Ceritasilat Novel Online

Pendekar Gila 4

Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


108 khianat dan curang kepadamu, kawan! Kau tidak tahu, kawan kita Tiong San telah menjadi seorang pendekar luar biasa! Ah, kalau saja kau tadi tahu betapa ia bertempur melawan Siu Eng yang lihai! Ia adalah Shan-tung Koay-hiap, dan kepandaiannya .... ah, kau takkan percaya kepada matamu sendiri ...."
Kemudian ia lalu berkata dengan sungguh-sungguh," Kawan-kawanku, dengarlah baik-baik penuturanku dan aku bersumpah takkan mau menjadi manusia lagi kalau dalam penuturanku ini ada sepatah katapun yang tidak benar!"
Ia lalu menceritakan keadaan sebenarnya, betapa Siu Eng memasuki kamarnya, betapa ia telah mencintai seorang gadis pelayan yang kemudian difitnah oleh Siu Eng, dan betapa ia tadi hampir saja dibunuh oleh gadis kejam itu.
Bab 12 ... MAKIN lama makin pucatlah wajah Thio Swie mendengar ini dan akhirnya ia mengeluh dengan sedih lalu roboh pingsan. Khu Sin menjadi sibuk, akan tetapi Tiong San berkata,
"Tenanglah, ia tidak apa-apa. Lebih baik dia pingsan sehingga tidak mengalami pukulan batin yang lebih hebat." Mereka duduk diam menjaga sampai Thio Swie siuman kembali. Pemuda ini bangun duduk dan menangis sedih.
"Bagaimana ia menjadi sejahat itu" Bagaimana seorang gadis secantik dia sampai memiliki watak sedemikian keji. Ah .... sukar untuk dapat dipercaya."
"Memang manusia ini segila-gilanya mahluk. Ingatkah kau, Thio Swie?" kata Tiong San.
"Sekarang serahkanlah semua ini kepadaku. Aku yang tanggung bahwa mulai besok pagi, kalian tentu akan mendapat pangkat, dan dapat meninggalkan tempat ini untuk menduduki pangkat masing-masing. Adapun tentang Siu Eng .... ah, serahkan saja kepadaku. Khu Sin, besok setelah menerima pangkat, kau boleh membawa pulang calon isterimu itu, dan kau Thio Swie, kuharap kau dapat melupakan Siu Eng, memegang jabatanmu dengan jujur dan adil kemudian kau boleh mencari isteri yang lebih bijaksana dari pada Siu Eng!"
"Kau sendiri!" tanya Khu Sin.
"Aku ..." Ha ha ha! Aku .... sementara waktu akan tinggal di gedung ini, kalau sudah bosan, aku akan menyusul suhuku ..."
"Di mana suhumu!" tanya Khu Sin selanjutnya.
"Di dapur kaisar, menikmati hidangan-hidangan istana!"
"Tiong San, gilakah kau?" tanya Thio Swie dengan heran.
Tiong San tertawa ha ha, hi hi. "Nah, kau sudah sembuh, Thio Swie! Kau bilang aku gila"
Memang, siapakah yang tidak gila" Ha ha, ingatkah kau syair dulu?"
Dunia penuh orang gila
Yang waras disebut gila
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
109 Yang gila .......
"Meraja lela .....!" dengan suara berbareng Thio Swie dan Khu Sin melanjutkan syair itu.
Kembali Tiong San tertawa ria.
Khu Sin lalu menceritakan pengalaman mereka semenjak berpisah dengan Tiong San dan pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi ketika ditanya
pengalamannya, Tiong San menjawab singkat.
"Apa yang kualami" Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya pergi belajar mengembala kerbau dengan cambukku ini dan selanjutnya merantau tiada arah tujuan."
"Mengembala kerbau" Apakah artinya bahwa untuk mengembala kerbau kau perlu
mempelajari ilmu silat yang demikian tingginya?" tanya Khu Sin dan kedua orang muda itu mulai memandang kepada Tiong San dengan pandangan mata heran dan ragu-ragu apakah kawannya ini benar-benar tidak miring otaknya.
Sambil tertawa Tiong San berkata, "Betapa tidak" Mengembala kerbau lebih mudah dari pada mengembala manusia, dan karena kerbau-kerbau yang harus kuhadapi itu termasuk kerbau-kerbau gila seperti Siu Eng dan orang jahat-jahat lainnya, tentu aku akan diseruduk kerbau dan mampus!"
Omongan Tiong San yang tidak keruan juntrungnya ini benar-benar membikin kedua sahabatnya terheran-heran. Menurut keinginan hati kedua orang muda itu, mereka ingin mengadakan percakapan sampai semalam suntuk, akan tetapi Tiong San berkata,
"Jangan, lebih baik kita tidur saja. Thio Swie perlu beristitahat dan aku perlu tidur karena kamar telah disediakan oleh tuan rumah!"
Pelayan mengetuk pintu dan memberitahukan bahwa kamar untuk "Koay-hiap" telah disiapkan, yakni di dekat kamar tengah. Pelayan itu lalu mengundurkan diri.
"Malam ini kalian jangan keluar-keluar," kata Tiong San, "Biar mendengar suara apapun juga dari kamarku, jangan kalian keluar."
Kemudian mereka lalu masuk ke kamar masing-masing. Thio Swie yang merasa amat kecewa dan berduka, dapat menghibur hatinya karena ia merasa beruntung juga bahwa ia tidak sampai terjerumus makin dalam dan kini kedua orang sahabat karibnya telah berbaik kembali, bahkan Tiong San telah menjadi seorang pendekar! Maka perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya ini membuatnya lelah sekali dan sebentar saja ia tidur pulas. Sebaliknya, Khu Sin yang merasa girang sekali, pertama karena kedatangan Tiong San, kedua karena ia sudah berbaik kembali dengan Thio Swie, dan ketiganya karena ia hendak membawa pulang kekasihnya, malahan tak dapat tidur!
Tiong San begitu merebahkan diri di atas pembaringan tanpa membuka bajunya terus saja mendengkur! Keadaan di sekitar tempat itu sunyi senyap, akan tetapi sebetulnya pemuda ini tidak tidur dan ia menaruh curiga kepada Pangeran Lu Goan Ong. Siapa tahu kalau-kalau Pangeran itu hendak berlaku curang! Maka ia telah mempersiapkan cambuknya di bawah bantal.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
110 Menjelang tengah malam, benar saja ia mendengar tindakan kaki perlahan-lahan yang menghampiri kamarnya dari luar. Menurut pendengarannya, ia taksir bahwa yang datang itu sedikitnya ada lima orang, maka ia diam-diam tersenyum dan bersiap-siap. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki ringan dan ia mendengar suara Siu Eng berkata perlahan,
"Jangan! Jangan! Tidak boleh!"
Terdengar suara laki-laki yang agaknya membantahnya, akan tetapi gadis itu berkata kembali,
"mari kita rundingkan dulu!"
Kaki banyak orang itu lalu menjauhi kamarnya, dan secepat kilat Tiong San lalu melompat naik ke tiang penglari, membuka genteng dan segera melompat mendekati sekelompok orang dalam gelap yang sedang berunding. Ia lihat Im-yang Po-san Bu Kam, perwira kaisar kelas satu yang tadi dicabut jenggotnya oleh Thian-te Lo-mo, bersama empat orang perwira lain dan mereka berlima ini sedang bercakap-cakap dengan Siu Eng. Gadis ini sedang bicara dengan suara tetap,
"Tidak boleh, sekali lagi tidak boleh! Kalian tidak boleh mengganggu dia! Aku ... aku suka kepadanya dan aku sudah mengambil keputusan untuk menjadi ... jodohnya!"
"Apa?" terdengar orang ketujuh berkata dan orang ini bukan lain ialah Pangeran Lu Goan Ong sendiri. "Siu Eng! Apakah kau gila" Dia adalah seorang yang berbahaya!"
Siu Eng tersenyum. "Dia memang lihai sekali dan berkepandaian tinggi. Tentu saja dia berbahaya kalau menjadi musuh kita. Akan tetapi, kalau dia menjadi suami saya, berarti dia bukan musuh kita, bahkan keluarga kita yang akan membela kita. Mengapa paman tidak dapat berpikir sampai di situ?"
"Kalau dia tidak mau, bagaimana?" tanya seorang perwira.
"Tak mungkin!" Siu Eng menjawab marah dan tersinggung. "Kalau besok paman bertemu dengan dia harap paman kemukakan hal ini dan membujuknya. Kalau ternyata benar-benar bahwa dia tidak mau, terserah kepada kalian hendak menawan atau membunuhnya, aku bahkan akan membantu kalian!"
Setelah mendengar ini Tiong San tersenyum geli dan diam-diam kembali ke kamarnya dan tidur lagi. Ketujuh orang itu berunding sebentar lagi, kemudian perwira-perwira itu mengalah karena mereka merasa setuju dengan pendapat Siu Eng bahkan merasa gembira karena kalau sampai pemuda itu tidak mau, mereka akan dapat bantuan Siu Eng yang lihai. Juga Pangeran Lu Goan Ong memuji kecerdikan keponakannya.
Setelah mereka pergi, Siu Eng lalu menghampiri kamar Tiong San. Ia mengintai dari jendela dan ketika mendengar betapa pemuda itu telah tidur pula dan mendengkur, dengan hati-hati ia lalu menolak daun pintu yang ternyata tidak dikunci!
Ia melangkah masuk dan mendekati pembaringan Tiong San. Ditatapnya wajah pemuda yang tampan dan yang tidur telentang itu. Bibir pemuda itu tersenyum dalam tidurnya dan bulu matanya nampak panjang dan hitam. Alis yang berbentuk golok itu membuat kulit mukanya yang putih kelihatan gagah dan tampan sekali.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
111 "Aku suka kepadamu .... kau tampan dan gagah ... aku cinta padamu ...." Siu Eng berbisik dan jari tangannya yang halus itu diulur dan menyentuh dagu Tiong San dengan mesranya.
Kemudian dengan hati beruntung dan gembira gadis itu meninggalkan kamar Tiong San dan menutup pintunya.
Pada keesokan harinya, Tiong San telah berhadapan dengan Pangeran Lu Goan Ong di ruang tamu. Setelah memuji-muji kegagahan Tiong San, Pangeran Lu Goan Ong lalu berkata,
"Lie-taihiap," katanya dengan suara ramah tamah, "Melihat sepak terjangmu di gedung Pangeran Ong, aku merasa amat kagum akan kegagahanmu, dan melihat pula sikapmu yang amat sopan santun dan baik, timbullah suatu maksud dalam hatiku. Kuharap saja kau takkan menampik usul yang akan kuajukan ini."
"Lu-taijin adalah seorang pembesar tinggi dan telah menolong kedua orang sahabatku," jawab Tiong San. "Oleh karena itu setiap usul tentu akan merupakan kurnia besar untukku. Mana aku bisa menampiknya?"
Dengan wajah girang Pangeran Lu Goan Ong melanjutkan kata-katanya, "Keponakanku Gui Siu Eng telah kau lihat sendiri kepandaian dan wajahnya. Dia telah berusia delapan belas tahun dan selalu apabila hendak kucarikan jodoh, ia menolak dengan alasan bahwa ia hanya mau mendapatkan jodoh yang ilmu kepandaiannya lebih tinggi darinya, baik dalam bun maupun bu. Taihiap adalah seorang pelajar yang pandai dan ilmu silatmu juga amat tinggi, maka agaknya hanya kaulah seorang yang patut menjadi jodohnya. Tidak tahu bagaimana pendapatmu tentang hal ini" Kalau kiranya kau setuju, kami akan merasa girang sekali menarik kau sebagai keluarga kami!"
Biarpun dalam hatinya merasa geli sekali, akan tetapi Tiong San memperlihatkan muka sungguh-sungguh ketika ia menjawab, "Memang telah kuduga bahwa taijin tentu akan memberi kurnia kepadaku yang bodoh. Tentang hal perjodohan ini .... sesungguhnya merupakan kurnia yang datangnya dari surga bagiku. Jangankan menjadi jodoh Gui-siocia yang demikian pandai dan mulia, untuk menjadi pelayannya saja aku masih belum cukup berharga! Oleh karena itu, orang akan menyebutku gila kalau aku menampiknya. Akan tetapi, orang menikah harus berada dalam keadaan senang dan puas, sedangkan aku masih mempunyai ganjalan hati karena beberapa macam keinginanku masih belum terkabul."
"Apakah keinginan itu, taihiap" Katakanlah, barangkali saja aku akan bisa menolongmu."
Tiong San menjura. Terima kasih, terima kasih Lu-taijin. Kalau taijin yang turun tangan membantu, hal ini pasti akan beres. Dulu pernah aku berjanji kepada diri sendiri, bahwa aku takkan mau kawin sebelum dapat menyenangkan hidup ibuku yang miskin, maka sebelum aku dapat memberinya uang sedikitnya sepuluh ribu tail perak, aku takkan mengikat diri dengan perjodohan. Kedua, sahabat-sahabat karibku Khu Sin dan Thio Swie semenjak kecil bercita-cita untuk menjabat pangkat, sedikitnya menjadi wedana, maka kalau kedua orang sahabatku itu belum mendapatkan pangkat yang dicita-citakannya itu, hatiku tetap saja takkan merasa senang. Tentu saja kedua hal ini bagi taijin hanyalah merupakan hal-hal kecil yang remeh, akan tetapi bagiku agaknya selama hidup takkan dapat tercapai. Oleh karena itu untuk membicarakan soal perjodohan masih jauh sekali bagiku dengan adanya keinginan-keinginan yang sukar dilaksanakan itu."
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
112 Pangeran Lu Goan Ong tertawa gembira. "Sepuluh ribu tail perak dan pangkat wedana bagi kedua sahabat karibmu" Hm, biarpun hal itu mudah dilakukan, akan tetapi dengan perginya kedua anak muda itu, aku kehilangan dua tenaga pembantu yang cakap. Akan tetapi biarlah, hitung-hitung hal itu menjadi "mas kawin" bagimu. Aku akan penuhi semua permintaan itu, Lie-taihiap!"
Tiong San merasa lega dan menjura dengan penuh hormat.
"Banyak-banyak terima kasih atas kurnia yang taijin berikan kepadaku. Kalau demikian, mohon taijin suka segera memberi surat pengangkatan untuk kedua orang kawanku itu dan uang untuk ibukupun hendak kutitipkan pada mereka."
"Dan tentang pernikahan itu" Kapan dapat dilangsungkan?" tanya Pangeran Lu Goan Ong.
Tiong San tersenyum. "Kapan saja, taijin, ini hari ataupun besok hari apa bedanya?"
Pangeran Lu Goan Ong merasa girang sekali. Tak disangkanya pemuda itu akan menurut dengan demikian mudahnya. Kalau pemuda itu benar-benar menjadi suami Siu Eng, maka ia akan mendapat pelindung yang benar-benar kuat dan ia tidak usah khawatirkan saingan-saingan berat. Pula, karena pemuda ini murid Thian-te Lo-mo, mustahil kalau kakek gila itu mau datang mengganggunya!
"kalau begitu, besok pagi harus dilangsungkan. Lebih cepat lebih baik!" serunya girang.
"Hamba bersiap sedia, taijin!" jawab Tiong San.
Khu Sin dan Thio Swie lalu dipanggil menghadap dan kedua pemuda ini hanya bisa mendengarkan dengan bengong ketika mereka diberitahu oleh Pangeran Lu Goan Ong bahwa mereka berdua diangkat menjadi Wedana, masing-masing di kota Bun-an-kwan dan Siong-li-tung yang tak jauh letaknya dari kampung kelahiran mereka! Kemudian mereka diberi hadiah-hadiah pula sebagai penghargaan atas jasa-jasa mereka dan juga uang sepuluh ribu tail perak untuk ibu Tiong San dibawakan sekalian.
Dalam kegembiraannya, kedua orang itu berlutut menghaturkan terima kasih kepada Pangeran Lu Goan Ong sambil mengeluarkan air mata karena terharu dan girang. Khu Sin lalu mengajukan permohonan untuk berangkat pada hari itu juga sambil membawa Man Kwei, bekas pelayan yang menjadi kekasihnya itu. Pangeran Lu menyetujuinya dan segera disediakan gerobak untuk mengangkut barang-barang mereka.
Akan tetapi ketika mereka berdua diberitahu akan pernikahan Tiong San dengan Siu Eng yang akan dilangsungkan besok hari, keduanya menjadi pucat. Terutama Thio Swie, pemuda ini yang hatinya masih terluka dan rasa cintanya kepada Siu Eng masih belum lenyap, memandang kepada Tiong San dengan mata marah dan penuh pertanyaan, akan tetapi kawannya itu hanya memandangnya sambil tersenyum.
"Kalian pulanglah dan lakukanlah pekerjaan dan tugas masing-masing dengan baik. Kalian sudah terlalu lama di sini dan sekarang menjadi giliranku untuk menikmati hidup bahagia di samping isteriku yang berbudi!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
113 Khu Sin yang cerdik dapat menduga bahwa Tiong San tentu sedang menjalankan peranan yang hebat, maka tanpa banyak kata lagi ia lalu mengajak Thio Swie berangkat meninggalkan kota raja. Mereka minta pertolongan sebuah perusahaan pengawal barang (piauw-kiok) untuk mengantar dan mengawal mereka menuju ke kampung Kui-ma-chung karena mereka hendak pulang ke rumah orang tua masing-masing sebelum menuju ke kota di mana mereka akan menjabat pangkat baru itu. Akan tetapi, di sepanjang perjalanan, Thio Swie tiada hentinya menyatakan ketidaksenangan hatinya terhadap Tiong San, dan ia dihibur oleh Khu Sin dengan memperingatkan bahwa betapapun juga, Tiong San telah berjasa sehingga mereka berdua diberi kedudukan yang amat baik.
**** Sementara itu, gedung Pangeran Lu Goan Ong dihias dengan amat mewahnya. Pangeran ini lalu membuat siaran dan undangan kilat untuk memberitahu tentang pernikahan yang hendak dilangsungkan sehingga gemparlah semua pembesar dan Pangeran di kota raja. Nama Siu Eng telah terkenal sekali dan semua orang merasa heran dan menduga-duga siapakah gerangan pemuda yang demikian bahagia dan berhsl mempersunting kembang yang indah dan harum itu.
Para pembesar yang ketika Tiong San mengacau di gedung Pangeran Ong hadir pula di situ, menjadi terheran-heran ketika mendengar bahwa keponakan Pangeran Lu Goan Ong dijodohkan dengan Shan-tung Koay-hiap, akan tetapi diam-diam Pangeran Lu Goan Ong mengutus orang kepercayaannya untuk memberitahukan duduknya hal kepada mereka semua itu.
Ia memberitahukan bahwa Siu Eng merasa suka kepada pemuda itu dan menurut
pendapatnya, pemuda yang tadinya seorang siucai (terpelajar atau mahasiswa) itu yang kini telah menjadi seorang lihai, lebih baik dijadikan kawan yang akan membela kepentingan mereka dari pada dijadikan lawan. Bahkan Pangeran Lu Goan Ong memberi surat khusus untuk Pangeran Ong Tai Kun agar supaya Pangeran ini suka menjalankan siasat yang halus dan menawarkan diri menjadi wali dari Tiong San!
Pangeran Ong Tai Kun yang telinga kirinya dibikin buntung oleh Tiong San, tentu saja merasa amat sakit hati pada pemuda itu, maka ketika menerima surat dari Pangeran Lu Goan Ong , ia merasa amat penasaran. Akan tetapi menghadapi Lu-taijin, ia tidak berani bertingkah, apalagi ia maklum bahwa tanpa bantuan orang pandai, ia tidak berdaya menghadapi Shantung Koay-hiap dan Thian-te Lo-mo. Maka ia lalu memutar otaknya dan akhirnya mendapat siasat yang amat keji dan curang.
Ia segera mengutus orang-orang kepercayaannya untuk membawa kendaraan berkuda besar menjemput Tiong San yang menjadi mempelai laki-laki dan kini telah diberi pakaian yang amat indah. Pakaian ini terbuat dari sutera halus dan atas permintaannya, maka telah dipilih sutera warna hijau yang amat mahal dan indah.
Untuk memenuhi adat kebiasaan, mempelai laki-laki akan tiba dari rumah orang tua atau walinya untuk menjemput calon isterinya, maka karena ia tidak keberatan untuk mengangkat wali kepada Pangeran Ong Tai Kun. Ketika kereta yang menjemputnya datang, ia segera berangkat naik kereta menuju ke gedung Pangeran Ong Tai Kun yang kemaren dulu terjadi keributan karena gangguannya!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
114 Ketika ia turun dari kendaraan, semua perwira yang kemaren mengeroyoknya, memandang dengan penuh perhatian dan mereka mau tidak mau harus menyatakan kagum dalam hati melihat kegagahan dan ketampanan pemuda yang dipilih menjadi calon suami Siu Eng itu.
Pangeran Ong Tai Kun sendiri menyambut pemuda itu dengan senyum simpul. Telinganya yang buntung kini tertutup oleh sebuah kopiah bulu yang sengaja dibuat dengan model kopiah yang besar menutup telinga. Muka Pangeran ini masih nampak pucat dan biarpun bibirnya tersenyum-senyum dan mukanya berseri-seri, akan tetapi mata Tiong San yang tajam tak dapat ditipu dan pemuda ini melihat sinar api di dalam mata Pangeran itu yang membuatnya berlaku waspada dan berhati-hati.
Hari itu sampai malam harinya, Ong Tai Kun memperlihatkan sikap yang baik sekali. Ia mengajak Tiong San makan minum dan bercakap-cakap dengan gembira, berkali-kali menyatakan kegembiraannya dan mengucapkan selamat atas kebahagiaan pemuda ini.
"Kau benar-benar beruntung," katanya sambil menambah arak dalam cawan Tiong San,
"Mungkin kau tidak tahu bahwa nona Gui Siu Eng itu adalah kembang kota raja yang banyak dikagumi orang. Tidak ada pemuda di kota raja yang tidak mengimpikannya. Selain cantik jelita, iapun terkenal pandai dalam ilmu kesusasteraan dan dalam hal ilmu Silat, tidak ada wanita keduanya! Kau benar-benar beruntung sekali!"
"Terima kasih, Ong-taijin. Akan tetapi yang lebih menggirangkan hatiku ialah melihat bahwa agaknya kau benar-benar telah insyaf dan suka merobah kebiasaan yang kurang baik. Aku merasa bersyukur sekali dan harap kau sudi memberi maaf atas atas perlakuanku kemarin dulu yang kasar." Melihat keramah tamahan Pangeran itu, kecurigaan di hati Tiong San mulai mengurang.
Malam hari itu, Tiong San mendapat sebuah kamar yang indah dan dihias bagus, merupakan kamar penganten benar-benar! Ketika Tiong San berada di dalam kamarnya seorang diri dan naik ke pembaringan, tiba-tiba ia memasang telinga dan segera tersenyum sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan sebentar saja ia telah mendengkur. Ia maklum bahwa di sekeliling kamarnya dijaga orang-orang pandai dan maklum pula bahwa ini tentu perbuatan Pangeran Lu Goan Ong dan Pangeran Ong Tai Kun yang diam-diam menyuruh para
perwiranya menjaganya, khawatir kalau-kalau ia akan lari kabur!
Pada keesokan harinya, para pelayan Pangeran Ong Tai Kun datang membawakan air hangat dan setelah Tiong San mencuci badan, mereka lalu membantu pemuda itu mengenakan pakaiannya yang indah. Bahkan Pangeran Ong Tai Kun sendiri membantu dan membereskan pakaian Tiong San. Setelah saatnya untuk berangkat tiba, Pangeran Ong Tai Kun datang membawa guci arak dan dua buah cawan.
"Shan-tung Koay-hiap," katanya sambil tertawa, "Sebagai seorang wali, juga sebagai kawan baik menghormati kawan yang gagah perkasa dan menerima keberuntungan, sukalah kiranya kau minum tiga cawan arak!"
Tiong San tersenyum dan menerima cawan arak itu. Ketika ia membawa cawan ke mulutnya dan arak sudah masuk ke mulut, ia merasa betapa lidahnya menjadi lemas dan gatal-gatal.
Diam-diam ia terkejut sekali, dan tahu bahwa diam-diam pangeran Ong Tai Kun ini sengaja menjalankan maksud keji dan hendak meracuni pada saat terakhir.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
115 Melihat betapa pemuda itu menunda minumnya, wajah Pangeran Ong Tai Kun menjadi pucat, akan tetapi ia menarik napas lega ketika pemuda itu melanjutkan minumnya dan sekali tenggak arak secawan itu memasuki perutnya!
Ong Tai Kun tertawa girang. "Arak dalam cawan pertama itu untuk ucapan selamat, cawan kedua untuk menambah tng kepada penganten pria dan cawan ketiga untuk menambah kekal persahabatan kita!"
Tanpa menjawab sesuatu, Tiong San minum dua cawan arak yang mengandung racun itu.
Kemudian ia menggandeng tangan Pangeran Ong Tai Kun yang sebagai walinya akan mengantarnya menjemput mempelai perempuan.
Bagaimana Tiong San berani minum tiga cawan arak yang telah diketahuinya mengandung racun itu" Ternyata bahwa ketika ia belajar ilmu kepandaian di bawah bimbingan suhunya yang sakti dan aneh, ia mendapat gemblengan hebat dalam ilmu lweekang secara ajaib dan suhunya itu yang bicara dengan tegas dan jelas apabila sedang memberi pelajaran, telah memberi tahu kepadanya bahwa bahaya besar bagi seorang ahli silat yang paling sukar dijaga adalah serangan lawan yang mempergunakan tipu muslihat halus, yakni dengan jalan meracuninya.
"Ada dua macam racun," kata Thian-te Lo-mo kepada muridnya itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian, "Racun yang bersifat keras dan bekerjanya cepat sekali sehingga begitu racun ini memasuki perut, orang yang meminumnya akan mati pada saat itu juga, dan ada pula racun yang bersifat halus dan bekerjanya amat lambat sehingga yang meminumnya baru akan tewas dalam beberapa hari atau beberapa pekan menurut ukuran racun dan si peminum itu sendiri. Racun yang pertama, yakni yang keras, begitu memasuki mulut, apabila kita menggunakan hawa dari dalam perut yang dikerahkan ke dalam mulut dan ujung lidah, maka lidah kita akan menjadi kaku dan ada rasa getir pada lidah itu. Jika kau merasai ini, sekali-kali jangan kau minum racun itu dan segera semburkan minuman itu ke arah muka lawan dan seranglah ia dengan pukulan maut. Akan tetapi apabila kau minum minuman yang membuat lidahmu terasa lemas dan agak gatal-gatal ketika kau mengerahkan hawa dari dalam perut, itulah tanda racun kedua yang kerjanya dengan halus. Kau boleh segera semburkan arak atau minuman beracun halus itu ke arah mata lawanmu dan memberi pukulan yang cukup untuk membuat ia roboh pingsan. Akan tetapi, apabila keadaan menghendaki, ada jalan bagimu untuk menelan minuman beracun halus itu tanpa membahayakan keselamatan nyawamu. Kerahkan lweekang dan hentikan jalan darah dan pernapasanmu dan apabila kau mengerahkan khikang di dalam perut untuk mendesak minuman itu keluar lagi dari mulutmu, maka semua minuman itu akan keluar bersama racun di dalamnya dan perutmu akan menjadi bersih kembali. Akan tetapi ingat, jangan sekali-kali kau bicara ketika menahan napas dan menghentikan jalan darah. Kalau kau berbuat demikian, maka tidak semua racun akan ikut keluar dan perutmu akan menjadi terluka!"
Oleh karena itu, ketika tadi Tiong San merasa betapa lidahnya menjadi lemas dan agak gatal, ia maklum bahwa ia diberi minum racun halus yang bekerja lambat. Ia adalah seorang pemuda yang pemberani dan tabah, serta sudah memiliki adat aneh dari suhunya, maka ia sengaja menelan masuk tiga cawan arak itu. Setelah minum tiga cawan arak itu, ia lalu menggandeng tangan "walinya" masuk ke dalam kereta yang telah tersedia di depan istana Pangeran Ong Tai Kun.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
116 Kendaraan lalu dijalankan, didahului dengan barisan bertombak dan rombongan musik yang memukul tambur dan gembreng. Di belakang kendaraan itu orang-orang sibuk memasang petasan sehingga keadaan menjadi ramai dan gembira sekali.
Penonton berdesak-desakan dan ketika Tiong San naik ke dalam kereta tadi, para penonton memuji-muji kegagahan pemuda yang terpilih oleh Gui-siocia itu. Pakaian Tiong San dari sutera hijau tertutup oleh jubah pengantin yang berwarna merah dan dikembang-kembang dengan benang emas. Kepalanya mengenakan topi penganten yang dihias dengan batu-batu permata.
Ketika kendaraan berjalan dan tambur serta gembreng ditabuh, penonton mengantarkan penganten dengan tepuk tangan dan sorak riuh rendah!
Di gedung Pangeran Lu Goan Ong tidak kalah meriahnya. Di depan gedung dihias indah, dan musik terdengar semenjak pagi. Tamu-tamu yang terdiri dari para pembesar dan Pangeran-Pangeran di kota raja, berangsur-angsur datang. Tak seorangpun pembesar yang berada di kota raja tidak datang menghadiri perayaan itu, karena siapakah yang tidak menghormat dan segan terhadap Pangeran Lu Goan Ong" Bahkan kaisar sendiri telah mengirim hadiah berupa hiasan rambut mempelai wanita.
Yang paling merasa berbahagia adalah Siu Eng sendiri. Semenjak pagi gadis ini telah dirias sehingga wajahnya yang telah cantik jelita itu menjadi makin menarik. Kedua pipinya kemerah-merahan membayangkan perasaan gembira dan bahagia.
Ia duduk di dalam kamar, dikelilingi para pelayan wanita, ada yang mengipasinya, ada yang memberes-bereskan pakaian pengantin yang dipakainya, ada yang membereskan rambutnya dan sebagainya. Ia telah siap untuk menanti datangnya mempelai laki-laki atau calon suaminya yang akan datang menyambutnya.
Tiba-tiba terdengar suara petasan di luar dan para pelayan sambil tertawa-tawa lalu memasang penutup kepala yang dihias penuh dengan batu permata dan emas di kepala Siu Eng yang tersenyum-senyum malu karena maklum bahwa calon suaminya telah tiba.
Di Luar juga terjadi kesibukkan luar biasa. Lu Goan Ong sebagai paman dan wali dari mempelai wanita, segera membawa rombongannya menyambut keluar. Kendaraan penganten berhenti tepat di depan gedung setelah memasuki pekarangan gedung yang amat luas. Para penonton tidak boleh masuk, hanya sampai di pintu gerbang dan mereka berdesak-desakan di situ sambil menjenguk ke dalam.
Karena pintu dan tirai kendaraan belum juga dibuka, maka Lu Goan Ong sendiri melangkah maju. Pangeran ini mengulur kedua tangannya, membuka tirai dan menjenguk ke dalam.
Akan tetapi ia berdiri terheran-heran seperti patung, matanya terbelalak memandang ke dalam kendaraan. Apakah yang ia lihat?"
Ternyata bahwa di dalam kendaraan itu hanya duduk satu orang yang bukan lain ialah Pangeran Ong Tai Kun sendiri! Pangeran ini mengenakan jubah penganten laki-laki, akan tetapi ia duduk di atas bangku kereta itu bagaikan arca, sama sekali tidak bergerak!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
117 Pangeran Lu Goan Ong berteriak dan semua orang memburu ke situ. Beramai-ramai mereka lalu menurunkan Pangeran Ong Tai Kun yang ternyata telah menjadi kaku tubuhnya karena tertotok secara hebat sekali.
Keadaan menjadi gempar dan Pangeran Ong Tai Kun dipepayang masuk ke ruang yang penuh tamu. Di situ terdapat banyak perwira tinggi dan di antaranya bahkan jago-jago kelas satu dari kaisar hadir pula. Melihat keadaan Pangeran Ong Tai Kun, mereka lalu turun tangan dan dengan susah payah karena totokan itu benar-benar aneh, mereka akhirnya dapat juga membebaskan Pangeran itu dari pengaruh totokan.
Pada saat yang sudah kacau dan gempar itu, ditambah dengan kegemparan lain yang lebih mengagetkan. Ternyata bahwa Siu Eng yang berada di dalam kamarnya, menanti "si dia"
dengan hati berdebar-debar, mendengar pula warta mengejutkan itu dari seorang pelayan.
"Penganten laki-laki tidak ada, yang ada hanya Ongya yang mengenakan baju penganten.
Agaknya Ongya akan menggantikan penganten laki-laki," kata pelayan itu dengan napas megap-megap.
Mendengar ini, serentak Siu Eng melompat bangun, melemparkan penghias dan penutup kepalanya, mencabut pedang dan berlari keluar. Ia melihat betapa Ong Tai Kun sudah duduk di atas kursi, sedang dihujani pertanyaan-pertanyaan oleh semua orang.
"Kurang ajar!" tiba-tiba Siu Eng membentak dan ia menyerang pangeran Ong dengan pedangnya!
Akan tetapi pamannya, Pangeran Lu Goan Ong, segera mencegahnya dan memegang lengannya.
"Sabar ...., Siu Eng, tenanglah dan mari kita bicara di dalam secara baik-baik. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat dengan saudara Ong Tai Kun!"
Dengan penuh ketenangan, Pangeran Lu Goan Ong lalu menggandeng keponakannya yang berwajah pucat itu masuk ke dalam, sedangkan Pangeran Ong Tai Kun juga digandeng para perwira masuk ke dalam pula. Semua tamu saling pandang dan mengangkat pundak. Mereka merasa amat terkejut dan heran.
Keadaan Pangeran Ong Tai Kun benar-benar aneh. Duduk dalam kereta dalam keadaan tertotok, mengenakan baju pengantin yang paling aneh seluruh jenggotnya habis bersih dibabat orang! Apakah gerangan yang telah terjadi" Demikian semua orang bertanya.
"Apakah sebetulnya yang telah terjadi?" pertanyaan yang terkandung dalam hati semua tamu di gedung Pangeran Lu ini diucapkan pula oleh Pangeran Lu Goan Ong kepada Pangeran Ong Tai Kun.
Ong Tai Kun merintih beberapa kali menarik napas panjang pendek, kemudian menuturkan pengalamannya.
"Celaka, celaka ...." ia mengeluh, "Penjahat itu benar-benar kurang ajar dan telah menghinaku sesuka hatinya! Setelah aku berlaku baik terhadapnya, menjadi walinya, menjamunya secara besar-besaran dan membuat perayaan istimewa untuk pernikahannya, ternyata ia berlaku keji Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
118 sekali terhadapku! Ketika kereta penganten telah berangkat dan aku duduk bersama dia di dalam kendaraan, tiba-tiba ia menyerangku dengan tiam-hoat (totokan istimewa). Karena tidak menduga sebelumnya, dengan mudah aku menjadi korban. Dengan secara kurang ajar sekali, ia lalu menanggalkan jubah penganten dan penghias kepala, mengenakan pakaian itu kepada tubuhku yang telah menjadi kaku tak berdaya, bahkan ia mencabut pedangku dan mencukur semua kumis dan jenggotku! Kemudian, penjahat biadab itu lalu melompat keluar dari kendaraan dengan cepat sekali tanpa diketahui siapapun! Sebelum ia pergi, ia mengucapkan "selamat menikah" kepadaku. Sungguh kurang ajar! Kalau aku dapat bertemu dengan Shan-tung Koay-hiap, tentu akan kubalas hinaan ini!" setelah menuturkan pengalamannya, Pangeran itu kembali mengeluh panjang.
Bab 13 ... TENTU saja ia tidak menceritakan betapa diam-diam ia hendak meracuni Tiong San, tidak menceritakan pula betapa setelah berada di dalam kendaraan, tiba-tiba pemuda itu muntah-muntah dan menyemburkan tiga cawan arak yang tadi diminumnya ke arah mukanya, lalu menotoknya dengan cepat.
Mendengar penuturan ini, Siu Eng berlari masuk ke dalam kamarnya sambil menangis terisak-isak! Ia telah mendapat malu yang besar sekali dari Shan-tung Koai-hiap! Sementara itu, pangeran Lu Goan Ong menjadi bingung.
"Bagaimana baiknya sekarang" Tamu-tamu telah berkumpul penuh di ruang depan!"
Akhirnya ia lalu melangkah keluar dengan wajah kusut. Ia menjura kepada semua tamu dan berkata dengan suara gemetar.
"Cuwi sekalian yang mulia! Oleh karena terjadi sesuatu yang tidak memungkinkan pernikahan dilangsungkan, maka untuk sementara waktu pernikahan ini ditunda! Akan tetapi, kami persilakan kepada cuwi sekalian untuk menikmati hidangan sekedarnya dan harap maafkan!"
Tiba-tiba dari pojok ruangan berdiri seorang tamu yang segera berkata dengan suara nyaring dan keras, "Cuwi sekalian yang terhormat dan tuan rumah yang mulia."
Semua orang memandang kepada pembicara itu. Ia ternyata adalah seorang yang bertubuh tegap, masih muda, akan tetapi mukanya penuh cambang bauk, sehingga nampaknya lucu sekali.
"Perkenankan siauwte berbicara sedikit!" sambung orang itu. "Persoalan ini tak perlu dibicarakan lagi dan kita harus sesalkan bahwa seorang bangsawan yang berbudi demikian mulia seperti pangeran Lu Goan Ong mengalami malapetaka seperti ini. Cuwi sekalian tentu belum mendengar akan kemuliaan budi pangeran Lu, maka sebagai hiburan adanya peristiwa ini baiklah siauwte menceritakan kepada cuwi sekalian. Baru kemaren ini Lu-taijin telah memberi anugerah besar kepada dua orang pemuda bernama Khu Sin dan Thio Swie yang menjadi pembantunya. Lu-taijin telah mengangkat mereka itu sebagai wedana-wedana dari kota-kota Bun-an-kwan dan Siong-li-tung! Selain itu, Lu-taijin juga memberi hadiah uang sebesar sepuluh ribu tail perak kepada orang-orang miskin di kampung Kui-ma-chung, tempat kelahiran kedua orang muda itu sebagai pembalasan jasa! Bukankah ini hebat sekali" Siauwte rasa bahwa kemurahan hati ini patut dijadikan contoh!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
119 Tepuk tangan para tamu menyambut ucapan ini dan semua orang memuji-muji kemuliaan budi pangeran Lu Goan Ong. Akan tetapi pangeran Lu Goan Ong sendiri memandang kepada pembicara itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Ia mengenal suara itu dan mengenal pula mata itu, akan tetapi yang meragukan hatinya ialah cambang bauk yang memenuhi muka pemuda itu. Tak mungkin dalam waktu semalam saja muka Shan-tung Koai-hiap telah ditumbuhi jenggot dan kumis seperti itu. Dan yang membuat ia berdebar adalah ketika melihat betapa kumis dan jenggot itu mirip dengan kumis dan jenggot yang biasa lekat pada muka pangeran Ong Tai Kun!
Pada saat ia berdiri dengan bingung dan ragu-ragu, tiba-tiba nampak Siu Eng berlari dengan pedang di tangan dan langsung menerjang pembicara tadi sambil berseru,
"Bangsat jahanam! Kalau tidak kau, tentu aku yang mati pada saat ini!"
Pemuda yang bercambang bauk itu tertawa sinis dan tubuhnya lalu melompat keluar dari ruang itu dan terus melarikan diri! Siu Eng dengan pedang di tangan dan mulut memaki-maki, terus mengejar dengan cepatnya! Semua tamu gempar. Mereka makin menjadi heran dan bingung.
"Mengapa mempelai perempuan mengamuk?" tanya seorang.
"Siapakah pemuda itu?" tanya yang lain.
Pangeran Lu Goan Ong mengangkat kedua tangannya ke atas, memegang kepalanya karena merasa betapa kepalanya seakan-akan hendak meletus.
"Tidak tahu .... tidak tahu .....!" Ia berseru setengah memekik. "Harap cuwi sekalian pulang saja ..., harap tinggalkan aku seorang diri ...!" Kemudian ia berlari masuk ke dalam kamarnya.
Semua tamu bubar dan peristiwa itu masih merupakan teka-teki yang hanya mereka jawab dengan dugaan-dugaaan ngawur.
**** Pemuda yang bercambang bauk itu memang bukan lain adalah Tiong San sendiri! Pemuda ini setelah melompat keluar dari kereta penganten sambil membawa jenggot dan kumis pangeran Ong Tai Kun, lalu cepat-cepat berlari ke rumah obat kepunyaan bibi Thio Swie yang telah dikenalnya, minta obat perekat dan menempelkan cambang dan kumis itu pada mukanya sendiri. Kemudian ia berlari lagi menuju ke gedung pangeran Lu Goan Ong, menggunakan keadaan yang sedang kacau balau ini untuk masuk ke situ dan duduk di ruang tamu!
Kini Siu Eng mengejarnya dengan pedang di tangan, maka ia lalu melompat ke atas genteng dan sengaja menanti gadis itu yang juga terus mengejarnya ke atas genteng. Setelah berhadapan, Tiong San lalu mencabut dan melemparkan kumis dan jenggot palsunya sehingga nampak wajahnya yang tampan dan matanya yang berseri-seri itu memandang gembira.
Terhadap mata Siu Eng yang amat tajam itu ia tidak perlu menyamar lagi.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
120 "Shan-tung Koai-hiap, kau sungguh kejam sekali! Mengapa kau mempermainkan aku sedemikian rupa" Aku suka kepadamu, akan tetapi, kau ... kau laki-laki berhati kejam! Kalau saat ini aku tidak dapat membunuhmu, jangan sebut aku Gui Siu Eng lagi!"
Tiong San tersenyum mendengar ucapan ini dan tiba-tiba sikapnya berubah sungguh-sungguh.
"Siu Eng! Orang-orang pandai berkata bahwa siapa menanam pohonnya, ia akan memetik buahnya! Kau menganggap aku kejam dan mempermainkan kau" Tidak ingatkah kau kepada Thio Swie yang kau tahu amat mencintaimu, akan tetapi secara kejam telah kau permainkan sehingga hampir gila" Tidak ingatkah kau kepada Khu Sin yang dengan jujur dan hati bersih telah memberi peringatan, akan tetapi hendak kau bunuh" Kau adalah seorang gadis yang cantik dan gagah perkasa, keluarga bangsawan pula, maka robahlah sifat-sifatmu yang buruk dan rendah itu. Kalau tidak, kau tentu akan menemui bencana yang lebih hebat dari sekarang!
Aku sengaja membuat kau malu agar kau merasa betapa sakitnya hati orang yang kau permainkan cintanya!"
Dengan air mata bercucuran, Siu Eng membentak, "Bangsat rendah, kalau kau tidak mau kembali dan melangsungkan upacara pernikahan dengan aku sekarang juga, aku takkan berhenti berusaha untuk membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Siu Eng lalu menyerang dengan pedangnya. Serangannya hebat dan cepat, terdorong oleh rasa sakit hati yang tak dapat diutarakan.
Tiong San mengelak dan berkata pula, "Perempuan tak tahu diri! Apakah sukarnya mengalahkan kau" Akan tetapi aku tidak punya banyak waktu untuk melayanimu lebih lama lagi!"
Setelah berkata demikian, Tiong San lalu melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan gadis itu.
"Bangsat rendah yang berhati kejam! Ke mana kau hendak lari?" teriak Siu Eng dengan hati gemas sekali, sehingga ia mengejar sambil menangis.
Karena ternyata bahwa gadis itu memiliki ilmu lari yang cukup cepat, Tiong San menjadi jengkel juga. Kalau gadis itu selalu mengejarnya, ia merasa gerakan selanjutnya sangat terganggu. Maka tiba-tiba ia membalikkan tubuh dan mencabut cambuknya yang panjang.
Setelah Siu Eng datang mendekat, ia segera mengayun cambuknya ke arah muka gadis itu.
Siu Eng cepat mengelak, akan tetapi tak disangkanya bahwa serangan itu hanya gertak saja karena tiba-tiba ujung cambuk meluncur ke arah pergelangan tangannya dan menotok tangan yang memegang pedang!
Siu Eng yang sedang diamuk oleh nafsu marah dan kecewa, maka ia kurang waspada dan kurang hati-hati sehingga ia terlambat untuk menghindarkan diri dari serangan ini. Dengan teriakan keras, pedangnya terlempar ke bawah genteng! Tiong San tertawa mengejek dan terus melompat jauh.
"Shan-tung Koai-hiap!" ia mendengar gadis itu berseru dan menjerit. "Aku bersumpah untuk membalas sakit hati ini!!"
Akan tetapi Tiong San telah berlari jauh dan tidak memperdulikan gadis itu lagi. Begitu gadis itu telah lenyap dari pandangan matanya, ia sudah tidak ingat lagi kepadanya. Pengalamannya Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
121 dengan Siu Eng yang hampir menghancurkan kehidupan kedua sahabat karibnya,
mendatangkan kesan yang mendalam di hatinya, membuat ia memandang rendah kaum wanita, karena ia merasa kecewa sekali melihat betapa seorang gadis yang demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi seperti Siu Eng berwatak sedemikian jahat dan kejamnya.
Ia teringat kepada suhunya dan kini ia menuju ke istana kaisar untuk mencari dapur istana dan ia lalu menyusul suhunya yang diduga tentu sedang berpesta pora di tempat itu.
Istana kaisar amat luas dan besar, sehingga bukanlah pekerjaan mudah bagi Tiong San untuk bisa mendapatkan dapur dari istana itu. Terpaksa ia menyergap seorang pelayan dan memaksanya untuk mengantarkan ke tempat yang dicarinya itu. Kemudian ia mengikat kaki tangan pelayan itu dengan ikat pinggang pelayan itu sendiri setelah tiba di dekat dapur yang dicarinya.
Ia menjadi terkejut ketika melihat betapa bangunan dapur yang besar itu telah terkurung oleh perwira yang memegang senjata di tangan. Ia dapat menduga bahwa di dalam dapur itu tentu terdapat suhunya yang telah diketahui oleh perwira yang kini mengurung tempat itu.
Di antara para perwira itu terdapat seorang wanita tua yang masih kelihatan bekas-bekas kecantikannya, tapi sayang sekali bahwa pada muka wanita tua yang cantik itu terdapat bekas luka memanjang dari atas mata kanan sampai ke bawah telinga kiri, membuat mukanya kelihatan amat mengerikan. Dari tempat persembunyiannya, Tiong San melihat betapa wanita itu mendekati pintu dapur yang tertutup dan berseru dengan suaranya yang nyaring,
"Kui Hong Sian! Kau sudah terluka hebat, apakah kau masih tidak mau menyerah?"
Untuk beberapa lama mereka itu menanti, akan tetapi tidak terdengar jawaban dari dalam dapur yang pintunya tertutup dari dalam itu.
"Thian-te Lo-mo!" teriak seorang perwira yang dikenal Tiong San. Perwira ini adalah Im-yang Po-san Bu Kam. "Apakah kau berkeras tak hendak mengeluarkan perempuan she Gan itu?"
Kembali mereka menanti, akan tetapi tetap saja tidak terdengar jawaban dari dalam. Tiong San mendengarkan dan mengintai dengan hati berdebar.
"Kui Hong Sian, aku ingin melihat mukamu yang jahat itu sekali lagi sebelum kau mampus!"
teriak wanita bercacad tadi.
Kini terdengarlah jawaban dari dalam dapur dan dengan terkejut sekali Tiong San mendengar betapa suara suhunya terdengar amat lemah, tetapi masih mengandung suara ejekan dan acuh tak acuh seperti biasa. "Si Cui Sian! Apakah kau tidak rela melihat aku menikmati hidangan-hidangan ini pada saat terakhir" Apakah sakit hatimu demikian besar" Jangan ganggu aku, aku telah menebus dosaku dan kau telah berhasil membalas sakit hatimu!"
Mendengar ucapan suhunya ini, bukan main gelisahnya hati Tiong San. Dari suara suhunya ia dapat menduga bahwa suhunya tentu sedang berada dalam keadaan yang amat menyedihkan.
Mengapa suhunya bicara begitu lemah dan apa artinya saat terakhir yang dikatakan tadi"
Pemuda ini tak dapat menahan sabar lagi. Ia pergunakan kesempatan selagi para pengepung Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
122 itu mencurahkan perhatian mereka kepada pintu dapur, untuk melopmpat secepatnya ke atas genteng dapur itu!
"Shan-tung Koai-hiap!" teriak para perwira yang melihatnya. "Tangkap dia .....!"
Akan tetapi pada saat itu, genteng di dekat tempat Tiong San berdiri, tiba-tiba pecah dan terbuka dari bawah dan pemuda itu segera melompat turun ke dalam dapur melalui lubang di genteng itu. Untung ia bergerak cepat, karena pada saat itu, belasan batang senjata rahasia yang dilepas dengan cepat sekali oleh para perwira perkasa itu, telah menyambarnya! Senjata-senjata rahasia itu mengenai genteng yang pecah berhamburan, akan tetapi pada saat itu Tiong San telah tiba di dalam dapur dengan selamat!
Dan apa yang dilihatnya membuat ia harus menahan tekanan perasaannya. Suhunya nampak berbaring di atas lantai dengan muka pucat sekali, tetapi masih saja kakek ini tertawa-tawa ketika melihat muridnya. Tadi kakek ini sambil rebah menggunakan beberapa buah mangkok untuk menggempur genteng dan memberi jalan masuk kepada muridnya.
Yang mengherankan hati Tiong San adalah seorang gadis yang berlutut di dekat suhunya dan gadis ini sedang menggunakan air hangat untuk mencuci bersih luka di dada suhunya dan membungkusnya dengan kain bersih. Gadis ini hanya mengerling sebentar ke arah Tiong San, lalu melanjutkan pekerjaannya dan setelah selesai, ia lalu berdiri dan pergi ke tungku untuk menghangatkan hidangan-hidangan yang dipilih oleh Thian-te Lo-mo!
"Ha ha ha! Tiong San, anak gendeng, mengapa kau baru datang" Kau selalu terlambat dan kedatanganmu kebetulan sekali karena aku sedang bingung memikirkan bagaimana aku harus menyelamatkan gadis ini!" Ia menuding ke arah gadis itu.
Tiong San berlutut di dekat suhunya dengan muka khawatir sekali.
"Suhu, kau mengapa" Apakah kau terluka hebat?" tanyanya tanpa memperdulikan gadis itu yang disebut-sebut oleh suhunya.
"Bukan, bukan terluka. Ini hanya pembayaran hutangku kepada Cui Sian," kata kakek itu sambil tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya gembira sekali. "Hatiku puas aku tak berhutang lagi, ha ha ha!"
"Suhu, apa artinya ini" Ayoh kita menyerbu keluar dan menghajar sekalian perwira jahanam itu. Kita akan membagi-bagi hadiah kepada mereka dengan cambuk kita!" Tiong San membuat suaranya terdengar gembira, tetapi suhunya menggelengkan kepala.
"Kalau kita hanya berdua saja, hal itu dapat dilakukan. Akan tetapi sekarang yang terpenting harus menolong gadis itu keluar dari sini dengan selamat."
"Akan tetapi, suhu. Kau terluka hebat ...." Tiong San memeriksa dada suhunya yang ternyata menderita luka hebat sekali. "Kau harus dapat keluar dari sini dengan selamat, mengapa menyusahkan diri mencampuri urusan orang lain!" Ia mengerling ke arah gadis itu dengan hati tak senang.
"Anak bodoh, kau hanya ingat kepada dirimu sendiri saja ..... ha ha, kau belum bertemu dengan orang seperti Cui Sian ...! Kau belum tahu tentang arti cinta kasih kesucian wanita ....
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
123 Ketahuilah, muridku. Jangan kau perdulikan gurumu. Aku pernah berdosa kepada Cui Sian, dan sekarang ia datang membalas dendam, bukankah itu sudah adil" Aku ..... aku ..... ahhh
...." kakek itu menjadi lemas dan tubuhnya terguling lagi dalam keadaan pingsan! Tiong San cepat memeluk suhunya.
"Suhu .... suhu ....!" Ternyata bahwa Thian-te Lo-mo telah menggunakan terlalu banyak tenaga ketika bercakap-cakap tadi, sehingga ia jatuh pingsan. Luka di dadanya adalah akibat tusukan pedang yang dalam sekali dan kalau orang lain yang terkena luka tusukan itu, pasti akan tewas saat itu juga!
Gadis itu berlari menghampiri dan dengan air, ia menggunakan saputangannya untuk membasahi muka kakek itu dan memberinya minum. Semua ini dilakukannya dengan diam-diam tak mengeluarkan kata-kata, tetapi jari-jari tangannya cekatan sekali. Karena melakukan pekerjaan ini, maka ia berlutut di dekat Tiong San dan pemuda ini mencium keharuman yang keluar dari pakaian gadis itu.
Thian-te Lo-mo siuman kembali dan ketika melihat dua orang muda itu berlutut di dekatnya, ia memandang kepada mereka berganti-ganti lalu tertawa berkakakan.
"Tiong San, aku mempunyai pesan terakhir bagimu ...."
"Apakah itu, suhu" Teecu akan melakukannya segera ...." jawab Tiong San dengan hati duka.
"Hanya ini ...., kau selamatkan gadis ini keluar dari dalam tempat ini, jangan ..... jangan sampai ia diganggu oleh para orang gila di luar itu ...."
"Tapi, suhu ....." Tiong San hendak membantah, tetapi suhunya mengangkat tangannya mencegah.
"Lo-inkong," kata gadis itu tiba-tiba dan Tiong San mendengar betapa merdu suara gadis itu.
"Mengapa kau menyusahkan keadaanmu" Muridmu memang benar, lebih baik kau dan muridmu lekas-lekas pergi dari tempat ini mempergunakan kepandaianmu. Adapun aku, ah, aku tidak takut, lo-inkong. Tadipun kalau tidak ada kau orang tua yang menolong, aku sudah terlepas dari kesengsaraan hidup dan sudah aman berada di tempat bersih."
Thian-te Lo-mo menggelengkan kepalanya. "Tidak boleh! Kau tidak boleh mati! Eh, anak perempuan gendeng, benar-benarkah kau tidak takut mati?"
"Mati hanya berpindah tempat, dan kalau tempatku di dunia demikian sengsara, bukankah senang berpindah ke tempat yang lebih bersih" Orang tua, kau sendiri menghadapi kematian dengan tertawa-tawa, mengapa pula aku harus takut mati?"
"Ha, kau lain! Kau masih muda belia, sedangkan aku sudah tua bangka. Ah, kalau saja Cui Sian seperti kau .... aku takkan menjadi begini .... He, Tiong San, sekarang aku bukan memesan lagi, akan tetapi memerintah! Dengarkah kau" Kau tidak boleh membantah! Kau harus selamatkan gadis ini keluar dari sini, keluar dari istana, dan keluar dari kota! Dengarkah kau ?""
Tiong San menundukkan mukanya dengan sedih. "Baik, suhu. Akan tetapi, aku tidak hanya menyelamatkan ... nona ini saja, juga suhu harus kuselamatkan dan kubawa keluar dari sini."
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
124 "Anak gendeng! Apa dalam saat terakhir ini kau hendak mengganggu aku pula" Di sini mati di luarpun mati, aku lebih senang mati di sini, menikmati hidangan-hidangan ini sebelum tiba saatku, dan alangkah senangnya mati dikelilingi hidangan-hidangan kaisar. Ha ha ha!"
"Tetapi, suhu ...."
"Diam! Aku tidak sudi mampus di pinggir jalan seperti pengemis kelaparan!"
Pada saat itu, dari luar pintu terdengar lagi teriakan wanita yang cacad mukanya, "Kui Hong Sian! Kalau kau tidak mau keluar menyerahkan diri bersama muridmu dan gadis itu, kami akan menyerbu ke dalam!"
Tiong San mencabut cambuknya. "Suhu, perkenankan teecu menerjang keluar dan menghajar mereka!"
"Bodoh! Lekas kau gendong gadis ini dan bawa lari menerjang pintu belakang! Kau akan tiba di taman istana dan di situ hanya ada penjaga-penjaga yang lemah. Kau terus berlari dan keluar dari istana, dan bawalah gadis ini keluar dari kota raja sampai selamat! Jangan banyak membantah. Aku hendak ajak Cui Sian makan minum di sini sebelum aku mati, ha ha ha!"
"Suhu ....!" Tiong San berlutut di depan suhunya yang telah berdiri itu dan ia tak dapat menahan air matanya mengucur keluar.
"Anak gendeng!" suhunya memaki, tetapi kakek itu memeluk muridnya dan untuk sesaat ia mendekap kepala muridnya itu pada dadanya dengan penuh kasih sayang. Lalu ia melepaskannya lagi dan suaranya terdengar amat berpengaruh,
"Tiong San, lekas kau pergi! Kau ... jangan salah pilih seperti aku ... selamat ... pergilah, muridku!"
Pada saat itu, pintu digedor dari luar dan suara para perwira terdengar mengancam.
"Thian-te Lo-mo, kau tidak lekas menyerahkan diri!"
"Tiong San, cepat sebelum terlambat!" kata kakek itu kepada muridnya.
Tiong San tidak berani membantah lagi, dengan air mata yang masih menitik, ia lalu menyambar tubuh gadis itu, tanpa melihatnya lagi, dengan agak kasar karena ia merasa gemas kepada gadis itu yang menjadi penghalang baginya untuk menolong suhunya. Kemudian setelah memandang sekali lagi kepada Thian-te Lo-mo yang berdiri dengan kaki terbentang lebar dan cambuk di tangan, berdiri dengan amat gagahnya dan mulut tersenyum, Tiong San lalu berlari melalui pintu belakang.
Sementara itu, Thian-te Lo-mo menanti sampai bayangan muridnya tak nampak lagi, baru ia berseru keras ke arah pintu,
"Cui Sian! Masuklah dan mari kita berpesta pora di dalam dapur kaisar ini!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
125

Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pintu ditendang dari luar dan para perwira menyerbu masuk, dipimpin oleh Si Cui Sian, wanita cacad itu. Mereka melihat betapa kakek itu menghadapi meja dan sedang makan hidangan yang tadi dihangatkan oleh gadis itu. Thian-te Lo-mo makan tanpa memperdulikan mereka dan ketika Cui Sian maju, ia mengangsurkan mangkok dan berkata,
"Kekasihku, kau juga mau makan?"
Si Cui Sian marah sekali, demikian pula para perwira itu dan ia lalu menyergap kakek itu dengan senjata mereka.
"Ha ha ha! Majulah, majulah! Siapa mau ikut berpesta, majulah!"
Dengan memutar-mutar cambuk dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri tetap menjumput hidangan untuk dimakan, Thian-te Lo-mo menyambut serbuan mereka itu. Tubuhnya memang sudah lemas karena lukanya dan ia tidak ada nafsu untuk bertempur, maka menghadapi keroyokan perwira-perwira yang berkepandaian tinggi dan juga wanita bercacad yang lihai sekali ilmu pedangnya itu, tentu saja ia tidak dapat bertahan. Sebentar saja tubuhnya telah menjadi sasaran senjata lawan dan terluka di sana-sini.
Akan tetapi, Thian-te Lo-mo masih saja tertawa gelak-gelak seakan-akan luka-luka itu mendatangkan rasa nikmat kepadanya.
"Ha ha ha! Mari, mari! Inilah daging dan tulangku, boleh kalian suguhkan kepada kaisar! Ha ha, daging dan tulang-tulangku untuk hidangan kaisar, ha ha ha!" ketawanya makin mengerikan, tetapi makin perlahan. Semua pengeroyoknya merasa ngeri melihat kakek yang tubuhnya sudah menerima tusukan dan bacokan-bacokan itu masih saja berdiri sambil tertawa terkekeh-kekeh. Mereka menjadi gentar sendiri dan melangkah mundur.
Tetapi, biarpun semangat dan jiwanya tak terluka, ternyata jasmani Thian-te Lo-mo tak dapat menahan keluarnya darah sekian banyaknya. Ia roboh dengan mulut masih tertawa dan menghembuskan nafas dengan bibir masih tersenyum. Kakek ini biarpun mati dalam keadaan rusak tubuhnya, tetapi benar-benar ia mati dengan hati lapang dan gembira!
**** Ketika menggendong gadis itu dan melarikan diri melalui pintu belakang dapur istana, Tiong San diserbu oleh belasan orang penjaga. Akan tetapi sambil mempermainkan cambuknya, pemuda itu berhasil melewati mereka dan terus melompat naik ke atas genteng.
Tiba-tiba ia mendengar suara suhunya sehingga tak terasa pula kakinya berhenti. Hatinya seperti disayat-sayat pisau ketika mendengar semua ucapan suhunya itu, lebih-lebih mendengar suara ketawa suhunya yang makin lama makin lemah. Ia tak kuat mendengarkan lagi dan melanjutkan larinya dengan air mata meleleh di pipinya.
Ia merasa betapa tubuh gadis yang digendongnya itu ringan dan mendatangkan kehangatan yang aneh dalam tubuhnya. Bau harum yang menyengat hidungnya membuat ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Ingin ia melemparkan gadis itu ke bawah genteng, tetapi ia teringat akan pesan suhunya, dan pula ia tidak sudi melakukan hal yang rendah dan jahat itu, maka ia mempercepat larinya, sehingga gadis itu terpaksa harus memicingkan matanya karena ngeri Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
126 dan takut, serta mempererat rangkulan tangannya pada leher Tiong San yang membuat pemuda itu makin tidak enak hatinya.
Berkat ketangkasannya, cegatan-cegatan para penjaga dapat dilaluinya dengan mudah dan tak lama kemudian Tiong San dapat membawa gadis itu sampai keluar kota. Ia berlari terus karena hendak menghindarkan diri dari para pengejarnya dan setelah tiba di sebuah hutan, ia menurunkan gadis itu dengan kasar ke atas tanah.
Gadis itu yang masih merasa gelisah dan khawatir serta penuh kengerian karena dibawa lari secepat itu, belum tahu bahwa pemuda itu menghendakinya turun, maka ia masih saja merangkulkan lengannya pada leher Tiong San dalam kekhawatirannya kalau-kalau jatuh terlempar.
"Turunlah!" bentak Tiong San dengan kasar dan gadis itu buru-buru melepaskan rangkulannya dan turun.
Ketika Tiong San membalikkan tubuh dan memandangnya, ia merasa betapa ia telah berlaku terlalu kasar. Ternyata bahwa gadis itu berpakaian sebagai pelayan di dalam istana.
Pakaiannya rapi dan indah, sikapnya halus sekali dan wajah gadis itu menunjukkkan kehalusan budinya.
Tak dapat disebut terlalu cantik, lebih sesuai disebut manis. Apalagi sepasang matanya yang bening itu menyinarkan pandangan yang amat halus sehingga pandangan mata itu sekali gus banyak mengurangi kemarahan dalam hati Tiong San terhadapnya.
"Siapakah kau dan mengapa suhu sampai suka mengorbankan nyawanya untuk
keselamatanmu?" tanya Tiong San sambil merengut.
Gadis itu merasa betapa dirinya dibenci dan mendapat perlakuan kasar, maka ia menundukkan kepalanya dengan hati sedih sekali, tetapi ia menahan sekuat tenaga agar jangan sampai mengucurkan air mata. Ia menggigit bibirnya yang tipis, lalu menjawab,
"Bukan maksudku demikian. Adalah suhumu sendiri ....., ia terlalu mulia .... ah, aku benar-benar menyesal bahwa diriku yang hina dina ini sampai menimbulkan malapetaka kepada kau dan gurumu ...."
"Sudahlah jangan banyak menyinggung hal yang tak kusukai itu! Paling baik lekas kau ceritakan apa yang telah terjadi sebelum aku datang ke dapur itu!" Suara Tiong San masih tetap keras dan bengis. Untuk sesaat gadis itu menatap wajah Tiong San, lalu berkata,
"Aku bernama Siang Cu, she Gan ...." ia mulai menutur, tetapi Tiong San segera memotongnya.
"Aku tidak perduli kau bernama siapa dan she apa!"
"Habis, dari mana aku harus bercerita?"
"Ceritakan siapa yang melukai suhu dan bagaimana terjadinya!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
127 "Suhumu dikeroyok oleh para perwira dan wanita cacad mukanya itu. Tadinya suhumu mengamuk dan semua perwira tidak ada yang berani mendekatinya, kemudian datang wanita itu dan anehnya, suhumu tidak melawan, sehingga wanita itu dapat menusuk dadanya dengan pedang dan ...."
"Keparat!" Tiong San memaki marah. "Aku harus menolong suhu dan membunuh wanita jahanam itu!" Setelah berkata demikian, Tiong San melompat dan berlari cepat, kembali ke kota raja!
Ketika ia tiba di atas dapur istana, ternyata bahwa semua perwira telah pergi, meninggalkan jenazah Thian-te Lo-mo dalam tangan para pelayan yang ditugaskan mengurusnya. Bukan main marah dan sedihnya hati Tiong San.
Ia berseru keras dan melompat turun dengan cambuk di tangan. Cambuknya digerakkan dan semua pelayan itu lari pontang-panting, beberapa orang di antaranya terjungkal terkena ujung cambuk. Melihat bahwa di situ tidak ada perwira-perwira yang menjadi musuhnya, ia lalu menyambar tubuh suhunya yang sudah rusak itu dan membawanya lari melompat ke atas genteng kembali.
Ketika ia sampai di hutan itu, ternyata Siang Cu masih berada di situ, duduk dengan muka gelisah di bawah pohon. Ia segera berdiri ketika melihat Tiong San datang dan ketika melihat tubuh Thian-te Lo-mo yang rusak di dalam pondongan pemuda itu, Siang Cu menangis sedih.
"Mengapa pula kau menangis" Suhu menjadi begini karena kau!"
"Kalau kau merasa kesal bunuhlah aku sekali! Aku lebih senang mati agar nyawaku dekat dengan nyawa lo-inkong ini, agar ada yang menjadi sahabatku ....., di dunia ini tidak ada orang yang berhati mulia yang sanggup membelaku selain lo-inkong ini ...." tangis Siang Cu.
Mendengar ucapan ini, Tiong San tertegun dan berkata,
"Tahan air matamu dan jangan banyak cakap!"
Kemudian Tiong San menggali tanah di bawah pohon dengan sebatang kayu, karena ia tidak mempunyai senjata tajam. Tentu saja amat sukar menggali tanah hanya dengan sebatang kayu yang biarpun sudah dibikin runcing dan dipergunakan dengan tenaga besar, namun terlampau kecil untuk dapat menggali tanah.
Tanpa banyak cakap Siang Cu mencabut keluar sebuah pisau dari pinggangnya dan mulai membantunya. Biarpun senjata di tangan Siang Cu jauh lebih baik dari pada kayu di tangan Tiong San, tetapi karena gadis itu bertenaga lemah, maka tiap kali ujung pisaunya mengenai batu yang di bawah tanah, ia mengeluh kesakitan. Melihat ini, Tiong San berkata,
"Ke sinikan pisau itu dan kau tak perlu membantu!" Gadis itu memberikan pisaunya dan lalu duduk berlutut di dekat mayat Thian-te Lo-mo sambil mengusir lalat yang mulai datang merubungi tubuh itu.
Bab 14 ... BIARPUN sukar dan lama, akhirnya selesai juga penggalian lubang itu dan sambil menangis tersedu-sedu Tiong San lalu mengubur jenazah suhunya, dibantu oleh Siang Cu. Mereka Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
128 berdua tidak mengeluarkan sepatah katapun, hanya diam-diam bekerja menguruk jenazah itu dengan tanah. Sampai lama keduanya berlutut di depan kuburan itu, kemudian Tiong San berkata,
"Suhu mengorbankan nyawanya untuk kau, seorang perempuan! Yang melukai suhu juga seorang perempuan pula! Alangkah jahatnya orang-orang perempuan!" Ia memandang kepada Siang Cu dan bertanya,
"Sekarang kau ceritakan, bagaimana asal mulanya maka kau sampai bertemu dengan suhu?"
Siang Cu memandang kepada Tiong San, tetapi bibirnya tidak menyatakan sesuatu, namun matanya seakan-akan menegur pemuda itu dan seakan-akan berkata, "Hm, kau akhirnya ingin tahu juga?"
"Seperti kukatakan tadi, aku bernama Siang Cu dan she Gan!" sampai di sini gadis itu berhenti bicara dan mengerling kepada Tiong San, seakan-akan menanti reaksi dari pemuda itu. Akan tetapi oleh karena pemuda itu mendengar penuturannya sambil menundukkan muka dan tidak berkata atau menyela barang sepatah katapun, ia melanjutkan ceritanya dan kisahnya seperti berikut.
Gan Siang Cu semenjak masih kecil telah dijual oleh orang tuanya yang miskin kepada seorang pembesar kota raja. Pembesar ini berhati baik dan mendidiknya dengan berbagai kepandaian, sehingga setelah dewasa. Siang Cu terkenal pandai ilmu kesusastraan dan juga pandai mengatur rumah tangga serta kerajinan tangan, pendeknya segala kepandaian wanita terpelajar telah dipelajarinya dengan baik.
Karena ia rajin, baik dan sopan santun serta berwatak bersih, ia menarik perhatian permaisuri kaisar ketika Siang Cu diperbantukan dalam sebuah pesta untuk melayani permaisuri itu.
Permasisuri suka kepadanya karena biarpun Siang Cu berasal dari dusun, tetapi tingkah lakunya amat sopan dan menyenangkan. Maka ia diminta oleh permaisuri bekerja di istana sebagai pelayan, dan akhirnya ia mendapat kekuasaan untuk memeriksa segala hidangan untuk kaisar dan permaisuri, berhak mengatur dan memilih hidangan sehari-hari.
Siang Cu tidak begitu cantik, akan tetapi ia mempunyai gaya tersendiri yang penuh daya tarik.
Seratus persen wanita yang diidam-idamkan setiap laki-laki. Tubuhnya berpotongan indah, mukanya cukup manis karena selalu dihias oleh senyum sopan dan ramah, matanya memancarkan kebahagiaan hidup dan kehalusan budi.
Hal ini menarik hati seorang pangeran yang tinggal di istana itu, yakni putera kaisar yang lahir dari seorang selir. Beberapa kali pangeran ini menggodanya, akan tetapi dengan bijaksana dan tidak menyakiti hati, Siang Cu dapat menghindarkan diri dari bujukan-bujukan pangeran muda ini. Akhirnya hal ini diketahui oleh ibu pangeran atau selir kaisar itu yang segera mempergunakan pengaruhnya untuk memaksa Siang Cu menjadi bini muda atau selir puteranya yang belum kawin!
Siang Cu tentu saja menolak keras, tetapi sebagai seorang pelayan yang betapapun tinggi kedudukannya ia masih terhitung seorang budak atau hambah sahaya, bagaimana ia dapat menolak dan kepada siapa ia harus minta perlindungan" Demikianlah, ia melarikan diri ke dalam dapur dengan ketakutan dan dikejar-kejar oleh para perwira yang dikerahkan oleh pangeran itu!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
129 Kebetulan sekali, pada saat itu, Thian-te Lo-mo telah dua hari bersembunyi di dalam dapur.
Tak seorangpun melihatnya karena kakek ini bersembunyi di balik tiang-tiang penglari yang besar! Dan pada waktu dapur itu ditinggalkan orang, barulah ia keluar dan menyapu semua hidangan yang serba lezat!
Ketika Thian-te Lo-mo melihat seorang gadis berlari masuk sambil menangis, ia menjadi heran sekali. Kemudian dilihatnya tiga orang perwira mengejar masuk, seorang di antaranya tertawa-tawa dan berkata,
"Nona, mengapa kau lari pergi" Bukankah senang menjadi selir seorang pangeran muda yang tampan" Ha ha ha!"
Perwira kedua juga tertawa dan menyindir. "Ah, kau seperti tidak tahu saja, twako. Seekor kuda betina yang liar harus dibikin jinak dulu dengan cambuk! Biarlah aku menangkapnya!"
sambil berkata demikian, ia melangkah maju, tetapi tiba-tiba Siang Cu mencabut pisau yang disembunyikannya di balik ikat pinggangnya. Gadis itu mengangkat pisau dan berkata,
"Dari pada mendapat hinaan dari pangeran, lebih baik aku mati!" dan sekuat tenaga Siang Cu lalu menusukkan pisau itu ke dadanya sendiri. Akan tetapi, tiba-tiba bayangan hitam menyambar dari atas dan tahu-tahu pisaunya telah lenyap terlepas dari tangannya.
Gadis itu terkejut sekali. Demikian pula para perwira karena bayangan tadi yang sebenarnya ujung cambuk Thian-te Lo-mo, bekerja amat cepatnya, sehingga tidak terlihat oleh mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan tanpa kelihatan orangnya, dan sebelum tiga orang perwira itu tahu apa yang terjadi, kembali bayangan hitam berkelebat dan tiga orang perwira itu memekik kesakitan karena muka telah terluka dan menjadi matang biru kena cambuk Thian-te Lo-mo hingga membuat garis memanjang pada muka mereka.
Karena terluka dan diserang oleh sesuatu yang tidak kelihatan, ketiga orang perwira yang tak berapa tinggi ilmu kepandaiannya itu, segera angkat kaki melarikan diri sambil berseru-seru,
"Ada setan ....! Ada setan ....!" terdengar lagi gelak tertawa dari dalam dapur.
Siang Cu juga tidak melihat Thian-te Lo-mo, maka ia lalu berlutut dan memuji, "Po-kong (malaikat pelindung keselamatan) yang mulia, terima kasih atas pertolongan ini, semoga Po-kong selanjutnya melindungi hamba ....."
Akan tetapi, suara tertawa itu mengeras dan seorang kakek melompat turun sambil berkata,
"Anak gendeng, kau benar-benar gila! Masa aku kau sebut malaikat" Ha ha ha! Jangan kau takut, anak baik, aku akan membela dan melindungimu, tak kalah dengan perlindungan Po-kong sendiri! Ha ha ha!"
Sementara itu berita tentang adanya "setan" di dapur istana, segera terdengar oleh semua orang. Juga perwira-perwira kelas satu setelah mendengar hal ini dan ketika melihat bekas luka di muka ketiga orang perwira penjaga itu, mereka menjadi pucat dan Im-yang Po-san Bu Kam berkata, "Thian-te Lo-mo! Ayoh kita serbu dia!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
130 Maka berlarianlah para perwira kelas satu, dipimpin oleh Bu kam, menyerbu dapur itu.
Melihat pintu dapur tertutup, Bu Kam dan kawan-kawannya tidak berani berlaku lancang dan sembrono untuk memasuki tempat itu, hanya berdiri di depan pintu dengan senjata di tangan.
"Thian-te Lo-mo, keluarlah kau!" teriak Im-yang Po-san Bu Kam sambil menggerak-gerakkan sepasang kipasnya yang lihai.
"Bagaimana, lo-inkong (tuan penolong tua)," kata gadis itu dengan tubuh menggigil. "Mereka telah datang, mereka adalah perwira-perwira kerajaan yang terkenal gagah perkasa .... lo-inkong, biarkan aku mati membunuh diri saja dan kau lebih baik lekas pergi sebelum mereka mencelakakan kau!"
"Ha ha, gadis gila, kau kira aku bisa melihat kau mati membunuh diri begitu saja" Tidak, selama aku masih bernafas, kau tak kubiarkan bunuh diri. Kau anak yang baik........"
"Lo-inkong, jangan ....., jangan kau hadapi mereka! Mati bagiku bukan apa-apa, lekaslah kau pergi dan kembalikan pisauku!" Siang Cu mendesak, tetapi tiba-tiba Thian-te Lo-mo membentak,
"Jangan membantah! Kau tinggal saja di sini dan aku akan menghadapi mereka di luar dapur!" Setelah berkata demikian sambil tertawa terbahak-bahak ia menerjang keluar sambil mengayunkan cambuknya.
Pertempuran terjadi amat hebatnya dan Siang Cu yang ingin melihat keadaan penolongnya, lalu mengintai dari balik daun pintu. Bukan main kagumnya ketika melihat betapa cambuk panjang di tangan kakek itu mengamuk hebat seperti naga sakti menerjang mega. Para perwira terdesak mundur oleh amukan ini yang disertai suara ketawa menyeramkan.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang wanita baju putih yang rupa mukanya mengerikan sekali karena cacad bekas bacokan pedang, telah berdiri di situ dengan pedang di tangan.
"Kui Hong San! Aku datang untuk membalas sakit hatiku!" seru wanita itu dan ketika mendengar bentakan ini, tiba-tiba Thian-te Lo-mo menjadi pucat sekali. Cambuk ditangannya tergantung dengan lemah dan ia sama sekali tidak bergerak, hanya menatap wanita itu dengan tarikan muka seakan-akan merasa sakit sekali.
"Cui Sian .... kau ... kau.....?" katanya dengan suara amat lemah dan gemetar. Akan tetapi ucapannya ini disambut dengan sebuah tusukan pedang pada dadanya oleh wanita itu! Thian-te Lo-mo sama sekali tidak mengelak atau menangkis dan setelah Cui Sian mencabut kembali pedangnya yang telah berlumur darah, tubuh Thian-te Lo-mo terhuyung-huyung ke belakang.
Sesudah itu Cui Sian dan perwira-perwira itu berlalu. Akan tetapi anehnya ia masih tertawa gelak-gelak sambil menekan luka pada dada dengan tangan kiri dan tangan kanan masih memegang cambuknya.
"Ha ha ha! Cui Sian .... saat ini telah lama kunanti-nantikan! Kau sudah membalas dengan satu tusukan maut! Ha ha, kau sungguh baik hati dan pemurah! Bacokan pedang yang membuat kau bercacad selama hidupmu kau balas dengan tusukan pedang yang akan menamatkan nyawaku dalam beberapa detik lagi! Ha ha, kita sudah impas, hutangku kepadamu telah kubayar dengan darahku di ujung pedangmu! Ha ha ha!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
131 Sementara itu, ketika Siang Cu melihat betapa penolongnya telah kena tusuk dadanya sehingga terluka, menjerit, "Lo-inkong ....." dan dengan nekat gadis itu lalu berlari menghampiri, memegang lengan tangan Thian-te Lo-mo dan menariknya ke dalam pintu dapur kembali. Gadis itu lalu memasang palang pintu dapur yang kuat dan segera menolong dan merawat luka di dada Thian-te Lo-mo.
Kakek itu rebah di lantai dengan lemah, tetapi ia masih tersenyum.
"Kau gadis baik .... kau anak baik ... aku suka padamu .... sudah, jangan ributkan luka kecil ini. Lebih baik kau panaskan masakan-masakan itu karena telah berhari-hari ku makan dalam keadaan dingin. Kurang sedap!"
"Nanti, lo-inkong, nanti kuhangatkan masakan itu, tetapi biarlah kurawat dulu lukamu ini ...."
kata Siang Cu sambil menahan air matanya karena ia merasa amat terharu. Telah lama ia rindu akan ayah bunda yang tak dikenalnya sama sekali dan kini kakek yang berani mempertaruhkan jiwa untuk melindunginya ini bagaikan seorang ayahnya sendiri. Ia merasa amat sayang kepada kakek ini dan juga kagum dan kasihan.
"Baiklah, baiklah .... kau boleh cuci dan balut, tapi takkan ada gunanya .... ujung pedang Cui Sian telah melukai paru-paruku dan takkan dapat diobati lagi .... Eh, anak gendeng, Cui Sian itu dulu kekasihku, dia baik dan mulia hatinya, cuma agak keras kepala ..... Nanti akan kuminta kepadanya supaya suka menolongmu keluar dari sini .... Kalau kau sudah tertolong, pergilah ke rumah penginapan Thian-an-kwan. Rumah penginapan itu kepunyaan paman seorang pemuda bernama Khu Sin. Katakan bahwa kau adalah kawan baik dari Khu Sin, Thio Swie dan Tiong San. Tentu kau akan ditolongnya ....."
Sementara itu, para perwira, dan juga Cui Sian, kembali lagi di muka pintu kamar di mana Thian-te Lo-mo berada yang kini sudah di palang dari dalam, maka mereka tidak berani secara sembrono mendorong pintu memaksa masuk karena mereka maklum bahwa biarpun telah mendapat luka, kakek itu masih berbahaya sekali, maka mereka hanya berteriak-teriak dari luar menyuruh kakek itu keluar dan menyerahkan gadis pelayan itu kembali kepada mereka.
Dan pada saat Siang Cu merawat luka di dada Thian-te Lo-mo, datanglah Tiong San sebagaimana yang telah dituturkan di atas.
**** Tiong San mendengarkan semua penuturan Siang Cu itu dengan muka cemberut tanpa berani menentang pandangan mata gadis itu. Sebetulnya saja, ia hanya dapat memperlihatkan muka masam apabila ia tidak menatap wajah gadis itu, oleh karena tiap kali ia bertemu pandang, sinar mata gadis yang lemah lembut dan halus itu seakan-akan menembus matanya dan langsung menyerang ke dalam hatinya dan dapat mengintai di dalam dadanya bahwa sebenarnya ia sama sekali tidak mempunyai alasan untuk benci atau marah kepada gadis ini.
Apabila ia menatap wajah gadis ini, ia tidak mungkin menaruh perasaan yang tidak enak terhadapnya.
"Semua gara-gara perempuan," katanya seorang diri. "Kawan-kawanku Khu Sin dan Thio Swie hampir menjadi korban perempuan, dan suhuku tewas karena gara-gara perempuan pula.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
132 Perempuan hanya merusak kehidupan seorang gagah!" Sambil berkata demikian, Tiong San berdiri. Ia menjura ke kuburan suhunya dan berkata keras,
"Suhu, teecu sudah memenuhi pesanmu. Gadis ini telah teecu bawa keluar dari kota raja, sekarang teecu hendak mencari musuh suhu, perempuan jahat yang telah membunuh suhu untuk membalaskan dendam ini!"
Ia tidak melihat betapa Siang Cu memandangnya dengan amat khawatir dan gelisah. Mata gadis ini menyatakan permohonan agar ia jangan ditinggalkan seorang diri di dalam hutan itu, akan tetapi keangkuhan hati Siang Cu tidak mengijinkannya membuka mulut!
Setelah Tiong San berlutut di depan makam suhunya, pemuda itu lalu melompat dan berlari pergi, sama sekali tidak mau menengok kepada Siang Cu. Gadis itu memandang dengan bengong dan pucat, mengikuti bayangan pemuda itu dengan pandangan matanya, sama sekali tidak berdaya.
Setelah bayangan pemuda itu lenyap, barulah ia menubruk gundukan tanah di mana jenazah Thian-te Lo-mo terkubur, menangis tersedu-sedu dan mengeluh dengan amat sedihnya. Air matanya yang semenjak tadi ditahan-tahannya, kini membanjir keluar dari kedua matanya.
Sementara itu, Tiong San berlari meninggalkan hutan itu dengan pikiran ruwet dan hati tidak keruan rasa. Ia ingin melupakan wajah Siang Cu, akan tetapi sinar mata yang halus itu seakan-akan terus mengikutinya. Di sekelilingnya sunyi senyap tak terdengar sesuatu, akan tetapi langkah kakinya seakan-akan mengeluarkan bisikan, "Kau kejam .... kau kejam .... kejam ...
kejam ...."
Suara ini mengikutinya tepat di belakang punggungnya, membuat bulu tengkuknya berdiri. Ia tidak tahu bahwa itu adalah suara dari liangsimnya (hati nuraninya) sendiri. Akhirnya ia tidak tahan pula dan cepat membalikkan tubuh dan berlari ke dalam hutan.
Siang Cu menderita bukan main karena ditinggalkan seorang diri di dalam hutan. Apakah yang dapat diperbuatnya" Ke mana ia harus pergi" Akhirnya gadis ini setelah puas menangis, lalu teringat kepada pisaunya.
"Lo-inkong," ia meratap di depan makam Thian-te Lo-mo. "Aku .... aku tak berdaya ...., aku takut ....! Lo-inkong, tunggulah, aku ikut ....!" Ia lalu memegang belati itu kuat-kuat dan menusuk dadanya sendiri!
Akan tetapi, seperti yang terjadi ketika ia hendak membunuh diri di dalam dapur istana, kembali berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu belatinya telah terlepas dari tangannya.
Ketika ia memandang dengan kaget dan seram karena mengira bahwa kakek itu hidup kembali. Ia melihat Tiong San telah berdiri tak jauh darinya.
"Gadis gendeng ..... gadis gila .....!" pemuda itu berkata perlahan yang mengingatkan Siang Cu kepada suara dan sikap Thian-te Lo-mo. Tiong San mengambil pisau itu dari ujung cambuknya dan memasukkan pisau itu ke dalam saku bajunya.
"Gadis gila ....." kembali ia berkata.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
133 Siang Cu sama sekali tidak mau terlihat oleh Tiong San bahwa ia telah menangis, maka ia cepat pergunakan kedua tangan untuk menghapus sisa-sisa air mata dari kedua pipinya dan cepat bangun berdiri.
"Kau datang kembali mau apa" Mengapa kau mencampuri urusanku" Aku .... aku tidak minta pertolonganmu ...., aku .... aku ...." akhirnya ia tak dapat menahan air matanya dan cepat-cepat ia membalikkan tubuhnya agar jangan terlihat oleh pemuda itu bahwa ia betul-betul menangis.
"Aku datang kembali bukan untuk menolongmu," kata Tiong San yang merasa girang bahwa gadis itu berdiri membelakanginya, sehingga ia tak usah menakuti mata yang halus itu dan gadis itu takkan dapat melihat betapa ia merasa amat kasihan dan terharu! "Aku hanya teringat bahwa tidak selayaknya seorang gadis yang lemah seperti kau ditinggal seorang diri di tengah hutan. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan" Ke mana kau hendak pergi dan aku akan mengantarkanmu ke tempat tujuanmu itu. Hanya untuk mengantarkan sampai di tempat tujuanmu, lain tidak!"
Dengan gerakan perlahan, Siang Cu memutar kembali tubuhnya dan kini ia menghadapi Tiong San. Pemuda itu menekan perasaan herannya ketika melihat betapa kini bibir gadis itu tersenyum.
"Gadis gila ....!" tak terasa pula ia berkata dan Siang Cu tersenyum makin lebar, lalu tertawa seakan-akan ia dikitik-kitik dan merasa geli sekali!
"Ah, eh, mengapa kau tersenyum-senyum dan tertawa-tawa" Kau benar-benar gila!" Akan tetapi, dimaki gila beberapa kali itu bukannya marah, Siang Cu bahkan nampak makin geli.
"Kalau aku gila, kau juga gila!" jawabnya dengan halus. "Kau hendak mengantarkanku" Tak perlu. Kalau kau memang tidak mau meninggalkanku sendiri di dalam hutan liar ini, carikanlah satu stel pakaian laki-laki untukku. Tak usah yang baik-baik, pakaian yang telah usang saja, asalkan pakaian laki-laki. Hanya itu permintaanku kalau kau suka menolong, dan
... lain tidak!"
Tiong San menjadi heran, tetapi ia dapat menduga bahwa gadis itu tentu hendak melanjutkan perjalanan dengan menyamar sebagai seorang laki-laki! Diam-diam ia memuji keberanian dan kecerdikan Siang Cu, maka ia lalu berkata,
"Tunggu sebentar, akan kucarikan pakaian itu untukmu!" tubuhnya lalu berkelebat pergi dengan cepat sekali, sehingga Siang Cu memandangnya dengan amat kagum dan untuk beberapa lama gadis itu termenung dalam kebingungan, membanding-bandingkan pemuda itu dengan Thian-te Lo-mo karena ia tidak tahu, mana yang lebih kukoai (aneh) dan gila antara guru dan murid itu!
Tak lama kemudian, benar saja Tiong San kembali sambil membawa satu stel pakaian laki-laki, pakaian petani berwarna biru muda yang masih cukup baik dan belum ada tambalannya.
Ia memberikan pakaian itu kepada Siang Cu dan suaranya benar-benar mengandung penyesalan ketika ia berkata,
"Sayang aku tak dapat mencarikan yang lebih baik. Orang-orang dusun di luar hutan itu kesemuanya petani-petani yang tidak kaya!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
134 "Bagaimana kau memperoleh pakaian ini?"
"Mengapa kau bertanya" Aku ..... aku mengambilnya dari sebuah rumah petani."
"Mencuri ....?" gadis itu membelalakkan kedua matanya dan pakaian yang dipegangnya itu tak terasa pula terlepas dari tangannya dan jatuh ke atas tanah.
"Biarpun mencuri, akan tetapi aku yang melakukannya, bukan kau!" kata Tiong San dengan mendongkol dan mukanya berobah merah.
Siang Cu merogoh saku bajunya sebelah dalam dan mengeluarkan tiga potong uang perak.
"Tidak boleh, kau harus membayarkan uang ini kepada pemilik pakaian. Aku belum pernah memakai barang curian!"
"Aku tak mau!"
"Kalau begitu, akupun tidak mau memakai pakaian ini!"
Tiong San menarik napas panjang dan menerima uang itu. "Baiklah, nanti akan kubayarkan uang ini kepadanya."
Siang Cu tersenyum girang dan diam-diam Tiong San merasa heran mengapa iapun merasa amat girang oleh karena gadis itu percaya kepadanya, sama sekali tidak meragukan bahwa uang itu akan betul-betul dibayarkan kepada petani yang ia curi pakaiannya itu!
"Pakaian itu amat buruk," katanya pula.
"Siapa bilang" Ini terlalu bagus untukku," kata Siang Cu yang segera membawa pakaian itu ke tanah bekas galian di mana terdapat tanah-tanah lempung yang agak basah, lalu ia .....
menggosok-gosokkan pakaian itu ke dalam tanah lempung!
"Kau gendeng!" kata Tiong San, akan tetapi, ia segera teringat bahwa di dalam penyamaran, memang lebih tepat apabila seorang petani muda pakaiannya berlumur tanah! Kembali ia memuji kecerdikan gadis itu, tentu saja hanya di dalam hati karena mulutnya ia kunci rapat-rapat.
"Kau pergilah dulu, aku hendak bertukar pakaian," kata Siang Cu dan mukanya tiba-tiba berobah merah.
Tiong San juga menjadi malu dan mukanya menjadi merah sampai ke telinga. Ia masih berdiri di tempatnya, hanya memutar tubuh membelakangi gadis itu. "Siapa yang ingin melihat kau bertukar pakaian?" katanya mendongkol.
Biarpun Tiong San sudah memutar tubuh, akan tetapi Siang Cu masih belum puas kalau belum bersembunyi di belakang sebatang pohon besar. Di balik pohon itu ia mengganti pakaiannya, menanggalkan pakaian luar lalu menutup pakaian dalamnya dengan pakaian petani yang telah menjadi kotor berlumpur itu. Sambil berganti pakaian, berkali-kali ia mengintai dari balik batang pohon dan berkali-kali berkata, "Awas, belum selesai, jangan menengok dulu!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
135 Diam-diam Tiong San menjadi mendongkol dan juga geli. Bencinya terhadap gadis ini banyak berkurang, meskipun ia masih merasa tak senang kepada kaum wanita yang dianggapnya telah merusak hidup orang-orang yang dikasihinya.
"Sekarang kau boleh menengok!" kata Siang Cu dan ketika Tiong San berpaling, ia hampir pangling. Di depannya berdiri seorang petani muda yang amat tampan.
"Bagaimana" Sudah patutkah aku menjadi seorang pemuda tani?"
Tiong San memandang penuh perhatian dan lupa akan "bencinya" tadi, ia membantu untuk mencari-cari apa yang kiranya perlu diperbaiki dalam samaran itu. "Wajahmu .....?" katanya.
"Mengapa wajahku?" tanya Siang Cu cepat-cepat dan otomatis tangan kirinya naik untuk mengusap pipinya.
"Wajahmu terlalu cakap untuk seorang petani muda ... eh, maksudku ... hm ... terlalu ... terlalu putih dan halus kulit mukamu ...." Muka Tiong San menjadi merah sekali karena ucapan itu benar-benar amat sukar keluar dari mulutnya dan ia benci kepada dirinya sendiri untuk mengeluarkan ucapan yang didorong-dorong oleh hatinya sendiri.
Siang Cu tersenyum. "Mudah sekali kalau hanya itu ...." Gadis itu lalu mengambil tanah lempung dan segera membedaki mukanya dengan tanah! Kini mukanya menjadi kotor berlumpur, hanya matanya saja yang tidak berubah, masih bening dan bersinar halus.
"Sayang ...." tiba-tiba kata-kata ini hanya terloncat keluar dari mulut Tiong San.
"Apanya yang sayang?" tanya Siang Cu cepat.
Ingin Tiong San menampar mulutnya sendiri. Menurut kata hatinya, ia hendak menyatakan sayang karena kulit muka yang putih halus itu dirusak dengan lumuran lumpur hingga menjadi kotor. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau mengucapkan kata-kata ini dan untung bahwa ia masih dapat mengekang lidahnya dan hanya mengucapkan kata-kata "sayang" tadi!
Kini Siang Cu mengajukan pertanyaan yang membuatnya menjadi bingung dan terpaksa ia menjawab dengan gagap.
"Yang sayang ... itu loh .... eh, rambutmu ....!"
"Rambutku ..." Mengapa rambutku?" kembali otomatis tangannya diangkat dan menyentuh rambutnya yang hitam dan panjang.
"Rambutmu terlalu .... halus dan panjang, tak pantas dimiliki oleh seorang petani muda!"
"Begitukah" Coba kau ke sinikan pisauku tadi!"
"Tidak boleh! Kau akan berbuat gila dengan pisaumu tadi."
Siang Cu tersenyum dan mukanya yang sudah kotor berlumur lumpur itu masih nampak manis karena terlihat giginya yang putih bersih dan rata. "Kalau aku hendak membunuh diri, masa aku harus menyamar dulu" Ke sinikan, hendak kupakai memotong rambutku!"
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
136 "Tidak boleh, kau tidak boleh pegang pisau tajam."
"Kalau begitu, tolong kau potongkan rambutku ini, agar jangan terlalu panjang dan untuk menyempurnakan penyamaranku."
Sambil berkata demikian Siang Cu cepat mengulurkan rambutnya yang panjang kepada Tiong San. Pemuda itu ragu-ragu dan menyesal melihat rambut yang demikian indahnya di potong, akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kemenyesalannya dan segera mencabut pisau tadi dan sekali ia menyabet, putuslah rambut yang panjang itu dan kini menjadi pendek.
"Nah, sekarang penyamaranku pantas, bukan?" kata gadis itu dengan suara menahan isak.
Sesungguhnya, bukan main sakit hatinya melihat rambut yang tadi masih menghias kepalanya kini melingkar di atas tanah. Hati gadis mana yang tak merasa sedih"
"Sudah baik sekarang," kata Tiong San singkat.
"Nah, selamat berpisah, kita mengambil jalan masing-masing," kata Siang Cu yang segera pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja kembali!
Kini dia yang meninggalkan Tiong San dan pemuda itu untuk beberapa lama berdiri bengong sampai bayangan Siang Cu lenyap di balik pohon. Ia memandang ke arah rambut gadis itu yang tadi terputus dan kini merupakan ular hitam melingkar di atas tanah.
Bagaikan orang tak sadar, ia membungkuk, memungut rambut itu dan bersama pisau belatinya ia masukkan ke dalam saku baju sebelah dalam. Kemudian ia lalu melompat dan berlari cepat dengan tujuan mencari Si Cui Sian, wanita bermuka cacad yang telah membunuh suhunya untuk membalas dendam.
Dalam penyelidikannya, Tiong San mendengar bahwa Si Cui Sian setelah berhasil membunuh bekas kekasihnya, yakni Thian-te Lo-mo, lalu kembali ke selatan, ke tempat tinggalnya, yakni kota Liang-hu. Akan tetapi, ketika ia menyusul ke sana, ia mendengar bahwa wanita itu kabarnya telah pergi ke pegunungan Tai-san di Shan-tung!
Ia merasa heran sekali mengapa wanita itu pergi ke tempat tinggal Thian-te Lo-mo. Apakah kehendak wanita itu" Akan tetapi ia tidak mau memusingkan hal ini dan langsung menuju ke Shantung, menyusul jejak wanita itu.
Pada suatu hari, ia tiba di sebuah hutan di luar kota Cin-an. Ia mendengar suara minta tolong.
Ia segera berlari menuju ke arah suara itu dan melihat betapa serombongan orang sedang dikepung oleh perampok-perampok kejam!
Para pengawal rombongan itu yang terdiri dari piauwsu-piauwsu (pengawal/penjaga keamanan di jalan) dengan berani mengadakan perlawanan. Akan tetapi oleh karena kawanan perampok itu banyak jumlahnya, lagi pula dipimpin oleh orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka mereka terdesak hebat dan beberapa orang piauwsu telah menderita luka-luka.
"Perampok gila, mundur semua!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang cambuk yang bergerak-gerak bagaikan naga menyambar, telah membuat banyak senjata perampok itu terlempar ke udara. Para perampok tentu saja tidak takut akan serbuan hanya seorang pemuda saja, tetapi ketika cambuk itu menyambar cepat, terdengar teriakan-teriakan mereka kesakitan Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
137 dan muka para perampok itu seorang demi seorang menerima "hadiah" cambukan, sehingga terluka memanjang pada muka yang mengeluarkan darah atau menjadi matang biru!
Tiga orang kepala rampok dengan marah menyerbu ke depan. Akan tetapi mereka inipun berseru keras dan mundur kembali oleh karena kedatangan mereka disambut oleh ujung cambuk dan mengalirlah darah dari muka mereka ketika ujung cambuk itu menyabet dan memecahkan kulit muka mereka! Memang, menghadapi kepala-kepala rampok ini, Tiong San sengaja memberi "hadiah besar" sehingga muka mereka mengeluarkan darah.
Dalam hal membagi-bagi hadiah, suhunya mempunyai tiga istilah, yakni hadiah kecil yang hanya membuat muka bergaris merah, hadiah sedang yang lebih keras dan membuat muka lawan menjadi matang biru dan terasa sakit sekali, tetapi juga tidak mengeluarkan darah, dan ketiga hadiah besar yang dilakukan dengan tenaga lebih keras sehingga kulit muka lawan menjadi pecah oleh ujung cambuk dan mengeluarkan darah serta terasa perih dan sakit sekali!
Melihat kelihaian pemuda itu serta menyaksikan cara bertempurnya yang mempergunakan cambuk panjang, tiba-tiba mereka insyaf dan serentak para perampok berseru,
"Shan-tung Koai-hiap ....!" Seruan ini menyatakan keterkejutan dan ketakutan hebat dan mereka segera lari cerai berai masuk ke dalam hutan yang lebat! Memang untuk daerah Shantung, nama Shan-tung Koai-hiap telah terkenal sekali dan ditakuti orang, sungguhpun Tiong San belum banyak memperlihatkan kepandaiannya!
Berita akan kelihaian Shan-tung Koai-hiap dan bahwa pendekar itu adalah murid Thian-te Lo-mo, cukup menggentarkan hati setiap penjahat. Maka begitu mendengar nama ini diserukan orang dan melihat betapa segebrakan saja pemuda itu berhasil membuat muka ketiga kepala rampok terluka, semua perampok kehilangan semangatnya dan mereka lari dengan ketakutan!
Para piauwsu juga terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan mereka lalu menghampiri Tiong San dan menjura dengan hormat sekali. Pemimpin rombongan piauwsu itu berkata kepada Tiong San dengan sikap hormat.
Ba 15 ... "TAK disangka bahwa kami akan mendapat bantuan yang amat berharga dari koai-hiap, sungguh-sungguh kami berterima kasih sekali. Koai-hiap masih begini muda tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihai luar biasa, sungguh-sungguh membuat kami yang tua-tua merasa kagum!"
Oleh karena semenjak dulu mengikuti suhunya yang sama sekali tidak suka akan segala penghormatan, maka Tiong San lalu tertawa karena geli hatinya.
"Ha ha ha! Kalian benar-benar berotak miring! Untuk apa segala macam omong kosong ini"
Lebih baik lekas tolong kawan-kawanmu yang terluka dan melanjutkan perjalanan."
Semua piauwsu tidak ada yang berani membantah, dan mereka lalu merawat kawan-kawan yang terluka dan segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
Ternyata orang-orang yang dirampok itu adalah keluarga Ciu-wangwe (hartawan Ciu) yang tinggal di kota Cin-an. Hartawan itu turun dari jolinya dan menghampiri Tiong San. Ketika Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
138 melihat sikap pemuda yang menampik segala ucapan terima kasih dan penghormatan, Ciu-wangwe lalu menjura dan berkata,
"Shan-tung Koai-hiap, telah lama aku mendengar nama besarmu dan juga nama besar suhumu, Thian-te Lo-mo. Karena kebetulan sekali kita bertemu di sini dan agaknya sejurusan perjalanan pula, maka aku mengharap sukalah kiranya kau melakukan perjalanan bersama kami. Pertama-tama untuk mempererat perkenalan kita. Kedua, kami mohon pertolonganmu agar supaya keselamatan kami terjamin."
Tiong San memandang kepada hartawan itu yang ternyata adalah seorang setengah tua yang berwajah menyenangkan dan dari sikap dan bicaranya, dapat diduga bahwa ia adalah seorang yang berwatak jujur dan terpelajar.
"Bolehkah aku tahu siapa saudara ini?" tanya Tiong San dan Ciu-wangwe tersenyum.
"Tadi aku tidak berani memperkenalkan nama oleh karena apakah artinya namaku bagi seorang gagah seperti kau" Aku adalah Ciu Twan atau untuk penduduk Cin-an cukup dikenal dengan sebutan Ciu-wangwe. Ya, memang aku seorang hartawan, tetapi ketika dirampok tadi, aku ingin sekali menjadi seorang miskin saja! Semenjak menjadi hartawan, aku selalu menghadapi kesulitan-kesulitan belaka!" Ciu-wangwe menarik napas panjang dan Tiong San merasa makin tertarik kepada orang ini.
"Kau lucu sekali, Ciu-wangwe," katanya sambil tertawa. "Akan tetapi aku suka bercakap-cakap dengan orang seperti kau!"
Mereka segera melanjutkan perjalanan dan Tiong San tidak menolak ketika ia diberi seekor kuda, sehingga ia dapat bercakap-cakap dengan hartawan Ciu itu. Nyonya Ciu masih duduk di sebuah joli yang digotong oleh enam orang, dan hartawan Ciu sendiri berganti tempat, tidak mau naik joli karena ia ingin bercakap-cakap dengan Tiong San. Para piauwsu merasa gembira sekali karena pendekar aneh dari Shan-tung itu suka melakukan perjalanan bersama mereka sehingga mereka tak usah mengkhawatirkan sesuatu lagi.
Di sepanjang jalan, Ciu-wangwe dengan amat jujur menuturkan riwayat hidupnya kepada Tiong San tanpa diminta. Ia menceritakan betapa dulu iapun seorang yang miskin, tetapi berkat kerajinannya dapat menjadi seorang kaya raya. Ia menceritakan pula tentang rumah tangganya, tentang seorang anaknya yang telah menjadi remaja puteri, betapa anaknya itu amat cantik dan pandai ilmu kesusasteraan.
"Anakku itu adatnya agak kukoai (aneh). Telah berkali-kali datang lamaran orang, tetapi ia berkeras menampik semua pinangan itu biarpun yang mengajukan pinangan adalah pemuda-pemuda kaya raya, bahkan pinangan seorang pemuda bangsawan ia tolak pula! Ahh, aku dan ibunya sudah merasa pusing sekali, tetapi semenjak kecil ia dimanja, maka aku dan isteriku tak dapat berdaya apa-apa! Kalau saja ...." ia memandang tajam kepada Tiong San, kemudian menyambung kata-katanya sambil tersenyum. "Kalau saja aku bisa mendapat seorang menantu seperti kau .... ah, seumur hidupku aku akan merasa senang dan aman!"
Tiong San tertawa terbahak-bahak sehingga membuat Ciu-wangwe memandang heran dan ragukan kesehatan otak pemuda itu, karena memang suara ketawa Tiong San amat nyaring dan keras, sehingga para piauwsu pun menengok dan memandang dengan heran!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
139 "Ciu-wangwe, kau .... gila!" kata Tiong San yang telah menjadi biasa menyebut semua orang dengan makian gila seperti adat gurunya. "Aku .... aku paling tidak suka kepada wanita apalagi wanita yang pandai, lebih-lebih lagi kalau ia cantik jelita!"
Kini Ciu-wangwe yang tertawa geli mendengar ucapan ini.
"Shan-tung Koai-hiap, aku benar-benar suka kepadamu. Kau berbeda sekali dengan pemuda-pemuda lain. Kuharap kau suka bermalam di rumahku di Cin-an agar hatiku puas. Sukakah kau?"
Melihat sikap hartawan yang amat tulus dan jujur ini, memang Tiong San telah merasa suka dan cocok sekali, maka ia menganggukkan kepalanya dan menjawab,
"Aku sedang ada urusan penting, yakni mencari seorang di sekitar bukit Tai-san. Karena akupun harus melalui Cin-an, tidak ada halangan apabila aku mampir semalam di rumahmu."
Ciu-wangwe merasa girang sekali dan perjalanannya dilanjutkan dengan selamat sampai di Cin-an. Mereka menuju ke gedung Ciu-wangwe dan hartawan itu selain memberi upah yang telah dijanjikan kepada para piauwsu, juga memberi hadiah ekstra karena ia merasa kasihan kepada para piauwsu yang terluka.
Tentu saja para piauwsu itu amat berterima kasih sekali dan memuji-muji kebaikan budi hartawan itu. Hartawan lain tentu akan marah-marah dan menyatakan ketidak puasannya karena terjadinya gangguan perampok yang hampir mencelakakan itu, akan tetapi hartawan ini bahkan memberi hadiah dan ongkos-ongkos pengobatan kawan-kawan mereka yang terluka!
Ciu-wangwe memang mempunyai seorang anak perempuan yang telah berusia delapan belas tahun. Gadis ini bernama Ciu Leng Hwa dan semenjak kecil ia memang telah mempelajari ilmu kesusasteraan dengan amat rajinnya. Ia mempunyai otak yang cerdas dan setelah ia menjadi dewasa, ia terkenal sebagai kembang kota Cin-an, baik mengenai kecantikan maupun mengenai kepandaiannya, terutama tulisan-tulisannya yang indah. Sering kali kawan-kawannya minta supaya menuliskan lian (tulisan-tulisan di atas kain yang mengandung arti dan ditulis indah, biasanya berbentuk syair).
Ciu-wangwe suami isteri merasa amat bangga akan puteri mereka ini, tetapi sebagaimana yang diceritakan oleh Ciu-wangwe kepada Tiong San, gadis ini selalu menolak apabila orang tuanya bicara tentang perjodohan dan pinangan orang kepadanya!
Ketika Leng Hwa mendengar dari ibunya bahwa ayah bundanya tadi diganggu perampok dan terjadi pertempuran hebat, ia menjadi khawatir sekali dan berkata,
"Ah, untung sekali ibu dan ayah tidak sampai mendapat celaka. Kalau terjadi apa-apa, bagaimana dengan .... aku" Ah, syukur kepada Thian Yang Maha Kuasa, malam ini kebetulan bulan purnama dan tengah malam nanti aku harus bersembahyang untuk mengucap syukur."
"Memang kita harus bersyukur, anakku, terutama sekali kepada Shan-tung Koai-hiap, karena dialah yang menolong sehingga ayah bundamu masih dapat bertemu dengan kau dalam keadaan hidup!" Nyonya Ciu lalu menceritakan betapa pendekar muda itu telah menolong mereka dengan gagahnya.
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
140 "Tak kusangka bahwa seorang pemuda yang begitu halus dan kelihatan lemah, memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Sayangnya .... bicaranya aneh-aneh sehingga ayahmu menyangka bahwa ia agak .... miring otaknya! Ia ikut datang atas undangan ayahmu dan ayahmu suka sekali bercakap-cakap. Percakapan mereka aneh-aneh sehingga aku tidak mengerti sedikitpun.
Coba saja pikir, pendekar yang usianya belum tentu ada dua puluh tahun itu beberapa kali kudengar menyebut ayahmu ..... gila!"
Leng Hwa tertarik sekali. "Memang kata orang-orang dahulu, orang yang gila paling suka menyebut orang waras gila!" katanya perlahan dan diam-diam ia mempunyai keinginan keras untuk melihat bagaimana macamnya pendekar muda yang amat terkenal itu. Akan tetapi sebagai seorang gadis terpelajar dari keluarga sopan, tentu saja tak mungkin baginya untuk menjumpai seorang tamu laki-laki yang masih muda dan asing pula.
Malam hari itu, Leng Hwa berada di taman bunga. Memang taman bunga keluarga Ciu-wangwe amat indah dan terkenal, karena selain Leng Hwa suka sekali kepada kembang-kembang, juga suami isteri Ciu suka berjalan-jalan di situ.
Gadis itu menanti datangnya tengah malam di taman itu sambil menghadapi dua helai kain yang disulam indah. Seorang kawannya minta kepadanya untuk menuliskan dua buah syair di atas dua helai kain yang lebar itu. Akan tetapi, entah mengapa, malam hari ini agaknya jalan pikiran gadis ini kurang tenang.
Telah lama sekali ia duduk di atas sebuah bangku menghadapi kain yang terbentang di hadapannya tanpa dapat menuliskan sehurufpun. Ia bertopang dagu dan pelayannya duduk tak jauh dari situ, sama sekali tidak berani mengganggu nonanya yang sedang mengasah otak itu.
Sambil bertopang dagu, Leng Hwa memandang kepada bulan yang nampak bulat dan terang di angkasa raya. Pelayannya, seorang gadis tanggung, memandang nonanya dengan kagum sekali. Karena sedang berdongak, wajah Leng Hwa sepenuhnya ditimpa sinar bulan dan pelayan itu diam-diam berpikir, manakah yang lebih indah, wajah nonanya atau bulan itu!
Melihat bulan seakan-akan bergerak di atas awan-awan putih dan kadang-kadang bersembunyi di belakang sekelompok awan hitam. Tiba-tiba Leng Hwa menggerakkan pensil bulunya di atas kain itu. Ia telah mendapat bahan bagi syairnya, ialah bulan itu! Dengan asyiknya ia menulis, sambil mengeluarkan ujung lidahnya yang merah dan kecil itu di ujung bibirnya, mengerahkan seluruh perhatiannya pada pensil bulu yang kini menari-nari di atas kain. Setelah syair itu selesai, ia memandangnya dengan puas, wajahnya berseri-seri.
"A-bwe," ia memanggil pelayannya yang duduk kedinginan karena hawa malam yang sejuk itu membuatnya mengantuk. A-bwe terkejut dan berdiri.
"Kau lihat, syair telah selesai sebuah! Coba kau baca keras-keras hendak kudengarkan!"
A-bwe memang amat mengagumi syair nonanya dan ia senang sekali membaca syair yang ditulis oleh nonanya. Banyak syair tulisan Leng Hwa telah dapat dibacanya di luar kepala, padahal Leng Hwa sendiri sudah lupa akan bunyi syair-syairnya itu. Akan tetapi ia suka mendengar A-bwe membaca syairnya karena suara pelayan ini memang merdu dan apabila syairnya dibaca oleh A-bwe, seakan-akan syair itu menjadi lebih hidup dan indah!
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
141 A-bwe berlari-lari menghampiri dan melihat tulisan yang indah itu ia memuji-muji, lalu membaca syair itu dengan suara nyaring dan merdu, penuh perasaan dan gaya serta tekanan suaranya tepat sekali:
Bulan indah, begitu tinggi dan mulia
kau menerangi seluruh permukaan dunia
ratu malam yang megah, cantik jelita
menyaingi matahari


Pendekar Gila Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

raja siang yang jaya!
namun .... sekali terbang lalu
awan dan mega yang terang
menjadi gelap, kau tak berdaya ....!
"Bagus, Siocia (nona), bagus! Akan tetapi agak ... agak sedih!"
Akan tetapi, kebetulan sekali memang pada saat itu ada segunduk awan hitam bergerak perlahan menutup bulan.
"Aku hanya menuliskan keadaan yang sebenarnya A-bwe. Lihat, agaknya awan hitam itu akan lama menutup bulan karena berkelompok besar, lebih baik kita masuk dulu dan kau sediakan alat-alat sembahyang karena tak lama lagi tengah malam akan tiba. Kalau bulan sudah terang lagi kita kembali ke sini," Kedua wanita itu lalu meninggalkan tempat itu, masuk ke dalam rumah.
Tak lama setelah mereka pergi, nampak sesosok bayangan berjalan ke tempat itu dan ia berhenti di depan meja, membaca syair yang baru ditulis oleh Leng Hwa tadi. Bayangan ini adalah Tiong San yang juga merasa tertarik oleh bulan purnama dan keluar dari kamarnya untuk menikmati pemandangan dalam taman bunga yang indah itu.
Biarpun masih ada awan tipis menutup bulan, dan keadaan tidak sangat terang, akan tetapi matanya yang tajam dapat membaca syair itu dengan terang. Ia merasa tertarik sekali dan melihat bahwa di situ masih ada sehelai kain yang sama ukuran dan bentuknya dengan kain yang sudah ditulisi, dan kain itu masih kosong, tak terasa pula timbul kegemarannya menulis syair.
Ia pegang pensil bulu, mencelupkannya di tempat tinta, lalu berpikir sebentar sambil memandang kepada syair Leng Hwa tadi, lalu menulis dengan gerakan cepat dan kuat. Baru saja ia selesai menulis, terdengar suara orang mendatangi. Ia terkejut dan sadar bahwa ia telah berlaku lancang, maka cepat-cepat ia melompat ke balik gerombolan pohon bunga dan mengintai. Ternyata yang datang adalah dua orang wanita, seorang gadis cantik diikuti oleh seorang gadis pelayan yang membawa lilin dan dupa.
Bulan bersinar penuh dan keadaan menjadi terang sekali. Ketika Leng Hwa tiba di dekat mejanya, ia terkejut sekali dan terdengar ia mengeluarkan seruan tertahan. Mendengar ini A-bwe berlari menghampiri dan juga pelayan ini menjadi terkejut sekali.
"Bagus, bagus! Syair ini lebih bagus, siocia!" kata pelayan itu yang lalu meletakkan barang-barangnya di atas tanah. Kemudian dengan suara nyaring ia membaca syair yang baru saja ditulis oleh Tiong San itu:
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
142 Sungguh! Awan tak mungkin dihindarkan
namun ... awan gelap hanya rintangan
yang akan lenyap oleh tiupan angin
gelap sebentar,
hujan badai boleh menggelegar!
Sesudah lewat, bulan muncul lagi berseri segar!
matahari akan terbit lagi,
hangat dan terang!
"Bagus, siocia, bagus!" Syair ini merupakan pasangan yang cocok sekali dengan syairmu dan sekali gus menghapus kesedihan syairmu itu! Dan tulisannya .... alangkah indahnya ... tak kalah oleh tulisanmu ....!"
Akan tetapi, Leng Hwa merasa marah sekali melihat betapa kain yang masih kosong itu ada orang lain yang lancang tangan menulisi. Ia berdiri tegak dan memandang ke kanan kiri, lalu katanya dengan suara nyaring, tanda kemarahan hatinya.
"Orang kurang ajar dari manakah yang berani membikin kotor kain ini" Sungguh gila!"
Tiong San adalah seorang yang berhati tabah dan ia paling tidak suka kalau dianggap kurang ajar dan pengecut, maka mendengar ini ia merasa sudah sepantasnya kalau ia mengakui perbuatannya itu dengan terus terang dan berani. Maka ia lalu muncul keluar dari balik gerombolan pohon kembang itu, sehingga kedua orang wanita itu melangkah mundur dengan terkejut.
"Nona, akulah yang menulis syair itu!"
Leng Hwa memandang dengan mata melebar. "Kau ... siapakah" Dan mengapa kau berani lancang menulis syair ini dan .... dan ....bagaimana pula kau dapat masuk ke sini .....?" Harus diketahui bahwa taman bunga itu menjadi satu dengan gedung Ciu-wangwe dan bahwa sekelilingnya dilingkungi oleh tembok yang amat tinggi dan di luarnya terjaga pula.
Tiong San tersenyum, "Namaku Tiong San, dan aku menulis syair itu karena merasa tak setuju dengan bunyi syairmu yang memperlihatkan kelemahan hatimu, dan tentang bagaimana aku dapat masuk ke sini, karena memang aku bermalam di gedung ini!"
"Jadi kau .... kau Shan-tung Koai-hiap ....?" Makin lebar mata gadis itu memandang Tiong San. Tak disangkanya sama sekali bahwa pendekar muda yang diceritakan oleh ibunya itu ternyata adalah seorang pemuda yang demikian ... tampan dan gagah serta amat indah tulisannya! Dan menurut pandangannya, pemuda ini sama sekali tidak gila.
"Ada orang yang menyebutku gila," jawab Tiong San sederhana.
Berobahlah sikap Leng Hwa mendengar ini. Bibirnya tersenyum manis dan mukanya berobah merah. Ia tidak berani memandang langsung, setengah menundukkan mukanya. Akan tetapi dari bawah bulu matanya itu kerlingnya menyambar halus.
"Ah .... kalau begitu kau adalah penolong ayah bundaku ... silahkan duduk, taihiap ...."
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
143 Tadi ketika Leng Hwa berdiri memandangnya dengan marah dan gadis itu mengeluarkan ucapan-ucapan kasar, ia memandang dengan tertarik juga karena harus diakui bahwa Leng Hwa adalah seorang gadis yang amat cantik jelita. Akan tetapi setelah sikap gadis ini berobah kemalu-maluan, tersenyum dan mengerling tajam yang sebetulnya lebih menggiurkan hati laki-laki lagi, Tiong San bahkan timbul rasa tidak senangnya terhadap gadis ini!
Dalam hati pemuda ini timbullah perasaan ragu-ragu, karena apabila seorang wanita telah bersikap seperti itu, ia akan amat berbahaya dan hanya mendatangkan bencana saja! Dalam pandangannya, sikap wanita yang seperti ini mengingatkan ia akan seekor ular yang melingkar diam tak bergerak, akan tetapi jangan sangka bahwa ular itu takkan menyerangmu.
Sekali kau lalai, ular itu akan menyambarmu. Oleh karena itu, melihat sikap Leng Hwa yang manis itu, tiba-tiba lenyaplah kegembiraannya tadi dan Tiong San segera memutar tubuh sambil berkata,
"Terima kasih, aku mau kembali ke kamar dan tidur!" Tanpa menanti jawaban ia lalu melompat pergi meninggalkan gadis itu yang masih berdiri tercengang.
"Aduh, siocia, dia ..... dia itu .... cakap sekali!" kata A-bwe menggoda nonanya yang sadar kembali dari lamunannya dengan muka makin merah. Dari pandangan mata pelayannya ia maklum akan isi hati A-bwe, maka ia lalu berkata,
"Sudahlah, A-bwe, ayoh kau beres-bereskan meja karena aku hendak mulai bersembahyang!"
Dan ketika Ciu Leng Hwa, gadis cantik jelita itu mengangkat hio (dupa biting) di depan meja sembahyang, biarpun di dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih dan rasa syukurnya kepada Yang Maha Kuasa karena ayah bundanya terhindar dari bahaya, namun pada dasar hatinya terdengar bisikan-bisikan yang tak terucapkan oleh mulut hatinya, bisikan-bisikan yang menyatakan harapan dan yang membuiat mukanya makin menjadi merah saja!
Dua gulung kain bersyair itu dibawanya sendiri ke dalam kamarnya setelah selesai sembahyang dan digantungkannya berjajar di dinding kamarnya. Kemudian ia berbaring dan memandangi dua syair itu dengan hati girang yang membuatnya tak dapat tidur sekejap pun semalam itu!
A-bwe yang bermulut panjang itu segera menyampaikan peristiwa yang terjadi malam tadi kepada Ciu-wangwe dan nyonyanya. Kedua orang tua ini merasa girang sekali dan Ciu-wangwe lalu menjumpai Tiong San.
"Shan-tung Koai-hiap," katanya dengan wajah berseri, "Kami telah mendengar akan pertemuanmu dengan puteri kami dan aku sendiri merasa amat gembira bahwa kau dan Leng Hwa telah mendapatkan kecocokan dalam hal .... membuat syair! Hal ini telah membuat aku dan isteriku mengambil keputusan, yakni ... kalau kau setuju ... kami akan merasa gembira sekali apabila anak tunggal kami itu menjadi .... jodohmu!"
Pada saat itu, nyonya Ciu diikuti oleh A-bwe datang di ruang itu dan mereka ini mendengar juga ucapan Ciu-wangwe tadi, maka nyonya Ciu lalu menyambung,
Pendekar Gila > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
144 "Memang benar, anak muda yang baik. Telah lama kami mengharapkan datangnya seorang pemuda yang patut menjadi menantu kami dan kami merasa girang sekali apabila kau suka menjadi suami Leng Hwa!"
Kisah Bangsa Petualang 11 Kisah Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana 7

Cari Blog Ini