Kelihatannya putera raja itu heran, maka mungkinlah dia tidak
mengenalnya atau tidak mengetahuinya.
Ketika pesta dimulai, pendeta Tionghoa itu belum muncul,
maka itu raja Nepal mengundang dulu Jatsingh, Hoa Seng dan
Papo berduduk dulu, Putera raja hadir bersama.
Sebagai pelajan, raja menitahkan delapan dayang, di antaranya
ada dua dayang yang diperintah pergi mengundang Hoa Seng.
Raja mengisi arak. Ia lantas berkata: "Malam ini ada tiga hal
yang menggirangkan yang aku hendak menyebutkannya ?" "
"Setiap kali paman menyebutkan serupa hal yang
menggirangkan itu, kita minum tiga cangkir arak!" berkata
putera raja, menimbrung.
Raja Nepal tertawa lebar.
"Kegirangan yang pertama-tama ialah tentang aku sendiri,
yang dari celaka jadi memperoleh keberuntungan!" berkata
raja. "Di luar tahuku, aku telah diracuni orang jahat,
kelihatannya aku bakal menjadi setan penasaran, maka
syukurlah telah datang putera raja dari India ini yang
memberikan aku obat dewa! Sekarang ini bukan melainkan
sakitku itu sudah sembuh, pula aku merasakan tubuhku sehat
luar biasa! Tidakkah, karena itu, sudah selayaknya aku
mengadakan pesta keselamatan ini?"
"Memang orang baik diberkahkan Tuhan!" berkata putera raja,
"Aku memujikan paman selamat panjang umur!' Ia lantas
mengeringkan tiga cawannya.
"Sekarang kegirangan yang kedua," berkata raja Nepal. "Inilah
hal aku mendapat kunjungan tetamu yang terhormat. Tuan
Koei dan putera raja Champa sama-sama pernah melintasi
gunung besar nomor satu di dunia ini, perbuatan mereka harus
dicatat dalam hikayat."
"Kedua tetamu yang terhormat telah mendatangi negara kita,
itulah artinya keberuntungan kita!" berkata pula si pangeran.
"Baiklah, untuk tuan setiap tiga cawan!"
Selagi ia mengangkat cawannya kepada Hoa Seng, terlihat
nyata sikap ber-muka-muka dan licik dari pangeran ini, yang
tertawa tak wajar. Ia agaknya mengangkat cawan sambil
berbareng mau mempengaruhi orang.
Di dalam hatinya, Hoa Seng berkata: "Entahlah, raja ketahui
atau tidak niatnya pangeran ini menyerbu Tibet ?". Jikalau
ada ketikanya, aku mesti membeber rahasianya ini."
Meski hatinya berpikir demikian, Hoa Seng toh menghirup
kering cawan araknya.
Raja berhenti berbicara karena pangerannya itu, kemudian ia
mengangkat cawannya sambil bersenyum.
"Aku tidak mempunyai putera hanya seorang puteri," ia
berkata pula kemudian. "Sudah lama aku berniat mencari
pasangan untuk puteriku itu, sayang dia beradat tinggi, sampai
sekarang ini dia belum mendapatkan orang yang cocok dengan
hatinya. Maka sekarang aku telah menerima kunjungan
pangeran Jatsingh ini, yang telah menolongi jiwaku. Aku
mendapatkan pangeran bagaikan kielin di antara hewan atau
burung hong di antara burung-burung, bahkan dengan tidak
memandang hina kepada negaraku yang kecil, ia telah datang
untuk meminang puteriku itu. Sebenarnya, walaupun tak ada
peristiwa ia telah menolongi aku, suka aku menerima baik
pinangannya itu. Maka itu, dengan aku yang mengambil
keputusan, lewat lagi beberapa hari, hendak aku menikahkan
mereka. Aku harap pesta sekarang ini ialah suatu pesta
penetapan pertunangan!"
Pengutaraan ini disambut dengan sorak persetujuan.
Sekarang ini Hoa Seng tahu pasti sebabnya kenapa Jatsingh
mencari soat-lian. Diam-diam ia bergirang, yang ia telah
membikin minatnya pangeran itu tercapai. Maka ia pun
memberi selamat kepada pangeran itu.
Paras Jatsingh yang hitam bersemu dadu, ia agaknya likat.
"Hanya entahlah bagaimana pendapat tuan puteri?" ia
menanya, agaknya ia ragu-ragu. Raja Nepal tertawa.
"Mustahil dia tidak puas?" katanya dalam girangnya. Lantas ia
menitahkan seorang dayang masuk ke dalam keraton, untuk
meminta serupa barang permata dari puterinya, agar permata
itu dijadikan tanda pertunangan.
Setelah itu, pesta dilanjuti.
Selagi Hoa Seng minum araknya, mendadak ia merasa seorang
dayang membentur ia perlahan sekali. Ia heran. Untuk berpurapura,
ia terus menghirup araknya, tetapi berbareng dengan itu,
dengan sebat ia menyambuti segulung kertas dari dayang itu.
Bahkan sebat sekali, tengah Jatsingh semua bergembira, ia
membuka kertas itu, untuk diperiksa, maka matanya lantas
nampak bunyinya surat. Untuk heran dan kagumnya, ia
membaca beberapa huruf Tionghoa yang halus dan bagus
sekali tulisannya. Bunyinya itu ialah :
"Lekas memberitahukan raja, bahwa soat-lian itu asalnya
kepunyaanmu. Harus dicegah pertunangan di antara putera raja
India itu dengan tuan puteri."
Hoa Seng heran hingga ia terperanjat.
"Apakah artinya ini?" ia tanya dirinya sendiri. "Kenapa aku
mesti mencegah pertunangan itu" Apa mungkin tuan puteri
tidak setuju" Kalau begitu, kenapa aku yang mesti maju di
depan?" Ia lantas menoleh kepada dayang yang membenturnya dan
yang menyerahkan surat itu, ia mendapatkan orang bersenyum
padanya, bersenyum secara aneh. Tentu sekali, ia menjadi
bingung. Tidakkah kejadian itu aneh sekali"
Ketika itu terdengar suaranya Papo, si tabib.
"Percuma aku si orang tua menjadi tabib," ia berkata. "Tuan
pangeran, aku mohon petunjukmu, dengan obat apa kau telah
menyembuhkan penyakitnya Sri Baginda?"
Putera raja Nepal tertawa.
"Tuan Papo," katanya, ,,kaulah tabib nomor satu di dalam
negara kita, mustahil sekali kau tidak mengetahui tuan
pangeran ini menggunai obat apa?"
"Aku menduga semacam bunga akan tetapi bunga itu sangat
sukar didapatinya," Papo menyahut. "Di India tidak ada bunga
semacam itu. Karena aku kuatir aku menduga salah, tidak
berani aku menyebutkannya. Mungkin ada obat lainnya yang
mujarab. Tolong tuan pangeran memberitahukannya agar aku
mendapat tambahan pengetahuan."
Putera raja Champa itu nampaknya likat, kulit mukanya pun
bersemu merah. "Sebenarnya itulah soat-lian dari Tiongkok," sahutnya
kemudian. Papo agaknya kaget sekali.
"Tuan pangeran hebat sekali!" serunya. ,,Apakah tuan pangeran
pernah mendaki gunung Thian San?"
Sebelum menyahuti, putera raja Champa itu menoleh kepada,
Hoa Seng, siapa mengasi lihat airmuka, tertawa bukannya
tertawa, mengawasi padanya, hingga ia menjadi bingung,
menjadi terlebih likat pula.
Ketika itu mulai terdengar suara genta.
Nepal ada negara penganut agama Buddha, sekalipun di dalam
istana ada biaranya, ada saat-saat yang tertentu di mana orang
membunyikan genta itu. Demikian ketika itu, sudah jam tiga,
itulah saat dari upacara suci yang terakhir.
Tatkala pangeran Jatsingh mendengar suara genta itu, pikirnya
bekerja. Pikirnya: "Semenjak masih kecil aku pernah
mendengar Liong Yap Taysoe berbicara tentang agama, maka
itu kenapa sekarang, di saat ini, pikiranku menjadi tak sadar"
Bukankah Sang Buddha melarang orang mendusta" Pemuda
Tionghoa ini dengan segala kemuliaan hatinya telah
menghadiahkan aku teratai salju, kenapa sekarang aku mesti
merampas jasanya itu?"
Karena memikir ini, dalam sadarnya, ia lantas berkata kepada
raja Nepal: "Sri Baginda, orang kepada siapa Sri Baginda harus
bersyukur adalah ini Tuan Koei. Jikalau tidak ada dia, mungkin
tabib yang paling pandai di dalam dunia ini juga tidak bakal
sanggup mengobati penyakit aneh dari Sri Baginda itu!"
Mendengar itu, raja menjadi heran.
"Apa?" tanyanya. "Kalau begitu, sebelumnya ini kamu telah
saling mengenal satu pada lain" Adakah Tuan Koei ini yang
mengajarkan kau untuk kau menyembuhkan penyakitku ini?"
"Obat teratai salju itu adalah pemberiannya Tuan Koei ini,"
Jatsingh memberitahukan terlebih jauh.
Lalu, tanpa ragu-ragu lagi, pangeran itu menuturkan
pengalamannya di gunung Himalaya di mana ia secara
kebetulan bertemu sama Koei Hoa Seng, sampai anak muda itu
membagi ia soat-lian, obat manjur yang sangat langka itu.
Hoa Sang kagum untuk kejujurannya pangeran itu. Maka ia
lantas berkata: "Pangeran Jatsingh sudah melakoni perjalanan
yang berbahaya itu mencari teratai salju, semua itu ada untuk
Sri Baginda, untuk mengobati sakit Sri Baginda, aku sendiri
secara kebetulan saja aku mempunyai obat itu, yang aku
berikan kepadanya. Agama Sang Buddha mengutamakan
sebab-musabab, ada perbuatan, ada akibatnya, karena Sri
Baginda arif bijaksana, suka berbuat baik, maka Sri Baginda
memperoleh karenanya. Sri Baginda, aku tidak berani
mendapat bagian dari jasanya pangeran ini."
Sembari berkata begitu, Hoa Seng berpikir: "Tidak perduli apa
yang Jatsingh pikir mulanya, maka walaupun tuan puteri ada
menaruh hati padaku, aku mesti membantu merekoki jodoh
puteri dengan pangeran ini. Bukankah aku telah mempunyai
orang yang aku penuju?"
Selagi berpikir demikian, mendadak di otaknya berkelebat
bayangan si nona baju putih, maka diam-diam ia memuji di
dalam hatinya, biarlah si nona baju putih itu bukannya puteri
raja Nepal ini ?"?".
Raja Nepal sendiri sangat tergerak hatinya.
"Tuan-tuan berdua adalah orang-orang cerdik pandai dari dua
negara besar," berkata ia. "Kejujuran kamu berdua
mendatangkan rasa hormat siapa juga. Tuan Koei, apabila kau
sudi berdiam di sini, silahkan kau merendahkan diri untuk
menjadi pemimpin dari pasukan pengiringku."
"Hoa Seng seorang merdeka yang gemar merantau," katanya.
"Laginya aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa, bahkan baru
saja aku tiba di negara Sri Baginda ini, maka itu tidak berani
aku menerima tugas yang demikian berat."
Raja Nepal pun menduga orang tidak nanti sembarang
menerima keangkatannya itu.
"Jikalau Tuan Koei tidak dapat menerima, aku juga tidak
berani memaksa," ia berkata pula. "Walaupun begitu aku mau
minta, kalau nanti Tuan berangkat, berangkatlah sesudah hari
pernikahan puteriku. Itu waktu aku sendiri akan mengantarkan
keberangkatan tuan."
Sementara itu lega hatinya Jatsingh. Tadinya ia kuatir raja nanti
mengubah pikirannya sesudah mendapat tahu soat-lian
kepunyaannya Koei Hoa Seng. Ia pun girang atas kata-katanya
orang she Koei itu, yang tidak hendak merebut jasa.
Biar bagaimana, Jatsingh telah membuka rahasia karena ia
terpaksa oleh perkataannya Papo. Di samping itu, ia memang
sangat mengharapi tangan puteri Nepal, maka kalau terjadi
sesuatu, belum tentu ia suka menyerah dengan begitu saja.
Sedang Jatsingh bergirang, dayang yang tadi diperintah raja
untuk mengambil permata tanda mata telah muncul pula.
"Mana barang permata dari tuan puteri?" raja mendahului
menanya. "Tuan puteri membilangnya dia tidak berani melanggar
aturan," menyahut dayang itu. "Tuan puteri menghendaki
supaya segala apa yang sudah ditetapkan terlebih dulu
dijalankan sepenuhnya. Tuan puteri ingin supaya setiap orang
menerima ujian."
Airmuka raja berubah mendengar jawaban itu.
"Ah, anak yang tidak tahu urusan!" katanya, tak puas.
"Apakah kau tidak menjelaskan tuan pangeran ini ialah tuan
penolong dari jiwaku?"
"Sudah, Sri Baginda!"
Jatsingh sendiri menjadi jengah, mukanya berubah merah.
"Nah, pergilah kau beritahu pula kepada tuan puteri!" berkata
raja. "Jikalau dia tetap tidak mau menurut, suruhlah dia keluar,
supaya dia melihat sendiri juga wajahnya tuan pangeran ini!
Aku mau lihat, dia puas atau tidak ?""
Kata-katanya raja ini sebagian untuk menghiburkan Jatsingh,
supaya dia ini jangan terlalu jengah.
Sebaliknya, mata si pangeran lantas dilirikkan ke sebelah
dalam istana di mana di belakang sekosol ada sebuah pintu. Di
situlah si dayang keluar masuk barusan.
Tidak lama atau segera terdengar suara gelang beradu dan
suara terseretnya pakaian yang panjang.
Hoa Seng turut berpaling, hatinya tegang sendirinya.
"Jikalau tuan puteri adalah adik Giokku, bagaimana?" hatinya,
bertanya berulang-ulang.
Lekas juga terlihat orang muncul di pintu model rembulan.
Begitu ia melihat, hati Hoa Seng lega. Wanita itu memang
cantik sekali tetapi dia bukannya si nona baju putih, bukannya
Hoa Giok.
Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raja kelihatan tidak puas melihat siapa yang muncul itu.
"Mengapa tuan puteri tidak keluar?" ia lantas menanya dayang
itu. "Benarkah dia telah menerima baik dan pada kau telah
diserahkan barang permatanya tanda pertunangan?"
Hati Hoa Seng lega ia masih ragu-ragu. Nona ini jadinya ada
dayangnya si tuan puteri.
Hati Jatsingh tidak keruan rasa, hatinya itu berdenyutan. Untuk
ia masih belum ada keputusannya.
Dayang itu menyahuti raja. Katanya: "Tuan puteri bilang,
karena tuan pangeran telah dapat menyembuhkan Sri Baginda,
aturan ujian dapat dikurangi separuh ?"?""
Raja masih tidak senang.
"Separuh?" tanyanya. "Bagaimana itu?"
"Tidak usah lagi menjalankan ujian ilmu surat, cukup ilmu silat
saja," menyahut si dayang menerangkan. "Juga dalam ujian
ilmu silat, tidak usahlah memenuhi semua upacara. Tuan puteri
bilang, kalau tuan pangeran dapat mengalahkan aku, dia boleh
bertemu sama tuan puteri, puteri yang mengadu pedang
dengannya. Untuk ini, asal dia dapat seri melawan tuan puteri,
cukuplah sudah dia memenuhkan syarat!"
Suara itu, biar bagaimana, bernada keras.
Jatsingh itu ketahui baik liehaynya tuan puteri. Buktinya
banyak sudah calon putera-putera raja lainnya yang gagal.
Bahwa ia paksakan diri mencari teratai salju itu pun karena
niatnya dapat menyingkirkan dari ujian ilmu silat itu, siapa
sangka, pulang pergi, tuan puteri tetap memegang erat-erat
syaratnya itu. Tentu sekali, mendengar jawaban si dayang, ia menjadi tidak
puas. Biar bagaimana juga, ialah murid kepala dari Liong Yap
Taysoe, ia merasa bangga dengan kepandaiannya yang ia telah
punyakan. Di dalam hatinya, ia kata: "Jikalau aku tidak
menempur dia, tentulah dia bakal memandang tidak mata
padaku." Maka ia lantas kata pada Raja Nepal: "Tuan puteri adalah
wanita gagah, tuan puteri sudi memberi pengajaran padaku,
inilah hal yang memintanya pun aku tidak berani. Hanya aku
kuatir, jikalau menggunai golok atau pedang, nanti kita
kesalahan tangan ?".."
Pangeran ini ingin supaya acara mengadu silat itu diubah
dengan ujian ilmu surat. Ia memikir, ujian ini tidak berbahaya,
dan kalau ia gagal, tak usahlah ia malu ?"".
"Benar!" begitu terdengar suara raja, menyetujui pikirannya ini
bakal calon menantu. "Tuan pangeran telah datang dari negara
yang jauh, dia pun telah mengobati aku hingga sembuh, jikalau
ujian mengadu silat dijalankan juga, tidakkah itu kita jadi
berlaku tak selayaknya terhadap seorang tetamu" Wanran,
pergi kau kembali kepada tuan puteri, kau sampaikanlah
perkataanku ini. Biarlah, syarat ini yang separuh lagi pun
dihapuskan saja."
15. Akal Muslihat Pangeran Nepal
Dayang itu menurut perintah. Ia kembali ke dalam. Hanya
tidak lama, ia sudah muncul pula.
"Tuan puteri bilang, untuk menghapus semua syarat pun
boleh," berkata ia, "cuma tuan puteri memberitahukan ada
serupa barang tanda mata yang tidak dapat ditiadakan, yang tak
boleh dikurangkan."
Jatsingh menjadi tidak sabaran.
"Barang apakah itu?" ia menanya, mendahului raja Nepal. Ia
percaya ia mempunyai segala macam barang permata, karena
negaranya kaya-raya.
"Tuan puteri mendengar tuan pangeran telah menyembuhkan
Sri Baginda dengan teratai salju," menyahut sang dayang,
"maka itu sekarang tuan puteri menghendaki teratai salju itu
sebagai pesalinnya."
Jatsingh lantas saja berdiri menjublak. Negaranya boleh kaya
akan tetapi dari mana ia dapat mencari teratai obat itu" Ia
ketahui Koei Hoa Seng masih mempunyai dua kuntum bunga
itu tetapi tidak dapat ia memintanya pula.
Karena ini ia menjadi nekat, pikirnya: "Baiklah, aku nanti pergi
ke Thian San untuk mencari teratai itu! Aku hendak lihat, apa
lagi nanti kau bilang?" ia berpikir begitu baru sejenak, atau
segera ia ingat: "Sungguh gampang aku berpikir! Bisakah aku
mencari dan mendapatkan teratai itu di sana" Dan berapa
banyak bulan dan tahun aku bakal menggunakannya?"
Maka itu, terus ia berdiri diam. Ia jadi ngelamun, ia mengharap
Hoa Seng nanti memberikan ia sekuntum yang lain ?"?"
Hoa Seng pun berpikir keras. Syaratnya puteri itu luar biasa.
Setelah menanti sebentar, si dayang berkata pula: "Jikalau
tidak ada bunga teratai salju, maka syarat ujian harus
dijalankan. Tuan puteri membilangnya, dengan jalan ini ia
hendak memberikan kelonggaran kepada tuan pangeran, coba
lain orang, biarnya dia mempunyakan teratai salju, ujian mesti
dilakukan juga!"
Selagi mengucap demikian, dayang itu melirik kepada si anak
muda she Koei, untuk sambil bersenyum ia menambahkan:
"Hanya tuan puteri menjelaskan juga, jikalau toh ada lain
orang, yang benar-benar mempunyai teratai salju dan orang itu
suka menghadiahkannya kepada tuan puteri, tidak nanti tuan
puteri menerimanya itu dengan cuma-cuma, untuk itu tuan
puteri suka membalas menghadiahkan serupa mustika yang
tidak ada bandingannya di kolong langit ini."
"Mustika apakah itu ?" Hoa Seng tanya keterlepasan.
"Aku pun tidak tahu mustika itu mustika apa," sahut si dayang,
"tuan puteri melainkan memberitahukannya bahwa mustika itu,
siapa pun yang mendapatkannya, dia bakal tak lawannya di
kolong langit ini! Tuan, apakah kau mempunyai soat-lian asal
gunung Thian San itu" Kalau benar, janganlah kau lewatkan
ketika yang baik ini! Umpama kata kau tidak berani mengadu
kepandaian dengan tuan puteri, atau umpama kata kau tidak
berniat menikah dengan tuan puteri kami, dengan mendapatkan
mustika itu, cukuplah untuk kau menjagoi di dalam dunia ini!"
Hoa Seng heran hingga hampir ia lompat berjingkrak.
"Bukankah yang dikatakan tuan puteri itu ialah pedang inti es
Pengpok Han-kong kiam" Ah, mungkinkah ?". mungkinkah
tuan puteri ini ialah aku punya adik Hoa Giok?" katanya di
dalam hati, penuh kesangsian. "Ah tidak, tidak, itulah sukar
untuk di percaya ?"!
Juga raja Nepal menjadi heran sekali. Aneh perkataannya
dayangnya itu. Ia kata di dalam hatinya, "Di mana di dalam
istanaku ada semacam mustika aneh?" Ia menjadi berpikir
karenanya. Lalu mendadak ia ingat apa yang terjadi malam tadi. Puterinya
telah mengatakan bahwa telah terdengar kabar ke negara
mereka ada datang seorang pemuda Tionghoa yang gagah
perkasa, yang ada membawa serupa obat mujarab, karena mana
puteri itu minta raja, sang ajahanda, suka mengundang tetamu
Tionghoa itu. Raja sangat mempercayai puterinya itu, kebetulan ia pun lagi
sakit maka itu ia tidak memikir untuk menanyakan jelas
bagaimana caranya sang puteri telah mendapat tahu perihal
tetamu Tionghoa itu. Sekarang, setelah berpikir sejenak, ia
bagaikan mendusin.
"Ah, pantaslah dia menyuruhnya aku menyambut tetamu
Tionghoa itu, kiranya dia telah penuju di hatinya ".." pikirnya
akhirnya. Karena ini diam-diam ia melirik kepada Koei Hoa Seng. Ia
mendapatkan orang tampan, menang jauh, dari pada si
pangeran dari India itu. Hanya sebentar kemudian ia berpikir
pula: Jatsingh tetap ada putera raja dan Hoa Seng mana dapat
dibandingkan dengan pangeran itu.
Selagi Hoa Seng heran dan girang. Jatsingh mendongkol dan
masgul, maka masih saja ia menjublak. Raja sendiri tentu saja
ia terbenam dalam keragu-raguan. Maka itu, dalam saat itu,
semua orang pada berdiam.
Syukur tidak lama, keadaan tegang itu dapat diredakan.
Seorang pahlawan datang masuk bersama seorang lama Putih,
atas mana raja berkata, "Pendeta dari Tiongkok telah tiba!"
Terus ia menoleh kepada dayangnya untuk berkata: "Kau
kembali dulu ke dalam! Kau bilangi tuan puteri untuk ia
berpikir pula baik-baik, jangan sekali ia mengacau ?".!"
Begitu lekas si lama Putih tiba di undakan tangga pendopo,
Hoa Seng menjadi girang sekali. Ia mengenali Maskanan.
Sebaliknya Maskanan, melihat Hoa Seng berada di dalam
istana ini, ia tidak menjadi heran. Karena lebih dulu dari pada
ini ia sudah tiba di Istana Potala di mana ia bertemu sama
Buddha Hidup dan Buddha Hidup telah memberitahukannya
bahwa Hoa Seng telah berangkat ke Nepal dengan dbekali
surat perkenalan untuk raja Nepal. Hanya, biar bagaimana,
karena mereka adalah sahabat-sahabat lama, ia pun girang
sekali. Sebaliknya si putera raja Nepal yang menjadi tidak tenang. Ia
kuatir sekali Maskanan nanti membeber peristiwa di dalam
Kota Iblis. Maskanan memberi hormat kepada raja Nepal seraya
menghaturkan suratnya raja agama Putih.
Raja Nepal menerima surat itu dan membacanya, habis mana
dia terkejut. "Kenapakah tongkatnya raja kamu bisa berada di dalam
negaraku?" ia tanya.
"Selama siauwceng berada di Tibet, tongkat suci itu lenyap,"
Maskanan memberi keterangan. "Tongkat itu telah dirampas
oleh guru negara Sri Baginda."
Sembari memberikan keterangannya itu, lhama Putih ini
menoleh kepada putera raja Nepal yang ketika terjadi
perampasan tongkat ada hadir bersama, bahkan putera raja itu
turut turun tangan.
Bukan main gelisahnya putera raja, segera dia menyelak.
Katanya: "Kira-kira di bulan dua dan tiga, bersama-sama guru
negara aku telah pergi ke Istana Potala untuk menghormati
Buddha Hidup, sepulangnya dari sana karena paman kurang
sehat, sampai sekarang aku belum sempat menjelaskan
sesuatu." Pangeran ini bicara benar hanya separuh. Yang pergi ke Istana
Potala adalah si pendeta jubah Merah, ia sendiri berada di Kota
Iblis mengatur daya upaya untuk menyerbu Tibet.
"Kalau begitu, kau jadinya ketahui duduknya urusan?" raja
bertanya. "Harap paman ketahui," berkata putera raja, "tongkat dari raja
agama Putih itu memang benar telah dirampas oleh Maran
Hoat-soe."
Maran ialah namanya pendeta agama Merah itu. Dialah
pendeta yang biasanya sangat dipercaya raja Nepal. Maka itu,
mendengar keterangan itu, raja terkejut.
"Maran Hoat-soe, mengapa dapat terjadi peristiwa ini?" ia
tanya pendeta itu.
"Paman," pangeran berkata pula, mendahului. "jikalau paman
tidak menanyakannya, tidak berani aku bicara. Maran Hoat-soe
itu besar sekali cita-citanya, dia hendak menelad contohnya
Buddha Hidup dari Tibet untuk dapat mengangkat dirinya
menjadi Buddha Hidup di negara kita ini, supaya dia dapat
berkuasa melebihi kekuasaan raja sendiri. Itulah sebabnya
kenapa dia sudah merampas tongkat suci dari raja agama Putih.
Tongkat itu adalah benda suci dan agung dari agama Sang
Buddha, dengan begitu maka kemudian dialah orang yang akan
paling dimuliakan!"
Raja Nepal tercengang.
"Bukankah tadi Papo telah membilangnya?" berkata pula
pangeran. "Bukankah selama di benteng dari pasukan
pengiring raja, di sana pun hadir Maran Hoat-soe?"
"Benar," berkata Papo. "Guru negara telah memberi nasihat
kepadaku supaya aku menuruti perkataannya congkoan Gielimkoen." "Berkhianat! ?"".. berkhianat!" berseru raja gusar.
"Maka itu menurut dugaanku," kata lagi pangeran, yang
menggunai ketikanya yang baik itu, "berhubung sama soal
meracuni, mungkin itu keluar dari pikirannya guru negara,
hanya dia memerintahkan pasukan Gie-lim-koen yang
melaksanakannya!"
"Memang begitu mestinya!" berkata raja, yang kena
terpengaruh. "Maka itu aku minta paman memerintahkan supaya Hoat-soe
ditangkap!" kata pangeran akhirnya.
Perbuatannya pangeran Nepal ini ada di luar sangkaannya Koei
Hoa Seng dan Maskanan. Terang pangeran itu lagi main gila,
untuk mengadu satu pada lain.
Akan tetapi di depan raja itu, mereka tidak dapat mengambil
tindakan guna membeber kedustaannya pangeran itu. Pula
Maskanan cuma ingin mendapat pulang tongkatnya, ia tidak
memikir akan menimbulkan gara-gara.
Ia pun tahu, pangeran itu, sebagai keponakan raja Nepal, besar
sekali pengaruhnya, kekuasaan atas angkatan perang berada di
tangannya. Bahkan bagus sekali kalau pangeran itu mau
menawan guru negara itu, untuk ia mendapatkan tongkatnya.
Memang bagus kalau raja Nepal tak usah terseret-seret urusan
tongkat itu. Raja Nepal berpikir keras, lalu dia berkata: "Guru negara
liehay dan banyak kambratnya, kelihatannya cuma kau yang
dapat menawan dia, yang dapat membikin dia puas ?"."
"Dalam urusan besar ini memang sudah selayaknya aku yang
harus turun tangan," berkata pula si pangeran, "pantas kalau
aku bekerja untuk paman, cuma ada satu hal yang aku hendak
ajukan supaya paman suka mengambil keputusannya."
"Kau bilanglah, apa itu?" raja tanya.
"Guru negara gagah sekali, di dalam negara kita, dia menang
tidak ada tandingannya," berkata pangeran, menjelaskan. "Atau
umpama kata dia dapat dibekuk oleh kita, mungkin sekali bakal
roboh banyak kurban di pihak kita. Maka itu aku hendak
mengusulkannya. Di sini ada Tuan Koei bersama pangeran
Jatsingh yang gagah-perkasa. Di sini pun ada Maskanan utusan
dari raja agama Putih, yang datang jauh dari Koko-Nor,
Tiongkok, yang pun ada seorang gagah. Maka itu aku memikir
untuk meminta bantuannya mereka ini bertiga untuk merekalah
yang menawan guru negara. Umpama kata Pangeran Jatsingh
yang dapat menawannya, bukan main besarnya jasa dia untuk
negara kita, sedang menurut undang-undang kita, jasa itu luar
biasa sekali, hingga luar biasa juga hadiahnya untuknya.
Menurut pikiranku, apabila itu sampai terjadi, baiklah dengan
kekuasaan paman, dia boleh dijodohkan dengan adikku. Pasti
sekali perjodohan itu bakal disambut dengan gembira oleh
seluruh negara, bahkan adik juga tentunya tidak dapat
Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membilang suatu apa! Jikalau seandainya yang dapat
menangkap ialah Tuan Koei ini, untuk hadiahnya itu, paman
bolehlah menanyakannya kepadanya sendiri, supaya dia dapat
dibuat puas karenanya!"
Pangeran ini tidak menjelaskan tetapi sudah terang, umpama
kata Hoa Seng meminta tangannya puteri Nepal, permintaan itu
pun boleh diluluskan.
Hoa Seng menjadi heran, ia menjadi curiga. Bukankah selama
di Kota Iblis ia telah ketahui baik sekali di antara pangeran ini
dan guru negara, si pendeta Merah, ada kerja sama, mereka
berdua ialah satu komplotan" Kenapa, sekarang pangeran itu
bicara jelek dari hal guru negara dan bahkan menghendakinya
guru negara itu ditangkap dan disingkirkan dari dalam dunia
ini" Pasti sekali Koei Hoa Seng tidak mengetahui jelas duduknya
kejadian. Orang yang meracuni raja Nepal adalah ini keponakan raja atau
pangeran. Inilah disebabkan raja Nepal, untuk takhtanya, telah
mengambil cara Barat, atau cara negara-negara Timur yang
modern. Tegasnya, walaupun puteri, dia dapat mewariskan
mahkota kerajaan. Bukan seperti di Tiongkok di mana seorang
puteri tidak dapat mewariskan kerajaan.
Raja Nepal ada mempunyai hanya seorang puteri dan sanak
yang terdekat ialah si pangeran, maka itu, kalau tidak puteri, si
pangeranlah yang nanti menggantikan menjadi raja. Juga
menteri-menteri terpecah dalam dua rombongan, yang satu
menghendaki puteri menjadi raja, yang lain menyokong
pangeran ini. Karena itu, si pangeran telah berdaya
mendapatkan takhta.
Puteri sendiri tidak menghiraukan kedudukan raja itu, tidak
demikian dengan si pangeran. Dia ini, kecuali mengharapi
kedudukan raja, hendak juga dia menelan Tibet. Dia tahu baik
sekali kalau dia berhasil merampas Tibet, dia bakal dijunjung
dan dipuja rakyat Nepal, hingga kesudahannya dialah akan
menjadi raja yang pengaruhnya sangat besar. Maka itu,
bagaimana dia bergelisah ketika di luar kehendaknya, Koei
Hoa Seng secara kebetulan mendapat tahu cita-citanya yang
besar itu. Maka sepulangnya ke negerinya, dia lantas berserikat sama
Maran Hoat-soe dan congkoan Gie-lim-koen itu. Untuk
meracuni raja, mereka jeri terhadap puteri, dari itu mereka
menggunai asura, itu bunga yang cuma terdapat di gunung
Himalaya, yang dicampur sama obat beracun lainnya yang
sifatnya lunak hingga raja sakit meroyan tanpa diketahui sebabsebabnya,
tanpa tanda-tandanya juga.
Sebenarnya, lagi satu bulan, raja bakal mati tidak keruan, tetapi
ia masih panjang umur, ia dapat ditolong soat-lian dari Hoa
Seng meskipun pertolongan datang secara tidak langsung.
Tentu sekali pangeran itu takut rahasianya terbuka.
Untuk membela diri, guna menutup terus rahasianya itu, ia
berlaku kejam, ia telan kawan sendiri. Demikian paling dulu
congkoan dari Gie-lim-koen dihabiskan jiwanya, sesudah mana
akan menyusul Maran Hoat-soe, si guru negara. Tapi ia licik
sekali, diam-diam ia memberi kisikan kepada Maran Hoat-soe
agar dia ini segera melarikan diri, lalu dia mengusulkan
Jatsingh dan Hoa Seng, untuk menangkap guru negara itu.
Di samping semua itu, juga Timotato atau Bapak Daud adalah
orang undangannya pangeran Nepal ini. Orang Arab ini
diundang untuk membantu dia mendaki pucuk Cholmo
Lungma, ia tidak diberitahukan maksud yang sebenarnya dari
si pangeran. Untuk menyingkirnya guru negara, pangeran itu minta
Timotato menjadi pangantar. Dengan ini ia mengharap Hoa
Seng atau Jatsingh, atau dua-duanya, nanti terbinasa di
tangannya Timotato yang kosen itu. Pasti sekali, Hoa Seng dan
si pangeran dari India tidak pernah menduga kelicikan
pangeran itu. Dua-dua Jatsingh dan Maskanan bersedia akan menerima baik
permintaannya raja Nepal untuk menangkap guru negara itu. Si
pangeran dari India tidak memikir lain asal ia memperoleh
tangannya puteri Nepal dan Maskanan mengharapi kembalinya
tongkat sucinya.
Cuma Hoa Seng yang bersangsi. Ia kata: "Untuk
menyingkirkan seorang pengkhianat, aku tidak menampik,
melainkan aku tidak mengharapi hadiah."
Raja girang yang orang telah meluluskan permintaannya itu,
maka syaratnya Hoa Seng itu ia tidak buat pikiran iagi. Ia
lantas mengasi perintah untuk menyiapkan tiga ekor kuda
pilihan, semua kuda asal Arabia, dan pangeran diperintah turut,
untuk mengepalai penangkapan itu.
Sekeluarnya dari istana, pangeran lantas memecah jalan.
"Aku tahu," berkata Jatsingh, yang segera melarikan kudanya.
Ia mengambil jalan lempang, akan menuju ke benteng dari
pasukan Gie-lim-koen.
Pangeran Nepal mengambil jalan motong, untuk pergi ke
tempat penjagaan api unggun, katanya untuk sekalian minta
bantuannya tentera penjaga di sana.
Tidak ada setengah jam, rombongan Hoa Seng telah tiba di
kaki gunung di mana mereka melihat api berkobar-kobar di
benteng yang modelnya kuno itu.
"Tepat dugaannya si pangeran Nepal," pikir Hoa Seng. "Terang
sudah si pendeta Merah kabur malam-malam. Entahlah
Timotato, dia turut kabur bersama atau tidak."
Hoa Seng ingin memberi ingat kepada Maskanan, untuk
berwaspada, siapa tahu wakilnya raja agama Putih itu sudah
kabur jauh dengan kudanya, yang dikasi lari keras, walaupun
dia disusul, dia tidak dapat dicandak.
Di timur, cahaya terang sudah mulai terlihat. Sang fajar telah
tiba. Hoa Seng berlari-lari sambil berpikir. Ia merasa
pengalamannya ini luar biasa. Tiba-tiba ia mendengar seruan
berulang-ulang dari Maskanan :
"Lekas! Lekas! Aku telah mendapat dengar suara roda
keretanya!"
Pangeran dari India mengeprak kudanya, untuk lari
mendahului. Ia seperti takut ketinggalan oleh Hoa Seng, yang
ia segera lewatkan.
Melihat demikian, pemuda she Koei itu bersenyum.
Hoa Seng melihat ke depan. Ia menampak sebuah selat yang
panjang, yang berliku juga, hingga sukar untuk melihat jauh.
Benar dari dalam selat itu ada terdengar suaranya roda kereta.
Di antara tiga orang itu, Maskanan yang dapat lari pesat dan
paling dulu. Inilah disebabkan dia dibesarkan di Koko-Nor di
mana dia biasa melarikan kudanya dipadang rumput datar.
Maka itu, mengejar belum lama, berhasillah dia menyandak
kuda kereta di depan.
Dia pun lantas mengayun tongkatnya ke arah kuda kereta
sampai beberapa ekor kuda itu kaget dan berlompat berjingkrak
sambil meringkik keras, sampai keretanya terangkat. Sebagai
kesudahan dari itu, dari dalam kereta terlempar jatuh banyak
permata emas dan perak. Mungkin itulah harta yang dibawa
lari setelah Maran Hoat-soe membakar benteng itu.
"Lekas keluar!" Maskanan berseru ke arah kereta selagi ia
maju ke samping kereta itu. Dengan tongkatnya ia pun
mengancam. Sekonyong-konyong dari dalam kereta terdengar tertawa
dingin yang diikut dengan kata, mengejek: "Kau makhluk apa
maka kau berani membentak aku?" Lalu dengan disingkapnya
tenda kereta, terlihat munculnya satu kepala orang yang
hidungnya bengkung. Dialah seorang imam bangsa Arab.
Maskanan tidak kenal Timotato, ia melengak. Setelah
melengak sebentar, hendak ia menghaturkan maaf, atau
mendadak ia merasakan dorongan angin keras sekali. Ia lantas,
menangkis dengan tongkatnya, sedang kagetnya pun tidak
terkira. Tapi itu masih belum semua. Serangan angin itu sangat hebat,
tongkat terpental, telapakan tangan Maskanan dirasakan sangat
sakit. Yang paling hebat ialah ia merasa kepalanya pusing,
bumi bagaikan terputar, tanpa dapat mempertahankan diri lagi,
ia roboh dari atas kudanya.
Maka syukurlah untuknya, dalam ingatannya samar-samar,
kedua kakinya ia menyangkelkannya di sanggurdi, dengan
begitu ia jadi kena terbawa kudanya itu. Hanya celaka itu
binatang tunggangan, lari baru belasan tombak, dia roboh
sambil meringkik keras dengan habis jiwanya!
Itulah sebab binatang itu terhajar dahsyat oleh Timotato,
kepalanya pecah.
Syukur untuk Maskanan, dia berkelit cepat, lalu kudanya
menalangi padanya, maka itu, ia hanya tak sadarkan dirinya.
Ketika itu Jatsingh tiba bersama kudanya. Ia telah mendengar
teriakannya Maskanan. Tentu saja tidak ada ketika untuknya
buat menolongi kawan itu. Maka sambil berlompat dari
kudanya, ia menghunus gembolannya. Ia berlompat ke arah
kereta. "Tuan pangeran, jangan tak tahu selatan!" Timotato berseru.
"Lekas menyingkir!"
Meski dia berseru dengan pemberian ingatnya itu, Timotato toh
menyerang hingga tubuhnya si pangeran terpelanting, hingga
dia mesti membuang dirinya sambil berlompat, gembolannya
terlepas, terlempar menghajar kereta hingga rusak bahagian
yang terhajar itu.
"Timotato!" berseru Jatsingh. "Kiranya, kau!"
Tajam seruan itu, saking heran dan kaget.
Pangeran ini kenal Bapak Daud karena pada, tiga tahun yang
baru lalu Bapak Daud pernah pergi ke India di mana dia pergi
mengunjungi Liong Yap Taysoe, untuk mengajak orang
berilmu itu bicara dari hal ilmu silat akan tetapi Liong Yap
Taysoe cuma melayani dengan merundingkan tentang agama,
sesudah mana, dia diantar pergi. Adalah di itu waktu, pangeran
ini bertemu sama jago dari Arabia itu.
Timotato heran yang ia tidak dapat merobohkan pangeran itu,
meski benar ia tidak menggunai pukulan dari kematian, karena
ke satu ia masih memandang Liong Yap Taysoe, kedua karena
orang adalah putera raja.
Jatsingh pun jeri melihat Timotato, tetapi ia penasaran. Ia
hendak mendapatkan tangan puteri Nepal, ia tidak suka pulang
dengan tangan kosong. Maka ia berkata:
"Sekarang ini aku lagi menerima tugas dari Raja Nepal untuk
menawan Maran Hoatsoe!"
Jatsingh berkata begitu sebab ia telah melihat, di antara kereta
yang sudah rusak tendanya, Maran lagi duduk numprah di atas
kereta itu, duduk di atas tumpukan mutiara.
"Aku ada di sini, siapa yang berani menawan dia?" berkata
Timotato sambil tertawa dingin. "Aku pernah merantau ke
banyak negara, di negeri mana saja, sesuatu rajanya menaruh
hormat padaku! Nah, kau pergilah pulang!"
Jatsingh bersangsi sebentar, lantas ia bertindak maju.
"Kau biarkan aku membawa dia pergi," katanya. "Habis itu,
kau boleh pergi kepada Raja Nepal untuk memintanya pulang,
itu waktu aku tidak akan campur tahu lagi!"
Timotato melirik putera raja itu.
Ketika itu, Hoa Seng pun tiba. Pemuda itu telah mengasih
kudanya lari keras.
"Di dalam kamusku tidak ada perkataan minta!" berkata
Timotato dingin sambil ia melirik itu pemuda Tionghoa. Tapi
ia tidak cuma berbicara, ia lantas lompat turun dari kudanya,
untuk menyerang pangeran dari India itu.
Bapak Daud bertindak begini karena ia melihat datangnya Hoa
Seng. Ia kuatir Hoa Seng nanti bekerja sama Jatsingh. Kalau itu
terjadi, sungguh ia bakal mendapat lawan berat, dari itu ia
hendak turun tangan terlebih dulu.
Ia menginsafi bahaya yang mengancam Maran itu. Di pihak
lain, ia juga kuatir yang nama besarnya nanti runtuh. Ia anggap
berkelahi cepat pun tidak akan mensia-siakan kepercayaannya
pangeran Nepal terhadapnya.
Di luar dugaannya, ia menghadapi satu lawan yang tidak dapat
dipandang enteng. Jatsingh telah mempunyai latihan yoga dari
enam atau tujuh tahun, dia dapat membuat perlawanan dengan
baik. Bahkan satu kali, ketika pundaknya dihajar, pundak itu
dapat diegos dengan manis. Dengan ilmu yoganya, tubuh
Jatsingh menjadi lemas sekali.
Timotato gusar yang serangannya itu gagal bahkan dia dibalas
diserang. Maka ketika ia menyerang pula, ia menambah
tenaganya sampai delapan bagian. Ia seperti sudah tidak
memandang lagi orang ada seorang putera raja dan muridnya
Liong Yap Taysoe.
16. Kiranya Tuan Puteri Nepal ..........
Jatsingh merasakan satu tolakan keras sekali, hingga ia seperti
sukar bernapas, meski demikian, ia masih bertahan, tubuhnya
tidak juga kena dirobohkan. Setelah ia berkelit sambil memutar
tubuh, ia menghunus sebatang pedang pendek, dengan apa ia
membalas menyerang di saat Bapak Daud belum sempat
menarik pulang kedua tangannya yang dipakai menyerang itu.
Ujung pedang itu cepat sekali meluncur ke arah lengan. Di saat
itu, Hoa Seng sudah tiba lagi satu tombak lebih.
Timotato melihat ancaman bahaya, dia lantas berseru,
tangannya digeraki, dipakai menyerang pula.
Jatsingh terkejut, pedang pendeknya itu terlepas dan jatuh ke
tanah, dadanya pun terasakan seperti terhajar gembolan, sedang
punggungnya seperti tertindih bukit. Tanpa ia merasa,
tubuhnya itu sudah kena digencet, ditolak dan ditindih. Tak
dapat ia bertahan lagi maka robohlah ia dengan tak sadarkan
diri. Adalah di detik itu, Hoa Seng lompat turun dari kudanya,
dengan tangan menyekal pedang Theng-kauw-kiam terhunus,
ia menghampirkan Timotato.
Bapak Daud melihat datangnya orang, dia tertawa berkakak.
"Apakah kau bersendirian saja?" tanyanya memandang enteng.
,,Ke mana perginya itu orang yang membantu kau dengan
peluru inti esnya?"
Hatinya Hoa Seng terkesiap. Tadi malam pun ia telah
mencurigai itu hawa dingin yang luar biasa adalah es atau inti
es dari dalam guha es. Sekarang itu telah dibuktikan oleh
Timotato bahwa itulah peluru es inti.
Timotato adalah ahli silat yang pandai, yang banyak
pengetahuannya, maka apa yang dia bilang itu tidak dapat
disangsikan kebenarannya. Maka itu, benarkah si nona baju
putih adalah puterinya raja Nepal" Kalau bukan, maka dari
manakah datangnya peluru es itu"
Tengah Hoa Seng berpikir begitu, ia merasakan dorongan dari
Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tenaga yang keras sekali. Sebab Timotato telah menyerang ia
dengan kedua tangannya yang kuat itu. Ia terkejut, lekas-lekas
ia berlompat tinggi. Dengan mengapungi diri itu, bisalah ia
menyelamatkan dirinya. Habis itu, selagi tubuhnya turun, ia
membabat dengan pedang mustikanya.
Timotato pun menyingkir dari tabasan itu.
Tidak perduli Hoa Seng telah melayani dengan baik, ia toh
telah berada dibawah angin.
Timotato sudah dapat merampas kedudukan, dia terus
menyerang, serangannya itu berantai, bagaikan gelombangnya
sungai Tiang Kang yang mendampar saling susul. Maka,
setelah lewat limapuluh jurus, si anak muda merasa dadanya
mulai sesak, kepalanya pusing, matanya kabur. Ia merasa
pertempuran kali ini jauh terlebih hebat dari pada pertempuran
di benteng tua tadi malam.
Memang juga pertempuran kali ini beda dengan pertempuran
kemarinnya. Pertempuran tadi malam itu benar ada mengenai
juga nama baik akan tetapi di antara mereka berdua tidak ada
permusuhan besar, karena itu Timotato tidak menggunai jurusjurusnya
yang liehay yang dapat meminta jiwa orang.
Kali ini ada lain. Kali ini Bapak Daud hendak membalas sakit
hatinya untuk tusukan tadi malam dan di samping itu, ia sibuk
melindungi Maran, supaya Hoat-soe itu bisa lolos dari bahaya.
Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh, ia tidak memikir
untuk mengasi ampun pula. Ini pula sebabnya, tadi malam Hoa
Seng dapat bertahan sampai seratus jurus lebih akan tetapi
sekarang, baru limapuluh jurus, ia sudah keteter.
Mendapatkan keadaan tak baik untuk pihaknya, Hoa Seng
mengandalkan pula keringanan tubuhnya, dengan
kelincahannya, ia berputar di sekitar tubuhnya lawan, maka itu
sinar pedangnya lantas bergemirlapan pula.
Timotato sudah memperoleh pengalaman bertempur tadi
malam melawan ini musuh yang lincah, ia sudah memikirkan
daya untuk melayaninya. Ia lantas menggunai tenaga Im,
dengan itu ia hendak memecahkan tenaganya Hoa Seng, untuk
ia dapat "membetot" orang, agar lawan itu tidak dapat
menyingkir dari ianya.
Ia menanti ketikanya, lalu mendadak ia berseru keras
membarengi tolakan kedua tangannya. Ia telah mengerahkan
seluruh kekuatannya, maka itu dari lunak, mendadak ia
menjadi keras sekali. Dengan serangan ini ia bagaikan
memecah sinar pedangnya Hoa Seng itu, sesudah mana, ia
mendesak sambil berbareng menggunai tenaga Im-yang.
Hoa Seng menjadi kaget. Ia merasakan dirinya bagaikan
perahu enteng memain di antara gelombang dahsyat, tubuhnya
itu seperti kehilangan pepegangan.
Di saat anak muda ini terancam bahaya itu, tiba-tiba kupingnya
dapat mendengar suara seruling yang terbawa angin. Itulah
suara seruling yang sangat halus dan meresap untuk
pendengaran. Itulah juga suara seruling yang sama yang ia
dengarnya di waktu malam di Kota Iblis.
Begitu lagu itu masuk ke kupingnya, begitu ia mendapatkan
perasaan aneh, dengan sendirinya semangatnya terbangun,
hingga ia lantas saja pulih ketenangannya, tidak lagi ia merasa
bagaikan perahu enteng di antara permainan sang gelombang
itu. Demikianlah secara berantai ia dapat melakukan penyerangan
membalas. Dengan sekejap saja ia seperti hebas dari tindihan
yang berat. Di pihaknya Bapak Daud, kapan ia telah mendengar suara
seruling itu, hatinya yang tadinya sangat mantap lantas menjadi
berubah. Ia juga terkesiap kapan ia melirik ke arah Maran
Hoat-soe. Mendadak saja guru agama itu berlompat turun dari kereta
kudanya, lantas dia berlompat naik ke atas kuda jempolan yang
ditinggalkan pangeran Jatsingh, sembari berbuat begitu dia
berkata dengan nyaring: "Maafkan aku, aku hendak berangkat
terlebih dahulu! Nanti di Mekkah kita orang bertemu pula!"
Kuda itu segera dicambuk hingga dia lari kabur, hingga
sebentar saja dia sudah keluar dari lembah yang sempit itu.
Bapak Daud menjadi sangat tidak puas, tak senang hatinya.
Kenapa orang lari selagi ia melindunginya" Karena ini, ia
menjadi berpikir. Justru itu, suara seruling lantas berhenti.
Sebagai gantinya, di situ muncul seorang wanita dengan baju
putih, baju dan celananya berdebaran di antara sampokan sang
angin, hingga dia mirip seorang bidadari. Nona itu berlompat
turun dari atas gunung.
Kapan Koei Hoa Seng telah melihat si nona, ia girang
ba?gaikan kalap.
"Adik!" ia berseru.
Si nona tertawa.
"Kau tidak takut menempuh bahaya, kau hendak mencoba
membekuk Maran, aku sangat bersyukur kepadamu!" katanya,
manis. Setelah itu ia menoleh kepada Timotato, suaranya pun seperti
salin rupa ketika ia berkata kepada jago dari Arabia itu, sebab
suara itu sangat dingin. Katanya: "Bangsa Nepal biasanya
paling senang menyambut tetamu akan tetapi orang semacam
kau ini, yang lancang dan sembrono, kau tidak mendapat
penyambutan yang menyenangkan, maka lekaslah kau berlalu
dari sini!"
Bapak Daud ini sudah sering sekali merantau, ke pelbagai
negara, di mana ia tiba di situ ia disambut dengan baik,
baikpun oleh golongan orang bangsawan, sama sekali belum
pernah ia menerima penyambutan begini dingin. Maka tanpa
merasa, ia menjadi gusar sendirinya.
"Hai, budak cilik!" ia membentak. "Kenapa kau berani berlaku
kurang ajar begini terhadap aku" Apakah kau tidak ketahui
akulah tetamu undangan yang dihormati oleh putera rajamu?"
"Siapa yang dapat menghargai dirinya sendiri, barulah dia
mendapat penghargaan orang," berkata si nona, tenang.
"Bukankah di antara kamu bangsa Arab ada semacam ujarujar"
Tetamu yang diundang, dia harus memegang aturan tata
sopan-santun! Raja hendak menawan Maran, maka hak apa kau
mempunyainya untuk menghalang-halangi" Apakah ada
seorang tetamu yang diundang yang sikapnya begini kurang
ajar?" "Adik kecil, hati-hati!" berseru Hoa Seng selagi si nona
berkata-kata itu.
Sebab Timotato, dalam murkanya yang sangat, tanpa menanti
orang bicara habis, sudah lantas menyerang dengan kedua
belah tangannya.
Hoa Seng tidak cuma memberi peningatan kepada ia punya
"adik Hoa" itu, dia bahkan maju menikam si jago dari Arabia
yang tangguh itu.
Sebaliknya si nona baju putih, begitu ia diserang, begitu
tubuhnya terapung naik, terapung dengan lincah sekali,
sikapnya pun tenang seperti tadinya. Bahkan di dalam saat
sangat terancam itu, ia masih mengambil kesempatan akan
melirik si anak muda, sambil tertawa manis, mulutnya yang
mungil mengatakan: "Terima kasih untuk kebaikanmu!"
Menyaksikan kelincahan tubuh nona itu, Timotato kaget tak
terkirakan. Di sebelah itu, ia juga mesti menangkis tikamannya
Hoa Seng. Tapi ia tidak takut, malah ia tetap gusar dan
penasaran, maka habis menghalau pedang si anak muda, ia
menyerang kepada si nona. Ia menggunai tenaga Im, guna
membetot nona itu yang ia niat banting ringsak!
Di saat Timotato menggeraki tenaganya yang hebat itu, dari
atas, ialah dari arah si nona, ada sebuah benda putih berkilau
seperti beling sebesar mutiara menyambar turun, karena benda
itu terhajar pukulan, sedetik itu juga dia hancur lebur, hanya
sehabis itu, berbareng sama buyarnya, terasalah hawa yang
dingin sekali, hingga si orang Arab menjadi menggigil
sendirinya. hingga ia mesti terpaksa mundur tiga tindak.
"Ha, budak, kiranya kaulah yang tadi malam menyerang aku
dengan peluru es ini ?" ia berseru.
Peluru es inti itu ialah Peng?pok sin-tan.
Sementara itu Hoa Seng, sedatangnya si nona, sudah
mendahulukan mengempos semangatnya, untuk bersedia
melawan hawa dingin. Ia telah memahamkan ilmu tenaga
dalam dari Tatmo Couwsoe, selama di guha es pun ia telah
mempunyakan pengalaman, dari itu hawa dingin dahsyat dari
Pengpok Sintan tidak dapat mengganggu padanya. Tidaklah
demikian dengan Timotato, hanya walaupun menggigil, dia
masih bertahan.
Menyaksikan ketangguhan orang Arab ini, kecuali Hoa Seng,
si nona pun kagum. Di dalam hatinya, kedua muda mudi itu
memuji: "Tak kecewa jago dari Arabia ini!"
Tadi malam Timotato bertempur sambil sebelah tangannya
memegangi kereta, tubuhnya seperti tergantung, dari itu
dengan kena dihajar peluru es, dia jadi kena ditikam satu kali
oleh Hoa Seng, sekarang dia berdiri tegak di tanah, dia pun
tengah siap sedia, maka itu, tidak berhasil si anak muda
menikam kepadanya.
Si nona telah lantas turun pula, tubuhnya nampak melayang
secara enteng sekali. Ia bukan lantas menghadapi Timotato,
hanya sambil memandang Hoa Seng dan tertawa manis, ia
berkata : "Kau lihat, pedang Pengpok Han-kong-kiamku telah
rampung dibikin!"
Kata-kata ini disusul sama gerakan sebelah tangannya, mengasi
berkelebat sebuah benda yang terang bercahaya berkeredepan,
benda mana bukannya emas bukannya besi, mirip dengan
kristal, romannya seperti pedang. Sebab seperti katanya, itu
pun Pengpok Han-kong-kiam, ialah pedang inti es!
Kapan si nona telah mengibas dengan pedangnya yang
istimewa itu, kecuali sinar terangnya itu yang berkeredepan,
juga tersebar hawa dinginnya, sampai Timotato menggigil pula
dan giginya bercatrukan. Lekas-lekas dia mengibas dengan
kedua tangannya, untuk mencoba menghalau hawa dingin itu,
menyusul mana, dia maju menyerang. Kibasannya itu
membuatnya hawa dingin terpukul mundur, maka itu, dapat dia
terus menyerang.
Si nona melayani jago dari Arabia ini, dengan lantas mereka
bertarung seru.
Si nona menanti sampai sudah seratus jurus, lagi-lagi ia
mengibas dengan pedangnya yang berhawa dingin itu. Kali ini
ia menggunai ilmu silatnya Pengcoan Kiam-hoat, ilmu silat
pedang Sungai Es itu. Maka berulang-ulang ia telah
mendatangkan hawa yang sangat dingin.
Koei Hoa Seng mendongkol dan penasaran, ia tidak mau
berdiam saja, ia juga maju menyerang, maka itu Timotato jadi
kena dikepung berdua. Dengan begitu, kedua pedang mustika
itu seperti bergabung, bersatu padu.
Setelah banyak jurus berlangsung, hawa dingin jadi semakin
hebat, hawa itu bagaikan membeku, maka bagaimana liehay
juga pukulan angin dari Timotato, sekarang dia tidak dapat
menghajar buyar. Karena dia telah menggunai tenaga terlalu
besar, sekalipun dia diliputi hawa dingin luar biasa, dia toh
mengeluarkan peluh, keringatnya berketel-ketel di jidatnya.
Sebaliknya, tubuhnya menggigil terus!
Timotato adalah satu jago dan berpengalaman, lantas dia
berpikir: "Kalau aku terus bertahan, meski aku bisa melawan
sampai lagi satu atau dua jam, kesudahannya menang atau
kalah masih belum bisa dipastikan, yang terang ialah akhirnya
aku bakal mendapat sakit berat. Maran sudah kabur, dari itu
untuk apa aku menjual jiwaku untuknya?"
Segera juga ia mengambil putusan. Ia lantas mengerahkan
tenaganya di tangan. Dengan tiba-tiba ia menyerang hebat.
hingga ia dapat membikin kedua pedang yang rapat menjadi
renggang. Berbareng dengan itu, ia lompat melesat,
memoloskan diri di antara renggangan itu, terus bagaikan
terbang, dia lari pergi.
Koei Hoa Seng menjadi kagum melihat ketangguhan orang itu.
"Apakah ini bukannya impian?" ia tanya kemudian.
Matahari baru muncul, sinarnya indah. Hawa dingin pun mulai
lenyap per-lahan-lahan, demikianpun hawa dingin di tubuh si
anak muda. "Pasti bukan!" sahut sang puteri sembari tertawa.
"Sungguh aku tidak menyangka kaulah tuan puteri!" kata Hoa
Seng. "Pantas tadi malam kau memberi selamat kepada pangeran
India itu!" ujar si nona. "Ah, engko, kau tolol sekali!
Seharusnya kau sudah dapat menerka dari siang-siang!"
Meski ia mengatakan demikian, kedua belah pipi si puteri pun
bersemu dadu, maka di mata Hoa Seng, itulah menambah
kecantikan dan membuat hatinya sangat tergiur.
Lewat sesaat, anak muda ini berkata pula.
"Kau puteri dan satu negara, kau bahkan calon ratu negaramu,"
demikian katanya, "cara bagaimana aku berani lancang
mengangkat diriku dan memanggil kau adik?"
Puteri itu tertawa.
"Kenapa kau berpandangan seperti orang biasa saja?" ia tanya.
"Aku toh kebetulan saja terlahir di dalam keluarga raja"
Apakah kedudukanku ini merusak persahabatan kita" Ah, kau
sungguh tak tahu hatiku. Mana pernah aku memikir untuk
menjadi ratu" Di mataku, kemuliaan dan kemewahan adalah
bagaikan mega atau asap. Aku hanya ingin ?" aku ingin
?".."
"Kau ingin panjang umur dan hidup berbahagia bersama!" Hoa
Seng meneruskan.
Puteri itu berdiam, kedua tangannya membuat main rambut di
samping kupingnya.
"Ah?"!" katanya kemudian. "Sebenarnya aku keluar dari
istana dengan cara diam-diam. Ayah baru sembuh, ia perlu
rawatan, maka itu sekarang aku harus kembali. Terima kasih
untuk teratai saljumu dari Thian San itu!"
Hoa Seng lantas ingat kejadian tadi malam.
"Tuan puteri, kau harus waspada terhadap kakakmu sepupu!"
ia mengasi ingat. Puteri itu mengangguk.
"Dari siang-siang aku telah ketahui ambekannya yang besar
itu," sahutnya. "Sebenarnya aku tidak mempunyai minat untuk
berebutan takhta kerajaan dengannya. Semua perbuatannya di
Kota Iblis tidak aku beritahukan ayah. Aku hanya diam-diam
mencoba, melenyapkan ambekannya itu."
Hoa Seng menghela napas.
"Kau sungguh baik," pujinya, "Hanya aku kuatir... aku kuatir
ambekannya itu tidak sampai di sini saja ?"?"
"Apa" Bukankah ia cuma mengharap menjadi raja?"
Biar bagaimana, Hoa Seng jauh lebih berpengalaman dari
puteri ini. Di dalam hatinya, ia kata: "Kau tidak ingin menjadi
Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ratu tetapi keinginanmu ini dia belum mendapat tahu ?".." Ia
berdiam, ia tidak berani menjelaskan segala kecurigaannya
kepada puteri ini. Ia tahu bahwa ia hanya baru bercuriga,
sedang di Nepal ini, di mana ia baru sampai, ia ada hanya
seorang asing. Pula ia tidak ingin merenggangkan persanakan
keluarga raja Nepal itu.
Tuan puteri mengangkat kepalanya.
"Di lembah sana telah dinyalakan api unggun," katanya,
"mungkin mereka itu telah mendapat tahu yang kamu di sini
hendak menawan Maran. Aku percaya, tidak lama lagi, mereka
bakal menyusul ke mari. Maka itu aku harus berlalu."
Hoa Seng maju satu tindak. "Kapan kita bertemu pula?" ia
menanya. Puteri itu bersenyum.
"Kau baik baca saja itu kitab-kitab sastera Nepal!" katanya.
Hoa Seng melengak, akan sedetik kemudian dia sadar.
"Ha, kiranya kau lagi mengajari aku bersiap untuk turut ujian!"
katanya. "Kalau begitu, maka lain hari kita bakal bertemu di
atas panggung pertandingan. Aku harap kau nanti menaruh
belas-kasihan ?"?"
Berbareng sama berhentinya kata-kata itu, lenyap juga tubuh si
tuan puteri, yang berlalu dengan cepat.
Hoa Seng merasa kehilangan apa-apa, ia berdiri bengong
mengawasi bayangan puteri itu. Ia baru sadar ketika ia
mendengar rintihan di sisinya.
Hoa Seng terkesiap hatinya.
,.Ha!" serunya di dalam hati. .,Maskanan dan Jatsingh telah
terluka, kenapa aku boleh melupakan mereka?"
Inilah yang membuatnya kaget. Maka ia lantas lari kepada
orang yang disebutkan pertama itu.
Maskanan sudah tersadar, tetapi dia mengasi dengar rintihan.
Hoa Seng lantas menyingkir tubuh kuda yang menindih orang,
terus ia memeriksa lukanya. Ia mendapatkan dua tulang rusuk
telah patah, kecuali itu cumalah bekas terbanting yang
membikin Maskanan itu pingsan. Lekas-lekas ia menguruti,
untuk membantu pernapasannya.
Melainkan selang sesaat, Maskanan lantas dapat bangun berdiri
dan berjalan. "Sungguh liehay!" katanya kemudian.
Segera, keduanya menghampirkan Jatsingh. Mereka lantas
menjadi kaget. Muka Jatsingh pucat sekali, kulitnya bersemu
gelap, sedang hidungnya mengeluarkan napas sangat perlahan.
Maskanan mengerti juga ilmu tabib, ketika ia memegang
nadinya pangeran itu, ia menggeleng kepala.
"Celaka!" serunya. "Nadinya telah tergerak, begitupun
kedudukan anggotanya dalam tubuh, dia sukar ditolong lagi.
Paling lama dia dapat bertahan hanya setengah jam ?""
Hoa Seng mengawasi.
"Belum tentu," katanya kemudian. Ia lantas angkat tubuhnya
Jatsingh, untuk dipondong ke tepi sumber air. Di situ ia
mengambil air, untuk dipakai mengaduki sekuntum soat-lian,
kemudian setelah memaksa membentet mulutnya si pangeran,
ia tuang air obat itu.
"Ah, kau mensia-siakan sekuntum teratai saljumu!" kata
Maskanan menghela napas. "Paling banyak dia cuma dapat
bertahan buat beberapa hari ?".."
Setelah makan obat, Jatsingh tidak lantas sadar; lukanya ada
terlalu hebat untuk ia dapat sadar dalam sekejap.
Hoa Seng terus mengawasi, ia menghela napas, untuk
melegakan hatinya.
"Maskanan, aku hendak minta tolong," ia berkata.
"Bilanglah!" menjawab Maskanan cepat. "Kalau ada perlunya,
akan aku terjun ke air panas atau api berkobar!"
"Bagus!" kata si anak muda. "Mari kita membantu dia dengan
tenaga dalam kita. Akan aku mengajari kau ilmu menolak
darah, untuk menyalurkan hawa kita. Hanya, setelah itu, tenaga
kita bakal berkurang, kita harus beristirahat beberapa hari."
Maskanan mengangguk.
"Dalam hal tenaga dalam, kau lebih kuat seratus kali dari pada
aku," katanya, "kau sendiri tidak takut mengurbankan itu, apa
pula aku."
Maka bekerjalah mereka berdua. Sebenarnya tenaganya Hoa
Seng sendiri sudah cukup, dibantu Maskanan, tenaga itu seperti
berlebihan. Belum lama, mukanya Jatsingh lantas berubah, dari
pucat mulai ada sinarnya dadu, suatu tanda bahwa darahnya
mulai berjalan pula.
Hoa Seng mengawasi terus, ia lantas mengeluarkan napas lega.
"Siapa si nona cantik tadi?" Maskanan bertanya. Dia pun lega
hatinya. Tempo si puteri Nepal baru berlalu, Maskanan baru mendusin,
maka itu ia masih sempat melihat tegas kecantikan orang yang
mengesankan itu.
Ditanya begitu, Hoa Seng bersenyum.
"Kau menanyakan si nona?" ia balik bertanya. "Dialah si tuan
puteri! Dia pula si bidadari yang di dalam Kota Iblis telah
meniup seruling!"
Maskanan berseru kaget saking herannya. Tapi lantas dia
berdiam. "Kau kenapa?" Hoa Seng menanya.
"Sebenarnya kenapa kau begini bersungguh hati menolongi
orang ini?" Maskanan menanya.
Hoa Seng bisa lantas menduga hatinya orang ini, maka
berpikirlah ia: "Jikalau aku ada seorang rendah, boleh aku
melepas tangan, tidak menolongi orang ini, dengan begitu aku
menjadi kurangan seorang musuh yang tangguh di antara
pelamar-pelamarnya puteri. Tapi, mana dapat aku berbuat itu?"
Dari itu ia mamandang Maskanan dan memberikan
jawabannya: "Aku tidak berani menyebut diriku seorang mulia
akan tetapi kalau aku menghadapi kematian lain orang, mana
aku tega tidak mencoba menolongnya?"
"Aku bukannya tidak memikir untuk menolongi dia,"
Maskanan bilang, "aku hanya sangat mengagumi nyalimu yang
besar dan mulia. Diumpamakan aku, aku ?".."
"Jikalau kau, bagaimana?" tanya Hoa Seng.
Maskanan berpikir dulu.
"Aku akan menolongi dia!" sahutnya tertawa.
17. Bunga Soat-lian Yang Terakhir
Selagi mereka bicara, Jatsingh telah mendusin, ia mendapat
pembicaraan itu tetapi Hoa Seng tidak mendapat tahu. Anak
muda ini lantas memegangi, untuk membantu orang bangun,
telapakan sebelah tangannya ditempel di jalan darah thian-kiehiat
di punggung, untuk menyalurkan hawa hangat dari
tubuhnya. Jatsingh mengasi dengar suara di tenggorokannya hingga
beberapa kali, lalu dia memuntahkan darah.
Hoa Seng menanti sampai mulut orang sudah hampir bersih
dari darah itu, darah mati lantas memberikan air untuk
kekumur. "Kau telah memuntahkan darah, bagus!" katanya tertawa.
"Selanjutnya kau boleh makan obat kuat seperti jinsom dan
lokjiong, setelah setengah bulan, kesehatanmu bakal pulih
kembali. Obat-obatan itu memang mahal harganya tetapi
semua itu tersedia di dalam istana raja Nepal, maka itu
pangeran, kau jangan kuatir!"
Jatsingh mengawasi anak muda di depannya itu, airmatanya
mengembeng, sampai sekian lama, tidak dapat ia membuka
mulutnya. Boleh dibilang di saat itu juga tampak seorang penunggang
kuda kabur mendatangi ke dalam lembah itu, maka segera
ternyata dialah si putera raja Nepal. Segera terdengar suaranya
yang nyaring: "Hai, kenapakah kamu?"
"Tidak kenapa-napa!" Hoa Seng menyahuti. "Pangeran
Jatsingh mendapat sedikit luka ".."
"Itu ?" itu ?""," berkata pula putera raja itu.
"Itu kau maksudkan Timotato?" Maskanan meneruskan. "Dia
telah dihajar kabur oleh saudara Koei kami ini!"
Sebenarnya Maskanan tidak melihat bagaimana Hoa Seng
bersama Puteri Hoa Giok, si Kumala Indah, menempur
Timotato dengan pedang mereka yang seperti bersatu padu, ia
tengah pingsan, ia hanya menduga saja. Dugaannya ini
memang cocok. Hoa Seng yang jujur hendak memberikan keterangan yang
jelas, tetapi belum sampai ia membuka mulutnya, ia dapat pikir
pula baiklah hal itu disembunyikan untuk putera raja Nepal ini,
maka itu ia bersenyum.
"Walaupun Timotato telah dapat diusir pergi, hanya Maran
Hoat-soe telah dapat meloloskan diri," katanya.
Di dalam hatinya, putera raja itu terkejut mendengar Hoa Seng
dapat mengalahkan Timotato, akan tetapi dialah seorang licin,
dia dapat menguasai diri untuk tidak mengentarakan itu. Dia
lantas tertawa terbahak-bahak untuk menutupinya, sembari
tertawa, dia lompat turun dari kudanya. Dia pun menggederuk
tanah dengan tongkat Kioe-hoan sek-thung.
"Bukankah ini tongkat suci dari raja agamamu?" ia menanya
Maskanan. Orang yang ditanya menjadi girang sekali.
"Benar!" jawabnya separuh berseru. "Terima kasih, tuan
Pangeran, yang kau telah menolongi kami merampasnya."
"Bukan cuma aku telah dapat merampasnya pulang, bahkan
Maran Hoat-soe telah dapat aku binasakan!" sahut putera raja
itu dengan bangga.
Putera raja ini tidak mendusta bahwa ia telah membunuh
Maran si guru agama. Dia telah memotong jalan di lembah
untuk memegat. Di situ ada sebuah mulut lembah yang dia
kenal baik. Dia percaya, kalau Maran dapat melihat api
unggun, ia tidak nanti berani nerobos keluar dari mulut lembah
di depan. Dia pun sudah memikir, jikalau Maran ada bersama Timotato,
dia cuma hendak meminta pulang tongkat suci Kioe-hoan sekthung
itu, lalu dia hendak menganjurkannya mereka itu kabur
terus, tetapi dia mendapatkan Maran seorang diri, tidak ampun
lagi, tanpa menanti Maran membuka suara, ia menyerang dan
membunuhnya. Maran itu adalah koncohnya dalam usaha membinasakan raja,
pasti sekali guru agama ini tidak percaya si putera raja bakal
membunuh padanya, kalau tidak, apabila keduanya sampai
bertempur, sedikitnya mereka berdua bakal sama unggulnya.
Maskanan segera menyambuti tongkat suci itu.
"Sekarang marilah kita pulang ke istana untuk menyampaikan
kabar girang kepada Sri Baginda!" berkata putera raja itu
kemudian. "Benar tongkat suci ini akulah yang merampas
pulang tetapi kamu pun turut berjasa!"
Hoa Seng bertiga menerima baik ajakan itu. Jatsingh masih
terlalu lemah, maka itu untuk dapat naik di atas punggung
kuda, Hoa Seng membantui ia, hingga mereka jadi
menunggang bersama seekor kuda.
Demikian mereka berjalan pulang ke kotaraja.
Berjalan belum lama, mendadak Jatsingh merintih, terus ia
merasai dadanya sesak. Hoa Seng mengetahui itu, lekas-lekas
ia mengendorkan larinya kudanya.
"Kau merasa bagaimana?" Ia menanya perlahan kepada
pangeran itu. "Aku kuatir aku tidak kuat lagi " sahut pangeran itu perlahan,
terputus-putus suaranya.
"Tidak apa-apa, jangan kau kuatir," Hoa Seng menghibur.
Tapi pangeran itu berkata pula, dengan suara menggetar:
"Gunung Burung Jenjang, kota Rajaghra, guruku yang berbudi,
sungai Ganges yang indah, selamat tinggal untuk selamalamanya
?"..! "Hus, jangan ngaco belo!" kata Hoa Seng. "Kau tidak bakalan
mati!" Sembari berkata begitu, Hoa Seng memegang tempilingan
pangeran itu, ia merasakan hawa panas yang tinggi sekali,
hingga ia menjadi kaget sekali. Ia jadi mau berpikir:
"Apakah sia-sia belaka bantuan tenaga dalamku kepadanya"
Mustahil jiwanya masih tidak dapat ditolong" Tidak, tidak
mestinya! Dia pun mempunyai peryakinan ilmu yoga yang
sempurna. Asal dia dapat menetapi hati, menenangkan diri,
tidak nanti dia mati ?"."
Hoa Seng hendak memberi nasihat pula, untuk menghiburi,
ketika Jatsingh mengaco pula, dia seperti sudah was-was.
Tentu sekali, ia menjadi bingung.
Tiba-tiba Jatsingh mementang matanya lebar.
"Aku hendak minta tolong padamu!" katanya, suaranya
menggetar. "Bicaralah!" ia lekas memberikan jawabannya.
"Aku mau minta sekuntum soat-lian," berkata Jatsingh.
Hoa Seng terkejut sekali, ia tercengang, tetapi lekas sekali ia
tertawa. "Darah yang tergumpal di dalam badanmu sudah
termuntahkan, kau tidak membutuhkan soat-lian lagi!" katanya.
Kedua matanya pangeran itu merah bagaikan membara.
"Soat-lian ?". Soat-lian ?"" katanya, seperti ngelindur,
suaranya terputus-putus, "Soat-lian dari gunung Thian San
?". Aku ingin ?". Soat-lian dari gunung Thian San
?".!"
Dia mirip anak yang termanjakan, yang aleman, yang meminta
suatu barang. Hoa Seng mengusap-usap dengan perlahan.
"Pangeran, kau sadar!" ia membujuk. "Kita akan segera tiba di
istana raja."
Jatsingh tetap tak sadar, ia seperti orang was-was disebabkan
hawa panasnya yang tinggi itu.
"Soat-lian ....., soat-lian!" ngaconya pula. "Soat-lian dari Thian
San!" Hoa Seng menjadi tidak tega. Ia mengeluarkan satu-satunya
soat-lian, sisanya.
Kedua matanya Jatsingh bersinar.
"Dengan sungguh-sungguh aku mencari soat-lian," ngaconya
pula. "jikalau aku bisa mendapatkan sekuntum saja untuk
dipakai menemani aku dikubur, dapat aku mati meram! Ah,
mari, mari kasikan aku!"
Hoa Seng heran, tetapi ia dapat mengerti. Memang umum
bahwa ada orang, umpama seorang raja, yang di saat-saat dekat
kematiannya, menghendaki sesuatu barang yang paling disukai
untuk dibawa mati bersama.
Tentu sekali ia menjadi bersangsi. Dari Thian San ia hanya
membawa tiga kuntum, dan yang mana, satu telah dipakai
menolongi raja Nepal, yang satu lagi untuk pangeran ini.
Sekarang ini pangeran meminta pula! Sedang ia tahu, dia tak
Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membutuhkannya lagi. Tapi orang lagi was-was atau kalap,
sinar matanya menunjuki keinginannya yang sangat akan
bunga teratai salju itu ?".
Ia lantas ingat perkataannya Papo si tabib pandai: "Untuk
mengobati orang, yang paling penting ialah membikin hatinya
si sakit tenang dan tetap, jikalau itu tidak dapat dilakukan,
dikuatir penyakitnya menjadi bertambah buruk. Sekarang dia
menghendaki bunga terataiku. Ah, baiklah aku
memberikannya, akan melihat bagaimana kejadiannya lebih
lanjut ?""." Karena ini, ia mengangsurkan teratainya itu.
Jatsingh menyambuti soat-lian dengan airmukanya segera
menjadi terang. Ia menyenderkan diri pada penolongnya itu,
matanya dimeramkan. Ia bagaikan tengah beristirahat dengan
pikiran puas. Menampak itu, hati Hoa Seng pun lega. Ia tetap menjalankan
kudanya per-lahan-lahan. Ketika akhirnya mereka tiba di depan
istana, di sana sudah ada pengawal yang menantikannya. Itulah
sebab pangeran Nepal dan Maskanan sudah tiba terlebih dulu
dan telah lantas masuk ke dalam istana menghadap raja kepada
siapa dituturkan duduknya kejadian pangeran Jatsingh terluka
parah. Pahlawan pengiring raja lantas membantu menurunkan
Jatsingh, untuk direbahkan di atas semacam gotongan yang
dipakaikan kasur berseprei sulam, terus dia dibawa sampai ke
depan raja Nepal. Hoa Seng mengikuti.
Raja Nepal berbangkit dari kursinya untuk menyambut sendiri,
kepada Hoa Seng ia menghaturkan terima kasih, setelah itu
baru ia menanya Jatsingh, untuk menghiburkannya.
Sekonyong-konyong pangeran itu tertawa dan berlompat turun
dari gotongan. Ia lantas memberi hormat kepada raja.
"Soat-lian dari Thian San yang dikehendaki tuan puteri telah
aku bawa bersamaku!" katanya nyaring.
Hoa Seng kaget tak kepalang. Baru sekarang ia ketahui
pangeran ini ber-pura-pura ngaco untuk mempedayakan bunga
teratai saljunya itu. Tentu sekali, ia menjadi bingung, hingga
pikirannya kacau.
"Bagus!" seru raja girang. "Segera aku akan menitahkan
dayang menyampaikan pesalinmu ini kepada puteriku! "
Inilah benda yang ia kehendaki, maka sekarang sudah tidak ada
bicara lagi!"
Kata-kata yang terakhir ini raja ucapkan terhadap putera raja.
Hoa Seng masih berdiam, tenggorokannya seperti
tersumpalkan sesuatu, hingga tak dapat ia mengeluarkan
sepatah kata. Mukanya pun menjadi merah. Ia benar-benar
tidak tahu harus membilang apa.
Di saat anak muda ini bingung demikian rupa, mendadak
terdengar pula suaranya Jatsingh, suara yang keras dan terang:
"Bukan, Sri Baginda! Sri Baginda salah paham! Inilah
bukannya pesalin dari aku! Soat-lian dari Thian San ini ada
kepunyaannya Tuan Koei! Tuan Koei gagah dan tampan
memenangi aku seratus lipat, maka itu kalau dia dipasangi
dengan tuan puteri, sungguh sangat setimpal!"
Kembali Hoa Seng menjadi kaget. Inilah ia tidak sangka sama
sekali. Akan tetapi sekarang ia kaget berbareng hatinya lega.
Di dalam hatinya, ia lantas berkata, "Ah, hampir saja aku
berlaku rendah menuduh seorang ksatria hinadina.
Jatsingh sendiri, habis berkata begitu, tubuhnya lantas
terhuyung. Rupanya, karena tertawa dan berlompat, karena
kata-katanya yang keras itu, ia telah menggunai tenaga terlalu
besar, maka tak dapat ia bertahan diri.
Raja Nepal terkejut. Dengan lekas ia berpaling kepada Hoa
Seng. "Pangeran Jatsingh ini was-was, kasihan ia," katanya. "Koei
Hoa Seng, kau telah mendirikan jasa yang besar sekali, tidak
nanti aku membuatnya kau kecewa! Di dalam istanaku ini ada
segala macam permata mulia, kau boleh ambil sesukamu!
Jikalau kau sudi memangku pangkat, akan aku angkat kau
menjadi komandan dari pasukan pengiringku!"
Raja itu melainkan menyebut-nyebut jasa dan janji pembalasan
budinya, ia tidak omong tentang jodoh puterinya. Hoa Seng
pun tidak memikirkan itu, karena di dalam hatinya ia kata:
"Asal tuan puteri benar-benar menyinta aku, kenapa aku tidak
dapat mendaftarkan diri untuk turut dalam pemilihan" Kenapa
sekarang aku mesti mengandalkan jasaku ini untuk
mengajukan lamaran?" Maka ia jawab raja itu.
"Telah dari siang-siang aku membilangnya aku tidak
mengharapi pembalasan," berkata ia. "Untukku, segala barang
permata tidak ada keperluannya sedang pangkat aku tidak
menghendaki."
"Jikalau begitu, aku minta tuan suka tinggal bersama kami
untuk banyak hari," berkata pula raja. "Adalah pengharapanku
yang kami nanti mendapat pengajaran dari kau."
"Terima kasih, Sri Baginda," Hoa Seng menampik, "tidak
berani aku membikin banyak pusing kepada Baginda. Aku
tinggal di rumahnya tabib Papo, jikalau Sri Baginda
memerlukan aku, sembarang waktu Sri Baginda boleh
memanggilnya, aku akan segera datang menghadap."
Raja merasa kurang enak sendirinya, tetapi ia berpikir:
,,Agaknya puteriku ada menaruh hati terhadapnya, maka itu
lebih baik aku tidak membiarkan dia tinggal di dalam istana."
Raja ini lebih penuju Jatsingh. Hoa Seng gagah dan tampan
akan tetapi dia bukannya orang bangsawan.
Lantas raja memberi persen banyak kepada Papo, setelah mana
ia menitahkan pengiringnya pengantar tabib itu, bersama-sama
Hoa Seng keluar dari istana. Sebaliknya Jatsingh dibiarkan
tinggal di istana, untuk merawat diri.
Papo berdua keluar dari istana seperti juga mereka baru habis
bermimpi. Sembari jalan, sambil tertawa, ia berkata: "Adalah
minatku untuk menterjemahkan kitab ramuan obat PEN TSAO
KANG MU dan pemeriksaan nadi CHI CHING PA ME KAO
dari LI SHIH CHEN, karena bahasa Tionghoa itu dalam
artinya, bisalah aku mohon bantuanmu. Bahkan kemudian,
setelah kau menjadi menantu raja, aku masih hendak
mengandalkan bantuanmu yang berharga untuk menerbitkan
kedua salinan kitab ilmu ramuan obat serta pemeriksaan nadi
itu!" "Mana aku, mempunyai rejeki demikian besar," kata Hoa Seng
merendah. Papo tertawa. "Kami di sini mempunyai suatu peribahasa," katanya. "Ialah
asal seorang nona menaruh cinta kepada seseorang, dia lantas
menjadi mirip dengan tawon gula yang memetik sarinya bunga,
meskipun diusir, dia tidak nanti pergi!"
Demikian mereka pasang omong sampai mereka tiba di rumah.
Papo baru membuka pintu atau segera hidungnya mendapat
cium bau harum semerbak. Ketika ia bertindak sampai di
dalam ruang, ia mendapatkan di atas meja teh, di mana ada
diletaki setumpuk buku, di bawah buku itu ada tertindih sehelai
amplop berkembang.
"Kau lihat!" kata tabib itu tertawa. "Karena adanya kau di sini,
sekalipun harumnya bunga dapat melayang masuk ke mari!"
Hoa Seng lantas menjumput amplop itu, untuk dibuka dan
menarik keluar selembar surat, yang ia terus baca. Surat itu
bagaikan syair, begini bunyinya:
"Bagaikan kapu-kapu bertemu air, maka juga hati seperti khim
telah terlebih dahulu dipeserahkan.
Bagaikan sebuah rumah atau dunia atau lautan di mana diri
telah dipernahkan,
maka biarpun di sana ada. Puncak Mutiara,
puncak itu sukar memisahkan jalan ke gunung Thian Tay.
Di sini ditulis maksud hatiku,
maksud hati itu diserahkan kepada sang angin halus,
ditiupkan kepada kau di sana, kekasihku."
Surat itu tiiak ada tanda tangannya akan tetapi Hoa Seng tahu
betul itulah suratnya puteri Nepal, yang ditulis tangannya
sendiri, untuknya.
Itu berarti, empat penjuru lautan bagaikan sebuah rumah,
bahwa meski terhalang puncak tertinggi di dalam dunia,
persahabatan kedua negara tidak dapat diputuskan, atau
tegasnya, cinta mereka berdua tidak dapat dirintangi lagi.
Habis membaca surat itu, Hoa Seng berdiri diam, ia
terbengong. Kemudian ia memeriksa itu setumpuk buku.
Nyatalah itu ada kitab sastera kuno dari Nepal. Malam itu ia
mencobanya membaca, maka tahulah ia, isi kitab kebanyakan
ada hubungannya sama Tiongkok.
Di antaranya ada kitab karangannya pendeta Hui Chao tentang
perjalanannya ke India. Hui Chao adalah seorang pendeta di
ahala Tong, yang pergi ke India sehabisnya Hsuan Tsang. Di
dalam kitab itu ada catatan perjalanannya ke Nepal dan
kitabnya itu telah disalin ke dalam bahasa Nepal. Yang lainnya
ada kitab agama Buddha yang ditulis oleh seorang pendeta
berilmu bangsa Nepal sendiri.
Hoa Seng bukannya penganut agama Buddha akan tetapi
karena bunyinya kitab menarik hati sedang itu pun adalah
puteri Nepal yang menghendaki ia membacanya, maka ia
membaca terus, bahkan ia memberi tanda kepada bagianbagian
yang ia kurang mengerti. Ia telah pikir, besok pagi ia
akan minta keterangan dari Papo.
Di hari ke dua pagi, belum lagi pemuda ini turun dari
pembaringannya, Papo sudah menghampirkan dianya. Bahkan
tabib itu lantas menanya: "Bukankah hari ini kau bersedia akan
mendaftarkan nama untuk turut meminang tuan puteri?"
"Habis kenapa?" tanya Hoa Seng.
"Kalau benar, kau tidak usahlah pergi lagi," kata tabib itu.
Hoa Seng heran hingga ia terperanjat.
"Kenapakah?" ia menanya cepat.
"Oleh karena Raja baru saja mengumumkan," menyahut Papo.
"Telah diputuskan, urusan pemilihan menantu raja telah
ditangguhkan sementara waktu, nanti sesudah seratus hari
kemudian, baru akan dilaksanakan pula. Sebabnya ini kabarnya
ada dua. Yalah ke satu lain tahun berhubung dengan hari ulang
Sang Buddha bakal diadakan suatu arak-arakan besar, untuk
mana pendeta-pendeta suci dari banyak negeri bakal datang
berkunjung ke mari. Untuk ini ada diperlukan tempo beberapa
bulan. Pula ada kemungkinan, berbareng dengan itu, ada
datang lagi lain-lain calon menantu raja, maka itu, mereka
hendak diberikan ketika. Dan ke dua, raja baru sembuh dari
sakitnya, ia ingin puterinya, yang merawat dan menemani."
Di samping itu, sebenarnya ada sebab yang ke tiga, akan tetapi
Papo tidak mau memberitahukan kepada tetamunya. Sebab
yang ke tiga itu ialah raja Nepal ingin sekali menikahkan
puterinya dengan Pangeran Jatsingh, sekarang pangeran itu lagi
merawat diri di dalam istana, maka raja mengharap di dalam
tempo seratus hari itu, puterinya nanti dapat berbalik pikir dan
rela menikah sama pangeran itu.
Mendengar keterangan itu, Hoa Seng tertawa.
"Tidak apa!" katanya. "Tidak ada halangannya untuk aku
menanti sampai seratus hari. Aku justeru memikir untuk
tinggal di sini lebih lama pula, supaya aku dapat mengetahui
dengan baik segala kebiasaan atau adat istiadat bangsamu
sekalian pesiar ke pelbagai tempat yang menarik hati."
Papo senang melihat tetamunya lega hati itu.
Maka semenjak itu, Hoa Seng tetap menumpang sama tabib
ini. Siang ia membaca kitab, malam ia membantu Papo
menyalin ke dua kitabnya Li Shih Chen ialah Pen Tsao Kang
Mu dan Chi Ching Pa Me Kao yang pernah disebutkan tabib
itu. Kadang-kadang saja ia mengambil ketika akan keluar
untuk berjalan-jalan.
Papo tabib terpelajar, maka itu, kedua sahabat ini sama-sama
mendapat tambahan pengetahuan tak sedikit.
Tanpa merasa, satu bulan telah berlalu. Pada suatu hari dalam
satu bulan itu, Maskanan berangkat pulang ke negerinya. Di
harian keberangkatannya itu, raja Nepal mengadakan
perjamuan perpisahan, Hoa Seng telah diundang menghadiri
pesta itu. Di situ pemuda ini tidak melihat puteri dan Jatsingh.
Ada dibilang menurut tabib istana, karena lukanya parah,
Jatsingh perlu beristirahat terus, karena meski ia telah makan
soat-lian, kesehatannya belum pulih seanteronya.
Semenjak pesta itu, belum pernah raja mengundang atau
memanggil Hoa Seng datang ke istana. Hoa Seng merasakan
sikap tawar dari raja itu tetapi ia tidak memperdulikannya.
Pada suatu hari habis melihat-lihat apa yang dinamakan menara
Bunga Teratai, setibanya di rumah, Hoa Seng melihat roman
berduka dari Papo, yang sedang bebenah untuk suatu
perjalanan. Lantas ia menanyakan apa sebabnya.
"Aku mesti pergi dan kita bakal berpisah kira-kira satu bulan,"
menyahut tabib itu, yang memberitahukan bahwa ia telah dapat
undangan memeriksa orang sakit di Bhatguon, bahwa si sakit
itu ada pendeta kepala dari bihara Matsingle. Untuk negara
Nepal, kecuali bihara di ibukota, bihara di kota Bhatguon itulah
yang terbesar, letaknya di atas gunung.
"Apakah pasti kau akan kembali dalam satu bulan?" tanya Hoa
Seng tertawa. "Perjalanan pergi dan pulang masing-masing memakan tempo
sepuluh hari," menyahut Papo. "Waktunya mengobati, aku
taksir sepuluh hari kira-kira, Maka itu, aku menduga satu
bulan." Hoa Seng menghitung hari, ia dapat kenyataan, untuk sampai
pada hari pemilihan menantu raja, atau hoe-ma, masih ada
tempo limapuluh hari, maka ia pikir, baik ia turut pergi
bersama, untuk pesiar di sana di mana katanya ada
pemandangan-pemandangan alam yang indah.
Papo senang dengan permintaan itu, ia menerimanya dengan
girang. Maka juga besoknya berangkatlah mereka berdua.
Koei Hoa Seng bergembira, tanpa ia mendapat firasat sedikit
jua bahwa kepergiannya hampir membuatnya tak kembali ke
Katmandu. 18. Sumber air dingin Yang Menggoda
Dari Katmandu ke Bhatgaon, perjalanan ada lima ratus lie
lebih, kalau tempo perjalanan ditetapkan sepuluh hari, setiap
harinya cuma dibutuhkan jarak lima sampai enam puluh lie.
Perjalanan ini dilakukan dengan gembira oleh Papo, tetapi
dasar ia sudah berusia lanjut, ia tidak dapat jalan lebih kira
enam puluh lie seharinya, sudah begitu, keberangkatan dimulai
pagi-pagi sekali hingga magrib baru ditunda. Kelambatan ini
ada baiknya untuk Hoa Seng, yang menjadi mendapat banyak
ketika menikmati keindahan alam di sepanjang jalan.
Di hari ke tujuh, Hoa Seng menghadapi jalanan buntu :
Di depannya tidak lagi jalan besar dari tanah datar seperti harihari
yang sudah dilewatkan. Sekarang di depannya
Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadang sebuah lembah yang nampaknya dalam sekali.
Untuk dapat melintasi lembah itu, di situ dipasang melintang
sebuah jembatan rantai besi, yang kedua ujungnya ditancap
atau diikat kepada kedua tepian lembah. Oleh karena
sampokannya sang angin, jembatan itu biasa mengasi dengar
suaranya yang nyaring, karena rantainya bentrok satu dengan
lain. Di situ terlihat sebuah air tumpah yang besar, yang jatuh dari
puncak, hingga muntjratan airnya mirip "mutiara beterbangan
atau kumala berpeletikan." Di dalam lembahnya sendiri
terdapat hawa bagaikan kabut. Indah pemandangan itu, tetapi
memikirkan dalamnya jurang, hati akan bergidik sendirinya
?"?"..
"Lootiang, mari aku gendong kau," berkata Hoa Seng kepada si
tabib. "Tidak usah," berkata Papo. "Di negara kita ini, jembatan
rantai semacam ini terdapat di mana-mana, bahkan ada yang
terlebih panjang belasan atau dua puluh kali lipat, maka untuk
kami, sudah biasa kami untuk melewatinya. Kau jangan
kuatirkan aku, kau nyeberanglah lebih dulu, habis beristirahat
sebentar, akan aku menyeberang sendiri."
Mendengar begitu, Hoa Seng percaya, maka ia terus
menghampirkan jembatan itu, dengan ilmunya ringan tubuh,
leluasa ia berjalan di situ. Hanya, setibanya di tengah,
mendadak ia merasakan rantai itu goncang keras.
Ia menjadi kaget bahna heran, maka ia melepaskan pandangan
matanya. Maka ia menampaklah, di seberang sana dari
jembatan rantai itu, ada seorang pendeta yang bermuka hitam,
yang tubuhnya tinggi dan besar, tengah memegang ujung
rantai, yang dia goyangkan dengan sekuat tenaga.
"Eh, bapak pendeta, kau lagi bikin apa?" ia menanya, nyaring.
Pendeta itu rupanya mendengar pertanyaan akan tetapi ia tidak
mengambil mumat, malah dengan keras sekali ia menggentak
ke bawah, terus tangannya dilepaskan, dari itu rantai tersebut
jadi mental, menambah goncangan.
Hoa Seng menjadi gusar. Terang orang sengaja berbuat
demikian. "Bapak pendeta!" serunya. "Kita, tidak kenal satu pada lain,
kenapa kau hendak membikin celaka padaku?"
Ia menyejak, ia mencelat, ketika ia turun pula, ia mencari
rantai, untuk menyejak dan berlompat pula. Ia telah menggunai
tipu "Cecapung menowel air," suatu ilmu ringan tubuh yang
mahir sekali. Dengan begitu, ia maju mendekati tapian sana.
Sekonyong-konyong si pendeta muka hitam tertawa nyaring,
tubuhnya mencelat maju, dalam gerakan menubruk orang yang
lagi mendatangi itu.
Kembali Hoa Seng menjadi kaget. Ketika itu tubuhnya seperti
lagi melayang. Terpaksa dengan kaki kirinya ia menginjak kaki
yang kanan, untuk mencelat seperti tadi ia menyejak rantai
besi, sembari berbuat begitu, ia menggeraki kedua tangannya
guna mendorong tubuh si pendeta. Ia pun berseru:
"Turunlah kau!"
Di luar dugaan, tenaganya si pendeta itu besar luar biasa, tidak
kalah dengan tenaga pemuda ini, ketika keduanya beradu,
terdengar suaranya yang keras, tubuh Hoa Seng, bagaikan batu
besar, meluncur turun ke bawah lembah, sedang kupingnya
mendengar suara riuh dari air tumpah.
"Celaka!" ia mengeluh dalam hatinya. Dalam berbahaya itu, ia
mencoba akan lompat jumpalitan, kepala di bawah, kaki di
atas, untuk mencari tempat di mana ia bisa menaruh kaki.
Tapi kabut tebal, ia tidak bisa melihat nyata. Sudah begitu,
kembali ia merasakan dorongan yang keras. Tidak ampun lagi,
ia jatuh menimpa air tumpah sekali, maka terbawalah tubuhnya
oleh air yang deras itu tanpa ia dapat berdaya. Karenanya, ia
cuma bisa menahan napas.
Ia baru berlompat dengan kakinya menyejak tatkala ia
merasakan kakinya itu membentur sesuatu. Berbareng dengan
itu ia bernapas dan membuka matanya, yang tadi dimeramkan.
Ketika ia telah melihatnya, ia menjadi heran dan kagum.
Pemuda ini seperti merasakan dirinja berada di sebuah dunia
lain. Di hadapannja ada lapangan rumput yang hijau segar, ada
pohon bunga, ada pohon lainnja. Memandang ke atas, ia
melihat air tumpah bagaikan air yang tergantung di udara.
Ia ternjata telah berada di dalam guha. Karena kecebur ke air
tumpah, tentu saja pakaiannja kuyup basah. Tapi yang sekarang
ia perlukan ialah jalan keluar dari guha itu, akan kembali
kepada Papo. Tiba-tiba, ia mendengar tertawa lebar di sampingnya. Ia
berpaling dengan lantas.
Di sana ia melihat si pendeta muka hitam, yang pun basah
kuyup seperti ia. Rupanya orang pun jatuh dan menimpa air
seperti ianya. Ia menjadi gusar sekali.
"Kau siapa?" la menegur. "Kenapa kau membikin celaka
padaku?" Pendeta itu seperti tidak mengerti omongan dalam bahasa
Nepal dari pemuda ini, dia tertawa pula, tertawanya tak sedap
didengar, setelah mana, dia mencaci.
Mendengar suara orang, Hoa Seng tahu pendeta itu berbahasa
India. Ia biasa bergaul sama Jatsingh, ia mengerti beberapa
kata-kata India, akan tetapi cacian pendeta ini ia tidak mengerti
sama sekali. Melainkan samar-samar ia mendengar disebutsebut
"Jatsingh."
Setelah berpikir sebentar, Hoa Seng mengeluarkan dua jari
tangannya, dengan itu ia menunjuk dirinya sendiri.
"Kau menyebut Jatsingh, apakah artinya itu?" ia menanya. Ia
sebenarnya mau memberitahukan bahwa dengan Jatsingh itu ia
bersahabat. Pendeta itu mengasi dengar suara "Hm!" seraya ia
menggeleng-geleng kepalanya. Ia mau membilangi bahwa ia
tidak percaya. Hoa Seng lantas membungkuk, kedua tangannya digeraki. Ia
hendak memberi gambaran ketika ia menolongi si pangeran. Ia
pun berkata: "Jatsingh itu akulah yang menolongi, kau tahu
atau tidak?"
Pendeta itu tetap tidak mengerti, karena Hoa Seng menggunai
Bahasa Nepal, tetapi ia dapat mendengar disebutnya nama
Jatsingh, hanya sekarang ia melengak. Rupanya ia dapat
membade gerak-gerakannya si anak muda. Cuma sebentar ia
berdiam, lantas ia mengasi lihat gerakan kedua tangan yang
menolak, mulutnya pun mengoceh. Sekarang di antaranya, Hoa
Seng mengerti perkataan-perkataan "menipu orang" dan "Aku
larang kau pergi!"
Hoa Seng menjadi heran, hingga ia menduga-duga.
"Apakah mungkin Jatsingh mendapat kecelakaan?" terkanya.
"Kenapa dia menimpakan kesalahan kepadaku?"
Tetapi mereka tidak dapat berbicara, bahasa mereka menjadi
rintangan. Hoa Seng masgul sekali. Tidak dapat ia memberi
keterangan atau meminta penjelasan. Maka ia pikir, "Tidak ada
lain jalan untukku dari pada mencari jalan untuk keluar dari
sini, untuk pergi ke istana. Di sana baru aku akan memperoleh
keterangan."
Karena ini, ia bertindak menuju ke arah mulut guha di
depannya. Di situ justeru berdiri si pendeta muka hitam.
"Aku larang kau keluar!" dia berteriak. Dia pun menolak keras
sekali, sampai si anak muda terhuyung mundur, hampir ia
jatuh. "Aku mesti keluar!" membentak Hoa Seng, yang menjadi gusar
sekali. la lantas mengeluarkan Theng-kauw kiam, pedang
lemasnya itu. Ia mau menggunai senjata sebab ia kalah tenaga
akibat tadi selagi jatuh ia kena terdorong keras. "Minggir!"
Pendeta itu tidak bergerak dari tempatnya berdiri. Ia tertawa
dingin, ia menyeringai.
"Aku larang kau pergi!" kembali ada kata-katanya yang Hoa
Seng mengerti. Habislah sabarnya si anak muda. Ia membalingkan pedangnya
ke atas, hingga terlihat cahayanya berkelebat. Di dalam hatinya
ia kata, "Aku mau lihat, kau memberi jalan atau tidak padaku
?"".."
Selagi begitu, si pendeta juga mengeluarkan senjatanya, sebuah
senjata yang luar biasa. Itulah golok hitam yang tidak ada
bagiannya yang tajam. sedikit bengkung, gagangnya ditabur
mutiara yang berkilau.
Hoa Seng mau menerjang keluar, ia tidak menyerang, ia hanya
menggerak pedangnya itu untuk membela diri saja.
Di luar sangkaannya, si pendeta muka hitam justeru membacok
padanya. "Traang!" kedua senjata mereka beradu.
Hoa Seng menjadi kaget sekali. Tangannya dirasakan sangat
sakit, pedangnya itu hampir terlepas dari cekalannya. Ia tidak
menyangka golok lawan demikian keras dan kuat.
Juga si pendeta muka hitam bukannya tidak kaget. Sendirinya
dia menjerit dan mundur dua tiga tindak. Itulah sebab dia
mendapat kenyataan, goloknya itu telah kena tersempoakan
pedang si anak muda, sedang ia ketahui baik, goloknya terbuat
dari pada besi pilihan yang dilapis dengan beberapa logam
lainnya dan beratnya pun tujuh puluh dua kati. Untuknya,
golok itu ialah golok mustika.
Menyaksikan itu, hati Hoa Seng lega,
"Dia menggunai golok mustika tetapi pedangku masih
menang," pikirnya. Karena ini ia lompat maju pula, untuk
menerobos keluar. Ia membela diri dengan jurusnya "Bong
houw toat louw," atau "Harimau galak merampas jalanan."
Pedangnya itu diluruskan guna membuka jalan.
Pendeta itu pun nampaknya menjadi gusar. Ia lantas mencabut
kebutannya, yang ia pegang dengan tangan kanan, maka
sekarang ia bersenjatakan dua rupa, sebab golok mustikanya
dicekal dengan tangan kirinya. Dengan lantas ia mengebut.
Hoa Seng ada satu ahli, lantas ia mengetahui liehaynya kebutan
itu. Di tangan orang biasa, atau orang yang kepandaiannya
tidak berarti, kebutan itu tidak nanti menjadi satu seperti pit
besi, mestinya bulunya terbuka buyar. Tapi ia percaya betul
pedangnya, ia tidak takut. Ia lantas membabat ke atas, dengan
niat memapas ujung kebutan itu.
Hebat si pendeta muka hitam itu. Tepat di saat kebutan dan
pedang hendak beradu, bulu kebutan itu mendadak buyar,
setiap lembarnya menjadi kaku bagaikan duri seperti juga
jarum yang panjang, dan semuanya menusuk ke arah seluruh
tubuh si anak muda!
Hoa Seng terkejut bukan kepalang. Inilah benar-benar ia tidak
duga. Ia hanya menyangka ujung kebutan dapat digunai
sebagai totokan jalan darah atau menikam sebagai pisau.
Sjukur ia liehay dan gesit. Dengan lemas ia mainkan
pernapasannya, guna menutup semua jalan darahnya, sembari
berbuat begitu, ia berkelit dengan jurusnya "Hong sauw lok
hoa" atau "Angin meniup bunga rontok." Selagi meloloskan
diri dari kebutan itu, pedangnya menangkis bacokan golok,
tetapi karena berbareng ia meluncurkan terus pedangnya itu, ia
pun kena membabat kutung ujung bulu kebutan.
Si pendeta menjadi terlebih-lebih gusar, ia lompat untuk
menyusuli! Hoa Seng bebas dari bacokan dan kebutan, tetapi ia bukannya
bebas seluruhnya. Beberapa ujung bulu kebutan sempat juga
mampir di tubuhnya, meski ia sudah menutup jalan darahnya,
saking tajamnya, bajunya ditembusi dan kulitnya kena tergores,
dari itu luka-lukanya itu mengeluarkan darah. Ia menjadi kaget
dan heran. "Entah pendeta ini dari golongan apa?" pikirnya. "Sudah dia
liehay tenaga dalamnya, juga aneh senjatanya ini. Dia dapat
dibandingkan dengan Timotato ?"."
Pendeta India itu merangsak dalam kemarahan, selain memutar
kebutan dan goloknya, dia pun berseru-seru, dengan hebat dia
menyerang. Oleh karena masih gelap mengenai lawannya itu, Hoa Seng
mengambil sikap membela diri. Kelihatan ketangguhan mereka
berimbang. Si pendeta tidak bisa maju, si anak muda sukar
meloloskan diri.
Aneh adalah perkelahian mereka ini, di saat keduanya telah
lelah sendirinya, sedang cuaca pun bertukar, siang menjadi
magrib, mereka berhenti sendirinya, untuk beristirahat. Si
pendeta duduk bercokol di mulut guha, yang pun menjadi
mulut lembah, untuk orang masuk dan keluar dari lembah itu.
Dia mengatakannya, "Aku larang kau keluar!" Itulah cuma
kata-kata India yang Hoa Seng mengerti.
Pemuda itu tidak mengambil usil. Ia pun tidak mau beristirahat
di dekat orang. Ia berjalan ke sebelah dalam lembah itu. Ia
berjalan perlahan-lahan, hatinya terbuka. Di situ ia mendapat
lihat banyak macam bunga dan rumput, yang tak ada di lain
tempat. Di waktu magrib, hawa pun teduh. Jalan belum jauh, ia
menghadapi sebuah sumber air, yang airnya hijau jernih.
"Tempat ini bagus," ia berpikir. "Kalau tidak terjadi peristiwa
kebetulan ini, mana bisa aku sampai di sini?"
Lantas ia berhenti, untuk mengeluarkan bekalan rangsum
keringnya, yang ia dahar dengan dibantu air sumber itu yang
jernih dan dingin, yang memberi sari cocok dengan selera.
Habis minum, ia merasa tubuhnya segar sekali. Habis itu ia
mencari tempat untuk duduk bersamedhi, guna melewatkan
sang malam. Ia tidak berani berlaku alpa, kuatir nanti si
pendeta muka hitam datang mengganggu.
Terus sampai besoknya fajar, pendeta itu tidak datang
menyerang atau menggerecok, malah ketika Hoa Seng pergi ke
mulut guha, dia masih duduk bersamedhi. Dia Baru lompat
bangun ketika dia mendengar tindakan kaki. Lantas dia
berseru: "Aku larang kau keluar!"
Hoa Seng heran bukan main. "Kenapa dia melarang aku?"
pikirnya. "Kalau dia mencurigai aku yang mencelakai Jatsingh,
mestinya dia mengadu jiwa denganku. Apakah dia sengaja
hendak menahan aku di dalam guha ini" Untuk apakah"
Apakah sebabnya?"
Ia sangat tidak mengerti.
Melihat orang tidak menyerang kepadanya, Hoa Seng kembali
ke tepi sumber air. Ia dahar sisa rangsum keringnya, ia minum
air yang jernih dan adem itu. Kemudian ia ingat Papo. Entah
bagaimana bingungnya tabib itu.
"Pendeta ini melarang aku keluar dari sini, justeru aku mesti
keluar!" pikirnya.
Sesudah bertempur sekian lama, Hoa Seng merasa ia telah
mengenal baik tenaga lawannya itu.
"Baiklah aku melawan dia dengan ilmu pedang Tat Mo Kiam,"
pikirnya kemudian. Ilmu pedang itu yang berarti ilmu pedang
Menakluki Hantu, adalah salah satu tipu silat dari ilmu pedang
Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tatmo Kiam-hoat, yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus.
Setelah memikir tetap, Hoa Seng menghampirkan pendeta itu.
Ia memaksa mau lewat, ia dihalangi, maka itu, mereka jadi
bertempur pula. Kali ini, selama setengah jam yang pertama, ia
benar menang di atas angin, ia terus mendesak, hingga
lawannya pun terus mundur, hanya setibanya di mulut guha, si
pendeta lantas dapat bertahan, dia tak dapat dirangsak terlebih
jauh. Lagi sekian lama, mereka masih seimbang saja.
Hoa Seng heran bukan main. Kemarin ia bertempur seri,
sekarang ia lebih unggul, toh kesudahannya seri pula. Ia jadi
mau menyangka, apakah ia menampak kemunduran ataukah si
pendeta yang dalam satu malam memperoleh kemajuan"
Di akhirnya, mereka berhenti pula sendirinya. Hoa Seng
bingung. Bekalan rangsumnya sudah habis. Terpaksa ia nyebur
ke sumber air, ia tangkap beberapa ekor ikan, yang terus ia
bakar dan dahar.
Sumber air itu banyak ikannya, yang kecil-kecil, sarinya ikan
pun lezat. "Biar aku berdiam di sini setengah sampai satu tahun, tidak
nanti aku kelaparan ...." pikir Hoa Seng sambil dahar. Tapi
tentu sekali ia tidak sudi dikeram lama-lama di situ. Maka ia
mengasah otaknya.
Malam ke dua itu Hoa Sang dapat tidur nyenyak. Karena si
pendeta tidak niat mencelakai ia, ia tidak kuatir, ia tidak
waspada seperti malam pertama. Maka itu besoknya, di hari ke
tiga, ia mendusin dengan merasa segar sekali.
"Kemarin aku unggul tetapi aku tetap dapat dirintangi dia,
mungkin itu disebabkan aku kurang tidur," pikirnya. "Sekarang
baik aku mencoba pula."
Anak muda pergi kepada si pendeta. Ia lantas menantang.
Maka lagi sekali mereka bartanding. Seperti kemarinnya,
mulanya si pendeta kena didesak mundur, hanya seteIah
mundur sampai di mulut guha, dia kembali dapat bertahan, dia
tidak bisa terdesak terlebih jauh.
Sampai ia merasa letih, Hoa Seng tidak maju setindak juga,
dengan terpaksa ia berhenti berkelahi dan mengundurkan diri.
Tapi ia bukannya tidak berpikir. Ia tidak mengerti pendeta itu
dapat bertahan secara demikian. Benarkah dia terlebih ulet"
Selanjutnya saban habis dapat beristirahat, Hoa Seng satroni si
pendeta, untuk menantang dia, untuk menempur. Ia lakukan ini
terus beberapa hari. Hasilnya tetap, ia cuma bisa mendesak
hingga di mulut guha, tidak lebih. Ia tidak dapat keluar dari
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 9 Pendekar Satu Jurus Karya Gan K L Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama