Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Tiba-tiba Lam-hai Sin-ni mengeluarkan pekik mengerikan, kemudian wajahnya yang biasa dingin itu berubah beringas. "kau gila! Minggir! pengakuanmu ini malah mendorongku untuk membunuh si keparat! Minggir!"
Episode 69 "Tidak, ibu!" Biauw Eng melolos sabuk suteranya dan berkata kepada Keng Hong dengan suara halus, "Keng Hong, kau pergilah. Kau pergilah setelah kau mendengar pengakuanku. Pergilah.....!"
Wajah Keng Hong menjadi pucat. Jadi Biauw Eng ini adalah puteri gurunya! Kalau begitu...... antara gurunya dan Lam-hai Sin-ni pernah menjadi hubungan suami istri! Dan puteri gurunya ini mencintainya! Ia tidak tahan lagi, merasa kasihan mendengar suara mengetar dari Biauw Eng ketika menyuruh dia pergi. Sambil menghela napas, dia lalu membalikan tubuhnya dan meloncat pergi dari tempat itu.
"Minggir.....!" Lam-hai Sin-ni berteriak sambil menerjang ke depan, hendak mengejar Keng Hong. Akan tetapi Biauw Eng juga menerjang maju menyambut ibunya dengan serangan sabuk sutera sambil berkata.
"Ibu hanya dapat mengejarnya melalui mayatku!"
Nenek itu mendorong anaknya supaya jangan menghalanginya, akan tetapi sabuk sutera putih Biauw Eng bergerak cepat mengirim totokan ke arah kedua lutut ibunya dengan kuat sekali. Lam-hai-Sin-ni menjadi makin marah karena totokan yang dilakukan puterinya itu kalau mengenai lututnya tentu akan membuat kedua kakinya tak dapat lari lagi, maka sambil mendengus ia menyambar ujung sabuk sutera itu dengan kedua tangannya, menrengutnya terlepas dari tangan Biauw Eng dan melemparkannya ke atas tanah. Hal ini terjadi tanpa dapat dicegah oleh Biauw Eng. Sementara itu bayangan Keng Hong sudah pergi jauh sekali dan Lam-hai Sin-ni cepar lari mengejar.
Akan tetapi, kembali Biauw Eng menyerangnya. Kini dengan pukulan tangan yang amat dahsyat. Lam-hai Sin-ni terkejut, terheran-heran dan hampit tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Puterinya sendiri menyerangnya seperti ini" Dengan pukulan maut?" Teringatlah nenek ini akan keadaan dirinya sendiri dahulu dan terdengar suara terisak dari dalam dadanya. Pukulan puterinya itu ia tangkis dengan keras sehingga Biauw Eng terpekik dan terbanting ke kiri sampai bergulingan. Gadis ini cepat menoleh ke arah larinya Keng Hong dan hatinya agak lega melihat bahwa pemuda itu tentu sudah lari jauh sekali karena tak tampak lagi bayangannya. Ketika ia menengok ke arah ibunya, ia terkejut dan terheran, kemudian ia bangkit berdiri dan lari menubruk ibunya yang ternyata sudah duduk bersila sambil meramkan mata, mukanya pucat seperti mayat dan tubuhnya kaku! Ia maklum bahwa ibunya seadng berduka sekali dan bahwa di dalam dada ibunya sedang terjadi "perang" antara membunuh Keng Hong dan memenuhi permintaan puterinya. Biauw Eng yang berlutut di depan ibunya, menyentuh kaki ibunya dan menangis.
Cui Im terbelalak untuk kedua kalinya. Selama menjadi murid Lam-hai Sin-ni baru sekarang ini ia melihat keanehan yang terjadi pada diri sumoinya yang biasanya amat ia kagumi karena sumoinya itu biarpun lebih muda dari padanya, namun amat lihai dan memiliki sifat-sifat yang persis Lam-hai Sin-ni. Akan tetapi hari ini, gara-gara Keng Hong, ia melihat sumoinya menyatakan cinta kepada Keng Hong, dan kini, hal yang luar biasa ia lihat ketika sumoinya itu menangis! Timbul perasaan panas di hatinya. Dia sendiri tergila-gila kepada Keng Hong, tergila-gila akan ketampanannya dan terutama sekali akan ilmu kepandaiannya dan pusaka-pusaka yang mungkin sekali akan bisa ia dapatkan melalui pemuda itu. Kini mendengar pengakuan sumoinya, diam-diam ia menjadi iri hati, cemburu dan marah. Ibu dan anak itu sama sekali tidak tahu betapa Ang-kiam Tok-sian-li memandang ke arah Biauw Eng dengan sinar mata aneh, seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar seluruh tubuh gadis baju putih itu. Tidak tahu pula betapa diam-diam Bhe Cui Im pergi meninggalkan tempat itu dengan sikap aneh dan berkali-kali melirik ke arah Biauw Eng dengan sinar mata penuh kebencian!
Sesaaat kemudian, Lam-hai Sin-ni membuka matanya dan melihat puterinya menangis didepanya, ia menghela napas panjang dan berkata halus sambil mengelus rambut kepala puterinya.
"Eng-ji, hukum karma selalu mengikuti kita....."
Biauw Eng memeluk ibunya dan tangisnya makin memilukan . Sesungguhnya, gadis ini tidak mewarisi watak ibunya, tidaklah sedingin yang dia perlihatkan. Gadis ini perasa sekali, penuh semangat dan memandang dunia dengan sepasang mata yang penuh kegembiraan, dapat dengan mudah menangkap keindahan-keindahan pada setiap benda yang dipandangnya, yang didengarnya, yang diciumnya. Akan tetapi, oleh karena semenjak ia kecil ia sudah digembleng oleh Lam-hai Sin-ni untuk mengekang perasaan, untuk meniru sifatnya yang dingin seperti es, maka Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng ini menjadi seorang gadis yang aneh dan dingin. Dingin paksaan, pada lahirnya saja, seperti sebuah gunung berapi yang diliputi salju. Inilah sebabnya mengapa sekali jatuh cinta, ia menjadi nekat dan berani mengaku secara terus terang dan bahkan berani membela kekasihnya dengan melawan ibunya! Biarpun diselimuti salju, kalau gunung es itu meletus, takan ada yang dapat menahannya!
"Ibu....., kauampunkan anakmu yang put-hauw (tak berbakti) ini...."
Lam-hai Sin-ni kembali menghela napas. "Menanam bibit apel, memetik buah apel, menanam pohon korma, memetik buah korma. Aku menentang ayahku karena cinta, kini engkau menentang aku karena cinta. Semua ini sudah adil.....!"
Biauw Eng mengangkat mukanya memandang muka ibunya dan baru sekali ini ia melihat betapa wajah ibunya membayangkan sesuatu, membayangkan kedukaan! Dan baru sekarang pula ia mendengar ibunya menyebut-nyebut keluarganya. Biasanya ibunya tidak pernah bercerita, hanya menyatakan bahwa ayahnya adalah Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong yang akhir-akhir ini menjadi terkenal sekali, bahkan pedang pusaka Siang-bhok-kiam ayahnya itu menjadi rebutan semua orang gagah di dunia Kang-ouw karena Pedang Kayu Harum itu menjadi kunci rahasia penyimpanan benda-benda pusaka yang dikumpulkan oleh ayahnya itu dengan jalan mencuri, merampas, atau diberi orang. Ketika ia pernah bertanya mengapa ayah dan ibunya berpisah, ibunya hanya menjawab dingin.
"Dia seorang laki-laki yang tidak setia! Semua pria di dunia ini tidak ada yang setia! Karena itu, jangan kau mudah menjatuhkan cinta kasihmu kepada pria, Eng-ji! Sekali cinta kasihmu jatuh, engkau akan menderita!"
Episode 70 Sekarang, ibunya menyebut-nyebut tentang ayah dari ibunya atau kakeknya, maka dengan ingin tahu sekali ia bertanya.
"Ibu menentang kong-kong....?"
"Tidak hanya menentang, bahkan aku.... membunuhnya...."
"Ibu.....!!"
"Ya! Aku telah membunuhnya! Membunuhnya karena cinta! Apakah engkau tadi juga tidak ingin membunuhku, Eng-ji?"
"Ibu.....!" Dan Biauw Eng menangis lagi sambil merangkul ibunya.
"Cinta memang membuat manusia, terutama wanita seperti kita, menjadi gila, eng-ji." Lam-hai Sin-ni menghelus-elus kepala puterinya. "Tadi aku amat marah kepadamu. Sakit hatiku melihat betapa engkau mencinta seorang pemuda sehingga rela kau melawanku, rela menyerangku untuk menyelamatkannya, menyerang untuk membunuh ibunya sendiri. Akan tetapi aku teringat akan keadaan diriku di waktu muda, dan aku dapat memaklumi perasaanmu, anakku. Aku tahu betapa cinta membuat mata kita seperti buta. Aku dahulu pun mencita, Sie Cun Hong. padahal aku seorang puteri terhormat, ayahku seorang yang amat berkuasa dan berpengaruh di selatan, seolah-olah menjadi seorang raja muda, dan..... dan Sie Cun Hong terkenal sebagai seorang pria mata keranjang yang mempunyai ratusan, bahkan ribuan orang kekasih! Akan tetapi aku nekat, bahkan ketika ayahku melarang aku melawannya. Aku sudah menerima beberapa macam ilmu pukulan sakti dari Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, sehingga dalam pertempuran yang didorong oleh marah itu, aku kelepasan tangan, membunuh ayahku sendiri.....!"
"Ah, Ibu....." Biauw Eng menjadi kasihan sekali kepada ibunya. Dalam keadaan seperti itu, ibu dan anak ini benar-benar amat berbeda dengan keadaan biasanya. Andaikata Cui Im tidak diam-diam pergi meninggalkan mereka, gadis itu tentu akan bengong terheran-heran menyaksikan ibu dan anak itu bercakap-cakap dengan penuh kemesraan dan keharuan seperti itu. Biasanya, ibu dan anak itu seperti dua buah arca es yang dapat bergerak!
"Kemudian, Sie Cun Hong laki-laki tak setia itu tidak mau menikah denganku, seperti yang ia lakukan terhadap ribuan orang wanita lain. Sedangkan aku telah mengandung engkau, Eng-ji. Kami bertengkar, atau lebih tepat, aku memusuhinya, akan tetapi dia terlampau sakti. Sampai belasan tahun aku belajar ilmu, puluhan tahun aku menggembleng diri sehingga menjadi tokoh utama di selatan, namun tetap saja aku belum pernah dapat menangkan dia. Karena itu, aku ikut pula berusaha mendapatkan pusaka-pusakanya. Kini dia sudah mati, dan pusakanya itu seharusnya jatuh ketanganmu, karenaengkau keturunannya, engkau puterinya. Itulah sebabnya aku hendak memaksa muridnya tadi menyerahkan Siang-bhok-kiam! Ketika mendengar pedang itu terjatuh ke tangan para tosu Kun-lun-pai, aku menjadi mendongkol dan marah, apalagi melihat bahwa Sie Cun Hong agaknya telah menurunkan Ilmu Thi-khi-i-beng kepadanya, padahal aku dahulu hanya menerima petunjuk sedikit saja.... aku menjadi benci kepada muridnya. Juga kulihat pandang mata dan gerak bibir bocah itu sama benar dengan keadaan Sie Cun Hong di waktu muda. Dia pun seorang laki-laki yang tidak setia. Akan tetapi.... kau.... kau jatuh cinta kepadanya!"
Biauw Eng menarik napas panjang. Hebat riwayat ibunya itu. "Ibu, aku sendiri hanya menduga saja bahwa aku mencinta dia, karena perasaan hatiku aneh, aku ingin membelanya, aku tidak suka melihat dia terbunuh. Hal ini timbul dalam hatiku ketika dia menyelamatkan aku daripada ancaman Ang-bin Kwi-bo. Sejak detik itu aku..... aku suka kepadanya, aku tidak ingin terpisah darinya..... ah, benarkah ini cinta, Ibu?"
"Hukum karma..... hukum karma.....! Aku sendiri dahulu pun mencinta Sie Cun Hong karena pertama-tama dia menolongku daripada perkosaan Tujuh Orang Setan Go-bi (Go-bi Jit-kwi)."
"Ibu, kalau begitu aku benar-benar mencintainya. Perasaanku membisikkan bahwa dialah satu-satunya pria yang kucinta karena aku agaknya rela untuk mengorbankan nyawaku untuknya." Gadis itu berhenti sebentar dan pandang matanya jelas membayangkan cinta kasih besar ketika ia mengingat pemuda itu. "Ibu, sekarang juga aku akan mengejarnya, aku harus berada didekatnya....."
"Pergilah, akan tetapi jangan hanya mendapatkan dia, melainkan mendapatkan pula peninggalan pusaka ayahmu."
Sepasang mata itu terbelalak penuh gembira, wajahnya menjadi kemerahan dan Biauw Eng yang kini bukan lagi seorang gadis berwajah dingin karena salju itu agaknya sudah mencair oleh panasnya api cinta, berkata.
"Ibu, terima kasih. Aku pergi sekarang....!!"
Lam-hai Sin-ni memegang tangan puterinya dan berkata, "Hanya satu hal yang kuminta agar engkau suka berjanji kepadaku, anakku."
"Apakah itu, Ibu?"
"Berjanjilah, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan melakukan kesalahan yang sama dengan ibumu dulu. Engkau tidak akan menyerahkan dirmu kepada bocah itu di luar pernikahan! Kalian harus menjadi suami istri yang syah! Nah, kalau begitu, barulah ibumu akan memberi ijin dan doa restu. Kalau tidak, aku akan mengutukmu, Biauw Eng!"
Gadis itu memeluk ibunya dan berbisik, "Aku bersumpah, Ibu."
Kemudian ia melepaskan ibunya dan cepat melesat pergi setelah menyambar sabuk sutera putih yang tadi dirampas dan dilemparkan ibunya. Lam-hai Sin-ni, tokoh nomer satu dari Bu-tek Su-kwi, "ratu" tak bermahkota dari daerah pantai laut selatan, masih duduk bersila, tubuhnya tak bergerak, wajahnya tetap dingin, akan tetapi dari sepasang matanya keluar dua butir air mata yang perlahan-lahan menetes turun ke atas sepasang pipinya yang putih.
Episode 71 Sementara itu, semenjak Kun-lun-pai menerima Siang-bho-kiam dari tangan Keng Hong, perkumpulan besar ini tidak pernah mengalami hari-hari aman tentram lagi. Baru beberapa hari semenjak Keng Hong meninggalkan Pedang Kayu Harum itu kun-lun-pai diserbu orang-orang Kang-ouw dari bermacam partai. Cara penyerbuan mereka pun berbeda-beda, tergantung daripada sifat perkumpulan atau partai mereka. Golongan bersih yang merasa "mengutangkan sesuatu" kepada Sin-jiu Kiam-ong karenanya berkah untuk mendapatkan bagian dari pusaka peninggalan pendekar itu, menyerbu Kun-lun-pai secara berterang, melalui pintu depan dan terang-terangan menyatakan "minta bagian" karena dengan diserahkannya Siang-bhok-kiam kepada Kun-lun-pai, mereka ini menganggap bahwa Kun-lun-pai telah mewarisi semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi golongan sesat mempunyai cara yang lain lagi. Mereka ini datang dengan bermacam-macam cara, ada yang secara sembunyi-sembunyi seperti pencuri, ada pula yang datang dengan melontarkan tuduhan-tuduhan dan menantang pibu. ***
Sementara itu, semenjak Kun-lun-pai menerima Siang-bhok Kiam dari tangan Keng Hong, perkumpulan besar ini tidak pernah mengalami hari-hari aman tenteram lagi. Baru beberapa hari semenjak Kenghong meninggalkan Pedang Kayu Harum itu, Kun-lun-pai diserbu orang-orang kang-ouw dari bermacam partai. Cara penyerbuan mereka pun berbeda-beda, tergantung dari sifat perkumpulan atau partai mereka. Golongan bersih yang merasa "mengutangkan sesuatu" kepada Sin-jiu Kiam-ong dan karenanya berhak untuk mendapatkan bagian dari pusaka penginggalan pendekar itu, menyerbu Kum-lun-pai secara berterang, melalui pintu depan dan terang-terangan menyatakan "minta bagian" karena dengan diserahkannya Siang-bhok-kiam kepada Kun-lun-pai, mereka ini telah menganggap Kun-lun-pai telah mewarisi semua pusaka peninggalan Sin-jiu-Kiam-ong. Akan tetapi golongan sesat mempunyai cara yang lain lagi. Mereka ini datang dengan bermacam cara, ada yang sembunyi-sembunyi seperti pencuri, ada pula yang datang dengan melontarkan tuduhan-tuduhan dan menantang pibu.
Namun, partai persilatan Kun-lun-pai adalah sebuah partai besar yang memiliki tokoh-tokoh yang berilmu tinggi. Di samping ini, juga para tosu anak murid kun-lun-pai rata-rata memiliki kepandaian yang lihai, jumlahnya banyak pula sehingga semua usaha para tokoh kang-ouw yang hendak merampas Siang-bhok-kiam dapat digagalkan.
Karena munculnya gangguan-gangguan ini, para tokoh Kun-lun-pai menjadi sibuk sekali dan tahulah mereka bahwa keputusan yang diambil oleh Kiang Tojin sebagai wakil suhunya, yaitu Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai , biarpun merupakan keputusan amat baik demi menjunjung tinggi kedaulatan dan nama besar Kun-lun-pai, namun merupakan keputusan yang amat berbahaya. Dengan mencegah Keng Hong membawa pergi Siang-bhok-kiam dan merampas pedang itu, menyimpannya di Kun-lun-pai, maka kini perhatian semua orang kang-ouw kepada Kun-lun-pai. Kalau dahulu para tokoh kang-ouw mengejar-ngejar Sin-jiu Kiam-ong, kini mereka menyerbu Kun-lun-pai untuk merampas pedang Siang-bhok-kiam!
Biarpun fihak Kun-lun-pai selalu berhasil menghalau para penyerbu yang hendak merampas Siang-bhok-kiam, namun dalam pertandingan-prtandingan yang terjadi selama pedang itu berada di situ, telah jatuh korban di fihak mereka sebanyak empat orang murid yang tewas dalam pertempuran. Hal ini ditambah lagi dengan perasaan gelisah, selalu harus berjaga-jaga sehingga para tosu itu tak dapat tidur nyenyak. Mulailah timbul perasaan tak senang mereka terhadap keputusan Kiang Tojin yang mereka anggap tidak tepat dan hanya menyusahkan Kun-lun-pai saja. Murid-murid Thian Seng Cinjin yang lain mulai mengomel dan menyatakan ketidaksenangan mereka di depan ketua Kun-lun-pai itu sehingga kakek ini yang melihat adanya bahaya perpecahan, pada suatu pagi mengumpulkan murid-murid untuk diajak berunding mengenai pedang Siang-bhok-kiam!
Jumlah murid-murid Thian Seng Cinjin ada tujuh orang. Kiang Tojin merupakan murid kepala, bahkan dialah merupakan calon ketua kelak kalau Thian Seng cinjin meninggal dunia atau mengundurkan diri. Segala urusan mengenai Kun-lun-pai juga telah banyak diserahkan kepadanya oleh kakek yang sudah amat tua itu. Karena Kiang Tojin adalah seorang yang luas pandangannya, berpengalaman dan berwatak teguh dan adil, disamping kelihaiannya yang hanya berada di bawah tingkat gurunya, maka segala urusan berjalan lancar apabila dia yang mengatur penyelesaiannya. Hal ini saja sudah membuat beberapa orang sutenya diam-diam merasa iri hati.
Pagi hari itu, di dalam ruang yang diberi nama Ruangan Ketenangan yang letaknya di bagian belakang asrama Kun-lun-pai, ketua Kun-lun-pai itu duduk di atas lantai yang ditilami kasur bundar, bersila dihadap oleh tujuh orang murid-muridnya yang juga duduk bersila dalam bentuk setengah lingkaran menghadap guru mereka. Suasana di ruangan itu memang amat hening, bersih dan nyaman. Angin pegunungan bersilir masuk karena ruangan itu memang tidak tertutup dinding sehingga dari situ dapat tampak tamasya pegunungan yang amat indah. Memang tepat sekali nama ruangan ini karena suasana di situ benar-benar tenang dan menimbulkan ketenangan di hati, cocok untuk bersamadhi atau untuk bertukar pikiran.
Untuk kepentingan perundingan ini, Thian Seng Cinjin sengaja membawa serta pedang Siang-bhok-kiam yang dia letakan di depannya, di atas lantai. Kemudian, setelah sejenak delapan orang tosu ini mengeningkan cipta membersihkan pikiran, kakek itu menggeraka tangan menghelus jenggot panjangnya dan berkata dengan suara halus.
"Sekarang kita telah berkumpul dengan pikiran jernih. Pinto tahu bahwa pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ini telah menimbulkan banyak keributan ysng biasanya aman tentram dan tenang.Akan tetapi, keributan itu ditimbulkan oleh orang-orang luar yang hendak merampas pedang dan sudah seharusnya kita mempertahankannya dan menghalau para penyerbu, hal itu tidaklah menyusahkan hati. Yang membuat pinto prihatin dan kini mengumpulkan kalian untuk berunding adalah karena pinto melihat adanya ketidaktenangan yang timbul di antara kita karena getaran bentrokan ketidakcocokan itu dan mencari jalan keluar dengan musyawarah. Keluarkan semua isi hati dan pendapat kalian untuk kita telaah dan pelajari."
Hening sejenak menyusul ucapan kakek ini yang dikeluarkan dengan suara halus, namun mengandung penuh teguran. Jelas terasa oleh mereka yang hadir bahwa suhu mereka ini merasa tidak senang dengan adanya pertentangan diam-diam di kalangan mereka sendiri. karena sekarang tiba saatnya dan mendapatkan kesempatan untuk mengeluarkan semua ketidakpuasan hati, mereka pun mengambil keputusan untuk menekan Kiang Tojin. Di antara para adik seperguruan Kiang Tojin, hanya dua orang yang merasa iri hati dan diam-diam menentang kakek seperguruan ini, yaitu murid ke dua bernama Sian Ti Tojin, dan murid ke lima lian Ci Tojin. Adapun murid yang lain ada yang berfihak kepada Kiang Tojin, ada pula yang tidak mau mencampuri pertentangan pendapat antara saudara sendiri itu.
Episode 72 "Tepat sekali seperti yang dikatakan suhu tadi," kata Sian Ti Tojin. "Setelah Siang-bhok-kiam berada di sini, kita menjadi tidak tenang lagi dan mendapatkan banyak musuh. Teecu anggap keliru sekali keputusan Twa-suheng untuk menahan pedang itu di sini. Pedang itu menjadi bahan perebutan orang-orang Kang-ouw, kalau sekarang disimpan di sini tentu saja semua resikonya tertimpa ke pundak kita. Apakah keuntungannya bagi kita mencari permusuhan dengan sahabat-sahabat di dunia kang-ouw" Empat orang anak murid telah mengorbankan nyawa, hanya untuk mempertahankan pedang kayu peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!"
"Benar sekali omongan Ji-suheng," sambung Lian Ci Tojin cepat-cepat. "Menurut pendapat teecu, Twa-suheng mengambil keputusan menahan pedang itu pun hanya untuk melindungi Cia Keng Hong!"
Sunyi di ruangan itu setelah Lian Ci Tojin mengucapkan kata-kata ini, dan hati mereka mulai menjadi tegang. Ucapan Sian Ti Tojin hanya mengeluarkan pernyataan yang memang nyata terjadi, akan tetapi ucapan Lian Ci Tojin ini lebih condong kepada ucapan menuduh Kiang Tojin. Thian Seng Cinjin maklum akan gawatnya urusan dengan diucapkannya tuduhan ini, maka dengan pandang mata tajam dia berkata kepada muridnya yang ke lima itu dengan suara tetap halus.
"Lian Ci, tuduhan tanpa alasan kuat dan tanpa bukti dapat menjerumuskan kepada fitnah , dan engkau tentu mengerti betapa jahatnya fitnah. Bicaralah dengan terbuka sesuai dengan sifat kejujuran dan keadilan yang kita junjung tinggi."
"Memang teecu junjung tinggi pendapat suhu. Teecu sendiri pun tidak suka akan perbuatan yang berpura-pura dan mengandung rahasia. Teecu mengatakan bahwa Twa-suheng menahan pedang untuk melindungi Keng Hong tanpa alasan. Pertama, Cia Keng Hong adalah anak yang dibebasakan dari maut oleh Twa-suheng dan bukan rahasia lagi betapa besar kasih sayang Twa-suheng kepada Keng Hong sehingga tidak mengherankan kalau Twa-suheng melindunginya. Ke dua, memang dapat dimengerti bahwa kalau pedang Siang-bhok-kiam itu berada di tangan Keng Hong, bukan kita yang diserbu orang-orang Kang-ouw, melainkan Keng Hong yang akan dikejar-kejar sehingga membahayakan keselamatan anak itu. Akan tetapi, betapa piciknya melindungi bocah yang bukan anak murid perguruan Kun-lun-pai dengan mengorbankan nyawa empat orang murid kita, bahkan mungkin lebih banyak lagi! Twa-suheng harus bertanggung jawab atas keputusannya yang tidak bijaksana itu!"
Semua mata kini ditujukan kepada Kiang Tojin yang masih duduk bersila denga sikap tenang. Juga Thian Seng Cinjin memandang kepadanya dengan sinar mata seolah-olah minta jawaban. Kiang Tojin mendehem perlahan lalu berkata, suaranya halus namun lantang, tidak menyembunyikan perasaan lain daripada apa yang akan dikeluarkan melalui mulutnya.
"Tidak keliru semua ucapan Ji-sute dan Ngo-sute. Siang-bhok-kiam mendatangkan keributan, itu sudah jelas. Juga tuduhan Ngo-sute ada benarnya, memang sedikit banyak ada terkandung di hati teecu ketika menahan pedang bahwa hal itu akan menyelamatkan pula Keng Hong dari ancaman maut."
Ketika Kiang Tojin berhenti sebentar semua tosu memandangnya dengan hati tegang. Akan tetapi Kiang Tojin melanjutkan dengan sikap tetap tenang, "Akan tetapi sesungguhnya bukan karena keselamatan Keng Hong sematalah maka teecu memutuskan untuk menahan pedang Siang-bhok-kiam, melainkan terutama sekali untuk mengangkat tinggi nama besar dan kehormatan Kun-lun-pai."
"Harap Twa-suheng jelaskan alasannya!" Sian Ti Tojin mendesak.
"Siang-bhok-kiam adalah pedang peninggalan Sin-jiu Kiam-ong dan menjadi perebutan orang-orang kang-ouw. Sedangkan Sin-jiu Kiam-ong meninggal dunia berada di Kiam-kok-san. Kita semua tahu bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai, dan termasuk wilayah terdekat Kun-lun-pai. Kalau sampai pedang yang sekian lamanya berada di wilayah Kun-lun-pai itu terjatuh ke tangan orang lain , bukankah ini berarti bahwa Kun-lun-pai merupakan partai persilatan yang amat lemah, tidak mampu mempertahankan benda keramat yang menjadi haknya" Bukankah hal ini akan menjadi buah tutur dunia kang-ouw dan Kun-lun-pai akan ditertawakan sampai tujuh keturunan" Harus teecu akui bahwa dengan adanya pedang Siang-bhok-kiam di sini, Kun-lun-pai diserbu orang-orang luar dan memang ada empat orang anak murid kita tewas. Akan tetapi apa artinya kematian kalau terjadi dalam membela Kun-lun-pai dari serbun orang luar" Mati sebagai orang gagah perkasa, adalah menjadi pegangan teecu sesuai yang diajarkan suhu selama ini bahwa jauh lebih baik mati sebagai orang gagah daripada hidup sebagai seorang pengecut. Sekian penjelasan teecu dan selanjutnya tentu saja teecu serahkan kepada keputusan Suhu dalam hal Siang-bhok-kiam ini."
Keculai dua orang tosu yang menantang, semua sute dari Kiang Tojin diam-diam mengakui kebenaran pendapat suheng mereka. Kalau saja Kiang Tojin tadi menyangkal bahwa dia melindungi Keng Hong, hal itu tentu akan tetap menjadi kecurigaan dan bahan tuduhan. Akan tetapi setelah dengan tenang Kiang Tojin mengakuinya, tuduhan ini menjadi hilang artinya, apalagi setelah ada alasan yang demikian kuatnya.
Thian Seng Cinjin mengelus-elus jenggotnya dan diam-diam kakek ini kagum kepada murid kepala ini dan makin yakin hatinya bahwa kelak yang akan dapat memimpin Kun-lun-pai menuju ke arah kemajuan dan kebesaran nama adalah Kiang Tojin ini. Ia menyapu murid-murid lain dengan pandang matanya lalu berkata.
"Siancai". Kurasa pendapat suheng kalian ini cukup beralasan dan tepat. Namun betapapun juga, pertemuan ini diadakan untuk bermusyawarah. Pinto tidak akan mengambil keputusan kebitu saja sebelum mendengarkan semua isi hati kalian. Tidak boleh ada keputusan diambil tanpa dimufakati semua orang. Pinto tidak ingin melihat pertentangan faham di antara kalian karena hal itu akan melemahkan Kun-lun-pai, justru pada saat Kun-lun-pai dimusuhi banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi. Setelah pinto sendiri amat tua dan lemah, seluruh nasib Kun-lun-pai berada di tangan kalian bertujuh. Kalau kalian tidak bersatu, bagaimana mungkin Kun-lun-pai dapat dipertahankan kebesarannya" Karena itu, kalau masih ada yang tidak setuju mengenai Siang-bhok-kiam ini, katakanlah terus terang berikut alasannya."
Episode 73 Kembali Lian Ci Tojin yang bicara dan nada suaranya mengandung penasaran karena dia mendapat kenyataan betapa mudahnya Kiang Tojin lolos dari tuduhan itu. Lian Ci Tojin ini masih muda kalau dibandingkan dengan para suhengnya. Usianya baru empat puluh lima tahun, akan tetapi karena dia amat berbakat sehingga dapat menguasai ilmu silat tertinggi dari Kun-lun-pai, maka dia termasuk seorang di antara tujuh tokoh besar Kun-lun-pai, muid-murid Thian Seng Cinjin. Kini terdengar suaranya.
"Suhu, teecu berpendapat bahwa kalau toh Siang-bhok-kiam kita tahan di sini, berarti menjadi hak kita, sudah sepatutnya pula kalau susah payah yang kita derita untuk mempertahankannya itu dapat imbalan yang sepadan, yaitu dengan menambah simpanan Kun-lun-pai dengan kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Bukankah Siang-bhok-kiam dikabarkan menjadi kuci daripada tempat rahasia peninggalan pusaka itu" Hal ini sudah berkali-kali teecu usulkan kepada Twa-suheng, akan tetapi selalu tidak disetujui oleh Twa-suheng. Sekarang, sekali lagi di depan Suhu dan para suheng sute sekalian teecu hendak bertanya lagi kepada Twa-suheng apakah pusaka-pusaka itu tidak akan kita cari untuk perbendaharaan Kun-lun-pai?"
"Tidak! Kita tidak akan mencari pusaka-pusaka itu karena Sin-jiu Kiam-ong tidak mewariskannya kepada kita. Kun-lun-pai sebuah perkumpulan yang besar, bukan sebuah perkumpulan yang biasa merampas hak milik orang lain!" jawab Kiang Tojin dengan suara tegas sehingga para sutenya juga gurunya sendiri, menjadi kagum dan bangga dalam hati.
Akan tetapi tiba-tiba Lian Ci Tojin tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh pintar Twa-suheng dan sungguh bodoh kita yang dapat dikelabui! Kalau sudah berani menahan pedang dengan dalih bahwa pedang berada di wilayah Kun-lun-pai, mengapa tidak berani memiliki pusaka yang juga berada di wilayah Kun-lun-pai" Ahhh, siapakah tokoh di dunia persilatan yang tidak ingin memiliki" Termasuk Twa-suheng tentunya! Kalau pusaka-pusaka itu diambil dan menjadi milik Kun-lun-pai, berarti semua murid Kun-lun-pai dapat mempelajarinya, akan tetapi Kiang Tojin suheng tidak setuju karena Twa-suheng ingin memiliki semua pusaka itu untuk diri sendiri. Bukankah begitu?"
Muka Kiang Tojin menjadi merah dan semua mata memandangnya. Akan tetapi tosu yang berpengalaman ini selain kuat ilmu silatnya, juga kuat sekali batinnya. Dia tidak sudi dikuasai perasaan hatinya, maka sekuat tenaga dia menekan kemarahannya dengan kesadarannya bahwa sute ke lima ini melontarkan tuduhan-tuduhan kepadanya tentu ada latar belakangnya. Maka dia memandang sutenya itu dan mengingat-ingat. Mengapa sutenya yang ke lima ini seolah-olah membencinya" kemudian dia teringat. Terhadap para sutenya, Kiang Tojin memang selalu bersikap keras dan memimpin, selalu tidak segan menegur kalau mereka itu melakukan kekeliruan sehari-hari. Teringatlah dia betapa seringnya dia menegur Lian Ci Tojin ini yang masih sering kali tampak lemah menghadapi godaan nafsu berah, sering kali tampak nyata amat tergoda batinnya, kalau bertemu wanita cantik. Yang terakhir, ketika Kiang Tojin menangkap Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im dan menyuruh sute-sutenya membelenggu gadis cantik itu, dia melihat betapa Lian Ci Tojin cepat-cepat melakukan perintah ini dan pandang matanya yang tajam dapat melihat betapa sinar mata Lian Ci Tojin berkobar oleh nafsu, betapa tangan sutenya itu ketika membelenggu sengaja meraba-raba tubuh gadis itu. Penyelewengan karena dorongan nafsu ini, biarpun tidak berarti dan kecil, juga tidak terlihat oleh siapapun, namun sudah cukup kuat bagi Kiang Tojin untuk pada keesokan harinya memanggil sutenya ini dan memarahinya dengan keras. Pada saat itu, Lian Ci Tojin hanya menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah, akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, sepasang mata sutenya itu memancarkan kebencian seperti yang sekarang terpancar kepadanya dalam bentuk tuduhan-tuduhan itu.
Kiang Tojin menghela napas panjang dan berhasil memadamkan api kemarahannya setelah dia melihat latar belakangnya mengapa sutenya itu seperti membencinya.
"Teecu hanya melaksanakan tugas sebaiknya dan dalam urusan Siang-bhok-kiam, teecu mengambil keputusan stelah dipikirkan masak-masak. Teecu tidak sudi melakukan sesuatu di luar garis peraturan Kun-lun-pai sendiri." Demikian Kiang Tojin berkata kepada gurunya dan ketika gurunya mengangguk-angguk, Kiang Tojin lalu menoleh ke arah Lian Ci Tojin.
"Ngo-sute, kiranya masih ingat bagaimana bunyi peraturan ke tiga dari perguruan kita" Setiap murid Kun-lun-pai dilarang mempelajari ilmu silat dari lain perguruan dan kalau hal ini dilanggar, berarti si murid telah murtad dan mengkhianati Kun-lun-pai. Dengan adanya peraturan yang sudah jelas ini, bagaimana Ngo-sute dapat mengusulkan agar kita mengambil kitab-kitab pusaka peningalan Sin-jiu Kiam-ong?"
Ditegur begini, Lian CI Tojin menjadi merah mukanya. Diam-diam dia memaki di dalam hati atau kecerdikan twa-suhengnya ini sehingga dari keadaan menuduh dia malah menjadi seorng tertuduh melanggar peraturan perguruan mereka! Namun Lian Ci Tojin cukup cerdik dan dia cepat berkata.
"Twa-suheng harap jangan menuduh yang bukan-bukan. Pinto bukan sekali-kali mengusulkan untuk kita menyeleweng dan mempelajari isi kitab-kitab pusaka peninggala Sin-jiu Kiam-ong, hanya mengusulkan untuk menguasai kitab-kitab itu, adapun tentang mempelajarinya , tentu terserah kepada suhu, kalau suhu yang mengijinkan kita mempelajarinya untuk menambah kepandaian dan dengan demikian nama besar Kun-lun-pai akan makin meningkat, apakah itu dianggap melanggar peraturan?"
Melihat keadaan mulai "panas" , Thian Seng Cinjin cepat mengangkat tangannya dan berkata, suaranya berpengaruh, "Cukuplah sudah semua perbantahan yang kosong ini! Pinto setuju akan tindakan yang diambil oleh Twa-suheng kalian! Memang tidak semestinya kalau Kun-lun-pai menguasai kitab-kitab pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Harus kalian ketahui kitab-kitab itu adalah milik perguruan-perguruan tinggi lainnya yang dahulu dicuri atau dirampas Sin-jiu Kiam-ong. Kalau kita menguasainya dan mempelajarinya, tentu kita akan bermusuhan dengan pemilik-pemilik kitab. Pula, hendaknya kalian ingat bahwa kesaktian bukan tergantung kepada kitab atau pelajarannya, juga bukan tergantung pada senjatanya, melainkan kepada si manusianya sendiri. Kalau kalian tekun memperdalam semua ilmu asli dari Kun-lun-pai, kurasa tidak akan kalah saktinya daripada pelajaran-pelajaran lain perguruan. Nah, pinto perintahkan agar mulai detik ini semua pertentangan faham dilenyapkan dari hati masing-masing."
Episode 74 Tujuh orang muridnya itu lalu berlutut dan dengan suara bulat menyatakan ketaatan mereka. Pada saat itu, dua orang anak murid Kun-lun-pai lari tergopoh-gopoh memasuki ruangan ketenangan dan serta-merta menjatuhkan diri berlutut menghadap Thian Sen Cinjin sambil berkata dengan muka pucat dan suara gemetar.
"Teecu berdua datang melaporkan bahwa saat ini puncak Kun-lun terancam dijadikan kancah perang antara pasukan utara dan pasuka selatan! Kita sudah terkurung, dari utara muncul pasukan dari Peking sedangkan dari selatan muncul pasukan dari Nan-king, mereka telah mengurung tempat kita."
Hanya Thian Seng Cinjin dan Kiang Tojin saja yang menerima berita mengagetkan ini dengan sikap tenang. Guru dan murid kepala ini bertukar pandang, kemudian Thian Seng Cinjin mengangguk dan bangkit dari lantai, menyambar tongkatnya lalu berkata.
"Kita harus menghadapi mereka selengkapnya. Perintahkan seluruh anak murid Kun-lun-pai untuk mengatur barisan bersiap-siap!"
Tujuh orang murid itu lalu berpencar menunaikan tugas masing-masing, kemudian kakek tua Kun-lun-pai itu diikuti oleh tujuh orang muridnya melangkah keluar dan menuju ke puncak. Anak murid Kun-lun-pai telah berbaris rapi, dibagi dua bagian, sebagian menghadap selatan sebagian menghadap ke utara. Adapun Thian Seng Cinjin sendiri dengan gerakan riangan lalu melompat ke arah sebuah batu yang tinggi di puncak itu, diikuti tujuh orang muridnya. Mereka berdiri tegak di atas batu ini dan tampaklah oleh mereka dua pasukan yang mengurung itu, satu di utara, satu lagi di selatan. Pasukan itu tidak besar, paling banyak seratus orang masing-masing fihak, akan tetapi lengkap bersenjata dan kalau dilihat besarnya pasukan, tidak mungkin mereka itu muncul untuk berperang. hal ini mlegakan hati Thian Seng Cinjin yang segera mengerahkan khikangnya dan berkata dengan lantangnya.
"Kami dari Kun-lun-pai selamanya tidak pernah melibatkan diri dengan perang saudara. Hari ini pasukan-pasukan kedua fihak datang berkunjung ke Kun-lun-pai, harap para ciangkun (perwira) kedua pasukan sudi menjelaskan apa yang menjadi magsud kedatangan cu-wi!"
Tiba-tiba dari pasukan sebelah utara itu tampak berlari maju seorang berpakaian perwira yang bertubuh kurus tinggi. Larinya cepat dan geraknya gesit sekali, sungguhpun pakaian perang itu kelihatan kaku, namun tidak menghalangi gerakannya yang cekatan sehingga para tokoh Kun-lun-pai menjadi kagum dan maklum bahwa pasukan utara itu dipimpin oleh perwira yang lihai. Sebentar saja perwira itu telah tiba di bawah batu. Ia berdiri dengan tegak, memandang ke arah tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang berada di atas batu, kemudian dia memberi hormat dengan gagah, kedua tangan dirangkap di depan dada, agak membungkuk sehingga pedangnya yang panjang itu ikut bergerak di pinggangnya dan terdengar suaranya lantang namun mengandung sikap hormat dan ramah.
"Kami Han Tek Thai yang memimpin pasukan pengawal melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh junjungan kami, Raja Muda Yung Lo dari utara yang perkasa, calon kaisar yang aseli, untuk menghadap para pimpinan Kun-lun-pai. Raja muda kami menyampaikan rasa terima kasih bahwa Kun-lun-pai selama ini tidak membantu kekuasaan raja penyerobot mahkota di Nan-king, karena hal itu membuktikan bahwa Kun-lun-pai dapat mengerti akan kebenaran dan keadilan yang berada di fihak utara!"
Diam-diam Kiang Tojin tersenyum dan merasa kagum. Perwira dari utara ini benar-benar seorang yang tepat dijadikan seorang perwira, karena selain ilmu kepandaiannya tinggi yang dapat dilihat dari gerakannya tadi, juga jelas bahwa perwira ini memiliki kecerdikan dan kepandaian untuk menarik rakyat di fihaknya. Dia sudah banyak mendengar akan sifat-sifat ini menjadi inti kekuatan fihak utara, karena sifat itu membuat rakyat jelata merasa bersimpati terhadap perjuangan mereka sehingga berbondong-bondong rakyat membantu.
"Maaf, Han-ciangkun," kata Kiang Tojin setelah dia mendapat isyarat dari gurunya untuk menjawab. "Kiranya raja muda dari utara tidak seharusnya berterima kasih kepada kami , karena pendirian Kun-lun-pai sama sekali bebas, tidak memihak manapun juga. Kami seluruh anggauta Kun-lun-pai hanya merasa perihatin menyaksikan perang saudara karena tidak lain yang menjadi korban adalah rakyat jelata. Karena inilah kami tidak mau memihak siapa-siapa. Hendaknya Han-ciangkun maklum akan hal ini dan selanjutnya suka menjelaskan apa kehendak selanjutnya dengan kunjungan ini."
Perwira utara itu tersenyum sabar dan berkata, "Ucapan Totiang benar-benar membuktikan bahwa para tosu merupakan manusia-manusia dewa yang tidak sudi mencampuri urusan dunia lagi. Sungguh menimbulkan rasa kagum! Kami diutus oleh junjungan kami untuk mengharapkan budi kebaikan Kun-lun-pai, sukalah mnyerahkan kitab Thai-yang-tin-keng" yang tentu tidak akan ada manfaatnya bagi Kun-lun-pai kepada kami."
"Kitab Thai-yang-tin-keng" Kitab apakah itu" Kami tidak tahu dan baru mendengar namanya sekarang," kata Kiang Tojin tanpa ragu-ragu.
Perwira itu masih bersikap sabar. "Kitab itu, sesuai dengan namanya adalah Kitab Barisan Matahari, yang ciptaan Raja Besar Jenghis Khan dan merupakan kitab pelajaran mengatur barisan yang diambil dari pengalaman-pengalaman barisan mongol ketika menyerbu ke Tiong-goan (pedalaman). Junjungan kami mohon pinjam kitab itu dari Kun-lun-pai."
"Tapi.... kami tidak mempunyai kitab seperti itu!" jawab Kiang Tojin.
Perwira itu mengangguk-ngangguk. "Mungkin bukan milik Kun-lun-pai, akan tetapi setelah pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong kabarnya jatuh ke tangan Kun-lun-pai, tentu kini kitab itu berada di tangan totiang sekalian. Kitab ini dahulu dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong dari gedung perpustakaan kaisar."
Sebelum Kiang Tojin dapat menjawab, terdengar teriakan keras dan tampaklah bayangan orang berlari cepat sekali dari selatan. orang ini pun berpakaian sebagai perwira, tubuhnya tinggi besar akan tetapi larinya cepat dan tubuhnya kelihatan ringan sekali, membuktikan bahwa perwira selatan ini pun memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan. Begitu tiba sebelah selatan batu tinggi, perwira ini mengerak-gerakan kedua tangannya dan berkata, suaranya seperti geledek.
Episode 75 "Harap para tosu Kun-lun-pai jangan sampai kena terbujuk oleh mulut para pembrontak hina! Kami percaya bahwa Kun-lun-pai tidak berjiwa pembrontak! Kitab Thai-yang-tin-keng adalah milik kaisar kami, maka sudah semestinya dikembalikan kepada kami!"
"Manusia sombong! Kami bukan pembrontak, melainkan pejuang yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan, pembela kepentingan rakyat! Raja kalian yang merupakan raja lalim, penyerobot mahkota, orang muda yang tidak tahu menghormat orang tua!" Perwira utara yang bernama Han Tek Thai itu membentak marah.
"Kau pemberontak laknat! Sudah jelas membrontak terhadap pemerintahan yang syah, masih banyak cakap lagi?" bentak perwira tinggi besar dari selatan sambil menerjang maju. Dua oang perwira itu tanpa dapat dicegah lagi sudah saling terjang maju dan terjadilah saling serang. dalam gebrakan pertama, keduanya dengan marah mengirim pukulan dengan tangan dan terdengar suara keras, keduanya terhuyung ke belakang dan baju besi perisai di depan dada mereka ternyata sudah retak-retak! Akan tetapi tubuh mereka rupanya cukup kebal dan kuat sehingga tidak mengalami luka hebat. kini mereka mencabut pedang masing-masing dan siap untuk bertanding, sedangkan pasukan kedua belah fihak juga sudah berlari-lari untuk saling terjang.
Dua bayangan yang gesit sekali melayang turun dari atas batu. Mereka ini adalah Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin. Bagaikan burung garuda yang besar mereka melayang turun, Sian Ti Tojin menghadapi perwira utara sedangkan sutenya menghadapi perwira selatan. Begitu kedua orang tosu ini menggerakan tangannya, pedang kedua orang perwira itu telah dapat mereka rampas sehingga dua orang perwira itu menjadi kaget dan melongo.
"Ji-wi Ciangkun adalah tamu-tamu, mengapa tidak mengindahkan kedaulatan tuan rumah dan hendak membikin kacau Kun-lun-pai?" Kiang Tojin dari atas batu berseru menegur.
Han Tek Thai menjura dan berkata, "Maafkan kami yang terburu nafsu....."
"Apa" Kun-lun-pai hendak membela pembrontak?" bentak perwira tinggi besar dari selatan. Menyaksikan sikap kedua orang perwira yang saling bermusuhan ini, Thian Seng Cinjin menghela napas dan mengelus jenggotnya. "Siancai...., kehendak tuhan terjadilah....! Kembalikan padang mereka!" lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin mengembalikan pedang mereka lalu melangkah mundur namun masih bersiap-siap untuk bergerak apabila tamu-tamu yang tak dikehendaki ini membikin kacau lagi.
"Ji-wi Ciangkun dari utara dan selatan, dengarlah baik-baik omongan pinto! pinto Thian Seng Cinjin ktua Kun-lun-pai selama hidup tidak suka berbohong dan apa yang akan pinto katakan ini hendaknya ji-wi sampaikan kepada junjungan ji-wi masing-masing!" Suara Thian Seng Cinjin terdengar jelas sekali biarpun kakek ini bicara perlahan saja. Suaranya penuh dengan wibawa sehingga bukan hanya kedua orang perwira itu yang mendengarnya penuh perhatian, bahkan pasukan kedua fihak yang tadinya sudah bersiap-siap untuk saling hantam, kini tidak berani mengeluarkan suara, memandang kakek itu dan mendengarkan kata-katanya.
Episode 76 Thian Seng Cinjin dengan gerakan tenang mengeluarkan sebatang pedang kayu dari balik jubahnya dan mengangkat pedang itu tinggi di atas kepala sambil berkata.
"Hendaknya Ji-wi Ciangkun ketahui bahwa kami sama sekali tidak tahu akan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, juga tidak tahu-menahu tentang kitab Thai-yang-tin-keng itu! Satu-satunya benda peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang berada pada kami hanyalah pedang Siang-bhok-kiam ini dan kami pun tidak menghendaki pusaka-pusaka yang lainnya. Pedang ini telah berada di wilayah Kun-lun-pai selama puluhan tahun dan setelah berada di tangan kami, tidak akan kami serahkan kepada siapapun juga. Nah, kiranya sudah jelas keterangan kami, harap Ji-wi Ciangkun membawa pulang pasukan masing-masing dan kami melarang pasukan Ji-wi bertempur di wilayah kami. Jika larangan yang menjadi hak Kun-lun-pai ini dilanggar, terpaksa kami turun tangan tanpa memandang bulu, tanpa memihak siapapun juga!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti kaleng dipukul disusul suara keras, "Ha-ha-ha-ha-ha, tosu tua bangka, berikan Siang-bhok-kiam kepadaku!"
"Tidak, aku lebih berhak!"
"Berikan kepadaku!"
"Padaku!"
Semua tosu Kun-lun-pai terkejut dan kiranya berturut-turut di situ telah muncul banyak orang-orang kang-ouw yang menggunakan kesempatan selagi semua tosu Kun-lun-pai bersiap menghadapi dua pasukan yang bermusuhan itu, menyelinap masuh dan tiba di tempat! Melihat tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, Kong-thong-pai dan orang-orang kang-ouw yang sejak dahulu mengejar-ngerjar Sin-jiu Kiam-ong, para tokoh Kun-lun-pai ini tidak mengambil pusing, akan tetapi melihat orang yang tadi mengeluarkan suara ketawa dan dua orang lain di dekatnya, Thian Seng Cinjin sendiri menjadi terkejut dan maklum bahwa sekali ini Kun-lun-pai benar-benar menghadapi saat gawat. Orang yang tertawa tadi keluar dari mulut seorng kakek tinggi besar yang tubuhnya berkulit hitam seperti arang, matanya lebar, putih dan telinganya seperti gajah, tubuh hitam itu berbulu dan di pinggangnya tergantung rantai baja terhias dua buah tengkorak manusia. Ketua Kun-lun-pai mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pak-san Kwi-ong datuk dari utara! Dan tak jauh dari situ, berdiri sambil tersenyum-senyum tampak Pat-jiu Sian-ong kakek tua renta yang bertubuh kecil kate, berkepala besar dengan muka sempit, mengebut-ngebut lehernya dengan sebuah kebutan hudtim dengan sikap tenang sabar seolah-olah dia benar-benar seorang dewa! Agak dibelakang kelihatan nenek yang menyeramkan, menyeringai sehingga gigi yang besar-besar itu menonjol keluar, mukannya merah darah, rambut riap-riapan dan pakaiannya serba hitam. Nenek yang menjadi datuk di timur, yang namanya tidak kalah terkenalnya dari Pat-jiu Sian-ong datuk barat atau Pak-san Kwi-ong datuk utara, yaitu Ang-bin Kwi-bo!
Thian Seng Cinjin yang biasanya tenang itu kini harus menarik napas panjang untuk menekan guncangan hatinya, sedangkan para muridnya, kecuali Kiang Tojin yang juga masih tenang seperti gurunya, semua menjadi pucat wajahnya. Tiga orang datuk hitam telah hadir di situ, berarti bahwa urusan ini bukan main-main lagi!
Tidak hanya para tosu Kun-lun-pai yang menjadi gelisah, bahkan pasuka-pasukan dari utara dan selatan tercengang menyaksikan munculnya banyak orang-orang aneh ini , sedangkan dua orang perwira yang memimpin pasukan masing-masing tidak berani bergerak . Mereka maklum bahwa sekali ini mereka bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang biasanya aneh-aneh wataknya dan kejam-kejam sekali perbuatanya, maka mereka menjadi berhati-hati dan tidak ada yang berani bergerak.
"Pak-san Kwi-ong," kata Thian Seng Cinjin dengan suara sabar, "kiranya engkau ikut pula mengunjungi Kun-lun-pai! Ucapanmu tadi kurang jelas bagi pinto, harap kauulangi lagi, apakah benar kedatanganmu ini untuk meminta pedang Siang-bhok-kiam ini?" ia mengangkat lagi pedang kayu itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Kiang Tojin melihat dengan hati geli betapa semua mata ditujukan ke arah pedang kayu itu, mengingatkan dia akan mata segerombolan anjing kelaparan melihat sepotong tulang!
"Ha-ha-ha, benar sekali! Kalau bukan untuk pedang itu, apa kau kira aku datang karena kangen kepadamu" Ha-ha-ha!" jawab Pak-san Kwi-ong.
"Baik sekali. Kalau begitu akan kutanya pula yang lain. Ang-bin Kwi-bo, engkau juga muncul, jauh-jauh datang dari timur. Apakah kehendakmu mengunjungi pinto dan perkumpulan pinto?"
"Cih, tosu bau! Siapa sudi mengunjungimu " Aku datang untuk mengambil Siang-bhok-kiam dari tanganmu!" Ang-bin Kwi-bo menjawab sambil memandang dengan mulut mengilar ke arah pedang kayu di tangan ketua Kun-lun-pai itu.
"Kalau begitu sama kehendakmu dengan Pak-san Kwi-ong. Bagaimana dengan engkau Pat-jiu Sian-ong" Apakah engkaupun menginginkan pedang kayu yang tak berharga ini?"
"Hemmm, kalau tidak berharga masa diperebutkan, Totiang?" jawab kakek ini dengan suara yang halus dan ramah, akan tetapi kehalusan ini malah mendatangkan sesuatu yang menyeramkan . "Kalau tidak berharga, engkau pun jangan terlalu pelit, lebih baik diberikan saja kepadaku."
"Bagaimana dengan para enghiong yang hadir di sini" Apakah kedatangan Cu-wi ini pun untuk memiliki Siang-bhok-kiam ?"
"Benar, serahkan kepadaku!"
"Padaku saja!"
"Padaku.....!"
Ribut sekali suara mereka itu sehingga sambil tersenyum pahit Thian Seng Cinjin mengangkat tangan kirinya, memberi isyarat agar mereka tidak berteriak-teriak. Keadaan mereka itu bagi kakek ketua Kun-lun-pai ini seperti anak-anak kecli yang patut dikasihani. Ia lalu berkata dengan penuh kesabaran.
Episode 77 "Kasihan sekali Sin-jiu Kiam-ong! Sesudah mati, barangnya masih dipakai perebutan. Cu-wi sekalian! Benda ini hanya sebuah, yang menginginkan begitu banyak, bagaimana baiknya" kalau dibiarkan, tentu kita semua akan menggunakan kekerasan saling gempur sehingga akan banyak roboh korban yang tidak ada gunanya. Pinto tidak menghendaki permusuhan, tidak menghendaki darah tertumpah di tanah Pegunungan Kun-lun-san yang suci. Karena itu, biarlah pinto menguji, siapa yang paling kuat maka dia yang akan memiliki Siang-bhok-kiam. Tidak boleh menggunakan kekerasan, dan siapapun juga yang berani menggunakan kekerasan, akan dikeroyok oleh semua yang hadir di sini. Bagaimana?"
Biarpun tokoh-tokoh besar yang menjadi datuk kaum sesat seperti tiga orang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tak Terlawan) ini pun menjadi gentar. Mereka itu maklum bahwa kalau seorang di antara mereka menggunakan kekerasan lalu dikeroyok oleh semua yang hadir, biarpun mereka itu ditambah tiga kepala dan enam tangan pun takkan menang! Apalagi kakek ketua Kun-lun-pai itu bersama tokoh-tokoh Kun-lun-pai yang hadir, merupakan lawan-lawan yang takan mudah dikalahkan. Karena itulah, tiga orang datuk ini mengangguk-ngangguk dan semua menyatakan setuju sambil berteriak-teriak, "Akur, akur!"
"Syukur kalau Cu-wi sekalian setuju. Nah, sekarang pedang Siang-bhok-kiam berada di tanganku. Jikat di antara Cu-wi ada yang mampu mengambilnya dari tanganku, tidak menggunakan penyerangan kasar, hanya menggunakan tenaga untuk merampasnya, berarti pedang ini berjodoh dengannya." Setelah berkata demikian, tubuh kakek ini melayang turun dari atas batu besar itu, diikuti lima orang muridnya yang lain karena dua orang muridnya sudah turun. Kini kakek ini berdiri di tempat yang luas, dan tujuh orang muridnya, dikepalai oleh Kiang Tojin, siap melindungi guru mereka berdiri di belakang guru ini membentuk setengah lingkaran.Sikap ini saja sudah memberi tahu kepada semua yang hadir bahwa siapa yang hendak menggunakan kecurangan dan untuk memiliki pedang itu menyerang tubuh Tian Seng Cinjin, tentu tujuh orang tokoh Kun-lun-pai ini sekaligus turun tangan melindungi guru mereka dan menyerang dia yang bermain curang!
"Nah, silakan!" kata pula Thian Seng Cinjin yang sudah memegang gagang pedang kayu itu erat-erat dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka ditempelkan di pusarnya sendiri, sikap yang amat baik untuk mengerahkan sinkang yang disalurkan ke tangan kanan untuk mempertahankan pedang itu.
Sebagian besar para tokoh kang-ouw yang hadir di situ sudah mengenal, atau setidaknya sudah mendengar akan kehebatan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai ini, seorang di antara para lo-cianpwe yang sukar dicari tandingangannya di waktu itu. maka mereka ini menjadi jerih.
"Maafkan aku!" Tiba-tiba han-ciang-kun pemimpin pasukan utara sudah melangkah maju dan pada saat yang sama perwira tinggi besar yang memimpin pasukan selatan juga sudah maju. Akan tetapi mereka ini sama sekali bukan bermagsud mencoba kekuatan Thian Seng Cinjin, karena Han-ciangkun berkata, "Kalau berhasil merampas pedang kayu ini, apakah akan bisa mendapatkan Thai-yang-tin-keng?"
"Kalau bisa, aku pun akan mencoba!" kata perwira selatan tak mau kalah. Kiang Tojin mewakili suhunya menjawab, "Sudah kami katakan bahwa kami tidak tahu-menahu tentang kitab itu. Siapa berhasil merebut pedang menggunakan kekuatan hanya akan memiliki pedang Siang-bhok-kiam ini dan selebihnya kami tidak akan mencampuri urusan lainya!"
"Kalau begitu, buat apa pedang kayu bagi kami?" Perwira selatan berkata kecewa sambil mundur, diturut pula oleh perwira utara yang melihat bahwa tidak akan ada gunanya merampas pedang kayu.
"Nanti dulu, Thiang Seng Cinjin!" Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong berkata dengan suaranya yang keras. "Andaikata aku maju dan berhasil dan merampas pedang Siang-bhok-kiam, pedang itu menjadi miliku?"
"Begitulah yang sudah diputuskan Suhu," jawab Kiang Tojin.
"Dan yang lain-lain tidak boleh merampas dari tanganku?"
"Selama Locianpwe berada di sini, kami akan menjamin bahwa tidak akan ada yang mengganggu tanpa berhadapan dengan kami. Tentu saja mereka berhak pula mencoba merampasnya dari tangan Locianpwe tanpa menggunakan kekerasan. Sudah diputuskan oleh suhu bahwa tidak boleh dipergunakan kekerasan di wilayah Kun-lun-pai. Tentu saja di luar wilayah Kun-lun-pai, bukanlah menjadi kewajiban kami lagi untuk mencampuri urusan siapapun juga."
"Ha-ha-ha, cukup adil! Nah, biar kucoba tenagamu, Thian Seng Cinjin!" sambil tertawa-tawa Pak-san Kwi-ong melangkah maju lalu memasang kuda-kuda di depan kakek yang menjadi ketua Kun-lun-pai itu. Dua orang datuk hitam yang lain tidaklah sekasar tokoh hitam ini. Mereka, seperti Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong, lebih cerdik dan lebih hati-hati. Mereka itu tidak dapat mengukur sampai di mana tingkat kepandaian dan sampai di mana kekuatan sinkang ketua Kun-lun-pai ini. Sebaliknya, mereka ini sudah tahu sampai di mana kekuatan Pak-san Kwi-ong yang kalau dibandingkan dengan mereka setingkat. maka mereka itu merasa lebih "sip" untuk menanti. Mereka baru akan mencoba kalau Pak-san Kwi-ong gagal, atau baru akan berusaha merampas pedang itu dari tangan datuk hitam utara itu andaikata pedang dapat dirampas oleh Pak-san Kwi-ong.
Semua orang memandang dengan penuh ketegangan ke arah dua orang kakek yang kini sudah siap mengandu tenaga untuk memperebutkan pedang kayu itu. Sejenak mereka hanya berdiri saling tatap dengan pandang mata penuh mengeluarkan getaran karena penuh dengan tenaga sinkang. Kemudian, perlahan-lahan Pak-san Kwi-ong mengangkat tangan kanan dan menggenggam tubuh pedang kayu yang gagangnya dipegang oleh Thian Seng Cinjin, sedangkan tangan kirinya ditumpangkan ke atas sebuah di antar dua tengkorak yang tergantung di pinggangnya.
Dua orang kakek itu kelihatannya hanya diam saja seperti arca, akan tetapi sesungguhnya mereka itu mulai mengerahkan tenaga sinkang yang disalurkan melalui lengan kanan terus ke pedang kayu, saling dorong, dan saling membetot pedang. Dua tenaga sinkang raksasa yang tak tampak saling bertemu dengan hebatnya, kedua lengan tergetar dan pedang kayu itu tergetar lebih hebat lagi, sampai bergoyang-goyang mengeluarkan suara berkeretekan , kemudian....."prokkkk....!" pedang itu hancur menjadi berkeping-keping!
Episode 78 Terdengar seruan-seruan kaget dari semua yang menonton pertandingan itu, bahkan muka Thian Seng Cinjin sendiri menjadi pucat. Pak-san Kwi-ong yang biasanya tertawa-tawa itu kini terbelalak memandangi bagian peadng yang atas, yang telah pecah-pecar telah menjadi kepingan kayu-kayu tak berguna di tangannya. Kiang Tojin, Ang-bin Kwi-bo dan Pat-jiu Sian-ong masing-masing telah melangkah maju dan mengambil kepingan kayu yang berhamburan di atas tanah, lalu mereka meneliti kepingan-kepingan kayu itu, menciumnya.
"Ahhhhh.....!"
"Kayu biasa....!"
"Sama sekali bukan kayu mujijat!"
"Tidak harum bagian dalamnya!"
"Bukan Siang-bhok-kiam......!!" Seruan Kiang Tojin yang terakhir inilah yang membuat semua orang tercengang dan saling pandang. Thin Seng Cinjin sendiri melongo, memandang gagang pedang di tangannya dan baru ternyata olehnya bahwa gagang pedang itu kasar buatannya.
"Bu..... bukan.... Siang-bhok-kiam....?" tanyanya gagap.
Kiang Tojin berlutut di depan suhunya. "Benar , suhu. Teecu telah kena diakali Cia Keng Hong! Pedang itu tadi sama sekali buka Siang-bhok-kiam!"
"Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa pedang itu bukan Siang-bhok-kiam?" tanya Thian Seng Cinjin dan mukanya menjadi merah karena malu. Masa dia seorang tokoh besar, ketua Kun-lun-pai, sampai dapat diakali oleh seorang bocah yang masih ingusan seperti murid Sin-jiu Kiam-ong itu" Yang lain-lain, termasuk ketiga orang Bu-tek Sam-kwi para datuk golongan hitam itu mendengarkan penuh perhatian.
"Teecu yakin. Pedang ini terbuat dari kayu pohon yang tumbuh di sini, yang memang agak wangi baunya. Pedang ini tidak mungkin Siang-bhok-kiam karena menurut kabar, pedang Siang-bhok-kiam terbuat daripada kayu yang kerasnya melebihi baja, sedangkan pedang ini terbuat dari kayu biasa. Sekarang mengertilah teecu mengapa bocah itu memberikan pedang ini kepada kita secara demikian mudah!"
"Bocah setan!" Tiba-tiba Lin Ci Tojin memaki. "Sudah kuketahui dia bukan manusia baik-baik! Ilmunya menyedot sinkang saja sudah menunjukan bahwa dia seorang calon iblis! Dan Twa-suheng begitu percaya kepadanya! Sungguh memalukan sekali!"
"Lian Ci, diam kau!" bentak Thian Seng Cinjin dengan suara nyaring karena malu dan marah. Di depan orang-orang luar yang begitu banyak, dia tidak senang sekali mendengar muridnya itu menyalahkan saudara sendiri.
Tiba-tiba Pak-san Kwi-ong tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Para tosu hidung kerbau di Kun-lun-pai samapi kena dikentuti oleh murid Sin-jiu Kiam-ong bocah yang masih ingusan! Betapa lucunya hal ini akan menjadi buah percakapan mengembirakan di dunia kang-ouw. Dan tahukah kalian bahwa bocah yang sudah menipu kalian itu kini bersenang-senang main gila dengan dua orang gadis cantik murid Lam-hai Sin-ni" Ha-ha-ha, benar-benar bocah itu melebihi gurunya dalam segala hal! Kita semua telah tertipu, akan tetapi yang benar-benar makan kotoran yang dilempar anak itu adalah para tosu Kun-lun-pai!"
Wajah Thian Seng Cinjin sebentar merah sebentar pucat. Pukulan batin ini amat hebat dan elamanya baru sekali ini Kun-lun-pai mengalami hal yang benar-benar amat memalukan. Ia pun merasa tak senang kepada Kiang Tojin karena sesungguhnya penipuan ini terjadi karena rasa sayang Kiang Tojin kepada Keng Hong. Andaikata tidak begitu mendalam kasih sayang muridnya itu terhadap Keng Hong, tentu tidak begitu mudah ditipu karena sudah ada kecurigaan. Karena marah, ketua Kun-lun-pai ini lalu berkata kepada Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin, justeru dipilihnya dua orang di antara muridnya yang tadi menentang Kiang Tojin.
"Sian Ti dan Lian Ci! Sekarang juga pinto perintahkan kalian berdua pergi mencari dan menangkap Cia Keng Hong, membawa dia ke sini!"
"Baik, Suhu!" jawab dua orang tosu itu yang segera meninggalkan tempat itu dengan langkah lebar. Kiang Tojin hanya memandang dengan hati prihatin karena dia sendiri pun tidak mengerti mengapa Keng Hong sampai berani melakukan penipuan seperti itu. Kalau begitu pedang Siang-bhok-kiam tentu masih dipengang anak itu, dan entah disembunyikan di mana karena kalau pedang itu dibawa-bawa, dia merasa yakin bahwa pedang itu tentu telah dirampas tokoh kang-ouw yang sakti. Akan tetapi seperti telah dilakukan para tokoh kang-ouw yang semua menyerbu ke Kun-lun-pai, hal ini menandakan bahwa mereka tidak berhasil mendapatkan Siang-bhok-kiam dari Keng Hong. Kiang Tojin mengerti bahwa suhunya marah dan kecewa kepadanya, maka dia diam saja, maklum bahwa sekali ini dia memang salah, meleset perhitungannya menilai diri Keng Hong.
Karena kesal hatinya, Kiang Tojin lalu berkata lantang kepada para tamu yang tak dikehendaki itu.
"Cu-wi sekalian membuktikan dengan mata sendiri betapa kami pihak Kun-lun-pai sendiri telah tertipu, bahwa di sini sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang menyangkut warisan Sin-jiu Kiam-ong. Harap Cu-wi meninggalkan tempat ini karena di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi!"
Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Sam-kwi berkelebat pergi, diikuti pula para tokoh kang-ouw yang pergi mengambil jalan masing-masing, namun dapat dimengerti bahwa isi hati mereka tak banyak berbeda, yaitu selain kecewa, juga masing-masing tentu mengambil ketetapan hati untuk mencari Cia Keng Hong, satu-satunya orang yang menjadi kunci rahasia dan dapat membawa mereka kembali menuju ke simpanan pusaka warisan Sin-jiu Kiam-ong. Juga kedua pasukan dari utara dan selatan itu cepat pergi kembali ke asal masing-masing tanpa bertanding. Hal ini memang lucu karena dalam keadaan biasa, dua pasukan yang bermusuhan itu tentu akan berperang mati-matian. Agaknya karena mereka bertemu dengan tokoh-tokoh yang sakti itu, hati mereka menjadi kuncup, takut kalau-kalau orang-orang sakti itu menjadi marah dan membantu salah satu fihak apabila mereka mengadakan perang di tempat itu.
Episode 79 Seperti telah diceritakan di bagian depan perang saudara yang terjadi antara utara dan selatan itu adalah akibat perebutan mahkota setelah kaisar Thaicu meninggal dunia pada tahun 1398. Ketika itu, putera sulung kaisar Thaicu telah lebih dahulu meninggal dunia dan oleh karena itu, maka sebelum dia meninggal, kaisar Thaicu telah mewariskan tahta kerajaan kepada cucunya, anak dari putera sulung itu, yang bernama Hui Ti. Di bawah perlindungan dan dukungan para pembesar yang mempergunakan kesempatan untuk mengangkat diri sendiri mencapai kedudukan tinggi dan berkecimpung dalam kemuliaan duniawi, setahun kemudian setelah kaisar Thaicu meninggal, Hui Ti naik tahta dan menjadi Kaisar Kerajaan Beng.
Peristiwa inilah yang mengakibatkan perang saudara karena Raja Muda Yung Lo, putera yang lain dari kaisar Thaicu dan yang pada waktu itu bertugas mempertahankan wilayah Beng-tiauw di bagian utara melawan penyerbuan bangsa mongol , menjadi marah dan tidak menerima pengangkatan kaisar baru itu. Menurut pendapatnya, tidaklah adil kalau mahkota diwariskan kepada keponakannya itu, dan dia yang sudah banyak berjasa terhadap kerajaan, dia sebagai putera ke dua, merasa lebih berhak mewarisi mahkota. Demikianlah, Raja Muda Yung Lo yang berkedudukan di Peking ini lalu membawa bala tentara dan menyerbu ke Nan-king dan timbullah perang saudara memperebutkan tahta Kerajaan Beng-tiauw.
Telah menjadi kenyataan dalam catatan sejarah bahwa setiap kali terjadi perang, apalagi perang saudara sesama bangsa, rakyatlah yang menderita. Yang memperebutkan kekuasaan demi kemuliaan diri sendiri adalah beberapa gelintir orang besar, akan tetapi yang dijadikan makanan golok dan pedang adalah perajurit-perajurit, anak rayat jelata. Peadng mendatangkan akibat yang lebih buruk lagi, yaitu kekacauan dan kejahatan merajalela, mempergunakan kesempatan selagi pemerintah mencurahkan kekuatan untuk berperang, di mana penjagaan keamanan untuk rayat menjadi kosong sehingga terjadilah perampokan-perampokan, pembakaran dusun-dusun, penculikan dan pemerkosaan semena-mena. Tidak jarang pula terjadi pasukan-pasukan yang selalu hidup berhadapan dengan maut, yang oleh perang digembleng menjadi manusia-manusia haus darah yang selalu menderita karena tekanan-tekanan batin, karena tekanan-tekanan lahir, berubah menjadi manusia-manusia yang lebih ganas daripada para penjahat. Dengan dalih "berfihak kepada musuh" banyaklah rakyat jelata menjadi korban keganasan mereka, hanya karena mereka itu silau oleh harta dan silau oleh kecantikan wanita!
Keadaan yang kacau-balau di sepanjang jalan yang dilalui Keng Hong inilah sesungguhnya yang bahkan menolong Keng Hong, membuat para tokoh kang-ouw termasuk dua orang tosu Kun-lun-pai kehilangan jejaknya. Setahun lebih Keng Hong merantau, tujuannya adalah kembali ke Kun-lun-san karena dia sudah mengambil keputusan untuk memperdalam ilmunya setelah mengalaman-pengalaman pahit yang dia derita. Ia harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi kalau dia tidak menghedaki gangguan-gangguan di masa depan. Akan tetapi, kekacauan yang terjadi dimana-mana membuat dia tersasar dan ada kalanya mengambil jalan memutar, ada kalanya harus kembali lagi kalau terhalang oleh perang yang dahsyat.
Pada suatu pagi dia memasuki dusun Ciang-cung yang terletak di kaki gunung Min-san, di lembah sungai Cia-liang. Karena sungai Cia-liang ini mengalirkan airnya ke sungai Yang-ce-kiang yang merupakan jalan perhubungan yang terbaik dan tercepat menuju ke pedalaman, maka dusun Ciang-cung ini cukup ramai. Tanpa diketahuinya secara tepat, Keng Hong sudah makin dekat dengan Kun-lun-san yang berada di sebelah barat Gunung Min-san.
Makin ke barat, makin berkuranglah perang, karena bala tentara kedua fihak memperebutkan daerah-daerah antara Peking-dan Nanking. Biarpun demikian, wilayah barat ini tak dapat dikatakan tenteram sama sekali dan akibat perang saudara melanda juga daerah yang jauh dari pusat tempat perang itu sendiri. Di sini timbul kekacauan-kekacauan dan para penjahat merajalela, berpesta-pora seolah-olah gerombolan tikus yang berada dirumah kosong, ditinggal pergi oleh kucing-kucing yang mereka takuti.
Ketika Keng Hong memasuki dusun Ciang-chung di pagi hari itu, segera dia melihat akibat kekacauan yang melanda di mana-mana. Sepagi itu telah ada orang berkelahi. Seperti biasa, dan Keng Hong akhir-akhir ini sering kali melihat orang bertempur, dia hendak mengambil jalan lain agar tidak terlibat dalam perkelahian itu. Terlalu banyak orang berkelahi bunuh-membunuh yang dijumpainya di mana-mana sehingga dia menjadi muak dan bosan. Tidak mungkin dia mencampuri urusan orang-orang lain itu yang semua diakibatkan oleh perang sehingga masing-masing membela fihak pilihannya sendiri. Sekali ini pun dia tidak peduli dan tentu Keng Hong sudah meninggalkan dusun itu untuk melanjutkan perjalanannya kalau saja dia tidak mendengar bentakan-bentakan nyaring suara wanita. Yang berkelahi itu ternyata adalah seorang wanita yang dikeroyok banyak laki-laki! Hal ini menarik perhatian keng Hong dan menggerakan hatinya untuk menghampiri tempat pertempuran. Betapapun juga, kalau melihat seorang wanita dikeroyok belasan orang laki-laki seperti itu, tak mungkin dia tinggal diam saja. Gurunya pasti akan memakinya kalau dapat melihat dia mendiamkan saja seorang wanita dikeroyok belasan orang laki-laki!
Setelah dekat dengan tempat pertempuran itu, dia melihat dua belas orang laki-laki mengeroyok seorang gadis berpakaian biru muda. Hatinya menjadi kagum sekali. Bukan hanya kagum akan kegesitan dan keindahan gadis itu bermain pedang melayani pengeroyokan belasan orang lawan yang kasar-kasar, kuat dan bersenjata golok itu, melainkan terutama sekali melihat wajah yang cantik jelita, mata yang bersinar-sinar seperti mata burung hong, mukanya yang putih kemerahan, tubuh yang padat ramping, pendeknya, seorang gadis yang amat cantik! Yang membuat Keng Hong terheran-heran dan penasaran adalah ketika dia melihat bahwa di situ tidak ada orang yang berani mendekat, apalagi melrai perkelahian, bahkan rumah-rumah dan warung-warung terdekat sudah menutup pintu dengan tergesa-gesa. Tampak olehnya ada empat orang laki-laki tinggi besar yang sudah roboh berlumuran darah, juga seorang pemuda remaja terduduk di atas tanah memegang pundaknya yang terluka terkena bacokan.
Ilmu pedang gadis itu lihai, akan tapi menghadapi pengeroyokan dua belas orang laki-laki kasar itu, si gadis menjadi repot juga. Apalagi karena para pengeroyoknya mengeluarkan kata-kata yang kasar dan kotor, dengan ancaman-ancaman yang menjijikan, membuat gadis itu makin merah mukanya dan makin kacau gerakan pedangnya.
"He, kawan, jangan sampai dia terluka!"
Episode 80 "Jangan membikin cacat wajahnya yang cantik halus!"
"Biarkan dia kehabisan tenaga, tentu akan menyerah sendiri, ha-ha-ha!"
"Wah, kalau tenaganya habis, bagaimana bisa melayani kita?"
"Jangan khawatir, gadis kang-ouw simpanan ini tenaganya kuat, heh-heh-heh!"
"Robek-robek dan tanggalkan semua pakaiannya, berikan padaku lebih dulu!"
"Aku dulu!"
"Aku dulu!"
"Eh, kawan-kawan. Mengapa ribut-ribut" Biar dia kita tangkap dulu , baru kita mengadakan undian siapa yang akan menikmatinya lebih dulu!"
Muka Keng Hong menjadi merah sekali. Dia hendak turun tangan membantu, akan tetapi dia masih belum tahu apa urusanya, dan apa yang menyebabkan mereka berkelahi. Kalau dia langsung membantu gadis itu, apakah itu adil namanya" Siapa tahu, gadis ini yang berada di fihak salah. Maka dia menanti dan memandang penuh perhatian.
Gadis baju biru itu sudah mulai lelah. Gerakannya lambat dan ketika tiga buah golok secara berbareng menangkis pedangnya dengan pengerahan tenaga kasar, gadis itu menjerit, pedangnya terlempar dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Banyak tangan menyambarnya dan..... "brettt.... aihhh.....!!" sebagian bajunya terobek berikut baju dalamnya sehingga tampaklah leher, pundak dan sebagian dada kiri yang berkulit putih halus seperti susu.
Keng Hong tak dapat lagi menahan kemarahannya. Ia meloncat maju dan membentak, "Orang-orang kuang ajar! Mundur....!!" Sekali tangkap dia telah mencengkeram dua orang laki-laki di bagian tengkuknya dan bagaikan melempar rumput kering saja, dia melontarkan dua orang itu ke belakang sehingga mereka terpental dan terlempar sejauh empat meter, terbanting dan bergulingan. Dia tidak berhenti sampai di situ, kaki tangannya bergerak dan kembali empat orang laki-laki terlempar jauh dan jatuh bangun!
Empat orang yang lain cepat mebalikan diri dan golok-golok di tangan mereka menyambar. Akan tetapi, mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan keberanian, tenaga kasar dan golok. Begitu Keng Hong menggerakan tangannya, angin dorongan tangan itu membuat keenam orang pengeroyok terhuyung mundur. Dua orang yang agaknya menjadi pimpinan mereka menjadi penasaran, berseru keras dan menerjang maju lagi dengan golok mereka. Keng Hong mendahului mereka, menyapok keras dan terdengar bunyi "krek-krek!" ketika tangan Keng Hong bertemu dengan pergelangan tangan mereka yang menjadi patah tulangnya. Mereka meringis kesakitan dan melompat mundur, tidak berani maju lagi.
"Masih tidak lekas minggir dari sini?" Keng Hong menghardik, pandang matanya tajam menusuk. Dua belas orang itu tidak berani untuk mencoba-coba lagi, mereka lalu pergi membawa teman-teman yang terluka. Ternyata jumlah mereka semua ada enam belas orang, yang empat telah dirobohkan gadis cantik itu.
Setelah mereka semua kabur, Keng Hong menoleh dan melihat gadis itu tengah menolong pemuda remaja yang terluka pundaknya. Terdengar olehnya suara gadis itu halus, "Bagaimana, adikku" Parahkah lukamu?"
Pemuda remaja itu mengigit bibirnya dan menggeleng kepala. "Kurasa tulangnya patah....Cici, lekas haturkan terima kasih...."
Gadis baju biru itu agaknya seperti baru teringat, cepat ia membalikan tubuhnya menghadapi Keng Hong yang berdiri memandang mereka , kemudian ia menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.
"Saya Sim Ciang Bi dan adik saya Sim Lai Sek menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap (Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan nyawa kami."
Dua macam perasaan memenuhi hati Keng Hong mendengar ucapan itu. Dia disebut taihiap! Dia merasa bangga dan juga jengah. Tentu gadis ini menganggap dia seorang pendekar yang berilmu tinggi karena dalam segebrakan saja mampu mengusir dua belas orang laki-laki kasar tadi. Padahal kalau mempergunakan ilmu silat, tanpa disertai tenaga sinkang yang luar biasa, belum tentu dia menang lihai daripada gadis itu sendiri. Bangga karena mulut yang manis dan mungil itu menyebutnya taihiap, namun jengah dan malu karena dia sendiri merasa amat tidak pantas disebut seorang pendekar besar.
"Ah, harap jangan sungkan, bangkitlah, Nona," katanya sambil mengangkat bangun gadis itu. Ketika kedua telapak tangannya menyentuh pundak itu, terasa hawa yang hangat lunak keluar dari daging pangkal lengan yang halus itu dan berdebarlah jantung Keng Hong, apalagi ketika matanya bertemu pada sebagian dada yang telanjang itu. Pandang matanya seperti lekat pada kaki dan lereng bukit dada yang putih halus.
"Cici.... bajumu....!" Pemuda remaja itu memperingatkan cicinya yang saat itu sedang memandang wajah Keng Hong. Gadis itu merintih perlahan dan mukanya menjadi merah sekali. Keng Hong cepat membuka jubahnya dan menyelimutkan jubah ini pada tubuh si gadis yang memandangnya dengan sinar mata berterima kasih. Hal ini membebaskannya dari rasa malu, apalagi kalau diingat bahwa kini banyak orang mendatangi tempat itu. Mereka ini adalah penduduk dusun yang baru berani keluar setelah perkelahian itu berakhir.
"Ah, masih untung Sam-wi dapat lolos dari pengeroyokan mereka. Harap Sam-wi segera pergi meninggalkan dusun ini, karena kalau tidak ..... mereka pasti datang lagi dan menyusahkan Sam-wi (Tuan bertiga)." Yang berkata demikian adalah seorang kakek, mukanya membayangkan kegelisahan.
Episode 81 Keng Hong mengerutkan alisnya. Dia sudah membantu dan dia tidak boleh kepalang tanggung membantu nona ini. "Lopek, kami tidak takut menghadapi ancaman mereka. Biarkan mereka datang, akan kami hajar mereka semua! Saat ini kami perlu untuk merawat adik yang terluka ini. Siapakah di antara Cu-wi (Tuan sekalian) yang sudi menolong kami, meminjamkan tempat istirahat dan berobat?"
Akan tetapi, sekian banyaknya pasang mata hanya memandangnya dengan terbelalak, penuh kekhawatiran dan tak seorang pun menawarkan tempatnya. Kakek itu cepat berkata.
"Enghiong (Orang gagah) harap dapat memaklumi keadaan kami. Mereka itu adalah kawanan buaya darat yang tinggal di dusun tak jauh dari sini. Kalau mereka mendengar ada seorang di antara kami berani membantu Sam-wi, tentu yang membantu itu akan celaka.....!"
"Pengecut!" Tiba-tiba Sim Lai Sek yang terluka pundaknya itu berseru marah. "Apakah dikira kami tidak akan membela dia yang menolong kami" Dan kami bersedia membayar sewa kamar dan harga obat!"
Keng Hong hanya tersenyum dan maklum akan rasa penasaran pemuda remaja itu, yang ternyata tampan seperti cicinya, sepasang matanya lebar dan mukanya membayangkan keberanian.
"Maaf, Siauw-enghiong. Kami percaya akan kegagahan Sam-wi, akan tetapi maukah Sam-wi selamanya tinggal di dusun ini?"
"Apa....?"" Kini gadis cantik itu yang bertanya, matanya terbelalak heran dan Keng Hong terpaksa harus mengalihkan pandangnya karena mata itu amat indahnya sehingga dia khawatir kalau-kalau dia akan melongo menikmati keindahan itu.
"Nona, dan Siauw-te, harap Ji-wi memaklumi kekhawatiran mereka ini. Lopek ini benar. Memang, selama kita masih berada di sini, penjahat-penjahat itu tidak berani datang mengganggu. Akan tetapi tidak mungkin kita tinggal selamanya di sini dan kalau kita sudah pergi lalu mereka datang mengamuk, membalas dendam kepada penduduk dusun ini, bukankah sama saja artinya dengan kita yang mencelakakan penduduk di sini?"
Enci dan adik itu tercengang dan mengangguk-angguk. "Ah, kalau begitu apa gunanya ada penjaga keamanan" Apa gunanya ada pembesar setempat" Bukankah di sini ada kepala dusun wakil pemerintah?" Sim Lai Sek masih mencoba untu k menyatakan rasa penasarannya.
Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Siauw-enghiong, hal begini saja masa Eng-hiong masih belum tahu" Semenjak saya masih kanak-kanak ampai sekarang sudah kakek-kakek, mana ada jaminan keamanan dan keselamatan bagi rakyat jelata" Memang selalu ada penjaga keamanan, ada pembesar setempat, akan tetapi kenyataan pahit yang menyedihkan namun tak dapat disangkal adalah bahwa penjaga keamanan di sini hanya namanya saja penjaga keamanan, namun pada kenyataanya adalah pengacau keamanan. Mereka hanya menjadi pelindung-pelindung bayaran, dan mempergunakan kekuasaan untuk kesenangan sendiri. Adapun pembesar hanya namanya saja besar, akan tetapi, jiwanya kecil dan lalim. Sudahlah, harap Sam-wi memaklumi keadaan kami rayat kecil yang melarat dan tidak menambah beban kami yang sudah berat."
"Mari kita keluar dari dusun ini, biarlah saya mencarikan tempat istirahat untu kJi-wi," kata Keng Hong dan tanpa menanti lagi dia lalu membungkuk dan memondong tubuh Sim Lai Sek yang terluka. pemuda remaja ini sudah amat lemah, bukan hanya oleh lukanya di pundak yang mematahkan tulangnya , namun juga karena lemas kehilangan banyak darah.
"Di luar dusun, dalam hutan sebelah barat terdapat sebuah kuil yang kosong. Kiranya Sam-wi dapat beristirahat di sana. Sam-wi dapat membawa bekal obat dan bahan makanan," kata pula si kakek yang sesungguhnya menaruh rasa kagum dan simpati kepada tiga orang muda yang telah berani menentang para buaya darat yang semenjak dahulu merupakan gangguan di dusun itu.
Setelah Ciang Bi, gadis itu, membeli obat-obat dan bahan makanan, brangkatlah mereka bertiga kelura dari dusun memasuki hutan sebelah barat dan benar saja, di tengah hutan itu mereka menemukan sebuah kuil tua yang kosong, akan tetapi lumayan untuk tempat berteduh dan mengaso. Keng Hong lalu merebahkan tubuh Lai Sek di atas lantai yang telah di bersihkan oleh Ciang Bi. Kemudian dia membantu gadis itu menggodok obat dan merawat Lai Sek.
Setelah pemuda remaja minum obat, makan bubur dan tertidur nyenyak, Ciang Bi dan Keng Hong duduk di ruang luar kuil, di atas batu-batu halus yang agaknya dahulu dipakai untuk bersamadhi para pendeta peenghuni kuil. Sampai lama mereka berdiam diri dan setiap kali mereka bertemu pandang, gadis itu menundukan mukanya dan bibir yang merah dan segar selalu itu tersenyum malu-malu.
"Taihiap...."
"Ah, jangan menyebut aku taihiap, Nona. Aku seorang biasa saja yang kebetulan dapat membantumu. Namaku Keng Hong, Cia Keng Hong."
"Tapi..... kepandaianmu sunggguh amat luar biasa, Taihiap. Sungguh membuat hatiku kagum."
"Kepandaianmu bermain pedang pun hebat, Nona. Tidak bisa aku yang bodoh dibandingkan denganmu. Engkau masih muda sudah amat pandai bermain pedang, gerakanmu cekatan dan ringan, permainan pedangmu indah sekali seperti seorang bidadari menari dan kau...... kau cantik jelita sekali, Nona."
Gadis itu cepat menengokdan menatap wajah Keng Hong. Akan tetapi ia tidak melihat pandang mata kurang ajar, hanya melihat sinar kekaguman yang jujur terpancar keluar dari sepasang mata yang tajam itu sehingga ia tidak jadi marah, bahkan lalu menunduk dengan muka merah, bibirnya tersenyum, matanya mengerling dan jantungnya berdenyut, penuh kegembiraan. Wanita manakah di dunia ini yang takan menjadi dak-dik-duk hatinya kalau menerima pujian-pujian yang begitu jujur dari seorang pemuda yang amat gagah perkasa dan tampan pula"
Episode 82 Sejenak mereka diam tak berkata-kata. Keadaan ini tidak mengganggu Keng Hong yang menikmati pemandangan indah di depannya, rambut yang hitam mulus dan halus panjang terurai itu, wajah yang cantik sekali sepasang mata seperti mata burung hong, hidung kecil mancung yang cupingnya dapat bergerak-gerak sedikit di waktu merasa malu dan merah, mulut yang indah bentuknya dengan sepasang bibir yang seolah-olah dicat merah, merah semringah dan lalu segar, sepasang pipinya kemerahan seperti buah tomat setengah matang, dagu kecil meruncing yang kalau digerakan menimbulkan lesung pipit di atasnya. Tubuh yang ramping padat dan biarpun kini tertutup jubah Keng Hong yang terlalu besar, masih tak dapat menyembunyikan bentuknya yang menggairahkan.
Biarpun mereka tak berkata-kata, Keng Hong tidak merasa kesepian. Akan tetapi gadis yang maklum betapa sepasang mata orang yang dikaguminya itu memandangnya penuh kekaguman, menjadi tak tenang dan akhirnya ia berkata lirih.
"Ciap-taihiap, betapa aku akan dapat membalas budimu yang amat besar" Biarlah aku dan adikku akan selalu berdoa untuk kebahagianmu....."
"Ihhh, Nona, mengapa begini sungkan" lupakan saja apa yang telah kulakukan semua karena itu tak lain hanyalah pelaksanaan kewajiban seorang manusia yang haru membantu manusia lain yang sedang tertimpa kemalangan."
"Engkau gagah dan bijaksana, taihiap...." Gadis itu memandang dan sejenak pandang mata mereka saling melekat. Keng Hong dapat menangkap sinar kemesraan memancar dari pandang mata di balik bulu mata lentik itu, akan tetapi hanya sebentar karena gadis itu sudah cepat-cepat menundukan mukanya kembali.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari sebelah dalam kuil. Keduanya cepat melesat ke dalam kuil seperti berlumba, dan berbareng mereka memasuki ruangan di mana tadi Lai Sek rebah dan tidur. Kini pemuda remaja itu sudah bangun, akan tetapi masih rebah dan kelihatan gelisah sekali, mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan marah seperti orang sedang berkelahi, kaki tangannya bergerak-gerak tapi matanya meram. Keng Hong menarik napas lega. Kiranya pemuda itu hanya mengigau saja.
"Dia diserang demam!" Seru Ciang Bi khawatir ketika meraba leher adiknya itu. Keng Hong meraba dahi pemuda itu dan ternyata pemuda itu diserang demam panas.
"Biar kucari obat di dusun itu untuk melawan demamnya," kata Keng Hong dan tanpa menanti jawaban dia sudah berkelebat lari menuju ke dusun itu. Pemilik toko obat dengan senang hati memberikan obat penolak demam yang disebabkan luka, dan pemuda ini cepat kembali lagi kedalam hutan .
Dapat dibayangkan betapa marah hatinya ketika melihat bahwa di depan kuil itu telah penuh dengan orang-orang yang dia kenal adalah orang-orang yang tadi mengeroyok enci dan adik itu. Jumlah mereka kini tidak kurang dari tiga puluh orang dan paling depan berdiri seorang laki-laki tinggi besar bermuka mereh yang membawa golok besar. Laki-laki tinggi ini sedang bicara dengan Ciang Bi, menuding-nudingkan goloknya ke arah gadis itu yang bersikap tenang dengan pedang di tangan, siap untuk melayani pengeroyokan. Keng Hong mempercepat larinya dan dengan gerakan indah dia meloncati kepala mereka yang mengurung, langsung turun di dekat Ciang Bi. Gadis ini berseri wajahnya melihat datangnya penolongnya.
Keng Hong tidak mempedulikan si tinggi besar , bahkan memberikan bungkusan obat kepada gadis itu sambil berkata, "Nona, kauserahkan tikus-tikus ini kepadaku. Lekas masak obat ini dan minumkan kepada adikmu."
Gadis itu meragu, menyapu para penjahat itu dengan matanya. Agaknya ia merasa berat meninggalkan pemuda penolongnya itu seorang diri saja menghadapi sekian banyaknya penjahat, apalagi yang kini dipimpin oleh kepala mereka yang kelihatannya kuat dan lihai.
"Akan tetapi......"
"Jangan membantah, lebih baik lekas tolong adikmu. Aku sanggup melayani mereka ....."
"Taihiap, pakailah pedangku......."
"Terima kasih. Tidak usah. Menghadapi segala macam tikus busuk, perlu apa menggunakan pedang?"
Sejenak gadis itu memandangnya, memandang dengan sinar mata mesra seperti tadi, akan tetapi kini lebih lama lebih jelas sehingga Keng Hong-lah yang lebih dulu menundukan muka karena tak tahan menghadapi pemandangan yang mengguncang perasaannya ini. Gadis itu lalu berlari masuk membawa obat dan pedangnya, sedangkan Keng Hong lalu menghadapi kepala penjahat sambil berkata.
"Kalian ini mau apakah" Puluhan orang laki-laki tinggi besar mendesak dan menggangu seorang gadis muda dan adiknya yang sedang sakit, sungguh perbuatan yang amat gagah!"
Kepala penjahat itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya membayangkan tenaga yang amat kuat dan goloknya amat besar dan kuat, sikapnya menyeramkan. Mukanya merah seperti wajah kwan Hong pahlawan di jaman Sam-kok, dengan kumis dan jenggotnya hitam lebat, sepasang matanya yang lebar itu kemerahan. Dengan gerakan goloknya dia menudingkan ke arah Keng Hong dan suaranya serak ketika bertanya kepada anak buahnya.
"Inilah pemuda usilan itu?"
"Benar dia, Twako!" kata seorang di antara mereka yang tadi dihajar Keng Hong. Kepala penjahat itu kembali memandang Keng Hong penuh perhatian, seolah-olah tidak dapat percaya bahwa pemuda itu usianya paling banyak sembilan belas tahun ini mampu merobohkan dua belas orangnya!
"Siapa namamu?" bentaknya, sikapnya sombong dan memandang rendah.
Episode 83 "Namaku Cia Keng Hong."
"Kamu orang Hoa-san-pai juga?"
Pertanyaan ini menyadarkan Keng Hong bahwa enci dan adik itu tentulah murid Hoa-san-pai. Pantas saja ilmu pedangnya demikian indah. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Aku bukan dari partai mana-mana, aku seorang yang kebetulan lewat dan tidak tahan melihat belasan laki-laki tinggi besar mengeroyok seorang wanita. Mengapa kalian tidak insyaf akan perbuatan pengecut dan memalukan itu, bahkan kini datang lagi mengganggu" Lebih baik kalian sadar dan pergi saja, karena perbuatan kalian ini hanya akan membuat kalian tercela dan ditertawai orang gagah sedunia."
"Bocah sombong! Bocah usilan! Kami mempunyai urusan sendiri dengan orang Hoa-san-pai, ada sangkut pautnya apa denganmu" Engkau sudah bosan hidup!" Kepala penjahat itu sudah menerjang dengan goloknya dan terdengar suara mendesing ketika golok itu menyambar ke arah kepala Keng Hong. Pemuda ini belum sempurna mempelajari ilmu silat dan yang sudah dipelajarinya hanyalah delapan jurus ilmu serangan dan ilmu pedang yang belum matang, maka dia kaget dan cepat meloncat mundur. Loncatannya ringan dan cepat sekali, namun gerakanya mengelak kaku. Hal ini dilihat oleh kepala penjahat yang ilmu silatnya lumayan juga, maka sambil berseru keras dia maju lagi menubruk sambil membacokan goloknya. Namun sekali ini Keng Hong yang maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, sudah mendahuluinya dengan pukulan atau dorongan kedua tanganya ke depan. Ia menggunakan telapak tangannya mendorong sambil mengerahkan sinkang. Terdengar penjahat tinggi besar itu menjerit dan roboh terjengkang, muntahkan darah segar, matanya mendelik dan nyawanya melayang di saat itu juga!
Melihat robohnya pemimpin mereka, orang-orang kasar itu menjadi marah sekali dan sambil berteriak-teriak memaki mereka sudah menerjang maju, mengeroyok Keng Hong dengan senjata mereka,. Keng Hong yang belum banyak pengalamannya dalam pertempuran, apa lagi kalau dikeroyok tiga puluh orang yang memegang senjata tajam, menjadi bingung sekali. Akan tetapi untung baginya bahwa gemblengan mendiang gurunya ditekankan kepada sinkang dan ginkang sehingga tubuhnya yang mengelak dan meloncat ke sana-sini itu jauh lebih cepat daripada gerakan para pengeroyoknya sehingga mereka menjadi bingung karena bagi mereka, tubuh pemuda itu seperti lenyap dan berkelebatan seolah-olah pemuda itu telah berubah menjadi sesosok bayangan yang sukar diserang. Melihat betapa dengan mudah dan leluasa dia dapat bergerak di antara pengeroyoknya yang menurut pandangannya bergerak sangat lambat itu, timbul kegembiraan di hati Keng Hong. Baru sekarang dia mengerti mengapa suhunya dahulu menekankan latihan sinkang dan ginkang. Kiranya, waktu yang amat pendek ketika dia belajar dahulu telah diisi dengan dasar daripada syarat utama dalam ilmu silat, yaitu kecepatan gerakan dan kekuatan dalam. Kini, setelah dengan mudah dia dapat menghindarkan semua serangan mengandalkan kecepatan gerakannya, dia mulai balas menyerang dan betapa mudahnya merobohkan mereka itu. Dengan satu kali tamparan, atau tendangan saja dia mampu merobohkan seorang pengeroyok. Keng Hong mengamuk, dan biarpun di pandang oleh mata orang lain dia dikeroyok dan dikepung, namun kenyataannya, seorang demi seorang dari para pengeroyoknya dapat dia robohkan dan makin lama pengeroyokan itu menjadi makin kacau.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan para pengeroyok yang sudah kehilangan tujuh orang teman dirobohkan Keng Hong. Para pengeroyok yang berada di sebelah luar berjatuhan dan dalam sekejap mata saja ada lima orang roboh! Keng Hong melirik dan pandang matanya yang tajam hanya dapat melihat sinar putih berkelebatan, maka maklumlah dia bahwa ada orang membantunya dengan menggunakan senjata rahasia untuk merobohkan para pengeroyok. Ia menjai gembira dan kembali dua orang dapat dia robohkan dengan tamparan kedua tangannya. Para pengeroyok menjadi makin panik dan akhirnya mereka itu melarikan diri pontang-panting, meninggalkan teman-teman yang tewas atau terluka.
"Sahabat baik yang telah membantuku, harap suka keluar!" Keng Hong berteriak memanggil setelah semua pengeroyoknya pergi. Namun tidak ada jawaban, juga tidak tampak gerakan di balik pohon-pohon. Keadaan sunyi, kecuali suara merintih yang keluar dari mulut mereka yang terluka.
"Dia telah pergi, In-kong......"
Keng Hong membalikan tubuhnya, melihat bahwa Ciang Bi telah berdiri di pintu kuil dengan pandang mata penuh kagum dan bersyukur kepadanya. Gadis itu kini menyebutnya "in-kong" (tuan penolong).
"Dia siapa, Nona?"
"Entahlah, akan tetapi aku melihat berkelebatnya bayangan seorang wanita berpakaian putih di balik pohon sana. Dia membantumu dengan cara bersembunyi, tentu kini telah pergi. Tentu In-kong mengenal dia."
Berdebar jantung Keng Hong. Gadis baju putih yang lihai" Siapa lagi kalau bukan Biauw Eng" Ia menghampiri lima orang pengeroyok yang tadi roboh dan melihat bahwa mereka ini telah tewas, pelipis mereka remuk oleh bola-bola putih berduri yang dia kenal sebagai senjata rahasia Biauw Eng! Ah, kembali gadis itu telah menolongnya. Akan tetapi mengapa menolong sambil bersembunyi" Mengapa tidak menemuinya"
"In-kong tentu mengenal gadis yang lihai itu, bukan?"
Keng Hong mengangguk, kemudian bertanya, "bagaimana dengan adikmu?"
Gadis itu memandang penuh terima kasih. "Berkat pertolonganmu, adiku telah turun panasnya. Berkat pertolonganmu, kami kakak beradik masih dapat bernapas sampai saat ini. Tidak tahu bagaimana kami akan dapat membalas budimu yang besar." Tiba-tiba gadis itu menjatuhkan diri berlutut.
Sekali meloncat, Keng Hong sudah tiba di depan gadis itu, memegang pundaknya dan mengangkatnya bangun. Darahnya berdesir ketika dia menyentuh kedua pundak itu. Dari luar baju dia dapat merasakan halusnya kulit pundak itu. Cepat dia melepaskan kedua tangannya setelah Ciang Bi bangkit berdiri. Sejenak mereka berpandangan dan dari sepasang mata yang indah itu bersinar kemesaraan yang membuat bulu tengkuk Keng Hong berdiri dan jantungnya berdebar-keras.
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Episode 84 "Jangan memberi penghormatan secara berlebihan, Nona. Sudah kukatakan bahwa semua yang kulakukan bukanlah pertolongan melainkan kewajiban. Sekarang kita harus cepat pergi dari sini.Tempat ini amat tidak baik dan tidak enak untuk tinggal di sini." Ia memandang ke arah mayat-mayat dan orang-oran terluka. "Mari kita mencari tempat lain untuk merawat adikmu sampai sembuh."
Ciang Bi mengangguk dan Keng Hong lalu memasuki kuil. Sim Lai Sek, pemuda remaja berusia enam belas tahun itu, sudah turun demamnya dan hanya masih lemah. Ia tersenyum dan hanya masih lemah. Ia tersenyum dan wajahnya yang pucat itu menyinarkan kekaguman ketika dia memandang Keng Hong.
"Engkau hebat dan baik sekali......., Taihiap....." katanya lemah. Keng Hong tak menjawab, hanya membungkuk dan memondongnya sambil berkata.
"Kita harus pergi dan mencari tempat lain."
Pemuda itu kelihatan sungkan. "Aku dapat berjalan sendiri, Taihiap."
"Engkau masih lemah dan kita perlu melakukan perjalanan cepat pergi dari tempat ini," kata Keng Hong yang segera lari dari kuil itu, diikuti oleh Ciang Bi. Mereka berlari terus keluar dari hutan itu tanpa bercakap-cakap. Ciang Bi selalu tersenyum dan kaadng-kadang melontarkan kerling penuh kagum dan bersyukur ke arah pemuda yang memondong adiknya. Keng Hong berlari sambil melamun karena pikirannya penuh dengan bayangan Biauw Eng yang dia anggap aneh sekali, menolongnya secara sembunyi-sembunyi dan tidak mau menemuinya.
Karena malam tiba, akhirnya mereka terpaksa menghentikan perjalanan. Untung mereka mendapatkan sawah ladang yang luas dan di situ terdapat beberpa buah gubuk kecil, tempat para petani berteduh dan menjaga sawah. Sunyi senyap di tempat itu dan langit amat cerah, biarpun tidak ada bulan malam itu, namun bintang-bintang memenuhi angkasa dan tidak ada bayangan pohon yang menggelapkan tempat itu. Keng Hong merebahkan tubuh Lai Sek dalam sebuah gubuk, kemudian dia pergi untuk mencari bahan makanan untuk mereka, adapun Ciang Bi menjaga adiknya yang masih amat lemah.
"Cici, dia baik sekali....." kata pemuda remaja itu kepada kakaknya setelah bayangan Keng Hong lenyap ditelan cuaca yang suram.
Gadis itu mengangguk, termenung sampai lama kemudian terdengar bisikan adiknya.
"Dia lihai sekali. Murid siapakah dia, Cici" Dari golongan mana?"
Gadis itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Seluruh perasaannya terselimut bayangan Keng Hong, rongga dada dan kepalanya penuh oleh pemuda penolongnya yang amat menarik hatinya itu. "Aku tidak tahu......, kami belum sampai bicara tentang itu....."
"Eh, mengapa begitu, Cici" kita telah ditolongnya, dibebaskannya dari ancaman maut sampai dua kali, bahkan dia terus menjaga dan merawatku. Kita harus tahu siapa dia, bagamana keadaannya dan dari golongan mana. Betapapun juga, budi sebesar ini harus kita balas kelak. Bahkan kita harus melaporkan kepada suhu agar Hoa-san-pai kelak dapat membalas budinya."
"Sudahlah, kau mengaso Lai Sek. Kulihat dia itu tidak begitu suka untuk diingatkan akan budinya."
"Tetapi..... kau harus bertanya tentang gurunya, partainya......"
Gadis itu menutup mulut adiknya dengan telapak tangannya yang halus. "Akan kulakukan itu, sekarang minumlah obat ini lebih dulu." Ciang Bi telah membuat api unggun dan memanaskan obat dalam tempat obat dari tanah yang tadi dibawanya, obat dan tempatnya yang didapat oleh Keng Hong sebelum para penjahat tadi datang menyerbu.
Lai Sek terpaksa minum obat yang pahit itu dan rasa pahit melenyapkan nafsu bicaranya dan dia mulai memejamkan matanya. Tubuhnya masih letih sehingga sebentar saja dia tertidur pulas.
Keng Hong datang membawa beberapa buah bakpauw panas dan seguci besar terisi air the yang dibelinya dari dusun tak jauh dari sawah itu. Ia menawarkannya kepada Ciang Bi dan mereka lalu makan minum tanpa bicara, menyisihkan bagian Lai Sek agar dapat dimakan pemuda itu kalau sudah bangun. Kemudian keduanya duduk dekat api unggun.
"Syukur kalau adikmu telah sembuh, Nona," Keng Hong berkata untuk memecahkan kesunyian yang mencekam sambil memandang wajah jelita itu yang disinari cahaya api unggun kemerahan.
"Berkat pertolonganmu, In-kong."
"Harap kau jangan menyebutku In-kong atau taihiap. Namaku Cia Keng Hong dan sebut saja kakak kepadaku karena tentu aku lebih tua darimu. Usiaku sudah hampir sembilan belas tahun."
"Kau juga harap jangan menyebut nona. Namaku Sim Ciang Bi dan usiaku delapan belas tahun, Twako."
Keng Hong tersenyum. "Baiklah, Bimoi (adik Bi). Dan jangan menyebut-nyebut lagi tentang pertolongan, kau membuat aku menjadi malu saja."
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Twako. Engkau telah menolongnya kami enci dan adik, bolehkah aku mengetahui, dari perguruan manakah engkau" Ilmu kepandaianmu hebat sekali." Gadis itu memandang kagum, kekaguman yang setulusnya dan yang terbayang sepenuhnya pada pandang mata yang tajam itu, pada wajah yang jelita itu.
Keng Hong menarik napas panjang. Ia kini sudah cukup kenyang dalam pengalaman pahit apabila orang mengetahui akan dirinya, mengetahui bahwa dia adalah murid Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong, dan terutama sekali, mengetahui bahwa dia pewaris pedang Siang-bhok-kiam yang oleh seluruh orang kang-ouw diperebutkan karena mereka itu mengira bahwa pedang itulah kunci tempat penyimpanan pusaka-pusaka peninggalan gurunya. Karena itu, kini mendengar pernyataan gadis jelita ini, dia enggan untuk memperkenalkan perguruannya.
Episode 85 "Ah, aku bukan dari perguruan mana-mana, Bi-moi dan sebaiknya aku tidak membawa nama guruku yang sudah meninggal dunia. Riwayatku tidak menarik, aku seorang sebatangkara, rumah pun tidak punya. Lebih baik mendengar riwayatmu, Bi-moi, kalau kau tidak berkeberatan. Mengapa engkau dan adikmu bermusuhan dengan mereka itu" Di mana tempat tinggalmu dan hendak ke mana kalian pergi?"
"Twako, engkau terlalu merendahkan diri. Seoran dengan kepandaian seperti engkau ini tentu datang dari perguruan yang tinggi dan ternama, atau setidaknya tentu murid seorang yang amat sakati. Akan tetapi kalau engkau hendak merahasiakannya, aku pun tidak berani memaksa. Tentang aku..... ah, aku dan adikku hanya murid-murid kecil dari Hoa-san-pai."
Keng Hong teringat akan dua orang tokoh Hoa-san-pai seperti yang dituturkan oleh gurunya, yaitu yang bernama Coa Kiu dan Coa Bu, dua orang kakek bersaudara yang amat terkenal dan di dunia kang-auw dijuluki Hoa-san Siang- sin-kiam (Sepasang pedang sakti dari Hoa-san)! Juga dia teringat akan cerita gurunya akan pengalaman-pengalaman gurunya dimusuhi oleh kaum Hoa-san-pai, yaitu karena gurunya dahulu pernah mencuri ramuan obat, dan pedang pusaka dari Hoa-san-pai. Bahkan kemudian terdapat seorang murid wanita Hoa-san-pai yang tergila-gila kepada Sin-jiu Kiam-ong dan melarikan diri bersama pendekar yang nakal itu! Teringat akan penuturan gurunya, mau tidak mau Keng Hong tersenyum lebar.
"Kenapa engkau tertawa, Twako?"
"Ah, tidak apa-apa, Bi-moi. Hanya aku girang bahwa aku telah bertemu dengan murid Hoa-san-pai yang telah lama kudengar nama besarnya. Pantas saja ilmu pedangmu amat indah dan hebat!"
"Ihhh, apanya yang hebat?"
Gadis itu memandang penuh kekaguman dan sama sekali tidak menyembunyikan rasa tertarik pada sinar matanya yang bening. "Engkau lihai luar biasa, engkau baik budi dan manis bahasa, engkau pandai merendahkan diri dan sekarang ternyata engkau pandai pula memuju-muji orang untuk menyenangkan hatinya."
"Wah-wah, yang pandai memuji-muji ini aku atau engkau?" Keng Hong tertawa. Melihat pemuda ini tertawa dan memperlihatkan deretan gigi yang putih dan kuat, gadis itu pun tertawa sambil berkata.
"Kita sama-sama pandai memuji orang. Akan tetapi salahkah itu" Memuji orang berarti menyenangkan hati orang, dan aku ingin menyenangkan hatimu, Twako, sungguhpun hal itu merupakan balas budi yang tak ada artinya."
"Sudahlah, Bi-moi. Lebih baik kau ceritakan mengapa kau dan adikmu dimusuhi mereka itu."
Gadis itu menarik napas panjang. "Aaahhh, semua adalah salahku, gara-gara akulah maka terjadi permusuhan itu....." katanya, kemudian ia bercerita.
Gadis yang bernama Sim Ciang Bi dan adiknya, Sim Lai Sek ini adalah putera dan puteri seorang sastrawan di kota Liok-keng yang terkenal karena pandai sekali membuat sajak dan melukis, dikenal dengan sebutan Sim-siucai (sastrawan Sim). Karena banyak mengalami kesengsaraan akibat perang dan kerusuhan, di mana kepandaian bun (sastra) tak dapat melindunginya, Sim-siucai lalu membawa kedua anaknya itu ke Hoa-san-pai untuk mendidik kedua anaknya dengan ilmu silat, karena siucai ini berpendapat bahwa dalam jaman perang dan kerusuhan itu ilmu silat lebih berguna daripada ilmu sastra. Dengan demikian, Ciang Bi yang ketika itu berusia tiga belas tahun sedangkan Lai Sek berusia sebelas tahun menjadi murid-murid Hoa-san-pai. Selama lima tahun mereka berdua belajar ilmu silat. Setelah pimpinan Hoa-san-pai merasa bahwa mereka sudah memiliki kepandaian cukup untuk menjaga diri, apalagi mengingat bahwa Ciang Bi sudah menjadi seorang gadis dewasa berusia delapan belas tahun dan sudah sepatutnya berada di rumah orang tua sendiri untuk kemudian berumah tangga, dua orang anak murid Hoa-san-pai ini disuruh pulang ke tempat tinggal mereka.
Episode 86 Ketika mereka berdua melakukan perjalanan sampai di dusun Ciang-chung, kecantikan wajah Ciang Bi menimbulkan urusan besar. di sebuah dusun lain yang tak jauh dari Ciang-chung tinggal seorang kepala kampung yang menjadi raja kecil di dusun itu, bahkan kekuasaan dan pengaruhnya sampai menjalar ke dusun-dusun lain di dekatnya, termasuk Ciang-chung karena kepala-kepala kampung lain dusun tidak ada yang berani menentangnya. Kepala dusun ini bernama Bong-chung-cu (Lurah Bong) dan mempunyai seorang putera tunggal bernama Bong-cit yang terkenal jahat, mata keranjang dan suka membawa kehendak sendiri mengandalkan kedudukan ayahnya dan mengandalkan kekuatan pasukan tukang pukulnya yang terdiri dari buaya-buaya darat yang pandai ilmu silat. Ketika Bong Cit mendengar akan kecantikan seorang gadis bersama adiknya yang memasuki dusun itu, segera bersama anak buahnya Bong Cit mengejar ke Ciang-chung, menemui gadis cantik itu dan menggodanya dengan ucapan-ucapan yang tidak sopan.
Tentu saja Ciang Bi dan adiknya menjadi marah dan menghajar para tukang pukul itu sehingga mereka bersama majikan muda mereka lari tunggang-langgang. Akan tetapi, tidak lama kemudian datang lagi pasukan tukang pukul yang lebih banyak jumlahnya, lalu mengeroyok Ciang Bi dan adiknya. Pasukan tukang pukul ini ternyata cukup kuat sehingga hampir saja Ciang Bi dan adiknya celaka kalau saja tidak muncul Keng Hong yang menghajar mereka..
"Demikianlah, Twako. Sungguh aku merasa malu sekali bahwa biarpun ayah telah mengirim aku dan adikku belajar selama lima tahun di Hoa-san-pai, ternyata baru pertama kali bertemu dengan penjahat saja sudah hampir celaka. Masih baik nasibku dapat bertemu dengan seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau. Kalau saja kepandaianku setinggi kepandaianmu, tentu akan kucari jahanam Bong Cit itu dan kulenyapkan dari dunia. Manusia macam dia itu merupakan ancaman bagi keselamatan gadis-gadis di kampung sekeliling tempat itu."
Keng Hong mengangguk-angguk. "Aku tidak dapat terlalu menyalahkan dia."
"Apa maksudmu?"
"Siapa orangnya yang takkan tergila-gila melihat engkau, Bi-moi. Engkau terlalu cantik jelita dan manis, membuat hati pria menjadi jungkir balik!"
Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi merah sekali, bibir yang mungil itu tersenyum ditahan, matanya mengerling malu-malu. "Ihhh, engkau juga.... mata keranjang dan...... dan kurang ajar ....." Sukar dipercaya.....!"
Keng Hong tertawa lirih dan menggeleng-geleng kepalanya, pandang matanya secara jujur menatap wajah itu dengan kekaguman. "Apakah artinya mata keranjang, Bi-moi" Menurut mendiang suhu, wanita itu seperti bunga yang indah. Wanita mana yang tidak selalu berusaha untuk mempercantik diri" Untuk apa semua usaha itu" Tentu aga kelihatan cantik dan menimbulkan rasa kagum di hati pria. dan sudah menjadi hak setiap orang pria untuk mengagumi kecantika wanita. Semua pria tentu saja suka melihat kecantikan wanita, kecuali mereka yang munafik, kalau ada wanita cantik pura-pura menundukan muka padahal matanya mengerling! Di lahirnya tidak pura-pura tidak suka akan tetapi diam-diam merindukannya! Semua pria suka akan wanita cantik, sedikitnya suka memandang dengan kagum seperti orang mengagumi setangkai bunga yang cantik dan indah. Semua wanita suka untuk dikagumi pandang mata pria, biarpun banyak yang berpura-pura marah dan membenci. Padahal disudut hatinya, Wanita mana yang tidak suka dipandang dengan kagum" Tentang kurang ajar, harap jangan keliru sangka, Bi-moi. Pria yang mana saja boleh memandang kagum akan kecantikan wanita yang mana saja, akan tetapi kalau melakukan perbuatan yang lebih daripada ini, yaitu ingin mengganggu dengan perbuatan, barulah jahat dan tidak baik. Seperti juga setiap orang boleh mengagumi setangkai bunga, akan tetapi untuk berlancang tangan untuk memetiknya adalah perbuatan tidak benar karena bunga itu tentu ada yang memilikinya. Kalau aku menyatakan dengan sejujurnya apa yang terpikir olehku, itu bukan kurang ajar namanya, Bi-moi. Aku memandangmu dengan kagum karena memang hatiku kagum akan kecantikanmu, aku menyatakannya dengan mulut bahwa engkau cantik jelita dan manis, bukan berarti kurang ajar."
Makin merah wajah Ciang Bi dan gadis itu menunduk. akan tetapi ia tidak marah, bahkan jantungnya berdebar karena..... girang! Memang tepat sekali ucapan yang didengarnya. Dia suka akan pujian mengenai kecantikannya, apalagi kalau pujian itu keluar dari mulut seorang pemuda yang dikaguminya! Kalau dia sampaui bermusuh dengan Bong Cit adalah karena pemuda she Bong itu mengeluarkan kata-kata kotor dan kemudian hendak menangkapnya.
"Kau.... kau terlalu jujur dan blak-blakan, Twako......" akhirnya dengan lirih Ciang Bi berkata. "kau membikin aku menjadi..... menjadi malu...."
Keng Hong tertawa dan memandang wajah yang ayu itu. Sinar merah api ungun membuat bentuk wajah itu menjadi gemilang dan tampak jelas garis-garisnya, seperti garis-garis daun bunga mawar dengan lekuk-lengkungnya yang tak lebih tak kurang, tepat dan cocok, serasi pada tempatnya, membuat mata tidak bosannya memandang dan mengaguminya. "Salah siapakah, Bi-moi" Salahkah mata ini kalau melihat wajah yang cantik dan indah, sedap dipandang tak membosankan" Ataukah pemilik wajah itu sendiri yang salah mengapa wajahnya cantik" Kalau salah mataku, biarlah mulai sekarang aku akan meramkan mata kalau bicara dan berhadapan denganmu agar aku jangan dapat melihat wajahmu! Sebaliknya, kalau salah wajahmu mengapa begitu cantik, biarlah mulai sekarang kau menutupi wajahmu dengan saputangan atau dengan kedok yang buruk agar mataku tidak dapat mengagumimu. Bagaimana?"
Pendekar Aneh Dari Kanglam 1 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Sejengkal Tanah Sepercik Darah 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama