Ceritasilat Novel Online

Pedang Kiri Pedang Kanan 6

Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Bagian 6


hadiah ini?"
"Kukira pasti keempat Tosu di rumah makan tadi,"
jawab Soat Koh. ' Mereka menuduh Li Toa-gu disuruh
orang untuk menanyakan siapa yang menempelkan poster
itu, maka mereka hendak memaksanya mengaku."
"Keempat Tosu itu hanya anak buah saja," ujar Peng-say, "mereka cuma disuruh mengawasi reaksi yang timbul dari poster berhadiah itu, orang yang ingin menangkap
Ciamtay Boh-ko jelas berada di belakang layar."
"Menurut kau, siapa kira2 dalang yang menyediakan
hadiah itu?"
"Sukar untuk dipastikan sekarang. Coba kau terka,
apakah cocok dengan perkiraanku atau tidak."
Soat Koh berpikir sejenak, lalu berkata: "Ke-empat Tosu itu menyandang pedang, tampaknya mereka adalah murid
Bu-tong-pay, jangan2 pihak Bu-tong-pay yang hendak
menangkap Ciamtay Boh-ko?"
"Kukira demikianlah adanya," ucap Peng-say.
"Eh, mengapa mendadak kau jadi tertarik oleh poster berhadiah itu?"
"Putera Hong-hoa Wancu itu bernama Ciam-tay Bohko!" tutur Peng say dengan gemas.
"O, jadi Ciamtay Boh-ko saat ini berada di Tionggoan?"
seru Soat Koh terkesiap.
"Ya, besar kemungkinan dia belum meninggalkan
Tionggoan, kalau tidak, tentu
Bu-tong-pay takkan menyebarkan poster berhadiah di semenanjung sini untuk
memancing keluarnya Ciamtay Boh-ko, rupanya mereka
yakin Ciamtay Boh-ko kalau mau pulang pasti akan melalui pelabuhan Ciau-ciu-wan sini. Sampai di sini, mendadak ia berhenti bicara.
"Sesungguhnya ada permusuhan atau sakit hati apa
antara kau dengan Ciamtay Boh-ko," Bilakah dia datang ke Tionggoan sini .... "
"Sssst, lihat itu!" sela Peng-say dengan mendesis.
Waktu Soat Koh berpaling mengikuti pandangan Pengsay, terlihat sebuah kereta berhenti di tepi dinding, dimana juga tertempel selembar poster. Tampak seorang pemuda
pendek gemuk melompat turun dari kereta, dipandangnya
sejenak poster itu. lalu mendengus, mendadak poster itu
dirobeknya. "Ciamtay Boh-ko!" seru Soat Koh dengan suara tertahan.
"Belum tentu, bisa jadi bukan Ciamtay Boh-ko sendiri, yang jelas Ciamtay Boh-ko pasti berada di sekitar sini dan belum berlayar!" desis Peng-say, raeksi suaranya sangat lirih, tapi Soat Koh dapat mendengar nada anak muda itu
sangat terangsang.
Sehabis merobek poster itu, pemuda pendek gemuk itu
lantas memaki: "Dirodok. siapa yang menempel poster ini"
Kalau tertangkap pasti kubeset kulitnya!"
Kemudian ia melompat ke atas kereta dan memerintahkan kusirnya: "Coba cari lagi, masih ada tidak?"
Waktu kereta itu berangkat, dari gang sebelah sana lantas menyelinap keluar empat orang, siapa lagi kalau bukan
keempat Tosu tadi Mereka terus menguntit di belakang
kereta itu. "Melihat sikapnya yang penasaran itu. kukira dia pasti Ciamtay Boh-ko sendiri," kata Soat Koh.
"Betul, dia memang Ciamtay Boh-ko!" ucap Peng-say dengan pasti.
Dari suara pemuda pendek gemuk tadi, dia dapat
memastikan orang adalah Ciamtay Boh-ko. Maklum, waktu
di Siau-ngo-tay-san dahulu, sebelum muncul Ciamtay Bohkoh sudah bersuara hendak membawa Sau Kim-leng pulang
ke Tang-hay, suaranya sampai sekarang masih dikenal oleh Peng-say.
Begitulah Peng-say dan Soat Koh lantas membuntuti
pula kereta itu, hanya jaraknya agak jauh, sampai keempat Tosu itupun tidak tahu.
"Kau tidak pernah bertemu dengan Ciamtay Boh-koh?"
tanya Soat Koh di tengah jalan.
"Hanya pernah kudengar suaranya," jawab Peng-say.
"Aneh, kalian tidak pernah bertemu, lalu cara bagaimana kalian bisa mengikat permusuhan?"
"Dia menangkap dan membawa lari kawanku, inilah
awalnya permusuhan kami."
"Kawanmu ditangkapnya, direbut kembali saja kan
beres, untuk apa mesti bermusuhan dengan orang yang
sukar direcoki ini?"
"Kau tidak tahu, kawanku itu ... . "
"Kawanmu kenapa?" tanya Soat Koh karena Peng-"ay tidak meneruskan ucapannya.
Bila teringat Cin Yak-leng sudah lebih sebulan diculik
oleh Ciamtay Boh-koh, hati Peng-say menjadi sakit seperti di-sayat2, sungguh ia tidak tahu betapa Cin Yak-leng telah di-"koyak2" oleb Ciamtay Boh-ko.
Sudah tentu sukar baginya
untuk menceritakan kekuatirannya itu kepada Soat Koh, maka ia hanya berkata:
"Tidak apa2, sebentar bila engkau suka bantu menyelamatkan dia terlepas dari cengkeraman iblis, selama hidup takkan kulupakan budi kebaikanmu."
"Mengapa kau bicara seperti terhadap orang yang tak kau kenal?" ujar Soat Koh dengan kurang senang.
"Kawanmu kan juga kawanku, jika Ciamtay Boh-ko tidak mau membebaskan kawanmu, biarlah kita melabrak dia,
persetan siapa bapaknya, kita tidak peduli."
Sepanjang jalan itu si pemuda pendek gemuk telah
merobek puluhan poster, setiba di pelabuhan, ia pesan pula kepada kusirnya: "Pergilah menyewa sebuah kapal layar ke lautan timur sana, uang sewa tidak soal bagiku."
Si kusir mengiakan terus pergi mencari kapal. Pada saat
itulah muncul belasan Tosu dan mengepung kereta kuda
itu. Terdengar seorang Tosu tua bertanya: "Apakah Ciamtay-kongcu berada di dalam?"
Tapi sampai sekian lama tiada suara jawaban dari dalam
kereta. Tosu tua itu berkata pula: "Kongcu tidak perlu sewa kapal
lagi, sudah lama kami siapkan sebuah kapal bagimu dan sedang menunggu kedatangan Kongcu."
Baru sekarang terdengar pemuda pendek gemuk itu
bersuaru: "Apakah kalian yang menempel poster penangkapan Ciamtay Boh-ko dengan hadiah itu?"
"Ya, maaf, kalau tidak begitu, cara bagaimana kami
dapat mengenali Wajah Ciamtay kongcu?" jawab si Tosu itu dengan ramah..
"Aku inilah Ciamtay Boh-ko, kalian mau apa?" kata pemuda pendek gemuk itu.
"Anak murid Bu-tong sengaja datang kemari untuk
mengantar Kongcu sendiri naik keatas kapal," kata si tosu tua.
"Sendiri" Kalau kami berdua?" jengek Ciamtay Boh-ko.
"Entah siapa lagi yang seorang?"
"Isteriku!"
Mendadak sekujur badan Peng-say rada gemetar demi
mendengar kata2 itu.
"Apakah kawanmu itu perempuan?" tanya Soat Koh tiba2.
Saat itu telinga Soat Peng-say hanya ter-ngiang2 kata
"isteriku" yang diucapkan Ciamtay Boh-ko itu, pertanyaan Soat Koh sama sekali tak terdengar olehnya. Merasa tidak digubris, dengan sendirinya Soat Koh merasa kurang
senang, dengan mulut menjengkit ia melengos ke sana.
Dalam pada itu terdengar Tosu tua itu sedang bertanya
pula: "Berada di mana nyonya anda sekarang" Siapa
namanya yang terhonnat?"
"Dia berada di dalam kereta, jika mampu boleh kalian merampasnya!" seru Ciamtay Boh-ko dengan tertawa latah.
"Ah, mana berani kami sembarangan bertindak," ujar si Tosu tua. "Tapi kalau nyonya anda ialah puteri Pak-cay, maka disilakan dia suka ikut ke tempat kami di Huiciu."
"Hm, kalian hanya mengundang dia dan tidak
mengundang diriku?" jengek Ciamtay Boh-ko.
"Jika Kongcu suka ikut ke sana, tentu saja kami sambut dengan senang hati," kata Tosu itu.
"Apa maksud tujuan kalian mengundang isteriku?" teriak Ciamtay Boh-ko dengan gusar.
"Kami bertindak menurut perintah, lebih dari itu kami tidak tahu," jawab si Tosu tua.
"Kalau tidak kuizinkan dia pergi?"
"Jika begitu, maaf, Kongcu! . . . ."
"O, maksudmu mau-tak-mau kalian harus membawanya
pergi" Bagus, bagus, kalian sembarangan menempel poster, memangnya sedang
kupertimbangkan
apakah harus kubunuh kalian atau tidak, tampaknya sekarang kalian
memang pantas dibinasakan. . . ." Baru habis kata
"dibinasakan"
terucapkan sesosok bayangan lantas menubruk keluar dari kereta. Tidak jelas senjata apa yang dipakai, tahu2 para Tosu yang mengepung kereta itu sama
menjerit, darah daging berhamburan, hanya sekejap saja
tiga orang Tosu telah binasa dengan pinggang tertabas
kutung. "Rebut kereta dan serbu!" teriak si Tosu tua dengan gusar.
Mendengar aba2 itu, serentak kawanan Tosu itu
membagi diri menjadi dua kelompok, yang satu berusaha
merebut kereta, yang lain mengerubut Ciamtay Boh-ko.
Belum lagi kawanan Tosu yang merebut kereta itu
sempat melarikan kereta, terdengar suara "blak-bluk"
beberapa kali, kawanan Tosu yang mengerubut Ciamtay
Boh-ko itu semuanya roboh dengan tubuh tertabas putus
sebatas pinggang.
"Cui-hun, larikan kereta ke selatan, kawan2 lain
mencegat musuh!" teriak li Tosu tua. ia tahu musuh terlalu lihay, untuk mengalahkannya jelas tidak mampu, yang
diharap hanya merintanginya, sementara agar Cui-hun
cukup waktu untuk kabur bersama keretanya.
Begitulah dengan memimpin sisa lima orang kawannya.
Tosu tua itu terus menerjang ke arah Ciamtay Boh-ko,
Senjata Ciamtay Boh-ko adalah sebilah golok sabit,
begitu cepat permainan goloknya, sekali tabas tentu jatuh satu korban, tiada serangan kosong. Hanya Tosu tua itu
saja yang mampu menangkis satu kali, tapi serangan kedua juga tidak sanggup ditahannya, nasibnya serupa para
Sutenya, iapun binasa dengan tubuh putus menjadi dua.
Kematian keenam Tosu itu hanya berlangsung dalam
waktu singkat, namun kereta tadipun sudah dilarikan
belasan tombak jauhnya.
Ciamtay Boh-ko mengincar baik2 pinggang Cui-hun
Tojin yang mengendarai kereta itu, lalu goloknya
disambitkan. Golok sabit itu terus menyambar ke sana
dengan berputar seperti roda, hanya sekejap saja Cui-hun sudah tersusul, "kres' pinggang Cui-hun tertabas dengan
telak, golok itu menancap di kabin kereta dan bergetar.
Mayat Cui-hun yang terbagi menjadi dua potong lantas
terguling ke bawah kereta. Karena kehilangan pengendali, kereta itu berlari sendinan ke depan, tapi tidak seberapa jauh lantas berhenti dengan sendirinya.
Dengan tersenyum angkuh Ciamtay Boh-ko mendekati
kereta itu dengan pelahan, dipegangnya selongsong
moncong kuda, kereta itu dibawanya kembali ke tempat
semula. Hampir semua kuli pelabuhan menyaksikan pertempuran
ngeri tadi, mereka sama ketakutan. seketika mereka
terkesima dan tiada yang berani bergerak, rupanya kuatir menimbulkan salah sangka pemuda pendek gemuk itu,
jangan2 golok sabit akan menyambar tiba dan jiwa ikut
melayang. Terhadap mayat yang bergelimpangan di sekitarnya,
Ciamtay Boh-ko anggap tidak tahu saja, dengan
menggendong tangan ia memandang jauh ke lautan sana,
ditunggunya berita si kusir yang disuruhnya pergi mencarter kapal tadi.
Soat Peng-say juga terkesima menyaksikan kejadian
hebat tadi, sama sekali tak disangkanya Ciamtay Boh-ko
bisa sedemikian lihaynya. Ia menyadari, bila tidak dibantu Soat Koh, jelas dirinya cuma akan mengantar nyawa
percuma. Tapi apapun juga dia tidak dapat menyaksikan Cin Yakleng dibawa pergi, segera ia berpaling dan minta bantuan:
"Nona Soat, marilah kita maju bersama."
Tak terduga, Soat Koh hanya menggeleng saja.
jawabnya: "Tidak, aku masih ingin hidup lebih lama lagi, maaf, tak dapat kupenuhi permintaanmu."
"Tapi. . .tapi kau kan sudah menyanggupi. . . ."
"Betul, pernah kusanggupi akan ikut kau keluar lautan dan juga kusanggupi akan menempur Hong-hoa Wancu . . .
. " "Dan sekarang aku cuma mohon engkau suka bantu
menempur Ciamtay Boh-ko saja."
"Bertempur bukan soal bagiku, paling2 cuma mati
dengan pinggang putus tertabas. Hanya ingin kutanya,
berharga tidak kematian demikian?"
"Demi menolong kawan, masa tidak
berharga" Bukankah dunia persilatan paling mengutamakan setia
kawan?" "Di mana kawanmu?" tanya Soat Koh.
"Berada di dalam kereta itu," jawab Peng-say.
"Hm, jelas2 yang di dalam kereta itu adalah isteri orang, mengapa anda bersusah payah hendak menolongnya?"
jengek Soat Koh.
Air muka Peng-say tampak sangat pedih, ia menggeleng
dan berkata dengan pasti: "Tidak mungkin terjadi. Adik Leng jelas diculik oleh dia. Jangan kau percaya ocehannya, tidak nanti adik Leng mau menjadi isterinya."
"Pernah hubungan apa adik Leng dengan kau?" tanya Soat Koh.
"Dia Piaumouyku, puteri Kiu-bun-te-tok di Pakkhia itu."
"Hanya begitu saja?" Soat Koh menegas.
"Memangnya kau sangka di antara kami ada hubungan
sesuatu yang tidak beres" Jika terdapat pikiranmu yang
kotor ini, aku lebih suka tidak minta bantuanmu."
Soat Koh menghela napas, katanya: "Soalnya kulihat kau sangat memperhatikan dia, Bukan soal bagiku membantu
kau, tapi tidak kuharapkan kau teramat memperhatikan
dia." Peng-say merasa heran dalam keadaan demikian si nona
sempat mengutarakan hal2 yang aneh ini, ia mendongkol,
katanya: "Jangan kuatir, dengan membantuku jiwamu
takkan melayang."
"Jiwa melayang bukan soal pokok bagiku, asalkan kau berjanji, bilamana beruntung tidak sampai mampus,
selanjutnya kau tidak akan bertemu lagi dengan Piaumoaymu."
"Hah, sungguh aneh permintaanmu ini." seru Pang-say dengan mendongkol. "Nona Soat, terima kasih atas
bantuanmu, silakan kau pergi saja, aku sendiri sanggup
menghadapi musuh."
"Jangan mengantar nyawa, bisa jadi kau punya adik
Leng tidak berada di dalam kereta itu," seru Soat Koh sambil memegang tangan anak muda itu.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak Peng-say berteriak, "Leng-moay, Leng-moay, apakah kau berada di dalam kereta"!"
Cin Yak-leng berada di dalam kereta, dia tertutuk dan
tak dapat bergerak, demi mendengar suara Peng-say, ia kegirangan setengah mati dan segera berteriak:
"Peng-ko, Peng-ko! "
Peng-say berpaling memandang Soat Koh, maksudnya
ingin membuktikan bahwa adik Leng jelas berada di dalam
kereta. Kecut hati Soat Koh demi mendengar seruan si nona di
dalam kereta itu sedemikian mesranva terhadap si Jilengcu.
Ia tidak menggubris terhadap sorot mata Peng-say yang
ingin mohon bantuannya itu.
"Jadi kau .... kau. . ." Peng-say tidak dapat melanjutkan karena merasa kecewa atas sikap si nona.
Lantaran tidak mendapatkan jawaban Peng-say, terdengar Cin Yak-leng berteriak pula: "Peng-ko, Peng-ko, lekas kemari tolonglah aku. . . ."
Seketika darah Peng-say bergolak, tanpa menghiraukan
bahaya apapun segera ia lepaskan pegangan Soat Koh dan
melangkah kesana. Ia berbenti setelah berhadapan dengan
Ciamtay Boh-ko dalam jarak kira2 dua tiga meter.
Pelahan2 Ciamtay Boh-ko membalik tubuh dan mengamat2i Peng-say sejenak, habis itu meadadak ia tertawa terbahak2.
"Leag-moay,
Leng-moay! Hahahaha! Alangkah mesranya panggilanmu tadi?" demikian ia ber-olok2. "Tapi apakah kau tahu bahwa Leng-moay sudah menyanggupi
akan menjadi isteriku?"
"Tidak, aku tidak pernah menyanggupi," cepat Cin Yak-leng menyela "Kubilang demi keselamatan Peng ko barulah kusanggupi, aku tidak berjanji dengan sesungguh hati."
= Sanggupkah Peng say melawan Ciamtay Boh-ko yang
lihay itu dan dapatkah dia merampas kembali Cin Yakleng" = Apakah Soat Koh akan membantu Peng-say "
"== Bacalah jilid selanjutnya =="
-ooo0dw0ooo- Jilid 11 Rupanya tempo hari Liok-ma telah mengancam Cin
Yak-leng dengan jiwa Soat Peng-say agar nona itu mau
mengaku sebagai Sau Kim-leng serta berjanji akan dijadikan isteri Ciamtay Boh-ko, tanpa melawan ia lalu ikut pergi
bersama Ciamtay Boh-ko.
Karena jiwa Soat Peng-say bergantung kepada Liok-ma,
terpaksa Cin Yak-leng menerima kehendak Liok-ma,
makanya waktu Ciamtay Boh-ko meninggalkan Ling-hiangcay, dia menyangka Cin Yak-leng yang dibawanya itu ialah Sau Kim-leng. Dia sangat gembira, ia membawa nona itu
pesiar ke-mana2 sepanjang perjalanannya menuju ke Ciauciu-wan, dan situ ia hendak berlayar dan pulang.
Meski Ciamtay Boh-ko ini sudah biasa suka main
perempuan, tapi sejak kecil iapun mendapat pendidikan
secara keras, jadi bukan bangsa asing yang masih biadab.
Iapun tahu Sau Kim-leng adalah adik kandungnya sendiri
dan tidak boleh diganggu, maka selama sebulan ini Cin
Yak-leng masih tetap suci bersih.
Padahal Ciamtay Boh-ko cuma pura2 menyatakan
hendak membawa Sau Kim-leng pulang ke lautan timur,
bila hal ini sudah terlaksana, tujuannya juga bukan ingin menikahi adik kandungnya sendiri. Dalam hal ini dia dan
ayahnya, yaitu Ciamtay Cu-ih memang ada maksud tujuan
lain yang telah direncanakan sebelumnya.
Pada waktu Cin Yak-leng mengaku sebagai Sau Kimleng dan berjanji akan menikah dengan Ciamtay Boh-ko
serta ikut dia pulang ke Tang-hay, tapi di depan Liok-ma ia telah menyatakan dengan tegas, yakni: Demi jiwa Peng-ko, makanya kuterima kehendakmu.
Sudah tentu Ciamtay Boh-ko merasa bingung oleh
ucapan itu, ia cuma tahu kekasih "Sau Kim leng" disebut
"Peng-ko" atau kakak Peng, tapi mengenai apa sebabnya
demi jiwa Peng-ko si nona mau ikut dia pulang ke Tanghay, hal ini tetap sukar dipahaminya. Baru sekarang untuk pertama kalinya dia berhadapan dengan si "Peng-ko" yang disebut Cin Yak-leng itu.
Begitulah Soat Peng-say menjadi bingung juga demi
mendengar bantahan Cin Yak-leng tadi, segera ia bertanya:
"Leng-moay, apa katamu" Demi keselamatan jiwaku?"
Yak-leng tidak berani menjelaskan isi hatinya di depan
Ciamtay Boh-ko, sebab kuatir orang akan pergi mencari lagi Sau Kim-leng yang tulen sehingga bisa menimbulkan
dendam Liok-ma karena dirinya tidak pegang janji, lalu
jiwa Peng-say akan terancam lagi.
Yang penting sekarang Peng-say terbukti selamat, ia
mengira Liok-ma telah menepati janjinya, maka ia lantas
berseru: "Peng-ko, jangan banyak bertanya, lekaslah menolong diriku!"
Mendadak Ciamtay Boh-ko melolos golok sabitnya yang
masih menancap di kabin kereta itu, lalu berkata kepada
Soat Peng-say sambil menyeringai: "Kau ingin selamat atau tidak?"
Sementara itu Peng-say sudah membuat sepasang pedang
yang cocok dipakai, cepat ia melolos sebilah pedangnya dan siap tempur. Padahal dalam hati ia sangat takut, hanya
lahirnya saja ia berlagak tenang.
Melihat ketegangan Soat Peng-say seperti menghadapi
musuh besar di medan perang, Ciamtay Boh-ko merasa geli, ia menengadah dan ter-bahak2, ucapnya menghina:
"Kongcumu takkan membunuh kau, agar adk Ling tidak
benci padaku selama hidup bila kubunuh kau. Hendaklah
kauturut saja kepada perintahku, lekas kau pergi, kalau
tidak, pinggang tertabas putus, kan celaka!"
Tapi Peng-say diam saja tanpa menanggapi, ia kuatir bila sedikit lengah dan tahu2 golok sabit lawan menyambar tiba, kan jiwanya bisa melayang.
"Bagaimana, ketakutan ya"!" jengek Ciamtay Boh-ko dan mendadak ia pura2 membacok.
Tapi Peng-say bukanlah pemuda penakut, gertakan ini
masih dapat ditahannya, ia tetap berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak.
"Sret sret", kembali Ciamtay Boh ko menabas dua kali, serangan pura2, tapi juga sungguh2. Bila Peng say tidak
dapat menahan diri, bisa jadi serangan pancingan itu
berubah menjadi sungguhan dan dia tentu akan terserang
dengan kelabakan.
Untung tidak percuma dia berlatih Kungfunya, ia tahu
dalam keadaan demikian diperlukan ketenangan dan
kesabaran, semakin gugup semakin celaka. Untuk menjaga
segala kemungkinan, pelahan2 ia menyisipkan tangan
kanan pada ikat pinggangnya.
Ciamtay Boh-ko jadi melengak melihat tindakan Peng
say itu, pikirnya: "Busyet, menghadapi lawan tangguh, jelas kau
ketakutan, sekarang kau malah. sengaja menyembunyikan sebelah tanganmu, apakah kau sengaja
hendak membikin dongkol padaku" Bagus, ingin kulihat
hanya dengan satu tangan saja berapa jurus kau mampu
menangkis seranganku?"
Ia benar2 marah. tapi tidak memperlihatkan perasaannya. Mendadak golok sabit berkelebat, secepat kilat ia menabas.
Dia cepat, tapi Peng-say juga tidak lambat. Ia tahu
pentingnya momen, sedetikpun tidak boleh terlambat.
Pedang yang dipegangnya tetap berada di dalam sarungnya
dan mendadak menegak sebatas pinggang, "trang", sarung pedang yang terbuat dan kulit itu tertabas dan bagian bawah lantas terlepas dan jatuh.
"Bagus, tangkis lagi satu kali?" seru Ciamtay Boh-ko, kembali golok sabit berkelebat, gaya serangannya tidak
berubah. Peng-say juga tetap memegang pedangnya dan tidak
sempat berganti cara lain, ia tetap menegakkan pedang di depan dada untuk menangkis. Maka sarung pedang yang
sudah terlepas sebagian itu kembali tertabas sepotong pula.
Serangan Ciamtay Boh-ko bertambah gencar, ia
membacok satu kali dari kanan dan menabas pula dari kiri, serangan berantai, setiap tabasan tidak pernah jauh dari batas pinggang Soat Peng-say, dia se-akan2 ingin
menyatakan kalau tabasannya tidak tepat mengenai
pinggang anak muda itu, andaikan dapat membunuhnya
juga kurang cemerlang.
Sebaliknva setiap Peng-say menangkis satu kali,
pedangnya lantas tertekan beberapa senti ke bawah, hal ini disebabkan kekuatannya jauh di bawah Ciam-tay Boh ko,
maka setiap kali setelah menangkis, setiap kali pula
tenaganya berkurang.
Sampai serangan kesebelas, ujung pedang Peng-say yang
menegak itu sudah hampir menyentuh tanah, sarung
pedangnya yang tiga kaki panjangnya itu pun tersisa
beberapa inci saja. Melihat gelagatnya jika dia menangkis lagi dua-tiga kali, tangannya yang memegang gagang
pedang itu berikut sisa sarung pedang pasti akan tertabas putus oleh golok Ciamtay Boh-ko.
"Hahahaha! Apa abamu sekarang"!" seru Ciam?tay Boh-ko dengan bergelak tertawa. "Akan kubuntungi tangan
kirimu, ingin kulihat tangan kanan akan kau gunakan atau tidak?"
Sembari bicara kembali ia membacok lagi dua kali dan
tangan Soat Peng-say tertekan lebih kebawah lagi. Bacokan kedua kali terakhir itu meski tetap mengenai batang pedang, tapi jelas menyambar lewat di tepi tangan Peng say.
Peng say menyadari bila lawan menabas lagi, tentu
tangan sendiri akan tertabas dan akhirnya tetap tak
terhindar dari kematian ditabas putus pinggangnya.
Bila dia ragu lagi, mungkin kesempatan melolos pedang
yang lainpun ter-sia2. Keadaan tidak memungkinkan dia
banyak berpikir pula, dia harus bertindak.
Begitulah pada detik terakhir, mendadak ia tekan
pedangnya ke bawah, ujung pedang menancap tanah, ia
bertekad tetap akan mempertahankan pedangnya sekalipun
tangan sendiri akan tertabas.
Soat Koh cukup paham watak nekat Peng-say itu, ia tahu
anak muda itu tidak nanti membuang pedangnya untuk
mencari selamat. Betapapun ia tidak sampai hati untuk
tinggal diam dan menyaksikan temannya dicelakai orang.
Maka ketika ujung pedang Peng-say tercancap di tanah dan golok sabit menyambar, mendadak iapun bergerak, "trang", ia tergetar mundur bersama Ciamtay Boh-ko.
Keruan Ciamtay Boh-ko terkejut, tak diduganya seorang
nona muda jelita memiliki kekuatan setingkat dengan
dirinya. Padahal tenaga Soat Koh lebih lemah daripada Soat
Peng-say, apalagi kalau dibandingkan Ciamtay Boh-ko"
Soalnya Ciamtay Boh-ko sudah menabas belasan kali pada
pedang Peng-say sehingga tenaganya sudah banyak
terbuang, sedangkan Soat Koh bertujuan menolong Pengsay, tangkisannya menggunakan sepenuh tenaganya, dalam
keadaan demikian tampaknya menjadi sama kuatnya ketika
beradu senjata dan sama2 tergetar mundur.
Ciamtay Boh-ko hidup jauh di lautan timur sana, sudah
biasa memerintah dan dipuja, hampir tidak pernah
memandang sebelah mata terhadap siapapun juga.
Sekarang meski menyangka tenaga Soat Koh sangat kuat, ia hanya tercengang sejenak saja dan tidak menghiraukannya
lagi, serunya dengan tertawa: "Aha, memang sejak tadi seharusnya nona maju membantu lakimu ini."
Mendengar ucapan Ciamtay Boh-ko itu, Cin Yak-leng
yang meringkuk di dalam kereta menjadi heran siapakah
nona yang dimaksudkan itu. Padahal ia yakin sang "Peng-ko" pasti mampu melabrak dan menghalau Ciamtay Bohko, tak tahunya sekarang sang kakak Peng itu malah perlu bantuan orang. Kata2 "lakimu" ucapan Ciamtay Boh-ko tadi sangat menusuk perasaannya, sayang dia tertutuk dan tak bisa berkutik, kalau tidak, biarpun terluka dalam yang parah juga dia akan berdaya untuk melongok keluar. untuk melihat bagaimana macamnya si nona yang hendak
membantu kakak Peng itu.
Begitulah terdengar Soat Koh lagi berkata dengan
tertawa: "Ngaco-belo, dari mana kau tahu dia itu lakiku?"'
Ucapan Soat Koh ini sebenarnya sangat janggal dan
lucu, dia mendamperat orang "ngaco-belo" tapi bertanya pula "dari mana kau tahu", dua kalimat yang bertentangan, apalagi diucapkan dengan tertawa, jadi se-akan2 dia senang orang bilang Soat Peng-say adalah "laki"nya, lalu dia tambahkan pertanyaan "dari mana kau tahu;" agar orang menjelaskan alasannya.
"Sejak tadi kalian kasak-kusuk disamping
sana memangnya kau kira aku tidak tahu?" jawab Ciam-tay Bohko. "Kulihat lelaki itu tidaklah suka padamu, buktinya dia datang untuk menolong seorang gadis lain, buat apa kau
membelanya mati2an?"
"Kau ngaco!' bentak Soat Koh.
"Hahaha, jika benar dia suka padamu, mengapa dia
membela perempuan lain dengan mati2an?" seru Ciamtay Boh-ko dengan bergelak. "Makanya, nona manis, untuk apa kau bersusah payah membantu dia, kan sia2 belaka cintamu padanya?"
"Jangan percaya pada ocebannya, dia sengaja memecah-belah kita!" teriak Peng-say.
"Ha, kau kira aku akan takut jika dia membantu kau?"
jengek Ciamtay Boh-ko.
Sementara itu lengan kiri Peng-say yang kesemutan tadi
sudah pulih kembali tenaganya, walaupun tidak setangkas
semula, untuk memainkan pedang rasanya sudah kuat.
Segera ia membentak: "Jika tidak takut, boleh kau coba!"
"Huh. mantap benar ucapanmu, sedangkan orang mau
membantu kau atau tidak kan juga belum jelas"!" kata Ciamtay Boh-ko.
Setelah merenungkan perkataan Ciamtay Boh-ko tadi,
makin dipikir rasanya makin benar, mendadak Soat Koh
berseru: "Aku tidak membantu dia!"
"Nah, dengar tidak" Dia bilang tidak membantu kau?"
dengan tertawa Ciamtay Boh ko menjengek.
Tapi mendadak Pang-say berteriak: "Kiong-Siang-kutthau!" "Apa katamu?" Ciamtay Boh-ko terkejut.
Belum lenyap suaranya, jurus serangan "Kiongsiang?kut-thau", jurus pertama Siang-liu-kiam-hoat, sudah dilancarkan Peng-say.
Mendadak meadengar istilah jurus serangan itu, Soat
Koh terkejut, ketika dilihatnya pula anak muda itu telah menyerang, tanpa terasa iapun ikut melancarkan jurus
serangan yang sama.
Jurus "Kiong-siang-kut-thau" yang dilancarkan dengan dua gerakan yang berbeda, begitu bergabung serentak
menimbulkan daya ancaman yang luar biasa.
Gerak perubahan Ciamtay Boh-ko waktu menghadapi
musuh boleh dikatakan cepat sekall, malahan selalu berebut mendahului. Cuma sayang, kecepatan Kungfu Tang-wan
yang termashur itu kini kebentur Siang-liu-kiam-hoat,
segala serangan mautnya menjadi sukar dikembangan.
Malahan untuk menangkis jurus pertama Kiong-siang-kutthau saja dia merasa kerepotan.
Setelah dua-tiga jurus, Ciamtay Boh-ko tambah
kelabakan, ia berteriak gusar: "Kenapa mulutmu mencla-mencle, nona" Kau bilang tidak membantu dia, mengapa
sekarang kau ikut bertempur?"
"Aku memang tidak membantu dia!" seru Soat Koh dengan muka bersungut.
"Kalau tidak membantu dia, silakan pergi saja!" seru Ciamtay Boh-ko sambil menangkis dengan susah payah.
"Tadi kudengar kau suruh dia menggunakan tangan
kanan?" kata Soai Koh. "Karena dia tetap tidak mau menggunakan tangan kanan, maka aku mewakilkan dia
menggunakan tangan kanan."
Makin bertempur makin ngeri Ciamtay Boh-ko oleh
serangan gabungan lawan yang lihay, ia memaki: "Budak
busuk, tampaknya kau sudah ter-gila2 padanya! Tangan
kanannya kan tidak buntung untuk apa kau mewakilkan
dia" Huh, tidak tahu malu, dasar tidak laku kawin, maka
kau ter-gila2 padanya meski orang tidak sudi padamu. Hm, belum pernah kulihat budak bermuka tebal macam kau ini,
masa perempuan ter-gila2 kepada lelaki" Jika kau tidak
tahan, kenapa tidak mengecer saja di tepi jalan!"
Rupanya Ciamtay Boh-ko ingin memancing kepergian


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Soat Koh, tak tahunya makin dimaki makin gencar dan
lihay serangan Soat Koh. Makian terakhir itu terlalu kotor dan sangat menusuk perasaan, saking gemasnya, saat itu
kebetulan Soat Koh dan Peng-say lagi memainkan jurus ke13 yang disebut "Siau-go-yan-he" atau lengkingan angkuh pancaran perasaan, mendadak Soat Koh bersiul nyaring,
pedang terus disambitkan dan kontan menembus dada
Ciamtay Boh ko. Kontan Ciamtay Boh-ko menjerit ngeri
dan terkapar mandi darah.
Peng-say tidak keburu mencegah tindakan nona, cepat ia
menarik kembali pedangnyn. Dilihatnya Soat Koh telah
mencabut lagi pedangnya yang lain terus menerjang ke arah kereta.
Keruan Peng-say terkejut, cepat ia memburu maju dan
menusuk dengan pedangnya sambil membentak: "He, kau mau apa?"
"Akan kubunuh dia (maksudnya orang yang berada di
dalam kereta, Cin Yak-leng)!" seru Soat Koh tanpa
menoleh. Tusukan Peng-say tadi mengenai tempat kosong,
tampaknya tak sempat lagi merintangi si nona, terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk menusuk lagi. Meski dia
tidak melolos pedang kedua, tapi serangan dengan
melepaskan pedang pertama adalah hasil latihannya selama
lima tahun, yaitu setengah jurus dari serangan dua pedang sekaligus, jitu lagi cepat Kontan bahu kanan Soat Koh
tertusuk dengan tepat.
Sudah tentu Soat Koh tidak menyangka Peng-say berani
melukainya, ia kesakitan sehingga pedang sendiri terlepas dari pegangan, mendadak ia membalik tubuh, tangan kiri
dengan cepat memegang ujung pedang Peng-say yang
melukai bahunya itu sambil berseru pedih: "Kau .... kau. . .
." Sembari berseru, sekuatnya ia terus menarik. Kuatir
melukai tangan si nona, cepat Peng-say melepaskan rantai yang menggandeng pedang itu.
Tanpa menghiraukan luka di belakang bahunya Soat
Koh pegang pedang rampasan itu dan berteriak: "Gurumu bukan Tio-lotoa melainkan bernama Tio Tay-peng, betul
tidak?" Peng-say mengangguk, dengan penuh rasa penyesalan ia
berkata: "Lukamu. . . ."
"Tidak perlu kau ber-pura2 simpatik," bentak Soat Koh.
"Ingin kutanya padamu, mengapa kau dusta padaku dan bilang gurumu bernama Tio-lotoa?"
"Kalian guru dan murid tidak senang terhadap guruku, dengan sendirinya tak dapat kukatakan nama asli beliau. . .
." "Gurumu telah menabas buntung lengan kiri guruku, tak tersangka sejarah hampir terulang lagi," kata Soat Koh dengan tersenyum getir. "Ingat, pada suatu hari pasti akan kubalas melukai bahu kirimu dengan pedangmu ini, sama
halnya seperti guruku balas membuntungi lengan kanan
gurumu dahulu!"
Habis berkata, tanpa berpaling lagi ia terus berlari pergi.
"Soat Koh, Soat Koh, berhenti! Dengarkan penjelasanku
..." seru Peng-say.
Tapi seorang mendadak menukas: "Penjelasan apalagi"
Bicaralah dengan kami!"
Peng-say berpaling dan melotot, dilihatnya entah sejak
kapan delapan penunggang kuda telah mengitarinya, yang
bicara itu adalah seorang kakek kurus kecil berusia lima puluhan lebih.
Seorang lagi yang tampak tinggi besar lantas menegur
Peny-say pula: "He, Tosu yang menggeletak di sana itu
apakah kau yang membunuhnya?"
Sementara itu Soat Koh telah menghilang di tengah
orang banyak sana. dengan perlahan Peng-say lantas
membalik tubuh.
Didengarnya seorang laki2 berusia 30-an dan berdandan
seperti pekerja kasar sedang membentaknya: "Samsuko kami bertanya padamu, kau dengar tidak?"
Peng-say tidak ingin banyak cingcong dengan mereka, ia
menjawab singkat: "Dengar, bukan aku yang membunuh
mereka!" Seorang yang berdandan seperti saudagar dan membawa
Swipea ikut bertanya: "Dengan sendirinya bukan kau yang membunuh mereka, hanya sedikit ilmu pedangmu yang
tidak berarti ini masa dapat membunuh Tosu Bu-tong-pay?"
Seorang muda yang pendek kecil seperti monyet lantas
menukas: "Kukira ucapan Gosuko ini kurang tepat. Ilmu pedang Pak-cay cukup terkenal, mana baleh diremehkan?"
Saudagar yang membawa Swipoa itu menjawab: "Ilmu
pedang Pak-cay memang terkenal, tapi anak murid Sausupek itu rata2 tidak becus, betapapun hebat ilmu pedang
yang diajarkan kepada mereka jadinya tak keruan setiba di tangan mereka."
"Tepat, betul," seru si monyet sambil berkeplok tertawa.
"Kiranya Gosuko bicara mengenai orangnya dan bukan
soal ilmu pedangnya."
Padahal sebelum orang2 ini datang ke sini, sebelumnya
mereka sudah mendapat keterangan bahwa kawanan Tosu
itu dibunuh oleh putera Ciamtay Cu-ih, merekapun
menyaksikan pula Soat Peng-say bergabung dengan Soat
Koh dan berhasil membunuh Ciamtay Boh-ko, padahal
Ciam-tay Boh ko adalah keturunan salah seorang Su-ki atau empat sakti, betapa tinggi kepandaian Ciamtay Boh-ko
dapatlah dibayangkan.
Namun mereka tidak suka kepada anak murid Sau Cengin dari Pak cay, sebab sejak sang guru hilang. anak
muridnya sama sekali tidak menaruh perhatian, bahkan
tidak mau membantu ibu guru, mereka menganggap Pakcay sudah tamat riwayatnya dan sama bubar mencari
jalannya sendiri2. Orang2 yang tidak setia kepada
pergurnan ini sudah tentu dipandang hina oleh mereka.
Sedangkan usia Peng-say dan Soat Koh hanya likuran
saja, jelas mereka tidak mungkin adalah murid Sau Ceng-in, tapi ilmu pedang yang mereka mainkan bergaya Pak-cay,
maka mereka menyangka Peng-say berdua adalah cucu
murid Sau Ceng-in.
Kalau anak murid Sau Ceng-in saja dipandang hina oleh
mereka, dengan sendirinya cucu muridnya lebih2 diremehkan oleh mereka, maka begitu berhadapan mereka
lantas ber-olok2 dan menyindirnya.
Selain beberapa orang yang bicara tadi, di antara
rombongannya ada lagi tiga orang yang berusia 18 atau 19
tahun, mungkin mereka belum berpengalaman dan baru
saja ikut para Suhengnya berkelana, mereka belum pintar
putar lidah seperti kawannya, mereka hanya mendengarkan
saja di samping.
Diantara lima orang yang telah buka suara tadi, si
monyet tadi terhitung paling muda, kira2 baru likuran, tapi jelas sudah berpengalaman beberapa tahun merantau
Kangouw, mereka dapat membedakan ilmu pedang dari
berbagai aliran den golongan, juga ilmu pedang gaya Pakcay yang dimainkan Peng say dan Soat Koh tadi dapat
dikenali mereka, cuma tiada seorangpun yang tahu bahwa
limu pedang itu sebenarnye adalah Siang-liu-kiam-hoat
yang mengguncangkan dunia Kangouw dari sinipun dapat
diketahui babwa pengetahuan merekapun kurang luas.
Padahal Soat Peng-say hakikatnya bukan murid Pak-cay.
maka ia tidak ambil pusing biarpun orang menyindirnya,
diam2 ia malahan membenarkan ucapan si saudagar yang
membawa swipoa tadi, yang diherankan Peng-say adalah
apa sebabnya Siang-liu-kiam-hoat yang dimainkannya bisa
disangka ilmu pedang Pak-cay.
Diam2 ia berpikir: "Melihat Thay-yang-hiat (bagian
pelipis) mereka sama menonjol dan sinar mata yang tajam, jelas mereka ini anak murid perguruan ternama, pula guru mereka pasti ada hubungan yang sangat erat dengan Sau
Ceng-in dari Pak-cay, makanya sekali pandang mereka
dapat mengenali gaya ilmu pedang Siaug-liu-kiam-hoat."
Pelahan ia lantas mendekati kereta dan memanggil:
"Leng-moay!"
Tapi Cin Yak-leng tidak menggubrisnya.
Mendadak si kakek kurus kering tadi bertanya: ; "Yang di
dalam kereta apakah nona Sau Kim-leng?"
Cin Yak-leng tidak menjawab panggilan Peng-say tadi,
sebaliknya menanggapi pertanyaan si kakek: "Betul, aku she Sau bernama Kim-leng."
Peng-say jadi melengak, ia heran mengapa Yak-leng
sengaja mengaku sebagai Sau Kim-leng, cepat ia berseru:
"He, Leng-moay, kau . . . . "
Sudah tentu Yak-leng tahu apa yang akan diucapkan
anak muda itu, omelnya: "Jangan kau panggil diriku. aku tidak bicara dengan kau!"
Si kakek kurus sangat menghina guru Soat Peng-say dan
Soat Koh, tadi iapun mendengar Soat Koh menuduh guru
Peng-say memenggal lengan kiri guru si nona, maka ia
yakin guru kedua muda-mudi itu pasti bukan orang baik2.
Kalau gurunya saja bukan orang baik, tentu anak didik
mereka tak dapat diharapkan akan baik.
Karena itulah ia lantas membentak: "Pergi, enyah kau!
Tak tahu sopan santun. memangnya kata Leng-moay boleh
sembarangan kau panggil?"
Peng-say jadi mendongkol, jawabnya: "Aku tidak boleh memanggilnya, memangnya kakek sialan macam kau boleh
memanggilnya?" Sabar juga kakek itu, meski dianggap
"kakek sialan" oleh Soat Peng-say, ia tidak menjadi marah, katanya: "Sudah tentu aku boleh memanggilnya demikian.
Nah, Leng-moay, Leng-moay. . . ."
"Hah, alangkah ngerinya!" sela Peng-say dengan tertawa.
"Ngeri apa maksudmu?" tanya si kakek.
"Habis, usiamu sudah tua, menjadi ayah adik Leng saja lebih daripada cukup, tapi kau memanggilnya adik dengan
mesra. apakah tidak merasa ngeri?"
"Anak busuk, buta barangkali matamu?" omel si kakek dengan aseran "Kau tahu siapakah tuanmu ini?"
"Sudah tentu kutahu, tidak lebih cuma seorang kakek kecil dan kurus kering," jawab Peng-say.
Serentak ketujuh saudara seperguruan si kakek membentak: "Kurang ajar!"
Si monvet bahkan lantas menggulung lengan baju dan
mendamperat: "Anak kurang ajar. kalau tidak kulabrak agaknya kau tidak tahu kelihayan tuanmu ini!"
Peng say tidak gentar, dengan tegas ia menjawab: "Mau berkelahi" Bagus, hayolah maju!"
Segera si monyet akan melompat turun dari kudanva,
tapi si kakek keburu mencegahnya dan berkata: "Jangan kau hiraukan dia, Laksute (adik seperguruan keenam) Murid
Sau-supek memang sudah lama tidak memikirkan guru lagi,
manusia yang khianat mana bisa mengeluarkan anak didik
yang sopan, dengan sendirinya kitapun tidak dianggap
sebagai kaum Cianpwe lagi."
Si moyet tidak berani membangkang perintah sang
Suheng, ia cuma mendelik saja dan berucap: "Nah,
dengarkan yang jelas. anak busuk. Guru tuan2mu ini
bernama Sau Ceng-hong. asalnya adalah saudara sepupu
dengan Sau Ceng-in, Sau-supek dari Pak-cay. Meski guru
kalian telah mengkhianati perguruan, tapi jelek2 mereka
adalah murid Sau-supek, apapun juga kalian lebih rendah
seangkatan daripada kami, mana boleh kalian bersikap
kasar terhadap Jisuko (kakak perguruan kedua) kami?"
Sungguh Peng-say mendongkol dan geli pula. Orang2 ini
bukan saja salah sangka dirinya sebagai murid Pak-cay.
bahkan disangkanya cuma cucu murid Sau Ceng-in. Diam2
ia membatin: "Salah adik Leng. dia mengaku sebagai puteri Sau Ceng-in, dengan demikian sebagai Piaukonya sekarang
aku berubah jadi murid keponakannya malah. Pantas si
kakek kecil itu bilang aku tidak sopan memanggil Lengmoay padanya."
Nama Cin Yak-leng dan Sau Kim-leng memang ada
persamaan lafal pada kata terakhir, maka panggilan "Leng-moay" Peng-say tadi disangka oleh Ciamtay Boh-ko dan kedelapan orang ini sebagai memanggil Sau Kim-leng.
sungguh kebetulan juga salah paham ini.
Pada waktu si monyet berbicara, si kakek kecil telah
melompat turun dari kudanya dan mendekati kereta dan
berseru: "Sau-sumoay, guruku sangat prihatin ketika mendengar dirimu diculik oleh Ciamtay-kongcu. serentak
beliau memerintahkan kami di bawah pimpinan Sau Penglam, Sau-suheng. memburu kesini untuk manyelamatknn
dirimu. Syukur para kawan dari Bu-tong juga menerima
berita dan mendahului memburu kemari untuk mengatur
segala apa yang perlu, hasilnya Ciamtay-kongcu dapat
dipancing keluar, sayang para kawan Bu-tong-pay sama
gugur, namun si pengganas Ciamtay-kongcu juga dapat
dibinasakan, selama ini Sumoay tentu telah banyak
mengalami kesukaran."
"Ah, tidak apa2," kata Yak-leng di dalam kereta.
"Di dunia Kangouw saat ini tersiar kabar bahwa Sausupek telah muncul kembali, entah hal ini betul atau tidak, untuk inilah guru kami ingin mengundang Sumoay agar
suka mampir ke Soh-hok-han di Huiciu," demikian kata si kakek pula.
Peng-say terkejut, pikirnya: "Ah. kiranya mereka ini anak murid Soh-hok Hancu dari Lam-han. sungguh tak tersangka
Soh-hok Hancu adalah saudara sepupu Leng-hiang Caycu,
jadi antara Lam-han dan Pak-cay ada hubungan
kekeluargaan, pantas mereka dapat melihat permainan
Siang-liu-kiam-hoat bergaya ilmu pedang Pak-cay'
"Tapi dari mana mereka tahu Ciamtay Boh-ko
membawa lari Sau Kim-leng?" demikian pikirnya pula.
"Jangan-jangan Sejak mula Yak-leng sudah mengaku
sebagai Sau Kim-lemg mengapa bisa terjadi begini" Apa
manfaatnya Yak-leng mengaku sebagai Sau Kim-leng"
Mungkinkah Leng-moay mengetahui Sau Kim-leng sesungguhnya adik kandung Ciamtay Boh-ko, karena
simpatinya, maka dia sengaja memalsukan nona Sau" Dan
berita tentang digondolnya Sau Kim-leng oleh Ciamtay
Boh-ko jangan-jangan disiarkan sendiri oleh Sau Kim-leng"
Lalu apakah maksud tujuannya?"
Begitulah berbagai tanda tanya itu timbul dalam
benaknya. Cin Yak-leng tidak menjawab pertanyaan si kakek kecil
tadi, ia hanya bersuara samar2 saja. Tampaknya si kakek
menjadi girang, disangkanya suara Yak-leng itu sebagai
mengiakan dan setuju untuk ikut pergi ke Soh-hok-han,
dengan tertawa ia lantas berkata: "Laksute, kau saja yang mengendarai kereta ini, sekarang juga kita pulang ke
Huiciu." Cepat si monyet tadi melompat turun dari kudanya dan
melompat ke atas kereta.
Di dalam kereta Yak-leng sendiri menjadi kelabakan.
Hakikatnya ia tidak tahu apa itu Soh-hok-han, lebih2 tidak tahu siapa si kakek dan rombongannya itu, hanya dari
percakapan mereka tadi diketahui mereka ada hubungan
erat dengan Sau Kim-leng, bahkan menyebut padanya
sebagai Sumoay. Padahal dia cuma Sau Kim-leng
gadungan, dia bertindak demikian adalah demi keselamatan Soat Peng-say, sebab dia harus pegang janjinya kepada
Liok-ma yang mengharuskan dia mengaku sebagai Sau
Kim-leng, jika dia melanggar janji, bisa jadi Liok-ma akan
mencari dan membunuh Peng-say, karena itulah sebegitu
jauh ia tetap mengaku sebagai Sau Kim-leng,
Sekarang didengarnya si kakek kecil itu hendak
membawanya ke Soh-Hok-han, dengan ragu2 ia bersuara
samar2. tak tersangka si kakek menyangka dia setuju dan


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera membawanya berangkat. Jika bertemu dengan
paman Sau Kim-leng, yaitu Sau Ceng-hong yang terkenal
dengan Soh-hok Hancu apakah kepalsuannya ini takkan
terbongkar" karena pipiran inilah, dia menjadi bingung dan kelabakan di dalam kereta,
Syukurlah pada saat itu juga mendadak terdengar Pengsay membentak: "Nanti dulu! Kalian telah salah mengenali orang!"
"Kau bilang apa" Salah mengenali orang?" si kakek menegas.
"Dia. . .dia bukan. . . ."
Belum lanjut ucapannya. Yak-leng menjadi kuatir, cepat
ia berseru: "Soat Peng-say, kau berani sembarangan
omong"!"
Peng-say tidak menyangka Yak-leng sedemikian sungguh2 memalsukan diri Sau Kim-leng, ia menghela
napas dan berkata: "Leng-moay, buat apa kau meng. . . ."
"Apakah kau minta tak kugubris kau selamanya?" ancam Yak-leng.
Melihat si nona terus menerus merintanginya, Peng-say
tidak berani membongkar rahasianya, ia lantas berkata:
"Leng-moay, selama sebulan ini apakah kau baik2 saja?"
Pertanyaan ini jelas bukan salam hormat biasa, dibalik
pertanyaaanya itu jelas Peng-say ingin tahu selama sebulan
ini apakah si nona telah dinodai Ciamtay Boh-ko atau
tidak. Padahal selama sebulan ini, kuatir Cin Yak-leng berubah
pikiran dan melarikan diri, sejauh itu Ciamtay Boh-ko tidak pernah mengganggu si nona, bahkan menjaga dan
membelanya secara murni sebagai seorang kakak, baik
makan maupan tinggal di hotel, selama itu Yak-leng
mendapat perlakuan yang sangat mewah.
Namun Cin Yak-leng tetap tidak pernah lupa kepada
Soat Peng-say, ia tidak tahu apakah benar Liok-ma telah
mengampuni jiwa anak muda itu" Iapun membayangkan
dirinya yang menyaru sebagai Sau Kim-leng, jika nanti
harus menikah dengan orang yang belum pernah
dikenalnya, apakah hidupnya takkan merana dan tersiksa"
Siapa tahu, pengorbanannya ini ternyata sia2 belaka,
dalam waktu sesingkat itu tahu2 Peng-say telah bergaul lagi dengan gadis lain Meski didengarnya antara mereka terjadi perang mulut tapi juga dapat diketahui hubungan mereka
sangat erat. Sungguh ia tidak menduga bahwa lelaki
ternyata tal dapat dipercaya hal ini membuat dingin
hatinya, Makin dipikir makin pedih dan juga merasakan
penasaran yang tak terhingga.
Karena itulah, dengan ketus ia lantas menjawab
pertanyaan Peng-say tadi: "Aku tidak ingin bicara
denganmu, boleh kau cari Soat Koh itu saja!"
Peng-say melengak, pikirnya, "Apa yang kau cemburu"
Tidakkah kau dengar Soat Koh telah kulukai dan telah
meninggalkan diriku dengan sakit hati."
Ia merasa ucapan Yak-leng itu agak keterlaluan tidak
tahu bahwa Yak-leng sebenarnya sangat berterima kasih
karena dia telah melukai Soat Koh demi menyelamatkannya, betapapun ini suatu tanda anak muda
ini masih ingat padanya. Tapi kemudian ketika Soat Koh
berlari pergi, Peng-say telag berteriak pula agar nona itu kembali untuk diberi penjelasan segala, hal inipun
menimbulkan rasa mendongkol Yak-leng.
Walaupun Peng-say tidak berhasil menahan kepergian
Soat Koh, tapi hal inipun dapat dirasakan oleh Cin Yakleng bahwa hubungan di antara Peng-say dengan nona itu
pasti tidak sederhana, karena itulah ia merasa sedih.
Si kakek kecil tadi sudah kenyang asam-garamnya
kehidupan manusia, sudah tentu dia dapat memahami
perasaan orang muda, ia menganggap tidaklah wajar Soat
Peng-say mencintai "Sau Kim-leng" yang tingkatannya lebih tua, hal ini jelas tidak pantas. Tapi lantaran Cin Yak-leng tampaknya juga suka kepada Soat Peng-say, maka si
kakek menjadi serba salah dan tak dapat berbuat apa2, ia cuma menggeleng saja dan menggerutu: "Tidak pantas, tidak pantas!"
"Memang tidak pantas!" si monyet tadi menambahkan.
"Jelas2 harus panggil bibi, tapi memanggil Leng-moay malah."
Diam2 Peng-say membatin: "Kalau Leng-moay berkeras
mengaku sebagai Sau Kim-leng, biarlah akupun mengaku
sebagai mund Sau Ceng-in agar tidak di-olok2 mereka."
Karena pikiran itu, segera ia menjawab: "Siapa bilang dia adalah bibi-guruku, Leng-moay adalah Sumoayku!"
Dengan sangsi si kakek kecil tadi bertanya: "Apakah Kungfumu kau dapatkan dari ajaran nyonya Sau-supek?"
"Bukan, ilmu pedangku justeru kuperoieh dari Sau-supek kalian," jawab Peng-say.
Kontan si monyet berteriak: "Omong kosong! Sau-supek sudah menghilang sejak 27 tahun yang lalu, berapa usiamu, masa kau sempat belajar pedang kepada pada Sau-supek"
Tapi si kakkek lantas berkata: "Jika demikian, jadi Sau-supek memang betul tidak meninggal" Akhir2 ini di dunia
Kangouw tersiar berita muncul kembalinya Sau-supek, jadi benar hal ini?"
"Memangnya kalian berharap Sau-supek kalian lekas
mati?" tanya Peng say.
"Sudah ....sudah tentu bukan begitu," jawab si kakek dengan kurang senang. "Coba jawab, berapa lama Sau-supek mengajarkan ilmu pedang padamu?"
"Rasanya tidak perlu kujawab pertanyaan ini," ujar Peng-say.
"Di mana Sau-supek sekarang?" desak si kakek.
"Kau tanya padaku, lalu kutanya siapa?" jawab Peng-say dengan lagak jenaka.
Kontan si monyet berteriak pula: "Persetan! Mana ada mund tidak tahu di mana berada gurunya sendiri" Kukira
dia sengaja menipu kita, hakikatnya dia tidak pernah
melihat Sau-supek."
Di dalam hati Peng-say berkata: "Betul, aku memang
tidak pernah melihat Sau-supek kalian, cuma Siang-liukiam-hoatku ini meski ajaran guruku, asal-usulnya memang diperoleh dari Sau-supek kalian."
Agaknya si kakek juga tidak percaya sang paman guru
yang telah menghilang 27 tahun yang lalu itu dapat
menerima seorang murid yang masih begini muda. Tapi
kalau Sau Kim-leng diketahui adalah anak perempuan Sausupek, logikanya jika sang paman guru itu dapat menggauli
isterinya dan melahirkan anak dengan sendirinya juga ada kemungkinan dapat menambah seorang murid.
Tentang Sau-hujin melahirkan anak perempuan setelah
lenyapnya sang suami memang merupakan suatu teka-teki
di dunia persilatan. Ada yang mengira Sau-hujin telah
berhubungan gelap dengan lelaki lain selama menghilangnya sang suami. Ada juga yang tidak
sependapat, mereka memberi bukti kegiatan Sau-hujin yang berusaha mencari sang suami, jelas Sau-hujin sangat setia dan mencintai suaminya dan bukan tipe wanita yang tidak
tahan kesepian.
Bagi Sau Ceng-hong yaitu So-hok Hancu, dia
menyangsikan Sau Kim-leng memang betul adalah puteri
Sau Ceng-in, cuma dia juga tidak percaya bahwa Sau Cengin belum mati, sebab dengan mata kepala sendiri ia
menyaksikan saudara sepupunya itu terluka parah dan tidak mungkin dapat disembuhkan, makanya terus menghilang
dan mungkin juga sudah mati Tapi iapun kuatir jangan2
Sau Ceng-in memang belum mati dan karena itulah Sau
Kim-leng besar kemungkinan adalah puterinya.
Pendek kata, masing2 mempuyai dugaan dan pendapatrya sendiri2, siapapun tidak dapat memberi
jawaban yang pasti.
Agaknya si kakek kacil itu sependapat dengan jalan
pikiran sang guru. Mendadak ia menubruk maju ke depan
Soat Peng-say. Keruan Peng-gay kaget, cepat ia menghantam. Si kakek
mendengus, ia tangkis pukulan Peng-say, berbareng
tangannya menekan ke bawah dan mencengkeram
pergelangan tangan anak muda itu.
Sekuatnya Peng-say meronta, tapi tak terlepas, segera
tangan yang lain menghantam, tapi segera terpegang musuh
pula dan sukar bergerak, terasa tenaga lawan menyalur
masuk urat nadinya sehingga sekujur badan terasa pegal
linu. "Masih selisih jauh kau, belum sesuai untuk mengaku sebagai murid Sau-supek," kata si kakek. Sekali lepas tangan, kontan Peng-say ter-huyung2 ke belakang, "bluk", akhirnya ia jatuh terjengkang walaupun sudah berusaha
menegakkan tubuhnya.
Setelah jatuh, rasa pegal linu tadi serentak lenyap pula.
se-olah2 kalau tidak jatuh sisa tenaga musuh ditubuhnya
sukarlah dipunahkan.
"Betul tidak" Kubilang dia berdusta. dua jurus Jisuko saja dia tidak tahan, mana mungkin dia murid Sau-supek?" seru si monyet. "Menurut pendapatku, untuk menjadi cucu
murid Sau-supek saja dia belum memenuhi syarat."
"Bagaimana keadaanmu, Peng-ko?" tanya Yak-leng dengan kuatir. .
"Jangan kuatir, Sau-sumoay," kata si kakek "Dia tidak apa2, hanya kubanting jatuh saja." " Lalu ia berpaling kepada si monyet: "Dia murid Sau-supek memang tiduk keliru, hanya saja tidak mungkin murid ajaran langsung
Sau-supek."
Lelaki berdandan sebagai kuli atau pekerja kasar tadi
menimbrung: "Melihat gerak tubuhnya tadi tampaknya
lebih mirip murid Bu-tong pay."
"Leluhur Suhu dan Sau-supek memang berasal dan Bu
tong-pay, sebelum kita belajar Kungfu perguruan kita juga diharuskan lebih dulu memupuk dasar Kungfu Bu-tong-pay,
kalau bocah ini mahir Kungfu Bu-tong-pay dan mahir pula
ilmu pedang Pak-cay, maka pasti tidak salahlah kalau dia mengaku murid Sau-supek," setelah berhenti sejenak, lalu si
kakek menyambung pula: "Hendaknya Samsute tinggal
disini untuk membereskan jenazah kawan Bu-tong pay itu,
rombongan akan berangkat lebih dulu."
Yang bertubuh tinggi besar tadi mengiakan.
Kakek kecil itu lantas mencemplak keatas kudanya dan
berseru: "Hayolah berangkat!"
Segera si monyet menarik tali kendalinya dan melarikan
kuda kereta ke depan.
Setelah terbanting jatuh oleh si kakek, sejak tadi Peng-say terus rebah tanpa bergerak. Bukannya terluka, hanya sedih karena kalah secara mengenaskan begitu, ia malu untuk
berdiri. Setelah mendengar kereta itu sudah pergi barulah ia melompat bangun.
Didengarnya suara Cin Yak-leng lagi berteriak teriak:
"Peng ko, Peng-ko! . .. . "
Hanya sebentar saja kereta itu sudah pergi jauh, sayup2
terdengar si kakek kecil sedang berkata; "Sau-sumoay, tidaklah pantas kau panggil dia Peng-ko, dia kan angkatan lebih muda dari padamu...."
Si tinggi besar yang ditinggalkan di situ lantas memanggil serombongan kuli pelabuhan untuk membereskun jenazah
kawanan Tosu Bu-tong pay, sama sekali ia tidak
memperhatikan kepergian Soat Peng-say. Seperginya Soat
Peng-say, di dermaga lantas merapat sebuah kapal yang
berbentuk aneh, dari kapal laut itu turun belasan lelaki berjubah putih dan seorang tua yang bertubuh pendek
gemuk == 0O0dw0O0 == Kita ikuti dulu kepergian Soat Peng-say. Dia menuju ke
tempat parkir keretanya tadi, tapi keretanya sudah tak ada, orang ditepi jalan bilang kereta itu telah dibawa pergi oleh seorang nona setelah menyewa seorang kusir di situ.
Kereta berwarna emas itu memang milik Soat Koh,
kalau sudah dibawa pergi kan kebetulan. Sangu pemberian
Tio Tay-peng waktu Soat Peng-say turun gunung masih
cukup banyak, segera ia membeli seekor kuda terus
memburu ke arah selatan.
Selang tak lama, dapatlah dia menyusul rombongan anak
murid Lam-han tadi. Karena dia mengejar dengan
bernapsu. waktu dia melihat rombongan sasarannya,
merekapun melihat kedatangan Peng-say. Tapi Peng-say
tidak lantas mendekati mereka, ia bertahan dalam jarak
belasan tombak di belakang rombongan itu, bila mereka
berjalan cepat, iapun menyusul dengan cepat, jika mereka lambat, iapun melambat.
Si kakek kecil ingin tahu apakah Soat Peng-say memang
sengaja hendak menguntit, ia suruh rombongannya berhenti di tepi jalan.
Peng-say tidak takut maksudnya diketahui orang, orang
lain berhenti, iapun idem dito.
"Kemari kau!" panggil si kakek kecil.
Peng-say pikir kenapa takut, disuruh kesana ya turuti
saja, apa yang mesti ditakuti. Segera ia melarikan kudanya mendekati rombongan itu.
"Kau hendak ke mana?" tanya si kakek.
"Ke Soh-hok-han di Huiciu, kebetulan sama arah dengan tuan2," jawab Peng-say.
"Siapa yang mengundang kau ke sana?" tanya si kakek pula.
"Tidak diundang siapa2, aku sendiri ingin kesana," jawab Peng-say. "Konon penghuni Soh-hok-han di daerah selatan sana kebanyakan adalah tokoh2 yang berbudi luhur,
tentunya bukan sarang penyamun atau ada perbuatan yang
perlu dirahasiakan sehingga tertutup bagi orang luar."
"Tamu yang berkunjung ke Soh-hok-han memang tidak
dilarang, tapi orang yang tidak berkepentingan dilarang
datang." ujar si kakek.
"Sedangkan orang yang cuma berkepandaian rendah
seperti kau memang tidak memenuhi syarat untuk menjadi
tamu Soh-hok-han," sambung si monyet.
Muka Peng say menjadi merah. katanya pula: "Tapi ada urusan penting perlu kutemui Soh-hok Hancu. Pula kalian
bilang aku ini murid Pak-cay, dalam kedudukanku sebagai
mund Pak-cay mau kukunjungi Soh hok-han, tentunya
bukan orang yang tidak berkepentingan lag!?"
"Tapi Lam-han dan Pak-cay biasanya tiada hubungan,
setiap orang boleh mengunjungi Soh-hok-han, hanya anak
murid Pak-cay saja yang tidak boleh," kata si kakek.
Sialan, pikir Peng-say, ingin untung jadi buntung malah.
Jika tahu Lam-han dan Pak-cay tidak akur, tentu tadi
dirinya takkan mengaku sebagai murid Pak-cay.
Tapi si kakek kecil lantas berkata pula: "Ada urusan apa hendak kau temui guruku" Jika betul urusannya memang
penting, mungkin akan diberi kelonggaran."
"Urusan penting memang ada, tapi bolehkah kukatakan nanti saja." jawab Peng-say.
"Masa kau ada urusan" Urusan penting kentut!" omel si monyet. "Huh, setiap orang tahu maksud tujuanmu
menyusul kemari tentu ingin membawa lari kau punya
Leng-moay."
Cin Yak-leng meringkuk di dalam kereta dan tetap tak
bisa berkutik, rupanya Hint-to yang ditutuk Ciamtay Bohko itu belum lagi terbuka maklumlah, Tiam-hiat-hoat Tangwan memang lain daripada yang lain, kalau bukan anak
murid Tang-wan sendiri. sekalipun jago kelas tinggi seperti si kakek kecil juga tidak mampu membukanya, terpaksa
harus menunggu berlalunya sang waktu agar Hiat to yang
tertutuk itu terbuka dengan sendirinya.
Bergirang juga Yak-leng demi mendengar Soat Peng-say
memburu tiba, tapi ia tidak berani minta tolong. Ia tahu ilmu silat Peng-say hakikatnya bukan tandingan anak murid Lam-han, kalau diteriaki agar menolongnya, bisa jadi akan membikin celaka anak muda itu malah.
Sesungguhnya iapun tidak suka pergi ke Soh-hok-han. ia
kuatir sampai di sana rahasianya akan terbongkar. Diam2 ia berharap, mengingat kakek kecil itu bilang Lam-han dan
Pak-cay sudah lama tiada hubungan, mungkin paman Sau
Kim-leng itu selama ini belum kenal wajah si nona, asalkan nanti berlaku hati2, mungkin Sau Ceng-hong dapat
dikelabui. lalu dapatlah berdaya melarikan diri untuk
bertemu dengan Soat Peng-say dan keduanya dapat kabur
se-jauh2nya, ke tempat yang terasing dan hidup bersama
hingga tua. Karena bayangan yang indah di masa depan ini, ia tidak
ingin Peng-say menyerempet bahaya lagi baginya, segera ia berseru membujuknya: "Peng-ko, kau pulang saja,
tunggulah aku di rumah, aku pasti akan pulang untuk
bertemu dengan kau."
"Tidak.jika kau pergi ke Soh-hok-han, akupun pasti ikut ke sana," kata Peng-say.
Dari ucapan Peng-gay yang tegas itu, Yak-leng merasa
anak muda itu bertekad akan "ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul", sungguh hatinya sangat terhibur.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tidak tahu bahwa kepergian Soat Peng-say ke Soh-hokhan selain ingin menjaga keselamatannya juga ada tugas
lain, yaitu ingin bertemu dengan Soh-hok Hancu untuk
menunaikan pesan mendiang ibunya sebelum wafat.
Kiranya waktu ibunya akan menghembuskan napas
terakhir telah meninggalkan pesan agar pada waktu Pengsay genap berusia 20 tahun, kitab pusaka "Siang jing-pit-lok" itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu Sok-hok Hancu dari Lam-han di Huiciu. Bahkan setelah kitab
itu dikembalikan, Peng-say disuruhnya mengangkat Sohhok Hancu sebagai guru.
Mengembalikan kitab dan mengangkat guru, kedua hal
inilah pesan tinggalan sang ibu sebelum wafat Padahal
Peng-say sudah berguru kepada Tio Tay-peng, ia tidak ingin mengangkat guru lagi kepada Soh-hok Hancu, jadi pesan
sang ibu ini tak dapat lagi dilaksanakan, hanya tentang
kitab pusaka itu, harus dikembalikan dengan baik.
Karena usia Peng-say sekarang belum melebihi 20, soal
pengembalian kitab itu masih cukup waktu tapi sekarang
kebetulan terjadi persoalan Yak-leng ini, maka dia bertekad akan pergi ke Lam-han sekalian.
Si kakek juga tidak merintangi setelah mendengar Pengsay menyatakan tekadnya akan ikut ke Lam-han,
jengeknya: "Baiklah jika kau memarg ada urusan, tapi awas, jangan main gila, jika berani sembarangan bertindak, jangan kau salahkan kamj bertindak kejam."
Baru selesai si kakek bicara, mendadak dari belakang
serombongan orang berkuda datang dengan cepat, hanya
sekejap saja kereta mereka telah terkepung rapat.
Anak murid Lam-han sudah berpengalaman, mereka
tidak menjadi gugup, mereka melihat rombongan yang
datang ini semuanya berjubah putih dan menyandang
bungkusan panjang di punggung, jelas dalam bungkusan itu tersembunyi senjata sebangsa golok atau pedang.
Setelah kereta terkepung, orang2 berseragam jubah putih
itu tetap diam saja, semuanya berwajah seram.
Si kakek kurus kecil lantas mendahului menyapa: "Cayhe Kiau Lo-kiat, murid Soh-hok-han di Huiciu. Numpang
tanya, adakah sesuatu keperluan?"
Mendadak suara seorang setengah serak menanggapi:
"Hm, dengan nama Soh-hok-han kau kira akan membikin orang takut?"
Para murid Lam-han semua terkesiap, pikir mereka:
"Mereka tidak takut kepada Soh-hok-han kita, jangan2
mereka sengaja hendak mencari perkara?"
Padahal Bu-lim-su-ki atau empat tokoh sakti dunia
persilatan sudah hampir ratusan tahun termashur di dunia Kangouw, orang yang tidak gentar terhadap Soh-hok-han
boleh dikatakan terlalu sedikit.
Dengan prihatin Kiau Lo-kiat lantas berkata pula:
"Sudikah yang berbicara itu tampil ke muka?"
Mendadak dua penunggang kuda menyingkir ke
samping, di belakang mereka lantas muncul seorang
penunggang kuda lagi. Lantaran penunggang kuda itu
adalah siorang kakek gemuk dan pendek, sedangkan kedua
penunggang kuda di depannya tinggi besar, maka si kakek
hampir ter-aling2 seluruhnya.
Kakek itu memajukan kudanya ke depan, tiba2 kelihatan
di belakang punggung kuda tunggangannya itu bertumpang
tindih dua sosok mayat, satu gemuk dan satu kurus, satu
pendek dan satu jangkung yang gemuk pendek di atas, yang jangkung tertindih di bawah.
"Samsute!"
"Samsuko!" serentak para murid Lam-han berteriak.
Di antara ketujuh murid Lam-han itu hanya Kiau Lokiat saja yang menyebut "Samsute". Rupanya mayat si jangkung itu adalah Sutenya yang ditinggalkan di Ciau-ciu-wan untuk membereskan jenazah para Tosu Bu-tong-pay
itu. Sungguh tidak kepalang duka dan gusar Kiau Lo-kiat
melihat Samsutenya dibinasakan orang, ia tidak pedulikan lagi tokoh kosen darimana kakek pendek gemuk itu,
serentak ia melayang dari kudanya, kesepuluh jarinya
terpentang terus menubruk kakek gemuk itu.
Cepat sekali reaksi kakek itu, sebelah tangannya sempat
mendahului menampar ke depan, angin pukulan yang
dahsyat kontan menyampuk tubuh Kiau Lo kiat, terdengar
jeritan Kiau Lo-kiat, kontan ia melayang balik.
Murid Lam-han yang lain sama terkejut, mereka
menyangka Jisuko pasti tamat riwayatnya.
Tapi sungguh aneh, angin pukulan yang jelas maha
dahsyat itu ternyata membawa tenaga yang teratur
sedemikian jitunya, Kiau Lo-kiat hanya melayang kembali
dan duduk lagi di atas kudanya tanpa kurang apapun.
hanya mukanya berubah pucat saking kagetnya.
Tenaga pukulan yang aneh itu sungguh sukar
dibayangkan, yang hebat adalah setelah Kiau Lo-kiat
tergetar balik dan duduk kembali di atas kudanya, sama
sekali kudanya tidak terkejut, sama halnya Kiau Lo-kiat
mencemplak ke atas kudanya dengan pelahan2.
"Sambut!" bentak si kakek gemuk sambil mengangkat mayat si jangkung. Meski oukup berat mayat itu, tapi
seenteng kertas mayat itu melayang ke arah Kiau Lo kiat.
Karena sudah tahu tenaga si kakek jauh di atas dirinya,
Kiau Lo-kiat tidak berani ayal, ia mengerahkan segenap
tenaganya dan menyambut jenazah Samsutenya.
Setelah mayat itu berada dalam rangkulannya, seketika
itu tidak terasa sesuatu, tapi sedikit lengah, mendadak Kiau Lo-kiat terperosot ke bawah kuda bersama mayat dalam
rangkulannya itu.
Peng-say ter-heran2 menyaksikan itu. Begitu pula para
murid Lam-han yang lain juga melongo heran, mereka
mengira Jisuheng kurang hati2 sehingga terperosot ke
bawah. Tapi cara jatuh Kiau Lo-kiat itu tampaknya juga bukan
terperosot karena kurang hati2. Dengan kepandaian Kiau
Lo-kiat, andaikan jatuh juga takkan terbanting dangan kaki di atas seperti anak kecil jatuh terjengkang begitu"
Walaupun pantatnya kesakitan, tapi mendadak Kiau Lokiat berteriak dengan tertawa girang: "Hai tidak mati, Samsute tidak mati!"
Kiranya waktu tubuh si jangkung dirangkul olehnya,
dirasakan tubuh itu masih hangat, waktu jatuh ke tanah,
terasa pula napas si jangkung yang menyembur pada
samping lehernya membuatnya kerih.
Pada saat itulah dua penunggang kuda datang secepat
terbang, setiba di depan si kakek gemuk tadi, ternyata
mereka adalah dua pemuda kekar dan berdandan seperti
belasan orang yang lain Salah seorang yang lebih tua
memberi hormat dan berseru: "Suhu, Tecu dan Ci-kiat datang menyambut kedatangan Suhu, tapi terlambat."
Kiau Lo-kiat kenal kedua orang ini, yang satu bernama
Ih Ci ho dan yang lain bernama Lo Ci-kiat. Keduanya
adalah murid kesayangan Ciamtay Cu-ih, ada lagi dua
saudara seperguruan mereka yang lain, yaitu Ji Ci-eng dan Cian Ci-hiong, keempat orang berkunjung ke Tionggoan
pada lima tahun yang lalu dan telah mengumandangkan
nama kebesaran mereka. Di dunia persilatan mereka
terkenal sebagai "Eng-Hong Ho Kiat. Tsngwan-su siu" atau empat ksatria muda dari Tang-wan.
Cuma sayang, meski nama mereka termashur, rata2
merekapun masih muda dan ganteng, tapi mereka pun
mempunyai cirinya, yaitu gemar main perempuan, secara
diam2 entah betapa banyak anak gadis dan perempuan
baik2 yarg telah dirusak oleh mereka. Hanya saja sedikit orang yang mengetahui hal ini, Kiau Lo kiat juga
mendengar kabar demikian. maka dia rada memandang
hina kepada mereka,
Kini setelah mendengar kedua orang itu menyebut si
kakek sebagai "Suhu", segera ia. tahu kakek itulah Hong-hoa Wancu Ciamtay Cu-ih sendiri. Pantas begitu lihay
tenaganya, herannya mengapa mendadak ia memimpin
anak buahnya berkunjung ke Tionggoan"
Padahal sejak pertemuan di Ki-lian-san 27 tahun yang
lalu, sepulangnya ke Tung-hay belum pernah lagi dia
menginjak Tionggoan, sekarang dia muncul lagi secara
mendadak, hal ini benar2 mencurigakan.
Sudah tentu Kiau Lo-kiat tidak tahu sebabnya Ciamtay
Cu-ih tidak berkunjung ke Tionggoan selama 27 tahun ini
adalah karena dia dilukai oleh ibu San Kim-leng sehingga mengalami kelumpuhan, baru beberapa tahun terakhir ini
dia berbasil meyakinkan semacam ilmu penyembuhan dan
baru pulihlah kesehatannya. Setelah sakian lama mengeram diluar lautan timur sana, ia menjadi ingin bergerak lagi ke Tionggoan
agar dunia persilatan Tionggoan tidak
melupakan tokoh sakti yang pernah malang melintang di
dunia Kangouw dahulu.
Melihat air muka Ciamtay Cu-ih kurang senang, Ih Ciho dan Lo Ci-kiat mengira sang guru marah kepada mereka
karena sambutan mereka yang terlambat, hati mereka jadi
kebat-kebit. "Mana Ci-eng dan Ci-hiong?" demikian Ciamtay Cu ih bertanya.
Ci-ho dan Ci-kiat mengira sang guru akan lebih marah
kepada kedua Suheng yang tidak ikut datang menyambut
itu, untungnya ketidak datangnya kedua Suheng itu
memang ada alasannya, maka cepat Ci-ho memberi lapor:
"Kedua Suheng sedang merawat lukanya di Thay-san dan tak dapat datang menyambut Suhu."
"Siapa yang melukai mereka" tanya Ciamtay Cu-ih
dengan gusar. "Sau Peng-lam," tutur Ci-ho.
"Hah, Toa-suheng!" diam2 Kiau Lo-kiat dan lain2
mengeluh di dalam hati.
-oo0dw0oo- Jilid 12 Karena sudah 27 tahun tidak menginjak daratan
Tionggoan, Ciamtay Cu-ih tidak tahu Lam-han telah
melahirkan seorang murid terkemuka dan bernama Sau
Peng-lam Ilmu silat Sau Peng lam boleh dikata tidak di
bawdh Bu-lim-su-ki pada 27 tahun yang lalu, dikalangan
anak murid Su-ki saat ini ia terhitung jago nomor satu.
"Hm, Sau Peng-lam itu kutu busuk macam apa,
darimana kutahu namanya?" jengek Ciamtay Cu-ih dengan mendongkol'
Dia menghina Toa-suheng mereka, dengan sendirinya
Kiau Lo kiat dan rombongannya tidak senang, tapi mereka
pun tidak berani buka suara selain mendengarkan saja.
Cepat Ih Ci ho memberi penjelasan: "Sau Peng-lam
adalah anak Sau-cianpwe dan Lan-han, iapun murid
pertama Lam han."
"Omong kosong!" damperat Ciamtay Cu-ih sambil
melotot kearah Kiau Lo-kiat.
"Tecu tidak berani," cepat Ci-ho menjawab dengan takut2.
"Isteri Sau Ceng-hong, Leng Tiong-cik, jelas2 mandul dan tidak bisa punya anak, darimana mendadak bisa lahir
seorang anak?" kata Ciamtay Cu-ih.
"Konon Sau Peng-lam bukan anak kandungnya, tapi
anak angkat Sau-cianpwe," tutur Ci-ho.
"O, jika demikian masih bisa dimengerti," kata Ciamtay Cu-ih sambil mengangguk. "Dan cara bagaimana kedua
Suheng kalian dilukai, berdasar sebab apa Sau Peng-lam
melukai mereka?"
"Sungguh menyakitkan hati jika diceritakan," tutur Ci-ho. "Sebenarnya kedua Suheng juga tidak bersalah apa2
terhadap Sau Peng-lam. Kemarin dulu kedua Suheng
makan minum di restoran Cui-sian-ciu-lau di Thay-an,
begitu naik ke loteng restoran itu lantas terlihat Sau Peng-lam sedang menenggak arak, kedua Suheng tidak
menghiraukan dia, tapi dia lantas mencaci maki, katanya
Tang-wan-su-siu adalah babi dan anjing. Tentu saja kedua Suheng menjadi marah dan mendekatinya dan menegur.
Tak tersangka kedua Suheng mendadak diserang, dengan
dua kali depakan kedua Suheng terjungkal ke buwah loteng dan terbanting dengan cukup keras, sampai sekarang kedua Suheng belum lagi sanggup bangun. Coba Suhu, tidakkah
keterlaluan perbuatan Sau Peng-lam itu" Dia harus dihajar adat, kalau perlu gurunya harus ditanyai mengapa
membiarkan muridnya berbuat se-wenang2."
Dia bicara dengan lantang, dia menyangka pasti akan
mendapat dukungan sang guru. Tak terduga sasaran
pelampias marah Ciamtay Cu-ih bukanlah Sau Peng-lam
melainkan Ci-ho sendiri, mendadak terdengar "plak-plok"
dua kali, kontan Ci-ho mendekap pipinya yang bengap, ia
menjadi bingung mengapa sang guru menamparnya, entah
begaimana dia salah omong"
Dengan gusar Ciamtay Cu-ih lantas mendamperat.
"Memangnya gemilang kejadian kedua Suhengmu itu
didepak orang hingga terjungkal" Nyaring benar cara
bicaramu se-akan2 kuatir tidak didengar orang lain" Hm,
dasar murid tidak becus, sia2 kuajar kalian!"
"Tapi. . .tapi, Suhu, kita harus mengadu kepada Sau-cianpwe. . . ."
"Mengadu apa?" bentak Ciamtay Cu-ih sebelum lanjut ucapan Ji Ci-ho, "Cara bagaimana harus kukatakan" Apa aku harus bilang: "Sau Ceng-hong, dengan dua kali
depakan muridmu telah menjungkalkan dua muridku ke
bawah loteng. Begitu" Hm, dasar murid goblok, hanya bikin malu saja!"
Ci-ho tidak berani bersuara lagi, diam2 ia membatin:
"Baru datang di Tionggoan sini, entah mengapa Suhu lantas marah begitu?"
"Coba jawab," kata Ciamtay Cu-ih pula. Sudah dua tahun Sutemu Boh-ko datang ke Tionggoan sini, kalian
tahu tidak?"
"Tecu tahu setelah menerima surat Suhu," jawab Ci-ho.
"Dan dimana orangnya?" bentak Ciamtay Cu-ih.
Tanpa terasa Peng-say, Kiau Lo-kiat dan lain-lain sama
memandang mayat yang tertaruh dibelakang punggung
kuda Ciamtay Cu-ih itu. Pikir2 mereka: "Aneh, kenapa tanya" Bukankah mayat anakmu berada di situ?"
Kiranya mayat yang pendek gemuk dan melintang di
atas kuda Ciamtay Cu-ih itu tak-lain-tak-bukan adalah
jenazah Ciamtay Boh-ko.
Terdengar Ci-ho menjawab: "Begitu Tecu menerima
surat dari Suhu dahulu segara mencari berita jejak Sute, tapi sejauh itu belum .... belum diketahui ...."
"Bukankah kusuruh kalian menjemputnya di darmaga
Ciau-ciu-wan?" bentak Ciamtay Cu-ih.
"Tecu berempat menunggu sampai sebulan lamanya di
Ciau-ciu-wan dan tidak melihat datangnya Sute," tutur Ci ho pula. "Tecu pikir mungkin Sute telah mendarat melalui pelabuhan lain, maka kami tidak menunggu lagi dan
sampai sekarang belum pernah bertemu dengan Boh-ko
Sute." Padahal Cumtay Boh-ko tidak pernah mendarat melalui
pelabuhan lain. Dua tahun yang lalu dia mendarat di Ciauciu-wan,
dilihatnya keempat Suhengnya siap menjemputnya di dermaga. Ia merasa akan terikat bila
tinggal bersama para Suheng itu, maka ia mendarat secara diam2 Dengan bebas dan gembira dia pesiar selama dua
tahun. Betapa pun dia membawa sangu yang cukup, maka
segala kesenangan orang hidup telah dirasakannya semua.
Karena dia pesiar kesana dan kesini dengan sendirinya
sukar mencarinya bagi Ji Ci-ho dan lain2.
Ilmu silat Ciamtay Boh-ko memang lebih tinggi
dibandingkan keempat Suhengnya, tapi yang dipikirnya
hanya pesiar dan foya2, sama sekali tidak bergaul dengan orang Bu-lim, sebab itulah tiada orang Kangouw yang tahu bahwa putera kesayangan Tang-wan, salah seorang tokoh
sakti dunia persilatan saat ini berada di daratan Tionggoan.
Akhirnya hampir segenap pelosok Tionggoan telah
dikunjungi Ciamtay Boh-ko, tugas yang diberikan sang
ayah juga sudah dicapainya, yaitu membawa pulang Sau
Kim-leng ke Tang-hay. Selagi ia hendak berlayar pulang
itulah dia terbunuh di Ciau-ciu wan.
Begitulah Ciamtay Cu-ih lantas meraung gusar; "Kalian orang mampus semua barangkali" Kalau ditunggu tidak
datang, kabarnya juga sukar dicari, mengapa kalian tidak mencari orangnya pada setiap tempat?"
Padahal Ji Ci ho berempat juga lagi sibuk ber-foya2
sendiri, mana mereka sempat memikirkan Ciamtay Boh-ko
segala. Merekapun tahu Kungfu sang Sute jauh lebih tinggi di atas mereka, dengan sendirinya tidak perlu kuatir akan terjadi apa2 pada diri Sute itu. Mereka pikir besar
kemungkinan sang Sute tidak mau tinggal bersama mereka
dan lebih suka pesiar sendiri dengan bebas, maka mereka
pun tidak mencarinya lagi.


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka Ci-ho tidak berani banyak omong, ia cuma
mengiakan: "Betul juga, sekarang para Sute sudah ikut datang, orang banyak akan lebih mudah mencarinya. Muiai
besok akan kubawa Ci-kiat dan para Sute mencarinya
kesegenap pelosok, dalam Waktu sebulan tanggung dapat
menemukan Boh-ko Sute."
Dia mengira sang guru kangen kepada anaknya, maka
dia sengaja bicara mengikuti arah angin kehendak gurunya.
Mendadak Ciamtay Cu-ih mengangkat mayat Ciamtay
Boh-ko dibelakang terus disodorkan kepada Ci-ho sambil
membentak: "Ini lihatlah, siapa dia?"
Keruan Ci ho ketakutan dan merosot turun dari
kudanya, jeritnya: "Boh-ko
Sute, siapa . . . . siapa yang membunuh kau" Suheng bersumpah takkan
menjadi manusia jika tidak dapat membalas dendam
bagimu . . . . " lalu menangislah dia ter-guguk2.
Tindakannya ini ternyata manjur juga, Ciamtay Cu-ih
tidak marah lagi padanya. Merdadak sorot matanya yang
bengis menatap Lo Ci-kiat, se-akan2 rasa dendam kematian anaknya itu akan dilampiaskan atas diri Ci-kiat.
Untung Ci kiat juga pintar melihat gelagat, cepat ia pun melompat turun dari kudanya, ia merangkul kedua kaki
Ciamtay Boh-ko dan menangis ter-gerung2. entah cara
bagaimana, bisa juga dia memeras air matanya sehingga
bercucuran. Anak murid Tang-wan yang lain juga tidak mau
ketinggalan, mereka sama menangis sedih. Tapi yang
benar2 berduka bagi sang guru yang kehilangan anak itu
paling2 cuma dua atau tiga orang.
Seketika ramailah suara orang menangis sehingga
Ciamtay Cu ih juga ikut pilu, air matanya juga berderai.
Dia cuma mempunyai seorang anak, betapa sedihnya
dapatlah dibayangkan. Mendadak sorot matanya yang
bengis itu beralih kepada para murid Lam-han.
Cepat Kiau Lo kiat berkata: "Bukan kami yang
membunuh anakmu, yang membunuhnya adalah seorang
perempuan muda."
Ciamtay Cu-ih sendiri sudah mencari tahu dengan jelas
kepada kuli pelabuhan tentang apa yang terjadi di sana,
maka iapun tahu siapa yang membunuh anaknya ia lantas
bertanya: "Bagaimana bentuk perempuan muda itu?"
Kuatir Ciamtay Cu-ih melampiaskan rasa murkanya
kepada mereka, terpaksa Kiau Lo kiat menguraikan bentuk
wajah Soat Koh.
"Kan masih ada seorang lelaki muda yang ikut
membunuh anakku?" tanya Ciamtay Cu-ih.
Betapapun rendahnya Kiau Lo kiat juga tidak nanti
menjual nyawa Soat Peng-say, maka ia menjawab dengan
menggeleng: "Wajahnya terlalu biasa. tiada sesuatu ciri yang dapat dilukiskan."
Untung para kuli pelabuhan waktu itu hanya menonton
dari kejauhan sehingga tidak jelas bagaimana air muka Soat Koh dan Peng-say, mereka hanya dapat menceritakan
dandanan Peng-say serta warna bajunya.
Sekarang sebelah pedang Peng-say telah direbut Soat
Koh, hanya tersisa sebilah pedang yang tersandang di
punggungnya, dandanannya sekarang tiada ubahnya seperti
ketiga murid Lan-han yang muda itu, betapapun Ciamtay
Cu-ih tidak pernah menyangka Peng-say dapat berada di
tengah anak murid Lam-han, sedangkan perhatiannya juga
cuma terpusat kepada si pembunuhnya dan tidak begitu
menghiraukan si pembantu.
Tegang juga Peng-say menghadapi keadaan demikian,
tak terduga Kiau Lo kiat cukup luhur budinya dan setia
kawan, Peng-say tidak dijualnya kontan.
Mendadak Ciamtay Cu-ih bertanya pula; "Perempuan
muda itu murid Pak-cay bukan?" Sudah pasti kuli
pelabuhan tidak ada yang tahu ilmu pedang apa yang
dimainkan Soat Koh, jelas pertanyaan ini timbul dari
rabaan Ciamtay Cu-ih sendiri.
Aneh juga dia dapat menduga ke arah sana, tidak nanti
dia bertanya tanpa sebab, pasti ada sesuatu yang
mendorongnya bertanya demikian,
Maka Kiau Lo-kiat lantas menjawab: "Melihat gaya ilmu pedangnya memang mirip murid Pak-cay." Lalu dia
menunduk dan memandang Samsutenya, katanya kemudian: "Mohon Cianpwe suka membuka Hiat-to
Samsute kami yang tertutuk ini."
Tadi, begitu Ciamtay Cu-ih mendarat, segera dilihatnya
mayat putera kesayangannya, juga dilihatnya murid Lamhan yang jangkung itu sedang membereskan jenazah
kawanan Tosu, dalam gusarnya si jangkung terus
dibekuknya untuk ditanyai. Tapi si jangkung sangat keras kepala, semakin diperlakukan kasar semakin tidak mau
bicara. Ciamtay Cu-ih menyangka dia adalah pembunuhnya,
selagi ia hendak membunuhnya, untung ada penonton
dipinggir jalan memberitahu tentang apa yang terjadi tadi.
Apalagi setelah bergebrak segera diketahuinya si jangkung adalah murid Lam-han, dengan sendirinya ia tidak mau
membunuh si jangkung dan mengikat permusuhan dengan
Sau Ceng-hong. Maka ia cuma menutuk Hiat-to yang
membuatnya pingsan, lalu dibawanya mengejar keini.
Kiau Lo-kiat merasa tidak mampu membuka Hiat-to
yang ditutuk oleh ilmu Tang-wan itu, terpaksa ia mohon
pertolongan kepada Ciamtay Cu-ih sendiri.
Tapi Ciamtay Cu-ih tidak menggubrisnya, ia bertanya
pula: "Kalau kau dapat melihat gaya ilmu pedang
perempuan muda itu, jelas pada waktu anakku terbunuh
kau pun berada di sana."
Diam2 Kiau Lo-kiat merasakan gelagat jelek, ia tidak
berani menjawab. Didengarnya Ciamtay Cu-ih berkata
pula: "Melihat pembunuhan kalian tidak turun tangan menolong, kalian ini terhitung ksatria Kang-ouw macam
apa?" Kiau Lo-kiat berusaha membela diri, katanya: "Puteramu membunuhi kawanan Tosu Bu-tong-pay, tentunya Cianpwe
tahu hubungan erat Lam-han kami dengan Bu-tong pay,
dalam keadaan begitu apakah mungkin kami menolong
anakmu?" Ciamtay Cu-ih tidak peduli, katanya: "Kalian tidak
menolong anakku, kalian harus dibunuh semua!"
Serentak anak murid Lam-han memprotes "Mana ada
aturan begitu"!"
"Peduli ada aturannya atau tidak" Pokoknya kalian harus mati!" bentak Ciamtay Cu-ih. "Yang tidak ingin mati boleh berlutut dan menyembah tiga kali kepada jenazah anakku,
akan kuhitung sampai tiga, siapa yang tidak menyembah
segera kubinasakan Nah, satu .... dua ... ."
Si monyet tidak tahan, teriaknya: "Labrak saja dia!"
Serentak anak murid Lam-han itu melompat turun dari
kuda masing2. Ciamtay Cu-ih tidak perlu dibantu murid2nya, ia lantas
melompat turun dari kudanya, hanya satu-dua gebrak saja
seorang murid Lam-han yang muda telah dapat dipegangnya terus didepak mencelat. Setiap kali seorang
dipegang, setiap kali pula dia tendang pergi. Hanya belasan
gebrak saja anak murid Lam-han itu sudah sama roboh di
sana sini, semuanya tercengkeram Hiat-to yang membuatnya bisu serta ditendang satu kali.
Karena Ah-hiat atau Hiat to bisu tertutuk, dengan
sendirinya anak murid Lam-han tidak dapat berteriak dan
juga tak dapat bergerak. Maka tertawalah Ciamtay Cu-ih
ter-bahak2, katanya: "Toasuheng kalian telah mendepak kedua muridku, sekarang kudepak kalian berdelapan, satu
orang satu kali, jadi kubayar empat kali lipat."
Habis berkata ia tambahi mendepak satu kali lagi kepada
si jangkung agar depakannya genap delapan kali. Habis itu mendadak ia memandang kearah Soat Peng-say yang tidak
ikut turun bertempur itu. Kebat-kebit hati Peng say.
Untung Ciamtay Cu-ih hanya manggut2 saja dan
berkata: "Ehm, betapa pun kau ini memang lebih pintar, tahu tidak dapat melawan lantas tidak mau ikut bertempur.
Tapi bisa juga lantaran takut mati, maka kau diam saja
Haha, jika betul kau takut mati, maka kau ini dapat
dianggap murid teladan Sau Ceng-hong!"
Tadi dia bilang akan menghitung sampai tiga, tapi kata
"tiga" itu tidak pernah diucapkan. Betapapun ia tidak nanti menghitung sampai tiga, sebab kalau Kiau Lo-kiat dan
kawan2nya tetap tidak mau menyerah, tapi ia tidak berani membunuh anak murid Sau Ceng-hong.
Dan kalau dia tidak berhitung sampai tiga, tentu iapun
tidak dapat menggertak akan membunuh Soat Peng-say
dengan alasan pemuda itu tidak menyembah.
Tiba2 Ciamtay Cu-ih tanya Ji Ci-ho: "Hari apa Wi Kay-hou akan Kun-bun-se-jiu (cuci tangan di baskom emas)?"
"Menurut berita yang tersiar, Wi-cianpwe menetapkan lusa sebagai hari baik bagi upacara Kim-bun-se-jiu beliau,"
jawab Ci-ho. "Sudah lebih 27 tabun aku tidak berjumpa dengan dia, bolehlah
kalian ikut aku pergi memberi selamat
kepadanya," kata Ciamtay Cu-ih.
Segera Ci-ho mengangkat mayat Ciamtay Boh-ko dan
melompat keatas kuda, para saudara seperguruannya juga
lantas mencempak kekuda masing2 dan siap berangkat,
Diam2 Peng-say berharap mereka lekas pergi. Apabila
mereka sudah pergi, segera dirinya akan membawa lari Cin Yak-leng dengan kereta kuda itu, tatkala mana anak murid Lam-han tentu tak dapat merintanginya.
Tak terduga, mendadak Ciamtay Cu-ih berseru: "Ci-kiat, kau mengendarai kereta itu."
Lo Ci-kiat melenggong, ia pikir jelas dirinya menunggang kuda, mengapa disuruh mengendarai kereta"
Didengarnya Ciamtay Cu-ih membentak pula: "Dengar
tidak perintahku?" Cepat Ci-kiat melompat ketempat kusir di atas kereta itu.
"Coba periksa dulu, adakah seorang nona di dalam
kereta itu?" tanya Ciamtay Cu-ih.
Ci-kiat menyingkap tirai dan melongok sekejap kedalam,
lalu katanya: "Ada."
"Baik," kata Ciamtay Cu-ih dengan mengangguk,
"Berangkat dulu!"
Segera Ci-kiat melarikan keretanya ke depan diikuti para Sutenya.
Ciamtay Cu-ih berada paling belakang, ia berseru pula:
"Dengarkan para murid Sau Ceng-hong, kalian tidak
menolong jiwa anakku, apakah kalian sengaja hendak
merampas calon bininya jika dia sudah dibunuh orang"
Hm, kebetulan aku menyusul tiba sehingga rencana kalian
gagal total. Bini anakku akhirnya tetap menantuku. Meski anakku sudah mati, betapa pun puteri Sau Ceng-in dari
Pak-cay ini harus tetap menjagai abu sembahyang anakku,
biarlah dia menjanda selama hidup." Habis berkata barulah ia menyusul rombongannya.
Dengan sangat tenang Soat Peng-say menyaksikan kereta
itu dibawa pergi orang, ia menyadari dengan sedikit
kepandaian sendiri jelas tidak boleh sembarangan bertindak.
Sampai rombongan Ciamtay Cu-ih itu sudah pergi jauh ia
tetap diam saja disitu tanpa mengejar.
Ia tidak sanggup membuka Hiat to rombongan Kiau Lo
kiat yang ditutuk Ciamtay Cu-ih tadi tapi ia mengangkat
mereka satu persatu ke bawah pohon ditepi jalan, lalu
mengumpulkan kuda tunggangan mereka dan ditambat
menjadi satu, akhirnya ia berduduk dan berjaga di situ.
Ditunggunya sampai lama sekali, lambat-laun si
jangkung dapat bergerak sedikit demi sedikit, ia tahu Hiat-to mereka sudah hampir terbuka dengan sendirinya dan tidak
perlu dijaga lagi, maka ia lantas mencemplak keatas
kudanya dan tinggal pergi.
Bukan maksudnya tidak menghiraukan lagi keselamatan
Cin Yak-leng, soalnya dia tahu tidak mampu melawan
Ciamtay Cu-ih. maka ia pikir harus berusaha menolongnya
dengan akal, betapapun Yak-leng harus diselamatkannya
dari cengkeraman Ciamtay Cu-ih,
Ucapan Ciamtay Cu-ih sebelum pergi itu membuat Pengsay merasa bingung, ia tidak paham mengapa Ciamtay Cuih memperlakukan puteri kandung sendiri dengan sekejam
itu, anak lelakinya sudah mati, tapi anak perempuannya
diharuskan menjanda selama hidup, sungguh terlalu aneh
dan sukar dimengerti.
Kesadisan demikian tidak berbahaya, untuk sementara
waktu Peng-say tidak perlu kuatir. jika Cin Yan-leng tidak sudi mengaku sebagai Sau Kim-leng, itulah yang berbahaya.
Maklum, terhadap anak perempuan kandung sendiri
dengan sendirinya Ciamtay Cu-ih takkan membunuh atau
memperkosanya, tapi terhadap perempuan lain jelas tidak
ada jaminan. Sebab itulah bila Yak-leng menjelaskan
kepada Ciamtay Cu-ih bahwa dia sesungguhnya bukan Sau
Kim-leng, itu berarti malapetaka akan segera menimpanya.
Inilah yang menguatirkan Peng-say, tapi ia pikir Yakleng telah melarangnya membongkar rahasia penyamarannya, jelas nona itupun takkan membuka rahasia
kepalsuannya sendiri. Untuk menolong Yak-leng dengan
akal harus dilakukan sebelum Ciamtay Cu-ih pulang ke
Tang-hay, jika dia sudah pulang kandang, tentu sukar untuk turun tangan.
Menurut pendapat Peng-say, Ciamtay Cu-ih bersama
anak muridnya akan pergi ke tempat Wi Kay-hou untuk
memberi selamat, ditempat keramaian itu suasana tentu
cukup gaduh dan di situlah kesempatan paling baik untuk
menolong Cin Yak-leng.
Tentang Wi Kay-bou, orang ini memang sangat
termashur, dia adalah Sute Bok Jong-siong, satu di antara Tiong-goan-sam-yu atau tiga sekawan dari Tionggoan yang
diberi julukan "Khim-lo" atau si kakek kecapi.
Bicara tentang Tionggoan-sam-lo, mereka adalah tiga
tokoh besar ilmu silat yang paling menonjol belasan tahun terakhir ini, nama mereka tidak di baWah Bu-lim-su-ki,
ilmu silat mereka pun tidak lebih asor. Lebih2 anak murid mereka juga sangat banyak, dalam hal kekuatan dan
pengaruh, kecuali Say-koan (satu di antara Bu-lim-su-ki), ketiga Ki yang lain jelas tak dapat menandinginya.
Antara 20 tahun yang lalu, Tiong-goan-sam-yu berserikat
dengan Say-lam-ji-ki, yaitu kedua Ki dari Say (barat dan Lam selatan) dan tersebutlah menjadi suatu keluarga besar dengan peraturan dan disiplin yang ketat, persekutuan
mereka itu terkenal dengan manis "Ngo tay-lian-beng" atau persekutuan lima besar.
Karena itulah, Say-lam-ji-ki serta Tiong-goan-sam-vu
semakun kuat dan berpengaruh, golongan atau aliran
manapun tidak ada yang berani meremehkan anak murid


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lima besar itu. Maka Ngo-tay-lian-beng bolen dikatakan
sama dengan rajanva dunia persilatan, nama dan
pengaruhnya bahkan jauh di atas aliran Siau-lim dan Butong yang terkenal itu.
Pada waktu mengikat persekutuan, mestinya Tiong-goan
sam-yu dan Say-lam ji-ki bermaksud menarik pula Tang-pak ji-ki (kedua Ki dan timur dan utara), tapi lantaran Tang-wan berada jauh di lautan timur dan termasuk wilayah
negeri asing, untuk mengundangnya tidaklah mudah
Adapun mengenai Pak-cay. karena hilangnya Sau Ceng-in
anak muridnya juga bubar dan cari jalan keluar sendiri2, yang tersisa hanya kaum wanita dan para budaknya, jika
mereka pun diajak masuk perserikatan, rasanya kurang
gemiiang, maka tanpa dipertimbangkan nama Pak-cay
lantas dicoret dari acara perundingan.
Wi Kay-hou sendiri tidak termasuk didalam Tiong-goansam-yu, tapi ilmu silatnya sangat tinggi, dia tergolong
angkatan tua yang disegani didalam Ngo tay-lian-beng,
ditambah lagi keluarga Wi sangat kaya raya, setiap tindak-tanduknya membawa pengaruh yang luas. Maka maksud
Wi Kay-hou akan Kin-bun-se-jiu atau cuci tangan di
baskom emas, artinya akan cuci tangan dan meninggalkan
dunia persilatan, sudah tentu hal ini akan merugikan Ngo-tay lian-beng.
Setelah berita akan cuci tangannya Wi Kay-hou tersiar,
tentu saja dunia persilatan menjadi gempar, dengan
sendirinya pula setiap golongan dan aliran sama datang
mengucakan selamat pada hari yang ditentukan dan
ramainya tidak kepalang.
Pada waktu Soat Peng cay turun gunung, cukup jelas
juga Tio Tay-peng menceritakan segala sesuatu mengenai
keadaan dunia Kangouw, maka diketahuinya Wi Kay-hou
beralamat tinggal di kota Cujoan yang terletak dikaki
gunung Thay. Dirancang oleh Peng say pada hari
berlangsungnya upacara "cuci tangan" Wi Kay-hau, yaitu pada saat yang paling ramai, kesempatan itu akan
digunakannya untuk menolong Cin Yak-leng
Soalnya Ciamtay Cu-ih dan muridnya sudah pernah
melihat Soat Peng-say, kalau anak muda ini tidak
menyamar, jangan harap akan dapat mendekati mereka
untuk menolong Cin Yak-leng. Sebab itulah sebelum masuk
kota Cujoan, lebih dulu ia menyamar sebagai seorang
bungkuk, mukanya ditempeli pula beberapa potong koyok,
rambutnya dibiarkan terurai, walaupun penyamarannya
kurang sempurna, tapi sudah bolehlah. Seumpama teman
lewat di depannya juga akan pangling.
Esoknya, setiba di dalam kota, di-mana2 terlihat tokoh
Bu-lim yang datang hendak menyampaikan selamat, karena
itulah hampir setiap hotel penuh terisi. Dengan susah payah akhirnya Peng-say berhasil mendapatkan sebuah kamar
yang kotor di sebuah hotel kecil.
Petangnya ia ber-jalan2 mengelilingi kota. Mendadak
hujan turun dengan lebat. Dilihatnya di tepi jalan ada
sebuah rumah minum, cepat ia berlari masuk kesitu dan
minta dibuatkan teh serta beberapa macam makanan kecil.
Rumah minum itu penuh tamu dan ramai orang
membicarakan Wi Kay-hou yang mendadak mengumumkan niatnya akan Kim-bun-se-jiu.
Peng-say tidak berminat mendengarkan obrolan orang
itu, dia asyik menyisir kuaci untuk menghilangkan rasa
kesal. "He, bukankah itu Siausumoay?" demikian mendadak suara
seorang yang sudah dikenalnya berseru di belakangnya. Waktu Peng-say menoleh, benar juga, dilihatnya orang2
yang mengerumuni sebuah meja itu memang dikenalnya
semua. Ada Kiau Lo-kiat, si jangkung, lelaki berdandan
kuli, si saudagar yang membawa suipoa serta si kurus kecil yang mirip kera, semuanya lengkap berada disitu.
Yang bicara itu adalah si monyet yang memang usil
mulut itu, terlihat dia sedang menggapai dan memanggil:
"Siausumoay! Siausumoay!"
Peng-say tidak berani memandangnya lebih lama, cepat
ia berpaling kembali. Diam2 ia merasa sangat kebetulan,
tidak disengaja tahu2 dirinya masuk di rumah minum yang
sama dan berduduk dimeja yang bertetangga dengan
mereka. Sejenak kemudian, terdengar suara seorang anak
perempuan berseru dengan nyaring dan girang; "Ai, kiranya kalian berada disini, mana Toasuko?"
Sekilas melirik, Peng-say melihat anak perempuan yang
lari masuk kehujanan itu berusia antara 16 tahun, cantik molek dan menyenangkan.
"Siausumoay, berani benar kau, diam2 mengeluyur
keluar diluar tahu Suhu tanpa menghiraukan bahaya
ditengah jalan"!" demikian si monyet menegur.
"Ah, merasa kesal berdiam di rumah, maka kukeluar
mencari Toasuko, peduli bahaya ditengah jalan apa segala?"
jawab si nona cilik.
Si kera melelet lidah, katanya pula: "Wah, sunggub
hebat, demi mencari Toasuko, seorang nona kecil
menempuh perjalanan jauh sendirian. Sayang yang dicari
bukan aku si Kang Ciau-lin, kalau aku yang dicari, wah,
bisa semaput aku saking kegirangan."
Nona cilik itu melotot, katanya: "Huh, siapa mau
mencari Lak-kau-ji (si kera nomor enam) macam kau ini"
Kera hanya suka mengacau, mana bisa bekerja baik?"
"Wah, wah, dunia terbalik ini," seru si kera alias Kang Ciau-lin. "Tidak panggil Laksuko (kakak-guru keenam), tapi sebut diriku Lak-kau-ji. Ai, lebih baik kuletakkan jabatan sebagai Suko."
"Habis, paman dan bibi serta para Suko sama memanggil kau Lak-kau-ji, masa aku harus dikecualikan?" ujar si nona dengan tertawa.
"Suhu dan Subo (ibu guru) memanggil demikian padaku kan pantas, kelima Suko memanggilku begitu juga aku
terima, tapi Sute dan Sumoay juga memanggil begitu
padaku tanpa menghormati diriku sebagai Suko, lalu apa
artinya aku menjadi Laksuko kalian" Kan lebih baik
semuanya menyebut aku sebagai Siausute (adik-guru
terkecil) saja?"
"Aha, bagus," seru si nona dengan tertawa; "Aku memang sudah bosan selalu dipanggil sebagai Siausumoay,
justeru tidak punya Siausute, lowongan ini memang perlu
diisi, akan kusambut dengan baik jika kau mau
mengisinya."
Hendaklah maklum bahwa Kang Ciau-lin alias si kera ini
memang suka berkelakar dengan nona cilik itu. Dia hendak omong lagi, tapi Kiau Lo-kiat lantas berdehem dan berkata:
"Lak-kau-ji, kau sendiri tidak mempunyai wibawa sebagai seorang Suko, mana Siausumoay mau tunduk padamu.
Salahmu sendiri jika kau disebut Lak-kau-ji."
Karena Ji-sukonya juga membela Siausumoay, Kang
Ciau-lin bisa melihat gelagat, ia melelet lidah dan tidak bicara lagi.
Kiau Lo-kiat lantas tanya si nona cilik: "Siau-sumoay, diam2 kau keluar, Suhu tahu tidak?"
"Kalau tahu kan namanya bukan keluar secara diam","
jawab si nona cilik.
"Bila Suhu mengetahui kau menghilang, beliau kan bisa kelabakan?" ujar Kiau Lo-kiat.
Nona cilik itu adalah keponakan perempuan Leng Tiongcik. puteri Sau Ceng-hong. Namanya Leng Seng, pada
waktu berumur sepuluh, ia diantarkan ayahnya ke tempat
Sau Ceng-hong dan menyuruh Leng Seng mengangkat sang
paman sebagai guru.
Leng Tiong-cik sendiri mandul, tidak punya anak, meski
kemudian Sau Ceng-hong mengangkat seorang anak lelaki
dan diberi nama Sau Peng-lam, tapi sepuluh tahun yang
lalu Sau Peng-lam sudah tamat belajar dan meninggalkan
perguruan, hampir sepanjang tahun Sau Peng-lam
berkelana didunia Kangouw dan jarang berkumpul dengan
sang ayah angkat.
Selain isteri dan muridnya, Sau Ceng-hong tiada
mempunyai keturunan sehingga hidupnya terasa kesepian.
Dengan datangnya Leng Seng, meski cuma keponakan, tapi
lantaran anak dara itu sangat menyenangkan, pintar omong dan mahir bicara, maka dia sangat disayang Sau Ceng-hong melebihi anak kandung sendiri, bila tidak bertemu satu hari, rasanya seperti kehilangan sesuatu.
Sekali ini diam2 Leng Seng meninggalkan Hui ciu dan
datang ke Soatang, untuk perjalanan ini saja makan waktu 20-an hari, jika Sau Ceng-hong tidak mengetahui kemana
perginya Leng Seng, selama 20 hari ini pasti kelabakan
setengah mati. Begitulah dengan tertawa Leng Seng lantas menanggapi
ucapan Kiau Lo-kiat tadi: "Jangan kuatir Sudah kutingalkan secarik surat dirumah, kukatakan akan mencari Tousuko di Cujoan sini. Jika paman tahu tempat kepergianku, tentu
beliau tidak akan kuatir lagi." '
"Ah, belum tentu," ujar Kiau Lo-kiat. "Menurut pendapatku begitu melihat surat yang kau tinggalkan, beliau pasti akan menyusul kemari."
"Bukankah akhir2 ini paman sedang meyakinkan
semacam Kungfu yang maha lihay?" kata Leng Seng.
"Tapi kalau kau menghilang, mana Suhu dapat berlatih Kungfu dengan tenang?" ujar Kiau Lo-kiat. "Kukira semuanya pasti akan ditinggalkan untuk sementara dan
akan mencari kau lebih dulu."
Mendadak Kiau Lo-kiat teringat sesuatu, segera ia
bertanya: "Eh. darimana kau tahu jejak Toasuko sehingga mencarinya kemari?"
"Meski Toasuko bersama kalian menuju ke Ciau-jiu-wan, tapi ketika berangkat kudengar paman memberi pesan
kepada Toasuko agar mampir di Cujoan dan mewakilkan
beliau mengucapkan selamat kepada Wi-susiok yang akan
Kim-bun-se-jiu, malahan Suko sudah dibekali kado.
Menurut perhitunganku, besok lusa adalah hari upacara
Kim-bun-se-jiu Wi-susiok, maka setiba disini pasti dapat kutemukan Toasuko."
"Dan sekarang sudah bertemu belum?" tanya Kiau Lo-kiat.
"Kalau sudah bertemu tentu aku takkan kehujanan
hingga basah-kuyup begini," kata Leng Seng, "Justeru sepanjang jalan tadi kucari keterangan mengenai Toasuko.
maka kehujanan."
"Ai, mengapa tidak ada orang yang sudi mencari diriku dengan diguyur hujan," kata Kang Ciau-lin dengan
menyesal. "Agaknya pembawaan Toasuko memang berejeki besar."
Si saudagar yang membawa suipoa ikut menimbrung:
"He, Lak-kau-ji, kau ini kagum atau iri kepada Toasuko?"
"Katakanlah iri, tapi apa dayaku?" ucap Kang Ciau-lin sambil menyengir. "Selama hidup Siausumoay tak bakalan menyukai Lak-kau-ji, yang disukai dia hanya Toa. . . ."
"Hayo omong lagi"!" hardik Leng Seng dengan muka merah.
Seperti biasa Kang Ciu-lin melelet lidah dan menjawab:
"Tidak, tidak berani omong lagi!"
Diam2 Peng say merasa heran melihat keakraban anak
murid Lam-han itu, pikirnya: "Jisuko mereka yang bernama Kiau Lo-kiat ini tampaknya sudah tua. sedikitnya 50 lebih.
Maka Toasuko mereka yang bernama Sau Peng-lam itu
pasti lebih tua daripada Kiau Lo-kiat. Sunggub aneh,
mengapa seorang anak dara berumur 16-17 tahun bisa
menyukai seorang kakek yang 30-40 tahun lebih tua dari
padanya?" Didengarnya Kiau Lo-kiat lagi berkata: "Siau sumoay tidak menemukan Toasuko, kami pun belum bertemu
dengan beliau, tampaknya Toasuko belum datang ke
Cujoan sini."
"Kalian tidak berada bersama Toasuko?" tanya Leng Seng.
"Tiga hari yang lalu Toasuko berpisah dengan kami di Thay-an," tutur Kiau Lo-kiat, "beliau pergi sendiri menyampaikan selamat kepada Wi-susiok sedangkan kami
menuju ke Ciau-ciu-wan, sudah disepakati setelah upacara Kim-bun-se-jiu Wi-susiok itu selesai, segera Toasuko akan menyusul ke Ciau-ciu-wan untuk membantu kami. Tapi
kalau terbukti Ciamtay Boh-ko sudah berlayar pulang,
maka kami harus menyusul kesini untuk bertemu dengan
Toa-suko serta pergi bersama ke tempat Wi-susiok Toasuko menyatakan tiga hari sebelum upacara, setiap siang
hari dia pasti dapat ditemukan di Ciu-lau (restoran) kota ini.
Tapi hampir semua restoran sudah kami cari, tetap belum
menemukan Toasuko."
"Mengapa harus berada di Ciu-lau melulu?" omel Leng Seng dengan kurang senang.
"Siausumoay," kata Kiau Lo-kiat dengan tertawa
"Tidakkah kau tahu, setiap hari Toasuko mesti minum arak, kalau sehari tidak minum sepuluh atau dua puluh kati,
tentu rasanya tidak enak."
"Hanya inilah kebiasaannya yang jelek." kata Leng Seng sambil berkerut kening.
"Meski gemar minum arak, tapi Toasuko tidak pernah
menelantarkan tugas. maka hobi minum arak ini pun tak
dapat dikatakan kebiasaan jelek," ujar Kiau Lo-kiat.
"Dan sekarang kalian menyusul kemari, apa ini berarti Ciamtay Boh-ko sudah berlayar pulang?" tanya Leng Seng.
"Bukan," jawab Kiau Lo-kiat. "Ciamtay Boh-ko sudah mati."
Leng Seng terkejut, tanyanya pula: "Dan bagaimana
dengan anak perempuan Sau-supek?"
"Dia jatuh di tangan Hong-hoa Wancu yang saat ini juga memimpin anak muridnya kesini untuk mengucapkan
selamat kepada Wi-susiok," tutur Kiau Lo-kiat. "Maka kami ingin cepat menemui Toasuheng untuk berunding dengan
beliau cara bagaimana akan menolong Sau-sumoay."
"O. jadi Ciamtay Cu-ih berada dikota ini" Lalu cara bagaimana Sau-suci sampai jatuh di cengkeramannya?"
tanya Leng Seng pula.
Kiau Lo-kiat lantas menceritakan apa yang terjadi
kemarin. Kang Ciau-lin tidak mau ketinggalan, terkadang ia pun menimbrung dan membumbui.
Dalam pada itu hujan tambah keras, tertampak seorang
penjual pangsit dengan pikulannya yang kehujanan
berteduh di bawah emper rumah minum itu.
Terdengar suara "tok-tok-tok", suara penjual pangsit mengetuk kepingan kayunya, tertampak pula kepulan asap
dari kualinya. Anak murid Lam-han itu memang sudah lapar, Kang
Ciau-lin segera mendahului berteriak: "He, penjual pangsit, buatkan delapan atau sepuluh mangkuk, tambah telur!"
Si kakek penjual pangsit mengiakan, dibukanya tutup
kuali dan dilemparkaanya berpuluh biji pangsit mentah
kedalam air mendidih Tidak lama kemudian, empat
mangkuk pangsit lantas dihidangkan lebih dulu.
Dengan tertib si kera Kang Ciau-lin menyerahkan
mangkuk pertama kepada Jisuko Kiau Lo-kiat, mangkuk
kedua kepada Samsuko, si jangkung, Nio Hoat. Lalu berturut2 diberikannya kepada lelaki berdandan sebagai kuli, yaitu Sisuko Si Tay-cu dan kemudian si saudagar yang
membawa suipoa, Go-suko Ko Kin-beng.
Waktu pangsit lain diantarkan, mestinya mangkuk
kelima adalah bagian si kera sendiri, tapi disodorkannya kepada Leng Seng dan berkata: "Siau-sumoay, silakan kau makan dulu."
Kalau sejak tadi Leng Seng suka bertengkar dengan
Kang Ciau lin dan tidak menganggapnya sebagai Suheng,
sekarang dia lantas berdiri menyambut mangkuk pangsit
itu, katanya dengan hormat: "Terima kasih Laksuko."
Agaknya disiplin perguruan Lam-han sangat keras, sehari2 boleh bergurau sesukanya. tapi peraturan dan sopan santun tetap harus dijaga.
Kiau Lo-kiat dan lain2 segera makan pangsit lebih dulu,
tapi Leng Seng menunggu sampai bagian Kang Ciau-lin
sudah siap barulah dimakan bersama
Sebabis makan pangsit, si jangkung yang bernama Nio
Hoat itu berkata: "Mungkin sebentar lagi Toasuko akan sampai di Cujoan sini. Hujan masih lebat, hotel juga sukar dicari, biarlah kita menunggunya dirumah minum ini.
Andaikan hari ini Toasuko tidak datang, besok juga pasti datang. Bagaimana pendapat Jisuko?"
"Lalu di mana kita akan bermalam nanti?" jawab Kiau Lo-kiat.
"Bila rumah minum ini tutup nanti, biarlah kita gunakan meja sekedar sebagai tempat tidur dan lewatkan semalam
ini," ujar Nio Hoat. "Besok boleh kita bayar menurut sewa
hotel kepada pemilik rumah minum ini, kukira dia pasti
setuju." Setelah berpikir, akhirnya Kiau Lo-kiat mengangguk
setuju, "Jika demikian, kita harus mengawasi jalan raya, jangan sampai Toasuko lewat begitu saja tanpa kita ketahui," kata si kera.
"Kukira tidak perlu," ujar Gosuko Ko Kin-beng.
"Mengapa tidak perlu?" tanya si kera dengan terbelalak.
"Besok lusa kan hari cuci tangan Wi-susiok, hari ini atau besok Toasuko pasti akan sampai di sini, begitu datang
tentu akan mengantarkan kado lebih dulu, untuk menuju ke tempat kediaman Wi susiok harus melalui jalan ini, maka
kita harus pasang mata awasi, tentu dapat melihat Toasuko jika beliau lalu disini."
"Usulmu memang betul, cuma kita tidak perlu repot,
betul tidak?" ucap Ko Kin-beng dengan tertawa sambil memberi tanda ke arab Leng Seng.
Saat itu Leng Seng sedang memandang orang yang


Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlalu lalang di tengah hujan, semangkuk pangsit baru
dimakannya setengah mangkuk.
Maka pahamlah Kang Ciau-lin akan maksud sang
Gosuko, dengan tertawa ia berseru: "Aha, memang betul.
Jika Siausumoay sudah mengawasi orang di jalanan,
sepasang matanya jauh lebih awas dari pada delapan
pasang mata kita. Lebih baik kita makan kuaci saja."
Sementara itu semangkuk pangsit sudah disapu habis, ia
lantas mulai menyisir kuaci pula.
Leng Seng menjadi kikuk karena ucapan si kera tadi, ia
tidak memandang keluar lagi, sisa pangsit setengah
mangkuk tidak dimakannya lagi, katanya: "Jisuko, berita tentang Sau-suci dari Pak-cay diculik Ciamtay Boh-ko
mengapa tersiar sampai jauh ke Huiciu?"
Sejak tadi Peng-say memang heran mengenai hal ini,
pertanyaan Leng Seng sungguh sangat kebetulan baginya,
segera ia pasang kuping untuk mendengarkan.
Terdengar Kiau Lo-kiat bertutur: "Sebulan yang lalu tersiar berita bahwa Sau-supek dari Pak-cay kembali
muncul di dunia Kangouw dan jejaknya terlihat di sekitar Holam dan Hopak. Jarak antara Huiciu dengan Holam dan
Hopak sangat jauh, syukur anak murid Bu-tong tersebar dimana2, setiap orang tahu bubungan baik Lam-han kita
dengan Bu-tong, maka dalam waktu singkat kita pun
menerima berita merpati yang dikirim oleh murid Bu-tong
yang kebetulan berada di wilayah Holam dan Hopak.
Demi membuktikan berita itu, Suhu membalas surat dan
minta murid Bu-tong-pay yang berada di Soasay agar suka
datang ke Siau-ngo-tay-san tempat kediaman Sau-supek itu, untuk menyelidiki kebenaran berita itu, sebab betul atau tidak berita itu pasti diketahui oleh anak perempuan Sau-supek. Tak terduga, beberapa hari kemudian datang pula
berita merpati dari Bu-tong-pay dan menyatakan Sausumoay tidak berada di Leng hiang-cay, menurut
keterangan budak yang masih tinggal di Pak-cay, katanya
Sau-sumoay telah diculik Ciamtay Boh-ko dan akan
dipaksa menjadi isterinya."
Diam2 Peng-say mengangguk, pikirnya: "Yang diculik
Ciamtny Boh-ko itu adalah Yak-leng dan bukan Sau Kimleng, budak Pak-cay tentunya tahu juga hal ini. Mungkin
mereka sengaja memberitahukan begitu agar Lam-han
memberi pertolongan "
Apa pun juga Peng-say tetap tidak percaya bahwa Cin
Yak-leng secara sukarela mau mengaku sebagai Sau Kim
leng, ia menduga Yak-leng tentu dipaksa oleh Liok-ma
dengan ancaman yang sukar untuk ditolak sehingga mautak-mau Cin Yak-leng tidak berani lagi mengakui asalusulnya sendiri.
Sebenarnya Peng-say sangat benci kepada Sau Kim-leng
yang lebih mementingkan keselamatan sendiri, ia tidak suka menjadi isteri Ciamtay Boh-ko, tapi Cin Yak-leng yang
dikorbankan. Tapi sekarang setelah diketahui Pak-cay
sengaja menyiarkan berita penculikan itu agar Lam-han
memberi pertolongan, diam2 ia berterima kasih pula kepada Sau Kim-leng.
Apalagi setelah dipikir ketika Ciamtay Boh-ko sampai di
Leng-hiang-cay. saat itu Sau Kim-leng mengiringi Pak-say sendiri ke Ciok-leng-tong sehingga tidak mungkin sempat
memberi perintah kepada Liok-ma agar memaksa Cin Yakleng memalsukan dirinya. Maka besar kemungkinan
tindakan itu diambil oleh Liok-ma dan bukan atas kehendak Sau Kim-leng.
Selagi berpikir, didengarnya Leng Seng berkata: "Jika Tang-wan berbesanan dengan Pak-cay, kan baik juga,
kenapa kita mesti banyak urusan dan ikut campur?"
"Menurut budak Pak-cay, katanya Siocia mereka tidak sudi menjadi isteri Ciamtay Boh-ko, maka terjadilah
penculikan itu," tutur Kiau Lo-kiat. "Sesuai peraturan Lam-han kita yang harus membantu pihak yang lemah dan
memberantas pihak yang jahat, adalah layak jika kita
memberi pertolongan. mana boleh dikatakan kita banyak
urusan dan ikut campur urusan orang lain?"
"Diculik atau bukan, urusan Pak-cay kan tiada sangkut-pautnya dengan kita," kata Leng Seng.
Diam2 Peng-say mendongkol, pikirnya, anak perempuan
secantik ini ternyata berhati kurang baik.
Terdengar Kiau Lo-kiat sedang berkata pula: "Antara Pak-cay dan Lam-han kita sebenarnya sudah putus
hubungan sejuk kakek guru kita, anak muridnya juga saling bermusuhan, urusan Pak-cay memang tidak ada sangkut-pautnya dengan Lam-han kita. Tapi Pak-cay sekarang
hanya tertinggal Sau-sumoay sendiri, Suhu tidak sampai
hati tinggal diam, maka begitu menerima berita segera
beliau mengirim berita merpati dengan tipu-daya yang di
aturnya, anak murid Bu-tong-pay diminta menunggu di
Ciau ciu-wan untuk merintangi berlayarnya Ciamtay Bohko, berbareng itu kita diperintahkan menuju ke Ciau-ciuwan pula. Tapi lantaran perjalanan jauh, setiba di tempat tujuan kita sudah agak terlambat, sungguh harus disesalkan korban kawan Bu-tong-pay yang jatuh itu. Hal ini belum
lagi diketahui Suhu, meski Ciamtay Boh-ko sudah mati,
bukan mustahil bila bertemu Ciamtay Cu-ih akan ditegur
pula oleh Suhu."
Sisuko Si Tay-cu ikut bicara: "Anaknya merampas gadis orang, sang ayah bukan saja tidak bertindak, sebaliknya
malah membela anak sendiri dan mengharuskan anak gadis
orang lain menjanda bagi kematian anaknya. Huh, Ciamtay
Cu-ih itu manusia apa?"
Jangan dikira Si Tay-cu itu berdandan sebagai kuli dan
kelihatan kampungan. tapi pembawaannya sangat simpatik
dan berbudi luhur, segala kejahatan dipandangnya sebagai musuh. Bicara punya bicara saking gemasnya ia terus
menggebrak meja. Kontan sebuah mangkuk pangsit
mencelat dan jatuh ke bawah meja.
Syukur Ko Kin-beng cepat bertindak, sebelah kakinya
sempat mencungkit sehingga mangkuk itu mencelat kembali
keatas, dengan enteng mangkuk itu lantas ditangkap oleh
Ko Kin-beng. Pada saat itulah, se-konyong2 si kakek penjual pangsit
mendesis: "Awas, musuh datang, lekas pergi!"
Semua murid Lam-han terkejut demi mendengar ucapan
si penjual pangsit itu.
"Adakah Ciamtay Cu-ih?" tanya Ko Kin-beng. Tapi si kakek penjual pangsit hanya memberi isyarat ke luar dan
tidak bicara, lalu ia ketok2 pula kepingan kayunya.
Serentak anak murid Lam-han sama memandang keluar,
tertampak di bawah hujan belasan orang sedang berlari
kemari, cepat langkah mereka, tapi hampir tidak bersuara.
Orang2 ini sama memakai mantel hujan, sesudah dekat
baru terlihat jelas, kiranya serombongan Nikoh.
Yang paling depan adalah seorang Nikoh tua bertubuh
sangat tinggi, dia berdiri di depan rumah minum, dengan
suara kasar ia kasar berteriak: "Sau Peng-lam, menggelinding keluar sini!"
Melihat Nikoh tua itu, serentak Kiau Lo-kiat dan
kawan2nya berbangkit serta memberi hormat Dengan suara lantang Kiau Lo-kiat menyapa: "Ting-yat Susiok!"
Kiranya Nikoh tua itu bergelar Ting-yat Suthay, dia
adalah Sumoaynya Ting-sian Suthay, si Nikoh penyair dari Tiong-goan-sam-yu.
Ting Sian Suthay adalah ketua Siong-san-pay di Holam,
Sumoaynya, yakni Ting Yat, juga memimpin sendiri suatu
kuil, yaitu ketua kuil Pek-hun-am (biara awan putih)
dilereng gunung Siong-san, selain berpengaruh di Siong Kesatria Baju Putih 20 Harimau Mendekam Naga Sembunyi Karya Wang Du Lu Golok Halilintar 13

Cari Blog Ini